bab ii teori ritual dan lanskap globalisasi 2.1. ritual ... · sakral dan profan merupakan...

18
16 BAB II TEORI RITUAL DAN LANSKAP GLOBALISASI 2.1. Ritual Sebagai Identitas Budaya Budaya merupakan cara bagaimana manusia hidup atau cara bertahan hidup di tengah masyarakat atau cara belajar dari masyarakat. 1 Dalam perspektif sosiologis, budaya merujuk pada elemen simbolik dari kehidupan sosial, terlebih khusus pada objek sosial dan aktifitas masyarakat. 2 Salah satu unsur dari budaya adalah ritual, ritual berguna sebagai simbol pemersatu dan juga pembaharu kehidupan bermasyarakat. Di dalam ritual mengandung nilai kesakralan yang membuat pengikutnya terpanggil untuk hidup dalam solidaritas. Selain itu, ritual juga menjadi alat untuk melakukan pembedaan terhadap satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Karena di dalamnya terkandung proses inisiasi terhadap ‘individu baru’ yang masuk dalam komunitas tersebut. Melalui proses inisiasi, individu itu melebur menjadi satu bagian tak terpisahkan dalam komunitas itu. Oleh sebab itu, ritual wajib hukumnya dilaksanakan di dalam suatu masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern saat ini. Tanpa disadari, pola hidup dan interaksi kita dalam masyarakat merupakan suatu ritual yang berlangsung terus menerus. Meskipun hal itu terkadang merupakan hal biasa, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai suatu ritual di dalam masyarakat. Namun, ritual merupakan suatu proses yang berlangsung melalui beberapa tahapan di dalam masyarakat, dan pada akhirnya ritual itu menjadi karakter masyarakat. 1 John R. Hall and Mary Jo Neitz, “Culture: Sociological Perspectives” (New Jersey: Prentice-Hall), 4. 2 Steve Bruce and Steven Yearley, "Culture," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE Publications Inc, 2006), 111.

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 16

    BAB II

    TEORI RITUAL DAN LANSKAP GLOBALISASI

    2.1. Ritual Sebagai Identitas Budaya

    Budaya merupakan cara bagaimana manusia hidup atau cara bertahan hidup di tengah

    masyarakat atau cara belajar dari masyarakat.1 Dalam perspektif sosiologis, budaya merujuk

    pada elemen simbolik dari kehidupan sosial, terlebih khusus pada objek sosial dan aktifitas

    masyarakat.2 Salah satu unsur dari budaya adalah ritual, ritual berguna sebagai simbol pemersatu

    dan juga pembaharu kehidupan bermasyarakat. Di dalam ritual mengandung nilai kesakralan

    yang membuat pengikutnya terpanggil untuk hidup dalam solidaritas. Selain itu, ritual juga

    menjadi alat untuk melakukan pembedaan terhadap satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

    Karena di dalamnya terkandung proses inisiasi terhadap ‘individu baru’ yang masuk dalam

    komunitas tersebut. Melalui proses inisiasi, individu itu melebur menjadi satu bagian tak

    terpisahkan dalam komunitas itu. Oleh sebab itu, ritual wajib hukumnya dilaksanakan di dalam

    suatu masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern saat ini. Tanpa

    disadari, pola hidup dan interaksi kita dalam masyarakat merupakan suatu ritual yang

    berlangsung terus menerus. Meskipun hal itu terkadang merupakan hal biasa, sehingga tidak bisa

    dikatakan sebagai suatu ritual di dalam masyarakat. Namun, ritual merupakan suatu proses yang

    berlangsung melalui beberapa tahapan di dalam masyarakat, dan pada akhirnya ritual itu menjadi

    karakter masyarakat.

    1 John R. Hall and Mary Jo Neitz, “Culture: Sociological Perspectives” (New Jersey: Prentice-Hall), 4. 2 Steve Bruce and Steven Yearley, "Culture," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE

    Publications Inc, 2006), 111.

  • 17

    Rites of Passage (ritus peralihan) yang diperkenalkan oleh Arnold van Gennep,

    merupakan suatu transisi kehidupan dari setiap individu, dari satu masa kehidupan ke masa

    selanjutnya, dan proses pembentukan identitas masyarakat dipengaruhi oleh ritus peralihan

    tersebut.3 Ritus dalam suatu kebudayaan terus berubah, namun nilai di dalamnya tetap bertahan

    sesuai dengan konteks masing-masing. Ritus ini berfungsi untuk menjaga masyarakat dalam

    tatanan yang seimbang. Karena perubahan sosial yang begitu cepat dalam masyarakat,

    menyebabkan perubahan perilaku di tengah masyarakat. Karena itu, ritus sosial menguatkan atau

    mengintesifkan habitual (kebiasaan) relasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, ritus mencegah

    punahnya kebiasaan-kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat.4

    Sedangkan kata ritual, berdasarkan kamus besar sosiologi, yakni suatu aktifitas yang

    dilakukan secara signifikan oleh tindakan-tindakan formal dalam suatu pola tertentu, melalui

    simbol, dan ekspresi yang bermakna. Dalam istilah sosiologis, ritual merupakan suatu tindakan

    berulang-ulang yang memiliki pola tertentu dalam suatu masyarakat.5 Grant Potts mengutip

    pandangan Roy Rappaport, seorang antropolog, yang menyatakan bahwa ritual berguna sebagai

    alat untuk beradaptasi dalam masyarakat, alat untuk memelihara komunitas yang memungkinkan

    kita untuk bertahan hidup dan bereproduksi.6 Ritual memiliki berbagai definisi, karena makna

    istilah itu begitu dalam dan bervariasi. Secara umum, penggunaan ritual diidentifikasi dengan

    yang sakral. Richard Schechner mempertimbangkan ritual sebagai berikut:

    3 Miri Rubin, "Introduction: Rites of Passage," in Rites of Passage: Cultures of Transition in the Fourteenth

    Century, ed. Nicola F. McDonald and W. M. Ormrod (University of York’s: York Medieval Press, 2004), 8. 4 Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx

    (California: Sage Publications, 2010), 769. 5 Steve Bruce and Steven Yearley, "Ritual," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE

    Publications Inc, 2006), 263. 6 Grant Potts, "Negotiating the Social in the Ritual Theory of Victor Turner and Roy Rappaport," in

    Negotiating Rites, ed. Ute Husken and Frank Neubert (New York: Oxford University Press, 2012), 284.

  • 18

    1) Sebagai bagian dari perubahan evolusioner dari binatang; 2) sebagai struktur

    dengan kualitas resmi dan suatu hubungan yang dapat dijelaskan; 3) sebagai sistem

    simbol dari makna; 4) sebagai suatu pertunjukkan atau sebuah proses; 5) sebagai

    suatu pengalaman.7

    Definisi di atas mempertajam pemahaman akan ritual sebagai aspek religius karena orang-orang

    menggunakannya untuk mencari bantuan dari roh-roh leluhur, baik melaksanakan ritual dengan

    cara yang sesuai dan dengan keinginan untuk memperoleh, misalnya: hujan, kesehatan, tanaman

    yang baik atau status sebagai orang dewasa.8

    Ritual tidak hanya mengandung nilai kesakralan saja, tetapi juga mengandung nilai

    profan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Sakral dan profan merupakan terminologi

    yang dibuat oleh Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of the Religious Life, yang

    mengarah pada suatu distingsi antara yang suci dan tidak suci (duniawi).9 Simbol-simbol yang

    sakral memiliki sifat padat akan makna, kemurnian, solidaristik dan menenangkan, sedangkan

    simbol-simbol profan bersifat membagi dan menyebar, berbahaya dan merusak, serta terutama

    mengancam yang sakral.10 Nilai profan dan nilai sakral inilah yang seringkali sifatnya bertalian

    dan tumpang tindih ketika berada dalam suatu budaya. Kedua nilai tersebut saling

    mempengaruhi dan memberi dampak terhadap pola kebiasaan dalam masyarakat. Karena itu,

    konsep kebudayaan menurut Clifford Geertz cukup baik untuk ditempatkan dalam ranah ini,

    7 Richard Schechner, The Future of Ritual: Writings on Culture and Performance (London: Routledge,

    1993), 228. 8 Thera Rasing, "The Importance of Ancestors in The Religion of The Bemba of Northern Zimbabwe," in

    David Levinson, "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New York: Routledge, 2004), 7. 9 Steve Bruce and Steven Yearley, "Sacred and Profane,” in 21st Century Anthropology: A Reference

    Handbook, ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 266. 10 Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), 35.

  • 19

    yakni kebudayaan sebagai sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna.11 Makna

    ini sebagai suatu proses yang terus berjalan dan dinamis, sesuai dengan konteks ruang dan waktu

    masing-masing.

    2.2. Pertemuan antara Lokal dan Global

    Kebudayan yang menjadi akar dalam masyarakat lama kelamaan tergerus oleh perubahan

    yang terjadi, karena arus modernisasi memberi peluang untuk mengangkat nilai-nilai

    kebudayaan, dan di saat yang sama membuat suatu celah untuk menggeser nilai-nilai

    kebudayaan tersebut. Dalam hal ini budaya global memberi dampak besar terhadap perubahan

    yang terjadi di konteks lokal, yang mengakibatkan menipisnya nilai-nilai kebudayaan dalam

    masyarakat. Masyarakat mulai memberi ruang kepada arus globalisasi dalam kehidupannya,

    tanpa menyadari dampak yang akan terjadi terhadap identitas mereka. Wunderlich dan Warrier

    mengutip pandangan dari David Held bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena space

    (ruang), yakni sebuah rangkaian kesatuan antara lokal di satu sisi dan global di sisi lainnya. Hal

    itu ditandai dengan organisasi dan aktifitas inter-regional, dan suatu interaksi yang melibatkan

    kekuasaan.12 Merujuk pada pandangan tersebut bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena

    dua arah, yakni global dan lokal saling mempengaruhi. Karena itu, ketika kekuatan lokal

    masyarakat mampu mendapatkan tempatnya di tengah globalisasi ini, maka kebudayaan dan

    nilai-nilainya akan bertahan sesuai dengan konteks yang diberikan. Meskipun tidak ada satu pun

    kebudayaan di dunia ini yang tidak berubah, namun dengan mempertahankan nilai-nilai tradisi

    11 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5. 12 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," (London: Routldege Taylor

    and Francis Group, 2007), 5.

  • 20

    dan kepercayaannya dalam masyarakat, maka proses tarik menarik antara kebudayaan lokal dan

    global terus berlangsung dan akan menciptakan suatu hybrid baru, yaitu suatu sintesa akibat dari

    meleburnya kebudayaan lokal dan global di tengah masyarakat. Hal ini yang menjadi realitas

    baru dalam masyarakat pos modern, yakni suatu masyarakat yang mampu membuat

    kebudayaannya kokoh, meskipun ada sedikit tambalan-tambalan dari kebudayaan global yang

    menerpanya.

    Globalisasi menunjukkan suatu proses penyebaran yang dinamis dari struktur, institusi

    dan budaya oleh 'modernitas barat' seperti demokrasi liberal, konsumerisme, perdagangan bebas,

    kapitalisme, bahasa inggris, dan mass media yang mendominasi budaya Amerika/barat, dan ini

    bahkan menuju kepada homogenisasi budaya, yang merupakan konsep dari Arjun Appadurai.

    Homogenisasi budaya nyata di berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, ekonomi,

    maupun interaksi antar budaya.13 Proses pertemuan antara budaya lokal dan global

    mempengaruhi ritus siklus kehidupan dalam masyarakat, mulai dari kelahiran (inisasi),

    pernikahan, penyembuhan dan kematian. Ritus ini dijalankan secara terus menerus, sama seperti

    suatu siklus yang tidak pernah berhenti dan bersifat maju, serta dinamis dalam

    perkembangannya.

    2.3. Teori Ritus Peralihan dalam Siklus Kehidupan

    Untuk dapat menganalisis ritus siklus kehidupan lebih mendalam, maka dibutuhkan

    kerangka teoritis yang relevan dan signifikan sebagai pisau analisis data yang diperoleh.

    Pencetus pertama mengenai ritus siklus kehidupan adalah Arnold van Gennep, seorang

    antropolog dari Belgia, yang mempublikasikan pemikirannya pada tahun 1908, melalui buku

    13 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 31.

  • 21

    yang berjudul Les Rîtes des Passages. Terjemahan yang tepat untuk kata passage, adalah transisi

    atau peralihan. Jadi, istilah van Gennep adalah ritus peralihan, namun peneliti menambahkannya,

    menjadi ritus peralihan dalam siklus kehidupan. Karena dalam pemikiran van Gennep tentang

    ritus peralihan, yang dibahas adalah suatu siklus kehidupan manusia yang terus berputar seperti

    spiral, namun bersifat dinamis dalam prosesnya, sehingga terus bersifat progresif (maju). Dalam

    tulisannya, van Gennep membandingkan ritus dan upacara antara budaya Eropa dan non Eropa

    (Barat), yang menentukan pola dan proses kehidupan dalam masyarakat melalui fase-fase dalam

    hidup.14 Pandangan van Gennep yang menyatakan bahwa masyarakat adalah gabungan dari

    individu, dan mungkin bagi individu untuk mengubah keseluruhan, bertentangan dengan

    pemikiran Emile Durkheim, yang melihat bahwa individu tidak dapat melawan tindakan kolektif

    dari masyarakat. Van Gennep melihat dari sudut pandang upacara ritual, yang di dalamnya ada

    masa transisi dari kehidupan manusia yang berbeda secara detail dari budaya satu dengan yang

    lainnya, tetapi mereka (budaya-budaya itu), secara esensial adalah universal. Karena itu, ritual

    merupakan cerminan atau refleksi terhadap budaya,. 15

    Ritus siklus kehidupan menandakan perubahan status sosial di dalam diri individu. Dalam

    hal ini, terkandung hirarki sosial, nilai-nilai dan kepercayaan dari budaya tersebut. Dalam ritus

    tersebut, terdapat upacara terbagi atas beberapa fase kehidupan manusia: kelahiran, inisiasi, masa

    pubertas, masa dewasa, pernikahan, dan kematian. Ini merupakan fase kehidupan manusia dari

    14 Michael J. Simonton, "Europe: Past and Present," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook,

    ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 717. 15 Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx

    (California: Sage Publications, 2010), 767.

  • 22

    satu posisi ke posisi lainnya. Van Gennep lebih fokus terhadap upacara yang bersifat sosio-

    kultural, daripada secara biologis.16

    Fase-fase tersebut terangkai dalam skema ritus siklus kehidupan, yang terbagi atas fase

    preliminal (ritus dari pemisahan), fase liminal (ritus dari transisi), dan fase postliminal (ritus dari

    penggabungan), dan dalam realitanya ketiga ritus tersebut tidak selalu setara satu sama lain.17

    Dalam setiap fase peralihan yang dialami dan dilewati oleh manusia, semuanya mempunyai sifat

    kesakralan, karena semua peralihan adalah peralihan yang suci.18

    1) Fase Preliminal

    Pada fase pertama, pemisahan, masyarakat memisahkan diri dari lingkungan sosialnya.

    Pemisahan ini membuat mereka unik, karena mereka adalah orang-orang spesial yang tergabung

    dalam upacara yang sudah terorganisir.19 Ritus pemisahan yang paling menonjol dalam tulisan

    van Gennep adalah tentang ritus kematian, yang begitu kontras dengan ritus transisi dan ritus

    penggabungan. Ritus ini sebagai tanda adanya pemisahan antara dunia sebelumnya, dan berpisah

    dengan masyarakat tempat ia hidup. Dalam ritus kematian,yang termasuk dalamnya fase

    pemisahan ini, orang-orang dari berbagai latar belakang datang dan saling berbaur dalam ritus

    tersebut.20 Karena itu, dalam situasi dukacita yang dialami oleh keluarga dekat maupun

    masyarakat sekitar terdapat kedekatan emosional antara orang yang meninggal dan orang-orang

    di sekitarnya. Van Gennep menyatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya hubungan spesial di

    16 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 17 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago:

    The University of Chicago Press, 1960), 21. 18 Van Gennep, The Rites, 12. 19 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 20 Van Gennep, The Rites, 146.

  • 23

    dalam kelompok dari dunia orang hidup dan dunia orang mati.21 Melalui ritus kematian ini,

    masyarakat tradisional (pra-industri) yang mengikuti proses ritus tersebut mengalami refleksi diri

    dari kehidupannya, yang sedang berada dalam fase transisi (tidak berada di dunia masa lalu dan

    kematian), dan memiliki ingatan-ingatan kolektif akan peristiwa yang terjadi dalam

    kehidupannya dan bagaimana seharusnya ia hidup di dunia ini.

    Catherine Bell menganalisis dalam fase pertama, pemisahan, terkadang dibuat ritus

    pemurnian di dalamnya dan simbol sindiran kepada hilangnya identitas yang lama (sebagai efek,

    kematian dari hidup yang lama): individu dimandikan, rambut dicukur, baju diganti, dan dibuat

    tanda di tubuh individu tersebut.22 Fase pemisahan ini menunjukkan terjadinya transformasi dari

    kehidupan normal, peran dan identitas individu dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, individu

    terpisah dari kelompok dan identitas sebelumnya, setelah mereka terpisah dari masyarakat,

    mereka melewati fase transisi yang melekat dalam diri mereka. Kemudian, mereka mengalami

    keadaan liminalitas yang berhubungan dengan ambang pintu dalam kehidupan mereka.23

    2) Fase Liminal

    Fase kedua adalah fase transisi. Fase ini termasuk dalam Fase yang vital, karena

    masyarakat hampir membentuk ulang status sosial dari masa lalu. Masa transisi ini ditandai

    dengan tindakan yang bersifat transformatif.24 Van Gennep menyatakan bahwa dalam fase

    liminal ini bukan merupakan upacara persatuan, namun suatu persiapan menuju persatuan.25

    Salah seorang yang mendalami dan mengembangkan teori liminalitas adalah Victor Turner, yang

    21 Van Gennep, The Rites, 147. 22 Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press, 2009), 36. 23 Benjamin Feinberg, "Rites of Passage, in "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New

    York: Routledge, 2004), 311. 24 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 25 Van Gennep, The Rites, 21.

  • 24

    menyatakan bahwa aspek liminality (liminalitas) sebagai the mother of all invention (Ibu dari

    segala penemuan/sumber dari segala ciptaan).26 Karena menurut Turner bahwa fase liminalitas

    merupakan suatu kondisi bagi manusia untuk mengembangkan dirinya, menemukan jati dirinya

    dan merefleksikan keadaan yang terjadi di masa lalu, masa kini dan akan datang, sehingga dapat

    terbentuk anggota masyarakat baru. Sejatinya, konsep liminalitas merupakan fase personae

    (threshold people atau orang-orang berada di ambang pintu), yang menunjukkan keambiguan

    dalam kondisi tersebut, dan orang-orang berada dalam posisi tersebut dalam ruang lingkup

    budaya mereka.27 Menyebrangi ambang pintu berarti menyatukan diri dengan dunia baru. Hal ini

    nampak dalam ritual pernikahan, pengangkatan anak, inisiasi, tahbisan dan pemakaman.28

    3) Fase Post-Liminal

    Fase ketiga, merupakan fase penggabungan. Di dalamnya terdapat ritual yang

    menyambut kembali individu dalam masyarakat.29 Dengan adanya ritus inkorporasi

    (penggabungan) ini, maka sampai pada suatu tahap penyatuan ke dalam dunia baru, yang disebut

    sebagai ritus post-liminal. Van Gennep menganalisis pertunangan dan pernikahan yang masuk

    dalam fase penggabungan, karena di kehidupan sebelumnya individu hanya mengurus diri

    sendiri atau bersifat otonomi, namun setelah memasuki fase penggabungan ini, individu masuk

    dalam fase baru setelah melewati fase transisi (liminalitas). Individu tersebut masuk dalam

    lingkungan yang benar-benar baru dari sebelumnya, dan dalam fase ini individu membentuk

    identitas baru dalam dirinya kembali.30 Bell menyatakan bahwa dalam fase ini, individu memiliki

    26 Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction, (London: Oxford University Press, 2015), 59. 27 Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell University Press,

    1969), 95. 28 Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner

    (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 34. 29 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 30 Van Gennep, The Rites, 117.

  • 25

    status baru di tengah masyarakat, sehingga menunjukkan bahwa mereka telah melalui fase

    peralihan dengan baik dan telah disambut, serta diterima oleh masyarakat untuk menjadi satu

    bagian yang utuh di dalamnya.31 Kehidupan itu sendiri, menurut van Gennep, berarti berpisah

    dan bergabung kembali, untuk mengubah bentuk dan kondisi, untuk mati dan lahir kembali.32

    Menurut Debika Saha, upacara atau ritual bukan hanya berfungsi sebagai perekat sosial

    dalam masyarakat, lebih dari itu, ritual merupakan cerminan spiritual, religius, dan perasaan

    alami dari manusia. Dengan kata lain, ritual merefleksikan bagaimana orang-orang terbentuk,

    belajar dan bertransformasi dalam budaya, sehingga dapat memberi makna dan mendefinisikan

    eksistensinya dalam hidup ini.33

    2.4. Skema Ritus Peralihan dalam Drama Sosial

    Richard Schechner, proffesor di bidang pertunjukan Universitas New York, memetakan

    konsepnya mengenai ritus yang terjadi dalam teater dan dihubungkan dengan antropologi.

    Schechner mengambil gagasan van Gennep tentang fase-fase dalam ritus siklus kehidupan

    (separation, transition and incorporation), dan menambahkan aspek-aspek penting dalam

    gagasannya mengenai pertunjukan teater sosial. Konsep Schechner di bawah ini memberi

    gambaran signifikan mengenai ritus siklus kehidupan dalam aspek sosial-budaya.

    31 Bell, Ritual Perspectives, 36. 32 Van Gennep, The Rites, 189. 33 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 768.

  • 26

    Sumber: Buku Richard Schechner “Between theater and anthropology.”34

    2.5. Aspek Kultural Globalisasi

    Jan Nederveen Pieterse, professor di bidang ilmu global dan sosiologi, membagi tiga

    paradigma dari aspek kultural globalisasi, yakni diferensialisme kultural, konvergensi budaya,

    dan hibridisasi budaya. Paradigma dari Pieterse ini menunjukkan bahwa adanya suatu cara

    pandang dunia terhadap budaya-budaya di seluruh dunia: selalu berbeda, memusat, atau

    menciptakan bentuk “percampuran” baru dari kombinasi unik antara budaya lokal dan global.35

    34 Richard Schechner, Between theater and anthropology (Philadelphia:University of Pennsylvania Press,

    1985), 288. 35 Ritzer, Teori Sosiologi, 985.

  • 27

    Di bawah ini tabel Three Ways of Seeing Cultural Difference (Tiga jalan melihat perbedaan

    budaya) dari Pieterse, dalam bukunya “Globalisasi dan Budaya: Globalisasi Campuran.”

    Sumber:

    Buku Jan Nederveen Pieterse “Globalization and Culture.” 36

    Melalui tiga paradigma aspek kultural globalisasi di atas, maka peneliti merujuk pada

    fokus, yakni dalam dimensi mixing atau campuran, di masa modern, diikuti dengan hibridisasi

    sebagai aspek utama dalam penelitian ini.

    2.6. Hibridisasi Budaya

    Glokalisasi merupakan bagian dari paradigma hibridisasi budaya. Identitas dibangun

    melalui negosiasi yang mengandung perbedaan yang terdapat celah, dan kesenjangan di

    36 Jan Nederveen Pieterse, Globalization and Culture: Global Melange (USA: Rowman & Littlefield

    Publisher, 2009), 57.

  • 28

    dalamnya. Hibriditas muncul dalam proses 'ruang ketiga,' yakni sebagi tempat elemen lainnya

    mengubah satu sama lain, sehingga proses pertemuan bertemu dan menghasilkan satu perubahan.

    Dalam perspektif fungsionalis, hal ini dipandang sebagai model pertukaran budaya. Dalam

    bahasa Nikos Papastergiadis, hal itu dilihat sebagai sesuatu yang "mix and match" yang timbul di

    banyak budaya dan berbagai wacana tentang identitas.37 Hibridisasi budaya merupakan salah

    satu paradigma dari aspek kultural globalisasi yang menekankan terjadinya penyatuan antara

    global dan lokal. George Ritzer menyatakan bahwa hibridisasi sebagai sebuah proses yang

    sangat kreatif dalam memandang globalisasi, karena dari istilah ini akan muncul berbagai budaya

    baru dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatnya heterogenitas di banyak tempat berbeda.38

    Hibridisasi tersebut merupakan sintesa dari budaya yang berbeda atau identitas sosial,

    yang menghasilkan bentuk ketiga baru. Beberapa ahli antropologi mengklaim bahwa

    percampuran ras menghasilkan "jenis sosial" yang mereka sebut hybrid.39 Hibridisasi tidak sama

    dengan hybrid. Hibridisasi merupakan kata aktif dan istilah yang berkonotasi proses yang sedang

    berjalan sedangkan hybrid adalah penjelasan tentang sesuatu yang statis, dan bukan akhir dari

    proses menjadi.40 Pencampuran budaya itu sebagai akibat dari globalisasi dan produksi. Akibat

    penyatuan tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk hibrida yang khas, dan ini

    mengindikasikan keberlanjutan heterogenisasi daripada homogenisasi.41 Barker dan beberapa

    ahli budaya berpendapat bahwa kebudayaan dan identitas kultural tidak bisa dipahami lagi

    sebagai ‘tempat,’ tetapi sebagai suatu perjalanan. Hal ini berarti kebudayaan sebagai arena

    37 Nikos Papastergiadis, The Turbulence of Migration: Globalization, Deterritorialization and Hybridity 1st

    ed. (USA: Blackwell Publishers Inc, 2000), 170. 38 Ritzer, Teori Sosiologi, 999. 39 Julian Go, "Hybridity," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:

    Cambridge University Press, 2006), 275. 40 Sten Pultz Moslund, Migration Literature and Hybridity: The Different Speeds of Transcultural Change,

    First ed. (United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2010), 14. 41 Ritzer, Teori Sosiologi, 999.

  • 29

    bertemunya para pelancong, sehingga meningkatnya perbenturan, pertemuan dan percampuran

    kultural di dalamnya.42

    Konsep hibridisasi budaya berkaitan erat dengan teori glokalisasi.43 Glokalisasi

    merupakan sebuah istilah yang diadopsi oleh sosiolog dari strategi pemasaran perusahaan-

    perusahaan global yang memperkenalkan modifikasi kecil sebagai produk global untuk pasar

    lokal yang berbeda dan untuk mengikuti keinginan lokal. Dalam konsep sosiologis, hal ini

    mengungkapkan ketegangan antara budaya lokal dan global. Sebagai sebuah proses, itu mengacu

    pada globalisasi dari yang lokal dan glokalisasi dari yang global.44

    2.7. Glokalisasi

    Teori ini dikembangkan oleh Roland Robertson, seorang sosiolog, dan pakar teori tentang

    globalisasi. Robertson berpandangan bahwa globalisasi mengakibatkan tekanan yang mendalam

    kepada dunia dan intensifikasi kesadaran dunia secara menyeluruh. Ada dua dinamika dalam

    globalisasi yang terus terjalin satu dengan lainnya, yakni mengenai penkhususan masalah dunia

    dan penduniaan masalah khusus.45 Hailey menyatakan bahwa “globalisasi merupakan konsep

    penting dalam mengamati sistem yang kompleks dalam masyarakat, karena konsepnya yang

    memadai, maka globalisasi memerlukan analisis yang cermat dari arah vertikal dan horizontal,

    internal dan eksternal.”46

    42Chris Barker, Cultural Studies: Teori & Praktik, trans. Nurhadi, Nineth ed. (Bantul: Kreasi Wacana, 2015),

    211. 43 Ritzer, Teori Sosiologi, 999. 44Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, and Bryan S. Turner, "Glocalization," in Dictionary of

    Sociology(England: Penguin Books, 2006), 170. 45Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, 1st ed. (London: Sage, 1992), 8-9. 46Kenneth D. Bailey, "Systems Theory," in Handbook of Sociological Theory, ed. Jonathan H. Turner(New

    York: Springer, 2001).

  • 30

    Teori glokalisasi digunakan untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan

    dengan pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang

    mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap identitas

    global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan konsep lokal

    dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan oleh masyarakat,

    melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi kebudayaan dalam

    suatu masyarakat.

    Teori glokalisasi dikembangkan Robertson pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah

    kemudian muncul, tentang hubungan antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas,

    kosmopolitanisme, lintas kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi,

    pribumisasi, dan diasporisasi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki

    berbagai makna di berbagai konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat

    mengglobal.47 Penekanan dalam teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok

    lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi,

    dan berinovasi dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa

    teori glokalisasi paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai

    kawasan di dunia.48

    2.8. Landscape: Ethnoscapes, Ideoscapes, Financescapes, Technoscapes, dan Mediascapes

    47 Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture, Politics

    and Innovation 1, DOI: 10.12893/gjcpi.2013.1.10. 48 Ritzer, Teori Sosiologi, 1000.

  • 31

    Arjun Appadurai merupakan seorang teoritis globalisasi, ia dikenal dengan teorinya yang

    menjelaskan kompleksitasi gerakan kemasyarakatan, media, finansial, teknologi dan budaya

    dalam konteks dunia yang tidak menentu. Ia mengkonseptualisasikan hal itu dalam lima scapes,

    yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Penggunaan kata

    scape menunjukkan bahwa semua proses di setiap area tersebut memiliki bentuk cair, tidak tetap

    dan beragam, sehingga gagasan heterogenisasi tepat dalam hal ini, bukan homogenisasi.49

    Landscapes tersebut dibangun dari pemikiran Bennedict Anderson mengenai imagined world

    (dunia imajiner), yang dilakukan oleh berbagai individu dan komunitas yang tersebar di seluruh

    dunia.50 Bagi Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena

    globalisasi merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.51

    Berikut lima pokok pemikiran dari Arjun Appadurai:

    1) Ethnoscape dari individu maupun kelompok yang bergerak (turis, pendatang, pengungsi,

    tenaga kerja asing) yang memainkan peran penting dalam dunia yang terus berubah.

    Sadar maupun tidak, hal ini menunjukkan terjadinya pergerakan yang sesungguhnya di

    tengah masyarakat.52 Istilah Ethnoscape dipakai oleh Appadurai untuk menggambarkan

    suatu perubahan sosial, teritorial dan reproduksi kultural dan identitas kelompok.

    Kerangka konseptual dari Appadurai membahas tentang perdebatan kultural, yang

    menurutnya bahwa terjadi proses perkembangan dinamika kultural yang begitu cepat, dan

    ia menyebutnya sebagai deteritorialisasi, yang berarti adanya suatu korporasi

    49 Ritzer, Teori Sosiologi, 1002. 50 Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (London: University of

    Minnesota Press, 1996), 33. 51 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 35. 52 Ritzer, Teori Sosiologi, 1002.

  • 32

    transnasional dan berkaitan dengan pasar uang, juga kepada kelompok etnik, gerakan

    sektarian dan formasi politik.53

    2) Technoscape merupakan suatu konfigurasi global yang terus berjalan melalui teknologi

    informasi dan mekanika, serta sejumlah besar materi (data unduhan, e-mail), yang dalam

    masa pos-modern ini sangat bebas dan begitu cepat mengalir tanpa adanya batasan.54

    Appadurai menambahkan bahwa distribusi teknologi tidak meningkat karena adanya

    dorongan dari skala ekonomi, kontrol politik atau dari rasionalitas pasar, tetapi meningkat

    karena adanya hubungan yang kompleks di antara arus peredaran uang, kemungkinan-

    kemungkinan politis dan ketersediaan dari pekerja (buruh) yang berkompeten dalam

    industri.55

    3) Financescape adalah suatu area peredaran uang secara besar-besaran, yang bergerak dari

    satu wilayah ke wilayah lain (antar negara) dan proses tersebut berputar dengan cepat di

    seluruh dunia melalui pasar uang, perdagangan mata uang, spekulasi, bursa saham, dan

    sebagainya. Namun, Appadurai melihat titik kritis dalam hubungan global antara

    ethnoscapes, technoscapes, dan financescapes, yang begitu berlawanan dan sangat tidak

    bisa diprediksi, karena dari setiap area ini subyek itu sendiri terpaksa dan terdorong oleh

    beberapa aspek (misalnya: aspek politik, beberapa yang bersifat informasi, dan yang

    bersifat tekno-lingkungan), pada saat yang sama hal itu bertindak memaksa dan adanya

    parameter terhadap gerakan-gerakan dari satu area ke area lainnya.56

    4) Mediascape merupakan penyebaran informasi ke seluruh dunia melalui berbagai media

    yang tersedia (Internet, social media, televisi, koran, majalah, dan buletin), sehingga

    53 Appadurai, Modernity at Large, 49. 54 Ritzer, Teori Sosiologi, 1002. 55 Appadurai, Modernity at Large, 34. 56 Appadurai, Modernity at Large, 35.

  • 33

    pihak-pihak yang terlibat merupakan orang-orang yang kompeten di bidangnya untuk

    memberikan tampilan atau pertunjukkan yang sesuai dengan konteks dan situasi di

    masing-masing tempat. Mediascape dan ideoscapes ditujukkan kepada audience lokal,

    nasional dan internasional. Mediascapes ini dapat menunjukkan suatu karakter, plot, dan

    bentuk-bentuk tekstual, yang dapat mengubah perspektif individu maupun komunitas,

    sehingga mereka dapat mengubah kehidupannya melalui gambaran tersebut.57

    5) Ideoscapes, hampir senada dengan mediascape, namun dalam ideoscape lebih

    menonjolkan gambaran-gambaran politk atau ideologi masing-masing kelompok,58

    berdasarkan kepentingannya masing-masing. Karena ideoscape mau menangkap bagian-

    bagian kecil dari kekuasaan masing-masing kelompok. Appadurai menyatakan bahwa:

    Ideoscapes terbentuk dari berbagai unsur, yakni cara pandang tentang pencerahan,

    yang mana terdiri dari rangkaian ide-ide, istilah dan gambaran, termasuk di

    dalamnya: kebebasan, kesejahteraan, hak-hak, kedaulatan, representasi dan istilah

    yang unggul adalah demokrasi.59

    Dalam area ini terdapat gerakan-gerakan pro dan kontra terhadap berbagai kepentingan

    yang ada, namun terdapat juga gerakan yang bersifat netral dan anti terhadap kepentingan

    politis tersebut.

    57 Appadurai, Modernity at Large, 35. 58 Ritzer, Teori Sosiologi, 1003. 59 Ritzer, Teori Sosiologi, 1003.