tesis

185
UNIVERSITAS INDONESIA PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI PADA PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA TESIS ZAHRI KURNIAWAN NPM : 1106 111 514 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI PASCASARJANA KEKHUSUSAN ILMU HUKUM JAKARTA JUNI 201

Upload: dyanaana

Post on 28-Nov-2015

478 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALATBUKTI PADA PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA

TESIS

ZAHRI KURNIAWANNPM : 1106 111 514

FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI PASCASARJANA

KEKHUSUSAN ILMU HUKUMJAKARTAJUNI 201

Page 2: TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALATBUKTI PADA PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UntukMemperoleh Gelar Magister Hukum

ZAHRI KURNIAWANNPM : 1106 111 514

FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI PASCASARJANA

KEKHUSUSAN ILMU HUKUMJAKARTAJUNI 201

Page 3: TESIS
Page 4: TESIS
Page 5: TESIS

Universitas Indonesiaiv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari

bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. H. Mardjono Reksodiputro, SH. MA, selaku Ketua jurusan Hukum dan

Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Topo Santoso, SH. MH. Ph.D., selaku dosen pembimbing dalam

penulisan tesisi ini, Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, SH., Dr. Eva Achjani Zulva,

SH. MH., Dr. Surastini Fitriasih, SH. MH, serta para guru besar, para staf

pengajar/dosen dan staf akademik Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran

untuk mengarahkan saya baik dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan

tesis ini ;

2. Pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat,

Badan Diklat Kejaksaan Republih Indonesia dan Resident Legal Advisor Office

Of Overseas Prosecutirial Development Assistance And Training, US

Departemen of Justice, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh

data yang saya perlukan;

3. Kedua orang tua S. Effendi, SA, Ami Hartini, kedua mertua saya dan keluarga

saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral, serta istri

tercinta Inayah Prima Metharia, SH. dan putra kami tersayang Zahraan Al

Khedira Syauqi atas dukungan, motivasi dan doa selama saya mengikuti

program strata dua ini:

Page 6: TESIS

Universitas Indonesiav

4. Para sahabat saya sesama mahasiswa Pascarsarjana kelas Kejaksaan yang telah

banyak membantu saya dalam menyelesaikan perkulihan serta sama-sama

belajar untuk hidup baru di Jakarta, tak lupa teman seperjuangan alumnus

Kejari Sarolangun, kita berangkat bersama dan pulang bersama untuk hidup

yang lebih berarti, serta semua pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan saya

persatu atas bantuanya saya ucapkan terima kasih.

ΎѧѧѧѧѧѧϬϳΎϳϦϳάѧѧѧѧѧѧϟϮѧѧϨϣϮѧѧѧѧѧϧϮϛϦϴϣϮѧѧѧѧѧѧϗςѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧδϘϟΎΑ˯ ΪϬѧѧη هللا ϮѧѧѧϟϭϰѧѧѧѧϠϋ ϢϜѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧδϔϧأو ϦϳΪѧѧѧѧѧѧѧѧѧϟϮϟϦϴΑήѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϗϷϭإن �ϦѧѧѧѧѧϜϳ

ΎѧѧѧѧѧѧϴϨϏأو ήϴѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϘϓͿΎѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϓϰѧѧѧϟϭΎѧѧѧϤϬΑϼѧѧѧѧѧѧϓϮѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧόΒΘΗϯϮѧѧϬϟأن ϮϟΪѧѧѧѧѧѧѧѧόΗوإن ϭϮѧѧѧѧѧѧѧϠΗأو Ϯѧѧѧѧѧѧѧѧο ήόΗϥΈѧѧѧѧѧϓاهللا ϥΎѧѧϛ

ΎѧѧѧѧϤΑϥϮѧѧѧѧѧѧѧѧϠϤόΗήϴѧѧѧѧѧѧѧѧΒΧ

An - Nisa' 135; Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang

benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap

dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin,

Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa

nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar

balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah

adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Besar harapan saya tesis ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang membaca, serta memberikan sumbangsih

untuk ilmu pengetahuan.

Jakarta, 12 Juni 2013

Zahri Kurniawan

Page 7: TESIS
Page 8: TESIS

Universitas Indonesiavii

ABSTRAK

Nama : Zahri KurniawanProgram Studi : Ilmu hukumJudul : Penggunaan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti pada Penyertaan

dalam Tindak Pidana

Konsep saksi mahkota yang dilaksanakan di peradilan Indonesia saat ini masihmenimbulkan kontroversi dan perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi,karena memang sesungguhnya belum ada definisi normatif tentang saksi mahkotatermuat dalam undang-undang. Apabila dibandingkan dengan konsep saksimahkota di negara lain, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitupada konsep di Eropa dan Amerika sebelum diterapkan saksi mahkota harusdilakukan terlebih dahulu kesepakatan kerjasama atara penuntut umum dan saksimahkota dalam penuntutan tindak pidana, sedangkang di Indonesia lebihmengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian saling menyaksikan antara sesamapelaku tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana untuk tujuan sempurnayapembuktian.Tujuan dari penelitian ini mengkaji mengenai penerapan saksimahkota dalam peradilan pidana dan memperbandingkanya dengan pelaksanaansaksi mahkota di Belanda dan Amerika Serikat serta melihat paradigma saksimahkota menurut hukum acara pidana yang akan datang. Metode penelitian yangdigunaka yuridis normatif. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kenyataan konsepsaksi mahkota yang dilaksanakan dalam peradilan pidana di Indonesia saat inimelanggar asas non self incrimination. Peranan saksi mahkota dibutuhkan dalammenghadapi permasalahn kurangnya alat bukti saksi pada penyertaan dalamtindak pidana. Penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanyamewujudkan suatu kepastian hukum, sehingga kurang memperhatikan caramemperoleh alat bukti (exclusionary rule), dan pentinya alat bukti yang salingmenguatkan (corroborating evidence) dalam penerapan saksi mahkota. Secarasubtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan sangat signifikat mengenaikonsep saksi mahkota dengan menyerap konsep saksi mahkota yang di kenal diEropa dan Amerika Serikat.

Kata Kunci :Saksi Mahkota, Non Self Incrimination, Exclusionary Rule, KesepakatanKerjasama.

Page 9: TESIS

Universitas Indonesiaviii

ABSTRACT

Name : Zahri KurniawanStudy Program : Criminal LawTitle : The Application of Crown Witness as Evidence on Participation

in Criminal Offenses

The concept of crown witness implemented in Indonesian courts is still causingcontroversy and debates among practitioners and academicians, because actuallythere has been no normative definition of crown witness contained in thelegislation. When compared with the concept of crown witness in other countries,there are fundamental differences. In Europe and the USA before crown witnessis applied, a cooperation agreement shall be made first between the publicprosecutor and the crown witness in a criminal proceeding; whereas in Indonesiawhat is referred to as crown witness is a witness who came from suspects ordefendants and testify against other suspects/perpetrators in a crime in order toobtain perfect/complete evidence. The purpose of this research is to examine theapplication of crown witness in the criminal proceedings and compare it with theimplementation of crown witness in the Netherlands and the United States as wellas to see the crown witnesses paradigm in accordance with the law of criminalprocedure which will be applicable in the future. The research method employedis judicial normative. Based on the research findings it is discovered that theconcept of crown witness in criminal proceedings in Indonesia today violates theprinciple of non-self incrimination. The role of crown witnesses is required as aconsequence of lack of evidence of witnesses in the participation (deelneming) ina crime. The application of the crown witness concept in court today is only torealize the rule of law so it does not take into consideration the manner inobtaining evidence (exclusionary rule) and the importance of corroboratingevidence in the application of crown witnesses. In substance, the Draft of theCriminal Procedure Code experiences very significant changes in the concept ofcrown witness by absorbing the concept of crown witnesses which is known inEurope and the United States.

Keywords:

Crown Witness, Non Self Incrimination, Exclusionary Rule, CooperationAgreement.

Page 10: TESIS

Universitas Indonesiaix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... iLEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iiKATA PENGANTAR………………………………………………………...... iiiLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………...... viABSTRAK .…………………………………………………………………..... viiDAFTAR ISI …………………………………………………………...…...... xDAFTAR SINGKATAN...……………………………………………....……... xiI. PENDAHULUAN …………………………………………......…............... 1A.Latar Belakang ……………………………………............……….............. 1B.Pernyataan Masalah ...…………………………………………………...... 10C.Pertanyaan penelitian...…………………………………………………...... 10D.Tujuan Penelitian …...…………………………………………………....... 11E.Manfaat Penelitian …...…………………………………………………..... 11F.Kerangka Teoritis…...………………………………………………............ 12G.Kerangka Konsepsional ...………………………………………................. 18H.Metode Penelitian …...………………………………………….........……. 26I. Sistematika Penelitian ...…………………………………………..……..… 28

II.TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SAKSIMAHKOTA DAN PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA............. 30A. Penyertaan dalam Tindak Pidana.................................................................. 30B. Konsep Saksi Mahkota.................................................................................. 36C. Memaknai Dualisme Yurisprudesi dalam Penerapan Saksi Mahkota.......... 48D. Hak- Hak Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana....................................... 57E.Mengatasai Dilema Terkait Asas Non Self Incrimination dalam

Penerapan Saksi Mahkota............................................................................... 62F. Penerapan Saksi Mahkota dalam Peradilan di Indonesia Melanggar

Asas Non Self Incrimination........................................................................... 68

III.PENERAPAN ALAT BUKTI SAKSI MAHKOTA PADA PENYERTAANDALAM TINDAK PIDANA DI PERADILAN......................................... 70

A.Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing) dan Konstruksi Surat Dakwanterhadap Saksi Mahkota pada Penyertaan dalam Tindak Pidana.................. 70

B.Kedudukan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam PembuktianTindak Pidana................................................................................................ 80

C.Pertanggungjawaban Pidana Saksi Mahkota dalam Penyertaandalam Tindak Pidana .................................................................................... 88

D.Analisis Penerpana Saksi Mahkota sebagai Alat Buktidalam Peradilan di Indonesia.......................................................................... 95

Page 11: TESIS

Universitas Indonesiax

IV.PENGATURAN SAKSI MAHKOTA DALAM HUKUM PIDANA YANGAKAN DATANG........................................................................................... 97A.Beberapa Perubahan Konsep Saksi Mahkota

pada Penyertaan dalam Tindak Pidana Menurut RUU KUHAP................. 97B.Pedoman untuk Memperbaiki Ketentuan Pembuktian

dalam Menerapkan Saksi Mahkota........................................................... 104C.Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP

Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.................................................. 111D.Analisis Perbandingan Konsep Saksi Mahkota dalam

RUU KUHAP Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat......................... 123E.Paradigma Pergeseran Sistem dalam RUU KUHAP................................. 140F. Konsep lain yang Mengatur Keturutsertaan Saksi

dalam Suatu Tindak Pidana....................................................................... 145G. Paradigma Baru Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP....................... 155

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 156A.Kesimpulan ............................................................................................... 156B.Saran.......................................................................................................... 159

DAFTAR REFERENSI ................................................................................. 160

Page 12: TESIS

Universitas Indonesiaxi

DAFTAR SINGKATAN

AS Amerika SerikatBAP Berita Acara PemeriksaanBPS Badan Pusat StatistikCCP Code of Criminal ProcedureEHRM Europees Hof voor de Rechten van de MensEVRM Europees Verdrag voor de Rechten van de

MensHAM Hak Asasi ManusiaHIR Herziene Indonesisch ReglementICCPR International Covenant on Civil and

Political RightsKPK Komisi Pemberantas KorupsiKUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara

PidanaKUHP Kitab Undang-Undang Hukum PidanaKasi Pidum Kepala Seksi Pidana UmumKejari Kejaksaan NegeriLPSK Lembaga Perlindungan Saksi dan KorbanMA Mahkamah AgungOM Openbaar MinisterieOPDAT Overseas Prosecutirial Development

Assistance And TrainingPN Pengadilan NegeriPT Pengadilan TinggiP 16 Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut

Umum Untuk Mengikuti PerkembanganPenyidikan Perkara Tindak Pidana

P 21 Pemberitahuan Hasil Penyidikan PerkaraPidana Sudah lengkap

RUU KUHAP Rancangan Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana

RUU KUHP Rancangan Kitab Undang-Undang HukumPidana

SEMA Surat Edaran Mahkamah AgungUNAFEI United Nations Asia and Far East Institute

for the Prevention of Crime and theTreatment of Offenders

UNCAC United Nations Convention AgaintsCorruption

US United StatesUNDOC United Nations Office on Drugs and CrimeUU Undang UndangUUD Undang Undang DasarWvS Wetboek van Strafvorderingen

Page 13: TESIS

Universitas Indonesiaxii

Page 14: TESIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh

masyarakat di Indonesia tetapi juga merupakan masalah yang dihadapi oleh

seluruh masyarakat di dunia. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari kita

akan selalu mendengar bagaimana fenomena kejahatan ini terjadi, dengan

berbagai modus operandi yang semakin canggih serta intensitasnya yang semakin

meningkat. Di Indonesia sendiri menurut Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal

Polri Inspektur Jenderal Polisi Saud Usman, setiap 91 detik terjadi satu kejahatan

di sepanjang tahun 2012 dan jumlah kejahatan di tahun 2012, tepatnya hingga

November 2012, mencapai 316.500 kasus.1

Angka statistik di atas mengambarkan bagaimana tingginya tingkat

kejahatan di Indonesia, namun mengenai persoalan tingginya intensitas kejahatan

ini bukan menjadi permasalahan di Indonesia saja, tetapi menjadi persolaan bagi

negara-negara lain bahkan, negara yang telah maju dan memiliki sistem

penanggulangan kejahatan yang telah mapan pun menghadapi masalah yang

sama, karena apapun bentuk negara dan bagaimanapun sistem hukumnya akan

mengahadapi masalah kejahatan serta cara menanggulanginya. Dalam prespektif

ilmu pengetahuan menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan merupakan bentuk

tingkah laku manusia, tingkah laku individu ditentukan oleh sikapnya (attitude)

dalam menghadapi situasi tertentu, sikap ini dibentuk oleh kesadaran subjektif

akan nilai dan norma dari masyarakat atau kelompoknya.2

Mencari sebab orang melanggar norma akan sangat membantu untuk

menemukan cara terbaik pembinaan (dalam arti usaha melakukan perubahan

sikap) si pelanggar, inilah hubungan antara mencari sebab kriminalitas dengan

mencari sistem pembinaan yang efektif, istilah pemberantasan kejahatan mungkin

kurang tepat karena mengandung arti pemusnahan, dengan bersandar pada

1 Kompas. com,“Setiap 91 Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia",http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejahatan.diIndonesia, diunduh 4 Maret 2013.

2 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: PusatPelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 1-2.

Page 15: TESIS

2

pendapat Emile Durkheim yang memandang kejahatan sebagai suatu gejala di

dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial

karena itu tidak mungkin kejahatan dimusnahkan habis, mungkin istilah yang

lebih tepat adalah pencegahan kejahatan.3

Perkembangan ekonomi dan modernisasi, yang terjadi begitu cepat saat ini

membawa dampak juga terhadap perkembangan kejahatan. Pergeseran bentuk-

bentuk kejahatan seolah-olah telah mematahkan hipotesis kuno bahwa penyebab

kejahatan semata-mata faktor kemiskinan. Karena saat ini kejahatan yang dikenal

dengan istilah “blue collar crime” (yaitu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh

penjahat biasa) dan “white collar crime” (kejahatan yang dilakukan oleh kaum

bergengsi atau berdasi), berevolusi sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi informasi yang tanpa batas, bahkan ruang lingkup

white collar crime menjadi semakin bebas dan meluas, baik terkait dengan dunia

sosial, ekonomi maupun dunia politik dan kekuasaan atau pemerintahan. Dalam

teori kriminologi hal ini dikenal dengan pendekatan dengan hubungan positif

(direct relationship) yang melihat gejala kriminal merupakan kelanjutan dari

kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.4

Perkembangan kejahatan yang paling ditakuti adalah ketika kriminalitas

dijadikan semacam profesi atau mata pencarian. Dalam konteks tersebut pada

tataran tertentu kriminalitas tidak lagi sebagai suatu aktivitas atau tindakan

terpaksa dan tidak dapat dihindari, tetapi justru dengan kesadaran penuh

merupakan cara dan pilihan pertama dalam mengatasi berbagai persoalan

kehidupan, walaupun tesis ini tidak terlalu baru, karena kecendrungan tersebut

telah terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, bahkan tidak terkecuali Cina

dan Jepang. Misalnya tampak dari lembaga-lembaga (organisasi) kejahatan

internasionalnya, atau biasa disebut Mafia di Eropa atau Amerika, Triad di Cina,

atau Yakuza di Jepang, sebagai contoh yang paling dikenal.5

3 Ibid.4 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 85.5 Aprinus Salam, Politik dan Budaya Kejahatan Bagian,Satu,

http://www.academia.edu/1497446/Politik_dan_Budaya_Kejahatan_Bagian_Satu_, hal. 3. diunduh2 Mei 2013.

Page 16: TESIS

3

Dampak dari perkembangan kejahatan, akan berimplikasi langsung pada

makin beratnya tugas aparat penegak hukum dalam mengungkapakan suatu

kejahatan karena akal para penjahat yang semakin modern (maju) dimana para

penjahat telah mengunakan metode operasi yang dirancang dengan baik untuk

melindungi kegiatan kejahataan mereka serta menyamarkan identitas mereka dari

deteksi oleh penegak hukum. Sehingga dalam pelaksanaan tugas aparat penegak

hukum dituntut untuk mengembangkan teknik pengungkapan tindak pidana untuk

mendapatkan atau menguatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana melalui

pengetahuan agar diperoleh pembuktian yang logis berdasarkan penemuan fakta

yang ada sehingga dapat membentuk kontruksi yang logis.6

Dalam praktek tak jarang dijumpai, penyidik sangat sulit bahkan hampir

tidak mungkin mendapatkan saksi karena kuatnya para pelaku tindak pidana

dalam menjaga kerahasiaannya. Maka salah satu cara membongkar sindikat

kejahatan tersebut kemudian penyidik memerintahkan anggotanya sebagai

penyelidik ikut bergabung dalam sindikat kejahatan sebagai salah seorang pelaku

kejahatan atau mengambil salah seorang anggota sindikat untuk dijadikan saksi

mahkota atas tindak pidana yang dilakukan sindikat bersangkutan.7

Namun dalam upaya untuk bekerja sama dengan para pelaku kejahatan,

aparat penegak hukum akan menghadapi suatu keadaan yang dilematis karena

para kaki tangan pelaku kejahatan ini akan memilih untuk bekerja sama dengan

penegak hukum apabila mereka mendapatkan suatu imbalan yang bermanfaat bagi

mereka, baik dalam bentuk kekebalan, hadiah, atau pengurangan hukuman dari

kejahatan yang pernah mereka lakukan, sehingga keputusan untuk menggunakan

terdakwa sebagai kooperator harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya.

Tujuannya yang diharapkan oleh penegak hukum dalam kerja sama dengan

pelaku kejahatan ini, pada dasarnya untuk mempelajari nama pelaku kejahatan,

tanggal dan urutan kejadian, struktur organisasi, dimana lokasi bukti yang akan

digunakan dalam pengumpukan alat bukti untuk menangkap orang-orang lain atas

kejahatan yang telah dilakukan.

6 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),hal. 34.

7 Lilik Mulyadi, “Implikasi Yuridis tentang ''Saksi Mahkota",http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/8/21/op2.htm, diunduh 8 April 2013.

Page 17: TESIS

4

Kesepakatan kerjasama dengan pelaku kejahatan untuk membongkar suatu

tindak pidana dimana pelaku tersebut juga turut serta dalam kejahatan itu, dan atas

kesepakatan tersebut diberikan imbalan keringanan hukuman dikenal dengan

istilah saksi mahkota, di Belanda dan Jerman dinamakan kroongetuige dan

kronzeuge, di Italia awalnya disebut pentito sekarang di sebut collaboratore della

giustizia, di negara–negara Great Britain (Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia

Utara) disebut supergrass, dan di Perancis dinamakan repenti,8 sedangkan di

Amerika Serikat di sebut sebagai cooperator tetapi juga dikenal istilah lain yaitu

state witness untuk saksi negara. Dalam praktik peradilan pidana Indonesia

konsep saksi mahkota ini, kemudian diterapkan pada penyertaan dalam tindak

pidana dengan tujuannya agar masing-masing terdakwa dapat memberikan

kesaksian yang memberatkan satu sama lain.

Perbedaan konsep mengenai saksi mahkota yang ada di negara lain (Inggris,

Belanda, Amerika Serikat, Italia dan lainya) dengan praktik peradilan di Indonesia

ini, kemudian menimbulkan perbedaan pandangan diantara para ahli hukum

pidana, sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sendiri

istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas. Namun dalam perkembangan

peradilan pidana di Indonesia, saksi mahkota diakui sebagai alat bukti dalam

perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1986 K/Pid/1989, tanggal 21 Maret 1990.9 Dalam putusannya Mahkamah

Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di

persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa

tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan

kesaksian.

Namun pada tahun 1994 saat terjadinya kasus Marsinah, konsep saksi

mahkota yang dikenal dalam praktik peradilan dibantah oleh putusan Mahkamah

Agung yang lain, dalam perkara tersebut pertama kali di Indonesia dinyatakan

dalam putusan Mahkamah Agung kesaksian saksi mahkota bertentangan dengan

8 P J P Tak, “Deals With Criminals: Supergrasses, Crown Witnesses and Pentiti”, EuropeanJournal of Crime Volume:Criiminal Law and Criminal Justice,https://www.ncjrs.gov/App/publications/Abstract.aspx?id=172602, diunduh 7 Mei 2013.

9 Varia Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, (Jakarta: IKAHI, 1990), hal. 19-44.

Page 18: TESIS

5

hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.10 Sehingga kemudian

penggunaan saksi mahkota di Indonesia menjadi perdebatan yang menarik. Dalam

perdebatan tersebut sebagian pihak berpendapat penggunaan saksi mahkota

dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik,11di lain pihak

menyatakan saksi mahkota dianggap sebagai sesuatu yang tidak diboleh dilakukan

karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Dalam perkembangan hukum selanjutnya, ternyata bukan hanya persoalan

boleh atau tidaknya saksi mahkota itu dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun

terdapat kenyataan baru mengenai perbedaan konsep tentang saksi mahkota,

keadaan kembali mencuat dan bertambah seru saat Kombes Wiliardi Wizard

memberikan kesaksian dalam persidangan kasus terbunuhnya Nasrudin

Zulkarnaen dengan terdakwa Antasari Azhar, pada awal November 2009. Dalam

kesaksiannya, Wiliardi menyatakan bahwa ia merasa diarahkan oleh petinggi Polri

dalam proses penyidikan, yang tujuannya menjerat Antasari dalam rangkaian

tuduhan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen dalam perkara di PN Jakarta

Selatan No. 1532/PID.B/ 2009/PN.JKT.SEL .

Terlepas apakah pernyataan Wiliardi dalam kesaksian itu benar atau tidak,

yang pasti Wiliardi bersama teman-tamannya lain yang juga didakwa dalam kasus

yang sama sudah saling memberikan kesaksian dalam perkara Antasari sebagai

saksi mahkota bahkan saat ini perkara Antasari telah berkekutan hukum tetap.

Mengingat penggunaan saksi mahkota dalam praktek peradilan pidana dapat

menimbulkan implikasi yuridis yang serius terkait dengan hak tersangka dan

terdakwa dalam proses peradilan pidana, maka perlu dipikirkan kembali secara

matang mengenai konsep saksi mahkota, untuk lebih menjamin rasa keadilan.

Pada umumnya perdebatan mengenai konsep saksi mahkota di Indonesia

tidak saja terjadi pada tataran penerapan tetapi juga pada tataran definisi atau

pemahaman, karena memang sesungguhnya tidak ada definisi normatif tentang

hal ini yang termuat dalam undang-undang. Secara umum perdebatan tersebut

terbagi dalam dua pendapat besar, yaitu :

10 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 27.

11 Setiyono, “Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana”, LexJurnalica Volume 05 Nomor 01, (Desember 2007), hal. 1.

Page 19: TESIS

6

1. Pendapat yang menyatakan bahwa saksi mahkota tidak dapat diterapkan

dalam sistem pembuktian karena:

a. Saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa, oleh karena

itu, sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau

bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau

berbohong;

b. Dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah

maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan

persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi

mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara

bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi

dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa akan

dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana

kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 KUHP.12

Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan

menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak

dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena

itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota

tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan

menggunakan kekerasan in casu kekerasan psikis ;

c. Sebagai pihak yang berstatus terdakwa walaupun dalam perkara lainnya

diberikan kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang

diberikan oleh terdakwa (saksi mahkota) hanya dapat digunakan terhadap

dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan

Pasal 189 ayat (3) KUHAP ;

d. Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi

mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila

12 Pasal 242 ayat (1) KUHPidana mengatur sebagai berikut : “Barang siapa dalam hal-haldimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakanakibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatassumpah, baik lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untukitu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Page 20: TESIS

7

terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas

non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g

International Covenant on Civil and Political Rights, dijelaskan sebagai:

“In the determination of any criminal charge against him, everyoneshall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality :(g). Not to be compelled to testify against himself or to confess guilty.”

Pada dasarnya ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR,13 tersebut

bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu,

diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti

untuk menyatakan kesalahannya.14

2.Pendapat yang menyatakan bahwa saksi mahkota dapat diterapkan dalam

sistem pembuktian menyatakan :

a. Tidak ada larangan secara tegas dalam perundang-undangan yang dapat

dijadikan acuan mengenai penerapan “saksi mahkota”. Peraturan

perundang-undangan yang ada hanya ditafsirkan secara analogi oleh

kelompok penentang agar tidak terjadi penerapan saksi mahkota;

b. Majelis Hakim tidak dapat menolak berkas perkara dari penyidik dalam

keadaan terpisah (splitsing) karena pemisahan itu diatur dalam Pasal 142

KUHAP.15 Terhadap penilaian unsur pembuktian sepenuhnya merupakan

kewenangan hakim yang erat kaitannya dengan batas minimum

pembuktian dan keyakinan hakim;16

13 Pada 23 Februari 2006, secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak ( State Party) pada duakovenan HAM induk, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya(International Covenant on Economic Social and Cultural Rights /ICESCR) dan KovenanInternasional tentang Hak Sipil Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Dengan demikin dua kovenan ini mulai berlaku efektif/mengikat secara hukum (entryinto force) bagi Indonesia sejak Mei 2006. Ratifikasi ini ditetapkan setelah DPR mengesahkan duakovenan itu menjadi undang-undang, yaitu UU No. 11 Tahun 200 (ICESCR) dan UU No. 12Tahun 2006 (ICCPR). Dengan ratifikasi ini Indonesia menjadi negara ke-156 yang meratifikasiICCPR dan negara ke-153 untuk ICESCR dari total 191 negara anggota PBB.

14 Setiyono, Op.Cit.,hal.5.15 Pasal 142 KUHAP : Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat

beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalamketentuan pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masingterdakwa secara terpisah.

16 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2008),hal. 32.

Page 21: TESIS

8

c. Penerapan saksi mahkota hanya digunakan untuk memperkuat pembuktian

karena meringankan tugas penuntut umum, selain itu, penerapan tersebut

juga didukung oleh alat-alat bukti lain. Dengan kata lain saksi mahkota

bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang berdiri sendiri, hal ini bisa

ditunjukkan tentang salah satu alat bukti yaitu keterangan terdakwa dalam

Pasal 175 KUHAP mengandung hak ingkar terdakwa, akan tetapi pasal

tersebut menganjurkan terdakwa untuk menjawab setiap pertanyaan;

d. Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip

tertentu yaitu: 1). dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan

alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing);

Dalam dilema mengenai kedudukan saksi mahkota dalam peradilan pidana

saat ini, kita mendapatkan secercah harapan karena tim penyusun Rancangan

Undang Undang Kitab Hukum Acara Pidana tampaknya melihat serius

permasalahan saksi mahkota ini sehingga memasukan definisi saksi mahkota

dalam RUU KUHAP di Pasal 200.17 Selain itu dalam RUU KUHAP memberikan

cara dan batasan-batasan dalam menerapakan saksi mahkota sehingga tidak

melanggar hak tersangka yang selama ini menurut banyak ahli hukum pidana

melanggar asas non self incrimination.

Dengan berlandaskan dari permasalahan konsep saksi mahkota dalam

peradilan pidana saat ini, sehingga memerlukan suatu kajiaan secara komperhensif

untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang kemudian dapat diaplikasikan

langsung untuk memperbaiki konsep yang telah ada. Maka penulis akan

melakukan kajian mengenai konsep saksi mahkota ini dengan menelaah materi

muatanya, dasar ontologis lahirnya undang-undang, alasan hukum yang

digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya, pelacakan sejarah dan

perbandingan hukum.

Mengingat penerapan saksi mahkota ini berkaitan langsung dengan hak-hak

terdakwa dalam prose peradilan pidana dan kita ketahiu bersama bahwa tujuan

dari sistem peradilan pidana bukanlah semata-mata untuk mencari dan membuat

17Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancancan Undang

Undang Kitab Hukum Acara Pidana 2010, www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/.../buka.p.. 16april 2010, diunduh 20 November 2012.

Page 22: TESIS

9

jelas dugaan terjadinya kejahatan serta menemukan dan akhirnya menghukum

pelaku kejahatan. Namun sistem peradilan pidana harus dapat memastikan bahwa

upaya untuk menegakkan norma-norma hukum pidana tersebut dilakukan dengan

memperhatikan dan menghormati hak-hak dari tersangka atau terdakwa, yang

walaupun diduga melakukan perbuatan tercela namun hak-haknya sebagai warga

negara tidaklah menjadi hapus atau hilang.

Sehingga dalam upaya pelaksanaan konsep saksi mahkota harus dihindari

terjadinya kesewenang-wenangan dari petugas-petugas yang dibebankan untuk

mencari dan mendapatkan kebenaran. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka

dan terdakwa dalam hukum acara pidana sangat penting artinya, mengingat,

sebagaimana dikatakan oleh Van Bemmelen sebagaimana dikutip Ansorie

Sabuan, hukum acara pidana sudah dapat bertindak meskipun baru ada

persangkaan adanya orang yang melanggar atau memenuhi aturan-aturan hukum

pidana. Ini berarti bahwa hukum acara pidana bukan saja untuk menentukan

secara resmi adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum pidana tetapi juga

mengadakan tindakan-tindakan meskipun baru ada persangkaan bahwa ada tindak

pidana yang dilakukan oleh seseorang.18

Berangkat dari paparan diatas untuk mendukung implimentasi perlindungan

hak tersangka dan terdakwa dan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak

tersebut maka penulisan tesis ini mengambil judul. “Penggunaan Saksi Mahkota

sebagai Alat Bukti pada Penyertaan dalam Tindak Pidana”.

18 Ansorie Sabuan, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 64.

Page 23: TESIS

10

B.Pernyataan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusunlah

pernyataan permasalahan sebagai berikut : Pada awalnya penggunaan saksi

mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan didasarkan pada

alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya

terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk

memenuhi rasa keadilan publik, namun KUHAP dan penjelasannya tidak

mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang saksi mahkota dan

mekanisme pelaksanaanya sehingga penerapan saksi mahkota masih dirasakan

kurang memenuhi rasa keadilan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses

peradilan pidana.

Ketentuan mengenai saksi mahkota sendiri secara otentik baru terdapat

dalam dalam RUU KUHAP yang memberi pengertian mengenai peran dan

kedudukan saksi mahkota sesuai dalam pasal 200 ayat (1), (2) dan (3) dimana

ketentuan tersebut memberikan kewenagan bagi penuntut umum menentukan

tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota, berdasakan uraian tersebut diatas

maka masalah utamanya adalah konsep saksi mahkota dan penggunan alat bukti

saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak pidana di peradilan saat ini, akan

datang dan prespektif komparatif dengan negara lain.

C.Pertanyaan Penelitian

Dengan adanya permasalahan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,

maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut kemudian akan

dikaji serta dianalisa dari data yang diperoleh sehingga akhirnya akan ditemukan

kesimpulan sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Dari permasalahan tersebut di atas sangat kompleks dan luas sifatnya. Oleh karena

itu tidak mungkin mengadakan pengkajian secara menyeluruh agar penelitian

yang dilakukan lebih fokus maka analisa terhadap permasalahan utama di atas

Page 24: TESIS

11

perlu dibatasi dengan dirumuskan dalam tiga pertanyaan penelitian singkat

sebagai berikut:

1. Bagaimana menerapkan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian

penyertaan dalam tindak pidana dengan tidak melanggar hak

tersangka/terdakwa terkait asas non self –incrimination?

2. Bagaimana peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam proses

peradilan pidana di Indonesia ?

3. Bagaimana konsep saksi mahkota yang diperkenalkan dalam sistem

hukum pidana Indonesia yang akan datang dan perbandinganya dengan

konsep yang dianut negara lain?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji mengenai konsep saksi mahkota dengan melihat konsep-konsep

yang dianut di negara lain dan melihat hak saksi mahkota yang merupakan

saksi sekaligus terdakwa dalam peradilan pidana.

2. Melihat bagaimana cara penerapan alat bukti saksi mahkota yang

dilaksanakan dalam proses peradilan pidana saat ini dari tahap penyidikan,

penuntutan, sampai pada tahap persidangan.

3. Mengkaji bagaimana hukum acara pidana yang akan datang melihat

kedudukan saksi mahkota sebagai alat bukti untuk penyertaan dalam

tindak pidana ?

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara Teoritis, penelitian ini di harapkan dapat memberikan suatu manfaat

dalam bentuk sumbangan pemikiran serta dalam bentuk saran demi

kemajuan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang

Page 25: TESIS

12

hukum pidana pada khususnya yang berhubungan dengan penerapan saksi

mahkota dalam proses peradilan pidana .

2. Secara Praktek, sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik

itu para praktisi, akademisi dan juga para aparat penegak hukum khususnya

jaksa penuntut umum yang mempunyai tugas melakukan penuntutan, dapat

menerapkan saksi mahkota sesuai dengan ketentuan karena pada satu pihak

saksi mahkota mendukung pembuktian namun dilain pihak terdapat hak

individu yang harus dilindungi

F. Kerangka Teoritis

Untuk melakukan pengkajian mengenai kedudukan saksi mahkota dalam

tindak pidana penyertaan dalam penelitian ini, digunakan beberapa konsep atau

teori yang sebagai alat analisis penelitian, teori - teori yang digunakan berkenaan

dengan konsep hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana dan konsep

negara hukum, dimana kedua konsep tersebut saling berkaitan karena dalam

sistem pemeriksaan perkara pidana wajib menjunjung hak asasi tersangka dan

terdakwa yang merupakan implementasi hak asasi manusia, sedangkan dalam

negara hukum menjamin hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan oleh

negara.

1.Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Pidana

Menurut Mardjono Reksodiputro, secara umum salah satu fungsi dari suatu

undang-undang hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara

dalam bertindak terhadap warga negaranya dalam proses peradilan pidana, namun

yang sering dilupakan bahwa dalam hukum acara pidana juga memberikan

kewenangan-kewenangan tertentu pada negara melalui aparat penegak hukumnya

untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya.19

Dengan perkataan lain hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan

19 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.25.

Page 26: TESIS

13

dan kekuasaan bagi pihak yang terlibat dalam proses ini (polisi, jaksa, hakim dan

penasihat hukum).20

Yang sering menjadi masalah selama ini yaitu dimana aparat penegak

hukum terlampau jauh mengunakan kewenanganya sehingga menimbulkan

keadaan yang tidak adil, karena dalam penggunaan kewenangannya aparat hukum

melupakan hak-hak tersangka dan terdakwa. Padahal hukum acara pidana telah

menggariskan bahwa aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya tidak

hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga

memperhatikan hak tersangka dan terdakwa sebagaimana telah ditentukan serta

mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses

hukum yang adil.21 Karena dalam peradilan yang adil ini terkandung penghargaan

kita akan hak kemerdekaan seorang warga negara, meskipun seorang warga

negara telah melakukan perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga negara

tidaklah hapus atau hilang.22

Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menegaskan : 23

Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalamundang-undang hukum acara pidana dilandasi dari pemahaman bahwawalaupun kita dapat mencegah diri kita untuk melakukan tindak pidana,tetapi kita tidak pernah dapat melepaskan diri kita dari risiko diajukansebagai tersangka dan terdakwa, oleh karena itulah suatu proses hukumyang adil, dengan pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasaaman masyarakat, yang tidak kalah pentingnya dari usaha menanggulangikejahatan .

Hak-hak tersangka dan terdakwa yang merupakan bagian dari hak

individu sering dilekatkan dengan kata hak asasi manusia, yang dalam bahasa

20 Ibid .21 Menurut Lilik Mulyadi, hukum acara pidana pada dasarnya mencerminkan dua sifat yang

khas, yaitu: Pertama, ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa (dwingen recht). Oleh karena itu,sifat hukum acara pidana akan melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan,ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat. Karena bersifat memaksa, negara tetapmelakukan penindakan terhadap pelakunya dan dapat dikatakan lebih jauh hal ini tidaklahtergantung kepada pribadi-pribadi, apakah mau dilakukan penindakan ataukah tidak, terkecualiterhadap tindak pidana aduan (klacht-delict). Kedua, sifat hukum acara pidana mempunyaidimensi perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, konsekuensi logisdari negara hukum (rechtstaat), hukum acara pidana juga bersifat melindungi kepentingan darihak-hak orang yang dituntut (tersangka/terdakwa). Lihat Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana(normative, teoretis, praktik dan permasalahannya) (Bandung: alumni, 2007), hal. 11-12.

22 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.25

23 Ibid., hal. 34-35.

Page 27: TESIS

14

Inggris dikenal dengan istilah human rights. Hak asasi manusia didefenisikan

sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-

hak itu manusia tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia (inherent

dignity) karena hak-hak tersebut adalah tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak

boleh dilanggar (inviolable) dalam keadaan apapun.24

Dalam pemahaman tentang hak asasi manusia menurut Mardjono

Reksodiputro: 25

“Hak dan kewajiban itu adalah simetris adalah benar, namun perlu diingatsimetris ini tidak berada dalam diri individu yang sama, kalau A mempunyaihak X, maka B mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan denganhak X, atau kalau A mempunyai kewajiban Y maka B mempunyai hak yangberhubungan dengan Y, dalam pengertian HAM maka seperti diuraikan diatas, hak-hak tersebut melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki olehindividu, sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetris di atasterdapat pada negara, karena hanya negara yang mempunyai kuasamemelihara dan melindungi hak-hak individu ini”.

Dari pengertian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan, dalam

kontek HAM maka hak dimiliki manusia sebagai individu sedangkan

penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan HAM (to

protect) ada pada negara, sehingga implementasinya dalam kebijakan yang akan

dituangkan dalam suatu peraturan maupun perundang-undangan negara

berkewajiban untuk selalu memperhatikan hak asasi manusia, serta negara

bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

HAM.26

24 Ibid., hal. 27.25 Ibid., hal. 8.26 Menurut Rhona K. M Smith prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi

logis dari ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak yangmemegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai pemegang kewajiban (dutybearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) danmemenuhi (fulfill) HAM setiap individu. Lihat Rhona K. M Smith, Hukum Hak Asasi Manusia,(Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008), hal. 40. Lihat pula pendapat Jimly Asshiddiqie yangmenyatakan bahwa , negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM,kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “menimbang” baik dalam KonvenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya, dan dalam hukum nasional, termuat dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yangmenyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalahtanggungjawab negara, terutama Pemerintah. Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak AsasiManusia”, ( Materi yang disampaikan dalam Studium General pada acara The 1st NationalConverence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005), hal. 19.

Page 28: TESIS

15

Pandangan lain yang melihat mengapa negara bertanggung jawab untuk

melindungi HAM, dapat dilihat dari pendapat Soediman Kartohadiprojo, sebagai

mana dikutip Sudargo Gautama yang menyatakan segala tindakan negara dalam

prakteknya dilakukan oleh manusia, karena tak ada manusia yang tak berderajat

maka segala buah pekerjaan tidak ada yang sempurna maka jikalau orang diberi

kekuasaan dalam negara tidak dapat menjalankan kekuasaan dengan jiwa

prikemanusiaan dan keadilan, maka tak akan mungkilah diciptakan suatu negara

hukum, sungguhpun ketentuan yang mengikat itu demikian bagus dan rapi.27

Beranjak dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa dalam hal negara

memberikan pengakuan mengenai hak tersangka untuk terhindar dari bentuk

kesewenang-wenangan dalam proses peradilan pidana, maka pada negara jugalah

terdapat kewajiban untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat ditegakkan.

Di sinilah letak arti penting adanya aturan khusus tersebut untuk melindungi saksi

mahkota yang berkedudukan sebagai saksi dan terdakwa dalam peradilan pidana.

Dengan adanya ketentuan kewajiban negara menjamin hak-hak seorang tersangka

atau terdakwa dalam peradilan pidana maka saksi mahkota yang berkedudukan

sebagai saksi dan terdakwa memiliki hak untuk dapat perlindungan dari negara

sehingga dalam pelaksanaanya terhindar dari kesewenang-wenang oleh aparat

penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.

2. Negara Hukum

Dalam proses peradilan pidana, kemerdekaan tersangka dan terdakwa

sebagai warga negara paling besar terancam karena ada kemungkinan salah

penggunaan kewenangan yang diberikan oleh undang undang kepada aparat

penegak hukum, sehingga dalam kerangka berpikir ini pengertia due process of

law atau proses hukum yang adil harus dipahami sebagai perlindungan terhadap

hak kemerdekaan setiap warga negara dalam negara hukum.28 Karena dalam

negara hukum, negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan-tindakan

negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.29

27 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung : Alumni, 1973), hal .11.28 Ibid.29 Menurut Sudargo Gautama, cita-cita negara hukum pada asalnya sangat dipengaruhi oleh

aliran individualism. Sejak abad ke-17 di dunia barat, orang sudah memikirkan cita-cita akan suatu

Page 29: TESIS

16

Dalam hubungan HAM dan negara hukum menurut Todung Mulya Lubis,

“bahwa rumah ideal bagi HAM hanya di dalam rechstaat, karena rechstaat

menjamin hak asasi manusia seperti terlaksananya independensi peradilan, due

process of law dan judicial review”.30 Pembatasan kekuasaan negara kekuasaan

negara terhadap perseorangan dan tindakan – tindakan negara terhadap warga

negara dibatasi oleh hukum, inilah yang dikatakan oleh ahli hukum Inggris

dikenal dengan rule of law.31

Dalam pelaksanaan the rule of law menurut Sunarjati Hartono : 32

“Selain mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi diantaramasyarakat, pengadilan juga berwenang untuk mengawasi bagaimanapemerintah menjalankan tugasnya, yang berarti bahwa pengadilandiposisikan sebagai satu-satunya instansi sekaligus instansi tertinggi (enigsteen hoogste instantie) yang berwenang menentukan tindakan-tindakanpemerintah berdasarkan hukum yang berlaku, atau dengan kata lainhubungan antara the rule of law dengan konsep negara hukum adalahdiberikannya kewenangan kepada pengadilan untuk memutuskan apakahkebijaksanaan pemerintah itu adil dan sesuai dengan grundsnorm ataufalsafah hukum dan negara, yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan”.

Walaupun pada awal pembentukan Undang Undang Dasar tidak

disebutkannya secara tegas kedudukan Indonesia sebagai negara hukum dalam

pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945,33 namun menurut Oemar Seno Adji

negara hukum. Manusia pribadi meminta pengakuan hukum yang lebih layak. Segala sesuatu inisebagai reaksi atas kekuasaan tak terbatas yang telah bertambah-tambah dari raja-raja, terkenalsebagai zaman absolutism. Pertama-tama, di dalam suatu negara hukum terdapat pembatasankekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindaksewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Jadi dapatkita katakan pula, bahwa ada suatu lapangan pribadi (individuale sfeer) dari tiap orang yang takdapat dicampuri oleh negara. Selanjutnya, bahwa pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak individualini hanya dapat dilakukan, apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.Inilah yang dinamakan pula asas legaliteit dari negara hukum. Lihat: Sudargo Gautama,Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal.1-3.

.30 Todung Mulya Lubis.“In Search of Human Right : Legal Political Dilemmas of Indonesia’s

New Order 1966-1990”, (Dissertation Juris Scientioac Doctor University of California Berkeley,California, 1990), hal. 1.

31 Sudargo Gautama, Op.Cit., hal. 8.32 Sunarjati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu ?, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 102.33 Menurut Muhammad Yamin, sebagaimana dikutip oleh Mien Rukmini, tidak disebutkannya

secara tegas kedudukan Indonesia sebagai negara hukum dalam pembukaan maupun batang tubuhUUD 1945, pada dasarnya tidak terlepas dari suasana kebatinan para penyusun UUD dan pendiriRepublik Indonesia saat itu yang tidak berkehendak terlalu mengagungkan HAM. Pada waktu itumereka membenci individualism-liberalisme-kolonialisme-imperialisme. Para penyusun UUDtersebut berkehendak bahwa mereka menyusun UUD berdasarkan asas kekeluargaan. Suatu asasyang sama sekali bertolak belakang dengan paham individualism dan liberalism. Lihat MienRukmini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas Persamaan

Page 30: TESIS

17

terdapat tiga ciri khusus yang menempatkan Indonesia sebagai negara hukum,

sebagaimana digariskan oleh ilmu hukum dan diterima oleh pemerintah setelah

memperbandingkan antara prinsip-prinsip didalama rule of law (dalam pengertian

yang lebih luas dari Dicey) dan didalam socilalist legalist yaitu:34

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak –hak asasi yang mengandungperlakuan yang sama dibidang politi, hukum, sosial ekonomi, budayadan pendidikan;

2. Legalitas, dalam arti hukum dalam segala bentuknya;3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala

pengaruh kekuasaan lain;

Lebih lanjut menurut Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa, negara hukum

Indonesia didasarkan pada pancasila sebagai ideologi negara, yang dirumuskan

dalam prinsip-prinsip dasar negara yang bersifat fundamental.35Sedangkan

menurut Muh. Mahfud. MD, Penerimaan negara Indonesia sebagai negara hukum

ini bukan hanya karena bunyi Penjelasan UUD 1945, yang menyebut bahwa

“Indonesia ialah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat)…”, melainkan juga

karena alasan-alasan lain seperti yang dituangkan dalam pembukaan maupun di

dalam batang tubuh UUD 1945 sendiri, baik isi pembukaan atau batang tubuh

UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan adanya prinsip demokrasi dan

pengakuan serta perlindungan HAM merupakan bukti bahwa Indonesia menganut

prinsip Negara hukum.36

Pernyataan tentang Indonesia sebagai negara hukum baru terdapat dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga, dengan dimasukkannya

pasal ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar

hukum serta menjadi amanat negara bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) maka

pertama–tama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan

selanjutnya prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM, dalam

kaitan dengan fungsi pengadilan untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran

Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. (Bandung: PT Alumni.2003), hal.45.

34 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980 , hal.167.35 Ibid.36 Muh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali

Pers, 2010), hal. 140-141.

Page 31: TESIS

18

ketentuan HAM mempunyai kedudukan utama.37 Oleh karena itu suatu pematauan

nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat-syarat :38

1) Menjadikan HAM bagian hukum Indonesia ;

2) Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM

tersebut ;

3) Terdapat pengadilan yang bebas ( an independent judiciary) ; dan

4) Adanya pula profesi hukum yang bebas (an independent legal

profesional).

Dari uraian diatas maka jelaslah Indonesia sebagai negara hukum, dan

konsekwensinya sebagai negara hukum, harus menjamin perlindungan HAM,

artinya perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara

atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi, namun

yang lebih penting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan dan

perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan setingkat undang-undang

atau bahkan setingkat peraturan pelaksana dan kebijakan lain baik di tingkat pusat

maupun daerah, serta secara umum negara dapat memastikan bahwa pelaku

pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan

perundang – undangan dan secara khusus dalam rangka proses peradilan pidana

terdapat atauran yang membatasi aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya tidak mengabaikan hak asasi tersangka dan terdakwa.

G. Kerangka Konsepsional

Dengan mengangkat tema saksi mahkota dalam penelitian ini, penulis ingin

melihat bagaimana penggunaan alat bukti saksi mahkota dalam perkara peyertaan

penyertaan dalam tindak pidana, untuk itu akan dijelaskan mengenai beberapa

konsep yang berkaitan dalam pelaksaan saksi mahkota dalam peradilan pidana

yang meliputi :

1.Alat Bukti

Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita alat bukti adalah :39

37 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, hal.12-13.

38 Ibid., hal 13.

Page 32: TESIS

19

“Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimanadengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahanpembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanyasuatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa”.

Sejalan dengan pengertian di atas, Andi Hamzah juga memberikan batasan

hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu:40

“Sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan.Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenanuntuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaandi sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangandi sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keteranganahli, surat dan petunjuk dalam perkara perdata termasuk persangkaan dansumpah’.

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat

diajukan didepan sidang peradilan. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut

Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :

a. Keterangan Saksi;b. Keterangan ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan terdakwa.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan secara limintatif alat bukti yang sah

menurut undang-undang, di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan

untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau

penasehat hokum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat

bukti itu saja.41

2.Keterangan Saksi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 1 angka 26 pengertian

saksi adalah “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

39 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung :Mandar Maju, 2003), hal. 11 .

40 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 99.41 Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Cet Keempat, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hal. 285.

Page 33: TESIS

20

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri’. Sedangkan menurut

Pasal 1 angka 27 KUHAP, “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam

perkara pidana yangberupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu’.

Dalam hal menjadi seorang saksi yang keteranganya diperlukan di muka

Pengadilan maka ada syarat-syarat yang harus di penuhi yaitu :

a. Syarat formal

Untuk memenuhi syarat formal keterangan saksi harus diberikan di bawah

sumpah/janji. Dalam hal mengucapkan sumpah atau janji menurut ketentuan

Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan “wajib

mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :42

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing;

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberi keteranganyang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.

Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan

syarat mutlak, keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau

mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi

hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, Ini

tidak berarti kesaksian tidak dibawah sumpah bukan merupakan alat bukti

keterangan saksi, bahkan bukan merupakan petunjuk hanya dapat memperkuat

keyakinan hakim.

b. Syarat materiel

Mengenai materil dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP

dimana ditentukan bahwa:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidangpengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihatsendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan daripengetahuannya itu.”

Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi

mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai

42 Ibid., hal. 286.

Page 34: TESIS

21

sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan isi pasal diatas, jika

dijabarkan poin-poinnya sebagai berikut :

1) Yang saksi liat sendiri;2) Yang saksi dengar sendiri;3) Yang saksi alami sendiri;4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

3. Saksi Mahkota

Menurut Andi Hamzah, terdapat pemikiran yang keliru mengenai pengertian

saksi mahkota seakan-akan para terdakwa yang ikut serta (medeplegen) dalam

perkaranya penyertaan dalam tindak pidana, kemudian dipisah dan bergantian

menjadi saksi disebut saksi mahkota.43 Sering kita dengar dalam proses peradilan

maupun kita baca di media massa menyatakan terdakwa bergantian – gantian

menjadi saksi satu sama lain, dalam berkas perkara yang dipisah-pisah kemudian

terdakwa tersebut disebut sebagai saksi mahkota atau kroongetuige, lebih tegas

Andi Hamzah menyatakan:44

“Mereka yang bergantian sebagai saksi bukanlah saksi mahkota, saksimahkota adalah salah seorang dari terdakwa dikeluarkan dari daftarterdakwa dan dijadikan saksi, pengubahan status terdakwa menjadi saksiitulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota “saksi” (sepertidinobatkan sebagai saksi) jadi dia tidak pernah lagi menjadi terdakwa,supaya lebih kurang menyentuh rasa keadilan, maka biasanya jaksa memilihterdakwa yang paling ringan kesalahanya atau yang paling ’kurang dosa’nya sebagai saksi”.

Lilik Mulyadi memberi pengertian saksi mahkota yaitu: 45

“Saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangkaatau terdakwa lainya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidanadalam hal mana saksi tersebut diberi mahkota. Mahkota yang diberikan padasaksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk tiadapenuntutan terhadapa perkaranya atau diberikan suatu penuntutan yangsangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkanatas kesalahan yang pernah dilakukan saksi terbut”.

Dalam kedudukan sebagai saksi dan tersangka atau terdakwa maka

konsekwensinya seorang saksi mahkota akan kehilangan kesempatan untuk

43 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 271.44 Ibid.45 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik

Penyusunan dan Permasalahan, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2007), hal. 85-86.

Page 35: TESIS

22

dapat melakukan pembelaan yang cukup untuk dirinya sendiri dalam proses

peradilan pidana, pentingnya pemberian kesempatan pembelaan kepada saksi

mahkota untuk meminimalisir tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan

aparat penegak hukum terhadap saksi mahkota. Menurut Oemar Seno Adji,

dalam negara hukum seorang tertuduh mempunyai kesempatan yang adequate

dan cukup untuk mengadakan pembelaan yang berarti : 46

1. Bahwa setiap waktu akan dapat bantuan hukum dan dapat selalumengadakan hubungan dengan pembelanya;

2. Bahwa ia diberitahu dan mengetahui tentang tuduhan yang dihadapkanpadanya;

3. Tertuduh dapat mengajukan saksi-saksi atau keterangan – keterangan lainuntuk kepentingan pembelaanya;

4. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk memberatkan diri dalam suatuproses pidana. Tekanan physik maupun psychis, psychologi tidak bolehdilakukan terhadap seorang tertuduh.

4. Penyertaan

Penyertaan ( deelneming ) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat

lebih dari satu orang, sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-

masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.47 Dua masalah

pokok pada penyertaan yaitu mengenai diri orangnya dan mengenai

tanggungjawab pidana tidak dapat dipisahkan, mengenai diri orangnya dalam

penyertaan ada dua ajaran yang subjektif dan objektif, menurut ajaran

subjektif, siapa yang berkehendak paling kuat dan atau mempunyai

kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang

membeban tanggung jawab pidana yang paling besar, sebaliknya menurut

ajaran objektif menitik beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana

peran dan andil serta pengaruh positif dari perbuatan itu terhadap timbulnya

tindak pidana yang dimaksud yang menentukan seberapa berat tanggungjawab

yang dibebannya terhadap terjadinya tindak pidana.48

Saksi mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan, hal ini disebabkan

saksi mahkota adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa, dengan

46 Oemar Seno Adji, Op.Cit., hal. 42.47 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:

Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59.48 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan. (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2002). hal. 75

Page 36: TESIS

23

kata lain, saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa

dalam suatu peristiwa tindak pidana, dimana terdakwa akan menjadi saksi

terhadap teman pesertanya.

5. Non Self Incrimination ( Tidak Mempersalahkan Diri Sendiri )

Salah satu hak-tersangka/terdakwa yang sering dipermasalahkan dalam

penenerapan saksi mahkota adalah asas non self incrimination (hak untuk

tidak mempersalahkan dirinya sendiri). Di Amerika Serikat, mengenai hak

untuk tidak menyalakan diri sendiri telah diakui secara kontitusional, dalam

amandemen ke- V kontitusi Amerika Serikat memuat diantaranya, tidak boleh

diwajibkan dalam perkara kejahatan apapun menjadi saksi yang memberatkan

diri sendiri.49 Di Inggris diberlakukan hak untuk tidak menjawab pernyataan,

bahkan sangat ketat, pemeriksaan harus mulai mengatakan kepada the suspect,

bahwa ia mempunyai hak untuk diam tidak menjawab pertanyaan.50 Sedangkan

dalam hukum pidana Belanda berlaku prinsip ‘fair trial’, yang memuat

kewajiban untuk menjaga dan menghormati tersangka/terdakwa, dimana

tersangka/terdakwa tidak diwajibkan memberikan keterangan yang akan

mencelakakan dirinya sendiri.51 Dalam Kovenan Internasional tentang Hak

Sipil Politik yang telah diratifikasi Indonesia, ketentuan dalam pasal 14

ICCPR, juga patut menjadi perhatian dalam rangaka perlindungan hak asasi

manusia (terdakwa) dalam proses peradilan ketentuan tersebut berkenaan

dengan hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non self

incrimination).

Selain masalah hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non

self incrimination) untuk menerapakan saksi mahkota perlu diatur suatu

lembaga yang dapat mengawasi terhadap jalanya tindakan peyidik dalam

49 Luis Hendri, Pernyataan Hak Asasi Amerikadan Makna Internasional [ The United StatesBill of Right Significance], dialih bahasa oleh Budi Prayitno dan Abdullah Alamudi, (Jakarta:Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS),1995), hal. 27.

50 Mien Rukimini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan AsasPersamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PTAlumni, 2000), hal. 90.

51 Constantijn Kelk, “Tahapan Kritikal Dalam Pengembangan Sistem Hukum Pidana YangBeradab”, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings, ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 2012) hal. 62.

Page 37: TESIS

24

rangka mendapatkan alat bukti dari saksi mahkota tersebut. Lembaga ini ini

mempunyai kewenangan sebagai examinating judge dan investigating judge

layaknya lembaga Habeas Corpus (Inggris) maupun Rechter Commisasris

(Belanda) yang dapat memutuskan sah tidaknyaknya penyidikan yang

dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan maupun perolehan alat bukti

secara ilegal.52 Namun saat ini KUHAP belum mengatur secara tegas mengenai

cara memperoleh alat bukti, serta bagaimana konsekwensi apabila alat bukti

diperoleh dengan cara yang menyimpang, tetapi hal ini tidaklah menjadi

hambatan dalam pelaksanaannya karena kekosongan hukum ini dapat diisi

melalui putusan hakim.53 Di Amerika Serikat dikenal, exclusionary rules

dimana membuat bukti tidak dapat diterima di pengadilan jika aparat penegak

hukum memperolehnya dengan cara dilarang oleh undang undang.

6. Peradilan Pidana

Proses peradilan pidana dalam penulisan ini, adalah peradilan yang

prosesnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelenggaraan peradilan

pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai

dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan,

penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.54 Atau dengan kata lain

bekerjanya, polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang

berarti pula berproses atau bekerjanya hukum acara pidana.55 Sedangkan sistem

peradilan merupakan sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah

52 Ibid .53 Menurut Mien Rukmini Untuk mengisi kekosongan kaidah ini, sebenarnya dapat diberikan

peranan kepada hakim melalui yurisprodensi dan ilmu hukumnya (baik melalaui penemuanhukum maupun penghalusan hukum). Lihat, Mien Rukimini, Op.Ci.t, hal 95. Dan menurut EdwinH Suterland & Donald R Cressey, karena tehnik-tehnik yang dipergunakan pengadilan didalammenafsirkan dan mentrapkan ketentuan-ketentuan maupun kumpulan kesatuan pemikiran-pemikiran dasar yang dilaksanakan oleh pengadilan adalah sebagian bentuk dari penyelenggaraanhukum, sama benarnya dengan ketentuan – ketentuan yang tertulis. Dan keputusan pengadilandalam suatu perkara merupakan bagian dari pada kumpulan kesatuan peraturan-peraturan yangdipakai dalam pembentukan keputusan mengenai pertentangan-pertentangan persoalan (sebagaiyurisprodensi). Edwin H Suterland & Donald R Cressey, Principles of Criminologi, disadur olehMomon Martasaputra,( Bandung: Alumni, 1973), hal. 5.

54 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, (Depok: Pusat StudiPeradilan Pidana Indonesia, 2000), hal. 23.

55 Ibid., hal. 23.

Page 38: TESIS

25

kejahatan, menaggulangi berarti usaha mengendalikan kejahatan agar berada

dalam batas-batas yang dapat ditoleransi masyarakat,56dengan tujuan dari

sistem peradilan pidana tersebut adalah antara lain :57

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Pendekatan sistem yang digunakan dalam peradilan pidana, menurut

pendapat Harkristuti Harkrisnowo, mempunyai implikasi :58

1. Semua subsistem akan saling tergantung (Interdependent), karenaproduk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagisubsistem yang lain;

2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation andcooporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upayapenyusunan strategik dari keseluruhan subsistem;

3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan satu subsistem berpengaruhpada subsistem lain.

Untuk mengetahui sejauh mana konsep RUU KUHAP dalam melindungi

hak asasi manusia serta untuk melihat bagaimana efektifitas keberlakuan suatu

kesepakatan dengan terdakwa maka perlu untuk melihat konsep-konsep yang

mengatur kesepakatan dengan sakai menyangkut saksi mahkota yang lebih dahulu

dilaksanakan dinegara lain, dalam hal ini di Belanda dan Amerika Serikat,

pemilihan kedua negara tentulah memiliki alasan yang sangat kuat.

Untuk Belanda kita ketahui bersama bahwa sistem hukum pidana Belanda

paling penting dipelajari dalam perbandingan hukum pidana Indonesia karena

sumber hukum formil dan materil Indonesia bersumber dari Belanda. Sedangkan

Amerika Serikat yang mengganut sistem common law dimana prinsip dasar

hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat parlemen dan

hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematik, rinci

yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan ketetapaan, sehingga

di Amerika Serikat perubahan sistem sosial dan teknologi mendorong sistem

56 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.84.

57 Ibid .58 Harkristuti Harkrisnowo, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” , dalam Newsletter Komisi

Hukum Nasional, (Mei 2002), hal .10-17.

Page 39: TESIS

26

hukum kearah beban baru dan kebiasaan baru berakibat pada sistem hukum

berubah bersama waktu berganti dan hukum bergerak, berubah sehingga hukum

sangat dinamis.59

Dengan melakukan perbandingan hukum dengan Belanda dan Amerika

Serikat ini diharapkan dapat diperoleh suatu pemecahan masalah mengenai

kedudukan saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak pidana dalam

pembaharuan hukum. Sebagaimana di Soerjono Soekanto, tujuan akhir dari

perbandingan hukum adalah bukan menemukan persamaan dan perbedaan akan

tetapi pemecahan hukum secara adil dan tepat, serta hal tersebut penting untuk

melaksanakan pembaharuan hukum.60

H. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis

normatif. Metode penelitian yuridis normatif ini sering disebut sebagai penelitian

doktrinal, yang meneliti hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar

doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembang.61 Pokok

kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang

berlaku dalam masyarakat dan mengacu prilaku setiap orang, sehingga penelitian

hukum normatif berfokus pada inventarisasi asas-asas dan doktrin hukum,

penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf

singkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.62

Sebagai data penunjang dilakukan wawancara terhadap narasumber yaitu :

Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA., Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH., Steven

Kessler (Resident Legal Advisor Office Of Overseas Prosecutirial Development

Assistance And Training) US Departemen of Justice, Charles Guria dan Kevin

Ricardson, (Executive Assistant Distrik Attorney King County Brooklyn, New

York), Agung Ardiyanto (Kasi Pidum Kejari Jakarta Selatan) dan Kiki Yonata

59 Lawrence M Friedman, American Law An Introduction, Penerjemah Wishnu Basuki,(Jakarta : PT Tatanusa, 2001), hal. 20 -25.

60 Barda Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002), hal. 18.

61 Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam – ragam Penelitian Hukum”, dalam Metode PenelitianHukum : Konstelasi dan Refleksi, Sulistyowati Irianto dan Shidarta, ed., Cetakan Kedua, (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia, 2011), hal .121 -122.

62 Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-1, (Bandung: PT Citra AdityaBakti, 2004), hal. 52.

Page 40: TESIS

27

(Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat).

Sedangkan untuk pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini meliputi:

1. Pendekatan Perundang – undangan (Statute Approach)

Oleh karena penelitian ini dalam level dogmatis hukum atau untuk keperluan

praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-

undangan,63 pendekatan perundang- undangan bukan saja melihat pada bentuk

peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah materi muatanya,

dasar ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang,

dan ratio legis dari ketentuan undang-undang.64

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Dalam pendekatan kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi yaitu,

alasan – alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada

putusanya,65ratio decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum

merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif, sedangkan dictum

putusan merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif, oleh karena itu pendekatan

kasus bukan merujuk pada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk

pada ratio decidendi.66

3. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan untuk pelacakan sejarah lembaga hukum dari

waktu kewaktu, melalui pendekatan historis dapat membantu untuk memahami

perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi aturan hukum.67

4. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Perbandingan hukum memberikan penilaian terhadap masing-masing system

hukum yang digunakan serta mengkaji adanya asas-asas umum yang didapat

dengan cara membandingkan.68 Melakukan perbandingan hukum harus

mengungkapkan persamaan dan perbedaan, kegiatan ini bermanfaat bagi

63 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Ke-6, (Jakarta : Prenada Media Group,2010), hal. 96.

64 Ibid., hal 10265 Ibid., hal 11866 Ibid.67 Ibid., hal 126.68 Topo Santoso, Perbandingan Hukum Pidana, (Bahan Bacaan Mata Kuliah Perbandingan

Hukum Pidana Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok : 2011), hal. 1.

Page 41: TESIS

28

penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk

masalah yang sama dari dua negara yang berbeda atau lebih.69

Penelitian hukum dengan perspektif normatif meneliti antara lain bahan

pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang meliputi :

a. Bahan hukum primer : yaitu bahan hukum yang merupakan peraturan

perundang-undangan, peraturan pelaksana lainnya dan yurisprudensi

putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan kedudukan saksi

mahkota dalam penyertaan tindak pidana.

b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang isinya

menjelaskan mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil penelitian,

makalah simposium atau seminar, jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan

dengan masalah kedudukan saksi mahkota dalam tindak pidana yang

berbentuk penyertaan.

c. Bahan hukum tertier: yaitu bahan- bahan penunjang yang menjelaskan

bahan hukum primer dan sekunder misalnya dalam hal ini kamus,

ensiklopedi yang memberikan batasan pengertian secara etimologi /arti

kata atau secara grmatikal untuk istilah istilah tertentu,70yang berkorelasi

dengan maslah kedudukan saksi mahkota dalam penyertaan tindak pidana.

I. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas

5 (lima) Bab yaitu:

Bab1 Pendahuluan

Di bab ini diuraikan mengenai latar belakang dilakukan penelitian,

permasalahan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian disertai dengan kerangka

teoti, kerangka konsepsional dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjaun Yuridis Penggunaan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam Penyertaan

Dalam Tindak Pidana

69 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal 133.70 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali press,

1995), hal. 33.

Page 42: TESIS

29

Bab ini membahas mengenai tinjauan umum konsep saksi mahkota,

penyertaan dalam tindak pidana, yurisprudesi penerapan saksi mahkota di

peradilan Indonesia, memaknai dualisme yurisprudesi dalam penerapan saksi

mahkota, hak-hak saksi mahkota dalam proses peradilan pidana dan asas non self

incrimination.

Bab 3 Penerapan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam Penyertaan dalam Pidana di

Peradilan

Bab ini membahas mengenai pemecahan berkas perkara (splitsing) dan

konstruksi surat dakwan terhadap saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak

pidana, kekuatan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana,

ketentuan dalam pembuktian untuk menerapkan saksi mahkota,

pertanggungjawaban pidana saksi mahkota .

Bab 4 Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP dengan

Konsep yang dianut Negara lain

Bab ini mengetengahkan mengenai studi komparasi RUU KUHAP dengan

Belanda dan Amerika Serikat, Pergeseran paradigma dalam RUU KUHAP dan

melihat konsep lain yang mengatur keturutsertaan saksi dalam suatu tindak pidana

dalam hal ini whistelblower dan justice collabolator kemudian membandinkanya

dengan konsep saksi mahkota.

Bab 5 Penutup

Bab ini Merupakan kesimpulan dari permasalahan mekanisme menerapkan

saksi mahkota dengan tidak asas non self –incrimination, peranan saksi mahkota

sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana dan konsep saksi mahkota yang

introdusir dalam sistem hukum pidana Indonesia yang akan datang. Serta saran

yang berisi mengenai padangan penulis untuk perbaikan dalam penerapan saksi

mahkota untuk perkara penyerta dalam tindak pidana.

Page 43: TESIS

30

BAB II

TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SAKSIMAHKOTA DAN PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA

Dalam pembahasan awal ini penulis akan menguraikan bagaimana tentang

konsep saksi mahkota, tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara lain,

kemudian dilanjutkan bagaimana memaknai dualisme yurisprodesi dalam

penerapan saksi mahkota serta hak-hak saksi mahkota dalam proses peradilan

pidana, dan yang terpenting upaya mengatasi dilema terkait asas non self –

incrimination dalam penerapan saksi mahkota. Sebelum sampai pada konsep

saksi mahkota, akan sedikit dibahas tentang penyertaan dalam tindak pidana

karena dalam penerapam saksi mahkota ini berkaitan erat dengan penyertaan

dalam tindak pidana sehingga diperlukan pemahaman mengenai bentuk – bentuk

penyertaan dalam tindak pidana dan pertanggungjawaban pidananya pelaku

penyertaan dalam tindak pidana.

A. Penyertaan dalam Tindak Pidana

1.Doktrin dan Sifat Penyertaan

Penyertaan (deelneming) diatur dalam buku kesatuan tentang aturan umum,

Bab V Pasal 55-62 KUHP. Makna dari istilah ini adalah bahwa ada dua orang atau

lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua orang

atau lebih yang mengambil bagian untuk mewujudkan tindak pidana.71 Filosofi

dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan yaitu :

a.Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya

orang) : 72

1.Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana;

2.Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna.

Sama halnya dengan percobaan dan persiapan (melakukan tindak pidana)

penyertaan juga memperluas sifat dapat dipidana.73 Mengenai perluasan sifat

71 E Y Kanter dan S R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan,(Jakarta: Storya Grafika, 2002), hal. 336.

72 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Modul Asas Asas Hukum Pidana I, (Jakarta :Pusat Pendidikan dan Pelatihan ,2010), hal. 222.

Page 44: TESIS

31

dapat dipidana Hazewinkel - Suringa yang menganut ajaran formel

sebagaimana dikutip Andi Hamzah menyatakan menurut sistem undang-

undang, telah dilakukan suatu grondfeit (peristiwa dasar) yaitu suatu

peristiwa yang diuraikan dalam undang-undang ditambah beberapa perluasan

menurut undang-undang (termasuk pula Pasal 56 KUHP yang mengatur

tentang pembantuan).74 Sedangkan menurut pandangan materil ketentuan

tentang deelneming (penyertaan) sama sekali bukanlah sesuatu yang

menyangkut Ausdehnung atau perluasan pengertian sebab tanpa ketentuan

tentang penyertaan, perluasan orang yang bukan pelaku, tetapi yang “turut

serta” akan tinggal tidak terpidana.75

Lebih lanjut Hazewinkel – Suringa sebagaimana dikutip Andi Hamzah

menyatakan ajaran tentang penyertaan memperluas pertanggungjawaban

(Tatbestand) selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik

(dehnungsgrund) atau dalam bentuk percobaan juga mencakup orang-orang

turut serta mewujudkanya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak

dapat dipidana, karena mereka tidak mewujudkan delik. 76 Dalam hal ini Van

Bemmelen juga menyatakan ketentuan tentang penyertaan merupakan dasar

perluasan pemidanaan orang-orang yang terlibat dala perwujudan delik, yang

dalam bahasa jerman disebut Strafausdehnungsgrund. 77

b. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya

perbuatan): 78

a. Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana;

b.Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.

Menurut Pompe sebagaimana dikutip Moeljatno berpendapat bahwa

penyertaan memberi perluasan kepada norma-norma yang tersimpul dalam

perumusan undang-undang.79 Dalam hal ini Andi Hamzah menyetujui

pendapat Moeljatno yang mengatakan bahwa ajaran tentang penyertaan

73 Jan Remmelink, Hukum Pidana , Op. Cit., hal. 306.74 AZ Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT Yasrif Watampone,

2010), hal. 423.75 Ibid.

76 Ibid., hal 43977 Ibid.78 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI . Op.Cit, hal. 222.79 Moeljatno. Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, (Jakarta: PT

Bina Aksara. 1985), hal. 5.

Page 45: TESIS

32

(deelniming) yang diuraikan dalam Bab V KUHPidana Pasal 55 sampai

dengan Pasal 62 KUHP merupakan Tatbestandausdenhnungsgrund, para

peserta delik melanggar kaidah-kaidah hukum pidana yang telah diperluas itu,

masing-masing pada waktu dan tempat ketika mereka berbuat atau tidak

berbuat sesuatu.80 Utrecht menyatakan pelajaran umum turut serta ini justru

dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan

pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri

tidak memuat semua anasir peristiwa tersebut, karena tanpa turut sertanya

mereka peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi.81

Berdasarkan dua filosofi penyertaan tersebut maka dalam penulisan ini

penulis sependapat dan mengunakan ajaran penyertaan sebagai dasar

memperluas dapat dipidananya perbuatan karena penyertaan dalam tindak

pidana merupakan pelanggaran kaidah-kaidah hukum pidana yang dilakukan

para peserta delik yang kemudian diperluas berdasarkan waktu dan tempat

ketika dan bentuk perbuatan dari masing- masing pesertanya untuk menuntut

pertanggungjawaban para peserta dalam suatu tindak pidana .

2.Bentuk-Bentuk Penyertaan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana

a.Orang yang Membuat Orang lain Melakukan atau Penyuruh (Doen Pleger)

Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh melakukan

(doen plegen), banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di

dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “Yang menyuruh

melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak

secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat dalam

tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau

tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau

tunjuk pada kekerasan.82

80 AZ Abidin dan Andi Hamzah, Op, Cit, hal. 440.81 Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : Universitas Bandung, 1965),

hal. 9 .82 Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo, Hukum Pidana II Penyertaan, (Malang : FHPM

Universitas Brawijaya, 1975), hal. 33.

Page 46: TESIS

33

b. Pelaku – Peserta (Medeplegen)

Mereka yang turut serta (medeplegen) adalah seseorang yang mempunyai

niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai

kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.83 Untuk

mengatakan adanya suatu medeplegen (keturutsertaan) diisyaratkatkan

adanya kerjasama antara para pelaku yang disadari, dan kesengajaan untuk

kejasama itu harus dapat di buktikan.84

c. Pemancing (Uitlokker) dan Terpancing ( Uitgelokte)

Van Hamel sebagaimana dikutip Lamintang merumuskan uitloken itu

sebagai bentuk penyertaan atau ikut serta yaitu :“Kesengajaan

menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya

sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-

cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak,

orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana

yangbersangkutan”.85

d.Pembantuan (Medeplichtigheid, Gehilfe atau Accomplice).

Wirjono Prodjodikoro membagi pembantuan menjadi dua golongan yakini,

perbuatan bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, dan perbuatan

bantuan sebelum pelaku utama bertindak, dan bantuan itu dilakukan dengan

cara memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan

golongan pertama tersebut sering dipersamakan dengan turut serta.

Sedangkan pembantuan golongan kedua sering dipersamakan dengan

penggerakan.86

3. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Penyertaan dalam Tindak Pidana

Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi

falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound sebagai mana

dikutib Romli Atasasmita menyatakan “ I…Use simple word “liability” for the

83 P. A. F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990),hal. 588-589 .

84 Jan Remmelink, Op, Cit., hal 314.85 P. A. F Lamintang, Op. Cit, hal. 606.86 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. 3, (Bandung : PT. Rafika

Aditama, 2003), hal .126.

Page 47: TESIS

34

situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the

exaction”.87 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu

kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang

yang telah dirugikan.88

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken-

baarheid, criminal reponsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana di

sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di

pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di

lakukanya itu.89 Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap

pelanggaran atas kesepakatan menolak sesuatu perbuatan tertentu.

Dua masalah pokok pada penyertaan yaitu mengenai diri orangnya dan

mengenai tanggungjawab pidana tidak dapat dipisahkan, mengenai diri orangnya

dalam penyertaan ada dua ajaran yang subjektif dan objektif. Menurut ajaran

subjektif, siapa yang berkehendak paling kuat dan atau mempunyai kepentingan

yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban tanggung

jawab pidana yang paling besar, sebaliknya menurut ajaran objektif menitik

beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta

pengaruh positif dari perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang

dimaksud yang menentukan seberapa berat tanggungjawab yang dibebannya

terhadap terjadinya tindak pidana.90

Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan

adanya konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas

pertanggungjawaban para peserta yaitu :91

a. Sistem yang berasal dari hukum Romawi. Menurut sistem ini tiap-tiap peserta

sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu

sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama

87 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana. Cetakan kedua, (Bandung : MandarMaju, 2000), hal. 65.

88 Ibid.89 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya ,Cet IV, (Jakarta :

Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal . 245.90 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan,( Jakarta :

PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 75.91 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Op,Cit. hal. 218-219

Page 48: TESIS

35

dengan pelaku. Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran

penyertaan obyektif ;

b.Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan. Menurut

sistem ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama

jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu

pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya

lebih ringan dari pelaku. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran

penyertaan yang subyektif.

Menurut Moeljatno, bentuk tanggungjawab penyertaan dalam KUHP dapat

digolongkan kedalam kelompok teori campuran,92karena dalam Pasal 55

disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam Pasal 56 disebutkan “ dipidana

sebagai pembantu”. Akan tetapi apabila dilihat perbedaan

pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi

sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua. Selanjutnya

dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa apabila pada dasarnya KUHP menganut

system Code Penal (sistem pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan

dianut sistem KUHP Jerman (sistem kedua). Maka konsekuensinya ialah

Pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat prinsip ini terlihat

didalam Pasal 57 (1) dan (2) KUHP. 93

B. Konsep Saksi Mahkota

Konsep saksi mahkota telah lebih dahulu dikenal di daratan Eropa dan

menurut banyak ahli konsep saksi mahkota ini diambil dari kosep saksi ratu/raja

yang ada di Inggris dalam suatu uraianya P J P Tak, menyatakan bahwa konsep

saksi mahkota :

92 Moeljatno, Op.,Cit, hal. 80.93 Ibid., hal 83-85.

Page 49: TESIS

36

“Wel treffen we daar het begrip to turn king’s/ Queen”s evidence aan,waarvan de volgende omschrijving wordt gegeven : When several personare charged with crime, and one of them gives evidence against hisaccomplices, on the promise of being granted a pardon,he is said to beadmitted king’s (in America) state’s evidence. Bij de Amerikaanse termstate’s evidence wordt gemeld dat het een. Popular term is testimony givenby an accomplice or joint participan in the commmision of a crime tendingto criminate or convict the others, and given under an actual or impliedpromise of immunity or lesser sentence for himself”.94

Menurut P.J.P. Tak saksi mahkota mengambil konsep dari saksi Raja/Ratu

yang deskripsi ketika beberapa orang didakwa dengan beberapa kejahatan, dan

salah satu dari mereka memberikan bukti terhadap pelaku yang lainya, maka

diberikan janji pengampunan, hal ini dikatakan sebagai saksi raja di kerajaan

sedangkan (di Amerika) disebut saksi negara, yang pengertianya kesaksian yang

diberikan oleh orang yang turut serta dalam suatu kejahatan dan dia memberikan

kesaksian terhadap kejahatan tersebut untuk menghukum atau mendakwa pelaku

lain, maka secara aktual diberi janji berupa imunitas atau hukuman yang lebih

ringan untuk dirinya.95

Mengenai konsep saksi mahkota, patut dicermati juga pendapat G.P.M.F.

Mols dan . G. Spong yang menyatakan : 96

“Saksi mahkota adalah seorang yang berada dalam organisasi kriminal yangaktif sebagi pelaku tindak pidana kemudian bekerjasama dengan penegakhukum dengan memberikan informasi tentang struktur organisasi kriminal,perbuatan pidana yang dilakukan oleh organisasi tersebut dan sebagainya,sehingga penegak hukum memperoleh informasi atas organisasi tersebut,dan sebagai gantinya dipertimbangkan untuk mendapat suatu bentukimbalan. Siapa yang memberi imbalan tersebut (kejaksaan atau kehakiman)tidaklah penting ”.97

Di Italia menurut Manunza sebagaimana dikutip G.P.M.F.Mols dan

G.Spong, sejak tahun 1977 terdapat peraturan saksi mahkota. Pada mulanya

peraturan tersebut hanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan teroris, pada tahun

1981 diarahkan juga untuk penculikan, pada tahun 1990 untuk obat-obat bius dan

94 P.J.P. Tak, De Kroongetuige En de Georganiseerde Misdaad, (Arnhem : S Gounda Quint –D.Brouwer en Zoon, 1994), hal. 3.

95 Diterjemahkan bebas oleh Penulis96 G.P.M.F. Mols dan . G. Spong , De kroongetuige in het Octopus-proces, Documentatie uit

Octopus- proces, Requisitor, Velklarigen Van deskundigen, Pledooi, Vonnis, (Deventer :GoudaQuint, 1997), hal.31.

97 Diterjemahkan bebas ole penulis.

Page 50: TESIS

37

sejak tahun 1992 pada penyertaan dalam satu organisasi kejahatan mafia (tidak

dalam suatu organisasi kriminal biasa), perluasan kelompok delik dilakukan

setelah terjadi peristiwa yang mengguncangkan. Misalnya pada tahun 1992 saat

terjadi penyerangan terhadap hakim, kemudian sebagai disusun peraturan yang

memungkinkan orang-orang yang sudah dipidana, diberi imbalan sebagai ganti

untuk keterangan. Para tersangka yang memberikan keterangan tentang tindak

pidana orang lain rawan terhadap bahaya, oleh karena itu dapat dipertimbangkan

untuk dilindungi dan diberi imunitas.98

Sedangkan menurut John H. Langbein saksi mahkota merupakan sistem

untuk memaksakan pengakuan, dibawah sistem ini para saksi akan dijanjikan

kekebalan dari penuntutan jika mereka bersaksi melawan mitra kejahatannya, jika

beberapa anggota geng berusaha menjadi saksi mahkota, maka diantaranya yang

paling banyak mengungkapkan bukti akan dijamin kekebalan hukumnya. Ini akan

memacu persaingan diantara para anggota kejahatan untuk mengungkapkan

semua dan lebih banyak lagi. Hukuman yang terkandung didalamnya juga besar,

karena kejahatan-kejahatan biasanya berakhir dengan hukuman mati, jika

tersangka berusaha dan gagal menjadi seorang saksi mahkota, maka kesaksiannya

digunakan untuk menyerangnya balik.99

Dalam praktek di Belanda sistem saksi mahkota diartikan sebagai salah

seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan,

misal delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan menjadi

saksi, dasar hukumnya asas oportunitas yang ada ditangan jaksa untuk menuntut

atau tidak menuntut seorang dipengadilan baik dengan syarat maupun tanpa

syarat.100 Sedangkan menurut undang-undang di Italia sistem saksi mahkota

adalah jika terdakwa yang paling ringan kesalahanya dalam komplotan bersedia

membongkar jaringan komplotanya, kemudian jaksa berunding dengan terdakwa

tersebut dan sebagai imbalanya akan dituntut pidana lebih ringan dibanding teman

berbuatnya.101

98 G.P.M.F. Mols dan . G. Spong, Op.Cit., hal. 32-33.99 John H. Langbein, “Shaping the Eighteenth-Century Criminal Tria. A Vew from the Ryder

Sources”, (50 U. CHL L. REv. 1, 1983), hal. 105.100 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,

2008), hal. 272.101 Ibid.

Page 51: TESIS

38

Konsep saksi mahkota ini mirip dengan plea bargaining di Amerika Serikat,

apabila terdakwa mengakui perbuatanya maka jaksa dapat melakukan kesepakatan

kerjasama dengan terdakwa dan sebagai imbalanya tuntutan pidana terhadap

terdakwa dikurangi, perbedaanya dalam plea bargaining tidak perlu delik

dilakukan beberapa orang, dapat juga untuk tindak pidana yang dilakukan yang

pelakunya satu orang.102 Menurut Kevin Ricardson kesepakatan kerjasama dalam

plea bargaining merupakan bagian dari kesepakatan pengakuan yang dalam

penerapanya : 103

1. Alat untuk menangani korupsi, kejahatan terorganisir, kejahatan gang, dan

penipuan keuangan dalam jumlah besar;

2. Terdakwa setuju untuk bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan

terhadap orang lain (yaitu, ko-konspirator);

3. Terdakwa setuju untuk mengaku bersalah ;

4. Jaksa setuju untuk merekomendasikan hukuman yang lebih ringan.

Dilihat dari sudut historis, konsep saksi mahkota telah ada sejak tahun

1750- an di Inggris hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Radzinowicz

tentang studi sejarah hukum pidana, di Inggris sejak tahun1750 secara langsung

dapat diberikan reward pada saksi mahkota jika mereka ingin membantu dalam

proses pidana terhadap kejahatan yang mereka turut menjadi peserta.104

Di luar Inggris ada figur yang memberikan perhatian pada saksi mahkota

yaitu Cesare Beccaria tahun 1764 memberikan pendapat dalam karyanya Dei

delittidelle pene, dengan memberikan contoh pada pengadilan untuk peserta

dalam kejahatan yang serius, pemerintah dapat bekerjasama dengan salah satu

peserta kejahatan dan memberikan jaminan imunitas.105 Cesare Beccaria adalah

tokoh yang paling menonjol dalam usaha menentang kesewenang-wenangan saat

itu, dalam tulisannya diatas tergambar delapan prinsip yang menjadi landasan

102 Ibid, hal 272.103 Kevin Ricardson, “Investigation Of Public Corruption Using Plea Bargains, Confidental

Information And Cooperators”, (Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-Tehnik SuksesDalam Penyidikan dan Penuntutan Kasus Korupsi, Bertempat di Hotel JW Mariott Jakarta:Tanggal 20-21 Maret 2013).

104 P J P Tak, O.,Cit., hal .4.105 Ibid., hal 5.

Page 52: TESIS

39

bagaimana hukum pidana, hukum acara pidana dan proses penghukuman

dijalankan.106

Berdasarkan uraian diatas walaupun terlihat pengunaan saksi mahkota

seakan-akan memaksa keterangan terdakwa untuk mendukung pembuktian namun

cara ini digunakan karena dalam pembuktian benar-benar ditemui kesulitan

sehingga untuk mendukung pembuktian maka digunakanlah saksi mahkota,

namun dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan hak-hak terdakwa dengan

didahului adanya kesepakatan dan imbalan yang akan diberikan bagi terdakwa

yang setuju untuk bekerjasama. Menurut R Soesilo, cara mengangkat saksi

menjadi saksi mahkota ini dipandang banyak ahli hukum dari sudut moral

bertentangan dengan sifat ksatria karena mempergunakan orang untuk

menghianati kawan sendiri dan terdakwa yang diangkat menjadi saksi mahkota

akan mengucapkan sumpah untuk mengatakan hal-hal yang sebenarnya padahal ia

sebagai terdakwa berhak untuk tidak mengatakanya untuk membela diri,

walaupun pengangkatan saksi mahkota ini ini dilihat dari sudut kesopanan tidak

dibenarkan, akan tetapi dalam prakteknya dijalankan dalam perkara-perkara

dimana sungguh-sungguh ditemukan kesulitan dalam pembuktianya.107

Dan menurut Yahya Harahap, melakukan pemisahan terdakwa karena

khawatir alat bukti tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sebagi

upaya untuk lebih menyempurnakan pembuktian menimbulkan kesan demi

sempurnanya pembuktian dilakukan dengan pengakuan terdakwa yang dipaksaan,

ide pemikiran ini timbul berdasarkan alasan bagaimana agar keterangan seorang

terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah bagi terdakwa lain.108

Setelah melihat bagaimana konsep saksi mahkota yanga ada di luar negeri

selanjutny akan dibahas konsep saksi mahkota dalam perradilan pidana di

Indonesia. Karena dalam KUHAP istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara

tegas, sehingga dalam perkembangannya muncul berbagai pendapat, baik yang

berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota

sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.

106 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2010), hal. 5.

107 R. Soesilo, Teknik Berita Acara, Ilmu Bukti dan Laporan (Menurut KUHAP), (Bogor:Politea, 1985), hal. 10.

108 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 321.

Page 53: TESIS

40

Menurut Andi Hamzah, terdapat pemikiran yang keliru mengenai pengertian

saksi mahkota seakan akan para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen)

perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi disebut saksi

mahkota.109 Sering kita dengar dalam proses peradilan maupun kita baca di media

massa menyatakan terdakwa bergantian – gantian menjadi saksi satu sama lain,

dalam berkas perkara yang dipisah-pisah kemudian disebut sebagai saksi mahkota

atau kroongetuige, lebih tegas Andi Hamzah menyatakan:110

“Mereka yang bergantian sebagai saksi bukanlah saksi mahkota, saksimahkota adalah salah seorang dari terdakwa dikeluarkan dari daftarterdakwa dan dijadikan saksi, pengubahan status terdakwa menjadi saksiitulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota saksi (seperti dinobatkansebagai saksi) jadi dia tidak pernah lagi menjadi terdakwa, supaya lebihkurang menyentuh rasa keadilan, maka biasanya jaksa memilih terdakwayang paling ringan kesalahanya atau yang paling ’kurang dosa’ nya sebagaisaksi”.

Indriyanto Seno Adji, memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Andi

Hamzah, ia mengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian yang diberikan oleh

seseorang yang berkedudukan sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang sama

namun dibuat secara terpisah, konklusinya digabarkan sebagai berikut :111

“Dalam suatu berkas tersendiri, A selaku terdakwa didakwa melakukanpembunuhan terhadap X, namun demikian kesaksian A, selaku saksidibutuhkan dalam berkas terpisah lainnya dimana B didakwa melakukanpembunuhan yang sama terhadap X. Begitu pula sebaliknya dengan B.sehingga status A tidak pernah ditarik dalam daftar sebagai terdakwa dalamperkaranya”.

Yahya Harahap walaupun tidak secara langsung menyebut pengertian saksi

mahkota, namun menurutnya, pemisahan terdakwa dalam beberapa perkara pada

umumnya dilakukan oleh penuntut umum, apabila khawatir alat bukti yang

disampaikan penyidik dianggap kurang cukup membuktikan kesalahan terdakwa,

maka untuk lebih menyempurnakan pembuktian, penuntut umum dapat

menambahnya dengan jalan memisahkan terdakwa-terdakwa dalam beberapa

109 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 271.110 Indriyanto Seno Adji , KUHAP Dalam Prospektif, (Jakarta : Diadit Media, 2011), hal. 200.111 Ibid., hal. 200-201.

Page 54: TESIS

41

berkas perkara yang berdiri sendiri, dengan pemisahan ini, para terdakwa dapat

dipergunakan sebagai saksi secara timbal balik terhadap mereka.112

Loebby Loqman menyatakan bahwa saksi mahkota adalah kesaksian sesama

terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan,113lebih lanjut

menurut Loebby Loqman apabila terjadi penyertaan dalam suatu tindak pidana

dan perkaranya dipisahkan, maka terdakwa yang satu tidak dapat dijadikan saksi

terhadap terdakwa yang lain, pengecualian terhadap ketentuan tersebut, adalah

apabila mereka yang disebut diatas itu akan meberikan kesaksian, maka terdakwa

dan penuntut umum harus saling menyetujui, kesaksian demikian tidak berada

dibawah sumpah. 114

R. Soesilo melihat saksi mahkota digunakan untuk menjaga jangan sampai

ada beberapa orang terdakwa yang dibebaskan dari hukuman karena kurangnya

bukti terutama terdakwa yang merupakan pelaku utama, sehingga dalam perkara

tersebut tidaklah semua terdakwa dilakukan penuntutan tetapi hanya beberapa

orang saja, sedangkan beberapa terdakwa yang lain diangkat sebagai saksi dalam

perkara itu, guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut. 115

Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, istilah saksi mahkota yang

dalam bahasa Belanda disebut kroongetuige, dan di Inggris dikenal dengan crown

witness serta di Amerika Serikat disebut state witness menunjukan bahwa saksi

tersebut merupakan lambang negara, sehingga jatuh bagunnya dakwaan jaksa

penuntut umum di pengadilan akan bergantung pada saksi tersebut, apabila

dipersidangan keterangan saksi tersebut berbalik maka akan runtuhlah dakwaan

yang disusun oleh jaksa penuntut umum.116

112 Yahya Harahap, Op., Cit, hal 321. Adami Chazawi sependapat dengan Yahya Harahap,menjelaskan biarpun sama-sama terdakwa dalam satu kasus yang sama, jika berkasnya terpisah(di-split) dimana dalam berkas yang satu A sebagai terdakwa memberikan kesaksian terhadapterdakwa B dalam sidang perkara yang lain dan atau sebaliknya, pada pemisahan berkas perkarayang disidangkan sendiri-sendiri, tidak dapat dianggap sebagai keterangan terdakwa apabila diadalam berkas yang lain statusnya sebagai saksi, walaupun ia terkait dengan terdakwa dalam kasusyang sama diberkas lain atau di-split, saksi demikianlah dalam praktek sering disebut dengan saksimahkota. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Bandung:Alumni, 2008).

113 Loebby Loqman, “Saksi Mahkota”, Forum Keadilan, (Nomor 11, 1995).114 Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtisar) Cetakan Pertama,

(Jakarta: CV. Datacom, 1996), hal. 95.115 R. Soesilo, Op, Cit., hal. 10.116 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013.

Page 55: TESIS

42

Lebih lanjut menurut Mardjono Reksodiputro saksi mahkota ini seperti

saksi kunci di Indonesia dengan kesaksian saksi kunci maka, akan membuka tabir

kejahatan yang sebenarnya sehingga terhadap state witness diberi perlindungan

dan ditawarkan keringanan hukuman. State witness atau saksi kunci dapat

merupakan orang yang terlibat dalam perkara dimana ia menjadi saksi maupun

orang yang tidak terlibat, dan keringanan hukuman yang dijanjikan bagi saksi

kunci yang terlibat dalam perkara merupakan kewenangan bargaining power dari

jaksa penuntut umum yang dibuat dengan sepengetahuan hakim.117

Berdasarkan sudut pandang para ahli diatas penulis sependapat dengan

pendapat Andi Hamzah dan Mardjono Reksodiputro, sehingga menurut penulis

saksi mahkota merupakan saksi yang diambil dari salah seorang terdakwa yang

bersama-sama terdakwa yang lain melakukan perbuatan pidana, kemudian

bersepakat dengan jaksa penuntut umum dengan sepengetahuan hakim untuk

membuka tabir kejahatan yang telah dilakukan bersama terdakwa yang lain, dari

kesepakatan tersebut terhadapnya diberikan imbalan berupa perlindungan dan

keringanan hukuman. Adapun alasannya menurut penulis sistem saksi mahkota ini

merupakan wujud kesaksian yang membantu negara dalam hal ini diwakili jaksa

penuntut umum untuk mengukapakan suatu tindak pidana. Dengan adanya

kesepakatan yang merupakan bargaining power jaksa penuntut umum

mencerminkan bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak terdakwa dalam

peradilan pidana dan dengan kesukarelaan terdakwa untuk menjadi saksi mahkota

tersebut dapat menghindari kesewenang-wenangan penegak hukum. Sedangkan

untuk memenuhi rasa keadilan dimasyarakat dalam kesepakatan tersebut jaksa

memilih terdakwa yang dapat membuka tabir kejahatan tersebut dengan tingkat

kesalahan paling ringan.

Setelah memahami sudut pandang dari para ahli hukum pidana, selanjutnya

akan dibahas bagaimana dengan konsep saksi mahkota dalam peradilan di

Indonesia. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan

perkara pidana dalam peradilan di Indonesia didasarkan pada yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung, yang ternyata juga terdapat adanya perbedaan sudut

pandang para hakim dalam melihat saksi mahkota, namun pada praktik yang

117 Ibid .

Page 56: TESIS

43

lazim diterapkan pengertian saksi mahkota dipakai dalam perkara yang saling

menyaksikan dalam bentuk penyertaandalam tindak pidana.

Dalam yurisprudensi yang mengakui saksi mahkota sebagai alat bukti yang

sah, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret

1990 menyatakan :118

“Bahwa jaksa penuntut umum diperbolehkan oleh undang-undangmengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidanatersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syaratbahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasukdalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (splitsing)”.

Dalam putusan Mahkamah Agung RI dengan Ketua Majelis Hakimnya Ali

Said, SH di atas, memberikan pertimbangan dalam kaitannya dengan penerapan

saksi mahkota, Mahkamah Agung menolak keberatan yang diajukan dengan

pertimbangan :

“Bahwa keberatan dalam ad.1a tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karenapenuntut umum/jaksa diperbolehkan mengajukan teman terdakwa sebagaisaksi, yang disebut saksi mahkota (kroongetuige), asalkan perkara terdakwadipisahkan dari perkara saksi tersebut (terdakwa dan saksi tidak termasukdalam satu berkas perkara). Hal tersebut tidak dilarang oleh undang-undang”.

Yurisprudensi No. 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990, ini juga memberikan

definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak

pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan

penuntut umum, yang perkara dipisah karena kurangnya alat bukti.

Berdasarkan yurisprudensi tersebut, pengajuan saksi mahkota sebagai alat

bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam

hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap penyertaan

dalam tindak pidana tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing),

serta perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat

bukti khususnya keterangan saksi, hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak

terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.119

118 Ali Boediarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang HukumPidana, (Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2000), hal. 40-43.

119 Setiyono, Op., Cit.

Page 57: TESIS

44

Putusan Mahkamah Agung di atas selain membenarkan penerapan saksi mahkota

juga memberikan cara bagi penuntut umum menerapkan saksi mahkota dengan

mekanisme pemberkasan perkara dengan cara splitsing (terpisah) untuk

kepentingan pembuktian.

Namun dalam pelaksanan dalam peradilan pidana di Indonesia terdapat

putusan yang menarik dimana Mahkamah Agung menolak saksi mahkota sebagai

alat bukti, Putusan Mahkamah Agung tersebut dalam kasus pembunuhan

Marsinah yang menyatakan saksi mahkota bertentangan dengan hukum. Putusan

Mahkamah Agung dengan Hakim Ketua yang juga Ketua Muda Mahkamah

Agung Bidang Tindak Pidana Umum Adi Andojo Soetjipto dalam perkara

pembunuhan terhadap Marsinah terbagi atas 6 (enam) putusan, yaitu :120

- No.429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Judi Susanto

- No.381 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Judi Astono

- No.1590 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Karyono Wongso

- No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Bambang

Wuryanto, Widayat, AS Prayogi

- No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Ny. Mutiari, SH

- No. 1706 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Suwono dan

Suprapto.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mendalilkan :

“Bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian dimanapara saksi yang adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yangsama yang dipecah-pecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidanayang menjunjung tinggi hak asasi manusia, lagi pula para terdakwa telahmencabut keterangannya di dalam penyidikan dan pencabutan tersebutberalasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis dapat dibuktikansecara nyata, disamping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan adapersesuaian satu dengan yang lain.”

Dari pertimbangan hakim secara tegas menolak penerapan saksi mahkota

dalam suatu perkara pidana dengan alasan pertama : bertentangan dengan hukum

acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Berkaitan dengan

penghargaan terhadap hak asasi manusia ini, Indriyanto Seno Adji menyebutkan

hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana salah satunya prinsip “non self

120 Ali Budiarto. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangan denganHukum”, Varia Peradilan (No 120, September 1995), hal 12-13.

Page 58: TESIS

45

incrimination” yang secara universal mendapat pengakuan dunia, Implisitas

pengakuan adanya prinsip “non self incrimination” itu disebutkan melalui Pasal

189 ayat 3 KUHAP, “Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap

dirinya sendiri”. Hal ini berarti bahwa terdakwa mempunyai hak untuk tidak

mempersalahkan dirinya sendiri sejak proses penyidikan sampai dengan proses

persidangannya di Pengadilan.121 Alasan kedua menurut Majelis Hakim, para

terdakwa telah mencabut keterangannya dalam penyidikan dan pencabutan

tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis dapat dibuktikan

secara nyata. Berkaitan dengan hal ini, majelis hakim tentu saja tidak akan

sembarangan menggunakan alasan ini bilamana tidak ada pembuktian secara

nyata. Ini berkaitan dengan profesionalisme penyidik dalam mengumpulkan alat-

alat bukti. Stigma masa lalu yang berkaitan dengan segala macam cara untuk

memperoleh keterangan (bukan pengakuan) terdakwa haruslah ditinggalkan.

Menurut Ali Budiarto, Putusan Mahkamah Agung dalam kasus kematian

gadis tokoh buruh Marsinah ini merupakan terobosan baru yang menciptakan

yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum saksi Mahkota

yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para hakim sebagai

sesuatu yang benar, dengan adanya yurisprudensi baru ini maka adanya saksi

mahkota adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung

tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak saksi

mahkota.122

Berdasarkan dua yurisprodensi tentang saksi mahkota diatas, dalam

peradilan pidana saat ini, ternyata yurisprodensi Mahkamah Agung Nomor : 1986

K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, telah menjadi pedoman dalam pelaksanaan

saksi mahkota di peradilan, hal ini dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah

Agung lainya dalam mensikapi pengunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam

perkara pidana. Putusan Mahkamah Agung tersebut diantaranya : 123

1.Nomor : 198 K/Pid/2004, tanggal 2 Maret 2004 atas nama terdakwa MUH.

MUSYAFAK alias ABDUL HAMID (tindak pidanaa Terorisme peledakan

121 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op., Cit, hal 202.122 Ali Budiarto. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangan dengan

Hukum”, Op.Cit., hal 14.123 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan.mahkamahagung.go.id/,

diunduh 12 Mei 2012.

Page 59: TESIS

46

bom di Bali). Dalam pertimbanganya majelis hakim yang diketuai

H.German Hoediarto, S.H menolak keberatan yang diajukan penasehat

hukum terdakwa mengenai keberatan :

- Bahwa judex facti telah melakukan kesalahan penerapan Hukum AcaraPidana dengan menjadikan para Terdakwa sebagai saksi untuk perkarayang didakwakan kepada Pemohon Kasasi. Menurut ketentuan pasal 168(b) KUHAP, bersama-sama Terdakwa tidak dapat dijadikan saksi. Dalamperkara aquo, Berita Acara Penyidikan (BAP) dilakukan pemecahan(splitsing) menjadi beberapa berkas perkara, dimana para Terdakwadijadikan saksi dan sebaliknya saksi dijadikan Terdakwa”

- Bahwa dengan adanya pemecahan perkara yang dijadikan Terdakwasebagai saksi dan kemudian saksi menjadi Terdakwa maka terbukti bahwajudex facti telah melakukan kekeliruan dalam penerapan Hukum AcaraPidana

Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan:

“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti(Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum ; Menimbang, bahwaberdasarkan alasan-alasan yang diuraikan diatas lagi pula tidak ternyata,bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukumdan/atau Undang-Undang maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak”

2. No. 1918 K/Pid/2006, Tanggal 3 Oktober 2006 Nama : ASEP JAJA alias

AJI alias DAHLAN alias YAHYA (tindak pidana terorisme) Dalam

pertimbanganya majelis hakim yang diketuai Iskandar Kamil, S.H. menolak

keberatan yang diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam hal :

- Tentang keterangan saksi yang juga sama-sama Terdakwa dalam berkasperkaIra yang dipisah (splitsing) Bahwa ada empat saksi yaitu AbdullahUmamity, Ismail Fahmi Yamsehu, Zainudin Nasir dan Ismail Fanathberkedudukan sama-sama sebagai Terdakwa. Dan berdasarkan KUHAPPasal 168 huruf b, bersama-sama sebagai Terdakwa tidak dapat dijadikansaksi

Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :

“Bahwa alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena judex facti telahmenerapkan peraturan hukum/telah menerapkan sebagaimana mestinya,karena pemeriksaan saksi mahkota dalam perkara terpisah(splitsing) tidakbertentangan dengan hukum”.

3. No. 2475 K/Pid/2007, tanggal 23 Januari 2008 atas nama terdakwa DAVID

FEBRIANTO Bin JOHANES (Tindak pidana membantu pencurian dengan

kekerasan dalam keadaan memberatkan) Dalam pertimbanganya majelis

Page 60: TESIS

47

hakim yang diketuai Dr. Haripin Tumpa, SH. MH menolak keberatan yang

diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam hal :

- Bahwa putusan dalam perkara a quo salah menerapkan hukum tentangsaksi mahkota atau kroongetuige. Bahwa pertimbangan hukum dalamputusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri antara lain berdasarkanketerangan-keterangan saksi saksi mahkota yang juga adalah Terdakwa-Terdakwa dalam perkara pidana a quo (berkas terpisah).

- Bahwa keterangan saksi-saksi mahkota tersebut haruslah dinyatakan tidaksah dan tidak mempunyai nilai pembuktian karena tidak sesuai denganmakna, prinsip dan aturan terkait dengan penempatan seorang Tersangkadan/atau Terdakwa sebagai saksi mahkota. Syarat mutlak yang harusdipenuhi oleh seorang Tersangka dan/atau Terdakwa yang dijadikan saksimahkota adalah (1) saksi itu adalah salah seorang diantara Tersangka atauTerdakwa dengan peranan paling kecil, artinya bukan pelaku utama ; (2)untuk saksi mahkota orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidanamaka pemberian mahkotanya berupa pembebasan dari tuntutanberdasarkan asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) ; dan (3) harus seizinJaksa Agung Republik Indonesia untuk mendeponir perkaranya ;

- Putusan Mahkamah Agung No. 1774 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 joPutusan Mahkamah Agung No. 1590 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 joPutusan Mahkamah Agung No. 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995,menegaskan bahwa secara yuridis pemecahan Terdakwa sebagai saksimahkota terhadap Terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan HukumAcara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusiadan Hakim seharusnya menolak saksi mahkota

Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :

“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena PengadilanTinggi tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan tersebut mengenaipenilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatukenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalampemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasihanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum, atauperaturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah caramengadili tidakdilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, danapakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimanayang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981)”.

4. No.179 K/Pid.Sus/2010, tanggal 02 Februari 2010 atas nama terdakwa

ANDREAS SIE als. RICKY als. ERWIN als.KARYONO als. SUHERMAN

als. YOSEP (tindak pidana Psikotropika) Dalam pertimbanganya majelis

hakim yang diketuai Prof. Dr. Mieke Komar, SH.,MCL. menolak keberatan

Page 61: TESIS

48

yang diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam keberatan mengenai

keberatan :

- Judex facti salah dalam menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukumsebagai mana mestinya , yakni cara mengadili tidak dilaksanakan menurutketentuan hukum yaitu Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan NegeriJakarta Pusat) mengenai saksi mahkota yang tidak boleh digunakan karenamelanggar HAM “

Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :

“Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas lagipula tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara inibertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonankasasi dari para Pemohon Kasasi I/Jaksa/ Penuntut Umum dan PemohonKasasi II/Terdakwa tersebut harus ditolak”.

C. Memaknai Dualisme Yurisprudesi dalam Penerapan Saksi Mahkota

Menurut Indriyanto Seno Aji, pasca putusan kasus pembunuhan Marsinah

menimbulakan adanya dualisme pandangan yang berbeda mengenai pemaknaan

saksi mahkota yang menimbulkan inkonsistensi yurisprudensi tentang saksi

mahkota di Indonesia, Mahkamah Agung masih dianggap berpandangan dualistis,

kontradiktif dan menimbulkan inkonsistensi dalam persoalan saksi mahkota.124

Sebelum melihat mengenai dualisme yurisprodensi yang kontradiktif dan

menimbulkan inkonsistensi tersebut, untuk menelaah permasalahan yurisprudensi

sebagai kaidah hukum di Indonesia ada baiknya kita lihat sejauh mana eksistensi

yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia.

Pada hakekatnya yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya

comman law seperti di Inggris atau Amerika Serikat, mempunyai pengertian yang

lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum, sedangkan pengertian

yurisprudensi di negara-negara Eropa kontinental termasuk Indonesia

yuriprudensi hanya berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita

maksudkan sebagai putusan pengadilan, di negara-negara anglo saxon dinamai

preseden.125

124 Indriyanto Seno Aji, KUHAP Dalam Prospektif, Op, Cit, hal. 203.125 Achmad Ali, Menguak Tabir hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT

Toko Buku Gunung Agung, 2009), hal .125.

Page 62: TESIS

49

Dalam comman law system aturan hukum yang berkualitas preceden di ikuti

dan diterapkan oleh seluruh pengadilan dalam menjatuhkan hukum terapan dalam

kasus-kasus yang memiliki unsur dan sifat yang sama dengan kasus yang

sebelumnya yang telah diputus oleh hakim sebelumnya, Putusan hakim dalam

common law system merupakan sumber hukum yang resmi sebagai pengakuan

atas asas hakim memiliki kewenangan dalam menciptakan hukum ‘judge made

law”.126 Menurut Catherine Elliot dan Frances Quinn sebagaimana dikutip Nella

Sumika Putri sistem common law (Inggris), menggunakan asas stare decisis atau

asas the binding force of precedents, asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti

putusan hakim sebelumnya, kekuatan mengikat dari precedent ini adalah pada

bagian putusan yang dikenal dengan sebutan ratio decidendi, yaitu semua bagian

putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus

konkret.127

Sedangkan krakteristik dalam civil law menganut sistem asas legalitas atau

principle of legality, yang mengandung makna bahwa tiada suatu perbuatan

merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang

terlebih dahulu. Ketentuan perundang-undang ini harus ditafsirkan secara harfiah,

dimana pengadilan tidak boleh memberikan penafsiran secara analogis, konsep

asas legalitas ini juga berarti bahwa perundang-undangan tidak boleh berlaku

surut (non-retroactive).128 Dalam sistem civil law undang-undang adalah

sekumpulan klausa dan prinsip hukum yang otoritatif, komprehensif, dan

sistematis yang dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun secara logis sesuai

hukum terkait, oleh sebab itu peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum

utama, dimana sumber hukum lainya menjadi subordinatnya dan dalam masalah

tertentu sering kali menjadi satu-satunya sumber hukum.129

126 Ahmad Kamil dan M Fauzan, Kaidah –Kaidah Hukum Yurisprodensi, (Jakarta: PrenadaMedia, 2004), hal. 26 .

127 Nella Sumika Putri, “Pembatasan Pernafsiran Hakim Terhadap Perumusan Tindak PidanaYang Tidak Jelas Melalui Yurisprudensi”. Dalam Hukum Pidana Perspektif, Agustinus Pohan,Topo Santoso, Martin Moerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia.Universitas Leiden. Universitas Groningen, 2012), hal. 48

128 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Fikahati Aneska,2009), hal. 48.

129 Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum : Civil law, Common Law dan Socialist Law[Comparative Law Law in a Changing Worrld ], Diterjemahkan Narulita Yusron, (Bandung: NusaMedia, 2010 ), hal. 66.

Page 63: TESIS

50

Dalam konteks di Indonesia, kita dapat melihat hasil penelitian BPHN pada

tahun 1995 yang menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat dikategorikan

sebagai yurisprudensi apabila memenuhi unsur-unsur: 130

1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-

undangannya;

2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap;

3. Telah berulangkali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama

4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;

5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Dalam berbagai literatur disebutkan yurisprudensi diakui sebagai salah satu

sumber hukum dalam sistem hukum Indonesia di samping sumber-sumber hukum

lainnya,131 namun demikian tidak diakui doktrin stare decisis atau the binding

force of precedent, artinya yurisprudensi bukan merupakan sumber hukum yang

bersifat mengikat bagi hakim. Pada sistem hukum Indonesia hakim dalam

membuat putusan didasarkan pada undang-undang tanpa ada kewajiban untuk

melihat pada putusan sebelumnya dalam kasus yang sama, sehingga dalam

putusannya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dapat membuat

putusan yang sama ataupun berbeda tergantung pada pemahamannya dan

penafsirannya terhadap suatu rumusan peraturan perundang-undangan.

Walaupun yurisprudensi di Indonesia bersifat persuasive akan tetapi

peranan dan eksistensinya lazim dijadikan acuan oleh para hakim judex facti

(Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi). Dengan demikian maka yurisprudensi

dalam sistem hukum Indonesia di samping membangun, menemukan dan

menciptakan hukum juga bersifat menjadi pegangan, acuan serta pedoman para

hakim judex facti dan bahkan di tingkat Mahkamah Agung (judex juris) sebagai

130 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Op.,Cit, hal. 11.131 Menurut Utrecht sumber hukum materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum)

individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan materiil membentukhukum, menentukan isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formal, yaitu menjadi determinanformil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunyadari hukum. Sumber-sumber hukum yang formil adalah: Undang-Undang, Kebiasaan dan adatyang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi,dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrinal). Lihat, E. Utrecht dan Moh. SalehDjindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesepuluh, (Jakarta : 1983), hal. 84-85

Page 64: TESIS

51

“kunci” dalam memutus perkara.132 Kaitanya dengan yurisprudensi, di Indonesia

hakim memiliki kewajiban untuk menggali hukum, hal ini diatur dalam Pasal 28

ayat (1) Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa

“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai –nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat”. Ketentuan pasal tersebut secara jelas mengandung

makna bahwa hakim harus menemukan hukum.

Menurut Andi Hamzah, dunia modern tidak lagi dapat menerima secara

ketat apa yang dikatakan oleh Montesquieu, bahwa hakim hanya menjadi corong

undang-undang ( qui pronoce les paroles de la loi), hal ini tidak dapat diterima

secara absolut, karena hakim menggali hukum yang hidup dalam masyarakat,

khususnya bagi hukum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hukum

melalui analogi, tetapi melalui interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan

hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.133 Karena

hukum modern dewasa ini, sudah meninggalkan paham lama yang menempatkan

hukum yang diciptakan oleh para hakim diatas segala-galanya, kini melalui upaya

penafsiran terhadap undang undang, hakim berwenang membuat hukum, sehingga

tercipta keadilan yang materiil, hakim tidak semata-mata menegakan aturan

formil, tetapi juga menemukan keadilan yang hidup ditengah masyarakat.134

Jika dilihat dari kebutuhan Indonesia saat ini dimana terdapat banyak

perumusan undang-undang yang tidak jelas dan tidak terdapat penjelasan yang

lebih lanjut dari undang-undang , tentu saja dibutuhkan suatu keseragaman dalam

memberikan suatu penafsiran terhadap satu unsur tindak pidana. Dalam konteks

ini penerapan stare decisis secara vertical menjadi suatu alternative yang dapat

dipertimbangkan untuk mewujudkan suatu kepastian hukum.135 Meskipun judicial

precedent merupakan solusi yang dibutuhkan oleh Indonesia pada saat ini sebagai

sarana memberikan penafsiran yang sama dalam suatu unsur tindak pidana akan

tetapi tidak serta merta judicial precedent tersebut menjadi mengikat tetapi

menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam memutuskan

132 Lilik Mulyadi, “ Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Prespektif Teoritis dan PraktikPeradilan”,http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=104&Itemid=36, diunduh 12 Januari 2013.

133 Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yasrif Watampone, 2005), hal. 87.134 Bismar Siregar, “Hakim Wajib Menafsirkan Undang Undang”, dalam , Varia Peradilan

(Tahun X, No 120 September 1995, IKAHI), hal 88 .135 Nella Sumika Putri, Op. Cit., hal 55.

Page 65: TESIS

52

suatu perkara.136 Karena didalam wacana hukum Indonesia, seharusnya hakim

dinamakan penegak keadilan (bukan penegak hukum), maknanya adalah sebagai

hakim dapat menafsirkan hukum (baca : undang undang), sehingga sebenarnya

melakukan fungsi layaknya seorang legislator (law maker), ini dikenal pula

sebagai diskresi yudisial (judicial discretion).137

Dalam menyikapi adanya dualisme dalam yurisprodensi yang mengatur

tentang saksi mahkota dalam tindak penyertaan sebagaimana diuraikan diatas

maka sebagai pegangan tentang kontroversi dalam melihat yurisprudensi tersebut

maka patut disimak pendapat dari Soerjono Mantan Ketua Mahkamah Agung RI,

yang berpendapat bahwa :138

“Masalah precedent, sistem yang diteapkan sekarang sudah tepat, olehkarena praktek sistem precedent yang paling baik adalag sistem yang‘liberal” dan rasional, keterkaitan hakim untuk mengikuti yurisprudensiyang telah menjadi yurisprodensi tetap. Harus bersifat bebas dan rasional,artinya keterkaitan mengikuti yurisprudensi tidak mutlak”.

Pendapat dan pandangan yang mengarah pada prinsip precedent liberal dan

rasional pada saat sekarang tidak saja dianut negara common law system, di

Inggris sendiri sebagai kiblat yang menganut sistem precedent absolut, sudah

bergeser ke sistem liberal dan rasional, dimana sudah berkembang precedent yang

didasarkan pada asas patokan kasus per kasus atau case by case basic dari asas

inilah lahir doktrin “relativitas yurisprudensi”.139 Kelahiran doktrin relativitas

yurisprudensi dengan asas kasus perkasus didasarkan pada prinsip dinamis

(dinamic principle) yang menyatakan:140

1. Hukum dan perundang- undangan secara inherent mengandung jiwayang dinamis bukan statis;

2. Jadi secara analogis yurisprudensi yang diciptakan hakim sebagaihukum berdasarkan kasus perkara yang diperiksa, juga mengandungsifat yang dinamis bukan statis;

3. Sehubungan dengan itu, setiap yurisprudensi yang diciptakanmelalui “ judge made law” bukan bersifat abadi, tetapi secara

136 Ibid137 Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum

Nasioanal, 2009). hal. 5.138 Soerjono,” Suatu Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Varia Peradilan (Tahun X No 120

September 1995, IKAHI), hal. 82.139 Ibid., hal. 83.140 Ibid.

Page 66: TESIS

53

dinamis mengikuti perubahan dan perkembangan sosial ekonomi,sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (sence of justice);

4. Lagi pula jika ditegakan prinsip precedent secara absolut,kemungkinan besar akan terjadi kekeliruan yang berlanjut secaraterus menerus, sekiranya suatu yurisprodensi telah menjadi staredecisis, padahal didalamnya terkandung kesalahan dan kekeliruan,kemudian terhadapnya ditegakan precedent secara absolut, berartiputusan-putusan yang diambil kemudian, telah mengikuti putusanyang salah dan keliru.

Dari uraian diatas dapat memberi pemahaman putusan hakim terhadap

penerapan saksi mahkota, ternyata hakim dalam melaksanakan kewajiban

hukumnya telah berani melakukan penafsiran terhadap KUHAP. Mengenai

dualisme dalam putusan Mahkamah Agung mengenai saksi mahkota selama ini

dalam literatur dan bahan bacaan lainya hanya dibahas tentang

pertentangangannya saja tanpa melihat dari dasar sistem penerepan yurisprudensi

di Indonesia yang menganut asas liberal dan rasional sehingga dalam

pelaksanaanya kita tidak hanya melihat dalam pengertian tentang saksi mahkota

tetapi juga duduk perkaranya dalam kasus perkasus.

Dalam melihat perkara Marsinah penulis menitik beratkan, pada

pertimbangan bahwa saksi mahkota tidak dapat diterapkan karena, para terdakwa

yang juga menjadi saksi telah mencabut keterangannya di dalam penyidikan

dengan alasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis yang dapat

dibuktikan secara nyata. Berdasarkan pertimbangan tersebut tidak dapat

diterapkanya saksi mahkota dalam perkara Marsinah karena dasar pembuktian

tidak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, sehingga alat bukti tidak dapat

dijadikan dasar pembuktian dan di tolak pengadilan. Berkaitan dengan cara

mencari dan mengumpulkan alat bukti ada baiknya melihat aturan yang ada di

Amerika Serikat yang dikenal dengan exclusionary rule.

Kemudian dalam perkara ini, alat bukti keterangan saksi yang diperoleh dari

saksi mahkota tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, sehingga alat bukti saksi

mahkota tidak dapat memberikan keyakinan pada hakim, mengenai alat bukti

yang harus berdiri sendiri–sendiri dan saling menguatkan dalam peradilan pidana

di Amerika Serikat dikenal dengan (corroborating evidence). Mengenai ketentuan

exclusionary rule dan corroborating evidence akan dibahas lebih lanjut dalam

pembahasan berikutnya.

Page 67: TESIS

54

Argumen-argumen diatas berlandasakan dari adanya batasan dalam

pembuktian, yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang dan dapat dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan.141 Dikaitkan dengan saksi mahkota maka dalam

pelaksanaan pembuktian harus diperhatikan beberapa hal, menurut William R.

Bell, sebagaimana dikutip Eddy O.S Hiariej ada lima faktor yang berkaitan

dengan pembuktian yaitu: Pertama, bukti harus relevan atau berhubungan. Kedua,

bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat

diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-

bukti lainnya atau corroborating evidence. Ketiga, bukti tidak boleh didasarkan

pada persangkaan yang tidak semestinya atau unfair prejudice. Artinya, bukti

tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.

Keempat, dasar pembuktian yakni bahwa pembuktian haruslah berdasarkan alat-

alat bukti yang sah. Kelima, berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan

bukti harus dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.142

Sehingga untuk menerapkan saksi mahkota sebagai alat bukti penyertaan

dalam pidana harus memperhatikan pembatasannya baik itu mengenai cara

memperoleh alat bukti saksi mahkota telah sesuai dengan aturan, maupun untuk

membuktikan kesalahan terdakwa tidak hanya bergantung pada saksi mahkota

tetapi harus ada bukti lain yang menguatkan. Dewasa ini dalam perkembangan

teori pembuktian, persoalan beban pembuktian tidak lagi menjadi domain jaksa

penuntut umum tetapi juga terdakwa, dengan pembuktian berimbang terdakwa

dapat mengajukan bukti untuk menunjukan bahwa ia tidak bersalah, bukti yang

diajukan oleh terdakwa disebut exculpatory evidence.143

Kembali pada permasalahn yurisprudensi menurut penulis langkah yang

ditempuh Mahkamah Agung dengan mengunakan patokan kasus perkasus dalam

141 Yahya Harahap, Op., Cit, hal . 273.142 Eddy O.S Hiariej Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Korupsi, dalam Hukum

Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings. ed., (Denpasar:Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen,2012), hal. 199.

143 Ibid., hal. 201.

Page 68: TESIS

55

memutuskan perkara, relevan dengan perkataan Roscoe Pound bahwa hakim

dalam mengadili perkara harus berpijak pada tiga langkah yaitu:144

1. Menemukan hukum, yakni menetapkan kaidah manakah yang dapat atau tidakdapat diterapkan diantara banyak kaidah yang ada menurut cara yang ditunjuksistem hukum;

2. Menafsirkan kaidah yang ditetapkan, yakni menentukan makna sebagaimanaketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasanya yang dimaksud;

3. Menerapakan kepada perkara yang dihadapi dengan kaidah yang ditemukandan ditafsirkan demikian.

Pada dasarnya yurisprudensi adalah hasil dari suatu proses penemuan

hukum oleh hakim ketika mengadili suatu perkara yang dituangkan dalam

pertimbangan dan putusanya,145dengan penemuan hukum oleh hakim diharapkan

dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum yang

tidak diatur dalam undang-undang.146 Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim

melalui yurisprudensi ini harus diingat bahwa, karena hakim dianggap tahu

hukum (ius curia novit), maka putusan itu harus memuat pertimbangan-

pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar dikalangan institusi

kehakiman, forum ilmu pengetahuan hukum, masyarakat luas dan para pihak yang

berperkara.147

Walaupun prinsip-prinsip hukum tidak dapat menghilangkan subyektivitas,

namun dalam memutus perkara hakim hendaknya tidak melihat peraturan-

peraturan formil saja,148tetapi perlu menampung secara proporsional nilai

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan,149sehingga putusannya tidak

144 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penterjemah Mohamad Radjab, (Jakarta :Bharatara Niaga Media, 1996), hal. 52.

145 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc .Suatu Studi Teoritis MengenaiSistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum PascaSarjana, 2009), hal. 230.

146 Ibid.147 Shidarta,“Makalah Penemuan hukum Melalui Putusan Hakim”,(Disampaikan dalam

rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruh Indonesia di Hotel GrandAngkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011), hal. 2.

148 Agus Brotosusilo, “Penulisan Hukum”, Materi Kuliah Filsafat Hukum, (Jakarta: ProgramPasca Sarjana Universitas Indonesa), hal. 125 .

149 Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Theo Huijbersdari tiga tujuan hukum(yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama danutama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut GustavRadbruch kepastian hukum menduduki peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain.Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaanNazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-,

Page 69: TESIS

56

berpotensi untuk dikoreksi atau dibatalkan oleh rekan-rekannya di jenjang

peradilan berikutnya. Kewibawaan putusan hakim terletak pada kejernihan sikap

dan keruntutan logikanya tatkala menuangkan argumentasinya di dalam putusan,

hanya dengan prinsip-prinsip ini reduksionisme dasar hukum ke dalam unsur-

unsur yang kemudian disilogismekan itu akan tetap terpelihara dalam satu sistem

pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya secara ilmiah hukum,

melainkan juga secara moral.150

D.Hak-Hak Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana

Suatu istilah yang sangat populer dipergunakan merangkum cita-cita hukum

acara pidana adalah due process of law namun makna due process of law ini

sering diartikan secara keliru hanya dikaitkan dengan penerapan aturan–aturan

hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa, karena

artinya dalam peradilan adil jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan

undang-undang secara formal.151 Menutut Mardjono Reksodiputro mengutip,

Tobias dan Petersen yang mengatakan bahwa due process of law itu (berasal dari

Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) due process of law itu merupakan:152

“Constitutional guaranty...that no person will be deprived of life, liberty orproperty for reasons that are arbitrary... protects the citizens againstarbitrary actions of the government”

Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan diatas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yangpertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwahukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturankepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orangmemperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalamseluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat istiwema kepada keadilan sebagai tujuandari hukum. Lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:,Kanisius,1982), hal. 161-166

150 Shidarta, “Putusan Hakim:Antara Keadilan, Kepastian hukum dan Kemanfaatan”, (Dalamlampiran Makalah yang disampaikan dalam rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untukhakim seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011), hal. 8.

151 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit.,hal.27-28.

152 Ibid.

Page 70: TESIS

57

Oleh karena itu unsur –unsur dari ‘due process’ itu adalah :153

1.Hearing (mendengarkan tersangka dan terdakwa);2.Counsel (penasihat hukum);3.Defense (pembelaan);4.Evidence (pembuktian);5.Fair and impartial court (pengadilan yang adil dan tidak memihak).

Penghargaan kita akan hak kemerdekaan seorang warga penting karena

setelah menjadi seorang tersangka maka status hukumnya berubah, orang tersebut

ditandani oleh berbagai pembatasan dalam kemerdekaan sering pula dengan

degradasi secara moral.154 Melalui proses peradilan pidana kemerdekaan warga

negara tersebut paling besar terancam terhadap kemungkinan salah penggunaan

kewenangan yang diberikan oleh undang undang kepada aparat penegak hukum,

dalam kerangka berpikir seperti inilah pengertian due process of law atau proses

hukum yang adil harus dipahami sebagai perlindungan terhadap hak kemerdekaan

setiap warga negara dalam negara hukum.155

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana banyak terjadi

di tingkat penyidikan dan penuntutan karena pada tingkat ini tersangka/terdakwa

rentan diperlakukan sebagai obyek dalam penyidikan dengan kekerasan (violence)

dan penyiksaan (torture), bahkan metode ini telah membudaya, meskipun telah

adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya suatu pengakuan

terdakwa sebagai alat bukti.156 Tentang hal ini sebenarnya KUHAP secara implisit

telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar,

kekerasan dan penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan:

“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau

terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau

hakim”.Dan ketentuan dalam Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa “Keterangan

tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun

dan atau dalam bentuk apapun”.

Dalam memori penjelasan Pasal 52 KUHAP menyatakan supaya

pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang, maka tersangka atau

153 Ibid.154 Ibid., hal 28155 Ibid.156 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1998), hal. 4.

Page 71: TESIS

58

terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya

paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa, ketentuan dalam

Pasal 52 dan Pasal 117 ini dapat dikaitkan dengan prinsip universal tentang non

self incremintion yang merupakan hak tersangka/terdakwa untuk tidak

mempersalahkan dirinya sendiri, sebagaimana tercermin secara tidak langsung

dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan tersangka/terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian dan Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan

keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendri.157

Sedangkan makna dalam pasal 52 KUHAP dan Pasal 117 KUHAP,

haruslah diartikan sedemkian rupa, sehingga keterangan yang diberikan oleh

tersangka yang bersumber pada free will (kehendak bebas), dengan demikian baik

penyidik maupun hakim tidak diperkenankan untuk mencari keterangan yang

tidak diberikan secara bebas.158 Berdasarkan uraian diatas dalam rangka

pelaksanaan proses hukum yang adil maka penggunaan saksi mahkota dalam

proses peradilan pidana harus memperhatikan hak-hak tersangka dan terdakwa

terutama prinsip non self incrimination.

Sedangkan persoalan mengenai cara perolehan bukti yang menyimpang dan

akan dipergunakan dipengadilan, namun ternyata tidak ada pengaturanya didalam

KUHAP. Dalam negara-negara penganut sistem anglo saxon (common law) maka

persoalan ini dinamakan “illegally secured evidence” yang masuk dalam aturan-

aturan yang dinamakan ‘exclusionary rules” (Amerika Serikat) atau ‘judges rules

(Inggris) yaitu aturan-aturan yang berlaku umum dan berisikan larangan

penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara tidak sah atau melanggar

undang undang.159

Pentingnya larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara

tidak sah karena inti proses hukum yang adil adalah hak seorang tersangka dan

terdakwa untuk didengar pandanganya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu

terjadi, hak didampingi oleh penasihat hukum, hak memajukan pembelaan dan

157 KHN-SETRA HAM UI, “Akses ke Peradilan”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003),hal, 23.

158 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Ham Dalam Perspektif KUHAP, Op. Cit., hal. 28.159 Indriyanto Seno Adji, Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia, Bunga Rampai,

(Jakarta : Modul Kuliah kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan Hak Asasi Manusia. ProgramPasca Sarjana Universitas Indonesia 2012, hal. 23.

Page 72: TESIS

59

penuntut umum harus membuktikan kesalahan terdakwa dimuka suatu pengadilan

yang bebas dengan hakim yang tidak berpihak.160 Walaupun KUHAP belum

mengatur mengenai larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik

secara tidak sah tetapi dalam rangka perlindungan terhadap hak warga negara kita

dapat menyadarkan pandangan pada prisip yang terdapat dalam KUHAP.

Menurut Mardjono Reksodiputro, paling tidak terdapat sepuluh asas yang

melindungi hak warga negara dan berlakunya proses hukum yang adil dalam

KUHAP yaitu :161

1.Perlakuan sama dimuka hukum tanpa diskriminasi;2.Praduga tidak bersalah;3.Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian ) dan rehabilitasi;4. Hak untuk mendapat bantuan hukum;5.Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;6.Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;7.Peradilan terbuka untuk umum;8.Dasar undang-undang dan dan kewajiban adanya surat perintah dalam

pelanggaran atas hak individu warga negara;9.Merupakan salah satu unsur dasar dalam hak warga negara atas “ liberty

and sucurity’ dimana tersangka dan terdakwa diberi jaminan untukmembelah diri sepenuhnya;

10.Pengadilan berkewajiban mengendalikan pelaksanaan putusanyanya,dapat hanyalah dilihat sejauh kewajipan pengawasan.

Pencantuman hak- hak tersangka didalam sejumlah pasal di dalam KUHAP

(Pasal 50 sampai Pasal 68) merupakan pencerminan terhadap pelaksanaan hak

asasi manusia dengan tingkat universal, sehingga pencantuman hak-hak tersangka

itu untuk memperhatikan dan menghormati harkat martabat manusia sesuai

dokumen atau instrumen internasional tentang hak asasi.162 Menurut Indriyanto

Seno Adji dalam rangka perlindungan hak asasi manusia (terdakwa) dalam proses

peradilan patut memperhatikan ketentuan Pasal 14 ICCPR Kovenan Internasional

tentang Hak Sipil Politik yang telah diratifikasi Indonesia, ketentuan tersebut

berkenaan dengan :163

160 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,Op. Cit., hal. 9.

161 Ibid., hal .17.162 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Ham Dalam Perspektif KUHAP, Op. Cit., hal. 25.163 Ibid., hal. 26-27.

Page 73: TESIS

60

1.Tuduhan perlu dituangkan dalam bahasa yang dapat dimengerti olehtertuduh mengenai sifat (nature) dan sebab (cause) dari tuduhan yangbersangkutan;

2. Persiapan dalam waktu adequat untuk mengadakan pembelaan dan hakberhubungan dengan penasihat hukum (right to communicate);

3. Secepat mungkin diadakan pemeriksaan (without any delay);4. Diadili dan untuk mengadakan pembelaan terhadap dirinya atau melalui

advokat, diberitahukan kepadanya mengenai haknya apabila ia tidakdidampingi seorang advokat memperoleh bantuan hukum, khususnya jikaia kurang mampu untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Memeriksa (to examine) para saksi a charge adanya menghadiri parasaksi a charge ataupun a de charge;

6. Memperoleh seorang penterjemah, apabila tidak memahami bahasa yangdipergunakan pengadilan;

7. Hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non selfincrimination).

Dalam proses peradilan pidana KUHAP tidak menghendaki

tersangka/terdakwa sudah dijatuhi putusan bersalah sebelum prosesnya dimulai,164

karena setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang

berkekuatan hukum tetap bahwa ia bersalah (presumtion of innocence), sehingga

hak asasinya selama proses peradilan selalu terjamin dan terlindungi.165 KUHAP

melihat proses peradilan pidana sebagai perjuangan untuk menegakakn hukum

secara adil, didalam prosesnya hak hak tersangka dan terdakwa terlindungi dan

dianggap sebagai hak warga negara.166

Sebagai implementasi pelaksanaan hukum yang adil dalam rangka

melindungi hak asasi saksi mahkota maka penggunaan saksi mahkota dalam

proses peradilan sedapat mungkin di hindari lebih baik dihindari. Namun apabila

dalam suatu perkara yang menyangkut penyertaan dalam tindak pidana tidak ada

alat bukti lain untuk mendukung pembuktian selain saksi mahkota, maka untuk

menjamin timbulnya kepastian hukum dan terjaganya ketertiban masyarakat saksi

mahkota dapat diterapkan dengan segala konsekwensinya dan tetap menghormati

hak-hak asasi saksi mahkota.167

164 Mien Rukmini, Op.Cit., hal. 83.165 Ibid., hal. 260.166 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal

44.167 Zulfan dan Kaharuddin, Saksi Mahkota dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam

Pembuktian Hukum Pidana”, Jurnal Media Hukum (Volume 15 No 1 Juni 2008), hal. 165.

Page 74: TESIS

61

Karena dengan ditetapkan dan diajukan seorang sebagai saksi mahkota

maka hak – haknya dalam posisi sebagai terdakwa tidak dapa digunakan

sebagaimana mestinya, disinilah hak asasi manusia sebagai saksi mahkota dikebiri

dan terkekang sehingga bertentangan dengan asas peradilan jujur, terutama hak

dalam posisi terdakwa untuk membela diri tidak dapat terlaksana dengan baik, dan

peradilan terhadap terdakwa akan jauh dari pencapaian keadilan.168 Menurut

Artidjo Alkostar penerapan aturan hukum yang menyangkut saksi mahkota

(crown witness/kroongetuige) harus memperhatikan ketentuan Pasal 168 KUHAP

dan Pasal l69 KUHAP, dan diterapkan secara selektif agar tidak melanggar hak

asasi manusia atau hak dasar konstitusinal serta tidak melanggar prinsip umum

non self incrimination.169

E.Mengatasai Dilema Terkait Non Self – Incrimination dalam PenerapanSaksi Mahkota

Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pelaksanaan hukum acara

pidana formiel dan hukum pidana materiel, karena menyangkut hak asasi dan

perlindungan martabat manusia.170 Konstitusi Republik Indonesia sendiri telah

menetapkan pengakuan terhadap perlindngan hak-asasi dan perlindungan martabat

manusia sebagaiana tercantum dalam pasal 28 I UUD 1945 (Perubahan Kedua)

yang menyatakan:

1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakuisebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apapun.

2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atasdasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuanyang bersifat diskriminatif itu.

Menurut Romli Atasasimita, sebagai konsekwensi logis dari asas praduga

tak bersalah maka terhadap tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum

168 Ibid, hal. 157.169 Artidjo Alkostar, “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana dan Dasar

Pertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”, (Makalah Disampaikan dalam RAKERNAS2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta 18-22 September 2011),hal .6.

170 Ibid., hal. 2-3.

Page 75: TESIS

62

untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan atau merugikan dirinya

sendiri (the right of non-self incrimination) dan hak untuk tidak memberikan

jawaban (the right to remain silent) baik dalam proses penyidikan maupun proses

persidangan.171 Asas non-self incrimination merupakan suatu hal yang dilarang

dalam suatu proses peradilan pidana, karena tindakan atau pernyataan yang

diambil atau berasal dari seseorang mengakibatkan dirinya menjadi in crime,

larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang

ke pengadilan, dan membuktikan tuduhanya, sehingga seseorang tertuduh tidak

dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu.

Non-self incrimination merupakan hak istimewa terbatas pada tindak pidana

saja, tetapi tidak hanya berlaku untuk informasi yang memberatkan, berlaku juga

untuk bukti yang cenderung memberatkan terdakwa, hak istimewa ini berlaku

untuk terdakwa dan saksi, dan hak istimewa tidak hanya dalam proses penyidikan

pidana, melainkan juga dalam semua tindakan pengadilan pidana, serta dalam

penyelidikan oleh lembaga admministrative, karena hak istimewa ini sangat

pribadi dengan demikian tidak dapat digunakan untuk orang lain, lingkup hak ini

hanya berlaku untuk orang perorangan dan tidak semu (juridical) seperti

korporasi, serikat, partnership.172

Menurut Indriyanto Seno Adji, salah satu alasan pihak yang menolak

penerapan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana adalah, menyangkut asas

non self incrimination, karena : 173

“Pengajuan saksi mahkota ini bertentangan dengan hak asasi manusia,khususnya hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana yaitu prinsipatau asas non self incrimination yang secara universal mendapatpengakuan dunia, implisitas pengakuan adanya asas non self incriminationitu disebutkan dalam pasal 189 ayat (3) KUHAP yaitu: Keteranganterdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”

Hal ini berarti terdakwa mempunyai hak untuk tidak mempersalahkan

dirinya sendiri sejak proses penyidikan sampai persidangan di pengadilan.

171Romli Atasasimita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”,http://m.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2400-logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah, diunduh 5 Mei 2013.

172 Christopher Osakwe, “The Bill Of Right For The Criminal Defendatin In American Law”,dalam, Human Right In Criminal Procedure A Comparative Study, Jhon A Andrews, ed.,(Boston/London : Martinus Nijhoff Publisher, The Hague, 1982), hal. 274.

173 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 95.

Page 76: TESIS

63

Tidaklah mungkin bagi seorang terdakwa akan mempersalahkan dirinya sendiri

dengan memberi kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri dalam berkas

perkara yang dibuat terpisah, dalam satu berkas terdakwa menyangkal

perbuatanya, namun dalam kedudukanya sebagai saksi dalam berkas pidana yang

terpisah ia mengakui melakukan perbuatan yang disangkalnya sendiri.174

Menurut Andi Hamzah sistem saksi mahkota yang dikenal dalam peradilan

pidana di Indonesia saat ini dengan cara mendudukan seseorang untuk bergantian

sebagai saksi dan terdakwa walaupun dalam perkara terpisah melanggar asas non

self incrimination dan mendorong seseorang untuk melakukan sumpah palsu,

sebagai jalan keluarnya sebagai ketua tim perumus RUU KUHAP yang akan

datang Andi Hamzah memasukan pengertian saksi mahkota dengan mereduksi

sistem yang ada di Belanda, Italia dan Amerika Serikat.175

Dalam prespektif hukum pidana Belanda menurut Constantijn Kelk, setiap

tindak pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, dilakukan oleh

polisi atau oleh hakim, memperhatikan sejumlah syarat dasar untuk menjaga dan

menjamin otonomi tersangka/terdakwa dalam kebebasannya memberikan

keterangan. Hal ini sangat penting mengingat situasi pemeriksaan (pengambilan

keterangan) dilakukan dalam kondisi ketidak setaraan, sebab pejabat penyidik

memiliki sejumlah sarana paksa (dwangmiddelen) yang memungkinkannya

merampas kemerdekaan tersangka.176 Untuk menghindari ancaman sebagai sarana

paksa yang ‘memaksa’ tersangka memberi keterangan yang diminta maka :177

1. Pertama-tama pejabat penyidik yang memeriksa tersangka dilarang untukmelakukan apapun juga yang bertujuan membuat tersangka memberiketerangan tidak dalam keadaan bebas (Pasal 29 Ned Sv.);178

2. Di samping itu, undang-undang menetapkan bahwa tersangka/ terdakwadalam proses pemeriksaan tidak diwajibkan untuk menjawab. Dengankata lain, ia memiliki hak untuk diam atau tidak menjawab (zwijgrecht);

3. Selanjutnya, pejabat yang melakukan penyidikan atau pemeriksaan harusdengan tegas (expressis verbis) memberitahu tersangka/ terdakwa akanhak-nya tersebut di atas, satu dan lain karena barangsiapa yang tidak

174 Ibid .175 Hasil Wawancara, Tanggal 9 April 2013.176 Constantijn Kelk,” Tahapan Kritikal Dalam Pengembangan Sistem Hukum Pidana Yang

Beradab”, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 2012), hal. 61.

177 Ibid.178 Sv: Wetboek van Strafvorderingen (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belanda).

Page 77: TESIS

64

mengetahui apa haknya nyata tidak akan dapat menggunakannnya. Inilahyang disebut sebagai cautieplich (kewajiban untuk menginformasikasikantersangka/terdakwa bahwa ia memiliki hak untuk diam) dari pejabatpemeriksa.

Ketentuan-ketentuan di atas mengejawantahkan prinsip bahwa terdakwa

baik secara langsung maupun tidak langsung tidak boleh dipaksa memberikan

keterangan yang memberatkan dirinya sendiri (Pasal 14 ayat 3 sub g ICCPR). The

privilege against self-incrimination or the right of silence (hak istimewa untuk

tidak memberikan keterangan yang memberatkan diri sendiri atau hak untuk

diam) merupakan prinsip yang diakui masyarakat internasional yang sekaligus

merupakan bagian penting dari proses pidana yang adil (fair trial). Sebagaimana

ditegaskan oleh EHRM ,179 (EHRM 5 November 2002, NJ 2004, 262).

Walaupun asas nemo-tenetur (seipsum accusare: the right not incriminate

oneself) tidak secara tegas termuat di dalam perundang-undangan pidana Belanda,

namun dengan sendirinya di dalam hukum pidana Belanda berlaku prinsip ‘fair

trial’ (Pasal 6 EVRM). Yang memuat kewajiban untuk menjaga dan menghormati

tersangka/terdakwa yang tidak diwajibkan memberikan keterangan yang akan

mencelakakan dirinya sendiri.180Ketentuan-ketentuan pemeriksaan terhadap

tersangka/terdakwa dimaksud untuk mencegah terdakwa akan ditempatkan di

bawah tekanan, dipaksa, diancam, diintimidasi dengan keras atau dibujuk atau

melalui tipu daya, sedemikian sehingga ia memberi keterangan yang tidak benar

atau keliru.181

Menurut P.J. P. Tak sebagaimana dikutip Romli Atasasmita dalam hukum

pidana Belanda, hak-hak tersangka atau terdakwa dijamin dan dilindungi

sedemikian rupa, sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka atau

terdakwa diberikan hak untuk mengajukan review kepada examining judges untuk

memeriksa kebenaran review yang diajukan tersangka atau terdakwa, 182 Di

Amerika Serikat, mengenai hak untuk tidak menyalakan diri sendiri telah diakui

secara kontitusional, dalam amandemen ke- V Kontitusi Amerika Serikat, memuat

diantaranya, tidak boleh diwajibkan dalam perkara kejahatan apapun menjadi

179 Europees Hof voor de Rechten van de Mens te Straatsburg (Mahkamah atau PengadilanHak Asasi Manusia di Strasburg).

180 Constantijn Kelk, Op.Cit., hal. 62.181 Ibid.182 Romli Atasasimita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”, Op. Cit.

Page 78: TESIS

65

saksi yang memberatkan diri sendiri.183 Di Inggris diberlakukan hak untuk tidak

menjawab pernyataan, bahkan sangat ketat, pemeriksaan harus mulai mengatakan

kepada the suspect, bahwa ia mempunyai hak untuk diam tidak menjawab

pertanyaan.184

Di Amerika serikat menurut Steve Kessler, dalam upaya menghindari

terjadinya untuk self incrimination dalam mengunakan saksi yang bersifat

cooperator maka hal penting dalam kesepakatan kerjasama ini dilakukan dengan

sukarela dimana motivasi cooperator berharap akan keringanan hukuman dari

kejahatan yang telah dilakukan, bukan dari paksaan.185 Bentuk keringanan

hukuman yang akan diberikan bukan penghapusan pidana sama sekali, tetapi

mekanismenya yang berlaku di Amerika Serikat menurut Charles Guria, apabila

telah terjadi kesepakatan dengan terdakwa dan terdakwa mengaku bersalah atas

satu dakwaan berat (serious charge) dan dakwaan ringan (less-serious charge),

Setelah berhasil memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan, kantor kejaksaan

akan meminta pengadilan agar terdakwa diizinkan untuk mencabut pengakuan

bersalah yang sebelumnya diajukan terhadap dakwaan berat dan mempindanakan

yang Terdakwa atas dakwaan ringan sesuai yang diizinkan oleh undang-

undang.186

Karena saksi mahkota dalam persidangan sudah menjadi kaedah hukum

yang diterima namun perlu suatu telaahan secara comparative untuk menghindari

terjadinya pelanggaran asas non self incrimination, ini dapat dilakuakun dengan

melihat ketentuan sebagaimana dalam prespektif hukum pidana di Belanda dan

Amerika Serikat dalam penggunaan saksi mahkota untuk pembuktian perkara

pidana. Selain itu untuk mengatasi dilema asas non self incrimination kita dapat

bersandar pada pendapat Christopher Osakwe yang menyatakan.187

“In a delicate balancing of this privilage with competing right of the state toconduct legitimate investigation into cause of crime , the court have heldtaht the privelege against self –incrimination is not available if the personhas already been tired for offence or if the person has been pardoned for theoffence or if the legislature has conferred immunity from prosecution”.

183 Luis Hendri, Op. Cit., hal . 27.184 Mien Rukimini, Op.Cit, hal. 90.185 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013.186 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013.187 Christopher Osakwe, Op.Cit., hal. 374.

Page 79: TESIS

66

Dari pemahaman tentang privelege against self –incrimination, Christopher

Osakwe bependapat untuk mengatasai dilema keseimbangan antara hak

tersangka/terdakwa dengan hak negara untuk melakukan investigasi atas nama

hukum terhadap penyebab kejahatan, maka hak istimewa terdakwa terkait non self

incrimination tidak berlaku dalam hal, seseorang telah menjalankan proses

persidangan, orang tersebut telah dimaafkan dalam sebuah kesepakatan, atau

pembuat undang undang telah memberikan imunitas dari penuntutan.

Berlandaskan dari uraian di atas ternyata untuk menerapkan saksi mahkota

pada penyertaan dalam tindak pidana dapat dihindari tindakan yang bertentangan

dengan asas non self incrimination, sehingga proses peradilan pidana dapat

berjalan dengan adil dengan tidak melanggar hak tersangka dan terdakwa dan

negara tetap memberi perlindungan terhadap individu (tersangka atau terdakwa).

Karena pada hakekatnya proses pemeriksaan terhadap seseorang yang telah

disangka maupun didakwa melakukan kejahatan bukanlah untuk mencari

kesalahan tetapi untuk kebenaran dengan tujuan tegaknya keadilan dan menurut

Topo Santoso dalam pelaksanaanya :188

“Mencari kebenaran harus dilakukan secara adil, pengertian adil mencakupkeseimbangan dalam mempertahankan kepentingan negara dan masyarakatatau undang undang dan melindungi kepentingan tersangka”.189

Dalam rangka memaknai konsepsi adil lebih lanjut ada baiknya kita melihat

teori keadilan menurut Jhon Rawls, dalam bukunya yang berjudul “A Theory of

Justice ‘yang kemudian di revisi menjadi ‘Political Liberalism Rawls” mencoba

mempertahankan prinsip-prinsi keadilan, konsepsi keadilan yang dia

kemukakan:190

188 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan , Op. Cit, hal. 45.189 Menurut Bagir Manan Dalam upaya untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan

berkeadilan menurut Bagir Manan, harus dilihat dari dua dua aspek penting, yaitu cara penegakanhukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice), dalammasyarakat yang menjunjung tinggi hukum mewujudkan tujuan sama penting dengan tujuan itusendiri, sedangkan untuk dapat menemukan secara tepat subtansi keadilan harus dibedakan antarakeadilan individu (individual justice) dan keadilan sosial (social justice). Namun dalamkenyataanya dapat terjadi semacam jarak antara keadilan individual dan keadilan sosial, jarak inidapat diatasi atau dikurangi, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermatdilekatkan nilai sosial dan moral dalam setiap aturan hukum yang akan ditegakan, dengandemikian dalam setiap keadilan individual akan terkandung keadilan sosial. Lihat, Bagir Manan,Menegakan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia , 2009), hal 60 -161.

190 Lord Lloyd Hampstead dan M.D.A. Freeman, Introduction to Jurispridence, (Britain:ELBS, 1985), hal. 523-524.

Page 80: TESIS

67

a. Kebebasan maksimal yang tidak bisa dibatasi oleh apapun kecuali hal-hal yang justru untuk melindungi kebebasan tersebut;

b. Persamaan bagi semua baik dalam kebebasan dasar dari kehidupansosial maupun dalam pembagian semua bentuk barang-barang sosial;

c. Persamaan kesempatan yang adil dan pengahapusan segala untukketidaksamaan kesempatan atas dasar keturunan atau harta kekayaan.

Mengenai prinsip keadilan, menurut Rawls sebagaiman dikutip Albert Y.

Dien menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak bukan manfaat. Jika asas

manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair, hal

yang dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk

sebanyak mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya (the greatest

good for the greatest number), sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan

pada asas hak akan melahirkan prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak

(individu) yang tak boleh dilanggar (hak-hak individu memang hal yang dengan

gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian).191

Lebih lanjut menurut Rawls sebagaimana dikutip Darji Darmodiharjo dan

Shidarta, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan

bersama, bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan itulah yang

disebut keadilan,192untuk itu kepentingan-kepentingan individu harus mendapat

tempat dalam aturan adil masyarakat, akan tetapi kepentingan ini tidak dapat

menjadi prinsip yang terakhir.193

191 Albert Y. Dien, “Masyarakat yang Berkeadilan Pemikiran Jhon Rawls dalam FilsafatHukum”, Jurnal Supremasi Hukum, (Volume 7, Nomor 1, Januari 2011), hal. 13.

192 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok- Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 1999), hal. 159 .

193 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hal.202. Dalam tataran kaidah tentang keadilan di Indonesia dapat kita lihat dalam pencerminan silaPancasila, mengenai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan masyarakat, hal ini tercermindalam sila ke-2 Pancasila yaitu “Kemanuasiaan yang Adil dan Beradab, menurut Agus Brotosusilodalam sila kedua ini terkandung keserasian antara perorangan, antar kelompok dan antaraperorangan dan kelompok karena dalam sila ini mengandung nilai –nilai individualism dankomunalism (monodualistik) sehingga dalam pelaksanaanya hubunganya bukan saja harus adil,tetapi juga beradab. Lihat, Agus Brotosusilo, Keserasian Nilai Nilai Pancasila Sebagai Sumbersegala Sumber Hukum (Dalam Arus Globalisasi), Materi Kuliah Filsafat Hukum, (Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011). Hubungan yang adil dan beradab dapatdiumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya terang, jadi bilaperadabannya tinggi maka keadilanpun mantap. Sesuai dengan kodrat alami, maka manusiamempunyai pikiran/cipta dan perasaan/rasa yang bila dikombinasikan akan menjadikehendak/karsa yang merupakan motif dari pada karya/sikap tindak. Lihat pula. PurnadiPurbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Cetatakan Kelima,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 82.

Page 81: TESIS

68

F. Penerapan Saksi Mahkota dalam Peradilan di Indonesia Melanggar AsasNon Self Incrimination

Berdasarkan uraian mengenai konsep saksi mahkota dan yurisprudesi

penyertaan dalam tindak pidana di peradilan Indonesia menurut penulis terdapat

satu masalah yang sangat krusial yang mungkin ini yang menimbulkan

kontroversi selama ini, jika dilihat dari segi historis dan konsep pada negara lain

dalam penerapan saksi mahkota terdapat, unsur kesepakatan untuk bekerjasama

yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara penegak hukum dan saksi

mahkota (berkedudukan selaku saksi dan terdakwa). Dari kesepakatan itu hak

penuntut umum mendapatkan informasi dari saksi mahkota terhadap kejahatan

yang turut ia lakukan, sedangkan kewajiban penuntut umum memberikan imbalan

berupa pengurangan hukuman diakhir kerjasama dalam proses persidangan.

Bentuk kesepakatan kerjasama ini tidak telihat dalam konsep saksi mahkota

di Indonesia, dimana dalam konsep saksi mahkota dan penerapanya tidak ada

kesepakatan antara saksi mahkota dan penegak hukum (penyidik dan penuntut

umum), dapat diartikan penegak hukum (jaksa) bebas menentukan kedududukan

saksi mahkota untuk saling meyaksikan dalam kedudukan sebagai saksi dan

terdakwa, hal ini dikarenakan penerapan saksi mahkota dalam peradilan di

Indonesia banyak dipengaruhi dari yurisprudensi yang memberikan justifikasi

pengunaan saksi mahkota dalam hal penyertaan karena kurangnya alat bukti,

Sehingga pelaksanaan saksi mahkota di Indonesia jelas melanggar hak tersangka

dan terdakwa yaitu asas non self incrimination.

Page 82: TESIS

69

BAB III

PENERAPAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTIPENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA DI PERADILAN

Setelah melihat konsep saksi mahkota dan penyertaan dalam tindak pidana

selanjutnya dalam bab ini menguarikan penerapan saksi mahkota sebagai alat

bukti dalam peradilan di Indonesia, yang akan diawali dari tahap penyidikan

dimana dilakukan pemecahan berkas perkara (splitsing) kemudian konstruksi

surat dakwan terhadap saksi mahkota dan dalam tahap penuntutan akan dibahas

mengenai kedudukan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana,

pertanggungjawaban pidana saksi mahkota, kemudian dianalisis untuk

mendapakan suatu pendapat mengenai penerapan saksi mahkota sebagai alat bukti

dalam peradilan di Indonesia.

A.Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing) dan Konstruksi Surat DakwanTerhadap Saksi Mahkota pada Penyertaan dalam Tindak Pidana

Pada prinsipnya menurut hukum acara pidana splitsing berkas perkara

adalah hak jaksa, pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu berkas

perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Dalam hal kejahatan melibatkan

beberapa orang tersangka, dengan kata lain, lebih dari satu perbuatan dan pelaku,

splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda,

konsekuensi lain dari splitsing, para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara

masing-masing, dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai

saksi maupun terdakwa akibatnya timbul saksi mahkota.

Menurut Indriyanto Seno Adji, pada dasarnya karakteristik penerapan saksi

mahkota dalam praktek beracara dipersidangan secara spesifik untuk :194

1. Tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhisebagai delik penyertaan yang diatur pasal 55 KUHP, baik para pelakudikualifikasikan sebagai pelaku langsung (yang melakukan), yangmenyuruh melakukan, yang turut melakukan dan atau yang menganjurkanmelakukan;

2. Minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana;3. Tindak pidana itu dipecah menjadi beberapa terdakwa, meskipun tindak

pidana yang dilanggar hanya satu, misal pembunuhan (pasal 338 KUHP).

194 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op. Cit., hal . 201.

Page 83: TESIS

70

Terdakwa dalam satu berkas akan menjadi saksi terhadap terdakwa laindalam berkas terpisah. Para terdakwa ini berkedudukan pula sebagaisaksi– saksi dalam berkas terdakwa terpisah pisah itu.

Mengingat kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati

posisi kunci, sehingga pentingnya alat bukti saksi dalam proses peradilan pidana,

telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana, dari ditingkat kejaksaan sampai

pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi

acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa, jadi jelas bahwa

saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum

dan keadilan.195

Permasalahan yang sering muncul di dalam praktek penanganan perkara,

adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa

pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat

tindak pidana dilakukan. Sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa

tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya

pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya

terdapat alat bukti keterangan saksi, yang biasa disebut dengan saksi mahkota

dan mempunyai kekuatan untuk pembuktian.

Dasar dilakukannya pemecahan berkas perkara ini tercantum dalam Pasal

142 KUHAP yang menyatakan :

“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuatbeberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yangtidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapatmelakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah”.

Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk

melakukan pemecahan berkas perkara dari satu berkas perkara menjadi beberapa

berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di tangan

Penuntut Umum. Namun KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut

tentang kapankah splitsing tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum. Apabila

195 Surastini Fitriasih, “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju ProsesPeradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”,http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=52534&idc=21, diunduh 14 April2013.

Page 84: TESIS

71

diperhatikan redaksi dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “....Penuntut Umum dapat

melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”.

Dengan demikian, pelaksanaan splitsing dilakukan sebelum Penuntut

Umum melimpahkan berkas perkara ke-Pengadilan Negeri sebagaimana

diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Penjelasan Pasal 142

KUHAP, menyatakan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat

berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk

itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi,

maka splitsing dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan

Prapenuntutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu :

“Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikandengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), denganmemberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan daripenyidik”.

Oleh karena itu, splitsing dilakukan pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu

ketika penunut umum memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk memecah

berkas perkara, hal tersebut disebabkan pemecahan penuntutan perkara (splitsing)

seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP, memang biasanya

dilakukan dengan membuat berkas perkara lagi, sehingga perlu dilakukan kembali

pemeriksaan terhadap saksi maupun terhadap terdakwa. Pada dasarnya,

pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor diantaranya pelaku tindak

pidana yang terdiri dari beberapa orang. Dalam hal ini Yahya Harahap

berpendapat, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas

perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa

sehingga: 196

a. Berkas yang semula diterima Penuntut Umum dari Penyidik, dipecahmenjadi dua atau beberapa berkas perkara;

b. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkaratersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud,masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdirisendiri antara yang satu dengan yang lain;

c. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagidilakukan bersamaan dengan suatu persidangan, masing-masing terdakwadiperiksa dalam persidangan yang berbeda;

196 Yahya Harahap, Op. Cit., hal . 442.

Page 85: TESIS

72

d. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabiladalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri

sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat

dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka digabung

dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang

lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang timbal balik. Minimnya alat

bukti dalam suatu tindak pidana yang bersangkut paut dengan delik penyertaan

(deelneming) itulah yang memaksa dilakukan suatu spilitsing (pemecahan)

perkaranya menjadi beberapa berkas dan beberapa terdakwa.197

Sedangkan Andi Hamzah bepandangan bahwa splitsing dilakukan dengan

membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi

sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terangka

maupun saksi .198 Namun lebih lanjut Andi Hamzah menjelaskan :

“Jika ada beberapa tersangka (terdakwa) dan juga ada beberapa orang saksimaka dalam memecah perkara tersebut hanya perlu membuat dupikat saja,dimana daftar nama tersangka (terdakwa) diubah menjadi sendiri-sendiri,dan pemeriksaan saksi tetap, karena menurut Andi Hamzah penuntut umumdapat langsung memecah berkas perkara tersebut menjadi beberapa buahyang perlu diminta dari penyidik ialah duplikat hasil pemeriksaan, karenasangat kurang bermanfaat kalau hanya untuk dipecah menjadi beberapaberkas perkara itu harus bolak balik dari penuntut umum ke penyidik dantidak sesuai dengan asas peradilan cepat”. 199

Andi Hamzah membedakan antara perkara tidak lengkap (kurang saksi-

saksi) yang harus dipecah dimana para tersangka saling menjadi saksi yang harus

diselesaikan melalui pasal 138 KUHAP, dengan pemecahan perkara menjadi lebih

dari satu tanpa menambah pemeriksaan, yang menurut Andi Hamzah masuk

dalam bidang penuntutan, dan karena itu penuntut umum dapat langsung

melakukanya.200 Pendapat Andi Hamzah ini berdasarkan pendirianya bahwa

bergantian menjadi saksi bukalah saksi mahkota (kroongetuide) sebab saksi

mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan

197 Indriyanto Seno Adji , KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 96.198 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta ; CV Sapta Artha Jaya, 1996), hal.

167.199 Ibid., hal. 168.200 Ibid .

Page 86: TESIS

73

kesalahanya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi jadi seperti diberi mahkota, yang

tidak akan dijadikan terdakwa lagi, dan mengenai pelaksanaan pemecahan berkas

perkara dilakukan pada tingkat penuntutan oleh jaksa penuntut umum, hal ini

dibolehkan berdasarkan adagium, bahwa jaksa adalah dominus litis,201dalam

penuntutan terdakwa.202

Salah satu urgensi dari pemecahan berkas perkara menjadi berkas perkara

yang berdiri sendiri, untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi

saksi secara timbal balik diantara sesama mereka. Oleh karena itu, jelas

diperlukan kembali pemeriksaan penyidikan. Sekalipun pemecahan berkas

perkara dilakukan oleh penuntut umum, namun pemeriksaan penyidikan yang

diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi wewenang penyidik, karena,

201Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, artinya tiada badan

lain yang boleh melakukan wewenang tersebut. Ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umumatau Jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat memintasupaya delik (tindak pidana) diajukan kepadanya, hakim hanya menunggu saja penuntutan dariPenuntut Umum. Namun dengan adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mempunyai Penuntut Umum sendiri, berartiketentuan monopoli penuntutan oleh Kejaksaan telah diterobos. Lihat Departemen Hukum danHak Asasi Manusia. “Laporan Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan AsasOportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006, hal 7-8.Jaksa yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidakberdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandangdominus litis, Jaksa merupakan pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). KewenananganKejaksaan untuk melakukan penuntutan tersebut berdasarkan Undang-Undang No 16 Tahun 2004tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan RepublikIndonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidangpenuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sedangkan kewenangan jaksaberdasarkan Pasal 13 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberiwewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dan menurut Pasal14 hutuf KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik ataupenyidik pembantu.b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalamrangka penyempurnaan penyidikan daripenyidik.

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau merubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada penyidik.

d. Membuat surat dakwaan.e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan haridan waktu perkara

disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

g. Melakukan penuntutan.h. Menutup perkara demi kepentingan umum.i. Mengadakan “ tindakan lain “ dalam lingkup tugas dan tanggung jawab penuntut umum

menurut ketentuan undangundang ini.

j. Melaksanakan penetapan hakim.202 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Op.Cit., hal.168 .

Page 87: TESIS

74

dalam dalam mekanismenya pemecahan berkas perkara dilakukan hal-hal sebagai

berikut: 203

1.Pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan penuntut

umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti

penyidikan tambahan ;

2.Pemeriksaan penyidikan pemecahan berkas perkara dilakukan oleh

penyidik berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum;

3.Tata cara pengembalian berkas baik yang dilakukan penuntut umum pada

penyidik maupun pihak penyidik kepada penuntut umum dalam rangka

pemecahan berkas perkara, berpedoman pada ketentuan tata cara dan

batasan – batasan tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal 110 ayat

(4) dan 138 ayat (2) KUHAP .

Dalam praktik peradilan splitsing berkas perkara menurut Kepala Seksi

Tindak Pidana Umum Jakarta Barat, splitsing berkas perkara dilakukan oleh

penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum yang menanggani

perkara (Jaksa sesuai surat P.16),204pelaksanaan splitsing dilakukan untuk

kepentingan pembuktian perkara sesuai dengan unsur pasal yang dituduhkan,

namun sering kali terjadi berkas perkara dari awal diajukan penyidik kepada

penuntut umum dalam keadaan telah dipisah karena dari awal penyidik telah

berpendapat perlu dilakukan pemisaha, karena kurangnya alat bukti.205

Pada dasarnya dalam melakukan splitsing berkas perkara pihak penuntut

umum memiliki alasan-alasan yang bersifat kaususistis tergantung pada perkara

yang dihadapi, Djoko Prakoso pernah melakukan penelitian terhadap tujuan

dilakukan splitsing dalam perkara, penyelundupan barang, kasus pembunuhan dan

percobaan pembunuhan dari hasil penelitiannya disimpulkan alasan-alasan yang

berbeda dari tujuan dilakukan splitsing.206 Namun dari alasan-alasan tersebut

dapat ditarik kesimpulan tujuan terpenting dari dilakukan splitsing tersebut karena

alat bukti yang diperoleh masing kurang (sudah ada alat bukti lain selain saksi

203 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 443.204 Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan

Penyidikan Perkara Tindak Pidana .205 Hasil Wawancara, Tanggal 9 Maret 2013.206 Lebih lanjut lihat, Hasil penelitian, Djoko Prakoso, Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing),

(Yogyakarta: Liberty, 1988) , hal. 188-216.

Page 88: TESIS

75

mahkota) sehinga untuk memperkuat alat bukti yang ada maka ditambahkan alat

bukti saksi mahkota yang tujuanya untuk menunjukan peran dan kedudukan

masing-masing pelaku dalam tindak pidana penyertaan.

Menurut Agung Aryanto, Kasi Pidum Kejari Jakarta Selatan proses

pemecahan berkas perkara atau splitsing dalam prakteknya diterapkan pada:207

1. Saat terjadinya tindak pidana tidak ditemukan alat bukti atau tidak disaksikan

oleh seorangpun selain lain para pelaku sehingga untuk menjelaskan peran

masing-masing pelaku berkas perkara harus dipecah, dengan demikian

diperoleh kedudukan dan peran masing-masing pelaku, tetapi selain keterangan

saksi mahkota tersebut, sebelumnya telah diperoleh alat bukti lain. Hal ini

semata – mata dan untuk kepentingan pembuktian diperlukan alat bukti saksi

mahkota untuk menguatkan alat bukti yang telah ada.

Walaupun pada dasarnya pihak penuntut umum dalam melakukan splitsing

berkas perkara pihak memiliki alasan-alasan yang bersifat kasusistis tergantung

pada perkara yang dihadapi, tetapai tujuan yang hendak diperoleh dari

pemecahan berkas perkara tersebut untuk mengetahui kronologis atau kejadian

tersebut yang hanya dapat diungkap oleh pelaku yang merupakan bagian dari

jaringan kejahatan tersebut. Namun pada umum untuk saksi mahkota yang

memberikan keterangan tidak diberikan imbalan keringanan dan mereka tidak

luput dari ancaman hukuman ;

2. Dalam tindak penyertaan dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa, untuk

tindak pidana penyertaan dimana salah satu pelaku masih masuk kategori

anak– anak, maka pada berkas perkara anak-anak akan dipisah dengan pelaku

yang telah dewasa karena perbedaan hukum acara pemeriksaan anak dan orang

yang telah dewasa dan sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak;

“Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orangdewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan kesidang bagi orang dewasa”.

3.Dalam perkara tindak pidana penyertaan yang salah satu pelakunya adalah

anggota TNI yang tunduk pada peradilan militer, maka berkas perkara dipisah

207 Hasil Wawancara, Tanggal 16 Februari 2013 .

Page 89: TESIS

76

karena perbedaan kewenangan mengadili antara pelaku tindak pidana sipil

yang tunduk pada peradilan umum dan pelaku TNI yang tunduk pada peradilan

militer. Walaupun berdasarkan pasal 89 KUHAP dimungkinkan pelaksanaan di

Peradilan Umum tetapi pelaksanaan akan menempuh mekanisme yang tidak

mudah karena berdasarkan pasal 89 ayat (3) pembentukan tim penyidik untuk

tindak pidana ini berdasarkan surat keputusan bersama Mentri Pertahanan dan

Keamanan dan Mentri Kehakiman serta mekanisme lainya yang diatur dalam

pasal 90 KUHAP;

4. Dalam perkara tindak pidana penyertaan yang salah satu pelakunya melakukan

tindak pidana yang lain, Misalnya dalam tindak pidana perbuatan tidak

menyenangkan (Pasal 335 KUHP) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih,

pada saat terjadi tindak pidana ternyata salah satu dari pelaku membawa

senjata api namun tidak digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan,

sehingga berkas perkara dipisah karena yang tidak membawa senjata api

didakwa dengan dakwaan melanggal Pasal 335 KUHP sedangkan pelaku yang

membawa senjata api didakwa secara komulatif melanggar pasal 335 KUHP

dan melanggar Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Berdasarkan uraian diatas maka menurut penulis mekanisme splitsing

(pemecahan berkas perkara) ini merupakan kewenagan dari Penuntut Umum

sedangkan urgensinya untuk medukung pembuktian karena hal-hal yang bersifat

kasusistis tergantung dari tindak pidana yang dihadapi, walaupun mekanisme

splitsing ini lazim digunakan pada penyertaan dalam pidana yang kemudian

menimbulkan saksi mahkota, namun pada prakteknya di peradilan mekanisme

spilitsing ini juga diterapakan dimana terdapat perbedaan kedudukan para pelaku

dalam peradilan pidana dan juga karena adanya perbedaan peran pelaku, sehingga

mekanisme splitsing ini bukan khusus untuk menerapan saksi mahkota.

Menurut Mardjono Reksodiputro istilah splitsing ini pada awalnya

digunakan pada perkara penyertaan dalam tindak yang dilakukan oleh militer dan

sipil kemudian pelaku yang tunduk pada peradilan militer diajukan ke peradilan

militer dan pelaku yang lain diajukan dalam peradilan umum, sehingga berkas

perkaranyanya di splitsing, tetapi dalam perkembangannya istilah splitsing ini

juga digunakan pada pelaku penyertaan dalam tindak pidana yang sama-sama

Page 90: TESIS

77

diajukan dalam peradilan umum dengan cara memisahkan berkas perkara dengan

tujuan untuk mendapatkan saksi mahkota.208

Setelah tahap penyidikan selesai selanjutnya proses dilanjutkan pada tahap

penuntutan dimana pada tahap ini yang terpenting adalah, mengenai dakwaan

yang diakan dibuat penuntut umum sebagai dasar pemeriksaan selanjutnya

dipersidangan. Dalam undang-undang sendiri tidak ditemukan mengenai

pengertian surat dakwaan A. Karim Nasution, memberi pengertian surat tuduhan

atau dakwaan merupakan:209

“Surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yangdituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaanpendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukanpemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhihukuman”.

Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat syarat

dakwaan maupun pengalaman praktek, maka dapat dikatakan bahwa surat

dakwaan adalah suatu surat atau akte (“acte van verwijzing”) yang memuat uraian

perbuatan atau faktaf akta yang terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau

menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal tindak pidana (delik) yang

dilanggar.210 Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman diluar batas-batas

yang terdapat dalam surat dakwaan, oleh sebab itu terdakwa hanya dapat dipidana

berdasarkan apa yang terbukti mengenai kejahatan yang dilakukannya menurut

rumusan surat dakwaan.

Tujuan utama dari surat tuduhan adalah undang undang ingin melihat

ditetapkan alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana,

untuk itu maka sifat-sifat kekhususan dari suatu tindak pidana yang telah

dilakukan harus dicantumkan dengan sebaik baiknya.211 Secara teknis yang perlu

diperhatikan dalam menyusun surat dakwaan apabila terdapat beberapa orang

208 Hasil wawancara, tanggal 12 Juni 2013.209 A Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PN

Percetakan Negara RI, Jakarat, 1972), hal. 75.210 Ramelan, Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya,

2006), hal. 162.211 Karim Nasuiton, Op.Cit, hal. 78.

Page 91: TESIS

78

terdakwa melakukan satu perbuatan (penyertaan dalam tindak pidana), maka

dalam surat dakwaan harus secara tegas diuraikan:212

1. Apakah terdakwa sebagai pelaku berperanan sebagai “orang yangmelakukan (pleger)” ;

2. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang menyuruh lakukan(doen pleger)”;

3. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang turut serta melakukan”atau “bersama-sama”, dengan pelaku lainnya (medepleger)”;

4. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang membujuk ataumenganjurkan,melakukan perbuatan (uitlokker)” ; atau

5. Apakah terdakwa sebagai “orang yang membantu melakukan(medeplichtige)”.

Untuk bentuk dakwaan terhadap saksi mahkota pada penyertaan dalam

tidak pidana dapat dilihat dalam dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum

dalam dakwaan dibawah ini :

1. Daniel Daen Sabon alias Danil.213

‘Bahwa Ia Terdakwa Daniel Daen Sabon alias Danil bersama denganHendrikus Kia Walen alias Hendrik, saksi Fransiskus Tadon Kerans aliasAmsi, saksi Heri Santosa Bin Rasja alias Bagol (Masing-masing dilakukanpenuntutan secara terpisah) dan Saudara SEI LELA (Belum tertangkap)pada hari sabtut anggal 14 Maret 2009 sekitar jam 14.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu antara bulan Januari tahun 2009 sampaidengan bulan maret tahun 2009 atau setidak-tidaknya pada tahun 2009bertempat di Jalan Hartono Raya Modernland, Kelurahan Kelapa Indah,Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang atau setidak-tidaknya pada suatutempat tertentu yang masih termasuk daerah Hukum Pengadilan NegeriTangerang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini sebagaiorang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan dengan sengaja dandengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitukorban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar, perbuatan tersebut dilakukanterdakwa dengan cara sebagai berikut ”....dst,

2. PIDER Pgl PIDER.214

“Bahwa Terdakwa PIDER Pgl PIDER pada hari Sabtu tanggal 27November 2010 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatuwaktu dalam bulan November tahun 2010 bertempat di Batang MawehJorong Paroman Kenagarian Sinuruik, Kecamatan Talamau, Kabupaten

212 Ramelan, “Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Imdonesia(Corruption Law Suit In Indonesia Legal System)”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol 8 No 2- Juni2011, Direktorat Peraturan Perundang undangan, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI),hal. 197.

213 Putusan Mahkamah Agung No. 721 K/PID/2010, Tanggal 5 Mei 2010.214 Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011, Tanggal 7 Februari 2012.

Page 92: TESIS

79

Pasaman Barat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerahhukum Pengadilan Negeri Pasaman Barat, secara tanpa hak atau melawanhukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, ataumenyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman seberat lebihkurang 1,7 g (satu koma tujuh gram) berdasarkan hasil penimbangan barangbukti yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Simpang Empat No.630/IL.XI.026400.2010 tanggal 30 November 2010, dilakukan dengan carasebagai berikut : Terdakwa PIDER bersama dengan ARIFUL AMRI PglIPUL (dilakukan penuntutan secara terpisah) pada hari Sabtu tanggal 27November 2010 sekira pukul 16.00 WIB berangkat dari Lubuk Sikapingmenuju Maligi”,...dst

Dalam praktek peradilan tidak terdapat bentuk khusus yang membedakan

antara yang mana saksi mahkota dengan terdakwa lainya, dan tidak ada

penyebutan kata-kata dalam hal saksi menjadi terdakwa dalam perkara lain

dengan istilah saksi mahkota. Menurut Kasi Pidana Kejari Umum Jakarta Selatan

dan Kasi Pidana umum Kejari Jakarta Barat dalam dakwaan yang lazim dibuat

jaksa penuntut umum untuk saksi mahkota dalam penyertaan dalam tindak pidana,

untuk menunjukan bahwa antara saksi dan terdakwa bergantian menjadi saksi dan

terdakwa (saksi mahkota) maka dalam surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut

umum dicantumkan kalimat: “masing-masing dilakukan penuntutan secara

terpisah” atau “masing- masing sebagai terdakwa yang penuntutannya diajukan

secara terpisah”.215

B.Kedudukan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian

Alat bukti yang sah merupakan alat bukti yang berhubungan dengan suatu

tindak pidana, untuk dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan

keyakinan bagi hakim, atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Andi Hamzah, beragument pembuktian merupakan : 216

“Upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakaimembuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidangpengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk,dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah”.

215 Wasil Wawancara , Tangal 16 Februari 2013, dan Tanggal 9 Maret 2013.216 Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 158.

Page 93: TESIS

80

Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.217

Menurut Mardjono Reksodiputro pembuktian (von bewijis) berbeda dengan di

Amerika Serikat yang dinamakan law of evidence (pembuktian) karena dinegara

Anglo saxon dibuat rinci berdasarkan putusan pengadilan.218

Sedangkan beban pembuktian merupakan suatu penentuan oleh hukum

tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan

dipengadilan, untuk membuktikan dan menyakinkan pihak manapun bahwa fakta

tersebut memang benar-benar terjadi seperti yang diungkapkannya dengan

konsekweksi hukum bahwa jika tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang dibebani

pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang

diungkapkan oleh pihak yang mengajukan fakta tersebut ke pengadilan.219 Dalam

Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa

KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini

berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa

cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-

undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan

tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.220

217 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hal. 1.218 Mardjono Reksodiputro, Materi Kuliah Seminar Usulan Penelitian Tesis, (Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.219 Munir Fuady, Teori Hukum pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung : PT Citra Adiya

Bakti, 2006), hal. 45.220 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,

merupakan bagian terpenting hukum acara pidana dalam hal ini, hak Asasi Manusia (HAM)dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbuktimelakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaranmateril, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup dengan kebenaran formal. Lihat, EkaMartiana Wulansari, “Pengembalian Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan TindakPidana Korups (Return Burder of Proofin In Corruption Eradication Effort)”, Jurnal legislasiIndonesia”, (Vol 8 No 2- Juni 2011, Direktorat Peraturan Perundang undangan, KementrianHukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 254.

Page 94: TESIS

81

Menurut Edward Omar Sharif Hiariej pembuktian merupakan : 221

“Pembuktian merupakan jantung dalam persidangan suatu perkara dipengadilan karena berdasarkan pembuktianlah hakim akan mengambilputusan mengenai benar – salahnya atau menang – kalahnya seseorangdalam berperkara, pembuktian tidaklah mungkin terlepas dari hukumpembuktian itu sendiri sebagai ketentuan-ketentuan pembuktian yangmeliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperolehbukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatanpembuktian dan beban pembuktian”.

Mengenai kedudukana saksi mahkota dalam pembuktian maka perlu dilihat

terlebih dahulu batasan keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP

menentukan:

“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yangberupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang iadengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasandari pengetahuannya itu”.

Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian

keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, bahwa : “Keterangan

saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Dalam hal menjadi seorang saksi yang keteranganya diperlukan di muka

Pengadilan maka ada syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang saksi, yakni

diantaranya :222

1. Syarat formal

Bahwa dalam syarat formal ini keterangan saksi harus diberikan dengan di

bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa akan

memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya (Pasal

160 ayat (3) KUHAP). Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa

pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak:

Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji,tidakdapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakanketerangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

221 Edward Omar Sharif Hiariej, “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset KejahatanKorupsi”, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas GadjahMada Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada padatanggal 30 Januari 2012 di Yogyakarta), hal. 9.

222 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 173.

Page 95: TESIS

82

Ini tidak berarti merupakan kesaksian wajib diberikan dibawah sumpah,

apabila tidak diberikan dibawah sumpah tidak memiliki nilai sebaga alat bukti

keterangan bahkan juga bukan merupakan alat bukti petunjuk, karena hanya

dapat memperkuat keyakinan hakim.

2. Syarat materiel

Mengenai syarat ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27

KUHAP menentukan bahwa:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidangpengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihatsendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan daripengetahuannya itu”.

Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi

mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai

ialah keterangan yang sesuai dengan isi pasal yang dikemukakan diatas, yakni

jika dijabarkan poin-poinnya adalah sebagai berikut :

1) Yang saksi liat sendiri;2) Saksi dengar sendiri;3) Dan saksi alami sendiri;4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu..Selain ketentuan syarat formil dan materil diatas dalam rangka pembuktian

juga harus memperhatikan bahwa dalam KUHAP dikenal asas unus testis nullus

testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat

(2) KUHA, walaupun asas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat

(3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu

alat bukti lain yang sah, berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi

cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain.223

Namun dalam menilai keterangan saksi menurut Tresna : 224

“Keterangan saksi berlainan dengan bukti surat, karena bukti saksi bukanmerupakan bukti yang menentukan, dan terhadap bukti saksi berlaku asasdidalam hukum pembuktian yaitu hakim tidak boleh menerima sesuatu halsebagai kenyataan selama ia belum yakin benar tentang kebenaranya”

223 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung :Mandar Maju, 2003), hal. 42.

224 R Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ke Delapan Belas, (Jakarta : PT Pradnya Paramita,2005), hal. 150.

Page 96: TESIS

83

Sehingga dalam alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang

sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat

kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht).

Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai

kekuatan pembuktian bebas dan tidak mengikat hakim.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menurut

KUHAP :225

1) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat,

hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya;

2) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai

kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat

bukti yang lain berupa saksi a de charge maupun dengan keterangan ahli

atau alibi.

Dalam praktik peradilan apabila menghadapi permasalahn kurangnya alat

bukti saksi biasanya penuntut umum mencukupi keterangan saksi tunggal dengan

alat bukti petunjuk. Petunjuk mana dapat ditarik atau digali dan dijabarkan

penuntut umum dari keterangan terdakwa atau dari kejadian maupun dari keadaan

yang ada persesuaiannya antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, tidak

mudah mencari suatu petunjuk sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat

dinilai sebagai alat bukti, harus terdapat persesuaian antara perbuatan, kejadian

atau keadaan dengan peristiwa pidana, dan hakim bebas untuk menilai

kesempurnaan dan kebenarannya.

Berdasarkan uraian diatas dan kebiasaan praktek peradilan maka

kedudukan keterangan saksi mahkota pada perkara menyangkut penyertaan dalam

tindak pidana, dalam proses pembuktian kedudukannya disamakan dengan alat

bukti keterangan saksi karena :

a) Saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka/terdakwamenerangkan perbuatan yang dilakukan bersama terdakwa dalam suatutindak pidana saat ia didudukan sebagai saksi;

b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksidisumpah;

225 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 274.

Page 97: TESIS

84

c) Dalam surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntut umumketerangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian fakta persidangandalam point keterangan saksi. 226

Menurut Agung Aryanto (Kasi Pidana Umum Jakarta Selatan) dan Kiki

Yonata (Kasi Pidana Umum Jakarta Barat), serta pengalaman penulis sendiri

selaku jaksa penuntut umum, keterangan saksi mahkota sebagai alat bukti

keterangan saksi selalu diterima oleh pengadilan bahkan dalam pertimbangan

putusanya hakim juga menempatkan keterangan saksi mahkota dalam alat bukti

keterangan saksi.227

Namun terdapat hal yang menarik dalam putusan Pengadilan Negeri

Denpasar dimana dalam putusan tersebut alat bukti sakis mahkota dapat

digunakan sebagai alat bukti surat, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan

Negeri Denpasar No : 317/Pid.B/2003/Pn.Dps, tanggal 18 September 2003 Atas

nama terdakwa Ali Imron Bin H Nurhasyim alias Alik Alias Toha alias Mulyadi

alias Zaid. Dikarenakan saksi mahkota Amrozi Bin H Nurhasyim dan Ali Gufron

alias Mukhlas mengundurkan diri sebagai saksi karena mereka merupakan kakak

kandung terdakwa, dalam pertimbangan hakim tersebut menyatakan: 228

Bahwa walaupun hak mengundurkan diri sebagai saksi hanya dapatdinyatakan secara absolut di depan sidang akan tetapi secara relatif hal inibukanlah berarti pernyataan ketidak sediaaan sebagai saksi tidak bolehdilakukan, saksi mahkota Amrozi Bin H Nurhasyim dan Ali Gufron aliasMukhlas ditingkat penyidikan dan penuntutan, yang dapat berupa adapernyataan secara tegas, tidak bersedia atau mengundurkan diri sebagaisaksi. Akan tetapi aspek ini tidak dilakukannya sehingga kesaksian AmroziBin H Nurhasyim dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik tanggal24 dan 25 Januari 2003 dan Ali Gufron alias Mukhlas dalam Berita AcaraPemeriksaan (BAP) penyidik tanggal 13 Februari Januari 2003 secarayuridis berdasarkan Himpunan tanya jawab rapat kerja Mahkamah AgungR.I dengan Pengadilan Tingkat banding di Daerah (Rakerda) tahun 1987Nomor : 138 huruf b dan nomor 195 serta Putusan Mahkamah Agung R.Inomor: 229.K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1959 maka Berita AcaraPemeriksaan (BAP) tersebut secara tegas ditentukan sebagai Bukti Surat,sesuai dengan ketentuan pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP.

226 Hasil Wawancara dengan Kasi Pidum Jakarta Selatan, Tanggal 16 Februari 2013.227 Hasil Wawancara, Tanggal 16 Februari 2013 dan Tanggal 9 Maret 2013.228 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No : 317/Pid.B/2003/PN.Dps tanggal 18 September

2003.

Page 98: TESIS

85

Berdasarkan putusan tersebut diatas maka penggunaan saksi mahkota dalam

rangka pembuktian terdapat dimensi lain dengan cara mendudukan keterangan

saksi mahkota sebagai alat bukti surat, hal ini menurut penulis menarik untuk

dilakukan pengkajian yang lebih mendalam, terlebih lagi dalam putusan

Pengadilan Denpasar tersebut hanya menyebutkan bahwa Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) penyidik sebagai bukti surat, sesuai dengan ketentuan Pasal

184 ayat (1) huruf c KUHAP, tetapi tidak merinci mengenai surat sebagaimana

dimaksud sesuai Pasal 187 KUHAP.

Namun secara singkat penulis akan memberikan pendapat mengenai (BAP)

penyidik terhadap saksi mahkota yang mengundurkan diri di persidangan dapat

ditentukan sebagai alat bukti surat, mengenai hal ini penulis kurang sependapat

dengan alasan :

1. Seorang saksi ketika memberikan keterangan di depan persidangan, dapat

menarik/mencabut keterangannya yang telah dia berikan di dalam berita acara

pemeriksaan saksi (BAP Saksi) yang dibuat oleh penyidik. Tidak ada

pengaturan di KUHAP mengenai hal keterangan saksi yang “ditarik/dicabut”

di muka persidangan. Jika seorang saksi “menarik/mencabut” keterangannya

dalam berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, maka tidak

berlakulah ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Sehingga fungsi keterangan

saksi pada berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik dapat menjadi

alat bukti petunjuk sesuai Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Menurut Lilik Mulyadi

selama ini BAP dianggap sebagai sakral yang dicari adalah pengakuan

terdakwa dibandingkan keterangan terdakwa, padahal Putusan Mahkamah

Agung RI Nomor 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1959 serta pendapat

Mahkamah Agung dalam tanya jawab hukum pidana Mahkamah Agung

dengan Peradilan Tingkat Banding di Daerah dalam 4 Lingkungan Peradilan

Tahun 1987 menggariskan bahwa BAP merupakan alat bukti petunjuk

sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP.229 Akibat dianggapnya

BAP sebagai hal yang sakral sehingga yang dikejar adalah kebenaran

229 Lilik Mulyadi, Menuju Sistem Peradilan Pidana Kotemporer Tanpa Berita AcaraPenyidikan (BAP) Dan Berita Acara Sidang (BAS), http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=169:menuju-sistem-peradilan-pidana-kontemporer-tanpa-berita-acara-penyidikan-bap-dan-berita-acara-sidang-bas&catid=23:artikel&Itemid=36 , diunduh 23 Januari 2013.

Page 99: TESIS

86

prosedural maka posisi hakim dalam SPP secara langsung atau tidak

langsung, disadari atau tidak disadari yang seharusnya berdiri dari posisi

obyektif ke posisi obyektif sudah berada dalam posisi subyektif ke obyektif

sebagaimana posisi jaksa penuntut umum; 230

2. Sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP dibagi dalam tiga tahap:

(a) tahap pra –ajudikasi (pre-adjudication), (b) tahap ajudikasi (adjudication),

(c) tahap purna ajudikasi (post –adjudication), BAP Pemeriksaan saksi adalah

tindakan yang dilakukan pada tahap tahap pra–ajudikasi (pre-adjudication)

yang hasilnya sangat tergantung apa yang disampaikan penyidik, sehingga

kedudukan tersangka dalam posisi yang lemah. Menurut Mardjono

Reksodiputro, desain prosedur yang memberikan dominasi pada tahap pra–

ajudikasi tidak menguntungkan hak-hak tersangka dan terdakwa, karena

desain prosedural suatu hukum acara pidana terlalu berat memberi penekanan

kepada hak-hak pejabat negara untuk menyelesaikan perkara atau

menemukan kebenaran ketimbang memperhatikan hak-hak warga negara

untuk membela dirinya terhadap kemungkinan persangkaan atau pendakwaan

yang kurang atau tidak benar atau pun palsu. Sedangkan sistem yang secara

penuh dapat melindungi hak-hak warga negara yang merupakan terdakwa

paling jelas terungkap pada tahap ajudikasi karena pada tahap inilah terdakwa

berdiri tegak sama sama derajatnya dengak jaksa/penuntut umum.231

Sedangkan fungsi BAP menurut Marwan Effeny, Berita Acara Pemeriksaan

dan Beita Acara Tindakan lainya sebagaiman dimaksud pasal 75 KUHAP,

adalah suatu wadah pencatatan suatu permintaan keterangan atau pencatatan

kondisi objektif dari tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau pembuat

berita acara sesuai lingkup kewenanganya, sesuai hukum acara pidana yang

berlaku, kegunaan berita acara pemeriksaan atau tindakan lainya untuk

dijadikan dasar tindakan selanjutnya.232 Di Belanda polisi dapat mengundang

setiap orang yang diduga mengetahui mengenai tejadinya kejahatan tersebut

untuk diperiksa sebagai saksi, namun demikian seseorang yang diundang

230 Ibid231 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit.,

hal.33-35232 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana , Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan

Hukum Pidana, (Jakarta : Referensi, 2012), hal. 58.

Page 100: TESIS

87

untuk diperiksa sebagai saksi oleh kepolisian tidak wajib untuk memenuhi

undangan tersebut. Selanjutnya keterangan sebagai saksi yang diberikan di

hadapan kepolisian tidak dibuat di bawah sumpah.233 Dan dalam sistem

hukum Belanda berkas perkara yang dibuat oleh kepolisian tidak mengikat

baik bagi jaksa penuntut umum maupun hakim dalam proses pembuktian di

persidangan, namun demikian jaksa penuntut umum maupun hakim dapat

menerima berkas perkara tersebut sebatas sebagai dasar dari dakwaan yang

dikenakan terhadap terdakwa.234 Sedangkan mengenai seberapa jauh hakim

terikat dengan BAP menurut Bismar Siregar, hakekatnya berita acara

pemeriksaan pendahuluan hanya sekedar pengantar tentang duduk peristiwa

kejadian untuk membawa tersangka menjadi tertuduh disidang pengadilan

dan pemeriksaan dipersidanganlah nanti yang akan menentukan, tanya jawab

antara jaksa selaku penuntut umum dengan tertuduh dan bila didampingi

pembelanya akan menghasilkan duduk peristiwa yang sebenarnya, sehingga

menurut Bismar Siregar, pada hakekatnya hakim tidak perlu terikat pada

BAP, karena telah disepakati apapun yang diungkapkan dalam berita acara

pemeriksaan pendahuluan tetap yang berlaku ialah hasil persidangan;235

3. Walaupun pengertian surat menurut Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana

tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah, termasuk juga berita acara dan surat lain dalam

bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang

dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau

keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Namun Menurut

Mardjono Reksodiputro, BAP hanya suatu dokumen yang kekuatanya sama

dengan akta notaris, apabila dapat dibuktikan lain maka kekuatannya sebagai

alat bukti surat dapat gugur. Mengenai BAP yang dijadikan alat bukti surat

dalam perkara diatas kebenaranya dapat dianggap cacat karena BAP tersebut

berasal dari saksi yang menyatakan mundur sebagai saksi karena memiliki

233 Jeroen Chorus, et al., Introduction to Dutch Law, Third Revised Edtion, (The Netherlands :Kluwe Law International, The Hague, 1999), hal. 128.

.234 Ibid.235 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional

Departemen Kehakiman, 1983), hal. 68.

Page 101: TESIS

88

hubungan keluarga dengan terdakwa dan hal ini dibenarkan oleh undang-

undang.236

C. Pertanggung Jawaban Pidana Saksi Mahkota Dalam Tindak PidanaPenyertaan

Menurut Andi Hamzah yang dimaksud dengan peserta (deelnemers) dalam

tindak pidana ialah : 237

1. Pelaku peserta (medelplegers);2. Pembuat pelaku (doen plegers) yaitu mereka yang membuat sehingga

orang yang tidak dapat dipidana melakukan yang oleh para pengarangdisebut penyuruh;

3. Pemancing (uitlokkers) yang oleh, Moeljatno dinamakan penganjur danoleh pengarang lain disebut pembujuk;

4. Pembantu pada saat delik dilakukan;5. Pembantu sebelum delik dilakukan.

Para peserta yang disebut pada butir 1 sampai 3 disebut didalam pasal 55

KUHP yang bersama dengan pelaku (pleger) termasuk kategori pembuat (dader),

dengan sedirinya, pelaku yang seorang diri mewujutkan delik tidak termasuk

peserta, para peserta yang disebut dalam butir 4 dan 5 disebut didalam pasal 56

KUHP yang diancam pidana tertingginya lebih ringan daripada ancaman pidana

bagi yang termasuk kategori pembuat (dader) dalam hal melakukan kejahatan.238

Sistem yang membedakan penilaian terhadap para peserta yang berbeda menurut

ukuran perbuatan yang dilakukan yang ada kalanya disamakan dengan pelaku dan

ada kalanya tidak disamakan mengakibatkan bahwa pertanggungjawaban mereka

berbeda pula, yaitu ada kalanya sama berat dengan pelaku dan ada kalanya lebih

ringan, menurut Moeljatno berasal dari para ahli hukum Italia pada abad

pertengahan.239

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya

berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat

diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas

236 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013.237 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, Op., Cit. hal. 442.238 Ibid.239 Ibid.

Page 102: TESIS

89

tindak pidana yang dilakukannya.240 Menurut Chairul Huda pertanggungjawaban

dalam tindak pidana percobaan dan penyertaan :241

“Hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat apabila padawaktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki danmengetahui hal tersebut, selain itu dalam percobaan dan penyertaan, tidakdapat dipertanggungjawabkan terhadap pembantu jika pada diri pembuatterdapat bentuk kesalahan yang lain (kealpaan)”.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap saksi mahkota mengingat

saksi mahkota berkaitan erat dengan penyertaan dalam tindak pidana maka untuk

melihat pertanggungjawaban pidana terhadap saksi mahkota dalam peradilan

pidana di Indonesia dalam hal ini penulis akan melihat dari pertimbangan dalam

Putusan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap saksi

mahkota. Untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban saksi mahkota dalam

penyertaan dalam hal ini penulis akan membahasnya dengan cara menganalisis

putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain yang

melibatkan ketua KPK saat itu Antasari Ashar:

1. Putusan MA No. 696 K/Pid/2010, atas nama FRANSISKUS TADONKERAN alias AMSI dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwaterbukti melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan PembunuhanBerencana yang diatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dituntut pidana penjara selama seumur hidup

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1809/PID.B/2009/ PN.TNG,terdakwa terbukti melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan

Pembunuhan Berencana yang diatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo55 ayat 1 ke-1 KUHP, dijatuhi pidana penjara selama 17 (tujuh belas)tahun. (putusan MA menguatkan putusan PN)

2. Putusan MA No. 721 K/PID/2010, atas nama DANIEL DAEN SABONalias DANIL dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa terbuktimelakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana yangdiatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP,dituntut pidana penjara selama Seumur Hidup

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1811/PID.B/2009/ PN.TNGtanggal 23 Desember 2009 terdakwa terbukti melakukan tindak pidana Turut

Serta Melakukan Pembunuhan Berencana yang diatur dan diancam pidana

240 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinajauan kritis Terhadap Teori Pemisahan tindakPidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 65.

241 Ibid., hal. 109.

Page 103: TESIS

90

Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dijatuhi pidana penjara selama18 (delapan belas) tahun. (putusan MA menguatkan putusan PN)

3. Putusan MA No. 723 K/Pid/2010 atas nama HENDRIKUS KIA WALENalias HENDRIK dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa terbuktidengan memberi atau menjanjikan sesuatu, sarana atau keterangan sengajamenganjurkan orang lain dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulumerampas nyawa orang lain” sebagaimana dalam Dakwaan Kesatumelanggar Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo. Pasal 340 KUHP , dituntutpidana penjara selama Seumur Hidup

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1808/PID.B/2009/ PN.TNG.tanggal 23 Desember 2009 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “Dengan sengaja membujuk orang lain melakukanpembunuhan berencana”; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebutdengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun ; (putusan MAmenguatkan putusan PN)

4. Putusan MA No. 725 K/Pid/2010 atas nama EDUARDUS NOE NDOPOMBETE alias EDO dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa bersalahtelah melakukan pembujukan/penganjuran pembunuhan berencanasebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHPidana jo pasal 55 ayat (1) ke 2KUHPidana; dituntut pidana penjara selama seumur hidup

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1807/PID.B/ PN.TNG,tanggal 23 Desember 2009 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “Dengan sengaja membujuk orang lain melakukanpembunuhan berencana”; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebutdengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas). tahun(putusan MAmenguatkan putusan PN)

5. Putusan MA No. 1429 K/Pid/2010 atas nama Antasari Azhar, SH.,MH.dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa melakukan tindak pidana"Orang Yang Turut Melakukan Perbuatan Membujuk Orang LainMelakukan Pembunuhan Berencana “ sebagaimana diatur dan diancampidana dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 Pasal 340 KUHPidana dituntut pidana mati

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL tanggal 11 Februari 2010, terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ TURUT SERTAMENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA ” Menjatuhkanpidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 18(delapan belas) tahun penjara

Putusan Mahkamah Agung Memperbaiki amar putusan Pengadilan TinggiJakarta Nomor : 71/PID/2010/PT.DKI tanggal 17 Juni 2010 yang mengubahputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

Page 104: TESIS

91

1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL tanggal 11 Februari 2010 sekedar mengenaikwalifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga berbunyisebagai berikut : Menyatakan Terdakwa ANTASARI AZHAR, SH.,MH.yang identitas lengkapnya tersebut di muka, terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ TURUT SERTAMENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA ” MemidanaTerdakwa tersebut, dengan pidana penjara selama : 18 (delapan belas)Tahun .

Dari beberapa putusan diatas terdapat dua bentuk penyertaan yaitu turut

serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan turut serta

menganjurkan tindak pidana pembunuhan berencana. Untuk pertanggungjawaban

pidana dalam perbuatan turut serta (medeplegen) memperluas

pertanggungjawaban orang yang turut terlibat tindak pidana, disamping

bertanggungjawab sebagai pelaku (pleger) juga harus bertanggungjawab atas apa

yang dilakukan dalam kerja sama yang sadar dengan pihak lain,242sedangkan

ketentuan tentang tanggung jawab pembujuk atau pengerak terbatas hanya pada

tindakan yang sengaja digerakan dan seluruh akibat yang mengikutinya.243

Dalam perkara diatas apabila dilihat dari peran para pelaku dan berat

ringanya hukuman yang dituntut oleh jaksa penuntut umum maupun putusan

pemidanaan dari hakim terlihat bahwa pembebanan pertanggungjawaban pidana

dalam turut serta peserta dan turut serta menganjurkan dipertanggungjawabkan

sama untuk tiap-tiap peserta berati mereka dianggap sama nilainya (sama

jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga

mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku,

sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana yang diterapkan

dalam perbuatan turut serta merupakan bentuk antara ajaran/teori penyertaan yang

obyektif.

Dalam perkara diatas ternyata ada disparitas dalam tuntutan dan putusan

pidana walaupun tidak terlalu mencolok kecuali dalam perkara Antasari Azhar

yang dituntut pidana mati, hal ini lebih dikarenakan adanya karakteristik dari latar

belakang pelaku dan tindak pidan yang dilakukan. Dalam praktenya penuntutan

terhadap saksi mahkota dalam perkara penyertaan berat ringanya tuntutan tidak

harus mutlak sama antara pelaku yang satu dengan yang lainya karena untuk

242 Jan Remmelink, Op.Cit., hal. 318.243 Ibid., hal .335.

Page 105: TESIS

92

tuntutan pidana harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal

yang memberatkan, serta harus dibedakan antara tuntutan terhadap pelaku yang

telah dewasa dengan pelaku yang masih masuk kategori anak.244

Mengenai tuntutan pidana mati terhadap Antasari Azhar dan pidana seumur

hidup bagi pelaku lainnya ada baiknya kita lihat bagaimana kebijakan Kejaksaan

dalam penuntutan. Dalam melakukan kebijakan penuntutan Kejaksaan menilai

untuk menjaga policy pimpinan Kejaksaan dalam mewujudkan kesatuan kebijakan

penuntutan yang sejalan dengan asas bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat

dipisah-pisahkan, maka tuntutan pidana yang menyangkut keadilan distrebutief

dalam kasus yang mirip, perlu dijaga besaran tuntutanya, adapun elastisitasnya

terletak pada keadilan legal dan keadilan commutatief.245

Sedangkan menurut Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/J-

A/4/1995 tanggal 27 April 1995 Tentang Pedoman Tuntuntan Pidana, karena

komplek, ternyata tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum

selama ini masih belum memenuhi harapan maka, untuk mewujudkan tuntutan

pidana harus : 246

1.Lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang didalammasyarakat;

2.Membuat jera para pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampakpencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya;

3.Menciptakan kesatuan kebijakan penuntutan sejalan, dengan asas bahwaKejaksaan adalah satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan ;

4.Menghindari adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara - perkarasejenis antara satu daerah dengan daerah yang lainnya denganmemperhatikan faktor kastustik pada setiap, perkara pidana.

Dengan memperhatikan keadaan masing - masing perkara secara kasuistis,

Jaksa Penuntut Umum harus mengajukan tuntutan pidana dengan wajib

berpedoman pada kriteria beriku ini :247

1. Pidana mati.a. Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati;b. Dilakukan dengan cara yang sadis diluar perikemanusian;

244 Hasil Wawancara dengan Kasi Pidum Jakarta Selatan, Tanggal 16 Februari 2013.245 Bambang Waluyo, et al., Pola Membina Rasa Keadilan Masyarakat, (Jakarta: Pusat

Pendidikan Dan Latihan Kejaksaan Agung R.I, 1991), hal. 34.246 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pedoman Tuntutan Pidana,

http://acarapidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2011/12/SEJA-001-JA-4-1995-PEDOMAN-TUNTUTAN-PIDANA.pdf, diunduh 7 Mei 2013.

247 Ibid.

Page 106: TESIS

93

c. Dilakukan secara berencana;d. Menimbulkan korban Jiwa atau sarana umum yang vital;e. Tidak ada alasan yang meringankan.

2. Seumur Hidup.a. Perbuatan yang didakwakan diancam dengan pidana mati;b. Dilakukan secara sadis;c. Dilakukan secara berencana;.d. Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital;e. Terdapat hal - hal yang meringankan.

Apabila dicermati dalam pedoman diatas yang membedakan kriteria pidana

mati dengan pidana seumur hidup terdapat pada, hal-hal yang meringkankan,

berkaca pada perkara Antasari Azhar, terlepas dari kontroversi dalam hal

pembuktian dengan berpedoman dari ajaran pertanggungjawaban pidana bagi

pelaku penyertaan dalam pidana yang di anut dalam sistem hukum Indonesia

walaupun menganut sistem campuran tetapi untuk ajaran subyektif (tergantung

dari perbuatan yang dilakukan) hanya diterapakan pada pertanggungjawabannya

terhadap pembantu. Untuk hal-hal yang meringankan tidak mungkinlah kita

melupakan pengabdian Antasari Azhar selaku jaksa penuntut umum dan kariernya

di Komisi Pemberantas korupsi yang terbilang gemilang tidak dijadikan

pertimbangan yang meringankan maka seharusnya pertanggungjawaban pidana

terhadap Antasari Azhar disamakan dengan pelaku (peserta) yang lain.

Sedangkan dalam penjatuhan pidana dalam beberapa perkara diatas tidak

terjadi dispratitas pemidanaan yang menjolok dalam putusan pidana yang dibuat

hakim karena hakim memiliki kebebasan untuk menjatuhkan berat ringanyanya

pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan dan yang diatur oleh undang undang

hanyalah maksimum dan minimumnya saja. Sehubungan dengan kebebasan

hakim ini dikatakan oleh Sudarto bahwa kebebasan hakim dalam menetapkan

pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya

ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg

(onbehagelijk) bagi masyarakat, maka pedoman memberikan pidana dalam KUHP

sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun

tidak dapat menghapuskannya sama sekali.248 Sedangkan menurut Artidjo

Alkostar, dalam upaya menentukan amar putusan yang bersifat adil menuntut

248 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 61.

Page 107: TESIS

94

pertimbangan hukum (legal reasoning) yang cukup tepat dan logis, karena

pengadilan merupakan laboratorium nalar (the laboratory of logic) dan memiliki

pemangku kepentingan (stake holder) sesuai dengan perkaranya, sehingga dalam

menjatuhkan putusan pengadilan harus menjaga disparitas tuntutan pidana.249

Disparitas pemidanaan dapat terjadi karena banyak faktor, Beccaria dalam

adagium yang dirumuskan sebagai, let punishment fir the crime, mengakui bahwa

setiapa perkara pidana memiliki karakteristik sendiri disebabkan karena kondisi

pelaku, korban ataupun situasi yang ada pada saat tindak pidana terjadi, karenanya

hakim yang melihat perkara tentu saja tidak menutup mata dalam

mempertimbangkan berbagai faktor.250 Bahkan menurut Harkristuti

Harkrisnowo:251

“Situasi yang dikenal dengan disparity in sentencing merupakan masalahuniversal yang dihadapi oleh lembaga peradilan di negara manapun,pengakuan adanya karakteristik khusus dalam setiap perkara pidana, baikdari segi pelaku, korban maupun kondisi yang melingkupi suatu kejahatanmembuat tidak mungkin bentuk kejahatan yang serupa dijatuhi pidana yangsama persis”.

D. Analisis Penerpana Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Peradilan diIndonesia.

Pada dasarnya penerapan saksi mahkota dalam praktek beracara

dipersidangan dilakukan dalam hal :

a.Tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhi

sebagai delik penyertaan yang diatur pasal 55 KUHP;

b.Minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana;

c.Tindak pidana itu dipecah menjadi beberapa terdakwa, Terdakwa dalam satu

berkas akan menjadi saksi terhadap terdakwa lain dalam berkas terpisah ;

d. Para terdakwa ini berkedudukan pula sebagai saksi– saksi dalam berkas

terdakwa terpisah pisah itu.

249 Artidjo Alkostar, “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana dan DasarPertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”, Op.Cit, hal. 8.

250 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: CV Lubuk Agung,2011), hal. 32 .

251 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekontruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan Terhadapproses Legislasi dan Pemidanaan Di Indonesia”, (Orasi Pengukuhan Guru Besar UniversitasIndonesia, Depok 8 Maret 2003), hal. 7.

Page 108: TESIS

95

Dalam praktik peradilan sebelum menerapkan saksi mahkota maka pada

tahap awal yaitu dalam tindakan penyidikan dilakukan splitsing berkas perkara

yang dilakukan oleh penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum dan

urgensi penerapan splitsing dalam praktiknya untuk kepentingan pembuktian

dimana diperlukan alat bukti saksi mahkota untuk menguatkan alat bukti yang

telah ada dengan tujuan yang hendak diperoleh dari pemecahan berkas perkara

tersebut untuk mengetahui kronologis atau kejadian tersebut yang hanya dapat

diungkap oleh pelaku yang merupakan bagian dari jaringan kejahatan tersebut.

Untuk dakwaaan yang lazim diterapkan dalam saksi mahkota yang

menunjukan bahwa antara saksi dan terdakwa bergantian menjadi saksi dan

terdakwa maka dalam surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum

dicantumkan kalimat, masing-masing dilakukan penuntutan secara terpisah atau

masing- masing sebagai terdakwa yang penuntutannya diajukan secara terpisah.

Sedangkan untuk pembuktian maka keterangan saksi mahkota disamakan

dengan alat bukti keterangan saksi karena :

a) Saksi mahkota yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwamenerangkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi bersama terdakwadalam suatu tindak pidana;

b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksijuga disumpah. ;

c) Dalam setiap surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntutumum keterangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian faktapersidangan dalam point keterangan saksi.

Dalam praktinya penuntutan terhadap saksi mahkota dalam tindak pidana

yang berbentuk penyertaan untuk berat ringanya tuntutan tidak harus mutlak sama

antara pelaku yang satu dengan yang lainya karena untuk tuntutan pidana harus

mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan,

serta harus dibedakan antara tuntutan terhadap pelaku yang telah dewasa dengan

pelaku yang masih masuk kategori anak.

Berdasarkan uraian diatas konsep saksi mahkota yang dikenal di Indonesia

sebagai kesaksian yang diberikan oleh seseorang yang berkedudukan sebagai

terdakwa dalam perkara pidana yang sama namun dibuat secara terpisah, telah

menjadi suatu hal yang lazim diterakan dipersidangan khususnya dalam tindak

pidana penyertaan, walaupun konsep ini kurang mencerminkan kewajiban negara

Page 109: TESIS

96

dalam menjamin bahwa hak-hak tersangka dan terdakwa yang berkedudukan

sebagai saksi mahkota dalam sistem peradilan pidana. Karena arti dari dari

peradilan yang adil lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan

undang-undang secara formil tetapi dalam peradilan yang adil ini terkandung

penghargaan kita akan hak kemerdekaan seorang warga negara, meskipun seorang

warga negara telah melakukan perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga

negara tidaklah hapus atau hilang, dengan demikin nampak bahwa dari penerapan

konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini untuk mewujudkan suatu kepastian

hukum dimana untuk dapat menjangkau pelaku kejahatan disandarkan pada

peraturan formil dan kurang memperhatikan bentuk perlindungan negara

terhadapa hak-hak tersangka atau terdakwa.

Page 110: TESIS

97

BAB 4

PENGATURAN SAKSI MAHKOTA DALAMHUKUM PIDANA YANG AKAN DATANG

Dalam bab ini penulis akan menguraikan permasalahan mengenai beberapa

perubahan dalam penerapan konsep saksi mahkota, beberapa ketentuan dalam

pembuktian untuk menerapkan saksi mahkota menurut RUU KUHAP,

perbandingan pengaturan RUU KUHAP versi 2013, dengan ketetuan di Belanda

dan Amerika Serikat dan analisis secara menyeluruh dari perbandingan,

kemudian penulis akan membahas mengenai paradigma pergeseran sistem yang

dianut oleh RUU KUHAP. Dan pada akhir dibahas mengenai perbedaan dan

persamaan konsep lain yang mengatur keturutsertaan saksi dalam suatu tindak

pidana dalam konsep whistelblower dan justice collabolator .

A.Beberapa Perubahan Penerapan Konsep Saksi Mahkota Dalam TindakPidana Penyertaan Menurut RUU KUHAP.

Pada awal munculnya KUHAP, bangsa Indonesia sangat berbangga atas

terciptanya karya yang terkodefikasi dan unifikasi hukum acara pidana namun

seiring perjalanan waktu yang telah lebih dari 30 tahun KUHAP semakin

menampakan adanya keterbatasan dan juga bergesernya kultur pemerintahan

yang cenderung refresif membatasi produk hukum yang mengedepankan hak

asasi manusia kearah yang lebih menghormati hak asasi manusia. Untuk

pembaharuan KUHAP adalah penting mengatur secara tegas mengenai kewajiban

aparatur penegak hukum untuk memberitahukan secara lengkap dan jelas hak-hak

yang dimiliki tersangka dan terdakwa termasuk konsekwensi yuridis apabila

kewajiban itu lalai dilaksanakan.252

Maka pembaruan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk lebih

memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum,

keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik

252 Al Wisnubroto dan G Widiarta, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT CitraAditya Bakti, 2005), hal. 55 .

Page 111: TESIS

98

bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya

negara hukum.253

Pengaturan saksi mahkota dalam hukum acara pidana yang akan datang

(RUU KUHAP) memberikan banyak sekali dimensi baru, selain menjelaskan apa

yang dimaksud saksi mahkota juga memasukan konsep-konsep baru sehubungan

dengan proses dan mekanisme untuk menerapkan saksi mahkota, hal –hal yang

berkaitan dengan penerapan saksi mahkota dalam hukum acara pidana yang akan

datang dapat uraikan diantaranya sebagai berikut.

1. Pemecahan Perkas Perkara (Splitsing)

Selain mengenai justifikasi pemecahan berkas perkara masalah kewenangan

pemecahan berkas perkara (splitsing) selama ini juga menimbulkan perdebatan

tentang siapa yang berwenang melaksanakan splitsiing, penuntut umum atau

penyidik. Dalam pedoman pelaksanaan undang undang hukum acara pidana

menyatakan penyidik yang melaksanakan splitsing dengan dasar pemikiran bahwa

masalah splitsing ini adalah masih tahap persiapan tindakan penuntutan dan belum

sampai pada tahap penyidangan perkara dipengadilan.254

Menurut Andi Hamzah pedoman pelaksanaan KUHAP tidak seluruhnya

tepat karena tidak selalu perkara yang dipecah harus diperiksa kembali, mungkin

kalau tidak ada saksi, sedangkan ada beberapa tersangka hal demikian benar,

namun hal demikian memungkinkan orang dipaksa melakukan sumpah palsu,

karena secara logis para saksi akan berbohong tidak adak meberatkan tersangka

(terdakwa) karena pada giliranya ia juga akan menjadi tersangka (terdakwa).255

Dalam RUU KUHAP apabila kita merujuk dalam Pasal 49 maka masalah

justifikasi dan kewenangan ini telah diatur jelas. Sesuai bunyi Pasal 49 :

Ayat (1) Apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntutumum menerima beberapa perkara, penuntut umum dapatmelakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu suratdakwaan, dalam hal

253 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Konsideran Menimbanghurup a, Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Indonesia tahun 2010,www.djpp.depkumham.go.id, diunduh 15 Desember 2012.

254 Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Hukum AcaraPidana, Cetakan ke-IV Telah Dipebaiki, (Buku Digandakan Khusus Kejaksan Agung RepublikIndonesia, Jakarta: 1982), hal. 90 .

255 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . Op.Cit.,hal. 168.

Page 112: TESIS

99

a.beberapa tindak pidana dilakukan oleh seorang yang sama dankepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadappenggabungannya;

b beberapa tindak pidana bersangkut paut satu dengan yang lain; atauc.beberapa tindak pidana ada hubungannya satu dengan yang

lain dan penggabungan tersebut diperlukan untuk kepentinganpemeriksaan.

Ayat (2) Beberapa tindak pidana dapat dituntut dalam satu surat dakwaantanpa memperhatikan apakah merupakan suatu gabungan dari pidanaumum atau khusus atau ditetapkan oleh undang-undang khusussepanjang memenuhi ketentuan ayat (1), kecuali dalam kompetensipengadilan khusus.

Ayat (3) Penuntut umum dapat menuntut dua atau lebih Terdakwa dalamsatu surat dakwaan apabila Terdakwa melakukan tindak pidanapenyertaan.

Penjelasan Pasal 49

Ayat (1)Yang dimaksud dengan “tindak pidana dianggap mempunyai sangkutpaut satu dengan yang lain”, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:a.oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat

bersamaan;b.oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi

merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat olehmereka sebelumnya;

c.oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yangdipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain ataumenghindarkan diri dari pemidanaan.

Ayat (2) Tidak diperlukan untuk membuat berkas perkara terpisah bagi setiaptindak pidana apabila satu berkas perkara mendukung tuntutan lebihdari satu tindak pidana.

Ayat (3) Apabila dua atau lebih tindak pidana dituntut dalam satu suratdakwaan, setiap tindak pidana dipisahkan dalam surat dakwaan menjadisatu tuntutan pidana.

Dalam penjelasn RUU KUHAP Pasal 49 ayat (1) memberikan penjelasan

mengenai tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang

lain. Serta ayat (2) menjelaskan tidak perlunya lagi pemisahan berkas perkara

atau yang dikenal sebagai splitsing selama ini dan sehubungan dengan tindak

pidana penyertaan Penuntut umum dapat menuntut dua atau lebih Terdakwa

dalam satu surat dakwaan apabila Terdakwa melakukan tindak pidana

penyertaan.

Page 113: TESIS

100

2.Hak Untuk Diam

Memang penting untuk mengakui bahwa sifat tugas penegak hukum akan

menempatkan para petugas penegak hukum dalam kedudukan dilematis dalam

hal informasi yang mereka peroleh berkaitan dengan kehidupan pribadi

perorangan atau informasi yang menganggu kepentingan nama baik orang,

pengungkapan informasi demikian selain untuk kepentingan peradilan atau

pelaksanaan tugas serta tidak benar juga jika penegak hukum menahan diri untuk

melakukan pengungkapan informasi.256 Oleh karena itu dalam rangka penyidikan,

diberi kemungkinan bila perlu dan tidak ada pilihan lain melainkan harus berbuat

demikian (melanggar hak asasi seseorang, karena orang tersebut melanggar hak

asasi orang lain) namun dilakukan tindakan itu berdasarkan hukum.257

Sebagai jalan keluar untuk permasalahan dilematis dalam upaya penegakan

hukum, RUU KUHAP telah menunjukan kemajuan (progress) dalam

perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa, khususnya menyangkut rights to

silence, dalam Pasal 90 ayat (1) menerangkan :

“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikanatau menolak untuk memberikan keterangan berkaitan dengan sangkaanatau dakwaan yang dikenakan kepadanya”.

Ketentuan dalam KUHAP saat ini, menegaskan bahwa seorang tersangka

mempunyai hak untuk segera diperiksa oleh penyidik, namun ketentuan ini tidak

menegaskan bahwa tersangka mempunyai hak untuk diam. Dalam persidangan,

bila terdakwa menolak menjawab suatu pertanyaan, maka hakim ketua sidang akan

menyarankan ia untuk menjawab. Hal baru yang ditambahkan dalam rancangan

KUHAP adalah dengan menegaskan secara eksplisit mengenai hak untuk tidak

mengkriminalisasi diri sendiri. Bahkan ditetapkan lebih lanjut bahwa penyidik

dengan jelas perlu menginformasikan hak-hak kepada tersangka sebagaimana

dikenal dalam Miranda rule. Menurut Mardjono Reksodiputro, alasan pentingnya

hak untuk diam ini karena setiap pelaku kejahatan yang didakwa melakukan

256 C. De Rovers, To Server & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, [To Server &To Protect Human Right And Humanitarian Law for Police and Security Forces], Diterjemahkanoleh Supardan Mansyur (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 166 .

257 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman, 1983), hal. 65.

Page 114: TESIS

101

kejahatan memiliki hak untuk membela diri dengan menjawab pertanyaan yang

tidak merugikan kepentingan dalam pembelaanya dipersidangan dan tidak

melakukan tindakan mengkriminalisasi diri sendiri, sehingga hak untuk diam ini

bukan berarti tersangka atau terdakwa bungkam atas semua pertanyaan yang

diajukan kepadanya karena apabila tersangka atau terdakwa bungkam berarti ia

telah melepaskan haknya untuk melakukan pembelaan dan dianggap mengakui

perbuatanya.258

Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan Miranda

rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi

yang berwenang259. Hak tersebut antara lain adalah hak untuk diam, karena segala

perkataannya dapat digunakan untuk melawannya di pengadilan, hak untuk

mendapatkan penasihat hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan

bila ia tidak mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara,

yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan.260 Hak tersebut merupakan

bagian dari hak untuk memperoleh keadilan.

Hak – hak penting bagi orang yang disangka telah melakukan kejahatan ini

di Amerika merupakan hak kepribadian (the right to privacy) dengan prinsip

moral yang mendasarinya dengan demikian polisi dan penegak hukum lainya

dapat melakukan upaya hukum setelah mendapat kuasa khusus dari pejabat

pengadilan yang pada akhirnya tugas penuntut umum bukan untuk menghukum,

tetapi mejaga keadilan dapat terlaksana.261 Miranda rule,262merupakan penegasan

terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada

258 Hasil wawancara, tanggal 12 Juni 2013.259 M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, (Jakarta:

Pustaka Yustisia, 2010), hal. 15.260 Ibid, hal 22.261 Livingstone Hall, “Hak Tertuduh Dalam Perkara Pidana,” Dalam Ceramah Radio oleh

Profesor-Profesor Harvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman, Diterjemahkan olehGregory Churchill, J.D, (Jakarta : Tatanusa, 2008), hal. 50-56.

262 Miranda Rule berbunyi: “You have the right to remain silent. You have the right to thepressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you.Anything you say can and will be used against you.” Terjemahan: “Anda berhak untuk diam. Andaberhak atas kehadiran penasihat hukum. Jika anda tidak mampu menunjuk penasihat hukum, makanegara akan memilihkan. Apapun yang anda katakan dapat dan akan digunakan untuk menuntutmu

Page 115: TESIS

102

sebelumnya, keadilan di sini termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata

cara mengadilinya.263

3. Pengenalan Plea Bargaining

Jalur khusus dalam RUU KUHAP tampaknya diadopsi dari lembaga plea

bargaining yang dikembangkan dalam criminal justice system negara-negara yang

termasuk keluarga hukum anglo saxon, khususnya di Amerika Serikat, lembaga

plea bargaining ini menawarkan kepada terdakwa jalur yang tidak begitu rumit

dan penerapan ketentuan pidana yang lebih ringan apabila terdakwa mengaku

bersalah serta mengakui perbuatannya. Jalur khusus melalui pengakuan bersalah

dari terdakwa tidak berlaku secara mutlak, tergantung pada hakim yang

memeriksa. Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa sepanjang hakim ragu-

ragu terhadap kebenaran pengakuan itu.264

Hal ini tercantum di dalam Rancangan yang berjudul jalur khusus dalam

Pasal 198 RUU KUHAP yang berisi :

(1) Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwamengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengakubersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yangdidakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapatmelimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

(2) Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yangditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum.

(3) Hakim wajib:a.memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang

dilepaskannya dengan memberikan pengakuan sebagaimanadimaksud pada ayat (2);

b.memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidanayang kemungkinan dikenakan; dan

c.menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksud padaayat (2) diberikan secara sukarela.

(4) Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.

(5) Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terhadapterdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak bolehmelebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.

263 J. Djohansjah, “Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)”, (Makalah Disampaikan PadaPelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial , Bandung : 3 Juli 2010), hal. 17.

264 Nyoman Serikat Putra Jaya, “Catatan atas RUU KUHAP”, KOMPAS, (25 April 2013).

Page 116: TESIS

103

Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui

semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak

pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun

penjara, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan

singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di

sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea bargaining).

Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta penuntut umum mengajukan ke

sidang pemeriksaan biasa.265

Di Amerika Serikat dalam pelaksanaan plea bargaining, Menurut Romli

Atasasmita : 266

“Jika tertuduh menyatakan not guilty, maka perkaranya akan dilanjutkan dankemudian diadili di muka persidangan oleh juri. Apabila tertuduhmenyatakan not guilty atau nolo contendere (no contest) maka perkaranyasiap untuk diputus. Khususnya pernyatan nolo contendere atau no contestpada hakikatnya memiliki implikasi yang sama dengan guilty akan tetapidalam hal ini tidak disyaratkan bahwa tertuduh harus mengakuikesalahannya, melainkan cukup jika ia menyatakan bahwa dia tidak akanmenentang tuduhan jaksa di muka persidangan juri nanti”.

Alasan pokok bagi penuntut umum untuk melakukan negosiasi adalah karena dua

hal pertama, karena jumlah perkara yang sangat besar, sehingga menyulitkan

kedudukan penuntut umum yang tidak mungkin dapat bekerja secara efektif

mengingat faktor waktu; kedua, karena penuntut umum berpendapat, bahwa

kemungkinan akan berhasilnya penuntutan sangat kecil. Misalnya karena

kurangnya bahan pembuktian, kurangnya saksi yang dapat dipercaya, atau

tertuduh orang yang dianggap respectable di kalangan para juri.267

4. Larangan Mengkriminalisasi Diri Sendiri (Non Self-Incrimination)

Dalam Pasal 158 RUU KUHAP memberikan larangan terhadap tindakan

self-incrimination yang selama ini menjadi perdebatan dalam pelaksaan saksi

mahkota menyangkut hak untuk tidak mengkriminalisasi diri sendiri. Sesuai pasal

158 huruf b:

265 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal . 26.

266 Romli Atasasimita, Sistem Peradilan Pidana kotemporer, Op. Cit., hal. 124.267 Ibid.

Page 117: TESIS

104

“Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, saksi tidak dapatdidengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi,jika,bersama-sama sebagai tersangka atau terdakwa walaupun perkaranyadipisah”.

Dalam Penjelsan Pasal 158 menyatakan bersama-sama menjadi terdakwa,

termasuk jika suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh para terdakwa,

tetapi berkas perkara dipisahkan. Ketentuan ini untuk menghindari self-

incrimination, jika terdakwa bergantian menjadi saksi dalam perkara yang

dipisah. Dalam menentukan atas dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang

berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan

dirinya atau dipaksa mengaku bersalah dan tidak ada beban kewajiban

pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban jaksa penuntut

umum, prinsip ini dalam RUU KUHAP tercermin secara parsial melalui Pasal

181 :

Ayat (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinyasendiri.

Ayat (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikanbahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakankepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang sahlainnya.

Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota

yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan

kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong, hal ini

tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam

ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :

“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall beentitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not tobe compelled to testify against himself or to confess guilty.”

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut

bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya

tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan

kesalahannya.

Page 118: TESIS

105

B.Pedoman lain untuk Memperbaiki Ketentuan Pembuktian dalamMenerapkan Saksi Mahkota

1. Exclusionary Rule

Pada umumnya negara hukum menentukan bahwa barang bukti yang yang

diperoleh dengan cara melanggar hak-hak dasar yang ditentukan dalam konstitusi

atau diperoleh secara illegal tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan

dan prinsip ini dikenal dengan exclusionary rule.268 Menurut Eddy O.S. Hiariej

Ada empat hal terkait konsep pembuktian yang sangat fundamental : 269

1) bukti harus relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses.Artinya, bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk padasuatu kebenaran dari suatu peristiwa;

2) bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Sebaliknya, bukti yang tidakrelevan, tidak akan dapat diterima. Kendatipun demikian, dapat saja suatubukti relevan tetapi tidak dapat diterima;

3) adanya exclusionary rules atau exclusionary discretion, yaitu peraturan yangmensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterimadi pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatubukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, namunbukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan buktitersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan;

4) dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterimaharus dapat dievaluasi oleh hakim. Hal demikian termasuk dalam kontekskekuatan pembuktian atau bewijskracht. Hakim akan menilai setiap alatbukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satudengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebutsebagai dasar pertimbangan dalam mengambil putusan.

Dari rangkaian kalimat Pasal 183 KUHAP terdapat kata-kata “...alat bukti

yang sah..”, yang tidak ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun

demikian, secara logika kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan,

perlakuan maupun penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat

dipertanggungjawabkan. KUHAP memang tidak memiliki penjelasan yang tegas

tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini berbeda dengan

Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 36

menjelaskan :

268 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 1.269 Eddy O.S. Hiariej, Keterangan Ahli, (Disampaikan saat memberikan keterangan sebagai

Ahli yang diajukan Pemohon dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 dalam putusanMahlamah Konstitusi No Nomor 65/PUU-VIII/2010).

Page 119: TESIS

106

Ayat (2) : Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harusdapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”.

Ayat (3) : Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yangtidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum,tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

Menurut Mardjono Reksodiputro exclusionary rules merupakan aturan yang

membuat alat bukti yang diperoleh dan disita tidak sesuai dengan prosedur yang

sah tidak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti,270 sehingga kelalaian di dalam

memperhatikan atau memegang asas “exclusionary rules” ini mengakibatkan

dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum tidak dapat diterima atau

batal demi hukum.271

Sistem hukum Amerika Serikat yang memiliki asas “exclusionary

rules”, dimana asas ini menentukan bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila

tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum (illegal) harus

dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam pembuktian (unlawful gathering

evidenceatau onrechtmatigeverkrijgen bewijs), menurut Gordon Van Kessel

sebagimana dikutip Luhut M.P Pangaribuan menyatakan “exclusionary rules are

a police control Mechanism rather tahan an integral part of the adversary

system.272

Di Amerika Serikat exclusionary rules merupakan atauran yang berasal dan

berkembang dari “case law” yang dimaksud agar warga negara terhindar dari

tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang, dan kasus yang

paling menonjol dan dijadikan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum

dalam menempuh kebenaran prosedural pelaksanaan tugasnya adalah berasal dari

“Miranda Case’ (Miranda Vs Arizona state tahun 1966).273

270 Hasil wawancara, tanggal 12 juni 2013. Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro, memberikanilustrasi dalam satu tindak pidana pencurian anggota kepolisian melakukan penyitaan berdasarkansurat perintah penyitaan untuk tindak pidana pencurian dan dalam pengeledahan terhadappelakunya ditemukan barang bukti berupa ganja didalam rumahnya maka ketika ganja tersebutturut disita maka penyitaanya tidak sah karena dasar penyitaanya adalah surat penyitaan untuktindak pidana pencurian.

271 Bagir Manan , “Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana”, Varia Peradilan (No. 296 Juli2010).

272 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc .Suatu Studi Teoritis MengenaiSistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum PascaSarjana. 2009), hal. 169.

273 Indriyanto Seno Adji, Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia (Bunga Rampai),Op. Cit, hal. 23.

Page 120: TESIS

107

Menurut Dallin H. OakS di Amerika Serikat aturan exclusionary rules : 274

“Menjadikan bukti tidak dapat diterima di pengadilan jika aparat penegakhukum memperoleh itu dengan cara dilarang oleh konstitusi, oleh undang-undang atau aturan pengadilan. The United States Supreme Court saat inimemberlakukan exclusionary rule dalam negara bagian dan federal,prosiding untuk empat jenis utama dari pelanggaran: pencarian danpenangkapan yang melanggar hak dalam amandemen keempat, pengakuanyang diperoleh dengan melanggar dalam amandemen kelima dan keenam,kesaksian yang identifikasi diperoleh secara melanggar merupakanpelanggaran terhadap dari perubahan tersebut, dan bukti yang diperolehdengan metode cara yang menimbulkan guncangan penggunaannya akanmelanggar klausul due process”

Di Inggris suatu illegally secured evidence (perolehan bukti secara tidak

sah) tidak patut dijadikan sebagai bukti di pengadilan, larangan itu diciptakan

Mahkamah Agung Inggris judge's rules. yang memuat aturan mengenai

bagaimana keadaan seorang tersangka dapat diperiksa polisi, disertai

pemberitahuan segala hak-hak tersangka dalam proses penyidikannya dan akibat

hukumnya terhadap pelanggaran hak tersebut.275 Di Belanda ketentuan

pengenyampingan alat bukti yang tidak sah ini (the exclunary rule) “ only to

alimited exeted, Menurut G.J M. Corsten sebagai mana dikuti Luhut M.P

Pangaribuan dewasa ini di Belanda bahkan dalam kondisi tertentu bahan

pembuktian yang terkumpul secara melawan hukum tidak boleh digunakan

sebagai bukti untuk perbuatan yang didakwakan.276

Dalam hukum acara pidana Belanda menurut P J P Tak, mengenai

konsekwensi dari alat bukti yang diperolegh secara tidak sah (ilegal) diatur dalam

Dutch Code of Criminal Procedure sect.359a CCP (KUHAP Belanda) yang

aturanya : 277

1. Pengadilan dapat mengurangi hukuman dengan mempertimbangkan disatusisi tingkat keseriusan dari perbuatan dan di lain sisi, pemulihan(kompensasi) terhadap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yangmenyimpangan;

274 Dallin H. OakS, “ Studying the Exclusionary Rule in Search and Seizure”, The Universityof Chicago Law Review, (Vol. 37, No.4, Summer 1970 Copyright 1970 by the University ofChicago), hal. 665.

275 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan Tersangka Dan Antisipasi Perlindungan HAM,http://www.suarapembaruan.com/News/1996/11/071196/OpEd/02/02.html,1996, diunduh tanggal4 Mei 2013.

276 Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal.170.277 P.J.P. Tak, The Dutch Criminal Justice System. (The Netherlands : aolf Legal Publishers

CB Nijmegen, 2008), hal. 107.

Page 121: TESIS

108

2. Pengadilan dapat mengecualikan bukti; dan3. Kasus dapat diberhentikan jika penyimpangan dalam memperoleh bukti

secara ilegal mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana yang layak .

Jadi exclutionary rule sebagai mekanisme kontrol untuk penyidik, sebagai

mata rantai awal pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, termasuk perolehan

bukti yang dapat dikesampingkan dengan ketentuan exclutionary rule apabila

dilakukan dengan coercion, bahasa KUHAP keterangan saksi diberikan dengan

tidak bebas.278 Dua type justifikasi yang penting untuk atuaran exclusionary rule,

adalah secara normatif dan faktual. Justifikasi secara normatif aturan perundang-

undangan terkadang dijadikan dasar perlindungan dan pembenaran bagi

pemerintah yang jahat sedangkan justifikasi faktual secara tegas dinyatakan

bahwa, bukan merupakan alat bukti dan nilainya berkurang apabila dalam

pencarianya melanggar aturan pencarian dan penyitaaan, hal ini diharapkan dalam

jangka pendek sebagai pencegahan dan dalam jangka panjang sebagai

pendidikan.279

Mengesampingkan bukti yang diperoleh atau disita secara ilegal diharapkan

memiliki efek yang relatif langsung bagi aparat penegak hukum untuk mencegah

dari perilaku yang tidak benar, selain itu menekankan keseriusan masyarakat

dalam mengamati aturan pencarian dan penyitaan, the exclusionary rule

diharapkan menjadi kekuatan moral dan edukatif dari hukum dengan demikian

dalam jangka panjang memiliki efek untuk mendorong kepatuhan yang lebih

besar.280

2. Doctrin of Corroboration

Suatu “isyarat” yang ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan

yang mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain dan mempunyai

mempunyai persesuaian dengan tidak pidana melahirkan atau mewujudkan suatu

petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan

278 Ibid., hal. 169.279 Dallin H. OakS, Op.Cit., hal. 668.280 Ibid .

Page 122: TESIS

109

terdakwalah pelakunya, hal tersebut yang menurut Yahya Harahap disebut dengan

petunjuk.281 Sedangkan menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP petunjuk adalah :

“Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antarayang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri,menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya’.

Berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan ahli, surat dan

keterangan terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi,

surat dan keterangan terdakwa. Pengentian diperoleh berarti alat bukti petunjuk

bukan merupakan alat bukti langsung (indirect bewijs). Oleh karena itu banyak

yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti. Van

Bemmelen sebagai mana dikutip Andi Hamzah “tetapi kesalahan yang terutama

ialah bahwa petunjuk-petunjuk dipandang sebagai alat bukti, padahal hakikatnya

tidak ada”.282

Alat bukti “petunjuk” yang berasal dari KUHAP Belanda tahun 1838 yang

sudah lama diganti dengan eigen waarneming va de rechter (pengamatan hakim

sendiri) berupa kesimpulan yang ditarik dari alat bukti lain berdasarkan hasil

pemeriksaan di sidang pengadilan. Tidak ada KUHAP di dunia yang menyebut

petunjuk (Belanda: aanwijzing, Inggris: indication) sebagai alat bukti

kecualiKUHAP Belanda dahulu (1838); HIR dan KUHAP 1981).283 Karena

adanya syarat yang satu dengan yang lain harus terdapat pesesuaian, maka dengan

demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada dua petunjuk untuk

memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah

bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.

Untuk permasalahan tentang persesuaian alat bukti dalam rangka

pembuktian di Amerika Serikat dikenal doctrin of corroboration (saling

menguatkan) jika ada dua bukti harus differen soua dan indepedent. Menurut

Jonathan L Cohen sebagiamana dikutip Terence Anderson David Schum, dan

William Twining :284

281 Yahya Harahap, Op. Cit , hal. 313.282 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 285.283 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , Naskah Akademik Rancangan Undang

Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal. 24.284 Terence Anderson, David Schum, and William Twining, Analysis Of Evidence, Secon

Edition, (UK : Cambridges University Press, Cambridges CB2 2RU, 2005), hal. 107.

Page 123: TESIS

110

“Dalam bentuk yang paling sederhana kesaksian yang saling menguatkanterjadi apabila dua orang saksi sama-sama memberikan kesaksian dimanamasing-masing berdiri sendiri dan berbicara mengenai fakta yang sama,fakta didukung setidak-tidaknya oleh keterangan dua saksi yang memberiketerangan terpisah dan bersesuaian satu sama lain”,

Secara harfiah corroboration, (saling menguatkan) ini terjadi ketika dua

orang saksi yang memberikan keterangan secara bebas menjelaskan yang saling

bersesuaian tentang sebuah fakta, istilah tersebut digunakan dalam dua arti:285

1. Untuk menjelaskan keterangan dari seorang atau lebih berkesesuaian

dengan dengan saksi sebelumnya;

2. Sebagai penolong dalam mempertahankan sebuah fakta yang didalihkan

oleh salah satu pihak dari bantahan yang diutarakan pihak lawan mengenai

fakta tersebut.

Corroborating evidence mendukung bukti menjadi sebuah dalil, karena

telah didukung oleh beberapa alat bukti, bukti yang menguatkan memperkuat

keterangan saksi lain, bukti yang menguatkan juga memperkuat atau menambah

kredibilitas kesaksian, bukti yang menguatkan dapat mencakup informasi baru

dan tambahan.. Aturan bukti yang menguatkan modern mensyaratkan pentinya

bukti independen yang akan membangun sebuah pernyataan layak dipercaya.286

Corroboration telah menjadi suatu konsep yang sangat teknis, secara sederhana

pelaksanaannya untuk membuktikan keterlibatan seorang terdakwa dalam

kejahatan tidak hanya memastikannya dalam beberapa materi khusus, tetapi

kejahatan itu benar terjadi dan terdakwalah pelakunya, bukti yang menguatkan

diwajibkan oleh undang-undang untuk tindak pidana serta tanpa adanya bukti

yang menguatkan tersebut tidak mungkin ada sebuah keyakinan.287

Di Inggris jika pelaku tindak pidan ingin menjadi saksi Ratu dengan

memberikan bukti terhadap rekan dalam melakukan kejahatan, hakim pengadilan

senantiasa memperingatkan dewan juri sehubungan kesaksian mereka. Karena

kesaksian seorang kaki tangan harus didukung bukti yang menguatkan. Hukum

285 Ibid., hal. 382.286 United States v. Awan, 2010 U.S. App. LEXIS 12084 (2d Cir. N.Y. June 14, 2010).

http://witnesses.uslegal.com/corroboration/, diunduh tanggal 5 Mei 2013.287 Ibid.

Page 124: TESIS

111

Inggris tidak memiliki doktrin tentang jebakan dan tampaknya tidak ada

discretion untuk mengecualikan bukti yang diperoleh tidak layak.288

Dalam rangka menghormati harkat martabat manusia dan melindungi hak

asasi manusia dimana penerapan saksi mahkota ini sangat berpontensi melanggar

hak – hak terdakwa maka dalam pelaksanaanya walaupun sulit, hendaknya dengan

prinsip keseimbangan disatu sisi menghormati harkat martabat manusia

(terdakwa) dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan disisi lain

untuk melindungi kepentingan umum (masyarakat). Oleh sebab itu untuk

menerapakan saksi mahkota sebagai alat bukti dipersidangan maka harus sangat

diperhatikan mengenai cara memperoleh kesakaian , apakah dengan cara yang sah

atau dengan cara dilarang oleh undang undang, bila cara memperolehnya dengan

cara yang melanggar undang undang maka sepantasnya alat bukti ini ditolak oleh

pengadilan. Dan satu lagi masalah krusial dalam pembuktian yang mengunakan

alat bukti saksi mahkota maka untuk menyatakan kesalahan terdakwa bukan saja

berasal dari alat bukti keterangan saksi mahkota tetapi harus adanya bukti lain

yang saling menguatkan sehingga dapat dengan jelas menimbulkan keyakinan

untuk menyatakan terdakwa bersalah.

C.Perbandingan Kosep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP denganKonsep yang Dianut Di Belanda dan Amerika Serikat

Dalam rangka pembangunan hukum, diperlukan terlebih dahulu adanya

perencanaan hukum (legal planning) yang dapat menampung segala kebutuhan

dalam suasana perubahan-perubahan sosial atau dinamika masyarakat, namun

sebagaimana menurut Sunaryati Hartono, “legal planning” itu bukan pekerjaan

yang mudah, harus terlebih dahulu kita mempunyai pengetahuan yang luas dan

mendalam tentang sistem hukum asing.289 Di sinilah letak perlunya perbandingan

hukum comparative law, dengan perbandingan hukum akan memperluas

cakrawala berpikir serta memberi kesadaran kepada perencana/pelaksana

pembangunan hukum itu bahwa, setiap masalah hukum terbuka lebih dari satu

288 K. W Lidstone ,“Human Right In English Criminal Trial” , dalam Human Right In CriminalProcedure A Comparative Study, Jhon A Andrews, ed., (Boston/London : Martinus NijhoffPublisher, The Hague, 1982), hal. 100.

289 Sunaryati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum, (Bandung : Alumni,1992), hal. 3.

Page 125: TESIS

112

cara untuk mengatasinya apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat

modern sekarang ini.290

Menurut Andi Hamzah manfaat mempelajari perbandingan hukum pidana

karena Dunia semakin sepit, hubungan semakin maju dan canggih, kontak

budaya, ekonomi, dan militer semakin intensif dan menyatu hubungan hukum

pun demikian, bahkan salah satu faktor yang sering dituding sebagai penghalang

penanaman modal asing ialah tidak terjaminya kepastian hukum di Indonesia,

beberapa aturan hukum dan lembaga perlindungan hukum dipandang tidak

selaras dengan perkembangan modern, dengan demikian memperdalam

pengetahuan perbandingan hukum pidana sangatlah penting.291

Menurut Peter De Cruz arti penting lain dari metode komparatif : 292

290 Adapun mengenai pengertian perbandingan hukum berdasarkan beberapa pendapatsarjanan.

1.Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut:Perbandinganhukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan danperbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai sistem-sistemhukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencobamenentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukumdimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain) ;

2. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan oleh Zweigert danKort yaitu perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda ataulembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapatdiperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda;

3.Sudarto berpendapat bahwa perbandingan hukum merupakan cabang ilmu dari ilmuhukum dan karena itu lebih tepat mengunakan istilah perbandingan hukum dari istilahhukum perbadingan ;

4. Romli Atasasmita berpedapat bahwa perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yangmempelajari secara sistematis dan dengan pendekatan analisis-kritis (critical analysis)terhadap hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakanmetode perbandingan yang bertujuan menemukan unsur persamaan dan perbedaan yangmemberikan manfaat baik sisi teoritik maupun praktik.

dikutip dari Romli Atasasmita, Perbandingan hukum Pidana Kotemporer, Op., Cit. hal.12-15

291 Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal. 4.

292 Peter De Cruz, Op.Cit., hal. 28. Menurut Ade Maman Suherman, Perbandingan sistemhukum ditujukan untuk memperoleh suatu pemahaman yang comprehensive tentang semua sistemhukum yang eksis secara global dan paling tidak memperoleh manfaat: (1).Manfaat internaldengan mempelajari perbandingan sistem hukum pidana dapat memahami potret budaya hukumnegaranya sendiri dan mengadopsi hal-hal yang positif dari hukum asing guna pembangunanhukum nasional, (2) Manfaat eksternal dengan mempelajari perbandingan sistem hukum, baikindividu, organisasi maupun negara dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukanhubungan hukum dengan negara lain yang berlainan sistem hukumnya, (3) Untuk kepentinganharmonisasi hukum dalam pembentukan hukum supranasional. Lihat, Ade Maman Suherman,Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2006) , hal. 19.

Page 126: TESIS

113

“Terletak pada apa yang katakan Yntema sebagai Perbaikan dan perluasanterus menerus terhadap pengetahuan kita, yang membentuk sebuahkomponen penting bagi pendidikan hukum, dan menurut Paton sebagaimanadikutip Peter Da Cruz bahwa tidak mungkin membayangkan eksistensiyurisprudensi tanpa hukum komparatif, karena semua aliran yurisprodensi,baik yang bersifat historis, filosofis, sosiologis maupun analitismengandalkan metode penelitian komparatif’.

Untuk mengetahui sejauh mana konsep RUU KUHAP tentang saksi

mahkota dalam melindungi hak asasi manusia serta untuk melihat bagaimana

efektifitas keberlakuan suatu kesepakatan dengan terdakwa maka perlu untuk

melihat konsep-konsep yang mengatur kesepakatan dengan saksi yang lebih

dahulu dilaksanakan dinegara lain, dalam hal ini di Belanda dan Amerika Serikat

pemilihan kedua negara tentulah memiliki alasan yang sangat kuat, Untuk

Belanda kita ketahui bersama bahwa sistem hukum pidana Belanda paling

penting dipelajari dalam perbandingan hukum pidana Indonesia karena sumber

hukum formil dan materil Indonesia bersumber dari Belanda.

Sedangkan Amerika Serikat yang mengganut sistem common law prinsip

dasar hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat parlemen dan

hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematik dan

terinci yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan ketetapaan,

sehingga di Amerika Serikat perubahan sistem sosial dan teknologi mendorong

sistem hukum kearah beban baru dan kebiasaan baru berakibat pada sistem hukum

berubah bersama waktu berganti dan hukum bergerak, berubah sehingga hukum

sangat dinamis.293

1.Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Indonesia Tahun 2013

Selama ini sistem peradilan pidana Indonesia diberi stigma sebagai

menganut sistem inkuisitor (inquisitorial system), sistem ini sering dianggap lebih

rendah (inferior) dibanding sistem akusator (accusatorial atau advesaryal system)

sistem akusatorial sering diibaratkan konflik antara dua gladiator, atau sebagai

duel anggar dimana jaksa menusukan floretnya dan pembela berkewajuban untuk

menagkisnya.294

293 Lawrence M Friedman, American Law An Introduction, Op.Cit, hal. 20-25.294 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana ,Op. Cit., hal. 110.

Page 127: TESIS

114

Namun sesuai konsep yang dianut RUU KUHAP nampak bahwa terjadi

kecendrungan beralihnya sistem peradilan pidana kita menunju sistem berimbang

(adversary system) hal ini dapat dilihat diantara, ketika kedua pihak, baik

penuntut umum maupun terdakwa dan penasihat hukumnya dapat menambah alat

bukti baru di sidang pengadilan (seperti saksi a’ charge dan a de charge), dengan

sendirinya tidak diperlukan P 21 (pernyataan penuntut umum bahwa berkas telah

lengkap) karena penuntut umum walaupun sidang sudah dimulai, masih dapat

meminta bantuan penyidik untuk menambah pemeriksaan seperti pengajuan saksi

baru untuk melawan saksi yang diajukan penasihat hukum, jadi benar-benar

sistem ini mengharuskan penuntut umum dan penyidik bekerjasama erat untuk

suksesnya penuntutan.295

Perubahan dalam RUU KUHAP juga memberikan norma baru tentang saksi

mahkota yang sebelumnya tidak diakomodir dalam KUHAP, dengan norma baru

ini diharapkan membantu penuntut umum dalam mengungkapkan suatu perkara

dengan tidak melupakan hak-hak terdakwa. Meknisme saksi mahkota yang

terdapat dalam RUU KUHAP . diatur dalam bagian Ketujuh dalam Pasal 200 :

(1)Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringandapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskandari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu mengungkapkanketerlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidanatersebut.

(2)Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringandalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) makatersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana danperan tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaanhakim pengadilan negeri.

(3)Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksimahkota.

Pengertian saksi mahkota dalam pasal 200 RUU KUHAP diatas dapat

diartikan sesuai pertama ayat (1), saksi mahkota seorang tersangka atau terdakwa

yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama,

menurut RUU KUHAP terhadap saksi mahkota ini dapat diberikan kekebalan

dalam penuntutan apabila saksi membatu mengungkapkan keterlibatan tersangka

295 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran2006, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , 2006), hal. 7.

Page 128: TESIS

115

lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut. Kedua dalam ayat (2) saksi

mahkota diartikan sebagai apabila tidak ada tersangka ataua terdakwa yang

peranya paling ringan maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah dan

membantu secara subtantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain

maka sesuai dalam RUU KUHAP terhadap tersangka atau terdakwa yang

membantu secara subtantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain di

berikan pengurangan hukuman sesuai kebijaksanaan hakim.

Apabila dilihat dari subtansi Pasal 200 RUU KUHAP tersebut maka dapat

dilihat bahwa untuk penerapan saksi mahkota ini sangat berkaitan dengan ajaran

penyertaan dimana terdapat dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana,

dan menurut Moeljatno penyertaan barulah ada jika bukan satu orang saja yang

tersangkut dalam dalam terjadinya penyertaaan delik atau perbuatan kriminal,

tetapi terdapat beberapa orang yang mempunyai saham .296

Ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 200

Rancangan KUHAP sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia.

Tentu hal ini harus disampaikan penuntut umum kepada hakim, karena penuntut

umum yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota.297 Menurut asas

oportunitas, jaksa berwenang menuntut dan tidak menuntut suatu perkara ke

pengadilan, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. The public prosecutor may

decide conditionally or unconditionally to make prosecution to court or not. Jadi

dalam hal ini penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang melakukan tindak

pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum,

dengan demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana, tidak

dituntut.298

Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Netherland

dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis)

dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan s/d tahun

296 Moeljatno, Op. Cit., hal. 5.297 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Naskah Akademik Rancangan Undang

Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op, Cit, hal. 27.298 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan

Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op. Cit., hal. 8.

Page 129: TESIS

116

1961 – sekarang dalam Undang Undang No.16 Tahun 2004 asas ini masih

dicantumkan.299

Ide implementasi asas oportunitas terhadap pelaku korupsi yang kooperatif

sebaiknya mempergunakan konsepsi protection of cooperating persons, konsep

ini dilaksanakan di Eropa, seperti Belanda dan Italia berupa diterapkan saksi

mahkota (kroongetuige) tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi karena mau

membongkar kejahatan terorganisir teman-temannya, imbalannya ialah ia

dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi.300 Protection of reporting

persons sebagai dasar introdusir dalam sistem hukum pidana indonesia kelak,

karena konsep protection of cooperating persons memilki keterkaitan dengan

saksi mahkota dengan penerapan ajaran “deelneming” (penyertaan) pada Pasal 55

KUHP.301

Berdasarkan United Nations Convention Againts Corruption (2003), yang

telah diratifikasi pada bulan Maret tahun 2006, memberikan beberapa tipe/bentuk

perlindungan hukum dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, yaitu :302 (1)

protection of Witnesses, Experts dan Vitims (Pasal 32), (2) protection ofReporting

Persons (Pasal 33), dan (3) Protection of Cooperating persons (Pasal 37). Pasal

37 memilki persamaan dengan ide yang dikemukakan oleh Jaksa Agung RI,

hanya legalitas perlindungannya tidak didasarkan asas oportunitas. Disebutkan

Pasal 37 bahwa (terjemahan bebas) : Pasal 37 ayat 2 :

“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan memberikankemungkinan dalam kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dariseorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang substansial dalampenyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkankonvensi ini”.

Pasal 37 ayat 3 :

“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuaidengan prinsip-prinsip dasar Hukum Nasional, untuk memberikankekebalan (immunity) dari penuntutan bagi orang yang memberikankerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatukejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.

299 Ibid., hal. 71 .300 Ibid., hal. 84.301 Ibid., hal. 86.302 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 198.

Page 130: TESIS

117

Sehingga bentuk perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan

penegak hukum dikategorikan dengan dua macam, yaitu bagi seorang Terdakwa

(juga terpidana) dengan pemberian pengurangan hukuman (mitigating

punishment),dan seorang Terdakwa dengan pemberian kekebalan dari penuntutan

(immunity from Prosecution).

Mencari suatu justifikasi untuk implementasi asas oportunitas terhadap

Cooperating Offenders” tidaklah tepat berdasarkan pertimbangan demi

kepentingan umum yang maknanya multi-tafsir maka arah introdusir konsepsi

“protection of coperating persons” dengan memberikan suatu keterkaitan crown

witness serta peran terkecil dalam asas “deelneming” adalah lebih ditolerir

arahnya, karenanya konsep ini tetap memerlukan dukungan kebenaran norma dan

asas due process of law enforcement dengan memperhatikan prinsip rule of

law.303

2. Belanda

Hukum acara pidana Belanda adalah bagian dari tradisi (sistem hukum)

Eropa-kontinenal (civil law) dapat digambarkan sebagai sistem inquisitoir

moderat, karena hakim berkewajiban untuk secara mandiri/otonom mencari dan

mengungkap kebenaran (materiil) tidak secara pasif duduk dikursi mendengarkan

bagaimana para pihak dalam perkara – Openbaar Ministerie (OM/kejaksaan) dan

pembelaan – menguraikan duduk perkara dari sudut pandang mereka masing-

masing, konsekuensi kedua dari dianutnya sistem acara yang bersifat inquisitoire

ialah kuatnya kedudukan dan posisi OM dalam setiap tahapan proses pemeriksaan

perkara. OM tidak saja memimpin dan mengendalikan jalannya penyidikan,

namun merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan apakah

penuntutan akan dilanjutkan atau tidak.304

Menurut Andi Hamzah, di Belanda pengaturan mengenai saksi mahkota

atau yang dikenal dengan istilan kroongetuige awalnya belum diatur didalam pada

KUHAP Belanda, sehingga dalam pelaksanaanya didasarkan pada doktrin dan

303 Ibid., hal. 90.304 Jan Crijns, “Kesepakatan Dengan saksi dalam Proses Pidana Kesepakatan dengan Saksi

dalam Peradilan Pidana Belanda dan Pelajaran yang mungkin dapat dipetik Oleh Indonesia” ,dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings. Ed.,(Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, UniversitasGroningen, 2012), hal. 160-161.

Page 131: TESIS

118

yurisprudensi dengan payung hukumnya asas oportunitas yang ada pada jaksa.305

Saksi mahkota yang dikenal dalam praktik pengadilan di Belanda adalah salah

seorang terdakwa yang paling ringan perananya dalam pelaksanaan kejahatan itu,

misal delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan menjadi

saksi, dasar hukumnya asas oportunitas yang ada ditangan jaksa untuk menuntut

atau tidak menuntut seorang dipengadilan baik dengan syarat maupun tanpa

syarat.306

Di Belanda landasan hukum formal mengenai saksi mahkota melalui proses

panjang sebelum diundangkan pada 2005 dan diberlakukan sejak 1 April 2006,307

sebelum tanggal tersebut kesepakatan dengan saksi mahkota sudah kerap

digunakan, satu dan lain karena diam-diam dibiarkan oleh Hoge Raad.308

Landasan perundang-undangan yang memungkinkan dibuatnya kesepakatan

dengan saksi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 226g sampai dengan 226l

KUHAP Belanda.309 Pranata hukum atau instrumen kesepakatan ini selalu

berkenaan dengan saksi yang sekaligus berkedudukan sebagai

tersangka/terdakwa.310

Atas dasar ketentuan Pasal 226g (1) KUHAP Belanda, jaksa penuntut

umum berwenang untuk membuat kesepakatan demikian hanya bila berhadapan

dengan kriminalitas berat, atau lebih konkretnya, 1) dalam hal adanya

persangkaan (verdenking) dilakukan kejahatan yang diancam dengan sekurang-

kurangnya 8 tahun penjara; 2) atau dalam hal adanya persangkaan dilakukannya

kejahatan yang diancam dengan sekurangkurangnya 4 tahun penjara dan yang

diperbuat dalam ikatan atau jaringanyang terorganisir.311

Petunjuk pelaksanaan pembuatan kesepakatan dengan saksi dalam perkara

pidana (Aanwijzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) diterbitkan

Kejaksaan Agung (College van procureurs-generaal, yang merupakan organ

tertinggi dari Openbaar Ministerie. Dalam petunjuk pelaksanaan diuraikan lebih

305 Hasil Wawancara, tanggal 9 April 2013 .306 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 272.307 Wet toezeggingen aan getuigen in strafzaken van 12 mei 2005, Staatsblad 2005, 254, mulai

berlaku 1 April 2006.308 Jan Crijns, Op.Cit., hal. 156.309 Ibid., hal. 162.310 Ibid., hal. 155.311 Ibid., hal. 163.

Page 132: TESIS

119

rinci mengenai aturan yang mengikat jaksa penuntut umum dalam pembuatan

kesepakatan dengan saksi. Sedangkan hakim berwenang menguji apakah jaksa-

penuntut umum secara nyata bertindak selaras dengan aturan-aturan yang termuat

di dalam petunjuk pelaksanaan, dan bila ternyata tidak maka hakim berwenang

memutus bahwa kesepakatan yan dibuat dengan saksi melanggar hukum.312

Di negeri Belanda dianut asas oportunitas menurut Pasal 167 ayat (2)

Ned.SV, walaupun tidak tegas diatur tentang kemungkinan dilekatkannya syarat-

syarat penerapan asas itu, namun dalam praktek diterapkan oleh penuntut umum

sebagai hukum tidak tertulis,313Belanda memperluas lagi penerapan asas

oportunitas dengan ketentuan baru bahwa semua perkara yang ancaman pidananya

dibawah 6 tahun penjara dapat di afdoening, tidak hanya perkara ringan saja.

Penyelesaian perkara berdasarkan asas oportunitas dengan cara mengenakan

denda administratif, dapat menambah pendapatan negara, mengurangi jumlah

perkara di pengadilan, dan mengurangi jumlah narapidana.314

Jaksa Belanda boleh memutuskan akan menuntut atau tidak akan menuntut

perkara dengan atau tanpa syarat, secara garis besar ada 3 kategori penyampingan

perkara di Belanda, yaitu 315:

1. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (police),yang meliputi

perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua) dan kerusakan telah

diperbaiki/kerugian diganti.

2. Alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain lain).

3. Perkara digabung dengan perkara lain.

Di Belanda ada pembatasan penting berkenaan dengan imbalan apa yang

dapat ditawarkan jaksa penuntut umum kepada saksi yang diminta memberi

keterangan, pembatasan terpentingnya ialah larangan menawarkan imbalan

imunitas (kekebalan) mutlak dalam penuntutan pidana, dalam arti saksi tidak akan

dituntut atas kejahatan dimana ia berkedudukan sebagai tersangka. Pembatasan

312 Ibid., hal. 162.313 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan

Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 33.

314 Ibid., hal. 36.315 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 38.

Page 133: TESIS

120

ini, berarti saksi yang membuat kesepakatan dengan jaksa penuntut umum tetap

akan dituntut atas tindak pidana yang disangkakan terhadapnya.316

3. Amerika Serikat

Hukum Amerika Serikat merupakan keturunan langsung dari hukum Inggris

yang dibawa kebenua baru oleh pemukim-pemukim Inggris pada abad ke-17 dan

ke-18, secara formil diterima sebagai dasar hukum oleh negara-negara yang

bergabung dalam dalam Amerika Serikat sesudah revolusi Amerika.317 Sering

dikatakan bahwa hukum Amerika, seperti hukum Inggris adalah sangat empiris

dalam metodenya, bahwa hukum itu melangkah maju dari kasus ke kasus dan dari

masalah ke masalah, mencari pemecahan-pemecahan praktis dengan tudak

mengacu kepada perangkat doktrin – doktrin yang sistematis atau suatu teori yang

komperhensif.318

Sebelum digelar suatu peradilan pidana undang undang federal dan negara

bagian mengaharuskan serangkaian prosedur dan acara, beberapa negara bagian

diharuskan oleh konstitusi AS dan konstitusi negara bagian, ada negara bagian

yang diharuskan oleh keputusan pengadilan, dan lainnya oleh undang undang

legislatif yang berlaku, sisanya sering ditentukan oleh kebiasaan dan tradisi.319

Model pencarian dan pengajuan bukti didasarkan pada asumsi bahwa setiap

kasus atau kontroversi memiliki dua sisi : dalam kasus pidana pemerintah

mengklaim bahwa terdakwa bersalah sementara terdakwa mempertahankan

ketidak bersalahanya, diruang pengadilan masing-masing pihak memberi

kesaksian dari sisi yang sebagaimana dilihatnya, teori (atau harapan) yang

mendasari ini adalah bahwa kebenaran akan muncul jika masing-masing pihak

diberi kesempatan penuh untuk mengajukan kumpulan bukti-bukti, fakta dan

316 Jan Crijs, Op, Cit, hal. 163-164.317 Harold J .Berman, “Latar Belakang Hukum Amerika Serikat”, Dalam Ceramah Radio

oleh Profesor-Profesor Harvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan olehGregory Churchill, J.D,( Jakarta :Tatanusa, 2008), hal. 4.

318 Harold J .Berman,“Segi-segi Filosofis”, Dalam Ceramah Radio oleh Profesor-ProfesorHarvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D.(Jakarta: Tatanusa, 2008), hal. 262.

319 Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS, Garis besar SistemHukum Amerika Serikat, Diadaptasi dari [Jucial Process In America],( Jakarta: 2001), hal .97.

Page 134: TESIS

121

argumument didepan hakim (dan juri) yang netral dan sungguh-sungguh

memberikan perhatian.320

Di Amerika Serikat tidak dikenal istilah saksi mahkota, namun untuk

terdakwa setuju untuk bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan terhadap

orang lain disebut cooperators (ko-konspirator).321 Selain itu juga dikenal istilah

state witness untuk mereka yang bekerja dengan penuntut umum untuk menjadi

saksi kunci dalam membuka suatu perkara, sehingga state winess ini tidak

diterapkapkan untuk semua perkara dan pelaksanaanya dilakukan dengan

bargaining power oleh jaksa penuntut dan di ketahui oleh hakim.322

Untuk melihat bagaimana ketentuan cooperators maka dapat kita liat

beberapa putusan pengadilan di Amerika Serikat yang berhubungan dengan

cooperators:323

1. United States v. Reid, 19 F. Supp. 2d 534, 537 (E.D. Va. 1998) (“It isnaive to assume that most co-conspirators would be so altruistic as toabandon their own self interest and testify for the very government thatseeks a stiff sentence against them without a bargain being made.”)

Amerika Serikat v Reid, 19 F. Supp. 534 2d, 537 (E.D. Va 1998) ("Adalahnaif berasumsi bahwa orang yang turut melakukan kejahatan akan secarasukarela mengabaikan kepentinganya sendiri dan bersaksi pada pihakpemerintah , walapun mengakui bahwa pemeriksaan sidang berusahauntuk membuktikan kesalahan dan menjatuhkan kesalahan terhadapmereka, apabila tidak dilakukan dengan kekuatan tawar menawar)

2. United States v. Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (5th Cir. 1987) (enbanc) (“No practice is more ingrained in our criminal justice system thanthe practice of the government calling a witness who is an accessory to thecrime for which the defendant is charged and having that witness testifyunder a plea bargain that promises him a reduced sentence.”)

Amerika Serikat v Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (Cir 5th 1987.)(En banc) ("Tidak ada praktek yang lebih mendarah daging dalam sistemperadilan pidana kita dari pada praktek pemerintah memanggil saksi yangmerupakan aksesori kejahatan untuk membebankan terdakwa dan saksiyang memberi kesaksian dibawah tawar-menawar dijanjikan berkurangnyahukuman")

320 Ibid., hal. 105.321 Hasil Wawancara dengan Kevin Ricardson, Tanggal 21 Maret 2013.322 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013323 Dikutip dari: Hon. H. Lloyd King, Jr, “Why Prosecutors are Permitted To offer Witness

Inducements, A matter Of constitutional Authority”, hal 155, www.law.stetson.edu/.../why-prosecutors-are-, diunduh 20 Januari 2013.

Page 135: TESIS

122

3. Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941) (holding that there is nodue process violation where an accomplice confesses and testifies againsta defendant in return for leniency); Brady v. United States, 397 U.S. 742,751–53 (1970) (“[We] cannot hold that it is unconstitutional for the Stateto extend a benefit to a defendant who in turn extends a substantial benefitto the state.” Lisenba v California, 314 US 219, 227 (1941)

Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941) (menurut pendapat bahwatidak ada pelanggaran due process di mana kaki tangan mengakui danmemberi kesaksian terhadap terdakwa dengan imbalan keringananhukuman), Brady v Amerika Serikat, 397 US 742, 751-53 (1970)("[Kami] tidak bisa percaya bahwa itu adalah inkonstitusional bagi Negarauntuk memperluas manfaat kepada terdakwa yang pada gilirannyamemperluas manfaat besar untuk negara. "

4. United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985) (recognizingthat co-defendants are frequently the most knowledgeable witnessesavailable to testify about criminal activity); Reid, 19 F. Supp. 2d at 538(“[T]here are situations where those individuals [co-conspirators] may bethe only credible witnesses of criminal activity and,without theirtestimony, the government would not be able to obtain convictions.”)

United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985) (mengakuibahwa co-defendants kebanyakan memiliki pengetahuan untuk bersaksitentang kegiatan kriminal), Reid, 19 F. Supp. 2d di 538 ("[T] di siniadalah situasi di mana orang-orang [co-konspirator] mungkin menjadisatu-satunya saksi yang kredibel kegiatan kriminal dan, tanpa kesaksianmereka, pemerintah tidak akan dapat memperoleh keyakinan.")

Dari putusan diatas menurut Hon. H. Lloyd King, Jr berpendapat,

cooperators memilih untuk bekerjasama dengan jaksa karena mereka memiliki

harapan untuk menerima beberapa keuntungaan dari usaha-usaha mereka, baik

dalam bentuk hadiah, kekebalan atau pengurangan hukuman atas kejahatan

mereka. Kewenangan jaksa untuk menawarkan motivasi kepada para saksi dalam

pertukaran untuk kesaksian memiliki sejarah panjang untuk diterima dalam

yurisprudensi Amerika. Mahkamah Agung, secara tradisional mengakui

perjanjian saksi pancingan diperbolehkan dalam konstitusi merupakan

kewenangan kejaksaan, dan pengadilan telah mengakui pentingnya perjanjian

tersebut dalam mengamankan kesaksian dari saksi penting untuk penuntutan

kejahatan konspirasi.324

324 Ibid., hal.156.

Page 136: TESIS

123

Jaksa Amerika (US Attorney, County Attorney, District Attorney dan State

Attorney) yang tidak mengenal asas oportunitas namun mengenal “plea

bargaining” yang menentukan jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya

pengakuan terdakwa, dalam pelaksanaanya ketika jaksa sudah merasa memiliki

kasus yang cukup kuat dengan beberapa orang saksi yang mendukung dan

bersedia memberikan kesaksian melawan terdakwa, pemerintah menawarkan

kepada terdakwa untuk hadiri di pengadilan dengan syarat mengakui kesalahanya

apabila terdakwa bersedia mengakui kesalahanya hakim akan menjatuhkan

hukuman (hanya hakim yang diberikan kewenangan menjatuhkan hukuman),325

sebaliknya apabila tertuduh menyatakan tidak mengakui bersalah maka perkara

dilanjutkan dan diadili dengan mempergunakan sistem juri.

Mekanisme plea bargaining diyakini membawa keuntungan, baik untuk

terdakwa maupun untuk masyarakat. Keuntungan bagi terdakwa adalah dirinya

bersama penuntut umum bisa menegosiasikan hukuman yang pantas baginya.

Masyarakat diuntungkan karena mekanisme ini akan menghemat biaya

pemeriksaan di pengadilan, dimana terdakwa mengakui perbuatannya dan tetap

akan mendapatkan hukuman. Meskipun hukuman yang diberikan rata-rata lebih

sedikit dari apa yang akan diputus hakim jika melalui proses pengadilan

konvensional, namun disisi lain mekanisme ini dapat memberikan efek terhadap

proses peradilan pidana karena penuntut umum mempunyai waktu lebih banyak

dan bisa menangani lebih banyak perkara.

Romli Atmasasmita dengan bertitik tolak pada batasan dari Bryan Garner,

Albert Alschuler, Harvard Law Riview, F. Zimring and R. Frase dan Welsh S.

White menyimpulkan tentang “plea bargaining” beberapa hal sebagai berikut326:

1.Bahwa “plea bargaining” ini pada hakikatnya merupakan suatu negosiasiantara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya ;

2.Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepatproses penanganan perkara pidana ;

3.Sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untukmengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikanancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya ;

325 Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum, (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 84 .

326 Romli Atasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kotemporer, Op. Cit., hal .127-128.

Page 137: TESIS

124

4.Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasidimaksud tidak diperkenankan.

D.Analisis Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Dalam RUU KUHAPIndonesia, dengan di Belanda dan Amerika Serikat

1. Justifikasi Keberadaan Saksi Mahkota

Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat

signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi

mahkota yang selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila

dilihat konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep

saksi mahkota yang di kenal di Italia,327pemikiran konsep saksi mahkota ini

untuk memperbaiki konsep yang selama ini digunakan di peradilan mengartikan

saksi mahkota, terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan berbuatnya yang

bertentangan dengan asas non self incrimination.

Selain memasukuan ketentuan tentang saksi mahkota RUU KUHAP juga

memasakukan konsep pengakuan dan pengurangan hukuman mirip dengan sistem

plea bargaining, hal ini tercantum di dalam 197 RUU KUHAP dengan judul jalur

khusus memuat ketentuan, Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan,

terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah

melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari

tujuh tahun penjara, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara

pemeriksaan singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari

maksimum,di sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea

bargaining).

327 Menurut Andi Hamzah konsep saksi mahkota di Italia Saksi mahkota ialah salah seorangtersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersediamengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dandijadikan saksi. Jika tidak ada peserta (tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapatdimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan dijadikan saksi kemudianmenjadi terdakwa dengan janji oleh penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan darikawan berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia tentang saksi mahkota,lebih lanjut. Lihat Naska Akademik RUU KUHAP, Op.Cit., hal 26, bandingkan dengan Pasal 200RUU KUHAP versi 2013.

Page 138: TESIS

125

Selain memuat ketentuan saksi mahkota, RUU KUHAP juga mengadopsi

mekanisme semacam plea bargaining yang ada di Amerika Serikat,328dengan

adanya konsep ini maka antara penuntut umum dan saksi mahkota dapat

melakukan negosiasi kesepakatan bersalah dari terdakwa sebagai imbalan bagi

janjinya jaksa penuntut untuk meminta hukuman lebih ringan kepada hakim, yang

dapat mendorong terdakwa untuk mau duduk sebagai saksi mahkota karena

dengan adanya kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tersebut memberi

harapan kepada terdakwa akan adanya imbalan keringanan hukuman.

Di Amerika Serikat jaksa dapat menghentikan penuntutan atau

berkompromi (plea bargaining),329terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum

persidangan di mulai. Jika Jaksa setuju, maka ia dapat mengurangi dakwaan atau

memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih

ringan.330 Praktek plea bargaining, di Amerika Serikat terjadi pada periode

arraignment dan preliminary hearing, apabila tertuduh menyatakan dirinya

bersalah atas kejahatan yang dilakukan proses selanjutnya adalah penjatuhan

hukuman tanpa melalui trial, periode arraignment on information or indictment

ini merupakan suatu proses singkat guna mencapai dua tujuan yaitu ; 331

1) Memberitahukan kepada tertuduh perihal tuduhan yang dijatuhkan

padanya; dan

328 Menurut Albert Alschuler secara teliti telah mengungkapkan sejarah “plea bargainingsystem”. Pada bagian pertama dari artikelnya, “Plea Bargaining and Its History” (1979),. Padamasa “common law”, terhadap seorang tertuduh telah diberikan perlakuan yang tidak kejam,karena ia telah membantu penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain dalamperkara tertentu, akan tetapi bukanlah karena ia (tertuduh) telah mengakibatkan penuntutanmenjadi lebih mudah, atu karena ia (tertuduh) telah berbuat baik terhadap si korban, terhadap siapaia melakukan kejahatan. Selanjutnya, Alschuler mengemukakan, bahwa semula “plea bargaining”ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti sekarangini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat berperanan dalam mengatasikesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di AmerikaSerikat sangat bergantung pada sistem ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung (Supreme Court ofJustice) Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa praktik “plea bargaining” adalah ilegal. Akantetapi atas keberatan Departemen Kehakiman (Department of Justice) kehendak tersebut tidakdilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya,bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brad v. UnitedStates, 397 U.S. 742 (1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh untukmenghapuskan sistem ini, oleh karena adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu“fair trail” dan “accurancy” dalam penangnan perkara pidana. Lihat Romli Atasasmita, SistemPeradilan Pidana Kotemporer, Op, Cit., hal. 118-119.

329 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal. 17.

330 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Op.Cit., hal. 50.331 Romli Atasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kotemporer, Op.Cit, hal .124.

Page 139: TESIS

126

2) Memberikan kesempatan pada tertuduh untuk menjawab tuduhan

tersebut dengan menyatakan: not guilty atau guilty atau nolo

contendence (no –contest).

Pada tingkat negara bagian dan federal paling tidak 90 persen dari semua

kasus tindak pidana tidak pernah sampai ke pengadilan, ini karena sebelum

peradilan dimulai kesepakatan telah tercapai antara penuntut umum dan

pengacara terdakwa mengenai dakwaan resmi yang yang dikenakan dan sifat

hukum yang dianjurkan negara bagian kepada pengadilan, pada prinsipnya

dijanjikan suatu bentuk keringan sebagai imbalan untuk penyataan bersalah .332

terdapat tiga (tidak ekslusif secara timbal balik ) tipe kesepakatan pernyataan

bersalah. 333

a.Pengurangan dakwaan, bentuk kesepakatan ini paling umum antara

seorang jaksa penuntut umumdan seorang terdakwa adalah pengurangan

dakwaan menjadi lebih ringan dari pada yang didukung oleh bukti-bukti;

b.Penghapusan dakwaan yang tak relevan, bentuk kedua dari kesepakatan

pernyataan bersalah adalah persetujuan jaksa wilayah untuk

membatalkan dakwaan terhadap seseorang, terdapat dua varian mengenai

tema ini, pertama perjanjian untuk tidak menuntut secara vertikal yakni,

tidak mengajukan dakwaan lebih serius terhadap orang tersebut, kedua

menolak dakwaan horisontal yakni menolak dakwaan tambahan untuk

kejahatn yang sama oleh terdakwa.;

c. Penawaran hukuman, bentuk ketiga dari kesepakatan bersalah dari

terdakwa sebagai imbalan bagi janjinya jaksa penuntut untuk meminta

hukuman lebih ringan kepada hakim.

Sedangkan di Belanda dalam sistem hukumnya tidak mengenal adanya plea

bargaining, sehingga di Belanda dilakukan pembatasan kepada jaksa penuntut

umum berkenaan dengan imbalan yang dapat ditawarkan pada saksi, pembatasan

ini berpengaruh terhadap kesediaan saksi untuk menimbang-nimbang apakah ia

akan bekerjasama dengan yustisi atau tidak.334

332 Biro Program informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS, Op.Cit., hal .112.333 Ibid .334 Jan Crijns, Op. Cit., hal. 171.

Page 140: TESIS

127

Tetapi jaksa di Belanda boleh memutuskan akan menuntut atau tidak

menuntut perkara dengan atau tanpa syarat, wewenang tersebut didasarkan atas

tiga hal, Pertama dakwaan dicabut karena alasan kebijakan (antara lain, tindak

pidananya tidak seberapa, pelakunya sudah tua, dan kerugian sudah diganti).

Kedua, perkara dikesampingkan karena alasan teknis (biasanya lebih dari 50

persen karena buktinya kurang). Ketiga, melalui penggabungan, yaitu

menggabungkan perkara tersangka dengan perkaranya yang sudah diajukan ke

pengadilan. 335

Ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 200 RUU

KUHAP sesuai dengan asas oportunitas, di Indonesia asas oportunitas hanya

diberikan kepada Jaksa Agung RI karena alasan kebijakan (policy), yaitu guna

mencegah penyalahgunaan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan. Oleh karena itu

jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut untuk mengesampingkan

perkara yang saksi dan buktinya cukup, harus memohon kepada Jaksa Agung

untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Namun disayangkan

bahwa Jaksa Agung RI sangat jarang menggunakan wewenang tersebut.336

Menurut KUHAP terdapat dua macam keputusan tidak menuntut yang

dibenarkan yaitu :337

1.Penghentian penuntutan karena alasan teknis menurut Pasal 140 ayat (2)KUHAP;

a. kalau tidak cukup bukti-buktinya;b. kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana;c. kalau perkaranya ditutup demi hukum. (tersangkanya meningal dunia, dan

neb is in idem).2.Penghentian penuntutan karena alasan kebijakan. Penuntut Umum

menghubungkan kewenangan melakukan penuntutan pidana dengankepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan ketertiban hukum

Di Indonesia penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung didasarkan atas

Undang - Undang Kejaksaan sebagai peraturan yang mengatur mengenai pokok-

335 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis danEvaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 47.

336 Ibid., hal. 93-94.337 Ibid ,. hal.11-12.

Page 141: TESIS

128

pokoknya,338mengenai perlu atau tidaknya pengaturan yang lebih rinci dan

konkret hal itu diserahkan Jaksa Agung.339 Namun pengaturan yang lebih rinci

seharusnya dilakukan, hal ini didasarkan pada perkembangan di beberapa negara-

negara maju, seperti Belanda, Inggris, Amerika, Australia memberikan perincian

yang konkret terkait makna kepentingan umum/public interest. Dilihat dari bentuk

kewenangannya, jika memperbandingkan antara penghentian perkara pidana di

Belanda, Amerika, Inggris, Australia dengan penerapan asas oportunitas oleh

Jaksa Agung di Indonesia, karakternya yang diskresional tentu sama namun

perbedaannya terlihat pada kejelasan makna kepentingan umumnya.340 Menurut

Pedoman Pelaksanaan KUHAP (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP) memberikan penjelasan sebagai

berikut “Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan

asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan

masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat.”

338Menurut Andi Hamzah mengatakan bahwa: ".... sama dengan zaman kolonial yang hanya Jaksa

Agung (Procureur Generaal) yang boleh menyampingkan perkara demi kepentingan umum.Wewenang itu tidak diberikan kepada Jaksa biasa. Hal itu disebabkan tidak dipercayainya merekamelaksanakan yang demikian penting itu. Sedangkan kewenangan mengesampingkan perkarayang berada pada Jaksa Agung ini sejak berlaku Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian termaktub dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terakhir dalam Pasal 35huruf c Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yangmenyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkarademi kepentingan umum. Menurut Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaanasas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran danpendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalahtersebut. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung danbukan pada Jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP). Dengan penjelasanini semakin tidak jelas pelaksanaan asas oportunitas itu. Dengan adanya kata-kata: “Setelahmemperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyaihubungan dengan masalah tersebut” menjadi makin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karenasiapakah badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut?Hal ini berarti wewenang oportunitas ini dibatasi secara remang-remangsehingga tidak adakepastian hukum dalam penerapannya. Lihat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,“Laporan hasil kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas OportunitasDalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006”, Op.Cit .hal. 27

339 Taufik Rachman, “Kepentingan Umum Dalam Mengkesampingkan Perkara Pidana DiIndonesia”, Dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 20120, hal. 150.

340 Ibid .

Page 142: TESIS

129

Menurut Mardjono Reksodiputro dalam asas oportunitas : 341

“ Dikenal oportunitas secara negatif dimana hak menutup perkara atas dasarkepentingan umum dimana hak ini digunakan secara terbatas dan hakoportunitas secara positif, disini diakukan pendekatan bahwa apa bila tidakdiperlukan oleh umum maka penuntutan dihentikan”.

Dan menurut Indriyanto Seno Aji asas oportunitas merupakan :342

“Suatu overheidsbeleid yang melaksanakan staatbeleid, karena dapatdipergunakan dalam suatu kewenangan (discreationary power) yangmengikat maupun kewenangan aktif, Kewenangan aktif ini kaitanya denganasas oportunitas memberi kewenangan Jaksa Agung melakukan tindakanterhadap norma tersamar sepanjang kewenangan ini didasarkan asas umumpemerintahan yang baik”.

Sedangkan menurut Eva Achjani Zulva, jaksa mengunakan asas

oportunitasnya atas dasar kewenangan diskresi yang dimilikinya untuk

menentukan suatu perkara akan terus dilakukan penuntutan atau dihentikan.

Menurut Ronald F Wriht sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulva diskresi bagi

jaksa merupakan kewenangan untuk memilih dan menentukan penuntutan suatu

perkara dan menentukan jenis, berat atau lamanya sanksi yang akan dituntut, dan

menurut David E Aronson sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulva, makna

diskresi meliputi tindakan menginterpretasikan undang-undang, pengunaan

kewenangan dan pilihan tindakan dari penegak hukum.343 Di Amerika Serikat

konsep diskresi kejaksaan berlaku dalam konteks perdata, administratif, dan

pidana. Menurut Mahkamah Agung Amrika serikat "keputusan lembaga untuk

tidak menuntut atau melaksanakan penuntutan, baik melalui proses perdata atau

pidana adalah keputusan yang umumnya merupakan kebijaksanaan mutlak

sebuah instansi.344

341 Mardjono Reksodriputro, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Makalah YangDisempurnakan Untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi 26 Januari dan 21 April2010), hal. 3.

342 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Op.Cit., hal.465.

343 Eva Achjani Zulva, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Op.Cit., hal.158-159344 Heckler v. Chaney 470 U.S. 821, 831 (1985). http://www.immigrationpolicy.org/just-facts/understanding-prosecutorial-discretion-immigration-law, diunduh 20 April 2013.

Page 143: TESIS

130

Diskresi menurut Frieman biasanya mengacu pada suatu kasus dimana

seseorang subjek suatu peraturan, memiliki kekuasaan untuk memilih diantara

berbagai altenatif bentuk diskresi sendiri memiliki empat bentuk.345

Dengan melihat ketentuan asas oportunitas dan pelaksanaannya di negara –

negara lain tampaknya akan lebih efektif apabila kewenagan oportunitas ini di

berikan langsung pada jaksa-jaksa di Indonesia dengan demikian maka perkara –

perkara yang akan dilimpahkah ke pengadilan dapat disaring sebelum sampai ke

pengadilan serta tidak akan terulang kembali pencurian-pencurian ringan yang

sampai ke pengadilan karena dengan melihat begitu banyaknya perkara yang ada

saat ini tidaklah mungkin semua bergantung pada kewenangan oportunitas yang

ada pada jaksa agung.346

Belanda menganut juga asas oportunitas (the principle of discretionary

powers), sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 167(2) dan Pasal

345 Diskresi biasanya mengacu pada suatu kasus dimana seseorang subjek suatu peraturan ,memiliki kekuasaan untuk memilih diantara berbagai altenatif. Diskresi menghasilakn empat tipeperaturan formal, Pertama sebagai peraturan bersifat pasti dan tetap dari dua segi baik publikmaupun petugas tidak memiliki pilihan, peraturan hukum pidana pada umumnya mengambilbentuk ini, misal pelarangan pembunuhan, mencuri ;peraturan diatas kertas bersifat mutlak, parapetugas tidak memiliki hak formal untuk membiarkan seorang pelanggar lepas, Kedua yaituotorisasi , berlaku diskresioner bagi publik namun tidak bagi petugas, contoh ; seorang pria danwanita mengajukan permohonan pernikahan , kemudian ada orang lain yang mengajukan gugatanuntuk itu yang menimbulakan pilihan untuk personal dimata hukum, sehingga para petugas negaratidak memiliki pilihan selain memberi reaksi dengan cara –cara resmi yang telah digariskan.Ketiga privilese berlaku diskresioner dalam dua segi : seseorang yang memenuhi ketentuan bisamelaksanakanya atau tidak sesuai kehendaknya dan ada juga diskresi disisi publik, Keempat hanyapetugas yang memiliki alternatif . hal amat lazim dalam hukum pidana, seringkali diskresi luasbagi para hakim dalam menetapkan hukuman , siterdakwa tidak berhak mengatakan apapun.LihatLawrence M Frieman, Sistem Hukum perspektif Sosial [The Legal System A socila SciencePerspective], diterjemahkan M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, tanpa tahun), hal. 42.346

Berbeda sekali dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakanwewenang semua Jaksa (bukan oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itudenganpengertian : “Penuntut umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpasyarat suatu perkara ke pengadilan” (the public prosecutor may decide – conditionally orunconditionally – to make prosecution to court or not”). Demikianlah sehingga negara-negaraseperti di Nederland, Jepang, Korea (selatan), Israel, Norwegia, Denmark, Swedia dll, asas inidilaksanakan secara penuh, sehingga di Nederland perkara yang diajukan ke pengadilan hanya50% dari semua perkara yang diterima oleh penuntut umum. Di Jepang, perkara yang diputusbebas dari pengadilan hanya 0,001% atau dalam 100.000 perkara yang diajukan penuntut umum kepengadilan baru satu diputus bebas, karena jaksa telah menyeleksi ketat hanya perkara yang cukupbukti yang diajukan ke pengadilan,. Di Norwegia bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendirisebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke pengadilan yang disebut patale unnlantese.Hal ini untuk mencegah menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadipenuh sesak. Baru-baru ini terbit peraturan di Nederland, bahwa semua perkara yang diancampidana dibawahenam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan memperhatikan keadaanpada waktu delik dilakukan,terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan afdoening yaitupenyelesaian di luar pengadilan dengan syarat terdakwa membayar denda administratif.) LihatDepartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Op.Cit., hal 28-29.

Page 144: TESIS

131

242(2) dari Wetboek van Strafvordering (KUHAP Belanda), sehingga dapat

memberikan landasan hukum untuk dibuatnya kesepakatan dengan saksi.347

Pelaksanaan asas oportunitas di Belanda, jaksa berwenang menuntut dan tidak

menuntut suatu perkara ke pengadilan, baik dengan syarat maupun tanpa syarat.

The public prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make

prosecution to court or not. Jadi dalam hal ini, Penuntut Umum tidak wajib

menuntut seseorang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya

akan merugikan kepentingan umum.348

Konsekuensi logis dari asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) di Belanda

OM tidak berada dalam kedudukan memiliki kewajiban mutlak untuk melakukan

penuntutan; atas dasar adanya ‘kepentingan umum’ (gronden aan het algemeen

belang ontleend), OM juga berwenang untuk memutuskan melakukan seponering

atau menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Satu aspek penting lain berkaitan

dengan tugas OM ialah OM tidak saja bertanggung jawab memajukan

kepentingan umum, namun juga hak-hak korban maupun tersangka/terdakwa

selama keseluruhan proses pemeriksaan pidana.349

Implementasi asas oportunitas di Amerika Serikat dikenal dengan istilah

substansial assistance.350 Menurut Linda Drazga Maxfield and John H. Kramer

substansial assistance merupakan : 351

“Inisiatif dari pemerintah yang menyatakan bahwa terdakwa telahmemberikan bantuan substansial dalam penyidikan atau penuntutan oranglain yang melakukan pelanggaran, maka dalam proses pengadilan dapatmenyimpang dari pedoman umum”.

Berdasarkan The Guidelines Manual, the statute, and prosecutorial

directives such as the U.S. Department of Justice’s (DOJ’s) U.S. Attorneys

Manual, terdapat empat ketentuan dalam pelaksanaan substansial assistance

347 Jan Crijns, Op Cit., hal. 162.348 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan

Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 9.

349 Jan Crijs, Op.Cit., hal. 161.350 Ibid, hal 84.351 Linda Drazga Maxfield and John H. Kramer, “Subtantial Assitance ; An Empirical Yardstik

Gauging Equity In Current Federal Policy And Practice”, (United States Sentencing Commission,January 1998), hal. 2.

Page 145: TESIS

132

yaitu: 352 Pertama, faktor-faktor yang akan digunakan oleh jaksa sebelum

menetapkan apakah terdakwa yang bekerja dapat diberikan bantuan "substansial”

adanya jaminan dengan bantuan substansial dapat membantu untuk hal belum

terselesaikan, Kedua terbatas dalam tindakan penuntutan, Ketiga bantuan

substansial terkait dengan kerjasama mengenai penyidikan atau penuntutan orang

lain, Terakhir tidak semua bantuan substansial adalah sama

Di Amerika Serikat Prosecutors have wide discretion in Plea Bargaining

with defendants,353sama halnya di Amerika Serikat di Inggris juga dikenal diskresi

penuntutan (Prosecutorial discretion) sepertinya yang diucapkan Attorney

General (Jaksa Agung), Sir Hartley Shocrecross 354:

“Tidak pernah menjadi aturan di negeri ini saya hampir tidak pernah bahwatersangka perbuatan kriminal harus secara otomatis menjadi subjekpenuntutanm’, memang peraturan utama (penuntutan pidana) yang direkturpenuntut umum (Director of Publik Prosecotor) bekerja untukmempersiapkan pada waktu dilakukanya mempunyai sifat yangmenunujukan bahwa kepentingan umum mensyaratkan demikian, itukahyang menjadi pertimbangan menentukan”.

Jaksa di Amerika Serikat (U.S.Attorney, Country Attorney dan District

Attorney atau State Attorney) hampir-hampir mandiri didalam menjalankan

kekuasaan diskresinya itu sejak tahap paling awal penyidikan sampai dengan

proses sesudah peradilan. Keputusannya dibidang penuntutan “hampir bebas sama

sekali dari pengawasan orang atau badan lain”. Ia dapat menghentikan proses

perkara dengan menghentikan penuntutan atau melakukan kompromi mengenai

dakwaan, yang dalam bahasa praktisi hukum Amerika disebut plea bargaining

atau “kompromi pengakuan” sehingga tersangka boleh mengakui kesalahannya

(plead guilty) sebelum ia diadili.355

352 The Guidelines Manual, the statute, and prosecutorial directives such as the U.S.Department of Justice’s (DOJ’s) U.S. Attorneys Manual, include four that are cited below. First,the factors to be used by the prosecutor prior to sentencing to determine whether the cooperationof a given defendant is “substantial” — and therefore warrants a substantial assistance departuremotion — are unaddressed, Second, the authority to move for a §5K1.1 departure is limited to theprosecution. Third, substantial assistance is linked to cooperation concerning the investigation orprosecution of another person Finally, apparently not all substantial assistance is equal.

353 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 4.354 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 36.355 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan

Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 54.

Page 146: TESIS

133

Dengan adanya ketentuan saksi mahkota dan plea bargaining dalam RUU

KUHAP maka dalam pelaksanaan nantinya akan memberikan kewenangan

diskresi langsung pada tiap-tiap penuntut umum, dengan demikian lebih dapat

dijamin terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan

yang bertumpu pada keadilan dalam reformasi hukum dan era globalisasi. Karena

diskresi penuntutan, akan terbuka kesempatan bagi jaksa untuk menjaring kasus-

kasus pidana lebih efektif sebelum penuntutan dengan menangguhkan penuntutan,

sehingga pelaku dapat merehabilitasi dirinya sendiri. Ini dikemukakan UNAFEI

yang menyatakan manfaat diskresi penuntutan adalah: 356

1) It allows effective screening of cases before prosecution;2) It afford the prosecutions it suspend prosecution in suitable cases thus

allowing the accused himself;3) It also allows promulgation of criminal policy guidelines at the time.

Melalui kesepakatan dengan saksi tententu, saksi yang bersangkutan dapat

didorong melangkah lebih jauh untuk memberikan keterangan (yang

mengkriminalinasi diri sendiri), sesuatu yang kemungkinan besar tidak mungkin

terjadi tanpa adanya kesepakatan tersebut. Walaupun demikian, kebijakan

(diskresi) penuntutan itu harus dilaksanakan dengan alasan yang memadai dan

informasi yang cukup, dengan aturan dan pedoman yang memadai, dengan

program pembinaan yang memadai bagi mereka yang akan dilepas, untuk

mencapai tujuan tersebut, yang palin pantas melaksanakanya adalah jaksa sebagai

seniman hukum,357 yang memiliki keterampilan hukum.358

356 Ibid., hal. 18.357 Istilah Seniman Hukum (legal crafisman) di ciptakan diciptakan Le Grade, lihat dalam

catatan kaki R.M Surahman dan Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 46.358 R.M Surahman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukanya,

(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 46.

Page 147: TESIS

134

2.Mekanisme Pelaksanaan

Sistem peradilan pidana Anglo Amerika dan Eropa Kontinental

menunjukan dua cara pendekatan untuk menemukan fakta yang pada dasarnya

berbeda metode akuisitoir (berlawanan) dan metode inkusitoir.359

Menurut Lon F Fuller tujuan dari kaidah ini (advesarial sistem) bukan hanya

untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah terhadap kemungkinan vonis

yang tidak adil, maksud kaidah tersebut untuk menjaga integritas dari

masyarakat, yang ditujukan agar acara-acara melalui mana masyarakat

mengenakan hukuman kepada para anggotanya yang tersesat tetap sehat dan

359 Menurut Friedman kedua sistem yaitu sistem adu (adversary system ) dan sistem Selidik(inquisitorial system) berbeda seperti siang dan malam ahli hukum common law merasa sistemadversary system adalah satu-satunya cara yang adil dalam menjalankan sidang, karena keadilandan kebenaran akan menang saat kita membiarkan masing-masing pihak berdebat, bersaing dansaling menguji, sedangkan ahli hukum ciwil law berpandangan sistem adu (adversary system )adalah primitif dan sering tidak adil karena menjadi ajang pertarungan antara penasehat hukumyang setengahnya terlalu cerdik sehingga kebenaran tertutupi dalam proses. Lihat : Lawrence MFriedman, Op,.Cit, hal. 19. Menurut Luhut M.P Pangaribuan apabila dirangkum maka perbedaanantara Prinsip inqusitorial dengan advesarial yaitu:

1.Inqusitorial : (1) dalam suatu peeriksaan restored to the confenssion yang could be inducedby torture (2) keterangan yang diberikan tidak bebas (pengakuan) diterima sebagai Legallysufficient indication telah adanya suatu probable cause and reasonable suspicion (3) dandengan adanya probable cause and reasonable suspicion itu akan digunakan sebagai thestandard for arresting a suspect searching or seizing his/her property, or filling a criminalcharge (4) pemeriksaan dijalankan dengan official state monopoly on prosecutor (5) dalampemeriksaan dipengadilan perkembanganya sudah mixed element of theinquisatorial andadvesarial system dengan tetap a limited opportunity for the parties to put their case (6) thejudges play an importan and active role in collecting the evidence dan (7) akan tetapipenekanan masih tetap pada collecting written documentation yang dalam penyidikandikenal BAP (8) yang mewarisi tradisi hukum dari Perancis dan umumnya negara –negaryang mewarisi eropa kontinental.;

2.Advesarial : (1) dalam setiap tahap pemeriksaan kasus kasus pidana fakta yang dikumpulkanharus show beyond reasonable doubt (2) dalam pemeriksaan suatu kasus polisi dan jaksasudah yakin siapa terangkanya tetapi tetap selalu hati-hati karena setiap tindakan misalnyapenyidikan di Inggris harus dibawa ke Summary trial, biasanya dengan pemeriksaan hakimdisebut magistrate atau jury in the Crown Court trial one;s peers (3) dalam sistemadvesarial ini ada doktrin jury system adalah sebagai protection for the defendant againstpower of the state (4) dalam pemeriksaan dipengadilan contest is essential (5) pemeriksaandipengadilan dilakukan dengan cara oral hearing dan the parties to put forward their case(6) dengan pemeriksaan dipengadilan dengan kontek itu, judge an artbitrator untukmemastikan adanya fair flay dari para pihak (7) dalam keseluruhan proses advesarial modelittle official inveloment (8) dikenal suatu proses pleas of guilty dan merupakananimmediately binding judgement. Lihat pula, Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal. 87-91,

Page 148: TESIS

135

bermanfaat,360yang pada akhirnya individu dapat bebas sebebasnya dari

prasangka sebagaimana dapat dapat dimungkunkan oleh keadaan manusia.361

Dipengadilan pidana Indonesia saat ini semua aspek perkara itu diputuskan

dan merupakan tanggungjawab hakim atau majelis hakim yang dididik khusus

untuk menjadi hakim, pengadilan indonesia masih mempertahankan stelsel aktif

hakim.362 Di Belanda praktek yang paling lazim pada kasus-kasus dimana

tertuduh secara hukum didampingi pembela merupaka komunikasi tiga arah

antara hakim ketua, jaksa dan pembela (atau team pembela), hakim ketua

mendominasi komunikasi (mirip Indonesia), pihak terlemah atau paling lemah

dalam interaksi ini adalah pembela, tertuduh sebagian besar objek pemeriksaan

perkara.363

Seperti dalam semua prosedur inquisitorial modern di benua Eropa,

pengaturan prosedural dan organisasi yang mengatur peradilan pidana di Belanda

mencerminkan bagaimana individu mendefinisikan hubungan mereka dengan,

harapan dari negara dalam hal rechtstaat modern: negara adalah fundamental

bagi rasional realisasi peradilan pidana sebagai bagian dari 'kepentingan umum',

dan dengan demikian diharapkan (dan dipercaya) untuk menegakkan hukum dan

ketertiban baik dan kebebasan individu.364

Ketentuan dalam rancangan KUHAP Indonesia mencerminkan kesediaan

untuk menghargai kerjasama dengan pengurangan hukuman dalam bentuk bentuk

tawar-menawar dengan terdakwa. Namun dalam pelaksanaanya para jaksa

hendaknya memberikan pertimbangan yang tepat untuk mengeyampingkan

penuntutan, untuk menghentikan proses perkara dengan atau tanpa syarat atau

penyimpangan yang diperbolehkan undang undang atau praktek dari sistem

360 Lon F Fuller, Sistem Perlawanan, Dalam Ceramah Radio oleh Profesor-Profesor HarvardLaw School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D. (TatanusaJakarta, 2008), hal. 30-31.

361 Ibid., hal. 36.362 Lihat Luhut M.P Pangaribuan, Op, Cit, hal. 20. Stelsel aktif artinya haki yang memimpin

sidang secara aktif untuk melakukan pemeriksaan fakta (fact finding) termasuk menentukan hal –hal apa saja yang masih perlu disajikan para pihak, kekuasaan hakim dalam pengadilan yangpidana berdasarkan stelsel aktif ini menjadi absolut.

363 L.H.C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, [TheDutch Criminal Justice Sistem From A Comparative Legal Prespective ] disadur oleh SoedjonoDirdjosisworo, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), hal. 151.

364 C.H. Brants-Langeraar, “Consensual Criminal Procedures: Plea and Confession Bargainingand Abbreviated Procedures to Simplify Criminal Procedure”, Electronic Journal of ComparativeLaw,( vol. 11.1 May 2007), hal. 2.

Page 149: TESIS

136

peradilan pidana yang formil, dengan sepenuhnya menghargai hak-hak para

tersangka dan korban, untuk tujuan tersebut negara harus menjaga

dimungkinkanya rencana diversi bukan sekedar untuk meringankan beban

pengadilan yang berlebihan saja, melainkan juga mencegah akibat buruk dari

penahanan sementara, dakwaan dan penghukuman maupun akibat buruk

kemungkinan pengaruh yang tidak diharapakan dari penjara.365

Dalam memutuskan The Whiskey Cases 49 pada tahun 1878,366 Mahkamah

Agung Amerika Serikat, meninjau apakah praktek hukum common law dapat

menerima sistem saksi yang bersifat kooperator, dalam kesimpulanya terdakwa

yang bersaksi terhadap kelompoknya memiliki hak memperoleh keadilan dalam

persidangan untuk mengajukan permohonan pengampunan, Mahkamah mengakui

pentingnya diskresi penuntutan dalam menentukan pelaksanaan penuntutan

pidana, termasuk keputusan untuk menawarkan bujukan kepada saksi

pemerintah.367

Aturannya adalah bahwa pengadilan tidak akan menyarankan Jaksa Agung

bagaimana ia akan melakukan penuntutan pidana, hal itu dianggap sebagai

provisi jaksa penuntut umum, bukan dari pengadilan yang menentukan apakah

terdakwa akan membantu atau tidak pembantu dan bersedia membuka kesalahan

dirinya dan rekan-rekannya serta dan diperiksa untuk negara. Karena jaksa yang

terbaik dan memenuhi syarat untuk menjawab pertanyaan itu, karena jaksa tahu

365 Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang PerananPara Jaksa, Point 18 Fungsi dan Sifat Diskresi”, Diterima Oleh Kongres Perserikatan BangsaBangsa Ke-8 Tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Tindak Pidana, 1990,Hak Cipta Terjemahan Pada R M Surahman.

366 The Whiskey Cases, 99 U.S. at 603. The Court also offered the following advice toprosecutors on appropriate procedures to be employed in determining whether to accept an offerby a defendant to cooperate: Applications of this kind are not always to be granted, and in orderto acquire the information necessary to determine the question, the public prosecutor will grantthe accomplice an interview, with the understanding that any communications he may make to theprosecutor will be strictly confidential. Interviews for the purposed mentioned are for mutualexplanation, and do not absolutely commit either party . . . . Prosecutors in such a case shouldexplain to the accomplice that he is not obliged to criminate himself, and inform him just what hemay reasonably expect in case he acts in good faith, and testifies fully and fairly as to his own actsin the case, and those of his associates. When he fulfills those conditions he is equitably entitled toa pardon, and the prosecutor, and the court if need be, when fully informed of the facts, will join insuch a recommendation. Id. at 603–04. With the exception of the matter of pardon, theserecommended procedures closely resemble the procedures generally used by modern-day federalprosecutors in debriefing potential cooperating defendants.

367 Hon. H. Lloyd King, Jr, Op.Cit., hal. 163.

Page 150: TESIS

137

bukti apa saja yang dapat dikemukakan untuk membuktikan tindak pidana yand

di tuduhkan.368

Menurut Kevin Ricardson pada sesi-sesi penawaran terhadap kooperator dan

keputusan untuk menggunakan terdakwa sebagai kooperator harus

mempertimbangkan keuntungan dan kerugian.369 Dan jangan melupakan

kooperator anda seorang kriminal sebagaimana ia sesungguhnya, pada waktu yang

sama tunjukan kepada juri bukti lain yang menunjukan kejujurannya.370

Di Belanda satu aspek terpenting dari prosedur yang harus ditempuh

berkenaan dengan tahap pengujian kesepakatan yang dibuat antara saksi dengan

OM oleh hakim, Hakim komisaris dalam tahapan ini akan memeriksa dan menguji

tidak saja keabsahan (rechtmatigheid) dari imbalan yang ditawarkan melainkan

juga seberapa jauh saksi dan keterangannya dapat diandalkan dan dipercaya (Pasal

226h(3) KUHAP Belanda), Hanya bilamana hakim komisaris telah memutus

keabsahan kesepakatan dengan saksi dan menyatakan bahwa keterangan saksi

layak dipercaya, maka kesepakatan boleh diwujudkan.371.

Berkaitan dengan pelaksanaan kerjasama dengan pengurangan hukuman

dalam bentuk bentuk tawar-menawar dengan terdakwa, maka harus diperhatikan

batasan umum dalam bentuk kesebandingan antara, satu pihak, kejahatan yang

disangkakan terhadap saksi dengan, pada lain pihak, kejahatan yang dengan

bantuan keterangan yang diberikan saksi tersebut dapat dituntut serta dituntaskan

dengan baik. Dengan kata lain, kesepakatan dengan saksi kiranya hanya layak

dipertimbangkan untuk dibuat apabila yang dihadapi adalah kasus-kasus yang

relatif besar dan penting.

Dalam konsep yang dianut dalam RUU KUHAP dimungkinkan untuk

diberikan kekebalan dari penuntutan (immunity from prosecution) kepada

tersangka yang mempunyai peran paling ringan, yang berdasarkan konsep

Protection of Cooperating Persons yang memilki keterkaitan dengan saksi

Mahkota dengan penerapan ajaran deelneming (penyertaan) pada Pasal 55

368 Ibid .369 Hasil Wawancara, tanggal 21 Maret 2013.370 Hasil Wawancara dengan Charles Guria, tanggal 21 Maret 2013.371 Jan Crijs, Op. Cit., hal.167.

Page 151: TESIS

138

KUHP.372 Pemberian kekebalan dari penuntutan (immunity from prosecution)

hampir mirip dengan yang dianut dalam kosep saksi mahkota yang ada di Italia

dan sangat berbeda dengan yang diterapkan di Belanda dan Amerika Serikat.

Konsep pemberian kekebalan penuntutan ini penting untuk dipikirkan,

karena sebenarnya jaksa tidak dapat menjamin bahwa kekebalan penuntutan dan

pengurangan pidana yang dijanjikan akan benar terwujud. Karena kewenangan

nyata mutlak ada pada hakim yang memeriksa perkara pidana di mana saksi

sekaligus diperiksa sebagai terdakwa. Sekalipun hakim dalam kasus-kasus di

mana saksi memberikan kerjasamanya, umumnya bersedia memenuhi janji yang

diberikan jaksa penuntut umum, tidak dapat dipungkiri bahwa saksi/ terdakwa

dapat memberikan keterangan bohong dan mencabut keteranganya .

Serta sistem hukum civil law sebagaimana yang dianut di Indonesia

menganut civil Law, sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Rabatel dalam

tulisannya Legal Challenges in Mutual Legal Assistance yang diterbitkan Asian

Development Bank (ADB) sebagaimana dikutip Artidjo Alkostar mengatakan :373.

“It is also common for requested authorities to ask the requestingauthorities to offer a witness immunity from prosecution. This could be aproblem in civil law countries, where granting immunity to a witness is notcommon”.

Jadi, dalam sistem hukum Civil Law atau Kontinental (bukan Anglo Saxon)

menjamin saksi untuk tidak dituntut (menjamin imunitas) adalah tidak lazim

Di Belanda sendiri ada batasan mengenai kesepakatan dengan saksi

ketentuan Pasal 226g (1) KUHAP Belanda, jaksa-penuntut umum berwenang

untuk membuat kesepakatan demikian hanya bila berhadapan dengan kriminalitas

berat, atau lebih konkretnya, 1) dalam hal adanya persangkaan (verdenking)

dilakukan kejahatan yang diancam dengan sekurang-kurangnya 8 tahun penjara,

2) atau dalam hal adanya persangkaan dilakukannya kejahatan yang diancam

dengan sekurangkurangnya 4 tahun penjara dan yang diperbuat dalam ikatan atau

jaringan yang terorganisir.374

372 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis danEvaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op. Cit., hal. 86.

373 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 4.374 Jan Crijns, Op.Cit., hal. 163.

Page 152: TESIS

139

Dalam hukum Belanda pembatasan terpenting ialah larangan untuk

menawarkan imbalan imunitas (kekebalan) mutlak terhadap penuntutan pidana,

dalam arti saksi kemudian tidak akan dituntut atas kejahatan terhadap mana ia

berkedudukan sebagai tersangka, pembatasan ini dengan kata lain berarti bahwa,

saksi dengan siapa jaksa-penuntut umum membuat kesepakatan bagaimana pun

juga tetap akan dituntut atas tindak pidana yang disangkakan terhadapnya.375

Sedangkan di Amerika Serikat menurut Charles Guria, bentuk hukuman

yang diberikan adalah hukuman yang ringan bagi cooperator, tetapi hukuman

yang lebih berat untuk pelanggaran kesepakatan, contoh : 376

“Terkait dengan perkara Kings County Grand Jury Nomor 1234/2013, yangmelibatkan Pencurian (Grand Larceny), Kepemilikan secara Pidana atasBarang Curian dan Persekongkolan untuk melakukan tindak pidanaterhadap Sovereign Bank pada tanggal 1 Januari, 2013, telah disepakatibahwa Terdakwa akan mengaku bersalah atas satu Dakwaan Berat (SeriousCharge) dan Dakwaan Ringan (Less-Serious Charge). Apabila selamamasa kerjasama, Terdakwa ditangkap kembali atau dengan cara apa punmelanggar kesepakatan tersebut, Kantor ini akan menghadirkan Terdakwadi pengadilan dan minta agar dipidanakan sesuai dakwaan yang Terdakwasudah mengaku bersalah dan mendapatkan hukuman maksimumberdasarkan Kitab Hukum Pidana. Setelah berhasil memenuhikewajibannya sesuai kesepakatan ini, Kantor ini akan meminta pengadilanagar Terdakwa diizinkan untuk mencabut pengakuan bersalah yangsebelumnya diajukan terhadap Dakwaan Berat dan mempindanakan yangTerdakwa atas Dakwaan Ringan sesuai yang diizinkan oleh Undang-Undang”.

Perlu dipahami bahwa kesepakatan ini bukan merupakan janji tertentu untuk

putusan tertentu. Selanjutnya perlu dipahami pula bahwa putusan final tunduk

pada persetujuan dari hakim Mahkamah Agung yang menangani perkara ini.

Selanjutnya disepakati dan dipahami oleh para pihak bahwa terdakwa akan

mematuhi semua penangguhan perkara yang sedang berjalan hingga pada saat

kerjasamanya tidak diperlukan lagi oleh kantor ini.377

Dalam pertanggungjawaban pidana yang menyangkut bentuk penyertaan

dimana dalam bentuk ini saksi mahkota diterapkan, menurut hukum pidana

Belanda dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, golongan

375 Ibid, hal 164.376 Charles Guria,”Successful Techniques for the Investigation & Prosecution of Corruption”,

(Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-tehnik Sukses Dalam Penyidikan dan PenuntutanKasus Korupsi, Bertempat di Hotel JW Mariott, Jakarta: Tanggal 20-21 Maret 2013).

377 Ibid.

Page 153: TESIS

140

penyertaan dimasukan dalam kelompok pembuat peristiwa pidana yang meliputi,

pelaku (Pleger), Orang Yang Membuat Orang lain Melakukan atau Penyuruh

(Doen Pleger), Mereka Yang Ikut Serta Dalam Suatu Tindak Pidana

(Medeplegen) dan Mereka Yang Menggerakan Orang Lain Untuk Melakukan

Tindak Pidana (uitloken),

Namun dalam hal pembantuan (medeplichtigheid) menurut KUHP beban

tanggungjawabnya lebih ringan dengan pidana maksimum dikurangi sepertiga,

sedangkan menurut Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana dalama pasal 22 ayat 2 ketentuan tentang Pembantu tidak berlaku untuk

pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori

I (tingkat keseriusan, sangat ringan-tidak ada pidana penjara-denda kategori I

Rp.150.000).378 Sedangkan di Belanda memandang sifat accessoir atau

keterkaitan dengan perbuatan pelaku menyebabkan pembantu tidak dapat

diringankan379.

Dalam common law dalam melihat principals (peserta utama) dalam dua

bentuk yaitu ; 1) Principals in the first degree (pembuat derajat pertama) ialah

barang siapa yang secara nyata melakukan kejahatan, baik dengan tangan sendiri,

maupun dengan alat perantara yang tidak benyawa atau an innocrnt human agent

(alat berupa manusia yang tidak bersalah atau tidak dapat

dipertanggungjawabkan), 2) Principals in the second degree ialah barang siapa

yang hadir ketika suatu kejahatan dilakukan oleh orang atau yang membantunya

atau yang bersekongkol dengannya dalam mewujudkan delik.380

Dan menurut Cristopher Ryan sebagai mana dikutip Andi Hamzah

Principals offender ialah seseorang yang bertanggungjawab secara langsung

dalam melakukan actus reus yang mewujudkan suatu kejahatan, dengan ketentuan

bahwa ia terbukti mempunyai mens rea (kesalahan dalam arti luas) yang

ditentukan oleh hukum, accesories menurut Cristopher Ryan dimasukan kedalam

secondary participation, yaitu seorang yang secara tidak langsung terlibat dalam

perwujudan delik, tetapi walaupun demikian, ia dianggap oleh hukum as if he

378 Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Naskah RUU KUHP,www.djpp.depkumham.go.id, Op, Cit .

379 Andi Hamzah Dan A.Z . Abidin , Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 505.380 Ibid., hal. 445.

Page 154: TESIS

141

were a principal offender, seolah-olah ia principal offender.381 Untuk pembantuan

menurut pasal 56 KUHP mempunyai kesamaan dengan accessory before the fact,

yang menurut Clark & Marshall sebagaimana dikutip Andi Hamzah yaitu peserta

yang receives (menerima) relieves (membebaskan) comfort (menolong) atau

assists (membantu) orang lain secara pribadi, sedangkan diketahui bahwa bahwa

orang itu telah melakukan kejahatan.382

E. Paradigma Pergeseran Sistem Dalam RUU KUHAP

Perbedaan mencolok antara sistem Anglo Amerika dan Eropa kontinental

mencolok tidak hanya menyangkut percabangan dua sistem akuisotorial dan

iquisatorial.383 tetapi juga dapat dilihat dari perbagai alat peradilan pidana hal

tersebut karena akar falsafah dan politik yang khas dari sistem anglo Amerika dan

Eropa Kontinental, pada intinya sistem Aglo Amerika memperlihatkan ide

individualisme dan desetralisasi sedangkan sistem eropa kontinental didasarkan

pada prinsip keseragaman, organisasi, birokratik, dan sentralisasi, serta sistem

anglo Amerika memperlihatkan kecendrungan untuk mengutamakan keadilan

dalam acara serta perlindungan hak-hak individu yang sangat tinggi sedangkan

sistem Eropa kontinental sangat ditekankan untuk mengembangkan secara hati-

hati hukum acara yang memadai untuk dapat memastikan fakta-fakta agar dapat

dicapai keputusan yang adil dalam suatu perkara.384

Dalam sistem kontinental sekalipun, dalam rumpun yang sama ditemukan

perbedaan-perbedaan sebagaimana penelitian Prof. Stephen C. Thaman, karena

secara individual ada kecenderungan di negara – negara Eropa dewasa ini ini

381 Ibid., hal. 444.382 Ibid, hal 448.383 Menurut Richard Demming sebaiaman dikutip Soedjono Dirdjosisworomengemukakan: the

great difference between continental lawand english American law that in European court theinquisitorial system used, in england and America the adversary system used, Lihat SoedjonoDirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandinagan Hukum , Bandung : Alumni , 1984,hal. 4. Menurut Friedman Kedua sistem yaitu sistem adu (adversary system ) dan sistem selidik(inquisitorial system) berbeda seperti siang dan malam ahli hukum common law merasa sistemadversary system adalah satu-satunya cara yang adil dalam menjalankan sidang, karena keadilandan kebenaran akan menang saat kita membiarkan masing-masing pihak berdebat, bersaing dansaling menguji, sedangkan ahli hukum ciwil law berpandangan sistem adu (adversary system )adalah primitif dan sering tidak adil karena menjadi ajang pertarungan antara penasehat hukumyang setengahnya terlalu cerdik sehingga kebenaran tertutupi dalam proses. Lihat pula LawrenceM Friedman, Op,Cit, hal. 93.

384 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandinagan Hukum,(Bandung: Alumni , 1984), hal. 27.

Page 155: TESIS

142

membuka diri ke sistem luar yang lebih baik, beberapa negara telah menerima hal

yang dianggap baik dari common law yakni mengenai prosedur advesarial untuk

memodernisasi sistem inkusatorial yang dianut.385 Dengan studi perbandingan

hukum pidana antara lain lain menemukan fakta bahwa negara – negara dunia

ketiga masih berlaku atau setidak-tidaknya dipengaruhi kuat oleh negara bekas

penjajah, dalam hal ini Indonesia secara mengakar bahkan KUHP dan berbagai

undang-undang masih bekas peninggalan pemerintah hindia Belanda.386

Menurut Friedman, ilmu kedokteran, ilmu terapan dan alam, dimanapun

pada dasarnya sama namun hukum ditentukan secara tegas berdasarkan

kebangsaan, hukum berhenti sampai perbatasan negara, jadi tidak ada dua sistem

hukum yang betul betul serupa , masing masing sistem hukum bersifat khusus

bagi negaranya atau yuridiksinya, hal ini terkait bahwa setiap sistem hukum

sepenuhnya berbeda dengan sistem hukum lainya.387

Dalam konsep RUU KUHP Indonesia Pasal 137-175 ketentuan prosedur

persidangan sudah mengarah ke adversarial atau antara penuntut umum dan

terdakwa/penasihat hukum lebih berimbang. Penuntut umum dan terdakwa diberi

kedudukan seimbang sehingga tidak adalagi berita acara yang dibuat oleh

penyidik yang diserahkan kepada hakim. Hakim hanya menerima dakwaan dan

daftar terdakwa dan saksi. Jadi benar-benar hakim berada di tengah-tengah antara

pertarungan penuntut umum dan terdakwa beserta penasihat hukumnya. Para

pihak dapat mengajukan saksi-saksi dan bukti lain di sidang pengadilan388. Inilah

yang merupakan perubahan penting yang berbeda dengan KUHAP 1981 yang

menurut Mr. Robert Strang dari OPDAT, masih tetap sama dengan HIR dan

KUHAP Belanda, kecuali beberapa perubahan.389

Menurut Robert R Strang salah satu tujuan eksplisit dari Kelompok Kerja

adalah untuk membuat KUHAP yang baru yang lebih adversarial, tujuan ini

diabadikan dalam satu dari ketentuan awal kode rancangan acara pidana yang

385 Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal. 93.386 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hal. 11.387 Ibid., hal. 19.388 Departemen Hukum Dan Hak Asasi manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang

Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op, Cit.389 Robert Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial”: Reformasi of the

Indonesian Criminal Procedure Code”. Fordham International Law Journal, (Volume 32, Issue 12008 Article 13), hal. 5.

Page 156: TESIS

143

tercakup dalam Undang-undang ini harus dilaksanakan secara adil dan dalam

adversarial, dengan cara ini penekanan adversarial baru yang paling jelas pada

sidang panggung. Ketentuan ini tidak diadopsi dari sistem hukum common law

tetapi lebih kepada sistem civil law Prancis.390 Lebih lanjut Robert R Strang

mengatakan bahwa, Kelompok Kerja (Tim Pembuat RUU KUHAP) telah

melakukan sintesi dua tradisi untuk menghasilkan sistem peradilan pidana yang

jauh lebih fleksibel. Konsep KUHAP menghilangkan banyak ketentuaan dalam

saat ini, yang dinilai formalisme dan telah kritis diwarisi dari sistem Belanda

dan menggantikannya dengan sistem hybrid yang lebih Advesarial tetapi

berusaha untuk melestarikan bagian dari tradisi inquistorial nya.

Di Indonesia sistem hukum tumbuh dan berkembang didasarkan pada asas

konkordasi, dimana berlaku beberapa sistem hukum, pada satu sisi

memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa

Kontinental) dan disisi lain berlaku pula hukum adat sebagai hukum yang asli.

Tidak cuma itu, diantara kedua sistem hukum tersebut berlaku pula hukum Islam.

Dalam konteks keberagaman sistem hukum ini, asas penting dalam kehidupan

adat adalah sifat kekeluargaan (komunalitas) dan dengan masukknya agama Islam

ke Indonesia, maka banyak daerah adat yang menyerap unsur-unsur agama Islam

dalam kehidupan hukum adatnya.391

Melihat kenyatan dalam RUU KUHAP tidak hanya menyerap sistem hukum

dari ciwil law tetapi juga banyak mengadopsi ketentuan dari common law maka

tampaknya akan terjadi pergeseran dalam sistem hukum Indonesia pidana,

sehingga dalam kenyataanya yang akan datang sistem hukum pidana Indonesia

merupakan campuran antara sistem common law dan sistem ciwil law. Saat ini

390 Robert R. Strang, More Adversarial, but not Completely Adversarial”: Op, Cit art. 4. Thisprovision was not adopted from a common law system, but rather from the former heart of the civillaw system-France. See CODE DE PROCEDURE PENALE, art. l-P, available athttp://www.legifrance.gouv.fr/initRechCodeArticle.do [hereinafter C. PR. PEN.]; see also Draft ofKUHAP dated Jan. 18, 2006, art. 3A (on file with author) (noting French origin). The Frenchcriminal procedure code has introduced more adversarial elements in recent years, such as guiltypleas, traditionally associated with adversarial systems, see C. PR. PEN., supra, art. 41 (2)-(3),and most recently allowing the prosecutor and defense attorney to question witnesses directly, butit is not yet clear whether these recent innovations have really shifted the inquisitorial approach ofFrench judicial actors. See Transplants to Translations, supra note 2, at 59-63.

391 Sunarjati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:Alumni,1991), hal. 57-60.

Page 157: TESIS

144

pun menurut Ahmad Ali sebenarnya realitas hukum Indonesia tidak dapat disebut

sistem civil law murni lagi karena :

“Dalam realiatasnya hukum Indonesia, memberlakukan : (1) perundang-undangan (ciri eropa kontinental), 2. Hukum adat (ciri customary law), (3)hukum Islam dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia (ciri muslim lawSystem), dan (4) hakim Indonesia didalam praktik mengikuti yurisprodensi(yang merupakan ciri common law system, dengan asas stare decisi itulahargumen sehingga pakar modern memasukan indonesia kedalam ‘mix legalsystem” .392

Dengan Melihat kenyatan bahwa masyarakat bahwa Indonesia negara

berpenduduk muslim terbesar didunia dan menurut data statistik BPS (akhir

2010), jumlah pemeluk agama Islami sekitar 87.18 persen dari 237.641.326

penduduk Indonesia, sehinga perlu juga dilakukan dipertimbangkan kemungkin

untuk menyerap Islamic law dalam hukum acara pidana yang akan datang.

Karena dalam era globalisasi dan era reformasi harus ditekadkan untuk melakukan

pembaharuan yang mendasar terhadap kekeliruan –kekeliruan dalam bidang

hukum yang telah dibuat dimasa lalu.393

Maka menurut Ahmad Ali tak ada metode yang relevan untuk menghadapi

isu hukum era globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara

proposional secara serentak ketiga pendekatan hukum : normatif , empiris dan

filusufis, dan itulah yang dikenal sebagai triangular conceptof legal pluralism.394

Menurut Wagner Menski sebagaimana dikutip Ahmad Ali triangular conceptof

legal pluralism (konsep segitiga plurarisme hukum),395yang sangat relevan bagi

hukum bangsa Asia dan Afrika mengunakan tiga tipe utama pendekatan hukum

yaitu hukum yang diciptakan masyarakat (social norms), hukum yang diciptakan

negara (state made law) dan hukum yang timbul melalui nilai estetika/religi

(ethical value), triangular conceptof legal pluralism dari Menski ini memperkuat

konsep Lawrence M friedman tentang unsur ketiga hukum yaitu legal culture

392 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence), Vol 1, (Jakarta:Kencana , 2012), hal. 449.

393 Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta:Komisi HukumNasional RI, 2009), hal. 173.

394 Ahmad Ali, Op,Cit., hal. 185.395 Lebih lihat Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence), Op.Cit., hal.184 -201.

Page 158: TESIS

145

(kultur hukum), tipe hukum yang ideal menurut Menski, suatu tipe hukum yang

berhasil secara optimal menjalin interaksi antara tiga komponen utama tadi.396

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia Topo Santoso

berpendapat :397

“Selama ini dalam pembaharuan hukum di Indonesia, bahan-bahan yangdiambil senantiasa dan terutama berasal dari konsep-konsep danpengalaman dari keluarga hukum civil law dan common law, padahal kianlama, kian tampak bahwa masyarakat memerlukan sumber-sumberalternative yang berbeda dari kedua keluarga hukum itu, bagi masyarakatmuslim, hukum Islam tentu memiliki tempat yang lebih tinggi karenahukum ini merupakan bagian dari integralitas ajaran Islam dan selarasdengan rasa keimanan”.

Selain itu Perkembangan hukum di Indonesia tidak hanya dirumuskan

sebagai usaha untuk membuat kehidupan hukum di negeri ini menjadi lebih

modern melainkan juga menyesuaikan ciri-ciri serta persyaratan hukum modern

itu dengan kecendrungan budaya Indonesia, sehingga hukum tersebut benar –

benar dapat menjadi bagian kebudayaan Indonesia.398 Oleh sebab itu hukum

pidana, yang merupakan the punitive of social control dan sebagai produk politik,

sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum

dan dirumuskan para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan

pidana.399

Berajak dari uraian diatas sudah sepantasnya Islamic law dapat dijadikan

sebagai bahan rujukan untuk pembaharuan hukum pidana acara pidana di

Indonesia. Sebagai salah satu hal yang menarik untuk dikaji sebagai sumber

alternatif dalam hal pembuktia, sumpah dan saksi yang berkaitan dengan saksi

mahkota, menarik untuk melihat kepada sistem Islamic law yang berlaku di Arab

Saudi yang mana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan hukum

pembuktian yang dianut di Indonesia saat ini (civil law) maupun yang diterapkan

di Amerika Serikat (common law). Dalam hal pembuktian dalam hukum Islam

396 Ibid, hal 184 -201397 Topo Santoso, “Hukum Pidana Islam Dalam Studi Hukum”, Makalah ini disampaikan

dalam Seminar Perkembangan dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, diselenggarakan olehLKIHI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok:7 Desember 2006, hal 5.

398 Satjipto Raharjo, Hukum Dan Perubahan Sosial , Bandung: Alumni, 1983, hal 291.399 Harkrisnowo, Harikristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan Suatu Gugatan Terhadap

Legislasi Dan Pemidanaan di Indonesia. Op.Cit, hal 2 .

Page 159: TESIS

146

dikenal diktum yang berbunyi“Pembuktian itu dibebankan (wajib) atas pengugat,

sedangkan sumpah dibebankan (diwajibkan) kepada yang menolak gugatan”.400

Diktum tersebut menjadi kaidah umum dalam penyelesaian perkara,

didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa orang yang menggugat (penggugat)

itu belum tentu benar untuk itu diwajibkan menunjukan bukti fisik menguatkan

gugatanya, sedangkan pihak yang menolak gugatan (terdakwa) wajib

mengucapkan sumpah didepan majelis hakim, selain sebagai kaidah umum

diktum tersebut menunjukan bahwa kebenaran yang diputus pengadilan itu adalah

kebenaran formal.401

Pada masa Rasulullah SAW, untuk penyelesaian perkara yang secara kasat

mata sulit dibuktikan karena tidak cukup bukti, Rasulullah SAW banyak

melakukan sentuhan imani dan dan sentuhan nurani, dengan kata lain Rasulullah

SAW tidak hanya hanya berpegang pada fakta hukum yang sebenarnya nampak

tetapi juga dengan pengakuan tulus dari para pihak untuk sejujurnya menyantakan

dan menyampaikan duduk perkara dengan benar.402

F. Konsep lain yang Mengatur Keturutsertaan Saksi dalam Suatu TindakPidana

1.Whistelblower dan Justice Collabolator

Pembahsaan konsep lain yang mengatur juga keturutsertaan saksi dalam

tindak pidana ini, dimaksudkan untuk melihat apa yang dimaksud whistel blower

dan justice collabolator serta perbedaan dan persamaannya dengan saksi mahkota

sehingga didapat makna yang jelas dan batasan masing- masing dari konsep

tersebut. Walaupun sampai saat ini untuk saksi mahkota, whistelblower dan

justice collabolator di Indonesia belum ada payung hukum atau peraturan

setingkat undang- undang yang mengatur, namun padahal akhir-akhir ini banyak

sekali mencuat suatu perkara yang menyangkut whistelblower dan justice

collabolator seperti dalam kasus pemberian travel cek kepada anggota DPR yang

400 Oyo Sunaryo Muklas, Perkembangan Peradilan Islam, di Jazirah Arab Ke PeradilanAgama Di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 63.

401 Ibid., hal. 63-64.402 Ibid., hal. 50.

Page 160: TESIS

147

kemudian di bongkar oleh salah satu penerimanya Agus Condro atau kasus pajak

Gayus Tambunan yang di buka oleh Susno Duaji.

Saat ini pengertian tentang Whistleblower dan Justice Collaborator baru

sebatas Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi

Whistleblower dan Justice Collaborator, kedua istilah ini mendapat pemisahan

yang tegas. Pemahaman pertama, tetap disebut sebagai whistleblower, sedangkan

pemahaman yang kedua dikategorikan sebagai justice collaborator. Menurut

SEMA tersebut, whistleblower adalah seseorang yang mengetahui dan

melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Apabila

pelapor (whistleblower ) dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang

dilaporkan mengenai whistleblower diisyaratkan adanya hal-hal sebagai

berikut:403

a. Saksi pelapor merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindakpidana, akan tetapi bukan merupakan bagian dari pelaku tindak pidanayang dilaporkan;

b. Jika Pelapor tindak pidana juga dilaporkan oleh terlapor maka perkaraterlapor yang dilaporkan oleh Pelapor didahulukanpenanganannya.pelapor didahulukan.

Namun berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2011 tersebut tampaknya ada

perbedaan pemaknaan mengenai keterlibatan atau keturutsertaan seorang

whistleblower dalam tindak pidana yang dilaporkan, seperi halnya yang

berkembang di negara lain. Dalam pengertian SEMA diatas disyartakan bahwa

seorang whistleblower atau saksi pelapor merupakan pihak yang mengetahui dan

melaporkan tindak pidana, akan tetapi bukan merupakan bagian dari pelaku tindak

pidana yang dilaporkan.

Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro dalam bahan pustaka

pengertian whistleblower adalah:404

“Pembocor-rahasia atau pengadu. Dia adalah seorang yang membocorkaninformasi yang sebenarnya bersifat rahasia di kalangan di mana informasiitu berada, tempat di mana informasi itu berada maupun jenis informasi

403 Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2011.http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/peraturan/10-sema/191-sema-no-14-tahun-2010-dokumen-elektronik-sebagai-kelengkapan-berkas-kasasipk-.html , diunduh 4 Januari 2013.

404 Mardjono Reksodiputro, “Pembocor-rahasia (whistleblower) dan Penyadapan-rahasia(wiretapping,electronic interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia”, (MakalahDisampaikan 3 Agustus 2010 dalam Seminar Center for Legislacy,Empowerment,Advocacy andResearch(CLEAR) Di Hotel Le Meridien).

Page 161: TESIS

148

tersebut dapat bermacam-macam, si pembocor sendiri adalah “orang-dalam”di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yangdibocorkan itu, karena dia adalah “orang-dalam” maka dia menempuh risikodengan perbuatannya itu”.

Dalam buku Memahami whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) memberi kriteria untuk disebut sebagai whistleblower, saksi

setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar yaitu:405

1. Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritasyang berwenang atau kepada media massa atau publik. Denganmengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massadiharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar;

2. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yangmengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi ditempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selaluterorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian daripelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalamskandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

Whistleblower merupakan makna kriminologis bagi mereka yang memiliki

keberanian membongkar suatu kejahatan yang berada dilingkungan kehidupan,

profesi maupun sosianlnya 406. Menurut Indriyanto Seno Adji peran inner-circle

criminal dianggap memiliki daya potensial untuk membuka tabir kejahatan lebih

signifikan, namun demikian sebagai suatu balanced og bargain terhadap pelaku

tersebut diberikan suatu reward berupa perlindungan hukum yang dinamakan

protection of cooperating person baik itu person diartikan sebagai saksi

(waitness), korban (victim) maupun pelapor (reporter).407

Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan

masing-masing, diantaranya :408

1. Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989,Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunanpangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakdiskriminasi;

405 Abdul Haris Semendawai, et al., Memahami WHISTLEBLOWER, (Jakarta: LembagaPerlindungan Saksi dan Korban , 2011), hal. 2-3.

406 Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif, Op. Cit., hal. 190.407 Ibid .408 Eddy O.S. Hiariej, Legal Opin: “Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat (2)Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban”, Newslette Komisi HukumNasional ,(Vol. 10 No.6 tahun 2010), hal..23.

Page 162: TESIS

149

2. Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected DsdosuresAct Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dariaccupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatanatau pekerjaan;

3. Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code ofCanada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yangmemberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat ataumelakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengantujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintahatau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yangmemberikan informasi;

4. Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 ProtectedDsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak adapertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan daripenceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan danperlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media;

5. Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes DisclouseAct 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dariviktimisasi serta perlakuan yang merugikan.

Sedangkan seseorang Justice Collaborator, menurut SEMA No. 4 Tahun

2011, yaitu :

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentusebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yangdilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut sertamemberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yangbersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangatsignifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapatmengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkappelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/ataumengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana;

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja samasebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yangakan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidanasebagai berikut:

i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atauii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan

diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkaradimaksud.

Secara historis sejak tahun 1930, Kitab Hukum Pidana Italia memberikan

kekebalan sebagian ataupun penuh dari hukuman jika pelaku memberikan ganti

rugi atas kerugian kejahatan atau bekerjasama dengan pihak berwajib dalam

perkara konspirasi politik atau kegiatan yang berhubungan dengan

Page 163: TESIS

150

gang/kelompok. Baru pada tahun 1984 ketika, Mafioso Sisilia Tommaso Buscetta

menentang Mafia dan memulai karirnya sebagai kolaborator hukum, perlindungan

saksi dibentuk secara formil. Busceta menjadi saksi bintang dalam persidangan

Maxi, yang mengarah pada 350 anggota Mafia dihukum penjara. Sebagai imbalan

kerjasamanya, dia direlokasikan dengan identitas baru. Kejadian tersebut

mendorong lebih banyak lagi anggota Mafia untuk bekerja sama, dimana hasilnya

pada akhir 1990-an penegak hukum Italia telah mendapatkan bantuan dari 1,000

lebih kolaborator hukum.409

Perlindungan saksi pertama kali muncul di Amerika Serikat di tahun 1970-

an suatu prosedur hukum yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan

program pembongkaran organisasi kejahatan berjenis mafia. Hingga saat itu,

“sumpah diam” – dikenal sebagai omertà – yang tidak tertulis diantara anggota

Mafia tidak dapat digoyahkan sehingga mengancam nyawa siapapun yang

melanggar dan bekerjasama dengan polisi. Saksi penting tidak dapat dibujuk

untuk bersaksi dan saksi kunci menghilang oleh karena upaya pimpinan kelompok

kejahatan yang menjadi target penuntutan. Pengalaman awal ini meyakinkan

Departemen Hukum Amerika Serikat bahwa suatu program perlindungan saksi

perludi institusikan.410

Di Indonesia sendiri keberadaan whistleblower disadari memiliki peranan

penting, tetapi pengaturan yang lebih rinci yang berkaitan dengan saksi sebagai

whistleblower yang memiliki unsur-unsur yang berbeda cukup signifikan

dibandingkan dengan saksi dalam kategori lain. Kerumitan posisi wistleblower

(pemukul kentongan) menyebabkan para perumus undang-undang a quo

memutuskan untuk tidak memasukkan ketentuan tentang wistleblower dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.411

Secara yuridis normative, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat

(2) keberadaan whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan

409 UNODC (United Nations Office On Drug and Crime), Praktek Terbaik Perlindungan SaksiDalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, hal. 12.

410 Ibid., hal. 6.411 Mahkamah Konstitusi. “Penjelasan Pemerintah Dalam Perkara Permohonan Pengujian

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, (Dalam putusan Mahkamah konstitusiNomor 42/PUU-VIII/2010), hal 44.

Page 164: TESIS

151

secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama

tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan

hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Isi Pasal 10 Ayat (2) UU

No.13 Tahun 2006, terdapat kata-kata”saksi yang juga tersangka” merupakan

rumusan yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap saksi yang juga

berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka.

Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian

hokum, Eddy O.S Hiariej berpendapat:412

“Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (2), Saksi yang jugaTersangka, dalam konteks hukum pidana terminologi ini tidak benar, saksiya Saksi, tersangka ya tersangka. Dalam hal kata-kata saksi yang jugatersangka pasti ini terjadi deelneming, terjadi yang namanya kroongetuige,saksi mahkota, sebab kalau saksi dan sekaligus dia tersangka adalah tunggalmaka dia pasti disebut sebagai tersangka atau terdakwa, dia memberikanketerangan pengadilan adalah keterangan terdakwa bukan keterangan saksi”.

Karena itu ketentuan Pasal 10 ayat (2) itu merancukan saksi korban, saksi

pelapor karena saksi menjadi tersangka, ini menandakan kalau Saksi yang juga

adalah Tersangka maka pasti di sini terjadi penyertaan, pasti lebih dari 1 orang

pelakunya. Maka sebetulnya kata-kata Saksi yang juga Tersangka ini lebih

merujuk kepada kroongetuige. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan, Pasal

10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 bertentangan dengan semangat whistleblower,

karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang

whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana

bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.413

Terkait dengan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

dijatuhkan, Pasal 197 angka (1) huruf (f) KUHAP menegaskan bahwa surat

putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar pemidanaan dan peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum

dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan

terdakwa, beberapa hal yang dapat meringankan terdakwa antara lain tidak

412 Eddy O.S. Hiariej, “Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan” , NewsletterKomisi Hukum Nasional, (Vol.10, No.6 Juli 2010).

413 Ibid.

Page 165: TESIS

152

berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum, berusia masih muda,

berkelakuan baik atau sopan selama persidangan di pengadilan, atau memiliki

tanggungan anak dan istri.

Posisi sebagai justice collaborator tidak dapat serta-merta dihubungkan

dengan upaya untuk memperoleh keringanan hukuman, sekiranya hakim

memberikan keringanan hukuman, itu adalah berdasarkan hal-hal tersebut di atas,

bukan karena setelah menerima tawaran untuk menjadi justice collaborator. Sikap

kooperatif seorang terdakwa sudah cukup menjadi dasar bagi hakim untuk

memberikan keringanan, jadi spirit penerapan justice collaborator diletakkan

dalam konteks untuk membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat

negosiasi pihak-pihak yang berkepentingan.414

2.Perbedaaan dan Persamaan Konsep Saksi Mahkota dengan Whistelblower danJustice Collabolator

Berdasarkan uraian diatas maka antara konsep saksi mahkota, whistleblower

serta justice collaborator terdapa kesamaan dalam hal keturut sertaan pelaku

dalam tindak pidana walaupun dalam konsep whistleblower tidak di haruskan

adanya keterlibatan pelaku dalam tindak pidana. Dalam peradilan di Amerika

yang telah menerapkan konsep whistleblower, menurut Kevin Ricardson

peradilan di Amerika Serikat tidak memberikan batasan yang pasti apakah

whistleblower tersebut merupakan bagian kejahatan atau hanya yang melaporkan

kejahatan, karena pada kenyataannya sering juga seorang whistleblower akan

menjadi terdakwa dan dipidana pada akhir proses persidangan.415

Berbeda dengan justice collabolator dan saksi mahkota dalam konsep

whistleblower memberikan makna bahwa inisiatif untuk melaporkan tindak

pidana (bekerjasama dengan penegak hukum), ada pada whistleblower karena ia

seorang pengungkap fakta walaupun nantinya status whistleblower dapat berubah

menjadi justice collabolator ketika seorang whistleblower yang turut serta dalam

tindak pidana didudukan sebagai saksi dalam perkara yang ia laporkan, sedangkan

414Frans H Winarta, Esensi Justice Collaborator.http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=411:esensi-justice-collaborator-&catid=1:latest-news&Itemid=50&lang=in.,diunduh 12 Oktober 2012.

415 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013 .

Page 166: TESIS

153

dalam justice collabolator dan saksi mahkota kerjasama terjadi setelah aparat

penegak hukum menanggani perkara tetapi karena membutuhkan keterangan dari

justice collabolator dan saksi mahkot kemudian dilakukan penawaran untuk

melakukan kerjasama.

Dilihat dari segi motivasi seorang whistleblower yang menyampaikan

informasi, membongkar, mem-blowup atau mengungkapkan suatu praktek

penyimpangan didalam suatu kelompok/organisasi /korporasi atau institusi, dalam

prakteknya menurut Adrianus Meliala sebagai mana dikutip Marwan Effendy

berkaitan dua hal, pertama yang berkaitan dengan etika dan yang kedua berkaitan

dengan hukum.416 Sedangkan menurut Kevin Ricardson motivasi whistleblower

dalam bekerjasama untuk memperbaiki kesalahan, keuangan, pertimbangan

pengadilan, balas dendam dan niat mulia.417 Sedangkan bagi seorang justice

collabolator dan saksi mahkota keringanan hukuman sebagai tawaran imbal balik

yang diberikan atas kerjasama tersebut yang menjadi faktor mendorong motivasi

tersebut.

Untuk penerapanya dalam bentuk kejahatan, konsep whistleblower serta

justice collaborator sebagaimana disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011

diterapkan dalam kejahatan yang menyangkut korupsi, terorisme, tindak pidana

narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak

pindana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan

ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masayarakat sehingga

meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta

membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Semua tindak pidana yang disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011

merupakan tindak-tindak pidana yang secara Internasional diakui sebagai

kejahatan terorganisir oleh United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime, Palermo pada tahun 2000 yang diratifikasi oleh Republik

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009, dalam penjelasan dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tersebut, tindak pidana terorganisir dapat

ditentukan berdasarkan lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.

416 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa PerkembanganHukum Pidana, Op.Cit., hal .145.

417 Kevin Ricardson, Op, Cit.

Page 167: TESIS

154

Sedangkan konsep saksi mahkota tidak membatasi atau dapat diterapkan pada

semua tindak pidana artinya lebih luas, dan jelas saksi mahkota akan menjadi

saksi di pengadilan karena memang dalam konsep saksi mahkota pada hakekatnya

untuk mendapatkan kesaksian sebagai alat bukti. Menurut Robert R. Strang :

“Pengenalan konsep terdakwa bekerja sama (saksi mahkota) di Indonesiaawalnya dirancang untuk fokus pada melindungi korban, diperluas untukmendorong whistelblower, terutama dalam kasus korupsi, sehubungandengan bekerja sama terdakwa, undang-undang menyatakan bahwa saksiyang juga merupakan pelaku dalam kasus yang sama tidak dapat dilepaskandari setiap tuntutan hukum jika ia / dia terbukti secara sah dan meyakinkanbersalah, maka kesaksiannya dapat digunakan oleh hakim sebagaipertimbangan untuk mengurangi hukuman tersebut”.418

Diakhir tulisan ini penulis berpendapat selain maanfaat dan dan hasil yang

akan didapat dari konsep whistleblower, justice collaborator termasuk juga saksi

mahkota, perlu juga melihat dari sudut moral. Apabila kita lihat lebih dalam dari

sudut moral apakah tidak lebih mulia kedudukan mereka bila melaporkan

kejahatan dan bekerjasama dengan penegak hukum sebelum kejahatan terjadi,

dalam hal tindak pidana korupsi kerugian negara dapat terselamatkan begitu pula

dalam tindak pidana yang lain. Perkatakaan sedikit ekstrim mereka adalah

penjahat yang berhianat,419apakah hanya karena kemudian mereka mau

bekerjasam dengan aparat penegak hukum kita dapat melupakan satu kejahatan

bahkan rangkain kejahatan yang lainya yang pernah di lakukanya.

Bahkan menurut Steven Kessler kerjasama dengan pelaku kejahatan

menuntut kehati-hatian bagi aparat penegak hukum karena kerjasama ini hampir

mirip bekerjasama dengan iblis.420 Karena itu penggunan kooperator dan informan

rahasia merupakan hal kontroversial maka digunakan seperlunya dalam

penuntutan jenis-jenis tindak pidana tertentu (misal korupsi, narkoba dan

kejahatan terorganisir) dan membutuhkan pengendalian ketat untuk menghindari

dampak negative. oleh karena dalam pelaksanaan kerjasama tetap namakan

418 Robert R. Strang, Op.Cit., hal. 204.419 Istilah “penjahat yang berhianat” dikutip dari penyataan Mardjono Reksodiputro, pada saat

menyampaikan kuliah Seminar Usulan Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, tahun2012

420 Hasil Wawancara 21 Maret 2013

Page 168: TESIS

155

kooperator seorang kriminal sebagaimana ia sesungguhnya, dan pada waktu yang

sama tunjukan kepada juri bukti lain yang menunjukan kejujurannya.421

Berkaitan dengan motivasi apakah tidak mungkin, tujuan mereka

bekerjasama dengan penegak hukum untuk menutupi suatu kejahatan dengan

mengungkap kejahtan lain. Sebagai contoh saat Nazarudin mengungkapkan

penyimpangan dalam kasus Hambalang, apakah kemudian kita akan memberikan

penghargaan sebagai whistleblower terbaik, karena telah mengungkap kasus

Hambalang yang melibatkatkan banyak pejabat di Indonesia dengan nilai kerugian

negara yang fantastis, tetapi dilain pihak kita apa kita dapat melupakan bahwa

Nazaruddin juga tersangkut banyak perkara korupsi lain, yang nilanya tidak kalah

dari kasus Hambalang. Begitu juga dalam kasus Susno Duaji yang menguangkap

perkara pajak tetapi dilain pihak ia juga terbukti melakukan dua tindak pidana

korupsi.

Namun kita juga tidak boleh menampikan adanya motivasi bertobat dari

pelakunya, selama motivasi ini tidak dilatar belakangi sikap moral yang buruk

maka makna penjahat, itu akan berubah menjadi pelaku yang bertobat. Menurut

Adrianus Meliala sebagaimana dikutip Marwan Effendy mengatakan, dari sudut

pandang etika terdapat dua tipe whistleblower yaitu :422

“Pertama, si penjaga etika (ethical resister) yang dengan itikad baik (goodfaith) mengungkap terjadinya penyimpangan atau mismanagement dengantujuan adanya suatu perubahan dalam manajemen dalam tempat yangbersangkutan bekerja, dan Kedua si sakit hati (the disgruntler) yangmengungkap adanya mismanagement dengan didasari dendam (revenge)”.

G. Paradigma Baru Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP

Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat

signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi

mahkota yang selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila

dilihat konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep

saksi mahkota yang di kenal di Eropa, pemikiran konsep ini berpijak dari konsep

yang selama ini digunakan bertentangan dengan asas self incrimination,.

421 Charles Guria, Op, Cit.422 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana , Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan

Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 145 .

Page 169: TESIS

156

Dalam RUU KUHAP ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di

dalam Pasal 200 sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia hal

ini sama dengan di Belanda. Konsep yang dianut dalam RUU KUHAP

dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan (immunity from

prosecution) kepada tersangka yang mempunyai peran paling ringan, yang

berdasarkan kosep protection of Cooperating Persons yang memilki keterkaitan

dengan saksi Mahkota dengan penerapan ajaran deelneming (penyertaan) pada

Pasal 55 KUHP.

Dalam RUU KUHAP juga memperkenalkan sistem yang mirip dengan plea

bargaining, hal ini tercantum di dalam 197 dengan judul jalur khusus. Dimana

saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua

perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang

ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut

umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Konsep

RUU KUHAP tidak hanya menyerap sistem hukum dari ciwil law tetapi juga

banyak mengadopsi ketentuan dari common law maka terjadi pergeseran

paradigma dalam sistem hukum Indonesia pidana, sehingga sistem hukum pidana

Indonesia yang akan datang merupakan campuran antara sistem common law dan

sistem ciwil law.

Page 170: TESIS

157

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini maka penulis berkesimpulan bahwa:

1. Untuk mengatasai permasalahan agar penerapan saksi mahkota pada

penyertaan dalam tindak pidana tidak melanggar asas non self incrimination,

maka diperlukan kesepakatan untuk kerjasama secara sukarela dari saksi

mahkota dengan jaksa penuntut umum sebelum mengajukan saksi mahkota

sebagai alat bukti dipersidangan. Kesepakatan kerjasam antara jaksa penuntut

umum dengan saksi mahkota, merupakan bargaining power dari jaksa penuntut

umum yang dibuat dengan sepengetahuan hakim, yang akan memberikan hak

dan kewajiban antara jaksa (penegak hukum) dan saksi mahkota

(berkedudukan selaku saksi dan terdakwa) hak penuntut umum mendapatkan

informasi sebanyak – banyaknya dari saksi mahkota terhadap kejahatan yang

turut ia lakukan, sedangkan kewajiban penuntut umum memberikan imbalan

berupa pengurangan hukuman. Kewenangan (bargaining power) jaksa

penuntut umum untuk melakukan kesepakatan kerjasama dengan saksi

mahkota merupakan perwujutan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh jaksa

penuntut umum.

2. Konsep kesepakatan untuk kerjasama antara jaksa penuntut umum dengan

saksi mahkota (bargaining power) tidak terdapat dalam pelaksanaan saksi

mahkota di peradilan pidana Indonesia saat ini, dalam praktik peradilan pidana

di Indonesia sebelum menerapkan saksi mahkota pada tahap awal dalam

tindakan penyidikan dilakukan splitsing berkas perkara yang dilakukan oleh

penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum, urgensi penerapan

splitsing dalam prakteknya untuk kepentingan pembuktian karena diperlukan

alat bukti saksi mahkota untuk menguatkan alat bukti yang telah ada.

Sedangkan kedudukan saksi mahkota dalam proses pembuktian disamakan

dengan alat bukti keterangan saksi karena :

a) Saksi mahkota yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa untukmenerangkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi bersama terdakwadalam suatu tindak pidana.

Page 171: TESIS

158

b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksijuga disumpah.

c) Dalam setiap surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntutumum keterangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian faktapersidangan dalam point keterangan saksi.

Mekanisme penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanya

mewujudkan suatu kepastian hukum dimana untuk dapat menjangkau pelaku

kejahatan disandarkan pada peraturan formil dan kurang memperhatikan

bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa

3. Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat signifikan

mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi mahkota yang

selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila dilihat

konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep saksi

mahkota yang di kenal di negara lain, pemikiran konsep saksi mahkota dalam

RUU KUHAP ini berpijak dari konsep yang selama ini digunakan

mengartikan saksi mahkota ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi

atas kawan berbuatnya, justru hal ini bertentangan dengan asas self

incrimination,. Dalam RUU KUHAP ketentuan tentang saksi mahkota yang

dituangkan di dalam Pasal 200, sesuai dengan asas oportunitas juga yang

dianut di Indonesia hal ini sama dengan di Belanda. Konsep yang dianut dalam

RUU KUHAP dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan

(immunity from prosecution) kepada tersangka yang mempunyai peran paling

ringan, yang berdasarkan kosep protection of cooperating persons yang

memilki keterkaitan dengan saksi Mahkota dengan penerapan ajaran

deelneming (penyertaan) pada Pasal 55 KUHP.

Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana juga memperkenalkan

sistem yang mirip dengan plea bargaining, hal ini tercantum di dalam 197

yang berjudul jalur khusus. Pada saat penuntut umum membacakan surat

dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku

bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan

tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut umum dapat melimpahkan

perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. RUU KUHAP tidak hanya

menyerap sistem hukum dari ciwil law tetapi juga banyak mengadopsi

Page 172: TESIS

159

ketentuan dari common law maka tampaknya akan terjadi pergeseran dalam

sistem hukum Indonesia pidana, sehingga dalam kenyataanya yang akan datang

sistem hukum pidana Indonesia merupakan campuran antara sistem common

law dan sistem ciwil law.

B. Saran

Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan

oleh penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Mengingat saksi mahkota berkaitan erat dengan hak asasi manusia, khususnya

hak asasi terdakwa maka diperlukan kehati-hatian dan aturan yang khusus

mengenai saksi mahkota dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Untuk

dapat mendukung implementasi prinsip-prinsip due process of law dalam

proses peradilan pidana dalam penerapan konsep saksi mahkota hendaknya

aparat penegak hukum mengeserkan paradigma berfikir pengunaan saksi

mahkota untuk mencapai kepastian hukum tetapi juga harus dibarengi dengan

proses hukum yang adil harus dipahami yaitu sebagai perlindungan terhadap

hak kemerdekaan setiap warga negara dalam negara hukum.

2. Pelaksanaan saksi mahkota tanpa adanya kesepakatan kerjasama antara saksi

mahkota dan jaksa penuntut diperadilan saat ini jelas melanggar asas non self

incrimination, maka sebagai jalan keluar untuk memperbaiki penerapan saksi

mahkota sebagai alat bukti dipersidangan diperlukan pedoman pelaksanan

kesepakatan kerjasama yang memberi kewenangan bargaining power bagi

jaksa penuntut di Indonesia sebagai wujud asas oportunitas untuk bekerjasama

dengan saksi mahkota, dengan menggunakan interpretasi futuristik pada

ketentuan – kentuan saksi mahkota yang terdapat dalam RUU KUHAP.

3. Melihat kenyatan pengaturan saksi mahkota dalam RUU KUHAP diserap dari

sistem hukum dari ciwil law dan common law, maka perlu dilakukan usaha

agar pencampuran sistem hukum tersebut tidak menggangu sistem hukum di

Indonesia, karena pembaharuan hukum di Indonesia tidak hanya sebagai usaha

untuk membuat kehidupan hukum di negeri ini menjadi lebih modern

melainkan juga menyesuaikan ciri-ciri serta persyaratan hukum modern itu

dengan kecendrungan sistem hukum di Indonesia. Oleh sebab itu sistem hukum

Page 173: TESIS

160

hendaknya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum

dan dirumuskan para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam sistem

peradilan pidana

Page 174: TESIS

161

DAFTAR PUSTAKA

1.Buku

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).Cetakan II. Jakarta : PT Toko Buku Gunung Agung, 2009.

___________. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence)Vol 1. Jakarta: Kencana, 2012.

Anderson, Terence, David Schum, and William Twining. Analysis of Evidence.Secon Edition. UK Cambridges CB2 2RU : Cambridges University Press,2005.

Andrews, Jhon A. Ed. Human Right In Criminal Procedure A Comparative Study.The Hague. Boston/London : Martinus Nijhoff Publisher, 1982.

Arif, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002.

Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Jakarta :Fikahati Aneska, 2009.

____________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011.

Berman, Harold J. Ceramah Radio oleh Profesor-Profesor Harvard Law School.Diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D. Jakarta : Tatanusa, 2008.

Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS. Garis besarSistem Hukum Amerika Serikat [Jucial Process In America]. Jakarta:Departemen Luar Negeri AS, 2001.

Boediarto, Ali. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung TentangHukum Pidana. Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2000.

Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Edisi Kedua.Bandung: Alumni, 2008.

____________.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan.Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Chorus, Jeroen, Et al. Introduction to Dutch Law. Third Revised Edtion. TheHague: Kluwer International Law, 1999.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok- Pokok Filsafat Hukum. Jakrata :PTGramedia Pustaka Utama, 1999.

De Cruz, Peter. Perbandingan Sistem Hukum : Civil law, Common Law danSocialist La. Diterjemahkan Narulita Yusron. Bandung : Nusa Media, 2010.

Dirdjosisworo, Soedjono. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum.Bandung : CV Armico. Bandung, 1984.

Page 175: TESIS

162

Effendi, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

_____________.Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap BeberapaPerkembangan Hukum Pidana. Jakarta : Referensi, 2012.

Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction. Penerjemah WishnuBasuki. Jakarta : PT Tatanusa, 2001.

Fuady, Munir. Teori Hukum pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung : PTCitra Adiya Bakti, 2006.

Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni, 1973.

Hamzah, Andi. Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.

____________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : CV Sapta Artha Jaya,1996.

____________. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta : Yasrif Watampone, 2005.

____________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: SinarGrafika, 2008.

____________. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Jakarta : SinarGrafika, 2008.

____________. dan A.Z . Abidin . Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT YasrifWatampone, 2010.

Hampstead, Lord Lloyd Hampstead, dan M.D.A. Freeman, Introduction toJurispridence. Britain : ELBS, 1985.

Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo. Hukum Pidana II Penyertaan. Malang :FHPM Universitas Brawijaya, 1975.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :Penyidikan dan Penuntutan, Edisi kedua . Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

____________.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan PeninjauanKembali. Cet Keempat. Jakarta : Sinar Grafika, 2002.

Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule Of Law Itu ?. Bandung : Alumni, 1976.

____________. Capita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung : Alumni, 1992.

Hendri, Luis. Pernyataan Hak Asasi Amerikadan Makna Internasional. Dialihbahasakan oleh Budi Prayitno. Jakarta : Dinas Penerangan Amerika Serikat(USIS), 1995.

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinajauan kritis Terhadap TeoriPemisahan tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta :Kencana, 2008.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: Kanisius,1982.

Page 176: TESIS

163

Hulsman, L.H.C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif PerbandinganHukum. Disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo. Jakarta : CV Rajawali, 1984.

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Ed. Metode Penelitian Hukum : Konstelasi danRefleksi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2011.

Kamil, Ahmad dan M Fauzan. Kaidah –Kaidah Hukum Yurisprodensi. Jakarta :Prenada Media, 2004.

Kanter, E Y dan S R Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia danPenerapan. Jakarta : Storya Grafika, 2002.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, Kumpuln Kulian Bagian I . Jakarta : BalaiLektur Mahasiswa, Tanpa Tahun

Lamintang, P. A. F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung : SinarBaru, 1990.

Lubis, M. Sofyan. Prinsip “Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan.Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010.

Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana. Jakarta:Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan,1995.

_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtisar) CetakanPertama, Jakarta : CV Datacom, 1996.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cetakan Ke- 6. Jakarta : PrenadaMedia Group, 2010.

MD, Muh. Mahfud. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta :Rajawali Pers, 2010.

Moeljatno. Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan.Jakarta : PT Bina Aksara, 1985.

Mols , G.P.M.F. Mols dan . G. Spong . De kroongetuige in het Octopus-proces,Documentatie uit Octopus- proces, Requisitor, Velklarigen Vandeskundigen, Pledooi, Vonnis. Deventer :Gouda Quint, 1997.

Muhamad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet-1. Bandung : PT CitraAditya Bakti, 2004.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP,1998.

Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik,Teknik Penyusunan dan Permaasalahannya. Bandung : Citra Aditya Bakti,2007.

Muklas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam, di Jazirah Arab KePeradilan Agama Di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Nasution, A Karim. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta : PNPercetakan Negara RI, 1972.

Page 177: TESIS

164

Pangaribuan, Luhut M.P. Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc Suatu Studi TeoritisMengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : UniversitasIndonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2009.

Pohan, Agustinus, Topo Santoso dan Martin Moerings. Ed. Hukum Pidana dalamPerspektif. Denpasar : Pustaka Larasan. Jakarta : Universitas Indonesia.Universitas Leiden. Universitas Groningen, 2012.

Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta : Bharatara, 1996.

Prakoso, Djoko. Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing). Yogyakata: Liberty,1988.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet. 3. Bandung :PT. Rafika Aditama, 2003.

Ramelan. Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber IlmuJaya, 2006

Raharjo, Satjipto. Hukum Dan Perubahan Sosial. Cetakan Kedua. Bandung :Alumni, 1983.

Reksodiputro, Mardjono. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem PeradilanPidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian HukumUniversitas Indonesia, 2007.

_____________. Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana. Jakarta :Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,2007.

____________. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta : PusatPelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007.

____________.Kriminologi Dan sistem Peradilan Pidana. Jakarta: PusatPelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007.

___________.Menyelaraskan Pembaharuan Hukum. Jakarta: Komisi HukumNasioanal, 2009.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Rovers, C. De. To Server & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM,Diterjemahkan oleh Supardan Mansyur. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2000.

Rukmini, Mien. Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah DanAsas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan PidanaIndonesia. Bandung : PT Alumni, 2003.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.Bandung : Mandar Maju, 2003.

Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan. Depok : PusatStudi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.

____________. dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2010.

Page 178: TESIS

165

Semendawai, Abdul Haris, Et al. Memahami WHISTLEBLOWER. Jakarta :Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011.

Seno Adji, Indriyanto. Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan, 1998.

____________. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana. Jakarta:CV Diadit Media, 2006.

____________. KUHAP Dalam Prospektif. Jakarta : Diadit Media, 2011.

Seno Adji, Oemar. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga, 1980.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya. Cet IV.Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam, 1996.

Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman, 1983.

Smith, Rhona K. M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM-UII,2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian hukum Normatif. Jakarta :Rajawali press, 1995.

Soesilo, R. Teknik Berita Acara, Ilmu Bukti dan Laporan (Menurut KUHAP),Bogor: Politea, 1985.

Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001.

Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 2006.

Surahman, R.M dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan danKedudukanya. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

Tak, P.J.P. De Kroongetuige En de Georganiseerde Misdaad. Arnhem : SGounda Quint –D Brouwer en Zoon, 1994.

_________The Dutch Criminal Justice System. The Netherlands : aolf LegalPublishers CB Nijmegen, 2008.

Tresna, R. Komentar HIR. Cetakan Ke Delapan Belas. Jakarta : PT PradnyaParamita, 2005.

UNODC (United Nations Office On Drug and Crime). Praktek TerbaikPerlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan KejahatanTerorganisir.

Waluyadi. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung : CV.MandarMaju, 1999.

Waluyo, Bambang. Et al. Pola Membina Rasa Keadilan Masyarakat. Jakarta :Pusat Pendidikan Dan Latihan Kejaksaan Agung R.I, 1991.

Wisnubroto, Al dan G Widiarta. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung :PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Page 179: TESIS

166

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung : CV LubukAgung, 2011.

2. Makalah, Jurnal dan Majalah Ilmiah

Alkostar, Artidjo. “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana danDasar Pertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”. MakalahDisampaikan dalam RAKERNAS 2011 Mahkamah Agung denganPengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, 18-22 September 2011.

Asshiddiqie, Jimly. “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Materi yangdisampaikan dalam Studium General” Pada acara The 1st NationalConverence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19Desember 2005.

Budiarto, Ali. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangandengan Hukum”. Varia Peradilan No 120 September 1995, Jakarta:IKAHI, 1995.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara PidanaTahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006.

Dien, Albert Y. “Masyarakat Yang Berkeadilan Pemikiran Jhon Rawls DalamFilsafat Hukum”. Jurnal Supremasi Hukum. (Volume 7. Nomor 1, Januari2011).

Djohansjah, J.“Akses Menuju Keadilan (Access to Justice). Makalah DisampaikanPada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial”, Bandung, 3 Juli 2010.

Guria, Charles. ”Successful Techniques for the Investigation & Prosecution ofCorruption”. Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-tehnik SuksesDalam Penyidikan dan Penuntutan Kasus Korupsi. Bertempat di Hotel JWMariott, Jakarta, Tanggal 20-21 Maret 2013.

Hamzah, Andi. “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Media Hukum. (Vol 2 No 7Tanggal 22 September. 2003. Jakarta : Persatuan Jaksa Republik Indonesia,2003).

Harkrisnowo, Harkristuti. “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Newsletter KomisiHukum Nasional, (Mei 2002).

Hiariej, Eddy O.S. Legal Opin :”Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat(2)Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban”.Newslette Komisi Hukum Nasional . (Vol. 10 No.6, Tahun 2010).

KHN-SETRA HAM UI. “Akses ke Peradilan”. Jakarta : Komisi Hukum Nasional,2003.

Langbein, John H. “Shaping the Eighteenth-Century Criminal Tria”. A Vew fromthe Ryder Sources 50 U. CHL L. REv. 1, 105, 1983.

Loqman, Loebby. “Saksi Mahkota”. Forum Keadilan . (Nomor 11. 1995).

Page 180: TESIS

167

Manan, Bagir .“Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan (No.296, Juli 2010).

Maxfield, Linda Drazga and John H. Kramer. “Subtantial Assitance ; AnEmpirical Yardstik Gauging Equity In Current Federal Policy AndPractice”. United States Sentencing Commission, January 1998.

Nasution, Adnan Buyung. “Praperadilan Versus Hakim Komisaris, BeberapaPemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya”. Newsletter KHN, (April2002).

OakS, Dallin H. “Studying the Exclusionary Rule in Search and Seizure”. TheUniversity Of Chicago Law Review. (Vol. 37 No.4. Summer 1970.University of Chicago, Copyright 1970).

Ramelan. “Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem HukumImdonesia (Corruption Law Suit In Indonesia Legal System)”. Jurnallegislasi Indonesia. Direktorat Peraturan Perundang Undangan KementrianHukum dan Hak Asasi Manusia RI, (Vol 8 No 2- Juni 2011 ).

Reksodiputro, Mardjono. “Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.Makalah Yang Disempurnakan Untuk Kuliah Umum di UniversitasBatanghari, Jambi, 26 Januari dan 21 April 2010.

____________.”Pembocor-rahasia (whistleblower) dan Penyadapan-rahasia(wiretapping,electronic interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan diIndonesia”. Makalah Disampaikan dalam Seminar Center forLegislacy,Empowerment,Advocacy and Research(CLEAR) Di Hotel LeMeridien, 3 Agustus 2010 .

Ricardson, Kevin. “Investigation Of Public Corruption Using Plea Bargains,Confidental Information And Cooperators”. Makalah Disampaikan DalamPelatihan Tehnik-tehnik Sukses Dalam Penyidikan dan Penuntutan KasusKorupsi. Bertempat di Hotel JW Mariott. Jakarta, Tanggal 20-21 Maret2013.

Santoso, Topo . “Hukum Pidana Islam Dalam Studi Hukum”. Makalah inidisampaikan dalam Seminar Perkembangan dan Prospek Hukum Islam diIndonesia, diselenggarakan oleh LKIHI Fakultas Hukum UniversitasIndonesia. Depok, 7 Desember 2006.

Shidarta. “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”. Makalah Disampaikandalam Rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruhIndonesia. di Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011.

___________. “Putusan Hakim:Antara Keadilan, Kepastian hukum danKemanfaatan”. Dalam lampiran Makalah yang disampaikan dalam rangkaPemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruh Indonesia di HotelGrand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011.

Siregar, Bismar. “Hakim Wajib Menafsirkan Undang Undang’. Varia peradilanJakarta : Tahun X No 120 September 1995, IKAHI, 1995.

Soerjono. “Suatu Tinjauan Sistem Peradilan”. Varia Peradilan. Jakarta :Tahun XNo 120 September 1995. IKAHI, 1995.

Page 181: TESIS

168

Setiyono. “Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana”.Dipublikasikan dalam Jurnal Hukum Lex Jurnalica .(Volume 05. Nomor01, Desember 2007).

Strang, Robert R. “More Adversarial, but not Completely Adversarial”:Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code”. FordhamInternational Law Journal. (Volume 32. Issue 1, 2008).

Utari, Indah Sri. “HAM Sebagai Kritik: Gagasan Tentang Politik Hukum Nasionaldi Tentah Tuntutan Global”. Pandecta (Vol.2 . No. 1, Januari 2008).

Wulansari, Eka Martiana, “Pengembalian Beban Pembuktian dalam UpayaPemberantasan Tindak Pidana Korups (Return Burder of Proofin InCorruption Eradication Effort)”. Jurnal legislasi Indonesia, Vol 8 No 2-Juni 2011. Direktorat Peraturan Perundang undangan. Kementrian Hukumdan Hak Asasi Manusia RI (Vol 8 No 2- Juni 2011).

Zulfan dan Kaharuddin. “Saksi Mahkota Dan Perlindungan Hak Asasi ManusiaDalam Pembuktian hukum Pidana”. Jurnal Media Hukum .(Volume 15 No1, Juni 2008).

3.Tesis, Disertai Dan Sumber Yang Tidak Diterbitkan

Brotosusilo, Agus. “Keserasian Nilai Nilai Pancasila Sebagai Sumber segalaSumber Hukum (Dalam Arus Globalisasi)”. Materi Kuliah Filsafat Hukum.Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2011.

____________.”Penulisan Hukum”. Materi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta:Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Harkrisnowo, Harkristuti, “Rekontruksi Konsep Pemidanaan : Suatu GugatanTerhadap proses Legislasi dan Pemidanaan Di Indonesia”, OrasiPengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok, 8 Maret 2003.

Hiariej, Edward Omar Sharif. “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian AsetKejahatan Korupsi”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FakultasHukum Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat TerbukaMajelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, tanggal 30Januari 2012 .

Lubis, Todung Mulya.“In Search of Human Right : Legal Political Dilemmas ofIndonesia’s New Order 1966-1990”. Dissertation Juris Scientioac DoctorUniversity of California Berkeley, California 1990.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI. “Modul Asas Asas Hukum PidanaI”. Jakarta, 2010.

Reksodiputro, Mardjono. “Materi Kuliah Seminar Usulan Penelitian Tesis”.Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2012.

Page 182: TESIS

169

Santosa, Topo. “Perbandingan Hukum Pidana”. Bahan Bacaan Mata KuliahPerbandingan Hukum Pidana. Depok : Program Magister Fakultas HukumUniversitas Indonesia, 2011 .

Seno Adji, Indriyanto. “Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia (BungaRampai”). Modul Kuliah kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan HakAsasi Manusia. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2012.

3.Perundang Undangan, Putusan pengadilan Dan Kasus Pengadilan

Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan KitabHukum Acara Pidana, Cetakan ke-IV Telah Dipebaiki. Buku DigandakanKhusus Kejaksan Agung Republik Indonesia. Jakarta: 1982.

Kejaksaan Republik Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/J-A/4/1995 tanggal 27 April 1995 Tentang Pedoman Tuntuntan Pidana.

___________.Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : B-69/E/02/1997tanggal 19 Februari 1997 Perihal : Hukum Pembuktian Dalam PerkaraPidana.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No 1986 K/Pid/1989 tanggal 21Maret 1990 atas nama terdakwa Abdurahman

__________. Putusan No.1590 K/Pid/1994. tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Karyono Wongso.

__________. Putusan No. 1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Bambang Wuryanto, Widayat, AS Prayogi.

__________. Putusan No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Ny.Mutiari, SH.

__________. Putusan No. 1706 K/Pid/1994 atas nama terdakwa terdakwaSuwono dan Suprapto.

__________. Putusan No. 429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Judi Susanto.

__________. Putusan No. 381 K/Pid/1995 atas nama terdakwa Judi Astono.

__________. Putusan No : 198 K/Pid/2004, tanggal 2 Maret 2004 atas namaterdakwa MUH. MUSYAFAK alias ABDUL HAMID.

__________. Putusan No. 1918 K/Pid/2006 , Tanggal 3 Oktober 2006 Nama :ASEP JAJA alias AJI alias DAHLAN alias YAHYA.

__________. Putusan No. 2475 K/Pid/2007 , tanggal 23 Januari 2008 atas namaterdakwa DAVID FEBRIANTO Bin JOHANES.

__________. Putusan No.179 K/Pid.Sus/2010. tanggal 02 Februari 2010 atasnama terdakwa ANDREAS SIE als. RICKY als. ERWIN als.KARYONOals. SUHERMAN als. YOSEP.

__________. Putusan No. 696 K/Pid/2010 atas nama FRANSISKUS TADONKERAN alias AMSI.

Page 183: TESIS

170

__________. Putusan No. 723 K/Pid/2010 atas nama HENDRIKUS KIAWALEN alias HENDRIK .

__________. Putusan No. 725 K/Pid/2010 atas nama EDUARDUS NOE NDOPOMBETE alias EDO.

__________. Putusan No. 1429 K/Pid/2010 atas nama Antasari Azhar, SH.,MH.

__________. Putusan No. 721 K/PID/2010 Tanggal 5 Mei 2010 atas namaterdakwa Daniel Daen Sabon alias Danil.

___________.Putusan No. 2437 K/Pid.Sus/2011 tanggal 7 Februari 2012 atasnama terdakwa PIDER Pgl PIDER.

___________.Surat Edaran Mahkamah Agung . No 4 Tahun 2011 tentangPerlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010.Dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban terhadap Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta .

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang Undang DasarRepublik Indonesia Tahun 1945 Amademen ke-2 (kedua). Ditetapkan DiJakarta, Tanggal 18 Agustus 2000.

Pengadilan Negeri Denpasar. Putusan No : 317/Pid.B/2003/PN.Dps . atas namatanggal 18 September 2003

Republik Indonesia. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. diubah dan ditambahUU No. 1/1946.Berita Republik Indonesia II, 9.

_________.Undang Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

__________.Undang Undang tentang Pengadilan anank, UU No 3 Tahun 1997,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.

__________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 4 tahun2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.

__________. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No 23 Tahun2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

__________.Undang-Undang Tentang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,UU No. 13 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635.

Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941).

United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985).

United States v. Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (5th Cir. 1987).

Page 184: TESIS

171

United States v. Reid, 19 F. Supp. 2d 534, 537 (E.D. Va. 1998).

Whiskey Cases - 99 U.S. 594 (1878).

4. Internet.

Atasasimita, Romli. “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”,http://m.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2400-logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah

BPS. Penduduk Indonesia tahun 2010. http://sp2010.bps.go.id/index.php

CODE DE PROCEDURE PENALE, art. l-P, available athttp://www.legifrance.gouv.fr/initRechCodeArticle.do [hereinafter C. PR.PEN.]

Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia R I. Rancancan Undang-Undanghukum Acara Pidana 2010,www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/.../buka.p.. 16 april 2010,

_____________.Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang HukumAcara Pidana. www.djpp.depkumham.go.id,

Fitriasih, Surastini. “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana MenujuProses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”,http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=52534&idc=21.

Hukumonline.com.Jaksa-Pengacara Akan ‘Bertarung’Tanpa Teks.www.hukumonline.com/printpdf/lt500d39774a0ac

Jaya, Nyoman Serikat Putra. “Catatan atas RUU KUHAP”, Kompas, 25 April2013. http://hariini.kompas.com/kategori/harian-kompas/page/36/

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pedoman Tuntutan Pidana,http://acarapidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2011/12/SEJA-001-JA-4-1995-PEDOMAN-TUNTUTAN-PIDANA.pdf

King, Jr,, Hon. H. Lloyd. “Why Prosecutors are Permitted To offer WitnessInducements, A matter Of constitutional Authority”, hal 155,www.law.stetson.edu/.../why-prosecutors-are-,

Kompas.com, Setiap 91 Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia,http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejahatan.di.Indonesia,

Mulyadi, Lilik . Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Prespektif Teoritis danPraktik Peradilan, layanan informasi, Artikel

___________.Menuju Sistem Peradilan Pidana Kotemporer Tanpa Berita AcaraPenyidikan (BAP) Dan Berita Acara Sidang (BAS), http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=169:menuju-sistem-peradilan-pidana-kontemporer-tanpa-berita-acara-penyidikan-bap-dan-berita-acara-sidang-bas&catid=23:artikel&Itemid=36

Page 185: TESIS

172

__________.Implikasi Yuridis tentang ''Saksi Mahkota",http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/8/21/op2.htm

Salam, Aprinus, Politik dan Budaya Kejahatan Bagian Satu,http://www.academia.edu/1497446/Politik_dan_Budaya_Kejahatan_Bagian_Satu_

Seno Adji, Indriyanto. Penyiksaan Tersangka Dan Antisipasi PerlindunganHAM,http://www.suarapembaruan.com/News/1996/11/071196/OpEd/02/02.html,1996

Tak, P J P, “Deals With Criminals: Supergrasses, Crown Witnesses and Pentiti”,European Journal of Crime Volume:Criiminal Law and Criminal Justice,https://www.ncjrs.gov/App/publications/Abstract.aspx?id=172602

United States v. Awan, 2010 U.S. App. LEXIS 12084 (2d Cir. N.Y. June 14,2010). http://witnesses.uslegal.com/corroboration/.

Winarta, Frans H, Esensi Justice Collaborator.http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=411:esensi-justice-collaborator-&catid=1:latest-news&Itemid=50&lang=in.