tesis
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALATBUKTI PADA PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
TESIS
ZAHRI KURNIAWANNPM : 1106 111 514
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI PASCASARJANA
KEKHUSUSAN ILMU HUKUMJAKARTAJUNI 201
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALATBUKTI PADA PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UntukMemperoleh Gelar Magister Hukum
ZAHRI KURNIAWANNPM : 1106 111 514
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI PASCASARJANA
KEKHUSUSAN ILMU HUKUMJAKARTAJUNI 201
Universitas Indonesiaiv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. H. Mardjono Reksodiputro, SH. MA, selaku Ketua jurusan Hukum dan
Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Topo Santoso, SH. MH. Ph.D., selaku dosen pembimbing dalam
penulisan tesisi ini, Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, SH., Dr. Eva Achjani Zulva,
SH. MH., Dr. Surastini Fitriasih, SH. MH, serta para guru besar, para staf
pengajar/dosen dan staf akademik Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan saya baik dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan
tesis ini ;
2. Pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat,
Badan Diklat Kejaksaan Republih Indonesia dan Resident Legal Advisor Office
Of Overseas Prosecutirial Development Assistance And Training, US
Departemen of Justice, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh
data yang saya perlukan;
3. Kedua orang tua S. Effendi, SA, Ami Hartini, kedua mertua saya dan keluarga
saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral, serta istri
tercinta Inayah Prima Metharia, SH. dan putra kami tersayang Zahraan Al
Khedira Syauqi atas dukungan, motivasi dan doa selama saya mengikuti
program strata dua ini:
Universitas Indonesiav
4. Para sahabat saya sesama mahasiswa Pascarsarjana kelas Kejaksaan yang telah
banyak membantu saya dalam menyelesaikan perkulihan serta sama-sama
belajar untuk hidup baru di Jakarta, tak lupa teman seperjuangan alumnus
Kejari Sarolangun, kita berangkat bersama dan pulang bersama untuk hidup
yang lebih berarti, serta semua pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan saya
persatu atas bantuanya saya ucapkan terima kasih.
ΎѧѧѧѧѧѧϬϳΎϳϦϳάѧѧѧѧѧѧϟϮѧѧϨϣϮѧѧѧѧѧϧϮϛϦϴϣϮѧѧѧѧѧѧϗςѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧδϘϟΎΑ˯ ΪϬѧѧη هللا ϮѧѧѧϟϭϰѧѧѧѧϠϋ ϢϜѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧδϔϧأو ϦϳΪѧѧѧѧѧѧѧѧѧϟϮϟϦϴΑήѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϗϷϭإن �ϦѧѧѧѧѧϜϳ
ΎѧѧѧѧѧѧϴϨϏأو ήϴѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϘϓͿΎѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧϓϰѧѧѧϟϭΎѧѧѧϤϬΑϼѧѧѧѧѧѧϓϮѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧѧόΒΘΗϯϮѧѧϬϟأن ϮϟΪѧѧѧѧѧѧѧѧόΗوإن ϭϮѧѧѧѧѧѧѧϠΗأو Ϯѧѧѧѧѧѧѧѧο ήόΗϥΈѧѧѧѧѧϓاهللا ϥΎѧѧϛ
ΎѧѧѧѧϤΑϥϮѧѧѧѧѧѧѧѧϠϤόΗήϴѧѧѧѧѧѧѧѧΒΧ
An - Nisa' 135; Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin,
Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Besar harapan saya tesis ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membaca, serta memberikan sumbangsih
untuk ilmu pengetahuan.
Jakarta, 12 Juni 2013
Zahri Kurniawan
Universitas Indonesiavii
ABSTRAK
Nama : Zahri KurniawanProgram Studi : Ilmu hukumJudul : Penggunaan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti pada Penyertaan
dalam Tindak Pidana
Konsep saksi mahkota yang dilaksanakan di peradilan Indonesia saat ini masihmenimbulkan kontroversi dan perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi,karena memang sesungguhnya belum ada definisi normatif tentang saksi mahkotatermuat dalam undang-undang. Apabila dibandingkan dengan konsep saksimahkota di negara lain, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitupada konsep di Eropa dan Amerika sebelum diterapkan saksi mahkota harusdilakukan terlebih dahulu kesepakatan kerjasama atara penuntut umum dan saksimahkota dalam penuntutan tindak pidana, sedangkang di Indonesia lebihmengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian saling menyaksikan antara sesamapelaku tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana untuk tujuan sempurnayapembuktian.Tujuan dari penelitian ini mengkaji mengenai penerapan saksimahkota dalam peradilan pidana dan memperbandingkanya dengan pelaksanaansaksi mahkota di Belanda dan Amerika Serikat serta melihat paradigma saksimahkota menurut hukum acara pidana yang akan datang. Metode penelitian yangdigunaka yuridis normatif. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kenyataan konsepsaksi mahkota yang dilaksanakan dalam peradilan pidana di Indonesia saat inimelanggar asas non self incrimination. Peranan saksi mahkota dibutuhkan dalammenghadapi permasalahn kurangnya alat bukti saksi pada penyertaan dalamtindak pidana. Penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanyamewujudkan suatu kepastian hukum, sehingga kurang memperhatikan caramemperoleh alat bukti (exclusionary rule), dan pentinya alat bukti yang salingmenguatkan (corroborating evidence) dalam penerapan saksi mahkota. Secarasubtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan sangat signifikat mengenaikonsep saksi mahkota dengan menyerap konsep saksi mahkota yang di kenal diEropa dan Amerika Serikat.
Kata Kunci :Saksi Mahkota, Non Self Incrimination, Exclusionary Rule, KesepakatanKerjasama.
Universitas Indonesiaviii
ABSTRACT
Name : Zahri KurniawanStudy Program : Criminal LawTitle : The Application of Crown Witness as Evidence on Participation
in Criminal Offenses
The concept of crown witness implemented in Indonesian courts is still causingcontroversy and debates among practitioners and academicians, because actuallythere has been no normative definition of crown witness contained in thelegislation. When compared with the concept of crown witness in other countries,there are fundamental differences. In Europe and the USA before crown witnessis applied, a cooperation agreement shall be made first between the publicprosecutor and the crown witness in a criminal proceeding; whereas in Indonesiawhat is referred to as crown witness is a witness who came from suspects ordefendants and testify against other suspects/perpetrators in a crime in order toobtain perfect/complete evidence. The purpose of this research is to examine theapplication of crown witness in the criminal proceedings and compare it with theimplementation of crown witness in the Netherlands and the United States as wellas to see the crown witnesses paradigm in accordance with the law of criminalprocedure which will be applicable in the future. The research method employedis judicial normative. Based on the research findings it is discovered that theconcept of crown witness in criminal proceedings in Indonesia today violates theprinciple of non-self incrimination. The role of crown witnesses is required as aconsequence of lack of evidence of witnesses in the participation (deelneming) ina crime. The application of the crown witness concept in court today is only torealize the rule of law so it does not take into consideration the manner inobtaining evidence (exclusionary rule) and the importance of corroboratingevidence in the application of crown witnesses. In substance, the Draft of theCriminal Procedure Code experiences very significant changes in the concept ofcrown witness by absorbing the concept of crown witnesses which is known inEurope and the United States.
Keywords:
Crown Witness, Non Self Incrimination, Exclusionary Rule, CooperationAgreement.
Universitas Indonesiaix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... iLEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iiKATA PENGANTAR………………………………………………………...... iiiLEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………...... viABSTRAK .…………………………………………………………………..... viiDAFTAR ISI …………………………………………………………...…...... xDAFTAR SINGKATAN...……………………………………………....……... xiI. PENDAHULUAN …………………………………………......…............... 1A.Latar Belakang ……………………………………............……….............. 1B.Pernyataan Masalah ...…………………………………………………...... 10C.Pertanyaan penelitian...…………………………………………………...... 10D.Tujuan Penelitian …...…………………………………………………....... 11E.Manfaat Penelitian …...…………………………………………………..... 11F.Kerangka Teoritis…...………………………………………………............ 12G.Kerangka Konsepsional ...………………………………………................. 18H.Metode Penelitian …...………………………………………….........……. 26I. Sistematika Penelitian ...…………………………………………..……..… 28
II.TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SAKSIMAHKOTA DAN PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA............. 30A. Penyertaan dalam Tindak Pidana.................................................................. 30B. Konsep Saksi Mahkota.................................................................................. 36C. Memaknai Dualisme Yurisprudesi dalam Penerapan Saksi Mahkota.......... 48D. Hak- Hak Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana....................................... 57E.Mengatasai Dilema Terkait Asas Non Self Incrimination dalam
Penerapan Saksi Mahkota............................................................................... 62F. Penerapan Saksi Mahkota dalam Peradilan di Indonesia Melanggar
Asas Non Self Incrimination........................................................................... 68
III.PENERAPAN ALAT BUKTI SAKSI MAHKOTA PADA PENYERTAANDALAM TINDAK PIDANA DI PERADILAN......................................... 70
A.Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing) dan Konstruksi Surat Dakwanterhadap Saksi Mahkota pada Penyertaan dalam Tindak Pidana.................. 70
B.Kedudukan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam PembuktianTindak Pidana................................................................................................ 80
C.Pertanggungjawaban Pidana Saksi Mahkota dalam Penyertaandalam Tindak Pidana .................................................................................... 88
D.Analisis Penerpana Saksi Mahkota sebagai Alat Buktidalam Peradilan di Indonesia.......................................................................... 95
Universitas Indonesiax
IV.PENGATURAN SAKSI MAHKOTA DALAM HUKUM PIDANA YANGAKAN DATANG........................................................................................... 97A.Beberapa Perubahan Konsep Saksi Mahkota
pada Penyertaan dalam Tindak Pidana Menurut RUU KUHAP................. 97B.Pedoman untuk Memperbaiki Ketentuan Pembuktian
dalam Menerapkan Saksi Mahkota........................................................... 104C.Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP
Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat.................................................. 111D.Analisis Perbandingan Konsep Saksi Mahkota dalam
RUU KUHAP Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat......................... 123E.Paradigma Pergeseran Sistem dalam RUU KUHAP................................. 140F. Konsep lain yang Mengatur Keturutsertaan Saksi
dalam Suatu Tindak Pidana....................................................................... 145G. Paradigma Baru Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP....................... 155
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 156A.Kesimpulan ............................................................................................... 156B.Saran.......................................................................................................... 159
DAFTAR REFERENSI ................................................................................. 160
Universitas Indonesiaxi
DAFTAR SINGKATAN
AS Amerika SerikatBAP Berita Acara PemeriksaanBPS Badan Pusat StatistikCCP Code of Criminal ProcedureEHRM Europees Hof voor de Rechten van de MensEVRM Europees Verdrag voor de Rechten van de
MensHAM Hak Asasi ManusiaHIR Herziene Indonesisch ReglementICCPR International Covenant on Civil and
Political RightsKPK Komisi Pemberantas KorupsiKUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara
PidanaKUHP Kitab Undang-Undang Hukum PidanaKasi Pidum Kepala Seksi Pidana UmumKejari Kejaksaan NegeriLPSK Lembaga Perlindungan Saksi dan KorbanMA Mahkamah AgungOM Openbaar MinisterieOPDAT Overseas Prosecutirial Development
Assistance And TrainingPN Pengadilan NegeriPT Pengadilan TinggiP 16 Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut
Umum Untuk Mengikuti PerkembanganPenyidikan Perkara Tindak Pidana
P 21 Pemberitahuan Hasil Penyidikan PerkaraPidana Sudah lengkap
RUU KUHAP Rancangan Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana
RUU KUHP Rancangan Kitab Undang-Undang HukumPidana
SEMA Surat Edaran Mahkamah AgungUNAFEI United Nations Asia and Far East Institute
for the Prevention of Crime and theTreatment of Offenders
UNCAC United Nations Convention AgaintsCorruption
US United StatesUNDOC United Nations Office on Drugs and CrimeUU Undang UndangUUD Undang Undang DasarWvS Wetboek van Strafvorderingen
Universitas Indonesiaxii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh
masyarakat di Indonesia tetapi juga merupakan masalah yang dihadapi oleh
seluruh masyarakat di dunia. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari kita
akan selalu mendengar bagaimana fenomena kejahatan ini terjadi, dengan
berbagai modus operandi yang semakin canggih serta intensitasnya yang semakin
meningkat. Di Indonesia sendiri menurut Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal
Polri Inspektur Jenderal Polisi Saud Usman, setiap 91 detik terjadi satu kejahatan
di sepanjang tahun 2012 dan jumlah kejahatan di tahun 2012, tepatnya hingga
November 2012, mencapai 316.500 kasus.1
Angka statistik di atas mengambarkan bagaimana tingginya tingkat
kejahatan di Indonesia, namun mengenai persoalan tingginya intensitas kejahatan
ini bukan menjadi permasalahan di Indonesia saja, tetapi menjadi persolaan bagi
negara-negara lain bahkan, negara yang telah maju dan memiliki sistem
penanggulangan kejahatan yang telah mapan pun menghadapi masalah yang
sama, karena apapun bentuk negara dan bagaimanapun sistem hukumnya akan
mengahadapi masalah kejahatan serta cara menanggulanginya. Dalam prespektif
ilmu pengetahuan menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku manusia, tingkah laku individu ditentukan oleh sikapnya (attitude)
dalam menghadapi situasi tertentu, sikap ini dibentuk oleh kesadaran subjektif
akan nilai dan norma dari masyarakat atau kelompoknya.2
Mencari sebab orang melanggar norma akan sangat membantu untuk
menemukan cara terbaik pembinaan (dalam arti usaha melakukan perubahan
sikap) si pelanggar, inilah hubungan antara mencari sebab kriminalitas dengan
mencari sistem pembinaan yang efektif, istilah pemberantasan kejahatan mungkin
kurang tepat karena mengandung arti pemusnahan, dengan bersandar pada
1 Kompas. com,“Setiap 91 Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia",http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejahatan.diIndonesia, diunduh 4 Maret 2013.
2 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: PusatPelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 1-2.
2
pendapat Emile Durkheim yang memandang kejahatan sebagai suatu gejala di
dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial
karena itu tidak mungkin kejahatan dimusnahkan habis, mungkin istilah yang
lebih tepat adalah pencegahan kejahatan.3
Perkembangan ekonomi dan modernisasi, yang terjadi begitu cepat saat ini
membawa dampak juga terhadap perkembangan kejahatan. Pergeseran bentuk-
bentuk kejahatan seolah-olah telah mematahkan hipotesis kuno bahwa penyebab
kejahatan semata-mata faktor kemiskinan. Karena saat ini kejahatan yang dikenal
dengan istilah “blue collar crime” (yaitu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh
penjahat biasa) dan “white collar crime” (kejahatan yang dilakukan oleh kaum
bergengsi atau berdasi), berevolusi sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi yang tanpa batas, bahkan ruang lingkup
white collar crime menjadi semakin bebas dan meluas, baik terkait dengan dunia
sosial, ekonomi maupun dunia politik dan kekuasaan atau pemerintahan. Dalam
teori kriminologi hal ini dikenal dengan pendekatan dengan hubungan positif
(direct relationship) yang melihat gejala kriminal merupakan kelanjutan dari
kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.4
Perkembangan kejahatan yang paling ditakuti adalah ketika kriminalitas
dijadikan semacam profesi atau mata pencarian. Dalam konteks tersebut pada
tataran tertentu kriminalitas tidak lagi sebagai suatu aktivitas atau tindakan
terpaksa dan tidak dapat dihindari, tetapi justru dengan kesadaran penuh
merupakan cara dan pilihan pertama dalam mengatasi berbagai persoalan
kehidupan, walaupun tesis ini tidak terlalu baru, karena kecendrungan tersebut
telah terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, bahkan tidak terkecuali Cina
dan Jepang. Misalnya tampak dari lembaga-lembaga (organisasi) kejahatan
internasionalnya, atau biasa disebut Mafia di Eropa atau Amerika, Triad di Cina,
atau Yakuza di Jepang, sebagai contoh yang paling dikenal.5
3 Ibid.4 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 85.5 Aprinus Salam, Politik dan Budaya Kejahatan Bagian,Satu,
http://www.academia.edu/1497446/Politik_dan_Budaya_Kejahatan_Bagian_Satu_, hal. 3. diunduh2 Mei 2013.
3
Dampak dari perkembangan kejahatan, akan berimplikasi langsung pada
makin beratnya tugas aparat penegak hukum dalam mengungkapakan suatu
kejahatan karena akal para penjahat yang semakin modern (maju) dimana para
penjahat telah mengunakan metode operasi yang dirancang dengan baik untuk
melindungi kegiatan kejahataan mereka serta menyamarkan identitas mereka dari
deteksi oleh penegak hukum. Sehingga dalam pelaksanaan tugas aparat penegak
hukum dituntut untuk mengembangkan teknik pengungkapan tindak pidana untuk
mendapatkan atau menguatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana melalui
pengetahuan agar diperoleh pembuktian yang logis berdasarkan penemuan fakta
yang ada sehingga dapat membentuk kontruksi yang logis.6
Dalam praktek tak jarang dijumpai, penyidik sangat sulit bahkan hampir
tidak mungkin mendapatkan saksi karena kuatnya para pelaku tindak pidana
dalam menjaga kerahasiaannya. Maka salah satu cara membongkar sindikat
kejahatan tersebut kemudian penyidik memerintahkan anggotanya sebagai
penyelidik ikut bergabung dalam sindikat kejahatan sebagai salah seorang pelaku
kejahatan atau mengambil salah seorang anggota sindikat untuk dijadikan saksi
mahkota atas tindak pidana yang dilakukan sindikat bersangkutan.7
Namun dalam upaya untuk bekerja sama dengan para pelaku kejahatan,
aparat penegak hukum akan menghadapi suatu keadaan yang dilematis karena
para kaki tangan pelaku kejahatan ini akan memilih untuk bekerja sama dengan
penegak hukum apabila mereka mendapatkan suatu imbalan yang bermanfaat bagi
mereka, baik dalam bentuk kekebalan, hadiah, atau pengurangan hukuman dari
kejahatan yang pernah mereka lakukan, sehingga keputusan untuk menggunakan
terdakwa sebagai kooperator harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya.
Tujuannya yang diharapkan oleh penegak hukum dalam kerja sama dengan
pelaku kejahatan ini, pada dasarnya untuk mempelajari nama pelaku kejahatan,
tanggal dan urutan kejadian, struktur organisasi, dimana lokasi bukti yang akan
digunakan dalam pengumpukan alat bukti untuk menangkap orang-orang lain atas
kejahatan yang telah dilakukan.
6 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),hal. 34.
7 Lilik Mulyadi, “Implikasi Yuridis tentang ''Saksi Mahkota",http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/8/21/op2.htm, diunduh 8 April 2013.
4
Kesepakatan kerjasama dengan pelaku kejahatan untuk membongkar suatu
tindak pidana dimana pelaku tersebut juga turut serta dalam kejahatan itu, dan atas
kesepakatan tersebut diberikan imbalan keringanan hukuman dikenal dengan
istilah saksi mahkota, di Belanda dan Jerman dinamakan kroongetuige dan
kronzeuge, di Italia awalnya disebut pentito sekarang di sebut collaboratore della
giustizia, di negara–negara Great Britain (Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia
Utara) disebut supergrass, dan di Perancis dinamakan repenti,8 sedangkan di
Amerika Serikat di sebut sebagai cooperator tetapi juga dikenal istilah lain yaitu
state witness untuk saksi negara. Dalam praktik peradilan pidana Indonesia
konsep saksi mahkota ini, kemudian diterapkan pada penyertaan dalam tindak
pidana dengan tujuannya agar masing-masing terdakwa dapat memberikan
kesaksian yang memberatkan satu sama lain.
Perbedaan konsep mengenai saksi mahkota yang ada di negara lain (Inggris,
Belanda, Amerika Serikat, Italia dan lainya) dengan praktik peradilan di Indonesia
ini, kemudian menimbulkan perbedaan pandangan diantara para ahli hukum
pidana, sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sendiri
istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas. Namun dalam perkembangan
peradilan pidana di Indonesia, saksi mahkota diakui sebagai alat bukti dalam
perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1986 K/Pid/1989, tanggal 21 Maret 1990.9 Dalam putusannya Mahkamah
Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di
persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa
tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan
kesaksian.
Namun pada tahun 1994 saat terjadinya kasus Marsinah, konsep saksi
mahkota yang dikenal dalam praktik peradilan dibantah oleh putusan Mahkamah
Agung yang lain, dalam perkara tersebut pertama kali di Indonesia dinyatakan
dalam putusan Mahkamah Agung kesaksian saksi mahkota bertentangan dengan
8 P J P Tak, “Deals With Criminals: Supergrasses, Crown Witnesses and Pentiti”, EuropeanJournal of Crime Volume:Criiminal Law and Criminal Justice,https://www.ncjrs.gov/App/publications/Abstract.aspx?id=172602, diunduh 7 Mei 2013.
9 Varia Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, (Jakarta: IKAHI, 1990), hal. 19-44.
5
hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.10 Sehingga kemudian
penggunaan saksi mahkota di Indonesia menjadi perdebatan yang menarik. Dalam
perdebatan tersebut sebagian pihak berpendapat penggunaan saksi mahkota
dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik,11di lain pihak
menyatakan saksi mahkota dianggap sebagai sesuatu yang tidak diboleh dilakukan
karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Dalam perkembangan hukum selanjutnya, ternyata bukan hanya persoalan
boleh atau tidaknya saksi mahkota itu dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun
terdapat kenyataan baru mengenai perbedaan konsep tentang saksi mahkota,
keadaan kembali mencuat dan bertambah seru saat Kombes Wiliardi Wizard
memberikan kesaksian dalam persidangan kasus terbunuhnya Nasrudin
Zulkarnaen dengan terdakwa Antasari Azhar, pada awal November 2009. Dalam
kesaksiannya, Wiliardi menyatakan bahwa ia merasa diarahkan oleh petinggi Polri
dalam proses penyidikan, yang tujuannya menjerat Antasari dalam rangkaian
tuduhan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen dalam perkara di PN Jakarta
Selatan No. 1532/PID.B/ 2009/PN.JKT.SEL .
Terlepas apakah pernyataan Wiliardi dalam kesaksian itu benar atau tidak,
yang pasti Wiliardi bersama teman-tamannya lain yang juga didakwa dalam kasus
yang sama sudah saling memberikan kesaksian dalam perkara Antasari sebagai
saksi mahkota bahkan saat ini perkara Antasari telah berkekutan hukum tetap.
Mengingat penggunaan saksi mahkota dalam praktek peradilan pidana dapat
menimbulkan implikasi yuridis yang serius terkait dengan hak tersangka dan
terdakwa dalam proses peradilan pidana, maka perlu dipikirkan kembali secara
matang mengenai konsep saksi mahkota, untuk lebih menjamin rasa keadilan.
Pada umumnya perdebatan mengenai konsep saksi mahkota di Indonesia
tidak saja terjadi pada tataran penerapan tetapi juga pada tataran definisi atau
pemahaman, karena memang sesungguhnya tidak ada definisi normatif tentang
hal ini yang termuat dalam undang-undang. Secara umum perdebatan tersebut
terbagi dalam dua pendapat besar, yaitu :
10 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal. 27.
11 Setiyono, “Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana”, LexJurnalica Volume 05 Nomor 01, (Desember 2007), hal. 1.
6
1. Pendapat yang menyatakan bahwa saksi mahkota tidak dapat diterapkan
dalam sistem pembuktian karena:
a. Saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa, oleh karena
itu, sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau
bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau
berbohong;
b. Dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah
maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan
persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi
mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara
bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi
dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa akan
dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana
kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 KUHP.12
Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan
menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak
dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena
itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota
tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan
menggunakan kekerasan in casu kekerasan psikis ;
c. Sebagai pihak yang berstatus terdakwa walaupun dalam perkara lainnya
diberikan kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang
diberikan oleh terdakwa (saksi mahkota) hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan
Pasal 189 ayat (3) KUHAP ;
d. Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi
mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila
12 Pasal 242 ayat (1) KUHPidana mengatur sebagai berikut : “Barang siapa dalam hal-haldimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakanakibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatassumpah, baik lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untukitu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
7
terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas
non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g
International Covenant on Civil and Political Rights, dijelaskan sebagai:
“In the determination of any criminal charge against him, everyoneshall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality :(g). Not to be compelled to testify against himself or to confess guilty.”
Pada dasarnya ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR,13 tersebut
bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu,
diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti
untuk menyatakan kesalahannya.14
2.Pendapat yang menyatakan bahwa saksi mahkota dapat diterapkan dalam
sistem pembuktian menyatakan :
a. Tidak ada larangan secara tegas dalam perundang-undangan yang dapat
dijadikan acuan mengenai penerapan “saksi mahkota”. Peraturan
perundang-undangan yang ada hanya ditafsirkan secara analogi oleh
kelompok penentang agar tidak terjadi penerapan saksi mahkota;
b. Majelis Hakim tidak dapat menolak berkas perkara dari penyidik dalam
keadaan terpisah (splitsing) karena pemisahan itu diatur dalam Pasal 142
KUHAP.15 Terhadap penilaian unsur pembuktian sepenuhnya merupakan
kewenangan hakim yang erat kaitannya dengan batas minimum
pembuktian dan keyakinan hakim;16
13 Pada 23 Februari 2006, secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak ( State Party) pada duakovenan HAM induk, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya(International Covenant on Economic Social and Cultural Rights /ICESCR) dan KovenanInternasional tentang Hak Sipil Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Dengan demikin dua kovenan ini mulai berlaku efektif/mengikat secara hukum (entryinto force) bagi Indonesia sejak Mei 2006. Ratifikasi ini ditetapkan setelah DPR mengesahkan duakovenan itu menjadi undang-undang, yaitu UU No. 11 Tahun 200 (ICESCR) dan UU No. 12Tahun 2006 (ICCPR). Dengan ratifikasi ini Indonesia menjadi negara ke-156 yang meratifikasiICCPR dan negara ke-153 untuk ICESCR dari total 191 negara anggota PBB.
14 Setiyono, Op.Cit.,hal.5.15 Pasal 142 KUHAP : Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalamketentuan pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masingterdakwa secara terpisah.
16 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2008),hal. 32.
8
c. Penerapan saksi mahkota hanya digunakan untuk memperkuat pembuktian
karena meringankan tugas penuntut umum, selain itu, penerapan tersebut
juga didukung oleh alat-alat bukti lain. Dengan kata lain saksi mahkota
bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang berdiri sendiri, hal ini bisa
ditunjukkan tentang salah satu alat bukti yaitu keterangan terdakwa dalam
Pasal 175 KUHAP mengandung hak ingkar terdakwa, akan tetapi pasal
tersebut menganjurkan terdakwa untuk menjawab setiap pertanyaan;
d. Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip
tertentu yaitu: 1). dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan
alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing);
Dalam dilema mengenai kedudukan saksi mahkota dalam peradilan pidana
saat ini, kita mendapatkan secercah harapan karena tim penyusun Rancangan
Undang Undang Kitab Hukum Acara Pidana tampaknya melihat serius
permasalahan saksi mahkota ini sehingga memasukan definisi saksi mahkota
dalam RUU KUHAP di Pasal 200.17 Selain itu dalam RUU KUHAP memberikan
cara dan batasan-batasan dalam menerapakan saksi mahkota sehingga tidak
melanggar hak tersangka yang selama ini menurut banyak ahli hukum pidana
melanggar asas non self incrimination.
Dengan berlandaskan dari permasalahan konsep saksi mahkota dalam
peradilan pidana saat ini, sehingga memerlukan suatu kajiaan secara komperhensif
untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang kemudian dapat diaplikasikan
langsung untuk memperbaiki konsep yang telah ada. Maka penulis akan
melakukan kajian mengenai konsep saksi mahkota ini dengan menelaah materi
muatanya, dasar ontologis lahirnya undang-undang, alasan hukum yang
digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya, pelacakan sejarah dan
perbandingan hukum.
Mengingat penerapan saksi mahkota ini berkaitan langsung dengan hak-hak
terdakwa dalam prose peradilan pidana dan kita ketahiu bersama bahwa tujuan
dari sistem peradilan pidana bukanlah semata-mata untuk mencari dan membuat
17Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancancan Undang
Undang Kitab Hukum Acara Pidana 2010, www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/.../buka.p.. 16april 2010, diunduh 20 November 2012.
9
jelas dugaan terjadinya kejahatan serta menemukan dan akhirnya menghukum
pelaku kejahatan. Namun sistem peradilan pidana harus dapat memastikan bahwa
upaya untuk menegakkan norma-norma hukum pidana tersebut dilakukan dengan
memperhatikan dan menghormati hak-hak dari tersangka atau terdakwa, yang
walaupun diduga melakukan perbuatan tercela namun hak-haknya sebagai warga
negara tidaklah menjadi hapus atau hilang.
Sehingga dalam upaya pelaksanaan konsep saksi mahkota harus dihindari
terjadinya kesewenang-wenangan dari petugas-petugas yang dibebankan untuk
mencari dan mendapatkan kebenaran. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka
dan terdakwa dalam hukum acara pidana sangat penting artinya, mengingat,
sebagaimana dikatakan oleh Van Bemmelen sebagaimana dikutip Ansorie
Sabuan, hukum acara pidana sudah dapat bertindak meskipun baru ada
persangkaan adanya orang yang melanggar atau memenuhi aturan-aturan hukum
pidana. Ini berarti bahwa hukum acara pidana bukan saja untuk menentukan
secara resmi adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum pidana tetapi juga
mengadakan tindakan-tindakan meskipun baru ada persangkaan bahwa ada tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang.18
Berangkat dari paparan diatas untuk mendukung implimentasi perlindungan
hak tersangka dan terdakwa dan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak
tersebut maka penulisan tesis ini mengambil judul. “Penggunaan Saksi Mahkota
sebagai Alat Bukti pada Penyertaan dalam Tindak Pidana”.
18 Ansorie Sabuan, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 64.
10
B.Pernyataan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusunlah
pernyataan permasalahan sebagai berikut : Pada awalnya penggunaan saksi
mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan didasarkan pada
alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya
terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk
memenuhi rasa keadilan publik, namun KUHAP dan penjelasannya tidak
mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang saksi mahkota dan
mekanisme pelaksanaanya sehingga penerapan saksi mahkota masih dirasakan
kurang memenuhi rasa keadilan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan pidana.
Ketentuan mengenai saksi mahkota sendiri secara otentik baru terdapat
dalam dalam RUU KUHAP yang memberi pengertian mengenai peran dan
kedudukan saksi mahkota sesuai dalam pasal 200 ayat (1), (2) dan (3) dimana
ketentuan tersebut memberikan kewenagan bagi penuntut umum menentukan
tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota, berdasakan uraian tersebut diatas
maka masalah utamanya adalah konsep saksi mahkota dan penggunan alat bukti
saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak pidana di peradilan saat ini, akan
datang dan prespektif komparatif dengan negara lain.
C.Pertanyaan Penelitian
Dengan adanya permasalahan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut kemudian akan
dikaji serta dianalisa dari data yang diperoleh sehingga akhirnya akan ditemukan
kesimpulan sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Dari permasalahan tersebut di atas sangat kompleks dan luas sifatnya. Oleh karena
itu tidak mungkin mengadakan pengkajian secara menyeluruh agar penelitian
yang dilakukan lebih fokus maka analisa terhadap permasalahan utama di atas
11
perlu dibatasi dengan dirumuskan dalam tiga pertanyaan penelitian singkat
sebagai berikut:
1. Bagaimana menerapkan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian
penyertaan dalam tindak pidana dengan tidak melanggar hak
tersangka/terdakwa terkait asas non self –incrimination?
2. Bagaimana peranan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam proses
peradilan pidana di Indonesia ?
3. Bagaimana konsep saksi mahkota yang diperkenalkan dalam sistem
hukum pidana Indonesia yang akan datang dan perbandinganya dengan
konsep yang dianut negara lain?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji mengenai konsep saksi mahkota dengan melihat konsep-konsep
yang dianut di negara lain dan melihat hak saksi mahkota yang merupakan
saksi sekaligus terdakwa dalam peradilan pidana.
2. Melihat bagaimana cara penerapan alat bukti saksi mahkota yang
dilaksanakan dalam proses peradilan pidana saat ini dari tahap penyidikan,
penuntutan, sampai pada tahap persidangan.
3. Mengkaji bagaimana hukum acara pidana yang akan datang melihat
kedudukan saksi mahkota sebagai alat bukti untuk penyertaan dalam
tindak pidana ?
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :
1. Secara Teoritis, penelitian ini di harapkan dapat memberikan suatu manfaat
dalam bentuk sumbangan pemikiran serta dalam bentuk saran demi
kemajuan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang
12
hukum pidana pada khususnya yang berhubungan dengan penerapan saksi
mahkota dalam proses peradilan pidana .
2. Secara Praktek, sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik
itu para praktisi, akademisi dan juga para aparat penegak hukum khususnya
jaksa penuntut umum yang mempunyai tugas melakukan penuntutan, dapat
menerapkan saksi mahkota sesuai dengan ketentuan karena pada satu pihak
saksi mahkota mendukung pembuktian namun dilain pihak terdapat hak
individu yang harus dilindungi
F. Kerangka Teoritis
Untuk melakukan pengkajian mengenai kedudukan saksi mahkota dalam
tindak pidana penyertaan dalam penelitian ini, digunakan beberapa konsep atau
teori yang sebagai alat analisis penelitian, teori - teori yang digunakan berkenaan
dengan konsep hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana dan konsep
negara hukum, dimana kedua konsep tersebut saling berkaitan karena dalam
sistem pemeriksaan perkara pidana wajib menjunjung hak asasi tersangka dan
terdakwa yang merupakan implementasi hak asasi manusia, sedangkan dalam
negara hukum menjamin hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan oleh
negara.
1.Hak Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Pidana
Menurut Mardjono Reksodiputro, secara umum salah satu fungsi dari suatu
undang-undang hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara
dalam bertindak terhadap warga negaranya dalam proses peradilan pidana, namun
yang sering dilupakan bahwa dalam hukum acara pidana juga memberikan
kewenangan-kewenangan tertentu pada negara melalui aparat penegak hukumnya
untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya.19
Dengan perkataan lain hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan
19 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.25.
13
dan kekuasaan bagi pihak yang terlibat dalam proses ini (polisi, jaksa, hakim dan
penasihat hukum).20
Yang sering menjadi masalah selama ini yaitu dimana aparat penegak
hukum terlampau jauh mengunakan kewenanganya sehingga menimbulkan
keadaan yang tidak adil, karena dalam penggunaan kewenangannya aparat hukum
melupakan hak-hak tersangka dan terdakwa. Padahal hukum acara pidana telah
menggariskan bahwa aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya tidak
hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga
memperhatikan hak tersangka dan terdakwa sebagaimana telah ditentukan serta
mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses
hukum yang adil.21 Karena dalam peradilan yang adil ini terkandung penghargaan
kita akan hak kemerdekaan seorang warga negara, meskipun seorang warga
negara telah melakukan perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga negara
tidaklah hapus atau hilang.22
Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menegaskan : 23
Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalamundang-undang hukum acara pidana dilandasi dari pemahaman bahwawalaupun kita dapat mencegah diri kita untuk melakukan tindak pidana,tetapi kita tidak pernah dapat melepaskan diri kita dari risiko diajukansebagai tersangka dan terdakwa, oleh karena itulah suatu proses hukumyang adil, dengan pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasaaman masyarakat, yang tidak kalah pentingnya dari usaha menanggulangikejahatan .
Hak-hak tersangka dan terdakwa yang merupakan bagian dari hak
individu sering dilekatkan dengan kata hak asasi manusia, yang dalam bahasa
20 Ibid .21 Menurut Lilik Mulyadi, hukum acara pidana pada dasarnya mencerminkan dua sifat yang
khas, yaitu: Pertama, ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa (dwingen recht). Oleh karena itu,sifat hukum acara pidana akan melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan,ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat. Karena bersifat memaksa, negara tetapmelakukan penindakan terhadap pelakunya dan dapat dikatakan lebih jauh hal ini tidaklahtergantung kepada pribadi-pribadi, apakah mau dilakukan penindakan ataukah tidak, terkecualiterhadap tindak pidana aduan (klacht-delict). Kedua, sifat hukum acara pidana mempunyaidimensi perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, konsekuensi logisdari negara hukum (rechtstaat), hukum acara pidana juga bersifat melindungi kepentingan darihak-hak orang yang dituntut (tersangka/terdakwa). Lihat Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana(normative, teoretis, praktik dan permasalahannya) (Bandung: alumni, 2007), hal. 11-12.
22 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.25
23 Ibid., hal. 34-35.
14
Inggris dikenal dengan istilah human rights. Hak asasi manusia didefenisikan
sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-
hak itu manusia tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia (inherent
dignity) karena hak-hak tersebut adalah tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak
boleh dilanggar (inviolable) dalam keadaan apapun.24
Dalam pemahaman tentang hak asasi manusia menurut Mardjono
Reksodiputro: 25
“Hak dan kewajiban itu adalah simetris adalah benar, namun perlu diingatsimetris ini tidak berada dalam diri individu yang sama, kalau A mempunyaihak X, maka B mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan denganhak X, atau kalau A mempunyai kewajiban Y maka B mempunyai hak yangberhubungan dengan Y, dalam pengertian HAM maka seperti diuraikan diatas, hak-hak tersebut melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki olehindividu, sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetris di atasterdapat pada negara, karena hanya negara yang mempunyai kuasamemelihara dan melindungi hak-hak individu ini”.
Dari pengertian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan, dalam
kontek HAM maka hak dimiliki manusia sebagai individu sedangkan
penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan HAM (to
protect) ada pada negara, sehingga implementasinya dalam kebijakan yang akan
dituangkan dalam suatu peraturan maupun perundang-undangan negara
berkewajiban untuk selalu memperhatikan hak asasi manusia, serta negara
bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM.26
24 Ibid., hal. 27.25 Ibid., hal. 8.26 Menurut Rhona K. M Smith prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi
logis dari ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak yangmemegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai pemegang kewajiban (dutybearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) danmemenuhi (fulfill) HAM setiap individu. Lihat Rhona K. M Smith, Hukum Hak Asasi Manusia,(Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008), hal. 40. Lihat pula pendapat Jimly Asshiddiqie yangmenyatakan bahwa , negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM,kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “menimbang” baik dalam KonvenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya, dan dalam hukum nasional, termuat dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yangmenyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalahtanggungjawab negara, terutama Pemerintah. Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak AsasiManusia”, ( Materi yang disampaikan dalam Studium General pada acara The 1st NationalConverence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005), hal. 19.
15
Pandangan lain yang melihat mengapa negara bertanggung jawab untuk
melindungi HAM, dapat dilihat dari pendapat Soediman Kartohadiprojo, sebagai
mana dikutip Sudargo Gautama yang menyatakan segala tindakan negara dalam
prakteknya dilakukan oleh manusia, karena tak ada manusia yang tak berderajat
maka segala buah pekerjaan tidak ada yang sempurna maka jikalau orang diberi
kekuasaan dalam negara tidak dapat menjalankan kekuasaan dengan jiwa
prikemanusiaan dan keadilan, maka tak akan mungkilah diciptakan suatu negara
hukum, sungguhpun ketentuan yang mengikat itu demikian bagus dan rapi.27
Beranjak dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa dalam hal negara
memberikan pengakuan mengenai hak tersangka untuk terhindar dari bentuk
kesewenang-wenangan dalam proses peradilan pidana, maka pada negara jugalah
terdapat kewajiban untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat ditegakkan.
Di sinilah letak arti penting adanya aturan khusus tersebut untuk melindungi saksi
mahkota yang berkedudukan sebagai saksi dan terdakwa dalam peradilan pidana.
Dengan adanya ketentuan kewajiban negara menjamin hak-hak seorang tersangka
atau terdakwa dalam peradilan pidana maka saksi mahkota yang berkedudukan
sebagai saksi dan terdakwa memiliki hak untuk dapat perlindungan dari negara
sehingga dalam pelaksanaanya terhindar dari kesewenang-wenang oleh aparat
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
2. Negara Hukum
Dalam proses peradilan pidana, kemerdekaan tersangka dan terdakwa
sebagai warga negara paling besar terancam karena ada kemungkinan salah
penggunaan kewenangan yang diberikan oleh undang undang kepada aparat
penegak hukum, sehingga dalam kerangka berpikir ini pengertia due process of
law atau proses hukum yang adil harus dipahami sebagai perlindungan terhadap
hak kemerdekaan setiap warga negara dalam negara hukum.28 Karena dalam
negara hukum, negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan-tindakan
negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.29
27 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung : Alumni, 1973), hal .11.28 Ibid.29 Menurut Sudargo Gautama, cita-cita negara hukum pada asalnya sangat dipengaruhi oleh
aliran individualism. Sejak abad ke-17 di dunia barat, orang sudah memikirkan cita-cita akan suatu
16
Dalam hubungan HAM dan negara hukum menurut Todung Mulya Lubis,
“bahwa rumah ideal bagi HAM hanya di dalam rechstaat, karena rechstaat
menjamin hak asasi manusia seperti terlaksananya independensi peradilan, due
process of law dan judicial review”.30 Pembatasan kekuasaan negara kekuasaan
negara terhadap perseorangan dan tindakan – tindakan negara terhadap warga
negara dibatasi oleh hukum, inilah yang dikatakan oleh ahli hukum Inggris
dikenal dengan rule of law.31
Dalam pelaksanaan the rule of law menurut Sunarjati Hartono : 32
“Selain mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi diantaramasyarakat, pengadilan juga berwenang untuk mengawasi bagaimanapemerintah menjalankan tugasnya, yang berarti bahwa pengadilandiposisikan sebagai satu-satunya instansi sekaligus instansi tertinggi (enigsteen hoogste instantie) yang berwenang menentukan tindakan-tindakanpemerintah berdasarkan hukum yang berlaku, atau dengan kata lainhubungan antara the rule of law dengan konsep negara hukum adalahdiberikannya kewenangan kepada pengadilan untuk memutuskan apakahkebijaksanaan pemerintah itu adil dan sesuai dengan grundsnorm ataufalsafah hukum dan negara, yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan”.
Walaupun pada awal pembentukan Undang Undang Dasar tidak
disebutkannya secara tegas kedudukan Indonesia sebagai negara hukum dalam
pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945,33 namun menurut Oemar Seno Adji
negara hukum. Manusia pribadi meminta pengakuan hukum yang lebih layak. Segala sesuatu inisebagai reaksi atas kekuasaan tak terbatas yang telah bertambah-tambah dari raja-raja, terkenalsebagai zaman absolutism. Pertama-tama, di dalam suatu negara hukum terdapat pembatasankekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindaksewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Jadi dapatkita katakan pula, bahwa ada suatu lapangan pribadi (individuale sfeer) dari tiap orang yang takdapat dicampuri oleh negara. Selanjutnya, bahwa pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak individualini hanya dapat dilakukan, apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.Inilah yang dinamakan pula asas legaliteit dari negara hukum. Lihat: Sudargo Gautama,Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal.1-3.
.30 Todung Mulya Lubis.“In Search of Human Right : Legal Political Dilemmas of Indonesia’s
New Order 1966-1990”, (Dissertation Juris Scientioac Doctor University of California Berkeley,California, 1990), hal. 1.
31 Sudargo Gautama, Op.Cit., hal. 8.32 Sunarjati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu ?, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 102.33 Menurut Muhammad Yamin, sebagaimana dikutip oleh Mien Rukmini, tidak disebutkannya
secara tegas kedudukan Indonesia sebagai negara hukum dalam pembukaan maupun batang tubuhUUD 1945, pada dasarnya tidak terlepas dari suasana kebatinan para penyusun UUD dan pendiriRepublik Indonesia saat itu yang tidak berkehendak terlalu mengagungkan HAM. Pada waktu itumereka membenci individualism-liberalisme-kolonialisme-imperialisme. Para penyusun UUDtersebut berkehendak bahwa mereka menyusun UUD berdasarkan asas kekeluargaan. Suatu asasyang sama sekali bertolak belakang dengan paham individualism dan liberalism. Lihat MienRukmini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas Persamaan
17
terdapat tiga ciri khusus yang menempatkan Indonesia sebagai negara hukum,
sebagaimana digariskan oleh ilmu hukum dan diterima oleh pemerintah setelah
memperbandingkan antara prinsip-prinsip didalama rule of law (dalam pengertian
yang lebih luas dari Dicey) dan didalam socilalist legalist yaitu:34
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak –hak asasi yang mengandungperlakuan yang sama dibidang politi, hukum, sosial ekonomi, budayadan pendidikan;
2. Legalitas, dalam arti hukum dalam segala bentuknya;3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala
pengaruh kekuasaan lain;
Lebih lanjut menurut Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa, negara hukum
Indonesia didasarkan pada pancasila sebagai ideologi negara, yang dirumuskan
dalam prinsip-prinsip dasar negara yang bersifat fundamental.35Sedangkan
menurut Muh. Mahfud. MD, Penerimaan negara Indonesia sebagai negara hukum
ini bukan hanya karena bunyi Penjelasan UUD 1945, yang menyebut bahwa
“Indonesia ialah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat)…”, melainkan juga
karena alasan-alasan lain seperti yang dituangkan dalam pembukaan maupun di
dalam batang tubuh UUD 1945 sendiri, baik isi pembukaan atau batang tubuh
UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan adanya prinsip demokrasi dan
pengakuan serta perlindungan HAM merupakan bukti bahwa Indonesia menganut
prinsip Negara hukum.36
Pernyataan tentang Indonesia sebagai negara hukum baru terdapat dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga, dengan dimasukkannya
pasal ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar
hukum serta menjadi amanat negara bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) maka
pertama–tama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan
selanjutnya prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM, dalam
kaitan dengan fungsi pengadilan untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran
Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. (Bandung: PT Alumni.2003), hal.45.
34 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980 , hal.167.35 Ibid.36 Muh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2010), hal. 140-141.
18
ketentuan HAM mempunyai kedudukan utama.37 Oleh karena itu suatu pematauan
nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat-syarat :38
1) Menjadikan HAM bagian hukum Indonesia ;
2) Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM
tersebut ;
3) Terdapat pengadilan yang bebas ( an independent judiciary) ; dan
4) Adanya pula profesi hukum yang bebas (an independent legal
profesional).
Dari uraian diatas maka jelaslah Indonesia sebagai negara hukum, dan
konsekwensinya sebagai negara hukum, harus menjamin perlindungan HAM,
artinya perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara
atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi, namun
yang lebih penting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan dan
perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan setingkat undang-undang
atau bahkan setingkat peraturan pelaksana dan kebijakan lain baik di tingkat pusat
maupun daerah, serta secara umum negara dapat memastikan bahwa pelaku
pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan
perundang – undangan dan secara khusus dalam rangka proses peradilan pidana
terdapat atauran yang membatasi aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya tidak mengabaikan hak asasi tersangka dan terdakwa.
G. Kerangka Konsepsional
Dengan mengangkat tema saksi mahkota dalam penelitian ini, penulis ingin
melihat bagaimana penggunaan alat bukti saksi mahkota dalam perkara peyertaan
penyertaan dalam tindak pidana, untuk itu akan dijelaskan mengenai beberapa
konsep yang berkaitan dalam pelaksaan saksi mahkota dalam peradilan pidana
yang meliputi :
1.Alat Bukti
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita alat bukti adalah :39
37 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, hal.12-13.
38 Ibid., hal 13.
19
“Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimanadengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahanpembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanyasuatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa”.
Sejalan dengan pengertian di atas, Andi Hamzah juga memberikan batasan
hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu:40
“Sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan.Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenanuntuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaandi sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangandi sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keteranganahli, surat dan petunjuk dalam perkara perdata termasuk persangkaan dansumpah’.
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat
diajukan didepan sidang peradilan. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut
Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :
a. Keterangan Saksi;b. Keterangan ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan terdakwa.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan secara limintatif alat bukti yang sah
menurut undang-undang, di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau
penasehat hokum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat
bukti itu saja.41
2.Keterangan Saksi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 1 angka 26 pengertian
saksi adalah “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
39 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung :Mandar Maju, 2003), hal. 11 .
40 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 99.41 Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Cet Keempat, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hal. 285.
20
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri’. Sedangkan menurut
Pasal 1 angka 27 KUHAP, “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yangberupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu’.
Dalam hal menjadi seorang saksi yang keteranganya diperlukan di muka
Pengadilan maka ada syarat-syarat yang harus di penuhi yaitu :
a. Syarat formal
Untuk memenuhi syarat formal keterangan saksi harus diberikan di bawah
sumpah/janji. Dalam hal mengucapkan sumpah atau janji menurut ketentuan
Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan “wajib
mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :42
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing;
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberi keteranganyang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan
syarat mutlak, keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau
mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi
hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, Ini
tidak berarti kesaksian tidak dibawah sumpah bukan merupakan alat bukti
keterangan saksi, bahkan bukan merupakan petunjuk hanya dapat memperkuat
keyakinan hakim.
b. Syarat materiel
Mengenai materil dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP
dimana ditentukan bahwa:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidangpengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihatsendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan daripengetahuannya itu.”
Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi
mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai
42 Ibid., hal. 286.
21
sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan isi pasal diatas, jika
dijabarkan poin-poinnya sebagai berikut :
1) Yang saksi liat sendiri;2) Yang saksi dengar sendiri;3) Yang saksi alami sendiri;4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
3. Saksi Mahkota
Menurut Andi Hamzah, terdapat pemikiran yang keliru mengenai pengertian
saksi mahkota seakan-akan para terdakwa yang ikut serta (medeplegen) dalam
perkaranya penyertaan dalam tindak pidana, kemudian dipisah dan bergantian
menjadi saksi disebut saksi mahkota.43 Sering kita dengar dalam proses peradilan
maupun kita baca di media massa menyatakan terdakwa bergantian – gantian
menjadi saksi satu sama lain, dalam berkas perkara yang dipisah-pisah kemudian
terdakwa tersebut disebut sebagai saksi mahkota atau kroongetuige, lebih tegas
Andi Hamzah menyatakan:44
“Mereka yang bergantian sebagai saksi bukanlah saksi mahkota, saksimahkota adalah salah seorang dari terdakwa dikeluarkan dari daftarterdakwa dan dijadikan saksi, pengubahan status terdakwa menjadi saksiitulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota “saksi” (sepertidinobatkan sebagai saksi) jadi dia tidak pernah lagi menjadi terdakwa,supaya lebih kurang menyentuh rasa keadilan, maka biasanya jaksa memilihterdakwa yang paling ringan kesalahanya atau yang paling ’kurang dosa’nya sebagai saksi”.
Lilik Mulyadi memberi pengertian saksi mahkota yaitu: 45
“Saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangkaatau terdakwa lainya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidanadalam hal mana saksi tersebut diberi mahkota. Mahkota yang diberikan padasaksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk tiadapenuntutan terhadapa perkaranya atau diberikan suatu penuntutan yangsangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkanatas kesalahan yang pernah dilakukan saksi terbut”.
Dalam kedudukan sebagai saksi dan tersangka atau terdakwa maka
konsekwensinya seorang saksi mahkota akan kehilangan kesempatan untuk
43 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 271.44 Ibid.45 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan dan Permasalahan, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2007), hal. 85-86.
22
dapat melakukan pembelaan yang cukup untuk dirinya sendiri dalam proses
peradilan pidana, pentingnya pemberian kesempatan pembelaan kepada saksi
mahkota untuk meminimalisir tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan
aparat penegak hukum terhadap saksi mahkota. Menurut Oemar Seno Adji,
dalam negara hukum seorang tertuduh mempunyai kesempatan yang adequate
dan cukup untuk mengadakan pembelaan yang berarti : 46
1. Bahwa setiap waktu akan dapat bantuan hukum dan dapat selalumengadakan hubungan dengan pembelanya;
2. Bahwa ia diberitahu dan mengetahui tentang tuduhan yang dihadapkanpadanya;
3. Tertuduh dapat mengajukan saksi-saksi atau keterangan – keterangan lainuntuk kepentingan pembelaanya;
4. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk memberatkan diri dalam suatuproses pidana. Tekanan physik maupun psychis, psychologi tidak bolehdilakukan terhadap seorang tertuduh.
4. Penyertaan
Penyertaan ( deelneming ) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat
lebih dari satu orang, sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-
masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.47 Dua masalah
pokok pada penyertaan yaitu mengenai diri orangnya dan mengenai
tanggungjawab pidana tidak dapat dipisahkan, mengenai diri orangnya dalam
penyertaan ada dua ajaran yang subjektif dan objektif, menurut ajaran
subjektif, siapa yang berkehendak paling kuat dan atau mempunyai
kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang
membeban tanggung jawab pidana yang paling besar, sebaliknya menurut
ajaran objektif menitik beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana
peran dan andil serta pengaruh positif dari perbuatan itu terhadap timbulnya
tindak pidana yang dimaksud yang menentukan seberapa berat tanggungjawab
yang dibebannya terhadap terjadinya tindak pidana.48
Saksi mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan, hal ini disebabkan
saksi mahkota adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa, dengan
46 Oemar Seno Adji, Op.Cit., hal. 42.47 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:
Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59.48 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan. (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002). hal. 75
23
kata lain, saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa
dalam suatu peristiwa tindak pidana, dimana terdakwa akan menjadi saksi
terhadap teman pesertanya.
5. Non Self Incrimination ( Tidak Mempersalahkan Diri Sendiri )
Salah satu hak-tersangka/terdakwa yang sering dipermasalahkan dalam
penenerapan saksi mahkota adalah asas non self incrimination (hak untuk
tidak mempersalahkan dirinya sendiri). Di Amerika Serikat, mengenai hak
untuk tidak menyalakan diri sendiri telah diakui secara kontitusional, dalam
amandemen ke- V kontitusi Amerika Serikat memuat diantaranya, tidak boleh
diwajibkan dalam perkara kejahatan apapun menjadi saksi yang memberatkan
diri sendiri.49 Di Inggris diberlakukan hak untuk tidak menjawab pernyataan,
bahkan sangat ketat, pemeriksaan harus mulai mengatakan kepada the suspect,
bahwa ia mempunyai hak untuk diam tidak menjawab pertanyaan.50 Sedangkan
dalam hukum pidana Belanda berlaku prinsip ‘fair trial’, yang memuat
kewajiban untuk menjaga dan menghormati tersangka/terdakwa, dimana
tersangka/terdakwa tidak diwajibkan memberikan keterangan yang akan
mencelakakan dirinya sendiri.51 Dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil Politik yang telah diratifikasi Indonesia, ketentuan dalam pasal 14
ICCPR, juga patut menjadi perhatian dalam rangaka perlindungan hak asasi
manusia (terdakwa) dalam proses peradilan ketentuan tersebut berkenaan
dengan hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non self
incrimination).
Selain masalah hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non
self incrimination) untuk menerapakan saksi mahkota perlu diatur suatu
lembaga yang dapat mengawasi terhadap jalanya tindakan peyidik dalam
49 Luis Hendri, Pernyataan Hak Asasi Amerikadan Makna Internasional [ The United StatesBill of Right Significance], dialih bahasa oleh Budi Prayitno dan Abdullah Alamudi, (Jakarta:Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS),1995), hal. 27.
50 Mien Rukimini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan AsasPersamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PTAlumni, 2000), hal. 90.
51 Constantijn Kelk, “Tahapan Kritikal Dalam Pengembangan Sistem Hukum Pidana YangBeradab”, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings, ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 2012) hal. 62.
24
rangka mendapatkan alat bukti dari saksi mahkota tersebut. Lembaga ini ini
mempunyai kewenangan sebagai examinating judge dan investigating judge
layaknya lembaga Habeas Corpus (Inggris) maupun Rechter Commisasris
(Belanda) yang dapat memutuskan sah tidaknyaknya penyidikan yang
dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan maupun perolehan alat bukti
secara ilegal.52 Namun saat ini KUHAP belum mengatur secara tegas mengenai
cara memperoleh alat bukti, serta bagaimana konsekwensi apabila alat bukti
diperoleh dengan cara yang menyimpang, tetapi hal ini tidaklah menjadi
hambatan dalam pelaksanaannya karena kekosongan hukum ini dapat diisi
melalui putusan hakim.53 Di Amerika Serikat dikenal, exclusionary rules
dimana membuat bukti tidak dapat diterima di pengadilan jika aparat penegak
hukum memperolehnya dengan cara dilarang oleh undang undang.
6. Peradilan Pidana
Proses peradilan pidana dalam penulisan ini, adalah peradilan yang
prosesnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelenggaraan peradilan
pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai
dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan,
penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.54 Atau dengan kata lain
bekerjanya, polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang
berarti pula berproses atau bekerjanya hukum acara pidana.55 Sedangkan sistem
peradilan merupakan sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah
52 Ibid .53 Menurut Mien Rukmini Untuk mengisi kekosongan kaidah ini, sebenarnya dapat diberikan
peranan kepada hakim melalui yurisprodensi dan ilmu hukumnya (baik melalaui penemuanhukum maupun penghalusan hukum). Lihat, Mien Rukimini, Op.Ci.t, hal 95. Dan menurut EdwinH Suterland & Donald R Cressey, karena tehnik-tehnik yang dipergunakan pengadilan didalammenafsirkan dan mentrapkan ketentuan-ketentuan maupun kumpulan kesatuan pemikiran-pemikiran dasar yang dilaksanakan oleh pengadilan adalah sebagian bentuk dari penyelenggaraanhukum, sama benarnya dengan ketentuan – ketentuan yang tertulis. Dan keputusan pengadilandalam suatu perkara merupakan bagian dari pada kumpulan kesatuan peraturan-peraturan yangdipakai dalam pembentukan keputusan mengenai pertentangan-pertentangan persoalan (sebagaiyurisprodensi). Edwin H Suterland & Donald R Cressey, Principles of Criminologi, disadur olehMomon Martasaputra,( Bandung: Alumni, 1973), hal. 5.
54 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, (Depok: Pusat StudiPeradilan Pidana Indonesia, 2000), hal. 23.
55 Ibid., hal. 23.
25
kejahatan, menaggulangi berarti usaha mengendalikan kejahatan agar berada
dalam batas-batas yang dapat ditoleransi masyarakat,56dengan tujuan dari
sistem peradilan pidana tersebut adalah antara lain :57
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Pendekatan sistem yang digunakan dalam peradilan pidana, menurut
pendapat Harkristuti Harkrisnowo, mempunyai implikasi :58
1. Semua subsistem akan saling tergantung (Interdependent), karenaproduk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagisubsistem yang lain;
2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation andcooporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upayapenyusunan strategik dari keseluruhan subsistem;
3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan satu subsistem berpengaruhpada subsistem lain.
Untuk mengetahui sejauh mana konsep RUU KUHAP dalam melindungi
hak asasi manusia serta untuk melihat bagaimana efektifitas keberlakuan suatu
kesepakatan dengan terdakwa maka perlu untuk melihat konsep-konsep yang
mengatur kesepakatan dengan sakai menyangkut saksi mahkota yang lebih dahulu
dilaksanakan dinegara lain, dalam hal ini di Belanda dan Amerika Serikat,
pemilihan kedua negara tentulah memiliki alasan yang sangat kuat.
Untuk Belanda kita ketahui bersama bahwa sistem hukum pidana Belanda
paling penting dipelajari dalam perbandingan hukum pidana Indonesia karena
sumber hukum formil dan materil Indonesia bersumber dari Belanda. Sedangkan
Amerika Serikat yang mengganut sistem common law dimana prinsip dasar
hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat parlemen dan
hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematik, rinci
yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan ketetapaan, sehingga
di Amerika Serikat perubahan sistem sosial dan teknologi mendorong sistem
56 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal.84.
57 Ibid .58 Harkristuti Harkrisnowo, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” , dalam Newsletter Komisi
Hukum Nasional, (Mei 2002), hal .10-17.
26
hukum kearah beban baru dan kebiasaan baru berakibat pada sistem hukum
berubah bersama waktu berganti dan hukum bergerak, berubah sehingga hukum
sangat dinamis.59
Dengan melakukan perbandingan hukum dengan Belanda dan Amerika
Serikat ini diharapkan dapat diperoleh suatu pemecahan masalah mengenai
kedudukan saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak pidana dalam
pembaharuan hukum. Sebagaimana di Soerjono Soekanto, tujuan akhir dari
perbandingan hukum adalah bukan menemukan persamaan dan perbedaan akan
tetapi pemecahan hukum secara adil dan tepat, serta hal tersebut penting untuk
melaksanakan pembaharuan hukum.60
H. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis
normatif. Metode penelitian yuridis normatif ini sering disebut sebagai penelitian
doktrinal, yang meneliti hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar
doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembang.61 Pokok
kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang
berlaku dalam masyarakat dan mengacu prilaku setiap orang, sehingga penelitian
hukum normatif berfokus pada inventarisasi asas-asas dan doktrin hukum,
penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf
singkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.62
Sebagai data penunjang dilakukan wawancara terhadap narasumber yaitu :
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH. MA., Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH., Steven
Kessler (Resident Legal Advisor Office Of Overseas Prosecutirial Development
Assistance And Training) US Departemen of Justice, Charles Guria dan Kevin
Ricardson, (Executive Assistant Distrik Attorney King County Brooklyn, New
York), Agung Ardiyanto (Kasi Pidum Kejari Jakarta Selatan) dan Kiki Yonata
59 Lawrence M Friedman, American Law An Introduction, Penerjemah Wishnu Basuki,(Jakarta : PT Tatanusa, 2001), hal. 20 -25.
60 Barda Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002), hal. 18.
61 Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam – ragam Penelitian Hukum”, dalam Metode PenelitianHukum : Konstelasi dan Refleksi, Sulistyowati Irianto dan Shidarta, ed., Cetakan Kedua, (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia, 2011), hal .121 -122.
62 Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-1, (Bandung: PT Citra AdityaBakti, 2004), hal. 52.
27
(Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat).
Sedangkan untuk pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi:
1. Pendekatan Perundang – undangan (Statute Approach)
Oleh karena penelitian ini dalam level dogmatis hukum atau untuk keperluan
praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-
undangan,63 pendekatan perundang- undangan bukan saja melihat pada bentuk
peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah materi muatanya,
dasar ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang,
dan ratio legis dari ketentuan undang-undang.64
2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Dalam pendekatan kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi yaitu,
alasan – alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada
putusanya,65ratio decidendi inilah yang menunjukan bahwa ilmu hukum
merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif, sedangkan dictum
putusan merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif, oleh karena itu pendekatan
kasus bukan merujuk pada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk
pada ratio decidendi.66
3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan untuk pelacakan sejarah lembaga hukum dari
waktu kewaktu, melalui pendekatan historis dapat membantu untuk memahami
perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi aturan hukum.67
4. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Perbandingan hukum memberikan penilaian terhadap masing-masing system
hukum yang digunakan serta mengkaji adanya asas-asas umum yang didapat
dengan cara membandingkan.68 Melakukan perbandingan hukum harus
mengungkapkan persamaan dan perbedaan, kegiatan ini bermanfaat bagi
63 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Ke-6, (Jakarta : Prenada Media Group,2010), hal. 96.
64 Ibid., hal 10265 Ibid., hal 11866 Ibid.67 Ibid., hal 126.68 Topo Santoso, Perbandingan Hukum Pidana, (Bahan Bacaan Mata Kuliah Perbandingan
Hukum Pidana Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok : 2011), hal. 1.
28
penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk
masalah yang sama dari dua negara yang berbeda atau lebih.69
Penelitian hukum dengan perspektif normatif meneliti antara lain bahan
pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang meliputi :
a. Bahan hukum primer : yaitu bahan hukum yang merupakan peraturan
perundang-undangan, peraturan pelaksana lainnya dan yurisprudensi
putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan kedudukan saksi
mahkota dalam penyertaan tindak pidana.
b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang isinya
menjelaskan mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil penelitian,
makalah simposium atau seminar, jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan
dengan masalah kedudukan saksi mahkota dalam tindak pidana yang
berbentuk penyertaan.
c. Bahan hukum tertier: yaitu bahan- bahan penunjang yang menjelaskan
bahan hukum primer dan sekunder misalnya dalam hal ini kamus,
ensiklopedi yang memberikan batasan pengertian secara etimologi /arti
kata atau secara grmatikal untuk istilah istilah tertentu,70yang berkorelasi
dengan maslah kedudukan saksi mahkota dalam penyertaan tindak pidana.
I. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas
5 (lima) Bab yaitu:
Bab1 Pendahuluan
Di bab ini diuraikan mengenai latar belakang dilakukan penelitian,
permasalahan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian disertai dengan kerangka
teoti, kerangka konsepsional dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab 2 Tinjaun Yuridis Penggunaan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam Penyertaan
Dalam Tindak Pidana
69 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal 133.70 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali press,
1995), hal. 33.
29
Bab ini membahas mengenai tinjauan umum konsep saksi mahkota,
penyertaan dalam tindak pidana, yurisprudesi penerapan saksi mahkota di
peradilan Indonesia, memaknai dualisme yurisprudesi dalam penerapan saksi
mahkota, hak-hak saksi mahkota dalam proses peradilan pidana dan asas non self
incrimination.
Bab 3 Penerapan Alat Bukti Saksi Mahkota dalam Penyertaan dalam Pidana di
Peradilan
Bab ini membahas mengenai pemecahan berkas perkara (splitsing) dan
konstruksi surat dakwan terhadap saksi mahkota pada penyertaan dalam tindak
pidana, kekuatan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana,
ketentuan dalam pembuktian untuk menerapkan saksi mahkota,
pertanggungjawaban pidana saksi mahkota .
Bab 4 Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP dengan
Konsep yang dianut Negara lain
Bab ini mengetengahkan mengenai studi komparasi RUU KUHAP dengan
Belanda dan Amerika Serikat, Pergeseran paradigma dalam RUU KUHAP dan
melihat konsep lain yang mengatur keturutsertaan saksi dalam suatu tindak pidana
dalam hal ini whistelblower dan justice collabolator kemudian membandinkanya
dengan konsep saksi mahkota.
Bab 5 Penutup
Bab ini Merupakan kesimpulan dari permasalahan mekanisme menerapkan
saksi mahkota dengan tidak asas non self –incrimination, peranan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana dan konsep saksi mahkota yang
introdusir dalam sistem hukum pidana Indonesia yang akan datang. Serta saran
yang berisi mengenai padangan penulis untuk perbaikan dalam penerapan saksi
mahkota untuk perkara penyerta dalam tindak pidana.
30
BAB II
TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SAKSIMAHKOTA DAN PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
Dalam pembahasan awal ini penulis akan menguraikan bagaimana tentang
konsep saksi mahkota, tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara lain,
kemudian dilanjutkan bagaimana memaknai dualisme yurisprodesi dalam
penerapan saksi mahkota serta hak-hak saksi mahkota dalam proses peradilan
pidana, dan yang terpenting upaya mengatasi dilema terkait asas non self –
incrimination dalam penerapan saksi mahkota. Sebelum sampai pada konsep
saksi mahkota, akan sedikit dibahas tentang penyertaan dalam tindak pidana
karena dalam penerapam saksi mahkota ini berkaitan erat dengan penyertaan
dalam tindak pidana sehingga diperlukan pemahaman mengenai bentuk – bentuk
penyertaan dalam tindak pidana dan pertanggungjawaban pidananya pelaku
penyertaan dalam tindak pidana.
A. Penyertaan dalam Tindak Pidana
1.Doktrin dan Sifat Penyertaan
Penyertaan (deelneming) diatur dalam buku kesatuan tentang aturan umum,
Bab V Pasal 55-62 KUHP. Makna dari istilah ini adalah bahwa ada dua orang atau
lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua orang
atau lebih yang mengambil bagian untuk mewujudkan tindak pidana.71 Filosofi
dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan yaitu :
a.Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya
orang) : 72
1.Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana;
2.Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna.
Sama halnya dengan percobaan dan persiapan (melakukan tindak pidana)
penyertaan juga memperluas sifat dapat dipidana.73 Mengenai perluasan sifat
71 E Y Kanter dan S R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan,(Jakarta: Storya Grafika, 2002), hal. 336.
72 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Modul Asas Asas Hukum Pidana I, (Jakarta :Pusat Pendidikan dan Pelatihan ,2010), hal. 222.
31
dapat dipidana Hazewinkel - Suringa yang menganut ajaran formel
sebagaimana dikutip Andi Hamzah menyatakan menurut sistem undang-
undang, telah dilakukan suatu grondfeit (peristiwa dasar) yaitu suatu
peristiwa yang diuraikan dalam undang-undang ditambah beberapa perluasan
menurut undang-undang (termasuk pula Pasal 56 KUHP yang mengatur
tentang pembantuan).74 Sedangkan menurut pandangan materil ketentuan
tentang deelneming (penyertaan) sama sekali bukanlah sesuatu yang
menyangkut Ausdehnung atau perluasan pengertian sebab tanpa ketentuan
tentang penyertaan, perluasan orang yang bukan pelaku, tetapi yang “turut
serta” akan tinggal tidak terpidana.75
Lebih lanjut Hazewinkel – Suringa sebagaimana dikutip Andi Hamzah
menyatakan ajaran tentang penyertaan memperluas pertanggungjawaban
(Tatbestand) selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik
(dehnungsgrund) atau dalam bentuk percobaan juga mencakup orang-orang
turut serta mewujudkanya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak
dapat dipidana, karena mereka tidak mewujudkan delik. 76 Dalam hal ini Van
Bemmelen juga menyatakan ketentuan tentang penyertaan merupakan dasar
perluasan pemidanaan orang-orang yang terlibat dala perwujudan delik, yang
dalam bahasa jerman disebut Strafausdehnungsgrund. 77
b. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya
perbuatan): 78
a. Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana;
b.Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
Menurut Pompe sebagaimana dikutip Moeljatno berpendapat bahwa
penyertaan memberi perluasan kepada norma-norma yang tersimpul dalam
perumusan undang-undang.79 Dalam hal ini Andi Hamzah menyetujui
pendapat Moeljatno yang mengatakan bahwa ajaran tentang penyertaan
73 Jan Remmelink, Hukum Pidana , Op. Cit., hal. 306.74 AZ Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT Yasrif Watampone,
2010), hal. 423.75 Ibid.
76 Ibid., hal 43977 Ibid.78 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI . Op.Cit, hal. 222.79 Moeljatno. Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, (Jakarta: PT
Bina Aksara. 1985), hal. 5.
32
(deelniming) yang diuraikan dalam Bab V KUHPidana Pasal 55 sampai
dengan Pasal 62 KUHP merupakan Tatbestandausdenhnungsgrund, para
peserta delik melanggar kaidah-kaidah hukum pidana yang telah diperluas itu,
masing-masing pada waktu dan tempat ketika mereka berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.80 Utrecht menyatakan pelajaran umum turut serta ini justru
dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan
pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri
tidak memuat semua anasir peristiwa tersebut, karena tanpa turut sertanya
mereka peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi.81
Berdasarkan dua filosofi penyertaan tersebut maka dalam penulisan ini
penulis sependapat dan mengunakan ajaran penyertaan sebagai dasar
memperluas dapat dipidananya perbuatan karena penyertaan dalam tindak
pidana merupakan pelanggaran kaidah-kaidah hukum pidana yang dilakukan
para peserta delik yang kemudian diperluas berdasarkan waktu dan tempat
ketika dan bentuk perbuatan dari masing- masing pesertanya untuk menuntut
pertanggungjawaban para peserta dalam suatu tindak pidana .
2.Bentuk-Bentuk Penyertaan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana
a.Orang yang Membuat Orang lain Melakukan atau Penyuruh (Doen Pleger)
Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh melakukan
(doen plegen), banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di
dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “Yang menyuruh
melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak
secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat dalam
tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau
tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau
tunjuk pada kekerasan.82
80 AZ Abidin dan Andi Hamzah, Op, Cit, hal. 440.81 Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : Universitas Bandung, 1965),
hal. 9 .82 Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo, Hukum Pidana II Penyertaan, (Malang : FHPM
Universitas Brawijaya, 1975), hal. 33.
33
b. Pelaku – Peserta (Medeplegen)
Mereka yang turut serta (medeplegen) adalah seseorang yang mempunyai
niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai
kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.83 Untuk
mengatakan adanya suatu medeplegen (keturutsertaan) diisyaratkatkan
adanya kerjasama antara para pelaku yang disadari, dan kesengajaan untuk
kejasama itu harus dapat di buktikan.84
c. Pemancing (Uitlokker) dan Terpancing ( Uitgelokte)
Van Hamel sebagaimana dikutip Lamintang merumuskan uitloken itu
sebagai bentuk penyertaan atau ikut serta yaitu :“Kesengajaan
menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya
sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-
cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak,
orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana
yangbersangkutan”.85
d.Pembantuan (Medeplichtigheid, Gehilfe atau Accomplice).
Wirjono Prodjodikoro membagi pembantuan menjadi dua golongan yakini,
perbuatan bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, dan perbuatan
bantuan sebelum pelaku utama bertindak, dan bantuan itu dilakukan dengan
cara memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan
golongan pertama tersebut sering dipersamakan dengan turut serta.
Sedangkan pembantuan golongan kedua sering dipersamakan dengan
penggerakan.86
3. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Penyertaan dalam Tindak Pidana
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound sebagai mana
dikutib Romli Atasasmita menyatakan “ I…Use simple word “liability” for the
83 P. A. F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990),hal. 588-589 .
84 Jan Remmelink, Op, Cit., hal 314.85 P. A. F Lamintang, Op. Cit, hal. 606.86 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. 3, (Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2003), hal .126.
34
situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the
exaction”.87 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang
yang telah dirugikan.88
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken-
baarheid, criminal reponsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana di
sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di
lakukanya itu.89 Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas kesepakatan menolak sesuatu perbuatan tertentu.
Dua masalah pokok pada penyertaan yaitu mengenai diri orangnya dan
mengenai tanggungjawab pidana tidak dapat dipisahkan, mengenai diri orangnya
dalam penyertaan ada dua ajaran yang subjektif dan objektif. Menurut ajaran
subjektif, siapa yang berkehendak paling kuat dan atau mempunyai kepentingan
yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban tanggung
jawab pidana yang paling besar, sebaliknya menurut ajaran objektif menitik
beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta
pengaruh positif dari perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang
dimaksud yang menentukan seberapa berat tanggungjawab yang dibebannya
terhadap terjadinya tindak pidana.90
Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan
adanya konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas
pertanggungjawaban para peserta yaitu :91
a. Sistem yang berasal dari hukum Romawi. Menurut sistem ini tiap-tiap peserta
sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu
sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama
87 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana. Cetakan kedua, (Bandung : MandarMaju, 2000), hal. 65.
88 Ibid.89 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya ,Cet IV, (Jakarta :
Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal . 245.90 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan,( Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 75.91 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Op,Cit. hal. 218-219
35
dengan pelaku. Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran
penyertaan obyektif ;
b.Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan. Menurut
sistem ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama
jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu
pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya
lebih ringan dari pelaku. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran
penyertaan yang subyektif.
Menurut Moeljatno, bentuk tanggungjawab penyertaan dalam KUHP dapat
digolongkan kedalam kelompok teori campuran,92karena dalam Pasal 55
disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam Pasal 56 disebutkan “ dipidana
sebagai pembantu”. Akan tetapi apabila dilihat perbedaan
pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi
sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua. Selanjutnya
dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa apabila pada dasarnya KUHP menganut
system Code Penal (sistem pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan
dianut sistem KUHP Jerman (sistem kedua). Maka konsekuensinya ialah
Pertanggungjawaban pembantu lebih ringan dari pembuat prinsip ini terlihat
didalam Pasal 57 (1) dan (2) KUHP. 93
B. Konsep Saksi Mahkota
Konsep saksi mahkota telah lebih dahulu dikenal di daratan Eropa dan
menurut banyak ahli konsep saksi mahkota ini diambil dari kosep saksi ratu/raja
yang ada di Inggris dalam suatu uraianya P J P Tak, menyatakan bahwa konsep
saksi mahkota :
92 Moeljatno, Op.,Cit, hal. 80.93 Ibid., hal 83-85.
36
“Wel treffen we daar het begrip to turn king’s/ Queen”s evidence aan,waarvan de volgende omschrijving wordt gegeven : When several personare charged with crime, and one of them gives evidence against hisaccomplices, on the promise of being granted a pardon,he is said to beadmitted king’s (in America) state’s evidence. Bij de Amerikaanse termstate’s evidence wordt gemeld dat het een. Popular term is testimony givenby an accomplice or joint participan in the commmision of a crime tendingto criminate or convict the others, and given under an actual or impliedpromise of immunity or lesser sentence for himself”.94
Menurut P.J.P. Tak saksi mahkota mengambil konsep dari saksi Raja/Ratu
yang deskripsi ketika beberapa orang didakwa dengan beberapa kejahatan, dan
salah satu dari mereka memberikan bukti terhadap pelaku yang lainya, maka
diberikan janji pengampunan, hal ini dikatakan sebagai saksi raja di kerajaan
sedangkan (di Amerika) disebut saksi negara, yang pengertianya kesaksian yang
diberikan oleh orang yang turut serta dalam suatu kejahatan dan dia memberikan
kesaksian terhadap kejahatan tersebut untuk menghukum atau mendakwa pelaku
lain, maka secara aktual diberi janji berupa imunitas atau hukuman yang lebih
ringan untuk dirinya.95
Mengenai konsep saksi mahkota, patut dicermati juga pendapat G.P.M.F.
Mols dan . G. Spong yang menyatakan : 96
“Saksi mahkota adalah seorang yang berada dalam organisasi kriminal yangaktif sebagi pelaku tindak pidana kemudian bekerjasama dengan penegakhukum dengan memberikan informasi tentang struktur organisasi kriminal,perbuatan pidana yang dilakukan oleh organisasi tersebut dan sebagainya,sehingga penegak hukum memperoleh informasi atas organisasi tersebut,dan sebagai gantinya dipertimbangkan untuk mendapat suatu bentukimbalan. Siapa yang memberi imbalan tersebut (kejaksaan atau kehakiman)tidaklah penting ”.97
Di Italia menurut Manunza sebagaimana dikutip G.P.M.F.Mols dan
G.Spong, sejak tahun 1977 terdapat peraturan saksi mahkota. Pada mulanya
peraturan tersebut hanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan teroris, pada tahun
1981 diarahkan juga untuk penculikan, pada tahun 1990 untuk obat-obat bius dan
94 P.J.P. Tak, De Kroongetuige En de Georganiseerde Misdaad, (Arnhem : S Gounda Quint –D.Brouwer en Zoon, 1994), hal. 3.
95 Diterjemahkan bebas oleh Penulis96 G.P.M.F. Mols dan . G. Spong , De kroongetuige in het Octopus-proces, Documentatie uit
Octopus- proces, Requisitor, Velklarigen Van deskundigen, Pledooi, Vonnis, (Deventer :GoudaQuint, 1997), hal.31.
97 Diterjemahkan bebas ole penulis.
37
sejak tahun 1992 pada penyertaan dalam satu organisasi kejahatan mafia (tidak
dalam suatu organisasi kriminal biasa), perluasan kelompok delik dilakukan
setelah terjadi peristiwa yang mengguncangkan. Misalnya pada tahun 1992 saat
terjadi penyerangan terhadap hakim, kemudian sebagai disusun peraturan yang
memungkinkan orang-orang yang sudah dipidana, diberi imbalan sebagai ganti
untuk keterangan. Para tersangka yang memberikan keterangan tentang tindak
pidana orang lain rawan terhadap bahaya, oleh karena itu dapat dipertimbangkan
untuk dilindungi dan diberi imunitas.98
Sedangkan menurut John H. Langbein saksi mahkota merupakan sistem
untuk memaksakan pengakuan, dibawah sistem ini para saksi akan dijanjikan
kekebalan dari penuntutan jika mereka bersaksi melawan mitra kejahatannya, jika
beberapa anggota geng berusaha menjadi saksi mahkota, maka diantaranya yang
paling banyak mengungkapkan bukti akan dijamin kekebalan hukumnya. Ini akan
memacu persaingan diantara para anggota kejahatan untuk mengungkapkan
semua dan lebih banyak lagi. Hukuman yang terkandung didalamnya juga besar,
karena kejahatan-kejahatan biasanya berakhir dengan hukuman mati, jika
tersangka berusaha dan gagal menjadi seorang saksi mahkota, maka kesaksiannya
digunakan untuk menyerangnya balik.99
Dalam praktek di Belanda sistem saksi mahkota diartikan sebagai salah
seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan,
misal delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan menjadi
saksi, dasar hukumnya asas oportunitas yang ada ditangan jaksa untuk menuntut
atau tidak menuntut seorang dipengadilan baik dengan syarat maupun tanpa
syarat.100 Sedangkan menurut undang-undang di Italia sistem saksi mahkota
adalah jika terdakwa yang paling ringan kesalahanya dalam komplotan bersedia
membongkar jaringan komplotanya, kemudian jaksa berunding dengan terdakwa
tersebut dan sebagai imbalanya akan dituntut pidana lebih ringan dibanding teman
berbuatnya.101
98 G.P.M.F. Mols dan . G. Spong, Op.Cit., hal. 32-33.99 John H. Langbein, “Shaping the Eighteenth-Century Criminal Tria. A Vew from the Ryder
Sources”, (50 U. CHL L. REv. 1, 1983), hal. 105.100 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hal. 272.101 Ibid.
38
Konsep saksi mahkota ini mirip dengan plea bargaining di Amerika Serikat,
apabila terdakwa mengakui perbuatanya maka jaksa dapat melakukan kesepakatan
kerjasama dengan terdakwa dan sebagai imbalanya tuntutan pidana terhadap
terdakwa dikurangi, perbedaanya dalam plea bargaining tidak perlu delik
dilakukan beberapa orang, dapat juga untuk tindak pidana yang dilakukan yang
pelakunya satu orang.102 Menurut Kevin Ricardson kesepakatan kerjasama dalam
plea bargaining merupakan bagian dari kesepakatan pengakuan yang dalam
penerapanya : 103
1. Alat untuk menangani korupsi, kejahatan terorganisir, kejahatan gang, dan
penipuan keuangan dalam jumlah besar;
2. Terdakwa setuju untuk bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan
terhadap orang lain (yaitu, ko-konspirator);
3. Terdakwa setuju untuk mengaku bersalah ;
4. Jaksa setuju untuk merekomendasikan hukuman yang lebih ringan.
Dilihat dari sudut historis, konsep saksi mahkota telah ada sejak tahun
1750- an di Inggris hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Radzinowicz
tentang studi sejarah hukum pidana, di Inggris sejak tahun1750 secara langsung
dapat diberikan reward pada saksi mahkota jika mereka ingin membantu dalam
proses pidana terhadap kejahatan yang mereka turut menjadi peserta.104
Di luar Inggris ada figur yang memberikan perhatian pada saksi mahkota
yaitu Cesare Beccaria tahun 1764 memberikan pendapat dalam karyanya Dei
delittidelle pene, dengan memberikan contoh pada pengadilan untuk peserta
dalam kejahatan yang serius, pemerintah dapat bekerjasama dengan salah satu
peserta kejahatan dan memberikan jaminan imunitas.105 Cesare Beccaria adalah
tokoh yang paling menonjol dalam usaha menentang kesewenang-wenangan saat
itu, dalam tulisannya diatas tergambar delapan prinsip yang menjadi landasan
102 Ibid, hal 272.103 Kevin Ricardson, “Investigation Of Public Corruption Using Plea Bargains, Confidental
Information And Cooperators”, (Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-Tehnik SuksesDalam Penyidikan dan Penuntutan Kasus Korupsi, Bertempat di Hotel JW Mariott Jakarta:Tanggal 20-21 Maret 2013).
104 P J P Tak, O.,Cit., hal .4.105 Ibid., hal 5.
39
bagaimana hukum pidana, hukum acara pidana dan proses penghukuman
dijalankan.106
Berdasarkan uraian diatas walaupun terlihat pengunaan saksi mahkota
seakan-akan memaksa keterangan terdakwa untuk mendukung pembuktian namun
cara ini digunakan karena dalam pembuktian benar-benar ditemui kesulitan
sehingga untuk mendukung pembuktian maka digunakanlah saksi mahkota,
namun dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan hak-hak terdakwa dengan
didahului adanya kesepakatan dan imbalan yang akan diberikan bagi terdakwa
yang setuju untuk bekerjasama. Menurut R Soesilo, cara mengangkat saksi
menjadi saksi mahkota ini dipandang banyak ahli hukum dari sudut moral
bertentangan dengan sifat ksatria karena mempergunakan orang untuk
menghianati kawan sendiri dan terdakwa yang diangkat menjadi saksi mahkota
akan mengucapkan sumpah untuk mengatakan hal-hal yang sebenarnya padahal ia
sebagai terdakwa berhak untuk tidak mengatakanya untuk membela diri,
walaupun pengangkatan saksi mahkota ini ini dilihat dari sudut kesopanan tidak
dibenarkan, akan tetapi dalam prakteknya dijalankan dalam perkara-perkara
dimana sungguh-sungguh ditemukan kesulitan dalam pembuktianya.107
Dan menurut Yahya Harahap, melakukan pemisahan terdakwa karena
khawatir alat bukti tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sebagi
upaya untuk lebih menyempurnakan pembuktian menimbulkan kesan demi
sempurnanya pembuktian dilakukan dengan pengakuan terdakwa yang dipaksaan,
ide pemikiran ini timbul berdasarkan alasan bagaimana agar keterangan seorang
terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah bagi terdakwa lain.108
Setelah melihat bagaimana konsep saksi mahkota yanga ada di luar negeri
selanjutny akan dibahas konsep saksi mahkota dalam perradilan pidana di
Indonesia. Karena dalam KUHAP istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara
tegas, sehingga dalam perkembangannya muncul berbagai pendapat, baik yang
berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.
106 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2010), hal. 5.
107 R. Soesilo, Teknik Berita Acara, Ilmu Bukti dan Laporan (Menurut KUHAP), (Bogor:Politea, 1985), hal. 10.
108 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 321.
40
Menurut Andi Hamzah, terdapat pemikiran yang keliru mengenai pengertian
saksi mahkota seakan akan para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen)
perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi disebut saksi
mahkota.109 Sering kita dengar dalam proses peradilan maupun kita baca di media
massa menyatakan terdakwa bergantian – gantian menjadi saksi satu sama lain,
dalam berkas perkara yang dipisah-pisah kemudian disebut sebagai saksi mahkota
atau kroongetuige, lebih tegas Andi Hamzah menyatakan:110
“Mereka yang bergantian sebagai saksi bukanlah saksi mahkota, saksimahkota adalah salah seorang dari terdakwa dikeluarkan dari daftarterdakwa dan dijadikan saksi, pengubahan status terdakwa menjadi saksiitulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota saksi (seperti dinobatkansebagai saksi) jadi dia tidak pernah lagi menjadi terdakwa, supaya lebihkurang menyentuh rasa keadilan, maka biasanya jaksa memilih terdakwayang paling ringan kesalahanya atau yang paling ’kurang dosa’ nya sebagaisaksi”.
Indriyanto Seno Adji, memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Andi
Hamzah, ia mengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian yang diberikan oleh
seseorang yang berkedudukan sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang sama
namun dibuat secara terpisah, konklusinya digabarkan sebagai berikut :111
“Dalam suatu berkas tersendiri, A selaku terdakwa didakwa melakukanpembunuhan terhadap X, namun demikian kesaksian A, selaku saksidibutuhkan dalam berkas terpisah lainnya dimana B didakwa melakukanpembunuhan yang sama terhadap X. Begitu pula sebaliknya dengan B.sehingga status A tidak pernah ditarik dalam daftar sebagai terdakwa dalamperkaranya”.
Yahya Harahap walaupun tidak secara langsung menyebut pengertian saksi
mahkota, namun menurutnya, pemisahan terdakwa dalam beberapa perkara pada
umumnya dilakukan oleh penuntut umum, apabila khawatir alat bukti yang
disampaikan penyidik dianggap kurang cukup membuktikan kesalahan terdakwa,
maka untuk lebih menyempurnakan pembuktian, penuntut umum dapat
menambahnya dengan jalan memisahkan terdakwa-terdakwa dalam beberapa
109 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 271.110 Indriyanto Seno Adji , KUHAP Dalam Prospektif, (Jakarta : Diadit Media, 2011), hal. 200.111 Ibid., hal. 200-201.
41
berkas perkara yang berdiri sendiri, dengan pemisahan ini, para terdakwa dapat
dipergunakan sebagai saksi secara timbal balik terhadap mereka.112
Loebby Loqman menyatakan bahwa saksi mahkota adalah kesaksian sesama
terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan,113lebih lanjut
menurut Loebby Loqman apabila terjadi penyertaan dalam suatu tindak pidana
dan perkaranya dipisahkan, maka terdakwa yang satu tidak dapat dijadikan saksi
terhadap terdakwa yang lain, pengecualian terhadap ketentuan tersebut, adalah
apabila mereka yang disebut diatas itu akan meberikan kesaksian, maka terdakwa
dan penuntut umum harus saling menyetujui, kesaksian demikian tidak berada
dibawah sumpah. 114
R. Soesilo melihat saksi mahkota digunakan untuk menjaga jangan sampai
ada beberapa orang terdakwa yang dibebaskan dari hukuman karena kurangnya
bukti terutama terdakwa yang merupakan pelaku utama, sehingga dalam perkara
tersebut tidaklah semua terdakwa dilakukan penuntutan tetapi hanya beberapa
orang saja, sedangkan beberapa terdakwa yang lain diangkat sebagai saksi dalam
perkara itu, guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut. 115
Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, istilah saksi mahkota yang
dalam bahasa Belanda disebut kroongetuige, dan di Inggris dikenal dengan crown
witness serta di Amerika Serikat disebut state witness menunjukan bahwa saksi
tersebut merupakan lambang negara, sehingga jatuh bagunnya dakwaan jaksa
penuntut umum di pengadilan akan bergantung pada saksi tersebut, apabila
dipersidangan keterangan saksi tersebut berbalik maka akan runtuhlah dakwaan
yang disusun oleh jaksa penuntut umum.116
112 Yahya Harahap, Op., Cit, hal 321. Adami Chazawi sependapat dengan Yahya Harahap,menjelaskan biarpun sama-sama terdakwa dalam satu kasus yang sama, jika berkasnya terpisah(di-split) dimana dalam berkas yang satu A sebagai terdakwa memberikan kesaksian terhadapterdakwa B dalam sidang perkara yang lain dan atau sebaliknya, pada pemisahan berkas perkarayang disidangkan sendiri-sendiri, tidak dapat dianggap sebagai keterangan terdakwa apabila diadalam berkas yang lain statusnya sebagai saksi, walaupun ia terkait dengan terdakwa dalam kasusyang sama diberkas lain atau di-split, saksi demikianlah dalam praktek sering disebut dengan saksimahkota. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, (Bandung:Alumni, 2008).
113 Loebby Loqman, “Saksi Mahkota”, Forum Keadilan, (Nomor 11, 1995).114 Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtisar) Cetakan Pertama,
(Jakarta: CV. Datacom, 1996), hal. 95.115 R. Soesilo, Op, Cit., hal. 10.116 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013.
42
Lebih lanjut menurut Mardjono Reksodiputro saksi mahkota ini seperti
saksi kunci di Indonesia dengan kesaksian saksi kunci maka, akan membuka tabir
kejahatan yang sebenarnya sehingga terhadap state witness diberi perlindungan
dan ditawarkan keringanan hukuman. State witness atau saksi kunci dapat
merupakan orang yang terlibat dalam perkara dimana ia menjadi saksi maupun
orang yang tidak terlibat, dan keringanan hukuman yang dijanjikan bagi saksi
kunci yang terlibat dalam perkara merupakan kewenangan bargaining power dari
jaksa penuntut umum yang dibuat dengan sepengetahuan hakim.117
Berdasarkan sudut pandang para ahli diatas penulis sependapat dengan
pendapat Andi Hamzah dan Mardjono Reksodiputro, sehingga menurut penulis
saksi mahkota merupakan saksi yang diambil dari salah seorang terdakwa yang
bersama-sama terdakwa yang lain melakukan perbuatan pidana, kemudian
bersepakat dengan jaksa penuntut umum dengan sepengetahuan hakim untuk
membuka tabir kejahatan yang telah dilakukan bersama terdakwa yang lain, dari
kesepakatan tersebut terhadapnya diberikan imbalan berupa perlindungan dan
keringanan hukuman. Adapun alasannya menurut penulis sistem saksi mahkota ini
merupakan wujud kesaksian yang membantu negara dalam hal ini diwakili jaksa
penuntut umum untuk mengukapakan suatu tindak pidana. Dengan adanya
kesepakatan yang merupakan bargaining power jaksa penuntut umum
mencerminkan bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak terdakwa dalam
peradilan pidana dan dengan kesukarelaan terdakwa untuk menjadi saksi mahkota
tersebut dapat menghindari kesewenang-wenangan penegak hukum. Sedangkan
untuk memenuhi rasa keadilan dimasyarakat dalam kesepakatan tersebut jaksa
memilih terdakwa yang dapat membuka tabir kejahatan tersebut dengan tingkat
kesalahan paling ringan.
Setelah memahami sudut pandang dari para ahli hukum pidana, selanjutnya
akan dibahas bagaimana dengan konsep saksi mahkota dalam peradilan di
Indonesia. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan
perkara pidana dalam peradilan di Indonesia didasarkan pada yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung, yang ternyata juga terdapat adanya perbedaan sudut
pandang para hakim dalam melihat saksi mahkota, namun pada praktik yang
117 Ibid .
43
lazim diterapkan pengertian saksi mahkota dipakai dalam perkara yang saling
menyaksikan dalam bentuk penyertaandalam tindak pidana.
Dalam yurisprudensi yang mengakui saksi mahkota sebagai alat bukti yang
sah, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret
1990 menyatakan :118
“Bahwa jaksa penuntut umum diperbolehkan oleh undang-undangmengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidanatersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syaratbahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasukdalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (splitsing)”.
Dalam putusan Mahkamah Agung RI dengan Ketua Majelis Hakimnya Ali
Said, SH di atas, memberikan pertimbangan dalam kaitannya dengan penerapan
saksi mahkota, Mahkamah Agung menolak keberatan yang diajukan dengan
pertimbangan :
“Bahwa keberatan dalam ad.1a tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karenapenuntut umum/jaksa diperbolehkan mengajukan teman terdakwa sebagaisaksi, yang disebut saksi mahkota (kroongetuige), asalkan perkara terdakwadipisahkan dari perkara saksi tersebut (terdakwa dan saksi tidak termasukdalam satu berkas perkara). Hal tersebut tidak dilarang oleh undang-undang”.
Yurisprudensi No. 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990, ini juga memberikan
definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak
pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan
penuntut umum, yang perkara dipisah karena kurangnya alat bukti.
Berdasarkan yurisprudensi tersebut, pengajuan saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam
hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap penyertaan
dalam tindak pidana tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing),
serta perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat
bukti khususnya keterangan saksi, hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak
terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.119
118 Ali Boediarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang HukumPidana, (Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2000), hal. 40-43.
119 Setiyono, Op., Cit.
44
Putusan Mahkamah Agung di atas selain membenarkan penerapan saksi mahkota
juga memberikan cara bagi penuntut umum menerapkan saksi mahkota dengan
mekanisme pemberkasan perkara dengan cara splitsing (terpisah) untuk
kepentingan pembuktian.
Namun dalam pelaksanan dalam peradilan pidana di Indonesia terdapat
putusan yang menarik dimana Mahkamah Agung menolak saksi mahkota sebagai
alat bukti, Putusan Mahkamah Agung tersebut dalam kasus pembunuhan
Marsinah yang menyatakan saksi mahkota bertentangan dengan hukum. Putusan
Mahkamah Agung dengan Hakim Ketua yang juga Ketua Muda Mahkamah
Agung Bidang Tindak Pidana Umum Adi Andojo Soetjipto dalam perkara
pembunuhan terhadap Marsinah terbagi atas 6 (enam) putusan, yaitu :120
- No.429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Judi Susanto
- No.381 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Judi Astono
- No.1590 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Karyono Wongso
- No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 atas nama terdakwa Bambang
Wuryanto, Widayat, AS Prayogi
- No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Ny. Mutiari, SH
- No. 1706 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Suwono dan
Suprapto.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mendalilkan :
“Bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian dimanapara saksi yang adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yangsama yang dipecah-pecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidanayang menjunjung tinggi hak asasi manusia, lagi pula para terdakwa telahmencabut keterangannya di dalam penyidikan dan pencabutan tersebutberalasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis dapat dibuktikansecara nyata, disamping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan adapersesuaian satu dengan yang lain.”
Dari pertimbangan hakim secara tegas menolak penerapan saksi mahkota
dalam suatu perkara pidana dengan alasan pertama : bertentangan dengan hukum
acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Berkaitan dengan
penghargaan terhadap hak asasi manusia ini, Indriyanto Seno Adji menyebutkan
hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana salah satunya prinsip “non self
120 Ali Budiarto. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangan denganHukum”, Varia Peradilan (No 120, September 1995), hal 12-13.
45
incrimination” yang secara universal mendapat pengakuan dunia, Implisitas
pengakuan adanya prinsip “non self incrimination” itu disebutkan melalui Pasal
189 ayat 3 KUHAP, “Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap
dirinya sendiri”. Hal ini berarti bahwa terdakwa mempunyai hak untuk tidak
mempersalahkan dirinya sendiri sejak proses penyidikan sampai dengan proses
persidangannya di Pengadilan.121 Alasan kedua menurut Majelis Hakim, para
terdakwa telah mencabut keterangannya dalam penyidikan dan pencabutan
tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis dapat dibuktikan
secara nyata. Berkaitan dengan hal ini, majelis hakim tentu saja tidak akan
sembarangan menggunakan alasan ini bilamana tidak ada pembuktian secara
nyata. Ini berkaitan dengan profesionalisme penyidik dalam mengumpulkan alat-
alat bukti. Stigma masa lalu yang berkaitan dengan segala macam cara untuk
memperoleh keterangan (bukan pengakuan) terdakwa haruslah ditinggalkan.
Menurut Ali Budiarto, Putusan Mahkamah Agung dalam kasus kematian
gadis tokoh buruh Marsinah ini merupakan terobosan baru yang menciptakan
yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum saksi Mahkota
yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para hakim sebagai
sesuatu yang benar, dengan adanya yurisprudensi baru ini maka adanya saksi
mahkota adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung
tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak saksi
mahkota.122
Berdasarkan dua yurisprodensi tentang saksi mahkota diatas, dalam
peradilan pidana saat ini, ternyata yurisprodensi Mahkamah Agung Nomor : 1986
K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, telah menjadi pedoman dalam pelaksanaan
saksi mahkota di peradilan, hal ini dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah
Agung lainya dalam mensikapi pengunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
perkara pidana. Putusan Mahkamah Agung tersebut diantaranya : 123
1.Nomor : 198 K/Pid/2004, tanggal 2 Maret 2004 atas nama terdakwa MUH.
MUSYAFAK alias ABDUL HAMID (tindak pidanaa Terorisme peledakan
121 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op., Cit, hal 202.122 Ali Budiarto. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangan dengan
Hukum”, Op.Cit., hal 14.123 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan.mahkamahagung.go.id/,
diunduh 12 Mei 2012.
46
bom di Bali). Dalam pertimbanganya majelis hakim yang diketuai
H.German Hoediarto, S.H menolak keberatan yang diajukan penasehat
hukum terdakwa mengenai keberatan :
- Bahwa judex facti telah melakukan kesalahan penerapan Hukum AcaraPidana dengan menjadikan para Terdakwa sebagai saksi untuk perkarayang didakwakan kepada Pemohon Kasasi. Menurut ketentuan pasal 168(b) KUHAP, bersama-sama Terdakwa tidak dapat dijadikan saksi. Dalamperkara aquo, Berita Acara Penyidikan (BAP) dilakukan pemecahan(splitsing) menjadi beberapa berkas perkara, dimana para Terdakwadijadikan saksi dan sebaliknya saksi dijadikan Terdakwa”
- Bahwa dengan adanya pemecahan perkara yang dijadikan Terdakwasebagai saksi dan kemudian saksi menjadi Terdakwa maka terbukti bahwajudex facti telah melakukan kekeliruan dalam penerapan Hukum AcaraPidana
Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti(Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum ; Menimbang, bahwaberdasarkan alasan-alasan yang diuraikan diatas lagi pula tidak ternyata,bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukumdan/atau Undang-Undang maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak”
2. No. 1918 K/Pid/2006, Tanggal 3 Oktober 2006 Nama : ASEP JAJA alias
AJI alias DAHLAN alias YAHYA (tindak pidana terorisme) Dalam
pertimbanganya majelis hakim yang diketuai Iskandar Kamil, S.H. menolak
keberatan yang diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam hal :
- Tentang keterangan saksi yang juga sama-sama Terdakwa dalam berkasperkaIra yang dipisah (splitsing) Bahwa ada empat saksi yaitu AbdullahUmamity, Ismail Fahmi Yamsehu, Zainudin Nasir dan Ismail Fanathberkedudukan sama-sama sebagai Terdakwa. Dan berdasarkan KUHAPPasal 168 huruf b, bersama-sama sebagai Terdakwa tidak dapat dijadikansaksi
Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :
“Bahwa alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena judex facti telahmenerapkan peraturan hukum/telah menerapkan sebagaimana mestinya,karena pemeriksaan saksi mahkota dalam perkara terpisah(splitsing) tidakbertentangan dengan hukum”.
3. No. 2475 K/Pid/2007, tanggal 23 Januari 2008 atas nama terdakwa DAVID
FEBRIANTO Bin JOHANES (Tindak pidana membantu pencurian dengan
kekerasan dalam keadaan memberatkan) Dalam pertimbanganya majelis
47
hakim yang diketuai Dr. Haripin Tumpa, SH. MH menolak keberatan yang
diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam hal :
- Bahwa putusan dalam perkara a quo salah menerapkan hukum tentangsaksi mahkota atau kroongetuige. Bahwa pertimbangan hukum dalamputusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri antara lain berdasarkanketerangan-keterangan saksi saksi mahkota yang juga adalah Terdakwa-Terdakwa dalam perkara pidana a quo (berkas terpisah).
- Bahwa keterangan saksi-saksi mahkota tersebut haruslah dinyatakan tidaksah dan tidak mempunyai nilai pembuktian karena tidak sesuai denganmakna, prinsip dan aturan terkait dengan penempatan seorang Tersangkadan/atau Terdakwa sebagai saksi mahkota. Syarat mutlak yang harusdipenuhi oleh seorang Tersangka dan/atau Terdakwa yang dijadikan saksimahkota adalah (1) saksi itu adalah salah seorang diantara Tersangka atauTerdakwa dengan peranan paling kecil, artinya bukan pelaku utama ; (2)untuk saksi mahkota orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidanamaka pemberian mahkotanya berupa pembebasan dari tuntutanberdasarkan asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) ; dan (3) harus seizinJaksa Agung Republik Indonesia untuk mendeponir perkaranya ;
- Putusan Mahkamah Agung No. 1774 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 joPutusan Mahkamah Agung No. 1590 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 joPutusan Mahkamah Agung No. 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995,menegaskan bahwa secara yuridis pemecahan Terdakwa sebagai saksimahkota terhadap Terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan HukumAcara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusiadan Hakim seharusnya menolak saksi mahkota
Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena PengadilanTinggi tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan tersebut mengenaipenilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatukenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalampemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasihanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum, atauperaturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah caramengadili tidakdilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, danapakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimanayang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981)”.
4. No.179 K/Pid.Sus/2010, tanggal 02 Februari 2010 atas nama terdakwa
ANDREAS SIE als. RICKY als. ERWIN als.KARYONO als. SUHERMAN
als. YOSEP (tindak pidana Psikotropika) Dalam pertimbanganya majelis
hakim yang diketuai Prof. Dr. Mieke Komar, SH.,MCL. menolak keberatan
48
yang diajukan penasehat hukum terdakwa , dalam keberatan mengenai
keberatan :
- Judex facti salah dalam menerapkan hukum atau tidak menerapkan hukumsebagai mana mestinya , yakni cara mengadili tidak dilaksanakan menurutketentuan hukum yaitu Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan NegeriJakarta Pusat) mengenai saksi mahkota yang tidak boleh digunakan karenamelanggar HAM “
Dalam pertimbangnya majelis hakim menyatakan :
“Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas lagipula tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara inibertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonankasasi dari para Pemohon Kasasi I/Jaksa/ Penuntut Umum dan PemohonKasasi II/Terdakwa tersebut harus ditolak”.
C. Memaknai Dualisme Yurisprudesi dalam Penerapan Saksi Mahkota
Menurut Indriyanto Seno Aji, pasca putusan kasus pembunuhan Marsinah
menimbulakan adanya dualisme pandangan yang berbeda mengenai pemaknaan
saksi mahkota yang menimbulkan inkonsistensi yurisprudensi tentang saksi
mahkota di Indonesia, Mahkamah Agung masih dianggap berpandangan dualistis,
kontradiktif dan menimbulkan inkonsistensi dalam persoalan saksi mahkota.124
Sebelum melihat mengenai dualisme yurisprodensi yang kontradiktif dan
menimbulkan inkonsistensi tersebut, untuk menelaah permasalahan yurisprudensi
sebagai kaidah hukum di Indonesia ada baiknya kita lihat sejauh mana eksistensi
yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia.
Pada hakekatnya yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya
comman law seperti di Inggris atau Amerika Serikat, mempunyai pengertian yang
lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum, sedangkan pengertian
yurisprudensi di negara-negara Eropa kontinental termasuk Indonesia
yuriprudensi hanya berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita
maksudkan sebagai putusan pengadilan, di negara-negara anglo saxon dinamai
preseden.125
124 Indriyanto Seno Aji, KUHAP Dalam Prospektif, Op, Cit, hal. 203.125 Achmad Ali, Menguak Tabir hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT
Toko Buku Gunung Agung, 2009), hal .125.
49
Dalam comman law system aturan hukum yang berkualitas preceden di ikuti
dan diterapkan oleh seluruh pengadilan dalam menjatuhkan hukum terapan dalam
kasus-kasus yang memiliki unsur dan sifat yang sama dengan kasus yang
sebelumnya yang telah diputus oleh hakim sebelumnya, Putusan hakim dalam
common law system merupakan sumber hukum yang resmi sebagai pengakuan
atas asas hakim memiliki kewenangan dalam menciptakan hukum ‘judge made
law”.126 Menurut Catherine Elliot dan Frances Quinn sebagaimana dikutip Nella
Sumika Putri sistem common law (Inggris), menggunakan asas stare decisis atau
asas the binding force of precedents, asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti
putusan hakim sebelumnya, kekuatan mengikat dari precedent ini adalah pada
bagian putusan yang dikenal dengan sebutan ratio decidendi, yaitu semua bagian
putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus
konkret.127
Sedangkan krakteristik dalam civil law menganut sistem asas legalitas atau
principle of legality, yang mengandung makna bahwa tiada suatu perbuatan
merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang
terlebih dahulu. Ketentuan perundang-undang ini harus ditafsirkan secara harfiah,
dimana pengadilan tidak boleh memberikan penafsiran secara analogis, konsep
asas legalitas ini juga berarti bahwa perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut (non-retroactive).128 Dalam sistem civil law undang-undang adalah
sekumpulan klausa dan prinsip hukum yang otoritatif, komprehensif, dan
sistematis yang dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun secara logis sesuai
hukum terkait, oleh sebab itu peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum
utama, dimana sumber hukum lainya menjadi subordinatnya dan dalam masalah
tertentu sering kali menjadi satu-satunya sumber hukum.129
126 Ahmad Kamil dan M Fauzan, Kaidah –Kaidah Hukum Yurisprodensi, (Jakarta: PrenadaMedia, 2004), hal. 26 .
127 Nella Sumika Putri, “Pembatasan Pernafsiran Hakim Terhadap Perumusan Tindak PidanaYang Tidak Jelas Melalui Yurisprudensi”. Dalam Hukum Pidana Perspektif, Agustinus Pohan,Topo Santoso, Martin Moerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia.Universitas Leiden. Universitas Groningen, 2012), hal. 48
128 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Fikahati Aneska,2009), hal. 48.
129 Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum : Civil law, Common Law dan Socialist Law[Comparative Law Law in a Changing Worrld ], Diterjemahkan Narulita Yusron, (Bandung: NusaMedia, 2010 ), hal. 66.
50
Dalam konteks di Indonesia, kita dapat melihat hasil penelitian BPHN pada
tahun 1995 yang menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat dikategorikan
sebagai yurisprudensi apabila memenuhi unsur-unsur: 130
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-
undangannya;
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
3. Telah berulangkali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam berbagai literatur disebutkan yurisprudensi diakui sebagai salah satu
sumber hukum dalam sistem hukum Indonesia di samping sumber-sumber hukum
lainnya,131 namun demikian tidak diakui doktrin stare decisis atau the binding
force of precedent, artinya yurisprudensi bukan merupakan sumber hukum yang
bersifat mengikat bagi hakim. Pada sistem hukum Indonesia hakim dalam
membuat putusan didasarkan pada undang-undang tanpa ada kewajiban untuk
melihat pada putusan sebelumnya dalam kasus yang sama, sehingga dalam
putusannya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dapat membuat
putusan yang sama ataupun berbeda tergantung pada pemahamannya dan
penafsirannya terhadap suatu rumusan peraturan perundang-undangan.
Walaupun yurisprudensi di Indonesia bersifat persuasive akan tetapi
peranan dan eksistensinya lazim dijadikan acuan oleh para hakim judex facti
(Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi). Dengan demikian maka yurisprudensi
dalam sistem hukum Indonesia di samping membangun, menemukan dan
menciptakan hukum juga bersifat menjadi pegangan, acuan serta pedoman para
hakim judex facti dan bahkan di tingkat Mahkamah Agung (judex juris) sebagai
130 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Op.,Cit, hal. 11.131 Menurut Utrecht sumber hukum materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum)
individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan materiil membentukhukum, menentukan isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formal, yaitu menjadi determinanformil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunyadari hukum. Sumber-sumber hukum yang formil adalah: Undang-Undang, Kebiasaan dan adatyang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi,dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrinal). Lihat, E. Utrecht dan Moh. SalehDjindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesepuluh, (Jakarta : 1983), hal. 84-85
51
“kunci” dalam memutus perkara.132 Kaitanya dengan yurisprudensi, di Indonesia
hakim memiliki kewajiban untuk menggali hukum, hal ini diatur dalam Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai –nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat”. Ketentuan pasal tersebut secara jelas mengandung
makna bahwa hakim harus menemukan hukum.
Menurut Andi Hamzah, dunia modern tidak lagi dapat menerima secara
ketat apa yang dikatakan oleh Montesquieu, bahwa hakim hanya menjadi corong
undang-undang ( qui pronoce les paroles de la loi), hal ini tidak dapat diterima
secara absolut, karena hakim menggali hukum yang hidup dalam masyarakat,
khususnya bagi hukum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hukum
melalui analogi, tetapi melalui interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan
hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.133 Karena
hukum modern dewasa ini, sudah meninggalkan paham lama yang menempatkan
hukum yang diciptakan oleh para hakim diatas segala-galanya, kini melalui upaya
penafsiran terhadap undang undang, hakim berwenang membuat hukum, sehingga
tercipta keadilan yang materiil, hakim tidak semata-mata menegakan aturan
formil, tetapi juga menemukan keadilan yang hidup ditengah masyarakat.134
Jika dilihat dari kebutuhan Indonesia saat ini dimana terdapat banyak
perumusan undang-undang yang tidak jelas dan tidak terdapat penjelasan yang
lebih lanjut dari undang-undang , tentu saja dibutuhkan suatu keseragaman dalam
memberikan suatu penafsiran terhadap satu unsur tindak pidana. Dalam konteks
ini penerapan stare decisis secara vertical menjadi suatu alternative yang dapat
dipertimbangkan untuk mewujudkan suatu kepastian hukum.135 Meskipun judicial
precedent merupakan solusi yang dibutuhkan oleh Indonesia pada saat ini sebagai
sarana memberikan penafsiran yang sama dalam suatu unsur tindak pidana akan
tetapi tidak serta merta judicial precedent tersebut menjadi mengikat tetapi
menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam memutuskan
132 Lilik Mulyadi, “ Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Prespektif Teoritis dan PraktikPeradilan”,http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=104&Itemid=36, diunduh 12 Januari 2013.
133 Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yasrif Watampone, 2005), hal. 87.134 Bismar Siregar, “Hakim Wajib Menafsirkan Undang Undang”, dalam , Varia Peradilan
(Tahun X, No 120 September 1995, IKAHI), hal 88 .135 Nella Sumika Putri, Op. Cit., hal 55.
52
suatu perkara.136 Karena didalam wacana hukum Indonesia, seharusnya hakim
dinamakan penegak keadilan (bukan penegak hukum), maknanya adalah sebagai
hakim dapat menafsirkan hukum (baca : undang undang), sehingga sebenarnya
melakukan fungsi layaknya seorang legislator (law maker), ini dikenal pula
sebagai diskresi yudisial (judicial discretion).137
Dalam menyikapi adanya dualisme dalam yurisprodensi yang mengatur
tentang saksi mahkota dalam tindak penyertaan sebagaimana diuraikan diatas
maka sebagai pegangan tentang kontroversi dalam melihat yurisprudensi tersebut
maka patut disimak pendapat dari Soerjono Mantan Ketua Mahkamah Agung RI,
yang berpendapat bahwa :138
“Masalah precedent, sistem yang diteapkan sekarang sudah tepat, olehkarena praktek sistem precedent yang paling baik adalag sistem yang‘liberal” dan rasional, keterkaitan hakim untuk mengikuti yurisprudensiyang telah menjadi yurisprodensi tetap. Harus bersifat bebas dan rasional,artinya keterkaitan mengikuti yurisprudensi tidak mutlak”.
Pendapat dan pandangan yang mengarah pada prinsip precedent liberal dan
rasional pada saat sekarang tidak saja dianut negara common law system, di
Inggris sendiri sebagai kiblat yang menganut sistem precedent absolut, sudah
bergeser ke sistem liberal dan rasional, dimana sudah berkembang precedent yang
didasarkan pada asas patokan kasus per kasus atau case by case basic dari asas
inilah lahir doktrin “relativitas yurisprudensi”.139 Kelahiran doktrin relativitas
yurisprudensi dengan asas kasus perkasus didasarkan pada prinsip dinamis
(dinamic principle) yang menyatakan:140
1. Hukum dan perundang- undangan secara inherent mengandung jiwayang dinamis bukan statis;
2. Jadi secara analogis yurisprudensi yang diciptakan hakim sebagaihukum berdasarkan kasus perkara yang diperiksa, juga mengandungsifat yang dinamis bukan statis;
3. Sehubungan dengan itu, setiap yurisprudensi yang diciptakanmelalui “ judge made law” bukan bersifat abadi, tetapi secara
136 Ibid137 Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasioanal, 2009). hal. 5.138 Soerjono,” Suatu Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Varia Peradilan (Tahun X No 120
September 1995, IKAHI), hal. 82.139 Ibid., hal. 83.140 Ibid.
53
dinamis mengikuti perubahan dan perkembangan sosial ekonomi,sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (sence of justice);
4. Lagi pula jika ditegakan prinsip precedent secara absolut,kemungkinan besar akan terjadi kekeliruan yang berlanjut secaraterus menerus, sekiranya suatu yurisprodensi telah menjadi staredecisis, padahal didalamnya terkandung kesalahan dan kekeliruan,kemudian terhadapnya ditegakan precedent secara absolut, berartiputusan-putusan yang diambil kemudian, telah mengikuti putusanyang salah dan keliru.
Dari uraian diatas dapat memberi pemahaman putusan hakim terhadap
penerapan saksi mahkota, ternyata hakim dalam melaksanakan kewajiban
hukumnya telah berani melakukan penafsiran terhadap KUHAP. Mengenai
dualisme dalam putusan Mahkamah Agung mengenai saksi mahkota selama ini
dalam literatur dan bahan bacaan lainya hanya dibahas tentang
pertentangangannya saja tanpa melihat dari dasar sistem penerepan yurisprudensi
di Indonesia yang menganut asas liberal dan rasional sehingga dalam
pelaksanaanya kita tidak hanya melihat dalam pengertian tentang saksi mahkota
tetapi juga duduk perkaranya dalam kasus perkasus.
Dalam melihat perkara Marsinah penulis menitik beratkan, pada
pertimbangan bahwa saksi mahkota tidak dapat diterapkan karena, para terdakwa
yang juga menjadi saksi telah mencabut keterangannya di dalam penyidikan
dengan alasan karena adanya tekanan phisik maupun psychis yang dapat
dibuktikan secara nyata. Berdasarkan pertimbangan tersebut tidak dapat
diterapkanya saksi mahkota dalam perkara Marsinah karena dasar pembuktian
tidak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, sehingga alat bukti tidak dapat
dijadikan dasar pembuktian dan di tolak pengadilan. Berkaitan dengan cara
mencari dan mengumpulkan alat bukti ada baiknya melihat aturan yang ada di
Amerika Serikat yang dikenal dengan exclusionary rule.
Kemudian dalam perkara ini, alat bukti keterangan saksi yang diperoleh dari
saksi mahkota tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, sehingga alat bukti saksi
mahkota tidak dapat memberikan keyakinan pada hakim, mengenai alat bukti
yang harus berdiri sendiri–sendiri dan saling menguatkan dalam peradilan pidana
di Amerika Serikat dikenal dengan (corroborating evidence). Mengenai ketentuan
exclusionary rule dan corroborating evidence akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan berikutnya.
54
Argumen-argumen diatas berlandasakan dari adanya batasan dalam
pembuktian, yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang dan dapat dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan.141 Dikaitkan dengan saksi mahkota maka dalam
pelaksanaan pembuktian harus diperhatikan beberapa hal, menurut William R.
Bell, sebagaimana dikutip Eddy O.S Hiariej ada lima faktor yang berkaitan
dengan pembuktian yaitu: Pertama, bukti harus relevan atau berhubungan. Kedua,
bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat
diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-
bukti lainnya atau corroborating evidence. Ketiga, bukti tidak boleh didasarkan
pada persangkaan yang tidak semestinya atau unfair prejudice. Artinya, bukti
tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.
Keempat, dasar pembuktian yakni bahwa pembuktian haruslah berdasarkan alat-
alat bukti yang sah. Kelima, berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan
bukti harus dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.142
Sehingga untuk menerapkan saksi mahkota sebagai alat bukti penyertaan
dalam pidana harus memperhatikan pembatasannya baik itu mengenai cara
memperoleh alat bukti saksi mahkota telah sesuai dengan aturan, maupun untuk
membuktikan kesalahan terdakwa tidak hanya bergantung pada saksi mahkota
tetapi harus ada bukti lain yang menguatkan. Dewasa ini dalam perkembangan
teori pembuktian, persoalan beban pembuktian tidak lagi menjadi domain jaksa
penuntut umum tetapi juga terdakwa, dengan pembuktian berimbang terdakwa
dapat mengajukan bukti untuk menunjukan bahwa ia tidak bersalah, bukti yang
diajukan oleh terdakwa disebut exculpatory evidence.143
Kembali pada permasalahn yurisprudensi menurut penulis langkah yang
ditempuh Mahkamah Agung dengan mengunakan patokan kasus perkasus dalam
141 Yahya Harahap, Op., Cit, hal . 273.142 Eddy O.S Hiariej Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Korupsi, dalam Hukum
Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings. ed., (Denpasar:Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen,2012), hal. 199.
143 Ibid., hal. 201.
55
memutuskan perkara, relevan dengan perkataan Roscoe Pound bahwa hakim
dalam mengadili perkara harus berpijak pada tiga langkah yaitu:144
1. Menemukan hukum, yakni menetapkan kaidah manakah yang dapat atau tidakdapat diterapkan diantara banyak kaidah yang ada menurut cara yang ditunjuksistem hukum;
2. Menafsirkan kaidah yang ditetapkan, yakni menentukan makna sebagaimanaketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasanya yang dimaksud;
3. Menerapakan kepada perkara yang dihadapi dengan kaidah yang ditemukandan ditafsirkan demikian.
Pada dasarnya yurisprudensi adalah hasil dari suatu proses penemuan
hukum oleh hakim ketika mengadili suatu perkara yang dituangkan dalam
pertimbangan dan putusanya,145dengan penemuan hukum oleh hakim diharapkan
dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum yang
tidak diatur dalam undang-undang.146 Dalam rangka penemuan hukum oleh hakim
melalui yurisprudensi ini harus diingat bahwa, karena hakim dianggap tahu
hukum (ius curia novit), maka putusan itu harus memuat pertimbangan-
pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar dikalangan institusi
kehakiman, forum ilmu pengetahuan hukum, masyarakat luas dan para pihak yang
berperkara.147
Walaupun prinsip-prinsip hukum tidak dapat menghilangkan subyektivitas,
namun dalam memutus perkara hakim hendaknya tidak melihat peraturan-
peraturan formil saja,148tetapi perlu menampung secara proporsional nilai
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan,149sehingga putusannya tidak
144 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penterjemah Mohamad Radjab, (Jakarta :Bharatara Niaga Media, 1996), hal. 52.
145 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc .Suatu Studi Teoritis MengenaiSistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum PascaSarjana, 2009), hal. 230.
146 Ibid.147 Shidarta,“Makalah Penemuan hukum Melalui Putusan Hakim”,(Disampaikan dalam
rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruh Indonesia di Hotel GrandAngkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011), hal. 2.
148 Agus Brotosusilo, “Penulisan Hukum”, Materi Kuliah Filsafat Hukum, (Jakarta: ProgramPasca Sarjana Universitas Indonesa), hal. 125 .
149 Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Theo Huijbersdari tiga tujuan hukum(yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama danutama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut GustavRadbruch kepastian hukum menduduki peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain.Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaanNazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-,
56
berpotensi untuk dikoreksi atau dibatalkan oleh rekan-rekannya di jenjang
peradilan berikutnya. Kewibawaan putusan hakim terletak pada kejernihan sikap
dan keruntutan logikanya tatkala menuangkan argumentasinya di dalam putusan,
hanya dengan prinsip-prinsip ini reduksionisme dasar hukum ke dalam unsur-
unsur yang kemudian disilogismekan itu akan tetap terpelihara dalam satu sistem
pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya secara ilmiah hukum,
melainkan juga secara moral.150
D.Hak-Hak Saksi Mahkota Dalam Proses Peradilan Pidana
Suatu istilah yang sangat populer dipergunakan merangkum cita-cita hukum
acara pidana adalah due process of law namun makna due process of law ini
sering diartikan secara keliru hanya dikaitkan dengan penerapan aturan–aturan
hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa, karena
artinya dalam peradilan adil jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan
undang-undang secara formal.151 Menutut Mardjono Reksodiputro mengutip,
Tobias dan Petersen yang mengatakan bahwa due process of law itu (berasal dari
Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) due process of law itu merupakan:152
“Constitutional guaranty...that no person will be deprived of life, liberty orproperty for reasons that are arbitrary... protects the citizens againstarbitrary actions of the government”
Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan diatas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yangpertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwahukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturankepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orangmemperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalamseluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat istiwema kepada keadilan sebagai tujuandari hukum. Lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:,Kanisius,1982), hal. 161-166
150 Shidarta, “Putusan Hakim:Antara Keadilan, Kepastian hukum dan Kemanfaatan”, (Dalamlampiran Makalah yang disampaikan dalam rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untukhakim seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011), hal. 8.
151 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit.,hal.27-28.
152 Ibid.
57
Oleh karena itu unsur –unsur dari ‘due process’ itu adalah :153
1.Hearing (mendengarkan tersangka dan terdakwa);2.Counsel (penasihat hukum);3.Defense (pembelaan);4.Evidence (pembuktian);5.Fair and impartial court (pengadilan yang adil dan tidak memihak).
Penghargaan kita akan hak kemerdekaan seorang warga penting karena
setelah menjadi seorang tersangka maka status hukumnya berubah, orang tersebut
ditandani oleh berbagai pembatasan dalam kemerdekaan sering pula dengan
degradasi secara moral.154 Melalui proses peradilan pidana kemerdekaan warga
negara tersebut paling besar terancam terhadap kemungkinan salah penggunaan
kewenangan yang diberikan oleh undang undang kepada aparat penegak hukum,
dalam kerangka berpikir seperti inilah pengertian due process of law atau proses
hukum yang adil harus dipahami sebagai perlindungan terhadap hak kemerdekaan
setiap warga negara dalam negara hukum.155
Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana banyak terjadi
di tingkat penyidikan dan penuntutan karena pada tingkat ini tersangka/terdakwa
rentan diperlakukan sebagai obyek dalam penyidikan dengan kekerasan (violence)
dan penyiksaan (torture), bahkan metode ini telah membudaya, meskipun telah
adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya suatu pengakuan
terdakwa sebagai alat bukti.156 Tentang hal ini sebenarnya KUHAP secara implisit
telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar,
kekerasan dan penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan:
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim”.Dan ketentuan dalam Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa “Keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun
dan atau dalam bentuk apapun”.
Dalam memori penjelasan Pasal 52 KUHAP menyatakan supaya
pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang, maka tersangka atau
153 Ibid.154 Ibid., hal 28155 Ibid.156 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998), hal. 4.
58
terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa, ketentuan dalam
Pasal 52 dan Pasal 117 ini dapat dikaitkan dengan prinsip universal tentang non
self incremintion yang merupakan hak tersangka/terdakwa untuk tidak
mempersalahkan dirinya sendiri, sebagaimana tercermin secara tidak langsung
dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan tersangka/terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian dan Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan
keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendri.157
Sedangkan makna dalam pasal 52 KUHAP dan Pasal 117 KUHAP,
haruslah diartikan sedemkian rupa, sehingga keterangan yang diberikan oleh
tersangka yang bersumber pada free will (kehendak bebas), dengan demikian baik
penyidik maupun hakim tidak diperkenankan untuk mencari keterangan yang
tidak diberikan secara bebas.158 Berdasarkan uraian diatas dalam rangka
pelaksanaan proses hukum yang adil maka penggunaan saksi mahkota dalam
proses peradilan pidana harus memperhatikan hak-hak tersangka dan terdakwa
terutama prinsip non self incrimination.
Sedangkan persoalan mengenai cara perolehan bukti yang menyimpang dan
akan dipergunakan dipengadilan, namun ternyata tidak ada pengaturanya didalam
KUHAP. Dalam negara-negara penganut sistem anglo saxon (common law) maka
persoalan ini dinamakan “illegally secured evidence” yang masuk dalam aturan-
aturan yang dinamakan ‘exclusionary rules” (Amerika Serikat) atau ‘judges rules
(Inggris) yaitu aturan-aturan yang berlaku umum dan berisikan larangan
penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara tidak sah atau melanggar
undang undang.159
Pentingnya larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara
tidak sah karena inti proses hukum yang adil adalah hak seorang tersangka dan
terdakwa untuk didengar pandanganya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu
terjadi, hak didampingi oleh penasihat hukum, hak memajukan pembelaan dan
157 KHN-SETRA HAM UI, “Akses ke Peradilan”, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003),hal, 23.
158 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Ham Dalam Perspektif KUHAP, Op. Cit., hal. 28.159 Indriyanto Seno Adji, Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia, Bunga Rampai,
(Jakarta : Modul Kuliah kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan Hak Asasi Manusia. ProgramPasca Sarjana Universitas Indonesia 2012, hal. 23.
59
penuntut umum harus membuktikan kesalahan terdakwa dimuka suatu pengadilan
yang bebas dengan hakim yang tidak berpihak.160 Walaupun KUHAP belum
mengatur mengenai larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik
secara tidak sah tetapi dalam rangka perlindungan terhadap hak warga negara kita
dapat menyadarkan pandangan pada prisip yang terdapat dalam KUHAP.
Menurut Mardjono Reksodiputro, paling tidak terdapat sepuluh asas yang
melindungi hak warga negara dan berlakunya proses hukum yang adil dalam
KUHAP yaitu :161
1.Perlakuan sama dimuka hukum tanpa diskriminasi;2.Praduga tidak bersalah;3.Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian ) dan rehabilitasi;4. Hak untuk mendapat bantuan hukum;5.Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;6.Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;7.Peradilan terbuka untuk umum;8.Dasar undang-undang dan dan kewajiban adanya surat perintah dalam
pelanggaran atas hak individu warga negara;9.Merupakan salah satu unsur dasar dalam hak warga negara atas “ liberty
and sucurity’ dimana tersangka dan terdakwa diberi jaminan untukmembelah diri sepenuhnya;
10.Pengadilan berkewajiban mengendalikan pelaksanaan putusanyanya,dapat hanyalah dilihat sejauh kewajipan pengawasan.
Pencantuman hak- hak tersangka didalam sejumlah pasal di dalam KUHAP
(Pasal 50 sampai Pasal 68) merupakan pencerminan terhadap pelaksanaan hak
asasi manusia dengan tingkat universal, sehingga pencantuman hak-hak tersangka
itu untuk memperhatikan dan menghormati harkat martabat manusia sesuai
dokumen atau instrumen internasional tentang hak asasi.162 Menurut Indriyanto
Seno Adji dalam rangka perlindungan hak asasi manusia (terdakwa) dalam proses
peradilan patut memperhatikan ketentuan Pasal 14 ICCPR Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil Politik yang telah diratifikasi Indonesia, ketentuan tersebut
berkenaan dengan :163
160 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,Op. Cit., hal. 9.
161 Ibid., hal .17.162 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Ham Dalam Perspektif KUHAP, Op. Cit., hal. 25.163 Ibid., hal. 26-27.
60
1.Tuduhan perlu dituangkan dalam bahasa yang dapat dimengerti olehtertuduh mengenai sifat (nature) dan sebab (cause) dari tuduhan yangbersangkutan;
2. Persiapan dalam waktu adequat untuk mengadakan pembelaan dan hakberhubungan dengan penasihat hukum (right to communicate);
3. Secepat mungkin diadakan pemeriksaan (without any delay);4. Diadili dan untuk mengadakan pembelaan terhadap dirinya atau melalui
advokat, diberitahukan kepadanya mengenai haknya apabila ia tidakdidampingi seorang advokat memperoleh bantuan hukum, khususnya jikaia kurang mampu untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Memeriksa (to examine) para saksi a charge adanya menghadiri parasaksi a charge ataupun a de charge;
6. Memperoleh seorang penterjemah, apabila tidak memahami bahasa yangdipergunakan pengadilan;
7. Hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri (right of non selfincrimination).
Dalam proses peradilan pidana KUHAP tidak menghendaki
tersangka/terdakwa sudah dijatuhi putusan bersalah sebelum prosesnya dimulai,164
karena setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap bahwa ia bersalah (presumtion of innocence), sehingga
hak asasinya selama proses peradilan selalu terjamin dan terlindungi.165 KUHAP
melihat proses peradilan pidana sebagai perjuangan untuk menegakakn hukum
secara adil, didalam prosesnya hak hak tersangka dan terdakwa terlindungi dan
dianggap sebagai hak warga negara.166
Sebagai implementasi pelaksanaan hukum yang adil dalam rangka
melindungi hak asasi saksi mahkota maka penggunaan saksi mahkota dalam
proses peradilan sedapat mungkin di hindari lebih baik dihindari. Namun apabila
dalam suatu perkara yang menyangkut penyertaan dalam tindak pidana tidak ada
alat bukti lain untuk mendukung pembuktian selain saksi mahkota, maka untuk
menjamin timbulnya kepastian hukum dan terjaganya ketertiban masyarakat saksi
mahkota dapat diterapkan dengan segala konsekwensinya dan tetap menghormati
hak-hak asasi saksi mahkota.167
164 Mien Rukmini, Op.Cit., hal. 83.165 Ibid., hal. 260.166 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal
44.167 Zulfan dan Kaharuddin, Saksi Mahkota dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
Pembuktian Hukum Pidana”, Jurnal Media Hukum (Volume 15 No 1 Juni 2008), hal. 165.
61
Karena dengan ditetapkan dan diajukan seorang sebagai saksi mahkota
maka hak – haknya dalam posisi sebagai terdakwa tidak dapa digunakan
sebagaimana mestinya, disinilah hak asasi manusia sebagai saksi mahkota dikebiri
dan terkekang sehingga bertentangan dengan asas peradilan jujur, terutama hak
dalam posisi terdakwa untuk membela diri tidak dapat terlaksana dengan baik, dan
peradilan terhadap terdakwa akan jauh dari pencapaian keadilan.168 Menurut
Artidjo Alkostar penerapan aturan hukum yang menyangkut saksi mahkota
(crown witness/kroongetuige) harus memperhatikan ketentuan Pasal 168 KUHAP
dan Pasal l69 KUHAP, dan diterapkan secara selektif agar tidak melanggar hak
asasi manusia atau hak dasar konstitusinal serta tidak melanggar prinsip umum
non self incrimination.169
E.Mengatasai Dilema Terkait Non Self – Incrimination dalam PenerapanSaksi Mahkota
Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pelaksanaan hukum acara
pidana formiel dan hukum pidana materiel, karena menyangkut hak asasi dan
perlindungan martabat manusia.170 Konstitusi Republik Indonesia sendiri telah
menetapkan pengakuan terhadap perlindngan hak-asasi dan perlindungan martabat
manusia sebagaiana tercantum dalam pasal 28 I UUD 1945 (Perubahan Kedua)
yang menyatakan:
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakuisebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apapun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atasdasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuanyang bersifat diskriminatif itu.
Menurut Romli Atasasimita, sebagai konsekwensi logis dari asas praduga
tak bersalah maka terhadap tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum
168 Ibid, hal. 157.169 Artidjo Alkostar, “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana dan Dasar
Pertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”, (Makalah Disampaikan dalam RAKERNAS2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta 18-22 September 2011),hal .6.
170 Ibid., hal. 2-3.
62
untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan atau merugikan dirinya
sendiri (the right of non-self incrimination) dan hak untuk tidak memberikan
jawaban (the right to remain silent) baik dalam proses penyidikan maupun proses
persidangan.171 Asas non-self incrimination merupakan suatu hal yang dilarang
dalam suatu proses peradilan pidana, karena tindakan atau pernyataan yang
diambil atau berasal dari seseorang mengakibatkan dirinya menjadi in crime,
larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang
ke pengadilan, dan membuktikan tuduhanya, sehingga seseorang tertuduh tidak
dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu.
Non-self incrimination merupakan hak istimewa terbatas pada tindak pidana
saja, tetapi tidak hanya berlaku untuk informasi yang memberatkan, berlaku juga
untuk bukti yang cenderung memberatkan terdakwa, hak istimewa ini berlaku
untuk terdakwa dan saksi, dan hak istimewa tidak hanya dalam proses penyidikan
pidana, melainkan juga dalam semua tindakan pengadilan pidana, serta dalam
penyelidikan oleh lembaga admministrative, karena hak istimewa ini sangat
pribadi dengan demikian tidak dapat digunakan untuk orang lain, lingkup hak ini
hanya berlaku untuk orang perorangan dan tidak semu (juridical) seperti
korporasi, serikat, partnership.172
Menurut Indriyanto Seno Adji, salah satu alasan pihak yang menolak
penerapan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana adalah, menyangkut asas
non self incrimination, karena : 173
“Pengajuan saksi mahkota ini bertentangan dengan hak asasi manusia,khususnya hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana yaitu prinsipatau asas non self incrimination yang secara universal mendapatpengakuan dunia, implisitas pengakuan adanya asas non self incriminationitu disebutkan dalam pasal 189 ayat (3) KUHAP yaitu: Keteranganterdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”
Hal ini berarti terdakwa mempunyai hak untuk tidak mempersalahkan
dirinya sendiri sejak proses penyidikan sampai persidangan di pengadilan.
171Romli Atasasimita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”,http://m.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2400-logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah, diunduh 5 Mei 2013.
172 Christopher Osakwe, “The Bill Of Right For The Criminal Defendatin In American Law”,dalam, Human Right In Criminal Procedure A Comparative Study, Jhon A Andrews, ed.,(Boston/London : Martinus Nijhoff Publisher, The Hague, 1982), hal. 274.
173 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 95.
63
Tidaklah mungkin bagi seorang terdakwa akan mempersalahkan dirinya sendiri
dengan memberi kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri dalam berkas
perkara yang dibuat terpisah, dalam satu berkas terdakwa menyangkal
perbuatanya, namun dalam kedudukanya sebagai saksi dalam berkas pidana yang
terpisah ia mengakui melakukan perbuatan yang disangkalnya sendiri.174
Menurut Andi Hamzah sistem saksi mahkota yang dikenal dalam peradilan
pidana di Indonesia saat ini dengan cara mendudukan seseorang untuk bergantian
sebagai saksi dan terdakwa walaupun dalam perkara terpisah melanggar asas non
self incrimination dan mendorong seseorang untuk melakukan sumpah palsu,
sebagai jalan keluarnya sebagai ketua tim perumus RUU KUHAP yang akan
datang Andi Hamzah memasukan pengertian saksi mahkota dengan mereduksi
sistem yang ada di Belanda, Italia dan Amerika Serikat.175
Dalam prespektif hukum pidana Belanda menurut Constantijn Kelk, setiap
tindak pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, dilakukan oleh
polisi atau oleh hakim, memperhatikan sejumlah syarat dasar untuk menjaga dan
menjamin otonomi tersangka/terdakwa dalam kebebasannya memberikan
keterangan. Hal ini sangat penting mengingat situasi pemeriksaan (pengambilan
keterangan) dilakukan dalam kondisi ketidak setaraan, sebab pejabat penyidik
memiliki sejumlah sarana paksa (dwangmiddelen) yang memungkinkannya
merampas kemerdekaan tersangka.176 Untuk menghindari ancaman sebagai sarana
paksa yang ‘memaksa’ tersangka memberi keterangan yang diminta maka :177
1. Pertama-tama pejabat penyidik yang memeriksa tersangka dilarang untukmelakukan apapun juga yang bertujuan membuat tersangka memberiketerangan tidak dalam keadaan bebas (Pasal 29 Ned Sv.);178
2. Di samping itu, undang-undang menetapkan bahwa tersangka/ terdakwadalam proses pemeriksaan tidak diwajibkan untuk menjawab. Dengankata lain, ia memiliki hak untuk diam atau tidak menjawab (zwijgrecht);
3. Selanjutnya, pejabat yang melakukan penyidikan atau pemeriksaan harusdengan tegas (expressis verbis) memberitahu tersangka/ terdakwa akanhak-nya tersebut di atas, satu dan lain karena barangsiapa yang tidak
174 Ibid .175 Hasil Wawancara, Tanggal 9 April 2013.176 Constantijn Kelk,” Tahapan Kritikal Dalam Pengembangan Sistem Hukum Pidana Yang
Beradab”, dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 2012), hal. 61.
177 Ibid.178 Sv: Wetboek van Strafvorderingen (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belanda).
64
mengetahui apa haknya nyata tidak akan dapat menggunakannnya. Inilahyang disebut sebagai cautieplich (kewajiban untuk menginformasikasikantersangka/terdakwa bahwa ia memiliki hak untuk diam) dari pejabatpemeriksa.
Ketentuan-ketentuan di atas mengejawantahkan prinsip bahwa terdakwa
baik secara langsung maupun tidak langsung tidak boleh dipaksa memberikan
keterangan yang memberatkan dirinya sendiri (Pasal 14 ayat 3 sub g ICCPR). The
privilege against self-incrimination or the right of silence (hak istimewa untuk
tidak memberikan keterangan yang memberatkan diri sendiri atau hak untuk
diam) merupakan prinsip yang diakui masyarakat internasional yang sekaligus
merupakan bagian penting dari proses pidana yang adil (fair trial). Sebagaimana
ditegaskan oleh EHRM ,179 (EHRM 5 November 2002, NJ 2004, 262).
Walaupun asas nemo-tenetur (seipsum accusare: the right not incriminate
oneself) tidak secara tegas termuat di dalam perundang-undangan pidana Belanda,
namun dengan sendirinya di dalam hukum pidana Belanda berlaku prinsip ‘fair
trial’ (Pasal 6 EVRM). Yang memuat kewajiban untuk menjaga dan menghormati
tersangka/terdakwa yang tidak diwajibkan memberikan keterangan yang akan
mencelakakan dirinya sendiri.180Ketentuan-ketentuan pemeriksaan terhadap
tersangka/terdakwa dimaksud untuk mencegah terdakwa akan ditempatkan di
bawah tekanan, dipaksa, diancam, diintimidasi dengan keras atau dibujuk atau
melalui tipu daya, sedemikian sehingga ia memberi keterangan yang tidak benar
atau keliru.181
Menurut P.J. P. Tak sebagaimana dikutip Romli Atasasmita dalam hukum
pidana Belanda, hak-hak tersangka atau terdakwa dijamin dan dilindungi
sedemikian rupa, sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka atau
terdakwa diberikan hak untuk mengajukan review kepada examining judges untuk
memeriksa kebenaran review yang diajukan tersangka atau terdakwa, 182 Di
Amerika Serikat, mengenai hak untuk tidak menyalakan diri sendiri telah diakui
secara kontitusional, dalam amandemen ke- V Kontitusi Amerika Serikat, memuat
diantaranya, tidak boleh diwajibkan dalam perkara kejahatan apapun menjadi
179 Europees Hof voor de Rechten van de Mens te Straatsburg (Mahkamah atau PengadilanHak Asasi Manusia di Strasburg).
180 Constantijn Kelk, Op.Cit., hal. 62.181 Ibid.182 Romli Atasasimita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”, Op. Cit.
65
saksi yang memberatkan diri sendiri.183 Di Inggris diberlakukan hak untuk tidak
menjawab pernyataan, bahkan sangat ketat, pemeriksaan harus mulai mengatakan
kepada the suspect, bahwa ia mempunyai hak untuk diam tidak menjawab
pertanyaan.184
Di Amerika serikat menurut Steve Kessler, dalam upaya menghindari
terjadinya untuk self incrimination dalam mengunakan saksi yang bersifat
cooperator maka hal penting dalam kesepakatan kerjasama ini dilakukan dengan
sukarela dimana motivasi cooperator berharap akan keringanan hukuman dari
kejahatan yang telah dilakukan, bukan dari paksaan.185 Bentuk keringanan
hukuman yang akan diberikan bukan penghapusan pidana sama sekali, tetapi
mekanismenya yang berlaku di Amerika Serikat menurut Charles Guria, apabila
telah terjadi kesepakatan dengan terdakwa dan terdakwa mengaku bersalah atas
satu dakwaan berat (serious charge) dan dakwaan ringan (less-serious charge),
Setelah berhasil memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan, kantor kejaksaan
akan meminta pengadilan agar terdakwa diizinkan untuk mencabut pengakuan
bersalah yang sebelumnya diajukan terhadap dakwaan berat dan mempindanakan
yang Terdakwa atas dakwaan ringan sesuai yang diizinkan oleh undang-
undang.186
Karena saksi mahkota dalam persidangan sudah menjadi kaedah hukum
yang diterima namun perlu suatu telaahan secara comparative untuk menghindari
terjadinya pelanggaran asas non self incrimination, ini dapat dilakuakun dengan
melihat ketentuan sebagaimana dalam prespektif hukum pidana di Belanda dan
Amerika Serikat dalam penggunaan saksi mahkota untuk pembuktian perkara
pidana. Selain itu untuk mengatasi dilema asas non self incrimination kita dapat
bersandar pada pendapat Christopher Osakwe yang menyatakan.187
“In a delicate balancing of this privilage with competing right of the state toconduct legitimate investigation into cause of crime , the court have heldtaht the privelege against self –incrimination is not available if the personhas already been tired for offence or if the person has been pardoned for theoffence or if the legislature has conferred immunity from prosecution”.
183 Luis Hendri, Op. Cit., hal . 27.184 Mien Rukimini, Op.Cit, hal. 90.185 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013.186 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013.187 Christopher Osakwe, Op.Cit., hal. 374.
66
Dari pemahaman tentang privelege against self –incrimination, Christopher
Osakwe bependapat untuk mengatasai dilema keseimbangan antara hak
tersangka/terdakwa dengan hak negara untuk melakukan investigasi atas nama
hukum terhadap penyebab kejahatan, maka hak istimewa terdakwa terkait non self
incrimination tidak berlaku dalam hal, seseorang telah menjalankan proses
persidangan, orang tersebut telah dimaafkan dalam sebuah kesepakatan, atau
pembuat undang undang telah memberikan imunitas dari penuntutan.
Berlandaskan dari uraian di atas ternyata untuk menerapkan saksi mahkota
pada penyertaan dalam tindak pidana dapat dihindari tindakan yang bertentangan
dengan asas non self incrimination, sehingga proses peradilan pidana dapat
berjalan dengan adil dengan tidak melanggar hak tersangka dan terdakwa dan
negara tetap memberi perlindungan terhadap individu (tersangka atau terdakwa).
Karena pada hakekatnya proses pemeriksaan terhadap seseorang yang telah
disangka maupun didakwa melakukan kejahatan bukanlah untuk mencari
kesalahan tetapi untuk kebenaran dengan tujuan tegaknya keadilan dan menurut
Topo Santoso dalam pelaksanaanya :188
“Mencari kebenaran harus dilakukan secara adil, pengertian adil mencakupkeseimbangan dalam mempertahankan kepentingan negara dan masyarakatatau undang undang dan melindungi kepentingan tersangka”.189
Dalam rangka memaknai konsepsi adil lebih lanjut ada baiknya kita melihat
teori keadilan menurut Jhon Rawls, dalam bukunya yang berjudul “A Theory of
Justice ‘yang kemudian di revisi menjadi ‘Political Liberalism Rawls” mencoba
mempertahankan prinsip-prinsi keadilan, konsepsi keadilan yang dia
kemukakan:190
188 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan , Op. Cit, hal. 45.189 Menurut Bagir Manan Dalam upaya untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan
berkeadilan menurut Bagir Manan, harus dilihat dari dua dua aspek penting, yaitu cara penegakanhukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice), dalammasyarakat yang menjunjung tinggi hukum mewujudkan tujuan sama penting dengan tujuan itusendiri, sedangkan untuk dapat menemukan secara tepat subtansi keadilan harus dibedakan antarakeadilan individu (individual justice) dan keadilan sosial (social justice). Namun dalamkenyataanya dapat terjadi semacam jarak antara keadilan individual dan keadilan sosial, jarak inidapat diatasi atau dikurangi, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermatdilekatkan nilai sosial dan moral dalam setiap aturan hukum yang akan ditegakan, dengandemikian dalam setiap keadilan individual akan terkandung keadilan sosial. Lihat, Bagir Manan,Menegakan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia , 2009), hal 60 -161.
190 Lord Lloyd Hampstead dan M.D.A. Freeman, Introduction to Jurispridence, (Britain:ELBS, 1985), hal. 523-524.
67
a. Kebebasan maksimal yang tidak bisa dibatasi oleh apapun kecuali hal-hal yang justru untuk melindungi kebebasan tersebut;
b. Persamaan bagi semua baik dalam kebebasan dasar dari kehidupansosial maupun dalam pembagian semua bentuk barang-barang sosial;
c. Persamaan kesempatan yang adil dan pengahapusan segala untukketidaksamaan kesempatan atas dasar keturunan atau harta kekayaan.
Mengenai prinsip keadilan, menurut Rawls sebagaiman dikutip Albert Y.
Dien menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak bukan manfaat. Jika asas
manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair, hal
yang dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk
sebanyak mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya (the greatest
good for the greatest number), sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan
pada asas hak akan melahirkan prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak
(individu) yang tak boleh dilanggar (hak-hak individu memang hal yang dengan
gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian).191
Lebih lanjut menurut Rawls sebagaimana dikutip Darji Darmodiharjo dan
Shidarta, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama, bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan itulah yang
disebut keadilan,192untuk itu kepentingan-kepentingan individu harus mendapat
tempat dalam aturan adil masyarakat, akan tetapi kepentingan ini tidak dapat
menjadi prinsip yang terakhir.193
191 Albert Y. Dien, “Masyarakat yang Berkeadilan Pemikiran Jhon Rawls dalam FilsafatHukum”, Jurnal Supremasi Hukum, (Volume 7, Nomor 1, Januari 2011), hal. 13.
192 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok- Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 1999), hal. 159 .
193 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hal.202. Dalam tataran kaidah tentang keadilan di Indonesia dapat kita lihat dalam pencerminan silaPancasila, mengenai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan masyarakat, hal ini tercermindalam sila ke-2 Pancasila yaitu “Kemanuasiaan yang Adil dan Beradab, menurut Agus Brotosusilodalam sila kedua ini terkandung keserasian antara perorangan, antar kelompok dan antaraperorangan dan kelompok karena dalam sila ini mengandung nilai –nilai individualism dankomunalism (monodualistik) sehingga dalam pelaksanaanya hubunganya bukan saja harus adil,tetapi juga beradab. Lihat, Agus Brotosusilo, Keserasian Nilai Nilai Pancasila Sebagai Sumbersegala Sumber Hukum (Dalam Arus Globalisasi), Materi Kuliah Filsafat Hukum, (Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011). Hubungan yang adil dan beradab dapatdiumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya terang, jadi bilaperadabannya tinggi maka keadilanpun mantap. Sesuai dengan kodrat alami, maka manusiamempunyai pikiran/cipta dan perasaan/rasa yang bila dikombinasikan akan menjadikehendak/karsa yang merupakan motif dari pada karya/sikap tindak. Lihat pula. PurnadiPurbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Cetatakan Kelima,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 82.
68
F. Penerapan Saksi Mahkota dalam Peradilan di Indonesia Melanggar AsasNon Self Incrimination
Berdasarkan uraian mengenai konsep saksi mahkota dan yurisprudesi
penyertaan dalam tindak pidana di peradilan Indonesia menurut penulis terdapat
satu masalah yang sangat krusial yang mungkin ini yang menimbulkan
kontroversi selama ini, jika dilihat dari segi historis dan konsep pada negara lain
dalam penerapan saksi mahkota terdapat, unsur kesepakatan untuk bekerjasama
yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara penegak hukum dan saksi
mahkota (berkedudukan selaku saksi dan terdakwa). Dari kesepakatan itu hak
penuntut umum mendapatkan informasi dari saksi mahkota terhadap kejahatan
yang turut ia lakukan, sedangkan kewajiban penuntut umum memberikan imbalan
berupa pengurangan hukuman diakhir kerjasama dalam proses persidangan.
Bentuk kesepakatan kerjasama ini tidak telihat dalam konsep saksi mahkota
di Indonesia, dimana dalam konsep saksi mahkota dan penerapanya tidak ada
kesepakatan antara saksi mahkota dan penegak hukum (penyidik dan penuntut
umum), dapat diartikan penegak hukum (jaksa) bebas menentukan kedududukan
saksi mahkota untuk saling meyaksikan dalam kedudukan sebagai saksi dan
terdakwa, hal ini dikarenakan penerapan saksi mahkota dalam peradilan di
Indonesia banyak dipengaruhi dari yurisprudensi yang memberikan justifikasi
pengunaan saksi mahkota dalam hal penyertaan karena kurangnya alat bukti,
Sehingga pelaksanaan saksi mahkota di Indonesia jelas melanggar hak tersangka
dan terdakwa yaitu asas non self incrimination.
69
BAB III
PENERAPAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTIPENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA DI PERADILAN
Setelah melihat konsep saksi mahkota dan penyertaan dalam tindak pidana
selanjutnya dalam bab ini menguarikan penerapan saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam peradilan di Indonesia, yang akan diawali dari tahap penyidikan
dimana dilakukan pemecahan berkas perkara (splitsing) kemudian konstruksi
surat dakwan terhadap saksi mahkota dan dalam tahap penuntutan akan dibahas
mengenai kedudukan alat bukti saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana saksi mahkota, kemudian dianalisis untuk
mendapakan suatu pendapat mengenai penerapan saksi mahkota sebagai alat bukti
dalam peradilan di Indonesia.
A.Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing) dan Konstruksi Surat DakwanTerhadap Saksi Mahkota pada Penyertaan dalam Tindak Pidana
Pada prinsipnya menurut hukum acara pidana splitsing berkas perkara
adalah hak jaksa, pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Dalam hal kejahatan melibatkan
beberapa orang tersangka, dengan kata lain, lebih dari satu perbuatan dan pelaku,
splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda,
konsekuensi lain dari splitsing, para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara
masing-masing, dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai
saksi maupun terdakwa akibatnya timbul saksi mahkota.
Menurut Indriyanto Seno Adji, pada dasarnya karakteristik penerapan saksi
mahkota dalam praktek beracara dipersidangan secara spesifik untuk :194
1. Tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhisebagai delik penyertaan yang diatur pasal 55 KUHP, baik para pelakudikualifikasikan sebagai pelaku langsung (yang melakukan), yangmenyuruh melakukan, yang turut melakukan dan atau yang menganjurkanmelakukan;
2. Minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana;3. Tindak pidana itu dipecah menjadi beberapa terdakwa, meskipun tindak
pidana yang dilanggar hanya satu, misal pembunuhan (pasal 338 KUHP).
194 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op. Cit., hal . 201.
70
Terdakwa dalam satu berkas akan menjadi saksi terhadap terdakwa laindalam berkas terpisah. Para terdakwa ini berkedudukan pula sebagaisaksi– saksi dalam berkas terdakwa terpisah pisah itu.
Mengingat kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati
posisi kunci, sehingga pentingnya alat bukti saksi dalam proses peradilan pidana,
telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana, dari ditingkat kejaksaan sampai
pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi
acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa, jadi jelas bahwa
saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum
dan keadilan.195
Permasalahan yang sering muncul di dalam praktek penanganan perkara,
adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat
tindak pidana dilakukan. Sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa
tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya
pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya
terdapat alat bukti keterangan saksi, yang biasa disebut dengan saksi mahkota
dan mempunyai kekuatan untuk pembuktian.
Dasar dilakukannya pemecahan berkas perkara ini tercantum dalam Pasal
142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuatbeberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yangtidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapatmelakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah”.
Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk
melakukan pemecahan berkas perkara dari satu berkas perkara menjadi beberapa
berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di tangan
Penuntut Umum. Namun KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
tentang kapankah splitsing tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum. Apabila
195 Surastini Fitriasih, “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju ProsesPeradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”,http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=52534&idc=21, diunduh 14 April2013.
71
diperhatikan redaksi dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “....Penuntut Umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”.
Dengan demikian, pelaksanaan splitsing dilakukan sebelum Penuntut
Umum melimpahkan berkas perkara ke-Pengadilan Negeri sebagaimana
diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Penjelasan Pasal 142
KUHAP, menyatakan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat
berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk
itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi,
maka splitsing dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan
Prapenuntutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu :
“Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikandengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), denganmemberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan daripenyidik”.
Oleh karena itu, splitsing dilakukan pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu
ketika penunut umum memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk memecah
berkas perkara, hal tersebut disebabkan pemecahan penuntutan perkara (splitsing)
seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP, memang biasanya
dilakukan dengan membuat berkas perkara lagi, sehingga perlu dilakukan kembali
pemeriksaan terhadap saksi maupun terhadap terdakwa. Pada dasarnya,
pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor diantaranya pelaku tindak
pidana yang terdiri dari beberapa orang. Dalam hal ini Yahya Harahap
berpendapat, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas
perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa
sehingga: 196
a. Berkas yang semula diterima Penuntut Umum dari Penyidik, dipecahmenjadi dua atau beberapa berkas perkara;
b. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkaratersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud,masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdirisendiri antara yang satu dengan yang lain;
c. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagidilakukan bersamaan dengan suatu persidangan, masing-masing terdakwadiperiksa dalam persidangan yang berbeda;
196 Yahya Harahap, Op. Cit., hal . 442.
72
d. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabiladalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.
Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri
sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat
dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka digabung
dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang
lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang timbal balik. Minimnya alat
bukti dalam suatu tindak pidana yang bersangkut paut dengan delik penyertaan
(deelneming) itulah yang memaksa dilakukan suatu spilitsing (pemecahan)
perkaranya menjadi beberapa berkas dan beberapa terdakwa.197
Sedangkan Andi Hamzah bepandangan bahwa splitsing dilakukan dengan
membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi
sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terangka
maupun saksi .198 Namun lebih lanjut Andi Hamzah menjelaskan :
“Jika ada beberapa tersangka (terdakwa) dan juga ada beberapa orang saksimaka dalam memecah perkara tersebut hanya perlu membuat dupikat saja,dimana daftar nama tersangka (terdakwa) diubah menjadi sendiri-sendiri,dan pemeriksaan saksi tetap, karena menurut Andi Hamzah penuntut umumdapat langsung memecah berkas perkara tersebut menjadi beberapa buahyang perlu diminta dari penyidik ialah duplikat hasil pemeriksaan, karenasangat kurang bermanfaat kalau hanya untuk dipecah menjadi beberapaberkas perkara itu harus bolak balik dari penuntut umum ke penyidik dantidak sesuai dengan asas peradilan cepat”. 199
Andi Hamzah membedakan antara perkara tidak lengkap (kurang saksi-
saksi) yang harus dipecah dimana para tersangka saling menjadi saksi yang harus
diselesaikan melalui pasal 138 KUHAP, dengan pemecahan perkara menjadi lebih
dari satu tanpa menambah pemeriksaan, yang menurut Andi Hamzah masuk
dalam bidang penuntutan, dan karena itu penuntut umum dapat langsung
melakukanya.200 Pendapat Andi Hamzah ini berdasarkan pendirianya bahwa
bergantian menjadi saksi bukalah saksi mahkota (kroongetuide) sebab saksi
mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan
197 Indriyanto Seno Adji , KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 96.198 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta ; CV Sapta Artha Jaya, 1996), hal.
167.199 Ibid., hal. 168.200 Ibid .
73
kesalahanya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi jadi seperti diberi mahkota, yang
tidak akan dijadikan terdakwa lagi, dan mengenai pelaksanaan pemecahan berkas
perkara dilakukan pada tingkat penuntutan oleh jaksa penuntut umum, hal ini
dibolehkan berdasarkan adagium, bahwa jaksa adalah dominus litis,201dalam
penuntutan terdakwa.202
Salah satu urgensi dari pemecahan berkas perkara menjadi berkas perkara
yang berdiri sendiri, untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi
saksi secara timbal balik diantara sesama mereka. Oleh karena itu, jelas
diperlukan kembali pemeriksaan penyidikan. Sekalipun pemecahan berkas
perkara dilakukan oleh penuntut umum, namun pemeriksaan penyidikan yang
diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi wewenang penyidik, karena,
201Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum sebagai monopoli, artinya tiada badan
lain yang boleh melakukan wewenang tersebut. Ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umumatau Jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat memintasupaya delik (tindak pidana) diajukan kepadanya, hakim hanya menunggu saja penuntutan dariPenuntut Umum. Namun dengan adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mempunyai Penuntut Umum sendiri, berartiketentuan monopoli penuntutan oleh Kejaksaan telah diterobos. Lihat Departemen Hukum danHak Asasi Manusia. “Laporan Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan AsasOportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006, hal 7-8.Jaksa yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidakberdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandangdominus litis, Jaksa merupakan pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). KewenananganKejaksaan untuk melakukan penuntutan tersebut berdasarkan Undang-Undang No 16 Tahun 2004tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan RepublikIndonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidangpenuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sedangkan kewenangan jaksaberdasarkan Pasal 13 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberiwewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dan menurut Pasal14 hutuf KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik ataupenyidik pembantu.b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalamrangka penyempurnaan penyidikan daripenyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau merubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada penyidik.
d. Membuat surat dakwaan.e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan haridan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. Melakukan penuntutan.h. Menutup perkara demi kepentingan umum.i. Mengadakan “ tindakan lain “ dalam lingkup tugas dan tanggung jawab penuntut umum
menurut ketentuan undangundang ini.
j. Melaksanakan penetapan hakim.202 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Op.Cit., hal.168 .
74
dalam dalam mekanismenya pemecahan berkas perkara dilakukan hal-hal sebagai
berikut: 203
1.Pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti
penyidikan tambahan ;
2.Pemeriksaan penyidikan pemecahan berkas perkara dilakukan oleh
penyidik berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum;
3.Tata cara pengembalian berkas baik yang dilakukan penuntut umum pada
penyidik maupun pihak penyidik kepada penuntut umum dalam rangka
pemecahan berkas perkara, berpedoman pada ketentuan tata cara dan
batasan – batasan tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal 110 ayat
(4) dan 138 ayat (2) KUHAP .
Dalam praktik peradilan splitsing berkas perkara menurut Kepala Seksi
Tindak Pidana Umum Jakarta Barat, splitsing berkas perkara dilakukan oleh
penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum yang menanggani
perkara (Jaksa sesuai surat P.16),204pelaksanaan splitsing dilakukan untuk
kepentingan pembuktian perkara sesuai dengan unsur pasal yang dituduhkan,
namun sering kali terjadi berkas perkara dari awal diajukan penyidik kepada
penuntut umum dalam keadaan telah dipisah karena dari awal penyidik telah
berpendapat perlu dilakukan pemisaha, karena kurangnya alat bukti.205
Pada dasarnya dalam melakukan splitsing berkas perkara pihak penuntut
umum memiliki alasan-alasan yang bersifat kaususistis tergantung pada perkara
yang dihadapi, Djoko Prakoso pernah melakukan penelitian terhadap tujuan
dilakukan splitsing dalam perkara, penyelundupan barang, kasus pembunuhan dan
percobaan pembunuhan dari hasil penelitiannya disimpulkan alasan-alasan yang
berbeda dari tujuan dilakukan splitsing.206 Namun dari alasan-alasan tersebut
dapat ditarik kesimpulan tujuan terpenting dari dilakukan splitsing tersebut karena
alat bukti yang diperoleh masing kurang (sudah ada alat bukti lain selain saksi
203 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 443.204 Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan
Penyidikan Perkara Tindak Pidana .205 Hasil Wawancara, Tanggal 9 Maret 2013.206 Lebih lanjut lihat, Hasil penelitian, Djoko Prakoso, Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing),
(Yogyakarta: Liberty, 1988) , hal. 188-216.
75
mahkota) sehinga untuk memperkuat alat bukti yang ada maka ditambahkan alat
bukti saksi mahkota yang tujuanya untuk menunjukan peran dan kedudukan
masing-masing pelaku dalam tindak pidana penyertaan.
Menurut Agung Aryanto, Kasi Pidum Kejari Jakarta Selatan proses
pemecahan berkas perkara atau splitsing dalam prakteknya diterapkan pada:207
1. Saat terjadinya tindak pidana tidak ditemukan alat bukti atau tidak disaksikan
oleh seorangpun selain lain para pelaku sehingga untuk menjelaskan peran
masing-masing pelaku berkas perkara harus dipecah, dengan demikian
diperoleh kedudukan dan peran masing-masing pelaku, tetapi selain keterangan
saksi mahkota tersebut, sebelumnya telah diperoleh alat bukti lain. Hal ini
semata – mata dan untuk kepentingan pembuktian diperlukan alat bukti saksi
mahkota untuk menguatkan alat bukti yang telah ada.
Walaupun pada dasarnya pihak penuntut umum dalam melakukan splitsing
berkas perkara pihak memiliki alasan-alasan yang bersifat kasusistis tergantung
pada perkara yang dihadapi, tetapai tujuan yang hendak diperoleh dari
pemecahan berkas perkara tersebut untuk mengetahui kronologis atau kejadian
tersebut yang hanya dapat diungkap oleh pelaku yang merupakan bagian dari
jaringan kejahatan tersebut. Namun pada umum untuk saksi mahkota yang
memberikan keterangan tidak diberikan imbalan keringanan dan mereka tidak
luput dari ancaman hukuman ;
2. Dalam tindak penyertaan dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa, untuk
tindak pidana penyertaan dimana salah satu pelaku masih masuk kategori
anak– anak, maka pada berkas perkara anak-anak akan dipisah dengan pelaku
yang telah dewasa karena perbedaan hukum acara pemeriksaan anak dan orang
yang telah dewasa dan sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak;
“Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orangdewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan kesidang bagi orang dewasa”.
3.Dalam perkara tindak pidana penyertaan yang salah satu pelakunya adalah
anggota TNI yang tunduk pada peradilan militer, maka berkas perkara dipisah
207 Hasil Wawancara, Tanggal 16 Februari 2013 .
76
karena perbedaan kewenangan mengadili antara pelaku tindak pidana sipil
yang tunduk pada peradilan umum dan pelaku TNI yang tunduk pada peradilan
militer. Walaupun berdasarkan pasal 89 KUHAP dimungkinkan pelaksanaan di
Peradilan Umum tetapi pelaksanaan akan menempuh mekanisme yang tidak
mudah karena berdasarkan pasal 89 ayat (3) pembentukan tim penyidik untuk
tindak pidana ini berdasarkan surat keputusan bersama Mentri Pertahanan dan
Keamanan dan Mentri Kehakiman serta mekanisme lainya yang diatur dalam
pasal 90 KUHAP;
4. Dalam perkara tindak pidana penyertaan yang salah satu pelakunya melakukan
tindak pidana yang lain, Misalnya dalam tindak pidana perbuatan tidak
menyenangkan (Pasal 335 KUHP) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih,
pada saat terjadi tindak pidana ternyata salah satu dari pelaku membawa
senjata api namun tidak digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan,
sehingga berkas perkara dipisah karena yang tidak membawa senjata api
didakwa dengan dakwaan melanggal Pasal 335 KUHP sedangkan pelaku yang
membawa senjata api didakwa secara komulatif melanggar pasal 335 KUHP
dan melanggar Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Berdasarkan uraian diatas maka menurut penulis mekanisme splitsing
(pemecahan berkas perkara) ini merupakan kewenagan dari Penuntut Umum
sedangkan urgensinya untuk medukung pembuktian karena hal-hal yang bersifat
kasusistis tergantung dari tindak pidana yang dihadapi, walaupun mekanisme
splitsing ini lazim digunakan pada penyertaan dalam pidana yang kemudian
menimbulkan saksi mahkota, namun pada prakteknya di peradilan mekanisme
spilitsing ini juga diterapakan dimana terdapat perbedaan kedudukan para pelaku
dalam peradilan pidana dan juga karena adanya perbedaan peran pelaku, sehingga
mekanisme splitsing ini bukan khusus untuk menerapan saksi mahkota.
Menurut Mardjono Reksodiputro istilah splitsing ini pada awalnya
digunakan pada perkara penyertaan dalam tindak yang dilakukan oleh militer dan
sipil kemudian pelaku yang tunduk pada peradilan militer diajukan ke peradilan
militer dan pelaku yang lain diajukan dalam peradilan umum, sehingga berkas
perkaranyanya di splitsing, tetapi dalam perkembangannya istilah splitsing ini
juga digunakan pada pelaku penyertaan dalam tindak pidana yang sama-sama
77
diajukan dalam peradilan umum dengan cara memisahkan berkas perkara dengan
tujuan untuk mendapatkan saksi mahkota.208
Setelah tahap penyidikan selesai selanjutnya proses dilanjutkan pada tahap
penuntutan dimana pada tahap ini yang terpenting adalah, mengenai dakwaan
yang diakan dibuat penuntut umum sebagai dasar pemeriksaan selanjutnya
dipersidangan. Dalam undang-undang sendiri tidak ditemukan mengenai
pengertian surat dakwaan A. Karim Nasution, memberi pengertian surat tuduhan
atau dakwaan merupakan:209
“Surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yangdituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaanpendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukanpemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhihukuman”.
Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat syarat
dakwaan maupun pengalaman praktek, maka dapat dikatakan bahwa surat
dakwaan adalah suatu surat atau akte (“acte van verwijzing”) yang memuat uraian
perbuatan atau faktaf akta yang terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau
menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal tindak pidana (delik) yang
dilanggar.210 Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman diluar batas-batas
yang terdapat dalam surat dakwaan, oleh sebab itu terdakwa hanya dapat dipidana
berdasarkan apa yang terbukti mengenai kejahatan yang dilakukannya menurut
rumusan surat dakwaan.
Tujuan utama dari surat tuduhan adalah undang undang ingin melihat
ditetapkan alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana,
untuk itu maka sifat-sifat kekhususan dari suatu tindak pidana yang telah
dilakukan harus dicantumkan dengan sebaik baiknya.211 Secara teknis yang perlu
diperhatikan dalam menyusun surat dakwaan apabila terdapat beberapa orang
208 Hasil wawancara, tanggal 12 Juni 2013.209 A Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PN
Percetakan Negara RI, Jakarat, 1972), hal. 75.210 Ramelan, Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya,
2006), hal. 162.211 Karim Nasuiton, Op.Cit, hal. 78.
78
terdakwa melakukan satu perbuatan (penyertaan dalam tindak pidana), maka
dalam surat dakwaan harus secara tegas diuraikan:212
1. Apakah terdakwa sebagai pelaku berperanan sebagai “orang yangmelakukan (pleger)” ;
2. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang menyuruh lakukan(doen pleger)”;
3. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang turut serta melakukan”atau “bersama-sama”, dengan pelaku lainnya (medepleger)”;
4. Apakah terdakwa berperanan sebagai “orang yang membujuk ataumenganjurkan,melakukan perbuatan (uitlokker)” ; atau
5. Apakah terdakwa sebagai “orang yang membantu melakukan(medeplichtige)”.
Untuk bentuk dakwaan terhadap saksi mahkota pada penyertaan dalam
tidak pidana dapat dilihat dalam dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum
dalam dakwaan dibawah ini :
1. Daniel Daen Sabon alias Danil.213
‘Bahwa Ia Terdakwa Daniel Daen Sabon alias Danil bersama denganHendrikus Kia Walen alias Hendrik, saksi Fransiskus Tadon Kerans aliasAmsi, saksi Heri Santosa Bin Rasja alias Bagol (Masing-masing dilakukanpenuntutan secara terpisah) dan Saudara SEI LELA (Belum tertangkap)pada hari sabtut anggal 14 Maret 2009 sekitar jam 14.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu antara bulan Januari tahun 2009 sampaidengan bulan maret tahun 2009 atau setidak-tidaknya pada tahun 2009bertempat di Jalan Hartono Raya Modernland, Kelurahan Kelapa Indah,Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang atau setidak-tidaknya pada suatutempat tertentu yang masih termasuk daerah Hukum Pengadilan NegeriTangerang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini sebagaiorang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan dengan sengaja dandengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitukorban Nasrudin Zulkarnaen Iskandar, perbuatan tersebut dilakukanterdakwa dengan cara sebagai berikut ”....dst,
2. PIDER Pgl PIDER.214
“Bahwa Terdakwa PIDER Pgl PIDER pada hari Sabtu tanggal 27November 2010 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatuwaktu dalam bulan November tahun 2010 bertempat di Batang MawehJorong Paroman Kenagarian Sinuruik, Kecamatan Talamau, Kabupaten
212 Ramelan, “Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Imdonesia(Corruption Law Suit In Indonesia Legal System)”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol 8 No 2- Juni2011, Direktorat Peraturan Perundang undangan, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI),hal. 197.
213 Putusan Mahkamah Agung No. 721 K/PID/2010, Tanggal 5 Mei 2010.214 Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011, Tanggal 7 Februari 2012.
79
Pasaman Barat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerahhukum Pengadilan Negeri Pasaman Barat, secara tanpa hak atau melawanhukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, ataumenyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman seberat lebihkurang 1,7 g (satu koma tujuh gram) berdasarkan hasil penimbangan barangbukti yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Simpang Empat No.630/IL.XI.026400.2010 tanggal 30 November 2010, dilakukan dengan carasebagai berikut : Terdakwa PIDER bersama dengan ARIFUL AMRI PglIPUL (dilakukan penuntutan secara terpisah) pada hari Sabtu tanggal 27November 2010 sekira pukul 16.00 WIB berangkat dari Lubuk Sikapingmenuju Maligi”,...dst
Dalam praktek peradilan tidak terdapat bentuk khusus yang membedakan
antara yang mana saksi mahkota dengan terdakwa lainya, dan tidak ada
penyebutan kata-kata dalam hal saksi menjadi terdakwa dalam perkara lain
dengan istilah saksi mahkota. Menurut Kasi Pidana Kejari Umum Jakarta Selatan
dan Kasi Pidana umum Kejari Jakarta Barat dalam dakwaan yang lazim dibuat
jaksa penuntut umum untuk saksi mahkota dalam penyertaan dalam tindak pidana,
untuk menunjukan bahwa antara saksi dan terdakwa bergantian menjadi saksi dan
terdakwa (saksi mahkota) maka dalam surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut
umum dicantumkan kalimat: “masing-masing dilakukan penuntutan secara
terpisah” atau “masing- masing sebagai terdakwa yang penuntutannya diajukan
secara terpisah”.215
B.Kedudukan Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian
Alat bukti yang sah merupakan alat bukti yang berhubungan dengan suatu
tindak pidana, untuk dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim, atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Andi Hamzah, beragument pembuktian merupakan : 216
“Upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakaimembuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidangpengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk,dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah”.
215 Wasil Wawancara , Tangal 16 Februari 2013, dan Tanggal 9 Maret 2013.216 Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 158.
80
Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.217
Menurut Mardjono Reksodiputro pembuktian (von bewijis) berbeda dengan di
Amerika Serikat yang dinamakan law of evidence (pembuktian) karena dinegara
Anglo saxon dibuat rinci berdasarkan putusan pengadilan.218
Sedangkan beban pembuktian merupakan suatu penentuan oleh hukum
tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan
dipengadilan, untuk membuktikan dan menyakinkan pihak manapun bahwa fakta
tersebut memang benar-benar terjadi seperti yang diungkapkannya dengan
konsekweksi hukum bahwa jika tidak dapat dibuktikan oleh pihak yang dibebani
pembuktian, fakta tersebut dianggap tidak pernah terjadi seperti yang
diungkapkan oleh pihak yang mengajukan fakta tersebut ke pengadilan.219 Dalam
Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa
KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini
berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa
cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-
undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan
tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.220
217 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hal. 1.218 Mardjono Reksodiputro, Materi Kuliah Seminar Usulan Penelitian Tesis, (Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.219 Munir Fuady, Teori Hukum pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung : PT Citra Adiya
Bakti, 2006), hal. 45.220 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,
merupakan bagian terpenting hukum acara pidana dalam hal ini, hak Asasi Manusia (HAM)dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbuktimelakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaranmateril, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup dengan kebenaran formal. Lihat, EkaMartiana Wulansari, “Pengembalian Beban Pembuktian dalam Upaya Pemberantasan TindakPidana Korups (Return Burder of Proofin In Corruption Eradication Effort)”, Jurnal legislasiIndonesia”, (Vol 8 No 2- Juni 2011, Direktorat Peraturan Perundang undangan, KementrianHukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 254.
81
Menurut Edward Omar Sharif Hiariej pembuktian merupakan : 221
“Pembuktian merupakan jantung dalam persidangan suatu perkara dipengadilan karena berdasarkan pembuktianlah hakim akan mengambilputusan mengenai benar – salahnya atau menang – kalahnya seseorangdalam berperkara, pembuktian tidaklah mungkin terlepas dari hukumpembuktian itu sendiri sebagai ketentuan-ketentuan pembuktian yangmeliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperolehbukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatanpembuktian dan beban pembuktian”.
Mengenai kedudukana saksi mahkota dalam pembuktian maka perlu dilihat
terlebih dahulu batasan keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP
menentukan:
“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yangberupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang iadengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasandari pengetahuannya itu”.
Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian
keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, bahwa : “Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Dalam hal menjadi seorang saksi yang keteranganya diperlukan di muka
Pengadilan maka ada syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang saksi, yakni
diantaranya :222
1. Syarat formal
Bahwa dalam syarat formal ini keterangan saksi harus diberikan dengan di
bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa akan
memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya (Pasal
160 ayat (3) KUHAP). Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa
pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak:
Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji,tidakdapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakanketerangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
221 Edward Omar Sharif Hiariej, “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset KejahatanKorupsi”, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas GadjahMada Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada padatanggal 30 Januari 2012 di Yogyakarta), hal. 9.
222 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 173.
82
Ini tidak berarti merupakan kesaksian wajib diberikan dibawah sumpah,
apabila tidak diberikan dibawah sumpah tidak memiliki nilai sebaga alat bukti
keterangan bahkan juga bukan merupakan alat bukti petunjuk, karena hanya
dapat memperkuat keyakinan hakim.
2. Syarat materiel
Mengenai syarat ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27
KUHAP menentukan bahwa:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidangpengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihatsendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan daripengetahuannya itu”.
Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi
mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai
ialah keterangan yang sesuai dengan isi pasal yang dikemukakan diatas, yakni
jika dijabarkan poin-poinnya adalah sebagai berikut :
1) Yang saksi liat sendiri;2) Saksi dengar sendiri;3) Dan saksi alami sendiri;4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu..Selain ketentuan syarat formil dan materil diatas dalam rangka pembuktian
juga harus memperhatikan bahwa dalam KUHAP dikenal asas unus testis nullus
testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat
(2) KUHA, walaupun asas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat
(3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu
alat bukti lain yang sah, berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi
cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain.223
Namun dalam menilai keterangan saksi menurut Tresna : 224
“Keterangan saksi berlainan dengan bukti surat, karena bukti saksi bukanmerupakan bukti yang menentukan, dan terhadap bukti saksi berlaku asasdidalam hukum pembuktian yaitu hakim tidak boleh menerima sesuatu halsebagai kenyataan selama ia belum yakin benar tentang kebenaranya”
223 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung :Mandar Maju, 2003), hal. 42.
224 R Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ke Delapan Belas, (Jakarta : PT Pradnya Paramita,2005), hal. 150.
83
Sehingga dalam alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang
sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat
kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht).
Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai
kekuatan pembuktian bebas dan tidak mengikat hakim.
Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menurut
KUHAP :225
1) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat,
hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya;
2) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat
bukti yang lain berupa saksi a de charge maupun dengan keterangan ahli
atau alibi.
Dalam praktik peradilan apabila menghadapi permasalahn kurangnya alat
bukti saksi biasanya penuntut umum mencukupi keterangan saksi tunggal dengan
alat bukti petunjuk. Petunjuk mana dapat ditarik atau digali dan dijabarkan
penuntut umum dari keterangan terdakwa atau dari kejadian maupun dari keadaan
yang ada persesuaiannya antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, tidak
mudah mencari suatu petunjuk sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat
dinilai sebagai alat bukti, harus terdapat persesuaian antara perbuatan, kejadian
atau keadaan dengan peristiwa pidana, dan hakim bebas untuk menilai
kesempurnaan dan kebenarannya.
Berdasarkan uraian diatas dan kebiasaan praktek peradilan maka
kedudukan keterangan saksi mahkota pada perkara menyangkut penyertaan dalam
tindak pidana, dalam proses pembuktian kedudukannya disamakan dengan alat
bukti keterangan saksi karena :
a) Saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka/terdakwamenerangkan perbuatan yang dilakukan bersama terdakwa dalam suatutindak pidana saat ia didudukan sebagai saksi;
b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksidisumpah;
225 Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 274.
84
c) Dalam surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntut umumketerangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian fakta persidangandalam point keterangan saksi. 226
Menurut Agung Aryanto (Kasi Pidana Umum Jakarta Selatan) dan Kiki
Yonata (Kasi Pidana Umum Jakarta Barat), serta pengalaman penulis sendiri
selaku jaksa penuntut umum, keterangan saksi mahkota sebagai alat bukti
keterangan saksi selalu diterima oleh pengadilan bahkan dalam pertimbangan
putusanya hakim juga menempatkan keterangan saksi mahkota dalam alat bukti
keterangan saksi.227
Namun terdapat hal yang menarik dalam putusan Pengadilan Negeri
Denpasar dimana dalam putusan tersebut alat bukti sakis mahkota dapat
digunakan sebagai alat bukti surat, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan
Negeri Denpasar No : 317/Pid.B/2003/Pn.Dps, tanggal 18 September 2003 Atas
nama terdakwa Ali Imron Bin H Nurhasyim alias Alik Alias Toha alias Mulyadi
alias Zaid. Dikarenakan saksi mahkota Amrozi Bin H Nurhasyim dan Ali Gufron
alias Mukhlas mengundurkan diri sebagai saksi karena mereka merupakan kakak
kandung terdakwa, dalam pertimbangan hakim tersebut menyatakan: 228
Bahwa walaupun hak mengundurkan diri sebagai saksi hanya dapatdinyatakan secara absolut di depan sidang akan tetapi secara relatif hal inibukanlah berarti pernyataan ketidak sediaaan sebagai saksi tidak bolehdilakukan, saksi mahkota Amrozi Bin H Nurhasyim dan Ali Gufron aliasMukhlas ditingkat penyidikan dan penuntutan, yang dapat berupa adapernyataan secara tegas, tidak bersedia atau mengundurkan diri sebagaisaksi. Akan tetapi aspek ini tidak dilakukannya sehingga kesaksian AmroziBin H Nurhasyim dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik tanggal24 dan 25 Januari 2003 dan Ali Gufron alias Mukhlas dalam Berita AcaraPemeriksaan (BAP) penyidik tanggal 13 Februari Januari 2003 secarayuridis berdasarkan Himpunan tanya jawab rapat kerja Mahkamah AgungR.I dengan Pengadilan Tingkat banding di Daerah (Rakerda) tahun 1987Nomor : 138 huruf b dan nomor 195 serta Putusan Mahkamah Agung R.Inomor: 229.K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1959 maka Berita AcaraPemeriksaan (BAP) tersebut secara tegas ditentukan sebagai Bukti Surat,sesuai dengan ketentuan pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP.
226 Hasil Wawancara dengan Kasi Pidum Jakarta Selatan, Tanggal 16 Februari 2013.227 Hasil Wawancara, Tanggal 16 Februari 2013 dan Tanggal 9 Maret 2013.228 Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No : 317/Pid.B/2003/PN.Dps tanggal 18 September
2003.
85
Berdasarkan putusan tersebut diatas maka penggunaan saksi mahkota dalam
rangka pembuktian terdapat dimensi lain dengan cara mendudukan keterangan
saksi mahkota sebagai alat bukti surat, hal ini menurut penulis menarik untuk
dilakukan pengkajian yang lebih mendalam, terlebih lagi dalam putusan
Pengadilan Denpasar tersebut hanya menyebutkan bahwa Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) penyidik sebagai bukti surat, sesuai dengan ketentuan Pasal
184 ayat (1) huruf c KUHAP, tetapi tidak merinci mengenai surat sebagaimana
dimaksud sesuai Pasal 187 KUHAP.
Namun secara singkat penulis akan memberikan pendapat mengenai (BAP)
penyidik terhadap saksi mahkota yang mengundurkan diri di persidangan dapat
ditentukan sebagai alat bukti surat, mengenai hal ini penulis kurang sependapat
dengan alasan :
1. Seorang saksi ketika memberikan keterangan di depan persidangan, dapat
menarik/mencabut keterangannya yang telah dia berikan di dalam berita acara
pemeriksaan saksi (BAP Saksi) yang dibuat oleh penyidik. Tidak ada
pengaturan di KUHAP mengenai hal keterangan saksi yang “ditarik/dicabut”
di muka persidangan. Jika seorang saksi “menarik/mencabut” keterangannya
dalam berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, maka tidak
berlakulah ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Sehingga fungsi keterangan
saksi pada berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik dapat menjadi
alat bukti petunjuk sesuai Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Menurut Lilik Mulyadi
selama ini BAP dianggap sebagai sakral yang dicari adalah pengakuan
terdakwa dibandingkan keterangan terdakwa, padahal Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1959 serta pendapat
Mahkamah Agung dalam tanya jawab hukum pidana Mahkamah Agung
dengan Peradilan Tingkat Banding di Daerah dalam 4 Lingkungan Peradilan
Tahun 1987 menggariskan bahwa BAP merupakan alat bukti petunjuk
sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP.229 Akibat dianggapnya
BAP sebagai hal yang sakral sehingga yang dikejar adalah kebenaran
229 Lilik Mulyadi, Menuju Sistem Peradilan Pidana Kotemporer Tanpa Berita AcaraPenyidikan (BAP) Dan Berita Acara Sidang (BAS), http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=169:menuju-sistem-peradilan-pidana-kontemporer-tanpa-berita-acara-penyidikan-bap-dan-berita-acara-sidang-bas&catid=23:artikel&Itemid=36 , diunduh 23 Januari 2013.
86
prosedural maka posisi hakim dalam SPP secara langsung atau tidak
langsung, disadari atau tidak disadari yang seharusnya berdiri dari posisi
obyektif ke posisi obyektif sudah berada dalam posisi subyektif ke obyektif
sebagaimana posisi jaksa penuntut umum; 230
2. Sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP dibagi dalam tiga tahap:
(a) tahap pra –ajudikasi (pre-adjudication), (b) tahap ajudikasi (adjudication),
(c) tahap purna ajudikasi (post –adjudication), BAP Pemeriksaan saksi adalah
tindakan yang dilakukan pada tahap tahap pra–ajudikasi (pre-adjudication)
yang hasilnya sangat tergantung apa yang disampaikan penyidik, sehingga
kedudukan tersangka dalam posisi yang lemah. Menurut Mardjono
Reksodiputro, desain prosedur yang memberikan dominasi pada tahap pra–
ajudikasi tidak menguntungkan hak-hak tersangka dan terdakwa, karena
desain prosedural suatu hukum acara pidana terlalu berat memberi penekanan
kepada hak-hak pejabat negara untuk menyelesaikan perkara atau
menemukan kebenaran ketimbang memperhatikan hak-hak warga negara
untuk membela dirinya terhadap kemungkinan persangkaan atau pendakwaan
yang kurang atau tidak benar atau pun palsu. Sedangkan sistem yang secara
penuh dapat melindungi hak-hak warga negara yang merupakan terdakwa
paling jelas terungkap pada tahap ajudikasi karena pada tahap inilah terdakwa
berdiri tegak sama sama derajatnya dengak jaksa/penuntut umum.231
Sedangkan fungsi BAP menurut Marwan Effeny, Berita Acara Pemeriksaan
dan Beita Acara Tindakan lainya sebagaiman dimaksud pasal 75 KUHAP,
adalah suatu wadah pencatatan suatu permintaan keterangan atau pencatatan
kondisi objektif dari tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau pembuat
berita acara sesuai lingkup kewenanganya, sesuai hukum acara pidana yang
berlaku, kegunaan berita acara pemeriksaan atau tindakan lainya untuk
dijadikan dasar tindakan selanjutnya.232 Di Belanda polisi dapat mengundang
setiap orang yang diduga mengetahui mengenai tejadinya kejahatan tersebut
untuk diperiksa sebagai saksi, namun demikian seseorang yang diundang
230 Ibid231 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit.,
hal.33-35232 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana , Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana, (Jakarta : Referensi, 2012), hal. 58.
87
untuk diperiksa sebagai saksi oleh kepolisian tidak wajib untuk memenuhi
undangan tersebut. Selanjutnya keterangan sebagai saksi yang diberikan di
hadapan kepolisian tidak dibuat di bawah sumpah.233 Dan dalam sistem
hukum Belanda berkas perkara yang dibuat oleh kepolisian tidak mengikat
baik bagi jaksa penuntut umum maupun hakim dalam proses pembuktian di
persidangan, namun demikian jaksa penuntut umum maupun hakim dapat
menerima berkas perkara tersebut sebatas sebagai dasar dari dakwaan yang
dikenakan terhadap terdakwa.234 Sedangkan mengenai seberapa jauh hakim
terikat dengan BAP menurut Bismar Siregar, hakekatnya berita acara
pemeriksaan pendahuluan hanya sekedar pengantar tentang duduk peristiwa
kejadian untuk membawa tersangka menjadi tertuduh disidang pengadilan
dan pemeriksaan dipersidanganlah nanti yang akan menentukan, tanya jawab
antara jaksa selaku penuntut umum dengan tertuduh dan bila didampingi
pembelanya akan menghasilkan duduk peristiwa yang sebenarnya, sehingga
menurut Bismar Siregar, pada hakekatnya hakim tidak perlu terikat pada
BAP, karena telah disepakati apapun yang diungkapkan dalam berita acara
pemeriksaan pendahuluan tetap yang berlaku ialah hasil persidangan;235
3. Walaupun pengertian surat menurut Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana
tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, termasuk juga berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Namun Menurut
Mardjono Reksodiputro, BAP hanya suatu dokumen yang kekuatanya sama
dengan akta notaris, apabila dapat dibuktikan lain maka kekuatannya sebagai
alat bukti surat dapat gugur. Mengenai BAP yang dijadikan alat bukti surat
dalam perkara diatas kebenaranya dapat dianggap cacat karena BAP tersebut
berasal dari saksi yang menyatakan mundur sebagai saksi karena memiliki
233 Jeroen Chorus, et al., Introduction to Dutch Law, Third Revised Edtion, (The Netherlands :Kluwe Law International, The Hague, 1999), hal. 128.
.234 Ibid.235 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, 1983), hal. 68.
88
hubungan keluarga dengan terdakwa dan hal ini dibenarkan oleh undang-
undang.236
C. Pertanggung Jawaban Pidana Saksi Mahkota Dalam Tindak PidanaPenyertaan
Menurut Andi Hamzah yang dimaksud dengan peserta (deelnemers) dalam
tindak pidana ialah : 237
1. Pelaku peserta (medelplegers);2. Pembuat pelaku (doen plegers) yaitu mereka yang membuat sehingga
orang yang tidak dapat dipidana melakukan yang oleh para pengarangdisebut penyuruh;
3. Pemancing (uitlokkers) yang oleh, Moeljatno dinamakan penganjur danoleh pengarang lain disebut pembujuk;
4. Pembantu pada saat delik dilakukan;5. Pembantu sebelum delik dilakukan.
Para peserta yang disebut pada butir 1 sampai 3 disebut didalam pasal 55
KUHP yang bersama dengan pelaku (pleger) termasuk kategori pembuat (dader),
dengan sedirinya, pelaku yang seorang diri mewujutkan delik tidak termasuk
peserta, para peserta yang disebut dalam butir 4 dan 5 disebut didalam pasal 56
KUHP yang diancam pidana tertingginya lebih ringan daripada ancaman pidana
bagi yang termasuk kategori pembuat (dader) dalam hal melakukan kejahatan.238
Sistem yang membedakan penilaian terhadap para peserta yang berbeda menurut
ukuran perbuatan yang dilakukan yang ada kalanya disamakan dengan pelaku dan
ada kalanya tidak disamakan mengakibatkan bahwa pertanggungjawaban mereka
berbeda pula, yaitu ada kalanya sama berat dengan pelaku dan ada kalanya lebih
ringan, menurut Moeljatno berasal dari para ahli hukum Italia pada abad
pertengahan.239
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya
berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas
236 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013.237 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, Op., Cit. hal. 442.238 Ibid.239 Ibid.
89
tindak pidana yang dilakukannya.240 Menurut Chairul Huda pertanggungjawaban
dalam tindak pidana percobaan dan penyertaan :241
“Hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat apabila padawaktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki danmengetahui hal tersebut, selain itu dalam percobaan dan penyertaan, tidakdapat dipertanggungjawabkan terhadap pembantu jika pada diri pembuatterdapat bentuk kesalahan yang lain (kealpaan)”.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap saksi mahkota mengingat
saksi mahkota berkaitan erat dengan penyertaan dalam tindak pidana maka untuk
melihat pertanggungjawaban pidana terhadap saksi mahkota dalam peradilan
pidana di Indonesia dalam hal ini penulis akan melihat dari pertimbangan dalam
Putusan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap saksi
mahkota. Untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban saksi mahkota dalam
penyertaan dalam hal ini penulis akan membahasnya dengan cara menganalisis
putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain yang
melibatkan ketua KPK saat itu Antasari Ashar:
1. Putusan MA No. 696 K/Pid/2010, atas nama FRANSISKUS TADONKERAN alias AMSI dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwaterbukti melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan PembunuhanBerencana yang diatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dituntut pidana penjara selama seumur hidup
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1809/PID.B/2009/ PN.TNG,terdakwa terbukti melakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan
Pembunuhan Berencana yang diatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo55 ayat 1 ke-1 KUHP, dijatuhi pidana penjara selama 17 (tujuh belas)tahun. (putusan MA menguatkan putusan PN)
2. Putusan MA No. 721 K/PID/2010, atas nama DANIEL DAEN SABONalias DANIL dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa terbuktimelakukan tindak pidana Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana yangdiatur dan diancam pidana Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP,dituntut pidana penjara selama Seumur Hidup
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1811/PID.B/2009/ PN.TNGtanggal 23 Desember 2009 terdakwa terbukti melakukan tindak pidana Turut
Serta Melakukan Pembunuhan Berencana yang diatur dan diancam pidana
240 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinajauan kritis Terhadap Teori Pemisahan tindakPidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 65.
241 Ibid., hal. 109.
90
Pasal 340 KUHP jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dijatuhi pidana penjara selama18 (delapan belas) tahun. (putusan MA menguatkan putusan PN)
3. Putusan MA No. 723 K/Pid/2010 atas nama HENDRIKUS KIA WALENalias HENDRIK dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa terbuktidengan memberi atau menjanjikan sesuatu, sarana atau keterangan sengajamenganjurkan orang lain dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulumerampas nyawa orang lain” sebagaimana dalam Dakwaan Kesatumelanggar Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo. Pasal 340 KUHP , dituntutpidana penjara selama Seumur Hidup
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1808/PID.B/2009/ PN.TNG.tanggal 23 Desember 2009 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “Dengan sengaja membujuk orang lain melakukanpembunuhan berencana”; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebutdengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun ; (putusan MAmenguatkan putusan PN)
4. Putusan MA No. 725 K/Pid/2010 atas nama EDUARDUS NOE NDOPOMBETE alias EDO dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa bersalahtelah melakukan pembujukan/penganjuran pembunuhan berencanasebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHPidana jo pasal 55 ayat (1) ke 2KUHPidana; dituntut pidana penjara selama seumur hidup
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1807/PID.B/ PN.TNG,tanggal 23 Desember 2009 terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “Dengan sengaja membujuk orang lain melakukanpembunuhan berencana”; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebutdengan pidana penjara selama 17 (tujuh belas). tahun(putusan MAmenguatkan putusan PN)
5. Putusan MA No. 1429 K/Pid/2010 atas nama Antasari Azhar, SH.,MH.dalam tuntutan jaksa Penuntut Umum terdakwa melakukan tindak pidana"Orang Yang Turut Melakukan Perbuatan Membujuk Orang LainMelakukan Pembunuhan Berencana “ sebagaimana diatur dan diancampidana dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 Pasal 340 KUHPidana dituntut pidana mati
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL tanggal 11 Februari 2010, terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ TURUT SERTAMENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA ” Menjatuhkanpidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 18(delapan belas) tahun penjara
Putusan Mahkamah Agung Memperbaiki amar putusan Pengadilan TinggiJakarta Nomor : 71/PID/2010/PT.DKI tanggal 17 Juni 2010 yang mengubahputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
91
1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL tanggal 11 Februari 2010 sekedar mengenaikwalifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga berbunyisebagai berikut : Menyatakan Terdakwa ANTASARI AZHAR, SH.,MH.yang identitas lengkapnya tersebut di muka, terbukti secara sah danmeyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ TURUT SERTAMENGANJURKAN PEMBUNUHAN BERENCANA ” MemidanaTerdakwa tersebut, dengan pidana penjara selama : 18 (delapan belas)Tahun .
Dari beberapa putusan diatas terdapat dua bentuk penyertaan yaitu turut
serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan turut serta
menganjurkan tindak pidana pembunuhan berencana. Untuk pertanggungjawaban
pidana dalam perbuatan turut serta (medeplegen) memperluas
pertanggungjawaban orang yang turut terlibat tindak pidana, disamping
bertanggungjawab sebagai pelaku (pleger) juga harus bertanggungjawab atas apa
yang dilakukan dalam kerja sama yang sadar dengan pihak lain,242sedangkan
ketentuan tentang tanggung jawab pembujuk atau pengerak terbatas hanya pada
tindakan yang sengaja digerakan dan seluruh akibat yang mengikutinya.243
Dalam perkara diatas apabila dilihat dari peran para pelaku dan berat
ringanya hukuman yang dituntut oleh jaksa penuntut umum maupun putusan
pemidanaan dari hakim terlihat bahwa pembebanan pertanggungjawaban pidana
dalam turut serta peserta dan turut serta menganjurkan dipertanggungjawabkan
sama untuk tiap-tiap peserta berati mereka dianggap sama nilainya (sama
jahatnya) dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga
mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana yang diterapkan
dalam perbuatan turut serta merupakan bentuk antara ajaran/teori penyertaan yang
obyektif.
Dalam perkara diatas ternyata ada disparitas dalam tuntutan dan putusan
pidana walaupun tidak terlalu mencolok kecuali dalam perkara Antasari Azhar
yang dituntut pidana mati, hal ini lebih dikarenakan adanya karakteristik dari latar
belakang pelaku dan tindak pidan yang dilakukan. Dalam praktenya penuntutan
terhadap saksi mahkota dalam perkara penyertaan berat ringanya tuntutan tidak
harus mutlak sama antara pelaku yang satu dengan yang lainya karena untuk
242 Jan Remmelink, Op.Cit., hal. 318.243 Ibid., hal .335.
92
tuntutan pidana harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal
yang memberatkan, serta harus dibedakan antara tuntutan terhadap pelaku yang
telah dewasa dengan pelaku yang masih masuk kategori anak.244
Mengenai tuntutan pidana mati terhadap Antasari Azhar dan pidana seumur
hidup bagi pelaku lainnya ada baiknya kita lihat bagaimana kebijakan Kejaksaan
dalam penuntutan. Dalam melakukan kebijakan penuntutan Kejaksaan menilai
untuk menjaga policy pimpinan Kejaksaan dalam mewujudkan kesatuan kebijakan
penuntutan yang sejalan dengan asas bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat
dipisah-pisahkan, maka tuntutan pidana yang menyangkut keadilan distrebutief
dalam kasus yang mirip, perlu dijaga besaran tuntutanya, adapun elastisitasnya
terletak pada keadilan legal dan keadilan commutatief.245
Sedangkan menurut Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/J-
A/4/1995 tanggal 27 April 1995 Tentang Pedoman Tuntuntan Pidana, karena
komplek, ternyata tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
selama ini masih belum memenuhi harapan maka, untuk mewujudkan tuntutan
pidana harus : 246
1.Lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang didalammasyarakat;
2.Membuat jera para pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampakpencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya;
3.Menciptakan kesatuan kebijakan penuntutan sejalan, dengan asas bahwaKejaksaan adalah satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan ;
4.Menghindari adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara - perkarasejenis antara satu daerah dengan daerah yang lainnya denganmemperhatikan faktor kastustik pada setiap, perkara pidana.
Dengan memperhatikan keadaan masing - masing perkara secara kasuistis,
Jaksa Penuntut Umum harus mengajukan tuntutan pidana dengan wajib
berpedoman pada kriteria beriku ini :247
1. Pidana mati.a. Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati;b. Dilakukan dengan cara yang sadis diluar perikemanusian;
244 Hasil Wawancara dengan Kasi Pidum Jakarta Selatan, Tanggal 16 Februari 2013.245 Bambang Waluyo, et al., Pola Membina Rasa Keadilan Masyarakat, (Jakarta: Pusat
Pendidikan Dan Latihan Kejaksaan Agung R.I, 1991), hal. 34.246 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pedoman Tuntutan Pidana,
http://acarapidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2011/12/SEJA-001-JA-4-1995-PEDOMAN-TUNTUTAN-PIDANA.pdf, diunduh 7 Mei 2013.
247 Ibid.
93
c. Dilakukan secara berencana;d. Menimbulkan korban Jiwa atau sarana umum yang vital;e. Tidak ada alasan yang meringankan.
2. Seumur Hidup.a. Perbuatan yang didakwakan diancam dengan pidana mati;b. Dilakukan secara sadis;c. Dilakukan secara berencana;.d. Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital;e. Terdapat hal - hal yang meringankan.
Apabila dicermati dalam pedoman diatas yang membedakan kriteria pidana
mati dengan pidana seumur hidup terdapat pada, hal-hal yang meringkankan,
berkaca pada perkara Antasari Azhar, terlepas dari kontroversi dalam hal
pembuktian dengan berpedoman dari ajaran pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku penyertaan dalam pidana yang di anut dalam sistem hukum Indonesia
walaupun menganut sistem campuran tetapi untuk ajaran subyektif (tergantung
dari perbuatan yang dilakukan) hanya diterapakan pada pertanggungjawabannya
terhadap pembantu. Untuk hal-hal yang meringankan tidak mungkinlah kita
melupakan pengabdian Antasari Azhar selaku jaksa penuntut umum dan kariernya
di Komisi Pemberantas korupsi yang terbilang gemilang tidak dijadikan
pertimbangan yang meringankan maka seharusnya pertanggungjawaban pidana
terhadap Antasari Azhar disamakan dengan pelaku (peserta) yang lain.
Sedangkan dalam penjatuhan pidana dalam beberapa perkara diatas tidak
terjadi dispratitas pemidanaan yang menjolok dalam putusan pidana yang dibuat
hakim karena hakim memiliki kebebasan untuk menjatuhkan berat ringanyanya
pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan dan yang diatur oleh undang undang
hanyalah maksimum dan minimumnya saja. Sehubungan dengan kebebasan
hakim ini dikatakan oleh Sudarto bahwa kebebasan hakim dalam menetapkan
pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya
ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg
(onbehagelijk) bagi masyarakat, maka pedoman memberikan pidana dalam KUHP
sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun
tidak dapat menghapuskannya sama sekali.248 Sedangkan menurut Artidjo
Alkostar, dalam upaya menentukan amar putusan yang bersifat adil menuntut
248 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 61.
94
pertimbangan hukum (legal reasoning) yang cukup tepat dan logis, karena
pengadilan merupakan laboratorium nalar (the laboratory of logic) dan memiliki
pemangku kepentingan (stake holder) sesuai dengan perkaranya, sehingga dalam
menjatuhkan putusan pengadilan harus menjaga disparitas tuntutan pidana.249
Disparitas pemidanaan dapat terjadi karena banyak faktor, Beccaria dalam
adagium yang dirumuskan sebagai, let punishment fir the crime, mengakui bahwa
setiapa perkara pidana memiliki karakteristik sendiri disebabkan karena kondisi
pelaku, korban ataupun situasi yang ada pada saat tindak pidana terjadi, karenanya
hakim yang melihat perkara tentu saja tidak menutup mata dalam
mempertimbangkan berbagai faktor.250 Bahkan menurut Harkristuti
Harkrisnowo:251
“Situasi yang dikenal dengan disparity in sentencing merupakan masalahuniversal yang dihadapi oleh lembaga peradilan di negara manapun,pengakuan adanya karakteristik khusus dalam setiap perkara pidana, baikdari segi pelaku, korban maupun kondisi yang melingkupi suatu kejahatanmembuat tidak mungkin bentuk kejahatan yang serupa dijatuhi pidana yangsama persis”.
D. Analisis Penerpana Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Peradilan diIndonesia.
Pada dasarnya penerapan saksi mahkota dalam praktek beracara
dipersidangan dilakukan dalam hal :
a.Tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhi
sebagai delik penyertaan yang diatur pasal 55 KUHP;
b.Minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana;
c.Tindak pidana itu dipecah menjadi beberapa terdakwa, Terdakwa dalam satu
berkas akan menjadi saksi terhadap terdakwa lain dalam berkas terpisah ;
d. Para terdakwa ini berkedudukan pula sebagai saksi– saksi dalam berkas
terdakwa terpisah pisah itu.
249 Artidjo Alkostar, “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana dan DasarPertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”, Op.Cit, hal. 8.
250 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: CV Lubuk Agung,2011), hal. 32 .
251 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekontruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan Terhadapproses Legislasi dan Pemidanaan Di Indonesia”, (Orasi Pengukuhan Guru Besar UniversitasIndonesia, Depok 8 Maret 2003), hal. 7.
95
Dalam praktik peradilan sebelum menerapkan saksi mahkota maka pada
tahap awal yaitu dalam tindakan penyidikan dilakukan splitsing berkas perkara
yang dilakukan oleh penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum dan
urgensi penerapan splitsing dalam praktiknya untuk kepentingan pembuktian
dimana diperlukan alat bukti saksi mahkota untuk menguatkan alat bukti yang
telah ada dengan tujuan yang hendak diperoleh dari pemecahan berkas perkara
tersebut untuk mengetahui kronologis atau kejadian tersebut yang hanya dapat
diungkap oleh pelaku yang merupakan bagian dari jaringan kejahatan tersebut.
Untuk dakwaaan yang lazim diterapkan dalam saksi mahkota yang
menunjukan bahwa antara saksi dan terdakwa bergantian menjadi saksi dan
terdakwa maka dalam surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum
dicantumkan kalimat, masing-masing dilakukan penuntutan secara terpisah atau
masing- masing sebagai terdakwa yang penuntutannya diajukan secara terpisah.
Sedangkan untuk pembuktian maka keterangan saksi mahkota disamakan
dengan alat bukti keterangan saksi karena :
a) Saksi mahkota yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwamenerangkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi bersama terdakwadalam suatu tindak pidana;
b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksijuga disumpah. ;
c) Dalam setiap surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntutumum keterangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian faktapersidangan dalam point keterangan saksi.
Dalam praktinya penuntutan terhadap saksi mahkota dalam tindak pidana
yang berbentuk penyertaan untuk berat ringanya tuntutan tidak harus mutlak sama
antara pelaku yang satu dengan yang lainya karena untuk tuntutan pidana harus
mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan,
serta harus dibedakan antara tuntutan terhadap pelaku yang telah dewasa dengan
pelaku yang masih masuk kategori anak.
Berdasarkan uraian diatas konsep saksi mahkota yang dikenal di Indonesia
sebagai kesaksian yang diberikan oleh seseorang yang berkedudukan sebagai
terdakwa dalam perkara pidana yang sama namun dibuat secara terpisah, telah
menjadi suatu hal yang lazim diterakan dipersidangan khususnya dalam tindak
pidana penyertaan, walaupun konsep ini kurang mencerminkan kewajiban negara
96
dalam menjamin bahwa hak-hak tersangka dan terdakwa yang berkedudukan
sebagai saksi mahkota dalam sistem peradilan pidana. Karena arti dari dari
peradilan yang adil lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau peraturan
undang-undang secara formil tetapi dalam peradilan yang adil ini terkandung
penghargaan kita akan hak kemerdekaan seorang warga negara, meskipun seorang
warga negara telah melakukan perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga
negara tidaklah hapus atau hilang, dengan demikin nampak bahwa dari penerapan
konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini untuk mewujudkan suatu kepastian
hukum dimana untuk dapat menjangkau pelaku kejahatan disandarkan pada
peraturan formil dan kurang memperhatikan bentuk perlindungan negara
terhadapa hak-hak tersangka atau terdakwa.
97
BAB 4
PENGATURAN SAKSI MAHKOTA DALAMHUKUM PIDANA YANG AKAN DATANG
Dalam bab ini penulis akan menguraikan permasalahan mengenai beberapa
perubahan dalam penerapan konsep saksi mahkota, beberapa ketentuan dalam
pembuktian untuk menerapkan saksi mahkota menurut RUU KUHAP,
perbandingan pengaturan RUU KUHAP versi 2013, dengan ketetuan di Belanda
dan Amerika Serikat dan analisis secara menyeluruh dari perbandingan,
kemudian penulis akan membahas mengenai paradigma pergeseran sistem yang
dianut oleh RUU KUHAP. Dan pada akhir dibahas mengenai perbedaan dan
persamaan konsep lain yang mengatur keturutsertaan saksi dalam suatu tindak
pidana dalam konsep whistelblower dan justice collabolator .
A.Beberapa Perubahan Penerapan Konsep Saksi Mahkota Dalam TindakPidana Penyertaan Menurut RUU KUHAP.
Pada awal munculnya KUHAP, bangsa Indonesia sangat berbangga atas
terciptanya karya yang terkodefikasi dan unifikasi hukum acara pidana namun
seiring perjalanan waktu yang telah lebih dari 30 tahun KUHAP semakin
menampakan adanya keterbatasan dan juga bergesernya kultur pemerintahan
yang cenderung refresif membatasi produk hukum yang mengedepankan hak
asasi manusia kearah yang lebih menghormati hak asasi manusia. Untuk
pembaharuan KUHAP adalah penting mengatur secara tegas mengenai kewajiban
aparatur penegak hukum untuk memberitahukan secara lengkap dan jelas hak-hak
yang dimiliki tersangka dan terdakwa termasuk konsekwensi yuridis apabila
kewajiban itu lalai dilaksanakan.252
Maka pembaruan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk lebih
memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum,
keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik
252 Al Wisnubroto dan G Widiarta, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT CitraAditya Bakti, 2005), hal. 55 .
98
bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya
negara hukum.253
Pengaturan saksi mahkota dalam hukum acara pidana yang akan datang
(RUU KUHAP) memberikan banyak sekali dimensi baru, selain menjelaskan apa
yang dimaksud saksi mahkota juga memasukan konsep-konsep baru sehubungan
dengan proses dan mekanisme untuk menerapkan saksi mahkota, hal –hal yang
berkaitan dengan penerapan saksi mahkota dalam hukum acara pidana yang akan
datang dapat uraikan diantaranya sebagai berikut.
1. Pemecahan Perkas Perkara (Splitsing)
Selain mengenai justifikasi pemecahan berkas perkara masalah kewenangan
pemecahan berkas perkara (splitsing) selama ini juga menimbulkan perdebatan
tentang siapa yang berwenang melaksanakan splitsiing, penuntut umum atau
penyidik. Dalam pedoman pelaksanaan undang undang hukum acara pidana
menyatakan penyidik yang melaksanakan splitsing dengan dasar pemikiran bahwa
masalah splitsing ini adalah masih tahap persiapan tindakan penuntutan dan belum
sampai pada tahap penyidangan perkara dipengadilan.254
Menurut Andi Hamzah pedoman pelaksanaan KUHAP tidak seluruhnya
tepat karena tidak selalu perkara yang dipecah harus diperiksa kembali, mungkin
kalau tidak ada saksi, sedangkan ada beberapa tersangka hal demikian benar,
namun hal demikian memungkinkan orang dipaksa melakukan sumpah palsu,
karena secara logis para saksi akan berbohong tidak adak meberatkan tersangka
(terdakwa) karena pada giliranya ia juga akan menjadi tersangka (terdakwa).255
Dalam RUU KUHAP apabila kita merujuk dalam Pasal 49 maka masalah
justifikasi dan kewenangan ini telah diatur jelas. Sesuai bunyi Pasal 49 :
Ayat (1) Apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntutumum menerima beberapa perkara, penuntut umum dapatmelakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu suratdakwaan, dalam hal
253 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Konsideran Menimbanghurup a, Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Indonesia tahun 2010,www.djpp.depkumham.go.id, diunduh 15 Desember 2012.
254 Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Hukum AcaraPidana, Cetakan ke-IV Telah Dipebaiki, (Buku Digandakan Khusus Kejaksan Agung RepublikIndonesia, Jakarta: 1982), hal. 90 .
255 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia . Op.Cit.,hal. 168.
99
a.beberapa tindak pidana dilakukan oleh seorang yang sama dankepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadappenggabungannya;
b beberapa tindak pidana bersangkut paut satu dengan yang lain; atauc.beberapa tindak pidana ada hubungannya satu dengan yang
lain dan penggabungan tersebut diperlukan untuk kepentinganpemeriksaan.
Ayat (2) Beberapa tindak pidana dapat dituntut dalam satu surat dakwaantanpa memperhatikan apakah merupakan suatu gabungan dari pidanaumum atau khusus atau ditetapkan oleh undang-undang khusussepanjang memenuhi ketentuan ayat (1), kecuali dalam kompetensipengadilan khusus.
Ayat (3) Penuntut umum dapat menuntut dua atau lebih Terdakwa dalamsatu surat dakwaan apabila Terdakwa melakukan tindak pidanapenyertaan.
Penjelasan Pasal 49
Ayat (1)Yang dimaksud dengan “tindak pidana dianggap mempunyai sangkutpaut satu dengan yang lain”, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:a.oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat
bersamaan;b.oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat olehmereka sebelumnya;
c.oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yangdipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain ataumenghindarkan diri dari pemidanaan.
Ayat (2) Tidak diperlukan untuk membuat berkas perkara terpisah bagi setiaptindak pidana apabila satu berkas perkara mendukung tuntutan lebihdari satu tindak pidana.
Ayat (3) Apabila dua atau lebih tindak pidana dituntut dalam satu suratdakwaan, setiap tindak pidana dipisahkan dalam surat dakwaan menjadisatu tuntutan pidana.
Dalam penjelasn RUU KUHAP Pasal 49 ayat (1) memberikan penjelasan
mengenai tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang
lain. Serta ayat (2) menjelaskan tidak perlunya lagi pemisahan berkas perkara
atau yang dikenal sebagai splitsing selama ini dan sehubungan dengan tindak
pidana penyertaan Penuntut umum dapat menuntut dua atau lebih Terdakwa
dalam satu surat dakwaan apabila Terdakwa melakukan tindak pidana
penyertaan.
100
2.Hak Untuk Diam
Memang penting untuk mengakui bahwa sifat tugas penegak hukum akan
menempatkan para petugas penegak hukum dalam kedudukan dilematis dalam
hal informasi yang mereka peroleh berkaitan dengan kehidupan pribadi
perorangan atau informasi yang menganggu kepentingan nama baik orang,
pengungkapan informasi demikian selain untuk kepentingan peradilan atau
pelaksanaan tugas serta tidak benar juga jika penegak hukum menahan diri untuk
melakukan pengungkapan informasi.256 Oleh karena itu dalam rangka penyidikan,
diberi kemungkinan bila perlu dan tidak ada pilihan lain melainkan harus berbuat
demikian (melanggar hak asasi seseorang, karena orang tersebut melanggar hak
asasi orang lain) namun dilakukan tindakan itu berdasarkan hukum.257
Sebagai jalan keluar untuk permasalahan dilematis dalam upaya penegakan
hukum, RUU KUHAP telah menunjukan kemajuan (progress) dalam
perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa, khususnya menyangkut rights to
silence, dalam Pasal 90 ayat (1) menerangkan :
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikanatau menolak untuk memberikan keterangan berkaitan dengan sangkaanatau dakwaan yang dikenakan kepadanya”.
Ketentuan dalam KUHAP saat ini, menegaskan bahwa seorang tersangka
mempunyai hak untuk segera diperiksa oleh penyidik, namun ketentuan ini tidak
menegaskan bahwa tersangka mempunyai hak untuk diam. Dalam persidangan,
bila terdakwa menolak menjawab suatu pertanyaan, maka hakim ketua sidang akan
menyarankan ia untuk menjawab. Hal baru yang ditambahkan dalam rancangan
KUHAP adalah dengan menegaskan secara eksplisit mengenai hak untuk tidak
mengkriminalisasi diri sendiri. Bahkan ditetapkan lebih lanjut bahwa penyidik
dengan jelas perlu menginformasikan hak-hak kepada tersangka sebagaimana
dikenal dalam Miranda rule. Menurut Mardjono Reksodiputro, alasan pentingnya
hak untuk diam ini karena setiap pelaku kejahatan yang didakwa melakukan
256 C. De Rovers, To Server & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, [To Server &To Protect Human Right And Humanitarian Law for Police and Security Forces], Diterjemahkanoleh Supardan Mansyur (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 166 .
257 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman, 1983), hal. 65.
101
kejahatan memiliki hak untuk membela diri dengan menjawab pertanyaan yang
tidak merugikan kepentingan dalam pembelaanya dipersidangan dan tidak
melakukan tindakan mengkriminalisasi diri sendiri, sehingga hak untuk diam ini
bukan berarti tersangka atau terdakwa bungkam atas semua pertanyaan yang
diajukan kepadanya karena apabila tersangka atau terdakwa bungkam berarti ia
telah melepaskan haknya untuk melakukan pembelaan dan dianggap mengakui
perbuatanya.258
Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan Miranda
rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi
yang berwenang259. Hak tersebut antara lain adalah hak untuk diam, karena segala
perkataannya dapat digunakan untuk melawannya di pengadilan, hak untuk
mendapatkan penasihat hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan
bila ia tidak mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara,
yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan.260 Hak tersebut merupakan
bagian dari hak untuk memperoleh keadilan.
Hak – hak penting bagi orang yang disangka telah melakukan kejahatan ini
di Amerika merupakan hak kepribadian (the right to privacy) dengan prinsip
moral yang mendasarinya dengan demikian polisi dan penegak hukum lainya
dapat melakukan upaya hukum setelah mendapat kuasa khusus dari pejabat
pengadilan yang pada akhirnya tugas penuntut umum bukan untuk menghukum,
tetapi mejaga keadilan dapat terlaksana.261 Miranda rule,262merupakan penegasan
terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada
258 Hasil wawancara, tanggal 12 Juni 2013.259 M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, (Jakarta:
Pustaka Yustisia, 2010), hal. 15.260 Ibid, hal 22.261 Livingstone Hall, “Hak Tertuduh Dalam Perkara Pidana,” Dalam Ceramah Radio oleh
Profesor-Profesor Harvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman, Diterjemahkan olehGregory Churchill, J.D, (Jakarta : Tatanusa, 2008), hal. 50-56.
262 Miranda Rule berbunyi: “You have the right to remain silent. You have the right to thepressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you.Anything you say can and will be used against you.” Terjemahan: “Anda berhak untuk diam. Andaberhak atas kehadiran penasihat hukum. Jika anda tidak mampu menunjuk penasihat hukum, makanegara akan memilihkan. Apapun yang anda katakan dapat dan akan digunakan untuk menuntutmu
102
sebelumnya, keadilan di sini termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata
cara mengadilinya.263
3. Pengenalan Plea Bargaining
Jalur khusus dalam RUU KUHAP tampaknya diadopsi dari lembaga plea
bargaining yang dikembangkan dalam criminal justice system negara-negara yang
termasuk keluarga hukum anglo saxon, khususnya di Amerika Serikat, lembaga
plea bargaining ini menawarkan kepada terdakwa jalur yang tidak begitu rumit
dan penerapan ketentuan pidana yang lebih ringan apabila terdakwa mengaku
bersalah serta mengakui perbuatannya. Jalur khusus melalui pengakuan bersalah
dari terdakwa tidak berlaku secara mutlak, tergantung pada hakim yang
memeriksa. Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa sepanjang hakim ragu-
ragu terhadap kebenaran pengakuan itu.264
Hal ini tercantum di dalam Rancangan yang berjudul jalur khusus dalam
Pasal 198 RUU KUHAP yang berisi :
(1) Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwamengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengakubersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yangdidakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapatmelimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.
(2) Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yangditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum.
(3) Hakim wajib:a.memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang
dilepaskannya dengan memberikan pengakuan sebagaimanadimaksud pada ayat (2);
b.memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidanayang kemungkinan dikenakan; dan
c.menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksud padaayat (2) diberikan secara sukarela.
(4) Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.
(5) Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terhadapterdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak bolehmelebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.
263 J. Djohansjah, “Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)”, (Makalah Disampaikan PadaPelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial , Bandung : 3 Juli 2010), hal. 17.
264 Nyoman Serikat Putra Jaya, “Catatan atas RUU KUHAP”, KOMPAS, (25 April 2013).
103
Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui
semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak
pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun
penjara, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan
singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di
sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea bargaining).
Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta penuntut umum mengajukan ke
sidang pemeriksaan biasa.265
Di Amerika Serikat dalam pelaksanaan plea bargaining, Menurut Romli
Atasasmita : 266
“Jika tertuduh menyatakan not guilty, maka perkaranya akan dilanjutkan dankemudian diadili di muka persidangan oleh juri. Apabila tertuduhmenyatakan not guilty atau nolo contendere (no contest) maka perkaranyasiap untuk diputus. Khususnya pernyatan nolo contendere atau no contestpada hakikatnya memiliki implikasi yang sama dengan guilty akan tetapidalam hal ini tidak disyaratkan bahwa tertuduh harus mengakuikesalahannya, melainkan cukup jika ia menyatakan bahwa dia tidak akanmenentang tuduhan jaksa di muka persidangan juri nanti”.
Alasan pokok bagi penuntut umum untuk melakukan negosiasi adalah karena dua
hal pertama, karena jumlah perkara yang sangat besar, sehingga menyulitkan
kedudukan penuntut umum yang tidak mungkin dapat bekerja secara efektif
mengingat faktor waktu; kedua, karena penuntut umum berpendapat, bahwa
kemungkinan akan berhasilnya penuntutan sangat kecil. Misalnya karena
kurangnya bahan pembuktian, kurangnya saksi yang dapat dipercaya, atau
tertuduh orang yang dianggap respectable di kalangan para juri.267
4. Larangan Mengkriminalisasi Diri Sendiri (Non Self-Incrimination)
Dalam Pasal 158 RUU KUHAP memberikan larangan terhadap tindakan
self-incrimination yang selama ini menjadi perdebatan dalam pelaksaan saksi
mahkota menyangkut hak untuk tidak mengkriminalisasi diri sendiri. Sesuai pasal
158 huruf b:
265 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal . 26.
266 Romli Atasasimita, Sistem Peradilan Pidana kotemporer, Op. Cit., hal. 124.267 Ibid.
104
“Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, saksi tidak dapatdidengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi,jika,bersama-sama sebagai tersangka atau terdakwa walaupun perkaranyadipisah”.
Dalam Penjelsan Pasal 158 menyatakan bersama-sama menjadi terdakwa,
termasuk jika suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh para terdakwa,
tetapi berkas perkara dipisahkan. Ketentuan ini untuk menghindari self-
incrimination, jika terdakwa bergantian menjadi saksi dalam perkara yang
dipisah. Dalam menentukan atas dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang
berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan
dirinya atau dipaksa mengaku bersalah dan tidak ada beban kewajiban
pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban jaksa penuntut
umum, prinsip ini dalam RUU KUHAP tercermin secara parsial melalui Pasal
181 :
Ayat (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinyasendiri.
Ayat (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikanbahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakankepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang sahlainnya.
Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota
yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong, hal ini
tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam
ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :
“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall beentitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not tobe compelled to testify against himself or to confess guilty.”
Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut
bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya
tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan
kesalahannya.
105
B.Pedoman lain untuk Memperbaiki Ketentuan Pembuktian dalamMenerapkan Saksi Mahkota
1. Exclusionary Rule
Pada umumnya negara hukum menentukan bahwa barang bukti yang yang
diperoleh dengan cara melanggar hak-hak dasar yang ditentukan dalam konstitusi
atau diperoleh secara illegal tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan
dan prinsip ini dikenal dengan exclusionary rule.268 Menurut Eddy O.S. Hiariej
Ada empat hal terkait konsep pembuktian yang sangat fundamental : 269
1) bukti harus relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses.Artinya, bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk padasuatu kebenaran dari suatu peristiwa;
2) bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Sebaliknya, bukti yang tidakrelevan, tidak akan dapat diterima. Kendatipun demikian, dapat saja suatubukti relevan tetapi tidak dapat diterima;
3) adanya exclusionary rules atau exclusionary discretion, yaitu peraturan yangmensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterimadi pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatubukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, namunbukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan buktitersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan;
4) dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterimaharus dapat dievaluasi oleh hakim. Hal demikian termasuk dalam kontekskekuatan pembuktian atau bewijskracht. Hakim akan menilai setiap alatbukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satudengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebutsebagai dasar pertimbangan dalam mengambil putusan.
Dari rangkaian kalimat Pasal 183 KUHAP terdapat kata-kata “...alat bukti
yang sah..”, yang tidak ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun
demikian, secara logika kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan,
perlakuan maupun penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat
dipertanggungjawabkan. KUHAP memang tidak memiliki penjelasan yang tegas
tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini berbeda dengan
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 36
menjelaskan :
268 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 1.269 Eddy O.S. Hiariej, Keterangan Ahli, (Disampaikan saat memberikan keterangan sebagai
Ahli yang diajukan Pemohon dalam persidangan tanggal 18 Januari 2011 dalam putusanMahlamah Konstitusi No Nomor 65/PUU-VIII/2010).
106
Ayat (2) : Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harusdapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”.
Ayat (3) : Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yangtidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum,tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Menurut Mardjono Reksodiputro exclusionary rules merupakan aturan yang
membuat alat bukti yang diperoleh dan disita tidak sesuai dengan prosedur yang
sah tidak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti,270 sehingga kelalaian di dalam
memperhatikan atau memegang asas “exclusionary rules” ini mengakibatkan
dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum tidak dapat diterima atau
batal demi hukum.271
Sistem hukum Amerika Serikat yang memiliki asas “exclusionary
rules”, dimana asas ini menentukan bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila
tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum (illegal) harus
dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam pembuktian (unlawful gathering
evidenceatau onrechtmatigeverkrijgen bewijs), menurut Gordon Van Kessel
sebagimana dikutip Luhut M.P Pangaribuan menyatakan “exclusionary rules are
a police control Mechanism rather tahan an integral part of the adversary
system.272
Di Amerika Serikat exclusionary rules merupakan atauran yang berasal dan
berkembang dari “case law” yang dimaksud agar warga negara terhindar dari
tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang, dan kasus yang
paling menonjol dan dijadikan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum
dalam menempuh kebenaran prosedural pelaksanaan tugasnya adalah berasal dari
“Miranda Case’ (Miranda Vs Arizona state tahun 1966).273
270 Hasil wawancara, tanggal 12 juni 2013. Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro, memberikanilustrasi dalam satu tindak pidana pencurian anggota kepolisian melakukan penyitaan berdasarkansurat perintah penyitaan untuk tindak pidana pencurian dan dalam pengeledahan terhadappelakunya ditemukan barang bukti berupa ganja didalam rumahnya maka ketika ganja tersebutturut disita maka penyitaanya tidak sah karena dasar penyitaanya adalah surat penyitaan untuktindak pidana pencurian.
271 Bagir Manan , “Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana”, Varia Peradilan (No. 296 Juli2010).
272 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc .Suatu Studi Teoritis MengenaiSistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum PascaSarjana. 2009), hal. 169.
273 Indriyanto Seno Adji, Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia (Bunga Rampai),Op. Cit, hal. 23.
107
Menurut Dallin H. OakS di Amerika Serikat aturan exclusionary rules : 274
“Menjadikan bukti tidak dapat diterima di pengadilan jika aparat penegakhukum memperoleh itu dengan cara dilarang oleh konstitusi, oleh undang-undang atau aturan pengadilan. The United States Supreme Court saat inimemberlakukan exclusionary rule dalam negara bagian dan federal,prosiding untuk empat jenis utama dari pelanggaran: pencarian danpenangkapan yang melanggar hak dalam amandemen keempat, pengakuanyang diperoleh dengan melanggar dalam amandemen kelima dan keenam,kesaksian yang identifikasi diperoleh secara melanggar merupakanpelanggaran terhadap dari perubahan tersebut, dan bukti yang diperolehdengan metode cara yang menimbulkan guncangan penggunaannya akanmelanggar klausul due process”
Di Inggris suatu illegally secured evidence (perolehan bukti secara tidak
sah) tidak patut dijadikan sebagai bukti di pengadilan, larangan itu diciptakan
Mahkamah Agung Inggris judge's rules. yang memuat aturan mengenai
bagaimana keadaan seorang tersangka dapat diperiksa polisi, disertai
pemberitahuan segala hak-hak tersangka dalam proses penyidikannya dan akibat
hukumnya terhadap pelanggaran hak tersebut.275 Di Belanda ketentuan
pengenyampingan alat bukti yang tidak sah ini (the exclunary rule) “ only to
alimited exeted, Menurut G.J M. Corsten sebagai mana dikuti Luhut M.P
Pangaribuan dewasa ini di Belanda bahkan dalam kondisi tertentu bahan
pembuktian yang terkumpul secara melawan hukum tidak boleh digunakan
sebagai bukti untuk perbuatan yang didakwakan.276
Dalam hukum acara pidana Belanda menurut P J P Tak, mengenai
konsekwensi dari alat bukti yang diperolegh secara tidak sah (ilegal) diatur dalam
Dutch Code of Criminal Procedure sect.359a CCP (KUHAP Belanda) yang
aturanya : 277
1. Pengadilan dapat mengurangi hukuman dengan mempertimbangkan disatusisi tingkat keseriusan dari perbuatan dan di lain sisi, pemulihan(kompensasi) terhadap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yangmenyimpangan;
274 Dallin H. OakS, “ Studying the Exclusionary Rule in Search and Seizure”, The Universityof Chicago Law Review, (Vol. 37, No.4, Summer 1970 Copyright 1970 by the University ofChicago), hal. 665.
275 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan Tersangka Dan Antisipasi Perlindungan HAM,http://www.suarapembaruan.com/News/1996/11/071196/OpEd/02/02.html,1996, diunduh tanggal4 Mei 2013.
276 Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal.170.277 P.J.P. Tak, The Dutch Criminal Justice System. (The Netherlands : aolf Legal Publishers
CB Nijmegen, 2008), hal. 107.
108
2. Pengadilan dapat mengecualikan bukti; dan3. Kasus dapat diberhentikan jika penyimpangan dalam memperoleh bukti
secara ilegal mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana yang layak .
Jadi exclutionary rule sebagai mekanisme kontrol untuk penyidik, sebagai
mata rantai awal pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, termasuk perolehan
bukti yang dapat dikesampingkan dengan ketentuan exclutionary rule apabila
dilakukan dengan coercion, bahasa KUHAP keterangan saksi diberikan dengan
tidak bebas.278 Dua type justifikasi yang penting untuk atuaran exclusionary rule,
adalah secara normatif dan faktual. Justifikasi secara normatif aturan perundang-
undangan terkadang dijadikan dasar perlindungan dan pembenaran bagi
pemerintah yang jahat sedangkan justifikasi faktual secara tegas dinyatakan
bahwa, bukan merupakan alat bukti dan nilainya berkurang apabila dalam
pencarianya melanggar aturan pencarian dan penyitaaan, hal ini diharapkan dalam
jangka pendek sebagai pencegahan dan dalam jangka panjang sebagai
pendidikan.279
Mengesampingkan bukti yang diperoleh atau disita secara ilegal diharapkan
memiliki efek yang relatif langsung bagi aparat penegak hukum untuk mencegah
dari perilaku yang tidak benar, selain itu menekankan keseriusan masyarakat
dalam mengamati aturan pencarian dan penyitaan, the exclusionary rule
diharapkan menjadi kekuatan moral dan edukatif dari hukum dengan demikian
dalam jangka panjang memiliki efek untuk mendorong kepatuhan yang lebih
besar.280
2. Doctrin of Corroboration
Suatu “isyarat” yang ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan
yang mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain dan mempunyai
mempunyai persesuaian dengan tidak pidana melahirkan atau mewujudkan suatu
petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan
278 Ibid., hal. 169.279 Dallin H. OakS, Op.Cit., hal. 668.280 Ibid .
109
terdakwalah pelakunya, hal tersebut yang menurut Yahya Harahap disebut dengan
petunjuk.281 Sedangkan menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP petunjuk adalah :
“Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antarayang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri,menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya’.
Berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan ahli, surat dan
keterangan terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa. Pengentian diperoleh berarti alat bukti petunjuk
bukan merupakan alat bukti langsung (indirect bewijs). Oleh karena itu banyak
yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti. Van
Bemmelen sebagai mana dikutip Andi Hamzah “tetapi kesalahan yang terutama
ialah bahwa petunjuk-petunjuk dipandang sebagai alat bukti, padahal hakikatnya
tidak ada”.282
Alat bukti “petunjuk” yang berasal dari KUHAP Belanda tahun 1838 yang
sudah lama diganti dengan eigen waarneming va de rechter (pengamatan hakim
sendiri) berupa kesimpulan yang ditarik dari alat bukti lain berdasarkan hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan. Tidak ada KUHAP di dunia yang menyebut
petunjuk (Belanda: aanwijzing, Inggris: indication) sebagai alat bukti
kecualiKUHAP Belanda dahulu (1838); HIR dan KUHAP 1981).283 Karena
adanya syarat yang satu dengan yang lain harus terdapat pesesuaian, maka dengan
demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada dua petunjuk untuk
memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah
bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.
Untuk permasalahan tentang persesuaian alat bukti dalam rangka
pembuktian di Amerika Serikat dikenal doctrin of corroboration (saling
menguatkan) jika ada dua bukti harus differen soua dan indepedent. Menurut
Jonathan L Cohen sebagiamana dikutip Terence Anderson David Schum, dan
William Twining :284
281 Yahya Harahap, Op. Cit , hal. 313.282 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 285.283 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , Naskah Akademik Rancangan Undang
Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal. 24.284 Terence Anderson, David Schum, and William Twining, Analysis Of Evidence, Secon
Edition, (UK : Cambridges University Press, Cambridges CB2 2RU, 2005), hal. 107.
110
“Dalam bentuk yang paling sederhana kesaksian yang saling menguatkanterjadi apabila dua orang saksi sama-sama memberikan kesaksian dimanamasing-masing berdiri sendiri dan berbicara mengenai fakta yang sama,fakta didukung setidak-tidaknya oleh keterangan dua saksi yang memberiketerangan terpisah dan bersesuaian satu sama lain”,
Secara harfiah corroboration, (saling menguatkan) ini terjadi ketika dua
orang saksi yang memberikan keterangan secara bebas menjelaskan yang saling
bersesuaian tentang sebuah fakta, istilah tersebut digunakan dalam dua arti:285
1. Untuk menjelaskan keterangan dari seorang atau lebih berkesesuaian
dengan dengan saksi sebelumnya;
2. Sebagai penolong dalam mempertahankan sebuah fakta yang didalihkan
oleh salah satu pihak dari bantahan yang diutarakan pihak lawan mengenai
fakta tersebut.
Corroborating evidence mendukung bukti menjadi sebuah dalil, karena
telah didukung oleh beberapa alat bukti, bukti yang menguatkan memperkuat
keterangan saksi lain, bukti yang menguatkan juga memperkuat atau menambah
kredibilitas kesaksian, bukti yang menguatkan dapat mencakup informasi baru
dan tambahan.. Aturan bukti yang menguatkan modern mensyaratkan pentinya
bukti independen yang akan membangun sebuah pernyataan layak dipercaya.286
Corroboration telah menjadi suatu konsep yang sangat teknis, secara sederhana
pelaksanaannya untuk membuktikan keterlibatan seorang terdakwa dalam
kejahatan tidak hanya memastikannya dalam beberapa materi khusus, tetapi
kejahatan itu benar terjadi dan terdakwalah pelakunya, bukti yang menguatkan
diwajibkan oleh undang-undang untuk tindak pidana serta tanpa adanya bukti
yang menguatkan tersebut tidak mungkin ada sebuah keyakinan.287
Di Inggris jika pelaku tindak pidan ingin menjadi saksi Ratu dengan
memberikan bukti terhadap rekan dalam melakukan kejahatan, hakim pengadilan
senantiasa memperingatkan dewan juri sehubungan kesaksian mereka. Karena
kesaksian seorang kaki tangan harus didukung bukti yang menguatkan. Hukum
285 Ibid., hal. 382.286 United States v. Awan, 2010 U.S. App. LEXIS 12084 (2d Cir. N.Y. June 14, 2010).
http://witnesses.uslegal.com/corroboration/, diunduh tanggal 5 Mei 2013.287 Ibid.
111
Inggris tidak memiliki doktrin tentang jebakan dan tampaknya tidak ada
discretion untuk mengecualikan bukti yang diperoleh tidak layak.288
Dalam rangka menghormati harkat martabat manusia dan melindungi hak
asasi manusia dimana penerapan saksi mahkota ini sangat berpontensi melanggar
hak – hak terdakwa maka dalam pelaksanaanya walaupun sulit, hendaknya dengan
prinsip keseimbangan disatu sisi menghormati harkat martabat manusia
(terdakwa) dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan disisi lain
untuk melindungi kepentingan umum (masyarakat). Oleh sebab itu untuk
menerapakan saksi mahkota sebagai alat bukti dipersidangan maka harus sangat
diperhatikan mengenai cara memperoleh kesakaian , apakah dengan cara yang sah
atau dengan cara dilarang oleh undang undang, bila cara memperolehnya dengan
cara yang melanggar undang undang maka sepantasnya alat bukti ini ditolak oleh
pengadilan. Dan satu lagi masalah krusial dalam pembuktian yang mengunakan
alat bukti saksi mahkota maka untuk menyatakan kesalahan terdakwa bukan saja
berasal dari alat bukti keterangan saksi mahkota tetapi harus adanya bukti lain
yang saling menguatkan sehingga dapat dengan jelas menimbulkan keyakinan
untuk menyatakan terdakwa bersalah.
C.Perbandingan Kosep Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP denganKonsep yang Dianut Di Belanda dan Amerika Serikat
Dalam rangka pembangunan hukum, diperlukan terlebih dahulu adanya
perencanaan hukum (legal planning) yang dapat menampung segala kebutuhan
dalam suasana perubahan-perubahan sosial atau dinamika masyarakat, namun
sebagaimana menurut Sunaryati Hartono, “legal planning” itu bukan pekerjaan
yang mudah, harus terlebih dahulu kita mempunyai pengetahuan yang luas dan
mendalam tentang sistem hukum asing.289 Di sinilah letak perlunya perbandingan
hukum comparative law, dengan perbandingan hukum akan memperluas
cakrawala berpikir serta memberi kesadaran kepada perencana/pelaksana
pembangunan hukum itu bahwa, setiap masalah hukum terbuka lebih dari satu
288 K. W Lidstone ,“Human Right In English Criminal Trial” , dalam Human Right In CriminalProcedure A Comparative Study, Jhon A Andrews, ed., (Boston/London : Martinus NijhoffPublisher, The Hague, 1982), hal. 100.
289 Sunaryati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum, (Bandung : Alumni,1992), hal. 3.
112
cara untuk mengatasinya apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat
modern sekarang ini.290
Menurut Andi Hamzah manfaat mempelajari perbandingan hukum pidana
karena Dunia semakin sepit, hubungan semakin maju dan canggih, kontak
budaya, ekonomi, dan militer semakin intensif dan menyatu hubungan hukum
pun demikian, bahkan salah satu faktor yang sering dituding sebagai penghalang
penanaman modal asing ialah tidak terjaminya kepastian hukum di Indonesia,
beberapa aturan hukum dan lembaga perlindungan hukum dipandang tidak
selaras dengan perkembangan modern, dengan demikian memperdalam
pengetahuan perbandingan hukum pidana sangatlah penting.291
Menurut Peter De Cruz arti penting lain dari metode komparatif : 292
290 Adapun mengenai pengertian perbandingan hukum berdasarkan beberapa pendapatsarjanan.
1.Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut:Perbandinganhukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan danperbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai sistem-sistemhukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencobamenentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukumdimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain) ;
2. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan oleh Zweigert danKort yaitu perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda ataulembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapatdiperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda;
3.Sudarto berpendapat bahwa perbandingan hukum merupakan cabang ilmu dari ilmuhukum dan karena itu lebih tepat mengunakan istilah perbandingan hukum dari istilahhukum perbadingan ;
4. Romli Atasasmita berpedapat bahwa perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yangmempelajari secara sistematis dan dengan pendekatan analisis-kritis (critical analysis)terhadap hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakanmetode perbandingan yang bertujuan menemukan unsur persamaan dan perbedaan yangmemberikan manfaat baik sisi teoritik maupun praktik.
dikutip dari Romli Atasasmita, Perbandingan hukum Pidana Kotemporer, Op., Cit. hal.12-15
291 Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hal. 4.
292 Peter De Cruz, Op.Cit., hal. 28. Menurut Ade Maman Suherman, Perbandingan sistemhukum ditujukan untuk memperoleh suatu pemahaman yang comprehensive tentang semua sistemhukum yang eksis secara global dan paling tidak memperoleh manfaat: (1).Manfaat internaldengan mempelajari perbandingan sistem hukum pidana dapat memahami potret budaya hukumnegaranya sendiri dan mengadopsi hal-hal yang positif dari hukum asing guna pembangunanhukum nasional, (2) Manfaat eksternal dengan mempelajari perbandingan sistem hukum, baikindividu, organisasi maupun negara dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukanhubungan hukum dengan negara lain yang berlainan sistem hukumnya, (3) Untuk kepentinganharmonisasi hukum dalam pembentukan hukum supranasional. Lihat, Ade Maman Suherman,Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2006) , hal. 19.
113
“Terletak pada apa yang katakan Yntema sebagai Perbaikan dan perluasanterus menerus terhadap pengetahuan kita, yang membentuk sebuahkomponen penting bagi pendidikan hukum, dan menurut Paton sebagaimanadikutip Peter Da Cruz bahwa tidak mungkin membayangkan eksistensiyurisprudensi tanpa hukum komparatif, karena semua aliran yurisprodensi,baik yang bersifat historis, filosofis, sosiologis maupun analitismengandalkan metode penelitian komparatif’.
Untuk mengetahui sejauh mana konsep RUU KUHAP tentang saksi
mahkota dalam melindungi hak asasi manusia serta untuk melihat bagaimana
efektifitas keberlakuan suatu kesepakatan dengan terdakwa maka perlu untuk
melihat konsep-konsep yang mengatur kesepakatan dengan saksi yang lebih
dahulu dilaksanakan dinegara lain, dalam hal ini di Belanda dan Amerika Serikat
pemilihan kedua negara tentulah memiliki alasan yang sangat kuat, Untuk
Belanda kita ketahui bersama bahwa sistem hukum pidana Belanda paling
penting dipelajari dalam perbandingan hukum pidana Indonesia karena sumber
hukum formil dan materil Indonesia bersumber dari Belanda.
Sedangkan Amerika Serikat yang mengganut sistem common law prinsip
dasar hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat parlemen dan
hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematik dan
terinci yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan ketetapaan,
sehingga di Amerika Serikat perubahan sistem sosial dan teknologi mendorong
sistem hukum kearah beban baru dan kebiasaan baru berakibat pada sistem hukum
berubah bersama waktu berganti dan hukum bergerak, berubah sehingga hukum
sangat dinamis.293
1.Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Indonesia Tahun 2013
Selama ini sistem peradilan pidana Indonesia diberi stigma sebagai
menganut sistem inkuisitor (inquisitorial system), sistem ini sering dianggap lebih
rendah (inferior) dibanding sistem akusator (accusatorial atau advesaryal system)
sistem akusatorial sering diibaratkan konflik antara dua gladiator, atau sebagai
duel anggar dimana jaksa menusukan floretnya dan pembela berkewajuban untuk
menagkisnya.294
293 Lawrence M Friedman, American Law An Introduction, Op.Cit, hal. 20-25.294 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana ,Op. Cit., hal. 110.
114
Namun sesuai konsep yang dianut RUU KUHAP nampak bahwa terjadi
kecendrungan beralihnya sistem peradilan pidana kita menunju sistem berimbang
(adversary system) hal ini dapat dilihat diantara, ketika kedua pihak, baik
penuntut umum maupun terdakwa dan penasihat hukumnya dapat menambah alat
bukti baru di sidang pengadilan (seperti saksi a’ charge dan a de charge), dengan
sendirinya tidak diperlukan P 21 (pernyataan penuntut umum bahwa berkas telah
lengkap) karena penuntut umum walaupun sidang sudah dimulai, masih dapat
meminta bantuan penyidik untuk menambah pemeriksaan seperti pengajuan saksi
baru untuk melawan saksi yang diajukan penasihat hukum, jadi benar-benar
sistem ini mengharuskan penuntut umum dan penyidik bekerjasama erat untuk
suksesnya penuntutan.295
Perubahan dalam RUU KUHAP juga memberikan norma baru tentang saksi
mahkota yang sebelumnya tidak diakomodir dalam KUHAP, dengan norma baru
ini diharapkan membantu penuntut umum dalam mengungkapkan suatu perkara
dengan tidak melupakan hak-hak terdakwa. Meknisme saksi mahkota yang
terdapat dalam RUU KUHAP . diatur dalam bagian Ketujuh dalam Pasal 200 :
(1)Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringandapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskandari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu mengungkapkanketerlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidanatersebut.
(2)Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringandalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) makatersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana danperan tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaanhakim pengadilan negeri.
(3)Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksimahkota.
Pengertian saksi mahkota dalam pasal 200 RUU KUHAP diatas dapat
diartikan sesuai pertama ayat (1), saksi mahkota seorang tersangka atau terdakwa
yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama,
menurut RUU KUHAP terhadap saksi mahkota ini dapat diberikan kekebalan
dalam penuntutan apabila saksi membatu mengungkapkan keterlibatan tersangka
295 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran2006, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , 2006), hal. 7.
115
lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut. Kedua dalam ayat (2) saksi
mahkota diartikan sebagai apabila tidak ada tersangka ataua terdakwa yang
peranya paling ringan maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah dan
membantu secara subtantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain
maka sesuai dalam RUU KUHAP terhadap tersangka atau terdakwa yang
membantu secara subtantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain di
berikan pengurangan hukuman sesuai kebijaksanaan hakim.
Apabila dilihat dari subtansi Pasal 200 RUU KUHAP tersebut maka dapat
dilihat bahwa untuk penerapan saksi mahkota ini sangat berkaitan dengan ajaran
penyertaan dimana terdapat dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana,
dan menurut Moeljatno penyertaan barulah ada jika bukan satu orang saja yang
tersangkut dalam dalam terjadinya penyertaaan delik atau perbuatan kriminal,
tetapi terdapat beberapa orang yang mempunyai saham .296
Ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 200
Rancangan KUHAP sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia.
Tentu hal ini harus disampaikan penuntut umum kepada hakim, karena penuntut
umum yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota.297 Menurut asas
oportunitas, jaksa berwenang menuntut dan tidak menuntut suatu perkara ke
pengadilan, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. The public prosecutor may
decide conditionally or unconditionally to make prosecution to court or not. Jadi
dalam hal ini penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang melakukan tindak
pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum,
dengan demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana, tidak
dituntut.298
Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Netherland
dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis)
dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan s/d tahun
296 Moeljatno, Op. Cit., hal. 5.297 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Naskah Akademik Rancangan Undang
Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op, Cit, hal. 27.298 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan
Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op. Cit., hal. 8.
116
1961 – sekarang dalam Undang Undang No.16 Tahun 2004 asas ini masih
dicantumkan.299
Ide implementasi asas oportunitas terhadap pelaku korupsi yang kooperatif
sebaiknya mempergunakan konsepsi protection of cooperating persons, konsep
ini dilaksanakan di Eropa, seperti Belanda dan Italia berupa diterapkan saksi
mahkota (kroongetuige) tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi karena mau
membongkar kejahatan terorganisir teman-temannya, imbalannya ialah ia
dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi.300 Protection of reporting
persons sebagai dasar introdusir dalam sistem hukum pidana indonesia kelak,
karena konsep protection of cooperating persons memilki keterkaitan dengan
saksi mahkota dengan penerapan ajaran “deelneming” (penyertaan) pada Pasal 55
KUHP.301
Berdasarkan United Nations Convention Againts Corruption (2003), yang
telah diratifikasi pada bulan Maret tahun 2006, memberikan beberapa tipe/bentuk
perlindungan hukum dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, yaitu :302 (1)
protection of Witnesses, Experts dan Vitims (Pasal 32), (2) protection ofReporting
Persons (Pasal 33), dan (3) Protection of Cooperating persons (Pasal 37). Pasal
37 memilki persamaan dengan ide yang dikemukakan oleh Jaksa Agung RI,
hanya legalitas perlindungannya tidak didasarkan asas oportunitas. Disebutkan
Pasal 37 bahwa (terjemahan bebas) : Pasal 37 ayat 2 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan memberikankemungkinan dalam kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dariseorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang substansial dalampenyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkankonvensi ini”.
Pasal 37 ayat 3 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuaidengan prinsip-prinsip dasar Hukum Nasional, untuk memberikankekebalan (immunity) dari penuntutan bagi orang yang memberikankerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatukejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.
299 Ibid., hal. 71 .300 Ibid., hal. 84.301 Ibid., hal. 86.302 Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam Prospektif, Op.Cit., hal. 198.
117
Sehingga bentuk perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan
penegak hukum dikategorikan dengan dua macam, yaitu bagi seorang Terdakwa
(juga terpidana) dengan pemberian pengurangan hukuman (mitigating
punishment),dan seorang Terdakwa dengan pemberian kekebalan dari penuntutan
(immunity from Prosecution).
Mencari suatu justifikasi untuk implementasi asas oportunitas terhadap
Cooperating Offenders” tidaklah tepat berdasarkan pertimbangan demi
kepentingan umum yang maknanya multi-tafsir maka arah introdusir konsepsi
“protection of coperating persons” dengan memberikan suatu keterkaitan crown
witness serta peran terkecil dalam asas “deelneming” adalah lebih ditolerir
arahnya, karenanya konsep ini tetap memerlukan dukungan kebenaran norma dan
asas due process of law enforcement dengan memperhatikan prinsip rule of
law.303
2. Belanda
Hukum acara pidana Belanda adalah bagian dari tradisi (sistem hukum)
Eropa-kontinenal (civil law) dapat digambarkan sebagai sistem inquisitoir
moderat, karena hakim berkewajiban untuk secara mandiri/otonom mencari dan
mengungkap kebenaran (materiil) tidak secara pasif duduk dikursi mendengarkan
bagaimana para pihak dalam perkara – Openbaar Ministerie (OM/kejaksaan) dan
pembelaan – menguraikan duduk perkara dari sudut pandang mereka masing-
masing, konsekuensi kedua dari dianutnya sistem acara yang bersifat inquisitoire
ialah kuatnya kedudukan dan posisi OM dalam setiap tahapan proses pemeriksaan
perkara. OM tidak saja memimpin dan mengendalikan jalannya penyidikan,
namun merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan apakah
penuntutan akan dilanjutkan atau tidak.304
Menurut Andi Hamzah, di Belanda pengaturan mengenai saksi mahkota
atau yang dikenal dengan istilan kroongetuige awalnya belum diatur didalam pada
KUHAP Belanda, sehingga dalam pelaksanaanya didasarkan pada doktrin dan
303 Ibid., hal. 90.304 Jan Crijns, “Kesepakatan Dengan saksi dalam Proses Pidana Kesepakatan dengan Saksi
dalam Peradilan Pidana Belanda dan Pelajaran yang mungkin dapat dipetik Oleh Indonesia” ,dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings. Ed.,(Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, UniversitasGroningen, 2012), hal. 160-161.
118
yurisprudensi dengan payung hukumnya asas oportunitas yang ada pada jaksa.305
Saksi mahkota yang dikenal dalam praktik pengadilan di Belanda adalah salah
seorang terdakwa yang paling ringan perananya dalam pelaksanaan kejahatan itu,
misal delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan menjadi
saksi, dasar hukumnya asas oportunitas yang ada ditangan jaksa untuk menuntut
atau tidak menuntut seorang dipengadilan baik dengan syarat maupun tanpa
syarat.306
Di Belanda landasan hukum formal mengenai saksi mahkota melalui proses
panjang sebelum diundangkan pada 2005 dan diberlakukan sejak 1 April 2006,307
sebelum tanggal tersebut kesepakatan dengan saksi mahkota sudah kerap
digunakan, satu dan lain karena diam-diam dibiarkan oleh Hoge Raad.308
Landasan perundang-undangan yang memungkinkan dibuatnya kesepakatan
dengan saksi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 226g sampai dengan 226l
KUHAP Belanda.309 Pranata hukum atau instrumen kesepakatan ini selalu
berkenaan dengan saksi yang sekaligus berkedudukan sebagai
tersangka/terdakwa.310
Atas dasar ketentuan Pasal 226g (1) KUHAP Belanda, jaksa penuntut
umum berwenang untuk membuat kesepakatan demikian hanya bila berhadapan
dengan kriminalitas berat, atau lebih konkretnya, 1) dalam hal adanya
persangkaan (verdenking) dilakukan kejahatan yang diancam dengan sekurang-
kurangnya 8 tahun penjara; 2) atau dalam hal adanya persangkaan dilakukannya
kejahatan yang diancam dengan sekurangkurangnya 4 tahun penjara dan yang
diperbuat dalam ikatan atau jaringanyang terorganisir.311
Petunjuk pelaksanaan pembuatan kesepakatan dengan saksi dalam perkara
pidana (Aanwijzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) diterbitkan
Kejaksaan Agung (College van procureurs-generaal, yang merupakan organ
tertinggi dari Openbaar Ministerie. Dalam petunjuk pelaksanaan diuraikan lebih
305 Hasil Wawancara, tanggal 9 April 2013 .306 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 272.307 Wet toezeggingen aan getuigen in strafzaken van 12 mei 2005, Staatsblad 2005, 254, mulai
berlaku 1 April 2006.308 Jan Crijns, Op.Cit., hal. 156.309 Ibid., hal. 162.310 Ibid., hal. 155.311 Ibid., hal. 163.
119
rinci mengenai aturan yang mengikat jaksa penuntut umum dalam pembuatan
kesepakatan dengan saksi. Sedangkan hakim berwenang menguji apakah jaksa-
penuntut umum secara nyata bertindak selaras dengan aturan-aturan yang termuat
di dalam petunjuk pelaksanaan, dan bila ternyata tidak maka hakim berwenang
memutus bahwa kesepakatan yan dibuat dengan saksi melanggar hukum.312
Di negeri Belanda dianut asas oportunitas menurut Pasal 167 ayat (2)
Ned.SV, walaupun tidak tegas diatur tentang kemungkinan dilekatkannya syarat-
syarat penerapan asas itu, namun dalam praktek diterapkan oleh penuntut umum
sebagai hukum tidak tertulis,313Belanda memperluas lagi penerapan asas
oportunitas dengan ketentuan baru bahwa semua perkara yang ancaman pidananya
dibawah 6 tahun penjara dapat di afdoening, tidak hanya perkara ringan saja.
Penyelesaian perkara berdasarkan asas oportunitas dengan cara mengenakan
denda administratif, dapat menambah pendapatan negara, mengurangi jumlah
perkara di pengadilan, dan mengurangi jumlah narapidana.314
Jaksa Belanda boleh memutuskan akan menuntut atau tidak akan menuntut
perkara dengan atau tanpa syarat, secara garis besar ada 3 kategori penyampingan
perkara di Belanda, yaitu 315:
1. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (police),yang meliputi
perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua) dan kerusakan telah
diperbaiki/kerugian diganti.
2. Alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain lain).
3. Perkara digabung dengan perkara lain.
Di Belanda ada pembatasan penting berkenaan dengan imbalan apa yang
dapat ditawarkan jaksa penuntut umum kepada saksi yang diminta memberi
keterangan, pembatasan terpentingnya ialah larangan menawarkan imbalan
imunitas (kekebalan) mutlak dalam penuntutan pidana, dalam arti saksi tidak akan
dituntut atas kejahatan dimana ia berkedudukan sebagai tersangka. Pembatasan
312 Ibid., hal. 162.313 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan
Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 33.
314 Ibid., hal. 36.315 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 38.
120
ini, berarti saksi yang membuat kesepakatan dengan jaksa penuntut umum tetap
akan dituntut atas tindak pidana yang disangkakan terhadapnya.316
3. Amerika Serikat
Hukum Amerika Serikat merupakan keturunan langsung dari hukum Inggris
yang dibawa kebenua baru oleh pemukim-pemukim Inggris pada abad ke-17 dan
ke-18, secara formil diterima sebagai dasar hukum oleh negara-negara yang
bergabung dalam dalam Amerika Serikat sesudah revolusi Amerika.317 Sering
dikatakan bahwa hukum Amerika, seperti hukum Inggris adalah sangat empiris
dalam metodenya, bahwa hukum itu melangkah maju dari kasus ke kasus dan dari
masalah ke masalah, mencari pemecahan-pemecahan praktis dengan tudak
mengacu kepada perangkat doktrin – doktrin yang sistematis atau suatu teori yang
komperhensif.318
Sebelum digelar suatu peradilan pidana undang undang federal dan negara
bagian mengaharuskan serangkaian prosedur dan acara, beberapa negara bagian
diharuskan oleh konstitusi AS dan konstitusi negara bagian, ada negara bagian
yang diharuskan oleh keputusan pengadilan, dan lainnya oleh undang undang
legislatif yang berlaku, sisanya sering ditentukan oleh kebiasaan dan tradisi.319
Model pencarian dan pengajuan bukti didasarkan pada asumsi bahwa setiap
kasus atau kontroversi memiliki dua sisi : dalam kasus pidana pemerintah
mengklaim bahwa terdakwa bersalah sementara terdakwa mempertahankan
ketidak bersalahanya, diruang pengadilan masing-masing pihak memberi
kesaksian dari sisi yang sebagaimana dilihatnya, teori (atau harapan) yang
mendasari ini adalah bahwa kebenaran akan muncul jika masing-masing pihak
diberi kesempatan penuh untuk mengajukan kumpulan bukti-bukti, fakta dan
316 Jan Crijs, Op, Cit, hal. 163-164.317 Harold J .Berman, “Latar Belakang Hukum Amerika Serikat”, Dalam Ceramah Radio
oleh Profesor-Profesor Harvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan olehGregory Churchill, J.D,( Jakarta :Tatanusa, 2008), hal. 4.
318 Harold J .Berman,“Segi-segi Filosofis”, Dalam Ceramah Radio oleh Profesor-ProfesorHarvard Law School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D.(Jakarta: Tatanusa, 2008), hal. 262.
319 Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS, Garis besar SistemHukum Amerika Serikat, Diadaptasi dari [Jucial Process In America],( Jakarta: 2001), hal .97.
121
argumument didepan hakim (dan juri) yang netral dan sungguh-sungguh
memberikan perhatian.320
Di Amerika Serikat tidak dikenal istilah saksi mahkota, namun untuk
terdakwa setuju untuk bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan terhadap
orang lain disebut cooperators (ko-konspirator).321 Selain itu juga dikenal istilah
state witness untuk mereka yang bekerja dengan penuntut umum untuk menjadi
saksi kunci dalam membuka suatu perkara, sehingga state winess ini tidak
diterapkapkan untuk semua perkara dan pelaksanaanya dilakukan dengan
bargaining power oleh jaksa penuntut dan di ketahui oleh hakim.322
Untuk melihat bagaimana ketentuan cooperators maka dapat kita liat
beberapa putusan pengadilan di Amerika Serikat yang berhubungan dengan
cooperators:323
1. United States v. Reid, 19 F. Supp. 2d 534, 537 (E.D. Va. 1998) (“It isnaive to assume that most co-conspirators would be so altruistic as toabandon their own self interest and testify for the very government thatseeks a stiff sentence against them without a bargain being made.”)
Amerika Serikat v Reid, 19 F. Supp. 534 2d, 537 (E.D. Va 1998) ("Adalahnaif berasumsi bahwa orang yang turut melakukan kejahatan akan secarasukarela mengabaikan kepentinganya sendiri dan bersaksi pada pihakpemerintah , walapun mengakui bahwa pemeriksaan sidang berusahauntuk membuktikan kesalahan dan menjatuhkan kesalahan terhadapmereka, apabila tidak dilakukan dengan kekuatan tawar menawar)
2. United States v. Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (5th Cir. 1987) (enbanc) (“No practice is more ingrained in our criminal justice system thanthe practice of the government calling a witness who is an accessory to thecrime for which the defendant is charged and having that witness testifyunder a plea bargain that promises him a reduced sentence.”)
Amerika Serikat v Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (Cir 5th 1987.)(En banc) ("Tidak ada praktek yang lebih mendarah daging dalam sistemperadilan pidana kita dari pada praktek pemerintah memanggil saksi yangmerupakan aksesori kejahatan untuk membebankan terdakwa dan saksiyang memberi kesaksian dibawah tawar-menawar dijanjikan berkurangnyahukuman")
320 Ibid., hal. 105.321 Hasil Wawancara dengan Kevin Ricardson, Tanggal 21 Maret 2013.322 Hasil Wawancara, Tanggal 3 April 2013323 Dikutip dari: Hon. H. Lloyd King, Jr, “Why Prosecutors are Permitted To offer Witness
Inducements, A matter Of constitutional Authority”, hal 155, www.law.stetson.edu/.../why-prosecutors-are-, diunduh 20 Januari 2013.
122
3. Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941) (holding that there is nodue process violation where an accomplice confesses and testifies againsta defendant in return for leniency); Brady v. United States, 397 U.S. 742,751–53 (1970) (“[We] cannot hold that it is unconstitutional for the Stateto extend a benefit to a defendant who in turn extends a substantial benefitto the state.” Lisenba v California, 314 US 219, 227 (1941)
Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941) (menurut pendapat bahwatidak ada pelanggaran due process di mana kaki tangan mengakui danmemberi kesaksian terhadap terdakwa dengan imbalan keringananhukuman), Brady v Amerika Serikat, 397 US 742, 751-53 (1970)("[Kami] tidak bisa percaya bahwa itu adalah inkonstitusional bagi Negarauntuk memperluas manfaat kepada terdakwa yang pada gilirannyamemperluas manfaat besar untuk negara. "
4. United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985) (recognizingthat co-defendants are frequently the most knowledgeable witnessesavailable to testify about criminal activity); Reid, 19 F. Supp. 2d at 538(“[T]here are situations where those individuals [co-conspirators] may bethe only credible witnesses of criminal activity and,without theirtestimony, the government would not be able to obtain convictions.”)
United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985) (mengakuibahwa co-defendants kebanyakan memiliki pengetahuan untuk bersaksitentang kegiatan kriminal), Reid, 19 F. Supp. 2d di 538 ("[T] di siniadalah situasi di mana orang-orang [co-konspirator] mungkin menjadisatu-satunya saksi yang kredibel kegiatan kriminal dan, tanpa kesaksianmereka, pemerintah tidak akan dapat memperoleh keyakinan.")
Dari putusan diatas menurut Hon. H. Lloyd King, Jr berpendapat,
cooperators memilih untuk bekerjasama dengan jaksa karena mereka memiliki
harapan untuk menerima beberapa keuntungaan dari usaha-usaha mereka, baik
dalam bentuk hadiah, kekebalan atau pengurangan hukuman atas kejahatan
mereka. Kewenangan jaksa untuk menawarkan motivasi kepada para saksi dalam
pertukaran untuk kesaksian memiliki sejarah panjang untuk diterima dalam
yurisprudensi Amerika. Mahkamah Agung, secara tradisional mengakui
perjanjian saksi pancingan diperbolehkan dalam konstitusi merupakan
kewenangan kejaksaan, dan pengadilan telah mengakui pentingnya perjanjian
tersebut dalam mengamankan kesaksian dari saksi penting untuk penuntutan
kejahatan konspirasi.324
324 Ibid., hal.156.
123
Jaksa Amerika (US Attorney, County Attorney, District Attorney dan State
Attorney) yang tidak mengenal asas oportunitas namun mengenal “plea
bargaining” yang menentukan jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan adanya
pengakuan terdakwa, dalam pelaksanaanya ketika jaksa sudah merasa memiliki
kasus yang cukup kuat dengan beberapa orang saksi yang mendukung dan
bersedia memberikan kesaksian melawan terdakwa, pemerintah menawarkan
kepada terdakwa untuk hadiri di pengadilan dengan syarat mengakui kesalahanya
apabila terdakwa bersedia mengakui kesalahanya hakim akan menjatuhkan
hukuman (hanya hakim yang diberikan kewenangan menjatuhkan hukuman),325
sebaliknya apabila tertuduh menyatakan tidak mengakui bersalah maka perkara
dilanjutkan dan diadili dengan mempergunakan sistem juri.
Mekanisme plea bargaining diyakini membawa keuntungan, baik untuk
terdakwa maupun untuk masyarakat. Keuntungan bagi terdakwa adalah dirinya
bersama penuntut umum bisa menegosiasikan hukuman yang pantas baginya.
Masyarakat diuntungkan karena mekanisme ini akan menghemat biaya
pemeriksaan di pengadilan, dimana terdakwa mengakui perbuatannya dan tetap
akan mendapatkan hukuman. Meskipun hukuman yang diberikan rata-rata lebih
sedikit dari apa yang akan diputus hakim jika melalui proses pengadilan
konvensional, namun disisi lain mekanisme ini dapat memberikan efek terhadap
proses peradilan pidana karena penuntut umum mempunyai waktu lebih banyak
dan bisa menangani lebih banyak perkara.
Romli Atmasasmita dengan bertitik tolak pada batasan dari Bryan Garner,
Albert Alschuler, Harvard Law Riview, F. Zimring and R. Frase dan Welsh S.
White menyimpulkan tentang “plea bargaining” beberapa hal sebagai berikut326:
1.Bahwa “plea bargaining” ini pada hakikatnya merupakan suatu negosiasiantara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya ;
2.Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepatproses penanganan perkara pidana ;
3.Sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untukmengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikanancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya ;
325 Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum, (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 84 .
326 Romli Atasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kotemporer, Op. Cit., hal .127-128.
124
4.Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasidimaksud tidak diperkenankan.
D.Analisis Perbandingan Konsep Saksi Mahkota Dalam RUU KUHAPIndonesia, dengan di Belanda dan Amerika Serikat
1. Justifikasi Keberadaan Saksi Mahkota
Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat
signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi
mahkota yang selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila
dilihat konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep
saksi mahkota yang di kenal di Italia,327pemikiran konsep saksi mahkota ini
untuk memperbaiki konsep yang selama ini digunakan di peradilan mengartikan
saksi mahkota, terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan berbuatnya yang
bertentangan dengan asas non self incrimination.
Selain memasukuan ketentuan tentang saksi mahkota RUU KUHAP juga
memasakukan konsep pengakuan dan pengurangan hukuman mirip dengan sistem
plea bargaining, hal ini tercantum di dalam 197 RUU KUHAP dengan judul jalur
khusus memuat ketentuan, Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan,
terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah
melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari
tujuh tahun penjara, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara
pemeriksaan singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari
maksimum,di sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea
bargaining).
327 Menurut Andi Hamzah konsep saksi mahkota di Italia Saksi mahkota ialah salah seorangtersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersediamengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dandijadikan saksi. Jika tidak ada peserta (tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapatdimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan dijadikan saksi kemudianmenjadi terdakwa dengan janji oleh penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan darikawan berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia tentang saksi mahkota,lebih lanjut. Lihat Naska Akademik RUU KUHAP, Op.Cit., hal 26, bandingkan dengan Pasal 200RUU KUHAP versi 2013.
125
Selain memuat ketentuan saksi mahkota, RUU KUHAP juga mengadopsi
mekanisme semacam plea bargaining yang ada di Amerika Serikat,328dengan
adanya konsep ini maka antara penuntut umum dan saksi mahkota dapat
melakukan negosiasi kesepakatan bersalah dari terdakwa sebagai imbalan bagi
janjinya jaksa penuntut untuk meminta hukuman lebih ringan kepada hakim, yang
dapat mendorong terdakwa untuk mau duduk sebagai saksi mahkota karena
dengan adanya kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tersebut memberi
harapan kepada terdakwa akan adanya imbalan keringanan hukuman.
Di Amerika Serikat jaksa dapat menghentikan penuntutan atau
berkompromi (plea bargaining),329terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum
persidangan di mulai. Jika Jaksa setuju, maka ia dapat mengurangi dakwaan atau
memberi rekomendasi kepada pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih
ringan.330 Praktek plea bargaining, di Amerika Serikat terjadi pada periode
arraignment dan preliminary hearing, apabila tertuduh menyatakan dirinya
bersalah atas kejahatan yang dilakukan proses selanjutnya adalah penjatuhan
hukuman tanpa melalui trial, periode arraignment on information or indictment
ini merupakan suatu proses singkat guna mencapai dua tujuan yaitu ; 331
1) Memberitahukan kepada tertuduh perihal tuduhan yang dijatuhkan
padanya; dan
328 Menurut Albert Alschuler secara teliti telah mengungkapkan sejarah “plea bargainingsystem”. Pada bagian pertama dari artikelnya, “Plea Bargaining and Its History” (1979),. Padamasa “common law”, terhadap seorang tertuduh telah diberikan perlakuan yang tidak kejam,karena ia telah membantu penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain dalamperkara tertentu, akan tetapi bukanlah karena ia (tertuduh) telah mengakibatkan penuntutanmenjadi lebih mudah, atu karena ia (tertuduh) telah berbuat baik terhadap si korban, terhadap siapaia melakukan kejahatan. Selanjutnya, Alschuler mengemukakan, bahwa semula “plea bargaining”ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti sekarangini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat berperanan dalam mengatasikesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di AmerikaSerikat sangat bergantung pada sistem ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung (Supreme Court ofJustice) Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa praktik “plea bargaining” adalah ilegal. Akantetapi atas keberatan Departemen Kehakiman (Department of Justice) kehendak tersebut tidakdilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya,bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brad v. UnitedStates, 397 U.S. 742 (1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh untukmenghapuskan sistem ini, oleh karena adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu“fair trail” dan “accurancy” dalam penangnan perkara pidana. Lihat Romli Atasasmita, SistemPeradilan Pidana Kotemporer, Op, Cit., hal. 118-119.
329 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana, Op. Cit., hal. 17.
330 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Op.Cit., hal. 50.331 Romli Atasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kotemporer, Op.Cit, hal .124.
126
2) Memberikan kesempatan pada tertuduh untuk menjawab tuduhan
tersebut dengan menyatakan: not guilty atau guilty atau nolo
contendence (no –contest).
Pada tingkat negara bagian dan federal paling tidak 90 persen dari semua
kasus tindak pidana tidak pernah sampai ke pengadilan, ini karena sebelum
peradilan dimulai kesepakatan telah tercapai antara penuntut umum dan
pengacara terdakwa mengenai dakwaan resmi yang yang dikenakan dan sifat
hukum yang dianjurkan negara bagian kepada pengadilan, pada prinsipnya
dijanjikan suatu bentuk keringan sebagai imbalan untuk penyataan bersalah .332
terdapat tiga (tidak ekslusif secara timbal balik ) tipe kesepakatan pernyataan
bersalah. 333
a.Pengurangan dakwaan, bentuk kesepakatan ini paling umum antara
seorang jaksa penuntut umumdan seorang terdakwa adalah pengurangan
dakwaan menjadi lebih ringan dari pada yang didukung oleh bukti-bukti;
b.Penghapusan dakwaan yang tak relevan, bentuk kedua dari kesepakatan
pernyataan bersalah adalah persetujuan jaksa wilayah untuk
membatalkan dakwaan terhadap seseorang, terdapat dua varian mengenai
tema ini, pertama perjanjian untuk tidak menuntut secara vertikal yakni,
tidak mengajukan dakwaan lebih serius terhadap orang tersebut, kedua
menolak dakwaan horisontal yakni menolak dakwaan tambahan untuk
kejahatn yang sama oleh terdakwa.;
c. Penawaran hukuman, bentuk ketiga dari kesepakatan bersalah dari
terdakwa sebagai imbalan bagi janjinya jaksa penuntut untuk meminta
hukuman lebih ringan kepada hakim.
Sedangkan di Belanda dalam sistem hukumnya tidak mengenal adanya plea
bargaining, sehingga di Belanda dilakukan pembatasan kepada jaksa penuntut
umum berkenaan dengan imbalan yang dapat ditawarkan pada saksi, pembatasan
ini berpengaruh terhadap kesediaan saksi untuk menimbang-nimbang apakah ia
akan bekerjasama dengan yustisi atau tidak.334
332 Biro Program informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS, Op.Cit., hal .112.333 Ibid .334 Jan Crijns, Op. Cit., hal. 171.
127
Tetapi jaksa di Belanda boleh memutuskan akan menuntut atau tidak
menuntut perkara dengan atau tanpa syarat, wewenang tersebut didasarkan atas
tiga hal, Pertama dakwaan dicabut karena alasan kebijakan (antara lain, tindak
pidananya tidak seberapa, pelakunya sudah tua, dan kerugian sudah diganti).
Kedua, perkara dikesampingkan karena alasan teknis (biasanya lebih dari 50
persen karena buktinya kurang). Ketiga, melalui penggabungan, yaitu
menggabungkan perkara tersangka dengan perkaranya yang sudah diajukan ke
pengadilan. 335
Ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 200 RUU
KUHAP sesuai dengan asas oportunitas, di Indonesia asas oportunitas hanya
diberikan kepada Jaksa Agung RI karena alasan kebijakan (policy), yaitu guna
mencegah penyalahgunaan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan. Oleh karena itu
jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut untuk mengesampingkan
perkara yang saksi dan buktinya cukup, harus memohon kepada Jaksa Agung
untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Namun disayangkan
bahwa Jaksa Agung RI sangat jarang menggunakan wewenang tersebut.336
Menurut KUHAP terdapat dua macam keputusan tidak menuntut yang
dibenarkan yaitu :337
1.Penghentian penuntutan karena alasan teknis menurut Pasal 140 ayat (2)KUHAP;
a. kalau tidak cukup bukti-buktinya;b. kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana;c. kalau perkaranya ditutup demi hukum. (tersangkanya meningal dunia, dan
neb is in idem).2.Penghentian penuntutan karena alasan kebijakan. Penuntut Umum
menghubungkan kewenangan melakukan penuntutan pidana dengankepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan ketertiban hukum
Di Indonesia penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung didasarkan atas
Undang - Undang Kejaksaan sebagai peraturan yang mengatur mengenai pokok-
335 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis danEvaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 47.
336 Ibid., hal. 93-94.337 Ibid ,. hal.11-12.
128
pokoknya,338mengenai perlu atau tidaknya pengaturan yang lebih rinci dan
konkret hal itu diserahkan Jaksa Agung.339 Namun pengaturan yang lebih rinci
seharusnya dilakukan, hal ini didasarkan pada perkembangan di beberapa negara-
negara maju, seperti Belanda, Inggris, Amerika, Australia memberikan perincian
yang konkret terkait makna kepentingan umum/public interest. Dilihat dari bentuk
kewenangannya, jika memperbandingkan antara penghentian perkara pidana di
Belanda, Amerika, Inggris, Australia dengan penerapan asas oportunitas oleh
Jaksa Agung di Indonesia, karakternya yang diskresional tentu sama namun
perbedaannya terlihat pada kejelasan makna kepentingan umumnya.340 Menurut
Pedoman Pelaksanaan KUHAP (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP) memberikan penjelasan sebagai
berikut “Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan
asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan
masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat.”
338Menurut Andi Hamzah mengatakan bahwa: ".... sama dengan zaman kolonial yang hanya Jaksa
Agung (Procureur Generaal) yang boleh menyampingkan perkara demi kepentingan umum.Wewenang itu tidak diberikan kepada Jaksa biasa. Hal itu disebabkan tidak dipercayainya merekamelaksanakan yang demikian penting itu. Sedangkan kewenangan mengesampingkan perkarayang berada pada Jaksa Agung ini sejak berlaku Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian termaktub dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terakhir dalam Pasal 35huruf c Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yangmenyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkarademi kepentingan umum. Menurut Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaanasas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran danpendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalahtersebut. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung danbukan pada Jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP). Dengan penjelasanini semakin tidak jelas pelaksanaan asas oportunitas itu. Dengan adanya kata-kata: “Setelahmemperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyaihubungan dengan masalah tersebut” menjadi makin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karenasiapakah badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut?Hal ini berarti wewenang oportunitas ini dibatasi secara remang-remangsehingga tidak adakepastian hukum dalam penerapannya. Lihat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,“Laporan hasil kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas OportunitasDalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006”, Op.Cit .hal. 27
339 Taufik Rachman, “Kepentingan Umum Dalam Mengkesampingkan Perkara Pidana DiIndonesia”, Dalam Hukum Pidana dalam Perspektif, Agustinus Pohan, Topo Santoso, MartinMoerings. ed., (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden,Universitas Groningen, 20120, hal. 150.
340 Ibid .
129
Menurut Mardjono Reksodiputro dalam asas oportunitas : 341
“ Dikenal oportunitas secara negatif dimana hak menutup perkara atas dasarkepentingan umum dimana hak ini digunakan secara terbatas dan hakoportunitas secara positif, disini diakukan pendekatan bahwa apa bila tidakdiperlukan oleh umum maka penuntutan dihentikan”.
Dan menurut Indriyanto Seno Aji asas oportunitas merupakan :342
“Suatu overheidsbeleid yang melaksanakan staatbeleid, karena dapatdipergunakan dalam suatu kewenangan (discreationary power) yangmengikat maupun kewenangan aktif, Kewenangan aktif ini kaitanya denganasas oportunitas memberi kewenangan Jaksa Agung melakukan tindakanterhadap norma tersamar sepanjang kewenangan ini didasarkan asas umumpemerintahan yang baik”.
Sedangkan menurut Eva Achjani Zulva, jaksa mengunakan asas
oportunitasnya atas dasar kewenangan diskresi yang dimilikinya untuk
menentukan suatu perkara akan terus dilakukan penuntutan atau dihentikan.
Menurut Ronald F Wriht sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulva diskresi bagi
jaksa merupakan kewenangan untuk memilih dan menentukan penuntutan suatu
perkara dan menentukan jenis, berat atau lamanya sanksi yang akan dituntut, dan
menurut David E Aronson sebagaimana dikutip Eva Achjani Zulva, makna
diskresi meliputi tindakan menginterpretasikan undang-undang, pengunaan
kewenangan dan pilihan tindakan dari penegak hukum.343 Di Amerika Serikat
konsep diskresi kejaksaan berlaku dalam konteks perdata, administratif, dan
pidana. Menurut Mahkamah Agung Amrika serikat "keputusan lembaga untuk
tidak menuntut atau melaksanakan penuntutan, baik melalui proses perdata atau
pidana adalah keputusan yang umumnya merupakan kebijaksanaan mutlak
sebuah instansi.344
341 Mardjono Reksodriputro, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Makalah YangDisempurnakan Untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi 26 Januari dan 21 April2010), hal. 3.
342 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Op.Cit., hal.465.
343 Eva Achjani Zulva, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Op.Cit., hal.158-159344 Heckler v. Chaney 470 U.S. 821, 831 (1985). http://www.immigrationpolicy.org/just-facts/understanding-prosecutorial-discretion-immigration-law, diunduh 20 April 2013.
130
Diskresi menurut Frieman biasanya mengacu pada suatu kasus dimana
seseorang subjek suatu peraturan, memiliki kekuasaan untuk memilih diantara
berbagai altenatif bentuk diskresi sendiri memiliki empat bentuk.345
Dengan melihat ketentuan asas oportunitas dan pelaksanaannya di negara –
negara lain tampaknya akan lebih efektif apabila kewenagan oportunitas ini di
berikan langsung pada jaksa-jaksa di Indonesia dengan demikian maka perkara –
perkara yang akan dilimpahkah ke pengadilan dapat disaring sebelum sampai ke
pengadilan serta tidak akan terulang kembali pencurian-pencurian ringan yang
sampai ke pengadilan karena dengan melihat begitu banyaknya perkara yang ada
saat ini tidaklah mungkin semua bergantung pada kewenangan oportunitas yang
ada pada jaksa agung.346
Belanda menganut juga asas oportunitas (the principle of discretionary
powers), sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 167(2) dan Pasal
345 Diskresi biasanya mengacu pada suatu kasus dimana seseorang subjek suatu peraturan ,memiliki kekuasaan untuk memilih diantara berbagai altenatif. Diskresi menghasilakn empat tipeperaturan formal, Pertama sebagai peraturan bersifat pasti dan tetap dari dua segi baik publikmaupun petugas tidak memiliki pilihan, peraturan hukum pidana pada umumnya mengambilbentuk ini, misal pelarangan pembunuhan, mencuri ;peraturan diatas kertas bersifat mutlak, parapetugas tidak memiliki hak formal untuk membiarkan seorang pelanggar lepas, Kedua yaituotorisasi , berlaku diskresioner bagi publik namun tidak bagi petugas, contoh ; seorang pria danwanita mengajukan permohonan pernikahan , kemudian ada orang lain yang mengajukan gugatanuntuk itu yang menimbulakan pilihan untuk personal dimata hukum, sehingga para petugas negaratidak memiliki pilihan selain memberi reaksi dengan cara –cara resmi yang telah digariskan.Ketiga privilese berlaku diskresioner dalam dua segi : seseorang yang memenuhi ketentuan bisamelaksanakanya atau tidak sesuai kehendaknya dan ada juga diskresi disisi publik, Keempat hanyapetugas yang memiliki alternatif . hal amat lazim dalam hukum pidana, seringkali diskresi luasbagi para hakim dalam menetapkan hukuman , siterdakwa tidak berhak mengatakan apapun.LihatLawrence M Frieman, Sistem Hukum perspektif Sosial [The Legal System A socila SciencePerspective], diterjemahkan M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, tanpa tahun), hal. 42.346
Berbeda sekali dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakanwewenang semua Jaksa (bukan oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itudenganpengertian : “Penuntut umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpasyarat suatu perkara ke pengadilan” (the public prosecutor may decide – conditionally orunconditionally – to make prosecution to court or not”). Demikianlah sehingga negara-negaraseperti di Nederland, Jepang, Korea (selatan), Israel, Norwegia, Denmark, Swedia dll, asas inidilaksanakan secara penuh, sehingga di Nederland perkara yang diajukan ke pengadilan hanya50% dari semua perkara yang diterima oleh penuntut umum. Di Jepang, perkara yang diputusbebas dari pengadilan hanya 0,001% atau dalam 100.000 perkara yang diajukan penuntut umum kepengadilan baru satu diputus bebas, karena jaksa telah menyeleksi ketat hanya perkara yang cukupbukti yang diajukan ke pengadilan,. Di Norwegia bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendirisebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke pengadilan yang disebut patale unnlantese.Hal ini untuk mencegah menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadipenuh sesak. Baru-baru ini terbit peraturan di Nederland, bahwa semua perkara yang diancampidana dibawahenam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan memperhatikan keadaanpada waktu delik dilakukan,terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan afdoening yaitupenyelesaian di luar pengadilan dengan syarat terdakwa membayar denda administratif.) LihatDepartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Op.Cit., hal 28-29.
131
242(2) dari Wetboek van Strafvordering (KUHAP Belanda), sehingga dapat
memberikan landasan hukum untuk dibuatnya kesepakatan dengan saksi.347
Pelaksanaan asas oportunitas di Belanda, jaksa berwenang menuntut dan tidak
menuntut suatu perkara ke pengadilan, baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
The public prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make
prosecution to court or not. Jadi dalam hal ini, Penuntut Umum tidak wajib
menuntut seseorang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya
akan merugikan kepentingan umum.348
Konsekuensi logis dari asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) di Belanda
OM tidak berada dalam kedudukan memiliki kewajiban mutlak untuk melakukan
penuntutan; atas dasar adanya ‘kepentingan umum’ (gronden aan het algemeen
belang ontleend), OM juga berwenang untuk memutuskan melakukan seponering
atau menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Satu aspek penting lain berkaitan
dengan tugas OM ialah OM tidak saja bertanggung jawab memajukan
kepentingan umum, namun juga hak-hak korban maupun tersangka/terdakwa
selama keseluruhan proses pemeriksaan pidana.349
Implementasi asas oportunitas di Amerika Serikat dikenal dengan istilah
substansial assistance.350 Menurut Linda Drazga Maxfield and John H. Kramer
substansial assistance merupakan : 351
“Inisiatif dari pemerintah yang menyatakan bahwa terdakwa telahmemberikan bantuan substansial dalam penyidikan atau penuntutan oranglain yang melakukan pelanggaran, maka dalam proses pengadilan dapatmenyimpang dari pedoman umum”.
Berdasarkan The Guidelines Manual, the statute, and prosecutorial
directives such as the U.S. Department of Justice’s (DOJ’s) U.S. Attorneys
Manual, terdapat empat ketentuan dalam pelaksanaan substansial assistance
347 Jan Crijns, Op Cit., hal. 162.348 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan
Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 9.
349 Jan Crijs, Op.Cit., hal. 161.350 Ibid, hal 84.351 Linda Drazga Maxfield and John H. Kramer, “Subtantial Assitance ; An Empirical Yardstik
Gauging Equity In Current Federal Policy And Practice”, (United States Sentencing Commission,January 1998), hal. 2.
132
yaitu: 352 Pertama, faktor-faktor yang akan digunakan oleh jaksa sebelum
menetapkan apakah terdakwa yang bekerja dapat diberikan bantuan "substansial”
adanya jaminan dengan bantuan substansial dapat membantu untuk hal belum
terselesaikan, Kedua terbatas dalam tindakan penuntutan, Ketiga bantuan
substansial terkait dengan kerjasama mengenai penyidikan atau penuntutan orang
lain, Terakhir tidak semua bantuan substansial adalah sama
Di Amerika Serikat Prosecutors have wide discretion in Plea Bargaining
with defendants,353sama halnya di Amerika Serikat di Inggris juga dikenal diskresi
penuntutan (Prosecutorial discretion) sepertinya yang diucapkan Attorney
General (Jaksa Agung), Sir Hartley Shocrecross 354:
“Tidak pernah menjadi aturan di negeri ini saya hampir tidak pernah bahwatersangka perbuatan kriminal harus secara otomatis menjadi subjekpenuntutanm’, memang peraturan utama (penuntutan pidana) yang direkturpenuntut umum (Director of Publik Prosecotor) bekerja untukmempersiapkan pada waktu dilakukanya mempunyai sifat yangmenunujukan bahwa kepentingan umum mensyaratkan demikian, itukahyang menjadi pertimbangan menentukan”.
Jaksa di Amerika Serikat (U.S.Attorney, Country Attorney dan District
Attorney atau State Attorney) hampir-hampir mandiri didalam menjalankan
kekuasaan diskresinya itu sejak tahap paling awal penyidikan sampai dengan
proses sesudah peradilan. Keputusannya dibidang penuntutan “hampir bebas sama
sekali dari pengawasan orang atau badan lain”. Ia dapat menghentikan proses
perkara dengan menghentikan penuntutan atau melakukan kompromi mengenai
dakwaan, yang dalam bahasa praktisi hukum Amerika disebut plea bargaining
atau “kompromi pengakuan” sehingga tersangka boleh mengakui kesalahannya
(plead guilty) sebelum ia diadili.355
352 The Guidelines Manual, the statute, and prosecutorial directives such as the U.S.Department of Justice’s (DOJ’s) U.S. Attorneys Manual, include four that are cited below. First,the factors to be used by the prosecutor prior to sentencing to determine whether the cooperationof a given defendant is “substantial” — and therefore warrants a substantial assistance departuremotion — are unaddressed, Second, the authority to move for a §5K1.1 departure is limited to theprosecution. Third, substantial assistance is linked to cooperation concerning the investigation orprosecution of another person Finally, apparently not all substantial assistance is equal.
353 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 4.354 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., hal. 36.355 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis dan
Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op.Cit., hal. 54.
133
Dengan adanya ketentuan saksi mahkota dan plea bargaining dalam RUU
KUHAP maka dalam pelaksanaan nantinya akan memberikan kewenangan
diskresi langsung pada tiap-tiap penuntut umum, dengan demikian lebih dapat
dijamin terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan
yang bertumpu pada keadilan dalam reformasi hukum dan era globalisasi. Karena
diskresi penuntutan, akan terbuka kesempatan bagi jaksa untuk menjaring kasus-
kasus pidana lebih efektif sebelum penuntutan dengan menangguhkan penuntutan,
sehingga pelaku dapat merehabilitasi dirinya sendiri. Ini dikemukakan UNAFEI
yang menyatakan manfaat diskresi penuntutan adalah: 356
1) It allows effective screening of cases before prosecution;2) It afford the prosecutions it suspend prosecution in suitable cases thus
allowing the accused himself;3) It also allows promulgation of criminal policy guidelines at the time.
Melalui kesepakatan dengan saksi tententu, saksi yang bersangkutan dapat
didorong melangkah lebih jauh untuk memberikan keterangan (yang
mengkriminalinasi diri sendiri), sesuatu yang kemungkinan besar tidak mungkin
terjadi tanpa adanya kesepakatan tersebut. Walaupun demikian, kebijakan
(diskresi) penuntutan itu harus dilaksanakan dengan alasan yang memadai dan
informasi yang cukup, dengan aturan dan pedoman yang memadai, dengan
program pembinaan yang memadai bagi mereka yang akan dilepas, untuk
mencapai tujuan tersebut, yang palin pantas melaksanakanya adalah jaksa sebagai
seniman hukum,357 yang memiliki keterampilan hukum.358
356 Ibid., hal. 18.357 Istilah Seniman Hukum (legal crafisman) di ciptakan diciptakan Le Grade, lihat dalam
catatan kaki R.M Surahman dan Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 46.358 R.M Surahman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukanya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 46.
134
2.Mekanisme Pelaksanaan
Sistem peradilan pidana Anglo Amerika dan Eropa Kontinental
menunjukan dua cara pendekatan untuk menemukan fakta yang pada dasarnya
berbeda metode akuisitoir (berlawanan) dan metode inkusitoir.359
Menurut Lon F Fuller tujuan dari kaidah ini (advesarial sistem) bukan hanya
untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah terhadap kemungkinan vonis
yang tidak adil, maksud kaidah tersebut untuk menjaga integritas dari
masyarakat, yang ditujukan agar acara-acara melalui mana masyarakat
mengenakan hukuman kepada para anggotanya yang tersesat tetap sehat dan
359 Menurut Friedman kedua sistem yaitu sistem adu (adversary system ) dan sistem Selidik(inquisitorial system) berbeda seperti siang dan malam ahli hukum common law merasa sistemadversary system adalah satu-satunya cara yang adil dalam menjalankan sidang, karena keadilandan kebenaran akan menang saat kita membiarkan masing-masing pihak berdebat, bersaing dansaling menguji, sedangkan ahli hukum ciwil law berpandangan sistem adu (adversary system )adalah primitif dan sering tidak adil karena menjadi ajang pertarungan antara penasehat hukumyang setengahnya terlalu cerdik sehingga kebenaran tertutupi dalam proses. Lihat : Lawrence MFriedman, Op,.Cit, hal. 19. Menurut Luhut M.P Pangaribuan apabila dirangkum maka perbedaanantara Prinsip inqusitorial dengan advesarial yaitu:
1.Inqusitorial : (1) dalam suatu peeriksaan restored to the confenssion yang could be inducedby torture (2) keterangan yang diberikan tidak bebas (pengakuan) diterima sebagai Legallysufficient indication telah adanya suatu probable cause and reasonable suspicion (3) dandengan adanya probable cause and reasonable suspicion itu akan digunakan sebagai thestandard for arresting a suspect searching or seizing his/her property, or filling a criminalcharge (4) pemeriksaan dijalankan dengan official state monopoly on prosecutor (5) dalampemeriksaan dipengadilan perkembanganya sudah mixed element of theinquisatorial andadvesarial system dengan tetap a limited opportunity for the parties to put their case (6) thejudges play an importan and active role in collecting the evidence dan (7) akan tetapipenekanan masih tetap pada collecting written documentation yang dalam penyidikandikenal BAP (8) yang mewarisi tradisi hukum dari Perancis dan umumnya negara –negaryang mewarisi eropa kontinental.;
2.Advesarial : (1) dalam setiap tahap pemeriksaan kasus kasus pidana fakta yang dikumpulkanharus show beyond reasonable doubt (2) dalam pemeriksaan suatu kasus polisi dan jaksasudah yakin siapa terangkanya tetapi tetap selalu hati-hati karena setiap tindakan misalnyapenyidikan di Inggris harus dibawa ke Summary trial, biasanya dengan pemeriksaan hakimdisebut magistrate atau jury in the Crown Court trial one;s peers (3) dalam sistemadvesarial ini ada doktrin jury system adalah sebagai protection for the defendant againstpower of the state (4) dalam pemeriksaan dipengadilan contest is essential (5) pemeriksaandipengadilan dilakukan dengan cara oral hearing dan the parties to put forward their case(6) dengan pemeriksaan dipengadilan dengan kontek itu, judge an artbitrator untukmemastikan adanya fair flay dari para pihak (7) dalam keseluruhan proses advesarial modelittle official inveloment (8) dikenal suatu proses pleas of guilty dan merupakananimmediately binding judgement. Lihat pula, Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal. 87-91,
135
bermanfaat,360yang pada akhirnya individu dapat bebas sebebasnya dari
prasangka sebagaimana dapat dapat dimungkunkan oleh keadaan manusia.361
Dipengadilan pidana Indonesia saat ini semua aspek perkara itu diputuskan
dan merupakan tanggungjawab hakim atau majelis hakim yang dididik khusus
untuk menjadi hakim, pengadilan indonesia masih mempertahankan stelsel aktif
hakim.362 Di Belanda praktek yang paling lazim pada kasus-kasus dimana
tertuduh secara hukum didampingi pembela merupaka komunikasi tiga arah
antara hakim ketua, jaksa dan pembela (atau team pembela), hakim ketua
mendominasi komunikasi (mirip Indonesia), pihak terlemah atau paling lemah
dalam interaksi ini adalah pembela, tertuduh sebagian besar objek pemeriksaan
perkara.363
Seperti dalam semua prosedur inquisitorial modern di benua Eropa,
pengaturan prosedural dan organisasi yang mengatur peradilan pidana di Belanda
mencerminkan bagaimana individu mendefinisikan hubungan mereka dengan,
harapan dari negara dalam hal rechtstaat modern: negara adalah fundamental
bagi rasional realisasi peradilan pidana sebagai bagian dari 'kepentingan umum',
dan dengan demikian diharapkan (dan dipercaya) untuk menegakkan hukum dan
ketertiban baik dan kebebasan individu.364
Ketentuan dalam rancangan KUHAP Indonesia mencerminkan kesediaan
untuk menghargai kerjasama dengan pengurangan hukuman dalam bentuk bentuk
tawar-menawar dengan terdakwa. Namun dalam pelaksanaanya para jaksa
hendaknya memberikan pertimbangan yang tepat untuk mengeyampingkan
penuntutan, untuk menghentikan proses perkara dengan atau tanpa syarat atau
penyimpangan yang diperbolehkan undang undang atau praktek dari sistem
360 Lon F Fuller, Sistem Perlawanan, Dalam Ceramah Radio oleh Profesor-Profesor HarvardLaw School, Disusun oleh Harold J. Berman diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D. (TatanusaJakarta, 2008), hal. 30-31.
361 Ibid., hal. 36.362 Lihat Luhut M.P Pangaribuan, Op, Cit, hal. 20. Stelsel aktif artinya haki yang memimpin
sidang secara aktif untuk melakukan pemeriksaan fakta (fact finding) termasuk menentukan hal –hal apa saja yang masih perlu disajikan para pihak, kekuasaan hakim dalam pengadilan yangpidana berdasarkan stelsel aktif ini menjadi absolut.
363 L.H.C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, [TheDutch Criminal Justice Sistem From A Comparative Legal Prespective ] disadur oleh SoedjonoDirdjosisworo, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), hal. 151.
364 C.H. Brants-Langeraar, “Consensual Criminal Procedures: Plea and Confession Bargainingand Abbreviated Procedures to Simplify Criminal Procedure”, Electronic Journal of ComparativeLaw,( vol. 11.1 May 2007), hal. 2.
136
peradilan pidana yang formil, dengan sepenuhnya menghargai hak-hak para
tersangka dan korban, untuk tujuan tersebut negara harus menjaga
dimungkinkanya rencana diversi bukan sekedar untuk meringankan beban
pengadilan yang berlebihan saja, melainkan juga mencegah akibat buruk dari
penahanan sementara, dakwaan dan penghukuman maupun akibat buruk
kemungkinan pengaruh yang tidak diharapakan dari penjara.365
Dalam memutuskan The Whiskey Cases 49 pada tahun 1878,366 Mahkamah
Agung Amerika Serikat, meninjau apakah praktek hukum common law dapat
menerima sistem saksi yang bersifat kooperator, dalam kesimpulanya terdakwa
yang bersaksi terhadap kelompoknya memiliki hak memperoleh keadilan dalam
persidangan untuk mengajukan permohonan pengampunan, Mahkamah mengakui
pentingnya diskresi penuntutan dalam menentukan pelaksanaan penuntutan
pidana, termasuk keputusan untuk menawarkan bujukan kepada saksi
pemerintah.367
Aturannya adalah bahwa pengadilan tidak akan menyarankan Jaksa Agung
bagaimana ia akan melakukan penuntutan pidana, hal itu dianggap sebagai
provisi jaksa penuntut umum, bukan dari pengadilan yang menentukan apakah
terdakwa akan membantu atau tidak pembantu dan bersedia membuka kesalahan
dirinya dan rekan-rekannya serta dan diperiksa untuk negara. Karena jaksa yang
terbaik dan memenuhi syarat untuk menjawab pertanyaan itu, karena jaksa tahu
365 Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang PerananPara Jaksa, Point 18 Fungsi dan Sifat Diskresi”, Diterima Oleh Kongres Perserikatan BangsaBangsa Ke-8 Tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Tindak Pidana, 1990,Hak Cipta Terjemahan Pada R M Surahman.
366 The Whiskey Cases, 99 U.S. at 603. The Court also offered the following advice toprosecutors on appropriate procedures to be employed in determining whether to accept an offerby a defendant to cooperate: Applications of this kind are not always to be granted, and in orderto acquire the information necessary to determine the question, the public prosecutor will grantthe accomplice an interview, with the understanding that any communications he may make to theprosecutor will be strictly confidential. Interviews for the purposed mentioned are for mutualexplanation, and do not absolutely commit either party . . . . Prosecutors in such a case shouldexplain to the accomplice that he is not obliged to criminate himself, and inform him just what hemay reasonably expect in case he acts in good faith, and testifies fully and fairly as to his own actsin the case, and those of his associates. When he fulfills those conditions he is equitably entitled toa pardon, and the prosecutor, and the court if need be, when fully informed of the facts, will join insuch a recommendation. Id. at 603–04. With the exception of the matter of pardon, theserecommended procedures closely resemble the procedures generally used by modern-day federalprosecutors in debriefing potential cooperating defendants.
367 Hon. H. Lloyd King, Jr, Op.Cit., hal. 163.
137
bukti apa saja yang dapat dikemukakan untuk membuktikan tindak pidana yand
di tuduhkan.368
Menurut Kevin Ricardson pada sesi-sesi penawaran terhadap kooperator dan
keputusan untuk menggunakan terdakwa sebagai kooperator harus
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian.369 Dan jangan melupakan
kooperator anda seorang kriminal sebagaimana ia sesungguhnya, pada waktu yang
sama tunjukan kepada juri bukti lain yang menunjukan kejujurannya.370
Di Belanda satu aspek terpenting dari prosedur yang harus ditempuh
berkenaan dengan tahap pengujian kesepakatan yang dibuat antara saksi dengan
OM oleh hakim, Hakim komisaris dalam tahapan ini akan memeriksa dan menguji
tidak saja keabsahan (rechtmatigheid) dari imbalan yang ditawarkan melainkan
juga seberapa jauh saksi dan keterangannya dapat diandalkan dan dipercaya (Pasal
226h(3) KUHAP Belanda), Hanya bilamana hakim komisaris telah memutus
keabsahan kesepakatan dengan saksi dan menyatakan bahwa keterangan saksi
layak dipercaya, maka kesepakatan boleh diwujudkan.371.
Berkaitan dengan pelaksanaan kerjasama dengan pengurangan hukuman
dalam bentuk bentuk tawar-menawar dengan terdakwa, maka harus diperhatikan
batasan umum dalam bentuk kesebandingan antara, satu pihak, kejahatan yang
disangkakan terhadap saksi dengan, pada lain pihak, kejahatan yang dengan
bantuan keterangan yang diberikan saksi tersebut dapat dituntut serta dituntaskan
dengan baik. Dengan kata lain, kesepakatan dengan saksi kiranya hanya layak
dipertimbangkan untuk dibuat apabila yang dihadapi adalah kasus-kasus yang
relatif besar dan penting.
Dalam konsep yang dianut dalam RUU KUHAP dimungkinkan untuk
diberikan kekebalan dari penuntutan (immunity from prosecution) kepada
tersangka yang mempunyai peran paling ringan, yang berdasarkan konsep
Protection of Cooperating Persons yang memilki keterkaitan dengan saksi
Mahkota dengan penerapan ajaran deelneming (penyertaan) pada Pasal 55
368 Ibid .369 Hasil Wawancara, tanggal 21 Maret 2013.370 Hasil Wawancara dengan Charles Guria, tanggal 21 Maret 2013.371 Jan Crijs, Op. Cit., hal.167.
138
KUHP.372 Pemberian kekebalan dari penuntutan (immunity from prosecution)
hampir mirip dengan yang dianut dalam kosep saksi mahkota yang ada di Italia
dan sangat berbeda dengan yang diterapkan di Belanda dan Amerika Serikat.
Konsep pemberian kekebalan penuntutan ini penting untuk dipikirkan,
karena sebenarnya jaksa tidak dapat menjamin bahwa kekebalan penuntutan dan
pengurangan pidana yang dijanjikan akan benar terwujud. Karena kewenangan
nyata mutlak ada pada hakim yang memeriksa perkara pidana di mana saksi
sekaligus diperiksa sebagai terdakwa. Sekalipun hakim dalam kasus-kasus di
mana saksi memberikan kerjasamanya, umumnya bersedia memenuhi janji yang
diberikan jaksa penuntut umum, tidak dapat dipungkiri bahwa saksi/ terdakwa
dapat memberikan keterangan bohong dan mencabut keteranganya .
Serta sistem hukum civil law sebagaimana yang dianut di Indonesia
menganut civil Law, sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Rabatel dalam
tulisannya Legal Challenges in Mutual Legal Assistance yang diterbitkan Asian
Development Bank (ADB) sebagaimana dikutip Artidjo Alkostar mengatakan :373.
“It is also common for requested authorities to ask the requestingauthorities to offer a witness immunity from prosecution. This could be aproblem in civil law countries, where granting immunity to a witness is notcommon”.
Jadi, dalam sistem hukum Civil Law atau Kontinental (bukan Anglo Saxon)
menjamin saksi untuk tidak dituntut (menjamin imunitas) adalah tidak lazim
Di Belanda sendiri ada batasan mengenai kesepakatan dengan saksi
ketentuan Pasal 226g (1) KUHAP Belanda, jaksa-penuntut umum berwenang
untuk membuat kesepakatan demikian hanya bila berhadapan dengan kriminalitas
berat, atau lebih konkretnya, 1) dalam hal adanya persangkaan (verdenking)
dilakukan kejahatan yang diancam dengan sekurang-kurangnya 8 tahun penjara,
2) atau dalam hal adanya persangkaan dilakukannya kejahatan yang diancam
dengan sekurangkurangnya 4 tahun penjara dan yang diperbuat dalam ikatan atau
jaringan yang terorganisir.374
372 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “Laporan hasil kerja Tim Analisis danEvaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana TahunAnggaran 2006”, Op. Cit., hal. 86.
373 Artidjo Alkostar, Op.Cit., hal. 4.374 Jan Crijns, Op.Cit., hal. 163.
139
Dalam hukum Belanda pembatasan terpenting ialah larangan untuk
menawarkan imbalan imunitas (kekebalan) mutlak terhadap penuntutan pidana,
dalam arti saksi kemudian tidak akan dituntut atas kejahatan terhadap mana ia
berkedudukan sebagai tersangka, pembatasan ini dengan kata lain berarti bahwa,
saksi dengan siapa jaksa-penuntut umum membuat kesepakatan bagaimana pun
juga tetap akan dituntut atas tindak pidana yang disangkakan terhadapnya.375
Sedangkan di Amerika Serikat menurut Charles Guria, bentuk hukuman
yang diberikan adalah hukuman yang ringan bagi cooperator, tetapi hukuman
yang lebih berat untuk pelanggaran kesepakatan, contoh : 376
“Terkait dengan perkara Kings County Grand Jury Nomor 1234/2013, yangmelibatkan Pencurian (Grand Larceny), Kepemilikan secara Pidana atasBarang Curian dan Persekongkolan untuk melakukan tindak pidanaterhadap Sovereign Bank pada tanggal 1 Januari, 2013, telah disepakatibahwa Terdakwa akan mengaku bersalah atas satu Dakwaan Berat (SeriousCharge) dan Dakwaan Ringan (Less-Serious Charge). Apabila selamamasa kerjasama, Terdakwa ditangkap kembali atau dengan cara apa punmelanggar kesepakatan tersebut, Kantor ini akan menghadirkan Terdakwadi pengadilan dan minta agar dipidanakan sesuai dakwaan yang Terdakwasudah mengaku bersalah dan mendapatkan hukuman maksimumberdasarkan Kitab Hukum Pidana. Setelah berhasil memenuhikewajibannya sesuai kesepakatan ini, Kantor ini akan meminta pengadilanagar Terdakwa diizinkan untuk mencabut pengakuan bersalah yangsebelumnya diajukan terhadap Dakwaan Berat dan mempindanakan yangTerdakwa atas Dakwaan Ringan sesuai yang diizinkan oleh Undang-Undang”.
Perlu dipahami bahwa kesepakatan ini bukan merupakan janji tertentu untuk
putusan tertentu. Selanjutnya perlu dipahami pula bahwa putusan final tunduk
pada persetujuan dari hakim Mahkamah Agung yang menangani perkara ini.
Selanjutnya disepakati dan dipahami oleh para pihak bahwa terdakwa akan
mematuhi semua penangguhan perkara yang sedang berjalan hingga pada saat
kerjasamanya tidak diperlukan lagi oleh kantor ini.377
Dalam pertanggungjawaban pidana yang menyangkut bentuk penyertaan
dimana dalam bentuk ini saksi mahkota diterapkan, menurut hukum pidana
Belanda dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, golongan
375 Ibid, hal 164.376 Charles Guria,”Successful Techniques for the Investigation & Prosecution of Corruption”,
(Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-tehnik Sukses Dalam Penyidikan dan PenuntutanKasus Korupsi, Bertempat di Hotel JW Mariott, Jakarta: Tanggal 20-21 Maret 2013).
377 Ibid.
140
penyertaan dimasukan dalam kelompok pembuat peristiwa pidana yang meliputi,
pelaku (Pleger), Orang Yang Membuat Orang lain Melakukan atau Penyuruh
(Doen Pleger), Mereka Yang Ikut Serta Dalam Suatu Tindak Pidana
(Medeplegen) dan Mereka Yang Menggerakan Orang Lain Untuk Melakukan
Tindak Pidana (uitloken),
Namun dalam hal pembantuan (medeplichtigheid) menurut KUHP beban
tanggungjawabnya lebih ringan dengan pidana maksimum dikurangi sepertiga,
sedangkan menurut Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dalama pasal 22 ayat 2 ketentuan tentang Pembantu tidak berlaku untuk
pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori
I (tingkat keseriusan, sangat ringan-tidak ada pidana penjara-denda kategori I
Rp.150.000).378 Sedangkan di Belanda memandang sifat accessoir atau
keterkaitan dengan perbuatan pelaku menyebabkan pembantu tidak dapat
diringankan379.
Dalam common law dalam melihat principals (peserta utama) dalam dua
bentuk yaitu ; 1) Principals in the first degree (pembuat derajat pertama) ialah
barang siapa yang secara nyata melakukan kejahatan, baik dengan tangan sendiri,
maupun dengan alat perantara yang tidak benyawa atau an innocrnt human agent
(alat berupa manusia yang tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan), 2) Principals in the second degree ialah barang siapa
yang hadir ketika suatu kejahatan dilakukan oleh orang atau yang membantunya
atau yang bersekongkol dengannya dalam mewujudkan delik.380
Dan menurut Cristopher Ryan sebagai mana dikutip Andi Hamzah
Principals offender ialah seseorang yang bertanggungjawab secara langsung
dalam melakukan actus reus yang mewujudkan suatu kejahatan, dengan ketentuan
bahwa ia terbukti mempunyai mens rea (kesalahan dalam arti luas) yang
ditentukan oleh hukum, accesories menurut Cristopher Ryan dimasukan kedalam
secondary participation, yaitu seorang yang secara tidak langsung terlibat dalam
perwujudan delik, tetapi walaupun demikian, ia dianggap oleh hukum as if he
378 Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Naskah RUU KUHP,www.djpp.depkumham.go.id, Op, Cit .
379 Andi Hamzah Dan A.Z . Abidin , Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit., hal. 505.380 Ibid., hal. 445.
141
were a principal offender, seolah-olah ia principal offender.381 Untuk pembantuan
menurut pasal 56 KUHP mempunyai kesamaan dengan accessory before the fact,
yang menurut Clark & Marshall sebagaimana dikutip Andi Hamzah yaitu peserta
yang receives (menerima) relieves (membebaskan) comfort (menolong) atau
assists (membantu) orang lain secara pribadi, sedangkan diketahui bahwa bahwa
orang itu telah melakukan kejahatan.382
E. Paradigma Pergeseran Sistem Dalam RUU KUHAP
Perbedaan mencolok antara sistem Anglo Amerika dan Eropa kontinental
mencolok tidak hanya menyangkut percabangan dua sistem akuisotorial dan
iquisatorial.383 tetapi juga dapat dilihat dari perbagai alat peradilan pidana hal
tersebut karena akar falsafah dan politik yang khas dari sistem anglo Amerika dan
Eropa Kontinental, pada intinya sistem Aglo Amerika memperlihatkan ide
individualisme dan desetralisasi sedangkan sistem eropa kontinental didasarkan
pada prinsip keseragaman, organisasi, birokratik, dan sentralisasi, serta sistem
anglo Amerika memperlihatkan kecendrungan untuk mengutamakan keadilan
dalam acara serta perlindungan hak-hak individu yang sangat tinggi sedangkan
sistem Eropa kontinental sangat ditekankan untuk mengembangkan secara hati-
hati hukum acara yang memadai untuk dapat memastikan fakta-fakta agar dapat
dicapai keputusan yang adil dalam suatu perkara.384
Dalam sistem kontinental sekalipun, dalam rumpun yang sama ditemukan
perbedaan-perbedaan sebagaimana penelitian Prof. Stephen C. Thaman, karena
secara individual ada kecenderungan di negara – negara Eropa dewasa ini ini
381 Ibid., hal. 444.382 Ibid, hal 448.383 Menurut Richard Demming sebaiaman dikutip Soedjono Dirdjosisworomengemukakan: the
great difference between continental lawand english American law that in European court theinquisitorial system used, in england and America the adversary system used, Lihat SoedjonoDirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandinagan Hukum , Bandung : Alumni , 1984,hal. 4. Menurut Friedman Kedua sistem yaitu sistem adu (adversary system ) dan sistem selidik(inquisitorial system) berbeda seperti siang dan malam ahli hukum common law merasa sistemadversary system adalah satu-satunya cara yang adil dalam menjalankan sidang, karena keadilandan kebenaran akan menang saat kita membiarkan masing-masing pihak berdebat, bersaing dansaling menguji, sedangkan ahli hukum ciwil law berpandangan sistem adu (adversary system )adalah primitif dan sering tidak adil karena menjadi ajang pertarungan antara penasehat hukumyang setengahnya terlalu cerdik sehingga kebenaran tertutupi dalam proses. Lihat pula LawrenceM Friedman, Op,Cit, hal. 93.
384 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandinagan Hukum,(Bandung: Alumni , 1984), hal. 27.
142
membuka diri ke sistem luar yang lebih baik, beberapa negara telah menerima hal
yang dianggap baik dari common law yakni mengenai prosedur advesarial untuk
memodernisasi sistem inkusatorial yang dianut.385 Dengan studi perbandingan
hukum pidana antara lain lain menemukan fakta bahwa negara – negara dunia
ketiga masih berlaku atau setidak-tidaknya dipengaruhi kuat oleh negara bekas
penjajah, dalam hal ini Indonesia secara mengakar bahkan KUHP dan berbagai
undang-undang masih bekas peninggalan pemerintah hindia Belanda.386
Menurut Friedman, ilmu kedokteran, ilmu terapan dan alam, dimanapun
pada dasarnya sama namun hukum ditentukan secara tegas berdasarkan
kebangsaan, hukum berhenti sampai perbatasan negara, jadi tidak ada dua sistem
hukum yang betul betul serupa , masing masing sistem hukum bersifat khusus
bagi negaranya atau yuridiksinya, hal ini terkait bahwa setiap sistem hukum
sepenuhnya berbeda dengan sistem hukum lainya.387
Dalam konsep RUU KUHP Indonesia Pasal 137-175 ketentuan prosedur
persidangan sudah mengarah ke adversarial atau antara penuntut umum dan
terdakwa/penasihat hukum lebih berimbang. Penuntut umum dan terdakwa diberi
kedudukan seimbang sehingga tidak adalagi berita acara yang dibuat oleh
penyidik yang diserahkan kepada hakim. Hakim hanya menerima dakwaan dan
daftar terdakwa dan saksi. Jadi benar-benar hakim berada di tengah-tengah antara
pertarungan penuntut umum dan terdakwa beserta penasihat hukumnya. Para
pihak dapat mengajukan saksi-saksi dan bukti lain di sidang pengadilan388. Inilah
yang merupakan perubahan penting yang berbeda dengan KUHAP 1981 yang
menurut Mr. Robert Strang dari OPDAT, masih tetap sama dengan HIR dan
KUHAP Belanda, kecuali beberapa perubahan.389
Menurut Robert R Strang salah satu tujuan eksplisit dari Kelompok Kerja
adalah untuk membuat KUHAP yang baru yang lebih adversarial, tujuan ini
diabadikan dalam satu dari ketentuan awal kode rancangan acara pidana yang
385 Luhut M.P Pangaribuan, Op.Cit., hal. 93.386 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hal. 11.387 Ibid., hal. 19.388 Departemen Hukum Dan Hak Asasi manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang
Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Op, Cit.389 Robert Strang, “More Adversarial, but not Completely Adversarial”: Reformasi of the
Indonesian Criminal Procedure Code”. Fordham International Law Journal, (Volume 32, Issue 12008 Article 13), hal. 5.
143
tercakup dalam Undang-undang ini harus dilaksanakan secara adil dan dalam
adversarial, dengan cara ini penekanan adversarial baru yang paling jelas pada
sidang panggung. Ketentuan ini tidak diadopsi dari sistem hukum common law
tetapi lebih kepada sistem civil law Prancis.390 Lebih lanjut Robert R Strang
mengatakan bahwa, Kelompok Kerja (Tim Pembuat RUU KUHAP) telah
melakukan sintesi dua tradisi untuk menghasilkan sistem peradilan pidana yang
jauh lebih fleksibel. Konsep KUHAP menghilangkan banyak ketentuaan dalam
saat ini, yang dinilai formalisme dan telah kritis diwarisi dari sistem Belanda
dan menggantikannya dengan sistem hybrid yang lebih Advesarial tetapi
berusaha untuk melestarikan bagian dari tradisi inquistorial nya.
Di Indonesia sistem hukum tumbuh dan berkembang didasarkan pada asas
konkordasi, dimana berlaku beberapa sistem hukum, pada satu sisi
memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa
Kontinental) dan disisi lain berlaku pula hukum adat sebagai hukum yang asli.
Tidak cuma itu, diantara kedua sistem hukum tersebut berlaku pula hukum Islam.
Dalam konteks keberagaman sistem hukum ini, asas penting dalam kehidupan
adat adalah sifat kekeluargaan (komunalitas) dan dengan masukknya agama Islam
ke Indonesia, maka banyak daerah adat yang menyerap unsur-unsur agama Islam
dalam kehidupan hukum adatnya.391
Melihat kenyatan dalam RUU KUHAP tidak hanya menyerap sistem hukum
dari ciwil law tetapi juga banyak mengadopsi ketentuan dari common law maka
tampaknya akan terjadi pergeseran dalam sistem hukum Indonesia pidana,
sehingga dalam kenyataanya yang akan datang sistem hukum pidana Indonesia
merupakan campuran antara sistem common law dan sistem ciwil law. Saat ini
390 Robert R. Strang, More Adversarial, but not Completely Adversarial”: Op, Cit art. 4. Thisprovision was not adopted from a common law system, but rather from the former heart of the civillaw system-France. See CODE DE PROCEDURE PENALE, art. l-P, available athttp://www.legifrance.gouv.fr/initRechCodeArticle.do [hereinafter C. PR. PEN.]; see also Draft ofKUHAP dated Jan. 18, 2006, art. 3A (on file with author) (noting French origin). The Frenchcriminal procedure code has introduced more adversarial elements in recent years, such as guiltypleas, traditionally associated with adversarial systems, see C. PR. PEN., supra, art. 41 (2)-(3),and most recently allowing the prosecutor and defense attorney to question witnesses directly, butit is not yet clear whether these recent innovations have really shifted the inquisitorial approach ofFrench judicial actors. See Transplants to Translations, supra note 2, at 59-63.
391 Sunarjati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:Alumni,1991), hal. 57-60.
144
pun menurut Ahmad Ali sebenarnya realitas hukum Indonesia tidak dapat disebut
sistem civil law murni lagi karena :
“Dalam realiatasnya hukum Indonesia, memberlakukan : (1) perundang-undangan (ciri eropa kontinental), 2. Hukum adat (ciri customary law), (3)hukum Islam dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia (ciri muslim lawSystem), dan (4) hakim Indonesia didalam praktik mengikuti yurisprodensi(yang merupakan ciri common law system, dengan asas stare decisi itulahargumen sehingga pakar modern memasukan indonesia kedalam ‘mix legalsystem” .392
Dengan Melihat kenyatan bahwa masyarakat bahwa Indonesia negara
berpenduduk muslim terbesar didunia dan menurut data statistik BPS (akhir
2010), jumlah pemeluk agama Islami sekitar 87.18 persen dari 237.641.326
penduduk Indonesia, sehinga perlu juga dilakukan dipertimbangkan kemungkin
untuk menyerap Islamic law dalam hukum acara pidana yang akan datang.
Karena dalam era globalisasi dan era reformasi harus ditekadkan untuk melakukan
pembaharuan yang mendasar terhadap kekeliruan –kekeliruan dalam bidang
hukum yang telah dibuat dimasa lalu.393
Maka menurut Ahmad Ali tak ada metode yang relevan untuk menghadapi
isu hukum era globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara
proposional secara serentak ketiga pendekatan hukum : normatif , empiris dan
filusufis, dan itulah yang dikenal sebagai triangular conceptof legal pluralism.394
Menurut Wagner Menski sebagaimana dikutip Ahmad Ali triangular conceptof
legal pluralism (konsep segitiga plurarisme hukum),395yang sangat relevan bagi
hukum bangsa Asia dan Afrika mengunakan tiga tipe utama pendekatan hukum
yaitu hukum yang diciptakan masyarakat (social norms), hukum yang diciptakan
negara (state made law) dan hukum yang timbul melalui nilai estetika/religi
(ethical value), triangular conceptof legal pluralism dari Menski ini memperkuat
konsep Lawrence M friedman tentang unsur ketiga hukum yaitu legal culture
392 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence), Vol 1, (Jakarta:Kencana , 2012), hal. 449.
393 Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, (Jakarta:Komisi HukumNasional RI, 2009), hal. 173.
394 Ahmad Ali, Op,Cit., hal. 185.395 Lebih lihat Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence), Op.Cit., hal.184 -201.
145
(kultur hukum), tipe hukum yang ideal menurut Menski, suatu tipe hukum yang
berhasil secara optimal menjalin interaksi antara tiga komponen utama tadi.396
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia Topo Santoso
berpendapat :397
“Selama ini dalam pembaharuan hukum di Indonesia, bahan-bahan yangdiambil senantiasa dan terutama berasal dari konsep-konsep danpengalaman dari keluarga hukum civil law dan common law, padahal kianlama, kian tampak bahwa masyarakat memerlukan sumber-sumberalternative yang berbeda dari kedua keluarga hukum itu, bagi masyarakatmuslim, hukum Islam tentu memiliki tempat yang lebih tinggi karenahukum ini merupakan bagian dari integralitas ajaran Islam dan selarasdengan rasa keimanan”.
Selain itu Perkembangan hukum di Indonesia tidak hanya dirumuskan
sebagai usaha untuk membuat kehidupan hukum di negeri ini menjadi lebih
modern melainkan juga menyesuaikan ciri-ciri serta persyaratan hukum modern
itu dengan kecendrungan budaya Indonesia, sehingga hukum tersebut benar –
benar dapat menjadi bagian kebudayaan Indonesia.398 Oleh sebab itu hukum
pidana, yang merupakan the punitive of social control dan sebagai produk politik,
sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum
dan dirumuskan para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan
pidana.399
Berajak dari uraian diatas sudah sepantasnya Islamic law dapat dijadikan
sebagai bahan rujukan untuk pembaharuan hukum pidana acara pidana di
Indonesia. Sebagai salah satu hal yang menarik untuk dikaji sebagai sumber
alternatif dalam hal pembuktia, sumpah dan saksi yang berkaitan dengan saksi
mahkota, menarik untuk melihat kepada sistem Islamic law yang berlaku di Arab
Saudi yang mana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan hukum
pembuktian yang dianut di Indonesia saat ini (civil law) maupun yang diterapkan
di Amerika Serikat (common law). Dalam hal pembuktian dalam hukum Islam
396 Ibid, hal 184 -201397 Topo Santoso, “Hukum Pidana Islam Dalam Studi Hukum”, Makalah ini disampaikan
dalam Seminar Perkembangan dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, diselenggarakan olehLKIHI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok:7 Desember 2006, hal 5.
398 Satjipto Raharjo, Hukum Dan Perubahan Sosial , Bandung: Alumni, 1983, hal 291.399 Harkrisnowo, Harikristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan Suatu Gugatan Terhadap
Legislasi Dan Pemidanaan di Indonesia. Op.Cit, hal 2 .
146
dikenal diktum yang berbunyi“Pembuktian itu dibebankan (wajib) atas pengugat,
sedangkan sumpah dibebankan (diwajibkan) kepada yang menolak gugatan”.400
Diktum tersebut menjadi kaidah umum dalam penyelesaian perkara,
didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa orang yang menggugat (penggugat)
itu belum tentu benar untuk itu diwajibkan menunjukan bukti fisik menguatkan
gugatanya, sedangkan pihak yang menolak gugatan (terdakwa) wajib
mengucapkan sumpah didepan majelis hakim, selain sebagai kaidah umum
diktum tersebut menunjukan bahwa kebenaran yang diputus pengadilan itu adalah
kebenaran formal.401
Pada masa Rasulullah SAW, untuk penyelesaian perkara yang secara kasat
mata sulit dibuktikan karena tidak cukup bukti, Rasulullah SAW banyak
melakukan sentuhan imani dan dan sentuhan nurani, dengan kata lain Rasulullah
SAW tidak hanya hanya berpegang pada fakta hukum yang sebenarnya nampak
tetapi juga dengan pengakuan tulus dari para pihak untuk sejujurnya menyantakan
dan menyampaikan duduk perkara dengan benar.402
F. Konsep lain yang Mengatur Keturutsertaan Saksi dalam Suatu TindakPidana
1.Whistelblower dan Justice Collabolator
Pembahsaan konsep lain yang mengatur juga keturutsertaan saksi dalam
tindak pidana ini, dimaksudkan untuk melihat apa yang dimaksud whistel blower
dan justice collabolator serta perbedaan dan persamaannya dengan saksi mahkota
sehingga didapat makna yang jelas dan batasan masing- masing dari konsep
tersebut. Walaupun sampai saat ini untuk saksi mahkota, whistelblower dan
justice collabolator di Indonesia belum ada payung hukum atau peraturan
setingkat undang- undang yang mengatur, namun padahal akhir-akhir ini banyak
sekali mencuat suatu perkara yang menyangkut whistelblower dan justice
collabolator seperti dalam kasus pemberian travel cek kepada anggota DPR yang
400 Oyo Sunaryo Muklas, Perkembangan Peradilan Islam, di Jazirah Arab Ke PeradilanAgama Di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 63.
401 Ibid., hal. 63-64.402 Ibid., hal. 50.
147
kemudian di bongkar oleh salah satu penerimanya Agus Condro atau kasus pajak
Gayus Tambunan yang di buka oleh Susno Duaji.
Saat ini pengertian tentang Whistleblower dan Justice Collaborator baru
sebatas Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi
Whistleblower dan Justice Collaborator, kedua istilah ini mendapat pemisahan
yang tegas. Pemahaman pertama, tetap disebut sebagai whistleblower, sedangkan
pemahaman yang kedua dikategorikan sebagai justice collaborator. Menurut
SEMA tersebut, whistleblower adalah seseorang yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Apabila
pelapor (whistleblower ) dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang
dilaporkan mengenai whistleblower diisyaratkan adanya hal-hal sebagai
berikut:403
a. Saksi pelapor merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindakpidana, akan tetapi bukan merupakan bagian dari pelaku tindak pidanayang dilaporkan;
b. Jika Pelapor tindak pidana juga dilaporkan oleh terlapor maka perkaraterlapor yang dilaporkan oleh Pelapor didahulukanpenanganannya.pelapor didahulukan.
Namun berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2011 tersebut tampaknya ada
perbedaan pemaknaan mengenai keterlibatan atau keturutsertaan seorang
whistleblower dalam tindak pidana yang dilaporkan, seperi halnya yang
berkembang di negara lain. Dalam pengertian SEMA diatas disyartakan bahwa
seorang whistleblower atau saksi pelapor merupakan pihak yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana, akan tetapi bukan merupakan bagian dari pelaku tindak
pidana yang dilaporkan.
Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro dalam bahan pustaka
pengertian whistleblower adalah:404
“Pembocor-rahasia atau pengadu. Dia adalah seorang yang membocorkaninformasi yang sebenarnya bersifat rahasia di kalangan di mana informasiitu berada, tempat di mana informasi itu berada maupun jenis informasi
403 Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2011.http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/peraturan/10-sema/191-sema-no-14-tahun-2010-dokumen-elektronik-sebagai-kelengkapan-berkas-kasasipk-.html , diunduh 4 Januari 2013.
404 Mardjono Reksodiputro, “Pembocor-rahasia (whistleblower) dan Penyadapan-rahasia(wiretapping,electronic interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia”, (MakalahDisampaikan 3 Agustus 2010 dalam Seminar Center for Legislacy,Empowerment,Advocacy andResearch(CLEAR) Di Hotel Le Meridien).
148
tersebut dapat bermacam-macam, si pembocor sendiri adalah “orang-dalam”di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yangdibocorkan itu, karena dia adalah “orang-dalam” maka dia menempuh risikodengan perbuatannya itu”.
Dalam buku Memahami whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) memberi kriteria untuk disebut sebagai whistleblower, saksi
setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar yaitu:405
1. Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritasyang berwenang atau kepada media massa atau publik. Denganmengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massadiharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar;
2. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yangmengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi ditempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selaluterorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian daripelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalamskandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
Whistleblower merupakan makna kriminologis bagi mereka yang memiliki
keberanian membongkar suatu kejahatan yang berada dilingkungan kehidupan,
profesi maupun sosianlnya 406. Menurut Indriyanto Seno Adji peran inner-circle
criminal dianggap memiliki daya potensial untuk membuka tabir kejahatan lebih
signifikan, namun demikian sebagai suatu balanced og bargain terhadap pelaku
tersebut diberikan suatu reward berupa perlindungan hukum yang dinamakan
protection of cooperating person baik itu person diartikan sebagai saksi
(waitness), korban (victim) maupun pelapor (reporter).407
Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan
masing-masing, diantaranya :408
1. Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989,Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunanpangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakdiskriminasi;
405 Abdul Haris Semendawai, et al., Memahami WHISTLEBLOWER, (Jakarta: LembagaPerlindungan Saksi dan Korban , 2011), hal. 2-3.
406 Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif, Op. Cit., hal. 190.407 Ibid .408 Eddy O.S. Hiariej, Legal Opin: “Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat (2)Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban”, Newslette Komisi HukumNasional ,(Vol. 10 No.6 tahun 2010), hal..23.
149
2. Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected DsdosuresAct Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dariaccupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatanatau pekerjaan;
3. Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code ofCanada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yangmemberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat ataumelakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengantujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintahatau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yangmemberikan informasi;
4. Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 ProtectedDsdosures Act 1994. Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak adapertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan daripenceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan danperlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media;
5. Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes DisclouseAct 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dariviktimisasi serta perlakuan yang merugikan.
Sedangkan seseorang Justice Collaborator, menurut SEMA No. 4 Tahun
2011, yaitu :
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentusebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yangdilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut sertamemberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
b. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yangbersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangatsignifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapatmengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkappelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/ataumengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana;
c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja samasebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yangakan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidanasebagai berikut:
i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atauii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan
diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkaradimaksud.
Secara historis sejak tahun 1930, Kitab Hukum Pidana Italia memberikan
kekebalan sebagian ataupun penuh dari hukuman jika pelaku memberikan ganti
rugi atas kerugian kejahatan atau bekerjasama dengan pihak berwajib dalam
perkara konspirasi politik atau kegiatan yang berhubungan dengan
150
gang/kelompok. Baru pada tahun 1984 ketika, Mafioso Sisilia Tommaso Buscetta
menentang Mafia dan memulai karirnya sebagai kolaborator hukum, perlindungan
saksi dibentuk secara formil. Busceta menjadi saksi bintang dalam persidangan
Maxi, yang mengarah pada 350 anggota Mafia dihukum penjara. Sebagai imbalan
kerjasamanya, dia direlokasikan dengan identitas baru. Kejadian tersebut
mendorong lebih banyak lagi anggota Mafia untuk bekerja sama, dimana hasilnya
pada akhir 1990-an penegak hukum Italia telah mendapatkan bantuan dari 1,000
lebih kolaborator hukum.409
Perlindungan saksi pertama kali muncul di Amerika Serikat di tahun 1970-
an suatu prosedur hukum yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan
program pembongkaran organisasi kejahatan berjenis mafia. Hingga saat itu,
“sumpah diam” – dikenal sebagai omertà – yang tidak tertulis diantara anggota
Mafia tidak dapat digoyahkan sehingga mengancam nyawa siapapun yang
melanggar dan bekerjasama dengan polisi. Saksi penting tidak dapat dibujuk
untuk bersaksi dan saksi kunci menghilang oleh karena upaya pimpinan kelompok
kejahatan yang menjadi target penuntutan. Pengalaman awal ini meyakinkan
Departemen Hukum Amerika Serikat bahwa suatu program perlindungan saksi
perludi institusikan.410
Di Indonesia sendiri keberadaan whistleblower disadari memiliki peranan
penting, tetapi pengaturan yang lebih rinci yang berkaitan dengan saksi sebagai
whistleblower yang memiliki unsur-unsur yang berbeda cukup signifikan
dibandingkan dengan saksi dalam kategori lain. Kerumitan posisi wistleblower
(pemukul kentongan) menyebabkan para perumus undang-undang a quo
memutuskan untuk tidak memasukkan ketentuan tentang wistleblower dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.411
Secara yuridis normative, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat
(2) keberadaan whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan
409 UNODC (United Nations Office On Drug and Crime), Praktek Terbaik Perlindungan SaksiDalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, hal. 12.
410 Ibid., hal. 6.411 Mahkamah Konstitusi. “Penjelasan Pemerintah Dalam Perkara Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, (Dalam putusan Mahkamah konstitusiNomor 42/PUU-VIII/2010), hal 44.
151
secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Isi Pasal 10 Ayat (2) UU
No.13 Tahun 2006, terdapat kata-kata”saksi yang juga tersangka” merupakan
rumusan yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap saksi yang juga
berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka.
Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian
hokum, Eddy O.S Hiariej berpendapat:412
“Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (2), Saksi yang jugaTersangka, dalam konteks hukum pidana terminologi ini tidak benar, saksiya Saksi, tersangka ya tersangka. Dalam hal kata-kata saksi yang jugatersangka pasti ini terjadi deelneming, terjadi yang namanya kroongetuige,saksi mahkota, sebab kalau saksi dan sekaligus dia tersangka adalah tunggalmaka dia pasti disebut sebagai tersangka atau terdakwa, dia memberikanketerangan pengadilan adalah keterangan terdakwa bukan keterangan saksi”.
Karena itu ketentuan Pasal 10 ayat (2) itu merancukan saksi korban, saksi
pelapor karena saksi menjadi tersangka, ini menandakan kalau Saksi yang juga
adalah Tersangka maka pasti di sini terjadi penyertaan, pasti lebih dari 1 orang
pelakunya. Maka sebetulnya kata-kata Saksi yang juga Tersangka ini lebih
merujuk kepada kroongetuige. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan, Pasal
10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 bertentangan dengan semangat whistleblower,
karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang
whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana
bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.413
Terkait dengan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan, Pasal 197 angka (1) huruf (f) KUHAP menegaskan bahwa surat
putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar pemidanaan dan peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa, beberapa hal yang dapat meringankan terdakwa antara lain tidak
412 Eddy O.S. Hiariej, “Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan” , NewsletterKomisi Hukum Nasional, (Vol.10, No.6 Juli 2010).
413 Ibid.
152
berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum, berusia masih muda,
berkelakuan baik atau sopan selama persidangan di pengadilan, atau memiliki
tanggungan anak dan istri.
Posisi sebagai justice collaborator tidak dapat serta-merta dihubungkan
dengan upaya untuk memperoleh keringanan hukuman, sekiranya hakim
memberikan keringanan hukuman, itu adalah berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
bukan karena setelah menerima tawaran untuk menjadi justice collaborator. Sikap
kooperatif seorang terdakwa sudah cukup menjadi dasar bagi hakim untuk
memberikan keringanan, jadi spirit penerapan justice collaborator diletakkan
dalam konteks untuk membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat
negosiasi pihak-pihak yang berkepentingan.414
2.Perbedaaan dan Persamaan Konsep Saksi Mahkota dengan Whistelblower danJustice Collabolator
Berdasarkan uraian diatas maka antara konsep saksi mahkota, whistleblower
serta justice collaborator terdapa kesamaan dalam hal keturut sertaan pelaku
dalam tindak pidana walaupun dalam konsep whistleblower tidak di haruskan
adanya keterlibatan pelaku dalam tindak pidana. Dalam peradilan di Amerika
yang telah menerapkan konsep whistleblower, menurut Kevin Ricardson
peradilan di Amerika Serikat tidak memberikan batasan yang pasti apakah
whistleblower tersebut merupakan bagian kejahatan atau hanya yang melaporkan
kejahatan, karena pada kenyataannya sering juga seorang whistleblower akan
menjadi terdakwa dan dipidana pada akhir proses persidangan.415
Berbeda dengan justice collabolator dan saksi mahkota dalam konsep
whistleblower memberikan makna bahwa inisiatif untuk melaporkan tindak
pidana (bekerjasama dengan penegak hukum), ada pada whistleblower karena ia
seorang pengungkap fakta walaupun nantinya status whistleblower dapat berubah
menjadi justice collabolator ketika seorang whistleblower yang turut serta dalam
tindak pidana didudukan sebagai saksi dalam perkara yang ia laporkan, sedangkan
414Frans H Winarta, Esensi Justice Collaborator.http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=411:esensi-justice-collaborator-&catid=1:latest-news&Itemid=50&lang=in.,diunduh 12 Oktober 2012.
415 Hasil Wawancara, Tanggal 21 Maret 2013 .
153
dalam justice collabolator dan saksi mahkota kerjasama terjadi setelah aparat
penegak hukum menanggani perkara tetapi karena membutuhkan keterangan dari
justice collabolator dan saksi mahkot kemudian dilakukan penawaran untuk
melakukan kerjasama.
Dilihat dari segi motivasi seorang whistleblower yang menyampaikan
informasi, membongkar, mem-blowup atau mengungkapkan suatu praktek
penyimpangan didalam suatu kelompok/organisasi /korporasi atau institusi, dalam
prakteknya menurut Adrianus Meliala sebagai mana dikutip Marwan Effendy
berkaitan dua hal, pertama yang berkaitan dengan etika dan yang kedua berkaitan
dengan hukum.416 Sedangkan menurut Kevin Ricardson motivasi whistleblower
dalam bekerjasama untuk memperbaiki kesalahan, keuangan, pertimbangan
pengadilan, balas dendam dan niat mulia.417 Sedangkan bagi seorang justice
collabolator dan saksi mahkota keringanan hukuman sebagai tawaran imbal balik
yang diberikan atas kerjasama tersebut yang menjadi faktor mendorong motivasi
tersebut.
Untuk penerapanya dalam bentuk kejahatan, konsep whistleblower serta
justice collaborator sebagaimana disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011
diterapkan dalam kejahatan yang menyangkut korupsi, terorisme, tindak pidana
narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak
pindana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan
ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masayarakat sehingga
meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Semua tindak pidana yang disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011
merupakan tindak-tindak pidana yang secara Internasional diakui sebagai
kejahatan terorganisir oleh United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime, Palermo pada tahun 2000 yang diratifikasi oleh Republik
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009, dalam penjelasan dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tersebut, tindak pidana terorganisir dapat
ditentukan berdasarkan lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.
416 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa PerkembanganHukum Pidana, Op.Cit., hal .145.
417 Kevin Ricardson, Op, Cit.
154
Sedangkan konsep saksi mahkota tidak membatasi atau dapat diterapkan pada
semua tindak pidana artinya lebih luas, dan jelas saksi mahkota akan menjadi
saksi di pengadilan karena memang dalam konsep saksi mahkota pada hakekatnya
untuk mendapatkan kesaksian sebagai alat bukti. Menurut Robert R. Strang :
“Pengenalan konsep terdakwa bekerja sama (saksi mahkota) di Indonesiaawalnya dirancang untuk fokus pada melindungi korban, diperluas untukmendorong whistelblower, terutama dalam kasus korupsi, sehubungandengan bekerja sama terdakwa, undang-undang menyatakan bahwa saksiyang juga merupakan pelaku dalam kasus yang sama tidak dapat dilepaskandari setiap tuntutan hukum jika ia / dia terbukti secara sah dan meyakinkanbersalah, maka kesaksiannya dapat digunakan oleh hakim sebagaipertimbangan untuk mengurangi hukuman tersebut”.418
Diakhir tulisan ini penulis berpendapat selain maanfaat dan dan hasil yang
akan didapat dari konsep whistleblower, justice collaborator termasuk juga saksi
mahkota, perlu juga melihat dari sudut moral. Apabila kita lihat lebih dalam dari
sudut moral apakah tidak lebih mulia kedudukan mereka bila melaporkan
kejahatan dan bekerjasama dengan penegak hukum sebelum kejahatan terjadi,
dalam hal tindak pidana korupsi kerugian negara dapat terselamatkan begitu pula
dalam tindak pidana yang lain. Perkatakaan sedikit ekstrim mereka adalah
penjahat yang berhianat,419apakah hanya karena kemudian mereka mau
bekerjasam dengan aparat penegak hukum kita dapat melupakan satu kejahatan
bahkan rangkain kejahatan yang lainya yang pernah di lakukanya.
Bahkan menurut Steven Kessler kerjasama dengan pelaku kejahatan
menuntut kehati-hatian bagi aparat penegak hukum karena kerjasama ini hampir
mirip bekerjasama dengan iblis.420 Karena itu penggunan kooperator dan informan
rahasia merupakan hal kontroversial maka digunakan seperlunya dalam
penuntutan jenis-jenis tindak pidana tertentu (misal korupsi, narkoba dan
kejahatan terorganisir) dan membutuhkan pengendalian ketat untuk menghindari
dampak negative. oleh karena dalam pelaksanaan kerjasama tetap namakan
418 Robert R. Strang, Op.Cit., hal. 204.419 Istilah “penjahat yang berhianat” dikutip dari penyataan Mardjono Reksodiputro, pada saat
menyampaikan kuliah Seminar Usulan Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, tahun2012
420 Hasil Wawancara 21 Maret 2013
155
kooperator seorang kriminal sebagaimana ia sesungguhnya, dan pada waktu yang
sama tunjukan kepada juri bukti lain yang menunjukan kejujurannya.421
Berkaitan dengan motivasi apakah tidak mungkin, tujuan mereka
bekerjasama dengan penegak hukum untuk menutupi suatu kejahatan dengan
mengungkap kejahtan lain. Sebagai contoh saat Nazarudin mengungkapkan
penyimpangan dalam kasus Hambalang, apakah kemudian kita akan memberikan
penghargaan sebagai whistleblower terbaik, karena telah mengungkap kasus
Hambalang yang melibatkatkan banyak pejabat di Indonesia dengan nilai kerugian
negara yang fantastis, tetapi dilain pihak kita apa kita dapat melupakan bahwa
Nazaruddin juga tersangkut banyak perkara korupsi lain, yang nilanya tidak kalah
dari kasus Hambalang. Begitu juga dalam kasus Susno Duaji yang menguangkap
perkara pajak tetapi dilain pihak ia juga terbukti melakukan dua tindak pidana
korupsi.
Namun kita juga tidak boleh menampikan adanya motivasi bertobat dari
pelakunya, selama motivasi ini tidak dilatar belakangi sikap moral yang buruk
maka makna penjahat, itu akan berubah menjadi pelaku yang bertobat. Menurut
Adrianus Meliala sebagaimana dikutip Marwan Effendy mengatakan, dari sudut
pandang etika terdapat dua tipe whistleblower yaitu :422
“Pertama, si penjaga etika (ethical resister) yang dengan itikad baik (goodfaith) mengungkap terjadinya penyimpangan atau mismanagement dengantujuan adanya suatu perubahan dalam manajemen dalam tempat yangbersangkutan bekerja, dan Kedua si sakit hati (the disgruntler) yangmengungkap adanya mismanagement dengan didasari dendam (revenge)”.
G. Paradigma Baru Saksi Mahkota Menurut RUU KUHAP
Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat
signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi
mahkota yang selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila
dilihat konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep
saksi mahkota yang di kenal di Eropa, pemikiran konsep ini berpijak dari konsep
yang selama ini digunakan bertentangan dengan asas self incrimination,.
421 Charles Guria, Op, Cit.422 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana , Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 145 .
156
Dalam RUU KUHAP ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di
dalam Pasal 200 sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia hal
ini sama dengan di Belanda. Konsep yang dianut dalam RUU KUHAP
dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan (immunity from
prosecution) kepada tersangka yang mempunyai peran paling ringan, yang
berdasarkan kosep protection of Cooperating Persons yang memilki keterkaitan
dengan saksi Mahkota dengan penerapan ajaran deelneming (penyertaan) pada
Pasal 55 KUHP.
Dalam RUU KUHAP juga memperkenalkan sistem yang mirip dengan plea
bargaining, hal ini tercantum di dalam 197 dengan judul jalur khusus. Dimana
saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua
perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang
ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut
umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Konsep
RUU KUHAP tidak hanya menyerap sistem hukum dari ciwil law tetapi juga
banyak mengadopsi ketentuan dari common law maka terjadi pergeseran
paradigma dalam sistem hukum Indonesia pidana, sehingga sistem hukum pidana
Indonesia yang akan datang merupakan campuran antara sistem common law dan
sistem ciwil law.
157
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini maka penulis berkesimpulan bahwa:
1. Untuk mengatasai permasalahan agar penerapan saksi mahkota pada
penyertaan dalam tindak pidana tidak melanggar asas non self incrimination,
maka diperlukan kesepakatan untuk kerjasama secara sukarela dari saksi
mahkota dengan jaksa penuntut umum sebelum mengajukan saksi mahkota
sebagai alat bukti dipersidangan. Kesepakatan kerjasam antara jaksa penuntut
umum dengan saksi mahkota, merupakan bargaining power dari jaksa penuntut
umum yang dibuat dengan sepengetahuan hakim, yang akan memberikan hak
dan kewajiban antara jaksa (penegak hukum) dan saksi mahkota
(berkedudukan selaku saksi dan terdakwa) hak penuntut umum mendapatkan
informasi sebanyak – banyaknya dari saksi mahkota terhadap kejahatan yang
turut ia lakukan, sedangkan kewajiban penuntut umum memberikan imbalan
berupa pengurangan hukuman. Kewenangan (bargaining power) jaksa
penuntut umum untuk melakukan kesepakatan kerjasama dengan saksi
mahkota merupakan perwujutan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh jaksa
penuntut umum.
2. Konsep kesepakatan untuk kerjasama antara jaksa penuntut umum dengan
saksi mahkota (bargaining power) tidak terdapat dalam pelaksanaan saksi
mahkota di peradilan pidana Indonesia saat ini, dalam praktik peradilan pidana
di Indonesia sebelum menerapkan saksi mahkota pada tahap awal dalam
tindakan penyidikan dilakukan splitsing berkas perkara yang dilakukan oleh
penyidik berdasarkan petunjuk dari jaksa penuntut umum, urgensi penerapan
splitsing dalam prakteknya untuk kepentingan pembuktian karena diperlukan
alat bukti saksi mahkota untuk menguatkan alat bukti yang telah ada.
Sedangkan kedudukan saksi mahkota dalam proses pembuktian disamakan
dengan alat bukti keterangan saksi karena :
a) Saksi mahkota yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa untukmenerangkan perbuatan yang dilakukan oleh saksi bersama terdakwadalam suatu tindak pidana.
158
b) Saksi mahkota dalam memberi keterangan dipersidangan sebagai saksijuga disumpah.
c) Dalam setiap surat tuntutan (requisitor) yang dibuat oleh jaksa penuntutumum keterangan saksi mahkota di tempatkan dalam bagian faktapersidangan dalam point keterangan saksi.
Mekanisme penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanya
mewujudkan suatu kepastian hukum dimana untuk dapat menjangkau pelaku
kejahatan disandarkan pada peraturan formil dan kurang memperhatikan
bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa
3. Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan yang sangat signifikan
mengenai konsep saksi mahkota dengan konsep mengenai saksi mahkota yang
selama ini dikenal dalam proses persidangan di Indonesia apabila dilihat
konsep saksi mahkota dalam RUU KUHAP hampir mirip dengan konsep saksi
mahkota yang di kenal di negara lain, pemikiran konsep saksi mahkota dalam
RUU KUHAP ini berpijak dari konsep yang selama ini digunakan
mengartikan saksi mahkota ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi
atas kawan berbuatnya, justru hal ini bertentangan dengan asas self
incrimination,. Dalam RUU KUHAP ketentuan tentang saksi mahkota yang
dituangkan di dalam Pasal 200, sesuai dengan asas oportunitas juga yang
dianut di Indonesia hal ini sama dengan di Belanda. Konsep yang dianut dalam
RUU KUHAP dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan
(immunity from prosecution) kepada tersangka yang mempunyai peran paling
ringan, yang berdasarkan kosep protection of cooperating persons yang
memilki keterkaitan dengan saksi Mahkota dengan penerapan ajaran
deelneming (penyertaan) pada Pasal 55 KUHP.
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana juga memperkenalkan
sistem yang mirip dengan plea bargaining, hal ini tercantum di dalam 197
yang berjudul jalur khusus. Pada saat penuntut umum membacakan surat
dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku
bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan
tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut umum dapat melimpahkan
perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. RUU KUHAP tidak hanya
menyerap sistem hukum dari ciwil law tetapi juga banyak mengadopsi
159
ketentuan dari common law maka tampaknya akan terjadi pergeseran dalam
sistem hukum Indonesia pidana, sehingga dalam kenyataanya yang akan datang
sistem hukum pidana Indonesia merupakan campuran antara sistem common
law dan sistem ciwil law.
B. Saran
Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Mengingat saksi mahkota berkaitan erat dengan hak asasi manusia, khususnya
hak asasi terdakwa maka diperlukan kehati-hatian dan aturan yang khusus
mengenai saksi mahkota dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Untuk
dapat mendukung implementasi prinsip-prinsip due process of law dalam
proses peradilan pidana dalam penerapan konsep saksi mahkota hendaknya
aparat penegak hukum mengeserkan paradigma berfikir pengunaan saksi
mahkota untuk mencapai kepastian hukum tetapi juga harus dibarengi dengan
proses hukum yang adil harus dipahami yaitu sebagai perlindungan terhadap
hak kemerdekaan setiap warga negara dalam negara hukum.
2. Pelaksanaan saksi mahkota tanpa adanya kesepakatan kerjasama antara saksi
mahkota dan jaksa penuntut diperadilan saat ini jelas melanggar asas non self
incrimination, maka sebagai jalan keluar untuk memperbaiki penerapan saksi
mahkota sebagai alat bukti dipersidangan diperlukan pedoman pelaksanan
kesepakatan kerjasama yang memberi kewenangan bargaining power bagi
jaksa penuntut di Indonesia sebagai wujud asas oportunitas untuk bekerjasama
dengan saksi mahkota, dengan menggunakan interpretasi futuristik pada
ketentuan – kentuan saksi mahkota yang terdapat dalam RUU KUHAP.
3. Melihat kenyatan pengaturan saksi mahkota dalam RUU KUHAP diserap dari
sistem hukum dari ciwil law dan common law, maka perlu dilakukan usaha
agar pencampuran sistem hukum tersebut tidak menggangu sistem hukum di
Indonesia, karena pembaharuan hukum di Indonesia tidak hanya sebagai usaha
untuk membuat kehidupan hukum di negeri ini menjadi lebih modern
melainkan juga menyesuaikan ciri-ciri serta persyaratan hukum modern itu
dengan kecendrungan sistem hukum di Indonesia. Oleh sebab itu sistem hukum
160
hendaknya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum
dan dirumuskan para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam sistem
peradilan pidana
161
DAFTAR PUSTAKA
1.Buku
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).Cetakan II. Jakarta : PT Toko Buku Gunung Agung, 2009.
___________. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang Undang (Legisprudence)Vol 1. Jakarta: Kencana, 2012.
Anderson, Terence, David Schum, and William Twining. Analysis of Evidence.Secon Edition. UK Cambridges CB2 2RU : Cambridges University Press,2005.
Andrews, Jhon A. Ed. Human Right In Criminal Procedure A Comparative Study.The Hague. Boston/London : Martinus Nijhoff Publisher, 1982.
Arif, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002.
Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Jakarta :Fikahati Aneska, 2009.
____________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011.
Berman, Harold J. Ceramah Radio oleh Profesor-Profesor Harvard Law School.Diterjemahkan oleh Gregory Churchill, J.D. Jakarta : Tatanusa, 2008.
Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS. Garis besarSistem Hukum Amerika Serikat [Jucial Process In America]. Jakarta:Departemen Luar Negeri AS, 2001.
Boediarto, Ali. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung TentangHukum Pidana. Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2000.
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Edisi Kedua.Bandung: Alumni, 2008.
____________.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Percobaan dan Penyertaan.Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Chorus, Jeroen, Et al. Introduction to Dutch Law. Third Revised Edtion. TheHague: Kluwer International Law, 1999.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok- Pokok Filsafat Hukum. Jakrata :PTGramedia Pustaka Utama, 1999.
De Cruz, Peter. Perbandingan Sistem Hukum : Civil law, Common Law danSocialist La. Diterjemahkan Narulita Yusron. Bandung : Nusa Media, 2010.
Dirdjosisworo, Soedjono. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum.Bandung : CV Armico. Bandung, 1984.
162
Effendi, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_____________.Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap BeberapaPerkembangan Hukum Pidana. Jakarta : Referensi, 2012.
Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction. Penerjemah WishnuBasuki. Jakarta : PT Tatanusa, 2001.
Fuady, Munir. Teori Hukum pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung : PTCitra Adiya Bakti, 2006.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni, 1973.
Hamzah, Andi. Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
____________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : CV Sapta Artha Jaya,1996.
____________. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta : Yasrif Watampone, 2005.
____________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: SinarGrafika, 2008.
____________. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Jakarta : SinarGrafika, 2008.
____________. dan A.Z . Abidin . Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT YasrifWatampone, 2010.
Hampstead, Lord Lloyd Hampstead, dan M.D.A. Freeman, Introduction toJurispridence. Britain : ELBS, 1985.
Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo. Hukum Pidana II Penyertaan. Malang :FHPM Universitas Brawijaya, 1975.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :Penyidikan dan Penuntutan, Edisi kedua . Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
____________.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan PeninjauanKembali. Cet Keempat. Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule Of Law Itu ?. Bandung : Alumni, 1976.
____________. Capita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung : Alumni, 1992.
Hendri, Luis. Pernyataan Hak Asasi Amerikadan Makna Internasional. Dialihbahasakan oleh Budi Prayitno. Jakarta : Dinas Penerangan Amerika Serikat(USIS), 1995.
Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Tanpa Kesalahan, Tinajauan kritis Terhadap TeoriPemisahan tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta :Kencana, 2008.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: Kanisius,1982.
163
Hulsman, L.H.C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif PerbandinganHukum. Disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo. Jakarta : CV Rajawali, 1984.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Ed. Metode Penelitian Hukum : Konstelasi danRefleksi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2011.
Kamil, Ahmad dan M Fauzan. Kaidah –Kaidah Hukum Yurisprodensi. Jakarta :Prenada Media, 2004.
Kanter, E Y dan S R Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia danPenerapan. Jakarta : Storya Grafika, 2002.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, Kumpuln Kulian Bagian I . Jakarta : BalaiLektur Mahasiswa, Tanpa Tahun
Lamintang, P. A. F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung : SinarBaru, 1990.
Lubis, M. Sofyan. Prinsip “Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan.Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010.
Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana. Jakarta:Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan,1995.
_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtisar) CetakanPertama, Jakarta : CV Datacom, 1996.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cetakan Ke- 6. Jakarta : PrenadaMedia Group, 2010.
MD, Muh. Mahfud. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta :Rajawali Pers, 2010.
Moeljatno. Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan.Jakarta : PT Bina Aksara, 1985.
Mols , G.P.M.F. Mols dan . G. Spong . De kroongetuige in het Octopus-proces,Documentatie uit Octopus- proces, Requisitor, Velklarigen Vandeskundigen, Pledooi, Vonnis. Deventer :Gouda Quint, 1997.
Muhamad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet-1. Bandung : PT CitraAditya Bakti, 2004.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP,1998.
Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik,Teknik Penyusunan dan Permaasalahannya. Bandung : Citra Aditya Bakti,2007.
Muklas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam, di Jazirah Arab KePeradilan Agama Di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Nasution, A Karim. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta : PNPercetakan Negara RI, 1972.
164
Pangaribuan, Luhut M.P. Lay Judges Dan Hakim Ad Hoc Suatu Studi TeoritisMengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : UniversitasIndonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2009.
Pohan, Agustinus, Topo Santoso dan Martin Moerings. Ed. Hukum Pidana dalamPerspektif. Denpasar : Pustaka Larasan. Jakarta : Universitas Indonesia.Universitas Leiden. Universitas Groningen, 2012.
Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta : Bharatara, 1996.
Prakoso, Djoko. Pemecahan Berkas Perkara (Splitsing). Yogyakata: Liberty,1988.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet. 3. Bandung :PT. Rafika Aditama, 2003.
Ramelan. Hukum Acara Pidana, Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber IlmuJaya, 2006
Raharjo, Satjipto. Hukum Dan Perubahan Sosial. Cetakan Kedua. Bandung :Alumni, 1983.
Reksodiputro, Mardjono. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem PeradilanPidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian HukumUniversitas Indonesia, 2007.
_____________. Hak Asasi Manusia Dalam sistem Peradilan Pidana. Jakarta :Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,2007.
____________. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta : PusatPelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007.
____________.Kriminologi Dan sistem Peradilan Pidana. Jakarta: PusatPelayanan Keadilan dan Pegabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007.
___________.Menyelaraskan Pembaharuan Hukum. Jakarta: Komisi HukumNasioanal, 2009.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Rovers, C. De. To Server & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM,Diterjemahkan oleh Supardan Mansyur. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2000.
Rukmini, Mien. Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah DanAsas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan PidanaIndonesia. Bandung : PT Alumni, 2003.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.Bandung : Mandar Maju, 2003.
Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan. Depok : PusatStudi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.
____________. dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2010.
165
Semendawai, Abdul Haris, Et al. Memahami WHISTLEBLOWER. Jakarta :Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011.
Seno Adji, Indriyanto. Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan, 1998.
____________. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana. Jakarta:CV Diadit Media, 2006.
____________. KUHAP Dalam Prospektif. Jakarta : Diadit Media, 2011.
Seno Adji, Oemar. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga, 1980.
Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya. Cet IV.Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam, 1996.
Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman, 1983.
Smith, Rhona K. M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM-UII,2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian hukum Normatif. Jakarta :Rajawali press, 1995.
Soesilo, R. Teknik Berita Acara, Ilmu Bukti dan Laporan (Menurut KUHAP),Bogor: Politea, 1985.
Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001.
Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta : PTRaja Grafindo Persada, 2006.
Surahman, R.M dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan danKedudukanya. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Tak, P.J.P. De Kroongetuige En de Georganiseerde Misdaad. Arnhem : SGounda Quint –D Brouwer en Zoon, 1994.
_________The Dutch Criminal Justice System. The Netherlands : aolf LegalPublishers CB Nijmegen, 2008.
Tresna, R. Komentar HIR. Cetakan Ke Delapan Belas. Jakarta : PT PradnyaParamita, 2005.
UNODC (United Nations Office On Drug and Crime). Praktek TerbaikPerlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan KejahatanTerorganisir.
Waluyadi. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung : CV.MandarMaju, 1999.
Waluyo, Bambang. Et al. Pola Membina Rasa Keadilan Masyarakat. Jakarta :Pusat Pendidikan Dan Latihan Kejaksaan Agung R.I, 1991.
Wisnubroto, Al dan G Widiarta. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung :PT Citra Aditya Bakti, 2005.
166
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung : CV LubukAgung, 2011.
2. Makalah, Jurnal dan Majalah Ilmiah
Alkostar, Artidjo. “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana danDasar Pertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity”. MakalahDisampaikan dalam RAKERNAS 2011 Mahkamah Agung denganPengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, 18-22 September 2011.
Asshiddiqie, Jimly. “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Materi yangdisampaikan dalam Studium General” Pada acara The 1st NationalConverence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19Desember 2005.
Budiarto, Ali. “Kematian Tokoh buruh Marsinah Saksi Mahkota Bertentangandengan Hukum”. Varia Peradilan No 120 September 1995, Jakarta:IKAHI, 1995.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Laporan Tim Analisis dan EvaluasiHukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara PidanaTahun Anggaran 2006, Jakarta, 2006.
Dien, Albert Y. “Masyarakat Yang Berkeadilan Pemikiran Jhon Rawls DalamFilsafat Hukum”. Jurnal Supremasi Hukum. (Volume 7. Nomor 1, Januari2011).
Djohansjah, J.“Akses Menuju Keadilan (Access to Justice). Makalah DisampaikanPada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial”, Bandung, 3 Juli 2010.
Guria, Charles. ”Successful Techniques for the Investigation & Prosecution ofCorruption”. Makalah Disampaikan Dalam Pelatihan Tehnik-tehnik SuksesDalam Penyidikan dan Penuntutan Kasus Korupsi. Bertempat di Hotel JWMariott, Jakarta, Tanggal 20-21 Maret 2013.
Hamzah, Andi. “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Media Hukum. (Vol 2 No 7Tanggal 22 September. 2003. Jakarta : Persatuan Jaksa Republik Indonesia,2003).
Harkrisnowo, Harkristuti. “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Newsletter KomisiHukum Nasional, (Mei 2002).
Hiariej, Eddy O.S. Legal Opin :”Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat(2)Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban”.Newslette Komisi Hukum Nasional . (Vol. 10 No.6, Tahun 2010).
KHN-SETRA HAM UI. “Akses ke Peradilan”. Jakarta : Komisi Hukum Nasional,2003.
Langbein, John H. “Shaping the Eighteenth-Century Criminal Tria”. A Vew fromthe Ryder Sources 50 U. CHL L. REv. 1, 105, 1983.
Loqman, Loebby. “Saksi Mahkota”. Forum Keadilan . (Nomor 11. 1995).
167
Manan, Bagir .“Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan (No.296, Juli 2010).
Maxfield, Linda Drazga and John H. Kramer. “Subtantial Assitance ; AnEmpirical Yardstik Gauging Equity In Current Federal Policy AndPractice”. United States Sentencing Commission, January 1998.
Nasution, Adnan Buyung. “Praperadilan Versus Hakim Komisaris, BeberapaPemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya”. Newsletter KHN, (April2002).
OakS, Dallin H. “Studying the Exclusionary Rule in Search and Seizure”. TheUniversity Of Chicago Law Review. (Vol. 37 No.4. Summer 1970.University of Chicago, Copyright 1970).
Ramelan. “Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem HukumImdonesia (Corruption Law Suit In Indonesia Legal System)”. Jurnallegislasi Indonesia. Direktorat Peraturan Perundang Undangan KementrianHukum dan Hak Asasi Manusia RI, (Vol 8 No 2- Juni 2011 ).
Reksodiputro, Mardjono. “Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.Makalah Yang Disempurnakan Untuk Kuliah Umum di UniversitasBatanghari, Jambi, 26 Januari dan 21 April 2010.
____________.”Pembocor-rahasia (whistleblower) dan Penyadapan-rahasia(wiretapping,electronic interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan diIndonesia”. Makalah Disampaikan dalam Seminar Center forLegislacy,Empowerment,Advocacy and Research(CLEAR) Di Hotel LeMeridien, 3 Agustus 2010 .
Ricardson, Kevin. “Investigation Of Public Corruption Using Plea Bargains,Confidental Information And Cooperators”. Makalah Disampaikan DalamPelatihan Tehnik-tehnik Sukses Dalam Penyidikan dan Penuntutan KasusKorupsi. Bertempat di Hotel JW Mariott. Jakarta, Tanggal 20-21 Maret2013.
Santoso, Topo . “Hukum Pidana Islam Dalam Studi Hukum”. Makalah inidisampaikan dalam Seminar Perkembangan dan Prospek Hukum Islam diIndonesia, diselenggarakan oleh LKIHI Fakultas Hukum UniversitasIndonesia. Depok, 7 Desember 2006.
Shidarta. “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”. Makalah Disampaikandalam Rangka Pemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruhIndonesia. di Hotel Grand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011.
___________. “Putusan Hakim:Antara Keadilan, Kepastian hukum danKemanfaatan”. Dalam lampiran Makalah yang disampaikan dalam rangkaPemerkuat Pemahaman Hak Asasi Untuk hakim seluruh Indonesia di HotelGrand Angkasa Medan, 2 - 5 Mei 2011.
Siregar, Bismar. “Hakim Wajib Menafsirkan Undang Undang’. Varia peradilanJakarta : Tahun X No 120 September 1995, IKAHI, 1995.
Soerjono. “Suatu Tinjauan Sistem Peradilan”. Varia Peradilan. Jakarta :Tahun XNo 120 September 1995. IKAHI, 1995.
168
Setiyono. “Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana”.Dipublikasikan dalam Jurnal Hukum Lex Jurnalica .(Volume 05. Nomor01, Desember 2007).
Strang, Robert R. “More Adversarial, but not Completely Adversarial”:Reformasi of the Indonesian Criminal Procedure Code”. FordhamInternational Law Journal. (Volume 32. Issue 1, 2008).
Utari, Indah Sri. “HAM Sebagai Kritik: Gagasan Tentang Politik Hukum Nasionaldi Tentah Tuntutan Global”. Pandecta (Vol.2 . No. 1, Januari 2008).
Wulansari, Eka Martiana, “Pengembalian Beban Pembuktian dalam UpayaPemberantasan Tindak Pidana Korups (Return Burder of Proofin InCorruption Eradication Effort)”. Jurnal legislasi Indonesia, Vol 8 No 2-Juni 2011. Direktorat Peraturan Perundang undangan. Kementrian Hukumdan Hak Asasi Manusia RI (Vol 8 No 2- Juni 2011).
Zulfan dan Kaharuddin. “Saksi Mahkota Dan Perlindungan Hak Asasi ManusiaDalam Pembuktian hukum Pidana”. Jurnal Media Hukum .(Volume 15 No1, Juni 2008).
3.Tesis, Disertai Dan Sumber Yang Tidak Diterbitkan
Brotosusilo, Agus. “Keserasian Nilai Nilai Pancasila Sebagai Sumber segalaSumber Hukum (Dalam Arus Globalisasi)”. Materi Kuliah Filsafat Hukum.Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2011.
____________.”Penulisan Hukum”. Materi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta:Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
Harkrisnowo, Harkristuti, “Rekontruksi Konsep Pemidanaan : Suatu GugatanTerhadap proses Legislasi dan Pemidanaan Di Indonesia”, OrasiPengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok, 8 Maret 2003.
Hiariej, Edward Omar Sharif. “Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian AsetKejahatan Korupsi”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FakultasHukum Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat TerbukaMajelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, tanggal 30Januari 2012 .
Lubis, Todung Mulya.“In Search of Human Right : Legal Political Dilemmas ofIndonesia’s New Order 1966-1990”. Dissertation Juris Scientioac DoctorUniversity of California Berkeley, California 1990.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI. “Modul Asas Asas Hukum PidanaI”. Jakarta, 2010.
Reksodiputro, Mardjono. “Materi Kuliah Seminar Usulan Penelitian Tesis”.Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2012.
169
Santosa, Topo. “Perbandingan Hukum Pidana”. Bahan Bacaan Mata KuliahPerbandingan Hukum Pidana. Depok : Program Magister Fakultas HukumUniversitas Indonesia, 2011 .
Seno Adji, Indriyanto. “Sistem Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia (BungaRampai”). Modul Kuliah kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan HakAsasi Manusia. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2012.
3.Perundang Undangan, Putusan pengadilan Dan Kasus Pengadilan
Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan KitabHukum Acara Pidana, Cetakan ke-IV Telah Dipebaiki. Buku DigandakanKhusus Kejaksan Agung Republik Indonesia. Jakarta: 1982.
Kejaksaan Republik Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/J-A/4/1995 tanggal 27 April 1995 Tentang Pedoman Tuntuntan Pidana.
___________.Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : B-69/E/02/1997tanggal 19 Februari 1997 Perihal : Hukum Pembuktian Dalam PerkaraPidana.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No 1986 K/Pid/1989 tanggal 21Maret 1990 atas nama terdakwa Abdurahman
__________. Putusan No.1590 K/Pid/1994. tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Karyono Wongso.
__________. Putusan No. 1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Bambang Wuryanto, Widayat, AS Prayogi.
__________. Putusan No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 an. terdakwa Ny.Mutiari, SH.
__________. Putusan No. 1706 K/Pid/1994 atas nama terdakwa terdakwaSuwono dan Suprapto.
__________. Putusan No. 429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 atas namaterdakwa Judi Susanto.
__________. Putusan No. 381 K/Pid/1995 atas nama terdakwa Judi Astono.
__________. Putusan No : 198 K/Pid/2004, tanggal 2 Maret 2004 atas namaterdakwa MUH. MUSYAFAK alias ABDUL HAMID.
__________. Putusan No. 1918 K/Pid/2006 , Tanggal 3 Oktober 2006 Nama :ASEP JAJA alias AJI alias DAHLAN alias YAHYA.
__________. Putusan No. 2475 K/Pid/2007 , tanggal 23 Januari 2008 atas namaterdakwa DAVID FEBRIANTO Bin JOHANES.
__________. Putusan No.179 K/Pid.Sus/2010. tanggal 02 Februari 2010 atasnama terdakwa ANDREAS SIE als. RICKY als. ERWIN als.KARYONOals. SUHERMAN als. YOSEP.
__________. Putusan No. 696 K/Pid/2010 atas nama FRANSISKUS TADONKERAN alias AMSI.
170
__________. Putusan No. 723 K/Pid/2010 atas nama HENDRIKUS KIAWALEN alias HENDRIK .
__________. Putusan No. 725 K/Pid/2010 atas nama EDUARDUS NOE NDOPOMBETE alias EDO.
__________. Putusan No. 1429 K/Pid/2010 atas nama Antasari Azhar, SH.,MH.
__________. Putusan No. 721 K/PID/2010 Tanggal 5 Mei 2010 atas namaterdakwa Daniel Daen Sabon alias Danil.
___________.Putusan No. 2437 K/Pid.Sus/2011 tanggal 7 Februari 2012 atasnama terdakwa PIDER Pgl PIDER.
___________.Surat Edaran Mahkamah Agung . No 4 Tahun 2011 tentangPerlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010.Dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban terhadap Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta .
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang Undang DasarRepublik Indonesia Tahun 1945 Amademen ke-2 (kedua). Ditetapkan DiJakarta, Tanggal 18 Agustus 2000.
Pengadilan Negeri Denpasar. Putusan No : 317/Pid.B/2003/PN.Dps . atas namatanggal 18 September 2003
Republik Indonesia. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. diubah dan ditambahUU No. 1/1946.Berita Republik Indonesia II, 9.
_________.Undang Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
__________.Undang Undang tentang Pengadilan anank, UU No 3 Tahun 1997,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668.
__________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 4 tahun2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.
__________. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No 23 Tahun2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
__________.Undang-Undang Tentang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,UU No. 13 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635.
Lisenba v. California, 314 U.S. 219, 227 (1941).
United States v. Dailey, 759 F.2d 192, 196 (1st Cir. 1985).
United States v. Cervantes-Pacheco, 826 F.2d 310, 315 (5th Cir. 1987).
171
United States v. Reid, 19 F. Supp. 2d 534, 537 (E.D. Va. 1998).
Whiskey Cases - 99 U.S. 594 (1878).
4. Internet.
Atasasimita, Romli. “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah”,http://m.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2400-logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah
BPS. Penduduk Indonesia tahun 2010. http://sp2010.bps.go.id/index.php
CODE DE PROCEDURE PENALE, art. l-P, available athttp://www.legifrance.gouv.fr/initRechCodeArticle.do [hereinafter C. PR.PEN.]
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia R I. Rancancan Undang-Undanghukum Acara Pidana 2010,www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/.../buka.p.. 16 april 2010,
_____________.Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang HukumAcara Pidana. www.djpp.depkumham.go.id,
Fitriasih, Surastini. “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana MenujuProses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”,http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=52534&idc=21.
Hukumonline.com.Jaksa-Pengacara Akan ‘Bertarung’Tanpa Teks.www.hukumonline.com/printpdf/lt500d39774a0ac
Jaya, Nyoman Serikat Putra. “Catatan atas RUU KUHAP”, Kompas, 25 April2013. http://hariini.kompas.com/kategori/harian-kompas/page/36/
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pedoman Tuntutan Pidana,http://acarapidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2011/12/SEJA-001-JA-4-1995-PEDOMAN-TUNTUTAN-PIDANA.pdf
King, Jr,, Hon. H. Lloyd. “Why Prosecutors are Permitted To offer WitnessInducements, A matter Of constitutional Authority”, hal 155,www.law.stetson.edu/.../why-prosecutors-are-,
Kompas.com, Setiap 91 Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia,http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejahatan.di.Indonesia,
Mulyadi, Lilik . Eksistensi Yurisprudensi Dikaji dari Prespektif Teoritis danPraktik Peradilan, layanan informasi, Artikel
___________.Menuju Sistem Peradilan Pidana Kotemporer Tanpa Berita AcaraPenyidikan (BAP) Dan Berita Acara Sidang (BAS), http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=169:menuju-sistem-peradilan-pidana-kontemporer-tanpa-berita-acara-penyidikan-bap-dan-berita-acara-sidang-bas&catid=23:artikel&Itemid=36
172
__________.Implikasi Yuridis tentang ''Saksi Mahkota",http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/8/21/op2.htm
Salam, Aprinus, Politik dan Budaya Kejahatan Bagian Satu,http://www.academia.edu/1497446/Politik_dan_Budaya_Kejahatan_Bagian_Satu_
Seno Adji, Indriyanto. Penyiksaan Tersangka Dan Antisipasi PerlindunganHAM,http://www.suarapembaruan.com/News/1996/11/071196/OpEd/02/02.html,1996
Tak, P J P, “Deals With Criminals: Supergrasses, Crown Witnesses and Pentiti”,European Journal of Crime Volume:Criiminal Law and Criminal Justice,https://www.ncjrs.gov/App/publications/Abstract.aspx?id=172602
United States v. Awan, 2010 U.S. App. LEXIS 12084 (2d Cir. N.Y. June 14,2010). http://witnesses.uslegal.com/corroboration/.
Winarta, Frans H, Esensi Justice Collaborator.http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=411:esensi-justice-collaborator-&catid=1:latest-news&Itemid=50&lang=in.