tesis nirmala

149
17 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR NIRMALASARI IDHA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Upload: nirmalaidha

Post on 26-Dec-2015

178 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tesis Nirmala

17

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA

DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

Page 2: Tesis Nirmala

26

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1

juta km2 (Dahuri et al, 2001), sedangkan Kabupaten Kutai Timur sendiri memiliki

garis pantai sepanjang 152 km (Bappeda Kutim, 2004). Dengan kekayaan laut

sebesar ini selayaknya Indonesia menjadikan bidang kelautan sebagai tumpuan

dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun kenyataannya selama ini

pembangunan perikanan dan kelautan, termasuk pemberdayaan masyarakat

pesisir, selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sectoral) dalam

pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi masih dititikberatkan pada

pembangunan di daratan (up land) yang terkadang melupakan dampaknya bagi

wilayah pesisir. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan karakteristik pesisir yang

multiganda (multi use) dalam penggunaannya, sehingga konflik kepentingan

menjadi tidak dapat dihindarkan. Kabupaten Kutai Timur sebagaimana umumnya

daerah pesisir yang lain tidak terlepas dari kondisi tersebut.

Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran

dari Kabupaten Kutai berdasarkan UU no. 47 tahun 1999, tentang pemekaran

wilayah propinsi dan kabupaten, dan diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 28

Oktober 1999. Sebagai kabupaten yang baru terbentuk, Kabupaten Kutai Timur

memiliki banyak sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan baik di darat

maupun di laut. Sumberdaya yang terdapat di daratan antara lain pertambangan

batu bara dan minyak bumi, hutan hujan tropis, termasuk hutan lindung Taman

Nasional Kutai.

Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Kabupaten

Kutai Timur antara lain ekosistem mangrove, ekosistem estuaria, ekosistem

terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem pantai berpasir.

Ekosistem-ekosistem tersebut masing-masing memiliki fungsi ekologis yang

sangat penting, serta kekayaan biota yang tinggi dan produktif. Garis pantai

Kabupaten Kutai Timur sepanjang 152 km, dan berdasarkan pada UU No 22

Page 3: Tesis Nirmala

27

Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 3 dan 10, maka sejauh 4 mil dari

garis pantai tersebut pengelolaannya merupakan kewenangan Pemda Kutai Timur.

Perubahan status dari kecamatan menjadi kabupaten menyebabkan

perkembangan penduduk sangat pesat di daerah ini. Perkembangan penduduk ini

pada akhirnya mendorong pembangunan wilayah yang juga semakin pesat.

Pembangunan wilayah yang pesat ini, bila tidak didukung dengan perencanaan

yang tepat, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumberdaya alam.

Sektor budidaya perikanan pesisir, saat ini merupakan sektor yang belum

berkembang di Kabupaten Kutai Timur. Namun hal ini bukan berarti kawasan

pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur tidak memiliki potensi yang dapat

mendukung pengembangan budidaya perikanan pesisir. Garis pantai sepanjang ±

152 km dengan ekosistem pesisir yang kaya merupakan modal yang besar untuk

budidaya perikanan pesisir.

Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten

Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-

2005 (Lampiran 4), struktur ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur

saat ini didominasi oleh sektor pertambangan batu bara, yakni adanya PT Kaltim

Prima Coal dan pertambangan minyak bumi oleh PT Pertamina, dengan angka

PDRB sebesar Rp. 10.157.143.080.000,00 (82,36 % dari total PDRB tahun 2005).

Sementara itu sektor perikanan mempunyai nilai PDRB hanya sebesar Rp.

89.747.690.000,00 (0,73 % dari total PDRB tahun 2005).

Permasalahan umum yang merupakan kendala dalam berkembangnya

perikanan budidaya tersebut antara lain karena kebijakan dari Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Timur dalam bentuk arahan tata ruang untuk pengembangan

budidaya perikanan pesisir yang belum partisipatif. Dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional (RTRWN) posisi Kabupaten Kutai Timur dalam

pengembangannya termasuk dalam Kawasan Andalan Laut (KADAL) Bontang

dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan, dan pariwisata.

Namun pembangunan daerah selama ini masih dititikberatkan pada sektor

pertambangan.

Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten

Kutai Timur selama ini dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik,

Page 4: Tesis Nirmala

28

seperti aktivitas tangkap lebih pada beberapa kawasan, penangkapan ikan dengan

menggunakan bom dan bahan kimia, konversi hutan mangrove menjadi tambak

dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan

perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum dilakukan secara

baik dan benar yaitu timbulnya berbagai konflik pemanfaatan ruang seperti antara

kapal-kapal pengangkut batubara dengan petani budidaya karamba tancap, antara

kegiatan budidaya rumput laut dengan aktivitas lalu lintas kapal-kapal nelayan,

serta antara pemanfaatan hutan mangrove untuk tambak oleh penduduk dengan

pengelola Taman Nasional Kutai (TNK). Untuk mengatasi konflik pemanfaatan

ruang tersebut perlu disusun suatu rencana tata ruang yang menyeluruh dan

terpadu bagi semua sektor yang terkait dengan wilayah pesisir. Dengan adanya

penataan ruang ini diharapkan setiap sektor yang ada akan lebih terjamin

keberlanjutan usahanya, termasuk sektor perikanan budidaya.

Perikanan budidaya, terutama budidaya yang berbasis pada perairan

(water-based aquaculture), merupakan sistem yang terbuka, dimana interaksi

antara unit budidaya dengan lingkungan perairan berlangsung hampir tanpa

pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di

perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena

dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan

(agen pencemar). Keberhasilan perikanan budidaya sangat tergantung pada

kondisi kualitas air, sedangkan air merupakan media yang sangat dinamis dan

mudah terpengaruh dampak pencemaran dari lingkungan di sekitarnya, baik

eksternal maupun internal. Oleh karena itu penzonasian wilayah perikanan

budidaya dalam penataan ruang diharapkan dapat menghindarkan sektor budidaya

dari sektor lain yang tidak berkesesuaian, sehingga pengembangan budidaya dapat

menguntungkan dan berkelanjutan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka hal penting yang diperlukan

adalah adanya identifikasi potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang

mendukung kegiatan budidaya perikanan. Selain itu diperlukan suatu pengelolaan

pesisir secara menyeluruh yang mencakup penyusunan zonasi dan arahan

pengembangan kegiatan budidaya perikanan pesisir berdasarkan dengan

kesesuaian lahannya dalam rencana tata ruang, sehingga diharapkan dapat

Page 5: Tesis Nirmala

29

terlaksana pembangunan wilayah pesisir yang menguntungkan dan berkelanjutan,

dengan memperhatikan fungsi preservasi, konservasi dan fungsi pemanfaatannya.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam pengembangan

perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan di Kabupaten Kutai Timur

yang dapat mendukung kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi.

2. Belum ada zonasi untuk perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur.

3. Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kawasan

pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan perikanan budidaya belum

diidentifikasi.

4. Kebijakan yang dilakukan untuk mengarahkan pengembangan perikanan

budidaya di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum disusun secara

terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan peruntukan lahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur

untuk budidaya tambak, budidaya karamba, dan budidaya rumput laut.

2. Menilai kelayakan finansial pengembangan perikanan budidaya.

3. Mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang

mempengaruhi pengembangan kawasan perikanan budidaya.

4. Merumuskan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah,

sebagai masukan dalam perencanaan dan pengembangan pesisir Kabupaten Kutai

Timur untuk kegiatan budidaya, berdasarkan pada kondisi fisik dan sosial

ekonomi yang ada sehingga dapat dilakukan perencanaan secara terpadu sesuai

dengan peruntukannya.

Page 6: Tesis Nirmala

30

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan

Undang-undang Nomor 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan

ruang sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, laut, dan udara,

termasuk di dalamnya tanah, air, udara, dan benda lainnya sebagai satu kesatuan

kawasan tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan

memelihara kelangsungan hidupnya.

Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (i) jarak, (ii) lokasi, (iii)

bentuk, dan (iv) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena

pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan

waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata

ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).

Wilayah didefinisikan Budiharsono (2001) sebagai suatu unit geografi

yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara

internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan

sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak

sama.

Definisi konsep kawasan menurut Rustiadi et al. (2006) adalah adanya

karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam

suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

fungsional.

Pengembangan Kawasan

Istilah pembangunan dan pengembangan digunakan dalam banyak hal

yang sama, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk

berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan.

Secara umum pembedaan istilah ”pembangunan” dan ”pengembangan” di

Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap

mengandung konotasi ”pemberdayaan”, ”kedaerahan” atau ”kewilayahan”, dan

”lokalitas”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan” lebih

menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa

Page 7: Tesis Nirmala

31

pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari ”nol’, atau tidak

membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang

sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas

(Rustiadi et al., 2006).

Secara filosofis, proses pembangunan dapat diartikan sebagai ”upaya yang

sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat

menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga

yang paling humanistik” (Rustiadi et al., 2006).

Menurut Todaro (2000) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006),

pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis

konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling

hakiki, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan

rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk

memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimensional yang

mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi

pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan

kemiskinan.

Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma,

menurut Anwar (2001) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), mengarahkan

pembangunan wilayah/kawasan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang

mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability).

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Sumberdaya pesisir

terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas

ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lain beserta

ekosistemnya, sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan

abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, kolom air, dan dasar laut (Djais et al.,

2002).

Page 8: Tesis Nirmala

32

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Zone

Management/ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-

jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan

cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assesment) tentang

kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat

di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian

merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfataan guna mencapai

pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilakukan

secara kontinyu dan dinamis, dengan mempertimbangkan segala aspek sosial,

ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholders), serta konflik

kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada

(Sorensen dan Mc Creary, 1990; IPPC, 1994 dalam Dahuri et al., 2001).

Lebih lanjut, Dahuri et al. (2001) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah

pesisir secara terpadu (ICZM) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah

pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan

pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai

pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable development).

Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mencakup tiga dimensi: sektoral,

bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Sedangkan menurut Cicin-Sain (1998) pengelolaan pesisir diinter-

pretasikan dalam dimensi keterpaduan kebijakan yang menekankan pada beberapa

isu penting, yaitu: 1) keterpaduan antar sektor di dalam wilayah pesisir atau

dengan wilayah lain, 2) keterpaduan antara wilayah darat dan laut dalam zona

pesisir, 3) keterpaduan antar level pemerintahan (nasional dan lokal), 4)

keterpaduan antar negara, 5) keterpaduan antar disiplin ilmu (ilmu alam, sosial,

dan teknik).

Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara

kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan vertikal dan

horisontal, ekosistem darat dan lalut, sains dan manajemen, merupakan proses

pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang

berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili

di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah

Page 9: Tesis Nirmala

33

pesisir Kabupaten Kutai Timur harus terintegrasi dan harus melibatkan semua

sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang

berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir

khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Penataan Ruang Pesisir

Dalam pengembangan lautan salah satu kegiatannya yang penting adalah

menata ruang lautan untuk penggunaan multiganda (multiple use of ocean space)

untuk: (i) menghindari konflik penggunaan ruang lautan, dan (ii) menjaga

kelestarian sumberdaya yang terkandung di dalamnya (Rais et al., 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2006) penataan ruang adalah upaya aktif manusia

untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke

keseimbangan yang baru, yang ”lebih baik”. Penataan ruang pada dasarnya

merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses

pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik,

maka penataan ruang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari proses

pembangunan khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses

pembangunan.

Penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan

sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi

dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya

Tata ruang wilayah pesisir merupakan pengaturan penggunaan lahan

wilayah pesisir ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik,

non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan. Pengaturan

penggunaan lahan diperlukan karena wilayah pesisir merupakan kawasan di

permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al.,

2001).

Tiga alasan ekonomis terkonsentrasi pembangunan di wilayah pesisir

menurut Bengen (1999) adalah: (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan

yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai

kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri dan pemukiman

dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan daratan lahan

Page 10: Tesis Nirmala

34

atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama yang menarik dan

menguntungkan.

Sistem Teknologi Akuakultur

Sistem teknologi akuakultur didefinisikan sebagai wadah produksi beserta

komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta

bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. Tujuan

akuakultur adalah memproduksi ikan dan akhirnya memperoleh keuntungan.

Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan bisa dan tetap hidup, tumbuh dan

berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar

dan bisa dijual. Komponen di dalam sistem teknologi akuakultru bekerja sinergis

sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan

kelangsungan hidup ikan serta memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan

(Effendi, 2004).

Menurut Effendi (2004), sistem akuakultur bisa dikelompokkan menjadi 2,

yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem

akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Sistem budidaya yang

termasuk dalam land-based aquaculture antara lain terdiri dari kolam air tenang,

kolam air deras, tambak, bak, akuarium, dan tangki. Sedangkan sistem budidaya

yang termasuk dalam water-based aquaculture antara lain jaring apung, jaring

tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture, dan enclosure.

Dalam sistem land-based aquaculture, unit budidaya berlokasi didaratan

dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Terdapat pembatas antara unit

budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga

land-based aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor

lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi, seperti pencemaran,

dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau men-

treatment air terlebih dahulu sebelum digunakan.

Berbeda dengan land-based aquaculture, unit budidaya water-based

aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk,

dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dimana

interaksi antara ikan (unit budidaya) dengan lingkungan perairan berlangsung

Page 11: Tesis Nirmala

35

hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya

dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga

bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran

lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada water-

based aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada land-

based aquaculture (Effendi, 2004).

Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut

Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan

organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka

mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan

budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang

terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik

(Shell & Lowell, 1993) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial.

Berdasarkan kepada habitat sumber air yang dimanfaatkan, budidaya perikanan

dibagi menjadi 3 bagian, yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya

air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture) (Pillay, 1990)

Tujuan budidaya laut adalah memproduksi makanan, meningkatkan stok

ikan di laut (stock enhancement), memproduksi umpan untuk kegiatan

penangkapan atau menghasilkan ikan hias (Tucker, 1998). Kegiatan budidaya laut

untuk tujuan memproduksi makanan manusia sesungguhnya memiliki sejarah

yang panjang terutama di Cina, Mesir, Romawi dan Eropa (Effendi, 2004), namun

berkembang dengan cepat beberapa puluh tahun belakangan ini saja (Beveridge,

1996). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya

produksi perikanan tangkap, sedangkan populasi manusia cenderung bertambah

dengan. Budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein

akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia

bertambah dengan cepat (Muir dan Roberts, 1985).

Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir dan laut sebagian besar

adalah kegiatan usaha perikanan tambak, baik tambak udang, ikan bandeng, atau

campuran keduanya. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis kegiatan budidaya

yang lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba

Page 12: Tesis Nirmala

36

(net impondment) (Bardach et al., 1972). Air merupakan media utama dalam

kegiatan budidaya perikanan, oleh karena itu pengelolaan terhadap sumber-

sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi

perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Dalam kegiatan budidaya perikanan laut terdapat beberapa tipe

pembudidayaan yaitu:

1) Sea Ranching dan Restocking

Sistem terbuka terdiri atas kegiatan sea ranching dan restocking. Sea

ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang

terisolasi geografis secara alamiah. Kawasan karang dalam adalah suatu

kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang

(demersal species), teripang, moluska dan krustasea (udang dan lobster).

Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih

ikan potensial kedalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001).

2) Eclosure

Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di perairan laut

dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut merupakan dinding

alam (teluk, perairan diantara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa

dinding buatan manusia (man made) berupa jaring, pagar kayu atau batu

(Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung

kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya,

budidaya dalam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no

feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Kegiatan

ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya. Output dari

kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan

ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening)

di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan

kemampuan pembudidayaan yang rendah.

3) Pen Culture

Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan

dinding buatan manusia yang terbuat dari jaring atau kayu, sementara dasar

wadah berupa dinding alam (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan

Page 13: Tesis Nirmala

37

organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan

daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dipeliharan dalam

sistem ini adalah abalon, teripang dan ikan kerapu.

Prakteknya, budidaya dalam sistem pen culture ini bisa dilakukan

pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya

mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini

adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit

(2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem

cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan

pembudidayaan menengah.

4) Cage culture

Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik

mengapung (floating net cage) maupun menancap (fixed net cage) (Beveridge,

1996; Pillay, 1990). Semua dinding adalah buatan manusia. Sistem ini

menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong

berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan

lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang

cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan pakan yang cukup. Sistem

budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan

pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem budidaya cage culture tergolong

sistem budidaya intensif, sehingga dituntut pula pemberian pakan yang intensif

dan pengguna benih yang bermutu (Gjedrem, 1988; Cowey &. Cho, 1991

dalam Soebagio, 2004).

Jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang

mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di

perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk. Sistem tersebut dewasa

ini lebih dikenal dengan dengan nama karamba jaring apung (KJA). Komoditas

akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam KJA di perairan laut antara

lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut

(Effendi, 2004).

Jaring tancap (fixed net cage) adalah sistem teknologi budidaya dalam

wadah berupa jaring yang diikatkan pada patok yang menancap ke dasar

peraiaran. Sistem ini ditempatkan di pantai perairan danau, waduk, laut, dan

Page 14: Tesis Nirmala

38

sungai yang tenang yang memiliki kedalaman sekitar 3-7 m. Pada kedalaman

perairan >7 m sulit untuk mencari patok dengan panjang >10 m. Penempatan

sistem ini di perairan laut harus memperhatikan kisaran pasang surut pada saat

pasang kantong jaring yang terendam bisa mengakibatkan ikan lepas keluar,

sedangkan pada saat surut ketinggian air dari dasar kantong masih bersisa

minimum 1 m (Effendi, 2004). Komoditas akuakultur yang sudah lazim

dibudidayakan dalam karamba jaring tancap di perairan laut antara lain kerapu,

kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut. Di Kabupaten Kutai

Timur saat ini telah mulai diupayakan pembesaran udang lobster (Homarus sp)

dalam karamba jaring tancap.

Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir

Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota

perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan

hasilnya dengan cara memanennya.

Pengertian tambak adalah kolam ikan yang dibuat pada lahan pantai laut

dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya.

Tambak berasal dari kata ”nambak” yang berarti membendung air dengan

pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak umumnya

persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha.

Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 1-3 km

(bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat

mencapai daratan (Hardjowigeno, 2001).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), berdasarkan letak tambak

terhadap laut dan muara sungai yang memberi air ke tambak, maka dapat

dibedakan tiga jenis tambak, yaitu:

(a) Tambak lanyah, adalah tambak yang terletak dekat sekail dengan laut atau

lebih jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi

salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang

berkadar garam 30 ‰.

(b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak lanyah dan

selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua

Page 15: Tesis Nirmala

39

macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau

dengan kadar garam 15 ‰.

(c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini

kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya

rendah (5-10 ‰).

Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang

windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguensis), bandeng (Chanos

chanos), kakap (Lates calcalifer), nila merah (Oreochromis niloticus), dan rumput

laut (Euchema spp). Di wilayah Kalimantan mulai muncul usaha budidaya

kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak.

Udang windu merupakan komoditas yang paling populer dibudidayakan,

karena permintaan pasar laur negeri yang semakin meningkat dengan harga yang

relatif tinggi. Komoditas lain yang cukup banyak diusahakan, terutama di tambak

tradisional adalah bandeng. Perkembangan teknologi budidaya bandeng

cenderung lambat, namun merupakan komoditas yang banyak diproduksi dan

dikonsumsi.

Bandeng merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan

strategis dibanding komoditas perikanan lain, karena: (i) teknologi pembenihan

dan pembesaran telah dikuasai dan berkembang di masyarakat, (ii) persyaratan

hidupnya tidak memerlukan kriteria kelayakan yang tinggi karena toleran terhadap

perubahan mutu lingkungan, (iii) merupakan ikan yang paling banyak diproduksi

dan dikonsumsi di Indonesia dalam bentuk hidup dan segar, serta untuk umpan

hidup tuna, (iv) merupakan sumber protein ikan yang potensial bagi pemenuhan

gizi serta pendapatan masyarakat petambak dan nelayan (Ahmad, 1998 dalam

Alaudin, 2004).

Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya

tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992)

menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe

dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah,

air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat

ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif,

atau intensif.

Page 16: Tesis Nirmala

40

Di Indonesia, budidaya tambak udang dikategorikan pada tiga sistem

produksi, yaitu: sistem ekstensif/tradisional, semi intensif, dan intensif. Ciri-ciri

masing-masing sistem budidaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1a.

Tabel 1a. Sistem budidaya udang di Indonesia

SISTEM CIRI-CIRI

EKSTENSIF � Pergantian air memanfaatkan energi pasang surut

� Padat penebaran 5.000-15.000 ekor/ha

� Menggunakan pupuk TSP, urea, organik yang

diperkaya

SEMI

INTENSIF

� Ukuran tambak, kedalaman air, kedalam pematang

mirip tambak ekstensif

� Pemasukan air dengan menggunakan pompa air

� Menggunakan kincir air

� Padat penebaran 15.000-150.000 ekor/ha

� Menggunakan pakan buatan (pelet)

INTENSIF � Konstruksi tambak lebih dalam daripada tambak

ekstensif

� Pemasukan air dengan menggunakan pompa air

� Menggunakan kincir air

� Padat penebaran >150.000 ekor/ha

� Menggunakan pakan buatan (pelet) berkualitas tinggi Sumber: Chamberlain (1991) dalam Kusumastanto (1994) Pada umumnya tambak di Indonesia yang dikelola dengan tidak

menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan

sudah mampu memproduksi udang antara 500-750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang

dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi

yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo, 2002). Di Philipina tambak

yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang

menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 600-750

kg/ha/4 bulan (Garcia dalam Widigdo, 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo

(1992) menyatakan bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi

antara 2-4 ton/ha, sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara

500-750 kg/ha. Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan

kelangsungan produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.

Page 17: Tesis Nirmala

41

Sistem Informasi dan Analisis Geografis

Sistem informasi adalah suatu jaringan perangkat keras dan lunak yang

dapat menjalankan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, dan

pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk

penggunaan informasi yang diturunkan ke beberapa proses pengambilan

keputusan. Fungsi sistem informasi adalah sebagai sarana untuk meningkatkan

kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu peta

merupakan bagian dari sistem informasi spasial (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Informasi dan analisis geografi berupa informasi yang bersifat keruangan

yang merupakan hasil penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol

sebagai gambaran keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta. Informasi

keruangan ditujukan untuk menjawab masalah yang terkait dengan pertanyaan

apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa (Sandy, 1986). Untuk lebih

mengoptimalkan dalam menghimpun dan memanfaatkan informasi keruangan

tersebut maka disusunlah Sistem Informasi Geografis (SIG).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang

dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat

geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan

kemampuan khusus untuk data yang berreferensi spasial bersamaan dengan

seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang

berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star

dan Estes dalam Barus dan Wiradisastra, 2000)

SIG secara singkat diartikan sebagai suatu perangkat lunak untuk

mengumpulkan, menyimpan, menampilkan kembali, mentransformasi, dan

menyajikan data keruangan (spatial) atau geografis dari sebagian fenomena ruang

muka bumi (Burrough dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Kelebihan SIG jika

dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah

kemampuannya untuk menyajikan informasi spatial maupun non spatial secara

bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan

Wiradisastra, 2000).

Page 18: Tesis Nirmala

42

Basis data yang terdapat di dalam SIG dibagi dalam dua bagian, yaitu

basis data grafis/spatial/ruang dan basis data non grafis/atribut/keterangan. Model

data grafis terdiri dari dua model, yaitu data raster dan data vektor. Pada model

data raster setiap informasi akan disimpan pada setiap pixel (picture element).

Susunan data dasar raster ini terdiri dari koordinat pixel dan informasi yang

dikandungnya disajikan biasanya dengan intensitas warna. Pada susunan

demikian, setiap pixel adalah satuan yang berdiri sendiri dan bukan merupakan

satu rangkaian yang saling berhubungan dengan pixel sekitarnya (De Mers, 1997).

Data dasar vektor mengandung informasi koordinat dan arah. Model

vektor ini dapat menampilkan kembali titik, garis, dan poligon (area) dengan

ketelitian dan pendekatan yang cukup tinggi dari kenampakan sesungguhnya.

Data spatial vektor secara garis besar dibedakan dalam tiga jenis kenampakan,

yaitu feature titik, garis, dan area (Laurini dan Thompson dalam Barus dan

Wiradisastra, 2000).

Basis data non grafis/non spasial berbentuk atribut, yang peranannya tidak

menunjukkan posisinya akan tetapi lebih bersifat penjelasan mengenai obyek atau

bersifat identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi 4 bentuk, yaitu: a)

nominal, b) ordinal, c) interval, dan d) ratio (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Penentuan Sektor Basis dalam Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah memandang penting adanya keterpaduan sektoral,

spasial, serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar

wilayah. Dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti

keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Wilayah

yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi

wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor

yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2006).

Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan

pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut

dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu

pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung atau tidak

langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan

Page 19: Tesis Nirmala

43

(penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor

memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-

beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa

sektor cenderung memiliki aktifitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran

sumberdaya alam, infrastruktur, dan sosial yang ada. Sehingga setiap wilayah

selalu terdapat sektor yang bersifat strategis (Rustiadi et al., 2006). Sektor

strategis di suatu wilayah dapat ditentukan dengan pendekatan model ekonomi

basis.

Inti dari model berbasis ekonomi (economic base model) adalah bahwa

arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut.

Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Tenaga

kerja dan pendapatan pada sektor basis adalah fungsi permintaan dari luar

(exogeneous), yaitu permintaan dari luar yang mengakibatkan terjadinya ekspor

dari wilayah tersebut. Disamping sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor

pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja (dan keluarganya) pada

sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung,

seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non-basis

(Budiharsono, 2001).

Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non-

basis dapat digunakan beberapa metode, yaitu: (1) metode pengukuran langsung

dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung

dilakukan dengan survai langsung. Metode pengukuran tidak langsung ada

beberapa metode, yaitu: (1) melalui pendekatan asumsi; (2) metode location

quotient; (3) metode kombinasi 1 dan 2; dan (4) metode kebutuhan minimum

(Budiharsono, 2001).

Metode Location Quotient

Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa

relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap

pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga

kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional

(Budiharsono, 2001). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:

Page 20: Tesis Nirmala

44

Dimana:

vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah

vt = pendapatan (tenaga kerja) total wilayah

Vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional

Vt = pendapatan (tenaga kerja) total nasional

Apabila LQ suatu sektor ≥ 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis.

Sedangkan bila LQ suatu sektor < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non-

basis. Asumsi metode LQ adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan

mempunyai pola permintaan wilayah sama dengan pola permintaan kabupaten.

Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan suatu barang akan

dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari

wilayah lain.

Proses Hierarki Analitik/PHA ( Analitycal Hierarchy Process/AHP)

Marguire dan Carver (1991) dalam Subandar (2002) telah mengamati

kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria

dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG

yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung

pengambilan keputusan (Birkin et al, 1996; Maguire, 1995 dalam Subandar,

2002).

Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Multy

Decision) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses

Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy

Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM yang mula-mula

dikembangkan oleh Saaty (1991), dan sangat populer digunakan dalam

perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use

allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang

masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang

VtVi

vtviLQ /i =

Page 21: Tesis Nirmala

45

memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun

tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara

sederhana (Saaty, 1991).

Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal

Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,

seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun

1970-an.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah

(Saaty, 1991):

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam

persoalan yang tidak terstruktur.

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem

dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu

sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah

elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan

mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk

mendapatkan prioritas.

6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif.

8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan

memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan

mereka.

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang

representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu

persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui

pengulangan.

Page 22: Tesis Nirmala

46

Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap

secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan

tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala

preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat

suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya

diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun

masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi

yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik

sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang

didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada

pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya,

dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik

(Saaty, 1991).

Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu

situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya;

(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii)

memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya

setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan

variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi

hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1991).

Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih

disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki.

Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan

dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan

model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang

saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta

kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang

dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan

berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan

yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi

sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan

baik oleh model PHA.

Page 23: Tesis Nirmala

47

PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan

dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami

suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan

keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti

membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantiatif.

Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara

rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible

(tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1991).

Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian

persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu:

(i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah

persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau

penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif

kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen

dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan

suatu kriteria logis.

Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1991) adalah:

1. identifikasi sistem

2. penyusunan struktur hierarki

3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison)

4. menghitung matriks pendapat individu

5. menghitung pendapat gabungan

6. pengolahan horisontal

7. pengolahan vertikal

8. revisi pendapat.

Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara

bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)

Page 24: Tesis Nirmala

48

(Salusu, 1996). Sedangkan menurut Kotler, 1988; Wheelen dan Hunger, 1995

dalam Kajanus (2001) analisa SWOT adalah suatu alat yang umum digunakan

untuk penganalisaan lingkungan yang internal dan eksternal dalam rangka

mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi

pengambilan keputusan.

Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2

model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks

mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat

kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah

TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996).

Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu:

(1) Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang.

(2) Strategi WO, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan

kelemahan yang ada.

(3) Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil

dampak dari ancaman eksternal.

(4) Strategi WT, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha

memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.

Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk Pengkajian Wilayah

RRA (Rapid Rural Appraisal), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

sebagai Pengenalan Pedesaan dalam Waktu singkat, merupakan metode yang

relatif baru berkembang sejak akhir dekade 70-an.

Menurut Daniel (2002), RRA dirancang terutama untuk untuk tim yang

berbeda disiplin ilmu, guna dipakai untuk mengumpulkan dan menganalisis

informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat, dengan lebih komprehensif.

Metode penelitian ini pada prakteknya tidak perlu harus terlalu terfokus pada

sampel yang representatif (berbeda dengan metode survei atau studi kasus), tetapi

lebih mengutamakan pemahaman tentang realita sosial dan ekonomi yang

berkaitan dengan aspek bio-fisik suatu daerah atau masyarakat. Keunggulan

metode ini adalah jawaban atas suatu masalah dapat diperoleh dalam waktu

singkat dan biaya murah, tapi juga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan

(Daniel, 2002).

Page 25: Tesis Nirmala

49

Dalam pelaksanaannya metode RRA juga sekaligus melakukan konfirmasi

data (secara segitiga), data sekunder, didalami melalui wawancara semistruktural

dengan pengambil kebijakan, kemudian data ini dikonfirmasikan ke lapangan

(petani, sesepuh desa, sumberdaya alam). Dari lapangan hasilnya didiskusikan

oleh tim yang terdiri berbagai disiplin ilmu atau keahlian (Daniel, 2002).

Wawancara semistruktural adalah suatu bentuk wawancara yang hanya

menggunakan beberapa pertanyaan pokok (sub-topik) sebagai pedoman.

Pertanyan-pertanyan pokok tersebut telah disiapkan sebelumnya, tetapi tidak

berbentuk kuisioner, dan dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan ketika

melaksanakan wawancara.

Penelitian untuk tesis pada bidang ilmu yang bersifat multidisiplin seperti

pengelolaan sumberdaya pesisir, walaupun merupakan penelitian indiviual, sangat

memungkinkan menggunakan metode RRA ini karena bidang ilmu yang

multidisplin menggunakan berbagai displin ilmu di dalam analisisnya.

Page 26: Tesis Nirmala

50

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur, dengan

garis pantai sepanjang ± 152 km, yang meliputi 5 kecamatan pantai yaitu

Kecamatan Sangatta, Kecamatan Bengalon, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan

Kaliorang, dan Kecamatan Sandaran (Gambar 1).

Batas penelitian ke arah darat, untuk peruntukan budidaya tambak, dibatasi

sejauh 4 km dari garis pantai. Sedangkan batas penelitian ke arah laut dibatasi

sejauh 4 mil laut yang merupakan batas kewenangan pengelolaan pesisir oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur berdasarkan UU No 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah.

Waktu penelitian kurang lebih 7 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2006–

Pebruari 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap

persiapan bulan Agustus-Oktober 2006 (2) tahap penelitian lapangan bulan

November 2006-Januari 2007 (3) tahap analisis data bulan Pebruari 2007.

Kerangka Pendekatan Studi

Pengembangan budidaya perikanan laut di kawasan pesisir Kabupaten

Kutai Timur didasarkan pada kondisi potensi supply, demand, dan existing.

Potensi supply adalah kondisi sumberdaya alam kawasan pesisir baik secara fisik,

kimia maupun biologi yang mempunyai interaksi satu sama lain, yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan

potensi demand meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat serta stakeholders

lain yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya alam yang

memadai serta pengaturan pemanfaatan agar dapat terjamin kelestariannya.

Kondisi existing adalah kondisi pemanfataan saat ini yang meliputi budidaya

tambak, budidaya karamba sistem fixed net cage, dan budidaya rumput laut long

line.

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ketiga komponen tersebut untuk

menetapkan zonasi dan arahan pengembangan kawasan, yang sesuai dengan

kondisi (potensi dan status) sumberdaya alam dan prioritas kebutuhan masyarakat.

Page 27: Tesis Nirmala

17

Gambar 1. Wilayah Administrasi dan Stasiun Sampling di Lokasi Penelitian

26

Page 28: Tesis Nirmala

52

Untuk mengkaji pemanfaatan lahan digunakan pendekatan analisis spasial,

analisis konflik, dan analisis arahan pengembangan. Analisis spasial untuk

mengetahui kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi

Geografis. Sedangkan analisis konflik pemanfaatan lahan dilakukan dengan

pendekatan Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Proces). Dengan

analisis tersebut akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang yang

optimal.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk mendapatkan

karakteristik kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur dengan berdasarkan pada

kondisi biogeofisik yang ada. Karakteristik kawasan merupakan salah satu acuan

dalam Sistim Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan kesesuaian lahan agar

sesuai dengan peruntukannya.

Kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi

kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision) untuk

pemecahan konflik pemanfaatan lahan, dijembatani dengan cara menggabungkan

bobot yang diperoleh dari PHA dengan matriks atribut yang diperoleh pada

analisis spasial (SIG).

Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan

kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable

development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar

pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan

dimensi kelestarian lingkungan. Pembobotan dalam PHA menggunakan metode

participatory yang merupakan gabungan pendapat dari seluruh responden dengan

menggunakan rata-rata geometrik (geometric mean).

Penghitungan nilai Location Quotient (LQ) untuk setiap sektor usaha

dilakukan untuk mengetahui usaha budidaya yang merupakan sektor basis,

sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan kawasan budidaya.

Selanjutnya dilakukan analisis SWOT untuk memperoleh strategi arahan

pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur. Analisis SWOT

dilakukan untuk memperoleh rencana pengembangan kawasan pesisir Kabupaten

Kutai Timur berdasarkan faktor internal (kekuatan-kelemahan) dan faktor

eksternal (peluang-ancaman) yang ada di daerah tersebut.

Kerangka pendekatan studi yang digunakan disajikan dalam Gambar 2

berikut ini.

Page 29: Tesis Nirmala

53

Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan

(PHA)

Rancangan PHA

Proses PHA

PEMANFAATAN SAAT INI: - budidaya tambak - budidaya karamba - budidaya rumput laut

BIOFISIK: • Jenis Tanah • Curah Hujan • Topografi • Kemiringan Lahan • Penggunaan Lahan • Jarak dari laut • Dan lain lain

KONDISI DAN POTENSI WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

Analisis Kesesuaian Lahan (SIG)

Kriteria Kesesuaian Lahan

Proses Analisis Kesesuaian Lahan

PRIORITAS PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR

PETA KESESUAIAN LAHAN Untuk KEGIATAN PERIKANAN

SISI SUPLAI SISI PERMINTAAN

Pembangunan Berkelanjutan: • dimensi Lingkungan • dimensi Ekonomi • dimensi Sosial

Penggabungan Matriks Atribut dan Matriks Bobot Matriks Bobot Matriks Atribut

STRATEGI DAN ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN BUDIDAYA PERIKANAN

DI WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

Gambar 2. Kerangka Pendekatan Penelitian

- Analisis LQ - Analisis SWOT

- Analisis Kelayakan Usaha - Analisis Spasial PETA KOMPOSIT

KESESUAIAN LAHAN

Page 30: Tesis Nirmala

54

Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (i) data fisik-geografi kawasan

pesisir, (ii) data aspirasi masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur

meliputi masalah sosial-ekonomi-budaya. Data primer diperoleh melalui observasi

lapangan pada wilayah penelitian dan melalui hasil wawancara semi terstruktur

dengan pengguna (stakeholders) yang terkait di wilayah tersebut.

Metode penentuan titik stasiun untuk observasi lapangan dilakukan secara

purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil

antara lain berupa daerah lokasi budidaya yang ada saat ini, cakupan lokasi

penelitian yang cukup jauh, transportasi, keselamatan peneliti, waktu dan biaya.

Data sekunder meliputi literatur-literatur penunjang dan data pendukung

lainnya. Data sekunder yang dibutuhkan ditelusuri dari data BPS, hasil penelitian

terdahulu, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, dan data dari instansi lain yang

terkait dengan penelitian ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk

memberikan masukan ke dalam sistem informasi geografik, baik itu data spasial

maupun data atribut. Rincian jenis data dan sumber data yang akan digunakan

dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.

Teknik Pengambilan Responden

Untuk memperoleh data primer berupa aspirasi stakeholders digunakan

teknik Stakeholders Analysis (Analisis Stakeholders). Analisis stakeholders adalah

suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu

yang terkait, mengkategorikan informasi , dan menjelaskan kemungkinan konflik

antar kelompok, serta kondisi yang memungkinkan terjadinya trade off

(Budiharsono, 2006).

Langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholders adalah:

(i) Identifikasi stakeholders;

(ii) Membuat tabel stakeholders;

(iii) Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders;

(iv) Membuat stakeholders grid;

(v) Menyepakati hasil analisis dengan stakeholders utama.

Page 31: Tesis Nirmala

55

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan dalam Analisis Kesesuaian Lahan dan Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya Perikanan di Pesisir Kab. Kutai Timur

NO PARAMETER BENTUK SUMBER DATA A. DATA BIO-FISIK 1. Geomorfologi pantai, meliputi:

• Topografi/elevasi pantai • Keterlindungan Perairan • Material dasar perairan • Batimetri

Peta/laporan Peta/laporan Peta/laporan Peta/laporan

Bappeda Kutim Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit Dishidros TNI AL

2. Hidro-oseanografi, meliputi: • Pasang surut tahun 2006 • Gelombang • Salinitas • Suhu permukaan laut • Kecerahan perairan • Kecepatan arus • Sedimentasi • Curah Hujan

Tabular Tabular Tabular Tabular Tabular Tabular Tabular Tabular

Dishidros TNI AL Observasi MCRMP Kutim/P2O LIPI MCRMP Kutim/P2O LIPI MCRMP Kutim/P2O LIPI Observasi/Dishidros AL Proses Citra satelit Puslit Tanag

3. Tanah, meliputi: • Penggunaan lahan • Kelerengan • Struktur dan tekstur tanah

Peta Peta Peta

Proses Citra /Bakosurtanal Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslit Tanag)

4. Ekosistem pesisir, meliputi: • Mangrove • Padang lamun • Terumbu karang • Pantai berpasir

Laporan Laporan Laporan Laporan

Proses Citra satelit dan observasi

B. Data Sosial-Ekonomi-Budaya 1. Ekonomi, meliputi:

• Perekonomian wilayah • Pendapatan • Produksi perikanan • Ketenagakerjaan

Statistik Statistik Kuisioner Statistik

BPS BPS BPS/Statistik DKP Kutim BPS/ Statistik DKP Kutim

2. Sosial Budaya, meliputi: • Jumlah penduduk • Lama tinggal • Pendidikan • Adat istiadat/kesukuan

Statistik Wawancara Wawancara Wawancara

BPS Responden BPS Responden

3. Sarana Prasarana • Jalan • Pasar • Telekomunikasi • Pelabuhan • Kelembagaan (koperasi dll)

Statistik Statistik Statistik Statistik Statistik

BPS BPS BPS BPS BPS

Page 32: Tesis Nirmala

56

Teknik pengambilan responden dalam rangka menggali informasi/

pendapat stakeholders adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar

ditentukan secara purposive sampling. Pakar responden berjumlah 12 orang, yang

merupakan key persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok

stakeholders yang diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok

stakeholders ini meliputi setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan kawasan

pesisir Kabupaten Kutai Timur, yaitu dari unsur birokrasi, akademisi, pelaku

usaha, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada pengelolaan

pesisir.

Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam 5 (lima) tahap berurutan, yaitu : i) analisis

kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis, ii)

analisis konflik pemanfaatan lahan dilakukan dengan menggunakan metode PHA,

iii) analisis LQ dan analisis spasial peta komposit dilakukan untuk menentukan

arahan pengembangan kawasan untuk budidaya, iv) kelayakan finansial

pengembangan usaha budidaya dilakukan dengan analisis kelayakan usaha, dan v)

strategi pengembangan kawasan pesisir dilakukan dengan metode SWOT.

Masing-masing analisis tersebut dijelaskan pada bagian berikut ini.

i) Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur

meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak, budidaya karamba,

dan budidaya rumput laut. Analisis dilakukan dalam 4 tahap, yaitu: (i)

penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang dilakukan, (ii) pembobotan

dan pengharkatan, (iii) analisis proximity (pendekatan), yaitu membuat buffer

berupa zona penyangga di sekeliling feature (informasi) dari coverage (tematik)

input (titik, dan garis) untuk membuat suatu coverage baru, dan (iv) analisis

overlay (tumpang susun), yaitu proses penampakan coverage, dilakukan untuk

menganalisis dan mengidentifikasi hubungan spasial antara feature-feature dari

coverage. Analisis dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.2. Alur

kerja analisis kesesuaian lahan disajikan pada gambar 3.

Page 33: Tesis Nirmala

57

Gambar 3. Alur Kerja Analisa Spasial untuk Kesesuaian Lahan

Penyusunan Matriks Kesesuaian

Penyusunan matriks kesesuaian dilakukan dengan menggunakan kriteria-

kriteria kesesuaian, masing-masing untuk kegiatan: (i) budidaya tambak, (ii)

budidaya karamba, dan (iii) budidaya rumput laut. Kriteria kesesuaian disusun

berdasarkan parameter biofisik yang relevan dengan setiap kegiatan, dan dibuat

dengan mengacu pada matriks kriteria kesesuaian dari berbagai studi pustaka

seperti FAO (1976) yang diacu dalam Hardjowigeno et al (1996), BPPT (2004),

dan dari beberapa penelitian terdahulu, yang dimodifikasi oleh peneliti.

Pembobotan (Weighting) dan Pengharkatan (Scoring)

Pemberian bobot didasari oleh tingkat kepentingan masing-masing

parameter secara berurutan, mulai dari yang terpenting sampai yang kurang

penting. Selain itu setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi

KONDISI DAN POTENSI WILAYAH

PETA KESESUAIAN LAHAN PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

PETA KOMPOSIT

PEMANFAATAN SAAT INI

ANALISIS SPASIAL

KRITERIA KESE- SUAIAN LAHAN

BASIS DATA

PETA TEMATIK I

DATA SEKUNDER PETA CITRA DATA PRIMER

PENGUMPULAN DATA

VEKTORIZED PETA TEMATIK -n

Page 34: Tesis Nirmala

58

skor berdasarkan tingkat kesesuaiannya. Sehingga pada hasil akhir akan diperoleh

”nilai akhir” atau ”matriks atribut” yang merupakan hasil perkalian antara bobot

dengan skor kelas.

Setiap kriteria dan parameter, pemberian bobot, dan skor kelas ditentukan

berdasarkan studi kepustakaan, dan justifikasi dari tenaga ahli yang berkompeten

di bidang perikanan, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan index

overlay model (Bonham-Carter, 1994 dalam Vincentius, 2003) dengan persamaan

matematis sebagai berikut:

Dimana: S = Indeks terbobot dari area atau poligon terpilih

Sij = Skor kelas ke-j dari layer ke-i

Wi = Bobot untuk input layer ke-i

n = Jumlah layer

Kelas Kesesuaian

Pembagian kelas kesesuaian dilakukan menurut klasifikasi FAO (1976)

yang diacu oleh Hardjowigeno (2001), yang membagi kesesuaian lahan menjadi 2

ordo, yaitu ordo S (suitable/sesuai) dan ordo N (not suitable/tidak sesuai).

Selanjutnya ordo ini dibedakan lagi menjadi kelas-kelas yaitu: Sangat Sesuai (S1),

Sesuai (S2), dan Tidak Sesuai Permanen (N).

i) Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), yaitu: lahan tidak mempunyai

pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau

hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara

nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan

dari pengusahaan lahan tersebut. Nilai scoring untuk kelas S1 sebesar 3.

ii) Kelas S2: sesuai (suitable), yaitu: lahan yang mempunyai pembatas yang agak

berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut akan

mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh, serta

∑=

n

ii

n

iiij

W

WSS

Page 35: Tesis Nirmala

59

meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Nilai scoring

untuk kelas S2 sebesar 2.

iii) Kelas N: tidak sesuai permanen (permanent not suitable), yaitu: lahan yang

mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin

dipergunakan untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Nilai scoring

untuk kelas N sebesar 1.

Pelaksanaan operasi tumpang susun (overlay) untuk setiap peruntukan

dimulai dari parameter yang paling penting (bobotnya terbesar), berurutan hingga

parameter yang kurang penting.

Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-300.

Range ini selanjutnya di bagi dalam 3 kelas, sehingga tersusun pembagian nilai

kesesuaian sebagai berikut:

Nilai 0-170 (N) = tidak sesuai

Nilai 171-224 (S2) = cukup sesuai

Nilai 225-300 (S1) = sangat sesuai

Matriks kesesuaian untuk setiap peruntukan ditampilkan pada Tabel 2-4

berikut ini.

Tabel 2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Tradisional

No. Kriteria Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1) 1 Tekstur Tanah 20 halus sedang kasar

2 Jenis Tanah 20 Aluvial Mediteran,

Regosol, Latosol Grumosol

3 Curah Hujan (mm/tahun)

15 < 1500 1500-3000 > 3000

4 Topografi 15 Datar Berombak Berbukit

5 Kemiringan Lahan (%)

10 0-2 >2-8 >8

6 Penggunaan Lahan

10 Semak,

alang-alang, rawa, tambak

Pengembangan Pelabuhan,

Sawah, kebun campuran

Pemukiman, Hutan lindung

7 Jarak dari Sungai (m)

5 < 500 500 - 2000 > 2000

8 Jarak dari laut (m)

5 < 2000 2000 - 4000 > 4000

Sumber: modifikasi dari Hardjowigeno (2001) dan Wibowo (2004)

Page 36: Tesis Nirmala

60

Tabel 3. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Karamba Jaring Tancap (Fixed net cage)

No. Parameter/Kriteria Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1)

1 Keterlindungan Perairan

20 Sangat

terlindung Terlindung Terbuka

2 Kecepatan Arus (cm/dtk)

15 20-30 11 - <20 atau

>30 - 45 < 11 atau

>45

3 Kedalaman Perairan (m)

15 2-3 1 - <2 atau

>3 - 5 <1 atau

>5

4 Material Dasar Perairan

10 Pasir

berkarang Pasir

berlumpur Lumpur

5 Pencemaran 10 Tidak ada Tidak ada Tinggi 6 Kecerahan (%) 10 85-100 70 - <85 <70

7 Salinitas (ppm) 10 29-30 27 - <29 atau

>30 - 35 <27 atau

>35

8 Suhu (°C) 5 27-30 24 - <27 atau

>30 - 34 <24 atau

<34 9 DO (ppm) 5 >7 5 - 7 <5

Sumber: modifikasi dari Subandar (2005) dan Soebagio (2004)

Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line

No. Parameter/Kriteria Bobot Kelas Kesesuaian (Skor)

S1 (3) S2 (2) N(1)

1 Keterlindungan 20 Sangat

terlindung Terlindung Terbuka

2 Kedalaman Perairan (m)

20 3 - 15 2 - 3 atau >15 - 40

<1 atau >40

3 Material Dasar Perairan

15 Karang berpasir

Pasir- Pasir berlumpur

Lumpur

4 Arus (cm/dt) 15 21 - 30 11 - <21 atau

>30 - 45 <11 atau

>45 5 Kecerahan (%) 10 80 - 100 60 - <80 <60

6 Salinitas (ppm) 10 30 - 32 25 - <30 atau

>32 - 35 <25 atau

>35

7 Suhu (°C) 5 28 - 30 25 - <28 atau

>30 - 33 <25 atau

>33 8 DO (ppm) 5 >7 3 - 7 <3

Sumber: modifikasi dari Dirjen Perikanan Budidaya (2004), Besweni (2002), Syahputra (2005), dan Subagio (2004)

Page 37: Tesis Nirmala

61

ii) Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan

Dalam menganalisis konflik pemanfaatan lahan dalam pengembangan

kawasan budidaya perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur digunakan

pendekatan Proses Hierarki Analitik/PHA. Proses Hierarki Analitik adalah suatu

pendekatan yang biasanya digunakan untuk menganalisis kebijakan dalam

pemanfaatan ruang agar dapat tepat dan sesuai dengan peruntukannya dengan

tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan.

Langkah paling awal dalam PHA adalah merinci permasalahan ke dalam

komponen-komponennya (tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif kegiatan),

kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk

hierarki.

Tahapan-tahapan dalam Proses Hierarki Analitik adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang

mempengaruhi permasalahan/konflik pemanfaatan ruang dan menentukan

variabel yang berpengaruh serta solusi yang diinginkan.

2) Penyusunan Struktur Hierarki

Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh

dari level puncak sampai ke level dimana dimungkinkan campur tangan untuk

dapat memecahkan persoalan.

3) Membuat Matriks Perbandingan Berpasangan

Dilakukan untuk menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap

masing-masing kriteria/kepentingan yang berada satu tingkat di atasnya.

Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan

teknik komparasi berpasangan berdasarkan pendapat dari para pakar atau

bukan, namun memahami permasalahan.

4) Menghitung Matriks Pendapat Individu

Dilakukan dengan cara menghimpun semua pertimbangan yang diperlukan

untuk mengembangkan perangkat matriks pada langkah ke 3 menjadi matriks

pendapat individu.

5) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan

Page 38: Tesis Nirmala

62

Untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat

individu yang ada. Untuk memadukan matriks pendapat individu yang berasal

dari 12 orang responden tersebut menjadi vektor prioritas gabungan,

digunakan rata-rata geometrik (GEOMETRIC MEAN) dengan formulasi

sebagai berikut:

Dimana: RGi = rata-rata geometrik baris ke-i

m = responden (1-12)

Bij = vektor prioritas baris ke-i kolom ke-j

6) Pengolahan Horisontal

Pengolahan horisontal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap

elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.

7) Revisi Pendapat

Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai CR (Consistensy Ratio) cukup

tinggi yaitu 0,1 dengan mencari Root Mean Square (RMS) dan merevisi

pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar.

Pengumpulan pendapat responden dilakukan dengan menggunakan teknik

RRA, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software

Expert Choice version 2000 dan Microsoft Excell 2003.

Dari analisis ini dapat dihasilkan prioritas pengembangan kawasan pesisir

Kutai Timur untuk kegiatan-kegiatan: (i) budidaya tambak, (ii) budidaya karamba,

dan (iii) budidaya rumput laut.

Tujuan prioritas pengembangan perikanan di kawasan pesisir Kabupaten

Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable development) dibangun oleh

beberapa kriteria, yang merupakan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan,

yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan.

Struktur hierarki berbagai kriteria dalam mencapai tujuan untuk arahan

pengembangan kawasan budidaya perikanan laut di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur dapat dilihat dalam gambar 4.

mij

m

i BRG1π=

Page 39: Tesis Nirmala

63

Level 1 :

Level 2 : Level 3 :

Level 4:

Gambar 4. Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Tujuan Prioritas Pengembanga n kawasan Budidaya

Perikanan Di Wilayah Pesisir Kab. Kutai Timur

Kriteria Peningkatan Ekonomi

Penurunan Konflik Sosial

Kelestarian SDA dan Lingkungan

Sub Kriteria

Jasa Lingkungan

SDA Tidak Pulih

SDA Pulih

Konflik Antar Ruang

Konflik Antar Pelaku

Peningkatan PAD

Penyerapan TK dan Kesempatan Berusaha

Peningkatan Pendapatn

Alternatif Kegiatan

Kawasan Bd Karamba

Kawasan Bd Tambak

Kawasan Bd Rumput Laut

Page 40: Tesis Nirmala

iii) Analisis Location Quotient untuk Penentuan Sektor Basis

Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara produksi

sektor i pada tingkat kecamatan terhadap produksi total kecamatan, dengan pangsa

relatif produksi sektor i pada tingkat kabupaten terhadap produksi total kabupaten.

Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:

Dimana:

vi = pendapatan/tenaga kerja/produksi sektor i pada tingkat kecamatan

vt = pendapatan/tenaga kerja/produksi total kecamatan

Vi = pendapatan/tenaga kerja/produksi sektor i pada tingkat kabupaten

Vt = pendapatan/tenaga kerja/produksi total kabupaten

Berdasarkan nilai LQ akan diketahui apakah suatu sektor merupakan

sektor basis atau sektor non-basis. Sektor basis akan menjadi sektor strategis

dalam pengembangan perikanan budidaya.

iv) Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kelayakan usaha mencakup pada perhitungan penentuan biaya

investasi, biaya operasional dan penerimaan. Analisis ini menggunakan kriteria

Revenue Cost Ratio (R/C), Net Benefit (π), Net Present Value (NPV), dan Net

Benefit Cost Ratio (Net B/C).

Revenue Cost Ratio (R/C)

Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang

dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama

periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dapat

dituliskan:

R/C = TR/TC

Dimana: TR = total penerimaan (Total Revenue)

TC = total pengeluaran (Total Cost)

Kriteria Usaha: R/C > 1, usaha menguntungkan

R/C = 1, usaha impas

R/C < 1, usaha merugikan

VtVi

vtviLQ /i =

Page 41: Tesis Nirmala

46

Net Present Value (NPV)

Net Present Value (nilai saat ini) adalah nilai kini dari keuntungan bersih

yang akan diperoleh di masa yang akan datang. NPV merupakan selisih antara

present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Secara matematis

NPV dapat dituliskan:

NPV = ∑= +

−n

tttt

r

CB

0 )1(

)(

Dimana : Bt = Manfaat pada tahun ke-t

Ct = Biaya pada tahun ke-t

r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)

n = umur ekonomis

t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n

Kriteria Usaha: NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan

NPV = 1, pengembalian persis sebesar opportunity cost modal

NPV < 1, usaha tidak layak dilakukan

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu

usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C

digunakan persamaan berikut:

Dimana : Bt = Manfaat pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)

n = umur ekonomis t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan

Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali

Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan

0)()1(

)(

0)()1(

)(

/

1

0

<−+−

>−+−

=∑

=

=

tt

n

tttt

tt

n

tttt

CBi

BC

CBi

CB

CNetB

Page 42: Tesis Nirmala

47

v) Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di Pesisir Kab. Kutai Timur

Analisis strategi pengembangan budidaya perikanan di wilayah pesisir

Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT

(strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis ini dilakukan dengan

menerapkan kriteria kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan

(faktor internal dan eksternal) yang diperoleh dengan teknik RRA.

Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan

hasil wawancara dengan teknik RRA tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh

peneliti dalam bentuk bobot dan skor.

Berdasarkan Rangkuti (2002) langkah-langkah yang dilakukan dalam

analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap pengumpulan data

Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan

pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal

dan internal.

Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman),

sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan kawasan pesisir

Kabupaten Kutai Timur, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi

sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan

(kekuatan dan kelemahan).

Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor

strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal.

Matriks faktor strategi eksternal disusun dengan langkah-langkah:

• Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman

• Selanjutnya pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor

peluang dan ancaman, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0

(tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman

sama dengan 1,0.

• Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai

dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi

pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating

untuk peluang bersifat positif (nilai 4=sangat besar, 3=besar, 2=sedang,

Page 43: Tesis Nirmala

48

dan 1=kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk ancaman bersifat

negatif (nilai 4=kecil, 3=sedang, 2=besar, dan 1=sangat besar).

• Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang

sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor

tersebut.

• Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu

dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.

• Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut

menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis

eksternalnya.

Tabel 5. External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS)

Faktor-faktor Strategi Eksternal

Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5 Peluang: O1 O2 O3 ....

4 3 2 1

Ancaman: T1 T2 T3 ....

1 2 3 4

TOTAL 1,00 -

Matriks faktor strategi internal disusun dengan langkah-langkah:

• Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan.

• Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0

(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk

semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.

• Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai

dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi

pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating

untuk kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 =

Page 44: Tesis Nirmala

49

sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk kelemahan

bersifat negatif ((nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat

besar).

• Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang

sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor

tersebut.

• Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu

dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.

• Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut

menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis

internalnya.

Tabel 6. Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)

Faktor-faktor Strategi Eksternal

Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5 Peluang: S1 S2 S3 ....

4 3 2 1

Ancaman: W1 W2 W3 ....

1 2 3 4

TOTAL 1,00 -

2. Tahap analisis

Pada tahap analisis digunakan Model Matriks TOWS, dimana terdapat 4

strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (tabel

berikut).

Setelah diperoleh matriks TOWS, selanjutnya disusun rangking semua

strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.

Page 45: Tesis Nirmala

50

Tabel 7. Model Matriks TOWS Hasil Analisis SWOT

IFAS EFAS

STRENGTH (S)

WEAKNESSES (W)

OPPORTUNITIES (O)

SO1 SO2 SO3

..

.. SOn

WO1 WO2 WO3

..

.. WOn

THREATS (T)

ST1 ST2 ST3

..

.. STn

WT1 WT2 WT3

..

.. WTn

Page 46: Tesis Nirmala

51

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Geografis

Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur merupakan hasil

pemekaran dari Kabupaten Kutai. Terbentuknya Kabupaten Kutai Timur ini pada

tahun 1999, yang didasarkan atas Undang-undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang

Pemekaran Wilayah Propinsi dan Kabupaten, yang diresmikan oleh Menteri

dalam Negeri pada tanggal 28 Oktober 1999.

Lokasi Kabupaten Kutai Timur ini mudah dijangkau dengan berbagai jenis

transportasi baik darat, laut maupun udara. Melalui jalan darat, Kabupaten Kutai

Timur dapat dijangkau dalam jangka waktu sekitar 3 jam dari Kota Samarinda

(Ibukota Kalimantan Timur). Sedangkan jika melalui udara, terdapat pelabuhan

udara di PT KPC (perusahaan batubara) yang terbuka untuk umum (1 satu jam

perjalanan dari Pelabuhan Udara Sepinggan, Balikpapan). Untuk prasarana

transportasi laut telah direncanakan akan dikembangkan Pelabuhan Laut Sangatta

dan Pelabuhan Laut Maloy.

Posisi strategis dari Kabupaten Kutai Timur adalah sebagai berikut :

• Terletak pada jalur poros regional lintas trans Kalimantan yang

menghubungkan jalur Tanjung Selor – Tanjung Redep (kota-kota di utara

Kabupaten Kutai Timur) ke Kota Samarinda langsung ke Balikpapan serta ke

Kabupaten Pasir (Kalimantan Selatan), Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Barat;

• Terletak pada poros pertumbuhan kawasan ekonomi terpadu (Kapet)

SASAMBA (Samarinda-Samboja-Balikpapan) dan kawasan segitiga

pertumbuhan Bontang-Sanggata-Muara Wahau dan Sangkulirang;

• Terletak di sepanjang Selat Makasar yang merupakan alur pelayaran nasional,

regional maupun internasional.

Wilayah Kabupaten Kutai Timur memiliki bentangan pantai sepanjang

152 km dengan batas wilayah untuk sebelah selatan Desa Teluk Pandan hingga

ujung utara adalah Tanjung Mangkalihat. Kabupaten Kutai Timur ini memiliki

luas wilayah sekitar 35.747, 5 km2 atau 3.574.750 ha.

Page 47: Tesis Nirmala

52

Secara geografis kabupaten ini terletak pada koordinat :

• 1o52’39” Lintang Utara (LU) – 0o02’10” Lintang Selatan (LS)

• 115o56’26” Bujur Timur (BT) – 118o58’19” Bujur Timur (BT)

Wilayah kabupaten ini secara geografis dibatasi oleh :

• Sebelah Utara : Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Berau

• Sebelah Timur : Selat Makasar

• Sebelah Selatan : Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Bontang

• Sebelah Barat : Kabupaten Kutai Kartanegara

Secara administrasi Kabupaten Kutai Timur memiliki 11 kecamatan.

Ibukota Kabupaten Kutai Timur adalah Sanggata yang terletak di kecamatan

Sanggata. Wilayah kecamatan yang berada di pesisir ada 5, yaitu Kecamatan

Sangatta, Kecamatan Bengalon, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan Kaliorang,

dan Kecamatan Sandaran (lihat Tabel 8 dan Gambar 4).

Tabel 8. Wilayah Kabupaten Kutai Timur Per Kecamatan

No. Kecamatan Ibukota Kec. Luas (km2) % Jumlah Desa

1. Sanggata Sanggata 3.898,26 10,91 22

2. Sangkulirang Sangkulirang 6.020,05 16,84 20

3. Muara Wahau Muara Wahau 5.724,31 16,01 9

4. Muara Bengkal Muara Bengkal 1.562,30 4,37 13

5. Muara Ancalong Muara Ancalong 3.241,28 9,07 12

6. Busang Long Lees 3.721,62 10,41 6

7. Telen Juk Ayak 3.129,60 8,76 7

8. Kombeng Miau Baru 581,27 1,63 7

9. Bengalon Sepaso 3.396,24 9,50 13

10. Kaliorang Bukit makmur 699,01 1,96 15

11. Sandaran Manubar 3.773,54 10,56 7

JUMLAH 35.747,48 100,00 129 Sumber : Pengolahan data BPS, 2005

Page 48: Tesis Nirmala

Topografi dan Morfologi

Kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Kutai Timur sangat bervariasi.

Hal ini dikarenakan morfologi di wilayah ini adalah sebagian pegunungan dan

sebagian lagi adalah wilayah pantai. Kemiringan lereng 0 – 2% terutama wilayah-

wilayah kecamatan di daerah pantai seperti Kecamatan Bengalon dan Sanggata.

Kemiringan lereng 2 – 5% didominasi di Kecamatan Sangkulirang, kemiringan

lereng 15 – 40% didominasi di daerah pegunungan seperti Kecamatan Sandaran

dan Kaliorang. Sedangkan kemiringan yang curam/terjal (>40%) dominan di

wilayah Kecamatan Muara Wahau, Telen dan Busang (Bappeda Kutim, 2004).

Kabupaten Kutai Timur terletak pada kisaran elevasi 0 – 2.025 m di atas

permukaan air laut (Mean Sea Level). Secara umum wilayah ini didominasi oleh

elevasi 0 –150, yaitu meliputi sebagian besar Kecamatan Sandaran, Sangkulirang,

Kaliorang, Bengalon, Sanggata, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Telen dan

sebagian kecil Kecamatan Busang dan Muara Wahau. Elevasi >150 m dpal

terletak di daerah bagian utara kabupaten. Wilayah dengan elevasi >375 m dpal

terletak di Kabupaten Busang Muara Wahau (Bappeda Kutim, 2004). Daerah

pesisir pantai sebagian memiliki elevasi 0-7 m dan sebagian yang lain mempunyai

elevasi 7-25 m (Unmul, 2002). Lahan-lahan tambak yang eksisting saat ini

umumnya terletak pada elevasi antara 0-0,75 m diatas permukaan air laut rata-rata

(MSL).

Iklim

Berdasarkan Klasifikasi Schmidt dan Ferguson, type iklim di Kabupaten

Kutai Timur termasuk kelas A dengan ciri utamanya tidak terdapat perbedaan

musim hujan dan kering, dimana bulan basahnya (100 mm) sangat dominan.

Sedangkan berdasarkan Klasifikasi Koppen termasuk kelas Af (Iklim Tropika

Basah) dengan ciri hujan terdapat sepanjang tahun, lembab, dan berangin dengan

jumlah hari hujan rataan 75 hari/tahun (Unmul, 2002).

Berdasarkan data BPS Kutai Timur tahun 2005, curah hujan rata-rata di

Kabupaten Kutai Timur pada Tahun 2004 berkisar antara 28 mm/bulan (bulan

Agustus) hingga 146 mm/bulan (bulan Juni). Selama tahun 2004 terdapat 9 bulan

Page 49: Tesis Nirmala

59

basah (lebih dari 100 mm), bulan basah tertinggi terjadi antara bulan Desember

hingga Pebruari.

Suhu udara rataan 27,6 oC, dengan kisaran suhu udara maksimum antara

31,6oC–32,8oC dan kisaran suhu udara minimum antara 21,9oC–23,8oC.

Kelembaban udara cukup tinggi, rataan 75%, dengan kisaran maksimum antara

92–96% dan kisaran minimum antara 53–59%. Panjang penyinaran matahari

berkisar antara 3,6 – 5,1 jam/hari (Unmul, 2002).

Rata-rata radiasi matahari tertinggi pada bulan April (545,5 g/cal/cm2/hari)

dan terendah pada bulan Januari (292 g/cal/cm2/hari) dengan lama penyinaran

matahari berkisar antara 3,69 jam (bulan Januari) hingga 6,54 jam (bulan

Agustus). Evapotranspirasi Potensial (PET) yang dihitung dengan menggunakan

metode Papadaki’s diperoleh sebesar 1098 mm/tahun atau rata-rata berkisar antara

2,71 sampai dengan 3,64 mm/hari (Bappeda Kutim, 2004).

Kondisi Sungai

Sungai-sungai di lokasi penelitian termasuk sungai alluvial yang berpola

dendritik, terutama Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon aliran sungai melalui

daerah yang sangat datar dan banyak diantaranya melalui daerah yang berawa-

rawa. Karena daerah rawa ini secara hidrologis berfungsi sebagai daerah retensi

banjir (mengurangi besarnya debit banjir), maka sungai-sungai di daerah

penelitian memiliki fluktuasi yang tidak besar dan kecepatan arusnya lambat.

Sungai-sungai demikian sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut, dengan

ciri-ciri antara lain intrusi air asin dapat masuk jauh ke arah hulu, dengan fluktuasi

salinitas antara air pasang dan air surut yang relatif kecil di daerah muara sungai.

Sungai-sungai di Kecamatan Sangkulirang, terutama pada hamparan

Prupuk dan Marokangan mempunyai karakteristik yang agak berbeda dengan

Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon, karena memiliki kemiringan yang relatif

besar sehingga pengaruh pasang surut relatif lebih kecil. Dengan demikian

fluktuasi salinitas antara waktu air pasang dengan air surut relatif lebih besar.

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara ke kawasan pesisir

Kabupaten Kutai Timur adalah DAS Sangatta, DAS Sangkimah, DAS Santan,

DAS Bengalon, dan DAS Sangkulirang.

Page 50: Tesis Nirmala

60

Kondisi Pantai

Kondisi fisiografi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan

menjadi lima kelompok, yaitu: dataran pasir, dataran aluvial, rawa pasang surut,

rataan lumpur, dan perbukitan. Bentuk lahan di wilayah pesisir merupakan hasil

bentukan dari proses marin dan koluvial-fluvial secara bersamaan. Bentuk lahan

tersebut meliputi rataan pasang surut (tidal flat/tidal swamp), delta, beting karang,

dan rataan lumpur. Rawa pasang surut tersebar antara daerah Tanjung Pakut

sampai Muara Bengalon, sekitar Sungai Dunan, Pulau Sengkuang, Pulau

Senumpak, sekitar Sungai Mengenay, dan Sungai Senyiur. Sebaran delta terutama

di muara-muara sungai dengan ukuran yang cukup besar, seperti Sungai Sangatta,

Sungai Bengalon, dan Sungai Kenyamukan.

Kondisi pantai sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang

lain. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dan karakteristik catchment area

sungai-sungai yang mengalir di perairan tersebut.

Menurut data dari penelitian Unmul (2002), kondisi tanah di pesisir Kab.

Kutai Timur menunjukkan perbedaan sifat fisik, yaitu:

� Hamparan Muara Bengalon (Kec. Bengalon) bertekstur liat berdebu.

� Hamparan Kaliorang (Kec. Kaliorang) bertekstur pasir berlempung.

� Hamparan Susuk (Kec. Sandaran) bertekstur lempung liat berpasir.

� Hamparan Marokangan (Kec. Sangkulirang) bertekstur lempung.

Jenis tanah liat berdebu mempunyai tekstur yang halus dengan

permeabilitas rendah serta mempunyai tingkat kesuburan yang cukup tinggi dan

dapat menunjang pertumbuhan kelekap dengan baik.

Jenis tanah lempung liat berpasir mempunyai tekstur yang agak kasar

dengan permeabilitas sedang, tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang rendah

dan kurang menunjang pertumbuhan kelekap.

Jenis tanah pasir berlempung mempunyai tekstur yang agak kasar dengan

permeabilitas yang tinggi dan tingkat kesuburan rendah.

Sifat Kimia Tanah

Kesuburan tanah ditandai oleh banyaknya kandungan bahan organik dan

unsur hara tanah. Kesuburan tanah penting diketahui terutama pada lokasi areal

Page 51: Tesis Nirmala

61

pertambakan yang diusahakan secara tradisional dan semi intensif, dimana pakan

alami masih dibutuhkan. Pada budidaya bandeng, kelekap merupakan bahan

pakan utama, sedangkan pada budidaya udang kesuburan perairan menentukan

kesuburan plankton.

Bahan organik terukur di pesisir Kab. Kutai Timur berkisar antara 1,05-

3,19% (Unmul, 2002). Apabila dibandingkan dengan kebutuhan ideal yang

berkisar antara 3-5% maka kandungan bahan organik ini masih relatif rendah,

sehingga diperlukan pengelolaan tanah dengan pemupukan, terutama dengan

pupuk organik seperti pupuk kandang.

Derajat keasaman (pH) tanah berkisar antara 5,1-7,4 dengan pH potensial

berkisar antara 4,8-7,3. kecilnya perbedaan antara pH aktual dengan pH potensial

menunjukkan bahwa pH tanah di lokasi tersebut cukup stabil (tidak berfluktuasi).

Bila dibandingkan dengan pH ideal untuk keperluan budidaya tambak yaitu antara

7,5 -8,5; maka pH tanah tersebut masih relatif rendah, sehingga diperlukan

pengapuran untuk memperbaiki kondisi pH tanah.

Kondisi Hidro-Oseanografi

Pasang Surut Laut

Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur termasuk tipe

campuran cenderung ke harian ganda atau mixed prevailing semidiurnal (Unmul,

2002), yaitu kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua

kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Fluktuasi

pasang surut maksimum tercatat sebesar 2,5 meter pada saat pasang purnama

(Dishidros, 2005; Unmul, 2002). Di Tanjung Maloy tercatat air surut rendah

(LWS) = 0 meter, Mean Sea Level = 1,57 meter dan air pasang tinggi (HWS) =

3.20 meter (Dinas Perhubungan Laut, 2002 dalam Fitran, 2002).

Arus Laut

Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai

Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan

spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah

arus pasang 250°-333° dan arah arus surut mempunyai arah 36°-130°.

Page 52: Tesis Nirmala

62

Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kab. Kutai Timur dikaitkan

dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan kecepatan arus

sesuai dengan perubahan pasang surut. Hal tersebut mengindikasikan adanya

pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus. Kecepatan arus pada

waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada waktu air surut,

karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar.

Kecepatan arus yang terukur pada saat penelitian adalah sebagaimana yang

tercantum pada lampiran 2.

Gelombang Laut

Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari

jenis gelombang alun dan gelombang angin. Gelombang alun merupakan

gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian

merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada

gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang

alun dan gelombang angin.

Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai

Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April),

musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan

(Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan

laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang

menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya

terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan

gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi

pelayaran.

Teluk Lombok, Teluk Golok, dan Teluk Sangkulirang merupakan daerah

yang cukup terlindung dari aspek gelombang alun, sehingga perairan teluk pada

umumnya di dominasi gelombang refraksi-defraksi dari gelombang alun dan

gelombang angin lokal. Oleh karena itu tinggi gelombang perairan teluk lebih

kecil dari perairan bebas, sementara itu terumbu karang juga dapat meredam

gelombang. Biasanya gelombang yang melewati hamparan terumbu karang akan

pecah, dengan demikian kondisi gelombang di wilayah studi yang terletak pada

Page 53: Tesis Nirmala

63

lingkup daerah teluk atau berdekatan dengan terumbu karang pada dasarnya

sangat mendukung bagi usaha budidaya laut.

Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil.

Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal

maksimum sekitar 30 – 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari

garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang di Sangkulirang lebih tinggi

dibandingkan wilayah laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai

tinggi gelombang berkisar 50 – 70 cm.

Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur

dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember

2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20

detik per rangkaian gelombang. Tinggi gelombang laut yang terukur pada saat

penelitian dapat dilihat pada lampiran 2.

Kecerahan Perairan

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, tingkat kecerahan perairan di

pesisir Kabupaten Kutai Timur rata-rata lebih dari 80%. Namun pada beberapa

daerah tertentu yang dekat dengan muara sungai besar dan kecepatan arusnya

rendah, sehingga flushing rate kecil, seperti daerah Teluk Lombok, Muara

Sangatta, Muara Bengalon, dan Teluk Sangkulirang memiliki kecerahan kurang

dari 80%, bahkan kurang dari 60%. Hal ini terjadi karena kebanyakan sungai-

sungai di Kabupaten Kutai Timur mempunyai padatan tersuspensi yang tinggi,

akibat erosi yang disebabkan oleh pembukaan hutan di daerah hulu sungai.

Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola

sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat

curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang

rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas

perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran

salinitas di suatu perairan.

Page 54: Tesis Nirmala

64

Potensi Ekosistem Pesisir dan Laut

Secara ekologis, tipe ekosistem yang utama terdapat di wilayah pesisir dan

laut Kabupaten Kutai Timur ada 3 (tiga) yaitu hutan bakau, terumbu karang, dan

padang lamun. Ketiganya merupakan ekosistem yang sangat vital, dinamis, high

bio-diversity, dan produktivitas tinggi. Ekosistem ini banyak dimanfaatkan untuk

berbagai keperluan seperti ppemukiman, kegiatan perikanan tangkap, perikanan

budidaya, perhubungan, rekreasi, dan industri.

Dibandingkan dengan daerah lain, kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur

lebih spesifik karena mempunyai hutan rawa dan sungai-sungai besar. Sungai

merupakan sarana bagi berbagai kepentingan, tidak saja oleh penduduk tapi juga

oleh industri, HPH, pertambangan minyak, dan batu bara. Oleh karena itu kondisi

ekosistem di pesisir Kabupaten Kutai Timur sangat dipengaruhi kualitas dan

kuantitas air sungai.

Kawasan Kabupaten Kutai Timur terbentuk dari beberapa ekosistem yang

terdiri dari ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem

padang lamun. Diantara ekosistem tersebut terdapat beberapa yang dikategorikan

sebagai kawasan konservasi, oleh karena berfungsi penting dalam menunjang

kehidupan biota laut dan pelindung fisik kawasan pesisir, antara lain :

1. Mangrove

Komunitas jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 7

jenis, yaitu: Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora mucronata, Rhizopora

apiculata, Bruguiera, Ceriops, dan Casuarina equsetifolia.

Menurut hasil penelitian Saragih (2004), degradasi hutan mangrove terjadi

di beberapa desa yang termasuk dalam Kecamatan Sangatta, yaitu Desa Singa

Geweh, Desa Sangatta Utara dan Desa Sangkima. Degradasi terjadi pada jenis

Ceriops dan Casuarina equsetifolia. Degradasi ini terjadi karena konversi

mangrove untuk pertambakan, pemukiman, perluasan Pertamina Daerah Operasi

Sangkima, dan pembangunan Tempat Pelelangan Ikan di Muara Sungai

Kenyamukan. Selain itu pengaruh pasut pada saat angin Utara dan Selatan

menyebabkan masuknya air laut lebih jauh ke daratan, sehingga kedua komunitas

Page 55: Tesis Nirmala

65

tersebut tidak dapat tumbuh. Kondisi mangrove di kecamatan lain, yaitu

Kaliorang, Sangkulirang, dan Sandaran relatif masih utuh.

Keberadaan fauna di kawasan mangrove sangat spesifik karena terkait

dengan habitat lahan basah, sebagian besar didominasi oleh jenis burung, Oleh

karenanya, keberadaan fauna erat kaitannya dengan ekosistem lahan basah, yaitu

rawa dan delta muara sungai, seperti burung-burung air, satwa lain selain burung

adalah biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),

dan beberapa jenis ular.

2. Padang Lamun

Sebagai penyangga ekosistem terumbu karang, padang lamun berfungsi

meredam gelombang dan arus, perangkap sedimen, tempat asuhan, tempat

mencari makan, dan tempat pemijahan beberapa jenis ikan, udang, dan biota laut

lainnya. Ekosistem padang lamun berada di rataan terumbu karang, didominasi

oleh tumbuhan rumput laut dengan struktur perakaran di dasar perairan, luasannya

mencapai 2.416 ha pada kedalaman 0-2 meter.

Secara umum padang lamun di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur

ditumbuhi oleh Halophila pinealis dan Enhalus pinifolia. Jenis lainnya adalah

Thallasia, Halodule, Cymodoceae, Padina, Halimeda, Galaxaura, dan Laurencia

dengan penutupan sebesar 52-100%.

Selain berbagai jenis flora laut, padang lamun di Kabupaten Kutai Timur

juga dihuni oleh berbagai organisme seperti bintang laut biru (Linckia laevigatus),

bulu babi (Tripnesteus gratila), teripang biru dan coklat.

3. Terumbu Karang

Terumbu karang umumnya berada di pesisir utara Kabupaten Kutai Timur

(Kecamatan Sangkulirang dan Sandaran), yaitu di sekitar Pulau Miang Besar dan

Pulau Miang Kecil, serta Pulau Birah-birahan di depan Teluk Manubar, dengan

luasan terumbu karang mencapai 1.117 ha.

Kondisi terumbu karang di daerah ini masih cukup baik (Unmul, 2002).

Terumbu karang yang ada dari jenis karang lunak dan keras. Jenis yang dominan

adalah Acropora, selain itu pada kedalam 2-8 meter ditemukan koloni karang biru

Page 56: Tesis Nirmala

66

(Heliopora) dan karang api (Millepora), juga jenis karang Anacropora,

Sarcolphyton, Pocillopora, Porites, dan Serriatopora yang penyebarannya sampai

pada kedalaman 15 meter.

Kegiatan Perikanan

Mata pencaharian utama penduduk di pesisir Kabupaten Kutai Timur

adalah sektor perikanan, baik budidaya tambak, perikanan tangkap, perikanan

budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan. Seperti halnya kondisi yang terjadi

di perikanan Laut Jawa pada umumnya, potensi sumberdaya perikanan di

kawasan Kabupaten Kutai Timur cenderung mengalami ancaman tangkap lebih

(over-fishing). Oleh karenanya kegiatan budidaya perikanan semakin ditingkatkan

pengembangannya untuk meningkatkan nilai tambah bagi nelayan. Budidaya

perikanan yang dikembangkan diantaranya adalah ikan kerapu (Epinephelus spp),

lobster, dan rumput laut (Eucheuma sp). Sedang pengolahan hasil perikanan

masih relatif sedikit yaitu hanya ada kegiatan pengasinan ikan.

Banyaknya jumlah rumah tangga perikanan (RTP) yang terlibat dalam

kegiatan perikanan laut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Jenis Kegiatan, di Kabupaten Kutai Timur (Satuan: RTP)

Kecamatan Perikanan

Laut Tambak

Karamba

(Kerapu, Lobster RumputLaut)

Sangatta 575 125 50

Sangkulirang 570 - 30

Sandaran 441 142 25

Bengalon 293 123 -

Kaliorang 148 149 -

Sumber: Buku Tahunan Statistik Perikanan, DKP Kab. Kutai Timur, 2005

Kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan umumnya penangkapan

ikan karang (ikan demersal) dan ikan pelagis untuk konsumsi. Lokasi

penangkapan terletak di perairan Kabupaten Kutai Timur hingga laut lepas yaitu

di perairan Selat Makassar.

Page 57: Tesis Nirmala

67

Alat yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan yaitu jaring muro-

ami, bubu, jaring insang, bubu, dan jaring cebur. Sedangkan pengeboman masih

digunakan di beberapa tempat, sehingga mengakibatkan rusaknya hamparan

terumbu karang yang merupakan habitat ikan hias dan biota laut lainnya.

Penangkapan ikan dengan alat bagan tancap ditemui disekitar perairan

Muara Sangatta yang menyebar sepanjang perairan pantai dangkal, namun

jumlahnya hanya sekitar 4-5 buah saja. Berdasarkan pengamatan, diketahui

bangunan bagan yang tidak digunakan lagi dan dibiarkan begitu saja di perairan.

Kependudukan

Jumlah penduduk di Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2004 sebanyak

168.529 jiwa. Dengan luas wilayah 35.747,5 km2 maka kepadatan penduduknya

rata-rata adalah 4,71 jiwa per km2. Distribusi atau sebaran penduduknya tidak

merata dan hanya terkonsentrasi di wilayah-wilayah ibukota kecamatan.

Kepadatan penduduknya paling tinggi ada di Kecamatan Kombeng, yaitu 22,71.

Untuk kecamatan pantai, wilayah yang paling tinggi kepadatan penduduknya

adalah Kecamatan Sangkulirang, yaitu sebesar 17,80. Laju pertumbuhan

penduduk umumnya lebih dari 1%, kecuali di Kecamatan Kaliorang.

Penyebaran penduduk dari 11 kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai

Timur lebih terkonsentrasi di Kecamatan Sangatta (lebih 30%) dan Kecamatan

Sangkulirang (lebih dari 11%). Penyebaran, kepadatan dan laju pertumbuhan

penduduk 5 kecamatan pantai di Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2000

hingga 2004 dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Penyebaran, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk kecamatan pantai, di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2000-2004

Kecamatan 2000 2001 00-

01 2002

01-

02 2003

02-

03 2004 03-04

Padat /km2

Sebar %

Padat /km2

Sebar %

Laju %

Padat /km2

Sebar %

Laju %

Padat /km2

Sebar %

Laju %

Padat /km2

Sebar %

Laju %

Sangatta 11,50 30,61 11,97 29,70 4,09 14,07 33,87 17,51 15,75 37,10 11,91 16,36 37,85 3,91

Bengalon 1,78 4,12 2,55 5,51 43,76 2,61 5,47 2,23 3,18 6,52 21,81 3,21 6,47 1,10

Sangkulirang 2,76 11,33 2,90 11,11 8,40 2,83 10,51 -2,53 2,79 10,61 -1,28 17,80 9,83 5,39

Kaliorang 16,04 7,65 17,38 7,73 5,21 17,21 7,43 -1,03 16,89 7,14 -1,81 2,75 7,38 -1,37

Sandaran 1,21 3,10 1,23 2,95 1,80 1,19 2,78 -2,68 1,48 3,37 23,64 1,49 3,35 1,22

Sumber: BPS, Kab. Kutai Timur dalam Angka 2005

Page 58: Tesis Nirmala

68

Isu dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kutai Timur

Dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai

Timur dinyatakan bahwa, isu pengembangan wilayah Kabupaten Kutai Timur

meliputi 2 isu utama, yaitu masalah ekonomi dan keterbatasan SDM:

1. Ekonomi:

Perekonomian Kabupaten Kutai Timur bersifat dualistik, dimana struktur

perekonomian terbagi dua, yaitu ekonomi modern dan ekonomi tradisional

yang relatif terpisah dan kurang terkait satu sama lain. Keterpisahan kedua

struktur tersebut mengakibatkan perkembangan ekonomi yang cepat dari

sektor modern kurang mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi

tradisional. Bahkan penguasaan sebagian besar lahan oleh sektor modern

telah menyebabkan pengembangan ekonomi tradisional makin terbatas.

Perekonomian wilayah Kabupaten Kutai Timur masih sangat bergantung

pada sektor modern seperti kegiatan eksploitasi SDA yang tidak dapat

diperbaharui, yang kurang memberikan dampak pengganda (multiplier

effect) dan kesejahteraan pada masyarakatnya, serta potensial menurunkan

kualitas lingkungan.

Perekonomian rakyat yang masih bersifat subsistence (sekedar untuk

penyambung hidup), dengan volume perdagangan yang relatif kecil dan

hanya mencukupi kebutuhan sendiri. Para petani tambak dan rumput laut

belum bisa memproduksi panen yang cukup besar untuk keperluan ekspor.

Kegiatan ekonomi yang berlangsung relatif terisolasi dengan sistem

ekonomi yang lebih luas, sehingga nilai dan volume perdagangan dengan

wilayah Indonesia lainnya relatif kecil, apalagi dengan pasar internasional.

2. Keterbatasan SDM:

Kemampuan SDM belum mendukung tujuan pengembangan wilayah yang

berbasis SDA yang dapat diperbaharui. Pemerintah Daerah belum memiliki sarana

dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan pemerintahan umum,

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu keterbatasan

ketersediaan sumberdaya manusia daerah dan aparatur pemerintah baik dari segi

kualitas maupun kuantitas dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat

dipastikan dapat menghambat proses pembentukan kelembagaan yang mendukung

tujuan pengembangan wilayah.

Page 59: Tesis Nirmala

69

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak

Kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter-parameter: jenis

tanah, tekstur tanah, curah hujan, topografi, kemiringan lahan, penggunaan lahan,

jarak dari sungai, dan jarak dari pantai.

Rata-rata wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur memiliki kelerengan

<2 %, kecuali di Kecamatan Kaliorang, Sandaran, dan sebagian Kecamatan

Sangkulirang, sehingga air pasang dari laut dapat masuk hingga beberapa

kilometer ke darat melalui sungai-sungai yang landai.

Agar usaha pertambakan dapat berjalan secara berkelanjutan, dikaitkan

dengan tujuan perlindungan seperti tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990

tentang pengelolaan kawasan lindung, dengan mempertimbangkan pasang surut

(tidal range) antara 0,3-2,5 meter (tunggang pasang 2,2 m), maka kawasan pantai

selebar 260 m (dibula tkan menjadi 300 m) dari garis pantai ke arah darat tidak

dialokasikan sebagai kawasan pertambakan. Kawasan ini dijadikan sebagai

kawasan sempadan pantai (green belt). Demikian juga dengan kawasan selebar

100 m di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai.

Jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitian adalah marin (marine

group) dan kubah gambut (peat domes group). Tanah jenis marin merupakan

dataran pasang surut di sepanjang pesisir, dengan kelerengan <3 % (landai),

bervegetasi mangrove, dan bersedimen halus.

Tanah marin di wilayah penelitian terdiri dari jenis tanah fluvaquents,

tropaquepts, hydraquents, dan dystropepts. Tanah hydraquents, yang banyak

terdapat di Kecamatan Sangatta dan Bengalon, merupakan jenis tanah yang masih

mentah/ berlumpur, sehingga akan menyulitkan dalam pembuatan konstruksi

tambak. Oleh karena itu tanah ini harus dikeringkan terlebih dahulu. Jika tanah

tersebut mengandung bahan sulfidik, maka akan terjadi proses oksidasi

berkepanjangan pada saat penggalian tambak sehingga membentuk pirit.

Simpson dan Pedini (1985) diacu dalam Hardjowigeno (2001)

mengemukakan bahwa penyebab utama rendahnya hasil udang dan ikan pada

Page 60: Tesis Nirmala

70

sejumlah lahan pantai adalah adanya pirit (FeS2). Senyawa ini bila dalam keadaan

kering akan teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam. Beberapa tambak

yang dibangun di tanah yang kaya pirit di Sulawesi Selatan menunjukkan

penurunan pH tanah dari 7 menjadi 4 dalam waktu kurang dari 12 jam (Poernomo,

1992 dalam Hardjowigeno, 2001).

Budidaya tambak tidak bisa dilepaskan dari pasokan air asin secara

kontinyu, oleh karena itu kedekatan lokasi pertambakan dari pantai akan menjadi

pertimbangan utama. Semakin dekat lokasi pertambakan dari pantai, akan

semakin mudah dalam pengambilan air laut, sehingga biaya yang dikeluarkan

untuk memasok air laut ke tambak menjadi lebih murah. Faktor kedekatan lokasi

dari sungai untuk menjamin pasokan air tawar, juga akan membantu kelancaran

budidaya pertambakan.

Amplitudo pasang surut merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk

pasokan air ke tambak. Yang penting diperhatikan bagi usaha pertambakan adalah

rata-rata tinggi air pasang dan rata-rata tinggi air surut. Kedua rata-rata tersebut

diperlukan untuk menetapkan apakah daerah yang dinilai masih berada dalam

batas-batas air pasang surut atau sudah berada di luarnya. Perlu dicatat bahwa air

pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa air asin atau payau tetapi

dapat juga berupa air tawar yang berasal dari sungai yang tertahan oleh pasang air

laut (Hardjowigeno, 2001).

Fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi syarat pembuatan

tambak antara 2-3 m, atau paling tidak 1,5-2,5 m (Samun et al 1984 dalam Fadlan,

2003). Tambak yang terletak pada daerah dengan pasang surut yang besar,

membutuhkan pematang dan tanggul yang tinggi dengan biaya pembuatan yang

mahal. Sebaliknya, fluktuasi pasang surut <1 m, meyebabkan daya jangkau air

terlalu pendek sehingga proses pengisian dan pengeringan air tidak dapat

dilakukan dengan baik kecuali dengan batuan pompa. Tunggang pasang (tidal

range) air laut di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah ± 2,2 meter, sehingga

masih dalam kisaran layak untuk budidaya tambak.

Topografi dan ketinggian tempat dari permukaan air laut (elevasi)

merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan pada pembuatan tambak. Tambak

memerlukan daerah datar dan masih dapat digenangi langsung oleh pasang surut

Page 61: Tesis Nirmala

71

air asin atau payau. Ketinggian seluruh tempat itu tidak boleh melebihi tinggi

permukaan air pasang tertinggi, karena tambak akan sulit dialiri, dan juga tidak

boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terrendah, sekalipun masih

dekat pantai, karena tambak akan mengalami banjir permanen (Hardjowigeno,

2001; Afrianto dan Liviawati, 1991).

Tanah yang bergelombang sebaiknya dihindarkan karena akan

memerlukan biaya tinggi untuk penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah

yang banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah yang subur akan terbuang

(Poernomo, 1992).

Iklim berkaitan dengan pengeringan dasar tambak secara berkala dengan

tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan

organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H2S, amoniak, serta

metan. Karena itu diperlukan adanya bulan-bulan kering tertentu pada setiap

tahun. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk

tambak. Hujan terus-menerus sepanjang hari selama beberapa minggu akan

menurunkan suhu air tambak. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu rendah dan

bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk daerah pertambakan.

Curah hujan antara 2.000-3.000 mm/th dengan bulan kering 2-3 bulan cukup baik

digunakan untuk tambak (Soeseno, 1988 dalam Hardjowigeno, 2001).

Pada saat ini wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur yang eksisting

digunakan untuk budidaya tambak adalah sekitar muara Sungai Sangatta, Teluk

Lombok, muara Sungai Kenyamukan, muara Sungai Sangkima, dan muara Sungai

Bengalon. Kondisi sesuai dengan hasil analisis spasial kesesuaian lahan tambak,

yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memang sesuai untuk pengembangan

budidaya tambak.

Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai

Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak adalah sebagaimana

disajikan dalam Gambar 5.

Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan

budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 11.

Page 62: Tesis Nirmala

72

Tabel 11. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

No. Kesesuaian Lahan Luas (Ha)

1 Sangat Sesuai 2.572,220

2 Sesuai 7.154,573

Sumber: hasil analisis spasial

Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya

tambak adalah sebagai berikut:

(i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 2.572,220

ha, tersebar di pesisir Muara Sangkima, Teluk Lombok, Muara Sangatta, Muara

Bengalon, Tanjung Manis dan yang luas adalah daerah Sempayau, Rapak, Mandu,

dan Benua Baru di Teluk Sangkulirang.

(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.154,573 ha,

tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Sangatta, Bengalon, Kaliorang dan

Sangkulirang dengan jarak ke darat sejauh batas wilayah penelitian.

Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor

pembatas yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk tambak secara

berkelanjutan. Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak

akan menurun secara nyata. Dari 2.572,220 ha lahan tambak yang sangat sesuai

tersebut, yang sudah dibuka menjadi tambak baru sekitar 841 ha, dan hanya

sekitar 280 ha yang sudah produktif (Statistik Dinas Perikanan Kelautan, 2005).

Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang

cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan tambak secara berkelanjutan.

Pembatas tersebut akan mengurangai produksi dan keuntungan yang diperoleh

karena adanya penambahan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Sebagai

pembatas pada kawasan ini adalah: (i) sebagian wilayah berada pada tanah yang

bersifat asam, sehingga diperlukan biaya untuk pengolahan tanah, (ii) lahan

terletak pada kebun, tegalan dan persawahan, sehingga akan menambah biaya

untuk pembebasan lahan bila dikonversi menjadi tambak, (iii) jarak yang cukup

jauh dari pantai dan sungai, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pasokan

air asin dan air tawar.

Page 63: Tesis Nirmala

73

Gambar 5. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Page 64: Tesis Nirmala

74

Lahan tambak yang sesuai S1 maupun S2 di sekitar muara Sungai Sangatta

mempunyai ancaman yang cukup berat bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak

tersebut, karena di sepanjang DAS Sungai Sangatta terdapat banyak industri dan

permukiman, baik industri yang berskala besar, seperti pertambangan PT KPC,

maupun industri yang berskala kecil, seperti usaha penggergajian kayu (sawmill),

moulding, bengkel, pasar, dan home industri lainnya. Industri dan rumah tangga ini,

seperti yang sudah umum terjadi di Kalimantan, membuang limbahnya ke sungai.

Sehingga ancaman pencemaran oleh limbah anthropogenik sangat mungkin terjadi.

Bahaya pencemaran ini dapat mengakibatkan serangan penyakit dan kegagalan

panen.

Demikian juga lahan-lahan tambak di sekitar Sungai Sangkima dan Teluk

Kabba perlu diperhatikan pembukaannya, agar tidak mengkonversi hutan mangrove

yang ada di sekitarnya. Hutan mangrove di wilayah ini termasuk dalam kawasan

Taman Nasional Kutai (TNK) yang mempunyai fungsi konservasi, sehingga

mengkonversi hutan mangrove ini dapat berpengaruh pada keberlanjutan usaha-usaha

lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam,

Salah satu alternatif dalam memanfaatkan kawasan di sekitar hutan mangrove

untuk tambak agar berkelanjutan adalah dengan menggunakan sistem mina hutan

(silvofishery). Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove

diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan

tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.

Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai

lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan

perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi

kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi

pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan pengalaman ketentuan

yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan

dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% tambak.

Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan

antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan

Page 65: Tesis Nirmala

75

produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan

pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan

kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan

berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi

tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang

tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan.

Untuk kondisi tanah tambak di Kabupaten Kutai Timur yang cenderung asam

dan dan salinitas air tambak yang tinggi karena tingginya evaporasi air tambak,

komoditas yang cukup baik dikembangkan adalah kepiting bakau (Scylla serrata).

Kepiting bakau sangat memungkinkan dikembangkan dengan model mina hutan

karena habitatnya secara alami adalah hutan bakau.

S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan

makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal (bernilai ekonomis tinggi). Dalam

pemenuhan kebutuhan pasar masih dilakukan dengan cara penangkapan di alam.

Harga kepiting bakau untuk keperluan ekspor relatif tinggi, sehingga mempunyai

prospek yang baik untuk dikembangkan. Hasil statistik perikanan Indonesia tahun

1990/1999 menunjukkan, rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi setelah udang dan ikan. Nilai ekspor

kepiting/rajungan pada tahun 1999 mencapai 54 juta dollar AS.

Budidaya tambak dengan komoditas S. Serrata ini diharapkan lebih

menguntungkan bagi petani karena tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk input

teknologi, dan benih masih banyak tersedia di alam sehingga tidak perlu

mendatangkan dari luar daerah. Selain itu secara lokal, istri-istri nelayan di Desa

Sangkima juga sudah memanfaatkan daging kepiting untuk pembuatan kerupuk

kepiting

Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Sistem Jaring Tancap (Fixed net cage)

Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba di wilayah pesisir Kabupaten Kutai

Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter: keterlindungan perairan,

Page 66: Tesis Nirmala

76

tinggi gelombang, kecepatan arus, kedalaman perairan, material dasar perairan, dan

tingginya tingkat pencemaran. Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan karamba

ini dilakukan pada musim angin peralihan (bulan Oktober-Desember), dimana

kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh karena itu potensi

kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian ini merupakan

potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim selatan dan utara)

kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena kondisi hidro-

oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan tersebut tidak

dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan musim utara.

Budidaya karamba yang sudah dilakukan di pesisir Kabupaten Kutai Timur

adalah budidaya karamba sistem Fixed net cage. Jaring tancap (Fixed net cage)

adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada

patok yang menancap ke dasar perairan (Effendi, 2004). Kepadatan organisme

budidaya dalam sistem ini relatif rendah, karena terletak pada perairan yang

dangkal sehingga kualitas lingkungan dalam sistem ini kurang baik dibanding

karamba jaring apung. Beberapa komoditas yang potensial dipelihara dalam

sistem ini adalah lobster, teripang dan ikan kerapu.

Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur

yang sesuai untuk pengembangan budidaya karamba adalah sebagaimana disajikan

dalam Gambar 6. Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk

pengembangan budidaya karamba dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Karamba di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)

1 Sangat Sesuai 804,259

2 Sesuai 3.155,090

Sumber: hasil analisis spasial

Page 67: Tesis Nirmala

77

Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya

karamba adalah sebagai berikut: (i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 804,259 ha,

berada di Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang, yaitu perairan Pulau Miang

Besar dan Miang Kecil, Bual-bual, Teluk Kaliorang dan Sempayau.

(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 3.155,090 ha, tersebar di

sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Dusun Tepian Kelambu, Tanjung

Pagar, Teluk Nepa, pesisir Teluk Pandan, dan Teluk Lombok.

Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas

yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk karamba secara berkelanjutan.

Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak akan menurun secara

nyata. Kawasan yang sangat sesuai (S1) terluas terdapat pada perairan Bual-bual dan

Pulau Miang, karena secara umum kondisi perairan di kawasan tersebut cukup

terlindung dari arus yang kuat karena terlindung oleh terumbu karang di P. Miang dan

perairan cukup jernih karena sedikit muara sungai dan hutan mangrove.

Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang

cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan karamba secara berkelanjutan.

Pembatas tersebut kebanyakan berupa kondisi fisik oseanografi yang ekstrim pada

musim-musim tertentu. Pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur mengalami kecepatan

arus dan gelombang yang tinggi pada musim selatan dan peralihan, yang berlangsung

antara bulan Juli-Desember. Pada kondisi ini karamba terkadang tidak mampu

menahan gelombang sehingga rusak bahkan hancur. Oleh karena itu perlu dicari

solusi teknik budidaya yang bersifat tidak permanen, misalnya karamba jaring apung

dengan menggunakan pelampung drum plastik, sehingga pada saat musim-musim

tersebut karamba dapat diangkat agar tidak rusak oleh gelombang. Faktor pembatas

lain adalah sedimentasi dan pencemaran yang berasal dari lingkungan eksternal dan

internal.

Page 68: Tesis Nirmala

78

Gambar 6. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba sistem Fixed net cage di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Page 69: Tesis Nirmala

79

Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line

Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil

tidaknya suatu usaha budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang

memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai

dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut.

Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah:

1. Keterlindungan

Lokasi harus terlindung untuk menghindari kerusakan fisik rumput laut dari

terpaan angin dan gelombang yang besar (Anonim, 1979).

2. Dasar Perairan, Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan

(Eucheuma sp) adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan

karang mati bercampur dengan pasir karang (Anonim,1979).

3. Kedalaman Air

Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm,

supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar

matahari secara Iangsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi (Anonim,

1979).

4. Salinitas

Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum

32‰ untuk itu hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika, 1985).

5. Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika,

1985).

6. Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1,5 m (Zatnika,

1985).

7. Keasaman (pH)

Kisaran pH antara 7-9. Nilai diharapkan pada kisaran 7,3 – 8,2 Karena

perubahan pH akan mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon

dioksida (C02) yang secara umum dapat membahayakan kehidupan biota

laut dari tingkat produktivitas primer perairan (Anonim,1999).

8. Pergerakan air (Ombak dan Arus)

Lokasi budidaya harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan

ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan

Page 70: Tesis Nirmala

80

merusak dan menghanyutkan tanaman. Air harus mempunyai gerakan air

yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp 20 –

40 cm/detik. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah penggantian

dan penyerapan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak

sampai merusak tanaman (Anggadiredja, 2006).

9. Aman dari predator dan kompetitor

Lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput

laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya. Dengan demikian,

kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya

pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman (Anggadiredja,

2006).

10. Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih

bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja,

2006).

Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan

budidaya rumput laut ini dilakukan pada musim angin pancaroba (bulan Oktober-

Desember), dimana kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh

karena itu potensi kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian

ini merupakan potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim

selatan dan utara) kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena

kondisi hidro-oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan

tersebut tidak dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan

musim utara.

Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai

Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut adalah

sebagaimana disajikan dalam Gambar 7.

Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan

budidaya rumpur laut dapat dilihat pada Tabel 13.

Page 71: Tesis Nirmala

81

Tabel 13. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)

1 Sangat Sesuai 3.790.540

2 Sesuai 7.492,305

Sumber: hasil analisis spasial

Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya

rumput laut adalah sebagai berikut:

(iii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 3.790,540 ha,

tersebar di pesisir Desa Sangkima, Desa Sekerat, Desa Kaliorang, Dusun

Labuhan Kelambu, sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Tanjung Pagar,

dan Teluk Nepa.

(iv) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.492,305 ha,

tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Kutai Timur .

Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang

cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara

berkelanjutan. Sebagai pembatas pada kawasan ini adalah: (i) lokasi berada pada

lahan yang mempunyai kondisi pergerakan arus dan gelombang yang pada musim

tertentu (musim selatan) bersifat ekstrim, sehingga pada musim tersebut tidak

dapat dilakukan usaha budidaya rumput laut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak

cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat,

(iii) lokasi yang cukup jauh dari sarana transportasi, sehingga memerlukan

tambahan biaya untuk pengangkutan.

Page 72: Tesis Nirmala

82

Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Page 73: Tesis Nirmala

76

Identifikasi Keterlibatan dan Peran Stakeholder

Untuk menganalisis konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir dan untuk merumuskan arahan pengembangan kegiatan

perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan metode

participatory oleh stakeholder yang terkait agar diperoleh hasil yang partisipatif,

integratif, dan akomodatif.

Berdasarkan hasil identifikasi stakeholders, maka stakeholders yang terkait

dengan pengembangan kegiatan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Stakeholder yang Terkait dengan Kegiatan Perikanan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Kelompok

Stakeholders Stakeholders

Pemerintah Daerah

1. DPRD KabupatenKutim 2. Dinas Kelautan dan Perikanan, 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, 4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 5. Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Timur, 6. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, dan 7. Taman Nasional Kutai Timur,

LSM 8. Yayasan BIKAL Swasta/ Masyarakat Pesisir

9. Masyarakat Pembudidaya, 10. Masyarakat Nelayan, 11. Masyarakat Wisatawan, 12. PT Kaltim Prima Coal, 13. PT Pertamina 14. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan 15. Koperasi Perikanan

Akademisi 16. Stiper Kutai Timur Sumber: Analisis Data Primer Lebih lanjut, stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut

dikelompokkan/dipetakan dalam suatu kriteria sesuai dengan tingkat kepentingan,

kapasitas, dan relevansinya atas pembangunan.

Dengan pemetaan stakeholder, maka akan didapat profil stakeholder yang

diperlukan. Sebagai suatu alternatif, secara lebih rinci pemetaan stakeholder bisa

dilakukan dengan memberi skor dengan melihat peran, pengaruh stakeholders

pada perencanaan daerah. Tabel 15 berikut ini menunjukkan matrik analisis

Page 74: Tesis Nirmala

77

pengaruh stakeholders terhadap pengembangan perikanan di pesisir Kabupaten

Kutai Timur.

Tabel 15. Matriks Analisis Pengaruh Stakeholders Terhadap Pengembangan Kegiatan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Stakeholders Peran dalam Kegiatan • Pembuat

Keputusan • Pengorganisir • Pelaksana • Pemanfaat • Pengontrol • Pendukung • Penentang

Pengaruh Kegiatan Terhadap Kepentingan Stakeholders T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci

Pengaruh Stakeholders Terhadap Keberhasilan Kegiatan T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci

Tahap Perencanaan

Tahap Pelaksanaan

DPRD Kab.** Pembuat Keputusan

4 5 3

Pemda Kutim** Pengorganisir 4 5 3 Bappeda Kutim** Pengorganisir 4 5 2 DKP Kutim** • Pelaksana

• Pengontrol 5 5 5

Dis Lingkungan Hidup Kutim***

• Pelaksana • Pengontrol

3 4 2

Taman Nasional Kutai***

• Pelaksana • Pengontrol

5 4 3

LSM BIKAL*** • Pendukung • Pengontrol

5 2 4

HNSI Kutim* Pemanfaat 4 2 5 Kop Perikanan* Pemanfaat 4 2 5 Stiper Kutim*** • Pendukung

• Pengontrol 2 3 2

PT KPC*** Pemanfaat 5 3 4 PT Pertamina*** Pemanfaat 5 3 3 Masyarakat* Pemanfaat 5 1 5

Sumber: Analisis Data Primer

Sumber format : LGA Romania, RTI (Chetwynd et al., 2001) Keterangan : * Stakeholder Utama ** Stakeholder Kunci *** Stakeholder Sekunder

Page 75: Tesis Nirmala

78

Berdasarkan stakeholders yang berhasil diidentifikasi tersebut,

diambil 12 orang responden yang merupakan tokoh kunci (key persons)

untuk mewakili tiap-tiap kelompok stakeholders tersebut. Dari ke-12

responden ini dimintai informasi tentang keterlibatan dan pengaruh mereka

dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah pesisir

Kabupaten Kutai Timur. Selanjutnya dari informasi y ang diperoleh dibuat

skoring, seperti yang telah disajikan dalam tabel di atas. Selain dilakukan

wawancara untuk identifikasi stakeholders, ke-12 responden tersebut juga

dimintai pendapat untuk memberikan skor pada analisis hierarki untuk

menentukan kegiatan budidaya yang paling diprioritaskan dalam

pengembangan perikanan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Dari semua stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut, belum

semua terlibat dalam perencanaan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang

untuk pengembangan kegiatan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur. Di samping itu, dari stakeholders yang telah memberikan

masukan dan keinginan mereka, belum semuanya dapat terealisasi dalam

pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir.

Berdasarkan matriks analisis stakeholders (Tabel 15) peran masing-

masing kelompok stakeholders dalam pengembangan perikanan budidaya

laut adalah sebagai berikut:

a) Masyarakat dan pengusaha setempat merupakan stakeholder utama yang

memiliki kepentingan secara langsung, yakni sebagai pelaku dan pemanfaat

dari kegiatan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur ini.

b) Pemerintah Daerah, Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan Dinas Kelautan

Perikanan Kabupaten Kutai Timur merupakan stakeholder kunci yang

memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Bappeda Kabupaten Kutai

Timur dan Dinas Kelaut Perikanan Kabupaten Kutai Timur, selain berperan

sebagai pengorganisir juga sebagai pengambil keputusan mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan kegiatan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Hal

ini karena sejak diberlakukannya otonomi daerah, Dinas Kelautan Perikanan

Page 76: Tesis Nirmala

79

Kabupaten Kutai Timur adalah sebagai penanggung jawab kegiatan perikanan

di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur.

c) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pariwisata

Kabupaten Kutai Timur, Taman Nasional Kutai (TNK), instansi pemerintah

lainnya, Community Development PT KPC, dan Akademisi Stiper Kutai

Timur, serta LSM merupakan stakeholder sekunder, karena tidak memiliki

kepentingan secara langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan

perikanan laut di kawasan ini. Kelompok stakeholders ini hanya berperan

sebagai pendukung kegiatan perikanan. Sementara itu pihak Community

Development PT KPC berperan sebagai sumber dana yang memberikan

subsidi bagi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan perikanan budidaya

laut di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Proses Hierarki Analitik untuk Konflik Pemanfaatan Lahan

Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable

development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar

pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan

dimensi kelestarian lingkungan.

Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang

menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli

daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya

penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha. Dimensi pembangunan

sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur dicirikan dengan adanya

penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik konflik antar pelaku

maupun konflik antar ruang. Sedangkan dari komponen kelestarian sumberdaya

alam dan lingkungan hidup faktor-faktor yang ikut menentukan prioritas

pengembangan kawasan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah

kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat dapat pulih

(renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak

dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan sumberdaya untuk jasa-

jasa lingkungan (Gambar 4).

Page 77: Tesis Nirmala

80

Berdasarkan metode Proses Hierarki Analitik (PHA), diperoleh hasil

prioritas sebagai berikut:

Tabel 16. Matriks Prioritas Kriteria dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Kriteria Bobot Prioritas

Ekonomi 0,211 P3

Penurunan Konflik 0,264 P2

Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan 0,526 P1

Sumber: Analisis Data Primer

Dari Tabel 16 di atas diketahui bahwa pelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan merupakan kriteria yang menempati prioritas pertama untuk mencapai

tujuan pengembangan perikanan yang berkelanjutan, prioritas kedua adalah

kriteria sosial yang berupa penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang, dan

prioritas terakhir adalah kriteria pencapaian ekonomi.

Merupakan pilihan yang sangat logis bila pelaku usaha (stakeholders) di

pesisir Kabupaten Kutai Timur memilih untuk memprioritaskan pelestarian SDA

dibanding kriteria lainnya, karena pembangunan yang berkelanjutan baru dapat

terlaksana bila sumberdaya masih tersedia dengan baik. Sumberdaya alam akan

lestari bila pemanfaatannya dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung

lingkungan. Pengalaman pembangunan pesisir dan lautan selama periode

Pembangunan Jangka Panjang I cenderung menuju ke arah yang tidak

berkelanjutan, akhirnya berakibat pada terjadinya: pencemaran lingkungan;

overeksploitasi sumberdaya alam; degradasi fisik habitat pesisir : mangrove,

terumbu karang, pantai berpasir, estuaria, dll; konflik pemanfaatan ruang; dan

kemiskinan.

Penyelesaian masalah sosial yang berupa konflik pemanfaatan ruang juga

merupakan kriteria yang harus diprioritaskan, karena pengalaman dari banyak

daerah, konflik akan menyebabkan kondisi daerah menjadi tidak kondusif untuk

perekonomian. Oleh karena itu sedini mungkin hendaknya ada rencana tata ruang

pesisir yang dapat mengakomodir sebanyak mungkin kebutuhan pelaku usaha di

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Dengan adanya rencana tata ruang akan

Page 78: Tesis Nirmala

81

dapat dicapai keharmonisan spasial pada wilayah pesisir dan laut, sehingga para

pelaku usaha lebih terjamin kepastian usahanya di wilayah tersebut.

Pembangunan ekonomi merupakan prioritas terakhir dalam pengembangan

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan. Namun hal ini tidak

berarti bahwa pembangunan ekonomi bukan masalah penting. Selama ini,

menurut teori ekonomi konvensional, pembangunan ekonomi diukur dari

pertumbuhan ekonomi, yang didasarkan pada angka PDRB (Pendapatan Domestik

Regional Bruto) atau secara nasional berdasarkan angka GNP (Gross National

Product) per kapita.

Tolok ukur keberhasilan pembangunan hendaknya tidak hanya didasarkan

pada pertumbuhan GNP perkapita, tetapi harus memasukkan tiga kriteria lainnya:

(1) berkurangnya kemiskinan absolut, (2) menurunnya ketimpangan distribusi

pendapatan, dan (3) mengecilnya tingkat pengangguran.

Pembangunan yang berhasil paling tidak harus dapat memenuhi basic

human needs (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) seluruh

rakyatnya (ILO, 1976).

Keberhasilan pembangunan ekonomi harus dapat menciptakan: meluasnya

pemilikan aset-aset ekonomi produktif oleh rakyat, pertumbuhan ekonomi,

pemerataan dan peningkatan kreativitas rakyat, peningkatan keseluruhan sistem

sosial, dan terjaminnya harga diri dan kebebasan/kemerdekaan rakyat.

Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang

menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli

daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya

penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha.

Hasil analisis hierarki untuk sub kriteria ekonomi dalam pengembangan

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan dalam

Tabel 17.

Dalam kriteria ekonomi, kegiatan perikanan yang terlebih dahulu harus

diprioritaskan untuk dikembangkan adalah kegiatan yang dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat. Selanjutnya kegiatan yang perlu dikembangkan adalah

kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja dan membuka kesempatan usaha

Page 79: Tesis Nirmala

82

seluas-luasnya bagi masyarakat, dan kegiatan yang terakhir perlu dilakukan

adalah kegiatan yang dapat meningkatkan pemasukan daerah melalui PAD.

Tabel 17. Matriks Prioritas Kriteria Ekonomi dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Sub Kriteria Ekonomi Bobot Prioritas

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 0,165 P3

Peningkatan pendapatan masyarakat 0,497 P1

Penyerapan Tenaga Kerja dan Peluang Kesempatan Usaha 0,338 P2

Sumber: Analisis Data Primer

Dengan memprioritaskan kegiatan yang lebih meningkatkan pendapatan

masyarakat pesisir dan dapat menyerap tenaga kerja, serta membuka kesempatan

usaha bagi masyarakat, diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir Kabupaten Kutai Timur, sehingga kesenjangan kesejahteraan

antara masyarakat nelayan dengan kelompok masyarakat lain, seperti pekerja

pertambangan PT KPC dan pekerja di bidang kehutanan dan perkebunan, dapat

berkurang. Berkurangnya kesenjangan ini akan mengurangi potensi konflik antar

kelompok masyarakat.

Dimensi pembangunan sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur

dicirikan dengan adanya penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik

konflik antar pelaku maupun konflik antar ruang. Proses hierarki analitik

menunjukkan hasil sebagai berikut:

Tabel 18. Matriks Prioritas Kriteria Penurunan Konflik dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Sub Kriteria Penurunan Konflik Bobot Prioritas

Konflik antar Pelaku 0,542 P1

Konflik antar Ruang 0,458 P2

Sumber: Analisis Data Primer

Kegiatan yang mencegah adanya konflik antar pelaku usaha merupakan

kegiatan yang lebih diprioritaskan dibandingkan kegiatan yang dapat mencegah

konflik antar ruang. Konflik antar pelaku merupakan isu yang cukup sensitif

Page 80: Tesis Nirmala

83

dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pencegahan terhadap

timbulnya konflik akan membuat kondisi kegiatan perikanan menjadi lebih

kondusif bagi para pelaku usaha.

Sementara itu untuk mengatasi konflik antar ruang, seperti yang pernah

terjadi pada tahun 2005 di Kabupaten Kutai Timur antara perusahaan

pertambangan dengan petani karamba, solusi yang bisa ditempuh antara lain

dengan menyusun tata ruang pesisir yang sesuai dengan peruntukannya, dan

menjalankan konsep tersebut dengan benar.

Dari komponen kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup faktor-

faktor yang ikut menentukan prioritas pengembangan wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur adalah kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat

dapat pulih (renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya

alam yang tidak dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan

sumberdaya untuk jasa-jasa lingkungan.

Tabel 19. Matriks Prioritas Kriteria Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan

Sub Kriteria SDA dan Lingkungan Bobot Prioritas

Sumberdaya Alam pulih 0,486 P1

Sumberdaya Alam tidak pulih 0,280 P2

Jasa-jasa Lingkungan 0,234 P3

Sumber: Analisis Data Primer

Hasil analisis hierarki menunjukkan bahwa kegiatan perikanan yang

memanfaatkan sumberdaya dapat pulih (renewable resources) adalah kegiatan

yang lebih penting dilakukan dibanding kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya

alam tidak pulih dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan.

Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur dinyatakan bahwa permasalahan

perekonomian kawasan disini adalah perekonomian yang bersifat dualistis,

dimana kegiatan ekonomi utama yang berlangsung saat ini sangat bergantung

pada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan pengaruh

besar terhadap masalah-masalah lingkungan, seperti kegiatan pertambangan

Page 81: Tesis Nirmala

84

batubara dan eksploitasi hutan (logging), serta tidak memberikan dampak pada

kegiatan ekonomi lokal.

Pemanfaatan sumberdaya dapat pulih, seperti kegiatan penangkapan dan

budidaya ikan, bila dilakukan sesuai dengan kapasitas daya dukungnya akan lebih

bersifat lestari dibanding pemanfaatan sumberdaya tidak pulih, seperti bahan-

bahan tambang yang pada suatu saat akan habis. Sumberdaya pulih dapat segera

diperbaharui bila rusak, namun biaya untuk perbaikan mungkin akan sangat besar

bila dibandingkan hilangnya keuntungan bila memanfaatkan sumberdaya tersebut

secara lestari sesuai daya dukungnya.

Sementara itu jasa-jasa lingkungan merupakan prioritas terakhir, karena

pada saat ini di pesisir Kabupaten Kutai Timur belum banyak kegiatan perikanan

yang memanfaatkan pesisir untuk jasa-jasa lingkungan. Pemanfaatan pesisir untuk

jasa lingkungan yang sudah ada saat ini adalah Tempat Pelelangan Ikan di Muara

Sungai Kenyamukan. Namun sampai saat ini belum dipakai untuk pelelangan.

Alternatif kegiatan budidaya yang diprioritaskan untuk pengembangan

wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan hasil analisis hierarki adalah

sebagai mana disajikan dalam Tabel 20.

Budidaya karamba merupakan kegiatan yang dianggap paling penting oleh

stakeholders untuk diprioritaskan, karena komoditas ikan kerapu sangat tinggi

nilainya di pasar eksport.

Tabel 20. Bobot dan Prioritas Kegiatan Budidaya untuk Pengembangan Perikanan di Wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur

Alternatif Kegiatan Bobot Prioritas

Budidaya Tambak 0,122 P3

Budidaya Karamba 0,442 P1

Budidaya Rumput laut 0,436 P2

Sumber: Analisis Data Primer

Walaupun budidaya karamba mempunyai prioritas lebih penting daripada

budidaya rumput laut, namun nilai bobotnya tidak terlalu berbeda jauh, sehingga

dapat dikatakan tingkat kepentingan antara karamba dan rumput laut tidak

berbeda jauh.

Page 82: Tesis Nirmala

85

Peta Komposit Kesesuaian Lahan

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur, untuk ketiga jenis kegiatan budidaya seperti diuraikan di bagian

sebelumnya, diperoleh adanya lokasi yang memiliki kesesuaian lahan untuk lebih

dari satu peruntukan. Dengan melakukan overlay terhadap peta-peta kesesuaian

tersebut dengan menggunakan bobot prioritas yang diperoleh dari hasil Analisis

Hierarki Proses (AHP), maka akan diperoleh hasil berupa peta komposit, yang

disajikan dalam Gambar 8.

Peta komposit menunjukkan bahwa terjadi perpotongan lokasi (lokasi

yang sama) antara budidaya karamba dengan budidaya rumput laut, dan tidak

terjadi perpotongan antara budidaya tambak dengan budidaya karamba maupun

rumput laut karena budidaya tambak menggunakan lahan di daratan. Namun

demikian kedepannya perlu dilakukan suatu pengelolaan agar tidak terjadi konflik

yang diakibatkan oleh pencemaran limbah tambak terhadap budidaya karamba

dan rumput laut.

Perpotongan lokasi antara kesesuaian lahan budidaya karamba dan

budidaya rumput laut terjadi di: Teluk Sangkulirang, perairan di sekitar P. Miang,

Teluk Lombok, dan Perairan Desa Sangkima. Namun dengan pembobotan

kembali menggunakan nilai dari hasil analisis hierarki, maka diperoleh kesesuaian

lahan sebagai berikut:

Sangat Sesuai Budidaya Karamba: terdapat di Teluk Golok (Kec. Kaliorang),

Perairan P. Miang, Perairan Desa Bual-bual, Perairan Desa Sempayau dan

Desa Benua Baru (Kec. Sangkulirang)

Sangat Sesuai Budidaya Rumput laut: terdapat di sepanjang pesisir

Kecamatan Kaliorang, Teluk Sangkulirang, Teluk Lombok dan Sangkima

(Kec. Sangatta), dan perairan Tanjung Pagar dan Teluk Nepa (Kec. Sandaran).

Page 83: Tesis Nirmala

86

Gambar 8. Peta Komposit Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak, Karamba, dan Rumput Laut di Wilayah Pesisir KabupatenKutai Timur

Page 84: Tesis Nirmala

87

Luasan area untuk tiap peruntukan yang dihitung berdasarkan peta

komposit kesesuaian lahan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak, Karamba dan Rumput Laut Berdasarkan Peta Komposit di Kabupaten Kutai Timur

No. Kegiatan Budidaya Luas (ha)

1 Sangat Sesuai Karamba 544,811

2 Sangat Sesuai Rumput Laut 3.197,335

3 Sangat Sesuai Tambak 2.572,220

4 Sesuai Karamba 659,959

5 Sesuai Rumput Laut 6.312,365

6 Sesuai Tambak 7.154,573

Sumber: hasil analisis data spasial

Berdasarkan luas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut dapat dilihat

bahwa pesisir Kabupaten Kutai Timur memiliki potensi yang paling besar untuk

pengembangan budidaya rumput laut, berikutnya adalah pengembangan budidaya

tambak dan karamba.

Kemungkinan pengembangan perikanan dari tiap-tiap kecamatan pantai

yang ada di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat berdasarkan pemusatan aktifitas

dan potensi luas kesesuaian lahan pada tiap-tiap kecamatan yang disajikan pada

Tabel 24.

Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Kecamatan

Pengembangan perikanan budidaya di wilayah kecamatan dilihat

berdasarkan pemusatan aktifitas dan potensi kesesuaian lahan untuk budidaya di

wilayah kecamatan tersebut. Pusat aktifitas wilayah dianalisa dengan

menggunakan analisis LQ (Location Quotient). Dengan menggunakan LQ dapat

dianalisa peranan suatu sektor pada wilayah, sehingga dapat diketahui potensi

ekonomi suatu wilayah berdasarkan aktifitas ekonomi wilayah tersebut. Analisis

LQ menggunakan indikator nilai produksi menurut jenis budidaya pada tahun

2005 di wilayah kecamatan pantai Kabupaten Kutai Timur (Lampiran 3). Nilai

Page 85: Tesis Nirmala

88

LQ dari sektor-sektor budidaya di wilayah kecamatan pantai di pesisir Kabupaten

Kutai Timur dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Nilai LQ Kecamatan Pantai di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Keterangan: LQ suatu sektor < 1, sektor tersebut merupakan sektor non-basis

LQ suatu sektor ≥ 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis (*)

Luas kesesuaian lahan budidaya diperoleh dari hasil analisis spasial

terhadap peta komposit. Namun karena belum ada pembagian wilayah

administratif di perairan, untuk menentukan garis batas wilayah perairan yang

membagi dua kecamatan dilakukan dengan cara menarik garis yang tegak lurus

dengan garis pantai. Cara ini seperti yang dilakukan untuk membagi wilayah

perairan antar provinsi (informasi dari Bp. Dr. Sapta Putra Ginting). Hasil

penghitungan luas kesesuaian lahan perikanan budidaya di pesisir tiap kecamatan

dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Luas Kesesuaian Lahan Perikanan budidaya di Pesisir Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur (ha)

Sumber: Hasil Analisis Data Spasial

Kecamatan

Sektor Perikanan

pesisir Perikanan

Darat Tambak Kolam Karamba

Kerapu Rumput

Laut Sangatta 0,47 1,67* 0,26 2,51* 2,50* 0,88 Sangkulirang 1,07* 2,90* 1,21* 0,00 0,00 2,65* Kaliorang 1,66* 0,00 1,48* 0,00 0,00 1,07* Bengalon 0,47 0,00 1,72* 0,00 0,00 0,00 Sandaran 50,26* 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Kesesuaian Lahan

Kecamatan Total (Ha)

Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

S1 Karamba

- 0,00

- 0,00 38,610 7,09

506,201 92,91

- 0,00 544,811

S1 Rumput Laut

265,698 8,31

56,660 1,77 524,648 16,41

1.766,032 55,23

584,297 18,27 3.197,335

S1 Tambak

828,317 32,20

386,226 15,02

72,731 2,83

1.142,400 44,41

142,546 5,54 2.572,220 S2 Karamba

6,616 1,00

8,920 1,35 22,497 3,41 177,607 26,91

444,319 67,33 659,959

S2 Rumput Laut

1.626,786 25,77

888,485 14,08 1.204,185 19,08 764,047 12,10

1.828,862 28,97 6.312,365

S2 Tambak

1.709,640 23,90

763,777 10,68

823,446 11,51

2.277,259 31,83

1.580,451 22,09

7.154,573

Page 86: Tesis Nirmala

89

Kecamatan Sangatta

Analisis nilai LQ menunjukkan bahwa di Kecamatan Sangatta, yang

merupakan ibukota kabupaten, sektor budidaya karamba (LQ = 2,50) merupakan

sektor basis di kecamatan ini. Sedangkan sektor budidaya tambak dan rumput laut

bukan sektor basis karena nilai LQ kurang dari 1. Budidaya karamba mungkin

dapat dikembangkan di Kecamatan Sangatta, karena telah menjadi sektor yang

diandalkan untuk saat ini, namun hasil analisis spasial menunjukkan bahwa

kesesuaian lahan untuk budidaya karamba tidak ada yang masuk pada kelas sangat

sesuai, sehingga mungkin keberlanjutan usaha budidaya akan terbatas karena

dipengaruhi oleh faktor-faktor pembatas budidaya, antara lain karena sifat fisik

hidro-oseanografi yang kurang mendukung.

Pada musim selatan tahun 2006 (sekitar bulan Agustus) ada beberapa unit

karamba tancap yang hancur diterjang ombak di pesisir Tanjung Bara. Oleh sebab

itu akan lebih baik bila yang dikembangkan di Kecamatan Sangatta adalah

budidaya rumput laut, karena budidaya rumput laut tidak memerlukan bangunan

kayu yang permanen dan mahal seperti karamba, sehingga bila tiba musim selatan

pembudidaya hanya cukup mengangkat tali biang/tali ris dan tidak menanam

rumput laut untuk menghindarkan kerugian. Sementara untuk budidaya karamba,

karamba yang telah ditancapkan tidak dapat dengan mudah dicabut dan diangkat

ke daratan.

Menurut hasil analisis spasial, perikanan budidaya yang mungkin

dikembangkan di pesisir Kecamatan Sangatta adalah budidaya tambak dan

budidaya rumput laut.

Kecamatan Bengalon

Kecamatan Bengalon, sektor yang menjadi sektor basis hanya budidaya

tambak. Saat ini perairan pesisir di Kecamatan Bengalon belum dimanfaatkan

sama sekali untuk perikanan budidaya pesisir, sehingga nilai LQ sektor lain masih

nol. Namun sektor budidaya tambak merupakan andalan, bahkan di tingkat

kabupaten nilai basisnya paling besar, sehingga ke depannya Kecamatan

Bengalon dapat dijadikan sentra budidaya tambak di Kabupaten Kutai Timur. Hal

ini didukung dengan luas potensial kesesuaian lahan untuk budidaya tambak yang

Page 87: Tesis Nirmala

90

cukup luas. Luas potensial kesesuaian lahan untuk tiap-tiap sektor budidaya di

tiap kecamatan disajikan pada Tabel 23.

Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut juga ada di

Kecamatan Bengalon, namun potensinya kecil sehingga untuk pengembangannya

kurang menguntungkan, karena tidak sesuai antara biaya untuk pembangunan

sarana dan infrastruktur dibandingkan perolehan keuntungan dari budidaya. Selain

itu, bila Bengalon dijadikan sebagai sentra budidaya tambak, maka kualitas

perairan di pesisir akan cenderung menurun karena limbah dari tambak dan

mungkin menjadi tidak sesuai lagi untuk budidaya rumput laut dan karamba.

Kecamatan Sangkulirang

Kecamatan Sangkulirang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak

(LQ=1,21) dan rumput laut (LQ=2,65). Budidaya rumput laut mempunyai nilai

basis yang paling besar di tingkat kabupaten, sehingga Kecamatan Sangkulirang

dapat dijadikan sebagai sentra produksi rumput laut, karena berdasarkan hasil

analisis spasial, kesesuaian lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Teluk

Sangkulirang cukup luas.

Selain budidaya rumput laut Kecamatan Sangkulirang juga potensial untuk

budidaya karamba, karena mempunyai perairan yang sangat sesuai untuk

pengembangan budidaya karamba cukup luas. Secara umum Kecamatan

Sangkulirang merupakan kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yang memiliki

kesesuaian lahan potensial yang paling luas untuk semua jenis peruntukan

budidaya, baik budidaya tambak, karamba, maupun rumput laut (Tabel 23).

Sehingga Kecamatan Sangkulirang dapat dijadikan wilayah pusat (nodal) dalam

pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur. Hal ini

didukung dengan adanya Desa Maloy yang dijadikan sebagai pusat Kawasan

Agropolitan. Selain itu di kawasan Maloy juga direncanakan akan dibangun

pelabuhan umum.

Adanya pusat kawasan Agropolitan ini karena Pemerintah daerah

Kabupaten Kutai Timur menyandarkan bidang ekonomi dengan sektor pertanian

sebagai tumpuan di masa depan, dengan melakukan program yang disebut

GERDABANGAGRI (Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis). Tujuan dari

Page 88: Tesis Nirmala

91

program ini adalah mendorong strategi pembangunan wilayah dengan

menciptakan titik-titik pertumbuhan (Growth Point) dalam rangka menyebarkan

efek Pemerataan Pembangunan (Equity Development) (Bappeda Kutai Timur,

2004).

Kecamatan Kaliorang

Kecamatan Kaliorang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak

(LQ=1,48) dan rumput laut (LQ=1,07). Namun bila didasarkan pada hasil analisis

spasial, Kecamatan Kaliorang mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya

karamba, karena di perairan Teluk Golok terdapat lokasi yang sangat sesuai untuk

budidaya karamba.

Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur Tahun 2004, Kecamatan Kaliorang

termasuk dalam Kawasan II sebagai sentra produksi dalam pengembangan

kawasan pedesaan, bersama-sama dengan Kecamatan Sangkulirang, Bengalon dan

Sandaran. Orientasi aliran produksi dari kawasan ini adalah keluar dari Kabupaten

Kutai Timur melalui pelabuhan Maloy yang terdapat di Kecamatan Sangkulirang.

Kecamatan Sandaran

Bila dilihat dari nilai LQ, Kecamatan Sandaran tidak memiliki sektor yang

menjadi basis pengembangan perikanan budidaya. Saat ini yang menjadi sektor

basis di Kecamatan Sandaran hanyalah sektor perikanan pesisir tangkap

(LQ=50,26). Hal ini terjadi karena saat ini akses jalan ke Kecamatan Sandaran

belum terbuka, sarana transportasi dari kota kabupaten hanya melalui laut,

sehingga perkembangan wilayah juga masih sangat terbatas. Namun demikian bila

dilihat dari hasil analisis kesesuaian lahan Kecamatan Sandaran mempunyai

potensi sangat sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, dan sangat

sesuai untuk budidaya tambak.

Pengembangan budidaya rumput laut mempunyai potensi yang sangat

besar di Kecamatan Sandaran, karena potensinya sangat luas. Selain itu hasil

pascapanen berupa produk rumput laut kering masih memungkinkan disimpan

selama beberapa saat sebelum dijual. Hal ini mengingat kondisi transportasi ke

kecamatan Sandaran masih sangat terbatas, sehingga pemasaran rumput laut tidak

Page 89: Tesis Nirmala

92

dapat dilakukan setiap saat.

Sedangkan pengembangan budidaya tambak masih agak sulit dilakukan,

sebelum akses jalan ke kecamatan ini dibuka. Produk tambak menghendaki dijual

dalam keadaan segar/beku. Kondisi transportasi yang terbatas akan menghambat

suplai sarana produksi dan proses pemasaran produk di kecamatan Sandaran.

Matriks arahan pengembangan perikanan budidaya pesisir di tiap

kecamatan berdasarkan nilai LQ budidaya dan potensi luas kesesuaian lahannya

dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Matrik Arahan Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir di Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur

Kecamatan Pantai

LQ Budidaya/ Sektor Basis

Potensi Kesesuaian Lahan

Arahan Pengembangan

Kawasan Budidaya Sangatta � Karamba

Kerapu (LQ= 2,50)

♦ S1 Tambak (828,317 ha) ♦ S1 Rumput Laut (265,698 ha)

� Budidaya Tambak � Budidaya Rumput Laut

Sangkulirang � Tambak (LQ=1,21) � Rumput Laut (LQ=2,65)

♦ S1 Tambak (1.142,400 ha) ♦ S1 Rumput Laut (1.766,032 ha) ♦ S1 Karamba (506,201 ha)

� Budidaya Tambak � Budidaya Rumput Laut � Budidaya Karamba

Kaliorang � Tambak (LQ=1,48) � Rumput laut (LQ=1,07)

♦ S1 Tambak (72,731 ha) ♦ S1 Rumput Laut (524,648 ha) ♦ S1 Karamba (38,610 ha)

� Budidaya Tambak � Budidaya Rumput Laut � Budidaya Karamba

Bengalon � Tambak (LQ=1,72)

♦ S1 Tambak (386,226 ha) ♦ S1 Rumput Laut (56,660 ha)

� Budidaya Tambak

Sandaran � Tidak ada sektor Basis

♦ S1 Rumput Laut (584,297 ha) ♦ S1 Tambak (142,546 ha)

� Budidaya Rumput Laut

Luas Efektif Lahan untuk Perikanan Budidaya

Luas efektif lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan dan daratan

pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk suatu kegiatan budidaya yang secara sosial

tidak menimbulkan konflik, secara ekologi tidak mengganggu ekosistem pesisir,

sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan dan berkelanjutan.

Luas efektif lahan untuk budidaya ini ditentukan berdasarkan beberapa

pertimbangan, yaitu:

- Wilayah pantai (daratan pesisir) di Kabupaten Kutai Timur merupakan

wilayah yang multiguna untuk berbagai pemanfataan, seperti pemukiman;

Page 90: Tesis Nirmala

93

industri pertambangan; hutan lindung Taman Nasional Kutai (TNK); Pusat

Pendaratan Ikan (PPI); pelabuhan; kawasan wisata; hutan tanaman industri

dan perkebunan rakyat; dan lain-lain

- Perairan dangkal di Kabupaten Kutai Timur merupakan lokasi yang dekat

dengan garis pantai (dekat dengan tempat kehidupan masyarakat), sehingga

merupakan kawasan yang multiguna untuk berbagai pemanfaatan oleh

masyarakat disekitarnya, misalnya untuk alur pelayaran transportasi, baik

transport penumpang maupun barang (produksi tambang, hutan, perkebunan);

penangkapan ikan tradisional; bagan ikan; kawasan pelabuhan; wisata bahari

dan wisata pantai; kebutuhan ruang bagi operasional budidaya; dan lain-lain

- Perairan dangkal terdiri dari berbagai ekosistem yang memiliki beragam

komunitas biota, seperti estuaria, lamun, dan terumbu karang, sehingga secara

ekologis penting dipertahankan untuk kawasan konservasi, dan kawasan

penyangga (buffer zone).

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dapat dilakukan analisis

kebutuhan lahan untuk seluruh aktivitas pemanfaatan yang ada. Analisis

kebutuhan lahan ini akan lebih baik hasilnya bila untuk setiap pemanfaatan

tersebut, dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan kriteria biofisiknya.

Namun karena pada penelitian ini tidak dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk

pemanfataan selain budidaya, maka kebutuhan lahan untuk pemanfaatan selain

budidaya dilakukan dengan menggunakan rencana pola pemanfataan ruang yang

ada dalam RTRW KabupatenKutai Timur dan asumsi-asumsi berdasarkan

kebutuhan penduduk di wilayah tersebut. Analisis kebutuhan lahan berdasarkan

asumsi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12.

Dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan luas efektif lahan perairan

untuk budidaya yaitu:

� Budidaya tambak = 3.913,47 ha

� Budidaya karamba jaring tancap = 411,13 ha

� Budidaya rumput laut long line = 3.246,62 ha

Luas efektif lahan untuk perikanan budidaya dan perkiraan jumlah unit

budidaya yang boleh dibangun dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.

Page 91: Tesis Nirmala

94

Tabel 25. Luas Efektif Lahan Perikanan Budidaya dan Jumlah Unit Budidaya yang Dapat Dilakukan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

NO

Budidaya

Luas Potensial Lahan (ha)

Luas Efektif Lahan (ha)

Jumlah Unit Budidaya (unit)

1. Tambak

(unit 1 ha) 9.726,79 3.913,34 3.913

2. Karamba

(unit 144 m2) 1.204,77 411,13 28.550

3. Rumput Laut

(unit 2400 m2) 9.509,71 3.246,62 13.528

Sumber: hasil analisis data primer

Berdasarkan hasil perhitungan luas efektif lahan perikanan budidaya dan

arahan pengembangan budidaya di setiap kecamatan pantai, maka dapat

digambarkan peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir

Kabupaten Kutai Timur. Zonasi perikanan budidaya ini diharapkan dapat

memberikan arah bagi pengembangan budidaya yang berkelanjutan secara sosial

ekonomi dan secara ekologis aman bagi lingkungan, karena telah

mempertimbangkan kawasan-kawasan yang merupakan daerah konservasi, baik

kawasan mangrove maupun terumbu karang, maupun pemanfataan oleh sektor

lainnya. Peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir

Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat pada Gambar 9.

Kelayakan Usaha Pengembangan Perikanan budidaya

Kelayakan usaha merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam pengembangan kawasan untuk usaha perikanan budidaya, agar usaha

budidaya tersebut dapat berkelanjutan.

Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung

dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan,

pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen, dan kewajiban membayar

pinjaman bank dengan bunga 24% per tahun selama 3 tahun.

Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue

Cost Ratio (R/C) dan keuntungan (π) untuk mengetahui kelayakan pada saat ini

tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria).

Page 92: Tesis Nirmala

95

Gambar 9. Peta Zonasi Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Page 93: Tesis Nirmala

Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan

memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net Present

Value (NPV), dan Net Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan

sebesar 12 % (mengacu pada kisaran suku bunga kredit pada saat ini), perhitungan

rentang usaha selama 5 tahun, umur ekonomis peralatan 3 tahun, dan usaha

budidaya dioperasikan mulai tahun pertama.

Usaha budidaya yang dianalisis kelayakan usahanya adalah budidaya

tambak udang tradisional, budidaya kerapu pada karamba jaring tancap, dan

budidaya rumput laut long line.

Rincian biaya dan manfaat pada analisis kelayakan usaha dapat dilihat

pada lampiran 6-11, dan hasil perhitungan nilai π, R/C, NPV, dan Net B/C dapat

dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir Kutai Timur

No. KRITERIA TAMBAK UDANG

TRADISIONAL (Rp/ha/th)

RUMPUT LAUT LONG LINE (Rp/unit/th )

KARAMBA TANCAP KERAPU

(Rp/unit/th )

1. Keuntungan (π) (tahun ke-1) (Rp)

12.087.500 10.661.667 31.971.500

2. R/C (tahun ke-1) 1,37 1,39 1,71 3. NPV (Rp) 21.968.175,82 28.307.279 61.057.824,20 4. Net B/C 1,64 2,92 2,20 5. PbP (tahun) 3,94 3,78 3,65

Sumber: Hasil Analisis Data Primer

Tambak Udang Tradisional

Budidaya tambak udang yang dianalisis adalah tambak udang tradisional,

karena menurut Garcia & Garcia (l985) yang diacu oleh Widigdo (2002), di

Philipina produksi tambak tradisional plus sebesar 600-750 kg/ha/musim tanam

akan lebih lestari bila dibandingkan dengan tambak intensif. Sedangkan menurut

Poernomo (1992), di Indonesia tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif

(tradisional) dengan produksi secara alami antara 500-750 kg/ha/musim tanam

akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem semi

intensif.

Asumsi usaha pada budidaya tambak tradisional plus adalah: padat

penebaran 2-5 ekor/m2, pakan campuran antara pelet dan ikan rucah, ukuran

tambak 1 ha, dengan teknologi (pompa air dan pemupukan), masa pemeliharaan 6

Page 94: Tesis Nirmala

97

97

bulan (2 musim per tahun), ukuran udang dipanen 20-30 gr dengan rata-rata

produksi 500 kg/ha.

Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan

biaya (R/C) pada tambak udang tradisional seluas 1 ha per tahun sebesar 1,37.

Nilai R/C 1,37 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai untuk

pembiayaan tambak akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.370.000,-. Waktu

pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 9 bulan. Nilai NPV

sebesar Rp 21.968.175,82,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan diperoleh

selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net B/C yang

diperoleh sebesar 1,64 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang diperoleh

adalah sebesar 1,64 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sehingga

berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha

budidaya tambak udang dengan teknologi tradisional plus layak

direkomendasikan untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Budidaya Rumput Laut Long Line

Budidaya rumput laut yang dianalisis adalah budidaya rumput laut

Eucheuma cottonii sistem long line, dengan asumsi usaha menurut Anggadireja

(2006) sebagai berikut: berat benih 100 gr per simpul, jarak simpul 25x100 cm,

ukuran tiap unit long line 2.400 m², masa pemeliharaan 3 bulan (4 musim tiap

tahun), dan produksi rata-rata 2.375 kg rumput laut kering/unit.

Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan

biaya (R/C) pada budidaya rumput laut long line seluas 2.400 m² per tahun

sebesar 1,39. Nilai R/C 1,39 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang

dipakai untuk pembiayaan rumput laut akan memperoleh manfaat sebesar Rp.

1.390.000,-. Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 7

bulan. Nilai NPV sebesar Rp 28.307.279,- menunjukkan keuntungan bersih yang

akan diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini.

Nilai Net B/C yang diperoleh sebesar 2,92 (Net B/C > 1) bermakna bahwa

manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2,92 kali lebih besar dari biaya yang

dikeluarkan. Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan

bahwa usaha budidaya rumput laut long line layak direkomendasikan untuk

dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Page 95: Tesis Nirmala

98

98

Karamba Tancap untuk Budidaya Kerapu Tikus

Karamba tancap yang dianalisis adalah karamba untuk budidaya kerapu

tikus. Asumsi usaha diambil sesuai dengan analisis Subandar (2005) untuk

budidaya kerapu dalam karamba jaring apung, yaitu: padat penebaran 300

ekor/lubang, survival rate 30 %, pakan ikan rucah rata-rata sebanyak 20 kg per

hari, ukuran tiap unit long line 144 m² yang terdiri dari 4 lubang (6x6x3

m3/lubang), masa pemeliharaan 15 bulan (0,8 musim tiap tahun), ukuran panen

0,5 kg/ekor, dan produksi rata-rata 105 kg/lubang (420 kg/unit).

Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan

biaya (R/C) pada budidaya kerapu dalam karamba tancap seluas 144 m² per tahun

sebesar 1,71. Nilai ini bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai

untuk pembiayaan karamba akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.710.000,-.

Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 6 bulan. Nilai

NPV sebesar Rp 61.057.824,20,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan

diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net

B/C yang diperoleh sebesar 2,20 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang

diperoleh adalah sebesar 2,20 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

usaha budidaya kerapu tikus dalam karamba tancap layak direkomendasikan

untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Proyeksi Peningkatan Pendapatan

1. Budidaya Tambak

Jumlah unit tambak yang dapat diusahakan berdasarkan kapasitas lahan adalah

3.913 unit. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 di atas, yaitu

sebesar Rp 12.087.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan

sebesar Rp 47.298.387.500,- per tahun dari usaha budidaya tambak.

2. Budidaya karamba jaring tancap

Jumlah unit yang dapat dibangun untuk karamba jaring tancap adalah 28.550

unit usaha karamba. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 sebesar

Rp 31.971.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sebesar

Rp 912.786.325.000,- per tahun dari usaha budidaya karamba.

Page 96: Tesis Nirmala

99

99

3. Budidaya rumput laut long line

Jumlah unit yang dapat dibangun untuk budidaya rumput laut long line sekitar

13.528 unit usaha. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26, yaitu

sebesar Rp 10.661.667,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sekitar

Rp 144.231.031.176,- per tahun dari usaha budidaya rumput laut.

Unsur-unsur Strategis SWOT

1) Kekuatan:

S1: Ketersediaan Lahan Masih Luas

Hasil analisis spasial terhadap peta kesesuaian lahan menunjukkan bahwa

luas efektif pesisir Kabupaten Kutai Timur yang dapat dimanfaatkan untuk

budidaya tambak seluas 3.913,34 ha, untuk budidaya karamba jaring tancap

seluas 411,13 ha dan untuk budidaya rumput laut long line seluas 3.246,62 ha.

S2: Adanya Investasi dari Masyarakat

Selain adanya investasi dari luar, pengembangan perikanan budidaya

pesisir mempunyai faktor kekuatan yang cukup besar, yaitu adanya minat

masyarakat dalam menginvestasikan modalnya dalam usaha perikanan budidaya

pesisir. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebagian besar

modal untuk kegiatan budidaya, baik di tambak, karamba, maupun rumput laut

berasal dari modal pribadi pembudidaya.

S3: Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir

Berdasarkan kelayakan ekonomi, pengembangan budidaya tambak

diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar

Rp 47.298.387.500,- per tahun, pengembangan budidaya karamba diproyeksikan

dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 912.786.325.000,- per

tahun, dan pengembangan budidaya rumput laut diproyeksikan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 144.231.031.176,- per tahun.

Page 97: Tesis Nirmala

100

100

S4: Tersedia Tenaga Kerja Lokal

Data dari BPS Kabupaten Kutai Timur menunjukkan jumlah angkatan

kerja pada tahun 2004 di Kabupaten Kutai Timur adalah 111.286 orang. Dari

jumlah angkatan kerja tersebut yang masih mencari pekerjaan sebanyak 3.733

orang (3,35%), sedangkan yang lainnya masih bersekolah (5,86%), tidak bekerja

karena mengurus rumah tangga (26,22%), sudah bekerja (60,21%), dan lain-lain

(4,35%). Jumlah angkatan kerja yang masih mencari pekerjaan ini merupakan

tenaga kerja yang perlu diberi kesempatan kerja dengan pengembangan perikanan

budidaya.

S5: Etos Kerja Budidaya

Masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur sebagian besar (lebih dari

60%) adalah pendatang dari P. Sulawesi. Jiwa bahari dari para pendatang ini

merupakan modal yang besar dalam pengembangan perikanan budidaya di pesisir,

karena masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan di laut. Dari hasil

wawancara, masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur menunjukkan minat

yang cukup tinggi untuk melakukan usaha perikanan budidaya sebagai pekerjaan

sampingan dari pekerjaan utama mereka sebagai nelayan. Saat ini di Kecamatan

Sangatta sudah cukup banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pembudidaya

karamba tancap dan rumput laut.

S6: Tersedia Sarana Kelembagaan Budidaya

Sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan perikanan budidaya

Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur membentuk Unit Pelayanan

Pengembangan (UPP) Perikanan budidaya, yang dibentuk dengan Surat

Keputusan Bupati Kutai Timur. Salah satu fungsi UPP perikanan budidaya ini

adalah memberi rekomendasi pada Kelompok Pengelola Budidaya yang terdapat

di kecamatan-kecamatan untuk memperoleh pinjaman Dana Penguatan Modal

dari Bank BRI.

Selain lembaga UPP ini, di Kabupaten Kutai Timur ini terdapat dua

koperasi perikanan, yaitu: Koperasi Perikanan Bukit Pelangi dan Koperasi

Perikanan Wana Mina. Namun koperasi ini belum mampu membantu para

pembudidaya dalam mengatasi permasalahan pemasaran hasil budidaya.

Page 98: Tesis Nirmala

101

101

2) Kelemahan:

W1: Terbatas Sarana Produksi/Infrastuktur Penunjang

Sarana produksi dan infrastruktur penunjang perikanan budidaya pesisir

bisa dikatakan belum tersedia sama sekali di Kabupaten Kutai Timur, baik dari

sarana pembenihan, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan, dan

peralatan budidaya, maupun sarana pengolahan pascapanen. Untuk memenuhi

semua kebutuhan sarana produksi tersebut, pembudidaya harus mencarinya ke

luar daerah seperti Bontang, Samarinda, dan Balikpapan.

W2: Kurangnya Sarana Informasi Pasar

Pembudidaya rumput laut dan kerapu di Kabupaten Kutai Timur belum

mepunyai informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai untuk

memasarkan hasil panennya. Selama ini pembudidaya hanya menjual hasil

panennya ke tengkulak dengan harga sesuai yang ditawarkan tengkulak, sehingga

harga yang diperoleh relatif rendah.

W3: Kurang Pengetahuan Teknologi Budidaya

Berdasarkan hasil pengamatan pada saat survei, beberapa unit karamba

kerapu yang diamati dalam keadaan kosong. Tersendatnya usaha budidaya

karamba kerapu ini terjadi karena pembudidaya tidak menguasai faktor teknologi

dan manajamen budidaya dengan baik, terutama faktor benih yang bermutu,

pengendalian hama dan penyakit, pakan ikan, serta pemilihan lokasi yang benar.

Demikian juga dengan budidaya rumput laut, unit yang kosong terjadi karena

pembudidaya kesulitan memperoleh benih rumput laut yang unggul, serta kondisi

oseanografi yang ekstrim pada musim angin selatan dan pancaroba.

Pada usaha budidaya tambak, kolam-kolam yang kosong terjadi karena

pembudidaya kesulitan memperoleh benih udang dan ikan bandeng yang bermutu.

Sedangkan benih alam yang ditangkap dari perairan disekitarnya dijual dengan

harga yang lebih mahal dibanding harga benih dari hatchery. Sebagai contohnya

adalah benur alam ukuran fingerling dibeli dengan harga Rp. 100,00/ekor

sementara bila dibeli dari hatchery harganya Rp. 40,00/ekor. Namun yang menjadi

masalah adalah di Kabupaten Kutai Timur tidak ada hatchery, hatchery yang

Page 99: Tesis Nirmala

102

102

terdekat berada di Kota Balikpapan yang jaraknya sekitar 250 km atau sekitar 6

jam bila ditempuh melalui jalan darat.

W4: Kurang Pengetahuan Teknologi Pasca Panen

Teknologi pascapanen juga belum dikuasai dengan baik oleh

pembudidaya. Hasil panen dari budidaya tambak umumnya dijual dalam keadaan

segar, namun karena belum ada coldstorage pendinginan hanya dilakukan dengan

menggunakan es batu. Sedangkan pabrik es batu belum tersedia, sehingga es batu

dibuat dengan menggunakan refrigerator (lemari es), akibatnya harga es menjadi

mahal, dan menambah tinggi biaya produksi. Pabrik es batu yang pernah

dibangun dengan dana dari proyek PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Pesisir) pada tahun 2003 di Dusun Kenyamukan, Kecamatan Sangatta sudah tidak

dapat berproduksi 2 bulan setelah pabrik tersebut dibangun. Masalahnya karena

tidak cukup suplai air tawar untuk pembuatan es dan tidak ada teknisi yang dapat

melakukan perawatan mesin terhadap pabrik es tersebut.

Perlakuan pascapanen terhadap rumput laut adalah dengan pengeringan.

Belum ada usaha pengolahan terhadap rumput laut menjadi produk jadi seperti

manisan, dodol, atau serbuk agar-agar. Sementara itu sebagai pembanding, para

pembudidaya rumput laut di Kota Bontang telah mampu mengolah rumput laut

menjadi manisan dan dodol, dan dijual sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut.

W5: Kualitas SDM Rendah

Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur masih

rendah, terutama masyarakat di desa pantai, karena umumnya desa-desa pantai di

Kabupaten Kutai Timur masih terisolir dan kurang fasilitas pendidikan.

Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kutai Timur tahun 2005, tingkat

pendidikan tertinggi yang dicapai oleh penduduk usia 10 tahun ke atas adalah:

tidak sekolah sebanyak 31.673 orang (25,60%), tamat Sekolah Dasar sebanyak

41.397 orang (33,46%), dan tamat Sekolah Lanjutan Pertama sebanyak 25.479

orang (20,59%), atau sekitar 79,65% penduduk Kabupaten Kutai Timur hanya

berpendidikan di bawah Sekolah Lanjutan Pertama. Rendahnya tingkat

pendidikan ini menyebabkan informasi teknologi budidaya lambat diserap oleh

masyarakat. Selain itu masyarakat juga kurang memahami pentingnya menjaga

Page 100: Tesis Nirmala

103

103

kelestarian sumberdaya alam untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan

budidaya.

3) Peluang:

O1: Permintaan Pasar Tinggi

Peluang terbesar yang mendukung pengembangan perikanan budidaya

pesisir adalah permintaan terhadap produk perikanan yang semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Sebagian besar spesies budididaya laut seperti ikan napoleon,

ikan kerapu, udang lobster, teripang, abalone, kerang mutiara merupakan

komoditas ekspor yang sangat diminati oleh pasar internasional sehingga

memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tidak hanya pasar internasional, di dalam

negeripun pemintaan produk budidaya laut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

(seafood) masyarakat terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan

masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat dari agraris menjadi industri

(Soebagio, 2004).

Hasil penelitian FAO (1993) yang diacu oleh Soebagio (2004),

mendapatkan adanya kecenderungan perubahan pola makan masyarakat agraris

yang sedang berubah menjadi masyarakat industri. Salah satu perubahan pola

makan tersebut adalah adanya kecenderungan peningkatan jumlah manusia yang

makan di luar rumah, seperti di kantin kantor, katering, restoran. Perubahan pola

makan tersebut menuntut adanya makanan dan bahan makanan yang gampang dan

cepat disajikan dan dimakan (ready to eat) atau dimasak (ready to cooked),

seseuai dengan pola hidup masyarakat industri yang serba cepat. Hasil penelitian

tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi

makanan dari laut (seafood).

Kebutuhan kerapu untuk pasar dunia total diperkirakan sebesar 24.200 ton

per tahun atau sebesar US$ 290 juta untuk harga rata-rata US$ 12 per kilogram

(BPPT, 2002). Sedangkan untuk pasar rumput laut jenis Euchema cottoni, pada

tahun 2006 kebutuhan dunia diperkirakan sebesar 202.300 ton kering dan sampai

tahun 2010 diperkirakan sekitar 274.100 ton kering (Anggadireja et al, 2006).

Harga ikan kerapu tikus dalam keadaan hidup ditingkat nelayan dapat

mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) untuk setiap kilogramnya. Ikan tersebut

Page 101: Tesis Nirmala

104

104

diekspor terutama ke Hongkong dengan harga jual yang berlipat kali. Harga

rumput laut kering juga meningkat cukup tajam yaitu Rp. 2.450/kg pada tahun

2004 menjadi Rp. 4000/kg pada tahun 2006.

O2: Dukungan Permodalan dari Pemda dan Perusahaan Mitra

Peluang lain dalam pengembangan perikanan budidaya adalah adanya

dukungan modal dari pemerintah dan perusahaan mitra. Pada tahun 2006, Dirjen

budidaya DKP Pusat memberi batuan untuk pengembangan rumput laut dengan

penyaluran melalui Dana Penguatan Modal (DPM) bank BRI sebesar 140 juta.

Bunga Angsuran yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu

pembayaran per 3 bulan. Sedangkan untuk karamba kerapu, Dirjen budidaya DKP

Pusat memberi bantuan sebesar 285 juta untuk 10 unit karamba. Bunga Angsuran

yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu pembayaran per tahun

untuk budidaya karamba kerapu. Untuk memperoleh pinjaman ini Kelompok

Pengelola Budidaya yang terdapat di kecamatan-kecamatan harus mengajukan

permohonan pinjaman Dana Penguatan Modal ke Bank BRI berdasarkan

rekomendasi dari UPP Perikanan budidaya.

Selain investasi yang berasal dari Dirjen Budidaya DKP Pusat, Dinas

Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur juga memberikan bantuan berupa

proyek demplot untuk budidaya rumput laut sebesar Rp. 275 juta pada tahun

2006.

O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung Perikanan Budidaya

Lembaga pendidikan yang mendukung pengembangan perikanan budidaya

di Kabupaten Kutai Timur adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur

(STIPER Kutai Timur) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelautan

Sangatta (SMKN Kelautan Sangatta).

Salah satu Program Studi di STIPER Kutai Timur adalah Program Studi

Ilmu Kelautan. Program Studi ini mempunyai konsentrasi pada pengembangan

potensi pesisir dan laut di Kabupaten Kutai Timur. Out put dari program studi ini

adalah sarjana perikanan dengan kompetensi 40 % teori dan 60 % praktek.

Sedangkan SMKN Kelautan Sangatta menghasilkan lulusan dengan kompetensi

Page 102: Tesis Nirmala

105

105

sebagai teknisi budidaya. Para lulusan ini merupakan SDM yang dapat

diberdayakan untuk pengembangan perikanan budidaya.

4) Ancaman:

T1: Tengkulak yang Mendominasi Pasar

Belum tersedianya lembaga pemasaran semacam koperasi yang mampu

menampung dan memasarkan hasil budidaya menyebabkan masyarakat terpaksa

menjual hasil panennya pada penampung/tengkulak, yang akan membawa hasil

panen tersebut ke eksportir di Balikpapan.

Belum berfungsinya lembaga pemasaran ini berimbas pada harga produk

yang fluktuatif di tingkat pembudidaya. Harga kerapu tikus yang diperoleh

pembudidaya dari tengkulak/penampung adalah sekitar Rp. 230.000,00 per

kilogram dalam keadaan hidup. Sedangkan bila dijual langsung ke eksportir di

Balikpapan harga yang diperoleh adalah Rp. 300.000,00. Selain kurang

berfungsinya lembaga pemasaran, terjadinya fluktuasi harga adalah karena

pembudidaya tidak mengetahui informasi pasar yang terkini, baik mengenai

harga, permintaan pasar, maupun siapa konsumen yang memerlukan produk

perikanan.

T2: Persaingan dengan Produk dari Luar Daerah

Ancaman lain dalam pemasaran hasil budidaya adalah adanya produk dari

daerah lain, misalnya Kota Bontang. Perikanan budidaya pesisir di Kota Bontang

lebih maju dibanding budidaya di Kabupaten Kutai Timur, karena sarana dan

prasarana serta akses ke Bontang sudah tersedia, sehingga pemasarannya lebih

luas. Produksi tambak seperti bandeng dan udang windu dari Bontang banyak

masuk ke pasar di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur.

T3: Pencemaran Industri pada Daerah Aliran Sungai (DAS)

Ancaman dari lingkungan terhadap pengembangan budidaya di

KabupatenKutai Timur adalah tingginya sedimentasi dan polutan yang terbawa

melalui sungai. Pemukiman di Pulau Kalimantan umumnya berada di sepanjang

sungai, karena dahulunya sungai merupakan sarana transportasi yang vital

sebelum dibangun jalan darat. Selain pemukiman, banyak kegiatan seperti

Page 103: Tesis Nirmala

106

106

transportasi sungai, pasar, dan industri yang membuang limbah ke sungai. Dari

hasil pengamatan pada sungai-sungai yang berada di tengah kota seperti S.

Sangatta, polutan yang sering ditemukan adalah minyak dan sampah. Sementara

sungai yang jauh dari kota umumnya masih bersih dari sampah.

T4: Konflik Pemanfaatan Lahan

Ancaman dari aspek sosial adalah adanya konflik pemanfaatan lahan antar

stakeholders di pesisir Kabupaten Kutai Timur. Konflik yang pernah terjadi

adalah antara perusahaan pertambangan PT Kaltim Prima Coal dengan

pembudidaya karamba pada Januari 2005.

T5: Kondisi Oseanografi yang Ekstrim pada Musim Tertentu

Kualitas perairan di pesisir Kabupaten Kutai Timur cukup mendukung

usaha perikanan budidaya. Namun pada saat tertentu kondisi arus dan gelombang,

yang sangat dipengaruhi oleh musim angin, dapat menjadi ekstrim dan merupakan

ancaman bagi kelanjutan usaha budidaya. Oleh karena itu diperlukan adanya input

teknologi yang dapat mengatasi ancaman tersebut.

Strategi Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir

Strategi pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai

Timur dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT.

Tabel 27. Hasil External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor -faktor

Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5 Peluang: O1: permintaan pasar tinggi O2: dukungan permodalan dari pemda dan mitra O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung

Perikanan Budidaya

0,20 0,15 0,10

4 4 2

0,80 0,60 0,20

Pemasaran Permodalan Teknologi

Ancaman: T1: tengkulak yang mendominasi pasar T2: persaingan dengan produk dari luar daerah T3: pencemaran industri pada DAS T4: konflik pemanfaatan lahan T5: kondisi oseanografi yang ekstrim

0,15 0,10 0,10 0,15 0,05

1 1 2 2 2

0,15 0,10 0,20 0,30 0,10

Pemasaran Pemasaran Teknologi Sosial Teknologi

TOTAL 1,00 2,45 Sumber: Analisis Data Primer

Page 104: Tesis Nirmala

107

107

Tabel 28. Hasil Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)

Faktor-faktor Strategi Internal

Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5 Kekuatan:

S1: ketersediaan lahan masih luas

S2: adanya investasi dari masyarakat

S3: kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir

S4: tersedia tenaga kerja lokal

S5: etos kerja budidaya

S6: tersedia sarana kelembagaan budidaya

0,1

0,1

0,1

0,1

0,05

0,05

4

3

3

2

1

1

0,4

0,3

0,3

0,2

0,05

0,05

Permodalan

Permodalan

Pendapatan

Sosial

Sosial

Kelembagaan

Kelemahan:

W1: terbatas sarana produksi/infrastuktur penunjang

W2: kurangnya sarana informasi pasar

W3: kurang pengetahuan tentang budidaya

W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen

W5: kualitas SDM rendah

0,15

0,1

0,1

0,1

0,05

1

1

2

2

3

0,15

0,1

0,2

0,2

0,15

Sarana

Pemasaran

Teknologi

Teknologi

Sosial

TOTAL 1,00 2,10 Sumber: Analisis Data Primer

Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh

hasil bahwa faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) lebih besar

pengaruhnya dibanding faktor internal (kekuatan dan kelemahan), terhadap

pengembangan perikanan budidaya pesisir di pesisir kabupaten Kutai Timur,

dengan rasio sebesar 2,45 : 2,10.

Berdasarkan matriks EFAS dan IFAS tersebut di atas, maka dengan model

matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan dalam 4 kategori,

yaitu:

i) Strategi SO, yaitu penggunaan unsur-unsur kekuatan wilayah pesisir untuk

mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang yang ada;

ii) Strategi WO, yaitu memperbaiki kelemahan yang ada di wilayah pesisir

dengan memanfaatkan peluang yang tersedia,

iii) Strategi ST, yaitu penggunaan kekuatan yang ada untuk menghindari atau

memperkecil dampak dari ancaman eksternal;

iv) Strategi WT, yaitu taktik pertahanan yang diarahkan pada pengurangan

kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal (Vincentius, 2003)

Page 105: Tesis Nirmala

108

108

Tabel 29. Matriks TOWS Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan budidaya

MATRIKS TOWS

STRENGTH (S) S1: ketersediaan lahan masih luas

S2: adanya investasi dari

masyarakat

S3: kelayakan usaha perikanan

budidaya pesisir

S4: tersedia tenaga kerja lokal

S5: etos kerja budidaya

S6: tersedia sarana kelembagaan

budidaya

WEAKNESSES (W) W1: terbatas sarana

produksi/ infrastuktur

penunjang

W2: kurangnya informasi

pasar

W3: kurang pengetahuan

tentang budidaya

W4: kurang pengetahuan

teknologi pasca

panen

W5: kualitas SDM rendah OPPORTUNITIES (O)

O1: permintaan pasar tinggi

O2: dukungan permodalan dari

pemda dan mitra

O3: adanya lembaga pendidikan

yang mendukung perikanan

budidaya

STRATEGI SO 1) peningkatan skala usaha

perikanan budidaya dengan

memanfaatkan investasi dari

mitra atau pemda;

2) pemberdayaan tenaga kerja

lokal sebagai pekerjaan

sampingan atau utama dalam

perikanan budidaya;

STRATEGI WO 1) pengembangan sarana

dan infrastruktur

budidaya laut;

2) peningkatan kapasitas

SDM di pesisir;

3) pengembangan teknik

budidaya dan

pengolahan/pasca

panen;

THREATH (T) T1: tengkulak yang mendominasi

pasar

T2: persaingan dengan produk dari

luar daerah

T3: pencemaran industri pada DAS

T4: konflik pemanfaatan lahan

T5: kondisi oseanografi ekstrim

STRATEGI ST 1) pengembangan sistem

pemasaran yang bisa

menggerakkan perekonomian

lokal;

2) pengembangan kawasan

budidaya terpadu untuk

mengoptimalkan pemanfaatan

perairan pesisir;

STRATEGI WT 1) pengembangan akses

informasi budidaya

melalui kelembagaan

yang terkait;

Sumber: Analisis Data Primer

Strategi-strategi di atas selanjutnya diurutkan menurut rangking

berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada

Tabel 30.

Page 106: Tesis Nirmala

109

109

Tabel 30. Penentuan Prioritas Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur

UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR RANK

Strategi 1

1) peningkatan skala usaha perikanan budidaya

dengan memanfaatkan investasi dari mitra

perusahaan atau pemda;

S1,S2,S3,O1,O2

2,40

1

Strategi 2 2) pengembangan teknik budidaya dan pasca

panen;

W3,W4,W5,O1,O3 1,55 2

Strategi 3 3) peningkatan kapasitas SDM di pesisir; W3,W4,W5,O2, O3 1,35 3

Strategi 4 4) pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai

pekerjaan sampingan atau utama; S4,S5,O1

1,05

4

Strategi 5 5) pengembangan kawasan budidaya terpadu

untuk mengoptimalkan pemanfaatan

perairan pesisir;

S1,S6,T3,T4,T5 1,05

5

Strategi 6 6) pengembangan sarana dan infrastruktur

budidaya pesisir; W1,O1

0,95

6

Strategi 7 7) pengembangan sistem pemasaran yang bisa

menggerakkan perekonomian lokal; S2,S6,T1,T2

0,60

7

Strategi 8 8) pengembangan akses informasi melalui

kelembagaan yang terkait; W1,W2,T1,T2

0,50

8

Sumber: Analisis Data Primer Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan aktivitas perikanan

budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur dan digabungkan dengan faktor dari

analisa SWOT maka disusun rencana program kerja dan rencana strategi dalam

pengembangan perikanan budidaya di pesisir. Selengkapnya rencana strategi yang

kemudian diaplikasikan dalam rencana program adalah sebagai berikut :

� Strategi 1

Peningkatan skala usaha perikanan budidaya pesisir.

� Pencetakan lahan tambak dan pembuatan unit karamba baru.

� Pinjaman lunak, kredit, atau dana bergulir untuk meningkatkan skala

usaha.

� Penyediaan sarana produksi seperti benih, pakan, peralatan, dan obat-

obatan untuk operasional budidaya.

Page 107: Tesis Nirmala

110

110

� Peningkatan teknologi untuk mengurangi kematian/kegagalan panen.

� Strategi 2

Pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen.

� Pelatihan dan pendampingan teknik budidaya dan pasca panen bagi

masyarakat pembudidaya.

� Penganekaragaman spesies budidaya laut selain komoditas yang telah

dibudidayakan selama ini, misalnya pembesaran kepiting bakau, abalone,

lobster, kakap, dan sebagainya.

� Melakukan penelitian-penelitian yang mendukung pengembangan

teknologi budidaya laut.

� Membuat kawasan percontohan/demplot pada satu desa untuk dijadikan

sentra budidaya, sehingga dapat dijadikan percontohan bagi desa-desa

lainnya.

� Strategi 3

Peningkatan kapasitas SDM di pesisir.

� Mendirikan sekolah di desa-desa pesisir yang terisolir.

� Memasukkan mata pelajaran yang terkait dengan kelestarian sumberdaya

alam, terutama sumberdaya pesisir dan laut, sebagai muatan lokal pada

kurikulum di sekolah-sekolah tersebut.

� Strategi 4

Pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai pekerjaan utama atau sampingan.

� Mengatur kerjasama antara investor yang melakukan usaha budidaya di

pesisir dengan penduduk lokal agar dapat memberikan peluang usaha bagi

penduduk lokal untuk ikut serta dalam usaha perikanan budidaya.

� Menetapkan aturan bagi pengusaha/investor untuk menggunakan tenaga

kerja lokal sebelum menggunakan tenaga dari luar daerah.

� Mempermudah pemberian kredit untuk usaha budidaya bagi penduduk

lokal.

� Pelatihan bagi wanita di desa pesisir agar dapat melakukan pengolahan

hasil perikanan menjadi makanan khas seperti baso ikan, abon ikan,

krupuk kepiting, dodol, manisan rumput laut, dan lain-lain.

Page 108: Tesis Nirmala

111

111

� Strategi 5

Pengembangan kawasan budidaya terpadu untuk mengoptimalkan

pemanfaatan perairan pesisir.

� Perencanaan kawasan terpadu untuk proses produksi budidaya mulai dari

sarana pembenihan, hingga pengolahan pasca panen.

� Pembuatan rencana kawasan (zonasi) untuk kegiatan perikanan tangkap,

budidaya, maupun zona konservasi atau perlindungan.

� Mensosialisasikan sistem budidaya selain yang budidaya telah eksisting,

seperti sistem budidaya karamba jaring apung, sea ranching, dan

enclosure.

� Melakukan analisis kesesuaian lahan bagi sistem budidaya lain selain

sistem budidaya yang telah eksisting saat ini, seperti tersebut diatas.

� Strategi 6

Pengembangan sarana dan infrastruktur budidaya laut.

� Pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) perikanan budidaya pesisir,

sebagai sarana transfer teknologi budidaya yang cepat ke masyarakat.

� Pembangunan sarana transportasi darat dan pelabuhan, untuk membuka

akses ke daerah pesisir yang masih terisolir.

� Pembangunan hatchery untuk memproduksi benih ikan bagi sistem

budidaya yang telah berlangsung.

� Memfasilitasi kerjasama antara masyarakat pembudidaya dengan agen

(pedagang) sarana produksi perikanan budidaya seperti pakan, obat-

obatan, dan peralatan budidaya, untuk memudahkan pembudidaya

memperoleh saprodi perikanan budidaya.

� Pengadaan fasilitas dalam pengawetan ikan hasil produksi budidaya (cold

storage maupun es batu).

� Strategi 7

Pengembangan sistem pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian

lokal.

� Membuat sistem bisnis yang mendukung posisi tawar (bargaining

position) dari pelaku budidaya (produsen), terutama masyarakat lokal.

Page 109: Tesis Nirmala

112

112

� Mengaktifkan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi seperti koperasi,

kelompok pembudidaya, PKK, dan sebagainya untuk mendukung kegiatan

pemasaran produk budidaya.

� Menjalin kerja sama pemasaran antara kelompok pembudidaya lokal

dengan pengusaha swasta melalui fasilitator pemerintah.

� Strategi 8

Pengembangan akses informasi melalui kelembagaan yang terkait.

� Pengadaan sarana prasarana komunikasi (pengefektifan wartel), pendirian

pemancar telepon, dan pengadaan sarana transportasi antar daerah dari

pemerintah.

� Pembuatan data informasi pemasaran baik untuk kebutuhan dalam atau

luar negeri, yang dapat diakses secara mudah oleh semua pelaku budidaya

di Kabupaten Kutai Timur.

Page 110: Tesis Nirmala

113

113

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Hasil analisis spasial terhadap peta komposit menunjukan pesisir di

Kabupaten Kutai Timur mempunyai potensi kesesuaian lahan sangat sesuai

(S1): untuk budidaya tambak seluas 9.726,79 ha; untuk budidaya karamba

seluas 1.204,77 ha; untuk budidaya rumput laut seluas 9.509,71 ha. Namun

tidak semua potensi ini dapat dimanfaatkan semua untuk budidaya karena sifat

pesisir yang open acces. Berdasarkan pertimbangan pemanfaatan oleh sektor-

sektor lain di pesisir Kabupaten Kutai Timur, maka luas efektif lahan perairan

dan daratan pesisir untuk budidaya yaitu: budidaya tambak 3.913,47 ha;

budidaya karamba jaring tancap 411,13 ha; dan budidaya rumput laut long

line 3.246,62 ha. Luas efektif tersebut merupakan sisi suplai bagi

pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur.

2. Hasil analisis kelayakan finansial dengan indikator: keuntungan (π), R/C,

NPV, dan Net B/C, disimpulkan bahwa kegiatan perikanan budidaya tambak

udang tradisional plus, rumput laut long line, karamba tancap kerapu secara

finansial layak dikembangkan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

3. Hasil analisis terhadap faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman,

serta pendekatan nilai LQ dan potensi kesesuaian lahan pada masing-masing

kecamatan pantai menunjukkan bahwa wilayah pesisir Kecamatan Sangattta

dapat diarahkan untuk pengembangan kawasan budidaya tambak dan rumput

laut; Kecamatan Bengalon dapat diarahkan untuk pengembangan budidaya

tambak; Kecamatan Kaliorang dapat diarahkan untuk pengembangan

budidaya karamba, rumput laut, dan tambak; Kecamatan Sangkulirang dapat

diarahkan untuk pengembangan budidaya karamba, rumput laut, dan tambak;

dan Kecamatan Sandaran dapat diarahkan untuk pengembangan rumput laut.

4. Urutan rencana strategi yang perlu dilakukan dalam pengembangan perikanan

budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan faktor internal dan

Page 111: Tesis Nirmala

114

114

eksternalnya yang dianalisis dengan SWOT adalah: (1) peningkatan skala

usaha budidaya pesisir dengan memanfaatkan investasi dari mitra perusahaan

atau pemda; (2) pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen;

(3) peningkatan kapasitas SDM di pesisir; (4) pemberdayaan tenaga kerja

lokal sebagai pekerjaan sampingan atau utama; (5) pengembangan sistem

budidaya terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan pesisir; (6)

pengembangan sarana dan infrastruktur budidaya pesisir; (7) pengembangan

sistem pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian lokal; dan (8)

pengembangan akses informasi melalui kelembagaan yang terkait.

Saran

1. Perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya di pesisir

Kabupaten Kutai Timur pada musim angin utara dan angin selatan, dengan

batas penelitian lebih luas dari yang digunakan pada penelitian ini (yaitu 4 km

ke arah darat dan 4 mil laut ke arah laut) untuk melengkapi kesesuaian lahan

yang dilakukan pada penelitian ini.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi wilayah

pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk pengembangan sistem perikanan

budidaya yang lain seperti karamba jaring apung (cage culture), sea ranching,

restocking, dan sebagainya.

3. Untuk menghindari konflik kepentingan berbagai sektor maka dalam

penyusunan tata ruang pesisir Kabupaten Kutai Timur diperlukan penzonasian

bagi sektor lainnya seperti pariwisata pantai, pelabuhan, dan lain-lain, yang

dianalisis berdasarkan aspek biogeofisik, kesesuaian lahan, dan daya dukung

lingkungan.

Page 112: Tesis Nirmala

115

115

DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E. Liviawaty.1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius.

Bandung. Alauddin, M.H.R. 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung

Lingkungan Pesisir untuk Perencanaan Strategis Pengembangan Tambak Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Teluk Awarange, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aliah, R.S., Herdis, Afifah, Maman Surachman. 2002. Menggalang Sinergi untuk

mengembangkan Agribisnis Kerapu. Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis Kerapu II. BPPT. Jakarta.

Anggadiredja, J.T. et al. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta Anonim. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya. Anonim. Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Tentang Rencana Tata Ruang. Anonim. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999. Tentang Pemerintahan Daerah. Bakosurtanal. 1996. Pedoman Kesesuaian Lahan. BAKOSURTANAL. Cibinong.

www.bakosurtanal.go.id Bappeda Kutai Timur. 2004. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Kutai Timur. Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta Bardach, J. E., J. H. Ryther & W. O. McLarney. 1972. Aquaculture, the Farming

and Husbandry of Freshwater and Marine Organism. John Wiley & Sons Inc., New York, London, Sydney, Toronto.

Barus, B., U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis Sarana

Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Pengindraan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Bengen, D.G. 1999. Penelitian Multidisiplin untuk Mendukung Pengelolaan

Wilayah Pesisir secara Terpadu. Warta Pesisir dan Lautan No. 06 Tahun 1999. Proyek Pesisir-PKSPL. Institut Pertanian Bogor.

Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput Laut

di Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Gugusan P. Pari). Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Beveridge M. C. M. 1996. Cage Aquaculture, Second Edition. Fishing News

Books Ltd., Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria.

Page 113: Tesis Nirmala

116

116

BPS Kutai Timur. 2005. Kabupaten Kutai Timur dalam Angka Tahun 2005. BPS Kabupaten Kutai Timur. Sangatta.

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.

Pradnya Paramita. Jakarta. Budiharsono, S., Suaedi, Asbar. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan

Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Borrough. 1989. Principle of Geographical Information System. John Wiley &

Sons Inc. New York. Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management : Handbook. Lewis Publishers.

New York. Cicin-Sain, B., Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean

Managemant, Concepts and Practise. Island Press. Washington D.C. Chetwynd E.Jr dan Chetwynd JF 2001. A practical Guide to Citizen Participation

in Local Government in Romania, RTI. Dahuri, R., Jacub Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Daniel, M. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Dilengkapi beberapa Alat

Analisa dan Penuntun Penggunaan. Bumi Aksara. Jakarta. De Mers. 1997. Fundamental of Geographical Information System. John Wiley &

Sons Inc. New York. Deptan. 1979. Budidaya Rumput Laut. Balai Informasi Pertanian. Jakarta. Djais, F.H., Ansori Zamawi, Sigit Purnomo. 2002. Modul Sosialisasi dan

Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Edisi tahun 2003. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.

DKP Kutai Timur. 2005. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Dinas Kelautan

Perikanan Kabupaten Kutai Timur. Sangatta. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Fadhlan, M. 2003. Kajian Kesesuaian dan Optimasi Lahan Tambak Udang di

Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fitran, S.L.D. 2005. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kelayakan Finansial

Pengembangan Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir Kecamatan

Page 114: Tesis Nirmala

117

117

Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara. 2001. Kesesuaian Lahan dan

Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kay, R. Jackie Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon.

London. Kajanus, M. 2001. Local Culture as A Strength of Rural Tourism - Expert

Interview Analysis in Finland, Germany and Britain. Working paper presented at Grass Roots Conference, 23-27 October, 2001 in Chipping, Britain. Pohjois-Savo Polytechnic, Rural Education, Kotikyläntie 254, Iisalmi, Finland.

Kusumastanto, T. 1994. An Investment Strategy for The Development of

Brackishwater Shrimp Aquaculture Industry in Indonesia. Ph.D Dissertation in Economics. Auburn University. Auburn, Alabama. USA.

Muhammad, D. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Terpadu dalam Pembangunan Pariwisata Pantai di Kepulauan Derawan Propinsi Kalimantan Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Muir, J. F. & R. J. Roberts. 1985. Recent Advances in Aquaculture. Croom

Helm Ltd., London, Sydney. Nurhakim, S. 2001. Sea Farming sebagai Upaya Peningkatan Produksi melalui

Perlindungan dan Pengkayaan, hal.:10-16. Dalam, A. Sudrajat, E. S. Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo & E. Danakusumah (Eds.). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta.

Paliawaludin, L.O. 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan

Ruang Kawasan Pesisir Teluk Kendari. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model

The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi Universitas Indonesia.

Pillay, T. V. R. 1990. Aquaculture, Principles and Practices. Fishing News

Books, Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria. Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.

Informatika, Bandung. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.

Page 115: Tesis Nirmala

118

118

Poerwowidagdo, S.J. 2003. Prosedur Analisis Sistem. Himpunan Materi Kuliah Program Pasca Sarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rais, J., Budi Sulistiyo, Son Diamar, Tiene Gunawan, Monique Sumampouw,

Tjoek Azis S., Idwan Suhardi, Asep Karsidi, Sigit Widodo. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT, Teknik Membedah kasus Bisnis, Reorientasi

Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rustiadi, E., Sunsun S., Dyah R.P. 2006. Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah, Diktat (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Pustaka

Binaman Pressindo. Jakarta. Salusu, J. 1996. Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan. Modul

Perencanaan Pembangunan. Pusat Studi Kebijaksanaan dan Manajemen Pembangunan-LPPM- Universitas Hasanuddin. Program Diklat Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Dasar (TMPP-D), Kerjasama OTO-BAPPENAS-Depdagri dengan Unhas. Ujung Pandang.

Sandy, I.M. 1986. Geografi Regional Indonesia. Jurusan Geografi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok. Saragih, A. 2004. Analisis Kerusakan Hutan Mangrove dan Upaya Rehabilitasi

Berbasiskan Partisipasi Masyarakat Lokal di Sekitar Muara Sangatta, Kalimantan Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Mulawarman. Samarinda.

Shell, E. W & T. F. Lowell. 1993. The Development of Aquaculture: an

Ecosystem Perspective. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama.

Situmorang, M. 2005, Sumberdaya Minyak dan Gas Bumi (migas) Lepas Pantai

(Bahan Kuliah), Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor

Soebagio. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut

Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Subandar, A. 1999. Potensi Teknik Evaluasi Multi Kriteria dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 1 No. 5, hal 70-80.

Page 116: Tesis Nirmala

119

119

Subandar, A. 2002. Multy Criteria Decision Making Techniques. Himpunan

Materi Kuliah PS-SPL IPB. Tidak diterbitkan. 22 hal. Subandar, A. Lukijanto. A. Sulaiman. 2005. Penentuan Daya Dukung Budidaya

Keramba Jaring Apung. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Sugiarti; D.G. Bengen; R. Dahuri. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang

Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan – Jawa Timur. Jurnal. Pesisir & Lautan, Volume 3, No. 2. 2000. PKSPL-IPB, Bogor.

Sukardi, K. 2007. Pengelolaan Pesisir untuk Pengembangan Perikanan.

Himpunan Bahan Kuliah (Hand Out). PS-SPL IPB. Bogor Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput

laut (Euchema cottoni) pada Kondisi Lingkungan yang berbeda dan Perlakuan Jarak tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tahir, A. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Wilayah

Pesisir di Teluk Balikpapan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tucker Jr., J. W. 1998. Marine Fish Culture. Kluwer Academic Publishers,

Dordrecht The Netherlands. Unmul. 2002. Survei Potensi Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur. Laporan

Penelitian. Universitas Mulawarman (Unmul) dan Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta

Vincentius, Angelinus. 2003. Analisis Kesesuaian Lahan dan Arahan

Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Maumare, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Wibowo, A. 2004. Aplikasi SIG untuk Kesesuaian Lahan Tambak. Modul

Pelatihan. Laboratorium Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam. BPPT. Jakarta.

Widigdo, B. 2006. Metoda/Teknik Penentuan Daya Dukung Wilayah Pesisir.

Materi Kuliah. Tidak Diterbitkan. PS-SPL IPB. Bogor. Zatnika, A. 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan

Penelitian. BPPT. Jakarta.

Page 117: Tesis Nirmala

116

116

Lampiran 1:

Hasil Pengamatan Hidro-osenografi

Lokasi Posisi

Geografis Arus

(cm/dt) Gelombang (cm) Salinitas

(‰) Kecerahan

(%) Suhu

Permukaan (°C) pH

Sedimen Substrat

Terumbu Karang

Biota Laut Maksimal Minimal

Stasiun I 117°54’32”E 0°30’31”N

2,8 86,0 91,0 32 70 28 7 Pasir putih, karang pecah HC Teripang coklat

Stasiun II 117°57’20”E 0°38’15”N

8,3 51,5 33,0 30 50 30 7 Pasir putih, karang pecah HC Bulu babi, bintang

laut biru, teripang

Stasiun III 117°66’30”E 0°57’40”N

1,8 40,0 32,0 30 60 30 8 Pasir putih, karang pecah HC Bulu babi, bintang

laut biru, teripang

Stasiun IV 117°72’22”E 0°60’14”N

7,9 34,5 32,0 35 85-90 29 7 Pasir putih, karang pecah HC Bulu babi, bintang

laut biru

Stasiun V 118°00’30”E 0°75’15”N

1,8 44,0 32,5 30 90 31 8 Pasir putih, karang pecah SC dan HC Bulu babi, bintang

laut biru

Stasiun VI 117°99’20”E 0°95’10”N

3,2 34,5 18,0 30 60 29 8 Pasir putih, karang pecah HC Bulu babi, bintang

laut biru, teripang

Waktu Pengamatan: Hari/Tanggal : Kamis/28 Desember 2006 Waktu : 09.00-selesai Wita

Page 118: Tesis Nirmala

117

117

Lampiran 2: Bobot dan Prioritas Alternatif Kegiatan Perikanan untuk Pengembangan Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Struktur Responden

MEAN P 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Kriteria Tujuan

Ekonomi 0.109

0.320

0.105

0.105

0.528

0.094

0.320

0.105

0.637

0.297

0.105

0.118

0.184

0.211 P3

Penurunan Konflik Sosial 0.309

0.122

0.258

0.637

0.140

0.280

0.122

0.258

0.258

0.163

0.258

0.268

0.230

0.264 P2

Kelestarian SDA dan Lingk 0.582

0.558

0.637

0.258

0.332

0.626

0.558

0.637

0.105

0.540

0.637

0.614

0.459

0.526 P1

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.873

1.000

Sub Kriteria Ekonomi

a. Peningkatan PAD 0.094

0.109

0.105

0.105

0.140

0.118

0.109

0.105

0.637

0.571

0.105

0.105

0.145

0.165 P3

b. Peningk Pendapatan Masy 0.626

0.582

0.637

0.258

0.528

0.268

0.582

0.637

0.258

0.143

0.637

0.637

0.436

0.497 P1

c. Penyerapan TK 0.280

0.309

0.258

0.637

0.332

0.614

0.309

0.258

0.105

0.286

0.258

0.258

0.297

0.338 P2

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.877

1.000

Sub Kriteria Sosial

c. Konflik antar Pelaku 0.792

0.417

0.683

0.683

0.643

0.402

0.556

0.620

0.380

0.560

0.386

0.332

0.518

0.542 P1

d. Konflik antar Ruang 0.208

0.583

0.317

0.317

0.357

0.598

0.444

0.380

0.620

0.440

0.614

0.668

0.437

0.458 P2

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.956

1.000

Sub Kriteria Lingkungan

f. SDA Dapat Pulih 0.240

0.582

0.637

0.637

0.297

0.105

0.582

0.230

0.637

0.594

0.637

0.528

0.420

0.486 P1

g. SDA tidak Pulih 0.373

0.109

0.105

0.258

0.540

0.637

0.109

0.648

0.258

0.157

0.258

0.140

0.241

0.280 P2

h. Jasa-jasa Lingkungan 0.387

0.309

0.258

0.105

0.163

0.258

0.309

0.122

0.105

0.249

0.105

0.332

0.202

0.234 P3

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.864

1.000

Alternatif Kegiatan Bd TAMBAK 0.205 0.120 0.215 0.157 0.092 0.101 0.162 0.103 0.075 0.099 0.104 0.083 0.119 0.122 P3 Bd KARAMBA 0.363 0.341 0.498 0.437 0.510 0.531 0.472 0.279 0.426 0.492 0.458 0.463 0.432 0.442 P1 Bd RUMPUT LAUT 0.432 0.539 0.287 0.406 0.398 0.368 0.366 0.618 0.499 0.409 0.438 0.456 0.427 0.436 P2

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.002

0.979

1.000

Page 119: Tesis Nirmala

118

118

Lampiran 3:

Nilai Produksi Perikanan Budidaya Pantai Menurut Kecamatan, 2005 (Dalam Ribuan)

Kecamatan SEKTOR Total Kecamatan

Perikanan Laut

Perikanan Darat

Tambak Kolam Karamba Kerapu

Rumput Laut

Sangatta 837,600.00

3,801.80

13,500,000.00

25,740,000.00

40,875,000.00

8,400,000.00

89,356,401.80

Bengalon 549,400.00

1,900.90

18,000,000.00 -

-

7,200,000.00

25,751,300.90

Kaliorang 2,375,500.00

-

61,250,000.00 -

-

8,100,000.00

71,725,500.00

Sangkulirang 349,300.00

-

36,750,000.00 -

-

-

37,099,300.00

Sandaran 350,700.00

- - -

-

-

350,700.00

Sektor i Kabupaten 4,462,500.00

5,702.70

129,500,000.00

25,740,000.00

40,875,000.00

23,700,000.00

Total Sektor Kabupaten 224,283,202.70 Sumber: Buku Tahunan Statistik Perikanan Dinas Kelautan Perikanan Kab. Kutai Timur, 2005

Page 120: Tesis Nirmala

119

119

Lampiran 4: Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kutai Timur, 2006

LAPANGAN USAHA 2000 r) 2001 r) 2002 r) 2003 r) 2004 r) 2005 ***)

1. PERTANIAN 287,474.21 303,364.51 580,461.44 568,176.99 601,710.63 675,730.33 a. Tanaman Bahan Makanan 87,224.16 82,009.17 115,539.98 112,135.53 135,885.32 158,815.60 b. Tanaman Perkebunan 24,221.08 27,622.01 62,060.15 83,075.45 92,342.81 102,571.73 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 18,510.14 20,873.38 34,047.20 45,438.12 60,674.31 63,800.38 d. Kehutanan 119,711.13 135,747.29 323,851.19 267,473.58 244,987.49 260,794.94 e. Perikanan 37,807.70 37,112.66 44,962.93 60,054.31 67,820.71 89,747.69

2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 4,735,701.68 6,044,022.90 5,367,507.83 4,769,292.87 8,051,312.20 10,157,143.08 a. Pertambangan Migas (Minyak dan Gas) 245,607.79 253,963.62 278,028.76 303,383.34 346,460.23 395,201.82 b. Pertambangan Non Migas 4,453,253.93 5,747,390.95 5,030,278.84 4,387,383.18 7,604,033.33 9,644,004.97 c. Penggalian 36,839.95 42,668.33 59,200.23 78,526.34 100,818.64 117,936.28

3. INDUSTRI PENGOLAHAN 20,008.60 22,848.06 41,675.34 47,608.46 56,802.07 64,928.43 a. Industri Migas : - - - - - - a.1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - - - a.2. Gas Alam Cair (LNG) - - - - - - b. Industri Non Migas : 20,008.60 22,848.06 41,675.34 47,608.46 56,802.07 64,928.43 b.1. Makanan, Minuman dan Tembakau 14,146.76 17,166.77 38,676.64 47,307.35 56,421.16 64,494.20 b.2. Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit - - - - - - b.3. Kayu, Bambu, Rotan dan Perabot RT 5,683.62 5,465.02 2,732.51 - - - b.4. Kertas dan Barang Cetakan 109.68 133.09 163.81 185.30 234.40 267.22 b.5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet - - - - - - b.6. Semen, Barang Lain Bukan Logam - - - - - - b.7. Logam Dasar Besi dan Baja - - - - - - b.8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatan - - - - - - b.9. Barang Lainnya 68.55 83.18 102.38 115.81 146.50 167.01

4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 3,942.44 5,362.67 9,331.77 13,258.70 15,522.87 19,922.91 a. Listrik 3,634.84 4,943.77 8,598.97 12,187.20 14,679.39 19,153.20 b. Gas - - - - - - c. Air Bersih 307.60 418.91 732.81 1,071.50 843.47 769.71

5. BANGUNAN 35,941.79 170,986.42 356,282.45 315,747.76 331,535.15 356,925.82

6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 203,845.40 253,344.17 285,410.25 276,519.90 387,241.67 472,520.20 a. Perdagangan Besar dan Eceran 196,000.66 242,970.61 270,301.03 252,380.76 359,606.18 440,964.97 b. Hotel 855.03 1,564.65 3,072.69 5,932.35 5,191.09 7,012.28 c. Restoran 6,989.71 8,808.90 12,036.52 18,206.79 22,444.39 24,542.95

7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 101,197.56 138,357.81 160,801.12 167,665.51 193,818.36 291,685.90 a. Pengangkutan : 93,682.78 129,526.93 146,159.43 150,487.16 170,477.66 265,981.93 a.1. Angkutan Rel - - - - - - a.2. Angkutan Jalan Raya 7,746.93 9,464.14 14,424.23 18,673.55 30,581.30 44,361.17 a.3. Angkutan Sungai, Danau & Penyeb. 31,027.45 37,903.16 43,542.35 46,257.57 47,615.13 71,954.98 a.4. Angkutan Laut 45,540.99 69,091.66 73,366.69 70,189.75 74,875.93 122,631.32 a.5. Angkutan Udara - - - - - - a.6. Jasa Penunjang Angkutan 9,367.41 13,067.97 14,826.16 15,366.29 17,405.29 27,034.46 b. Komunikasi : 7,514.79 8,830.88 14,641.69 17,178.35 23,340.70 25,703.96 b.1. Pos dan Telekomunikasi 5,844.07 6,909.10 11,423.63 13,496.14 18,432.01 20,295.55 b.2. Jasa Penunjang Komunikasi 1,670.72 1,921.78 3,218.06 3,682.21 4,908.70 5,408.41

8. KEUANGAN, PERSEWAAN DAN 69,657.75 89,215.30 110,596.41 127,863.25 140,338.43 167,322.95 JASA PERUSAHAAN a. Bank 1,957.97 2,466.41 3,058.00 3,427.00 3,941.05 4,456.86 b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 920.38 1,226.50 1,851.39 3,346.14 4,810.63 5,448.01 c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - - - d. Sewa Bangunan 64,009.30 81,677.68 100,881.14 115,874.10 124,908.60 148,347.75 e. Jasa Perusahaan 2,770.10 3,844.71 4,805.89 5,216.00 6,678.15 9,070.34

9. JASA-JASA 35,813.97 42,219.13 79,110.08 99,374.38 108,736.05 127,052.82 a. Pemerintahan Umum : 28,673.14 33,466.46 67,978.32 86,389.18 93,484.00 109,820.87 a.1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan 28,673.14 33,466.46 67,978.32 86,389.18 93,484.00 109,820.87 a.2. Jasa Pemerintahan Lainnya - - - - - - b. Swasta : 7,140.83 8,752.67 11,131.76 12,985.21 15,252.04 17,231.96 b.1. Jasa Hiburan dan Rekreasi 581.52 658.44 715.76 799.30 878.18 864.01 b.2. Jasa Sosial Kemasyarakatan 1,804.27 2,152.42 2,544.67 3,205.96 3,934.16 4,685.57 b.3. Jasa Perorangan dan Rumahtangga 4,755.04 5,941.81 7,871.33 8,979.95 10,439.70 11,682.37

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 5,493,583.40 7,069,720.96 6,991,176.69 6,385,507.82 9,887,017.42 12,333,232.44

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO @ 5,247,975.61 6,815,757.34 6,713,147.94 6,082,124.48 9,540,557.19 11,938,030.62

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO @@ 794,721.68 1,068,366.39 1,682,869.09 1,694,741.30 1,936,523.86 2,294,025.64

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KU TAI TIMURATAS DASAR HARGA BERLAKU MENURUT LAPANGAN USAHA

TAHUN 2000 - 2005 (Juta Rp)

Page 121: Tesis Nirmala

120

120

Lampiran 5: Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kutai Timur, 2006

LAPANGAN USAHA 2000 r) 2001 r) 2002 r) 2003 r) 2004 r) 2005 **)

1. PERTANIAN 5.23 4.29 8.30 8.90 6.09 5.48 a. Tanaman Bahan Makanan 1.59 1.16 1.65 1.76 1.37 1.29 b. Tanaman Perkebunan 0.44 0.39 0.89 1.30 0.93 0.83 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.34 0.30 0.49 0.71 0.61 0.52 d. Kehutanan 2.18 1.92 4.63 4.19 2.48 2.11 e. Perikanan 0.69 0.52 0.64 0.94 0.69 0.73

2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 86.20 85.49 76.78 74.69 81.43 82.36 a. Pertambangan Migas (Minyak dan Gas) 4.47 3.59 3.98 4.75 3.50 3.20 b. Pertambangan Non Migas 81.06 81.30 71.95 68.71 76.91 78.20 c. Penggalian 0.67 0.60 0.85 1.23 1.02 0.96

3. INDUSTRI PENGOLAHAN 0.36 0.32 0.60 0.75 0.57 0.53 a. Industri Migas : - - - - - - a.1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - - - a.2. Gas Alam Cair (LNG) - - - - - - b. Industri Non Migas : 0.36 0.32 0.60 0.75 0.57 0.53 b.1. Makanan, Minuman dan Tembakau 0.26 0.24 0.55 0.74 0.57 0.52 b.2. Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit - - - - - - b.3. Kayu, Bambu, Rotan dan Perabot RT 0.10 0.08 0.04 - - - b.4. Kertas dan Barang Cetakan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b.5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet - - - - - - b.6. Semen, Barang Lain Bukan Logam - - - - - - b.7. Logam Dasar Besi dan Baja - - - - - - b.8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatan - - - - - - b.9. Barang Lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 0.07 0.08 0.13 0.21 0.16 0.16 a. Listrik 0.07 0.07 0.12 0.19 0.15 0.16 b. Gas - - - - - - c. Air Bersih 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01

5. BANGUNAN 0.65 2.42 5.10 4.94 3.35 2.89

6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 3.71 3.58 4.08 4.33 3.92 3.83 a. Perdagangan Besar dan Eceran 3.57 3.44 3.87 3.95 3.64 3.58 b. Hotel 0.02 0.02 0.04 0.09 0.05 0.06 c. Restoran 0.13 0.12 0.17 0.29 0.23 0.20

7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 1.84 1.96 2.30 2.63 1.96 2.37 a. Pengangkutan : 1.71 1.83 2.09 2.36 1.72 2.16 a.1. Angkutan Rel - - - - - - a.2. Angkutan Jalan Raya 0.14 0.13 0.21 0.29 0.31 0.36 a.3. Angkutan Sungai, Danau & Penyeb. 0.56 0.54 0.62 0.72 0.48 0.58 a.4. Angkutan Laut 0.83 0.98 1.05 1.10 0.76 0.99 a.5. Angkutan Udara - - - - - - a.6. Jasa Penunjang Angkutan 0.17 0.18 0.21 0.24 0.18 0.22 b. Komunikasi : 0.14 0.12 0.21 0.27 0.24 0.21 b.1. Pos dan Telekomunikasi 0.11 0.10 0.16 0.21 0.19 0.16 b.2. Jasa Penunjang Komunikasi 0.03 0.03 0.05 0.06 0.05 0.04

8. KEUANGAN, PERSEWAAN DAN 1.27 1.26 1.58 2.00 1.42 1.36 JASA PERUSAHAAN a. Bank 0.04 0.03 0.04 0.05 0.04 0.04 b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 0.02 0.02 0.03 0.05 0.05 0.04 c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - - - d. Sewa Bangunan 1.17 1.16 1.44 1.81 1.26 1.20 e. Jasa Perusahaan 0.05 0.05 0.07 0.08 0.07 0.07

9. JASA-JASA 0.65 0.60 1.13 1.56 1.10 1.03 a. Pemerintahan Umum : 0.52 0.47 0.97 1.35 0.95 0.89 a.1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan 0.52 0.47 0.97 1.35 0.95 0.89 a.2. Jasa Pemerintahan Lainnya - - - - - - b. Swasta : 0.13 0.12 0.16 0.20 0.15 0.14 b.1. Jasa Hiburan dan Rekreasi 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 b.2. Jasa Sosial Kemasyarakatan 0.03 0.03 0.04 0.05 0.04 0.04 b.3. Jasa Perorangan dan Rumahtangga 0.09 0.08 0.11 0.14 0.11 0.09

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

DISTRIBUSI PERSENTASE PDRB KABUPATEN KUTAI TIMURATAS DASAR HARGA BERLAKU MENURUT LAPANGAN USAHA

TAHUN 2000 - 2005 (%)

Page 122: Tesis Nirmala

121

121

Lampiran 6: Rincian Anggaran Biaya Budidaya Tambak Udang Tradisional Plus

(Rp/Ha/Musim)

NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL

A. Biaya

1 Investasi a. Pencetakan Tambak M² 10.000 2.500 25.000.000 b. Pembuatan Pintu air unit 1 2.000.000 2.000.000

c. Saluran Irigasi Sekunder m² 100 15.000 1.500.000

d. Bangunan Jaga unit 1 3.000.000 3.000.000

SUB TOTAL 31.500.000

2 Biaya Tetap/Peralatan

a. Pompa Air unit 1 2.000.000 2.000.000

b. Peralatan Tebar Benur unit 2 100.000 200.000

c. Anco unit 2 50.000 100.000

d. Peralatan Panen unit 1 200.000 200.000

e. Timbangan unit 1 350.000 350.000

SUB TOTAL 2.850.000

3 Biaya Variabel/modal kerja

a. Benih ekor 30.000 50 1.500.000

b. Pakan kg 3.000 1.000 3.000.000

c. Pupuk kg 200 2.500 500.000

d. Saponin kg 100 5.000 500.000

e. Kapur kg 500 1.000 500.000

f. Tenaga Kerja HKO 180 15.000 2.700.000

g. Bahan Bakar lt 125 4.000 500.000

h. Ongkos Panen hari 1 500.000 500.000

SUB TOTAL 9.700.000

B. Manfaat

Penjualan Hasil Panen kg 300 75.000 22.500.000

Pinjaman bank = Rp 30.000.000, dengan bunga 24 % per tahun, selama 3 tahun

Periode panen tiap 6 bulan (2 musim per tahun)

Page 123: Tesis Nirmala

122

122

Lampiran 7: Cash Flow Analisis Usaha Tambak Udang Tradisional Plus

di Pesisir Kab. Kutai Timur (Rp/ha/th) Komponen Tahun ke… 0 1 2 3 4 5 1. INVESTASI a. Pencetakan Tambak 25.000.000 b. Pembuatan Pintu air 2.000.000 c. Saluran Irigasi Sekunder 1.500.000 d. Bangunan Jaga 3.000.000

SUB TOTAL 31.500.000 2. BIAYA TETAP/PERALATAN a. Pompa Air 2.000.000 2.000.000 b. Peralatan Tebar Benur 200.000 200.000 c. Anco 100.000 100.000 d. Peralatan Panen 200.000 200.000 e. Timbangan 350.000 350.000

SUB TOTAL 2.850.000 2.850.000 Penyusutan (5%) 142.500 142.500,00 142.500,00 142.500,00 142.500,00 142.500,00

3. BIAYA VARIABEL a. Benih 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 b. Pakan 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 c. Pupuk 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 d. Saponin 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 e. Kapur 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 f. Tenaga Kerja 5.400.000 5.400.000 5.400.000 5.400.000 5.400.000 g. Bahan Bakar 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 h. Ongkos Panen 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000

SUB TOTAL 19.400.000 19.400.000 19.400.000 19.400.000 19.400.000 Lain-lain (5%) 970.000 970.000 970.000 970.000 970.000 Angsuran bank 12.400.000 12.400.000 12.400.000

TOTAL BIAYA

34.492.500,00

32.912.500,00

32.912.500,00

35.762.500,00

20.512.500,00

20.512.500,00 4. PENERIMAAN

a. Pinjaman Bank

30.000.000,00 b. Penjualan Hasil Panen

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00

TOTAL PENERIMAAN 45.000.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000

NET BENEFIT (π) (34.492.500) 12.087.500 12.087.500 9.237.500 24.487.500 24.487.500 DF (12%) 1,00 0,89 0,80 0,71 0,64 0,57 R/C - 1,37 1,37 1,26 2,19 2,19 PV (34.492.500) 10.792.411 9.636.081 6.575.070 15.562.249 13.894.865

NPV

21.968.175,82 B/C 1,64 PBP 3,94

Page 124: Tesis Nirmala

123

123

Lampiran 8:

RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii

LONG LINE (Rp/unit/musim) NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL

A. Biaya

1 Investasi

a. Perahu unit 1 12.000.000 12.000.000

2 Biaya Tetap/Peralatan

a. Tali biang 10 mm kg 20 20.000 400.000

b. Tali ris 7 mm kg 20 20.000 400.000

c. Jerigen piece 40 15.000 600.000

d. Para-para penjemuran unit 4 100.000 400.000

e. Tali rafia kg 100 3.000 300.000

f. Botol aqua piece 160 500 80.000

g. Timbangan unit 1 150.000 150.000

h. Jangkar/kayu patok unit 100 3.000 300.000

SUB TOTAL 2.630.000

3 Biaya Variabel/modal kerja

a. Benih kg 1.920 2.000 3.840.000

b. Upah pengikatan benih HOK 8 60.000 480.000

c. Upah pemanenan HOK 8 60.000 480.000

d. Upah pengeringan HOK 12 15.000 180.000

SUB TOTAL 4.980.000

B. Manfaat

Penjualan Hasil Panen Kering kg 2.375 4.000 9.500.000

1 unit = 2400 m² Pinjaman bank = Rp 10.000.000. dengan bunga 24% per tahun. selama 3 tahun Periode panen tiap 3 bulan (4 musim per tahun)

Page 125: Tesis Nirmala

124

124

Lampiran 9: Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut Long Line (2400 m²)

di Pesisir Kab.Kutai Timur (Rp/unit/th ) Komponen Tahun ke… 0 1 2 3 4 5 1. INVESTASI a. Perahu 12.000.000

SUB TOTAL 12.000.000 2. BIAYA TETAP/PERALATAN a. Tali biang 10 mm 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 b. Tali ris 7 mm 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 c. Jerigen 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 d. Para-para penjemuran 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 e. Tali rafia 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 f. Botol aqua 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 g. Timbangan 150.000 150.000 h. Jangkar/patok kayu 300.000 300.000

SUB TOTAL 2.630.000 2.180.000 2.180.000 2.630.000 2.180.000 2.180.000 Penyusutan (5%) 131.500 109.000 109.000 131.500 109.000 109.000

3. BIAYA VARIABEL a. Benih 15.360.000 15.360.000 15.360.000 15.360.000 15.360.000 b. Upah pengikatan benih 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 c. Upah pemanenan 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 d. Upah pengeringan 720.000 720.000 720.000 720.000 720.000

SUB TOTAL 19.920.000 19.920.000 19.920.000 19.920.000 19.920.000 Lain-lain (5%) 996.000 996.000 996.000 996.000 996.000 Angsuran bank 4.133.333 4.133.333 4.133.333

TOTAL BIAYA 14.761.500 27.338.333 27.338.333

27.810.833

23.205.000

23.205.000 4. PENERIMAAN a. Pinjaman Bank 10.000.000

b. Penjualan Hasil Panen 38.000.000 38.000.000

38.000.000

38.000.000

38.000.000

TOTAL PENERIMAAN 38.000.000 38.000.000

38.000.000

38.000.000

38.000.000

NET BENEFIT (π)

(14.761.500) 10.661.667 10.661.667

10.189.167

14.795.000

14.795.000 DF (12%) 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 R/C - 1.39 1.39 1.37 1.64 1.64 PV (14.761.500) 9.519.345 8.499.415 7.252.448 9.402.490 8.395.080 NPV 28.307.279 B/C 2.92 PBP 3.78

Page 126: Tesis Nirmala

125

125

Lampiran 10:

RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA KERAPU TIKUS DALAM KARAMBA JARING TANCAP (Rp/unit/musim)

NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL

A. Biaya

1 Investasi

a. Rakit Karamba unit 1 25.000.000 25.000.000

b. Rumah jaga unit 1 5.000.000 5.000.000

c. Perahu unit 1 12.000.000 12.000.000

d. Tabung oksigen unit 1 4.000.000

4.000.000

SUB TOTAL 46.000.000

2 Biaya Tetap/Peralatan

a. Jaring m 4 1.000.000 4.000.000

b. Peralatan Tebar Benih unit 1 100.000

100.000

c. Peralatan Panen unit 1 200.000 200.000

d. Timbangan unit 1 350.000 350.000

SUB TOTAL 4.650.000

3 Biaya Variabel/modal kerja

a. benih kerapu ekor

1.200 8.000 9.600.000

b. pakan ikan rucah kg

4.800 5.000 24.000.000

c. Obat-obatan unit

1 500.000 500.000

d. Upah pemeliharaan HOK

240 20.000 4.800.000

SUB TOTAL 38.900.000

B. Manfaat

Penjualan Hasil Panen kg 420 230.000

96.600.000

1 unit = 144 m² (4 lubang) Pinjaman bank = Rp 50.000.000. dengan bunga 24% per tahun. selama 5 tahun Periode panen tiap 15 bulan (0.8 musim per tahun)

Page 127: Tesis Nirmala

126

126

Lampiran 11: Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Kerapu Tikus dalam Karamba Tancap (144 m²)

di Pesisir Kabupaten Kutai Timur Komponen Tahun ke… 0 1 2 3 4 5 1. INVESTASI a. Rakit Karamba 25.000.000.00 b. Rumah jaga 5.000.000.00 c. Perahu 12.000.000.00 d. Tabung oksigen 4.000.000.00

SUB TOTAL 46.000.000.00

2. BIAYA TETAP a. Jaring 4.000.000.00 4.000.000.00 b. Peralatan Tebar Benih 100.000.00 100.000.00

c. Peralatan Panen 200.000.00 200.000.00 d. Timbangan 350.000.00 350.000.00

SUB TOTAL 4.650.000.00 4.650.000.00

Penyusutan (5%) 232.500 232.500 232.500 232.500 232.500 232.500

3. BIAYA VARIABEL

a. benih kerapu 7.680.000 7.680.000 7.680.000 7.680.000 7.680.000 b. pakan ikan rucah 19.200.000 19.200.000 19.200.000 19.200.000 19.200.000 c. Obat-obatan 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 d. Upah pemeliharaan 3.840.000 3.840.000 3.840.000 3.840.000 3.840.000

SUB TOTAL 31.120.000 31.120.000 31.120.000 31.120.000 31.120.000

Lain-lain (5%) 1.556.000 1.556.000 1.556.000 1.556.000 1.556.000

Angsuran bank 12.400.000 12.400.000 12.400.000 12.400.000 12.400.000

TOTAL BIAYA 50.882.500 45.308.500 45.308.500 49.958.500 45.308.500 45.308.500

4. PENERIMAAN 1. Pinjaman Bank 50.000.000 2. Ikan kerapu 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000

TOTAL PENERIMAAN 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000

NET BENEFIT (π) (50.882.500) 31.971.500 31.971.500 27.321.500 31.971.500 31.971.500

DF (12%) 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57

R/C - 1.71 1.71 1.55 1.71 1.71

PV

(50.882.500.00)

28.545.982.14

25.487.484.06

19.446.904.04

20.318.466.24

18.141.487.72

NPV

61.057.824.20

B/C 2.20

PBP 3.65

Page 128: Tesis Nirmala

127

127

Lampiran 12:

Rincian Perhitungan Luas Efektif Lahan di Daratan dan di Perairan Pesisir

Kabupaten Kutai Timur

� Luas wilayah penelitian di darat: 27.100,34282153 ha (100 %)

� Luas wilayah penelitian di perairan: 27.502,75232874 ha (100 %)

Pola pemanfataan di darat (berdasarkan rencana pola pemanfaatan ruang RTRW Kab.

Kutai Timur tahun 2004)

o Hutan lindung mangrove: 22.008 ha (81.21 %)

o Wisata pantai: 184 ha (0.68 %)

o Pemukiman: 227 ha (0.84 %)

o Pertambangan: 600 ha (2.21 %)

o Dermaga pelabuhan. dan lain-lain: 168 ha (0.62 %) + 23.187 ha (85.56%)

Luas Efektif Budidaya Tambak: 27.100,34 ha – 23.187 ha = 3.913,34 ha (14.44 %)

Pola pemanfatan di perairan (berdasarkan asumsi-asumsi)

o Area perikanan tangkap (unit kapal ikan: 2.223 unit): 11.115 ha (40.41 %)

o Alur transportasi penumpang dan barang: 2.000 ha (7.27 %)

o Wisata bahari (luas terumbu karang): 1.280 ha (4.65 %)

o Kawasan konservasi: 5.500 ha (20 %)

o Kawasan penyangga: 2.750 ha (10 %)

o Kawasan pelabuhan: 200 ha (0.73 %)

o Ruang operasional budidaya: 1.000 ha (3.64 %) + 23.845 ha (86.70%)

Luas untuk budidaya karamba dan rumput laut = 27.502.75 ha – 23.845 ha

= 3.657.75 ha (13.30 %)

Luas Efektif untuk budidaya karamba tancap dan rumput laut masing-masing adalah

Luas Efektif Karamba Tancap = 11.24 % x 3.657.75 ha = 411.13 ha

Luas Efektif Rumput Laut = 88.76 % x 3.657.75 ha = 3.246.62 ha

Prosentase luas efektif untuk budidaya karamba tancap dan rumput laut diperoleh dari

luas kesesuaian lahan yang diperoleh dari analisis pada peta komposit, sebagai berikut:

Total Potensi karamba dan rumput laut = 10.714.48 ha

Potensi Karamba = 1.204.77 ha (11.24 % dari Total Potensi)

Potensi Rumput laut = 9.509.71 ha (88.76 % dari Total Potensi)

Page 129: Tesis Nirmala

128

128

Lampiran 13: KUISIONER SWOT

FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA TAMBAK FOKUS

PENGAMATAN KEKUATAN (STRENGTH)

KELEMAHAN (WEAKNESS)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

FAKTOR EKSTERNAL BUDIDAYA TAMBAK

FOKUS PENGAMATAN

PELUANG (OPPORTUNITY)

ANCAMAN (THREAT)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

Page 130: Tesis Nirmala

129

129

FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA KARAMBA PEN CAGE FOKUS

PENGAMATAN KEKUATAN (STRENGTH)

KELEMAHAN (WEAKNESS)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

FAKTOR EKSTERNAL KARAMBA PEN CAGE

FOKUS PENGAMATAN

PELUANG (OPPORTUNITY)

ANCAMAN (THREAT)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

Page 131: Tesis Nirmala

130

130

FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA RUMPUT LAUT FOKUS

PENGAMATAN KEKUATAN (STRENGTH)

KELEMAHAN (WEAKNESS)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

FAKTOR EKSTERNAL BUDIDAYA RUMPUT LAUT

FOKUS PENGAMATAN

PELUANG (OPPORTUNITY)

ANCAMAN (THREAT)

Sumberdaya alam/ Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia (sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan

Sarana Prasarana/Investasi

Pemasaran

Kebijakan Pemerintah

Rencana Tata Ruang

Page 132: Tesis Nirmala

131

131

Lampiran 14:

KUISIONER DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal :………………… Profil lembaga Nama Lembaga :……………………………………………………………………………………. Nama Pimpinan : 1.………………………………………………………………………………… 2..…..…………………………………………………………………………… Alamat : …..…….……………………………………………………………………… ...............….…….……….……………………………………………………. Telephone : .…………………………….. Facsimile : ..........……………………… E-mail :.…………………………………………………………………………………… Tanggal berdiri :.....………………………………………………………………………………. No. Akta (bila ada): ……………………………..…………………………………………………. Struktur Organisasi: � Ada (terlampir) � Tidak ada

Jenis organisasi : � Yayasan � Ormas � Orpol � Asosiasi � CBO � Koperasi � …………………………………………………………………………….

Tipe kegiatan : � Penelitian � Advokasi � Info-com � Pendanaan � Pendidikan & lat. � B. Kemanusiaan � …………………………………………………………………………... � ……………………………………………………………………………

Bidang kegiatan : � Pertanian � Sosial � Kebudayaan � Perburuhan � Lingkungan hidup � Ibu & anak � Ek. Masyarakat � Gizi & makanan � Industri � Tek. Tepat guna � Masy. Adat � Gender � Industri kecil � Hak asasi manusi � Ketrampilan � ……………………………………………………………………………….. � ……………………………………………………………………………….. � …………………………………………………………………………………

Wilayah Kegiatan: � Desa/Kel. � Kab. Kota. � Propinsi � Nasional � Internasional

Sumber Dana: � Modal sendiri � Iuran anggota � Pemerintah � Donor Dlm. Neg. � Donor LN � Usaha sendiri � ……………………………………………………………………….. � ………………………………………………………………………..

Page 133: Tesis Nirmala

132

132

Mitra Kerja : Instansi Pemerintah No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan Masyarakat No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan

pembangunan? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat. � sering � pernah � tidak pernah Penjelasan rinci: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

3. Jika Anda pernah terlibat. dimana tingkat keterlibatannya: � Kelurahan � Kab./kota � Propinsi � Nasional Penjelasan rinci: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan � konsultasi � persetujuan � pelaksanaan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Page 134: Tesis Nirmala

133

133

5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam pelaksanaan proyek/program? � memfasilitasi � melatih � mendampingi � mengawasi � mengevaluasi � ……………………… � ………………………………………… � …………………………………………… Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini � sudah baik � cukup baik � tidak baik Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

3. Pendapat tentang peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan: � sudah baik � cukup baik � tidak baik Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog pembangunan � perlu � tidak perlu � tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

6. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah � forum dialog NGS & GS � forum NGS saja � tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

7. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan � pemda � NGS . � tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Page 135: Tesis Nirmala

134

134

Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh

stakeholders (pelaku pembangunan) dalam kehidupannya � ekosistem mangrove � ekosistem pantai � ekosistem estuaria � ekosistem terumbu karang � ekosistem lamun � …………….. Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini dalam mendukung kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya � baik � kurang mendukung � tidak mendukung Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut ………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………….

4. Apakah konservasi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan

dalam perencanaan pembangunan selama ini � sering � pernah � tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan

pembangunan pesisir � perlu � tidak perlu � tidak tahu Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Terima kasih

Page 136: Tesis Nirmala

135

135

Lampiran 15:

KUISIONER DATA GOVERMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal : ………………………… Profil lembaga Nama Dinas/Inst.: ………………………………………………………………………………… Nama Pimpinan: 1. .……………………………………………………………………………… 2. .……………………………………………………………………………… Alamat : ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… Telephone : .…………………………….. Facsimile : ……………………………… E-mail : .……………………………………………………………………………… Struktur Organisasi : � Ada (terlampir) � Tidak ada

Tipe kegiatan : .……………………………………………………………………………… Mitra Kerja : Instansi Pemerintah No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan Masyarakat No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan

Page 137: Tesis Nirmala

136

136

Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang benar menurut

Anda apabila masyarakat � mengetahui � ikut dalam setiap proses � ada sosialisasi � ikut memilih dan menetapkan � …………………………………… Penjelasan: ……………………................................................................................................. …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama masyarakat. � sering � pernah � tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

3. Batas keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan � konsultasi � persetujuan � pelaksanaan Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan dinas/instansi dalam pelaksanaan proyek/program? � memfasilitasi � melatih � mendampingi � memobilisasi � mengawasi � mengevaluasi � ………………………………………… � …………………………………………… Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Perencanaan Yang Partisipatif 1. Pendapat mengenai mekanisme partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini � sudah baik � cukup baik � tidak baik Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama masyarakat? � ada � tidak ada Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Page 138: Tesis Nirmala

137

137

3 Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

4. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog

pembangunan � perlu � tidak perlu � tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

5. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah: � forum dialog NGS & GS � forum NGS saja � tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

6. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan � pemda � NGS � tidak tahu Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang terkait pengelolaannya dengan

stakeholders (pelaku pembangunan) � ekosistem mangrove � ekosistem pantai � ekosistem estuaria � ekosistem terumbu karang � ekosistem lamun � …………….. Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung masyarakat di sekitarnya � baik � kurang mendukung � tidak mendukung Alasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut ………………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………………………….

Page 139: Tesis Nirmala

138

138

4. Apakah konservasi sumberdaya pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan selama ini � sering � pernah � tidak pernah Penjelasan: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan

pembangunan pesisir � perlu � tidak perlu � tidak tahu mengapa: …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………

Terima kasih

Page 140: Tesis Nirmala

139

139

Lampiran 16: KUISIONER PROSES HIERARKI ANALISIS (PHA)

1. Kuisioner perbandingan antar kriteria:

Tujuan

Tujuan

Peningkatan Ekonomi

Penurunan Konflik Sosial

Kelestarian SDA dan

Lingkungan

Peningkatan Ekonomi 1

Penurunan Konflik 1

Kelestarian SDA dan Lingkungan

1

2. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Peningkatan Ekonomi

Sub Kriteria

Sub Kriter ia

Peningkatan PAD

Peningkatan kesejahteraan

Penyerapan TK dan kesempatan berusaha

Peningkatan PAD 1

Peningkatan Pendapatan Masyarakat

1

Penyerapan TK dan kesempatan berusaha

1

3. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Penurunan Konflik Sosial

Sub Kriteria Sub Kriter ia

Konflik antar Pelaku Konflik antar Ruang Konflik antar Pelaku 1 Konflik antar Ruang 1

4. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Kelestarian SDA dan

Lingkungan

Sub Kriteria

Sub Kriter ia

Renewable resources

Unrenewable resources

Jasling laut

Renewable resources 1

Unrenewableresources 1

Jasling laut 1

Page 141: Tesis Nirmala

140

140

5. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Peningkatan PAD

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

6. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Peningkatan Pendapatan Masyarakat

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

7. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Perluasan

Kesempatan Kerja dan Kesempatan Berusaha

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

8. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Penurunan

Konflik antar Pelaku

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

Page 142: Tesis Nirmala

141

141

9. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Penurunan Konflik antar Ruang

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

10. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan

SDA dapat pulih (renewable resources)

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

11. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan

SDA Tidak Pulih (unrenewable resources)

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

12. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan

Jasa-jasa Lingkungan

Alternatif Kegiatan Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut

Bd Tambak 1

Bd Karamba 1

Bd Rumput Laut 1

Page 143: Tesis Nirmala

142

142

Lampiran 17: PETA-PETA TEMATIK

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

## ####

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

0 10 Kilometers

N INZET LOKASI PENELITIAN

PULAU KALIMANTAN

Sumber Peta:1. Peta RBI Bakosurtanal 1992 skala 1:250.0002. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37, 1992, skala 1:200.00003. Peta Sumberdaya Laut Kaltim LIPI, 2001, skala 1:1.000.000

LEGENDA:BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirangPermukiman

# Kota

SungaiPola Arus

PETA TEMATIK ARUS KAB. KUTAI TIMUR

Kab. Berau

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

## ####

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mang

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirangKab. Berau

LEGENDA:Sumber Peta:1. Peta RBI Bakosurtanal 1992 skala 1:250.0002. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37, 1992, skala 1:200.00002. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim 2005, skala 1:50.000

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIANN

0 10 Kilometers# Kota

SungaiGaris_pantai

kedalaman

PETA TEMATIK BATHYMETRI KAB. KUTAI TIMUR

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

<2 atau >40m2-<3 atau >15-40 m3-15 m

Page 144: Tesis Nirmala

143

143

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbual

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mang k

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirang

LEGENDA:

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK SALINITAS KAB. KUTAI TIMUR

N

0 10 Kilometers

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

Sumber Peta:1. Peta RBI Bakosurtanal 1992 skala 1:250.0002. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37, 1992, skala 1:200.00002. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim 2005, skala 1:50.000

Salinitas< 30>30 -- 31>31 -- 32>32 -- 33>33 -- 34>34 -- 35Kab. Berau

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

## ####

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekerat

BualbualBualbual

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkaliha

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

Sekerat

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirang

LEGENDA:Sumber Peta:

1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37, 1992, skala 1:200.0000

2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992 skala 1:250.000

3. Survey Lapangan

PETA TEMATIK KETERLINDUNGAN PERAIRAN KAB. KUTAI TIM UR

N

0 10 Kilometers

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

# KotaSungaiGaris_pantai

Keterlindungansangat terlindungterbukaterlindung

INZET LOKASI PENELITIAN

PULAU KALIMANTANKab. Berau

Page 145: Tesis Nirmala

144

144

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

## ####

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirangKab. Berau

LEGENDA:

Sumber Peta:1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.00002. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim

2005, skala 1:50.000

PETA TEMATIK KECERAHAN PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

N

0 10 Kilometers

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

Kecerahan100%90%85%70%60%

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mang

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirang

LEGENDA:

Sumber Peta:1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.00002. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim

2005, skala 1:50.000

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK DISSOLVED OKSIGEN KAB. KUTAI TIMUR

N

0 10 Kilometers

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

# KotaSungaiGaris_pantai

DISSOLVED OKSIGEN< 44 -- 4,5>4,5 -- 5>5 -- 5,5

Kab. Berau

Page 146: Tesis Nirmala

145

145

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

0 10 Kilometers

N

PETA TEMATIK TERUMBU KARANG KAB. KUTAI TIMUR

Sumber Peta:1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.00002. Peta RBI Bakosurtanal, 1992

skala 1:250.0003. Survey Lapangan

LEGENDA:BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirang

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekerat

BualbualBualbual

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

# KotaSungaiGaris_pantai

Terumbu Karang

Kab. Berau

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

Kaliorang

Susuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0°0

0'

0°00'

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

1°1

5'

1°15'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

0

0

1

1

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

# KotaSungaiGaris_pantai0 10 Kilometers

N

PETA TEMATIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN KAB. KUTAI TIM UR

Sumber Peta:1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.00002. Peta RBI Bakosurtanal, 1992

skala 1:250.0003. Survey Lapangan4. Olah Data Citra

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirang

Substrat_Dasar_Perairanlumpurpasir karangpasir lumpur

LEGENDA:

Kab. Berau

Page 147: Tesis Nirmala

146

146

BengalonKaliorangSandaranSangattaSangkulirangKab. Berau

LEGENDA:Sumber Peta:

1. Peta RBI Bakosurtanal 1992 skala 1:250.0000

2. Peta Jenis Tanah Puslitanag 2001, skala 1:250.000

PULAU KALIMANTAN

INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK CURAH HUJAN KAB. KUTAI TIMUR

Curah_hujan1600 - 21001600 - 27001600 - 39001600 - 41001600 - 42001600 - 44001800 - 42001800 - 4400

0 10 Kilometers

N

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangk

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

#

#

#

#

#

##

#

#

####

####

##

######

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan

Tl.Kabak

Tl.LombokTg.Sangatta

Tg.Bara

MuarabengalonMuarabengalon

P.BirahbirahanP.Miang Besar

P.Miang KecilLabuhankelambuSekeratSekerat

BualbualBualbualKaliorang

KaliorangSusuk LuarSusuk Luar

TanjungmanisTanjungmanis Susuk DalamSusuk DalamMaloyMaloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalih a

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0°1

5'

0°15'

0°3

0'

0°30'

0°4

5'

0°45'

1°0

0'

1°00'

117°30'

117°30'

117°45'

117°45'

118°00'

118°00'

118°15'

118°15'

118°30'

118°30'

118°45'

118°45'

119°00'

119°00'118

118

119

119

1

1

N

0 10 Kilometers

PETA TEMATIK JENIS TANAH KAB. KUTAI TIMUR

INZET LOKASI PENELITIAN

PULAU KALIMANTAN

Sumber Peta:1. Peta RBI Bakosurtanal 1992

skala 1:250.00002. Peta Jenis Tanah Puslitanag

2001, skala 1:250.000

LEGENDA:

SangkulirangSangattaSandaranKaliorangBengalon

FluvaquentHydraquentRendollsTropaqueptTropotolisTropudults

DystropeptJenis Tanah:

Page 148: Tesis Nirmala

147

147

Lampiran 18: Dokumentasi

Mangrove di lokasi tambak Sangkulirang

Vegetasi cemara laut

Mangrove di Sangkimah

Pantai di lokasi tambak Bengalon

Ekosistem Lamun

Ekosistem pasir putih

Bagan penangkapan ikan

TPI di Muara S. Kenyamukan

Page 149: Tesis Nirmala

148

148

Vegetasi kelapa di Teluk Lombok

Karamba di Tanjung Bara

Kondisi Tambak Bengalon

Mangrove Teluk Lombok

Bulu babi

Karamba apung dengan drum

Karamba tancap di Teluk Lombok

Rumput Laut