terapi transfusi darah isi agus bhakti
DESCRIPTION
Terapi Transfusi Darah Isi Agus BhaktiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Transfusi darah sering dilakukan
baik dalam bidang pembedahan maupun non pembedahan. Dalam bidang
pembedahan, tindakan transfusi bisa dilakukan pada periode prabedah, pada saat
pembedahan, dan pasca bedah. Pada kasus non bedah pemberian transfusi darah
dapat dilakukan setiap saat tergantung indikasi. Penggunaan darah untuk transfusi
harus selalu dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan memberikan
komponen darah yang diperlukan.1,2
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup. Dalam keadaan
fisiologi darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan
fungsinya sebagai pembawa oksigen, mekanisme pertahanan tubuh terhadap
infeksi, dan mekanisme hemostasis. Darah terdiri dari dua komponen yaitu plasma
darah dan butir-butir darah. Seiring berkembangnya kemajuan teknologi yang
semakin pesat memberikan kemudahan dalam memberikan transfusi yang sesuai
dengan defisit komponen yang dialami pasien. Beberapa jenis transfusi yang dapat
dilakukan yaitu : darah lengkap (whole blood), sel darah merah (packed red cell),
sediaan trombosit (platelet concentrates), transfusi faktor hemolitik
(cryoprecipitate), transfusi plasma segar beku (fresh frozen plasma), dan transfusi
plasma.3
Data pembanding berikut berasal dari India, didapat dari 1.585 bank darah
yang telah mendapat lisensi, 45% adalah milik pemerintah dan 23% milik swasta.
Struktur manajemennya berbeda dan tidak ada koordinasi yang efektif. Sebagian
besar bank darah tersebut mengumpulkan kurang dari 1.000 kantong darah tiap
tahun. Data menunjukkan bahwa 74% transfusi pada pasien dewasa adalah tidak
tepat.4
WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi
dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang
aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya
20% memakai darah donor yang aman.4 Transfusi harus dilakukan dengan
1
indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang lebih besar
dibandingkan resiko yang mungkin terjadi. Berdasarkan permasalahan tersebut
maka dalam referat ini akan dibahas mengenai proses terbentuknya darah, jenis
transfusi dan penggunaannya, serta komplikasi yang dapat terjadi akibat transfusi
darah.1,2,3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari donor ke sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.
Berdasarkan sumber darah atau komponen darah, transfusi darah dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:5,6
- Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan
darah dari orang lain.
- Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah
resipien itu sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.
2.2 Komponen Darah
Normalnya, 7-8% dari berat tubuh manusia adalah darah. Darah
mempunyai fungsi mengangkut oksigen dan nutrisi ke seluruh sel tubuh kita dan
membersihkan tubuh dari karbondioksida, amonia, dan produk sisa lainnya. Selain
itu darah mempunyai peranan penting dalam sistem imun kita dan
mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan. Darah adalah jaringan
terspesialisasi yang terdiri dari berbagai macam komponen. Empat komponen
darah yang penting yaitu sel darah merah, sel darah putih, trombosit, dan plasma.
Setiap manusia memproduksi komponen darah ini dan tidak ada perbedaan secara
populasi maupun regional.7
2.2.1 Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit adalah sel mikroskopik yang cukup besar
tanpa nukleus. Belakangan ini diketahui bahwa sel darah merah serupa
dengan sel prokariotik primitif dari bakteri. Sel darah merah normalnya
menempati 40-50% dari total volume darah. Sel tersebut membawa oksigen
dari paru-paru ke seluruh jaringan hidup di tubuh dan membuang zat
karbondioksida. Sel darah merah diproduksi secara terus menerus di
sumsum tulang manusia dari stem cell dengan kecepatan 2-3 juta per
detiknya. Hemoglobin adalah molekul protein pembawa gas yang
3
merupakan 95% sel darah merah. Setiap sel darah merah memiliki sekitar
270.000.000 molekul hemoglobin kaya besi. Seseorang yang mengidap
anemia umumnya memiliki defisiensi sel darah merah. Warna merah dari
sel darah merah terutama dikarenakan sel darah merah yang teroksigenasi.
Molekul hemoglobin fetal manusia berbeda dengan yang ada pada manusia
dewasa dalam jumlah rantai asam aminonya. Hemoglobin fetal memiliki
tiga rantai ikatan sementara dewasa memiliki dua rantai ikatan. Karenanya,
molekul hemoglobin fetal menarik dan membawa oksigen lebih banyak ke
dalam tubuh.8
2.2.2 Sel Darah Putih
Sel darah putih atau yang disebut dengan leukosit ini, terdiri dari sejumlah
variasi dan jenis tetapi hanya merupakan bagian kecil dalam darah.
Keberadaan leukosit tidak terbatas di dalam darah. Leukosit juga berada di
tempat lain di dalam tubuh, bahkan juga ada di limpa, liver, dan kelenjar
limfe. Sel darah putik paling banyak di produksi di sumsum tulang yang
berasal dari suatu stem cell yang juga memproduksi sel darah merah dan
juga di produksi di kelenjar thymus yang terletak di dasar leher. Beberapa
sel darah putih (di sebut juga limfosit) yang merupakan sistem lini
pertahanan pertama sebagai respon dari sistem imun tubuh. Limfosit
menemukan, mengidentifikasi, dan berikatan dengan protein asing pada
bakteri, virus, dan jamur dan hal ini dapat dihilangkan. Jenis Sel darah putih
lainnya (disebut granulosit dan makrofag) kemudian bergerak mengelilingi
dan menghancurkan sel asing. Sel darah putih juga memfunyai fungsi
membuang sel darah yang telah mati, sama halnya pada benda asing seperti
debu dan asbestos. Sel-sel darah bertahan hidup selama kurang lebih empat
bulan sebelum hilang dari darah dan komponen darah tersebut di daur ulang
di limpa.8
2.2.3 Trombosit
Keping darah atau trombosit adalah fragmen sel tanpa nukleus yang bekerja
dengan unsur-unsur kimia pembekuan darah pada tempat terjadi luka.
Trombosit melakukannya dengan bergabung ke dinding pembuluh darah
sehingga menambal ruptur yang terjadi di dinding vaskular. Trombosit juga
4
dapat melepaskan zat koagulasi yang membentuk bekuan darah yang
menyumbat pembuluh darah yang menyempit. Terdapat lebih dari dua belas
faktor pembekuan ditambah trombosit yang dibutuhkan untuk melengkapi
suatu proses pembekuan. Penelitian terakhir menyatakan bahwa trombosit
juga mengeluarkan protein yang dapat melawan bakteri yang menginvasi
dan mikroorganisme lainnya. Trombosit juga menstimulasi sistem imun.
Trombosit berukuran 1/3 dari sel darah merah dengan masa hidup 9-10 hari.
Seperti sel darah merah dan sel darah putih, trombosit diproduksi di
sumsum tulang dari sel stem.8
2.2.4 Plasma
Plasma adalah gabungan air berwarna kekuningan relatif jernih dengan gula,
lemak, protein, dan garam. Normalnya, 55% dari volume darah manusia
disusun oleh plasma. Sekitar 95% darinya disusun air. Saat jantung
memompa darah ke sel melalui seluruh tubuh, plasma membawa nutrisi dan
membuang produk buangan metabolisme. Plasma juga mengandung faktor
pembekuan darah, gula, lemak, vitamin, mineral, hormon, enzim, antibodi,
dan protein lainnya. Plasma mengandung hampir seluruh protein yang ada
di tubuh manusia, sekitar 500 telah teridentifikasi di plasma.8
2.3 Proses Terbentuknya Darah
Hemopoesis atau hematopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat
hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur yaitu pada umur
0-3 bulan terjadi di yolk sac, umur 3-6 bulan terjadi di hati dan lien, serta umur 4
bulan sampai dewasa terjadi di sumsum tulang. Pada orang dewasa dalam keadaan
fisiologi semua hemopoesis terjadadi pada sumsum tulang. Pada keadaan patologi
misalnya mielofibrosis, hemopoesis terjadi di luar sumsum tulang terutama di lien
yang disebut hemopoesis ekstrameduler. Dalam proses hemopoesis
diperlukan :9,10,11
2.3.1 Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik adalah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-
sel darah termasuk sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit),
butir pembeku (trombosit), dan beberapa sel dalamm sumsum tulang
5
seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitive disebut sebagai
pluripotent (totipotent) stem cell. Sel induk pluripotent mempunyai sifat
sebagai berikut :9,10,11
a. Self renewal yaitu kemampuan memperbaharui diri sendiri sehingga
tidak akan pernah habis meskipun terus membelah.
b. Proliferatif yaitu kemampuan membelah atau memperbanyak diri.
c. Diferensiatif yaitu kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-
sel dengan fungsi tertentu.
Berdasarkan sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik
dapat dibagi menjadi :
a. Pluripotent (totipotent) stem cell yaitu sel induk yang mempunyai
kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committed stem cell yaitu sel induk yang mempunyai komitmen untuk
berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel
induk yang termasuk golongan ini adalah sel induk myeloid dan sel
induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell adalah sel induk yang dapat berdiferensiasi
menjadi hanya beberapa jenis sel. Misalnya : CFU-GM (Colony
Forming Unit- Granulocyte/Monocyte) yang dapat berkembang hanya
menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell adalah sel induk yang hanya mampu berkembang
satu jenis sel saja. Misalnya : CFU-E (Colony Forming Unit-
Erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (Colony Forming
Unit-Granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi sel-sel
granulosit.
2.3.2 Lingkungan mikro (microenvironment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan
sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini
meliputi :9,10
a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. Sel-sel stroma meliputi sel endotil, sel lemak, fibroblast, makrofag,
dan sel retikulum (blanket cell).
6
c. Matriks ekstraseluler meliputi fibronektin, haemonektin, laminin,
kolagen, dan proteoglikan.
Lingkungan mikro sangat berperan dalam proses hemopoesis karena
berfungsi sebagai berikut :
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh
peredaran darah mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antar sel terutama ditentukan oleh adanya adhesion
molecule.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis yaitu hematopoietic
growth factor, cytokine, dan lain-lain.
2.3.3 Bahan-bahan pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah :12,13
a. Asam folat dan vitamin B12 yang merupakan bahan pokok pembentuk
inti sel.
b. Besi sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin.
c. Cobalt, magnesium, Cu, dan Zn.
d. Asam amino
e. Vitamin seperti vitamin C, vitamin B kompleks, dan lainnya.
Sumsum tulang yang normal merupakan bagian esensial dari hemopoesis.
Apabila struktur atau fungsi sumsum tulang terganggu maka dapat
menimbulkan kelainan. Gangguan pada sumsung tulang dapat terjadi oleh
karena kegagalan produksi sel, kegagalan maturasi sel, dan produksi sel-
sel yang tidak normal.
2.3.4 Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas
pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsung
tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan
tubuh dengan tepat. Produksi komponen darah yang berlebihan ataupun
kekurangan sama-sama menimbulkan penyakit. Zat-zat yang berpengaruh
dalam mekanisme regulasi adalah : 12,13,14
a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoietic growth factors)
meliputi GM-CSF (Granulocyte-macrophage colony stimulating
7
factor), G-CSF (Granulocyte colony stimulating factor), M-CSF
(Macrophage colony stimulating factor), thrombopoietin, BPA (Burst
Promoting Activity), serta faktor stem sel.
b. Sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL7, IL-8, IL-9, IL-10, dan IL-11.
Growth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel darah
sendiri seperti limfosit, monosit atau makrofag serta sebagian oleh sel-
sel penunjang seperti fobroblast dan endotil. Sitokin ada yang
merangsang pertumbuhan sel induk dan sebagian menekan
pertumbuhan sel induk. Keseimbangan kedua jenis sitokin ini sangat
menentukan proses hemopoesis normal.
c. Hormon hemopoetik spesifik
Erythropoietin merupakan hormone yang dibentuk di ginjal khusus
untuk merangsang pertumbuhan precursor eritroid.
d. Hormon non spesifik
Beberapa jenis hormone diperlukan dalam jumlah kecil untuk
hemopoesis seperti androgen yang berfungsi menstimulasi
eritropoesis, estrogen yang menimbulkan inhibisi eritropoesis,
glukokortikoid, growth hormon, dan hormon tiroid.
Dalam proses regulasi hemopoesis normal terdapat feed back mechanism
yaitu suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis
jika tubuh kekurangan komponen darah (positive loop) atau menekan
hemopoesis jika tubuh kelebihan komponen darah tertentu (negative loop).
2.4 Produk Darah
Seiring berkembangnya teknologi, darah yang berasal dari donor dapat
dipisahkan menjadi komponen-komponen yang dikandungnya. Hal ini
memberikan kemudahan dalam memberikan transfusi yang sesuai dengan defisit
komponen yang dialami pasien. Beberapa jenis transfusi dalam penggunaannya
dalam klinik sebagai berikut :
2.4.1 Darah lengkap (Whole Blood)
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma.
Satu unit kantong darah lengkap berisi 450mL darah dan 63 mL
8
antikoagulan. Darah lengkap diberikan pada pasien yang mengalami
perdarahan akut. Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau
hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah lengkap 8mL/kg akan
meningkatkan Hb sekitar 1g/dl. Pemberian darah lengkap sebaiknya
melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis
pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam. Pada orang
dewasa diberikan apabila kehilangan darah lebih dari 15-20% volume
darahnya, sedangkan pada bayi lebih dari 10% volume darahnya. 15,16
Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada
pasien dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat
meningkatkan hematokrit kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl.
Tetapi, kadar Hb bukan satu-satunya faktor penentu untuk transfusi sel
darah merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi
pasien, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena
penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.2 Banyak transfusi
sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau sedang,
padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak
menyebabkan keluaran (outcome) perioperatif yang lebih buruk. 17
Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi
adalah: 7
- Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu
transfusi pada batas kadar Hb yang lebih tinggi.
- Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi
darurat maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi
dengan penggantian volume yang tepat.
- Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab
antara lain adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan
oksigen meningkat maka kebutuhan untuk transfusi sel darah merah
juga meningkat.
9
Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila
pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan
darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi
oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.2 Kehilangan darah akut
sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan penggantian
volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar
Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan
pengembang plasma (plasma expander) dapat mengembalikan volume
sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi, terutama bila
perdarahan dapat diatasi.7
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya
pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah.
Setelah pasien mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb
atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel
darah merah dibutuhkan atau tidak.2 Sel darah merah diperlukan bila
terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen, terutama bila volume
darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan
volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari
transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena
tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan.2 Darah yang
disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah,
debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate
rendah.4
Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:7
- Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang
disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus.
- Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian
menentukan kebutuhan selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang
menyebabkan 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan
katekolamin, kondisi yang tidak stabil, nyeri; 2) penurunan penyediaan
oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia
10
berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan
kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala
anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan
alasan transfusi yang lebih rasional. 18 Konsensus yang dibuat oleh Royal
College of Physicians of Edinburgh menyimpulkan bahwa transfusi sel
darah merah hanya dilakukan untuk meningkatkan kapasitas transportasi
oksigen. Keputusan untuk melaksanakan transfusi seharusnya dibuat oleh
praktisi yang kompeten sebagai bagian penatalaksanaan penyakit secara
menyeluruh. Pasien harus diberi informasi tentang transfusi sel darah
merah dan alternatif yang ada. Selain itu indikasi transfusi harus dicatat
dalam rekam medis.17
Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa transfusi
sangat jarang diindikasikan bila kadar Hb >10 g/dl dan hampir selalu
diindikasikan bila kadar Hb <6 g/dl, terutama pada anemia akut. Penentuan
apakah kadar Hb 6-9 g/dl membutuhkan transfusi sel darah merah atau
tidak harus berdasarkan pada risiko terjadinya komplikasi karena
oksigenasi yang tidak adekuat. Penggunaan satu nilai Hb tertentu tanpa
mempertimbangkan kepentingan fisiologis dan faktor lain yang mungkin
mempengaruhi oksigenasi tidak direkomendasikan.17
NHMRC-ASBT pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa keputusan
untuk melakukan transfusi sel darah merah harus berdasarkan pada
penilaian klinis pasien, respons pasien terhadap transfusi sebelumnya dan
kadar Hb. Transfusi sel darah merah tidak dilakukan bila kadar Hb >10
g/dl, kecuali jika ada indikasi tertentu. Jika transfusi dilakukan pada kadar
Hb ini maka alasan melakukan transfusi harus dicatat. NHMRC-ASBT
juga menyatakan bahwa transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada
Hb 7-10 g/dl untuk menghilangkan gejala dan tanda klinis serta untuk
mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Transfusi
diperlukan bila kadar Hb <7 g/dl, kecuali pada pasien asimptomatik
dan/atau penyakit yang memiliki terapi spesifik maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima.7
11
National Blood Users Group (Irlandia) pada tahun 1999 berdasarkan bukti
ilmiah yang ada menyimpulkan bahwa pasien yang menderita penyakit
kardiovaskular dengan Hb <8 g/dl memiliki risiko lebih tinggi morbiditas
dan mortalitas perioperatif, sedangkan pada pasien yang stabil tidak ada
bukti ilmiah yang menyatakan bahwa mempertahankan Hb >9 g/dl dengan
transfusi darah dapat menurunkan morbiditas.19 Wu dkk melakukan
penelitian kohort retrospektif pada 78.974 pasien usia ≥ 65 tahun yang
dirawat karena infark miokard akut. Pasien dikelompokkan berdasarkan
kadar hematokrit pada saat masuk rumah sakit (5-24,0%, 24,1-27,0%,
27,1-30,0%, 30,1-33%, 33,1-36,0%, 36,3-39,0%, 39,1-48,0%) dan
dilakukan analisis data untuk menentukan apakah ada hubungan antara
transfusi darah dengan mortalitas dalam 30 hari. Didapatkan hasil bahwa
pasien dengan kadar hematokrit yang lebih rendah mempunyai angka
mortalitas 30 hari yang lebih tinggi. Transfusi darah berhubungan dengan
pengurangan mortalitas 30 hari pada pasien yang kadar hematokrit pada
waktu masuk rumah sakit adalah 5,0-24,0% sampai 30,1-33,0% sedangkan
pada pasien dengan kadar hematokrit yang lebih tinggi tidak didapatkan
pengurangan angka mortalitas 30 hari. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa transfusi darah berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih
rendah pada pasien usia lanjut dengan infark miokardium akut jika
hematokrit pada saat masuk adalah 30,0% atau lebih rendah dan mungkin
efektif pada pasien dengan kadar hematokrit 33,0%.20
Perdarahan antepartum dan postpartum merupakan penyebab utama
kematian maternal di Inggris. Angka lain menunjukkan bahwa perdarahan
yang dapat mengancam nyawa terjadi pada 1 di antara 1.000 persalinan.21
Selama kehamilan, konsentrasi Hb turun disebabkan kenaikan volume
plasma dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah
sel darah merah.21 Perdarahan akut adalah penyebab utama kematian ibu.
Perdarahan masif dapat berasal dari plasenta, trauma saluran genital, atau
keduanya, dan banyaknya paritas juga meningkatkan insidens perdarahan
obstetrik.4 Perdarahan obstetrik didefinisikan sebagai hilangnya darah yang
terjadi pada masa peripartum, yang dapat membahayakan nyawa. Pada
12
usia kehamilan cukup bulan, aliran darah ke plasenta mencapai ±700
ml/menit. Seluruh volume darah pasien dapat berkurang dalam 5-10 menit,
kecuali bila miometrium pada tempat implantasi plasenta berkontraksi.
Perdarahan obstetrik mungkin tidak terduga dan masif. Adanya perdarahan
obstetrik dapat dilihat dengan adanya gejala syok hipovolemik tetapi
karena adanya perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh kehamilan,
maka hanya ada beberapa tanda hipovolemia yang mungkin mengarah
pada perdarahan. Tanda hipovolemia antara lain takipnea, haus, hipotensi,
takikardia, waktu pengisian kapiler meningkat, berkurangnya urin dan
penurunan kesadaran. Karena itu penting untuk memantau pasien dengan
perdarahan obstetrik, walaupun tidak ada tanda syok hipovolemik.4
Keputusan melakukan transfusi pada pasien obstetrik tidak hanya
berdasarkan kadar Hb, tetapi juga bergantung pada kebutuhan klinis
pasien. Faktor yang menjadi pertimbangan adalah usia kehamilan, riwayat
gagal jantung, adanya infeksi seperti pneumonia dan malaria, riwayat
obstetrik, cara persalinan dan tentu saja kadar Hb.4 Penyebab perdarahan
akut pada pasien obstetrik antara lain adalah abortus (abortus inkomplit,
abortus septik), kehamilan ektopik (tuba atau abdominal), perdarahan
antepartum (plasenta previa, plasenta abrupsi, ruptur uteri, vasa previa,
perdarahan serviks atau vagina) dan lesi traumatik (perdarahan postpartum
primer, perdarahan postpartum sekunder, koagulasi intravaskular
diseminata (disseminated intravascular coagulation -DIC).4
Pada tahun 2001 CREST menyatakan bahwa penyediaan darah sebaiknya
dilakukan pada perdarahan antepartum, intrapartum, atau postpartum yang
cukup bermakna, plasenta previa, preeklampsia dan eklampsia berat,
kelainan koagulasi yang bermakna, anemia sebelum operasi seksio (Hb
<10 g/dl) dan kelainan obstetrik bermakna yang ada sebelum operasi
(seperti fibroid uteri, riwayat seksio atau riwayat plasenta akreta). Bila
keadaan di atas tidak ada, golongan darah dan status antibodi diketahui,
maka pemberian darah dapat ditunda pada keadaan seksio elektif atau
darurat, plasenta manual tanpa adanya komplikasi perdarahan postpartum,
13
operasi elektif pada missed abortion, anemia sebelum persalinan normal
(Hb <10 g/dl).21
Neonatus yang dirawat di ICU merupakan salah satu kelompok pasien
yang paling sering mendapat transfusi. Namun kelompok ini juga rentan
terhadap efek samping jangka panjang akibat transfusi darah. Akan tetapi
jika diperlukan transfusi, maka transfusi itu harus diberikan dalam jumlah
adekuat untuk mengurangi transfusi berulang dan paparan terhadap banyak
donor. Namun hanya terdapat sedikit data klinis yang berkualitas tentang
transfusi pada neonatus. Transfusi sel darah merah hanya diberikan untuk
meningkatkan oksigenasi, mencegah hipoksia jaringan atau mengganti
kelihangan darah akut. Direkomendasikan batas dasar kadar Hb untuk
melakukan transfusi pada neonatus adalah kadar Hb=10,5 g/dl dengan
gejala atau Hb=13 g/dl jika terdapat penyakit jantung atau paru atau jika
diberikan terapi suplementasi O2. Pada anemia prematuritas dapat
digunakan batas kadar Hb yang lebih rendah yaitu Hb=7,0 g/dl. Indikasi
transfusi pada neonatus sangat bervariasi disebabkan adanya imaturitas
fisiologis, volume darah yang kecil dan ketidakmampuan untuk
mentoleransi stress minimal. Keputusan untuk melakukan transfusi
biasanya berdasarkan berbagai parameter, termasuk volume darah yang
hilang, kadar hemoglobin yang diinginkan dan status klinis (dispnea,
apnea, distress pernapasan).21
Indikasi transfusi dengan whole blood :5,6
- Perdarahan akut dan profuse menyebabkan hipovolemik syok
- Exchange transfusion : haemolitik diseases of the new born Intoxicaci.
Keuntungan : mudah didapat dan tekniknya lebih mudah.
Kerugian : lebih sering kemungkinan terjadinya reaksi tranfuse
2.4.2 Sel darah merah (Packed Red Cell/PRC)
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit, dan sedikit
plasma. Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar
plasma dari darah lengkap sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai
hematokrit 60-70%. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1-60 celcius.
Diberikan pada pasien yang menderita anemia kronik dan anemia yang
14
disertai dengan penyakit jantung, hati dan ginjal. Keuntungannya bisa
meningkatkan daya angkut oksigen tanpa menambah beban volume darah.
Packet red blood cells mengandung hemoglobin yang sama dengan whole
blood, bedanya adalah pada jumlah plasma, dimana packet red blood cells
lebih sedikit mengandung plasma. Hal ini menyebabkan kadar hematokrit
PRC lebih tinggi dibanding dengan whole blood, yaitu 70% dibandingkan
40%. PRC biasa diberikan pada pasien dengan perdarahan lambat, pasien
anemia atau pada kelainan jantung. Saat hendak digunakan, PRC perlu
dihangatkan terlebih dahulu hingga sama dengan suhu tubuh (37ºC). bila
tidak dihangatkan, akan menyulitkan terjadinya perpindahan oksigen dari
darah ke organ tubuh.18
Untuk menentukan jumlah darah yang dibutuhkan agar hemoglobin pasien
meningkat dapat dipergunakan formula :
Volume darah yang diberikan =
vol darah pasien x kenaikan Hb yang diinginkan
Hb darah yang diberikan
Catatan : Hb darah normal (donor) = 12g%
Hb darah PRC = 24g%
Dalam kaitannya dengan transfusi PRC, pada kasus-kasus transplantansi
organ diberikan PRC yang telah dicuci.22,23
Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan
dicapai. Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1
g/dL. Pada neonatus, dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar
hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin akhir dapat diperkirakan dengan
rumus = volume darah x hematokrit x 0,91. Indikasi: hanya pada pasien
dengan gejala klinis gangguan hemodinamik seperti hipoksia, transfusi
pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik, thalasemia.
Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir 10
g/dL.
Keuntungan transfusi dengan PRC :4,5,6
15
- Dapat diberikan SDM dalam jumlah yang banyak pada satu kali
transfusi.
- Penambahan volume darah lebih sedikit, sehingga bahaya decom
cordis menurun.
- Kadar Na, K, NH4, dan penderita lain.
- Plasma dapat digunakan pada penderita lain.
- Kadar anti A dan anti B dalam PRC rendah, sehingga dapat dilakukan
substitusi bila diperlukan.
- Kemungkinan terjadinya reaksi transfusi juga lebih kecil.
Kerugian transfusi dengan PRC :
- PRC yg terbentuk harus dipakai dalam waktu < 4jam/21 hari.
- PRC tidak mengandung faktor pembekuan darah, sehingga tidak dapat
memperbaiki perdarahan bila diperlukan.
Indikasi transfusi dengan PRC :
- Anemia tanpa penurunan volume darh, misal : perdarahan kronis,
defisiensi Fe.
- Penderita dengan decom, cordis (vol penambahan sedikit).
- Penderita sirosis hepatic (kadar NH4 sedikit).
2.4.3 Sediaan Trombosit (Platelet Concentrates)
Berisi trombosit, beberapa leukosit dan sel darah serta plasma. Sediaan
trombosit ini diperoleh dengan sentrifugasi. Satu kantong trombosit yang
berasal dari 450mL darah lengkap dari seorang donor berisi kira-kira
5,5x1010 trombosit dengan volume sekitar 50mL. Trombosit ini dapat
disimpan pada suhu 200-240 celcius dan dapat disimpan selama 3 hari.
Diberikan pada pasien yang menderita trombositopenia (trombosit
<50.000/µL) berat disertai kegagalan pembentukan trombosit misalnya
pada penyakit leukemia dan tumor ganas, pasien yang mendapatkan
pengobatan sitostatika dan radioterapi serta pasien yang menderita depresi
sistem hemopoitik yang tidak diketahui sebabnya. Dosis yang digunakan
pada perdarahan yang disebabkan karena trombositopenia adalah 1
unit/10kg BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu
kantong trombosit yang berasal dari 450mL darah lengkap diperkirakan
16
dapat menaikkan jumlah trombosit sebanyak 9000-11.000/µl/m2 luas
permukaan tubuh. Pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg
diperkirakan dapat menaikkan 5000-10.000/µl. 22,23,24
Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 menyatakan bahwa transfusi
trombosit profilaksis tidak efektif dan tidak diindikasikan untuk
trombositopenia yang disebabkan karena meningkatnya perusakan platelet
(misalnya purpura trombositopenia idiopatik = ITP). Transfusi trombosit
jarang diindikasikan pada pasien trombositopenia yang akan menjalani
operasi dengan penurunan produksi trombosit jika hitung trombosit
mencapai 100.000/uL, dan biasanya baru diindikasikan bila hitung
trombosit <50.000/uL. Penentuan apakah pasien yang memiliki jumlah
trombosit 50.000-100.000/uL membutuhkan transfusi, harus berdasarkan
pada risiko terjadinya perdarahan. Pasien obstetrik dengan perdarahan
mikrovaskular yang akan menjalani prosedur operasi atau persalinan
biasanya membutuhkan transfusi trombosit bila hitung trombosit
<50.000/uL dan jarang memerlukan bila hitung trombosit >100.000/uL.
Pada pasien dengan hitung trombosit 50.000-100.000/uL, pemberian
transfusi trombosit berdasarkan risiko perdarahan. Transfusi trombosit
juga diindikasikan pada pasien dengan hitung trombosit normal tetapi
terdapat gangguan fungsi trombosit dan perdarahan mikrovaskular.17
BCSH pada tahun 2003 merekomendasikan bahwa pada pasien dengan
trombositopenia kronik, hitung trombosit 10.000/uL merupakan batas
dasar untuk melakukan transfusi trombosit bila tidak ada risiko lainnya,
seperti sepsis, penggunaan antibiotik berulang atau kelainan hemostasis
lainnya. Sedangkan pasien tanpa faktor risiko maka batas hitung trombosit
untuk melakukan transfusi trombosit adalah 5.000/uL mungkin sesuai bila
dianggap transfusi trombosit dapat menyebabkan refrakter terhadap
trombosit. BCSH juga menyatakan bahwa pada pasien dengan
trombopatia, transfusi trombosit dilakukan bila ternyata penatalaksanaan
dengan menggunakan desmopresin tidak efektif lagi. Pada pasien dengan
perdarahan akut hitung trombosit tidak boleh turun sampai <50.000/uL,
dan untuk pasien dengan trauma multipel dan cedera kepala, hitung
17
trombosit harus dipertahankan >100.000/uL. Pada pasien dengan DIC,
transfusi trombosit diberikan untuk mempertahankan hitung trombosit
pada >50.000/uL seperti halnya pada pasien yang mengalami perdarahan
masif.25
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010
platelet per kantong, dan 50 mL plasma. Dosis: pada kasus
trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet
biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet
sekitar 50-100.000/mm. Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena
kurangnya jumlah platelet, dan fungsi platelet resipien yang tidak normal
dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa, dan kurang dari
100.000/mm3 pada neonatus. Kontraindikasi: autoimun trombositopenia,
trombotik trombositopeniapurpura.
Indikasi pemberian transfusi dengan trombosit adalah bila terjadi
trombositopeni yang berat, sehingga dikhawatirkan terjadi perdarahan.
Terdapat 2 macam trombositopeni yang dapat ditransfusikan :
- PRP (Plathellet Rich Plasma)
- PC (Platellet Concetrate)
Cara mendapatkan PRP dan PC adalah : darah disentrifuse selam 3 menit
dengan kecepatan 2300 rpm, maka supernatan nya adalah PRP. Bila PRP
tersebut disentrifuse lagi selama 3 menit dengan kecepatan 2300 rpm,
maka endapan yang terjadi adalah PC. Untuk melakukan transfusi dengan
trombosit ini tidak perlu dilakukan reaksi silang terhadap gol.darah ABO,
sedangkan terhadap Rhesus masih tetap dilakukan. Pemberian 1 unit PC
dapt meningkatkan sekitar 15.000/mm3 trombosit. Setelah suatu transfusi
dengan trombosit, maka umur trombosit hanya sekitar 1-3 hari, sehingga
dapat dilakukan transfusi sebanyak 2-3 kali dalam seminggu.4,5,6
2.4.4 Transfusi faktor anti hemolitik (Cryoprecipitate)
Kriopresipitat adalah konsentrat plasma protein tertentu yang dibuat
dengan mencairkan plasma segar beku pada suhu 40 celcius selama 12-14
jam atau pada circulating waterbath 40 celcius selama 75 menit kemudian
memisahkan komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut
18
dengan cara pemutaran. Komponen yang masih berpresipitasi tersebut
adalah kriopresipitat. Suhu simpan adalah minus 180 celcius. Kriopresipitat
ini berisi faktor VIII 80-120 unit, 150-250 fibrinogen, sekitar 40-70%
faktor Von Willebrand, dan 20-30% faktor XIII. Kriopresipitat diberikan
pada pasien yang menderita hemophilia sebagai profilaksis dan terapi
perdarahan. Kriopresipitat sebelum dipakai harus dicairkan terlebih dahulu
dengan menempatkannya dalam waterbath bersuhu 30-370 celcius.
Komponen ini harus diberikan pada pasien dalam waktu 6 jam setelah
pencairan atau 4 jam setelah pooling. Dosis untuk hipofibrinogenemia
adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat badan 70kg,
sedangkan dosis pada anak-anak adalah 1 kantong/10kg dapat
meningkatkan fibrinogen 60-100mg/dl.24,26
Pada tahun 1994 CAP merekomendasikan transfusi kriopresipitat pada
pasien dengan hipofibrinogenemia, penyakit von Willebrand dan pasien
hemofilia A (ketika konsentrat faktor VIII tidak tersedia).7,21 Rekomendasi
yang sama juga dibuat oleh ACOG.17 BCSH merekomendasikan
pemberian transfusi kriopresipitat pada pasien yang mendapat transfusi
masif dengan perdarahan mikrovasular bila kadar fibrinogen <80 mg/dl.27
Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 merekomendasikan pertimbangan
memberikan kriopresipitat sebagai profilaksis pada pasien dengan
defisiensi fibrinogen kongenital atau penyakit von Willebrand yang tidak
responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang akan menjalani
operasi tetapi tidak mengalami perdarahan, pasien dengan penyakit von
Willebrand yang mengalami perdarahan, koreksi pada pasien dengan
perdarahan mikrovaskular karena transfusi masif dengan konsentrasi
fibrinogen <80-100 mg/dl.17 NHMRC-ASBT pada tahun 2001 menyatakan
bahwa penggunaan kriopresipitat mungkin tepat pada pasien dengan
defisiensi fibrinogen bila terdapat manifestasi perdarahan, prosedur
invasif, trauma atau DIC. Penggunaan kriopresipitat umumnya tidak tepat
pada terapi hemofilia, penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor XIII
atau fibrinektin, kecuali tidak ada terapi alternatif lainnya.7
2.4.5 Transfusi plasma segar beku (Fresh Frozen Plasma)
19
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Plasma
ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu
8 jam, setelah pengambilan darah dari donor dan disimpan pada suhu 180
celcius. Volume berkisar 200-250mL. Diberikan pada pasien yang
menderita defisit faktor pembekuan, misalnya pada pasien yang
mengalami perdarahan massif dan telah menerima transfusi darah massif.
Produk ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan dengan memakai
saringan atau filter standar. Apabila plasma diberikan sebagai pengganti
faktor koagulasi maka dosisnya adalah 10-20ml/kg (4-6 unit untuk orang
dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, dan dapat
meningkatkan faktor VIII 2% (1 unit/kg).28,29
Beberapa penelitian dilakukan untuk menentukan apakah pemberian FFP
perioperatif dapat meningkatkan keluaran klinis. Spector dkk melaporkan
bahwa 600-1.800 ml FFP diperlukan untuk mengurangi masa protrombin
(prothrombin time = PT) sebanyak 3 detik dari nilai kontrol pada pasien
dengan penyakit hati dan responsnya hanya sementara (temuan yang
berhubungan dengan kelainan fungsi hati tetapi tidak dengan kondisi
operasi yang normal). Pada tinjauan retrospektif terhadap 100 pasien yang
menjalani opersi pintasan arteri koroner yang diberi albumin atau FFP
rata-rata 6 unit tidak memperlihatkan adanya perbedaan dalam hal
kehilangan darah atau transfusi. Murray dkk pada penelitian yang
dilakukan terhadap 17 pasien yang mengalami perdarahan intraoperatif
karena kelainan koagulasi menyatakan bahwa hemostasis membaik setelah
pemberian FFP pada 14 pasien.17
NHMRC-ASBT pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa transfusi
FFP dilakukan untuk mengganti defisiensi faktor tunggal bila konsentrat
faktor spesifik atau kombinasi tidak tersedia; untuk neutralisasi hemostasis
segera setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mungkin
mengancam nyawa sebagai tambahan terhadap vitamin K dan bila
mungkin konsentrat faktor IX; untuk defisiensi faktor koagulasi multipel
yang berhubungan dengan DIC; untuk terapi purpura trombositopenia
trombotik; untuk terapi defisiensi faktor inhibitor koagulasi bawaan pada
20
pasien yang akan menjalani prosedur risiko tinggi bila konsentrat faktor
spesifik tidak tersedia, adanya perdarahan dan parameter koagulasi yang
abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada
pasien dengan penyakit hati.7
FFP diperlukan hanya bila tidak tersedia konsentrat faktor koagulasi
kombinasi atau spesifik. Pasien yang mengkonsumsi antikoagulan oral
mengalami defisiensi protein yang bergantung pada vitamin K, yang
secara normal dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K parenteral.
Pada pasien overdosis atau mengalami perdarahan serius yang mengancam
nyawa, segera dapat dikoreksi dengan penggunaan konsentrat faktor yang
bergantung pada vitamin K, dengan atau tanpa kombinasi dengan FFP.
Konsentrat ini diindikasikan untuk manifestasi overdosis warfarin yang
agak berat, yaitu bila volume FFP yang tinggi merupakan indikasi kontra
relatif (seperti kardiomiopati, gagal jantung kiri berat).7
DIC, yang dapat dihubungkan dengan syok, trauma atau sepsis,
menyebabkan defisiensi faktor V dan VIII, fibrinogen, fibrinektin dan
trombosit akibat aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis. Terapi
pengganti, termasuk FFP, diindikasikan pada DIC akut, bila terdapat
perdarahan dan koagulasi yang abnormal. Komponen darah tidak
diindikasikan pada DIC kronik atau tidak adanya perdarahan. FFP juga
telah digunakan sebagai sumber antitrombin, protein C, protein S pada
pasien dengan defisiensi bawaan inhibitor tersebut yang akan menjalani
operasi atau memerlukan heparin untuk terapi trombosis. FFP
diindikasikan hanya bila terdapat perdarahan dan koagulasi abnormal yaitu
pada pasien dengan penyakit hati bila perdarahan mungkin terjadi karena
operasi, dan bagi pasien yang menjalani operasi pintasan jantung dengan
perdarahan yang terbukti disebabkan oleh kelainan koagulasi bukan akibat
pengaruh residu heparin.7
Pada tahun 1985 National Institute of Health Consensus Conference
menyimpulkan bahwa FFP diindikasikan pada beberapa kondisi yang
timbul perioperatif atau peripartum, antara lain defisiensi faktor koagulasi
tertentu, kasus-kasus tertentu yang berhubungan dengan transfusi masif
21
dan kelainan koagulasi multipel (contoh penyakit hati).17 Pada tahun 1994
CAP merekomendasikan transfusi FFP digunakan pada transfusi darah
masif (lebih dari satu volume darah) dengan adanya perdarahan aktif,
neutralisasi hemostasis segera setelah terapi warfarin dan riwayat atau
gejala klinis yang menyatakan adanya koagulopati bawaan atau didapat
(dengan perdarahan aktif atau sebelum operasi). CAP menyatakan bahwa
penggunaan FFP sebagai pengembang volume atau untuk penyembuhan
luka merupakan indikasi kontra.7,30
Kelompok kerja ASA pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa
pemberian FFP dilakukan untuk neutralisasi segera setelah terapi dengan
warfarin; untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi bila konsentrat yang
spesifik tidak tersedia; untuk koreksi perdarahan mikrovaskular dengan
adanya peningkatan PT dan activated partial thromboplastin time (APTT)
1,5 x nilai normal; untuk koreksi perdarahan mikrovaskular sekunder
karena kekurangan faktor koagulasi pada pasien yang mendapat transfusi
lebih dari satu volume darah dan jika PT dan APTT tidak dapat dipantau
secara serial. FFP sebaiknya diberikan dengan perhitungan dosis untuk
mencapai jumlah minimum 30% konsentrasi faktor koagulasi dalam
plasma (biasanya dicapai dengan pemberian FFP sebesar 10-15 ml/kg),
kecuali untuk neutralisasi hemostasis setelah terapi dengan warfarin maka
dosis sebesar 5-8 mg/kg sudah cukup. ASA juga menyatakan bahwa 4-5
unit trombosit, satu unit trombosit aferesis, atau satu unit darah lengkap
mempunyai kandungan faktor koagulasi yang sama dengan satu unit FFP.
FFP merupakan indikasi kontra pada pasien untuk terapi hipovolemia atau
meningkatkan kadar albumin.7
2.4.6 Transfusi Plasma
Diberikan pada pasien yang menderita luka bakar.2
2.5 Prosedur Transfusi Darah
Transfusi darah harus melalui proses yang ketat untuk mencegah
efek samping (reaksi transfusi) yang dapat timbul. Prosedur tersebut adalah:31
22
1. Penentuan golongan darah ABO dan Rh. Baik donor maupun resipien
harus mempunyai golongan darah yang sama.
2. Pemeriksaan untuk donor darah terdiri atas :
a. Penapisan (screening) terhadap antibody dalam serum donor
dengan tes antiglobulin indirek (tes Coombs indirek)
b. Tes serologic untuk hepatitis, HIV, dan sifilis.
3. Pemeriksaan untuk resipien :
a. Major side cross match : serum resipien diinkubasikan dengan
RBC donor untuk mencari antibodi dalam serum resipien.
b. Minor side cross match : mencari antibodi dalam serum donor.
4. Pemeriksaan klerikal (identifikasi) :
Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien dan
donor. Reaksi transfusi berat sebagaian besar timbul akibat kesalahan
identifikasi.
5. Prosedur pemberian darah yaitu :
a. Hangatkan darah perlahan-lahan.
b. Catat nadi, tensi, suhu, dan respirasi sebelum transfusi.
c. Pasang infuse dengan infus set darah.
d. Pertama diberikan larutan NaCl
e. Pada 5 menit pertama pemberian darah diberikan tetesan pelan-
pelan, diawasi adanya urtikaria, bronkospasme, dan menggigil.
Selanjutnya awasi tensi, nadi, suhu dan respirasi.
6. Kecepatan transfusi yaitu :
a. Untuk syok hipovolemik diberikan tetesan cepat
b. Normovolemi diberikan 500ml/6jam
c. Pada anemia kronik, penyakit jantung, dan paru diberi tetesan
perlahan-lahan 500ml/24 jam atau diberikan diuretika (furosemid)
sebelum transfusi.
2.6 Zat Pengawet (Antikoagulan)
Darah yang telah diambil diusahakan agar tidak beku oleh karena
itu diperlukan antikoagulan yaitu : Citrate Phosphate Dextrose (CPD) dan
23
Citrate Phosphate Dextrose Adenine (CPDA). Antikoagulan untuk darah
donor yang bisa bertahan 21-28 hari pada suhu 1-60 celcius. Antikoagulan ini
berisi trisodium sitrat, asam sitrat, dekstrosa, monosodium phospat dan pada
CPDA ditambahkan adenine. Kuantitas asam sitrat dan trisodium sitrat pada
CPD dan CPDA sama sehingga pengeluaran ion K dapat ditekan sehingga
membuat 2,3 DPG eritrosit lebih awet. Pemberian antikoagulan ini sebanyak
1,4ml untuk 10ml darah, 63ml dalam standar plastic bag adalah 450 + 10%
darah (405-495ml). Pada darah lengkap lama simpannya tergantung dari
antikoagulan yang dipakai pada kantong darah, pada pemakaian sitrat fosfat
dekstrose (CPD) lama simpannya 21 hari, sedangkan dengan (CPDA) lama
simpannya 35 hari.
Pada sel darah merah atau packed red cell dengan menggunakan antikoagulan
CPDA maka masa simpannya 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%.
Apabila menggunakan antikoagulan CPD maka masa simpan dari sel darah
merah ini 21 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan
tambahan (buffer, dekstrosa, adenine, dan manitol) memiliki nilai hematokrit
52-60% dan masa simpan 42 hari. 2,3
2.7 Komplikasi Transfusi Darah
Komplikasi yang dapat timbul akibat transfusi darah disebut
sebagai reaksi transfusi. Reaksi transfusi dapat berupa : 32,33
2.7.1 Reaksi segera (immediate reactions)
a. Reaksi hemolitik akibat lisis eritrosit donor oleh anibodi dalam
serum resipien.
Reaksi hemolisis intravascular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien
akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Reaksi
hemolitik dapat muncul setelah transfusi darah sebanyak 25-50mL.
Pada transfusi inkompatibel sebanyak 200mL akan memberikan
mortalitas 40%. Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO.
Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan identifikasi (klerikal).
b. Reaksi febril karena antibody terhadap leukosit atau trombosit.
24
Reaksi febris umumnya muncul karena antibody dalam serum
resipien terhadap leukosit donor. Reaksi febris dapat juga terjadi
akibat reaksi terhadap protein plasma oleh karena adanya sitokin
akibat darah disimpan. Reaksi febris memberikan gejala seperti
demam yang timbul segera setelah transfusi berlangsung, sering
disertai mengigil.
c. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA
dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat
disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi
ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai
dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan
tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani
dengan cepat dan agresif
d. Endotoksemia akibat ransfusi memakai darah yang terkontaminasi
kuman gram negatif.
Bahan pirogen merupakan produk bakteri yang timbul pada saat
tindakan sterilisasi bahan. Gejala yang timbul berupa suhu tubuh
pasien meningkat secara mendadak disertai sakit kepala dan muka
merah. Penanganannya dapat diberikan aspirasi dan antihistamin.
Kemudian segera diambil contoh darah pasien dan dilakukan kultur
dan uji sensitivitas.
e. Edema paru karena volume overload.
Keadaan ini mudah terjadi pada pasien yang menderita penyakit
jantung, anemia kronik, gagal ginjal, dan pada pasien lanjut usia.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda-tanda kegagalan
jantung dan tanda-tanda udem paru. Penanganannya dengan
diberikan oksigen, pasien dengan posisi setengah duduk, dan
berikan diuretika misalnya lasix.
f. Reaksi keracunan sitrat
25
Keracunan sitrat jarang terjadi, walaupun demikian dapat terjadi
pada pasien yang menderita penyakit hati karena penurunan fungsi
hati untuk memetabolisasi sitrat. Sitrat akan mengikat kalsium
sehingga dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah.
g. Reaksi akibat transfusi darah massif
Transfusi darah massif merupakan penggantian sejumlah darah
yang hilang atau lebih banyak dari total volume darah pasien dalam
waktu <24 jam.
Dapat terjadi hipotermia, keracunan sitrat, hiperkalemia, asidosis, dan
gangguan pembekuan darah.
a. Hipotermia dapat terjadi karena setiap transfusi masif sebanyak 5
unit dalam 30 menit akan dapat menyebabkan penurunan suhu
tubuh pasien. Bila suhu tubuh turun sampai 33oC akan
menimbulkan asidosis metabolik, depresi otot jantung dan depresi
pernafasan.
b. Hiperkalemia dapat terjadi karena semakin lama darah disimpan
semakin tinggi kadar kaliumnya, sehingga bila transfusi diberi
dalam jumlah yang banyak menyebabkan peningkatan kalium
darah. Asidosis timbul bila diberikan darah simpan dalam jumlah
banyak. Semakin lama darah disimpan makin rendah pHnya
c. Gangguan pembekuan darah dapat berupa: perdarahan abnormal
atau dalam bentuk Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) terjadi bila
tromboplastin jaringan masuk ke dalam sirkulasi dan memacu
mekanisme pembekuan secara berlebihan, sehingga terjadi
pembekuan darah dan agregasi trombosit intravaskuer. Keadaan ini
akan menimbulkan perdarahan-perdarahan yang tidak dapat
dihentikan.
d. Komplikasi pada paru – paru : debris yang terdapat pada darah
simpan akan makin banyak dengan makin lamanya umur
penyimpanan darah. Debris ini akan mengikuti sirkulasi darah
sehingga dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah
26
terutama di paru. Untuk menghindari hal ini infus set darah yang
dipakai harus mempergunakan filter yang berpori-pori sangat kecil.
2.7.2 Reaksi lambat (delayed reactions)
a. Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolisis terjadi setelah satu hari sampai beberapa minggu.
Reaksi ini timbul karena hemolisis ekstravaskuler dengan
penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan bilirubin indirek
dalam serum. Reaksi timbul karena adanya antibody dalam bentuk
IgG yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan pretransfusi. Sering
bersifat silent atau timbul gejala berupa anemia dan ikterus ringan.
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria.
Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai
syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam
plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi
tersebut.4,34
b. Purpura pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi
potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau
trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang
melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak
terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah
perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah
transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL.
Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit
≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung
trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan
trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.4,19
c. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan.
Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien
27
dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten
yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan
kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang
memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash
kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya
timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi
hanya bersifat suportif.4,19
d. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka
waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya
(hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung
dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan
kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin,
diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi dan
mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.4,19
e. Penularan penyakit hepatitis B dan C, sifilis, malaria, dan HIV
Hepatitis pasca transfusi darah merupakan suatu komplikasi yang
serius. Hal ini dapat dicegah dengan pemeriksaan dan seleksi
calon-calon donor secara ketat, sehingga calon donor yang pernah
atau sedang menderita hepatitis yang tidak menunjukkan gejala
dapat diketahui. Sifilis dapat ditularkan melalui transfusi darah
segar. Hati-hati dengan donor bayaran. Apabila darah disimpan
dalam waktu lebih dari 96 jam pada suhu 4oC, dapat
menginaktifkan spirokhaeta. Penularan HIV melalui transfusi
darah pertama kali diketahui pada akhir tahun 1982. Pada tahun
1983 Public Health Service di Amerika Serikat merekomendasikan
orang yang beresiko tinggi terinfeksi virus HIV untuk tidak
menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai menanyakan
kepada donor mengenai berbagai prilaku beresiko tinggi bahkan
sebelum dilakukan skrining antibodi HIV.Untuk mencegah
komplikasi ini diperlukan pemeriksaan yang ketat pada calon
donor.32,33
28
2.7.3 Transfusi Darah Masif
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau
lebih banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam
(dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas
cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma
awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia.
Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang
menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.4
- Asidosis
Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada
keadaan normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan
asam dari transfusi. Pemakaian rutin bikarbonat atau obat alkalinisasi
lain tidak diperlukan.4
- Hiperkalemia
Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular
meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama
disimpan.4,34 Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi
darah lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai dengan
hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan penurunan curah jantung
(cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme
sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu
tidak perlu menetralisir kelebihan asam.4,34
- Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama
penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada
suhu -25°C atau lebih rendah. Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi
dan trombosit terjadi pada transfusi masif.4,34
- Kekurangan trombosit
29
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap
dan trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.4
- DIC
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih
disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik,
trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab
dasarnya.4
- Hipotermia
Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin
menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi
hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.4
- Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap
yang disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama
transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan
sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed
red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.4
30
BAB III
SIMPULAN
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Penggunaan darah untuk transfusi
harus selalu dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan memberikan
komponen darah yang diperlukan. Beberapa jenis transfusi yang dapat dilakukan
yaitu : darah lengkap (whole blood), sel darah merah (packed red cell), sediaan
trombosit (platelet concentrates), transfusi faktor hemolitik (cryoprecipitate),
transfusi plasma segar beku (fresh frozen plasma), dan transfusi plasma.
Hemopoesis atau hematopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat
hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur yaitu pada umur
0-3 bulan terjadi di yolk sac, umur 3-6 bulan terjadi di hati dan lien, serta umur 4
bulan sampai dewasa terjadi di sumsum tulang. Pada orang dewasa dalam keadaan
fisiologi semua hemopoesis terjadadi pada sumsum tulang. Dalam proses
hemopoesis diperlukan sel induk hemopoetik, lingkungan mikro, bahan-bahan
pembentuk darah, dan mekanisme regulasi.
Adapun prosedur dalam melakukan transfusi darah yaitu penentuan
golongan darah AB dan Rh, pemeriksaan donor, pemeriksaan untuk resipien,
pemeriksaan klerikal (identifikasi), prosedur pemberian darah, dan kecepatan
transfusi. Darah yang telah diambil diusahakan agar tidak beku oleh karena itu
diperlukan antikoagulan yaitu : Citrate Phosphate Dextrose (CPD) dan Citrate
Phosphate Dextrose Adenine (CPDA). Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat
transfusi darah dapat berupa reaksi segera dan reaksi lambat.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Keren W Eldin dan Jun Teruya. Blood Component s for Hemostasis. Lab
Medicine. Vol 43 hal 237-244. 2012
2. Mangku Gde, Senapathi Cokorda Gde Agung. Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan Reanimasi. PT Indeks Permata Puri Media. Jakarta Barat. 2010.
3. Aru W Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Interna Publishing. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam. Jl Diponegoro Jakarta Pusat. 2009
4. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari
URL
: http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/
English/Handbook.pdf.
5. Goodnough L. 2007. Transfusion medicine. In: Goldman L, Ausiello D,
eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia.
6. Regan F, Taylor C. Blood transfusion medicine. BMJ. 2002 Jul
20;325(7356):143-7.
7. National Health and Medical Research Council, Australasian Society of
Blood Transfusion. Clinical practice guidelines on the use of blood
components (red blood cells, platelets, fresh frozen plasma,
cryoprecipitate). Australia: NHMRC-ASBT, 2002;1-75.
8. American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for blood
component therapy. Anesthesiology 1996;84:732-47.
9. Vamvakas EC, Blajchman MA. Transfusion-related mortality: the ongoing
risks of allogeneic blood transfusion and the available strategies for their
prevention. Blood. 2009;113(15):34063417.
10. Liumbruno GM, Bennardello F, Lattanzio A, Piccoli P, Rossetti G.
Recommendations for the transfusion of plasma and platelets. Blood
Transfus. 2009;7(2):132-150.
11. Jenkins C, Ramírez-Arcos S, Goldman M, Devine DV. Bacterial
contamination in platelets: incremental improvements drive down but do
not eliminate risk. Transfusion. 2011;51(12):2555-2565.
32
12. Shrivastava M. The platelet storage lesion. Tranfus Apher Sci.
2009;41(2):105-113.
13. Estcourt LJ, Stanworth SJ, Murphy MF. Prophylactic platelet transfusions.
Curr Opin Hematol. 2010;17(5):411-417.
14. Strauss RG. Platelet transfusions in neonates: questions and
answers.Expert Rev Hematol. 2010;3(1):7-9.
15. Slichter SJ. New thoughts on the correct dosing of prophylactic platelet
transfusion to prevent bleeding. Curr Opin Hematol. 2011;18(6):427-435.
16. Scott E, Puca K, Heraly J, Gottschall J, Friedman K. Evaluation and
comparison of coagulation factor activity in fresh-frozen plasma and 24-
hour plasma at thaw and after 120 hours of 1 to 6ºC storage. Transfusion.
2009;49(8):1584-1591.
17. American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for blood
component therapy. Anesthesiology 1996;84:732-47.
18. McFarland JG. Perioperative blood transfusion: indications and options.
Chest 1999;115:113S-21S.
19. National Blood Users Group. A guideline for transfusion of red blood cells
in surgical patients. Irlandia, Januari 2001. Didapat dari
URL: http://www.doh.ie/pdfdocs/blood.pdf .
20. Wu WC, Rathore SS, Wang Y, Radford MJ, Krumholz HM. Blood
transfusion in elderly patients with acute myocardial infarction. N Engl J
Med 2001;17:1230-6.
21. Clinical Resource Efficiency Support Team. Guidelines for blood
transfusion practice. Irlandia 2001. Didapat dari:
URL: http://www.crestni.org.uk/publications/blood_transfusion.pdf
22. Tavares M, DiQuattro P, Nolette N, et al. Reduction in plasma transfusion
after enforcement of transfusion guidelines. Transfusion. 2011;51(4):754-
761.
23. Stanworth SJ, Grant-Casey J, Lowe D, et al. The use of fresh-frozen
plasma in England: high levels of inappropriate use in adults and children.
Transfusion. 2011;51(1):62-70.
33
24. Puetz J, Witmer C, Huang Y-SV, Raffini L. Widespread use of fresh
frozen plasma in US children’s hospitals despite limited evidence
demonstrating a beneficial effect. J Pediatr. 2012;160(2):210-215.
25. British Society for Haematology. Guidelines for the use of platelet
transfusions. Brit J Haematol 2003;122:10-23.
26. Camire RM. A new look at blood coagulation factor V. Curr Opin
Hematol. 2011;18(5):338-342.
27. British Society for Haematology. Guidelines for the use of platelet
transfusions. Brit J Haematol 2003;122:10-23.
28. Callum JL, Karkouti K, Lin Y. Cryoprecipitate: the current state of
knowledge. Transfus Med Rev. 2009;23(3):177-188.
29. Patanwala AE, Acquisto NM, Erstad BL. Prothrombin complex
concentrate for critical bleeding. Ann Pharmacother. 2011;45(7-8):990-
999.
30. College of American Pathologists. Practice parameter for the use of fresh
frozen plasma, cryopresipitate, and platelets. JAMA 1994;271:777-81.
31. Kozek-Langenecker S. Sørensen B, Hess JR, Spahn DR. Clinical
effectiveness of fresh frozen plasma compared with fibrinogen
concentrate: a systematic review. Crit Care. 2011;15(5):R239. [Epub
ahead of print October 14, 2011.]
32. Logan AC, Yank V, Stafford RS. Off-label use of recombinant factor VIIa
in U.S. hospitals: Analysis of hospital records. Ann Intern Med.
2011;154(8):516-522.
33. Lin Y, Stanworth S, Birchall J, Doree C, Hyde C. Use of recombinant
factor VIIa for the prevention and treatment of bleeding in patients without
hemophilia: a systematic review and meta-analysis. CMAJ.
2011;183(1):E9-E19. Epub November 15, 2010.
34. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan
transfusi darah dan komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr.
Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2001. h. 18-31.
34
35