terapi kronik hepatitis b dan sirosis

13
TERAPI IKTERUS Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnta gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan ireversibel (sperti sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi 2 akan mengikat garam empedu di usus.kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari (Sulaiman, 2009). Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang irreversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vit. A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebgaian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride (Sulaiman, 2009). Sumbatan bilier ektra-hepatik biasanya membutuhkan tidakan pembedahan, ektraksibatu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter atau striktur (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operable, drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopi (Sulaiman, 2009).

Upload: tristy-scaftwee

Post on 14-Jul-2016

110 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

penatalaksanaan terapi pada hepatitis B kronik dan soirosis hepatis

TRANSCRIPT

Page 1: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

TERAPI IKTERUS

Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala

yang cukup mengganggu misalnta gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,

pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan ireversibel (sperti

sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis

terbagi 2 akan mengikat garam empedu di usus.kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,

hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10

mg/hari SK untuk 2-3 hari (Sulaiman, 2009).

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang

irreversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vit. A

dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat

dikurangi dengan pemberian sebgaian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride

(Sulaiman, 2009).

Sumbatan bilier ektra-hepatik biasanya membutuhkan tidakan pembedahan,

ektraksibatu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter atau striktur (sering

keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operable,

drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati

(transhepatik) atau secara endoskopi (Sulaiman, 2009).

Page 2: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

Terapi antivirus pada kronik hepatitis B

Page 3: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

Indikasi terapi

1. Pasien dengan ALT normal tidak perlu diterapi antivirus tapi perlu dipantau kadar

ALT setiap 3 bulan.

2. Pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg (+) dan kadar ALT > 2xBANN pengobatan

antivirus boleh segera dimulai.

3. Pasien hepatitis B kronik dengan kadar ALT meningkat > 2 x BANN sedangkan

HBeAg (-) disertai anti HBe (+) dan kadar HBV-DNA (+) > 100.000 kopi/mL diberi

terapi antivirus (PPHI, 2006).

Pasien yang menunjukkan adanya peningkatan ALT (dari normal at< peningkatan

kadar minimal) atau ALT > 5x BANN mungkin diakibatkan karena eksaserbasi, hepatitis

berat atau dekompensasi hati. Oleh sebab itu, mereka perlu diawasi secara ketat, termasuk

pemeriksaan kadar bilirubin dan prothrombin setiap minggu atau 2 mingguan dan

pengobatan dimulai tepat waktu untuk mencegah dekompensasi. Eksaserbasi tersebut

dapat juga mempercepat serokonversi HBeAg secara spontan yang diikuti dengan remisi.

Karena itu, maka masih diperbolehkan untuk menunda pemberian terapi selama 3 bulan

(observasi) jika tidak ada kekhawatiran akan terjadinya dekompensasi hati (PPHI, 2006).

Pada pasien dengan HBV-DNA positif baik HBeAg (+) maupun HBeAg (-), dengan

kadar ALT > 5x BANN, dianjurkan menggunakan analog nukleosida. Lamivudine

digunakan terutama bila didapatkan tanda-tanda dekompensasi hati. Untuk pasien HBeAg

positif dengan kadar ALT antara 2-5x BANN pilihan antara analog nukleosida atau

interferon, sama-sama dapat digunakan. Dalam membuat pilihan antara analog nukleosida

atau interferon (PPHI, 2006).

Pemberian intreferon a-2b konvensional dan khususnya pegylated interferon a-2a

menunjukkan hasil sustained response yang lebih tinggi, namun kedua obat ini

mempunyai efek samping yang lebih banyak dan memerlukan pengawasan yang lebih

ketat dan kontra indikasi pada keadaan dekompensasi hati. Penggunaan kedua obat ini

pada penderita sirosis hati dapat memicu terjadinya dekompensasi hati. Pemberian

kortikosteroid sebelum terapi interferon secara umum tidak dianjurkan. Kalau pemberian

koritikosteroid akan dilakukan, maka harus secara hati-hati dan hanya pada pusat

kesehatan yang berpengalaman. Kombinasi atau strategi lain harus dievaluasi lebih lanjut.

Page 4: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

Adefovir dipifoxil dapat dipilih atas dasar resistensinya yang rendah, dan bermanfaat

pada penderita yang mengalami mutan akibat pengobatan lamivudine. Entecavir

mempunyai daya supresi HBV-DNA yang sangat kuat dan belum menunjukkan adanya

tanda resistensi (dalam waktu dua tahun) terutama pada penderita naif analog nukleosida

(PPHI, 2006).

Tabel, Terapi antiviral pada hepatitis B kronik

Obat Dosis

dewasa

Dosis Anak Pregnancy

catagory

Side effect Monitoring

Peg-IFN-2a

(dewasa)

IFN-α-2 b

(anak)

180 μg per

minggu

≥1 tahun

Dosis: 6 juta

IU/m2

C Anorexia dan

penurunan

berat badan

pada anak,

fatigue,

gangguan

mood,

gangguan

autoimun

CBC (setiap

bulan sampai

3 bulan)

TSH (setiap

3 bulan)

Lamivudin 100 mg/hari ≥2 tahun

Dosis: 3

mg/kg/hari

Dosis

maksimal

100 mg

C Pancreatitis,

laktat

asidosis

Amylase,

jika simptom

peningkatan

asam laktat

terlihat

Telbivudine 600 mg/hari - B Peningkatan

kreatinin

kinase,

miopathy,

neuropati

perifer, laktat

asidosis

Creatinin

kinase

Kadar asam

laktat

Entecavir 0,5 – 1,0

mg/hari

≥2 tahun

Dosis: 3

C Laktat Kadar asam

Page 5: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

mg/kg/hari

Dosis

maksimal

100 mg

asidosis laktat

Adefovir 10 mg/hari ≥12 tahun

Dosis: 10

mg/hari

C Gagal ginjal

akut, laktat

asidosis,

nefrogenic

diabetes

insipidus

Kreatinin

clearance

(Terrault, 2015)

Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan, untuk pasi non responders dan

HBeAg negatif, pengobatan dapat diterusk; selama 12 bulan. Pegylated interferon a-2a,

diberikan selama 6 bulan pada pasi HbeAg positif dan 12 bulan pada pasien HBeAg negal

Dianjurkan juga untuk melakukan pengawasan selama 6-12 bulan setelah berakhirnya terapi

interferon untuk melihat adanya respon lambat atau perlunya terapi yang lain. Pada umumnya

pengobatan analog (PPHI, 2006).

Terapi Sirosis hepatis

Penatalaksanaan hipertensi portal pada sirosis hati

Pencegahar perdarahan pertama (=profilaksis primer)

1. Umum: hindari alkohol dan tidak boleh mengkonsumsi aspirin serta obat

antiinflamasi nonsteroid (OAINS)

2. Propanolol, suatu penghambat beta nonkardioselektif dapat diberikan dengan tujuan

menurunkan tekanan v. Portal melalui mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah

splanknik. Dosis propanolol sangat individual, namun target yang harus dicapai

adalah penurunan nadi 25% dari nadi awal atau mencapai sekitar 55-60x/menit

3. Nadolol atau isosorbid 5 mononitrat dapat diberikan sebagain pengganti propanolol

(bila ada kontraindikasi atau efek samping obat)

4. Skleroterapi atauligasi varises endoskopi pada beberapa kasus tertentu, teteapi secara

“cost effective”, ternyata propanolol lebih unggul (Setiawan et al, 2007).

Penatalaksanaan pendarahan akut varises secara garis besar penatalaksanaan terdiri dari:

Page 6: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

1. Penatalaksanaan umum dan resusitasi

a. Penderita harus mendapatkan pertolongan untuk menstabilkan hemodinamis,

pilihan cairan resusitasi adalah cairan kristaloid.

b. Bila transfusi diperlukan, berikan jangan terlalu cepat dan cukup sampai

dengan PCV/Het sekitar 0,27-0,30

c. Hindari ensefalopati dengan cara pemberian laktulosa dan klisma tinggi

d. Pemasangan”nasogastric tube” berguna untuk memonitor adanya perdarahan

baru atau untuk ]ersiapan endoskopi. Lakukan lavas lambung

e. Pemberian antibiotik jangka pendek (misalnya siprofloksasin) terbukti dapat

mencegah terjadinya peritonitis bakterial spontasn

f. Vitamin K diberikan bila ada gangguan faal koagulasi (Setiawan et al, 2007).

2. Usaha penghentian perdarahan varises

a. Pemberian obat-obatan vasoaktif (Misalnya vasopressin, somatostatin atau

octreotide)

b. Pemasangan sengstaken blakemore tube (= SB-tube)

c. Skleroterapi endoskopi (STE)

d. Ligasi varises esofagus

e. TIPS (transjuguler intrahepatic porto systemic shunt)

f. Bedah darurat (Setiawan et al, 2007).

Penatalaksanaan ensefalopati hepatis akut

1. Identifikasi faktor presipitasi

2. Pertahankan keseimbangan kalori cairan dan elektrolit

3. Pengososngan usus dari bahan-bahan nitrogen dengan cara dihentikan obat-obatan

yang mengandung nitrogen, hentikan perdarahan dan lakukan klisma atau enema

tinggi

4. Diet tanpa (rendah protein, dan pemebrian protein diberikan bertahap sesuai kondisi

penderita)

5. Sterilisasi usus dengan kanamicin oral selama satu minggu

6. Stop pemberian diuretika dan evaluasi kadat elektrolit serum

7. Pemberian asam amino rantai cabang (AARC) masi memberikan hasil yang

kontroversial (Setiawan et al, 2007).

Penatalaksanaan ensefalopati hepatitis kronik

Page 7: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

1. Diet rendah protein (40-50 g/hari), usahakan AARC

2. Hindari obat-obatan dengan mengandung nitrogen

3. Laktulosa 3 x 10-30 ml/hari, dan usahakan BAB, 2x/hari (Setiawan et al, 2007).

Terapi parasintesis abdominal ascites

1. Seleksi pasien

a. Ascites “tense” atau permagna

b. Didapatakan edema tungkai

c. “Child” B

d. Protrombine > 40 %

e. Bilirubin serum < 10 mg/dl

f. Trombosit > 40.000/mm3

g. Kreatinin serum < 3 mg/dl

2. Rutin

a. Jumlah cairan 5-10 L

b. Infus albumin 6-8 g/l cairan diambil

3. Asites refrakter

a. Parasintesid beulang

b. TIPS

c. Peritoneo-venous (Le Veen) shunt

d. Transplatasi hati (Setiawan et al, 2007).

Terapi kolelitiasis

1. Terapi non-bedah

Disolusi Medis

Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif

diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu,

fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten (Oesman, 2009).

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)

Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan

melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun

1974 hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran

empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket

kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju

Page 8: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran

empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang

terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur

endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan

litotripsi mekanik dan litotripsi laser (Oesman, 2009).

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan

gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu,

analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya

terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani

terapi ini (Oesman, 2009).

2. Terapi bedah

Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan

kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah

kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut (Oesman, 2009).

Kolesistektomi laparoskopik

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang

ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh

sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini.

Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di

dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila

simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau

berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu

dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan

kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7 Kolesistektomi

laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung

empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi

luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal (Oesman,

2009).

Daftar Pustaka

Page 9: Terapi Kronik Hepatitis B Dan Sirosis

Setiawan B, et al. Sirosis hati. Dalam: Tjokroprawiro A, Penyunting. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. h. 129-136.

PPHI. Panduan tata laksana infeksi hepatitis B kronik. Jakarta; Konsensus Perhimpunan

Peneliti Hati Indonesia. 26 agustus 2006.

Terrault N. A, AASLD Guidelines for Treatment of Chronic Hepatitis B. American

Assosiation for the Study of Liver Disease 2015, 1(1). h. 1-19

Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Ilmu

penyakit dalam. Jakarta: interna publishing; 2009. h. 560-566.

Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada pasien ikterus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi

I, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: interna publishing; 2009. h. 634-639.