teori belajar arthur william brownell.doc

95
Teori Belajar Arthur William Brownell BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi. Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu

Upload: yesi-karimah

Post on 28-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Teori Belajar Arthur William Brownell

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus

yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor

internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan

dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan

pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-

unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang

datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses

internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.

Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan

menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus

yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak

tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana

seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon

stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada

cara-cara seseorang menggunakaan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan

pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.

Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa

siswa sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, fungsi guru

adalah menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling

tinggi, dan siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru

adalah a) memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi

secara bermakna dan relevan dengan siswa, b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri, dan c) membimbing siswa untuk

menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.

Page 2: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para

ahli tentang pentingnya memahami tingkat berpikir kritis siswa. Pada dasarnya suatu materi

pelajaran matematika ini dapat dimengerti dengan baik apabila siswa yang belajar sudah siap

menerimanya. Psikologi belajar dan teori belajar pada umumnya berkaitan dengan bagaimana

anak belajar. Sejak psikologi dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu, beberapa tokoh

mengembangkan teori belajar masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku

maupun aspek kognitif.

Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar pendidikan

yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif.. Di antaranya

aliran Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike, Ausubel, Gagne,

Pavlov dan teori tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner,

Brownell, Dienes dan Van Hiele. Dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli

psikologi, mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah

mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori pembelajaran yang

muncul.

1.2. Perumusan Masalah

Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan

Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.

1.4. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Teori Belajar Brownell

Page 3: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William

Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang

mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his

point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence

of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for

children's mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya

pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan

belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam

perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya

ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930.

Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah

sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.

Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)

yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan

hafal/ulangan).

Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang

lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L.

Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan

proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan

lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan.

Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran

sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan

dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.

Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh

siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau

menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:

a.       Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai

kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.

b.      Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan

pengertiannya.

Page 4: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

c.       Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada

kesempatan lain.

d.      Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran

matematika.

a.       Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.

Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik,

bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin

dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.

b.     Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru

memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai

reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 =

4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan

2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya

akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui

penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar

berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons

otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka

relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.

c.  Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini

merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak.

Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab

pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa

dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya

(mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill

(balapan).

Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini

adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam

pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting,

Page 5: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti

oleh para siswa.

Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-

prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar untuk mengukur

kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung

saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan

kemampuan untuk menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek

matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa

yang dipelajarinya. Anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.

Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis

dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan

atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.

Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan

berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas

tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the

significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.

Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam

kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat

intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.

Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar

respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika

yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan

bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya

sebagai kemahiran.

Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti

memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus

menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan

pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika

mereka mempelajari konsep matematika. Teori belajar William Brownell dikenal seebagai

meaning theory.

Page 6: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri seolah nampak

jelas, yakni pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas,

kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat

dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran

yang dapat menutupi kelemanhan-kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana

matematika saat itu mempnyai karakteristik sebagai berikut ;

1.    Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan,

statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.

2.    Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan

dan ketrampilan berhitung.

3.    Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue

4.    Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur

5.    Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.

6.    Menggunakan bahasa yang lebih tepat.

7.    Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.

8.    Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik

diskusi.

9.    Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.

Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila

konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini

dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari

kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan

kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran

matematika, siswa sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial

manusia maupun segi intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang

dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar

mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana

prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang

dipelajari.

Page 7: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan

hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan

pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil

dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi

anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak

dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin

formal.

Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan

yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang

menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh

anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:

a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar

dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

b.       Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru

harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

c.        Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

d.       Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e.        Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada

siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat

belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan

usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran

operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya

diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika

dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi

bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang

telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.

Page 8: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

DAFTAR PUSTAKA

Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud

Http://nurrahmanmechy.blogspot.com/2009/05/teori-belajar-matematika-teori-belajar 9182.html. Diunduh tanggal 1 Oktober 2011.

Karso, dkk. 2000. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas terbuka

http://thabilkharisma.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-arthur-william-brownell.html

Psikologi Pembelajaran Matematika (BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)

3 Mei 2014

iqbalzonecoolz diary belajar dan pembelajaran, BROWNELL, DIENES, VAN HIELE Tinggalkan komentar

 

 

 

 

 

 

Rate This

(BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)

a)    Teori William Arthur Brownell

Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar

Page 9: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.

Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.

Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

 

b)    Teori Zoltan Paul Dienes

Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan

Page 10: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.

Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.

Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.

Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.

Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.

Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian, anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

 

c)     Teori Van Hiele

Page 11: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut:

Tahap pengenalan (Visualisasi).

Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar, mempunyai 12 rusuk, dll.

Tahap analisis

Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.

Tahap pengurutan (deduksi informal)

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang.

1. Tahap deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada

Page 12: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.

Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).

Tahap akurasi

Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.

http://iqbalzonecoolz.wordpress.com/2014/05/03/psikologi-pembelajaran-matematika-brownelldienesvan-hiele/

TEORI PEMBELAJARAN ( PAVLOV, BARUDA, PIAGET, DEWEY, BROWNELL, DIENES )

BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal

memberikan yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti

norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma kesusilaan,

harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang di utamakan adalah

kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga bahwa hasil yang di capai tidak akan

memberikan hasil yang memuaskan. Berbicara mengenai teori belajar dan mengajar

matematika berarti berbicara mengenai ”bagaimana” dan ”kepada siapa” suatu topik matematika

diajarkan.

Belajar dan mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak

dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep mengajar berarti guru

menyampaikan semua pengetahuan matematika yang diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa

kini mengajar lebih diupayakan pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru

Page 13: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

sehingga siswa dapat belajar. Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered).

Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori

psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar

pendidikan (Suherman, 29). Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses

mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada

yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar.

Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang

belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja,

masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai

pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar. Berdasarkan etimologi

perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Di sisi lain

matematika dipadang sebagai ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan

konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya dan terbagi dalam tiga bidang, yaitu

aljabar, analisis dan geometri. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa teori pembelajaran adalah

suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada

aneka sumber yang memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan

menarik.

Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta

didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,

dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta

didik. Secara pragmatis, teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan

prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan

yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Siswa-siswa yang berprestasi tinggi umumnya

merupakan pembelajar-pembelajar mandiri yang disiplin dan efektif. Sebuah model

pembelajaran mandiri meliputi tiga komponen : evaluasi dan monitor diri sendiri, perancang

tujuan dan perencanaan strategi ; melaksanakan rencana dalam tindakan, dan memonitor hasil

serta menyempurnakan strategi-strategi. Pembelajaran mandiri memberi anak tanggung jawab

Page 14: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

atas proses belajar mereka. Kemampuan memonitor diri berkembang dimasa remaja. Sehingga,

banyak suasana lingkungan memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula lingkungan

yang menekannya (Csikszentmihalyi, 1996: Strenberg, Grigorenko, dan Singer.2004).

Orang-orang yang mendorong kreativitas anak seringkali bertumpu pada keingintahuan

alami anak. Mereka menyediakan latihan-latihan dan aktivitas yang menstimulasi anak untuk

menemukan pemecahan-pemecahan mendalam terhadap masalah, alih-alih menanyakan

pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban. Howard Gardner (1993) yakin

bahwa ilmu pengetahuan, penemuan, dan museum anak menawarkan kesempatan yang banyak

untuk menstimulasi kreativitas anak. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu

ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem

informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain diluar titik

fokus itu seperti lingkungan juga selalu diperlukan untuk menjelaskan proses belajar.

Pembelajaran menurut aliran kognitif, yang mana dalam pembelajaran kognitif menitik beratkan

belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat pengalaman pribadi ini di kemukakan

oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada

kurikulum berbasis tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik.

Jadi siswa di tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran

kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif di dalam proses pembelajaran karena di dalam

pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di sini tidak menjadi objek

pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini sangat penting

karena mengingat proses belajar yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses

komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan

keterampilan yang sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk

secara aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas

mengembangkan potensi, bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

Page 15: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian belajar bagi seorang anak didik?

2. Bagaimana teori-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya?

3. Bagaimana Metode Pembelajaran Matematika?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian belajar bagi seorang anak didik.

2. Untuk mengetahui pembagian-pembagian teoro-teori psikologi pembelajaran matematika

dan tokoh-tokohnya.

3. Untuk mengetahui metode pembelajaran matematika.

Page 16: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

BAB 2

DAFTAR PUSTAKA

Banyak orang yang beranggapan, bahwa yang di maksud dengan belajar adalah mencari

ilmu atau menuntut ilmu. Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah belajar

itu, akan memperoleh jawaban yang bermacm-macam. Perbedaan pendapat orang tentang arti

belajar itu disebabkan karena adanya kenyataan, bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-

macam. Menurut James O. Wittaker, belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah

laku di timbulkan atau di ubah melalui latihan atau pengalaman. Para ahli seperti John Locke

pada abad 7 mengemukakan pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang

menentukan dalam perkembangan anak, sebab kejiwaan anak ketika di lahirkan adalah ibarat

secarik kertas yang masih bersih. Dan pernyataan ini di perkuat juga oleh tokoh B Watson (1908-

1920) yaitu tokoh Empirisme terkenal dengan behavioristik mengatakan karena jiwa manusia

waktu di lahirkan masih bersih, maka untuk menjadikannya sesuai dengan yang dikehendaki

kepadanya tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan.

Seorang psikolog dari Amerika Kuno yaitu William James mengungkapkan hasil

temuannya bahwa anak yang di lahirkan di tengah-tengah campuran cahaya dan keributan, maka

semakin bertambah pula pengetahuan baik berupa penganutan, penglihatan atau karena adanya

rangsangan dari luar sehingga anak dapat membedakan dan memisah-misahkan antara cahaya,

dengan demikian anak telah mulai mengalami “ proses belajar “. Pendidikan sering di tafsirkan

sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang kelak mampu berdiri sendiri

dan mengejar cita-cita.

Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat di simpulkan bahwa tujuan

bimbingan pada umumnya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membantu

pilihan yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran terhadap situasi yang kritis dalam

hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri

(John KJ, 1945). Menurut pengamatan dan pengalaman Dines bahwa terdapat anak-anak yang

menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang

sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin “sukar “ matematika yang di pelajari makin

kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang

sukar, rumit, dan banyak memperdayakan.

Page 17: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Di sisi lain Sears mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang banyak di pengaruhi

oleh pengaruh hubungan antar orang tua dan anak, saudara, lingkungan, majalah, koran, siaran

televisi dan lain-lain. Sehingga tak satupun orang yang mempunyai kepribadian yang sama di

sebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama pengaruh dari orang tua karena latar belakang

kepribadian dan kemampuan orang tua berbeda-beda. Maka dari itu hendaknya orang tua selalu

berusaha menjadi contoh kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang tinggi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Soepartinah Pakasi yang hendaknya kehidupan

keluarga “Conducive” bagi, dan membantu pembentukan kepribadian-kepribadian yang kita

inginkan sebagai orang tua, sebagai warga negara tyang berpedomana pada Pancasila dan

Filsafat Negara. Dengan demikian, anak/remaja akan berangsur-angsur melepas identifikasinya

terhadap orang-orang lain sehingga ia mampu menjadi dirinya sendiri.

Page 18: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

BAB 3

PEMBAHASAN

A. Psikologi Pembelajaran Matematika

Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia

melakukan perubahan-perubahan kualitif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua

aktivitas dan prestasi hidup manusia tak lain adalah hasil dari belajar. Menurut rumusan G.A

Kimble belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi

sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena

kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan saraf, atau dengan kata lain bahwa

mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang

belajar. Di samping itu terdapat paham atau pemikiran lain yang menitikberatkan kepada

rangsangan dan jawaban yang lebih di kenal dengan teori “RJ” (rangsangan jawaban) bahwa

tingkah laku diperoleh dari proses belajar dengan cara merangsang dari luar, yang mungkin dapat

terjadi berulang-ulang dan dengan penguatan melalui cara yang langsung atau tidak langsung

memberikan dorongan untuk memberikan jawaban.

Pendidikan sering di artikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan

yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita. Untuk dapat tercapainya manusia yang

dewasa, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka perlu dicegah dari pengaruh negatif dan

timbulnya gangguan dalam perkembangan anak. Salah satu usaha mencegah gangguan

perkembangan kepribadian anak adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan

penyuluhan merupakan salah satu “upaya nyata” dan telah banyak peranannya dalam ikut

membentuk manusia dan masyarakat yang sehat mental. Para ahli di bidangnya memberikan

batasan mengenai bimbingan yaitu pelayanan yang terorganisir dengan maksud memberi

bantuuan secara teratur pada anak didik (peserta didik) dalam memecahkan masalah-masalah

yang mereka hadapi dan dalam membina penyesuaian diri terhadap berbagai situasi yang harus

ia hadapi.

Page 19: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan

pada umunya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membuat pilihan yang

bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran situasi yang krisis dalam hidupnya sedemikian rupa

untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ, 1945). Sesuai

dengan sasaran yang ingin di capai yaitu bimbingan dalam belajar, maka pengenalan

pembahasan di tujukan pada :

a. Kemampuan berprestasi di sekolah

b. Pemahaman tentang kesulitan di sekolah

c. Penyelesaian kesulitan dalam belajar

d. Upaya mengatasi kesulitan anak

e. Pengamalan sila dari pancasila yaitu sikap menghormati kepentingan dan harga diri orang

lain. (uraian ini berpedoman pada buku psikologi untuk membimbing oleh Dra. Ny. Y.

Singgih D. Gunarsa).

Menurut MORRIS KLINE (1961) bahwa jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung

dari kemajuan di bidang matematika. Dan Slamet Santoso mengemukakan bahwa fungsi

matematika merupakan ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya dan bangsa-bangsa.

Untuk suatu negara penting karena jatuh bangunnya suatu negara tergantung dari kemajuan di

bidang matematikanya. Oleh karena itu sebagai langkah awal untuk mengarah pada tujuan yang

di harapkan adalah mendorong atau memberi motivasi belajar matematika bagi masyarakat

khususnya bagi anak-anak atau peserta didik. Keberhasilan proses belajar mengajar matematika

tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan dari para tenaga pendidik di bidangnya

dan bagi para peserta didik yang sudah mampunyai minat (siap) untuk belajar matematika akan

merasa senang dan penuh perhatian mengikuti pelajaran tersebut, oleh karena itu para pendidik

harus berupaya untuk memelihara maupun mengembangkan minat atau kesiapan belajar anak

didiknya atau dengan kata lain bahwa “teori belajar mengajar matematika harus di pahami”

betul-betul oleh para pengelola pendidikan.

Penggunaan matematika atau berhitung dalam kehidupan manusia sehari-hari telah

menunjukkan hasil nyata seperti dasar bagi disain ilmu teknik misalnya perhitungan untuk

Page 20: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

pembangunan antariksa dan di samping dasar disain ilmu teknik metode matematis memberikan

inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi dan dapat memberikan warna kepada

kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Pengetahuan mengenai matematika memberikan

bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu bentuk dan kekuasaan yang akhirnya bahwa

matematika merupakan salah satu kekuatan utama pembentukan konsepsi tentang alam suatu

hakikat dan tujuan manusia dalam kehidupannya.

Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya di dasari oleh teori

psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar

pendidikan. Pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, tidak akan pernah bisa

terlepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ya, mungkin dapat diibaratkan seperti rasa

manis yang melekat pada gula. Jika sifat manisnya hilang, bukan lagi gula namanya. Sebaliknya,

kita melepaskan psikologi pembelajaran, maka segala aktifitas yang kita lakukan bukan lagi

sebagai proses pembelajaran. Tidak hanya tingkat kedalaman konsep dan keluasan materi yang

akan diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara

penyampaian pun demikian juga seharusnya. Guru harus mampu mengetahui tingkat

perkembangan mental siswa dan bagaimana pembelajaran yang harus dilaksanakan sesuai

dengan tahapan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap

perkembangan mental siswa, kemungkinan besar akan menyebabkan siswa merasa kesulitan,

karena apa yang disajikan tidak sesuai dengan kemampuannya menyerap bahan ajar.

B. Tokoh-tokoh Aliran Psikologi

1. Pavlov dengan teori belajar Klasiknya

Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya

Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia di didik di sekolah gereja dan melanjutkan

ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi.

Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov terkenal dengan

Page 21: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

percobaannya menggunakan hewan dan manusia. Pada akhir abad ke-19 ia melakukan penelitian

tentang pencernaan. Pada sebagian penelitiannya ia melakukan pengamatan terhadap tingkah

laku anjing. Pavlov mencoba menemukan hubungan antara anjing yang melihat makanan dengan

keluar air liurnya. Pada mulanya anjing itu dikurung, lalu diberi makanan. Sebelum makanan itu

diberikan, nampak anjing itu mengelurkan air liurnya. Kemudian anjing itu diberi makan terus

seperti biasanya, namun sebelum diberi makan bunyikanlah sebuah bel.

Seperti biasanya anjing itu mengelurkan air liurnya. Akhirnya dicoba menyembunyikan bel

tanpa memberikan makanan, ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan

melelehnya air liur anjing setiap Apa yang dikemukakan Pavlov tersebut merupakan suatu

pembiasaan (conditioning). Dengan melelehnya air liur anjing setiap mendengarkan bunyi

lonceng oleh pavlov melihat ada hubungan bersyarat anatar anjing, makan, dan air liur. Makanan

atau lonceng merupakan stimulus untul keluarya air liur, sehingga makanan disebut stimulus tak

wajar (refleksi) sedangkan bunyi lonceng di sebut stimulus bersyarat. Dalam hubungannya

dengan proses belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik, maka haruslah dibiasakan.

Misalnya agar siswa terbiasa mengerjakan soal pekerjaan rumah (PR) dengan baik, sebagai guru

sebaiknya membiasakan untuk memeriksanya, menjelaskannya, ataupun memberikan nilai

terhadap hasil pekerjaan siswanya.

2. Baruda

Albert Bandura dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondere Alberta, Canada. Dia

memperoleh gelar Master di bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga

meraih gelar doktor (Ph.D). Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford University. Albert

Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning TheoryAlbert Baruda

mengemukakan bahwa seseorang itu belajar melalui proses meniru. Maksud meniru disini

bukanlah mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.

Ia melakukan percobaan bersama dengan rekan-rekannya untuk menemukan adanya

pengaruh antara model-model (yang telah dilatih khusus untuk bertingkah laku tertentu) terhadap

orang-orang yang melihatnya. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa seseorang yang

terbiasa melihat orang lain (model) berbuat jahat, maka ia cenderung untuk berbuat jahat, begitu

pun sebaliknya. Dengan demikian, implikasi teori ini dalam pembelajaran adalah guru harus

Page 22: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

menjadi model yang professional, yang layak untuk ditiru siswanya. Seperti sebuah pameo,

“guru, digugu dan ditiru”, bukan lantas “guru, digugu walaupun keliru”. Sehingga, ketika

seorang anak didik tidak boleh mengikuti kekeliruan seorang guru, dan juga seorang guru tidak

boleh melakukan kekeliruan karena beliaulah contoh bagi anak didiknya.

3. Piaget

Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia

sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya kepada

epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan. Piaget dikenal sebagai

ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor dalam bidang biologi (Setiono, 1983 :

12). Piaget menyakini bahwa proses berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin

bahwa anak bukan merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang

efisien dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang

dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif

yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno : 2000). Ia mengadakan

penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan penelitian kepada anaknya sendiri.

Dari penelitian itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut “Teori Perkembangan

Mental Manusia”. Perkataan “mental” pada teori itu biasa disebut “intelektual” atau “kognitif”.

Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar.

Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia dari lahir

samapi dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori

Piaget, perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang

berurutan. Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget tersebut

adalah sebagai berikut :

a. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).

b. Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).

c. Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).

d. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).

Page 23: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Beberapa ciri utama pada setiap tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai

berikut :

a)      Tahap Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)

Pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan dunia

fisik. Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini. Namun,

para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini dasar-dasar pertumbuhan mental

dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan. Secara lebih terperinci, beberapa ciri tahap

sensori-motor adalah sebagai berikut :

1)    Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.

2)     Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.

3)      Anak belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar. Missal :

mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.

4)      Mulai mengotak-atik benda.

b)      Tahap Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)

Pada tahap ini anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide

tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai

menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah tersebut. Pada tahap

ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang “kekekalan”, “tidak berubah”, atau “konservasi”

yang sederhana, walaupun belum sempurna benar. Anak tidak melihat abahwa banyaknya objek

adalah tetap atau tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tadi.

Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir prakonseptual dan tahap berfikir intuitif

(Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ;

Bybee, 1982) :

1)      Sebaran umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir pra-konseptual

sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.

2)      Bila kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam) sedangkan

pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap pra-konseptual

memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan khayalan. Penilaian dan

perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri,

bukan kepada penalaran.

Page 24: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

3)      Anak mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak

mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang lain. Misalnya bila ia

melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu, mengira bahwa temannya yang

berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu terlihat gambar itu terbalik pula. Karena itu kita

akan menemukan bahwa anak-anak pada tahap ini sangat egois (egosentris).

4)      Anak mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya (animisme).

5)      Anak pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan

khayalannya (fantasi).

6)      Anak berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan kata lain :

a)      Anak belum memiliki konsep kekekalan banyak.

b)      Anak belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)

c)      Anak belum memiliki konsep kekekalan panjang

d)     Anak belum memiliki konsep kekekalan luas

e)      Anak belum memiliki konsep kekekalan berat

f)       Anak belum memiliki konsep kekekalan isi

7)      Pada tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan), sehingga

anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.

8)      Anak sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.

9)      Anak tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.

10)  Anak mampu memanipulasi benda konkret.

11)  Anak mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari tangan.

12)  Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan alas an atas keyakinannya, dapat mengelompokkan

benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan mulai dapat memahami konsep yang

sederhana.

13)  Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan

dan ketidaksamaan).

14)  Anak kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbnatas dari sebuah ruas

garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya.

Mirip dengan ciri ke-12 diatas, Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada tahap pra-

operasional, anak kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks. Misalnya dari 20

bola kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika anak ditanya manakah

Page 25: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat??? Maka anak akan menjawab

coklat yang lebih banyak.

c)      Tahap Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)

Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret

untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan alat yang sangat

penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudfah mulai

berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasi benda-

benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap ini sudah dapat diterima dengan mantap oleh anak.

Sebagai contoh, kita ambil dua gelas yang sama ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan

air yang sama banyak volumenya. Kedua gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada

seorang anak. Kita tanyakan kepada dia “apakah sama ataukah tidak banyaknya air dalam kedua

gelas ini???” menurut Jean Piaget, anak-anak akan menjawab “sama benyaknya”. Selanjutnya,

air dalam salah satu gelas tadi dituangkan semuanya pada sebuah gelas yang tinggi dan garis

tengahnya lebih kecil. Sekarang kedua gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi.

Ajukan pertanyaan yang sama kepada anak itu. Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab

sama banyaknya. Alasannya adalah karena :

(1) Tampak lebih tinggi,

(2) anak menggunakan pikiran logis,

(3) anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.

Kita juga banyak menjumpai sifat kekekalan pada konsep bilangan, contohnya antara lain :

3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 – 2 = 12 : 4 = 1 x 3 = 3

5 x 4 = 4 x 5

0,25 = = 25 % dan lain sebagainya.

Umur anak ketika mulai memahami konsep kekekalan adalah sebagai berikut :

1)      Konsep kekekalan bilangan, sektar 5 – 7 tahun.

2)      Konsep kekekalan banyaknya zat, umur 7 – 8 tahun.

3)      Konsep kekekalan panjang, sekitar 7 – 8 tahun.

4)      Konsep kekekalan luas, sekitar 8 – 9 tahun.

5)      Konsep kekekalan berat, sekitar 9 – 10 tahun.

6)      Konsep kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 – 12 tahun).

Page 26: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Selain ciri-ciri diatas, pada tahap operasi konkret anak juga sudah mampu melihat sudut pandang

orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang dengan

membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-mobilan dari bamu

dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami kesulitan untuk menjelaskan

peribahasa dan belum mampu memahami arti yang tersembunyi. Satu hal yang perlu dicamkan,

tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap ini anak tidak mengerti konsep tanpa benda

konkret, akan tetapi disebabkan karena anak-anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk

menerapkan proses intelektual formal kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Dari

awal tahap operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat tingkat

berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :

1)      Berfikir konkret

2)      Berfikir semi konkret

3)      Berfikir semi abstrak

4)      Berfikir abstrak

Para siswa sekolah dasar di Indonesia umumnya berumur 6 – 12 tahun. Jadi, kebanyakan

diantara mereka berada pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan pembelajaran

matematika SD, pada tahap ini anak dapat “mengelompokkan” benda-benda konkret berdaarkan

warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan sekelompok benda konkret berupa

bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga, segiempat, segilima, dan segienam. Setiap

bangun geometri tersebut berwarna tertentu, misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan

hitam. Kita dapat meminta anak untuk mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah.

Anak juga dapat diminta untuk mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak

juga dapat mengumpulkan segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat

diminta mengurutkan segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke besar atau

sebaliknya.

d)     Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage)

Ini merupakan tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia menurut Piaget.

Ciri-ciri yang tampak antara lain :

1)      Anak sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi konkret

untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.

Page 27: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

2)      Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatan secara

objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat membedakan antra argumentasi dan

fakta.

3)      Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.

4)      Dapat merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji bermacam-

macam hipotesis.

Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau

tidaknya benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya

disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget menekankan bahwa

proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi kedalam struktur

mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru kedalam struktur

mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat dari adanya informasi

dan pengalaman baru. Ketika para siswa mempunyai pengalaman baru, mereka secara aktif

mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang

sudah ada.

Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena

kenyakinannya bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi

penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak sudah

memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda konkret yang telah dia kenal.

Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia

kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat

ini. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa

jumlah jeruknya sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya

jeruk, yaitu 5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau

diatur, yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama

dengan 2 + 3. Dengan kata lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir abstrak.

Teori ini di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar

dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.

Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus

keluar dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan perkembangan

mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat di lakukan dengan

Page 28: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit, sebab dasar

perkembangan mental(kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman berbuat aktif terhadap

benda-benda sekeliling, dan perkembangan bahasa merupakan salah satu kunci untuk

mengembangan kognitif anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi bahwa dalam

perkembangan anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan dengan perkembangan

bahasa sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir saling mempengaruhi.

4. Bruner dengan metode Penemuannya

Jerome, S Bruner telah banyak menulis teori belajar, yang kajian khususnya adalah mengenai

bagaimana keyakinan dia terhadap anak-anak yang belajar matematika. Dalam teorinya ia

menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan

kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan,

disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan

mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan

lebih memahami materi yang harus dikuasainya itu. Dengan kata lain, materi yang mempunyai

suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahamai oleh anak. Seperti halnya Piaget,

Bruner lebih peduli terhadap proses belajar dari pada hasil belajar.

Oleh sebab itu, menurut Bruner metode belajar merupakan factor yang sangat menentukan

dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang

sangat didukung oleh Bruner adalah metode belajar dengan penemuan. Dengan metode ini anak

di dorong untuk memahami suatu fakta atau hubungan matematika yang belum dia pahami

sebelumnya, dan yang belum diberikan kepadanya secara langsung oleh orang lain. Bruner

berpendapat mengenai penemuan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang

telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan

suatu pola atau “keteraturan” yang bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang

sedang dihadapinya. Ia yakin bahwa dalam mempelajari matematika seorang anak perlu secara

langsung menggunakan bahan-bahan manipulative. Bahan-bahan manipulative merupakan benda

konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam berusaha untuk

memahami suatu konsep matematika.

Page 29: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan memberikan kesempatan

baginya untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner

mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahapan, yaitu :

a. Tahap enaktif (enactive). Dalam tahap ini anak secara langsung terlbat dalam memanipulasi

(menotak-atik) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep bilangan pecahan

yaitu . kita dapat menggunakan sebuah apel yang dibagi dua sama besar.

b. Tahap ikonik (iconic). Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan dengan

mental, yang merupakan gambaran dri objek / benda yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung

memanipulasi objek seperti yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan

pada sajian yang berupa gambar atau grafik.

c. Tahap simbolik (symbolic). Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap

sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi / symbol tanpa

ketergantungan terhadap objek real.

5. Dewey dan Teori Pembelajaran Kognitif

Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952.

John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang

menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan

peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta

didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya.

Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan

realitas yang ada. Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi

Indonesia.

Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika Dewey

termasuk aliran pendidikan yang progresif di mana Dewey mengutamakan pada pengertian dan

belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa belajar. Para

pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak untuk belajar, atau

dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang

telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan

pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007: 105).

Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya

Page 30: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya

pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara

psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan

pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan

baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi

dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus

agar berjalan dengan baik. Proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat

bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga

masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori kognitif John Dewey

dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif.

Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan

masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah

didapat.

Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan

masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada

perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa. Tujuan pendidikan menurut teori belajar

kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):

1)      Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan

setiap persoalan yang dihadapi.

2)      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan

pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan

memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis

masalah dalam kehidupan sehari-hari.

3)      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi

dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi

kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada

kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi

pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga

Page 31: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Dalam upaya

mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk,

2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai

berikut:

1)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri

2)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi

lebih kreatif dan imajinatif

3)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru

4)      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa

5)      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka

6)      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

6.    William Brownell (Aliran Psikologi Gestalt)

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William

Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua puluh.

Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pennsylvania, dan wafat pada tanggal 24

mei 1977. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di Smethport dan kemudian

melanjutkan pendidikannya di Ailegheni College, di mana mendapatkan gelar A.B. pada tahun

1917. Setelah lulus, dia kembali ke kampung halamannya untuk mengajar di sekolah menengah

setempat selama empat tahun. Lalu ia pergi ke Illinois untuk mulai mengerjakan program

pascasarjananya di pendidikan psikologi di universitas Chicago Di Chicago.

Aliran psikologi Gestalt memandang bahwa pembelajaran harus ditekankan kepada

pengertian dan penuh makna (meaningful learning, atau meaning theory). Salah satu tokoh

penting yang mengemukakan pandangan ini dalam matematika adalah William Brownell (sekitar

tahun 1930-an). Pandangan Brownell ini didasarkan atas kenyakinan bahwa anak-anak pasti

memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-

menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak untuk mengembangkan pemahaman

tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka

mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali

diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika

Page 32: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

mereka menggunakan benda konkret yang mereka kenal, seperti : mangga, kelereng, bola, atau

sedotan.

Dengan kata lain, teori belajara William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda

konkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan

keterampilan baru yang mereka pelajarai. Aliran psikologi Gestalt saling mendukung dengan

aliran pengaitan dari Thorndike dan aliran pendidikan progresif Dewey yaitu pengjaran yang

ditekankan pada pengertian, belajarbermakna dan pengaitan. Dan penekanan pada latih hafal

yang di lakukan setelah anak didik memperoleh pengertian. Teori belajar William Brownell

didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak memahami apa yang sedang mereka pelajari jika

belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Aritmatika atau

berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah

otak.

Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran

lainnya sedikit sekali dikupas. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan

pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika mereka

mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali di

perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika

mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ; seperti mangga, kelereng, bola atau

sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William brownel ini mendukung penggunaan benda-

benda kongkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep

dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran

pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Contoh

mengenai belajar dengan menghafal dan belajar dengan pengertian,yaitu:

i.                    Siswa belajar dengan menghafal

1)      3+6 = 9

2)      15+11 = 26

ii. Siswa belajar dengan pengertian

1)      15+11 = (10+5) + (10+1)

= (10+10) + (5+1)

= 20 + 6

= 26

Page 33: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

7.    Teori Zaisa Dienes

Dienes dalam pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak di

harapkan akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan

pengamatan Dienes bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada

permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya

semakin “sukar” matematika yang dipelajari makin kurang minatnya belajar matematika

sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdalam.

Kurangnya minat belajar anak terhadap matematika karena kurangnya pengertian tentang hakikat

dan fungsi matematika itu sendiri.

Padahal matematika itu salah satu jalan untuk menurut Slamet Imam Santoso merupakan

salah satu jalan untuk menuju pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti pemikiran mana melandasi

semua ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan jatuh bangun suatu negara tergantung dari

kemajuan matematikanya(Moris Kline). Menurut ET Russefendi agar anak didik memahami dan

mengerti akan konsep (struktur) matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni,

di lanjutkan dengan konsep notasi, dan di akhiri dengan konsep terapan, di samping itu untuk

dapat mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model) dimulai

dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami

arti benda-benda bila di sajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda, atau dengan kata lain

bahwa benda-benda yang akan diamati harus beraneka ragam. Untuk membangkitkan dan

memelihara minat belajar anak atau peserta didik perlu di ciptakan suasana santai saat belajar,

memberikan kesempatan bermain dan permainan akan lebih baik jika dikaitkan dengan bermain

dengan pelajaran matematika.

C. Metode Mengajar Matematika

Apabila kita ingin mengajarkan sesuatu kepada anak/peserta didik dengan baik dan berhasil

pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang akan di

lakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik, karena

metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.

Dengan demikian jika pengetahuan tentang metode dapat mengaplikasikannya dengan tepat mka

Page 34: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

sasaran untuk mencapai tujuan akan semakin efektif dan efisien. Metode mengajar yang di

terapkan dalam suatu pengajaran di katakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan

yang di harapkan atau dengan kata lain tujuan tercapai, bila makin tinggi kekuatannya untuk

menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode mengajar dikatakan

efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang di harapkan itu relatif menggunakan

tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu minimum atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya

dan waktu yang di keluarkan semakin efisien metode itu.

Metode atau cara atau pendekatan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi

yang akan diajarkan dirancang terlebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk menerapkan suatu

metode atau cara atau pendekatan dalam pengajaran matematika sebelumnya menyusun strategi

belajar mengajar, dengan strategi belajar mengajar yang sudah tersusun dapat ditentukan metode

mengajar, atau tekhnik mengajar dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pelajaran

sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan.

Page 35: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

BAB 4

PENUTUP

Kesimpulan

Strategi pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan

dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar,

dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Strategi belajar adalah

strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan soal-

soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang dipergunakan guru dalam mengolah

materi matematika untuk pengajaran.

Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Misalnya

seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan, lalu sekali-

sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan

guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang

diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Bagi guru matematika yang

mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai

guru matematika yang professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan

meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di

dalam kelas.

Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan

dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru harus

mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang harus dilakukan

sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan

tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami

kesulitan, karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam

menyerap materi yang diberikan. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran

dalam system penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus

disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan.

Beberapa teori belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan

bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari bagian ini

diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan

Page 36: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta mampu

menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.

Page 37: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode

Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.

Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud

http://www.itachi » Blog Archive » macam-macam teori pembelajaran.htm

Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.

Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Santrock, W. John. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.

......................................Jilid 2. Jakarta. Erlangga.

Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja

rosdakarya.

Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

http://royatulkhalilah14.blogspot.com/2013/11/teori-pembelajaran-pavlov-baruda-piaget.html

teori belajar brownell

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

               Psikologi  kognitif  menyatakan  bahwa perilaku  manusia  tidak  ditentukan  oleh  stimulus  yang 

berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu 

berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman 

itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi 

Page 38: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, 

untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar 

pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.

               Kegiatan   pengelolaan   informasi   yang   berlangsung   di   dalam   kognisi   itu   akan  menentukan 

perubahan   perilaku   seseorang.   Bukan   sebaliknya   jumlah   informasi   atau   stimulus   yang  mengubah 

perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis 

dan   cara   pemberian   stimulus,   melainkan   lebih   ditentukan   oleh   sejauh   mana   seseorang   mampu 

mengelola  informasi  sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada 

disekelilingnya.   Oleh   karena   itu   teori   belajar   kognitif   menekankan   pada   cara-cara   seseorang 

menggunakaan   pikirannya   untuk   belajar,   mengingat   dan   menggunakan   pengetahuan   yang   telah 

diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.

               Teori   belajar   kognitif  menekankan  pada   kemampuan   siswa  dan  menganggap  bahwa   siswa 

sebagai   subjek   didik.   Jadi   siswa   harus   aktif   dalam   proses   belajar   mengajar,   fungsi   guru   adalah 

menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling tinggi, dan 

siswa   harus  mencari   cara   sendiri   agar   dapat  menaiki   tangga   tersebut.   Jadi   peran   guru   adalah   a) 

memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara bermakna 

dan   relevan   dengan   siswa,   b)  memberikan   kesempatan   kepada   siswa   untuk  mengungkapkan   atau 

menerapkan   gagasannya   sendiri,   dan   c)   membimbing   siswa   untuk   menyadari   dan   secara   sadar 

menggunakan strategi belajar sendiri.

Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para ahli 

tentang   pentingnya  memahami  tingkat   berpikir   kritis   siswa.   Pada   dasarnya   suatu  materi   pelajaran 

matematika   ini  dapat  dimengerti  dengan  baik  apabila   siswa  yang  belajar   sudah  siap  menerimanya. 

Psikologi  belajar  dan  teori  belajar  pada umumnya berkaitan  dengan bagaimana anak  belajar.   Sejak 

psikologi   dijadikan   sebagai   salah   satu   cabang   ilmu,   beberapa   tokoh  mengembangkan   teori   belajar 

masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku maupun aspek kognitif. 

             Banyak  teori-teori  belajar   telah  dikemukakan oleh para  psikolog  atau pakar  pendidikan yang 

dapat   digunakan   sebagai   dasar   pengembangan   pembelajaran   yang   inovatif..   Di   antaranya   aliran 

Psikologi  Tingkah  Laku  dikemukakan  antara   lain  oleh:  Thorndike,  Ausubel,  Gagne,  Pavlov  dan   teori 

tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner, Brownell, Dienes dan Van Hiele. 

Dengan   munculnya   terori   pembelajaran   dari   para   ahli   psikologi,   mempengaruhi   pembelajaran 

Page 39: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan 

dengan penemuan teori pembelajaran yang muncul.

1.2 Perumusan Masalah

Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan 

Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.

1.4 Tujuan Penulisan

       Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 40: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

2.1 Teori Belajar Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur 

Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan 

hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his point of view as the “meaning

theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He

showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…”

pada penelitiannya mengenai  pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar 

matematika   harus  merupakan  belajar   bermakna   dan   belajar   pengertian   atau   yang  dikenal   dengan 

Meaning  Theory   (teori   bermakna)  dan  dalam perkembangannya   ia  meletakkan  pondasi  munculnya 

matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul 

pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan 

sebutan drill  adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill  diberikan setelah tertanam 

pengertian.

Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)  yang 

diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan). 

Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang lebih 

dikenal  dengan sebutan teori  belajar  stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L.  Thorndike 

(1874-1949).   Teori   belajar   ini   menyatakan   bahwa   pada   hakikatnya   belajar   merupakan   proses 

pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil 

bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau 

puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena 

sukses   yang   diraihnya   dan   sebagai   akibatnya   akan   mengantarkan   dirinya   ke   jenjang   kesuksesan 

berikutnya.

Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa 

dengan  latihan berupa ulangan (drill),  atau dengan kata  lain  dengan  latihan hapal  atau menghapal. 

Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:

Page 41: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

A.    Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta 

(unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.

B.     Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.

C.     Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.

D.    Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

Brownell  mengemukakan   ada  tiga   keberatan  utama  berkenaan  dengan   teori   drill   pada  pengajaran 

matematika.

1.      Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut 

hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. 

Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 

= 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.

2.      Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan 

drill  pada keterampilan aritmetika,  ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi dari yang 

telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua 

siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6,  9 dikurangi 5 

sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 

untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang 

dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan  ini  menunjukkan bahwa drill  tidak 

menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban 

belajar mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.

3.       Aritmetika   adalah  paling   tepat   dipandang   sebagai   suatu   sistem berpikir   kuantitatif.   Pandangan   ini 

merupakan kriteria  penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari 

sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui 

drill   tidak  menyediakan   kegiatan  untuk  berfikir   secara   kuantitatif.  Agar   siswa  dapat  berfikir   secara 

kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi 

perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).

            Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini adalah 

isu  utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam pembelajaran 

Page 42: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

matematika,  bahkan dianjurkan  jika memang diperlukan.  Jadi,  drill   itu penting,  tetapi  drill  dilakukan 

apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti oleh para siswa.

             Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-prinsip 

dan   proses-proses   yang   dapat   dimengerti.  Menurutnya   tes   belajar   untuk   mengukur   kemampuan 

matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja. Tes harus 

mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan kemampuan untuk 

menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek matematikanya maupun 

aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Anak harus 

tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.

            Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis dan 

otomatis   tidaklah   cukup.   Tujuan   utama   dari   pengajaran   aritmetika   adalah  mengembangkan   atau 

pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.

Brownell   mengusulkan   agar   pengajaran   aritmetika   pada   anak   lebih   menantang   kegiatan 

berfikirnya dari  pada kegiatan mengingatnya.  Program aritmetika di  SD haruslah membahas tentang 

pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of

number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.

Pengertian   signifikansi   bilangan   bersifat   fungsional   atau   dengan   kata   lain   penting   dalam 

kehidupan   sosial   manusia.   Sedangkan  makna   bilangan   (the meaning of number)   adalah   bersifat 

intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.

Menurut  Brownell  dalam belajar  orang  membutuhkan  makna,  bukan hanya sekedar   respon 

otomatis   yang   banyak.   Maka   dengan   demikian   teori   drill   dalam   pembelajaran   matematika   yang 

dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses 

pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.

Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami 

apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu 

yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika 

adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari  konsep matematika. 

Teori belajar William Brownell dikenal seebagai meaning theory.

Page 43: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri  seolah nampak jelas, yakni 

pembelajaran  kurang menekankan pada pengertian,  kurang adanya kontinuitas,  kurang merangsang 

anak  untuk   ingin   tahu,  dan   lain   sebagainya.  Ditambah   lagi  masyarakat  dihadapkan  pada  kemajuan 

teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemanhan-

kelemahan tersebut,  munculah kurikulum 1975 dimana matematika saat   itu  mempnyai  karakteristik 

sebagai berikut ;

1.      Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan 

probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal. 

2.       Pembelajaran   lebih  menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari  pada hafalan dan 

ketrampilan berhitung. 

3.      Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue 

4.      Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur 

5.      Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen. 

6.      Menggunakan bahasa yang lebih tepat. 

7.      Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru. 

8.      Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi. 

9.      Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik. 

Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila konsep, 

prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini dikarenakan bahwa 

penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak 

dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu 

juga   Brownell   memberikan   saran   dalam   pengajaran   matematika,   siswa   sebaiknya   memahami 

pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi intelektual dalam sistem 

kualitatif.  Jadi   pembelajaran   aritmetika   yang   dikembangkan   oleh   Brownel,   menekankan   bahwa 

keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga 

harus   mengetahui   bagaimana   prosedur-prosedur   tersebut   bekerja   atau   dengan   kata   lain   harus 

mengetahui makna dari apa yang dipelajari.

Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan 

dan mengasah otak. Aplikasi  dari  bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-

pelajaran lainnya sedikit sekali  dikupas. Menurut Brownell  anak-anak yang berhasil  dalam mengikuti 

Page 44: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

pelajaran  pada  waktu   itu  memiliki   kemampuan  berhitung   yang   jauh  melebihi   anak-anak   sekarang. 

Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang 

dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal. 

Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang 

cukup mendasar.  Dari  penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat  hasil  yang menunjukkan 

bahwa   belajar   tidak  melalui   latihan   hafalan   dan  mengasah   otak,   namun   diperoleh   anak  melalui 

bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll. 

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:

1.      Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan 

menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. 

2.       Anak-anak  akan  belajar   lebih  baik   apabila  dapat  menghadapi   lingkungan  dengan  baik.  Guru  harus 

membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. 

3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. 

4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5.      Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain. 

Pengaplikasian teori kognitif   Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa 

harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari 

apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat 

mengakomodasikan. 

Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi 

hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya diikutsertakan dalam 

proses operasi.  Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja yang 

dapat   menyebabkan   perubahan   dalam   reformasi   pendidikan,   tetapi   bagaimana   cara   kita 

menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan melanjutkan 

usaha perbaikan dalam matematika. 

DAFTAR PUSTAKA

Page 45: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud

http://thabilkharisma.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-arthur-william-brownell.html

http://medieval-breeze.blogspot.com/2012/09/bab-i-pendahuluan-1.html

Teori Pembelajaran John dewey

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita

harapkan dan juga kita inginkan. Dan mungkin juga kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat

atau melakukan tindakan sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka

kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg

berkesadaran magic, naif, atau kritis.

Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau pendidik

sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan

untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.

Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai

tujuan pendidikan yang diinginkan. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format

pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan pendidikan.

John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika

menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan

peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta

didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya.

Page 46: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan

realitas yang ada.

Konsep pendidikan  John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia.

Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Selain itu juga

teori belajar kognitif tidak hanya dikemukakan oleh John Dewey tetapi juga oleh para ilmuwan

yang lain seperti Gestalt, Jean Peaget, dll.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey?

2.      Bagaimana aplikasi teori kognitif John Dewey pada pembelajaran siswa?

C.    TUJUAN

1.      Untuk mengetahui konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey

2.      Untuk mengetahui aplikasi teori kognitif John Dewey pada pembelajaran siswa

Page 47: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

BAB II

PEMBAHASAN

A.           KONSEP BELAJAR DAN TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF JOHN DEWEY

Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta

pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007:

105). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang

selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap

selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan

bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman

dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan

baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi

dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus

agar  berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat

bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga

masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.

Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan

konstruktivistik. Sugihartono dkk. (2007) dalam kutipannya menjelaskan konsep penting dalam

psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap

hubungan-hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Pengamatan atau

pemahaman yang secara mendadak tersebut sering diartikan sebagai ide atau gagasan yang

secara tidak sengaja muncul di dalam memori kita. Meskipun mendadak pengamatan atau

pemahaman tersebut didapat terlebih dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam ini bersifat

insidental.

Sugihartono dkk. (2007) menjelaskan perbedaan antara teori gestalt dengan

konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang dimunculkan

berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun

dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik

Page 48: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan

sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan.

Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey.

John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa

sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak

mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung

pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih

menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari

pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar

pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.

John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950: 89-90, dalam Dwi Siswoyo

dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah

makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman

selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan

bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal

ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan

yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain

itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat

relevan.

John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam

teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey

membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau

preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011).

Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang

dikemukakan, yaitu:

-       Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.

-       Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada

kriteria kelompoknya.

-       Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal

pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Page 49: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Teori perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori pembelajaran

kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik, seseorang

mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal

ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan pada siswa tersebut. Teori kognitif 

pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi

psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam

mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya,

menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar

stimulus atau informasi tersebut (Sugihartono dkk, 2007).

Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses

belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui alat indera

hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sugihartono dkk (2007)

menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi,

memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh

terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.

Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di mana

kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis (Dimyati, 1990).

Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara lain

(John Dewey, 1990 dalam Dimyati, 1990):

-       Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).

-       Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan strukturnya.

Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.

-       Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasi kreatif.

-       Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini

menyangkut logika dan pengalaman.

-       Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini

menyangkut sampling dan eksperimen.

B.            APLIKASI TEORI KOGNITIF JOHN DEWEY PADA PEMBELAJARAN SISWA

Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada

pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir

Page 50: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan

pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara

rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara

berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.

Sugihartono dkk, (2007) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui strategi

pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi

dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal ini siswa dituntut untuk

menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa memiliki kemampuan untuk

memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan

pandangan kognitif tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan

proses aktif dari pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007).

Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini

mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori belajar

kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):

-     Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap

persoalan yang dihadapi.

-     Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan

dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan

masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam

kehidupan sehari-hari.

-     Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.

Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif

untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada

kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi

pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga

kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode

pembelajaran kognitif yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah

model CBSA atau cara belajar siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk

pengembangan kognisi siswa.

Page 51: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam

Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan

pembelajaran, sebagai berikut:

-     Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri

-     Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi

lebih kreatif dan imajinatif

-     Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru

-     Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa

-     Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka

-     Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui penelitian

ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi. Manfaat lain dari

kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif yang secara tidak langsung

berhubungan dengan gejala kognitif.

Page 52: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Teori belajar kognitif merupakan  proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus

agar  berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat

bagi siswa dalam memecahkan masalah agar terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori

pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan konstruktivistik.

John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa

sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak

mempunyai kaitan satu sama lain.

Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada

pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir

untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan

pengalaman yang telah didapat.

B.     SARAN

Kami sangat menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami

sangat mengharap kritik dan saran yang membangun, agar kami dapat memperbaiki pembuatan

tugas di waktu yang akan datang.

Page 53: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Siswoyo dkk. 2011. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Mahmud, Dimyati. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html

Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey

(Oleh: Koko Istya Temorubun, ss)

Pendahuluan

Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John Dewey seputar manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu kami menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya tentang filsafat pendidikan.

Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam proses mengajar dan peranan siswa dalam proses belajar.

I. Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey

1. John Locke

1.1. Pokok Pikiran Filosofis John Locke

Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural alam dan manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.

Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu berisi kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia. Tanpa sustratum material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi. Tak ada realitas

Page 54: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya, obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.

Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh Allah, tak ada ide tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia sadar bahwa ia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan sekitarnya dan membentuk dalam dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang dihadapinya. Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.

Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4] Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik.[5] Dengan demikian, Locke menampilkan karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut, manusia harus tinggal dan membentuk satu  masyarakat politis, di mana seluruh anggotanya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa semua manusia sama. Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan kepada penguasa dengan syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup.

1.2. Pandangan John Locke Tentang Pendidikan

A. Tujuan Pendidikan

Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan, yakni pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat.[10] Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini,

Page 55: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

pengetahuan dilihat oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]

B. Hakekat Pendidikan

Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini saling menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang menerima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu jaringan pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh Locke, gagasan-gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman, tanpa pengolahan secara logis sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan gagasan-gagasan tunggal.

C. Metode Pendidikan

Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya, tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan demikian metode yang ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.

D. Kurikulum Inti

John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]

Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan, kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung, bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.

Page 56: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

2. John Dewey

2.1. Pandangan Filosofis John Dewey[20]

Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat yang ada disekitarnya.

Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.

2.2. Pandangan John Dewey Tentang Pendidikan

A. Hakekat Pendidikan

Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandangannya tentang filfsafat pendidikan. Pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak negara lain di seluruh dunia.[21]

Bagi Dewey, kehidupan  masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan dengan hal tersebut maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif

Page 57: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.

B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.

Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.

C. Kurikulum Inti

Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.[23] Pendidikan  harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.

Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.

D. Metode Pendidikan

Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.

Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[24]

II. Relevansi bagi Peranan Guru dan Siswa

A. Peranan Guru

Page 58: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

A.1. Guru sebagai mediator dan fasilitator

Menurut Locke dan Dewey, yang penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi, teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan demikian hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey memprotes cara belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Yang penting yakni guru mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.

Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:

1. Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Seorang guru memungkinkan siswanya untuk menjalankan proses belajar atau membentuk pengertiannya sendiri. Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.

2. Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik. Pengalaman konflik yang dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut. Guru harus menyemangati siswa.

3. Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi.

Sangatlah penting bahwa seorang guru tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya merupakan kebenaran tunggal. Selalu terbuka kemungkinan terhadap perembangan baru. Guru yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan. Artinya menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban alternatif.

Mengajar bukan dimaksudkan memindahkan  (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa. Mengajar merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri. Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian siswa. Dengan kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses belajar. Mengajar yang baik hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir dengan baik. Berpikir yang baik merupakan syarat mutlak yakni mempunyai pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur. Belajar dalam pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha untuk mendapatkan jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk mencari jawaban sendiri.

A.2. Penguasaan bahan

Page 59: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Peran guru sangat menentukan penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.

Guru yang berperan sebagai “diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau pemikirannya satu-satunya yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para siswa. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks bahan itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu pengatahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami dari pada bila terlepas begitu saja.

A.3. Strategi mengajar

Mengajar adalah suatu seni yang dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi. Beberapa ciri mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:

1. Orientasi. Murid diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam memperlajari suatu topik. Murid diberikan kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.

2. Elicitasi. Siswa dibanu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diamatinya dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.

3. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap.

4. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada siatuasi yang dihadapi sehari-hari, seorang perlu merevisi gagasannya, entah menambah keterangan atau mengubahnya.

A. 4. Evaluasi proses belajar

Dalam mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu usaha/operasi. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.

Kepada siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka.

A. 5. Hubungan guru  dan siswa

Page 60: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberitahu. Dalam proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.

B. Peranan Siswa:

Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar membentuk pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya. Hal itu berarti seorang siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.

Belajar oleh seorang siswa merupakan suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses organik dalam arti suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda dengan proses mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta, definisi. Ciri proses mekanik adalah statis.

Sungguh penting setiap siswa dalam proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang menyusun hipotesis dan menguji hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat dikembangkan melalui dua hal, pertama karya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Proses pelaksanaannya dibuat secara idividual.

Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog diharapakan mendengarkan pembicaraan orang lain. Yang penting bukanlah pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya mendengar dan mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam bingkai pemikiran atau pengalaman orang lain.

III. Kesimpulan

Telah disadari bahwa sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik untuk mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta didik. Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau “larangan” sehingga pendidikan yang semestinya membebaskan dan mendewasakan ratio manusia, malah menjadi ruang yang mengurung ratio manusia dalam kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John Dewey. Menurut Locke, dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya refleksinya, sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama, serta komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan ketrampilan-ketrampilan

Page 61: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

khusus. Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni dengan mengubah sistem pendidikan yang kompleks tersebut.

Mengajar merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (siswa) atau kebiasaan menghafal, melainkan membantu seseorang agar dapat membentuk sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap suatu obyek yang ingin diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis harus dikembangkan.

Dalam proses ini seorang guru bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan pendapat siswa yang berbeda.

Demikianlah untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang memiliki profesionalitas dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.

Daftar Pustaka

Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).

Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)

J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989)

J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003)

J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968)

Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002).

James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996).

L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971)

M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.

N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969)

Page 62: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

Paul Suoarno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997).

Richard J. Berstein, Dewey John,

William Bayd, The History of Western Education.

Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)

[1] Innatisme ditolak karena dinilai kebenarannya sulit dipastikan; prinsipnya didasarkan pada kebenaran yang belum dibuktikan oleh pengalaman (lih. J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989), hlm. 89.

[2] Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.

[3] J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968), p. 26-27.

[4] N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), p. 83.

[5] M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.

[6] Lih. Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 26-27.

[7] J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003), hlm. 77.

[8] Cranston, John Locke, p. 12-13.

[9] James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996), hlm. 501. terkutip dalam N. Tarcov, p. 198.

[10] Trcov, Locke’s Education for Liberty, p. 198.

[11] Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 16.

[12] Ibid., p. 26-27.

[13] L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971), p. 20.

[14] Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002), p. 35.

Page 63: Teori Belajar Arthur William Brownell.doc

[15] William Bayd, The History of Western Education, p. 287.

[16] M. Cranston, John Locke, p. 16.

[17] Daighton (ed.), The Encyclopedia of Education, p. 22.

[18] Ibid., p. 20.

[19] Ibid., p. 21-22.

[20] Richard J. Berstein, Dewey John, hlm. 384-385. Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 76-79.

[21] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 548.

[22] Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), hlm. 30-31.

[23] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 79.

[24] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 535.

http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/filsafat-pendidikan-menurut-john-locke-dan-john-dewey/