tentang eosinofil dr muthmainah
DESCRIPTION
eosinofilTRANSCRIPT
Artikel Penelitian
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
Pengaruh Akupunkturterhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Tikus Putih Model Asma
Muthmainah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan
jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma. Sampel penelitian berupa 27 tikus putih
Spargue Dawley jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok secara random. Kelompok K tidak
diberi perlakuan, PI diberi paparan ovalbumin (OVA) dan PII diberi paparan OVA dan
akupunktur. Ovalbumin yang diberikan secara intraperitoneal dan inhalasi, dimaksudkan
untuk membuat tikus putih model asma. Akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli
(ST36) dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi 2 Hz selama 10 hari. Sehari sesudah
perlakuan terakhir, tikus putih dikorbankan dan organ parunya dibuat preparat histologi
dengan pengecatan Eosin-Methylen Blue. Dengan mikroskop cahaya, jumlah eosinofil
bronkiolus dihitung. Data dianalisis dengan uji One Way Anova dan uji Tamhane (α=0,05). Uji
statistik memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah eosinofil pada kelompok PII lebih rendah
daripada kelompok PI (p<0,05), meskipun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kelompok K (p<0,05). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa rangsangan akupunktur pada
titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) yang dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi
rendah selama 10 hari dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma.
Kata kunci: akupunktur, asma, eosinofil bronkiolus, tikus putih.
119
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011120
The Effect of Accupuncture to the Number of Bronchiole Eosinophils of
Asthmatic Rat Model
Muthmainah
Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta
Abstract: This study aimed to prove that accupuncture can decrease the number of bronchiole
eosinophils of asthmatic rat model. The samples of this study consisted of 27 male Sprague
Dawley rats which is divided into three groups randomly. The K group was not given treatment,
PI group was given ovalbumin (OVA) and PII group was given OVA and acupuncture. Ovalbu-
min, that was given intraperitoneally and per inhalation, was aimed to make the asmatic rat
model. Acupuncture at acupoint Feishu (BL13) and Zusanli (ST36) was conducted with
electrostimulator at frequency of 2 Hz for 10 days. One day after the last treatment, the rats were
and their lungs were made histological preparation with Eosin-Methylen Blue staining. Under
light microscope, the number of bronchiole eosinophils was counted. The data were analyzed
using One Way Anova and Tamhane test (α=0.05). Statistic test showed that mean of the number
of eosinophils in PII was lower than that in PI (p<0.05), although it was higher than that in K
(p<0.05). It was concluded that accupuncture at acupoint Feishu (BL13) and Zusanli (ST36)
conducted with electrostimulator at low frequency for 10 days can decrease the number of bron-
chiole eosinophils of asthmatic rat model.
Key words: acupuncture, asthma, bronchiole eosinophils, rat
Pendahuluan
Kemajuan teknologi industri dan tingkat pencemaran
udara yang semakin meningkat dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan. Salah satu dampak tersebut
adalah semakin meningkatnya kejadian penyakit asma.
Prevalensi asma bervariasi di berbagai area di dunia. Di
sebagian besar negara Eropa prevalensi berkisar 1,6-6,3%.
Dilaporkan bahwa prevalensi asma di Inggris 7,1-12%, di
Australia 9,5-17,9% dan prevalensi yang sangat tinggi (56%)
ditemukan di Tristan da Cunha.1 Menurut Sukamto (2006)
prevalensi asma di Indonesia berkisar 5-7%.2
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik:
obstruksi saluran napas yang reversibel, inflamasi saluran
napas, dan peningkatan respons saluran napas terahadap
berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Penyakit ini dapat
timbul akibat gangguan saraf otonom dan sistem imun.
Gangguan saraf otonom berupa hipereaktivitas saraf
parasimpatis dan blokade terhadap reseptor adrenergik beta
(sistem saraf simpatis).2 Adapun gangguan sistem imun
ditandai oleh adanya reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu
tubuh mengadakan reaksi imun yang berlebihan terhadap
antigen yang masuk ke dalam tubuh. Hasil dari semua
gangguan ini dapat berupa bronkokonstriksi, hipersekresi
mukus dan peradangan pada bronkus beserta cabang-
cabangnya. Pada peristiwa radang terjadi infiltrasi atau
perekrutan sel-sel radang antara lain berupa eosinofil.
Eosinofil merupakan sel yang dominan jumlahnya pada
peristiwa radang yang berhubungan dengan reaksi alergi
(reaksi hipersensitivitas tipe I).2-4
Asma dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup
seseorang. Orang yang sering mendapat serangan asma
tentunya akan banyak mengalami gangguan dalam
menjalankan aktivitas sehari-harinya. Untuk mengatasi
serangan asma, penderita biasanya diberi terapi berupa obat-
obatan bronkodilator untuk mengatasi bronkokonstriksi dan
kortikosteroid untuk mengatasi peradangan jalan napasnya.
Penggunaan obat-obatan tersebut yang terlalu sering
tentunya dapat menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan. Efek samping yang ditimbulkan oleh bronkodilator
dapat berupa: takikardi, aritmia ventrikel yang serius,
meningkatkan tekanan darah sehingga dapat memperberat
hipertensi, dan meningkatkan glikogenolisis dan glukoneo-
genesis sehingga dapat memperburuk keadaan pada
penderita diabetes melitus.5 Adapun kortikosteroid dapat
menimbulkan efek samping berupa: abnormalitas elektrolit,
hipertensi, hiperglikemia, hiperlipidemia, osteoporosis,
insufisiensi adrenal, dan supresi pertumbuhan.6 Untuk
menghindari terjadinya efek samping yang tidak diiginkan
tersebut, dapat dilakukan akupunktur. Akupunktur merupakan
salah satu cara pengobatan nonmedikamentosa yang
diketahui dapat membantu mengatasi serangan asma. Dengan
demikian diharapkan penggunaan obat medikamentosa dapat
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011 121
ditekan seminimal mungkin.
Meskipun telah banyak bukti bahwa akupunktur dapat
memperbaiki gejala klinis pada asma, tetapi pembuktian
secara ilmiah mengenai efek akupunktur terhadap jumlah
eosinofil bronkiolus pada asma belum banyak dilakukan.
Jumlah eosinofil pada bronkiolus dapat menggambarkan
keadaan radang pada bronkiolus akibat reaksi alergi secara
lebih pasti dibandingkan jumlah eosinofil darah sebab
eosinofil darah juga dapat meningkat pada reaksi alergi di
mana tempat peradangan terletak di luar bronkiolus.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa
akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) yang
dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi rendah selama
10 hari berturut-turut dapat menurunkan jumlah eosinofil
bronkiolus tikus putih model asma.
Metode
Penelitian eksperimental laboratorik dengan rancangan
post test only controle group design ini dilakukan di
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Subjek penelitian ini berupa 27 tikus
putih (Rattus novergicus) galur Spargue Dawley (SD),
berjenis kelamin jantan, berumur 3 bulan dan memiliki berat
badan ± 200 gram. Sampel dibagi secara random menjadi tiga
kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 9 tikus
putih, yaitu: kelompok kontrol (K) adalah kelompok tikus
putih yang tidak diberi perlakuan, kelompok perlakuan I (PI)
adalah kelompok tikus putih yang diberi perlakuan dengan
ovalbumin (OVA) sehingga mengalami asma, dan kelompok
perlakuan II (PII) adalah kelompok tikus putih yang diberi
perlakuan dengan ovalbumin (OVA) sehingga mengalami
asma dan juga mendapat perlakuan akupunktur.
Tikus putih diadaptasikan terlebih dahulu selama satu
minggu di Laboratorium Histologi FK UNS. Setiap tikus putih
ditempatkan dalam satu kandang. Kandang diletakkan pada
ruangan dengan ventilasi udara yang cukup dan suhu udara
berkisar 25-28oC. Tikus putih diberi makan berupa makanan
standard dan diberi minum air dari Perusahaan Air Minum
(PAM) ad libitum. Semua prosedur perlakuan pada hewan
coba pada penelitian ini telah dinyatakan laik etik oleh Panitia
Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Sehari sesudah adaptasi selesai, tikus putih dibagi
dalam tiga kelompok secara random seperti tersebut di atas.
Untuk membuat model tikus putih asma, tikus putih
disensitisasi dengan OVA secara intraperitoneal (ip)
sebanyak dua kali yaitu pada hari ke-1 dan hari ke-14. Pada
hari ke-1 tiap tikus putih diberi 1,5 mL larutan OVA dalam
Alumunium Hidroksida [Al(OH)3] dari 2,5 mg OVA yang
dilarutkan dalam 7,75 ml Al(OH)3. Pada hari ke-14 tikus putih
dipapar lagi dengan 1,5 ml larutan OVA dalam PBS dari 2,5
mg OVA yang dilarutkan dalam 10 ml PBS. Selain diberi
paparan OVA secara intraperitoneal, tikus putih juga diberi
paparan OVA aerosol (600 mg OVA dalam 60 ml PBS)
menggunakan alat nebulizer merk “CompMisk” pada hari
ke-21, 23, 25, 27 dan 29. Pemberian OVA aerosol ini dilakukan
dengan kecepatan 6 L/menit selama 20 menit untuk setiap
kali pemaparan. Dengan metode ini diharapkan dapat
mengubah tikus putih normal menjadi asma. Metode ini telah
diketahui berhasil untuk membuat model hewan coba asma
seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara
lain Heriprasetya (2007)7 dan Yim et al. (2007).8
Pada penelitian ini akupunktur dilakukan pada dua titik
Feishu (BL13) dan dua titik Zusanli (ST36). Titik Feishu
terletak pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah
prosesus spinosus Th-3 pada punggung tikus putih, dan
titik Zusanli (ST36) terletak pada 3 pembagian rata (3 cun) di
bawah sendi lutut, pada lateral dari tepi anterior tulang tibia.9
Penentuan titik-titik akupunktur tersebut juga dibantu dengan
alat point detector untuk lebih memastikan letak titik-titik
tersebut. Jarum akupunktur yang digunakan berukuran 0,20
x 13 mm. Jarum ditusukkan tegak lurus pada kulit sedalam 6
mm pada titik Feishu (BL13) dan sedalam 7 mm pada titik
Zusanli (ST36). Kemudian pada bagian jarum yang masih
terlihat di permukaan kulit dipasang elektrostimulator.
Rangsangan listrik dengan gelombang kontinyu dan frekuensi
2 Hz dilakukan selama 15 menit dan besarnya intensitas diatur
sedemikian rupa sehingga timbul kontraksi otot di tempat
penjaruman. Perlakuan ini dilakukan pada kelompok perlakuan
II (PII) sekali sehari selama 10 hari berturut-turut mulai hari
ke-21 sampai dengan hari ke-30. Pada hari ke-21, 23, 25, 27
dan 29 yaitu saat tikus putih juga mendapat paparan OVA
aerosol, akupunktur dilakukan segera setelah paparan dengan
OVA aerosol selesai.
Pada hari ke-31 tikus putih dikorbankan dengan cara
neck dislocation, kemudian organ paru diambil. Dari organ
paru ini kemudian diambil jaringan paru kanan lobus bawah
untuk dibuat preparat histologis dengan pengecatan Eosin-
Methylen Blue. Dengan teknik pengecatan ini eosinofil
tampak berwarna merah pada sitoplasmanya karena adanya
granula asidofilik, dan berwarna biru pada intinya yang
bilobus. Dengan mikroskop cahaya, preparat dilihat. Mula-
mula seluruh bagian preparat dilihat dengan perbesaran 100x
(lensa objective 10x, lensa ocular 10x) untuk menentukan
letak bronkiolus terminalis yang nantinya akan dibaca jumlah
eosinofilnya. Bronkiolus terminalis dipilih sebagai tempat
penghitungan jumlah eosinofil pada penelitian ini karena
bronkiolus terminalis menunjukkan adanya kelainan pada
peristiwa asma seperti halnya dengan bronkus maupun
segmen lain dari saluran napas, sehingga dapat mewakili
gambaran kelainan jaringan saluran napas pada asma. Selain
itu bronkiolus terminalis dengan penampang lintang yang
utuh adalah lebih mudah untuk dibuat pada preparat irisan
jaringan paru dibandingkan dengan bronkus (segmen yang
lebih proksimal dari saluran napas). Bronkiolus terminalis
yang dipilih adalah yang mempunyai diameter hampir sama.
Setelah bronkiolus tersebut ditemukan, dipilih 3 buah
bronkiolus terminalis untuk tiap preparat jaringan paru.
Kemudian pengamatan dengan mikroskop diperbesar menjadi
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011122
250 bp
400x (lensa objective 40x, lensa ocular 10x) untuk menghitung
jumlah eosinofil. Jumlah eosinofil pada tiap preparat jaringan
paru dihitung dengan cara menjumlahkan eosinofil yang
tampak pada seluruh bagian dari tiga penampang lintang
bronkiolus terminalis yang diameternya hampir sama. Bila
tiap kelompok terdiri dari 9 tikus putih, dan dari tiap tikus
putih dibuat 3 preparat jaringan paru maka pada tiap kelompok
nantinya akan diperoleh 27 angka mengenai jumlah eosinofil
bronkiolus. Kemudian rata-rata jumlah eosinofil tiap kelompok
dari tiga kelompok dibandingkan satu sama lain secara
statistik.
Data mengenai jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih
dari tiga kelompok dianalisis dengan uji One Way Anova
(α=0,05). Jika terdapat perbedaan yang bermakna maka uji
statistik dilajutkan dengan uji Post Hoc (α=0,05).
Hasil
Setelah dilakukan penghitungan terhadap jumlah
eosinofil bronkiolus yang tampak pada preparat maka dipe-
roleh data mengenai rata-rata jumlah eosinofil bronkiolus
pada tiap-tiap kelompok tikus putih seperti terlihat pada tabel
1.
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Eosinofil (per 3 Penampang Lin-
tang Bronkiolus) pada Masing-masing Kelompok
Kelompok Mean S D
K 37,59 5,99
P I 138,81 8,52
PII 85,41 17,07
Keterangan:
K : Kelompok kontrol (tanpa perlakuan)
P I : Kelompok perlakuan I (mendapat paparan OVA)
PII : Kelompok perlakuan II (mendapat paparan OVA dan akupunktur)
Dari tabel 1 terlihat bahwa rata-rata jumlah eosinofil
bronkiolus tertinggi terdapat pada kelompok PI yang
mendapat paparan OVA, yaitu 138,81±8,52. Sedangkan pada
kelompok PII yang mendapatkan akupunktur jumlah eosinofil
lebih rendah yaitu 85,41±17,07.
Setelah diolah dengan uji One Way Anova didapatkan
hasil p=0,000 (p<α). Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna rata-rata jumlah eosinofil di antara tiga
kelompok tikus putih.
Karena hasil uji One Way Anova menunjukkan per-
bedaan yang bermakna maka uji statistik dilanjutkan dengan
uji Post Hoc, dan salah satu jenis uji Post Hoc adalah uji
Tamhane. Hasil uji Tamhane (α=0,05) memperlihatkan bahwa
perbedaan yang bermakna terlihat di antara semua pasangan
kelompok tikus putih yaitu antara K dan PI, antara K dan PII
serta antara PI dan PII. Rata-rata jumlah eosinofil bronkiolus
pada kelompok PI (yang mendapat paparan OVA) lebih tinggi
secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok K
(kontrol), demikian pula kelompok PII (yang mendapat paparan
OVA dan akupunktur) menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi
secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok K
(kontrol). Adapun rata-rata jumlah eosinofil bronkilus
kelompok PII (yang mendapat paparan OVA dan akupunktur)
lebih rendah secara bermakna jika dibandingkan dengan
kelompok PI (yang mendapat paparan OVA saja). Sebukan
eosinofil pada dinding bronkiolus terminalis dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya perbesaran 400x (lensa objective
40x, lensa ocular 10x) seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1 memperlihatkan bahwa sebukan eosinofil
terlihat nyata pada dinding bronkiolus terminalis tikus putih
kelompok PI (yang mendapat paparan OVA) dan jumlah
sebukan eosinofil tampak berkurang pada dinding bronkiolus
terminalis tikus putih kelompok PII yang selain mendapat
paparan OVA juga mendapat perlakuan akupunktur.
Pengamatan preparat irisan jaringan paru dengan
mikroskop cahaya perbesaran 1000x (lensa objective 100x,
lensa ocular 10x) dapat memperlihatkan gambaran sel eosinofil
secara lebih jelas. Sitoplasma eosinofil tampak berwarna
merah dan intinya yang berbentuk bilobus tampak berwarna
biru.
Diskusi
Dari hasil uji Tamhane (α=0,05) didapatkan adanya
perbedaan yang bermakna antara kelompok K dan PI yaitu
jumlah eosinofil pada kelompok PI lebih banyak daripada
A B C
Gambar 1. Gambaran Sebukan Eosinofil pada Dinding Bronkiolus Terminalis Tiga Kelompok Tikus Putih.
Sebukan eosinofil tampak sebagai titik-titik berwarna merah. A: preparat kelompok kontrol (K), B: preparat kelompok
yang diberi OVA (PI), C: preparat kelompok yang diberi OVA + akupunktur (PII) (pengecatan Eosin-Methylen Blue;
perbesaran mikroskop cahaya 400x, kamera digital zoom 4x).
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
123
kelompok K. Hal ini berarti bahwa jumlah eosinofil pada
kelompok tikus putih yang mendapat paparan OVA (dan tidak
diakupunktur) lebih banyak daripada yang terdapat pada
kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan (tidak
mendapat paparan OVA dan tidak diakupunktur). Jadi dapat
dikatakan bahwa pemberian OVA pada penelitian ini dapat
menginduksi terjadinya peningkatan jumlah eosinofil
bronkiolus tikus putih. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Heriprasetya7(2007) yang menggunakan
OVA untuk menginduksi terjadinya asma pada mencit
Balb/c. Penelitian Heriprasetya tersebut memperlihatkan
adanya peningkatan jumlah eosinofil bronkus secara
bermakna pada mencit yang dipapar dengan OVA. Pada
penelitian tersebut pemberian OVA secara intraperitoneal
dilakukan dua kali yaitu pada hari ke-1 dan hari ke-14, dan
selanjutnya pemberian OVA aerosol (inhalasi) dilakukan
secara berulang tiap dua hari sekali sebanyak tiga kali, dimulai
1 minggu setelah pemberian OVA intraperitonel yang kedua.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Yim et al.8 (2007) yang
menggunakan OVA untuk menginduksi terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I pada mencit. Pada penelitian tersebut
OVA intraperitoneal diberikan tiga kali yaitu pada hari ke-0,
ke-7 dan ke-14. Selain itu OVA juga diberikan secara intra-
trakeal pada hari ke-21, dan OVA aerosol (inhalasi) diberikan
tiga kali per minggu selama 8 minggu dimulai pada hari ke-28.
Hasil penelitian Yim et al. ini menunjukkan bahwa OVA dapat
meningkatkan jumlah eosinofil pada jaringan paru secara
bermakna.
OVA atau ovalbumin adalah fosfoglikoprotein mono-
mer dengan berat molekul 43-45 kD. Melalui berbagai
penelitian dengan hewan coba, OVA telah terbukti dapat
digunakan sebagai alergen untuk menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (misalnya asma).7,8 Pada penelitian ini
pemberian OVA dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian
OVA yang pertama kali, secara teoritis tentunya dapat
Gambar 2. Gambaran sebukan eosinofil pada dinding bron-
kiolus terminalis tikus putih yang diberi OVA
(PI). Eosinofil tampak sebagai sel dengan sito-
plasma yang tercat merah dan inti sel bilobus
yang berwarna biru (pengecatan Eosin-Methylen
Blue; perbesaran mikroskop cahaya 1000x, kame-
ra digital zoom 3x)
merangsang sel B untuk menghasilkan IgE dengan bantuan
sel T helper (Th). Imunoglobulin ini selanjutnya akan
menempel pada permukaan sel mast. Pemberian OVA yang
kedua dan seterusnya secara berulang-ulang akan menye-
babkan terjadinya ikatan antara OVA (sebagai antigen) dengan
IgE (sebagai antibodi) yang ada di permukaan sel mast. Hal
ini dapat memacu terjadinya degranulasi sel mast sehingga
terlepaslah mediator-mediator yang terkandung dalam sel
mast seperti: histamin, prostaglandin, leukotrien, Eosinophile
chemotactic factor-A/ECF-A dan beberapa macam sitokin
(misalnya: TNFα, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13) serta beberapa
macam enzim (misalnya: chymase dan tryptase). Mediator-
mediator tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti
peradangan, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Pada
peradangan terjadi peristiwa perekrutan sel-sel radang, dan
pada peradangan yang berkaitan dengan peristiwa alergi,
eosinofil merupakan sel radang yang jumlahnya sangat
dominan.3,4
Uji Tamhane juga menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara kelompok PI dan PII, yaitu jumlah eosinofil
kelompok PII lebih sedikit daripada jumlah eosinofil kelompok
PI. Hal ini berarti bahwa jumlah eosinofil pada kelompok tikus
putih yang mendapat paparan OVA dan akupunktur lebih
sedikit daripada yang terdapat pada kelompok tikus putih
yang mendapat paparan OVA tanpa mendapat akupunktur.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemberian akupunktur pada
penelitian ini dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus
tikus putih model asma alergi. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Carneiro et al.10 yang
menunjukkan bahwa elektroakupunktur dapat me-ngurangi
reaksi inflamasi pada tikus putih model asma. Hasil analisis
histopatologi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa
infiltrasi sel radang peribronkial dan perivaskuler pada
kelompok akupunktur lebih rendah secara bermakna jika
dibandingkan dengan kelompok sham-acupuncture dan
kelompok tikus asma yang tidak mendapat akupunktur. Selain
itu persentase lekosit polimorfonuklear (netrofil dan eosinofil)
pada cairan yang diambil dari bronchoalveolar lavage lebih
rendah secara bermakna pada kelompok akupunktur diban-
dingkan kelompok tikus asma yang tidak diakupunktur.10
Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Yim et al.8 yang menyelidiki efek anti
inflamasi dan immunoregulasi akupunktur herbal pada titik
Zusanli (ST36) mencit asma yang diinduksi OVA. Penelitian
Yim et al. ini memperlihatkan bahwa ekstrak herbal Perillae
fructus yang diinjeksikan secara subkutan pada titik Zusanli
(ST36) 3x/minggu selama 8 minggu dapat menurunkan jumlah
eosinofil pada jaringan paru mencit asma.8 Penelitian lain
yang hasilnya juga sesuai dengan penelitian ini dilakukan
oleh Katsuya et al. (2009). Katsuya et al. membuktikan bahwa
akupunktur pada titik akupunktur GV14, BL13, LU1, CV17,
ST36, dan SP6 dapat mengurangi proses inflamasi
(mengurangi jumlah infiltrat eosinofil) dan deposisi kolagen
pada paru tikus putih yang diinduksi dengan heat-solidified
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011124
hen egg-white dan OVA.11
Akupunktur pada penelitian ini dapat menurunkan
jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma, hal ini
dapat diterangkan melalui mekanisme kerja akupunktur. Pada
penelitian ini akupunktur dilakukan pada dua titik Feishu
(BL13) dan dua titik Zusanli (ST36). Titik Feishu terletak
pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah
prosesus spinosus Th-3 pada punggung tikus putih, dan
titik Zusanli (ST36) terletak pada 3 pembagian rata (3 cun) di
bawah sendi lutut, pada lateral dari tepi anterior tulang tibia
tikus putih.9 Titik Feishu (BL13) terletak pada daerah yang
dipersarafi oleh serabut saraf sensoris medula spinalis
segmen toraks, dan titik Zusanli (ST36) terletak pada daerah
yang dipersarafi oleh serabut saraf sensoris medula spinalis
segmen lumbal, sehingga apabila titik-titik ini dirangsang
maka secara segmental dapat memacu sistem saraf simpatis.
Serabut saraf simpatis yang menginervasi bronkus dan
percabangannya keluar dari medula spinalis segmen toraks
1 sampai dengan toraks 4. Perangsangan pada sistem simpatis
dapat menyebabkan dilepaskannya neurotransmiter yang
merangsang reseptor adrenergik yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi, hambatan sekresi
mukus serta hambatan degranulasi sel mast. Selain itu
perangsangan pada sistem simpatis juga dapat menyebabkan
medula adrenal terstimulasi sehingga menghasilkan kate-
kolamin. Katekolamin bersifat merangsang aktivitas enzim
adenilsiklase sehingga menyebabkan peningkatan kadar
AMP siklik. Peningkatan kadar AMP siklik dapat menye-
babkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas kelenjar
bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan
degranulasi sel mast. Penghambatan degranulasi sel mast
berarti penghambatan pelepasan mediator-mediator dari sel
mast termasuk mediator inflamasi. Jika mediator inflamasi
dihambat pelepasannya maka peristiwa peradangan dapat
dihambat, dan timbulnya sebukan sel radang termasuk
eosinofil juga dapat dihambat, sehingga jumlah eosinofil
dalam jaringan menurun.12-14
Perangsangan titik Feishu (BL13) dan titik Zusanli (ST36)
secara teoritis tentunya juga dapat menimbulkan reaksi
melalui jalur talamo-hipofisio-adrenal. Jadi bila titik-titik ini
dirangsang maka melalui jalur tersebut rangsangan akun-
punktur dapat memacu keluarnya hormon CRF yang
selanjutnya dapat memacu ACTH dan akhirnya meningkatkan
pengeluaran steroid oleh korteks adrenal.15 Steroid mem-
punyai sifat dapat menurunkan ambang rangsang reseptor
beta adrenergik (meningkatkan sensitivitas reseptor beta
adrenergik), sehingga ikatan resptor ini dengan katekolamin
yang jumlahnya sedikit saja sudah dapat mengaktivasi enzim
adenilsiklase, yang selanjutnya dapat meningkatkan kadar
AMP siklik. Peningkatan kadar AMP siklik dapat menye-
babkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas kelenjar
bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan
pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Penghambatan
pelepasan mediator peradangan dapat menyebabkan
penurunan jumlah eosinofil.14
Hasil uji Tamhane juga menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna antara kelompok K dan PII, yaitu jumlah
eosinofil pada kelompok PII masih lebih banyak daripada
yang terdapat pada kelompok K. Hal ini berarti bahwa jumlah
eosinofil pada kelompok tikus putih model asma yang
mendapat akupunktur masih lebih banyak daripada jumlah
eosinofil pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan
perlakuan (tidak mengalami asma dan tidak mendapat
akupunktur). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah karena kurang
lamanya waktu pemberian akupunktur sehingga efeknya
belum optimal dalam menurunkan jumlah eosinofil.
Kemungkinan kedua adalah jumlah titik yang digunakan untuk
mengatasi kasus pada penelitian ini dengan waktu 10 hari,
masih kurang banyak sehingga efek penurunan terhadap
jumlah eosinofil belum optimal.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36)
dengan stimulasi listrik frekuensi rendah selama 10 hari
berturut-turut dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus
tikus putih model asma.
Daftar Pustaka
1. Gaur SN, Gupta K, Rajpal S, Singh AB, Rohatgi A. Prevalence of
bronchial asthma and allergic rhinitis among urban and rural adult
population of Delhi. Indian J Allergy Asthma Immunol. 2006;
20(2):90-1.
2. Sukamto HS. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (eds). Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.h.247-52.
3. Abbas AK and Lichtman AH. Basic immunology. Second edition.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2004.p.194-200.
4. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immu-
nology. Fourth edition. Philadelphia: WB Saunders Company;
2000.h.424-41.
5. Handayani. Penggunaan agonis reseptor α2 terhadap hipersen-
sitivitas bronchus. MKA. 2002;26(2):45-6.
6. Buchman A. Clinical reviews: therapeutic recommendations side
effects of corticosteroid therapy. J Clin Gastroenterology. 2001;
33(4):289.
7. Heriprasetya D. Efek pemaparan ovalbumin aerosol terhadap
eosinofilia bronkus pada mencit Balb/C. Nexus Medicus, J Ilmiah
Penelitian Medis. 2007;18(1):8-15.
8. Yim YK, Lee H, Hong KE, Kim YI, Ko SK, Kim JE, et al. Anti-
inflammatory and immune-regulatory effects of subcutaneous
Perillae fructus extract injections on OVA-induced asthma in
mice. eCAM. 2010;7(1):79-86.
9. Kiswojo. Pengetahuan dasar ilmu akupunktur. Cetakan I. Jakarta:
Penerbit Akupunktur Indonesia; 2007.h.104,116.
10. Carneiro ER, Carneiro CR, Castro MA, Yamamura Y, Silveira
VL. Effect of electroacupuncture on bronchial asthma induced
by ovalbumin in rats. J Altern Complement Med. 2005;11(1):
127-34.
11. Katsuya EM, Castro MAP, Carneiro CRW, Yamamura Y, Silveira
VLF. Acupuncture reduces immune-mediated pulmonary inflam-
matory lesions induced in rats. Forsch Komplementmed. 2009;
16:413-6.
Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011 125
12. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. Terjemahan:
Widjajakusumah HMD. Edisi ke-20. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003.h.216-20.
13. Munaf S dan Kamaluddin MT. Obat-obat adrenergik. Dalam: Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan kuliah
farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008.h.356-9.
14. Munaf S. Bronkodilator dan obat-obat asma. Dalam: Staf Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan kuliah
farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008.h.573-8.
15. Sutanto DS. Pemanfaatan akupunktur pada kecantikan. Dalam:
Saputra K (ed). Akupunktur klinik. Cetakan I. Surabaya: Airlangga
University Press; 2002.h.77-81.
FA