tentang eosinofil dr muthmainah

7
Artikel Penelitian Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011 Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus Tikus Putih Model Asma Muthmainah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma. Sampel penelitian berupa 27 tikus putih Spargue Dawley jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok secara random. Kelompok K tidak diberi perlakuan, PI diberi paparan ovalbumin (OVA) dan PII diberi paparan OVA dan akupunktur. Ovalbumin yang diberikan secara intraperitoneal dan inhalasi, dimaksudkan untuk membuat tikus putih model asma. Akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi 2 Hz selama 10 hari. Sehari sesudah perlakuan terakhir, tikus putih dikorbankan dan organ parunya dibuat preparat histologi dengan pengecatan Eosin-Methylen Blue. Dengan mikroskop cahaya, jumlah eosinofil bronkiolus dihitung. Data dianalisis dengan uji One Way Anova dan uji Tamhane (α=0,05). Uji statistik memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah eosinofil pada kelompok PII lebih rendah daripada kelompok PI (p<0,05), meskipun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok K (p<0,05). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa rangsangan akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) yang dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi rendah selama 10 hari dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma. Kata kunci: akupunktur, asma, eosinofil bronkiolus, tikus putih. 119

Upload: rezza-hary

Post on 12-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

eosinofil

TRANSCRIPT

Page 1: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Artikel Penelitian

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011

Pengaruh Akupunkturterhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Tikus Putih Model Asma

Muthmainah

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa akupunktur dapat menurunkan

jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma. Sampel penelitian berupa 27 tikus putih

Spargue Dawley jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok secara random. Kelompok K tidak

diberi perlakuan, PI diberi paparan ovalbumin (OVA) dan PII diberi paparan OVA dan

akupunktur. Ovalbumin yang diberikan secara intraperitoneal dan inhalasi, dimaksudkan

untuk membuat tikus putih model asma. Akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli

(ST36) dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi 2 Hz selama 10 hari. Sehari sesudah

perlakuan terakhir, tikus putih dikorbankan dan organ parunya dibuat preparat histologi

dengan pengecatan Eosin-Methylen Blue. Dengan mikroskop cahaya, jumlah eosinofil

bronkiolus dihitung. Data dianalisis dengan uji One Way Anova dan uji Tamhane (α=0,05). Uji

statistik memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah eosinofil pada kelompok PII lebih rendah

daripada kelompok PI (p<0,05), meskipun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan

kelompok K (p<0,05). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa rangsangan akupunktur pada

titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) yang dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi

rendah selama 10 hari dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma.

Kata kunci: akupunktur, asma, eosinofil bronkiolus, tikus putih.

119

Page 2: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011120

The Effect of Accupuncture to the Number of Bronchiole Eosinophils of

Asthmatic Rat Model

Muthmainah

Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta

Abstract: This study aimed to prove that accupuncture can decrease the number of bronchiole

eosinophils of asthmatic rat model. The samples of this study consisted of 27 male Sprague

Dawley rats which is divided into three groups randomly. The K group was not given treatment,

PI group was given ovalbumin (OVA) and PII group was given OVA and acupuncture. Ovalbu-

min, that was given intraperitoneally and per inhalation, was aimed to make the asmatic rat

model. Acupuncture at acupoint Feishu (BL13) and Zusanli (ST36) was conducted with

electrostimulator at frequency of 2 Hz for 10 days. One day after the last treatment, the rats were

and their lungs were made histological preparation with Eosin-Methylen Blue staining. Under

light microscope, the number of bronchiole eosinophils was counted. The data were analyzed

using One Way Anova and Tamhane test (α=0.05). Statistic test showed that mean of the number

of eosinophils in PII was lower than that in PI (p<0.05), although it was higher than that in K

(p<0.05). It was concluded that accupuncture at acupoint Feishu (BL13) and Zusanli (ST36)

conducted with electrostimulator at low frequency for 10 days can decrease the number of bron-

chiole eosinophils of asthmatic rat model.

Key words: acupuncture, asthma, bronchiole eosinophils, rat

Pendahuluan

Kemajuan teknologi industri dan tingkat pencemaran

udara yang semakin meningkat dapat menimbulkan dampak

negatif terhadap kesehatan. Salah satu dampak tersebut

adalah semakin meningkatnya kejadian penyakit asma.

Prevalensi asma bervariasi di berbagai area di dunia. Di

sebagian besar negara Eropa prevalensi berkisar 1,6-6,3%.

Dilaporkan bahwa prevalensi asma di Inggris 7,1-12%, di

Australia 9,5-17,9% dan prevalensi yang sangat tinggi (56%)

ditemukan di Tristan da Cunha.1 Menurut Sukamto (2006)

prevalensi asma di Indonesia berkisar 5-7%.2

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik:

obstruksi saluran napas yang reversibel, inflamasi saluran

napas, dan peningkatan respons saluran napas terahadap

berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Penyakit ini dapat

timbul akibat gangguan saraf otonom dan sistem imun.

Gangguan saraf otonom berupa hipereaktivitas saraf

parasimpatis dan blokade terhadap reseptor adrenergik beta

(sistem saraf simpatis).2 Adapun gangguan sistem imun

ditandai oleh adanya reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu

tubuh mengadakan reaksi imun yang berlebihan terhadap

antigen yang masuk ke dalam tubuh. Hasil dari semua

gangguan ini dapat berupa bronkokonstriksi, hipersekresi

mukus dan peradangan pada bronkus beserta cabang-

cabangnya. Pada peristiwa radang terjadi infiltrasi atau

perekrutan sel-sel radang antara lain berupa eosinofil.

Eosinofil merupakan sel yang dominan jumlahnya pada

peristiwa radang yang berhubungan dengan reaksi alergi

(reaksi hipersensitivitas tipe I).2-4

Asma dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup

seseorang. Orang yang sering mendapat serangan asma

tentunya akan banyak mengalami gangguan dalam

menjalankan aktivitas sehari-harinya. Untuk mengatasi

serangan asma, penderita biasanya diberi terapi berupa obat-

obatan bronkodilator untuk mengatasi bronkokonstriksi dan

kortikosteroid untuk mengatasi peradangan jalan napasnya.

Penggunaan obat-obatan tersebut yang terlalu sering

tentunya dapat menimbulkan efek samping yang tidak

diinginkan. Efek samping yang ditimbulkan oleh bronkodilator

dapat berupa: takikardi, aritmia ventrikel yang serius,

meningkatkan tekanan darah sehingga dapat memperberat

hipertensi, dan meningkatkan glikogenolisis dan glukoneo-

genesis sehingga dapat memperburuk keadaan pada

penderita diabetes melitus.5 Adapun kortikosteroid dapat

menimbulkan efek samping berupa: abnormalitas elektrolit,

hipertensi, hiperglikemia, hiperlipidemia, osteoporosis,

insufisiensi adrenal, dan supresi pertumbuhan.6 Untuk

menghindari terjadinya efek samping yang tidak diiginkan

tersebut, dapat dilakukan akupunktur. Akupunktur merupakan

salah satu cara pengobatan nonmedikamentosa yang

diketahui dapat membantu mengatasi serangan asma. Dengan

demikian diharapkan penggunaan obat medikamentosa dapat

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Page 3: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011 121

ditekan seminimal mungkin.

Meskipun telah banyak bukti bahwa akupunktur dapat

memperbaiki gejala klinis pada asma, tetapi pembuktian

secara ilmiah mengenai efek akupunktur terhadap jumlah

eosinofil bronkiolus pada asma belum banyak dilakukan.

Jumlah eosinofil pada bronkiolus dapat menggambarkan

keadaan radang pada bronkiolus akibat reaksi alergi secara

lebih pasti dibandingkan jumlah eosinofil darah sebab

eosinofil darah juga dapat meningkat pada reaksi alergi di

mana tempat peradangan terletak di luar bronkiolus.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa

akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36) yang

dilakukan dengan stimulasi listrik frekuensi rendah selama

10 hari berturut-turut dapat menurunkan jumlah eosinofil

bronkiolus tikus putih model asma.

Metode

Penelitian eksperimental laboratorik dengan rancangan

post test only controle group design ini dilakukan di

Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret Surakarta. Subjek penelitian ini berupa 27 tikus

putih (Rattus novergicus) galur Spargue Dawley (SD),

berjenis kelamin jantan, berumur 3 bulan dan memiliki berat

badan ± 200 gram. Sampel dibagi secara random menjadi tiga

kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 9 tikus

putih, yaitu: kelompok kontrol (K) adalah kelompok tikus

putih yang tidak diberi perlakuan, kelompok perlakuan I (PI)

adalah kelompok tikus putih yang diberi perlakuan dengan

ovalbumin (OVA) sehingga mengalami asma, dan kelompok

perlakuan II (PII) adalah kelompok tikus putih yang diberi

perlakuan dengan ovalbumin (OVA) sehingga mengalami

asma dan juga mendapat perlakuan akupunktur.

Tikus putih diadaptasikan terlebih dahulu selama satu

minggu di Laboratorium Histologi FK UNS. Setiap tikus putih

ditempatkan dalam satu kandang. Kandang diletakkan pada

ruangan dengan ventilasi udara yang cukup dan suhu udara

berkisar 25-28oC. Tikus putih diberi makan berupa makanan

standard dan diberi minum air dari Perusahaan Air Minum

(PAM) ad libitum. Semua prosedur perlakuan pada hewan

coba pada penelitian ini telah dinyatakan laik etik oleh Panitia

Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Surakarta. Sehari sesudah adaptasi selesai, tikus putih dibagi

dalam tiga kelompok secara random seperti tersebut di atas.

Untuk membuat model tikus putih asma, tikus putih

disensitisasi dengan OVA secara intraperitoneal (ip)

sebanyak dua kali yaitu pada hari ke-1 dan hari ke-14. Pada

hari ke-1 tiap tikus putih diberi 1,5 mL larutan OVA dalam

Alumunium Hidroksida [Al(OH)3] dari 2,5 mg OVA yang

dilarutkan dalam 7,75 ml Al(OH)3. Pada hari ke-14 tikus putih

dipapar lagi dengan 1,5 ml larutan OVA dalam PBS dari 2,5

mg OVA yang dilarutkan dalam 10 ml PBS. Selain diberi

paparan OVA secara intraperitoneal, tikus putih juga diberi

paparan OVA aerosol (600 mg OVA dalam 60 ml PBS)

menggunakan alat nebulizer merk “CompMisk” pada hari

ke-21, 23, 25, 27 dan 29. Pemberian OVA aerosol ini dilakukan

dengan kecepatan 6 L/menit selama 20 menit untuk setiap

kali pemaparan. Dengan metode ini diharapkan dapat

mengubah tikus putih normal menjadi asma. Metode ini telah

diketahui berhasil untuk membuat model hewan coba asma

seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara

lain Heriprasetya (2007)7 dan Yim et al. (2007).8

Pada penelitian ini akupunktur dilakukan pada dua titik

Feishu (BL13) dan dua titik Zusanli (ST36). Titik Feishu

terletak pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah

prosesus spinosus Th-3 pada punggung tikus putih, dan

titik Zusanli (ST36) terletak pada 3 pembagian rata (3 cun) di

bawah sendi lutut, pada lateral dari tepi anterior tulang tibia.9

Penentuan titik-titik akupunktur tersebut juga dibantu dengan

alat point detector untuk lebih memastikan letak titik-titik

tersebut. Jarum akupunktur yang digunakan berukuran 0,20

x 13 mm. Jarum ditusukkan tegak lurus pada kulit sedalam 6

mm pada titik Feishu (BL13) dan sedalam 7 mm pada titik

Zusanli (ST36). Kemudian pada bagian jarum yang masih

terlihat di permukaan kulit dipasang elektrostimulator.

Rangsangan listrik dengan gelombang kontinyu dan frekuensi

2 Hz dilakukan selama 15 menit dan besarnya intensitas diatur

sedemikian rupa sehingga timbul kontraksi otot di tempat

penjaruman. Perlakuan ini dilakukan pada kelompok perlakuan

II (PII) sekali sehari selama 10 hari berturut-turut mulai hari

ke-21 sampai dengan hari ke-30. Pada hari ke-21, 23, 25, 27

dan 29 yaitu saat tikus putih juga mendapat paparan OVA

aerosol, akupunktur dilakukan segera setelah paparan dengan

OVA aerosol selesai.

Pada hari ke-31 tikus putih dikorbankan dengan cara

neck dislocation, kemudian organ paru diambil. Dari organ

paru ini kemudian diambil jaringan paru kanan lobus bawah

untuk dibuat preparat histologis dengan pengecatan Eosin-

Methylen Blue. Dengan teknik pengecatan ini eosinofil

tampak berwarna merah pada sitoplasmanya karena adanya

granula asidofilik, dan berwarna biru pada intinya yang

bilobus. Dengan mikroskop cahaya, preparat dilihat. Mula-

mula seluruh bagian preparat dilihat dengan perbesaran 100x

(lensa objective 10x, lensa ocular 10x) untuk menentukan

letak bronkiolus terminalis yang nantinya akan dibaca jumlah

eosinofilnya. Bronkiolus terminalis dipilih sebagai tempat

penghitungan jumlah eosinofil pada penelitian ini karena

bronkiolus terminalis menunjukkan adanya kelainan pada

peristiwa asma seperti halnya dengan bronkus maupun

segmen lain dari saluran napas, sehingga dapat mewakili

gambaran kelainan jaringan saluran napas pada asma. Selain

itu bronkiolus terminalis dengan penampang lintang yang

utuh adalah lebih mudah untuk dibuat pada preparat irisan

jaringan paru dibandingkan dengan bronkus (segmen yang

lebih proksimal dari saluran napas). Bronkiolus terminalis

yang dipilih adalah yang mempunyai diameter hampir sama.

Setelah bronkiolus tersebut ditemukan, dipilih 3 buah

bronkiolus terminalis untuk tiap preparat jaringan paru.

Kemudian pengamatan dengan mikroskop diperbesar menjadi

Page 4: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011122

250 bp

400x (lensa objective 40x, lensa ocular 10x) untuk menghitung

jumlah eosinofil. Jumlah eosinofil pada tiap preparat jaringan

paru dihitung dengan cara menjumlahkan eosinofil yang

tampak pada seluruh bagian dari tiga penampang lintang

bronkiolus terminalis yang diameternya hampir sama. Bila

tiap kelompok terdiri dari 9 tikus putih, dan dari tiap tikus

putih dibuat 3 preparat jaringan paru maka pada tiap kelompok

nantinya akan diperoleh 27 angka mengenai jumlah eosinofil

bronkiolus. Kemudian rata-rata jumlah eosinofil tiap kelompok

dari tiga kelompok dibandingkan satu sama lain secara

statistik.

Data mengenai jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih

dari tiga kelompok dianalisis dengan uji One Way Anova

(α=0,05). Jika terdapat perbedaan yang bermakna maka uji

statistik dilajutkan dengan uji Post Hoc (α=0,05).

Hasil

Setelah dilakukan penghitungan terhadap jumlah

eosinofil bronkiolus yang tampak pada preparat maka dipe-

roleh data mengenai rata-rata jumlah eosinofil bronkiolus

pada tiap-tiap kelompok tikus putih seperti terlihat pada tabel

1.

Tabel 1. Rata-rata Jumlah Eosinofil (per 3 Penampang Lin-

tang Bronkiolus) pada Masing-masing Kelompok

Kelompok Mean S D

K 37,59 5,99

P I 138,81 8,52

PII 85,41 17,07

Keterangan:

K : Kelompok kontrol (tanpa perlakuan)

P I : Kelompok perlakuan I (mendapat paparan OVA)

PII : Kelompok perlakuan II (mendapat paparan OVA dan akupunktur)

Dari tabel 1 terlihat bahwa rata-rata jumlah eosinofil

bronkiolus tertinggi terdapat pada kelompok PI yang

mendapat paparan OVA, yaitu 138,81±8,52. Sedangkan pada

kelompok PII yang mendapatkan akupunktur jumlah eosinofil

lebih rendah yaitu 85,41±17,07.

Setelah diolah dengan uji One Way Anova didapatkan

hasil p=0,000 (p<α). Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan

yang bermakna rata-rata jumlah eosinofil di antara tiga

kelompok tikus putih.

Karena hasil uji One Way Anova menunjukkan per-

bedaan yang bermakna maka uji statistik dilanjutkan dengan

uji Post Hoc, dan salah satu jenis uji Post Hoc adalah uji

Tamhane. Hasil uji Tamhane (α=0,05) memperlihatkan bahwa

perbedaan yang bermakna terlihat di antara semua pasangan

kelompok tikus putih yaitu antara K dan PI, antara K dan PII

serta antara PI dan PII. Rata-rata jumlah eosinofil bronkiolus

pada kelompok PI (yang mendapat paparan OVA) lebih tinggi

secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok K

(kontrol), demikian pula kelompok PII (yang mendapat paparan

OVA dan akupunktur) menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi

secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok K

(kontrol). Adapun rata-rata jumlah eosinofil bronkilus

kelompok PII (yang mendapat paparan OVA dan akupunktur)

lebih rendah secara bermakna jika dibandingkan dengan

kelompok PI (yang mendapat paparan OVA saja). Sebukan

eosinofil pada dinding bronkiolus terminalis dapat dilihat

dengan mikroskop cahaya perbesaran 400x (lensa objective

40x, lensa ocular 10x) seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1 memperlihatkan bahwa sebukan eosinofil

terlihat nyata pada dinding bronkiolus terminalis tikus putih

kelompok PI (yang mendapat paparan OVA) dan jumlah

sebukan eosinofil tampak berkurang pada dinding bronkiolus

terminalis tikus putih kelompok PII yang selain mendapat

paparan OVA juga mendapat perlakuan akupunktur.

Pengamatan preparat irisan jaringan paru dengan

mikroskop cahaya perbesaran 1000x (lensa objective 100x,

lensa ocular 10x) dapat memperlihatkan gambaran sel eosinofil

secara lebih jelas. Sitoplasma eosinofil tampak berwarna

merah dan intinya yang berbentuk bilobus tampak berwarna

biru.

Diskusi

Dari hasil uji Tamhane (α=0,05) didapatkan adanya

perbedaan yang bermakna antara kelompok K dan PI yaitu

jumlah eosinofil pada kelompok PI lebih banyak daripada

A B C

Gambar 1. Gambaran Sebukan Eosinofil pada Dinding Bronkiolus Terminalis Tiga Kelompok Tikus Putih.

Sebukan eosinofil tampak sebagai titik-titik berwarna merah. A: preparat kelompok kontrol (K), B: preparat kelompok

yang diberi OVA (PI), C: preparat kelompok yang diberi OVA + akupunktur (PII) (pengecatan Eosin-Methylen Blue;

perbesaran mikroskop cahaya 400x, kamera digital zoom 4x).

Page 5: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

123

kelompok K. Hal ini berarti bahwa jumlah eosinofil pada

kelompok tikus putih yang mendapat paparan OVA (dan tidak

diakupunktur) lebih banyak daripada yang terdapat pada

kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan (tidak

mendapat paparan OVA dan tidak diakupunktur). Jadi dapat

dikatakan bahwa pemberian OVA pada penelitian ini dapat

menginduksi terjadinya peningkatan jumlah eosinofil

bronkiolus tikus putih. Hasil ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Heriprasetya7(2007) yang menggunakan

OVA untuk menginduksi terjadinya asma pada mencit

Balb/c. Penelitian Heriprasetya tersebut memperlihatkan

adanya peningkatan jumlah eosinofil bronkus secara

bermakna pada mencit yang dipapar dengan OVA. Pada

penelitian tersebut pemberian OVA secara intraperitoneal

dilakukan dua kali yaitu pada hari ke-1 dan hari ke-14, dan

selanjutnya pemberian OVA aerosol (inhalasi) dilakukan

secara berulang tiap dua hari sekali sebanyak tiga kali, dimulai

1 minggu setelah pemberian OVA intraperitonel yang kedua.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Yim et al.8 (2007) yang

menggunakan OVA untuk menginduksi terjadinya reaksi

hipersensitivitas tipe I pada mencit. Pada penelitian tersebut

OVA intraperitoneal diberikan tiga kali yaitu pada hari ke-0,

ke-7 dan ke-14. Selain itu OVA juga diberikan secara intra-

trakeal pada hari ke-21, dan OVA aerosol (inhalasi) diberikan

tiga kali per minggu selama 8 minggu dimulai pada hari ke-28.

Hasil penelitian Yim et al. ini menunjukkan bahwa OVA dapat

meningkatkan jumlah eosinofil pada jaringan paru secara

bermakna.

OVA atau ovalbumin adalah fosfoglikoprotein mono-

mer dengan berat molekul 43-45 kD. Melalui berbagai

penelitian dengan hewan coba, OVA telah terbukti dapat

digunakan sebagai alergen untuk menimbulkan reaksi

hipersensitivitas tipe I (misalnya asma).7,8 Pada penelitian ini

pemberian OVA dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian

OVA yang pertama kali, secara teoritis tentunya dapat

Gambar 2. Gambaran sebukan eosinofil pada dinding bron-

kiolus terminalis tikus putih yang diberi OVA

(PI). Eosinofil tampak sebagai sel dengan sito-

plasma yang tercat merah dan inti sel bilobus

yang berwarna biru (pengecatan Eosin-Methylen

Blue; perbesaran mikroskop cahaya 1000x, kame-

ra digital zoom 3x)

merangsang sel B untuk menghasilkan IgE dengan bantuan

sel T helper (Th). Imunoglobulin ini selanjutnya akan

menempel pada permukaan sel mast. Pemberian OVA yang

kedua dan seterusnya secara berulang-ulang akan menye-

babkan terjadinya ikatan antara OVA (sebagai antigen) dengan

IgE (sebagai antibodi) yang ada di permukaan sel mast. Hal

ini dapat memacu terjadinya degranulasi sel mast sehingga

terlepaslah mediator-mediator yang terkandung dalam sel

mast seperti: histamin, prostaglandin, leukotrien, Eosinophile

chemotactic factor-A/ECF-A dan beberapa macam sitokin

(misalnya: TNFα, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13) serta beberapa

macam enzim (misalnya: chymase dan tryptase). Mediator-

mediator tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti

peradangan, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Pada

peradangan terjadi peristiwa perekrutan sel-sel radang, dan

pada peradangan yang berkaitan dengan peristiwa alergi,

eosinofil merupakan sel radang yang jumlahnya sangat

dominan.3,4

Uji Tamhane juga menunjukkan perbedaan yang

bermakna antara kelompok PI dan PII, yaitu jumlah eosinofil

kelompok PII lebih sedikit daripada jumlah eosinofil kelompok

PI. Hal ini berarti bahwa jumlah eosinofil pada kelompok tikus

putih yang mendapat paparan OVA dan akupunktur lebih

sedikit daripada yang terdapat pada kelompok tikus putih

yang mendapat paparan OVA tanpa mendapat akupunktur.

Jadi dapat dikatakan bahwa pemberian akupunktur pada

penelitian ini dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus

tikus putih model asma alergi. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Carneiro et al.10 yang

menunjukkan bahwa elektroakupunktur dapat me-ngurangi

reaksi inflamasi pada tikus putih model asma. Hasil analisis

histopatologi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa

infiltrasi sel radang peribronkial dan perivaskuler pada

kelompok akupunktur lebih rendah secara bermakna jika

dibandingkan dengan kelompok sham-acupuncture dan

kelompok tikus asma yang tidak mendapat akupunktur. Selain

itu persentase lekosit polimorfonuklear (netrofil dan eosinofil)

pada cairan yang diambil dari bronchoalveolar lavage lebih

rendah secara bermakna pada kelompok akupunktur diban-

dingkan kelompok tikus asma yang tidak diakupunktur.10

Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Yim et al.8 yang menyelidiki efek anti

inflamasi dan immunoregulasi akupunktur herbal pada titik

Zusanli (ST36) mencit asma yang diinduksi OVA. Penelitian

Yim et al. ini memperlihatkan bahwa ekstrak herbal Perillae

fructus yang diinjeksikan secara subkutan pada titik Zusanli

(ST36) 3x/minggu selama 8 minggu dapat menurunkan jumlah

eosinofil pada jaringan paru mencit asma.8 Penelitian lain

yang hasilnya juga sesuai dengan penelitian ini dilakukan

oleh Katsuya et al. (2009). Katsuya et al. membuktikan bahwa

akupunktur pada titik akupunktur GV14, BL13, LU1, CV17,

ST36, dan SP6 dapat mengurangi proses inflamasi

(mengurangi jumlah infiltrat eosinofil) dan deposisi kolagen

pada paru tikus putih yang diinduksi dengan heat-solidified

Page 6: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011124

hen egg-white dan OVA.11

Akupunktur pada penelitian ini dapat menurunkan

jumlah eosinofil bronkiolus tikus putih model asma, hal ini

dapat diterangkan melalui mekanisme kerja akupunktur. Pada

penelitian ini akupunktur dilakukan pada dua titik Feishu

(BL13) dan dua titik Zusanli (ST36). Titik Feishu terletak

pada kedua sisi ruang interkostal setinggi batas bawah

prosesus spinosus Th-3 pada punggung tikus putih, dan

titik Zusanli (ST36) terletak pada 3 pembagian rata (3 cun) di

bawah sendi lutut, pada lateral dari tepi anterior tulang tibia

tikus putih.9 Titik Feishu (BL13) terletak pada daerah yang

dipersarafi oleh serabut saraf sensoris medula spinalis

segmen toraks, dan titik Zusanli (ST36) terletak pada daerah

yang dipersarafi oleh serabut saraf sensoris medula spinalis

segmen lumbal, sehingga apabila titik-titik ini dirangsang

maka secara segmental dapat memacu sistem saraf simpatis.

Serabut saraf simpatis yang menginervasi bronkus dan

percabangannya keluar dari medula spinalis segmen toraks

1 sampai dengan toraks 4. Perangsangan pada sistem simpatis

dapat menyebabkan dilepaskannya neurotransmiter yang

merangsang reseptor adrenergik yang pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya bronkodilatasi, hambatan sekresi

mukus serta hambatan degranulasi sel mast. Selain itu

perangsangan pada sistem simpatis juga dapat menyebabkan

medula adrenal terstimulasi sehingga menghasilkan kate-

kolamin. Katekolamin bersifat merangsang aktivitas enzim

adenilsiklase sehingga menyebabkan peningkatan kadar

AMP siklik. Peningkatan kadar AMP siklik dapat menye-

babkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas kelenjar

bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan

degranulasi sel mast. Penghambatan degranulasi sel mast

berarti penghambatan pelepasan mediator-mediator dari sel

mast termasuk mediator inflamasi. Jika mediator inflamasi

dihambat pelepasannya maka peristiwa peradangan dapat

dihambat, dan timbulnya sebukan sel radang termasuk

eosinofil juga dapat dihambat, sehingga jumlah eosinofil

dalam jaringan menurun.12-14

Perangsangan titik Feishu (BL13) dan titik Zusanli (ST36)

secara teoritis tentunya juga dapat menimbulkan reaksi

melalui jalur talamo-hipofisio-adrenal. Jadi bila titik-titik ini

dirangsang maka melalui jalur tersebut rangsangan akun-

punktur dapat memacu keluarnya hormon CRF yang

selanjutnya dapat memacu ACTH dan akhirnya meningkatkan

pengeluaran steroid oleh korteks adrenal.15 Steroid mem-

punyai sifat dapat menurunkan ambang rangsang reseptor

beta adrenergik (meningkatkan sensitivitas reseptor beta

adrenergik), sehingga ikatan resptor ini dengan katekolamin

yang jumlahnya sedikit saja sudah dapat mengaktivasi enzim

adenilsiklase, yang selanjutnya dapat meningkatkan kadar

AMP siklik. Peningkatan kadar AMP siklik dapat menye-

babkan bronkodilatasi, penghambatan aktivitas kelenjar

bronkus dalam menghasilkan mukus dan penghambatan

pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Penghambatan

pelepasan mediator peradangan dapat menyebabkan

penurunan jumlah eosinofil.14

Hasil uji Tamhane juga menunjukkan adanya perbedaan

yang bermakna antara kelompok K dan PII, yaitu jumlah

eosinofil pada kelompok PII masih lebih banyak daripada

yang terdapat pada kelompok K. Hal ini berarti bahwa jumlah

eosinofil pada kelompok tikus putih model asma yang

mendapat akupunktur masih lebih banyak daripada jumlah

eosinofil pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan

perlakuan (tidak mengalami asma dan tidak mendapat

akupunktur). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa

kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah karena kurang

lamanya waktu pemberian akupunktur sehingga efeknya

belum optimal dalam menurunkan jumlah eosinofil.

Kemungkinan kedua adalah jumlah titik yang digunakan untuk

mengatasi kasus pada penelitian ini dengan waktu 10 hari,

masih kurang banyak sehingga efek penurunan terhadap

jumlah eosinofil belum optimal.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

akupunktur pada titik Feishu (BL13) dan Zusanli (ST36)

dengan stimulasi listrik frekuensi rendah selama 10 hari

berturut-turut dapat menurunkan jumlah eosinofil bronkiolus

tikus putih model asma.

Daftar Pustaka

1. Gaur SN, Gupta K, Rajpal S, Singh AB, Rohatgi A. Prevalence of

bronchial asthma and allergic rhinitis among urban and rural adult

population of Delhi. Indian J Allergy Asthma Immunol. 2006;

20(2):90-1.

2. Sukamto HS. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (eds). Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2006.h.247-52.

3. Abbas AK and Lichtman AH. Basic immunology. Second edition.

Philadelphia: Elsevier Inc; 2004.p.194-200.

4. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immu-

nology. Fourth edition. Philadelphia: WB Saunders Company;

2000.h.424-41.

5. Handayani. Penggunaan agonis reseptor α2 terhadap hipersen-

sitivitas bronchus. MKA. 2002;26(2):45-6.

6. Buchman A. Clinical reviews: therapeutic recommendations side

effects of corticosteroid therapy. J Clin Gastroenterology. 2001;

33(4):289.

7. Heriprasetya D. Efek pemaparan ovalbumin aerosol terhadap

eosinofilia bronkus pada mencit Balb/C. Nexus Medicus, J Ilmiah

Penelitian Medis. 2007;18(1):8-15.

8. Yim YK, Lee H, Hong KE, Kim YI, Ko SK, Kim JE, et al. Anti-

inflammatory and immune-regulatory effects of subcutaneous

Perillae fructus extract injections on OVA-induced asthma in

mice. eCAM. 2010;7(1):79-86.

9. Kiswojo. Pengetahuan dasar ilmu akupunktur. Cetakan I. Jakarta:

Penerbit Akupunktur Indonesia; 2007.h.104,116.

10. Carneiro ER, Carneiro CR, Castro MA, Yamamura Y, Silveira

VL. Effect of electroacupuncture on bronchial asthma induced

by ovalbumin in rats. J Altern Complement Med. 2005;11(1):

127-34.

11. Katsuya EM, Castro MAP, Carneiro CRW, Yamamura Y, Silveira

VLF. Acupuncture reduces immune-mediated pulmonary inflam-

matory lesions induced in rats. Forsch Komplementmed. 2009;

16:413-6.

Page 7: Tentang Eosinofil Dr Muthmainah

Pengaruh Akupunktur terhadap Jumlah Eosinofil Bronkiolus

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011 125

12. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. Terjemahan:

Widjajakusumah HMD. Edisi ke-20. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2003.h.216-20.

13. Munaf S dan Kamaluddin MT. Obat-obat adrenergik. Dalam: Staf

Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan kuliah

farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

2008.h.356-9.

14. Munaf S. Bronkodilator dan obat-obat asma. Dalam: Staf Pengajar

Departemen Farmakologi FK UNSRI. Kumpulan kuliah

farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

2008.h.573-8.

15. Sutanto DS. Pemanfaatan akupunktur pada kecantikan. Dalam:

Saputra K (ed). Akupunktur klinik. Cetakan I. Surabaya: Airlangga

University Press; 2002.h.77-81.

FA