ta_sig

40
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia, dan dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta terletak di atas dua lempeng bumi. Indonesia juga mempunyai puluhan gunung api aktif yang sewaktu-waktu bisa meletus. Letak geografis tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, badai dan letusan gunung api. Diantara berbagai macam bencana alam yang berpotensi melanda Indonesia, banjir merupakan bencana yang sering terjadi hampir setiap tahun. Banjir besar kerap terjadi setiap 5 tahun sekali sehingga disebut dengan banjir 5 tahunan. Banjir besar pernah melanda DKI Jakarta pada tahun 2002 pada bulan Februari dan terjadi kembali pada bulan Februari 2007. Morfologi wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah, yang di bagian utaranya berhubungan langsung dengan Laut Jawa. Beberapa sungai utama mengalir melalui wilayah ini, sehingga secara alami mempunyai potensi untuk terjadinya banjir. Secara alami, faktor penyebab terjadinya 1

Upload: bella-shinta-dewi

Post on 25-Jun-2015

355 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di dua

benua yaitu benua Asia dan benua Australia, dan dua samudera yaitu Samudera

Hindia dan Samudera Pasifik, serta terletak di atas dua lempeng bumi. Indonesia

juga mempunyai puluhan gunung api aktif yang sewaktu-waktu bisa meletus.

Letak geografis tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara

yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, antara lain gempa bumi,

tsunami, banjir, tanah longsor, badai dan letusan gunung api.

Diantara berbagai macam bencana alam yang berpotensi melanda

Indonesia, banjir merupakan bencana yang sering terjadi hampir setiap tahun.

Banjir besar kerap terjadi setiap 5 tahun sekali sehingga disebut dengan banjir 5

tahunan. Banjir besar pernah melanda DKI Jakarta pada tahun 2002 pada bulan

Februari dan terjadi kembali pada bulan Februari 2007.

Morfologi wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah, yang di bagian

utaranya berhubungan langsung dengan Laut Jawa. Beberapa sungai utama

mengalir melalui wilayah ini, sehingga secara alami mempunyai potensi untuk

terjadinya banjir. Secara alami, faktor penyebab terjadinya banjir selain keadaan

morfologinya yang berupa dataran rendah, juga disebabkan oleh curah hujan

yang tinggi di bagian belakangnya (hinterland), aliran permukaan (run off) yang

besar, gradien sungai atau drainase yang sangat landai, pengaruh pasang surut,

dan pendangkalan sungai disekitar muaranya. Penggunaan lahan yang kurang

tepat di daerah belakang (hinterland) dapat memperbesar aliran permukaan

yang membawa material rombakan, sehingga dalam kondisi tertentu akan terjadi

proses sedimentasi di beberapa dasar sungai pada gradien sungai yang landai.

Kemudian ditunjang dengan pembangunan fisik disekitar kawasan DKI Jakarta

yang semakin pesat, sehingga lahan terbuka untuk resapan air hujan menjadi

terbatas dan sempit. Keadaan menyebabkan aliran permukaan menjadi

bertambah besar, sehingga daya dukung aliran permukaan menjadi bertambah

1

Page 2: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

besar, sehingga daya dukung permukaan menjadi terbatas dan menyebabkan

terjadinya banjir di beberapa tempat.

Banjir yang terjadi di Jakarta Selatan berhubungan dengan meluapnya air

sungai. Dibeberapa muara sungai, meluapnya air sungai dipengaruhi oleh

pasang air laut yang biasanya bertepatan dengan musim hujan antara bulan

November-Desember (Ongkosono, 1981).

Bertambahnya penduduk kota Jakarta baik yang berasal dari penghuni

kota sendiri maupun dari arus penduduk yang datang dari luar kota,

mengakibatkan kepadatan penduduk kota semakin tinggi. Kepadatan penduduk

di Kota Jakarta pada tahun 2002 sebesar 11.272 jiwa/km2 (BPS 2003).

Pertambahan penduduk memerlukan ruang sebagai tempat tinggal, yang berarti

semakin berkurangnya tempat-tempat kosong dalam kota. Untuk mengatasi

kekurangan tempat sebagai tempat tinggal, maka kota harus diperluas secara

bertahap menjauhi pusat kota. Perkembangan kota akan diikuti dengan

penambahan sarana-sarana sepert pemukiman, bangunan pasar, gedung

sekolah, gedung perkantoran, tempat parkir, pengerasan jalan-jalan, yang

selanjutnya akan mendesak daerah-daerah pertanian di pingiran kota.

Perkembangan kota Jakarta yang pesat dalam waktu yang relatif singkat

menyebabkan perubahan penggunaan tanah kota dari tanah yang banyak

menyerap air menjadi daerah yang kedap air, yang mengakibatkan

bertambahnya luas tanah non permeabel (tidak menyerap air). Perubahan ini

menyebabkan aliran permukaan menjadi semakin besar bila terjadi hujan.

Terjadinya limpasan air yang besar karena tidak didukung adanya sistem

drainase yang baik dan terencana, dapat mengakibatkan timbulnya genangan di

beberapa tempat.

Penulis tertarik untuk mengangkat tema mengenai lokasi genangan banjir

di Kotamadya Jakarta Selatan tahun 2002 karena untuk mengetahui dimana

wilayah rawan genangan banjir agar dapat dilakukan antisipasi untuk mencegah

terjadinya genangan yang lebih luas pada siklus banjir lima tahunan.

2

Page 3: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

I. 2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui persebaran wilayah rawan

genangan banjir di Kotamadya Jakarta Selatan serta kaitannya dengan

penggunaan tanahnya (landuse).

I. 3. Masalah

Dalam penelitian ini, akan dibahas beberapa masalah yang menjadi

pembahasan penulis. Berikut ini masalah-masalah yang ada dalam penelitian :

1. Bagaimana penyebaran wilayah rawan genangan di Jakarta Selatan?

2. Bagaimana hubungan penyebaran wilayah rawan genangan di Jakarta

Selatan dengan landusenya?

I. 4 Batasan

1. Genangan adalah luapan air yang bersifat setempat yang terjadi pada

suatu wilayah pada musim hujan sebagai akibat bertambahnya volume air

sehingga saluran sub-makro dan seluruh penghubung yang ada tidak

dapat lagi menampung kelebihan air.

2. Banjir adalah luapan air yang terjadi pada suatu wilayah pada musim

hujan sebagai akibat bertambahnya volume air sehingga saluran makro

yang ada tidak dapat lagi menampung kelebihan air.

3. Wilayah rawan genangan adalah satuan luas yang dinyatakan sebagai

wilayah yang selalu tergenang pada musim hujan.

3

Page 4: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

I. 4. Alur Pikir Penelitian

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

Kotamadya Jakarta Selatan

Banjir Besar Tahun 2002

Landuse Tahun 2002

Lokasi Genangan Air di Kotamadya

Jakarta Selatan Tahun 2002

4

Page 5: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Pengertian Banjir dan Genangan

Banjir tidak sama denagn genangan (inundation), karena tidak semua

genangan disebabkan oleh meluapnya air sungai dan saluran, misalnya

genangan di atas ruas jalan yang cekung. Menurut Ditjen Pengairan Departemen

Pekerjaan Umum, terdapat 2 jenis banjir:

1. Banjir Genangan, yang disebabkan oleh hujan yang turun diatas permukaan

tanah yang landai dan datar.

2. Banjir luapan sungai, yang disebabkan oleh luapan sungai-sungai yang

airnya meluap keluar karena daya tampungnya terlampaui.

Strahler (lihat Saraswati, 1995) berpendapat bahwa banjir adalah

peristiwa meluapnya air sungai melampaui tanggulnya sehingga menggenangi

daratan disampingnya.

Lobeck (1939) menyatakan bahwa flood plain akan tergenang jika air

sungai melalui tanggul sungai yang kemudian menggenangi flood plain.

Soehoed (2002: 1) berpendapat bahwa penyebab terjadinya genangan

adalah hujan lokal.

II. 2. Penyebab Banjir

Berikut faktor-faktor penyebab terjadinya banjir di Kota Jakarta (Kartono

et al. 1982: 12):

1. Morfologi Kota Jakarta yang nyaris datar dengan ketinggian hingga 5 meter,

membentang sepanjang kurang lebih 15 kilometer, arah utara-selatan,

dengan sungai-sungai yang semakin dangkal dan sempit serta sifat tanah

yang daya serapnya terhadap air relatif kecil dan lambat.

2. Pada waktu tertentu, curah hujan melebihi normal (lebih dari 75 mm dalam

waktu 3 jam), mudah menimbulkan genangan.

3. Kiriman air dari hulu ikut berperan sebagai salah satu penyebab genangan.

5

Page 6: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

4. Pasang surut air laut menentukan lamanya genangan.

5. Pertambahan penduduk yang sangat pesat, menimbulkan besarnya

kebutuhan akan built up area, maka daerah yang disarankan untuk tidak

menjadi built up areapun ikut dikembangkan.

6. Gangguan tidak wajar terhadap fungsi-fungsi sungai, seperti pembuangan

sampah, mendirikan bangunan di bantaran sungai.

7. Perkembangan wilayah urban yang pesat menyebabkan makin luasnya

wilayah pave surface, yang berarti mengurangi luasnya wilayah yang mampu

mneyerap air secara alami.

II. 3. Flood Plain, Wilayah Endapan dan Submerged Land

Flood plain adalah dataran rendah yang membatasi sungai, biasanya

kering tetapi merupakan subyek bagi banjir. Flood plain terbuat dari alluvium

yang dikerjakan oleh gaya-gaya dari sungai (Hoyt & Langbein 1955: 12).

Beberapa ciri flood plain adalah, terdapatnya meander sungai, delta,

sungai mati (oxbow lake), dan tanggul sungai, terjadi pada wilayah datar atau

dataran denagn lereng yang sangat landai (Worcester, 1958). Kemudian

berdasarkan klasifikasi Direktorat Tata Guna Tanah yang dimaksud denagn

lereng yang datar dan landai yaitu kereng < 2%.

Wilayah dengan dasar ketinggian dapat dibagi menjadi beberapa bagian,

yaitu bagian wilayah pegunungan tinggi, bagian wilayah pegunungan, bagian

wilayah pertengahan dan bagian wilayah rendah (Sandy 1996: 78). Akan tetapi

Sandy juga menyebutkan ada wilayah endapan dari klasifikasi tersebut. Wilayah

endapan berada pada ketinggian 0-6 meter diatas permukaan laut dan pada

kasus Jakarta hingga ketinggian 7 meter diatas permukaan laut. Dikatakan

wilayah endapan karena pada wilayah ini air sulit untuk mengalir secara gravitasi

sehingga secara morfologi merupakan subyek terhadap genangan.

Submerged land atau wilayah dengan ketinggian dibawah 0 meter diatas

permukaan laut. Pada wilayah ini hampir dapat dipastikan air akan sangat sulit

mengalir menuju daerah yang lebih rendah.

6

Page 7: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

II. 4. Siklus Hidrologi

Air di bumi mengalami sirkulasi yaitu penguapan, presipitasi, dan

pengaliran air ke luar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan

laut, kemudian berubah menjadi awan. Setelah melalui beberapa proses

kemudian menjadi sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan.

Sebelum tiba ke permukaan bumi, sebagian menguap ke udara dan sebagian

tiba di permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan

bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-

tumbuhan di mana sebagian akan menguap, dan sebagian lagi akan jatuh dan

mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah. Sebagian air hujan yang

tiba di permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang

merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah kemudian

mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya

ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara.

Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (aliran

intra = interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah

(groundwater), yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang

lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (limpasan air tanah =

groundwater runoff). Jadi sungai mengumpulkan tiga jenis limpasan, yaitu

limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow), dan limpasan air

tanah (grounwater runoff), yang akhirnya semuanya akan mengalir ke laut.

Sirkulasi antara air di laut dan air di daratan berlangsung terus. Sirkulasi ini

disebut sirkulasi hidrologi. Tetapi sirkulasi ini tidak merata karena kita melihat

perbedaan besar presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim yang

berikut dan juga dari wilayah ke wilayah lain. Sirkulasi ini dipengaruhi oleh

kondisi meteorologi (suhu, tekanan, atmosfer, angin, dan lain-lain) dan kondisi

topografi.1

1 Sosrodarsono dan T. Kensaku, 1985 : 1 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan

Genangan di Jakarta Selatan”.

7

Page 8: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

II. 5. Sejarah Perkembangan Kota

Kota tidak timbul dan terjadi begitu saja. Terjadinya sebuah kota

mengalami proses yang panjang. Pada awalnya sebuah kota merupakan

pemukiman beberapa kepala keluarga yang tinggal menetap, yang disebut

dengan kampung. Kemudian mereka bercocok tanam, membuat saluran irigasi,

jaringan jalan, dan lain-lain. Kemudian penduduk mulai bertambah secara alami

dan kampung bertambah besar menjadi desa lengkap dengan aparatnya seperti

pamong desa dan lain-lain, sehingga kegiatan di desa bisa berjalan dengan

teratur, tertib, dan lancar. Karena jaringan jalan sudah ada dan tanah yang luas

masih tersedia, maka selain penduduk desa bertambah secara alami datang pula

penduduk dari kampung lain yang tinggal menetap sebagai warga. Dengan

berkembangnya desa maka timbul kebutuhan-kebutuhan akan sesuatu yang

mengakibatkan adanya toko, tempat hiburan, rumah sakit, sekolah, sehingga

layaklah ia disebut kota.2

Kota-kota di Indonesia terletak di tempat-tempat di mana pada waktu

yang lampau terdapat pusat-pusat kegiatan ekonomi asing, yaitu kota-kota di

pesisir pantai atau di tepi sungai, dengan kegiatan perdagangan (Jakarta,

Semarang, Surabaya, Palembang, Padang), kota-kota perkebunan sebagai

pusat-pusat perkebunan besar (Bandung, Sukabumi, Pematang Siantar), dan

kota-kota pertambangan sebagai pusat-pusat pertambangan (Sawahlunto,

Balikpapan). Karena kota-kota tersebut pada hakikatnya dibangun oleh orang-

orang asing, maka terdapat beberapa masalah yang erat hubungannya dengan

pembangunan kota-kota tersebut. Drainase buruk adalah masalah untuk kota-

kota yang terletak di pesisir pantai atau di tepi sungai. Sebagian dari wilayah

kotanya senantiasa tergenang air.3

Perkembangan kota selalu diikuti oleh perubahan penggunaan tanah

pedesaan menjadi penggunaan tanah perkotaan. Hal ini disebabkan karena

jumlah penduduk yang besar dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Jumlah penduduk akan mempengaruhi penggunaan tanah (landuse). Jadi,

semakin besar jumlah penduduk suatu kota akan semakin besar pula

2 Northam, 1975 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan”.3 Sandy, 1982 : 13-14 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan”.

8

Page 9: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

pengaruhnya terhadap penggunaan tanah. Akibatnya, akan menimbulkan

dampak negatif terhadap sumber daya alam. Hal ini tercermin dari banyaknya

lahan yang tadinya merupakan daerah penyangga banjir (resapan air) dijadikan

daerah pemukiman, perkantoran, dan lain-lain. Kondisi demikian akan

memberikan andil yang cukup besar terhadap risiko timbulnya banjir bila saluran-

saluran pembuang atau pengatur air (sarana drainase) tidak disesuaikan dengan

perkembangan kota itu sendiri karena sarana drainase ini berfungsi untuk

menjaga keseimbangan masuk keluarnya air di kota.

Daerah perkotaan mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya banjir

dan genangan. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Padang, dan Banda Aceh sering sekali dilanda banjir

(Kompas, 1985 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di

Jakarta Selatan”). Hal ini sejalan dengan semaki rusaknya Daerah Aliran Sungai

(DAS) di daerah hulu, selain itu juga disebabkan oleh perkembangan kota yang

pesat.

II. 5. 1. Sejarah Perkembangan Kota Jakarta

Jakarta seperti apa yang terlihat sekarang ini adalah hsil suatu proses

perkembangan yang berlangsung dalam periode waktu yang panjang, di mana

kira-kira 1500-1000 tahun sebelum masehi daerah Jakarta telah dihuni oleh

manusia.4

Awal abad XIV di muara Ci Liwung yang merupakan batas sebelah utara

Kerajaan Pajajaran, terletak sebuah pelabuhan atau bandar yang dikenal dengan

Bandar Sunda Kelapa yang merupakan cikal-bakal kota Jakarta. Bandar Sunda

Kelapa pada saat itu berfungsi sebagai kota perdaganga. Kegiatan perdagangan

di pelabuahan sangat ramai dengan barang yang diperdagankan seperti rempah-

rempah dan bahan makanan yang kebanyakan dikirim ke Malaka. Pada tahun

1511 wilayah ini sudah dijajah oleh Portugis.5

Pada tahun 1527 Bandar Sunda Kelapa dikuasai oleh Falatehan dari

Kerajaan Demak. Kemudian oleh Falatehan nama Sunda Kelapa diganti menjadi

4 Bappeda DKI Jakarta 1990 : 1 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan”.

5 ibid

9

Page 10: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Jayakarta disingkat menjadi Jakarta yang artinya ”Kemenangan Akhir”.

Pergantian nama ini dilakukan pada tanggal 22 Juni 1527 dan selanjutnya

tanggal tersebut sehingga sekarang diperingati menjadi hari jadi kota Jakarta.

Jakarta menjadi lebih cepat berkembang setelah perserikatan dagang

Belanda VOC yang dipmpin oleh J.P Coen menguasai perdagangan di sekitar

pelabuhan. Pembangunan Jakarta sejak saat itu sesuai dengan kehendak

pemerintah Belanda, yaitu sebagai tempat pertahanan, pusat perdagangan, dan

kemudian menjadi pusat pemerintahan.

Dalam perkembangan dan perluasan kota Jakarta yang padamulanya

berpusat di Pasar Ikan, lama-kelamaan dirasakan kurangsehat sebagai tempat

kediaman. Keadaan ini disebabkan karena bertambahnya penduduk dan

keadaan kota Jakarta yang sebagian besar merupakan rawa-rawa dan sering

terkena banjir dan genangan. Karena itu banyak penduduk yang berpindah ke

bagian selatan kota mencari lahan baru untuk bermukim.6

Pada masa kependudukan Jepang dapat dikatakan tidak ada usaha

pembangunan sama sekali bahkan sebaliknya fasilitas-fasilitas dan sarana-

sarana yang ada menjadi rusak karena digunakan untuk kepentingan perang.

II. 6. Banjir dan Upaya Penanggulangannya

Banjir dan genangan bukanlah merupakan permasalahan selama

peristiwa tersebut tidak menimbulkan bencana bagi manusia. Namun sejak

manusia bermukim dan melakukan berbagai macam kegiatan di daerah dataran

banjir (flood plain), permasalahan banjir dan genangan telah ada dan sejak itu

pula manusia berusaha untuk mengurangi kerugian-kerugian yang ditimbulkan

oleh banjir.7

Perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat dengan fasilitas-fasilitas

yang lengkap, menjadikan Jakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk di

luar Jakarta untuk melakukan urbanisasi ke Jakarta. Bertambahnya penduduk

Jakarta berarti semakin luas lahan yang dibutuhkan untuk pemukiman, sehingga

6 ibid

7 Siswoko, 1985 : 2 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan”.

10

Page 11: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

daerah yang semula merupakan rawa-rawa dijadikan tempat pemukiman baru.

Hal ini mengakibatkan terjadinya banjir dan genangan di beberapa wilayah.

Secara umum penyebab banjir dan genangan di wilayah DKI Jakarta

adalah (Dinas PU DKI Jakarta 1992 : 1 dan Harian Kompas dalam Skripsi Dewi

Saraswati ”Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan”) :

a. Jakarta terletak di tepi pantai dan tempat bermuara 13 sungai besar.

Secara topografis bagian utaranya landai, di daerah selatan agak berbukit

serta sebagian catchment area dari sungai-sungainya berbukit.

b. Daerah tangkapan bagian hilir memiliki curah hujan cukup tinggi, rata-rata

2000 milimeter per tahun dan umumnya sering bersamaan dengan

datangnya pasang naiknya air Laut Jawa.

c. Beberapa jaringan drainase tidak dapat mengalirkan air dengan baik

karena adanya hambatan sepanjang aliran akibat sedimentasi, sampah,

dan bangunan liar.

d. Pembangunan di bidang sarana drainase dan pengendalian banjir kurang

memadai bila dibandingkan dengan pembangunan lain di Jakarta yang

sangat pesat.

e. Pesatnya pembangunan kompleks perumahan di wilayah selatan Jakarta,

yang sudah ditetapkan sebagai daerah resapan air bagi kota Jakarta.

f. Pengurukan situ/rawa yang menyebabkan air mengalir berlebihan ke

sungai yang daya tampungnya terbatas.

Pengaliran air dan pengendalian banjir di kota Jakarta dan sekitarnya

telah menjadi masalah sejak permulaannya. Meningkatnya jumlah penduduk

yang pesat melahirkan masalah-masalah yang mendesak. Pertumbuhannya

yang cepat dan perkembangan Jakarta mengaharuskan dipikirkan sistem

pengaliran air dan pengendalian banjir secara luas dan menyeluruh.

Masalah pengaliran air dan pengendalian banjir di DKI Jakarta adalah :

a. Mengalirkan air hujan di wilayah kota itu sendiri.

b. Menjaga pengaliran air yang menggenangi wilayah kota dari tempat yang

tinggi (selatan) menuju utara.

c. Pada musim kemarau mencegah stagnasi air (tidak mengalir) pada

sungai-sungai di kota.

11

Page 12: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Sistem pengendalian banjir yang diterapkan untuk wilayah DKI Jakarta

adalah (Departemen PU, 1991 : 28 dalam Skripsi Dewi Saraswati ”Wilayah

Rawan Genangan di Jakarta Selatan”) :

a. Banjir yang disebabkan karena hujan di daerah hulu (di luar daerah DKI

Jakarta) mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, sebelum masuk wilayah

DKI Jakarta ’dicegat’ dengan cara mengalirkan air tersebut ke saluran

banjir untuk kemudian dialirkan langsung ke laut

b. Banjir yang disebabkan hujan lokal di dalam wilayah DKI Jakarta diatasi

dengan cara :

Pada daerah yang cukup tinggi, air dialirkan secara gravitasi melalui

saluran-saluran ke laut.

Pada daerah dataran yang rendah, di mana pengaliran secara

gravitasi tidak dimungkinkan maka air ditampung dalam waduk-waduk

terlebih dahulu, kemudian dibuang ke laut dengan menggunakan

pompa (sistem polder).

12

Page 13: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Data

III. 1. 1 Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang dipakai yaitu:

1. Ketinggian

2. Lereng

3. Penggunaan tanah (Landuse)

III. 1. 2 Pengumpulan Data-data dan Peta

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa

cara, yaitu studi kepustakaan dan pengumpulan data sekunder. Data yang

digunakan dalam penelitian ini, merupakan data-data yang menjadi variabel

kontrol (pembatas) suatu wilayah yang rawan terjadi genangan air di Kotamadya

Jakarta Selatan. Data-data tersebut antara lain:

Peta dan data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :

1. Peta Administrasi Wilayah Jakarta Selatan

2. Peta Topografi Wilayah Jakarta Selatan

3. Peta Ketinggian Wilayah Jakarta Selatan

4. Peta Lereng Wilayah Jakarta Selatan

5. Peta Penggunaan Tanah Wilayah Jakarta Selatan

III. 1. 3 Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

software Arc View 3.2, yang merupakan software untuk memproses data dalam

bentuk peta digital. Tahapan pengolahan data tersebut yaitu:

13

Page 14: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

1. Data yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan dan disajikan dalam bentuk

tabel dan peta

2. Klasifikasi landuse menjadi 5 kelas

3. Klasifikasi wilayah rawan genangan menjadi 3 kelas, yaitu sangat rawan,

rawan, dan tidak rawan

4. Overlay peta-peta unsur fisik yang menghsilkan wilayah rawan genangan,

kemudian hasilnya di overlay dengan peta landuse.

III. 1. 4 Analisis Data

1. Menganalisis wilayah rawan genangan

2. Manganalisis hubungan wilayah rawan genangan dan landuse.

III. 1. 5 Klasifikasi

Data-data yang telah diolah kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa

kelas. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses analisa.

Hasil klasifikasi data-data tersebut, yaitu:

1. Wilayah ketinggian di Jakarta Selatan diklasifikasikan menjadi 9

(sembilan) kelas, yaitu -5-4 mdpl, 4-13 mdpl, 13-22 mdpl, 22-31 mdpl,

31-40 mdpl, 40-49 mdpl, 49-58 mdpl, 58-67 mdpl, 67-77 mdpl.

2. Dari peta lereng, dapat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas, yaitu

<15%, 15-30 %, 31-45 %, 46-60 %, dan >60 %.

3. Dari peta penggunaan tanah yang ada, dapat diklasifikasikan menjadi

5 (lima) kelas, yaitu industri, perdagangan, perumahan, tanah basah

dan badan air, tanah pertanian dan RTH.

Dari data-data tersebut akan dihasilkan klasifikasi wilayah rawan

genangan banjir pemukiman menjadi tiga kelas, yaitu sangat rawan, rawan, dan

tidak rawan.

14

Page 15: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Tabel 1. Klasifikasi Data

Variabel Klasifikasi Kode

Ketinggian

-5-4 mdpl

4-13 mdpl

13-22 mdpl

22-31 mdpl

31-40 mdpl

40-49 mdp

49-58 mdpl

58-67 mdpl

67-77 mdpl

K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

K9

Lereng

<15 %

15-30 %

31-45 %

46-60 %

>60 %

L1

L2

L3

L4

L5

Penggunaan Tanah

(Landuse)

Industri

Perdagangan

Perumahan

Tanah basah dan badan air

Tanah pertanian dan RTH

LU 1

LU 2

LU 3

LU 3

LU 4

LU 5

15

Page 16: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

III. 2 Modelling Sistem Informasi Geografi

Bagan 2. Modelling SIG

Modelling SIG tersebut menjelaskan proses pengolahan data-data spasial

yang menjadi variabel pembatas wilayah rawan genangan air di Kotamadya

Jakarta Selatan. Proses tersebut menggunakan software Arc View 3. 2 seperti

yang telah disebutkan sebelumnya.

Data yang pertama kali diproses adalah data ketinggian, karena ketinggian

merupakan faktor utama yang menentukkan terdapatnya wilayah genangan air.

Data ketinggian tersebut kemudian di-query. Proses query ketinggian adalah

proses pemilihan data ketinggian yang sesuai untuk klasifikasi lokasi rawan

genangan air. Data yang diproses berikutnya adalah data lereng. Lereng

merupakan variabel yang mempengaruhi terjadinya genangan air. Data lereng

Query

Ketinggian

Wilayah Ketinggian

Lereng

overlay

KL

Landuse

overlay

Peta Lokasi Genangan Air di

Kotamadya Jakarta Selatan

Query

Wilayah Lereng

16

Page 17: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

juga di-query untuk mendapatkan lereng yang sesuai untuk klasifikasi lokasi

rawan genangan air.

Dua data yang telah di-query tadi kemudian di-overlay. Overlay adalah

proses penggabungan dua data menjadi satu data. Proses tersebut dilakukan

untuk semua data yang digunakan dalam penelitian ini.

Setelah mendapatkan data gabungan dari ketinggian dan lereng, proses

selanjutnya adalah meng-overlay kembali data hasil overlay ketinggian-lereng

dengan landuse.

III. 3 Matriks Kesesuaian

Sebelum data tersebut dapat diolah, terlebih dahulu kita harus membuat

matriks kesesuaiannya. Matriks kesesuaian menjadi acuan kita dalam bekerja

mengolah suatu data untuk mendapatkan klasifikasi wilayah genangan air.

Matriks kesesuaian adalah tabel yang berisikan klasifikasi dari wilayah

genangan air. Hasil klasifikasi yang telah dibuat tersebut, kemudian dikorelasikan

dengan variabel-variabel fisik yang menentukan tingkat kerawanan wilayah

genangan air.

Tabel 2. Matriks Kesesuaian.

Variabel

KerawananSangat Rawan Rawan Tidak Rawan

Ketinggian-4-5 mdpl, 4-13

mdpl, 13-22 mdpl

22-31 mdpl, 31-40

mdpl, 40-49 mdpl,

49-58 mdpl

58-67 mdpl, 67-77

mdpl

Lereng <15%, 15-30% 15-30%, 31-45% 46-60%, >60%

Penggunaan TanahIndustri,

perdagangan

Perdagangan,

perumahan

Tanah basah dan

badan air, tanah

pertanian dan RTH

Dapat kita lihat pada tabel, bahwa hasil tingkat kerawanan dibedakan

menjadi tiga kelas kerawanan, yaitu sangat rawan, rawan dan tidak rawan.

17

Page 18: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Daerah yang sangat rawan adalah daerah dengan klasifikasi ketinggian -4-5

mdpl, 4-13 mdpl, 13-22 mdpl dengan lereng <15%, 15-30% dan penggunaan

tanahnya adalah industri dan perdagangan.

Daerah yang rawan terjadi genangan air adalah daerah yang mempunyai

ketinggian 22-31 mdpl, 31-40 mdpl, 40-49 mdpl, 49-58 mdpl dengan lereng 15-

30%, 31-45% serta penggunaan tanahnya adalah perdagangan dan perumahan.

Demikian pula halnya dengan daerah klasifikasi tidak rawan. Daerah yang

tidak rawan untuk wilayah genangan air adalah daerah dengan kelas ketinggian

58-67 mdpl, 67-77 mdpl dengan lereng 46-60%, >60% serta penggunaan tanah

adalah tanah basah dan badan air, tanah pertanian dan RTH.

III. 4 Analisis

III. 4. 1 Formula (query)

Formula atau query merupakan suatu proses pemilihan data yang akan

digunakan dalam menentukan tingkat kerawanan wilayah genangan air. Formula

atau query dibuat berdasarkan matriks kesesuaian.

Formula

Sangat Rawan (SR) : K1/K2/K3+L1/L2+LU1/LU2

Rawan (R) : K4/K5/K6/K7+L2/L3+LU2/LU3

Tidak Rawan (TR) : K8/K9+L4/L5+LU4/LU5

Query

Sangat Rawan (SR) : K = -4-5 mdpl or K = 4-13 mdpl or K = 13-22 mdpl and L =

<15% or L = 15-30% and LU = industri or LU =

perdagangan

Rawan (R) : K = 22-31 mdpl or K = 31-40 mdpl or K= 40-49 mdpl or K

= 49-58 mdpl and L = 15-30% or L = 31-45% and LU=

perdagangan or LU = perumahan

Tidak Rawan (TR) : K = 58-67 mdpl or K = 67-77 mdpl and L= 46-60% or L=

>60% and LU = tanah basah & badan air or LU = tanah

pertanian & RTH.

18

Page 19: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

III. 4. 2 Bagan E-R dan tabel-tabel entitas

Bagan 3. Bagan E-R

Ada 5 Tabel entitas yang dihasilkan dari bagan E-R di atas :

Ketinggian (K#, -5-4 mdpl, 4-13 mdpl, 13-22 mdpl, 22-31 mdpl, 31-40

mdpl, 40-49 mdpl, 49-58 mdpl, 58-67 mdpl, 67-77 mdpl)

Lereng (L#, <15%, 15-30 %, 31-45 %, 46-60 %, dan >60 %)

Ketinggian-Lereng (KL#, K#, L#, ....)

Landuse (LU#, Industri, Perdagangan, Perumahan, Tanah basah & badan

air, Tanah pertanian & RTH)

Ketinggian-Lereng-Landuse (KLLU#, K#, L#, LU#, ....).

BAB IV

overlayKetinggian Lereng

KL Landuse

Peta Wilayah Genangan Air

overlay

n n

nn

19

Page 20: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

FAKTA WILAYAH

IV. 1 Letak dan Administrasi

Secara geografis, Jakarta Selatan berada pada kira-kira garis koordinat

106º 22’ 42” - 106º 58’ 18” BT dan 5º 19’ 12” - 6º 23’ 51” LS. Luas wilayah sesuai

dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 1815 tahun 1989, adalah 145,73

Km2 atau 22,41% dari luas DKI Jakarta terbagi 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan.

Wilayah ini merupakan salah satu dari 5 wilayah kota administratif dalam

lingkungan Pemda DKI Jakarta, yang berbatasan pada :

Sebelah Utara : Banjir kanal Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan

Tanah Abang, Jalan Kebayoran Lama dan Kebon Jeruk

Sebelah Timur : Kali Ciliwung

Sebelah Selatan : Kotamadya Depok

Sebelah Barat : Kecamatan Ciledug, Kabupaten Tangerang

Gambar 1. Lambang Kotamadya Jakarta Selatan

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jakarta_Selatan

Pada tahun 1975 Jakarta Selatan terdapat 7 (tujuh) kecamatan di

lingkungannya, yakni : Kecamatan Kebayoran Lama (10 kelurahan), Kecamatan

Pasar Minggu (10 kelurahan), Kecamatan Mampang Prapatan (11 kelurahan),

Kecamatan Kebayoran Baru (10 kelurahan), Kecamatan Setia Budi (8

kelurahan), Kecamatan Tebet (7 kelurahan), dan Kecamatan Cilandak (5

kelurahan).

Namun, memasuki tahun 1987, tiga kecamatan yang disebut pertama

mengalami perpecahan, sehingga di wilayah selatan ibukota ini bertambah

menjadi 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Kebayoran Lama (6 kelurahan),

20

Page 21: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Kecamatan Pasar Minggu (7 kelurahan), Kecamatan Mampang Prapatan (5

kelurahan), Kecamatan Kebayoran Baru (10 kelurahan), Kecamatan Setia Budi

(8 kelurahan), Kecamatan Tebet (7 kelurahan), dan Kecamatan Cilandak (5

kelurahan), Kecamatan Pesanggrahan (5 kelurahan), Kecamatan Jagakarsa (6

kelurahan), Kecamatan Pancoran (6 kelurahan).

Topografi Jakarta Selatan umumnya datar dengan kemiringan rata-rata

0,25 % dan ketinggian rata-rata 50 meter dpl. Iklimnya cukup baik, karena

perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau tidak begitu mencolok,

dengan angka curah hujan rata-rata 2000 mm per tahun.

IV. 2 Kondisi Fisik

IV. 2. 1 Jenis Tanah

Kondisi geologi suatu wilayah berpengaruh terhadap tingkat kepekaan

terhadap daya serap menahan air, erosi, dan intensitas erosinya. Pengaruh

geologi dalam proses erosi tercermin dari ketahanan batuan dasar (bed rock)

terhadap pengelupasan, pengikisan, dan denudasi oleh aor atau angin (Holy,

dalam Giritungga, 1990 : 15).

Dilihat dari kondisi geologi, wilayah Jakarta Selatan secara keseluruhan

didominasi oleh jenis batuan asosiasi.

IV. 2. 2 Ketinggian

Wilayah DKI Jakarta merupakan kota yang mempunyai ketinggian

rendah, terletak pada pantai utara Jawa dan lebih dari 75 % berada pada

ketinggian di bawah 30 meter dari permukaan laut. Walaupun begitu, ketinggian

wilayah DKI Jakarta mulai dari pantai utara menuju ke arah selatan yang

berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat (Kotamadya Depok), mencapai 50 meter

dpl.

Wilayah Jakarta Selatan mempunyai ketinggian yang cukup bervariasi

yaitu 0-50 meter dpl dengan keadaan lereng yang cukup besar rata-rata 3-15 %.

Lebih rinci lagi, wilayah Jakarta Selatan dibedakan menjadi 3 wilayah ketinggian :

1. Wilayah dengan ketinggian 3-7 meter dpl

21

Page 22: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

2. Wilayah dengan ketinggian 7-12 meter dpl

3. Wilayah dengan ketinggian 12-25 meter dpl

4. Wilayah dengan ketinggian 25-50 meter dpl

Wilayah dengan ketinggian 12-25 meter dpl meliputi wilayah yang paling

luas yaitu 8.248 hektar atau 56,66 % dari luas seluruh wilayah Jakarta Selatan.

Wilayah ketinggian ini penyebarannya meliputi Kecamatan Pesanggrahan,

Kebayoran Lama, Cilandak, Pasar Minggu, Kebayoran Baru, Setia Budi,

Mampang Prapatan, Tebet, dan Pancoran.

Wilayah dengan ketinggian 25-50 meter dpl mempunyai luas 6.310 hektar

atau 43,34 % dari seluruh wilayah Jakarta Selatan. Wilayah ketinggian ini

penyebarannya meliputi Kecamatan Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Cilandak,

Kecamatan Jagakarsa. dan Pasar Minggu.

IV. 2. 3 Geologi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar jakarta dan Kepulauan Seribu

(Turkandi dkk, 1992), Lembar Bogor (Effendi dkk, 1986), Lembar Serang

(Rusmana dkk, 1991) dan Lembar Karawang (Achdan dkk, 1992), batuan di

wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya digolongkan dalam 4 kelompok, yaitu :

a) Kelompok Batuan Sedimen

Kelompok batuan ini meliputi :

Formasi Rengganis (Tmrs), disusun oleh batupasir halus-kasar

konglomerat dan batu lempung.

Formasi Klapanunggal (Tmk), disusun oleh batugamping koral,

sisipan batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa

glaukonitan.

Formasi Jatiluhur (Tmj), disusun oleh napal dan batulempung

dengan sisipan batupasir gampingan.

Formasi Bojongmanik (Tmb), disusun oleh perselingan batupasir

dan batulempung dengan sisipan batugamping, di sekitar

Cilampea – Leuwiliang dijumpai adanya lensa batugamping.

Formasi Genteng (Tpg), disusun oleh tufa batuapung, batupasir,

breksi andesit dan konglomerat dengan sisipan batulempung.

22

Page 23: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Satuan Batu gamping Koral (Q1), disusun oleh koloni koral,

hancuran koral dan cangkang moluska, umumnya hanya terdapat

di kepulauan Teluk Jakarta.

b) Kelompok Endapan Permukaan

Kelompok batuan ini meliputi :

Satuan Aluvial Tua (Qoa), disusun oleh batipasir konglomeratan

dan batulanau, hanya terdapat di selatan Cikarang (Bekasi)

sebagai endapan teras S. Cibeet dan Citarum.

Satuan Kipas Aluvial Bogor (Qva), disusun oleh tufa halus

berlapis, tufa pasiran berselingan dengan tufa konglomeratan,

merupakan rombakan endapan volkanik G. Salak dan Pangrango.

Satuan Endapan Pematang Pantai (Qbr), disusun oleh batupasir

halus-kasar dengan cangkang moluska, terdapat menyebar di

bagian Utara yang hampir sejajar garis pantai mulai tangerang

hingga Bekasi.

Satuan Aluvial (Qa), disusun oleh lempung-pasir, kerikil, kerakal,

dan bongkah, fraksi kasar umumnya menempati alur-alur sungai

(Selatan) sedangkan fraksi halus di daerah dataran Jakarta

dengan tambahan adanya sisa-sisa tumbuhan pada kedalaman

tertentu.

c) Kelompok Batuan Gunung Api

Kelompok batuan ini meliputi :

Satuan tufa Banten (Qtvb), disusun oleh tufa, tufa batu apung,

dan batu pasir.

Satuan Volkanik Tak Teruraikan (Qvu/b), disusun oleh breksi,

lava yang bersifat andesit hingga basalt, dan intrusi andesit

porfiritik dari G. Sudamanik (Barat Bogor).

Satuan Volkanik G. Kencana (Qvk), disusun oleh breksi

dengan bongkah andesit dan basalt.

Satuan Volkanik G. Salak (Qvsb), disusun oleh lahar, breksi,

dan tufa berbatu apung, fragmen bongkah umumnya bersifat

andesit.

Satuan Volkanik G. Salak (Qvsl), disusun oleh aliran lava

bersifat andesit dan basalt.

23

Page 24: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Satuan Volkanik G. Pangrango (Qvpo), disusun oleh lahar dan

lava dengan mineral utama plagioklas dan mineral mafik.

Satuan Volkanik G. Pangrango (Qvpy), disusun oleh lahar

dengan bongkah bersifat andesit.

d) Kelompok Batuan Intrusi.

Satuan Intrusi (ba/a) disusun oleh batuan terobosan G. Dago (ba)

bersifat basalt yang terkekarkan dan andesit porfiritik G. Pancar (a)

IV. 2. 4 Iklim

Jakarta Selatan beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 27oC

dengan tingkat kelembaban berkisar antara 80-90%. Arah angin dipengaruhi

angin muson barat terutama pada bulan Mei-Oktober. Berbeda dengan sebagian

kota yang berada pada daerah tepi pantai, keadaan suhu di wilayah Jakarta

Selatan relatif lebih nyaman, tingkat curah hujan per tahun rata-rata mencapai

ketinggian 2.036 dengan maksimum pada bulan Januari.

IV. 3 Kependudukan

Berdasarkan hasil analisa ekonomi penduduk serta dengan

memperhitungkan aspek batas-batas wilayah administratif Kecamatan dan

Kelurahan yang ada, maka menurut RUTR Jakarta tahun 1985-2005 wilayah

Kotamadya Jakarta Selatan dibagi dalam 3 wilayah pengembangan, yakni :

1. Wilayah Pengembangan Pusat (WP-P) meliputi Kecamatan Tebet,

Setiabudi, Mampang Prapatan, Kebayoran Baru dan Kelurahan Pejaten Barat

dan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar minggu, Kelurahan Cipete Selatan dan

Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak seluas ± 5.587,13 Ha diperuntukan

bagi pengembangan jasa dan perdagangan dengan KDB 60-77%.

2. Wilayah Pengembangan Selatan (WP-S) meliputi Kecamatan

Jagakarsa, sebagian wilayah Kecamatan Cilandak dan sebagian wilayah

Kecamatan Pasar Minggu seluas ± 5.620,24 Ha diperuntukan bagi

pelestarian lingkungan/ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air

dengan  KDB 20%.

24

Page 25: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

3. Wilayah Pengembangan Barat (WP-B) meliputi Kecamatan

Kebayoran Lama dan Kecamatan Pesanggrahan seluas + 3.290,75 Ha

diperuntukan bagi pemukiman dengan KDB 40-60%.

Berdasarkan Perda No.6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta Selatan dibagi menjadi 4

(empat) wilayah pengembangan, yaitu :

1. WP-TB (WP Tengah Barat)

2. WP-TP (WP Tengah Pusat)

3. WP-SU (WP Selatan Utara)

4. WP-SS (WP Selatan Selatan)

Jumlah penduduk pada akhir tahun 2000 adalah sebesar 1.665.407 jiwa

dengan kepadatan rata-rata 11.421 jiwa per Km2 dengan pertumbuhan rata-rata

1,13% yang terdiri dari 1,09% pertambahan alami dan 0,04% pertumbuhan

migrasi.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk bergerak dibidang

pemerintahan dan jasa-jasa kemudian perdagangan, industri, pertanian dan

angkutan jalan.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Wni Dan Wna Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan

Pada Kodya Jakarta Selatan Desember 2004

NO KECAMATANWARGA NEGARA INDONESIA

WARGA NEGARA INDONESIA JUMLAH

PRIA WANITA JML PRIA WANITA JML

1 TEBET 124.604 112.526 237.130 22 21 43 237.173

2 SETIABUDI 60.172 59.088 119.260 51 32 83 119.343

3MAMPANG PRAPATAN

53.713 48.538 102.251 22 20 42 102.293

4 PASAR MINGGU 137.307 108.451 245.758 17 3 20 245.778

5 KABAYORAN LAMA 118.264 106.354 224.618 81 51 132 224.750

6 CILANDAK 75.430 75.843 151.273 26 22 48 151.321

7 KEBAYORAN BARU 73.608 71.080 144.688 53 50 103 144.791

8 PANCORAN 62.041 58.644 120.685 25 10 35 120.720

9 JAGAKARSA 108.971 100.003 208.974 12 7 19 208.993

10 PESANGGRAHAN 80.541 72.424 152.965 4 6 10 152.975

JUMLAH 894.651 812.951 1.707.602 313 222 535 1.708.137

Sumber : Sudin Kependudukan dan Cacatan Sipil Kotamadya Jakarta Selatan Maret

2000

25

Page 26: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. 1 Penyebaran Wilayah Kerawanan Genangan

Secara umum Kotamadya Jakarta Selatan merupakan daerah yang

rawan banjir dan genangan. Hal ini lebih disebabkan karena kondisi Jakarta yang

banyak dilalui sungai-sungai besar maupun kecil dengan curah hujan yang tinggi

(2000 mm/tahun). Akan tetapi dilihat dari matriks kesesuaian serta hasil

pengolahan data variabel fisik, maka klasifikasi tingkat kerawanan genangan air

di Kotamadya Jakarta Selatan dibedakan menjadi tiga kelas kerawanan. Ketiga

kelas tersebut antara lain sangat rawan (SR), rawan (R), dan tidak rawan (TR).

Berdasarkan Peta Lokasi Rawan Genangan Air di Jakarta Selatan (lihat

Peta 5), terlihat bahwa lokasi yang sangat rawan genangan air tersebar hampir di

seluruh wilayah Jakarta Selatan, terutama di bagian utara Jakarta Selatan yaitu

di Kecamatan Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Setia Budi,

Mampang Prapatan, Tebet, Pancoran, Pasar Minggu dan Cilandak. Kecamatan

yang paling banyak terdapat lokasi daerah sangat rawan genangannya adalah di

Kecamatan Kebayoran Baru, Setia Budi dan Pasar Minggu. Hal ini terutama

dikarenakan Jakarta Selatan bagian utara terletak di daerah dataran rendah,

lebih rendah daripada bagian selatan wilayahnya. Selain itu walaupun Pasar

Minggu terletak di bagian selatan masih tetap rawan genangan air dikarenakan

faktor lain yaitu penggunaan tanahnya. Hubungan wilayah kerawanan genangan

air dengan penggunaan tanah akan dijelaskan pada sub-bab selanjutnya.

Lokasi rawan genangan tersebar di seluruh kecamatan Kotamadya

Jakarta Selatan, termasuk Kecamatan Jagakarsa. Kecamatan yang paling

banyak terdapat lokasi tidak rawan genangannya adalah Kecamatan Jagakarsa.

Melihat dari Peta Ketinggian, ketinggian Kecamatan Jakarta Selatan memang

berada di ketinggian 25-50 meter dpl. Besarnya luasan area wilayah tingkat

kerawanan genangan air di Kotamadya Jakarta Selatan dapat dilihat dalam

dalam lampiran 1.

26

Page 27: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

V. 2 Hubungan Wilayah Kerawanan Genangan dengan Landuse

Banjir dan genangan di wilayah Kotamadya Jakarta Selatan hampir setiap

tahun terjadi sehingga dirasakan sangat mengganggu. Penyebab banjir dan

genangan di Jakarta Selatan di samping karena berada di daerah yang rendah

dan bantaran sungai, juga karena perubahan penggunaan tanah akibat

pembangunan yang pesat terutama untuk pemukiman.

Berdasarkan Peta Lokasi Rawan Genangan Air di Jakarta Selatan, lokasi

sangat rawan genangan banyak terdapat di daerah dengan penggunaan tanah

sebagai lahan industri dan jasa perdagangan yang terdapat pada Kecamatan

Kebayoran Lama, Setia Budi dan Pasar Minggu (lihat dengan meng-overlay Peta

4 dan Peta 5). Hal ini disebabkan karena daerah tersebut telah kehilangan

fungsinya untuk menyerap air.

Daerah sekitar sungai dan rawa merupakan daerah yang sangat rawan

genangan. Hal ini disebabkan air di sekitar sungai bisa meluap jika terjadi hujan

terus-menerus. Atau juga disebabkan adanya pemukiman di daerah bantaran

kali. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya biasa membuang sampah ke sungai

sehingga menyebabkan sungai menjadi mudah meluap jika terjadi hujan,

walaupun intensitas hujan tersebut tergolong kecil. Daerah rawa juga merupakan

daerah yang sangat rentan digenangi air, karena letaknya yang rendah. Dapat

dilihat pada Peta 5 daerah yang terletak di bantaran sungai merupakan lokasi

sangat rawan terjadi genangan air.

Pada lokasi yang tidak rawan oleh genangan air terletak pada

penggunaan tanah yang berupa tanah basah dan badan air serta tanah

pertanian dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdapat pada Kecamatan Kebayoran

Baru dan Jagakarsa.

Ada beberapa daerah dari Kotamadya Jakarta Selatan yang tidak termasuk

ke dalam tiga kelas kerawanan di atas. Hal ini dikarenakan daerah tersebut tidak

mempunyai klasifikasi yang cocok dengan kelas-kelas di atas. Seperti pada

Kecamatan Tebet yang masih terdapat ”Blank” pada tabel luas area.

27

Page 28: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

BAB V

KESIMPULAN

1. Lokasi sangat rawan genangan banyak terdapat di wilayah Jakarta

Selatan bagian utara karena daerah ini didominasi oleh dataran rendah.

2. Lokasi yang rawan genangan tersebar di seluruh wilayah Kotamadya

Jakarta Selatan

3. Lokasi tidak rawan genangannya kebanyakan terdapat di bagian selatan

dari wilayah Jakarta Selatan, karena daerahnya yang lebih tinggi daripada

bagian utaranya.

4. Landuse sangat mempengaruhi suatu lokasi apakah rawan genangan

atau tidak

5. Penggunaan tanah berupa industri dan jasa perdagangan merupakan

daerah yang sangat rawan genangan air.

6. Daerah pemukiman, bangunan, sekitar sungai, dan rawa merupakan

daerah rawan genangan air.

7. Daerah yang tidak rawan genangan air adalah berupa penggunaan tanah

sebagai tanah basah dan badan air serta tanah pertanian dan RTH.

28

Page 29: TA_SIG

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi

Daftar Pustaka

Astuti, Sri, dkk. Investigasi Dampak Kenaikan Air Laut di Kota Jakarta.

Data ABnjir 2002. http://www.urbanpoor.or.id/id/banjir-kota-dalam-baskom/data-

bannjir-2002-6.html

No Name.Kota Jakarta Selatan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Jakarta_Selatan

diakses pada hari Sabtu, 15 Desember 2007

No name. Geografi dan Kependudukan dalam

http://selatan.jakarta.go.id/webjakselfinal/content/view/26/47/1/1/ diakses

pada hari Sabtu, 15 Desember 2007

_________ dalam http://selatan.jakarta.go.id/webjakselfinal/content/view/89/34/

pada hari Sabtu, 15 Desember 2007

Saraswati, Dewi. 1995. Wilayah Rawan Genangan di Jakarta Selatan. Skripsi

sarjana Depok: Departemen geografi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Indonesia

Yusra, Subur. 2005. Wilayah Genangan Kota Jakarta. Skripsi sarjana Depok:

Departemen geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia

29