taqiyyah dalam pandangan mufassir i klasik dan...

129
TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR SYI’I KLASIK DAN KONTEMPORER (STUDI KITAB TAFSĪR MAJMA‘ AL- BAYĀN DAN TAFSĪR AL-MĪZĀN) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Ahmad Multazam NIM : 11140340000225 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: truongdang

Post on 12-May-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR SYI’I KLASIK

DAN KONTEMPORER (STUDI KITAB TAFSĪR MAJMA‘ AL-

BAYĀN DAN TAFSĪR AL-MĪZĀN)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Ahmad Multazam

NIM : 11140340000225

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat
Page 3: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat
Page 4: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat
Page 5: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

i

ABSTRAK

Ahmad Multazam, Nim : 11140340000225, Judul Skripsi “Taqiyyah dalam

Pandangan Mufassir Syi’i Klasik dan Kontemporer (Studi Kitab Tafsīr

Majma‘ al-Bayān dan Tafsīr al-Mīzān)

Taqiyyah merupakan salah satu doktrin suci Syi‟ah yang menjadi Isu

sentral yang tidak bisa dipasahkan dari sekte Syi‟ah sendiri, menurut kaum Syi‟ah

taqiyyah itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling pokok.

Dalam hal ini penulis akan meneliti ayat-ayat taqiyyah dengan membandingkan

mufassir kalangan Syi‟ah klasik dan kontemporer yaitu karya al-Faḍl bin Ḥasan

al-Ṭabarsī dalam kitabnya Majma‘ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān dan karya

Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā„ī yaitu al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān. Sehingga

dapat diketahui apakah dalam penafsirannya mereka berdua ada perbedaan

penafsiran atau lebih condong ke pembelaan mazhabnya ataupun sebaliknya.

Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori kepustakaan

(library research) dan sifatnya adalah deskriptif. Penulis menggunakan

pendekatan metode muqāran (membandingkan), dengan teknik pengumpulan data

dan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang

berhubungan dengan masalah terkait.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh beberapa hasil

yaitu terdapat perbedaan diantara kedua penafsir tersebut. Al-Ṭabarsī mengatakan

orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu

dibenci (makruh), karena perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan, akan tetapi

apabila terdesak dengan suatu keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada

hentinya, maka dibolehkan untuk mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-

nya tetap tenang dengan penuh keimanan dan berlawanan dengan sikap ẓāhīr-nya

yang mengakui kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tidak ada dosa

atasnya. Sedangkan al-Ṭabāṭabā‟ī mengatakan orang dipaksa untuk mengucapkan

kalimat kafir dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan

syara’. Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam keadaan setiap

keadaan yang berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-

Ṭabāṭabā‟ī mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal, agar

seseorang tidak jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah

menghalalkannya.

Kata Kunci : Taqīyyah, Syi’ah, Muqāran, al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Ṭabarsī

Page 6: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah Swt penulis panjatkan atas segala karunia,

taufiq, dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad

saw rasul pilihan yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan.

Semoga untaian doa tetap tersurahkan kepada keluarga, sahabat serta seluruh

pengikutnya sampai akhir zaman.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa terselesaikan

skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun berkat bantuan motivasi dan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menempuh study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd,

selaku ketua jurusan dan sekretaris jurusan Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena beliau

telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis

melanjutkan studi S1. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan

dari setiap langkah ibu.

4. Muslih, M.Ag, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

membimbing, memberikan arahan untuk segera terselesaikannya

skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur,

dan murah rejeki.

5. Segenap dosen program Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir, penulis

mengucapkan banyak terima kasih karena telah sabar dan ikhlas

mendidik serta banyak memberikan berbagai macam ilmu kepada

Page 7: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

iii

penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat dunia dan

akhirat.

6. Teruntuk orangtuaku ayahanda H. M. Asmat, S.Pd.I, ibunda Hj.

Sholiha yang telah membesarkan dan selalu memberikan arahan,

dukungan tiada henti baik moril maupun materil tak lupa pula doa

yang tiada henti. Sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan

kejenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada kakak penulis Nurazizah.

S.Pd.I beserta Suaminya Eko Komaruddin, Maftuhah Lc beserta

Suaminya Ustd Siddiq Fathoni, M.A, Khoirunnisa S.Pd.I beserta

suaminya Syarifuddin Nizan S.Pd.I, dan terutama abang penulis

Imadduddin yang selalu berdonasi dan membantu penulis, Adik

penulis Miftahurrahmah, dan keponakan penulis Hani, Fatih, Hilwa,

Aqil, Ali, Zahid, Hamada dan Haikal yang selalu memberikan

semangat yang membara. Semoga Allah selalu meridhoi setiap

langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm-Nya kepada

mereka. Āmīn Yā Rabbal’ālamīn.

7. Pustakawan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan-perpustakaan lainnya yang

telah banyak memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi rujukan

peneliti dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kawan-kawan penulis Rifqi, Syafi‟i, Dayat, Turmudzi, Alwi, Bahar

dan kawan-kawan Th.F 2014, dan Grup Kosan Ayam (Chudori,

Zundit, Arif Kun, Haidir, Bos Zakir, Bos Dayu, Idris, Irfan Onta, bang

Andrean, dan Bang Sofwan), FKMA (Forum Komunikasi Mahasiswa

Attaqwa), HMI Komfuf, Kkn Merak, dan kawan-kawan jurusan Ilmu

al-Qur‟ān dan Tafsir angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu

persatu yang rela berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada

penulis.

Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti masih sedikit,

bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan mohon dimaafkan. Akan tetapi

peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

iv

Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi

kepada para pembaca, sehingga bisa memotivasi untuk mengamalkan Sunah Nabi

Muhammad Saw.

Wasalamu’alaikum Wr.Wb

Page 9: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin ysng digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang

diterbitkan oleh Tim CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

A. Konsonan

ARAB NAMA LATIN KETERANGAN

Alif - Tidak dilambangkan ا

Ba‟ B Be ب

Ta‟ T Te ت

Tsa‟ Ts Te dan es ث

Jim J Je ج

Ḥa‟ Ḥ Ha dengan titik di bawah ح

Kha‟ Kh Ka dan Ha خ

Dal D De د

Dzal Dz De dan zet ذ

Ra‟ R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy Es dan ye ش

Ṣad Ṣ Es dengan titik di bawah ص

Ḍad Ḍ De dengan titik di bawah ض

Ṭa Ṭ Te dengan titik di bawah ط

Ẓa Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ

Ain „ Koma terbalik„ ع

Page 10: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

vi

Ghain Gh Ge dan ha غ

Fa F Fa ف

Qaf Q Qi ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

Ha‟ H Ha ه

Hamzah ‟ Apstrof ء

Ya‟ Y Ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong, vocal

rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Vokal Tunggal

Tanda

Vokal Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ A A ا

Kasraḥ I I ا

Ḍammaḥ U U ا

Contoh:

Kataba : كتب Naṣara dan : نصر

Page 11: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

vii

2. Vokal rangkap

Tanda

Vokal Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ dan Ya‟sakun Ai A dan I ى ي

Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U ى و

Contoh:

ḥaula :حول Laisa : ليس

3. Vokal panjang

Tanda

Vokal Nama Latin Keterangan

Fatḥaḥ dan Ba Ā A dengan garis di atas با

Kasrih dan Ba Ī I dengan garis di atas بي

Ḍammah dan Ba Ū U dengan garis di atas بو

Page 12: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ..................................................................................................... i

KATA PENGARANTAR ............................................................................. ii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. v

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10

F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16

BAB II MUFASSIR SYI’I DAN KARYA TAFSIRNYA

A. Biografi dan Karakteristik Tafsir Majma‘ al-Bayān

1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabarsī ......................... 19

2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabarsī ........................................ 21

3. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabarsī ........................................... 22

4. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsir Majma‘

al-Bayān ....................................................................................... 24

5. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabarsī ....................... 28

6. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir Majma‘ al-Bayān .................... 31

B. Biografi dan Karakteristik Tafsir al-Mīzān

1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabāṭabā‟ī .................... 33

2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabāṭabā‟ī ................................... 37

3. Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī Terhadap Filsafat ................................... 38

4. Penilain Ulama Terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī ........................................ 39

5. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsir

al-Mīzān ....................................................................................... 40

6. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā‟ī ................. 44

Page 13: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

ix

7. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir al-Mīzān ................................. 48

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TAQIYYAH

A. Sekilas Mengenai Taqiyyah

1. Pengertian Taqiyyah ..................................................................... 50

2. Sejarah Munculnya dan Perkembangan Taqiyyah ....................... 55

3. Pembagian Taqiyyah .................................................................... 60

B. Syi‟ah

1. Pengertian Syi‟ah ......................................................................... 60

2. Sejarah Munculnya Syi‟ah .......................................................... 63

3. Konsep Dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin Syi‟ah ...................... 65

4. Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah .............................................. 67

C. Pandangan Aliran Teologis tentang Taqiyyah

1. Pandangan Sunni .......................................................................... 74

2. Pandangan Khawarij .................................................................... 79

3. Pandangan Mu‟tazilah .................................................................. 80

BAB IV TAQIYYAH MENURUT PANDANGAN TAFSIR MAJMA’

AL-BAYĀN DAN TAFSIR AL-MĪZĀN

A. Taqiyyah Dalam Penafsiran Tafsir Majma‘ al-Bayān dan

Tafsir al-Mīzān

1. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabarsī... 82

2. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabāṭabā‟ī.. 88

B. Kondisi Sosial Politik Pada Masa al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā‟ī

1. Pada Masa Hidup al-Ṭabarsī ....................................................... 94

2. Pada Masa Hidup al-Ṭabāṭabā‟i .................................................. 95

C. Analisa Muqāran (Perbandingan) Taqiyyah Terhadap Tafsir Majma‘

al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān

1. Pandangan al-Ṭabarsī ................................................................... 97

2. Pandangan al-Ṭabāṭabā‟ī .............................................................. 101

3. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Kedua Penafsir ................ 105

Page 14: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

x

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ........................................................................................ 109

B. Saran-Saran ....................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

Page 15: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama terdiri dari serangkaian perintah Tuhan tentang perbuatan dan

akhlak, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, untuk menjadi pegangan bagi umat

manusia. Mengimani hal ini dan melaksanakan ajaran-ajaran tersebut akan

membawa ketenangan dan keberuntungan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Islam adalah agama wahyu yang terakhir yang diturunkan dan karena itu

merupakan yang paling lengkap dan sempurna. Dengan datangnya agama ini yang

dibawa oleh utusan Allah swt, Nabi Muḥammad saw secara otomatisnya semua

agama sebelumnya dihapuskan sebab dengan datangnya suatu aliran yang lengkap

maka tidaklah diperlukan lagi aturan yang tidak lengkap.1 Al-Qur‟an yang

diturunkan kepada Nabi Muḥammad saw berfungsi sebagai hudān (petunjuk),

furqān (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran

dan kebatilan, ditambah keinginan memahami apa yang terdapat di dalamnya

telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur‟an.2

Munculnya berbagai macam corak penafsiran dalam memaknai al-Qur‟an

adalah suatu bukti bahwa al-Qur‟an kitab suci yang kaya akan makna.

Keanekaragaman penafsiran yang muncul karena dilatarbelakangi oleh siapa

panafsirnya, di mana ia tinggal dan bagaimana keilmuan yang dimiliki mufassir,

1 Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Inilah Islam Upaya Memahami Seluruh Konsep

Islam Secara Mudah, Terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka „Allāmah Sayyid Hidāyah, 1989),

h.41 2 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 150

Page 16: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

2

sudah semestinya harus menguasai ilmu-ilmu yang harus dimiliki seorang

mufassir.3

Berbagai ragam perbedaan muncul dan semakin lama perbedaan tersebut

kian meruncing dan tajam. Isu-isu keagamaan dengan berbagai pemahaman yang

tidak disertai toleransi diperparah dengan kecendrungan masing-masing kelompok

untuk menutup diri. Isu-isu kontroversial yang muncul berkenaan dengan Tahrīf

al-Qur‟ān, yaitu munculnya “al-Qur‟an versi Syi‟ah” sebagai salah satu alasan

untuk mendiskreditkan Syi‟ah mengkafirkan,4 tanpa memahami latar belakang

permasalahan atau tanpa disertai rujukan yang cukup. Bahkan hal ini ditegaskan

pula seorang ulama besar Ahl al-Sunnah, Raḥmatullāh bin Khaliluraḥmān al-

Hindī dalam kitab Iżhār al-Ḥāqq Jilid dua, menyatakan: “Sesungguhnya al-

Qur‟an yang mulia di hadapan mayoritas Syī„ah Iṡnā „Asyariyyah terjaga dari

perubahan, penambahan dan pengurangan, dan barang siapa diantara mereka

berkata telah terjadi kekurangan di dalamnya maka pernyataan tersebut ditolak di

hadapan mereka.5

Pasca wafatnya „Alī bin Abī Ṭalib, kaum Muslim terpecah menjadi

beberapa golongan yakni pengikut „Alī, pengikut Muawiyah, golongan Khawarij.6

Pengikut „Alī berubah menjadi Syi‟ah. Di dunia Islam, Syi‟ah tidak berada dalam

satu akidah, mereka terbagi menjadi beberapa sekte karena masalah ajaran-ajaran

dasar dan masalah penentuan Imam setelah terbunuhnya Imam Ḥusein. 7 Syi‟ah

3 Abdul Mustaqim, Mażāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Periode

Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka 2003), h. 81. 4 Diakui adanya isu tahrīf al-Qur‟ān menurut ulama salaf Syi‟ah, namun hal ini dikoreksi

oleh ulama mutaakhirin mereka dan sebagaimana isu ini terdapat pula dalam riwayat sunni. 5 Raḥmatullāh al-Hindī, Iẓhār al-Hāq, Jilid 2, (Kairo: Dār al-Hādīṡ, 1989), h.128

6 Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 90

7 Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,

(Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 158

Page 17: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

3

ini berbeda pendapat dengan aliran lain diantaranya dalam pendirian, bahwa

pernunjukkan imam sesudah wafat ditentukan oleh Nabi sendiri dengan nash.8

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, Syi‟ah terpecah

menjadi beberapa golongan yang disebabkan oleh perbedaan pemikiran dan

pendapat tentang imamah. Dari persoalan tersebut, maka lahirlah beberapa sekte

besar Syi‟ah diantaranya yaitu : Zaidiyah, Imāmiyah, Kaisaniyah, Ghulāt. Selain

sekte-sekte tersebut juga ada sekte kecil yang kemudian hilang dengan

berjalannya waktu. Golongan Imāmiyyah merupakan sekte terbesar dan terbanyak

pengikutnya dalam Syi‟ah. 9

Antara Syi‟ah Imāmiyah dan Mu‟tazilah terdapat kesamaan dalam

meyakini sebuah prinsip. Diantara prinsip-prinsip yang menjadi dasar mazhab

mereka, yaitu : Tauhid (al-Tauhīd), Keadilan (al-„Adl), Kenabian (al-Nubūwwah),

Kepemimpinan (al-Imāmah).10

Terdapat pemikiran yang berkaitan erat dengan

ajaran pokok keadilan, salah satunya adalah taqiyyah, ada perbedan pendapat di

antara kelompok-kelompok berkisar pada masalah prinsip dasar keyakinan ini

bagi sebuah kelompok. Taqiyyah dari segi bahasa takut, menurut istilah berarti

menjauhi atau mewaspadai segala sesuatu yang dapat merugikan atau

membahayakan dirinya, tujuannya adalah untuk menjaga diri, kehormatan dan

harta. Hal itu dilakukan dalam kondisi-kondisi terpaksa ketika seorang mukmin

tidak dapat menyatakan sikapnya yang benar secara terang-terangan karena takut

8 Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme dalam Islam (Semarang:

Ramadhani, 1980), h. 7. 9 Muhammad Abu Zahrah, Sejarah Aliran-Aliran Dalam Islam, terj. Shobahussurur

(Ponorogo:PSIA, 1990), cet.I, h. 6. 10

Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi (Jakarta:

Bulan Bintang, 1989), h. 135.

Page 18: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

4

akan mendatangkan bahaya dan bencana dari kekuatan yang zalim.11

Bagi

mereka, taqiyyah adalah termasuk dari rukun agama, Dengan taqiyyah seorang

hamba akan mendapat pahala dan ihsan dari Allah.

Taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syi„ah Imāmiyyah Iṡnā

„Asyariyyah, itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling

pokok. Karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang

luar biasa.12

Menurut kaum Syi‟ah landasan qur‟anik bagi berlakunya gagasan

taqiyyah ini bersumber kepada firman Allah swt dalam surat Āli „Imrān [3] ayat

28 dan surat al-Naḥl [16] ayat 106. Di samping bersumber kepada teks-teks al-

Qur‟an di atas, kaum Syi‟ah berpegang kepada perkataan atau riwayat yang

datang dari imam-imam mereka yang menurut mereka semuanya ma„ṣūm sebagai

rujukan.13

Kaum Syi‟ah mempraktikkan taqiyyah jauh lebih dibandingkan dengan

kaum yang lain, salah satunya dilatarbelakangi oleh kezaliman dan penindasan

yang pernah mereka alami. Selama beberapa abad penguasa Umayyah dan

„Abbasiyyah menjadi musuh minoritas Syi‟ah yang menghadapi ancaman politik

yang permanen.14

Ketika mereka berada dari kelompok-kelompok yang

bertentangan dengannya dalam bagian penting akidah, ushuluddin, dan banyak

hukum-hukum fiqih, perbedaannya secara alami menimbulkan pengawasan dari

pihak musuh. Untuk merealisasikan tujuan-tujuannya, meraka menggunakan

11

Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi (Jakarta:

Bulan Bintang, 1989), h. 135. 12

Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan

aqidah dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, (Jakarta: Dār al-Falāḥ, 2001), h. 151 13

Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), h.

184 14

Huston Smith, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 1999), cct. Ke- 2, h.

390.

Page 19: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

5

taqiyyah dan memelihara kesepakatan secara lahiriyah dengan kelompok-

kelompok lain.

Dalam menjalankan taqiyyah, mereka menggunakan keyakinan tentang

kebolehan taqiyyah yaitu merujuk kepada firman Allah dalam QS. Āli „Imrān [3]

ayat 28 yang berbunyi :

لك ف ليس من الل ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ

هم ف شيء ر ت قاة إل أن ت ت قوا من الل الم و وإ ف م الل ر وذ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi

wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat

demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena

(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah

kembali (mu).

Mereka juga berdalil dengan firman Allah dalam QS. al-Naḥl [16] ayat

106 yang berbunyi :

فر بلل من ب عد إمياو ره من ميان إل من أ ولكن من شرح بلكفر وق لبو مطمئن بل

صدر ا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang

melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah

menimpanya dan baginya azab yang besar.

Dua ayat di atas mempunyai redaksi yang mirip, yaitu membolehkan

seorang untuk melakukan praktek taqiyyah ketika mereka dalam keadaan terpaksa

atau darurat. Ayat ini diturunkan khusus bagi orang yang sudah tidak tahan lagi

oleh sang penguasa yang ẓalim serta penguasa yang memaksa mereka mengikuti

Page 20: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

6

ajarannya. Jika terpaksa mengucapkan kekufuran, maka ia boleh mengucapkan

tanpa diyakini dan diamalkan. Ini pun dibatasi sampai seminimal mungkin. Ada

hal-hal yang tidak boleh berlaku taqiyyah sama sekali, meskipun membawa

kematiaanya, seperti membunuh, berbuat zina dan lain-lainya.15

Dalam penelitian ini penulis mencoba mengangkat permasalahan yang

menyangkut mengenai masalah akidah Syi‟ah yaitu tentang taqiyyah, yang selalu

diperdebatkan oleh mazhab-mazhab dalam Islam, terutama dua kelompok besar

yaitu Sunni dan Syi‟ah. Adapun alasan penulis mengambil judul penelitian ini

karena taqiyyah merupakan pembahasan yang perlu untuk diteliti dan dikaji dalam

rangka memberikan pemahaman terhadap penulis dan para mahasiswa, dan masih

sedikit penulisan ilmiah yang menyangkut terhadap aqidah Syi‟ah khususnya

yang berkaitan dengan masalah taqiyyah yang menjadi ajaran bagi kaum Syi‟ah.

Penelitian ini diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan

taqiyyah dalam akidah Syi‟ah dengan mengambil mufassir-mufassir seperti dari

kalangan Syi‟ah klasik dan kontemporer. yaitu penafsiran al-Faḍl bin Ḥasan al-

Ṭabarsī dalam kitabnya yang berjudul Majma„ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur‟ān dan

tafsir karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī yang berjudul al-Mīzān fī Tafsīr al-

Qur‟ān.

Sebagian ulama tafsir membagi periodesasi penafsiran al-Qur‟an ke dalam

tiga fase yaitu : periode klasik abad 1-4 H, periode pertengahan pada abad 4-12 H,

dan periode kontemporer abad 12 H - sekarang. Namum dalam pembahasan ini

penulis hanya mengungkapkan dua periode saja. Pertama klasik, yaitu pada masa

15

Sahilun Ahmad Nasir, Firqah Syi‟ah Sejarah, Ajaran dan Perkembangan, (Surabaya:

al-Ikhlas. 1982), h. 166

Page 21: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

7

permulaan penulisan tafsir yang terpisah dari hadis-hadis sehingga tafsir berdiri

sendiri sebagai suatu ilmu. Masa ini berawal pada akhir masa tabi‟in sampai pada

akhir dinasti „Abbasiyyah pada tahun 650 H/1258 M).16

Kedua periodesasi tafsir

kontemporer, pada masa kontemporer dimulai sejak diadakannya gerakan-gerakan

modernisasi Islam di Mesir oleh Jamāluddin al-Afgānī setelah umat Islam

terpecah belah oleh Jamāluddin setelah umat Islam terpecah belah oleh kaum

penjajah Barat sampai sekarang. Penafsiran al-Qur‟an pada masa kontemporer

dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam.

Hal ini dikarenakan umat Islam yang telah mengalami banyak kemunduran dan

penjajahan dari berbagai belahan dunia Islam. Dalam penafsiran al-Qur‟an pada

masa ini kebanyakan bersumber kepada riwayat-riwayat dan pendapat mufassir

pada masa-masa sebelumnya.17

Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī merupakan mufassir klasik terkemuka dari

golongan Syī‟ah Imāmiyah pada abad ke-6 H dengan karyanya Majmā„ al-Bayān

fī Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 10 jilid.18

Dalam al-Tafsīr wal Mufassirūn, Shāhibu

al-Majālisil Mu‟minīn menjelaskan bahwa, al-Ṭabarsī disebut dengan „Umdatu al-

Mufassirīn (tempat sandaran para mufassir).19

Sedangkan Muḥammad Ḥusain al-

Ṭabāṭābā‟ī merupakan mufassir kontemporer dari golongan Syī‟ah Imāmiyah

terkemuka pada abad ke-14 H yang cukup terkenal dengan karya monomentalnya

al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 20 jilid.20

Kedua mufassir yang terkenal ini

yakni kitab tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān kelihatan sekali beliau

16

Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2010), cet 1, h. 9 17

Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, cet 1, h. 9 18

Rosihon Anwar, Samudra al-Qur‟an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) h. 218. 19

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Cet, I, Kairo: Dār al-Ḥadīṡ

2010) Juz II, h. 84 20

Ahmad Baidhawi, Mengenal al-Ṭabāṭabā„ī dan Kontroversi Nāsikh Mansūkh

(Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), h. 24

Page 22: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

8

berdua berupaya “Mengkampanyekan” Mazhab Syi‟ahnya ketika menafsirkan

ayat-ayat yang menurut kaum Syi‟ah sendiri. Berkenaan dengan pandangan-

pandangan ideologis kesyi‟ahan mereka. Jadi sangat mungkin sekali mereka

berdua dalam menafsirkan ayat tentang taqiyyah akan berpengaruh oleh ideologi

kesyia‟hannya.

Dari berbagai pemaparan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

meneliti lebih dalam mengenai metode atau lebih lanjut karakteristik penafsiran

al-Ṭabarsī dari kalangan mufassir klasik, dan al-Ṭabāṭabā„ī dari kalangan

kontemporer, terhadap ayat-ayat tentang taqiyyah dalam kitab tafsirnya yaitu

Majma„ al-Bayān fī al-Tafsīr al-Qur‟ān dan al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

sehingga dapat diketahui apakah dalam penafsirannya mereka berdua ada

perbedaan penafsiran atau lebih condong ke pembelaan mazhabnya ataupun

sebaliknya.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat diketahui tentang masalah-

masalah yang muncul pada kajian ini, diantaranya adalah : Bagaimana penafsiran

ayat taqiyyah dalam tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān, apa ada

persamaan dan perbedaan penafsiran dalam tafsir Majma‟ al-Bayān dan tafsir al-

Mīzān dalam ayat-ayat taqiyyah, apa pendapat para Imam-imam Syi‟ah sama

dengan kedua penafsiran tersebut, bagamana pendapat aliran-aliran teologis Islam

tentang taqiyyah.

Page 23: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari kerangka latar belakang dan identifikasi masalah tersebut dapat

terlihat bagaimana konsep taqiyyah ini dipraktekkan dalam Islam. Untuk memberi

arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pembahasan, maka perlu adanya

pembatasan suatu permasalahan yang akan dibahas oleh penelitian ini. Dalam

penelitian ini hanya akan membahas tentang perbandingan penafsiran mufassir

Syi‟i klasik dan kontemporer tentang taqiyyah, yang mana penulis akan

mengambil dua penafsir yang ideologinya syi‟ah yaitu tafsir Majma„ al-Bayān fī

Tafsīr al-Qur‟ān karya Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī dan tafsir al-Mīzān fī Tafsīr al-

Qur‟ān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī.

Adapun permasalahan yang kiranya perlu diangkat pada penelitian ini

adalah “Bagaimana penafsiran ayat taqiyyah dalam tafsīr Majma„ al-Bayān dan

tafsīr al-Mīzān?”

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian pada umumnya memiliki tujuan untuk menambah wawasan

pemikiran terhadap obyek yang dikaji juga penelitian yang akan penulis bahas

melalui skripsi ini. Adapun mengenai tujuan yang akan dicapai dalam penelitian

ini adalah pertama, untuk mengetahui makna dan ayat-ayat taqiyyah dari

penafsiran al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī dalam tafsirnya.

Kedua, untuk menuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam

menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata (S) 1 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 24: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

10

2. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat,

tidak hanya untuk kalangan mahasiwa atau akademisi lainnya, namun juga

bermanfaan untuk masyarakat luas dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dalam bidang tafsir serta menambah sumber referensi peneliti lainnya, adapun

maanfaan penelitian ini secara khusus yakni.

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif bagi

para pembaca, dan akademisi yang mengambil bidang Tafsir Hadis,

khususnya yang berminat di dunia penafsiran.

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi

para pembaca, dan akademisi yang mengambil bidang Tafsir Hadis,

khususnya yang berminat di dunia penafsiran.

2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

peneliti.

3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat

digunakan.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka sangatlah penting untuk dilakukan oleh seseorag peneliti

sebelum melanjutkan penelitian, agar peneliti mengetahui apakah obyek

penelitian yang akan dilakukan sudah pernah diteliti atau belum, apakah ada

karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Sejauh mana

Page 25: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

11

penelitian penulis, ada beberapa karya tulis yang telah dulu mengulas tentang

taqiyyah ini.

Ahmad Sahide dalam artikelnya Konflik Syi‟ah dan Sunni Pasca The Arab

Spring menjelaskan taqiyyah adalah salah satu gerakan Syi‟ah di mana dalam

konsep ini disebutkan bahwa di bawah kondisi mengancam keselamatan, seorang

pengikut Syi‟ah diperbolehkan untuk menyembunyikan indentitas ke-Syi‟ahannya

dan menampakkan sisi lain dari dirinya.21

Kholili Hasib dalam artikelnya Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan

Ahl al-Sunnah menjelaskan taqiyyah Syi‟ah merupakan rukun agama yang

merahasiakan keyakinan dari lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya.

Sedangkan dalam pandangan Ahl al-Sunnah berbeda dengan Syi‟ah

memberlakukan taqiyyah terhadap orang-orang kafir dalam paradigma Islam,

menyembunyikan keyakinan terhadap orang kafir dibenarkan jika dalam kondisi

darurat. Hukumnya boleh, tidak wajib.22

Muhammad Shohibul Itmam dalam Jurnal Penelitian tentang Pemikiran

Islam dalam Perpspektif Sunni dan Syi‟ah menjelaskan tentang taqiyyah

merupakan berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam

rangka nifak, dusta, dan menipu umat manusia. Mereka berkeyakinan bahwa

taqiyyah ini merupakan bagian dari agama.23

21

Ahmad Sahide: Artikel “Konflik Syi‟ah Sunni Pasca The Arab Spring” (Jawa Tengah :

UGM Sekolah Pascasarjana, 2013) : h. 315-316 22

Kholili Hasib : Artikel “Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan Ahl al-Sunnah” Ed.

Cholis Akbar.Https://www.Hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/02/21/65910/taqiyah-

dalam-pandangan-syiah-dan-ahlus-sunnah.html dilihat pada 08 September 2018 23

Muhammad Shohibul Itmam : Jurnal Penelitian “Pemikiran Islam dalam Perspektif

Sunni dan Syi‟ah” (Jawa Timur : STAIN Ponorogo, Agustus 2013) Vol, 7 no 2: h. 332

Page 26: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

12

Moh. Hasyim Efandi dalam artikelnya Doktrin Syi‟ah Membelenggu

Ukhuwah menjelaskan tentang taqīyyah Syi‟ah adalah bagian dari agama yang

dianjurkan kepada umutnya dalam rangka adaptasi dengan lawan. Taqīyyah yang

digunakan untuk proses adaptasi dengan Sunni. 24

Adapun karya-karya yang membahas taqiyyah menurut pandangan

mufassir klasik dan kontemporer belum penulis temui. Namun terdapat karya-

karya ilmiah yang membahas terkait judul skripsi. Penulis temui yang berkaitan

dengan judul skripsi penulis adalah Skripsi Taqiyyah Perspektif Muḥammad

Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī Dalam al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, karya Aisyah

Nihayatun Nu‟ama. Skripsi ini menjelaskan tentang taqiyyah menurut pandangan

ulama tafsir Syi‟ah, yakni al-Ṭabāṭabā„ī. Skripsi tersebut membahas mengenai

karakteristik orang-orang ber-taqiyyah menurut al-Ṭabāṭabā„ī,25

Oleh karena itu

penulis ingin melanjutkan kajian skripsi tersebut dengan menambahkan salah

tafsir dari kalangan klasik yaitu tafsir Majma‟ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur‟ān.

Dari berbagai literatur yang penulis dapatkan, penulis menyimpulkan

bahwa belum ada karya ilmiah yang spesifik membandingkan masalah taqiyyah

menurut pandangan mufassir Syi‟i klasik dan kontemporer dalam kajian tafsir

Majma‟ al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān.

F. Metodologi Penelitian

Untuk mempermudah mencapai sasaran yang tepat dan sesuai dengan

tujuan penelitian, penggunaaan dan pemilihan metodologi penelitian peran yang

24

Moh. Hasyim Efandi : Artikel “ Doktrin Syi‟ah Membelenggu Ukhuwah” (Nganjuk,

STAI Miftahul „Ula Kertosono, 2015) h. 148 25

Aishah Nihayatun Nu‟ama. Skripsi : “Taqiyyah Perspektif Muḥammad Ḥusain al-

Ṭabāṭabā„ī Dalam Tafsīr al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān” (Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga 2013).

Page 27: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

13

sangat penting. Oleh karena itu penulis akan menggunakan beberapa metode

untuk mengumpulkan data dalam pembuatan skripsi ini, di antaranya adalah :

1. Metode

Dalam kajian tafsir dikenal dengan 4 metode yaitu ijmāli, taḥlīli,

muqāan, dan mauḍū„i. Dalam kajian ini digunakan metode muqāran26

(perbandingan). Menurut „Abdu al-Hayy al-Farmāwī di dalam kitab

tafsirnya, metode tafsir muqāran adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan merujuk pada-pada penjelesan para mufassir. Di dalam penelitian

ini, peneliti lebih menekankan pada perbandingan dari pendapat para

ulama tafsir yang di dalam hal ini adalah al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī

mengenai taqiyyah dalam al-Qur‟an.

Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini sebagai

berikut :

a. Menggumpulkan sejumlah ayat-ayat al-Qur‟an.

b. Mengemukakan penjelasan para mufassir, yaitu al-Ṭabarsī dan

al-Ṭabāṭabā„ī.

c. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing

d. Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya

dipengaruhi secara subyektif oleh mazhab tertentu, Siapa yang

penafsirannya didominasi uraian-uraian yang sebanarnya tidak

26

Metode muqāran dengan pengertian yang lebih luas yaitu, membandingkan ayat-ayat

al-Qur‟an yang berbicara tema tertentu dengan kajian-kajian yang lainnya. Lihat „Abd al-Ḥayy al-

Farmāwī, Metode Tafsīr Mauḍū‟ī dan Cara Penerapannya, (Bandung : Pustaka Setia, 2002) h. 39

Page 28: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

14

perlu seperti kisah-kisah yang tidak rasioanal dan tidak

didukung oleh argumentasi naqliyah.27

2. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini termasuk

penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam

material yang terdapat di ruangan perpustakaan, misalnya berupa buku-

buku, majalah-majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-

dokumen dan lain- lain.28

Untuk memperoleh data ini, penulis mengkaji literatur-literatur dari

perpustakaan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini dengan cara

melakukan langkah-langkah identifikasi melalui pembacaan,

pengumpulan, pengolahan dan pengkajian terhadap data-data yang telah

ada terkait masalah taqiyyah menurut pandangan mufassir syi‟i, yaitu

menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī baik hanya berupa data primer

ataupun data sekunder, secara akurat dan faktual.29

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebuah penelitian setelah

memaparkan dan melaporkan suatu keadaan, obyek, gejala, kebiasaan, dan

27

„Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, Metode Tafsīr Mauḍū‟ī dan Cara Penerapannya, h. 39 28

Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung:Mandar Maju, 1996),

Cet. ke-7, h. 33. 29

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986),

Jilid I, h. 3.

Page 29: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

15

perilaku tertentu kemudian dianalisis secara lebih tajam.30

Penelitian ini

berusaha memaparkan dengan cara mendialogkan data yang ada sehingga

membuahkan hasil penelitian yang dapat mendeskripsikan secara

komprehensif, sistematis dan obyektif tentang permasalahan seputar tema

judul skripsi ini.

3. Sumber Data

Dalam hal ini penulis menggunakan dua sumber data penelitian,

yaitu: Sumber data primer dan sekunder.31

a. Sumber data primer: Sumber data yang diperoleh secara langsung

dari sumber aslinya yaitu tafsir Majma‟ al-Bayān dan al-Mīzān.

b. Sumber data sekunder: Data yang diperoleh dari literatur-literatur

lain, berupa buku-buku tentang aliran Syi‟ah dan kitab-kitab tafsir

lainnya, hasil penelitian dan artikel-artikel yang berkaitan dengan

masalah taqiyyah untuk memperkaya dan melengkapi sumber

data primer.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian

lliteratur dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur‟an dan yang menjadi

kitab analisa utama penulis adalah dalam kitab Majma„ al-Bayān fi Tafsīr

al-Qur‟an karya al-Faḍl bin Ḥasan al-Ṭabarsī dan al-Mīzān fī Tafsīr al-

Qur‟ān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā‟ī. Serta mencari sumber-

30

Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Cet. ke-7, h. 33 31

Ahmad Anwar, Prinsip-Prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta:Sumbangsih,

1974), h. 2.

Page 30: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

16

sumber data yang telah disebutkan yang mempunyai kaitan dengan topik

pembahasan yang sedang diangkat.

5. Analisis

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya

dilakukan tahapan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam

menganalisis data penulis menggunakan metode analisa muqāran.

Penelitian ini dapat digolongkan sebagai bagian penelitian dengan

mengaplikasikan pendekatan metode tafsir muqāran terhadap tema

taqiyyah dalam pandangan mufassir Syi‟i klasik dan kontemporer dalam

kitab tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisa

muqāran. Analisa muqāran dilakukan untuk mengklarifikasikan makna

taqiyyah yang menjadi perdebatan dalam kalangan para teologis Islam.

Selanjutnya analisa muqāran digunakan untuk mencari kesamaan dan

perbedaan dari kedua mufassir ini khususnya pandangan mereka terhadap

makna taqiyyah dalam tafsirnya.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar dalam penelitian ini terdiri tiga bagian yaitu

pendahuluan, pembahasan dan juga penutup. Di dalamnya terdiri dari beberapa

sub bagian yang menjelaskan secara rinci. Adapun sistematika dalam penulisan

ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai acuan

pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang

Page 31: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

17

cakupan terdiri dari latar belakang masalah, Batasan dan rumusan masalah, tujuan

penelitian dan manfaat penelitan, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan tentang seputar biografi penafsir secara umum.

Dalam bab ini membahas mufassir Syi‟i dan karya tafsirnya yang di dalamnya

terdiri dari biografi dan karakteristik tafsir Majma„ al-Bayān (riwayat hidup sosial

dan akademik al-Ṭabarsī, keilmuan dan karya-karya al-Ṭabarsī, penilaian ulama

terhadap al-Ṭabarsī, latar belakang dan sistematika penulisan tafsir Majma„ al-

Bayān, manhāj, corak dan sumber penafsiran al-Ṭabarsī, dan pendapat ulama

terhadap tafsir Majma„ al-Bayān). biografi dan karakteristik tafsir al-Mīzān fī

Tafsīr al-Qur‟ān (riwayat hidup sosial dan akademik al-Ṭabāṭabā„ī, keilmuan

karya-karya al-Ṭabāṭabā„ī, Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī tentang filsafat, penilaian

Ulama terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī, latar belakang dan sistematika penulisan tafsir al-

Mīzān, manhāj, corak dan sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī, pendapat ulama

terhadap tafsir al-Mīzān).

Bab ketiga merupakan pembahasan seputar mendiskripsikan tinjauan

umum tentang taqiyyah yang terdiri dari sekilas mengenai taqiyyah, pengertian

taqiyyah, sejarah munculnya dan perkembangan taqiyyah, Syi‟ah (pengertian

Syi‟ah, sejarah munculnya Syi‟ah, konsep dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin

Syi‟ah), pandangan Ulama teologis tentang taqiyyah Sunni, Khawarij dan

Mu‟tazilah), dan juga pembagian taqiyyah. Dalam bab kedua ini ditunjukkan

untuk mengetahui gambaran secara umum tentang taqiyyah sampai kepada

sejarah, perkembangannya dan pendapat para aliran teologis Islam lainnya.

Page 32: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

18

Bab Keempat merupakan inti dari penelitian ini, yang akan memaparkan

tentang permasalahan yang dipaparkan dirumusan masalah. Dalam bab keempat

ini terdiri dari taqiyyah dalam penafsiran tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-

Mīzān (penafsiran tentang ayat-ayat taqiyyah menurut al-Ṭabarsī, penafsiran

tentang ayat-ayat taqiyyah menurut al-Ṭabāṭabā„ī), dan analisa muqāran

(perbandingan) taqiyyah terhadap tafsir Majma„ al-Bayān dan tafsir al-Mīzān

(pandangan al-Ṭabarsī, pandangan al-Ṭabāṭabā„ī, juga persamaan dan perbedaan

pandangan al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī tentang taqiyyah).

Bab Kelima sebagai bab terakhir Penutup yang berisikan kesimpulan dari

pokok permasalahan dalam kajian skripsi ini, dan saran-saran yang sifatnya

membangun dari penulis.

Page 33: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

19

BAB II

MUFASSIR SYI’I DAN KITAB TAFSIRNYA

A. Biografi Dan Karakteristik Tafsir Majma‘ al-Bayān

1. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Ṭabarsī

Pengarang tafsir Majma„ al-Bayān ini adalah Abū „Alī ibn al-Faḍl ibn al-

Ḥasan ibn al-Faḍl al-Ṭabarsī al-Masyhādi. Kata al-Ṭabarsī dikaitkan dengan

daerah tempat tinggal al-Ṭabarsī yaitu Ṭabristān.1 Ṭabristān atau Ṭabrās

merupakan sebuah kota yang berhadapan dengan kota Qum di „Iran.2 Selain itu,

al-Ṭabarsī juga dikaitkan dengan nama suatu jenis senjata menyerupai kampak

yang digunakan oleh penduduk daerah pegunungan untuk berperang yang disebut

dengan Ṭabar.3 Dari segi keturunan, kata al-Ṭabarsī dikaitkan dengan Ṭabras

yaitu nama seorang keturunan dari golongan ulama Imāmiyah.4 Kata al-Masyhādi

dikaitkan dengan daerah Masyhād al-Raḍāwi yaitu daerah tempat beliau

dimakamkan.5

Al-Ṭabarsī dilahirkan tahun 468 H, lalu ia menetap di Masyhād al-Raḍāwi

hingga tahun 523 H. Kemudian ia pindah ke daerah Sabador dan menetap di sana

1 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān

muqaddimah Juz 1, (Beirut: Dār al-Murtadā, 2006) h. 5 2 Iḥsān al-Amīn, al-Tafsīr bi al-Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-Imāmiyah,

(Beirut: Dār al-Hādī, 2000), h. 421 3 Ibrahīm Muṣṭafā dkk, al-Mu„jam al-Wasīṭ, (Turki: Al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1960),

juz II, h. 549 4 Sālim al-Ṣafār al-Baghdādī, Naqd Manhāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-Muqāran,

(Beirut: Dār al-Hādi, 2000), h.386 5 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, (Mesir: Maktabah

Waḥbah, 2003), h. 74

Page 34: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

20

hingga wafat tahun 552 H. Ada juga yang menyatakan bahwa ia meninggal tahun

548 H pada malam „Idul Aḍḥa.6 Al-Khālidī menyatakan bahwa al-Ṭabarsī wafat

pada malam „Idul Aḍḥa tahun 538 H.7 Kemudian kuburannya dipindahkan ke

Masyhād al-Raḍāwi, lalu dikuburkan hingga sekarang di sebuah pemakaman yang

terkenal yaitu Qatlakan.8

al-Ṭabarsī berasal dari keluarga berilmu. Beliau dan putranya yang

bernama Riḍā al-Dīn Abū Naṣr Ḥasan ibn al-Faḍl telah berhasil menyusun sebuah

karya tulis yang berjudul Makārim al-Akhlāq. Cucu al-Ṭabarsī bernama Abū al-

Faḍl „Alī ibn al-Ḥasan. Seluruh keturunan dan kerabat al-Ṭabarsī merupakan

orang-orang yang berwawasan luas. 9

Di antara guru al-Ṭabarsī adalah al-Syaikh Abī „Alī ibn Syaikh al-Ṭūsī,

Syaikh Abū al-Wafā‟ „Abd al-Jabbār ibn „Alī al-Muqrī al-Rāzī, Syaikh al-„Ajlī al-

Ḥasan ibn al-Ḥusain ibn al-Ḥasan ibn Bābūyah al-Qumī al-Rāzi, Muḥammad bin

al-Ḥusain al-Qaṣābī al-Jurjānī, Abī al-Fatḥ „Abdullāh bin „Abd al-Karīm bin

Hawāzan al-Qusyairī, Abī al-Ḥasan „Ubaidillāh bin Muḥammad ibn al-Ḥusain al-

Bayḥāqī, Sayyid Abū al-Ḥamd Mahdī bin Nazār al-Ḥusainī al-Qāyinī, al-Ḥākim

al-Haskānī.10

Di antara murid al-Ṭabarsī adalah putranya Riḍā al-Dīn Abū Naṣr

Ḥāsan ibn al-Faḍl, Rasyīd al-Dīn Abū Ja„fār Muḥammad ibn „Alī Ibn Syahra

6 Iḥsān al-Amīn , al-Tafsīr bil Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-Imāmiyah, h. 421

7 Ṣalāh „Abd al-Fattāh al-Khālidī, Ta‟rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn,

(Damaskus: Dār al-Qalam, 2002), cet. Ke-3, h. 519 8 Iḥsān Amīn, al-Tafsīr bil Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī‟ah al-Imāmiyah, h.422

9 Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h.74

10 Sālim al-Ṣafār al-Baghdādī, Naqd Manḥāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-Muqāran, h.

386

Page 35: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

21

Syaūb, Syaikh Muntajāb al-Dīn, Sayyid Faḍlullāh al-Rāwindī penulis kitab al-

Kharāij al-Jarāiḥ.11

Al-Ṭabarsī adalah salah seorang mufasir Syī„ah Imāmiyah Iṡnā

„Asyariyyah atau Syī‟ah Ja„fāriyyah, pada abad ke-6 H. Dia adalah mufasir

penerus dari gurunya yaitu al-Ṭūsī. Bahkan ia juga sangat terpengaruh dengan

riwayat-riwayat dari gurunya, walaupun masih terdapat perbedaan antara

keduanya.12

Al-Ṭabarsī juga merupakan seorang Syi‟ah yang mengemban akidah

Syi‟ah dengan sebagian paham Mu‟tazilah. Sehingga tidak aneh bila ia juga

membela mazhabnya dan memahami Kitābullāh sesuai dengan akidahnya.13

Dia

juga tidak terlihat fanatik (ta„aṣub) yang berlebihan dalam membela akidahnya

pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an karena paham Syi‟ah moderat yang beliau

miliki.14

2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabarsī

Al-Ṭabarsī menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan, karema beliau

seorang ulama terpandang dimasanya, beliun menjadi rujukan ulama lain pada

saat itu, terkenal dengan budi pekerti yang luhur. Bukan cuma ahli dibidang tafsir,

tetapi ilmu-imu yang lain seperti ilmu fiqih dan hadis juga dikuasainya. Sehingga

beliau dikenal dengan al-Fādil, al-„Alim, al-Mufassir, al-Faqīh, al-Muhaddiṡ, al-

Jalīl, al-Ṡiqqah, al-Kāmil, dan al-Nabīl. Kemudian dijelaskan dalam al-Tafsir al-

Mufassirūn, Ṣāhibu Majālis al-Mu‟minīn yang menjelaskan bahwa al-Ṭabasī

11

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, (Mesir: Maktabah

Waḥbah, 2003), h. 74 12

„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟

(Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terj: Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, Studi

Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), h. 550 13

Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,

(Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 185 14

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 106

Page 36: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

22

disebut dengan sebagai „Umdat al-Mufassirīn (tempat sandaran para mufassir)

beliau adalah golongan ulama yang condong pada ilmu tafsir. 15

Keberhasilannya dalam memahami semua ilmu pengetahuan terlihat ketika

beliau menuangkan dalam bentuk karya tulis. Karya-karya tulis al-Ṭabarsī adalah:

Majma‟ al-Bayān fî Tafsīr al-Qur‟ān sebanyak 10 jilid, al-Wāfī fī Tafsīr al-

Qur‟ān, al-Wasīṭ sebanyak 4 jilid, al-Wajīz sebanyak 2 jilid, A„lām al-Hudā

(membahas tentang keutamaan para Imam) kitab ini sebanyak 2 jilid, Misykāh al-

Anwār membahas tentang khabar-khabar, Risālah Haqāiq al-Umūr membahas

tentang Ushūl al-Dīn, ilmu Farāiḍ dengan bahasa Persi, Kitāb Syawāhid al-Tanzīl

li Qawā‟id al-Tafḍīl, Kitāb al-Jawāhir membahas tentang ilmu naḥwu, Naṣr al-

„Alī merupakan kumpulan risalah dan perkataan Amīr al-Mukminīn „Alī bin Abī

Ṭālib. 16

3. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabarsī

Ada beberapa penilaian ulama tentang al-Ṭabarsī. Pertama, al-Ẓahabī

menyatakan bahwa al-Ṭabarsī adalah mufasir yang tidak ekstrim (ghulah) dan

tidak pula longgar, dalam penafsirannya tidak terlihat ta‟aṣub yang berlebihan.17

Kedua, Mani‟ „Abdul Ḥālim Maḥmūd mengutip pendapat al-Qumi yang

menyatakan bahwa al-Ṭabarsī mempunyai pemikiran yang moderat dan komitmen

dengan keindahan sastra Al-Qur‟an.18

Ketiga, „Alī Aḥmad al-Sālūs, menyatakan

15

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74 16

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān

muqaddimah Juz I, h. 6 17

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 106 18

Mani‟ „Abdul Ḥālim Maḥmūd, Manhāj Al-Mufassirin (terjemahan), Metodologi Tafsir:

Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, ( Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), h. 339

Page 37: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

23

bahwa al-Ṭabarsī adalah mufasir yang mengikuti langkah al-Ṭūsī yang berhaluan

moderat dari kalangan Syi‟ah Ja‟fāriyyah Iṣna „Asyāriyyah.19

Namun bila diperhatikan ketika al-Ṭabarsī menafsirkan ayat yang

berkaitan dengan doktrin Syiah, ia tampak ekstrim, misalnya pada penafsiran QS.

Al-Maidah [5] ayat 55 :

ورسولو والمذين ءامنوا المذين يقيمون الصملة وي ؤتون الزمكاة وىم ا وليكم اللم راكعون إنم

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-

orang yang beriman yang melaksanakan shalat, membayarkan zakat,

seraya tunduk (kepada Allah)”.

Al-Ṭabarsī menafsirkan lafaz ا وليكم اللم ورسولو sesuai dengan makna إنم

zahir ayat yakni sesungguhnya Allah dan Rasul yang memberikan pertolongan

kepada semua makhluk. Maka wajib untuk mentaati dan melaksanakan semua

perintah Allah dan Rasul. Karena kemaslahatan dan semua urusanmu (manusia)

diatur oleh Allah dan Rasul.20

Kemudian makna ayat والمذين ءامنوا المذين يقيمون الصملة وي ؤتون الزمكاة yakni

orang- orang beriman yang melaksanakan shalat dengan syarat-syaratnya,

membayarkan zakat. Sedangkan makna lafaz وىم راكعون menggambarkan keadaan

orang yang rukuk. Al-Ṭabarsī menyatakan penafsiran lafaz وىم راكعون sebagai

berikut:

و ي و ج لو ا و ل ص ل ب ب النم د ع ب ى ل ع ة ام م إ ة حم ى ص ل ع ل ئ ل الدم ح ض و أ ن م ة ي ال ه ذ ى و م ك ي ل ع و ت اع ط ب ي و م ك ر و م أ ي ب د ت ب ل و أ و ى ن م د ي ف ت م ك ي ل و ة ظ ف ل نم أ ت ب ا ث ذ إ و نم أ ة ام م ل ب و ي ل ع ص النم ت ب ث ى ل ا ع و ن آم ن ي ذ لم ب اد ر م ال نم أ ت ب ث و

19

„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟

(Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), h. 550 20

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān juz III,

(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1997) h. 275

Page 38: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

24

“Ayat ini merupakan dalil tentang kebenaran ke„Imamahan „Ali setelah

Nabi SAW tanpa ada batas, jika ada lafaz م ك ي ل و mengindikasikan bahwa

dia („Alī) yang mengurus masalah pemerintahan dan wajib taat

kepadanya („Alī). Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman pada

teks ayat adalah „Alī. Maka teks ayat (naṣ) menetapkan tentang masalah

kepemimpinan „Alī (wilayah) .

Al-Ṭabarsī juga menyatakan bahwa keta‟atan terhadap kepemimpinan „Alī

(wilāyah) merupakan makna khusus ayat. 21

Dari penafsiran itu, al-Ṭabarsī

mempertahankan doktrin kepemimpinan „Alī (wilāyah) dan kewajiban untuk

mentaati doktrin itu.

Di satu sisi, penilaian ulama menyatakan bahwa al-Ṭabarsī adalah seorang

mufasir Syi‟ah yang moderat dan tidak fanatik dalam membela akidah Syi‟ah.

Sedangkan di sisi lain, al-Ṭabarsī kelihatan ekstrim dalam menafsirkan ayat-ayat

yang berkenaan dengan doktrin Syi‟ah. Hal ini merupakan paradigma terhadap

corak penafsiran al-Ṭabarsī.

4. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsīr Majma‟ al-Bayān

a. Latar Belakang Penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī menyebutkan suatu kisah aneh tentang latar

belakang penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān. Pada suatu ketika al-Ṭabarsī pernah

„mati suri‟, sehingga orang-orang menganggap al-Ṭabarsī sudah wafat. Kemudian

mereka memandikan, memberi kain kafan dan menguburkan. Setelah itu mereka

kembali pulang. Pada saat al-Ṭabarsī sadar dan mengetahui dirinya sudah berada

di dalam kuburan, serta merasakan jalan keluar tertutup baginya dari segala arah,

21

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān juz III,

(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1997) h. 275

Page 39: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

25

maka al-Ṭabarsī bernazar jika ia selamat dari musibah tersebut beliau akan

mengarang sebuah kitab tentang tafsir al-Qur‟an.22

Kemudian beberapa orang nabbāsy23

datang bermaksud untuk mencuri

kain kafan al-Ṭabarsī. Pada saat kuburan sudah dibongkar, maka Syeikh al-

Ṭabarsī memegang nabbāsy tersebut. Kemudian nabbāsy tersebut kaget dan

berteriak. Lalu al-Ṭabarsī berbicara, sehingga membuat nabbāsy itu semakin

ketakutan. Kemudian al-Ṭabarsī menyatakan bahwa ia hanya mati suri sehingga

orang-orang menguburkan. Karena al-Ṭabarsī tidak kuat untuk bangkit dan

berjalan maka nabbāsy mengangkat dan membawanya ke rumah. Setelah itu al-

Ṭabarsī memberi hadiah berupa sejumlah uang kepada nabbāsy. Kemudian

nabbasy itu bertaubat dan al-Ṭabarsī melaksanakan nazarnya untuk menulis kitab

Majma„ al-Bayān‟.24

Motivasi al-Ṭabarsī menulis Kitab Majma„ al-Bayān adalah karena beliau

terkesan dengan kitab al-Ṭibyān karangan Abū Ja„fār Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-

Ṭūsī. Kitab al-Ṭibyān itu mengandung makna yang indah dan menggunakan

pendekatan bahasa yang luas. Akan tetapi tafsir tersebut masih

mencampuradukkan antara i„rāb dan naḥwu, kadang-kadang menggunakan lafadz

yang jauh dari makna yang dimaksud belum disusun secara sistematis.25

Karena

22

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74-75 23

Yaitu para penggali kuburan yang bermaksud mencuri kain kafan dan perhiasan 24

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h.74-75 25

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān

muqaddimah Juz I, h. 6. Lihat Juga Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz

II, h. 75

Page 40: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

26

al-Ṭabarsī kagum kepada al-Ṭūsī maka dalam penafsirannya banyak merujuk

riwayat-riwayat dari al-Ṭūsī.26

Kuatnya keinginan beliau untuk menyusun sebuah kitab tafsir, ia

menceritakan tentang hal itu dalam muqaddimah tafsirnya. al-Ṭabarsī menyatakan

bahwa ketika ia masih muda, berfikir kritis, timbul kerinduan baginya untuk

mengarang sebuah kitab tafsir yang menghimpun rahasia naḥwu dan

menggunakan pendekatan bahasa yang luas, menerangkan qirāat dan ilmu-ilmu

lainnya. Setelah berumur 60 tahun, beliau tertantang untuk mewujudkan tekad ini

setelah mendapat perhatian besar dari Maulāna al-„Amīr al-Sayyid al-„Ajl al-

„Ālam, dan Abū Manṣūr Muḥammad ibn Yaḥyā ibn Hibahillāh al-Ḥusainī.

Kemudian al-Ṭabarsī memenuhi permintaan Maulāna al-„Amīr Abū Manṣūr dan

beristikharah. Selanjutnya al-Ṭabarsī mulai menulis tafsir.27

Al-Ṭabarsī memberi judul kitab tafsirnya dengan Majma„ al-Bayān li

„Ulūm al-Qur‟ān. Sebagian ulama menyebutkan judul kitab al-Ṭabarsī adalah

Majma‟ al-Bayān fî Tafsīr al-Qur‟ān.28

Dalam kamus Mu„jām al-Wasīṭ

disebutkan bahwa Majma„ berarti tempat berkumpul ( .( ع ا م ت ج ال ع ض و : م ع م ج م ل ا 29

Dan al-Bayān berarti dalil ( ة جم ل ا : ان ي ب ل ا ).30 Berdasarkan penjelasan itu, maka arti

Majma„ al-Bayān li „Ulūm al-Qur‟ān yaitu tempat (media) berhimpunnya hujjah,

dalil dan penjelasan ilmu-ilmu al-Qur‟an („Ulūm al-Qur‟ān).

26

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān

muqaddimah Juz I., h. 7 27

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 76 28

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

muqaddimah juz I, h. 8 29

Ibrāhīm Muṣṭafā, al-Mu‟jām al-Wasīṭ, Juz 1, h. 157 30

Ibrāhīm Muṣṭafā, al-Mu‟jām al-Wasīṭ, Juz 1, h. 80.

Page 41: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

27

Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa kitab tafsir Majma„ al-Bayān

menghimpun berbagai jenis ilmu (al-Qur‟an) dan cabang-cabangnya dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Diantaranya adalah qirāat, i„rāb, lughāh, asbāb al-Nuzūl,

qaṣaṣ, aḥkām, dan lain-lain. Jadi, sangat relevan jika kitab tafsir ini dinamakan

dengan Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karena al-Ṭabarsī menampilkan dan

menghimpun penjelasan terhadap al-Qur‟an melalui pendekatan „Ulūm al-Qur‟ān.

b. Sistematika Penulisan Tafsīr Majma„ al-Bayān

Teknik sistematika penulisan al-Ṭabarsī, sebelum beliau menafsiri ayat

demi ayat, surat demi surat, terlebih dahulu di dalam muqaddimah tafsir ini, al-

Ṭabarsī memberikan pendahuluan dengan menyebutkan tujuh perkara yang

berkaitan dengan ilmu-ilmu al-Qur‟an. Tujuh perkara tersebut ialah:

1) Menjelaskan jumlah ayat al-Qur‟an dan manfaat mengetahuinya

2) Menjelaskan penyebutan nama-nama pembaca al-Qur‟an (qurrā‟) dan

perawi yang terkenal di beberapa negeri

3) Menjelaskan pengertian tafsīr, ta‟wīl dan makna, serta penjelasan

beberapa istilah yang sering digunakan di dalam tafsir ini. Juga

penjelasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat dan hadis-hadis

yang menunjukkan larangan menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟yi dan

yang membolehkan.

4) Menjelaskan nama-nama al-Qur‟an dan maknanya

5) Menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu al-

Qur‟an, dijelaskan secara panjang lebar pada tempat-tempat tertentu

dan juga disebutkan kitab-kitab yang berkaitan dengan tema tersebut,

seperti I‟jāz al-Qur‟ān.

Page 42: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

28

6) Menjealaskan hadis-hadis yang menunjukkan tentang keutamaan al-

Qur‟an dan ahlinya (orang yang membaca, memahami dan

mengamalkannya)

7) Menjelaskan anjuran membaca al-Qur‟an dengan memperindah

bacaan (Taḥsīn al-Lafẓ) dan suara yang indah. 31

Baru kemudian dengan menafsirkan al-Qur‟an, di mulai dari Ta„awuẓ,

Basmālah, Sūrah al-Fātiḥah dan seterusnya. Dalam kitab tafsir Majma„ al-Bayān

al-Ṭabarsī menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Mengawali tiap-tiap surat dalam al-Qur‟an dengan menyebut surat

identitas setiap surat apakah makiyyah atau madaniyah, kemudian menjelaskan

perbedaan pendapat ulama masalah bilangan ayat-ayat al-Qur‟an dalam surat itu,

menjelaskan juga perbedaan ulama masalah qiraāt. Dan menjelsakan analisis

bahasa berkaitan dengan makna lafadz atau kalimat, menjelaskan i„rāb dan

kemusykilannya. Kemudian menjelaskan illāt dan hujjah masing-masing,

menjelaskan asbāb al-Nuzūl, i„rāb, ma„āni, hukum, kisah-kisah dan korelasi

runtun ayat. 32

5. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabarsī

Dilihat dari segi metodologi penafsiran al-Qur‟an, Tafsīr Majma al-Bayān

dikategorikan tafsir taḥlīlī, karena al-Ṭabarsī menafsirkan al-Qur‟an ayat demi

ayat sesuai dengan tertib ayat dan surat dalam Musḥāf al-Qur‟ān mulai dari awal

surat al-Fatiḥah sampai akhir surat al-Nās.

31

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

muqaddimah juz I, h. 8-17, lihat juga: Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,

juz II, h. 77-78. 32

Yunus Hasan Abidu, tafsīr al-Qur‟ān, Sejarah Tafsir dan Metode para Mufassir, h.

70-71

Page 43: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

29

Al-Ṭabarsī menjelaskan manhāj (metode) yang digunakan di dalam

Majma‟ al-Bayān pada muqaddimah tafsirnya:

ا , ت آي د د ع ف ف ل ت خ ل ا ر ك ذ ثم , اه ي ن د م ا و ه ي ك م ر ك ذ ة ر و س ل ك ع ل ط م ف ت م د ق و

ل ل لع ا ر ك ذ , ثم ات اء ر ق ال ف ف ل ت خ ل ا ة آي ل ك ف م د ق أ ا , ثم ت و ل ت ل ض ر ك ذ ثم

ر ك ذ , ثم ت ل ك ش م ال و اب ر ع ل ا ر ك ذ أ . ثم ات غ ل ال و ة يم ب ر لع ا ر ك ذ أ , ثم ت اجا ج ت ح ل او

, ثم ات ه ل ا و ص ص لق ا , و ت ل ي و أ التم و ام ك ح ل ا و ان ع ل ا ر ك ذ , ثم ت ل و ز الن و اب ب س ل ا

ل ك و ب ا ر ع إ ف , و ة ح ئ ل ة رم غ لم ك و ت يم ب ر ع ف ت ع ج د ق ن ى أ ل , ع ت ي الل ام ظ ت ن إ ر ك ذ

د م ب و ه , ي ب م ان ى ر ب و ت ل ك ش م ف , و ي ت م ل و ق ل ك و ي ان ع م ف . و ة ح اض و ة جم ح

, ة ر ي خ و ذ ك اس لنم ل , و ة ر ي ص ب ئ ر ق م ل ل . و ة دم ي ع و ح لنم ل . و ة د م ع ب ي د ل ل هللا

ان ي لب ا ع م م و ت ي سم و ة آل ظ اع و ل ل . و ة ل ل د و ي ق ف ل ل . و ة جم م ث د ح م ل ل . و ة جم ح م ل ك ت م ل ل و

33.آن ر لق ا ي س ف ت ف

“Setiap awal surat dimulai dengan menyebutkan kategori surat, apakah

makiyah atau madaniyah. Disebutkan perbedaan ulama tentang jumlah

ayat pada surat tersebut. Kemudian disebutkan tilāwah (bacaan)nya.

Ditampilkan juga pada setiap ayat perbedaan pada qirāat dengan

menyebutkan sebab-sebab dan argumentasi yang kuat. Kemudian

disebutkan aspek bahasa Arab dan dialek-dialek (lughāh) Arab.

Seterusnya disebutkan i‟rab dan kata-kata yang sulit (musykīl), sebab

turun (ayat/surat), penjelasan ayat, hukum-hukum yang dikandung serta

takwilnya. Disebutkan kisah-kisah dan jihāt.34

Kemudian disebutkan

tentang ketersusunan ayat”. Bahwa saya menghimpun, setiap kosa kata

sulit yang sering ditinggalkan pada saat memberikan pendekatan makna

secara bahasa. Ketika mengi‟rab diberikan hujjah (argumentasi) yang

jelas. Pada saat menjelaskan ayat, dikemukakan pendapat-pendapat yang

kuat. Dan tatkala menerangkan kalimat yang sulit (musykīl) dan

mengandung banyak makna, diberikan penjelasan yang terang. Sehingga

33

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

muqaddimah juz I, h. 8 lihat juga: Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz

II, h. 77 34

Yaitu: tempat terjadinya suatu peristiwa atau kisah.

Page 44: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

30

Alhamdulillāh tafsir ini dapat menjadi pegangan bagi ahli sastra,35

ahli

naḥwu,36

penerang bagi ahli qirāat,37

bekal bagi pelaku ibadah (nāsik),38

hujjah (dalīl) bagi ahli kalam, tempat berhujjah bagi ahli hadis,39

dalālah

(petunjuk) bagi ahli fiqh,40

dan sebagai sarana bagi ahli mau‟iẓah, 41

Maka dengan demikian tafsir ini diberi nama „Majma‟ al-Bayān fi Tafsīr

al-Qur‟ān”.

Dilihat dari segi nau‟nya (bentuk), tafsir Majma„ al-Bayān termasuk jenis

kategori tafsir bi al-Ra‟yi, di mana dalam menafsirkan ayat beliau menggunakan

hasil pemahaman mufassir, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan, hadis-hadis yang

yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau penguat atas

pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan. Sebagaimana diterangkan dalam

al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, dalam tafsir Majma„ al-Bayān terdapat banyak hadis

mauḍū‟ juga cerita israillīyāt.

Sedangkan dilihat dari laun (coraknya), tafsīr Majma„ al-Bayān ini

termasuk laun lughāwi. Bahkan taqdīm-nya, tafsir ini digolongkan kitab untuk

rujukan I„rāb al-Qur‟ān, hal ini disebabkan memuatnya semua aspek kebahasan

untuk membedah ma‟na al-Qur‟an khususnya bahasan I„rab ayat-ayat al-Qur‟an.

Sedangkan jika Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar, secara

35

Karena di dalam tafsir ini sering digunakan pendekatan bahasa dan menampilkan syair

arab sebagai syaḥīd (pembanding) untuk menguatkan makna bahasa. 36

Karena di dalam tafsir ini juga banyak didapatkan i‟rab dan kaidah-kaidah bahasa

dalam menafsirkan ayat-ayat. 37

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī juga menampilkan perbedaan pada qirāat dan

menerangkan makna masing-masing bacaan. 38

Karena al-Ṭabarsī secara panjang lebar menerangkan tentang ayat hukum, meskipun

al-Ṭabarsī dalam masalah hukum lebih condong membela mazhabnya. 39

Dalam hal ini al-Ṭabarsī menampilkan hadis-hadis dalam menafsirkan ayat,

menerangkan keutamaan surat, sebab turun ayat. Namun al-Ṭabarsī tidak memberikan penilaian

terhadap hadis tersebut, apakah ṣaḥīh atau ḍa‟īf. 40

Karena al-Ṭabarsī menggunakan pendekatan fiqh dan kaidah ushūl fiqh dalam

menafsirkan ayat-ayat hukum. 41

Yaitu dalam memberikan penerangan atau nasehat bisa merujuk kepada tafsir ini.

Page 45: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

31

keseluruhan corak penafsiran al-Ṭabarsī sama dengan corak tafsir Syi‟ah yaitu

tafsir simbolik (menekankan pada aspek baṭīn al-Qur‟ān).42

Dilihat dari sumber Penafsiran al-Ṭabasī, Tafsir Majma„ al-Bayān

termasuk jenis kategori tafsir al-Ra‟yi, dimana dalam menafsirkan ayat, beliau

menggunakan hasil pemahamannya. Sedangkan adannya ayat-ayat yang berkaitan,

hadis-hadis yang ada dan beberapa pendapat difungsikan sebagai hujjah atau

penguat atas pendapat yang dikeluarkan dalam menafsirkan. Sebagaimana

diterangkan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, dalam tafsir Majma„ al-Bayān juga

terdapat banyak hadis mauḍū‟ juga cerita Israilliyat.

6. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir Majma‟ al-Bayān

Setelah menelusuri tafsir karya al-Ṭabarsī, didapatkan bahwa tafsir ini

merupakan karya besar. Karena al-Ṭabarsī memiliki metode yang sistematis

dalam menulis tafsir, menghimpun ilmu-ilmu al-Qur‟an dalam menafsirkan ayat,

juga menjelaskan ayat dengan penjelasan yang tuntas. Hal ini sesuai dengan

pendapat al-Żahabī tentang kitab Majma‟ al-Bayān.

Al-Żahabī menyatakan bahwa tafsir al-Ṭabarsī terpengaruh oleh paham

Syi‟ah dan Mu‟tazilah, kitab ini merupakan karya besar dalam penulisannya. Hal

ini menunjukkan bahwa penulisnya memiliki disiplin keilmuan dan ilmu

pengetahuan yang beragam. Kitab ini memiliki metode yang mengindikasikan

siapa penulisnya, sehingga mencapai kesempurnaan dalam susunan ayat yang

indah, semua aspek yang dicari dapat ditemukan dalam kitab ini, ketika berbicara

tentang aspek makna lughāh dan mufradāt maka akan ditemukan pembahasan dari

42

Abdul Mustaqim, Mażāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Periode

Klasik hingga Kontemporer, h.85

Page 46: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

32

aspek lughāh dan mufradāt, ketika berbicara tentang aspek qirāat maka akan

ditemukan pembahasan dari aspek qirāat, ketika berbicara tentang aspek asbāb al-

Nuzūl maka akan ditemukan pembahasan dari aspek asbāb al-Nuzūl, ketika

berbicara tentang aspek hukum maka akan ditemukan pembahasan dari aspek

hukum dan menukil pendapat para Fuqaha, menukil pendapat mufasir di kalangan

sahabat. Di samping memiliki keistimewaan, kitab Majma‟ al-Bayān ini juga

memiliki kekurangan yaitu penulisnya dipengaruhi oleh paham yang dianutnya

yaitu Syi‟ah. Sehingga tafsir al-Ṭabarsī akan dianggap menyimpang dari sisi

akidah, karena membela paham Syi‟ah. Dan diantara kekurangan tafsir ini juga

masih didapatkan riwayat dan hadis mauḍū‟ di dalamnya terutama hadis-hadis

tentang keutamaan surat. 43

Al-Żahabī mengutip pendapat penulis kitab Majālis al-Mukminīn, ia

menyatakan bahwa kitab Tafsir Majma„ al-Bayān merupakan penjelasan yang

lengkap dan indikator yang utuh untuk mengetahui kemampuan al-Ṭabarsī di

sejumlah cabang keilmuan dan kesempurnaannya.44

Iḥsān Amīn mengutip pendapat Syekh Maḥmud al-Syaltūṭ yang

menyatakan bahwa kitab Majma „al-Bayān ini tidak ada tandingannya. Kitab itu

menunjukkan atas keluasan dan pembahasannya yang mendalam, memiliki

keistimewaan tersendiri dalam urutan penulisan, bab-babnya, penyesuaian dan

pengaturan.45

43

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II h. 78 44

Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz II, h. 74 45

Ihsān al-Amīn, Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa al-Furū‟ (Dirāsah

Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terjemahan: Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, Studi

Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, h. 424

Page 47: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

33

Dari pemaparan para ulama dapat diketahui bahwa tafsir Majma„ al-Bayān

mempunyai kelebihan yaitu memuat penyusunan bab-bab yang teratur sehingga

mudah dipahami oleh orang-orang yang membaca kitab tafsirnya, pembahasannya

mendalam ketika membahas dari segi lughāh, qirāat dan hukum fiqh karena al-

Ṭabarsī mengutip pendapat ahli bahasa, qirāat dan fuqahā‟ yang berkompeten

dari para sahabat dan tabi‟in.

Di samping itu, tafsir Majma „al-Bayān juga mempunyai kekurangan

diantaranya pengutipan pendapat ahli bahasa seperti al-Kūfī,46

yang cenderung

menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan ra‟yu-nya dan memaksakan penafsiran ayat

sesuai paham Syi‟ah, mengutip pendapat ulama dan Imam Syi‟ah ketika

menafsirkan ayat-ayat akidah sehingga penafsiran tersebut akan dianggap

menyimpang dari sisi akidah karena terlihat membela akidah Syi‟ah, memuat

riwayat-riwayat dan hadis-hadis mauḍū' dalam kitab tafsirnya tanpa melakukan

penilaian status hadis.

B. Biografi Dan Karakteristik Tafsir al-Mīzan fi Tafsir al-Qur’an

1. Riwayat Hidup, Sosial dan Akademiknya

Allāmah Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī dilahirkan di Tabriz

pada tanggal 30 Zulhijjah 1321H (17 Maret 1903M). Beliau datang dari keluarga

Tabriz kenamaan, yaitu keluarga Ṭabāṭabā„ī. Selama tiga abad terakhir, keluarga

ini telah mencetak generasi demi generasi ulama terkenal di Azarbaijan. Mereka

46

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

muqaddimah juz I, h. 45

Page 48: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

34

adalah keturunan Imam kedua, al-Hāsan bin „Alī as. Keluarga besar ini dirujuk

dengan gelar al-Qāḍi.47

Al-Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī adalah putra al-Sayyid Muḥammad bin al-

Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabātabā‟ī. Ayahnya meninggal pada tahun

1330H/1912M. Anak yatim ini tumbuh besar di Tabriz, dan setelah

menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana, pada sekitar tahun 1341H/1923M,

beliau pergi ke al-Najāf al-Asyrāf („Irak), pusat paling penting untuk pendidikan

keagamaan Islam.48

Di al-Najāf al-Asyrāf, beliau mengawali studi-studi lebih tingginya

bersama ulama-ulama termasyhur seperti Syaikh al-Mirza Muḥammad Ḥusain

(putra syaikhūl Islām al-Mirza „Abdurrahīm) Na‟inī al-Gharawī dan Syaikh

Muḥammad Ḥusain (putra al-Ḥajj Muḥammad Ḥāsan, Muinu al-Tujjār) Iṣfaḥānī.

Keduanya ini, bersama Syaikh Ḍiyauddīn (putra Maulāna Muḥammad) „Iraqi,

yang merupakan tokoh yang sangat dihormati di dunia Syi‟ah. Mereka termasuk di

antara ulama-ulama paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurispendasi

Syi‟ah dan prinsip-prinsip dasar yurispendasi, namun juga dalam semua studi

Islam. Pendapat-pendapat yang mereka paparkan dan teori-teori yang mereka

kemukakan, diikuti oleh semua ulama setelah mereka. Mereka mendirikan

mazhab berpikirnya sendiri-sendiri. Mereka mendidik ribuan ulama dan ahli

hukum Syi‟ah dan semua marja‟ taqlīd (otoritas tertinggi untuk fikih,

yurisprudensi, aturan-aturan syariat, yang putusan-purusannya diikuti oleh

47

Muḥammad Ḥusain al-Ṭābāṭaba‟ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera,

2010), Jilid. 1, h. 11. 48

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān . h. 11.

Page 49: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

35

ummat) dunia Syi‟ah, yang sehingga dewasa ini melahirkan ramai anak-anak

didik.49

Al-Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī banyak dipengaruhi oleh dua guru besar saat itu,

yaitu Mirza Muḥammad Ḥusain Na‟inī dan Muḥammad Ḥusain Iṣfaḥanī, lebih

khusus kepada Iṣfaḥanī dalam perkembangan pemikiran-pemikiran dan

pengetahuannya sehingga apabila beliau bertahan dalam bidang pengetahuan ini

sepenuhnya, beliau akan menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan berpengaruh

dalam bidang politik dan sosial.50

Akan tetapi hal itu bukan jalan hidupnya, beliau sangat tertarik pada

pengetahuan-pengetahuan „aqliyah, dan beliau belajar dengan Sayyid Abu al-

Qāsim Khawansārī, yang dikenal sebagai “Ahli Matematika”.51

Al-Ṭabāṭabā„ī

merasa bangga dapat mempelajari ilmu matematika darinya sehingga beliau

menulis sebuah buku tentang beberapa topik matematika tinggi yang mana beliau

mengaplikasikan beberapa teori khusus dari gurunya. Beliau kemudian belajar

filosofi dan metafisika dari Sayyid Ḥusain Sayyid Riḍā al-Ḥusaini al-Baḍkūbī

(sekarang disebut Baḍkūbī, ibukota Azarbaijan Soviet), beliau merupakan tokoh

yang termasyhur di bidang filosofi dan studi-studi terkait pada masa itu. Di bidang

etika dan spiritual, beliau menerima pendidikannya dari keluarganya, al-Sayyid

Mirza „Alī Aghā (al-Mirza Ḥusain al-Qāḍī) Ṭabāṭabā‟ī, seorang ulama yang

49

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr Al-Mīzān . h. 11. 50

Muḥammad Ḥusain al-Ṭābāṭaba‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya,

terj.Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), Cet. II, h. 22. 51

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya,

Cet. II, h. 22.

Page 50: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

36

mendirikan sebuah sekolah pendidikan spiritual dan etika yang tumbuh sehat dan

kuat hingga saat ini.52

Segenap pengaruhnya itu berpadu dalam diri al-Ṭabāṭabā„ī untuk

menciptakan dalam dirinya sebuah personalitas akademis dan spiritual yang

berimbang sempurna. Seorang otoritas terpandang di bidang studi-studi

keagamaan seperti fikih dan prinsip-prinsip dasarnya, seorang filosof yang

pandangan-pandangannya independen dan memiliki beragam teori baru, yakni

sebuah model kesempurnaan etika dan spiritual yang bersemangat, yang bukan

saja mengajarkan moralitas namun juga mengamalkannya.

Al-„Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī kembali ke Tabriz pada tahun 1353H/1934M.

Di sini beliau disambut hangat sebagai seorang ulama, beliau menghabiskan

waktunya dengan mengajar filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias.

Namun, ini merupakan sebuah tempat kecil bagi talenta-talentanya. Pada tahun

1364H/1945M, beliau berhijrah ke Qum, pusat pendidikan keagamaan paling

penting di Iran. Di Qum, beliau berbagi pengetahuan etika, filosofi dan tafsir al-

Qur‟an kepada murid-murid yang sudah mencapai tingkat pengetahuan yang

tinggi. Di sini lah beliau menetap sehingga kewafatan beliau pada tahun

1402H/1981M. Beliau banyak menghasilkan para cendekiawan dan para

pemimpin, dan yang paling masyhur di kalangan muridnya adalah Murtadha

Muthahhari.53

52

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, h. 12 53

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, h. 13

Page 51: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

37

2. Keilmuan dan Karya-Karya al-Ṭabāṭabā„ī

Al-Ṭabāṭabā„ī merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai

disiplin ilmu pengetahuan umum juga keagamaan; meliputi fiqh, usul fiqh,

tasawuf sampai ilmu matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof,

kecenderungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya

intelektualnya, termasuk dalam kitab tafsirnya, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān.

Selain teguh belajar pada ulama-ulama besar, al-Ṭabāṭabā„ī banyak menghasilkan

karya-karya dalam bentuk penulisan. Antaranya adalah :

a. Berbentuk Buku : 1). al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Karya al-Ṭabāṭabā„ī ini

tergolong paling monumental terdiri dari dua puluh jilid. 2). Uṣūl al-

Falsafah wa Rawis Rialism, terdiri dari lima jilid. Dengan pengantar

ekstensif oleh Murtadha Mutahhari. 3). Hāsyisyah bar Asfār, adalah notasi

dari karya Mulla Shadra yang berjudul Asfār. 4). Muṣāhabāt ba Ustād

Qurban, karya terdiri dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab

antara al-Ṭabāṭabā„ī dan Henry Corbin. 5). „Ali wa Falsafah al-Ilāhiyyah.

6). Syi‟ah dar Islām. 7). Qur‟an dar Islam, (Islam Syi‟ah).54

b. Berbentuk Makalah: Risalah dar Hukūmāt Islāmī, Hasyīsyāh Kifāyah,

Risālah dar Qūwwah wa Fi‟īl, Risālah dar Iṡbat Dzāt, Risālah dar Shifāt,

Risālah dar Af‟āl, Risālah dar Insān Qabl al-Dunya, Risālah dar

Nubūwwat, Risālah dar Wilayāt, Risālah dar Musytaqqāt, Risālah dar

Burhān, Risālah dar Tahlīl, Risālah dar Tarkīb dan Risālah dar Nubūwwāt

wa Manāmāt.55

54

Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h. 287 55

Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h. 288

Page 52: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

38

Al-Ṭabāṭabā„ī juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel yang

hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal Maktaba Tasyayyu‟,

Maktab al-Islāmi, Ma„ārif al-Islāmi dan dalam koleksi-koleksi seperti The Mulla

Sadra Commermoration Volume dan Marja‟īyyāt wa Ruhaniyāt. 56

3. Pemikiran al-Ṭabāṭabā‟ī Terhadap Filsafat

„Allāmah Ṭabāṭabā‟ī adalah salah satu filusuf Islam tradisional yang

berpengaruh di Iran Modern dalam kajiannya tentang sifat-sifat Tuhan. Al-

Ṭabāṭabā‟ī lebih condong meng klasifikasikan sifat-sifat Tuhan menjadi dua

bagian, yakni sifat-sifat zat Tuhan dan sifat-sifat perbuatan-Nya. Dengan

klasifikasi demikian, ia kemudian berkesimpulan bahwa hubungan zat Tuhan

dengan sifat-sifat-Nya adalah tidak terpisah karena sifat-sifat zat Tuhan sama atau

identik dengan zat-Nya, sedangkan sifat-sifat perbuatan sebagai sifat-sifat

tambahan atas zat Tuhan.

Karya-karya filsafatnya yang memuat kajian tentang tuhan adalah Bidāyat

al-Hikmah, Nihāyat al-Hikmah, „Ali wa al-Falsafah al-Ilāhiyyah, dan Uṣul al-

Falsafah wa Manhaj al-Waqi‟i. Menurut Mehdi Amin razavi‟, Bidayat al-Hikmah

dan Nihāyat al-Hikmah merupakan karya Filsafat „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī yang

terakhir. Dalam kedua karya tersebut, „Allamah Ṭabāṭabā‟ī mengkaji tentang

metafisika atau yang lazim dikenal dengan istilah al-Ilāhiyyah, uraian „Allāmah

Ṭabāṭabā‟ī tentang Tuhan dibangun didasarkan ucapan-ucapan „Ālī a.s karya ini

56

Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, h.

288-289

Page 53: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

39

bisa disebut dengan syarah atau komentar „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī atas hadis Imam

„Ālī.57

Dalam pemikiran filosofis al-Ṭabāṭabā‟ī tentang Tuhan, makan akan

terlihat sebagai berikut : (1) Bukti yang diajukan oleh „Allamah Ṭabāṭabā‟ī

tentang adanya Tuhan. (2) Pandangan „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī tantang hubungan zat

Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, (3) Pandangan „Allāmah Ṭabāṭabā‟ī tentang

beberapa sifat Tuhan, seperti pengetahuan Tuhan, kekuasaan dan kehendak

Tuhan, hubungan kehendak Tuhan dengan manusia, al-Ināyah, qadha‟ dan qadar,

al-„Ināyah al-Ilāhiyah, serta kebaikan dan kejahatan. 58

4. Penilaian Ulama terhadap al-Ṭabāṭabā‟ī

Mengenai kemampuan al-Ṭabāṭabā‟ī dalam bidang fiqh dan ushul fiqh ini,

Sayyid Ḥusain Naṣr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan

sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid

terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.59

Menurut Rosihon Anwar, al-Ṭabāṭabā‟ī dalam perkembangan tafsir bathini

dikalangan syi‟ah modern, memiliki keunikan sendiri. Beliau berbeda dengan tokoh-

tokoh sebelumnya adalah keterbukaan terhadap pendapat tokoh-tokoh Sunni. Seperti

Jalaluddīn al-Ṣuyūṭi dengan kitab al-Durr al-Manṡūr dan beberapa kitab lainnya yang

dijadikan sebagai rujukannya.60

57

Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī (Relavansi

Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme Insingtif, (Yogyakarta : Rausyanfikr

Insitute, 2004) h. 5 58

Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī (Relavansi

Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme Insingtif) h. 5 59

Sayyid Ḥusain Naṣr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Qur‟an fi al-

Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan, 2009), h. 21 60 Rosihon Anwar, Al-Mīzan : Maha Karya Abad Modern (cuplikan-cuplikan dari buku

menelusuri ruang batin al-qur'an: belajar tafsir batini pada allamah thabathaba'i), (Jurnal LPII

Muthahhari, 3 Juni 2017), h.2

Page 54: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

40

„Ali al-Usi berkomentar, bahwa al-Ṭabāṭabā‟ī telah mengumpulkan berbagai

macam persoalan penting yang dipengaruhi oleh kabanngkitan modern dalam dunia

penafsiran. Beliau melakukan perlawanan dengan musuh-musuh Islam yang secara

sengaja membelokkan pemahaman keislaman yang benar, yang dilandasi atas jiwa

kemasyarakatan yang terlahir dari al-Qur‟an itu sendiri.61

5. Latar Belakang, Sistematika Penulisan Tafsīr al-Mīzān

a. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Mīzān

Sebelum memberikan bahasan latar belakang dan sistematika tafsir al-

Mīzān terlebih dahulu kita akan melihat pada sejarah penulisannya. „Allāmah al-

Ṭabāṭabā„ī, yang pertama kali tiba di Ḥawzah Qum pada 1325 H, menulis dan

memberikan kuliah-kuliah secara intensif mengenai berbegai cabang keilmuan

Islam. Komentar dan penafsiran atas al-Qur‟an adalah salah satu topik diskusinya

yang melibatkan para sarjana dan para sarjana di lingkungan Ḥawzah „Ilmiyyah di

Qum.62

Mengenai maksudnya menulis tafsir al-Mīzān, „Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī

sendiri menyatakan bahwa ketika ia datang dari Tabriz ke Qum, ia mempelajari

dan melihat adanya berbegai kebutuhan dalam diri masyarakat Islam, termasuk

berbagai situasi yang melingkupi lembaga di Qum ini.

Setalah itu ia sampai pada kesimpulan bahwa lembaga tersebut amat

membutuhkan satu tafsir atas al-Qur‟an untuk mendapatkan sebuah pemahaman

yang lebih baik dan intruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna tersirat

dalam teks yang paling penting dan paling tinggi kedudukannya di dalam Islam.

61

Sayyid Ḥusain Naṣr, “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-Qur‟an fi al-

Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan, 2009), h. 22 62

Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam, No. 8. (Bandung: Yayasan Muthahari 1993) h. 2-3

Page 55: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

41

Di sisi lain, karena gagasan-gagasan materialistik telah sangat mendominasi, ada

kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan

Ḥawzah tersebut mengelaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrial dalam

Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka

mempertahankan posisi Islam.63

Karena alasan di atas, al-Ṭabātabā‟ī kemudian berasa berkewajiban dengan

pertolongan Allah untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kuliah-kuliah

mengenai tafsir kemudian dipersiapkan dalam kerangka ini. „Allāmah Ṭabātaba‟i

telah beberapa kali memberikan mengenai seluruh kandungan al-Qur‟an kepada

muridnya. Dan di antara kuliah-kuliah itulah ia menuliskan tafsirnya. Selama

diselanggarakan kuliah yang cerdas ini, kemungkinan ia telah menuliskan

materinya dalam bentuk prosa yang padat namun indah, yang belakangan

diterbitkan beberapa volume.

Edisi pertama al-Mīzān ditulis dalama bahasa Arab dan diterbitkan di Iran

dan kemudian di Beirut. Sampai saat ini telah lebih dari tiga edisi yang dicetak di

Iran dan sejulah besarnya lainnya di Beirut. Hanya sedikit sekali perpustakaan,

dapat di jumpai beberapa volume tafsir al-Qur‟an ini.64

Teks Asli al-Mīzān dalam bahasa Arab ini seluruhnya terdiri atas dua

puluh volume, dan setiap volume terdiri atas sekitar empat ratus halaman

berukuran besar. Tafsir ini dimaksudkan agar mereka yang tertarik membaca tafsir

akan mendapatkan pengetahuan memadai dari ajaran-ajaran yang dikandungnya.

Beberapa orang murid al-„Allāmah al-Ṭabāṭabā„ī telah menerjemahkan karya ini

63

Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam, h. 3 64

Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam, h. 12

Page 56: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

42

ke dalam bahasa Parsi langsung dibawah arahan dan bimbingan penulisnya. Setiap

volume diterjemahkan ke dalam dua volume berbahasa parsi, sehingga jumlah

seluruhnya menjadi 40 volume. Tanggung jawab penerjemahan ini sebagian

dibebankan kepada „Aqā Sayyid Muḥammad Bāqīr Musāwi Ḥamdānī. Agar

seluruh penerjemah ini memiliki gaya pengungkapan yang seragam yang sangat

mungkin akan mempengaruhi kemampuan bacaanya.65

Tafsir al-Qur‟an yang disusun oleh al-Ṭabāṭaba‟ī yang dikenal dengan al-

Mīzān yang berarti timbangan, keseimbangan atau moderasi, al-Ṭabāṭaba‟ī tidak

menjelaskan mengapa tafsirnya ini dinamai al-Mīzān namun menurut al-„Usīy,

kemungkinan karena diungkapkannya berbagai pikiran dan pendapat di dalam al-

Mizan, kemudian berbagai pendapat dan pikiran itu diuji dan diseleksi, baik untuk

saling menguatkan atau koreksi terhadap salah satunya, setelah mengemukakan

berbagai pendapat tersebut, al-Tabāṭaba‟ī memilih atau menimbang pendapat yang

kuat untuk kemudian dipilih sebagai penafsirannya.66

Adapun motivasi yang mendorong al-Ṭabāṭabā„ī untuk menulis kitab

tafsirnya, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, adalah karena keinginannya mengajarkan

dan menafsirkan al-Qur‟an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada

masanya. Hanya saja, al-Ṭabāṭabā„ī dalam penulisan kitab tafsirnya ini

memerlukan sebuah proses yang sangat panjang, yang dimulai dari ceramah-

ceramahnya yang disampaikannya kepada para mahasiswa di Universitas Qum,

Iran. Atas desakan para mahasiswanya, beliau mengkodifikasikan jilid I pada

65

Abū al-Qāsim al-Razzāqi, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam, h.13 66

Wahyono Abdul Ghofur, Millāh Ibrāhim Dalam al-Mīzān Fi Tafsīr al-Qur‟ān, Thesis

Doctoral, Pascasarjana. (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2007), h.87.

Page 57: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

43

tahun 1375H/1956M. Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun

1392H/1972M, al-Ṭābaṭabā‟ī berhasil menyusun keseluruhan kitab tafsirnya.67

b. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Mīzān

Secara umumnya, sistematika yang dipakai oleh al-Ṭabātabā„ī dalam karya

tafsirnya ini, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistematika yang

dipergunakan oleh para mufassir pendahulunya dalam karya-karya tafsir mereka.

„Alī al-Awsīy memetakan sistematika yang dipakai al-Ṭabātabā„ī dalam

menyusun kitab tafsirnya ini.68

Di antaranya, yang bisa disebutkan di sini adalah,

pertama, al-Ṭabātabā„ī dalam membicarakan satu topik, beliau membagi ayat-

ayat dalam satu surat yang akan ditafsirkan menjadi kelompok tersendiri. Terlepas

dari ayat tersebut masuk dalam kelompok satu surat atau tidak. Sehingga

terkadang dalam menafsirkan, al-Ṭabātabā„ī memotong satu ayat atau sebagian

ayat, bahkan sebanyak dua puluh ayat. 69

Dalam beberapa hal ketika menafsirkan, al-Ṭabātabā„ī mengikuti sistem

yang dilalui oleh mufassir terdahulu. Pada permulaan penafsiran di awal surat, al-

Ṭabātabā„ī telah menetapkan paradigma yang dipergunakan untuk memotret

makna ayat tersebut. Yakni dengan cara memadukan ayat-ayat tersebut dalam satu

surat. Karena dalam pandangannya, juga pandangan para mufassir modern, bahwa

dalam satu surat tidak hanya membicarakan tentang satu topik saja. Namun ada

bermacam masalah yang dipaparkan oleh ayat-ayat dalam surat tersebut,70

serta

berbagai solusi untuk setiap masalah yang terkandung di dalamnya. Begitu pula

67

http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/tafsir-al-mizan.html. Dikutip pada

tanggal 1 Semptember 2018. 68

„Alī al-Awsīy, “Muqaddimah” al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān, (Beirut: Mu‟assasah al-

A‟lāmi li al-Matbū‟ah, 1973), h. 114-121. 69

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 121. 70

Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 16.

Page 58: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

44

dalam memaparkan riwayat, dalam satu surat, terkadang al-Ṭabātabā„ī

menjelaskannya terlalu jauh.71

Tidak jarang, al-Ṭabātabā„ī menggunakan metode diskusi ketika

menafsirkan suatu ayat, sambil membeberkan pendapat para ulama klasik pada

ayat yang sedang dikaji.72

Selain itu, ketika mengutip pendapat mereka, para

ulama, terutama dalam bahasan riwaiy, terkadang dia mengomentari riwayat

tersebut, baik menguatkannya atau sebaliknya, atau untuk memperkokoh

pendapatnya sendiri, seperti dalam pembahasan tentang asbāb al-Nuzūl.73

Al-Ṭabātabā„ī dalam tafsirnya ini, seringkali mengangkat isu yang paling

aktual dan kontemporer yang juga menjadi isu Dunia Islam, yaitu mengangkat

moral umat manusia, khususnya Islam, untuk melepaskan diri dari setiap bentuk

paganisme. Tafsir bercorak seperti ini yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di

era informasi ini. Suatu era di mana umat Islam sepertinya telah hilang

“pegangan”, karena terlalu bergantung pada hasil pemikiran sekularis. Akibatnya,

Dunia Islam terlanjur dicemari oleh bermacam ideologi asing yang seringkali

mengganggu pemikiran umatnya sendiri.74

6. Manhāj, Corak dan Sumber penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī dalam Tafsīr al-

Mīzān

Semenjak kepindahannya ke kota Qum, al-Ṭabātabā„ī banyak

menyampaikan kuliah-kuliah di bidang tafsir kepada murid-muridnya. Namun

kemudian murid-muridnya tersebut meminta al-Ṭabātabā„ī untuk membuat

71

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 10, h. 243, jilid 11, h. 206 72

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 2, h. 378. 73

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid I, h. 193. 74

Iffāt Muḥammad al-Syarqāwiī Illijahal al-Tafsīr Miṣr wa al-„Aṣr al-Ḥādiṡ, (Kairo:

Maṭba‟ah al-Kaylāni, 1972), h. 189.

Page 59: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

45

semacam karya tulis khusus di bidang tafsir. Atas desakan tersebut, akhirnya al-

Ṭabātabā„ī memulai penulisan khusus di bidang tafsir semenjak tahun

1375H/1956M dan selesai pada tahun 1375H/1972M, sebanyak 20 jilid. Penulisan

kitab tafsir ini membutuhkan waktu selama 17 tahun.

Mengenai metode penafsiran al-Qur‟an, al-Ṭabātabā„ī mengemukakan tiga

cara yang bisa dilakukan untuk memahami al-Qur‟an. Pertama, menafsirkan suatu

ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur‟an

dengan hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci. Ketiga,

menafsirkan al-Qur‟an dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan.

Di sini hadis dijadikan sebagai tambahan. Tampak dari uraian-uraian yang telah

disampaikan bahwa tafsir ini menggunakan metode tahlilī. Semua asumsi pada

bentuk penafsiran al-Ṭabātabā„ī meliputi:75

a. Dalam kitab tafsirnya, al-Ṭabātabā„ī memasukkan rujukan-rujukan

yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah,

tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan

di kalangan Syi‟ah saja.

b. Al-Ṭabātabā‟ī menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain

selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam

ayat-ayat tersebut. Beliau juga memasukkan riwayat-riwayat yang

membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik

yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.

c. Perhatian terhadap masalah asbāb al-nuzūl, masalah qirāat, kaitan

suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munāsabah), juga

75

„Alī al-Awsī, “Muqaddimah” al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān”, h. 124.

Page 60: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

46

mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi‟in

menjadi pertimbangan al-Ṭabātabā„ī ketika menafsirkan suatu ayat.

d. Penolakan terhadap kisah-kisah Isrāīliyyat dilakukan al-Ṭabātabā„ī,

sehingga beliau jarang mengutip kisah Isrāīliyyat ketika menafsirkan

al- Qur‟an.

e. Menurut beliau, setiap ayat al-Qur‟an dapat dipahami dari dua sisi,

yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian

disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat

atau makna yang terdapat di balik teks ayat yang disebut aspek batin.

Beliau menggunakan istilah ta‟wīl dalam kitab tafsirnya, untuk

maksud mengarahkan kembali pada permulaan pada permulaan atau

asalnya. Dengan ta‟wīl berarti berusaha memahami rahasia batin teks

sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia

batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta‟wīl

hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam

menerjemahkan agama, menurut al-Ṭābaṭabā‟ī adalah Nabi saw dan

para imam Ahl al-Bayt.76

f. Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya

pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan

pendapat-pendapat al- Farābi dan Ibn Sinā, selama pendapat tersebut

sesuai dengan maksud ayat. Hal ini dilakukan oleh beliau hanya

sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang beliau menolak pendapat-

76

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Mengungkap Rahasia al-Qur‟an (Bandung: Mizan,

1994), h. 47

Page 61: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

47

pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung

dalam al-Qur‟an.

Dengan berlatar belakang teologis Syi‟ah, al-Ṭabāṭabā„ī berusaha

menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi‟ah Imāmiyah

serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.

Corak penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī menurut kesepakatan bersama bahwa

coraknya berhubungan dengan subtansi atau isi tafsir, yakni meliputi tafsir fiqhi

(membahas masalah fiqih), tafsir falsafi (menggunakan metode filsafat termasuk

ilmu kalam), tafsir „Ilmī (membahas ilmu pengetahuan umum), dan tafsir Adābi

Ijtima‟ī (masalah sosial kemasyarakatan).77

Mengenai corak penafsiran al-Mizān

fī Tafsīr al-Qur‟an dapat dikategorikan sebagai tafsir yang multi disipliner. Akan

tetapi ada yang berpendapat bahwa corak penafsirannya adalah tafsir I„tiqādī.

Meskipun al-Ṭabāṭabā„ī banyak yang melakukan perbandingan pendapat-pendapat

„ulama‟ pada akhirnya menomorsatukan pendapat para Imam ahl al-Bait. Hal itu

terlihar dari rujukan-rujukan dari al-Ṭabāṭabā„ī.

Sumber Penafiran al-Ṭabāṭabā‟ī dari beberapa literatur yang digunakan

dalam menyusun tafsirnya mencapai 135 judul meliputi buku, kamus, majalah dan

koran telah dikelompokkan oleh al-Ūsiy menjadi beberapa kategori.78

Pertama, tafsir. Literatur tafsir yang beliau gunakan meliputi tafsir klasik

dan modern dari berbagai aliran, seperti tanwīr al-Miqbas yang dinisbatkan

kepada „Ibn „Abbās, al-Kasyāf karyanya al-Zamakhsyāri dan kitab-kitab lainnya.

Kedua kamus, seperti al-Shihah, Lisan al-„Arab. Ketiga, kitab-kitab hadis rijal

77

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Jilid 4, h. 100 78

Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas Pemikiran

Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado, h. 25-27

Page 62: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

48

al-Hadis dari kalangan Sunni dan Syi‟ah seperti Taḥzīb al-Taḥzib karya Ibn Ḥajar

al-„Asqālani, al-Ihtijaj karya al-Ṭibrisy dan lain-lain. Keempat, kitab-kitab Suci

seperti Injil, Avesta (kitab suci agama Zoroaster), Risalah Paulus, Taurat Sawa‟i

(salah satu kitab suci kristen Ortodok Romawi), dan Weda. Kelima, buku-buku

sejarah baik yang ditulis oleh orang Islam maupun non Islam, seperti Tarikh al-

Ṭabāri karya Ibn Jarir al-Ṭabāri, Tarikh Tamdun Islam karya Kristor Liang dalan

lain-lainya. Keenam, Pengetahuan Umum, seperti al-Umm karya al-Syāfi‟ī, Ihya

Ulumuddin karya al-Ghazali, dan kitab-kitab lainnya. Dan ketujuh adalah koran

dan majalah yang dikutip al-Ṭabāṭabā‟ī, terutama mengenai beberapa peristiwa

dan informasi ilmiah, seperti koran Itla‟iyyah al-Irāniyyah, dan lain-lain

sebagainya. 79

7. Pendapat Ulama terhadap Tafsīr al-Mīzān

Dalam tafsir al-Mīzān, al-Ṭabāṭabā„ī mengutip banyak penjelasan riwayat

tentang makna sebagian kosa kata dalam al-Qur‟an. Irsyād al-„Aql al-Sālim Ilā

Mazāya al-Muḥammad al-Karīm (Tafsir Abū al-Su„ūd) karya Abū al-Su„ūd

Muḥammad al-Imādi. Dari kitab ini al-Ṭabāṭabā„ī mengutip hanya dua riwayat.

Ruh al-Ma‟āni fī Tafsīr al-Qur‟ān karya Syihabuddīn al-Sayyid Maḥmūd al-

Alūsī. Dari kitab ini al-Ṭabāṭabā„ī mengutip banyak riwayat sebagaimana ia

lakukan dari tafsīr al-Rāzī. Namun ia juuga melakukan banyak kritikan terhadap

riwayat-riwayat tersebut.

Al-Rūmi menilai bahwa tafsir al-Mīzān merupakan karya paling penting

dikalangan Syi‟ah Iṡnā „Asyariyah pada abad ke-14 H karena berusaha menyorot

79

Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas Pemikiran

Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado, h. 25-27

Page 63: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

49

al-Qur‟an dari berbagai perspektif, mulai filsafat, sastra, sejarah, riwayat, dan

kemasyarakatan. Seandainya tidak dipengaruhi oleh ajaran Syi‟ah, menurutnya

kitab tafsir ini merupakan yang terbaik diantara tafsir-tafsir yang ada,

sebagaimana al-Kasyāf seandainya tidak terpengaruhi ajaran Mu‟tazilah.80

Sementara itu para sarjana dan kaum sūfī lainnya juga mengungkapkan hal

yang sama mengenai karya ini. setiap upaya untuk membahas karya ini adalah

seperti berusaha mewadahi Samudera Atlantik dalam sebuah cawan kecil. Tafsir

al-Mīzān karya al-Ṭabāṭabā„ī tersebut juga dikenal sebagai tafsir yang sangat

istimewa karena kualitasnya. Tidak hanya diantara buku-buku yang sejenis, tapi

juga diantara berbagai jenis buku keislaman baik agama, ilmu, filsafat, dan

terlebih lagi dalam bidang tafsir yang pernah ditulis oleh sarjana Sunni dan

Syi‟i.81

Murtadha Muthahhari, pernah mengatakan bahwa tafsir al-Mīzān adalah

karya terbesar yang pernah ditulis sepanjang sejarah kejayaan Islam, dan

diperlukan waktu 60 hingga 100 tahun sampai orang menyadari kebesaran karya

„Allāmah Ṭabāṭabā‟ī. Para sarjana ahli dan kaum sūfī lainnya juga

mengungkapkan hal yang sama mengenai karya ini. 82

80

Faḥd „Abd al-Raḥmān Ibn Sulaimān al-Rūmi, Ittihājat al-Tafsir fī al-Qarn al-Rābi‟

„Asyār, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1414 H) h. 249 81

Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam h.5 82

Abū al-Qāsim al-Razzāqī, Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul Gustina, al-

Hikmah Jurnal Studi Islam h.5

Page 64: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

50

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TAQIYYAH

A. Sekilas Mengenai Taqiyyah

1. Pengertian Taqiyyah

Taqiyyah dalam kamus Lisan al-„Arab diambil dari kata ىقات ىوقوت bermakna,

,وترذ:حاء قتوة يقتىوق ت ويقتأو ويقت أ وتي قت وءيالش تيقت إ yang artinya saya mewaspadai

dan berhati-hati dengan sesuatu yang mengerikan.1 Dan dalam kamus Mu„jam

Maqāiṣ al-Lughah kata taqiyyah ini adalah يقو (al-Wāwu, al-Qāf, wa al-Yāi) kalimat

satu yang menunjukkan atas menolaknya sesuatu dari sesuatu yang lainnya.

Contohnya, وي ق و ويق أو تيق و مةايقوال ا. ي : الشقا وئيى ت الل قات . وق و: . Jadikan

diantaramu dan diantaranya seperti al-Wiqāyah (perlindungan atau penjagaan).2

Sedangkan dalam kamus al-Munawir, taqiyyah isim dari kata ىقت ي -ىقت إ-اء قت إ . Huruf ta‟ pada kata itu menggantikan huruf waw. Asalnya adalah dari al-

Wiqāyah yang berarti pemeliharaan atau perlindungan.3 taqiyyah juga diambil dari

isim masdar (اءقت لأ) , yakni penjagaan :

هررضنموظفاير اتسذات ذإ,ويقت ي يءالش لجىالر قت إ:القي

“Dikatakan : seseorang „Ittaqā Syayan‟ apabila dia menjadikan sesuatu

sebagai penutup yang menjaganya dari bahaya.”

1 Muḥammad bin Makrām bin Manzūr al-Afrīqī al-Misri, Lisān al-Arab, (Beirut : Dāru al-

Ṣadīr) Jilid 5, h. 402 2 Aḥmad bin Fāris al-Rāzi, Mu„jam Maqāisy al-Lughah, (Beirut : Dāru al-Fikr, 1979) Cet. 6

h. 131 3 Adib Bisri dan Munawwar A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab: Arab-Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Profresif, 1990), h. 75

Page 65: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

51

Taqiyyah juga didefinisikan sebagai berikut:

وفلخهر مضيانكنإ,وهرهظايبوسفن انسنلياقت ي نأةي قالت ن إ

“Sesungguhnya taqiyyah adalah penjagaan seseorang atas dirinya dengan

menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ada di dalam

hatinya.4

Taqiyyah secara istilah berasal dari kata “Ittaqaitu Syai‟ān”, yang berarti

menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati, ataupun berarti

meninggalkan sesuatu yang wajib demi memelihara diri atau menghindar dari

ancaman atau gangguan. Orang-orang Arab biasa menggunakan kata taqiyyah dengan

kalimat “Tuqāh”.5 Taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah merupakan mafhūm Qur‟an

yang diambil dari surat Āli „Imrān [3] ayat 28:

لكف ليسمنالل ومني فعلذ مندونالمؤمنني أولياء لي ت خذالمؤمنونالكافرين

أنشيء المصيت ت قواإل ن فسووإلالل همت قاة ويذركمالل من

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali

dengan meninggalkan orang-orang mukmin, barang siapa yang berbuat

demikian niscaya lepaslah ia dari wilayah Allah, kecuali karena (siasat)

menjaga diri (tattaqu) berasal dari akar kata yang sama dengan taqiyyah dari

sesuatu yang ditakuti dari mereka.”

Ayat ini dengan tegas membolehkan seseorang ber-taqiyyah

(menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran) demi menjaga dirinya

dari gangguan kufur. Dari definisi di atas ditegaskan bahwa taqiyyah berbeda dengan

4 Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para

Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), (Jakarta Selatan:

Ahlu al-Bait Penerbit Indonesia, 2012), h. 80 5 Tim penulis Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syia‟h Dalam Ukhuwah?,

Jawaban Atas Buku Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Jawa

Timur: Sidogiri Penerbit, 2016), h. 301

Page 66: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

52

nifaq. Nifāq juga merupakan istilah Qur‟āni yang bermakna: menyembunyikan

kekufuran dan menampakkan keimanan. Sementara taqiyyah adalah sebaliknya

menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran demi keamanan dan tujuan

baik lainnya.6 Karena Firman Allah menerangkan siksanya terhadap orang-orang

munafik dalam QS. al-Nisā„ [4] ayat 145 :

فلمنالن ارولنتدلمنصي اإن المنافقني الد ركالس

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang

paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang

penolongpun bagi mereka.

Sebenarnya, doktrin ini memiliki preseden rujukan dalam Islam. Bahwa, pada

masa Nabi saw, taqiyyah mamang digunakan dalam keadaan terpaksa saat

menghadapi orang-orang kafir. Al-Qur‟an membenarkan seseorang mengucapkan

kata-kata-kufur, jika terancam jiwa, badan, atau harta bendanya.7 Dalam al-Qur‟an

dijelaskan:

إميانو ب عد من بلل كفر أكرهمن من بلكفرإل شرح من ولكن ميان بل مطمئن وق لبو

ولمعذابعظ يمصدر اف عليهمغضبمنالل

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang

melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya

dan baginya azab yang besar (QS. al-Naḥl [16] : 106)

6 Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para

Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 80 7 Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syi‟ah Dalam Ukhuwah?, Jawaban Atas Buku

Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), h. 302

Page 67: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

53

Dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan, bahwa ayat ini turun menyangkut

kasus sahabat Nabi saw. „Ammār bin Yāsir ra, yang mengucapkan kalimat kufur

karena dipaksa oleh kaum Musyrik untuk mengucapkannya, dan jika menolak maka

akan dibunuh, sebagaimana mereka telah membunuh kedua orang tuanya. Akibat

desakan tersebut, „Ammār mengucapkan kalimat kufur, dan ketika dia

menyapampaikan halnya kepada Rasulullāh saw. Maka turunlah ayat di atas

membenarkan sikapnya, dan Rasulullāh saw berpesan kepadanya: “Kalau mereka

kembali mengancamu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur, selama

hatimu tetap tenang dalam keimanam”.8

Ayat ini menjadi dalil tentang kebolehannya mengucapkan kalimat kufur atau

perbuatan yang mengandung makna kekufuran, seperti sujud kepada berhala, saat

dalam keadaan terpaksa, walaupun menurut sementara ulama, menyatakan dengan

tegas keyakinan, justru lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh orang kedua tua

„Ammār itu. Termasuk juga dalam izin di atas melakukan perbuatan yang bersifat

kedurhakaan, seperti meminum khamr dan semacanya, kecuali membunuh bila tidak

membunuh, belum tentu terlaksana.

Taqiyyah dalam pandangan Islam menurut sebagian Ulama, berlaku hanya

terhadap bahaya yang datang dari orang kafir saja. Misalnya saja penafsiran Ibn Jarir

al-Ṭabārī sebagaimana dikutif oleh Naṣ bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī berkenan

dengan penafsiran beliau terhadap firman Allah surat Āli „Imrān [3] ayat 28 diatas,

8 Buku Pustaka Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syi‟ah Dalam Ukhuwah?, Jawaban Atas Buku

Dr.Quraish Shihab (Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)., h. 302

Page 68: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

54

beliau berpendapat bahwasanya taqiyyah yang dijelaskan Allah dalam ayat itu

sesungguhnya taqiyyah dari orang kafir, tidak selain mereka.9

Taqiyyah bukannya hanya istilah yang digunakan oleh orang Syi‟ah. Bahkan

bisa dikatakan bahwa bolehnya taqiyyah merupakan ijma‟ para ulama besar Ahl al-

Sunnah seperti pendapat dari Ibnu Katsīr yang menyakini ijma‟ ulama bahwa

taqiyyah diperbolehkan bagi “al-Mukrah” (orang yang terpaksa).

وتج هماءقب إالوي نأولزويرفكىاللعاهركلان أ ىلعاءمللعاقفت :إري ثكنبإلوقي

كمكبينأولزوي,و للبن ا

Ibnu Katsir berkata, “Para Ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa

menyatakan kekufuran, maka diperbolehkan (menyatakan kekufuran) demi

menjaga keselamatan dirinya sebagaimana juga boleh menolaknya seperti

sikap Bilal (r.a).”10

Taqiyyah ini merupakan dispensasi (rukhṣah) dari Allah swt. Itu pun ketika

ada hal yang sifatnya darurat. Menurut „Ibn Munẓīr bahwa orang yang dipaksa untuk

kafir sehingga dirinya merasa takut akan dibunuh, kemudian ia berbuat kekafiran

sementara hatinya tenang dalam keimanan, sesungguhnya ia tidak dihakumi sebagai

orang kafir. Akan tetapi orang yang memilih tetap teguh, diam dalam

mempertahankan keimananan, sekalipun nyawanya itu lebih utama.11

9 Naṣir bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushū al-Mażhāb al-Syī‟ah: al-Imāmiyah al-Iṡnā

„Asyariyah, 1994, cet-2 jilid II, h. 804 10

Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para

Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 82 11

Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah

dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 151

Page 69: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

55

2. Sejarah Munculnya dan Perkembangan Taqiyyah

Dalam perjalanan sejarah hidup manusia, praktek taqiyyah ini tidak bisa

dipisahkan dengan sejarah manusia mencari kehidupan yang dipenuhi rasa aman dan

nyaman. Secara doktrial tekstual, ajaran taqiyyah ini sudah dijelaskan secara eksplisit

dalam beberapa ayat al-Qur‟an, dalam perjalanan sejarah taqiyyah sering digunakan

oleh golongan Syi‟ah, karena golongan mereka yang minoritas dan seringkali

mengalami kecaman dan penindasan di bawah rezim yang memusuhi keyakinan

mereka. Pendirian golongan Syi‟ah mengenai praktek taqiyyah didasarkan pada

pertimbangan rasional, yaitu saran untuk berhati-hati sebagai kelompok yang

tertindas. Maka, satu-satunya jalan bijaksana yang mesti mereka tempuh adalah

menghindari diri dari tindakan-tindakan yang akan menghadapkan diri mereka

daripada kerusakan karena mempertahankan keyakinan-keyakinan mereka secara

terang-terangan. Meskipun mereka tidak pernah meninggalkan misi mereka jika

peluang itu ada. Hal ini dalam rangka untuk memberi kesadaran kepada kaum

Muslimin dengan jalan memberontak terhadap penguasa-penguasa yang zalim.12

Kelompok Syi‟ah adalah kelompok yang sering dianiaya oleh penguasa, sejak

masa Umayyah dan berlanjut oleh penguasa, sejak masa Umayyah dan berlanjut

sampai dengan dinasti-dinasti sesudah mereka, maka dapat dimengerti jika Syi‟ah

secara umum mengakui dan mempraktikkannya. Motivasi dan dasar penggunaannya

berbeda-beda antara satu kelompok-kelompok yang lain. Hal ini perlu ditegaskan

karena pada prinsipnya semua umat Islam, termasuk Sunni, mengakui akan adanya

12

Nourouzzaman Shiddiqi, Syi‟ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:

PL2M, 1985), h. 40.

Page 70: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

56

izin Allah untuk melakukan kegiatan memelihara diri dari ancaman atau

menghindarkan diri dari terjerumus dalam bahaya.13

Mayoritas Sunni yang sebagian besar menentang kehadiran Syi‟ah. Umumnya

pengikut Syi‟ah tidak akan menanpakkan ajaran-ajaran mereka, maupun identitas

dirinya sebagai pengikut Syi‟ah. Sikap menyembunyikan ajaran dan identitas sebagai

yang dilakukan Syi‟ah itulah yang dijadikan landasan penyebutan tentang taqiyyah.

Taqiyyah yang dilakukan Syi‟ah itu didasari motif untuk menghindari konflik terbuka

dengan mayoritas Sunni yang belum bisa menerima (perbedaan) dengan mazhab

Syi‟ah. Taqiyyah hanya dilakukan dalam situasi di mana penganut Syi‟ah merupakan

kelompok minoritas yang menghadapi tekanan-tekanan dari mayoritas Sunni. Strategi

menyembunyikan diri tidak menampakkan ajaran identitas Syi‟ah juga dimaksudkan

untuk menghindari tekanan maupun penindasan dari Sunni. Dengan strategi semacam

ini Syi‟ah berharap dapat mempertahankan eksistensi kelompok dan mazhab

pemikirannya, sembari bisa tetap hidup berdampingan secara damai khususnya

dengan mayoritas Sunni yang menurut mereka tidak menyukai kehadiran Syi‟ah dan

yang ingin menyingkirkannya.14

Syi‟ah menganggap bahwa taqiyyah merupakan hal yang diperbolehkan oleh

Islam. Seorang Muslim yang lemah dan tertindas boleh menyangkal keimanannya,

sebagaimana yang dialami oleh sahabat Rasulullāh saw yaitu „Ammār Ibn Yāsir.

„Ammār Ibn Yāsir pada waktu itu menghadapi penyiksaan dari orang-orang kafir

13

Muhammad Quraish Shihab, Sunnah Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian

Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Tanggerang: Lentera Hati, 2014), Edisi Revisi, h. 200. 14

Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2000) cet, 1 h.

115

Page 71: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

57

Quraisy yang memaksanya mengakui Tuhan mereka. Dalam kondisi terancam

jiwanya „Ammār Ibn Yāsir terpaksa ber-taqiyyah dengan mengakui secara lisan tuhan

dari kaum kafir Quraisy, meskipun hati nuraninya (keimanannya) memungkirinya.

Disamping „Ammār Ibn Yāsir, al-Qur‟an pun menyebut tentang salah seorang

anggota keluarga Fir‟aun yang menyembunyikan keimanannya.15

Menurut Syi‟ah kasus klasik mendefinisikan praktik taqiyyah juga apa yang

dilakukan „Alī Ibn Abī Ṭālib, sepupu Nabi Muḥammad saw, yang di mana kaum

Syi‟ah merupakan pewaris tunggal dan terpilih dari Rasulullāh saw, bukannya segera

menuntut haknya yang diberikan oleh Tuhan untuk memimpin masyarakat Muslim.

„Alī malah tidak menafikan kekuasaan sejumlah musuhnya dengan maksud

melindungi diri dan pada akhirnya untuk mendapatkan ketentraman. „Alī ra

bersumpah setia kepada para pemimpin palsu yang dikutuk Syi‟ah sebagai kaum

bid‟ah. Dan diamnya „Alī ra sepanjang masa kekhalifahan sebelumnya itu hanya

kerena mempraktikkan pringsip taqiyyah.16

Kasus selanjutnya, yaitu pada masa Imām Ja„fār al-Ṣādiq (w,765), gerakan

bahwa tanah pro Syi‟ah yang meluas telah memanfaatkan taqiyyah untuk

menyembunyikan aktifitas revolusioner. Imām Ja„fār sebaliknya, mendesak

pengikutnya untuk menerima status minoritas mereka secara damai, dan sebagai ganti

15

Disebutkan dalam Surat al-Mu‟mīn ayat 28. “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara

pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh

seorang laki-laki Karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia Telah datang kepadamu

dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta Maka dialah

yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana)

yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-

orang yang melampaui batas lagi pendusta. 16

Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an, Cet-I, h.135

Page 72: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

58

terhadap aksi pemberontakan, mempraktikkan bentuk taqiyyah permanen yang

kemudian menjadi doktrin quietism (kebungkaman) dalam agama.

Sesudah Imām Ja„fār, situasi penganiyaan tanpak ataupun tidak mendorong

meningkatnya kebergantungan pada konsep ini, yang ada pada akhirnya mengarah

pada hilangnya Imam terakhir dari Syi‟ah dua belas Imam sebuah tindakan yang

dianggap oleh kalangan Syi‟ah terntentu sebagai pelaksanaan puncak dari taqiyyah,

gagasan kemudian menjadi: “Hilang munculnya kembali sang Imam, seluruh masa

yang datang belakangan merupakan zaman taqiyyah”. Pengembangannya lebih jauh

terhadap pringsip ini mengizinkan mereka tidak hanya melakukan perlawanan pasif

atau diam-diam, melainkan menyembunyikan secara aktif keyakinan mereka yang

sesungguhnya demi melindungi nyawa, harta, dan agama mereka.17

Dikursus moderenitas tentang taqiyyah pun kian berputar-putar sebagai arus

utama (mainstream) mengenai syarat-syarat yang menjadikan taqiyyah sebagai

sebuah kewajiban agama atau hanya membolehkan pemakaiannya tanpa

menimpakkan kesalahan pada diri seseorang. Kecenderungan untuk mengklaim

bahwa jalan yang lebih mulia ialah menghindari kelakuannya, apabila sepenuhnya

mungkin, hampir selalu ada. Konsensus modern, yang didasarkan tradisi yang

sinambung literature hukum, ialah sebagai berikut: taqiyyah tidak boleh dilakukan

secara langsung akan mengakibatkan kematian Muslim yang lain; Taqiyyah menjadi

kewajiban hanya apabila terdapat bahaya yang jelas yang tidak terhindari dan tak ada

harapan lagi untuk melawannya, dan taqiyyah diperbolehkan (dibebaskan hukumnya)

17

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V, h. 348

Page 73: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

59

harapan lagi untuk melawannya, dan taqiyyah diperbolehkan (dibebaskan hukumnya)

di hadapan bahaya yang mengancam jiwa sendiri, jiwa anggota, keluarga, hilangnya

kehormatan wanita anggota keluarga, atau terampasnya mata pencarian. Beberapa

kasus menginzinkan syarat-syarat kelayakan tertentu, namun perilaku umunya adalah

taqiyyah merupakan wilayah yang kendati boleh dilakukan tanpa dipersalahkan, lebih

baik dan lebih mulia untuk tidak dilakukan18

Menurut salah satu seorang penganut Syi‟ah Indonesia, sikap taqiyyah di

Indonesia ini perlu dikembangkan mengingat sebagai besar muslim di Indonesia

didominasi oleh fanatisme Sunni, maka selama itu pula mereka akan ber-taqiyyah

untuk menghindari konflik terbuka. Bagi Syi‟ah taqiyyah itu perlu demi menjaga

kerukunan, keharmonisan, keutuhan, dan persatuan umat Islam (Ukhuwah

Islāmiyyah) pada umumnya. Dengan kata lain, dari pada memicu konflik untuk

mengancam ukhuwah dan mengandung efek disintegrasi internal di kalangan umat

Islam sendiri mereka lebih baik ber-taqiyyah.19

Lebih jauh lagi taqiyyah juga menjadi strategi politik untuk konsolidasi

menggalang kekuatan di dalam kelompok Syi‟ah sendiri. Tersusunya jalinan kerja

sama di antara berbagai yayasan Syi‟ah di Indonesia dan rekrutmen kader-kader

Syi‟ah dari kalangan muda adalah salah satu keberhasilan taqiyyah.20

Dapat dilihat

pula bagaimana para pengikut aliran-aliran teologis Islam secara „am-nya berpegang

dengan pringsip taqiyyah ini, yang berbeda hanya gambarannya saja.

18

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V, h. 348 19

Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, Cet-I, h.115 20

Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia, Cet-I, h.115

Page 74: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

60

3. Pembagian Taqiyyah

Dilihat dari buku putih mazhab Syi‟ah dengan pengatar Muhammad Quraish

Shihab menjelaskan ulama Syi‟ah membagi taqiyyah ditinjau dari sisi tujuannya

menjadi dua bagian, yaitu taqiyyah makhātiyah dan taqiyyah mudarātiyah. Taqiyyah

makhātiyah yaitu taqiyyah karena takut bahaya sedangkan taqiyyah mudarātiyah

yaitu taqiyyah yang ditunjukkan untuk menjaga perasaan orang yang berbeda

dengannya, demi terjalinnya hubungan baik antarkeluarga atau umat yang berbeda,

untuk menghindarkan fitnah yang dapat meresahkan masyarakat atau demi

terealisasinya persatuan umat Islam.21

B. Syi’ah

1. Pengertian Syi‟ah

Syi‟ah secara etimologi berarti pengikut, pecinta, pembela, yang ditujukan

kepada ide, individu atau kelompok tertentu. Syi‟ah dalam arti kata lain dapat

disandingkan juga dengan kata tasyaiyu‟ yang berarti patuh/menaati secara agama

dan mengangkat kepada orang yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa

keraguan.22

Syi‟ah dalam Bahasa Arab : شيعة dan Bahasa Persia: شيعه ialah salah satu

aliran atau mazhab dalam Islam. Syi‟ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah

Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi‟ah. Bentuk tunggal

dari Syi‟ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي ) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul

21

Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). Buku Putih Mazhab Syi‟ah, Menurut Para

Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat), h. 81-82 22

M. Quraish Shihab. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas

Konsep Ajaran Dan Pemikiran, h. 11

Page 75: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

61

Bait dan Imam Ali.23

Dalam defenisi lain Syi‟ah adalah bentuk pendek dari kalimat

bersejarah Syi`ah `Ali شيعةعلي artinya "pengikut „Alī", yang berkenaan tentang Q.S.

al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi saw bersabda: "Wahai

„Alī, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (Ya „Alī anta wa

syi'atuka humul fāizun).24

Secara terminologis al-Syahrastānī secara tepat dan komprehensif

mendefinisikan: Syi„ah adalah orang-orang yang mengikuti „Alī r.a. secara khusus,

dan menyatakan masalah imamah dan kekhalifahannya dengan sistem penunjukan

dan pendelegasian, yang dibuat baik secara terbuka maupun rahasia, dan meyakini

bahwa masalah imamah itu tidak terpisah dari kerturunannya.25

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā‟ī dalam bukunya Syi‟ah Islam memberikan

pengertian bahwa Syi‟ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan

bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muḥammad

saw ialah keluarga Nabi saw sendiri yakni Ahlul bait. Dalam hal ini, „Abbās bin

„Abdu al-Muṭṭallib (paman Nabi saw) dan „Alī bin Abī Ṭālib (saudara sepupu

sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.26

Lafal Syi‟ah dalam al-Qur‟an, lafal Syi‟ah beserta dettevatnya disebutkan di

dalam al-Qur‟an sebanyak 12 kali, dengan perincian Syī‟atin 1 kali, Syi‟atihi 3 kali,

23

Abdul Mun‟eim Al-Nemr, Sejarah Dan Dokumen-Dokumen Syi‟ah (T.Tp.: Yayasan

Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35 24

Abu Muhyiddin Zakaria,, Tahdzibul Lughah, (Darul Kutub Al-‟Ilmiyah”, Beirut –

Libanon), h. 61 25

Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi

dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, (Surabaya : Bina Ilmu), h. 146 26

Al-Ṭabāṭabā‟ī. Islam Syi‟ah: Asal-Usul Dan Perkembangannya. Diterjemahkan Dari Syi‟ite

Islam. Penerjemah: Djohan Effendi, h. 32

Page 76: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

62

Syiya‟an 4 kali, Syiya‟in 1 kali, Asy Yākum 1 kali, dan al-Tasyī‟a 1 kali. Berikut

penjelasan Ibn Katṡir dan Jalāluddīn Maḥally, terhadap makna yang dikandung oleh

lafal-lafal tersebut di dalam al-Qur‟an.

Dalam Surat Maryam [19] ayat 69 yang berbunyi sebagai berikut :

لننزعن منكل أي همأشدعلىٱلر حنعتي اشيعةث

Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara

mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.

Imam Ibn Katṣir menyebutkan bahwa makna (lananzi‟anna min kulli syī‟atin)

adalah kami akan tarik dari tiap-tiap pengikut agama itu para pemimpin mereka.27

Dan Juga termuat dalam Surat al-Qamar [6] ayat 51

ف هلمنمد كرأشياعكمولقدأىلكنا

Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu.

Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?

Makna (walaqad ahlaqnā asyyā‟akum), yaitu umat-umat sebelum kami, yang

telah mengingkari kerasulannya.28

Sementara Lafal Syi‟ah dalam Sunnah, pemakaian lafal Syi‟ah juga bermakna

pengikut dan pendukung, seperti tersebut dalam sebuah hadis yang diriwatkan oleh

Aḥmad dari Maqsām Abi al-Qāsim, budak „Abdullāh al-Hāriṡ bin Naufal, tentang

seorang lelaki yang berkata kepada Nabi saw, “Hai Muḥammad, aku telah

menyaksikan apa yang telah anda perbuat hari ini”, “Lalu apa pendapatmu?” Jawab

27

Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, (Beirūt, Dār al-Jail, Beirut, Cet, II, 1990), h. 3/128 28 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Cet, 4 h. 4/128

Page 77: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

63

Rasulullāh. “Aku melihat bahwa anda tidak berlaku adil” lalu siapa gerangan yang

melakukannya?”. „Umar bin Khaṭṭāb secara spontan berkata: “Wahai Rasulullāh,

tidakkah sebaiknya bunuh saja orang ini”. Rasulullāh menjawab: “Tidak, biarkan

saja, ia akan memiliki Syi‟ah (pengikut), yang akan keluar dari agama ini

sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.29

Makna Syi‟ah dalam hadis di atas

adalah penggikut dan pendukung.

Maka berdasarkan temuan Dr. Al-Qaffāri, tidak ditemukan pemakain lafal

Syi‟ah dalam sunnah dengan makna “kelompok ata mazhab Syi‟ah yang dikenal

sebagai pengikut Imam „Alī (yang memiliki keyakinan tertentu), kecuali dalam hadis-

hadis lemah dan palsu. Seperti hadis ini, hadis yang menyatakan bahwa Rasulullāh

telah meminta pengampunan kepada Allah untuk diri beliau, Imam dan para

pengikutnya (Syi‟ah). عتو Aku meminta pengampunan untuk „Alī“ فاست غفرتلعالوشي

dan pengkitnya”. Menurut al-„Aqīli, hadis ini tidak memiliki asal, sementara al-

Kannāni mengklasifikasikannya ke dalam hadis mauḍu‟ (palsu). 30

2. Sejarah Munculnya Syi‟ah

Kalangan sejarawan dan peneliti umumnya mengklasifikasi kemunculan

Syi‟ah dalam dua periode yaitu semasa hidup Nabi Muhammad saw dan pasca

pembunuhan Ḥusain bin „Alī.

Pertama, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk pasca wafatnya Nabi

Muḥammad saw. Kalangan yang mendukung pandangan ini antara lain:

29

Imām Aḥmad, Musnad Imam Ahmad, Kitab : Musnād al-Mukaṣṣirin Mina al-Ṣahābah,

Bab: Musnād „Abdullāh bin „Amru bin al-Aṣ, No. 6741 30

Naṣiruddīn bin „Abdullāh bin „Ali al-Qaffari, Ushū al-Mażhab al-Imāmiyah al-Iṡnā al-

Asy‟ariyyah, h. 36

Page 78: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

64

a. Ibnu Khaldūn, yang berkata, “Syi‟ah muncul ketika Rasulullāh saw. wafat.

Saat itu Ahlul Bait memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam.

Kekhalifahan hanyalah hak mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat itu

pula sekelompok sahabat Nabi saw. mendukung „Alī bin Abī Ṭālib dan

memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi pemimpin.

Namun, ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain „Alī, mereka pun

mengeluhkan kejadian itu.31

b. Dr. Ahmad Amin, yang berkata, “Benih pertama Syi‟ah adalah sekelompok

orang yang berpendapat bahwa selepas wafatnya Nabi Muḥammad saw, Ahlul

Bait beliaulah yang lebih utama menjadi khalifah dan penerus beliau

ketimbang yang lain.32

Kedua, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk semasa kepemimpinan „Uṡmān

bin „Affān. Pandangan ini diusung sekelompok sejarawan dan peneliti, salah satunya

adalah Ibnu Hazm.33

Ketiga, pandangan bahwa Syi‟ah terbentuk semasa kekhalifahan „Alī bin Abī

Ṭālib, Beberapa pengusung pandangan ini adalah Naubakhti dalam bukunya yang

berjudul Firoq al-Syî‟ah, 34

dan Ibnu Nadim dalam buku al-Fihriṡ. Dalam bukunya ia

mengklaim bahwa peristiwa di Bashrah dan sebelumnya berpengaruh langsung dalam

proses pembentukan mazhab Syi‟ah.”35

31

Ibnu Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld. 3, h. 364. 32

Ahmad Amin, Fajr al-Islām, (Dār-Kitāb Al-„Arābi, Bairut, 1969), h. 266 33

Hasyīm Farghāl, „Awāmil Wa Ahdāf Nasy‟ah Ilm al-Kalām, (Dār al-Afāq al-„Arābiyyah,

2013), h. 105. 34

Naubakhti, Firoq Al-Syī‟ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), h. 36. 35

Ibn Nadim, al-Fihriṡ Li Ibn al-Nādim, (Maṭba‟ah al-Rahmāniyah, Mesir, 1990), h. 175

Page 79: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

65

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang syi‟ah

pada awalnya mereka adalah orang-orang yang mencintai nabi dan keturunan nabi.

Bahkan mereka berlomba-lomba untuk memulyakan ahlulbait yang termotivasi dari

penjelasan Rasulullāh saw sendiri terkait beberapa tafsir ayat contohnya surat al-

Bayyinah. Dengan kata lain cikal bakal Syi‟ah dalam arti orang-orang yang mencintai

ahlulbait telah ada sejak Rasulullāh saw hidup. Kemudian golongan Syi‟ah ini

mengalami perluasan makna pada pemililihan khalifah di Ṡaqīfah bani Saidah.

Mereka mengusulkan nama „Alī bin Abī Ṭālib sebagai pengganti Rasulullāh saw.

Fakta ini kemudian muncul kembali pada perang Ṣiffin yang menghasilkan abritase

diantara kedua belah pihak. Dimana orang-orang Syi‟ah ini menampakan jati dirinya

sebagai pendukung „Alī dan hingga saat ini faham inilah yang muncul sebagai sebuah

madzhab teologi dalam Islam.

3. Konsep Dasar Ushuluddin dan Furu‟uddin Syi‟ah

Di dalam sekte Syī‟ah Iṣna Asy‟ariyah dikenal konsep Ushuluddin. Konsep

ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama, Konsep Ushuluddin mempunyai

lima akar :

a. Al-Tauhīd tentang ketunggalan Allah, dalam Bihār al-Anwar dan Nahjul

Balagha, Imam „Alī as menyatakan bahwa Allah itu satu. Bukan satu yang

setalahnya angka dua. Tapi satu tunggal, tak ada angka dua setelahnya.

b. Al-„Adlah tentang keadilan Ilahi. Dalam Bihār al-Anwar dan I‟tiqādat al-

Imamiyyah, Imam Ja‟fār al-Ṣādiq as menyatakan bahwa Allah itu maha

adil, keadilan Allah tidak terhingga.

Page 80: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

66

c. Al-Nubuwwah tentang kenabian, hal ini tidak ada bedanya dengan Iman

kepada Nabi-nya Sunni.

d. Al-Imāmah tentang keimanan para Imam Ma‟ṣūmīn. Seandainya Allah

memang menginginkan hamba-Nya hidup sejahtera, harusnya Allah

memberi seorang Imam agar hamba-Nya bisa hidup baik. Dan Imam

haruslah ma‟ṣum agar manusia awam tidak terjebak ke jalan yang salah.

e. Al-Ma‟ad/Al-Qiyāmah, tentang Hari Kiamat, hal ini tidak ada bedanya

dengan Iman kepada Hari Kiamat-nya Sunni.36

Dalam Mazhab Syi‟ah juga ada Furu‟uddin (Cabang-cabang agama) ada 10

yang masyhur dapat dirincikan sebagai berikut:

a. Shalat merupakan manifestasi ibadah yang sesungguhnya secara fiqh.

Menurut „Abdul Wahhāb Khallāf, hanya ada sedikit perbedangan dengan

Sunni.

b. Zakat merupakan manifestasi dari berbuat baik kepada tetangganya,

(meskipun berbeda dengannya terkait dalam fatwanya „Ayatullāh al-Użma

„Alī Sistāni menetapkan zakat hanya bisa diberikan kepada Syi‟ah Iṣna

Asy‟āriyyah.

c. Shawm (puasa) Ibadah ini adalah manifestasi dari kesabaran

d. Al-Hajj ritual tradisi turun temurun ini hanya bisa dilakukan di Mekkah,

(kalau propaganda anti Syi‟ah bilang, Haji di Karbala lebih utama dari

Haji di Mekkah, itu bohong. Haji di Karbala hanyalah sa‟i, lagipula hal ini

36

Dwi Yesi Ariyani, Skripsi : Eksistensi Aliran Syi‟ah (Studi di Yayasan Ṣahib al-Zāman,

Kelurahan Rawa Laut Bandar Lampung, (UIN Raden Intan Lampung 2017), h. 38-39

Page 81: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

67

bukan bid‟ah tapi Imam Zaynab an Sahabat Jābir Ibn „Abdullāh

melakukannya setahun 40 hari setelah kejadian karbala.

e. Khums sejenis pajak 20% yang diberikan kepada Allah swt, Nabi

Muḥammad saw, ahlul Bayt, Yatim, Miskin, Fuqaha, serta Ibnu Sabil.

Logikanya, kalau negara hanya mengandalkan Zakat untuk melanjutkan

kehidupan negara pasi tidak cukup. Maka Khums ini merupakan

pemecahan masalah ini.

f. Amr Ma‟rūf mengajak kepada kebaikan.

g. Nahi Munkar yaitu mencegah pada kemunkaran, kedua hal ini sangat

penting karena dalam kehidupan sosial menusia. Karena itu, Islam berbeda

dengan Liberal yang terlalu individual atau komunis yang terlalu sosialis.

h. Tawalla‟ yaitu mencintai Ahlul Bayt.

i. Tabarra‟ yaitu membenci siapapun yang dibenci oleh Nabi dan Ahlul

Bayt.37

4. Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah

Syi‟ah38

salah satu sekte teologis dalam keagamaan Islam yang pernah

terpinggirkan dipojokan sejarah, adalah pengguna sekaligus pemilik paling

37

Ahmad Shadr Haji Sayyid Jawadi, Kamira Fani dan Bahau al-Din Khuramashai, Dāirah

al-Ma‟ārif , (Tehran Jilid 2) h. 152 38

Kelompok Syi‟ah terbagi ke dalam beberapa kelompok diantara ada Syī„ah Zaidiyah dan

Syī‟ah Imāmiyyah (aliran Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah dan Syī„ah Isma‟illiyah). Penulis membatas kepada

dua kelompok ini dikarenakan kedua kelompok Syi‟ah ini memiliki pengikut dan pendukung masing-

masing sampai sekarang

Syi‟ah Zaidiyyah adalah mereka pengikut Imām Zaid bin al-Ḥusain ra, yang mendukung dan

mengikuti beliau. Kelompok ini adalah orang-orang moderat dalam pandangan dan pringsip-pringsip

mereka. Mereka adalah kelompok Syi‟ah yang paling deket dengan ahlu al-Sunnah.

Sedangkan yang disebut Syi‟ah Imāmiyyah adalah mereka yang mempromosikan keimanan

„Alī ra langsung sesudah Rasulullāh saw, dan menyatakan dalil-dalil ṣaḥīḥ dan ekplisit mengenai

Page 82: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

68

representatif gagasan taqiyyah. Data sejarah mengungkap, represifitas pengguna

muslim saat itu terutama pada masa pemerintah Dinasti Umayyah dan „Abbasiyyah

memaksa kaum Syi‟i menyembunyikan sikap doktrial mereka sebenarnya dengan

jalan berpura-pura tunduk atau sejalan dengan mainstream pada rezim Muslim.39

Sikap seperti inilah yang dikenal dengan sebutan istilah taqiyyah.

Taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syi‟ah Imāmiyyah Iṡnā

„Asyariyyah,40

itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling

pokok.41

Karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang luar

biasa.42

Menurut kaum Syi‟ah landasan qur‟anik bagi berlakunya gagasan taqiyyah ini

bersumber kepada firman Allah swt dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 28, surat al-Naḥl

[16[ ayat 106, sebagaimana tersebut diatas, juga Firman Allah Surat al-Kaḥfi ayat 97

keimanan „Alī ra. Penjelasan lebih lanjut lihat Mahmud Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an: Perkenalan

dengan Metodologi Tafsir, h. 122 39

Abdul Rahman Zainuddin, Syi‟ah dan Politik di Indonesia. Cet-I, h. 115 40

Mereka golongan yang sepakat akan keimanan „Alī ra, yang diteruskan kepada anaknya

Ḥāsan, kemudian Ḥusain, lalu kepada anaknya, Zainal Abidin, terus kepada anaknya, Muḥammad al-

Bāqīr, dilanjutkan lagi oleh anaknya, Ja„fār al-Ṣādiq. Maka dikenal dengan pulalah Syī‟ah Imāmiyyah

Iṡnā „Asyariyyah dengan sebutan Syī‟ah Ja„fāriyyah. Kemudian mereka berpendapat bahwa setelah

Ja„fār al-Ṣādiq, imamah berpindah kepada putranya, Mūsa al-Kaẓm, lalu kepada puteranya, „Alī al-

Ridhā kemudian anaknya, Muḥammad al-Jawād, selanjutnya kepada puteranya, „Alī al-Ḥandi,

berlanjut kepada puteranya. Muḥammad al-Mahdi al-Muntaẓār (al-Mahdi yang ditunggu-tunggu).

Terakhir ini adalah Imam yang kedua belas. Penjelasan lebih lanjut lihat Mahmud Basuini Faudah,

Tafsir-Tafsir al-Qur‟an...., h. 119-135 41

Para Mujtahid Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah telah melakukan empat pringsip yang menjadi dasar

pembinaan mazhab mereka, yaitu : Tauhid (al-Tauhīd), keadilan (al-„Adl), kenabian (al-Nubūwwah),

kepemimpinan (al-Imāmah), dan pringsip Imamah merupakan inti mazhab Syī‟ah Iṡnā „Asyariyyah

yang di dalamnya terdapat gagasan, „Iṣmah, Raj„ah, al-Mahdi al-Muntaẓār juga taqiyyah. Penjelasan

lebih lanjut lihat Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur‟an....., h. 119-135 42

Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah

dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 151

Page 83: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

69

dan 98.43

Di samping bersumber kepada teks-teks al-Qur‟an diatas, kaum Syi‟ah

berpegang kepada perkataan atau riwayat yang datang dari imam-imam mereka yang

menurut mereka semuanya ma„ṣūm sebagai rujukan. Diantaranya fatwa „Alī bin Abī

Ṭālib ra. Mereka katakan bahwasanya beliau pernah berkata:

“Taqiyyah adalah amal orang yang paling mulia, dengan taqiyyah itu ia

dapat menjaga diri sendiri, saudara-saudaranya dari kejahatan orang-orang

berdosa”.44

Juga berdasarkan sebuah riwayat dari Imām „Alī bin Ḥusain bin „Alī:

ةي قالت كر:ت نيب ن ذفلاخ,مةرخالاوين الد ونمرهط,يبنذلكنمؤمللللارفغي

.انوخالقوقحو

“Allah mengampuni bagi seorang yang beriman setiap dosa, dan

membersikannya dari dosa itu di dunia dan di akhirat, selain dua dosa, yaitu

meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak saudaranya”.45

Imām Muḥammad bin „Alī bin al-Ḥusain yang terkenal dengan sebutan al-

Bāqīr, menurut mereka pernah mengatakan bahwa yang paling menyenangkan hari

ialah taqiyyah, taqiyyah itu adalah surganya orang-orang yang beriman.46

Imām Ja„fār bin al-Bāqīr yang dijuluki dengan al-Ṣādiq, dan bergelar dan

dipanggil dengan Abū „Abdillāh, ia mengatakan:

43

Sementara mengenai surat al-Kaḥfi ayat 97-98 yang artinya: “Maka mereka tidak bisa

mendakinya dan mereka tidak bisa menolongnya. Ẓulqarnain berkata: “Ini (dinding) adalah rahmat

dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh: dan

janji Tuhanku itu adalah benar”. Kalau dari segi lahiriyyah ayat, ayat diatas nampak tidak kaitannya

dengan taqiyyah. Akan tetapi menurut Syi‟ah ayat ini merupakan landasan qur‟anik berlakunya hukum

taqiyyah. Lihat Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushū al-Mażhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-

Iṡnā „Asyariyyah, h. 818 44

Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), h. 184 45

Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā

„Asyariyyah, 1994, Cet-2, h. 184 46

Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 184

Page 84: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

70

وعف رةي قتولتانكنمون إبيبح,يةي قالت نمل إب حأءيشضرالوجىولاعمللاول

47.للاوعضوةي قتولنكتلنمبيبح,يللا

“Tidak, demi Allah. Tidak ada dipermukaan bumi ini yang paling lebih aku

cintai dari pada taqiyyah. Hai Ḥabib (nama perawi), karena siapa yang

mengamalkan taqiyyah Allah akan mengangkat kedudukannya, hai Ḥabib. Dan

barang siapa yang tak memiliki taqiyyah ia akan dihinakan oleh Allah”.48

Bersumber dari riwayat Ja‟far bin Muhammad, ia menyatakan:

ينفالت قي ةولدينلمنلتقي ةلواشعأإن تسعة رالد

“Sesungguhnya 1/9 dari agama ini ada pada taqiyyah dan tidak ada pada

agama bagi mereka yang tidak memiliki taqiyyah”.49

Mereka juga mendudukan taqiyyah sejajar dengan wajibnya shalat, ini

didasarkan atas fatwa Ibnu Babawayh salah seorang ulama klasik Syi‟ah menyatakan

ةلالص كرت نمةلزنابهكرت ن,مةباجاوهن إةي قلت ا نادقتعإ

“Keyakinan kami tentang taqiyyah itu bahwa ia adalah wajib, barang siapa

meninggalkan maka sama dengan meninggalkan shalat”.

Untuk alasan itu, mereka juga menisbatkan kepada Ja„fār al-Ṣādiq, beliau

berfatwa :

اق ادصتنكلالص لةكارتكةي قالت كرتن أتلق ول

“Seandainya saya mengatakan bahwa meniggalkan taqiyyah sama

dengan meninggalkan shalat, tentu saya benar”.

Bahkan mereka menisbatkan kepada Rasulullāh saw, yang bersabda :

47

Muḥammad bin Yā‟qūb al-Kulainī, Uṣul al-Kāfī. (Bayrūt : Libanon, 2008), h.133 48

Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 184 49

Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā

„Asyariyyah, h.807

Page 85: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

71

ةلالص كارتكةي قالت كرت

“Meniggalkan taqiyyah itu sama halnya dengan meninggakalkan shalat”.50

Taqiyyah menurut mereka tidak mungkin lepas dari setiap Syi‟ah disetiap

negeri Islam, hingga mereka menyebutnya “Dār al-Islām” dengan sebutan “Dār al-

Taqiyyah”. Berdasarkan sebuah riwayat:

ةباجوةي قالت ارد ةي قالت و

“Taqiyyah di kampung taqiyyah adalah wajib”.

Mereka menjuluki “Dār al-Islām” dengan “Dār al-Bāṭil”. Mereka berkata

berdasarkan riwayat :

ةي قالت بل إلاطالبةلود مل كتي لفرخالموي الوللابنمؤي انكنم

“Barang siapa beriman kepada Allah dan akhir maka janganlah berbicara di

negeri kebatilan melainkan secara taqiyyah

Mereka juga menjuluki “Dār al-Islām” dengan “Daulah al-Ẓālimin”. Mereka

mengatakan:

واقفوةامملانيدفالخدقاف هكرت نم,فنيمالالظ ةلودا ني لعةباجوةضيرفةي قلت ا

“Taqiyyah adalah fardhu yang di wajibkan kepada kami dalam Negara

orang-orang yang ẓālim. Kerena itu barang siapa meninggalkan taqiyyah

maka sungguh dia telah menyalahi agama imamiyyah dan telah terpisah

dengannya”.51

Dan bersumber dari fatwa Imām Ibnu Babawayh dalam kitabnya “al-

I‟tiqādat” sebagaimana yang dikutip oleh Naṣīr al-Qafārī, beliau berkata:

50

Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā

„Asyariyyah, h.807 51

Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā

„Asyariyyah, h.807

Page 86: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

72

العت للانيدنعجرخدقف وجورخلباق هكرت نم,فمائلقاجرينألاإهعف رزويلةباجوةي قالت و

ولوسروللافالخوةي امملانيدنعو–

“Taqiyyah itu wajib tidak boleh ditinggalkan sebagai munculnya al-Qur‟an

(imam yang masih hilang), siapa yang melanggarnya sebelum muculnya

imam itu maka berarti ia sudah keluar dari agama Allah, dan juga keluar

dari agama Imāmiyyah (Syi‟ah), berarti menantang Allah, Rasulnya dan para

Imam”.52

Di atas telah dijelaskan sebab-sebab orang Syi‟ah memilih taqiyyah dan

mempertahankannya. Tetapi diantara mereka ada yang berselisihan dan berlainan

pendapat mengenai hukumnya. Al-Ṭūsī salah seorang ulama Syi‟ah dalam tafsirnya

“al-Ṭibyān”, sebagaimana yang dikutip oleh Ikhsan Ilahi Zhahiri yang mengatakan

taqiyyah wajib di saat takut akan bahaya yang menimpah diri.53

Adapun pendapat

Imām Khomeinī, pemimpin revolusi Iran, menulis bahwa:

“Tidaklah wajar berpegang dengan taqiyyah menyangkut segala sesuatu yang

kecil dan yang besar. Taqiyyah disyari‟atkan (diajarkan agama) untuk

memelihara jiwa dan jiwa orang lain dalam kaitannya dengan rincian hukum.

Adapun jika persoalan menyangkut bahaya terhadap Islam secara menyeluruh,

maka di sana tidak ada jalan untuk melakukan taqiyyah. Bagaimana jika salah

seorang pakar hukum agama dipaksa untuk menetapkan hukum agama tanpa

dasar atau membuat-buat sesuatu tanpa dasar, apakah anda menduga bahwa

dia dapat melakukan dengan berpegang pada ucapan al-Imam al-Shadiq yang

berkata: “Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku?” Ini bukanlah

alasan melakukan taqiyyah, bukan juga tempatnya. Apabila kondisi taqiyyah

menjadikan seseorang diantaranya harus masuk dalam kelompok para

penguasa, maka di sini ia wajib menghindari hal itu (untuk masuk) walau

penghindaraan itu mengakibatkan pembunuhannya, kecuali jika masuknya

dalam bentuk formalitas merupakan kemenangan yang hakiki buat Islam dan

kaum Muslimin”.54

52

Naṣīr bin „Abdillāh bin „Alī al-Qafārī, Ushūl al-Mazhāb al-Syī„ah: al-Imāmiyyah al-Iṡnā

„Asyariyyah, h.808 53

Ikhsan Zhairi, Syi‟ah dan Sunnah, 1984, h. 213 54

M. Quraish Shihab, Sunnah – Syi‟ah bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian atas

Konsep Ajaran dari Pemukiran, h.210

Page 87: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

73

Sementara Syaikh al-Ṣaddūq berpendapat taqiyyah itu wajib dan tidak boleh

diperbolehkan meninggalkan sampai berdiri (munculnya) penguasa (al-Qāim), maka

barangsiapa yang meninggalkannya sebelum munculnya maka keluarlah dia dari

agama Imāmiyyah, berarti menyalahi Allah dan Rasulnya dan para imam. Ketika

dinyatakan kepada al-Ṣaddīq as tentang firman Allah surat al-Ḥujurat ayat 13,55

dia

menyatakan (maksudnya adalah) orang yang paling banyak mengamalkan taqiyyah.56

Sebagian dari golongan Syi‟ah menisbahkan sebuah riwayat kepada „Alī bin

Abī Ṭālib r.a bahwa beliau pernah berkata tentang pandangannya terhadap taqiyyah,

bahwa taqiyyah itu merupakan sebaik-baik amal bagi orang yang beriman. Disamping

itu, taqiyyah merupakan alat untuk menjaga diri mereka dan teman-teman mereka

dari orang jahat. Begitu juga, salah seorang diantara mereka ada yang menyatakan

taqiyyah itu wajib untuk menjaga diri atau lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan

oleh al-Kulainī dan Zurā„arah tentang Abū Ja„fār as yang menyatakan taqiyyah itu

dapat dipergunakan dalam setiap kepentingan, orang yang bersangkutan lebih tahu

kapan harus dipergunakan.57

Lutfillāh al-Ṣāfy dalam kitabnya “Ma„a al-Khutūb” sebagaimana yang

dikutip Ikshan Zhahiri, memberi pandangan bahwa taqiyyah itu diperbolehkan dan

sudah diamalkan Syi‟ah dalam masa berabad-abad di masa berkuasanya penguasa-

55

....... مكاقت أللادنعمكمركأن إ

“Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara

kamu” 56

Mahmud Farhan al-Buhairi, Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah, Penyimpangan aqidah

dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari, h. 157 57

Ikhsan Zhahiri, Syi‟ah dan Sunnah, h. 214

Page 88: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

74

penguasa jahat di negeri-negeri Islam, seperti Mu„awiyyah, Yāzid, al-Wālid dan al-

Manṣūr.58

Mengenai perbedaan golongan Syi‟ah mengenai hukum taqiyyah di atas, „Alī

Aḥmad al-Sālūs dalam Ensiklopedi Sunnah Syi‟ah menyatakan bahwa dalam

melaksanakan taqiyyah itu, setidaknya Syi‟ah terpijak kepada tiga hukum yang

mendasari yaitu:

Pertama, wajib. Yaitu ketika meniggalkan taqiyyah menyebabkan kematian

tanpa faidah. Kedua, dispensasi. Yaitu bila meninggalkan taqiyyah dan

menampakkan kebenaran merupakan penguatan terhadap kebenaran itu sendiri. Maka

dalam hal ini seseorang, boleh mengorbankan dirinya dan juga boleh menjaga

dirinya. Ketiga, haram. Bila dalam melakukan taqiyyah menjadi sebab akan adanya

kebatilan, menyesatkan manusia, mengihidupkan kezhaliman dan kehancuran.59

C. Pandangan Aliran Teologis Islam tentang Taqiyyah

1. Pandangan Sunni

Sunni atau Sunnah secara etimologi berarti tradisi. Ahl al-Sunnah berarti

orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi dalam tuntunan lisan

maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.60

Sunni,61

sebutan pendek dari Ahl-

al-Sunnah wa al-Jamā„ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran yang mengklaim

dirinya sebagai pengikut Sunnah, yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti

58

Ikshan Zhahiri, Syi‟ah dan Sunnah, h. 215 59

„Alī Aḥmad al-Sālūs, Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah, h. 334 60

M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas

Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 57. 61

Term “Sunni”, mulai digunakan oleh para tokohnya untuk menyebut kelompoknya mulai

pada abad ke sepuluh dan sebelumnya term ini tidak dikenal.

Page 89: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

75

Rasulullāh saw. dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dengan tafsiran Saḍr al-Ṣārih

al-Maḥbūbi, yaitu „Ammāh al-Muslimūn (umumnya umat Islam), dan al-Jamā„ah al-

Kaṡīr wa al-Sawād al-„Azm (jumlah besar dan khalayak ramai).62

Untuk mencari pandangan para ulama/mufassir dari kaum Sunni tentang

taqiyyah, penulis mengambil pandangan Musṭāfa al-Marāghī dalam tafsirnya al-

Marāghī, dalam memahami makna sebenar dari amalan taqiyyah adalah berdasarkan

dari ayat al-Quran surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang membawa maksud dibolehkan

untuk melakukan taqiyyah jika dalam kondisi darurat, yakni untuk menjaga diri dan

agama Islam dari kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Adapun untuk

ber-muwālat atau memihak kepada orang-orang kafir dalam urusan persahabatan

jahiliyyah, urusan keluarga, dan urusan kepimpinan adalah dilarang dalam agama.

Hal ini karena umat Islam dituntut agar memelihara akhlak sebagai seorang Mukmin

supaya tidak terikut-ikut dengan sifat dan tabiat orang- orang kafir dan dituntut

supaya lebih memihak atau berteman dengan orang-orang Mukmin sendiri adalah

lebih baik demi menjaga keharmonian akidah Islam. Adapun jika ternyata memihak

dan berteman kepada orang-orang kafir mengandung kebaikan kepada kaum

Mukmin, maka itu diperbolehkan, sebagaimana Nabi Muḥammad saw. pernah

bersekutu dengan Banī Khuzā„ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya.63

Bagaimanapun, jika orang-orang Mukmin merasa takut dan khawatir akan

terjadi kerusakan apabila mereka memihak kepada orang-orang kafir, maka

62

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-

Press, 1986), h. 64. 63

Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, terj. Bahrun Abu bakar, (Semarang: CV.

Toha Putra, 1986), Jilid 3, h. 244-255.

Page 90: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

76

diperbolehkan untuk berjaga-jaga atau siasat taqiyyah, sebab kaidah syari‟at ada

mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsādah) hendaklah didahulukan daripada

menarik manfaatnya. (Dār al-Mafāsid Muqaddamūn „ala Jalb al- Mafāsid). Menurut

al-Marāghī, para ulama telah bersepakat akan bolehnya taqiyyah. Akan tetapi dengan

syarat, hendaklah seseorang mengatakan atau melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan kebenaran, dalam rangka mencegah bahaya yang datang dari

musuh, seperti yang berkait dengan jiwa, kehormatan, atau harta. Barangsiapa yang

mengatakan kalimat kufur karena ditekan dan dipaksa, sedangkan ia berusaha untuk

melindungi dirinya agar tidak terbunuh dan hatinya tetap tenang dalam keimanan, ia

tidak menjadi kafir, dan perbuatannya akan diampun.64

Sebagaimana kisah „Ammār bin Yāsir dalam surat an-Naḥl ayat 106, yang

tatkala ia dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur hatinya tetap tenang dalam

melakukannya, serta kisah seorang sahabat Nabi yang diampuni saat ia diinterogasi

oleh Musailāmah: “Tidakkah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullāh?” Sang

sahabat yang dipaksa tadi menjawab, “Iya.” Lalu, Musailamah membiarkan ia

hidup. Akan tetapi, seorang sahabat yang saat itu juga ditanya soalan yang sama

oleh Musailamah telah menjawab, “Aku tuli” sebanyak tiga kali. Akhirnya ia

dibunuh. Berita ini sampai kepada Rasulullāh saw. lantas beliau bersabda:

ىم أ اذا ام أ,ووال ئ ي نهف وق دصو ونيقىيلىعضمفل وت ق لا لفللاةصخرلبق رخلا

ويلع ةعب ت

64

Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 244-255.

Page 91: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

77

“Adapun orang yang dibunuh, ia telah berlalu dengan keyakinan dan

kejujurannya, maka berbahagialah dia. Dan yang lainnya, ia menerima

kemurahan dari Allah, sehingga tidak ada beban lagi baginya.”65

Kendati, hal itu termasuk dalam rukhṣah agama dikarenakan adanya hal-hal

yang berlaku pada waktu tertentu saja, tidak secara tetap atau rutin, yang sifatnya

dalam kondisi terpaksa dan darurat. Bukan dari pokok-pokok agama yang harus

diikuti selamanya.66

Oleh karena itu, diwajibkan bagi orang-orang Mukmin

melakukan hijrah dari tempat di mana ia takut untuk menampakkan agamanya, dan

terpaksa untuk melakukan taqiyyah. Adapun antara perkara yang termasuk dalam

kesempurnaan ialah, hendaklah orang Mukmin itu tidak takut dan gentar menghadapi

celaan orang-orang kafir yang mencela keimanan kepada Allah. Sebagaimana Allah

swt. berfirman dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 175:

تممؤمنني كن لكمالش يطانيوفأولياءهفلتافوىموخافونإن اذ إن

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti

(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu

janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu

benar-benar orang yang beriman”.

Adapun pendapat kedua dari ulama Sunni tentang taqiyyah, penulis mengutip

pandangan Sayyid Quṭb dalam kitab tafsirnya yang bernama Tafsīr fī Ẓilalil Qur‟ān.

Menurut Sayyid Quṭb, taqiyyah merupakan suatu rukhṣah yang dibenarkan dalam

Islam hanya semata-mata untuk memelihara diri terhadap orang yang ditakuti dalam

suatu negeri atau pada suatu waktu tertentu. Akan tetapi, itu hanya untuk

65

Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 246 66

Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 246

Page 92: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

78

pemeliharaan diri dalam bentuk ucapan lisan, bukan dalam bentuk hati dan amal.67

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu „Abbās:

انسللبةي قاالت ن إ,ول ملعاب ةي قالت سيل

“Taqiyyah „siasat pemeliharaan diri‟ itu bukan dengan amal, tetapi taqiyyah

itu hanya dengan ucapan.”

Jadi, taqiyyah yang diperkenan itu bukan dengan menjalin kasih sayang antara

orang Mukmin dengan orang kafir. Hal ini karena, orang-orang kafir itu tidak akan

ridha kalau kitab Allah dijadikan pemutus perkara-perkara dari aspek hukum maupun

aspek kehidupan. Maka, Allah melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang

kafir sebagai teman dekat atau sebagai wali dikarenakan perbedaan akidah dan

amalan hidup. Oleh karena itu, taqiyyah yang diizinkan syara‟ itu bukanlah dengan

membantu orang-orang kafir dengan amalan nyata dalam bentuk tertentu atas nama

taqiyyah. Karena, umat Islam tidak diperkenankan untuk melakukan tipu daya apa

pun atas nama Allah dan agama.68

Kendati, permasalahan ini merupakan urusan dari hati nurani, urusan taqwa,

maka urusan ini mengandung peringatan kepada orang Mukmin terhadap siksaan

Allah swt. dan memberi kesadaran kepada orang-orang Mukmin bahwa Allah selalu

mengetahui apa yang ada di dalam hati hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah swt.

dalam surat Āli „Imrān [3] ayat 29 :

67

Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin,

Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Jilid 2, h. 56. 68

Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 56.

Page 93: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

79

قلإنتفواما وي علمما الس ماواتوما الرض صدوركمأوت بدوهي علموالل

شيءقدير كل على والل

Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau

kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa

yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa

atas segala sesuatu.

2. Pandangan Khawarij

Kaum Khawarij lahir sebagai aksi demostratif atas kebijaksanaan „Alī dan

Mu‟awiyyah menunjuk perwakilan dalam kompromi untuk mengahiri perang Ṣiffīn.

Peristiwa tersebut dikenal dengan tahkim (arbitrase).69

Kaum khawarij pada mulanya dikenal sebagai pengikut „Alī bin Abī Ṭālib,

namun karena peristiwa tersebut sehingga mereka meninggalkan „Alī. Karena mereka

menganggap „Alī telah mendurhakai Allah dengan mengangkat hakim/wali selain

Allah. Bahkan lebih jauh mereka mengkafirkan „Alī dan seluruh yang tunduk pada

tahkim tersebut. Golongan ini dikenal dengan sangat ektrim dan radikal terhadap

pendapat yang berbeda dengannya. Bahkan secara ekstrim mereka melakukan

pemberontakan terhadap pemerintahan yang menurutnya zalim. Sehingga dalam

rentang waktu yang cukup lama kaum ini banyak membuat keonaran. Kalau

ditelusuri ke belakang, maka dapat diketahui bahwa embrio dari seluruh konflik

tersebut berawal dari peristiwa pembunuhan „Usmān.70

69

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 40 70

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.

194

Page 94: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

80

Taqiyyah Bagi Khawārij, mereka tidak mengharuskan sama ada di dalam

perkataan ataupun di dalam perbuatan. Sejarah telah membuktikan bahwa mereka

telah berkali-kali memberontak terhadap kerajaan dan mereka terkenal dengan

keganasan mereka menghadapi musuh. Namun begitu, kajian yang dilakukan

membuktikan pula bahwa pendapat ini bukanlah merangkumi semua Firqāh al-

Khawārij. Al-„Azzāriqah (pengikut Nāfī‟ bin al-„Azrāq) berpendapat : Taqiyyah tidak

halal, lari daripada peperangan adalah kafir yang nyata. Pendapat tersebut mengambil

dalil daripada firman Allah yang bermaksud : Mereka takut akan manusia seperti

takut kepada Allah (al-Nisā‟ : 77) dan juga firman Allah yang bermaksud : Mereka

berjuang di jalan Allah dan tidak takut kepada orang-orang yang selalu mencela (al-

Maidah [51] : 54).71

Ada pula yang melewati batas akal dan agama dengan menghalalkan taqiyyah

di dalam perkataan dan perbuatan seperti firqāh al-Najdāt (pengikut Najda bin „Amīr

al-Hanāfī). Mereka mengharuskan taqiyyah di dalam perkataan dan perbuatan

sekalipun jika sampai ke tahap membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Bagi al-

Sārifah (pengikut Zaid bin al-Aṣfār), mereka lebih sederhana. Mereka mengaharuskan

taqiyyah di dalam percakapan seja dan perbuatan tidak termasuk di dalam taqiyyah. 72

3. Taqiyyah menurut Mu‟tazilah

Golongan Mu‟tazilah disebut kelompok Ahl al-Adl wa al-Tauḥīd, dan juga

disebut Qadariyyah atau „Adliyyah. Mereka jadikan kata Qadariyyah mempunyai dua

71

Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi

dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, h. 108 72

Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi

dalam Sejarah Umat Manusia), h. 110

Page 95: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

81

arti: kata qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar

dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah. Namun

sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya karena Nabi saw,

bersabda :

ةم لااهذىسومةي ردلقأا “Al-Qadariyyah adalah majusinya umat [Islam] ini”.

73

Golongan al-Mu‟tazilah mewajibkan al-„Amru bi al-Ma‟rūf wa al-Munkar

(menyeru kepeda kebaikan dan mencegah kemungkaran), ada sebagian daripada

mereka mengharuskan taqiyyah bilamana timbul bahaya yang mengamcam jiwa raga.

Abū al-Hużail al-„Allāf pernah berkata: Seorang yang benci melakukan sesuatu

perkara lalu dia dipaksa melakukannya sedangkan dia tidak pandai mencari jalan

keluar yang lain, bolehlah dia berduasta dan dosa berdusta kembali kepada orang

yang memperbuat perbuatan itu. 74

73

Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi

dalam Sejarah Umat Manusia), h. 37-38 74

Muḥammad bin „Abdul Karīm al-Syahrastānī, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran Teologi

dalam Sejarah Umat Manusia), h. 44

Page 96: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

82

BAB IV

ANALISA TAQIYYAH MENURUT PANDANGAN

TAFSIR MAJMA’ AL-BAYĀN DAN TAFSIR AL-MĪZĀN

A. Taqiyyah Dalam Penafsiran Tafsir Majma’ al-Bayān dan Tafsir al-Mīzān

1. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabarsī

a. QS. Āli „Imrān [3] ayat 28

Dalam Tafsir Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya al-Ṭabarsī

menjelaskan tentang bagaimana makna taqiyyah yang dalam hal ini terdapat dalam

surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang berbunyi.1

لك ف ليس من الل ي لي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ

هم ت قاة شيء قوا من ن فسو وإل الل المصي إل أن ت ت ركم الل ويذ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali

dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian,

niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)

memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah

kembali (mu).

Al-Ṭabarsī menafsirkan ayat ini, ketika Allah swt menjelaskan bahwa dialah

sang penguasa dunia dan akhirat yang berkuasa terhadap jenis kemulian dan celaan.

Dimana orang-orang mukmin dilarang mengikuti (mawālat) dari orang yang tidak

mempunyai kemulian sama sekali disisi mereka, dan tidak pula celaan terhadap

musuh-musuhnya. Supaya terdapat suatu kecenderungan terhadap apa yang ada

disisinya dan juga apa yang ada dalam diri pemimpin orang-orang Mukmin, selain

1 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 220

Page 97: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

83

musuh-musunya yang kafir. Maka Allah berfirman Janganlah orang-orang mukmin

mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin atau sahabat.2

Al-Ṭabarsī mengungkapkan tidaklah pantas bagi orang-orang mukmin

menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin untuk jiwanya sendiri. Dan mereka

meminta tolong kepada pemimpin kafir kemudian mengadukan sesuatu kepada

mereka lalu menampakkan kecintaan mereka. Sebagaimana firman Allah swt di

dalam beberapa tempat dalam al-Qur‟an misalnya dalam surat al-Mujādilah [58] ayat

22.

ورسولو , ...ل تد ق وما ي ؤمنون بلل والي وم الخر ي وادون من حاد اللKamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,

saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan

Rasul-Nya, ...

Selain itu terdapat pula al-Ṭabarsī mengambil ayat larangan mengambil

pemimpin kafir yang terdapat dalam surat al-Maidah [5] ayat 51. 3

رى أولي ي ها لذين ي ... ء آءامنوا ل ت تخذوا لي هود ولنص

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).....

Al-Ṭabarsī mengungkapkan wajib mawālat (mengikuti) para pemimpin dari

kalangan orang-orang mukmin. Karena Dan hal ini dilarang muwalat (mengikuti)

para pemimpin kafir, serta simpati terhadap pertolongan mereka terhadap orang-

orang mukmin. Dan al-Ṭabarsī melarang juga untuk bersikap lemah-lembut kepada

2 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221

3 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221

Page 98: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

84

orang-orang kafir. Sebagaimana diriwayat dari „Abdullāh bin „Abbās adalah auliyā‟

jama„ dari kata walī‟ yang dimaksud adalah orang yang mengatur urusan orang lain,

dimana orang lain itu meridhoi perbuatan orang tersebut, dengan adanya suatu

pertolongan. Menurut al-Ṭabarsī Pemimpin itu berfungsi pada dua jalan yang pertama

dia berfungsi sebagai penolong dengan jalan pertolongannya dan yang kedua dia juga

sebagai orang yang ditolong.

Al-Ṭabarsī mengatakan bahwa siapa yang menjadikan orang kafir sebagai

pemimpin selain orang mukmin maka orang itu bukanlah pemimpin-pemimpin yang

dikehendaki Allah. Sedangkan Allah akan berlepas diri darinya. Dan dikatakan pula

hal ini tidaklah termasuk dari wilāyah (penjagaan) Allah swt. karna dia bukanlah

termasuk golongan agama Allah.4

Kemudian ada pengecualian di dalam ayat ini yaitu kecuali karena taqiyyah

(siasat) untuk memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka dalam hal ini al-

Ṭabarsī menjelaskan yaitu kecuali menjadikan orang-orang kafir tersebut sebagai

pemenang, sedangkan orang mukmin adalah orang-orang yang terkalahkan. Lalu

orang orang-orang mukmin takut terhadap orang kafir jika dia tidak menampakkan

kesepatakan mereka terhadapnya. Dan ia tidak memperbaiki pergaulan kepada

mereka. Maka demikian itu dibolehkan bagi orang mukmin itu memperlihatkan kasih

sayang mereka dengan lisannya, dan pembicaraan mereka, karena untuk taqiyyah

serta untuk menolak dirinya untuk meyakini hal demikian itu. 5

4 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221

5 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221

Page 99: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

85

Al-Ṭabarsī menjelaskan di dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa

sesungguhnya taqiyyah itu diperbolehkan di dalam agama ketika munculnya rasa

takut terhadap dirinya. Karena taqiyyah itu boleh dalam segala situasi/keadaan ketika

itu darurat. Dan dengan melakukan hal demikian itu, untuk tujuan membuat rasa

lembut dan meminta perdamaian. Dan tidak diperbolehkan dari perbuatan tersebut

membunuh orang Mukmin, dan tidak pula dengan suatu yang tidak ketahui atau

sesuatu yang luput pada sangkaan, bahwasanya itu merupakan kerusakan terhadap

agama. 6

b. QS. al-Naḥl [16] ayat 106

Al-Ṭabarsī juga menjelaskan tentang taqiyyah ini dalam kitab Majma„ al-

Bayān yang terdapat pada surat al-Naḥl [16] ayat 106 yang berbunyi.7

ميان ولكن م إل من أكره من كفر بلل من ب عد إميانو ن شرح بلكفر وق لبو مطمئن بل

صدرا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang

melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya

dan baginya azab yang besar”.

Dalam ayat ini sebelum al-Ṭabarsī menafsirkannya terlebih dahulu beliau

menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl yang terdapat dalam dalam kisah sahabat Nabi

yang ketika itu mereka dipaksa, yaitu „Ammār dan kedua orang tuanya Yāsir dan

Sumayyah, Ṣuḥayib, Bilal, dan Khabbāb. Mereka telah menyiksa dan membunuh

6 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h. 221

7 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 153

Page 100: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

86

Abū „Ammār dan Ibunya Sumayyah, sedangkan „Ammār pun mentaati mereka

dengan lisannya, dan dengan semua keinginannya. Kemudian ada yang melaporkan

hal demikian itu kepada Rasulullāh saw, maka telah berkata suatu kaum : „Ammār

telah kafir, lalu Rasulullāh bersabda: Sama sekali tidak, sesungguhnya „Ammār

keimananya telah mampu menghubungkan kepada kedudukannya, dan

mencampurkan keimananya dengan daging dan darahnya. Dan „Ammār telah datang

kepada Rasulullāh saw dan ketika itu „Ammār dalam keadaan bersedih, maka

Rasulullāh saw bertanya apa yang ada di belakangku? Maka „Ammār pun menjawab :

Kejahatan wahai Rasulullāh, apa yang kamu tinggalkan sampai kamu memperoleh

dan aku menyebutkan Tuhan mereka dengan kebaikan. Maka Rasulullāh saw

mengahapus air mata „Ammār, dan Rasulullāh bersabda: Sesungguhnya jika orang-

orang kafir itu kembali kepadamu maka ulangi perkataan mereka dengan apa yang

aku katakan, maka turunlah ayat ini. 8

Al-Ṭabarsī mengungkapkan bahwa orang yang kafir kepada Allah sesudah dia

beriman memiliki beberapa perbedaan pendapat di dalam ketentuannya, beliau

mengatakan bahwa ketentuannya itu ada beberapa ringkasan yang maknanya adalah

siapa orang yang kafir kepada Allah maka sesungguhnya dia akan murtad dari Islam,

dan bagi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka mereka akan

mendapatkan kemurkaan dari Allah dan baginya akan mendapatkan azab yang besar.9

8 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 154

9 Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h. 155

Page 101: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

87

Al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir

dengan jalan taqiyyah itu hukumnya dibenci (makrūh). Dan apabila hatinya tetap

tenang dengan penuh keimanan maka tidak ada dosa atasnya dengan berbuat

demikian itu. Beliau mengatakan sesungguhnya hal itu dikaitkan dengan kisah yang

telah lalu, karna sesungguhnya itu hanyalah memalsukan kebohongan orang kafir

kepada Allah dari sesudah dia beriman. Kemudian ada pengecualian dari demikian

itu, yaitu orang yang dipaksa atas itu dan adanya ketetapan hati kepada keimanan di

dalam bāṭin (ketersembunyiannya) maka sesungguhnya itu adalah berlawanan. Al-

Ṭabarsī juga menjelaskan tentang orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran

dan menyenangkan dirinya dengan itu, maka akan mendapatkan kemurkaan Allah

menimpanya dan baginya azab yang besar di akhirat kelak.10

Syaikh al-Mufīd berkata bahwa sesungguhnya taqiyyah itu kadang-kadang ia

wajib, kadang-kadang ia suatu kaharusan. Dan terkadang dia dibolehkan tanpa ada

suatu kewajiban, dan ada waktu yang lebih utama daripada meninggalkannya. Dan

sesunguhnya meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya itu

karena ada halangan („użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih diutamakan

atasnya dengan meninggalkan celaan atasnya. 11 Begitu pula dengan gurunya al-

Ṭabarsī yaitu al-Syaikh Abū Ja„fār al-Tūsī yang berkata, secara ẓāhir riwayat-riwayat

itu menunjukkan wajibnya taqiyyah ketika terjadi timbulnya rasa takut terhadap

10

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 6, h.

155 11

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h.

221-222

Page 102: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

88

dirinya. Dan sungguh telah diriwayatkan adanya rukhṣah dalam kebolehan

mengungkapkan kebenaran disisinya. 12

2. Penafsiran tentang Ayat-ayat Taqiyyah Menurut al-Ṭabāṭabā„ī

a. QS. Āli „Imrān [3] ayat 28

Dalam tafsir al-Mīzān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭāba‟ī, beliau

mengungkapkan mengenai tentang taqiyyah, berbeda dengan para pakar Islam yang

telah dipaparkan dibab sebelumnya beliau memaparkan ayat yang penting dalam

menjelaskan makna sebenarnya tentang taqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan

dalam Surat Āli „Imrān [3] ayat 28 :

لك ف ليس من الل ي ل ي تخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنني ومن ي فعل ذ

هم ت قاة شيء قوا من ن فسو وإل الل المصي إل أن ت ت ركم الل ويذ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali

dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian,

niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)

memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah

memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah

kembali (mu).

Kata “al-Auliyā” (أالولياء)‟ disini merupakan jama‟ dari kata “al-Waly” (الوىل) sahabat/pemimpin berasal dari kata (الوالية) al-Wilāyah, kata akarnya tersebut

menunjukkan otoritas untuk mengurus, mengelola, mengemdalikan sesuatu, yaitu

perwalian. Artinya adalah seorang pemimpin atau orang yang memiliki otoritas untuk

mengurus, mengelola atau mengendalikan urusan-urusan dan harta benda warga

12

Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-Ṭabarsī, Majma „al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2, h.

222

Page 103: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

89

yang berada di bawah pemerintahannya. Menurut al-Ṭabāṭabā„ī dalam ayat ini

mengambil orang-orang kafir sebagai teman atau pemimpin akan mencemari visi

orang Mukmin dan akan memberi pengaruh merugikan kepada orang mukmin dari

segi pikiran, ide, dan karakter kehidupan seorang Mukmin, dan akan mendorong

orang Mukmin untuk mengikuti sabahabat kafirnya dalam kehidupan dan sikapnya,

dikarenakan gaya hidup dan sikap mereka yang jauh dari ajaran Islam. Oleh sebab itu

Allah memerintahkan bahwa hanya orang mukminlah yang seharusnya untuk

memegang amanat kekuasaan.13

Banyak ayat yang melarang keras orang-orang Mukmin menjadikan orang-

orang kafir, orang-orang Yahudi serta orang-orang Nasrani, sebagai sahabat atau

pemimpin. Akan tetapi dalam setiap contoh atau kejadian, ada ketentuan-ketentuan

yang menggambarkan persahabatan atau pemimpin macam apa yang dilarang.

Adapun orang Mukmin diutamakan medukung orang Mukmin sendiri untuk menjadi

pemimpin. Karena mereka selalu bekerja sama dan saling tolong menolong untuk

merusak dan meruntuhkan agama Islam, sebagaimana firman Allah swt dalam surat

al-Maidah [5] ayat 51 yang berbunyi:

رى أوليآء ب عضهم أوليآء ب عض وم ي ها لذين ءامنوا ل ت تخذوا لي هود ولنص م ي ن ي ت ول

هم إن لل ل ي هدى لقوم لظلمني منكم فإنوۥ من

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin- pemimpin(mu); sebahagian mereka

adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu

mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu

13

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 297

Page 104: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

90

Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk

kepada orang-orang yang zalim.”

Selain itu terdapat pernyataan lain yang menjelaskan larangan mengambil

pemimpin dari kalangan orang kafir, yaitu dalam surat al-Mumtaḥanah [60] ayat 1 :

.....ي أي ها الذين آمنوا ل ت تخذوا عدوي وعدوكم أولياء

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan

musuhmu menjadi teman-teman setia/wali (pemimpin)...”

Sebagaimana Ayat-ayat yang disebutkan merupakan ayat-ayat yang

mempunyai kedudukan yang sama dan saling terkait antara satu dengan lainnya. Kata

sifat atau keterangan yang digunakan dalam ayat tersebut menunjukkan pelarangan.

Orang-orang Mukmin dilarang tidak boleh lebih memilih orang-orang kafir,

ketimbang orang-orang Mukmin, sebagai sahabat atau pemimpin. Karena Iman dan

kufur saling bertentangan sekali, keduaya tidak pernah dirujukkan. Saling tolak ini

juga meliputi totalitas hidup orang-orang Mukmin terhadap orang-orang kafir.14 Ayat-

ayat tersebut dijadikan sebagai dalil hukum serta illat atas larangan menjadikan

orang-orang kafir sebagai teman atau wali oleh karena perbedaan sifat dan keyakinan

antara keduanya.

Itulah sebabnya mengapa Allah memperingatkan orang-orang Mukmin dalam

kalimat berikutnya, “Dan barangsiapa melakukan ini, maka dia tidak akan

hubungannya dengan Allah.” Kemudian disusul dengan pengecualian taqiyyah,

karena taqiyyah hanyalah suatu show cinta bukan realitasnya, maksudnya adalah

14

Muḥammad Ḥusain Ṭabāṭabā‟ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 298

Page 105: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

91

mengakui sebuah kekuasaan musuh secara ẓāhir saja, sedangkan hakikatnya tidak

mengakui.15

Taqiyyah dalam perspektif ayat ini adalah upaya mencari perlindungan karena

sangat takut jika ia mengatakan yang sebenarnya akan mengakibatkan kebinasaan

pada dirinya serta agama agama dan kepercayaannya. Jadi perasaan takut demikian

ini menjadikannya untuk melakukan taqiyyah. Dan hal ini dibenarkan oleh agama,

karena hal yang berkaitan dengan perasaan takut atau perasaan cinta merupakan

persoalan yang ada dalam hati, tiada siapa yang mengetahui apa yang terjadi di dalam

hatinya melainkan Allah swt.16

Maka makna taqiyyah dalam ayat ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī membawa arti

suatu kondisi dimana seseorang menyembunyikan agamanya atau amalan tertentu

agamanya dalam situasi yang akan menimbulkan bahaya sebagai akibat dari tindakan

orang-orang yang menentang atau amalan tertentu dalam agamanya.

b. QS. al-Naḥl [16] ayat 106

Selanjutnya dalil yang nyata atas diperbolehkan taqiyyah yang terdapat dalam

tafsir al-Mīzān karya Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī yang merujuk dalam al-

Qur‟an Surat al-Naḥl [16] ayat 106 yang berbunyi.

ميان ولكن من شرح بلكفر إل من أكره من كفر بلل من ب عد إميانو وق لبو مطمئن بل صدرا ف عليهم غضب من الل ولم عذاب عظيم

15

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 289-299 16

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„i, Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan perkembangannya, h. 259

Page 106: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

92

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang

melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya

dan baginya azab yang besar.

Menurut al-Ṭabāṭabā„ī di dalam ayat ini merupakan ancaman atas orang-orang

kafir setelah beriman yaitu murtad, dan janji Allah itu indah bagi orang-orang yang

hijrah setelah para mujahid (orang-orang berjihad) memikat orang-orang yang sabar

dijalan Allah dan di dalamnya terdapat pertentangan bagi hukum taqiyyah.17

Dan yang dimaksud paksaan yang memaksa atas kata “kafir” yaitu berpura-

pura menjadi kafir, maka sesusungguhnya hati itu tidak menerima paksaan. Dan

maksud pengecualian orang yang memaksakan menjadi kafir setelah beriman, maka

ia kafir secara zhahir dan hatinya tetap tenang dengan keimanan. Dengan cara seperti

ini, hanya membuat-buat kebohongan yang manjadikan mereka kafir setelah mereka

beriman kecuali orang-orang yang dipaksa akan tetapi hatinya tetap beriman, dan

ketika itu dia menyempurnakan ucapannya kemudian dia memulai, maka Allah

berfirman : “Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka

kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. 18

Ayat ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī menjadi dalil yang nyata atas diperbolehkan

taqiyyah, sebagaimana asbāb al-Nuzūl dari ayat ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī

Hatim dari Ibnu „Abbās bahwa ketika Nabi saw, hendak berhijrah ke Madinah, orang-

orang Musyrik menangkap Bilal, Khabbab, Ammar, dan kedua orang tuanya yaitu

17 Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 14, h. 353 18

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, jilid 14, h. 354

Page 107: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

93

Yāsir dan Summayyah. „Ammār akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat yang

menyenangkan mereka demi menjaga nyawanya. Ketika kembali kepada Rasulullāh

saw, ia menceritakan hal itu kepada beliau, Beliau bertanya, “Bagaimana hatimu

ketika kamu mengucapkan perkataan itu ? Apakah hatimu setuju dengan apa yang

kau ucapkan?” Ia menjawab, “Tidak”. Maka Allah menurunkan firman-Nya,

“.....padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak dosa),....” (al-Naḥl [16] :

106).19 Dalam hal ini menurut al-Ṭabāṭabā„ī bahwa taqiyyah itu diperbolehkan untuk

mempraktekkan taqiyyah bagi orang-orang yang dalam kondisi yang tertekan.

Ayat di atas merupakan landasan bagi pelaksanaan taqiyyah, berdasarkan

perkataan Amīr al-Mukminīn (Imām „Alī bin Abī Ṭālib as), dalam sebuah hadis:

ك ر ت ت نأ و ,ك ل ى ل ل ض ر ع ت ت ن ا ك ي ا و :ل و ق ي للا ن ا ف ك ن ي د ف ة ي ق الت ل م ع ت س ت ن ا ك ر م ا و

20 .اب ك ت أ ر م إ ت ال ة ي ق ت

“Dan Dia memerintahkan kamu untuk menjalankan taqiyyah dalam agama

kamu karena Allah berfirman: Berhati-hatilah, dan berhati-hatilah lagi, untuk

tidak membuka diri terhadap kehancuran, dan untuk tidak mengabaikan

taqiyyah yang aku sendiri perintahkan kamu (untuk mempraktikkannya)”.21

al-Ṭabāṭabā„ī mengutip Dalam tafsir al-„Ayāsī yang dinukilkan dari Imam

Ja‟far al-Ṣādiq meriwayatkan bahwasanya Rasulullāh saw pernah bersabda: tidak

disebut beragama bagi orang yang tidak ber-taqiyyah, bahkan Allah berfirman

19

Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunya Ayat al-Qur‟an, (Penertbit ,Jakarta :Gema Insani

Prees. 2008) Cet I, h. 335 20

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟an, (Penerbit : Bairūt Libanon

1997) Juz 3, h. 188 21

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Jilid 5, h. 813

Page 108: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

94

janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan ber-taqiyah. Taqiyah dalam segala hal

kehidupan itu dianjurkan bagi umat manusia bahkan Allah telah menghalalkannya.

تقي ة لو , وي ق ول : ل كان رسول للا ي قول : لدين ل من ق اد الص ن ع ي اش ي لع ا ي س ف ت ف و

22قال للا أل أن ت ت قوا من هم تقية.

“Rasulullāh saw. bersabda: tidak disebut beragama bagi orang yang tidak

bertaqiyyah, bahkan Allah berfirman janganlah kalian mati kecuali dalam

keadaan ber-taqiyyah”.23

B. Kondisi Sosial Politik Pada Masa al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā’ī

1. Pada Masa al-Ṭabarsī

Berdasarkan kelahirannya, al-Ṭabarsī ini berada pada sejarah Syi‟ah dari

Abad ke-5 H/11 M. Sampai Abad ke-9 H/15 M, paham Syi‟ah terus melakukan

pengaruhnya seperti dilakukan abad ke-4 H/10 M. Raja-raja dan penguasa-penguasa

Syi‟ah muncul di beberapa dunia Islam dan menyebarkan paham-paham Syi‟ah.

Menjelang akhir abad ke-5 H/11 M. Kegiatan dakwah golongan Ismaillīyyah mulai

berakar di Benteng Alamut dan hampir setengah abad orang Ismaillīyyah hidup penuh

kemerdekaan di kawasan tengah Persia. Juga kaum Sadat‟i Mar‟āsyi yang merupakan

keturunan Nabi, selama bertahun-tahun memerintahan mazandaran, Tabaristan. Syah

Muḥammad Khubadandah, salah seorang penguasa Mongol yang terkenal menjadi

Syi‟ah dan keturunannya selama bertahun-tahun memerintah Persia dan menjadi

pendukung penyebaran paham Syi‟ah. Mesti pula disebutkan raja-raja dan dinasti-

22

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, Juz 3, h. 188 23

Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī, Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, Jilid 5, h. 318

Page 109: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

95

dinasti Aq-Qayunlu yang memerintah Tabriz dan wilayah mereka meluas sampai ke

Fars Kerman, seperti juga pemerintahan kaum Fathimiyah yang berkuasa di Mesir.24

Sudah barang tentu kebebasan beragama dan kemungkinan menjalankan

kekuasaan keagamaan oleh rakyat berbeda-beda di bawah penguasa yang berlainan.

Sebagai contoh, dengan robohnya kekuasaan kaum Fathimiyah dan berkuasanya

orang-orang Ayyubi, keadaan berubah sama sekali dan penduduk Syi‟ah di mesir

Siria kehilangan kebebasan beragama mereka. Tidak sedikit orang Syi‟ah Siria pada

masa itu yang terbunuh hanya karena tuduhan mengikuti paham Syi‟ah. Salah

seorang dari mereka adalah Syahid Awwal (syahid pertama) Muḥammad Makki, slah

seorang ahli hukum Syi‟ah, yang terbunuh di Damaskus pada tahun 786 H/1384 M.

Juga Syekhul Isrāq Syihabuddīn Suḥrawardī dibunuh di Aleppo atas tuduhan bahwa

dia mengembangkan ajaran dan filsafat Baṭiniyah. Dari sehi jumlah, selama masa ini

paham Syi‟ah berkembang, walaupun kekuasaan dan kebebasan keagamaan mereka

tergantung pada kondisi penguasa-penguasa sesuatu saat. Akan tetapi ulama masa ini

paham Syi‟ah tidak pernah menjadi agama resmi dari sesuatu negara Islam.25

2. Pada Masa al-Ṭabāṭabā‟ī

Berdasarkan kelahirannya, al-Ṭabāṭabā‟ī hidup dalam tiga suasa yang

berbeda-beda: Pertama, akhir masa Dinasti Qajar26

(1848-1922 M); kedua, masa

Dinasti Pahlevi yang terbagi dalam dua masa, yakni masa Reza Syah (1921-1941 M)

24

Lihat tulisan-tulisan mengenai sejarah : Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-

Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari Khawandi Mir, Teheran, 1333. 25 Lihat tulisan-tulisan mengenai sejarah : Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-

Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari Khawandi Mir, Teheran, 1333. 26

Dinasti Qajar adalah merupakan sebuah Dinasti yang dibangun oleh Aqā Muḥammad Qajar

di atas reruntuhan Dinasti Syafāwiyah

Page 110: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

96

dan masa Muhammad Reza Syah (1941-1979 M); dan ketiga, awal masa

pemerintahan Republik Islam Iran. Akhir masa pemerintahan Qajar terbagi menjadi

tiga masa: pertama, masa kepemimpinan Naṣīr al-Dīn Syah (1848-1896 M), kedua,

masa kepemimpinan Muẓaffār al-Dīn Syah (1896-1906 M); dan ketiga, masa

kepemimpinan Muḥammad „Āli Syah (1906-1909 M).

Di bawah naungan dari kepemimpinan pertama, wajah „Irān, kata „Abdu al-

Ṣaqār Aḥsan, “Secara poliktik dan ekonomi berada dalam eksploitasi Inggris dan

Rusia, di tambah lagi sikap lemah pemimpin (Syah) dan mengatasi korupsi di internal

pemerintahan. Kondisi ini tidak saja membuat kacau secara finansial, tetapi juga

mengalami krisis administratif. Akibarnya, muncullah gerakan rakyat anti pemerintah

di berbagai kota di Iran.”27

Masa ketiga akhir kepemimpinan Dinasti Qajar berlangsung sangat pendek.

Pendeknya, masa pemerintahan ini akibat tidak adanya dukungan rakyat terhadap

pemerintahan yang sedang berjalan. Penarikan dukungan rakyat terhadap

pemerintahan terjadi kerena Muḥammad „Ālī Syah, penerus pemerintahan

sebelumnya, adalah seorang ambisius yang menerapkan kebijakan pemerintah

represif. Akibatnya, muncullah gerakan perlawanan terhadap pemerintah yang

berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Qajar. Muḥammad „Ālī Syah akhirnya

melarikan diri ke Odessa Rusia.28

Akhir kekuasan Muhammad „Ālī Syah dapat disebut sebagai masa transisi,

sebab kekuasaan untuk sementara berada di bawah kendali parlemen. Kondisi ini

27

Abdul Shakoor Ahsan, “Renaissance in Iran, In A History of Muslim Philosof,” h.1524 28

Abdul Shakoor Ahsan, “Renaissance in Iran, In A History of Muslim Philosof,” h. 1531

Page 111: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

97

belum menguntungkan Iran secara politik sebab sejak awal 1907 M parlemen masih

di bawah pengaruh Rusia dan Inggris sampai akhirnya Reza Khan melakukan sebuah

coup d‟etat pada tahun 1921. 29

Kudeta ini yang kemudian menjadi cikal bakal

munculnya dinasti baru. Pahlevi, tepatnya pada tahun 1925 H, dan Reza Syah terpilih

sebagai Syah Iran yang baru. Meskpiun Reza Syah terpilih sebagai pemimpin baru

pada tahun 1925 H, tetapi para sejarawan menetapkan pemerintahan telah berjalan

sejak 1921-1941.30

Situasi yang demikian membuat al-Ṭabāṭabā‟ī pada tahun 1925 memilih untuk

belajar ke Universitas Syi‟ah terbesar di Najaf, Irak, daripada menetap di Iran, atau

bisa juga karena menang saat itu Universitas Syi‟ah di najaf dipandang sebagai

sebuah Universitas yang mempresentasikan warisan ilmu keislaman yang menjadi

dambaan al-Ṭabāṭabā‟ī ketimbang di Iran yang sedang mengalami sekularisasi.

Kuatnya pengaruh politik dan ekonomi Ingris serta Rusia menjadi bumerang bagi

kekuasaan Reza Syah. Dua kekuatan ini memaksanya untuk melepaskan jabatan

kepemimpinan Dinasti Fahlevi pada tahun 1941 H untuj kemudian menyerahkan

jabatan kepemimpinan tersebut kepada putra terkecilnya Muhammad Reza Syah.31

29

F. Kazemzadeh, “Iranian Relation With The Soviet Union. To 1921”, dalam Peter Avery,

The Cambrige, h. 314 30

Garvin R.G. Hambly, “The Pahlavi Autocracy: Reza Shah, 1921-1941” dalam Peter Avary,

The Cambrige, h. 213 31

Ahmad Muchaddam Fahham, “Tuhan dalam Filsafat „Allāmah al-Ṭabāṭabā‟ī”, (Penerbit :

Yogyakarta, Raushanfikr Insitute 2004) h. 15-17

Page 112: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

98

C. Analisa Muqāran (Perbandingan) Taqiyyah Terhadap Tafsir Majma’ al-

Bayān dan Tafsir al-Mīzān.

1. Pandangan al-Ṭabarsī

Penjelasan penafsiran al-Ṭabarsī terhadap ayat-ayat taqiyyah disub bab atas,

maka dapat dipahami bahwa beliau memaparkan makna taqiyyah itu diperbolehkan

oleh agama ketika munculnya rasa takut terhadap dirinya dan memelihara diri dari

sesuatu yang ditakuti dari mereka. Karena taqiyyah itu boleh dalam segala situasi

ketika itu darurat. Dan dengan kejadian itu untuk melakukan hal demikian, untuk

tujuan membuat rasa lembut dan meminta perdamaian.

Menurut analisa yang penulis paparkan dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam

kitab tafsir Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dapat diuraikan sebagai berikut,

diantaranya adalah :

a. Taqiyyah Berkaitan Larangan Orang Mukmin Muwālat (mengikuti)

terhadap Orang-orang Kafir

Dilihat dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam tafsirnya Majma‟ al-Bayān tentang

Taqiyyah yang berkaitan larangan Mukmin Muwālat (mengikuti) orang-orang kafir

terdapat dalam surat Āli „Imrān ayat 28.

Sebagaimana al-Ṭabarsī menjelaskan orang-orang Mukmin dilarang

mengikuti (muwālat) dari orang yang tidak mempunyai kemulian sama sekali disisi

mereka, dan terdapat pula celaan terhadap musuh-musuhnya. karena terdapat suatu

kecenderungan terhadap apa yang ada disisinya dan juga apa yang ada dalam diri

pemimpin orang-orang Mukmin, selain musuh-musunya yang kafir. Oleh karena

Page 113: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

99

Allah swt berfirman “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir

menjadi pemimpin atau sahabat”.

Al-Ṭabarsī mengungkapkan Tidaklah pantas bagi orang-orang mukmin

menjadikan orang-orang kafir itu sebagai sahabat/pemimpin untuk jiwanya sendiri.

Dan mereka meminta tolong kepada pemimpin kafir kemudian mengadukan sesuatu

kepada mereka lalu menampakkan kecintaan mereka.

Al-Ṭabarsī mengatakan bahwa siapa yang menjadikan orang kafir sebagai

pemimpin selain orang mukmin maka orang itu bukanlah pemimpin-pemimpin yang

dikehendaki Allah. Sedangkan Allah akan berlepas diri darinya. Dan dikatakan pula

hal ini tidaklah termasuk dari wilāyah (penjagaan) Allah swt. Dan dia bukanlah

termasuk golongan dari agama Allah. Dalam penafsirannya al-Ṭabarsī memberikan

pengecualian terhadap orang-orang mukmin yang ber-muwālat (mengikuti) terhadap

orang-orang kafir dalam rangka taqiyyah (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang

ditakuti dari mereka. Maka demikian itu dibolehkan bagi orang mukmin itu

memperlihatkan kasih sayang mereka dengan ucapannya yang manis karena untuk

taqiyyah, serta dalam batīn menolak dirinya untuk meyakini hal demikian itu.

b. Taqiyyah karena paksaan dan sebagai strategi

Pembahasan terkait Taqiyyah karena paksaan dan sebagai strategi dapat

dilihat dalam penafsiran al-Ṭabarsī dalam dalam surat al-Naḥl [16] ayat 106.

Menurut al-Ṭabarsī penjelasan tentang orang yang dipaksa ini telah terjadi

pada masa Rasulullāh kisah sahabat Nabi yaitu „Ammār yang tertera dalam asbāb al-

Page 114: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

100

Nuzūl. Telah diceritakan tentang penderitaan „Ammār yang disiksa oleh kaum

Musyrikin Quraisy dan dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, oleh karena itu

tidak tahan disiksa beliau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Mempraktekkan taqiyyah boleh dalam dilakukan dalam setiap keadaan yang

berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan. Maka Allah menurunkan

firman-Nya, “.....padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak dosa),....”

(al-Naḥl [16] : 106).

Al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir

dengan jalan taqiyyah itu hukumnya dibenci (makruh). Dan apabila hatinya tetap

tenang dengan penuh keimanan maka tidak ada dosa atasnya dengan berbuat

demikian itu. Kemudian ada pengecualian dari demikian itu, yaitu orang yang dipaksa

atas itu dan adanya ketetapan hati kepada keimanan di dalam bāṭin

(ketersembunyiannya) maka sesungguhnya itu adalah berlawanan. Al-Ṭabarsī juga

menjelaskan tentang orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dan

menyenangkan dirinya dengan itu, maka akan mendapatkan kemurkaan Allah

menimpanya dan baginya azab yang besar di akhirat kelak.

Menurut al-Ṭabarsī, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi

stategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat

yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencanya. Mereka menafsirkan

perbuatan imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnnya „Alī atas

kekhalifahan Abū Bakar, „Umar, dan perjanjian damai antara Ḥasan dengan

Mu‟awiyyah.

Page 115: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

101

Al-Ṭabarsī dalam tafsirnya mengutip imam besar Syi‟ah yaitu Syaikh al-

Mufīd yang menjelaskan bahwa sesungguhnya taqiyyah itu kadang-kadang ia wajib,

kadang-kadang ia suatu kaharusan. Terkadang dia boleh tanpa ada suatu kewajiban

dan suatu waktu dia lebih utama untuk meninggalkannya. Dan sesunguhnya

meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya itu karena ada

halangan (użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih diutamakan atasnya dengan

meninggalkan celaan.

2. Pandangan al-Ṭabāṭabā„ī

Penjelasan penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī terhadap ayat-ayat taqiyyah disub bab

atas, maka dapat dipahami bahwa beliau memaparkan taqiyyah itu sebagai upaya

untuk memelihara diri, harta dan keyakinan mereka dari ancaman musuh dari

perkara-perkara yang bisa membayakan dirinya. Menurut analisa yang penulis temui

dalam penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī tentang ayat-ayat taqiyyah dapat uraikan, diantaranya

adalah :

a. Taqiyyah Berkaitan Dengan Larangan Muwalat/Tawalli Terhadap Orang-

Orang Kafir

Pembahasan konsep taqiyyah yang berkaitan dengan larangan untuk

mengikuti atau muwalat terhadap orang kafir, dapat ditemui dalam tafsir al-Mīzān

penafsiran al- Ṭabāṭabāi‟ī dalam al-Qur‟an surat Āli „Imrān [3]ayat 28.

Sebagaimana al-Ṭabāṭabā„ī menjelaskan kata muwālat berarti pendukung,

pengikut, penganjur, yang berasal dari kata al-Wilayah yang menunjukkan otoritas

untuk mengurus, mengelola, mengendalikan sesuatu, yaitu perwalian. Menurut beliau

Page 116: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

102

sangatlah tidak pantas jika orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali

mereka. Karena perwalian antara kaum mukmin dan kaum kafir dapat mengakibatkan

rusaknya aspek-aspek keimanan. Sebagaimana jelas dari ayat al-Qur‟an tersebut,

Allah swt sangat melarang wilāyat (yang dalam hal ini berarti persahabatan yang

sedikit banyak memperngaruhi hidup seseorang) dengan orang-orang kafir dan

memerintahkan agar berhati-hati dan mempunyai rasa khawatir dalam keadaan

semacam itu.

Al-Ṭabāṭabā„ī melarang umat Islam untuk ber-muwālat kepada orang-orang

kafir dengan alasan karena perbedaan keyakinan dan pemahaman, iman dan kufur

saling bertentangan dan keduanya tidak pernah dapat disamakan. Namun terdapat

rukhṣah dalam keadaan ini apabila khawatir akan kelamatan dirinya dari kejamnya

penguasa. Oleh karena itu al-Ṭabāṭabā„ī membolehkan menjadikan orang kafir

sebagai teman atau pemimpin dalam rangka taqiyyah, demi menjaga kehormatan diri,

harta, dan agama dengan alasan hanya ẓāhir semata yaitu seperti berkata manis dan

berbuai di depan musuh dan secara baṭin membenci semua tingkah laku mereka.

Dalam hal ini al-Ṭabāṭabā„ī mengatakan bahwa diperbolehkan untuk melakukan

taqiyyah dihadapan musuh/lawan dengan menjadikan mereka sebagai teman atau

pemimpin dalam rangka siasat, demi menjaga kehormatan diri dan agama dan

diharuskan untuk mengabil sikap kehati-hatian terhadap musuh/lawan.

Dilihat dari kedua penafsiran di atas penulis memahami bahwasanya

bersahabat, be-muwālat atau mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin

dikalangan orang-orang Mukmin itu dilarang oleh agama. Karena hal ini dapat dilihat

Page 117: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

103

dari firman Allah swt dalam al-Qur‟an surat Āli „Imrān [3] ayat 28 yang melarang

Mukmin mengambil orang-orang kafir tersebut. Penjelesan kedua penafsiran ini

sangat jelas sekali, karena dikhawatirkan jika menjadikan orang kafir sebagai sebagai

sahabat atau pemimpin dapat menyebabkan orang-orang Mukmin itu membuka

semua rahasia-rahasia secara mendalam tentang agama Islam. Dan ditakutkan pula

orang-orang Mukmin akan mengikuti semua peraturan dan arahan dari mereka

sehingga segala hukum dan agama diabaikan.

Adapun dalam kedua penafsir ini tentang menjadikan mereka sebagai temen

dan pemimpin dalam rangka taqiyyah itu diperbolehkan. Karena jika tidak menuruti

apa yang mereka inginkan ancaman jiwa, kehormatan dan agama akan membawa

malapetaka buat dirinya. Maka dalam hal ini kedua penafsiran memberikan syarat

hanya sebatas ẓāhir yaitu berkata manis dan berbuai di depannya, akan tetapi secara

baṭin menolak semua kemauan dan kayakinannya.

b. Taqiyyah Karena Paksaan dan Strategi

Sebagaimana dilihat dari penafsiran al-Ṭabāṭabā„ī dalam penafsirannya pada

al-Qur‟an surat al-Naḥl [16] ayat 106 dalam tafsir al-Mīzān terkait pembahasan

taqiyyah karena paksaan.

Menurut al-Ṭabāṭabā„ī, taqiyyah dipraktekkan hanya dalam keadaan terpaksa

atau darurat yang diperbolehkan oleh syara‟ dan dimaafkan. Karena mempraktekkan

taqiyyah boleh dilakukan dalam setiap keadaan yang berkemungkinan terdapat suatu

yang bisa membahayakan dirinya dan menghadapi kesulitan.

Page 118: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

104

Al-Ṭabāṭabā„ī di dalam tafsirnya mengutip pandangan Imam yang ke-4 dari

Syi‟ah Imāmiyah yaitu Imam al-Bāqir dalam kitab hadis Syi‟ah, yang dikarang oleh

Imām al-Kulainī yaitu al-Kāfi, dalam kitab ini Imam al-Baqīr mengatakan bahwa

taqiyyah diperbolehkan dalam setiap iḥwal (keadaaan), agar seseorang tidak jatuh ke

dalam keadaaan sulit atau bahaya, dan Allah swt telah menghalalkan untuk dia. Al-

Ṭabāṭabā„ī mengatakan lagi bahwa melakukan taqiyyah dalam kondisi terpaksa atau

ikrah tidak menjadikan seorang itu penakut dan tidak mempunyai nilai keberanian,

bahkan beliau menjelaskan bahwa taqiyyah dilakukan apabila terdapat suatu ancaman

dan bahaya yang memungkinkan untuk terjadi seperti orang yang minum air yang

telah diketahui terdapat racun di dalamnya atau melemparkan diri ke muka sebuah

meriam yang ditembak.

Adapun menurut al-Ṭabāṭabā„ī menjadikan taqiyyah sebagai strategi itu

diperbolehkan demi menjaga diri dari agama, beliau mengatakan bahwa kaum syi‟ah

mempraktekkan taqiyyah ketika dalam kedaan bahaya dengan menyembunyikan

agama mereka dengan merahasiakan praktek-praktek dan upacara keagamaan yang

khas unuk musuh-musuh mereka. Beliau mengungkapkan bahwa dengan melakukan

taqiyyah tidak menjadikan orang-orang muslim itu tidak mempunyai iman yang

tinggi untuk mempertahankan kesucian Islam. Namun, dengan melakukan taqiyyah

adalah sebagai taktik dan strategi dalam mempertahankan kehormatan diri dan agama

daripada berlakunya kebinasaan musuh-musuh Islam.

Dari penjelasan kedua mufassir di atas maka penulis memahami bahwa

taqiyyah dalam kondisi paksaan (ikrah) adalah dibolehkan dalam agama. Karena hal

Page 119: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

105

ini terkait dengan al-Qur‟an surat al-Naḥl [16] ayat 106 dan kisah salah satu sahabat

Nabi bersama kedua orang tuanya yaitu „Ammār yang dipaksa oleh kaum Musyrikin

Quraisy yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, karena itu tidak tahan

dengan siksaan yang dialaminya, beliau melakukan apa yang diperintahkan

kepadanya. Dalam kedua mufassir ini penulis melihat ada perbedaan dalam

memberikan penjelasan tentang hukum bagaimana mempraktekkan taqiyyah dalam

keadaan terpaksa atau darurat.

Dari sini penulis memahami bahwa taqīyyah di dalam kedua penafsiran ini

tidak diwajibkan untuk melakukan taqīyyah, akan tetapi hanya diperbolehkan dengan

syarat-syarat tertentu yang telah dipaparkan di atas. Meskipun keduanya memiliki

latar belakang yang notaben ideologinya mazhab Syi‟ah. Maka dalam hal ini sangat

berbeda dengan perkataan dan ungkapan para Imam Syi‟ah yang menganggap bahwa

taqiyyah menurut kaum Syi‟ah sendiri khususnya Syī‟ah Imāmiyyah Iṡnā

„Asyariyyah, itu merupakan salah satu prinsip-prinsip keimanan yang paling pokok,

karena itu taqiyyah dalam pandangan Syi‟ah memiliki kedudukan yang luar biasa.

Mereka juga mendudukan taqiyyah sejajar dengan wajibnya shalat, ini didasarkan

atas fatwa Ibnu Babawayh salah seorang ulama klasik Syi‟ah yang menyatakan

“Keyakinan kami tentang taqiyyah itu bahwa ia adalah wajib, barang siapa

meninggalkan maka sama dengan meninggalkan shalat”.

Page 120: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

106

3. Persamaan dan Perbedaan Pandangan al-Ṭabarsī dan-Ṭabāṭabā‟ī tentang

Taqiyyah

Melihat semua data yang penulis peroleh dan pahami, dan walaupun mereka

berdua mazhab yang sama yaitu ideologinya Syi‟ah. Maka dalam hal ini penulis

menemukan ada beberapa persamaan dan perbedaan di dalam menafsirkan taqiyyah

menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī diantaranya adalah :

Persamaan pandangan tentang taqiyyah menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī.

a. Dalam menjelaskan makna taqiyyah kedua mufassir ini memberikan

pengertian yang sama yakni taqiyyah itu memelihara diri dari perkara-perkara

yang bisa membahayakan pada dirinya.

b. Dalam menafsirkan ayat taqiyyah kedua penafsiran terlebih dahulu

menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl, i‟rāb, dan aspek balaghāh.

c. Dalam menjelaskan taqiyyah kedua penafsiran ini sama-sama mengambil

sumber yang lain yaitu dengan naṣ al-Qur‟an, qiyās, untuk memperkuat

pendapatnya.

d. Dalam menjelaskan tentang larangan muwālat kepada orang-orang kafir,

kedua mufassir sepakat bahwa dilarang orang Mukmin mengambil atau

menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat/pemimpin. Karena

dikhawatirkan rahasia-rahasia penting dan kesucian Islam akan terpengaruh

kepada sikap dan tingkah laku mereka.

Perbedaan pandangan tentang taqiyyah menurut al-Ṭabarsī dan al-Ṭabāṭabā„ī.

Page 121: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

107

a. Menurut al-Ṭabarsī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan

kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu dibenci (makruh). Yaitu perbuatan

yang sebaiknya tidak lakukan, akan tetapi apabila terdesak dengan suatu

keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada hentinya, maka dibolehkan untuk

mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-nya (qalb) tetap tenang dengan

penuh keimanan, dan berlawanan dengan sikap ẓāhir-nya yang mengakui

kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tida ada dosa atasnya. Sedangkan

al-Ṭabāṭabā„ī mengatakan orang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir

dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan syara‟.

Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam keadaan setiap keadaan

yang berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-

Ṭabāṭabā„ī mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal,

agar seseorang tidak jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah

menghalalkan untuk dia.

b. Dalam mengambil sebuah pendapat dari para kalangan Imam Syi‟ah kedua

penafsir ini berbeda, al-Ṭabarsī mengutip pendapat dari Syaikh al-Mufid yang

mengatakan taqiyyah itu terkadang dia dibolehkan tanpa ada suatu kewajiban,

dan ada waktu yang lebih utama daripada meninggalkannya. Dan

sesunguhnya meninggalkannya itu lebih utama sekalipun yang melakukannya

itu karena ada halangan (użur) serta dimaafkan olehnya, secara lebih

diutamakan atasnya dengan meninggalkan celaan atasnya. Sedangkan al-

Ṭabarsi mengutip pendapat dari Imam Ja‟far al-Ṣādiq yang mengatakan tidak

Page 122: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

108

disebut beragama bagi orang yang tidak ber-taqiyah, bahkan Allah berfirman

janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan ber-taqiyah. taqiyah dalam

segala hal kehidupan itu dianjurkan bagi umat manusia bahkan Allah telah

menghalalkannya.

c. Menurut al-Ṭabarsī, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi

strategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai

pada saat yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencanya.

Sedangkan al-Ṭabāṭabā„ī taqiyyah dapat dijadikan sebagai strategi dan taktik

apabila berhadapan dengan musuh yang dan ẓalim.

Page 123: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

109

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis analisa pembahasan terhadap uraian-uraian pada bab-bab

sebelumnya, maka penulis menyimpulkan jawaban dari rumusan masalah yang

penulis sebutkan di awal penelitian.

Dari analisa penulis terdapat persamaan dan perbedaan diantara kedua

penafsir tersebut, pertama persamaannya adalah dalam menafsirkan ayat taqiyyah

kedua penafsiran terlebih dahulu sama-sama menjelaskan tentang asbāb al-Nuzūl,

i’rāb, dan aspek balaghāh. Dalam menjelaskan taqiyyah kedua penafsiran ini sama-

sama mengambil sumber yang lain yaitu dengan naṣ al-Qur’an, qiyās, untuk

memperkuat pendapatnya. Dalam menjelaskan tentang larangan muwālat kepada

orang-orang kafir, kedua mufassir sepakat bahwa dilarang orang Mukmin mengambil

atau menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat/pemimpin. Karena dikhawatirkan

rahasia-rahasia penting dan kesucian Islam akan terpengaruh kepada sikap dan

tingkah laku mereka.

Kedua, Perbedaanya adalah Menurut al-Ṭabarsī mengatakan orang yang

dipaksa untuk mengucapkan kalimat kafir dengan jalan taqiyyah itu dibenci

(makruh). Karena perbuatan yang sebaiknya tidak lakukan, akan tetapi apabila

terdesak dengan suatu keadaan dan mendapat siksaan yang tak ada hentinya, maka

dibolehkan untuk mempraktekkan taqiyyah. Dengan syarat baṭin-nya (qalb) tetap

Page 124: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

110

tenang dengan penuh keimanan dan berlawanan dengan sikap zāhīr-nya yang

mengakui kekafiran dan mengikuti keinginanya, maka tidak ada dosa atasnya.

Sedangkan al-Ṭabāṭabā‘ī mengatakan orang yang dipaksa untuk mengucapkan

kalimat kafir dan mempraktekkan taqiyyah maka diperbolehkan dan dimaafkan

syara’. Mempraktekkan taqiyyah boleh dilakukannya dalam setiap keadaan yang

berkemungkinan terdapat suatu bahaya dan kesulitan, karena al-Ṭabāṭabā‘ī

mengatakan bahwa taqiyyah diperbolehkan dalam setiap ihwal, agar seseorang tidak

jatuh dalam keadaan sulit atau berbahaya, dan Allah telah menghalalkan untuk dia.

B. Saran

Penulis menyarankan ke depannya untuk melakukan penelitian lebih

mendalam tentang taqiyyah dengan melakukan praktek lapangan sebagai jalan guna

mengetahui realitas praktek taqiyyah dalam konteks sekarang oleh aliran-aliran

Syi’ah yang berada di sekitar Nusantara khususnya. Bagi peneliti selanjutnya agar

membuat karya yang lebih baik dari karya ini, melalui kajian tafsir yang lebih banyak

dan pemikiran yang lebih luas. Kritik bagi penulis merupakan bentuk evaluasi atau

post mortem ke depannya agar kekurangan-kekurangan pada penelitian ini dapat

diperbaiki dan dapat memberi manfaat bersama demi berkembangnya khazanah

pemikiran Islam.

Page 125: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

111

DAFTAR PUSTAKA

Abidu, Yunus Hasan. 2007. Tafsir al-Qur‟an, Sejarah Tafsir dan Metode Para

Mufasir, (Jakarta: PT Gaya Media Pratama).

Aceh, Abu Bakar. 1980. Perbandingan Mazhab Syi‟ah Rasionalisme dalam Islam

(Semarang: Ramadhani).

Ahmad, Nasir Sahilun. 1982. Firqoh Syi‟ah Sejarah, Ajaran dan Perkembangan,

(Surabaya: al-Ikhlas).

Al-Amīn, Iḥsān. 2000. al-Tafsīr bi al-Ma‟ṡūr wa Taṭwīruh „Inda al-Syī„ah al-

Imāmiyah, (Beirut: Dār al-Hādī).

Anwar, Ahmad. 1974. Prinsip-Prinsip Metodologi Research, (Yogyakarta:

Sumbangsih).

Anwar, Rosihon. 2017. Al-Mīzan : Maha Karya Abad Modern (cuplikan-cuplikan

dari buku menelusuri ruang batin al-qur'an: belajar tafsir batini pada

allamah thabathaba'i), (Jurnal LPII Muthahhari, 3 Juni)

Anwar, Rosihon. 2001. Samudra al-Qur‟an, (Bandung: CV. Pustaka Setia).

Ariyani, Dwi Yesi. 2017. Skripsi : Eksistensi Aliran Syi‟ah (Studi di Yayasan

Ṣahib al-Zāman, Kelurahan Rawa Laut Bandar Lampung, (UIN Raden

Intan Lampung

Al-Awsīy, Alī. 1973. “Muqaddimah” al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān, (Beirut:

Mu‟assasah al- A‟lāmi li al-Matbū‟ah).

Baidowi, Ahmad. 2005. Mengenal Thabathaba‟i dan Kontroversi Nṣsikh

Mansūkh (Bandung: Penerbit Nuansa).

Al-Baghdādī, Sālim al-Ṣafār. 2000. Naqd Manhāj al-Tafsīr wa al-Mufassirīn al-

Muqāran, (Beirut: Dār al-Hādi).

Bisri, Adib dan A. Fatah, Munawwar. 1990. Kamus Indonesia-Arab: Arab-

Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Profresif).

Al-Buhairi, Mahmud Farhan. 2001. Gen Syi‟ah : Sebuah Tinjaun Sejarah,

Penyimpangan aqidah dan konspirasi Yahudi, Terj, Agus Hasan Bashari,

(Jakarta: Dār al-Falāḥ)

Page 126: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

112

Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Cet-I, Jilid V

Fahham, Achmad Muchaddam. 2004. Tuhan dalam Filsafat „Allāmah Ṭabātabā‟ī

(Relavansi Pandangan Moral dengan Eksistensi Tuhan dalam Realisme

Insingtif, (Yogyakarta : Rausyanfikr Insitute).

Al-Farmāwy, Abd al-Hayy. 2002. Metode Tafsir al-Qur‟an suatu Pengantar

(Jakarta: Raja Grafindo Persada).

Farghal, Hasyim. 2013. „Awāmil Wa Ahdāf Nasy‟ah Ilm Al-Kalām, (Dar Al-Afaq

Al-„Arabiyyah).

Ghofur, Wahyono Abdul. 2007. Millāh Ibrāhim Dalam al-Mīzān Fi Tafsīr al-

Qur‟ān, Thesis Doctoral, Pascasarjana. (Yogyakarta: Bidang Akademik

UIN Sunan Kalijaga). Hadi Sutrisno. 1986. Metodologi Research,

(Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM), Jilid I.

Hanafi, Ahmad. 1986. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang).

Hasib, Kholili : Artikel “Taqiyyah dalam Pandangan Syi‟ah dan Ahl al-Sunnah”

Ed. Cholis Akbar. Https://www.Hidayatullah.com/artikel/ghazwul-

fikr/read/2013/02/21/65910/taqiyah-dalam-pandangan-syiah-dan-ahlus-

sunnah.html dilihat pada 08 September 2018

Al-Hasyimi, M. Kamil. 1989. Hakikat Akidah Syari‟ah, terj. H.M Rasjidi

(Jakarta:Bulan Bintang).

Al-Hindī, Raḥmatullāh. 1989. Iẓhār al-Hāq, Jilid 2, (Kairo: Dār al-Hādīṡ)

http://sangperaihimpian.blogspot.co.id/2012/02/tafsir-al-mizan.html. Dikutip pada

tanggal 1 Semptember 2018.

Itmam, Muhammad Shohibul. 2013. Jurnal Penelitian “Pemikiran Islam dalam

Perspektif Sunni dan Syi‟ah” (Jawa Timur : STAIN Ponorogo, Agustus)

Vol, 7 no 2.

Al-Kamil oleh Ibn Atsir, Kairo, 1348: Rauḍatu al-Ṣāfa, dan Habibu al-Syiyar dari

Khawandi Mir, Teheran, 1333.

Page 127: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

113

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung:Mandar

Maju), Cet. ke-7.

Al-Khālidī, Ṣalāh „Abd al-Fattāh. 2002. Ta‟rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-

Mufassirīn, (Damaskus: Dār al-Qalam), cet. Ke-3.

Al-Kulajnī, Muḥammad bin Yā‟qūb. 2008. Uṣul al-Kāfī. (Bayrūt : Libanon).

Maḥmūd, Mani‟ „Abdul Ḥālim. 2006. Manhāj al-Mufassirīn, terj Faisal Saleh dan

Syahdinor, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Al-Marāghī, Aḥmad Musṭāfā. 1986. Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu bakar,

(Semarang: CV. Toha Putra), Jilid 3.

Al-Misri, Muḥammad bin Makrām bin Manzūr al-Afrīqī, Lisān al-Arab, Beirut :

Dāru al-Ṣadīr, Jilid 5.

Mustaqim, Abdul. 2003. Madżāhibut Tafsīr; Peta Metodologi Penafsiran al-

Qur‟an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka).

Muṣṭafā, Ibrahīm dkk. 1960. al-Mu‟jam al-Wasīṭ, (Turki: Al-Maktabah al-

Islâmiyyah), juz II.

Naṣr, Sayyid Ḥusain. 2009. “Kata Pengantar” dalam karya al-Ṭabāṭabā‟ī, al-

Qur‟an fi al-Islam, terjemahan M. Wahyudin (Bandung, Mizan)

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa

Perbandingan, (Jakarta: UI-Press).

Al-Nemr Abdul Mun‟eim. 1988. Sejarah Dan Dokumen-Dokumen Syi‟ah (T.Tp.:

Yayasan Alumni Timur Tengah).

Nu‟ama, Aishah Nihayatun. 2013. Skripsi : “Taqiyyah Perspektif Muḥammad

Ḥusain al-Ṭabāṭabā„ī Dalam Tafsīr al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟ān”

(Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga).

Otta, Yusno Abdullah, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir al-Mīzān (Studi atas

Pemikiran Ṭabāṭabā‟ī dalam Tafsir al-Mīzān) Jurnal IAIN Manado.

Al-Qafārī, Naṣir bin „Abdillāh bin „Alī. 1994. Ushū al-Mażhāb al-Syī‟ah: al-

Imāmiyah al-Iṡnā „Asyariyah, cet-2 jilid II.

Page 128: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

114

Quṭb, Sayyid. 2001. Tafsīr Fī Ẓilalil Qur‟ān; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj.

As‟ad Yasin, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press), Jilid 2.

Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam al-Ternatif (Bandung: Mizan)

Rahmi, Nailul. 2010. Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang),

cet 1, h. 9

Al-Rāzī, Aḥmad bin Fāris. 1979 Mu„jam Maqāisy al-Lughah, (Beirut : Dāru al-

Fikr) Cet. 6.

Al-Razzāqī, Abū al-Qāsim. 1993. Pengantar Kepada Tafsir al-Mīzān, terj. Nurul

Gustina, al-Hikmah Jurnal Studi Islam, No. 8. (Bandung: Yayasan

Muthahari).

al-Rūmim, Faḥd „Abd al-Raḥmān Ibn Sulaimān, Ittihājat al-Tafsir fī al-Qarn al-

Rābi‟ „Asyār, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1414 H)

Sahide, Ahmad. 2013. Artikel “Konflik Syi‟ah Sunni Pasca The Arab Spring”

(Jawa Tengah : UGM Sekolah Pascasarjana).

Al-Sālūs, „Alī Aḥmad. 1997. Ma‟a al-Syī‟ah al-Iṡnā „Asyariyah fi al-Ushūl wa

al-Furū‟ (Dirāsah Muqāranah fi al-„Aqāid wa al-Tafsīr), terj: Ensiklopedi

Sunnah-Syi‟ah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir 1, (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar).

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur‟an, (Mizan : Bandung).

---------, 2014. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah ? Kajian Atas

Konsep Ajaran dan Pemikiran. (Lentera Hati, Tanggerang).

Smith, Huston. 1999. Ensiklopedi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada), Cet. 2.

Al-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Sebab Turunya Ayat al-Qur‟an, (Penertbit ,Jakarta

:Gema Insani Prees) Cet I.

Al-Syahrastānī, Muḥammad bin „Abdul Karīm, al-Milal al-Nihāl, (Alira-aliran

Teologi dalam Sejarah Umat Manusia), Jilid 1, (Surabaya : Bina Ilmu).

Al-Syarqāwī, Iffāt Muḥammad. 1972. llijahal al-Tafsīr Miṣr wa al-„Aṣr al-Ḥādiṡ,

(Kairo: Maṭba‟ah al-Kaylāni).

Page 129: TAQIYYAH DALAM PANDANGAN MUFASSIR I KLASIK DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43964/2/AHMAD MULTAZAM-FU.pdf · skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat

115

Al-Ṭabarsī, Abū „Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan. 2005. Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-

Qur‟ān muqaddimah Juz 1, (Beirut: Dār al-Murtadā).

-------, 2006. Majma„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān Juz 2 & 6.

Al-Ṭabāṭabā„ī, Muḥammad Ḥusain. 1989. Inilah Islam Upaya Mehami Seluruh

Konsep Islam Secara Mudah, Terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka

„Allāmah Sayyid Hidāyah).

-------, 1993. Islam Syi‟ah; Asal-Usul dan Perkembangannya, terj.Djohan Effendi,

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), Cet. II.

-------, 1997. al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟an, (Penerbit : Bairūt Libanon) Juz 3

-------, 2010. Tafsīr al-Mīzān, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera), Jilid. 1, 5, & 14

-------, 1994. Mengungkap Rahasia al-Qur‟an (Bandung: Mizan).

Tim Penulis Ahlu Bait Indonesia (ABI). 2012. Buku Putih Mazhab Syi‟ah,

Menurut Para Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap

Untuk Kerukunan Umat), (Jakarta Selatan: Ahlu al-Bait Penerbit

Indonesia).

Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Al-Żahabī, Muḥammad Ḥusain. 2010. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Cet, I, Kairo:

Dār al-Ḥadīs) Juz II.

Zahrah, Muhammad. Abu. 1990. Sejarah Aliran-aliran dalam Islam, terj.

Shobahussurur (Ponorogo:PSIA, cct.I).

Zainuddin, Abdul Rahman. 2000. Syi‟ah dan Politik di Indonesia, (Bandung:

Mizan).

Zakaria, Abu Muhyiddin, Tahdzibul Lughah, (Darul Kutub Al-‟Ilmiyah”, Beirut –

Libanon),

Zhairi, Ikhsan. 1984. Syi‟ah dan Sunnah, terj. Bey Arifin (Surabaya: PT Bina

Ilmu).