rifqi muhammad fatkhi-fu.pdf

25
Islamisme di Balik Layar dan Kontestasi Dakwah di Udara Yogyakarta Rifqi Muhammad Fatkhi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected] Pendahuluan José Casanova berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat mewarnai wilayah publik. 1 Oleh karenanya, seiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi. Dakwah sebagai penyemaian nilai-nilai agama di wilayah publik tidak lagi melulu dilakukan di masjid, di rumah-rumah ataupun di langgar dalam sebuah acara formal yang hanya dapat menyentuh segolongan orang untuk menghadiri majelis tersebut, tetapi dakwah diharapkan lebih bisa mengemas dirinya dengan hadir dan menyeru siapa pun, baik kepada mereka yang membutuhkan seruan dakwah itu sendiri maupun yang tidak. Pesan dan nilai dalam dakwah juga akan lebih bisa diterima jika disampaikan secara terus-menerus; setiap hari, setiap jam, setiap menit dan detik. Saat agama berada di wilayah publik khususnya dalam bentuk dakwah, maka pemangku dan pemegang otoritas keagamaan menjadi tidak terbatas, diampu oleh siapa saja berdasarkan preferensi atau afiliasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karenanya, penyebaran agama atau ajaran agama tidak lagi memiliki otoritas tunggal sehingga kelompok mana pun merasa atau tidak merasa berhak menyampaikan pesan-pesan keagamaan (dakwah) berdasarkan kuasa dan kapasitas masing-masing. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kontestasi di antara beberapa kelompok keagamaan dalam menyiarkan dakwahnya. Kelompok keagamaan yang secara aktif menyiarkan dakwah di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar berdasarkan pada pemahaman terhadap 1 Sebagaimana dikutip oleh Matthias Koenig, “Religion and Public Order in Modern Nation- States: Institutional Varieties and Contemporary Transformations,” dalam Winfried Brugger and Michael Karayanni (eds.), Religion in the Public Sphere: A Comparative Analysis of German, Israeli, American and International Law (New York: Spreinger, 2007), 4-5.

Upload: dinhcong

Post on 28-Dec-2016

273 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

Islamisme di Balik Layar dan Kontestasi Dakwah di Udara Yogyakarta

Rifqi Muhammad Fatkhi

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected]

Pendahuluan

José Casanova berpendapat bahwa nilai-nilai agama dapat mewarnai wilayah

publik.1 Oleh karenanya, seiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi

informasi dan telekomunikasi. Dakwah sebagai penyemaian nilai-nilai agama di

wilayah publik tidak lagi melulu dilakukan di masjid, di rumah-rumah ataupun di

langgar dalam sebuah acara formal yang hanya dapat menyentuh segolongan orang

untuk menghadiri majelis tersebut, tetapi dakwah diharapkan lebih bisa mengemas

dirinya dengan hadir dan menyeru siapa pun, baik kepada mereka yang membutuhkan

seruan dakwah itu sendiri maupun yang tidak. Pesan dan nilai dalam dakwah juga akan

lebih bisa diterima jika disampaikan secara terus-menerus; setiap hari, setiap jam, setiap

menit dan detik.

Saat agama berada di wilayah publik khususnya dalam bentuk dakwah, maka

pemangku dan pemegang otoritas keagamaan menjadi tidak terbatas, diampu oleh siapa

saja berdasarkan preferensi atau afiliasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karenanya,

penyebaran agama atau ajaran agama tidak lagi memiliki otoritas tunggal sehingga

kelompok mana pun merasa atau tidak merasa berhak menyampaikan pesan-pesan

keagamaan (dakwah) berdasarkan kuasa dan kapasitas masing-masing. Kondisi ini

secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kontestasi di antara beberapa kelompok

keagamaan dalam menyiarkan dakwahnya.

Kelompok keagamaan yang secara aktif menyiarkan dakwah di Indonesia dapat

dikategorikan menjadi dua kelompok besar berdasarkan pada pemahaman terhadap

1 Sebagaimana dikutip oleh Matthias Koenig, “Religion and Public Order in Modern Nation-

States: Institutional Varieties and Contemporary Transformations,” dalam Winfried Brugger and Michael Karayanni (eds.), Religion in the Public Sphere: A Comparative Analysis of German, Israeli, American and International Law (New York: Spreinger, 2007), 4-5.

Page 2: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

2 of 25

ajaran agama Islam, yaitu skriptualis dan substansialis.2 Kedua kelompok inilah yang

terlibat dalam gerakan dakwah di wilayah publik.

Shmuel Noah Eisenstadt menyatakan bahwa ruang publik adalah lokus

terjadinya kontestasi kuasa dalam setiap jenis masyarakat.3 Oleh karenanya, dapat

diduga terjadi kontestasi antar radio dakwah di Yogyakarta yang dalam hal ini

penelitian ini memusatkan perhatiannya pada Radio Majas dan Radio ICBB.

Setidaknya ada dua pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam tulisan ini.

Pertanyaan pertama yaitu apakah ada nilai-nilai Islamisme dalam materi dakwah yang

disampaikan oleh Radio Majas dan Radio ICBB? Jika ada, bagaimana nilai-nilai

Islamisme disampaikan oleh kedua radio tersebut? Sedangkan pertanyaan kedua adalah,

apakah terjadi kontestasi dakwah melalui udara (siaran radio) di Yogyakarta? Jika ada,

bagaimana bentuk kontestasinya, dan faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya

kontestasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai Islamisme

yang terkandung di dalam siaran dakwah Radio Majas dan Radio ICBB, dan

mengungkap kemungkinan terjadinya kontestasi dakwah di Yogyakarta.

Kondisi Geografis, Sosial dan Keagamaan Yogyakarta

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan tengah Pulau

Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan dan Propinsi Jawa Tengah

di bagian lainnya. Secara astronomis, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak

antara 70 33' LS - 8 12' LS dan 110 00' BT - 110 50' BT dengan luas 3.185,80 km,

terdiri dari 4 kabupaten dan 1 Kota, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman,

Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulonprogo. Setiap

kabupaten/kota mempunyai kondisi fisik yang berbeda sehingga potensi alam yang

tersedia juga tidak sama.

Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dapat dilihat dari pelestarian sistem

kerajaan di dalam pemerintahannya (dengan sebutan Kesultanan), namun sebagaimana

kerajaan lain di Jawa -yang meyakini konsep harmoni dalam politik, ekonomi, sosial,

2 William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik

Islam di Indonesia Masa Orde Baru,” dalam Mark Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 285.

3 Shmuel Noah Eisenstadt, “Concluding Remarks: Public Sphere, Civil Society, and Political Dynamics in Islamic Societies,” dalam Miriam Hoexter Eds., The Public Sphere in Muslim Societies (New York: State University of New York Press, 2002), 146.

Page 3: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

3 of 25

dan agama- Yogyakarta lebih secara spesifik menerapkan harmonisasi tersebut

misalnya dalam gelar yang digunakan yaitu “Senopati ing Alaga Abdurrahman Sayidin

Panatagama Khalifatullah.”

Gelar tersebut menunjukkan posisi Sultan tidak hanya sebagai pemimpin

pemerintahan Jawa (Raja Yogyakarta) yang memutuskan perang dan damai karena

bergelar Senopati (Panglima perang tertinggi), tetapi sekaligus sebagai pemimpin

agama Islam yang memiliki legitimasi menjadi wakil Allah di muka bumi dan pengatur

urusan agama dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Posisi inilah yang

kemudian dinilai oleh banyak kalangan sangat mempengaruhi model kehidupan sosial

keagamaan masyarakat Yogyakarta yang menggabungkan antara nilai-nilai tradisi dan

budaya Jawa dengan ajaran-ajaran agama (Islam).

Beberapa sarjana Barat memandang perpaduan yang terjadi antara nilai-nilai

Jawa dan Islam ini sebagai Jawanisasi Islam (Javanization of the Islamic Values),

sementara Simuh berpendapat sebaliknya dengan menyatakan bahwa yang terjadi justru

Islamisasi Jawa (Islamization of the Kingdom’s Culture and Heritage).4 Beberapa

tradisi budaya di Yogyakarta menjadi penguat tesis Simuh, di antaranya adalah tradisi

Garebeg Pasa (sebuah acara yang diselenggarakan setelah puasa Ramadan), Garebeg

Mulud (dilaksanakan pada bulan Mulud/bulan kelahiran Nabi Muhammad), dan

Sekaten (diambil dari kata syahadatayn yang bermakna dua kalimat syahadat).

Selain itu, Yogyakarta adalah tempat lahir dan berkembangnya salah satu

organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah (sebuah organisasi keagamaan

modern yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) dan juga terdapat Pesantren Krapyak

(pesantren paling tua di Yogyakarta yang dapat diasosiasikan ke dalam organisasi

keagamaan Nahdlatul Ulama) yang didirikan oleh KH. Moenawwir pada saat yang

hampir bersamaan dengan KH. Ahmad Dahlan. Kedua kelompok keagamaan tersebut

sampai hari ini masih berlangsung sebagai bagian dari masyarakat Islam Yogyakarta

yang juga menerima perpaduan Islam dan Jawa.

Kondisi sosial keagamaan masyarakat Yogyakarta yang menggabungkan dua

nilai dan tradisi Jawa dan Islam sebagaimana tersebut di atas, menjadi tantangan

tersendiri bagi kelompok keagamaan tertentu yang memiliki agenda dakwah

mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah, bahkan menjauhkan

4 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang, 1995), 120.

Page 4: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

4 of 25

kaum muslimin dari penyimpangan-penyimpangan dalam akidah, ibadah dan

muamalah. Kelompok keagamaan yang kemudian menamai dirinya dengan kelompok

Salafi yang pada pemerian selanjutnya akan dibahas salah satu metode dakwah

kelompok tersebut di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Radio Majas: Radio Dakwah Pertama di Yogyakarta

Radio Majas adalah radio dakwah pertama kali yang berada di wilayah

Yogyakarta. Radio ini pada awalnya bernama Radio Ma’had Jamilurrohman yang

kemudian menjadi Radio Majas (akronim dari Ma’had Jamilurrohman As-Salafy).

Radio ini dikelola oleh Pondok Pesantren Syaikh Jamilurrohman As-Salafy yang

terletak di Banguntapan Bantul Yogyakarta, tepatnya di tengah hunian yang mereka

sebut dengan perkampungan “Ikhwah Salafīyīn”. Ma‘had Jamilurrohman didirikan pada

tahun 1995 atas bantuan seorang donatur dari Arab Saudi yang bernama Syaikh

Jamilurrohman.5

Cikal bakal berdirinya Ma‘had Jamilurrohman pada awalnya adalah kegiatan

majelis taklim Dauroh tahunan selama 1 bulan pada masa liburan semester pada akhir

tahun 1986 di sekitar kampus UGM. Peserta kegiatan ini adalah perwakilan mahasiswa

dari seluruh Indonesia yang diharapkan menjadi penyambung dakwah Salaf di

daerahnya masing-masing. Kemudian pada tahun 1995, mulailah dirintis Ma‘had

Tahfidzul Quran (pesantren menghafalkan Al-Qur’an) mulai tingkat Ibtidaiyah (dasar)

dengan menyewa sebuah rumah yang dihuni oleh sekitar 60 anak pada saat itu.

Pesantren inilah yang kemudian dikembangkan menjadi Ma‘had Jamilurrohman As-

Salafy di Banguntapan, Bantul.6

Radio Majas didirikan pada awalnya sebatas media dakwah komunitas sekitar

pesantren yang didirikan oleh Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy khusus untuk

“tadrīb al-du’āt” (pelatihan da’i untuk putra) dan Tarbiyat al-Nisā’ (pendidikan untuk

putri), dan kemudian menjadi cikal bakal pendirian Islamic Center Bin Baz (ICBB) atau

biasa juga disebut Markaz Syeikh Bin Baz.7 Keberadaan Radio Majas merupakan

respon atas pesatnya laju perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi.

5 Wawancara dengan Abu Hafid (pemateri Radio Majas), Yogyakarta 10 Sepetember 2014. 6 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 10 Sepetember 2014. 7 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 10 Sepetember 2014; dan Zaenuddin (pengelola

dan pemateri Radio Majas), Yogyakarta 27 Februari 2015.

Page 5: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

5 of 25

Dakwah seharusnya tidak melulu dilakukan di masjid, di rumah-rumah ataupun di

langgar dalam sebuah acara formal yang hanya dapat menyentuh segolongan orang

untuk menghadiri majelis tersebut, tetapi dakwah harus lebih bisa mengemas dirinya

dengan hadir dan menyeru siapa pun, baik kepada mereka yang membutuhkan seruan

dakwah itu sendiri maupun yang tidak. Pesan dan nilai dalam dakwah juga akan lebih

bisa diterima jika disampaikan secara terus-menerus; setiap hari, setiap jam, setiap

menit dan detik. Radio Majas didirikan sebagai wadah penyebaran ajaran Islam yang

rahmatan lil ‘alamin, yang penuh keadilan, dan sebagai penyampaian ilmu atau syiar

dakwah dan tarbiyah.8

Secara lebih terinci, Radio Majas memiliki beberapa tujuan strategis sebagai

berikut,

1. Sebagai sarana dasar untuk belajar dan mengajar dari jarak jauh.

2. Mengenalkan dasar-dasar prinsip Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah dalam berakidah,

beribadah dan bermu’amalah kepada sesama makhluk Allah.

3. Menanamkan prinsip ittiba‘ (mengikuti sunnah Rasulullah)

4. Menanamkan prinsip akhlaq yang mulia nan Islami

5. Menjauhkan kaum muslimin dari penyimpangan-penyimpangan dalam akidah,

ibadah dan mu’amalah

6. Menanamkan prinsip persatuan dan kesatuan kaum muslimin di atas manhaj dan

akidah yang lurus (berdasarkan pemahaman sahabat, tābi‘īn, tābi’ al-tābi‘īn dan para

ulama sunnah yang sejalan dengan mereka).

7. Membina masyarakat agar menjadi masyarkat yang kuat dan kokoh jasmani dan

rohaninya dengan menyajikan kajian-kajian kesehatan masyarakat baik konvensional

maupun tradisional.

8. Ikut andil dalam membina generasi muda harapan keluarga, masyarakat,bangsa dan

Negara.9

Radio dakwah dengan slogan “Media Ilmu Tadabbur Kalam Ilahi” ini mulai

mengudara pada tahun 2004, dan selain mengudara melalui sarana radio komunitas,

Radio Majas juga memperluas jangkauannya melalui daring www.radiomajas.com dan

menyiarkan tabligh akbar secara langsung, baik ustadz yang berasal dari dalam maupun

luar negeri yang tentunya sesuai dengan manhaj dakwah radio. Radio ini juga tidak

8 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 9 http://www.radiomajas.com/profil/ diakses pada tanggal 12 Juni 2015

Page 6: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

6 of 25

menyediakan iklan kecuali hanya informasi-informasi yang berkenaan dengan kegiatan

radio, pesantren, dan kajian-kajian keagamaaan yang diselenggarakan oleh kelompok

sepaham.

Radio Islamic Center Bin Baz (ICBB) Anak Kandung Radio Majas

Keberhasilan Radio Majas kemudian mendorong Ustadz Abu Nida sebagai

pimpinan Pondok Pesantren Islamic Center Bin Baz untuk yang kedua kalinya (setelah

sebelumnya mendirikan Radio Majas) mendirikan sebuah Radio Dakwah pada bulan

Ramadan tahun 2010. Bersama para pengurus Pondok Pesantren, Abu Nida

mengusahakan berdirinya sebuah radio komersial dengan mendirikan PT Radio.

Namun, karena kesulitan prosedur pendirian radio dan kuota frekuensi yang sudah tidak

tesedia, Pengurus memilih jalur frekuensi radio komunitas dengan konsekuensi

jangkauan dakwah menjadi sangat terbatasi, hanya radius 5 -7 km dari Pondok

Pesantren, dan program siaran radio oleh karenanya hanya dapat dinikmati oleh warga

desa di sekitar pondok saja.10

Keterbatasan jangkauan akibat menggunakan sarana radio komunitas ini,

diperluas dengan melakukan siaran melalui daring internet dengan nama Radio Dakwah

Bin Baz 107.8 FM. Hingga kini, upaya untuk memperluas jangkauan dakwah radio

tetap terus diupayakan, di antaranya adalah dengan rencana pembelian salah satu

stasiun radio komersial yang ada -tentunya yang memiliki jangkauan luas dan telah

terdaftar di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta- kemudian

merubahnya menjadi radio dakwah. Namun, cara ini membutuhkan biaya yang tidak

sedikit, sekitar 2-3 Milyar Rupiah. Sayangnya, menurut data yang diperoleh dari KPID,

hingga saat ini Radio ICBB belum terdaftar sebagai radio komunitas yang legal.11

Kebutuhan finansial untuk membeli frekuensi radio tersebut sampai saat ini

masih dalam taraf wacana, belum ada perbincangan mendalam mengenai hal ini.

Sumber dana adalah faktor yang menjadi kendala, karena pendanaan operasional radio

selama ini diperoleh dari Yayasan dan infaq atau sumbangan lain yang halal dan tidak

mengikat. Salah satu penyokong dana operasional radio ini adalah Ustadz Abu Nida

yang hingga kini -selain membidani lahirnya Radio Bin Baz-, juga menjadi penyandang

10 Wawancara dengan Abu Nafis alias Rinto Adi Cahyono (Penanggung jawab berdirinya Radio

ICBB) 11 September 2014. 11 Tri Suparyanto Ed., Directory Radio Televisi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta:

Komisi Penyiaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013).

Page 7: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

7 of 25

dana operasional penyiaran radio dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Pondok

Pesantren ICBB dan salah satu Pembina Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy (yayasan

yang menaungi Pondok Pesantren ICBB).12

Radio Islamic Center Bin Baz (ICBB) secara konsisten menyiarkan dakwah

Islam berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah berlandaskan manhaj salafī atau

pemahaman Salaf al-Ṣāliḥ (para sahabat, tābi’īn, dan tābi‘ al-tābi’īn). Keberadaan

Radio ICBB sejatinya merupakan kelanjutan strategi dakwah melalui Radio Majas yang

dianggap berhasil menyebarkan pesan-pesan keagamaan melalui udara dan dunia maya.

Sebagai radio dakwah, Radio ICBB hanya menyiarkan ceramah-ceramah

agama, kajian kitab, dan dialog interaktif serta tilawah Alquran (jadwal siaran radio

terlampir). Radio ICBB terkadang juga menyiarkan tabligh akbar secara langsung.

Radio ini tidak menyediakan iklan kecuali informasi yang berkenaan dengan kegiatan

radio, pesantren, dan kajian-kajian yang diselenggarakan oleh komunitas sejenis.

Abu Nida (Pendiri Radio Majas dan ICBB): NU, Muhammadiyah, Salafi.

Pendiri Radio Majas dan ICBB adalah Chamsaha Sofwan yang lebih dikenal

dengan nama Abu Nida, putra pasangan Sofwan dan Karep. Lahir di Banyutengah,

Panceng, Gresik, Jawa Timur, pada 7 Juli 1954. Keluarga Chamsaha adalah sebuah

keluarga Muslim pada umumnya, tanpa latar belakang keanggotaan organisasi

keislaman tertentu. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Madrasah Ibtidaiyah NU di

kampungnya. Selanjutnya Ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Pendidikan Guru

Agama (PGA) Pertama Muhammadiyah di Karangasem. Setelah empat tahun belajar, Ia

lanjutkan pendidikannya di PGA Atas Muhammadiyah selama dua tahun.

Usai menyelesaikan pendidikannya, Abu Nida mengikuti kursus dakwah di

DDII (Dewan Dakwah Islamiah Indonesia) -sebagai bagian dari program yang

dirancang untuk mengirim para dai ke daerah-daerah transmigrasi- yang

diselenggarakan di Pesantren Darul Falah Bogor. Abu Nida kemudian dikirim ke

pedalaman Kalimantan Barat (Bulung Rindu, Dedai, Kabupaten Sintang). Sepulang dari

Kalimantan, Abu Nida mendapat rekomendasi dari Muhammad Natsir untuk belajar di

12 Wawancara dengan Abu Nafis, Yogyakarta 11 September 2014.

Page 8: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

8 of 25

Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud Riyadh Arab Saudi.13

Sepulang dari Arab Saudi, Chamsaha tidak segera kembali ke Indonesia. Ia

singgah di Afganistan untuk berjumpa dengan kelompok Salafi yang ada dan bergabung

dengan faksi mujahidin pimpinan Syaikh Jamilurrahman (tokoh salafi yang menjadi

donatur awal atau muḥsinīn berdirinya pondok pesantren Jamilurrahman di Bantul

Yogyakarta). Bergabungnya Chamsaha ke dalam kelompok Jihad di Afghanistan

merupakan pola umum yang juga ditempuh oleh sejumlah alumnus dari berbagai

perguruan tinggi di Arab Saudi atas beasiswa Kerajaan Arab Saudi. Sebagian dari

mereka, di antaranya mahasiswa yang berasal dari Indonesia memutuskan untuk

mengambil bagian dalam perang di Afghanistan.14

Setelah berpartisipasi aktif di Afghanistan, baru pada tahun 1985, Chamsaha

pulang ke tanah air. Menurut Noorhaidi, Chamsaha termasuk salah satu aktor

kemunculan generasi Wahabi Baru (New Wahhabi) di Indonesia yang memiliki

komitmen untuk menyebarkan paham Wahabi dengan nama dakwah Salafī. Selanjutnya

sebagai kader dan dai DDII, ia ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-

Mukmin, Ngruki, Sukorharjo yang baru saja ditinggal pergi dua orang tokoh

terkemukanya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir karena menghindar dari

kejaran aparat hukum. Pesantren Al-Mukmin Ngruki merupakan pesantren yang

berbeda dengan kebanyakan pesantren tradisional yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama.

Pesantren ini lebih modern karakternya, namun secara ideologi lebih dekat ke Wahabi.15

Setahun mengajar di Al-Mukmin, Chamsaha menikah dengan salah seorang

santri putri Al-Mukmin yang berasal dari Yogyakarta berdarah Minang. Pada tahun itu

pula, Chamsaha pindah ke Yogyakarta membuka toko buku dan memasok buah-buahan

untuk supermarket setempat. Seiring dengan kelahiran anak pertamanya, Nida’

Uzzakkiyah, Chamsaha mulai memakai nama Abu Nida.16 Aktivitas niaga tersebut

tidak menghalangi Abu Nida untuk berdakwah. Masih pada tahun yang sama, sekitar

1987, oleh DDII Abu Nida ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren Ibnul

Qayyim Sendangtirto Berbah Sleman. Sesaat setelah itu, dengan dukungan Saifullah

13 Hasil wawancara Noorhaidi dengan Abu Nida, Yogyakarta, 15 December 2002. Lihat

Noorhaidi, “Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest of Identity in Post-New Order Indonesia” (Ph.D. Diss., International Institute for Asian Studies (IIAS) Leiden, 2005), 45-46.

14 Gilles Kepel, Jihad: the Trail of Political Islam (London: I.B. Tauris, 2002), 138-41. 15 Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 44-5. 16 Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 46.

Page 9: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

9 of 25

Mahyuddin, Ketua Kantor Cabang DDII Yogyakarta, Abu Nida mengajar di forum-

forum kajian Islam yang diadakan oleh “Jamaah Shalahuddin” Universitas Gadjah

Mada (UGM) Yogyakarta, kemudian berlanjut melangkah ke dalam Forum Pengkajian

Agama Islam yang diadakan secara rutin di Gelanggang UGM. Aktivitas dakwah Abu

Nida makin semarak saat ia berhasil menginisiasi kajian-kajian keagamaan dalam

bentuk halaqah-halaqah dan dawrah-dawrah di sejumlah masjid kampus, seperti

Masjid Mardliyyah UGM yang terletak di sebelah Barat Fakultas Kedokteran UGM,

Masjid Mujahidin dekat IKIP Yogyakarta, Masjid Siswa Graha di Pogung, dan Masjid

STM di Kentungan. Selanjutnya, bersama Ahmas Faiz Asifuddin dan Aunur Rafiq

Ghufran, Abu Nida menggelar dawrah satu bulan di Pondok Pesantren Ibnul Qayyim

Sleman yang dipimpin oleh Suprapto A. Jarimi, salah seorang dai Muhammadiyah.

Kajian ini kemudian dikenal dengan sebutan “dawrah Ibnul Qayyim”.17

Kegiatan dakwah Abu Nida menambah tingkat popularitasnya di kampus dan

lingkungan sekitar kampus hingga di akhir 1990 ia mendapat julukan “Dai Salafi” di

Yogyakarta. Pada saat yang sama, Abu Nida telah bekerjasama dengan baik dengan

Gerakan Tarbiyah dan dakwahnya telah menyentuh kalangan mahasiswa. Kerja sama

ini kemudian menjadi salah satu pemicu perbedaan pendapat di internal jama’ah Abu

Nida. Sebagian menilai bahwa terlibat langsung dalam perjuangan politik Islam,

dengan bergabung bersama Gerakan Tarbiyah adalah sesuatu yang diperbolehkan

dalam Islam. Sebagian lain berpendapat praktek berpolitik tidak mencerminkan

konsistensi terhadap cara beragama para salaf, karena demokrasi dan politik berpartai-

partai termasuk ke dalam perkara-perkara baru dalam beragama yang itu sangat dibenci

para salaf. Meski demikian, sebagian pengikut Abu Nida tetap bergabung dengan

Gerakan Tarbiyah, dan kemudian menjadi aktivis PK Cabang Yogyakarta.

Sebagai upaya memayungi dakwah yang mulai semarak, pada tahun 1992

berdiri Yayasan As-Sunnah yang di dalamnya tergabung Abu Nida, Ja’far Umar Thalib,

Yazid Jawwas, dan Ahmas Faiz Asifuddin sebagai para pengurus. Dua tahun setelahnya

Yayasan menerbitkan majalah As-Sunnah sebagai media dakwah lain yang efektif.

Namun beberapa tahun berselang, Abu Nida berencana mendirikan sebuah yayasan

baru yang bernama Yayasan Majlis At-Turats Al-Islami. Yayasan yang kemudian

terdaftar dengan Akte Notaris Umar Syamhudi, S.H. No. 11 tertanggal 13 Januari 1994

17 Noorhaidi, “Laskar Jihad”, 46-7.

Page 10: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

10 of 25

itu memiliki sekretariat sementara di sebuah rumah kontrakan di Jalan Menteri Supeno

Gang Soka UH V/1020, Yogyakarta.

Saat ini Abu Nida menjadi pembina Yayasan At-Turots yang membawahi

beberapa bidang kerja di antaranya adalah Pondok Pesantren Jamilurrahman di

Banguntapan dan Islamic Centre Bin Baz (Pusat) di Piyungan Bantul, cabang-cabang

pondok pesantren ICBB di berbagai daerah di Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan (STIKES) Madani dan Sekolah Tinggi Agama Islam ICBB di Piyungan

Bantul, Rumah Sakit At-Turots di Seyegan Sleman, Klinik Pratama At-Turots di

Piyungan Bantul, dan Lembaga sosial At-Turots Peduli Umat (APU).

Selain Abu Nida, ada beberapa Ustadz yang secara aktif terlibat dalam kegiatan

dakwah di radio Majas dan ICBB, yaitu Zaenuddin, Abu Hafid, Abu Nafis, dan Edi.

Mereka tidak hanya terlibat dalam kegiatan radio, namun juga aktif di masyarakat.

Masyarakat kerap kali mengundang mereka untuk mengisi pengajian di lingkungan

sekitar Pesantren atau menjadi khatib Jum’at di masjid-masjid yang lokasinya

berdekatan dengan Pesantren. Akseptabilitas masyarakat ini diduga kuat setelah

sebagian masyarakat mendengar ketiganya mengisi siaran radio Majas atau ICBB.18

Islamisme di Radio Majas dan ICBB

Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dalam penelitiannya tentang Benih-benih Islam Radikal di Masjid menyebutkan

pendapat para ahli bahwa gejala yang disebut sebagai kebangkitan Islam (Islamic

Resurrection) sesungguhnya tampil dalam bentuk dan ekspresi yang beragam. Mulai

dari dakwah untuk mengajak umat Islam kembali menjalankan ajaran Islam secara

murni sesuai Al-Qur’an dan Hadis, mendesak pemberlakuan ajaran dan nilai Islam di

level Negara, sampai pada tindakan kekerasan dan terror bom yang dipilih oleh

segelintir Muslim garis keras.19

Variasi dan kompleksitas yang ditampilkan oleh gejala-gejala tersebut membuat

sejumlah ahli mencoba melakukan upaya penyederhanaan dengan menyematkan label

Islam politik, Islam militant, dan Islam radikal. Sayangnya, pelabelan tersebut tidak

18 Wawancara dengan Edi (Pengelola Radio ICBB), Yogyakarta 25 Februari 2015. 19 Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi

Kasus Jakarta dan Solo (Jakarta: Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 11-12.

Page 11: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

11 of 25

dapat mencakup keluasan spectrum gejala kebangkitan Islam sebagaimana beberapa

contoh tersebut di atas. Istilah yang kemudian dipilih untuk dapat menjadi payung

keragaman dan kompleksitas gejala-gejala tersebut adalah “Islamisme”.20

Merujuk pada pendefinisian Islamisme yang dilakukan oleh International Crisis

Group (ICG), Islamisme merupakan upaya aktif sekelompok umat Islam dalam

menegaskan dan menyebarkan akidah, ajaran dan hukum serta kebijakan public yang

dianggap sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan aktif ini bertujuan untuk membela

Islam dan umat Islam, serta mendukung Islamisasi baik di level Negara maupun

masyarakat.21

Keluasan cakupan dan corak Islamisme dalam definisi tersebut berpijak pada

pemahaman keagamaan sebagai doktrin dan sekaligus realitas yang menyejarah. Islam

tidak hanya dipahami pada tataran ideal normatif, melainkan juga pada tataran praktis

yang menyangkut kehidupan umat Islam dalam berbagai aspek.22 Noorhaidi

menyebutkan bahwa arus Islamisme yang memiliki spektrum dan berdampak luas dari

segi implikasi politisnya adalah aktifitas Islamisme yang bergerak di bidang dakwah.23

Berpijak pada pendefinisian kategorisasi Islamisme inilah, pemaparan berikut

akan menunjukkan posisi Radio Majas dan atau ICBB dalam materi siaran dakwah

keduanya, apakah mencerminkan prinsip-prinsip yang dianut oleh kelompok Islamisme

baik secara terang-terangan atau secara diam-diam.

Sebagai radio dakwah, Radio Majas dan Radio ICBB memusatkan perhatiannya

pada kajian keagamaan seperti ceramah dan utamanya murattal al-Qur’an setiap

menjelang shalat lima waktu. Hampir seluruh aspek keagamaan menjadi bagian dari

materi penyiaran yaitu akidah/tauhid, fikih, tafsir, hadis, sīrah nabawīyah yang

disampaikan dalam format ceramah, tanya jawab atau konsultasi agama, melalui siaran

langsung atau rekaman kegiatan kajian yang diselenggarakan baik di Pesantren

Jamilurrohman dan ICBB atau pesantren-pesantren dan masjid yang memiliki afiliasi

manhaj yang sama.

20 Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 12. 21 Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 12.

Selengkapnya lihat Crisis Group Middle East and North Africa Report N037, Understanding Islamism, 2 March 2005, 1; dan John T. Sidel, The Islamist Threat in South East Asia: A Reassesment (Washington, DC: East-West Washington, 2007), 2.

22 Ridwan al-Makassary dan Ahmad Gaus AF ed., Benih-benih Islam Radikal di Masjid, 14. 23 Lihat Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest of Identity in Post-New Order

Indonesia (New York: Cornel Southeast Program, 2006), 89-127.

Page 12: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

12 of 25

Radio Majas secara mandiri menyiarkan materi-materi dakwah baik secara

langsung (live dari studio), rekaman, maupun relay dari stasiun radio lain yang tentunya

sepaham (salafī). Materi siaran yang diproduksi mandiri oleh Radio Majas baik secara

live maupun rekaman adalah Adab Anak, Bahasa Arab, Bahasa Arab Anak , Fikih

Anak, Kajian Islam Tematik, Kajian Muslimah, Kemuliaan Wanita, Kesehatan,

Khutbah Jum’at, Kajian al-Qawl Mufīd (kajian ungkapan-ungkapan hikmah), Murottal

(bacaan Al-Qur’an oleh seorang Qāri’) dan Murottal by Request, SMS Tausiyah, Tafsir

Misbahul Munir, Tauhid Ulūhīyah (Tauhid Ketuhanan), Kajian Pengobatan Herbal Dā’

wa-Dawā’, Kesehatan Masyarakat, Kisah Pilihan Anak Muslim, dan Kajian Kitab

Riyāḍ al-Ṣāliḥīn (Kitab hadits karya al-Nawawī w. 676 H.). Berbeda dengan Radio

Majas yang banyak menyiarkan langsung materi dakwahnya, Radio ICBB hanya

mengudara secara live pada 3 program, yaitu kajian kitab “al-Jadīd fī Syarḥ Kitāb al-

Tawḥīd”, Kajian Fikih Sehari-hari, dan kajian Ustadz Abu Nida yang disiarkan

langsung dari studio Intan TV milik ICBB setiap Jum’at siang (14.00-15.00).

Selain secara mandiri menyiarkan program-program dakwah, kedua radio

tersebut juga merelay dari radio-radio komunitas sepaham.24 Sumber siaran relay Radio

Majas berasal dari Radio Rodja, Hidayah FM, Radio Muslim, dan Radio Ar-Royan

Gresik. Materi yang direlay dari keempat radio tersebut adalah Buyutun Mutmainah

(kajian tentang kehidupan rumah tangga), Kajian Kitab al-Ibānah al-Sughrā, Fikih

Pendidikan Anak, Fiqh al-Usrah/Fiqh al-Nisā’ (kajian fikih keluarga dan fikih

perempuan), Kajian Islam Tematik, Kajian Kesehatan Sinse, Kisah Menawan Sang

Teladan, Tawjīhāt (nasehat-nasehat), Kajian Kitab ‘Umdat al-Aḥkām (kitab hadits), dan

Aqidah Wasitiyah. Radio ICBB juga merelay siaran dari keempat radio yang direlay

oleh Radio Majas, namun dengan 2 program siaran yang berbeda, yaitu ada Kisah

Sahabat, dan Konsultasi Agama. Selain itu, Radio ICBB juga merelay beberapa

program siaran dari Radio Majas.

Melihat paparan materi dakwah tersebut, dakwah yang disampaikan oleh Radio

Majas dan Radio ICBB dapat dikategorikan ke dalam kajian keagamaan normatif yang

biasa ditemukan di media-media dakwah pada umumnya, utamanya berkenaan dengan

fikih keseharian, akhlak, hadits, sejarah, dan tafsir al-Qur’an.

24 Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015.

Page 13: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

13 of 25

Barat, Demokrasi, dan Penerapan Syariat Islam

Beberapa isu sensitif memang pernah menjadi bagian dari siaran dalam format

tanya jawab di Radio Majas. Misalnya tentang penerapan syariat Islam, sang Ustadz

menyampaikan bahwa “menolak dan mencela penerapan syariat Islam adalah perbuatan

munafik”.25 Radio Majas memang hampir tidak pernah secara langsung menyampaikan

materi dakwah yang berkenaan dengan Islamisme, namun demikian sulit dihindari

kesan radio tersebut tidak bersentuhan dengan Islamisme. Salah satu faktor yang

menguatkan penilaian ini adalah lembaga tempat bernaungnya radio ini yaitu Pesantren

Jamilurrohman yang secara terang-terangan menolak Barat sebagaimana tulisan besar

yang dapat dilihat di papan besar halaman masjid Pesantren. Selengkapnya sebagai

berikut,

:قال اإلمام الشافعي رمحه اهللا تعاىل

ما جهل الناس٬، وال اختلفوا إال لرتكهم لسان العرب وميلهم إىل لسان أرسططاليس

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berelisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang Barat).”

Tulisan tersebut secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap penggunaan

25 Siaran Radio ICBB 16 Februari 2015 Jam 17.45 WIB.

Page 14: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

14 of 25

bahasa Asing selain Arab di lingkungan pesantren. Bahkan dalam percakapan berbahasa

Indonesia atau Jawa, mereka kerap menyisipkan bahasa Arab seperti kata “ana, antum,

syukran, afwan.”

Fenomena menolak Barat dan produknya, termasuk modernisasi di dalamnya,

pada satu sisi menjadi penegas atas pendefinisian Islamisme oleh kelompok Modernis.

Kelompok Modernis mengartikan Islamisme sebagai sebuah reaksi terhadap

modernisasi ala Barat, Bayat (2005) menyatakan,

“The ‘modernist’ interpretations portray Islamism as reactive movements carried by traditional people, the intellectuals, and the urban poor, against Western-style modernisation. These movements are said to be anti-democratic and regressive by character.”26 Penolakan terhadap modernisasi ala Barat tersebut juga menjadi dasar pemikiran

yang berkenaan dengan partisipasi politik. Tidak ada satupun acara atau bagian dari

materi siaran yang ikut serta mendukung salah satu partai politik atau calon anggota

legislatif, karena hal yang demikian dianggap bertentangan dengan manhaj yang telah

digariskan sebagaimana disampaikan oleh salah satu Ustadz pemberi materi siaran di

Radio Majas yang bernama Zainuddin berikut,

Partisipasi politik yang dilakukan adalah dalam bentuk taṣfiyah dan tarbiyah. Taṣfiyah dalam arti membenahi pemikiran-pemikiran masyarakat yang tidak sesuai dengan norma-norma Islam yang termaktub di dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan ulama-ulama terdahulu (salaf). Sedangkan tarbiyah yakni mendidik masyarakat agar benar-benar kembali kepada sumber-sumber ajaran agama Islam tersebut. Hal ini dilakukan karena politik yang sekarang adalah perebutan kekuasaan di pemerintahan, sehingga tidak diperkenankan berpolitik dengan cara demikian.27 Dalam hal konsep kenegaraan, menurut para pengisi materi Radio Majas dan

ICBB, menyatakan tidak ada pemerintahan yang sukses selain model pemerintahan

Rasulullah, dan Khalifah-khalifah setelahnya yang disebut dengan Khilafah. Pada masa

itu, keadilan dan kemakmuran terwujud bahkan merata di berbagai lapisan. Artinya

tanpa ajaran Islam, akan sulit mewujudkan pemerintahan yang dapat melahirkan

keadilan dan kemakmuran kepada rakyatnya secara merata. Edi (salah satu Ustadz

pemberi materi siaran di Radio ICBB) memberi contoh Arab Saudi sebagai sebuah

negara yang menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahannya sebagaimana

26 Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory”, Third World Quarterly, Vol. 26, No. 6 (2005), 891-908.

27 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

Page 15: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

15 of 25

penuturannya berikut,

Salah satu manfaat penerapan ajaran Islam adalah terciptanya rasa aman. Hal ini dibuktikan dengan tutupnya semua toko pada saat azan berkumandang. Rasa aman dan ketenangan inilah yang tidak dimiliki oleh negara yang tidak menerapkan ajaran Islam.28

Abu Hafid (salah satu Ustadz pengelola sekaligus pemberi materi siaran di Radio

Majas) menambahkan,

Hanya saja karena saat ini belum ada apa yang disebut dengan Khilāfah Kubrā yaitu khilafah yang diakui oleh seluruh umat Islam, maka umat Islam hanya memiliki ulil amri, namun yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam adalah khilafah sebagaimana Rasulullah dan khalifah-khalifah seterusnya. Jika Khalīfah Kubrā sudah ada maka umat Islam wajib berbaiat kepadanya.29 Meskipun demikian, menurut Zainuddin politik dalam manhaj salaf bukan

mendirikan negara Islam, negara Islam hanya sebagai sarana atau wasilah, “tujuan

politik dalam manhaj salaf adalah untuk mengatur kemaslahatan umat Islam.”30

Penolakan selanjutnya dalam aspek politik adalah pernyataan bahwa demokrasi

bukan berasal dari ajaran agama Islam. Menurut mereka, demokrasi adalah sesuatu

yang salah karena bersumber dari Barat, sehingga hanya perlu berpartisipasi jika

kondisi darurat yang mengharuskan partisipasi umat Islam dalam proses demokrasi

tersebut. Kondisi darurat yang dimaksud yaitu pada saat menghadapi situasi pada

pilihan antara memilih Muslim atau kafir, maka umat Islam harus berpartisispasi dalam

pemilu dengan memilih calon yang Muslim. Berikut pernyataan Zainuddin,

Demokrasi adalah sistem yang keliru. Namun demikian, umat Islam tetap menerima konsep demokrasi tersebut dan mengikuti proses demokrasi seperti pemilu semata-mata untuk menghindari terjadinya kemadlaratan yang lebih besar, yaitu jika dihadapkan pada pilihan untuk memilih calon pemimpin Muslim atau kafir, maka umat Islam didorong untuk memilih yang Muslim. Sedangkan jika calon-calon pemimpinnya adalah Muslim semua, maka tidak diperlukan lagi untuk memilih.31 Abu Hafid menambahkan pendapatnya berkenaan dengan partai politik,

menurutnya tidak ada referensi dari Rasulullah dan para sahabatnya untuk membuat

partai, sehingga umat Islam tidak diperkenankan untuk membuat sesuatu yang tidak

28 Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari

2015; dan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 29 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015. 30 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 31 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

Page 16: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

16 of 25

dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Salaf itu ya tidak berpartai dan tidak berpolitik praktis dengan masuk ke parlemen. Partai Islam yang ada sekarang ini justru menunjukkan pengkotak-kotakan umat Islam yang hanya mewakili kelompok-kelompok masyarakat tertentu, padahal umat Islam itu sejatinya harus bersatu padu.32 Sementara berkenaan dengan ormas-ormas Islam, hanya dibolehkan jika dalam

rangka kemaslahatan seluruh umat Islam bukan untuk kepentingan individu atau

kelompok-kelompok umat Islam tertentu.33

Penerapan ajaran Islam dalam hal bernegara juga mencakup pada tanggung

jawab memilih pemimpin seperti Presiden atau wakil rakyat. Edi mengatakan bahwa

tidak ada dalil yang mewajibkan kita untuk memilih pemimpin. Kewajiban memilih

memimpin hanya akan dilaksanakan jika calon pemimpinnya adalah pemimpin yang

taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pengertian selanjutnya adalah bahwa umat Islam

wajib taat kepada pemimpin atau pemerintah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

dan kewajiban taat pada kebaikan. Sedangkan berkenaan dengan penerapan syariat

Islam, Edi menyampaikan:

Sebaiknya pemerintah menerapkan syariat Islam, karena syariat Islam adalah hukum positif yang telah teruji dan tidak terdapat celah kesalahannya karena bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang pasti mengandung maslahat, sedangkan hukum yang diciptakan manusia belum teruji bahkan tidak mencerminkan keadilan. Dalam hal pidana pencurian misalnya, syariat Islam membatasi hukumannya pada pencurian yang ada ukuran tertentu untuk ditetapkan hukuman kepada pelakunya, tidak seperti hukum di negara kita, yang setiap pencurian mendapatkan hukuman.34

Senada dengan Edi, Abu Hafid menjelaskan lebih lanjut tentang tanggung jawab

penerapan syariat Islam ada di tangan pemimpin yang kelak akan dipertanggung

jawabkan di akhirat. Menurutnya, kewajiban menerapkan Syariat Islam adalah

kewajiban yang melekat pada pemimpin. Berikut penuturannya,

Pemerintah yang tidak menerapkan hukum Allah atau syariat Islam, maka itu menjadi tanggung jawab pemimpin negara ini di hadapan Allah kelak di akhirat. Adapun berkaitan dengan hal yang secara spesifik dalam bernegara, seperti hormat bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, maka tidak ada dalil yang mewajibkan keduanya, bahkan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya ada persoalan pada kebolehan menyanyi. Sedangkan penghormatan kepada bendera, hanya dilakukan karena terpaksa, karena ada

32 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015. 33 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 34 Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015.

Page 17: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

17 of 25

sanksi dari pemerintah.35

Berdasarkan penuturan Abu Hafid, dapat disimpulkan bahwa keengganan

pemimpin atau Negara menerapkan hukum Allah atau Syariat Islam adalah persoalan

serius yang berdampak pada kehidupannya di akhirat kelak. Hal ini disebabkan karena

persoalan bernegara adalah persoalan ibadah yang diatur di dalam Al-Qur’an dan

Hadits. Akibatnya, segala hal yang berkenaan dengan simbol kenegaraan Republik

Indonesia, karena tidak diatur oleh Syariat Islam, maka tidak menjadi kewajiban umat

Islam untuk melaksanakannya. Umat Islam tidak wajib ikut menyanyikan lagu

Indonesia Raya dan hormat Bendera Merah Putih pada acara apapun.

Posisi Perempuan dan Hijab

Berkenaan dengan perempuan, seperti persoalan pemimpin perempuan dan

kewajiban berhijab, para pengisi materi siaran baik di Radio Majas maupun di radio

ICBB sepakat bahwa secara umum laki-laki lebih unggul dibanding perempuan meski

ada beberapa perempuan yang lebih unggul dari pada laki-laki. Mereka mendaasri

pendapatnya dengan ayat al-Qur’an dan Hadits, sebagaiman pernyataan berikut,

Karena itu, di dalam konsep al-Qur’an “al-Rijāl qawwāmūna ‘al al-nisā’” yaitu laki-laki yang menjadi pemimpin kaum perempuan. Nabi juga menjelaskan bahwa kaum perempuan tidaklah lebih unggul dari kaum laki-laki, agama dan akal kaum perempuan setengah dari laki-laki. Shalat dan puasa mereka terkena halangan haid, kesaksian mereka juga separuh kesaksian laki-laki. Perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin kecuali hanya jika yang dipimpin adalah perempuan.36 Dalam skala yang paling kecil seperti rumah tangga misalnya, maka pemimpin rumah tangga harus laki-laki, apalagi dalam wilayah kekuasaan yang lebih besar, pemimpin itu harus laki-laki apalagi negara, karena ajaran Islam seperti itu, bahkan ada hadis sahih yang melarang perempuan menjadi pemimpin, yaitu lan yufliḥa qawm wallat amrahum imra’ah.37 Sedangkan berkenaan dengan kewajiban berhijab, menurut Edi dan Abu Hafid

“muslimah wajib mengenakannya karena hal itu adalah kewajiban dari Allah, sehingga

jika ada instansi atau sebuah perusahaan yang melarang penggunaan hijab harus

35 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015. 36 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015; 37 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015.

Page 18: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

18 of 25

ditolak karena ketaatan melaksanakan perintah Allah.”38 Dengan demikian, pemerintah

yang Muslim harus mewajibkan kepada rakyatnya yang muslim, tidak hanya

perempuan untuk berpakaian Muslim atau Muslimah saja. Namun demikian, kewajiban

tersebut harus disertai dengan tarbiyah dan pencerahan tentang hijab bekerjasama

dengan ulama.39

Menilik pada paparan tersebut di atas (penolakan modernisasi ala Barat, sistem

pemerintahan yang Islami, kewajiban memilih pemimpin muslim yang taat kepada

Allah dan Rasul-Nya, cita-cita mewujudkan khilafah, penerapan syariat Islam, dan

pembatasan wilayah kepemimpinan perempuan), dapat disimpulkan bahwa terdapat

kecenderungan pemahaman skriptualis dan mendukung sebagian nilai-nilai Islamisme40

-meski tidak secara terang-terangan- yang disiarkan melalui materi dakwah di Radio

Majas dan Radio ICBB.

Menolak Jihad dan Terorisme

Meskipun mendukung sebagian nilai-nilai Islamisme, ada sebagian lain yang

mereka tolak. Mereka secara jelas menolak jihad dengan mengangkat senjata apalagi

melakukan kekerasan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan jihad menurut

mereka adalah untuk meninggikan kalimat Allah atau li-I‘lā’ kalimatillāh dan hanya

bisa dilaksanakan jika syarat dan tata laksananya terpenuhi, sebagaimana penuturan

berikut,

Jihad dengan mengangkat senjata atau “sayf” atau pedang, maka harus memenuhi syarat dan rukunnya, di antaranya adalah harus atas perintah dari pemerintah atau ulil amri, sehingga jihad yang dilakukan tanpa komando pemerintah adalah jihad yang tidak syar‘ī. Hukum jihad pada awalnya adalah fardu kifayah, namun jika pemerintah meminta seluruh kaum muslimin untuk berjihad, hukum jihad menjadi fardu ‘ayn.”41 Mereka juga menolak jihad dengan kekerasan seperti teror, pengerusakan rumah

ibadah, melakukan bom bunuh diri. Semua perbuatan tersebut adalah tindakan yang

tidak dapat dibenarkan apalagi dilakukan di dalam masjid.

Tindakan teror bom tidak dapat dibenarkan karena bukan di bawah pemerintah,

38 Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; dan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.

39 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015 40 Penggunaan istilah “Islamisme”, “kelompok”, dan “militan" untuk menggambarkan

pemahaman sebuah kelompok ditolak oleh Abu Hafid. 41 Wawancara dengan Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari 2015.

Page 19: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

19 of 25

dan korban terornya adalah campuran antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir. Seorang Muslim tidak boleh ditumpahkan darahnya, dengan alasan apapun, bahkan jika seorang Muslim dipaksa untuk membunuh saudaranya yang Muslim, maka ia tetap dilarang membunuh saudaranya untuk mempertahankan nyawanya karena terpaksa tersebut. Sedangkan terhadap orang kafir, keberadaan mereka di kalangan umat Islam berada di bawah jaminan keamanan pemerintah, sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena. Hanya saja, larangan memperlakukan orang kafir semena-mena adalah karena jaminan keamanan yang diberikan bukan karena kekafirannya.”42 Jihad hanya diwajibkan jika diserang, dan kewajiban jihad hanya diperuntukkan

bagi umat yang berada di dalam negara itu sendiri, jika umat Islam negeri itu tidak

mampu, maka atas instruksi pemerintah, umat Islam Indonesia wajib berjihad

membantu. Jadi tidak dibenarkan keberangkatan individu atau kelompok ke negara lain

untuk berjihad.

Mereka juga menganggap keliru sejumlah aksi sweeping tempat-tempat maksiat

dan miras yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Radio Majas dan Radio ICBB

juga tidak pernah melakukan atau mengampanyekan anti Barat atau boikot terhadap

produk-produk Barat. Meskipun demikian, kaum Muslimin tetap tidak diperkenankan

menghormati, menyanjung, atau bahkan mencintai ideologi atau agama orang kafir.43

Radio Majas dan Radio ICBB dalam “Kontestasi” Dakwah di Yogyakarta

Kontestasi pada awalnya hanya berada di wilayah politik yang disebut dengan

istilah Contentious Politics, namun belakangan agama juga terlibat dan berkontestasi di

ruang publik. Charles Tilly dan Sidney Tarrow menerjemahkan Contentious Politics

sebagai persoalan “claiming” atau tuntutan terhadap adanya subject (pembuat klaim)

dan objek (penerima klaim). Contentious Politics melibatkan interaksi para aktor yang

saling klaim atas kepentingan satu sama lain. Para aktor tersebut mengkombinasikan

jalur institusional dan ekstrainstitusional untuk memperkuat klaim terhadap kepentingan

masing-masing.44

Shmuel Noah Eisenstadt berpendapat bahwa ruang publik adalah lokus

terjadinya kontestasi kuasa dalam setiap jenis masyarakat. Eisenstadt menyatakan,

42 Wawancara dengan Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 43 Wawancara dengan Edi, Yogyakarta 25 Februari 2015; Abu Hafid, Yogyakarta 26 Februari

2015; Zaenuddin, Yogyakarta 27 Februari 2015. 44 Doug Mcadam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, Dynamics of Contention (United Kingdom:

Cambridge University Press, 2004), 4.

Page 20: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

20 of 25

Public spheres -and of course social movements, especially heterodoxies, sectarianisms, and collective identities (for example, those that crystallized in the vernacular age)- constituted the most important institutional arena in all these societies, for it was in this arena that the rulers, different elites, and various social groups in the centers and peripheries continually negotiated with, contested, and confronted one another about the definition of the common good, as well as about the legitimation and accountability of authorities and the con- comitant possible challenges to the existing hegemonies.45 Dalam hal agama dan beragama, kontestasi diawali oleh persoalan otoritas dan

otoritatif. Khaled M. Abou El Fadl, Professor Hukum Islam pada Fakultas Hukum

UCLA, membagi otoritas menjadi otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas

koersif adalah kemampuan memandu perilaku orang lain dengan cara membujuk,

mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum, sehingga orang yang berakal

sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain

kecuali harus menurutinya. Sedangkan Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang

bersifat normatif. Fadl lalu mengutip Friedman yang membedakan antara “memangku

otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority). Menurut

Friedman, “memangku otoritas” artinya menduduki jabatan resmi atau struktural yang

memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Seseorang yang

memangku otoritas dipatuhi orang lain dengan cara menunjukkan simbol-simbol

otoritas yang memberi pesan kepada orang lain bahwa mereka berhak mengeluarkan

perintah atau arahan. Dalam kasus ini, bisa saja seseorang berbeda pendapat dengan

pemangku otoritas, namun ia tidak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya.46

Sedang pemegang otoritas adalah seseorang yang dianggap memiliki

pengetahuan, kebijaksanaan, atau pemahaman yang lebih baik. Ia adalah seseorang

yang dianggap ahli dalam bidang tertentu. Menurut Friedman, “pengetahuan khusus

semacam itulah yang menjadi alasan ketundukan orang awam terhadap ucapan-ucapan

pemegang otoritas, meskipun ia tidak memahami dasar argumentasi dari ucapan-ucapan

tersebut.” Dengan kata lain, ketundukan pada orang yang memangku otoritas

melibatkan ketundukan kepada jabatan atau kapasitas resmi seseorang, tapi ketundukan

pada seseorang yang memegang otoritas melibatkan ketundukan pada seseorang yang

45 Shmuel Noah Eisenstadt, “Concluding Remarks: Public Sphere, Civil Society, and Political

Dynamics in Islamic Societies,” 146. 46 Khaled M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women

(Oxford: Oneworld Publications, 2003), 12.

Page 21: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

21 of 25

dipandang memiliki keahlian khusus.47

Saat agama berada di wilayah publik, maka pemangku dan pemegang otoritas

keagamaan menjadi tidak terbatas, diampu oleh siapa saja berdasarkan preferensi atau

afiliasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karenanya, penyebaran agama atau ajaran

agama tidak lagi memiliki otoritas tunggal sehingga kelompok mana pun merasa atau

tidak merasa berhak menyampaikan pesan-pesan keagamaan (dakwah) berdasarkan

kuasa dan kapasitas masing-masing. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan

terjadinya kontestasi di antara beberapa kelompok keagamaan dalam menyiarkan

dakwahnya. Pembahasan berikut ini akan menjelaskan bentuk dan faktor-faktor yang

mendorong terjadinya kontestasi dakwah melalui radio di Yogyakarta dengan kasus

Radio Majas dan Radio ICBB sebagai radio-radio yang -sebagaimana pembahasan

sebelumnya- cenderung menganut paham skriptualis dan mendukung nilai-nilai

Islamisme.

Kontestasi Kultural Masyarakat

Radio Majas dan Radio ICBB secara geografis berada di tengah pedesaan di

wilayah Yogyakarta. Namun berbeda dengan Radio Majas yang terletak di tengah

hunian yang mereka sebut dengan perkampungan “Ikhwah Salafīyīn”, Radio ICBB

dipancarkan melalui stasiun pemancar yang berada di tengah komplek Pondok

Pesantren Islamic Center Bin Baz di Jalan Wonosari km. 10, Karanggayam, Sitimulyo,

Piyungan, Bantul, DI. Yogyakarta. Pesantren ini berdiri di kawasan pedesaan yang

secara basis keagamaan berada di tengah-tengah antara masyarakat yang secara kultural

berafiliasi pada dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu NU dan

Muhammadiyah.48

Pesantren ini berada tidak jauh dari Pesantren Lintang Songo yang diasuh oleh

Kyai Heri Kuswanto (salah satu tokoh NU di kecamatan Sitimulyo). Di sisi wilayah

yang lain, Pesantren ICBB bertetangga dengan masyarakat yang secara kultural

berafiliasi ke Muhammadiyah, yaitu “kampung Muhammadiyah”, tempat salah satu

47 Khaled M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, 14. 48 Tidak ada keterangan yang dapat diperoleh dari pengurus ICBB mengenai alasan pemilihan

lokasi pesantren ini. Menurut salah satu tokoh agama di sekitar lokasi Pesantren yang bernama Adi Purnomo atau yang biasa dipanggil “Gus Pur”, beberapa pesantren sejenis (baca: salafi) seperti pesantren Jamilurrahman (tempat radio Majas berada) memang mengambil lokasi di daerah yang “tak bertuan” dalam arti masyarakatnya tidak secara aktif apalagi ideologis berafiliasi pada salah satu di antara dua ormas besar tersebut. Wawancara dengan Adi Purnomo, Yogyakarta 24 Februari 2015.

Page 22: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

22 of 25

tokoh Muhammadiyah yang bernama Ahmadi (masyarakat menyebutnya dengan

“Sesepuh Muhammadiyah Sitimulyo”) berdomisili.

Posisi geografis Pesantren ICBB secara lahiriah tidak menimbulkan hal-hal

yang dapat memicu penolakan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan karena beberapa

faktor berikut. Pertama, kurangnya animo masyarakat untuk mendengarkan radio ICBB.

Masyarakat NU yang berada dalam jangkauan frekuensi radio ICBB tidak (lagi)

mendengarkan radio tersebut boleh jadi karena salah satu dari dua hal; terusik oleh

materi yang menyinggung persoalan keagamaan yang telah menjadi tradisi keagamaan

masyarakat secara turun temurun, atau karena ke-NU-annya yang sudah

mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat lebih memilih untuk

mendengarkan siaran yang berada pada frekuensi 1 poin di atas radio ICBB (107.8 FM)

yaitu radio komunitas Swara Desa Indonesia 107.9 FM (Swadesi) untuk mendengarkan

“campursari” (salah satu jenis musik kesenian daerah). Preferensi masyarakat untuk

lebih mendengarkan radio Swadesi tidak dapat dipisahkan dengan watak masyarakat

Yogyakarta pada umumnya yang sangat akrab dengan kesenian dan kebudayaan,

ditambah dengan sasaran konsumsi Radio Swadesi memang ditujukan untuk

masyarakat petani, buruh, serta pelaku seni dan budaya. Selain menyuguhkan kesenian

dan kebudayaan, radio Swadesi juga menyajikan kajian agama yang diampu oleh tokoh

agama dari dua ormas besar tersebut dengan nama Siaran KAUMAN (Kanggo Uriping

Iman/untuk hidupnya Iman), bersama ustadz atau ustadzah setempat.49

Selain tingkat popularitas Radio Majas dan Radio ICBB yang rendah di kalangan

masyarakat pendengar setia radio, faktor kedua yang menjadi keterbatasan jangkauan

dakwah kedua radio tersebut adalah adanya pengajian rutin selapanan gabungan

masyarakat NU dan Muhammadiyah yang digawangi oleh kedua tokoh tersebut di atas

(Kyai Heri dan Pak Ahmadi). Menurut Heri, pengajian ini sedianya untuk lebih

mengakrabkan masyarakat kedua ormas tersebut, tetapi belakangan juga untuk

merespon beberapa isu yang sempat didengar oleh beberapa masyarakat dari radio-radio

yang berbeda haluan seperti Radio Majas, Radio ICBB, dan Radio MTA berkenaan

49 Swadesi dipilih oleh masyarakat juga karena adanya sejumlah hal yang langsung bersentuhan dengan informasi kondisi kekinian yang dibutuhkan seperti secara periodik berhubungan dengan EWS (Early Warning System) dengan TIM SAR Parang Tritis, Situasi Merapi Terkini dengan Posko Pemantauan Merapi Balerante, Praja Induk yang berhubungan dengan jajaran Kamtibmas dengan Pol PP Bantul, pantauan cuaca yang diperoleh dari BMKG Yogyakarta, Jaringan radio Komunitas di Yogyakarta dan di Bantul khususnya, serta menyediakan citizen journalism yang melibatkan warga sebagai reporter lepas yang melaporkan peristiwa dan kegiatan di daerahnya masing masing.

Page 23: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

23 of 25

dengan hal-hal ‘ubūdīyah seperti tahlil, melafadkan niat sebelum shalat, yasinan, dan

lain sebagainya.50 Artinya, disimpulkan sementara bahwa dakwah yang disampaikan

melalui radio Majas dan ICBB secara lahiriah tidak membawa dampak yang signifikan

terhadap keberagamaan masyarakat sekitar. Respon dan reaksi justru secara positif

terjadi di balik layar, melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan bersama-sama dan

pendirian beberapa stasiun radio komunitas di sejumlah wilayah di Yogyakarta.

Kontestasi Struktural

Selain secara materi kedua radio tersebut harus bersaing mendapat pendengar

dengan radio Swadesi, dan adanya pengajian rutin Selapanan masyarakat yang secara

kultural berafiliasi pada dua ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah, Radio Majas dan Radio ICBB juga mendapatkan respon masyarakat

yang secara resmi dilakukan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama dengan

mendorong lahirnya lima radio komunitas di masing-masing kabupaten kota di wilayah

propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Radio-radio komunitas (Rakom) bentukan

ormas terbesar ini adalah Rakom Kalimosodo 107.9 FM di Krapyak Wetan Bantul,

Rakom Marisa 107.8 FM di SMK Ma’arif Wates Kulonprogo, Rakom Gunungjati 107.9

FM di Tompean Tegalrejo, Rakom Hasbuna 107.5 FM di kantor NU Pangurukan Triadi

Sleman, dan Rakom Diponegoro 107.5 FM di Maguwoharjo Sleman. Sedangkan ormas

Muhammadiyah memiliki Radio Dakwah Muhammadiyah 107.7 FM. Meski demikian,

ada satu radio yaitu Rakom Sapa 107.9 FM yang tidak diinisiasi oleh PWNU,

melainkan oleh pesantren Sunan Pandanaran Sleman yang memang salah satu faktor

pendiriannya adalah sebagai respon terhadap radio-radio Wahabi.51

Respon terhadap radio-radio beraliran salafi-wahabi juga terjadi di salah satu

kabupaten di Yogyakarta, tepatnya di Gunung Kidul, Banser (Barisan Serbaguna) NU

Gunung Kidul secara terang-terangan menolak keberadaan paham-paham keagamaan

yang bertentangan dengan paham aswaja ala NU. Banser NU secara spesifik menyebut

MTA sebagai salah satu ormas yang harus diwaspadai. Komandan GP Ansor Gunung

Kidul menyatakan, “barang siapa yang akan menganggu dan mengubah konsep

bernegara dan beragama maka akan berhadapan dengan Barisan Ansor Serbaguna

50 Wawancara dengan Heri Kuswanto, Yogyakarta 13 September 2014. 51 Wawancara dengan Zuhdi Muhdlor (Ketua PWNU DIY), Yogyakarta 12 September 2014.

Page 24: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

24 of 25

(Banser).”52 Instruksi ini kemudian menjadi basis legitimasi peristiwa penggagalan yang

dilakukan oleh Banser NU terhadap deklarasi MTA (Majlis Tafsir Alquran pimpinan A.

Sukino Solo) di Gunung Kidul pada tahun 2012.53

Menurut salah satu ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, sebenarnya

inisiatif yang mendorong terbentuknya tujuh radio NU adalah untuk mengembangkan

dakwah melalui media elektronik, baik daring, radio maupun televisi dengan

menyiarkan pengajian-pengajian (dakwah) kepada masyarakat, kegiatan haul

masyāyikh, dan mujāhadah di pesantren-pesantren. Namun setelah peristiwa

penggagalan yang dilakukan oleh Banser NU terhadap deklarasi MTA tersebut, radio

komunitas bentukan PWNU Yogyakarta tersebut mulai memusatkan perhatiannya pada

upaya-upaya membentengi masyarakat dari paham-paham yang tidak sejalan dengan

aswaja ala NU. Selain radio, PWNU Yogyakarta juga telah memiliki 3 TV Komunitas

yaitu Mandala TV, Nusa TV, dan Masa TV. Bahkan saat ini sedang merencanakan

launching TV Komersial yaitu Dian TV.54

Komunitas terakhir (MTA) ini justru menjadi perhatian pengurus NU dan MUI

Wilayah Yogyakarta dari pada komunitas salafi ICBB dan sejenisnya. Bahkan menurut

Ketua MUI Kabupaten Bantul KH. Kholiq, tidak satu laporan pun yang masuk

berkenaan dengan materi dakwah radio ICBB. Hal ini disebabkan oleh sangat sedikit

masyarakat yang mendengarkan radio salafi ICBB. Laporan masyarakat kepada MUI

justru berkenaan dengan materi dakwah radio MTA yang disiarkan secara relay dari

MTA Solo oleh beberapa frekuensi di Yogyakarta,55 Pakem 87.5 FM di Kasian Bantul

87.5 dan 107.9 FM, di Turi Sleman 107.9, dan di Mlati 87.5 FM.

Reaksi masyarakat sekitar Radio Majas dan Radio ICBB dengan

menyelenggarakan pengajian gabungan masyarakat yang berafiliasi baik secara

struktural maupun kultural kepada dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia

yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta respon resmi PWNU DIY dengan

mendirikan lima radio komunitas di wilayah Yogyakarta, menunjukkan terjadinya

kontestasi dakwah secara terorganisir. Namun demikian, kontestasi dimaksud tidak

52 http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,36984-lang,id-c,daerah-

t,Banser+Gunung+Kidul+Gelar+Apel-.phpx, diakses pada tanggal 12 Juni 2015. 53 Wawancara dengan Zuhdi Muhdlor, Yogyakarta 12 September 2014. 54 Wawancara dengan Zuhdi Muhdlor, Yogyakarta 12 September 2014 55 Wawancara dengan KH. Kholiq (Ketua MUI Kabupaten Bantul), Yogyakarta 14 September

2014.

Page 25: Rifqi Muhammad Fatkhi-FU.pdf

25 of 25

muncul secara eksplisit di dalam materi siaran masing-masing radio dan pengajian

tersebut. Masing-masing kelompok baik dari pihak Radio Majas dan Radio ICBB

maupun kelompok masyarakat NU dan Muhammadiyah terlihat menahan diri dari

menggunakan istilah-istilah yang dapat memicu konflik seperti bid’ah dan lain

sebagainya. Berbeda dengan MTA yang secara terang-terangan menghujat paham

keagamaan atau praktek keagamaan kelompok di luar mereka, yang berakibat pada

terjadinya konflik yang sudah mengarah kepada kontak fisik.

Simpulan

Berpijak pada temuan dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya,

beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah; pertama, materi dakwah yang

disampaikan di Radio Majas dan Radio ICBB tidak secara terang-terangan

mengungkapkan nilai-nilai Islamisme. Penyemaian nilai-nilai islamisme dapat

ditemukan di para pengisi materi dakwah kedua radio tersebut. Penolakan modernisasi

ala Barat, sistem pemerintahan yang Islami, kewajiban memilih pemimpin muslim yang

taat kepada Allah dan Rasul-Nya, cita-cita mewujudkan khilafah, penerapan syariat

Islam, dan pembatasan wilayah kepemimpinan perempuan, menunjukkan

kecenderungan pemahaman skriptualis dan mendukung sebagian nilai-nilai Islamisme.

Namun demikian, tidak semua nilai-nilai Islamisme dianut oleh kelompok

tersebut, mereka menolak jihad dengan tindakan kekerasan. Jihad dengan kekerasan

seperti teror, pengerusakan rumah ibadah, melakukan bom bunuh diri, adalah tindakan

yang tidak dapat dibenarkan. Radio Majas dan Radio ICBB juga tidak pernah

melakukan atau mengampanyekan anti Barat atau boikot terhadap produk-produk Barat.

Meskipun demikian, kaum Muslimin tetap tidak diperkenankan menghormati,

menyanjung, atau bahkan mencintai ideologi atau agama orang kafir.

Kedua, kontestasi dakwah secara lahiriah tidak terlihat di dalam materi siaran

Radio Majas dan Radio ICBB. Keduanya terlihat menahan diri dari menggunakan

istilah-istilah yang dapat memicu konflik seperti bid’ah dan lain sebagainya. Kontestasi

justru terjadi di “darat”, beberapa kelompok masyarakat dan organisasi kemasyarakatan

merespon siaran Radio Majas dan ICBB dengan menyelenggarakan pengajian

gabungan dan secara resmi mendorong pendirian lebih dari lima radio komunitas.