metodologi pemahaman hadis ulama nusantara...
TRANSCRIPT
METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
ULAMA NUSANTARA
(PERBANDINGAN KITAB TANQĪḤ AL-QAUL DAN
AL-KHIL’AH AL-FIKRIYYAH)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nasrulloh
NIM: 1113034000037
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
ULAMA NUSANTARA
(PERBANDINGAN KITAB TANQĪḤ AL-QAUL DAN
AL-KHIL’AH AL-FIKRIYYAH)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nasrulloh
NIM: 1113034000037
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ii
ABSTRAK
Nasrulloh
Metodologi Pemahaman Hadis Ulama Nusantara (Perbandingan Kitab
Tanqīḥ Al-Qaul dan Al-Khilʻah al-Fikriyyah)
Tulisan ini ingin mengeksplorasi intelektualitas ulama Nusantara sekaligus
menolak pernyataan Atina Rahmawati yang menyatakan bahwa penulisan karya
hadis oleh Muslim Indonesia sangat kurang. Hadirnya kitab Tanqīḥ al-Qaul karya
Syaikh Syaikh Nawawi dan al-Khilʻah al-Fikriyyah karya Mahfudz al-Tarmasi
menjadi bukti berkembangnya kajian hadis di Indonesia. Kedua ulama ini sama-
sama menuntut ilmu di Timur Tengah dan mendapatkan izin mengajar di
Masjidilharam. Namun ada perbedaan antar keduanya, Syaikh Nawawi
mensyarahi kitab hadis ulama sebelumnya sedangkan Mahfudz al-Tarmasi
menulis kembali hadis-hadis dari kitab induk yang kemudian beliau syarahi.
Kitab Tanqīḥ al-Qaul ternyata lebih tenar dan banyak digunakan di
pesantren-pesantren Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan kitab al-Khilʻah
al-Fikriyyah digunakan di pesantren Termas saja padahal jika dilihat dari
latarbelakang keilmuan yang dimiliki, al-Tarmasi menspesialisasikan di bidang
hadis dan satu-satunya ulama Nusantara yang diakui sebagai pemegang isnad dan
ulama yang mendapatkan hak untuk memberikan ijazah kepada muridnya. Hal
inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian atas kitab Tanqīḥ al-
Qaul dengan kitab al-Khilʻah al-Fikriyyah.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
perbandingan metode pemahaman hadis Syaikh Nawawi dengan al-Tarmasi.
Dalam penelitian ini metode yang penulis gunakan ialah deskriptif, analisis,
komparatif. Sebagai pisau analisis pemahaman hadisnya penulis menggunakan
metode yang ditawarkan oleh Kiai Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Cara
Benar memahami Hadis Nabi saw.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model penulisan syarah hadis
setiap penulis memiliki gaya masing-masing yang berbeda satu sama lainnya.
Seperti perbedaan yang ada antara Syaikh Nawawi dengan Mahfudz al-Tarmasi.
Dimana dalam menyuguhkan syarah hadisnya Syaikh Nawawi menggunakan
metode ijmali (disusun secara global). Sedangkan Mahfudz al-Tarmasi dalam
menyuguhkan syarah hadis lebih memilih dengan metode tahlili. Adapun corak
syarah dalam kitab tanqīḥ al-qaul memliki corak sufi dengan ditandai sering
mengutip pendapat ulama tasawuf. sedangkan dalam kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah
bercorak bahasa. Hal itu ditandai dengan seringnya Mahfudz al-Tarmasi
menggunakan ilmu bahasa sebagai kajian yang dikedepankan.
Kata Kunci: Pemahaman Hadis, Syaikh Nawawi, Mahfudz al-Tarmasi, Tanqīḥ al-
Qaul, al-Khilʻah al-Fikriyyah
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang mana
berkat hidayah dan ‘ināyah-Nya penulis mampu merampungkan penelitian ini.
Salawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.
keluarganya dan para sahabatnya serta semoga kita senantiasa mengikuti sunnah
sehingga mendapatkan syafa’at beliau di akhirat kelak. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak akan bisa
tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih dan
memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir yang begitu banyak jasanya bagi penulis baik di bidang
akademik maupun non-akademik;
4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir dan Kak Hani Hilyati, S.Th.I. yang telah membantu dalam
administrasi selama kuliah dan hingga penelitian ini selesai;
5. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang sudah
banyak meluangkan waktunya untuk memberi ilmu, arahan dan masukan
kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis memohon maaf jika selama masa bimbingan skripsi telah banyak
iv
merepotkan dan melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja;
6. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir maupun Ilmu Hadis atas
segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman
yang mendorong penulis selama menempuh studi, terutama Bapak Dr.
Bustamin, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta seluruh staff
Fakultas Ushuluddin;
7. Kepada almaghfurlah Prof. Dr. Ali Mustofa Ya’kub Pendiri Pondok
Pesantren Darussunnah yang telah mengajari dan menjadi bapak idiologis
penulis. Semoga Allah membalas apa yang telah engkau berikan dan
menempatkan di tempat yang mulia. Serta H. Zia ul-Haramain ketua
yayasan Darussunnah dan para dosen yang telah ikut serta dalam
memberikan ilmu khususnya di bidang hadis dan ilmu hadis;
8. Keluarga penulis, khususnya orang tua penulis Bapak Mustofa dan Ibu Siti
Khodijah, serta kakak-kakak penulis Nahnuddin, Nur Hidayati,
Miftahuddin, Ahmad Abdul Mujib dan adik penulis Mazidatul Khairiyyah
yang tak bosan mendoakan, memberi dukungan serta menjadi penggugah
bagi penulis dalam menyusun skripsi ini;
9. Dan orang yang selalu memberikan semangat, doa dan dorongan bagi
penulis entah siapa dia yang masih misterius;
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya teman-teman ATHA yang telah bersama-sama
berjuang selama kuliah. Sukses selalu dimanapun kalian berada;
v
11. Teman-teman angkatan Avicena PONPES Darussunnah yang telah
menjadi teman belajar di bawah asuhan almagfurlah Prof. Dr. Ali Mustofa
Ya’qub MA.;
12. Kepada sahabat penulis Triowek-wek: Faris Maulana Akbar dan Iqbal
Firdaus yang telah mengajarkan pengetahuan, sudi memberikan masukan,
dorongan dan semangat hingga bosan. Dan juga iringan doa untuk alm.
Afif Hasan Naufal semoga tenang di alam sana;
13. Serta semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Skripsi ini adalah salah satu upaya penulis untuk menambah khazanah
keilmuan hadis di Indonesia. Penulis sadar bahwa ilmu yang dimiliki masih sangat
kurang sekali dan maaf apabila dalam penelitian ini dijumpai banyak kesalahan.
Dengan memohon ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang ada
serta berharap akan taufiq dan hidayah-Nya, penulis berharap semoga hasil
penelitian ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ciputat, 09 Januari 2019
Nasrulloh
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ṡ Es (dengan titik di atas) ث
J Je ج
Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
vii
Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
koma terbalik di atas hadap kanan __‘ ع
G Ge غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’____ ء
Y Ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
viii
I Kasrah
U Ḍammah و
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai A dan I ىي
و ى Au A dan U
Contoh:
و لح kaifa : كي ف : haula
3. Vokal panjang
Vocal panjang atau maddah transliterasinya yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ئ
ئي Ī i dengan garis di atas
Ū u dengan garis di atas ئو
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-kabīr dan al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandengkan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
ix
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis
dengan aḍ-ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.
6. Ta marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau
mendapat harkat fatḥah, kasrah atau ḍammah maka transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukūn, transliterasinya
adalah [h].
Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbūṭah ditranslliterasikan dengan ha [h].
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof [’] hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:
syai’un : شي ئ
umirtu : أمر ت
8. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... vi
DAFTARA ISI .................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 9
D. Perumusan Masalah .................................................................................. 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 10
F. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 10
G. Metodologi Penelitian ............................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ............................................................................... 15
BAB II SEJARAH KAJIAN HADIS DI INDONESIA DAN PEMAHAMAN
HADIS NABI SAW ............................................................................................. 17
A. Hubungan Ulama Indonesia dengan Ulama Timur Tengah ...................... 17
1. Ibadah Haji .......................................................................................... 19
2. Koloni Jawa di Makkah ...................................................................... 21
3. Menuntut Ilmu di Makkah .................................................................. 24
B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia ............................................... 27
C. Pemahaman Hadis Ulama Indonesia ......................................................... 31
D. Landasan dan Batasan Pemahaman Tekstual dan Kontekstual ................. 34
BAB III BIOGRAFI DAN KARYA-KARYA SYAIKH NAWAWI AL-
BANTANI DAN MAKHFUD AL-TARMASI ................................................... 38
A. Syaikh Nawawi al-Bantani ........................................................................ 38
1. Penjalanan Hidup ................................................................................ 38
a. Biografi ......................................................................................... 38
b. Rihlah Ilmiah ................................................................................. 40
c. Karya-Karya .................................................................................. 44
2. Tanqīḥ al-Qaul .................................................................................... 48
a. Judul Kitab dan Motivasi Penulisan .............................................. 48
b. Sistematika, Karakteristik dan Metode Penulisan ......................... 48
B. Makhfudz al-Tarmasi ................................................................................ 50
1. Penjalanan Hidup ................................................................................ 50
a. Biografi ......................................................................................... 50
b. Rihlah Ilmiah ................................................................................. 53
c. Karya-Karya .................................................................................. 57
2. Al-Minḥaḥ al-Khairiyyah dan al-Khil’ah al-Fikriyyah ...................... 61
xi
a. Judul Kitab dan Motivasi Penulisan .............................................. 61
b. Sistematika, Karakteristik dan Metode Penulisan ......................... 62
BAB IV METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS SYAIKH NAWAWI AL-
BANTANI DAN MAKHFUDZ AL-TARMASI .............................................. 65
A. Perbandingan Karakteristik Penyusunan Kitab Hadis .............................. 66
B. Perbandingan Metode dan Corak Penyarahan Hadis ................................ 85
C. Pemahaman Hadis Mengucapkan Kalimat Tauhid dan Tasbih ................ 97
D. Analisis Komparatif Pemahaman Hadis Mengucapkan Kalimat Tauhid dan
Tasbih ...................................................................................................... 108
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 111
A. Kesimpulan ............................................................................................. 111
B. Saran-saran .............................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 113
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian kajian kitab hadis di Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti luar negeri ataupun dalam negeri. Mereka mengatakan bahwa kajian hadis di
Indonesia masih tertinggal dibanding kajian keislaman lainnya. Hal ini berdasarkan
penelitian Martin van Bruinessen yang mengklasifikasikan menjadi kajian fikih,
doktrin, tata bahasa arab, kumpulan hadis, tasawuf dan tarekat, akhlak, kumpulan
doa, wirid dan Qaṣaṣ al-Anbiyā.1 Van den Berg juga menyatakan bahwa kitab yang
dikaji di pesantren berkisar pada kitab fikih dan tafsir. Meskipun kitab Sahih Bukhari
dibaca oleh beberapa kiai saja dan tidak diajarkan kepada murid-muridnya.2 Adapun
peneliti dalam negeri Mahmud Yunus juga menyatakan bahwa di beberapa lembaga
pendidikan Islam (pesantren)3 di Indonesia masih dalam bentuk pengajian al-Qur‟an
dan pengajian kitab saja.4
1 Marteen van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren & Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1995) hal. 124. Dalam buku ini, Bruinessen menyuguhkan hasil
penelitian-penelitiannya terhadap karya ulama-ulama Nusantara dan lembaga yang menggunakannya
sebagai bahan ajar. Beliau melakukan penelitian ini sekitar 6 tahun. Dari tahun 1986-1990 dan 1991-
19993. Hal ini juga bisa dibaca di Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad
ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 154-8. 2 Marteen van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren & Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, hal. 29. 3 Pesantren merupakan pusat Islam terpenting setelah masjid yang berfungsi sebagai tempat
untuk mendalami ajaran agama islam. Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren & Tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia, hal. 23 4 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
hal. 49-53 dan 229.
2
Secara historis kajian hadis di Indonesia sudah ada sejak abad ke-17. Hal itu
ditandai dengan ditulisnya beberapa kitab hadis oleh ulama-ulama Nusantara.
Dimulai dari Nūr al-Dīn al-Rānirī5 (Hidayat al-Ḥabīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb),
„Abd al-Rā‟ūf al-Sinkilī6 (al-Mawā‟iẓ al-Badī‟ah) sebagai wakil ulama Nusantara
abad 17 dan Yasin al-Fadani (Al-Arbaʻūn al-Buldāniyyah Arbaūn Ḥadīsan „an Arbīn
Syaikhan min Arbaʻīn Madīnatan li Arbaīn al-Ṣaḥābah dan Al-Arbaʻūn Ḥadītsan min
‟Arbaʻīn Kitāban ʻan ‟Arbaʻīn Syaikhan) sebagai ulama abad 20, kesemuanya adalah
sosok ulama dari tanah Sumatra.7
Kemudian ada Nawawi al-Bantani (Tanqīḥ al-Qaul), Mahfudz al-Tarmasi (al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah dan al-Khil‟ah al-Fikriyyah), Hasyim Asy‟ari (Risālah Ahl al-
Sunnah wa al-Jamā‟ah), sebagai wakil ulama dari tanah Jawa ahir abad 19 awal abad
20. Muhammad Kasyful Anwar al-Banjari (Tabyīn al-Rāwi; Syarḥ ʻala Arbaʻīn al-
Nawawi), Muhammad Sya‟rani Arif (Hidāyat al-Zamā min Aḥādīs Ākhir al-Zamān 8
5 Nūr al-Dīn Muhammad ibn Ali ibn Ḥamid al-Ranirī, Gujarat. Meskipun kiprahnya hanya 7
tahun di Aceh membuatnya dikenal sebagai ulama Nusantara. Al-Ranirī wafat di Gujarat tahun 1658
M. lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantarta (Yogyakarta: Diva Prees, 2016), h. 79 6 Abd al-Ra‟ūf bin „Ali al-Jāwī al-Fansūrī al-Sinkili. Adalah seorang Melayu dari Fansur
(Barus) wilayah pantai barat laut Aceh. Menurut D.A. Rinkes ia lahir sekitar 1024 H/ 1615 M. Dan
wafat pada tahun 1693 M. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
abad XVII dan XVIII ( Jakarta: Kencana, 2013), h. 238 7 Karya di bidang hadis dua ulama yang pertama tidak begitu populer di kalangan
masyarakat. Hal ini karena ulama generasi pertama yang belajar di Haramain hanya menyerap
keilmuan yang cocok dengan budaya yang dianut di daerahnya (khususnya keilmuan tasawuf, tarekat
dan fikih). Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia, h. 33.
Lihat juga Saifuddin, Peta Kajian Hadis Ulama Banjar (Banjarmasin: IAIN Antasari Prees, 2014), h.
109 8 Saifudin, Dzikri dan Bashori, “Peta Kajian Hadis Ulama Banjar”, Tashwir Vol. 1 No.2, Juli-
Desember 2013. Hal, 19. Keduanya merupakan ulama hadis yang memiliki pengaruh besar dalam
kajian hadis di Kalimantan. Sejatinya ulama Banjar juga memiliki perhatian besar dalam tradisi pen-
syarah-an hadis, khusunya berbentuk kumpulan 40 hadis.
3
kedunya berasal dari wilayah Kalimantan di abad ke-20. Pada abad ke-20 inilah
embrio kebangkitan kajian hadis di Indonesia yang sempat mengalami kemandekan.9
Menjelang ahir abad 19 dan memasuki abad 20 mulai muncul kembali karya
hadis ulama Nusantara. Diantaranya ialah kitab Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīs Syarḥ „alā
Lubāb al-Ḥadīs karangan Nawawi al-Bantani. Kitab ini merupakan penjelasan (baca:
syarah) atas karya Jalaluddin Suyuti yang memuat empat puluh tema hadis.10
Didalamnya mencakup hadis-hadis yang berkaitan dengan muamalah, ibadah dan
syariah. Oleh karenanya al-Suyuti menamainya dengan Lubāb yang artinya intisari.11
Hal ini seakan-akan ingin menyatakan bahwa hadis yang ada di kitab hadisnya telah
mewakili hadis-hadis lain untuk dijadikan sebagai pegangan hidup.
Karya al-Bantani ini (Tanqīḥ al-Qaul) masuk dalam bursa seratus karya
terpopuler dalam daftar kepustakaan Pesantren di Indonesia. Karyanya mampu
bersanding dengan karya-karya ulama Timur Tengah meskipun dirinya bukan asli
orang Timur Tengah.12
Hal itulah yang membawa nama al-Bantani menjadi terkenal
dengan memiliki banyak sebutan diantaranya “Sayyid Ulamā‟ al-Ḥijāz, min Aʻyān
Ulamā al-Qarn al-Rābi ʻAsyara li al-Hijrah.13
9 Muhajirin, Kebangkitan Hadis di Nusantara (Yogyakarta: IDEA, 2016) h.vi
10 Samsul Munir Amin, Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta:
LKis, 2011), h. 59 11
Nawawi al-Bantani, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarh Lubāb al-Ḥadīts (Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 2011) hal. 9 12
Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia, h. 33. Ketenaran karya-karya al-Bantani tidak bisa dilepaskan lantaran kerja sama dengan percetakan di
Kairo dan Makkah. Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elit Muslim dalam
Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan, 2012) hal. 127. 13
Gelar ini berarti : tokoh ulama abad ke-14 Hijrah. Gelar ini terdat dalam kitab Nihāyah al-
Zain fī Irsyād al-Mubtadi‟īn.
4
Nama Muhammad bin Umar al-Bantani pun menjadi pengarang yang paling
dikenal dimana-mana.14
Karya-karyanya bahkan tidak hanya dikaji dan dipelajari di
pesantren Indonesia saja tapi di wilayah Asia Tenggara.15
Menurut Steenbrink karya
al-Bantani diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand.16
Selain al-Bantani, ulama Nusantara yang terkenal intelektualitasnya di
Timur Tengah dan memiliki karya di bidang hadis ialah Mahfuz al-Tarmasi.
Reputasi al-Tarmasi tidak jauh berbeda dengan al-Bantani. Kitab-kitabnya
menjadi sumber pembelajaran Pesantren di Jawa, disamping karya al-Bantani.17
Diatara karyanya di bidang hadis yang berhasil beliau susun ada beberapa kitab.
Pertama, Tsulātsiyāt al-Bukhāri kedua, al-Minḥaḥ al-Khairiyyah fī Arbaʻīn Ḥadītsan
min Aḥādīts Khair al-Bariyyah ketiga, al-Khilʻah al-Fikriyyah Syarḥ al-Minḥah al-
Khairiyyah. Karya terahir yang disebutkan merupakan syarah dari karya yang
disebutkan sebelumnya.
Dalam dunia pesantren al-Tarmasi ternyata mendapatkan penghormatan dan
penghargaan lebih dari kiai-kiai pesantren di Jawa ketimbang al-Bantani.18
Karya-
karyanya memiliki daya tarik tersendiri di kalangan para santri.19
Perlu dicatata
14 Pada waktu yang bersamaan padahal ada pengarang terkenal seperti Abu Bakar bin
Muhammad Satta, Ibrahim al-Baijuri, Daud al-Pattani dan Sayyid Utsman. Bruinessen, Kitab Kuning
Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam Indonesia, h. 143 15
Arwansyah dan Fa isal Ahmad, “Peran Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Penyebaran Islam
di Nusantara”, Kontekstualita, Vol. 30, No. 1, 2015 16
Karel A. Steenbrik, Beberapa Aspek Tentang Islma di Indonesia Abad 19 (Jakarta: bulan
bintang, 1984) hal. 48-49 17
Jajat Burhanuddin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (Jakarta: Kencana, 2017) hal. 269 18
Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia, h. 38 19
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren
(Jakarta: Kencana, 2006) hal. 162
5
bahwa beberapa karyanya telah dijadikan sebagai buku pegangan yang dipakai di
universitas-universitas Maroko dan Arab Saudi.20
Al-Tarmasi merupakan representasi ulama yang menspesialisasikan dirinya di
bidang hadis. Beliau lebih dikenal sebagai muhaddis karena faktor keilmuan dan
karyanya di bidang hadis telah mendunia.21
Beliau diakui sebagai pemegang isnad
(mata rantai) dalam pengajaran Sahih Bukhari. Beliau merupakan mata rantai terahir
ulama yang mendapatkan hak untuk memberikan ijazah kepada muridnya yang telah
menguasai Sahih Bukhari.22
Abdurrahman mengistilahkannya dengan the last link al-
Bukhari ahir abad ke-19.23
Al-Tarmasi pernah menjabat sebagai guru besar di
Masjidilharam yang mengikuti pemikiran al-Bantani dan Khatib Sambas.24
Meskipun
karyanya tidak masuk dalam daftar 100 kitab populer yang diajarkan di Pesantren
Indonesia, Bruinessen menyimpulakna bahwa al-Tarmasi menjadi figur paling
terkenal di kalangan para kiai dan dihormati oleh beberapa ulama pendiri NU.25
Selain kedua tokoh diatas, ada ulama Nusantara yang terkenal Ahmad Khatib
al-Minangkabawi. Beliau merupakann satu-satunya ulama Nusantara yang menjadi
imam di Masjidilharam, sekaligus sebagai Guru Besar mengajar di Masjidilharam.26
Beliau pernah menulis karangan di bidang fikih yang menyerang adat Minangkabau
20
Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, hal. 168 21
Hasan Su‟aidi, Jaringan Ulama Hadis Indonesia,hal. 13 22
Zamakhsyari Dzafir, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kayi dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LPES, 2015), hal. 90 23
Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, hal. 163 24
Mochammad Samsukadi, “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren”. Religi: Jurnal Studi
Islam. V. 6, Nomor 1, April 2015. Hal 58 25
Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, hal. 177 26
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hal. 141.
6
dalam hal waris. Meskipun karyanya ini tidak berbeda dengan kitab fikih lainnya,
namun cara menulis dan mengajarkannya lebih keras, tajam dan polemis, sehingga
karyanya tidak diterima oleh masyarakat minang.27
Penerimaan atau penolakan masyarakat atas ajaran Islam tidak hanya dialami
oleh mereka saja tetapi dialami juga oleh generasi setelahnya. Apalagi setelah
munculnya gerakan pembaharuan dan purifikasi ke Indonesia yang menekankan
untuk kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah sebagai pegangan hidup.28
Diantara
kelompok yang mendapatkan penolakan dari masyarakat ialah kelompok Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Tabligh (JT).
Mengingat pentingnya memahami hadis Nabi saw. beberapa ulama Indonesia
memberikan tawaran metode dalam memahami hadis. Diantaranya ialah M. Syuhudi
Ismail dan Ali Mustofa Ya‟qub. Keduanya memberikan kerangka beserta contoh
kontekstualisasi pemahaman hadis. Metode pemahaman hadis yang mereka tawarkan
itu berbeda satu sama lain. Meskipun keduanya memiliki langkah-langkah yang
berbeda tidak menjadikan unggul antar satu dari lainnya untuk diterapkan.
Metode yang ditawarkan oleh keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Misalnya ketika dihadapkan dengan hadis Nabi yang berkaitan
27
Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, hal. 145. Dikalangan
pegawai pemerintah Hindia Belanda karangan ini masih polemik apakah karya ini dibolehkan atau
dilarang terbit. 28
Muhajirin dalam mengutip pendapat Steenbrink bahwa ada beberapa faktor pendorong bagi
pembaharuan di Indonesia pertama, sejak 1900 banyak pemikiran untuk kembali ke al-Quran dan
Hadis kedua, sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda ketiga, umat Islam
semakin kuat mempertahankan organisasi dibidang sosial ekonomi dan keempat, ketidakpuasan atas
tradisionalisme dalam mempelajari al-Qur;an dan Hadis. Kar el Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan
Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 46-47.
7
dengan kondisi wilayah bangsa Arab budaya ataupun letak geografisnya. Dalam
memahami hadis yang berbentuk seperti itu tidak bisa dipahami dengan
menggunakan metode yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail dalam bukunya “Hhadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual”. begitupula sebaliknya ketika hendak
memahami hadis Nabi saw yang sekiranya tidak bisa diakomodir dengan
menggunakan metode yang ditawarkan oleh Kiai Ali Mustafa Ya‟qub, maka
janganlah menggunakan metodenya. Karena metode yang ditawarkan oleh merela
berdua memiliki tempat dan porsi masing-masing.
Fenomena atau peristiwa diatas sangat menarik untuk digali lebih mendalam.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut metodologi pemahaman
hadis Ulama Nusantara dengan mengambil objek kitab hadis karya al-Bantani dengan
al-Tarmasi. Alasan pengaambilan kedua tokoh ini ialah karena pertama, keduanya
sama-sama belajar di Timur Tengah yang menjadi pusat intelektual saat itu. Kedua,
keduanya sama-sama dari pulau jawa dan karyanya ditulis berbahasa arab. Ketiga,
kitab Tanqīḥ al-Qaul masuk dalam daftar 100 kitab yang populer sedangkan kitab al-
Khil‟ah al-Fikriyyah tidak. Padahal al-Tarmasi merupakan ulama yang
menspesialisasikan intelektualitasnya di bidang Hadis, bahkan beliaulah yang
mendapatkan ijazah pengajaran kitab hadis. Hal inilah yang mendasari penulis untuk
membahas penelitian ini dengan judul: “METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
ULAMA NUSANTARA (PERBANDINGAN KITAB TANQĪḤ AL-QAUL DAN
KITAB AL-KHILʻAH AL-FIKRIYYAH)”.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat diidentifikasi
beberapa persoalan antara lain:
1. Peta perkembangan kajian hadis di Indonesia masih menuai perdebatan.
Ada yang menyatakan muncul sejak Islam berkembang di Indonesia,
sebagian mengatakan seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan
pada awal abad 20.
2. Belakangan ini banyak sekali kelompok atau golongan yang keliru dalam
menerapkan pemahaman terhadap hadis. Hadis yang dipahami secara
tekstual ia pahami secara kontekstual, sebaliknya hadis yang dipahami
secara kontekstual ia pahami secara tekstual. Hal ini karena tidak
mempertimbangakan serta memerhatikan konteks sosio-historis ketika
hadis itu muncul.
3. Banyak ulama Nusantara yang reputasinya dikenal di Timur Tengah dan
juga di Indonesia. Selain itu karya-karya mereka juga digunakan di di
Indonesia ataupun Timur Tengah. Diantaranaya ialah Syaikh Nawawi
(w.1897 M) dengan karyanya Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts, Syarḥ „ala
Lubāb al-Ḥadīts, Makhfudz al-Tarmasi (w. 1919 M) dengan karyanya al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah dan al Khil‟ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Minḥaḥ al-
Khairiyyah.
C. Pembatasan Masalah
9
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada identifikasi masalah di
atas, Penulis tidak akan membahas semua masalah yang telah disebutkan. Penelitian
ini akan difokuskan pada perbandingan metodologi pemahaman hadis Syaikh
Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al-Tarmasi dimana keduanya sama-sama dari pulau
Jawa dan berbahasa arab.
Hadis yang akan diteliti ialah dua hadis yang memiliki kesamaan redaksi pada
kitab Tanqīḥ al-Qaul dan al-Khil„ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Minḥaḥ al-Khairiyyah.
Hal itu diambil karena redaksi hadis yang ada di dua kitab tersebut hampir sama dan
masih dalam satu tema. Adapun tema kedua hadis ialah ucapan kalimat tauhid dan
keutamaan membaca tasbih. Selain itu penulis menambahkan 20 hadis lagi dari kitab
Tanqīḥ al-Qaul. Dalam skripsi ini penulis memulainya dengan mencantumkan
dinamika kajian hadis di Indonesia dan ragam pemahaman hadis secara tekstual dan
kontekstual, kemudian disusul dengan menjelaskan masing-masing biografi
pengarang, setelah itu melakukan analisis terhadap isi kitab. Sehingga dengan kajian
seperti ini akan diperoleh penjelasan tentang metodologi pemahaman hadis dua ulama
Indonesia diatas serta kecenderungan dalam penyusunannya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan diatas, garis besar masalah
yang akan penulis angkat dalam skripsi ini adalah: “Bagaimana Perbandingan
10
Metodologi Pemahaman Hadis Nawawi al-Bantani dan Makhfudz al-Tarmasi
dalam Kitab Hadisnya?”
E. Tujuan Penelitian
Subjek aktifitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan tersendiri,
demikian pula halnya dalam pembahasan judul ini penulis mempunyai tujua tertentu
pula. Adapun tujuan penulisan skripsi ini ialah:
a. Mendeskripsikan dan menjelaskan perbandingan metodologi pemahaman
hadis antara al-Bantani dengan al-Tarmasi.
Setelah tujuan tersebut tercapai, maka skripsi ini dapat berguna untuk
1. Mengekplorasi kekayaan intelektual ulama Indonesia
2. Menghidupkan kembali kajian hadis di Indonesia yang pernah
mengalami ketertinggalan.
3. Menunjukkan pentingnya jaringan Intelektual keilmuan dalam
menjalankan syariat agama.
4. Sebagai bentuk sumbangan pemikiran kepada pembaca yang ingin
mengetahui varian pemahaman hadis ulama Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Untuk membantu proses penulisan skripsi ini, penulis berupaya melakukan
penelusuran terhadap karya-karya seperti skripsi, tesis, disertasi dan jurnal yang
11
terkait dengan pembahasan yang sedang dikaji. Kajian hadis ulama Nusantara sudah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun, kajian komparasi sulit
ditemukan. Untuk melihat posisi kajian yang dilakukan oleh penulis dengan peneliti
sebelumnya bisa dilihat melalui karya-karya tersebut antara lain:
M. Alfatih Suryadilaga menulis buku dengan judul Metodologi Syarah Hadis.29
Beliau menyajikan sejarah metodologi syarah hadis dalam perkembangan Islam dan
mengekplorasi dari beberapa kitab hadis klasik dan kontemporer dengan menganalisis
konten serta memetakan berbagai pendekatan yang dikandungnya.
Mahsun dalam skripsinya Hakikat Fadhailul A‟māl menurut Syaikh Nawawi al-
Bantani dalam Kitab Tanqīh al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarh Lubāb al-Ḥadīṡ.30
Dalam
skripsi ini penulis fokus pada pencarian makna fadhāilul a‟māl dalam kitab Tanqīh
al-Qaul sehingga al-Bantani tetap menggunakan dan mengutip hadis-hadis
berkualitas dhaif dalam memberikan syarah hadis. Berbeda dengan penulis yang
mengangkat pembahasan tentang perbandingan metodologi syarah hadis Nawawi al-
Bantani dengan Mahfudz al-Tarmasi.
Selanjutnya penelitian Hurin ien tentang Karakteristik Karya Hadis di
Indonesia abad XVII hingga awal abad XXI. Tesis ini menjelaskan karakteristik
karya ulama Indonesia di bidang hadis. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan
29
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2012) 30
Mahsun, “Hakikat fadhailul a‟māl menurut syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tanqīh
al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarh Lubāb al-Ḥadīs” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2016)
12
bahwa kareakteristik penulisan kitab hadis ulama Indonesia sama dengan
karakteristik penulisan karya hadis di Timur Tengah.
Selanjutnya penelitian Tubagus Zainuddin tentang kajian hadis “Peran Syaikh
Muhammad Muhajirin Amtsar Addary dalam Pengembangan Kajian Hadis melalui
karyanya”.31
skripsi ini membahas tentang peran Muhajirin Amtsar dalam
mengembangkan kajian hadis di Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
Syeikh Muhammad Muhajirin Amtsar memiliki peran penting dalam
mengembangakan khazanah keilmuan serta telah memberikan kontribusi dalam
menumbuhkan kajian hadis melalui karya-karya terutama melalui karyanya “Miṣbāḥ
al Ẓalām Syarḥ Bulūgh al Marām.
Penelitian yang dilakukan oleh Fakhri Tajuddin Mahdi32
“Metodologi Syarah
Hadis Nabi saw. (Telaah Kitab Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīs
Karya Imam Nawawi al-Bantani.” Tesis ini membahas metode yang digunakan oleh
al-Bantani dalam menjelaskan maksud dari hadis. Beliau mengambil enam belas
hadis untuk dijadikan objek kajian. Hal inilah menjadi pintu pembeda dengan
penelitian yang akan dilakuakan penulis. Selain itu penulis melakukannya dengan
membandingkan dengan karya hadis ulama yang lain.
Penelitian serupa juga dilakuakan oleh Muhajirin dalam disertasinya “Transmisi
Hadis di Nusantara: Peran Ulama Hadis Muhammad Maḥfūẓ al Tirmasi”. Sebelum
31
Tubagus Zainuddin, “Peran Syaikh Muhammad Muhajirin Amtsar Addary dalam
Pengembangan Kajian Hadis Melalui Karyanya” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008) 32
Fakhri Tajuddin Mahdi, “Metodologi Syarah Hadis Nabi saw. (Telaah Kitab Tanqīḥ al-
Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīs Karya Imam Nawawi al-Bantani” (Tesis S2 Theologi Islam
UIN Alauddin Makasar, 2016)
13
abad 20 ulama Nusantara yang mengenyam pendidikan ke Timur Tengah dan
menjadi pengajar di sana tidak ada yang terkenal dengan seorang muhaddis. Namun
setelah memasuki abad 20 muncullah Muhammad mahfuẓ al-Tarmasi yang
menyandang gelar Muhaddis dengan mendapatkan ijazah langsung dari gurunya
untuk mengajar kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhāri dengan sanad yang nyambung sampai Imam
al-Bukhari. Beliau merupakan ulama yang terkenal sebagai pembangkit „ilm dirāyah,
sekaligus inspirator dan pelopor transmisi kitab hadis ke Nusantara melalui murid-
muridnya.33
Penelitian terahir ditulis oleh Hanafi34
“Jaringan Ulama Banjar dalam Kajian
Hadis, Kontribusi Mereka bagi Masyarakat Banjar” Tesis ini mengkaji biografi
ulama-ulama banjar yang memberikan kontribusinya bagi masyarakat banjar baik
melalui karya-karyanya ataupun melalui lembaga pengajaran yang mereka rintis dan
bina. Penelitian ini menemukan temuan baru bahwa selain pulau jawa, kalimantan
juga memiliki intelektual ulama-ulama yang ikut mengembangkan kajian keIslaman
di Indonesia khususnya bidang hadis. Hal ini terlihat melalui karya ulama-ulama
banjar yang begitu banyak dalam kajian hadis yang mereka hasilkan. Serta ulama
Nusantara yang yang aktif dalam pengkajian hadis merupakan representatif sekaligus
jawaban kajian hadis di Nusantara begitu dinamis dan berkembang.
G. Metodologi penelitian
33
Muhajirin, Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muhaamd Muchtar al
Tirmasi, (Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) 34
Hanafi, Jaringan Ulama Bnajar Dalam Kajian Hadis: Kontribusi Mereka bagi Masyarakat
Bnajar, (Tesis S2 Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
14
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan
(Library Reserch), yaitu meneliti sejumlah buku-buku kepustakaan dan sejumlah
literatur lainnya yang berkaitan dengan objek kajian. Selain itu dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode deskriptif analitik komparatif dengan berusaha untuk
menuturkan permasalahan yang ada berdasarkan data-data. Jadi, penulis juga
menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi kemudian membandingkan
antara kedua data yang diperoleh.35
Sebagai data primer, penelitian ini akan merujuk langsung pada kitab hadis
karya Nawawi al-Bantani dan Makhfudz al-Tarmasi yakni Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts
fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīts dan al-Khil„al al-Fikriyyah bi Syarḥ al-Minḥāḥ al-
Khairiyyah. Dalam hal ini hadis yang akan diteliti ialah dua hadis yang memiliki
tema yang sama dengan redaksi sedikit berbeda. Pertama hadis tentang keutamaan
kalimat Lāilāha illa al-Allah kedua, kandungan kalimat tasbih atau bacaan Subhā
allah wa biḥamdih subḥān allah al-Aẓīm. Selain itu penulis juga menggunakan data
sekunder sebagai pendukung seperti buku-buku, jurnal, artikel, tesis, disertasi dan
hasil penelitian yang terkait dengan objek kajian.
2. Metode Analisis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis komparatif dengan
meneliti dan membandingkan bahan yang akan dikaji sebagai sumber informasi.
35
Mestika Zeid, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004) h. 25
15
Adapun sumber informasi dalam penelitian ini yaitu kitab hadis karya Syaikh
Nawawi dengan Syaikh Makhfudz al-Tarmasi yakni Syarḥ Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts
fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīts dan al-Khil„al al-Fikriyyah bi Syarḥ al-Minḥāḥ al-
Khairiyya. Setelah itu data-data primer dianalisis secara kualitatif dengan menilai dan
membahas data tersebut. Dari sini akan terlihat posisi setiap kitab hadis yang
dibangun dengan karakteristik masing-masing kitab hadis yang dilalui oleh penyusun
kitab hadis oleh ulama Indonesia. Sebagai penunjang pisau analisis penulis
menggunakan data sejarah dan metode pemahaman yang telah ditawarkan oleh Kiai
Ali Mustafa Ya‟qub.
3. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi
yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2013/2014. Adapun
untuk transliterasi, penulis berpedoman pada transliterasi Arab-Latin Surat Keputusan
Bersama Mentri Agama Nomor:158 Tahun 1987-Nomor 0543 b/u/1987.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan sebuah upaya untuk menyusun langkah-
langkah penelitian agar memiliki keterkaitan yang harmonis antara satu pembahasan
dengan pembahasan yang lainnya. Untuk memudahkan penulisan ini, penulis
membagi pembahasan menjadi beberapa ban uang diuraikan dalam sistematika
sebagai berikut.
16
Bab pertama berisi pendahuluan, yang didalamnya terdiri dari latar belakang
munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu, permasalahan yang ada
diidentifikasi lalu dibatasi untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Tak
hanya itu, bab ini juga menghadirkan beberapa pembahasan lain semisal tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua dan ketiga berisikan tentang landasan teori dalam hal ini di bab dua
penulis mencantumkan teori pemahaman tekstual dan kontekstual selain itu juga
menyuguhkan metode-metode dalam memahami hadis yang ditawarkan oleh ulama
Indonesia. Hal ini untuk mengklasifikasikan pemahaman ulama Indonesia atas hadis
nabi saw. Selain itu penulis juga mencantumkan hubungan ulama Indonesia dengan
ulama Timur Tengah sebagai pusat Intelektual. Adapun bab tiga menyuguhkan
sejarah hidup Syaikh Nawawi al-Bantani dan Makhfudz al-Tarmasi.
Bab keempat, berisi tentang analisis pemahaman hadis Syaikh Nawawi al-
Bantani dan Syaikh Makhfudz al-Tirmasi.
Bab kelima ialah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
ialah jawaban penulis terhadap rumusan masalah pada bab 1 yang memang menjadi
focus utama dalam penelitian ini. Sedagkan saran ialah rekomendasi dari penulis bagi
para peneliti setelahnya tentang kemungkinan adanya berbagai aspek tertentu yang
belum teruraikan secara utuh sehingga penting dilakukan penelitian lanjutan.
17
BAB II
SEJARAH KAJIAN HADIS DI INDONESIA DAN PEMAHAMAN HADIS
NABI SAW
A. Hubungan Ulama Indonesia dengan Ulama Timur Tengah
Kawasan Muslim Indonesia (Nusantara)1 merupakan salah satu kawasan yang
mempresentasikan dunia Islam yang sedikit mengalami Islamisasi.2 Meminjam istilah
Azyumardi Azra yang menyebutkan kawasan ini sebagai daerah Periferal yang
sedikit mengalami Arabisasi.3 Para pengamat Islam di Asia Tenggara menilai bahwa
Muslim Nusantara memiliki watak atau karakteristik yang khas, yang berbeda dengan
watak Islam di daerah lain khususnya di Timur Tengah. Mereka terkenal dengan
wataknya yang lebih damai, ramah dan toleran dan didorong tidak adanya paksaan
untuk menghilangkan tradisi yang telah ada. Sehingga mereka menerima ajaran islam
yang disebarkan oleh para penyebar ajaran islam seperti dalam proses islamisasi di
Indonesia.4
1 Nusantara merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan sebagian besar wilayah di
Asia Tenggara secara umum termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand dan Bruneidarussalam. Lebih
lanjut Nusantara ialah sebutan untuk pulau-pulau yang teletak antara benua Asia dan benua Australia,
yang kemudian hari dikenal sebagai Indonesia. Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: Delta
Pamungkas, 2004), jilid. 11, h. 224 lihat juga di jilid 7, h. 74. 2 Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: Al
Ruzz Media, 2016), h. 179. 3 Daerah peripheral ialah daerah pinggiran yang sedikit mengalami arabisasi sebagai wujud
Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang ada dan berkembang di Timur Tengah Azra, Renaisanse Islam
Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 5. 4 Hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara menjadi lebih kuat ketika keduanya
menjalin hubungan keilmuan. Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 90.
18
Sikap keterbukaan yang disertai sikap reseptif terhadap islamisasi menjadi
pemicu mulusnya islamisasi di Indonesia. Fenomen tersebut didukung oleh
strategisnya letak Geografis Indonesia yang menjadi tempat persilangan jalur lalu
lintas laut yang menghubungkan antara belahan Barat dan Timur.5 Dari sinilah
terjalin hubungan wilayah Indonesia dengan Timur Tengah. Hal itu menjadikan
dinamika Islam Timur Tengah memberikan pengaruh wacana Islam Melayu-
Indonesia khususnya setelah Islam berkembang di Asia Tenggara.
Hubungan Timur Tengah dengan Asia Tenggara telah tercipta sejak awal
kehadiran Islam di kawasan Melayu-Indonesia. Menurut Azra hubungan antara
keduanya hingga paruh kedua abad ke- ke-17 menempuh beberapa fase dan bentuk
yang berbeda. Fase pertama, sekitar abad ke- ke delapan hingga abad ke- ke-12,
hubungan antara kedua wilayah lebih bersifat ekonomi. Fase kedua, dari abad ke- ke-
12 hingga ahir abad ke- ke-15, pada masa ini hubungan lebih bercorak keagamaan.
Fase ketiga, dari abad ke- ke-16 sampai paruh kedua abad ke- ke-17, bercorak politis
disamping corak keagamaan.6
Hubungan keagamaan dengan wilayah Timur Tengah sudah tercipta sejak
berdirinya kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia
pada abad ke- ke-13 M. Adapun wilayah Jawa menjalin hubungan dengan Timur
Tengah sejak muncul kerajaan Islam Demak dan Kesultanan Banten sekitar abad ke-
ke-16. Di antara faktor lahirnya hubungan ini ialah pelaksanaan ibadah haji yang
5 Sartono Kartodirjo, Pengantar Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium sampai
Imperium (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 1. 6 Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke- ke- XVII dan
XVIII, h. 17.
19
berlangsung setiap tahun yang mengalami peningkatan. Selain itu juga para santri
yang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke--abad ke- setelahnya.7
1. Ibadah Haji
Dinamika ibadah haji orang Indonesia mengalami beberapa pola. Pada abad ke-
ke-16 hingga abad ke- ke-17 orang-orang yang berangkat ke Makkah untuk
melaksanakan ibadah haji hanya terbatas para pedagang, utusan sultan dan penuntut
ilmu.8 Memasuki abad ke- ke-17 banyak orang pergi ke Makkah dan Madinah untuk
menuntut ilmu namun, hal itu bukan menjadi tujuan utama. Pola seperti ini telah
berlangsung sejak VOC menyetujui perdamaian dengan Raja Mataram tahun 1646.9
Pada saat itu VOC sepakat dengan pengangkutan para santri yang akan mendalami
pengetahuan keagamaanya di Makkah dengan menaiki kapal VOC.10
Memasuki abad ke- ke-18 tujuan utama pemberangkatan Muslim Indonesia ke
Haramain telah berubah. Pada masa ini tujuan utamanya ialah menuntut ilmu. Di sana
telah terbentuk masyarakat Nusantara yang menetap di Makkah. Di antara jamaah
haji Nusantara yang bermaksud mendalami ilmu agama ialah Abdussamad al-
7 Zamakhsyari Dzafir mengatakan bahwa pada abad ke- ke- ke-16 dan abad ke- ke- ke-17
ulama Indonesia sering mengdakan surat menyurat dengan ulama Saudi Arabia. Samsul Munir Amin,
Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al Bantani, h. 34. 8 Sejak penyerangan armada perdagangan Portugis pada permulaan abad ke- ke- ke-16 arus
perdagangan dari Timur Tengah ke Nusantara mulai surut. Hal ini kemudian didominasi oleh
perdagangan Nusantara ke luar. Pusat pelayaran perdagangan yang semula di Malaka, kemudian
beralih ke Aceh. M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara,
2007), h. 106-107. 9 Sejak paruh kedua abad ke- ke- 17 terjadi perubahan visi VOC terhadap Nusantara, dari
sebuah perusahaan dagang dengan politik perdagangannya beralih menjadi penguasa suatu wilayah
melaluidominasi politik. Kondisi seperti ini malah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan
umat Islam serta menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi. 10
M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesi, h. 119.
20
Palimbani (1704-1789). Arsyad al-Banjari (1710-1812), Muhammad Nafis bin Idris
al-Banjari (w. 1735) dan lain sebagainya.11
Pada permulaan abad ke- ke-19 calon jamaah haji Nusantara mulai
meningkat.12
Hal ini membuat Pemerintah Belanda hawatir atas keberadaan “Sayid”
dan “Pastor Islam”. Mereka menilai agama Islam sebagai agama yang
membahayakan stabilitas pemerintahan Belanda.13
Oleh sebab itu Belanda membatasi
jumlah jamaah haji dengan mengeluarkan kebijakan untuk membendung peningkatan
jumlah jamaah yang akan berangkat haji. Namun, kebijakan tersebut tidak mampu
menahan arus gelombang jamaah haji Muslim Nusantara.
Pelonjakan arus perjalanan ibadah haji ke Makkah pada abad ke-19 dipengaruhi
oleh beberapa aspek. Pertama, meluasnya penyebaran agama Islam ke berbagai
wilayah di Indonesia. Kedua, meningkatnya alat transportasi antara Nusantara dengan
Hijaz. Ketiga, dibukanya terusan Suez. Keempat, pembangunan rel kereta api dan
pelayaran antar pulau di Nusantara. Kelima, meningkatnya pelayanan kesehatan dan
keamanan selama perjalanan.14
11
M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesi, h. 124. 12
Sejak abad ke-19 jumlah jamaah haji dari Indonesia menempati porsi tertinggi dari seluruh
jamaah haji selain jamaah haji dari luar Jazirah Arab. Kisaran 15 % hingga 20 % Umat Islam
Indonesia mendominasi jamaah haji di Makkah. Kareel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam
Indonesia Abad ke-19, h. 251. Tercatat pada tahun 1858 jumlah jamaah haji sebanyak 3.862 orang dari
tahun 1852 yang hanya 413 orang. Rentan waktu lima tahun ada sekitar 12.895 jamaah yang
menunaikan ibadah haji. M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesi, h. 127. 13
Sejak Rafles menjabat sebagai kepala pemerintahan Belanda atas Indonesia beliau
memandang negative terhadap jamaah haji. Setidaknya ada dua aspek yang beliau soroti. Pertama,
jamaah haji dianggap sebagai orang suci dan rakyat menilai mereka mempunyai kekuatan ghaib.
Kedua, jamaah haji memiliki pengaruh politik yang akan membakar semangat juang untuk melakukan
pemberontakan. Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani (Jakarta: Teraju, 2004), h.5. 14
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah
Indonesia (Jakarta: Mizan, 2012), h. 101. Baca juga Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam
al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 20. M. saleh juga
21
2. Koloni Jawa di Makkah
Pelonjakan jamaah haji merupakan cermin tingginya minat masyarakat untuk
menuju ke Makkah. Kebanyakan mereka tidak hanya ingin melaksanakan ibadah haji
saja melainkan memutuskan tinggal di Makkah lebih lama. Kalangan pemuda
umumnya ingin menuntut ilmu sedangkan orang yang sudah tua kebanyakan ingin
menetap di Makkah untuk selama-lamanya dan membentuk perkampungan orang-
orang Nusantara atau disebut dengan komunitas jawi.15
Komunitas Jawi sebenarnya sudah ada sejak abad ke-17 ketika orang Indonesia
pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah pelakanaan haji selesai,
sebagian dari mereka ada yang memutuskan kembali ke tanah airnya, ada juga yang
menetap di Haramain hingga ahir hayatnya. Selain berniat menunaikan rukun Islam
ke lima, mereka juga memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar kepada ulama
Haramain untuk mendalami ilmu agama. Hal itu didorong dengan kemakmuran
kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara. Tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-
keagamaan antar kerajaan Muslim di Nusantara semakin meningkat sejak abad ke-14
dan 15, kian banyak penuntut ilmu dan jamaah haji yang berkesempatan mendatangi
Makkah dan Madinah. Hal ini mendorong munculnya komunitas yang disebut Aṣḥāb
menyertakan semakin meningkatnya keinginan untuk menuntut ilmu di Haramain, adanya sistem
perwakilannya di Indonesia serta para bupati yang dibolehkan untuk mempropagandakan biaya haji.
Baca juga M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesi, h. 131. 15
Samsul Munir Amin, Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, h. 35.
Kebanyakan orang-orang yang memutuskan mukim di Makkah mendapatkann penghasilan dari
pengabdian mereka sebagai wakil haji dari orang yang telah meninggal dunia atau sering disebut
sebagai Syaikh Haji atau Mutawwif. Kareel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Indonesia
Abad ke- ke- 19, h. 248.
22
al-Jawiyyīn (Koloni Jawa) yang merujuk kepada setiap orang yang berasal dari
Nusantara.16
Koloni Jawa memberi magnet tersendiri bagi lulusan pelajar maupun santri
yang hendak mendalami ilmu agama di kota Makkah. Santri ataupun pelajar yang
telah bergabung dalam komunitas ini akan mendapatkan pembelajaran bahasa Arab
dan keagamaan Islam dalam bahasa melayu maupun bahasa jawa. Selanjutnya
mereka mendapatkan pengajaran dari ulama Makkah di Masjidilharam.17
Jauh
sebelum munculnya gerakan nasionalis pada awal abad ke-20 mereka sudah terlibat
dahulu dalam gerakan anti komunis dengan cara mengomunikasikan wacana politik
dalam sebuah kerangka keagamaan di kalangan Muslim.18
Selain terlibat dalam transmisi keagamaan dan spiritual, Koloni Jawa memiliki
pengaruh politik terhadap tanah kelahiran mereka. Pasalnya setiap Muslim yang pergi
ke Makkah mereka membawa ide politik dan keagamaan yang sedang melanda
negaranya. Menurut Snouck Hurgronje transmisi ide-ide keagamaan dan politik dari
Makkah ke dunia Melayu-Indonesia lebih banyak dilakukan oleh Koloni Jawa
dibanding para haji. Guru dan murid sebagai kelompok inti Koloni Jawa ini
memainkan peran penting bagi masyarakat dan tanah air mereka.19
Pada abad ke-19 pula Makkah berada di bawah kekuasaan pemerintah Turki
Utsmani. Pada waktu itulah pertukaran ide-ide politik Koloni Jawa dengan jamaah
16
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke- ke- XVII dan
XVIII, h. 256. 17
Samsul Munir, Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al Bantani, h. 36. 18
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut
Syaikh Nawawi al Bantani, h. 28. 19
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut
Syaikh Nawawi al Bantani, h. 25.
23
haji dari Negara lain berlangsung. Komunikasi ini pada gilirannya menyadarkan akan
situasi politik yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Karena itu muncullah ide-ide
anti kolonial, seperti ide persatuan Muslim Nusantara, ide pengusiran penjajah dan
pandangan bahwa membiarkan Muslim di bawah kekuasaan kafir tanpa perlawanan
merupakan sikap yang bertentangan dengan perintah Tuhan.20
Keberadaan Koloni Jawa di Makkah menjadi pusat perhatian setelah tampilnya
tokoh-tokoh yang menjadi pengajar di Makkah. Mereka itu ialah Muhammad Arsyad
al-Banjari, Syaikh Nawawi al-Bantani, Akhmad Khatib al-Minangkabawi. Selain
dikenal oleh Koloni Jawa reputasi mereka juga sejajar dengan ulama pengajar di
Masjidilharam. Lambat laun mereka pun diakui kapasitas keiilmuannya oleh dunia
internasional. Apalagi setelah karangan-karangan mereka di berbagai cabang
keilmuan tersebar. Pengaruh besar Koloni Jawa inilah membuat Snouck Hurgronje
menilai bahwa Koloni Jawa ini berfungsi sebagai jantung kehidupan keagamaan di
Nusantara yang memompa darah segar dengan cepat ke tubuh penduduk Muslim di
Indonesia.
Pada paruh kedua abad ke-19, ketika pemaknaan Makkah berubah yang
sebelumnya dimaknai sebagai pusat spiritual politik kekuasaan raja beralih sebagai
pusat pembelajaran Islam. Bersamaan dengan hal itu pula wilayah Nusantara
mengalami perkembangan di sektor ekonomi yang ditanamkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Hal ini pada gilirannya menjadikan masyarakat pedesaan
menanam berbagai macam tanaman yang dapat mengubah kehidupan sosial
20
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut
Syaikh Nawawi al Bantani, h. 27.
24
berkecukupan bahkan menguntungkan perekonomian. Hal ini membuat sebagian
masyarakat mampu berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Haji ataupun
menuntut ilmu.21
Fenomena ini terjadi pada dekade-dekade ahir abad ke-19 di Jawa
kemudian menyebar ke pulau-pulau di luar Jawa pada awal abad ke-20.
3. Menuntut Ilmu di Makkah
Makkah tidak hanya memberikan daya tarik dari segi ibadah Haji, namun juga
sebagai tempat menuntut ilmu. Menurut penelitian Burckhard mengatakan bahwa
pada perempatan awal abad ke-19 pembelajaran dan ilmu pengetahuan tidak bisa
diharapkan berkembang di Makkah. Hal ini disebabkan karena pada saat itu
kehidupan akademik dalam kondisi yang menyedihkan dan mandek.22
Secara umum model pembelajaran di Makkah pada abad ke-19 masih
mengajarkan ilmu keagamaan. Dalam memberikan pengajarannya ada beberapa
model lembaga pembelajaran keagamaan. Dimulai dari pembelajaran dasar-dasar
keagamaan yang dilaksanakan di Kuttāb. Didalamnya diajarkan keahlian dasar seperti
membaca, menulis, matematik, tatacara beribadah. Membaca Al-Qur‟an menjadi
pelajaran pokok yang diajarkan. Di Kuttāb tertentu diajarkan pula hadis, tafsir, fiqih,
kaidah bahasa arab dan sastra arab. Pendanaannya pun didanai dari uang masyarakat
dan sumber publik.23
Tingkat berikutnya ialah seorang murid bisa melanjutkan ke Rushdiy. Sekolah
yang didanai oleh pemerintah Turki Utsmani. Lembaga ini bisa di sebut sebagi
21
Jajat, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, h. 99. 22
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut
Syaikh Nawawi al Bantani, h. 30. 23
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz; Makkah dan Madinah 1800-
1925, (Jakarta: Logos, 1999), h. 205.
25
madrasah, bagi sekolah yang didanai oleh swadaya masyarakat. Materi yang
diajarkan ialah keagamaan, bahasa persi dan turki, aritmetika, geografi, sejarah
penulisan surat. Selain lembaga pendidika di atas beberapa madrasah juga dibuka
untuk perempuan seperti Madrasah al-Hazaziyah, al-Falah, Raudhatul Athfal. Pola ini
dipengaruhi oleh reformasi pendidikan yang terjadi di Mesir dan India.
Selain Rubāt dan Madrasah, tingkat pembelajaran yang lebih tinggi lagi ialah
pembelajaran yang dilaksanakan di Masjidilharam. Menurut Hurgronje kegiatan
pembelajaran di Masjidilharam ini ibarat pembelajaran di Universitas. Kegiatan
pembelajaran di Masjidilharam dilaksanakan membentuk halaqah (lingkaran kecil).
Para murid yang mengikuti pembelajaran model ini umurnya berkisar enam belas
hingga empat puluh tahun. Setiap halaqah terdiri dari sepuluh sampai enam puluh
orang yang mengelilingi satu professor. Perkuliahan benar-benar terbuka untuk
umum siapapun boleh menghadiri baik sebagai murid tetap atau hanya sebatas
mencari barakah tanpa ada pendaftaran dan uang bayaran sedikit pun. Menurut Badri
Yatim pada abad ke-19 halaqah yang ada di Masjidilharam berjumlah dua puluh lima
halaqah.24
Professor yang mengajar di Masjidilharam berasal dari berbagai negara dan
madzhab. Semua mufti dari empat madzah fikih mejadi pengajar disana. Karena
mayoritas penduduk Makkah kala itu bermadzhab Syafi‟iyah. Kebanyakan
pengajarnya merupakan penduduk asli Makkah diantaranya ialah Ahmad Zaini
24
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz; Makkah dan Madinah 1800-
1925, h. 207
26
Dahlan, Abdullah Zawawi, dan Sayid Abu Bakar Saṯṯa. Adapun Profesor dari
kepulauan Melayu-Indonesia ialah Zainuddin Sumbawa.
Untuk diterima menjadi professor di Masjidilharam, seseorang harus menjalani
ujian yang dipimpin oleh Syaikh al-Ulama, sebagai Rektor Universitas. Setelah
dinyatakan lulus mereka mendapatkan sertifikat ijazah untuk mengajar di
Masjidilharam.25
Dalam menyampaikan perkuliahannya kebanyakan Profesor mengunakan satu
dari tiga metode mengajar. Pertama, beliau membacakan komentar atau pejelasan
(Syarah atau Hasyiyah) ulama terdahulu mengenai teks yang sedang dibahas. Kedua,
membacakan penjelasan atau komentar ulama terdahulu yang disertai dengan
penjelasan lisan dari dirinya yang diambil dari penjelasan yang terbaik agar mudah
dipahami. Ketiga, menerbitkan kumpulan komentar-komentar. Kebanyakan Profesor
melakukan metode pertama sebagai bukti kerendahan hati dan penghormatannya
terhadap ulama terdahulu.
Setelah para santri merasa cukup dengan ilmu yang diperolehnya ada yang
memutuskan pulang ke Indonesia ada juga yang memutuskan untuk menetap di
Makkah dan Madinah. Mereka yang kembali ke Indonesia kemudian
mengembangkan kajian-kajian keislaman. Di antaranya ialah kajian hadis yang
dinilai penting dalam menjaga syariat agama.
25
Muhajirin, Kebangkitan Hadis di Nusantara (Yogyakarta: idea press, 2016), h. 45. Asep
Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi al
Bantani, h. 38.
27
B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia
Kajian Hadis di Indonesia tidak bisa dilepaskan sejak terjalinnya hubungan
intelektual keagamaan Ulama Indonesia dengan wilayah Timur Tengah. Hal ini
bermula ketika santri-santri dari Indonesia memutuskan untuk belajar di Timur
Tengah khususnya Makkah dan Madinah. Mereka mempelajari berbagai keilmuan
dari al-Qur‟an, Tafsir, Tasawuf, Hadis, Fikih dan keilmuan lainnya.26
Hal ini sudah
dimulai sejak abad ke- 17.27
Secara historis materi hadis sudah diajarkan sejak periode Walisongo yang
telah menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa. Hal itu mendorong dugaan bahwa
materi hadis sudah mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan keilmuan lainya
seperti tasawuf dan fikih namun, belum begitu familiar dibanding keilmuan tasawuf
dan fikih. Hal ini karena kecenderungan masyarakat pada saat itu yang mengamalkan
praktik tasawuf.28
Nurhidayah menyebutkan bahwa perkembangan kajian hadis di
Indonesia mulai ada sejak abad ke- ke-17 yang dipelopori oleh Nuruddin al-Raniri
(w. 1658)29
dan Abd Rauf al-Sinkili30
(w. 1693) dengan karya mereka di bidang
Hadis.31
26
Muhajirin, Kebangkitan Hadis di Nusantara. h. 36. 27
Muhammad Samsukadi, Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1. 2015. h. 47. 28
Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik sampai
Modern (Bandung: pustaka Setia, 2004), h. 134. H. serupa juga dikatakan oleh Atina yang
menyebutkan bahwa kajian hadis muncul di Indonesia sejak Islam masuk wilayah Nusantara namun
perkembangannya tidak begitu pesat karena para penyebar ajaran agama Islam merupakan seorang
pedagang bukan ulama ataupun syaikh. Atina Rahmawati “Literatur Hadis Qudsi di Indonesia” (UIN
Syarif Hidayatullah: Skripsi Fakultas Ushuluddin prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir, 2017), h. 21. 29
Nur al-Din Muhammad bin „Ali bin. Al-Ḥamid al-Syāfi‟i al-Aydarusi al-Raniri dilahirkan
di Ranir (modern: Randir),, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Meskipun beliau kelahiran
India beliau lebih besar kiprahnya di Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui, namun kemungkinan
besar menjelang ahir abad ke-16. Konon ibunya adalah seorang Melayu dan ayahnya berasal dari
imigran Hadrami yang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ada kemungkinan beliau
keturunan keluarga Humaid yang sering dihubungkan dengan Abu Bakr „Abdullah bin Zubair al-Asadi
28
Al-Raniri dan al-Sinkili merupakan gambaran awal pembelajaran ataupun
sejarah perkembangan Hadis di Nusantara. Dalam periode yang sama keduanya
berhasil mengarang kitab di bidang Hadis. Al-Raniri (w. 1658 M) mengarang kitab
Hidāyat al-Ḥabīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb..32
Begitu besar pengaruh Hadis dalam
penerapan syariat beliau menyatakan bahwa penerapan syariat tidak dapat
ditingkatkan tanpa pengetahuan mendalam mengenai hadis Nabi Muhammad saw.33
Kitab ini merupakan kumpulan hadis-hadis yang beliau terjemahkan dari bahasa Arab
kedalam bahasa Melayu agar penduduk Muslim mampu memahaminya secara benar.
Dalam karyanya ini beliau tidak hanya membahas hadis-hadis semata melainkan
menyertakan ayat-ayat suci al-Qur‟an guna memperkuat argumen yang melekat pada
hadis tersebut.34
Selain kitab tadi, beliau juga mengarang kitab hadis al-Fawāid al-
Bahiyyah yang merupakan kumpulan hadis-hadis Nabi saw.
al-Ḥumaidi (w. 219/834 H),. Beliau adalah murid al-Syafi‟i yang paling terkenal, ulama hadis
terkemuka di Hijaz dan menjabat mufti Makkah. Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad ke- ke- XVII & XVIII, h. 210 30
Abd al-Ra‟uf bin „Ali al-Jawī al-Fansūrī al-Sinkili adalah seorang Melayu dari Fansur,
Singkil (modern: Singkel), wilayah pantai barat-Laut Aceh. Berdasarkan kalkulasi Rinkes beliau
dilahirkan sekitar tahun 1024/1615. Azra tidak yakin bahwa al-Singkili merupakan keponakan Hamzah
Fansuri, namun ada kemungkinan masih ada hubungan kekeluargaan. Perjalanan al-Singkili tidak
hanya ke Makkah dan Mainah saja melainkan ke wilayah-wilayah yang menjadi rute perjalanan haji
dari Doha (Teluk Persia),, Yaman dan Jeddah. Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad ke- ke- XVII & XVIII, h. 239-343. 31
Nur Hidayah, “Meretas Kesarjanaan Hadis di Indonesia” (UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi
Fakultas Ushuluddin prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir, 2017), h. 14. 32
Perlu diketahui bahwa paham sufistik dan mistik masih cukup mengakar di masyarakat
Aceh kala itu. Sebagai seorang syaikh al-Islam bagi kesultanan Aceh beliau menerapkan beberapa
aturan khususnya yang berkaitan dengan sikap keberagamaan dan pemahaman masyarakat yang
cenderung lebih kearah hakikat dengan meninggalkan syariat. 33
Muhajirin, Kebangkitan Hadis di Nusantara. h. 51. 34
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke- ke- XVII &
XVIII, h. 234.
29
Sedangkan al-Sinkili (w. 1693 M) mengarang dua karya di bidang hadis.
Pertama syarah atas hadis arbai‟in karya Imam al-Nawawi (w. 676 H)35
yang
mengupas tentang kewajiban dasar kaum Muslimin yang beliau tulis atas permintaan
Sultanah Zakiyyat al-Din.36
Karyanya yang kedua ialah al-Mawāiẓ al-Badī‘ah, yang
merupakan koleksi hadis-hadis qudsi baik yang berkaitan dengan Tauhid, surga dan
neraka ataupun beberapa hadis terkait dengan menggapai rida Allah swt. Nampaknya,
dalam menyuguhan hadis beliau belum menyentuh aspek keautentisitasan hadis
melainkan disajikan dengan model yang sederhana dan diarahkan pada praktik-
praktik keagamaan saja.37
Misalnya beliau mencantumkan hadis larangan untuk
menuduh seseorang dengan kafir, sebagaiman sabda Rasulullah saw.
ار اا الاااكاال اذاكاااه اب ااح اصاان اك ااال اان اإ ااه اي الاعااد اتار اا الاإ اار اف اك ال اب ااه ام ار اا الاوااق او اس اف ال اب اال اج اراام
Kedua karyanya tersebut diperuntukkan untuk masyarakat awam dalam menuju
pemahaman terhadap ajaran Islam yang lebih baik. Beliau menekankan bagi siapa
saja yang membacanya agar hadis-hadisnya dijadikan pedoman hidup. Dengan kata
lain beliau telah bersungguh-sungguh mengajak kaum muslimin untuk berpegang
pada sumber hukum Islam al-Qur‟an dan Hadis dan beliau ingin mengembalikan atau
meminjam istilah Quraisy Syihab “membumikan” sumber hukum Islam di
35
Abu Zakariya Muḥy al-Dīn al-Nawawi al-Dimasyqi. Lahir di Nawa, Syiria tahun
631M/1233 H dan meninggal juga di sana tahun 676 M/1277 H. 36
Syamsul Huda, Perkembangan Penulisan Kitab Hadis Pada Pusat Kajian Islam Di
Nusantara Pada Abad ke- ke- XVII, Jurnal Penelitian UNIB, Vol. VII, No. 2, Juli 2001, h. 112 37
Muhajir, Kebangkitan Hadis Di Nusantara, h. 48.
30
Nusantara.38
Kedua ulama ini telah menampilkan peran penting sebagai ulama dalam
pembelajaran dan penyebaran hadis fase awal di Indonesia.
Kajian hadis sempat mengalami penurunan setelah periode al-Raniri dan al-
Sinkili. Menjelang ahir abad ke- ke-19 kajian Hadis mulai mendapatkan ruang seiring
munculnya gerakan purifikasi yang menekankan kepada pemurnian ajaran agama
Islam dengan mengajak kembali kepada al-Qur‟an dan Hadis.39
Masuk abad ke-20
kitab-kitab hadis belum dijadikan sebagai sumber rujukan pengajaran dalam lembaga
pendidikan khususnya pesantren. Kepemilikannya masih terbatas hanya berkisar pada
seorang kiai saja sebagai bahan bacaan. Sebelum abad ke- ke-20 kajian hadis di
Nusantara baik yang berkaitan dengan ilmu hadis ataupun kitab-kitabnya belum
ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan termasuk pesantren. Hal ini membuktikan
bahwa kajian hadis di Nusantara masih terbilang langka.
Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pada dekade awal abad ke- ke-20 kitab-
kitab Hadis sudah diajarkan di surau-surau yang kemudian menjadi cikal bakal
Pesantren. Pada masa ini kitab-kitab hadis mulai dijadikan sebagai buku ajar di
Madrasah dan pesantren.40
Penelitian Bruinessen menyebutkan bahwa pemakaian
kitab-kitab hadis masih relatif baru di pesantren. Bahkan beliau menambahkan
minimnya perhatian ulama-ulama Indonesai terhadap kajian hadis yang pada
gilirannya santri-santri dari Indonesia meneruskan pembelajarannya ke Timur
38
Muhajir, Kebangkitan Hadis Di Nusantara, h. 50. 39
Agung Danarta, Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia; Sebuah Upaya Pemetaan,
Jurnal Tarjih edisi 7, 2004, h. 4. 40
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1995), h. 53-61.
31
Tengah.41
Mereka yang memutuskan untuk melanjutkan pembelajarannya ke Timur
Tengah tidak sedikit dari mereka yang memberikan kontribusi dalam memperkaya
khazanah keilmuan hadis. Diantaranya ialah Nawawi al-Bantani (1814-1897) yang
mendapatkan penghargaan Sayyid al-Ulamā al-Ḥijāz dan Makhfudz al-Tarmasi
(1842-1919) yang merupakan ulama Nusantara pertama yang dinilai sebagai
Muḥaddits dan seorang Musnid.
C. Pemahaman Hadis Ulama Indonesia
Kitab Tanqīḥ al-Qaul dan al-Khil‘ah al-Fikriyyah bi Syarḥ al-Minḥaḥ al-
Khairiyyah merupakan representasi pemahaman hadis ulama Nusantara. Sebagai
ulama Nusantara yang menghabiskan waktunya untuk mengabdikan diri untuk ilmu
agama di tanah suci tidak menyurutkan semangatnya untuk menghasilkan berbagai
karya. Dari kedua ulama inilah lahir ulama-ulama Nusantara yang berpengaruh,
menjadi panutan diberbagai lapisan masyarakat. Selain mereka mengilhami para
muridnya dengan mengikuti pengajiannya secara langsung melalui karyanya pun
mampu membentuk kepribadian seseorang.
Bagi seseorang yang hidup jauh dari masa kehidupan seorang pengarang, akan
menghadapi kesulitan dalam memahami karya seorang ulama secara utuh. Begitupula
dengan karya kedua ulama Nusantara diatas dalam bidang hadis. Mengingat Hadis
merupakan rujukan utama bagi umat Islam yang menempati posisi terpenting setelah
41
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), h. 162.
32
al-Qur‟an. Dari sinilah terlihat pentingnya Hadis menjadi penyokong dalam
menjelaskan kandungan al-Qur‟an.
Oleh sebab itu, pemahaman atas sebuah hadis menjadi diskursus yang sangat
penting guna menjaga dan mendapatkan keutuhan nilai-nilai yang dikandungnya.
Bahkan upaya memahami hadis menjadi keharusan guna mengaktualisasikan dan
dapat diamalkan. Hal itu berangkat dari adanya fenomena-fenomena sosial-budaya
yang tidak sesuai dengan era sebelumnya sehingga tidak hanya mencukupkan pada
paradigma lama. Apalagi, sekarang ini hadis telah menjadi tradisi tulis yang bersifat
kaku dan beku.42
Selain piranti-piranti yang dibutuhkan dalam memahami hadis
diatas, seseorang juga diharuskan mengetahui apakah sebuah hadis itu dapat
diamalkan atau tidak. Ahmad Ubaidi Hasbillah dalam kata pengantar editor buku
“Cara Cermat Mengamalkan Hadis” memberikan tips yang perlu dilakukan sebelum
mengamalkan hadis. Pertama ialah cermat memilah, cermat memilih dan cermat
memahami.43
Dalam memahami hadis ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Pertama,
subyek atau orang yang melakukan kegiatan, kedua obyek, dan ketiga metode.
Komponen yang berperan penting dalam proses memahami hadis ada pada metode
yang digunakan. Karena, hal itulah yang akan mengantarkan kepada hasil dan sebagai
penentu apakah sebuah hadis dapat diamalkan atau tidak. Harun Nasution
menyebutkan bahwa dalam proses memahami sebuah teks baik berupa al-Qur‟an
42
Sri Purwaningsih, Kritik Terhadap Rekonstruksi Metode Pemahaman Hadis Muhammad
Al-Ghazali, Jurnal THEOLOGIA, Vol. 28, No. 1, Juni 2017 43
Tim Majalah Nabawi, Cara Cermat Mengamalkan Hadis (Tangerang Selatan: Maktabah
Dārussunnah, 2016), h. xiii-xvi
33
ataupun Hadis tidak bisa meninggalkan suasana masyarakat yang ada dan zaman
yang mengitarinya.44
Karena sebuah metode menduduki peran penting dalam memahami hadis,
beberapa ulama modern-kontemporer memberikan tawaran metodologi. Diantaranya
ialah Ibnu „Atsur (1879-1973 M), Muhammad al-Ghazali (1917-1996 M),
Muhammmad Syahrur (1938), dan Muhammad Yusuf al-Qaradhawi (1926). Ulama
Indonesia pun ikut menawarkan metodologi pemahaman hadis Nabi saw. Pertama
ialah M. Syuhudi Ismail (w. 1996) dan Ali Mustafa Ya‟qub (w. 2016).
Dalam bukunya “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual” Muhammad
Syuhudi Ismail menyuguhkan beberapa hal yang perlu dikaji dalam memahami
ujaran Nabi saw.45
Beliau membagi pembahasan dalam bukunya menjadi tiga tema
besar. Pertama, Memerhatikan Matan Hadis Nabi saw dan Penunjukannya. Dalam
sub bab ini terdiri dari ucapan Nabi yang bersifat Jawāmi‘ al-Kalim, menggunakan
bahasa Tamtsil, ungkapan Simbolik, bahasa Percakapan, dan Ungkapan Analogi.
Kedua, Memerhatikan Kandungan Hadis yang Dihubungkan Dengan Fungsi Nabi
Muhammad saw. Ketiga, Memerhatikan Petunjuk Hadis Nabi yang Berhubungan
dengan Asbāb al-Wurūd. Dan keempat, ialah Memerhatikan Petunjuk Hadis Nabi
yang Tampak Saling Bertentangan.
44
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 2016), jilid. 2,
h. 114. 45
Buku ini awalnya merupakan pidato pengukuhan beliau yang dinobatkan sebagai Guru
Besar dalam ilmu hadis oleh IAIN Ujung Pandang tahun 1993. Judul awalnya ialah pemahaman hadis
nabi secara tekstual dan kontekstual (telaah ma„āni al-Ḥadīts tentang ajaran Islam yang universal,
temporal dan lokal),. M. syuhudi Ismail, (Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma‘Āni
al-Ḥadīts Tentang Ajaran Nabi yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: bulan bintang, 2009),
34
Selain Syuhudi Ismail, ada juga ulama Indonesia yang memberikan tawaran
dalam memahami hadis, beliau ialah prof. Dr. Ali Mustafa Ya‟qub. Adanya
kekeliruan sebagian orang dalam memahami hadis dan juga ketidaktahuan mereka
bagaimana cara memahami hadis membangkitkan Ali Mustafa Ya‟qub menyusun
sebuah buku. Karena adanya ketidaktahuan hal ini akan berdampak pada pemahaman
hadis yang sesat dan menyesatkan. Masyarakat sekarang sangat memrlukan sekali
terhadap penjelasan bagaimana caranya memahami hadis sehingga tidak jatuh pada
pemahaman yang menyimpang.46
Beliau mengklasifikasikan metode pemahaman hadis kedalam tiga bagian.
Bagian pertama, pemilahan hadis yang dipahami secara tekstual dan kontekstual.
Dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual seseorang harus
memerhatikan hal-hal berikut ini.
1. Majaz dalam hadis
2. Takwil dalam hadis
3. Illat dalam hadis
4. Geografi dalam hadis
5. Budaya Arab dalam hadis
6. Kondisi sosial dalam hadis
7. Sabab wurūd al-Ḥadīts
Bagian kedua, Memahami Hadis Secara Tematis. Dan ketiga, Melihat
Kontradiksi Hadis, apakah hadis bertentangan dengan al-Qur‟an, hadis
bertentangan dengan hadis lain atau apakah hadis bertentangan dengan akal.
46
Ali Mustafa Ya‟qub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: pustaka Firdaus, 2016), h. xii
35
Agar pemahaman seseorang tidak terjebak pada pemahaman yang tekstualis
atau kontekstualis, beberapa sarjana muslim juga memberikan barometernya.
D. Landasan dan Batasan Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Hadis Nabi saw yang sifatnya Ẓanni al Wurūd seringkali mendapatkan sorotan
tajam dalam dunia intelektual. Hal ini membawa pada pengingkaran keotentikan
hadis Nabi saw. Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht menganggap bahwa Sunnah
merupakan kesinambungan adat pra-Islam yang dibentuk oleh kaum Muslimin
belakangan setelah wafatnya Rasulullah saw.47
Secara garis besar pemahaman hadis
ada yang bersifat tekstual dan kontekstual. Dalam memahaminya mengingat ucapan
Nabi saw. mengandung ungkapan yang bāligh, fāsih sehingga penuh dengan
ungkapan kiyas, majas, dan lain-lain.48
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami hadis secara tekstual
dan kontekstual.
1. Konteks historis, sosiologis dan antropologis
2. Kata-kata Metaforis (Majaz)
3. Tujuan atau maksud (Hadf) sebuah Hadis
4. Kata-kata asing (Gharīb)
Betapa pentingnya mengetahui hal-hal diatas sebagai piranti dalam memahami
tektualitas dan kontekstualitas sebuah hadis. Pada gilirannya hal tersebut akan
47
Jalaluddin Rahmat, Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 2002), h. 224. 48
Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, terjemahan.
Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1995), h. 167.
36
mengantarkan pada proporsionalitas pemahaman hadis. Dalam penyampain hadisnya
Nabi saw sendiri sangat memerhatikan situasi social budaya dan psikologis para
sahabatnya, sudah semestinya memahami hadis secara kontekstualpun perlu
dikembangkan.49
Adanaya peralihan pemahaman tidak berarti menguarangi derajat
kemuliaan al-Qur‟an dan Hadis, melainkan suatu keniscayaan yang menjadi ajaran
Islam yang Ṣāliḥ Likulli Zamān wa Makān (sesuai dengan perkembangan zaman)
Dengan adanya perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan
mengantarkan lahirnya pemahaman yang saling berbeda. Namun, agar pemahaman
tidak terjebak pada pemahaman tektual perlu memerhatikan batasan-batasan
kontekstual (historis) yang mencakup:
1. Menyangkut bentuk atau sarana
2. Menyangkut aturan yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk
sosial dan biologis
3. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana
kondisi social, politik, ekonomi, budaya antar daerah berbeda.50
Secara umum M. Sa‟ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstual
meliputi:
1. Dalam ibadah maḥḍah tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual.
2. Di luar ibadah ghair maḥḍah, perlu pemahaman kontekstual dengan tetap
berpegang pada moral ideal nas. Selanjutnya diteruskan dengan
merumuskan legal spesifik baru sebagai pengganti spesifik lama.
49
Lilik Channa, Memahami Makna Hadis Secara Tekstual Dan Kontekstual, h. 406. 50
Suryadi, dari living sunnah ke living hadis
37
Dalam hal ini Suryadi merumuskan batasan-batasan tekstual yang meliputi:
a. Makna tersirat atau tujuan dibalik teks yang sifatnya universal, lintas
ruang dan waktu
b. Bersifat absolut,prinsipil, universal
c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi
d. Terkait relasi manusia dengan tuhannya yang bersifat universal dengan
arti bahwa siapapun, kapanpun, dan dimanapun seseorang dapat
melakukannya tanpa melihat letak geografis, budaya dan historis
tertentu. Missal salat, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan
(perintah) untuk menjalankan salatnya dalam kondisi apapun. Namun,
bagaimana cara melakukan salat seorang muslim sangat tergantung
pada konteks seorang muslim.
Menurut Sa‟ad Ibrahim, pemahaman kontekstual menjadi sebuh keniscayaan
karena beberapa alasan berikut ini:
1. Masyarakat yang dihadapi Rasulullah saw. berbeda dengan lingkungan
lainnya.
2. Keputusan Nabi saw sendiri memeberikan gambaran hokum yang berbeda
dengan alasan “situasi dan kondisi”
3. Pemahaman tekstualis yang berlebihan berarti mengingkari adanya hukum
perubahan dan keanekaragaman nas itu sendiri
4. Pemahaman kontekstual akan menemukan moral ideal nas dalam
mengatasi keterbatasan teks karena adanya kontinuitas perubahan
38
5. Kontekstualisasi teks-teks keagamaan mengandung makna bahwa dimana
saja dan kapan saja masyarakat berada dipandang optimis oleh Islam
6. Keyakinan bahwa teks-teks Islam merupakan petunjuk yang berlaku
sepanjang masa, mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas
mengandung dinamika yang sangat kaya, yang perlu dilakukan
eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.51
51
M. Sa‟ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam, al-Tahrir, vol 4, no. 2,
juli 2004, h. 168-169
38
BAB III
BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI DAN MAKHFUDZ AL-
TARMASI
A. Syaikh Nawawi al-Bantani
1. Perjalanan Hidup
a. Biografi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu‟thi Muhammad bin Umar bin Arabi
bin Nawawi al-Jawi. Beliau lahir di desa Tanara Kecamatan Tirtayasa pada tahun
1230 H, bertepatan dengan 1814 M.1 Beliau bukanlah Imam Nawawi seorang
ulama besar Syafi‟iyyah yang lahir dan wafat di Nawa tahun 676 H / 1255 M.
Syaikh Nawawi meninggal di Makkah pada tahun 1314 H/ 1897 M. Beliau
dimakamkan di pemakaman Ma‟la, berseberangan dengan makam Siti Khadijah
Istri Rasulullah saw, dekat dengan makam Asma binti Abi Bakar, dan Abdullah
bin Zubair Sahabat Rasulullah saw.2 Beliau menikah dua kali, dari pernikahan
pertamanya dengan Nasima dikaruniai tiga orang anak yaitu Ruqayyah, Nafisah
dan Maryam. Sedangkan dari istri keduanya Hamdana lahir seorang putri bernama
Zahro.3
Syaikh Nawawi merupakan kebanggaan masyarakat Indonesia karena
reputasi intelektualnya telah mendunia. Beliau dikenal sebagai salah seorang
ulama besar yang bertaraf internasional. Beliau mula-mula terkenal sebagai
1 Samsul Munir Amin, Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al Bantani
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011),, h. 10. 2 Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al Bantani IndonesIa, (Jakarta: Sarana
Utama, 1978),, h. 5. 3 Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 50
39
pengajar di Masjidilharam kemudian mengarang berbagai macam kitab berbahasa
Arab. Hal inilah yang mengantarakan dirinya memperoleh julukan kehormatan
dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah. Diantara gelar yang beliau torehkan ialah
Sayid Ulama Hijaz, Mufti dan Fakih.4
Syaikh Nawawi lahir dan tumbuh di tengah keluarga taat beragama.
Ayahnya merupakan ulama dan penghulu desa setempat. Beliau mengajarkan
ilmu agama kepada masyarakat dan beberapa santrinya di masjid desa. tatkala itu
masyarakat Banten terkenal dengan spirit keagamma yang tinggi, nilai-nilai yang
ditanamkan oleh pihak keluargapun sangat membekas dalam kepribadiannya.5
Sejak usia 5 tahun beliau mulai belajar tauhid, tafsir al-Qur‟an dan bahasa
Arab bersama ayahnya. Tiga tahun kemudian beliau belajar kepada Haji Sahal
untuk mendalami ilmu agama, tidak lama kemudian berangkat ke Purwakarta
guna menuntut ilmu kepada Haji Yusuf.6
Ketika berumur 13 tahun ayahnya meninggal dunia, ahirnya Syaikh Nawawi
menggantikan kepemimpinan ayahnya. Sejak ini lah sosok Syaikh Nawawi mulai
terkenal. Pesantren sang ayah semakin berkembang sebagaimana ungkapan
Chaidar.
“maka berdatanganlah para santri baru sehingga pondok pesantren ayahnya
di Tanara tidak lagi dapat menampung mereka. Oleh karena itu Syaikh
Nawawi terpaksa mencari tempat lain yang memadai. Beliau memilih
Tanara pesisir”.7
4 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van, 2005), h. 199.
5 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, 1988),
h. 666. 6 Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al-Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 51. 7 Yuyun Rodiana, Syaikh Nawawi Al Bantani: Riwayat Hidup dan Sumbangannya
Terhadap Islam (Jakarta: tp, 1990), h. 19.
40
Tiga tahun kemudian beliau memutuskan berangkat haji ke tanah suci
Makkah. Di Makah Syaikh Nawawi menghabiskan sebagian umurnya dan
memulai karir sebagai ulama dan pengarang berbagai kitab sampai ahir hayatnya.
Dan dari tanah suci ini pula nama Syaikh Nawawi melambung dan dikagumi oleh
banyak ulama.
Syaikh Nawawi dalam menghadapi pemerinth Kolonial tidak agresif atau
reaksioner. Beliau lebih suka mengarahkan perhatiannya dalam pengembangan
pendidikan ilmu agama, membekali murid-muridnya dengan ilmu agama dan
semangat menegakkan kebenaran.8 Meskipun demikian beliau sangat anti keras
kerjasama dengan pemerintahan Kolonial Belanda yang menjajah daerahnya.9
Adapun sikapnya terhadap orang kafir yang tidak menjajah, dibolehkan untuk
berinteraksi dalam hal keduniawian.10
b. Rihlah Ilmiyyah
Popularitas Syaikh Nawawi semakin tersebar dan dikenal setelah beliau
menuntut ilmu dari kiai tanah kelahirannya dan tanah suci Makkah. Fenomena
inilah yang menjadikan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap
Syaikh Nawawi karena dianggap membahayakan pemerintah Belanda. Ahirnya,
pada tahun 1855, beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah dan menetap di
sana secara permanen hingga ahir hayatnya.11
8 Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 57. 9 Ahmad Ibrahim dkk, Islam di AsIa Tenggara Perspektif Sejarah, h. 153.
10 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, h. 199.
11 Samsul Munir Amin, Sayid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al Bantani, h. 24.
41
Sekembalinya ke Makkah beliau terus menerus aktif menambah ilmu agama
semua disiplin ilmu yang beliau tempuh kurang lebih tiga puluh tahun.12
Pada
waktu itu, Syaikh Nawawi pertama kali belajar kepada beberapa ulama Indonesia
yang telah dahulu menetap di Makkah seperti Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan
Barat), Abd al-Gani Bima, dan Ahmad bin Zaid Solo. Selain berguru kepada
ulama senior beliau juga berguru kepada Yusuf al-Sumbulaweni, Ahmad Dimyati,
Ahmad bin Abdurrahman al-Nahrawi, Ahmad Zaini Dahlan mufti Syafi‟iyyah
Makkah yang disbut oleh Snouck Hurgronje sebagai rektor universitas
Masjidilharam dan Abdul Hamid Daghastani.
Abdul Sattar al-Dihlawi salah seorang murid Syaikh Nawawi,
menginformasikan bahwa Syaikh Nawawi juga pernah pergi ke Madinah untuk
belajar Hadis kepada Muhammad Khatib Duma al-Hanbali. Beliau memberikan
ijazah kepada Syaikh Nawawi untuk mengajarkan Hadis. Chaidar juga
menyebutkan bahwa Syaikh Nawawi pergi ke Syiria dan Mesir. Menurut Chaidar,
selama di Makkah Syaikh Nawawi mengajar di Masjidilharam, dimana dua ratus
murid menghadiri perkuliahannya.
Beliau benar-benar orang yang memiliki sifat rendah hati, tidak sombong,
sederhana. Pengaruh kepribadiannya cukup mendalam dan sangat luas, namun
beliau tidak mau memainkan peranan yang penting. Hal ini terlihat ketika Snouck
Hurgronje bertanya kepada Syaikh Nawawi kenapa beliau tidak pernah
memberikan perkuliahan di Masjidilharam, dengan pelan beliau menjawab
“pakaian dan penampilannya yang buruk tidak sebanding dengan penampilan
12
Karel Stenbreenk, Beberapa Aspek Tentang Islam di IndonesIa abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 118.
42
professor-profesor berbangsa Arab yang terhormat”. Kemudian Hurgronje
menyebutkan ada beberapa Koloni Jawa yang kurang terpelajar menjadi profesor
dan mengajar di Masjidilharam, beliau menjawab, “jika mereka memperoleh
kehormatan tinggi tersebut, pastilah mereka memang layak mendapatkannya”.13
Reputasi Syaikh Nawawi semakin meningkat setelah beliau menerima
kehormatan untuk mengajar di pelataran Masjidilharam. Kebanyakan muridnya
berasal dari Jawa, Sunda dan Melayu bahkan dari Negara Arab. Beliau
memberikan ide-ide agama dan politik. Secara pribadi beliau pernah menyatakan
tidak setuju dengan penyerahan kekuasaan tanah jawa kepada pemerintahan
bangsa eropa. Beliau sendiri tidak menghendaki peran politik seperti ayahnya dan
saudaranya Ahmad.14
Murid-murid yang pernah belajar kepadanya memiliki pengaruh besar
ketika mereka kembali ke negerinya. Ada yang menjadi tokoh agama terkemuka
ada juga yang terlibat dalam pemberontakan. menentang pemeritah Kolonial
Belanda.15
Seperti pemberontakan petani Banten yang terjadi di tahun 1888,
Pemberontakan Cilegon dan kejadian lainnya. Hal ini tidak lain karena pengaruh
Syaikh Nawawi.
Pernyataan Syaikh Nawawi atas perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial
lainnya ialah: “Diantara sifat buruk adalah lebih mementingkan kekayaan
daripada kepentingan bangsa, dan bekerja sama dengan kaum penjajah, diam
terhadap hal-hal ingkar (tidak peduli terhadap apapun yang dilakukan oleh
13
Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, h. 152. 14
Karel Stenbreenk, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia abad ke-19, h. 120. 15
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006), h. 126.
43
penjajah) sementara mereka atau kaum muslimin mempunyai hak dan kekuatan
untuk melawan”.16
Diantara murid-murid Syaikh Nawawi yang memutuskan untuk kembali ke
Indonesia dan mengembangkan tradisi intelektualnya ialah
1. KH. Hasyim Asy‟ari, sebagai pendiri pesantren Tebuireng, Jombang di
Jawa Timur sekaligus father founding organisasi Nahdlatul Ulama
sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia
2. KH. Khalil Bangkalan Madura
3. KH. Ilyas Serang, Banten
4. KH. Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Jawa Barat.
Selain mendirikan pondok pesantren, masih banyak murid-murid Syaikh
Nawawi yang menjadi pemuka agama yang tersebar daerah di Indonesia.
Diantaranya ialah daerah Banten, seperti Haji Marzuki seorang kerabat Syaikh
Nawawi, Haji Arsyad bin Alwan, Haji Arsyad seorang pembimbing haji saat
musim haji tiba, H. Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, H. Idrus Caringin ahli
hadis dan pengikut tarekat Qadiriyyah, Syaikh Abdul Karim Banten. Jawa Barat
KH. Hasan Mustafa Garut, H. Arsyad bin Kiai Condong Tasikmalaya, H. Hasan
Alami Bandung, Kiai Tubagus Muhammad Falak Bogor. Jawa Tengah Kiai Haji
Asnawi Kudus pendiri Pesantren Qudsiyyah sekitar tahun 1900.
c. Karya-Karyanya
16
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 128
44
Selain mengajarkan orasi ataupun pidato kepada para murid-muridnya -
sebagaimana yang diterapkan dalam sistem pengajaran tradisi pesantren- Syaikh
Nawawi juga mencurahkan pengetahuannya dalam bentuk tulisan. Beliau lebih
berambisi mengajar ilmu agama dan mengarang sebuah karya. Beliau beralasan
bahwa manfaat ilmu pengetahuan akan abadi selamanya.17
Hal ini didukung oleh
Hadis, ketika seseorang meninggal dunia maka segala amalnya akan terputus
kecuali tiga hal: amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu
mendoakan orang tuanya.18
Menurut Hurgronje dengan reputasi intelektual yang telah dikenal oleh
dunia mengantarkan karaya-karyanya diterbitkan di Kairo dan Makkah. Banyak
karya-karyanya dijumpai di lembaga-lembaga keislaman seperti pesantren sebagai
buku ajar di wilayah Melayu-Indonesia.19
Selain penerbit-penerbit Timur Tengah,
penerbit Indonesia juga ikut menerbitkan karya-karya Syaikh Nawawi yang
berbahasa Arab. Beliau telah memperoleh tempat terhormat di mata dunia dalam
menjaga tradisi intelektualnya yang diabadikan dalam bentuk karya.20
Informasi jumlah karya Syaikh Nawawi ada 40 karya yang meliputi tujuh
cabang keilmuan yakni Tafsir, Hadis, Usuluddin, Fiqh, Tata Bahasa Arab,
Tasawuf, Retorika dan Biografi Nabi. Ada juga yang mengatakan lebih dari 100
karya dalam berbagai keilmuan. Hal itu karena berbedanya jumlah penemuan
yang berhasil di koleksi oleh setiap peneliti. Diantara karyanya ialah
17
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 126. 18
Muslim bin Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Āfāq), j. 5, h. 73. 19
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 23. 20
Asep Muhammad, Yahudi & Nasrani dalam al Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 67.
45
1. Al-Tafsīr al-Munīr li Maʻālim al-Tanzīl al-Muṣfir ʻan Wujūh Maḥāsin al-
Ta‟wīl atau Marāh Labīd li Kasyf Maʻnā Qur‟ān al-Majīd
2. Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts Syarḥ Lubāb al-Ḥadīts
3. Bahjat al-Wasā‟il bi Syarḥ al-Masā‟il
4. Fatḥ al-Majīd Syarḥ al-Durral Farīd
5. Hilyat al-Sibyān Syarḥ Fath al-Raḥmān
6. Qatr al-Ghaits Syarḥ al-Masā‟il
7. Al-Tijān al-Ḏarāri
8. Ḏarī‟at al-Yaqīn
9. Al-Tsimār al-Yanīʻah Syarh al-Riyāḏ al-Badīʻah fi Uṣūl al-Dīn wa Baʻd
Furū al-Syarīʻah
10. Nūr al-Ẓalām Syarḥ al-ʻAqīdat al-„Awwām
11. Al-Naḥjat al-Jayyidah
12. Al-Futūhāt al-Madaniyyah
13. Fatḥ al-Mujīb Syarḥ al-Manāqib al-Ḥajj karya Muhammad bin
Muhammad al-Sirbini al-Khatib
14. Marāqi al-ʻUbūdiyyah Syarḥ Bidāyat al-Hidāyah karya al-Ghazali
15. Kāsyifāt al-Sajā komentar atas al-Safīnat al-Najā karya Salim bin Samir
16. Mirqat Suʻūd al-Taṣdīq komentar atas Sullām al-Taufīq Ilā Maḥabbatillah
ʻAla al-Taḥqīq karya Abdullah al-Baʻlawi
17. Al ʻIqd al-Tamīm
18. ʻUqūd al-Lujain fi Bayān al-Ḥuqūq al-Zaujain
19. Nihāyat al-Zain
46
20. Sullām al-Munājat komentar atas al-Safīnat al-Salā karangan Abdullah
bin Yahya al-Hadrami
21. Sulūk al-Jadda
22. Qutʻal-Ḥabīb al-Gharīb
23. Al-Fuṣūṣ al-Yaqūtiyyah komentar atas al-Rauḏat al-Bahiyyah fi Abwāb al-
Taṣrīfiyyah
24. Kasyf al-Murūtiyyah
25. Fatḥ al-Ghāfir al-Kattiyyah ʻala al-Kawākib al-Jailaniyyah fi Naẓm al-
Jurūmiyyah karya Abdullah bin Muhammad bin Muhammad bin Daud al-
Sanhaji.
26. Al-Riyāḏ al-Fūliyyah
27. Qāmiʻ al-Tughyān
28. Salālim al-Fuḏalā komentar atas Manẓūmat Hidāyat al-Adzkiā ilā Tarīq
al-Auliā
29. Miṣbāḥ al-Ẓalām komentar atas al-Manhaj al-Atamm fi Tabwīb al-Ḥukm
karya ʻAli bin Husain al-Din
30. Ulasan singkat Syaikh Nawawi atas al-Naṣīḥat al-Anīqali al-
Mutalābbitsīn bi al-Ṯarīqah.
31. Naṣā‟iḥ al-ʻibād.
32. Lubāb al-Bayān komentar atas al-Risālat al-Istiʻārat karya Husain al-
Nawawi al-Maliki
33. Fatḥ al-Ṣamad al ʻᾹlim ʻala Maulid al-Syaikh Ahmad bin al-Qāsim wa
Bulūgh al-Fauzi li Bayān al Fāẓ Maulid ibn al Jauzi
47
34. Targhīb al-Musytaqīn
35. Al-Durar al-Bahiyyah komentar atas al-Khaṣāiṣ al-Nabawiyyah karya al-
Barzanji
36. Al-Ibrīz al-Dānī fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnānī
37. Syarḥ ʻalā Manẓūmah fi al-Tawassul bi al-Asmā al-Ḥusnā
38. Al-Lumā al-Nūraniyyah
39. Al-Nafāḥāt
Dari sekian banyak karya Syaikh Nawawi, ada sebagian yang sudah tidak
naik percetakan sementara yang lain masih mengalami cetak ulang dan bahkan
dipergunakan di Pesantren-pesantren di Indonesia. Diantara karya Syaikh Nawawi
yang naik popularitasnya di kalangan penerbit ada lima karya. Pertama, Nūr al
Ẓalām (tentang dogma Islam), kedua, Tafsir Marāh Labīd, ketiga Qāmiʻal
Tughyān, keempat, Naṣāiḥ al ʻIbād dan kelima, Tanqīḥ al Qaul. Menurut
penelitian Van Bruinessen dalam studinya tentang penggunaan buku-buku
bertulisan Arab di pesantren di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan selatan
menunjukkan bahwa karya yang luas digunakan dan diterima pada kurikulum
pesantren ialah karya Syaikh Nawawi Banten. Sekitar sepuluh karya muncul
dalam daftar yang meliputi bidang-bidang keilmuan tradisional Islam.
Kesemuanya ialah al-Tijān al-Darāri, Marāh Labīd, Fatḥ al-Majīd, Naṣāiḥ al-
ʻIbād, Tanqīḥ al-Qaul al Ḥatsīts, Sullām al-Munajat, Kasyifat al-Sijā, ʻUqūd al-
Lujain, Nūr al-Ẓalām dan Marāqiʻ al-ʻUbūdiyyah.21
2. Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts
21
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al Qur‟an: Hubungan Antar Agama
Menurut Syaikh Nawawi al Bantani, h. 64
48
a. Judul Kitab dan Motivasi Penulisan
Karya-karya Syaikh Nawawi hampir ada di semua disiplin ilmu. Diantara
karyanya ialah di bidang hadis yang populer dan digunakan di lembaga
pendidikan di Indonesia. Nama karyanya ialah Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ
Lubāb al-Ḥadīts. Kata naqaḥa memiliki arti meninjau kembali dan
menyedikitkan, sedangkan al-Ḥaṡīṡ berarti cepat, segera dan deras. Jadi arti dari
Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīts ialah meninjau kembali
ucapan nabi secara singkat dalam menjelaskan intisari hadis Nabi saw. Kitab
Tanqīḥ al-Qaul ini merupakan penjelasan atas kitab hadis ulama sebelumnya
yakni Lubāb al-Ḥadīts yang dikarang oleh Imam Suyuti.
Kitab Lubā al-Ḥadīts yang dikarang oleh Imam Suyuti menjadi kitab yang
banyak peminatnya. Dalam kitab ini memuat 40 bab pembahasan yang sudah
mencakup bidang akidah, ibadah dan muamalah. Setiap bab memuat Sembilan
sampai sepuluh hadis. Meskipun hadis yang terdapat dalam kitab Lubāb al-Ḥadīts
ada yang berkualitas dhaif, tidak mengurungkan niat Syaikh Nawawi
mengomentari kitab Imam Suyuti. Dalam mukadimah kitab Tanqīḥ al-Qaul
sendiri disebutkan bahwa pendorong penulisan syarah kitab Lubāb al-Ḥadīts ialah
karena permintaan Koloni Jawa yang butuh keberadaannya. Meskipun
sesungguhnya dengan rendah hati Syaikh Nawawi menyadari bahwa kitab yang
beliau tulis memiliki banyak kekurangan karena tidak disertai dengan penjelasan
yang mendalam.22
b. Sistematika, Karakteristik dan Metode Penulisan
22 Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīts (Jakarta: Dār al-
Kutb al-Islāmiyyah, 2011), h. 7.
49
Kitab Tanqīḥ al-Qaul memuat 40 bab yang berkaitan dengan berbagai
kajian agama berupa Aqidah, Syariah, dan Muamalah. Dari pembacaan setiap bab,
jumlah keseluruhan hadis yang ada ialah 404 hadis. Namun, dari 404 (empat ratus
empat) hadis ini hanya 360 (tiga ratus enam puluh) hadis yang diberi syarah.23
Dalam hal ini, peneliti menilai bahwa hadis-hadis yang tidak di-syarah-i sudah
jelas maksud dan arah tujuan hadis tersebut, sehingga tidak membutuhkan pa da
penjelasan.
Dalam mengiring-ngiringi setiap bab beliau terlebih memberikan komentar
global terkait bab yang dibahas. Adakalanya beliau menyebutkan firman Allah
Swt., hadis Nabi Saw., pendapat ulama ataupun definisi terkait pembahasan.
Begitupula ketika Imam al-Suyuti menyebutkan keseluruhan 40 bab hadis
sebelum menjabarkannya setiap bab, dengan lihai Syaikh Nawawi mengomentari
dengan menyebutkan al-Qur‟an, Hadis, dan pendapat ulama. Beliau tidak sering
memberikan penjelasan langsung terhadap hadis, melainkan menyandarkannya
pada pendapat ulama.
Dalam memberikan komentar Syaikh Nawawi lebih mendahulukan al-
Qur‟an dibanding Hadis Nabi saw. Hal ini mengingat bahwa al-Qur‟an merupakan
pijakan awal dalam menjalankan ajaran Islam kemudian disusul oleh Hadis.
Pengambilan al-Qur‟an dan Hadis sebagai sumber penjelas dalam menguraikan isi
23
Hadis-hadis yang beliau tidak syarahi terdapat pada bab keutamaan salawat atas Nabi
saw, keutamaan siwak, keutamaan adzan, keutamaan salat berjamaah, keutamaan
masjid,keutamaan bersurban, keutamaan zakat, keutamaan istighfar, keutamaan bertasbih,
keutamaan fakir, keutamaan nikah, larangn beraatnya liwath (homoseksual),, keutamaan
memanah, keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutmaan mendidik anak, keutamaan
tawadu, keutamaan menyedikitkan makan, minum, dan menganggur, keutamaan mnegingat kubur,
dan larangan meratapi mayat.
50
hadis, hal ini tidak terlepas dari pengaruh gerakan puritanisme yang mengajak
kembali kepada al-Qur‟an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam.
Meskipun Nawawi lebih mendahulukan al-Qur‟an sebagai rujukan awal
dibanding hadis, tidak berarti beliau anti hadis. Bahkan, beliau lebih sering
mengutip hadis Nabi saw. sebagai sumber interpretasi dalam menjelaskan isi
kandungan hadis. Hal ini pula tidak menjadikan beliau meninggalkan penjelasan
untuk menguraikan isi kandungan hadisnya menurut pemahamannya sendiri.
Guna menambah kuatnya penjelasan beliau kemudian mencantumkan hadis -
hadis satu tema sebagai penguat syarah hadis terhadap hadis yang ada di kitab
Lubāb al-Ḥadīs.
B. Makhfudz Al-Tarmasi
1. Perjalanan Hidup
a. Biografi
Nama lengkap al-Tarmasi ialah Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin
Abdul Mannan bin Diman Dipomenggolo al-Tarmasi al-Jawi. Beliau lahir pada
tangg al 31 Agustus 1868 M24
dan bertepatan dengan 1258 H di Termas, Pacitan,
Jawa Timur dan meninggal di Makkah tahun 1919.25
Al-Tarmasi adalah anak
tertua dari K.H. Abdullah. Adapun saudaranya yang lain ialah KH. Dahlan, Nyai
Tirib, KH. Dimyati ahli dalam bidang ilmu waris, Nyai Maryam, KH. Muhammad
24
Mahfudz al-Tarmasi, Manhaj Dzawi al-Naẓar (Makkah: Dār al-Fikr, 1981), h. 31. 25
Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Kifāyah al-Mustafīd (Beirut: Dār al-Basyā‟ir al-
Islāmiyyah, 1978), h. 41. Baca juga Amirul Ulum, Ulama-Ulama Aswaja Nusantara, h. 83.
51
Bakri ahli qira‟ah, Sulaiman Kamal, Muhammad Ibrahim dan KH. Abdur Razaq
seorang ahli tariqah sekaligus mursyid tarekat.
Beliau belajar dasar agama pertama kali dengan ibu dan pamannya. Ibarat
pepatah “„al-Umm Madrasah al-„Ūla li al-Aulād” sangat melekat pada diri al-
Tarmasi.26
Selain mendapatkan pengajaran dari sang ibu dan pamannya, al-
Tarmasi juga belajar kepada ayahnya seperti ilmu tauhid, ilmu al-Qur‟an dan fiqh.
Ayahnya merupakan pimpinan pesantren Tremas yang didirikan oleh kakeknya
Abdul Mannan (w. 1282 H) pada tahun 1830 M. Hal ini mengingat faktor
keluarga dan lingkungan pesantren sangat memengaruhi terbentuknya pemikiran
praktik keagamaan al-Tarmasi yang sangat tradisionalis.
Keluarga al-Tarmasi merupakan keluarga terhormat, hal ini tercermin dari
pondok pesantren yang didirikan oleh kakeknya Abdul Mannan. Tidak heran
beberapa saudaranya menjadi ulama di daerah Jawa dengan keluasan dan
kedalaman ilmu yang mereka miliki di berbagai bidang tertentu. Beliau lebih
konsentrasi di bidang Hadis, Dimyati di bidang ilmu waris, Bakri di bidang ilmu
al-Qur‟an dan Abd al-Razzak dibidang tarekat.
Saat beliau berusia 6 tahun beliau berangkat ke Makkah bersama ayahnya.
Sebelum usia dewasa beliau sudah menghafal al-Qur‟an.27
Selama di Makkah
ayahnya mengenalkan berbagai kitab-kitab penting. Dipenghujung ahir tahun
1870-an beliau kembali lagi ke Indonesia untuk belajar di pesantren Darat yang
26
Muhajirin, Muhammad Makhfudz Al-Tarmasi; Ulama Hadis Nusantara Pertama
(Yogyakarta: IDEA Press, 2016), h. 29. 27
Abdurrahman menyebutkan bahwa al-Tarmasi mulai menghafal pada usia enam tahun
yang kemudian hafalannya disempurnakan ketika beliau nyantri di pesantren Saleh Darat. Hal ini
menjadi bekal keberangkatannya ke Makkah untuk kali kedua. Melalui hafalan al-Qur‟annya yang
dhabit pula menjadi embrio al-Tarmasi menguasai ilmu hadis.
52
diasuh oleh Kiai Muhammad Saleh bin Umar al-Samaranji, atau lebih dikenal
dengan Syaikh Saleh Darat (1820-1903 M).28
Ayahnya meninggal dunia di
Makkah pada tahun 1314 H/1896 M dan dimakamkan di Ma‟la dekat makam
Sayidah Khadijah Istri Rasulullah saw.29
Pada tahun 1880 an beliau berangkat ke Makkah untuk kedua kalinya guna
mendalami ilmu agama.30
Berbeda dengan ulama lainnya yang memutuskan untuk
kembali lagi ke Indonesia, beliau memutuskan untuk menetap di Makkah hingga
ahir hayatnya. Ketika sudah menetap di Makkah beliau menikah dengan nyai
Muslimah, seorang putri asal Demak yang saat itu sedang berada di Makkah
melaksanakan ibadah haji permulaan abad XX.31
Dari pernikahanya beliau
dikaruniai tiga orang anak, satu laki-laki dua perempuan.
Satu-satunya anak Makhfudz yang mewariskan keturunan ialah
Muhammad. Dua anak perempuannya meninggal dunia ketika mereka masih
berumur 5 tahun. Sebagai seorang ayah beliau selalu mendorong anaknya
Muhammad untuk mendalami ilmu al-Qur‟an. Hingga ahirnya Muhammad
berhasil menjadi seorang guru di bidang al-Qur‟an hingga mendirikan pesantren
“Bustānul Ussyāqil al-Qur’an” di Betengan, Demak, Jawa Tengah.32
Setelah
28
Pesantren Darat tatkala itu merupakan pesantren besar yang dibanjiri oleh banyak santri
dari berbagai daerah dan menghasilkan tokoh-tokoh terkemuka seperti KH. Hasyim Asy‟ari, KH.
Ahmad Dahlan, KH. Munawwir Krapyak termasuk kedua saudaranya KH. Dimyati dan KH.
Dahlan. Lihat penelitian Dzafir tentang perkembangan pesantren abad IX dan XX. Zamakhsyari
Dzafir, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 3 29
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 161. 30
Tidak ada sumber secara pasti tahun berapa beliau berangkat lagi ke Makkah untuk
kedua kalinya. Beliau hanya menyebutkan keberangkatannya ketika berumur 23 tahun. Namun
kemungkina besar beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 1889. Hal ini dilihat dari tahun
kelahirannya pada tahun 1866. Al-Tarmasi, al-Khil‟ah al-Fikriyyah, h. 4. 31
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 162. 32
Muhajirin, Muhammad Makhfudz al-Tarmasi; Ulama Hadis Nusantara Pertama, h. 37.
53
beliau wafat kepemimpinannya kemudian dipegang oleh KH. Harir bin Abdullah
bin Muhammad Makhfudz al-Tarmasi.
Dalam kehidupan santri Jawa, ternyata reputasi al-Tarmasi lebih besar dari
pada Syaikh Nawawi. Keduanya sama-sama belajar di Hijaz dan juga memiliki
karya yang sangat banyak. Keduanya merupakan guru intelektual tradisi
pesantren. Dari keduanyalah banyak ulama-ulama Indonesia lahir dan menjadi
ulama terkemuka dan berpengaruh.33
Bersama dengan Syaikh Nawawi beliau
telah berhasil membangaun solidaritas sosial sesama ulama di samping sebagai
peletak pertama bagi pertumbuhan pesantren.34
Karena itulah Abdurrahman
Mas‟ud menyebutnya sebagai Arsitek Pesantren. Dalam Desertasinya beliau juga
menilai bahwa al-Tarmasi merupakan the last link al-Bukhari di abad 19. Hal ini
bisa dilihat pada ahir isnad dimana beliau merupakan seorang musnid yang telah
memperoleh ijazah hingga pada kolektor hadis terkemuka Imam al-Bukhari yang
hanya melalui 23 generasi. Selain beliau belajar pada ulama-ulama Makkah beliau
juga mendatangi ulama-ulama terkemuka di Madinah dan Mesir, namun sebagian
besar waktunya beliau habiskan di Makkah untuk menuntut ilmu dan mengajar di
sana.35
b. Reputasi Intelektual
Al-Tarmasi merupakan satu-satunya ulama nusantara yang
menspesialisasikan dirinya dalam bidang hadis. Hal ini bisa dilihat dari kitab al-
33
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 162. 34
Mukani, Ulama Al-Jawi di Arab Saudi dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia, Al-
Murabbi, Vol. 2, No. 2, Januari 2016, hal. 219. 35 Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 167.
54
Musnid, yang merupakan kumpulan transmisi intelektual yang telah beliau
peroleh dari guru-gurunya hingga sampai kepada Rasulullah saw. Selama mukim
di Makkah, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu agama. Keberangkatan al-
Tarmasi untuk kedua kalinya pada tahun 1308 H (1889) menumbuhkan semangat
baru guna mendalami ilmu agama di kota Makkah sebagai pusat peradaban ilmu
agama dan berkumpulnya intelektual dari berbagai wilayah.
Berkat kegigihan dan keseriusannya belajar hadis mengantarkan sikap
simpatik dari gurunya hingga diangkat menjadi bagian keluarganya. Pada saatnya
beliau memiliki posisi terhormat. Beliau diangkat menjadi staf pengajar di
Masjidilharam yang ketika itu tidak semua orang bisa mendapatkan ijazah untuk
mengajar di sana. Dari tahun ke tahun ada saja ulama Nusantara yang
mendapatkan ijazah mengajar di halaqah-halaqah yang tersebar di Masjid
Alharam yang kala itu cukup bergengsi. Diantaranya ialah Syaikh Nawawi,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Muhammad Yasin al-Fadani.36
Al-Tarmasi mulai mengajar di Masjidilharam sejak awal tahun 1890. Ketika
ayahnya meninggal beliau mengirim adiknya Dimyati ke Indonesia untuk
meneruskan estapet kepemimpinan pondok tremas. Sedangkan beliau sendiri
memutuskan berkarir di Makkah mengajarkan ilmu yang beliau miliki kepada
murid-muridnya. Dikatakan bahwa muridnya mencapai 4.000 orang dari berbagai
daerah di Indonesia maupun dunia. Seperti murid Syaikh Nawawi yang setiap
tahun bertambah 200 orang. Hal ini karena minat santri-santri Asia Tenggara
36
Azra, Historigrafi Islam Kontemporer, Wacana, Aktualitas, Dan Aktor Sejarah
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 135-138.
55
untuk belajar di Haramaian pada ahir abad XX semakin meningkat.37
Meskipun
dalam proses belajarnya menggunakan bahasa Arab, sesekali beliau selingi
dengan menggunakan bahasa Jawa.
Keluasan ilmu al-Tarmasi menjadi daya tarik terhadap murid-muridnya.
Murid-muridnya tidak hanya berasal dari komunitas Jawi saja melainkan yang
bukan dari komunitas Jawi pun ikut belajar kepadanya. Diantaranya ialah Syaikh
Sa‟dullah al-Maimani seorang mufti Bombay India, Syaikh Umar bin Hamdan
seorang ahli hadis dari Haramain, al-Syihab Ahmad bin Abdullah seorang muqri
dari Syiria dan Syaikh Abi Ali Haasan bin Muhammad al-Makki.38
Begitu
hormatnya kepada ulama Nusantara ini Syaikh Sa‟dullah al-Maimani sering
memberikan pelayanan maksimal kepada Jamaah Haji asal Nusantara yang
berkunjung di Bombay sebagai wujud keihtiramannya kepada al-Tarmasi seperti
yang dialami oleh kiai Ilyas dan Zainuddin.39
Adapun murid-muridnya yang berasa dari Nusantara, ialah KH. Hasyim
Asy‟ari (1817-1947), KH. Wahab Hasbullah (1888-1971), Muhammad Bakir bin
Nur dari Yogyakarta (1887-1943), KH. R. Asnawi Kudus (1861-1959),
Mu‟ammar bin Kiai Baidhawi Lasem, Ma‟sum bin Muhammad Lasem (1870-
1972). Selain itu ada juga Bisyri Samsuri, Raden Maskumambang Surabaya, KH
Dahlar Watucongkol, KH. Wahid Hasyim, KH. Abas Buntet,40
termasuk adik
kandung al-Tarmasi KH Dimyati, KH Dahlan dan KH Abdurrazzak. Demikian
37
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 179. 38
Mastuki, Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era
Perkembangan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), h. 11. 39
Muhajirin, Muhammad Makhfudz Al-Tarmasi; Ulama Hadis Nusantara Pertama, h. 58.
Baca juga Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 157-158. 40
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi Islam di
Indonesia, h. 38.
56
pula dengan KH Ahmad Dahlan41
pendiri organisasi Muhammadiyah dan juga
KH Khalil Bangkalan.
Diantara gurunya yang memberikan pengaruh besar kepadanya ialah
a. KH. Abdullah (w. 1314 H/1896 M) yang merupakan ayah Mahfuz.
Dibawah arahannya beliau belajar Syarh al-Ghāyah li Ibn Qāsim al-Ghāzi,
al-Manhaj al-Qawim, Fatḥ al-Mu„īn, Syarḥ al-Syarqawi „ala al-Ḥikam,
Tafsir Jalalain dan banyak lagi yang lainnya seperti khlak dan logika.
b. Kiai Muhammad Saleh bin Umar atau Syaikh Saleh Darat (w.1903).
c. Muhammad al-Munsyawi (w.1314 H/1896 M)
d. Syaikh Umar bin Barakat asy-Syami (w. 1313 H/ 1895 M) yang
merupakan murid dari Syaikh Ibrahim al-Bajuri (w.1277H/1860 M).
beliau belajar Syarh Syudzūr al-Dzahab
e. Syaikh Mustafa bin Muhammad bin Sulaiman al-Afifi (w. 1308H/1890 M)
seorang yang ahli dalam ilmu qawaid dan ilmu ushul. Beliau belajar Syarh
al-Maḥalli „Ala Jam„ al-Jawāmi„ dan Mughn al-Labīb
f. Sayyid Husain bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (w. 1330 H/1911 M).
seorang ulama ahli hadis. Darinya beliau belajar Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan
Muslim
g. Muhammad Sa„id bin Muhammad Babasil al-Hadrami (w. 1330H/1911
M). ahli dalam bidang ilmu fiqh dan seorang mufti Syafi‟iyyah Makkah.
Beliau belajar Sunan Abi Daud, Sunan al-Tirmidzi dan Sunan al-Nasa‟i
41
Muhammad Syamsu, Ulama Pembaharu Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta:
lentera, 1999), h. 290.
57
h. Sayid Ahmad Zawawi (w. 1330 H/1911 M). darinya, beliau belajar Syarh
„Uqūd al-Jumān
i. Syaikh Muhammad Syarbani al-Dimyati (w. 1321 H/1903 M). seorang
ulama fiqh dan ahli qira‟at. Beliau belajar kepadanya dan mendapatkan
ijazah Syarh ibn al-Qāsim „Ala al-Syāṭibiyyah dan Syarh al-Darar al-
Maḍīah
j. Sayid Muhammad Amin bin Ahmad Ridwan al-Madani (w. 1329 H/1911
M) guru besar ulama kota Madinah. Beliau mengambil ijazah kitab Dalā‟il
al-Khairāt, al-Ahzab, al-Burdah, al-Auliyāt al-Ajluni, al-Mutawalli, dan
Muwaṭṭa lil Mālik.
k. Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syata (w. 1310 H/1892 M). Beliau ialah
guru yang paling berpengaruh yang telah membentuk kepribadian al-
Termasi masa depannya. Karena kedekatannya beliau dijadikan sebagai
anak angkat dan menjadi anggota keluarganya. Sebagian besar ilmu
pengetahuan yang beliau peroleh kebanyakan bersumber dari guru yang
satu ini dari ilmu Syariah, adab, ilmu Ushul dan yang lainnya. Selain itu
pula beliau menjadi musnid hadis karena gurunya memberikan ijazah di
berbagai cabang ilmu pengetahuan. Begitu besarnya keagungan gurunya
ini beliau menyebutnya sebagai “Syaikhhuna al-Ajal wa Qudwatuna al-
Akmal” guruku yang paling terhormat dan teladan yang sempurna.42
c. Karya Intelektual
42
Mahfūẓ al-Termasi, Manhaj Dzawi al-Naẓar, h. 33-34
58
Guna mengakomodir dan menjaga seluruh jalur keilmuan yang telah
diperoleh al-Tarmasi dengan pemberian ijazah oleh gurunya, beliau menghimpun
jalur sanadnya dalam satu kitab khusus. Kitab tersebut beliau beri nama “Kifāyat
al-Mustafīd”. Kitab tersebut merupakan kumpulan sanad beliau dari berbagai
cabang keilmuan yang sebagian besar diijazahkan oleh gurunya Abu Bakar bin
Muhammad Syaṭā. Al-Tarmasi merupakan ulama yang produktif. Banyak kitab-
kitab yang beliau hasilkan dari goresan tinta tangannya. Keturunannya
mengibaratkan dirinya seperti sungai yang tidak pernah surut aliran sungainya.
Dalam menyusun karyanya beliau sering mengasingkan dirinya ke dalam
gua. Hal ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika beliau
menerima wahyu. Sedemikian produktifnya ketika beliau mengomentari kitab al-
Manẓūmah „Ilm al-Ātsār karya Syaikh al-Islam Imam Suyuti (w. 911 H) hanya
menghabiskan waktu 4 bulan 14 hari dengan penjelasan yang cukup rinci.43
Diantara kitab-kitab al-Tarmasi yang berhasil ditemukan oleh pihak
keluarganya, yaitu:
1. Al-Siqāyah al-Marāḍiyah fī Asmā al-Kutub al-Fiqhiyyah asy-Syafi‟iyyah;
2. Al-Minḥaḥ al-Khairiyyah fī Arba„īn Ḥadītsan min Aḥādīts Khair al-
Bariyyah;
3. Al-Khil„ah al-Fikriyyah bi Syarh al-Minḥah al-Khairiyyah;
4. Muḥibbah Dzi al-Faḍl ala Syarḥ Muqaddimah Bafaḍl;
5. Kifāyah al-Mustafīd fīmā „Ala min Asānīd;
43
Kitab ini bernama Manhaj Dzawi al-Naẓar. Kitab ini masuk dalam disiplin ilmu hadis
dan memiliki 302 h.aman. Sebagian besarnya di tulis di Makkah pada tahun 1911 dan sebagian
kecilnya beliau selesaikan saat beliau di Mina dan Arafah pada saat menunaikan ibadah haji.
Mahfūẓ al-Termasi, Manhaj Dzawi al-Naẓar (Makkah: Dār al-Fikr, 1981), h. 301
59
6. Al-Fawāid al-Tirmisiyyah fī Asānid al-Qirā‟at al-Asy„ariyyah;
7. Al-Budūr al-Munīr fī Qirā‟ah al-Imam Ibn Katsir
8. Tanwīr al-Ṣadr fī Qirā‟ah al-Imam Abi Amr
9. Insyirah al-Fu‟ad fī Qirā‟ah al-Imam Ḥamzah
10. Tamīm al-Manāfi fī Qirā‟ah al-Imam Nāfi„
11. Is„af al-Maṭāli„ bi Syarḥ Budūr al-Lāmi„ Naẓm Jam„ al-Jawāmi„
12. „Āniyah al-Ṭalabah bi Syarḥ Naẓm al-Ṭayyibah fī al-Qirā‟at al-Asyriyah
13. Ḥasyiyah Takmilah al-Manhaj al-Qawim ila al-Farāid
14. Manhaj Dzawi al-Naẓar bi Syarḥ Manẓumah „Ilmi al-Atsār
15. Nail al-Ma„mūl bi Ḥasyiyah Ghayah al-Wuṣūl fī „Ilm al-Uṣḥūl
16. „Ināyah al-Muftaqīr fīma Yata„allaq bi Sayyidina al-Ḥaḍar
17. Bughyah al-Adzkiya‟ fi al-Baḥts „an Karamah al-Auliya
18. Fatḥ al-Kabir bi Syarḥ Miftaḥ al-Sair
19. Tahayyu‟ah al-Fikr bi Syarḥ Alfiyah al-Sair
20. Tsulātsiyat al-Bukhāri.44
Berdasarkan daftar di atas, paling tidak ada 10 cabang keilmuan yang beliau
karang. Meskipun setiap ulama mengarang kitab berbagai disiplin ilmu, seorang
Ulama akan dikenal dengan salah satu disiplin ilmu yang dianggap lebih penting.
Begitu pula dengan al-Tarmasi, beliau menganggap bahwa kajian hadis sangat
penting untuk dipelajari oleh setiap orang secara mutlak. Menurutnya hadis
merupakan the most excellent science sebagai sentral kembalinya ilmu
44
Mahfūẓ al-Tarmasi, al-Minḥaḥ al-Khairiyyah fī Arbaīn Ḥadīṡan min Aḥādīṡ Khair al-
Bariyyah (Demak: ttp, 1415)
60
pengetahuan.45
Selain karena dibutuhkan oleh disiplin ilmu lain contoh tafsir, fiqh
dan yang lainnya, ilmu ini juga sebagai penyambung antara dirinya dengan
makhluk termulia yakni Nabi Muhammad saw. 46
Bahkan al-Qur‟an sekalipun
masih harus merujuk pada hadis-hadis Rasulullah saw. untuk mengungkapkan apa
yang terkandung dalam al-Qur‟an. Oleh sebab itu muncul ungkapan “al-Qur‟an
lebih membutuhkan hadis/sunnah dari pada sebaliknya.47
itu semuanya
menunjukkan betapa vitalnya posisi hadis dalam agama Islam sehingga penting
untuk mempelajarinya.
Sebagai ulama yang konsen terhadap ilmu hadis, menguatkan dirinya untuk
memberikan perhatian penuh terhadap akan pentingnya sanad. Selain menjadi
kekhususan bagi umat Islam, adanya sanad juga akan terjaganya keautentikan
ajaran Islam. Beliau menyadari betul bahwa Allah swt akan memuliakan orang-
orang yang ahli dalam bidang ilmu sanad. Dalam banyak hal beliau mengutip
pendapat ulama terkenal yakni Abdullah bin Mubarak seraya berkata al-Isnād min
al-Dīn Laula al-Isnād Laqāla man Syā‟a ma Syā‟a. Imam al-Tsauri juga
mengatakan al-Isnād Ṣilāḥ al-Mu‟min. Secara tersirat al-Tarmasi seakan
menyatakan bahwa siapa yang tidak mengetahui isnad ia tidak akan mengetahui
agama. Dengan tanpa disadari mereka mengatakan ini ucapan nabi, perbuatan
nabi padahal pada dasarnya hal itu bukanlah hadis Nabi saw. Mereka yang tidak
mengetahui isnad akan terjebak pada pengamalan hadis daif bahkan maudhu.
45
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 171. 46
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramaian ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, h. 171. 47
Al-Auzā‟i pernah menyatakan hal ini dalam Subhi al-Sāliḥ, Ulūm al-Ḥadīts wa
Muṣṭalahuhu (Beirut: Dār al-„Ilm Lil Malāyīn, 1877), dialih bahasakan oleh Tim Pustaka Firdaus,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 257.
61
Itulah hal-hal yang mendasari beliau untuk menspesialisasikan dirinya
terhadap hadis. Selain itu beliau teringat dengan sabda Nabi yang memberikan
peringatan agar tidak berbuat sembrono dengan menisbatkan ucapannya kepada
Nabi saw. Selain itu pula faktor kondisi sosial keagamaan di Haramain dan juga
Mesir yang mulai menerima dan mempraktikkan pemikiran modernis.48
Bukti
kegigihan beliau dalam belajar hadis, beliau curahkan pada 2 kitab yaitu al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah fī Arba„īn Ḥadītsan min Aḥādīts Khair al-Bariyyah dan Al-
Khil„ah al-Fikriyyah bi Syarh al-Minḥah al-Khairiyyah.
2. Al- Khil„ah al-Fikriyyah bi Syarh al-Minḥah al-Khairiyyah
a. Judul dan Motivasi Penulisan Kitab
Al-Tarmasi menjadi ulama Nusantara pertama yang menspesialisasikan
keilmuannya di bidang hadis. Diantara karyanya ialah al-Khilʻah al-Fikriyyah bi
Syarḥ al-Minḥaḥ al-Khairiyyah. Kitab ini merupakan syarah atas karya
sebelumnya yaitu al-Minḥaḥ al-Khairiyyah.
Argument al-Tarmasi menghimpun 40 hadis ialah karena beliau ingin
menyampaikan mutiara-mutiara yang disampaikan Nabi saw. Hal ini sesuai
dengan riwayat al-Bukhari yang menyebutka hendaklah ada“ ليبلغ الشاىد على الغائب
diantara kalian yang menyampaikan atau mengabarkan kepada mereka yang tidak
hadir”.(HR. Bukhari). Selain itu beliau juga berpijak kepada pendapat ulama yang
menyatakan bahwa “barang siapa yang mengumpulkan 40 hadis berkenaan
dengan urusan agama, furu‟, jihad, adab, dan khutb kesemuanya merupakan
perbuatan baik.49
Beliau juga mengutip pendapat ulama perihal pentingnya
48
Muhajirin, Muhammad Makhfudz Al-Tarmasi; Ulama Hadis Nusantara Pertama, h. 44. 49
Al-Tarmasi, al-Khil‟ah al-Fikriyyah, h. 6.
62
isnad.50
Hal ini dilakukan karena memang sanad merupakan komponen penting
dalam sebuah hadis.
b. Sistematika dan Karakteristik Penulisan
Hadis-hadis yang beliau kumpulkan sangat bervariasi dengan susuna yang
menarik. Dalam mengawali penyusunan kitab hadisnya beliau memulainya
dengan mencantumkan hadis musalsal bil Awwaliyyah. Kemudian beliau susul
dengan hadis pertama setiap kitab hadis Ummahāt al-Saba‟, lalu beliau
cantumkan 22 hadis dari Tsulātsiāt al-Bukhāri, disusul kemudian hadis terahir
dari setiap kitab hadis Kutub al-Sab‟ah. Untuk melengkapi menjadi 40 hadis, al-
Tarmasi menambahkan hadis yang berkaitan dengan halal, haram dan subhat,
ghirās al-Jannah, dan terahir ditutup dengan hadis Khatām al-Sa‟ādah.
Beliau mengawali penyusunan kitabnya dengan hadis tentang rahmat karena
mengikuti ulama-ulama sebelumnya yang menilai bahwa rahmat Allah lah yang
lebih dahulu dibanding murka-Nya selain itu juga karena diutusnya Rasulullah itu
sebagai rahmat untuk alam semesta. Hal ini Sesuai dengan hadis
أول شيء خطو هللا يف الكتاب األول أان هللا ال إلو إال أان. سبقت رمحيت غضيب فمن شهد أن ال إلو
إال هللا وأن دمحما عبده ورسولو فلو اجلنة.
Al-Tarmasi juga menyebutkan penamaan dari setiap bab. Dalam hal ini,
beliau menjadikan urutan bilangan hadis sebagai nama setiap bab dengan
50
Al-Tarmasi mengutip beberapa pendapat ulama diantaranya perkataan Ibn Mubārak
“kalau tanpa isnad orang akan seenaknya mengatakan ini dan itu”. Berkata Ibn Ma„īn “ kedudukan
isnad sangat tinggi, ia dekat dengan Allah dan juga Rasul-Nya”. Berkata Imam Muhammad bin
Idris al-Syāfi„i “orang yang mempelajari hadis tanpa sanad, bagaikan orang yang mencari kayu
bakar di malam hari yang tidak tau kalau didalam kayu itu terdapat ular berbisa”. (Al-Tarmasi, al-
Khil‟ah al-Fikriyyah), h. 7.
63
menambahkan nama setiap kitab hadis51
kecuali hadis pertama yang diimbuhi
dengan judul Ḥadīts al-Raḥmah, hadis tsulatsiyāt al-Bukhāri dan tiga hadis terahir
yakni Ḥadis al-Ḥalāl wa al-Ḥarām wa al-Syubuhāt, Ḥadīs Ghirās al-Jannah, dan
hadīs Khātimat al-Sa‟ādah. Penamaan bab terahir dengan Khātimat al-Sa‟ādah
dalam kitabnya ini memberi makna pengharapan agar diberikan kebahagiaan di
ahir hidupnya bisa bertemu dengan Rasulullah saw dan orang-orang yang
mencintainya. Penyebutan urutan bilangan sebagai nama setiap bab, hal ini sama
seperti apa yang ada dalam kitab Lubāb al-Ḥadīs nya al-Suyuti, hanya saja beliau
mengiringinya dengan tema tertentu dalam setiap bab yang mencakup hadis-hadis
yang terkelompokkan secara tematik.
51
Untuk memudahkan pembaca al-Tarmasi memakai urutan bilangan sebagai nama setiap
bab yang disebutkan secara beruntun dari kitab hadis yang dinilai paling tinggi hingga kitab hadis
yang rendah. Contohnya احلديث الثاين من األربعني أول صحيح البخاري hingga kitab al-Muwatta imam
Malik. Begitu juga ketika beliau menyebutkan hadis terahir setiap kitab hadis dengan mengunakan
redaksi .احلديث احلادي والثالثون من األربعني آخر صحيح البخاري
65
BAB IV
METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS SYAIKH NAWAWI SYAIKH
NAWAWI DAN MAKHFUDZ AL-TARMASI
Syaikh Nawawi dan al-Tarmasi memiliki sumbangsih dalam penyebaran
ajaran Islam di wilayah Melayu khususnya Indonesia. Guna menjaga keutuhan
ajaran agama Islam keduanya senantiasa memberikan pengajaran melalui karya
peninggalannya baik berupa karya tulis maupun melalui muridnya. Diantara karya
Syaikh Nawawi sendiri ialah kitab Tanqīḥ al-Qaul yang merupakan penjelasan
atas hadis-hadis yang di kumpulkan oleh Imam Suyuti dalam kitab Lubāb al-
Ḥadīts. Adapun karya al-Tarmasi ialah al-Khil„ah al-Fikriyyah yang menjadi
syarah kitab al-Minḥaḥ al-Khairiyyah di mana keduanya merupakan kitab
karangan al-Tarmasi.
Kedua kitab syarah ini sangat diminati dan digunakan di pesantren. Kitab
Tanqīḥ al-Qaul diajarkan di pesantren Jawa, Sumatera dan Kalimantan,
sedangkan kitab al-Minḥaḥ al-Khairiyyah hanya diajarkan di pesantren Jawa.
Meskipun hadis-hadis yang termuat dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul ini berkualitas
daif, tidak berarti hadisnya layak diabaikan. Syaikh Nawawi mengatakan bahwa
hadis daif bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara Fadāil al-A‟māl sesuai
kesepakatan ulama.1
1 Syaikh Nawawi al-Bantani, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīṡ (Jakarta:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2011), h. 8.
66
Syaikh Nawawi dan al-Tarmasi merupakan ulama Indonesia yang
mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Keduanya menjadi ulama kenamaan
pada masanya masing-masing. Ketika al-Tarmasi berangkat ke Makkah saat itulah
dirinya bertemu dengan Syaikh Nawawi dan menimba ilmu kepadanya. Meskipun
al-Tarmasi pernah menimba ilmu kepada Syaikh Nawawi, tidak menutup
kemungkinan ada perbedaan dalam model pensyarahan hadis. Begitu pula dengan
corak dan sistematika penyusunannya.
Syaikh Nawawi sebagai pengarang kitab yang produktif lebih dikenal
dibanding al-Tarmasi. Melalui karya-karyanya Syaikh Nawawi lebih dikenal
sebagai ulama sufi sedangkan al-Tarmasi sebagai muhaddis. Meskipun demikian
penggunaan kitab Tanqīḥ al-Qaulnya lebih dominan dan dikenal oleh masyarakat
ketimbang al-Khilʻah al-Fikriyyah.
A. Perbandingan Karakteristik Penyusunan Kitab Hadis
Munculnya kitab Tanqīḥ al-Qaul menjadi kebangkitan kembali kajian hadis
di Indonesia setelah mengalami kemandekan di penghujung abad ke-17. Kitab ini
merupakan syarah atas kitab Lubāb al-Ḥadīṡ karya Imam Suyuti. Kemandekan ini
terjadi setelah tersusunnya kitab Ḥadīṡ Arba„īn al-Nawawi yang disusun oleh
Abdurrauf al-Sinkili. Syaikh Nawawi kemudian mencoba memunculkan kembali
dengan menguraikan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Lubāb al-Ḥadīs
seperti yang telah dilakukan Abdurrauf al-Sinkili dalam menguraikan hadis
Arbaīn al-Nawawi.
67
Sedangkan Al-Tarmasi lebih memilih menulis ulang hadis-hadis kemudian
beliau beri syarah. Kumpulan hadis - hadis yang beliau bukukan diberi nama al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah fī Arba‟īn Ḥadīṡan min Aḥādīṡ Khair al-Bariyyah. Setelah
hadis dikumpulkan ke dalam satu kitab, kemudian beliau mensyarahinya. Kitab
syarah inilah kemudian beliau beri nama al-Khil‟ah al-Fikriyyah bi Syarḥ al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah.
Kitab Tanqīḥ al-Qaul memuat 40 bab yang berkaitan dengan berbagai
kajian agama berupa Aqidah, Syariah, dan Muamalah. Dari pembacaan setiap bab,
jumlah keseluruhan hadis yang ada ialah 404 hadis. Namun, dari 404 (empat ratus
empat) hadis ini hanya 360 (tiga ratus enam puluh) hadis yang di-syarah-i.
selebihnya Syaikh Nawawi tidak memberikan syarah sama sekali.2 Dalam hal ini,
peneliti menilai bahwa hadis-hadis yang tidak di-syarah-i sudah jelas maksud dan
arah tujuan hadis tersebut, sehingga tidak membutuhkan pada penjelasan.
Dalam mengiring-ngiringi setiap bab beliau terlebih memberikan komentar
global terkait bab yang dibahas. Adakalanya beliau menyebutkan firman Allah
swt., hadis Nabi saw., pendapat ulama ataupun definisi terkait pembahasan.
Begitupula ketika Imam Suyuti menyebutkan 40 bab hadis sebelum
menjabarkannya setiap bab, dengan lihai Syaikh Nawawi mengomentari dengan
menyebutkan al-Qur’an, Hadis, dan pendapat ulama. Beliau tidak sering
2 Hadis-hadis yang beliau tidak syarahi terdapat pada bab keutamaan salawat atas Nabi
saw, keutamaan siwak, keutamaan adzan, keutamaan salat berjamaah, keutamaan
masjid,keutamaan bersurban, keutamaan zakat, keutamaan istighfar, keutamaan bertasbih,
keutamaan fakir, keutamaan nikah, larangn beraatnya liwath (homoseksual), keutamaan memanah,
keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutmaan mendidik anak, keutamaan tawadu,
keutamaan menyedikitkan makan, minum, dan menganggur, keutamaan mnegingat kubur, dan
larangan meratapi mayat.
68
memberikan penjelasan langsung terhadap hadis, melainkan menyandarkannya
pada pendapat ulama.
Dalam memberikan komentar Syaikh Nawawi lebih mendahulukan al-
Qur’an dibanding Hadis Nabi saw. Hal ini mengingat bahwa al-Qur’an merupakan
pijakan awal dalam menjalankan ajaran Islam kemudian disusul oleh Hadis.
Pengambilan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber penjelas dalam menguraikan isi
hadis, hal ini tidak terlepas dari pengaruh gerakan puritanisme yang mengajak
kembali kepada al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam.
Meskipun Syaikh Nawawi lebih mendahulukan al-Qur’an sebagai rujukan
awal dibanding hadis, tidak berarti beliau anti hadis. Bahkan, beliau lebih sering
mengutip hadis Nabi saw. sebagai sumber interpretasi dalam menjelaskan isi
kandungan hadis. Hal ini beliau utarakan dengan mencantumkan hadis - hadis satu
tema sebagai penguat syarah hadis terhadap hadis yang ada di kitab Lubāb al-
Ḥadīṡ. Dari 30 bab yang ada di kitab Lubab al-Ḥadīṡ ada 145 hadis yang menjadi
penjelas (syarah) hadis. Dengan kata lain sumber yang digunakan dalam
menjelaskan kandungan hadis beliau lebih cenderung menggunakan al-Qur’an dan
Hadis atau sering disebut dengan bil ma’tsur.
Contohnya sebagai berikut
فاؿقو) )عاللعالضملسو هيلع هللا ىلص: بعلمو العامل أي الل( سلعردبالةليػلرمقاللضفكدابعى رائىكثرةالثوابالشاملدلايعطيوهللاللعبديفباكوكال اآلخرةمندرجاتاجلنةولذاهتا(ادلرادابلفضل
ومآكلهاومشارهباومناكحها،ومايعطيوهللاتعاىلللعبدمنمقاماتالقربولذةالنظرإليو،ومساعكالمورواهأبونعيمعنمعاذبنجبل.ويفروايةللحارثبنأيبأسامةعنأيبسعيداخلدريعنو
على»ملسو هيلع هللا ىلص: كفضليعلىأمتفضلالعال »ويفروايةللرتمذيعنأيبأمامة:«العابد فضلالعال
69
كفضليعلىأدنكم كنسبةشرؼالنيبإىل«علىالعابد أينسبةشرؼالعالإىلشرؼالعابدالنبوة لدرجة مقارن العلم كيفجعل فانظر الغزايل: قاؿ وكيفحطرتبةأدىنشرؼالصحابة.
كافالعابدالخيلوعنعلمابلعبادةالتيواظبعليها،ولوالهلتكن العملاجملردعنالعلم،وإف .عبادة
Keutamaan ahli ibadah dibanding ahli ilmu tidak hanya diibaratkan seperti
malam hari saat bulam purnama saja. Untuk memperjelas hadis diatas, Syaikh
Nawawi memberikan penjelasan dengan menyebutkan dua riwayat lainnya.
Riwayat tersebut ialah riwayat Abi Said al-Khudri dan riwayat Abi Umamah yang
menjelaskan bahwa keutamaan ahli ibadah dibanding ahli ilmu agama ibarat
Rasulullah saw dengan umatnya. Hal ini terlihat jelas keutamaan yang dimiliki
oleh Rasulullah saw terhadap sahabat-sahabatnya. Contoh lain syarah bil
matsurnya dalam riwayat berikut;
كافأفضلمنأف يػعملبو يصليألفركعة)وقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص:منتػعلمابابمنالعلميػعملبوأولتطوعا(وىذايدؿعلىأفالعلمأشرؼجوىرامنالعبادة،ولكنالبدللعبدمنالعبادةمعالعلم،
كافع كمارويعنأيبىريرةعنالنيبملسو هيلع هللا ىلصأنوقاؿ:وإال اليػعمل»لموىباءمنثورا مامنعالنػيا نػزعهللاروحوعلىغنالشهادة،ونداهمنادمنالسماءايفاجرخسرتالد «واآلخرةبعلموإال
لعنو»طابهنع هللا يضرقاؿ:مسعترسوؿهللاملسو هيلع هللا ىلصيقوؿ:وعنعمربناخل بعلمو ليػعمل العالإذا إفعلى ختما يػوـ كل احلفظة وتكتب الشمس، عليو طلعت شيء كل ويػلعنو جوفو، من العلم
ىاذا بعلموصحيفتو اليػعمل سيده،ايمن حقوؽ هللاايعبدهللاايمضيع رحة آيسمن عبدوتعلىاإلمياف
«عليكلعنةهللا،فإذاماتنػزعهللاروحوعلىغنالشهادة،ويرـادل
Hadis diatas menjelaskan keutamaan orang yang belajar satu ilmu itu lebih
utama dari pada salat sunah 1000 rakaat. Hal ini sebenarnya ingin menunjukkan
bahwasanya ibadah tidak bisa lepas dari ilmu. Maksudnya ialah segala ibadah
yang dilakukan oleh setiap hamba harus dilandaskan dengan ilmu.
70
ذلا كلمةالتوحيد،والتوحيدالمياثلوشيء،وألف )وقاؿملسو هيلع هللا ىلصأفضلالذكرالإلوإالهللا(أيألناالإلو،ويثبتالوحدانيةهللتعاىلبقولوإالهللا. بقولو فيفيدالنفياآلذلة يفتطهنالباطن، أتثنا
أيمعدمحمرسوؿهللاويعودالذكرمنظاىرلسانوإىلابطنقلبو،وألف اإلميافاليصحإالهبافيماسواىامناألذكار.)وأفضلالدعاءاحلمدهلل(قيلإمناجعلاحلمدأفضل،ألف وليسىذاالدعاءعبارةعنذكروأفيطلبمنوحاجتو،واحلمدهلليشملها،فإفمنحدهللاإمنايمدعلى
أفادذلكالعزيزي.نعمو،واحلمدعلىالنعمةطلبادلزيد، ألزيدنكم((. شكرت قاؿتعاىل))لئنروىىذااحلديثالرتمذيوالنسائيوابنماجووابنحبافواحلاكمعنجابر.
Berbeda dengan Syaikh Nawawi, al-Tarmasi mencoba mengumpulkan hadis
– hadis dari kitab hadis primer atau yang dikenal dengan kutubussittah yang
kemudian beliau syarahi sendiri. Dalam hal ini beliau mengambil satu hadis di
awal dan ahir dari setiap kutubussittah al-Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan
Abi Dāud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasā‟i dan Sunan Ibn Majah. Selain itu,
beliau juga menambahkan hadis pertama dan terahir kitab Muwaṭṭa Mālik, karena
beliau menilai bahwa kitab ini juga termasuk kitab hadis yang cukup terkenal.
Oleh karenanya disebut dengan Ummahāt al-Sab‟ah.3
Tak ketinggalan beliau juga mencantumkan riwayat-riwayat yang memiliki
jalur periwayatan sangat singkat antara al-Bukhari dengan Rasulullah saw. yang
hanya melalui tiga orang rawi saja atau disebut sebagai tsulātsiāt al-Bukhārī. Hal
ini menjadi keunggulan tersendiri bagi al-Tarmasi. Pencantuman sanad inilah
yang membedakan beliau dengan Syaikh Nawawi ataupun kitab arbain yang
disusun ulama sebelumnya.
Setelah beliau selesai menyusun kitab al-Minḥaḥ al-Khairiyyahnya, beliau
kemudian memberikan komentar atas kitab hadis yang telah beliau susun. Adalah
3 Al-Tarmasi, al-Khil’ah al-Fikriyyah, h. 6.
71
al-Khil‟ah al-Fikriyyah yang menjelaskan kandungan hadis-hadis yang terdapat di
kitab al-Minḥaḥ al-Khairiyyah.
Dalam mengawali penyusunan kitab hadisnya beliau memulainya dengan
mencantumkan hadis musalsal bi al-Awwaliyyah. Kemudian beliau susul dengan
hadis pertama setiap kitab hadis Ummahāt al-Saba‟, lalu beliau cantumkan 22
hadis dari Tsulātsiāt al-Bukhāri, disusul kemudian hadis terahir dari setiap kitab
hadis Kutub al-Sab‟ah. Untuk melengkapi menjadi 40 hadis, al-Tarmasi
menambahkan hadis yang berkaitan dengan halal, haram dan subhat, ghirās al-
Jannah, dan terahir ditutup dengan hadis Khatām al-Sa‟ādah.
Beliau mengawali penyusunan kitabnya dengan hadis tentang rahmat
karena mengikuti ulama-ulama sebelumnya yang menilai bahwa rahmat Allah lah
yang lebih dahulu dibanding murka-Nya selain itu juga karena diutusnya
Rasulullah saw. itu sebagai rahmat untuk alam semesta. Hal ini Sesuai dengan
hadis
أوؿشيءخطوهللايفالكتاباألوؿأنهللاالإلوإالأن.سبقترحتغضيبفمنشهدأفالإلودمحماعبدهورسولوفلواجلنة.إالهللاوأف
Al-Tarmasi juga menyebutkan penamaan dari setiap bab. Beliau menjadikan
urutan bilangan hadis sebagai nama setiap bab dengan menambahkan nama setiap
kitab hadis4 kecuali hadis pertama yang diimbuhi dengan judul Ḥadīts al-Raḥmah,
4 Untuk memudahkan pembaca al-Tarmasi memakai urutan bilangan sebagai nama setiap
bab yang disebutkan secara beruntun dari kitab hadis yang dinilai paling tinggi hingga kitab hadis
yang rendah. Contohnya احلديثالثاينمناألربعنأوؿصحيحالبخاري hingga kitab al-Muwatta imam
Malik. Begitu juga ketika beliau menyebutkan hadis terahir setiap kitab hadis dengan mengunakan
redaksi .صحيحالبخاريآخرمناألربعناديوالثالثوفاحلديثاحل
72
hadis tsulatsiyāt al-Bukhāri dan tiga hadis terahir yakni Ḥadis al-Ḥalāl wa al-
Ḥarām wa al-Syubuhāt, Ḥadīs Ghirās al-Jannah, dan hadīs Khātimat al-Sa‟ādah.
Penamaan bab terahir dengan Khātimat al-Sa‟ādah dalam kitabnya ini memberi
makna pengharapan agar diberikan kebahagiaan di ahir hidupnya bisa bertemu
dengan Rasulullah saw dan orang-orang yang mencintainya.
Penyebutan urutan bilangan sebagai nama setiap bab, hal ini sama seperti
apa yang ada dalam kitab Lubāb al-Ḥadīs nya al-Suyuti, hanya saja beliau
mengiringinya dengan tema tertentu dalam setiap bab yang mencakup hadis-hadis
yang terkelompokkan secara tematik. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut;
Tabel Tema Hadis
No Tanqih al-Qaul al-Minhah al-Khairiyyah
1 Fadilah ilmu dan ulama Fadilah berkasih saying
2 Fadilah Lā Ilāha Illa al-Allah Kedudukan Niat/Keikhlasan
3 Fadilah
Bismillahirrahmānirrahim Iman, Islam dan Ihsan
4 Fadilah Salawat Kepada Nabi
saw. Adab buang air besar
5 Fadilah Iman Syarat diterimanya salat dan sadaqah
6 Fadilah Wudhu Anjuran membasuh tangan setelah bangu
tidur
7 Fadilah Siwak Anjuran Mengikuti Sunah Rasulullah saw
8 Fadilah Adzan Waktu salat
9 Fadilah Salat Jamaah Larangan meriwayatkan hadis maudhu
10 Fadilah Salat Jum’at Anjuran memakai satrah ketika salat
11 Fadilah Masjid Kebolehan salat menghadap tiang masjid
12 Fadilah Sorban Waktu salat maghrib
13 Fadilah Puasa Anjuran puasa Asyura
14 Fadilah menjalankan kewajiban Anjuran puasa Asyura
15 Fadilah menjalankan kesunahan Mensalati mayit yang punya huang
16 Fadilah Zakat Mensalati mayit yang hutangnya telah
73
dibayar
17 Fadilah Sadaqah Cara menyucikan barang yang terkena
barang haram
18 Fadilah mengucapkan salam Mendamaikan orang yang berselisih
19 Fadilah Do’a Ba’iat
20 Fadilah Istighfar Strategi ketika melihat musuh
21 Fadilah Dzikir Sifat Nabi saw.
22 Fadilah Tasbih Peristiwa Khaibar
23 Fadilah Taubat Pengutusan Usamah bin Zaid ke Huruqat
24 Fadilah kefakiran Hukum Qisas
25 Fadilah Nikah Pemakaian perabotan orang majusi
26 Larangan Zina Bolehnya makan daging kurban
27 Larangan berbuat Wathi
(Homoseksual)
Tidak ada denda bagi orang yang
membunuh tidak disengaja
28 Larangan meminum Khamr Hukum qisas
29 Fadilah memanah Tatacara bai’at
30 Fadilah berbuat baik kepada
orang tua Arsy Allah diatas air
31 Fadialh mendidik anak Fadilah Dzikir, setiap amal pasti
ditimbang
32 Fadilah Tawadhu Kemahiran sahabat dalam perang badar
33 Fadilah diam Larangan mencela waktu
34 Fadilah sedikit makan, tidur dan
istirahat Keutamaan Syam dan Yaman
35 Fadilah sedikit tertawa Minuman yang dibolehkan
36 Fadilah menjenguk orang sakit Sifat surga
37 Fadilah mengingat mati Nama-nama nabi saw.
38 Fadilah mengingat penduduk
kubur Halal, Haram dan Subhat
39 Larangan meratapi mayit Ghirasil jannah
40 Fadilah sabar tatkala tertimpa
musibah Husnul hatimah
Dalam penyuguhan hadis-hadis dari kedua kitab di atas ada empat puluh
lima hadis yang akan diteliti. Dua hadis karena memiliki kesamaan redaksinya.
Selebihnya mengambil hadis yang bernomor ganjil secara acak di sepuluh bab
74
pertama dan pertengahan. Adapun hadis yang memiliki kesamaan redaksinya
ialah hadis Pertama, hadis tentang kriteria orang yang akan masuk surga dengan
mengucapkan kalimat tahlil atau ucapan Lāilāha illa al-Allah. Hadis ini ada pada
hadis ke-2 dalam kitab Lubāb al-Hadis sama dengan hadis ke-40 yang ada di
kitab al-Minḥaḥ al-Khairiyyah. Kedua, hadis ke 22 yang ada di kitab Lubāb al-
Hadis sama dengan hadis ke-31 yang ada di kitab al-Minhah al-Khairiyyah dan
masih satu tema dengan hadis ke-39 yang membicarakan tentang pahala yang
akan diperoleh bagi orang yang mengucapkan kalimat tasbih. Bunyi hadisnya
ialah
هللاخالص هللادخل" dan اسللصادخلاجلنة""منقاؿالالوإال كالموالالوإال كافآخر من.اجلنة"
اللسافثقيلتافيفالميزافحبيبػتافإىلالرحنسبحافهللاوبمدهسبحافكلمتافخفيفتافعلى" ."هللاالعظيم
Adapun hadis-hadis yang lainnya ialah;
hadis pertama,
)عاللعالضف"ملسو هيلع هللا ىلصاؿقو) بعلمو العامل أي ال( سلعردبالةليػلرمقاللضفكدابعلى رائىال"باكوكال مندرجاتاجلنة ( هللاللعبديفاآلخرة يعطيو الثوابالشاملدلا كثرة ابلفضل راد
النظر يعطيوهللاتعاىلللعبدمنمقاماتالقربولذة وما ومناكحها، ومشارهبا ومآكلها ولذاهتادعكالمورواهأبونعيمعنمعاذبنجبل.ويفروايةللحارثبنأيبأسامةعنأيبسعيإليو،ومسا
علىالع"اخلدريعنوملسو هيلع هللا ىلص العال كفضليعلىأمتفضل للرتمذيعنأيبأمامة:و"ابد يفروايةعلىالعا" كفضليعلىأدنفضلالعال كنسبةشرؼ"كمبد أينسبةشرؼالعالإىلشرؼالعابد
كيفجعلالعلممقارنلدرجةالنبوةوكيفحط النيبإىلأدىنشرؼالصحابة.قاؿالغزايل:فانظركافالعابدالخيلوعنعلمابلعبادةالتيواظبعليها،ولوالهل رتبةالعملاجملردعنالعلم،وإف
.تكنعبادةhadis ke dua,
75
كافأفضلمنأفيصليألفركعة")وقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص يػعملبو منتػعلمابابمنالعلميػعملبوأولمع"تطوعا العبادة من للعبد ولكنالبد العبادة، من أشرؼجوىرا العلم يدؿعلىأف وىذا )
عنالنالعلم،وإ رويعنأيبىريرة كما منثورا كافعلموىباء قاؿال ال"يبملسو هيلع هللا ىلصأنو عال من ماخسرتا منالسماءايفاجر مناد الشهادة،ونداه علىغن إالنػزعهللاروحو بعلمو نػيايػعمل لد
إذاليػعملبعلمو"هللاملسو هيلع هللا ىلصيقوؿمسعترسوؿربناخلطابهنع هللا يضرقاؿعموعن".رةواآلخ العال إفخ يػوـ كل الشمس،وتكتباحلفظة طلعتعليو شيء كل جوفو،ويػلعنو من العلم تماعلىلعنو
بعلموصحيفتو اليػعمل سيده،ايمن حقوؽ هللاايعبدهللاايمضيع رحة آيسمن عبد ىاذاوتعلىاإلميافعليكلعنةهللا،فإذاماتنػزعهللاروحوعلىغنالشهادة،
".ويرـادل
hadis ke tiga,
رسوؿأدوازكاةأبدانكمبقوؿالالوإالهللا(وأخرجابنعساكرعنابنعباسقاؿقاؿوقاؿملسو هيلع هللا ىلص)هللاتدفععنقائلهاتسعةوتسعنابابمنالبالءأدنىااذلم"هللاملسو هيلع هللا ىلص ".إفقػوؿالالوإال
ابلدر"ؿملسو هيلع هللا ىلصوقا مكلالف أبػيضاف جناحاف لو أخضر طائر فيو من إالهللاخرج الالو قاؿ منالنحل،فػيػقاؿلواسكنفػيػ كدوي قوؿالوالياقوتيصعدإىلالسماءفػيسمعلودويتتالعرشلص لسانتستػغفر عوف سبػ ذالكللطائر بػعد لقائلها،ثيعل تػغفرلصاحيبفػيػغفر إىلحت احبو
كافيػوـالقيامةجاءذالكالطائريكوفقائدهودليلوإىلاجل القيامة،فإذا "نةيػوـhadis ke empat,
كانت(أي"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص) منقاؿالالوإالهللازلمدرسوؿهللامرةغفرلوذنوبو(أيالصغائر)وإفالبحر زبد وعيداف"تلكالذنوب)مثل منرغوة وجهو يعلو ما أو أيمائو بفتحالزايوالباء )
كنا كماقالوعطيةاألجهوريوضلومها،واألوؿأوىلألفادلراد .يةعنادلبالغةيفالكثرةhadis ke lima,
منقاؿبسمهللاالرحافالرحيممرةليػبقمنذنوبو(أيالصغائر)ذرة(وذكرأفبشراوقاؿملسو هيلع هللا ىلص(فيهابسمميحرلا نمحرلا هللا وكافمعوثالثةدراىمفأخذهباطيباوطيبها،فنودييفاحلايفرأىرقعة
كماطيبتامسنالنطينبامسك .سرهhadis ke enam,
76
كلها(وعنعبدالعزيزوقاؿملسو هيلع هللا ىلص( جعةأربعنمرةزلاهللاذنوبو كل يف بنصهيبمنصلىعليبنيديرسنسبنمالكقاؿعنأ جعة"وؿهللاملسو هيلع هللا ىلصفقاؿكنتواقفا كل يف صلىعلي من
ةعليك قاؿملسو هيلع هللا ىلص،قلت:ايرسوؿهللاكيفالصال«ثاننمرةغفرهللاتػعاىللوذنوبثاننسنةعلىزلمدعبدؾورسولكالنيبتػقوؿا" وتػعقدواحدةللهمصل ي .ذكرذلكسيديالشيخ"األم
.عبدالقادراجليالينhadis ke tujuh,
الشكر"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( يف )ونصف احملاـر أيعن الصب( يف فنصف نصفاف العمل"اإلمياف أي ).ابلطاعاترواهالبيهقيعنأنس
hadis ke delapan,
علىطهر(أيجددوضوءه،وىوعلىطهرالوضوءالذيصلىبوفرضاأو"قاؿملسو هيلع هللا ىلصو( منتػوضأفعوؿنفال،فإفليصلابلوضوءاألوؿصالةما،فاليستحبجتديدالوضوء)كتبلو(ابلبناءللم
(أيابلوضوءاجملددرواهأبوداودوالرتمذيوابنماجوعنابنعمرقاؿالرتمذي:")عشرحسناتكتبهللابوعشر كتبلوعشرحسنات:قاؿبعضهم:يشبوأفيكوفادلراد إسنادهضعيفقولو
هللا وعد وقد أمثاذلا، بعشرة األضعاؼاحلسنة هللامن بو وعد ما أقل فإف ابلواحدوضوءات،كالتيمموىو سبعمائةووعدثوااببغنحساب،وقديؤخذمنقولوتوضأأفالغسلالجتديدفيو
.األصحhadis ke sembilan,
اليػقبلهللاصالةأحدكم(وادلرادابلقبوؿىنامايرادؼالصحة،وىواإلجزاءوحقيقة"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص(وقوع الذيالقبوؿثرة اإلجزاء مظنة اإلتيافبشروطها كاف ودلا يفالذمة، دلا رافعة رلزئة الطاعة
لتقبللو القبوؿادلنفييفمثلقولوملسو هيلع هللا ىلص:منأتىعرافا القبوؿثرتوعبعنوابلقبوؿرلازا،وأماكذايفالسر اجادلنن،ويفلفظالصالة،فهياحلقيقيألنوقديصحالعمل،وخيتلفالقبوؿدلانع
يػتوضأ مقامورواهالبخاريومسلموأبو"تصحصالةأحدكم)إذاأحدثحت (أيابدلاءأومايقـو.داودوالرتمذي،وابنماجوعنأيبىريرة
hadis ke sepuluh,
77
ملسو هيلع هللا ىلص( النيب م"قاؿ ر خيػ )بسواؾ ركعتن صالة أي سواؾركعتاف( بغن ركعة سبعن رواه"ن )الدارقطينعنأـالدرداءوإسنادهحسن،أيدلافيومنالفوائدالتمنهاطيبرائحةالفم،وتذكرالشهادةعندادلوت،قاؿادلناوي:الدليليفىذااحلديثعلىأفضليةالسواؾعلىاجلماعةالت
جةمتفاوتةادلقدارانتهىىيبسبعوعشريندرجة،ألفالدرhadis ke sebelas,
كتبهللا) تػعاىللووقاؿملسو هيلع هللا ىلص:منقاؿعنداألذافمرحباابلقائلنعدال،مرحباابلصلواتوأىال،عاألذافوليػقلمثلماألفحسنة،وزلاعنوألفسيئة،ورفعلوألف درجةوقاؿملسو هيلع هللا ىلص:منمس
ؤذنوفالقيامةإذاسجدادل ؤذففإنومينعمنالسجوديػوـ
عتم»ورويأنوملسو هيلع هللا ىلصقاؿ:"(.قاؿادل إذامس
ؤذفالنداءفػقولوامثرواهمالكوأحدوأبوداودوالرتمذيوالنسائيوابنماجو.قاؿ«لمايػقوؿادل
ادلناوي:إجابةادلؤذفمندوب.وقيلواجب.قولومايقوؿ،وليقلمثاؿماقاؿادلاضيليشعرأبنوكلمة،وليقلمثلماتسمعوفإمياءإىلأنوييبويفالرتجيع،أيو كل إفليسمع.قولوييبوبعد
يقوؿادلؤذفظاىرهأنويقوؿمثلقولويفجيعالكلمات،لكنوردتأحاديثابستثناء مثلماحيعلىالصالةوحيعلىالفالح،وأنويقوؿبينهماالحوؿوالقوةإالابهلل،وىذاىوادلشهور
ؿاألذرعي:وقديقاؿاألوىلأفعنداجلمهور،وعنداحلنابلةوجوأنويمعبناحليعلةواحلوقلة.وقاكذاقالوالعزيزينقالعنالعلقمي،ثقاؿالعزيزيقلت،وىواألوىلللخروجمنخالؼ يقوذلما
.منقاؿبومناحلنابلة،وأكثراألحاديثعلىاإلطالؽانتهى
سلممنهاأجابووقاؿالنووييفاألذكارإذامسعادلؤذفأوادلقيموىويصليليبويفالصالة،فإذاإذامسعووىوعلى كره،ولتبطلصالتو،وىكذا كماييبومناليصلي،فلوأجابويفالصالةكافيقرأالقرآفأويسبحأويقرأحديثاأوعلما اخلالءالييبويفاحلاؿ،فإذاخرجأجابوفأماإذا
كاففيو،ألفاإلجابةتفوت،آخرأوغنذلك،فإفيقطعجيعىذاوييبادلؤذف،ثيعود إىلماوماىوفيواليفوتغالبا،وحيثليتابعوحتفرغادلؤذفيستحبأفيتدارؾادلتابعةماليطل
الفصلاىػ.hadis ke dua belas,
كتبهللالوبػراءةمنا"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص) (قاؿابن"لناروبػراءةمنالنفاؽمنأدرؾاجلماعةأربعنيػومااإلماـخلبمنقطع،وىوماسقطمنرواتو حجريففتحاجلواد:وتسناحملافظةعلىإدراؾتـر
78
كتبهللالوبراءاتف:.واحدقبلالصحايب منصلىأربعنيومايفاجلماعةيدرؾالتكبنةاألوىل،.براءةمنالناروبراءةمنالنفاؽ
hadis ke tiga belas,
جاعة"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( أيلزـو رحة( واجلماعة فيها وما نػيا الد من ر خيػ وىي رحة اجلماعة صالةعذاب (أيمفارقتهم،واالنفرادعنهمسبب"ادلسلمنموصلإىلالرحةأوسببللرحة)والفرقة
.للعذابhadis ke empat belas,
ألف"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( ساعةمنهاستمائة كل لتػهاأربػعةوعشروفساعةيػعتقهللايف اجلمعةوليػ يػوـ إفالنار من إبسنادعن(قاؿسيديالشيخعبدالقادراجليالين،وأخبنأبونصرعنوالده"عتيق
إفهللاتػعاىليػعتقستمائةألفعتيق»اثبتالبناينعنأنسبنمالكهنع هللا يضرعنالنيبملسو هيلع هللا ىلصأنوقاؿ:أربعوعشروفساع لةاجلمعة،ويػوـاجلمعة لة،وليػ وليػ يػوـ كل ساعةستمائةمنالناريف كل ة،يف
كلهمقداستػوجبواالنار ويفلفظآخرعناثبتعنأنسهنع هللا يضرعنالنيبملسو هيلع هللا ىلص«ألفعتيقمنالنار،نػياستمائةألف»قاؿ: الد ـ لةمنأاي وليػ يػوـ كلهمقداستػوجبواإفهلليفكل عتيقمنالناريػعتقهم
إ وعشروفساعة،ليسفيهاساعة أربع اجلمعة لة وليػ اجلمعة القيامة،ويفيػوـ يػوـ النار الوهللعزساعةستمائةألفعتيقم كل كلهمقداستػوجبواالناروجليف وقاؿالغزايل:ويفاخلب«.نالنار،
»أفهللعزوجليفكلجعةستمائةألفعتيقمنالناروقاؿملسو هيلع هللا ىلص: يػوـ كل اجلحيمتسعريف إفالسما كبد الشمسيف استواء عند اجلمعة،فإنوقػبلالزواؿ يػوـ إال الساعة فالتصلوا،يفىاذه ء
كلووإفجهنمالتسعرفيو ".صالةhadis ke lima belas,
لتػهارفععنوعذابالقب"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( لغزايلقاؿصلىهللااإلحياءل(ويف"منماتيػوـاجلمعةأوليػكتبهللالو"عليووسلم لةاجلمعة أيوذلك"أجرشهيدووقيفتنةالقبمنماتيػوـاجلمعةأوليػ
.بشرطاإلميافhadis ke enam belas,
79
ليسادلرادأ"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( واجب( اجلمعة يػوـ بلىومؤوؿ:أيواجبيفغسل نوواجبفرضاكما كماتقوؿالعربحقكواجبعليأيمتأكد، السنةأويفادلروءةأويفاألخالؽاجلميلة
زلتلم (أيابلغأرادحضورالصالةرواهمالكوأحدوأبو"أفادهالعزيزينقالعنبعضهم)علىكل .داخلدريداودوالنسائيوابنماجوعنأيبسعي
hadis ke tujuh belas,
(بكسرادليمللهيئة،ثبفتحالسنرواهالقضاعيعنأيب"الصدقةتنعميتةالسوء"قاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص(كاحلرؽوالغرؽ .ىريرة،وىوحديثضعيف،وادلرادابلسوءماالتمدعاقبتومناحلاالتالرديئة
hadis ke delapan belas,
(أيثالثمراتيفتلكاللحظة،"الصدقةشيءعظيمقاذلا(أيتلكالكلمة)ثالاث"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص(ويفروايةللطباينوأيبنعيمعنأنسأبسانيدثقاتتصدقوا،فإفالصدقةفكاككممنالنار،أي
أفضلمنحجا والصدقة ادلناويعنخالصكممننرجهنم، نقلو كذا لتطوععندأيبحنيفةالعبادي
hadis ke sembilan belas,
(رواهالرتمذيعنجابر،وىوحديثصحيحقاؿالعزيزي"السالـقػبلالكالـ"ؿالنيبملسو هيلع هللا ىلصوقا (األمة ىذه تية ألنو الشروعيفالكالـ قبل ادلعىنيندبالسالـ شرعادلقبليفيتملأف فإذا ،.الكالـفاتزللو.وقاؿالنووي:والسنةأفادلسلميبدأابلسالـقبلكلكالـ
hadis ke dua puluh,
(قاؿالنووي:الرجلادلسلمالذيليس"وقاؿصلىهللاعليووسلم( رأسالتواضعاالبتداءابلسالـفيس عليو، ويسلم يسلم بفسقوالبدعة ادلبتدعومنمبشهور وأما عليو، السالـويبالرد نلو
كذاقالوالبخاري اقرتؼذنباعظيماوليتبمنو،فينبغيأفاليسلمعليو،واليردعليوالسالـوغنهمنالعلماءاىػ.وقاؿسيديالشيخعبدالقادر:واليهجرادلسلمأخاهفوؽالثالث،إالأف
عاصي،فمستحباستدامةاذلجرذلموابلسالـيتخلصمنإثيكوفمنأىلالبدعوالضالؿوادل.اذلجرللمسلم
hadis ke dua puluh satu,
80
العبادة"وقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص( مخ عاء (أيخالصهارواهالرتمذيعنأنس،وىوحديثصحيح"الدحيث تعاىل هللا أمر امتثاؿ أنو أحدمها ألمرين: سلها كاف العبادةوإمنا مخ فهو ػ ادعوين قاؿ
وخالصها،والثاينأنوإذارأىصلاحاألمورمنهللاتعاىلقطعأملوعمنسواه،ودعاهحلاجتووحده،وىذاىوأصلالعبادة،وألفالغرضمنالعبادةالثوابعليها،وىوادلطلوبابلدعاءوقاؿاحلكيم:
كلهالوتعاىل،وتسليمإليوقاؿسيديإمناصارسلاألنوتبأمناحلوؿوالقوة،واعرت ؼأبفاألشياءالشيخعبدالقادر:واألدبيفالدعاءأفميديديو،ويمدهللاتعاىل،ويصليعلىالنيبصلىهللاعليووسلم،ثيسأؿحاجتووالينظرإىلالسماءيفحاؿدعائو،وإذافرغمسحيديوعلىوجهو
".سلواهللاببطوفأكفكم"أنوقاؿ:يبملسو هيلع هللا ىلصدلارويعنالنhadis ke dua puluh dua,
(لداللتوعلىاعرتاؼ"ليسشيءأكرـ(ابلنصبخبليس)علىهللاتػعاىلمنالدعاء"وقاؿملسو هيلع هللا ىلصوالبخاريوالرتمذيوالنسائيعنأيبالداعيابلعجزواالفتقارإىلربووالذؿواإلنكاررواهأحد
أف»ويفاإلحياءقاؿملسو هيلع هللا ىلص:.ىريرةوأسانيدهصحيحة سلواهللاتػعاىلمنفضلو،فإنوتػعاىليب".يسأؿ،وأفضلالعبادةانتظارالفرج
hadis ke dua puluh tiga,
يدعهللاتػعاىليػغضبعليو"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص) (قاؿسيديالشيخعبدالقادرقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلصيف"منل :وقاؿالشاعر«مناليسأؿهللايغضبعليو»حديثأيبىريرةهنع هللا يضر:
وبينآدـحنيسأؿيغضب #هللايغضبإفتركتسؤالوhadis ke dua puluh empat,
داءدواءودواءالذنوباالستغفار"قاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص( (أيادلقروفابلتوبةرواهالديلميعنعلي"لكل .بالسند
hadis ke dua puluh lima,
كثػرتذنوبأحدكمفػليستػغفرهللا(وقالت"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص) عائشةاهنع هللا يضرقاؿيلرسوؿهللاصلىهللاإذا وسلم: ـ»عليو الند نب الذ من التػوبة فإف إليو وتويب هللا فاستػغفري بذنب ألممت كنت إف
81
ئتوجهليوإسرايفيفأمري،ومااللهماغفريلخطي»،وكافملسو هيلع هللا ىلصيقوؿيفاالستغفار:«واالستغفاريلأنتأعلمبومين،اللهماغفريلىزيلوجديوخطئيوعمدي،وكلذالكعندي،اللهماغفر
متوماأخرت،وماأسررتوماأعلنتوماأنتأعلم ر،وأنتماقد ؤخـوأنتادل قد
بومينأنتادلشيءقدير .كذايفاإلحياء«علىكل
hadis ke dua puluh enam,
ذكرهللاعلماإلمياف(أيلواؤه)وبػراءةمنالنفاؽ(لداللةحاؿالذاكرعلىأنوإمنا"قاؿرسوؿهللا(الننافذكرهللاإميان وحرز(أياحرتاس)من يطاف الش من بو)وحصن (وقيلإذا"ابهللوتصديقا
الشيطاف منو دن إذا اإلنساف يصرع كما صرع الشيطاف منو دن فإذا القلب من الذكر تكن فيقولوف:ماذلذا فيقاؿ:قدمسواإلنسكذاأفادسيديالشيخعبدالقادر
hadis ke dua puluh tujuh,
ذكرين( ما رواية ويف ذكرين( )إذا بعلمي أي عبدي( مع أن تػعاىل هللا عن حكاية ملسو هيلع هللا ىلص: وقاؿ)وتركتيبشفتاه(قاؿابنحجرالعسقالينيفبلوغادلراـأخرجوابنماجووصححوابنحباف،
ذؼمنأوؿإسنادهقاؿاحلكيم:ىذاوماأشبهومناألحاديثوذكرهالبخاريتعليقاوادلعلقماحيفذكرعنيقظةالعنغفلة،ألفذلكىوحقيقةالذكر،فيكوفبيثاليبقىعليومعذكرهيفذلكالوقتذكرنفسو،والذكرسللوؽفذلكالذكرىوالصايف،ألنوقلبواحدفإذاشغلبشيء
خلوقاتلوأفرجالدخلعلىملكيفالدنياألخذهمنىيبتوذىلعماسواه،وىذاموجوديفادل.مااليذكريفذلكالوقتغنه،فكيفمبلكادللوؾ
hadis ke dua puluh delapan,
ي(ويفروايةالديلميعنأنسذكرهللاشفاءالقلوب،أ"أفضلالذكرالإلوإالهللا"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص(.منأمراضها،أيىودواءذلاشلايلحقهامنظلمةالذنوبوالغفلة
hadis ke dua puluh sembilan,
اكروفهللاكثنا"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( (أيوالذاكرات،وليذكرىن"أفضلالعباددرجةعندهللايػوـالقيامةالذعلىادلؤنثرواهأحدوالرتمذيعنأيبسعيداخلدريإبسنادصحيح،معإرادهتنتغليباللمذكر
82
واختلفيفالذاكرينهللاكثنافقاؿاإلماـأبواحلسنالواحديقاؿابنعباس:ادلراديذكروفهللايفأدابرالصلواتغدواوعشيا،ويفادلضاجعوكلمااستيقظمننومو،وكلماغداوراحمنمنزلوذكر
تعاىل وقاعداهللا قائما تعاىل هللا يذكر حت كثنا هللا الذاكرين من يكوف ال رلاىد: وقاؿ .اكرين((عاىلومضطجعا.وقاؿعطاء:منصلىالصلواتاخلمسبقوقها،فهوداخليفقولوت والذ
كثنا ويفاأل))5 هللا ومساء، صباحا ادلثبتة ادلأثورة واظبعلىاألذكار إذا وقاتواألحواؿفقاؿ:كذايفالسراجادلنن كافمنالذاكرينهللاكثنا، والليلة ادلختلفةليالونارا،وىيمثبتةيفعملاليـو
.للعزيزيhadis ke tiga puluh,
كفتادل( إحدى أيقوؿالعبدسبحافهللاميألثواهبا ادليزاف( هللانصف سبحاف يزافوقاؿملسو هيلع هللا ىلص:السمواتواألرض(أيلوقدر ملء ادليزاف(أيثواهباميألالكفتن)وهللاأكبػر هللملء )واحلمدثوابذلكجسمادلأله)والإلوإالهللاليسدوناسرتوالحجاب(جعبينهماللتأكيد،أيبال
ا تلصإىلرهب كنايةعنتصعدبلمانع)حت وجل(أيتصلإليوبالعائقوالحاجب،وىو عزسرعةقبوذلا،وكثرةثواهبارواهالسجزيعنابنعمربنالعاص،ورواهأيضاابنعساكرعنأيب
ىريرةإبسنادضعيفhadis ke tiga puluh satu,
كمنالذنب( نب نبقاؿملسو هيلع هللا ىلص:التائبمنالذ ستػغفرمنالذماقبلها)وادل لو(أيفإفالتوبةجتب
قيلاالستغفار البيهقيوابنعساكرعنابنعباس،وذلذا بربو(رواه ستػهزىءكادل عليو مقيم وىو
أوفعال ويسمىأثراابللسافتوبةالكذابن،وىذاحديثموقوؼ،وىوماقصرعلىالصحايبقوال .أيضا
hadis ke tiga puluh dua,
نوبالتوبة(.وقاؿأنسجاءرجلإىلرسوؿهللاملسو هيلع هللا ىلص( شيءدواءودواءالذ فقاؿ:وقاؿملسو هيلع هللا ىلص:لكلكلما»إينأتوبثأعود.قاؿملسو هيلع هللا ىلص:قاؿ:«استػغفرهللا»ايرسوؿهللاإينأذنبتذنبا.قاؿملسو هيلع هللا ىلص:
5 Q. S. Al-Ahzab: 53.
83
يكوفالشيطافىواحلسن عفو»قاؿاينيبهللاإذفتكثرذنويب.فقاؿملسو هيلع هللا ىلص:«أذنػبتفػتبحت"هللاأكثػرمنذنوبك
hadis ke tiga puluh tiga,
مائةمرة(رواهالشيخافعنابنوقاؿعليوالصالةوالسالـ( كليػوـ :توبواإىلهللافإينأتوبإليونالللتحديد،وتوبةالعواـمنالذنوب،وتوبةاخلواصمنغفلةثعمربناخلطاب،وذكرادلائةللتك
كلعبدبسبو .القلوب،وخواصاخلواصشلاحوىاحملبوب،فتوبةhadis ke tiga puluh empat,
لواابلصالةقػبلالفوت(أيفوتوقتها وتوعجلواابلتػوبةقػبلادل .وقاؿملسو هيلع هللا ىلص:عج
قاؿسيديالشيخعبدالقادر:شروطالتوبةثالثة:أوذلاالندـعلىماعملمنادلخالفاتوالثاينوالث اقرتؼمنترؾالزالتيفجيعاحلاالتوالساعات. علىأفاليعودإىلمثلما الثالعـز
أفاليعودإىلمثلمااقرتؼمنادلعاصي فالعـز ادلعاصيواخلطيئات.فالندـيورثعزماوقصدالعلموأفادلعاصيحائلةبينوبنربو،ومعىنالندـتوجعالقلبعندعلموبفواتزلبوبو،فتطوؿ
علىأ ذلك،أجزانووانسكابعباتو،فيعـز فاليعودإىلمثلذلكدلاتققعندهمنالعلمبشـؤالقصدوىوإرادة وأنوأضرمنالسمالقاتل،والسبعالضاري،والناراحملرقةوالسيفالقاطع،وأماكلفرضىومتوجو كلزلظورىومالبسلو،وأداء التدارؾ،فلوتعلقابحلاؿ،وىوموجبترؾ
اضيوىوتدارؾمافرطوابدلستقبل،وىوادلداومةعلىالطاعة،وترؾعليويفاحلاؿ،ولوتعلقابدلادلعصيةإىلادلوت،فأماشرطصحتوفيمايتعلقابدلاضيفيفتشعمامضىمنعمرهسنةسنة،وشهراشهراويومايوما،وساعةساعةونفسانفسا،فينظرإىلالطاعاتماالذيقصرفيها،وإىل
نهاادلعاصيماالذيقارؼمhadis ke tiga puluh lima,
ؤمنمنالعذاراحلسنعل(ىقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص:الفقر(الذياليؤديإىلاحتياجالناس)أزينعلىادل
خدالفرس(رواهالطباينعنشدادبنأوسوالبيهقيعنسعدبنمسعودإبسنادضعيفhadis ke tiga puluh enam,
84
تعفف(أيادلنكفعناحلراـوالسؤاؿعن(ؤمنالفقنادل
عبدهادل وقاؿملسو هيلع هللا ىلص:إفهللاتػعاىليب
الناس،وقاؿادلناويأيادلبالغيفالعفةمعوجوداحلاجةلطموحبصنتوعناخللقإفاخلالق)أابرواهابنماجوعنعمرافبنحصن.قاؿادلناوي:ويفىذااحلديثالعياؿ(أيصاحبالعياؿ
.إشعارأبنويندبللفقنإظهارالتعفف،وعدـالشكوى
الفقرفقراف:فقرمثوبة،وفقرعقوبة،وعالمةاألوؿأفيسنخلقو،ويطيعربو،واليشكو،)تنبيو( ويعصيويشكو والثاينأفيسيءخلقو هللااألوؿويشكرهللاعلىفقره، والذييبو ويتسخط،
دوفالثاينكذاأفادالعزيزيhadis ke tiga puluh tujuh,
وقاؿعليوالصالةوالسالـ:التمسواالرزؽابلنكاح(أيالتزوج،فإنوجالبللبكةجارللرزؽإذا(ابألمواؿ،ويفلفظالرزؽصلحتالنيةرواهالديلميعنابنعباس،ويفروايةللبزارتزوجواأيتينكم
يزدادابلنكاحhadis ke tiga puluh delapan,
رواهالقضاعيوالبيهقيعنابنعمربن.قاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص:الزىنيورثالفقر(أييقلبركةالرزؽ( اخلطاب
hadis ke tiga puluh sembilan,
ىن(أييكثربركةالرزؽيورثالغىنوقاؿعليوالصالةوالسالـ:تػرؾالز(hadis ke empat puluh,
كافرةحرةأوأمة)فػتحهللاعليويفقبهوقاؿعليوالصالةوالسالـ( منزىنابمرأة(أيمسلمةأوخيرجمنتلكاألبوابعقاربوحياتإىليػ القيامة(وعنوملسو هيلع هللا ىلصأنوقاؿ:ثانيةأبوابمنالنار وـ
يفجسم» مسها فػيػغلي الصالة اترؾ تػلسع البعن رقػبة ثخن حية كل حيات فيو واد ويفجهنميػتهرىحلمووإفيفجهنموادايامسو هاسبعنسنةث كلعقربمنػ احلزففيوحياتوعقارب جب
تضربالزاينوتفرغمسهايفجسموي شوكةراويةسم كل عوفشوكةيف دمرارةبقدرالبػغلذلاسبػثيػتهرىحلموويس كذايفالزواجرقاؿهللاتعاىل«يلمنفػرجوالقيحوالصديدوجعهاألفسنة
85
أربػعةمنكم(( واللذاف))وقاؿهللاتعاىل6،))والاليتأيتنالفاحشةمننسائكمفاستشهدواعليهنهماإفأيتيانامنكمفآذومهافإفاتابو كافتػواابرحيماأصلحافأعرضواعنػ قاؿأبوالليث7.((هللا
بن بسياطمننر يفاآلخرة أخذ يفالدنيا منهما احلد يؤخذ ل فإف السمرقندييفاجلواىر، اخلالئقيفادلوقف
B. Perbandingan Metode dan Corak Penyarahan Hadis
Dalam menguraikan kandungan setiap bab yang ada di kitab Tanqīḥ al-
Qaul, Syaikh Nawawi memakai metode ijmali atau beliau jelaskan secara global.
Hasil analisis terhadap 42 hadis diatas dinyatakan bahwa 85% metode yang
dipakai oleh Syaikh Nawawi ialah dengan menggunakan metode tahlili.8 Hal ini
menunjukkan bahwa dirinya mampu menyederhanakan kandungan setiap hadis
dengan bahasa yang mudah dimengerti, kandungan yang singkat dan tidak
mengyinggung hal-hal selain kandungan yang dikehendaki.9 Berbeda dengan
metode tahlili yang menguraikan isi kandungan hadis dari segala aspeknya sesuai
dengan kecenderungan dan keahlian pen-syarah. Uraian tersebut menyangkut
aspek seperti arti kata, konotasi kalimat, kaitannya dengan hadis lain, pendapat
ulama terkait hadis, dan ataupun dari latar belakang turunnya hadis.10
6 Q. S. Al-Nisa: 15
7 Q. S. Al-Nisa: 61
8 Diantara hadis-hadisnya ialah selain hadis ke lima, ke-13, ke-16, ke-27, ke-30, ke-35,
ke-38 dan ke-39. Selebihnya menggunakan metode Ijmali dalam mensyarah hadis.
9 Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer,
(Kalimedia: Jogjakarta, 2017), h. 28.
10 Fakhri Tajuddin Mahdi, “Metodologi Syarah Hadis Nabi saw”, h. 102.
86
Penggunaan metode ijmali ini sudah diutarakan dalam muqaddimah
kitabnya yang menyebutkan bahwa beliau sendiri mengakui penjelasan yang ada
di kitab ini sangat sedikit. Hal ini karena permintaan orang-orang jawa yang
meminta. Selain itu beliau juga mengakui tidak mampu menjelasakan maksud
setiap hadis secara rinci.11
Bentuk penjelasan global dalam syarah hadisnya bisa
ditunjukkan dengan menggunakan ungkapan “yang dimaksud dengan hadis ini”
atau dengan redaksi “hadis ini menunjukkan” ataupun mengutip pendapat ulama
terdahulu dan kutipan dari hadis Nabi saw ataupun al-Qur’an. seperti bisa dilihat
pada beberapa contoh berikut ini;
)عاللعالضف"ملسو هيلع هللا ىلصاؿقو) بعلمو العامل أي الل( سلعردبالةليػلرمقاللضفكدابعى رائىدرجاتاجلنة"باكوكال من اآلخرة يف هللاللعبد يعطيو دلا الثوابالشامل كثرة ابلفضل ادلراد )
ومنا ومشارهبا ومآكلها النظرولذاهتا يعطيوهللاتعاىلللعبدمنمقاماتالقربولذة وما كحها،دإليو،ومساعكالمورواهأبونعيمعنمعاذبنجبل.ويفروايةللحارثبنأيبأسامةعنأيبسعي
علىالع"اخلدريعنوملسو هيلع هللا ىلص العال كفضليعلىأمتفضل للرتمذو"ابد يعنأيبأمامة:يفروايةعلىالعا" كفضليعلىأدنكمفضلالعال كنسبةشرؼ"بد أينسبةشرؼالعالإىلشرؼالعابد
.النيبإىلأدىنشرؼالصحابةHadis diatas menjelaskan keutamaan orang alim melebihi keutamaan
orang ahli ibadah. Maksudnya ialah orang yang melakukan sesuatu dengan
didasari oleh ilmunya ia akan mendapatkan imbalan yang begitu banyak di ahirat
nanti. Pentingnya ilmu dalam melaksanakan perintah Allah swt digambarkan oleh
Syaikh Nawawi seperti dalam riwayat Abu Said al-Khudri dan riwayat Abi
Umamah. keutamaan Rasulullah saw terhadap para sahabatnya. Hal ini sangat
jelas bahwa Rasulullah lebih mulia dibanding para sahabatnya. Selain hadis
11
Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts, h. 8.
87
diatas, penjelasan global Syaikh Nawawi bisa dilihat dalam penjelasan hadis
berikut ini
كافأفضلمنأفيصليألفركعة")وقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص يػعملبو منتػعلمابابمنالعلميػعملبوأولمع"تطوعا العبادة من للعبد ولكنالبد العبادة، من أشرؼجوىرا العلم يدؿعلىأف وىذا )
كاف عنالنالعلم،وإال رويعنأيبىريرة كما منثورا قاؿعلموىباء ال"يبملسو هيلع هللا ىلصأنو عال من ماخسرتا منالسماءايفاجر مناد الشهادة،ونداه علىغن إالنػزعهللاروحو بعلمو نػيايػعمل لد
إذاليػعملبعلمو"هللاملسو هيلع هللا ىلصيقوؿمسعترسوؿطابهنع هللا يضرقاؿعمربناخلوعن".رةواآلخ العال إفخ يػوـ كل الشمس،وتكتباحلفظة طلعتعليو شيء كل جوفو،ويػلعنو من العلم تماعلىلعنو
ىاذا بعلموصحيفتو اليػعمل سيده،ايمن حقوؽ هللاايعبدهللاايمضيع رحة آيسمن عبدوتعلىاإلميافعليكلعنةهللا،فإذاماتنػزعهللاروحوعلىغنالشهادة،
".ويرـادل
Hadis diatas menjelaskan tentang nilai ilmu yang begitu penting.
Disebutkan bahwa ilmu merupakan perhiasan yang paling berharga dari sebuah
ibadah. Oleh karena itu seorang hamba harus dibarengi dengan ilmu dalam
beribadahnya.
Selain menggunakan ungkapan diatas, ungkapan yang menunjuk pada
syarah hadis secara ijmali oleh Syaikh Nawawi juga bisa berupa “fi hādza al-
Ḥadīṡ ʻIsy‟ārun” seperti dalam hadis berikut ini;
تعفف(أيادلنكفعناحلراـوالسؤاؿعن(ؤمنالفقنادل
عبدهادل وقاؿملسو هيلع هللا ىلص:إفهللاتػعاىليب
لناس،وقاؿادلناويأيادلبالغيفالعفةمعوجوداحلاجةلطموحبصنتوعناخللقإفاخلالق)أاباالعياؿ(أيصاحبالعياؿرواهابنماجوعنعمرافبنحصن.قاؿادلناوي:ويفىذااحلديث
.إشعارأبنويندبللفقنإظهارالتعفف،وعدـالشكوى Syaikh Nawawi menjelaskan hadis kecintaan Allah swt terhadap hamba-
Nya yang mukmin lagi fakir yang menjaga dirinya dari melakukan hal-hal yang
tidak baik secara global (ijmali). Hal itu dilakukan oleh dirinya dengan mengutip
88
pendapat Imam al-Munawi seraya berkata “dalam hadis ini terdapat pesan
(pemberitahuan) bahwasanya disunnahkan bagi seorang fakir untuk
menampakkan sikap menjauhkan dari hal yang tidak baik dan menerima tanpa
mengeluh akan kondisinya. Hal ini sudah terlihat jelas apa yang di tuju oleh hadis
tersebut.
Selain mengutip pendapat ulama ataupun hadis untuk menjelaskan
kandungan hadis secara global, syarah hadis juga terkadang menjelaskan dengan
merupakan hasil dari pemikirannya. Contohnya ialah
كليػوـ( اهالشيخافعنابنمائةمرة(رووقاؿعليوالصالةوالسالـ:توبواإىلهللافإينأتوبإليووتوبةالعواـمنالذنوب،وتوبةاخلواصمنغفلة.وذكرادلائةللتكبنالللتحديد.عمربناخلطاب
كلعبدبسبو .القلوب،وخواصاخلواصشلاحوىاحملبوب،فتوبة
.كةالرزؽىن(أييكثربريورثالغوقاؿعليوالصالةوالسالـ:تػرؾالزىن(
Hadis pertama, perintah taubat kepada Allah swt sehari seratus kali. Esensi
dari hadis tersebut bukanlah terdapat pada bilangannya melainkan tingkatan taubat
setiap hamba yang berbeda-beda. Bagi orang awam, taubatnya ialah dari dosa
yang telah dilakukan. Sedangkan taubatnya orang khusus ialah dari kelalaian hati.
Semuanya diperintahkan untuk selalu senantiasa bertaubat setiap saat. Sedangkan
hadis kedua tentang meninggalkan zina akan mendatangkan kekayaan. Hadis ini
kemudian dijelaskan oleh Syaikh Nawawi secara singkat padat dan jelas bahwa
meninggalkan zina akan memperbanyak keberkahan di dalam rizki. Begitupula
dengan kebalikan hadis di atas yang berbunyi
.قاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص:الزىنيورثالفقر(أييقلبركةالرزؽ(
89
artinya: “zina mendatangkan kefakiran”. Maksudnya bahwa perbuatan zina akan
mengurangi keberkahan rizki.
Contoh lain terkait metode ijmali (global) dalam mensyarah hadis oleh
Syaikh Nawawi dengan mendatangkan hadis lain dan penjelasanya ialah sebagai
berikut;
هللا(ويفروايةالديلميعنأنس"ذكرهللاشفاءالقلوب"أيمن)قاؿملسو هيلع هللا ىلص "أفضلالذكرالالوإال أمراضها،أيىودواءذلاشلايلحقهامنالظلمةالذنوبوالغفلة
Hadis diatas berbicara tentang dzikir yang paling utama ialah
mengucapkan kalimat Lāilāha illa Allah. Meskipun hadisnya berbunyi seperti itu,
Syaikh Nawawi tidak membahas keutamaan dzikir dengan membaca Lāilāha illa
Allah melainkan lebih menekan pada aspek pentingnya dzikir. Hal itu dinyatakan
dalam riwayat al-Dailami yang menyebutkan bahwa dzikir kepada Allah
merupakan obat bagi penyakit hati.
وقاؿعليوالصالةوالسالـ:التمسواالرزؽابلنكاح(أيالتزوج،فإنوجالبللبكةجارللرزؽإذا(صلحتالنيةرواهالديلميعنابنعباس،ويفروايةللبزارتزوجواأيتينكمابألمواؿ،ويفلفظالرزؽ
.يزدادابلنكاحDalam menjelasakan maksud hadis diatas Syaikh Nawawi menyuguhkan
dengan hadis lain. Bahwa pernikahan menjadi sebab bertambahnya rizki.
Terkadang beliau juga mengambil pendapat kelompok untuk dijadikan penjelasan
global dalam sebuah hadis. Contohnya ialah hadis tentang dzikir khafi yang
berbunyi;
بعض قاؿ أي )قيل( منخفضا أي ابلالـ ث معجمة خباء خامال( ذكرا هللا ملسو هيلع هللا ىلصاذكروا )قاؿ ايرسوؿهللا اخلامل( الذكر ادلبارؾعن(الصحب)وما عبدهللابن رواه اخلفي"(. قاؿ"الذكر
أفضل أيفهو حبيب. بن منضمنة جع عند وىذ رايء. ضلو من لسالمتو جهرة الذكر من
90
كل كافالنيبملسو هيلع هللا ىلصأيمر وقد فالذكراجلهريأنفع، يفابتداء أما السلوؾ، الصوفيةيفغنابتداءإنسافمباىواألصحاألنفعلو.
Dalam hadis di atas Syaikh Nawawi menyatakan bahwa dzikir secara khafi
itu lebih utama dibanding dzikir secara jahar agar tidak terjebak pada sifat riya.
Inilah yang dipegang oleh kelompok sufi di selain permulaan suluk, sedangkan
ketika memulai suluk lebih bermanfaat dzikir secara jahar.
Meskipun demikian beliau terkadang menjelaskan segi keilmuan yang
beliau kuasai. Contohnya seperti gramatika bahasa arab, ilmu hadis dan lainnya.
Beliau terkadang memaparkan cara baca sebuah lafadz sekaligus jabatan dalam
sebuah kalimat. Hal ini dalam rangka mengeksplorasi khazanah keilmuan yang
beliau miliki. Bahkan beliau juga sering mencantumkan istilah-istilah dalam ilmu
hadis seperti ṣaḥḥahahu, rajaḥahu, hādzā hadīs gharīb dan lain sebagainya.12
Dari sini juga terlihat kemampuan Syaikh Nawawi dalam bidang hadis.
Adapun kecenderungan beliau dalam memberikan syarah hadis-hadis yang
ada di kitab Lubāb al-Ḥadīs lebih banyak bercorak sufi. Salah satu indikasinya
yang paling menonjol ialah sering mengutip pendapat Imam al-Ghazali dan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai tokoh ulama tasawuf. Hal ini juga
12
Hal ini bisa dujumpai di kebanyakan halaman contoh di halaman 50, 53, 54, 126 dan
lain sebagainya. Selain istilah-istilah dalam ilmu hadis sejatinya beliau juga merupakan ahli dalam
bidang hadis. Selain beliau menyebutkan kualitas hadis serta keberadaannya pada kitab induk,
beliau juga mampu menilai kredibilitas perawinya yang mengantarkan penilain terhadap jalur
periwayatannya. Tidak mungkin seseorang mampu memberikan penilaian terhadap jalur
periwayatan, sebuah hadis kecuali ia ahli dan mengetahui seluk-beluk para perawi hadis. Hal inilah
yang mendorong dugaan kuat penulis bahwa sejatinya beliau juga ahli di bidang hadis. Hanya saja
keilmuan yang sedang naik kepermukaan tatkala itu ialah ilmu tasawuf, yang kemudian beliau
lebih cenderung terhadap keilmuan tasawuf. Contohnya bisa dilihat di halama 53-55 dan masih
banyak yang lainnya.
91
berdasarkan hasil analisis terhadap 42 hadis di atas bahwa 70% corak yang ada di
kitab Tanqīḥ al-Qaul itu bercorak sufi.13
Contoh corak sufinya ialah hadis tentang keutamaan salat wajib. Beliau
menilai bahwa setiap gerak dan bacaan di dalam salat memiliki makna yang
sangat mendalam. Ketika seorang hamba mengangkat kedua tangan ketika takbir
ini memiliki arti bahwa hamba tersebut sedang tenggelam dalam samudera
kesalahan dan kemaksiatan. Oleh sebab itu dalam kondisi seperti ini atau
mengangkat kedua tangan seakan-akan ia berkata “wahai tuhanku, raihlah kedua
tanganku, tolonglah hambamu ini yang terjebak dalam kesalahan dan
kemaksiatan”. Bacaan al-Qur’an di dalam salat ibarat teguran dari Tuhan kepada
sang hamba. Arti ruku’ seakan ia tetap berusaha untuk mendapatkan pertolongan-
Nya dengan merendahkan diri di hadapan-Nya. Dan arti bacaan ketika bangun
dari ruku’ sejatinya ia meminta pembebasan dari dosa-dosa seakan-akan Allah
berfirman “apakah kamu telah berbuat dosa?” ia menjawab “ampuni dosa hamba-
Mu ini”. Allah membalas “Aku telah mengampuni dosa-dosamu”. Posisi sujud
seakan-akan hamba berkata “dari benda inilah Engkau telah menciptakanku”
ketika bangun dari sujud seakan dia berkata “Engkau telah mengeluarkanku”
ketika sujud kedua seakan ia berkata “menuju sinilah hamba kembali” dan saat
bangun kedua kalinya seakan berkata “dari sini pula hamba dikeluarkan kedua
kalinya. Dan arti salam ialah “ya Allah berikanlah kitabku dari arah kananku, dan
13
Hasil ini berdasarkan analisi penulis atas 40 hadis yang ada di kitab Tanqīḥ al-Qaul
selain hadis yang ke tiga, ke empat, ke lima, ke delapan, ke-12, ke-16, ke-17, ke-18, ke-19, ke-24,
ke-28, ke-31, ke-32, dan ke-35.
92
janganlah Engkau berikan kitabku dari arah kiriku”.14
hadis ke-dua bab ke-lima
beliau menyebutkan bahwa taqwa ialah menyucikan hati dari dosa-dosa.15
Selain hadis di atas ada beberapa syarah hadis yang menandakan bahwa
corak syarah hadis Syaikh Nawawi itu bercorak sufi. corak kesufiannya bisa
didentikkan dengan dua hal. Pertama, Syaikh Nawawi sering mengutip pendapat
ulama tasawuf seperti Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh al-
Munawi dan Abu Laits al-Samarqandi. Kedua, penjelasan Syaikh Nawawi yang
cenderung ke arah tasawuf. Berikut beberapa contohnya;
a. mengutip pendapat ulama tasawuf seperti Imam al-Ghazali, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini terdapat di hadis pertama dan ke empat
belas berikut ini;
)عاللعالضف"ملسو هيلع هللا ىلصاؿقو) بعلمو العامل أي الل( سلعردبالةليػلرمقاللضفكدابعى رائىادل"باكوكال درجاتاجلنة( من اآلخرة يف هللاللعبد يعطيو دلا الثوابالشامل كثرة ابلفضل راد
ي وما ومناكحها، ومشارهبا ومآكلها النظرولذاهتا عطيوهللاتعاىلللعبدمنمقاماتالقربولذةدإليو،ومساعكالمورواهأبونعيمعنمعاذبنجبل.ويفروايةللحارثبنأيبأسامةعنأيبسعي
علىالع"اخلدريعنوملسو هيلع هللا ىلص العال كفضليعلىأمتفضل للرتمذيعنأيبأمو"ابد امة:يفروايةعلىالعا" كفضليعلىأدنكمفضلالعال كنسبةشرؼ"بد أينسبةشرؼالعالإىلشرؼالعابد
كيفجعلالعلممقارنلدرجةالنبوةوكيفحط النيبإىلأدىنشرؼالصحابة.قاؿالغزايل:فانظركافالعابدالخيلوعنع لمابلعبادةالتيواظبعليها،ولوالهلرتبةالعملاجملردعنالعلم،وإف
.تكنعبادةHadis diatas menjelaskan keutamaan orang alim melebihi keutamaan
orang ahli ibadah. Maksudnya ialah orang yang melakukan sesuatu dengan
14
Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts, h. 12.
15 Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts, h. 34.
93
didasari oleh ilmunya ia akan mendapatkan imbalan yang begitu banyak di ahirat
nanti. Ia akan memperoleh derajat yang tinggi diadapan Allah dengan
mendapatkan kelezatan makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya dan
kenikmatan memandang-Nya.16
Keutamaan seorang alim atas orang ahli ibadah
ibarat kemuliaan Rasulullah saw terhadap sahabat-sahabatnya. Imam al-Ghazali
berkata “perhatikanlah bagaimana ilmu disandingkan dengan derajat kenabian,
dan bagaimana tingkatan amal semata tanpa didasari dengan ilmu meskipun orang
ahli ibadah juga mengetahui tata cara beribadahnya. Dalam contoh lain;
ساعةمنهاستمائةألف“وقاؿملسو هيلع هللا ىلص( كل لتػهاأربػعةوعشروفساعةيػعتقهللايف يػوـاجلمعةوليػ إفالنار من إبسنادعن(قاؿسيديالشيخعبدالقادراجليالين،وأخبنأبونصرعنوالده"عتيق
»أنوقاؿ:اثبتالبناينعنأنسبنمالكهنع هللا يضرعنالنيبملسو هيلع هللا ىلص هللتػعاىليػعتقستمائةألفعتيقإفأربعوعشروفساع لةاجلمعة،ويػوـاجلمعة لة،وليػ وليػ يػوـ كل ساعةستمائةمنالناريف كل ة،يف
كلهمقداستػوجبواالنار ويفلفظآخرعناثبتعنأنسهنع هللا يضرعنالنيبملسو هيلع هللا ىلص«ألفعتيقمنالنار،نػياستمائةألف»قاؿ: الد ـ لةمنأاي وليػ يػوـ كلهمقداستػوجبواإفهلليفكل عتيقمنالناريػعتقهم
إ وعشروفساعة،ليسفيهاساعة أربع اجلمعة لة وليػ اجلمعة القيامة،ويفيػوـ يػوـ النار الوهللعزساعةستمائةألفعتيقم كل كلهمقداستػوجبواالناروجليف وقاؿالغزايل:ويفاخلب«.نالنار،
»أفهللعزوجليفكلجعةستمائةألفعتيقمنالناروقاؿملسو هيلع هللا ىلص: يػوـ كل اجلحيمتسعريف إفالسما كبد الشمسيف استواء عند الزواؿ تصلوا،يفىقػبل فال اجلمعة،فإنوء يػوـ إال الساعة ذه
كلووإفجهنمالتسعرفيو ".صالةSetelah penuturan hadis selesai Syaikh Nawawi langsung mengutip hadis
yang diriwayatkan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Riwayat tersebut
menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah swt berhak memerdekakan enamratus
16
Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts, h. 20.
94
ribu budak dari neraka sehari semalam. dan hari jum’at ada 24 jam, dan setiap jam
600 budak telah dibebaskan dari neraka.
b. Penjelasan ke arah tasawuf Contohnya hadis,
العبادة"وقاؿالنيبملسو هيلع هللا ىلص( مخ عاء (أيخالصهارواهالرتمذيعنأنس،وىوحديثصحيح"الدحيث تعاىل هللا أمر امتثاؿ أنو أحدمها ألمرين: سلها كاف العبادةوإمنا مخ فهو ػ ادعوين قاؿ
وخالصها،والثاينأنوإذارأىصلاحاألمورمنهللاتعاىلقطعأملوعمنسواه،ودعاهحلاجتووحده،وىذاىوأصلالعبادة،وألفالغرضمنالعبادةالثوابعليها،وىوادلطلوبابلدعاءوقاؿاحلكيم:
كلهالوتعاىل،وتسليمإليوقاؿسيديإمناصارسلاألنوتبأمناحلوؿوالقوة،واعرت ؼأبفاألشياءءأفميديديو،ويمدهللاتعاىل،ويصليعلىالنيبصلىهللاالشيخعبدالقادر:واألدبيفالدعا
عليووسلم،ثيسأؿحاجتووالينظرإىلالسماءيفحاؿدعائو،وإذافرغمسحيديوعلىوجهو ".سلواهللاببطوفأكفكم"أنوقاؿ:يبملسو هيلع هللا ىلصدلارويعنالن
“Do’a adalah saripati ibadah. Menurut Syaikh Nawawi doa menjadi intisari
ibadah karena dua hal. Pertama, melakukan perintah Allah swt sebagai
implementasi firman Allah swt "لكم"ادعوين أستجب . Kedua, ketika
mengalami kegagalan dalam meraih impian lalu berdo’a dengan sungguh-
sungguh dengan harapan kebutuhannya terkabul. Menurut Syaikh Abdul
Qadir dalam berdo’a harus memerhatikan adabnya. Diantaranya ialah
menengadahkan tangan, membaca hamdalah, salawat kepada Nabi saw. lalu
memohon hajatnya dengan tanpa mendongakkan ke atas ketika berdoa dan
mengusapkan kedua tangan ke permukaan wajah”. Dalam contoh lain
مائةمرة(رواهالشيخافعنابنوقاؿعليوالصالةوالسالـ( كليػوـ :توبواإىلهللافإينأتوبإليوعمربناخلطاب،وذكرادلائةللتكبنالللتحديد،وتوبةالعواـمنالذنوب،وتوبةاخلواصمنغفلة
كلعبدبسبوالقلوب،وخواصاخلواصشلا .حوىاحملبوب،فتوبة“Hadis diatas menjelaskan perintah taubat kepada Allah swt sehari seratus
kali. Esensi dari hadis tersebut bukanlah terdapat pada bilangannya
melainkan tingkatan taubat setiap hamba yang berbeda-beda. Bagi orang
awam, taubatnya ialah dari dosa yang telah dilakukan. Sedangkan taubatnya
orang khusus ialah dari kelalaian hati. Semuanya diperintahkan untuk selalu
senantiasa bertaubat setiap saat”.
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul yang telah
disebutkan diatas ada yang dipahami secara tektual ada juga yang dipahami secara
95
kontekstual. Hal itu jika dibaca dengan menggunakan metode pemahaman hadis
yang ditawarkan oleh Kiai Ali Mustofa Ya’qub. Namun, kebanyakan hadis
dipahami secara tekstual. Hal itu karena Syaikh Nawawi tidak membahas takwil
dalam hadis, illat, budaya dan kondisi bangsa arab ataupun yang lainnya yang
telah dirumuskan oleh Kiai Ali Mustafa Ya’qub. Meskipun pemahaman yang
diterapkan oleh Syaikh Nawawi dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul secara tekstual
pemahaman atas hadis yang telah beliau upayakan tidak berbahaya.
Ada beberapa hadis yang dipahami oleh Syaikh Nawawi secara kontekstual
diantaranya hadis ke empat, ke sembilan, ke-16 dan ke-30.
كانت(أي"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص) منقاؿالالوإالهللازلمدرسوؿهللامرةغفرلوذنوبو(أيالصغائر)وإفالبحر زبد وعيداف"تلكالذنوب)مثل منرغوة وجهو يعلو ما أو أيمائو بفتحالزايوالباء )
كنا كماقالوعطيةاألجهوريوضلومها،واألوؿأوىلألفادلراد .يةعنادلبالغةيفالكثرةPerlu dimengerti bahwa diantara metode pemahaman hadis yang
dirumuskan oleh Kiai Ali Mustafa Ya’qub apakah sebuah hadis mesti dipahami
secara tekstual atau kontekstual ialah dengan memerhatikan bahasa yang dipakai.
Dalam hal ini penggunaan lafadz البحر yang berarti buih di atas air laut. Oleh زبد
karena itu Syaikh Nawawi memberikan penjelasan bahwa itu merupakan bentuk
melebih-lebihkan penggunaan kata. Hal itu untuk menandakan betapa banyaknya
dosa yang telah diperbuat. Hadis berikutnya ialah hadis tentang tidak diterimanya
salat seseorang yang telah berhadas berikut ini;
اليػقبلهللاصالةأحدكم(وادلرادابلقبوؿىنامايرادؼالصحة،وىواإلجزاءوحقيقة"وقاؿملسو هيلع هللا ىلص(وقوع الذيالقبوؿثرة اإلجزاء مظنة اإلتيافبشروطها كاف ودلا يفالذمة، دلا رافعة رلزئة الطاعة
96
لتقبللو القبوؿادلنفييفمثلقولوملسو هيلع هللا ىلص:منأتىعرافا القبوؿثرتوعبعنوابلقبوؿرلازا،وأماكذايفالسر اجادلنن،ويفلفظالصالة،فهياحلقيقيألنوقديصحالعمل،وخيتلفالقبوؿدلانع
يػتوضأ مقامورواهالبخاريومسلموأبو"تصحصالةأحدكم)إذاأحدثحت (أيابدلاءأومايقـو.داودوالرتمذي،وابنماجوعنأيبىريرة
Maksud hadis Allah swt. tidak menerima salat seseorang ialah tidak sah
salat seseorang yang berhadas sampai dia berwudhu. Karena wujud diterimanya
sebuah salat ialah menimbulakan ketaatan kepada Allah swt. Adapun salat yang
diterima yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun itu merupakan
bentuk majaz.
Adapun al-Tarmasi cenderung menggunakan metode tahlili dalam
mensyarahi hadis. Hal ini bisa dijumpai dari awal penyajian sebelum beliau
menjelaskan hadis. Ketika menjelaskan bismillah, beliau tidak hanya memberikan
penjelasan singkat makna kalimat bismillah beliau juga mengutip hadis nabi serta
mencantumkan periwayat hadis tersebut. Selain itu juga beliau menjelaskan faidah
membaca kalimat basmillah. Lebih lanjut bahwa basmalah yang terdiri dari empat
kalimat memiliki empat faidah yang akan menghapuskan empat dosa-dosa.
Pertama, menghapus dosa di malam hari kedua, menghapus dosa-dosa di siang
hari ketiga, menghapus dosa-dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
terahir menghapus dosa-dosa yang dilakukan secara terang-terangan.17
Sedangkan
Tabel Perbandingan
No Tanqih al-Qaul Al-Khilʻah al-Fikriyyah
Model penyusunan kitab
1 Memberikan syarah kitab hadis
Ulama sebelumnya
Menulis ulang hadis dan memberikan
syarah atas karyanya sendiri
17
Al-Tarmasi, al-Khil‟ah al-Fikriyyah (Kementrian Agama RI, 2008), h. 2.
97
2 Jumlah keseluruhan ada 404
hadis
Memuat 40 hadis
Sumber
3 Bi al-Ma’tsūr Bi al-Ma’tsūr
Metode
4 Ijmali Tahlili
Corak
5 Sosial Sufistik Bahasa
C. Pemahaman Hadis Mengucapkan kalimat Tauhid dan Tasbih
Hadis-hadis yang termuat dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul merupakan hadis
yang memotifasi agar diamalkan meskipun memiliki kualitas dhaif. Hal itulah
yang mendorong penulis mengasumsikan kenapa Syaikh Nawawi lebih memilih
untuk menyarahi kitab arbain Imam Suyuti dibanding yang lain. Selain itu pula
Syaikh Nawawi juga menguasai serta paham betul ilmu hadis. Buktinya beliau
mengetahui kriteria hadis sahih dan dhaif dalam pemaparan di muqaddimah
kitabnya. Meskipun beliau memiliki keilmuan dibidang hadis beliau lebih dikenal
dengan ulama sufi dengan kesufiannya.
Diantaranya ialah hadis keutamaan mengucapkan kalimat “tauhid” berupa
“Lāilāhaillāllāh”. Sebelum membedah komentar Syaikh Nawawi atas hadis-hadis
keutamaan membaca kalimat tauhid, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu
gambaran hadis yang termuat dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul. Dalam pembahasan ini
Imam Suyuti mencantumkan 10 hadis tentang keutamaan “Lāilāhaillāllāh” namun
redaksi hadis yang mendekati sama dengan redaksi hadis yang ada dalam kitab al-
Minḥaḥ al-Khairiyyah ialah hadis
98
قاؿالالوإالهللاخالص سل"من اجلنة"ا دخل الالوإالهللاوآخر dan لصا كالمو أوؿ كاف منهللاوعملألفسيئةإفعاشألفسنةاليسألوهللاعنذنبواحد. كالموالالوإال
Menurut Syaikh Nawawi orang yang selalu membiasakan membaca kalimat
Lāilāhaillallah, disetiap kali masuk rumah akan dihilangkan dari sifat kefakiran.
Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa siapa orangnya yang sering
mengucapkan Lāilāhaillallah akan dihilangkan empat ribu dari dosa besarnya.
Jika, ia tidak memiliki dosa besar, dengan perantara dirinya ia akan memintakan
ampunan bagi dosa-dosa keluarga dan tetangganya. Pendapat ini beliau kutip dari
pendapat imam al-Fākihāni.18
Seperti itulah model penjelasan Syaikh Nawawi
ketika beliau mengulas sedikit disetiap bab yakni dengan mengutip pendapat
ulama dan hadis Nabi saw.
Dalam menjelaskan hadis diatas Syaikh Nawawi hanya memberikan
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan "اخالص" ialah terlepas dari sifat riya
sedangkan " "سللصا beliau maksudkan dari hal-hal yang dilarang. Meskipun
makna dasar dari خلص ialah murni, jernih dan أخلص memiliki arti mengambil
intisarinya (memurnikan)19
, beliau langsung menunjuk pada makna yang dituju.
18
Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥaṡīṡ, h. 26.
19 Ahmad Warson Munawir, al Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) cet 14, h.
359. Dalam Lisān al-Arab خلص disebutkan sebagai sesuatu yang sudah menancab kemudian
selamat. Sedangkan خلصأ ialah memurnikan agamanya hanya kepada Allah swt.
Dalam hal ini لصسل ialah orang yang menancapkan dan memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah
swt. لصسل disebut juga sebagai orang yang mengesakan Allah swt secara murni. Oleh karenaya
ada surat yang disebut sebagai surat al-Ikhlas. Karena didalamnya mengandung unsur pemurnian
99
Keduanya berasal dari akar kata yang sama20
, Syaikh Nawawi memberi
penjelasan yang seakan-akan keduanya berbeda dengan langsung memberikan
maksudnya. Yang satu menekankan pada sifat riya yang kedua lebih menekan
pada perilaku seseorang. Keduanya sama-sama menunjuk terhadap perbuatan
yang dilarang.
Syaikh Nawawi juga menambahkan riwayat dalam menjelaskan hadis
sebagai penguat argumen beliau yang beliau kutip. Dalam riwayat ini
menyebutkan bahwa orang yang membaca kalimat tauhid secara ikhlas ialah
mengucapkan kalimat tauhid yang dibarengi dengan sikap menjauhkan
(mencegah) diri dari melakukan hal-hal yang dilarang. dari al-hakim melalui jalur
Zaid bin al-Arqam bahwa Rasulullah saw bersabda.
اسللصادخلاجلنة"قيلايرسوؿهللا،وماإخالصها قاؿ:أفتجزه"منقاؿالالوإالهللاخالص" عناحملاـر
Dari penyebutan diatas pula menunjukkan bahwa metodologi yang
digunakan Syaikh Nawawi dalam menyarahi hadis beliau suguhkan secara global
atau ijmali. Sedangkan al-Tarmasi lebih cenderung menggunakan metode tahlili
sebagaimana yang akan diungkapkan dalam menjelaskan hadis yang berbunyi
كافآخر هللادخلاجلنةكالموال عنمعاذبنجبلهنع هللا يضرأنوقاؿ:قاؿرسوؿهللاملسو هيلع هللا ىلصمن .الوإال dan pensucian terhadap siafat-sifat Allah swt. Ibn Manzur, Lisān al-„Arab (Dār Sādr: Beirut, t.th)
J. 7, h. 26.
20 yang memiliki arti murni. Namun, dengan خلص berasal dari kara سللص dan خالص
pemahaman yang singkat Syaikh Nawawi langsung mengartikannya dengan sifat riya dan
meninggalkan dari hal-hal yang dilarang. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya maksud dari
sebuah teks, sehingga Syaikh Nawawi tidak menyinggung atau menyantumkan terlebih dahulu arti
secara bahasa atauoun menyinggung aspek lainnya. Hal inilah penggabaran penjelasan beliau
secara global terhadap hadis Nabi saw.
100
Dari Muadz bin Jabal ra. Beliau berkata: bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda: siapa orangnya yang ucapan terahirnya lāilāha illa al-Allah ia
akan masuk surga.
Diantara keunikan al-Tarmasi yang bisa dijumpai dalam kitab al-Khil‟ahnya
ialah penjelasan terkait gramatikal bahasa arab. Beliau sering menjelaskan
kandungan hadisnya dengan menjabarkan jabatan lafadz dalam sebuah kalimat.
Tidak sedikit ulasan yang beliau tampilkan terkait dengan ilmu nahwu, saraf
hingga balaghah. Hal ini menjadi dugaan kuat bahwa al-Tarmasi pun mahir dalam
bidang ilmu nahwu. Hal ini mengantarkan kesimpulan penulis bahwa corak yang
ada dalam karyanya itu bercorak nahwu. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan
berikut ini.
كالمو آخر كاف maksudnya ialah ucapan terahir ketika ia akan berpisah من
meninggalkan dunia. آخر bisa dibaca rafa sebagai isimnya kana, bisa juga dibaca
nasab karena menjadi khabar kana. الوإالهللاال , lā )ال( berbentuk la nafi liljinsi,21
ilāha (الو) menjadi isimnya. Adapun khabarnya ialah mengira-kirakan lafad موجود
yang dibuang. huruf istitsna. Maksudnya ialah tidak ada Dzat yang berhak إال
disembah kecuali Dzat satu ini yang benar-benar nyata adanya, yang mencakup
seluruh sifat-sifat ketuhanan. Menurutnya tauhid tidak akan tercapai kecuali
memaknai tuhan sebagai Dzat yang mesti disembah secara hak dan melekatkan
21
La nafi lil jinsi ialah salah satu diantara huruf nafi yang masuk pada kalimat isim. Ia
memiliki karakter yang sama dengan inna yang menasabkan isim setelahnya dan merafa’kan
khabar.
101
pengetahuan bagi Dzat-Nya, bukan sebatas nama yang wajib adanya. Dalam
masalah ini beliau mengutip pendapatnya imam al-Rāzi yang mengatakan bahwa
tidak ada tuhan sejak azali dan selamanya kecuali Allah swt. karena Ia sudah ada
sejak azali dan selamanya.22
Menurut ulama ahli di bidang ilmu ma’āni, susunan kalimat الوإالهللاال itu
menunjuk adanya peringkasan, yang masuk pada pembahasan meringkas sifat atas
yang disifati, tidak sebaliknya.
ia (orang-orang yang mengucapkan kalimat lāilāha illa al-Allah) دخلاجلنة
akan masuk surga bersama orang-orang yang beruntung. Hal ini berlaku bagi
setiap muslim meskipun ia menyandang sebagai orang fasik. Namun, sebelumnya
ia harus merasakan siksa terlebih dahulu meskipun lama di siksa. Hal ini berbeda
jauh dengan pendapat kelompok sesat seperti muktazilah dan khawarij. Al-
Tarmasi juga sering mengutip pendapat ulama terdahulunya. Menurut Ibn Hajar
setiap orang yang ditalkin hendaknya di imbuhi juga dengan ucapan دمحمرسوؿهللا
karena hal yang hendak dicapai dan dituju ialah meninggal dalam beragama
Islam, dan seorang tidak disebut muslim kecuali telah mengucapkan dua kalimat
diatas. Begitu pula dengan apa yang dikehendaki dalam hadis bahwa orang akan
mendapatkan balasan masuk surga dengan ucapan هللاال الوإال .
22
Al-Tarmasi, al-Minḥaḥ al-Khairiyyah, h. 298.
102
Al-Subki berkata dalam kitab Tabaqāt nya bahwa kelompok ahlussunnah
berpendapat bahwa orang yang meninggal dalam keadaan mukmin sudah tentu ia
akan masuk surga namun bagi orang yang belum diampuni oleh Allah swt. akan
masuk kedalam neraka, yang kemudian ia akan dikeluarkan berkat pembacaan
talkin kalimat tauhid ketika sakaratul maut. Bagi orang mukmin sendiri manfaat
pengucapan kalimat الوإالهللاال di ahir hayatnya ia termasuk orang yang diampuni
oleh Allah atas kejahatan-kejahatannya yang menyebabkan ia tidak akan masuk
neraka sama sekali.
Adapun hadis yang kedua ialah hadis yang berbunyi
دهسبحافكلمتافخفيفتافعلىاللسافثقيلتافيفالميزافحبيبػتافإىلالرحنسبحافهللاوبم" ."هللاالعظيم
Seperti biasa, sebelum menguraikan hadis Syaikh Nawawi memberikan
penjelasan umum tentang kalimat tasbih. Dalam menjelaskan keutamaan
membaca kalimat tasbih, Syaikh Nawawi mengutip hadis Nabi saw yang
diriwayatakan melalui sayidina Hasan bahwa Rasulullah saw bersabda
كافلو حاجةعندسللوؽفػليقفعلىميينووليػقلىذهالكلماتوىي"سبحافهللاواحلمدهللمنم ريب العظيم"فػوحق قضىاقوالإلوإالهللاوهللاأكبػروالحوؿوالقػوةإالابهللالعلي اذلاعبدإال
يػرىمق نػياواآلخرة،والميوتحت كافمنأمورالد كائناما عدهيفاجلنة.هللاحاجتوالتيطلبػها“Siapa orangnya yang sedang terhimpit kebutuhan, maka menengadahlah
dengan kedua tangan seraya berdoa dengan mengucapkan kalimat سبحاف"العظيم العلي ابهلل إال قػوة وال حوؿ وال إالهللاوهللاأكبػر إلو "هللاواحلمدهللوال demi
kebenaran Tuhanku, tidak ada hamba yang mengucapkannya kecuali Allah
memenuhi kebutuhannya yang ia minta baik kebutuhan dunia ataupun
ahirat, dan tidaklah meninggal hingga diperlihatkan tempatnya di surga”.
103
Setelah itu, beliau kemudian menjelaskan hadis yang dimaksud. Dalam hal
ini Syaikh Nawawi menberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ""كلمتاف
ialah kalam. Meskipun lafadz tersebut merupakan bentuk isim tatsniah dari lafadz
خفيفتافعلىاللسافثقيلتافيف" .tapi yang dimaksud dalam hadis bukan hal itu كلمة
ialah karakter sifat yang dimiliki kedua kalimat tersebut ialah ringan dan الميزاف"
berat keduanya untuk menjelaskan banyaknya pahala orang yang
mengucapkannya namun sedikit orang yang mengetahui hal itu. Dengan kata lain,
mengucapkan kalimat tasbih itu sangatlah ringan dan mudah dan memiliki balasan
yang sangat berat sekali bagi yang mengucapkannya, namun sayang sedikit orang
yang mengetahui hal itu.
keduanya menjadi sesuatu yang dicintai. Maksud dari lafad ini "حبيبػتاف"
ialah menunjuk kepada orang yang mengucapkannya.23
Orang yang mengucapkan
kalimat tasbih akan dicintai oleh Allah swt. ""الرحن إىل orang yang membacanya
akan dicintai oleh Allah swt. Maksudnya ialah Allah akan memberikan kebaikan
serta memuliakan kepada orang yang mengucapkannya. "هللا atau disebut "سبحاف
dengan kalimat tasbih maksudnya ialah mensucikan Allah swt dari hal-hal yang
tidak pantas ada pada-Nya dari sifat kekurangan. ""وبمده menjadi pelengkap dan
23
Nawawi Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul, h. 95.
104
penyelaras dari kalimat sebelumnya dengan mengira-ngira أسبحهللاملتبسابمدهلو
أجل .توفيقومن Ataupun “ba” yang berada dalam kalimat “بمده” memiliki
hubungan dengan kalimat sebelumnya yang dibuang dengan mengkira-kirakan
berdiri sendiri "وبمده" dengan "سبحافهللا" oleh karenanya kalimat وأثينعليوبمده
bukan satu kesatuan. العظيمسبحا هللا ف menurut al-Kirmani sifat-sifat Allah yang
menunjuk pada adanya Allah seperti sifat ilm, qudrat semuanya itu tergolong
kedalam sifat-sifat yang menunjuk pada kemuliaan. Adapun, sifat-sifat yang
menunjuka pada ketidak adanya sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang sama
dengan-Nya ialah sifat-sifat keagungan. Dari semua itu, tasbih merupakan bentuk
isyarat terhadap keagungan dan tahmid menunjuk pada sifat kemuliaan-Nya.
Dengan kata lain, maksud dari hadis diatas ialah mensucikan-Nya (membebaskan)
dari seluruh kekurangan dan memuji dengan maha kesempurnaan-Nya.24
كلمتاف"" maksudnya ialah kalam. Ini merupakan pengungkapan kalimat
atas kalam. Ungkapan ini seperti ungkapan kalimat syahadat padahal yang
dimaksud ialah kalam. "حبيبػتاف" dua-duanya disukai. ""الرحن إىل al-Tarmasi
menjelaskan adanya pengkhususan penggunaan lafadz ini, tidak memakai lafadz
asmaul husna yang lain. Beliau menilai bahwa setiap asmaul husna memiliki
posisi penyebutan pada suatu tempat yang serasi dengan lafadznya. Misalnya
24
Nawawi Syaikh Nawawi, Tanqīḥ al-Qaul, h. 95-96.
105
firman Allah غفارا كاف إنو ربكم Ayat ini diawali dengan perintah untuk .استػغفروا
meminta ampunan kepada Allah swt, diahir ayat kemudian Allah menyebutkan
bahwa diri-Nya sebagai Dzat yang maha pengampun.
ىاللسافثقيلتافيفالميزاف"خفيفتافعل" kedua kalimat ini memiliki sifat huruf
yang lembut dan mudah untuk pengucapannya. Karena keduanya tidak
mengandung huruf-huruf syiddah dan isti’la selain huruf ba dan ẓa dan juga tidak
ada fi’il (bukan berbentuk kata kerja). ""الميزاف يف ثقيلتاف (dua kalimat ini berat
dalam timbangan). Maksudnya ialah bahwa pada hakikatnya didalam dua kalimat
ini mengandung balasan yang sangat agung sekali. Dalam sebuah riwayat nabi Isa
as. pernah ditanya tentang beratnya kebaikan dan ringanya keburukan seseorang.
Kemudian beliau menjawab bahwa dalam melakukan kebaikan akan diliputi
kegetiran dan hilangnya rasa manis maka dari itu berat untuk melakukannya.
Begitu pula sebaliknya, pernuatan buruk akan diliputi oleh rasa manis dan hilang
rasa getirnya, maka dari itu sangat mudah untuk melakukannya.
Seperti biasa beliau memberikan komentar ragam jabatan sebuah lafadz,
kemudian di susul arti dan penjelasan kalimat tersebut. Dalam kalimat "سبحافهللا"
ada empat ragam jabatan. Pertama, masdar taukid25
, seperti contoh ضراب .ضربت
25
Masdar Taukid ialah masdar yang berada setelah kalimat fi’il untuk menguatkan fi’il
tersebut. Contohnya ضراب اللص Mustafa al-Ghalayaini, Jāmiʻ al-Durūs al-Arabiyyah .ضربت
(Lubnān: Dār al-Fikr, 2007), h. 111.
106
Dalam hal ini berarti أسبحهللاتسبيحا yang artinya saya mengontrol diriku sendiri
seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin atas kesucian-Nya dari
seluruh apa-apa yang tidak pantas melekat pada Allah swt. Allah juga
sesungguhnya telah mengkultuskan Dirinya sendiri sejak sebelum diciptakannya
makhluk dan akan berlangsung selamanya, meskipun tidak ada satupun orang
yang mensucikannya. Kedua, menjadi masdar nau’26
yang bila diterapkan seperti
بو أسبحو خيتص تسبيحا dimana fungsinya untuk mengkhususkan. Ketiga, menjadi
masdar nau yang menandakan bahwa penyucian yang diungkapkan oleh seorang
hamba sama dengan penyucian-Nya terhadap diri-Nya. Hal ini sama dengan
ungkapan تسبيح مثل هللا لنفسوأسبح هللا . Keempat, menjadi masdar padahal yang
dimaksud ialah perbuatannya.
وبمده"" huruf “wawu” yang ada pada lafad ini menjadi wawu hal (kondisi
atau keadaan) atau sebagai huruf ataf. Maksud dari yang pertama ialah saya
menyucikan-Nya yang disertai dengan pujian kepada-Nya karena mengharap
limpahan karunia-Nya. Kalau huruf wawu menjadi ataf maka, maksud dari ""بمده
ialah saya bertasbih dan memakaikan (menyelimutinya) dengan pujian kepada-
Nya. Adapun hurif “ba” yang ada pada lafadz ""بمده itu untuk ""االستعانة atau
26
Masdar nau’ ialah masdar yang menunjukkan jenis dan sifat pekerjaan saat pekerjaan
itu terjadi. Contohnya جلستجلسةالعلماءةفقػوتفقػو، . al-Ghalayaini, Jāmiʻ al-Durūs, h. 112.
107
menunjuk pada minta pertolongan. Pujian yang diucapkan atau disebutkan setelah
ugkapan penyucian - dari setiap apapun yang tidak pantas bagi-Nya-, mengandung
permintaan kepastian adanya penetapan kesempurnaan yang telah siap dan pantas
melekat bagi-Nya yang mengarah pada penyucian atas segala sesuatu yang tidak
pantas ada bagi diri-Nya baik dari hal-hal yang menentang ataupun yang sejalan
dengan-Nya.
العظيم هللا lafadz ini sangat indah sekali sebagai pungkasan dalam سبحاف
hadis ini. Al-Tarmasi menilai bahwa penggunaan lafadz diatas sebagai ahir hadis
sangat tepat, dimana Nabi saw. lewat sabdanya ingin memadukan antara
pengharapan dan kegelisahan. Pengharapannya ada pada lafadz الرحن (al-Rahmān)
sebagai Dzat yang memberi kenikmatan dan kebaikan. Sedangkan kegelisahannya
ada pada العظيم yang artinya Dzat yang maha Agung. Dari sini lahir rasa takut
karena kemuliaan dan rasa kagum kepada-Nya. Dalam hadis ini juga terdapat
contoh penerapan ilmu al-badī‟ berupa muqābalah, munāsabah, dan
muwazanah.27
27
Muqabalah ialah menyebutkan dua lafadz atau lebih kemudian disusul dengan
menyebutkan kebalikan lafadz tersebut. Contohnya lafadz اخلفة dan الثقل. sedangkan munasabah
ialah berkumpulnya dua lafadz yang tidak saling menafikan dan berlawanan. Contohnya pemilihan
penggunaan lafadz الرحن bukan yang lain. Adapun muwazanah ialah dua qarinah yang sama dalam
sebuah wazan. Contoh dalam kalimat ا إىل لرحنحبيبتاف tidak memakai للرحن hal ini untuk
menyesuaikan dengan lidah. خفيفتاف merupakan bentuk isti’arah menunjuk pada perbuatan ini
yang ringan untuk dilakukan oleh lisan, sedangkan الثقل itu menunjuka pada makna sesungguhnya,
karena perbuatan manusia kelak akan berbentuk. Al-Tarmasi, al-Khil’ah al-Fikriyyah, h. 221.
108
D. Analisis Komparatif Pemahaman Hadis Mengucapkan Kalimat
Tauhid dan Tasbih
Penjelasan hadis balasan akan masuk surga bagi orang yang mengucapkan
kalimat Lāilāhaillāllāh, oleh Syaikh Nawawi dan al-Tarmasi ada perbedaan.
Syaikh Nawawi meniali bahwa balasan surga bagi orang mengucapkan
Lāilāhaillāllāh ialah diperuntukkan bagi mereka yang mengucapkannya dengan
ikhlas, tidak riya dan benar-benar memurnikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah
swt. Selain itu balasan juga diperuntukkan bagi mereka yang mengucapkannya
dengan dibarengi sikap menjauhkan (mencegah) diri dari melakukan hal-hal yang
dilarang Allah swt.
Sedangkan al-Tarmasi lebih menekankan pada status kelompok orang yang
masuk surga. Dimana orang yang diahir hayatnya mengucapkan kalimat
Lāilāhaillāllāh ia akan masuk surga dan tergolong menjadi orang-orang yang
beruntung. Ataupun mereka yang masuk surga ialah setiap muslim yang fasik
(melakukan dosa) meski mendapatkan siksa terlebih dahulu. Pendapat ini
sekaligus menentang pendapat aqidah kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Hal itu
tidak dinilai penting, yang terpenting ialah ketika ia meninggal dunia dalam
kondisi muslim. Dan diharapkan dengan membaca Lāilāhaillāllāh menjadi
balasan surga baginya. Karena pada dasarnya setiap muslim akan mendapatkan
balasan seadil-adilnya.
Perbedaan penekanan dalam memahami hadis diatas tidak membuat maksud
sebuah hadis kabur, justru saling melengkapi dan dapat digabungkan. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu amal yang mengantarkan seseorang masuk surga
109
ialah mengucapkan kalimat Lāilāhaillāllāh terlepas ia pernah melakukan dosa
atau tidak. Selain itu bahwa baik atau buruk seseorang dilihat dari ahir hayatnya.
Oleh karena itu Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan talqin bagi setiap muslim
yang sedang menjalani sakaratul maut.
Sedangkan penjelasan hadis dalam kalimat tasbih ada sedikit perbedaan
antara Syaikh Nawawi dengan al-Tarmasi. Syaikh Nawawi memberikan
penjelasan bahwa yang dicintai oleh Allah itu ialah orang yang mengucapkan
kalimat tasbih itu sendiri, dengan harapan akan mengalir kebaikan dan kemuliaan
kepadanya. Adapun menurut al-Tarmasi yang dicintai oleh Allah ialah kalimat
tasbih. Perbedaan ini penulis nilai karena adanya perbedaan letak sebuah lafadz
dalam hadis. Redaksi dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul berupa على خفيفتاف "كلمتاف
الرحن" إىل حبيبػتاف الميزاف يف ثقيلتاف -sedangkan dalam kitab al-Minḥaḥ al اللساف
Khairiyyah berupa "كلمتافحبيبػتافإىلالرحنخفيفتافعلىاللسافثقيلتافيفالميزاف".
oleh karena itu penuils menyimpulkan bahwa diantara poin penting dalam hadis
ialah mengetahui letak posisi sebuah lafadz.
Perbedaan berikutnya ialah dalam mensyarahi kalimat "العظيم هللا "سبحاف .
Kalimat ini menurut Syaikh Nawawi menunjukkan pada sifat kemuliaan dan
keagungan Allah swt. Sedangkan menurut al-Tarmasi menunjukkan hukum yang
tidak bisa digabungkan. Ada hukum (putusan) yang nampak ada hukum yang
tidak tidak nampak. Hadis ini –sebagai hadis terahir di kitab Sahih Bukhari- masih
110
ada hubungan dengan hadis pertamanya tentang niat. Dimana kadar timbangan
sebuah amal dan diterima atau ditolak itu dinilai dari niatnya.
Meskipun pemahaman hadis Syaikh Nawawi dan al-Tarmasi berbeda, hal
itu bisa digabungkan. Dilihat secara sekilas hadis di atas membicarakan keadilan
timbangan sebuah amal. Syaikh Nawawi memahaminya dengan orang yang
disukai oleh Allah namun, al-Tarmasi menilai bahwa yang dicintai ialah
kalimatnya. Perlu dipahami bahwa setiap amal perbuatan ada balasan masing-
masing. Dan di ahirat kelak setiap orang akan mendapatkan putusan atas amal
perbuatan dengan seadil-adilnya. Kesimpulan pemahaman hadis di atas ialah
bahwa orang yang mengucapkan kalimat tasbih dicintai oleh Allah swt lantaran
kalimat tersebut dicintai oleh Allah swt. Ungkapan ini sama dengan ungkapan
saya mencintai kampung ini, maksudnya ialah mencintai penduduk kampungnya.
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian tentang metodologi pemahaman hadis dalam
kitab Tanqīḥ al-Qaul karya Nawawi al-Bantani dan al-Khilʻah al-Fikriyyah karya
Mahfudz al-Tarmasi, penulis menemukan beberapa poin diantaranya adalah:
1. Model penyusunan kitab yang dilakukan oleh al-Bantani ialah dengan
memberikan syarah atau komentar terhadap karya ulama sebelumnya.
Sedangkan al-Tarmasi menulis ulang hadis dan memberikannya syarah,
2. Metode syarah hadis yang digunakan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani ialah
secara ijmali atau dijelskan secara global. Sedangkan metode yang
digunakan oleh Mahfudz al-Tarmasi ialah secara tahlili. Adapun corak
yang melekat dalam kitab Tanqīḥ al-Qaul ialah bercorak sufi, sedangkan
dalam kitab al-Khilʻah al-Fikriyyah ialah bercorak bahasa,
3. Al-Bantani lebih dikenal daripada al-Tarmasi karena Jiwa sosialisme yang
besar dan karya-karyanya yang fenomenal dengan menulis karya baru
yang dipelajari di pesantren
4. Metode pemahaman hadis al-Bantani lebih mudah dipahami karena
langsung mengarah pada makna yang dituju. beliau mengutip pendapat
ulama, hadis dan al-Qur’an. Sedangkan al-Tarmasi menjadikan ilmu
112
bahasa sebagai pondasi dalam memahami hadis. Meskipun beliau juga
mengutip pendapat ulama, hadis dan al-Quran.
B. Saran
Metode pemahaman atau pensyarahan hadis setiap ulama sangat menarik
untuk diteliti. Hal itu karena penjelasan setiap ulama terkait suatu hal pasti
mengalami perbedaan. Begitupula dengan metode pemahaman hadis Nawawi al-
Bantani dengan Mahfudz al-Tarmasi. Penelitian ini hanya mengambil dua hadis
yang secara redaksi hampir sama dan 42 hadis dari kitab Tanqīḥ al-Qaul.
Sedangkan hadis yang ada di kitab Tanqīḥ al-Qaul dan al-Khil’ah al-Fikriyyah
sangatlah banyak. Oleh karena itu penelitian ini masih butuh penelitian lanjutan
dengan meneliti hadis-hadis yang belum diteliti oleh penulis.
113
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem. Biografi Ulama Nusantarta. Yogyakarta: Diva Prees,
2016.
Amin, Samsul Munir. Sayid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Yogyakarta: LKis, 2011.
Arwansyah dan Faisal, Ahmad. “Peran Syaikh Nawawi al-Bantani dalam
Penyebaran Islam di Nusantara.” Kontekstualita, Vol. 30, No. 1, 2015
Azra, Azyumardi. Historigrafi Islam Kontemporer, Wacana, Aktualitas, Dan
Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
--------. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2002.
--------. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII. Jakarta: Kencana, 2013.
--------. Renaisanse Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Bantani, Nawawi. Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts Fi Syarḥ Lubāb al-
Ḥadīṡ. Jakarta: Dār al-Kutb al-Islāmiyyah, 2011.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elit Muslim dalam
Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan, 2012.
Chaidar. Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia. Jakarta:
Sarana Utama, 1978.
114
Danarta, Agung. Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia; Sebuah Upaya
Pemetaan.” Jurnal Tarjih, edisi 7, 2004, hal. 4.
Dzafir, Zamakhsyari. Tradisi Pesantre, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES, 1994.
Dzikri, Saifuddin. Peta Kajian Hadis Ulama Banjar. Banjarmasin: IAIN Antasari
Prees, 2014.
Dzikri, Saifudin. dan Bashori. “Peta Kajian Hadis Ulama Banjar.” Tashwir, Vol. 1
No.2, Juli-Desember 2013.
Ghalayaini, Mustafa. Jāmiʻ al-Durūs al-Arabiyyah. Lubnān: Dār al-Fikr, 2007.
Hanafi. “Jaringan Ulama Banjar dalam Kajian Hadis: Kontribusi Mereka bagi
Masyarakat Banjar.” Tesis S2 Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
Hidayah, Nur. “Meretas Kesarjanaan Hadis di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2017.
Huda, Nor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
.Jakarta: Al Ruzz Media, 2016.
Huda, Syamsul. “Perkembangan Penulisan Kitab Hadis pada Pusat Kajian Islam
di Nusantara pada Abad XVII.” Jurnal Penelitian UNIB, Vol. VII, No. 2,
Juli 2001, Hal. 112
Ibrahim, M. Sa‟ad. “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam.” al-Tahrir,
vol 4, No. 2, juli 2004
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium
sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
115
Mahdi, Fakhri Tajuddin. “Metodologi Syarah Hadis Nabi saw.; Telaah Kitab
Tanqīḥ al-Qaul al-Ḥatsīts fi Syarḥ Lubāb al-Ḥadīs Karya Imam Nawawi al-
Bantani.” Tesis S2 Theologi Islam, UIN Alauddin Makasar, 2016.
Mahsun. “Hakikat Fadhailul A‟māl menurut Syaikh Nawawi al-Bantani dalam
Kitab Tanqīh al-Qaul al-Ḥatsīts Fi Syarh Lubāb al-Ḥadīs.” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta,
2016.
Manzur, Muhammad bin Mukram Ibn. Lisān al-‘Arab. Dār Sādr: Beirut, t.th.
Mas‟ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren. Jakarta: Kencana, 2006.
Mastuki, Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di
Era Perkembangan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2006.
Mestika. Zeid, Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
Mochamad Samsukadi, Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1. 2015
Muhajirin. Kebangkitan Hadis di Nusantara. Yogyakarta: IDEA, 2016.
--------. Muhammad Makhfudz Al-Tarmasi; Ulama Hadis Nusantara Pertama.
Yogyakarta: IDEA Press, 2016.
Muhajirin. “Transmisi Hadis di Nusantara; Peran Ulama Hadis Muhaamd
Mahfudz al-Tirmasi.” Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Muhammad, Iqbal Asep. Yahudi & Nasrani dalam al Qur’an: Hubungan Antar
Agama Menurut Syaikh Nawawi al Bantani. Jakarta: Teraju, 2004.
Mukani. “Ulama Al-Jawi di Arab Saudi dan Kebangkitan Umat Islam di
Indonesia.” Al-Murabbi, Vol. 2, No. 2, Januari 2016, Hal. 219.
116
Munawir, Ahmad Warson. al Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI,
1988.
Purwaningsih, Sri. “Kritik Terhadap Rekonstruksi Metode Pemahaman Hadis
Muhammad Al-Ghazali.” Jurnal THEOLOGIA, Vol. 28, No. 1, Juni 2017.
Qardhawi, Yusuf. Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, terj.
Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995.
Rahmat, Jalaluddin. Bunga Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2002.
Rahmawati, Atina. “Literatur Hadis Qudsi di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2017.
Rodiana, Yuyun. Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Sumbangannya
Terhadap Islam. Jakarta: tp, 1990.
Rudiyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari
Klasik sampai Modern. Bandung: pustaka Setia, 2004.
Sāliḥ, Subhi. Ulūm al-Ḥadīts wa Muṣṭalaḥuhu. Beirut: Dār al-„Ilm Lil Malāyīn,
1877. Terj, Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
Saleh, Putuhena M. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKis Pelangi
aksara, 2007.
Samsukadi, Mochammad. “Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren. Religi”:
Jurnal Studi Islam, V. 6, Nomor 1, April 2015.
Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
117
--------. Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
Suryadilaga, Alfatih. Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.
Kalimedia: Jogjakarta, 2017.
Syamsu, Muhammad. Ulama Pembaharu Islam di Indonesia dan Sekitarnya.
Jakarta: lentera, 1999.
Syuhudi, Ismail, M. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma‘āni
al-Ḥadīts Tentang Ajaran Nabi yang Universal, Temporal dan Lokal.
Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
Tarmasi, Mahfūẓ. Al-Khil’ah al-Fikriyyah. Kementrian Agama RI, 2008.
--------. Manhaj Dzawi al-Naẓar. Makkah: Dār al-Fikr, 1981.
Tim Majalah Nabawi. Cara Cermat Mengamalkan Hadis. Tangerang Selatan:
Maktabah Darussunnah, 2016.
Tim Penulis, Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Delta Pamungkas, 2004.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van, 2005.
Wulandari, “Analisis Pungtuasi dalam Terjemahan Buku Naṣāiḥ al-Ibād karya
Syaikh Nawawi al-Bantani.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ya‟qub, Ali Mustafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2016.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz; Makkah dan
Madinah 1800-1925. Jakarta: Logos, 1999.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996.