tahun suram petani tebu

11
Tahun Suram Petani Tebu Oleh: Fajar Riadi Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected] Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Upload: pindai-media

Post on 31-Jul-2015

55 views

Category:

News & Politics


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tahun Suram Petani Tebu

Tahun Suram Petani Tebu

Oleh:

Fajar Riadi

Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]

Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org

Page 2: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 2 | 11

Tahun Suram Petani Tebu

Oleh : Fajar Riadi

Skema dana talangan mandeg saat harga gula merugikan petani.

SELASA sore, 7 Oktober 2014, dua minggu sebelum dilantik sebagai presiden, Joko Widodo

menyambangi ribuan petani tebu di Jember, Jawa Timur. Berdiri di atas panggung di halaman rumah Arum

Sabil, ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, Jokowi mendengar keluh kesah petani tebu yang

datang dari pelbagai daerah.

“Petani tebu untuk tahun 2014 ini sangat terpuruk sekali. Sekarang gula tidak laku. DO-nya sudah tiga

bulan tidak dibayar,” tuntut Rupi’ah asal Jember. DO kependekan ‘delivery order’, istilah untuk bukti

penyetoran tebu petani ke pabrik gula sekaligus berkas tagihan.

“Sebentar... Sebentar... Apa sebabnya?” tanya Jokowi.

“Sebabnya, gula dari luar sudah terlalu banyak. Kami minta kepastian. Petani mohon dibantu, dipikirkan.

Subsidi sekiranya bisa diberikan.”

Rupi’ah menuntut pemerintahan Jokowi segera mengucurkan subsidi Rp 5 juta/ hektar. Uang itu untuk

menambal kerugian para petani tahun 2014 sekaligus modal menanam tebu musim depan.

Tuntutan Rupi’ah mewakili kondisi harga gula lokal sepanjang 2014 yang anjlok ketimbang tahun

sebelumnya.

Jika melihat masa kemarau tahun ini yang cukup panjang, mestinya tebu-tebu yang ditanam para petani

akan memiliki rendemen tinggi. Menilik harga tebu pada 2012 dan 2013, harga lelang gula yang relatif

mahal juga menguntungkan petani.

Pada 2012 harga rata-rata gula Rp 9.700/kg, bahkan dalam beberapa kali lelang bisa lebih dari Rp 10 ribu.

Tahun berikutnya berkisar Rp 9.300. Tapi masih di atas harga yang ditetapkan pemerintah, biasa disebut

Harga Patokan Petani, sebesar Rp 8.100. Sementara pada 2014 harga lelang gula selalu di bawah Rp 8.300.

Bahkan pada Desember 2014, banyak gula cuma dihargai Rp 7.500.

Rendahnya harga lelang gula membuat para pedagang besar yang selama ini jadi pelanggan sungkan

memborong gula. Lantaran tak kunjung laku, pabrik-pabrik berdalih kesulitan membayar tebu petani.

Page 3: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 3 | 11

Sukandar, petani asal Bululawang, Malang, misalnya. Ketika ditemui di ladang miliknya, ia berkata tahun

ini mengalami kerugian paling besar selama pengalamannya bertani lebih dari 20 tahun terakhir.

“Ini panen terakhir. Putus asa saya. Rencananya mau saya bongkar semua. Mau saya tanami kayu atau padi

saja. Bingung saya. Kadung biaya banyak, utang banyak, uang enggak keluar-keluar dari pabrik. Pokoknya

tahun ini merugi sekali,” katanya.

Tahun lalu, dari tebu sebanyak 5 truk yang disetor ke pabrik gula, Sukandar mendapat ± Rp 30 juta. Tahun

2014 saat setoran tebunya naik menjadi 7 truk, ia hanya mendapat Rp 13 juta.

Padahal beban biaya sewa lahan yang ia tanggung setiap dua tahun sekali bisa sampai Rp 25 juta/ hektar.

Biaya pemeliharaan tanaman bisa sekitar Rp 12 juta/ hektar.

Kedaaan serupa terjadi di Kediri, salah satu kabupaten sentra tebu di Jawa Timur. Pada Oktober 2014,

tanaman tebu di sejumlah ladang di kecamatan Kandat misalnya, dibiarkan mengering hingga batang-

batang tebu ambruk, justru sewaktu siap panen.

Siti Badriyah, petani asal Ngletih, ikut resah mendengar kabar pencairan duit tebu yang seret dari pabrik

gula. Berkas tagihan milik rekannya, banyak yang belum ditebus pabrik sampai lebih dari sebulan.

Tak ingin ikut-ikutan antre menunggu jadwal pencairan duit yang tak menentu itu, Badriyah memilih

memasok tebu-tebu miliknya ke pabrik pengolahan gula merah di dekat rumah.

“Enggak ngatasi kalau ke pabrik (gula putih). Daripada kering, lebih baik cepat diolah. Hasilnya enggak

banyak. Tapi, kan, saya enggak terlalu rugi. Bisa cepet jadi duit. Ada wujudnya,” katanya.

Kehadiran pabrik gula merah memang jadi pilihan bagi petani tebu selain pabrik gula (kristal) putih. Jika

harga gula anjlok, pabrik gula merah bersaing membeli tebu petani.

Namun petani tetap rugi. Pabrik gula merah hanyalah usaha skala kecil-menengah, yang belum bisa

memberi bagi hasil selayaknya pabrik gula putih.

Situasi lebih suram menghantui para petani tebu di lingkungan PT Perkebunan Nusantara XI.

Budi Susilo, petani asal Lumajang, berkata uang hasil penjualan tebunya sejak tiga bulan terakhir di

pengujung 2014 belum juga dibayar.

“Ada sekitar Rp 300 jutaan. Seharusnya ada yang menalangi. Tapi tahun ini uang tebu susah cairnya,”

tuntutnya.

PTPN XI menaungi 16 pabrik gula; semuanya di Jawa Timur. Para petani diwakili Asosiasi Petani Tebu

Rakyat Indonesia, sementara pabrik gula di bawah koordinasi PTPN XI. Keduanya menjalin kerjasama

berupa pemberian dana talangan. PTPN XI akan mengucurkan dana talangan ke petani jika harga gula

Page 4: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 4 | 11

pabrik di bawah harga gula yang dipatok pemerintah. Tujuannya supaya petani tak merugi meski harga gula

dalam titik paling murah.

“Setahu saya yang namanya dana talangan itu ada. Tapi sekarang ini pas harganya anjlok pol, kok malah

enggak ada. Mestinya kalau pabrik enggak bisa nalangi, ya pemerintah cawe-cawe nalangi,” kata Susilo.

Hampir di semua pabrik, tak terkecuali milik PTPN XI, harga lelang gula pada musim giling kali ini selalu

di bawah harga patokan pemerintah, yakni Rp 8.500/kg.

Pada Oktober 2014, harga lelang gula di lingkungan PTPN XI seperti Perkebunan Gula Prajekan,

Bondowoso, sebesar Rp 7.900. Sementara harga di PG Jatiroto, Lumajang, hanya Rp 7.555.

Sebelumnya, pada 15 Agustus 2014, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia sudah mengirim surat kepada

pihak PTPN XI, mendesak perusahaan plat merah itu lekas menyalurkan dana talangan. Tapi permintaan

ini diabaikan.

Melalui surat balasan kepada ketua Asosiasi Petani Tebu, 8 September 2014, direktur utama PTPN XI

berkata perusahaan “mengalami kesulitan keuangan yang serius.”

Ketiadaan investor yang tertarik membeli gula diakui PTPN XI telah memperburuk kondisi keuangannya,

hingga sulit menyalurkan dana talangan. Imbasnya, skema dana talangan berhenti.

Sekretaris PTPN XI Muhammad Khoiri mengatakan persoalan dana talangan “telah clear.” Menurutnya,

dana talangan bukanlah kewajiban PTPN XI sebagaimana selama ini dituntut para kelompok tani.

“Tahun 2012 sampai sekarang PTPN XI tidak ditunjuk sebagai pemegang IT (Importir Terdaftar) gula oleh

pemerintah, sehingga tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan dana talangan,” ujar Khoiri.

Kalaupun pada 2012 dan 2013 PTPN XI masih menyalurkan, menurutnya, itu semata dijalankan untuk

mempertahankan hubungan kemitraan antara perusahaan dan petani.

“Sekaligus mempertahankan pasokan tebu rakyat. Juga supaya petani tetap berminat menanam tebu,” kata

Khoiri.

SAAT krisis ekonomi menghantam Asia Tenggara dan merembet ke Indonesia, di ujung kekuasannya,

Soeharto setuju menerima bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan menuruti pelbagai

kebijakan. Melalui Nota Kesepahaman 15 Januari 1998, IMF mendesak sistem ekonomi Indonesia lebih

dekat ke pasar bebas dengan melakukan pembaharuan mendasar soal hubungan antara negara dan pasar.

Page 5: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 5 | 11

Industri gula Indonesia tak ketinggalan kena imbas. Urusan dagang gula mesti dideregulasi alias dirombak

supaya pemerintah tak banyak ikut ambil wewenang.

Alasan-alasan IMF, industri gula Indonesia adalah industri yang paling banyak diatur. Pabrik gula dan para

petani tebu dianggap terlalu dilindungi negara lewat subsidi pabrik dan petani. IMF menganggap

perlindungan negara meninabobokan industri gula dan justru menjadi pangkal tak sanggup bersaing dengan

industri gula di luar negeri.

IMF juga menilai, kebijakan menggelontorkan subsidi kepada industri gula kelewat boros. Demi

penghematan, subsidi mesti dicabut. Alasan lain, wewenang pemerintah menarik ongkos masuk gula dari

luar negeri diduga menyebabkan harga gula di dalam negeri jadi mahal. IMF menyarankan ongkos masuk

ini ditiadakan alias nol persen. Anggapannya, kalau pedagang dari luar negeri tidak dikenai tarif, pedagang

bisa berhemat dan harga gula di pasar bisa ditekan lebih murah.

Nalar IMF rupanya dianggap masuk akal belaka oleh pemerintah. Pada Februari 1998, kewenangan Badan

Urusan Logistik (Bulog) mengendalikan pemasaran gula dicabut.

Sebelum campur tangan IMF, tataniaga gula diatur Bulog. Gula dari petani dan pabrik dibeli Bulog, lantas

dijual kepada grosir dengan harga patokan pemerintah. Namun, lewat skenario IMF itu, harga gula

sepenuhnya manut aturan para pedagang.

Bulog yang semula punya wewenang mengatur urusan dagang bahan-bahan pokok, dipangkas hanya

mengatur ekspor beras. Sebagai ganti tugas Bulog, pemerintah membuka jalan kepada 146 pengusaha

swasta mengimpor gula.

Pabrik-pabrik gula di negara maju, karena unggul teknologi, sanggup membikin gula dalam jumlah besar

tapi dengan ongkos murah. Harga gula yang rendah di pasar dunia lantas mendorong masuknya gula impor

ke Indonesia. Sementara di dalam negeri, biaya mengolah tebu oleh pabrik tentu kelewat mahal tanpa

suntikan subsidi. Tak ayal harga gula petani lokal kalah bersaing.

Kelanjutannya adalah sejarah muram. Cuma butuh setahun sejak keran impor dibuka, pada 1999, tak kurang

dari 55% kebutuhan gula nasional saat itu 3,4 juta ton dipenuhi dari asing. Inilah periode impor gula terbesar

dalam sejarah Indonesia dari masa-masa sebelumnya.

Menyadari timbunan gula impor merugikan industri gula lokal, Kementerian Perindustrian dan

Perdagangan merilis peraturan nomor 527 tahun 2004, dengan menetapkan importir gula sebagai importir

terdaftar (IT). Syaratnya, izin impor hanya diberikan kepada perusahaan gula yang 75% bahan baku tebu

dipasok dari petani. Logikanya, kalau pabrik-pabrik gula mengolah sebagian besar bahan bakunya dari tebu

rakyat, tentu hasil panen petani laku setiap tahun.

Page 6: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 6 | 11

Dari aturan baru itu, PTPN XI bersama investor didesak menyerap gula petani pada masa-masa panen dan

diedarkan ke pasar secara bertahap sesuai permintaan.

Kementerian Pertanian menetapkan bagi hasil harga gula. Kalau harga gula di bawah harga yang dipatok

pemerintah, PTPN XI dan investor wajib membayar selisihnya kepada petani. Tapi kalau harga jual gula

lebih mahal dibanding yang dipatok pemerintah, selisih keuntungan itu dibagi antara petani dan investor.

Contohnya, kalau harga patokan pemerintah ditetapkan Rp 8.500/kg sementara harga lelang mencapai Rp

9.000, keuntungan Rp 500/kg dibagi kepada petani dan pedagang. Petani mendapat bagian sekurang-

kurangnya 60%, sisanya diterima pedagang. Tapi kalau harga lelang justru lebih rendah, PTPN XI wajib

memberi dana talangan sebagai bentuk ganti rugi.

Namun, aturan bagi hasil itu hanya berjalan sampai 2011.

Para petani menilai, saat harga gula tinggi, bagian 60% terlalu sedikit, bila melihat bagian 40% untuk

pedagang yang tak perlu repot mengurus ladang. Ekornya, banyak petani pada 2011 tak mengirimkan tebu

ke pabrik milik PTPN XI.

Kondisi tataniaga gula pada 2012 dan 2013 relatif lancar sebab harga lelang gula hampir selalu di atas harga

patokan pemerintah. Gula petani dapat terserap oleh pasar, aliran dana PTPN XI berjalan baik, dan dana

talangan mengalir kepada petani.

“Tapi pada 2014 keadaannya lain,” ujar Muhammad Khoiri, sekretaris PTPN XI. “Perusahaan tidak mampu

jika memberikan dana talangan harga gula petani sebesar Rp 8.500/kg karena pihak perbankan hanya dapat

mengucurkan dana talangan sesuai terjualnya gula petani.”

Kesal kepada PTPN XI, pada 22 September 2014, ribuan petani dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia

berdemonstrasi di dewan legislatif Jawa Timur di Jalan Indrapura Surabaya, lantas menuju PTPN XI di

Jalan Merak nomer 1. Mereka menuntut pengucuran dana talangan serta pengunduran diri direktur utama

PTPN XI.

Menurut Arum Sabil, ketua Asosiasi Petani Tebu, dalih PTPN XI melepas tanggungjawab atas dana

talangan dianggap “mengada-ada dan upaya cuci tangan” atas nasib petani yang tengah terpuruk. Ia

menyebut tindakan PTPN XI sudah melanggar peraturan 527 tahun 2004.

“Bisa saja PTPN XI mengatakan sudah tidak terdaftar sebagai importir terdaftar. Tapi soal izin menjadi

penyangga dana talangan tidak begitu saja hilang. Karena bagi petani, selama aturan nomor 527 tidak

dicabut, tanggungjawab PTPN XI itu tidak serta-merta hilang.”

Arum menilai, aturan main yang tercantum dalam peraturan nomor 527 tahun 2004 itu penting dalam

melindungi pergulaan lokal. Selain mengatur dana talangan petani, status importir terdaftar yang disandang

Page 7: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 7 | 11

PTPN XI dinilai menguatkan perusahaan negara itu untuk berani menolak gula impor jika kondisi gula di

dalam negeri tengah jenuh. Sebaliknya, lewat aturan itu pula, PTPN bisa mengimpor gula jika pasaran

dalam negeri tengah kekurangan.

“Sebagai IT, mestinya PTP itu untung. Mereka tahu data berapa hasil gula. Kalau produksi banyak, mereka

boleh usul pemerintah, impornya setop dulu. Kalau produksi sedikit, usul impor dinaikkan. Ini, kok, malah

seneng dianggap enggak jadi IT?” ujarnya.

Tanpa memberi talangan, ibaratnya perusahaan cuma bertugas mengolah tebu menjadi gula. Soal berapa

harga lelang gula, itu jadi urusan petani saat tawar-menawar langsung dengan pedagang.

Arum menolak skenario tataniaga yang mempertemukan langsung antara petani dan investor sebagaimana

digagas pihak PTPN. Menurutnya, itu berpeluang bikin lemah posisi petani di hadapan pedagang.

“Sebab tidak semua petani tahu track-record pedagang itu baik atau tidak. Dan tidak jelas juga jaring

pengaman ketika petani dirugikan,” ujarnya.

ARIFIN, petani tebu asal Balongbendo, Sidoarjo, mengatakan “mesti memutar otak” untuk menekan biaya

merawat kebun tebu pada 2014. Selain biaya sewa lahan yang terus naik, biaya membeli pupuk dan

mengupah buruh terus melambung. Padahal harga gula sedang anjlok.

Tak ingin rugi banyak, ia memangkas sejumlah pekerjaan yang menyedot banyak uang.

“Memupuk yang biasanya tiga kali bisa cuma dua kali. Malah ada temen yang cuma sekali. Mau bagaimana

lagi? Demi penghematan.”

Sebagai petani tebu lebih dari 20 tahun, Arifin memahami kebun tebu butuh banyak pupuk. Memangkas

alokasi pupuk tentu bikin mutu tebu jeblok

“Orang pabrik juga bilang ke saya, ‘Kalau begini tebunya jadi enggak bagus’ dan lain-lain. Tapi saya jawab

juga, ‘Kalau di kebun, petani yang paling paham.’ Petani mikirnya bukan cuma mau dapat panen bagus.

Tapi juga enggak rugi-rugi amatlah,” katanya.

Arifin bukan satu-satunya petani tebu yang sengaja menggarap tebu serampangan. Lantaran beban biaya

bertani makin mahal, banyak petani melakukan hal serupa. Sudah dipupuk pun rendemen masih jeblok.

Apalagi tidak.

Page 8: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 8 | 11

Rendemen ialah kadar kandungan gula dalam batang tebu, dihitung lewat bilangan persen. Jika rendemen

tebu 10%, artinya dari 100 kg tebu yang digiling pabrik gula, akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.

Rendemen tebu di setiap perkebunan tentu berbeda. Tebu-tebu yang ditanam di lahan sawah biasanya

mengandung rendemen lebih tinggi daripada tebu yang ditanam di lahan kering. Menurut Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia di Pasuruan, cuaca yang bagus sepanjang 2014 memungkinkan rendemen tebu

di Jawa Timur rata-rata 8%. Bandingkan pada tahun 2013 hanya sebesar 7,2%.

Tapi rendemen tebu lokal masih kalah jauh dibanding tebu Thailand, negara yang ajek memasok gulanya

ke Indonesia. Rendemen tebu di Thailand bisa diatas 10%. Buruknya rendemen memojokkan petani yang

kerap dianggap tak becus menanam tebu sehingga produksi gula lokal tak kunjung baik.

Menurut data Dewan Gula Indonesia, saat ini ada 456 ribu hektar lahan tebu swasta dan rakyat. Sementara

kebutuhan gula pada 2014 diperkirakan sejumlah 5,9 juta ton. Pemerintah menargetkan produksi gula dalam

negeri mencapai 2,9 juta ton. Tapi produksi riil di lapangan ditaksir cuma menyentuh 2,4 juta-2,5 juta ton.

Soemitro Samadikoen, ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia,

mengatakan tak ada cara lain untuk membereskan soal gula selain menyelesaikan persoalan tataniaga lebih

dulu. “Saya setuju soal target luasan kebun diperluas atau rendemen mesti naik. Tapi kalau ujung-ujungnya

harganya dimainin, kan, sama saja,” ujarnya.

Justru kalau soal harga dibereskan dulu, kata Samadikoen, petani punya patokan apakah musim berikutnya

masih akan menanam tebu. Dengan harga yang rendah seperti sekarang, ia tak merasa heran jika musim

depan luasan lahan tebu tak akan bertambah. Bisa jadi malah berkurang.

Ia mengatakan, jenuhnya gula di pasaran saat ini berpangkal pada jumlah gula impor rafinasi yang

berlebihan. Sejak akhir 2013, mestinya pemerintah sudah bisa menaksir jumlah gula yang akan meningkat

pada 2014.

“Nyatanya pada era Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, justru impor gula digenjot. Saya masih ingat

hitungannya, dia sampai impor 2,2 juta ton. Apa nggak luar biasa banyak?” kata Samadikoen.

Tak ada salahnya mengimpor gula. Jumlah kebutuhan gula dalam negeri memang tak bisa dipenuhi pabrik-

pabrik seantero Indonesia. Masalahnya, setiap tahun selalu ada keributan soal merembesnya gula rafinasi

impor ke pasaran umum.

Gula rafinasi memang berbeda dibanding gula putih lokal. Gula jenis ini adalah hasil pemurnian dari gula

mentah (raw sugar) dan hanya untuk kebutuhan pabrik makanan dan minuman serta farmasi. Sesuai aturan,

gula rafinasi juga dilarang diecer ke pasar-pasar.

Page 9: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 9 | 11

Tapi harga gula mentah di pasaran dunia jauh lebih murah dibanding gula putih lokal. Lantaran harganya

miring, banyak importir nakal mengalirkan ke pasaran umum dan menyelundupkan ke wilayah-wilayah

Indonesia, khususnya yang jauh dari pabrik gula.

Samadikoen berujar, selepas era menteri Gita, impor sedikit bisa direm lantaran penggantinya, Muhammad

Lutfi, dinilai “kerap membuka komunikasi dengan petani.” Ia mencatat selama 10 bulan menjabat, Lutfi

“hanya” mengimpor 512 ribu ton gula rafinasi.

“Untunglah itu sudah enggak ditambah lagi. Tapi keran impor sebelumnya sudah terlalu berlebih. Tumpah-

tumpah. Masak sampai 2,8 juta ton lebih? Padahal kita butuh paling-paling 2 juta saja,” ujarnya.

HARGA Pokok Petani oleh pemerintah, atau lebih mudah disebut harga gula patokan pemerintah, selama

ini digodok oleh Dewan Gula Indonesia kemudian ditentukan oleh kementerian perdagangan. Salah satu

taksiran menentukan harga itu lewat nilai biaya pokok produksi. Artinya, biaya petani mengolah ladang

selama semusim. Dari biaya itu diolah dengan beban harga lain, misalnya kenaikan biaya pupuk dan biaya

upah buruh. Hasilnya harga patokan pemerintah.

Soemitro Samadikoen yang juga anggota Dewan Gula, mengatakan sempat mengusulkan pada Maret 2014

silam, harga patokan pemerintah untuk tahun 2014 naik 31,6% dari Rp 8.100 tahun 2013 atau berkisar Rp

10.664/kg.

“Waktu itu saya usulkan dengan asumsi rendemen tebu 7 persen,” katanya.

Ia berpendapat, gula layak dihargai 1,5 kali harga beras—sebuah skema yang pernah diterapkan

pemerintahan Orde Baru. Bila harga beras termurah Rp 6.500/ kg, idealnya harga gula sekira Rp 9.800/ kg.

Dewan Gula menilai harga jual gula yang paling layak bagi kalangan petani maupun pabrikan sekira Rp

9.500/kg. Klaimnya, biaya mengolah gula sekitar Rp 8.740/ kg.

Namun usulan Dewan Gula Indonesia mentok begitu sampai ke meja menteri perdagangan. Muhammad

Lutfi mematok harga gula Rp 8.250, yang diubah lagi menjadi Rp 8.500. Alasannya, harga gula dunia di

gudang Indonesia hanya Rp 7.880/ kg. Ia menilai, usulan harga itu terlalu besar dan membebani masyarakat.

Lewat asumsi pangan murah untuk rakyat, harga gula mesti dikendalikan sekecil mungkin.

Sementara gula rafinasi terus merembes ke pasar-pasar, gula putih lokal “tertahan” di gudang-gudang

pabrik.

Page 10: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 10 | 11

Pabrik, juga petani, ragu-ragu menerima tawaran lelang dari pedagang yang kelewat murah. Tapi makin

ditahan, kebutuhan gula untuk masyarakat justru akan terus dipenuhi rafinasi. Tak heran jika importir gula

rafinasi terus dijatah.

Perkembangan dramatis terjadi di bawah pemerintahan Jokowi. Lewat peraturan presiden nomor 176,

hanya tujuh pekan sejak menjabat sebagai presiden, pada awal Desember 2014, Jokowi membubarkan 10

lembaga nonstruktural termasuk Dewan Gula Indonesia yang tugas-tugasnya dialihkan ke Kementerian

Pertanian. Alasannya, Dewan Gula “tidak efektif mengelola persoalan gula.”

Menteri Perdagangan pemerintahan Jokowi, Rachmat Gobel menawarkan solusi. Ia berencana menerapkan

ketentuan yang mewajibkan 11 pabrik gula rafinasi memiliki kebun tebu sendiri supaya tidak terus-menerus

mengandalkan impor gula mentah.

Masalahnya terbentur pada lahan yang terbatas. Jangankan membuka lahan tebu baru. Jika petani enggan

menanam tebu lantaran merugi terus, yang ada justru jatah tebu untuk pabrik gula putih makin menipis.

Di Mojokerto misalnya, telah berdiri pabrik gula baru milik swasta dengan kapasitas yang tergolong besar:

10 ribu ton tebu/ hari. Pabrik gula yang sanggup memproduksi gula rafinasi ini diperkirakan mulai

beroperasi pada 2015.

“Masalahnya selama ini petani-petani di sekitaran situ (Lamongan) langganan ngirim tebu ke pabrik-pabrik

gula putih biasa, ke kabupaten sebelah. Kalau benar pabrik baru itu bikin rafinasi, kan sama saja nyuruh

pabrik gula dan pabrik rafinasi rebutan tebu petani,” ujar Mohammad Cholidi, staf sekretaris PTPN X yang

menaungi 11 pabrik gula di Jawa Timur.

Cholidi beranggapan, membiarkan pabrik gula lokal beradu dengan pabrik baru yang berteknologi lebih

canggih sama saja membiarkan pabrik gula pemerintah kalah. Padahal selama ini pemerintah gembar-

gembor memprogram revitalisasi alias memperbaiki pabrik.

Tanpa lebih dulu memperbaiki pabrik-pabrik yang sudah ada, ia mengatakan akan selalu ada potensi pabrik

gula rafinasi menyedot impor gula mentah berlebihan. Makin banyak impor rafinasi, menurutnya, PTPN

akan punya dalih untuk membebaskan harga gula ditentukan sendiri oleh petani dan pedagang.

“Kalau pabrik gula rafinasi terus dijatah impor, memang lebih enak tanam tebu di pelabuhan daripada di

kebun,” ujar Cholidi.

Para petani tetap menunggu janji Presiden Jokowi. Saat bertemu para petani di Jember, Jokowi mengatakan

lebih memihak petani, “Kalau memang merugikan petani, dan gula di Indonesia cukup, gampang saja, kita

setop impor gula.”

Page 11: Tahun Suram Petani Tebu

PINDAI.ORG – Tahun Suram Petani Tebu / 21 Januari 2015

H a l a m a n 11 | 11

Hingga akhir 2014, sebagian besar pabrik gula tutup giling, dan harga gula belum kunjung terkerek.

Bahkan, makin jarang menyentuh Rp 8.000/kg.

Minggu ketiga Desember 2014, saat menghubungi pihak PTPN XI, mereka sempat membocorkan angka,

“Untuk pelelangan tidak dilakukan pabrik. Jadi lelang dilakukan petani dan mereka punya tim lelang

sendiri. Tapi sebagai informasi, di wilayah PTPN XI penawaran sekitar 7.500 untuk yang terbaru.”

Sementara itu sejumlah petani mulai menipis harapannya.

Arifin, petani dari Sidoarjo, mengatakan kepada saya, separuh ladang tebunya seluas 4 hektar sudah dijual

lantaran tak ingin merugi banyak. Awal Desember 2014, saat saya melintasi ladang-ladang milik Sukandar

di Malang, tak ada lagi tanaman tebu. Seperti yang ia katakan sebelumnya, semua sudah ditanami pohon

sengon.*

---------

Fajar Riadi. Penulis lepas. Pernah menulis untuk media online di Jakarta, namun kembali ke Malang, Jawa

Timur. Konsentrasi liputan pada isu ekonomi-politik pertanian. Blog: http://fajarriadi.com/. Twitter:

@fajarriadi