kalkulasi tani tebu

Upload: qnoyew

Post on 17-Jul-2015

898 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Sri Nuryanti

USAHATANI TEBU PADA LAHAN SAWAH DAN TEGALAN DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH

AbstrakPenelitian ini merupakan suatu usaha untuk mengkaji aspek finansial, yaitu biaya dan pendapatan usahatani tebu dengan variasi jenis lahan, luas garapan, dan pola tanam. Analisa komparatif dilakukan terhadap biaya dan pendapatan usahatani tebu antara sawah dan tegalan, luas garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola tanam tanam awal dan keprasan. Sampel ditentukan secara sengaja menurut lokasi jenis lahan (Bantul untuk sawah dan Klaten untuk tegalan). Disimpulkan bahwa usahatani tebu di lahan sawah lebih lebih menguntungkan diusahakan pada luasan lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal. Sebaliknya di tegalan lebih menguntungkan pada lahan kurang dari satu hektar dengan pola keprasan. Implikasinya, acceleration program akan berhasil apabila diterapkan secara luas dengan pola tanam awal pada lahan sawah. Kata kunci: Tebu, sawah, tegalan, biaya, pendapatan.

Abstract This study was an investigation on financial aspect (cost and benefit) of sugar cane farming within land type using, holding size, and cultivation method variations. Comparative analysis was conducted on cost and benefit between wet and dry field, less and more than a hectare area, and plant cane and ratoon cultivation method. Purposive sampling was performed regarding to field type site (wet field at Bantul and dry field at Klaten). It was concluded that, sugar cane farming in wet field was more feasible done extensively by plant cane method. On the other hand, it was more feasible done on leass than a hectare area by ratoon method. The result implied that acceleration program supposed to be done on large wet field area by plant cane method. Key words: Sugar cane, wet field, dry field, benefit, cost.

PENDAHULUANKemerosotan produktivitas tanaman tebu/gula yang dialami sejak pemberlakuan Inpres nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat Intensifikasi masih terasa dampaknya sampai saat ini. Tidak

terpenuhinya kebutuhan bahan baku dan berujung pada ditutupnya sepuluh pabrik gula (PG) di Jawa merupakan salah satu bukti nyata bahwa penurunan produktivitas masih tersebut terus berlangsung. Kebijakan baru di sektor usahatani tebu di lahan kering belum sepenuhnya menunjukkan keberhasilan meningkatkan produktivitas tebu/gula. Pencanangan program akselerasi peningkatan produktivitas industri dula nasional dengan rencana kenaikan gula dari 1.8 juta ton tahun 2002 menjadi 3 juta ton pada tahun 2007, kenaikan areal tebu dari 346 000 hektar menjadi 380 000 hektar, dan kenaikan produktivitas gula dari 5 ton menjadi 8 ton tentunya memerlukan angka-angka akurat disertai skenario pencapaian yang layak (Mubyarto, 2003). Berbagai penelitian terhadap komoditas tebu maupun gula sudah banyak dilakukan, mengingat gula merupakan komoditas strategis dan sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia . Dikatakan demikian karena setiap intervensi pemerintah dalam rangka mengembangkan industri gula perlu diikuti oleh campur tangan pemerintah pada pengembangan usahatani tebu dengan mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam pengembangan usahatani tersebut. Harapannya pendapatan petani dan kesempatan kerja yang diciptakan dengan adanya pengembangan industri gula lebih merata dinikmati oleh petani (Simatupang, 1999). Kajian usahatani tebu yang telah dilakukan antara lain oleh Rahmat (1992) yang mendeskripsikan profil tebu rakyat di Jawa Timur secara umum bahwa tebu telah diterima petani sebagai komoditas yang memberi harapan sumber pendapatan rumah tangga. Usahatani tebu rakyat cenderung ekstensif dan petani cenderung untuk melakukan pengeprasan secara berulang. Seiring program akselerasi, kelayakan usahatani tebu masih harus terus dikahi guna meyakinkan petani bahwa usahatani tebu masih dapat diharapkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kelayakan finansial usahatani dengan cara membandingkan variasi usahatani tebu. Variasi tersebut antara lain lahan beririgasi (sawah) dan bukan irigasi (tegalan), luas garapan sempit (kurang dari satu hektar) dan luas (lebih dari satu hektar), serta pola tanam (tanam awal dan keprasan).

METODOLOGI PENELITIANLokasi dan Responden

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan perbedaan karakteristik jenis lahan, yaitu lahan beririgasi (sawah) terletak di Kabupaten Bantul DI Yogyakarta dan lahan tidak beririgasi (tegalan) terletak di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Berdasarkan jenis lahan, sampel dibedakan menurut pola tanam, yaitu tanam awal dan keprasan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data biaya dan pendapatan usahatani dikumpulkan melalui wawancara dengan acuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuesioner). B. Metode Analisa

Data usahatani tebu yang diperoleh dikelompokkan menurut jenis lahan asal responden. Berdasarkan jenis lahan, dibedakan menurut pola tanamnya. Selain perbedaan pola tanam secara agregat dibandingkan skala usahatani tebu menurut luas garapan. Analisa usahatani dilakukan untuk melihat tingkat pendapatan petani, dan pengeluaran biaya produksi, sehingga dapat dihitung rasio pendapatan terhadap biaya (B/C ratio) untuk menentukan kelayakan usahatani tebu yang secara matematis dirumuskan:

dan B/C = dengan : keuntungan, X: jumlah input produksi, Y: jumlah produksi, Px: harga input produksi, dan Py: harga produksi. Usahatani dikatakan layak apabila nilai B/C ratio lebih besar dari satu.

HASIL DAN PEMBAHASANSawah vs Tegalan

Menurut jenis lahan yang diusahakan untuk tebu secara agregat dihitung biaya dan pendapatan petani di kedua wilayah penelitian (Tabel 1). Petani yang mengusahakan tebu di lahan sawah mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Biaya saprodi usahatani tebu di lahan sawah rata-rata mencapai Rp 2 juta/ha (23.1% dari total biaya), sementara untuk tegalan rata-rata mencapai Rp 1.3 juta/ha (24.4% dari total biaya). Biaya saprodi meliputi pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Pengeluaran biaya tenaga kerja untuk lahan sawah juga relatif lebih tinggi daripada untuk tegalan, yaitu Rp 5.5 juta/ha (63.5% dari total biaya) dibandingkan Rp 3.2 juta/ha (58.5% dari total biaya). Alokasi terbesar pada biaya saprodi untuk tegalan adalah biaya pembelian pupuk urea. Petani menggunakan urea agar tanaman menjadi subur, sehingga menambah berat tebu. Sementara untuk biaya tenaga kerja pada lahan sawah yang memerlukan alokasi lebih besar daripada tegalan antara lain untuk biaya irigasi. Petani umumnya mengairi tanaman tebu di lahan sawah sedikitnya dua kali. Tegalan menunjukkan alokasi biaya biaya lain-lain 17.2% dari total biaya. Sebanyak 16.6% dari total biaya merupakan proporsi biaya sewa lahan. Tabel 1. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu di Lahan Sawah (DI Yogyakarta) dan Tegalan (Jawa Tengah), 2003 Uraian A Biaya Sawah (n = 26) Nilai % (Rp/Ha) Tegalan (n = 22) Nilai % (Rp/Ha)

Saprodi Tenaga Kerja Lain-lain TOTAL B Pendapatan C Keuntungan B/C Ratio

1.990.717 5.462.851 1.148.013 8.601.581 15.431.515 6.829.934 1,794032

23,1 63,5 13,3 100 79,4

1.323.003 3.172.643 931.348 5.426.992 10.829.137 5.402.145 1,995422

24,4 58,5 17,2 100 99,5

Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: rendemen sawah 6,05 dan rendemen tegalan 6,1

Sementara pada lahan sawah biaya sewa lahan sebesar 12.7% dari total biaya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa tebu lebih banyak diusahakan petani penyewa lahan. Sementara dengan melihat perbandingan alokasi biaya, tersirat bahwa biaya sewa lahan sawah lebih mahal daripada tegalan, sehingga lebih sedikit proporsi petani yang menyewa sawah daripada tegalan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di tegalan lebih besar (1,995422) dibandingkan di lahan sawah, yaitu sebesar 1,794032. Artinya usahatani tebu di tegalan lebih menguntungkan dibandingkan di lahan sawah.Tanam Awal vs Keprasan

Tebu yang diusahakan di Yogyakarta meliputi dua pola tanam, yaitu tanam awal dan keprasan. Pola keprasan lebih banyak dilakukan di wilayah Yogyakarta . Karena usahatani tebu di lahan sawah dengan pola tersebut masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola tanam awal (Tabel 2). Selain alasan mahalnya biaya bibit untuk pola tanam awal, biaya yang harus dikeluarkan untuk upah tenaga kerja selama budidaya tebu juga lebih besar. Biaya saprodi pada pola tanam awal mencapai 28.5% dari total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 22.4% dari total biaya. Perbedaan pengeluaran yang cukup besar terjadi pada biaya upah tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk pola tanam awal mencapai 70.6% dari total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 56.3% dari total biaya. Karena pada pola tanam awal diperlukan biaya penanaman untuk budidaya, sementara pada pola keprasan cukup melakukan penggantian pada tanaman yang mati (penyulaman). Tanaman yang baru tumbuh memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif, sehingga kegiatan penyiangan juga harus lebih intensif dilakukan pada tanam awal. Karena pola keprasan lebih menguntungkan, maka pola ini lebih dipilih petani di lahan sawah, meskipun lahan yang diusahakan diperoleh dengan cara menyewa (pengeluaran sewa lahan 20.9% dari total biaya). Artinya, dengan cara sewa pun usahatani tebu masih menguntungkan kalau dilakukan dengan pola keprasan. Tabel 2. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Lahan Sawah (Bantul, DI Yogyakarta), 2003.

Uraian A Biaya Saprodi Tenaga Kerja Lain-lain TOTAL B Pendapatan C Keuntungan B/C Ratio

Tanam Awal (n = 10) Keprasan (n = 16) Nilai % Nilai % (Rp/Ha) (Rp/Ha) 2.823.130 28,5 6.992.501 70,6 87.119 0,9 9.902.750 100 16.399.524 6.496.774 65,6 1,656058 1.854.003 4.668.939 1.772.069 8.295.011 14.862.098 6.567.087 1,791691 22,4 56,3 21,3 100 79,2

Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1 Alokasi biaya untuk saprodi dan tenaga kerja pada pola tanam awal mencapai 99.1 persen. Sementara biaya di luar itu (sewa, iuran, dan pajak) bahkan kurang dari satu% dari total biaya. Hal ini menunjukkan pola tanam awal di lahan sawah umumnya dilakukan oleh petani pemilik penggarap, sehingga keseluruhan biaya tercurah pada budidaya tanaman. Sementara pada pola tanam keprasan biaya saprodi dan tenaga kerja hanya sebesar 78.6% dari total biaya, sisanya (21.4%) dialokasikan untuk biaya sewa, pajak, dan iuran. Fenomena ini menunjukkan bahwa usahatani tebu dengan pola keprasan dilakukan para petani bermodal yang mengusahakannya secara luas (skala besar) dengan menyewa lahan petani lain karena dianggap menguntungkan. Pendapatan usahatani tebu pola tanam awal rata-rata sebesar Rp 16.4 juta per hektar, sementara pada pola keprasan pendapatannya sebesar Rp 14.9 juta/ha. Besarnya pendapatannya ini sangat terkait dengan tingkat rendemen tebu yang dihasilkan. Produktivitas tebu yang ditanam sejak awal rata-rata sebesar 954 ku tebu/ha, sementara tebu yang dikepras sebesar 917 ku tebu/ha. Namun dalam perhitungan keuntungan, rata-rata keuntungan pola tanam awal lebih rendah, yaitu sebesar Rp 6.5 juta/ha (65.6% dari biaya), sementara untuk pola keprasan sebesar Rp 6.6 juta/ha (79.2% dari biaya). Artinya, pola keprasan lebih menguntungkan untuk dilakukan di lahan sawah. Terdapat penghematan biaya bibit dan tenaga kerja. Berdasarkan analisa cost benefit dari kedua pola tanam tebu di lahan sawah, tampak bahwa biaya usahatani tebu pola keprasan di Yogyakarta rata-rata sebesar Rp 9.9 juta per hektar, sementara dengan sistem keprasan hanya Rp 8.3 juta/ha. Biaya pembelian bibit mencapai 16% biaya dari total biaya. Apabila diasumsikan petani menggunakan dosis yang sama untuk pupuk dan pestisida pada pola tanam awal dan keprasan, maka petani hanya membutuhkan sembialan% dari total biaya untuk mengganti tanaman yang mati apabila mempraktekkan pola keprasan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan pola tanam awal lebih kecil (1,656058) daripada keprasan, yaitu sebesar 1,791691. Artinya usahatani tebu di lahan sawah lebih menguntungkan diusahakan secara keprasan. Secara finansial terdapat kecenderungan yang sama pada usahatani tebu di tegalan di daerah Klaten (Tabel 3). Biaya usahatani tebu di tegalan yang diusahakan dengan pola tanam awal, 21.2% dari

total biayanya digunakan untuk penyediaan saprodi. Alokasi biaya tersebut, 9.5% digunakan untuk membeli bibit. Biaya penyediaan saprodi untuk pola keprasan justru mencapai 24.9% dari total biaya. Persentase sebesar itu, 5.3% dialokasikan petani untuk membeli pupuk urea. Petani berpendapat, karena tegalan tidak subur, maka diperlukan urea agar tanaman tebu tumbuh subur, sehingga beratnya bertambah.

Tabel 3. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Tegalan (Klaten, Jawa Tengah), 2003 Uraian A Biaya Saprodi Tenaga Kerja Lain-lain TOTAL B Pendapatan C Keuntungan B/C Ratio Tanam Awal (n = 2) Nilai % (Rp/Ha) 1.851.375 4.870.000 2.000.000 8.721.375 11.874.316 3.152.941 1,361519 21,2 55,8 23,0 100 36,2 Keprasan (n = 20) Nilai % (Rp/Ha) 1.270.165 3.002.906 824.482 5.097.553 10.724.619 5.627.066 2,103876 24,9 58,9 16,2 100 110,4

Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1

Perbedaan alokasi biaya untuk tenaga kerja pada kedua pola tanam di tegalan tidak cukup signifikan. Pola tanam awal memerlukan 55.8% dari total biya, sementara untuk pola keprasan memerlukan 58.9% dari total biaya. Perbedaan alokasi biaya yang cukup besar terjadi pada kegiatan pengolahan tanah. Pola tanam awal, umumnya dilakukan dengan mempersiapkan got, guludan, dan bedengan sebagai sarana drainase dan media tanam. Berbeda dengan petani di lahan sawah, petani lahan kering umumnya adalah petani penyewa penggarap. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya alokasi biaya sebesar sewa sebesar 22.9% dari total biaya pada pola tanam awal dan 15.6% dari total biaya pada pola keprasan. Artinya, sifat usahatani tebu yang intensif memerlukan biaya yang besar, sehingga hanya petani yang mempunyai cukup modal yang tertarik untuk mengusahakannya, meskipun dengan cara menyewa lahan. Secara umum, usahatani tebu dengan pola tanam awal pada tegalan di wilayah Kabupaten Klaten rata-rata memerlukan biaya sebesar Rp 8.7 juta per hektar, sementara untuk pola keprasan rata-rata mencapai Rp 5.1 juta/ha. Perbedaan biaya yang cukup besar tersebut merupakan faktor pendorong petani untuk lebih sering melakukan keprasan, meskipun sudah melampaui batas intensitas yang

direkomendasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar petani bahkan melakukan keprasan lebih dari tiga kali karena masih menguntungkan. Tingkat produktivitas tebu harus diperhatikan. Baik pada lahan sawah maupun tegalan, pola tanam awal mempunyai produktivitas yang relatif lebih tinggi. Produktivitas tanam awa pada tegalan ratarata sebesar 713 ku tebu/ha, sementara keprasan rata-rata sebesar 646 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh pada pendapatan pola tanam awal menjadi lebih tinggi daripada pola keprasan, yaitu Rp 11.9 juta/ha dibandingkan Rp 10.7 juta/ha. Namun karena biaya pola tanam juga lebih tinggi, maka berimplikasi pada nilai keuntungan pola tanam awal justru lebih rendah, yaitu sebesar Rp 3.2 juta/ha (36.2% dari biaya) sementara pada pola keprasan keuntungan rata-rata mencapai Rp 5.6 juta/ha (110.4% dari biaya). Nilai B/C ratio usahatani tebu di tegalan dengan pola tanam awal jauh lebih kecil (1,361519) dibandingkan pola keprasan, yaitu sebesar 2,103876. Seperti halnya di lahan sawah, usahatani tebu di tegalan jauh lebih menguntungkan diusahakan dengan keprasan. Berdasarkan Tabel 2 dan 3 diketahui bahwa komponen biaya usahatani tebu baik di lahan sawah maupun tegalan dengan pola tanam awal maupun keprasan alokasi biaya tenaga kerja mencapai lebih dari 50% dari total biaya. Tingginya komponen biaya tersebut merupakan petunjuk bahwa efisiensi penggunaan tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usaha peningkatan keuntungan usahatani tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Berdasarkan pola tanam (awal dan keprasan) diketahui bahwa produktivitas tanaman awal baik yang diusahakan di lahan sawah maupun lahan kering rata-rata lebih tinggi daripada tanaman keprasan ke-1 sampai dengan ke-3, dan keprasan lebih dari tiga kali (Tabel 4). Terdapat kecenderungan semakin sering dikepras maka produktivitasnya akan semakin turun. Seperti disebutkan di muka, bahwa penurunan produktivitas tiap kali kepras mencapai 20% dari produktivitas tanaman sebelumnya (P 3GI, 2002).

Tabel 4. Perbandingan Biaya Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003

Sistem Tanam

Biaya (Rp/Ha)

Pendptan Keuntungan Produktvtas(Ku/Ha) B/C (Rp/Ha) (Rp/Ha) Ratio 6.496.774 6.567.087 6.862.502 6.936.650 6.829.934 954 917 912 886 935 1,66 1,79 1,87 1,88 1,79

Lahan sawah Tanam awal 9.902.750 16.399.524 Keprasan 8.295.011 14.862.098 7.876.571 14.739.073 7.869.366 14.806.017 Kepras 1-3 8.601.581 15.431.515 Kepras > 3 Rata-rata sawah Tegalan

Tanam awal 8.721.375 11.874.316 Keprasan 5.097.553 10.724.619 5.298.825 11.874.316 4.446.899 10.081.167 Kepras 1-3 6.909.464 11.299.468 Kepras > 3

3.152.941 5.627.066 4.782.342 5.253.567 4.390.004

713 463 609 489 588

1,36 2,10 2,24 2,27 1,64

Rata-rata tegalan Sumber: Data primer, 2003 (diolah). Produktivitas tebu di lahan sawah untuk tanam awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3, dan kepras lebih dari tiga masing-masing 954, 912, dan 886 ku tebu/ha. Rata-rata produktivitas tebu lahan sawah secara agregat adalah 935 ku tebu/ha. Sementara produktivitas tebu di tegalan untuk tanaman awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3, dan kepras lebih dari tiga masing-masing 713, 609, dan 489 ku tebu/ha. Produktivitas tebu tanam awal dan kepras di lahan sawah relatif sama. Namun produktivitas tebu di tegalan jauh lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan tebu lahan sawah. Apabila proporsi tebu lahan kering semakin besar, maka secara agregat akan menurunkan produktivitas tebu (Soentoro, et al. 1999). Meskipun di lahan sawah tebu tanam awal mempunyai produktivitas lebih tinggi daripada tebu keprasan, apabila proporsi tebu keprasan semakin besar, maka produktivitas rata-rata tebu sawah menjadi rendah (Soentoro, et al. 1999). Berdasarkan nilai B/C ratio, lahan sawah menunjukkan kelayakan usahatani terbesar pada pola keprasan lebih dari tiga jkali, yaitu sebesar 1,88. Seperti halnya pada lahan sawah, kelayakan usahatani terbesar diperoleh pada keprasan lebih dari tiga kali, yaitu sebesar 2,27. Namun, secara agregat, kelayakan usahatani tebu lahan sawah (1,79) lebih besar daripada tegalan (1,64). Menurut Soentoro et al. (1999), apabila usahatani tebu tanam awal pada satu jenis lahan diteruskan dengan tebu kepras maka akan semakin kompetitif terhadap tanaman alternatifnya, karena dapat menghemat biaya bibit, pengolahan tanah dan waktu, dan meningkatkan kelayakan usahatani tebu dibanding tanaman non tebu. Keuntungan yang lebih tinggi pada tebu keprasan merupakan salah satu faktor yang mendorong petani tegalan untuk mengepras tebunya berulang kali.Sempit (< 1 Ha) vs Luas (>1 Ha)

Luas lahan yang diusahakan (garapan) untuk tanaman tebu menunjukkan skala usaha yang dikuasasi petani. Luas garapan sangat menentukan pendapatan petani dalam mengusahakan tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Selain itu luas garapan juga menentukan tingkat efisiensi penggunaan saprodi, tenaga kerja, dan transportasi. Secara teoritis penggunaan input yang sama dengan variasi yang proporsional terhadap luas lahan akan mengarahkan pada suatu keadaan yang memenuhi persyaratan fungsi produksi yang merupakan fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale, CRT). Usahatani tebu yang mempunyai skala usaha yang berkarakteristik demikian masih akan memberi pertambahan hasil yang semakin meningkat (Debertin, 1986). Biaya, nilai

produksi, dan pendapatan petani menurut luas garapan di lahan sawah dan tegalan di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dirangkum dalam Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan luas garapan lebih dari satu hektar lebih tinggi (1,97) daripada luas garapan kurang dari satu hektar (1,74). Apabila petani mengusahakan lahan kurang dari menjadi lebih dari satu hektar, maka akan menghemat biaya sebesar 20,8%, mengalami penurunan pendapatan sebesar 10,6%, dan akhirnya masih memperoleh tambahan keuntungan sebesar 3,3%. Artinya, kelayakan perluasan skala usaha tersebut secara agregat meningkat sebesar 51%. Sementara, untuk meningkatkan luas garapan tebu dari kurang menjadi lebih dari satu hektar diperlukan tambahan biaya sebesar 44,4%, yang akan meningkatkan pendapatan sebesar 23,1% dan keuntungan sebesar 5,1%. Secara agregat kelayakan usaha penambahan skala usahatani tebu tegalan meningkat sebesar 52%. Tabel 5. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Luas Garapan DI Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003

Jenis lahan Biaya (Rp/Ha) Pendapatan Keuntungan B/C Ratio (Rp/Ha) (Rp/Ha) Lahan Sawah < 1 Ha 9.403.705 16.363.170 6.959.464. 1,74 > 1 Ha 7.443.828 14.629.854 7.186.025 1,97 Perubahan -20,8 -10,6 3,3 0,51 (%)* Tegalan < 1 Ha 4.349.183 9.516.344 5.167.161 2,19 > 1 Ha 6.281.625 11.711.261 5.429.636 1,86 Perubahan 44,4 23,1 5,1 0,52 (%)* Sumber: Data primer, 2003 (diolah). * : Perubahan dari skala usaha kurang dari menjadi lebih dari satu hektar Menurut Irawan dan Budiman (1991), kondisi ekonomi skala usaha pada dasarnya terjadi karena perbedaan produktivitas masukan usahatani yang dapat disebabkan oleh pengaruh ketersediaan irigasi atau kualitas bibit yang digunakan. Usahatani tebu yang memiliki produktivitas masukan lebih tinggi, ekonomi skala usaha yang masih menguntungkan akan terjadi pada ukuran usahatani yang lebih luas. Sejalan dengan hasil penelitian Irawan dan Budiman (1991), tampak jelas apabila dibandingkan antara tanaman tebu tanam awal di lahan sawah dan tanaman tebu keprasan di tegalan. Tanaman tebu tanam awal di lahan sawah yang berproduktivitas lebih tinggi daripada tebu keprasan di tegalan, meningkat produktivitasnya karena ketersediaan irigasi yang lebih terjamin maupun kualitas bibit yang lebih baik. Luas garapan lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal masih dapat memperlihatkan ekonomi skala usaha yang meningkat. Sementara pada tebu keprasan di tegalan, luas garapan lebih dari satu hektar akan menunjukkan ekonomi skala usaha menurun.

Usahatani tebu tanam awal pada lahan sawah memiliki ekonomi skala usaha yang lebih baik daripada usahatani tebu keprasan, meskipun dilakukan pada ukuran usahatani (luas garapan) yang lebih luas. Artinya, usaha mengelompokkan lahan para petani menjadi satu blok tanaman tertentu yang merupakan basis kegiatan usahatani tebu dapat diraih manfaat ekonomi skala usaha secara optimal. Luas blok tebu tanam awal di lahan sawah hendaknya berukuran lebih luas daripada di tegalan. Berdasarkan produktivitas lahan, lahan sawah dapat menghasilkan 930 ku tebu/ha, sementara tegalan hanya 650 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan dan keuntungan. Usahatani tebu lahan sawah rata-rata keuntungannya sebesar Rp 6.8 juta per hektar, sementara tegalan rata-rata Rp 5.4 juta/ha. Namun, karena total biaya usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi daripada di tegalan, maka keuntungan di tegalan justru lebih tinggi. Berdasarkan nilai keuntungan tampak bahwa keuntungan usahatani tebu tegalan lebih tinggi (99.5% dari biaya) dibandingkan lahan sawah (79.4% dari biaya). Artinya, usahatani tebu di lahan sawah lebih intensif dan padat modal dibandingkan usahatani tebu di tegalan. Secara umum, baik di Yogyakarta maupun di Klaten, terdapat beberapa hal yang menyebabkan produktivitas tebu menjadi rendah. Pertama, masih rendahnya penggunaan bibit baru oleh petani. Sebagian besar petani mengusahakan tebu dengan pola keprasan. Secara teoritis sistem kepras yang direkomendasikan hanya sampai dengan tanaman kepras ketiga atau keempat. Penurunan produktivitas tiap keprasan mencapai 20% dari produktivitas tanaman awal (P 3GI, 2002). Intensitas keprasan yang melebihi batas rekomendasi disertai penggunaan pucuk tebu untuk penyulaman akan menambah ketidakmurnian sifat bibit asli, sehingga kualitas tebu yang dihasilkan juga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengatasi penurunan kualitas dan kuantitas yang berdampak pada produktivitas tebu yang dihasilkan.Namun petani melakukan keprasan lebih dari empat kali bahkan sampai sepuluh kali. Selain itu, dalam kegiatan penyulaman, petani hanya menggunakan pucuk tebu dan jarang menggunakan bibit baru dengan alasan lebih murah. Penyebab kedua adalah kegiatan pemupukan yang dilakukan petani untuk tebu di lokasi penelitian sangat rendah dibandingkan dosis pupuk yang dianjurkan. Dosis pemupukan tebu yang dilakukan petani di lokasi penelitian masih 2045% di bawah dosis anjuran, sehingga berakibat pada penurunan produktivitas. Petani di Yogyakarta rata-rata memupuk tanaman tebu di lahan sawah dengan dosis urea sebesar 586 kg/ha, ZA sebesar 702 kg/ha (87.8%), KCl sebesar 126 kg/ha (63%), dan SP-36 127 kg/ha (63.5%). Berdasarkan kumulatif dosis yang dianjurkan petani tebu di Yogyakarta hanya menggunakan 79.6% dari dosis anjuran. Sementara petani di Klaten rata-rata memupuk tanaman tebu di tegalan dengan dosis urea sebesar 100 kg/ha, ZA sebesar 472 kg/ha (59%), KCl sebesar 90 kg/ha (45%), dan SP-36 sebesar 100 kg/ha (50%). Secara kumulatif, dosis pemupukan yang dilakukan petani tebu di Klaten sebesar 55% dari dosis anjuran. Dosis pemupukan tebu yang dianjurkan adalah 800 kg/ha ZA, 200 kg/ha KCl, dan 200 kg/ha SP-36. Petani justru menggunakan pupuk urea dengan maksud untuk menambah berat tebu dan meningkatkan rendemen. Namun, kenyataanya berat maupun rendemen yang diharapkan tidak meningkat, ditunjukkan oleh produktivitas tebu yang semakin menurun.

Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disusun suatu tabel rangkuman perbandingan nilai B/C ratio berbagai variasi sebagai disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa menurut jenis lahan usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan, khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari satu hektar. Namun, berdasarkan pola tanam, baik di lahan sawah maupun tegalan, keprasan lebih menguntungkan dan layak diusahakan bahkan lebih dari tiga kali pada skala usaha kurang dari satu hektar. Kenyataan pada petani dan temuan empiris kelayakan usaha ini bertolak belakang dengan teori yang direkomendasikan P 3GI. Secara umum peningkatan skala usaha akan lebih menguntungkan dilakukan pada lahan sawah dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50%. Tabel 6. Pemilihan Kategori Usahatani Tebu Luas Garapan Sempit (< 1 Ha) Pola Tanam Tanam awal Keprasan Kepras 1-3 Kepras > 3 Rata-rata Tanam awal Keprasan Kepras 1-3 Kepras > 3 Rata-rata Sawah np nn nn nn np pp pn pn pn pp Tegalan pn pp pp pp pn nn np np np nn

Luas (> 1 Ha)

Keterangan: n = negatip, p = positip.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYABerdasarkan pembahasan di muka, dapat disimpulkan bahwa menurut jenis lahannya usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan, khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari satu hektar. Berdasarkan pola tanam, tanaman keprasan lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan dengan skala usaha kurang dari satu hektar. Berdasarkan skala usahatani, secara umum peningkatan skala usaha pada lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50%. Implikasi dari kesimpulan di muka dikaitkan dengan program akselerasi pergulaan adalah usahatani tebu harus diusahakan secara luas atau ekstensif pada lahan sawah dengan pola tanam awal. Artinya, target akselerasi dapat dicapai dengan tingkat produktivitas tanaman yang baik dan ketersediaan sarana irigasi yang memenuhi. Dukungan program dana talangan harus terus dipertahankan untuk memberi insentif bagi petani tebu yang menyediakan bahan baku industri gula Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 19972002. Klaten Dalam Angka Tahun 19982001. BPS Kabupaten Klaten. Badan Pusat Statistik. 19982001. Yogyakarta Dalam Angka 19982001. BPS Propinsi DI Yogyakarta. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Co. Irawan, B. dan Budiman H. 1991. Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala UsahaTani Tebu di Jawa Timur. JAE, Volume 10, Nomor 1 dan 2, Oktober 1991. Hal. 73 90. Ismail, N.M. 2001. Peningkatan Industri Daya Saing Gula Nasional Sebagai Langkah MenujuPersaingan Bebas. ISTECS Journal, II (2001). Hal 3-14. Mubyarto. 2003. Penelitian Kebijakan untuk Mendukung Akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. Makalah disampaikan pada Workshop Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Memacu Program akselerasi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Nasional. 16 Juli 2003, LPP Yogyakarta. Rahmat, M. 1999. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. JAE Vol. II/ No. 2/ Okt 1992. Hal. 39 57. Rusastra, I.W., Achmad S, dan Ali A.N. Amsari. 1999. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 427 479. Simatupang, P. 1999. Nizwar S, Farida Liestijati. 1999. Keterkaitan antar Industri dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 21 68. Soentoro, Novi I, Abdul Muis SA. 1999. Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 69 130.

Oleh: Sri Nuryanti -- Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

>> Tulis komentar anda.....

100 juta, dapat utk kelolaSat, 05/06/2010 - 01:13 Entrepreneur anggito (not verified)

100 juta, dapat utk kelola lahan tebu 10 ha, 1 ha = 7 kotak, 1 kotak dpt 3jt, jadi 3 jt X 7 X 10 = 210 jt, setahun dpt 110 jt dong enak kan, ada nggak yang nawari lahan utk ditanam tebu, di kudus, udah penuh nih, kalo ada hub dong, bisa kerjasam itu loh. )

Jumat, 18 Maret 2011BUDIDAYA TANAMAN TEBU

Artikel Pertanian: TANAMAN TEBU ( Saccharum officinarum ) Indonesia adalah negara yang mempunyai areal lahan yang sangat luas sekali, sayangnya kita belum memaksimalkan potensi pertanian dan perkebunan. Sampai sekarang kita masih mengimpor komoditas seperti kedelai dan gula. Untuk prodiksi gula nasional harusnya mendapat perhatian menilik besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini untuk mewujudkan swasembada gula. Tebu sebagai bahan baku pembuat gula masih terbelengkalai dalam pelaksanaanya. Jika melihat trend saat ini yang mengedepankan bio energi seharusnya sudah mulai digalakkan penanaman tebu. Tetes tebu yang merupakan produk dari tebu ini bisa dijadikan sebagai bahan baku biofuel. Kita bisa menilik apa yang telah dilakukan Pemerintah Jawa Timur dalam menjalankan program ini. Propinsi Jawa Timur termasuk salah satu propinsi di Pulau Jawa yang melaksanakan program akselerasi produktivitas gula nasional yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian.

Dengan kegiatan utama pembongkaran eks tanaman tebu ratoon dan pembangunan kebun bibit tebu. Di Jawa Timur. Salah satu dampak dari program ini, banyak dijumpai petani yang melakukan bongkar ratoon tanaman tebu dan diganti dengan bibit tebu yang berkualitas terutama yang dihasilkan oleh P3GI. Program bongkar ratoon menjadi dambaan petani untuk mengganti varietas tanaman tebunya. Varietas yang sedang dikembangkan di Propinsi Jawa Timur yaitu varietas PS 862, PS 863, PS 861, PB 851, PS 851 dan PB 861, sedangkan varietas yang sudah banyak ditanam oleh petani yaitu varietas Triton, PS 80142, BZ 132, PS 801424. Produktivitas tanaman tebu dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak hanya tipe lahan (sawah/tegalan) tetapi juga penggunaan sarana produksi dan teknik budidayanya. Pemupukan sebagai salah satu usaha peningkatan kesuburan tanah, pada jumlah dan kombinasi tertentu dapat menaikkan produksi tebu dan gula. Berdasarkan ini,rekomendasi pemberian macam dan jenis pupuk harus didasarkan pada kebutuhan optimum dan terjadinya unsur hara dalam tanah disertai dengan pelaksanaan pemupukan yang efisien yaitu waktu pemberian dan cara pemberian. Kombinasi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas dan rendemen tebu. Daya Saing Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Justifikasi yang digunakan untuk menganalisis daya saing finansial dan ekonomi usahatani tebu seperti berikut : 1. Pupuk urea, SP-36, KCL, NPK, herbisida dan insektisida termasuk barang tradable (asing), sedangkan tenaga kerja, sewa lahan, modal,pupuk organik dan bibit termasuk barang non tradable (domestik). Walaupun terdapat bibit tebu yang berasal dari Luar negeri seperti Taiwan, namun sebagian besar petani telah menanam padi yang dihasilkan oleh P3GI, swasta dan pihak PG sendiri; 2. Tingkat suku bunga pinjaman petani sebesar 16%/tahun, namun karena dana pinjaman yang diterima petani tidak sekaligus tetapi menurut jenis kegiatan (pengolahan tanah, pemeliharaan, tebang muat dan angkut (TMA) dan lainnya maka untuk suku bunga yang digunakan untuk perhitungan secara privat sebesar 8 persen;

3. Harga sosial untuk pestisida dan herbisida sebesar 80 persen dari harga aktual di masing-masing lokasi penelitian. Pengurangan 20 persen merupakan tarif impor (10%) dan pajak pertambahan nilai (10%). Selain itu justifikasi untuk harga gula dan pupuk yang digunakan dalam analisis sebagai berikut : berdasarkan Commodity Price data Pinksheet yang dikeluarkan oleh World Bank Development Prospects menunjukkan bahwa harga gula rata-rata sebesar 170.3 US$/ton, pupuk urea : 210,37US$/ton; ZA : 222,83 US$/ton; KCL : 120 US$/ton dan SP-36 : 193,8 US$/ton. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Keuntungan finansial (privat) merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan). Tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usahatani tebu bekisar antara Rp. 2,5 juta sampai Rp.8 juta per hektar. Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp.2,5 juta- Rp. 5 juta per hektar. Kesimpulan 1. Rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, lebih tinggi daripada di lahan tegalan. 2. Proporsi biaya tenaga kerja dan sewa lahan usahatani tebu di lahan sawah dan tegalan di Jawa Timur mencapai sekitar 70 persen terhadap total biaya usahatani tebu. Sewa lahan di Kabupatan Madiun dan Kediri lebih mahal dibandingkan dengan di Kabupaten Malang dan Jember, yaitu berkisar Rp 4 juta Rp 5 juta/ha. 3. Usahatani tebu di Propinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan. Ratarata keuntungan sebesar Rp 2,5 juta 8 juta per hektar.Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras. 4. Sistem usahatani tebu disemua lokasi mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien . Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah

memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya. Selain itu, harga jual gula yang dinikmati oleh petani lebih tinggi sekitar 35 40 persen dari harga jual gula seharusnya. SYARAT PERTUMBUHAN 1.1. Iklim a) Hujan yang merata diperlukan setelah tanaman berumur 8 bulan dan kebutuhan ini berkurang sampai menjelang panen. b) Tanaman tumbuh baik pada daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tanaman ini > 70% c) Suhu udara berkisar antara 28-34 derajat C. 1.2. Media Tanam a) Tanah yang terbaik adalah tanah subur dan cukup air tetapi tidak tergenang b) Jika ditanam di tanah sawah dengan irigasi pengairan mudah di atur tetapi jika ditanam di ladang/tanah kering yang tadah hujan penanaman harus dilakukan di musim hujan. 1.3. Ketinggian Tempat Ketinggian tempat yang baik untuk pertumbuhan tebu adalah 5-500 m dpl. II. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA 2.1. Pembibitan Bibit yang akan ditanam berupa (1) bibit pucuk, (2)bibit batang muda, (3) bibit rayungan dan (4) bibit siwilan a) Bibit pucuk Bibit diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling berumur 12 bulan. Jumlah mata (bakal tunas baru) yang diambil 2-3 sepanjang 20 cm. Daun kering yang membungkus batang tidak dibuang agar melindungi mata tebu. Biaya bibit lebih murah karena tidak memerlukan pembibitan, bibit mudah diangkut karena tidak mudah rusak, pertumbuhan bibit pucuk tidak memerlukan banyak air. Penggunaan bibit pucuk hanya dapat dilakukan jika kebun telah berporduksi. b) Bibit batang muda Dikenal pula dengan nama bibit mentah / bibit krecekan. Berasal dari tanaman berumur 5-7 bulan. Seluruh batang tebu dapat diambil dan dijadikan

3 stek. Setiap stek terdiri atas 2-3 mata tunas. Untuk mendapatkan bibit, tanaman dipotong, daun pembungkus batang tidak dibuang. 1 hektar tanaman kebun bibit bagal dapat menghasilkan bibit untuk keperluan 10 hektar. c) Bibit rayungan (1 atau 2 tunas) Bibit diambil dari tanaman tebu khusus untuk pembibitan berupa stek yang tumbuh tunasnya tetapi akar belum keluar. Bibit ini dibuat dengan cara: 1. Melepas daun-daun agar pertumbuhan mata tunas tidak terhambat 2. Batang tanaman tebu dipangkas 1 bulan sebelum bibit rayungan dipakai. 3. Tanaman tebu dipupuk sebanyak 50 kg/ha Bibit ini memerlukan banyak air dan pertumbuhannya lebih cepat daripada bibit bagal. 1 hektar tanaman kebun bibit rayungan dapat menghasilkan bibit untuk 10 hektar areal tebu. Kelemahan bibit rayungan adalah tunas sering rusak pada waktu pengangkutan dan tidak dapat disimpan lama seperti halnya bibit bagal. d) Bibit siwilan Bibit ini diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati. Perawatan bibit siwilan sama dengan bibit rayungan. 2.2. Pengolahan Media Tanam Terdapat dua jenis cara mempersiapkan lahan perkebunan tebu yaitu cara reynoso dan bajak. 2.2.1. Persiapan Disebut juga dengan cara Cemplongan dan dilakukan di tanah sawah. Pada cara ini tanah tidak seluruhnya diolah, yang digali hanya lubang tanamnya 2.2.2. Pembukaan Lahan a) Pada lahan sawah dibuat petakan berukuran 1.000 m2. Parit membujur, melintang dibuat dengan lebar 50 cm dan dalam 50 cm. Selanjutnya dibuat parit keliling yang berjarak 1,3 m dari tepi lahan. b) Lubang tanam dibuat berupa parit dengan kedalaman 35 cm dengan jarak antar lubang tanam (parit) sejauh 1 m. Tanah galian ditumpuk di atas larikan diantara lubang tanam membentuk guludan. Setelah tanam, tanah guludan ini dipindahkan lagi ke tempat semula. 2.3. Teknik Penanaman 2.3.1. Penentuan Pola Tanam Umumnya tebu ditanam pada pola monokultur pada bulan Juni-Agustus (di tanah berpengairan) atau

pada akhir musim hujan (di tanah tegalan/sawah tadah hujan). Terdapat dua cara bertanam tebu yaitu dalam aluran dan pada lubang tanam. Pada cara pertama bibit diletakkan sepanjang aluran, ditutup tanah setebal 23 cm dan disiram. Cara ini banyak dilakukan dikebun Reynoso. Cara kedua bibit diletakan melintang sepanjang solokan penanaman dengan jarak 30-40 cm. Pada kedua cara di atas bibit tebu diletakkan dengan cara direbahkan. Bibit yang diperlukan dalam 1 ha adalah 20.000 bibit. 2.3.2. Cara Penanaman Sebelum tanam, tanah disiram agar bibit bisa melekat ke tanah. a) Bibit stek (potongan tebu) ditanam berimpitan secara memanjang agar jumlah anakan yang dihasilkan banyak. Dibutuhkan 70.000 bibit stek/ha. b) Untuk bibit bagal/generasi, tanah digaris dengan kedalaman 5-10 cm, bibit dimasukkan ke dalamnya dengan mata menghadap ke samping lalu bibit ditimbun dengan tanah. Untuk bibit rayungan bermata satu, bibit dipendam dan tunasnya dihadapkan ke samping dengan kemiringan 45 derajat, sedangkan untuk rayungan bermata dua bibit dipendam dan tunasnya dihadapkan ke samping dengan kedalaman 1 cm. Satu hari setelah tanam lakukan penyiraman jika tidak turun hujan. Penyiraman ini tidak boleh terlambat tetapi juga tidak boleh terlalu banyak. 3.4. Pemeliharaan Tanaman 2.4.1. Penjarangan dan Penyulaman a) Sulaman pertama untuk tanaman yang berasal dari bibit rayungan bermata satu dilakukan 5-7 hari setelah tanam. Bibit rayungan sulaman disiapkan di dekat tanaman yang diragukan pertumbuhannya. Setelah itu tanaman disiram. Penyulaman kedua dilakukan 3-4 minggu setelah penyulaman pertama. b) Sulaman untuk tanaman yang berasal dari bibit rayungan bermata dua dilakukan tiga minggu setelah tanam (tanaman berdaun 3-4 helai). Sulaman diambil dari persediaan bibit dengan cara membongkar tanaman beserta akar dan tanah padat di sekitarnya. Bibit yang mati dicabut, lubang diisi tanah gembur kering yang diambil dari guludan, tanah disirami dan bibit ditanam dan akhirnya ditimbun tanah. Tanah disiram lagi dan dipadatkan. c) Sulaman untuk tanaman yang berasal dari bibit pucuk. Penyulaman pertama dilakukan pada minggu ke 3. Penyulaman kedua dilakukan bersamaan dengan pemupukan dan penyiraman ke dua yaitu 1,5 bulan setelah tanam.

Kedua penyulaman ini dilakukan dengan cara yang sama dengan point (b) di atas. d) Penyulaman ekstra dilakukan jika perlu beberapa hari sebelum pembumbunan ke 6. Adanya penyulaman ekstra menunjukkan cara penanaman yang kurang baik. e) Penyulaman bongkaran. Hanya boleh dilakukan jika ada bencana alam atau serangan penyakit yang menyebabkan 50% tanaman mati. Tanaman sehat yang sudah besar dibongkar dengan hati-hati dan dipakai menyulan tanaman mati. Kurangi daun-daun tanaman sulaman agar penguapan tidak terlalu banyak dan beri pupuk 100-200 Kg/ha. 2.4.2. Penyiangan Penyiangan gulma dilakukan bersamaan dengan saat pembubunan tanah dan dilakukan beberapa kali tergantung dari pertumbuhan gulma. Pemberantasan gulma dengan herbisida di kebun dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November dengan campuran 2-4 Kg Gesapas 80 dan 3-4 Kg Hedanol power. 2.4.3. Pembubunan Sebelum pembubunan tanah harus disirami sampai jenuh agar struktur tanah tidak rusak. a) Pembumbunan pertama dilakukan pada waktu umur 3-4 minggu. Tebal bumbunan tidak boleh lebih dari 5-8 cm secara merata. Ruas bibit harus tertimbun tanah agar tidak cepat mengering. b) Pembumbun ke dua dilakukan pada waktu umur 2 bulan. c) Pembumbuna ke tiga dilakukan pada waktu umur 3 bulan. 2.4.4. Perempalan Daun-daun kering harus dilepaskan sehingga ruas-ruas tebu bersih dari daun tebu kering dan menghindari kebakaran. Bersamaan dengan pelepasan daun kering, anakan tebu yang tidak tumbuh baik dibuang. Perempalan pertama dilakukan pada saat 4 bulan setelah tanam dan yang kedua ketika tebu berumur 6-7 bulan. 2.4.5. Pemupukan Pemupukan dilakukan dua kali yaitu (1) saat tanam atau sampai 7 hari setelah tanam dengan dosis 7 gram urea, 8 gram TSP dan 35 gram KCl per tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCl/ha).dan (2) pada 30 hari setelah pemupukan ke satu dengan 10 gram urea per tanaman atau 200 kg urea per hektar. Pupuk diletakkan di lubang pupuk (dibuat dengan tugal) sejauh 7-10 cm dari bibit dan ditimbun tanah. Setelah pemupukan semua petak segera disiram supaya pupuk tidak keluar dari daerah perakaran tebu. Pemupukan dan penyiraman harus selesai dalam satu hari. Agar rendeman tebu tinggi, digunakan zat pengatur tumbuh seperti Cytozyme (1 liter/ha) yang diberikan dua kali pada 45 dan 75 hst. 2.4.6. Pengairan dan Penyiraman Pengairan dilakukan dengan berbagai cara:

a) Air dari bendungan dialirkan melalui saluran penanaman. b) Penyiraman lubang tanam ketika tebu masih muda. Waktu tanaman berumur 3 bulan, dilakukan pengairan lagi melalui saluran-saluran kebun. c) Air siraman diambil dari saluran pengairan dan disiramkan ke tanaman. d) Membendung got-got sehingga air mengalir ke lubang tanam. Pengairan dilakukan pada saat: a) Waktu tanam b) Tanaman berada pada fase pertumbuhan vegetatif c) Pematangan. 2.5. Hama dan Penyakit 2.5.1. Hama a) Penggerek batang bergaris (Proceras cacchariphagus), penggerek batang berkilat (Chilitrae auricilia), penggerek batang abu-abu (Eucosma schismacaena), penggerek batang kuning (Chilotraea infuscatella), penggerek batang jambon (Sesmia inferens) Gejala: daun yang terbuka mengalami khlorosis pada bagian pangkalnya; pada serangan hebat, bentuk daun berubah, terdapat titik-titik atau garisgaris berwarna merah di pangkal daun; sebagian daun tidak dapat tumbuh lagi; kadang-kadang batang menjadi busuk dan berbau tidak enak. Pengendalian: dengan suntikan insektisida Furadan 3G (0,5 kg/ha) pada waktu tanaman berumur 3-5 bulan. Suntikan dilakukan jika terdapat 400 tanaman terserang dalam 1 hektar. b) Tikus Pengendalian: dengan gropyokan secara bersama atau pengemposan belerang pada lubang yang dihuni tikus. 2.5.2. Penyakit a) Pokkahbung Penyebab: Gibbrela moniliformis. Bagian yang diserang adalah daun, pada stadium lanjut dapat menyerang batang. Gejala: terdapat noda merah pada bintik khlorosis di helai daun, lubang-lubang yang tersebar di daun, sehingga daun dapat robek, daun tidak membuka (cacat bentuk), garis-garis merah tua di batang, ruas membengkak. Pengendalian: memakai bibit resisten, insektisida Bulur Bordeaux 1% dan pengembusan tepung kapur tembaga. b) Dongkelan Penyebab: jamur Marasnius sach-hari Bagian yang diserang adalah jaringan tanaman sebelah dalam dan bibit di dederan/persemaian. Gejala: tanaman tua dalam rumpun mati tiba-tiba, daun tua mengering, kemudian daun muda, warna daun menjadi hijau kekuningan dan terdapat lapisan jamur seperti kertas di sekeliling batang. Pengendalian: tanah dijaga agar tetap kering.

c) Noda kuning Penyebab: jamur Cercospora kopkei . Bagian yang diserang daun dan bagian-bagaian dengan kelembaban tinggi. Gejala: noda kuning pucat pada daun muda yang berubah menjadi kuning terang. Timbul noda berwarna merah darah tidak teratur; bagian bawah tertutup lapisan puiih kotor. Helai daun mati berwarna agak kehitaman. Pengendalian: adalah dengan memangkas dan membakar daun yang terserang. Kemudian menyemprot dengan tepung belerang ditambah kalium permanganat. d) Penyakit nanas Penyebab: adalah jamur Ceratocytis paradoxa. Bagian yang diserang adalah bibit yang telah dipotong. Gejala: warna merah bercampur hitam pada tempat potongan, bau seperti buah nanas. Pengendalian: luka potongan diberi ter atau desinfeksi dengan 0,25% fenylraksa asetat. e) Noda cincin Bagian yang diserang daun, lebih banyak di daerah lembab daripada daerah kering. Penyebab: jamur Heptosphaeria sacchari, Helmintosporium sachhari, Phyllsticta saghina. Gejala: noda hijau tua di bawah helai daun, bagian tengah noda menjadi coklat; pada serangan lanjut, warna coklat menjadi jernih, daun kering. Pengendalian: mencabut tanaman sakit dan membakarnya. f) Busuk bibit Bagian yang diserang adalah bibit dengan gejala tanaman kekuningan dan layu. Penyebab: bakteri. Gejala: bibit yang baru ditanam busuk dan buku berwarna abu-abu sampai hitam. Pengendalian: menanam bibit sehat, perbaikan sistim pembuangan air yang baik, serta tanah dijaga tetap kering. g) Blendok Bagian yang diserang adalah daun tanaman muda berumur 1,5-2 bulan pada musim kemarau. Penyebab: Xanthomonas albilicans. Gejala: terdapat pada khlorosis pada daun; pada serangan hebat seluruh daun bergaris hijau dan putih; titik tumbah dan tunas berwarna merah. Pengendalian: Menanam bibit resisten (2878 POY, 3016 POY), Lakukan desinfeksi para pemotong bibit, merendam bibit dalam air panas 52,5oC dan lonjoran bibit dijemur 1-2 hari. h) Virus mozaik Penyebab: Virus. Pengendalian: menjauhkan tanaman inang, bibit yang sakit dicabut dan dibakar. 2.6. Panen 2.6.1. Ciri dan Umur Panen Umur panen tergantung dari jenis tebu: a) Varitas genjah masak optimal pada b) Varitas sedang masak optimal pada 12-14 bulan c) Varitas dalam masak optimal pada > 14 bulan. Panen dilakukan pada bulan Agustus pada saat rendeman (persentase gula tebu) maksimal dicapai. 2.6.2. Cara Panen a) Mencangkul tanah di sekitar rumpun tebu sedalam 20 cm. b) Pangkal tebu

dipotong dengan arit jika tanaman akan ditumbuhkan kembali. Batang dipotong dengan menyisakan 3 buku dari pangkal batang. c) Mencabut batang tebu sampai ke akarnya jika kebun akan dibongkar. Potong akar batang dan 3 buku dari permukaan pangkal batang., d) Pucuk dibuang. e) Batang tebu diikat menjadi satu (30-50 batang/ikatan) untuk dibawa ke pabrik untuk segera digiling Panen dilakukan satu kali di akhir musim tanam. 2.6.3. Perkiraan Produksi Hasil Tebu Rakyat Intensifikasi I di tanah sawah adalah 120 ton/ha dengan rendemen gula 10% sedangkan hasil TRI II di tanah sawah adalah 100 ton dengan rendemen 9%. Di tanah tegalan produksi tebu lebih rendah lagi yaitu pada TRI I tegalan adalah 90 ton/ha dan pada TRI II tegalan sebesar 80 tom/ha. 2.7. Pascapanen 2.7.1. Pengumpulan Hasil tanam dari lahan panen dikumpulkan dengan cara diikat untuk dibawa ke pengolahan. 2.7.2. Penyortiran dan Penggolongan Syarat batang tebu siap giling supaya rendeman baik: a) Tidak mengandung pucuk tebu b) Bersih dari daduk-daduk (pelepah daun yang mengering) c) Berumur maksimum 36 jam setelah tebang.