tabloid edisi xxix november 2013

8
Edisi XXIX/ November 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Sejak didirikan 28 tahun lalu, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal pada Tabloid INSTITUT, Majalah INS- TITUT, dan beberapa tahun ini se- cara continue mempercantik portal lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTI- TUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan Instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) INSTITUT Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah INSTITUT sajian berita bercorak investigatif dan terbit per-semester Pasang Iklan Hub: Aprilia Telp: 081297027691/ 089685857411 Twitter: @RempahRanum e-mail: [email protected] Perihal di atas diungkapkan sejarawan sekaligus dosen Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Agus Suwignyo. Ia menjelaskan, kampus-kampus di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus para dosen ketiga ranah tersebut.” Saya kira ada problem besar dunia kampus dalam menyikapi dinamika dan perubahan besar di sekelilingnya,” ung- kapnya kepada INSTITUT, Jumat (22/11). Agus mengatakan, meskipun banyak akademisi yang nyambi sebagai politisi yang akhirnya berlabuh di pen- jara karena korupsi, namun hasrat hijrah ke pusaran tersebut terus meningkat. “Bahkan rekan saya sesama dosen yang baru menjadi doktor ingin menjadi politisi pada pemilu 2014,” ujarnya. Selain itu, kata Agus, sebagian dosen yang tetap di kampus umumnya tak lagi menggeluti tradisi intelek- Dosen sebagai tenaga pendidik seharusnya bisa mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarlu- askan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Hal tersebut tertera dalam UUD No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, peran dosen di perguruan tinggi bergeser, mereka lari ke dunia politik, bisnis, dan mengejar jabatan administratif di kampus. tual, melainkan mengejar jabatan struktural kampus. “Orientasi dosen-dosen tersebut bukan lagi pada karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial,” ka- tanya. Tak hanya itu, mereka umumnya semakin tidak men- unjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi. Bagi Agus, profil kecendekiawanan tereduksi menjadi sebatas terpenuhinya tuntutan administrasi karir, yang memang berdampak pada gaji dosen. “Dalam konteks ini, lenyapnya watak kecendeki- awanan tecermin dalam pelanggaran etika akademik, misalnya plagiarisme. Hal itu merupakan akibat, bukan sebab, dari merosotnya mutu profesionalitas dosen se- bagai akademisi,” tuturnya. Agus menuturkan, gelombang eksodus dosen me- negaskan bahwa pendidikan tinggi Indosesia sedang menghadapi problem delegitimasi parah. Hal itu juga menunjukkan bahwa kampus-kampus di Indonesia ko- song dari nilai-nilai dan standar moral. Bergesernya Nilai Asketisme Menurut Agus, kampus kosong karena adanya pergeseran nilai asketisme intelektual. Yaitu etos ker- ja akademik yang menuntut ketekunan dan kesetiaan dalam pencarian kebenaran ilmiah. “Pergeseran nilai- nilai tersebut ditandai migrasi akademisi dari elite fung- sional menjadi elite politik,” paparnya. Bersambung ke hal. 12 kol. 2 Ahmad Sayid Muarief Dosen Eksodus, Intelektual Pupus LAPORAN KHUSUS Hal. 5 Sudarnoto: Ini Bukan Plesiran LAPORAN UTAMA Dosen Kurang, Kompetensi Akademik Dipertaruhkan Hal. 3 RESENSI Susur Diri Bersama Mada Hal. 13

Upload: lpm-institut-uin-jakarta

Post on 30-Mar-2016

283 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Tabloid Edisi XXIX November 2013

Edisi XXIX/ November 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.comSejak didirikan 28 tahun lalu, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal pada Tabloid INSTITUT, Majalah INS-TITUT, dan beberapa tahun ini se-cara continue mempercantik portal lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTI-TUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan Instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan

Kemendikbud)

INSTITUT OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita

seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari

Majalah INSTITUTsajian berita bercorak investigatif dan terbit

per-semester

Pasang Iklan

Hub: Aprilia Telp: 081297027691/ 089685857411

Twitter: @RempahRanume-mail: [email protected]

Perihal di atas diungkapkan sejarawan sekaligus dosen Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Agus Suwignyo. Ia menjelaskan, kampus-kampus di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus para dosen ketiga ranah tersebut.” Saya kira ada problem besar dunia kampus dalam menyikapi dinamika dan perubahan besar di sekelilingnya,” ung-kapnya kepada INSTITUT, Jumat (22/11).

Agus mengatakan, meskipun banyak akademisi yang nyambi sebagai politisi yang akhirnya berlabuh di pen-jara karena korupsi, namun hasrat hijrah ke pusaran tersebut terus meningkat. “Bahkan rekan saya sesama dosen yang baru menjadi doktor ingin menjadi politisi pada pemilu 2014,” ujarnya.

Selain itu, kata Agus, sebagian dosen yang tetap di kampus umumnya tak lagi menggeluti tradisi intelek-

Dosen sebagai tenaga pendidik seharusnya bisa mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarlu-askan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Hal tersebut tertera dalam UUD No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, peran dosen di perguruan tinggi bergeser, mereka lari ke dunia politik, bisnis, dan mengejar jabatan administratif di kampus.

tual, melainkan mengejar jabatan struktural kampus. “Orientasi dosen-dosen tersebut bukan lagi pada karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial,” ka-tanya.

Tak hanya itu, mereka umumnya semakin tidak men-unjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi. Bagi Agus, profil kecendekiawanan tereduksi menjadi sebatas terpenuhinya tuntutan administrasi karir, yang memang berdampak pada gaji dosen.

“Dalam konteks ini, lenyapnya watak kecendeki-awanan tecermin dalam pelanggaran etika akademik, misalnya plagiarisme. Hal itu merupakan akibat, bukan sebab, dari merosotnya mutu profesionalitas dosen se-bagai akademisi,” tuturnya.

Agus menuturkan, gelombang eksodus dosen me-

negaskan bahwa pendidikan tinggi Indosesia sedang menghadapi problem delegitimasi parah. Hal itu juga menunjukkan bahwa kampus-kampus di Indonesia ko-song dari nilai-nilai dan standar moral.

Bergesernya Nilai Asketisme

Menurut Agus, kampus kosong karena adanya pergeseran nilai asketisme intelektual. Yaitu etos ker-ja akademik yang menuntut ketekunan dan kesetiaan dalam pencarian kebenaran ilmiah. “Pergeseran nilai-nilai tersebut ditandai migrasi akademisi dari elite fung-sional menjadi elite politik,” paparnya.

Bersambung ke hal. 12 kol. 2

Ahmad Sayid Muarief

Dosen Eksodus, Intelektual Pupus

LAPORAN KHUSUS

Hal. 5

Sudarnoto: Ini Bukan Plesiran

LAPORAN UTAMADosen Kurang, Kompetensi Akademik Dipertaruhkan

Hal. 3

RESENSISusur Diri Bersama Mada

Hal. 13

Page 2: Tabloid Edisi XXIX November 2013

Koordinatur Liputan: Muawwan Daelami Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Adi Nugroho, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Nurlaela, Nur Azizah, Siti Ulfah Nurjanah, Selamet Widodo Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Ibil Ar-Rambany Karikaturis: Azizah Nida Ilyas Editor Bahasa Anastasia Tovita, Gita Nawangsari

Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

______

Pemimpin Umum: Muhammad Umar | Sekretaris: Muji Hastuti | Bendahara Umum: Trisna Wulandari | Pemimpin Redaksi: Rahmat Kamarud-

din | Redaktur Cetak: Makhruzi Rahman | Redaktur Online: Jaffry Prabu | Web Master: Rizqi Jong | Pemimpin Perusahaan: Aprilia Ha-

riani | Iklan & Sirkulasi: Rahayu Oktaviani | Marketing & Promosi: Ema Fitriani | Pemimpin Litbang: Aditya Putri | Riset: Aam Maryamah

LAPORAN UTAMA TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 20132

Assalamualaikum wr.wbSalam sejahtera untuk kita semua. Setiap bulan, tak lupa kami hadirkan

tabloid ini ke tangan pembaca. Karena kami tak mau kehilangan kepercayaan pembaca. Meski kami tak tahu seberapa kepercayaan Anda kepada kami. Kami tetap berusaha menghadirkan tabloid ini agar selalu menyuarakan kebebasan, keadilan, dan kejujuran.

Setiap bulan pula, reporter kami selalu bergumul dengan waktu tenggat. Tak masalah, pikir kami. Mengorbankan waktu dan kehidupan kami untuk pem-baca adalah sesuatu yang mulia. Hal sep-erti ini sudah akrab bagi kami.

Tapi sayang, tabloid ini merupakan edisi akhir untuk semester ini. Namun, tak serta merta kami mati. Kami tetap hadir dalam bentuk lain. Juga tetap men-yajikan yang terbaik bagi pembaca yang lebih universal tentunya.

Yang kami sajikan selama ini bukan sekadar pepesan kosong. Mana mungkin pepesan kosong dihasilkan dari proses dialektika selama berjam-jam? Dari sana, kami memverifikasi dengan fakta yang kami temukan di lapangan. Jika Anda berang dengan karya kami ini, coba lawan dengan tulisan juga. Kami menyediakan ruang bagi Anda untuk bersuara di terbitan kami.

Kami punya peran sebagai wacth dog di kampus ini. Mestinya bukan cuma kami yang punya peran seperti itu. Setiap orang yang berpikir harusnya peka terhadap keadaan sekitarnya. Bu-kan malah tak acuh.

Tak hanya itu, kami rasa karya kami tak membawa apa-apa bagi kampus ini. Kemudian muncul pertanyaan, untuk apa lagi kami bekerja jika tak ada peru-bahan? Tak ada gerakan massa, setelah karya kami terbit. Kami kecewa.

Atau memang karya kami yang be-lum bisa memantik gerakan massa. In-trospeksi buat kami. Mungkin bukan hanya kami yang merasakan ini. Pers mahasiswa di kampus lain barangkali sama.

Kebijakan rektorat kian waktu kian mengerdilkan gerak mahasiswa. Jam malam misalnya. Tak ada gerakan yang menuntut agar kebijakan tersebut diha-pus. Kebijakan tersebut jadi angin lalu saja. Tak ada yang peduli. Bahkan tak ada yang sadar. Semakin kerdil saja kita, kawan-kawan! Sebagian menanggapi, “Baiklah, kita memang kerdil,” kata mereka.

Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan se-tiap orang yang berpikir,” katanya dalam Bumi Manusia. Apa yang kami lakukan hanya sekadar memantik agar pem-baca sekalian berpikir dan sadar bahwa ketidakadilan sedang terjadi di sini. Kami ucapkan sampai berjumpa lagi di edisi semester depan. Mari berpikir. Baca, tulis, lawan!!!

Salam Redaksi

“Gendong nih anak lu! Enggak kangen apa sama anak?” Ujar Emak Jantuk. Perlahan Bapak Jantuk mengambil alih Si Jantuk dari gendongan Emak Jantuk. Diajaknya Si Jantuk bercanda. Ba-pak Jantuk menggendong Si Jan-tuk dengan posisi terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas.

“Ya ampun Pak Jantuk, anakn-ya jangan digituin,” papar Emak Jantuk dengan logat Betawi yang kental. Sembari bercanda, Emak Jantuk meminta Bapak Jantuk untuk memutar posisi gendongan-nya. Mereka berdua kembali men-gajak Si Jantuk bermain di peka-rangan rumah, mengayun-ayun Si Jantuk.

Ketika mereka mulai lapar, Ba-pak Jantuk meminta diambilkan

Di bawah cahaya temaram, sesosok lelaki bertopeng hitam dan berbalut pakaian serba hitam dengan kain sarung di pundaknya berceloteh dengan sang istri. “Jantuk mana?” Tanya lelaki itu yang berperan sebagai Ba-pak Jantuk kepada istrinya yang baru datang. Emak Jantuk masuk ke dalam rumah, kemudian menghampiri Bapak Jantuk dengan menggendong Si Jantuk.

TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013 15SENI BUDAYA

Si Jantuk Jadi Panutan

nasi dan lauk-pauk. Sebagai Istri, Emak Jantuk meladeninya den-gan baik. Segala hidangan yang ada disajikan untuk Bapak Jantuk. “Mana lauk kesukaan gue?” tanya Bapak Jantuk dengan suara yang agak meninggi.

Bapak Jantuk tidak jadi mema-kan sajian yang telah disiapkan oleh Emak Jantuk. Ia merasa is-trinya tak mengerti apa yang ia in-ginkan. Adu mulut antarkeduanya mulai terjadi. Tanpa berpikir pan-jang, Emak Jantuk meminta sang suami untuk memulangkannya ke rumah orang tuanya.

Bapak Jantuk memutuskan un-tuk memulangkan istrinya, dan tanpa ragu-ragu ia menjatuhi talak kepada Emak Jantuk. Dengan se-nyum tipis, Emak Jantuk meneri-

ma keputusan yang telah diambil oleh suaminya. “Enggak kenapa-kenapa gue dijatuhi talak, masih banyak yang mau sama janda kay-ak gue,” kata Emak Jantuk.

Merasa semakin tak ada yang mengurusi, Bapak Jantuk mulai menyesali perkataannya. Ia pun merasa kesepian ketika tak ada lagi anak dan istri di sampingnya. Bapak Jantuk berpikir bahwa ia masih membutuhkan anak dan istrinya.

Hingga akhirnya Bapak Jantuk kembali ke rumah orang tua Emak Jantuk untuk kembali meminang Emak Jantuk. Melihat kesunggu-han Bapak Jantuk, Emak Jantuk bersedia untuk dipinang kembali oleh Bapak Jantuk.

“Namanya rumah tangga, pasti

ada ujiannya,” ujar Ayah si Emak Jantuk. Kembali mendapat restu dari sang ayah, mereka memulai kehidupan berumah tangga dari awal. Mereka kembali mengurus Si Jantuk bersama.

Pertunjukkan Teater Tutur Si Jantuk dari Sanggar Ratna Sari yang dipentaskan di Bentara Bu-daya Jakarta (BBJ) mengaman-ahkan tentang kerukunan dalam berumah tangga. Kerukunan terse-but dapat dijaga dengan saling mengerti dan menjaga perasaan.

Ketua Sanggar Ratna Sari, Entong Sukirman menjelaskan, Teater Tutur Si Jantuk menjadi tontonan yang juga jadi tuntunan. “Teater ini bercerita mengenai masalah rumah tangga dari yang sepele hingga terjadi masalah yang kompleks hingga menyebab-kan perceraian,” ujarnya, Kamis (14/11).

Teater Tutur Si Jantuk masuk ke dalam jenis seni budaya topeng Betawi. Pertunjukan teater ini di-iringi alunan alat musik gambang

keromong yang terdiri dari gen-dang, kenong tiga, kenceng, ke-crek, gong, rebab.

Teater Tutur Si Jantuk dipentas-kan dengan bertutur sambil bern-yanyi untuk dapat mengungkapan perasaan para pemain. “Biasanya Teater Tutur Si Jantuk dipentas-kan di hajatan, jadi teater ini da-pat jadi contoh dalam kehidupan berumah tangga,” ujar Entong.

Dalam lakon tersebut, Si Jantuk bukanlah anak-anak sungguhan. Peran Si Jantuk digantikan oleh boneka anak-anak. Lakon dalam Teater Tutur Si Jantuk hanyalah dua orang—Bapak Jantuk dan Emak Jantuk— yang diiringi oleh para pemain gambang keromong. Di atas pentas, kedua lakon dan pemain gambang keromong saling bersahutan. Mereka selalu men-impali percakapan dari Bapak dan Emak Jantuk.

Penampilan pemain Sanggar Ratna Sari dalam Teater Tutur Si Jantuk di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/11).

Foto: Azizah/INS

Gita Nawangsari

Hal yang demikian dirasakan dan diungkapkan oleh salah satu dosen dari Fakultas Ilmu Sains dan Teknologi (FST), Yon Giri Mulyono. Dosen tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini mengaku ‘ngamen’ di beberapa universitas guna menutup kebutuhan hidupnya. Selain di UIN Jakarta, ia juga mengajar di Universi-tas Tarumanegara, Universitas Indo-nesia, dan beberapa universitas lain. “Tidak cukup jika hanya mengandal-kan gaji dari satu universitas saja,” ka-tanya ketika ditemui di Ruang Sidang Lantai 2 FST, Kamis (21/11).

Yon mengungkapkan, kurangnya kesejahteraan dikhawatirkan bisa ber-dampak negatif pada kualitas maha-siswa. Pasalnya, saat mengajar, para dosen tidak fokus mengajar lantaran sering kali terpikir bagaimana cara menutup kebutuhan hidup keluarga. “Padahal kualitas pemahaman ma-hasiswa tergantung bagaimana cara mengajar dosen,” tambahnya.

“Sebenarnya banyak faktor yang mengakibatkan fenomena dosen ‘nga-men’ itu terjadi, seperti kurangnya kesejahteraan dan barangkali dosen yang ‘ngamen’ tersebut benar-benar kompeten dan dibutuhkan di bebera-pa universitas lain. Namun, tidak bisa dipungkiri, kebanyakan dosen ‘nga-men’ diakibatkan karena kurangnya jaminan kesejahteraan,” kata Iyon.

Senada dengan Yon, Kepala Juru-san Pendidikan Bahasa dan Sastra In-donesia (PBSI), Mahmudah Fitriyah membenarkan kesejahteraan dosen di Indonesia masih sangat rendah. Menurutnya, sebagai dosen atau pen-gajar, bayaran itu bukanlah hal yang utama. Meski demikian, para dosen seharusnya mendapat penghargaan dan jaminan kesejahteraan.

“Saya juga mengajar di beberapa fakultas, tapi saya tidak mengejar uang, melainkan memang tugas saya sebagai pengajar. Saya di sini seba-gai Kepala Jurusan (Kajur) dan tidak diperbolehkan mengajar lebih dari enam Satuan Kredit Semester (SKS). Saya tidak betah hanya duduk diam

‘Ngamen’, Alternatif Dosen Penuhi Kesejahteraan

di sini, makanya saya juga mengajar di beberapa universitas,” katanya, Ju-mat (22/11).

Mahmudah memaklumi jika ada beberapa dosen yang mengajar di banyak universitas, pasalnya jika mengandalkan mengajar di satu universitas dirasa kurang mencuku-pi kebutuhan sehari-hari. “Seperti teman-teman saya di sini (PBSI) ser-ing mengeluh dompet kosong ketika akhir bulan, bagaimana ini?” Ungka-pnya.

“Saya sangat berharap, UIN Ja-karta kembali seperti dulu lagi. Maksudnya kalau kita bekerja, maka bayarlah pekerjaan kita. Jangan dihi-tung cuma gaji pokok aja. Kembali seperti dulu, bimbingan skripsi, pen-guji skripsi, dan penasehat akademik ada honor tambahan. Tidak seperti sekarang yang dihilangkan semua. Agar para dosen sejahahtera,” tu-turnya.

Terkait dosen ‘ngamen’ tersebut, salah satu mahasiswa semester tiga Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Fakih Nur Sofyan berpen-dapat, sudah menjadi hal lumrah jika dosen itu ‘ngamen’ di beberapa uni-versitas. Pasalnya, menurut Fakih, dosen adalah manusia dan manusia itu mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan kehidupannya.

“Tapi tidak bisa dibenarkan jika dosen itu mengabaikan tugasnya sebagai pengajar. Sesibuk apapun

Fenomena dosen ‘ngamen’ atau mengajar di beberapa universitas saat ini banyak ditemui. Hal itu disebabkan karena para dosen tak bisa menutupi kebutuhan hidupnya jika hanya mengajar di satu universitas. Dampaknya, para dosen tidak fokus dengan kegiatan penga-jarannya.

atau mempunyai kegiatan apapun, seharusnya dosen itu komitmen mengajar dalam rangka ikut serta mencerdaskan bangsa. Mungkin jam-inan kesejahteraan untuk dosen lebih diperhatikan lagi, agar dosen benar-benar fokus dalam dunia kampus,” ungkap Fakih.

Fakih seringkali mendapati dosen-nya absen mengajar dengan alasan sibuk. Ia mengaku kecewa karena jerih payahnya dalam bekerja untuk tetap bisa kuliah hanya dibayar den-gan dosen yang sering absen.

Menanggapi hal tersebut, Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Komisi X Bidang Pendidikan, Akhmad Danial mengatakan, negara sebenarnya su-dah mengatur mengenai kesejahter-aan dosen. Namun, menurut Danial, setiap dosen mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sehingga para dos-en mencari alternatif lain guna me-nutup kekurangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Salah satunya ‘ngamen’ ke beberapa universitas.

“Untuk masalah dosen ‘ngamen’, sebenarnya tidak ada aturan yang mel-arangnya, tapi dengan catatan selama mereka bisa benar-benar bertanggung jawab dan fokus dalam mengajar. Jika dosen tidak serius dalam mengajar, dampaknya mengena pada kualitas mahasiswa,” ungkapnya.

Selamet Widodo

Para mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kese-hatan (FKIK) Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) yang tergabung dalam organ-isasi Center for Indonesian Medical Students Activites

Mahasiswa PSPD Gelar Pengobatan

Gratis

KiilaS (CIMSA) mengadakan pen-gobatan gratis untuk veteran di kawasan Arteri, Pondok Indah. Mereka menggelar acara bertajuk Heroes Day ini untuk memperingati Hari Pahlawan, Minggu (10/11).

Di Arteri, puluhan maha-siswa PSPD dibagi menjadi tiga kelompok dan berkun-jung ke rumah tiga orang veteran untuk memeriksa ke-sehatan para veteran. Veteran pertama bernama Teuku

Muhammad Nawi (105 tahun), salah satu tentara yang berperang melawan Belanda untuk membe-baskan Irian Jaya Barat. Veteran selanjutnya ialah istri dari Alm. Moham-mad Natsir (82 tahun), tentara DI/TII Jawa Barat yang mengadakan pember-ontakan tahun 1949, dan Mardi (90 tahun) yang ter-gabung dalam TNI Kodim Jakarta Pusat.

Ketua CIMSA, Aditya Ba-gus Wicaksono mengatakan, acara pengobatan gratis ini tidak hanya berhenti sampai di sini. “Dari ketiga veteran ini, ada yang menderita da-rah tinggi dan penyakit lain yang memang perlu dikon-trol. Kami akan memantau keseharan mereka hingga membaik,” tutur mahasiswa semester lima ini, Minggu (10/11). (Gita Juniarti) Aku bukan nasionalis, bu-

kan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubung-kan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa

Ahmad Wahib dan Pluralisme

KiilaS saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wa-hib 9 Oktober 1969)

Itulah salah satu pemikiran Ahmad Wahib yang ingin diperkenalkan melalui se-buah workshop yang bertajuk “Mengenal Wahib, Menebar Toleransi.” Acara yang di-adakan di Auditorium Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli-tik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta meru-pakan acara dua tahunan Ahmad Wahib Award yang diselenggarakan oleh Forum Muda Paramadina.

Di tahun pertama acara terdiri dari pelatihan dan so-sialisasi, lalu di tahun beri-

kutnya dilanjut kompetisi esai, blog, dan video dan malam puncak Ahmad Wahib Award. Sedangkan kompetisi Ahmad Wahib Award akan dibuka tahun 2014 mendatang. Irsyad Rafsadi, selaku koordina-tor workshop berharap, “Melalui acara ini, saya ingin anak muda dapat menghayati pemikiran dan semangat Ahmad Wa-hib,” katanya saat ditemui di sela-sela acara, Rabu (13/11).

(Azizah Nida Ilyas) BERITA FOTOKontingen Universitas Gajah Mada (UGM) tengah menampilkan kategori pasangan senjata dalam Piala Presiden RI Kejuaraan Nasional Silat Peri-sai Diri antar Perguruan Tinggi XXIV yang digelar di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Sabtu (23/11).

Foto

: Aw

ang/

INS

Page 3: Tabloid Edisi XXIX November 2013

TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013 3LAPORAN UTAMASASTRA14

Seperti yang dialami oleh Frans Sayogi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Ia mengakui mata kuliah yang diajarnya saat ini tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. “Saya ini lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di Tarbiyah, tetapi tahun 2000 saya ditempatkan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI),” kata Frans yang juga Dosen Psikolin-guistik.

Frans menceritakan, ia terpaksa beradaptasi lagi dengan mata

Dosen Kurang, Kompetensi Akademik Dipertaruhkan

Kemegahan gedung dan banyaknya mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ternyata tak seband-ing dengan hadirnya tenaga pengajar atau dosen. Sekalipun ada, masih banyak dosen yang mengajar tak sesuai dengan bidang keilmuannya. Hal itu menjadi bukti bahwa UIN Jakarta mengalami krisis dosen.

Foto: Azizah/INS

kuliah yang dituntut. Karena pada saat itu UIN Jakarta belum memi-liki dosen yang bidangnya murni sastra atau lingustik. “Harusnya saya mengajar lebih bersifat ap-likasi dari bidang keilmuan saya,” terangnya saat ditemui di Ruang Dosen FAH, Senin (18/11).

Selain itu, lanjut Frans, rasio dosen dan mahasiswa terkadang juga membuat dosen harus men-gajar mahasiswa yang jumlahnya melebihi batas ideal. Hal ini tentu berdampak pada kompetensi pe-

dagogik dosen. Berdasarkan data tarakhir

dari Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) tahun 2012, rasio dosen dan mahasiswa jurusan BSI berk-isar 1:48. Padahal, menurut Frans, rasio ideal di jurusan bahasa han-ya sekitar 1:20 hingga 1:25. “Kom-petensi pedagogik itu bisa dili-hat saat situasi belajar mengajar. Kalau mahasiswanya kebanyakan suasana jadi tidak kondusif, dosen jadi sulit intuk mengetahui potensi mahasiswanya,” ujar Frans.

Padahal, jelasnya, dalam un-dang-undang dosen itu dituntut untuk memahami gaya belajar, mengerti serta memahami potensi peserta didiknya. Ia menambah-kan, jika rasio terlalu besar, maka kompetensi tersebut sulit terca-pai. Menurut Frans, UIN Jakarta harus segera menambah jumlah dosen. “Kalau tidak terpenuhi, saya kira target UIN Jakarta pada tahun 2020 untuk menjadi research university akan sulit dicapai,” ucapnya.

Banyaknya dosen yang tidak sesuai bidangnya membuat ma-hasiswa kecewa. Salah satunya Thalita Sakaris, mahasiswa Fakul-tas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komu-nikasi (FIDIKOM). Menurutnya, latar keilmuan dosen yang tidak sesuai dengan mata kuliah yang diajarkannya akan mengurangi kompetensi akademik dosen.

Namun bagi perempuan ber-tubuh mungil ini, bukan hanya dosen yang harus kompeten dibi-dangnya, mahasiswa juga ditun-tut untuk aktif menggali ilmu dari sumber manapun. “Walau-pun dosen ngajarnya kurang pas, ngalor-ngidul, atau bikin ngantuk, saya tetap harus menghargainya,” terangnya, Kamis (21/11).

Solusi Krisis DosenUntuk mengatasi keterbatasan

tenaga pengajar, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengusulkan dosen tetap ber-dasarkan Surat Keputusan (SK) rektor. “Namun, upaya tersebut sering terkendala karena dana yang tersedia terbatas,” ujar De-kan FITK, Nurlena Rifai.

Ia menambahkan, FITK tidak bisa jika hanya menunggu dosen

yang dikirimkan dari Kementerian Agama (Kemenag) atau dari biro kepegawaian. “Karena sering kali dosen yang dikirim justru tidak sesuai dengan kebutuhan kita,” ucapnya saat ditemui di Ruang Dekan FITK, Senin (18/11).

Terlebih lagi, menurut Nurlena, dalam mengangkat dosen honor atau kontrak sudah sangat sulit karena UIN Jakarta sudah mem-berlakukan Beban Kerja Dosen (BKD). Dalam aturan BKD, dosen hanya boleh mengajar 9-16 Sistem Kredit Semester (SKS) saja per semesternya, sehingga tidak me-mungkinkan adanya dosen honor.

Apa yang dirasakan FITK ternyata dialami pula oleh Fakul-tas Psikologi. Menurut Fadhilah Suralaga, Wakil Dekan I (Wadek) Bidang Akademik, Fakultas Psikologi mengalami kekurangan dosen. “Terutama dosen Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), seperti Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Statis-tik, dan lainnya,” tuturnya, Kamis (21/11).

Fadhilah menambahkan, untuk meningkatkan kompetensi dosen fakultas banyak melakukan usaha baik usaha internal dan ekster-nal. Usaha internal yang dilaku-kan oleh fakultas di antaranya adalah mengadakan kajian untuk memperkaya kemampuan dosen dalam bidang Statistik Kuanti-tatif, Psikologi Islam, dan Tafsir Alquran.

Selain itu, Fadhilah juga me-nambahkan, fakultas juga men-dorong para dosen untuk aktif mengikuti pelatihan, workshop, short course, dan seminar hasil pe-nelitian, baik yang berskala na-sional maupun internasional.

Dosen Masih Abaikan Kode Etik

Pada Juni 2012, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menjadi tersangka tindak plagiat. Ia mengutip skripsi mahasiswanya tanpa mencantum-kan catatan kaki. Maret 2013, kasus plagiat kembali terjadi di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Seorang dosen melakukan plagiat sebanyak 21 halaman. Setelah melihat fenomena tersebut, apakah kode etik dosen masih perlu diterapkan mengingat pelanggaran masih sering terjadi?

Kepala Sub Bidang Program dan Evaluasi Kementrian Pen-didikan dan Budaya (Kemendik-bud) Agus Susilohadi menjawab, kode etik sangat diperlukan un-tuk mengontrol perilaku para dosen. Tanpa adanya kode etik dosen, dosen akan bertindak se-maunya sendiri.

Selama setahun kemarin, Ke-mendikbud mengadili 100 dosen setingkat guru besar yang mel-akukan tindak plagiat. “Sesuai dengan Permendiknas No 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi, maka sanksi yang dijatuhkan pun beragam. Mulai dari penundaan pem-berian hak dosen, penurunan pangkat, hingga pemberhentian pekerjaannya sebagai dosen se-cara hormat maupun tidak hor-

Azizah Nida Ilyas

mat,” jelas Agus, Rabu (20/11).Alumni Universitas Sebelas

Maret ini mengatakan, pelangga-ran lain yang marak dilakukan dosen adalah pelanggaran moral. Contoh dari pelanggaran moral adalah tutur kata atau tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh dosen. “Dosen akan diberi sanksi sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi, bukan diberi sanksi oleh Kemendikbud,” tutur Agus di ruang kerjanya.

Pelanggaran lain yang kerap terjadi di perguruan tinggi ada-lah tindak kekerasan. Agustus 2013, mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Kristen Indo-nesia Paulus (UKIP) Makassar dipukul dosen karena melakukan aksi protes lantaran tidak diberi peran menjadi panitia Ospek.

UIN Jakarta pun mengalami

hal serupa. Oktober silam, se-orang mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dipukul dosen ketika hendak mengambil foto di sudut ruang au-ditorium fakultas untuk pemuta-ran film.

Menanggapi hal tersebut, ak-tivis pendidikan, Jimmy Ph Paat mengatakan tindakan kekerasan itu terjadi karena relasi antara dosen dan mahasiswa tidak berjalan dengan baik. Guna mencegah kekerasan terjadi lagi, Dosen Universitas Negeri Jakar-ta (UNJ) ini menyarankan agar mahasiswa sering mengadakan diskusi yang tidak terlalu formal bersama dosen.

Menurut Jimmy, organisasi mahasiswa di kampus bisa men-jadi mediator yang baik untuk

menciptakan rasa saling meng-hormati dan menghargai antara mahasiswa dan dosen. “Komuni-kasi yang baik antara dosen dan mahasiswa menjadi solusi yang baik untuk mengurangi tindakan kekerasan,” papar Dosen Bahasa Perancis tersebut, Rabu (20/11).

Kode Etik Dosen di UIN Ja-karta

Kode etik dosen di UIN Ja-karta mengacu pada Peraturan Dirjen Pendidikan Islam (Diktis) Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan. Salah satu pejabat UIN Jakarta yang tidak ingin disebutkan namanya menuturkan, sejauh ini UIN Ja-karta telah melakukan berbagai tindakan untuk mencegah pel-anggaran kode etik dosen.

Ia melanjutkan, pelanggaran kode etik dosen di UIN Jakarta ditangani oleh pihak yang ber-beda. Dosen yang melakukan pelanggaran ringan, akan diberi peringatan lisan oleh dewan ke-hormatan di fakultas.

Untuk pelanggaran yang lebih berat, pihak rektorat yang me-ngadili dosen tersebut dan pelang-garan paling berat akan dibawa ke Kemenag untuk diberi sanksi yang setimpal. Sanksi yang di-berikan Kemenag pun tidak jauh berbeda dengan sanksi yang

ditetapkan Kemendikbud, antara lain penundaan pemberian hak dosen hingga pemecatan.

Sementara itu, pejabat UIN Jakarta tersebut mengatakan, pelanggaran berupa pemukulan yang dilakukan dosen tidak di-anggap sebagai pelanggaran kode etik dosen. “Pelanggaran yang di-lakukan oleh dosen HI langsung ditindaklanjuti oleh polisi karena pelanggaran tersebut sudah ter-masuk tindak kriminal,” ucapnya di Gedung Rektorat.

Menyikapi kode etik dosen di UIN Jakarta, Direktur Jen-deral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis), Nur Syam menuturkan, rektor UIN Jakarta sudah mel-akukan tindakan tepat dengan memecat dosen yang melakukan pelanggaran plagiarisme. “Hal ini bisa menjadi contoh bagi rek-tor lain untuk tidak segan-segan menindak dosen yang masih melakukan tindakan plagiat,” pa-par mantan rektor Institut Aga-ma Islam Negeri (IAIN) Sura-baya, Jumat (22/11).

Gita Juniarti

Ruang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra In-donesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (22/11).

“Menyesal”Oleh: Faisal. M*

“Pranngggggggg…..” Terdengar suara pecahan kaca yang seper-tinya dari arah kamar anakku. Tak salah lagi, ini pasti perbuatannya. Setiap hari ia seperti itu, sejak obrolan kami di sore itu. Ketika cuaca di luar sedang mendung, aku, istriku dan Hanif anakku berkumpul di ruang tengah ru-mahku yang kecil. Aku duduk ber-dampingan dengan istriku sedan-gkan Hanif duduk di depan kami berdua, layaknya tersangka yang sedang diintrogasi polisi.

“Nif, ada yang mau Bapak dan Ibu bicarakan sama kamu,” ka-taku membuka pembicaraan.

“Mengenai apa Pak?“Mengenai permintaan kamu

tentang kuliah, dulu kan kamu pernah ngomong sama Bapak, kalau sudah lulus SMA ingin melanjutkan kuliah, dan waktu itu Bapak sepakat menuruti per-mintaanmu itu.”

“Iya Pak, sekarang saya sudah lulus SMA dengan nilai terbaik pula, jadi saya bisa melanjutkan kuliah kan Pak?” Tanya Hanif dengan wajah sumringah.

Aku dan istriku saling pan-dang, terlihat ada kegalauan dari wajah istriku, dan sepertinya ia pun melihat hal yang sama dari wajahku. Kami berdua tidak tega untuk mengatakan ini pada Hanif.

“Begini Nak, Bapak ingin sekali

meneruskan sekolahmu sampai bangku kuliah, supaya bisa mem-perbaiki masa depanmu, dan tidak lagi seperti Bapak yang hanya ker-ja serabutan. Tapi,” aku menghen-tikan pembicaraan sambil meng-hela napas sejenak.

“Tapi apa Pak?” sergap Hanif memotong pembicaraanku sebe-lum aku teruskan. “Bapak tidak bisa memasukkan aku kuliah?” Tambah Hanif dengan nada men-inggi dan wajah yang tadinya sum-ringah berubah memerah, seakan yakin dengan yang ia katakan itu.

“Bukan begitu Nak, untuk sekarang, Bapak memang belum bisa menguliahkanmu, tapi tahun depan kalau ada rezeki, pasti Bap-ak akan memasukkanmu kuliah,” jawabku dengan wibawa seorang ayah. “Satu tahun bukan waktu yang lama kok Nif,” tambahku lagi.

“Tapi Pak,”“Benar sekali Nak apa kata bap-

akmu, dalam waktu satu tahun itu kamu bisa gunakan untuk belajar guna persiapan tes masuk kuliah, tes masuk kuliah itu kan tidak gampang, kalau sudah persiapan, kamu bisa dengan mudah masuk perguruan tinggi yang kamu ingin-kan,” tukas istriku menyergap per-kataan Hanif yang belum selesai.

“Tapi Bu, saya sudah bicarakan ini semua dengan teman-teman,

sejak masih di kelas satu dan kita sepakat ingin masuk kuliah bareng setelah lulus, tahun ini juga. Terus saya harus bicara apa sama teman-teman, kalau aku tidak jadi kuliah tahun ini,” kata anakku meledak-ledak dan terlihat raut kekecewaan di wajahnya.

“Maafkan Bapak ya Nak, sebe-narnya Bapak tidak ingin memu-puskan harapanmu untuk mel-anjutkan kuliah tahun ini, tapi memang Bapak belum punya reze-ki untuk membiayaimu kuliah,” jawabku mencoba menenangkan situasi. Istriku sebenarnya merasa tidak sanggup untuk mengatakan hal tersebut, tapi apa boleh buat, ini harus dikatakan.

Ketika itu, mendung berubah menjadi hujan dan diiringi dengan sahutan petir yang membuat kami harus berbicara dengan keras agar suaranya terdengar satu sama lain. Kendati hujan, tetapi situasi yang kami rasakan tetap memanas.

“Pak tolonglah, saya ingin seka-li kuliah tahun ini, saya tidak mau ketinggalan dari teman-teman yang masuk kuliah tahun ini,” kali ini Hanif memasang wajah meme-las yang membuat kami semakin tidak tega melihat anaknya pupus harapan untuk kuliah tahun ini.

“Bapak minta maaf sama kamu Nif, bukannya bapak tidak mau menguliahkan kamu tahun ini,

tapi apa boleh buat Nak, harus pakai apa Bapak membiayaimu kuliah,” kataku meyakinkannya.

“Yang sabar saja ya Nak, nanti tahun depan kalau ada rezeki, pasti kita akan menguliahkanmu,” tambah istriku menghiburnya

Hanif hanya terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya hari itu. Dan kulihat ada genangan air yang tertambat di bola matanya, lagi-lagi semakin membuat kami berdua berat hati karena sudah mengatakan hal ini.

Ia berdiri dari tempat dudukn-ya. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kamar tidurnya, dan dengan sekuat tenaga ia mem-banting pintu kamarnya yang su-dah lapuk di makan usia hingga menimbulkan suara amat keras.

Sesaat, semua terdiam, ter-masuk anak-anak kucing yang sedang bermain dengan ibunya di ruangan itu. Hanya guyuran air hujan yang menerpa langit-langit rumahku dan sahutan petir yang terus mengiringinya, seakan mengerti kondisi dalam keluarga kami saat itu.

Melihat hal itu, aku bergegas melangkahkan kaki ke kamar an-akku dan tak ketinggalan istriku mengekor di belakangku, ketika sampai di depan kamar, kucoba dengan pelan mengetuk pintu kamarnya dan memanggilnya. Tak

ada jawaban dari dalam. Beberapa kali kuketuk lagi dan kali itu kuir-ingi dengan permohonan maafku terhadapnya. Tetap tak ada suara dari kamar anakku. Sampai keeso-kan harinya aku mencoba hal yang sama, tetap tidak berhasil.

Berhari-hari, ia tidak keluar dari kamarnya, sampai pada akhirnya terdengar celotehan yang tidak jelas dan diiringi tertawa hambar Hanif dari kamar mungilnya itu. Sesekali terdengar suara benturan benda yang beradu yang aku tidak tahu apa itu. Hal seperti itu terus terjadi di kamar Hanif sampai sekarang ini.

Kini aku sangat terpukul dan amat menyesal atas kejadian ini. Anakku gila karena keinginan mulia yang tidak didapatkannya. Aku menjadi orang paling berdosa di dunia saat ini, karena memu-puskan harapannya.

*Untuk teman-teman yang

masih ingin belajar.

Ciputat, 19 Desember 2012.

Penulis adalah mahasiswa Juru-san Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humanio-ra (FAH) semester 1..

Cerpen

Bumi menjamah dengan kasarDiam! Langit bergumam: nyinyirAtap langit, mulai robohAlas bumi, mulai retak

Tiang-tiang penyangga, mengeluh jatuhAbad-abad:Kulukis sketsa, buram!Kutulis sejarah, semu!

Manusia titah alam, alam berbalik keramSemua telah berani menentangSuratan semakin menghitamBumi dan langit tak henti seteruHendak, memeluk siapa saja yang tak tundukTerkutuk!

Ciputat, 04 November 2013

Tanah PesakitanOleh: Nusa Sandyakala*

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sas-tra Indonesia (PBSI) semester 1.

Hutan belantaraOleh: Heri Widyatno*

Tempat perkelahian nasibSuperior versus inferiorTak sebanding, tapi itulah pertaruhanHanya ada naluri, bukan untuk nuraniKaya; selalu kayaMiskin; menjelma termiskinkanHidup bak perjudianMemangsa atau malah dimangsa

Hidup bak sebuah perjalananMencari makan, maka hidup lamaJika dimakan, maka hidup menyisahkan kenangan

Hidup bak pelarianPergi pagi, pulang larut malamLari menyelamatkan diriAtau diam untuk mati

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI).

LunglaiOleh: Heri Widyatno*

Layang-layang itu terbangMencoba meraba langit“Tak pernah bisa,” ungkap kaum realisIa tetap gembiraLayang-layang miliki benangJika kau tarik benang ituDi situlah ia kan menepi

Hargamu teramat murah; semurah bumbu penyedap saset Kau sudah digenggamanTapi kau miliki arti lebih Semahal jumlah simetris lingkaranKau tak bisa menyapaTak jua ucap seutas kata

Tapi kau terus berkata-kataSaat dirimu tiba diangkasaMengirim pesanMenegurku lewat seutas benang

Puisi

“Dosen akan diberi sanksi sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi, bukan diberi

sanksi oleh Kemendikbud”

Coming SoonMajalah INSTITUT Edisi 41

Page 4: Tabloid Edisi XXIX November 2013

TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013 13RESENSILAPORAN UTAMA4 TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013

Perilaku mahasiswa yang doyan copy paste, diyakini Ketua Jurusan Teknik Elektro Universitas Neg-eri Jakarta (UNJ), Wisnu Djat-miko sebagai dampak negatif dari perkembangan teknologi. “Maha-siswa lebih bergantung pada inter-net ketimbang buku. Hal ini da-pat berujung kepada pembiasaan tindakan plagiat,” katanya saat ditemui di Ruang Kerjanya, Selasa (19/11).

Budaya ini ternyata tidak hanya di kalangan mahasiswa Strata satu (S1), Wisnu berujar, mahasiswa setingkat S2 dan S3 pun berbuat demikian. Memandang paradoks yang merebak di dunia perkulia-han tersebut, Wisnu berpendapat bahwa para dosen harus memper-baiki pola pengajarannya.

“Dosen semestinya memberi pengarahan kepada mahasiswa sebelum membuat karya ilmiah atau makalah. Mahasiswa diarah-kan agar merujuk kepada peneli-tian yang sudah ada, sumber buku primer dan sekunder,” katanya.

Wisnu pun menilai, dosen mem-berikan kebebasan mahasiswa un-tuk mengacu pada internet agar bisa melihat perkembangan ilmu yang dipelajari, karena dosen hanya memberikan dasar-dasarn-ya saja. Budaya diskusi pun perlu dibangun agar mahasiswa terasah

Pola Pengajaran di Era Kemajuan Teknologi

Muhammad Wahyu Syahputra mendapat tugas makalah dari dosen-nya. Saat dosen tidak menyarankan buku rujukan, tak jarang ia pun memilih jalan pintas dengan menyadur seluruh materi dari Blog alias copy paste. Alhasil, dalam dua jam, makalah bisa selesai.

pola pikirnya.Pengamat Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, Burhan Nurgiontoro mengatakan, pola pengajaran yang terpenting yaitu tidak ketinggalan zaman dan kon-tekstual. Artinya dosen maupun mahasiswa bisa memanfaatkan media teknologi yang sudah ada dan berkembang seperti sekarang.

Bagi dosen, internet bisa digu-nakan untuk mengontrol karya ilmiah yang dibuat oleh maha-siswa. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh Burhan. “Awalnya saya kagum dengan se-buah makalah salah seorang ma-hasiswa saya. Namun saya curiga. Akhirnya saya telusuri melalui mesin pencari di internet. Saya temukan bahwa makalah tersebut adalah karya seorang dosen. Han-ya namanya saja yang diganti,” paparnya dengan nada kesal.

Namun sayangnya, dosen malah kerap menyalahgunakan internet. Hal ini dilihat Wahyu Djatmiko dari fenomena dosen yang ser-ing tidak masuk kelas dan hanya menugaskan mahasiswa membuat makalah yang kemudian dikirim melalui email.

“Walaupun dosen mengguna-kan teknologi, seperti memanfaat-kan email dan lain sebagainya. Kalau dosennya saja telat atau bah-

kan tidak masuk kelas, bagaimana mereka mau memberi pengara-han kepada mahasiswa. Kalau dosennya sibuk dengan urusannya sendiri, kapan ada waktu untuk mengecek dengan teliti makalah yang diserahkan oleh mahasiswa. Jadi, pola pengajarannya itu yang penting,” jelasnya.

Kalaupun dosen tak bisa ber-tatap muka dengan para maha-siswanya, Burhan menganjurkan

pola pengajaran yang bersifat e-learning. Dalam e-learning, dosen diwajibkan menyediakan website yang siap digunakan mahasiswa untuk acuan belajar yang dileng-kapi dengan adanya buku dan karya ilmiah dosen yang bisa di-unduh. Mahasiswa pun selain mendapat bahan ajar juga tetap mendapatkan arahan yang bersifat nonverbal atau tertulis dari dosen.

Foto

: Azi

zah/

INS

“Dosen semestinya memberi pengarahan kepada mahasiswa sebelum membuat karya ilmiah atau

makalah,”

Dewi Maryam

Hal itu diungkapkan oleh Rah-mat Hidayatullah, mahasiswa yang mengecap dunia kampus di era tersebut. Karenanya, ia ber-sama Makyun Subuki, Risfana Faisal, Purwo Sasmito, Andikey Kristianto, dan seorang komposer Taufik Adam terinspirasi untuk mendirikan Ciputat Musik Space (CMS), pada Maret 2013.

Rahmat atau yang akrab disapa Kemat bercerita, dalam kegiatan yang dilakukan, CMS menem-patkan musik sebagai kebudayaan dalam konteks yang luas. Alhasil, kegiatan CMS tidak selalu soal keterampilan bermusik. “Musik hanya sebagai pintu gerbang saja,”

CMS: Hubungkan Musik dengan KehidupanAktivitas seni dan budaya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tidak lagi sehidup dulu. Di era pergantian tahun 90an dan 2000an, kampus meriah karena berbagai kegiatan seni dan budaya. Sep-erti adanya acara lesehan budaya selama sebulan penuh, acara program Music Award, dan lainnya.

ujarnya, Jumat (15/11).CMS, tambahnya, selalu meng-

hubungkan musik dengan ber-bagai aspek kehidupan. Misalnya, bagaimana hubungan musik den-gan ekonomi, bagaimana hubun-gan musik dengan politik, dan lain sebagainya. Hal tersebut tergam-bar dari CMS Offline Series, yaitu kegiatan rutin CMS yang berlang-sung sebulan sekali. Tepatnya, pada setiap Jumat minggu per-tama.

Kegiatan tersebut dibagi men-jadi dua sesi. Pada sesi pertama, CMS menampilkan pemusik yang berasal dari Ciputat ataupun luar Ciputat. Kemudian, setelah mem-

b a w a k a n dua lagu komposisi , para pemusik tersebut akan p r e s e n t a s i terkait dengan konsep karya mereka.

Setelah itu, para penonton diperbolehkan memberikan masu-kan, saran, atau kritikan. “Pada sesi ini memang pure (tentang) musik,” jelas Kemat yang juga mantan Ketua Unit Kegiatan Ma-hasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa (PSM).

Sesi kedua yaitu diskusi tema. Pada sesi inilah CMS akan mem-bincang musik yang dihubungkan dengan berbagai aspek. Misalnya saja, pada bulan April lalu, CMS mengusung tema diskusi Rock, Sound & Social Movement.

Pada acara itu, selain Taufik Adam, CMS juga menghadir-kan Arranger & Guitar Instructor of PETROF Music Education, Roy Haris Chandra. Diskusi tersebut membahas latar belakang dan konteks kelahiran musik rok di Barat. Harus dipahami, saat itu, musik rok bukan sekadar musik, tapi juga gerakan sosial.

Kemat berharap, CMS bisa menjadi gerakan kebudayaan di UIN Jakarta. Sebuah gerakan yang mampu mengumpulkan berma-cam steakholder yang mempunyai perhatian terhadap kebudayaan. Karena memang, menurut Kemat, salah satu tujuan CMS adalah un-tuk memfasilitasi komunitas-ko-munitas yang ada untuk mengar-tikulasi gagasan dan kemampuan

mereka.M e n u -

rut Kemal, CMS juga sen-

antiasa memberi ruang bagi komunitas dan band sekitar

kampus untuk tampil pada acara CMS. “Dan memang kita maunya nggak melulu soal musik. Tapi, ka-rena brand-nya dari musik. Jadi, setiap acara, selalu ada pemen-tasan musik” tambahnya.

Kemat juga berharap, dengan adanya CMS, wawasan maha-siswa tentang musik bisa semakin bertambah, tidak hanya sekadar tahu cara bermain musik. Selain itu pula, diharapkan mahasiswa dapat sadar kalau tujuan ekonomi bukanlah hal utama dalam ber-musik.

Tujuan tersebut hanya konseku-ensi dari kebudayaan dan aktivi-tas yang telah manusia bentuk. Karenanya, melalui CMS, Kemat ingin mahasiswa dapat menikmati musik sebagai hiburan tapi di saat yang sama juga menghayati musik sebagai pengetahuan dan kete-rampilan.

Di samping itu, pencetus lain CMS, Makyun pun berharap, CMS dapat menggugah kesadaran seluruh sivitas akademika terha-dap kebudayaan, terutama dosen. Karena sebenarnya, tuntutan atas kebudayaan tidak hanya milik ma-hasiswa, tetapi juga justru harus dimulai dari pendidik. “Jadi, nggak cuma ngajar, pulang, nga-jar, pulang,” tegas Makyun yang juga Dosen Fakultas Ilmu Tarbi-yah dan Keguruan (FITK), Jumat (15/11).

Suasana acara CMS Offline Series. CMS biasa melaksanakan program rutin bulanan tersebut pada Jumat minggu pertama.

Septia Marisa, Dini Ismail, dan Siti Amaliyah sedang menyelesaikan tugas makalah di lorong Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (22/11).

Foto: Dok.CMS

KOMUNITAS

Berapa banyak kekerasaan yang terjadi atas nama perbedaan keyaki-

nan di Indonesia? Belum lama, terjadi kasus pengusiran pengikut ajaran Syiah dari tempat tinggalnya di Sam-pang, Jawa Timur. Selain itu, perusakan rumah ibadah je-maah Ahmadiyah oleh massa di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kekerasan yang menga-tasnamakan agama memang sering terjadi di Indonesia. Menurut Febi Yoneza, Direk-tur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kekerasan tersebut akibat penganut aja-ran minoritas--Ahmadiyah dan Syiah--dicap sebagai penoda agama. “Mereka bu-kan menodai agama, mereka tetap percaya pada satu Tu-han,” papar Febi.

Ia menegaskan, setiap orang berhak untuk berkeyakinan, berpendapat, dan berserikat. “Berkeyakinan tidak boleh dipaksakan,” tegasnya dalam Seminar Nasional Syiah dan Ahmadiyah dalam Perspektif HAM: Usaha Perlindungan Hak Minoritas di Indonesia, Kamis (14/11).

(Gita Nawangsari)

Febi: Berkeyakinan Tidak Boleh Dipaksakan!

KiilaS

Kode Etik Tak Tegas Tindak Dosen KriminalRabu 23 Oktober lalu, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) berdemonstrasi di depan Lobi Gedung FISIP. Demonstrasi tersebut berlangsung karena kasus pemukulan Kepala Program Studi Hubungan Internasional (Kaprodi HI), Kiki Rizki kepada salah satu mahasiswa Prodi Ilmu Politik, Muhammad Sulthon.

Kepada INSTITUT, terkait kasus pemukulan dosen terhadap mahasiswa, salah satu pejabat re-ktorat mengatakan, pemukulan yang dilakukan oleh Kiki Rizki, Dosen FISIP, tidak bersinggungan dengan kode etik di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Jika terbukti melakukan tindak krimi-nal berupa pemukulan terhadap mahasiswa, menurutnya, Kiki ter-jerat hukum pidana.

Ia menjelaskan, etik bukan be-rada di ranah hukum, etik adalah semua perilaku di luar hukum yang menyangkut kepantasan, kepatutan publik berdasar kaidah norma agama. Kode etik menga-tur tentang plagiat, tindak asusila, juga dosen yang mengajar dan memberikan penilaian yang tidak mempertimbangkan perkem-bangan mahasiswa.

Jika ada dosen yang melaku-kan pelanggaran berat di kampus, Komite Etik UIN Jakarta akan memberikan berita acara kepada pihak Kementerian Agama (Ke-menag) bahwa dosen yang ber-sangkutan melanggar akan terk-ena sanksi. Sanksi dapat berupa penurunan pangkat atau pember-hentian kerja.

Setelah menerima berita acara, kata dia, Kemenag tidak langsung mengambil keputusan. Namun, dipelajari dan diverifikasi kembali. Berbeda halnya dengan pelangga-ran ringan. Biasanya, pada tingkat fakultas, pelanggaran yang terjadi diselesaikan dengan memberikan surat peringatan atau teguran dari

pihak dekanat.

Dosen Salah, Patut DihukumMahmudah Fitriyah, Dosen

sekaligus Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) menjelaskan, seharusnya dalam merumuskan kode etik, dosen bukan lagi pejabat kampus tetapi orang yang berada di luar sistem. “Kalau yang membahas kode etik dari pejabat kampus ten-tu tidak akan bersih. Masa dosen mengawasi dosen?” Ujarnya, Ju-mat (22/11).

Selain itu, untuk menimbul-kan efek jera kepada dosen, se-harusnya masalah seperti plagiat dan pelanggaran kode etik lainnya diberitakan oleh media kampus. “Bukannya kita membuka aib orang, tetapi memberikan efek jera, agar dosen lain tidak melaku-kan hal yang sama,” tuturnya.

Ia juga menyayangkan ketika kode etik dibuat, tapi tidak ada tindak lanjutnya mulai dari penga-wasan, kontrol, dan evaluasinya. “Jadi percuma saja dibuat,” pa-parnya.

Lebih jauh ia menilai sistem yang dibuat sudah baik. Namun, orangnyalah yang membuat sistem tersebut menjadi rusak. Ia men-contohkan, kasus dosen di salah satu fakultas yang ditutupi karena mempunyai kesamaan organisasi dengan petinggi UIN Jakarta den-gan alasan mengotori organisasi. “Sebenarnya yang jelek itu bukan

organisasinya, tetapi orangnya,” tu-turnya.

Ketakutan MahasiswaSementara itu, salah satu maha-

siswa, Muhammad Asep Saefullah, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat sekaligus mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) menyayangkan, saat proses pengajaran dosen masih membawa sentimen bendera organisasi dari luar kampus.

Dirinya menilai, saat ini sedang terjadi krisis intelektual karena dosen melakukan plagiat. Banyak dosen yang tidak menerima tugas mahasiswanya ketika menjiplak dari internet, tetapi dosennya sendi-ri melakukan plagiat. Menurutnya, hukuman bagi yang melanggar kode etik juga harus tegas. “Dosen pun harus dikritik dan dinilai seperti dosen menilai mahasiswa,” ungka-pnya, Jumat (22/11).

Sementara, Lutfi Kamil Maulana, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Ciputat menjelaskan, seorang dosen yang memang tidak mempunyai integ-ritas, akhlak, dan etika seharusnya sudah diberhentikan menjadi dosen. “Jangan lagi dosen yang melanggar kode etik dilindungi,” tegasnya.

Ia mengatakan, akibat mahasiswa berorientasi kepada nilai, dosen yang memanfaatkan hal itu bisa melakukan tindakan yang melang-gar kode etik. Hal itu karena tidak ada kritik dari mahasiswa yang ta-kut tidak diberikan nilai atau bah-kan didrop out (DO).

Mahasiswa berdemonstrasi karena kasus pemukulan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), (23/10).

Foto: Azizah/INS

Adi Nugroho

Aku melanjutkan perjalanan menuju Desa Purnarasa, tempat sebuah taman bacaan berada. Di sana, aku ingin mencari buku Gu-nadarma. Gunadarma anak yang baik, ia tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk, namun takdir sungguh membuatnya menjadi se-batang kara. Neneknya meninggal di hari terakhir Gunadarma men-gantar sayuran ke pasar.

Dalam kesendirian, Gunadar-ma berniat melakukan perjalanan panjang guna bertemu Mbah Lin-glung, gurunya. Mbah Linglung merupakan orang yang sakti man-draguna, yang bertemu Gunadar-ma di perjalanan menuju pasar.

Gunadarma memberikan seba-gian bekalnya kepada Mbah Lin-glung karena dirasa Si Mbah terli-hat kehausan. Segala halangan ia lewati demi bertemu guru tercin-tanya, tak disadari, dalam setiap

Susur Diri Bersama MadaMenurut kalian, apa sih yang disebut sedih itu?

Sedih adalah nama untuk ketiadaan rasa gembira.

Seperti halnya gelap, ia hanyalah nama untuk kosongnya ruang dari cahaya.

Maka sakit, juga adalah nama.

Sebutan manusia untuk melukiskan keadaan sepi, jauh dari rasa nik-mat, tenteram, dan nyaman dari tubuhnya.

perjalanan, ilmunya semakin ber-tambah. Ia berguru kepada alam.

Aku mencari buku Gunadarma bersama enam orang sahabat yang sama-sama ingin tahu kelanjutan cerita si bocah pemberani, Guna-darma. Ibu guru Aminah keburu berhenti mengajar sebelum meng-khatamkan cerita itu kepada kami.

Satu per satu temanku meng-hentikan perjalanan karena aral yang datang, kini bersisa hanya aku, Nia, dan Arya. Sesampainya di Desa Purnarasa, kami berte-mu Ibu guru Aminah. Katanya, kamilah Gunadarma karena kami hidup dalam kesederhanaan, menghormati alam semesta, ber-bagi kepada sesama, berseman-gat dalam belajar tak kenal usia, menghormati pendapat yang beda, menjalani hidup dengan cinta, dan berserah diri kepada-Nya. Ya, ka-rena Gunadarma tak pernah ada

dalam buku.Beberapa waktu telah berlalu, aku

kembali ke rumah, melanjutkan ke-hidupan dan terus mewarisi semangat Gunadarma.

Karena aku adalah Mada,Yang memang hanya sebuah nama,Yang lahir dari gumpalan cerita

jagat raya.Mada menjadi tokoh yang ter-

jelma dari ide kreatif Abdullah Wong, novel setebal 243 halaman terbitan Makkatana (2013) ini me-nyuguhkan suatu yang berbeda dibandingkan novel bergenre petu-alangan lainnya.

Plot maju yang dihadirkan membuat pembaca mudah mema-hami alur cerita. Begitu juga den-gan penokohan, dengan menem-patkan diri sebagai orang ketiga, penulis seperti ingin memberikan keleluasaan peran bagi para pem-bacanya dalam menyusuri tiap rangkaian cerita di dalam novel. Pembaca seakan dapat memilih akan mengikuti alur cerita dari sisi manapun yang disuka

Novel Mada juga mampu men-gobati kerinduan para pecinta kar-ya sastra ‘tempo dulu’ yang sarat akan kata-kata indah nan berima, seperti gurindam. Belum lagi habis pada keunikan penyajian diksi, Mada juga disusupi berba-gai cerita pendek yang hadir dari tokoh-tokoh lainnya, sehingga

dengan membaca Mada, kau akan mendapatkan tak hanya satu mel-ainkan banyak cerita bermakna.

Dengan ringannya, Wong mem-berikan tambahan berupa peng-etahuan ketuhanan, kesehatan, psikologi, kosmologi, biologi, antropologi, geografi, dan so-siologi tanpa membuat pem-baca pusing dengan kata-ka-ta yang berbelit. Hal itulah yang menjadikan Mada layak dibaca oleh berba-gai kalangan dan lintas generasi.

Namun, betapa bagusnya sebuah kar-ya tentulah tetap memiliki kekurangan. Jika ditilik dari segi cerita, agaknya ada beberapa di-alog Mada yang diceritakan tidak sesuai dengan umurnya, beberapa inkonsistensi penyebutan kata ganti, dan typo di sedikit diksi. Tetapi itu semua tidak begitu menggangu esensi dari cerita yang dihaturkan.

Judul : MADA, Sebuah Nama yang TerbalikPenulis : Abdullah WongTebal : 243 halamanPenerbit : Makkatana

Aditya Putri

Siti Ulfah Nurjanah

Page 5: Tabloid Edisi XXIX November 2013

WAWANCARA TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013125LAPORAN KHUSUS

Kunjungan ke Universitas Neg-eri Medan (Unimed), Institut Aga-ma Islam Negeri (IAIN) Medan dan Universitas Sumatra Utara (USU) itu dianggap sebagai ajang plesiran semata. Tak ayal, Ketua Komunitas Pecinta Alam (KPA) Arkadia, Fajar Ismail pun meno-lak untuk ikut dalam rombongan. Ia menilai kegiatan itu sekadar menghabiskan anggaran akhir ta-hun.

Fajar menganggap tujuan dialog kemahasiswaan tidak jelas. Ia juga mempertanyakan soal akreditasi universitas yang hendak dikun-jungi. Jika alasanya untuk berbagi informasi dan untuk komparasi, universitas yang paling tepat di-kunjungi adalah Universitas Indo-nesia (UI) atau Universitas Gajah Mada (UGM). “Akreditasi UI jauh lebih baik dari Universitas Is-lam Negeri (UIN) Jakarta. Sudah World Class University pula. Nga-pain jauh-jauh ke Medan?” Ujar Fajar, Kamis (7/11).

Menanggapi tudingan yang tidak enak, Sudarnoto membantah soal plesiran. “Ini bukan plesiran. Ini dialog kemahasiswaan. Saya

Sudarnoto:Ini Bukan Plesiran

Sekitar pukul 09.00 WIB, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kema-hasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim beserta stafnya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Kuala Namu, Medan pada Kamis (7/11) lalu. Keberangkatan itu bertujuan untuk menjalin silatu-rahmi dan berdialog tentang lembaga kemahasiswaan dengan tiga uni-versitas di Medan. Namun, dialog yang juga memboyong para ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) itu menuai kontroversi.

tidak mau ambil pusing. Silakan mahasiswa mau bicara apa. Saya hanya ingin bekerja,” tegasnya, Senin (18/11).

Ketika ditanya terkait pemili-han tempat kunjungan, Sudarnoto mengaku tak mempunyai alasan spesifik. Ia hanya mengatakan in-gin melihat kampus-kampus yang selama ini tidak dipandang hebat. Awalnya, ia merencanakan ingin berkunjung ke Singapura atau Brunei Darussalam, namun ang-garan yang disediakan tak men-cukupi.

Sudarnoto menjelaskan, selain untuk silaturahmi kepada sivitas akademika, tujuan dialog kemaha-siswaan juga untuk bertukar infor-masi dan melakukan kerjasama. Pihak rektorat sengaja mengajak para ketua UKM, Senat Maha-siswa (SEMA), dan Dewan Ek-sekutif Mahasiswa (DEMA) agar mereka bisa menggali informasi tentang lembaga kemahasiswaan dari ketiga universitas tersebut. “Bermanfaat atau tidak, tergan-tung pada individu. Kami hanya memberi kesempatan dan sebagai fasilitator,” ujarnya.

Tapi tujuan tersebut jauh dari harapan Ari Sumitro selaku Ketua Teater Syahid. Ia tak merasakan output yang bisa diambil dari di-alog kemahasiswaan tersebut. Ia menyayangkan, keberangkatan-nya ke Medan tak mendapat-kan apa-apa. “Saya kira di sana bakal ada kunjungan antar UKM satu ke UKM lainnya. Tapi nyat-anya tidak ada,” ucapnya, Selasa (12/11).

Sedikit berbeda dengan Ari, Ketua DEMA, Didin Sirojudin mengatakan, dialog kemaha-siswaan sangat bermanfaat dan penting guna memperbaiki sistem organisasi kemahasiswaan di UIN Jakarta. Namun, ia menyayang-kan waktu untuk berdialog hanya

sebentar.Terdapat tiga UKM yang me-

mutuskan tidak mengikuti kegia-tan ini. Di antaranya UKM KPA Arkadia, Lembaga Pers Maha-siswa (LPM) INSTITUT, dan Komunitas Mahasiswa Fotografi (KMF) Kalacitra.

Transparansi AnggaranDialog kemahasiwaan yang di-

helat selama tiga hari itu menga-habiskan anggaran sebesar Rp79 juta. Hal tersebut disampaikan Bagian Administrasi Lembaga Ke-mahasiswaan, Faiziah. Namun, ketika dimintai laporan anggaran dialog kemahasiwaan, Faiziah enggan memberikan.

“Kemarin saya sudah koordi-

nasi sama Pak Sudarnoto. Eng-gak boleh dikasih,” ujar Faiziah, Kamis (21/11). Faiziah hanya me-nyebutkan nominalnya saja. Tiket pesawat Lion Air menghabiskan Rp36,7 juta. Sedangkan pengina-pan harus mengeluarkan Rp12-13 juta dan Rp5 juta untuk uang saku Ketua SEMA, DEMA dan kedua belas Ketua UKM, masing-masing mendapat Rp300 ribu.

Dalam sesi wawancara sebel-umnya, Sudarnoto mengatakan, untuk laporan anggaran dialog kemahasiswaan silakan minta ke bagian yang bersangkutan. “Saya tidak tahu besaran dan sumber da-nanya. Coba tanyakan pada Pak Masruri atau bagian keuangan,” jelas Sudarnoto.

Nur Azizah

Foto: INSTITUTERS

Abudin menambahkan, mem-buat enam edisi jurnal dalam tiga tahun yang ditulis 80 persen dari orang luar bukan hal yang mu-dah. Menurutnya, kesungguhan dan keseriusan dari dosen dalam menulis jurnal kurang.

“Saya bukan melihat soal ke-mampuannya, melainkan kemam-puan itu tidak secara sungguh-sungguh. Saya katakan demikian buktinya kenapa Fakultas Syariah bisa? Berarti persoalannya pada kesungguhan, keseriusan, dan ke-mauan. Kemampuan sumber daya manusia Ushuluddin, Syariah, Di-rasat itu kan sama,” ungkap Abu-din.

Menurut Abudin, jika aturan pembuatan jurnal masih mengacu pada peraturan lama, jurnal yang dimiliki oleh setiap fakultas sudah layak diakreditasi. Permasala-hannya standar akreditasi yang ditetapkan Kemendiknas tidak stagnan. Akibatnya, jurnal yang diserahkan tidak terakreditasi.

“Dengan analisis kriteria tadi rasanya cukup berat, di samping

Standar Akreditasi Jurnal Dinilai Berat

Penilaian akreditasi jurnal yang diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) kurang diapre-siasi dan direspon oleh kemampuan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pasalnya, kriteria penila-iannya tidak sama dengan dosen yang masih mengacu standardisasi lama yang dinilai tidak begitu ketat. Hal ini diungkapkan Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, Abudin Nata, Selasa (19/12).

sumber daya manusia kita yang mau menekuni juga terbatas ke-mampuannya. Belum lagi, tiga ta-hun ke depan ketika akan menga-jukan akreditasi, maka jurnal yang mengacu pada aturan lama tidak masuk,” tambah Abudin.

Senada dengan itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Amin Suma mengungkap kan, persyaratan jurnal untuk bisa diakreditasi begitu rumit penanga-nannya. Di sisi lain, anggaran yang dialokasikan universitas tidak ban-yak, sedangkan pembuatan jurnal membutuhkan dana tambahan 50 persen dari dana yang sudah di-anggarkan.

“Mengandalkan anggaran dari universitas saja dipastikan tidak cukup. Tapi itu bukan satu-satu-nya alasan bagi kita untuk tidak bergerak karena ini tantangan kita sebagai ilmuwan. Ada atau tidak ada kewajiban, ilmuwan itu harus menulis,” ungkap Amin.

Menurut Amin, Dosen FSH tidak jauh berbeda dengan para dosen fakultas lainnya. Mereka

(dosen) mempunyai kesibukan yang sama. Meski demikian, diba-lik kesibukannya, mereka masih bisa membuat jurnal yang ter-akreditasi. “Itu saja patokannya, minimal dosen di UIN Jakarta sama dalam segala macamnya. Tetapi, masih bisa fokus dan jeli pada program yang sudah ada,” ujarnya.

Amin menghimbau, agar fakul-tas diberi kebijakan otonomi sep-erti pada masa Azyumardi Azra menjabat rektor. Sehingga, fakul-tas bisa mandiri, “Mohon maaf mudah-mudahan saya masih bisa berbicara jujur. Di tengah era reformasi, di mana otonomi dae-rah begitu berkembang, kita justru sebaliknya,” tambah Amin. Amin

berharap, meski banyak jurnal yang belum terakreditasi, ke de-pannya jurnal di setiap fakultas UIN Jakarta bisa menjadi lebih baik. Sebab, menurutnya, jur-nal merupakan tulisan yang pal-ing mutakhir baik data maupun pikiran. Selain itu, keilmuan du-nia akademik merupakan hal yang dibanggakan.

Jurnal Ahkam dari Fakultas Syariah dan Hukum yang sudah terakreditasi.

“Harus bisa, karena jurnal mer-upakan simbol kemajuan universi-tas. Mudah-mudahan dari sebelas fakultas yang ada, minimal sepa-ruh yang terakreditasi. Insya Allah FSH sudah mempersembahkan yang terbaik di balik kekurangan yang ada,” kata Amin.

“Harus bisa, karena jurnal

merupakan simbol kemajuan

universitas”

Abdurrohim Al Ayubi

Apakah Anda melihat bahasa asing membahayakan kelestarian bahasa Indonesia?

Saya melihat, gempuran ba-hasa asing ini mengakibatkan ter-jadinya erosi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Sehingga hal tersebut cukup membahayakan kelestarian bahasa Indonesia. Ma-kanya anak-anak sekarang pakai bahasa Inggris enggak beres, ba-hasa Indonesia pun rancu.

Di era globalisasi ini, apakah mempelajari bahasa asing menja-di keniscayaan atau justru ironi?

Kalau saya sih seimbang saja. Pertama, kita harus eksis dan ikut percaturan global yang menuntut kita mempelajari bahasa asing. Kedua, kita juga harus punya ciri khas dan kebanggaan tersendiri terhadap bahasa Indonesia. Sep-erti yang tercantum dalam UUD 1945, bahasa negara itu bahasa Indonesia.

Bagaimana Anda melihat penggunaan bahasa Indonesia di era globalisasi ini?

Saya melihat, penggunaan ba-hasa Indonesia di era globalisasi

ini cukup membingungkan. Sebab, di satu sisi, saya bangga melihat anak muda sekarang berbahasa Indonesia. Namun, di sisi lain saya juga miris ketika pergaulan zaman sekarang cenderung men-campuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Meski be-gitu, hal itu masih wajar dan bisa ditolerir.

Menurut Anda, apa faktor yang menyebabkan terjadinya percampuradukkan bahasa?

Tentu, karena adanya gempu-ran nilai-nilai asing yang masuk ke Indonesia. Hal lain juga karena faktor lingkungan yang biasa men-campuradukkan bahasa karena ingin dipandang gaul, hebat, dan prestige. Tapi, saya lebih suka meli-hat orang yang konsisten dalam menggunakan bahasa. Tak hanya itu, saya juga berharap media lebih mengutamakan penggunaan isti-lah bahasa Indonesia di banding istilah asing.

Apakah dampak yang ditim-bulkan dari fenomena pencam-puradukkan bahasa asing ini?

Hal itu menunjukkan ketidak-

Sebagai salah satu identitas bangsa, harkat bahasa Indonesia tentu perlu dilestarikan. Terlebih, di tengah gem-puran globalisasi seperti saat ini. Disadari atau tidak, globalisasi cukup mereduksi kehormatan dan wibawa bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa. Berikut petikan wawancara Reporter INSTITUT, Muawwan Daelami dengan Peneliti Utama sekaligus Koordinator Peneliti Pusat Penelitian dan Pengem-bangan (Puslitbang) Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), S. Dloy-ana Kusumah.

hormatan masyarakat Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Kalau berbahasa Inggris, maka berba-hasa Inggrislah pada tempatnya. Sebenarnya, fenomena seperti itu sudah biasa. Yah, namanya juga bahasa gaul. Tapi, ketika berbi-cara di forum formal gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi, semua bahasa diper-lakukan secara terhormat. Meski demikian, selama bahasa asing bisa memperkaya bahasa Indo-nesia, hal itu tidak jadi masalah. Tapi kalau menghancurkan, maka harus kita tahan.

Lantas, apa upaya Kemendik-bud untuk melestarikan bahasa Indonesia di tengah era glo-balisasi ini?

Pertama, kita mengukuhkan ketahanan budaya kita. Kedua, Kemendikbud juga memiliki satu badan bahasa yang melakukan pe-nelitian, inventarisasi, pengkajian, perlindungan, dan pemeliharaan terhadap bahasa daerah dan baha-sa Indonesia. Tujuannya, agar ba-hasa-bahasa tersebut tidak hilang dan tereduksi oleh gejala-gejala

kekinian yang lebih mengutama-kan pemahaman bahasa asing.

Apakah upaya tersebut juga diterapkan dalam kurikulum?

Seperti kita ketahui, Kurikulum 2013 memuat aspek seni budaya yang membincang masalah baha-sa. Bahasa Indonesia adalah baha-sa paling utama. Bahasa Indone-sia juga masih memiliki peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bagi saya, lembaga pendidikan yang menerapkan ke-bijakan berbahasa asing itu bagus. Karena, kini, kita menghadapi era gobalisasi. Sebagai bahasa in-ternasional, bahasa Inggris juga harus kita pahami jika ingin ikut percaturan global.

Apakah, ke depan ba-hasa Indonesia punya po-tensi menjadi bahasa in-ternasional di kawasan Asia?

Sebenarnya, potensi itu ada. Tapi, untuk saat ini, saya menilai ba-hasa Indonesia belum cukup strategis menjadi bahasa internasional. Meski begitu, saya yakin bahasa Indonesia punya peluang karena di antara lima negara anggota ASEAN adalah berbahasa Melayu. Jadi, secara rumpun kebahasaan, kita punya kekuatan yang cukup besar. Mudah-mudahan, para pa-kar dan pemikir kebahasaan kita tetap mempertimbang-kan baik-tidaknya bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional di kawasan Asia.

Globalisasi Kikis Harkat Bahasa Indonesia

Foto: Dok.FLAT

Baginya, fenomena kampus kosong sebenarnya bukan hanya persoalan individual dosen tapi juga persoalan kolektif. Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Agus, harus ada kebijakan yang mendorong kembalinya iklim dan ekosistem akademik yang lebih jernih dan diadakannya kegiatan-kegiatan yang meningkatkan ke-sadaran para akademisi tentang risiko dan bahaya dari kosongnya kampus.

Sementara itu, Dosen Univer-sitas Negeri Jakarta (UNJ) sekali-gus aktivis pendidikan di Sekolah Tanpa Batas (STB) Jimmy Ph. Paat mengatakan, dosen yang lari ke dunia politik, administratif, dan bisnis akan memengaruhi fungsi mereka sebagai dosen. “Fungsi sebagai pengajar saja sulit mereka lakukan, apalagi melakukan pe-nelitian,” ujarnya Rabu (20/11).

Ia melanjutkan, hal demikian akan sangat membahayakan bagi perguruan tinggi, begitu pun bagi daya belajar mahasiswa. Seharusnya, kata Jimmy, ketika mereka memilih untuk menjadi dosen, mereka tahu apa yang akan mereka lakukan nanti.

Jimmy menuturkan, mungkin alasan dosen yang terjun ke dunia politik adalah ingin melakukan perubahan. “Tapi, perlu diingat, hal itu akan menguras waktu dan tenaga, dan itu akan mengganggu fungsi dia sebagai dosen,” kata-nya.

Sedangkan bagi dosen yang ber-lari ke dunia bisnis dengan alasan kesejahteraan, menurutnya, itu hanyalah omong kosong belaka. “Dosen itu banyak tunjangannya, apalagi yang Pegawai Negara Sipil (PNS),” ujar Dosen Bahasa Peran-cis ini.

Terkait dengan kendurnya ori-entasi intelektual para dosen, lanjutnya, pemerintah dan pergu-ruan tinggi harus hati-hati dalam merekrut dosen. Pemerintah juga seharusnya mencari solusi agar dosen tidak lari dari profesi ke-dosenannya. Menurutnya, untuk melahirkan dosen yang loyal dan berintegritas tidak mudah dan bu-tuh waktu.

Meski demikian, Jimmy per-caya masih ada dosen yang mel-akukan tugasnya dengan benar dan mengamalkan tridarma per-guruan tinggi. Namun, Jimmy mempertanyakan konsistensi dos-en tersebut. “Jika dia sudah men-capai titik jenuhnya dan beralih ke profesi lain, maka kita tidak bisa melakukan apa-apa,” katanya.

Sistem MonotonSementara itu, Staf Ahli Komi-

si X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akhmad Danial menutur-kan, hal yang menyebabkan para dosen merambah dunia politik, administratif, dan bisnis adalah sistem yang monoton. Di semua perguruan tinggi, kata Danial, se-mua dosen hanya melakukan keg-iatan itu-itu saja.

“Sistem di negara kita tidak menyediakan waktu luang untuk dosen, kemungkinan hal itu yang menyebabkan para dosen merasa jenuh dan lari,” kata Danial. Ia menjelaskan, waktu luang san-gat penting untuk dosen, waktu itu bisa digunakan membuat pe-nelitian maupun hanya sekadar berkontemplasi.

Menurutnya, ada tiga jenis dosen. Pertama, mereka yang ter-paksa menjadi dosen karena tidak ada pekerjaan lain. Kedua, mere-ka yang sungguh-sungguh menjadi

dosen. Ketiga, mereka yang men-jadikan profesi dosen hanya seba-gai batu loncatan untuk mencapai profesi lain.

Menanggapi masalah dosen yang nyambi menjadi politisi, Da-nial berkata, peraturan pemerin-tah sudah jelas, PNS tidak bisa menjadi politisi, sedangkan untuk dosen yang nonPNS sah-sah saja.

Sementara untuk dosen yang menjadi birokrat, Danial menje-laskan, hal itu merupakan tugas tambahan bagi dosen karena di-anggap mampu oleh perguruan tinggi. “Jika melihat peraturan pemerintah memang ada dua tipe, pertama tenaga pendidik, yaitu dosen yang mengajar. Kedua, tenaga kependidikan yaitu sese-orang yang menjadi birokrat,” tu-turnya saat ditemui INSTITUT di Gedung DPR Lantai 14, Kamis (21/11).

Sambungan, Dosen Eksodus...

SELAMAT & SUKSESAtas Wisuda Aam Maryamah, S.Ip

Divisi Dokumentasi 2012-2013Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Sum

ber:

fsh-

uinj

kt.n

et

Page 6: Tabloid Edisi XXIX November 2013

KAMPUSIANA TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November20136

Sebuah telepon panggilan audisi Putri Indonesia mengawali perk-enalannya dengan ajang kontes kecantikan bergengsi tersebut. Saat itu, alih-alih merasa senang mendapat undangan audisi, Tika, sapaan akrabnya, malah kebin-gungan. Pasalnya, ia merasa tak pernah mengirimkan berkas pen-daftaran apapun.

Usut punya usut, tanpa sepeng-etahuan mahasiswi semester tu-juh jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Uni-versitas Islam Negeri (UIN) Ja-karta ini, teman-temannya telah bekerja sama dengan sang bunda mengirim berkas yang dibutuhkan ke yayasan penyelenggara Putri Indonesia 2013.

Setelah melalui seleksi berkas dan melewati tiga tahapan audisi yang menguji wawasan serta bakat yang dimiliki, Tika akhirnya ber-hasil menyingkirkan sekitar 800 perempuan lainnya se-DKI Ja-karta dan masuk sebagai 30 Fi-nalis Putri Indonesia 2013. Kini ia menyandang gelar Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013.

Meski tidak menjadi Putri Indo-nesia 2013, tidak ada gurat kecewa sedikit pun di wajahnya. Menu-rutnya, sejak masa audisi hingga sepuluh hari karantina bersama tiga puluh besar finalis Putri In-donesia banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan.

“Mereka (finalis Putri Indonesia 2013) pintar, berprestasi, dan ban-yak yang berkuliah di universitas ternama, namun tetap low profile, berpikiran terbuka, dan out of the

Sang Putri yang Ingin Pensiun DiniSedari kecil, mojang Bandung bernama lengkap Kartika Berliana Tjakradidjaja ini tidak pernah menyangka dirinya bakal masuk 30 besar finalis Putri Indonesia 2013 dan dinobatkan menjadi Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013. Di masa kanak-kanaknya, gadis yang kini menggemari dunia tari dan modelling tersebut dikenal sangat pemalu dan pendiam.

box,” ujar Tika, Selasa (12/11).

Ingin Pensiun di Umur 30 TahunPada Oktober 2013 lalu, Tika

juga didaulat sebagai Duta Small and Medium Enterprise Company (SMESCO) yang bergerak dalam bidang Usaha Kecil dan Menen-gah (UKM) di bawah naungan Kementeriaan Koperasi dan UKM Republik Indonesia.

Namun, meski tugas Putri Indo-nesia dan juga tugas duta cukup memakan waktu, mahasiswa yang bercita-cita menjadi Chief Ex-ecutive Officer (CEO) perusahaan swasta asal Jerman ini ternyata diam-diam tengah dalam proses merampungkan bab empat sk-ripsinya.

“Kalau model lain di backstage sibuk dandan, aku ngerjain skripsi. Aku ingin cepat menyelesaikan studi dan pensiun di umur 30 ta-hun. Karena itulah saat ini, aku kerja keras agar ketika pensiun dini sudah punya segalanya untuk masa depan keturunanku,” papar Tika.

Robert Kiyosaki merupakan jutawan dunia yang menjadi sum-ber inspirasi terbesar Tika. Pengu-saha yang pensiun di sekitar usia 20 tahun itu mengilhami Tika un-tuk mapan di usia muda. Baginya, kemapanan ekonomi tidak dapat dipungkiri menghantarkan sese-orang dekat dengan keluarga dan juga dengan Tuhan.

“Pekerjaan apapun pasti me-lelahkan. Namun bila menjalani dengan passion, kita akan tetap menikmati. Seperti saya yang tetap

menekuni passion di dunia tari dan modelling selama bertahun-tahun, namun juga tetap fokus pada ke-wajiban,” ujar remaja yang men-gaku kerap tidur hanya dua atau tiga jam dalam sehari ini.

Tanggapi Komentar MiringTika tak menampik banyaknya

pandangan negatif dari sejumlah pihak di UIN Jakarta terkait ter-pilihnya ia sebagai 30 besar finalis Putri Indonesia. Komentar ber-nada miring pun ia akui acap kali mampir di telinganya.

Kondisi ini terus berlangsung, terlebih sejak ia pada akhir Sep-tember lalu terpilih sebagai Miss Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013. Pemberitaan sejumlah situs berita online yang memberinya predikat Miss Sales Promotion Girl (SPG) pada acara yang dihelat di Kemayoran itu memperparah keadaan.

“Bila ada komentar negatif, yaa let it flow aja. Urusan aku di dunia ini hanya bagaimana membaha-giakan orang tua, bertanggung jawab sebagai anak, dan memen-uhi kewajiban sebagai hamba Allah. Di luar itu, biarkan saja, yang penting aku tetap bersikap baik,” tutur Tika santai.

Tika juga menyayangkan ko-mentar miring beberapa pihak terkait kerudung yang tidak dikenakannya saat mengikuti ber-bagai ajang tersebut. “Aku tetap menjalankan ibadah dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Banyak kan orang yang gembar-gembor muslim, namun nikah lagi dan korupsi,” tandasnya.

11SOSOK

Adea Fitriana

Nama : Kartika Berliana TjakradidjajaLahir : 1 Juni 1992Pendidikan Kini : Mahasiswi Semester 7 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN JakartaPrestasi : - Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013 - Duta SMESCO 2013 - Miss IIMS 2013

Foto: Dok.Pribadi

Bagi Mucle, kebiasaan tersebut muncul begitu saja ketika dirinya tengah mengenyam dunia pendid-ikan selama enam tahun di Pon-dok Pesantren Darunnajah, Jakar-ta Selatan. “Biasanya kan kalau di Pondok Pesantren kita (santri) dibina untuk berani, percaya diri berbicara di depan umum, sep-erti latihan pidato,” ujarnya. Tak hanya itu, Mucle bercerita, kecin-taannya terhadap musik juga yang membawa dirinya sering tampil di depan umum.

Memasuki dunia kampus, saat semester tiga, Mucle bertemu den-gan teman-teman yang memiliki hobi sama. Ia pun kembali me-neruskan kegemarannya di dunia musik. Dari situlah ia memulai kembali bermain musik dari satu panggung ke panggung lainnya. Hingga akhirnya, dari kegemaran tersebut membawa Mucle menuju dunia teater.

Saat menjadi mahasiswa, Mu-

Sejak kecil, dunia panggung bagi Mukhlas atau yang biasa dikenal Mucle bukanlah hal yang aneh. Kebiasaannya yang selalu tampil be-rani dan percaya diri di hadapan banyak orang membawa mahasiswa jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini menjadi seorang aktor, komedian, presenter, dan bin-tang iklan yang selalu wara-wiri di televisi.

cle pun sempat bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid. “Awalnya saya hanya menggarap musik saja, lama kelamaan akhirnya saya da-pat peran juga,” tuturnya sambil menyimpulkan senyum, Jumat (15/11).

Tak hanya mengembangkan bakatnya di dunia teater, ia juga tergabung di UKM Himpunan Qori dan qoriah Mahasiswa (Hiq-ma) untuk mengembangkan bakat qiraah dan tilawaahnya. Dengan berbagai talenta yang dimiliki Mu-cle, akhirnya setelah menamatkan pendidikannya di UIN Jakarta pada tahun 1997. Kemudian, ia diajak oleh temannya untuk men-jadi seorang penyiar di radio Su-ara Kejayaan.

“Radio itulah yang telah mela-hirkan beberapa komedian seperti Patrio, Bagito, Komeng dan lain-lain. Kebetulan sayalah yang jadi generasi terakhir radio tersebut

sebelum akhirnya bubar,” ungka-pnya saat di temui INSTITUT di Gedung TVRI.

Awalnya, Mucle mengaku, di-rinya belum tertarik untuk terjun di dunia televisi. Namun, akh-irnya pria kelahiran Agustus 1969 ini bertekad untuk mengembang-kan bakat lain yang dimilikinya. “Yang penting saya enggak mau jadi pegawai negeri,” candanya. Hingga, pada tahun 1997, ia pun sudah mulai menghiasi layar tel-evisi.

Beberapa film layar lebar yang pernah ia bintangi, yaitu Masih Bukan Cinta Biasa (2011), Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap (2012), Bu-kan Pocong Biasa (2012), Udin Cari Alamat Palsu (2012), dan Masih Cinta Biasa. Menurut Mucle, dari keseluruhan film yang ia bintangi, semua pasti punya sisi keunikan. Misalnya, seperti di film Bukan Cinta Biasa ia berperan sebagai seorang ustaz, dan dalam film Ke-jarlah Jodoh Kau Kutangkap ia ber-peran sebagai marbut masjid yang memiliki wawasan luas tentang teknologi.

Tak hanya membintangi be-berapa film layar lebar, ia pun mengembangkan bakat lainnya seperti menjadi seorang presenter acara di tahun 2012. Hingga kini, ia masih menjadi presenter acara Dewan Pers di TVRI.

Tanggung JawabMenurut ayah tiga anak ini,

profesi sebagai seorang entertainer adalah sebuah pekerjaan dan tanggung jawab. “Biar saja orang memanggil saya komedian, artis, presenter, itu sebutan buat mereka saja,” tandasnya. Yang terpenting, lanjut Mucle, adalah bertanggung jawab dalam setiap melakukan pekerjaan.

Ia mengaku tengah bertang-gung jawab membenahi komedi yang sudah kelewatan belakangan ini. Ia menambahkan, komedian sekarang sudah mulai mengarah

Mucle, Mengemas Hiburan Menjadi Tanggung Jawab

Nurlaela

ke kekerasan fisik. “Misalnya, pelecehan terhadap orang lain dengan melempar tepung,” kata mantan Ketua Hiqma ini.

Ia menyayangkan, kini dunia komedi justru diwarnai hal-hal seperti itu, jauh dari nilai dan pesan yang mendidik. Mucle menyarankan, pendidikan itu

Nama : Mukhlas alias MucleTTL : Jakarta, 26 Agustus 1969Almamater : Jurusan Muamalah Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN).Pekerjaan : Aktor, Komedian, Presenter

Foto

: Dok

.Prib

adi

Karena senang menjadi rela-wan, di semester tiga Azis kem-bali mendaftarkan diri. Ia sudah mulai mengetahui ritme kegiatan Ma’had Ali. “Meskipun di asrama dikekang, tapi asalkan bisa ngatur waktu,” ujar pria asal Jombang, Jawa Timur ini.

Sambil berorganisasi, maha-siswa jurusan Tafsir Hadist ini terus berupaya untuk memperta-hankan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya tetap stabil. Ia berusaha membagi waktu sebaik mungkin antara kewajiban di Ma’had Ali, organisasi, dan kuliah. “Saya in-gin berorganisasi jadi harus tetap berusaha, soalnya nanti takut di-cabut beasiswanya,” jelas Azis.

Ia bisa kuliah di Jakarta karena beasiswa, oleh karenanya Azis berjuang untuk mempertahankan-nya. “Kalau saya enggak keterima di sini saya enggak bisa kuliah, soalnya beasiswa Bidik Misi itu kan buat orang-orang berprestasi tapi tidak mampu,” tuturnya.

Momen paling berat baginya ketika baru menjadi angota muda KSR PMI. Selama satu bulan mengikuti ‘pengabdian’ ia banyak bolos kegiatan Ma’had Ali. Ban-yak kegiatan membuat Azis lebih sering izin. Akibatnya uang saku satu bulan tidak diberikan.

Karena tidak mendapatkan

Beasiswa Tak Jadi Halangan Berorganisasi

Baru satu minggu mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Korp Suka Rela (KSR) Palang Merah Indonesia (PMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Mahmudi Azis memutuskan untuk mengundur-kan diri. Azis kewalahan sehingga memutuskan keluar. Ia tak bisa mem-bagi waktu kewajiban di Ma’had Ali dengan organisasi.

Tak cukup hanya menguasai ba-hasa Inggris, kini, banyak maha-siswa mulai mempelajari bahasa asing lainnya. Di Universitas Is-lam Negeri (UIN) Jakarta sendiri ada lembaga yang membuka pro-gram kursus bahasa asing gratis seperti International Office (IO) dan Fethullah Gulen Chair, atau pelatihan bahasa asing yang di-adakan oleh beberapa Badan Ek-sekutif Mahasiswa (BEM).

Contohnya saja, mahasiswa ju-rusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) Reza Abdul Aziz yang kini tengah mempelajari lima bahasa asing, yaitu Arab, Turki, Korea, Jepang, dan Inggris. Sebagai ma-hasiswa linguistik, Reza merasa perlu untuk mempelajari bahasa asing. Hal tersebut, lantaran men-dukung cita-citanya untuk bisa meneliti bahasa di Asia.

Ketertarikannya dengan dunia bahasa dimulai sejak kelas empat Sekolah Dasar (SD), saat Reza kecil sering menonton film kar-tun berbahasa Inggris. Baginya, kemampuan ini memperbesar peluang agar karya, gagasan, dan bakat mahasiswa Indonesia dapat dilihat oleh masyarakat dunia. “Al-

Tak Perlu Mahal untuk Belajar Bahasa AsingAdanya perdagangan bebas Asian Free Trade Areas (AFTA) membuat batasan antarnegara sudah tidak ada lagi. Persaingan akademis dan industri bukan lagi antardaerah, melainkan antarnegara. Kemampuan berbahasa asing pun menjadi suatu keharusan yang dimiliki oleh mahasiswa. Kini, belajar bahasa asing men-jadi tren di kalangan mahasiswa.

hamdulillah, belajar semua bahasa itu enggak ada yang bayar, gratis, pengajarnya pun langsung native speaker,” ujar penerima beasiswa dari Turki ini, Selasa (19/11).

Sejak 2012 lalu, Reza mengi-kuti kursus bahasa Turki yang diadakan Fethullah Gulen Chair. Menurutnya, bahasa Turki da-pat menunjang dirinya untuk

berkesempatan studi pascasarjana (S2) ke Turki. Reza menuturkan, bahasa Arab diperolehnya dari pembinaan yang dilakukan di as-rama Turki.

Selain mengikuti kursus, Reza juga belajar secara otodidak. Ia banyak memanfaatkan teknologi internet untuk belajar bahasa as-ing, menurutnya, itu lebih praktis

dan efisien. Ia mengatakan, di-rinya sedang memulai belajar ba-hasa Jepang lagi secara otodidak, setelah cukup lama vakum ketika ia lulus Sekolah Menengah Keju-ruan (SMK).

Sementara itu, Direktur IO Yeni Ratna Yuningsih mengatakan, program kursus bahasa Korea gra-tis merupakan kerjasama UIN Ja-karta dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA). KOICA mengirimkan guru dari Korea untuk mengajar bahasa Ko-rea di UIN Jakarta.

Program ini telah ada sejak 2011, dari sekitar 80 orang pen-daftar hanya akan dipilih 14 orang untuk mengikuti kursus, salah sa-tunya adalah Reza. Yeni menje-laskan, peserta yang terpilih akan dibina dan dijadikan bibit unggul.

“Kami mencari mahasiswa yang bagus secara akademik dan yang mempunyai tujuan yang jelas ikut kursus, bukan hanya karena suka drama dan artis Ko-rea. Penyeleksian pun dilakukan oleh guru Korea-nya langsung,” paparnya, Rabu (20/11). Menu-rutnya, mahasiswa UIN Jakarta jangan hanya jago kandang, tapi harus punya daya kompetitif yang tinggi, seperti di level regional atau internasional.

Belajar bahasa asing bukan ha-nya kewajiban mahasiswa jurusan

Ilmu Kebahasaan, melainkan juga mahasiswa jurusan lainnya. Sep-erti Alfian Novrizal, mahasiswa jurusan Pendidikan IPS yang sejak enam bulan lalu belajar bahasa Perancis di Le Cours De Francais A La Faculte Des Missionnarires De l’Islam Et Communication.

Program tersebut diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI). Untuk belajar bahasa Perancis, Alfian mengeluarkan kocek Rp100 ribu per bulan. Ba-hasa Perancis bukan hal yang baru baginya. Ia pernah belajar bahasa Perancis saat kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Lulus SMA, tidak melunturkan keinginannya untuk menguasai bahasa Perancis, ia tetap belajar secara otodidak melalui internet dan buku. Kemampuan berbahasa Perancis menjadi modal dasar Alfian yang mempunyai cita-cita melanjutkan studi S2 di Perancis.

Sekretaris Polyglot Indone-sia (komunitas bahasa) Aryanie Amellina mengatakan, ada sekitar 7.015 bahasa di dunia. “Alangkah sayangnya kalau kita hanya bisa bahasa Indonesia saja. Padahal, jika kita bisa bahasa Inggris, sudah bisa berbicara dengan 50 persen masyarakat dunia,” ujarnya, Senin (18/11).

Anastasia Tovita

Foto: Nabila/FAH Suasana mahasiswa yang sedang belajar bahasa Turki di Fethullah Gulen Chair, Kamis (21/11).

uang saku tersebut, Azis terpaksa harus menghutang. Kadang ia juga berpikir ingin bekerja diband-ing berorganisasi. “Enggak punya uang, sedangkan ongkos hidup di sini dari beasiswa. Minta uang ke rumah enggak enak,” akunya.

Perjuangan untuk mengikuti organisasi bukan hanya tidak me-nerima uang saku. Tapi juga kerap kali membuatnya harus melom-pati pagar Ma’had Ali jika pulang larut malam. Ia terpaksa kembali ke Ma’had Ali karena merasa tak enak hati tinggal di sekret.

Meski harus membagi fokus ke banyak hal, ia sangat senang bisa berorganisasi karena menda-pat banyak manfaat. Ia jadi bisa mengatur waktu. Selain itu beror-ganisasi mengajarkan cara berko-munikasi dan bersosialisasi. “Ber-organisasi melatih kognitifnya dan langsung praktik,” kata Azis.

Menurut Azis, ketika berorgan-isasi harus siap meluangkan wak-tu banyak. “Tapi berorganisasi memang harus mengorbankan waktu, Sabtu-Minggu harusnya istirahat kita harus aktif terus,” katanya.

Sementara, penerima bea-siswa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tutur Ahsanil Mustofa menuturkan selama ini bisa meng-atur waktu antara organisasi, aka-

demik, dan kewajiban di asrama. Meski kegiatan organisasi dan pembinaan di Ma’had Ali sering-kali bentrok, ia bisa mengatasinya, “Saya punya komitmen,” katanya.

Meski begitu ia kerap harus ber-main petak umpet jika terpaksa pulang larut malam. “Biasanya kalau lagi mempersiapkan acara,” jelas Tutur. Menurutnya, maha-siswa yang tinggal di asrama seka-lipun bisa saja berorganisasi, asal-kan dapat mengatur waktu.

Pembina asrama Ma’had Ali, Utob Tubroni mengatakan tidak membatasi mahasiswa berorgan-isasi, sepanjang tidak menggang-gu program asrama. Jika terpaksa harus izin, mahasiswa bisa menga-jukannya. “Maksimal izin seming-gu mungkin masih kami tolerir,” ujarnya.

Senada dengan Utob, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Ke-mahasiswaaan, Sudarnoto Abdul Hakim mendukung mahasiswa mengikuti banyak kegiatan, ter-masuk berorganisasi. “Organisasi apapun silakan diikuti tapi harus bisa mengikuti aturan asrama se-hingga bisa maksimal,” katanya.

Menanggapi mahasiswa yang mengaku seringkali kesulitan dalam mendapat izin berorgan-isasi, Sudarnoto mengatakan,

hal itu hanya karena mahasiswa kurang mengomunikasikannya. Menurutnya, jika mengajukan izin harus menggunakan surat resmi dari organisasi sebagai buk-ti. “Harus pakai cara yang baik,” paparnya.

Ia juga menanggapi mahasiswa yang sering mangkir dari kegiatan Ma’had Ali, mahasiswa akan dit-anya komitmennya. “Tidak siap menjalankan aturan tapi siap me-nerima beasiswa. Maunya begitu, enggak ada cerita mau uangnya tapi enggak siap mengikuti aturan-nya,” kata Sudarnoto.

Mahasiswa harus memilih mengikuti aturan Ma’had Ali atau keluar. “Masih banyak temanmu yang berhak dan berkeinginan mendapatkan beasiswa itu,” tan-das Sudarnoto.

Karlia Zainul

Foto

: Dok

.Prib

adi

Mahmudi Aziz sedang mengikuti kegiatan Korps Suka Rela (KSR) Palang Merah Indonesia (PMI) UIN Jakarta untuk mengajar Palang Merah Remaja (PMR) di SMP Subono Mantofani, Sabtu (18/5).

Kartika Berliana

penting, jadi, meskipun dalam dunia hiburan menjadi landasan yang utama tapi, tetap tidak me-lupakan pesan dan nilai.

“Jadi, akan lebih bagus lagi kalau setiap pelawak punya pe-mikiran yang sama seperti saya. Dia tidak mau sembarangan terima pekerjaan yang tampar-tamparan. Saya udah enggak mau kayak gitu, karena kita (komedian) punya tanggung jawab moral,” te-gas Mucle.

Selain itu, Mucle menegaskan

bahwa profesi seorang komedian itu tidaklah ‘sempit’.

Hal itu dikarenakan, untuk men-jadi seorang komedian haruslah cerdas. “Seorang komedian, harus tanggap menangkap kata-kata yang bisa diubah menjadi lucu, serta tidak menyakiti perasaan orang lain,” pungkasnya.

Page 7: Tabloid Edisi XXIX November 2013

TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013 7SURVEITUSTEL TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 201310

Dunia anak selalu identik dengan dunia bermain. Hampir setiap hari, anak-anak selalu menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Bahkan, seu-sai sekolah, mereka langsung bergegas menuju tempat di mana sebuah per-mainan digelar. Tak peduli perut ker-oncongan, yang terpenting dahaga ber-main terpenuhi. Yah, dunia bermain memang tak pernah lepas dari dunia anak-anak.

Pemandangan berbeda terlihat di Yayasan Sayap Ibu. Yayasan yang berlokasi di kawasan Bintaro ini men-yantuni dan merehabilitasi anak-anak cacat telantar. Anak-anak di sini, mungkin tak bisa bermain layaknya anak pada umumnya.

Jika Anda berkunjung ke sana, mungkin, perasaan pilu akan seketika menyusup ke relung hati. Karena di yayasan tersebut, Anda akan melihat anak-anak terlahir dalam kondisi yang bisa dikatakan kurang beruntung.

Mulai dari cacat fisik hingga mental. Terkadang, kecacatan tersebut menjadi faktor utama kenapa anak-anak cacat kerap ditelantarkan. Mungkin, bagi sebagian orang tua, memiliki anak ca-cat hanya akan menjadi aib keluarga atau juga karena orang tua tak kuat mendengar cemoohan orang lain.

Tapi, rasanya, kita juga perlu ber-sikap arif. Karena jika boleh memilih anak-anak cacat ini juga tak ingin ter-lahir dalam kondisi demikian. Anak merupakan titipan Tuhan. Sejatinya, kita yang dititipi bisa menjaga amanah tersebut. Kita memang tak pernah tahu akan dianugerahi anak seperti apa. Na-mun, jika boleh memilih, anak-anak cacat ini tentu ingin terlahir sempurna.

Meski, memiliki kelainan, anak-anak cacat ini tetap bersemangat un-tuk pulih agar bisa bermain seperti anak seusianya. Proses penyembuhan pun gencar dilakukan pihak yayasan melalui proses terapi sampai operasi. Semoga, momentum Hari Anak Se-dunia, Rabu (20/11) lalu, dapat mem-berikan suntikan semangat bagi anak-anak cacat ini untuk tetap bermain dan menikmati hidup.

Suntikan Semangat di Hari Anak SeduniaFoto dan teks oleh Muawwan Daelami

TUSTEL TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 201310

Dalam KurunganTerapi

Bermain Tali Belajar Membaca

Potret Keceriaan

?

13%

Survei ini dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta

Antusiasme Mahasiswa Terhadap Seminar

Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, mahasiswa juga disuguhkan dengan berbagai seminar. Antusiasme mahasiswa untuk mengikuti seminar pun cukup besar, hal itu bisa dibuktikan hampir setiap hari acara seminar dengan berbagai tema terselenggara di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Manfaatnya tak lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan, motivasi, inspirasi, dan jaringan.

Pada pertengahan November 2013, INSTITUT menyebarkan survei kepada 100 mahasiswa dari seluruh fakultas di UIN Jakarta guna mencari tahu tema yang paling menarik dan diminati mahasiswa untuk hadir dalam acara seminar. Selain itu survei tersebut juga mencari tahu tujuan mahasiswa hadir dalam seminar, serta waktu yang paling diminati di tengah-tengah kesibukan sebagai mahasiswa. Survei ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi tolak ukur bagi lembaga dan organisasi yang sering mengadakan seminar di UIN Jakarta.

Baliho menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan mahasiswa untuk mendapatkan informasi tentang seminar. Selain itu, isu nasional atau kam-pus juga menjadi materi yang digemari oleh mahasiswa. Materi seminar yang menarik menjadi salah satu alasan mengapa mahasiswa sering mengikuti seminar.

Page 8: Tabloid Edisi XXIX November 2013

TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013 9OPINIOPINI TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 20138EDITORIAL

Indonesia terbangun di atas struktur masyarakat yang berag-am, baik secara ras, suku, etnis, adat istiadat, dan bahasa. Ker-agaman inilah yang kemudian menjadikan Indonesia memiliki kemajemukan tertinggi di dunia sehingga disemboyankan menjadi Bhineka Tunggal Ika.

Secara sosio-kultural, Indonesia memang beragam, namun kemu-dian tidak menjadikan Indonesia menjadi terpecah belah. Kondisi ini meniscayakan kehidupan ber-bangsa dan bernegara yang jauh dari dominasi identitas tertentu, yang pada gilirannya akan mele-burkan kemajemukan.

Gagasan Bhineka Tunggal Ika ini kemudian dikemas dalam satu wadah yang bernama Pancasila. Isi dari Pancasila adalah bentuk representasi dari kepentingan dan kebutuhan masyarakat na-sional sebagai warga negara yang juga salah satu komponen pen-ting dalam sebuah negara. Jika mengintip dalam sebuah gerakan, Pancasila adalah sama, dengan

Peran Agama dalam Kemajemukan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an

apa yang disebut sebagai nilai dasar pergerakan atau perjuangan.

Terlepas dari semua itu, dalam perjalanan panjang sejarahnya, Indonesia tidak kemudian men-galami deviasi, kemajemukan negara masih terkungkung dalam satu kalimat Bhineka Tunggal Ika. Namun, kemudian muncul waca-na baru mengenai masyarakat ma-jemuk (plural society) seperti yang dijelaskan Furnivall (1940).

Adalah kehidupan masyarakat yang berkelompok-kelompok dan berdampingan secara fisik, tetapi terpisah karena perbedaan sosial yang tidak tergabung di satu unit yang integral. Kita dapat mencer-mati betapa urbanisasi dan indus-trialisasi yang berjalan dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan. Namun, di lain sisi menguatkan aspek-aspek pri-mordialisme terutama di daerah perkotaan seperti Jakarta, Medan, Batam, dan kota besar lainnya.

Ironisnya, kemajemukan pri-mordialisme ini melaju bersa-maan dengan kemajemukan sosial

ekonomi dari masyarakat kota itu sendiri. Sebagai akibatnya, transformasi masyarakat agraris ke dalam masyarakat industri melahirkan masyarakat majemuk berwajah ganda yang berpotensi menimbulkan konflik.

Secara garis besar, sumber po-tensi konflik bisa dibagi menjadi tiga bagian: pertama perebutan sumber daya alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and meand of pro-duction). Kedua, perluasan batas-batas kelompok sosial budaya (social and cultural borderline expan-sions). Ketiga, benturan politik, ideologi, dan agama (conflict of pol-itic, ideology, and religious interest).

Dari ketiga potensi ini nampa-knya secara serempak menggiring konflik di berbagai daerah yang berlangsung hingga saat ini. Peris-tiwa Sampang, tawuran antarpela-jar, dan baru-baru ini tragedi nahas di Sukabumi. Hal ini adalah bukti nyata historis yang sesungguhnya mencerminkan ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola kon-

flik dalam struktur masyarakat yang semakin plural. Akibatnya, makna Bhineka Tunggal Ika kian terkikis.

Peperangan antarkelompok, suku, dan agama menjadi sarapan keseharian yang selalu menghiasi layar kaca. Agama yang mestinya mampu meredam keadaan ini dan juga menjadi norma serta nilai dalam membentengi umat manu-sia justru dialihfungsikan menjadi politisasi agama. Bagaimana aga-ma dipaksakan menjadi sebuah negara yang dianggapnya mampu menjawab keadaan masyarakat yang kian tidak mencerminkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dari hal itu justru membawa dampak konflik pula di dalam identitas agama itu sendiri.

Agama disadari sebagai salah satu faktor yang cukup memen-garuhi konflik horizontal. Na-mun, harus digarisbawahi bahwa agama memiliki nilai-nilai luhur yang mampu mengatasi konflik.

Keberhasilan ini dilatarbe-lakangi oleh elastisitas agama

dalam mengakomodasi dan diale-ktika terhadap kultur kehidupan masyarakat yang majemuk, baik dari segi etnis, budaya, dan agama. Ketidakmampuan agama dalam mengapresiasi nilai-nilai kul-tural yang mengakar pada tradisi masyarakat, akan mengakibatkan hilangnya elan vital agama yang bersifat holistik dan universal.

Peran baru agama ini tentu saja membutuhkan kesadaran dan kerja keras berbagai kelompok penjaga akal sehat. Dari hal itu akan terjadi proses transformasi nilai-nilai dan ajaran agama. Di mana akan menjadi pendorong perubahan masyarakat yang man-diri dalam proses demokratisasi di Indonsia juga mengembalikan seboyan Bhineka Tunggal Ika se-bagaimana tepatnya.

Oleh: Nurhidayat*

*Penulis adalah Pegiat Forum Kajian Piramida Circle Jakarta

Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol dengan salah satu maha-siswa yang aktif berorganisasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Dalam obrolannya, saya sempat melontarkan pertanyaan tentang kegiatan rektorat dan be-berapa perwakilan dari lembaga ke-mahasiswaan yang melakukan studi banding ke Medan. Namun, saya sedikit kecewa dengan respon dari mahasiswa tersebut yang menga-takan, “Kalau memang melakukan studi banding, lantas permasalahan-nya apa?”

Hingga akhirnya muncul pertan-yaan di benak saya, apakah maha-siswa tersebut tidak mau mengeta-hui lebih dalam tentang maksud dan tujuan pelaksanaan studi banding? Atau mungkin mahasiswa itu be-ranggapan bahwa kegiatan tersebut dianggap biasa dan lumrah.

Berangkat dari situlah saya mu-lai mencari tahu maksud dan tujuan rektorat melakukan studi band-ing. Layaknya anggota dewan, rektorat pun punya cerita sendiri soal studi banding. Kesimpulan-nya, studi banding yang dilakukan oleh sembilan perwakilan rektorat dan 19 perwakilan lembaga kema-hasiswaan selama tiga hari ‘kurang bermanfaat’. Bahkan ada anggapan

Plesiran Berbalut Studi Banding* Oleh Rizqi Jong*

studi banding ini merupakan ajang ‘plesiran’. Alasannya simpel. Per-tama, tempat yang dijadikan tujuan studi banding tidak tepat. Kedua, studi banding ini bersifat dadakan. Ketiga, membuang-buang anggaran.

Mari kita kupas satu persatu, kenapa tempat yang dijadikan tu-juan studi banding dinilai tidak tepat? Perlu diketahui bahwa tempat tujuan dari studi banding seperti Un-versitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara merupakan kampus-kampus yang akreditasinya di bawah UIN Jakarta. Bagaimana mungkin UIN Jakarta melakukan studi banding ke kampus yang kual-itasnya lebih rendah? Kenapa tidak ke Universita Indonesia (UI), Insti-tut Teknologi Bandung (ITB) atau-pun Universitas Gajah Mada (UGM) yang jelas-jelas sudah menyandang gelar World Class University?

Kemudian, studi banding ini juga bersifat dadakan. Menurut penje-lasan yang disampaikan salah satu mahasiswa yang ikut studi banding, pihak rektorat baru menyampaikan surat edaran seminggu sebelum pemberangkatan. Hal ini menjadi bukti bahwa persiapan studi banding masih kurang dan cenderung dada-

kan. Anehnya, perwakilan lembaga kemahasiswaan yang ikut hanya seolah-olah sebagai pengekor saja. Bahkan, di antara mereka merasa kebingungan, karena tak ada pen-jelasan secara detail tentang konsep dan persiapan apa saja yang harus dilakukan. Intinya, mahasiswa ting-gal ikut saja.

Kegiatan studi banding ini juga menunjukkan bahwa rektorat bersi-fat egois. Jika memang studi band-ing merupakan kegiatan bersama antara rektorat dan mahasiswa, kenapa dalam penentuan tempat dan konsep sama sekali tidak melibatkan mahasiswa. Jika rektorat punya iti-kad baik buat mahasiswa, alangkah lebih etisnya rektorat membuka ru-ang diskusi terlebih dahulu dengan mahasiswa sebelum menetapkan konsep dan tujuan studi banding.

Selanjutnya, saya menganggap kegiatan studi banding ini mem-buang-buang anggaran. Bisa kalian cek ke bagian kemahasiswaan, un-tuk melaksanakan studi banding saja rektorat menganggarkan Rp79 juta yang diambil dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Neg-eri (BOPTN).

Sebagaimana diketahui, BOPTN merupakan bantuan biaya dari pemerintah yang ditujukan kepada

perguruan tinggi negeri untuk mem-biayai keberlangsungan dana ope-rasionalnya PTN. Anggaran tersebut dialokasikan untuk membantu biaya operasional PTN seperti gaji hon-orer dan listrik. Bahkan di dalam dana BOPTN ada alokasi untuk membiayai penelitian. Bukankah se-belumnya penelitian di UIN Jakarta selalu terganjal karena minimnya anggaran?

Keputusan rektorat melakukan studi banding dirasa kurang tepat, sebenarnya ada hal yang lebih pent-ing ketimbang studi banding. Andai rektorat mau melihat secara detail kondisi sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Dewan Ekse-kutif Mahasiswa (DEMA) ataupun Senat Mahasiswa (SEMA) maka terlihat jelas ada kebutuhan yang lebih urgen ketimbang studi band-ing.

Patut digarisbawahi bahwa pelaksanaan studi banding kali ini mendekati akhir tahun dan tutup buku anggaran. Tidak menutup ke-mungkinan salah satu alasan rek-torat melakukan studi banding ini agar tidak menyia-nyiakan angga-ran, karena kalau tidak digunakan akan dikembalikan ke negara.

Yang lebih parahnya lagi, ada anggapan bahwa studi banding ini

dijadikan proyek akhir tahun dan ajang plesiran. Sebagaimana tercan-tum dalam agendanya yang menye-butkan kunjungan ke salah satu tem-pat wisata untuk membeli oleh-oleh. Dan pejabat rektorat yang ikut pun dibekali uang sekitar Rp300 ribu lebih per hari.

Ulah para pejabat kampus ini sudah meniru gaya anggota dewan yang melakukaan plesiran berbalut studi banding. Bisa jadi, kepent-ingan (untuk plesir) menjadi lebih dominan ketimbang mengambil manfaat atau pengetahuan yang bisa dialih-terapkan.

Sebagai lembaga pendidikan, UIN Jakarta seharusnya memberi contoh yang baik buat mahasiswa. Karena bagaimanapun lembaga pen-didikan akan melahirkan pemimpin untuk kemajuan bangsa. Jangan sampai mereka dikotori dengan mental-mental yang tidak selay-aknya dilakukan. Studi banding me-mang bermanfaat selama tujuan dan maksudnya jelas. Namun, jika studi bandingnya tidak tepat dan disusupi dengan hal-hal yang kurang etis, pa-tut dihentikan.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta.

Sebagai seorang warga Indonesia yang tengah mengeja sejarah bangsanya, saya terenyuh menyeksamai sejarah para found-ing fathers bangsa ini. Saya salut dengan kebesaran hati para bapak pendiri yang telah duduk bersama merumuskan pilar dan mendirikan negara kesatuan republik Indonesia.

Tak mudah tentunya. Hemat saya, hanya mereka, para bapak pendiri, yang berani menyembelih rasa egois, melepas-kan identitas primordial suku, etnis, aga-ma, dan ideologi, sanggup bekerjasama membangun negara ini. Sejarah mencatat perdebatan sengit antara pihak nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim pada sidang BPUPKI, terutama mengenai hubungan negara dan agama (Fajar Ismail, 1999).

Perdebatan tersebut akhirnya usai, dan jadilah kita negara kesatuan republik In-donesia. Kita adalah bangsa yang bertu-han. Dalam skala prioritas, hal terpenting tentulah didahulukan. Itulah kenapa sila pertama dalam Pancasila berbunyi “Ketu-hanan yang Maha Esa”. Perdebatan sengit relasi antara agama dan negara terjawab-lah sudah.

Namun, seiring berjalannya waktu, spirit

keberketuhanan yang menjadi asas negara Indonesia sebagai bangsa yang bertuhan, mengalami ekses, yakni dalam perilaku destruktif dan diskriminatif. Ajaran Tuhan menjadi kuda tunggangan meraih kepent-ingan. Kita terenyak menyaksikan umat beragama satu sama lain menghujat dan mencaci dengan mengatasnamakan Tu-han. Lagi, atas nama Tuhan, status negara republik Indonesia digugat. Kedengkian pun mendapatkan legalitasnya, “Inilah perintah Tuhan!”.

Di Indonesia, kita punya jawaban legal-formal atas pertanyaan, “Bagaimana cara bertuhan?”, yakni “Dengan mendaftarkan diri Anda ke dalam salah satu agama resmi dan diakui negara, yakni Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan--belakan-gan, setelah proses panjang-- Konghucu.”

Dia, Sang Maha Besar, terperangkap ke dalam kotak sempit sistem dan pasal-pasal manusiawi. Mereka yang bertuhan na-mun memilih tak mendaftar agama resmi di atas, seperti agama ataupun aliran ke-percayaan di Nusantara: Ngesti Tunggal, Sumarah, Susila Budhi Dharma, Sunda Wiwitan, Buhun, Kaharingan, Tolottang, dan Bratasekawa, dimasukkan ke dalam

kategori aliran kepercayaan di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (tahun 2003).

Perbedaan tafsir terhadap ajaran agama rupanya banyak menyisakan luka dan per-masalahan kemanusiaan yang tak kunjung rampung. Mulai dari pembangunan ru-mah ibadah, hingga urusan pernikahan. Seorang kawan yang sempat menghadapi kendala administrasi negara saat ingin menikah dengan pujaan hatinya yang ber-beda agama berujar, “Kami punya keyaki-nan sama tentang Tuhan, kebetulan KTP kami saja yang berbeda.”

Mengutip Karlina Supelli dalam pidato kebudayaannya di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu, “Ba-rangkali kita perlu mengingat lagi kata-ka-ta George Orwell, ‘Hal terburuk yang da-pat dilakukan oleh kata-kata terjadi ketika kita membiarkan diri kita takluk kepada kata-kata’.” Jika agama hanya mendidik manusia membenci satu sama lain, masih pantaskah Ia ada? Benarkah semua kekis-ruhan itu atas perintah Tuhan?

KetuhananOleh: Rahmat Kamaruddin*

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin.

Bang Peka...

Dalam kunjungannya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, bukan sebagai Menteri Agama, di Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, beberapa waktu lalu, Sury-adharma Ali mempromosikan diri dan par-tainya di depan ratusan mahasiswa. Ia juga mengarahkan mahasiswa menjadi bagian pemenangan PPP pada Pemilihan Umum 2014.

Ia mengungkit-ungkit bahwa dirinya telah banyak memberikan bantuan kepada UIN Jakarta melalui Kementerian Agama. “Enggak banyak, cuma kurang lebih akan disiapkan Rp210 miliar. Setelah saya bi-carakan, bisalah, mudah itu,” katanya. Uang yang akan disiapkan dari kas Keme-nag itu untuk keperluan pembelian tanah lapang dan penyediaan fasilitas lainnya. Hal tersebut karena UIN Jakarta dalam ka-pasitas tanggung Kemenag.

“Saya enggak mau bawa UIN Jakarta dalam pemenangan PPP. Tidak perlu pilih PPP, tidak perlu. Sekali lagi, tidak perlu. Tapi kalau tidak, itu namanya keterlaluan,” katanya sembari disambut riuh bahak para hadirin.

Jika rektor menghimbau bahwa kam-pus bukan tempat politik, lantas kutipan peristiwa di atas yang dilansir oleh Kompas tersebut maksudnya apa? Sudahlah. Kita tak perlu terlalu pintar untuk mengetahui betapa absurd perilaku para pejabat kampus kita.

Tahun 2014, tahun politik, sebentar lagi tiba. Beberapa partai dan calon pres-iden banyak yang menilik pemilih muda. Pasalnya, suara pemilih muda pada pe-milihan presiden periode 2014-2019 nanti, berkisar 40 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Kampus sebagai se-bagai pilar intelektual bangsa yang dihara-pkan independen, seharusnya tidak men-jadi corong partai tertentu sebagai wadah berkampanye ria.

Kondisi negara kita memang tengah memprihatinkan. Namun, sebagai sivitas akademika kita seyogyanya harus tetap op-timis akan hadirnya perubahan yang lebih baik dengan terus mengoptimalkan kegia-tan intelektual kita di kampus. Namun, kita patut menyayangkan kurang optimalnya pengajaran dosen karena eksodus ke dunia luar. Ada yang ‘ngamen’, berbisnis, dan se-bagai aktivis partai politik.

Tentu saja tidak semua dosen begitu. Hanya saja, bagi dosen yang aktif di par-tai politik, maupun mereka yang berafiliasi dan punya ikatan emosional dengan partai politik tertentu harus menjaga ‘kesucian’ selama berada di wilayah kampus. Kita juga tentu sangsi jika tak satupun dari para guru besar, dosen, dan tenaga pengajar lainnya yang tak memahami kondisi kam-pus sedemikian rupa, yang membutuhkan perbaikan sana-sini, namun diam saja.

Menerima:Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter.

Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Bagi pengirim tulisan akan mendapat bingkisan menarik dari LPM INSTITUT.

Tulisan dikirim melalui email: [email protected]

Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085242878868. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

REDAKSI LPM INSTITUT RALAT

Tabloid Edisi XXVIII pada Rubrik Sosok, paragraf lima hal.11 kolom 2. Tertulis “Hodary mendirikan Komunitas Galeri asap pada 2012 dan Komunitas Tonggak pada 2013 sebagai wa-dah untuk para pelukis.” Sebenarnya, di Komunitas Tong-gak, Hodary bukan sebagai pendiri melainkan anggota.

Parpol Masuk Kampus

Quote : Surat Pembaca

Bagi anak-anak UKM, malam merupakan waktu potensial untuk berorganisasi di tengah kesibukan kuliah di pagi hari. Namun, belakangan ini, saya merasa kecewa dengan listrik di Student Center (SC) yang sering mati. Apakah ini ada unsur kes-engajaan? Saya harap, daya hidup listrik di SC tetap stabil. Mengingat, jika listrik mati, banyak kegiatan anak UKM yang terbengkalai. Semoga, pihak kemahasiswaan dapat bertindak arif atas permasalahan tersebut.

Dari : 085694707xxx