studi_kritis.rtf

Download STUDI_KRITIS.rtf

If you can't read please download the document

Upload: chuswatun-chasanah

Post on 26-Sep-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STUDI KRITIS TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DI

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Abstraks

Pada awal sejarahnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan cara menginformasikan harga pokok dan mark- up yang disepakati penjual dan pembeli. Berdasarkan ijtihad sebagian ulama Islam kontemporer, murabahah kemudian mengalami transformasi menjadi salah satu instrumen pembiayaan, bahkan pada akhirnya menjadi akad yang paling banyak diimplementasikan Lembaga Keuangan Islam. Murabahah sebagai akad pembiayaan diizinkan, karena sistem bagi hasil yang sejak awal dirancang sebagai core product LKS ternyata mengalami banyak hambatan dalam wilayah praksis. Walau telah diizinkan, namun implementasi murabahah sebagai instrumen pembiayaan banyak menuai kritik. Kritik ini muncul, karena fakta empirik dilapangan, LKS jarang menerapkan murabahah secara syariah, hingga murabahah berubah menjadi sekedar pembiayaan berbasis mark up yang memiliki karakteristik memberikan keuntungan yang pasti dan ditetapkan dimuka, yang tentu saja sangat mirip dengan keuntungan yang diberlakukan dalam sistem bunga, sistem yang sejak awal justru berniat dianulir oleh ekonomi syariah.

Keywords : Murabahah, Lembaga Keuangan Islam, Mark up

A. PENDAHULUAN

Murabahah, suatu bentuk jual beli dan kontrak dagang murni, meskipun tidak didasarkan pada teks al Quran dan hadits, telah diizinkan oleh sebagian ulama untuk dijadikan sebagai salah satu instrumen pembiayaan. Lembaga Keuangan Syariah (LKS), juga telah menggunakan akad murabahah dalam operasional pembiayaannya dan juga telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaan akad ini. Bahkan murabahah menjadi akad yang paling mendominasi di LKS terutama di Indonesia, karena rata-rata mencapai 70 % dari total rasio dana yang didistribusikan sebagai pembiayaan. Namun demikian masih banyak persoalan-persoalan polemis yang terjadi di sekitar masalah akad murabahah ini. Hal ini disebabkan karakteristiknya yang memberikan keuntungan yang pasti dan ditetapkan dimuka, yang tentu saja sangat mirip dengan keuntungan yang diberlakukan dalam sistem bunga, sistem yang sejak awal justru berniat dianulir oleh ekonomi syariah.

B. LANDASAN HUKUM

1

Dalil tekstual yang secara langsung menjelaskan tentang murabahah, baik al Quran maupun hadits itu memang tidak pernah ada. Bahkan menurut pendapat yang mengkritik murabahah ini, dikatakan bahwa murabahah merupakan salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada masa Rasulullah. Namun menurut Muhammad (2005) para ulama seperti Maliki dan Syafii mengatakan murabahah halal tanpa menyebut dalil naqlynya. Maliki juga berpendapat bahwa penduduk Madinah telah mempraktekan murabahah. Demikian juga Syafii berkata jika seseorang menunjukan suatu barang kepada orang lain dan berkata belikan barang seperti ini untukku dan aku akan memberimu keuntungan, lalu orang itupun membelinya, maka jual beli itu sah. Selain itu madhab Hanafi juga memperbolehkan murabahah dengan alasan bahwa syarat-syarat jual beli ada dalam murabahah dan juga karena orang memerlukan akad ini.

Murabahah ini merupakan jual beli yang dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Jika murabahah ini adalah bentuk transaksi jual beli, maka secara implisit ada beberapa teks-teks agama yang dapat dijadikan referensi, diantaranya, 1). QS. An Nisa ayat 29 : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. 2). Hadis riwayat al Bazzar, Imam Hakim : dari Rafaah bin rafi ra bahwa Rasulullah pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah menjawab, pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur (dikatagorikan shahih oleh Imam Hakim). 3). Hadis riwayat Ibnu Majah : dari Abu Said al Hudriyyi bahwa Rasulullah bersabda : sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka (dianggap shahih Ibnu Hibban). 4). Pedagang yang jujur dan benar berada di syurga bersama para nabi, siddiqin dan syuhada ( HR Turmudzi ).

MURABAHAH DALAM PENDEKATAN NORMATIF

Murabahah secara sederhana adalah suatu bentuk jual beli, atau akad jual beli barang dengan menyatakan harga pokok dan perolehan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Menurut Anwar (2005) murabahah

2

bukanlah jual beli biasa, melainkan dikatagorikan sebagai jual beli yang khusus. Ia dijadikan salah satu bentuk jual beli amanah (kepercayaan) yang dilawankan dengan jual beli biasa atau jual beli musawamah. Lebih lanjut Anwar mengatakan bahwa menurut sejarah pada awalnya murabahah adalah untuk memenuhi suatu tuntutan etis hokum Islam berupa perlindungan terhadap pihak yang lemah di pasar dan tidak mengetahui informasi harga sehingga rentan penipuan. Untuk melindunginya dari kemungkinan eksploitasi dan penipuan, maka diciptakanlah suatu transaksi khusus yang disebut jual beli amanah yang salah satunya disebut murabahah. Dalam konteks ini kejujuran informasi tentang harga dan keuntungan yang diinginkannya adalah sebuah keharusan.

Sebagai transaksi jual beli, maka dalam murabahah ini rukun yang harus dipenuhi adalah 1). Penjual. 2) Pembeli. 3). Obyek barang jelas. 4). Harga yang pasti. 5). Ijab qabul. Penjual dan pembeli adalah para pihak yang berakad, harus memenuhi persyaratan bahwa mereka cakap secara hokum dan masing-masing melakukannya dengan sukarela, tidak ada paksaan, khilap ataupun tipuan. Adanya obyek akad yang terdiri dari barang yang diperjualbelikan dan harga. Obyek yang diperjual belikan tidak termasuk barang yang diharamkan, bermanfaat, penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli. Sedangkan sighat akad harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan qabul harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal atau kejadian yang akan datang, tidak membatasi waktu.

Sedangkan syarat syarat sebuah akad murabahah dianggap sah menurut syariah adalah jika, 1). Penjual memberitahu harga pokok kepada pembeli .2). Akad harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3). Akad harus bebas dari riba.4). Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang. 5). Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan dengan hutang.

3

D. AKAD MURABAHAH SEBAGAI INSRUMEN PEMBIAYAAN

Problematika Sistem Bagi Hasil Sebagai Latar Belakang.

Sistem bagi hasil dalam akad musyarakah dan mudharabah pada awalnya dianggap sebagai tulang punggung operasi LKS, namun dalam prakteknya, jenis pembiayaan bagi hasil ini hanya merupakan bagian kecil yang diberikan LKS di Indonesia bahkan di dunia.Data menunjukan bahwa di FFI Turki, pembiayaan bagi hasil hanya 0,7 % dari total Kredit per 1993, Bank Islam Malaysia hanya 1,9 % per 1994, FIB Bahrain hanya 7,6% per 1993, Bank Islam Bangladesh 3,2%, Dubai 3,7%, Yordania Islamic Bank hanya 2,8%.

Sejak awal, LKS dirancang sebagai intermediasi antara pemilik dana dengan yang membutuhkan dana, agar terjadi interaksi dan sinergi ekonomis antara keduanya yang saling menguntungkan. Oleh karena itu system bagi hasil/profit and loss sharing (PLS) merupakan alat terbaik untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak, tentu saja dengan tetap mendasarkannya pada nilai-nilai empati dan humanisme. Namun ternyata ketika dilakukan dalam bentuk pembiayaan institusional LKS, system PLS ini memiliki beberapa hambatan, karenanya LKS enggan menempatkan sebagian besar porfolio asetnya dalam pembiayaan PLS ini.

Resiko dalam system PLS ini paling serius disebabkan karena masyarakat pada umumnya banyak yang mengabaikan norma dan akhlak Islam dalam transaksi ekonominya dan dihinggapi mental adverse selection (seleksi yang merugikan) dan moral hazard. Artinya seorang nasabah yang memiliki usaha dengan ekspektasi laba yang rendah sangat mungkin memilih dana ekuitas dari lembaga keuangan Islam dengan akad mudharabah dan musyarakah, sementara jika ia punya ekspektasi laba yang sangat tinggi maka ia akan memilih pinjaman berbunga tetap dari lembaga keuangan konvensional.

Kendala lain, dalam sistem bagi hasil ini, LKS dituntut menerapkan monitoring yang intensif kepada para nasabah sehingga skema bagi hasil bisa dijalankan dengan baik. Dilain pihak, sementara ini belum memungkinkan untuk sepenuhnya mengembangkan sebuah system perjanjian yang memfasilitasi kemitraan ekuitas antara LKS dan nasabah seraya tetap memonitor biaya pada

4

tingkat yang layak dan menghilangkan problem moral hazard yang muncul ketika ada informasi yang tidak simetris antara LKS dan nasabah tentang laba usaha. Adanya pengawasan yang intensif LKS kepada mitranya menyebabkan timbulnya opini bahwa standar moral yang berkembang di komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi.

Sistem PLS juga mengharuskan LKS melakukan intervensi terhadap setiap keputusan nasabah sebagai mitra usahanya, implikasinya naluri bisnis nasabah yang justru menuntut kebebasan insting usahanya menjadi tidak berkembang. Demikian juga pengawasan dan transparansi yang menjadi syarat dalam PLS juga acap kali mengharuskan nasabah membuka kondisi keuangannya secara rinci dan detail yang justru menyebabkan system manajemen tidak ekonomis dan efisien.

Dalam sistem bagi hasil, LKS juga tidak diperbolehkan meminta collateral/jaminan kepada nasabah karena hubungan kedua belah pihak adalah berdasarkan trust bukan jaminan. LKS memberikan fasilitas pembiayaan sebagai modal, nasabah mengelola pembayaan untuk usaha halal yang dianggap feasible. Jadi bila usaha merugi, resiko finansial sepenuhnya ditanggung LKS karena dalam akad seperti mudharabah, modal yang diberikan bukanlah piutang LKS kepada nasabah, artinya pengakuan hutang oleh nasabah dalam dictum perjanjian mudharabah tidak boleh ada. Pun demikian halnya dengan akad musyarakah, LKS juga mengalami kesulitan untuk menerapkannya secara konsekuen walaupun risk factor dalam akad ini relatif lebih ringan dibanding mudharabah, terutama jika prediksi keuntungan meleset dari rencana awal.

Dalam konteks ini LKS menghadapi dilemma. Satu sisi banyak masyarakat yang membutuhkan fasilitas pembiayaan mudharabah dan musyarakah, namun disisi lain LKS mengelola dana masyarakat yang mesti dijaga agar tetap aman. Sehingga kedua akad tersebut walau merupakan core product tetapi dianggap penuh spekulasi dan ketidakpastian hingga LKS tidak dapat melakukan perencanaan usahanya secara pasti. Akad mudharabah dan musyarakah dianggap sangat riskan bahkan dikhawatirkan menyebabkan bangkrut, hingga akhirnya LKS menyimpan rapat produk ini untuk sementara dan terpaksa dikorbankan demi tuntutan eksistensi, kemudian memberi alternatif

5

murabahah yang dianggap lebih profitable. Hal ini dikarenakan Murabahah termasuk dalam transaksi natural certainty contract yaitu suatu jenis kontrak transaksi yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktu, hingga dengan murabahah LKS dapat melakukan prediksi terhadap pendapatan karena sifat transaksinya yang fixed dan predetermined.

Karena alasan-alasan itulah LKS tidak dan atau belum berkembang melalui cara yang sejak awal dirancang untuknya. Tentu hal ini cukup mengecewakan karena terkesan jauh menyimpang dari hokum Islam yang berusaha mewujudkan sesuatu yang justru dipersulit oleh hokum itu sendiri.

Murabahah sebagai Instrument Pembiayaan Alternatif

Menurut Udovits seperti dikutip Saeed (2007) murabahah adalah bentuk penjualan komisi, dimana pembeli yang biasanya tidak mampu memperoleh komoditas tertentu memerlukan seorang perantara, atau karena ia tidak ingin mengalami kesulitan sehingga mencari jasa perantara yang diberi komisi. Dengan demikian pada awalnya, akad murabahah hanya diterapkan dalam tradisi dagang. Karenanya, murabahah ini bukanlah akad utama dan ideal untuk digunakan dalam transaksi LKS, melainkan akad-akad bagi hasil seperti mudharabah atau musyarakah seperti diungkap Ascarya (2007) mengutip Usmani yang mengatakan bahwa bentuk pembiayaan murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan utama yang sesuai syariah. Namun dalam kesulitan menerapkan mudharabah dan musyarakah untuk pembiayaan beberapa sector kebutuhan masyarakat, beberapa ulama kontemporer telah membolehkan penggunaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan syarat-syarat tertentu. Hal senada juga dikemukakan Anwar (2005) bahwa murabahah pada dasarnya bukan metode pembiayaan orisinal, tapi karena mudharabah dan musyarakah sebagai bentuk ideal pembiayaan, dalam beberapa hal mengalami kendala, maka murabahah dalam praktek ekonomi Islam kontemporer dapat dijadikan sebagai salah satu metode pembiayaan pada institusi finansial.

Penggunaan murabahah ini mendapat legitimasi dari ahli hokum-hukum Islam yang membenarkannya sebagai salah satu metode pembiayaan dengan

6

syarat berbeda dengan peminjaman berbunga dan harus digunakan untuk pembiayaan pembelian benda riil. Murabahah tidak dapat digunakan untuk pembayaran harga barang yang telah dibeli sebelumnya dalam transaksi yang lain, kepentingan pemenuhan biaya lain. Murabahah hanya boleh apabila ada pembeli yang membutuhkan dan membeli suatu komoditi. Transaksi murabahah antara institusi dengan nasabahnya harus dilakukan setelah institusi bersangkutan benar-benar telah memiliki barang tersebut, walaupun diperbolehkan membuat perjanjian melakukan jual beli sebelumnya.

Agar penggunaan murabahah tidak menyimpang dari alasan dan latarbelakangnya digunakan sebagai instrumen pembiayaan alternatif, maka ada beberapa koridor moral yang harus dipegang jika dengan terpaksa akad ini akan dilakukan, diantaranya adalah : 1). Harus selalu diingat bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghindar dari bunga dan bukan merupakan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen ini hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi dan penggunaannya hanya terbatas pada kasus kasus ketika mudharabah dan musyarakah tidak/belum dapat diterapkan.2). Murabahah dilakukan bukan hanya untuk menggantikan bunga dengan keuntungan melainkan sebagai bentuk pembiayaan yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, apabila syarat tidak terpenuhi maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut syariah.

Dengan demikian, jika sebuah LKS menerapkan akad murabahah, maka LKS memiliki kewajiban untuk menyediakan stok barang yang dimaksudkan untuk memenuhi syarat validitas dan memenuhi ketentuan syariah yaitu menjual barang yang benar-benar dimilikinya. Demikian juga margin keuntungan yang dibebankan LKS kepada nasabah juga harus dibatasi dan portofolio murabahah juga dibatasi. Hal ini bertujuan untuk mendiscourage LKS dalam menggunakan akad dan mengencourage LKS untuk menggunakan akad-akad bagi hasil yang lebih utama.

Transformasi murabahah sebagai sebuah akad jual beli menjadi suatu instrumen pembiayaan juga membawa implikasi adanya perbedaan karakteristik

7

dari sifat dasarnya sebagai transaksi jual beli sebagaimana dikemukakan Ascarya

(2007) dalam skema dibawah ini :

Karakteristik pokok

Praktik klasikPraktik di lembaga keuanganTujuan transaksi

Kegiatan jual beli

Pembiayaandalamrangka

penyediaan fasilitas/barangTahapan transaksiDua tahap

Satu tahap

Proses transaksi

-penjualmembelibarangLembaga keuanganselakupenjual

dari produsen

dapatmewakilkan kepadanasabah

-penjualmenjualbaranguntuk membeli barang dari produsen

kepada pembeli

untukdijualkembalikepada

nasabah tersebut

Status kepemilikan barangBarang telah dimiliki penjualBarang belum jelas dimiliki penjualpada saat akad

saat akad penjualandengansaat akad penjualan dengan pembeli

pembeli dilakukan

dilakukan

Perhitungantingkat-Perhitunganlaba- perhitungan

menggunakanmargin

menggunakanbiayabenchmark atas rate yang berlaku

transaksiriil(realdalam pasar uang

transactionary cost)- perhitunganlabamenggunakan

-Perhitunganlabapersentase per annum dan dihitung

merupakan lumpsum danberdasarkan

outstanding

wholesale

pembiayaan

Sifat pemesanan barang-Tidak tertulis

Tertulis dan mengikat

oleh nasabah

-Mengikatdantidak

mengikat

PengungkapanhargaHarus transparan

Harus transparan

pokok dan margin

Tempo

Sangat pendek

Jangka panjang

Cara pembayaran

Cash dan carry

Jatuh tempo dan angsuran

Kolateral / jaminanTanpa kolateral

Ada kolateral

Walaupun sejak awal disadari bahwa murabahah bukanlah akad ideal, namun dalam prakteknya akad ini menjadi yang paling banyak dan paling popular dipraktekkan LKS terutama di Indonesia yang hampir mencapai 70-80% dari portofolio pembiayaan yang digulirkannya karena beberapa alasan, diantaranya mengutip Wiroso (2005) 1). Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek hingga jika dibandingkan dengan mekanisme bagi hasil dalam mudharabah dan musyarakah, cukup mudah untuk diimplementasikan.2). Margin dalam murabahah dapat ditetapkan kepastian jumlahnya sehingga LKS memperoleh keuntungan yang tetap dan dapat diprediksi. 3). Murabahah tidak mengandung unsur ketidakpastian sebagaimana yang bisa terjadi di sistem bagi hasil karena murabahah dianalogikan dengan pembiayaan konsumtif. 4).

Murabahah tidak mengharuskan LKS mengenal nasabah secara mendalam ataupun terlibat dalam manajemen bisnis nasabah, karena hubungan antara

8

keduanya dalam akad ini bukanlah sebagai mitra usaha melainkan sebagai kreditur dan debitur.

E. IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DI LKS

Pembiayaan murabahah di LKS merupakan suatu bentuk pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya pada waktu jatuh tempo, plus keuntungan yang disepakati. Artinya LKS membelikan suatu barang yang diperlukan oleh nasabah, dimana pembayarannya dilakukan kemudian baik secara tunai atau cicilan.

Namun dalam pelaksanaannya, seringkali juga lembaga memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama LKS. Selanjutnya pada saat yang bersamaan LKS menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dan dibayarkan oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan keduanya. Biasanya pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah untuk membuka letter of kredit dan membelikan barang yang diperlukannya. Dalam pembelian ini nasabah tidak harus menyediakan dana karena pembiayaan seluruhnya bisa ditanggung dulu oleh LKS.

Praktek murabahah dapat dilihat dalam diagram dibawah ini :

Barang

LKSAkad MurabahahNasabah

/pembeli

Proses pembelian

Cost + Margin

Dari skema diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya pada pembiayaan murabahah obyek pembiayaannya adalah barang yang akan dibeli oleh calon nasabah. Namun yang dipraktekan di LKS secara umum murabahah mengacu

9

pada dua jenis. 1). Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang diberikan untuk pembelian atau pengadaan barang tertentu dan tidak untuk tujuan usaha seperti mobil dan sepeda motor.2). Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang diberikan untuk kebutuhan usaha antara lain untuk pembiayaan investasi dan modal kerja seperti mesin-mesin industri.

Murabahah dengan dua jenis tersebut diatas biasa dilakukan karena dalam keuangan Islam, dimana jalur kredit berbunga dilarang, jalur kredit alternatifnya adalah berupa transaksi murabahah yang menggunakan jual beli barang dengan kenaikan harga sebagai keuntungan dimasukkan ke dalam harganya. Misal seorang nasabah pedagang harus membeli barang dagangan, maka ia dapat meminta LKS untuk membeli barang dagangan yang diperlukannya, kemudian menjualnya kembali kepada nasabah pedagang tersebut dengan harga dan keuntungan yang disepakati dengan pembayaran yang ditangguhkan selama waktu yang ditentukan.

Namun ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi jika akan memberlakukan akad murabahah ini yaitu 1). LKS dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2). Barang yang dibeli bukanlah barang yang diharamkan atau dilarang. 3). LKS membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang disepakati spesifikasinya.4). LKS membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama LKS sendiri dan pembelian itu juga harus sah dan bebas riba. 5). LKS harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan dengan cara hutang 6). LKS menjual barang ke nasabah dengan harga jual senilai harga beli, plus biaya dan keuntungan yang disepakati. 7). Nasabah membayar harga barang pada waktu yang telah disepakati.8). Jika LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik LKS.

Sementara hal-hal yang harus dilakukan nasabah dalam murabahah ini adalah 1). Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang kepada LKS. 2). Jika lembaga menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan supplier. 3).

10

Lembaga kemudian menawarkan barang tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima sesuai perjanjian, karena perjanjian tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.4). Dalam jual beli ini lembaga diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.5). Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil lembaga akan dibayar dengan uang muka tersebut. 6). Jika nilai uang muka kurang dibanding kerugian lembaga , maka ia dapat meminta kembali sisa kerugian kepada nasabah.7). Jika memakai kontrak urbun/uang muka maka jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut ia tinggal membayar sisa harga.8). Jaminan dalam murabahah diperbolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. 9). Hutang murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap wajib menyelesaikan hutangnya kepada lembaga sesuai waktu yang disepakati. 10). Nasabah yang tidak tepat waktu dalam menyelesaikan kewajibannya dapat dikenakan denda, atau bahkan terkadang dilakukan rescheduling.

Secara normatif, dalam akad murabahah, jika lembaga tidak memiliki barang yang diinginkan nasabah sebagai calon pembeli, maka lembaga harus melakukan transaksi pembelian kepada supplier. Dengan demikian, lembaga bertindak sebagai pembeli sekaligus menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga pokok ditambah margin. Namun demikan seringkali LKS memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang dibutuhkannya dan LKS yang membiayai harga barang tersebut. Keumudian nasabah akan membayarnya kembali ke LKS dengan system angsuran. Contoh akad murabahah ini Andi berniat membeli laptop seharga 12 juta, ia hanya memiliki dana 2 juta. Untuk mengatasi problem ini, Andi pergi ke LKS untuk mengajukan pembiayaan selama 2 tahun untuk membeli laptop tersebut. Kemudian LKS menyetujui pengajuan pembiayaan Andi dengan akad murabahah dengan ekspektasi keuntungan lembaga a18 %/tahun, maka perhitungannya adalah sebagai berikut :

Perhitungan lembaga

11

Harga laptop: Rp. 12.000.000Dana nasabah: Rp.2.000.000

----------------Porsi lembaga: Rp. 10.000.000Margin/mark up: Rp. 10.000.000 x 18%/th x 2 = Rp. 3.600.000 Porsi nasabah

Harga beli laptop: Rp. 12.000.000Margin: Rp.3.600.000Harga jual: Rp. 15.600.000Angsuran pertama: Rp.2.000.000Sisa angsuran: Rp. 13.600.000Angsuran perbulan: Rp. 13.600.000/24 bulan = Rp. 566.666

Demikianlah transaksi murabahah yang banyak dipraktekan di LKS saat ini. Dimana seharusnya paradigma transaksi murabahah mengharuskan lembaga menjadi pemasuk barang menjadi sekedar menyediakan pembiayaan untuk pengadaan barang. Dengan demikian yang terjadi tidak lagi transaksi jual beli parallel tetapi hanya jual beli tunggal antara nasabah selaku pembeli dan LKS sebagai penjual.

IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DALAM SOROTAN

Murabahah adalah instument yang paling popular digunakan di LKS terutama di Indonesia bahkan melebihi 70% rasio pembiayaan sebagaimana tercantum dalam data Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia tahun 2004 yang dikutip Wiroso (2005). Hal ini juga dialami negara-negara lain, seperti pada Pakistan porsi murabahah berjumlah 80 %, di Dubai mencapai 82 % dan Bank Pembangunan Islam mencapai 73 %.

Namun demikian, dalam perspektif fikih, akad ini masih menyisakan beberapa persoalan dilematis. Oleh karena sejak awal para teoritisi ekonomi Islam sejak 1940 sampai 1970 tidak pernah membayangkan LKS sebagai lembaga yang berbasis mark up. Para konseptor mendesign LKS sebagai lembaga keuangan berbasis profit and loss sharing dengan menggunakan konsep musyarakah dan mudharabah. Bahkan dokumen terpenting tentang perbankan Islam yaitu laporan

Council of Islamic Ideology hanya mengizinkan penggunaan murabahah dengan

ragu dan membatasi penggunaannya untuk kasus-kasus yang tak terhindarkan dalam proses peralihan menuju sistem bebas bunga dan juga mengingatkan agar

12

murabahah tidak digunakan secara luas tanpa seleksi mengingat akan bahaya yang terkandung didalamnya berupa pembukaan pintu belakang bagi transaksi berbasis bunga.

Sikap ragu terhadap murabahah ini dikarenakan dalam prakteknya, seringkali peran lembaga dalam murabahah dapat digambarkan lebih tepat dengan istilah pembiaya bukan penjual barang. Lembaga tidak memegang barang, tidakpula mengambil resiko atas barang tersebut. Kerja lembaga hampir semuanya hanya pada penanganan dokumen-dokumen terkait. Kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Hal ini menunjukan bahwa meskipun murabahah dipermukaan tampak sebagai kontrak jual beli, namun ia adalah suatu jenis pembiayaan berdasarkan keuntungan yang ditetapkan dimuka yang tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berdasarkan bunga tetap.

Jadi, meskipun murabahah diizinkan oleh bebrapa fukaha awal, relevansinya secara mendasar masing terbatas dalam perdagangan saja. Masalah krusial muncul jika akad murabahah ini digunakan secara ekstensif dalam akad pembiayaan. Dalam setiap kasus system mark up dalam murabahah adalah cara yang relevan dalam kontrak transaksi antara penjual dan pembeli barang. Sementara LKS bukanlah organisasi dagang, tetapi lembaga keuangan yang memobilisir dana dari masyarakat umum dan membuatnya tersedia bagi penggunaan-penggunaan produktif. Oleh sebab itu jika harus dilakukan proyek islamisasi sistem keuangan maka mark up bukanlah solusi dan beberapa cara lain harus ditemukan untuk mempertahankan karakter finansial lembaga keuangan syariah untuk menghindari jauh-jauh bunga yang diharamkan oleh Islam.

Bahkan secara sinis Siddiqi (2004) mengatakan bahwa untuk tujuan praktis system mark up dalam murabahah ini akan sama baiknya bagi LKS untuk memberikan pinjaman berdasarkan suku bunga tetap saja. Karena jika bunga secara luas diganti dengan mark up, maka ia mencerminkan hanya perubahan nama ketimbang substansinya. Karena sistem mark up dalam murabahah kenyataanya hanya melanjutkan sistem bunga yang lama dengan nama baru. Oleh karena itu dia mengatakan bahwa murabahah harus dihapuskan dari daftar metode akad pembiayaan yang dibolehkan. Kalaupun pada awalnya diakui

13

kebolehannya secara hokum, maka ada juga kaidah hokum yang membatalkannya yaitu bahwa segala hal yang mendorong kepada sesuatu yang haram adalah haram. Maka kaidah hokum ini harus diterapkan guna menyelamatkan keuangan bebas bunga dari penjegalan dari dalam.

Demikian pula halnya dengan penetapan harga kreditnya yang lebih tinggi yang diberlakukan dalam akad ini, jelas menunjukan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan ini - yang mendorong meski secara tidak langsung - kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Padahal mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah hampir tidak berbeda dengan transaksi finansial murni dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan logis. Jika fikih bisa mengizinkan pembiayaan murabahah seperti yang dipraktekan LKS maka menurut Saeed (2007) pertanyaaannya kemudian adalah adakah pijakan moral

untuk tidak mengizinkan bunga tetap pada utang piutang dan dana pinjaman ?.

Menurut Lewis (2007) pada dasarnya LKS merupakan institusi keuangan dan bukan rumah dagang (trading house). Namun keharusan untuk menjalankan perdagangan dalam kesepakatan jual beli murabahah dengan mark up terkadang memaksa LKS menjalankan fungsi trading housenya tanpa syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi. Akibatnya skema murabahah ini tidak bedanya dengan mark up yang dipraktikan lembaga konvensional dengan sistem bunganya. Lebih lanjut Lewis mengutip pendapat Khursyid Ahmad yang mengatakan bahwa dalam murabahah, syariah mengansumsikan bahwa lembaga keuangan harus benar-benar membeli barang dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah. Ironisnya implementasi murabahah dalam praktiknya adalah transaksi fiktif yang

menjanjikansuatu laba yangditetapkansebelumnya tanpa benar-benarmelakukantransaksi barangatau berbagiresiko apapun. Dan ini sangat

kontradiksi dengan semangat dan substansi syariah. Bahkan sama persis dengan riba.

Hasanuz Zaman sebagaimana dikutip Lewis (2007), mengatakan bahwa fakta empirik dilapangan, LKS jarang menerapkan murabahah secara syariah.

14

Karena agar dapat mengejar target laba, LKS terpaksa dan sengaja mensiasati essensi murabahah. LKS tidak pernah benar-benar membeli, tidak pula memiliki apalagi menjual,ironisnya diasumsikan bahwa transaksi itu telah terjadi. Padahal transaksi fiktif jelas tidak mendapat afirmasi dalam hokum Islam sebagaimana hadist Hakim ibnu Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu ( HR Abu Dawd dan lainnya )

Demikian juga dalam hal dikenakannya denda atau resecheduling pada nasabah yang tidak mampu melakukan pembayaran murabahah pada waktu yang ditentukan, juga dianggap melanggar prinsip syariah. Hal itu disebabkan bahwa secara prinsip dalam kasus wanprestasi nasabah dalam akad murabahah - tidak boleh dilakukan roll over, karena itu berarti sustu transaksi murabahah baru yang terpisah dibukukan untuk komoditas yang sama. Sedangkan Murabahah bukanlah akad pinjaman, melainkan jual beli dengan pembayaran dibelakang, dan dengan demikian kepemilikan atas komoditi tersebut sudah berpindah ke pembeli saat dilakukan akad murabahah yang pertama dan bukan lagi milik penjual, sehingga tidak memungkinkan lagi dilakukan transaksi kedua kali (double transaction) untuk barang yang sama. Roll over dalam konteks ini dalam perspektif syariah menurut Anwar (2005) dianggap sebagai bentuk riba karena merupakan pembebanan biaya tambahan atas hutang sebagai kompensasi pertambahan waktu.

Dengan sebab-sebab itulah Saeed (2004) berpendapat bahwa dalam murabahah ini kebanyakan LKS tampaknya hanya memperhatikan kecocokan

kulit dengan ajaran hokum Islam sebagai determinan terpenting keislaman operasi mereka. Hal ini terjadi biasanya karena alasan bahwa al Quran menghalalkan jual beli dengan laba tanpa batasan jumlah laba yang diperoleh. Riba cenderung ditafsirkan sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan oleh peminjam dalam hal hutang piutang. Dalam hal ini teknik mark up dan batas laba dalam perdagangan tidak lain adalah bunga dengan nama yang berbeda. Hal ini juga diperkuat Zaidi yang berpendapat bahwa biaya kredit dalam pembiayaan berdasarkan murabahah atau mark up harga adalah sama halnya dengan pembiayaan berdasarkan bunga ringan, kecuali jika dalam pembiayaan

15

murabahah, harga yang disepakati akan tetap sama bahkan sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan tepat waktu. Akad Murabahan seringkali juga dijadikan legitimasi untuk menetapkan margin yang setinggi-tingginya dengan argumentasi bahwa dalam proses jual beli sangat dimungkinkan memperoleh margin yang sebesar-besarnya asalkan suka rela ( an taradlin).

Ilmi (2002) saat menanggapi banyaknya akad murabahah dipergunakan di LKS berpendapat bahwa dalam prakteknnya LKS masih membatasi diri dengan menerapkan produk yang dianggap aman dan profitable. Dalam menggalangan dana, LKS lebih memilih produk berbagi hasil mudharabah dengan pertimbangan tidak terlalu berisiko karena kapasitasnya sebagai mudharib. Tetapi dalam aktivitas lendingnya, LKS lebih memprioritaskan akad murabahah karena mampu memberi kepastian keuntungan yang fixed. Hanya saja dalam praktiknya, keadaan ini berjalan seringkali dengan mengingkari prinsip-prinsip murabahah seperti obyek barang yang tidak jelas keberadaan dan kriteria. Dengan demikian, LKS telah menerapkan standar ganda dan bersikap ambigu, yaitu dengan menerapkan mudharabah dalam proyek fundingnya sedangkan dalam proyek lendingnya ia lebih memilih murabahah. Karenanya tidaklah berlebihan jika muncul opini kritis bahwa LKS terkadang sebagai lembaga Islam yang belum tentu Islami atau lembaga yang hidup dibelakang symbol formalistic semata tanpa menyenstuh aspek yang substantif dan fundamental. Berbaju Islam tapi jauh dari ruh Islam itu sendiri. Akad terkesan hanya satu bentuk permainan tafsir, persepsi dan asumsi. Karena apapun akadnya, toh tetap saja keuntungan yang ditargetnya. Satu sisi ekonomi Islam mengkritisi system bunga karena factor adanya ketidakseimbangan dan ketidak adilan dalam menanggungresiko, namun praktiknya banyaknya penggunaan akad murabahah juga disebabkan karena tidak beranian LKS menanggung resiko kerugian. Hinggga pembelaan terhadap ekonomi Islam cenderung lebih bersifat ideologis dan apologis semata.

Ziaudin Ahmad (2007) juga menambahkan bahwa penggantian bunga dengan teknik seperti mark up itu tidaklah mencerminkan perubahan substantif, ini tampak bila orang merenungkan baik-baik filosofi di balik pengharaman bunga. Oleh karena itu semua akad dengan sistem mark up tidaklah

16

menghapuskan bunga sama sekali. Murabahah adalah praktik dagang khusus daripada teknik pembiayaan. Oleh karena itu penggunaan akad ini boleh bagi siapapun yang terlibat dagang sebagai profesi, tetapi adalah mengulur terlalu jauh izin syariah bila menggunakannya sebagai salah satu akad pembiayaan.

Jauhnya praktek murabahah dari spirit syariah, disebabkan karena dalam banyak kasus, hantu bunga selalu menggoda sehingga LKS selalu menghitung suku bunga tetap pertahun sekalipun menggunakan skema musyarakah, mudharabah, murabahah dan akad lainnya. Spirit di balik semua akad itu adalah merancang laba yang pasti dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Jadi pada praktiknya LKSpun gagal mengeliminasi elemen bunga yang justru sejak awal diposisikan secara diametral, a vis a dengan konsep bagi hasil yang diusungnya.

Bagi sebagian masyarakat yang masih apriori dengan konsep ekonomi Islam, pergi lari dari sistem bunga dan mengambil konsep margin, ibarat lepas dari mulut buaya, malah terjebak dalam mulut singa. Sama saja, tidak berbeda. Hal ini terjadi karena secara numeric dan pragmatis, seolah tidak ada perbedaan substansial antara bunga dan bagi hasil ataupun margin. Padahal selama ini bunga dan bagi hasil selalu didudukan pada posisi binner, bagi hasil diusung bukan sekedar sebagai alternatif, melainkan sebagai antitesa terhadap sistem bunga.

Sebagian para ekonomi yang kritis terhadap problematika ekonomi syariah ini mengatakan bahwa persoalan mark up dan bunga adalah persoalan yang sangat fundamental. Oleh karenanya Perlu dilakukan reinterprestasi terhadap konsep riba dengan konsep yang lebih empirik. Tanpa interprestasi yang empirik, kejelasan terhadap posisi bunga dalam system konvensional akan tetap menjadi polemik. Bunga akan menjadi sesuatu makna yang selalu tertunda. Missal pendapat yang menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris bunga disamping disebut dengan istilah interest ditemukan pula istilah usury (rente) yang mempunyai dua arti : jumlah besar yang melebihi suku bunga yang sah menurut hokum yang dikenakan atas peminjam uang, atau perbuatan mengenakan bunga yang melebihi suku bunga yang sah. Atas dasar itu ada pendapat bahwa yang mengharamkan bunga itu mengelirukan antara interest dan usury. Dalam konteks itulah A. Hassan seorang ulama Persis mengenggap bahwa bunga yang sah adalah halal hukumnya.

17

Semabagaimana Saeed, maka pertanyaan yang muncul adalah Jika bunga halal hukumnya, mengapa harus ditawarkan konsep bagi hasil sebagai tandingannya.

G. BEBERAPA ARGUMENTASI DAN RASIONALISASI

Ekonomi Islam dengan konsep bagi hasilnya mensyaratkan kejujuran dan keadilan antara LKS dan nasabah sebagai syarat mutlak. Sayang justru persoalan kejujuran inilah yang nyaris hilang dalam masyarakat. Dengan kondisi yang masih jauh dari ideal ini, menerapkan sistem bagi hasil secara apa adanya sangatlah besar resikonya. LKS memang tidak siap berbagi resiko - karena bagaimanapun dana yang didistribusikan kepada nasabah adalah dana masyarakat yang harus dijaga keamanannya sebagaimana amanat mereka - karena msyarakat juga tak siap berbagi kejujuran. Oleh karena itu mengutip pernyataan KH Mas

Mansur tahun 1937: Adapun hukumnya bank (konsep bunga), mendirikannya, mengurusnya, berhubungan dengannya adalah haram. Akan tetapi mengingat kedudukan bank dalam perekonomian modern belum ada alternatif lain, maka ia diperkenankan, dimudahkan dan dimaafkan selama keadaan memaksa akan adanya.

Disamping itu, memang secara matematis antara bunga dan mark up murabahah terkesan nyaris sama. Namun demikian, dalam proses keduanya tetap saja secara fundamental ada yang berbeda, misalkan dalam masalah akad dan alokasi dana pembiayaan. Betapapun terkesan sederhanya persoalan akad, tapi justru disitulah letak perbedaan ontologis dan filosofis antara Islam dan konvensional. Juga jaminan tidak adanya misalokasi dana di LKS untuk sesuatu yang tidak halal, tentu hal ini tidak berlaku dalam lembaga ekonomi konvensional.

Namun demikian, sebagai sebuah proses transisi, penggunaan akad murabahah sebagai alternatif tidak bisa dilakukan terus menerus. LKS harus kembali pada misi awalnya, yaitu mengusung konsep bagi hasil yang berdasarkan keadilan ekonomi. Hal ini bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan, karena di Sudan dan Iran pembiayaan berbasis PLS saat ini juga telah berhasil mencapai 62% dari seluruh portofolio pembiayaan yang digulirkan. Hal ini berhasil

18

dilakukan karena ada dua factor yang sangat mendukung yaitu, 1). Struktur masyarakat yang paternalistis dengan peran sentral ulama dalam kehidupan masyarakat sehingga moral hazaard bisa diminimalisir. 2). Adanya wilayatul hisba yaitu semacam perangkat polisi ekonomi lengkap dengan pengadilan niaga yang segara menyelesaikan perselisihan bisnis. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika di Indonesia juga dilakukan upaya-upaya serupa agar konsep ekonomi Islam yang sesungguhnya dapat dijalankan secara konsekuen, tak ada lagi gap antara normative dan empiris, sehingga kebenaran ekonomi syariah bukanlah kebenaran platonis apalagi eutopis semata.

PENUTUP

Kebenaran konsep ekonomi syariah masih pada wilayah idealis, sementara dalam wilayah empris masih banyak kelemahan dan perbedaan. Oleh karena itu tesis yang mengatakan bahwa penggunaan istilah ekonomi fikih lebih tepat dan relevan daripada ekonomi syariah menjadi menemukan kebenaran empirisnya. Karena pada tataran empiris, rasionalisasi terhadap teks-teks agama ekonomi banyak dilakukan dengan kondisi empirik masyarakat menjadi dasar pertimbangannya. Dan pada jamaknya sebuah proses rasionalisai, praktik ekonomi Islam menjadi relatif berbeda dengan konsep normatifnya. Dalam wilayah praksis inilah, ekonomi syariah seolah belum menemukan kebenaran empiriknya. Namun jika tawaran ekonomi syariah dimaknai sebagai sebuah ijtihad, maka betapapun banyaknya kelemahan dalam wilayah praksis, sebuah ijtihad tetaplah memberikan makna dan takkan pernah sia-sia.

19

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997.

Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah : Kritik atas Interprestasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Terj. Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 1996.

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The International Institute of Islamic Thought, Jakarta, 2002.

Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 2007.

Anshari, Abdul Ghafur, Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008.

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Rjagrafindo, Jakarta, 2007.

Anwar, Syamsul, Bunga dan Riba dalam Perspektik Hukum Islam dalam

Jurnal Tarjih dan Tajdid, Ekonomi Syariah dan Tantangan Kapitalisme Global, Edisi ke 9 Januari 2007, Yogyakarta.

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Perpustakan Nasional, Jakarta, 2007.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajagrafindo, Jakarta, 2007.

Firdaud, Muhammad( Peny.), Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007.

Firdaus, Muhammad, ( Peny. ), Cara Mudah Memahami Akad akad Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007.

Hasbi Ramli, Teori Dasar Akuntansi Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007.

Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2002.

Lewis, Mervyn K, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik dan Prospek, Serambi, Jakarta, 2007.

Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2008.

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, UPP AMP YKPN, yogyakarta, 2005.

20

Muhammad, Model model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2009.

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2006.

Parmudi, Muhammad, Sejarah dan doktrin Bank Islam, Kutub, Yogyakarta, 2005.

Susanto, Burhanudin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008.

Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tantang Riba dan Bunga, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2008.

Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah , Kritik atas interprestasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Arif Maftuhin (Penerj.), Paramadina, Jakarta, 2004.

Umer Chapra, Al Quran Menuju Sistem Moneter Yang Adil, Terj. Lukman Hakim, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997.

Vogel, Frank E, Hokum Keuangan Islam, Konsep, Teori dan Praktik, Nusamedia, Bandung, 2007.

Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005

Yulianti Martina Memurnikan Kembali Muamalah Syariah di Perbankan Syariah dengan Memperbesar Porsi Pembiayaan Bagi Hasil dalam

Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI, Wan Andy, dkk ( Peny.), Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2005.

Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Zikrul Hakim, 2007.

21