studi sosiologis terhadap peran pelean ilu manetek …
TRANSCRIPT
i
STUDI SOSIOLOGIS TERHADAP PERAN PELEAN ILU MANETEK
SEBAGAI TANDA SOLIDARITAS WARGA JEMAAT HKBP CIKAMPEK
Oleh,
Ronaldo Immanuel Frederickson Napitupulu
712014099
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2019
ii
iii
iv
v
vi
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik. Setelah melewati perjalanan selama masa perkuliahan yang membentuk
pemahaman penulis sampai saat ini dan penulisan tugas akhir mengenai solidaritas
jemaat di HKBP Cikampek melalui pelean ilu manetek ini, maka harapannya ialah
agar tulisan ini dapat menambah literatur bacaan mengenai pelean ilu manetek dalam
lingkup jemaat HKBP.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada;
1. Tuhan Yesus Kristus sumber pengharapan dan kekuatan dalam setiap langkah saya,
yang walaupun saya sering salah, namun kasih dan pengampunanNya tetap terpancar
di setiap hari yang indah.
2. Teruntuk kedua orang tua saya yang telah bekerja keras sepanjang waktu, yang
tidak pernah lelah memberikan kasihnya kepada ketiga anaknya. Kepada Rachel dan
Roffel kedua adik saya yang juga pemberi motivasi yang luar biasa.
3. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo serta Pdt. Dr. Ramatulus Pilakoannu yang telah
menjadi dosen pembimbing saya sejak proposal sampai selesai, dengan sabar
memberikan bimbingan yang sangat membantu saya dalam proses penyelesaian tugas
akhir ini.
4. Seluruh jemaat HKBP Cikampek yang mengizinkan saya berpelayanan di sana dan
menjadi lokasi penelitian saya. Terkhusus kedua mentor saya Pdt. KRA Pasaribu dan
Pdt. JMF Aritonang yang telah memberikan banyak pengajaran kepada saya.
5. Pdt. Izak Lattu Ph, D yang telah menjadi orang tua saya dan wali studi selama saya
menjalankan perkuliahan di UKSW Fakultas Teologi sejak 2014.
6. Seluruh dosen Fakultas Teologi yang telah memberikan ilmu dan pengajarannya
kepada saya selama ini sehingga membantu saya dalam menyelesaikan studi saya.
7. Seluruh staff tata usaha yang telah dengan jerih lelah membantu administrasi saya
sejak awal perkuliahan.
vii
8. Teman-teman angkatan 2014, yang telah menjadi rekan sejalan dalam suka
maupun duka selama ini.
9. Kakak, abang, dan semua sahabat saya selama di kampus, Rawamangun dan
Cikampek yang terus menyemangati saya selama ini. Khususnya Cpdt. Ivan
Napitupulu, Cpdt. Marthin Sirait, Cpdt. Endang Naibaho, Cpdt. Lawrence Nadapdap,
Cpdt. Billy Tobing, Cpdt. Karunia Ginting, Cpdt. Marten Silaban dan Cpdt. Ramos
Tambunan.
10. Kepada Nanas Family, Naposo Utan Kayu Kayu Manis.
viii
Motto
“Hidup adalah pelajaran
tentang kerendahan hati”
ix
Daftar Isi
Cover……………………………………………………………………….i
Lembar Pengesahan……………………………………………………….ii
Pernyataan Tidak Plagiat…………………………………………………iii
Pernyataan Persetujuan Akses……………………………………………iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi………………………………………..v
Kata Pengantar…………………………………………………………….vi
Motto………………………………………………………………………..viii
Daftar Isi……………………………………………………………………ix
Abstrak……………………………………………………………………..x
Pendahuluan………………………………………………………………..1
Metode………………………………………………………………………6
Sosiologi Pedesaan atau Tradisional………………………………………7
Sosiologi Perkotaan atau Modern…………………………………………8
Fakta Sosial dan Solidaritas……………………………………………......9
Pembagian Kerja serta Solidaritas Mekanik dan Organik…………….11
Pembagian Kerja serta Solidaritas Mekanik dan Organik………………12
Gereja sebagai Persekutuan Sepenanggungan…………………………..13
Gambaran Jemaat Gereja HKBP Cikampek…………………………….13
Pelean ilu manetek di HKBP Cikampek…………………………………..16
Analisis Timbulnya Solidaritas……………………………………………21
Penutup dan Saran…………………………………………………………..23
Daftar Pustaka……………………………………………………………….24
x
Abstrak
Penulis melihat bahwa terdapat hal yang sangat menarik dalam pelean ilu
manetek. Pendekatan solidaritas dengan menjalankan pelean ilu manetek dikatakan
baru hanya dijalankan di HKBP Cikampek saja. Nama persembahan ini tidak dapat
langsung diterjemahkan menjadi persembahan tetesan air mata dalam bahasa
Indonesia, namun memiliki nilai budaya yang lebih dari itu. Berbeda dengan
persembahan khusus lain yang sudah ditetapkan wajib melalui Almanak HKBP
kepada Gereja HKBP secara umum yang contohnya adalah persembahan untuk anak-
anak terlantar dan lain sebagainya, persembahan ini mempunyai perbedaan. Sebagai
pemberian tanda kedukaan yang dimaksudkan sebagai tanda solidaritas dan
sepenanggungan persembahan pelean ilu manetek diharapkan mampu menjadi
pengingat dan pengajar kepada jemaat mengenai arti pentingnya kesadaran
membangun persekutuan yang sepenanggungan. Melihat melalui kacamata teori
Emile Durkheim ketika revolusi industri yang melahirkan solidaritas mekanik dan
organik maka penulis mencoba meneliti memakai metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menghasilkan data berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari para narasumber dan pemahaman yang dapat
dicermati. Pengumpulan data berpusat pada dua sumber yakni hasil wawancara tidak
terstruktur yang lebih bersifat terbuka dan didukung dengan hasil observasi
partisipatif penulis. Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pemikiran-pemikiran
Durkheim tentang fakta sosial yang bisa dicermati, menyadarkan penulis bahwa
kenyataan bukan hanya sebatas yang dapat dilihat tetapi juga menyangkut yang dari
luar sebatas penglihatan saja namun memiliki cakupan nilai yang begitu mendalam.
Solidaritas mekanis ternyata masih bisa ditemui di tengah hiruk-pikuk perkotaan
dalam hal ini di jemaat HKBP Cikampek yang modern sekalipun tanpa
mengesampingkan segala system di dalamnya.
Kata kunci: Solidaritas, HKBP, Pelean Ilu Manetek, Persembahan untuk
Keluarga Jemaat.
1
Latar Belakang
Sudah menjadi hal umum ketika manusia memberikan sebuah pemberian kepada
pihak lain dengan berbagai alasan yang melandasinya. Pemberian tersebut dapat
berbentuk perbuatan atau tindakan maupun memberikan berupa barang dan lainnya.
Ada hal khusus mengenai kegiatan memberi ini, yakni pemberian yang dilakukan
dalam lingkungan keagamaan. Biasanya diterapkan dalam ruang lingkup tata cara
ibadah, disebut sebagai persembahan. Persembahan adalah sesuatu ungkapan jemaat
atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan dengan cara memberi sebagian
kepunyaannya kepada gereja. Contohnya memberi melalui kantong-kantong
persembahan. Jika dilihat dalam KBBI,1 persembahan diartikan sebagai hadiah;
pemberian kepada orang yang terhormat. Artinya persembahan biasanya diberikan
kepada orang lain yang dalam hal ini memiliki posisi lebih tinggi dari pada yang
memberikan. Atau bisa saja, persembahan diberikan kepada orang yang dianggap
berjasa kepadanya.
Dalam sejarah agama-agama Abraham (Yahudi, Kristen, Islam) persembahan
dapat diidentikan dengan kurban yang merupakan bentuk ungkapan tertentu dengan
pemberian umat ciptaan kepada Tuhannya, umat memberikan persembahan dalam
bentuk kurban bakaran. Ini juga merujuk kepada Perjanjian Lama di mana terdapat
penekanan mengenai persembahan keagamaan berbentuk korban yang dilakukan
sesuai beberapa kondisi.2 Secara tersendiri dalam agama Yahudi, ada upacara untuk
mempersembahkan sesuatu dalam hal ini hewan yang telah dipilih terlebih dahulu
kepada YHWH yakni sebutan Tuhan untuk umat Yahudi. Dalam agama Yahudi
setidaknya terdapat 3 jenis persembahan korban menurut tujuannya, yaitu korban
persembahan, korban keselamatan, dan korban untuk pengampunan dosa. Korban
persembahan ini dimaknai sebagai ungkapan syukur atas pemeliharaan Allah kepada
umatnya. Lalu korban keselamatan berhubungan untuk pengingat akan hubungan
perjanjian antara Allah dengan umat manusia, dan korban penghapusan dosa
dimaksudkan sebagai persembahan kepada Tuhan untuk penghapus dosa yang telah
1 KBBI diakses tanggal 8 November 2018 pukul 15.25 WIB
2 W.R.F Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 316
2
dilakukan. Biasanya diberikan selama satu tahun satu kali.3 Itulah beberapa gambaran
mengenai korban yang telah dilakukan secara turun temurun berdasarkan Perjanjian
Lama.
Sedangkan umat Tuhan dalam Perjanjian Baru tidak lagi mempersembahkan
korban-korban bakaran hewan untuk penghapusan dosa dan lain sebagainya.
Melainkan menerapkan pemaknaan lain mengenai persembahan. Hal ini karena
pemahaman akan persembahan sudah diperbaharui pasca kehadiran Yesus. Ia
dimaknai telah menjadi korban persembahan kepada Allah, satu untuk selamanya,
sehingga umat-Nya tidak lagi harus memberikan berbagai korban bakaran seperti
yang biasa dilakukan sebelumnya. Umat Tuhan dalam Perjanjian Baru mulai
memberikan persembahan dalam bentuk materil teruntuk tujuan tertentu. Hal ini akan
terlihat dalam surat Paulus kepada jemaat di Galatia dan Korintus (Galatia 2:10, 2
Korintus 8:1-24). Di mana melalui ayat ini kita dapat melihat anjuran yang diberikan
oleh Rasul Paulus untuk jemaat di sana agar memberikan persembahan dalam bentuk
fisik atau materil dengan tujuan membantu orang-orang miskin serta sebagai
pengingat akan usaha yang telah dilakukan Paulus ketika memberitakan Injil kabar
sukacita. Ada pula anjuran-anjuran itu sebagai penekanan pembahasan Paulus
terhadap salah satu nas Keluaran 30:11-16 ketika korban pengingat pendamaian
Tuhan ditimpakan setara antara kaya dan miskin atau dalam kata lain orang kaya
memberi kurban sama dengan orang miskin yang harus dirumuskan kembali.4
Berkenaan dengan topik persembahan di atas kemudian dapat kita cermati
bagaimana pemberian persembahan merupakan kegiatan kolektif yang dekat dengan
rasa solidaritas sosial. Kegiatan kolektif ini sudah berjalan sejak dahulu. Secara turun-
temurun umat Tuhan melakukan dan mempelajari bagaimana ia sebagai seorang
pribadi di tengah kelompoknya mempunyai kewajiban dalam hal ini memberikan
persembahan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun tentu kondisi sosial masyarakat
sangat mempengaruhi hal tersebut.
3 John Drane, Memahami Perjanjian Lama III, (Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab,2003),
102-103 4 Pdt. Dr. Ulreich Beyer, Memberi dengan Sukacita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 3
3
Menurut Durkheim solidaritas sosial memiliki dua macam, yakni solidaritas
mekanik dan solidaritas organik. Masyarakat tradisional atau pedesaan dan
masyarakat modern atau perkotaan masing-masing memiliki solidaritas sosial.
Masyarakat tradisional, di mana manusia hidup dengan cara yang hampir sama satu
dengan yang lain, solidaritas dicapai secara otomatis karena struktur masyarakat yang
masih sangat sederhana di mana rasa kekeluargaan atau kesadaran kolektif masih
sangat tinggi, ini disebut sebagai solidaritas mekanik. Sedangkan masyarakat modern
atau perkotaan memiliki kompleksitas tersendiri. Masyarakat dituntut untuk menjadi
individualis, dalam modernitas masyarakat memainkan peranan yang sangat berbeda
satu dengan yang lain. Tetapi menurut Durkheim masyarakat modern tetap terikat
solidaritas organik, yakni tetap saja setiap komponen-komponen memiliki
ketergantungan dengan yang lain walaupun tidak secara langsung karena kesadaran
kolektif, melainkan lebih hanya karena system yang berjalan di tengah struktur
sosial.5
Dewasa ini kemudian umat Tuhan dalam gereja juga mempraktikkan solidaritas
dengan memberikan persembahan secara fisik atau materil. Persembahan-
persembahan ini diberikan ketika ibadah umum maupun ibadah mingguan di rumah
jemaat (ibadah keluarga). Maksud dari persembahan ini adalah untuk menopang
pelaksanaan keberlangsungan pelayanan yang dilakukan sebuah gereja secara luas.
Salah satunya untuk masuk dalam kas pelayanan yang ditujukan untuk orang-orang
miskin ataupun jemaat yang membutuhkan dalam kata lain menopang pelayanan
bidang diakonia, koinonia dan marturia. HKBP sebagai sebuah persekutuan umat
Tuhan juga menerapkan persembahan dalam kegiatan peribadahannya. Kantong
persembahan ibadah umum Minggu ini dijalankan dalam liturgi tata ibadah dilakukan
dua kali yaitu sebelum khotbah dan sesudah khotbah. Pun juga dalam ibadah
keluarga, ibadah pendalaman Alkitab, dan ibadah-ibadah lain dalam satu minggu
pelayanan. Untuk ibadah umum sendiri biasanya diberikan kantong kepada jemaat
dan berjumlah 3 buah, di mana ini tergantung kepada keperluan dan sudah ada juga
5 Pip Jones, dkk., Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2016), 84-86
4
persembahan khusus sesuai Almanak HKBP. Ada jenis persembahan yang unik di
HKBP yang diberi nama pelean ilu manetek atau persembahan tangis yang menetes.
Sinode HKBP secara umum tidak mewajibkan persembahan ini, namun memberikan
otoritas kepada masing-masing huria dalam merumuskan keputusannya masing-
masing. Beberapa Huria menjalankan persembahan ini. Persembahan ini diberikan
khusus ketika ada anggota jemaat yang dirundung duka atau salah satu anggota
keluarganya meninggal. Melalui pengamatan awal penulis, persembahan ini sebagai
bukti sepenanggungan umat kepada salah satu jemaat yang sedang dirundung duka.
Pelean ilu manetek atau persembahan untuk keluarga yang anggota keluarganya
meninggal adalah persembahan khusus yang dilakukan hanya ketika ada kedukaan
atau salah satu jemaat Gereja yang meninggal dunia. Nama persembahan ini tidak
dapat langsung diterjemahkan menjadi persembahan tetesan air mata dalam bahasa
Indonesia, namun memiliki nilai budaya yang lebih dari itu yakni kebersamaan dan
sepenanggungan. Kantong persembahan khusus akan ditambahkan dengan warna
hitam, biasa disebut pelean na birong. Setelah firman Tuhan atau khotbah, kantong
persembahan dijalankan kepada seluruh jemaat yang hadir pada hari Minggu tersebut.
Bahkan biasanya juga dijalankan dalam semua jam kebaktian yang ada. Jika ditelisik
sedikit terlebih dahulu, persembahan kepada orang meninggal juga diberikan untuk
orang-orang suci yang telah meninggal dilakukan sejak Gereja lama.6 Namun ketika
persembahan itu dijalankan dalam iklim HKBP hari ini dengan penekanan kepada
kalimat ilu manetek atau tangisan yang menetes, maka solidaritas jemaat juga
disentuh. Artinya siapapun jemaat yang meninggal tersebut, berbeda marga, boru,
siapapun almarhum adalah baik merupakan bere, ibebere, anggi, abang dan lain
sebagainya, apapun klasifikasi almarhum dalam adat tetap akan diberikan pelean
tersebut padahal suku Batak selayaknya suku-suku lain di Indonesia, sangat
menekankan nilai kekeluargaan yang berlandaskan family atau marga tertentu atau
dalam hal ini klasifikasi adat dalam tarombo (pohon silsilah yang berujung kepada Si
Raja Batak) masih sangat dihormati dan dipertimbangkan dalam pemberian sesuatu
6 Lothar Schreiner, Adat dan Injil. Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 196
5
hal apa lagi dalam ritual kematian semacam ini, sangat menarik batas-batas ini tidak
terjadi di Pelean Ilu Manetek.
Pelean ilu manetek ini hanya dijalankan di HKBP Cikampek dan tidak dijalankan
di Gereja HKBP lain. Berbeda dengan persembahan khusus lain yang sudah
ditetapkan wajib melalui Almanak HKBP kepada Gereja HKBP secara umum
contohnya persembahan untuk anak-anak terlantar dan lain sebagainya, persembahan
ini tentu ada perbedaan. Sebagai pemberian tanda kedukaan yang dimaksudkan
sebagai tanda solidaritas dan sepenanggungan, nyatanya belum mampu berperan
signifikan melahirkan social action yang berkesinambungan dan berdampak terhadap
kegiatan-kegiatan jemaat lain setelah peribadahan Minggu umum. Pelean ilu manetek
yang diharapkan mampu menghasilkan solidaritas yang kuat di tengah masyarakat
atau malah hanya sebagai ritual Gereja biasa saja yang berjalan untuk membantu dana
keluarga yang sedang saudaranya meninggal dunia atau dilaksanakan sebatas karena
himbauan majelis dan pengurus Gereja, tanpa implikasi lain karena tentu tujuan dari
persembahan ini bukan utamanya membantu dana, karena HKBP Cikampek sudah
mempunyai dana diakonia yang diberikan yang sudah termasuk uang peti dan
ambulance bahkan sedang mempersiapkan pembelian lahan pemakaman milik
Gereja. Tetapi mempunyai tujuan utama lain yang penulis lihat yaitu sebagai perekat
solidaritas jemaat di kehidupan bergereja tidak sebatas peribadahan Minggu dan
lewat perjalanannya selama ini apakah pelean ilu manetek sudah berhasil mencapai
tujuan itu dengan mencoba memakai tolok ukur partisipasi jemaat di dalam
pelayanan-pelayanan Gereja selain pada ibadah minggu.
Isi dari kantong persembahan itu akan diberikan kepada keluarga jemaat yang
ditinggalkan. Uang persembahan yang diberikan itu di luar dari dana diakonia
kedukaan Gereja yang akan juga diberikan kepada keluarga jemaat yang ditinggalkan,
dana diakonia ini biasanya sudah dianggarkan sebelumnya. Bagi penulis dengan
demikian pelean ini cukup menarik untuk diteliti. Karena juga keunikan dari
persembahan ini yang di mana dalam Alkitab sendiri pun tidak secara signifikan dan
konkrit memberikan persembahan untuk umat yang berduka atau meninggal, maka
6
penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai makna teologis persembahan ilu
manetek. Penelitian akan dilakukan di jemaat HKBP Cikampek Ressort Cikampek.
Metode Penilitian
Metode penelitian yang digunakan ialah deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menghasilkan data berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari para narasumber dan pemahaman yang dapat dicermati.7 Pengumpulan
data berpusat pada dua sumber yakni hasil wawancara tidak terstruktur yang lebih
bersifat terbuka dan didukung dengan hasil observasi partisipatif penulis. Observasi
diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap
objek di tempat terjadi atau dilaksanaakan peristiwa tersebut.8 Penelitian akan
dilakukan sekitar bulan Juni 2019 kepada jemaat dan majelis HKBP Cikampek
dengan menggunakan snowball sampling.
Sistematika Penulisan
Penulis membagi tulisan ini menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi
pendahuluan. Kedua teori solidaritas, ketiga berisi hasil penilitian dengan
mendiskripsikan pemahaman jemaat mengenai persembahan pelean ilu manetek.
Bagian keempat akan membahas analisa dari pemahaman jemaat HKBP Cikampek
terhadap pelean ilu manetek. Kelima, bagian penutup yang berupa temuan-temuan
hasil penelitian dan pembahasan serta saran juga dapat berupa temuan-temuan dan
rekomendasi.
Sosiologi Pedesaan atau Tradisional
Perbedaan mencolok yang seringkali diberikan oleh orang kota kepada
masyarakat pedesaan adalah bahwa desa bersifat tentram. Sebuah sifat ketentraman
seperti yang dikatakan oleh Boeke: “Desa itu bukan tempat untuk bekerja, tetapi
7 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakaria, 1998), 3
8 S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 158
7
tempat mencari ketentraman. Ketetraman yang pada hakekatnya yang berlandaskan
budaya ketimuran.”9 Walaupun dalam kenyataan umumnya malah masyarakat desa
dituntut hidup lebih bekerja keras. Kerja keraslah syarat utama agar dapat bertahan
hidup dalam masyarakat pedesaan khususnya di Indonesia. Sarana dan pra-sarana
yang belum selengkap di kota belum lagi pembangunan infrastruktur pendidikan yang
masih sangat jauh jika dibandingkan perkotaan. Masyarakat pedesaan dituntut lebih
memiliki Pendidikan yang berlandaskan adat istiadat yang berlaku. Di samping adat
istiadat antara warga desa dalam berbagai aktivitas-aktivitas sosial mereka juga
dibiasakan dengan gotong royong yang segaris lurus dalam lingkup tetangga, kerabat
maupun marga.10
Sosiologi Perkotaan atau Modern
Berbeda dengan tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat
tradisional yang dari padanya social action mereka lebih bertumpu pada kebiasaan-
kebiasaan dan tradisi-tradisi yang telah dilakukan turun-temurun. Ada pun yang
terjadi pada masyarakat modern bagaimana social action mereka lebih banyak
bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dalam masyarakat
modern yang coba kita pahami sebagai masyarakat yang hidup di perkotaan yakni
ialah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan dan mengambil
tindakan berdasarkan pilihannya sendiri yang pada masyarakat tradisional masih tidak
dimungkinkan untuk menerobos sekat-sekat sosial pedesaan dan adat istiadat yang
sudah tercipta. Dalam masyarakat yang lebih modern bahkan pilihan-pilihan lebih
terbuka lebar dan luas.11
Kota sebagai tempat transit berbagai aktivitas berbagai masyarakat dari
berbagai wilayah selalu lekat dengan perkembangan. Karena arus perkembangan
industri dan perdagangan yang berjalan dalam wilayah tersebut. Akhirnya konflik
kepentingan tentu sulit untuk dihindarkan. Masyarakat atau warga kota seringkali
9 Sajogyo Pudjiwati, Sosiologi Pedesaan Jilid 1, (Yogyakarta: UGM Press, 2005), 25
10 Sajogyo Pudjiwati, Sosiologi Pedesaan Jilid 1, (Yogyakarta: UGM Press, 2005), 28
11 Dr. Adon Jamaludin, M.Ag, Sosiologi Perkotaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 72
8
mengalami segregasi dalam arti konsentrasi tipe kelompok orang atau kegiatan
tertentu di wilayah tertentu. Bagaimana masyarakat kota yang beragam mampu
tersentralisasi kegiatannya di sebuah daerah atau wilayah tertentu. Kecendrungan ini
mengakibatkan individu-individu berada dalam sebuah sistem yang memacu diri
untuk bersikap individualis di tengah kelompok. Berbeda dengan yang tradisional
yang lebih konservatif yang pada umumnya mempunyai peraturan yang biasanya
tidak tertulis namun masyarakat yang ada secara sistem mendukung mampu
melakukannya sejalan dengan menjadi sebuah adat istiadat yang menumbuhkan
solidaritas yang kuat dan besar. Mereka beraktivitas di sebuah tempat tetapi iklim
adat istiadat masih terjaga bagaimana pun kondisinya.
Jenis pekerjaan di perkotaan yang urban pasti juga lebih banyak. Setiap jenis
pekerjaan membentuk kelompoknya masing-masing. Jika diklasifikasikan dari
pekerjaan yang dianggap paling umum di mana jam kerjanya sudah diatur sedemikian
rupa setiap harinya sampai kepada jenis pekerjaan yang jam kerjanya tidak dapat
dipastikan berapa lama. Hal-hal tersebut di atas tentu mempengaruhi kondisi
sosiologis individu dan kelompok di dalamnya.
Fakta Sosial dan Solidaritas
Di mata Durkheim, Sosiologi harus mampu secara empiris menjadi ilmu
pengetahuan yang beridiri sendiri. Untuk memisahkan Sosiologi dari pengaruh ilmu
lain khususnya filsafat maka Durkheim mencoba membangun sebuah konsep
bernama fakta sosial (social facts). Fakta sosial bukan suatu yang mengawang atau
bukan sekedar sebuah kegiatan introspeksi, melainkan lewat penyusunan data secara
riil dan bukan spekulatif, untuk melihat adanya realitas sosial di samping kenyataan
individu.12
Fakta sosial mencoba menggambarkan bahwa sebuah nilai, norma,
kesepakatan dan budaya dalam kenyataannya sangat mempengaruhi kepercayaan
serta tindakan individu dalam masyarakat atau juga dapat disebut bahwa sebuah
tidakan individu sebenarnya akan selalu dipengaruhi masyarakat.
12
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), 14
9
Menurut Durkheim fakta sosial dapat dibagi menjadi dua penekanan, pertama
yakni dalam bentuk material, barang sesuatu yang dapat diobservasi, ditangkap dan
disimak secara nyata. Contoh: norma hukum dan arsitektur. Kedua yakni dalam
bentuk non-material yakni adalah sebuah barang yang dianggap nyata, itu hanya
muncul dalam kesadaran manusia. Contoh: opini, egoisme dan altruisme.13
Bentuk
material adalah fakta sosial yang nyata dapat dipahami, contohnya norma hukum
yang disusun secara kesepakatan terdapat pada dunia nyata (External World) yang
berpengaruh ke dalam kehidupan individu maupun kelompok, dan begitu pula
arsitektur yang jelas rancangan manusia. Sedangkan non-material lebih bersifat fakta
sosial yang dianggap nyata (External) lebih kepada contohnya opini, egoisme dan
altruism yang juga berpengaruh terhadap individu dan masyarakat. Sebuah
masyarakat adalah sebagai suatu kesatuan dari fakta-fakta sosial.14
Olehnya maka
dapat memungkinkan masyarakat untuk mempunyai kesadaran kolektif yang
kemudian menumbuhkan nilai-nilai solidaritas di tengah realitas.
Banyak definisi yang dapat diartikan sebagai solidaritas. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) /so·li·da·ri·tas/ diartian sebagai sifat atau perasaan
solider; sifat satu rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setiakawan.15
Solidarity
dalam bahasa inggris juga dapat diterjemahkan sebagai rasa sadar atas kepentingan
bersama, yang menghasilkan tumbuhnya rasa persatuan di dalam kelompok. Hal
tersebut dapat dikatakan juga sebagai ikatan dalam masyarakat yang saling mengait
antar anggota. Agar bisa melakukan sebuah tindakan bersama, individu-individu
dalam kelompok ini harus memiliki sebuah nilai yang mampu mempersatukan yakni
nilai kebersamaan, kekerabatan ataupun kekeluargaan. Sebuah keberanian untuk
bertindak dan hidup bersama-sama.16
Tentunya lingkungan sosial individu dalam
kelompok ini mempengaruhi bagaimana mereka bersolidaritas satu dengan yang lain.
pembagian pekerjaan, budaya, bahkan sampai tempat mereka tinggal. Di antara
13
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), 15
14 Wardi Bachtiar, Douglas Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2011), 23
15 KBBI diakses pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 19:25
16 Anthony Giddens, dkk, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2004), 357
10
masyarakat pedesaan dan perkotaan yang lebih urban masing-masing juga memiliki
perbedaan.
Pembagian Kerja serta Solidaritas Mekanik dan Organik
Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal dekat Strasbourg, daerah
Timur Laut Perancis dari sebuah keluarga Yahudi. Durkheim sebenarnya diarahkan
untuk menjadi rabbi sebagaimana ayah dan kakeknya. Setelah berpindah
kependidikan umum pada 1987 beliau memasuki semacam sekolah tingkat atas yang
kemudian menciptakan lingkungan intelektual yang dinamis.17
Pemikiran Durkheim
tentang pembagian kerja didasari pada gejala sosial yang terjadi pada masa Revolusi
Industri di Inggris, ia mengamati perubahan sosial dari masyarakat primitif
(tradisional) menuju masyarakat modern. Aspek yang diamati Durkheim adalah pada
pembagian kerja dalam kedua tipe masyarakat tersebut.18
Durkheim mengamati
bahwa peningkatan sistem pembagian kerja tersebut berimplikasi pada perubahan tipe
solidaritas sosialnya. Kedua tipe solidaritas sosial ini memiliki beberapa ciri
sebagaimana dijelaskan Durkheim bahwa solidaritas mekanik, di mana anggota
masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah, masih terikat satu sama lain
atas dasar kesamaan emosional dan kepercayaan dan sebuah perbedaan merupakan
sesuatu yang perlu dihindari. Sebaliknya pada masyarakat dengan tingkat pembagian
kerja yang tinggi atau solidaritas organik, sangat memungkinkan hal-hal yang
membuat perbedaan terjadi, dan masyarakat disatukan oleh saling ketergantungan
fungsional.19
Solidaritas mekanik yang biasanya timbul pada masyarakat tradisional sangat
bergantung pada setiap individu-individu, yang mempunyai beberapa sifat yang sama
dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Bersama-sama dalam
banyak kesamaan. Solidaritas mekanik bergantung kepada kesadaran kolektif
17
Anthony Giddens, dkk, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 43
18 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial (Edisi Revisi), (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada), 50 19
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial (Edisi Revisi), (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada), 51
11
(collective consciousness) setiap anggotanya. Kesadaran kolektif ini juga terkait
dengan kehidupan psikologis individu dan juga kehidupan pskilogis seluruh
masyarakat. Istilah tersebut bukan sekedar pembagian kata “kolektif” dan
“kesadaran” melainkan kesadaran sosial secara total tanpa mengesampingkan
kehidupan psikologis seluruh masyarakat.20
Oleh karena hal tersebut maka sifat
individualitas tidak berkembang, individualitas ini terus-menerus akan dilumpuhkan
oleh tekanan yang besar sekali untuk sebuah kenyamanan masyarakat bahkan untuk
mencapai hal tersebut dapat memakai tindakan represif hukum adat. Hukuman
diberlakukan kepada anggota masyarakat yang melanggar nilai-nilai moral. Sanksi itu
adalah bentuk nyata dari kesadaran kolektif (collective consciousness) masyarakat
terhadap tindakan individu. Fungsi dari sanksi ialah menjaga semangat kesadaran
bersama.21
Solidaritas organik berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas
organik muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini
didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi pada anggotanya yang
besar pula.22
Pembagian kerja di masyarakat yang lebih modern pasti juga lebih
banyak. Dalam masyarakat yang lebih modern pilihan-pilihan lebih terbuka lebar dan
luas.23
Jika diklasifikasikan dari pekerjaan yang dianggap paling umum di mana jam
kerjanya sudah diatur sedemikian rupa setiap harinya sampai kepada jenis pekerjaan
yang jam kerjanya tidak dapat dipastikan berapa lama.
Gereja sebagai Persekutuan Sepenanggungan
Memandang Gereja sebagai sebuah persekutuan yang sepenanggungan juga
penting untuk menyelesaikan bagian kedua ini. Gereja sebagai persekutuan adalah
ketika kita dapat melihat Gereja bukan lagi sebatas sebagai sebuah institusi saja
melainkan suatu persaudaraan yang erat dan itu merupakan pengertian yang biblis.
Pada awal sekali juga murid-murid mula-mula sendiri membiasakan diri dengan
20
Emile Durkheim, The Devision Of Labour in Society (Paris: Alcan, 1983), 24 21
Emile Durkheim, The Devision Of Labour in Society (Paris: Alcan, 1983), 28 22
Ramadhani Setiawan, “Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik”, http://riset.umrah.ac.id, diakses 23 Mei 2019 pukul 20:00
23 Dr. Adon Jamaludin, M.Ag, Sosiologi Perkotaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 72
12
sebuah persekutuan. Avery Dulls menyebutkan, bahwa model Gereja sebagai
persekutuan murid-murid pertama sekali mengedepankan yang dapat disebut
mengenai sepenanggungan. Sejak abad keempat, sebagian murid-murid menjauh dari
hiruk-pikuk masyarakat bersama memilih padang gurun sebagai gambaran agar lebih
saling menghayati kehidupan persekutuan satu dengan yang lain.24
Dewasa ini Gereja yang berdiri di tengah lingkungan sosial juga dituntut
untuk dapat menghidupi semangat awal yang juga sempat dilakukan pada kekristenan
mula-mula. Banyak dari jemaat mula-mula yang mati syahid termasuk dua belas
murid pilihan Yesus. Di tengah aniaya yang terjadi, persekutuan tetap berkembang
relatif cepat. Gereja yang teraniaya bukan terpecah melainkan tetap berusaha
mengembangkan aspek penginjilan ataupun pelayanan.25
Hal tersebut dapat menjadi
alasan bagi kita sekarang untuk menghayati bagaimana konteks sepenanggungan
tidak berbicara mengenai hal-hal ringan saja, bahkan mampu berkenaan dengan hidup
yang lebih luas dan mendalam.
Jika ditarik langsung dengan apa yang dituliskan Perjanjian Baru mengenai
cara hidup jemaat yang pertama dalam Kisah Para Rasul 2:41-45, juga terdapat
gambaran persatuan persekutuan yang kokoh sampai ke tahap apa yang dimiliki
mereka adalah milik bersama, ada yang menjual harta miliknya untuk dibagikan pada
yang memerlukan, memecahkan roti secara bergilir di masing-masing rumah.
Sepenanggungan dalam persekutuan ini membuahkan banyak orang melihat dan
akhirnya bersukacita atas mereka.26
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan
bahwa gereja yang merupakan persekutuan, bukan sebatas hubungan Allah dengan
gereja saja sebagai institusi melainkan juga mengenai hubungan para anggota yang
berada di dalamnya.
24
Avery Dulls, Model-Model Gereja, (Ende: Nusa Indah 1990), 187 25
David Hasselgrave, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 31
26 Gambaran langsung penulis dari apa yang tertulis di Alkitab TB LAI dalam Kis2:411-45
dengan judul perikop “Cara Hidup Jemaat yang Pertama”.
13
Gambaran Jemaat Gereja HKBP Cikampek
Dalam melakukan penelitian, penulis langsung melakukan observasi di tempat
penelitian kurang lebih 4 bulan yang kebetulan saat penulis melakukan praktek akhir
lapangan fakultas Teologi UKSW, dalam rangka memperkuat observasi penulis itu
maka penulis terjun langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian dan
wawancara bulan July 2019. Selama penelitian berjalan perlu diketahui sebagai
informasi, peningkatan jumlah jemaat HKBP Cikampek sedang pesat. Menurut
penuturan Pdt. JMF Aritonang, S.Th selaku pendeta fungsional hampir setiap minggu
ada jemaat baru yang mendaftar ke dalam jemaat HKBP Cikampek. Sehingga data
terakhir yang didapat jumlah Kepala Keluarga di HKBP Cikampek yang terdaftar
sudah sampai 1400 KK. Jam ibadah minggu 3 kali, ditambah 1 kali di pospel
Pancawati total 4 kali jam ibadah.
HKBP Cikampek adalah Gereja Ressort HKBP yang berdiri di Jl. Kamojing
No.1 Cikampek, Karawang, Jawa Barat. Sudah memiliki 1 Pospel terpadu yang siap
menjadi persiapan gereja, yakni pospel di Pancawati yang sudah menjalankan ibadah
umum 1 kali ibadah hari minggu. Di setiap sektor juga memiliki pospel-pospel kecil
yang biasanya digunakan untuk pengajaran Sekolah Minggu. Gereja ini awalnya
didirikan oleh para pendatang dari luar daerah yang bersuku Batak yang sedang
bekerja untuk PT. Kellog Corporation tahun 1976, dengan semangat awal “perlunya
wadah persekutuan orang-orang Batak di Cikampek”.27
Pencampuran antara jemaat
asli Cikampek dengan para pendatang dari Bona Pasogit28
berlangsung mencair dan
baik.29
Sehingga walaupun pendiri awal gereja adalah para pekerja pendatang namun
yang sudah lebih lama tinggal di sekitaran Cikampek akhirnya ikut turut serta
melayani di HKBP Cikampek sampai sekarang. Hingga saat ini peleburan itu terjadi
di tengah HKBP Cikampek.
Cikampek adalah daerah transit yang sangat strategis. Berada di antara
Karawang dan Purwakarta. Jalan lintas menuju Jakarta juga harus melewati
27
Buku Sejarah HKBP Cikampek 28
Bona Pasogit, dari Bahasa batak “asal-usul” yang kemudian juga memiliki makna tempat kampung halaman di tanah Batak
29 Bpk.Boby Pardede, wawancara tanggal 13 July 2019 di Cikampek
14
Cikampek. Oleh karena itu pula roda ekonomi yang berjalan di tempat ini cukup
pesat karena seringnya dilewati berbagai aktivitas ekonomi. Sebagai daerah untuk
persiapan kota, sarana dan pra sarana di Cikampek sudah memadai. Pekerjaan
penduduk Cikampek juga beraneka ragam. Sehingga begitu juga dengan pekerjaan
jemaat HKBP Cikampek. Kebanyakan bekerja sebagai marpasar.30
Walau
kebanyakan, jumlah mereka tidak begitu dominan di tengah jemaat yang lain, dari
narasumber yang penulis sambangi saja setidaknya terdapat guru, pekerja karyawan
swasta, pendiri koperasi, pengusaha online-shop, pegawai bank, sampai pekerja
pabrik. Hal tersebut mencerminkan heterogennya Cikampek di tengah kota Industri
Karawang dan persiapan kota yang menjadi salah satu tempat transit yang penting di
pulau Jawa.
Solidaritas dalam Jemaat HKBP Cikampek
Solidaritas sepertinya berjalan baik jika ditelisik secara umum, tetapi pada
beberapa kasus justru terlihat beberapa gesekan yang terjadi di beberapa
kesempatan.31
Jika melihat dengan pengamatan dari bawah yakni solidaritas
keseharian kepada pengamatan di atas yakni solidaritas umum jemaat terjadi
beberapa perbedaan. Dalam kehidupan berjamaat gereja sebagai ikatan persekutuan
solidaritas sangat penting, gereja adalah symbol perpanjangan tangan Tuhan kepada
umat-Nya.32
Sehingga gereja mempunyai andil untuk mengingatkan dan mengajarkan
pentingnya rasa sepenanggungan di tengah jemaat, persembahan ini berhasil untuk
minimal menyadarkan dan mengingatkan jemaat.33
Walaupun landasannya seringkali
karena hubungan timbal-balik saja ketika memberikan persembahan tersebut.34
Gesekan sering terjadi di tengah jemaat, bahkan sampai berujung perpecahan
internal. Contohnya di kategorial Ina (Kaum Perempuan) ketika ada gesekan dalam
kelompok paduan suara, langsung membuat kelompok paduan suara baru yakni PS.
30
Marpasar, koperasi bank berjalan, kegiatan simpan pinjam 31
Bpk.Boby Pardede, wawancara tanggal 13 July 2019 di Cikampek 32
Ibu. Merry Tambunan, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 33
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 34
Ibu. Merry Tambunan, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek
15
Sola Gratia. PS. Sola Gratia juga mengalami masalah antara anggotanya,
penyelesaiannya ialah ada anggota yang keluar dan membuat PS. Maranatha.35
Sehingga solidaritas kesehariannya sangat ditentukan dengan kesadaran setiap
individu tentang perannya masing-masing dalam lingkungan bergereja.
Masih ada beberapa contoh solidaritas keseharian yang sulit timbul dan
memerlukan sebuah symbol dan peran gereja dalam mengatasinya, salah satunya
kategorial Naposo (Pemuda) yang kebetulan terbagi dengan 3 profesi dominan yakni
karyawan koperasi yang kepala koperasinya juga anggota naposo, karyawan kantor
dan mahasiswa. Tentu dapat dilihat kelompok-kelompok yang muncul juga sebagian
besar didasari dari profesi tersebut. Ale-ale (sahabat sepermainan) terbagi
berdasarkan hal tersebut di atas.36
Gesekan konflik membutuhkan symbol umum
yang menyatukan, dalam hal ini ketika diadakan sebuah acara pekan budaya yang
dilaksanakan gereja mereka berbaur bersama dalam hegemoni tanpa sekat yang
tadinya timbul karena sebuah masalah.
Pelean ilu manetek diharapkan menjadi salah satu lokomotif yang menarik
anggota-anggota jemaat kepada satu tujuan yakin persatuan dan sepenanggungan
jemaat.37
Dalam keseharian banyak sekali gesekan bahkan sejak awal berdirinya
HKBP Cikampek yang sudah memakan cukup banyak perpecahan dalam jemaat,
dibutuhkan sebuah mekanisme umum yang kembali merekatkan dan berfungsi
mengajarkan jemaat sebagai symbol solidaritas.
Pelean ilu manetek di HKBP Cikampek
Saran untuk menjalankan persembahan pelean ilu manetek dibicarakan dalam
sermon parhalado (majelis jemaat) atas saran Pdt. KRA Pasaribu, S.Th pada
sekitaran tahun 2013.38
Pertama kali dijalankan karena melihat ada keluarga jemaat
yang sedang berduka karena saudaranya meninggal, namun kondisi ekonomi keluarga
35
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 36
St. Simbolon, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 37
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 38
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek
16
tersebut dinilai perlu bantuan tambahan di luar dana diakonia sosial yang ada.39
Atas
dasar keprihatinan tersebut maka seluruh penatua yang hadir dalam sermon tersebut
setuju untuk menambahkan kantong persembahan pada setiap jam ibadah minggu
yang akan datang. Pendapatan pelean ilu manetek sekitar Rp. 4.000.000 - Rp.
6.000.000 tidak pernah menentu dan pasti.40
Hasilnya dianggap cukup baik sehingga
dijalankan sampai hari ini. Pemilihan frasa ilu manetek yang berakar dari budaya
Batak karena menimbang ada makna budaya yang sudah mengandung nilai-nilai injil
di dalamnya yakni makna persekutuan, persatuan dan sepenanggungan di dalamnya
sehingga dapat dimasukkan ke dalam liturgi.41
Pemilihan pelean ilu manetek juga
melihat karena begitu dekatnya makna ilu manetek dengan kondisi psikologis suku
Batak yang melambangkan rasa sepenanggungan.42
Pelean ilu manetek adalah produk budaya. Masuknya pelean ilu manetek ke
dalam liturgi gereja merupakan hal yang menarik karena tidak semua gereja HKBP
melakukan persembahan ini.43
HKBP yang notabene merupakan gereja kesukuan
tentu iklim jemaat sangat kental dengan sifat-sifat dan nilai-nilai dari suku Batak
yang sedikit mirip seperti suku lainnya di Indonesia memiliki sifat kekeluargaan atau
kekerabatan yang kental. Ada permasalahan yang penulis cermati bagaimana
solidaritas suku Batak khususnya dalam menghadapi seseorang yang meninggal ini
memiliki penekanan. Biasanya pemberian dukacita sangat hanya terikat dengan
kelompok marga tertentu. Dalam konteks sosial budaya tersebut, yang mengatur
hubungan antar manusia biasa disebut dengan Dalihan na Tolu. Sejak lama memang
perpaduan antara gereja HKBP dan budaya Batak sudah berjalan dengan baik.
Bagaimana HKBP menciptakan keadaan di mana kepercayaan Kristen dan adat
berdiri berdampingan dan saling melengkapi.44
39
St. Simbolon, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 40
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di CIkampek 41
Penuturan pendeta pimpinan jemaat Pdt. KRA Pasaribu, S.th ketika menerangkan landasan awal pelean ilu manetek di HKBP Cikampek
42 Ibu. Sondang Pasaribu, wawancara tanggal 13 July 2019 di Cikampek
43 Penuturan pendeta pimpinan jemaat Pdt. KRA Pasaribu, S.th ketika menerangkan landasan
awal pelean ilu manetek di HKBP Cikampek 44
Ibu. Merry Tambunan, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek
17
Masyarakat semua lapisan tentu pernah melakukan ini, kaya, miskin, tua,
muda, tinggal di kota, tinggal di desa dan lain sebagainya. Jika kita Tarik garis lurus
bagaimana kondisi sosial masyarakat mempengaruhi hal ini, Semua keluarga yang
sedang berduka diberikan persembahan ini, tetapi dikecualikan jemaat yang sedang
bermasalah. Salah satu contoh kasus yang baru terjadi saat ini sekitar bulan Mei
2019, di mana persembahan ini sudah dijalankan terkumpul sekitar 4 juta sekian,
tetapi dibatalkan dana tersebut dialihkan ke dana simpan gereja, karena diduga keras
keluarga yang berduka sudah memalsukan atau menutupi penyebab jemaat tersebut
meninggal. Karena peraturan HKBP sudah menuliskan mengenai hal tersebut maka
jemaat tersebut tidak dapat sementara dilayani oleh Gereja tetapi dilakukan
pengembalaan. Serta segala pemberian dana duka tidak dapat mengatas namakan
gereja melainkan hanya individu saja.45
Ternyata hal tersebut berimplikasi langsung
dengan penilaian keluarga tersebut dengan mengatakan Gereja tidak adil dalam
melakukan pelayanan dukanya.46
Proses Pelean Ilu Manetek HKBP Cikampek
Saat kabar ada jemaat yang meninggal maka keluarga yang sedang berduka
biasanya akan segera menginfokan kepada sintua sektor setempat tentang kabar
tersebut. Walaupun dalam beberapa kesempatan sintua mencari tahu atau pun diberi
tahu jemaat yang lain.47
Setelah konfirmasi kabar tersebut benar, maka sintua akan
membawanya dalam rapat penatua atau sermon parhalado. Tetapi kabar tersebut
sebelumnya harus segera didapat pendeta agar ibadah kedukaan dan ibadah
penguburan dapat dipersiapkan. Keluarga yang sedang berduka karena keluarganya
meninggal itu nama Almarhum dituliskan ke dalam warta jemaat. Dalam pembacaan
warta jemaat tersebut maka akan dituliskan nama jemaat yang menerima pelean ilu
manetek minggu ini, dan dibacakan ketika liturgi. Dengan susunan redaksional: “Na
di ari (…) nungga marujung ngolu (amanta/inanta… nama) tutup umur (..) taon. Na
45
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 46
St. Simbolon, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek 47
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek
18
sian (tinggal di mana). Jala nungga tu udean na di ari …(tanggal penguburan).
Tatangianghon ma asa tumibu tarapul rohani keluarga, jala papunggu pelean ilu
manetek do hita songon dalanta laho mangurupi keluarga nasida.”48
Dalam
pembacaan warta jemaat tersebut sintua dapat menambahkan beberapa pesan ketika
menyampaikannya.
Setelah dalam semua jam ibadah dijalankan maka dana yang terkumpul akan
dijumlahkan dan akan segera diberikan kepada keluarga yang sedang berduka.
Pemberiannya lebih sering ketika ibadah penghiburan bukan ibadah-ibadah sebelum
penguburan. Jika jemaat tersebut dikuburkan di Bona Pasogit, maka ditunggu sampai
keluarga tersebut datang kembali ke Cikampek. Proses pemberian dana ini tidak
berjalan dengan biasa saja. Namun, pemberiannya dilakukan setelah ibadah
penghiburan, kemudian kata-kata penguatan yang diberikan kelompok-kelompok
yang hadir dalam ibadah penghiburan. Saat perwakilan gereja selesai memberikan
kalimat duka para perwakilan akan berdiri kemudian memberikan amplop yang berisi
dana diakonia beserta dana pelean ilu manetek sebagai tanda sepenanggungan jemaat.
Penerima Dana Pelean Ilu Manetek
Data di atas pertanggal Desember 2018 sampai akhir Juni 2019. Jumlah dana
yang didapat tidak dapat diberikan database-nya, tetapi lewat penuturan penatua
selama ini dana pelean ilu manetek cenderung stabil selalu di angka antara
Rp.4.000.000-Rp.5.000.000 setiap persembahan ini dijalankan.49
48
Susunan redaksional dalam warta jemaat gereja HKBP Cikampek 49
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di Cikampek
19
Pendapat tentang Pelean Ilu Manetek
Menurut pendeta, dalam hal ini pendeta pertama yang menyarankan pelean ilu
manetek di HKBP Cikampek Pdt. KRA Pasaribu S,Th, pelean ilu manetek adalah
bentuk cerminan gambaran jemaat mula-mula ketika dalam pelayanan Paulus di mana
terdapat rasa kebersamaan bahkan kepemilikan bersama di antara jemaat. Termasuk
pengumpulan uang untuk membantu jemaat yang kekurangan di Yerusalem. Jika
ditarik dalam masa Yesus terdapat juga sikap Yesus terhadap orang-orang yang
kesusahan dengan penekanan “Tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan”. Sehingga
sebenarnya nilai-nilai tersebut sudah terkandung dalam budaya pelean ilu manetek
sebelum injil datang ke tanah Batak, ini menjadi tidak terdapat masalah ketika
dimasukkan ke dalam liturgi. Dijalankan persembahan ini menjadi baik agar jemaat
kembali menghidupi apa yang sudah dihidupi sejak jemaat mula-mula sembari
menjalankan solidaritas dalam konteksnya masing-masing.
Menurut penatua, pelean ilu manetek adalah bentuk solidaritas di tengah
jemaat. Awalnya dijalankan karena melihat bahwa keluarga yang berduka katika
saudaranya meninggal dalam kondisi kekurangan ekonomi. Maka, dalam sermon
parhalado atau rapat penatua ingin dibahas tetapi ternyata Pendeta Ressort sendiri
yang menyarankan tentang persembahan ini lebih dahulu di tengah forum. Penatua
melihat ini merupakan jalan keluar yang baik untuk membantu jemaat dan menjadi
program tetap yang berlanjut ke depannya. Saat ada produk budaya yang dapat
menjadi wadah yang dikedepankan dalam menolong sesama jemaat, tentu merupakan
sebuah berkat dalam gereja. Walaupun dalam perjalanannya mengalami pasang-surut.
Tetapi persembahan ini sudah menjadi bagian penting dalam jemaat. Bertujuan untuk
mengajarkan, mengingatkan dan kembali menyadarkan jemaat arti pentingnya
kebersamaan, solidaritas dan terlebih tolong-menolong sesama jemaat.50
Bahkan saat
ini banyak saran dari jemaat agar pelean ilu manetek tidak dijalankan hanya saat ada
yang kedukaan meninggal, namun juga saat kedukaan lain misalnya karena
kecelakaan, sakit, atau tertimpa musibah. Walaupun dana diakonia sosial juga ada
dalam kedukaan tersebut tetapi banyak saran agar pelean ilu manetek juga dijalankan.
50
St. Ny. SIhombing, wawancara tanggal 12 July 2019 di CIkampek
20
Menurut warga jemaat yang menerima pelean ilu manetek, pertama sekali
memberikan rasa syukur karena gereja dapat hadir dalam kedukacitaan jemaat secara
konkrit.51
Melalui dana pelean ilu manetek itu keluarga yang berduka dapat
merasakan bagaimana seluruh jemaat juga ternyata merasakan apa yang keluarga itu
sedang rasakan, membantu uang material banyak menolong dalam membantu saat
pengeluaran. Gereja menjadi berjasa yang artinya dana persembahan tersebut diingat
dalam jangka waktu yang panjang. Gereja ternyata dapat turut terlibat bukan
menopang secara iman saja melainkan juga secara material di saat duka gereja tetap
hadir memberikan bantuan.
Analisis Timbulnya Solidaritas Mekanik dalam Jemaat di Tengah Perkotaan
Solidaritas mekanik yang biasanya timbul pada masyarakat tradisional
rupanya sedikit banyak masih dihidupi oleh jemaat. Kehidupan bergereja masih
sangat bergantung pada setiap individu-individu, yang mempunyai beberapa sifat
yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Bersama-
sama dalam banyak kesamaan. Solidaritas mekanik bergantung kepada kesadaran
kolektif (collective consciousness) setiap anggotanya. Kesadaran kolektif ini juga
terkait dengan kehidupan psikologis individu dan juga kehidupan pskilogis seluruh
masyarakat. Istilah tersebut bukan sekedar pembagian kata “kolektif” dan
“kesadaran” melainkan kesadaran sosial secara total tanpa mengesampingkan
kehidupan psikologis seluruh masyarakat.52
Oleh karena hal tersebut di atas maka sifat individualitas tidak berkembang,
individualitas ini terus-menerus akan dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali
untuk sebuah kenyamanan bersama, bahkan untuk mencapai hal tersebut dapat
memakai tindakan represif hukum adat atau sebuah peraturan dalam hal ini aturan-
peraturan HKBP dalam kasus pembatalan dana pelean ilu manetek. Hukuman
diberlakukan kepada anggota masyarakat yang melanggar nilai-nilai moral. Sanksi itu
adalah bentuk nyata dari kesadaran kolektif (collective consciousness) masyarakat
51
Ibu. Sondang Pasaribu, wawancara tanggal 13 July 2019 di Cikampek 52
Emile Durkheim, The Devision Of Labour in Society (Paris: Alcan, 1983), 24
21
terhadap tindakan individu. Fungsi dari sanksi ialah menjaga semangat kesadaran
bersama.53
Solidaritas organik yang dikatakan Durkheim di mana solidaritas timbul lebih
terhadap kebutuhan fungsional antar anggota yang memiliki system kerja yang besar
rupanya tidak begitu muncul dalam jemaat HKBP Cikampek. Solidaritas keseharian
yang lahir lebih kepada bagaimana dibutuhkan sebuah symbol yang merekatkan yang
sudah ada, yang dianggap sudah disetujui bersama. Keterikatan kesamaan suku dan
tempat tinggal mempengaruhi bagaimana cara jemaat hidup. Solidaritas muncul lebih
karena kesamaan dan bukan perbedaan.
Profesi jemaat memang beragam begitu pula dengan pemahaman dan
pemikirannya yang memiliki kacamata berbeda-beda. Tetapi ketika duduk dalam
sebuah wadah yang bernama gereja maka yang dilihat adalah iman dan adat-
istiadatnya. Salah satu wadahnya ialah persembahan duka ini. Persembahan
merupakan salah satu jenis kegiatan yang telah dilakukan sejak dahulu ketika sudah
terjadi perkumpulan sosial. Polanya bisa juga disebut sebagai pemberian(kegiatan
saling memberi). Seorang yang telah menerima sesuatu pemberian ingin juga
membalasnya. Pemberian timbal balik merupakan suatu fenomena sosio-budaya yang
mendasar di dunia ini dan daya tariknya besar dalam masyarakat manapun.54
Timbal-
balik rupanya adalah motivasi yang dapat dilihat ketika memberikan persembahan ilu
manetek. Dengan ini alasan formalitas dapat dikesampingkan. Sebuah komunitas
yang mengaku hidup dalam naungan gereja yang kudus memang sudah sepantasnya
mengedepankan nilai-nilai pengajaran (pemuridan) tentang solidaritas kepada
jemaatnya, yang memang sudah dijalankan sejak jemaat mula-mula.
Soerjono Soekanto (2004: 149) menjelaskan bahwa istilah community dapat
diterjemahkan sebagai masyarakat setempat, seperti warga sebuah desa, kota, suku
atau bangsa. Apabila anggota suatu kelompok besar maupun kecil, hidup bersama
sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi
kepentingan hidup yang utama, kelompok itu disebut masyarakat setempat. Ciri
53
Emile Durkheim, The Devision Of Labour in Society (Paris: Alcan, 1983), 28 54
Pdt. Dr. Ulreich Beyer, Memberi dengan Sukacita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 44
22
utama masyarakat setempat ini adalah adanya social relationship antara anggota
kelompoknya.55
Sehingga ikatan relasi itu yang mengikat masyarakat secara tidak
langsung untuk merasa saling membutuhkan yang akhirnya juga dapat bersolidaritas
satu dengan yang lain.
Penutup dan Saran
Berdasarkan segala pemaparan yang sudah disampaikan di atas, penulis
sampai pada penutup bahwa secara historis ikatan solidaritas suku Batak masih
sangat berpengaruh sampai saat ini. Jejak-jejaknya masih dapat kita lihat di
lingkungan jemaat. Sudah sejak dahulu perpaduan antara gereja HKBP dan budaya
Batak sudah berjalan dengan baik. Bagaimana HKBP menciptakan keadaan di mana
kepercayaan Kristen dan adat berdiri berdampingan dan saling melengkapi satu
dengan yang lainnya. Gereja sebagai persekutuan sepenanggungan juga harus
menjalankan perannya di tengah jemaat dan masyarakat yang mempunyai tugas
menyadarkan, mengajarkan dan mengingatkan jemaat akan kehidupan bergereja yang
baik. Lebih dari semua itu pelean ilu manetek adalah salah satu lokomotif yang baik
yang sekaligus menjadi symbol persatuan dan sepenanggungan yang mengarahkan
gerbong-gerbongnya menuju pemahaman akan pentingnya solidaritas di tengah
kehidupan bergereja.
Pemikiran-pemikiran Durkheim tentang fakta sosial yang bisa dicermati,
menyadarkan penulis bahwa kenyataan bukan hanya sebatas yang dapat dilihat tetapi
juga menyangkut yang dari luar sebatas penglihatan saja namun memiliki cakupan
nilai yang begitu mendalam. Solidaritas mekanis ternyata masih bisa ditemui di
tengah hiruk-pikuk perkotaan yang modern sekalipun tanpa mengesampingkan segala
system di dalamnya. Saran penulis agar pelean ilu manetek tetap dijalankan sebagai
salah satu tanda usaha gereja berperan di tengah masyarakat yang begitu heterogen
seraya memberitahu ternyata ada budaya yang sebelum HKBP dan injil masuk ke
tanah Batak sudah memiliki nilai-nilai injil di dalamnya tentang persekutuan dan
solidaritas yang ada baiknya terus dipelihara dan dijaga bersama.
55
Dr. Adon Jamaludin, M.Ag, Sosiologi Perkotaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 7
23
Daftar Pustaka
Bachtiar, Wardi dan Douglas Goodman. Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana,
2011)
Beyer, Ulreich. Memberi dengan Sukacita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)
Drane, John. Memahami Perjanjian Lama III, (Yayasan Persekutuan Pembaca
Alkitab, 2003)
Dulls, Avery. Model-Model Gereja, (Ende: Nusa Indah 1990)
Durkheim, Emile. The Devision Of Labour in Society (Paris: Alcan, 1983)
Giddens, Anthonty. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2004)
Hasselgrave, David. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009)
Jamaludin, Adon. Sosiologi Perkotaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2015)
Jones, Pep, Liza Bradburry dan Le Boutiller. Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016)
Margono, S. Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial (Edisi Revisi), (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada)
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakaria,
1998)
Pudjiwati, Sajogyo. Sosiologi Pedesaan Jilid 1, (Yogyakarta: UGM Press, 2005)
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2012)
Schreiner, Lothar. Adat dan Injil. Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah
Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003)
Situs Internet
KBBI diakses tanggal 8 November 2018 pukul 15.25 WIB
KBBI diakses pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 19:25
Ramadhani Setiawan, “Solidaritas Mekanik ke Solidaritas Organik”,
http://riset.umrah.ac.id, diakses 23 Mei 2019 pukul 20:00