staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/kontribusi pemahaman... · web viewpragmatik...

25
KONTRIBUSI LINTAS BUDAYA DALAM UPAYA PEMAHAMAN BAHASA PRANCIS SEBAGAI BAHASA ASING Oleh Roswita Lumban Tobing A. Pendahuluan Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan dan mempresentasikan budaya suatu bangsa. Ekspresi yang muncul akan selalu berdasarkan pada pengetahuan, sikap dan cara berpikir seseorang. Dengan demikian, cara berpikir seseorang akan mengaturnya dalam penyampaian atau dalam strategi berbahasa. Selanjutnya pemilihan dan penggunaan kata yang tepat bersumber dari pengalaman (latar belakang budaya) dan pengetahuan yang dimiliki oleh penggunanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan produk budaya suatu bangsa yang memperesentasikan budaya bangsa tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika kita sering mendengar atau membaca ungkapan bahwa “ bahasa menunjukkan budaya” atau “bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan yang sangat popular ini menunjukkan kenyataan 1

Upload: others

Post on 18-Feb-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

KONTRIBUSI LINTAS BUDAYA DALAM UPAYA PEMAHAMAN BAHASA PRANCIS

SEBAGAI BAHASA ASING

OlehRoswita Lumban Tobing

A. Pendahuluan

Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan dan mempresentasikan budaya suatu

bangsa. Ekspresi yang muncul akan selalu berdasarkan pada pengetahuan, sikap dan cara

berpikir seseorang. Dengan demikian, cara berpikir seseorang akan mengaturnya dalam

penyampaian atau dalam strategi berbahasa. Selanjutnya pemilihan dan penggunaan kata yang

tepat bersumber dari pengalaman (latar belakang budaya) dan pengetahuan yang dimiliki oleh

penggunanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan produk budaya suatu

bangsa yang memperesentasikan budaya bangsa tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika

kita sering mendengar atau membaca ungkapan bahwa “ bahasa menunjukkan budaya” atau

“bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan yang sangat popular ini menunjukkan kenyataan

bahwa kebudayaan suatu bangsa akan tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh

penuturnya. Dengan demikian,pada pembelajaran bahasa asing (dalam hal ini pembelajaran

bahasa Prancis) tidak bisa terlepas dari pemahaman nilai-nilai budaya yang tentu saja melekat

pada bahasa tersebut.

Pembelajaran bahasa asing (bahasa Prancis) yang disertai dengan pemahaman terhadap

nilai-nilai budaya, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman seseorang

terhadap kebudayaan negara lain. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari geger

1

Page 2: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

budaya dan konflik yang mungkin akan terjadi, terutama jika sipembelajar berinteraksi atau

sedang berada dalam komunitas penutur asli bahasa tersebut. Keberagaman budaya, prinsip

hidup, pola pikir dan kebiasaan suatu bangsa memiliki kekhasan dan merupakan cerminan

falsafah hidup yang dianut oleh masayarakat bangsa tersebut.

Keberagaman budaya yang dimiliki oleh dua bangsa yang berbeda akan mnghasilkan

cara pandang yang berbeda pula. Misalnya, di satu budaya sikap tertentu dapat diterima, namun

pada budaya lain tidak dapat diterima. Permasalahan atau konflik yang mungkin terjadi yang

diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan nilai-nilai budaya antar bangsa dapat diminimalisir

bahkan mungkin dapat dieliminasi dengan upayah memahami lintas budaya yang biasa disebut

dengan cross cultural understanding.

B. Bahasa dan Budaya

Seperti yang telah diutaraka di atas, bahasa adalah alat yang digunakan oleh sekelompok

masyarakat dalam suatu bangsa untuk melaksanakan dan mengkomunikasikan budaya mereka,

oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu unsur universal budaya adalah bahasa. Bahasa

adalah salah satu unsur kebudayaan yang penting, karena bahasa merefleksikan pandangan

masyarakatnya terhadap dunia disekitarnya. Selain itu, bahasa juga menggambarkan cara

sekelompok masyarakat menggategorikan dan menganalisis pengalaman mereka. Dengan

bahasa, suatu masyarakat tutur akan menampilkan fenomena kebahasaan yang tentu saja erat

kaitannya dengan latar belakang budaya mereka. Claire Kramsch (2009: 3-4) mengatakan bahwa

“ language expresses culture reality, language embodies cultural reality, and language

symbolizes cultural reality”. Bahasa mengekspresikan /mengungkapkan pikiran dan pengalaman

yang menunjukkan budaya, bahasa menunjukkan ciri kelompok dalam suatu budaya masyarakat,

dan bahasa menjadi fitur pembeda dengan kelompok/etnis yang lain. Dengan demikian dapat

2

Page 3: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

dikatakan bahwa ketika terjadi komunikasi antar satu penutur dengan penutur lainnya, pesan

yang terdapat dalam tuturan akan selalu mencerminkan perilaku budaya sebagai identitas

masyarakat tutur tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijana (2004:109) yang mengatakan

bahwa keterkaitan antara bahasa dan budaya serta permasalahan-permasalahan yang

berhubungan dengan hal tersebut akan selalu tampak dalam segala aktivitas komunikasi suatu

masyarakat tutur. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Emily Dickinson (dalam Claire Kramsch

(2009: 10) yang menjelaskan bahwa:

a. Culture is always the result of human intervention in the biological processes of nature.

b. Culture liberates by investing the randomness of nature with meaning, order, and rationality. It constrains by imposing a strcture on nature and by limiting the range of possible meanings created by the individual.

c. Culture is product of socially and historically, situated discourse communities, that are to a large extent imagined communities, created and shaped by language.

d. A community’s language and its material achievements represent a social patrimony and a symbolic capital that serve to perpetuate relationships of power and domination, they distinguish insiders from outsiders.

e. Cultur is fundamentally heyerogeneous and changing, it is a constant site of struggle for recognition and legitimation.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan

produk social dan aspirasi sosial yang tampak pada pola pikir dan prilaku masyarakatnya.

Hofstede (dalam Nadar, 2008: 182) mengatakan bahwa setiap manusia memiliki pola pikir,

perasaan, dan perilaku yang akan dipergunakan dan dipelajari sepanjang hidupnya (patterns of

thinking, feeling, and acting which were learned throughout their life time), pola ini disebut

dengan budaya. Oleh karena itu, penggunaan suatu bahasa akan selalu terkait dengan budaya

dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketika seseorang

menggunakan bahasa asing (L2), maksud tuturannya belum tentu bisa dimengerti sepenuhnya

oleh penutur asli (native speaker), hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan budaya.

3

Page 4: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

Demikian pula dengan budaya masyarakat yang menggunakan bahasa Prancis dan budaya

masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, masyarakat yang berlatar budaya Indonesia

tidak akan lepas dari budayanya ketika mereka berkomunikasi dengan masyarakat berlatar

budaya Prancis, hal ini dapat menimbulkan konflik dalam komunikasi antar kedua masyarakat

yang memiliki latar budaya berbeda tersebut, jika mereka tidak saling memahami perbedaan-

perbedaan yang ada. Hal tersebut dijelaskan pula oleh Franz Boas, Humboldt, Whorf (dalam

Claire Kramsch, 2009: 11) mengatakan bahwa …..that different people speak differently

because they think differently, and that they think differently because their language offers them

different ways of expressing the world around them.

Bell dalam Putu Wijana (2006 : 27-28) mengatakan bahwa “ the more that we know

about language, the more we can find out about it, and we should not be surprised of our search

for new knowledge takes us into new areas of study and into areas in which scholars from other

disciplines are already working”. Hal yang perlu dari pernyataan di atas adalah bahwa

sistematika dalam berbahasa tidak hanya dilihat dari dimensi linguistiknya saja, namun ada hal

lain yang perlu diperhatikan yaitu dimensi kultural dari masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Hofstede (1994:13-107) mengutarakan empat dimensi kebudayaan, yaitu (1) Individualism ><

collectivisme, (2) power distance, (3) masculinity >< femininity, (4) uncertainty avoidance.

Karakteristik kebudayaan Indonesia jika dilihat dari dimensi kebudayaan yang diutarakan oleh

Hofstede tersebut, termasuk dalam kategori “ large power distance, low individualism and high

collectivism, feminine and weak uncertainty avoidance”.

Dari dimensi large power distance, Koencoroningrat (1994 : 15) mengatakan bahwa

dalam masyarakat Jawa status seseorang sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Hal

ini tampak pada tingkat tutur yang digunakan, yaitu (1) ngoko, bahasa informal atau level

4

Page 5: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

rendah, (2) madya, bahasa level menengah, (3) karma, bahasa level tinggi. Dengan demikian

perilaku masyarakat Jawa berdasarkan status adalah karakteristik dari budaya Jawa. Penggunaan

tingkat tutur ini juga dibahas oleh Nadar (2007 : 171) bahwa:

“… people have to decide which speech level to use when engaging in a conversation with other interlocutors after taking into account their status. Javanese government officials, for example staff of agriculture ministry, may use ngoko (low level language) and madya ( middle level language) when conversing with farmers in a village. And Farmers, however, have to use krama ( high level language) to government official.

Jika dilihat dari dimensi Low individualism and high collectivism, tampak bahwa

kebutuhan kelompok masyarakat untuk selalu hidup bersama sangat kuat, dan untuk itu

hubungan yang harmonis akan selalu dijaga agar tidak menimbulkan konflik. Dalam salah satu

budaya di Indonesia (seperti budaya Jawa), upaya untuk menghindari konflik dilakukan dengan

sikap berpura-pura dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Hal yang demikian ini

merupakan hal yang wajar demi menjaga suasana harmonis dan mempertahankan kerukunan.

Asim Gunawan (2003: 42-44) mengatakan bahwa untuk menjaga agar masyarakat Jawa selalu

hidup dalam keharmonisan adalah prinsip kerukunan yang dijabarkan dalam maksim-maksim

yang salah satunya adalah maksim kesopanan. Berdasarkan Feminine and weak uncertainty

avoidance, dapat dilihat bahwa budaya masyrakat Indonesia memiliki sifat menerima apa

adanya. Ada kesan pesimis dan tidak muda menentukan sesuatu dengan pasti.

Dimensi kebudayaan Jawa tersebut tentu sangat berbeda dengan budaya Prancis yang

Individualism, high power distance dan strong uncertainty avoidance . Perbedaan ini tentu saja

akan menimbulkan kesulitan bagi penutur berbahasa Indonesia, pada saat mereka menggunakan

tuturan bahasa Prancis. Hal ini akan menimbulkan kesulitan seseorang untuk memahami maksud

tertentu yang terdapat dalam ujaran/tulisan bahasa tersebut, dan penutur berbahasa Indonesia

5

Page 6: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

akan melakukan transfer negatif yang menimbulkan interferensi bahasa Indonesia ke dalam

bahasa Prancis. Hal ini sering terjadi pada seseorang yang menggunakan dua bahasa

(bilingualism), dan yang biasa disebut dengan istilah dwibahasawan.

Kedwibahasaan seseorang merupakan kebiasaan dalam memakai dua bahasa dan

digunakan secara bergantian ketika melakukan kegiatan komunikasi (Nababan, 1992: 103).

Mackey (dalam Romaine, 1995: 8), Loveday (1986: 8) dan Fishman (1975:73) mengatakan

bahwa kedwibahasawan (bilingualism) dalam kajian sosiolinguistik adalah penggunaan dua

bahasa oleh seorang penutur dalam kegiatan komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Harding dan Diley (dalam Khairul Matien, 2008: 25) yang mengatakan bahwa dwibahasawan

adalah orang yang dapat menggunakan dua bahasa dalam komunikasi. Selanjutnya untuk dapat

menggunakan dua bahasa, seorang penutur harus menguasai bahasa pertama dan bahasa

keduanya. Namun biasanya, mereka yang menggunakan dua bahasa tingkat penguasaan bahasa

keduanya bermacam-macam, dari tingkat pemula, yaitu mereka yang sedang mempelajari bahasa

pada tahap awal, hingga mereka yang telah menguasai bahasa keduanya dengan baik. Tingkat

kedwibahasawan dapat dilihat dari penguasaan unsur gramatikal, leksikal dan semantik (Chaer

dan Agustina, 2004:85-86).

Menurut Mackey (1995:54) bilingualism adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian.

Oleh karena itu, penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang akan mengakibatkan

terjadinya pengaruh diantara bahasa-bahasa yang dikuasai. Saling pengaruh antara bahasa-bahasa

yang dikuasai tersebut dapat mengakibatkan saling kontak bahasa. Hal ini sejalan dengan yang

diutarakan oleh Rusyana (1988:4-5), Suwito (1983: 39), Kridalaksana (1980: 25), Weinreich

(1968: 1) bahwa kontak bahasa dapat terjadi karena adanya penggunaan dua bahasa atau lebih

dan terjadi persentuhan antara bahasa-bahasa tersebut yang mengakibatkan adanya kemungkinan

6

Page 7: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

pergantian pemakaian bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh penutur dalam konteks sosialnya.

Peristiwa ini tampak dalam wujud kedwibahasawan.

Secara teoritis, seorang dwibahasawan dalam suatu kontak bahasa akan dapat

menghindari adanya identifikasi bahasa, yaitu menyamakan hal-hal tertentu antara bahasa

pertama dan bahasa kedua. Hal ini dapat dilakukan jika dwibahasawan tersebut telah menguasai

dengan baik bahasa keduanya. Namun dalam kenyataannya, kedwibahasawan juga melakukan

interferensi. Hal ini dapat terjadi karena bukan karena kurangnya penguasaan bahasanya, tetapi

karena perbedaan budaya yang menimbulkan kesulitan seseorang untuk memahami maksud

tertentu yang terdapat dalam ujaran/tulisan bahasa tersebut. Hal ini akan dapat menimbulkan

kesalahan dalam komunikasi.

Selanjutnya James (1998: 8-14) menjelaskan bahwa dalam seorang dwibahasawan

cenderung untuk mentransfer bentuk dan makna dari bahasa dan budaya asli mereka ke bahasa

dan budaya bahasa asing yang mereka gunakan saat berkomunikasi. Transfer bahasa dan budaya

yang dilakukan dapat berupa transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif jika persamaan

bahasa pertama (L1)dan bahasa kedua (L2) mereka dapat membantu memahami bahasa

keduanya (L2). Transfer negatif jika perbedaan bahasa pertama (L1) dengan bahasa kedua (L2)

mereka mengakibat kesalahan-kesalahan terhadap bahasa kedua (L2) yang dipelajari/digunakan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Brown (2004 :94-95) yang menjelaskan bahwa,

Transfer is a general term describing the carryover of previous performance or knowledge to subsequent learning. Positive transfer when the prior knowledge benefits the learning task-that is, when a previous item is correctly applied to present subject matter. Negative transfer occurs when previous performance disrupts the performance of second task. The latter can be refered to as interference, in that previously learned material interfers with subsequent material-a previous item is incorrectly associated with an item to be learned

7

Page 8: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

Dari beberapa teori di atas dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang yang

menggunakan dua bahasa (dwibahasawan) semakin intensif pula kontak antara dua bahasa yang

mereka gunakan. Hal tersebut tentu akan mengakibatkan seringnya terjadinya saling pengaruh

antara dua bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, kaidah bahasa pertama (L1) yang lebih dulu

dikuasai akan menjelma pada bahasa kedua (L2) yang digunakan. Keadaan sebaliknya pun dapat

terjadi ketika dwibahasawan tersebut menggunakan bahasa pertama (L1), sistem bahasa kedua

(L2) akan digunakan, jika ada persamaan antara sistem bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua

(L2). Salah satu dari dampak negatif yang terjadi adalah campur aduk dalam pemakaian bahasa

yang mengakibatkan kekacauan berbahasa. Kontak bahasa menurut Romaine (1986:14) dan

Saunders (dalam Wijana, 2006: 6) dapat menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan yang

akhirnya akan menjadi faktor penyebab terjadinya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa. Hal ini

dapat terjadi pada setiap unsur bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan sematik

(leksikon).

Studi yang berhubungan dengan kedwibahasawan (bilingualism) adalah studi tentang

penyimpangan-penyimpangan dari kaidah-kaidah suatu bahasa yang dilakukan oleh

dwibahasawan sebagai akibat penguasaan dua bahasa. Hal ini dapat terjadi pada sistem

fonologis, sistem gramatikal, sistem leksikal ( Harimurti, 1985: 26). Untuk meminimalisir hal

tersebut, maka sangat perlu untuk memahami “” Cross-cultural Pragmatics”.

C. Pragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics)

Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan beberapa batasan tentang prakmatik, yaitu (1)

pracmatics is the study of speaker meaning ( pragmatik adalah studi tentang maksud penutur ),

(2) pracmatics is the study of contextual meaning (pragmatik adalah studi tentang makna

kontekstual), (3) pracmatics is the study of how more gets communicated than is said (pragmatik

8

Page 9: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang dituturkan),

(4) pracmatics is the study of expression of relative distance (prakmatik adalah studi tentang

ungkapan dari jarak hubungan).

Selain definisi di atas beberapa ahli pragmatik juga memberikan penjelasan tentang

pragmatik, (Nadar,2009: 5) yaitu : Menurut levinson (1983) pracmatics is one of those words

that gives the impression that something quite specific and technical is being talked about when

often infact it has no clesr meaning ( prakmatik merupakan suatu istilah yang mengesankan

bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, namun istilah

tersebut tidak memiliki arti yang jelas). Menurut Searle, Kiefer&Bierwisch (1980: viii)

pracmatics has as its topic those aspects of the meaning of utterances which cannot be accounted

for by straightforward reference to the truth conditions of the sentences uttered ( topik pragmatik

adalah beberapa aspek makna yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung dari kondisi

sebenarnya dari kalimat yang dituturkan). Gazdar (1979: 2) menjelaskan bahwa pracmatics is the

study of deixis (at last in part), implicature, presupposition, speech acts and aspects of discourse

structure (pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan

aspek-aspek struktur wacana. Selanjutnya Stalnaker (1972) menjelaskan bahwa pracmatics

theoris, in contras, do nothing to explicate the structure of linguistic constructions or gramatical

properties and relations. They explicate reasoning of speaker and heares in working out the

correlation in a context of a sentence taken with a proposition (teori-teori pragmatik sebaliknya,

tidak menjelaskan stuktur konstruksi bahasa atau bentuk dan relasi gramatikal. Teori-teori

tersebut mengkaji alasan penutur dan pendengar yang membuat korelasi wujud kalimat dengan

proposisi. Dalam hal ini, teori pragmatik merupakan bagian dari tindakan.

9

Page 10: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prakmatik adalah studi

mengenai hubungan antara variasi-variasi bahasa dengan penggunaanya. Tujuannya adalah agar

seseorang dapat bertutur (baik secara lisan dan tulisan) tentang hal ingin diungkapkan, dapat

menjelaskan asumsinya, maksud dan tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan.

Sehubungan dengan hal itu, tidak dapat dipungkiri bahwa konteks sangat penting dalam studi

pragmatik. Konteks menurut Leech (1983: 13) adalah any background knowledge assumed to be

share by speaker and hearer and which contributes to heare’s interpretation of what speaker

means by a given utterance. May (1993:38) mengatakan bahwa contects is the surroundings, in

the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that

make linguistic expressions of their interaction intelligible. Selanjutnya Levinson (1983:5)

menjelaskan bahwa konteks meliputi the identities of participants, the temporal and spatial

parameters of the speech event, and the beliefs, knowledge and intentions of the participants in

that speech event, and no doubt much besides. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat

dilihat betapa pentingnya konteks dalam suatu ujaran atau dalam suatu wacana. Makna kata,

ujaran dan wacana dapat ditentukan berdasarka konteks pragmatik dan topiknya.

Kajian yang paling sentral dalam pragmatik adalah tindak tutur. Konsep teori tindak

tutur Austin (1962) tentang konsep tindak tutur (speech acts ) adalah …. as all the things we do

with words when we speak. Austin menjelaskan bahwa pada dasarnya speech acts adalah

segala sesuatu yang dilakukan seseorang dengan kata. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh

penggunaan kata apologize ‘meminta maaf’ , invitation ‘mengundang’, promise ‘berjanji’, dan

compliment ‘memuji’, ketika seseorang menggunakan kata-kata tersebut, maka orang tersebut

juga telah melakukan tindakan untuk meminta maaf, mengundang, berjanji dan memuji.

Selanjutnya Searle (1975) mengembangkan hipotesa di atas bahwa pada dasarnya semua bentuk

10

Page 11: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

tuturan mengandung arti tindakan, seperti menyatakan, menanyakan, memerintahkan,

menjelaskan, berterimaksih, mengucapkan selamat dan lain-lain. Searle (1975) membagi tindak

tutur dalam tiga bentuk tindakan, yaitu : (1) locunionary act (tindak lokusi), tindak lokusi ini

disebut Searle sebagai tidak untuk menuturkan kalimat, bentuk tuturan lansung pada isi ujaran.

(2) illocutionary act (tindak ilokusi). Austin juga ( 1962) mengatakan bahwa tindak lokusi adalah

tindak untuk mengatakan sesuatu secara pasti. Dalam hal ini bentuk bahasa penutur langsung

dihubungkan pada hal yang diutamakan dalam isi tuturannya. Oleh karena itu dapat dikatakan

bahwa hal yang utama pada tindak lokusi adalah isi tuturn yang diujarkan penutur. Selanjutnya,

Austin juga menjelaskan bahwa tindak tutur lokusi merupakan dasar bagi tindak tutur ilokusi.

Tindak ilokusi adalah tindak yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang mewajibkan

sipenutur untuk melaksanakan tindak tertentu, yang dalam Searle tindak tersebut terdiri atas lima

bentuk tindak tutur, yaitu (1) asertif atau representatif : tindak tutur yang menjelaskan

bagaimana penutur terikat pada proposisi yang dituturkan, misalnya menyarankan, bersumpah,

atau memberikan hipotesa. (2) komisif: tindak tutur untuk mendorong penutur melakukan

sesuatu misalnya berjanji, bersumpah, mengancam. (3) direktif: tindak tutur untuk mendorong

lawan tutur melakukan sesuatu misalnya memerintah, memohon, meminta, mengundang. (4)

ekspresif: tindak tutur yang melukiskan keadaan psikologis penutur terhadap lawan tutur,

misalnya berterimakasih, meminta maaf, mengucapkan selamat dan sebagainya. (5) deklarasi:

tindak tutur yang mengkaitkan isi tuturan dengan kenyataan yang sebenarnya, misalnya

menyatakan, menamakan dan lain-lain.

Menurut Leech (1983:14), speech act is the utterance as a form of act or activity.

Whereas grammar deals with abstract static entities such as sentences (in syntax) and

propositions (in semantics), pragmatics deals with verbal acts or ferformances with take place in

11

Page 12: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

particular situations in time. Hal senada juga diutarakan oleh Yule (1996:47) yang mengutarakan

bahwa actions performed via utterances are generally called speech acts and commonly given

more specific labels, such as apology, complain, compliment, invitation, promise or request. Dari

pendapat para ahli di atas dapat dikatakan bahwa speech act atau tindak tutur adalah segala

sesuatu yang dikatakan oleh seseorang juga merupakan tindakan yang dilakukannya.

Penggunaan tindak tutur tidak dapat dipisahkan dengan tujuan tuturan. Oleh karena itu,

harus ada kerjasama antara penutur dan lawan tutur dengan saling menghormati prinsip-prinsip

kerja seperti yang diutarakan oleh Grice (1975: 45) dan strategi kesopanan yang diutarakan oleh

Levinson (1987: 95-96 ) dalam bentuk maksim-maksim kesopanan (politeness principle) sebagai

berikut.

1. Maksim kualitas : usahakan memberikan kontribusi yang benar, khususnya: (a) tidak

mengemukakan yang anda yakini salah, (b) tidak mengatakan sesuatu bukti yang tidak anda

miliki secara memadai.

2. Maksim kuantitas : (a) berikan kontribusi anda sebagai kontribusi yang dapat memberikan

informasi sebagaimana yang diperlukan , (b) jangan memberikan kontribusi yang lebih

informatif dari yang diperlukan.

3. Maksim relevansi : buatlah kontribusi anda relevan

4. Maksim cara : (a) hindari ketidakjelasan, (b) hindari ketaksaan, (c) jangan berbelit-belit, (d)

bersikaplah teratur.

Maksim-maksim kesopanan berbeda dalam kebudayaan dan masyarakat yang berbeda,

dalam situasi-situasi sosial yang berbeda, dan dalam kelas sosial yang berbeda pula. Oleh karena

itu, hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan di atas dapat dibahas dalam bidang sosio-

pragmatik, yaitu hal yang berhubungan dengan masyarakat tutur dibahas dalam sosiolinguistik

12

Page 13: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

dan hal-hal yang berhubungan dengan maksud dan tujuan tuturan dibahas dalam pragmatik.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian linguistik, sosiolinguistik, dan pragmatik saling

terkait satu dengan lainnya dalam kajian teori dan analisis kontekstualnya.

Dalam pragmatik wacana, kita tidak dapat menghindar untuk menggali sesuatu yang

ada dalam pikiran penutur atau penulis. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan latar

belakang seseorang, skemata untuk mengartikan dunia akan ditentukan secara budaya.

Seseorang akan mengembangkan skemata budayanya dalam konteks pengalaman dasar yang

dimilikinya. Sesuatu yang baik dalam skemata seseorang belum tentu baik pula bagi orang lain,

seperti contoh yang diutarakan oleh Yule (2002:87) berikut.

You have five days off. What are you going to do ?(Anda libur lima hari. Apa yang akan anda kerjakan?)

Contoh di atas menceritakan tentang seorang pengawas perusahaan Autralia yang

bertanya kepada seorang karyawan Vietnam, yang memiliki skemata budaya yang berbeda

dengannya. Pengawas tersebut berasumsi bahwa para karyawan tahu bahwa pada hari Paska

adalah hari libur, oleh karena itu para karyawan dapat menikmati libur. Karyawan Vietnam

terkejut mendengar pertanyaan tersebut, dan dia menafsirkan bahwa tuturan tersebut merupakan

pemecatan dirinya. Oleh karena itu, bentuk dan cara tuturan yang berbeda berdasarkan skemata

budaya (pragmatik lintas budaya) perlu pendapat perhatian untuk dapat mengetahui cara penutur

menggunakan prinsip kerja sama dan maksim-maksim yang diutarakan oleh Levinson dan

Leech. Demikian juga ketika penutur berbahasa Indonesia menggunakan bahasa Prancis dalam

tuturannya, maka penutur perlu memperhatikan maksim-maksim yang sesuai dengan budaya

penutur bahasa Prancis. Hal ini sangat membantu penutur berbahasa Indonesia agar tidak terjadi

kesalahpahaman terhadap hasil yang dituturkan. Sebaliknya penutur berbahasa Indonesia juga

13

Page 14: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

bisa memahami maksud penutur aslinya ketika ia mendengar atau membaca tuturan berbahasa

Prancis.

D. Penutup

Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Bahasa merupakan produk budaya sebuah bangsa yang memperesentasikan budaya suatu

bangsa, dengan demikian kebudayaan suatu bangsa akan tercermin melalui bahasa yang

digunakan oleh penuturnya.

2. Dalam upaya menguasai bahasa asing (dalam hal ini pembelajaran bahasa Prancis), kita

tidak bisa terlepas dari pemahaman nilai-nilai budaya yang tentu saja melekat pada bahasa

tersebut.

3. Pemahaman akan perbedaan–perbedaan yang ada antara bahasa Prancis dan bahasa Indonesia

diharapkan dapat membantu penutur berbahasa Indonesia menyesuaikan dan menggunakan

tuturan yang berterima dalam bahasa Prancis.

14

Page 15: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

DAFTAR PUSTAKA

Austin, John. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press

Brown, H.Douglas. (2004). Principles of Language Lerning and Teaching. 4th ed. SanFrancisco State Univ.:Longman

Chaer, Abdul.1995. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Jakarta: PT. Rineka

Fishman, J.A. Cooper, R.L.1975. Billingualism in the barrio Bloomington: Indiana University Press.

Gazdard.D. 1979. Pragmatics:implicature, preaposition, and logical form. London: Academic Press

Greet, Hofstede. 1994. Culture and Organitations. London : Mc Graw-Hill International

Grice, H. Paul.1975. ‘Logic and Conversation’, dalam P.Cole, Syntax and Semantics : Speech Acts. New York : Academic Press, hal 41-58.

Gunarwan, Asim.2003. Reliasasi Tindak Tutur pengancam Muka di kalangan Orang Jawa : Cerminan Nilai Budaya. Semarang : Makalah seminar Internasional Budaya

James, Carl. 1980. Contrastive Analysis. New York : Longman Group Limited

Kridalaksana, Harimurti.1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores : Nusa Indah

Kramsch, Claire. 2009. Language and Culture. . Oxford : Oxford University Press

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. Cambridge : Cambridge University Press

Levinson, Stephen N. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press

Levinson and Brwon. 1987. Question and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press

May,Jacob L. 1993. Pracmatics An Introduction. Cambridge : Blackwell Publishers

Nababan, Sri Utari.1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia

Nadar. FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta : Graha Ilmu

Romaine, S. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell,

15

Page 16: staff.uny.ac.idstaff.uny.ac.id/sites/default/files/KONTRIBUSI PEMAHAMAN... · Web viewPragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics) Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan

Searle, John R. 1985. Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press

Yule, George. 2002. Pragmatics. Oxford : Oxford University Press

Yule, George.2006. Prakmatik. Terjemahan Indah Fajar wahyuni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

----------.1996. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press

Weinreich, Uriel. 1979. Language In Contacts. Publications of the Linguistic Circle of New York

Wijana, I Dewa Putu.2004. “Relasi bahasa dan Budaya serta Berbagai Permasalahannya”, Semiotika. Volume 5, No. 2/2004, hal. 107.

Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

16