KONTRIBUSI LINTAS BUDAYA DALAM UPAYA PEMAHAMAN BAHASA PRANCIS
SEBAGAI BAHASA ASING
OlehRoswita Lumban Tobing
A. Pendahuluan
Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan dan mempresentasikan budaya suatu
bangsa. Ekspresi yang muncul akan selalu berdasarkan pada pengetahuan, sikap dan cara
berpikir seseorang. Dengan demikian, cara berpikir seseorang akan mengaturnya dalam
penyampaian atau dalam strategi berbahasa. Selanjutnya pemilihan dan penggunaan kata yang
tepat bersumber dari pengalaman (latar belakang budaya) dan pengetahuan yang dimiliki oleh
penggunanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan produk budaya suatu
bangsa yang memperesentasikan budaya bangsa tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika
kita sering mendengar atau membaca ungkapan bahwa “ bahasa menunjukkan budaya” atau
“bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan yang sangat popular ini menunjukkan kenyataan
bahwa kebudayaan suatu bangsa akan tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh
penuturnya. Dengan demikian,pada pembelajaran bahasa asing (dalam hal ini pembelajaran
bahasa Prancis) tidak bisa terlepas dari pemahaman nilai-nilai budaya yang tentu saja melekat
pada bahasa tersebut.
Pembelajaran bahasa asing (bahasa Prancis) yang disertai dengan pemahaman terhadap
nilai-nilai budaya, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman seseorang
terhadap kebudayaan negara lain. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari geger
1
budaya dan konflik yang mungkin akan terjadi, terutama jika sipembelajar berinteraksi atau
sedang berada dalam komunitas penutur asli bahasa tersebut. Keberagaman budaya, prinsip
hidup, pola pikir dan kebiasaan suatu bangsa memiliki kekhasan dan merupakan cerminan
falsafah hidup yang dianut oleh masayarakat bangsa tersebut.
Keberagaman budaya yang dimiliki oleh dua bangsa yang berbeda akan mnghasilkan
cara pandang yang berbeda pula. Misalnya, di satu budaya sikap tertentu dapat diterima, namun
pada budaya lain tidak dapat diterima. Permasalahan atau konflik yang mungkin terjadi yang
diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan nilai-nilai budaya antar bangsa dapat diminimalisir
bahkan mungkin dapat dieliminasi dengan upayah memahami lintas budaya yang biasa disebut
dengan cross cultural understanding.
B. Bahasa dan Budaya
Seperti yang telah diutaraka di atas, bahasa adalah alat yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat dalam suatu bangsa untuk melaksanakan dan mengkomunikasikan budaya mereka,
oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu unsur universal budaya adalah bahasa. Bahasa
adalah salah satu unsur kebudayaan yang penting, karena bahasa merefleksikan pandangan
masyarakatnya terhadap dunia disekitarnya. Selain itu, bahasa juga menggambarkan cara
sekelompok masyarakat menggategorikan dan menganalisis pengalaman mereka. Dengan
bahasa, suatu masyarakat tutur akan menampilkan fenomena kebahasaan yang tentu saja erat
kaitannya dengan latar belakang budaya mereka. Claire Kramsch (2009: 3-4) mengatakan bahwa
“ language expresses culture reality, language embodies cultural reality, and language
symbolizes cultural reality”. Bahasa mengekspresikan /mengungkapkan pikiran dan pengalaman
yang menunjukkan budaya, bahasa menunjukkan ciri kelompok dalam suatu budaya masyarakat,
dan bahasa menjadi fitur pembeda dengan kelompok/etnis yang lain. Dengan demikian dapat
2
dikatakan bahwa ketika terjadi komunikasi antar satu penutur dengan penutur lainnya, pesan
yang terdapat dalam tuturan akan selalu mencerminkan perilaku budaya sebagai identitas
masyarakat tutur tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Wijana (2004:109) yang mengatakan
bahwa keterkaitan antara bahasa dan budaya serta permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengan hal tersebut akan selalu tampak dalam segala aktivitas komunikasi suatu
masyarakat tutur. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Emily Dickinson (dalam Claire Kramsch
(2009: 10) yang menjelaskan bahwa:
a. Culture is always the result of human intervention in the biological processes of nature.
b. Culture liberates by investing the randomness of nature with meaning, order, and rationality. It constrains by imposing a strcture on nature and by limiting the range of possible meanings created by the individual.
c. Culture is product of socially and historically, situated discourse communities, that are to a large extent imagined communities, created and shaped by language.
d. A community’s language and its material achievements represent a social patrimony and a symbolic capital that serve to perpetuate relationships of power and domination, they distinguish insiders from outsiders.
e. Cultur is fundamentally heyerogeneous and changing, it is a constant site of struggle for recognition and legitimation.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan
produk social dan aspirasi sosial yang tampak pada pola pikir dan prilaku masyarakatnya.
Hofstede (dalam Nadar, 2008: 182) mengatakan bahwa setiap manusia memiliki pola pikir,
perasaan, dan perilaku yang akan dipergunakan dan dipelajari sepanjang hidupnya (patterns of
thinking, feeling, and acting which were learned throughout their life time), pola ini disebut
dengan budaya. Oleh karena itu, penggunaan suatu bahasa akan selalu terkait dengan budaya
dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketika seseorang
menggunakan bahasa asing (L2), maksud tuturannya belum tentu bisa dimengerti sepenuhnya
oleh penutur asli (native speaker), hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan budaya.
3
Demikian pula dengan budaya masyarakat yang menggunakan bahasa Prancis dan budaya
masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, masyarakat yang berlatar budaya Indonesia
tidak akan lepas dari budayanya ketika mereka berkomunikasi dengan masyarakat berlatar
budaya Prancis, hal ini dapat menimbulkan konflik dalam komunikasi antar kedua masyarakat
yang memiliki latar budaya berbeda tersebut, jika mereka tidak saling memahami perbedaan-
perbedaan yang ada. Hal tersebut dijelaskan pula oleh Franz Boas, Humboldt, Whorf (dalam
Claire Kramsch, 2009: 11) mengatakan bahwa …..that different people speak differently
because they think differently, and that they think differently because their language offers them
different ways of expressing the world around them.
Bell dalam Putu Wijana (2006 : 27-28) mengatakan bahwa “ the more that we know
about language, the more we can find out about it, and we should not be surprised of our search
for new knowledge takes us into new areas of study and into areas in which scholars from other
disciplines are already working”. Hal yang perlu dari pernyataan di atas adalah bahwa
sistematika dalam berbahasa tidak hanya dilihat dari dimensi linguistiknya saja, namun ada hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu dimensi kultural dari masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Hofstede (1994:13-107) mengutarakan empat dimensi kebudayaan, yaitu (1) Individualism ><
collectivisme, (2) power distance, (3) masculinity >< femininity, (4) uncertainty avoidance.
Karakteristik kebudayaan Indonesia jika dilihat dari dimensi kebudayaan yang diutarakan oleh
Hofstede tersebut, termasuk dalam kategori “ large power distance, low individualism and high
collectivism, feminine and weak uncertainty avoidance”.
Dari dimensi large power distance, Koencoroningrat (1994 : 15) mengatakan bahwa
dalam masyarakat Jawa status seseorang sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Hal
ini tampak pada tingkat tutur yang digunakan, yaitu (1) ngoko, bahasa informal atau level
4
rendah, (2) madya, bahasa level menengah, (3) karma, bahasa level tinggi. Dengan demikian
perilaku masyarakat Jawa berdasarkan status adalah karakteristik dari budaya Jawa. Penggunaan
tingkat tutur ini juga dibahas oleh Nadar (2007 : 171) bahwa:
“… people have to decide which speech level to use when engaging in a conversation with other interlocutors after taking into account their status. Javanese government officials, for example staff of agriculture ministry, may use ngoko (low level language) and madya ( middle level language) when conversing with farmers in a village. And Farmers, however, have to use krama ( high level language) to government official.
Jika dilihat dari dimensi Low individualism and high collectivism, tampak bahwa
kebutuhan kelompok masyarakat untuk selalu hidup bersama sangat kuat, dan untuk itu
hubungan yang harmonis akan selalu dijaga agar tidak menimbulkan konflik. Dalam salah satu
budaya di Indonesia (seperti budaya Jawa), upaya untuk menghindari konflik dilakukan dengan
sikap berpura-pura dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Hal yang demikian ini
merupakan hal yang wajar demi menjaga suasana harmonis dan mempertahankan kerukunan.
Asim Gunawan (2003: 42-44) mengatakan bahwa untuk menjaga agar masyarakat Jawa selalu
hidup dalam keharmonisan adalah prinsip kerukunan yang dijabarkan dalam maksim-maksim
yang salah satunya adalah maksim kesopanan. Berdasarkan Feminine and weak uncertainty
avoidance, dapat dilihat bahwa budaya masyrakat Indonesia memiliki sifat menerima apa
adanya. Ada kesan pesimis dan tidak muda menentukan sesuatu dengan pasti.
Dimensi kebudayaan Jawa tersebut tentu sangat berbeda dengan budaya Prancis yang
Individualism, high power distance dan strong uncertainty avoidance . Perbedaan ini tentu saja
akan menimbulkan kesulitan bagi penutur berbahasa Indonesia, pada saat mereka menggunakan
tuturan bahasa Prancis. Hal ini akan menimbulkan kesulitan seseorang untuk memahami maksud
tertentu yang terdapat dalam ujaran/tulisan bahasa tersebut, dan penutur berbahasa Indonesia
5
akan melakukan transfer negatif yang menimbulkan interferensi bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Prancis. Hal ini sering terjadi pada seseorang yang menggunakan dua bahasa
(bilingualism), dan yang biasa disebut dengan istilah dwibahasawan.
Kedwibahasaan seseorang merupakan kebiasaan dalam memakai dua bahasa dan
digunakan secara bergantian ketika melakukan kegiatan komunikasi (Nababan, 1992: 103).
Mackey (dalam Romaine, 1995: 8), Loveday (1986: 8) dan Fishman (1975:73) mengatakan
bahwa kedwibahasawan (bilingualism) dalam kajian sosiolinguistik adalah penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam kegiatan komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Harding dan Diley (dalam Khairul Matien, 2008: 25) yang mengatakan bahwa dwibahasawan
adalah orang yang dapat menggunakan dua bahasa dalam komunikasi. Selanjutnya untuk dapat
menggunakan dua bahasa, seorang penutur harus menguasai bahasa pertama dan bahasa
keduanya. Namun biasanya, mereka yang menggunakan dua bahasa tingkat penguasaan bahasa
keduanya bermacam-macam, dari tingkat pemula, yaitu mereka yang sedang mempelajari bahasa
pada tahap awal, hingga mereka yang telah menguasai bahasa keduanya dengan baik. Tingkat
kedwibahasawan dapat dilihat dari penguasaan unsur gramatikal, leksikal dan semantik (Chaer
dan Agustina, 2004:85-86).
Menurut Mackey (1995:54) bilingualism adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian.
Oleh karena itu, penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang akan mengakibatkan
terjadinya pengaruh diantara bahasa-bahasa yang dikuasai. Saling pengaruh antara bahasa-bahasa
yang dikuasai tersebut dapat mengakibatkan saling kontak bahasa. Hal ini sejalan dengan yang
diutarakan oleh Rusyana (1988:4-5), Suwito (1983: 39), Kridalaksana (1980: 25), Weinreich
(1968: 1) bahwa kontak bahasa dapat terjadi karena adanya penggunaan dua bahasa atau lebih
dan terjadi persentuhan antara bahasa-bahasa tersebut yang mengakibatkan adanya kemungkinan
6
pergantian pemakaian bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh penutur dalam konteks sosialnya.
Peristiwa ini tampak dalam wujud kedwibahasawan.
Secara teoritis, seorang dwibahasawan dalam suatu kontak bahasa akan dapat
menghindari adanya identifikasi bahasa, yaitu menyamakan hal-hal tertentu antara bahasa
pertama dan bahasa kedua. Hal ini dapat dilakukan jika dwibahasawan tersebut telah menguasai
dengan baik bahasa keduanya. Namun dalam kenyataannya, kedwibahasawan juga melakukan
interferensi. Hal ini dapat terjadi karena bukan karena kurangnya penguasaan bahasanya, tetapi
karena perbedaan budaya yang menimbulkan kesulitan seseorang untuk memahami maksud
tertentu yang terdapat dalam ujaran/tulisan bahasa tersebut. Hal ini akan dapat menimbulkan
kesalahan dalam komunikasi.
Selanjutnya James (1998: 8-14) menjelaskan bahwa dalam seorang dwibahasawan
cenderung untuk mentransfer bentuk dan makna dari bahasa dan budaya asli mereka ke bahasa
dan budaya bahasa asing yang mereka gunakan saat berkomunikasi. Transfer bahasa dan budaya
yang dilakukan dapat berupa transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif jika persamaan
bahasa pertama (L1)dan bahasa kedua (L2) mereka dapat membantu memahami bahasa
keduanya (L2). Transfer negatif jika perbedaan bahasa pertama (L1) dengan bahasa kedua (L2)
mereka mengakibat kesalahan-kesalahan terhadap bahasa kedua (L2) yang dipelajari/digunakan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Brown (2004 :94-95) yang menjelaskan bahwa,
Transfer is a general term describing the carryover of previous performance or knowledge to subsequent learning. Positive transfer when the prior knowledge benefits the learning task-that is, when a previous item is correctly applied to present subject matter. Negative transfer occurs when previous performance disrupts the performance of second task. The latter can be refered to as interference, in that previously learned material interfers with subsequent material-a previous item is incorrectly associated with an item to be learned
7
Dari beberapa teori di atas dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang yang
menggunakan dua bahasa (dwibahasawan) semakin intensif pula kontak antara dua bahasa yang
mereka gunakan. Hal tersebut tentu akan mengakibatkan seringnya terjadinya saling pengaruh
antara dua bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, kaidah bahasa pertama (L1) yang lebih dulu
dikuasai akan menjelma pada bahasa kedua (L2) yang digunakan. Keadaan sebaliknya pun dapat
terjadi ketika dwibahasawan tersebut menggunakan bahasa pertama (L1), sistem bahasa kedua
(L2) akan digunakan, jika ada persamaan antara sistem bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua
(L2). Salah satu dari dampak negatif yang terjadi adalah campur aduk dalam pemakaian bahasa
yang mengakibatkan kekacauan berbahasa. Kontak bahasa menurut Romaine (1986:14) dan
Saunders (dalam Wijana, 2006: 6) dapat menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan yang
akhirnya akan menjadi faktor penyebab terjadinya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa. Hal ini
dapat terjadi pada setiap unsur bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan sematik
(leksikon).
Studi yang berhubungan dengan kedwibahasawan (bilingualism) adalah studi tentang
penyimpangan-penyimpangan dari kaidah-kaidah suatu bahasa yang dilakukan oleh
dwibahasawan sebagai akibat penguasaan dua bahasa. Hal ini dapat terjadi pada sistem
fonologis, sistem gramatikal, sistem leksikal ( Harimurti, 1985: 26). Untuk meminimalisir hal
tersebut, maka sangat perlu untuk memahami “” Cross-cultural Pragmatics”.
C. Pragmatik dalam Lintas Budaya ( Cross-cultural Pragmatics)
Yule (2002: 3-4) memberi menjelaskan beberapa batasan tentang prakmatik, yaitu (1)
pracmatics is the study of speaker meaning ( pragmatik adalah studi tentang maksud penutur ),
(2) pracmatics is the study of contextual meaning (pragmatik adalah studi tentang makna
kontekstual), (3) pracmatics is the study of how more gets communicated than is said (pragmatik
8
adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang dituturkan),
(4) pracmatics is the study of expression of relative distance (prakmatik adalah studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan).
Selain definisi di atas beberapa ahli pragmatik juga memberikan penjelasan tentang
pragmatik, (Nadar,2009: 5) yaitu : Menurut levinson (1983) pracmatics is one of those words
that gives the impression that something quite specific and technical is being talked about when
often infact it has no clesr meaning ( prakmatik merupakan suatu istilah yang mengesankan
bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, namun istilah
tersebut tidak memiliki arti yang jelas). Menurut Searle, Kiefer&Bierwisch (1980: viii)
pracmatics has as its topic those aspects of the meaning of utterances which cannot be accounted
for by straightforward reference to the truth conditions of the sentences uttered ( topik pragmatik
adalah beberapa aspek makna yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung dari kondisi
sebenarnya dari kalimat yang dituturkan). Gazdar (1979: 2) menjelaskan bahwa pracmatics is the
study of deixis (at last in part), implicature, presupposition, speech acts and aspects of discourse
structure (pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan
aspek-aspek struktur wacana. Selanjutnya Stalnaker (1972) menjelaskan bahwa pracmatics
theoris, in contras, do nothing to explicate the structure of linguistic constructions or gramatical
properties and relations. They explicate reasoning of speaker and heares in working out the
correlation in a context of a sentence taken with a proposition (teori-teori pragmatik sebaliknya,
tidak menjelaskan stuktur konstruksi bahasa atau bentuk dan relasi gramatikal. Teori-teori
tersebut mengkaji alasan penutur dan pendengar yang membuat korelasi wujud kalimat dengan
proposisi. Dalam hal ini, teori pragmatik merupakan bagian dari tindakan.
9
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prakmatik adalah studi
mengenai hubungan antara variasi-variasi bahasa dengan penggunaanya. Tujuannya adalah agar
seseorang dapat bertutur (baik secara lisan dan tulisan) tentang hal ingin diungkapkan, dapat
menjelaskan asumsinya, maksud dan tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan.
Sehubungan dengan hal itu, tidak dapat dipungkiri bahwa konteks sangat penting dalam studi
pragmatik. Konteks menurut Leech (1983: 13) adalah any background knowledge assumed to be
share by speaker and hearer and which contributes to heare’s interpretation of what speaker
means by a given utterance. May (1993:38) mengatakan bahwa contects is the surroundings, in
the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that
make linguistic expressions of their interaction intelligible. Selanjutnya Levinson (1983:5)
menjelaskan bahwa konteks meliputi the identities of participants, the temporal and spatial
parameters of the speech event, and the beliefs, knowledge and intentions of the participants in
that speech event, and no doubt much besides. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat
dilihat betapa pentingnya konteks dalam suatu ujaran atau dalam suatu wacana. Makna kata,
ujaran dan wacana dapat ditentukan berdasarka konteks pragmatik dan topiknya.
Kajian yang paling sentral dalam pragmatik adalah tindak tutur. Konsep teori tindak
tutur Austin (1962) tentang konsep tindak tutur (speech acts ) adalah …. as all the things we do
with words when we speak. Austin menjelaskan bahwa pada dasarnya speech acts adalah
segala sesuatu yang dilakukan seseorang dengan kata. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh
penggunaan kata apologize ‘meminta maaf’ , invitation ‘mengundang’, promise ‘berjanji’, dan
compliment ‘memuji’, ketika seseorang menggunakan kata-kata tersebut, maka orang tersebut
juga telah melakukan tindakan untuk meminta maaf, mengundang, berjanji dan memuji.
Selanjutnya Searle (1975) mengembangkan hipotesa di atas bahwa pada dasarnya semua bentuk
10
tuturan mengandung arti tindakan, seperti menyatakan, menanyakan, memerintahkan,
menjelaskan, berterimaksih, mengucapkan selamat dan lain-lain. Searle (1975) membagi tindak
tutur dalam tiga bentuk tindakan, yaitu : (1) locunionary act (tindak lokusi), tindak lokusi ini
disebut Searle sebagai tidak untuk menuturkan kalimat, bentuk tuturan lansung pada isi ujaran.
(2) illocutionary act (tindak ilokusi). Austin juga ( 1962) mengatakan bahwa tindak lokusi adalah
tindak untuk mengatakan sesuatu secara pasti. Dalam hal ini bentuk bahasa penutur langsung
dihubungkan pada hal yang diutamakan dalam isi tuturannya. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa hal yang utama pada tindak lokusi adalah isi tuturn yang diujarkan penutur. Selanjutnya,
Austin juga menjelaskan bahwa tindak tutur lokusi merupakan dasar bagi tindak tutur ilokusi.
Tindak ilokusi adalah tindak yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang mewajibkan
sipenutur untuk melaksanakan tindak tertentu, yang dalam Searle tindak tersebut terdiri atas lima
bentuk tindak tutur, yaitu (1) asertif atau representatif : tindak tutur yang menjelaskan
bagaimana penutur terikat pada proposisi yang dituturkan, misalnya menyarankan, bersumpah,
atau memberikan hipotesa. (2) komisif: tindak tutur untuk mendorong penutur melakukan
sesuatu misalnya berjanji, bersumpah, mengancam. (3) direktif: tindak tutur untuk mendorong
lawan tutur melakukan sesuatu misalnya memerintah, memohon, meminta, mengundang. (4)
ekspresif: tindak tutur yang melukiskan keadaan psikologis penutur terhadap lawan tutur,
misalnya berterimakasih, meminta maaf, mengucapkan selamat dan sebagainya. (5) deklarasi:
tindak tutur yang mengkaitkan isi tuturan dengan kenyataan yang sebenarnya, misalnya
menyatakan, menamakan dan lain-lain.
Menurut Leech (1983:14), speech act is the utterance as a form of act or activity.
Whereas grammar deals with abstract static entities such as sentences (in syntax) and
propositions (in semantics), pragmatics deals with verbal acts or ferformances with take place in
11
particular situations in time. Hal senada juga diutarakan oleh Yule (1996:47) yang mengutarakan
bahwa actions performed via utterances are generally called speech acts and commonly given
more specific labels, such as apology, complain, compliment, invitation, promise or request. Dari
pendapat para ahli di atas dapat dikatakan bahwa speech act atau tindak tutur adalah segala
sesuatu yang dikatakan oleh seseorang juga merupakan tindakan yang dilakukannya.
Penggunaan tindak tutur tidak dapat dipisahkan dengan tujuan tuturan. Oleh karena itu,
harus ada kerjasama antara penutur dan lawan tutur dengan saling menghormati prinsip-prinsip
kerja seperti yang diutarakan oleh Grice (1975: 45) dan strategi kesopanan yang diutarakan oleh
Levinson (1987: 95-96 ) dalam bentuk maksim-maksim kesopanan (politeness principle) sebagai
berikut.
1. Maksim kualitas : usahakan memberikan kontribusi yang benar, khususnya: (a) tidak
mengemukakan yang anda yakini salah, (b) tidak mengatakan sesuatu bukti yang tidak anda
miliki secara memadai.
2. Maksim kuantitas : (a) berikan kontribusi anda sebagai kontribusi yang dapat memberikan
informasi sebagaimana yang diperlukan , (b) jangan memberikan kontribusi yang lebih
informatif dari yang diperlukan.
3. Maksim relevansi : buatlah kontribusi anda relevan
4. Maksim cara : (a) hindari ketidakjelasan, (b) hindari ketaksaan, (c) jangan berbelit-belit, (d)
bersikaplah teratur.
Maksim-maksim kesopanan berbeda dalam kebudayaan dan masyarakat yang berbeda,
dalam situasi-situasi sosial yang berbeda, dan dalam kelas sosial yang berbeda pula. Oleh karena
itu, hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan di atas dapat dibahas dalam bidang sosio-
pragmatik, yaitu hal yang berhubungan dengan masyarakat tutur dibahas dalam sosiolinguistik
12
dan hal-hal yang berhubungan dengan maksud dan tujuan tuturan dibahas dalam pragmatik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian linguistik, sosiolinguistik, dan pragmatik saling
terkait satu dengan lainnya dalam kajian teori dan analisis kontekstualnya.
Dalam pragmatik wacana, kita tidak dapat menghindar untuk menggali sesuatu yang
ada dalam pikiran penutur atau penulis. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan latar
belakang seseorang, skemata untuk mengartikan dunia akan ditentukan secara budaya.
Seseorang akan mengembangkan skemata budayanya dalam konteks pengalaman dasar yang
dimilikinya. Sesuatu yang baik dalam skemata seseorang belum tentu baik pula bagi orang lain,
seperti contoh yang diutarakan oleh Yule (2002:87) berikut.
You have five days off. What are you going to do ?(Anda libur lima hari. Apa yang akan anda kerjakan?)
Contoh di atas menceritakan tentang seorang pengawas perusahaan Autralia yang
bertanya kepada seorang karyawan Vietnam, yang memiliki skemata budaya yang berbeda
dengannya. Pengawas tersebut berasumsi bahwa para karyawan tahu bahwa pada hari Paska
adalah hari libur, oleh karena itu para karyawan dapat menikmati libur. Karyawan Vietnam
terkejut mendengar pertanyaan tersebut, dan dia menafsirkan bahwa tuturan tersebut merupakan
pemecatan dirinya. Oleh karena itu, bentuk dan cara tuturan yang berbeda berdasarkan skemata
budaya (pragmatik lintas budaya) perlu pendapat perhatian untuk dapat mengetahui cara penutur
menggunakan prinsip kerja sama dan maksim-maksim yang diutarakan oleh Levinson dan
Leech. Demikian juga ketika penutur berbahasa Indonesia menggunakan bahasa Prancis dalam
tuturannya, maka penutur perlu memperhatikan maksim-maksim yang sesuai dengan budaya
penutur bahasa Prancis. Hal ini sangat membantu penutur berbahasa Indonesia agar tidak terjadi
kesalahpahaman terhadap hasil yang dituturkan. Sebaliknya penutur berbahasa Indonesia juga
13
bisa memahami maksud penutur aslinya ketika ia mendengar atau membaca tuturan berbahasa
Prancis.
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Bahasa merupakan produk budaya sebuah bangsa yang memperesentasikan budaya suatu
bangsa, dengan demikian kebudayaan suatu bangsa akan tercermin melalui bahasa yang
digunakan oleh penuturnya.
2. Dalam upaya menguasai bahasa asing (dalam hal ini pembelajaran bahasa Prancis), kita
tidak bisa terlepas dari pemahaman nilai-nilai budaya yang tentu saja melekat pada bahasa
tersebut.
3. Pemahaman akan perbedaan–perbedaan yang ada antara bahasa Prancis dan bahasa Indonesia
diharapkan dapat membantu penutur berbahasa Indonesia menyesuaikan dan menggunakan
tuturan yang berterima dalam bahasa Prancis.
14
DAFTAR PUSTAKA
Austin, John. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press
Brown, H.Douglas. (2004). Principles of Language Lerning and Teaching. 4th ed. SanFrancisco State Univ.:Longman
Chaer, Abdul.1995. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Jakarta: PT. Rineka
Fishman, J.A. Cooper, R.L.1975. Billingualism in the barrio Bloomington: Indiana University Press.
Gazdard.D. 1979. Pragmatics:implicature, preaposition, and logical form. London: Academic Press
Greet, Hofstede. 1994. Culture and Organitations. London : Mc Graw-Hill International
Grice, H. Paul.1975. ‘Logic and Conversation’, dalam P.Cole, Syntax and Semantics : Speech Acts. New York : Academic Press, hal 41-58.
Gunarwan, Asim.2003. Reliasasi Tindak Tutur pengancam Muka di kalangan Orang Jawa : Cerminan Nilai Budaya. Semarang : Makalah seminar Internasional Budaya
James, Carl. 1980. Contrastive Analysis. New York : Longman Group Limited
Kridalaksana, Harimurti.1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores : Nusa Indah
Kramsch, Claire. 2009. Language and Culture. . Oxford : Oxford University Press
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. Cambridge : Cambridge University Press
Levinson, Stephen N. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press
Levinson and Brwon. 1987. Question and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press
May,Jacob L. 1993. Pracmatics An Introduction. Cambridge : Blackwell Publishers
Nababan, Sri Utari.1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Nadar. FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta : Graha Ilmu
Romaine, S. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell,
15
Searle, John R. 1985. Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press
Yule, George. 2002. Pragmatics. Oxford : Oxford University Press
Yule, George.2006. Prakmatik. Terjemahan Indah Fajar wahyuni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
----------.1996. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press
Weinreich, Uriel. 1979. Language In Contacts. Publications of the Linguistic Circle of New York
Wijana, I Dewa Putu.2004. “Relasi bahasa dan Budaya serta Berbagai Permasalahannya”, Semiotika. Volume 5, No. 2/2004, hal. 107.
Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
16