staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...agus firmansyah konas vii pghnai...

319

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

46 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 2: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 3: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 4: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 5: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 6: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses
Page 7: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 1 Manado, 17-19 Maret 2017

PERAN USUS DALAM TUMBUH-KEMBANG DAN KESEHATAN ANAK

Agus Firmansyah

Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSCM Jakarta

Pendahuluan

Proses tumbuh kembang anak memerlukan fungsi usus yang baik.

Tumbuh kembang anak yang baik tentu akan menjamin terpeliharanya

kesehatan anak. Usus tidak bekerja sendiri, tetapi berkaitan dengan organ

lain yang tergabung dalam sistem pencernaan. Mulut dengan geliginya,

pankreas dengan jaringan eksokrinnya dan hati sebagai produsen empedu.

Yang disebut usus terbatas pada usus halus dan kolon.

Fungsi usus tidak hanya mencerna (digesti) dan menyerap (absorpsi)

nutrien, tetapi juga fungsi hormonal, imunitas dan barier. Beberapa

hormon, yang berperan dalam proses digesti maupun tidak, dihasilkan oleh

usus. Usus lahir steril dan beberapa hari kemudian dikolonisasi oleh kuman

dari ibunya, terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus. Kolonisasi

mikrobiota pada awal kehidupan penting dalam mengembangkan sistem

imun.1 Seperti halnya saluran nafas, usus merupakan barier terdepan yang

berhadapan dengan berbagai antigen dan kuman yang masuk per oral.

Barier usus yang baik akan mencegah berbagai penyakit saluran cerna

dan alergi.2

Usus besar dihuni oleh sekitar 1012

-1014

bakteri; sebagian besar

bakteri anaerob tetapi seperseribu diantaranya merupakan bakteri Gram (-)

berpotensi patogen (oportunis). Bila integritas mukosa usus baik (barier

baik) maka bakteri dan endotoksin yang berada dalam usus tetap berada di

dalam lumen usus, tidak menembus epitel usus masuk ke sirkulasi darah

(translokasi bakteri) menyebabkan bakteriemia dan selanjutnya.3

Page 8: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 2 Manado, 17-19 Maret 2017

Struktur usus

Dinding usus merupakan barier anatomis dan imunologis, terbentuk dari

selapis epitel yang berasal dari sel punca di kripta usus. Mukosa usus

terdiri dari lapisan epitel (enterosit) dan lamina propria. Sel punca asal

kripta akan bermigrasi ke arah apex dan berkembang menjadi enterosit

absorptif, sel goblet, sel enteroendokrin dan sel panet. Di bawah mukosa

usus terdapat jaringan submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan

pertama yang mencegah translokasi bakteri adalah lapisan mukus yang

terbentang melapisi permukaan enterosit.4

Kecukupan asupan makanan

Fungsi usus yang baik siap berfungsi mencerna dan menyerap makanan.

Asupan makanan sangat penting pada awal kehidupan sejak 0 sampai 24

bulan untuk mencegah gangguan gizi. Pada enam bulan pertama berilah

ASI eksklusif. Bila karena suatu alasan tidak bisa diberikan ASI eksklusif,

dapat diberikan formula bayi. Tahap ini disebut sebagai fase makan cair;

tidak diperlukan makanan tambahan lain. Tahap 6-12 bulan disebut

sebagai fase transisi; mulai diperkenalkan makanan tambahan selain

ASI/formula yang konsistensinya disesuaikan secara bertahap. Fase

transisi ini sering menjadi penyebab masalah makan pada anak di

kemudian hari bila tidak berlangsung mulus, Menjelang usia satu tahun

diharapkan bayi telah makan makanan lumat atau bubur kasar. Setelah

anak berusia 1 tahun atau lebih, anak telah bisa menikmati makanan

keluarga sesuai dengan penerimaannya. Rekomendasi WHO, bayi berusia

6-23 bulan harus menerima minimum dietary diversity (MDD) dan minimal

meal frequency (MMF).5 ASI merupakan makan yang penting bagi bayi

dalam hubungannya dengan interitas mukosa usus, karena bayi

mengandung baik prebiotik maupun probiotik (sinbiotik).6

Page 9: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017

Digesti dan absorpsi nutrien

Pencernaan merupakan proses yang kompleks, beberapa enzim terlibat

dalam proses pencernaan makanan (Tabel 1 dan 2).7

Tabel 1. Digesti enzimatik terhadap beberapa jenis makanan7

Lokasi Lipid Karbohidrat Protein

Kelenjar ludah - Amilase saliva -

Lambung Lipase gastrik - Pepsin

Pankreas Lipase

Kolipase

Fosfolipase

Kolesterol-esterase

Amilase Tripsin

Kimotripsin

Elastase

Karboksipeptidase

Hati (asam empedu) - -

Usus halus - Sukrase

Laktase

Maltase

Enterokinase

Endopeptidase

Oligopeptidase

Dipeptidilpeptidase

Tabel 2. Enzim pankreas yang terkait digesti7

Enzim Fungsi

Enterokinase Mengubah tripsinogen menjadi tripsin di duodenum

Enzim proteolitik:

Tripsinogen (tripsin)

Kimotripsinogen (kimotripsin)

Karbokjsipeptidase, Elastase

Tripsin dan kimotripsin memecah protein menjadi

polipeptida dan peptida; karboksipeptidase memecah

peptida menjadi asam amino

Enzim amilolitik:

Amilase

Hidrolisis pati, glikogen dan karbohidrat lain (selain

selulosa) menjadi disakarida dan trisakarida

Enzim lipolitik:

Lipase, fosfolipase A1, A2 dan

esterase

Lipase menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan

monogliserida; fosfolipase memecah asam lemak dari

fosfolipid, esterase menghidrolisis ester kolesterol.

Gangguan integritas mukosa usus

Beberapa penyakit yang langsung mengenai usus (diare, malnutrisi) atau

sistemik (alergi, renjatan) dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus

(atrofi). Atrofi usus dapat menyebabkan defisiensi laktase, insufisiensi

enzim pankreas, protein losing enteropati, translokasi bakteri dan

berkurangnya absorpsi nutrien.

Page 10: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 4 Manado, 17-19 Maret 2017

Laktase terdapat dalam brushborder vilus usus dan kadarnya tinggi

pada sepertiga puncak vilus. Bila terjadi atrofi vilus maka akan terjadi

defisiensi laktase; pada bayi dan anak yang mengkonsumsi susu akan

terjadi gejala intoleransi laktosa, berupa kembung, sering flatus, sakit perut

dan diare.8

Usus hasus memproduksi hormon yang penting dalam proses digesti,

yaitu sekretin dan kolesistokinin. Atrofi usus akan menyebabkan defisiensi

hormon tersebut dengan akibat ekskresi enzim pankreas dan empedu

berkurang; selanjutnya akan menyebabkan maldigesti makanan.9

Kerusakan mukosa usus menyebabkan kerusakan tight junction yang

merupakan perekat antar epitel usus yang penting dalam transpor molekul

antar sel. Kerusakan tight junction akan memudahkan terjadinya

translokasi bakteri dengan akibat bakteremia dan sepsis.10

Fungsi hormonal

Banyak hormon disekresi oleh sel endokrin yang terdapat di jaringan

mukosa usus dan pankreas. Gastrin, sekretin dan kolesistokinin

merupakan hormon-hormon saluran cerna yang pertama ditemukan.

Sekarang telah ditemukan lebih dari 50 gen hormon dan berbagai peptida

bioaktif; yang membuat usus merupakan organ endokrin terbesar dalam

tubuh. Beberapa hormon lain adalah somatostatin, ghrelin, bombesin, GLP

(glucagon like peptides), VIP (vasoactive intestinal peptide), neurotensin,

GIP (gastric-inhibitory polypeptidde), dan lain-lain.11

Fungsi barier

Integritas mukosa usus penting dijaga dalam rangka fungsi usus sebagai

barier. Kuman yang masuk peroral tidak menyebabkan penyakit dan

mikrobiota usus dan endotoksinnya tidak menembus mukosa usus. Untuk

mempertahankan integritas mukosa usus, beberapa mikronutrien

mempunyai peran penting regenerasi mukosa usus, antara lain Zn,

glutamin, serat pangan dan probiotik.

Zn merupakan komponen dari lebih 300 enzim; berperan dalam

proliferasi sel dan regenerasi enterosit. Interaksi antara Zn, diare dan

mnalnutrisi telah terbukti. Diare akan menyebabkan kehilangan Zn melalui

tinja; defisiensi Zn akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan imunitas

Page 11: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 5 Manado, 17-19 Maret 2017

seluler; kedua faktor tersebut menimbulkan diare berulang; dan

berlanjutnya siklus diare-malnutrisi.12

Suplementasi Zn dapat memperbaiki

pertumbuhan anak malnutrisi.13

Sayangnya Zn banyak terdapat pada

makanan asal hewan yang biasanya mahal seperti daging, ikan, dan

udang.

Suplementasi probiotik berguna dalam mempertahankan

keseimbangan mikrobiota usus. Probiotik dan prebiotik dapat

meningkatkan produksi musin, memperkuat tight junction sehingga dapat

merestorasi permeabilitas dan mencegah perlekatan bakteri patogen pada

enterosit. Peran tersebut dapat memberikan proteksi terhadap epitel

usus.14,15

Serat pangan sangat penting perannya dalam mempertahankan barier

usus. Serat tidak akan dicerna usus dan dikirim ke kolon. Mikrobiota usus

akan mengurainya menjadi beberapa komponen, antara lain short chain

fatty acid (asetat, propionat, butirat). Zat-zat tersebut merupakan nutrien

kolon dalam mempertahankan integritasnya.16

Epitel saluran cerna sangat membutuhkan nutrien dari lumen usus

untuk mempertahankan integritasnya. Glutamin dari lumen merupakan

nutrien penting untuk kehidupan enterosit. Glutamin terdapat dalam ASI.

Peran glutamin penting dalam regenerasi epitel usus pasca mengalami

kerusakan.17-19

Barier usus bisa pula dirusak oleh iskemia usus. Iskemia usus akan

menimbulkan kerusakan mukosa usus dan disbiosis; kedua perubahan

tersebut akan menyebabkan translokasxi bakteri dengan akibat sepsis.20

Page 12: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 6 Manado, 17-19 Maret 2017

Fungsi imun

Kuman yang masuk per oral akan dikontrol oleh mekanisme pertahanan

tubuh non-imunolgis, seperti peristaltik usus, asam lambung, sekret usus

(empedu, enzim dan imunoglobulin), dan mukus. Probiotik mempunyai efek

anti-infeksi seperti memproduksi bahan antimikroba, kompetisi dengan

patogen terhadap adhesi pada epitel, memperkuat tight junction,

memperbaiki permeabilitas dan motilitas usus. Probiotik melindungi usus

terhadap patogen melalui mekanisme stimulasi produksi sitokin,

meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag, meningkatkan aktivitas sel

NK (natural killer) dan meningkatkan respons antibodi spesifik terhadap

patogen.21

Gut health

Gut health merupakan obyektif baru dalam ilmu kedokteran. Banyak

penyakit di masa dewasa disebabkan oleh usus yang tidak sehat pada

masa awal kehidupan. Kesehatan usus tidak hanya bebas dari penyakit

usus, tetapi juga meliputi digesti dan absorpsi nutrien yang efektif,

mikrobiota usus yang seimbang, status imun yang efektif dan terjaminnya

rasa nyaman (ganguan fungsional usus sering menimbulkan dispepsia.22

Penutup

Sebagai rangkuman, kesehatan usus penting untuk mempertahankan

fungsi digesti-absorpsi nutrien, hormonal, barier dan perkembangan sistem

imun. Usus yang sehat menjamin tumbuh-kembang dan kesehatan anak.

Bila terjadi kerusakan pada struktur dan fungsi usus akibat penyakit, upaya

perbaikan harus segera dilakukan. Kesehatan usus yang baik di masa awal

kehidupan akan menghindari penyakit di masa dewasa.

Page 13: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 7 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Isolauri E, Sutas Y, Kankaanpaa P, Arvilommi H, Salminen S.

Probiotics: efects on immunity. Am J Clin Nutr. 2001;73:444-50.

2. Rao RK, Polk DB, Seth A, Yan F. Probiotics the good neighbor:

guarding the gut mucosal barrier. Am J Infec Dis. 2009;5:182-92.

3. Mizock BA. Probiotics. Disease-a-month 2015;21:259-90.

4. Sherman MP. New concept of microbial translocation in the neonatal

intestine: mechanisms and prevention. Clin Perinatol. 2010;37:565-79.

5. WHO. Indicators for assesing infant and young child feeding practice.

Conclusions of a consensus meeting held on 6-8 November 2007 in

Washington DC, USA.

6. Lara-Villoslada F, Olivares M, Sierra S, Rodriguez JM, Boza J.

Beneficial effects of probiotic bacteria isolated from breastmilk. Brit J

Nutr. 2007;98:96-100.

7. Roxas M. The role of enzyme supplementation in degestive disorders.

Altern Med Rev. 2008;13:307-14.

8. Heyman MB. Lactose intolerance in infants, children and adolescent.

Pediatrics 2006;118:1279-86.

9. Sikkens ECM, Cahen DL, Kulpers EJ, Bruno MJ., Pancreatic enzyme

replacemant therapy in chronic pancreatitis. Best Pract Res Clin

Gastroenterol. 2010;24:337-47.

10. Grootjans J, Thuils G, Verdam F, derikx JP, lenaerts K, Buurman WA.

Non-invasive assessment of barrier integrity and function of the human

gut. World J Gastroenterol Surg. 2010;2:61-9.

11. Rao JN, Wang JY. Peptide growth factor in GI mucosal growth. San

Rafaei, Morgan & Claypool Life Science, 2010.

12. de Quieroz CAA, Fonseca SGC, Frota FB, Figueiredo IL, Aragazo KS,

Magalhaes CEC, et al. Zinc treatment ameliroates diarrhea and

intestinal inflammation. BMC Gastroenterol. 2014;136:1-14.

13. Umeta M, Rst CE, Haidar J, Deurenberg, Hautvast JG. Zinc

supplementation and stunted infants in Ethiopia: a randomized

controlled trial. Lancet 2000;355:2021-6.

Page 14: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Agus Firmansyah

KONAS VII PGHNAI 8 Manado, 17-19 Maret 2017

14. Ohland CL, Macnaughton WK. Probiotic bacteria and intestinal epitel

barrier function. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2010;298:807-

10.

15. Murguia-Peniche T, Mihatsch WA, Zegarra J, Supapannachart S, Ding

ZY, Neu J. Intestinal mucosal defence system.Part 2. Probiotics and

prebiotics. J Pediatr. 2013;162:65-71.

16. Anderson JW, Baird P, Davis RH, Ferreri S, Knudtson M, Korarym A, et

al. Health benefits of dietary fiber. Nutr Rev. 2009;67:188-205.

17. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhea: implication for

treatment. Lancet 1986;i:1082-4.

18. Firmasyah A, Penn D, Lebenyhal E. Isolated colonocyte metabolism of

glucose, glutamine, n-butyrate, and ß-hydroxybutyrate in malnutrition.

Gastroenterology 1989;97:622-9.

19. Higashiguchi T, Hasselgren PO, Wagner K, Fischer JE. Effect of

glutamine on protein synthesis in isolated intestinal epithelial cells. J

Parenter Enteral Nutr. 1993;17:307-14.

20. Deitch EA. Gut-origin sepsis: evolution of a concept., Surgeon

2012;10;350-6.

21. Gilolo HS, Probiotics to enhance anti-infective defences in the

gastrointinal tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:755-73.

22. Bischoff SC. Gut health: a new objective in medicine? BMC Medicine

2011;9:1-14.

Page 15: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 9 Manado, 17-19 Maret 2017

THE EVIDENCE OF ZINC IN REDUCING THE PREVALENCE OF

DIARRHEA

I Putu Gede Karyana, I Gusti Ngurah Sanjaya Putra,

Ni Nyoman Metriani Nesa

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Diare akut masih menjadi penyebab utama kematian anak meskipun

keberhasilan upaya rehidrasi oral (URO) tak terbantahkan. Di seluruh

dunia, penyakit diare merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada anak, dengan 1,5 miliar episode dan diperkirakan 1,5-2,5

juta kematian setiap tahunnya pada anak-anak di bawah usia lima tahun.1,2

Di negara-negara berkembang, catatannya lebih buruk karena infeksi,

kekurangan gizi, dan buta huruf. Insiden diare di Indonesia cenderung

meningkat. Pada tahun 2000 insiden penyakit diare 301/1000 penduduk,

tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi

423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Studi

Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa

diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.

Peningkatan kematian akibat diare adalah terutama terkait dengan

tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan.

Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat

dan tepat.3

Penggunaan larutan rehidrasi oral (oralit) menyelamatkan

nyawa anak-anak, tetapi tampaknya tidak memiliki efek pada pengurangan

lama diare pada anak.

Oleh karena itu, rekomendasi baru telah dirumuskan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, bekerja sama dengan United

States Agency for International Development (USAID) dan ahli lainnya

pada tahun 2004. Rekomendasi penggunaan zink bersama dengan oralit

osmolaritas rendah (dengan pengurangan kadar glukosa dan garam)

selama diare akut, mampu mengurangi durasi dan keparahan episode

Page 16: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 10 Manado, 17-19 Maret 2017

diare. Suplemen zink diberikan selama 10-14 hari menurunkan kejadian

diare untuk dua sampai tiga bulan berikutnya.4

Meskipun terbukti bemanfaat, ada sedikit hambatan pada pengenalan

luas oralit osmolaritas rendah dan zink untuk pengobatan diare. Banyak

negara telah mengubah kebijakan tatalaksana diare untuk menyertakan

oralit osmolaritas rendah dan zink, tetapi ada kesenjangan antara

perubahan kebijakan dan pelaksanaan program yang efektif, dengan

sangat sedikit anak-anak yang saat ini sedang diobati dengan tepat.5

Mekanisme Kerja Zink pada Diare

Efek fisiologis zink pada transport ion di usus belum jelas secara

menyeluruh. Dalam penelitian in-vitro dengan ileum tikus yang telah

dipublikasi didapatkan bahwa zink menghambat induksi cAMP dan sekresi

cairan tergantung klorida dengan menghambat saluran kalium (K)

basolateral. Penelitian ini juga menunjukkan spesifisitas dari Zn terhadap

saluran saluran K diaktivasi cAMP. Zink tidak menghambat saluran K

dimediasi kalsium (Ca). Penelitian ini tidak dilakukan pada hewan dengan

defisiensi Zn, ini membuktikan bahwa Zn mungkin efektif tanpa adanya

defisiensi Zn.6,7

Zink juga meningkatkan penyerapan air dan elektrolit,

regenerasi epitel usus, kadar enzim brush border, dan respon imun, yang

memungkinkan clearance yang lebih baik terhadap patogen.8 Laporan lain

memberikan bukti bahwa zink menghambat toksin kolera, tetapi tidak

toksin heat-stable dari Escherichia coli. Sekresi ion diinduksi oleh

enterotoksin dalam kultur sel Caco-2.9 Dengan demikian, zink berperan

penting dalam modulasi pertahanan inang terhadap agen infeksi dan

mengurangi risiko, tingkat keparahan, dan durasi diare. Zink juga

memainkan peran penting dalam metallo-enzim, polyribosome, dan fungsi

membran sel dan sel sendiri, sehingga memberikan keyakinan bahwa zink

memainkan peran sentral dalam pertumbuhan sel dan fungsi sistem

kekebalan tubuh. 10

Page 17: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 11 Manado, 17-19 Maret 2017

Farmakokinetik Zink pada Diare11

Penyerapan

Berat molekul zink elemental adalah 65,37 dan zinc sulfat adalah 287,5.

Setiap gram zink sulfat merupakan 3,5 milimol Zn. Kelarutannya adalah 1

dalam 0,6 ml air dan tidak larut dalam alkohol. Zink dan garamnya kurang

diserap (hanya 20 sampai 30%) di duodenum dan ileum. Zink endogen

diserap kembali di ileum dan kolon, menciptakan sirkulasi enterohepatik.

Distribusi

Setelah penyerapan zink terikat oleh protein metallothionein dalam usus.

Zink didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, kemudian disimpan

dalam sel darah merah, leukosit, otot, tulang, kulit, ginjal, hati, pankreas,

retina, dan prostat. Luasnya pengikatan adalah 60-70% pada albumin

plasma, 30-40% pada alpha 2 macroglobulins, dan 1% pada asam amino

seperti histidin dan sistein. Konsentrasi zink plasma tertinggi adalah dalam

dua jam setelah dikonsumsi.

Eliminasi

Zink diekskresi terutama dalam feses (90%) dan hanya sebagian kecil

ditemukan dalam urin. Sepertinya ginjal memainkan peran kecil dalam

mengatur zink tubuh.

Suplemen Zink Mengurangi Keparahan dan Durasi Diare

Sebuah penelitian menguji hipotesis bahwa suplementasi harian zink

memiliki efek pada perjalanan klinis diare akut pada 117 anak-anak, usia 6-

59 bulan. Paramameter yang dinilai adalah frekuensi tinja, jumlah tinja, dan

durasi diare. Pengurangan frekuensi tinja per hari didapatkan 62% pada

kelompok dengan suplementasi zinc dan pengurangan 26% didapatkan

pada kelompok plasebo. Perbedaan yang jelas 36% antara dua kelompok

dari hari pertama sampai hari ke-3 dan hari ke-5 menjadi signifikan secara

statistik. Demikian pula, perbedaan yang signifikan didapatkan dalam

pengurangan jumlah tinja per hari dari hari pertama sampai hari ke-3 dan

hari ke-5 dengan perbedaan 45% antara kedua kelompok.12

Sebuah meta-analisis dari 12 penelitian mengamati dampak suplemen

zink pada tatalaksana diare akut, 11 di antaranya menunjukkan

pengurangan durasi episode diare. Delapan dari penilitian tersebut,

didapatkan pengurangan signifikan secara statistik. Lima dari penelitian ini

Page 18: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 12 Manado, 17-19 Maret 2017

juga mengumpulkan data volume tinja dan frekuensi defekasi, dan

menemukan bahwa suplemen zink mengurangi volume tinja dan frekuensi

defekasi. Data menunjukkan bahwa suplementasi zink memiliki dampak

yang signifikan dan menguntungkan pada perjalanan klinis diare akut,

mengurangi baik durasi dan tingkat keparahan.3

Meta-analisis lain dari 18 penelitian oleh Lazzerini dkk., dengan

melibatkan 6165 partisipan menunjukkan bahwa pada diare akut, zink

mengurangi durasi diare, baik mengurangi diare kurang dari tiga hari, diare

kurang dari lima hari, maupun diare kurang dari tujuh hari. Zink juga

mengurangi durasi diare persisten. Beberapa penelitian melaporkan tingkat

keparahan diare, tetapi hasilnya tidak konsisten.13

Hasil sebuah kajian sistematik oleh Patel dkk. menunjukkan bahwa

suplemen zink mengurangi durasi rata-rata diare akut sekitar 20%, dan

diare persisten sebesar 15-30%, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan

pada frekuensi atau volume tinja. Ada tingkat heterogenitas yang tinggi

signifikan secara statistik di seluruh penelitian untuk efek suplementasi zink

pada rerata durasi diare dan risiko muntah setelah pemberian zink.14

Suplementasi Zink dalam Pencegahan dari Diare Akut dan Persisten

Beberapa penelitian yang mengevaluasi efek dari suplementasi zink pada

penyakit diare menemukan bahwa zink mempunyai efek pencegahan yang

cukup bertahan lama. Satu penelitian komunitas di Bangladesh yang

melibatkan 8070 anak 3-59 bulan mengamati efek preventif suplementasi

zink. Pada penelitian dengan cluster randomized comparison tersebut

dilakukan pengamatan selama 2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut

didapatkan zink mampu mengurangi lama diare (hazard ratio 0,76, IK

95%, 0,65-0,90), insiden diare (rate ratio 0,85, IK 95%, 0,76-0,96),

kejadian masuk rumah sakit (rate ratio 0,76, IK 95%, 0,59-0,89), angka

kematian (rate ratio 0,49, IK 95%, 0,25-0,49) dan mencegah diare untuk 2-

3 bulan berikutnya.15

Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dan UNICEF

kemudian merekomendasikan suplementasi zink 20 mg per hari, selama

10-14 hari, untuk anak dengan diare, dan 10 mg per hari pada bayi

dibawah usia enam bulan, untuk mengurangi tinggat keparahan diare dan

mencegah kejadian diare 2-3 bulan setelah kejadian diare.

Page 19: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 13 Manado, 17-19 Maret 2017

Suplementasi Zink pada Pengobatan Diare Persisten

Sebuah penelitian randomized controlled trial (RCT) mengevaluasi efek

dari pemberian suplementasi zink oral pada 40 bayi (usia 6-18 bulan)

dengan diare persisten (durasi lebih dari dua minggu). Penelitian ini

menyimpulkan bahwa pada diare persisten terjadi deplesi dari zink seiring

dengan berjalannya penyakit, dan pemberian suplementasi zink oral

memperbaiki status zink dari bayi. 16

Sebuah analisis gabungan dari empat RCT melaporkan tentang efek

dari suplementasi zink oral pada anak dibawah usia lima tahun dengan

diare persisten. Analisa Cox survival regression digunakan untuk

mengevaluasi efek zink pada diare berkelanjutan. Suplementasi zink pada

anak dengan diare persisten mempunyai kemungkinan lebih rendah 24%

untuk terjadi diare berkelanjutan dan rerata gagal terapi atau kematian

lebih rendah 42% dari pada grup kontrol.17

Suplementasi Zink pada Pengobatan dan Pencegahan terhadap Diare

Berdarah

Penelitian yang dilakukan pada shigelosis akut menunjukan bahwa terapi

zink berhubungan dengan peningkatan respon antibodi terhadap antigen

spesifik. Kadar titer antibodi baktericidal terhadap Shigella meningkatkan

proporsi dari sel limfosit B dan sel plasma, dan juga terjadi respon

proliferasi limfosit yan glebih tinggi pada sirkulasi perifer, selama fase

konvalesen awal dari shigelosis. Semua ini menjadikan alasan yang jelas

untuk pemberian suplemetnasi zink sebagai terapi tambahan selain terapi

antibiotik pada diare berdarah. 18

Suplemetasi Zink dan Cost-effectiveness

Sebuah penelitian menganalisa biaya tambahan, efek, dan cost-

effectiveness biaya ketika zink diberikan sebagai terapi tambahan dari

terapi standar pada anak dengan diare, termasuk disentri, dan menaksir

cost-effectiveness kembali manajemen standar diare dengan

menggunakan oralit. Analisis kemungkinan cost-effectiveness dilakukan

dengan menggunakan tehnik simulasi Monte-Carlo dan hal yang

mempengaruhi parameter tunggal dieksplorasi dengan menggunakan One-

way sensitivity analyses. Pada penelitian ini, cairan oralit memiliki cost-

Page 20: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 14 Manado, 17-19 Maret 2017

effectiveness yang lebih rendah. Penggunaan zink sebagai terapi

tambahan, secara signifikan meningkatkan cost-effectiveness dari

tatalaksana standar dari diare baik untuk disentri maupun penyakit selain

disentri.19

Suplemetasi Zink dan Penggunaan Antibiotik yang Irasional

Penggunaan antibiotik pada diare adalah salah satu faktor penyumbang

terbesar terjadinya resistensi antibiotik pada negara berkembang. Pada

sebuah penelitian pada daerah rural di Bangladesh menemukan bahwa

26% dari obat-obatan yang paling sering dibeli adalah antibiotik, dimana

pembelian obat tersering untuk anak pada usia 0-4 tahun adalah untuk

mengobati diare. Sebuah penelitian berbasis komunitas (Community-

based controlled trial) yang dilakukan di Bangladesh di 30 daerah di sekitar

Matlab Treatment Center, dengan jumlah anak pada setiap daerah sekitar

200 anak berusia antara 3 hingga 59 bulan, setiap area secara acak

dilakukan intervensi dan kontrol. Setiap anak dengan usia 3 hingga 59

bulan dimasukan dalam penelitian. Penurunan penggunaan antibiotik

secara signifikan tampak pada grup intervensi yang menunjukkan bahwa

keuntungan suplementasi zink dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas pada anak. Suplementasi zink untuk diare dengan program

edukasi selain dengan terapi rehidrasi oral, dapat menurunkan

penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan yang dapat menyebabkan

resistensi.20

Dosis dan Lama Pemberian Zink pada Diare

Zink elemental digunakan secara oral sebagai tambahan terapi rehidrasi

oral pada diare akut. Untuk bayi usia kurang dari 6 bulan: 10 mg per hari

selama 10-14 hari; dan pada anak-anak (6 bulan-5 tahun): 20 mg per hari

selama 10-14 hari. 21

Sebuah penelitian mengamati apakah terapi zink selama 5-hari atau

10-hari sama ampuh mencegah diare pada 3 bulan berikutnya di antara

anak-anak Bangladesh. Penelitian tersebut merupakan suatu randomized,

double-blind placebo controlled trial di daerah rural pada anak-anak usia

4-59 bulan. Luaran yang diamati setelah pemberian 5-hari atau 10-hari

terapi zink pada diare akut adalah kejadian dan durasi diare selama 90 hari

Page 21: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 15 Manado, 17-19 Maret 2017

berikutnya. Anak-anak (n=1.622) dengan diare akut secara acak

dialokasikan baik untuk 5-hari atau 10-hari pengobatan zink. Hasilnya,

kejadian diare selama 90 hari berikutnya tidak berbeda antara grup 5-hari

(1.0861.38) dan 10-hari (1.0261.35) (p=0,35). Anak-anak pada kedua grup

mengalami durasi episode diare sebanding (3.165.6 hari vs 2.965.6 hari,

5-hari vs 10-hari, secara berurutan; p=0,64) dengan perbedaan rerata

antara grup dalam rentang ekuivalen yang ditetapkan. Waktu untuk

timbulnya episode pertama dan proporsi anak mengalami diare selama 90-

hari berikutnya juga tidak berbeda antara grup. Temuan ini menunjukkan

bahwa di antara anak-anak Bangladesh, 5-hari pengobatan zink untuk

diare akut sama ampuhnya dengan 10-hari dalam mencegah diare pada 3

bulan berikutnya.22

Cara Memberikan Garam Zink21

Zink sulfat, asetat, dan glukonat semuanya merupakan formulasi garam

zink yang telah digunakan secara luas. Zink sulfat bersifat aman, murah,

dan sangat efektif sehingga optimal untuk digunakan dalam program

nasional. Tablet zink sulfat dapat terdistribusi melalui air susu ibu, cairan

rehidrasi oral, atau pada air. Anak yang lebih tua dapat mengunyah tablet

atau menelan langsung dengan menggunakan air. Tablet zink sulfat

terdispersi dan sirup juga telah tersedia, mengandung 10 atau 20 mg zink

elemental.

Interaksi Obat21,23,24

Bila zink diberikan bersamaan dengan beberapa obat tertentu, maka

interaksi obat dapat terjadi. Phytate yang terdapat pada makanan pokok

seperti sereal, jagung, dan nasi, dapat menurunkan penyerapan zink.

Penelitian in vitro menunjukkan bahwa zink dapat dipresipitasi oleh fosfat

dan phytate pada pH yang mendekati pH lumen usus. Produk susu dan roti

menurunkan absorpsi zink. Kopi juga menghambat penyerapan zink.

Suplemen besi menghambat absorpsi zink sehingga suplementasi zink

sebaiknya diberikan 2 jam sebelum zat besi. Penicillamine dan chelator

lainnya mengurangi absorpsi zink. Garam kalsium mengurangi absorpsi

zink. Tetrasiklin oral mengurangi absorpsi zink, sehingga suplementasi zink

diberikan 2 jam sebelum tetrasiklin. Asam amino, seperti histidin dan

Page 22: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 16 Manado, 17-19 Maret 2017

metionin, dan ion lain dengan berat molekul rendah seperti EDTA dan

asam organik (misal sitrat), meningkatkan absorpsi zink. Zink menghambat

absorpsi copper dari intestin. Diuretik thiazid meningkatkan ekskresi zink

melalui urin. Zink mengurangi absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, dan

ofloksasin. Absorpsi dari garam zink dan garam besi akan menurun bila

dikonsumsi secara bersamaan.

Efek Samping dari Suplementasi Zink25

Sampai saat ini belum ada laporan mengenai reaksi simpang yang berat

dari segala bentuk suplementasi zink yang digunakan untuk terapi diare.

Dosis zink 40 mg dapat digunakan secara aman dan diterima oleh Food

and Drug Administration (FDA). Dosis zink yang melebihi dosis tesebut

dapat menimbulkan risiko. Terlalu banyak zink yang diberikan dapat

mengganggu metabolisme dan absorpsi mineral esensial yang lain,

terutama besi, magnesium, dan copper, dapat menurunkan fungsi

imunitas, serta menurunkan kadar HDL. Suplementasi oral zink sulfat

dapat menimbulkan efek samping seperti gejala gastrointestinal, heartburn,

dan nausea. Efek samping yang jarang meliputi demam, nyeri

tenggorokan, sariawan, kelemahan dan kelelahan. Beberapa penelitian

efektivitas zink pada lebih dari 8.500 anak yang berpartisipasi sebagai grup

plasebo dan zink, dengan hampir 12.000 anak yang diobservasi per tahun,

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan reaksi simpang pada pemberian

garam zink yang berbeda (sulfat, asetat, dan glukonat). Satu penelitian

menunjukkan efek samping berupa muntah lebih besar pada kelompok

zink dibandingkan kontrol, ketika zink diberikan bersamaan dengan

beberapa mikronutrien lain. Kadar copper telah dievaluasi pada 4

penelitian, dan pada 3 penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan

kadar copper setelah suplementasi zink. Namun, satu penelitian

menunjukkan penurunan kadar copper yang signifikan pada kelompok

anak malnutrisi dengan diare persisten yang diberikan suplementasi zink.

Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada efek samping substansial pada

pemberian suplementasi zink untuk terapi diare yang dapat mempengaruhi

kadar copper.

Page 23: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 17 Manado, 17-19 Maret 2017

Rekomendasi

World Health Organization (WHO) dan UNICEF telah merekomendasikan

penggunaan zink sebagai suplemen disamping terapi rehidrasi oral untuk

penatalaksanaan diare. Dosis zink elemental 20 mg per hari bersifat efektif

dan aman pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Pemberian zink

direkomendasikan untuk digunakan sejak pada layanan kesehatan primer.

Untuk efek yang maksimal, zink dan terapi rehidrasi oral sebaiknya

tersedia di masyarakat. Program berbasis komunitas dapat meningkatkan

penggunaan zink serta meningkatkan terapi rehidrasi oral pada komunitas

yang sama.

Revitalisasi tenaga kesehatan dengan menggapai masyarakat

ekonomi rendah sangat penting dalam mencapai tingkat cakupan sasaran.

Selain itu, kerjasama dengan sektor swasta, sektor medis dan non medis,

serta formal dan informal, dapat membantu mencapai perluasan program

di populasi.

Penutup

Pemberian zink oral memberikan manfaat tambahan dalam menurunkan

jumlah, frekuensi, dan durasi diare, dengan sifat aman, efektif, serta murah

untuk terapi diare. Selain itu, pemberian zink selama 10-14 hari mencegah

terjadinya diare sampai 2-3 bulan berikutnya, sehingga dapat mengurangi

prevalens diare. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi zink oral

merupakan intervensi terapi yang sederhana dan efektif dalam tatalaksana

diare.

Daftar Pustaka

1. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal

diseases as estimated from studies published between 1992 and 2000.

Bull World Health Organ 2003;81:197-204.

2. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children

dying every year ? Lancet 2003;361:2226-33.

3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela

Data dan Informasi Kesehatan 2011; triwulan II:1-18.

Page 24: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 18 Manado, 17-19 Maret 2017

4. WHO/UNICEF Joint Statement-Clinical management of acute diarrhea.

WHO/FCH/CAH 04.7 May 2004.

5. Fischer Walker CL, Fontaine O, Young MW, Black RE. Zinc and low

osmolarity oral rehydration salts for diarrhea: A renewed call to action.

Bull World Health Organ 2009;87:780-6.

6. Hoque KM, Rajendran VM, Binder HJ. Zinc inhibits cAMP-stimulated Cl

secretion via basolateral K-channel blockade in rat ileum. Am J Physiol

2005;288:G956-63.

7. Hoque KM, Binder HJ. Zinc in the Treatment of Acute Diarrhea: Current

Status and Assessment. Gastroenterology 2006;130:2201-05.

8. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. Available from:

http://www. newsmedical.net / news / 2008 / 02 / 04 / 34888.aspx. [last

cited on 2010 Feb 6].

9. Berni CR, Cirillo P, Buccigrossi V, Ruotolo S, Annalisa P, De Luca P,

dkk. Zinc inhibits cholera toxin induced, but not Escherichia coli heat

stable enterotoxininduced, ion secretion in human enterocytes. J Infect

Dis 2005;191:1072-7.

10. Implementing the new recommendations on the clinical management of

diarrhea-Guidelines for policy makers and programme managers.

WHO, Geneva. 2006.

11. Ramanujam TR. Role of zinc in health and disease. Available from:

http: / www.medindia.net / articles / roleofzinc.asp. [last cited on 2010

Nov 15].

12. Trivedia SS, Chudasamab RK, Patel N. Effect of zinc supplementation

in children with acute diarrhea: Randomized double blind controlled

trial. Gastroenterol Res 2009;2:168-74.

13. Lazzerini M, Ronfani L. Oral zinc for treating diarrhea in children.

Cochrane Database Syst Rev 2008:CD005436.

14. Patel A, Mamtani M, Dibley MJ, Badhoniya N, Kulkarni H. Therapeutic

value of zinc supplementation in acute and persistent diarrhea: a

systematic review. PLoS ONE 2010;5:e10386.

15. Baqui AH, Black RE, Arifeen SE, Yunus M, Chakraborty J, Ahmed S,

Vaughan JP. Effect of zinc supplementation started during diarrhoea on

morbidity and mortality in Bangladeshi children: community randomised

trial. BMJ 2002; 325:1-7.

Page 25: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 19 Manado, 17-19 Maret 2017

16. Sachdev HP, Mittal NK, Yadav HS. Oral zinc supplementation in

persistent diarrhea in infants. Ann Trop Paediatr 1990;10:63-9.

17. Bhutta ZA, Bird SM, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, dkk.

Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in

children in developing countries: Pooled analysis of randomized

controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72:1516-22.

18. Roy SK, Raqib R, Khatun W, Azim T, Chowdhury R, Fuchs GJ, dkk.

Zinc supplementation in the management of shigellosis in

malnourished children in Bangladesh. Eur J Clin Nutr 2008;62:849-55.

19. Robberstad B, Strand T, Black RE, Sommerfelt H. Cost effectiveness

of zinc as adjunct therapy for acute childhood diarrhea in developing

countries. Bull World Health Organ 2004;82:523-31.

20. Baqui AH, Black RE, El Arifeen S, Yunus M, Zaman K, Begum N, dkk.

Zinc therapy for diarrhea increased the use of oral rehydration therapy

and reduced the use of antibiotics in Bangladeshi children. J Health

Popul Nutr 2004;22:440-2.

21. Medicines for diarrhea in children. Dalam: Stuart MC, Kouimtzi M, Hill

SR, penyunting. WHO Model Formulary; 2008:351.

22. Alam DS, Yunus M, El Arifeen S, Chowdury HR, Larson CP, Sack DA,

Baqui AH, Black RE. Zinc treatment for 5 or 10 days is equally

efficacious in preventing diarrhea in the subsequent 3 months among

Bangladeshi children. J Nutr 2011;141(2):312-5.

23. Lönnerdal B. Dietary factors infl uencing zinc absorption. J Nutr

2000;130:1378S-83.

24. Pécoud A, Donzel P, Schelling JL. Effect of foodstuffs on the

absorption of zinc sulfate. Clin Pharmacol Ther 1975;17:469-74.

25. Fischer C, Harvey P. Low risk of adverse effects from zinc

supplementation. MOST, The USAID Micronutrient Program.

Page 26: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 20 Manado, 17-19 Maret 2017

RASIONALISASI PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B DALAM 12

JAM PERTAMA KEHIDUPAN

Hanifah Oswari

Divisi Gastroenterohepatolog

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta

Pendahuluan

Virus hepatitis B ada di sekitar kita. Terdapat 2 milyar orang dengan

HBsAg positif di dunia, di antaranya terdapat 360 juta orang menjadi karier

kronis. Setiap tahun terjadi kematian sebesar 600.000 karena hepatitis B.

Masalahnya terapi hepatitis B sampai saat ini belum memuaskan. Pada

anak dan remaja dengan hepatitis B 3-5% akan menjadi sirosis hati dan

0,01-0,03% mengalami karsinoma hepatoselular sebelum menjadi

dewasa.1,2

Risiko mengalami karsinoma hepatoselular meningkat 9-24%

secara keseluruhan seumur hidup, dengan insidens 2-3% per tahun.3,4

Oleh sebab itu pencegahan hepatitis B sangat penting dilakukan untuk

mengontrol penyebaran hepatitis B. Vaksin hepatitis B telah diketahui

sangat aman dan efikasinya mencegah infeksi mencapai lebih dari 90%

untuk semua serotipe dan genotipe virus hepatitis B.

Rasionalisasi pemberian vaksinasi hepatitis B dalam 12 jam pertama

setelah lahir

Perjalanan penyakit hepatitis B tergantung dari usia, cara infeksi.

Perbedaan ini terjadi karena respons imun yang berbeda-beda. Respons

imun tubuh akan toleran bila terjadi infeksi pada usia sangat muda.

Penularan hepatitis B di Asia, terutama di Asia Tenggara, terjadi terutama

melalui transmisi vertikal atau disebut juga infeksi perinatal. Artinya

seorang bayi mendapat infeksi hepatitis B dari ibu yang melahirkannya. Hal

ini terjadi karena infeksi persisten hepatitis B pada ibu hamil sangat tinggi

(>8%), dan prevalensi HBeAg tinggi pada ibu hamil dengan hepatitis B

kronis.5 HBeAg positif adalah petanda serologis untuk makin tingginya

risiko transmisi hepatitis B dari ibu hamil ke bayi. Penularan hepatitis B dari

ibu dengan HBsAg positif ke bayinya dapat mencapai 90%.

Page 27: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 21 Manado, 17-19 Maret 2017

Anak yang hidup di daerah endemis hepatitis B yang mendapat infeksi

hepatitis B secara perinatal (transmisi vertikal), akan tetap dalam keadaan

HBeAg positif dengan replikasi virus yang tinggi, walaupun kerusakan

jaringan biasanya ringan.6 Bayi yang mendapat infeksi perinatal akan

mengalami infeksi hepatitis B kronis dan akan masuk fase imun toleran

selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau bahkan beberapa dekade

sebelum berpindah ke fase imun aktif. Pada fase imun toleran ini terapi

hepatitis B tidak dianjurkan karena jarang sekali memberikan respons yang

baik. Selain itu anak akan mengalami sirosis pada usia lebih besar. Pada

292 anak dengan HBsAg dengan peningkatan ALT, sirosis hati ditemukan

pada 10 pasien (3%) pada usia 4,0 + 3,3 tahun, tetapi memiliki ko-infeksi

dengan hepatitis D atau hepatitis C.7 Pada 76 anak dengan HBeAg postif

dan peningkatan ALT, paling sedikit setengahnya memiliki fibrosis sedang

sampai berat.8 Hal ini menunjukkan anak yang mendapat infeksi perinatal

(transmisi vertikal) berisiko mengalami sirosis pada masa depan.

Pada fase imun toleran, walaupun kerusakan jaringan hati ringan,

tetapi pada fase ini dapat saja terjadi karsinoma hepatoselular (KHS),

sehingga anak perlu selalu dimonitor untuk terjadinya KHS. Orang dewasa

yang terinfeksi hepatitis B perinatal akan berkembang menjadi KHS sekitar

5% per dekade.

Jelaslah bahwa hepatitis B yang mengenai bayi karena transmisi

vertikal umumnya sulit dapat diterapi, bila diterapi hasilnya kurang

memuaskan, berisiko terjadi sirosis hati dan karsinoma hepatoselular

(KHS). Oleh sebab itu pencegahan dengan cara pemberian vaksinasi

menjadi sangat penting.

Bayi yang akan dilahirkan perlu mendapat perlakukan khusus untuk

mencegah transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi. Transmisi hepatitis B dari

ibu ke bayi dapat terjadi pada saat di dalam kandungan atau setelah lahir.

Tingginya efikasi protektif (95%) vaksinasi neonatal menunjukkan transmisi

ini paling sering terjadi pada saat lahir atau setelah lahir, sehingga masih

dapat dicegah dengan vaksinasi saat lahir. Oleh sebab itu upaya

pencegahan harus dilakukan secepat mungkin setelah lahir, agar virus

hepatitis B tidak berkesempatan menginfeksi sel hati anak.

WHO merekomendasikan pemberian dosis pertama saat lahir dalam

waktu kurang dari 24 jam untuk dilakukan pada negara-negara dengan

Page 28: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 22 Manado, 17-19 Maret 2017

penularan perinatal (sekitar kelahiran) hepatitis B yang tinggi secara

universal. Satgas imunisasi IDAI menganjurkan pemberian vaksinasi

hepatitis B sebelum bayi berusia 12 jam agar pencegahan dapat dimulai

secepat mungkin.

Negara-negara yang menjalankan rekomendasi WHO tersebut di atas

mendapatkan beberapa keuntungan. Negara Taiwan yang melakukan

vaksinasi bayi hepatitis B seperti anjuran WHO yang dimulai pada semua

bayi tahun 1986 terjadi penurunan insidens HBsAg positif dari 9,8% (1986)

menjadi 1,2% dalam waktu 20 tahun kemudian.9 Selain itu angka insidens

karsinoma hepatoselular (kanker hati) menurun sampai 70% di antara bayi

yang mendapat vaksinasi hepatitis B.10

Hal ini sekaligus menyatakan pentingnya waktu pemberian vaksin

hepatitis B pada seorang bayi. Makin cepat vaksinasi diberikan akan makin

memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi hepatitis B pada bayi.

Pencegahan hepatitis B

Bayi dari ibu dengan HBsAg positif dengan berat lahir > 2 kg

Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif selain diberikan

vaksinasi hepatitis B sedini mungkin, diberikan sebelum 12 jam kelahiran

sesuai anjuran IDAI, bayi perlu diberikan juga hepatitis B immunoglobulin

(HBIg) sebelum 12 jam (atau bila mengikuti WHO dan Kemenkes: kurang

dari 24 jam). Vaksinasi dan HBIg untuk bayi dari ibu dengan HBsAg positif

sangat cost-effective.11

Pemberian vaksin dan immunoglobulin (HBIg)

dilakukan bersamaan, pada 2 paha yang berbeda sebelum bayi berusia 12

jam (atau bila mengikuti WHO dan Kemenkes: kurang dari 24 jam). Untuk

mencegah terjadinya perdarahan karena penyuntikan, bayi perlu diberikan

vitamin K1 terlebih dahulu. Selanjut pemberian vaksin perlu dilanjutkan

dengan jadwal usia 1 bulan dan 6 bulan bila menggunakan vaksin hepatitis

B monovalen, atau usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan bila menggunakan

Pentabio sesuai jadwal kemenkes, atau dapat juga diberikan pada usia 2

bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Pencegahan dengan cara memberikan HBIg

dan vaksin ini sangat efektif, keberhasilannya mencapai 95%.12,13

Penelitian di Taiwan dan Hongkong pemberian vaksinasi tanpa HBIg

untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif mencapai 75-80%

protektif.14,15

Dari data di atas terlihat bahwa pemberian vaksinasi saja

Page 29: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 23 Manado, 17-19 Maret 2017

(tanpa immunoglobulin) belum cukup baik. Kemenkes RI secara bertahap

telah memberikan HBIg (dan vaksin hepatitis B) pada bayi yang dilahirkan

dari ibu dengan HBsAg positif sejak tahun 2014. Ibu hamil dianjurkan

memeriksa kadar HBsAg pada kunjungan prenatal pertama, atau paling

lambat pada trimester ketiga kehamilan. Ibu dengan HBsAg positif perlu

dirujuk ke dokter hepatologi dewasa untuk penanganan lebih lanjut. Bayi

yang akan dilahirkan perlu mendapat perlakukan khusus untuk mencegah

transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi.

Bayi dari ibu dengan HBsAg positif dengan berat lahir < 2 kg

Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif diberikan vaksinasi

hepatitis B sedini mungkin, diberikan sebelum 12 jam kelahiran sesuai

anjuran IDAI dan bayi perlu diberikan juga hepatitis B immunoglobulin

(HBIg) sebelum 12 jam. Pemberian vaksinasi saat lahir ini tidak

diperhitungkan, sehingga dosis selanjutnya pada saaat bayi berusia 2

bulan atau beratnya mencapai 2 kg dianggap sebagai pemberian pertama.

Pemberian vaksin hepatitis B pada bayi prematur dengan berat badan < 2

kg bersifat kurang imunogenik dibandingkan dengan bayi matur.16,17

Itulah

sebabnya dosis vaksin yang diberikan saat lahir tidak dianggap sebagai

dosis pertama. Dosis kedua dan selanjutnya wajib diberikan. Bila

menggunakan vaksin monovalen, dosis kedua diberikan pada 1 bulan dari

dosis sebelumnya dan dosis ketiga 5 bulan dari dosis kedua.

Bayi dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat lahir > 2 kg

Pemberian vaksin hepatitis B diberikan pertama kali pada usia kurang dari

12 jam, dosis kedua usia 1-2 bulan, dan dosis ketiga pada usia 6 bulan-18

bulan (dosis ketiga ini sebaiknya diberikan pada usia > 24 bulan). Dosis

pertama diberikan vaksin hepatitis B monovalen, sedang dosis kedua dan

ketiga dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin

kombinasi yang mengandung vaksin hepatitis B. Bila menggunakan vaksin

kombinasi vaksin hepatitis B dapat berjumlah 4 kali, karena vaksin

kombinasi dapat diberikan pada usia 2,3, dan 4 bulan (DTwP-HIB-Hepatitis

B) atau 2,4,dan 6 bulan (DTaP-HIB-Hepatitis B). Penggunaan vaksin

hepatitis B monovalen atau kombinasi tidak berbeda reaktogenisitasnya

walaupun jumlah pemberian vaksin hepatitis B berbeda.18

Page 30: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 24 Manado, 17-19 Maret 2017

Pemberian dosis pertama dalam waktu kurang dari 12 jam ini

merupakan pengaman untuk mencegah infeksi perinatal pada bayi yang

dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif yang tidak berhasil diidentifikasi

(misalnya karena kesalahan pemeriksaan laboratorium atau kesalahan

pelaporan hasil laboratorium).

Bayi dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat lahir < 2 kg

Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat kurang dari 2

kg dan bayinya dalam keadaan stabil diberikan imunisasi pertama pada

usia 2 bulan atau berat badan mencapai 2 kg. Selanjutnya bila

menggunakan vaksin hepatitis B monovalen, dosis kedua diberikan pada 1

bulan dari dosis pertama dan dosis ketiga 5 bulan dari dosis kedua.

Bayi dari ibu dengan status HBsAg tidak diketahui dengan berat lahir

> 2 kg

Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui

dan berat lahir > 2 kg harus diberikan secepat mungkin sebelum bayi

berusia 12 jam. Dosis kedua dan ketiga dapat menggunakan vaksin

hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi yang mengandung vaksin

hepatitis B. Bila menggunakan vaksin kombinasi vaksin hepatitis B dapat

berjumlah 4 kali, karena vaksin kombinasi dapat diberikan pada usia 2,3,

dan 4 bulan (DTwP-HIB-Hepatitis B) atau 2,4, dan 6 bulan (DTaP-HIB-

Hepatitis B). Bila ibu kemudian diperiksa HBsAg dan hasilnya positif, bayi

perlu diberikan HBIg 0,5 mL sebelum usia 1 minggu.

Bayi dari ibu dengan status HBsAg tidak diketahui dengan berat lahir

< 2 kg

Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg tidak diketahui dengan berat kurang

dari 2 kg dan bayinya dalam keadaan stabil, bayi perlu mendapat dosis

pertama vaksin sebelum usia 12 jam, dosis pertama ini tidak

diperhitungkan sehingga selanjutnya dosis berikutnya yang diberikan

imunisasi pada usia 2 bulan atau berat badan mencapat 2 kg dianggap

sebagai dosis pertama. Bila ibu kemudian diperiksa HBsAg dan hasilnya

positif, bayi perlu diberikan HBIg 0,5 mL sebelum usia 1 minggu.

Page 31: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 25 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Di dunia sangat banyak terdapat penderita hepatitis B. Di Asia Tenggara

termasuk di Indonesia penularan hepatitis B terutama terjadi melalui

transmisi vertikal, pada saat proses kelahiran. Oleh sebab itu pencegahan

dengan vaksinasi perlu dilakukan secepat mungkin sebelum bayi berusia

12 jam, pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan status HBsAg positif,

bayi perlu diberikan HBIg sebelum bayi berusia 12 jam pada paha yang

berbeda. Dengan cara ini diharapkan angka transmisi hepatitis B secara

vertikal dapat ditekan sampai di bawah 5%.

Daftar Pustaka

1. Chang MH, Chen TH, Hsu HM, et al. Prevention of hepatocellular

carcinoma by universal vaccination against hepatitis B virus: the effect

and problems. Clin Cancer Res. 2005;11:7953-7.

2. Chang MH, Hsu HY, Hsu HC, et al. The significance of spontaneous

hepatitis B e antigen seroconversion in childhood: with special emphasis

on the clearance of hepatitis B e antigen before 3 years of age.

Hepatology. 1995;22:1387-92.

3. Luo Z, Li L, Ruan B. Impact of the implementation of a vaccination

strategy on hepatitis B virus infections in China over a 20-year period.

Int J Infect Dis. 2012;16:82-8.

4. Yu MW, Chang HC, Liaw YF, et al. Familial risk of hepatocellular

carcinoma among chronic hepatitis B carriers and their relatives. J Natl

Cancer Inst. 2000;92:1159-64.

5. Goldstein ST, Zhou F, Hadler SC, et al. A mathematical model to

estimate global hepatitis B disease burden and vaccination impact. Int J

Epidemiol. 2005;34:1329-39.

6. Lok AS, Lai CL. A longitudinal follow-up of asymptomatic hepatitis B

surface antigen-positive Chinese children. Hepatology. 1988;8:1130-3.

7. Bortolotti F, Calzia R, Cadrobbi P, et al. Liver cirrhosis associated with

chronic hepatitis B virus infection in childhood. J Pediatr. 1986;108:224-

7.

8. Godra A, Perez-Atayde AR, Jonas MM. Histologic features of chronic

hepatitis B in children (abstract). Hepatology. 2005;42:478A.

Page 32: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Hanifah Oswari

KONAS VII PGHNAI 26 Manado, 17-19 Maret 2017

9. Ni YH, Huang LM, Chang MH, et al. Two decades of universal hepatitis

B vaccination in taiwan: impact and implication for future strategies.

Gastroenterology. 2007;132:1287-93.

10. Chang MH, Chen CJ, Lai MS, et al. Universal hepatitis B vaccination

in Taiwan and the incidence of hepatocellular carcinoma in children.

Taiwan Childhood Hepatoma Study Group. N Engl J Med.

1997;336:1855-9.

11. Margolis HS, Coleman PJ, Brown RE, et al. Prevention of hepatitis

B virus transmission by immunization. An economic analysis of current

recommendations. JAMA. 1995;274:1201-8.

12. Stevens CE, Taylor PE, Tong MJ, et al. Yeast recombinant

hepatitis B vaccine in perinatal hepatitis B virus transmission: a

preliminary report. J Infect. 1986;13 Suppl A:13.

13. Gong XH, Liu LR, Jia L, et al. [Epidemiological effect of hepatitis B

immunization among newborn babies in Beijing]. Zhonghua Gan Zang

Bing Za Zhi. 2003;11:201-2.

14. Beasley RP, Hwang LY, Lee GC, et al. Prevention of perinatally

transmitted hepatitis B virus infections with hepatitis B immune globulin

and hepatitis B vaccine. Lancet. 1983;2:1099-102.

15. Wong VC, Ip HM, Reesink HW, et al. Prevention of the HBsAg carrier

state in newborn infants of mothers who are chronic carriers of HBsAg

and HBeAg by administration of hepatitis-B vaccine and hepatitis-B

immunoglobulin. Double-blind randomised placebo-controlled study.

Lancet. 1984;1:921-6.

16. Lau YL, Tam AY, Ng KW, et al. Response of preterm infants to

hepatitis B vaccine. J Pediatr. 1992;121:962-5.

17. Losonsky GA, Wasserman SS, Stephens I, et al. Hepatitis B

vaccination of premature infants: a reassessment of current

recommendations for delayed immunization. Pediatrics. 1999;103:E14.

18. Pichichero ME, Blatter MM, Reisinger KS, et al. Impact of a birth

dose of hepatitis B vaccine on the reactogenicity and immunogenicity of

diphtheria-tetanus-acellular pertussis-hepatitis B-inactivated poliovirus-

Haemophilus influenzae type b combination vaccination. Pediatr Infect

Dis J. 2002;21:854-9.

Page 33: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 27 Manado, 17-19 Maret 2017

MANIFESTASI ALERGI MAKANAN PADA SALURAN CERNA

Wahyu Damayanti

Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta

Pendahuluan

Alergi makanan merupakan reaksi tubuh terhadap makanan tertentu yang

dihantarkan melalui mekanisme imunologik. Pada peristiwa sehari-hari

istilah ini sering digunakan juga untuk berbagai reaksi terhadap makanan,

meskipun reaksinya terjadi secara non-imunologik, contohnya intoleransi

makanan yang berkaitan dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal

terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan.1

Meskipun 25-30% populasi umum percaya bahwa mereka alergi

terhadap makanan namun kemungkinan ini tidak benar. Insidensi alergi

makanan di Amerika Serikat yang dikonfirmasi dengan riwayat dan food

challenges memperkirakan angka prevalensi pada anak 6% dan pada

dewasa 3,5%.2 Alergi makanan juga dilaporkan di negara berkembang

meskipun data yang kuat belum ada.3 Insidensi tertinggi tampak pada usia

1-2 tahun karena kebanyakan alergi makanan didapat pada sekitar usia itu.

Insidensi menurun tajam sampai masa anak akhir kemudian menetap

stabil. Hipotesis untuk peningkatan insidensi pada bayi dan anak awal

adalah karena pertahanan usus yang belum matang, kerusakan mukosa

usus akibat diare dan pengenalan makanan padat yang terlalu dini.

Tugas yang dihadapi oleh dokter anak adalah mengenali gejala klinis

dari alergi makanan dan membedakannya dari spektrum reaksi simpang

terhadap makanan yang non imunologi. Hal ini terkadang sulit di praktek

klinik karena terkadang membutuhkan waktu yang lama antara menelan

makanan dan munculnya gejala serta alat diagnostik kurang adekuat.

Lebih jauh lagi karena tak ada terapi pasti kecuali menghindari alergi

makanan, masalah ini menjadi tantangan yang besar untuk orang tua dan

dokter anak.1

Page 34: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 28 Manado, 17-19 Maret 2017

Terminologi Dan Definisi

Reaksi makanan yang menyimpang adalah respon yang tidak normal

terhadap makanan yang dimakan, tanpa melihat patofisiologinya. Hal ini

terbagi menjadi reaksi simpang toksik dan non toksik. Reaksi toksik

(contohnya keracunan makanan) dapat terjadi pada individu yang menelan

toksin dalam jumlah yang cukup. Reaksi non toksik bersifat lebih individual

dan bisa berupa reaksi imun (alergi/hipersensitivitas) atau reaksi non imun

(intoleransi laktosa, malabsorbsi karbohidrat).

The European Academy of Allergy and Clinical Immunology Task Force

tahun 2001 menyatakan bahwa semua reaksi simpang terhadap makanan

dinamakan hipersensitivitas terhadap makanan, definisinya adalah:

Hipersensitivitas menyebabkan gejala atau tanda obyektif yang timbul

berulang, dicetuskan oleh paparan terhadap stimulus yang pasti dan pada

orang normal dosisnya dapat ditoleransi.

Kondisi ini tidak mencakup respon klasik terhadap infeksi, autoimun

atau reaksi toksik. Ketika mekanisme imunologi dipicu oleh protein

makanan, maka istilah yang tepat digunakan adalah alergi makanan.

Ketika mekanisme imunologi tak terlibat pada reaksi simpang terhadap

bahan-bahan makanan , hal ini disebut dengan istilah idiosinkrasi, atau

respon metabolik (misalnya intoleransi laktosa), reaksi farmakologi

terhadap protein makanan, migrain setelah makan keju yang mengandung

tyramin.

Manifestasi alergi makanan bisa beragam dan mengenai berbagai

sistem organ. Kecuali sebagai organ sasaran, saluran pencernaan juga

berfungsi sebagai pembawa antigen makanan ke organ-organ sasaran

lainnya, seperti kulit, sistem saluran pernafasan. Dalam hal ini kami fokus

pada aspek alergi makanan dan intoleransi yang melibatkan saluran

gastrointestinal.

Patofisiologi Alergi Makanan

Sebagian besar makanan yang ditelan tidak menyebabkan alergi karena

ada mekanisme oral tolerance. Protein makanan dicerna oleh enzim di

saliva dan asam lambung sehingga mengurangi imunogenisitas. Namun

protein dengan berat molekul kurang dari 70Kd, sumber antigen yang

berlebihan, adanya residu glicosilatin, dan protein yang tahan terhadap

Page 35: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 29 Manado, 17-19 Maret 2017

panas atau digesti menyebabkan protein tersebut tetap berpotensi alergi

saat makanan mencapai usus halus.

Pertahanan kompleks gastrointestinal

Pertahanan mukosa gastrointestinal menggunakan pertahanan

fisiologis maupun imunologis untuk mencegah penetrasi protein asing.

Pertahanan fisiologis berupa intestinal epithelial cells (IEC), glicocalik,

membran microvillus intestinal, tight junction yang menghambat penetrasi

antigen dan enzim amilase, asam lambung, pepsin, enzim pankreas dan

usus, lisosim yang memecah antigen yang tertelan. Pertahanan imunologi

terdiri dari antigen spesifik IgA dan Ig G yang menghambat dan

membersihkan penetrasi antigen yang tertelan.

Perjalanan antigen makanan melewati sistem pertahanan tubuh

GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang matang berfungsi

sangat kompleks, berintegrasi dengan jaringan dan sel melakukan tugas

pertahanan. Perkembangan komponen pertahanan usus dan sistem imun

yang belum sempurna mengurangi kemampuan pertahanan kompleks dan

berperan pada tingginya prevalensi alergi makanan yang tampak pada

beberapa tahun pertama kehidupan. Kurang lebih 2% antigen makanan

yang tertelan diabsorbsi dan ditransportasikan sepanjang badan dalam

bentuk antigen imunologis yang utuh dan dikenali walaupun melewati usus

matang yang normal. Meskipun demikian, toleransi adalah respon GALT

yang dominan dan dipertahankan oleh Antigen Presenting Cells (APC),

seperti IEC, sel dendritik dan T sel regulator. Flora komensal usus dan sel

langerhans di mukosa mulut juga berperan penting pada toleransi oral.

Pada bayi dan anak kecil pertahanan fisiologis dan imunologis belum

matang sehingga terjadi peningkatan masuknya antigen makanan dan

GALT tampaknya belum mampu menoleransi antigen dibanding anak lebih

besar dimana sistem pertahanan sudah lebih matang, sehingga alergi

makanan atau hipersensitivitas banyak terjadi selama usia rentan ini.

Reaksi makanan immune-mediated merupakan ciri khas dari alergi

makanan Ig E-mediated (tipe1), ada juga alergi makanan yang melibatkan

baik Ig E dan non-Ig E atau alergi makanan tipe lambat (hipersensitivitas

non Ig- E atau tipe 4). Manifestasi alergi makanan tipe 1 meliputi Oral

Allergy Syndrome (OAS), anafilaksis saluran cerna. Manifestasi alergi

makanan yang melibatkan mixed Ig E dan cell mediated adalah

Page 36: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 30 Manado, 17-19 Maret 2017

eosinophilic gastrointestinal disorders. Manifestasi alergi makanan tipe 4

meliputi dietary protein-induced proctitis/proctocolitis, food protein-induced

enterocolitis syndrome, celiac disease.4

Imunopatogenesis alergi makanan

1. Dengan perantaraan Ig E

Selama respon alergi Ig E mediated, antigen masuk ke mukosa

gastrointestinal. Antigen presenting cells (APC) akan memakan antigen

dan mempresentasikan ke sel Th0. Pada individu atopik proses ini

akan menstimulasi produksi Th2 yang akan menstimulasi sel B untuk

memproduksi Ig E spesifik terhadap protein tersebut. Ini disebut

sensitisasi, jika ada paparan antigen berikutnya, Ig E spesifik antibodi

mengenali epitop atau area tertentu dari protein makanan, dan akan

terjadi ikatan antara protein dan antibodi, sehingga terjadi degranulasi

sel mast dan pelepasan histamin dan mediator lain, yang

menyebabkan peningkatan dilatasi vaskular dan permeabilitas

sehingga terjadi inflamasi.

Pada anak, paparan pertama dapat terjadi di dalam kandungan

atau melewati asi. Paparan berikutnya pada pejamu yang telah

tersensitisasi dapat terjadi reaksi immediated hypersensitivity.

2. Dengan perantaraan non-Ig E mediated (T cell-mediated)

Banyak penelitian berbasis imunologi saluran cerna menunjukkan

bahwa jelas ada keterlibatan T sel (terutama Th1) dan eosinophil

dalam alergi yang diperantarai non Ig E-mediated. Tsel tersensitisasi

pada awal paparan. Pada paparan berikutnya, epitop akan

berkombinasi dengan T sel yang tersensitisasi dan mengeluarkan

sitokin, yang akan menimbulkan inflamasi kronik. Pada banyak kasus,

diperlukan biopsi untuk penegakan diagnosis.

Alergi makanan terhadap makanan tertentu

Makanan yang sering menyebabkan alergi pada bayi meliputi susu sapi,

kacang dan kedelai. Pada anak kecil, makanan yang biasanya

menimbulkan alergi adalah susu sapi, telur, kacang, gandum, kerang. Pada

anak yang lebih besar, alergi terhadap kacang-kacangan, apel, melon, dan

beberapa macam buah lain, wortel mentah dan sayur lainnya semakin

Page 37: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 31 Manado, 17-19 Maret 2017

meningkat.5

Penelitian berbasis populasi pada anak menyatakan bahwa

prevalensi alergi susu sapi sebesar 2,5%, alergi telur 1,5%, dan alergi

kacang 1%.6

Walaupun alergi terhadap makanan-makanan tersebut tidak

berbahaya, tetapi ada rasa tidak enak. Kacang merupakan penyebab syok

anafilaksis, dan dapat berakibat fatal. Maka perlu peringatan makan

makanan alergen, walaupun dalam dosis yang sangat kecil.

Perjalanan alamiah alergi makanan

Alergi makanan pada anak bersifat dinamis dengan adanya resolusi

spontan pada banyak makanan tapi tidak pada semua makanan yang

menyebabkan alergi. Alergi terhadap susu dan telur akan menghilang pada

umur 3 tahun, sedangkan alergi terhadap kacang, ikan laut tidak hilang dan

menetap sampai dewasa.4

Reaksi klinis lebih cepat hilang dibanding

hilangnya Ig E spesifik yang diukur dengan skin prick test atau RAST. Anak

yang pada awalnya hanya alergi terhadap satu macam alergen bisa

berkembang menjadi alergi terhadap yang lain. Proses mengatasi alergi

makanan bervariasi di antara individu dan dengan makanan yang berbeda-

beda. Anak dengan alergi makanan perlu dipantau secara berkala dengan

dilakukan tes untuk menentukan apakah mereka sudah dapat mengatasi

sensitivitas mereka terhadap makanan. Penghindaran makanan yang ketat

dapat membantu dalam berkembangnya toleransi.

Tabel 1. Presentasi klinis alergi gastrointestinal

Disorder Characteristic Symptoms

Oral allergy

syndrome

Caused by sensitisation to

aeroallergen which cross react with

fruit, vegetable

Mild itching, tingling,

angioedema of the lip, tounge,

mouth, throat

Gastrointestinal

anaphylaxis

Quick onset of

nausea/vomiting, abd

pain/cramps, with or without

diarrhea. Skin or resp

symptoms are present

Food protein-

induced

proctocolitis

Common in infancy, usually caused

by cow‘s or soy milk formula or

passed through breasth milk. An 80%

resolve within 72 hr on extensively

hydrolized formula. Tolerant by 1 year

Specks of blood in stool,

occasionally anemic.

Hypoalbuminemia is rare

Page 38: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 32 Manado, 17-19 Maret 2017

Allergic

eosinophilic

esophagitis

Infiltration of esophagus by

eosinophil, papillary elongation,

peripheral eosinophilia; food allergy is

usually non-IgE mediated

GER, vomiting and

dysphagia-children typically

complain of food sticking in

the throat

Allergic

eosinophilic

gastroenteritis

May present in any age group, even

infants. Often present as pyloric

stenosis with outlet obstruction. There

is inflammation of stomach and

intestines in response to milk, soy,

egg. Endoscopy and biopsy are gold

standart.

Food protein-

induced

enterocolitis

Most commonly seen in infants under

3months of age, but may be delayed

in breastfed infants. The term

enterocolitis implies both small and

large bowel involvement

Protracted vomiting and

diarrhea, often getting

dehydrated, sometimes even

hypotension

Diagnosis Alergi makanan dengan manifestasi di gastrointestinal

Riwayat penyakit

Riwayat penyakit tetap merupakan hal paling penting untuk menegakkan

diagnosis alergi makanan. Ciri dari alergi makanan adalah munculnya

gejala yang menetap selama berhubungan dengan makanan, melibatkan

dua atau lebih organ dan ada predisposisi alergi. Gejala akan muncul

setelah kontak dengan makanan yang tidak berbahaya untuk banyak

orang. Mekanisme imunologi terlibat di patogenesis, tidak ada mekanisme

patogenik lain dan lesi atau fungsi abnormal dari usus dapat ditampilkan

Gejala klinis yang ada bila dicurigai alergi makanan:

Gatal di mulut, muntah, diare segera setelah menelan makanan

Mukus/darah di feses bayi

Malabsorpsi/gagal tumbuh

Muntah kronis/diare/disfagia

Gastroesofageal refluk disease/konstipasi kronik yang tidak membaik

dengan terapi khusus

Kolik infantil yang tidak berrespon dengan terapi perilaku

Gejala gastrointestinal pada pasien dengan atopi

Page 39: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 33 Manado, 17-19 Maret 2017

Pemeriksaan laboratorium

1. Uji kulit (skin test). Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara

IgE, maka uji tusuk kulit (skin prick test) merupakan metode yang

berguna untuk menetapkan apakah pasien mempunyai antibodi IgE

terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Anak dengan IgE mediated

alergi makanan hasil test akan positif walaupun hasil negatif palsu

dapat pula terjadi pada anak kurang dari 3 tahun.

2. Antibodi spesifik terhadap makanan tertentu dan RAST (Radio Allergo

Sorbent Test). Alat ini digunakan sebagai indikator sensitivitas dan

pengukuran kuantitative. RAST mempunyai positif palsu yang tinggi

terutama pada bayi muda

3. Test tambahan. Endoskopi dengan biopsi, analisis feses (eritrosit,

leokosit, eosinofil) membantu dalam diagnosis alergi makanan non-IgE

mediated, dan bentuk campuran dari alergi makanan dan untuk

membedakan penyebab lain dari esofagitis, enterocolitis, enteropati

dan colitis

4. Diet eliminasi alergen diagnostik. Begitu suatu makanan tertentu

dicurigai sebagai penyebab alergi makanan, dimulailah suatu diet

eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan dengan

cara ini membutuhkan eksklusi dari alergen-alergen dalam diet

eliminasi. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi,

dalam memastikan diagnosis perlu dilakukan uji tantangan makanan.

Pada alergi makanan yang bermanifestasi di gastrointestinal, diagnosis

akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan

perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu dengan diet eliminasi.6

5. Uji tantangan makanan oral . Uji tantangan makanan oral dapat

dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu jenis makanan

yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji makanan juga

diperlukan dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan

seyogyanya tidak dilakukan apabila terdapat riwayat reaksi alergi

makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan adanya antibodi

terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat

dilakukan secara terbuka, secara pembutaan tunggal, atau secara

pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (double blind placebo food

Page 40: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 34 Manado, 17-19 Maret 2017

control challenge atau DBPFCC). DBPFCC dianggap sebagai baku

emas dalam diagnosis alergi makanan.

Tata laksana

Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang

terbukti paling baik adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang

dicurigai. Dalam memberikan diet eliminasi terapeutik perlu pertimbangan-

pertimbangan yang sama seperti halnya dengan obat, keduanya dapat

menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan

malnutrisi dan atau gangguan-gangguan makanan, terutama bila

menyangkut sejumlah besar makanan dan atau digunakan untuk waktu

yang lama.2

Bayi yang minum asi, ibu diminta tetap meneruskan asi, sementara ibu

menghindari susu dan semua produk susu dari diet mereka. Bayi yang

minum susu formula, bayi diberi susu berbahan dasar ekstensive hidrolisat

formula. Bila gagal bayi diberikan formula berbahan dasar asam amino.

Formula berbahan dasar soya bisa diberikan sebagai alternative pada bayi.

Protokol terapi yang penting adalah mengedukasi orang tua dan anak

untuk selalu membaca label pada makanan baru. Disarankan untuk

menunda mengenalkan makanan baru setiap 5-7 hari. Obat-obatan seperti

H1 dan H2 antihistamin dan glukokortikoid dapat mengurangi gejala pada

alergi makanan namun secara keseluruhan hanya berefek sedikit dan

muncul efek samping yang tak menyenangkan.

Terapi modulasi sistem imun yang baru seperti anti-IL-5 sangat

menjanjikan pada masalah eosinofilia. Terapi baru yang masih dalam

evaluasi berupa non spesifik alergi makanan (meliputi antibodi monoclonal

anti-IgE) dan terapi spesifik (meliputi oral immunotherapy) ditujukan untuk

mereka dengan riwayat anafilaksis berat dan yang tidak bisa mengatasi

alerginya.

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa tatalaksana terkini berdasar

pada penghindaran alergen dan persiapan kondisi emergensi, dan

meningkatkan perbaikan keamanan dan kesejahteraan untuk pasien dan

keluarganya.7

Page 41: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 35 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Alergi makanan banyak terjadi pada anak-anak terutama tahun-tahun

pertama kehidupan dan hanya sebagian kecil pada orang dewasa. Proses

imunologis dan non-imunologis bekerja sendiri maupun bersama-sama

untuk menangani antigen makanan yang masuk ke dalam usus. Di

samping sebagai organ sasaran, saluran pencernaan juga berfungsi

sebagai kendaraan pembawa antigen ke organ-organ di seluruh tubuh.

Saluran pencernaan merupakan organ yang tersering menjadi sasaran, di

samping kulit dan saluran pernapasan. Mekanisme imunopatogenesis

alergi makanan bisa dengan perantaraan IgE mediated atau non-IgE

mediated. Diagnosis alergi makanan dapat ditegakkan berdasar evaluasi

riwayat medis, pemeriksaan klinis, tes kulit, studi laboratorium, endoskopi

dan biopsi, diet eliminasi dan tantangan makanan oral. DBPFCC

merupakan gold standart untuk alergi makanan. Penatalaksanaan utama

alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab.

Daftar Pustaka

1. Srinivas S. Food Allergy. Textbook of Pediatric Gastroenterology

Hepatology and Nutrition. First edition. Jaypee Brothers Medical

Publisher (P) Ltd. New Delhi. 2015;14:218-25.

2. Sampson HA. Food Allergies. Sleisenger and Fordtrans‘s.

Gastrointestinal and liver disease.

Pathophysiology/Diagnosis/Management. Feldman, Friedman and

Brandt (Eds). Elsevier; 2010;1:139-48.

3. L van der Poel, J Chen, M Penagos. Allergy epidemic-Is it only a

western phenomenon? Current Allergy and Clinical Immunology.

2009;22:121-6.

4. Sampson HA, Leung DYM. Adverse reactions to foods. Nelson text

book of pediatrics. 19 th edition. Elsevier. Kliegman, Stanton, St.

Geme, Schor and Behrman (Eds). Philadelphia, 2011;pp:820-24

5. Bjorksten B., Dietary Management. In: International Seminar in

Paediatric Gastroenterology and Nutrition, Vol1,2nd, June 1992

6. Hill D, Hasking CS. Clinical Management: Food allergy in Paediatric

Clinical Practice. In: KM Hendricks, W Allan Walker eds. International

Page 42: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Wahyu Damayanti

KONAS VII PGHNAI 36 Manado, 17-19 Maret 2017

Seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Decker

Periodicals Inc. 1992:2-7.

7. Koletzko S, et al. European Society of Pediatric Gastroenterology,

Hepatology, and Nutrition. Diagnostic approach and management of

cow‘s-milk protein allergy in infants and children: ESPGHAN GI

Committee practical guidelines. J Pediatr Gastroenterol Nutr.

2012;55(2):221-9.

Page 43: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 37 Manado, 17-19 Maret 2017

TERAPI REHIDRASI PADA DIARE CAIR AKUT

Alpha Fardah Athiyyah

Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Pendahuluan

Dehidrasi merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami kekurangan

cairan. Leksana menyebutkan bahwa dehidrasi didefinisikan sebagai suatu

kondisi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh1. Anak-anak merupakan

golongan yang rentan terhadap dehidrasi. Bayi dan anak (terutama balita)

lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi air tubuh lebih banyak,

fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada orang lain untuk

memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat badan

juga relatif lebih besar2. Dehidrasi merupakan salah satu faktor utama

pembunuh anak-anak di dunia. Hal ini juga ditegaskan oleh Powers yang

menyebutkan bahwa penyakit diare dan dehidrasi menyumbang angka

persentasi kematian bayi dan balita di dunia sebanyak 14% - 30%3.

Dehidrasi pada anak terutama banyak disebabkan oleh penyakit

diare. Penyakit yang banyak dihubungkan dengan dehidrasi pada

kelompok anak-anak adalah infeksi diare yang disebabkan oleh virus atau

bakteri4. Selain itu, dehidrasi juga dapat terjadi karena peningkatan

kebutuhan cairan tubuh, seperti demam, suhu lingkungan yang tinggi, dan

aktivitas ekstrim1.

Dehidrasi merupakan komplikasi utama yang terjadi pada anak yang

mengalami diare. Banyak dampak yang dapat terjadi karena infeksi saluran

cerna antara lain : pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan

sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi,

gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam

basa5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kalkuta, India, didapatkan

382 kematian dari 2536 subyek dengan diare, dimana 20 pasien meninggal

dalam waktu 24 jam, 7 dalam waktu 25-48 jam dan 5 pasien meninggal

setelah 2 hari perawatan di rumah sakit6. Laporan Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan

Page 44: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 38 Manado, 17-19 Maret 2017

penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita

(25,2%). Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi

pada anak balita (1-4 tahun), yaitu 16,7%7. Finberg menyebutkan bahwa

apabila anak mengalami gizi buruk, maka diare dengan dehidrasi adalah

penyebab utama kematian di dunia, terutama di daerah dimana kemiskinan

dan rendahnya higienitas merupakan hal yang lazim4.

Tingginya angka kematian pada anak yang disebabkan oleh dehidrasi

yang merupakan komorbiditas dari penyakit diare menunjukkan perlunya

untuk mengetahui secara tepat penanganan dehidrasi pada anak.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang disebabkan oleh

dehidrasi harus segera diterapi untuk mengembalikan keseimbangan

cairan dan elektrolit tubuh1. Manajemen terapi pada anak dengan dehidrasi

adalah memberikan terapi rehidrasi. Terapi rehidrasi yang tepat merupakan

ujung tombak keberhasilan tatalaksana dehidrasi pada anak, sehingga

perlu diketahui bagaimana memberikan terapi rehidrasi yang benar dan

tepat.

KOMPOSISI CAIRAN TUBUH ANAK

Gambar 1. Komposisi Cairan Tubuh Manusia4,8

Page 45: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 39 Manado, 17-19 Maret 2017

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Seluruh cairan tubuh

didistribusikan di antara dua kompartemen utama : cairan ekstraseluler

(ECF) dan cairan intraseluler (ICF)9. Massa bebas lemak atau ―lean body

mass‖ (LBM) manusia terdiri dari air sebanyak 70%, dimana 25% dari LBM

pada anak-anak merupakan ECF dan 45% merupakan cairan ICF.

Kompartemen ECF dan ICF selalu dipisahkan, selain oleh permeabilitas

bebas dari air dan ion Na+ and Cl- melalui proses pengeluaran natrium dari

sel yang bergantung pada energi dan obligat fosfat, juga oleh protein

bermuatan negatif di dalam sel. Dari usia 12 sampai 18 bulan hingga

sekitar usia 5 tahun, proporsi cairan tubuh anak berangsur berubah

menjadi ECF sebanyak 20% dan ICF sebanyak 50%. Maka kesempurnaan

komposisi untuk komponen cairan tubuh menjadi lengkap kurang lebih di

usia 5 tahun. Untuk di awal usia 6 sampai 12 bulan setelah lahir dan untuk

semua pasien gizi buruk, LBM dan berat badan (BB) dapat dianggap sama,

dengan kadar air 70% dari BB. Pada anak dengan usia lebih tua dan gizi

yang terpenuhi, sekitar 10% dari BB adalah lemak, membuat kadar air

menjadi 60% dari BB total4.

Pada kondisi diare, dimana tubuh anak mengalami dehidrasi, terjadi

perubahan volume cairan. Pada dehidrasi, hilangnya cairan kebanyakan

terjadi di ECF10

. ECF terdiri dari 3 komponen cairan yaitu cairan

intravaskular (IVF), cairan interstisial (ISF), dan plasma. Kehilangan cairan

ECF yang mendadak, seperti yang terjadi pada diare, diikuti dengan

penurunan yang bermakna pada volume ECF, terutama pada bagian ISF11

.

Hal ini biasanya dialami pada kondisi dehidrasi ringan sedang. Sedangkan

pada dehidrasi berat, dimana kehilangan cairan terus terjadi akibat BAB

cair dalam jumlah banyak dan disertai kurangnya cairan pengganti, maka

akan menyebabkan kondisi tubuh menjadi hipertonis. Kondisi hipertonis

akan menyebabkan air berpindah dari ICF ke ECF 11

.

TANDA KLINIS DEHIDRASI DAN KLASIFIKASI DEHIDRASI

Dehidrasi sebagai akibat sekunder dari gastroenteritis masih tetap menjadi

penyebab utama morbiditas dan mortalitas12

. Dalam memberikan

pengobatan yang sesuai untuk dehidrasi pada anak dengan gastroenteritis,

utamanya para tenaga medis harus bisa mengidentifikasi secara akurat

keparahan dari dehidrasinya13

. Oleh karena itu, tanda klinis dehidrasi yang

Page 46: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 40 Manado, 17-19 Maret 2017

akurat sangat penting untuk mendeteksi dehidrasi dan untuk mengelola

pasien secara tepat14

.

Dari tanda klinis, kita bisa menentukan derajat keparahan dehidrasi

pada anak. Pada anak yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih cepat terlihat

dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih rendah. Menentukan

derajat dehidrasi pada anak juga dapat menggunakan skor WHO, dengan

penilaian keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor (tabel 1)15

.

Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Derajat Keparahannya16

KLASIFIKASI TANDA KLINIS

Dehidrasi Berat Terdapat 2 atau lebih dari tanda klinis berikut :

- Letargis (mengantuk) atau tidak sadar

- Mata cowong

- Tidak bisa minum atau malas minum

- Turgor kulit perut kembali sangat lambat (≥ 2

detik)

Dehidrasi Ringan

Sedang

Terdapat 2 atau lebih dari tanda klinis berikut :

- Gelisah, rewel

- Mata cowong

- Tampak haus, minum banyak

- Turgor kulit kembali lambat

Non-Dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda untuk mengklasifikasikan

sebagai dehidrasi ringan sedang atau berat

Namun, Powers menyebutkan bahwa dehidrasi secara umum

diklasifikasikan menjadi ringan (3%-5% cairan hilang), sedang (6%-9%

cairan hilang), atau berat (≥10% cairan hilang)3. Hal ini sedikit berbeda dari

klasifikasi dehidrasi yang dibuat WHO. Dalam klasifikasi ini disebutkan

beberapa tanda klinis lain yang dapat digunakan sebagai prediktor derajat

keparahan dehidrasi pada anak. Sebuah studi systematic review mengenai

keakuratan dari prediksi secara klinis, setidaknya 5% dehidrasi pada anak

didapatkan pemanjangan waktu pengisian kapiler (CRT), turgor kulit yang

tidak normal, serta pola nafas yang tidak normal merupakan prediktor yang

baik (tabel 2)17

.

Page 47: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 41 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Tanda Klinis Dehidrasi pada Anak3

TANDA

KLINIS

RINGAN

(3%-5%)

SEDANG

(6%-9%)

BERAT

(≥10%)

Tanda

Sistemik

Rasa haus

meningkat

Rewel Letargis (mengantuk)

Produksi

Urine

Berkurang Berkurang

(< 1 ml/kg/jam)

Sangat berkurang

(oliguria/anuria)

Membran

Mukosa

Lengket Kering Sangat kering

Turgor Kulit Normal Kembali lambat Kembali sangat lambat

CRT Normal Lambat Sangat lambat

Suhu Kulit Normal Dingin Dingin dan basah

Fontanela

Anterior

Normal Cekung Sangat cekung

Nadi Normal Cepat Sangat cepat atau sangat

lemah

Tekanan

Darah

Normal Normal ke rendah Rendah

Pola

Respirasi

Normal Dalam, bisa

meningkat

Dalam dan meningkat atau

menurun sampai hilang

Dehidrasi juga dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe berdasarkan

jumlah kehilangan cairan dan elektrolit. Berdasarkan perbandingan jumlah

natrium dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga

tipe yaitu dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik, dan dehidrasi hipotonik.

Berikut ini adalah tipe dehidrasi3:

1. Dehidrasi isotonik (isonatremik).

Tipe ini merupakan yang paling sering (80%) dan memiliki prognosa

yang paling baik. Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding

dengan jumlah natrium yang hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan

cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar natrium

dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas

efektif serum 275-295 mOsm/L.

2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik).

Natrium hilang yang lebih banyak daripada air. Penderita dehidrasi

hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari

Page 48: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 42 Manado, 17-19 Maret 2017

135 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mOsml/L).

Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang

ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler.

3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik).

Hilangnya air lebih banyak daripada natrium. Dehidrasi hipertonik

ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/L)

dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L).

Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi pergeseran air dari ruang

ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk mengkompensasi, sel

akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol) yang akan menarik air

kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat

terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia,

peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut.

PENYULIT DEHIDRASI

Akibat dari dehidrasi bila tidak ditangani dengan segera, menyebabkan

gangguan pada fungsi fisiologis tubuh. Gangguan fisiologis tubuh yang

dapat terjadi antara lain :

A. KETIDAKSEIMBANGAN ELEKTROLIT

Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah

yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya

elektrolit2,18

. Hilangnya elektrolit menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan yang juga dikenal dengan ketidakseimbangan

osmolalitas. Ketidakseimbangan osmolalitas melibatkan zat terlarut

dalam cairan-cairan tubuh11

.

Natrium merupakan zat terlarut utama yang sering terganggu pada

kondisi dehidrasi. Ketika dehidrasi terjadi akibat diare, mekanisme

homeostasis biasanya ikut menyesuaikan dimana kebutuhan fisiologis

akan air dan natrium klorida berkurang, sehingga dengan begitu

konsentrasi natrium dalam serum dipertahankan dalam kisaran normal.

Bila diikuti dengan muntah, maka asupan air menjadi terbatas,

mengakibatkan hilangnya air lebih banyak dari hilangnya garam dan

menimbulkan hipernatremia. Ketika hilangnya air dan garam sangat

banyak melalui feses masih terjadi dan asupan hanya air, maka

Page 49: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 43 Manado, 17-19 Maret 2017

hilangnya garam menonjol menimbulakn kondisi hiponatremia4.

Hiponatremia berat dapat memicu kejang hebat2.

Selain natrium, kalium juga terganggu. Pada diare, biasanya kadar

kalium menurun karena hilang bersama dengan feses3. Kehilangan

feses dalam jumlah banyak mengakibatkan berkurangnya volume ECF,

asidosis metabolik dan penurunan kalium. Kekurangan kalium sulit

dinilai karena asidosis menyebabkan K+ keluar dari sel, sehingga

meningkatkan kadar K+ dalam serum dan mengaburkan kekurangan

yang sebenarnya dari kalium tubuh total11

. Konsentrasi kalium harus

dipantau dan dicukupi kebutuhannya untuk menghindari aritmia jantung

dan juga ileus fungsional3.

B. KETIDAKSEIMBANGAN ASAM-BASA

Anak-anak yang mengalami dehidrasi cenderung sering mengalami

asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang terjadi biasanya

disebabkan oleh menurunnya kadar bikarbonat bersamaan dengan

keluarnya feses akibat diare. Hal ini lazim terjadi pada diare dengan

dehidrasi berat, dimana hilangnya cairan yang sangat banyak

melemahkan kemampuan ginjal untuk ekskresi dalam rangka

mempertahankan keseimbangan asam-basa19

. Semakin banyak cairan

yang hilang, diare bisa menyebabkan penurunan ECF yang bermakna,

menurunkan GFR, dan membatasi kemampuan ginjal untuk

memperbaiki gangguan yang terjadi. Jika perfusi ginjal menurun,

ekskresi asam oleh ginjal menjadi terganggu3. Bila diare berat, asidosis

laktat dapat terjadi sebagai akibat dari hipoperfusi19,20,21

.

TERAPI REHIDRASI PADA DIARE

Setelah mengetahui cara menentukan derajat dehidrasi, maka hal

selanjutnya yang penting dilakukan adalah melakukan koreksi pada

dehidrasi. Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah

mengganti cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit,

sehingga keseimbangan hemodinamik kembali tercapai dengan terapi

rehidrasi. Tujuan utama terapi rehidrasi adalah mengetahui derajat dan tipe

dari dehidrasi dan untuk mengembalikan defisit air dan elektrolit dengan

menyesuaikan kebutuhan rumatan dan menggantikan kehilangan cairan

Page 50: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 44 Manado, 17-19 Maret 2017

yang sedang berjalan3. Berikut adalah terapi-terapi rehidrasi yang dapat

diberikan pada anak yang mengalami dehidrasi akibat diare :

A. TERAPI REHIDRASI ORAL (ORT)

Ketika terjadi diare, tidak hanya air saja yang hilang, tetapi elektrolit

juga hilang bersamaan dengan keluarnya tinja. Untuk mengganti cairan

dan elektrolit yang hilang bisa menggunakan terapi rehidrasi oral

(ORT). Guideline terbaru dalam tatalaksana diare merekomendasikan

penggunaan ORT ini, terutama dalam penanganan dehidrasi ringan

sedang. Maka dari itu, ORT dengan menggunakan oral rehydration

solution (ORS) atau yang lebih dikenal dengan oralit diberikan untuk

mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang hilang saat diare22

.

Namun, pemberiannya sering diabaikan saat di Rumah Sakit maupun

Instalasi Gawat Darurat. Dalam sebuah penelitian RCT oleh Atherly-

John dan kawan-kawan menyebutkan bahwa penggunaan ORT di unit

gawat darurat anak di negara berpenghasilan besar berakibat secara

bermakna pada penurunan biaya, pemendekan waktu di unit gawat

darurat, dan lebih menguntungkan bagi para pengasuh dengan terapi

ini 23,24

. Meskipun diare tetap berlangsung, air masih bisa diserap oleh

usus. Bukti-bukti tersebut yang mendukung tatalaksana praktis yang

merekomendasikan ORT sebagai pilihan pertama dari tatalaksana

dehidrasi pada anak sebagai akibat sekunder dari gastroenteritis24

.

Penemuan inilah yang mengarahkan ke perkembangan ORS oleh

WHO, yang disebutkan sebagai ―kemajuan medis yang berpotensial

terpenting abad ini‖ 3,25

.

Formula asli oralit yang diracik WHO dan UNICEF (WHO-ORS)

memiliki osmolalitas dan kadar natrium yang sama tinggi. Namun, pada

tahun 2002, rekomendasi tersebut diperbaharui dengan kadar natrium

dan osmolalitas yang lebih rendah, sehingga menurunkan frekuensi

BAB dan insiden hipernatremia3. Penelitan menunjukkan bahwa oralit

formula baru mampu mengurangi volume tinja hingga 25%,

mengurangi mual-muntah hingga 30%, dan mengurangi secara

bermakna pemberian cairan melalui intravena22

. Formula oralit baru

juga mengurangi keluhan mual muntah pada pemberian oralit. Rupani

dan kawan-kawan menyebutkan ORS dengan osmolalitas yang rendah

menurunkan volume tinja secara bermakna dibandingkan WHO-ORS

Page 51: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 45 Manado, 17-19 Maret 2017

biasa (pooled standardized mean difference -0.44, 95% CI -0.72 to -

0.15)26

. Dalam studi meta-analisisnya didapatkan ORS osmolalitas

rendah dibandingkan WHO-ORS biasa dihubungkan dengan

penurunan pemberian infus yang tidak diperlukan (Odds Ratio 0.62,

95% CI 0.47 to 0.83)26

. Pada lima percobaan klinis dilakukan meta-

analisis pada kejadian muntah didapatkan bahwa anak yang mendapat

ORS osmolalitas rendah cenderung tidak mengalami muntah

dibandingkan anak yang mendapat WHO-ORS biasa (Odds Ratio 0.74,

95% CI 0.57 to 0.97)26

.

Tabel 3. Perbedaan Komposisi Elektrolit pada Oralit Lama dan Oralit Baru22

No. ORALIT LAMA

(WHO/UNICEF 1978)

ORALIT BARU

(WHO/UNICEF 2004)

Dengan Osmolaritas

1.

2.

3.

4.

5.

Na+ : 90 mEq/l

K+ : 20 mEq/l

HCO3 : 30 mEq/l

Cl- : 80 mEq/l

Glucose : 111 mmol/l

Na+ : 75 mEq/l

K+ : 20 mEq/l

Citrate : 10 mmol/l

Cl- : 65 mEq/l

Glucose : 75 mmol/l

Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l

Beberapa jenis minuman juga digunakan sebagai terapi rehidrasi, tapi

penggunaannya tidak tepat sebagai terapi rehidrasi karena minuman-

minuman tersebut tidak mengandung kadar natrium dan rasio glukosa

yang tepat untuk mendorong penyerapan garam dan air di sepanjang

lumen usus. Campuran garam dan glukosa yang terkandung dalam

oralit dapat diserap dengan baik oleh usus penderita diare22

.

Page 52: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 46 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 4. Komposisi ORS dan Beberapa Minuman yang Sering Digunakan

sebagai Terapi Rehidrasi3

CAIRAN/

MINUMAN

KARBOHIDRAT

(g/L)

NATRIUM

(mEq/L

[mmol/L]

KALIUM

(mEq/L

[mmol/L]

)

BASA

(mEq/L

[mmol/L])

OSMOLARITAS

(mOsm/kg

[mmol/kg])

Pedialyte 25 45 20 30 250

Enfalyte 30 50 25 30 200

CeraLyte 40 70 20 10 235

WHO (2002) 135 75 20 30 245

TIDAK TEPAT UNTUK REHIDRASI

Gatorade 45 20 3 3 280-360

POWERADE 58 10 3 1 403

Jus Apel 100-150 3 20 0 700

The 0 0 0 0 5

Ginger ale 90 3.5 0.1 3.6 565

Cola 100-150 2 0.1 13 550

Kaldu Ayam 0 250 5 0 450

ORS dapat diberikan pada dehidrasi isonatremik dengan derajat ringan

sampai sedang. Selama anak masih bisa dan mau minum, lebih baik

diberikan ORS. Pemberiannya mudah dan dapat dilakukan di rumah,

sehingga biaya pengobatan lebih terjangkau. Cara pemberiannya

dengan melarutkan 1 bungkus Oralit dilarutkan dalam satu gelas air

matang (200 ml). Sebaiknya oralit tidak diminum secara langsung

dihabiskan. Untuk anak < 2 tahun, diminumkan satu sendok teh tiap 1-2

menit dan untuk anak yang lebih besar bisa menggunakan cangkir teguk

demi teguk16

. Jika anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan lagi lebih

lambat27

.

Tabel 5. Pemberian Oralit pada Dehidrasi Ringan/Sedang27

UMUR Sampai 4

bulan

4-12

bulan

12 - 24

bulan

2 – 5

tahun

Berat Badan <6 kg 6 – 10 kg 10 – 12 kg 12 – 19 kg

Jumlah Cairan

Oralit*

200-400 400-700 700-900 900-1400

*Oralit diberikan dalam periode 3 jam pertama

*Jumlah oralit yang diberikan 75 ml/kg berat badan

Page 53: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 47 Manado, 17-19 Maret 2017

Pemberian oralit dirasa banyak memberikan keuntungan bagi pasien

dibandingkan dengan terapi intravena (IVT). Nager dan Wang

menyebutkan bahwa pemberian ORT melalui sonde lebih tidak invasif

dibandingkan dengan IVT, serta biayanya lebih murah dan sama-sama

bisa diberikan segera seperti IV28

. Ketika memberikan terapi untuk

dehidrasi pada anak yang mengalami gastroenteritis, IVT memberikan

sedikit keuntungan dari rehidrasi oral atau nasogastrik. Tidak ada bukti

penelitian yang mendukung penggunaan IVT berlanjut sebagai lini

pertama dalam tatalaksana kasus gastroenteritis pada anak24

. Selain itu,

dibandingkan anak yang mendapat terapi rehidrasi IV, anak yang

mendapat rehidrasi oral secara bermakna mengalami lebih sedikit efek

samping, termasuk kematian dan kejang (relative risk, 0.36; 95%

confidence interval [CI], 0.14-0.89)29

. Phlebitis secara bermakna terjadi

lebih sering pada IVT (number needed to treat [NNT] 33; 95% CI:

25,100), tetapi pada pemberian ORT kejadian ileus paralitik lebih sering

terjadi (NNT 33; 95% CI: 20,100). Penurunan masa perawatan di RS

yang bermakna (mean, 21 hours; 95% CI, 8-35 hours) juga terjadi pada

pemberian ORT. Dalam studi meta-analisis yang dilakukan Bellemare,

masa perawatan pada grup ORT secara bermakna lebih pendek

(weighted mean difference [WMD] -1.2 days; 95% CI: -2.4,-0.02)24

.

ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition Children)

Anak dengan gizi buruk sangat rentan mengalami diare. Diare pada

anak gizi buruk memiliki derajat keparahan yang lebih besar dan

meningkatkan risiko kematian 8-9 kali dibandingkan dengan anak

gizi baik30,31,32

. Anak gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan

memiliki kadar natrium yang sangat tinggi33

. Akibat kondisi adaptasi

dari malnutrisi ini, timbul pertimbangan bahwa ORS yang

mengandung kadar natrium yang tinggi dapat meningkatkan kadar

natrium intraseluler dan risiko kelebihan cairan serta gagal jantung 32

,33

.

WHO merekomendasikan ORS yang berbeda yaitu ReSoMal

(rehydration solution for malnourished children) untuk terapi rehidrasi

pada anak gizi buruk. ReSoMal ini mengandung kadar natrium yang

lebih rendah dan kadar kalium yang lebih tinggi daripada oralit WHO

Page 54: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 48 Manado, 17-19 Maret 2017

(WHO-ORS) untuk anak gizi baik. Komposisi ReSoMal adalah 37.5

mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter27

. Sayangnya di

Indonesia larutan ReSoMal ini belum tersedia dalam bentuk instan

seperti oralit. Namun, ReSoMal dapat dibuat dari modifikasi WHO-

ORS dengan tambahan gula dan larutan mineral mix (tabel 6).

Larutan mineral mix dibuat dari bubuk mineral mix yang dilarutkan

terlebih dahulu dalam air matang sebanyak 20 ml.

Tabel 6. Resep ReSoMal27

BAHAN JUMLAH

Oralit WHO 1 sachet (200 ml)

Gula Pasir 10 g

Larutan mineral mix* 8 ml

Ditambahkan air sampai menjadi 400 ml

*Bila bubuk mineral mix tidak tersedia dapat diganti dengan bubuk KCl 0,8 g.

Kebutuhan ReSoMal untuk mengembalikan hidrasi ke kondisi normal

sekitar 70-100ml/kg berat badan33

. Beri ReSoMal, secara oral atau

melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika melakukan

rehidrasi pada anak dengan gizi baik27

:

- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama

- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-

seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama

10 jam

B. TERAPI INTRAVENA (INFUS)

Dehidrasi berat harus diterapi dengan cairan intravena (IV) sampai

pasien stabil (dengan kata lain volume sirkulasi darah kembali

pulih)10

. Semua anak yang mengalami dehidrasi berat dan dalam

kondisi syok atau mendekati syok membutuhkan terapi IV dengan

cepat dan adekuat. Dalam tatalaksana diare, studi klinis sangat

menekankan pemberian ORT; tetapi klinisi harus tahu kapan dan

bagaimana cara memberi terapi IV, yang menyokong peran penting

dalam tatalaksana diare pada anak13

. Cairan IV dibutuhkan pada

kasus seperti34

:

Page 55: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 49 Manado, 17-19 Maret 2017

- Syok

- Dehidrasi dengan perubahan status mental atau asidosis berat

- Perburukan dari dehidrasi atau kurangnya perbaikan meski dengan

pemberian terapi rehidrasi oral atau enteral

- Muntah persisten meski dengan pemberian cairan yang tepat

secara oral atau melalui NG tube

- Distensi abdomen yang berat dan ileus

Cairan IV harus segera diberikan pada anak yang mengalami

dehidrasi berat. Bila anak masih bisa minum, dapat diberikan ORT

terlebih dahulu selagi persiapan pemasangan infus. Cairan IV yang

digunakan sebaiknya cairan kristaloid seperti Ringer Laktat atau

normal saline (NaCl 0.9%). Terapi harus diulang sesuai kebutuhan

dengan memonitor kekuatan denyut nadi pasien, CRT, status mental,

dan produksi urin10

. Berdasarkan guideline WHO dalam tatalaksana

diare akut dehidrasi berat, berikan cairan IV 100 ml/kg yang terbagi

dalam16

:

Tabel 7. Pemberian Cairan Intravena bagi Anak dengan Dehidrasi Berat

UMUR Pemberian Awal

30 ml/kg selama :

Pemberian Berikutnya

70 ml/kg selama :

Bayi

(dibawah umur 12 bulan)

1 jam* 5 jam

Anak

(12 bulan sampai 5 tahun)

30 menit* 2 ½ jam

*Ulangi kembali bila denyut nadi masih teraba lemah

Daftar Pustaka

1. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. CDK-228. 2015;42(5):391–4.

2. Leksana E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. CDK-224.

2015;42(1):70–3.

3. Powers KS. Dehydration: Isonatremic, Hyponatremic, and

Hypernatremic Recognition and Management. Pediatr Rev.

2015;36(7):274–83.

4. Finberg L. Dehydration in Infancy and Childhood. Pediatr Rev.

2002;23(8):277–81.

Page 56: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 50 Manado, 17-19 Maret 2017

5. Sudarmo SM, Ranuh R, Djupri L, Soeparto P. Managemen Diare Pada

Bayi Dan Anak. Div Gastroenterol Lab/SMF Ilmu Kesehat Anak FK

Unair / RSU Dr Soetomo Surabaya. 2010;

6. Nair GB, Ramamurthy T, Bhattacharya MK, Krishnan T, Ganguly S,

Saha DR, et al. Emerging trends in the etiology of enteric pathogens as

evidenced from an active surveillance of hospitalized diarrhoeal

patients in Kolkata, India. Gut Pathog. 2010;2(4).

7. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2014.

Yudianto, Budijanti D, Hardhana B, Soenardi TA, editors. Vol. 51,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 40.

8. Jéquier E, Constant F. Water as an essential nutrient: the physiological

basis of hydration. Eur J Clin Nutr. 2010;64:115–23.

9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Setiawan

I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. 1428.

10. Canavan A, Arant BS. Diagnosis and management of dehydration in

children. Am Fam Physician. 2009;80(7):692–6.

11. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses

penyakit. 4th ed. Jakarta: EGC; 1995. 302-322.

12. Friedman JN, Goldman RD, Srivastava R, Parkin PC. Development of

a clinical dehydration scale for use in children between 1 and 36

months of age. J Pediatr. 2004 Aug;145(2):201–7.

13. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: The

Management of Acute Gastroenteritis in Young Children. Pediatrics.

1996;97:424–35.

14. Al Sabbagh M. The Accuracy of Clinical Signs in Detecting Dehydration

in Children. Middle East J Fam Med. 2013;11(8):28–35.

15. Pringle K, Shah SP, Umulisa I, Mark Munyaneza RB, Marie

Dushimiyimana J, Stegmann K, et al. Comparing the accuracy of the

three popular clinical dehydration scales in children with diarrhea. Int J

Emerg Med. 2011;4(58):1–6.

16. World Health Organization. Pocket Book of Hospital Care for Children :

Guidelines for The Management of Common Childhood Illnesses. 2nd

ed. Geneva: World Health Organization; 2013.

17. Steiner MJ, Dewalt DA, Byerley JS. Is This Child Dehydrated? J Am

Page 57: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 51 Manado, 17-19 Maret 2017

Med Assoc. 2004;291(22):2746–54.

18. Thomas DR, Cote TR, Lawhorne L, Levenson SA, Rubenstein LZ,

Smith DA, et al. Understanding Clinical Dehydration and Its Treatment.

J Am Med Dir Assoc. 2008;9:292–301.

19. Gennari FJ, Weise WJ. Acid-base disturbances in gastrointestinal

disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3(6):1861–8.

20. Wesson D, Laski M. Hyperchloremic Metabolic Acidosis Due to

Intestinal Losses and Other Nonrenal Causes. In: Acid-Base Disorders

and Their Treatment. CRC Press; 2005:487–99.

21. Gennari FJ, Adrogué HJ, Galla JH, Madias NE. Acid–Base Disorders

and Their Treatment. N Engl J Med. 2005;353(23):2520–1.

22. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Petugas Kesehatan : Lintas

Diare. Jakarta; 2011:1-40.

23. Atherly-John YC, Cunningham SJ, Crain EF. A randomized trial of oral

vs intravenous rehydration in a pediatric emergency department. Arch

Pediatr Adolesc Med. 2002;156(12):1240–3.

24. Bellemare S, Hartling L, Wiebe N, Russell K, Craig WR, Mcconnell D,

et al. Oral rehydration versus intravenous therapy for treating

dehydration due to gastroenteritis in children: a meta-analysis of

randomised controlled trials. BMC Med. 2004;2(2).

25. Water with sugar and salt. Lancet (London, England). 1978 Aug

5;2(8084):300–1.

26. Rupani MP, Gaonkar NT, Bhatt GS. Low osmolar oral rehydration

solution (ORS) for treating diarrhea in children: A systematic review

and meta-analysis. Online J Heal Allied Sci. 2015;14(3):1–6.

27. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta;

2009. 406 p.

28. Nager AL, Wang VJ. Comparison of Nasogastric and Intravenous

Methods of Rehydration in Pediatric Patients With Acute Dehydration.

Pediatrics. 2002;109(4):566-72.

29. Fonseca BK, Holdgate A, Craig JC. Enteral vs Intravenous Rehydration

Therapy for Children With Gastroenteritis A Meta-analysis of

Randomized Controlled Trials. Arch Pediatr Adolesc Med.

2004;158:483–90.

30. Ahmed T, Ali M, Ullah MM, Choudhury IA, Haque ME, Salam MA, et al.

Page 58: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Alpha Fardah Athiyyah

KONAS VII PGHNAI 52 Manado, 17-19 Maret 2017

Mortality in severely malnourished children with diarrhoea and use of a

standardised management protocol. Lancet. 1999

Jun;353(9168):1919–22.

31. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children

dying every year? Lancet. 2003;361:2226–34.

32. Kumar R, Kumar P, Aneja S, Kumar V, Rehan HS. Safety and Efficacy

of Low-osmolarity ORS vs. Modified Rehydration Solution for

Malnourished Children for Treatment of Children with Severe Acute

Malnutrition and Diarrhea: A Randomized Controlled Trial. J Trop

Pediatr. 2015 Aug 27;61(6):435-41.

33. World Health Organization. Management Of Severe Malnutrition: A

Manual For Physicians And Other Senior Health Workers. Geneva;

1999:60.

34. Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Lo Vecchio A, Shamir R,

Szajewska H, et al. European Society for Pediatric Gastroenterology,

Hepatology, and Nutrition/European Society for Pediatric Infectious

Diseases evidence-based guidelines for the management of acute

gastroenteritis in children in Europe: update 2014. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2014;59(1):132–52.

Page 59: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 53 Manado, 17-19 Maret 2017

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA DISENTRI PADA ANAK

Yusri Dianne Jurnalis

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP dr. M. Djamil Padang

Pendahuluan

Disentri merupakan peradangan yang terjadi pada usus yang disebabkan

oleh infeksi bakteri atau amuba, dengan gejala terjadinya diare yang

mengandung lendir dan darah.1

Di negara berkembang, diare merupakan

salah satu penyebab kesakitan dan kematian terutama pada anak usia

dibawah 5 tahun.2 Di Indonesia, diperkirakan 60 juta kasus diare setiap

tahun dengan 70-80% penderita berusia dibawah 5 tahun, 15%

diantaranya menderita diare berdarah.3,4

Pfeiffer et al melaporkan dari 44

studi pada tahun 2012 ditemukan 36% Shigella spp dan 47,7% Entamoeba

histolytica dari semua kasus diare anak di negara berkembang.5

Penularan disentri dipengaruhi faktor higiene dan sanitasi, tingkat

sosial ekonomi dan kebiasaan. Penularan dapat langsung ataupun melalui

faktor pembawa seperti lalat. Penyakit ini dapat mewabah pada

pemukiman padat penduduk dengan sanitasi rendah.1, 2

Diagnosis yang tepat dan tata laksana yang sesuai sangat

mempengaruhi prognosis dan komplikasi. Diagnosis disentri ditegakkan

atas dasar gejala klinis, didukung dengan pemeriksaan fisik dan

penunjang. Mikroba penyebab dapat diidentifikasi melalui analisis dan

biakan tinja. Tata laksana umum bersifat suportif seperti tata laksana diare

pada umumnya, sedangkan tata laksana spesifik menggunakan

antimikroba empiris dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil

pemeriksaan penunjang.2

Etiologi

Disentri berdasarkan penyebabnya dikelompokan menjadi disentri basiler

(disebut juga : shigellosis) yang disebabkan oleh Shigella spp, Salmonella

spp, enteroinvasif Escherichia coli (EIEC), Campylobacter jejuni dan

disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.5,6

Penyebab

Page 60: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 54 Manado, 17-19 Maret 2017

tersering diare berdarah adalah Shigella spp yang merupakan basil Gram

negatif fakultatif anaerob dengan pH pertumbuhan 6,4-7,8 dan suhu

optimum 370C. Serogrup Shigella spp yang sering menyebabkan diare

yaitu Shigella flexneri, Shigella dysenteriae, Shigella boydii dan Shigella

sonnei. Yang sering ditemukan di daerah tropis adalah Shigella flexneri

dan Shigella dysenteriae.7,8

Patogenesis

Penularan disentri terjadi secara fekal-oral melalui makanan dan minuman

yang terkontaminasi, melalui tangan, serta peralatan makan yang tidak

dibersihkan dengan baik dan benar, dan penularan langsung dari orang ke

orang. Keadaan ini biasanya terjadi di daerah yang memiliki tingkat sanitasi

buruk.8

Patogenesis terjadinya diare pada Shigella spp menyerupai diare

yang disebabkan oleh enteroinvasif Escherichia coli (EIEC). Kolonisasi di

ileum terminal atau kolon (terutama kolon distal), kemudian menginvasi sel

epitel mukosa usus dan bereplikasi,sehingga memicu terjadinya infiltrasi

sel PMN dan nekrosis sel epitel mukosa yang kemudian membentuk ulkus-

ulkus kecil, sehingga eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus dan

bercampur dengan tinja.Shigella spp dan EIEC memproduksi enterotoksin

yang mengakibatkan hipersekresi usus sehingga terjadi diare cair/diare

sekresi. Selain itu S. dysenteriae type 1 juga memproduksi eksotoksin

(Shiga toxin) yang bersifat sitotoksik.1,3,7

Salmonella spp dapat menginvasi mukosa usus seperti halnya

Shigella spp, terus masuk ke lamina propria sehingga menyebabkan

infiltrasi sel radang dan penyebaran ke kelenjar getah bening mesenterium,

menyerang sistem retikulo-endotelial (RES) dan dapat mengakibatkan

infeksi sistemik.1,3

Campylobacter jejuni membentuk kolonisasi di jejunum/ileum/kolon,

invasi ke sel epitel mukosa usus sampai ke lamina propria,terjadi infiltrasi

sel-sel radang, kemudian nekrosis mukosa dan dapat masuk ke sirkulasi

(bakteremia).3

Entamoeba histolytica merupakan protozoa komensal usus, ada

dalam dua bentuk, trofozoit atau kista, dapat menginvasi dinding usus dan

menyerang hati, paru dan otak. Perubahan Entamoeba histolytica menjadi

Page 61: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 55 Manado, 17-19 Maret 2017

patogen diduga karena faktor kerentanan penderita, keganasan mikroba

ataupun lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi.9,10

Entamoeba histolytica masuk ke saluran cerna berupa kista dan

kemudian mengeluarkan bentuk trofozoit yang menginvasi sel epitel

mukosa sampai submukosa usus, mengakibatkan nekrosis jaringan

mukosa usus, sehingga menimbulkan ulkus-ulkus yang dapat melebar dan

saling berhubungan sehingga membentuk sinus-sinus submukosa yang

mengakibatkan malabsorpsi karena kerusakan permukaan absorpsi

sehingga terjadi diare osmotik.9- 11

Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Manifestasi klinis bervariasi mulai dari diare ringan tanpa demam, sampai

disentri hebat disertai demam dan tenesmus. Tenesmus merupakan nyeri

perut mulas melilit berkepanjangan, terlebih ketika buang air besar. Nyeri

perut pada anak atau bayi biasanya tidak terlihat dengan jelas, gejala yang

tampak biasanya menangis, rewel atau ekspresi nyeri lainnya.3

Shigellosis dapat menyebabkan tiga bentuk diare, disentri klasik

berupa diare disertai darah dan lendir, watery diarrhea ataupun kombinasi

keduanya. Masa inkubasi shigellosis 2-4 hari, bisa sampai 1 minggu.Masa

inkubasi disentri amuba bervariasi antara 2 hari sampai 4 bulan, invasi

berawal dari perlengketan trofozoit dengan epitel usus.7,9

Diagnosis klinis disentri dapat ditegakkan dengan menemukan tinja

bercampur darah dan lendir.

1. Anamnesis

Deskripsi keluhan berupa lama diare, frekuensi, volume, konsistensi

tinja, warna, adanya darah atau lendir, bau, serta gejala nyeri perut, perut

kembung, adanya demam merupakan informasi penting dalam penegakan

diagnosis.2

Gejala disentri basiler bervariasi, seperti defekasi sedikit-sedikit

hingga terus-menerus, nyeri perut, muntah, nyeri kepala dan demam.

Permulaan diare encer tanpa darah, selanjutnya keadaan memberat

dengan ditemukannya darah dan lendir pada tinja (red currant jelly).3

Pada disentri amuba biasanya dikeluhkan perut kembung, kram perut

disertai nyeri terutama di daerah sigmoid, diare berlendir dan berdarah

dengan tinja berbau busuk. Penderita (carrier) dapat tidak menunjukkan

Page 62: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 56 Manado, 17-19 Maret 2017

gejala klinis apabila amuba tidak menginvasi usus. Riwayat perjalanan ke

daerah endemi amebiasis dapat menjadi pertimbangan diagnosis.9,10

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan tanda vital meliputi berat badan, suhu tubuh, frekuensi

dan kualitas nadi, pernapasan serta tekanan darah. Penentuan derajat

dehidrasi meliputi tingkat kesadaran, rasa haus, turgor kulit dan tanda-

tanda dehidrasi lainnya seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata

cekung atau tidak, adanya air mata atau tidak, mukosa mulut dan lidah

kering atau basah, bising usus, serta pemeriksaan akral dan capillary

refilling time.2

Tabel 1. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 19952

Penilaian A B C

Lihat :

Keadaan

umum

Baik, sadar

*Gelisah, rewel, sangat haus

*Lesu, lunglai atau

tidak sadar

Mata

Air mata

Mulut dan

lidah

Rasa haus

Normal

Ada

Basah

Minum biasa

Cekung

Kering

Kering

*Haus

Sangat cekung

Sangat kering

Sangat kering

*Malas minum

Periksa :

Turgor kulit

Kembali cepat

*Kembali lambat

*Kembali sangat

lambat

Hasil : Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain

3. Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum dan analisis gas darah

tidak rutin dilakukan padasemua kasus disentri, sedangkan analisis tinja

(termasuk tes darah samar),kultur dan tes sensitifitas tinja terhadap

antimikroba perlu dilakukan untuk ketepatan diagnosis dan pengobatan.

Diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan penemuan bakteri ataupun

parasit pada tinja, bahan pemeriksaan sebaiknya tinja segar.2,8

Pada disentri basiler secara makroskopis terlihat darah yang

berwarna merah segar bercampur tinja dan secara mikroskopis tampak

eritrosit, leukosit, sel makrofag yang banyak.2,9

Selain tinja segar, bahan

pemeriksaan dapat diambil dari rectal swab ataudari ulkus mukosa usus

Page 63: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 57 Manado, 17-19 Maret 2017

saat pemeriksaan endoskopi. Pada kondisi spesimen tidak dapat diperiksa

langsung, sebaiknya digunakan media transpor karena Shigella peka

terhadap suasana lingkungan. Koloni Shigella spp tampak kecil, halus dan

tidak berwarna, dapat ditanam pada agar Shigella-Salmonela (SS), agar

Endo, atau agar Mac Conkey.7

Pada disentri amuba secara makroskopis tampak darah segar pada

permukaaan tinja dan berbau busuk, secara mikroskopis ditemukan bentuk

kista atau trofozoit, eritrosit, eosinofil, dan sedikit makrofag.3

Trofozoit

biasanya ditemukan pada tinja cair, sedangkan kista pada tinja yang

berbentuk. Pemeriksaan tinja serial perlu dilakukan karena pengeluaran

kista terjadi intermiten. Tes serologi amuba juga tersedia untuk mendeteksi

tipe dan konsentrasi antibodi 2

Gambar 1. Trofozoit Entamoeba histolytica11

Tata Laksana

Disentri basiler dapat mengalami penyembuhan spontan dalam waktu 2-7

hari, tapi dapat menjadi septikemia bahkan kematian pada usia lebih muda

dan penderita dengan komplikasi lain seperti gizi buruk atau

imunodefisiensi.7

Dalam pemberian obat-obatan, harus diperhatikan bahwa

obat-obat yang memperlambat motilitas usus sebaiknya tidak diberikan

karena adanya risiko untuk memperpanjang masa sakit.2

Page 64: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 58 Manado, 17-19 Maret 2017

Lima pilar penatalaksanaan diare pada semua kasus diare yang diderita

anak balita baik yang dirawat dirumah atau di rumah sakit :

1. Rehidrasi dengan oralit baru

Penilaian dan koreksi terhadap status hidrasi dan keseimbangan

elektrolit pada penderita diare merupakan hal penting agar tidak terjadi

komplikasi lanjut. Upaya rehidrasi dengan cairan intravena pada kasus

dehidrasi berat atau cairan rehidrasi oral (oralit) untuk kasus dehidrasi

sedang atau tanpa dehidrasi. Oralit merupakan campuran dari air bersih,

garam dan gula, sebagai pengganticairan dan elektrolit yang keluar saat

diare. Dosis oralit yang diberikan untuk anak berumur kurang dari 2 tahun

yaitu 50-100 ml tiap kali BAB dan untuk anak lebih dari 2 tahun diberikan

100-200 ml tiap BAB.2, 12

Tabel 2. Perbandingan kandungan oralit formula lama dan baru (volume 1 liter).2, 12

Kandungan Formula lama (WHO 1978) Formula baru

(WHO 2004)

NaCl

NaHCO3

KCl

Glukosa

Natrium

Kalium

HCO3

Klorida

Glukosa

Osmolaritas

(g)

(g)

(g)

(g)

(mEq/l)

(mEq/l)

(mEq/l)

(mEq/l)

(mmo l/l)

(mOsm/l)

3,5

2,5

1,5

20

90

30

30

80

111

331

2,6

2,9

1,5

13,5

75

20

10

65

75

245

2. Suplementasi zinc

Berikan zinc selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah

sembuh dari diare dengan dosis 10 mg/hari untuk usia dibawah 6 bulan

dan 20 mg/hari untuk 6 bulan keatas. Suplementasi zinc dapat

meningkatkan absorpsi air dan elektrolit, serta meningkatkan regenerasi

epitel usus sehingga mengurangi durasi dari episode diare dan penurunan

volume tinja.2, 12

Page 65: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 59 Manado, 17-19 Maret 2017

3. ASI dan makanan lain tetap diteruskan

Pemberian diet tetap dilanjutkan sesuai dengan usia anak dan menu

yang diberikan saat anak sehat, berikan makanan lunak tinggi kalori dan

protein termasuk ASI selama diare, untuk mencegah malnutrisi.2, 12

4. Antibiotik selektif

Anak dengan diare berdarah harus dicurigai menderita shigellosis dan

mendapatkan terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotik yang tepat

akan mengurangi masa sakit dan menurunkan risiko komplikasi dan

kematian.2, 12

Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan pola resistensi

Shigella. Di Amerika Serikat dan China ditemukan resistensi terhadap

ampisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol (kotrimoksazol), dengan tingkat

resistensi lebih tinggi di Asia dan Afrika dibanding Amerika dan Eropa.1

Terdapat beberapa laporan resistensi kotrimoksazol di Indonesia.13,14

Dari

empat Rumah Sakit di Jakarta didapatkan hampir 87 % dari 50 penderita

shigellosis resisten terhadap kotrimoksazol.15

Kotrimoksazol diberikan

dengan dosis trimetoprim 5-10mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian,

selama 5 hari dan ampisilin 100mg/kgBB/haridibagi dalam 4 dosis.3

Penggantian antibiotik harus dipertimbangkan, bila dalam 2 hari tidak

terjadi perbaikan. Antibiotik alternatif lain yang dapat diberikan :

- Gongan macrolide yaitu azithromycin 10 mg/kgBB/hari satu kali sehari

selama 3 hari diberikan per oral.1,5

- Golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone satu kali sehari

50 mg/kgBB/hari iv atau im selama 3-5 hari, dan cefixime

8mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 2 dosis.1, 5, 16, 17

- Golongan quinolone generasi pertama yaitu nalidixic acid

55mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 4 dosis juga efektif untuk

shigellosis.1, 3, 12

- Golongan fluoroquinolone yaitu ciprofloxacin 15 mg/kgBB diberikan

dua kali sehari selama 3 hari.1, 5

Terapi antiamuba diberikan dengan indikasi ditemukannya trofozoit

Entamoeba histolytica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja, serta tinja

berdarah menetap setelah terapi dengan antibiotik. Keadaan klinis akan

Page 66: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 60 Manado, 17-19 Maret 2017

membaik dalam 2-3 hari terapi, bila disentri memang disebabkan oleh E.

histolytica. Terapi pilihan untuk disentri amuba pada anak adalah :2, 3, 5

- Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 7-10

hari.

- Tinidazol, dapat diberikan pada usia lebih dari 3 tahun dengan dosis 50

mg/kgBB/hari (dosis maksimal 2 gr) sekali sehari selama 3 hari.

5. Edukasi atau penyuluhan kepada orangtua atau pengasuh, mencakup

tindakan bila anak diare dan kapan harus kembali ke fasilitas

kesehatan.2

Beberapa pertimbangan terapi dalam merawat penderita diare dan

dehidrasi :

1. Terapi cairan dan elektrolit2

- Pengobatan diare tanpa dehidrasi diberikan cairan 10 ml/kgBB

dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit.

- Pada dehidrasi ringan sedang diberikan oralit 75 ml/kgBB dalam 3

jam pertama melalui oral atau NGT dengan kecepatan 20

ml/kgBB/jam. Perhitungan cairan pada anak dengan dehidrasi

ringan sedang :

Berat badan 3-10 kg, 200 ml/kgBB/hari

Berat badan 10-15 kg, 175 ml/kgBB/hari

Berat badan lebih dari 15 kg, 135 ml/kgBB/hari

- Pada dehidrasi berat cairan diberikan intra vena dan bila anak bisa

minum diberikan oralit 5 ml/kgBB/jam. Cairan yang diberikan pada

rehidrasi parenteral adalah ringer laktat 100 ml/kgBB dengan cara :

Usia kurang dari 12 bulan, 30 ml/kgBB/dalam 1 jam pertama,

dilanjutkan 70 ml/kgBB dalam 5 jam berikutnya

Usia lebih dari 12 bulan, 30 ml/kgBB dalam setengah jam

pertama, dilanjutkan 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya.

2. Terapi non spesifik dengan anti diare. Obat ini sering digunakan

meskipun tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak diindikasikan

untuk pengobatan diare pada anak :2

Page 67: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 61 Manado, 17-19 Maret 2017

- Adsorben, contohnya kaolin, attapulgite, smectite, cholestyramine.

- Antimotilitas seperti loperamide hidrocloride, diphenoxylate dengan

atropine, tinctura opii, paregoric, codein. Obat golongan ini dapat

menyebabkan ileus paralitik yang berat dan memperpanjang

infeksi dengan memperlambat eliminasi organisme penyebab.

- Bismuth salisilat, mempunyai efek anti inflamasi dan antibiotik,

mekanisme anti diare diduga melalui peningkatan absorpsi air dan

elektrolit (anti sekretori) dan juga sebagai penghambat sintesis

prostaglandin sehingga terjadi efek antiinflamasi dan penurunan

motilitas usus serta mengikat toksin yang diproduksi oleh bakteri.

Pencegahan

Pemberian ASI/makanan yang benar, menjaga higiene dan sanitasi pribadi

serta lingkungan terbukti efektif dalam pencegahan disentri. Mencuci

tangan terutama sebelum makan dan penyiapan makanan, sesudah buang

air besar dan penyediaan sumber air bersih, sarana MCK yang memenuhi

standar penting dalam mencegah penularan.2,18

Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang terjadi dapat ringan sampai berat mengancam jiwa,

berupa dehidrasi, gangguan elektrolit, kejang dan hipovolemia. Abses

intestinal dapat terjadi pada infeksi Shigella, serta dapat memicu perforasi

usus dan peritonitis.1

Entamoeba histolytica selain menginvasi dinding

usus, juga dapat menyerang hati, paru dan otak.9

Prognosis baik dengan pengobatan yang tepat, namun beberapa

kasus perlu tindak lanjut dan pengawasan seperti pada bayi, anak kurang

gizi, dan dehidrasi berat.1

Penutup

Diagnosis klinis disentri ditegakkan dengan menemukan tinja bercampur

lendir dan darah, sedangkan diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan

penemuan bakteri ataupun parasit pada tinja. Pengobatan dengan

antibiotik yang tepat akan mengurangi masa sakit, menurunkan risiko

komplikasi dan kematian.

Page 68: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 62 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Ochoa TJ, Cleary TG. Shigella. In: Behrman RE, et al editors. Nelson

textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier, Inc.;

2015.p.1272-6.

2. Subagyo B, Santoso NB. Diare akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto Y,

Oswari H, Arief S, Rosalina I, et al, editor. Buku ajar gastroenterologi-

hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010.p.87-120.

3. Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (diare) akut.

Dalam: Suharyono, Boediarso A, Halimun EM, editor. Gastroenterologi

anak praktis. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 1994.p.51-76.

4. Soenarto Y, Suryono A, Supardi S. Dysentry in children under five

year of age: a longitudinal prospective study in primary health care in

Indonesia. Paediatr Indones. 2001;41:141-8.

5. Pfeiffer ML, DuPont HL, Ochoa TJ. The patient presenting with acute

dysentery-A systematic review. Journal of Infection. 2012;64:374-86.

6. Elvira J, Firmansyah A, Akib AAP. Shigellosis in children less than five

years in urban slum area: a study at primary health care in Jakarta.

Paediatr Indones. 2007;47:42-6.

7. Karsinah, HM Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang negatif Gram.

Dalam: Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Staf Pengajar

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara;

1994.p.165-8.

8. Vanderhoof JA. Infectious diarrhea. In: Wyllie R, Hyams JS eds.

Pediatric gastrointestinal and liver disease. 4th ed. Saunders Co;

1993.p.411-3.

9. Walker WA. Bacterial, parasitic, and other infections. Dalam: Pediatric

gastrointestinal disease-physiology, diagnosis, management. 4th

ed.p.869.

10. Petri WA, Singh U. Diagnosis and Management of Amebiasis. Clin

Infect Dis. 1999;29:1117–25.

11. Gideon C. Amebic Colitis. The Internet Journal of Advanced Nursing

Practice. 2007;9:1-6

Page 69: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yusri Dianne Jurnalis

KONAS VII PGHNAI 63 Manado, 17-19 Maret 2017

12. Farthing M, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E,

RamakrishnaBE, et al. Acute diarrhea. World Gastroenterology

Organisation practice guideline. 2008:1-28.

13. Nafianti S, Ramayani OR, Daulay DG, Supriatmo, Hasibuan B,

Sinuhaji AB.The efficacy of trimethoprim-sulfamethoxazole treatment

in children with acute bloody diarrhea. Paediatr Indones.2007;47:17-

20.

14. Nafianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetoprim-Sulfametoksazol

terhadap Shigellosis. Sari Pediatri. 2005;7:39-44.

15. Dwipoerwantoro PG, Pulungsih SP, Susanti NI, Sadikin H, Firmansyah

A. A study on the antibiotic resistance of Shigella. Paediatr Indones.

2005;45:49-54.

16. Das JK, Ali A, Salam RA, Bhutta ZA. Antibiotics for the treatment of

Cholera, Shigella and Cryptosporidium in children. BMC Public Health.

2013;13:1-9.

17. Traa BS, Walker F, Munos M, Black RE. Antibiotics for the treatment

of dysentery in children. International Journal of Epidemiology.

2010;39:170-4.

18. Zalbawi S, Santoso SS. Perilaku pencegahan penyakit shigella

(disentri) pada masyarakat di Jakarta Utara. Media litbang kesehatan.

2004;XIV:35-41.

Page 70: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 64 Manado, 17-19 Maret 2017

INTOLERANSI LAKTOSA PADA ANAK:

GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS, DAN TATA LAKSANA

Ariani Dewi Widodo

Pendahuluan

Intoleransi laktosa adalah masalah yang sering ditemukan dalam praktik

klinik sehari-hari.1Gejala klinis intoleransi laktosa antara lain diare, nyeri

perut, dan buang angin setelah mengonsumsi susu atau produk yang

mengandung susu. Gejala ini disebabkan oleh kadar laktase yang rendah

di usus halus, yang dapat disebabkan karena kerusakan mukosa atau yang

lebih sering akibat berkurangnya ekspresi genetik enzim lactase-phlorizin

hydrolase.2

Terminologi

● Defisiensi laktase: aktivitas enzim laktase di brush border lebih rendah

dari bayi normal

● Malabsorpsi laktosa: usus halus tidak dapat menyerap laktosa yang

dikonsumsi secara bermakna

● Intoleransi laktosa: suatu sindrom klinis saat konsumsi laktosa

menimbulkan gejala (nyeri perut, kembung, buang gas, diare) akibat

malabsorpsi laktosa

Epidemiologi

Prevalensi malabsorpsi laktosa rendah pada anak berusia kurang dari

enam tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian

Budiarso dkk.3 dan Hegar dkk.

4,5 pada anak Indonesia mendapatkan

prevalensi 21,3% pada anak usia 3-5 tahun, 57,8% pada anak usia 6-11

tahun, dan 73% pada anak usia 12-14 tahun.

Aktivitas laktase bervariasi antar populasi dan etnis di dunia. Pada

populasi Belanda, Swedia, dan Denmark enzim laktase tetap bertahan

(laktase persisten) di masa dewasa pada hampir 100% populasi.

Page 71: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 65 Manado, 17-19 Maret 2017

Sebaliknya, pada sebagian besar negara Asia dan Afrika, populasi yang

mengalami laktase nonpersisten pada saat dewasa adalah sekitar 80-90%,

penelitian di Malaysia mendapatkan prevalensi 83% pada populasi orang

India, 88% pada populasi Malaysia sendiri, dan 91% pada populasi

keturunan Tiongkok.6Hal ini diketahui berkaitan erat dengan riwayat

konsumsi susu pada populasi suatu negara. Negara dengan budaya dan

pola konsumsi susu yang tinggi penduduknya dominan laktase persisten

dan mendapatkan nutrisi dari produk susu.

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat polimorfisme genetik yang

merupakan faktor penentu apakah seseorang dapat mengonsumsi laktosa.

Analisis genetik populasi menunjukkan bahwa aktivitas laktase yang

rendah merupakan faktor yang diturunkan secara autosomal resesif,

sedangkan aktivitas laktase yang tinggi autosomal dominan.7

Patofisiologi

Asupan laktosa bervariasi sesuai usia. Pada bayi, karbohidrat (terutama

laktosa) merupakan 35-55%kalori harian yang dikonsumsi. Asupan laktosa

menurun drastis seiring diperkenalkannya makanan tambahan dan

akhirnya mendekati kadar yang dimakan oleh orang dewasa. Diet orang

Indonesia tidak terlalu tinggi laktosa meskipun mengandung 70-80%

karbohidrat. Diet makanan Barat umumnya rata-rata dewasa mengonsumsi

sekitar 300 g karbohidrat per hari, dan 5% sebagai laktosa (terutama dalam

susu). Digesti laktosa adalah tahap yang menentukan dalam keseluruhan

proses absorpsinya.Laktosa dihidrolisis oleh laktase dalam usus menjadi

glukosa dan galaktosa pada membran mikrovili sel adsorptif usus, dan

ambilan monosakarida ini dilakukan oleh karier glukosa dependen

natrium.8

Laktosa yang tidak diabsorpsi oleh usus halus diteruskan dengan

cepat ke kolon. Pada orang dengan aktivitas laktase yang rendah, sampai

dengan 75% laktosa lewat tanpa diabsorpsi melalui usus halus ke caecum

dan kolon.9Dalam kolon, laktosa diubah menjadi asam lemak rantai pendek

dan gas hidrogen oleh flora bakteri, menghasilkanasetat, butirat, dan

propionat. Bila terjadi malabsorpsi laktosa yang cukup banyak, produk

fermentasi dan laktosa yang tidak difermentasi menyebabkan gejala

intoleransi laktosa. Kolon neonatus dan dewasa dengan aktivitas laktase

Page 72: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 66 Manado, 17-19 Maret 2017

usus halus yang rendah dapat beradaptasi dengan konsumsi laktosa

persisten (terus menerus) melalui konversi laktosa oleh bakteri menjadi

asam lemak rantai pendek yang dapat diserap di kolon. Hal ini

menyelamatkan (salvage) laktosa yang termalabsorpsi untuk utilisasi

energi. Belum jelas apakah flora feses juga dapat beradaptasi terhadap

laktosa dalam diet seiring berjalannya waktu, dan berkontribusi dalam

penurunan insiden dan beratnya gejala setelah pemberian laktosa.10

Etiologi malabsorpsi laktosa

Malabsorpsi laktosa primer

Penyebab tersering malabsorpsi laktosa primer adalah enzim laktase

nonpersisten. Penyebab yang lebih jarang antara lain defisiensi laktase

kongenital dan defisiensi laktase pada bayi prematur (developmental

lactase deficiency).

1. Laktase nonpersisten

Penurunan aktivitas enzim laktase secara genetik, ditentukan oleh

faktor ras atau etnis, dan merupakan mekanisme penyebab

malabsorpsi laktosa pada individu sehat. Mayoritas populasi dunia

mengalami kadar laktase usus yang rendah mulai pertengahan masa

kanak-kanak (sekitar usia 3 hingga 5 tahun). Karakteristik ini tersering

ditemukan pada populasi Asia dan Afrika. Sebaliknya, mayoritas

populasi ras Kaukasia, khususnya yang berdarah Eropa Utara,

memiliki aktivitas laktase yang tetap tinggi (persisten) hingga dewasa.

Aktivitas laktase yang tetap tinggi tersebut juga ditemukan pada

beberapa populasi kecil di seluruh dunia, yang memiliki sejarah

beternak sapi atau hewan penghasil susu lain, dan mengonsumsi

produk susu hingga dewasa. Bukti menunjukkan bahwa pada

kelompok tersebut telah terjadi evolusi ke arah laktase

persisten.11

Analisis genetik menemukan bahwa laktase persistenpada

dewasa diturunkan secara autosomal dominan.

Saat ini telah diketahui beberapa single nucleotide polymorphisms

(SNPs) pada sekuens DNA area pengkode dan area regulasi gen

laktase di 2q21. Secara khusus, adanya alel T pada SNP yang terletak

pada -13.9 kb di bagian atas gen laktase telah diketahui berkaitan erat

dengan laktase persisten12

karena alel ini mengatur kadar mRNA

Page 73: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 67 Manado, 17-19 Maret 2017

laktase sehingga menyebabkan laktase persisten. Namun, hal ini

hanya memiliki nilai diagnostik pada kelompok genetik homogen

seperti Eropa Utara, tidak bermakna pada populasi Afrika maupun

Amerika Serikat yang heterogen.13,14

2. Defisiensi laktase kongenital

Defisiensi laktase kongenital adalah suatu kelainan autosomal resesif

yang jarang. Gangguan ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas

laktase di usus halus, dengan temuan histologi yang normal dan kadar

disakaridase lain yang normal.Bayi dengan defisiensi laktase

kongenital mengalami diare sejak lahir dan dilaporkan mengalami

hiperkalsemia dan nefrokalsinosis.15

Dari seluruh kasus yang dilaporkan

di dunia, terbanyak adalah pada populasi Finlandia.

3. Defisiensi laktase bayi prematur (developmental lactase

deficiency)

Malabsorpsi laktase akibat kadar laktase yang rendah pada bayi

prematur. Aktivitas laktase pada fetus baru meningkat secara

bermakna pada tahap akhir gestasi. Bayi prematur yang lahir pada usia

gestasi 28-32 minggu memiliki aktivitas laktase yang rendah.16

Bila bayi

tersebut sehat, kolon dapat menyelamatkankarbohidrat yang tidak

terserap, sehingga mencegah malnutrisi dan diare. Seiring dengan

bertambahnya usia, mukosa usus berangsur menjadi matur dan gejala

menghilang.

Malabsorpsi laktosa sekunder

Malabsorpsi laktosa dapat terjadi sekunder akibat gangguan usus.

● Bakteri tumbuh lampau di usus halus (small intestinal bacterial

overgrowth)dapat menyebabkan peningkatan fermentasi laktosa

dalam diet di usus halus, yang menyebabkan gejala intoleransi

laktosa. Dugaan diagnosis muncul dari riwayat penyakit dan dari

peningkatan hidrogen napas yang sangat dini pada pemberian

laktosa. Peningkatan ini biasanya terjadi 15-30 menit setelah

konsumsi laktosa, seringkali disertai gejala.

Page 74: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 68 Manado, 17-19 Maret 2017

● Infeksi atau inflamasi usus halus yang menyebabkan vili menjadi rata

atau kerusakan epitel usus dapat menyebabkan malabsorpsi laktosa.

Enzim laktase biasanya merupakan disakaridase pertama yang

terpengaruh, karena letaknya di vili bagian distal.17

Gejala klinis

Manifestasi klinis — Gejala intoleransi laktosa mencakup nyeri perut,

kembung, buang angin, dan diare.Pada remaja juga dapat ditemukan

muntah-muntah. Nyeri perut yang dirasakan seperti kram dan seringkali

terlokalisasi di area periumbilikal atau kuadran bawah. Feses biasanya

berbusa, dan cair. Borborygmi mungkin terdengar pada pemeriksaan fisis

dan terdengar oleh pasien.1 Terdapat variasi gejala yang bermakna antar

pasien dengan intoleransi laktosa. Makanan dengan osmolalitas dan

kandungan lemak yang lebih tinggi memperlambat pengosongan lambung

dan mengurangi beratnya gejala yang dipicu laktosa. Orang dengan waktu

transit laktosa ke caecum yang lebih singkat biasanya mengalami gejala

yang lebih jelas. Selain itu, sensitivitas setiap orang bervariasi terhadap

distensi abdomen akibat udara atau masuknya air ke lumen usus halus

akibat adanya laktosa yang tidak tercerna.

Hasil laboratorium — Pasien dengan intoleransi laktosa memiliki gap

osmotik feses >125 mOsm/kg akibat adanya karbohidrat yang tidak

terserap di lumen usus dan pH feses <6 akibat fermentasi laktosa oleh

bakteri kolon. Namun temuan ini tidak spesifik untuk malabsorpsi laktosa

saja.

Diagnosis

Diagnosis intoleransi laktosa tidak selalu mudah karena banyak

mengandalkan keluhan dan laporan pasien, yang dapat bervariasi sesuai

dengan beratnya gejala, tingkat toleransi pasien terhadap keluhan yang

dialami, dan jenis gejala yang bervariasi, sehingga terkadang sulit

melakukan penilaian secara objektif. Apalagi anak yang lebih kecil

seringkali belum dapat mengungkapkan keluhan yang dialaminya dengan

baik.

Page 75: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 69 Manado, 17-19 Maret 2017

Diagnosis intoleransi laktosa dipikirkan pada pasien dengan kembung,

buang gas, nyeri perut, dan/atau diare kronik. Dugaan diagnosis intoleransi

laktosa dapat ditetapkan pada pasien yang mengalami gejala ringan

setelah mengonsumsi laktosa dalam jumlah yang bermakna (misalnya >2

porsi susu/hari atau >1 porsi dalam sekali konsumsi yang tidak bersama

makanan) dan menghilang setelah 5-7 hari menghindari makanan yang

mengandung laktosa, dan timbul kembali pada provokasi.18

Anamnesis

yang cermat harus dilakukan untuk mengidentifikasi jenis makanan yang

dimakan, karena seringkali orangtua atau anak tidak mengenali produk

susu yang terkandung dalam makanan tertentu seperti pasta, macaroni

schotel, kue, cafe latte, cappucino, sehingga tidak mengaitkan keluhan

dengan konsumsi susu.

Uji napas hidrogen untuk laktosa juga dilakukan untuk menegakkan

diagnosis intoleransi laktosa pada pasien yang tidak ingin melakukan diet

restriksi laktosa, terutama bila mereka tidak terlalu berisiko mengalami

laktase nonpersisten (misalnya ras Kaukasia). Pasien dengan gejala berat

atau gejala yang menetap meskipun dengan diet pembatasan laktosa juga

harus menjalani evaluasi untuk menyingkirkan penyebab lain.

Uji hidrogen napas

Uji hidrogen napas memeriksa malabsorpsi laktosa. Pemeriksaan ini

mudah dilakukan, tidak invasif, dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih tinggi dari uji absorpsi. Uji napas laktosa memiliki sensitivitas

78% dan spesifisitas 98%.19

Laktosa oral diberikan dalam keadaan puasa,

dengan dosis 2 g/kg (maksimal 25 g). Hidrogen napas diperiksa sebelum

laktosa dan setiap interval 30 menit setelah konsumsi laktosa, selama 3

jam. Dilakukan perbandingan antara kadar hidrogen napas sebelum dan

setelah laktosa. Kadar hidrogen napas 10 ppm (parts per million) dianggap.

Kadar antara 10 dan 20 ppm dianggap tidak dapat ditentukan

(indeterminate)kecuali bila disertai gejala, dan di atas 20 ppm dianggap

diagnostik untuk malabsorpsi laktosa. Pada sebagian besar pasien

puncaknya adalah antara 90 hingga 120 menit, jadi bila sudah terlihat jelas

pemeriksaan dapat dipersingkat. Merokok atau olahraga yang

menyebabkan hiperventilasi dapat mempengaruhi ketepatan hasil

Page 76: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 70 Manado, 17-19 Maret 2017

pemeriksaan, sehingga harus dihindari setidaknya dua jam sebelum

pemeriksaan.

Hasil positif palsu ditemukan bila puasa tidak adekuat sebelum

pemeriksaan. Hasil negatif palsu dapat ditemukan bila terdapat

penggunaan antibiotik sebelum pemeriksaan, pada pasien dengan

penyakit paru, atau pada sekitar 1% pasien yang bukan merupakan

produsen hidrogen.

Uji toleransi laktosa

Kemampuan penyerapan laktosa dapat diukur dengan uji absorpsi laktosa,

namun pemeriksaan ini relatif sulit dan merepotkan, makan waktu, dan

hampir seluruhnya telah digantikan oleh uji hidrogen napas. Setelah

pemberian dosis uji sebanyak 50 gram pada deewasa atau 2 g/kg pada

anak, kadar glukosa darah diperiksa pada menit ke-0, 60, dan 120.

Peningkatan kadar glukosa darah kurang dari

20 mg/dL (1.1 mmol/L) disertai timbulnya gejala merupakan dasar

diagnosis intoleransi laktosa. Hasil negatif palsu dapat ditemukan pada

pasien dengan diabetes atau bakteri tumbuh lampau. Pengosongan

lambung yang tidak normal juga dapat menyebabkan hasil yang tidak

akurat, glukosa darah dapat relatif lebih tinggi pada pengosongan lambung

yang terlalu cepat dan relatif lebih rendah pada pengosongan lambung

yang lambat. Sensitivitas pemeriksaan ini pada dewasa adalah 75% dan

spesifisitas 96%.

Pemeriksaan lain

Terdapat pemeriksaan lain untuk malabsorpsi lemak, namun memiliki

berbagai keterbatasan dan jarang digunakan. Biopsi usus halus dapat

membedakan antara intoleransi laktosa primer dan sekunder melalui

evaluasi histologi usus halus. Uji aktivitas laktase merupakan standar emas

malabsorpsi laktosa, namun jarang dilakukan karena harus melalui

endoskopi saluran cerna atas dan adanya uji diagnostik noninvasif. Selain

itu, pada lesi yang hanya terjadi pada beberapa bagian usus saja, hal ini

dapat terlewat pada pemeriksaan. Pemeriksaan genetik juga tersedia untuk

mengevaluasi adanya malabsorpsi laktosa primer, namun pemeriksaan ini

mahal dan tidak dapat diterapkan pada pasien dari semua ras dan

Page 77: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 71 Manado, 17-19 Maret 2017

populasi. Anak dengan intoleransi laktosa juga harus dievaluasi akan

adanya penyebab sekunder. Namun, seberapa banyak uji diagnostik yang

dilakukan harus ditentukan oleh keadaan klinis pasien secara umum.

Daignosis banding

Gejala intoleransi laktosa kurang spesifik, dan dapat mirip dengan gejala

penyakit lain. Diagnosis banding diare akibat intoleransi laktosa mencakup

penyebab lain diare osmotik dan intoleransi terhadap komponen lain dalam

susu.18,20

Maldigesti karbohidrat sederhana (seperti sorbitol dan manitol),

konsumsi gula dalam jumlah besar dengan kapasitas absorpsi yang

terbatas (misalnya fruktosa), dan inhibitor terapeutik absorpsi karbohidrat

(misalnya akarbosa) dapat menyebabkan diare osmotik.Obat yang

mengandung magnesium dan penggunaan laksatif dapat menyebabkan

diare osmotik.Alergi susu sapi (ASS) juga harus dipertimbangkan pada

bayi dan anak yang tetap bergejala meski dilakukan restriksi laktosa dalam

diet.

Tata Laksana

Tujuan tata laksana adalah untuk menghilangkan gejala dengan tetap

mempertahankan asupan kalsium dan vitamin D. Pada pasien dengan

malabsorpsi laktosa sekunder, mengatasi penyakit primer dapat

mengembalikan aktivitas laktase. Namun, intoleransi laktosa dapat terus

terjadi berbulan-bulan setelah proses pemulihan dimulai dan tertinggal dari

pemulihan morfologi usus normal.

Pembatasan laktosa dalam diet

Orang dengan malabsorpsi laktosa dapat mentoleransi produk susu dalam

jumlah terbatas.Pasien harus disarankan untuk membatasi dan bukan

menghilangkan laktosa sama sekali dalam diet. Orang dengan intoleransi

laktosa sebaiknya membatasi asupan laktosa hingga dua cangkir susu

(atau kadar laktosa yang setara) per hari dalam dosis terbagi dua,

dikonsumsi bersama makanan. Pasien yang mengonsumsi lebih dari dua

cangkir susu (atau kadar laktosa yang setara) per hari atau produk susu

tanpa nutrien lain sebaiknya menggunakan produk rendah laktosa atau

suplementasi laktosa. Konsumsi harian rutin produk yang mengandung

Page 78: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 72 Manado, 17-19 Maret 2017

laktosa mungkin dapat ditoleransi dengan lebih baik dibandingkan dengan

konsumsi secara intermiten. Sejauh ini konsentrasi laktosa tertinggi per

porsi adalah dalam susu dan es krim, namun kandungan lemak yang tinggi

dan pengosongan lambung yang lambat dapat membuat konsumsi es krim

tidak menimbulkan gejala.Keju biasanya mengandung laktosa yang jauh

lebih rendah.

Enzim pengganti

Pasien yang mengkonsumsi lebih dari dua cangkir susu (atau laktosa yang

setara) per hari atau produk susu tanpa makanan lain harus menggunakan

preparat enzim laktase. Preparat enzim laktase yang tersedia di pasaran

adalah beta-galaktosidase ragi atau bakterial dan tersedia sebagai

preparat yang dapat ditaburkan pada makanan atau sebagai tablet yang

diminum per oral bersama makanan yang mengandung laktosa. Preparat

laktase cair dapat dituangkan ke susu (14 tetes/quart), dan kemudian

dimasukkan ke dalam kulkas satu malam sebelum diminum. Hasil hidrolisis

laktosa menghasilkan susu yang lebih manis rasanya dibandingkan

dengan susu yang mengandung laktosa.

Preparat enzim laktase dapat mengurangi gejala dan kadar hidrogen

napas pada banyak subjek yang mengalami intoleransi laktosa. Namun,

produk tersebut tidak mampu menghidrolisis seluruh laktosa dalam diet,

dan hasilnya bervariasi antar pasien.21

Yogurt yang berisi kuman hidup, yang mengandung beta-

galaktosidase endogen, merupakan sumber kalsium alternatif dan dapat

ditoleransi dengan baik pada sebagian besar pasien. Namun, yogurt yang

mengandung susu atau produk susu yang ditambahkan setelah fermentasi,

dapat tetap menimbulkan gejala.

Asupan Kalsium dan Vitamin D — Lakukan evaluasi asupan kalsium

harian, dan pasien dengan asupan kalsium yang kurang disarankan untuk

meningkatkan konsumsi makanan tinggi kalsium. Bila hal ini tidak

memungkinkan, diberikan suplementasi kalsium.

Page 79: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 73 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Malabsorpsi laktosa ditandai dengan kegagalan usus halus menyerap

secara bermaknalaktosa yang dikonsumsi. Intoleransi laktosa adalah

sindrom klinis yang timbul setelah konsumsi laktosa, berupa gejala (nyeri

perut, kembung, buang gas, diare) akibat malabsorpsi laktosa.Prevalensi

intoleransi laktosa bervariasi antar ras dan kelompok etnik. Tingkat

malabsorpsi laktosa rendah pada anak berusia kurang dari enam tahun

dan meningkat seiring usia. Penyebab tersering malabsorpsi laktosa primer

adalah enzim laktase nonpersisten. Malabsorpsi laktosa dapat terjadi

secara sekunder akibat gangguan pada usus.Diagnosis intoleransi laktosa

harus dipikirkan pada pasien dengan kembung, buang gas, nyeri perut,

dan/atau diare kronik. Dapat ditetapkan dugaan diagnosis intoleransi

laktosa pada pasien sehat dengan gejala ringan yang muncul setelah

makan laktosa dalam jumlah yang bermakna (>2 porsi susu/hari atau >1

porsi yang dikonsumsi tersendiri tidak bersama makanan) dan menghilang

setelah 5-7 hari menghindari makanan yang mengandung laktosa, dan

muncul kembali saat mencoba mengkonsumsi lagi. Dapat pula digunakan

uji napas hidrogen untuk laktosa (lactose hydrogen breath test)untuk

memastikan diagnosis malabsorpsi laktosa. Pasien dengan gejala berat

atau gejala yang tetap ada meskipun telah diet rendah laktosa harus

dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Anak dengan

intoleransi laktosa harus dievaluasi akan adanya penyebab sekunder

malabsorpsi laktosa.Edukasi pasien untuk membatasi asupan laktosa,

bukan menghilangkan sama sekali konsumsi laktosa dalam diet. Asupan

laktosa maksimal dua cangkir susu sehari atau yang setara, dibagi dalam

dua porsi makanan dalam sehari. Pasien dapat mengonsumsi lebih dari

dua porsi produk susu per hari atau produk susu tidak bersama dengan

makanan lain bila menggunakan produk rendah laktosa atau suplementasi

laktase. Pasien dengan asupan yang kurang dalam diet mungkin

memerlukan suplementasi kalsium. Kadar vitamin D harus dipantau pada

pasien yang sama sekali tidak mengonsumsi produk susu.

Page 80: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 74 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Hegar B, Widodo A. Lactose intolerance in Indonesian children. Asia

Pac J Clin Nutr. 2015;24:31-40.

2. Mattar R, de Campos Mazo DF, Carrilho FJ. Lactose intolerance:

diagnosis, genetic, and clinical factors. Clin Exp Gastroenterol.

2012;5:113-21.

3. Budiarso AD, Sofia D, Hadinegoro SR, Hegar B. Lactose

malabsorption in junior high school children. Paediatrica Indonesiana.

2003;42:46-50.

4. Hegar B, Firmansyah A, Boediarso A, Sunoto. Lactase enzyme activity

in pre-elementary school children. Maj Kes Mas Indones. 1997;2:125-7.

5. Hegar B, Pritayati N, Firmansyah A. Lactase activity in elementary

school children. Maj Kedokt Indon. 2001;51:154-7.

6. Barling PM, Lactose tolerance and intolerance in Malaysians. IeJSME

2012;6:12-23.

7. Rings E, Grand RJ, Buller HA. Lactose intolerance and lactase

deficiency in children. Curr Opin Pediatr 1994;6:562-7.

8. Martín MG, Turk E, Lostao MP, Kerner C, Wright EM. Defects in

Na+/glucose cotransporter (SGLT1) trafficking and function cause

glucose-galactose malabsorption. Nat Genet. 1996; 12:216-20.

9. Shaw AD, Davies GJ. Lactose intolerance: problems in diagnosis and

treatment. J Clin Gastroenterol. 1999;28:208-16.

10. Hertzler SR, Savaiano DA. Colonic adaptation to daily lactose feeding

in lactose maldigesters reduces lactose intolerance. Am J Clin Nutr.

1996;64:232-6.

11. Tishkoff SA, Reed FA, Ranciaro A, Voight BF, Babbitt CC, Silverman

JS, et al. Convergent adaptation of human lactase persistence in Africa

and Europe. Nat Genet. 2007;39:31-40.

12. Enattah NS, Sahi T, Savilahti E, Terwilliger JD, Peltonen L, Järvelä I.

Identification of a variant associated with adult-type hypolactasia. Nat

Genet. 2002;30:233-7.

13. Troelsen JT, Olsen J, Møller J, Sjöström H. An upstream polymorphism

associated with lactase persistence has increased enhancer activity.

Gastroenterology. 2003; 125:1686-94.

Page 81: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ariani Dewi Widodo

KONAS VII PGHNAI 75 Manado, 17-19 Maret 2017

14. Baffour-Awuah NY, Fleet S, Montgomery RK, Baker SS, Butler JL,

Campbell C, et al. Functional significance of single nucleotide

polymorphisms in the lactase gene in diverse US patients and evidence

for a novel lactase persistence allele at -13909 in those of European

ancestry. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015;60:182-91.

15. Saarela T, Similä S, Koivisto M. Hypercalcemia and nephrocalcinosis in

patients with congenital lactase deficiency. J Pediatr 1995; 127:920-3.

16. Mobassaleh M, Montgomery RK, Biller JA, Grand RJ. Development of

carbohydrate absorption in the fetus and neonate. Pediatrics. 1985;

75:160-6.

17. Mishkin B, Yalovsky M, Mishkin S. Increased prevalence of lactose

malabsorption in Crohn's disease patients at low risk for lactose

malabsorption based on ethnic origin. Am J Gastroenterol. 1997;

92:1148-53.

18. Johnson AO, Semenya JG, Buchowski MS, Enwonwu CO, Scrimshaw

NS. Correlation of lactose maldigestion, lactose intolerance, and milk

intolerance. Am J Clin Nutr 1993; 57:399-401.

19. Gasbarrini A, Corazza GR, Gasbarrini G, Montalto M, Di Stefano M,

Basilisco G, et al. Methodology and indications of H2-breath testing in

gastrointestinal diseases: the Rome Consensus Conference. Aliment

Pharmacol Ther.2009; 29 Suppl 1:1-49.

20. Yang J, Deng Y, Chu H, Cong Y, Zhao J, Pohl D, et al. Prevalence and

presentation of lactose intolerance and effects on dairy product intake

in healthy subjects and patients with irritable bowel syndrome. Clin

Gastroenterol Hepatol 2013;11:262-8.

21. Ramirez FC, Lee K, Graham DY. All lactase preparations are not the

same: results of a prospective, randomized, placebo-controlled trial.

Am J Gastroenterol. 1994;89:566-70.

Page 82: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 76 Manado, 17-19 Maret 2017

KOLESTASIS: DETEKSI DINI, TERAPI, DAN FOLLOW UP

I G N Sanjaya Putra, I P G Karyana, Nyoman Metriani Nesa

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Kulit atau mata yang terlihat kuning pada anak merupakan keluhanatau

gejala yang sering dijumpai. Dalam kamus kedokteran gejala demikian

disebut jaundice atau ikterus. Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis

yaitu jaune yang berarti kuning, sedangkan ikterus berasal dari bahasa

Yunani icterus yang berarti pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau

membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan

pada jaringan.Ikterus akan menimbulkan warna kuning pada mata bila

kadarnya lebih dari 2-3 mg/dl dan pada kulit bila kadarnya > 5 mg/dl.1

Ikterus ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari dokter anak yang

memerlukan evaluasi diagnostik segera agar tidak terjadi keterlambatan

pemberian terapi.Untuk kepentingan klinis, pendekatan dalam mencari

etiologi ikterus dilakukan berdasarkan jenis hiperbilirubinemia dan usia

timbulnya ikterus, karena keduanya memberikan penyebab yang spesifik.

Peningkatan bilirubin indirek disebabkan akibat produksi berlebihan

bilirubin, sedangkan peningkatan bilirubin direk disebabkan akibat penyakit

hepatoselular, gangguan ekskresi kanalikular dan obtruksi bilier. Secara

praktis juga dapat dibagi berdasarkan usia yaitu: neonatus, bayi dan

anak.2Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus

pada neonatus bila ikterus tersebut menetap setelah bayi berumur 2

minggu, yang mungkin disertai pula dengan perubahan warna urin yang

lebih tua tanpa atau disertai perubahan warna tinja. Pada bayi prematur,

evaluasi kearah kolestasis dapat ditunggu hingga bayi berusia3 minggu

bahkan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat ditunggu hingga bayi

berusia 2 bulan bila tidak disertai warna urin yang lebih tua atau tinja yang

bewarna pucat/alkoholik. Pada kondisi tersebut, pemeriksaan fraksi

bilirubin harus dilakukan untuk memastikan terjadinya kolestasis. Secara

Page 83: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 77 Manado, 17-19 Maret 2017

teoritis bilirubin direk bersifat larut dalam air sehingga dapat mewarnai urin

menjadi kuning tua atau kuning seperti teh. Pada bayi diketahui produksi

urin relatif banyak sehingga kadang-kadang bilirubin direk yang meningkat

di darah dapat tidak terlihat sebagai warna urin yang kuning pada bayi.3-5

Kesalahan yang sering terjadi adalah dokter merasa senang

ketikamelihat klinis kuning pada bayi berkurang, terlebih lagi jika melihat

kadar bilirubin total yang menurun, padahal kondisi tersebut bisasaja terjadi

karena penurunan bilirubin indirek pada saat yang sama dengan

peningkatan bilirubin direk. Penurunan bilirubin indirek yang terjadi dapat

lebih besar dari pada peningkatan bilirubin direk, sehingga secara total

memang terjadi penurunan kadar bilirubin, tetapi dengan adanya

peningkatan bilirubin direk,maka kondisi ini sesuai dengan sindrom

kolestasis.

Definisi kolestasis

Kolestasis didefinisikan sebagai hambatan sekresi dan/atau aliran empedu

yang biasanya terjadi 3 bulan pertama kehidupan bayi oleh berbagai

macam penyebab. Pada keadaan ini terjadi akumulasi, retensi serta

regurgitasi bahan-bahan yang harus diekresikan oleh empedu seperti

bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma. Beberapa

macam pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan adanya kolestasis,

tetapi pemeriksaan kadar bilirubin direk darah merupakan cara skrining

langsung yang termudah. Berdasarkan rekomendasi North American

Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition,

disebut kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl dengan

bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total

lebih dari 5 mg/dl dengan kadar bilirubin direk adalah lebih dari 20 % dari

bilirubin total.6

Patofisiologi kolestasis

Sekresi cairan empedu yang normal bergantung pada fungsi beberapa

transporter pada membran hepatosit dan sel epitel duktus bilier

(kolangiosit) misalnya Na+ K+ ATP-ase, Na bile acid co transporting

protein (NCTP), OATP (organic anion transporting protein), MDR 1 (multi

drug resistance 3). Selain itu penting pula peran struktur serta integritas

Page 84: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 78 Manado, 17-19 Maret 2017

fungsi beberapa aparatus dalam sel hati untuk menyekresikan cairan

empedu tersebut misalnya organel intrahepatik, mikrofilamen

perikanalikulus atau tight junction. Akibatnya, berbagai kelainan anatomik

sistem hepatobilier misalnya atresia bilier, kista atau penyakit yang

memengaruhi fungsi normal transporter serta aparatus intrahepatik

tersebut misalnya penggunaan obat-obatan tertentu (antara lain

androgen/estrogen) atau terdapatnya endotoksin pada sepsis, dapat

menyebabkan cholestatic jaundice.7Hambatan aliran empedu pada

cholestatic jaundice ini akan mengakibatkan.8,9

a. Berkurangnya jumlah garam empedu yang masuk ke usus sehingga

terjadi malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya dengan

konsekuensi klinis berupa malnutrisi, retardasi pertumbuhan, dan gejala

defisiensi vitamin A, D, E, K bila kolestasis berlangsung kronik.

b. Retensi komponen empedu dalam sel hati dan sistem bilier yang

selanjutnya akan beregurgitasi ke dalam darah sehingga akan terjadi

pruritus (akibat garam empedu yang meningkat), xantomatosis (akibat

kolesterol yang meningkat), dan cholestatic jaundice (akibat bilirubin

direk yang meningkat). Kerusakan sel hati terjadi akibat penumpukan

sebagian komponen empedu yang bersifat hepatotoksik terutama asam

empedu primer dan sekunder serta mineral, misalnya kuprum. Bila

kolestasis ini berlangsung kronik, kelainan hati akan progresif menjadi

sirosis bilier dengan berbagai komplikasinya di antaranya asites,

hipertensi porta, varises dan perdarahan.

Deteksi bayi kuning

Ikterus atau kuning terlihat secara klinis ketika serum bilirubin total

melebihi 2,5 sampai 3.0 mg/dL (42-51 mol/L). Langkah awal paling

penting dalam mengevaluasi bayi kuning adalah mengukur bilirubin total

dan bilirubin direk (terkonjugasi).Ikterus yang terjadi pada usia 2 minggu

adalah hal yang umum terjadi pada 2,4% sampai 15% bayi baru

lahir;Tetapi tetap harus waspada terhadap kemungkinan kolestasis.10

Bayi berusia 2 minggu yang datang ke dokter dengan riwayat

pemberian ASI, pemeriksaan fisik normal, tidak ada riwayat urin gelap

(dark-urine) atau feses acholic maka disarankan untuk kontrol kembali 1

minggu kemudian. Setelah 1 minggu, jika masih didapatkan kuning (usia 3

Page 85: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 79 Manado, 17-19 Maret 2017

minggu)maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan bilirubin total dan

direk.Sedangkan bila bayi berusia 2 minggu dengan riwayat minum susu

formula (bottle-feed) maka dianjurkanuntuk segera melakukan

pemeriksaan bilirubin total dan direk. Bayi yang datang dengan keluhan

kuning pada usia 4 minggu, maka harus diperiksa bilirubin total dan

bilirubin direk.Pengukuran bilirubin yang dilakukan lebih awal dapat

menentukan diagnosis kolestasis lebih cepat sehingga penanganan yang

optimal dapat diberikan.11

Bayi baru lahir sehat dengan kadar bilirubin indirek yang tinggi

paling sering disebabkan oleh ikterus fisiologis dan breast milk icterus.Bayi

yang mendapat ASI lebih rentan mengalami ikterus neonatal karena air

susu ibu mengandung -glucuronidase yang dapatmengganggu perubahan

bilirubin indirek menjadi direk. dan meningkatkan sirkulasi enterohepatik

bilirubin.10

Rekomendasi yang dianjurkan pada bayi dengan kuning adalah10

:

1. Setiap bayi dengan susu formula kemudian didapatkan kuning setelah

usia 2 minggu, maka harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan

direk untuk mengetahui adanya kolestasis.Sedangkan bayi yang diberi

ASI dapat diikuti sampai usia 3 minggu, apabila masih didapatkan

kuning saat usia 3 minggu maka dilakukan pemeriksaan bilirubin total

dan bilirubin terkonjugasi (direk).

2. Pengukuran bilirubin serum harus selalu difraksinasi menjadi

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (indirek) atau terkonjugasi (direk).

3. Hiperbilirubinemia terkonjungasi (direk) (> 1,0 mg/dL, 17mmol/L)

dianggap sebagai kadar yang patologis dan dapat menjadi evaluasi

diagnostik.

Evaluasi bayi dengan kolestasis

Kecurigaan ke arah kolestasis dapat ditegakkan dengan menanyakan

riwayat dan melakukan pemeriksaan fisis yang nantinya akan dilanjutkan

dengan pemeriksaan laboratorium. Penelusuran riwayat prenatal secara

rinci adalah sangat penting.Anamnesis yang dilakukan harus sistematis

untuk mengumpulkan informasi tentang timbulnya ikterus, perubahan

pigmentasi tinja, dan warna urin.Hal ini penting untuk mengidentifikasi

riwayat tinja yang berwarna pucat atau acholic dan sangat dianjurkan untuk

Page 86: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 80 Manado, 17-19 Maret 2017

mengamati pigmen tinja.Sering ditemukan kesalahan bahwa orang tua dan

tenaga kesehatan menilai pigmentasi tinja secara subyektif dan tinja

berwarna pucat sering disalah artikan sebagai normal.Riwayat lain juga

harus ditelusuri seperti prematuritas, puasa lama serta penggunaan nutrisi

parenteral berbahan dasar lemak kedelai dalam jangka waktu lama,

umumnya dikenal sebagai cholestasis associated parenteral nutrition

(PNAC).12

Pemeriksaan fisis yang dilakukan tidak hanya difokuskan pada

pemeriksaan abdomen, tetapi juga harus mempertimbangkan tanda-tanda

ekstrahepatik, seperti: wajah dismorfik, gangguan pertumbuhan, kelainan

dermatologi, neurologis, atau gejala paru.Palpasi abdomen dapat

menunjukkan hepatomegali. Pembesaran lobus tengah atau kiri hepar

sering ditemukan pada kasus atresia bilier. Splenomegali pada atresia

bilier muncul segera setelah lahir. Splenomegali yang ditemukan pada

usia2 sampai 4 minggu mengarahkan kita pada penyakit lain seperti

gangguan penyimpanan (storage disease) atau hematologi. Pemeriksaan

jantung juga sangat penting dilakukan, adanyamurmur mengarahkan pada

kelainan jantung terkait dengan atresia bilier (misalnya defek septum).

Gagal jantung kanan juga dapat menyebabkan gangguan aliran vena,

hepatomegali, dan kolestasis. Pengamatan langsung pada warna urin serta

warna tinja sangat penting. Tinja yang berwarna acholic serta urin yang

berwarna gelap sering menunjukkan adanya kolestasis.Identifikasi adanya

tinja acholic dapat menggunakan bantuan stool color chart yang memiliki

sensitifitas 95,2%. Rekomendasi yang dianjurkan untuk evaluasi awal

kemungkinan kolestasis adalah:10

1. Pemeriksaan fisis menyeluruh sangat penting untuk evaluasi bayi kuning

secara tepat.Hal yang harus diperhatikan adalah memperhatikan ada

tidaknya hepatomegali, splenomegali, dan bayi dalam kondisi sakit.

2. Visualisasi langsung pigmen tinja dengan stool color chart adalah aspek

penting dalam evaluasi lengkap bayi kuning.

Setelah terbukti terdapat kolestasis melalui pemeriksaan fraksi

bilirubin, maka dilakukan beberapa evaluasi. Langkah pertama evaluasi

kolestasis pada bayi ditujukan untuk mencari penyebab yang harus dan

dapat ditangani segera dengan medikamentosa seperti sepsis, infeksi

saluran kemih, galaktosemia, atau endokrinopati. Langkah kedua adalah

Page 87: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 81 Manado, 17-19 Maret 2017

melakukan diferensiasi untuk mengetahui apakah terdapat obtruksi bilier

total (atresia bilier) yang memerlukan intervensi operasi segera agar

prognosis menjadi lebih baik. Langkah terakhir untuk mengetahui

komplikasi klinis kolestasis termasuk koagulopati karena

hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi

akibat malabsorpsi lemak.4, 10

Berdasarkan penyebabnya, kolestasis neonatal dibagi menjadi 2

yaitu kolestasis ekstrahepatik yang sering juga disebut obstruktif jaundice

dan sindrom hepatitis neonatal yang sering juga disebut kolestasis

intrahepatik. Beberapa penyebab yang sering ditemukan pada kolestasis

neonatal dapat dilihat pada tabel 1.

Page 88: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 82 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 1.Penyebab kolestasis pada bayi.13

Kolestasis ekstrahepatik

Atresia bilier ekstrahepatik

Kista duktus koledokus

Inspissated bile syndrome

Sindrome caroli

Perforasi spontan duktus biliaris komunis

Sindrom hepatitis neonatal

Infeksi

Sepsis

TORCH

Infeksi saluran kemih

Malaria

Hepatitis B,C

HIV

Virus lainnya

Kelainan metabolik

Kelainan metabolisme asam amino

Tirosinemia

Hipermetioninemia

Kelainan metabolisme lipid

Penyakit Niemann- Pick

Penyakit Wolman

Penyakit Gaucer

Kalainan metabolisme lain

Defisiensi alfa 1-antitripsin

Sindrom Alagille

Progressive familial intrahepatic cholestasis

Kelainan endokrin

Hipopitutarisme

Hipotiroidisme

Kelainan kromosom

Trisomi 18,21

Kelainan toksik

Obat-obatan

Nutrisi parenteral

Hepatitis neonatal idiopatik

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Mengingat banyaknya penyebab kolestasis pada bayi, perlu dipilih

pendekatan diagnosis yang bersifat cost effective. Evaluasi yang umumnya

digunakan adalah evaluasi bertahap yang dapat dilihat pada tabel 2.

Page 89: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 83 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Tahapan evaluasi kolestasis neonatal.4

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Membedakan kolestasis dengan ikterus fisiologis akibat ASI dan menentukan beratnya

penyakit

-Evaluasi klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis dan warna BAB)

-Pemeriksaan bilirubin direk dan indirek

-Tes kelainan hepatoseluler dan bilier (ALT, AST, fosfatase alkali, GGT)

-Tes fungsi hati (albumin serum, waktu protrombin, glukosa darah, amonia)

Mencari kelainan yang dapat diterapi serta kelainan spesifik lainnya

-Kultur bakteri (darah,urin)

-Serologi virus (TORCH)

-FT4 dan TSH

Membedakan obstruksi ekstrahepatik dengan kelainan intrahepatik

-USG

-Biopsi hati

Walaupun penyebab kolestasis sangat beragam, diagnosis atresia bilier

dan hepatitis neonatal idiopatik mencakup 60% kasus kolestasis.Beberapa

hal dapat membantu membedakan atresia bilier (atresia bilier

ekstrahepatik) dan sindrom hepatitis neonatal (tabel 3)

Tabel 3. Gambaran klinis atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal.14

Sindrom hepatitis neonatal Atresia bilier

Jenis kelamin lebih sering pada laki perempuan

Pertumbuhan sering terganggu pada awal normal

Keadan umum biasanya tampak sakit biasanya tampak sehat

Tinja pucat/dempul berfluktuatif terus menerus

Gambaran dismorfik sering kadang-kadang

Fungsi sintetik sering terganggu umumnya awalnya baik

Hipoglikemia sering jarang

Page 90: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 84 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambaran klinis kolestasis

Gambar 1. Gambaran klinis kolestasis .15

Bilirubin

- Ikterus

Lemak : malnutrisi,

retardasi pertumbuhan,

diare/steatore

kehilangan kalsium

Retensi / regurgitasi

Malabsorbsi

Vitamin yang larut dalam

lemak

A: Kulit tebal, rabun senja

D: Osteopenia

E: Degenerasi

neuromuskular, anemia

hemolitik

K: Hippoprotrombinemia

Kolesterol:

- Xantomatosis

hiperkolesterolemia

Gagal hati Hipertensi portal

- Hipersplenisme

- Asites

Asam empedu:

- Pruritus

- Hepatotoksik

Trace element

hepatotoksik

- tembaga, dll

Penyakit hati progresif

(sirosis bilier)

Kolestasis

Konsentrasi asam empedu

intraluminal menurun

Page 91: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 85 Manado, 17-19 Maret 2017

Penatalaksanaan kolestasis

Tujuan talalaksana kolestasis adalah memperbaiki aliran empedu, menjaga

tumbuh kembang bayi optimal, mengatasi komplikasi dan memberikan

dukungan secara psikologis.

Memperbaiki aliran empedu dapat dilakukan dengan cara mengoreksi

atau mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis

obstruktif dan medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler dan

menstimulasi aliran empedu.3

Terapi kolestasis intrahepatal

Terapi kolestasis intrahepatal disesuaikan dengan etiologi penyebab

kolestasis seperti yang tercantum dalam tabel 4.

Tabel 4. Beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal dengan upaya

diagnostik serta terapinya.15

Penyebab Diagnosisi Terapi

Infeksi

Cytomegalovirus Kultur virus pada urin Gansiclovir

Toksoplasmosis Antibodi IgM Spiramisin

Rubella Antibodi IgM Suportif

Herpes simpleks ME/Kultur virus Acyclovir

Sifilis Tes VDRL Penisilin

Sepsis Kultur darah AB sesuai test

ISK Kultur urin AB sesuai test

Metabolik

Galaktosemia Galaktose 1-6 fosfat Dietbebas galaktose

Uridiltransferase

Tirosenemia Suksinil aseton urin, NTBC

Asam amino serum,

Alfafetoprotein

Endokrin

Hipopituitarism Kortisol,TSH,T4 Hormon

Hipotiroidism TSH, T4, T4 bebas, T3 Hormon

NTBC = Nitrotrifluorometilbenzoilcyclonescanedion

Page 92: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 86 Manado, 17-19 Maret 2017

Terapi kolestasis ekstrahepatal

Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, seperti

portoenterostomi kasai pada atresia bilier. Tindakan bedah merupakan

satu-satunya terapi dan sebaiknya dilakukan pada usia sebelum 6-8

minggu, karena angka keberhasilannya dapat mencapai 80-90%,

sementara bila dilakukan diatas 10-12 minggu, angka keberhasilannya

hanya mencapai 10%. Tatalaksana untuk inspissatedbile syndromeadalah

dengan kolangiografi (laparoscopic cholecystostomy dan bile duct lavage)

yang selain digunakan untuk diagnosis juga digunakan sebagai terapi

irigasi saluran bilier.Kolangiografi dapat dilakukan per kutaneus atau

melalui laparotomi.16

Terapi suportif:

a. Obat-obat medikamentosa:

Asam ursodeoksikolat:

Merupakan asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik

serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer

atau sekunder dan merupakan competitif binding terhadap asam

empedu toksik. Asam ursodeoksikolat juga merupakan suplemen

empedu untuk mengabsorpsi lemak. Manfaat lainnya adalah sebagai

hepatoprotektor karena dapat menstabilkan dan melindungi membran

sel hati serta sebagai flow inducer karena meningkatkan regulasi

sintesis dan aktifitas transporter pada membran sel hati. Dosis yang

diberikan adalah 10-30 mg/kgBB/hari.16

Rifampisin:

Rifampisin dapat meningkatkan aktifitas mikrosom serta menghambat

ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya,

sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus, namun efek

sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi

pada 5-10% kasus. Dosis yang diberikan adalah 5-10 mg/kgBB/hari,

biasanya digunakan untuk mengontrol pruritus yang berat.16

Fenobarbital:

Fenobarbital (5-phenyl-5-ethylbarbiturat acid) dapat bermanfaat sebagai

obat koleretik dan anti pruritus serta dapat mengurangi kuning.

Mekanisme kerjanya dengan meningkatkan fraksi independen asam

empedu pada aliran empedu, meningkatkan sintesis asam empedu dan

Page 93: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 87 Manado, 17-19 Maret 2017

menginduksi sitokrom P 450 pada tingkat transkripsi. Peningkatkan fraksi

independen asam empedu dan peningkatkan sintesis asam empedu

secara bersama sama akan meningkatkan aliran empedu. Stimulasi

sitokrom P450 tersebut diduga dapat menghilangkan substansi yang

bersifat pruritogenik. Dosis yang dianjurkan untuk fenobarbital adalah 3-

10 mg/kgbb/24 jam.17

Kolesteramin:

Kolesteramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehinngga

juga akan menghilangkan gatal. Kolesteramin dapat mengikat asam

empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi

enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Dosis :

0,25-0,5 g/kgBB/hari, efek sampingnya adalah trombositopenia dan

hepatotoksisitas yang terjadi pada 5-10% kasus.16

Rifampisin:

Rifampisin dapat meningkatkan aktifitas mikrosom serta menghambat

ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya,

sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus, namun efek

sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi

pada 5-10% kasus. Dosis: 5-10 mg/kgBB/hari, biasanya dipakai untuk

mengontrol pruritus yang berat.16,18

b. Nutrisi

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari

kolestasis hal ini hampir terjadi pada 60% pasien. Pada keadaan

steatorrhea yang sering terjadi pada bayi kolestasis dan peningkatan

expenditure, asupan kalori diharapkan 125% RDA sesuai dengan berat

badan ideal. Susu formula pada bayi dapat dicampur dengan air lebih

sedikit jumlahnya untuk menyediakan 24 atau 27 kkal/oz atau

ditambahkan polimer glukosa atau minyak MCT (medium chain

trigliserid).16,19

Susu formula MCT (medium chain triogliserida) yang paling

sering digunakan pada kolestasis dan mengandung kira-kira 50-60%

kalori lemak. C8-C12 asam lemak akan memberikan keseimbangan

energi yang lebih baik pada anak dengan kolestasis, tidak seperti LCT

(long chain trigliserida) yang memerlukan asam empedu untuk

membuatnya larut. MCT lebih larut air dan dapat diabsorpsi secara

Page 94: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 88 Manado, 17-19 Maret 2017

langsung ke sirkulasi porta. Bayi dengan kolestasis kronik yang

mendapat ASI harus diberikan tambahan formula ini apabila

pertumbuhan tidak adekuat.18,19

Saat pemberian energi yang optimal, protein yang diberikan

harus adekuat yaitu sekitar 2-3 gram /kgbb/hari. Pada kolestasis dan

sirosis, plasma aminogramnya biasanya tidak normal dengan

penurunan asam amino rantai cabang dan peningkatan asam amino

aromatik dibandingkan dengan asam amino rantai cabang. Bukti-bukti

menunjukkan bahwa makanan yang kaya asam amino rantai cabang

memberikan keuntungan yang baik pada terapi nutrisi penyakit kronis,

namun MCT yang mengandung asam aminorantai cabang yang

lengkap relatif mahal dan tidak tersedia secara gampang. Pada

keadaan ensefalopati hepatikum, asupan protein harus dibatasi sampai

0,5-1 gram/kgbb/hari.16,18,19

Kombinasi dari malabsorpsi LCT dan tidak kuatnya asupan energi

dapat menyebabkan terjadi defisiensi asam lemak esensial. Asam

lemak esensial (asam linoleac dan asam linolenic) adalah asam lemak

yang tidak dapat dihasilkan oleh mamalia melalui proses desaturasi dan

elongasi dari asam lemak yang lebih pendek. Defisiensi asam lemak

esensial dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, ruam bersisik

atau kering, trombositopenia dan gangguan fungsi imun. Jumlah

minimal asam linoleic yang diperlukan untuk mencegah defisiensi asam

lemak esensial adalah 3-4% dari asupan kalori. Salah satu contoh susu

formula extensive hidrolisat mengandung linoleat.16

Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorpsi vitamin-vitamin

larut lemak (A,D,E,K). Untuk mencegah komplikasi akibat defisiensi

vitamin tersebut perlu diberikan suplementasi otal. Suplementasi tetap

diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus. Vitamin-vitamin

tersebut diberikan dengan dosis sebagai berikut: Vitamin A Aquasol

A:5000-25.000U/hari, vitamin D3: calcitriol: 0,05-0,3 ug/kgbb/hari, vitamin

E Aquasol E:25-50IU/kgbb/hari, vitamin K Phytonadione (K1)2,5-5 mg/2-

7x/minggu oral atau 2-5 mg intramuskuler setiap 3- 4 minggu.16,18,19

Bila jumlah asam empedu <1,5-2,0 mmol/L dapat terjadi gangguan

absorpsi vitamin larut lemak. Penggunaan agen pengikat empedu

contohnya kolesteramin dapat mengganggu vitamin A dan vtamin E

Page 95: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 89 Manado, 17-19 Maret 2017

yang membutuhkan asam empedu untuk dapat dihidrolisis sebelum

dapat diabsorpsi di usus. Pada bayi kolestasis penurunan cadangan

tubuh akan terjadi secara cepat sehingga akan tampak gejala klinis

defisiensi vitamin yang larut dalam lemak pada usia 4-12 bulan tidak

diberikan suplementasi.16,18,19

Follow up kolestasis

Sepertu halnya penyakit kronis lainya, follow up atau pemantauan

sangatlah penting. Pada pemantauan ini kita juga bedakan kolestasis

intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Pada kolestasis intrahepatik,

etiologi penyebab sangatlah penting pada pemantauan. Adapun hal-hal

yang perlu dipantau pada kolestasis: gejala klinis dan laboratorium

(bilirubin total, bilirubin direk, alkali posfatase, gamma GT, albumin,

PT/INR). Pemantauan tersebut dilakukan secara berkala sampai kolestasis

dinyatakan membaik.

Pemantauan pada kolestasis ekstrahepatik (atresia bilier) lebih difokuskan

paska tindakan kasai prosedur. Pemantauan selanjutnya adalah dengan

memantau adanya tanda-tanda kolangitis baik klinis maupun laboratorium.

Prognosis

Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis

tersebut. Pasien dengan atresia bilier memiliki prognosis yang buruk.

Beberapa faktor yang memengaruhi prognosis pada atresia bilier antara

lain pengalaman operator dan sentral rujukan, luasnya kerusakan hati saat

operasi (umur saat operasi < 8 minggu keberhasilan mencapai 80%, umur

>8 minggu keberhasilan operasi hanya 20%), frekuensi kolangitis dan ada

tidaknya sindrom yang menyertai.20

Sedangkan pada sindrom hepatitis

neonatal akibat infeksi mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan

atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat metabolik maupun

genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya pengobatan antimikroba

spesifik.3Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar

60-80%.21

Page 96: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 90 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Bayi yang berusia lebih dari 2 minggu dengan gejala kuning yang menetap

perlu dipikirkan sebagai suatu kolestasis. Pada kolestasis harus segera

(kasus’emergency

’) dibedakan apakah kolestasis ektrahepatik (obtruktif

jaundice) yang memerlukan tindakan operatif segera atau sindrom hepatitis

neonatal yang memerlukan intervensi medikamentosa untuk menghindari

kerusakan hepar lebih lanjut. Dari berbagai macam penyebab sindrom

hepatitis neonatal, hal yang paling penting adalah menentukan penyebab

yang dapat diterapi. Hepatitis neonatal idiopatik merupakan diagnosis

terakhir yang umumnya digunakan bila penyebab lain tidak diketahui.

Terapi sindrom hepatitis neonatal bertujuan memperbaiki aliran empedu,

menjaga tumbuh kembang bayi secara optimal, mengatasi komplikasi dan

dukungan psikologis.

Page 97: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 91 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. Alur tatalaksana kolestasis

Page 98: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 92 Manado, 17-19 Maret 2017

Page 99: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 93 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Gourley GR. Jaundice. Dalam:Wyllie R, Hyams JS penyunting.

Pediatric gastrointestinal disease.Pathophysiology,

diagnosis,management. Edisi ke-2. Philadelphia:Sauders;1999. h.88-

102.

2. Agus Firmansyah. Pendekatan klinis anak kuning.Dalam: Hadinegoro

SR, Prawitasari T, Endyarni B, Kadim M, Sjakti HA. Diagnosis dan tata

laksana penyakit anak dengan gejala kuning. Pendidikan kedokteran

berkelanjutan ilmu kesehatan anak LIII FKUI. Jakarta. Bagian IKA

FKUI,2007:1-11.

3. Suchy F. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy F,

Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2.

Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins;2001. h.187-194.

4. Mclin V,Balstreri WF. Approach to neonatal cholestasis. Dalam: Walker

W, Goulet O,Kleinman R, Sherman P, Shneider B, Sanderson,

penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Edisi ke -4. Ontario: BC

Decker Inc; 2004.1079-1093.

5. Ratnavel N, Ives NK. Investigation of prolonged neonatal jaundice.

Current Paediatrics. 2005;15: 85-91.

6. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Coletti R, et

al.Guidelines for the evaluatin of cholestasis jaundice in infants:

Recomendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol.

Nutr 2004;39:115-28.

7. Philips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis.

Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri WF, penyunting. Liver disease in

children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

2001.h.23-38.

8. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J. (diunduh 9 Februari

2017). Tersedia dari: http://www.emedicine.com

9. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clin

Fam Practice. 2000;2:1-36.

10. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al.

Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: Join

Page 100: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 94 Manado, 17-19 Maret 2017

recommendations of the north american society for pediatric

gastroenterology, hepatology, and nutrition. JPGN. 2017;64:154-68.

11. Mover V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB,

Heyman MB. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in

infants: recommendation of the north american society for pediatric

gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol

Nutr. 2004;39:115-28.

12. Bakshi B, Sutcliffe A, Akindolie M, Vadamalayan B, John S, Arkley C,

Griffin L D, Baker A. How reliably can paediatric professionals identify

pale stool from cholestatic newborns?. Arch Dis Child Fetal Neonatal

Ed. 2012;97:F385-387.

13. Davis MK, Andreas JM. Cholestasis in neonates and infants. Dalam:

Neu J, Polin RA, penyunting. Gastroenterology and nutrition

Neonatology Questions and Controversies.Philadelphia:Sauders;2008.

h.135-55.

14. Forbes D. Liver disease in childhood. Dalam: Robinson MJ, Roberton

DM, penyunting. Practical paediatrics. Edisi ke-5. Edinburg: Churchill

Livingstone;2003.701-12.

15. Kelly DA. Pediatric liver disease. Dalam: O‘Grady JG, Lake JR, Howdle

PD, penyunting. Comprehensive clinical hepatology. Edisi ke-1.

London Mosby;2000.h.231-6.

16. Ferancak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional

management of cholestasis. Dalam:Suchy FJ, Sokol RJ, Balistri

WF,penyunting. Liver disease in children. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins,2001. h. 195-203.

17. McNamara JO. Drugs effective in the therapy of epilepsies. Dalam:

Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG,penyunting. Goodman and

Gilman,s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10.New

York: MCGraw-Hill; 2001. h.531-2.

18. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting.

Disease of the liver and biliary system in children, edisi ke-3. Oxford:

Wiley-Blackwell. 2008: 57-104.

19. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2004; 25: 388-396.

Page 101: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa

KONAS VII PGHNAI 95 Manado, 17-19 Maret 2017

20. Davenport M, Howard ER. Surgical disorder of the liver and bile ducts.

Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system

in children. Edisi ke-1. Oxford Blackwell Science; 1999. H.253-78.

21. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infection. Dalam:Suchy

FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.239-52.

22. SK Yaccha. Consensus report on neonatal cholestasis syndrome.

Indian Pediatrics. 2000;37:845-51.

Page 102: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 96 Manado, 17-19 Maret 2017

HEPATITIS A PADA ANAK

GEJALA KLINIS, ETIOLOGI DAN TATALAKSANA

Titis Widowati

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito

Pendahuluan

Hingga saat ini infeksi Virus Hepatitis A (VHA) masih menjadi penyebab

morbiditas yang tinggi di seluruh dunia. Laporan WHO menyebutkan

jumlah kasus Hepatitis A meningkat dari 117 juta kasus pada tahun 1990

menjadi 126 juta kasus pada tahun 2005 dan mortalitas hepatitis A

meningkat dari 30.283 pada tahun 1990 menjadi 35.245 pada tahun 2005.

Insidensi infeksi VHA biasanya berhubungan erat dengan tingkat sanitasi

lingkungan dan penyediaan sarana air bersih. Semakin buruk kondisi

sanitasi lingkungan dan higiene suatu daerah semakin tinggi prevalensi

hepatitis A. Di berbagai Negara Asia, Afrika, India dan negara dunia

sedang berkembang lainnya, lebih dari 75% anak berusia kurang dari 5

tahun sudah terkena infeksi VHA sejak usia dini tanpa menunjukkan gejala

yang nyata (asimtomatis).1,2,3

Perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene

akan menyebabkan risiko terinfeksi bergeser ke usia yang lebih tua

sehingga jumlah orang yang berisiko terinfeksi akan meningkat. Kondisi

tersebut akan meningkatkan terjadinya epidemik akibat kontaminasi feses

dari seorang penderita hepatitis A.4 Sejak tersedianya vaksin hepatitis A

jumlah penderita hepatitis A menurun drastis di negara maju, namun

demikian risiko terinfeksi masih cukup tinggi melalui foodborne outbreak

ataupun pelancong yang bepergian ke negara-negara dengan endemisitas

tinggi .3

Etiologi

VHA termasuk klasifikasi hepatovirus dari family Picornaviridae.

Karakteristik VHA adalah non-enveloped, single-stranded, dan merupakan

virus linear ribonucleic acid (RNA) dengan diameter 27 to 32 nm.5,6

Page 103: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 97 Manado, 17-19 Maret 2017

HVA resisten terhadap:4,5,6,7

- Suhu denaturasi (tetap hidup pada suhu 70°C hingga 10 menit)

- pH 1 hingga 2 jam (pada suhu kamar), 20% ether, chloroform,

dichlorodifluoromethane, dan trichlorotrifluoroethane

- asam perchloracetic (300 mg/l selama 15 menit pada suhu 20°C)

- detergent untuk melemahkan (mampu bertahan hidup pada suhu 37°C

selama 30 menit dalam 1% SDS)

- penyimpanan pada suhu –20°C selama beberapa tahun

HVA dapat dilemahkan dengan: 4,5,6,7

- pemanasan suhu hingga 85°C selama 1 menit

- autoclaving (121°C selama 20 menit)

- radiasi ultraviolet (1.1 W pada kedalaman 0.9 cm selama 1 menit)

- formalin (8% selama 1 mennt pada suhu 25°C)

- â-propriolactone (0.03% selama 72 jam pada suhu 4°C)

- potassium permanganate (30 mg/l selama 5 menit)

- iodine (3 mg/l selama 5 menit)

- chlorine (konsentrasi 2.0 - 2.5 mg/l selama 15 min)

- senyawa yang mengadung chlorine (3 - 10 mg/l sodium hypochlorite

pada suhu 20°C selama 5 sampai 15 menit)

Patogenesis

VHA masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran cerna. Sesudah

tertelan virus akan menembus mukosa usus, bereplikasi di sel epital kripta

kemudian mengikuti sirkulasi darah ke hepar melalui aliran porta. Di dalam

hepar virus akan bereplikasi dan menimbulkan viremia sebelum akhirnya

diekskresikan ke kantung empedu dan dikeluarkan ke feses. Feses dapat

mengandung 109

virion infeksius per gram dan menjadi sumber utama

penularan VHA.

Puncak ekskresi VHA pada feses dan tingginya infektifitas VHA

terjadi sebelum munculnya gejala ikterik, gejala klinis lainnya dan

peningkatan enzim transaminase, kemudian akan menurun sesudah

menghilangnya gejala ikterik. Dibandingkan dewasa, pada anak-anak dan

bayi feses dapat mengandung VHA untuk waktu yang lebih lama yaitu

Page 104: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 98 Manado, 17-19 Maret 2017

hingga beberapa bulan sesudah hilangnnya gejala klinis bahkan pada bayi

prematur dapat hingga 6 bulan. Viremia berlangsung 1-2 minggu sesudah

terpapar VHA dan berlangsung selama periode peningkatan enzim

transaminase. Konsentrasi virus dalam serum 2-3 kali log10 unit lebih

rendah dibanding di dalam feses. VHA juga terdapat di dalam saliva

dengan konsentrasi 1-3 log10 unit lebih rendah dibanding dalam serum,

namun belum ada data epidemiologi yang mendukung bahwa saliva dapat

menjadi sumber utama penularan. Studi tentang VHA pada kultur jaringan

menunjukkan bahwa VHA tidak secara langsung bersifat sitopatogenik.

Mekanisme terjadinya kerusakan hepatosit oleh VHA masih belum jelas

namun diduga dimediasi oleh sistem imun. 3,5

Gambaran Klinis

Infeksi VHA pada umumnya self limited disease dan memberikan

gambaran klinis yang bervariasi mulai dari asimtomatis hingga kematian

karena hepatitis fulminant. Kemungkinan munculnya gejala klinis infeksi

VHA meningkat susuai bertambahnya umur penderita. Pada anak < 6

tahun sekitar 70% asimtomatis dan bila muncul gejala klinis biasanya tidak

ikterik. Pada anak yang lebih besar dan dewasa sebagian besar simtomatis

dengan 70% pasien akan mengalami ikterik.

Sesudah masa inkubasi rata-rata 28 hari (15-50 hari) pasien yang

terinfeksi VHA akan menunjukkan gejala yang tidak spesifik kemudian

akan diikuti dengan keluhan gastrointestinal. Gejala yang khas biasanya

berupa demam, malaise, anorexia, nausea, abdominal discomfort, urine

berwarna gelap, dan ikterik yang biasanya berlangsung selama 2 bulan.

Hingga kini belum ada bukti terjadinya penyakit hati kronis atau infeksi

persisten sesudah infeksi VHA akut. Namun demikian 15-20% penderita

mungkin akan mengalami gejala yang memanjang atau relaps yang dapat

berlangsung hingga 6 bulan dan pada kondisi tersebut VHA dapat

terdeteksi di dalam serum penderita selama 6 – 12 bulan sesudah

terinfeksi.

Hepatitis fulminan adalah komplikasi yang jarang. Risiko mengalami

gagal hati akut berkisar antara 0.015 hingga 0.5% dan tertinggi terjadi pada

populasi anak yang masih kecil atau usia tua dengan penyakit yang

mendasarinya adalah penyakit hati kronis. Selain usia tua dan penyakit hati

Page 105: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 99 Manado, 17-19 Maret 2017

kronis yang mendasarinya hingga kini belum teridentifikasi faktor lain yang

menjadi predisposisi terjadinya hepatitis A fulminan. Pernah dilaporkan

faktor-faktor yang dijumpai pada penderita hepatitis A fulminan antara lain

adalah viral load rendah dan factor genetik yaitu substitusi nukleotide dan

atau asam amino pada 5 untranslated region (5 UTR), P2 region, dan P3

region dari genome HVA. 5,7,8,9

Perjalanan alamiah infeksi VHA akut dibagi menjadi 4 fase klinis:7,10,11,12

- Inkubasi : berlangsung antara 10-50 hari. Pada fase ini pasien

asimtomatis walaupun virus bereplikasi, sehingga penderita sangat

infeksius

- Fase prodromal atau preikterik : berlangsung beberapa hari hingga

lebih dari 1 minggu, ditandai dengan munculnya gejala seperti

kehilangan nafsu makan, nyeri perut, nausea dan muntah, demam,

diare, air kencing seperti teh dan tinja akolik

- Fase ikterik : gejala ikterik meningkat dengan kadar bilirubin total

mencapai 20-40 mg/l. Pada kondisi ini biasanya pasien akan datang

berobat. Ikterik biasanya akan muncul dalam 10 hari sesudah

munculnya gejala. Demam akan membaik beberapa hari sesudah

munculnya ikterik. Viremia akan berhenti segera sesudah munculnya

gejala hepatitis walaupun feses masih mengandung banyak virus

(infeksius) selama 1-2 minggu kemudian. Manifestasi ekstrahepatik

jarang terjadi. Pada fase ini mortalitas rendah (0,2%) dan penyakit

akhirnya sembuh. Kadang-kadang, terjadi nekrosis hati yang ekstensif

dalam 6-8 minggu sejak timbulnya gejala. Pada kondisi ini akan muncul

gejala demam tinggi, nyeri perut hebat, muntah, ikterik dan munculnya

gejala ensefalopati hepatikum disertai koma dan kejang yang

mengarah terjadinya hepatitis fulminant dengan risiko mortalitas antara

70-90%. Risiko mortalitas meningkat seiring bertambahnya usia. Pada

pasien dengan Hepatitis B atau C kronis yang terinfeksi VHA mortalitas

akan meningkat signifikan.

- Fase konvalesen : gejala penyakit mulai membaik perlahan-lahan

hingga mencapai kesembuhan penuh. Beberapa kondisi yang bisa

terjadi sesudah fase konvalesen antara lain :

Page 106: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 100 Manado, 17-19 Maret 2017

Hapatitis relaps (kekambuhan) akan terjadi pada 3-20% pasien

sekitar 4-15 minggu sesudah gejala infeksi menyembuh.

Hepatitis kolestatik dengan kadar bilirubin yang menetap

selama beberapa bulan.

Tabel 1. Kemungkinan luaran klinis infeksi VHA(4)

Luaran

Parameter Anak < 5 tahun Dewasa

Infeksi 80-95% 10-25%

Anikterik atau ikterik 5-20% 75-90%

Penyembuhan 99% 98%

Menjadi penyakit kronis Tidak ada

Mortalitas :

14 tahun 0,1%

15-39 tahun 0,3%

40 tahun 2,1%

Diagnosis

Respon imun humoral (serologi tes) memegang peran penting untuk

menegakkan diagnosis infeksi VHA karena secara klinis dan biokimiawi

sulit dibedakan dengan penyebab hepatitis virus yang lain seperti VHB,

VHC, VHD, dan VHE. Hepatitis sendiri ditegakkan dengan pemeriksaan

AST,ALT, alkali phosphatase, tes fungsi hati (bilirubin, total protein,

albumin, prothrombin time), bilirubin urin. Antibodi IgM, IgA dan IgG anti-

VHA biasanya terdeteksi pada saat munculnya gejala. Marker utama untuk

mendeteksi infeksi VHA akut adalah pemeriksaan IgM anti VHA dari serum

penderita. Pemeriksaan lainnya adalah dengan mendeteksi virus dan atau

antigen di dalam feses penderita. IgG anti VHA akan menetap lama

sesudah terinfeksi sehingga berguna untuk mendeteksi infeksi masa

lampau (telah menyembuh). Pemeriksaan essays komersial yang ada saat

ini hanya mendeteksi IgM anti VHA dan anti VHA total (IgM anti VHA dan

IgG anti VHA), sehingga bila ditemukan anti VHA total dan IgM anti VHA

negatif maka dapat ditentukan bahwa infeksi VHA yang terjadi adalah

infeksi masa lampau. Virus hepatitis A masih mungkin bisa menetap

walaupun antigen VHA sudah tidak terdeteksi, sehingga memerlukan

metode pemeriksaan yang lebih sensitif .4,5

Page 107: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 101 Manado, 17-19 Maret 2017

Respon immune host

Pada infeksi virus hepatitis A akut, IgM anti VHA akan terdeteksi sekitar 3

minggu sesudah paparan kemudian jumlahnya meningkat antara 4 sampai

6 minggu dan akhirnya menurun hingga tidak terdeteksi umumnya dalam 6

bulan sesudah terinfeksi (21-23,40). IgG dan IgA Anti VHA terdeteksi

dalam beberapa hari sesudah munculnya gejala. Antibodi IgG akan

memetap selama bertahun-tahun sesudah infeksi dan memberikan

kekebalan jangka panjang. Antibodi VHA akan meningkat bersamaan

dengan menurunnya jumlah virus selama viremia dan di dalam feses

(Gambar1) 4,5,12

Gambar 1. Peristiwa virologi, imunologi dan biokimiawi selama perjalanan

infeksi VHA.13

Penularan

Hepatitis virus A biasanya ditularkan melalui rute fekal oral baik dengan

cara kontak erat orang ke orang ataupun karena mengkonsumsi makan

dan minuman yang telah terkontaminasi. Penularan melalui transfusi darah

jarang, namun hal ini bisa saja terjadi bila pendonor pada saat diambil

Page 108: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 102 Manado, 17-19 Maret 2017

darahnya sedang mengalami viremia pada fase prodromal. Praktek donor

darah saat ini tidak melakukan skrining untuk mendeteksi infeksi VHA akut.

Viremia akan berlangsung selama beberapa minggu sehingga

memungkinkan terjadinya penularan virus melalui jarum suntik di antara

pengguna obat-obatan, walaupun konsentrasi VHA di dalam darah jauh

lebih rendah di banding dalam feses. VHA tidak ditularkan dari ibu ke bayi

baru lahir karena IgG anti VHA yang muncul pada saat awal infeksi mampu

menembus barier plasenta sehingga mampu memberikan perlindungan

pada bayi saat persalinan. VHA tidak ditularan melalui paparan urin,

sekresi nasofaring atau aerosol dari orang yang terinfeksi tanpa

memandang status fase klinik saat itu.2,4,14,15

Kelompok orang yang berisiko tertular hepatitis A adalah:4

Anggota keluarga/ pasangan seksual dari orang yang terinfeksi

hepatitis A

Tenaga medis dan paramedis di rumah sakit

Pelancong dari Negara maju yang bepergian ke Negara endemis

Orang yang tinggal di Negara endemis hepatitis A

Orang yang tinggal di suatu area yang sedang mengalami wabah

Anak-anak usia pra sekolah di Tempat Penitipan Anak berserta orang

tua dan saudaranya

Petugas penitipan anak

Staf di suatu komunitas yang tertutup (institusi)

Pengungsi di tempat pengungsian akibat bencana alam

Homoseksual

Pengguna abat terlarang yang memakai jarum suntik secara

bergantian

Penderita gangguan pembekuan darah

Penderita penyakit hati kronis

Penyaji makanan

Orang yang bekerja dengan primata

Page 109: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 103 Manado, 17-19 Maret 2017

Tatalaksana

Pencegahan

Pencegahan merupakan upaya yang penting untuk mengendalikan

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus karena sejauh ini sebagian

besar obat anti virus tidak memberikan hasil yang memuaskan seperti

halnya pemberian antibiotik pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri (4). Upaya pencegahan infeksi VHA dapat dilakukan melalui 2 cara

yaitu pencegahan secara umum dan khusus (imunisasi). Pencegahan

umum melalui peningkatan perilaku hidup sehat, kebersihan sanitasi

lingkungan dan penyediaan air bersih sesuai standar yang ditetapkan.

Perilaku hidup sehat diterapkan pada tiap anggota keluarga seperti rajin

mencuci tangan dengan benar sesudah buang air besar dan sebelum

menyiapkan makanan. Pencegahan khusus dengan imunisasi dapat dibagi

menjadi imunisasi pasif dan aktif.

- Imunisasi pasif :

Imunisasi pasif dengan immunoglobulin (IG) dapat menurunkan

insidensi hepatitis A hingga 90% dan sangat efektif bila diberikan

sebelum paparan, namun demikian IG hanya memberikan kekebalan

jangka pendek sekitar 6 bulan (sesudah dosis tunggal IG 100 IU) dan

harus diulang tiap 5 bulan apabila masih kontak dengan pengidap

hepatitis A. Tentu saja hal ini tidak praktis dan memerlukan biaya yang

cukup mahal. Untuk mendapatkan kekebalan jangka panjang lebih

diutamakan imunisasi aktif. Imunisasi pasif lebih diutamakan untuk

sasaran yang harus segera mendapatkan kekebalan seperti pelancong

yang akan bepergian ke daerah endemis (preexposure). Individu yang

telah terpapar dengan virus hepatitis A kurang dari 2 minggu namun

belum pernah mendapatkan vaksin hepatitis A sebelumnya dapat

diberikan IG (0.02ml/kg) dalam kurun waktu 2 minggu pasca paparan

(postexposure). Sedangkan orang yang telah mendapatkan 1 dosis

vaksin hepatitis A sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum terpapar

virus hepatitis A tidak memerlukan pemberian IG. Skrening serologi

anti VHA total pada individu yang telah terinfeksi virus hepatitis A

sebelum diberi IG tidak diperlukan karena pertimbangan masalah biaya

mahal dan justru akan menunda waktu pemberian.4,10,15,16

Page 110: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 104 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Rekomendasi pemberian immunoglobulin (IG) untuk

pencegahan hepatitis A.3,4

Indikasi Durasi perlindungan Dosis IG

Preexposure Jangka pendek

1 – 2 bulan

0,02 ml/Kg (im)

Jangka panjang

3 – 5 bulan

0,06 ml/Kg (im)

Postexposure 0,02 ml/Kg (im)

Imunisasi pasif aman diberikan untuk anak-anak, wanita hamil dan

menyusui atau penderita defisiensi imun. Imunoglobulin mempengaruhi

jenis vaksin hidup atau yang dilemahkan seperti MMR (Mumps,

Measles dan Rubella) atau Varisela. Vaksinasi MMR harus ditunda 3

bulan sedang Varisela ditunda 5 bulan sesudah pemberian IG.

Sebaliknnya IG tidak dianjurkan diberikan dalam waktu 2 minggu

sesudah pemberian imunisasi dengan vaksin hidup atau yang

dilemahkan.4,10,15

- Imunisasi aktif

Saat ini ada 4 jenis vaksin dilemahkan (Havrix®, Vaqta®, Epaxal®, dan

Avaxim®) yang beredar di pasaran. Vaksin yang dilemahkan aman,

mempunyai imunogenitas tinggi dan memberikan perlindungan jangka

panjang terhadap infeksi VHA (20 tahun). Vaksin ini dapat diberikan

bersama-sama dengan sejumlah vaksin (diphtheria, polio, tetanus,

typhoid oral, cholera, Japanese encephalitis, rabies, yellow fever dan

hepatitis B) tanpa mempengaruhi serokonversi. Sasaran imunisasi aktif

adalah mereka yang berisiko tertular hepatitis A, anak-anak usia ≥ 2

tahun di daerah endemis sedang dan tinggi dan mereka yang

menginginkan kekebalan terhadap hepatitis A. Untuk individu yang

memerlukan kekebalan tetapi alergi dengan salah satu komponen

vaksin dapat diberikan immunoglobulin dan dapat diulang bila masih

memerlukan perlindungan terhadap hepatitis A lebih dari 5 bulan.

Untuk orang yang memerlukan pemberian IG berulang perlu dilakukan

skrining status imunitasnya guna menghindari pemberian dosis IG

yang tidak perlu. Durasi proteksi vaksin hepatitis A berlangsung

setidaknya selama 20 tahun .4,17

Page 111: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 105 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 3. Dosis yang direkomendasikan untuk vaksin yang tersedia.4

HAVRIX® (SMITHKLINE BEECHAM BIOLOGICALS)

Grup

Umur

(tahun)

Dosis(ELISA

Units, EL.U.) Volume

No.

dosis

Jadwal

(bulan)

Anak dan

dewasa muda

2-19 720 EL.U. 0.5 ml 2 0, 6-12

Anak dan

dewasa muda

1-18

360EL.U.

(US$ 19.50)°

0.5 ml

3

0, 1, 6-12

Dewasa >18 1440EL.U.

(US$ 56.90)° 1.0 ml 2 0, 6-12

Keamanan Vaksin

Havrix®, Vaqta®, Avaxim®, Epaxal® and Twinrix® mempunyai profil

keamanan yang bagus dan memberikan imunogenitas yang tinggi pada

manusia. Hampir 100% vaksin akan membentuk antibodi yang protektif

dalam waktu 1 bulan sesudah pemberian dosis pertama.4,18

Efek samping

biasanya lokal pada tempat dilakukan penyuntikan berupa rasa nyeri (17%)

dan kemerahan (9%), dengan intensitas ringan dan durasi pendek.

Keamanan vaksin untuk ibu hamil belum diketahui. Vaksin yang tersedia

saat ini adalah inactivated vaksin, sehingga dapat diberikan untuk

penderita HIV ataupun imunokompromis walaupun mungkin respon

imunitasnya kurang bagus.1,12,15

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi hepatitis A dan terapi bersifat

suportif. Tujuan pengobatan terutama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

yang seimbang yaitu 1 g/Kg protein dan 30-35 cal/Kg. Tidak ada diit

khusus untuk penderita hepatitis A. Restriksi lemak tidak terbukti

bermanfaat terhadap perjalanan penyakitnya.4,15

Hepatitis A adalah self limiting disease, namun demikian dalam

perjalanannya dapat terjadi variasi bentuk klinis seperti fulminan, tipe

kolestasis atau relaps.

Page 112: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 106 Manado, 17-19 Maret 2017

Hepatitis Fulminan :

Hepatitis fulminan ditandai dengan gejala encephalopati dan pemanjangan

masa protrombin yang terjadi dalam masa 8 minggu terjadinya penyakit.

Pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi gejala udem serebri dan

pemantauan ketat masa perdarahan. Biasanya penderita memerlukan

perawatan di PICU (Pediatrics Intensive Care Unit). Angka harapan hidup

sekitar 65 % dan akan meningkat bila dilakukan transplantasi hati. 7,10

Tipe kolestasis :

Penderita akan mengalami kolestasis berkepanjangan dengan kadar

bilirubin > 10 mg/dl, biasanya disertai gejala pruritus hebat, demam, diare

dan penurunan berat badan. Prognosis biasanya baik. Pengobatan dengan

kortikosteroid jangka pendek akan memperpendek durasi gejala dan

abnormalitas biokimiawi. Vitamin larut dalam lemak (A,D,E,K) dan anti

pruritus bisa diberikan untuk mengurangi gejala.10,11,12

Relaps

Gejala timbul kembali sesudah 2 – 8 minggu mengalami perbaikan secara

klinis. Pengobatan bersifat suportif dan walaupun dapat berlangsung

beberapa bulan tetapi biasanya semua dapat sembuh sempurna (10).

Penderita bisa berobat dengan rawat jalan. Indikasi rawat inap antara lain

adalah:2,4

Encephalopati

Gangguan koagulopati

Muntah persisten dan dehidrasi

Sulit makan

Page 113: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 107 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Bonanni P,Boccalini S, Bechini A. Vaccination against hepatitis A in

children: a review of the evidence. Therapeutics and Risk

Management. 2007;3:1071-6.

2. Fiore A.E. Hepatitis transmitted by Food. CID. 2004;38:705-15.

3. World Health Organization. WHO position paper on hepatitis A

vaccines–June 2012. Wkly Epidemiol Rec. 2012;87:261–76.

4. WHO.Departement of Communicable Disease Surveilance and

Response. Hepatitis A. 2000.7

5. Nainan OV et al. Diagnosis of hepatitis A virus infection: a molecular

approach. Clinical microbiology reviews.2006, 19:63-79.

6. Martin A et al. Hepatitis A virus: from discovery to vaccines.

Hepatology, 2006, 43:164–72.

7. Yazigi NA, Balistreri WF. Acute and chronic viral hepatitis in Suchi FJ,

Sokol RJ, Balistreri WF. Liver disease in children 2nd

ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins;2001. p. 366-427.

8. Bower WA, Nainan OV, Han X, Margolis HA. Duration of viremia in

hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 2000;182:12–7.

9. Gabrieli R, Sanchez G, Macaluso A, Cenko F, Bino S, Palombi L, et al.

Hepatitis in Alba- nian children: molecular analysis of hepatitis A virus

isolates. J Med Virol. 2004;72:533–7.

10. Anonymous.Prevention of Hepatitis A Through Active or Passive

Immunization Recommendation of the Advisory Committee on

Immunizat Practices (ACIP).MMWR. 2006;55:1-23

11. Davison S, Boxaill EH. Infective disorder of the liver in Kelly D. Disease

of the liver and biliary system in children. 3rd

ed. Wiley-Blackwell; 2008.

p.129-44.

12. Koff RS. Hepatitis A. Lancet, 1998, 341:1643-1649.

13. Margolis HS, Nainan OV, Krawczynski K, Bradley DW, Ebert JW,

Spelbring J, et al. Appearance of immune complexes during

experimental hepatitis A infection in chimpanzees. J. Med. Virol.

1988;26:315–26.

Page 114: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 108 Manado, 17-19 Maret 2017

14. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of hepatitis A

through active or passive immunization: recommendations of the

Advisory Committee on Immunization Practices. Morbidity and Mortality

Weekly Report. 1996;45:1-30.

15. Renge RL, Dani VS, Chitambar SD, Arankalbe VA. Vertical

transmission of hepatitis A. Indian J Pediatr. 2002;69:535-6.

16. Stapleton JT. Host immune response to hepatitis A virus. J Infect Dis.

1995;171:9-14.

17. Clemens R et al. Clinical experience with an inactivated hepatitis A

vaccine. J Infect Dis. 1995; 171:44-9.

18. Niu MT et al. Two-year review of hepatitis A vaccine safety: data from

the vaccine adverse event reporting system (VAERS). Clinical

Infectious Diseases. 1998; 26:1475-6.

Page 115: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 109 Manado, 17-19 Maret 2017

HEPATITIS B IN CHILDREN:

DIAGNOSE, MANAGE, AND WHEN TO REFER

Bagus Setyoboedi

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr.Soetomo Surabaya

Pendahuluan

Virus hepatitis B (HBV) ditemukan pada tahun 1966. Diperkirakan dua

miliar orang di seluruh dunia terinfeksi HBV dan lebih dari 350 juta orang

menderita infeksi hepatitis B kronis.1

Infeksi virus Hepatitis B (HBV) dapat

menyebabkan hepatitis akut atau kronis, sirosis dan karsinoma

hepatoseluler. Gambaran klinis mulai dari gejala hepatitis subklinis hingga

dalam beberapa kasus bisa terjadi hepatitis fulminan. komplikasi jangka

panjang dari hepatitis B yang umum terjadi adalah sirosis dan karsinoma

hepatoseluler.2

Meskipun pengenalan vaksinasi secara universal pada bayi dilakukan

sejak tahun 1990-an, infeksi hepatitis B masih belum bisa

diberantas. Banyak dari populasi tinggal di daerah dengan risiko seumur

hidup tertular hepatitis B melebihi 60%.3 Kejadian kasus hepatitis B akut

terutama pada anak telah menurun secara signifikan, tetapi hepatitis B

kronis masih menjadi masalah besar yang berkaitan dengan penularan

vertikal, imigrasi dari daerah endemisitas, dan infeksi antigen permukaan

hepatitis B (HBsAg) kontak rumah tangga yang positif. Bayi dan anak-anak

mempunyai risiko besar untuk menjadi infeksi hepatitis B kronis setelah

terpapar virus. Sembilan puluh persen dari bayi yang terinfeksi pada masa

neonatus dan 25% - 50% anak-anak usia 1 sampai 5 tahun yang akut

terinfeksi HBV akan berkembangkan menjadi infeksi kronis, sedangkan

pada remaja <5% dan hanya 5% - 10% pada orang dewasa.4

Manifestasi Klinis

Infeksi HBV dapat bermanifestasi dalam tiga bentuk: hepatitis akut yang

self-limited, hepatitis kronis atau nekrosis hati luas yang mengakibatkan

kegagalan hati akut. Infeksi kronis dibedakan dari infeksi akut dengan

antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) menetap lebih dari 6 bulan setelah

Page 116: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 110 Manado, 17-19 Maret 2017

infeksi akut. Kemungkinan perkembangan dari hepatitis akut menjadi

kronis berbanding terbalik dengan usia. Anak-anak yang terinfeksi pada

awal kehidupan lebih beresiko untukmengalami infeksi kronis.5 Nekrosis

hati luas (fulminan) yang dapat mengakibatkan gagal hati akut terjadi pada

lebih kurang 1% dari infeksi HBV.

Sulit untuk membedakan hepatitis B dari bentuk-bentuk penyakit hati

yang lain berdasarkan kondisi klinis saja. Infeksi akut atau kronis mungkin

asimtomatik atau didapatkan gejala kuning disertai peningkatan

aminotransferase. Mungkin disertai pula gejala artralgia, artritis, ruam

makula atau glomerulonefritis. Dalam banyak kasus, riwayat paparan

dengan faktor risiko yang baru terjadi menunjukkan infeksi akut, sedangkan

riwayat setelah tinggal sejak kecil di daerah endemik lebih mengarah pada

infeksi kronis.6

Perjalanan alamiah hepatitis B kronis (CHB) dinamisdankompleks,

serta berlangsung non linear melalui beberapa tahapan. Istilah "immune

tolerant", "immune active", "immune control" dan "immune escape" telah

umum digunakan untuk menggambarkan fase-fase yang berbeda, tetapi

semakin diakui tidak sepenuhnya didukung oleh data imunologis.7

Fase

adalah durasi yang bervariasi, tidak selalu berurutan, dan tidak selalu

berhubungan langsung dengan kriteria dan indikasi untuk terapi antiviral.

Fase-fase hepatitis B kronis:8

1. Fase"immune tolerant", umumnya terjadi pada anak dan dewasa muda

dengan HBsAg-positif yang terinfeksi pada masa perinatal atau periode

awal anak-anak. Biasanya berlanjut menjadi dewasa muda dan dapat

berlangsung 10-30 tahun setelah infeksi perinatal. Biasanya HbeAg

serum terdeteksi, kadar HBV DNA tinggi (lebihdari 200 000 IU / mL),

dan kadar alanin aminotransferase (ALT) mungkin normal atau hanya

sedikit meningkat. Didapatkan peradangan hati minimal, tidak ada

fibrosis atau perkembangannya lambat, dan kemungkinan hilangnya

HbeAg secara spontan rendah.

2. Fase"immune active",ditandai HBeAg-positif dan inflamasi aktif. Serum

ALT mungkin abnormal atau berfluktuasi dan disertai dengan

penurunan bervariasi kadar HBV DNA. Gejala hepatitis dapat terjadi

dan bisa lebih parah, secara histologis nampak jelas gambaran hepatitis

dan fibrosis. Fase ini dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga

Page 117: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 111 Manado, 17-19 Maret 2017

tahunan, dan dapat terjadi serokonversi dari HBeAg-positif menjadi anti-

HBe. Angka serokonversi lebih tinggi pada mereka dengan

aminotransferase serum meningkat dan yang terinfeksi dengan

genotipe D, A, F dan (di Asia) B.

3. Fase "immune control", disebut juga non-replikatif atau tidakaktif

(sebelumnya disebut fase pembawa tidak aktif / ―inactive carrier‖),

ditandai serokonversi dari HbeAg positif menjadi anti-HBepositif, yang

terjadi pada lebih kurang 10-15% HBeAg-positif per tahun. Dengan

hilangnya HBeAg, perkembangan fibrosis minimal, kadar ALT serum

kembali normal,dan kadar HBV DNA rendah (kurang dari 2000 IU / mL)

atau tidak terdeteksi. Serokonversi HbeAg pada usia muda, sebelum

timbulnya penyakit hati yang signifikan, mengurangi risiko substansial

sirosis dan kanker hati sehingga memberikan prognosis yang baik.

Namun pada beberapa orang replikasi virus yang aktif dapat muncul

kembali.

4. Fase "immune escape", selainHBeAg-positif, hepatitis kronis aktif

dengan HBeAg-negatif (―immune escape-mutant‖) terjadi pada sekitar

5-15% dari orang dengan HBeAg-negatif, anti-HBe-positif dalam status

pembawa tidak aktif.9-11

HbeAg tidak terdeteksi (dan anti-Hbe

terdeteksi) terjadi karena mutasi pada pre-core atau promoter basal inti

dari genom virus yang menghasilkan varian HBV yang tidak

mengekspresikan HBeAg. Ini merupakan fase akhir dari penyakit,

umumnya pada orang yang lebih tua, memiliki perjalanan yang

bervariasi, dengan kadar ALT dan HBV DNA abnormal atau

berfluktuasi. Histopatologi menunjukkan perubahan necroinflammatory,

dan perkembangan menjadi sirosis yang lebih cepat (8 - 20%tiap

tahun).

5. Reaktivasi HBV dapat terjadi secara spontan atau mungkin dipicu oleh

kemoterapi dan terapi imunosupresif lainnya, dan dapat menyebabkan

hepatitis acute-on-chronic yang fatal, oleh karena itu perlu diberikan

terapi analog nukleosida (NA). Infeksi HBV tersembunyi / occult

(didefinisikan sebagai persistensi HBV DNA dalam hati pada orang

dengan HbsAg tidak terdeteksi dalam darah) juga dapat diaktifkan oleh

kemoterapi yang lama atau terapi imunosupresif. Subyek dengan infeksi

tersembunyi juga merupakan sumber penting dari infeksi baru pada

Page 118: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 112 Manado, 17-19 Maret 2017

layanan transfusi darah di daerah endemik HBV yang menggunakan

HbsAg sebagai satu-satunyapenanda infeksi pada populasi donor.

Orang yang telah bersih dari HbsAg dan HBV DNA negatif tetapi anti-

Hbcpositif dapat menjadi aktif kembali jika diberi obat imunosupresif

yang kuat.

Diagnosis

Identifikasi dan diagnosis penyakit infeksi HBV memerlukan hasil

pemeriksaan serologi dan virologi. Meskipun tidak semua inklusif, tabel 1

menunjukkan interpretasi klinis pola khas serologi dan virologi HBV. HBsAg

terdeteksi lebih dari6 bulan menunjukkan infeksi kronis. Antibodi terhadap

antigen permukaan virus (anti-HBs) terbentuk selama masa pemulihan dari

hepatitis B akut yang menjadi kekebalan terhadap infeksi di masa

depan. ‗Window period‘ merupakan periode HBsAg hilang dan anti-HBs

belum berkembang, namun antibodi terhadap antigen inti hepatitis B (anti-

HBc) dapat terdeteksi. Anti-HBs juga dapat terbentuk setelah vaksinasi

hepatitis B.6

Antigen kedua, antigen e hepatitis B (HBeAg) dilepaskan ke dalam

darah selama periode replikasi virus yang tinggi dan menunjukkan keadaan

yang sangat menular. Status serokonversi anti-HBe-positif dapat

berkembang setelah infeksi akut atau dalam fase akhir dari infeksi

kronis. terbentuknya anti-HBe mengidentifikasi pembawa HBsAg yang

berisiko rendah untuk transmisi HBV. Serokonversi jarang terjadi pada

infeksi virus 'precore mutan' (mutasi terjadi pada nukleotida 1896 di wilayah

precore dari genom HBV DNA). Mutasi ini virulensi pasti terjadi selama

perjalanan infeksi dan membuat virus tidak mampu memproduksi HBeAg.12

Serologi anti-HBc terbentuk sekitar 8 minggu setelah

infeksi. Kehadirannya dapat menunjukkan infeksi saat ini atau

sebelumnya. Pemeriksaan anti-HBc mendeteksi kedua immunoglobulin,

yaitu antibodi Ig G dan IgM, sementara uji kedua hanya mendeteksi

antibodi IgM. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, IgM anti-

HBc sangat spesifik untuk diagnosis infeksi akut karena ada selama awal

infeksi dan window period. Titer HBV DNA diukur dengan alat tes

hibridisasi dan berkorelasi dengan tingkat replikasi virus.6

Page 119: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 113 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 1. Interpretasi klinis dari profil klasik serologi dan virologi virus

hepatitis B (HBV)6

Interpretasi klinis HBsAg Anti-

HBc

Anti-

HBs HBeAg

Anti-

HBe HBV DNA

Infeksikronis + > 6

bulan

‗Window period‘ infeksi HBV

diselesaikan (HBsAg hilang

tapi anti-HBs belum

terbentuk)

– +*

(IgM)

Sangat menular (replikasi

virus tinggi)

+ + – +

HBsAg-karier berisiko

rendah transmisi HBV

(replikasi aktif)

+ – ± –

Kemungkinan mutan – ± +

Kemungkinan―escape

mutant‖ (mis.mendapat

lamivudine)

± ± meningkat

Kekebalansetelahvaksinasi – – +

* Saat atau sebelumnya infeksi (sangat spesifik untuk infeksi akut pada anak-anak yang lebih

tua dan orang dewasa) terbentuk sekitar delapan minggu setelah infeksi. + Positif; - Negatif; ±

Mungkin positif atau negatif; Anti-HBc Antibodi terhadap antigen inti hepatitis B; Anti-HBe

antibodi antigen e hepatitis B; Anti-HBs Antibodi terhadap antigen permukaan hepatitis B;

HBeAg antigen e Hepatitis B; HBsAg antigen permukaan Hepatitis B; IgM immunoglobulin M.

Pengobatan

Keputusan untuk mengobati harus dilakukan konsultasi dengan ahli

hepatologi anak. Pemantauan kepatuhan pengobatan, efek samping dan

respon pengobatan dapat dikoordinasikan bersama konsultan hepatologi.

Umumnya, anak dengan peningkatan kadar aminotransferase dan

penanda replikasi virus persisten (HbeAg dan HBV DNApositif) harus

dipertimbangkan untuk pengobatan (jika serum alanine aminotransferase

[ALT] naik2 -3 kali batas normal selama > 4 bulan tanpa diikuti anti-HBc

positif). Respon terhadap pengobatan umumnya didefinisikan sebagai

serokonversi HBeAg ke anti-HBe dengan hilangnya DNA HBV karena hasil

tersebut terkait dengan penurunan insiden sirosis dan karsinoma

Page 120: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 114 Manado, 17-19 Maret 2017

hepatoseluler. Studi pada orong dewasa menyimpulkan interferon-alpha

dan lamivudine sebagai pilihan pengobatan untuk penderita dengan

hepatitis B.13-15

Peran terapi kortikosteroid sebagai agen priming untuk

meningkatkan keberhasilan terapi masih harus diklarifikasi, tapi tampaknya

tidak perlu dan mungkin bisa menimbulkan bahaya.16

Sejauh ini, pada

anak-anak dengan hepatitis B kronis, hasil penelitian yang menggunakan

priming dengan steroid tidak berbeda secara signifikan dengan tanpa

steroid.17-18

Hasil uji terkontrol secara acak pemantauan jangka panjang

dari orang dewasa dengan hepatitis B kronis yang dirawat menunjukkan

bahwa interferon-alpha lebih efektif daripada plasebo dalam mencegah

perkembangan karsinoma hepatoseluler dan memperpanjang

kelangsungan hidup.19

Sejauh ini respon terapi pada anak mirip dengan orang dewasa, tetapi

jumlah obat yang disetujui untuk anak-anak masih terbatas. Untuk orang

dewasa, ada 7 obat antivirus yang saat ini disetujui oleh Food and Drug

Administration Amerika Serikat untuk digunakan sebagai terapi awal untuk

hepatitis B kronis: 2 jenis interferon (interferon alfa-2b dan peginterferon

alfa-2a) dan 5 analog nukleotida (lamivudine, adefovir dipivoxil, entecavir,

telbivudine, dan tenofovir). Untuk anak-anak, ada 4 terapi yang disetujui,

yaitu: adefovir untuk usia 12 ke atas;entecavir untuk usia 16 tahun ke

atas; interferon alfa-2b disetujui untuk digunakan pada anak-anak mulai

usia 12 bulan; dan lamivudine dapat digunakan mulai dari usia 3 tahun.4

Keputusan untuk memulai dan memilih pengobatan masih rumit dan

terus berkembang. Lamivudine dan adefovir adalah salah satu pilihan yang

kurang kuat, tetapi penggunaannya bukan tanpa risiko. Untuk lamivudine,

resistensi obat merupakan masalah yang signifikan. Sebuah studi oleh

Sokal et al 20

menunjukkan tingkat resistensi dari 64% pada anak-anak

yang menerima lamivudine selama 36 bulan. Jika memungkinkan,

lamivudine monoterapi harus dihindari karena tingginya insiden

resistensidan kekhawatiran bahwa hal itu akan mempengaruhi pilihan

pengobatan masa depan. Adefovir adalah obat antivirus kurang kuat

terhadap HBV, dan peningkatan resistensi terhadap adefovir terjadi dari

waktu ke waktu.21

Resistensi terhadap interferon belum ditemukan, dan

meskipun keberhasilan pada orang dewasa bervariasi, anak-anak (berusia

≤5 tahun) mungkin memiliki respon yang baikpada obat ini, namun efek

Page 121: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 115 Manado, 17-19 Maret 2017

samping tetap menjadi perhatian.22,23

Selain resistensi obat, dampak klinis

terhadap prognosis pasien (penurunan serokonversi, peningkatan laju

perkembangan penyakit) dan tantangan pengobatan seumur hidup

dihadapi seorang anak yang terinfeksi virus resisten.Hal tersebut juga

memiliki konsekuensi kesehatan masyarakat termasuk transmisi strain

yang resistan terhadap obat kepada orang lain. Dengan demikian, anak-

anak yang menerima terapi antivirus golongan nukleotida baik sendiri

maupun kombinasi harus dipantau kemungkinan terjadinya resistensi

denganpemeriksaan periodik kadar HBV DNA dan ALT, seperti yang

disarankan pada beberapa pedoman dewasa.24,25

Terapi antivirus umumnya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki

penyakit hati aktif, yang ditunjukkan dengan peningkatan ALT (umumnya

mereka yang telah pindah dari fase immune-tolerant ke fase immune-

clearance). Untuk anak-anak yang HBeAg-positif dengan kadar ALT tinggi

dan penyakit hati terkompensasi, dipertimbangkan pengamatan selama 6

sampai 12 bulan untuk menentukan apakah terjadi serokonversi spontan

HBeAg. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam keputusan

untuk memulai pengobatan dengan terapi antivirus, potensi khasiat, durasi

terapi, dan risiko resistensi obat dalam pandangan pilihan terapi yang

terbatas untuk anak-anak.4

Skrining dan Rujukan

HbsAg dan anti-HBs serum merupakan alat skrining yang paling efektif

untuk infeksi HBV. HBsAg terdeteksi pada hampir semua orang dengan

infeksi kronis, bahkan saat HBV DNA tidak terdeteksi. Kadar anti-HBs yang

rendah mengidentifikasi anak yang rentan dan membutuhkan

vaksinasi. Anak-anak dengan HBsAg-positif harus diperiksa ulang 6 bulan

kemudian untuk menentukan ada tidaknya infeksi kronis. Kadar ALT serum

tidak meningkat pada fase imun-toleran, oleh karena itu pengukuran ALT

bukan merupakan metode skrining yang tepat untuk mendeteksi infeksi

HBV.4

Gambar 1 menunjukkan pendekatan yang disarankan untuk

memantau anak-anak dengan infeksi HBV kronis. Secara khusus, panel

merekomendasikan evaluasi awal: tingkat ALT (bagian dari panel fungsi

hati); sel darah putih dan platelet, karena nilai-nilai yang rendah merupakan

Page 122: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 116 Manado, 17-19 Maret 2017

penanda fibrosis hati lanjut (bagian dari hitung darah lengkap). Serologi

hepatitis B, khususnya HBeAg dan anti-HBe, dan HBV DNA kuantitatif,

digunakan bersama dengan kadar ALT untuk menentukan tahap

penyakit. USG hati dasar, digunakan untuk penilaian tekstur hati dan

adanya nodul serta ukuran limpa. Kadar α-fetoprotein (AFP), yang

digunakan untuk stratifikasi risiko HCC terutama pada penderita dengan

riwayat keluarga kanker hati atau penyakit hati. Anak-anak dengan HBeAg-

positif, kadar ALT dan AFP normal, harus dievaluasi ulang setiap 6 sampai

12 bulan bersama dengan pemantauan terus status HBeAg / anti-

HBe. Pada fase immune-toleran ttersebut, masih ada risiko perkembangan

penyakit atau HCC, namun terapi pada saat ini tidak efektif. Jika ALT

meningkat, anak berisiko untuk perkembangan penyakit hati dan juga

menjadi kandidat untuk pengobatan. Jika HBeAg tidak terdeteksi namun

HBV DNA terdeteksi, maka penderita mengalami hepatitis B kronis antigen

e negatif.4

Penutup

Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV), masih menjadi

masalah kesehatan di seluruh dunia. Hepatitis B sering hanya

menimbulkan gejala yang ringan pada kebanyakan penderita anak, namun

semakin muda terinfeksi kemungkinan berkembang menjadi kronis

semakin besar. Sebagian penderita berisiko mengalami perkembangan

yang progresif dan komplikasi serius saat dewasa. Diagnosis umumnya

ditegakkan dengan pemeriksaan serologi dan virologi. Keputusan mulai

pengobatan, efek samping dan respon pengobatan sebaiknya

dikoordinasikan bersama konsultan hepatologi anak. Anak dengan HBsAg-

positif harus diperiksa ulang 6 bulan kemudian untuk menentukan ada

tidaknya infeksi kronis, bila mengalami infeksi kronis perlu dilakukan

pemantauan HBeAg, HBV DNA, ALT, AFP, serta USG secara berkala

setiap 6 sampai 12 bulan.

Page 123: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 117 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. Pendekatan untuk memantau anak-anak dengan infeksi hepatitis B

kronis (persisten HBsAg positif).4

aSetiap anak yang memiliki ALT atau AFP tinggi, memiliki riwayat keluarga menderita HCC,

atau HBeAg-negatif tetapi HBV DNA >2000 IU / mL harus dirujuk ke spesialis hepatologi

anak. ALT dan sel darah putih / platelet (WBC / Plt) umumnya termasuk dalam evaluasi awal

sebagai bagian dari panel fungsi hati dan hitung darah lengkap. bTingkat ALT harus

dipertimbangkan tinggi jika lebih besar dari leih dari batas normal yang ditentukan atau >40 IU

/ L, pilih mana yang lebih rendah. cPeriksa kadar ALT dan AFP setiap 6 sampai 12 bulan dan

HBeAg / Anti-HBe dan HBV DNA setiap 12 bulan. Banyak spesialis anak juga

mempertimbangkan USG setiap 1 sampai 2 tahun (terutama dengan riwayat keluarga kanker

hati atau jika ALT atau tingkat AFP meningkat).

Page 124: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 118 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Kane M. Global programme for control of hepatitis B infection. Vaccine.

1995;Suppl 1:S47-9.

2. Izzo F, Cremona F, Ruffolo F, et al. Outcome of 67 patients with

hepatocellular cancer detected during screening of 1125 patients with

chronic hepatitis. Ann Surg. 1998.227:513-8.

3. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and

Prevention of Vaccine Preventable Diseases. 10th ed, 2nd printing.

Washington, DC: Public Health Foundation; 2008:211–234. Available

at: www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/pink-chapters.htm. Diunduh

30 Januari 2017.

4. Haber BA, Block JM, Jonas MM, Karpen SJ, London WT, McMahon

BJ, et al. Hepatitis B Foundation. Recommendations for screening,

monitoring, and referral of pediatric chronic hepatitis B. Pediatrics.

2009;124:e1007-13.

5. Tassopoulos NC, Papaevangelou GJ, Sjogren MH, Roumeliotou-

Karayannis A, Gerin JL, et al. Sejarah alam dari permukaan hepatitis B

antigen-positif hepatitis akut pada orang dewasa Yunani.

Gastroenterologi. 1987;92:1844-50.

6. Yeung LTF, Roberts EA. Hepatitis B in childhood: An update for the

paediatrician. Paediatr Child Health. 2001;6:655-60.

7. Bertoletti A, Kennedy PT. The immune tolerant phase of chronic HBV

infection: new perspectives on an old concept. Cell Mol Immunol.

2014;doi: 10.1038/cmi.2014.79. [Epubahead of print].

8. WHO. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons

with chronic hepatitis B infection. Geneva: World Health Organization;

Maret 2015:16–7.

9. Hadziyannis SJ, Papatheodoridis GV. Hepatitis B e antigen-negative

chronic hepatitis B: natural history and treatment. Semin Liver Dis.

2006;26:130–41.

10. Hadziyannis SJ, Vassilopoulos D. Hepatitis B e antigen-negative

chronic hepatitis B. Hepatology. 2001;34:617–24.

Page 125: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 119 Manado, 17-19 Maret 2017

11. Brunetto MR, Oliveri F, Coco B, Leandro G, Colombatto P, Gorin JM, et

al. Outcome of anti-HBe positive chronic hepatitis B in alpha-interferon

treated and untreated patients: a long term cohort study. J Hepatol.

2002;36:263–70.

12. Koh K, Lee H, Kim C. Universal emergence of precore mutant hepatitis

B virus along with seroconversion to anti-HBe irrespective of

subsequent activity of chronic hepatitis B. Korean J Intern

Med. 1994;9:61–6.

13. Schalm SW, Heathcote J, Cianciara J, et al. Lamivudine and alpha

interferon combination treatment of patients with chronic hepatitis B

infection: A randomised trial. Gut. 2000;46:562–8.

14. Wong D, Cheung A, O'Rourke K, Naylor C, Detsky A, Heathcote J.

Effect of alpha-interferon treatment in patients with hepatitis B e

antigen positive chronic hepatitis B. Ann Intern Med. 1993;119:312–

23.

15. Lai CL, Chien RN, Leung NW, et al. A one-year trial of lamivudine for

chronic hepatitis B. Asia Hepatitis Lamivudine Study Group. N Engl J

Med. 1998;339:61–8.

16. Liaw YF, Tsai SL, Chien RN, Yeh CT, Chu CM. Prednisolone priming

enhances Th1 response and efficacy of subsequent lamivudine therapy

in patients with chronic hepatitis B. Hepatology. 2000;32:604–9.

17. Gregorio GV, Jara P, Hierro L, et al. Lymphoblastoid interferon alfa with

or without steroid pretreatment in children with chronic hepatitis B: a

multicenter controlled trial. Hepatology. 1996;23:700–7

18. Vajro P, Migliaro F, Fontanella A, Orso G. Interferon: A meta-analysis

of published studies in pediatric chronic hepatitis B. ActaGastroenterol

Belg. 1998;61:219–23.

19. Lin SM, Sheen IS, Chien RN, Chu CM, Liaw YF. Long-term beneficial

effect of interferon therapy in patients with chronic hepatitis B virus

infection. Hepatology. 1999;29:971–5.

20. Sokal EM, Kelly DA, Mizerski J, et al. Long-term lamivudine therapy for

children with HBeAg-positive chronic hepatitis B. Hepatology.

2006;43:225–32.

Page 126: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Bagus Setyoboedi

KONAS VII PGHNAI 120 Manado, 17-19 Maret 2017

21. Pallier C, Rodriguez C, Brillet R, Nordmann P, Hézode C, Pawlotsky

JM. Complex dynamics of hepatitis B virus resistance to adefovir.

Hepatology.2009;49:50–9.

22. Burczynska B, Madalinski K, Pawlowska J, et al. The value of

quantitative measurement of HBeAg and HBsAg before interferon-

alpha treatment of chronic hepatitis B in children. J

Hepatol.1994;21:1097–102.

23. Kobak GE, MacKenzie T, Sokol RJ, Narkewicz MR. Interferon

treatment for chronic hepatitis B: enhanced response in children 5

years old or younger. J Pediatr.2004;145:340–5.

24. Keeffe EB, Dieterich DT, Han SH, et al. A treatment algorithm for the

management of chronic hepatitis B virus infection in the United States:

2008 update. Clin Gastroenterol Hepatol. 2008;6:1315–41.

25. Lok AS, McMahon BJ. Chronic hepatitis B [published correction

appears in Hepatology. 2007;45(6):1347]. Hepatology.2007;45

(2):507– 539.

Page 127: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 121 Manado, 17-19 Maret 2017

HOW TO INTERPRET FECAL ANALYSIS IN DAILY PRACTISE

Nuraini Irma Susanti

Pendahuluan

Analisis tinja merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering

digunakan oleh klinisi, baik sebagai pemeriksaan rutin maupun untuk

menegakkan diagnosis penyakit saluran cerna. Pemeriksaan ini

memberikan informasi penting yang diperlukan untuk diagnosis banding

berbagai kelainan saluran cerna seperti infeksi, perdarahan, maldigesti,

malabsorbsi, maupun kelainan hati, empedu dan pankreas yang

menyebabkan gangguan enzim pencernaan.1,2

Cara pengumpulan

sampel yang benar, cara pemeriksaan dan interpretasi yang benar akan

menentukan ketepatan diagnosis.

Pemeriksaan analisis tinja terdiri dari pemeriksaan makroskopik,

mikroskopik, kimia dan mikrobiologi. Pemeriksaan makroskopik mencakup

pemeriksaan warna, bau, konsistensi, mendeteksi adanya mukus atau

darah. Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari pemeriksaan leukosit, eritrosit,

sisa makanan seperti amilum, lemak, serat daging, serat tumbuhan, telur

cacing, amuba dan jamur. Pemeriksaan kimia meliputi pemeriksaan Ph, uji

reduksi dan darah samar.2-4

Analisis tinja secara komprehensif bermanfaat dalam mendeteksi

adanya infeksi, adanya darah dalam tinja, juga dalam memberikan

informasi dan evaluasi terhadap proses digesti, absorpsi serta fungsi usus.

Hasil analisis tinja juga dapat berperan dalam menentukan adanya

ekskresi lemak (steatorrhea), menentukan jenis diare dan

penyebabnya.1,3,5

Pengumpulan Bahan

Proses pengumpulan bahan merupakan faktor penting dalam semua

prosedur pemeriksaan laboratorium. Selama 1 – 2 hari sebelum

pemeriksaan tinja disarankan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan

seperti antasida, anti diare, antiparasit, anti biotika, laksan, zat besi dan

lain-lain.2,6

Page 128: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 122 Manado, 17-19 Maret 2017

Bahan pemeriksaan tinja ditampung dalam wadah bersih, tidak dapat

meresap, berlabel identitas pada wadah penampung, bertutup rapat, tidak

mudah pecah dan mudah dibawa. Penderita atau orangtua diberi

penjelasan agar tinja tidak terkontaminasi dengan urin dan air toilet yang

mengandung sabun atau desinfektan. Gas yang terkumpul dalam wadah

dikeluarkan secara periodik dengan membuka tutup wadah.3-7

Selain itu tinja tidak mengenai bagian luar wadah dan diisi tidak terlalu

penuh. Tinja yang menempel di sarung tangan pada saat colok dubur,

dapat dipindahkan ke kertas saring untuk pemeriksaan makroskopik dan

darah samar. Tinja sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar, kurang dari

1 jam setelah di ambil7, karena bila dibiarkan unsur dalam tinja akan

berubah.

Interpretasi Pemeriksaan

A.Pemeriksaan Makroskopik

Warna

Tinja normal berwarna kuning coklat berasal dari urobilinogen yang

teroksidasi dalam usus menjadi urobilin, dan warna ini dapat berubah

menjadi lebih tua dengan terbentuknya lebih banyak urobilin. Selain

urobilin, warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan

dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan.

Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang

mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh

biliverdin dan porphyrin dalam mekonium.3,5

Tinja berwarna kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada

urobilinogen dalam saluran pencernaa , seperti yang terdapat pada ikterus

obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat

pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang

menyebabkan makanan yang mengandung banyak lemak tidak dapat

dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan

radiologik.4

Tinja berwarna hitam seperti ―ter‖ (tarry stool), biasanya disebabkan

perdarahan saluran cerna bagian atas.1,2,4,5,

. Perdarahan pada esophagus,

Page 129: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 123 Manado, 17-19 Maret 2017

lambung dan duodenum, memerlukan waktu sekitar 3 hari untuk darah

sampai dalam tinja. Terjadi pemecahan hemoglobin menjadi hematin asam

oleh asam lambung sehingga tinja berwarna hitam. Tinja berwarna hitam

juga dapat disebabkan oleh obat yang mengandung besi, arang, atau

bismuth.7

Tinja yang berwarna merah terang dapat disebabkan oleh perdarahan

yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau

tomat.

Bau

Bau tinja berasal dari hasil metabolism bakteri usus.1,2,

Bila terjadi

perubahan keseimbangan flora normal usus atau komposisi zat makanan

yang dicerna berubah dapat terjadi perubahan bau tinja. Bau busuk

didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna

dan dipecah oleh kuman.1,4

Feses yang berbau busuk didapatkan pada

infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides. 8

Tinja yang berbau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna

seperti pada diare. Konsumsi makanan dengan rempah-rempah dapat

mengakibatkan rempah-rempah yang tercerna menambah bau tinja.5,7

Konsistensi

Pada keadaan normal konsistensi tinja agak lunak dan berbentuk. Pada

kasus diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan

sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Tinja

yang cair tanpa lendir atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin

virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran cerna.8

Konsistensi tinja cair, bercampur darah dan lendir dapat disebabkan

oleh infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif

yang menyebabkan peradangan mukosa atau adanya parasit diusus

seperti E. hystolitica, B. coli dan T. trichiura. 8,9

Tinja yang lengket, berminyak dapat disebabkan karena mengandung

banyak lemak, yang disebut sebagai steatorrhea. Peragian dari karbohidrat

dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.4,5

Page 130: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 124 Manado, 17-19 Maret 2017

Lendir

Lendir atau mukus merupakan suatu zat gelatin yang tidak dijumpai pada

tinja normal. Terdapatnya lendir yang banyak menunjukkan adanya

rangsangan atau radang pada dinding usus. Bila lendir hanya terdapat di

bagian luar tinja, lokasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar dan

sebaliknya bila lendir bercampur dengan tinja, lokasi iritasi terletak pada

tempat yang lebih tinggi, seperti di usus halus. Ditemukannya lendir saja

tanpa tinja dapat terjadi pada intususepsi dan ileokolitis 3,5

. Pada kasus

keganasan serta peradangan rektal anal, didapatkan tinja dengan lendir

dan bercampur darah. Bila ditemukan tinja dengan lendir bercampur nanah

dan darah pikirkan adanya kolitis ulseratif, disentri basiler, divertikulitis

ulseratif, tbc usus. Adanya tinja dengan lendir yang sangat banyak dapat

dikarenakan adanya vilous adenoma colon.10,11

Darah

Darah dalam tinja dapat bewarrna merah terang, coklat atau hitam. Darah

itu mungkin terdapat di bagian luar tinja atau bercampur dengan tinja.

Adanya darah di dalam tinja dapat diketahui bila perdarahan lebih dari 50 -

100 mL/hari. Bila perdarahan terjadi di daerah saluran cerna bagian atas,

darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam karena

bercampur dengan asam lambung, ini disebut ―melena‖ seperti pada tukak

lambung atau varises esofagus. Warna hitam pada tinja dapat juga

disebabkan oleh darah yang tertelan karena perdarahan di rongga mulut

atau hidung. Pada perdarahan di saluran cerna bagian bawah, darah

yang berwarna merah segar terdapat di bagian luar tinja dan dijumpai pada

hemoroid atau karsinoma rektum. Tinja yang mengandung darah bisa

disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri

enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau adanya parasit

diusus seperti E. hystolitica, B. coli dan T. trichiura.8,11

Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan nanah. Hal ini terdapat

pada penyakit kolitis ulseratif kronik, fistula kolon sigmoid, abses local.

Page 131: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 125 Manado, 17-19 Maret 2017

Parasit

Pemeriksaan parasit dilakukan untuk mengetahui adanya cacing ascaris,

ancylostoma dan spesies cacing lainnya , juga Giardia lamblia yang

mungkin didapatkan dalam feses.10

Lain-lain

Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan makroskopik tinja adalah

adanya unsur lain dalam tinja, misalnya sisa makanan yang tidak tercerna,

cacing dan pus atau nanah. Sisa makanan sebagian berasal dari

makanan, sayur-sayuran dan sebagian lagi makanan berasal dari hewan,

seperti serat otot, dan zat-zat lainnya.

B. Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan cara memeriksa sejumlah

kecil suspensi tinja, kemudian dilakukan pewarnaan dengan menggunakan

eosin 2%, lugol dan sudan III. Pemeriksaan ini dapat membantu

menentukan penyebab diare dan sebagai penyaring terhadap steatorrhea.

Secara kualitatif dengan pewarnaan eosin 2% dapat dinilai adanya

leukosit, eritrosit, telur cacing, dan sisa makanan yang tidak dicerna

dengan baik seperti serat daging dan serat tumbuhan, Untuk melihat sisa

makanan berupa amilum digunakan lugol.2,6,7,8

Leukosit

Dalam keadaan normal tidak dijumpai leukosit dalam tinja.2,10

Leukosit

menunjukkan suatu keadaan inflamasi atau infeksi. Terdapat berbagai

penelitian tentang jumlah leukosit yang menunjukkan adanya infeksi pada

saluran cerna. Huicho , Sanchez D dkk dalam penelitiannya terhadap 446

anak diare, didapatkan leukosit dinyatakan positif bila didapatkan >5/lpb11

.

Jumlah leukosit >10/lpb dipakai WHO sebagai tanda adanya infeksi bakteri

patogen Shigella disentriae pada anak dengan klinis disentri.10

Pada disentri basiler, kolitis ulseratif dan peradangan didapatkan

peningkatan jumlah leukosit. Untuk meningkatkan kemampuan identifikasi

leukosit, dapat dilakukan pewarnaan dengan methylene blue atau Wright

pada sediaan basah. 10

Page 132: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 126 Manado, 17-19 Maret 2017

Eritrosit

Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.

Sedangkan bila lokasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya

eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.11

Lemak

Lemak dalam tinja terdiri dari trigliserida, asam lemak dan garam lemak

(fatty acid salts). Adanya lemak dari pemeriksaan mikroskopik

menggunakan zat warna Sudan III, Sudan IV atau Oil Red O. Adanya

lemak tampak sebagai globul berwarna orange sampai merah. 4,5

Protozoa

Biasanya protozoa didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair

baru didapatkan bentuk trofozoit.10

Telur cacing

Telur cacing yang mungkin didapat adalah Ascaris lumbricoides, Necator

americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, S trongyloides

stercoralis dan sebagainya.5,6

Jamur

Untuk membedakan antara kandida (jamur) dalam keadaan normal

dengan kandidiasis adalah dari hasil pemeriksaan dapat ditemukan

bentuk pseudohifa yang merupakan bentuk invasif dari kandida pada

sediaan tinja. Timbulnya kandidiasis juga dapat dipermudah dengan

adanya faktor risiko seperti diabetes melitus, AIDS, pengobatan antikanker,

dan penggunaan antibiotika jangka panjang.

Serat sisa makanan

Untuk melihat adanya serat makanan, baik serat daging atau serat

tumbuhan, dilakukan pemeriksaan suspense dengan larutan eosin 10%

dalam alkohol.1,2,4

Dalam keadaan normal tidak ditemukan serat daging

dalam tinja dan bisa dijumpai 1 – 4 serat tumbuhan /lpb.Beberapa

penelitian menunjukkan korelasi yang baik antara ditemukannya

peningkatan jumlah serat daging dengan maldigesti. 3,9,10

Untuk identifikasi

Page 133: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 127 Manado, 17-19 Maret 2017

lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan Lugol maka pati (amylum)

yang tidak sempurna dicerna nampak seperti butir-butir biru atau merah.

3.Pemeriksaan Kimia

pH

Pada keadaan normal pH tinja berkisar antara 7 – 8. pH sering dikaitkan

dengan adanya fermentasi karbohidrat dalam usus akibat defisiensi

enzyme disakaridase. 1,2

Pemeriksaan pH berhubungan dengan konsumsi

serat, produksi asam lemak rantai pendek dan rantai panjang serta

dikaitkan kepentingannya dengan kanker kolon.3,10

pH tinja < 5,5

menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat, yang umumnya terjadi

sekunder karena infeksi virus.

Uji Reduksi

Uji reduksi dilakukan dengan mencampur 4 tetes suspense tinja dengan

2,5 ml larutan Benedict, dipanaskan sampai mendidih. Kemudian dilihat

perubahan warna yang terjadi, sama seperti pada pemeriksaan reduksi

urin. Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai penyaring adanya intolerasi

karbohidrat. Uji reduksi positif disertai penurunan pH tinja 5 – 6 dapat

merupakan petanda adanya intoleransi karbohidrat. 1, 10

Darah Samar

Sering perdarahan di dalam tinja tidak tampak secara makroskopik. Tes

terhadap darah samar dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan

kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik.

Menurut Brunzel 1 dalam keadaan normal dikeluarkan kurang dari 2,5 mL

darah di dalam tinja per hari, keadaan ini setara dengan < 2miligram

hemoglobin per gram tinja. Perdarahan yang terdapat di dalam tinja dapat

disebabkan oleh perdarahan dari saluran cerna atas maupun saluran cerna

bawah. Pada saluran cerna atas dapat disebabkan esofagitis, varises

esophagus, ulkus duodenum , ulkus gaster, gastritis, tumor ganas atau

jinak di lambung. Penyebab perdarahan saluran cerna bawah antara lain

colitis, karsinoma kolon, hemoroid dan fisura anal. Pemeriksaan darah

samar dianggap penting karena 50% kasus keganasan saluran cerna

merupakan keganasan kolorektal. Adanya darah samar tinja yang positif,

Page 134: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 128 Manado, 17-19 Maret 2017

merupakan gejala awal dan paling sering pada keganasan saluran cerna.

Adanya peningkatan ekskresi darah dalam tinja harus diikuti dengan

pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan darah samar tinja berdasarkan

aktivitas pseudoperoksidase hemoglobin yang bereaksi dengan hidrogen

peroksida untuk mengoksidasi suatu indikator tidak berwarna menjadi

komponen yang berwarna. Pada umunya indikator yang digunakan adalah

benzidine, ortho-toluidin dan guaiac. Saat ini benzidine sudah tidak

digunakan karena bersifat karsinogenik . 1,7,12

Reakti oksidasi ini sensitif untuk mendeteksi adanya darah. Namun

demikian adanya zat lain dalam tinja seperti mioglobin, klorofil yang berasal

dari sayuran, serat hewan dan beberapa bakteri usus dapat menyebabkan

reaksi positif palsu.12

Oleh sebab itu interpretasi hasil pemeriksaan darah

samar harus dilakukan dengan hati-hati pada orang yang tanpa

pembatasan diet tertentu.1

4.Pemeriksaan Mikrobiologi

Pada keadaan normal, didalam usus banyak terdapat flora normal, antara

lain E.coli, Lactobacillus sp, Bifidobanteria. Mikroorganisme ini berperan

dalam membantu proses pencernaan sehingga proses penyerapan zat

yang diperlukan dapat berlangsung optimal. Selain itu flora normal juga

berperan dalam mencegah kolonisasi oleh mikroorgansme patogen. 6

Perubahan dalam komposisi flora normal usus sering terjadi bersama

dengan diare. Beberapa mikroorganisme yang sering menyebabkan diare

adalah Salmonella, Shigella, Klebsiella, Aeromonas, Staphylococcus

aureus, Proteus, Pseudomonas dan sebagainya. Beberapa

mikroorganisme dilaporkan sebagai petunjuk adanya ketidak seimbangan

flora usus, yaitu Enterobacter, Streptococcus beta hemolyticus dan mucoid

E.coli. 10

Selain kultur tinja untuk mencari mikroorganisme patogen, pewarnaan

Gram dapat dilakukan sebagai penyaring. Dilaporkan penggunaan ratio

pewarnaan Gram dapat digunakan untuk menilai adanya keseimbangan

flora usus. Pada keadaan normal, komposisi kuman di usus70 – 80%

kuman Gram negative dan 20 -30% adalah kuman Gram positif. 2, 5,6

Page 135: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 129 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Analisis tinja merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang

penting dalam membantu menegakkan diagnosis kelainan saluran cerna.

Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya harus

diperhatikan prosedur pengambilan bahan serta seluruh hasil pemriksaan

makroskopik, mikroskopik, kimia dan mikrobiologi secara komprehensif.

Dengan demikian didapatkan informasi yang bermanfaat dalam diagnosis

banding berbagai kelainan saluran cerna seperti diare , infeksi saluran

cerna, perdarahan, malabsorpsi dan sebagainya.

Daftar Pustaka

1. Brunzel NA. Fundamental of urine body fluid analysis. Edisi 2.

Philadelphia: Saunders; 2004. p. 281-92.

2. Sukartini N. Update Analisis Tinja. Dalam: Lokakarya B Analisis Tinja.

Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005. Departemen

Patologi Klinik FKUI-RSCM. Jakarta, 2005. p 14-22.

3. Fischbach FT.Stool Examination, Dalam: A of Laboratory and

Diagnostic Test. Edisi 5. Lippincott Philadelphia, New York, 1998; 254-

276

4. Bluth MH, Hardin RE, Tenner S, Zenilman ME, Threatte GA.

Laboratory diagnosis of gastrointestinal and pancreatic disorders.

Dalam: Mc Pherson RA, Pincus MR, penyunting. Henry‘s Clinical

Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Edisi 7. New

York: Esevier-Saunders; 2007. p. 291-3.

5. Wilson DD. Dalam: McDonald Q, Nagiieri C, penyunting. Manual of

Laboratory and Diagnostic Tests. New York: McGraw Hill; 2008. p 528-

30.

6. Washington W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop

G,Schreckenberger P, Woods G. Koneman‘s Color Atlas and Text

Book of Diagnosis Microbiology. Edisi 6. Lippincott: Williams and

Wilkins; 2006. p. 931-39.

7. Pagana KD, Pagana TJ. Mosby‘s Manual of Diagnostic and Laboratory

Tests. Edisi 4. St. Louis: Mosby Elsevier-Mosby; 2010. p. 898-909.

Page 136: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nuraini Irma Susanti

KONAS VII PGHNAI 130 Manado, 17-19 Maret 2017

8. Subagyo B, Santoso NB. Diare Akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto SS,

Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku Ajar

Gastrenterologi-hepatologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,

2010; p. 87-118

9. Bonheur JL. Bacterial Gastroenetritis. 2013. Diakses tanggal 10

Februari 2017. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/17

6400- overview.

10. World Health Organization. Diarrhoea Treatment Guidelines. Geneva:

World Health Organization, 2009; p 1-46.

11. Huicho L, Sanchez D, Contreras M, Paredes M, dkk. Occult blood and

fecal leucocytes as screening test in childhood infectious diarrhea: an

old problem revisited. Pediatr Infect Dis J, 1993;12:474-7.

12. Wirawan R. Pemeriksaan Darah Dalam Tinja. Dalam: Lokakarya B

Analisis Tinja. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005.

Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM. Jakarta, 2005. p 23-28.

Page 137: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 131 Manado, 17-19 Maret 2017

HOW TO INTERPRETED LIVER FUNCTION IN DAILY PRACTICE

Yudith Setiati Ermaya

Pendahuluan

Hati merupakan organ multi faktorial yang berperan dalam menghasilkan

berbagai hasil sekresi yang penting, sintesis dan fungsi metabolik,

walaupun secara umum sering digunakan istilah tes fungsi hati, hal ini

memperlihatkan berbagai macam uji, seperti transaminase bukan untuk

mengukur fungsi hepar.1 Namun demikian uji tersebut mengacu pada uji

enzim hati dan uji fungsi hati istilah ini digunakan untuk menilai fungsi

sintesis hepatosit, seperti albumin serum dan prothrombin time. Sejauh ini

secara umum dilakukan uji biokimia mungkin dapat dihasilkan nilai normal

pada pasien dengan penyakit hati (sirosis terkompensasi) dapat hasil yang

tidak normal pada anak yang sehat.1 Pada makalah ini akan di bahas

mengenai bagaimana menginterpretasikan berbagai hasil uji fungsi hati

pada praktik sehari-hari dan pendekatan terhadap uji fungsi hati yang

abnormal.

1. Hati

1.1 Anatomi Hati

Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan

memiliki berbagai fungsi, berperan penting dalam metabolisme dan

memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk sintesis protein plasma,

penyimpanan glikogen, dan penetralan obat. Hati memproduksi empedu,

yang penting dalam pencernaan.2 Zat-zat gizi dari makanan diserap ke

dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah kapiler. Kapiler ini

mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang

lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta.

Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati,

dimana darah yang masuk diolah. Hati terdiri dari lobus kanan dan lobus

kiri dengan disertai arteri hepatika, dan vena porta. (Gambar 1) 2-3

Page 138: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 132 Manado, 17-19 Maret 2017

Pada tahun 1957 Couinaud membagi hati ke dalam bentuk segmen,

didasarkan pada distribusi portal intrahepatik dan vena hepatika untuk

digunakan dalam praktek klinis, terutama dalam perencanaan tindakan

reseksi bedah. Couinaud membagi hati menjadi dua lobus fungsional yang

sama ukurannya dan dipisahkan oleh garis imajiner diatas permukaan hati

melalui pembuluh darah cava sulkus inferior dan bagian tengah dari

kantung fossa empedu. Pada bagian kanan selanjutnya dibagi kebelakang

dan sektor anterior, serta lobus kiri ke medial dan bagian rusuk. Setiap

segmen dibagi dua yaitu segmen inferior dan segmen superior, dan

mendapatkan pasokan darah tersendiri, secara keseluruhan terdapat

delapan segmen yaitu: (I) lobus ekor, (II) subsegmen superior dari segmen

lateral kiri, (III) subsegmen inferior dari segmen lateral kiri, (IV) segmen

medial, (V) subsegmen inferior dari segmen anterior kanan, (VI)

subsegmen inferior dari segmen posterior kanan, (VII) subsegmen superior

dari segmen posterior kanan, serta (VIII) subsegmen superior dari segmen

anterior kanan. (Gambar 1) 2-5

Gambar 1. Anatomi hati dan sistem kandung empedu.

4

Page 139: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 133 Manado, 17-19 Maret 2017

1.2 Persarafan dan limfatik hati

Hati menerima suplai darah secara ganda melalui vena portal dan arteri

hepatika. Pada janin dan postnatal awal kehidupan arteri pada hati

merupakan arteri terbesar adalah cabang dari sumbu celiac, kaliber

menurun berdasarkan bertambahnya usia menjadi setengahnya pada

orang dewasa. Porta hepatika terbagi menjadi arteri hepatika kanan dan

kiri, arteri ini merupakan percabangan akhir dari arteriol hati yang

berkomunikasi dengan sinusoid hati. Arteri ini memberikan suplay darah

pada percabangan saluran empedu melalui sebuah pleksus peribiliaris dan

pleksus perivenosus disekitar cabang vena porta.5

Trombosis arteri hepatika dapat meyebabkan nekrosis iskemik pada

saluran empedu dikarenakan tergantung pada suplay darah yang

disediakan oleh arteri tersebut. Aliran pembuluh darah terbanyak

didapatkan dari usus dan dibentuk pada vertebra lumbal kedua sebagai

pertemuan dari arteri mesenterika superior, inferior dan saluran limfatik,

kemudian memasuki hati melalui porta hepatika dan membagi menjadi

cabang kanan dan kiri, kemudian semakin turun ke venula porta akhir dan

masuk melalui venula ke sinusoid. Pada sistem sinusoidal darah mengalir

ke venula centrilobular, dan akhirnya melalui vena hepatika ke vena cava

inferior.(Gambar. 2) Segmen II, III dan IV dialiri darah oleh vena hepatika

kiri, vena hepatika tengah bersama-sama memberi suplai pada segmen IV,

V dan VIII, juga vena hepatika kanan memberi aliran pada segmen V-VIII.

Terdapat pula vena hepatika inferior kecil yang mengalir melalui lobus

caudatus (segmen I) langsung ke vena cava inferior. Biopsi hati yang

dilakukan melalui rute transjugular merupakan prosedur yang dapat

digunakan untuk mendapatkan sampel parenkim hati melalui vena

hepatika.5

Drainase limfatik dari parenkim hati terjadi dalam dua arah. Salah

satunya adalah melalui porta hepatika ke seliak node. Sedangkan yang

lainnya adalah melalui ligamentum falsiformis dan ke parasternal node

serta mediastinum.4-6

Persarafan hati muncul di tahap akhir perkembangan embrio, dan

berlangsung terus terus hingga fase postpartum, dan terdiri dari serabut

saraf simpatis dan parasimpatis yang masuk melalui porta hepatika.

Page 140: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 134 Manado, 17-19 Maret 2017

Selaputnya disuplai oleh beberapa cabang saraf interkostal yang lebih

rendah.6,7

Gambar 2. Sistem pembuluh darah dan limfatik hati.

7

2. Kandung empedu

Kandung empedu merupakan organ berbentuk buah pir yang dapat

menyimpan cairan empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses

pencernaan. Ukuran kandung empedu pada anak usia <1 tahun memiliki

panjang sekitar 1.5-3 cm dan pada anak yang lebih besar sekitar 3-7 cm

dan berwarna hijau gelap.

Organ ini terhubungkan dengan hati dan

duodenum melalui saluran empedu atau common bile duct (CBD) pada

neonatus memiliki ukuran 1 mm, bayi – usia 1 tahun 2 mm, dan pada anak

yang lebih besar 4 mm, serta dewasa 7 mm. 2,8-10

Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:2

Page 141: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 135 Manado, 17-19 Maret 2017

Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama

haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah

dan kelebihan kolesterol.

2.1 Metabolisme Bilirubin

Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi

baru lahir. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM).

Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam SDM akan dipecah menjadi

bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.11

Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek (tidak terkonjugasi) yang larut

dalam lemak dan akan diangkut ke hati berikatan dengan albumin. Bilirubin

di dalam hati akan dikonjugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi

bilirubin direk (terkonjugasi) yang larut dalam air dan disalurkan melalui

saluran empedu ke usus.11

Bilirubin direk di usus akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan

sebagai sterkobilin bersama tinja, apabila tidak ada makanan di dalam

usus, bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam usus dan enzim

yang terdapat dalam air susu ibu (ASI), yaitu beta-glukoronidase menjadi

bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus ke dalam aliran

darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke dalam

hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).11

Metabolisme bilirubin 80% berasal dari degenerasi hemoglobin yang

berasal dari hemolisisi sel darah merah baik di intravaskuler atau

ekstravaskuler yang membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) dan

berikatan dengan albumin, dari pembuluh darah akan masuk ke sinusoid

hepatik kemudian akan masuk sel hati dengan bantuan transporter yaitu

ligandin atau proein Z, dan akan terkonjugasi dengan asam glukoronic

sehingga menjadi bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk).12

Bilirubin terkonjugasi tersebut akan masuk ke sisitem bilier dan

kemudian diteruskan ke usus halus dan dengan adanya protease bakteri

usus akan diubah menjadi urobilinogen. Urobilinogen tersebut 90% akan

dibuang melalui feses menjadi sterkobilin sedangkan sisanya 10 % akan

kembali melalui vena porta masuk ke hati dan menjadi suatu siklus

Page 142: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 136 Manado, 17-19 Maret 2017

enterohepatik yang akan diserap kembali oleh pembuluh darah dan masuk

ke ginjal dan diekskresi menjadi urobilin.12

Sehingga untuk mengetahui gangguan metabolisme bilirubin ini kita

bisa mendeteksi awal dari adanya gangguan warna feses yang pucat

karena sterkobilin yang harusnya terbentuk dan dikeluarkan menjadi tidak

ada atau berkurang, begitu juga pada urin (Gambar 3).

Gambar 3. Siklus metabolisme bilirubin.13

Hemolisis Intravaskuler atau Ekstravaskuler

DARAH

Bilirubin tak terkonjugasi + Albumin

Bilirubin tak terkonjugasi (Indirek)

Transport dengan ligandin

atau Protein Z

Terkonjugasi dengan asam

Glukoronic

Bilirubin terkonjugasi (Direk)

Urobilinogen

Sistem Bilier Vena

porta

Ginjal

Sinusoid Hepatik

Protease Bakteri

Bilirubin terkonjugasi

Urobilinogen USUS HALUS

Feses

Urobilinogen

Urobilin

90 % 10 %

Sterkobilin

Page 143: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 137 Manado, 17-19 Maret 2017

2.2 Uji fungsi hati

Fungsi hati yang tidak normal sering ditemukan pada pasien yang

asimptomatik yang diperiksa secara skrining rutin.14

Terdapat beberapa

keterbatasan pada uji fungsi hati.

1. Pada uji hati yang normal, tidak selalu menunjukkan bahwa pasien

tersebut tidak mempunyai penyakit hati (sirosis terkompensasi)

2. Beberapa tes tidak secara spesifik untuk menilai fungsi hati

3. Tes-tes yang dilakukan tidak menunjukkan etiologi spesifik namun

mengindikasikan suatu gangguan hati, sehingga menginterpretasikan

setiap kelainan hasil uji hati yang tidak normal bersifat individu dan

per-kasus

Dalam menilai uji fungsi hati dibagi menjadi lima kategori:15,16

1. Cedera hati (Liver injury): Enzim hati, ALT atau SGPT, dan Aspartat

aminotransferase (AST) atau (SGOT)

2. Gangguan aliran empedu atau Kolestasis: Alkali fosfatase(ALP),

gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan 5’-nuncleotidase.

3. Gangguan fungsi sintesis hati: albumin serum, prothrombin time (PT),

partial thromboplastin time (PTT), Internasional normalized rasio (INR)

serta faktor V dan VII.

4. Gangguan fungsi ekskresi hati: bilirubin, Asam empedu

5. Metabolisme fungsi hati dapat mengindikasikan peranan detoksifikasi

di dalam hati dan mekanisme pembersihan metabolit endogen seperti

amonia.

Berdasarkan kategori yang dijelaskan sebelumnya, enzim hati seperti

SGOT dan SGPT yang sangat umum diperiksa pada pemeriksaan pasien

dengan penyakit hati, sebenarnya tidak mengindikasikan terhadap

gangguan fungsi hati namun hanya memperlihatkan adanya kerusakan

hati.17,18

Sejauh ini tidak ada hubungan secara langsung antara level

enzim dengan derajat atau keparahan kerusakan hati. Secara normal

SGOT dan SGPT didapatkan pada serum dengan level yang rendah pada

populasi orang sehat. Pemeriksaan serum kimia hati sangat berguna dan

memiliki biaya yang efektif dalam menilai fungsi hati, pemeriksaan ini rutin

juga dilakukan pada orang yang asimtomatik seperti skrining rutin, bank

Page 144: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 138 Manado, 17-19 Maret 2017

darah, pemeriksaan untuk kepentingan asuransi, ataupun pasien yang

akan melakukan prosedur operasi yang tidak berhubungan langsung

dengan fungsi hati.15

Serum kimia hati yang umum di periksa adalah

alanine aminotransferase (ALT), aspartate ami- notransferase (AST),

bilirubin, alkali phosphatase, prothrombin time, albumin serum, γ-

glutamyltransferase (GGT), asam empedu, 5′-nucleotidase, dan lactate

dehydrogenase.1

3.Enzim Hati

3.1 Serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) atau alanine

aminotransferase (ALT)

Serum SGPT atau ALT adalah salah satu penanda tertua yang

digunakan untuk menilai penyakit hati. SGPT merupakan enzim sitosol

yang didapatkan dengan konsentrasi tinggi pada hati.1,15,19

selain itu

didapatkan pula pada ginjal, jantung, otot, pankreas, limpa, dan jaringan

paru. Peningkatan SGPT mengindikasikan pula suatu penyakit hati,

miokard infark, distrofi muscular, dan kerusakan organ.15

Pradat dkk. telah

menunjukkan bahwa ALT merupakan serum yang berguna untuk

mengukur fungsi hati karena sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (2,25

kali lipat lebih besar dari tingkat normal memprediksi kelainan histologi

hati). Namun, tingkat serum ALT dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk

jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan penggunaan obat hepatotoksik.20,21

Namun didapatkan hubungan yang kuat antara SGPT dengan masa indeks

tubuh (BMI)

Perhimpunan Gastroenterology Amerika mengkategorikan tingkat

SGPT berdasarkan tingkatan elevasi dengan berbagai diferensial diagnose

pada kemungkinan penyebab kerusakan hati.15

Page 145: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 139 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 1. Peningkatan level SGPT dengan penyebab utamanya

Ringan (<5x nilai normal tertinggi) Berat (>15x nilai normal tertinggi)

Hepatitis kronis B atau C Hepatitis akut (A-E, herpes)

Hepatitis akut (A-E, EBV, CMV) Obat/toksin

Steatosis/ steato hepatitis Hepatitis iskemia

Hemoktomatosis Hepatitis autoimun

Obat/toksin Penyakit wilson

Hepatitis autoimun Obstruksi akut saluran empedu

Defisiensi 1- antitripsin Sindroma Budd-Chiari akut

Penyakit wilson Ligasi arteri hepatik

Penyakit seliac

Cedera hati karena alkohol

Sirosis

(penyebab non hepatic: hemolysis,

miopati, penyakit tiroid)

Pada penelitian yang dilakukan di LabCorp Amerika didapatkan nilai

interval SGPT berdasarkan usia dan jenis kelamin.15,22

Tabel.2 Nilai Interval Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Interval Usia (Tahun) SGPT /ALT (U/L)

Perempuan

0-11 <29

12-17 <25

18 <33

Laki-laki

0-11 <30

12-17 <31

18 <45

ALT (SGPT) adalah penanda primer pada cedera hepatoseluler (lebih

sensitif dan spesifik daripada AST (SGOT).23

Peningkatan ALT/SGPT dapat disebabkan: 23

a. Peningkatan SGPT Tinggi (>15-20 kali)

Iskemia (Syok, hipotensi, Gagal jantung Kongestif, )

Hepatitis virus, Autoimun

Toksistas Obat, Hepatitis berat toksik

Budd chiary syndrome akut

Page 146: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 140 Manado, 17-19 Maret 2017

b. Peningkatan SGPT sedang (5-15 kali)

Hati: Penyakit hati kronik (hepatitis kronis, kolestasis (ALP,GGT))

Jantung: hepatik kongestif berat pada gagal jantung

Lain-lain: cedera otot, cerdera ginjal.

c. Peningkatan SGPT ringan (<5 kali)

Hati: Hepatitis neonatal

Hemokromatosis

Hepatitis Autoimun

NASH, Atresia Biliaris

Defisiensi alpha 1- antitripsin, Penyakit wilson

Infeksi: Infeksi mononukleosis

Obat : Beberapa jenis obat (obat anti tuberkulosis, obat anti

Epilepsi, antibiotik, NSAIDS)

d. False SGPT rendah: Dialisis, defisiensi piridoksin

3.2 Aspartat Aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase (SGOT)

AST atau SGOT ditemukan pada kedua isoenzim sitosol dan

mitokondria, dan ditemukan pula dengan konsentrasi tinggi pada berbagai

jaringan seperti hati, otot jantung, otot, ginjal, otak, pankreas, paru, leukosit

dan sel darah merah.22,23

Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera

seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi.23

Enzim SGOT dapat ditemukan sangat meningkat dalam serum pada

keadaan peningkatan metabolisme jaringan. Apabila penyakit atau

kerusakan terjadi pada salah satu sel tersebut maka sel akan menjadi lisis,

enzim SGOT akan dilepaskan ditangkap oleh darah sehingga kadar serum

meningkat.23,24

Nilai normal serum SGOT adalah 20-60 U/L pada bayi, <35

U/L (anak laki-laki), dan <31 U/L (anak perempuan).25

Serum SGOT akan

meningkat 8 jam setelah terjadi kerusakan, dengan puncak pada 24 hingga

36 jam sertelah kerusakan dan kembali normal dalam 3 hingga 7 hari.

Apabila kerusakan telah terjadi kronis maka peningkatan akan menetap.

Peningkatan enzim SGOT ini memperlihatkan adanya kerusakan sel hati,

dan kurang spesifik pada penyakit hati.23-25

Page 147: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 141 Manado, 17-19 Maret 2017

Peningkatan SGPT/AST dapat disebabkan:23

1. SGOT/ AST Tinggi (>20 kali)

Iskemia (Syok, hipotensi, Gagal jantung Kongestif, )

Hepatitis virus akut

Hepatitis Drug Induced

2. Peningkatan SGOT sedang (15-20 kali)

Sistem Kardio Vaskuler: Gagal jantung Kongestif

Infeksi: Infeksi mononukleosis

Hati: Sirosis alkoholik

3. Peningkatan SGOT ringan (5-10 kali)

Hati: Hepatitis Kronik (Alkoholik)

Otot: DMD,Dermatomyositis

4. PeningkatanSGOT sangat ringan (<5 kali)

Darah: Anemia Hemolitik, Hemolisis

Hati: Perlemakan hati, metastase tumor hati

Lain-lain: Pankreatitis akut

Obat: berbagai jenis obat

Page 148: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 142 Manado, 17-19 Maret 2017

Pada alogaritma dibawah ini dapat dilakukan penilaian secara klinis dan

laboratorium pada peningkatan ringan serum SGPT dan atau SGOT.

(Gambar.4) 22,26

Gambar 4. Alogaritma Evaluasi klinis dan laboratorium pada peningkatan ringan

serum SGPT dan Atau SGOT. 22,26

Page 149: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 143 Manado, 17-19 Maret 2017

3.3 Bilirubin

Hiperbilirubinemia terkonjugasi (>20% dari bilirubin total) memiliki indikasi

penyakit hepatobilier dan selalu bersifat patogenik. Hal ini sering disertai

adanya bilirubin dalam urine (menyebabkan urine berwarna kuning gelap)

dan dapat juga diperiksa dengan menggunakan dipstick. Bilirubunemia

dapat disertai ikterus secara klinis. Pada kasus penyakit hati akut yang

tidak disertai jaundis (anikterik), tidak menutup kemungkinan mengalami

gagal hati fulminant yang disertai dengan adanya peningkatan level

bilirubin. Sehingga serum bilirubin dapat menjadi indikator prognosis pada

pasien dengan gangguan hati akut.1

Tabel.3 Kadar Bilirubin Total pada Bayi dan Anak Sesuai dengan usia

Usia Kadar Serum Bilirubin Total

Tali pusat, prematur, aterm < 2mg/dL

0-1 hari prematur 1.0-8.0 mg/dL

0-1 hari aterm 2.0-6.0 mg/dL

1-2 hari prematur 6.0-12.0 mg/dL

1-2 hari aterm 6.0-10.0 mg/dL

3-5 hari prematur 10.0-14.0 mg/dL

3-5 hari aterm 4.0-8.0 mg/dL

Anak 0-2.0 mg/dL

Pada bilirubin yang terikat atau bilirubin direk memiliki nilai normal

pada anak adalah 0.0-0.2 mg/dL.25

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke

duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari

membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuknya saluran

empedu ke dalam duodenum.27

Hambatan aliran empedu tersebut menyebabkan retensi berbagai

substansi yang seharusnya dieksresikan ke kandung empedu dengan

bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau bilirubin direk

>20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5 mg/dL.28

Berdasarkan

the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and

Nutrition Indikator kolestasis:11

Page 150: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 144 Manado, 17-19 Maret 2017

Bilirubin direk >17μmol/L (1,0 mg/dL)

Bilirubin direk >20% dari konsentrasi serum bilirubin total, jika

jumlah bilirubin >85μmol/L (5,0 mg/dL)

3.4 Gamma Glutamyl Transferase

Enzim Gamma-glutamyltranspeptidase-1 (GGT-1, gamma-GT, gamma-

glutamyl transferase). Digunakan sebagai marker diagnostik penyakit, γ

Glutamyl transferase (GGT) adalah glikoprotein membrane yang

mengkatalisis transfer γ lainnya, asam amino

maupun air.

Gambar. 5. Gamma-glutamyltranspeptidase.

29

GGT dalam jumlah besar dapat ditemukan di ginjal, pankreas, hati,

usus halus, maupun prostat. Di Ginjal, GGT banyak terdapat di permukaan

luminal sel tubulus proksimal. Di hati, GGT banyak terdapai di sel epitel

empedu dan kanalikulus empedu. GGT juga banyak ditemukan pada sel

acinar pankreas, sel endotel yang melapisi otak, korda spinalis, dan sel-sel

dalam organ reproduksi laki-laki. GGT yang terdapat pada sel-sel astrosit

di pembuluh darah otak memiliki peran dalam sawar darah otak, baik

dalam menkonjugasi toksik xenobiotic maupul memetabolisme leukotriene.

GGT juga dapat ditemukan di sel darah putih. Fungsi GGT pada sel darah

putih masih belum dapat dijelaskan. Namun ada 2 teori yang menyatakan

GGT memproteksi sel darah putih dari radikal bebas terutama pada proses

inflamasi dan membantu memodifikasi interaksi antara reseptor dengan

ligan pada sel membran.1,30,31

GGT banyak ditemukan pada jaringan yang memiliki fungsi transport

seperti ginjal dan system biliaris. GGT memiliki hubungan yang erat

Page 151: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 145 Manado, 17-19 Maret 2017

dengan dalam membantu mensintesis glutathione. Hubungan spesifik

antara GGT dan glutathione serta respons GGT terhadap konsumsi alkohol

yang berlebih menyebabkan GGT digunakan sebagai marker konsumsi

alkohol yang berlebihan.30,31

Kadar GGT tinggi pada usia neonatus, bayi sampai dengan usia 1

tahun, dan pada usia >60 tahun. Laki-laki memilki kadar GGT yang lebih

tinggi dibandingkan perempuan. Kadar normal GGT adalah 0-30 IU/L.25

Pada infeksi akut virus hepatitis, kadar GGT akan mencapai kadar tertinggi

pada minggu ke-2 dan ke-3 dan tetap tinggi selama 6 minggu. Pada atresia

bilier ekstrahepatal, kadar GGT juga meningkat. GGT hanya meningkat

pada kondisi kolestasis dan tidak pada penyakit tulang. Sehingga kadar

GGT dapat membantu membedakan adanya kelainan pada hepar atau

tulang pada kondisi peningkatan kadar ALP dalam darah. 1,30,31

Kondisi lain yang berhubungan dengan peningkatan kadar GGT

adalah diabetes mellitus tanpa komplikasi, pakreatitis akut, dan infark

miokard. Obat-obatan seperti phenobarbital, fenitoin, paracetamol,

antidepresan trisiklik dapat meningkatkan kadar GGT. 1,30,31

Rentang referensi nilai normal GGT sama untuk segala usia. Namun

terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Beberapa

faktor juga mempengaruhi nilai normal GGT di dalam serum antara lain

usia, jenis kelamin, kehamilan, persalinan, ras, kebiasaan merokok,

penggunaan kkontrasepsi oral, maupun olahraga. 1,30,31

Kadar GGT didapatkan abnormal pada penyakit hati sehingga tes

fungsi hati GGT dikatakan sensitif. Peningkatan tertinggi kadar GGT dalam

serum didapatkan pada kondisi inflamasi hati akibat konsumsi alkohol

berlebih atau pada kondisi inflamasi hati yang dipengaruhi oleh konsumsi

obat-obatan. Namun peningkatan kadar GGT dalam serum tidak spesifik

untuk penyakit hati saja karena peningkatan tersebut juga didapatkan pada

kondisi pankreatitis, obesitas, konsumsi alkohol berlebih. Kadar GGT

dalam serum meningkat pada penyakit hati kronis berasosiasi dengan

infeksi hepatitis C. Kadar GGT dalam memprediksi respons tubuh terhadap

pemberian interferon pada individu dengan infeksi hepatitis C banyak

diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GGT memiliki

sensitivitas 87% namun spesifisitasnya hanya 27%.30,31

Page 152: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 146 Manado, 17-19 Maret 2017

3.5 Alkali posfatase (ALP)

Alkali posfatase (ALP) ditemukan pada beberapa jaringan termasuk

membrane kanilikuler hepatosit, osteoblast tulang, enterosit usus halus,

tubulus proksimal ginjal, plasenta, sel darah putih. ALP merupakan enzim

hasil dari sintesis oleh dinding sel kanalikuli biliaris yang memberikan

respons terhadap kolestasis intra ataupun ekstrahepatik. ALP merupakan

penanda primer pada gangguan kolestasis sebelum bilirubin meningkat.

Fungsi dari ALP tidak diketahui, namun berperan dalam proses transport,

level serum ALP bervariasi berdasarkan usia, ALP adalah kelompok

metaloenzim zinc dan terdapat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Pada

hati, ALP terdapat pada mikrovili di sepanjang kanalikuli saluran empedu

dan pada permukaan sinusoid hepatosit. ALP yang terdapat pada hati,

tulang, dan ginjal berasal dari gen yang sama, namun ALP yang terdapat

pada usus halus dan plasenta berasal dari gen yang berbeda. ALP dapat

dideteksi di dalam serum, urine, garam empedu, dan cairan limfe. 1,23,32

Pada individu yang sehat, ALP yang bersirkulasi di dalam darah

berasal dari hati atau tulang. Kadar ALP relatif lebih tinggi pada usia anak-

anak hingga pubertas. Kadar ALP berbanding lurus dengan berat badan

namun berbanding terbalik dengan tinggi badan. Kadar ALP yang tertinggi

ditemukan pada kondisi kolestasis. Peningkatan ALP terjadi karena adanya

obstruksi aliran garam empedu di intrahepatal maupun ekstrahepatal.

Mekanisme pelepasan ALP ke dalam darah masih belum diketahui. Ada

teori yang menyebutkan bahwa adanya kerusakan pada tight junction di

kanalikuli garam empedu menyebabkan pelepasan ALP ke sinusoid

hepatosit. Kadar ALP normal pada anak (IFCC pada 37C) adalah 39-117

U/L.25

Peningkatan kadar ALP yang tinggi mengindikasikan suatu obstruksi

biliaris (intrahepatik dan ekstrahepatik), atresia biliaris, hepatitis virus.1,23

Pada infeksi virus hepatitis akut, kadar ALP dapat normal atau sedikit

meningkat. Pada infeksi Hepatitis A, dapat ditemukan kondisi kolestasis

yang ditandai dengan gatal-gatal dan peningkatan kadar ALP. Tumor juga

dapat melepaskan ALP ke dalam plasma. Peningkatan kadar ALP dari

usus halus dapat ditemukan pada kondisi sirosis yang berhubungan secara

spesifik dengan penyakit intrahepatal. Kondisi-kondisi lain yang dapat

dihubungkan dengan peningkatan kadar ALP antara lain metastasis ke

Page 153: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 147 Manado, 17-19 Maret 2017

tulang dan hepar, penyakit hepar yang bersifat infiltrasi, abses, penyakit

hati bergranuloma, dan amyloidosis.23,32

Peningkatan ringan dari kadar ALP dapat ditemukan pada kondisi

sirosis dan hepatitis akibat gagal jantung kongestif. Kadar ALP yang

rendah di darah dapat ditemukan pada kondisi malnutrisi, hipotiroid,

anemia pernisius, defisiensi zinc, defisiensi vitamin C dan hipofosfatemia

kongenital.23,32

Apabila kadar ALP serum meningkat namun kurang dari 1,5 kali batas

atas nilai referansi normal, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 3

bulan kemudian. Apabila kadar ALP serum lebih dari 1,5 kali nilai batas

atas referensi dan secara persisten mengalam peningkatan, maka perlu

diakukan pemeriksaan penunjang seperti USG hati untuk melihat

mendeteksi adanya kolestasis atau penyakit hari infiltrasi lainnya. Apabila

hasil pemeriksaan tersebut normal dan serum ALP meningkat kurang dari

1,5 kali batas atas referensi normal, maka harus dilakukan pemeriksaan

ulang 6 bulan kemudian. Namun apabila kadar ALP dalam serum

meningkat lebih dari 1,5 kali batas atas referensi normal dan pemeriksaan

USG dan serologi memberikan hasil normal, maka penderita harus dirujuk

ke hepatologist untuk dilakukan biopsi hati. 32

Apabila didapatkan peningkatan kadar serum ALP namun kadar GGT

normal, hal ini menunjukan bahwa peningkatan kadar ALP berasal dari

jaringan di luar hati dan kemungkinan besar berasal dari tulang akibat

defisiensi vitamin D. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan kadar

vitamin D dalam darah. Apabila kadar vitamin D dalam batas normal dan

peningkatan kadar ALP kurang dari 1,5 kali batas atas referensi normal,

maka penderita cukup diobservasi. 32,33

Page 154: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 148 Manado, 17-19 Maret 2017

Berikut algoritma untuk mengevaluasi adanya peningkatan ALP di dalam

darah.32

Gambar 6. Alogaritma Evaluasi pada Peningkatan Alkali Posfatase.

32

3.6 Protein Serum

3.6.1 Albumin

Albumin merupakan protein serum dan hanya disintesa di hati.

Protein ini disintesa dalam retikulum endoplasma hepatosit

sebanyak 150 mg/kg/hari dan masa hidup di salam serum berkisar

20 hari. Dengan mempertimbangkan lamanya masa hidup

tersebut, rendahnya albumin serum mengindikasikan suatu

penyakit hati kronik.1 Nilai normal albumin pada anak adalah 3.5-

5.2 g/dL.25

Pada keadaan penyakit hati dengan peningkatan

globulin dan protein yang normal ini mengindikasikan suatu proses

infeksi atau hepatitis autoimun. Namun pada pasien dengan

penyakit hati yang terkompensasi serum albumin dapat ditemukan

memiliki nilai yang normal. Hipoalbumin tidak spesifik terhadap

penyakit hati Karena dapat terjadi pula pada malnutrisi, protein

losing enteropaty, infeksi kronik dan sindroma nefrotik.1

Page 155: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 149 Manado, 17-19 Maret 2017

3.6.2 Faktor Koagulasi

Gangguan koagulasi ditemukan pada pasien penyakit hati yang

mengacu pada suatu gangguan sintesis koagulasi hati faktor V,VII,

IX, X dan XI protrombin, fibrinogen dan defisiensi vitamin K

dikarenakan kurang asupan atau malabsorpsi dan

disfibrinogenemia. Besarnya peranan pada gangguan koagulasi

hati ini sulit ditemukan pada penyalit hati yang ringan atau sedang.

Namun sering ditemukan pada hepatik failure akut yang berat atau

penyakit hati kronik terminal.1

Peningkatan Enzim Hati Non Hepatik

Pada keadaan tertentu enzim hati dapat meningkat disebabkan oleh

kelainan selain penyakit hati, bila sebelumnya telah disingkirkan kelainan

hati namun enzim hati didapatkan meningkat maka perlu dipertimbangkan

dan diinvestigasi kelainan yang disebabkan oleh kelainan otot, jantung,

penyakit tiroid, penyakit seliak, dan yang jarang adalah insufisiensi adrenal.

Kondisi yang disebabkan oleh meningkatnya cedera pada otot dan

meningkatkan enzim transaminase, dapat menyebabkan meningkat pula

creatine phosphokinase (CPK) dan Lactat dehydrogenase (LDH). Bila

didapatkan keadaan peningkatan SGOT dan SGPT yang menetap lebih

dari tiga bulan, melebihi dua kali nilai normal dan hasil pemeriksaan lain

tidak menghasilkan hasil yang jelas, maka perlu direkomendasikan

pemeriksaan fungsi hati.1

Penutup

Pemeriksaan serum kimia hati sangat berguna dan efektif dalam menilai

fungsi hati, pemeriksaan serum kimia hati yang umum di periksa adalah

alanine aminotransferase (ALT), aspartate ami- notransferase (AST),

bilirubin, alkali phosphatase, prothrombin time, albumin serum, γ-

glutamyltransferase (GGT), asam empedu, 5′-nucleotidase, dan lactate

dehydrogenase. Dengan mengetahui interpretasi dari enzim hati maka

dapat memudahkan mendiagnosis ataupun memprediksi suatu penyakit

atau keadaan yang berhubungan dengan hati dalam praktek sehari-hari.

Page 156: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 150 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Haghighat M. Approach to Liver Fungtion Tests in Children. J Compr

Ped. 2014;5:1-4.

2. Choe BH. Early exclusive diagnosis of biliary atresia among infants

with cholestasis. Korean J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;14:122-9.

3. Yamada T, Alpers DH. Liver: Anatomy, microscopic structure, and cell

type. Textbook of gastroenterology. Chichester: Blackwell Pub;

2009;9:2059-72.

4. Ranzer. Abdomen: Solid viscus: Couinaud segments. [Online] 2016

[diunduh 26 Januari 2017]. Tersedia dari: http://ranzcrpart1.

wikia.com/wiki/Abdomen:Solid_viscus: Couinaud_segmens.

5. Jones J. Couinaud classification of hepatic segments. [Online Journal]

2016 [diunduh 17 Januari 2016]. Tersedia dari: http://radiopaedia.

org/articles/couinaud-classification-of-hepatic-segments.

6. Cotoi CG, Quaglia A. Normal liver anatomy and introduction to liver

histology. Dalam: Guandalini dkk, penyunting. Textbook of pediatric

gastroenterology, hepatology and nutrition. Switzerland: Springer

International Publishing; 2016. h. 609-12.

7. Lynch CJ. GI normal biology and diseases web resources. [Online

journal] 2016 [diunduh 21 februari 2016]. Tersedia dari: https://

wikispaces.psu.edu/display/MedicalGIandNutrition730/G.I.+Normal+Bio

logy+and+Diseases+Web+Resources

8. Gubernick JA, Rosenberg HK, Ilaslan H, Kessler A. US approach to

jaundice in infants and children. Radiographics. 2000;20:173­95.

9. Deganello A, and Sellars MEK. Diagnostic Procedures in Pediatric

Hepatology Dalam: Guandalini dkk, penyunting. Textbook of Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Switzerland: Springer

International Publishing. 2016;613-23.

10. Hernanz-Schulman M, Ambrosino MM, Freeman PC, Quinn CB.

Common bile duct in children: sonographic dimensions.

Radiology.1995;195:193-5.

Page 157: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 151 Manado, 17-19 Maret 2017

11. Moyer V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB,

dkk. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants:

recommendation of the north american society for pediatric

gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol

Nutr. 2004;39:115-28.

12. Fitzpatrick E, Jardine R, Farrant P, Karani J, Davenport M, Mieli

Vergani G, Baker A. Predictive value of bile duct dimensions measured

by ultrasound in neonates presenting with cholestasis. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2010;51:55–60.

13. Crisscros DJ. Bilirubin. Metabolism. [diunduh 24 Januari 2017].

Tersedia dari: http://www.slideshare.net/crisbertc/approach-to-a patient

-with-jaundice 32886908

14. Pratt DS, Kaplan MM. Evaluation of abnormal liver-enzyme re- sults in

asymptomatic patients. N Engl J Med. 2000;342:1266– 71.

15. Green RM, Flamm S. AGA technical review on the evaluation of liver

chemistry tests. Gastroenterology 2002 Oct; 123:1367-1384.

16. Kim HC, Nam CM, Jee SH, Han KH, Oh DK, Suh I. Normal serum

aminotransferase concentration and risk of mortality from liver

diseases: prospective cohort study. BMJ. 2004;328:983.

17. Berman DH, Leventhal RI, Gavaler JS, Cadoff EM, Van Thiel DH. Clin-

ical differentiation of fulminant Wilsonian hepatitis from other causes of

hepatic failure. Gastroenterology. 1991;100:1129–34.

18. Giannini E, Risso D, Botta F, Chiarbonello B, Fasoli A, Malfatti F, et al.

Validity and clinical utility of the aspartate aminotransferase- alanine

aminotransferase ratio in assessing disease severity and prognosis in

patients with hepatitis C virus-related chronic liver disease. Arch Intern

Med. 2003;163:218–24.

19. Young S, Azzam RK. Infantile cholestasis approach and diagnostic

algorithm. Dalam: S. Guandalini, Dhawan A, Branski D, penyunting.

Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition.

Switzerland: Springer Inc; 2016:625­31

20. Fallatah HI. Noninvasive biomarkers of liver fibrosis: an overview.

Advances in hepatology. [Online Journal] 2014 [diunduh 5 Februari

2017]. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1155/2014/357287

Page 158: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 152 Manado, 17-19 Maret 2017

21. Pradat P, Alberti A, Poynard T, dkk. Predictive value of ALT levels for

histologic findings in chronic hepatitis C: a European collaborative

study. Hepatology. 2002;36:973­7.

22. New ALT Reference Intervals for Children and Adults. LabCorp.

Directory of Services and Interpretive Guide. 2012. [diunduh 22 Januari

2017]. Available at: https://www.labcorp.com /wps/portal/ provider/

testmenu.

23. Pediatric Liver function test: smarter way. [diunduh 5 Februari 2017].

Tersedia pada http://www.criticalpediatrics.org/2015/05/pediatric-liver-

function-test-smarter.html

24. Poynard T, Imbert-Bismut F. Laboratory Testing for Liver Disease. In

Boye T, Manns M, Sanyal A, editors. Zakim and Boyer‘s Hepatology : A

Textbook of Liver Disease 6th Ed. Philadephia: Saunders Elsevier;

2012;201-15.

25. Laboratory reference values. [diunduh 8 Februari 2017]. Tersedia pada

http:// www.med-u.org.

26. American Gastroenterological Association medical position statement:

Evaluation of liver chemistry tests. Gastroenterology. 2002; 123:1364-

1366

27. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal

cholestasis. Clin Perinatol. 2002;29:159-80.

28. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis.Liver disease in

children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

2001:187­94.

29. Gamma Glutamyl transpeptidase [diunduh 7 Februari 2017]. Tersedia

padahttp://previews.123rf.com/images/molekuul/molekuul1502/moleku

ul150200063/36765903-Gamma-glutamyltranspeptidase-1-GGT-1

gamma-GT-gamma-glutamyl-transferase-enzyme-Used-as-diagnostic-

m-Stock-Photo.jpg

30. Whitfield J.B. Gamma Glutamyl Trasferase. Critical Reviews in Clinical

Laboratory Sciences. 2001;38:263-355

31. Hanigan MH, Frierson HF. Immunohistochemical detection of Gama-

glutamyl transpeptidase in normal human tissue. J Histochem

Cytochem 1996;44: 1101–08.

Page 159: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Yudith Setiati Ermaya

KONAS VII PGHNAI 153 Manado, 17-19 Maret 2017

32. Thapa B.R., Walia A. Liver function tests and their interpretation. Indian

J Pediatr. 2007;74:663–71.

33. Shipman K.E, Holt A.D, Gama R., Interpretating an isolated raised

serum alkaline phosphatase level in an asymptomatic patient. BMJ

2013;346:1-6

Page 160: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 154 Manado, 17-19 Maret 2017

MENYUSUI : KEMAJUAN DALAM NUTRISI BAYI

Badriul Hegar

Departmen Ilmu Kesehatan Anak FK UI-RSCM

Pendahuluan

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan pilihan pertama untuk setiap bayi.

Dengan demikian pemberian ASI secara eksklusif dari ibu yang tidak

dibatasi makanannya merupakan ‗baku emas‘. Sebelum tahun 2001, World

Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif

pada bayi berusia 4-6 bulan dan selanjutnya diperkenalkan makanan

pendamping (makanan atau minuman selain ASI). Pada tahun 2001,

setelah dilakukan kajian sistematis dan mendengarkan pendapat para ahli,

rekomendasi tersebut diubah menjadi ASI eksklusif diberikan sampai bayi

berusia 6 bulan. Banyak alasan mengapa ASI merupakan nutrisi yang

dapat memberikan pertumbuhan maksimal seorang anak, antara lain nutris

yang lengkap untuk bayi yang lahir cukup bulan, memenuhi kebutuhan

fisiologis,, nutrisi dengan nilai biologis yang tinggi, imunitas alamiah,

praktis, ekonomis, serta terjalinya ‗bonding‘ ibu kepada bayi.

Seribu hari pertama kehidupan adalah ‗window of opportunity‘ bagi

pertumbuhan dan perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta

perkembangan emosi dan sosial. Tahun-tahun pertama kehidupan

merupakan periode yang rentan karena bayi terekspos oleh begitu banyak

kuman sedangkan sistem imunnya masih belum matang. Bayi dengan

sistem imun yang jelek akan mudah terinfeksi. Bayi yang sering mengalami

infeksi akan kehilangan ‗window of opportunity‘ untuk mengembangkan

potensinya.2 Secara fisiologi saluran cerna bayi belum sepenuhnya

berkembang, epitel mukosa saluran cernanya masih terbuka satu dengan

yang lainnya (‗tight junction), sistem imunnya pun belum sepenuhnya

berkembang, menyebabkan bayi sangat sensitif terhadap keadaan yang

tidak sesuai dengan dirinya.1

Page 161: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 155 Manado, 17-19 Maret 2017

Suboptimal ASI eksklusif

Berbagai masalah banyak dilaporkan akibat pemberian ASI yang tidak

optimal, antara lain infeksi saluran cerna yang menyebabkan diare, infeksi

saluran napas, dermatitis atopi, NEC, otitis media, asma, diabetes melitus

tipe 1, dan obesitas. Dalam satu perhitungan biaya memperlihatkan bila

90% keluarga mengikuti rekomendasi medis untuk memberikan ASI secara

eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya, maka sebuah negara dapat

menghemat mencapai milayaran dolar per tahunnya dan mencegah ribuan

kematian yang sebagian besar terjadi pada bayi.2

Komponen imunologis

Berbagai komponen imunologis terdapat dalam ASI, beberapa yang sangat

dikenal adalah oligosakarida, sekretori IgA (SIgA), dan faktor bifidus

sebagai anti mikroba serta nukleotida yang berperan dalam

pengembangan sistem imun.3 Beberapa kajian terhadap oligosakarida

memperlihatkan penurunan kejadian infeksi dan dermatitis atopi karena

sifat imunoaktifnya.4,5

Oligosakarida merupakan komponen nutrisi

terbanyak ketiga setelah laktosa dan lemak, analog dengan reseptor

glikokonjugat sel epitel saluran cerna sehingga mengikat virus dan bakteri.6

Keberadaan Bifidobacteria dan Lactobacillus di dalam usus besar akan

memfermentasi oligosakarida menjadi energi dan asam lemak rantai

pendek (asam asetat, proprionat, butirat) sehingga suasana di dalam usus

besar cocok untuk pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteria dan

Lactobacillus. Asam laktat yang terbentuk dapat meningkatkan motilitas

dan aliran darah usus besar, berikut penyerapan mineral. Asam butirat

meningkatkan proliferasi sel epitel usus besar dan penyerapan cairan,

serta menstimulasi produksi mukus pada epitel usus, sedangkan asam

propionat menurunkan mediator inflamasi.7

Kadar SIgA di dalam ASI tinggi (kolostrum 1-2g/L dan ASI matur 0.5-1

g/L) melebihi cairan biologis lainnya sehingga merupakan mekanisme

pertahanan tubuh di lini pertama. Kadar SIgA dalam tinja bayi ASI eksklusif

(0.11 + 0.07 mg/ml) lebih tinggi dibanding bayi mendapat susu formula

standar (0.03 + 0.01 mg/ml) pada 1 bulan pertama kehidupan.8 SIgA

menghambat akses antigen pada reseptor epitel, memerangkap bakteri di

dalam mukus, dan memfasilitasi pengeluaran antigen dari dalam saluran

Page 162: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 156 Manado, 17-19 Maret 2017

cerna melalui aktivasi mukosilier dan peristaltik.9 SIgA ASI juga mampu

mengikat mikrobiota komensal sehingga ikut mengontrol keberadaan

mikrobiota saluran cerna bayi baru lahir. Keberadaan mikrobiota akan

menstimulasi pematangan GALT yang selanjutnya akan memproduksi

IgA.10,

Sekresi IgA melawan beberapa mikrobiota penyebab infeksi saluran

cerna, seperti E. coli, V. cholerae, C. difficile, Salmonella, Rotavirus, C.

albicans. Selain itu, sekretori IgA dapat menyebabkan bakteri mengalamai

aglutinasi sehingga menurunkan kemampuannya menempel pada mukosa

saluran ceran.11

Nukleotida merupakan zat nutrisi yang esensial untuk bayi karena

perannya dalam sistem imun, maturasi sel limfosit, respons antibodi saat

vaksinasi, meningkatkan imunoglobulin A sekretori, dan menurunkan

kejadian berbagai infeksi terutama infeksi saluran cerna dan saluran napas

atas. Nukleotida juga memberikan respons yang lebih baik terhadap

imunisasi difetri, polio dan influensa.12

Lactoferin yang terkandung di dalam ASI dapat mengikat besi,

sehingga memfasilitasi ambilan besi. Laktoferin mempunyai afinitas tinggi

terhadap zat besi sehingga mempunyai efek bakteriostatik dengan

melakukan kompetisi dengan zat besi yang digunakan oleh mikrobiota

patogen. Lactoferin juga menurunkan kemampuan EPEC menempel pada

saluran cerna.13

Komponen nutrisi

Casein adalah protein susu dengan konsekuensi biologi yang berbeda.

Sesuatu yang baik untuk sapi belum tentu sepenuhnya memberikan

konsekuensi yang sama untuk manusia, bahkan mungkin membahayakan.

Beberapa alasan mengapa susu sapi tidak cocok untuk bayi, kandungan

nutrisinya tidak seimbang untuk bayi manusia, kandungan zat yang terlarut

dalam ginjal tinggi, kadar zat besi terlalu rendah, dan kandungan lemaknya

sulit untuk dicerna. Beberapa perbedaan kandungan nutrisi ASI dan susu

sapi, antara lain ASI mengandung 65% whey dan 40% casein sedangkan

susu sapi mengandung 20% whey dan 80% casein. Whey ASI mengadung

sebagian besar laktoferin, alpha lactalbumin, dan imunoglobulin,

sedangkan whey susu sapi sebagian besar mengandung B lactalbumin.14

Page 163: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 157 Manado, 17-19 Maret 2017

Masukkan protein yang tinggi akan mempengaruhi volume dan fungsi

ginjal bayi sehat, demikian sebaliknya masukkan protein yang kurang akan

mempengaruhi pertubuhan berat badan anak pada 2 tahun pertama.15,16

Sebuah kajian memperlihatkan bayi yang mendapat susu formula standar

mengalami pertumbuhan yang terakselerasi sedang bayi yang mendapat

susu formula dengan kandungan protein terhidrolisis parsial mempunyai

pertubuhan berat badan yang normal sesuai kurve pertumbuhan.17

Asam lemak esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh, oleh karena itu

harus diberikan dalam jumlah cukup melalui makanan yang diberikan

kepada bayi. Asam lemak ensensial merupakan prekusor beberapa long-

chain poly-unsaturated fatty acids (LCPUFAs). Asam lemak esensial yang

kita kenal adalah asam arakidonat (ARA) yang mempunyai peran sebagai

pro-inflamasi dan asam dokosohesanoik (DHA) sebagai anti inflamasi.

Kadar DHA dalam lemak ASI ternyata berbeda dari 1 ras dengan ras lain

yang mencerminkan perbedaan masukkan nutrisinya, sebagai contoh

kadar DHA ASI dari ibu Cina sebesar 0.9% dari total lemak sedangkan

pada ibu Amerika sebesar 0.2% dari total lemak dalam ASI nya. Ratio DHA

: ARA dalam ASI adalah 1 : 1, perlu diyakinkan kadar ARA adekuat

meskipun pada kondisi bayi mendapat suplemntasi DHA. Hindarkan

suplementasi LC-PUFA berlebihan karena merupakan risiko terjadinya

oksidasi metabolik. ARA diperoleh dalam jumlah cukup dari asam linoleat.

Kelebihan ARA dapat menyebabkan proses inflamasi yang tidak

diharapkan. Asam lemak esensial juga terbukti meningkatkan aksi

Bifidobcateria dan Lactobacillus sebagai mikrobiota ‗baik‘ dengan

memudahkan bakteri tersebut menempel pada permukaan mukosa saluran

cerna. Beberapa kajian memperlihatkan komposisi asam lemak esensial

yang diambil dari darah umbilikal bayi merupakan faktor risiko penyakit

atopi. ASI dari ibu yang anaknya mengalami eksim atopi mengandung

kadar LC-PUFA yang rendah.18,19

Kesalahan persepsi

Beberapa kajian memperlihatkan sekitar 37.2% bayi yang telah

mendapatkan susu formula mulai diberikan makanan sebelum usia yang

direkomendasikan, sedangkan pada bayi ASI eksklusif sebanyak 17.2%.

Sekitar 99% bayi yang mendapat susu formula sudah menerima makanan

Page 164: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 158 Manado, 17-19 Maret 2017

padat lengkap pada usia 7 bulan, sedangkan pada bayi ASI eksklusif

sebesar 97.7%. Sebagian besar orangtua dari golongan pasangan usia

muda, tingkat pendiidkan rendah, dan ibu-ibu yang merokok.22

Sampai saat

ini belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat untuk menghindari atau

menunda pemberian makanan yang diduga berpotensi alergi, seperti ikan

dan telur dengan tujuan untuk mengurangi reaksi alergi, termasuk pada

bayi yang mempunyai risiko alergi.21

Daftar Pustaka

1. Doughty D. Structure and function of the gastrointestinal tract in infants

and children. J Wound Ostomy Continence Nurs. 2004;31:207-12.

2. Bartick M. The burden of suboptimal breastfeeding in the United

States: a pediatric cost analysis Pediatrics. 2010;125:e1048-56

3. Field CJ. The immunological components of human milk and their

effect on immune development in infants. CJJ Nutr. 2005 Jan;135:1-4

4. Westerbeek. Neutral and acidic oligosaccharides in preterm infants: a

randomized, double-blind, placebo-controlled trial, AJCN 2010, 91:

679-686

5. Grüber C, Mosca F, Moro G, Chirico G. Reduced occurrence of early

atopic dermatitis because of immunoactive prebiotics among low-

atopy-risk infants. J Allergy Clin Immunol. 2010 Oct;126:791-7.

6. Newburg DS, Shen Z, Warren CD. Quantitative analysis of human milk

oligosaccharides by capillary electrophoresis. Adv Exp Med Biol. 2000;

478: 381-2

7. Guarner F1, Malagelada JR. Gut flora in health and disease. Lancet.

2003 Feb 8;361:512-9

8. Köhler H, Donarski S, Stocks B. Antibacterial characteristics in the

feces of breast-fed and formula-fed infants during the first year of life. J

Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002;34:188-93

9. Mantis NJ, Roi N. Secretory IgA's complex roles in immunity and

mucosal homeostasis in the gut. Mucosal Immunol. 2011 Nov;4:603-

11.

10. Sekirov I, Russell SL, Antunes LC, Finlay BB. Gut microbiota in health

and disease. Physiol. Rev. 2010;90:859 – 904

Page 165: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Badriul Hegar

KONAS VII PGHNAI 159 Manado, 17-19 Maret 2017

11. Walter J, Ley RE. The human gut microbiome: ecology and recent

evolutionary changes . Annu. Rev. Microbiol, 2011;65:411-29.

12. Gutiérrez CP, Mora MI, Díaz-García L, Immune response to nucleotide-

supplemented infant formulae: systematic review and meta-analysis.Br

J Nutr. 2007;Suppl 1:S64-7.

13. Edde L, Hipolito RB, Hwang FF. Lactoferrin protects neonatal rats from

gut-related systemic infection. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol.

2001;281:G1140-50.

14. Miller MJ1, Witherly SA, Clark DA. Casein: a milk protein with diverse

biologic consequences. Proc Soc Exp Biol Med. 1990;195:143-59

15. Escribano J, Luque V, Ferre N. Increased protein intake augments

kidney volume and function in healthy infants. Kidney Int. 2011;79: 783-

90

16. Koletzko B , Closa R, Lower protein in infant formula is associated with

lower weight up to age 2 y: a randomized clinical trial. Am J Clin Nutr.

2009;89:1836-45.

17. Escribano J, Scaglioni S, Giovannini M, Beyer J, Demmelmair H,

Gruszfeld D, Dobrzanska A, Sengier A, Langhendries JP, Rolland

Cachera MF, Grote V; European Childhood Obesity Trial Study Group.

18. Beck M, Zelczak G, Lentze MJ. Abnormal fatty acid composition in

umbilical cord blood of infants at high risk of atopic disease. Acta

Paediatr 2000;89:279-84

19. Businco L, Ioppi M, Morse NL, Nisini RWright S. Breast milk from

mothers of children with newly developed atopic eczema has low levels

of long chain polyunsaturated fatty acids. J Allergy Clin Immunol.

1993;91:1134-9.

20. Schiess S. Grote V, Scaglioni. Introduction of complementary feeding

in 5 European countries. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50:92-8

21. Agostoni C, Decsi T, Fewtrell M. Complementary feeding: a

commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2008. 46:99-110.

Page 166: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nenny Sri Mulyani

KONAS VII PGHNAI 160 Manado, 17-19 Maret 2017

LIVER: DAMPAK GANGGUAN FUNGSI HATI PADA KESEHATAN

ANAK

Nenny Sri Mulyani

Divisi Gastrohepatologi

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UGM

Pendahuluan

Hati adalah kelenjar terbesar yang letaknya strategis dan merupakan organ

yang innocent bystander (organ yang dilewati oleh sistem sirkulasi

sistemik). Fungsi utama hati adalah sebagai kelenjar eksokrin dan

endokrin. Selain itu juga sebagai filter darah yang berasal dari saluran

cerna sebelum diedarkan kembali ke seluruh tubuh. Fungsi lainnya yang

tidak ada hubunganya dengan fungsi kelenjar antara lain metabolisme

kolesterol, sintesis albumin, sintesis faktor pembekuan darah, detoksifikasi

obat dan racun serta katabolisme hemoglobin dari pemecahan eritrosit.

Hati mendapat aliran darah yaitu dari vena Porta dan arteri Hepatika.

Vena Porta membawa darah yang baru saja melewati usus dan lien. Arteri

Hepatika membawa darah segar kaya oksigen dari aorta. Darah yang

berasal dari keduanya akan bercampur di sinusoid sebelum meninggalkan

hati melalui vena Hepatika.

Sebagai kelenjar eksokrin, fungsi utama hati adalah membentuk

empedu. Melalui empedu ini hati menjadi jalan utama untuk mengeluarkan

(ekskresi) sejumlah komponen endogen maupun eksogen yang berbahaya.

Dengan kata lain peran utama hati adalah mengeluarkan zat2 yang tidak

digunakan dari darah dan menjaga komposisi darah tetap normal.

Aliran empedu terutama ditentukan oleh adanya sekresi asam

empedu selain ion organik, non-organik, reseptor membran, transporter,

difusi, endositosis, vesikuler transport, serta energi yang berasal dari

gradien osmotik dan elektrogenik. Hepatosit mempunyai struktur dan fungsi

yang sangat sesuai dengan tujuan tersebut. Empedu dibuat di hepatosit

yang sel-selnya berkontak erat dengan kapiler yang berasal dari arteri

Hepatika dan cabang dari vena Porta. Empedu terdiri dari 95% air, garam

empedu, bilirubin direk (hasil akhir dari pemecahan sel darah merah dan

memberi warna empedu), kolesterol, lipid lainnya, asam amino, steroid,

Page 167: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nenny Sri Mulyani

KONAS VII PGHNAI 161 Manado, 17-19 Maret 2017

enzim, vitamin, logam berat, obat-obatan, xenobiotik, toxin (produk akhir

atau sisa metabolik). Produk tersebut dibawa keluar oleh kapiler dari setiap

sel hati yang kemudian dialirkan ke cabang vena Hepatika dan kembali ke

jantung. Cabang dari duktus biliaris mengalirkan air, bilirubin direk, asam

empedu, kolesterol dan substansi lainnya. Mekanisme tersebut

membutuhkan proses yang sangat kompleks. Empedu dikeluarkan dari

hati melalui duktus biliaris ekstrahepatal kemudian disimpan di kandung

empedu dan dikeluarkan ke duodenum saat ada lemak, sebagian

direabsorbsi kembali.

Pengetahuan tentang pentingnya empedu ini sudah dikenali sejak

jaman dahulu tetapi pengetahuan tentang mekanisme pembentukan

empedu masih sangat kurang sampai pertengahan abad ke 20. Sampai

saat inipun belum diketahui sepenuhnya dan banyak konsep baru yang

masih pro dan kontra.

Pembentukan empedu melalui mekanisme yang kompleks. Transport

empedu ke kanalikulus oleh transporter spesifik akan menjadikan

perbedaan gradien kimia dan osmotik, menyebabkan air mengalir melalui

jalur paraseluler. Beberapa transporter telah diketahui fungsi spesifiknya.

Ditemukannya defek pada transporter pada beberapa kolestasis familial

menambah pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme terjadinya

kolestasis di tingkat molekuler. Adanya retensi empedu akan menurunkan

produksi empedu sehingga menurunkan sirkulasi enterohepatik.

Kepentingan klinis

Jejas pada hepatosit dan sistema biliaris oleh sebab apapun akan

mengganggu pembentukan dan sekresi empedu sehingga dapat terjadi

retensi dan bermanifestasi sebagai kolestasis.

Fungsi ekskresi juga akan terganggu apabila terdapat obstruksi

ekstrahepatal (misal Atresia Biliaris). Adanya paucity atau berkurangnya

duktus biliaris intrahepatal ( misal sindroma Alagille) dapat menyebabkan

obstruksi fungsional dari seluruh sistem hepatobiliaris.

Kolestasis dapat berlangsung kronis dan berlanjut menjadi sirosis

yang akan berdampak pada gangguan fungsi sintesis albumin, faktor

koagulasi dan fungsi yang lain yang mengakibatkan terjadinya gangguan

Page 168: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nenny Sri Mulyani

KONAS VII PGHNAI 162 Manado, 17-19 Maret 2017

tumbuh kembang anak. Dibawah ini beberapa contoh retensi dari substansi

yang seharusnya dikeluarkan

Retensi kolesterol

Retensi kolesterol akan menyebabkan penimbunan kolesterol pada

membran sel berakibat mengganggu protein membran dan menurunkan

fungsi dari membran yang berakibat terjadinya kegagalan mekanisme

sekresi empedu. Kenyataan ini membuat klinisi lebih sulit untuk

mengetahui etiologi kolestasis.

Retensi garam empedu

Seperti retensi kolesterol, retensi garam empedu dapat meyebabkan jejas

pada membran sel di seluruh organ terutama di hati yang selanjutnya akan

mengganggu fungsi membran itu sendiri. Retensi garam empedu sekunder

lebih meningkatkan kerusakan membran. Garam empedu ini merupakan

mediator terjadinya fibrosis dan jejas pada sel darah merah yang dapat

menyebabkan terjadinya spur-cell hemolytic anemia.

Fungsi imatur dari sistem hepatobilier pada neonatus

Fungsi yang imatur pada masa neonatus dapat menyebabkan kolestasis

pada masa ini lebih banyak dibanding pada usia yang lebih besar,

sehingga diagnosis banding menjadi lebih banyak. Terdapat bukti adanya

defek pada pembentukan empedu dengan mekanisme yang belum jelas.

Hal ini sering dinamakan kolestasis fisiologis pada bayi akibat dari

imaturitas saat itu.

Page 169: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Nenny Sri Mulyani

KONAS VII PGHNAI 163 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Empedu dengan molekulnya yang relatif kecil dan simpel ternyata

mempunyai berbagai fungsi yang luar biasa. Biosintesis empedu

merepresentasikan salah satu jalur utama regulasi kolesterol. Molekul ini

juga sangat penting untuk fungsi sekresi dan merupakan elemen kunci

untuk pemeliharaan sirkulasi enterohepatik. Asam empedu juga

mempunyai peran utama untuk mencerna dan mengabsorbsi lemak dan

vitamin yang larut dalam lemak pada usus halus.

Gangguan pada fungsi sintesis, sekresi dan ekskresi yang merupakan

tugas utama hati dapat menyebabkan kolestasis. Meskipun dampak yang

utama adalah fungsi di hati dan usus tetapi efek sekundernya dapat

mengenai setiap organ. Efek primernya adalah retensi empedu, regurgitasi

empedu ke serum dan penurunan aliran empedu ke usus. Hal ini dapat

mengakibatkan efek sekunder yang dapat memperberat penyakit hatinya

dan penyakit sistemis

Daftar Pustaka

1. Suchy FJ, Sokol RK, Balistreri WF. Liver disease in children. Third

edition. Cambridge University Press.

2. Boyer JL. Bile formation and secretion. Compr Physiol.2013;3: 1035-

78.

3. Nazer H. Cholestasis. 2015. Accessed 20 February 2017,

<http://emedicine.medscape.com/article/927624-overview

Page 170: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 164 Manado, 17-19 Maret 2017

KELAINAN GASTROINTESTINAL ORGANIK YANG SERING DIJUMPAI

PADA ANAK

Ninung RD Kusumawati, Rizki Rahim

Pendahuluan

Kelainan gastrointestinal pada anak-anak dapat disebabkan etiologi

organik maupun fungsional. Kelainan gastrointestinal organik maupun

fungsional ini ditandai dengan berbagai keluhan, dimana keluhan yang

sering didapatkan adalah muntah, nyeri perut dan konstipasi. Diantara

kelainan organik dengan keluhan-keluhan tersebut yang sering dijumpai

pada anak-anak diantaranya adalah Hipertrofi sphincter pylorus,

Intussusepsi, dan Penyakit Hirschsprung (megakolon kongenital).

Pengenalan dini dan penanganan yang tepat pada penyakit-penyakit

tersebut di atas diperlukan untuk mencegah akibat yang fatal dan

komplikasi yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak.

Hipertrofi Sphincter Pylorus

Hipertrofi sphincter pylorus(HSP) adalah kelainan bedah yang paling sering

dijumpai pada populasi anak khususnya neonatus.1,2

Pada Hipertrofi

sphincter pylorus didapatkan obstruksi outlet gaster oleh karena hipertrofi

dan penebalan otot sirkuler pilorus.1Penebalan sphincter pylorus

menyebabkan obstruksi hampir seluruh outlet gaster, yang akan

menghalangi pengosongan lambung. Sebagai akibatnya, penderita akan

mengalami muntah yang proyektil setelah makan, dimana bila hal ini tidak

teratasi akan meyebabkan gangguan pertumbuhan bahkan penyakit yang

serius.3

Angka kejadian Hipertrofi sphincter pylorus bervariasi sesuai geografi,

diperkirakan sekitar 2-3 kasus setiap 1000 kelahiran hidup. Dengan

kejadian pada laki-laki lebih sering dijumpai dibanding

perempuan.Onsetnya diperkirakan terjadi antara 2 sampai 8 minggu

pertama kehidupan.1,2

Page 171: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 165 Manado, 17-19 Maret 2017

Etiologi Hipertrofi Sphincter Pylorus

Beberapa teori diduga berhubungan dengan patogenesis HSP,

diantaranya:4

1) Teori abnormalitas imunohistokimia

Pada HSP terjadi peningkatan ekspresi sphincter levels of insulin like

growth factor (IGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan growth

signaling pathway sehingga terjadi hipertrofi pada otot pylorus. Selain

itu dilaporkan juga pada HSP terjadi penurunan jumlah sel saraf

intramuskular, saraf kolinergik dan molekul adhesi sel-sel saraf yang

menginervasi otot pylorus.

2) Teori genetik

Diduga bahwa mutasi gen pada kromosom 12q yang mengkode enzim

nitric oxide synthetase berperan dalam kejadian HSP. Abnormalitas

gen Transient Receptor Potential (TRPC) yang berperan dalam

mengontrol otot polos dan hipertofi juga diduga berhubungan dengan

HSP.

3) Teori infeksi

Infeksi Helicobacter pylori diduga berhubungan dengan kejadian

HSP.Teori infeksi ini merupakan teori yang paling lemah terkait dengan

kejadian HSP. H.pylori merupakan kuman patogen yang dapat

meningkatkan stimulasi dan sekresi asam lambung.Kondisi

hiperasiditas ini dapat meningkatkan risiko HSP.Meskipun demikian,

studi terhadap 16 bayi HSP yang dilakukan biopsi gaster menunjukkan

hasil yang berbeda, dimana tidak ditemukan H. pylori.

4) Teori hiperasiditas

Pada bayi HSP diketahui memiliki pH gaster yang lebih asam

dibanding bayi non HSP. Beberapa bukti yang mendukung

diantaranya:

(a) Terapi medikamentosa pada HSP dengan gastric wash-out dan

penggunaan atropine dosis titrasi memberikan luaran yang sama

dengan terapi bedah. Prinsip terapi medikamentosa adalah dengan

mengurangi keasaman lambung sementara ketika obat-obatan

diberikan.

Page 172: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 166 Manado, 17-19 Maret 2017

(b) Uji coba terhadap induk anjing yang mendapat injeksi pentagastrin

berisiko terjadinya HSP pada keturunannya. Hal ini menunjukkan

bahwa gastrin dapat melewati barrier plasenta sehingga sekresi

asam lambung meningkat pada fetus.

Penggunaan antibiotik golongan makrolida juga diduga meningkatkan

risiko HSP. Studi tahun 2014 terhadap 880 bayi HSP menunjukkan bahwa

penggunaan antibiotik golongan makrolida (eritromisin) meningkatkan

kejadian HSP dengan rasio 29,8 kasus (IK 95% 16,4 – 54,1) pada

pemakaian usia 0 – 13 hari dan 3,24 kasus (IK 95% 1,2 – 8,74) pada

pemakaian usia 14 – 120 hari, per 1000 bayi yang mendapat makrolida.

Pada studi tersebut juga dilaporkan bahwa penggunaan antibiotik

makrolida (eritromisin) pada kehamilan meningkatkan kejadian HSP padai

bayi dengan rasio 1,02 kasus (IK 95% 0,65 – 1,59) pada trimester pertama

atau kedua dan 1,77 kasus (IK 95% 0,95 – 3,31) pada trimester ketiga.5

Studi lainnya tahun 2015 terhadap 2466 bayi menderita HSP menujukkan

paparan antibotik azitromisin meningkatkan risiko HSP dengan OR 8,26 (IR

95% 2,62 -26,0) pada usia 14 hari pertama kehidupan, OR 2,98 (IR 95%

1,24 – 7,20) pada usia 15 – 42 hari. Tidak ada hubungan bermakna pada

penggunaan antibiotik makrolida pada usia 43 – 90 hari.6

Gambaran Klinis Hipertrofi Sphincter Pylorus

Otot-otot pylorus pada pasien dengan HSP menunjukan penebalan dan

edematus.Pada serat otot sirkuler ditemukan adanya hypertrophi tanpa

hyperplasi.Secara makroskopis pylorus membesar dan teraba seperti

tumor yang berbentuk seperti buah zaitun. Pada masa lalu tanda ini

digunakan untuk mendiagnosis 70-90 % kasus. Akan tetapi saat ini tanda

ini hanya didapatkan pada kurang lebih 20% kasus.Diduga hal ini terjadi

karena saat ini kasus-kasus hipertrofi sphinter pylorus datang pada saat

dini dan juga bisa karena perabaan terhalang oleh kondisi bayi yang

gemuk.

Pada penderita didapatkan muntah yang proyektil dan tidak

mengandung empedu 10-20 menit setelah makan, keadaan ini biasanya

baru terlihat setelah bayi berusia antara 3 dan 5 minggu.3,7

Page 173: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 167 Manado, 17-19 Maret 2017

Bayi-bayi dengan Hipertrofi sphincter pylorus hanya dapat meloloskan

sangat sedikit cairan dan atau makanan ke usus untuk diabsorbsi, oleh

krena itu penderita akan cepat jatuh pada keadaan dehidrasi dan gizi

kurang bahkan buruk. Kombinasi dehidrasi dan hilangnya cairan lambung

mengakibatkan terjadinya gangguan elektrolit dan asidosis

metabolik.Sejumlah kecil pasien dapat mengalami ikterik akibat gangguan

pada aktivitas hepatic glucuronyl transferase. Bila tidak segera diatasi

penderita akan mengalami keadaan kritis hanya dalam beberapa hari.3

Pemeriksaan Laboratorium untuk Hipertrofi sphincter Pylorus

Gambaran klasik yang dijumpai adalah alkalosis metabolik hipokloremik

karena hilangnya asam klorida oleh karena pengeluaran cairan lambung

saat muntah. Hal ini mungkin berkaitan dengan hipokalemia sebagai

kompensasi ginjal untuk alkalosis yang mendasari, khususnya melalui

ekskresi potassium untuk mempertahankan ion hidrogen. Hal ini biasanya

terjadi sebagai akibat dari muntah terus-menerus (sering lebih dari tiga

minggu). Muntah persisten dan dehidrasi juga dapat mengakibatkan baik

hiper atau hiponatremia.8

Pemeriksaan Penunjang Radiologi untuk Hipertrofi sphincter Pylorus

USG

USG adalah tes diagnostik pilihan, meskipun akurasinya tergantung pada

operator. Ukuran pilorus diukur dan dibandingkan dengan nilai

standar.Ketebalan otot pylorus > 4 mm, panjang otot pylorus >14-20mm

dan diameter pylorus >10-14mm, adalah kriteria diagnostik Hipertrofi

sphincter pylorus pada bayi (Kriteria HSP menurut Spitz), dengan

sensitivitas 90-99% dan spesifisitas 97-100%. Akan tetapi USG kurang

memberikan hasil yang akurat pada bayi prematur.8

Page 174: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 168 Manado, 17-19 Maret 2017

Barium meal

Pemeriksaan dengan menggunakan barium menunjukkan tanda-tanda

klasik dari kanal pilorus yang memanjang (‗string sign’) atau mukosa

pylorus yang menebal (‗double-track sign‘). Karena kekhawatiran akan

paparan radiasi, pencitraan dengan barium hanya digunakan ketika hasil

USG tidak jelas.8

(a) (b)

Gambar 2. X foto polos abdomen (a) single buble10

dan (b) caterpillar sign11

Gambar 1. Penebalan dan pemanjangan otot pylorus.9

Page 175: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 169 Manado, 17-19 Maret 2017

Diagnosis Hipertrofi sphincter Pylorus

Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesa yang khas dan

ditemukannya massa seperti buah zaitun pada palpasi. Pada tahap awal,

Hipertrofi sphincter pylorus sulit untuk dibedakan dari penyakit refluks

gastro-esofagus atau sepsis. Dalam situasi seperti ini, pemeriksaan

radiologis dapat dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.8

Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis : Muntah yang memancar/proyektil dan tidak

mengandung empedu 10-20 menit setelah makan, biasanya baru

terlihat setelah bayi berusia antara 3 dan 5 minggu

2. Pemeriksaan fisik: Gastric wave, Massa di epigastrium akibat

dilatasi gaster dan Olive sign (massa di epigastrium yang

merupakan penebalan otot pilorus)

3. Pemeriksaan penunjang: Darah rutin, elektrolit, gula darah, USG

pilorus dan barium meal bila hasil USG meragukan

Page 176: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 170 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 3. Alur diagnosis HSP

12

Page 177: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 171 Manado, 17-19 Maret 2017

Tatalaksana Hipertrofi Sphincter Pylorus

Resusitasi

Tatalaksana awal harus memperhatikan 'ABC', dan manajemen cairan

harus difokuskan pada koreksi dehidrasi, serta gangguan elektrolit dan

asam basa.Bolus awal 20 ml/kg dengan Ringer Laktat harus digunakan jika

bayi mengalami dehidrasi. Setelah itu, cairan rumatan harus dimulai,

dimana tujuan utama tatalaksana awal ini adalah untuk mempertahankan

hidrasi untuk mencegah hipernatremia dan hipoglikemia. Cairan rumatan

yang tepat adalah 5% glukosa / 0,45% saline, asalkan natrium plasma

tidak rendah; bila natrium plasma rendah maka harus digunakan cairan 5%

glukosa / 0,9% saline. Kalium klorida harus segera ditambahkan setelah

didapatkan produksi urin. Monitor keseimbangan cairan secaraakurat dan

terus-menerus dan kateterisasi urin harus dipertimbangkan jika anak

mengalami dehidrasi. Pengukuran serial elektrolit, asam basa dan

pengukuran glukosa darah harus dilakukan.Diperlukan pemasangan pipa

nasogastrik untuk dekompresi lambung.8

Tatalaksana Konservatif

HSP dapat dikelola secara konservatif dengan pemberian diet melalui

tabung naso-duodenal.Cara pemberian diet ini harus dilanjutkan selama

beberapa bulan untuk memberikan kesempatan terjadinya proses

perbaikan dari obstruksi gaster dan berat badan penderita mengalami

peningkatan. Dengan kemajuan teknik operasi dan efektivitas serta

keamanan operasi, maka tatalaksana konservatif ini hanya diperuntukkan

bagi penderita-penderita dengan keadaan yang tidak memungkinkan

dilakukan operasi.8

Page 178: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 172 Manado, 17-19 Maret 2017

Tatalaksana Operasi

Operasi bukan merupakan prosedur darurat, dan operasi hanya dapat

dilakukan jika keseimbangan cairan, status asam-basa dan elektrolit dalam

keadaan normal. Bayi akanberisiko mengalami apnoe pasca operasi jika

alkalosis metabolik tidak dikoreksi sebelum operasi. Prosedur operasi

klasik adalah piloromiotomi Ramstedt; sayatan membujur dari pilorus

dengan diseksi tumpul ke tingkat sub mukosa, sehingga menghilangkan

obstruksi lambung. Operasi ini dianggap kuratif dengan angka kematian

minimal.8

Piloromiotomi juga dapat dilakukan dengan laparoskopi.Studi

prospektif acak terkontrol yang membandingkan teknik laparoskopi dengan

teknik operasi terbuka menyatakan bahwa teknik laparoskopi mengurangi

angka kejadian emesis pasca operasi, mengurangi kebutuhan analgesia,

diet enteral yang lebih cepat dan masa rawat di rumah sakit yang lebih

pendek.8

Endoskopi dengan balon dilatasi juga dapat dipertimbangkan, tetapi

hasilnya tidak sebaik prosedur piloromiotomi bedah. Teknik ini

diperuntukkan bagi penderita dengan risiko operasi yang signifikan.8

Tatalaksana Medikamentosa

Tatalaksana medikamentosa pada HSP diantaranya pemberian atropin

(acetylcholine inhibitor) per oral atau intravena. Dasar teori pemberian

atropin yaitu, pada HSP terjadi spasme otot yang akan menyebabkan

hipertrofi. Atropin bekerja dengan menekan kontraksi otot pylori dan

mengurangi peristaltik gastrointestinal. Dosis atropin intravena yang

digunakan 0,01 mg/kgbb/hari dibagi menjadi 6 kali pemberian, dilanjutkan

per-oral jika tidak ada kontraindikasi.13

Studi tahun 2013 di Saudi Arabia

menujukkan efektivitas pemberian atropin pada HSP. Dosis atropin yang

digunakan 0,01 mg/kgbb/hari dibagi 6 kali secara intravena diberikan 5

menit sebelum makan, dilanjutkan dengan 0,02 mg/kgbb/hari dibagi 6 kali

secara peroral jika tidak ada muntah, diberikan juga sebelum makan

selama satu bulan dan kemudian dievaluasi satu tahun kemudian. Hasil

USG evaluasi menunjukkan atropin dapat mengurangi ketebalan otot

pilorus (2,88 ± 0,64) mm dibandingkan sebelum terapi (4,75 ± 0,71 mm);

p=0,0001. Panjang otot pilorus juga lebih pendek setelah diberikan atropin

Page 179: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 173 Manado, 17-19 Maret 2017

(18,13 ± 3,26 mm) dibandingkan sebelum terapi (22,75 ± 3,28); p=0,013.

Efek samping atropin diantaranya flushing ringan pada wajah, takikardi dan

peningkatan enzim hepar.14

Intussusepsi

Intussusepsi adalah invaginasi atau masuknya satu segmen usus dalam

segmen yang lebih distal. Intussusepsi adalah penyebab paling umum dari

kasus obstruksi usus pada bayi, terjadi biasanya pada bayi usia antara 4

dan 10 bulan. Pada sebagian besar kasus, intussusepsi melibatkan ileum

yang masuk melalui katup ileocecal ke sekum. Saat proses intussusepsi

terjadi, ususakan juga menarik pembuluh darah bersamanya. Jika

intussusepsi tidak dilepaskan, pasokan vaskular usus menjadi berkurang,

yang akan berakibat iskemia usus dan mungkin juga perforasi.

Intussusepsi yang tidak diobati dapat berakibat fatal.15

Gambaran Klinis Intussusepsi

Intusussepsi biasanya terjadi rata-rata pada anak usia 6-9 bulan, yang

sehat dan dengan status gizi yang baik.

Dari anamnesis biasanya didapatkan hal-hal sebagai berikut16,17

:

1. Didapatkan riwayat anak yang tiba-tiba menangis dengan tangis yang

tidak dapat ditenangkan, tangisan ini muncul secara intermitten tiap 10

sampai 30 menit dan berlangsung beberapa detik atau lebih. Hal ini

terjadi bersamaan dengan kolik abdomen yang terjadi tiba-tiba pada

saat intussusceptum bersama dengan mesenterium dan saraf masuk

ke dalam intussuscipiens. Tipe tangisannya adalah high-pitched Crying

2. Di antara dua serangan, anak akan berhenti menangis dan beraktivitas

normal sampai timbul serangan kolik berikutnya. Tipe nyeri perut ini

merupakan tanda patognomonik intussusepsi pada bayi karena pola

yang didapatkan, yaitu bayi menangis tiba-tiba, kemudian berhenti

menangis dan beraktivitas normal, kemudian menangis lagi, jarang

didapatkan pada keadaan lain.

3. Saat serangan kolik, anak sering menarik tungkai bawah ke perut

seolah-olah untuk mengurangi rasa sakit. Antar episode kolik, anak

mungkin nampak lesu dan pucat.

Page 180: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 174 Manado, 17-19 Maret 2017

4. Muntah karena obstruksi adalah tanda yang muncul pada keadaan

lanjut, dan muntahan biasanya berwarna kehijauan

5. Feses mungkin pada awalnya berlendir. Darah dalam feses akan

muncul paling awal dalam 6 jam pertama, tapi dapat juga tidak muncul

bahkan sampai beberapa hari kemudian. Darah bercampur dengan

lendir, memberikan karakteristik red currant jelly stools of

intussusceptions ,yang muncul hanya pada sekitar 30% kasus.

Kadang-kadang tinja dengan lendir darah dijumpai pada saat

pemeriksaan colok dubur.

6. Trias nyeri abdomen intermitten, muntah, dan tinja berdarah

didapatkan pada sekitar 30% bayi dengan intussusepsi.16,18

7. Mungkin didapatkan riwayat diare atau konstipasi. Diare biasanya

didapatkan sebelum ada keluhan berak lendir darah. Hal ini dapat

menyebabkan kebingungan dalam diagnosis, karena pada kondisi

seperti ini hal pertama yang biasanya dipikirkan adalah disentri.

Akibatnya, ada penundaan dalam diagnosis, terutama jika lini pertama

petugas medis memiliki indeks kecurigaan yang rendah untuk

intussusepsi.

8. Ada riwayat imunisasi rotavirus dalam waktu dekat, atau riwayat infeksi

virus sebelumnya.

9. Pada anak-anak yang lebih besar, gejala utama yang didapatkan

adalah sakit perut, yang ditemukan pada hampir semua kasus. Tinja

berdarah dan muntah dilaporkan pada sekitar 25% kasus. Trias nyeri

abdomen, muntah dan tinja berdarah adalah kombinasi langka dalam

kelompok usia ini, dan ini adalah gejala yang tidak spesifik.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak nampak sehat, terutama jika

pasien dibawa untuk periksa pada beberapa jam pertama terjadinya

intussusepsi. Meskipun didapatkan trias khas: nyeri abdomen intermitten,

muntah, dan BAB lendir darah, tetap diperlukan pemeriksaan yang teliti

untuk membuat diagnosis yang tepat.16

Bayi dan balita yang datang terlambat (yaitu, setelah 24 jam), nampak

irritable, lemah, dan lesu. Untuk menghindari keterlambatan dalam

membuat diagnosis, adanya keluhan pucat dan letargi pada anak yang

menangis selama beberapa jam sampai beberapa hari harus

Page 181: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 175 Manado, 17-19 Maret 2017

diwaspadaisebagai tanda intussusepsi selain adanya satu atau dua gejala

klasik trias intussusepsi.16

Pada 60% kasus dapat dijumpai massa yang palpable seperti sosis di

area hipokondriaka dekstra. Studi tahun 2016 menunjukkan manifestasi

klinis invaginasi, diantaranya muntah (76,9%), rewel (65,38%), BAB

disertai darah (53,8%), nyeri perut (34,6%), demam (30,76%), distensi

abdomen (11,53%), diare (9,6%) dan konstipasi (7,69%). Beberapa kasus

disertai dengan komplikasi seperti syok (7,69%), peritonitis dan perforasi

(3,84%). Penyebab kasus invaginasi terbanyak yaitu idiopatik (90%),

sedangkan penyebab sekunder dapat disebabkan oleh diverticulum

meckel, polip, neurofibroma, duplication cyst, inverted appendix stump,

leiomyoma, hamartoma, ectopic pancreatic tissue, anastomotic suture

lines, enterostomy tubes, post-transplant lymphoproliferative diseases,

haemangioma atau keganasan lainnya seperti limfoma, dan sarkoma

Kaposi.18

Pada pemeriksaan colok dubur, rektum mungkin kosong atau dapat

teraba intussuseptum atau titik utama dari intussusepsi di rektum, dan saat

pemeriksa menarik jari, mungkin ada bagian dari lendir saja atau tinja

dengan lendir-darah; jari dapat bernoda darah. Pada keadaan akhir,

kemungkinan adanya hematochezia semakin besar, berkait dengan

adanya nekrosis usus. Prolaps intussuseptum dapat terjadi melalui lubang

dubur pada penderita yang datang pada keadaan yang sangat terlambat.16

Pemeriksaan Penunjang Intussusepsi

USG dapat secara akurat mendeteksi intususepsi dan dapat juga

mendeteksi keadaan patologis lain, mencari pathological lead points (PLP),

dan juga dapat memberikan informasi lokasi intususepsi.19,20

Dari hasil

pemeriksaan USG dapat ditemukkan gambaran doughnut sign (gambar 4).

Studi tahun 2014 menunjukkan USG abdomen memiliki sensitivitas 100%

(IK 95%; 66 – 100), spesifisitas 97% (IK 95; 82 – 100), NPV 100% (IK 95%;

86 – 100) dan PPV 91% (IK 95%; 57 – 99).21

USG abdomen pada

invaginasi dapat juga memberikan gambaran pseudokidney atau target

sign (gambar 5).22

Page 182: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 176 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 4. Gambaran klasik invaginasi dari pemeriksaan USG; doughnut sign

21

(a) (b)

Gambar 5. Gambaran USG abdomen (a) pesudokidney sign, (b) target sign22

Pada pemeriksaan radiologi dengan kontras didapatkan dua tanda

klasik, yaitu tanda meniscus yang dihasilkan oleh ujung bulat dari

intussusceptum yang menonjol ke dalam kontras dan tanda ―coiled

spring‖.17

Foto polos abdomen juga dapat digunakan untuk mendiagnosis

intussusepsi tetapi sensitivitasnya rendah, hanya sekitar 45%.Foto polos

abdomen digunakan untuk mengeksklusi pneumoperitoneum, terutama

pada anak-anak yang terlambat didiagnosis dengan intussusepsi.17

Page 183: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 177 Manado, 17-19 Maret 2017

Computed tomography (CT) scan danmagnetic resonance imaging

(MRI) sangat jarang digunakan untuk mendiagnosis intussusepsi. Kedua

pemeriksaan ini hanya digunakan bila didapatkan keraguan dalam

menegakkan diagnosis intussusepsi .17

Klasifikasi Intussusepsi

Berdasarkan penyebabnya, invaginasi diklasifikasikan menjadi invaginasi

primer dan sekunder. Berdasarkan lokasi invaginasi terhadap lumen usus,

yaitu intraluminal, mural dan ekstraluminal. Sedangkan berdasarkan lokasi

anatominya, invaginasi diklasifikasikan menjadi enterik, kolon dan

enterokolon.23

Tipe-tipe Intussusepsi17

Enterocolic: ileocolic (tipe intususepsi yang paling sering dijumpai

pada bayi dan toddler); ileo-ileocolic; ileocaecal

Enteroenteric: jejunojejunal, jejunoileal, ileo-ileal

Colocolic: caecocolic, colocolic.

Bentuk khusus dari intususepsi :

Retrograde intussusception: Invaginasi dari usus distal

(intussusceptum) dalam usus proximal (intussuscipiens).

Postoperative intussusception:Komplikasi dari keadaan post

operasi sekitar 0.5–16% dari laparotomy. Sebagian besar kasus

muncul setelah pembedahan retroperitoneal atau manipulasi usus

ekstensive.

Spontaneous reduction of intussusception: Lebih dari separuh

kejadian intususepsi asimtomatik dan seringkali ditemukan pada

saat USG, pemeriksaan barium enema, atau CT scan pada saat

dilakkan pemeriksaan untuk keadaan lain.

Bentuk lain Other: Intususepsi dapat terjadi di sekitar kateter,

seperti tabung gastrojejunostomi, tabung nasojejunal

Page 184: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 178 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 6. (A) Invaginasi ileus ke dalam caecum, (B) mesenterium, (C)

bagian lipatan kolon, (D) bagian striktur akibat invaginasi, (E) Rektum, (F)

Anorektal23

Diagnosis Intussusepsi

Kriteria diagnosis invaginasi berdasarkan klinis dan pemeriksaan

penunjang dikategorikan menjadi tiga kriteria (tabel 1).24

Tabel 1. Kriteria diagnostik invaginasi pada anak 24

Kriteria A

Nyeri abdomen atau gelisah

BAB disertai darah

Massa atau distensi abdomen

Kriteria B

Muntah

Pucat

Letargi

Syok

Distribusi udara yang tidak normal pada x-foto polos abdomen

Kriteria C

Sesuai karakteristik invaginasi berdasarkan USG abdomen, enema atau

MSCT/MRI

Interpretasi

Suspek invaginasi : 1 kriteria A (nyeri abdomen atau gelisah) yang berulang,

atau

2 kriteria A, atau

1 kriteria A + 1 kriteria B

3 kriteria B

Diagnosis definitif : kriteria suspek + 1 kriteria C

Page 185: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 179 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 7. Algoritma diagnosis invaginasi

22

Tatalaksana Intussusepsi

Intussusepsi adalah keadaan darurat, sehingga harus ditangani secara

cepat baik dengan metode non-operatif atau operatif. Keterlambatan

tatalaksana akan menyebabkan iskemia dan nekrosis usus, perforasi usus,

peritonitis, syok, dan mungkin kematian. Nonoperative reduction (NOR)

adalah lini pertama tatalaksana bila fasilitas tersedia, jika gagal, maka

pilihan selanjutnya adalah operasi.17

Kontraindikasi NOR adalah peritonitis, pneumoperitoneum sekunder pada

perforasi usus, syok, perut terlalu buncit (kontraindikasi relatif),

intussusepsi usus halus seperti ileo-ileal atau ileo-ileokolika, dan durasi

yang panjang sebelum masuk ke rumah sakit (> 24 jam).17

Sebelum modalitas pengobatan diputuskan, anak mendapat resusitasi

cairan atau darah (jika diperlukan) secara progresif. Pipa nasogastrik

(NGT) digunakan untuk dekompresi lambung, dan dipasang kateter urin

untuk memantau efektivitas resusitasi. Antibiotik spektrum luas harus mulai

diberikan.17

Page 186: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 180 Manado, 17-19 Maret 2017

Sebagaimana disampaikan di atas, intussusepsi dapat dikelola baik

dengan operasi maupun non operasi Non-operative Reduction saat ini oleh

para ahli bedah dianggap tatalaksana pilihan untuk intususepsi. NOR dapat

dilakukan dengan menggunakan cairan seperti barium, normal salin, dan

kontras yang larut air. Metode ini disebut sebagai metode hidrostatik,

berbeda dengan metode reduksi dengan menggunakan metode pneumatik

atau udara (Air Enema Reduction =AER), yang hanya menggunakan

udara. Bahan-bahan ini dapat digunakan dengan guided fluoroscopic atau

USG. Sebagai catatan, barium dapat menginduksi peritonitis bila barium

bocor melalui perforasi usus ke dalam rongga peritoneum. Air tidak cocok

karena akan diserap sehingga prosedur akan memanjang dan dapat

menyebabkan keracunan air.17

Komplikasi Pasca-operasi

Komplikasi pasca operasi termasuk berulangnya intussusepsi, perforasi

usus selama prosedur NOR, infeksi di sisi bedah, kebocoran anastomosis,

kerusakan anastomosis, enterocutaneous fistula (terutama jika pasien

kurang gizi), obstruksi usus akibat perlekatan pasca operasi, dan hernia

insisional .17

Page 187: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 181 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 8. Algoritma tatalaksana invaginasi 24

Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung adalah kelainan bawaan di mana sistem saraf

enterik (Enteric Nervous System = ENS) di usus distal gagal untuk

berkembang. Kontraksi tonik dari bagian usus aganglionik dan dilatasi

usus pada proksimal dari bagian yang aganglionik mengakibatkan

terjadinya obstruksi fungsional. Panjang usus yang terkena bervariasi,

penyakit Hirschsprung segmen pendek biasanya terbatas pada rektum /

sigmoid dan menyumbang lebih dari 80% dari kasus . Penyakit

Hirschsprung segmen panjang bagiang yang terkena meluas sampai

proksimal rektosigmoid junction dan angka kejadian berkisar 15-20%.25,26

Page 188: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 182 Manado, 17-19 Maret 2017

Gejala klinis yang paling konsisten dilaporkan adalah tertundanya

pengeluaran mekonium, dan ini terjadi pada 90% dari pasien yang

didiagnosis Penyakit Hirschsprung. Neonatus dengan penyakit

Hirschsprung nampak mengalami distensi abdomen dan terdapat

pengeluaran gas serta meconium yang menyemprot setelah pemeriksaan

colok dubur.27,28,29,30,31

Penyakit Hirschsprung dapat muncul dengan

komplikasi serius seperti Hirschsprung-associated enterocolitis. 17

Epidemiologi Penyakit Hirschsprung

Kejadian penyakit Hirschsprung diperkirakan 1/5000 kelahiran hidup.

Kejadian penyakit ini bervariasi menurut etnis tertentu. Studi tahun 2016 di

Taiwan selama 13 tahun, menunjukkan kejadian yang lebih tinggi sedikit,

yaitu 1/4545 kelahiran hidup dengan rasio laki-laki dan perempuan 2,38.32

Etiologi penyakit Hirschsprung belum diketahui pasti. Berbagai faktor risiko

telah dilaporkan terkait dengan kejadian penyakit Hirschsprung.

Diantaranya adalah mutasi pada gen RET (Rearranged during transfection)

yang mengekspresikan krista neuralis dalam membentuk sel ganglion,

mutasi gen EDNRB (Endothelin receptor B) ditemukan pada 5% kasus

dengan penyakit Hirschsprung. Penyakit ini dapat terjadi secara tunggal

(70% kasus) atau disertai dengan sindrom tertentu (12% kasus).Trisomi 21

merupakan sindrom tersering yang menyertai penyakit Hirschsprung

(>90%).Sindrom lainnya pernah dilaporkan berhubungan dengan penyakit

Hirschsprung, seperti sindrom DiGeorge dan mosaik trisomi 8. Berbagai

spektrum klinis terkait keterlibatan berbagai organ telah dilaporkan dengan

kejadian bervariasi 5-30%.Defek pada jantung (5%), terutama defek

septum atrial atau ventrikel, merupakan kelainan organ yang paling sering

ditemukan. Displasia ginjal (4,4%), hipospadia (2-3%) dan malformasi

gastrointestinal dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit

Hirschsprung.33,34

Diagnosis Penyakit Hirschsprung

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung bervariasi sesuai umur.Pada

neonatus didapatkan gejala obstruksi intestinal, sedangkan pada anak

didapatkan konstipasi kronik progresif. Sekitar 80% anak di usia satu bulan

pertama kehidupan ditemukan gangguan pasase usus, kesulitan menyusu

Page 189: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 183 Manado, 17-19 Maret 2017

dan distensi abdomen yang progresif. Studi tahun 2014 di Tanzania

terhadap 110 anak usia 7 hari – 10 tahun dengan penyakit Hirschsprung

menunjukkan gejala klinis obstruksi usus total (58,2%), konstipasi usus

kronik (38,2%) dan perforasi usus (3,6%). Konstipasi (94,5%) dan distensi

abdomen (92,7%) merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.

Gejala lainnya yaitu gagal tumbuh (61,8%), gambaran peristaltik usus

(22,7%), muntah (22,7%), dan diare (6,4%).35

Konstipasi pada anak harus dibedakan berdasarkan etiologinya, yaitu

konstipasi fungsional atau organik. Kriteria diagnosis Rome IV

menunjukkan konstipasi fungsional pada anak didefinisikan dengan adanya

dua gejala atau lebih (selama satu bulan) pada anak hingga usia 4 tahun

dengan :36

1) defekasi ≤ 2 kali per minggu,

2) riwayat retensi feses dalam jumlah banyak,

3) riwayat nyeri perut atau gangguan pasase usus,

4) riwayat feses dengan ukuran diameter yg lebar

5) adanya massa fecal yang besar pada rektum

Pada anak yang sudah terlatih untuk toilet, kriteria tambahan dapat

digunakan :

6) minimal satu episode/minggu inkontinensia setelah mendapat

keterampilan toilet

7) riwayat feses yang besar sehingga terjadi obstruksi pada toilet.

Adapun perbedaan konstipasi fungsional dan organik (penyakit

Hirschsprung) dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschsprung 37

Gambaran klinis Konstipasi

fungsional

Penyakit

Hirschsprung

Pengeluaran mekoneum

terlambat

Onset

Inkontinensia fecal

Riwayat fisura

Gagal tumbuh

Tidak ada

Setelah 2 tahun

Umum terjadi

Umum terjadi

Tidak umum

terjadi

Umum terjadi

Pada saat lahir

Sangat jarang

Jarang terjadi

Dapat terjadi

Dapat terjadi

Page 190: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 184 Manado, 17-19 Maret 2017

Enterokolitis

Distensi abdmomen

Pemeriksaan rektal

Malnutrisi

Tidak terjadi

Jarang terjadi

Didapati feses

Tidak terjadi

Umum terjadi

Tidak didapati

feses

Dapat terjadi

Beberapa gejala dan tanda (red flags) juga dapat digunakan dalam

mendiagnosis konstipasi organik, diantaranya jika didapati (1) mekoneum

keluar >24 jam, (2) usia saat onset <12 bulan, (3) gagal tumbuh, (4)

distensi, (5) tidak ditemukan feses pada pemeriksaan rektum atau feses

yang besar dan (6) berhubungan dengan gejala gastrointestinal atas dan

ekstraintestinal. Etiologi dari penyakit endokrin atau metabolik juga harus

disingkirkan.38

Pemeriksaan non invasif dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit

Hirschsprung, diantaranya pemeriksaan radiologi.X-foto polos abdomen

menujukkan zona transisi antara kolon yang mengalami dilatasi berisi

udara dan kolon proksimal yang tidak dilatasi, memberikan gambaran

funnel-shaped. Colon in loop menggunakan kontras barium enema

menunjukkan beberapa gambaran :39

1) Zona transisi, yaitu zona dimana terdapat perbedaan diameter kolon

dilatasi dan non dilatasi (sensitivitas 94,4%; spesifisitas 68,4%, PPV

85%; NPV 86,7%)

2) Rectosigmoid index (RSI), yaitu rasio diameter rektum yang terlebar

dengan diameter sigmoid terlebar, dikatakan abnormal jika rasio < 1

(sensitivitas 86%; spesifisitas 68,4%, PPV 83,7%; NPV 72,7%)

3) Kontraksi irreguler pada kolon aganglionik, seperti saw teeth

appearance (sensitivitas 41,6%; spesifisitas 100%, PPV 100%; NPV

47,5%)

4) Mukosa kolon ireguler curiga enterokolitis atau cobblestone

appearance (sensitivitas 18,3%; spesifisitas 94,7%, PPV 76,5%; NPV

36,5%)

5) Filling defect akibat fecal material (sensitivitas 61,1%; spesifisitas

63,1%, PPV 76%; NPV 46,1%)

Page 191: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 185 Manado, 17-19 Maret 2017

(a) (b)

(c)

Gambar 9. Pemeriksaan barium enema, (a) zona transisi, (b) saw teeth

appearance, (c) cobblestone appearance39

Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis penyakit Hirschsprung

berdasarkan pemeriksaan biopsi histopatologi, menunjukkan tidak adanya

sel ganglion pada pleksus mienterikus dan submukosa serta peningkatan

aktivitas asetilkolinesterase di lamina propia. Beberapa teknik biopsi

rektum dapat dilakukan, yaitu dengan metode suction, endokskopi atau

open biopsy, menggunakan pengecatan hematoxylin eosin,

Acetylcholinesterase histochemistry atau Calretinin

Page 192: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 186 Manado, 17-19 Maret 2017

immunohistochemistry.27

Systematic reiview terhadap 14 studi

menunjukkan bawah suction rectal biopsy paling akurat dalam

mendiagnosis penyakit Hirschsprung (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%)

dibandingkan dengan barium enema (sensitvitas 70%, spesifisitas 83%).40

Klasifikasi Penyakit Hirschsprung

Klasifikasi penyakit Hirschsprung berdasarkan area kolon yang

aganglionik, yaitu :41

1) Ultra short segment : Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat

kecil dari rektum,

2) Short segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil

dari kolon,

3) Long segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar

kolon,

4) Very long segment : Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum

dan kadang sampai sebagian usus kecil

Sebanyak 84,48% penyakit Hirschsprung termasuk ke dalam jenis short

segment atau rektosigmoid.40

Tatalaksana Penyakit Hirschsprung

Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan, tatalaksana operatif

harus segera direncanakan. Tatalaksana preoperatif diantaranya :41

1) Dekompresi dengan pipa lambung dan pipa rektum,

2) Irigasi rektal (washed out)

3) Resusitasi cairan dan koreksi imbalans elektrolit

4) Tatalaksana nutrisi dengan nutrisi parenteral total

5) Jika didapatkan enterokolitis, diberikan antibiotik spektrum luas

atau definitif

Tatalaksana bedah terdiri dari dua, yakni bedah sementara dan bedah

definitif. Tindakan bedah sementara pada penyakit Hirschsprung yaitu

kolostomi pada bagian usus yang memiliki ganglion normal paling distal.

Tindakan ini bertujuan menghilangkan obstruksi usus dan mencegah

enterokolitis. Kolostomi dapat menurunkan angka kematian pada saat

Page 193: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 187 Manado, 17-19 Maret 2017

dilakukan tindakan bedah definitive, dan mengurangi kaliber usus yang

telah membesar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.

Tindakan bedah definitif dengan prosedur pull-through dapat dilakukan

pada periode neonatus. Terdapat empat metode tindakan bedah definitif

diantaranya :42

1) Prosedur Swenson

Orvar Swenson dan Bill (1948) pertama kali memperkenalkan teknik

pull-through. Pada dasarnya operasi yang dilakukan adalah

rektosigmoidektomi dengan preservasi sphincter ani.Dengan

meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya

adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam

pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum

yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode

operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spincterektomi posterior,

yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-

1 cm rektum posterior.

2) Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi

kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar

prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah

anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan

dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior

kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru

dengan anastomose end to side.

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya

sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di

dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.

3) Prosedur Soave

4) Prosedur Rehbein

5) Prosedur Trans Anal Endorectal Pull-Through (TEPT)

Page 194: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 188 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Cappiello CD, Strauch E. A rare case of recurrent hypertrophic pyloric

stenosis. J Ped Surg Case Reports 2 .2014;519-521

2. Feng Z, Nie Y, Zhang Y, Li Q, Xia H, Gong ST, Huang H. The Clinical

Features of Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis in Chinese Han

Population: Analysis from 1998 to 2010. PLOS ONE. 2014;9:e88925

3. Svenningsson A. Genetic And Epidemiological Studies Of Infantile

Hypertrophic Pyloric Stenosis. Karolinska Institutet.2011;45:31-32.

4. Rogers IM. New Insights on The Pathogenesis of Pyloric Stenosis of

Infancy. A Review with Emphasis on The Hyperacidity Theory. Open

Journal of Pediatrics. 2012;2:97-105.

5. Lund M, Pasternak B, Davidsen RB, Feenstra B, Krogh C, diaz LJ et al.

Use of Macrolides in Mother and Child and Risk of Infantile

Hypertrophic Pyloric Stenosis: Nationwide Cohort

Study.BMJ.2014;348:1-10.

6. Eberly MD, Eide MB, Thompson JL, Nylund CM. Azithromycin in Early

Infancy and Pyloric Stenosis. Pediatrics. 2015;135(3):483-8.

7. Ranells JD, Carver JD, Kirby RS. Infantile Hypertrophic Pyloric

Stenosis: Epidemiology, Genetics, and Clinical Update. Advances in

Pediatrics.2011;58: 195–206.

8. Davies I. Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis Anaesthesia Tutorial

Of The Week 276. ATOTW 276 Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis,

26th November. 2012;1-5

9. Dias SC, Swinson S, Torrao H, Goncalves L, Kurochka S, Vaz CP, et

al. Hypertrophic Pyloric Stenosis: Tips and Tricks for Ultrasound

Diagnosis. Insights Imaging .2012;3:247–50.

10. Maclennan. Investigation on vomiting children. Seminars in pediatric

surgery. 2003;12:220-28.

11. Lee JH. Plain Abdominal Radiography in Infants and Children. Korean

J pediatr gastroenterology nutrition. 2011;14:130-6.

12. Cincinnati Children‘s Hospital Medical Center. Evidence Based Clinical

Practice Guideline For Hyperthropic Pyloric Stenosis. 2007

13. Aspelund G, Langer JC. Current Management of Hypertropic Pyloric

Stenosis. Seminars in pediatric surgery. 2007;16:27-33.

Page 195: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 189 Manado, 17-19 Maret 2017

14. Almaramhy HH, Alshareif HA. Use Of Atropine Sulfate In The

Treatment of Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis. Journal of Taibah

University Medical Sciences. 2013;8:173–7.

15. Jiang J, Jiang B, Parashar U, Nguyen T, Bines J, Patel MM. Childhood

Intussusception: A Literature Review . PLOS ONE .2013;8(7): e68482

16. Hesse AAJ, Abantanga FA, Lakhoo K. Intussusception. Available from :

URL: www.global-help.org/publications/books/help_pedsurgeryafrica

68.pdf

17. Navarro O, Daneman A. Intussusception. Part 3: Diagnosis and

Management of Those with An Identifiable or Predisposing Causeand

Those that Reduce Spontaneously. Pediatroc Radiology. 2004;

34:305–312.

18. John M, Siji CR. A Clinical Study Of Children with Intussusceptions. Int

J Contemp Pediatr. 2016;3:1083-8.

19. Chahine AA. Intussusception. Available at: http://emedicine.

medscape.com/article/930708 (accessed 25 December 2008).

20. Ko HS, Schenk JP, Troger J, Rohrscheider WK. Current Radiological

Management of Intussusception in Children. European Radiology

.2007; 17:2411–2421.

21. Lam SHF, Wise A, Yenter C. Emergency Bedside Ultrasound for The

Diagnosis of Pediatric Intussusception: A Retrospective Review. World

Journal Emergency Medicine. 2014;5:255-8

22. Wall J. Acute Abdominal Pain in Children: Is It Intussusceptions?.

.TSMJ. 2001;2:22-4.

23. Loukas M, Pellerin M, Kimball Z, Garza-Jordan J, Tubss RS, Jordan R.

Intussusception: An Anatomical Perspective With Review of the

Literature. Clinical Anatomy.2011;24:552–61.

24. Ito Y, Kusakawa I, Murata Y, Ukiyama E, Kawase H, Kamagata S, et

al. Japanese Guidelines for The Management of Intussusception in

Children. Pediatrics International. 2012;54:948–58.

25. Bethell G, Wilkinson D, Fawkner-Corbett D, Mesa A, Shukla R, Edgar

D, K Simon. Enteric Nervous System Stem Cells Associated with

Thickened Extrinsic Fibers in Short Segment Aganglionic

Hirschsprung's Disease Gut Are Absent in The Total Colonic and

Page 196: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 190 Manado, 17-19 Maret 2017

Intestinal Variants of Disease. Journal of Pediatric Surgery 2016.

Available from : http://dx.doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2016.06.006

26. Obermayr F, Hotta R, Enomoto H, et al. Development and

Developmental Disor- Ders of The Enteric Nervous System. Nat Rev

Gastroenterology Hepatology. 2013;10: 43-57.

27. Muise ED, Cowles RA. Rectal biopsy for Hirschsprung's disease: a

review of techniques, pathology, and complications. World Journal

Pediatrics. 2016;12:135-141.

28. Martucciello G. Hirschsprung's Disease, One of The Most Difficult

Diagnoses in Pediatric Surgery: A Review of The Problems From

Clinical Practice to The Bench. Eur J Pediatric Surgery.2008;18:140-

149.

29. Martucciello G, Pini Prato A, Puri P, Holschneider AM, Meier- Ruge W,

Jasonni V, et al. Controversies Concerning Diagnostic Guidelines for

Anomalies of The Enteric Nervous System: A Report From The Fourth

International Symposium on Hirschsprung's Disease and Related

Neurocristopathies. J Pediatric Surgery. 2005;40:1527-31.

30. Langer JC. 50 Years ago in the Journal of Pediatrics: Rectal Biopsy As

An Aid in The Diagnosis of Diseases of Infants and Children. Journal

Pediatrics. 2013;162:301-7.

31. Lewis NA, Levitt MA, Zallen GS, Zafar MS, Iacono KL, Rossman JE, et

al. Diagnosing Hirschsprung's Disease: Increasing The odds of A

Positive Rectal Biopsy Result. Jornal Pediatric Surgery.2003;38:412-

16.

32. Chia S, Chen SC, Lu C, Sheu S, Kuo H. Epidemiology of

Hirschsprung‘s Disease in Taiwanese Children: A 13-year Nationwide

Population-based Study. Pediatrics and Neonatology. 2016;57: 201-6.

33. Amiel J, Sproat-Emison E, Garcia-Barcelo M, Lantieri F, Burzynski G,

Borrego S et al. Hirschsprung Disease, Associated Syndromes and

Genetics: A Review. Journal Medicine Genetica. 2008;45:1-14.

34. Heuckeroth RO. Hirschsprung‘s Disease, Down Syndrome, and

Missing Heritability: Too Much Collagen Slows Migration. Journal Clinic

Invest. 2015;125:4323-26.

35. Mabula JB, Kayange NM, Manyama M, Chandika AB, Rambau PF,

Chalya PL.. Hirschsprung‘s Disease in Children: A Five Year

Page 197: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim

KONAS VII PGHNAI 191 Manado, 17-19 Maret 2017

Experience at A University Teaching Hospital in Northwestern

Tanzania. BMC Research Notes.2014;7:410.

36. Benninga MA, Nurko S, Faure C, Hyman PE, Roberts ISJ, Schechter

NL. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler.

Gastroenterology .2016;150:1443-55.

37. Poddar U. Approach to Constipation in Children. Indian pediatrics.

2016;53:319-27.

38. Brown RA, Wood RJ. Constipation in Children. S Atr Family Practice.

2013;55:350-3.

39. Alehossein A, Roohi A, Pourgholami M, Molleian M, Salamati P.

Diagnostic Accuracy of Radiologic Scoring System for Evaluation of

Suspicious Hirschsprung Disease in Children Iran Journal Radiology.

2015;12: 12451.

40. Lorijin F, Kremer LCM, Reitsma JB, Benninga MA. Diagnostic Tests in

Hirschsprung Disease: A Systematic Review. J Pediatr

Gastroenterology Nutrional. 2006;42:496-505.

41. Izadi M, Mansour-Ghanaei F, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH,

Tareh F. Clinical Manifestations of Hirschsprung‘s Disease: A Six Year

Course Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle

East Journal of Digestive Diseases. 2009;1:68-73.

42. Zafar M, Azam H. Hirschsprung‘s Disease : Modified Duhamel‘s

Procedure. Professional Medicine Journal.2010; 17: 223-31

Page 198: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 192 Manado, 17-19 Maret 2017

GANGGUAN FUNGSIONAL GASTROINTESTINAL

Muzal Kadim

Divisi Gastrohepatologi

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Gangguan fungsional gastrointestinal adalah gangguan saluran cerna yang

kronis dan berulang, bila dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

pemeriksaan penunjang sederhana tidak dapat ditemukan adanya kelainan

struktural/organ. Gangguan fungsional gastrointestinal pada bayi dan anak

sering menjadi penyebab orang tua datang ke dokter anak. Orang tua

sering kali merasa cemas akan kondisi anaknya dan dianggap sebagai

penyakit yang berat. Ketika usia anak mencapai 4 bulan, sebanyak 20%

orang tua melaporkan gejala sakit perut yang dialami oleh anaknya.1-3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Iacono, dari populasi sebanyak

2879 kasus, didapatkan regurgitasi atau gumoh merupakan gangguan

yang paling sering dialami (23.1%), diikuti dengan kolik (20.5%), konstipasi

(17.6%), gagal tumbuh (15.2%), muntah (6%), dan diare (4.1%).4 Makalah

ini akan membahas tentang algoritma dari tiga gangguan fungsional

gastrointestinal pada bayi dan anak yang tersering yaitu regurgitasi, kolik

infantil, dan konstipasi.

Regurgitasi atau gumoh merupakan gangguan fungsional

gastrointestinal yang paling sering terjadi. Regurgitasi banyak dialami oleh

bayi usia 4-6 bulan, hanya 10% kejadian pada anak usia lebih dari 1 tahun.

Hal ini merupakan masalah yang wajar, mengingat regurgitasi dapat

dianggap sebagai suatu fenomena fisiologis pada anak di tahun pertama

kehidupan.5

Kolik dengan gejala tangisan yang berlebihan pada bayi yang sehat

dan tumbuh normal merupakan keluhan yang sering menimbulkan stres

sehingga menyebabkan ibu datang meminta pertolongan kepada dokter.

Tangisan biasanya terjadi pada sore hari dimulai pada minggu pertama

kehidupan dan biasanya akan hilang setelah bulan ke empat atau ke lima

kehidupan. Kolik infantil, menduduki posisi kedua setelah regurgitasi,

sangat sering terjadi pada 4 bulan pertama kehidupan. Kolik infantil terjadi

Page 199: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 193 Manado, 17-19 Maret 2017

pada 5-25% anak di seluruh dunia bergantung dari definisi dan metode

penelitian yang digunakan.6-9

Konstipasi merupakan masalah kesehatan pada anak yang masih

cukup tinggi, merupakan 3% kunjungan pasien ke dokter anak umum dan

15-25% kunjungan ke konsultan gastroenterologi anak.10-12

Manifestasi Klinis

Gejala atau manifestasi klinis yang paling menonjol pada gangguan

saluran cerna tersebut pada bayi berusia beberapa bulan adalah bayi

menangis dan rewel. Bayi yang rewel dapat disebabkan berbagai

penyebab yang kompleks dan saling berinteraksi, mulai dari faktor budaya,

psikososial, lingkungan, dan biologis.2

Gangguan saluran cerna pada bayi seringkali ditangani dokter secara

konvensional dengan berbagai pendekatan tanpa mengharuskan sang bayi

untuk rawat inap serta tanpa pemeriksaan penunjang lain yang lebih

spesifik. Namun, untuk memberikan terapi yang sesuai terhadap bayi

secara lebih terstruktur, diperlukan penatalaksanaan baku untuk tiap

gangguan saluran cerna fungsional. Algoritma tiga kasus gangguan

saluran cerna fungsional yang tersering, yaitu regurgitasi, kolik infantil, dan

konstipasi, berikut dapat membantu klinisi dalam menentukan penyebab

perilaku rewel bayi.

Regurgitasi atau gumoh

Untuk membantu menegakkan diagnosa pada bayi atau anak dengan

regurgitasi, dibutuhkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dibawah ini

terdapat algoritme diagnosis dan tatalaksana regurgitasi pada bayi yang

dikeluarkan oleh IDAI. Untuk membedakan antara GER (Gastroesofageal

reflux) dan GERD (Gastroesofageal reflux desease), dapat dilihat dari

adanya tanda bahaya yaitu:3

1. Muntah

2. Muntah Darah (Hematemesis)

3. Gelisah dan Menangis

4. Posisi melengkung (Sandifer)

5. Batuk berlebihan

6. Gagal Tumbuh

Page 200: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 194 Manado, 17-19 Maret 2017

7. Masalah Makan

8. Gangguan Neurologi

Gambar 1. Algoritme Regurgitasi

Kolik infantil

Terminologi kolik pada bayi bermacam macam, sebagian

ahli menyebutnya infantile colic, ahli lain menyebut evening colic karena

terjadi terutama pada sore hari, sering pula disebut sebagai three month

colic karena setelah bayi berumur 3 bulan biasanya akan membaik

sendiri.13,14

Prevalensi kolik pada bayi sangat bervariasi sekitar antara 10%

sampai 40% tergantung pada desain penelitian, kriteria kolik dan cara

pengumpulan data. Lucassen melakukan suatu systematic review kejadian

kolik pada bayi di komunitas di Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda

dengan menggunakan kriteria Wessel dan mendapatkan kejadian kolik

pada bayi berkisar antara 5% sampai 19%. Di Amerika Serikat angka

Page 201: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 195 Manado, 17-19 Maret 2017

kejadian kolik pada bayi berkisar antara 16% sampai 26% tergantung pada

definisi kolik dan metode penelitiannya. 6

Publikasi yang menggambarkan

prevalens kolik pada bayi di Indonesia belum banyak, tetapi lebih kurang

prevalens di Indonesia sama dengan penelitian diatas.

Menangis merupakan cara bayi menyatakan lapar, rasa tidak nyaman,

lelah, nyeri dan takut. Rasa tidak nyaman timbul bila bayi kencing,

defekasi, kepanasan, kedinginan, gatal, dan sebagainya. Bayi normal

menangis rata rata 2,2 jam sehari, sampai berusia sekitar 6 minggu

merupakan puncak frekuensi tangisan, kemudian berangsur-angsur

berkurang sampai ia berusia 4 bulan, dan pada usia selanjutnya, bayi

umumnya hanya menangis sedikit pada sore atau malam hari. Studi kasus

kontrol menggunakan kriteria wessel mendapatkan bayi dengan kolik

menangis rata rata selama 241 menit sampai 300 menit per hari,

sedangkan bayi normal menangis rata rata selama 103 menit sampai 112

menit per hari. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa bayi normal

menangis lebih sering pada sore dan malam hari antara pukul 6 sore

sampai pukul 12 malam.15

Etiologi

Faktor risiko kolik pada bayi telah banyak dipelajari. Penelitian yang

dilakukan oleh Illingworth menemukan tidak adanya hubungan antara umur

ibu, jumlah anak, dan riwayat kehamilan dengan kejadian kolik pada bayi.

Kolik mempunyai penyebab yang multifaktorial seperti imaturitas sistem

saluran cerna, ketidakmampuan susunan saraf pusat untuk menerima

stimulus dari lingkungan, alergi dan hipersensitifitas, hubungan orangtua

anak, budaya dan variasi normal dari perilaku bayi. 13

Dibawah ini adalah algoritme diagnosis dan tatalaksana kolik pada

bay yang dikeluarkan oleh IDAI. Berdasarkan kriteria Rome 3, yang disebut

kolik : 1,2

1. Usia ≤ 3 bulan

2. Sering rewel,marah, atau menangis

3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan terjadi

minimal dalam satu minggu

4. Tidak ada gangguan pertumbuhan

Page 202: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 196 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 2 . Algoritme kolik infantil

Konstipasi

Secara umum definisi konstipasi menurut the North American Society for

Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPHGAN) adalah kesulitan

atau keterlambatan melakukan defekasi selama dua minggu atau lebih,

dan mampu menyebabkan stres pada pasien.10

Sedangkan menurut Kriteria Rome III diagnosis konstipasi fungsional,

adalah bayi dan anak usia < 4 tahun, dalam 1 bulan minimal terjadi 2 dari

gejala-gejala berikut: 1,2

1. Defekasi dua kali atau kurang per minggu

2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)

3. Riwayat retensi feses yang berlebihan

4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit

5. Adanya massa feses yang besar pada rektum

6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat

toilet

Page 203: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 197 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 3. Algorirme konstipasi pada bayi

Tanda Bahaya (Red Flag) pada Konstipasi

1. Tidak ada meconium >48 jam

2. Distensi Abdominal

3. Muntah

4. Gagal tumbuh

5. BAB berdarah

6. Perkembangan saraf terhambat

7. Ketidaknormalan pada anus

8. Gejala penyebab organik lain

Page 204: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 198 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Milla, PJ.; Hyman, PE.; Benninga, MA.; Davidson, GP.; Fleisher, DF.;

Taminiau, J. Childhood functional gastrointestinal disorders:

neonate/toddler. In: Drossman, DA.; Corazziari, E.; Delvaux, M., et al.,

editors. ROME III: The Functional Gastrointestinal Disorders. 3rd ed..

Allen Press; Lawrence, KS: 2006. p. 687-722.

2. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF,

Taminiau J. Childhood functional gastrointestinal disorders:

neonate/toddler. Gastroenterology 2006;130:1519–1526.

3. Hegar B, Satari DH, Sjarif DR, Vandenplas Y. Regurgitation and

gastroesophageal reflux disease in six to nine months old indonesian

infants. Pediatric Gastroenterology Hepatology and

Nutrition. 2013;16:240–247

4. Iacono G, Merolla R, D'Amico D, Bonci E, Cavataio F, Di,Prima L,

Scalici C, Indinnimeo L, Averna MR, Carroccio A., Paediatric Study

Group on Gastrointestinal Symptoms in Infancy. Gastrointestinal

symptoms in infancy: a population-based prospective study. Digestive

and Liver Disease. 2005;37:432–438.

5. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A, Vandenplas

Y. Natural evolution of regurgitation in healthy infants. Acta

Paediatrica. 2009;98:1189–1193.

6. Lucassen PL, Assendelft WJ, Van Eijk JT, Gubbels JW, Douwes AC,

Van Geldrop WJ. Systematic review of the occurrence of infantile colic

in the community. Arch Dis Child. 2001;84:398–403.

7. Savino F, Cordisco L, Tarasco V, Calabrese R, Palumeri E, Matteuzz

D. Molecular identification of coliform bacteria from colicky breastfed

infants. Acta Pædiatrica. 2009; 98:1582–158.

8. Rhoads JM, Fatheree YN, Norori J, Liu Y, Lucke JF, Tyson EJ, Ferris

MJ. Altered Fecal Microflora and Increased Fecal Calprotectin in

Infants with Colic. J Pediatr. 2009;155:823-8.

9. Roberts DM, Ostapchuk M, O‘brien JG. Infantile Colic. Am Fam

Physician. 2004;70:735-40,741-2.

Page 205: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Muzal Kadim

KONAS VII PGHNAI 199 Manado, 17-19 Maret 2017

10. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children:

Recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN 2006;43:e1-13

11. Baucke VL. Prevalence, symptoms and outcome of constipation in

infants and toddlers. J Pediatr 2005;146:359-63

12. Biggs WS, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in

infants and children. Am Fam Physician 2006;73:469-77, 479-80, 481-

2.

13. Illingworth R. Three months colic. Arch Dis Child. 1954;29:165–174.

14. Wessel M. Paroxysmal fussing in infants, sometimes called ―colic.‖ J

Pediatr. 1954;14:421–423.

15. Lehtonen L, Korvenranta H. Infantile colic: seasonal incidence and

crying profiles. Arch Pediatr Adolesc Med.1995;149:533-536.

Page 206: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 200 Manado, 17-19 Maret 2017

GASTROESOFAGEAL REFLUX: ETIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN

MANAJEMEN

Andy Darma

Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FK Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo

Pendahuluan

Gastroesofageal refluks adalah suatu peristiwa fisiologis dengan gerakan

kembali dari isi lambung menuju esofagus. Bila isi lambung tersebut

malampaui mulut atau hidung sehingga bisa diamati dari luar disebut

regurgitasi. Gastro Esofageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu

peristiwa gastroesofageal refluks yang memberikan gejala yang

mengganggu dan membutuhkan evaluasi dan tatalaksana yang lebih

mendalam. Gejala yang mengganggu pada bayi dapat meliputi menangis

lama, back arching, regurgitasi yang berlebihan, dan gangguan feeding

dimana kesemuanya dapat digolongkan tidak spesifik. Gejala GERD pada

anak dan remaja misalnya gejala heartburn adalah gejala yang lebih

spesifik pada GERD. Meskipun gejala tersebut dapat tergolong ringan

tetapi gejala tersebut dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius

dan menurunkan kualitas hidup anak. Pada kasus yang lebih serius seperti

esofagitis, hematemesis, gagal tumbuh, seharusnya dapat dicegah1.

Gastroesofageal refluks adalah alasan yang cukup sering didapatkan

pada kunjungan ke spesialis anak dan juga rujukan pada ahli

gastroenterologi anak. Regurgitasi terjadi lebih dari satu kali perhari pada

67% dari bayi usia 4 bulan. Sebagian besar orang tua memandang

regurgitasi adlaah peristiwa yang abnormal; 24% dari orang tua

menyebutkan regurgiasi sebagai keluhan yang penting pada kunjungan

bayi usia 6 bulan2. Meskipun keluhan gastroesofageal refluks adalah

keluhan yang umum didapatkan dan biasanya dapat ditangani di fasilitas

kesehatan primer, perjalanan klinis secara alamiah belum banyak

didokumentasikan3.

Page 207: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 201 Manado, 17-19 Maret 2017

Patofisiologi Gastroesofageal Reflux

Gastroesofageal refluks adalah aliran balik dari isi lambung melewati

sphincter gastroesofageal menuju esofagus dengan atau tanpa regurgitasi

atau muntah4. Gastroesofageal refluks adalah suatu peristiwa fisiologis

yang terjadi beberapa kali dalam sehari pada bayi yang sehat, anak dan

bahkan dewasa. Sebagian besar episode GER terjadi kurang dari 3 menit

dan hampir selalu terjadi sesudah minum atau makan dan tidak

menyebabkan keluhan yang berarti1,4

. Penyakit gastroesofageal reluks

terjadi bila peristiwa refluks dari isi lambung menyebabkan keluhan dan

gejala dan atau komplikasi4,5

.

Regurgitasi adalah peristiwa refluks dimana isi lambung dapat

mencapai faring atau mulut dan terkadang dapat keluar melalui mulut

ataupun hidung. Regurgitasi adalah suatu peristiwa tanpa usaha yang

berarti (effortless) dan tidak proyektil meskipun terkadang kita

mendapatkan regurgitasi yang cukup kuat2,6

. Spitting up terjadi pada lebih

dari 50% kasus bayi kurang dari 3 bulan adalah gejala regurgitasi yang

paling sering didapatkan. Regurgitasi akan berkurang secara spontan pada

hampir semua bayi sehat pada usia 12-14 bulan7,8

. Episode refluks dapat

menjadi pemicu dari terjadinya muntah, suatu peristiwa dimana terjadi

integrasi dan koordinasi dari respon motorik yang otonom dengan respon

motorik yang volunter. Muntah dipicu oleh rangsangan pada stimulasi

faring oleh isi lambung. Ruminasi adalah regurgitasi dari makanan yang

baru saja ditelan ke rongga mulut dengan disertai gerakan mengunyah dan

menelan kembali. Ruminasi adlaah sindroma yang terpisah dari

gastroesofageal yang terjadi dengan regurgitasi dari makanan atau

minuman yang ditelan dan dalam hitungan menit yang terjadi karena

kontraksi dari otot abdomen9.

Peristiwa refluks terjadi pada relaksasi transient dari lower esophageal

sphincter (LES) yang tidak diikuti dengan proses menelan sehingga

memungkinkan isi lambung untuk kembali mengalir menuju esofagus4.

Pada sebagian kecil dari populasi pemederita refluks gastroesofageal,

episode refluks terjadi bila tekanan dari lower esophageal sphincter (LES)

gagaal untuk ditingkatkan ketika terjadi suatu peningkatan yang mendadak

dari tekanan intra abdominal atau bila tekanan lower esophageal sphincter

(LES) pada saat resting terkurangi secara kronis2,10

. Perubahan pada

Page 208: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 202 Manado, 17-19 Maret 2017

beberapa mekanisme protektif dari mukosa menyebabkan refluks yang

fisiologis dapat berubah menjadi GERD; klirens yang insufisien dan

buffering dari refluksat, penurunan pengosongan isi lambung, abnormalitas

perbaikan mukosa, dan penurunan refleks protektif neural dari aerodigestif.

Pada hernia hiatal semua mekanisme penghalang pada lower esophageal

sphincter (seperti crural support, segmen intra abdominal, dan

His)terpengaruh juga relaksasi LES yang transient pada proporsi yang

lebih besar. Esofagiti erosiv akan menyebabkan pemendekandari esofagus

dan menyebabkan terjadinya herniasi hiatal.. Prevalensi hiatus hernia

cukup banyak terjadi baikpada anak ataupun dewasa dan ukuran dari hiata

hernia menentukan tingkat keparahan GERD4,11,12

.

Terdapat faktor genetik pada GERD yang dibuktikan dengan

peningkatan konkordansi pada monoziotik dibandingkan dizigotik. Terdapat

peningkatan kasus GERD pada beberaa populasi khusus dibandingkan

dengan kelompok populasi yan g sehat baik pada bayi atau pun anak dan

remaja. Termasuk didalamnya kelompok dengan gangguan neurologis,

obesitas, beberapa sindrom genetik, atresia esofagus, penyakit paru kronis

dan riwayat kelahiran prematur4,10,12,13

.

Pengaruh pemberian makanan pada kejadian GER

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa bayi yang mendapat ASI dan

susu formula akan mengalami regurgitasi lebih besar dibandingkan bayi

yang mendapatkan ASI secara ekslusif terutama pada usia 2 hingga 6

bulan7. Sebagai tambahan bayi dengan regurgitasi adalah bayi yang tidak

berhasil dalam mendapatkan ASI, sehingga American Academy of

Pediatric memberikan rekomendasi untuk memberikan ASI adalah nutrisi

utam hingg usia 12 bulan dengn pemberian ASI ekslusif dalam 6 bulan

pertama1.

Meskipun bayi dengan gejala GER masih mempuyai penambahan

berat badan yang cukup8, telah direkomendasikan juga dalam beberapa

literatur untuk tetap menambahkan thickening milk untuk meningkatkan

berat badan bayi dengan GER6, dengan menambahkan sereal beras dan

bean gum pada susu formula. Pemberian makanan padat lebih dini tidak

menunjukkan perbaikan pada penanganan refluks gastroesofageal dan

pemberian susu formula meningkatkn risiko kejadian GER6.

Page 209: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 203 Manado, 17-19 Maret 2017

Sebagai tambahan pada tatalaksana GER orng tua perlu memperoleh

edukasi tentang tatalaksana awal GER. Edukasi bahwa GER adalah

peristiwa fisiologis adalah sangat penting untuk mengurangi kecemasan

orang tua meskipun kewaspadaan perlu diberitahukan kepada orang tua

mengenai tanda bahaya dari GER, posisi bayi, tehnk pemberian makan,

serta diet merupakan tatalaksana yang penting sebelum meberikan obat

obatan dan bila perlu tindakan operatif pada GER yang parah5,6,8

.

Menegakkan diagnosis Gastroesofageal Refluks

Diagnosis GER lebih banyak ditegakkan dengan menggunakan gejala

klinis dan keluhan yang disampaikan oleh orang tua. Meskipun gejala yang

disampaikan tidak spesifik tetapi saat ini metode tersebiut adalah cara

yang paling banyak dilakukan dalam menegakkan diagnosis GER.

Diagnosis penyakit gastroesofageal refluks atau lebih dikenal dengan

GERD ditegakkan bila ditemukan gejala yang mengganggu pada kualitas

hidup dari bayi. Juga diperkenalkan tentang tanda bahaya atau Red Flag

untuk mengenali bahwa peristiwa refluks yang diamati telah berubah

menjadi GERD14–16

.

Tabel 1. Gejala klinis yang dikategorikan sebagai tanda bahaya (Red Flag)6

Muntah hijau

Perdarahan saluran cerna (Hematemesis/Hemtoschezia)

Muntah yang proyektil dan konsisten

Demam

Hepatosplenomegali

Makro/mikrosefali

Ubun ubun besar menumbung

Kejang

Distensi abdomen

Sindrom metabolik/genetic

Untuk menegakkan diagnosis GER dengan lebih akurat terutama

dalam membedakan dengan GERD dikembangkan suatu sistem skoring.

Salah satu skor untuk refluks pada anak adalah iGERQ yang

dikembangkan oleh Susan Orenstein tahun 1993 yang telah dimodifikasi

ada tahun 20063,4,17,18

.

Page 210: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 204 Manado, 17-19 Maret 2017

Skor tersebut menggunakan beberapa variabel yang dapat digunaka

secara mudah untuk membantu dalam membedakan GER dan GERD. Bila

skor didapatkan lebih dari 9 maka bayi tersebut mempunyai kemungkinan

besar untuk mengalami GERD. Bila skor kurang dari 7 maka kecil

kemungkinan bayi tersebut mengalami GERD3,19

.

Dalam beberapa dekade ini telah dikembangkan alat alat diagnostik

untuk meningkatkan pemahaman tentang peristiwa refluks baik dalam

upaya untuk penegakan diagnosis klinis dan diagnosis etiologis serta

melihat korelasi klinis dengan gambaran refluks. pHmeter baik dengan

kateter ataupun nir kabel serta penggunaan endoskopi dengan biopsi telah

banyak memberikan pemahaman dalam proses refluks juga untuk melihat

kejadian refluks baik itu adlaah refluks asam ataupun non asam. Kondisi

klinis lain yang dapat menyerupai GER seperti penyakit Eosinofilik

Esofagitis serta kondisi Hernia Hiatal juga dapat didiagnosis dengan

metode ini1,4,12,15

.

Uji dengan menggunakan Proton Pump Inhibitor dapat digunakan

untuk menduga kejadian refuks asam. PEnurunan gejala dan tanda setelah

pemberian PPI selama 2 minggu merupakan suatu kondisi sugestif

kejadian suatu refluks asam. KElemahan dari metode ini adalah tidak dapat

membedakandengan kejadian lain yang juga melibatkan asama lambung

seperti tukak peptik dan dispepsia fungsional. Hal lain hanya bisa dilakukan

pada anak usia 2-12 tahun sedangkan pada bayi dibawah 2 tahun tidak

diakukan karena pada umumnya refluks yang terjadi adalah non asam6,12

.

Penggunaan endoskopi dan biopsi merupakan suatu metode

diagnostik yang bagus dalam melihat kondisi mukosa, tidak hanya secara

makroskopis tetapi juga secara mikroskopis. Kerusakan mukosa akibat

refluks baik asam ataupun non asam dapat dilihat secara makroskopis

pada saat endoskopi dan juga secara mikroskopis, misalnya esofagitis

mikroskopis. Kelainan mukosa lain yang bisa dideteksi adalah penyakit

eosinofilik esofagitis6,12,15,20

.

pH meter baik dengan menggunakan kateter ataupun nir kabel

dengan menggunakan kapsul dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis GER dan GERD terutama yang mempunyai sifat refluks asam.

Korelasi klinis melalui skor dengan kondisi refluks melalui pHmeter

dibandingkan dengan kondisi mikroskopis melalui biopsi terkadang

Page 211: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 205 Manado, 17-19 Maret 2017

memberikan hasil yang tidak sejalan. Kelemahan utam dari pHmeter

adalah ketidak mampuan untuk mendeteksi refluks non asam dimana

refluks asam lemah banyak didapat pada bayi6,10,15,19,21

.

Impedansi adalah suatu metode deteksi refluks tanpa mempedulikan

pH dari refluksat. Penggunaan impedansi yang digabung dengan pHmeter

memberikan pemahaman lebih baik dalam proses refluks dan mempunyai

korelasi klinis lebih baik dibandingkan dengan pHmeter saja. Penggunaan

impedansi sangat berguna terutama setelah penggunaan anti sekresi asam

yang menyebabkan refluksat menjadi tidak asam sehingga deteksi dengan

pHmeter kurang sensitif dalam deteksi refluks6,12,22

.

Tabel 2. Uji diagnostik untuk GERD pada anak (Modifikasi)12

Tatalaksana GER dan GERD

Tatalaksana refluks gastroesofageal sangat ditentukan dari

pemahaman akan mekanisme kejadian refluks dan kondisi yang

menyertainya. Pada refluks gastroesofageal yang fisiologis tidak

dibutuhkan tatalaksana yang berlebihan. Edukasi orang tua tentang proses

fisiologi yang akan berkurang dan menghilang pada usia lebih dari 12

bulan sangat penting. Posisi bayi dan teknik pemberian makanan akan

Metode Investigasi Keuntungan Kerugian

Kuesioner GERD Baik untuk menentukan beban

dari GERD

Spesifitas rendah

Tidak dapat digunakan untuk

diagnosis

PPI Test Pada usia 2-12 tahun dan

remaja.

Tidak untuk bayi atau usia 0-2

tahun.

Endoskopi Dapat menegakkan diagnosis

esofagitis dan komplikasi

GERD.

Eksklusi sebab lain.

Membutuhkan pembiusan

Biopsi mukosa Dapat menegakkan diagnosis

esofagitis mikroskopis.

Ekslusi Esofagitis Eosinofilik

TIdak spesifik

Korelasi kurang dengan pH

meter atau impedansi

pHmeter Deteksi paparan asam dan

asosiasi reflux dan gejala.

Analisis otomatis.

Korelasi sedang dengan gejala

dan mikroskopik esofagitis.

pHmeter-impedansi Deteksi refluks non-asam Analisis otomatis sulit

Page 212: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 206 Manado, 17-19 Maret 2017

membantu terutama pada usia diatas 6 bulan karena akan memulai

makanan padat dan juga bayi mulai duduk sehingga posisi akan terbanu

dengan gravitasi sehingga keluhan dan gejala refluks akan berkurang

dengan sendirinya6,7

.

Pada beberapa kasus akan dibutuhkan tambahan farmakoterapi

seperti penggunaan anti sekretori seperti proton pump inhibitor dan anti

histamin 212

. Penggunaan prokinetikyang baik dalam hal ini akan

memperbaiki kontraktilitas esofagus, meningkatkan tekanan LES dan

meningkatkan pengosongan lambung dalam mengurngi gejala GERD telah

banyak diteliti dan hingga saat ini tidak ditemukan preparat yang sanggup

memberikan kegunaan yang cukup seimbang dengan risiko efek simpang

yang ditimbulkan sehingga konklusi akhir tidak didapatkan keuntungan

yang menyeluruh dalam penggunaan prokinetik6. Operasi anti refluks juga

dilakukan pada kasus yang tidak membaik dengan pengobatan atau kasus

dengan kondisi yang akan berakibat pada refluks dalam waktu yang

lama12

.

Daftar Pustaka

1. Randel A. AAP releases guideline for the management of

gastroesophageal reflux in children. Am Fam Physician. 2014 Mar

1;89(5):395–7.

2. Campanozzi A, Boccia G, Pensabene L, Panetta F, Marseglia A,

Strisciuglio P, et al. Prevalence and natural history of gastroesophageal

reflux: pediatric prospective survey. Pediatrics. 2009 Mar;123(3):779–

83.

3. Orenstein SR, Shalaby TM, Cohn JF. Reflux symptoms in 100 normal

infants: diagnostic validity of the infant gastroesophageal reflux

questionnaire. Clin Pediatr (Phila). 1996 Dec;35(12):607–14.

4. Orenstein SR, Khan S. Gastroesophageal Reflux Disease. In:

Kliegman R, editor. Nelson‘s Textbook of Pediatrics. 20th ed.

Philadelphia; 2016. p. 1787–90.

5. Heidelbaugh JJ, Gill AS, Van Harrison R, Nostrant TT. Atypical

presentations of gastroesophageal reflux disease. Am Fam Physician.

2008 Aug 15;78(4):483–8.

Page 213: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 207 Manado, 17-19 Maret 2017

6. Lightdale JR, Gremse DA, Section on Gastroenterology, Hepatology

and N. Gastroesophageal reflux: management guidance for the

pediatrician. Pediatrics. 2013 May;131(5):e1684-95.

7. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A, Vandenplas

Y. Natural evolution of regurgitation in healthy infants. Acta Paediatr.

2009 Jul;98(7):1189–93.

8. Hegar B, Safira F, Kadim M, Putri ND, Wardhani WI. Natural Evolution

of Regurgitation in Children Aged 12-24 Months : A 1-year Cohort

Study. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2013;14(1):13–8.

9. Absah I, Rishi A, Talley NJ, Katzka D, Halland M. Rumination

syndrome: Pathophysiology, diagnosis, and treatment.

Neurogastroenterol Motil. 2016;(May):1–8.

10. Baird DC, Harker DJ, Karmes AS. Diagnosis and Treatment of

Gastroesophageal Reflux in Infants and Children. Am Fam Physician.

2015 Oct 15;92(8):705–14.

11. Jancelewicz T, Lopez ME, Downard CD, Islam S, Baird R, Rangel SJ,

et al. Surgical management of gastroesophageal reflux disease

(GERD) in children: A systematic review. J Pediatr Surg. 2016;xxx.

12. Nikaki K, Woodland P, Sifrim D. Adult and paediatric GERD: diagnosis,

phenotypes and avoidance of excess treatments. Nat Rev

Gastroenterol Hepatol. 2016;13(9).

13. Chogle A, Velasco-benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Hernández

CRR, Saps M. A Population-Based Study on the Epidemiology of

Functional Gastrointestinal Disorders in Young Children. J Pediatr.

2016;0–5.

14. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J,

Jaen D, Ribeiro H, et al. Practical algorithms for managing common

gastrointestinal symptoms in infants. Nutrition. 2013 Jan;29(1):184–94.

15. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur

L, et al. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines:

joint recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the

European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, a. J

Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;49(4):498–547.

Page 214: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Andy Darma

KONAS VII PGHNAI 208 Manado, 17-19 Maret 2017

16. Vandenplas Y. Challenges in the diagnosis of gastroesophageal reflux

disease in infants and children. Expert Opin Med Diagn. 2013 May

12;7(3):289–98.

17. Orenstein SR, Cohn JF, Shalaby TM, Kartan R. Reliability and validity

of an infant gastroesophageal reflux questionnaire. Clin Pediatr (Phila).

1993 Aug;32(8):472–84.

18. Gold BD. Is gastroesophageal reflux disease really a life-long disease:

do babies who regurgitate grow up to be adults with GERD

complications? Am J Gastroenterol. 2006 Mar;101(3):641–4.

19. Orenstein SR. Tests to assess symptoms of gastroesophageal reflux in

infants and children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2003;37 Suppl

1(December):S29-32.

20. D‘Antiga L, Nicastro E, Papadopoulou A, Mearin ML, Tzivinikos C,

Vandenplas Y, et al. European Society for Pediatric Gastroenterology,

Hepatology, and Nutrition Syllabus for Subspecialty Training. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2014;59(3):417–22.

21. Borrelli O, Mancini V, Thapar N, Giorgio V, Elawad M, Hill S, et al.

Cow‘s milk challenge increases weakly acidic reflux in children with

cow‘s milk allergy and gastroesophageal reflux disease. J Pediatr.

2012 Sep;161(3):476–481.e1.

22. Vandenplas Y, Salvatore S, Devreker T, Hauser B. Gastro-

oesophageal reflux disease: oesophageal impedance versus pH

monitoring. Acta Paediatr. 2007 Jul;96(7):956–62.

Page 215: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 209 Manado, 17-19 Maret 2017

FUNCTIONAL CONSTIPATION

START TO INTERVENTION AND MANAGEMENT

Satrio Wibowo

Divisi Gastroenterologi – Hepatologi

Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Pendahuluan

Konstipasi masih merupakan salah satu masalah saluran cerna tersering

pada anak selain diare. Angka kejadian konstipasi di seluruh dunia

berviariasi, antara 0,7% - 29,6%.1 Di Amerika, 3% anak di bawah usia 1

tahun dan 10% anak di bawah usia 2 tahun setidaknya pernah mengalami

1 kali konstipasi.2 Di Indonesia diperkirakan 3-5% dari kunjungan anak ke

dokter disebabkan karena konstipasi.

Konstipasi bukan merupakan penyakit, melainkan gejala dari kelainan

fungsional atau organik di area kolon atau anorektal. Sebagian besar

(95%) konstipasi bersifat fungsional, yaitu konstipasi yang terjadi tanpa

penyebab organik.3 Konstipasi fungsional menimbulkan kecemasan dan

perubahan perilaku pada anak, stres dan kebingungan pada orang tua dan

bahkan pada dokter yang merawat karena pemasalahan yang terus

berulang.

Definisi

North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and

Nutrition (NASPGHAN) mendefinisikan konstipasi sebagai kelambatan atau

kesulitan buang air besar yang terjadi selama 2 minggu atau lebih dan

menyebabkan distres yang nyata pada pasien.3 Dalam praktek klinik

konstipasi lebih sering didefinisikan sebagai kesulitan buang air besar,

yang umumnya ditandai dengan konsistensi tinja yang keras, ukuran tinja

yang besar, frekuensi defekasi yang jarang dan sering disertai dengan rasa

nyeri saat defekasi.4

Page 216: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 210 Manado, 17-19 Maret 2017

Konstipasi sering disertai dengan kejadian soiling dan encopresis.

Soiling adalah keluarnya tinja cair yang menyebabkan pewarnaan kuning

pada celana dalam. Sedangkan encopresis didefinisikan sebagai keluarnya

tinja secara tidak disadari atau tidak mampu dikendalikan di celana dalam.

Etiologi

Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan organ konstipasi dapat dibagi

menjadi konstipasi karena penyebab organik dan non organik (table 1).

Konstipasi non organik ini sering disebut dengan konstipasi fungsional.

Sembilan puluh lima persen konstipasi pada anak disebabkan oleh

konstipasi fungsional.

Anak-anak dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan

sedikit serat (sayur, buah, serealia) lebih sering mengalami konstipasi. Pola

hidup dengan diet yang rendah serat dan tinggi lemak, serta kurang minum

dan olahraga merupakan penyebab tersering dari konstipasi. Kurangnya

aktifitas fisik atau olahraga juga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.3

Pada anak, konstipasi juga sering dipicu oleh beberapa masalah

psikologis atau sosial, seperti : pindah rumah, lingkungan baru, sekolah

baru, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan seksual,

penelantaran, dsb. Adanya pengalaman nyeri atau tidak nyaman saat

defekasi juga dapat menyebabkan anak menunda atau menahan keinginan

BAB sehingga meningkatkan risiko terjadinya konstipasi.

Page 217: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 211 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 1. Etiologi dan klasifikasi konstipasi

A. Konstipasi sekunder

Pola hidup

diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk,

kurangnya aktifitas fisik/olah raga.

Kelainan anatomi (struktur)

anus imperforata, stenosis ani, fissura ani, hemoroid, striktur, tumor,

abses perineum, megakolon, rectal outlet obstruction (anismus, tukak

rectal soliter, intusesepsi)

Kelainan endokrin/sistemik/metabolik

hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, diabetes mellitus, celiac disease

Kelainan syaraf

stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum

tulang belakang, Chagas disease, disotonomia familier.

Kelainan jaringan ikat

skleroderma, amiloidosis, mixed connective-tissue disease

Obat

antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth),

anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa

kalsium), ―calcium channel blockers‖ (verapamil), OAINS (ibuprofen,

diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan

laksan stimulans jangka panjang.

Gangguan psikologi (depresi)

B. Konstipasi fungsional/simple/temporer

Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi

Irritabel bowel syndrome

Konstipasi dengan dilatasi kolon (idiopathic megacolon/ megarektum)

Konstipasi tanpa dilatasi kolon (idiopathic slow transit constipation)

Obstruksi intestinal kronik

Pelvis yang lemah (descending perineum)

Mengejan yang kurang efektif (ineffective straining)

Mekanisme dan Pola Defekasi Normal

Mekanisme dan pola defekasi normal merupakan hal yang sangat penting

untuk dipahami seorang dokter dan juga orang tua pasien. Pengetahuan

tentang mekanisme defeksi ini menjadi dasar bagi keberhasilan terapi

konstipasi.

Page 218: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 212 Manado, 17-19 Maret 2017

Secara anatomis, lumen rektum dan anus tidak berada dalam satu

garis lurus, tetapi membentuk sudut (anorectal angle). Sudut anorektal ini

dibentuk oleh aksis rektum dan aksis dari kanal anus (gambar 1). Besar

suduk anorektal berkisar antara 85-1050 saat relaksasi.

3 Sudut inilah yang

secara anatomis dapat berfungsi sebagai salah satu penahan massa tinja.

Gambar 1. Regio anorektal, aksis rektum, aksis canal ani dan sudut anorectal

Selain sudut anorektal, pada area rektum terdapat dua otot sirkuler

yang berfungsi pula sebagai penahan (sfingter), yaitu : muskulus ani

internus, muskulus puborektalis dan muskulus ani eksternus. Saat sisa

makanan atau bolus tinja mengisi rektum, dinding rektum akan mengalami

peregangan. Regangan tersebut akan menyebabkan relaksasi muskulus

ani internus. Relaksasi otot tersebut akan mengirim informasi ke sistem

saraf pusat sehingga timbul keinginan buang air besar. Otak merespon

dengan memerintahkan kontraksi muskulus ani eksternus dan muskulus

poburectalis untuk menahan tinja agar tidak keluar (ekspulsi). Kontraksi

otot ini dikendalikan secara sadar. Selanjutnya, apabila anak ingin buang

air besar maka otak akan memerintahkan otot-otot dinding perut

berkontraksi dan pada saat yang bersamaan memerintahkan muskulus ani

eksternus dan puborectalis relaksasi. Pada saat anak jongkok/duduk dan

mengejan sudut antara rektum dan anus menjadi lurus, hambatan volunter

dari muskulus ani eksternus dan puborectalis menurun dan terjadi ekspulsi

bolus feces. 3

Page 219: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 213 Manado, 17-19 Maret 2017

Frekuensi Defekasi Normal

Frekuensi defekasi normal pada anak berubah-ubah menurut umur. Pada

neonatus umumnya frekuensi defekasi lebih sering, antara 2 – 10 kali/hari.

Bayi usia 4 bulan sudah mulai bekurang, sekitar 1 – 3 kali/hari. Sedangkan

pada anak 2 tahun pada umumnya telah memiliki pola yang sama dengan

orang dewasa, yaitu dalam kisaran 1 – 3 kali/hari sampai dengan 3

kali/minggu.7,8

Pola diet juga berpengaruh. Bayi yang minum ASI memiliki

frekuensi defekasi lebih sering daripada bayi minum formula. Anak yang

mengkonsumsi cukup serat memiliki frekuensi defekasi yang lebih sering

dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi makanan rendah serat

dalam menu kesehariannya.

Gambar 2. Frekuensi defekasi berbagai umur

Gambar 3. Perbandingan frekuensi defekasi harian anak dengan ASI dan formula

Page 220: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 214 Manado, 17-19 Maret 2017

Patogenesis

Pada konstipasi fungsional, tidak terdapat kelainan anatomis, metabolik,

sistemik, neurogenik atau riwayat penggunaan obat tertentu. Adanya

pengalaman nyeri atau tidak nyaman saat buang besar dapat membuat

anak menahan keinginan buang air besar. Demikian pula anak-anak

dengan masalah psikologis, seperti : pindah rumah, lingkungan baru,

sekolah baru, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan seksual,

penelantaran, dsb. Kontraksi otot pelvis yang berlangsung lama akan

menyebabkan tinja tertahan, sehingga pada batas tertentu rektum masih

dapat menampung peningkatan massa tinja. Namun, kolon distal akan

terus menerus melakukan absorbsi cairan, sehingga tinja menjadi keras,

kering dan makin besar. Tinja yang besar, keras dan kering ini akan

menyebabkan nyeri, bahkan luka (fisura ani) saat defekasi. Adanya rasa

nyeri dan luka akan menyebabkan anak akan menahan saat merasakan

akan buang air besar, akibatnya tinja akan makin besar, keras dan kering.

Hal ini berakibat rasa nyeri makin bertambah. Demikian seterusnya

membentuk lingkaran setan (circulus vitiosus).

Konstipasi fungsional dapat terjadi kapan saja pada periode

perkembangan anak. Beberapa waktu yang perlu diwaspadai adalah pada

saat periode penyapihan (weaning) dan saat transisi makanan atau

penambahan variasi makanan. Periode masa awal sekolah, kebiasaan

nenunda berak dan toilet training yang kurang juga dapat memicu

timbulnya konstipasi fungsional.

Kapan Memulai Intervensi ?

Seorang harus mulai melakukan upaya diagnostik maupun terapeutik bila

didapatkan :

1. Didapatkan keluhan sulit buang air besar dengan satu dari gejala : tinja

yang besar, keras, BAB yang nyeri atau jarang

2. Bila ada tanda bahaya (red flag)

Saat ini para pakar di bidang saluran cerna umumnya menyepakati kriteria

Roma III untuk menegakkan diagnosis konstipasi fungsional pada anak

(tabel 2).

Page 221: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 215 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Diagnosis konstipasi fungsional berdasarkan kriteria Roma III 5,6

Kriteria Roma III untuk Konstipasi Fungsional pada Bayi dan Todlers (< 4

tahun)5

Sedikitnya didapatkan 2 atau lebih gejala dibawah ini, setidaknya dalam 1 bulan

< 2 kali defekasi per minggu

> 1 episode inkontinensia per minggu setelah toilet raining

Adanya riwayat retensi tinja yang banyak

Adanya riwayat BAB yang nyeri atau keras

Ditemukannya massa tinja yang besar/keras di rektum

Riwayat adanya tinja dengan diameter yang besar yang kadang dapat

menyumbat toilet

Kriteria Roma III untuk Konstipasi Fungsional Pada Anak dan Remaja6

Gejala di bawah ini terjadi setidaknya satu kali per minggu selama minimal 2

bulan serta didapatkan 2 atau lebih keadaan di bawah ini, pada anak berusia >4

tahun, serta tidak memenuhi kriteria irritable bowel disease

Frekuensi BAB 2 kali atau kurang, per minggu

Setidaknya 1 kali inkontinensia tinja per minggu

Riwayat retensive posturing (gerak/postur tubuh retensif/menahan)

atau keluarnya tinja yang besar setelah retensi

Adanya riwayat nyeri atau keras saat BAB

Ditemukannya massa tinja yang besar/keras di rektum

Riwayat adanya tinja dengan diameter yang besar yang kadang dapat

menyumbat toilet

Pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, perlu

diwaspadai apabila ditemukan Red Flag, atau tanda bahaya (tabel 3). Pada

keadaan-keadaan di bawah ini seorang dokter sebaiknya segera merujuk

kasus dugaan konstipasi ke spesialis.

Page 222: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 216 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 3. Red Flag atau tanda bahaya

Tanda bahaya untuk dirujuk ke spesialis atau pusat pelayanan yang lengkap

Konstipasi sebelum usia 2 bulan

Kelambatan pengeluaran mekoneum

Rectal ampula yang kosong

Pengeluaran tinja yang eksplosif saat dilakukan pemeriksaan rektal

Diare berdarah yang intermitten

Gagal tumbuh

Gejala dan tanda neurologis yang abnormal

Didapatkan adanya gangguan perilaku

Gagal terapi konvensional

Diagnosis

Diagnosis konstipasi fungsional pada umumnya dapat ditegakkan dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat.

Anamnesis

Pada anamnesis penderita dengan konstipasi, penting untuk mengetahui

frekuensi, pola defekasi, konsistensi tinja, ada tidaknya nyeri, nyeri

abdomen serta ada tidaknya perdarahan saat defekasi. Perlu pula

ditanyakan keluhan penyerta seperti nyeri abdomen, mual, muntah,

perubahan nafsu makan, riwayat soiling/encopresis, ada tidaknya

kebiasaan menahan berak, penurunan berat badan, dll. Berak yang keras,

kering, besar, sakit perut dan defekasi yang nyeri dan berdarah

mengarahkan kecurigaan ke arah konstipasi.

Pada riwayat terapi perlu ditanyakan mengenai obat-obatan yang

sedang dikonsumsi, jenis obatnya, lama pemakaiannnya, adakah riwayat

dirawat di rumah sakit, dsb. Juga penting utnuk ditanyakan mengenai

riwayat konstipasi pada keluarga serta ada tidaknya penyakit lain seperti

Hirschsprung’s disease, penyakit thyroid, parathyroid, infeksi saluran

kemih, dll.

Anamnesis mengenai riwayat sosial ekonomi, riwayat pertumbuhan

dan berkembangan serta ada tidaknya gangguan psikologik pada

penderita juga perlu digali. Seringkali permasalahan sosial, kesenjangan

ekonomi, hubungan anak dengan orang tua, perkembangan yang

Page 223: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 217 Manado, 17-19 Maret 2017

terlambat, prestasi sekolah dan interaksi dengan teman yang buruk, juga

dapat memicu timbulnya konstipasi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat sangat membantu penegakan

diagnosis konstipasi. Adanya distensi abdomen, terabanya massa tinja

yang besar dan keras pada palpasi perut bagian kiri atau kiri bawah dapat

mengarahkan dugaan ke arah konstipasi. Selain itu, pada pemeriksaan

anus penderita sering didapatkan adanya tinja disekitar anus/celana dalam,

erythema perianal, skin tag dan fissura ani. Pada colok dubur bisa

ditemukan massa tinja yang keras, darah dari luka fisura ani atau darah

pada tinja dan tinja cair yang menyemprot pada waktu jari ditarik.

Pemeriksaan fisik pada punggung perlu dilakukan dengan cermat utuk

mencari ada tidaknya dimple, spina bifida, fistula dan tuft of hair.

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai reflex cremaster, reflex

tendon dan kekuatan otot. 4

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang pada umumnya digunakan untuk

menyingkirkan penyakit lain seperti : Hypothyroidi, Hyperkalsemia,

Hiperkalemia, penyakit ginjal kronik dan infeksi saluran kemih. Sedangkan

pemeriksaan penunjang yang dapat mengarahkan pada dugaan konstipasi

fungsional, antara lain : foto polos abdomen, barium enema, biopsi rektum

dan manometri rektal 4

Tatalaksana

Tatalaksana konstipasi fungsional pada anak meliputi 4 langkah

1. Edukasi

Komunikasi, pemberian informasi yang jelas serta edukasi pada orang tua

memegang peranan yang sangat penting dalam tatalaksana konstipasi

fungsional. Orang tua harus memahami mekanisme dan pola buang air

besar yang normal. Selanjutnya harus diberikan penjelasan mengapa bisa

terjadi konstipasi, soiling atau encopresis. Orang tua harus memahami

bahwa anak sangat butuh pendampingan, sehingga diminta untuk tidak

menyalahkan anak bila terjadi encopresis atau soiling. Berikan penjelasan

Page 224: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 218 Manado, 17-19 Maret 2017

bahwa konstipasi fungsional, soiling dan encopresis akan hilang setelah

pengobatan. Orang tua juga harus diajak berdiskusi mengenai rencana dan

tahapan-tahapan terapi. Dijelaskan bahwa penyembuhan akan butuh

waktu lama dan mungkin perlu pemeriksaan penunjang lain. 3,4,9,11

2. Evakuasi (fase disimpaksi/initial phase)

Langkah kedua adalah evakuasi tinja atau disimpaksi. Sebaiknya langkah

evakuasi awal dilakukan dengan pemberian obat per os (oral laxatives),

karena pada anak dengan konstipasi fungsional yang khronis seringkali

telah terjadi luka atau fisura ani pada rektum, sehingga penggunaan

supositoria akan menyebabkan anak semakin trauma. Evakuasi kolon dari

tinja yang menumpuk dilakukan sampai kolon bersih dari tinja yang

padat/keras (skibala). Program evakuasi tinja ini biasanya dilakukan

selama 2 – 5 hari. Obat oral yang dapat digunakan adalah mineral oil

(parafin liq.) dengan dosis : 15 – 20 ml/th umur (max. 240 ml sehari).

Sediaan ini tidak boleh diberikan pada bayi.

Apabila upaya evakuasi tinja dengan sediaan obat per os gagal, maka

dapat dipertimbangkan untuk dilakukan rectal spoeling dengan NaCl 0,9%

atau campuran NaCl 0,9% dengan gliserin dengan perbandingan 1 : 1

dengan dosis 10-20 cc/kgBB. Selain NaCl dan gliserin, sediaan per rektal

lain yang dapat digunakan adalah : fosfat hipertonik (3 ml/kg, 2 x sehari,

max. 6 x enema), garam fisiologis (600 – 1000 ml). 4,9,10,11

3. Fase Rumatan

Fase kedua bertujuan untuk mencegah stool reimpaction atau kembalinya

timbunan tinja pada kolon. Pada fase ini dapat dilakukan intervensi diet 4F

(fluid, fiber, fruit, fat). Anak dianjurkan banyak minum, mengkonsumsi

karbohidrat kaya serat, buah dan sayur. Buah pepaya, semangka,

bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air yang baik untuk

melunakkan tinja. Jus apel dan jus pear banyak mengandung serat dan

sorbitol yang dapat meningkatkan frekuensi berak dan melunakkan tinja.

Obat-obatan softening agent seperti Laktulosa (larutan 70%) dapat

diberikan sebagai terapi rumatan dengan dosis 1 – 3 ml/kg/hr terbagi

dalam 2 dosis pemberian per hari. Obat lain yang dapat diberikan adalah

Sorbitol (larutan 70%) 1 – 3 ml/kg/hr dalam 2 x pemberian. Bila respon

terapi belum memadai dapat ditambahkan Cisapride : 0,1 – 0,3 mg, 3 kali

sehari atau dapat pula diberikan bisacodyl oral drop.4,9,10,11

Page 225: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 219 Manado, 17-19 Maret 2017

4. Fase folllow up atau Behavioral Conditioning4,9,11

Anak perlu dilatih untuk buang air besar (toilet training).

Terdapat 7 utama langkah dalam toilet training

1. Mengajari ibu atau pengasuh untuk mengenali tanda-tanda anak akan

buang air besar

2. Mengajari kapan waktu yang tepat untuk menggunakan celana dalam

atau diapers. Sebaiknya diapers hanya digunakan pada saat anak tidur

malam.

3. Sebaiknya anak diberikan baju yang mudah dibuka saat akan buang

air besar

4. Sebaiknya anak diajak untuk jongkok (toilet training) sekitar 30 menit

setelah makan pagi selama 15 menit. Anak diminta untuk jongkok dan

mengejan. Bila dilakukan teratur, toilet training dapat mengembangkan

reflek gastrokolik.

5. Berikan dudukan atau posisi yang nyaman pada anak di atas lubang

toilet

6. Bantu atau latihlah anak untuk membersihkan anusnya dari depan ke

belakang setelah selesai buang air besar

7. Bantu atau latihlah anak untuk cuci tangan setelah buang air besar

Penutup

Konstipasi sering ditemukan pada anak baik yang akut maupun kronik.

Sebagian besar (90 – 95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi

konstitusional. Pada sebagian besar kasus anamnesa dan pemeriksaan

fisik saja sudah cukup memadai untuk memulai tatalaksana pada anak

dengan konstipasi. Hanya sebagian kecil kasus (5 – 10%) yang

penyebabnya organik, diperlukan beberapa pemeriksaan untuk

memastikan penyebab. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja

dilanjutkan dengan terapi rumatan berupa obat, modifikasi perilaku,

edukasi orang tua dan konsultasi. Terapi konstipasi memerlukan waktu

yang lama dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orang tua.

Prognosis pada umumnya baik sepanjang orang tua dan anak dapat

mengikuti program terapi dengan baik.

Page 226: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Satrio Wibowo

KONAS VII PGHNAI 220 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of

childhood constipation: a systematic review. Am J Gastroenterol.

2006;101:2401-09.

2. Loening-Baucke V. Prevalence, symptoms and outcome of constipation

in infants and toddlers. J Pediatr 2005; 146:359-363.

3. Evaluation and treatment of constipation in infants and children:

recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol

Nutr. 2006;43:e1-e13.

4. Phatak UP, Pashankar DS. Constipation. Dalam: Bishop‘s Pediatric

Practice: Gastroenterology. McGraw-Hill Company 2010: 56-64

5. Hyman P.E., Milla P.J., Benninga M.A.,et al : childhood functional

gastrointestinal disorder : neonate/toddler. Gastroenterology

2006;130:1519-26.

6. Rasquin A., Di Lorenzo C., Forber D.,et al : childhood functional

gastrointestinal disorders : child/adolescent. Gastroenterology

2006;130:1527-37.

7. Fontana M., Bianchi C., Cataldo F., et al: Bowel frequency in healthy

children. Acta Paediatr Scand 1989; 78:682-684.

8. Yong D., Beattie R.M.: Normal bowel habit and prevalence of

constipation in primary school children. Amb Child Health 1998; 4:277-

282.

9. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Buku Ajar

Gastroenterologi-Hepatologi.UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI

2010. 201-214.

10. Loening-Baucke V., Pashankar D.S.: A randomized, prospective,

comparison study of polyethylene glycol 3350 without electrolytes and

milk of magnesia in children with constipation and fecal

incontinence. Pediatrics 2006; 118:528-535.

11. Benninga M.A., Taminiau J.A.J.M.: Diagnosis and treatment efficacy of

functional non-retentive fecal in childhood. J Pediatr Gastroenterol

Nutr 2001; 32(suppl 1):42-43.

Page 227: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 221 Manado, 17-19 Maret 2017

BLASTOCYSTIS HOMINIS YANG DIISOLASI DARI TINJA ANAK

DENGAN DIARE DI MANADO

Josef S. B. Tuda

Bagian Parasitologi Klinik FK Unsrat

Laboratorium Klinik Sentral RSUP Prof Dr.R.D. Kandou. Manado

Pendahuluan

Blastocystis hominis yang dikelompokkan dalam protozoa, akhir-akhir ini

mulai banyak diperhatikan karena dilaporkan berhubungan dengan

penyebab gangguan saluran pencernaan. Sejak awal ditemukan oleh

Alexeifff ( 1911 ), Brumpt ( 1912 ) yang diduga sebagai ―sel ragi‖ pada tinja

orang sakit maupun sehat, sehingga dipertanyakan apakah sebagai

komensal atau patogen, hingga tahun 1991 Zierdt menyatakan bahwa

organisme tersebut adalah suatu protozoa, tergolong sporozoa yang

menyebabkan penyakit pada manusia.

Gejala klinis blastosistosis yang dapat ditemukan berupa diare, nyeri

perut, muntah, penurunan berat badan. Pada tahun 1980-an B. hominis

mulai dilaporkan banyak ditemukan pada pemeriksaan tinja mikroskopis

penderita infeksi saluran cerna dengan gejala diare tanpa gangguan

imunitas dan dengan gangguan imunitas. Infeksi terjadi melalui faecal-oral

route dengan menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi

parasit. Kelainan saluran cerna terjadi karena invasi parasit pada epitel

mukosa dapat meluas hingga lamina propria. Invasi parasit menyebabkan

inflamasi, erosi dan ulserasi saluran cerna. Keadaan fisik, kandungan dan

warna tinja yang dihasilkan berhubungan dengan derajat dan lokasi

dimana proses infeksi pada saluran cerna terjadi.

Infeksi B. hominis pada anak banyak ditemukan di daerah tropis

khususnya di negara sedang berkembang termasuk Indonesia ( Hotez PJ,

2014 ) dengan infection rates 54%. Pada tahun 2000-an B. hominis mulai

ditemukan pada tinja anak yang diperiksa mikroskopis di Laboratorium

Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.

Secara makroskopis tinja positif B. hominis berupa tinja berdarah, tanpa

darah, berlendir, warna mulai dari kuning, hijau gelap, merah, hitam.

Page 228: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 222 Manado, 17-19 Maret 2017

Pada makalah ini akan dipaparkan B. hominis yang diisolasi dari tinja

dan spesimen klinis lainnya yang diperiksa di Laboratorium Parasitologi

Fakultas Kedokteran UNSRAT dan Rumah Sakit Prof R.D. Kandou,

Manado.

Data Blastocystis hominis

Tabel 1. Distribusi jumlah Blastocystis hominis pada pemeriksaan

tinja mikroskopis penderita anak diare

Jumlah

Blastocystis hominis

Jumlah

5 – 9 (per LP) 36

10 – 15 (per LP) 7

> 15 (per LP) 7

Jumlah 50

Data tahun 2004

Dari hasil diatas terlihat dengan kepadatan parasit 5 – 9 B. hominis per

lapang pandang mikroskop sudah menyebabkan terjadinya gejala diare.

Tan (2008) melaporkan kasus diare terjadi pada keadaan densitas parasit

lebih dari 5 parasit per lapang pandang mikroskop. Hammood (2016)

menemukan 33.7% kasus diare pada orang dewasa disebabkan oleh B.

hominis sebagai penyebab tunggal.

Tabel 2. Karakteristik penderita diare sebab Blastosistosis hominis

Karakteristik Jumlah

Jenis Kelamin

- Laki – laki

- Perempuan

26

24

Umur

- 1 bulan – 2 tahun

- > 2 – 5 tahun

- > 5 tahun

40

7

3

Data tahun 2004

Page 229: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 223 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 3. Karakteristik Blastocystis hominis pada pemeriksaan tinja

mikroskopis penderita anak diare tahun 2016

Karakteristik Jumlah

jenis kelamin

- laki – laki

- perempuan

umur

- 0 – 2 tahun

- 2 – 5 tahun

- 5 – 13 tahun

16

15

3

10

18

Pada tabel 2 dan 3 terlihat kasus blastosistosis pada anak kurang dari 5

tahun lebih banyak dibandingkan anak besar, hal tersebut dapat berkaitan

dengan jalan masuk parasit yang melalui mulut, dapat berhubungan

dengan keadaan hygiene penyediaan makanan dan minuman anak. Eassa

(2016) melakukan penelitian B. hominis pada kasus imunokompromais dan

imunokompeten dengan menggunakan jamban sebagai sarana

pembuangan tinja menemukan 65% anak dengan umur kurang 5 tahun

sampai kurang 15 tahun terinfeksi B. hominis.

Tabel 4. Karakteristik Tinja penderita blastosistosis anak penderita diare

tahun 2016

Karakteristik tinja Jumlah

Konsistensi : Cair

Warna

Coklat

Kuning

Hijau

Merah

Benzidine Test (+)

31

6

12

8

0

8

Page 230: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 224 Manado, 17-19 Maret 2017

Berdasarkan konsistensi dan warna tinja penderita blastosistosis pada

tabel 4, kemungkinan B. hominis hanya menginfeksi lapisan atas mukosa

saluran cerna, belum sampai ke lapisan submukosa yang terdapat

pembuluh darah, sehingga belum terjadi perubahan warna tinja walaupun

terdapat perdarahan mikro yang bisa disebabkan adanya erosi mukosa.

Gambar 1. Siklus hidup B. hominis

Page 231: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 225 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 2. Bentuk Vakuolar dan Granular B. hominis

Gambar 3. Bentuk Ameboid dan Kista B. hominis

Page 232: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 226 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 4. B. hominis dari abses hati

Gambar 5. Lapisan mukosa usus yang lepas dari usus

Page 233: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Josef S.B. Tuda

KONAS VII PGHNAI 227 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 6. Reaksi radang pada mukusa usus

Daftar Pustaka

1. Eassa SA, Ali HS, Masry SAE, El-Fattah AHA. Blastocystis hominis

among immunocompromised and immunocompetent children in

Alexandria, Egypt. Annals of Clinical and Laboratory Research. 2016.

4; 2 : 92

2. Hammood AM, Ahmed BA, Salman YJ. Blastocystis hominis detection

among gastrointestinal disorders patients in Kirkuk Province using

three different laboratory methods. Int Journal Curr Microbiol App Sci.

2016. 5(7): 883-901

3. Tan KS. New insights on classification, identification, and clinical

revelence of Blastocystis spp. Clin Microbiol Rev. 2008. 21:639-65

4. Zierdt CH. Blastocystis hominis – past and future. Clin Microbiol Rev.

1991. 4:61-79

Page 234: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 228 Manado, 17-19 Maret 2017

DETEKSI DINI NECROTIZING ENTEROCOLITIS

Deddy Satriya Putra

RSUD Arifin Achmad/FK UR Riau

Pendahuluan

Necrotizing Enterocolitis (NEC) adalah kejadian kegawatan saluran cerna

berat yang paling sering mengenai bayi baru lahir1 NEC sebagai penyebab

kematian terbesar kedua pada bayi prematur 2 Ketika bayi terkena NEC

saluran cernanya tidak akan berfungsi sehingga fungsi absorpsi tidak

terlaksana 3 Kondisi ini pertama kali dikenalkan oleh Paltauf tahun 1888,

tetapi istilah NEC dipakai pertama kali oleh Schmid dan Quaiser tahun

1953. Semenjak itu terjadi peningkatan kejadian dari NEC. Terdapat dua

faktor besar yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kejadian

NEC, pertama karena peningkatan kelahiran prematur secara seksio

karena alasan terapeutik , kedua karena kemajuan tehnologi perawatan

neonatal seperti perawatan intensive dan pemakaian surfactant sehingga

banyak bayi prematur yang selamat.4 Diagnosis dan deteksi dini diperlukan

untuk mencegah terjadinya NEC. Kejadian NEC bervariasi tidak hanya

antar negara tetapi juga antar perawatan neonatal pada negara yang

sama. Kejadian NEC bervariasi antara 0,3 - 2,4 bayi per 1000 kelahiran

hidup, dengan sebagian besar mengenai bayi lahir dengan kehamilan 36

minggu atau kurang.5

Definisi

NEC difesinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan nekrosis

spontan dari segmen usus halus atau kolon dengan hasil akhir berupa

gejala sepsis, udara intramural dan perforasi dinding usus.6

Faktor Risiko

Banyak faktor risiko potensial yang telah di pelajari berhubungan dengan

penyebab NEC. Meskipun etiologi yang definitive masih terus diteliti secara

modern. Tidak ada satu faktor yang berdiri sendiri sebagai faktor yang

Page 235: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 229 Manado, 17-19 Maret 2017

dominan sebagai penyebab NEC. Sejauh ini beberapa factor yang telah

diidentifikasi sebagai faktor risiko penyebab NEC (Tabel 1)

Tabel 1. Risk factors for necrotising enterocolitis.

Prematurity

Intrauterine growth restriction

Placental abruption

Premature rupture of membranes

Perinatal asphyxia Low Apgar score

Umbilical catheterisation Hypoxia and

shock

Patent ductus arteriosus Hypertonic

feeds Nonhuman milk formula

Rapid introduction of enteral feeds

Fluid overload Pathogenic bacteria

Polycythaemia Thrombocytosis

Anaemia

Exchange transfusion

Cyanotic congenital heart disease

Roberton’s Textbook of Neonatology

Berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur merupakan faktor

risiko mayor untuk terjadinya NEC . hampir 5 % kejadian NEC pada bayi

dengan berat badan sangat rendah dengan usia kehamilan sekitar 29

minggu dimana 65% terjadi pada berat badan lahir di bawah 1500gram dan

hanya 12% pada kelahiran aterm.4 Penelitian Wilson R menyatakan risiko

NEC berhubungan dengan usia kehamilan dan terjadi penurunan secara

tajam pada kehamilan 35-36 minggu hal ini mendukung bahwa maturasi

saluran cerna sebagai pelindung terjadinya NEC.7 Beberapa aspek dari

fungsi intestinal yang immature memberikan kontribusi terhadap risiko

NEC, berupa kecendrungan imflamasi dari usus yang immature, fungsi

barrier usus yang belum sempurna, dan ganguan pertahanan imun saluran

cerna.8

Infeksi nosokomial merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NEC.

Page 236: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 230 Manado, 17-19 Maret 2017

Bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah (<1000grm) dengan

NEC biasanya kultur darah menunjukan sepsis sebelum terjadinya NEC

dibanding yang tidak mengalami NEC.9 Bayi yang menderita NEC didapati

sebelumnya mengalami bachterimia yang kemudian menjadi sepsis onset

lambat sebelum berkembang menjadi NEC dibanding bayi yang tidak

mengalami NEC.10

Bayi prematur dengan lahir dengan nilai apgar yang

rendah, penyakit membran hialin, berat badan lahir rendah dan kehamilan

kurang bulan sering berhubungan dengan kejadian NEC ketika terpapar

infeksi bahkteri yang berlanjut menjadi iskemia intestinal dan NEC,11

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) akan menurunkan kejadian NEC tujuh

kali lipat dibanding dengan pemberian susu formula.12

Mekanisme

terjadinya penurunan kejadian NEC karena faktor immunoproteksi dalam

ASI seperti Imunuglobulin A, Lysozim, faktor pertumbuhan epidermal dan

Laktoferin.12

Bayi prematur akan kekurangan lysozim sebagai antimikroba

sehingga pemberian ASI akan melindungi usus.13

Hal ini dapat

menjelaskan kenapa bayi dengan susu formula akan meningkatkan risiko

terkena NEC dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI atau ASI

donor.12

Abnormal mikrobiota intestinal, kurangnya microbiota yang

menguntungkan, rendahnya keragaman dari bachteria atau lebih besarnya

jumlah bachteri pathogen kesemua hal ini memberikan kontribusi atas

risiko terjadinya NEC.8 Bayi bayi yang mengalami NEC berdasarkan hasil

culture fases selama dua dekade memperlihatkan perbedaan bachteri 72

jam sebelum onset NEC, perubahan bachteri feces berupa peningkatan

enterobachter clocae dan e coli sejalan dengan penurunan bacteri

streptococcus faecalis dan staphylococcus spescies. Penelitian Heida H

Fardau memperlihatkan kejadian NEC berhubungan dengan C perfrigens

dan B Dorei pada meconium bayi prematur yang mempunyai risiko NEC.

Data ini mendukung bahwa keadaan selama hari pertama lahir atau

kejadian in utero dapat berhubungan dengan pembentukan mikrobiota

pada NEC. Pemeriksaan sampel feces setelah meconium memperlihatkan

peningkatan jumlah staphylococcus dan penurunan bifidobachteria tidak

berhubungan dengan insiden NEC.14

Apnu berulang, distres pernapasan, pemakaian ventilator, pemakaian

cateter umbilical memberikan kontribusi terhadap kejadian hypoxia pada

Page 237: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 231 Manado, 17-19 Maret 2017

minggu pertama kehidupan . Penelitian Palmer dan Thomas tahun 1987

telah mengidentifikasi hal-hal di atas sebagai faktor risiko NEC pada bayi

dengan berat lahir VLBW (< 1500gram). Pada bayi matur dengan NEC

faktor risiko terjadinya hypoxia usus sangat bervariasi. NEC mungkin

terjadi pada hypoxia umum yang berat pada ibu seperti penggunaan

cocaine, atau tranfusi tukar. Studi awal dari Goldberg dan Thomas pada 5

bayi aterm yang menderita NEC pada hari ke 5-7 kehidupan didapatkan

semua bayi menderita hypoxia berat selama awal kehidupan.4

Deteksi Dini

Pengenalan awal NEC bisa menurunkan angka kematian dan menghindari

berlanjutnya NEC menjadi stadium lebih berat. Secara klinis kita masih

memakai Bells staging untuk diagnosis dan prognosis NEC. Stage I atau

sangkaan NEC bisa dipakai untuk deteksi dini NEC secara klinis dan

radiologi dimana pada stadium ini ditemukan gejala klinis yang tidak khas

yang secara sistemik dapat ditemukan gejala berupa apnue, bradikardi,

letarghi, dan temperature yang tidak stabil , temuan pada sistem saluran

cerna dapat berupa intoleransi dalam pemberian minum, didapatkannya

residu gaster berulang, Pada pemeriksaan sampel fases ditemukan tes

darah samar yang positif. Pemeriksaan radiologi pada keadaan ini masih

normal atau tidak ada tanda spesifik karena belum mengalami NEC

ringan.15

Residu gaster berperan sebagai proteksi dan sebagai petanda dari

kematangan saluran cerna, residu gaster merupakan keadaan normal

dijumpai dalam 2 minggu pertama kehidupan bayi . Residu gaster kadang

bewarna hijau atau kuning, hal ini bukan merupakan tanda dari NEC atau

impending NEC kecuali terdapat gejala lain dari NEC, volume residu gaster

sangat dipengaruhi posisi tubuh dan akan ada sampai meconium hilang.16

Residu Gaster sebagai marker dari intoleransi pemberian minum dan

residu yang mengandung darah adalah sebagai petanda terbaik untuk

NEC . Untuk deteksi dini dari bayi lahir berat badan sangat rendah yang

punya risiko terhadap NEC dengan terdapatnya volume residu gaster dan

residu yang mengandung darah merupakan petanda awal yang relevan

terhadap terjadinya NEC.17

Penelitian toleransi minum pada bayi berhubungan dengan volume

residu gaster, warna residu gaster, pola feses, terdapatnya hematochezia,

Page 238: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 232 Manado, 17-19 Maret 2017

muntah , distensi dan ketegangan dinding perut.18

Lory Smith, Cohen, et

al. (2004) meneliti pengaruh posisi tubuh terhadap pengosongan dan

residu gaster. Hipotesa mengatakan posisi berbaring lateral kanan

mengasilkan lebih sedikit residu gaster dari pada posisi berbaring lateral

kiri. Bayi prematur yang dapat susu formula dengan suhu lebih dingin

secara significant mempunyai volume residu gaster lebih banyak dari bayi

prematur yang minum susu formula dengan suhu sesuai suhu tubuh. Dan

bayi prematur minum susu formula sesuai suhu ruangan secara significan

mempunyai volume residu gaster lebih banyak dibanding dengan bayi

premature yang minum susu formula sesuai suhu tubuh. Toleransi minum

didefinisikan apabila residu gaster kurang dari separuh jumlah total

minuman tanpa muntah, tidak ada distensi perut dan pola feses yang

normal. 19.

Toleransi minum pada bayi prematur juga diteliti oleh Dollberg, et al.

tahun 2000 dengan melakukan pemeriksaan pengaruh pemberian secara

bolus dan kontinu. Hasil penelitiannya memperlihatkan pada bayi lahir

dengan berat badan sangat rendah memiliki toleransi minum lebih baik

dengan pemberian secara bolus dibanding pemberian secara kontinu.20

Pengaruh ASI dan susu formula telah diteliti sebagai faktor yang

berpengaruh terhadap pengosongan gaster. Penelitian Ewer et al tahun

1994 bagaimanan ASI dan susu formula berbeda pengaruh terhadap

toleransi minum. Dengan pemberiam ASI terbukti pengosongan gaster

lebih cepat dari pemberian susu formula dan perbedaannya bermakna

secara statistik dengan (p<0.0001).21

Aly, et al. tahun 2006 pada penelitiannya sacara acak untuk menilai

efikasi eritomisin sebagai prokinetik untuk meningkatkan motilitas saluran

cerna pada bayi prematur dengan intoleransi minum. Eritromisin

berhubungan dengan beberapa episode residu gaster pada bayi kurang 32

minggu (p=0.03), tetapi tidak pada bayi lebih dari 32 minggu (p=0.77).

Penelitian ini membuktikan pemberian eritromisin meningkatkan

pengosongan gaster , menurunkan stasis gaster, dan penurunan kejadian

residu gaster pada bayi > 32 minggu.22

Residu gaster akan lebih penting bila terdapat tanda bahaya lain

seperti muntah hijau, perut tegang, kemerahan dinding perut, feses

berdarah, henti nafas, bradikardi, suhu tidak stabil dan penurunan bising

Page 239: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 233 Manado, 17-19 Maret 2017

usus. Ketika tanda tanda diatas bersamaan dengan residu gaster ,

pemeriksaan foto abdominal harus dilakukan untuk menyingkirkan NEC.19

Penutup

NEC merupakan penyakit yang disebabkan multifaktor sehingga tidak ada

satu pun tanda yang dapat dipakai sebagai pertanda awal sebelum

terjadinya NEC. Langkah awal yang dapat dipakai sebagai deteksi dini

NEC adalah menentukan apakah pasien memiliki factor risiko terhadap

kejadian NEC setelah itu sebagai klinisi tentunya gejala klinis yang kita

temukan dapat membantu kita untuk Deteksi dini NEC . Gejala klinis yang

paling berhubungan dengan kematangan saluran cerna adalah toleransi

minum yang dapat dinilai dari volume residu gaster atau aspirasi gaster

sebelum minum, akan menjadi penting bila terjadi bersamaan dengan

munculnya tanda tanda nekrosis usus.

Daftar Pustaka

1. Josef Neu MD Martha Doulas Escobar MD, Necrotizing Enterocolitis :

Pathogenesis, CLINICAL care and Prevention hal 281-289 in

Gastroenterology and Nutrition editor josef Neu Saunders 2008

2. World J Pediatr, Vol 12 No 2 . May 15, 2016 Yu Liu, Liang-Fu Jiang,

Rong-Peng Zhang, Wen-Tong Zhang Clinical signifi cance of FABP2

expression in newborns with necrotizing enterocolitis

3. Nationwide Children, Necrotizing Enterocolitis, in Helping Hand

Nationwide Children‘s Hospital 1991

4. Thomas Peter Fox and Charles Godavitarne What Really Causes

Necrotising Enterocolitis? International Scholarly Research Network

ISRN Gastroenterology Volume 2012 , tahun 2012

5. Douglas Drenckpohl, MS, et al, Risk Factors That May Predispose

Premature Infants to Increased incidence of Necrotizing Enterocolitis .

ICAN: Infant, Child, & Adolescent Nutrition Vol 2 no 1 tahun 2010.

6. John Meehan, Surgical Emergencies hal 314-315 dalam

Pediatricpractice Gastroenterology editor Warren P Bishop Mc Ggraw

Hill 2010.

7. Rickey Wilson, MD, et al , Risk Factors for Necrotizing Enterocolitis in

Infants Weighing More Than 2,000 Grams at Birth: A Case-Control

Study, PEDIATRICS Vol. 71 No. 1 January 1983

Page 240: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 234 Manado, 17-19 Maret 2017

8. Ravi Mangal Patel and Patricia W. Denning, Intestinal Microbiota and

Its Relationship with Necrotizing Enterocolitis Pediatr Res. 2015

September ; 78(3):

9. Salhab, W. A., Perlman, J. M., Silver, L., & Broyles, R. S. (2004).

Necrotizing enterocolitis and neurodevelopmental outcome in

extremely low birth weight infants <1000 grams. Journal of

Perinatology, 24(9), 534-540.

10. Stoll, B. J., Gordon, T., Korones, S. B., Shankaran, S., Tyson, J. E.,

Bauer, C. E., et al. (1996). Late-onset sepsis in very low birth weight

neonates: A report from the National Institute of Child Health and

Human Development Neonatal Research Network. Journal of

Pediatrics, 129(1),72-80.

11. Boccia, D., Stolfi, I., Lana, S., & Moro, M. L. (2001). Nosocomial

necrotizing enterocolitis outbreaks: epidemiology and control

measures. European Journal of Pediatrics, 160, 385-391.

12. Chauhan, M., Henderson, G., & McGuire W. (2007). Enteral feeding for

very low birth weight infants: reducing the risk of necrotising

enterocolitis. Archives of Disease in Childhood-Fetal and Neonatal

Edition, 93, F162-F166.

13. Noerr, B. (2003). Part 1. Controversies in the Understanding of

Necrotizing Enterocolitis , Advances in Neonatal Care, 3(3), 107-120

14. Fardou H. Heida,1,2 Anne G. J. F. van Necrotizing Enterocolitis

Associated Gut Microbiota Is Present in the Meconium: Results of a

Prospective Study A NEC-Associated Microbiota • CID 2016:62

15. Gomella TL, Necrotizing enterocolitis and spntaneous Intestinal

Perforation hal 482-87, dalam Neonatology management, Procedures,

on Call Problem, Diseases and drugs editor Tricia Lacy Gomella edisi5

Mc Graw Hill 2007

16. David H Adamkin Measuring Gastric Residuals in VLBW Infants, Why?

24th Annual Middlesborough Neonatal Conference Middlesborough

UK June 2016

17. Enrico Bertino, et al Necrotizing Enterocolitis: Risk Factor Analysis and

Role of Gastric Residuals in Very Low Birth Weight Infants. JPGN

48:437442, 2009.

18. Gomella, T. L., Cunningham, M. D., & Eyal, F. G. Neonatology:

Page 241: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Deddy Satriya Putra

KONAS VII PGHNAI 235 Manado, 17-19 Maret 2017

Management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. New

York: McGraw-Hill Medical. 2009

19. Lori Smith, Gastric Residuals in Neonates: Evidence-Based Practice

Approach gastric residuals or pre-feeding aspirates. St. Catherine

University 2004

20. Dollberg, S., Kuint, J., Mazkereth, R., & Mimouni, F. B. Feeding

tolerance in preterm infants: Randomized trial of bolus and continuous

feeding. Journal of the American College of Nutrition, 19(6) (2000),

797-800.

21. Ewer, A. K., Durbin, G. M., Morgan, M. E., & Booth, I. W. (1994).

Gastric emptying in preterm infants. Archives of Disease in

Childhood.Fetal and Neonatal Edition, 71(1), F24-F27.

22. Aly, H., Abdel-Hady, H., Khashaba, M., & El-Badry, N. Erythromycin

and feeding intolerance in premature infants: A randomized trial.

Journal of Perinatology: Official Journal of the California Perinatal

Association, 27(1),(2007)39-43.

Page 242: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 236 Manado, 17-19 Maret 2017

APENDISITIS

Ishak Lahunduitan

Bagian Ilmu Bedah

FK Unsrat / RSUP Prof Dr.R.D. Kandou Manado

Pendahuluan

Pada tahun 1886, Fitz memperkenalkan istilah apendisitis. Morton

menerima penghargaan setelah ia sukses melakukan apendektomi

pertama kalinya di Amerika Serikat, pada tahun 1887. Pada tahun 1889,

McBurney melaporkan penanganannya terhadap apendisitis dengan cara

apendektomi sebelum ruptur. Penanganan bedah modern dan terapi

antibiotik telah mengubah penyakit yang pernah dikenal mematikan ini,

menjadi jarang membahayakan pada saat ini. Apendisitis masih menjadi

kondisi akut abdomen yang paling banyak ditemukan pada saat ini, banyak

aspek perawatan apendisitis masih tetap menimbulkan kontroversi.

Embriologi dan Anatomi

Selama embriogenesis, apendiks pertama kali tampak pada minggu ke

delapan usia gestasi sebagai suatu lanjutan ujung inferior sekum. Apendiks

akan berotasi ke posisi akhirnya di bagian posteromedial sekum, sekitar 2

cm di bawah katup ileosekal, selama masa kanak-kanak akhir. Variabilitas

pada rotasi ini menentukan berbagai posisi akhir apendiks. Apendiks

banyak berlokasi di intraperitoneal pada 95% kasus, tetapi lokasi yang

tepat sangat bervariasi. Pada 30% kasus ujung apendiks berada di pelvis,

65% berada di belakang sekum, dan 5% berada diekstraperitoneal pada

posisi retrokolon atau retrosekum. Pada kasus malrotasi atau situs

inversus, apendiks yang mengalami malposisi menimbulkan tanda-tanda

inflamasi pada lokasi yang tidak umum.

Apendiks memiliki panjang rata-rata 8 cm tetapi dapat bervariasi dari

0,3 hingga 33 cm. diameter apendiks berkisar antara 5 hingga 10 cm.

pasokan darah nya berasal dari cabang apendiks pada arteri ileokolik,

yang melewati belakang ileum terminal. Basis apendiks dimulai dari

hubungan tiga tinea coli, landmark/patokan penting dalam melokalisir

Page 243: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 237 Manado, 17-19 Maret 2017

posisi apendiks yang sukar. Lapisan epitel kolon dan lapisan otot sirkuler

maupun longitudinalnya masih bersambungan dengan lapisan sekum.

Beberapa folikel limfe submukosa tampak pada saat lahir. Hal ini

meningkat, diperkirakan sekitar 200 pada saat usia 12 tahun dan

berkurang tajam setelah umur 30 tahun.

Fungsi apendiks masih belum diketahui. Primata mempunyai

apendiks, tetapi banyak mamalia tidak memilikinya. Menariknya, kelinci

mempunyai apendiks dan dipercaya merupakan tempat penting untuk

perkembangan sel-sel B.

Spektrum Penyakit

Variasi geografis pada insiden apendisitis cukup luas. Apendisitis

lebih jarang dijumpai pada negara-negara industri. Selama lebih dari

beberapa dekade, insiden apendisitis di seluruh dunia telah mengalami

penurunan yang signifikan. Di Amerika Serikat, lebih dari 70,000 anak

didiagnosis apendisitis setiap tahunnya, atau sekitar 1 per 1000 anak per

tahun. Resiko seumur hidup untuk terkena apendisitis ialah 9% bagi pria

dan 7% bagi wanita. Sekitar sepertiga pasien apendisitis berusia lebih

muda dari 18 tahun. Apendisitis lebih sering dijumpai pada orang berkulit

putih dan selama musim panas. Puncak insiden terjadi di antara usia 11

dan 12 tahun. Walaupun penyakit ini jarang dijumpai pada bayi, perforasi

apendisitis bisa saja terjadi bahkan pada bayi prematur. Perforasi bisa

merupakan hasil akhir dari proses penyakit lainnya, seperti yang terlihat

pada neonati dengan penyakit Hirschsprung. Meskipun diagnosis dan

penanganan telah mengalami kemajuan, apendisitis terus menimbulkan

morbiditas yang signifikan dan masih menjadi, meski jarang, penyebab

kematian.

Banyak istilah telah digunakan untuk mendeskripsikan berbagai tahap

apendisitis termasuk apendisitis akut, apendisitis supuratif, apendisitis

gangrenous, dan apendisitis perforasi. Umumnya, apendisitis akut dan

apendisitis supuratif cenderung memiliki perjalanan klinis yang sederhana,

sedangkan apendisitis gangrenous dan apendisitis perforasi cenderung

mengalami perjalanan dengan berbagai komplikasi.

Penyebab apendisitis kronis dan apendisitis yang rekuren masih

menjadi perdebatan hingga saat ini. Literatur menyatakan bahwa penyebab

Page 244: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 238 Manado, 17-19 Maret 2017

keduanya ada dan hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding

untuk nyeri abdomen bawah yang berulang/rekuren. Inflamasi pada

apendiks tidak selalu berakhir dengan perforasi karena biasanya

mengalami resolusi spontan. Antibiotik menolong pula dalam resolusi

inflamasi tersebut. Pengenalan akan hal ini bisa berkontribusi dalam

menurunkan jumlah apendektomi.

Gambaran Klinis

Pengajaran tradisional ialah bahwa apendisitis terjadi sebagai suatu

lanjutan dari inflamasi sederhana hingga perforasi khususnya terjadi

setelah 24 hingga 36 jam dari gejala pertama yang timbul, dan selanjutnya

pembentukan abses yang terjadi setelah periode 2 hingga 3 hari. Akan

tetapi, variabilitas gambaran klinis apendisitis yang berujung pada

laparotomi tidak menunjukkan adanya apendiks yang mengalami

inflamasi.

Apendisitis terjadi karena obstruksi lumen yang diikuti oleh infeksi.

Proses ini pertama kali dideskripsikan oleh van Zwalenberg pada tahun

1905 dan dikonfirmasi melalui eksperimen oleh Wangensteen pada tahun

1939. Wangensteen memperlihatkan bahwa apendiks manusia terus

mensekresi mukus bahkan ketika tekanan intralumen melebihi 93 mmHg.

Meskipun jelas bahwa obstruksi lumen menimbulkan apendisitis, penyebab

obstruksi tidak selalu jelas. Inspisasi dan kadang-kadang material feses

yang mengalami kalsifikasi yang disebut dengan fecalith, seringkali

berperan. Fecalith bisa ditemukan dengan pembedahan pada sekitar 20%

anak-anak yang menderita apendisitis perforasi. Keberadaan fecalith bisa

didokumentasikan melalui pemeriksaan radiografi. Hyperplasia folikel-

folikel limfe apendiks sering menimbulkan obstruksi lumen, dan insiden

apendisitis paralel dengan jumlah jaringan limef yang ada. Penyebab

reaksi lokal atau general/umum jaringan limfe seperti Yersinia, Salmonella,

dan Shigella bisa mengarah pada obstruksi lumen apendiks, begitu pula

dengan infestasi parasit oleh Entamoeba, Strongyloides, Enterobius

vermicularis, Schistosoma atau spesies Ascaris. Infeksi enterik dan viral

sistemik seperti measles/campak, cacar air, dan cytomegalovirus bisa juga

menimbulkan apendisitis. Pasien-pasien dengan kistik fibrosis

menunjukkan peningkatan insiden apendisitis, yang diasumsikan berasal

Page 245: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 239 Manado, 17-19 Maret 2017

dari perubahan pada kelenjar pensekresi mukus. Tumor-tumor karsinoid

bisa menyumbat apendiks, terutama jika mereka berlokasi di sepertiga

proksimal. Benda asing seperti peniti, bibit tanaman, dan batu ceri telah

dikenal sebagai penyebab apendisitis selama lebih dari 200 tahun. Trauma

juga telah dilaporkan sebagai penyebab, begitu pula dengan stress

psikologis dan keturunan.

Pada mulanya, pasien mendeskripsikan gejala gastrointestinal ringan

sebelum onset nyeri (misalnya berkurangnya nafsu makan, indigesti, atau

perubahan pola defekasi). Anoreksia merupakan tanda yang membantu,

terutama pada anak-anak, karena anak yang lapar jarang mengalami

apendisitis. Setiap simptom gastrointestinal berat apa pun sebelum onset

nyeri hendaknya mengarahkan pada diagnosis alternatif lain. Distensi pada

apendiks menyebabkan aktivasi serat-serat nyeri viseralnya. Nyeri visceral

awal yang khas ialah nyeri nonspesifik pada area periumbilikus. Nyeri

awal yang sukar dilokalisir ini dideskripsikan sebagai nyeri tumpul, dalam

pada area dermatome T-10. Distensi yang terus berlanjut pada dinding

apendiks akan menimbulkan nausea (mual) dan muntah, tipikalnya

mengikuti onset nyeri dalam waktu beberapa jam. Nausea umum dijumpai,

tetapi muntah tipikalnya tidak parah. Adanya simptom ini sebelum onset

nyeri menimbulkan keraguan pada diagnosis.

Apendiks yang mengalami obstruksi amat sempurna untuk tempat

pertumbuhan bakteria. Seiring peningkatan tekanan intraluminal, drainase

limfatik akan terhambat, menyebabkan edema yang lebih parah dan

bengkak. Akhirnya, peningkatan tekanan akan menyebabkan obstruksi

vena, yang akan mengarah pada iskemi jaringan, infark dan gangren.

Invasi bakteri pada dinding apendiks akan terjadi. Demam, takikardi, dan

leukositosis terjadi sebagai hasil dari pelepasan mediator oleh jaringan

iskemi, sel-sel darah putih dan bakteri. Ketika eksudat inflamasi dari

dinding apendiks bersentuhan dengan peritoneum parietal, serat-serat

nyeri somatik akan teraktivasi dan nyeri akan berlokasi di dekat tempat

apendiks khususnya pada titik McBurney. Nyeri kadang-kadang terjadi

hanya di kuadran kanan bawah tanpa adanya komponen visceral awal.

Pada apendiks yang berada di pelvis atau di retrosekal, nyeri somatik

tersebut seringkali tertunda karena eksudat inflamasi tidak bersentuhan

dengan peritoneum parietal sebelum terjadi ruptur dan penyebaran infeksi.

Page 246: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 240 Manado, 17-19 Maret 2017

Nyeri apendiks retrosekal bisa berada di pinggang atau di punggung.

Appendiks pelvis dekat ureter atau pembuluh darah testis, akan

menimbulkan frekuensi urin, nyeri testikular atau keduanya. Inflamasi pada

ureter atau kandung kemih oleh apendiks yang meradang bisa pula

menyebabkan nyeri pada saat mikturisi atau nyeri tipuan seperti pada saat

distensi kandung kemih akibat retensi urin.

Kerusakan selanjutnya pada dinding apendiks akan menyebabkan

perforasi dengan penyebaran konten infeksi intraluminal dengan

pembentukan abses terlokalisir atau peritonitis general/umum. Proses ini

bergantung pada kecepatan progresi menuju perforasi dan pada

kemampuan pasien dalam berespon terhadap konten apendiks. Tanda-

tanda apendisitis perforasi ialah temperatur lebih dari 38.60C, hitung

leukosit lebih dari 14,000, dan adanya tanda-tanda peritonitis umum.

Faktor-faktor resiko lain yang dilaporkan meliputi jenis kelamin laki-laki,

umur yang ekstrim, dan faktor anatomis sepeti posisi apendiks di

retrosekal. Akan tetapi, apendisitis perforasi dan non-perforasi bisa

merupakan entitas yang terpisah. Resolusi spontan apendisitis biasa

terjadi. Pasien bisa asimptomatik sebelum perforasi, dan gejala akan

muncul hingga lebih dari 48 jam tanpa perforasi. Pada umumnya durasi

simptom yang lebih lama sering berhubungan dengan resiko tinggi

perforasi. Konstipasi jarang dijumpai, tapi sensasi rektum penuh atau

tenesmus sering terjadi. Diare terjadi lebih sering pada anak-anak

dibanding pada orang dewasa dan dapat menimbulkan misdiagnosis

gastroenteritis. Diare khususnya berdurasi pendek dan sering terjadi akibat

iritasi ileum terminal atau sekum; akan tetapi, ini bisa mengindikasikan

abses pelvis.

Anak-anak yang lebih muda khususnya mengalami apendisitis

dengan komplikasi karena ketidakmampuan mereka untuk memberikan

riwayat yang akurat dan indeks dugaan klinisi yang rendah seringkali

mengarah ke misdiagnosis (diagnosis yang keliru). Simptom yang paling

sering pada anak-anak masa sekolah ialah muntah, diikuti oleh demam

dan nyeri abdomen. Perforasi hampir selalu ditemukan pada laparotomi,

dan pada anak-anak ini berhubungan dengan obstruksi usus halus akibat

inflamasi ekstensif pada ileum terminal dan sekum.

Page 247: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 241 Manado, 17-19 Maret 2017

Diagnosis

Pemeriksaan Fisik

Seperti pada banyak proses penyakit lain, banyak yang bisa dipelajari

sebelum pasien disentuh. Anak-anak dengan apendisitis biasanya

terbaring di tempat tidur dengan pergerakan yang minim. Anak yang

mengeliat, berteriak amat jarang mengalami apendisitis. Pengecualian

ialah pada anak-anak dengan apendisitis retrosekal dan iritasi lanjut di

ureter yang menunjukkan nyeri yang sama dengan nyeri kolik ginjal. Anak-

anak yang lebih tua bisa berjalan pincang atau memfleksikan tungkai

kanan mendekati abdomen. Nyeri terlokalisir yang terinduksi berulangkali

pada saat melewati gundukan di jalan pada saat transportasi ke rumah

sakit juga amat membantu.

Sebelum memulai palpasi abdomen, penting untuk meminta anak

menunjuk dengan satu jari lokasi nyeri abdomennya. Dengan lutut yang

dilipat untuk merelaksasi otot-otot abdomen, palpasi lembut pada abdomen

hendaknya dimulai pada titik yang jauh dari lokasi nyeri. Palpasi abdomen

pada area yang jauh dari tempat nyeri bisa menimbulkan nyeri pada

kuadran kanan abwah (tanda Rovsing; nyeri rujukan), mengindikasi adanya

iritasi peritoneum. Anak-anak yang lebih muda akan lebih bekerja sama

jika tangan mereka atau stetoskop yang dipakai untuk melakukan palpasi.

Stetoskop berperan pada evaluasi pasien yang berpotensi menderita

apendisitis, yang kurang penting ialah auskultasi. Meskipun pasien

seringkali menunjukkan bising usus yang berkurang atau tidak ada, hal ini

tidak seragam dan auskultasi abdomen hanya memberi keuntungan kecil.

Akan tetapi, auskultasi dada untuk memeriksa infeksi saluran nafas bawah

amat bermanfaat karena pneumonia lobus kanan bawah bisa menyerupai

apendisitis. Hiperestesia kutaneus, suatu sensasi yang berasal dari akar

saraf T10 hingga L1, sering merupakan tanda apendisitis yang tidak

konsisten. Sentuhan ringan pada pasien dengan stetoskop bisa

menimbulkan sensasi tersebut.

Nyeri terlokalisir amat penting untuk diagnosis dan tampak pada saat

melakukan palpasi atau perkusi. Nyeri bisa ringan dan bahkan ditutupi oleh

nyeri abdomen yang lebih umum, terutama pada tahap awal. Titik

McBurney merupakan lokasi yang paling sering. Apendisitis retrosekal bisa

terdeteksi oleh nyeri di antara iga ke duabelas dan spina iliaka posterior

Page 248: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 242 Manado, 17-19 Maret 2017

superior. Apendisits pelvis menimbulkan nyeri rektum. Seorang anak

dengan malrotasi akan mengalami nyeri terlokalisir yang berespon terhdap

posisi drainase eksudatif dari apendiks yang meradang.

Seiring penyakit menuju ke perforasi, terjadilah peritonitis. Pola nyeri

bergantung pada lokasi apendiks. Perforasi bisa terjadi pada saat

pemulihan symptom temporer karena nyeri dari viskus yang berdistensi

hilang sejenak. Awalnya, peritonitis terlihat sebagai rigiditas otot lokal. Hal

ini akan berlanjut dari kekakuan involunter/rigiditas sederhana menuju ke

rigiditas umum pada abdomen. Tanda lainnya meliputi rigiditas otot Psoas

(didemostrasikan dengan cara mengekstensikan panggul kanan atau

mengangkat tungkai bawah secara lurus melawan tahanan) atau pada otot

obturator (didemonstrasikan dengan cara rotasi internal pasif paha kanan),

keduanya mengindikasikan adanya iritasi pada otot-otot tersebut akibat

apendisitis retrosekal. Tes lainnya untuk inflamasi peritoneum seperti nyeri

pantul (rebound) jarang diperlukan untuk diagnosis dan malah

menyebabkan nyeri yang tidak diperlukan.

Pemeriksaan rektal rutin pada diagnosis apendisitis telah

dipertanyakan pada akhir-akhir ini. Nyeri selama pemeriksaan ini tidak

spesifik untuk apendisitis. Jika tanda lain mengarah pada apendisitis,

pemeriksaan rectum tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, bisa bermanfaat

untuk maneuver diagnostik pada kasus-kasus yang masih dipertanyakan

seperti pada dugaan apendiks pelvis atau abses atau ketika kondisi

patologik uterin atau adneksa sedang dipertimbangkan.

Jika apendisitis dibiarkan berlanjut, maka ada dua hasil yang

mungkin terjadi: (1) peritonitis difus dan syok akan terjadi atau (2) infeksi

akan terisolasi dan terbentuk abses. Peritonitis difus lebih banyak dijumpai

pada bayi, mungkin karena tidak adanya lemak omentum. Anak-anak yang

lebih tua dan remaja lebih mungkin mengalami pembentukan abses.

Pemeriksaan fisik pada kasus pembentukan abses akan menunjukkan

massa nyeri, boggy di area abses.

Pemeriksaan Laboratorium

Banyak yang telah didiskusikan mengenai temuan laboratorium apendisitis.

Hitung leukosit total dan neutrophil telah diperiksa dengan ekstensif.

Sensitivitas dari peningkatan hitung leukosit berkisar dari 52% hingga 96%

Page 249: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 243 Manado, 17-19 Maret 2017

dan pergeseran kekiri hitung neutrophil berkisar dari 39% hingga 96%.

Yang disebut terkahir memiliki nilai diagnostik yang lebih baik tapi

misinterprestasi nilai-nilai ini masih sering dijumpai. Hitung leukosit yang

normal terjadi pada 5% pasien apendisitis. Spesifisitas dan sensitivitas

yang lebih besar telah dilaporkan dengan menggunakan rasio neutrophil-

limfosit lebih dari 3,5.

Pada mayoritas anak dengan dugaan apendisitis, kombinasi dari

riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium memberikan data

yang cukup untuk membuat diagnosis. Akan tetapi, misdiagnosis

mengarah pada negative apendektomi berkisar dari 10% hingga 30% yang

telah dilaporkan. Skor apendisitis berdasarkan pada delapan faktor klinis

(nyeri kuadran kanan bawah yang terlokalisir, leukositosis, nyeri berpindah,

left shift, mual muntah, anoreksia, iritasi perioneum) telah diajukan untuk

meningkatkan keakuratan diagnsotik. Pada evaluasi prospektif anak-anak

dengan nyeri abdomen akut, sensitivitas sistem skoring berkisar dari 76%

hingga 100% dan spesifisitasnya berkisar dari 79% hingga 87%. Pada

kasus-kasus dimana diagnosis masih ekuivokal, observasi serial

diharuskan dan pencitraan dapat bermanfaat.

Studi Pencitraan

Radiografi barium enema dengan kontras bisa menunjukkan tidak adanya

atau pengisian inkomplit pada apendiks, iregularitas lumen apendiks dan

efek massa ekstrinsik pada sekum atau ileum terminal. Sensitivitas dan

spesifisitas teknik ini rendah, dan paling baik jika digunakan untuk

mendiagnosis nyeri abdomen yang tidak spesifik.

Pada tangan yang terampil, ultrasonografi telah terbukti merupakan

alat bantu diaagnostik yang efektif. Studi prospektif menunjukkan bahwa

ultrasonografi lebih akurat daripada kesan klinis awal ahli bedah. Banyak

penelitian yang mendemonstrasikan sensitivitas yang melebihi 85% dan

spesifisitas lebih dari 90%.

Computed tomography (CT) telah digunakan secara luas dalam

mendiagnosis apendisitis. Penemuan apendiks yang membesar (>6mm),

penebalan dinding apendiks (>1mm), fat stranding periapendiks, dan

kejelasan dinding apendiks merupakan kriteria diagnostik yang berguna.

Sensitivitas CT scan lebih dari 90% dan spesifisitasnya lebih dari 80%.

Page 250: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 244 Manado, 17-19 Maret 2017

Perbandingan ultrasonografi dengan CT scan menunjukkan bahwa yang

terakhir lebih sensitive, sedang yang pertama lebih spesifik. Kedua

pencitraan ini, hendaknya diterapkan hanya jika diagnosis masih belum

jelas.

Diagnosis Banding

Appendiks

Tumor apendiks

Tumor karsinoid

Appendiceal muccocele

Penyakit Crohn

Sekum & Kolon

Karsinoma sekum

Divertikulitis

Penyakit chron

Obstruksi intestinal

Ulcer sterkoral

Typhlitis

(leukemik,amebik)

Hepatobilier

Kolesistitis

Hepatitis

Kolangitis

Usus halus

Adenitis

Ulcer doudenum

Gastroenteritis

Obstruksi intestinal

Intususepsi

Divertikulitis Meckel

Tuberkulosis

Typhoid (perforasi ulcer)

Traktus Urinari

Hidronefrosis

Pyelonefritis

Kalkulus renal atau

ureteral

Tumor Wilms

Uterus, ovarium

Kehamilan ektopik

Torsi ovarium

Ruptur kista ovarium

Salpingitis

Abses tubo-ovarium

Lain-lain

Infeksi citomegalovirus

Ketoasidosis diabetik

Henoch-schonlein

purpura

Penyakit Kawasaki

Limfoma Burkitt

Torsi omentum

Hematoma

pembungkus rektus

Pankreatitis

Infeksi parasit

Pleuritis

Pneumonia

Porfiria

Abses Psoas

Penyakit Sickle cell

Torsi apendiks

apiploica

Tumor-tumor karsinoid terdapat pada kurang dari 1% pasien yang

menjalani apendektomi. Sebagian besar tumor karsinoid apendiks

kekurangan sel-sel yang mengandung serotonin khususnya untuk tumor

karsinoid midgut, sehingga jarang simptomatik dan ditemukan secara

kebetulan pada saat apendektomi. Sebagian besar jinak dan apendektomi

sederhana merupakan terapi kuratif. Kontroversi terjadi pada penanganan

bedah tumor karsinoid yang ganas. Konsensusnya ialah bahwa tumor

karsinoid yang berdiameter lebih dari 2 cm, telah bermetastasis dan

berlokasi pada basis apendiks memerlukan hemikolektomi kanan,

Page 251: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 245 Manado, 17-19 Maret 2017

sedangkan yang berdiameter kurang dari 1 cm dan tidak bermetastasis

pada saat diagnosis ditangani dengan apendektomi saja. Penanganan

tumor berdiameter 1 hingga 2 cm masih tetap kontroversial. Moertel

percaya bahwa prosedur bedah konservatif diperlukan terlepas dari ukuran

atau lokasi tumor selama belum bermetastasis.

Penanganan

Meskipun kesepakatan umum bahwa penanganan untuk apendisitis adalah

apendektomi, detail penanganan masih bervariasi. Sebagai contoh, teknik

pembedahan seperti pendekatan laparoskopik, penggunaan drain,

keperluan untuk irigasi peritoneum, penggunaan appendiceal stump, dan

penutupan insisi masih terus diperdebatkan. Keperluan untuk interval

apendektomi setelah penanganan nonoperasi pada awalnya masih belum

jelas. Pilihan antibiotik dan lama penggunaannya masih bervariasi dari

seorang ahli bedah ke ahli bedah lainnya.

Antibiotik

Regimen terbaik dan durasi antibiotik merupakan subyek kontroversi yang

masih berlanjut. Penggunaan 10 hari ampisilin, gentamisin dan klindamisin

atau metronidazole merupakan patokan standar untuk penanganan

apendisitis berkomplikasi, dan kefektifan kombinasi antibiotik lain biasanya

diukur melawan regimen empirik tersebut. Akhir-akhir ini, telah

diperlihatkan bahwa antibiotik spektrum luas tunggal atau ganda masing-

masing sama efektifnya untuk penanganan apendisitis berkomplikasi.

Ada kecenderungan untuk menurunkan durasi terapi antibiotik. Hanya

antibiotik perioperatif yang dibutuhkan untuk apendisitis sederhana. Durasi

yang direkomendasikan ialah dari terapi antibiotik dosis tunggal, preoperatif

hingga 24 jam paska operasi untuk apendisitis sederhana. Untuk

apendisitis komplikasi, studi akhir-akhir ini menyarankan bahwa sekurang-

kurangnya 48 jam sudah adekuat. Lainnya menyarankan bahwa

penanganan diteruskan sesuai indikasi klinis dengan menggunakan hitung

leukosit dan demam sebagai petunjuk. Ada pula kecenderungan untuk

menggunakan antibiotik oral daripada antibiotik intravena jika fungsi

gastrointestinal sudah kembali. Penelitian prospektif, randomisasi

memperlihatkan ekuivalensi antara 10 hari durasi antibiotic intravena

Page 252: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 246 Manado, 17-19 Maret 2017

dengan 10 hari kombinasi antibiotic oral dan intravena untuk apendisitis

komplikasi.

Appendektomi

Tidak ada peningkatan tingkat komplikasi di antara kelompok pasien yang

didiagnosis dengan apendisitis akut dan perforasi dalam waktu 6 jam

setelah masuk rumah sakit dengan mereka yang ditunda 6 hingga 18 jam

setelah masuk rumah sakit. Akan tetapi, mayoritas ahli bedah anak akan

melakukan apendektomi dalam waktu 8 jam.

Pada teknik terbuka, insisi kuadran kanan bawah secara transversal

atau oblik dibuat melalui titik McBurney (gambar 100-1). Otot-otot dinding

abdomen biasanya dipisahkan. Setelah abdomen dapat dimasuki, sekum

dan apendiks dimobilisir dan apendiks dikeluarkan melalui insisi.

Mesoapendiks kemudian dibagi dan basis apendiks diligasi. Basis yang

pendek ditinggalkan untuk menghindari inflamasi pada stump. Stump ini

ditangani dengan cara ligasi sederhana, ligasi dengan inversi yang

menggunakan jahitan purse-string atau Z-stich, atau inversi tanpa ligasi.

Ligasi sederhana bisa dilakukan dengan cepat dan bisa mengurangi

adhesi. Inversi secara teori akan memberi pengontrolan perdarahan yang

lebih baik, penutupan yang lebih aman, dan kurangnya kemungkinan

kontaminasi; akan tetapi, bisa menimbulkan artefak pada pemeriksaan

kontras di kemudian hari dan bisa pula menyebabkan intususepsi. Untuk

apendisitis sederhana, irigasi luka tidak diperlukan. Luka ditutup menurut

lapisan, dan tidak diperlukan drainase. Diet normal bisa dimulai sesegera

mungkin setelah apendektomi, dan pasien bisa dipulangkan dalam waktu 1

hingga 2 hari. Jika ditemukan normal apendiks, kavitas peritoneum perlu

diinspeksi untuk penyakit inflamasi usus, adenitis mesenterium,

diverticulitis Meckel atau kondisi patologi ovarium pada wanita.

Apendektomi―Endoscopic‖ pertama kali dideskirpsikan pada tahun

1983. Apendektomi laparoskopik bisa dilakukan dengan teknik

laparoscopic-assisted dimana apendiks dimobilisir secara laparoskopik

dengan menggunakan satu atau dua port dan ditarik keluar melalui

pembukaan kecil abdomen dan dikeluarkan dengan standar teknik terbuka.

Page 253: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 247 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. A, insisi transversal dibuat pada kuadran kanan bawah di sepanjang otot lateral. B,

fasia oblik eksternal diinsisi memaparkan fasia oblik internal dan ototnya. C, otot abdomen

tranversal dan peritoneum dibuka, dan sekum didentifikasi. D, apendiks yang meradang

diidentifikasi, dan mesoapendiks diisolir, diklem, dibagi dan diikat. E, jahitan purse-string

ditempatkan pada dinding sekum. F, basis apendiks dihancurkan dan diikat, dan apendiks

dieksisi. G, stump/tunggul apendiks diinversikan masuk ke dinding sekum, dan jahitan purse-

string diikat.

Gambar 2 A, tiga port diletakkan untuk apendektomi laparoskopik. Port umbilikus berukuran

12 mm untuk mengakomodasi stapler endoskopik. Dua port lainnya berukuran 3 atau 5 mm

untuk instrumen diseksi/pemotongan. B, apendiks diangkat keluar dengan menggunakan

pemegang yang ditempatkan pada mesoapendiks, dan sebuah jendela dibuat pada basis

mesoapendiks dengan menggunakan disektor. Mesopendiks dibagi dengan menggunakan

kauter elektrik atau skalpel harmoni. C, scope dipindahkan ke port kuadran kiri bawah untuk

memungkinkan stapler endoskopi memasuki port umbilikus untuk membagi apendiks.

Penanganan pasien dengan apendisitis komplikasi lebih kontroversial.

Oleh karena aspek sosial, budaya , ekonomi dan pengaruh medis pada

diagnosis dan penanganan penyakit ini, tingkat perforasi bervariasi dari

16% hingga 57% pada institusi yang berbeda. Belum ada konsensus

Page 254: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 248 Manado, 17-19 Maret 2017

mengenai penanganan yang optimal pada pasien yang menderita

apendisitis komplikasi. Banyak opini bervariasi dari penanganan

nonoperatif hingga reseksi bedah agresif dengan irigasi antibiotik, drainase

kavitas peritoneum, dan penutupan luka yang ditunda. Weiner melaporkan

tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah hari perawatan di rumah

sakit, biaya perawatan, atau tingkat komplikasi dengan menggunakan

penanganan nonoperatif pada awalnya yang dikuti oleh interval

apendektomi dalam waktu 8 minggu. Terapi operatif tetap merupakan

pendekatan standar karena kesulitan dalam menentukan apakah perforasi

telah terjadi sebelum eksplorasi.

Prosedur operasi untuk apendisitis berkomplikasi adalah

apendektomi. Kontroversi berlanjut mengenai detail prosedurnya: apakah

melakukan drainase kavitas peritoneum, apakah perlu menutup luka atau

meninggalkannya terbuka dengan penutupan tertunda, apakah perlu

mengirigasi kavitas peritoneum, dan, jika demikian, apakah perlu

menggunakan larutan antibiotik. Drainase telah dilaporkan bisa

meningkatkan komplikasi infeksius dan bisa pula mencegahnya. Banyak

penelitian tidak menyokong penggunaan drainase, dengan kemungkinan

pengecualian terhadap abses retrosekal yang tidak dapat dibersihkan

dengan baik. Penutupan luka tertunda tidak didukung oleh literatur, dan

tampaknya tidak bisa dijamin karena tingkat infeksi luka yang

berhubungan dengan apendektomi kira-kira kurang dari 3%. Irigasi masih

menjadi kontroversi. Putnam, Gagliano, dan Emmons menyarankan bahwa

irigasi memperpanjang ileus dan bisa menimbulkan obstruksi usus kecil

dan melaporkan hasil yang amat baik tanpa melakukan irigasi. Beberapa

penelitian terakhir menyokong penggunaan irigasi saline pada kavitas

peritoneum dengan atau tanpa antibiotik.

Penanganan pasien dengan massa abdomen yang teraba merupakan

topik kontroversial lain. Hal ini terjadi sebagian kecil tetapi signifikan pada

pasien-pasien yang mengalami apendisitis komplikasi, terutama pada

anak-anak yang lebih muda setelah perforasi. Beberapa menyarankan

apendektomi sesegera mungkin sedangkan yang lain melalukan prosedur

jika massa telah dikonfirmasi pada pasien setelah berada dalam keadaan

anestesi. Jika operasi dilakukan, perawatan hendaknya diambil untuk

menghindari kerusakan struktur yang berdekatan dengan proses inflamasi

Page 255: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 249 Manado, 17-19 Maret 2017

seperti usus kecil, tuba falopi, dan ovarium, serta ureter. Surana dan

Nitecki merekomendasikan perawatan dengan antibiotik intravena hingga

hitung leukosit telah kembali normal dan pasien tetap afebris selama 24

jam. Jika kondisi pasien memburuk atau massa meluas pada ultrasonografi

serial, maka massa didrainase secara perkutaneus, diikuti oleh

apendektomi interval. Apendektomi interval mencegah episode berulang

apendisitis dan memberikan ahli bedah kesempatan untuk mengevaluasi

pasien untuk kondisi lainnya yang bisa menyerupai massa apendiks.

Apakah apendektomi interval diperlukan, juga masih menjadi perdebatan.

Nitecki menyarankan bahwa apendektomi interval tidak diperlukan karena

hanya 14% pasien yang mengalami rekurensi dan rekurensi dalam waktu

2 tahun setelah diagnosis awal juga tidak umum terjadi. Perawatan standar

sekarang ini ialah penanganan konservatif dengan apendektomi interval

setelah 8 hingga 12 minggu.

Komplikasi

Insiden komplikasi meningkat seiring derajat keparahan apendisitis.

Komplikasi meliputi infeksi luka, pembentukan abses intra-abdomen,

obstruksi usus paska operasi, ileus yang lebih lama, dan jarang, fistula

enterokutaneus. Infeksi luka merupakan komplikasi yang paling sering

tetapi telah menurun dari 50% hingga kurang dari 5%, bahkan pada

apendisitis komplikasi. Pembentukan abses intraabdomen lebih sering

terjadi pada apendisitis komplikasi tetapi masih kurang dari 2%. Abses bisa

didrainase secara perkutaneus dibawah bimbingan CT atau secara

transrektal di ruang operasi, meskipun ada yang menyarankan pendekatan

yang lebih konservatif. Obstruksi usus paska operasi terjadi pada 1%

pasien dengan apendisitis komplikasi, yang seringkali membutuhkan

operasi adhesiolisis. Fistula enterokutaneus merupakan komplikasi yang

jarang dan biasanya berespon terhadap penanganan nonoperatif.

Pylephlebitis supuratif merupakan komplikasi yang amat serius, meskipun

jarang. Sepsis dan kegagalan sistem multi organ bisa terjadi pada anak

yang lebih muda yang mengalami penyakit yang lebih lama sebelum

diagnosis ditegakkan. Komplikasi mayor termasuk obstruksi usus paska

operasi dan pembentukan abses intra abdomen juga telah berkurang

dengan insiden kurang dari 5 %.

Page 256: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 250 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Eriksson S, Granstro¨m L. Randomized controlled trial of

appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J

Surg 1995;82:166.

2. Fraser JD, Aquayo P, Sharp SW, et al. Accuracy of computed

tomography in predicting appendiceal perforation. J Pediatr Surg

2010;45:231.

3. Hernanz-Schulman M. CT and US in the diagnosis of appendicitis: An

argument for CT. Radiology 2010;255:3.

4. Jen HC, Shew SB. Laparoscopic versus open appendectomy in

children: Outcomes comparison based on a statewide analysis. J Surg

Res 2010;161:13.

5. Mason RJ. Surgery for appendicitis: Is it necessary? Surg Infect

(Larchmt) 2008;9:481.

6. Ponsky TA, Hafi M, Heiss K, et al. Interobserver variation in the

assessment of appendiceal perforation. J Laparoendosc Adv Surg

Tech A 2009;19:S15.

7. Solomkin JS, Mazuski JA, Bradley JS, et al. Diagnosis and

management of complicated intra-abdominal infection in adults and

children: Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious

Diseases Society of America.Surg Infect (Larchmt) 2010;11:79.

8. St Peter SD, Aquayo P, Fraser JD, et al. Initial laparoscopic

appendectomy versus initial nonoperative management and interval

appendectomy for perforated appendicitis with abscess: A prospective,

randomized trial. J Pediatr Surg 2010;45:236.

9. Strouse PJ. Pediatric appendicitis: an argument for US. Radiology

2010;255:8.

10. Sameul M. Pediatric Appendicitis Score. J Pediatr Surg 37:877-881.

11. C. Keyzer and P. A. Gevenois (eds.), Imaging of Acute Appendicitis in

Adults and Children, Medical Radiology. Diagnostic Imaging, DOI:

10.1007/174_2011_211

12. Humes D. J, Simson J. Clinical Presentation of Acute Appendicitis:

Clinical Signs—Laboratory Findings—Clinical Scores, Alvarado Score

and Derivate Scores : in : C. Keyzer and P. A. Gevenois (eds.),

Page 257: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Ishak Lahunduitan

KONAS VII PGHNAI 251 Manado, 17-19 Maret 2017

Imaging of Acute Appendicitis in Adults and Children, Medical

Radiology. Diagnostic Imaging, DOI: 10.1007/174_2011_211: 13-20

13. Goulder F. Simson T. Pediatric appendicitis score: A retrospective

analysis. J Indian Assoc Pediatr Surg 13;4: 124-127

14. Dunn J C. Appendicitis; In: Coran AG.. Adzick S. et al. Pediatric

surgery 7th ed.:2012. 100;1255-1264

Page 258: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 252 Manado, 17-19 Maret 2017

SAKIT PERUT: FUNGSIONAL ATAU ORGANIK?

Jeanette I.Ch.Manoppo

Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FK UNSRAT/ RSUP Prof. Dr. R. D Kandou, Manado

Pendahuluan

Sakit perut merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh anak-

anak dan remaja. Sakit perut yang akut mungkin memerlukan intervensi

medis dan bedah segera untuk mencegah terjadinya disabilitas bahkan

kematian. Hal yang berbeda bila anak datang dengan keluhan sakit perut

kronis. Hanya sejumlah kecil rasa sakit perut kronis pada anak yang

disebabkan oleh sebab organik yang mendasari penyakit. Pada

kebanyakan anak, rasa sakit adalah fungsional, tidak terdapat kondisi

patologis, seperti anatomi, metabolisme, infeksi, inflamasi, atau gangguan

neoplastik yang mendasari.1,2

Anak-anak dan remaja yang datang dengan sakit perut kronis

menimbulkan tantangan yang unik.Sakit yang dialami menimbulkan

kecemasan, dimana hal tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-

hari.Meskipun gejala yang dialami tidak berat, orang tua dapat menjadi

sangat khawatir.Sakit perut kronis merupakan keluhan yang sering

membawa anak datang berulang dan dalam jangka waktu yang lama pada

layanan kesehatan primer tanpa diketahui adanya penyebab organik yang

jelas.Tantangan tersendiri juga dihadapi olehpetugas kesehatan yang

merawat,dimana tatalaksana masalah ini dapat memakan banyak waktu

dan membuat frustasi dokter yang merawat. Dokter juga seringkali

melakukan banyak tes kesehatan untuk menghindari terlewatnya suatu

diagnosis penyakit yang serius, dan pada akhirnya keluarga dapat terjerat

dalam kompleksitas psikososial. Kurangnya pengetahuan petugas

kesehatan untuk dapat membedakan penyebab sakit perut kronis,

fungsional ataukah organik, menyebabkan manajemen yang seringkali

tidak efektif.1,3

Page 259: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 253 Manado, 17-19 Maret 2017

Definisi

Pada tahun 1958, John Apley, mendefinisikan sakit perut berulang sebagai

episode sakit perut sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu minimal

3 bulan dan mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu. Sejak saat itu,

selama hampir 4 dekade, definisi ini telah digunakan sebagai definisi

standar. Pada tahun 2005, American Academy of Pediatrics dan North

American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition

(NASPGHN) merekomendasikan isitilah sakit perut berulang harus diganti

dengan istilah sakit perut kronis, yang didefinisikan sebagai sakit perut

berkepanjangan yang intermiten atau konstan, baik fungsional atau

organik.4,5

Sakit perut fungsional didefinisikan menurut kriteria diagnosis yang

diambil berdasarkan gejala.Kriteria diagnosis yang pertama kali

dipublikasikan adalah kriteria Roma II pada tahun 1999. Kriteria Roma IV

yang dipublikasikan pada tahun 2016 telah menggantikan kriteria Roma III

yang telah digunakan sejak tahun 2006.6,7

Pada kriteria Roma IV, konsep ―tidak adanya penyakit organik‖ yang

terdapat pada seluruh definisi sebelumnya diganti menjadi ―setelah

evaluasi medis yang sesuai, gejala tidak dapat diklasifikasikan sebagai

kondisi medis lain‖. Perubahan ini memungkinkan para klinisi untuk lebih

selektif dalam melakukan pemeriksaan penunjang.Selain itu,kriteria Roma

IV menggunakan istilah fungsional abdominal pain disorder (FAPD) untuk

menggantikanistilah abdominal pain - related functional gastrointestinal

disorder (AP-FGID) yang digunakan pada kriteria sebelumnya.FAPD dapat

dikategorikan sebagai salah satu atau kombinasi dari irritable bowel

syndrome (IBS), functional dyspepsia (FD), abdominal migraine (AM), dan

functional abdominal pain-not otherwise specified (FAP-NOS).Fungsional

abdominal pain disorder (FAPD) pada kriteria Roma IV telah dapat

mendeskripsikan berbagai macam kondisi sakit perut kronis pada anak.8

Page 260: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 254 Manado, 17-19 Maret 2017

Etiologi

Penyebab Organik

Berbagai kelainan organik dapat menyebabkan sakit perut, sebagian besar

patofisiologinya berhubungan dengan infeksi, inflamasi atau

distensi/obstruksi dari organ berongga. Pada penelitian yang dilakukan

oleh Memon dkk pada anak usia 2- 15 tahun, didapatkan penyebab sakit

perut kronis adalah infeksi protozoa (33%), H. Pylori (31%) dan infeksi

cacing (Ascariasis, Giardia, E. Hystolityca) sebanyak 13%.9,10

Penyebab dari sakit perut kronis pada remaja perempuan perlu

mendapat perhatian khusus, rasa sakit mungkin diakibatkan oleh penyebab

ginekologi, seperti dismenorrhea, endometriosis, pelvic inflammatory

disease (PID), atau abnormalitas ovarium.Dismenorrhea merupakan

penyebab yang sering pada remaja anak, dapat dikategorikan menjadi

dismenorrhea primer dan sekunder.Gejala biasanya muncul pada 6 hingga

12 bulan setelah menarche.Pasien mengeluh nyeri abdomen bagian

bawah yang terasa keram, spasme, menusuk, atau tumpul. Rasa nyeri

terjadi selama menstruasi namun dapat terjadi satu atau 2 hari sebelum

onset terjadinya menstruasi gejala lain meliputi mual, muntah, diare.9,11

Tabel 1. Penyebab utama sakit perut kronis berdasarkan sistem organ12

Sistem gastrointestinal

Gastroesophageal reflux disease (GERD), Gastritis Helicobacter pylori, Ulkus

peptikum, Esofagitis, Intoleransi laktosa, Penyakit celiac, Infeksi parasit

(Giardia, Blastocystis hominis), Inflammatory bowel disease (IBD), Meckel

diverticulum, Malrotasi dengan volvulus intermiten, Apendisitis kronik,

Konstipasi

Kantung empedu, Hepar, dan Pankreas

Hepatitis, Abses liver, Pankreatitis rekuren, Kolelitiasis, Kista Koleduktus

Sistem Genitourinaria

Hidronefrosis, Infeksi saluran kemih, Urolithiasis, Dismenorrhea, Pelvic

inflammatory disease (PID), Mittelschmerz

Lain- lain

Keganasan, Krisis sickle sel, Keracunan timbal (Pb), Vakulitis ( terutama

Henoch-Schonlein purpura), Edema angioneurotik, Porfiria intermiten akut

Page 261: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 255 Manado, 17-19 Maret 2017

Penyebab Fungsional

Pada sebagian besar kasus sakit perut kronis disebabkan oleh penyabab

fungsional. Kriteria Roma IV, mengklasifikasikan functional abdominal pain

disorder (FAPD) dalam empat kategori, yaitu Functional Dyspepsia (FD),

Irritable Bowel Syndrome (IBS), Abdominal Migraine (AM), Functional

Abdominal Pain-Not Otherwise Specified Epidemiology (FAP-NOS).8,13,14

1. Functional Dyspepsia (FD)8

Kriteria diagnosis:

Terdapat 1 atau lebih gejala yang mengganggu selama minimal 4 hari

setiap bulan, yang telah berlangsung selama minimal 2 bulan sebelum

diagnosis ditegakkan.

Rasa penuh setelah makan

Cepat kenyang

Nyeri epigastrium atau rasa terbakar yang tidak berhubungan

dengan defeksi

Setelah dilakukan evaluasi, gejala tidak dapat dijelaskan secara

penuh oleh kondisi medis lain

Terdapat 2 subtipe:

1. Postprandial distress syndrome

Meliputi rasa penuh postprandial yang mengganggu atau rasa

cepat kenyang yang mencegah pasien dalam menghabiskan porsi

makan biasanya. Tanda lain yang mendukung meliputi rasa

kembung pada bagian abdomen atas, mual postprandial, atau

sendawa yang berlebihan.

2. Epigastric pain syndrome

Rasa sakit atau terbakar yang mengganggu (cukup parah hingga

mengganggu aktifitas normal), terlokalisir pada epigastrium. Rasa

sakit ini tidak terasa merata ataupun terlokalisir pada bagian dada

atau abomen yang lain dan tidak reda oleh defekasi maupun

kentut. Kriteria lain yang mendukung meliputi (a) rasa nyeri

disertai terbakar tanpa adanya komponen retrosternal (b) rasa

sakit yang pada umumnya dapat diinduksi atau terasa lebih ringan

dengan ingesti makanan namun dapat timbul bila puasa.

Page 262: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 256 Manado, 17-19 Maret 2017

2. Irritable Bowel Syndrome (IBS) 8

Diagnosis terpenuhi bila memenuhi seluruh kriteria minimal selama 2

bulan

Nyeri abdomen yang terjadi minimal 4 hari setiap bulan yang

berhubungan dengan satu atau lebih:

a. Berhubungan dengan defekasi

b. Perubahan frekuensi buang air besar

c. Perubahan bentuk tinja

Anak dengan konstipasi, rasa sakit tidak membaik meskipun

gejala konstipasi membaik ( apabila rasa sakitnya membaik, anak

bukan mengalami IBS, melainkan functional constipation)

Setelah dilakukan evaluasi, gejala tidak dapat dijelaskan secara

penuh oleh kondisi medis lain

Pada anak yang mengalami konstipasi dan nyeri abdomen, pada

awalnya dilakukan terapi hanya untuk konstipasi saja.Apabila nyeri

abdomen membaik dengan terapi konstipasi, anak diagnosis sebagai

functional constipation. Namun apabila nyeri tidak membaik dengan

terapi konstipasi yang sesuai, pasien mungkin menderita IBS dengan

konstipasi.8

3. Abdominal Migraine (AM)8

Diagnosis dipenuhi bila kriteria dialami minimal 2 kali dalam 6 bulan

sebelumnya

Episode paroksismal nyeri abdomen akut dan intens pada

daerah periumbilikal, difus atau midline, yang menetap selama 1

jam atau lebih ( seharusnya merupakan gejala yang paling berat

dan menyakitkan)

Episode sakit berjarak beberapa minggu hingga bulan

Rasa sakit mengganggu aktivitas normal

Terdapat gejala dan pola yang stereotip pada setiap individu

pasien

Page 263: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 257 Manado, 17-19 Maret 2017

Rasa nyeri berhubungan dengan 2 atau lebih gejala:

a. Anoreksia

b. Mual

c. Muntah

d. Sakit kepala

e. Fotofobia

f. Pucat

Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat

dijelaskan secara penuh oleh kondisi medis lain

4. Functional Abdominal Pain-Not Otherwise Specified

Epidemiology (FAP-NOS) 8

Kriteria dialami minimal 4 kali setiap bulan selama minimal 2 bulan

Nyeri abdomen episodik atau terus-menerus yang terjadi tidak

hanya selama kejadian fisiologis ( cth: makan, menstruasi)

Kriteria tidak memenuhi untuk didiagnosis sebagai IBS, FD,

ataupun AM

Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat

dijelaskan secara penuh oleh kondisi medis lain

Patogenesis

Rasa sakit kronis disebabkan oleh sentisisasi dari saraf aferen viseral

primer terhdap tekanan dan regangan (hiperalgesia primer) dan amplifikasi

pesan nyeri oleh deep brain nonspecific arousal system (hiperalgesia

sekunder).Ketika impuls nyeri pada arousal system cukup kuat, pesan

nyeri dihantarkan menuju konteks sensori.Individu dengan coping skill yang

baik, signal dari lobus frontal dapat menurunkan transmisi nyeri dari

arousal center ke korteks sensori. Berbeda halnya dengan individu yang

memiliki coping skill yang buruk, pengalaman rasa sakit dahulu, stress

akademik, sosial, ansietas, dan depresi, signal transmisi dari lobus frontal

sebalinya justru meningkatkan transmisi nyeri dari arousal center sehingga

meningkatkan persepsi nyeri pada korteks sensori.13

Page 264: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 258 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. Jalur nyeri kronik aferen

13

Patogenesis terjadinya sakit perut kronis disebabkan oleh gabungan

hiperalgesia viseral dan perubahan motilitas gastrointestinal. Beberapa

faktor, seperti faktor psikologis, inflamasi mukosa intestinal, disfungsi sel

mast dan serotonin, mikrobiota saluran cerna, kejadian pada kehidupan

awal, faktor genetik dan lingkungan, diperkirakan berperan dalam

terjadinya hiperalgesia visceral dan perubahan motilitas.15

Faktor psikologis pada anak dapat berupa perpisahan dengan teman

baik di sekolah, kegagalan dalam ujian, perpisahan orang tua,

permasalahan dalam keluarga, dan kekerasan pada anak.Serotonin

merupakan komponen yang penting pada brain-gut axis, diperkirakan

meningkat pada mukosa rektal anak dengan IBS. Peningkatan serotonin

diperkirakan berinteraksi dengan saraf perifer, menyebabkan peningkatkan

sensitivitas viseral dan stimulasi jalur nyeri pada anak.15

Perubahan dari mikrobiota usus juga sejak lama dipertimbangkan

sebagai salah satu faktor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rigsbee

dkk membandingkan mikrobiota pada feses, didapatkan peningkatan

Veillonella, Prevotella, Lactobacillus, dan Parasporbacterium dan

penurunan kadarBifidobacterium dan Verrucomicrobium pada anak dengan

IBS bila dibandingkan dengan anak sehat. Perubahan mikrobiota usus ini

menyebabkan perubahan persepsi viseral, motilitas usus, produksi gas

intestinal, dan permeabilitas usus.15,16

Page 265: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 259 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 2.Patogenesis terjadinya sakit perut fungsional pada anak.Beberapa faktor

resiko berhubungan dengan perubahan pada hipersensitivitas visceral

dan motilitas, sehingga berperan dalam timbulnya sakit perut

fungsional.15

Page 266: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 260 Manado, 17-19 Maret 2017

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pendekatan untuk evaluasi sakit perut pada anak harus dimulai dari

anamnesis yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang

lengkap.Anamnesis harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematik

terhadap riwayat sakit perut dan gejala lain yang menyertai, termasuk

onset, durasi, frekuensi, lokasi karakteristik, faktor pencetus dan

pelega.Pada anak dengan sakit perut kronis, informasi mengenai waktu

onset sakit ang berhubungan dengan dengan aktivitas (seperti selama

makan, sekolah), durasi setiap episode, dan frekuensi berulangnya sangat

membantu dalam menentukan diagnosis. Sebagai contoh, sakit perut yang

membaik setelah defekasi dijumpai pada keadaan IBS.17

Informasi tambahan tentang keluarga (penyakit keturunan,

penyakit yang sekarang dialami, penyakit kronis yang diderita), riwayat

sakit sebelumnya (operasi sebelumnya, medikasi kronik, gangguan

pertumbuhan), dan faktor lingkungan dan kebiasaan harus ditanyakan.

Pada anak usia remaja, anamnesis tambahan harus meliputi riwayat

menstruasi, riwayat seksual, pengguanan obat dan alkohol, dan faktor

deprsi. Waktu nyeri perut berhubungan dengan mestruasi juga harus

dipertimbangkan. Selain itu gejala lain yang dapat menyertai seperti

kembung, hilangnya nafsu makan, mual, muntah juga harus

ditanyakan.12,14

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama.Pemeriksaan

fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan orifisium uretra, vagina dan rektal

harus selalu dilakukan pada pemeriksaan fisik awal. Hasil yang normal

pada pemeriksaan fisik, tanpa ditemukannya adanya tanda dan gelala

alarm mengindikasikan bahwa sakit perut yang terjadi lebih mengarah

pada sakit perut fungsional.12,17

Anak yang datang dengan keluhan sakit perut yang terjadi

berulang harus dicari tanda dan gejala alarm. Meskipun gejala alarm tidak

secara spesifik mengindikasikan adanya kelainan organik pada anak

dengan sakit perut kronis, namun bila tidak ditemukan adanya gejala alarm

ini meningkatkan kemungkinan sakit perut disebabkan oleh penyebab

fungsional.8,18

Page 267: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 261 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Tanda dan gejala alarm pada anak dengan sakit perut kronis8

Riwayat keluarga dengan IBD, penyakit celiac, atau ulkus peptikum

Nyeri perut pada kuadran kanan atas dan bawah yang persisiten

Disfagia

Odinofagia

Muntah persisten

Perdarahan gastrointestinal

Diare nokturnal

Artritis

Penyakit perirektal

Penurunan berat badan involunter

Deselerasi pertumbuhan linier

Keterlambatan pubertas

Demam tanpa sebab

Pada anak yang mengalami sakit perut fungsional, sakit yang

dirasakan bukan merupakan sakit perut yang imaginer atau dilebih-

lebihkan, namun rasa sakit tersebut nyata terjadi tanpa ditemukannya

kelainan patologi.Sebagai contoh, seorang pelari mengalami kram otot

sehingga menyebabkan rasa nyeri yang hebat, walaupun rasa nyeri

tersebut nyata namun masih dalam rentang yang diharapkan dari fungsi

tubuh normal. Kriteria Roma IV dapat dijadikan dasar bagi para klinisi untuk

membuat ―diagnosis positif‖ FAPD berdasarkan gejala yang ada.14

Pada anak dengan sakit perut fungsional, ansietas diketahui dapat

menyebabkan eksaserbasi gejala yang telah ada.Sakit perut fungsional

lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan (OR 1,5, 95% CI 1,3-

1,7, p<0,01), adanya ansietas, tingkat depresi, dan kejadian trauma. Oleh

karena itu, perlu ditanyakan apakah anak menghadapi permasalahan

emosi dan psikologis di sekolah, seperti bullying, ansietas terhadap ujian,

kesulitan bergaul, maupun kesulitan di rumah, seperti kondisi keuangan

keluarga, perpisahan orang tua, dan perceraian. Penting juga ditanyakan

mengenai riwayat infeksi gastrointestinal dalam waktu dekat, dimana

seringkali menjadi pencetus timbulnya gejala.12,19

Page 268: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 262 Manado, 17-19 Maret 2017

Pemeriksaan penunjang

Pada anak dengan sakit perut kronis, investigasi yang tidak perlu

sebaiknya tidak dilakukan.Pemeriksaan penunjang harus dibatasi dan

terfokus untuk mengeksklusi suatu diagnosis spesifik.Pemeriksaan

terutama diperlukan bila anak datang dengan tanda peringatan. Selain itu,

pemeriksaan juga dibutuhkan untuk meyakinkan pasien dan orang tua bila

terdapat kekhawatiran berlebih terhadap suatu penyakit.13

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain yang dilakukan tanpa

indikasi medis tidak membantu. Kesalahan yang sering dilakukan terjadi

pada saat orang tua meminta klinisi melakukan pemeriksaan penunjang

yang berlebih untuk mengeksklusi semua penyakit yang dikhawatirkan

terjadi oleh orang tua.9,14

Pada beberapa tahun akhir, Calprotectin feses banyak digunakan

sebagai screening noninvasive untuk inflamasi mukosa intestinal dan

tampak lebih superior bila dibandingkan tes standar seperti C-reactive

protein (CRP). Peningkatan kadar dihubungkan dengan biomarker yang

bermkna dalam mendiagnosis IBD pad anak. Pada studi yang dilakukan

oleh Flagstad dkk pada 126 anak dengan FGID menunjukkan konsentrasi

calprotectin feses dalam batas normal, oleh karena itu, tes ini dapat

menjadi modalitas yang noninvasive dan berguna dalam membedakan

sakit perut fungsional dan IBD pada anak.8,20

Pada kasus sulit dimana diagnosis tidak jelas hanya berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik, terutama bila didapati kecurigaan

terhadap IBD, sebaiknya dilakukan rujukan ke subspesialis

gastroenterologi anak untuk penilaian ulang serta investigasi lebih lanjut,

meliputi endoskopi danMRI usus halus. Anak dengan gejala dyspepsia,

Esophagogastroduodenoscopy (EGD) diindikasikan pada anak yang

memiliki riwayat keluarga dengan ulkus peptikum atau infeksi H. pylori,

anak usia lebih dari 10 tahun, apabila gejala menetap lebih dari 6 bulan,

dan gejala cukup parah yang mengganggu aktivitas sehari-hari termasuk

tidur.8,14

Page 269: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 263 Manado, 17-19 Maret 2017

Tatalaksana

Tatalaksana dilakukan sesuai dengan etiologi yang mendasari.Sakit perut

yang disebabkan oleh kelainan organik, terapi diberikan sesuai dengan

kelainan yang mendasari.Sedangkan terapi untuk sakit perut dengan

penyebab fungsional bervariasi sesuai dengan preferesi klinisi yang

menangani, pasien, dan orang tua serta ketersediaan berbagai macam

modalitas. Tujuan utama dari terapi tidak selalu untuk menghilangkan rasa

sakit secara total, namun lebih ke arah kemampuan untuk melakukan

aktivitas sehari-hari dengan normal, pola tidur yang normal serta

kemampuan anak untuk dapat bersekolah dan ikut serta dalam kegiatan

ekstrakulikuler tanpa adanya gangguan.21,22

Page 270: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 264 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 3. Evaluasi anak dan remaja datang dengan keluhan sakit perut12

Anamnesis

Apakah sakit

akut?

Anamnesis dan PF menyeluruh

Urinalisis

Pemeriksaanlaboratorium dan pencitraan yang terarah

Anamnesis dan PF

menyeluruh

Urinalisis

Identifikasi kategori diagnosis sakit perut yang

timbulberulang

Disfungsional / Psikogenik/ Organik

Terapkan prinsip managemen sakit perutkronis

Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang terarah

Rujukan dan konsultasi seusai indikasi

Terapi spesifik

Apakah intervensi medis dan bedahterindikasi?

Ya Tidak

Ya Tidak

Page 271: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 265 Manado, 17-19 Maret 2017

Terdapat bukti yang terbatas penggunaan terapi farmakologis pada

anak.Pada anak FD dimana gejala nyeri dominan, antagonis reseptor

histamin dan proton pump inhibitor dapat digunakan.Meskipun data yang

ada masih kurang, terapi antidepresan trisiklik dosis rendah seperti

amitriptilin dan imipramin seringkali dipertimbangkan pada kasus sulit.

Mual, kembung, dan rasa cepat kenyang lebih sulit untuk diterapi,

prokinetik seperti cisapride dan domperidon dapat digunakan bila

tersedia.8,2

Pada anak dengan IBS, terdapat data yang menunjang penggunaan

probiotik maupun peppermint oil untuk mengurangi rasa sakit. Walaupun

demikian belum ada satupun obat yang diterima oleh U. S. Food and Drug

Adnimistration (FDA) sebagai terapi anak dengan IBS.Antidepresan trisiklik

efektif untuk terapi IBS pada dewasa, namun pada anak belum ada bukti

klinis yang memuaskan.Amitriptilin memiliki efek sedasi dan

konstipasi.Apabila pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen, diare,

dan insomnia, antidepresan trisiklik dapat menjadi pilihan yang baik.Pada

anak yang tidak dapat diberikan amitriptilin karena kekhawatiran terhadap

aritmia jantung, kejang, efek pada mood, antagonis reseptor serotonin-3,

alosteron dapat digunakan.Terdapat beberapa alternatif pada anak dengan

IBS predominan gejala konstipasi, klinisi dapat memilih untuk memberikan

terapi dengan polyethylene glycol bersamaan dengan antidepresan trisiklik

atau inhibitor serotonin reuptake. Terapi profilaksis dengan amitriptilin

1mg/kg/hari untuk mencegah berulangnnya episode abdominal

migraine.8,13

Page 272: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 266 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 3.Terapi medikamentosa13

Obat Dosis Golongan Durasi

terapi

Efek

samping

FD Nyeri

epigastrium

Amitriptilin

Distres

postprandia

l

Siprohep-

tadin

10-50 mg

sebelum

tidur

0,25-0,5

mg/kg/ha

ri

F=2-3X

/hari

Antidepres

an trisiklik

Antagonis

histamin-1

dan

serotonin-

1

Hingga

tidak

dirasakan

nyeri dalam

6 bulan

Hingga

tidak

didapatkan

gejala

dalam 6

bulan

Konstipasi,

sedasi,

mimpi

buruk

Lelah,

pusing,peni

ngkatan

berat

badan

Mulai 10

mg,

ditingkatkan

10mg/mgg

hingga nyeri

mereda/ 50

mg

Peningkatan

nafsu

makan pada

±50% anak

IBS d-IBS:

Amitriptilin

Alosteron

c-IBS:

Imipramin

Lubiprostone

10-50 mg

sebelum

tidur

0,5-1mg,

1-2x/hari

10-50 mg

sebelum

tidur

8-24 µg

F=1-

2x/hari

Antidepres

an trisiklik

Antagonis

reseptor

serotonin-

3

Antidepres

an trisiklik

Aktivator

kanal

klorida

Hingga

tidak

dirasakan

nyeri dalam

6 bulan

Tidak

didefinisi-

kan

Hingga

tidak

dirasakan

nyeri dalam

6 bulan

Tidak

didefinisi-

kan

Konstipasi,

sedasi,

mimpi

buruk

Konstipasi

Sedasi

Diare, mual

EKG tidak

harus

dilakukan

pada pasien

tanpa

penyakit

jantung

Sangat

efektif,

mahal

Efek

kostipasi

dan sedasi

lebih kurang

bila

dibanding-

kan

amitritilin

Mahal

Page 273: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 267 Manado, 17-19 Maret 2017

Meskipun terapi farmakologis banyak digunakan, cognitive behavioral

therapy (CBT) dan hipnoterapi efektif pada anak dengan sakit perut

kronis.Keberhasilan intervensi psikologis menunjukkan adanya hubungan

antara otak dan sakuran pencernaan serta pentingnya sistem saraf pusat

dalam patofisiologi terjadinya sakit perut.Pada sebagian pasien yang telah

mengidentifikasi beberapa jenis makanan sebagai sumber nyeri, harus

melakukan eliminasi makanan tersebut dari diet sehari-hari.Terapi non-

farmakologis lain yang juga dikatakan bermanfaat seperti yoga, akupuntur,

dan fisioterapi.Pada akhirnya, orang tua, anak, dan guru perlu untuk

diyakinkan bahwa sakit perut fungsional merupakan gejala yang normal

dalam hidup. Perlunya empati dan diskusi yang berkualitas antar dokter

orang tua, dan anak mutlak diperlukan.14,24

Daftar Pustaka

1. Marin JR, Alpern ER. Abdominal pain in children. Emerg Med Clin

North Am. 2011;29:401-28.

2. Leung AK, Sigalet DL. Acute Abdominal Pain in Children. Am Fam

Physician. 2003;67:2321-6.

3. Leeuwen YL, Spee, LA, Benninga MA, Zeinstra, SM, Berger MY.

Prognosis of abdominal pain in children in primary care-a prospective

cohort study. Ann Fam Med. 2013;11:238-44

4. Lorenzo CD, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams

JS, et all. Chronic Abdominal Pain in Children. Pediatrics.

2005;115:812-5

5. Paul SP, Cancy DC, Clinical update:recurrent abdominal pain in

children. Community Pract. 2013;86:48-51.

6. Rasquinn A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano

A, et al. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders:

Child/Adolescent. Gatroenterology. 2006;130:1527-37.

7. Devanarayana NM, Adhikari C, Pannala W, Rajindrajith S. Prevalence

of functional gastrointestinal deisease in cohort of Sri Langkan

Adolescents: Comparison between Rome II and Rome III criteria.

2011;57:34-9

Page 274: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 268 Manado, 17-19 Maret 2017

8. Hyams JS, Lorenxo CD, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, Tilburg M.

Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Child/ Adolescent.

Gastroenterology. 2016;150:1456-68.

9. Devaryana NM, Rajindrajith S, De Silva HJ. Recurrent abdominal pain

in children. Indian Pediatr. 2009;46:389-99.

10. Memon IA, LAL MN, Murtaza G, Jamal A, Bhattis RN, Tariq S.

Recurrent abdominal pain in children. Pak J Med Sci. 2009;25:26-30.

11. Osayande AS, Mehulic S. Diagnosis and initial management of

dysmenorrhea. Am Fam Physician. 2014;89:341-6.

12. Lozides AM, Orellana KA, Thompson JF. Abdominal Pain. In: Adam

HM, Foy JM, editors. Sign and symptoms in pediatrics. 1st ed. US:

American Academy of Pediatrics; 2015. p. 13-26

13. Hyman PE. Chronic and recurrent abdominal pain. Pediatrics in

Review. 2016:37:377-90.

14. Paul SP, Basude D. Non-pharmacological management of abdominal

pain-related functional gastrointestinal disorders in children. Worl J

Pediatr. 2016;12:389-98

15. Korterink J, Devanarayana NM, Rajindrajith S, Vlieger A, Benninga

MA. Childhood functional abdominal pain: mechanisms and

management. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2015;12:159-71.

16. Rigsbee L, Agans R, Shankar V, Kenche H, Khamis HJ, Michail S,

Paliy O. Quantitative profiling of gut microbiota of children with

diarrhea-predominant irritable bowl syndrome. Am J Gastroenterol.

2012;107:1740-51.

17. Bufler P, Gross M, Uhlig HH. Recurrent abdominal pain in childhood.

Dtsch Arztebl Int. 2011;108:295-304.

18. Motamed F, Mohsenipour R, Selfirad S, Yusefi A, Farahmand F,

Khodadad A, et all. Red flags of organic recurrent abdominal pain in

children: study on 100 subjects. Iran J. Pediatr. 2012;22:457-62.

19. Koterink JJ, Diederen K, Benninga MA, Tabbers MM. Epidemiology of

pediatric functional abdominal pain disorder: a meta-analysis. PLoS

One. 2015;10:1-17.

20. Flagstad G, Helgeland H, Markestad T. Faecal calprotectin

concentrations in children with functional gastrointestinal disorders

Page 275: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Jeanette I.Ch.Manoppo

KONAS VII PGHNAI 269 Manado, 17-19 Maret 2017

diagnosed according to the Pediatric Rome III criteria. Acta Paediatr.

2010;99:734-7.

21. Rutten JM, Koterink JJ, Venmans LM, Benningan MA.

Nonpharmacologic treatment of functional abdominal pain disorders: a

systematic review. Pediatrics. 2015;135:522-35

22. Schurman JV, Kessler ED, Friesen CA. Understanding and treatment

of chronic abdominal pain in pediatric primary care. Clin Pediatr (phila)

2014;53:1032-40.

23. Spee LA, Leeuwen YL, Benninga MA, Bierma Z, Berger MY.

Prevalence, characteristics, and management of childhood functional

abdominal pain in general practice. Scand J Prim Health Care.

2013;31:297-202.

24. Brett T, Rowland M, Drumm B. An approach to functional

abdominalpain in children and adolescents. British Journal of General

Practice. 2012;62:386-7.

Page 276: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 270 Manado, 17-19 Maret 2017

PERAN MIKROBIOTA SALURAN CERNA PADA ANAK SEHAT DAN

SAKIT

Reza Ranuh

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak

FK Unair/ RSUD Dr.Soetomo

Pendahuluan

Mikrobiota saluran cerna adalah bakteria hidup atau bakteria campuran

yang memiliki efek menguntungkan pada saluran cerna host melalui

kemampuannya menjaga keseimbangan mikrobiota usus dan mempunyai

manfaat mempertahankan kesehatan host.1 Terdapat lebih dari 100

spesies dan lebih dari 10 milyar bakteri dalam usus manusia. Bakteri

dalam usus manusia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok

bakteri yang berguna (useful) dan kelompok yang berbahaya (harmful).2

Pada keadaan infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen akan

menyebabkan inflamasi dan stimulasi sistem imunitas yang berlebihan.

Proses inflamasi dan stimulasi imunitas yang timbul ini akan dihambat oleh

mikrobiota yang ada. Pemahaman fungsi mikrobiota untuk menjaga

kesehatan dan mencegah penyakit untuk meningkatkan status kesehatan

secara menyeluruh sangat penting untuk diketahui.3–6

Kolonisasi Mikrobiota

Pada saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, selanjutnya

terkontaminasi (terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan

berkembangnya kuman Bifidobacteria, Clostridia, dan Cocci gram positif

berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu.Mikroba prokariotik dan

eukariotik dapat ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan dominasi oleh

spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (97%), 3% adalah

aerobik (fakultatif anaerob).

Page 277: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 271 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. Gut microbiota colonization. Modified from Mitsuoka, 1984.(dikutip dari

Pärtty A)7

Genera anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi dalam

saluran pencernaan adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium,

Fusobacterium, Clostridium dan Lactobacillus. Koloni mikrobiota aerob

adalah bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.)

dan bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan

Streptococcus). Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti

Candida albicans, yang juga termasuk anggota mikrobiota normal8. Bayi

yang mendapatkan ASI sejak awal kehidupan, Bifidobacteria merupakan

flora normal yang paling dominant, dibandingkan dengan kelompok bayi

yang mendapatkan susu formula.9,10

Setelah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dan

dalam perjalanan perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi

pada kehidupan seorang bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami

modifikasi yang besar pada tahap awal kehidupan dan keadaan in

mempunyai peran penting dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem

imun innate dan adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan

mukosa saluran cerna maupun sistemik. Faktor lingkungan seperti

antibiotik, diet dan inokulasi mikroba, dapat menyebabkan perubahan

dalam stabilitas mikrobiota baik yang bersifat sementara dan

permanen.2,11,12

Page 278: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 272 Manado, 17-19 Maret 2017

Penjelasan di atas mempertegas kembali bahwa kolonisasi dan

perkembangan mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal

khususnya padasaluran pencernaan mempunyai peranan yang penting

karena adanya gangguan keseimbangan mikroflora pada masa ini akan

mempengaruhi perkembangan sistem imunitas neonatal. Gangguan

perkembangan sistem imunitas ini merupakan faktor predisposisi

terjadingan infeksi.

Fungsi Mikrobiota Saluran Cerna

Interaksi antara mikrobiota saluran cerna dan host, merupakan interaksi

yang saling menguntungkan. Host akan menyediakan nutrisi sebagai

sumber yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya bahwa mikrobiota

akan merubah nutrisi menjadi komponen yang memberikan manfaat baik

untuk kesehatan penjamu. Namun beberapa mikrobiota dalam jumlah

dominan (berlebihan), seperti misalnya Clostridium difficile dapat

memproduksi toksin yang merugikan. Beberapa mikrobiota tertentu akan

berubah menjadi patogen pada keadaan kerusakan mukosa usus seperti

misalnya kuman gram negative Enterobacteriaceae. Namun demikian,

pengetahuan mengenai manfaat mikrobiota saluran cerna secara

keseluruhan belum sepenuhnya dipahami. Beberapa bukti ilmiah

menyebutkan bahwa, hewan coba tanpa mikrobiota saluran cerna (free

germ animal model) menunjukan adanya perbedaan nyata dalam hal

struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan coba

dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan

dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi dan kerentanan

saluran cerna terhadap infeksi, merupakan parameter perbedaan yang

nyata terjadi. Demikian juga organ lainnya seperti misalnya jantung, hati,

cardiacoutput, kelenjar getah bening akan berkurang pada kelompok free

germ animal model. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa

keseimbangan mikrobiota saluran cerna mutlak diperlukan untuk

keseimbangan fisiologi individu.2

Page 279: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 273 Manado, 17-19 Maret 2017

Pengaruh Mikrobiota Saluran Cerna Untuk Pertahanan Tubuh

Mikrobiota normal saluran cerna, sangat penting dalam memberikan

pertahanan saluran cerna, dengan cara mengahambat kolonisasi kuman

patogen. Peningkatan jumlah mikrobiota seperti misalnya kuman

bifidobakteria pada bayi yang mendapatkan ASI yang mengandung bifido

faktor, merupakan salah satu faktor penting untuk menghambat kolonisasi

kuman pathogen. Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh

bifidobakteria antara lain dengan meningkatnya status imun mukosa

usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir metabolik seperti

misalnya asam yang akan menurunkan pH lingkungan saluran cerna.

Pada keadaan suasana asam bakteri probotik dapat hidup dengan subur

sedangkan bakteri pathogen tak dapat hidup. Banyak spesies kuman

laktobaksilus, dan bifidobakteri, mampu untuk memproduksi antibiotika

alamiah, yang mempunyai kemapuan spektrum luas (seperti misalnya

lactocins, helveticins, lactacins, curvacins, nisin atau bifidocin). Kuman

bifidobakteria mempunyai kemampuan mensekresi antimikrobial yang

dapat mengeliminasi berbagai macam kuman pathogen gram negatif

saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan Escherichia coli.

Mikrobiota saluran cerna juga mampu menurunkan konsentrasi endotoksin

bakteri secara signifikan, hal ini dimungkinkan oleh karena kemampuan

mikrobiota ini akan meningkatkan pertahanan mukosa untuk mencegah

translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti misalnya

Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat untuk

eliminasikuman E. coli 0157. Dengan bukti diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobacteria dengan spesies

tertentu bersamaan dengan meningkatnya sistem imun mukosa, akan

memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna.11,13,14

Mikrobiota sebagai pertahanan mukosa saluran cerna

Fungsi proteksi dan pertahanan imunitas saluran cerna seperti misalnya

lapisan epitel, lapisan mukus, peristalsis dan deskuamasi epitel, serta

sekresi IgA, sangat berpengaruh terhadap perlekatan dari kuman patogen.

Mikrobiota mempunyai kemampuan mensintesa short-chain fatty acids

(SCFAs), polyamines, vitamins, antioxidan dan asam amino. SCFA, butyric

acids yang disintesa dari fermentasi karbohidrat, merupakan bahan penting

Page 280: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 274 Manado, 17-19 Maret 2017

untuk colonocytes di usus besar.15

Selain fungsi di atas, spesies mikrobiota

tertentu seperti Lactobacillusmemproduksi antioxidant dan beberapa

macam vitamin, serta menghilangan efek tosik makanan, dan mencegah

efek Enterobacteriaceae, S. aureus, dan Enterococci yang sering dijumpai

pada makanan fermentasi. Lactobacilli juga berfungsi untuk meningkatkan

fungsi seluler dan humoral imunitas. Kuman ini mampu menstimulasi

sistem immun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag,

natural killer cell , monosit dan netrofil. Latobacillus GG mampu

merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan

produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin.16

Mikrobiota sebagai modulator sistem immun lokal dan sistemik

Dua fungsi immunitas di saluran cerna yang penting adalah sebagai peran

proteksi/supresi, mencegah respon immune terhadap protein dan

menghindari reaksi hipersensitivitas, khususnya pada alergi dan

Inflammatoty Bowel Disease (IBD); indukdusi respons immun spesifik

dengan sekresi IgA antibodi di dalam lumen saluran cerna yang bertujuan

untuk mencegah kolonisasi kuman patogen. Kedua peran ini terutama

penting mencegah reaksi hipersensitivitas terhadap makanan pada usia 2

tahun pertama. Walaupun tidak diketemukan agen penyebab secara

spesifik, adanya gangguan mikrobiota intestinal kemungkinan menjadi

penyebab adanya gejala klinik, menurut hygene hypotesis. Keadaan

patologi lain , seperti misalnya diare karena rotavirus dan alergi. Beberapa

penelitian melaporkan adanya peran penting dari mikrobiota terhadap

kejadian ini. Berapa spesies mikrobiota, ternyata meningkatakan sekresi

IgA yang spesifik pada keadaan infeksi virus rota pada bayi. Telah

diketahui bahwa mikrobiota akan menginduksi produksi beberapa sitokin

antara lain IL-12, IL-18 dan IFN- -sel mononuklir darah perifer

manusia dan dan sitokin IL-12, TNF- - -sel limpa tikus.

Semua sitokin yang diproduksi tersebut adalah sitokin dari TH1. Selain

menginduksi produksi sitokin TH1 mikrobiota saluran cerna ini juga

diketahui mampu menginduksi populasi Limfosit T untuk memproduksi

sitokin IL-10 dan TGF- Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran

cerna ini juga telah terbukti dapat mencegah reaksi alergi susu sapi pada

mencit dengan meng -lactoglobulin.16,17

Page 281: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 275 Manado, 17-19 Maret 2017

Mikrobiota dan Diare

Virus rota merupakan penyebab terbanyak diare pada anak. Infeksi virus

rota akan mengakibatkan kerusakan brush border. Brush border

merupakan komponen terpenting dari usus untuk menjalankan fungsi

sekresi elektrolit, enzim pencernaan, reabsorpsi cairan, dan beberapa

komponen nutrient penting. Brush border juga berfungsi sebagai

pertahanan tubuh dari kuman patogen / imunogen yang masuk melalui

saluran cerna. Invasi virus/kuman patogen akan menyebabkan

perubahan/kerusakan protein penyusun brush border.

Perubahan/kerusakan protein penyusun brush border ini akan

menyebabkan gangguan fungsi brush border. Keseimbangan kolonisasi

mikrofora sangat penting untuk mencegah terjadinya diare sebagai

manifestasi klinis kerusakan brush border yang disebabkan karena

infeksi18,19

. Selain manfaat lokal, manfaat sistemik seperti penjelasan di

atas, sangat mempengaruhi timbulnya diare pada anak. Selain fungsi

immunitas mikrobiota dapat mengatasi infeksi saluran cerna, karena

kemampuannya untuk mengekspresikan musin intestinal MUC2 dan

MUC3. Adanya peningkatan produksi musin ini , akan menghambat

perlekatan kuman patogen pada mukosa saluran cerna.20–22

Mikrobiota dan Gangguan Saluran Cerna Fungsional

Gangguan saluran cerna fungsional (Functional Gastrointestinal

DisorderS/FGIDs) adalah gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui

ada kelainan organik saluran cerna. Beberapa hal yang mempengaruhi

prevalensi FGIDs pada anak antara lain pola infeksi dan pelayanan

kesehatan berbeda, penggunaan antibiotik terutama dalam 2 tahun

pertama kehidupan, infeksi saluran cerna dan infeksi ekstraintestinal.

Riwayat alergi, diet, proses kelahiran (spontan maupun sectio secaria) dan

lama menyusui juga merupakan faktor penting terjadinya masalah

gangguan fungsional saluran cerna.23,24,24

Patogenesis FGIDs belum diketahui dengan jelas.Namun diyakini

bahwa unsur-unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam

timbulnya gejala FGIDs. Beberapa faktor penting yang diperkirakan

mempunyai pengaruh pada FGIDs antara lain sistem saraf enterik (ENS),

motilitas, sekresi enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan proses

Page 282: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 276 Manado, 17-19 Maret 2017

inflamasi saluran cerna. Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai

pemicu fisiologis dan stres psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs24,25

.

Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota

saluran cerna yang belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2

tahun pertama merupakan faktor penting terjadinya gangguan fungsional

saluran cerna pada anak.2,6,17,26–28

Gangguan saluran cerna fungsional

yang sering dijumpai antara lain refluk, konstipasi dan kolik. Saluran cerna

pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal

akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi

mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti misalnya

penggunaan antibiotika pada ibu hamil mempunyai pengaruh yang cukup

kuat terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi.29

Segera setelah

lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan

tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara

bertahap sesuai usia kehamilan dan usia bayi. Sebagai contoh bayi

prematur mempunyai gambaran kolonisasi mikrobiota yang berbeda,

sehingga pada kelompok bayi prematur.9,10

Demikian juga pada bayi yang

sering mengalami kolik, mempunyai gambaran kolonisasi mikrobiota

saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan kelompok bayi

tanpa kolik.7,30

Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai

peran terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota

diketahui memproduksi bahan-bahan penting untuk menstimulasi system

saraf saluran cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna

yang terjadi pada kondisi sehat maupun sakit.13

Mikrobiota dan Alergi Makanan dengan manifestasi gejala saluran

cerna

Pengaruh mikrobiota dalam menurunkan reaksi alergi belum jelas. Bukti-

bukti mengenai pengaruh spesifik dari mikrobiota saluran cerna ke sistim

imun innate sangat penting untuk kelangsungan toleransi imun mukosa.

Pada uji klinik probiotik telah dibuktikan dapat menurunkan gejala alergi

yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan alergi makanan.

Suplementasi probiotik ini akan merubah komposisi mikrobiota saluran

cerna yang selanjutnya akan mencegah penyakit atopik dini pada anak

Page 283: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 277 Manado, 17-19 Maret 2017

dengan resiko tinggi alergi, mencegah dermatitis atopik pada 2 tahun

pertama kehidupan anak. Modifikasi mikrobiata saluran cerna anak atopi

selanjutnya akan menimbulkan efek untuk mencegah reaksi alergi dan

menurunkan reaksi alergi susu sapi pada bayi.11,31

Mikrobiota dan Gut-Brain Axis

Hubungan antara saluran cerna dan system saraf pusat, merupakan sitem

komunikasi timbal balik yang komplek, yaitu memberikan multi efek seperti

menjaga afek, motivasi dan kognitif tingkat tinggi bagi manusia secara

keseluruhan.32

Beberapa penelitian membuktikan bahwa mikrobiota saluran

cerna mempunyai kontribusi penting untuk menjaga gut-brain axis berjalan

normal. Gangguan fungsi saluran cerna dipengaruhi oleh system saraf

pusat, demikian juga sebaliknya perubahan kolonisasi mikrobiota usus

akan mempengaruhi fungsi system saraf pusat.33

Pada penelitian hewan

coba didaptkan bahwa keadaan stress pada awal kehidupan akan

meningkatkan kadar kortikosteron sitokin inflamasi, dan keadaan ini

dipengaruhi oleh status kolonisasi mikrobiota usus 34

.

Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh mikrobiota

saluran cerna terhadap fungsi system saraf pusat (gut-brain axis )antara

lain :

Page 284: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 278 Manado, 17-19 Maret 2017

Secara tidak langsung, bahan yang dihasilkan mikrobiota saluran cerna

akan mempengaruhi fungsi system saraf pusat.

Gambar 2.Pathways involved in bidirectional communication between the gut

microbiota and the brain ( dikutip dari Cryan & Dinan, Nature Nurosci Rev 2012)35

Pada penelitian hewan coba telah dibuktikan bahwa suplementasi

bakteri probiotik mempengaruhi metabolisme nutrisi dan proses fermentasi

yang akan menghasilkan bahan tertentu yang dapat menghambat atau

merangsang pertumbuhan kuman komensal saluran cerna yang dapat

memberikan efek negatif atau efek stimulasi respons imunologi innate

dengan cara meningkatan kadar proinflammatory and anti-inflammatory

cytokines. Respon ini dapat mempengaruhi fungsi sistem saraf

pusat.36,37

Secara langsung mikrobiota saluran cerna juga dapat

memberikan signal melalui nervus vagus sebagai salah satu komponen

penting sistem otonom saraf parasimpatik.37

Page 285: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 279 Manado, 17-19 Maret 2017

Serotonin dan mikrobiota.

Hormon serotonin merupakan komponen penting untuk mengendalikan

fungsi gut-brain axis. Serotonin diproduksi di saluran pencernaan di

kelenjar pineal, sistem saraf pusat, dan platelet darah. Serotonin dengan

nama lainya 5-HT atau 5-hydroxytryptamines adalah neurotransmiter

monoamine dapat mempengaruhi berbagai fungsi otak antara lain

berfungsi mengontrol mood atau suasana hati, nafsu makan dan tidur.

Keseimbangan kadar serotonin sangat diperlukan untuk fungsi fisiologi

manusia. Kelebihan hormon serotonin bisa menyebabkan kegelisahan,

kebingungan, peningkatan denyut jantung, pupil melebar, kehilangan

koordinasi otot, berkeringat, diare, sakit kepala, menggigil, mual, muntah,

kejang, demam tinggi, detak jantung tak teratur, gerakan tidak terkendali

dan hilangnya kesadaran. Pada keadaan hormon serotonin yang kurang

dapat menyebabkan rasa cemas, tertekan, fobia, pesimistis, gelisah, tidak

percaya diri, mudah marah, gangguan tidur.38,39

Bacterial metabolites seperti Short Chain fatty acid (SCFAs),

merupakan hasil metabolisme dari mikrobiota saluran cerna telah diketahui

mempunyai pengaruh stimulasi sistem saraf simpatik.SCFAs akan masuk

sistem sirkulasi dan akan mempengaruhi regulasi imunitas saluran cerna

dan sistemik hingga mencapai sistem saraf pusat.37,38

Penutup

Kolonisasi dan perkembangan mikrobiota normal di dalam saluran cerna

mutlak diperlukan untuk mempertahankan fungsi fisiologi saluran cerna

pada anak. Beberapa hal penting manfaat keseimbangan mikrobiota

saluran cerna antara lain untuk menjaga keseimbangan produksi hormon,

sistem imunitas saluran cerna dan fungsi normal gut-brain axis.

Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna secara langsung

maupun tidak langsung sangat diperlukan pada keadaan anak sehat

maupun sakit. Gangguan keseimbangan mikrobiota pada masa anak

secara keseluruhan dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak secara

optimal.

Page 286: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 280 Manado, 17-19 Maret 2017

Daftar Pustaka

1. Bested AC, Logan AC SE. Intestinal microbiota, probiotics and

mental health: from Metchnikoff to modern advances: part III –

convergence toward clinical trials Alison C. Gut Pathog.

2013;5(4):2–13.

2. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and disease. Lancet

(London, England). 2003 Feb;361(9356):512–9.

3. Guarner F, Foxx-Orenstein A, De Paula JA, Quigley E, Fedorak R,

Wu J, et al. WGO Handbook on Gut Microbes. World Gastroenterol

Organ Glob. 2014;1(414).

4. Guarner F, Bourdet-Sicard R, Brandtzaeg P, Gill HS, McGuirk P,

van Eden W, et al. Mechanisms of disease: the hygiene hypothesis

revisited. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2006;3(5):275–84.

5. Collins SM. MICROBIOTA IN DISORDERS OF MOTILITY AND

THE GUT BRAIN AXIS . 2016;

6. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility

disorders. Pract Gastroenterol. 2007;(April).

7. Pärtty A, Yliopisto T. INFANT COLIC CRYING AND Causes ,

Consequences and Cure by. TURUN YLIOPISTO UNIVERSITY OF

TURKU; 2013.

8. Noverr MC HG. Does the microbiota regulate immune responses

outside the gut? Trends Microbiol USA. 2004;

9. Duttaa Sourabh, Ganesh Meenakshi, Anesh RP and NA. Week of

Life. INDIAN Pediatr. 2014;1082(261):8–10.

10. Rotimi VO, Olowe SA, Ahmed I. The development of bacterial flora

of premature neonates. J Hyg (Lond). 1985;94(3):309–18.

11. Purchiaroni F, Tortora A, Gabrielli M, Bertucci F, Gigante G, Ianiro

G, et al. The role of intestinal microbiota and the immune system.

Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2013;17(3):323–33.

12. Groer MW, Luciano AA, Dishaw LJ, Ashmeade TL, Miller E, Gilbert

JA. Development of the preterm infant gut microbiome: a research

priority. Microbiome . 2014;2(1):38.

13. Pier M, Guarino L. ― Microbiota and gut motility .‖

Page 287: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 281 Manado, 17-19 Maret 2017

14. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood:

Implications for Health and Disease. 2016.

15. Kasubuchi M, Hasegawa S, Hiramatsu T, Ichimura A, Kimura I.

Dietary gut microbial metabolites, short-chain fatty acids, and host

metabolic regulation. Nutrients. 2015;7(4):2839–49.

16. Moal VL-L, Servin AL. The Front Line of Eneteric Host Defense

against Unwelcome Intrusion of Harmful Microorgansims: Mucins,

Antimicrobial Peptides and Microbiota. Clin Microbiol Rev.

2006;19(2):315–37.

17. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and

immune homeostasis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):8–15.

18. Kozáková H, Štěpánková R, Řeháková Z, Kolínská J. Differences in

enterocyte brush border enzyme activities in ageing rats reared in

germ-free and conventional conditions. Vol. 47, Physiological

Research. 1998. p. 253–8.

19. Davila AM, Blachier F, Gotteland M, Andriamihaja M, Benetti PH,

Sanz Y, et al. Re-print of ―intestinal luminal nitrogen metabolism:

Role of the gut microbiota and consequences for the host.‖

Pharmacol Res. 2013;69(1):114–26.

20. de La Cochetière M-F, Montassier E, Hardouin J-B, Carton T, Le

Vacon F, Durand T, et al. Human intestinal microbiota gene risk

factors for antibiotic-associated diarrhea: perspectives for

prevention. Risk factors for antibiotic-associated diarrhea. Microb

Ecol. 2010;59:830–7.

21. Gilchrist CA, Petri SE, Schneider BN, Reichman DJ, Jiang N,

Begum S, et al. Role of the Gut Microbiota of Children in Diarrhea

Due to the Protozoan Parasite Entamoeba histolytica. J Infect Dis.

2016;213(10):1579–85.

22. Sommer F, Bäckhed F. The gut microbiota--masters of host

development and physiology. Nat Rev Microbiol. 2013;11(4):227–

38.

23. Chogle A, Velasco-Benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Ramírez

Hernández CR, Saps M. A Population-Based Study on the

Epidemiology of Functional Gastrointestinal Disorders in Young

Page 288: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 282 Manado, 17-19 Maret 2017

Children. J Pediatr. 2016 Dec [cited 2017 Jan 3];179:139–143.e1.

24. Rana Fayez Ammoury, Marian Del Rosario Pfefferkorn JMC.

Functional gastrointestinal disorders: past and present. World J

Pediatr. 2009;5(2):103–12.

25. Eric Chiou, SN. No Title. Therapy. 2011;8(3):315–331.

26. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for

Counseling and Lifestyle. VISTAS Online. 2015;Article 47.

27. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease.

Gastroenterology. 2015;535(7610):7610.

28. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for

pediatrics. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):42–52.

29. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial

colonization of the gut in infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol

Nutr. 2004;38(4):414–21.

30. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the

association between compositional development of the gut

microbiota and fussing and crying in early infancy. Microb Ecol Heal

Dis. 2012;23(0):26–7.

31. Chan YK, Estaki M, Gibson DL. Clinical consequences of diet-

induced dysbiosis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):28–40.

32. Carabotti M, Scirocco A, Maselli MA, Severi C. The gut-brain axis:

Interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous

systems. Ann Gastroenterol. 2015;28(2):203–9.

33. Collins SM, Bercik P. The Relationship Between Intestinal

Microbiota and the Central Nervous System in Normal

Gastrointestinal Function and Disease. Gastroenterology [Internet].

2009;136(6):2003–14. Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.

gastro.2009.01.075

34. O‘Mahony SM, Marchesi JR SP. Early life stress alters behavior,

immunity, and microbiota in rats: implications for irritable bowel

syndrome and psychiatric illnesses. Biol Psychiatry. 2009;65:263–

267.

35. Cryan JF & DT. Mind-altering microorganisms: the impact of the gut

microbiota on brain and behaviour. Nat Rev Neurosci. 2012;13:701–

12.

Page 289: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Reza Ranuh

KONAS VII PGHNAI 283 Manado, 17-19 Maret 2017

36. Wang X, Wang B, Zhang X, Xu Z, Ding Y, Ju G. Evidences for

vagus nerve in maintenance of immune balance and transmission of

immune information from gut to brain in STM-infected rats.

2002;8(3):540–5.

37. Forsythe P, Bienenstock J and KW. Vagal Pathways for

Microbiome-Brain-Gut Axis Communication. In: Lyte M CJ, editor.

Microbial Endocrinology: The Microbiota-Gut-Brain Axis in Health

and Disease, Advances in Experimental Medicine and Biology. New

York: Springer New York; 2014. p. 115–26.

38. Mu C, Yang Y, Zhu W. Gut microbiota: The brain peacekeeper.

Front Microbiol. 2016;7(MAR):1–11.

39. Smith PA. Brain, Meet Gut. Nature. 2015;526(7573):312.

Page 290: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 284 Manado, 17-19 Maret 2017

BERBAGAI MACAM KELAINAN SALURAN CERNA YANG DAPAT

DIDIAGNOSIS MENGGUNAKAN ENDOSKOPI

Pramita G.Dwipoerwantoro

Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RSUPN Dr Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

Pendahuluan

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna pada anak (usia 0-18 tahun)

berkembang secara perlahan selama 30 tahun terakhir, sejak era 1970an,

dengan peningkatan aplikasi diagnostik dan terapeutik. Perkembangan

teknologi terkait desain endoskopi dan alat endoskopi tersebut

berkontribusi pada evolusi bidang endoskopi anak.1,2

Sejak 40 tahun

terakhir prosedur endoskopi saluran cerna anak berkembang dari prosedur

yang menggunakan lensa single menjadi prosedur rutin rawat jalan dengan

sedasi intravena dan menggunakan monitor TV besar.2 Saat ini prosedur

endoskopi saluran cerna anak telah mengalami perkembangan yang pesat

sejalan dengan peningkatan kompetensi spesialisasi gastroenterologi-

hepatologi anak maupun kebutuhan diagnostik dan/atau terapetik yang

memerlukan endoskopi saluran cerna.3

Penggunaan Endoskopi di Bidang Pediatrik

Teknik endoskopi di bidang pediatrik pada umumnya sama dengan

dewasa, hanya saja anatomi saluran cerna atas berbeda dalam ukuran.

Esofagus pada neonatus memiliki panjang sekitar 10cm dengan diameter

0,5cm. Posisi trakhea yang bersebelahan dengan esofagus sangat mudah

mengalami kompresi saat dilakukan endoskopi. Posisi antrum dan

duodenum proksimal membentuk sudut yang runcingsehingga memerlukan

defleksi yang cukup besar sebelum dapat intubasi ke duodenum yang

memiliki diameter 1cm.4

Prosedur EGD sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnostik

maupun terapeutik pada anak.5 Informasiyang didapatkan berupa

gambaran makroskopik maupun biopsi mukosa esofagus, lambung, dan

Page 291: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 285 Manado, 17-19 Maret 2017

usus halus.6 Tindakan tersebut cukup aman walaupun kadangkala terdapat

keluhan nyeri menelan ataupun serak pasca tindakan yang dapat hilang

dengan sendirinya.6

Tindakan endoskopi saluran cerna anak di RSCM awalnya dimulai

dilakukan di Departemen Penyakit Dalam oleh Prof. Dr. dr Agus

Firmansyah,SpA(K) menggunakan skop dewasa, yang selanjutnya sejak

tahun 1999 Departemen IKA FKUI-RSCM memiliki skop anak. Awalnya

tindakan hanya menggunakan sedasi intravena gunakan diazepam

ataupun midazolam, yang selanjutnya sejak tahun 2003 Departemen

Anestesi terlibat dalam tindakan endoskopi diagnostik maupun terapetik

pada anak. Saat ini prosedur endoskopi saluran cerna Departemen IKA

RSCM - FKUI masih bergabung dengan ruang prosedur endoskopi

saluran cerna (PESC) Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM - FKUI.

Fasilitas yang dimiliki mencakup alat endoskopi saluran cerna atas (flexible

esophago gastroduodenoscopy / EGD),nasal endoscopy, endoskopi

saluran cerna bawah (flexible colonoscopy) baik untuk diagnostik maupun

terapetik dengan alat anestesi dan monitor yang lengkap.Ruang PESC

RSCM ini pun dilengkapi dengan fasilitas fluoroskopi.

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna pada anak sebaiknya

dilakukan oleh seorang konsultan Gastrohepatologi Anak.7 Sejak tahun

1999 NASPGHAN (the North American Society of Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition) dan FISPGHAN (the

Federation of International Society of Pediatric Gastroenterology,

Hepatology and Nutrition) telah membuat panduan bagi kompetensi

konsultan gastrohepatologi termasuk kompetensi endoskopi pada anak.8,9

Pemeriksaan endoskopi diagnostik yang tersering digunakan adalah

endoskopi saluran cerna atas (EGD) dan kolonoskopi. Pemeriksaan ERCP

(endoscopic retrograde cholangio-pancreaticography) tidak sesering kedua

pemeriksaan tersebut dan biasanya dilakukan oleh spesialis

gastroenterologi dewasa. Pemeriksaan menggunakan wireless capsule

endoscopy ataupun double balloon enteroscopy pada anak belum

merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan di Indonesia. Berkat

kemajuan yang cukup pesat di bidang teknik endoskopi maupun anestesi,

maka bayi prematur bahkan yang sakit berat dapat dilakukan pemeriksaan

EGD ataupun kolonoskopi sejak hari pertama kelahiran.7

Page 292: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 286 Manado, 17-19 Maret 2017

Endoskopi Saluran Cerna Atas (Esophagogastroduodenoscopy, EGD)

Sejalan dengan peningkatan penggunaan prosedur EGD pada anak sejak

era 1970an, maka insidens penyakit yang memerlukan diagnostik gunakan

EGD juga meningkat.10

Terjadi peningkatan lebih dari 12 kali terhadap

jumlah pertama kali dilakukan prosedur EGD sejak tahun 1985 sampai

2005. Selama kurun waktu 20 tahun tersebut terjadi peningkatan proporsi

pasien dengan nyeri perut berulang dari 23% menjadi 43%. Selain itu

terjadi pula peningkatan pemeriksaan EGD yang dilengkapi dengan biopsi

daerah esofagus, lambung dan duodenum sebesar 18% pada tahun 1985

menjadi 95% pada tahun 2005.10

Kelainan saluran cerna fungsional (functional gastrointestinal disorder,

FGID) merupakan kombinasi gejala saluran cerna yang terjadi berulang

ataupun kronik tanpa kelainan struktur atau gangguan kimiawi. Kriteria ini

pertama kali dipublikasi pada tahun 1999 sebagai Kriteria Roma II,11

yang

selanjutnya direvisi menjadi Kriteria Roma III pada tahun 2006 dengan

harapan meningkatkan upaya diagnosis bagi para klinisi maupun periset

yang menghadapi kasus FGID.12,13

Sebuah studi gunakan Kriteria Rome II

untuk menseleksi kandidat yang akan dilakukan EGD menunjukkan bahwa

Kriteria Rome II cukup akurat dan memberikan dampak positif dalam

mengurangi tindakan EGD yang tidak perlu.14

Gejala ―alarm‖ yang

menyertai FGID merupakan salah satu upaya skrining penentuan tindakan

EGD menurut ketentuan AAP (the American Academy of Pediatrics)

maupun NASPGHAN (Evidence D).15

Akan tetapi gejala ―alarm‖ FGID yang

erat kaitannya dengan temuan kelainan organik pada pemeriksaan EGD

adalah muntah dan gagal tumbuh.14-16

Ketentuan ini merupakan panduan

terkini indikasi dilakukannya EGD pada anak dengan nyeri perut

berulang.17

Hal ini merupakan bagian dari pediatric best practise yaitu

deteksi dini risiko terjadinya komplikasi PRG atau berikan informasi serta

keyakinan pada orangtua jika anaknya hanya menderita refluks fisiologik.17

Kemajuan teknologi dan peningkatan pengalaman teknis operator

membuahkan hasil penemuan baru dan perhatian lebih pada kelainan

inflamasi saluran cerna pada anak, antara lain esofagitis eosinofilik (EoE)

yang dianggap sebagai penyakit ‗baru‘. Konsensus mengenai EoE baru

dipublikasi pertama kali pada tahun 2007.18

Penyakit EoE adalah kelainan

yang berbeda dengan penyakit refluks gastroeasofageal (PRG) maupun

Page 293: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 287 Manado, 17-19 Maret 2017

nyeri perut fungsional. Penegakkan diagnosis EoE memerlukan tindakan

endoskopi dan biopsi, karena gejala yang timbul mirip dengan penyakit

refluks gastroesofageal (PRG) yaitu nyeri dada, kesulitan makan, disfagia,

odinofagia dan impaksi makanan. Walaupun PRG dapat secara

bersamaan timbul dengan EoE, akan tetapi gejala klinis dan gambaran

patologik (lebih dari 15 eosinofil per-lapang pandang besar pada biopsi

spesimen)18,19

secara intrinsik EoE tidak respons terhadap pemberian obat

penekan asam lambung. Gambaran endoskopi yang sering didapatkan

adalah linear furrowing (garis vertical pada mukosa esophagus), eksudat

berwarna putih, cincin melingkar, mukosa seperti kertas kreps, atau striktur

esophagus (gambar 1).18

Sensitivitas diagnosis meningkat dari 55%, bila

hanya 1 buah biopsi jaringan, menjadi 94% jika dilakukan > 4 biopsi

jaringan.19

Berdasarkan panduan EGD terkini1 maka pasien yang dicurigai

mengidap penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease, IBD)

terindikasi untuk dilakukan EGD tanpa memperhatikan apakah terdapat

keluhan saluran cerna atas atau tidak. Adanya inflamasi duodenum berupa

kriptitis fokal secara bermakna lebih tinggi pada penyakit Crohns

dibandingkan kolitis ulseratif dan non-IBD (19% vs. 0% dan 1%; p=0,008

dan p=0,001). Nilai spesifisitas dan nilai prediksi positif kriptitis fokal pada

penyakit Crohns dibandingkan colitis ulseratif dan non-IBD adalah 99% dan

93%.20

Pada umumnya EGD dilakukan untuk keperluan diagnostik, akan

tetapi ada beberapa prosedur terapetik yang memerlukan tindakan EGD;

antara lain ekstraksi benda asing yang tertelan, impaksi bolus makanan

akibat striktur, stenosis ataupun EoE. Tertelan benda asing yang telah

melewati esofagus biasanya akan dengan sendirinya melewati anus. Akan

tetapi benda yang tajam ataupun toksik (betere) harus segera dikeluarkan.

Batere yang tertelan dapat mengakibatkan kerusakan mukosa esofagus

yang hebat dan pembentukan fistula. Begitupun bila benda yang tertelan

tersebut mengalami keterlambatan pengeluaran dari lambung maka harus

segera dikeluarkan. Tertelan magnet multipel harus segera dikeluarkan

dengan tindakan EGD karena dapat menyebabkan obstruksi usus dan

perforasi.21

Page 294: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 288 Manado, 17-19 Maret 2017

Indikasi EGD terapetik yang lain adalah pemasangan gastrostomi

(percutaneous endoscopic gastrostomy, PEG) pada bayi ataupun anak

yang memerlukan pemberian enteral nutrisi jangka lama (lebih dari 4-6

minggu) melalui tabung.22,23

Tatalaksana perdarahan saluran cerna atas

menggunakan EGD bertujuan baik untuk diagnostik ataupun terapetik.

Etiologi terbanyak penyebab perdarahan non-varises adalah ulkus peptic

(lambung dan duodenum), erosi gastroduodenum, esofagitis erosive,

sobekan Mallory-Weiss, malformasi arterio-vena, lesi Dieulafoy, dan tumor

serta keganasan saluran cerna atas.24

Tata laksana perdarahan saluran

cerna atas akibat pecahnya varises esofagus menggunakan EGD dengan

teknik ligasi ataupun skleroterapi cukup aman dan efektif bagi anak

maupun bayi kecil.25

Endoskopi Saluran Cerna Bawah (Kolonoskopi)

Keamanan dan efektifitas tindakan endoskopi saluran cerna bawah

(kolonoskopi) dalam mendiagnosis kelainan maupun tindakan terapetik

telah terbukti sejak tiga dekade terakhir. Tindakan tersebut bahkan telah

diterapkan pada neonatus karena ketersediaan alat yang diperlukan.3

Indikasi kolonoskopi pada anak adalah hematoskezia, nyeri perut dan

diare. Diagnosis terbanyak saat tindakan kolonoskopi meliputi penyakit

radang usus (IBD), polip juvenile /multiple / sindrom poliposis, kolitis

alergik, kolitis infektif, tumor, anomali vaskular, dan penyakit graft-versus-

host.26

Temuan adanya polip soliter ataupun multipel pada saluran cerna

bawah akan dilanjutkan dengan polipektomi. Kondisi ini adalah temuan

terbanyak etiologi hematoskezia pada anak. Kontra indikasi absolut

tindakan kolonoskopi adalah tersangka perforasi usus dan peritonitis akut.

Perdarahan pasca tindakan biopsy ataupun polipektomi biasanya minimal

dengan prevalens sebesar 0,26% - 2,5%. Komplikasi perforasi kolon

biasanya terjadi pasca tindakan polipektomi, dengan kisaran 0,06% - 0,3%.

Bakteremia jarang terjadi walaupun pasca polipektomi ataupun tindakan

biopsi kolon multipel.26

Tindakan gunakan teknik endoskopi lainnya pada anak yang belum

berkembang dengan pesat di Indonesia adalah ERCP (endoscopic

retrograde cholangiopancretography), capsule endoscopy, double balloon

enteroscopy, narrow band imaging dan chromoen-doscopy. Saat ini

Page 295: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 289 Manado, 17-19 Maret 2017

tindakan ERCP pada kelainan hepatobilier dan pankreas di Indonesia dan

beberapa negara lain masih dilaksanakan oleh konsultan gastroenterologi

dewasa.

Persiapan sebelum tindakan endoskopi pada anak

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan persiapan sebelum tindakan

endoskopi perlu dilakukan agar tindakan endoskopi dapat dilakukan secara

aman dan efektif. Keunikan persiapan tersebut pada anak adalah harus

mempertimbangkan kondisi fisiologik anak selain kebutuhan psikososial

dan emosional anak serta kedua orangtua mereka.3,27

Sebelum tindakan

elektif dilakukan, harus mendapatkan izin orang tua/wali setelah dilakukan

penjelasan akan manfaat tindakan, prosedur yang akan dijalani, maupun

risiko yang akan dihadapi. Penjelasan manfaat dan risiko tindakan tersebut

harus disampaikan pula kepada pasien dengan bahasa yang dimengerti

sesuai dengan tingkat usia.3

Pemeriksaan laboratorium meliputi darah tepi lengkap, faktor

koagulasi, dan uji fungsi hati.28

Bila terjadi koagulopati berat maka

tindakan endoskopi merupakan kontra indikasi, dan kelainan tersebut perlu

dikoreksi sebelum tindakan endoskopi yang diperlukan dimulai.3,28

Untuk

mengurangi ansietas pasien, maka kehadiran orangtua ataupun wali pada

saat pra-sedasi diperlukan.29

Puasa sebelum tindakan dan persiapan usus

tergantung pada usia pasien dan rencana tindakan. Pada umumnya pasien

puasa makanan solid 6 jam sebelum tindakan, dan puasa minum cairan

bening dua sampai tiga jam sebelum sedasi. Bayi kurang dari 6 bulan

dapat diberikan susu formula sampai 4 jam sebelum sedasi dan pemberian

ASI atau cairan bening sampai 2 jam sebelum sedasi.5

Persiapan kolonoskopi

Persiapan tindakan kolonoskopi tergantung pada usia pasien, tingkat

kooperatif pasien, maupun pengalaman tiap pusat endoskopi yang

berbeda. Persiapan pada bayi biasanya menggunakan jumlah enema yang

tidak terlalu banyak dibandingkan pada anak besar. Prinsipnya pemberian

cairan bening (clear fluids) dilakukan 12-24 jam sebelum tindakan. Pada

bayi keseluruhannya dapat diberikan susu formula ataupun ASI. Preparat

pembersih usus tidak ada yang ideal,30

akan tetapi pengalaman

Page 296: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 290 Manado, 17-19 Maret 2017

Departemen IKA FKUI-RSCM menggunakan preparat sodium fosfat

peroral cukup aman. Turner dkk telah melaporkan angka keracunan akut

menggunakan preparat tersebut cukup rendah yaitu 0,041% (3/7320

kolonoskopi).30

Antibiotik profilaksis

Sesuai dengan panduan the American Heart Association (AHA) dan the

American Society of Gastroenterological Endoscopy (ASGE) antibiotik

profilaksis direkomendasikan hanya pada kondisi tertentu. Hal tersebut

mencakup lesi jantung yang memiliki risiko tinggi ataupun sedang terhadap

terjadinya endokarditis bakterialis, kondisi neutropenia, pirau

ventrikuloperitoneal, tindakan endoskopi terapetik (insersi PEG/selang

nasojejunal, skleroterapi, dilatasi striktur).31

Adapun jenis antibiotik yang

diberikan tidak ditentukan oleh rekomendasi tersebut.

Sedasi

Tindakan EGD dan kolonoskopi pada anak pada umumnya dalam sedasi

sedang ataupun anestesi umum. Manfaat sedasi sedang adalah menjaga

refleks jalan napas dan napas spontan selama tindakan, karena pasien

anak sering mengalami komplikasi respiratorik akibat tahanan paru yang

masih tinggi selain sangat rentan dengan kondisi hipoksemia. Sedasi

menggunakan propofol merupakan merupakan metode yang paling aman

dan menyenangkan untuk mencapai kondisi sedasi yang diperlukan

tersebut.32

Prosedur endoskopi saluran cerna di Departemen IKA FKUI-RSCM

Sejak berdirinya PESC sampai saat ini, jumlah dan variasi tindakan

endoskopi saluran cerna pada anak meningkat sejalan dengan

ketersediaan fasilitas endoskopi diagnostik dan terapetik maupun fasilitas

anestesi. Jumlah dan jenis tindakan yang telah dilakukan di PESC RSCM

sejak Januari 2008 sampai dengan Desember 2016 dapat dilihat pada

Gambar 1. dan Tabel 2. berikut ini. Kasus rujukan rumah sakit luar harus

melalui Poliklinik Gastrohepatologi IKA RSCM untuk evaluasi dan

penjadwalan oleh konsultan gastroenterologi anak serta rujukan pra-

tindakan di Poliklinik Perioperatif Departemen Anestesi FKUI-RSCM.

Page 297: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 291 Manado, 17-19 Maret 2017

Rentang usia pasien yang menjalani prosedur endoskopi saluran cerna

adalah usia 5 hari sampai dengan 18 tahun.

Gambar 1. Jumlah tindakan endoskopi saluran cerna Departemen IKA RSCM-

FKUI periode 2008 – 2016

Tabel 2. Diagnosis dan jumlah tindakan endoskopi saluran cerna

Departemen IKA FKUI-RSCM tahun 2013 vs. 2016

Diagnosis Jumlah Tindakan

Endoskopi

(n=194) in 2013

Jumlah Tindakan

Endoskopi

(n=458) in 2016

- Varises esofagus*

- Striktur esofagus*

- Striktur Pilorus*

- Dilatasi striktur

- GERD

- Polip soliter / multipel*

- Gastritis erosiva

- Ekstraksi benda asing*

- Gastritis kronis

- Ulkus duodenum*

- Ulkus peptikum

58

39

25

36

35

15

7

8

8

4

2

116

12

21

35

110

9

14

13

34

--

2

0

100

200

300

400

500

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Jumlah Tindakan Endoskopi

Page 298: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 292 Manado, 17-19 Maret 2017

- Kolitis infektif / ulseratif

- Pemasangan NJFT*

- IBD

- Tumor kolon

- Tumor duodenum

- Pemasangan PEG*

- Peutz-Jegger syndrome*

- Achalasia*

- Rapunzel Syndrome*

- Hypertrophy Pyloric

Stenosis*

- ERCP dengan/tanpa

sten*

- Pasca transplantasi hati

- Dieulafoy Syndrome

5

3

1

1

1

--

--

--

--

--

--

--

33

80

6

1

1

7

6

3

1

1

3

1

2

Keterangan: *Endoskopi diagnostik dan terapetik. Pada 1 pasien (kasus) dapat

dilakukan tindakan terapeutik multipel

Variasi indikasi dilakukannya endoskopi diagnostik dan/ atau terapeutik

meningkat sejalan dengan berkembangnya fasilitas di PESC RSCM.

Penggunaan selang nasojejunal meningkat sejalan dengan kondisi pasien

dengan penyakit kronis/kritis yang memerlukan dukungan nutrisi

enteral.Pasien yang tidak dapat mentoleransi nutrisi enteral via selang

lambung karena adanya gastroparesis sehingga berisiko refluks

gastroesofageal yang rekuren yang dapat menyebabkan aspirasi, dapat

diatasi dengan penggunaan selang nasojejunal.

Page 299: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 293 Manado, 17-19 Maret 2017

a)

b)

c)

Gambar 2. Beberapa kondisi yang memerlukan tindakan endoskopi terapetik (a.

AdenoCa gaster pada anak usia 14 tahun; b. Bayi 4 bulan dengan muntah

persisten akibat hypertrophic pylorus stenosis yang mendapat enteral nutrisi via

NGT sejak awal; c. Ulkus duodenum dengan perdarahan hebat akibat robekan

vena)

Daftar Pustaka

1. Thomson M, Tringali A, Dumonceau J-M, Tavares M, Tabbers MM,

Furlano R, et al. Paediatric Gastrointestinal Endoscopy: European

Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition and

Page 300: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 294 Manado, 17-19 Maret 2017

European Society of Gastrointestinal Endoscopy Guidelines. JPGN.

2017;64(1):133-53.

2. Gilger MA. Gastroenterologic endoscopy in children: past, present, and

future. Curr Opin Pediatr. 2001;13(5):429–34.

3. Murray JA, Van Dyke C, Plevak MF, Dierkhising RA, Zinsmeister AR,

Melton LJ 3rd. Trends in the identification and clinical features of celiac

disease in a North American community, 1950-2001. Clin Gastroenterol

Hepatol 2003;1(1):19–27.

4. Barth BA, Banerjee S, Bhat YM, Desilets DJ, Gottlieb KT, Maple JT, et

al. Equipment for pediatric endoscopy. Gastrointest Endosc. 2012;76:8-

17.

5. ASGE Standards of Practice Committee: Lightdale JR, Acosta R,

Shergill AK, Chandrasekhara V, Chathadi K, Early D, et al. Modification

in endoscopic practice for pediatric patients. Gastrointest Endosc.

2014;79:699-710.

6. Samer Ammar M, Pfefferkorn MD, Croffie JM, Gupta SK, Corkins MR,

Fitzgerald JF. Complications after outpatient upper GI endoscopy in

children: 30-day follow-up. Am J Gasterol 2003;98:1508–11.

7. Friedt M, Welsch S. An update on pediatric endoscopy. Eur J Med Res.

2013;18:24. doi: 10.1186/2047-783X-18-24.

8. Thomson M, Elawad M, Barth B, Seo JK, Vieira M. Worldwide strategy

for implementation of pediatric endoscopy. Report of the FISPGHAN

Working Group. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55:636-9.

9. Rudolph CD, Winter HS. NASPGN guidelines for training in pediatric

gastroenterology. NASPGN Executive Council, NASPGN Training and

Education. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29:S1-S26.

10. Franciosi JP, Florino K, Ruchelli F, Shults J, Spergel J, Liacouras CA, et

al. Changing indications for upper endoscopy in children during a-20

year periode. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;51:443-7.

11. Rasquin-Weber A, Hyman PE, Cucchiara S, Fleisher DR, Hyams JS,

Milla PJ, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut.

1999;45 Suppl 2: 1160-8.

12. Hyman PE, Lilla PJ, Benninga MA, Davidson JP, Fleisher DF, Taminiau

J. Chilshood functional gastrointestinal disorders: neonate/toddler.

Gastroenterology. 2006;130:1519-26.

Page 301: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 295 Manado, 17-19 Maret 2017

13. Rasquin AC, Di Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano

A, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders:

Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.

14. Miele E, Giannetti E, Martinelli M, Tramontano A, Greco L, Staiano A.

Impact of the Rome II paediatric criteria on the appropriateness of the

upper and lower gastrointestinal endoscopy in children. Aliment

Pharmacol Ther. 2010;32:582-90.

15. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams

JS, et al. Chronic abdominal pain in children: a clinical report of the

American Academy of Pediatrics and the North American Society for

Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr

Gastroenterol Nutr. 2005;40:245-61.

16. Thakkar K, Chen I, Tatevian N, Shulman RJ, McDhuffie A, Tsou M, et

al. Diagnostic yield of oesophagogastroduodenoscopy in children with

abdominal pain. Aliment Pharmacol Ther. 2009;30:662-9.

17. Lightdale JR, Gremse DA; Section on Gastroenterology, Hepatology,

and Nutrition. Gastroesophageal reflux: Management guidance for the

pediatrician. Pediatrics. 2013;131 (5):e1684-95.

18. Furuta GT, Liacouras CA, Collins MH, Gupta SK, Justinich C, Putnam

PE, et al. Eosinophilic esophagitis in children and adults: A systematic

review and consensus recommendations for diagnpsos and treatment.

Gastroenterology. 2007;133:1342–63.

19. Pellicano R, De Angelis C, Ribaldone DG, Fagoonee S, Astegiano M.

2013 Update on celiac disease and eosinophilic esophagitis. Nutrients.

2013;5:3329-36.

20. Hummel TZ, ten Kate FJW, Reitsma JB, Benninga MA, Kindermann A.

Additional value of upper tract GI endoscopy in the diagnostic

assessment of childhood IBD. J Gastroenterol Hepatol Nutr.

2012;54:753-7.

21. Behrens R. Ingestion of foreign bodies in the gastrointestinal tract of

children and adolescent. HNO. 2012;60:781-7.

22. Braegger C, Decsi T, Dias JA, Hartman C, Kolacek S, Koletzko B, et al.

Practical approach to pediatric enteral nutrition: A comment by the

EPSGHAN Committee on nutrition, J Pediatr Gastroenterol Nutr.

2010;51:110-22.

Page 302: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

Pramita G.Dwipoerwantoro

KONAS VII PGHNAI 296 Manado, 17-19 Maret 2017

23. Frohlich T, Richter M, Carbon R, Barth B, Kohler H. Review article:

Percutaneous endoscopic gastrostomy in infants and children. Aliment

Pharmacol Ther. 2010;31:788-801.

24. Khamaysi I, Gralnek IM. Acute upper gastrointestinal bleeding (UGIB) –

Initial evaluation and management. Best Pract Res Clin Gastroenterol.

2013;27:633-8.

25. Zargar, SA, Javid G, Khan BA, Yattoo GN, Shah AH,Gulzar GM, et al.

Endoscopic ligation compared with schlerotherapy for bleeding

esophageal varices in children with extrahepatic portal venous

obstruction. Hepatology. 2002;36:666-72.

26. Park JH. Role of colonoscopy in the diagnosis and treatment of pediatric

lower gastro-intestinal disorders. Korean J Pediatr. 2010;53:824-9.

27. Gorospe EC, Oxentenko AS. Preprocedural considerations in

gastrointestinal endoscopy. Mayo Clin Proc. 2013;88:1010-6.

28. Giles E, Walton-Salih E, Shah N, Hinds R. Routine coagulation

screening in children undergoing gastrointestinal endoscopy does not

predict those at risk of bleeding. Endoscopy. 2006;38:508-10.

29. Messeri A, Caprilli S, Busoni P. Anesthesia induction in children: A

psychological evaluation of the efficiency of parents‘ presence. Paediatr

Anaesth. 2004;14:551-6.

30. Turner D, Levine A, Weiss B, Hirsh A, Shamir R, Shaoul R, et al.

Evidence-based recommendations for bowel cleansing before

colonoscopy in children: A report from a national working group.

Endoscopy. 2010;42:1063-70.

31. Hirota WK, Petersen K, Baron TH, Goldstein JL, Jacobson BC,

Leighton JA, et al. Guidelines for antibiotic prophylaxis for GI

endoscopy. Gastrointest Endosc. 2003;58:475-82.

32. van Beek EJ, Leroy PL. Safe and effective procedural sedation for

gastrointestinal endoscopy in children. J Pediatr gastroenterol Nutr.

2012;54:171-85.

Page 303: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 297 Manado, 17-19 Maret 2017

TATALAKSANA NUTRISI PADA PENYAKIT HATI KRONIS

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FK Unsrat/RSUP Prof.dr.R.D. Kandou, Manado

Pendahuluan

Dalam 60 tahun terakhir, ilmu hepatologi anak telah banyak mengalami

perkembangan baik dalam hal diagnosis dan tatalaksana. Gagal tumbuh

dan malnutrisi selalu menjadi faktor yang penting dalam tatalaksana

hepatologi pada anak. Hati memegang peranan penting dalam

metabolisme, abnormalitas yang terjadi pada penyakit hati kronik

mengakibatkan terjadinya defisiensi nutrien dan metabolisme. Kebutuhan

nutrisi tergantung dari jenis penyakit hati yang diderita, usia penderita, dan

apakah penyakit hati tersebut bersifat akut atau kronik. Pada penyakit hati

akut seperti hepatitis viral akut malnutrisi jarang terjadi akan tetapi pada

gagal hati fulminant, modifikasi nutrisi diperlukan untuk mengatasi

ensefalopati hepatikum. Penyakit hati kronis dapat bersifat kolestatik atau

non-kolestatik dan kebanyakan berhubungan dengan malnutrisi.1

Pada penyakit hati kronis, metabolisme, absorpsi dan penyimpanan

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dapat terganggu sehingga

berpotensi mengalami malnutrisi.2 Malnutrisi pada penyakit hati kronis perlu

ditangani secara khusus karena apabila tidak dikelola secara efektif akan

berdampak serius terhadap luaran jangka panjang dan kelangsungan

hidup pasien.3

Masalah Nutrisi

Hati adalah organ tubuh yang paling besar, dan merupakan pusat

metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks antara lain (1)

mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, membentuk glikogen,

memecah glikogen sesuai kebutuhan, (2) mengubah protein menjadi

glukosa, sintesis albumin, globulin, fibrinogen, protombin, dan transferrin,

mengeluarkan sisa nitrogen (ammonia), menyediakan transaminase,

Page 304: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 298 Manado, 17-19 Maret 2017

sintesis purin dan pirimidin, membentuk amin melalui dekarboksilasi, (3)

sintesis trigliserida, membentuk sintesis trigliserida, membentuk very low

density lipoprotein (VLDL), oksidasi asam lemak untuk energi dan keton,

(4) sintesis kolesterol dari asetat, membuat high-density lipoproteins

(HDLs), (5) tempat menyimpan vitamin A, D, E, K dan sedikit vitamin B12

dan C, (6) hidroksilasi vitamin D untuk akitvasi renal, mengaktifkan asam

folat menjadi tetrahidrofolat (THFA), (7) tempat menyimpan mineral (Fe,

Mangan, Zn, Mg), (8) detoksifikasi, (9) memproduksi asam empedu.2

Penyakit hati kronis memiliki karakteristik berupa penurunan atau

tidak adanya sekresi empedu ke dalam usus sehingga menimbulkan

kolestasis dan masalah nutrisi. Penyebab tersering penyakti hati kronis

pada anak adalah atresia bilier. Sindrom Allagille, Progressive familial

intrahepatic cholestasis (PFIC), berbagai macam infeksi, gangguan

kromosom, gangguan metabolisme, kelainan bawaan sintesis asam

empedu semuanya dapat mengakibatkan penyakit hati kronis. Pada usia

remaja dan dewasa muda penyakit hati kronis lebih sering diakibatkan oleh

hepatitis autoimun, primary biliary cirrhosis atau primary sclerosing

cholangitis.4

Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya

sekresi cairan empedu. Cairan empedu akan tertahan dalam hati sehingga

menimbulkan kerusakan hepatosit. Secara teoritis, retensi asam empedu

akan merusak membran sel. Pengendapan yang terjadi akan mengganggu

membrane fluidity dan fungsinya. Di lain pihak retensi kolesterol

menyebabkan peningkatan kolesterol dalam membran sel sehingga akan

mengurangi fungsi membran dan akhirnya akan mengakibatkan kegagalan

total sekresi empedu. Gangguan aliran empedu ke usus mengakibatkan

tidak adanya asam empedu di dalam usus sehingga absorpsi lemak dan

vitamin larut lemak berkurang. 2,4

Secara klinis kolestasis dibedakan atas kolestasis intrahepatik dan

ekstrahepatik. Pada kolestasis ekstrahepatik yang dapat muncul adalah

atresia bilier, dengan insiden 1 : 10.000 - 15.000 kelahiran hidup. Pada

keadaan kolestasis ekstrahepatik terapi yang dianjurkan adalah operasi,

namun untuk kolestasis intrahepatik dianjurkan pemberian obat dan terapi

suportif.2

Page 305: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 299 Manado, 17-19 Maret 2017

Patofisiologi Masalah Nutrisi

Asupan makanan yang tidak adekuat merupakan dasar patofisiologi

malnutrisi pada anak dengan penyakit hati kronis. Status nutrisinya

diperberat dengan penurunan absorpsi makronutrien (lemak, karbohidrat,

dan protein). Pada usia yang lebih muda lemak merupakan sumber energi

utama (lebih dari 50% total asupan energi). Asam lemak esensial dan

asam lemak rantai panjang sangat diperlukan untuk perkembangan dan

fungsi beberapa organ sebagai contoh sistem saraf pusat. Absorpsi

mikronutrien juga terpengaruhi pada penyakit hati kronis, terutama

absorpsi beberapa vitamin larut lemak (A, D, E, dan K).4

Malnutrisi energi protein merupakan kondisi yang terjadi pada seluruh

tahap penyakit hati kronis dan biasanya terdapat pada 65-90% pasien

dengan penyakit tahap lanjut. Malnutrisi sudah mulai terjadi pada tahap

awal penyakit hati dan terdapat hubungan antara tingkat keparahan

penyakit dengan derajat malnutrisi.5

Pasien yang menderita kolestasis lebih rentan terhadap defisiensi

kalori dan vitamin larut lemak. Pasien dengan masalah hepatoselular lebih

rentan terhadap defisiensi protein. Pasien dengan sirosis memiliki risiko

terhadap defisiensi mikronutrien. Deteksi dini terhadap defisiensi

makronutrien dan mikronutrien sangatlah penting karena tatalaksana nutrisi

terbukti dapat mengurangi risiko infeksi, mencegah komplikasi tahap lanjut,

mortalitas rumah sakit, dan memperbaiki fungsi hati.

1. Penurunan Asupan Makanan

Penurunan asupan makanan merupakan salah satu penyebab utama

malnutrisi. Anoreksia, perubahan persepsi rasa, cepat kenyang, mual, dan

muntah adalah keluhan umum pada anak dengan penyakit hati kronis dan

berkontribusi terhadap kekurangan asupan kalori dan protein. Metabolisme

asam amino meningkatkan kadar triptofan plasma dan aktivitas

serotonergik otak berkontribusi terhadap anoreksia. Anoreksia dapat

mengakibatkan peningkatan kadar tumor necrosis factor dan leptin

sehingga menekan keinginan untuk makan. Penurunan sensasi rasa yang

terkait dengan kekurangan mineral berkontribusi terhadap asupan oral

yang rendah, kemudian mengakibatkan malnutrisi. Rasa mual dan kenyang

pada penyakit hati kronis diperkirakan berhubungan dengan berbagai

Page 306: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 300 Manado, 17-19 Maret 2017

penyebab, termasuk gastroparesis, asites, dismotilitas halus, pertumbuhan

bakteri yang berlebihan, dan efek samping terapi medis yang merugikan.3

Organomegali dan asites dapat mempengaruhi jumlah asupan

makanan karena keadaan ini mengurangi kapasitas lambung. Sebagai

tambahan, berbagai macam modifikasi nutrisi seperti pembatasan terhadap

asupan natrium, cairan, dan protein membuat rasa makanan menjadi lebih

tidak enak. 4

2. Gangguan Penyerapan Makanan

Malabsorpsi berkontribusi terhadap kejadian malnutrisi. Masalah utama

pada pasien dengan gangguan hati tahap lanjut adalah berkurangnya

produksi garam empedu sehingga mengakibatkan penurunan ekskresi

empedu dan pada akhirnya akan menimbulkan masalah dalam absorpsi

lemak. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar asupan energi total

pada anak berasal dari lemak.3

Selain itu, dekonjugasi garam empedu dari bakteri yang berlebih,

dapat mengakibatkan malabsorpsi lemak dengan mengurangi jumlah asam

empedu terkonjugasi yang tersedia untuk memfasilitasi penyerapan lemak

dan vitamin yang larut dalam lemak pada misel usus. Pasien dengan

penyakit hati dapat mengalami progresi menjadi hipertensi portal,

mengakibatkan enteropati dengan kongesti pembuluh darah yang akhirnya

akan berkontribusi terhadap gangguan absorpsi nutrien.3

3. Peningkatan Energy Expenditure

Basal metabolic rate (BMR) merupakan kebutuhan energi minimal

yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhan. BMR akan

menentukan besarnya Energy expenditure. Anak dengan gangguan hati

kronis BMR-nya akan meningkat, hal ini didukung oleh berbagai penelitian

yang sudah dilakukan.4

Hipermetabolisme ditemukan pada sepertiga pasien dengan sirosis,

dengan kebutuhan energi yang meningkat sebanyak 140% dari perkiraan

kebutuhan harian.24

Meskipun penyebab pasti dari hipermetabolisme pada

gangguan hati kronis masih belum jelas, faktor predisposisi tertentu telah

diidentifikasi. Salah satu faktor tersebut adalah asites. Asites meningkatkan

pengeluaran energi. Faktor predisposisi lain adalah infeksi. Individu dengan

Page 307: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 301 Manado, 17-19 Maret 2017

penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko infeksi karena

penurunan γ-globulin dan faktor komplemen yang penting dalam

melindungi tubuh dari infeksi virus dan bakteri. Hipertensi portal

memberikan kontribusi untuk peningkatan pengeluaran energi sehingga

terlihat bahwa pengobatan hipertensi portal mampu menurunkan

hipermetabolisme.3

4. Gangguan Metabolisme

Pasien dengan gangguan hati tahap lanjut memiliki pola metabolisme

yang berubah sehingga ada transisi dari penggunaan karbohidrat sebagai

sumber energi utama menjadi penggunaan cadangan lemak untuk sumber

energi.10

Akibat penurunan fungsi hati, terjadi penurunan penyimpanan

glikogen di hati dan otot serta peningkatan penggunaan lemak dan asam

amino sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini mengakibatkan pengecilan

otot, hiperamonemia, hipoproteinemia, hipoglikemia, dan penurunan

sirkulasi trigliserida sekunder dari peningkatan oksidasi lemak.3

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien dengan penyakit hati kronis bervariasi tergantung

dari gangguan metabolisme yang terjadi. Pada umumnya pasien

mengalami muntah dan anoreksia akibat kompresi lambung oleh

organomegali dan asites, diare juga dapat terjadi akibat malabsorpsi.6

Karakteristik fisik pada pasien dengan penyakit hati kronis menjelaskan

mengapa pengukuran BB/U tidak cukup untuk menilai status nutrisi. Anak

dengan penyakit hati kronis biasanya perutnya tampak cembung dan

ekstremitas terlihat kurus. Penurunan ukuran lingkar lengan atas

merupakan perubahan yang pertama kali timbul, diikuti dengan penurunan

tebal lipatan kulit. Lingkar perut pasien lama kelamaan akan bertambah

besar menyamai ukuran lingkar dada. Apabila tidak ada komplikasi riketsia

akibat defisiensi vitamin D, TB/U merupakan ukuran antropometrik terakhir

yang akan turun.3

Page 308: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 302 Manado, 17-19 Maret 2017

Tatalaksana Nutrisi

Tatalaksana nutrisi pada penyakit hati kronis bertujuan untuk menunjang

pertumbuhan optimal, mempertahankan massa tubuh, mengurangi retensi

cairan, mencegah ensefalopatihepatik, mengurangi katabolisme protein,

memberikan cairan untuk mencegah dehidrasi, dan mengurangi morbiditas

dan mortalitas yang terkait dengan malnutrisi.2

Prinsip dasar asuhan nutrisi pediatrik juga berlaku untuk tatalaksana

nutrisi pada penyakit hati kronis, yakni:

1. Penilaian status nutrisi dan pengkajian masalah nutrisi

2. Perhitungan kebutuhan gizi

3. Penentuan rute makanan

4. Pemilihan jenis makanan

5. Pemantauan (monitoring) dan evaluasi asuhan nutrisi

Page 309: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 303 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 1. Manifestasi klinis dan etiologi masalah nutrisi pada gangguan hati.7

Nutrien Manifestasi Etiologi

Protein Stunting, muscle wasting

Keterlambatan perkembangan motorik

Asites atau edema perifer

Koagulopati

Ensefalopati Hepatikum

Malnutrisi energi protein,

penurunan sintesis insulin-like

growth factor 1.

Penurunan sintesis albumin

Gangguan sintesis faktor

pembekuan

Penurunan metabolisme asam

amino aromatik

Lemak Steatorrhea, defisiensi asam lemak

esensial, defisiensi vitamin larut lemak.

Hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia

(xanthomas)

Kegagalan penyerapan di usus,

penurunan asupan asam lemak

esensial

Kegagalan metabolisme lipid di

hati

Karbohidrat Hiperglikemia

Hipoglikemia saat puasa

Resistensi insulin yang

mengakibatkan kegagalan

sintesis glikogen di hati dan otot

Penurunan simpanan glikogen

dengan disfungsi hepatoselular

Vitamin A Rabun senja, degenerasi retina,

xerophthalmi, gagal tumbuh,

hyperkeratosis

Gangguan absorpsi

intratintestinal

Vitamin D Riketisia, osteoporosis, cranial bossing,

pembesaran epifiseal, ubun-ubun kepala

membuka persisten.

Gangguan penyerapan

intraintestinal, penurunan 25-

hidroksilasi di hati

Vitamin E Neuropati perifer, ataksia, anemia

hemolitk.

Gangguan absorpsi

intraintestinal

Vitamin K Koagulopati, manifestasi perdarahan

seperti lebam, masalah tulang

Gangguan absorpsi

intraintestinal

Mineral Kadar Fe, Mangan, Zinc, Selenium, dan

Kalsium rendah

Gangguan absorpsi

intraintestinal

Page 310: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 304 Manado, 17-19 Maret 2017

Gambar 1. Langkah-langkah melakukan asuhan nutrisi pediatrik

Oral

Jangka Pendek

-Nasogastrik

-Nasoduodenal

-Nasojejunal

Jangka Panjang

-Gastrostomi

-Jejunostomi

Fungsi

kembali

normal

Nilai fungsi oromotor

Tidak ada

gangguan

Ada gangguan

Baik

Terganggu

2.Penentuan Kebutuhan:

Tentukan kebutuhan zat gizi menurut height for age

3.PenentuanCara Pemberian:

Tentukan status gizi dan masalah nutrisi

1.Assessment:

Tentukan status gizi dan masalah

nutrisi

Nutrisi Enteral:

-Sesuai kelompok umur

-Formula medis khusus

(Polimerik,Oligomerik,Modular)

Nutrisi Parenteral:

-Rute perifer (≤7 hari)

-Rute sentral (>7 hari)

4.Penentuan Jenis Makanan:

(Polimerik, Oligomerik, Modular)

5.Pemantauan dan Evaluasi

-Akseptabilitas

-Toleransi (reaksi simpang)

-Efektivitas (pertambahan BB)

Page 311: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 305 Manado, 17-19 Maret 2017

1. Penilaian status nutrisi

Penilaian status nutrisi terdiri dari dua penilaian, yakni penilaian kondisi

umum dan penilaian pertumbuhan. Penilaian kondisi umum pada pasien

dengan penyakit hati kronis dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang untuk menilai berbagai faktor yang akan

mempengaruhi morbiditas atau mortalitas pasien, dan secara khusus tata

laksana nutrisi yang akan diberikan. Penilaian pertumbuhan dilakukan

dengan menggunakan dua jenis grafik yaitu grafik WHO 2006 dan grafik

CDC 2000. Grafik WHO 2006 digunakan untuk anak usia 0 – 5 tahun dan

grafik CDC 2000 digunakan untuk anak berusia diatas 5 tahun.

Penilaian status nutrisi pada pasien dengan penyakit hati kronis tidak

mudah karena pertambahan berat badan dapat diakibatkan adanya

hepatosplenomegali ataupun ascites. Pengukuran lingkar lengan atas dan

tebal lipatan kulit secara serial berguna untuk memperkirakan lemak tubuh

dan massa otot. Pengukuran anggota gerak atas tidak dipengaruhi oleh

edema sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai

status nutrisi secara keseluruhan.4,6

2. Perhitungan kebutuhan nutrisi

Kebutuhan nutrisi yang diberikan mencakup kebutuhan energi total,

kebutuhan makronutrien (protein, karbohidrat, dan lipid), serta kebutuhan

mikronutrien dan elektrolit. Asupan cairan dan natrium harus diperhatikan,

asites dan edema dapat mengakibatkan perubahan berat badan sehingga

tampak sebagai kenaikan berat badan. Hipoalbuminemia dapat

menggambarkan gangguan fungsi sintetis hati seperti pada manutrisi

energi protein.

Page 312: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 306 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 2. Alat ukur dan kebutuhan nutrisi pada anak dengan penyakit hati kronis.3

Nutrien Alat Ukur Tatalaksana

Energi Antropometri

Tebal lipatan kulit

Target kalori 130%-180% dari RDA

berdasarkan persentil 50 menurut

BB/TB

MCT: 1-2 ml/kg/hari dalam 2-4

dosis

Tambahkan glukosa polimer dan

makan malam tambahan via NGT

Defisiensi asam

lemak esensial

Rasio Triene–tetraene > 0.3

Asam linoleat menurun

MInyak sayur atau emulsi lemak

intravena

Defisiensi

Vitamin A

Rasio Retinol–RBP < 0.8 or

serum retinol <20 mcg/dL

Xerosis

Bercak Bitot

Vitamin A: 5000-25,000 units/hari per

oral dalam sediaan larut air

Defisiensi

Vitamin D

Kadar Vitamin D serum (25-

OHD) <30 ng/mL

Ergokalsiferol: 3-10 kali RDA

Kolekalsiferol berdasarkan berat dan

kadar vitamin D:

BB >40 kg

<10 ng/mL: 5000 units/hari

11-19 ng/mL: 4000 units/hari

20-29 ng/mL: 3000 units/hari

BB <40 kg

<10 ng/mL: 100 units/kg/hari

11-19 ng/mL: 75 units/kg/hari

0-29 ng/mL: 50 units/kg/hari

Defisiensi

Vitamin E

Kadar Vitamin E

Rasio Vitamin E–lipid total

lipid:

<0.6 mg/g (Usia <1 thn)

<0.8 mg/g (Usia >1 thn)

α-Tocopherol (acetate): 25-200

IU/kg/hari

TPGS: 15-25 IU/kg/hari

Defisiensi

Vitamin K

PT memanjang

Peningkatan PIVKA-II

Vitamin K: 2.5-5 mg, 2-7 kali/minggu

Vitamin K IV mungkin dibutuhkan.

Defisiensi

vitamin larut air

Kadar vitamin serum Multivitamin minimal 100% dari RDA

Defisiensi

Trace element

Zinc plasma <60 mcg/dL Zinc Elemental: 1 mg/kg/hari

Defisiensi besi Penurunan kadar besi dan

peningkatan TIBC

Fe Elemental: 5-6 mg/kg/hari

Page 313: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 307 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 3. Rekomendasi suplementasi vitamin dan mineral pada pasien kolestasis.6

Sediaan Dosis

Vitamin A Vitamin A 5.000-25.000 IU/hari

Vitamin D Vitamin D 200 – 1000 IU/hari

Vitamin E Vitamin E cair 15 – 25 IU/kg/hari

Vitamin K Vitamin K1 2,5-5 mg/hari, setiap 2-3 hari

Zinc Zinc sulfate 1 mg/kg/hari

Kalsium Kalsium elemental 25-100 mg/kg/hari

Fosfor Fosfor elemental 25-50 mg/kg/hari

3. Penentuan rute makanan

Pemberian makan secara oral merupakan cara pemberian zat gizi yang

alamiah dan ideal. Jika pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan padat,

maka diberikan dalam bentuk cair. Apabila cara tersebut tidak

memungkinkan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi secara

lengkap, dalam pelaksanaan asuhan nutrisi terdapat dua macam alternatif,

yaitu pemberian nutrisi secara enteral atau parenteral. Kedua cara

pemberian tersebut dikenal dengan istilah nutritional support. 8

Nutrisi enteral terindikasi jika pemberian makanan per oral dan

keadaan lambung tidak memungkinkan atau tidak dapat memenuhi

kebutuhan gizi dengan syarat fungsi usus masih baik. Rute nutrisi enteral

dapat melalui oral ataupun melalui pipa makanan. Pemberian nutrisi

enteral lebih aman, mudah, murah, dibandingkan dengan pemberian nutrisi

parenteral. Keuntungan lain dari nutrisi enteral adalah bentuknya fisiologis

dan komposisi zat gizinya lengkap. Nutrisi parenteral baru dipertimbangkan

jika nutrisi enteral tidak memungkinkan.8

Untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan energi dan

anoreksia, pemberian makanan lewat pipa makanan dapat membantu. Drip

nasogastrik secara kontinyu dapat dipilih untuk memaksimalkan asupan

nutrien dalam keadaan berkurangnya volume lambung, muntah, asites,

dan hipoglikemia yang mengakibatkan berkurangnya absorpsi nutrient jika

makanan diberikan dalam bentuk bolus feeding.8

Nutrisi parenteral dipilih sebagai jalur nutrisi pada pasien yang tidak

memungkinkan menerima asupan makanan lewat jalur oral, selang

nasogastrik, atau pasien yang menolak untuk makan via oral. Walaupun

Page 314: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 308 Manado, 17-19 Maret 2017

terdapat kontroversi dalam penggunaanya terkait risiko hepatotoksisitas,

jalur parenteral dapat digunakan untuk jangka waktu pendek. 9

Penyakit hati terkait nutrisi parenteral memiliki manifestasi gejala

kuning dan failure to thrive. Secara histologi sesuai dengan gambaran

kolestasis intrahepatik dan dapat menjadi fribrosis bahkan sirosis dengan

penggunaan nutrisi parenteral terus menerus. Gejala kuning biasanya

tampak 2 minggu setelah pasien diberikan nutrisi parenteral. Diagnosis

ditegakkan bila pada pemeriksaan laboratorium hasil bilirubin indirek > 2

mg/dl tanpa disertai penyakit hati lainnya. Tatalaksana utama sampai saat

ini adalah menghentikan pemakaian nutrisi parenteral dan pemberian

nutrisi dilanjutkan secara enteral.10

Apabila kolestasis diakibatkan oleh pemakaian nutrisi parenteral dalam

jangka waktu panjang, pengurangan dosis lipid intravena sebesar 1-2

g/kg/hari dapat dipertimbangkan. Penggunaan sediaan lipid alternatif

harus dipertimbangkan karena sediaan lipid yang berbasis kedelai dicurigai

menyebabkan gangguan hati yang diakibatkan oleh kegagalan usus.10

4. Pemilihan jenis makanan

Pemilihan jenis formula yang digunakan untuk nutrisi enteral pada pasien

dengan kebutuhan nutrisi khusus tergantung pada pasien (umur, diagnosis,

masalah gizi, terkait, kebutuhan nutrisi, dan fungsi gastrointestinal) serta

faktor formula (osmolalitas, renal solute load, kekentalan kalori, komposisi

zat gizi: jenis karbohidrat, protein, lemak, ketersediaan produk serta harga).

Penggunaan makanan komersial adakalanya diperlukan dengan alasan

praktis, efisien, tidak memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan,

terkandung zat gizi obat (medicinal nutrient) untuk memenuhi kebutuhan

makro dan mikronutrien, meskipun dari segi harga lebih mahal.

Air susu ibu dan susu formula merupakan pilihan bentuk makanan

yang mayoritas digunakan pada nutrisi enteral. Pada anak dengan penyakit

hati kronis kebutuhan energi meningkat 120-150% dari RDA. Untuk

memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, dapat diberikan susu formula

padat kalori atau diperkaya dengan suplemen tambahan seperti polimer

glukosa atau lemak terutama dari golongan Medium Chain Tryglycerides

(MCT). 11

Page 315: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 309 Manado, 17-19 Maret 2017

Mayoritas susu formula bayi tidak cukup mengandung minyak MCT

yang dibutuhkan untuk penderita kolestasis. Sekitar 30%-60% dari total

lemak harus tersedia sebagai minyak MCT, dengan 40% dari LCFAs.

Selain itu, minyak MCT dapat diberikan secara terpisah dengan dosis total

harian 1-2 ml/kg/hari dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Meskipun

suplementasi minyak MCT penting dalam pengelolaan gizi pada anak

dengan ESLD, minyak MCT bukanlah sumber asam lemak esensial yang

layak. Oleh karena itu, penting untuk memastikan asupan LCFAs yang

cukup untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial.4

5. Pemantauan dan evaluasi

Respons pasien terhadap peberian makan dinilai dengan cara melakukan

berbagai jenis kegiatan evaluasi. Penilaian mencakup respons jangka

pendek dan jangka panjang.

Respons jangka pendek adalah daya terima (akseptansi) makanan.

Toleransi saluran cerna dan efek samping di saluran cerna. Respons

jangka panjang adalah menilai penyembuhan penyakit serta tumbuh

kembang anak. Kegiatan evaluasi tersebut sebaiknya dilakukan pada

setiap pasien dengan melakukan aktifitas pengamatan yang dicatat

perawat, pemeriksaan fisik oleh dokter, analisis diet oleh ahli gizi,

pemeriksaan laboratorium dan antropometri sesuai dengan keperluan

masing-masing pasien. Evaluasi ini diperlukan untuk menentukan kembali

upaya pemenuhan kebutuhan gizi, karena penentuan kebutuhan gizi dan

pemberiannya tidak diketahui secara pasti sampai teruji dampaknya pada

pasien.

Komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral dapat

dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu mekanis, gastrointestinal, dan

infeksi

Page 316: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 310 Manado, 17-19 Maret 2017

Tabel 4. Tatalaksana komplikasi nutrisi enteral

Masalah Pencegahan/Intervensi

Mual dan

muntah

Posisi kepala lebih tinggi

Pertimbangkan penggunaan obat-obat prokinetik

Mulai pemberian makan melalui pipa dengan kecepatan

rendah kemudian ditingkatkan bertahap

Pertimbangkan rute makanan berselang-seling misalnya

duodenal/jejunal.

Konstipasi

Tingkatkan asupan air

Disimpaksi manual

Pilih formula yang mengandung serat atau tambahkan serat

Diare

Konsultasikan pada ahli farmasi tentang kemungkinan efek

samping obat dan kemungkinan penghentiannya

Cari kemungkinan adanya sorbitol pada label obat oral

Pertimbangkan pemberian makan secara kontinyu, dimulai

dengan kecepatan lambat, bertahap dipercepat sesuai

dengan toleransi

Kurangi kecepatan pemberian makan sampai dapat

ditoleransi.

Komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutisi parenteral

dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu mekanis atau teknis, infeksi, dan

metabolik. Komplikasi mekanis atau teknis adalah yang berkaitan dengan

pemasangan kateter, antara lain pneumotoraks, hemotoraks, tamponade

jantung atau malfungsi peralatan. Insidens sepsis akibat nutrisi parenteral

berkisar 6-20%. Diagnosis serta tatalaksana dini komplikasi sepsis sangat

menentukan prognosis, oleh sebab itu setiap demam pada nutrisi

parenteral ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti bukan. Komplikasi

metabolik akibat nutrisi parenteral yang tersering adalah kolestasis,

terutama pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral lebih dari 2 minggu.12

Page 317: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 311 Manado, 17-19 Maret 2017

Penutup

Malnutrisi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit hati

kronis dan akan menimbulkan konsekuensi berat jika tidak ditangani.

Penyakit hati kronis pada usia muda meningkatkan risiko terjadinya

malnutrisi karena cadangan nutrisinya tidak sebesar anak yang berusia

lebih tua.

Langkah awal penanganan masalah nutrisi adalah penentuan status

nutrisi terutama ukuran lingkar lengan atas, penentuan kebutuhan gizi

dengan meningkatkan jumlah asupan makronutrien diikuti asupan

suplemen vitamin larut lemak dalam jumlah banyak. Pemasangan pipa

makanan lewat hidung ataupun mulut dipertimbangkan apabila nafsu

makan menurun, sangat penting untuk melanjutkan makanan secara oral

untuk mempertahankan keterampilan makan.

Pemilihan jenis makanan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien

dimana mencakup glukosa polimer, lemak MCT, penambahan protein, dan

vitamin larut lemak dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan energi

yang meningkat. Pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk menilai

akseptabilitas, toleransi, dan tumbuh kembang pasien dikemudian hari.

Daftar Pustaka

1. Cameron R, Kogan-Liberman D. Nutritional Considerations in Pediatric

Liver Disease. Pediatrics in Review; 2014: 35: 493-96.

2. Nasar SS, Djoko S, Hartati SAB, Budiwiarti YE. Penuntun Diet Anak.

Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2015. h. 120-26

3. Sultan MI, Leon CDG, Biank VF. Role of Nutrition in Pediatric Chronic

Liver Disease. Nutrition in Clinical Practice; 2011. 26: 401-08.

4. Los EL, Lukovac S, Werner A, Dijkstra T, Verkade HJ, Rings EHHM.

Nutrition for Children with Cholestatic Liver Disease. In: Cookie RJ,

Vandenplas Y, Wahn U, editors. Nutrition support for infants and

children at risk. Basel: Nestle Nutr Workshop Ser Pediatr Program,

2007. 59: 147-59.

Page 318: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw

KONAS VII PGHNAI 312 Manado, 17-19 Maret 2017

5. Silva M, Gomes S, Peixoto A, Torres-Ramalho P, Cardoso H, Azevedo

R, et al. Nutrition in Chronic Liver Disease. Port J Gastroenterol; 2015.

67:1-8.

6. Yuksekkaya HA, Cakir M, Tumgor G, Baran M, Arikan C, Yagel RV, et

al. Nutritional statu s of infants with neonatal cholestasis. Dig Dis Sci;

2008: 803-08.

7. Raphael BP. Nutritional Management in Cholestatic Liver Disease. In:

Koletzko, et al, editors. Pediatric Nutrition in Practice. Basel: World Rev

Nutr Diet; 2015.113:178-181.

8. Siocha P. Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in

Childhood. Ann Nestle; 2008. 66: 137-47.

9. Nel ED, Terblanche AJ. Nutritional support of children with chronic liver

disease. S Afr Med J; 2015. 105: 607-11.

10. Nandivada P, Carlson SJ, Chang MI, Cowan E, Gura KM, Puder M.

Treatment of Parenteral Nutrition-Associated Liver Disease: The Role

of Lipid Emulsions. Adv. Nutr; 2013. 4: 711-17.

11. Baker A, Stevenson R, Dhawan A, Goncalves I, Socha P, Sokal E.

Guidelines for nutritional care for infants with cholestatic liver disease

before live transplantation. Pediatr Transplantation; 2007. 11: 825-34.

12. Sjarif DR. Pediatric nutritional care. Dalam: Pulungan AB, Hendarto A,

Hegar B, Oswari H, penyunting. Nutrition Growth-Development.

Continuing Professional Development IDAI Jaya. Jakarta: Ikatan

Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta. 2006. h.01-10.

Page 319: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...Agus Firmansyah KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017 Digesti dan absorpsi nutrien Pencernaan merupakan proses

KONAS VII PGHNAI 313 Manado, 17-19 Maret 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Nutricia

2. Novell pharmaceuticals

3. Nestle Indonesia

4. Kalbe Farma

5. Combiphar

6. Interbat

7. Prodia laboratorium klinik

8. Futamed Pharmaceuticals