sri wahyuni, bergerak karena insting ibu ayu bersama dengan pak lek, salah satu warga desa bumi ayu...

4
SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI PEREMPUAN DAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN Oleh: Irma Hafni (Peserta kegiatan Serial Pelatihan Perempuan Peduli Leuser) Adakalanya rutinitas memerangkap kita bagai di ru- ang pengap. Butuh tak sekadar udara segar untuk melepas diri dari penat, tetapi juga sesuatu yang menginspirasi. Udara segar dan sumber inspirasi itu menjelma dalam rupa energi dari seorang pe- rempuan bernama Sri Wahyuni. Energi itu menarik saya untuk menemuinya di ta- nah Gayo di pengujung Desember 2017. Jauh se- belumnya, pada pertengahan Oktober, kami ber- temu di Blangkejeren, Gayo Lues. Pertemuan itu tanpa rencana namun menyisakan janji untuk di- tunaikan. Kami pun bertatap muka pada kesempa- tan berikutnya. Dek, Bener Meriah dan Aceh Tengah itu juga ba- gian dari Kawasan Ekosistem Leuser, loh. Daerah ini penyangga KEL di bagian utara. Tapi sayang, se- perti dilupakan.” Ucapan Ayu – demikian Sri Wahyuni dipanggil - terus membayang-bayangi ingatan saya. Sabtu, 23 Desember 2017. Di sebuah warung kopi di Pante Raya, Bener Meriah, saya menyeruput se- Edisi Cerita dari Lapangan kali ini menampilkan hasil karya dari Irma Hafni salah satu peserta kegiatan Serial Pelatihan Perempuan Peduli Leuser yang diadakan USAID LESTARI untuk mendorong partisipasi perempuan dalam mengadvokasi isu konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser. Pelatihan ini diadakan pada periode Oktober 2017 – Maret 2018. Melakukan pendekatan indivi- du seperti ini diakui Ayu lebih mudah. Karena nantinya me- reka sendiri yang akan menu- larkan ‘virus’ peduli lingkungan kepada warga lainnya. “Karena kalau satu orang sudah mera- sakan manfaatnya, yang lain pasti ngikut.” USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI KHUSUS 1

Upload: vanhanh

Post on 02-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU Ayu bersama dengan Pak Lek, salah satu warga Desa Bumi Ayu yang telah mendapatkan pencerahan dari Ayu terkait isu penyelamatan lingkungan

SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI PEREMPUAN DAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN

Oleh: Irma Hafni (Peserta kegiatan Serial Pelatihan Perempuan Peduli Leuser)

Adakalanya rutinitas memerangkap kita bagai di ru-ang pengap. Butuh tak sekadar udara segar untuk melepas diri dari penat, tetapi juga sesuatu yang menginspirasi. Udara segar dan sumber inspirasi itu menjelma dalam rupa energi dari seorang pe- rempuan bernama Sri Wahyuni.

Energi itu menarik saya untuk menemuinya di ta- nah Gayo di pengujung Desember 2017. Jauh se- belumnya, pada pertengahan Oktober, kami ber- temu di Blangkejeren, Gayo Lues. Pertemuan itu tanpa rencana namun menyisakan janji untuk di-tunaikan. Kami pun bertatap muka pada kesempa- tan berikutnya.

“Dek, Bener Meriah dan Aceh Tengah itu juga ba-gian dari Kawasan Ekosistem Leuser, loh. Daerah ini penyangga KEL di bagian utara. Tapi sayang, se- perti dilupakan.” Ucapan Ayu – demikian Sri Wahyuni dipanggil - terus membayang-bayangi ingatan saya.

Sabtu, 23 Desember 2017. Di sebuah warung kopi di Pante Raya, Bener Meriah, saya menyeruput se-

Edisi Cerita dari Lapangan kali ini menampilkan hasil karya dari Irma Hafni salah satu peserta kegiatan Serial Pelatihan Perempuan Peduli Leuser yang diadakan USAID LESTARI untuk mendorong partisipasi perempuan dalam mengadvokasi isu konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser. Pelatihan ini diadakan pada periode Oktober 2017 – Maret 2018.

Melakukan pendekatan indivi-du seperti ini diakui Ayu lebih mudah. Karena nantinya me- reka sendiri yang akan menu-larkan ‘virus’ peduli lingkungan kepada warga lainnya. “Karena kalau satu orang sudah mera-sakan manfaatnya, yang lain pasti ngikut.”

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI KHUSUS 1

Page 2: SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU Ayu bersama dengan Pak Lek, salah satu warga Desa Bumi Ayu yang telah mendapatkan pencerahan dari Ayu terkait isu penyelamatan lingkungan

cangkir cokelat panas untuk menghangatkan ba- dan. Jam digital di ponsel saya menunjukkan angka pukul 04:50 WIB. Masih terlalu pagi mengharap- kan seberkas cahaya mentari untuk menghalau su- hu 17 derajat Celsius yang menggigit. Saya mera- patkan jaket berkali-kali. Sisa kantuk setelah mene-mpuh enam jam lebih perjalanan dengan kendara- an umum dari Banda Aceh masih lekat di mata. Tiga puluh menit kemudian Sri Wahyuni dan suami- nya, Husni, datang menjemput.

Nama Sri Wahyuni tak lagi asing, khususnya di du- nia aktivisme sosial. Ia lantang menyuarakan hak- hak perempuan dan menaruh minat yang tinggi pa- da isu penyelamatan lingkungan. Sejak beberapa tahun lalu ia bergabung dengan Aceh Green Com-munity (AGC) yang bermarkas di Bireuen. Saat ini Ayu adalah Koordinator AGC untuk wilayah Bener Meriah.

Di negeri dingin itulah perempuan berusia 39 ta- hun itu mendedikasikan waktu, pikiran, dan tena-ganya untuk mengampanyekan pentingnya menja- ga lingkungan. Adakalnya ia dihinggapi lelah. Se- mangatnya naik turun, tapi ia tak pernah berhen- ti. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong- nya untuk terus bergerak.

“Insting sebagai ibu yang menggerakkan saya. Bumi ini harus dirawat.” Jawaban Ayu ini membuat saya merinding. “Ibarat seorang anak, bumi ini sedang sakit. Dan banyak tangan-tangan yang sedang ber- gerak menghancurkannya.”

Ayu, yang masa kecilnya dibesarkan di kampung yang berdekatan dengan hutan pinus di kaki Bur (gunung) Ni Telong, masih ingat betul bagaimana rupa kampungnya ketika itu. Ia mengibaratkannya seperti surga. Sejauh mata memandang yang tam-

pak adalah pucuk-pucuk pohon yang hijau dan lebat. Menyambut pagi terasa lebih semangat oleh merdunya kicauan burung. Namun, hanya da- lam kurun waktu dua dekade semuanya nyaris be- rubah total. Kini burung-burung yang dulu sering ia lihat di waktu kecil, seperti raib bersama po-hon-pohon yang terus berkurang.

“Hutan di kaki Bur Ni Telong itu fungsinya selain sebagai penyangga kawasan gunung berapi juga sebagai sumber air. Sekarang hutannya tinggal be- berapa puluh hektare lagi. Ribuan hektare sudah hancur dan dialihkan fungsinya. Saya merasa miris, kok sedikit sekali yang peduli? Padahal semua orang butuh air.”

Instingnya sebagai ibu menggerakkannya untuk memperbaiki surga yang tercabik itu. Ia menggerak- kan orang-orang untuk menanam kembali pohon pinus di kaki gunung berapi tersebut. Dengan ha- rapan pohon-pohon itu kelak akan menambal tu- tupan hutan yang koyak. Tapi apa yang terjadi? “Saat kami datang kembali pohon-pohon pinus yang kami tanami sudah tercerabut dari tanah.”

Kecewa? Itu manusiawi. Namun Ayu tidak pernah frustasi. Ia terus bekerja dengan caranya sendiri. Beranda sosial medianya tak pernah sepi dari aja-kan-ajakan untuk menyelamatkan hutan. Adakala- nya ia menunjukkan foto keindahan alam. Di lain waktu ia menampilkan foto-foto kondisi hutan yang menyayat kalbu. Tujuannya adalah menyadarkan orang-orang akan bumi yang sekarat.

Untuk menghibur hatinya Ayu kini fokus merang- kul warga di Desa Bumi Ayu, Kecamatan Timang Gajah dan mempercantik kawasan di area Bandara Rembele. Pihak bandara memercayakan Ayu untuk mengurus taman bandara.

Foto: Ibu Sri Wahyuni, anggota Aceh Green Community dan Koordinator AGC untuk wilayah Bener Meriah

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI KHUSUS2

Page 3: SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU Ayu bersama dengan Pak Lek, salah satu warga Desa Bumi Ayu yang telah mendapatkan pencerahan dari Ayu terkait isu penyelamatan lingkungan

Bumi Ayu adalah desa yang cantik. Di sini terdapat sepetak lahan milik seorang warga yang berha-sil ‘dibujuk’ Ayu untuk menanam pinus. Ayu me- manggil pria ini dengan sebutan Pak Lek. Di lahan Pak Lek, pinus ditanam berdampingan dengan ko- pi, tanaman yang menjadi identitas sekaligus ko- moditas yang menopang ekonomi masyarakat-Gayo. Pinus-pinus yang sudah berusia empat ta- hun itu, pelan tapi pasti, tumbuh menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk hidup.

Minggu pagi, kami bergerak dari Desa Pante Raya, tempat Ayu tinggal, menuju Bumi Ayu dengan mo- bil yang dikendarai Husni. Mobil ini tampak begitu tua dengan cat yang terkelupas di sana-sini. Tapi kekuatan mesinnya tak perlu diragukan. Mobil inilah yang saban waktu menemani Ayu dan suaminya menjelajah dataran tinggi Gayo. Bersama kami tu- rut serta Amina, putri kedua Ayu. Beginilah caranya ia melibatkan anak-anak dalam dunianya.

Kami tiba di Bumi Ayu saat matahari belum terla- lu tinggi. Sembari menunggu embun kering di pu- cuk daun, kami singgah di rumah Pak Lek. Kehadi- ran Ayu disambut gembira keluarga ini. Tak lama kemudian istrinya menyuguhkan teh untuk kami s- esap. Hangatnya teh cukup ampuh menghalau di- ngin yang menyergap.

Saya menyimak dan memperhatikan cara Ayu berkomunikasi dengan Pak Lek. Tak sekalipun ter- ucap kalimat bernada menggurui. Misalnya ketika Pak Lek bercerita tentang hewan primata yang belakangan mulai masuk ke kawasan pemukiman warga.

“Oh... itu bisa kita siasati, Pak. Di bawah sana kita tanami pohon-pohon yang disukai monyet. Kita ta-nam markisa, pepaya, labu jipang. Monyet-monyet itu mendekat kan untuk mencari makan, Kalau makanannya sudah kita sediakan di sana pasti dia nggak naik ke atas sini.” Ayu menerangkannya se- cara sederhana.

Pak Lek manggut-manggut. Ayu lebih suka mem- beri contoh dan melakukan pendekatan dari hati ke hati kepada warga dengan cara seperti itu. “Fungsi hutan selain untuk sumber tangkapan air juga untuk mengusir hama. Monyet-monyet itu kan termasuk hama untuk tanaman. Makanya hutan itu jangan dirusak, tapi dijaga.” Ia melanjutkan.

Setelah matahari agak tinggi kami bersiap menuju kebun Pak Lek yang ditanami pinus. Kami menyu- suri jalan setapak melewati rumah-rumah pendu- duk yang dikelilingi kebun kopi. Bunga beragam warna yang tumbuh di halaman rumah turut menye-marakkan suasana. “Cocok kan kalau dijadikan desa wisata?” tanya Ayu. Saya mengangguk tanda sepakat.

Tak lama kemudian kami tiba di lahan yang dimak- sud. Pak Lek dengan sebilah parang di tangannya menebas-nebas semak belukar. Sayup-sayup ter- dengar suara gemericik air. Ternyata lahan ini ber- ada tak jauh dari tepi Krueng (sungai) Peusangan. Sungai ini adalah nadi kehidupan di Kawasan Eko-sistem Leuser bagian utara, bahkan hingga ke pesi- sir di Bireuen. Dulu, kata Pak Lek, banyak ikan di sungai yang masih bisa dipancing untuk dikonsum- si. “Sekarang hobi memancing saya pun sudah hilang karena tak ada lagi ikan yang bisa dipancing,” ujarnya.

Secara gamblang Ayu menjelaskan kepada Pak Lek, setelah pohon-pohon pinus ini nantinya tumbuh besar, desa akan disulap menjadi lokasi ekowisa-ta. Dengan begitu warga akan merasakan manfaat langsung dari hutan yang dikelola secara bijak dan arif.

Melakukan pendekatan individu seperti ini diakui Ayu lebih mudah. Karena nantinya mereka sendiri yang akan menularkan ‘virus’ peduli lingkungan ke-pada warga lainnya. “Karena kalau satu orang sudah merasakan manfaatnya, yang lain pasti ngikut.”

Bergerak di isu lingkungan, bagi Ayu, tidaklah mu- dah. Di satu sisi hutan dan lahan harus diselamat- kan. Di sisi lain masyarakat semakin padat yang

Foto: Ayu bersama dengan Pak Lek, salah satu warga Desa Bumi Ayu yang telah mendapatkan pencerahan dari Ayu terkait isu penyelamatan lingkungan.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI KHUSUS 3

Page 4: SRI WAHYUNI, BERGERAK KARENA INSTING IBU Ayu bersama dengan Pak Lek, salah satu warga Desa Bumi Ayu yang telah mendapatkan pencerahan dari Ayu terkait isu penyelamatan lingkungan

membutuhkan lahan pemukiman yang lebih luas. Hanya saja kata dia, persoalannya lebih sering kali akses lahan justru dikuasai segelintir orang. “Rakyat tetap saja tak punya lahan.”

“Penurunan status lahan lindung misalnya ini harus dipantau oleh LSM lingkungan. Sering kali penetapan kawasan menjadi APL tanpa kajian lingkungan hid-up. Sehingga kawasan yang sifatnya esensial akhirnya dijadikan kebun atau penggunaan lain. Ini mengan- cam lingkungan.”

Pemerintah dalam hal ini diminta untuk tidak abai pada berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di depan mata. Masyarakat pun harus diayomi secara bijak. Tantangannya, kata Ayu, bukanlah pada bisa atau tidak. Tapi mau atau tidak. “Karena apa yang kita lakukan ini bukan dibayar dengan uang,” kata Ayu, dalam perjalanan menuju Takengon esoknya. Saat itu saya merasa temperatur udara terasa lebih panas.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN - EDISI KHUSUS4