spinal cord injury

17
Spinal Cord Injury (SCI) August 23, 2013 · by syamdompu · Bookmark the permalink . · BAB II TINJAUAN TEORI 1. A. Pengertian Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas (Sjamsuhidayat, 1997). Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008). Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada medula spinalis (Brunner & Suddart, 2001) 1. B. Klasifikasi Cidera medulla spinalsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera, antara lain: 1. Cidera Servikal 1. Lesi C1 – C4 Pada lesi C1 – C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan involunter (baik secara fisik

Upload: julia-dewi-eka-gunawati

Post on 01-Feb-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nnnn

TRANSCRIPT

Page 1: Spinal Cord Injury

Spinal Cord Injury (SCI)August 23, 2013 · by syamdompu · Bookmark the permalink. ·

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. A.    Pengertian

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas (Sjamsuhidayat, 1997).

Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008).

Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada medula spinalis (Brunner & Suddart, 2001)

 

1. B.     Klasifikasi

Cidera medulla spinalsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera, antara lain:

1. Cidera Servikal 1. Lesi C1 – C4

Pada lesi C1 – C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan involunter (baik secara fisik maupun fungsional). Dibawah transeksi spinal tersebut, kehilangan sensori pada tingkat C1 – C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.

Pasien pada qudriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan  pada/terhadap ventilator mekanis. Pasien ini juga ketergantungan semua kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

1. Lesi C5

Page 2: Spinal Cord Injury

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap pascatrauma akut. Paralisis intertinal dan dilatasi lambungdapat disertai dengan depresi pernafsan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur teapi pasien mempunyai koodinasi tangan dan mulut yang baik.

1. Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanyaakan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.

1. Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatandan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.

1. Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawatrumah, dan perawatan diri.

1. Cidera Thorakal 1. Lesi T1 – T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengandiafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul.Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan ototlumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

1. Lesi T6 – T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik  pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakalharus befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi thorakal adalah:

Page 3: Spinal Cord Injury

1. T2           : Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas.2. T3           : Aksilla.3. T5           : Putting susu.4. T6           : Prosesus xifoid.5. T7, T8    : Margin kostal bawah.6. T10         : Umbilikus.7. T12         : Lipat paha8. Cidera Lumbal

Kehilangan sensori lesi pada lumbal, antara lain:

1. Lesi L1

Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha& bagian belakang dari bokong.

1. Lesi L2

Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

1. Lesi L3

Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

1. Lesi L4

Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

1. Lesi L5

Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel

1. Cidera Sakral

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisisdari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, danglans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

Klasifikasi berdasarkan keparahan:

1. Klasifikasi Frankel:

Grade A        : motoris (-), sensoris (-)

Grade B        : motoris (-), sensoris (+)

Grade C        : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Page 4: Spinal Cord Injury

Grade D        : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E        : motoris (+) normal, sensoris (+)

1. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Grade A        : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

Grade B        : hanya sensoris (+)

Grade C        : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

Grade D        : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

Grade E        : motoris dan sensoris normal

 

1. C.    Etiologi

Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2001) ada beberapa penyebab dari spinal cord injury (SCI), antara lain:

1. Trauma tumpul2. Trauma tusuk3. Spondilitis ankilosa4. Artritis reumatoid5. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel.6. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya.7. Injuri atau jatuh dari ketinggian.

 

1. D.    Tanda dan gejala

Menurut Jones & Fix (2009) ada beberapa tanda nda gejala dari SCI, antara lain:

1. Pada awalnya syok spinal: paralisis flaksid dengan penurunan atau tidak adanya aktivitas refleks.

2. Hilangnya fungsi motorik sebagia/parsial di bawah level SCI (termasuk pergerakan volunter & pergerakan melawan gravitasi atau tahanan).

3. Kehilangan fungsi sensori sebagian atau total di bawah level SCI (termasuk sentuhan, suhu, nyeri, propriosepsi (misalnya; posisi)).

4. Pada awalnya peningkatan HR → bradikardia; pada awalnya peningkatan TD → penurunan TD.

5. Nyeri akut di punggul atau leher, dapat menjalar di sepanjang saraf.

Page 5: Spinal Cord Injury

6. Refleks tendon dalam dan aktivitas refleks perianal abnormal.7. Hilangnya keringat dan vagomotor.8. Hilangnya refleks-refleks sensorik, motorik dan tendon dalam di bawah level cedera.9. Retensi sekresi paru, menurun kapasitas vital, peningkatan PaCO2, penurunan O2 →

gagal nafas dan edema pulmonal.10. Inkontenensia kemih dan usus dengan retensi urin dan distensi kandung kemih.11. Ileus paralitik yang menyebabkan konstipasi dan/atau impaksi usus besar.12. Hilangnya kontrol suhu → hipertermia.13. Berkeringat di atas level lesi.14. Priapismus pada pria.

 

1. E.     Patofisiologi

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008).

 

1. F.     Pathway (Terlampir)2. G.    Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Polos Vertebra

Page 6: Spinal Cord Injury

Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal digunakan foto AP dan lateral.

1. CT-scan Vertebra

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang.

1. MRI Vertebra

MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali pemeriksaan (Dewanto dkk, 2009).

1. H.    Komplikasi

Beberapa komplikasi yang muncul akibat SCI, antara lain:

1. Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia).2. Komplikasi akibat imobilisasi:

1. Deep vein thrombosis2. Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia3. Kerusakan integritas kulit : dekubitus4. Kontraktur5. Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa6. Meningkatkan resiko gagal ginjal7. Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih8. Hilangnya kontrol pada bladder9. Hilangnya kontrol pada bowel10. Kehilangan sensasi11. Disfungsi seksual (impoten pada pria)12. Spasme otot13. Nyeri14. Paralysis otot pernapasan15. Paralysis (paraplegia, quadriplegia) (Fransisca, 2008; Brunner & Suddart, 2001)

 

1. I.       Penatalaksanaan 1. Cidera pada cervikal

1. Immobilisasi sederhana2. Traksi skeletal3. Pembedahan untuk spinal dekompresi4. Cidera pada thoracal dan lumbal

1. Immobilisasi pada lokasi fraktur

Page 7: Spinal Cord Injury

2. Hiperekstensi dan branching3. Bed-rest

5. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edemamedulla spinalis

Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan traumaspinal:

1. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempatkejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialahimmobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; denganmenggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alasyang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” ataumenggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.

1. Stabilisasi Medis

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:

1. Periksa vital signs2. Pasang ’nasogastric tube’3. Pasang kateter urind.4. Segera normalkan ’vital signs’.

Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberianmegadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.

1. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tongatau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadidislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambahsetiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

1. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’openreduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’anterior atau posterior.

1. Rehabilitasi.

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan programkursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

Page 8: Spinal Cord Injury

 

1. J.      Pengkajian Keperawatan 1. Primary Survey

1. Airway

Adanya sumbatan jalan nafas/obstruksi/adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.

1. Breathing

Suara nafas, RR, pernafasan, irama dan jenis pernafsan.

1. Circulation

Tekanan darah normal/meningkat/menurun, akral, sianosis, capillary refil.

1. Disability

Kesadaran, GCS, pupil (diameter dan ukuran — isokor), reflek cahaya, AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsive).

1. Exposure

Suhu dan ada atau tidaknya jejas.

1. Secondary Survey

Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah, sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien, lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat kejadian, lakukan tes  refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien, fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh.

Data fokus, didapatkan dengan melakukan pengkajian 11 pola Gordon:

1. Aktifitas dan istirahat: kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal2. Sirkulasi: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia

ekstremitas dingin atau pucat.3. Eliminasi: inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik

usus hilang.

Page 9: Spinal Cord Injury

4. Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.

5. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang6. Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL7. Neurosensori: kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya

sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.8. Nyeri/kenyamanan: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan

mengalami deformitas pada derah trauma.9. Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis10. Keamanan: suhu yang naik turun11. Seksualitas: priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita) (Doengoes,

1999)12. K.    Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

1. 1.Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakantulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan denganketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsimotorik dan sesorik.

5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.

6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandungkemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandungkemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkusrefleks sakrum yang terlibat (S2-S4).

8. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat traksi

9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistemsaraf simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.

10. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangankemampuan untuk menelan.

11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.

12. Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungandengan paralisis.

13. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan prosedur perawatan

 

1. L.     Rencana Tindakan Keperawatan

Page 10: Spinal Cord Injury

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

Tujuan: Mengoptimalkan pertukaran gas pernafasan

Kriteria hasil:

ü  BGA dalam batas normal :

pH                           : 7,35-7,45; CO2                        : 20-26 mEq (bayi), 26-28 mEq (dewasa); PO2 (PaO2)            : 80-110 mmHg PCO2 (PaCO2)       : 35-45 mmHg SaO2                       : 95-99 %

ü  Cyanosis (-)

ü  CRT < 2 detik

ü  RR = 12-20x/menit

ü  Suhu = 36,5 – 37,50C

Intervensi

1. Istirahatkan klien dalam posisi semifowler.2. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10 L/menit.3. Observasi TTV tiap jam atau sesuai respon klien.4. Kolaborasi pemeriksaan BGA5. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan denganketidakmampuan untuk membersihkan

sekret yang menumpuk.

Tujuan: jalan napas bersih

Kriteria hasil: Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyinapas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan.

Intervensi:

1. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret

Rasional: Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk.

1. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihkan sekret)

Page 11: Spinal Cord Injury

Rasional: Menutup jalan nafas.

1. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur

Rasional: Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.

1. Lakukan suction bila perlu

Rasional: Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.

1. Auskultasi bunyi napas

Rasional: Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.

1. Lakukan latihan nafas

Rasional: mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.

1. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi

Rasional: Mengencerkan sekreth.

1. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah

Rasional: Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalamdarah.

1. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi

Rasional: Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.

1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakanfungsi motorik dan sesorik.

Tujuan: Memperbaiki mobilitas

Kriteria Hasil: Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yangsakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yangmemungkinkan melakukan kembali aktifitas.

Intervensi:

1. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.

Rasional: Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.

Page 12: Spinal Cord Injury

1. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilantubuh dan kenyamanan pasien.

Rasional: Mencegah terjadinya dekubitus.

1. Beri papan penahan pada kaki

Rasional: Mencegah terjadinya foodrop

1. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits

Rasional: Mencegah terjadinya kontraktur.

1. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali/hari

Rasional: Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.

1. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.

Rasional: Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.

1. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandungkemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandungkemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.

Tujuan: Peningkatan eliminasi urine

Kriteria Hasil: Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanparesidu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake danoutput cairan seimbang.

Intervensi:

1. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih

Rasional: Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih.

1. b. Kaji intake dan output cairan

Rasional: Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.

1. Lakukan pemasangan kateter sesuai program

Rasional: Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemihsehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine

1. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari

Page 13: Spinal Cord Injury

Rasional: Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya

1. Cek bladder pasien setiap 2 jam

Rasional: Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksiaf.

1. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas

Rasional: Mengetahui adanya infeksig.

1. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam

Rasional: Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi