sorghum vulgare - universitas...

17
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu jenis serealia. Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987) dalam Sukarminah (2014), tanaman sorgum memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Poales, Famili: Poaceae (Gramineae), Genus: Andropogon, Species: Sorghum bicolor L. Moench. Negara yang banyak menghasilkan sorgum adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat (Sirappa, 2003). Keuntungan dari budidaya sorgum adalah mudah, murah, daya adaptasi yang luas, dan juga dapat dimanfaatkan di lahan marginal (Suarni dan Firmansyah, 2007). Sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan, pangan, dan bahan industri (contoh: gula, MSG, asam amino) (Sirappa, 2003). Jenis tanaman sorgum sangat beragam, beberapa diantaranya adalah sorgum berumur pendek atau semusim (Sorghum vulgare), sorgum makanan ternak, sorgum penghasil biji non saccharing, sorgum sapu, sorgum rumput dan sorgum tahunan. Jenis sorgum tahunan tidak memiliki biji sehingga biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jenis sorgum penghasil biji non saccharing menghasilkan biji yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak (Suprijadi, 2012).

Upload: others

Post on 03-Feb-2020

17 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu jenis serealia.

Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987) dalam Sukarminah (2014), tanaman

sorgum memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Kingdom: Plantae,

Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo:

Poales, Famili: Poaceae (Gramineae), Genus: Andropogon, Species: Sorghum

bicolor L. Moench.

Negara yang banyak menghasilkan sorgum adalah India, Cina, Nigeria,

dan Amerika Serikat (Sirappa, 2003). Keuntungan dari budidaya sorgum adalah

mudah, murah, daya adaptasi yang luas, dan juga dapat dimanfaatkan di lahan

marginal (Suarni dan Firmansyah, 2007). Sorgum juga dapat dimanfaatkan

sebagai pakan, pangan, dan bahan industri (contoh: gula, MSG, asam amino)

(Sirappa, 2003).

Jenis tanaman sorgum sangat beragam, beberapa diantaranya adalah

sorgum berumur pendek atau semusim (Sorghum vulgare), sorgum makanan

ternak, sorgum penghasil biji non saccharing, sorgum sapu, sorgum rumput dan

sorgum tahunan. Jenis sorgum tahunan tidak memiliki biji sehingga biasa

dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jenis sorgum penghasil biji non saccharing

menghasilkan biji yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak (Suprijadi,

2012).

8

Biji sorgum memiliki beberapa bagian, diantaranya pada bagian paling

luar terdapat lapisan perikarp, endosperma, dan lembaga. Lapisan perikarp terdiri

dari tiga bagian, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Endosperma terdiri dari

jaringan aleuron, jaringan periferal, endosperma corneous, dan endosperma

floury. Lembaga terdiri dari bakal embrio dan skutelum (Sukarminah, 2014).

Morfologi biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi Irisan Melintang Biji Sorgum.

(Sumber: Rooney dan Miller, 1982 dalam Sukarminah, 2014)

Biji sorgum berbentuk bulat dan memiliki beberapa variasi warna,

diantaranya warna putih, putih kecoklatan, merah dan coklat (Suarni dan

Firmansyah, 2007). Warna biji sorgum dipengaruhi oleh warna dan ketebalan

perikarp, ketersediaan pigmen testa, dan juga pigmen pada endosperma (Rooney

& Murty, 1982 dalam Sukarminah, 2014). Warna sorgum yang berbeda-beda ini

memiliki kandungan tanin yang berbeda, yaitu berdasarkan warna perikarp

dikenal 4 jenis sorgum dengan kandungan tanin yang berbeda yaitu sorgum putih

(tanin 0,25-0,46%), sorgum kuning (tanin 0,25-0,3%), sorgum berwarna krem

9

(tanin 0,26-0,67%) dan sorgum merah (tanin 0,45-2,92%) (Osuntogun, 1989

dalam Suprijadi, 2012).

Sorgum putih varietas lokal Bandung memiliki ciri-ciri fisik berbentuk

bulat dengan ukuran 4,54 x 4,32 x 2,64 mm. Sperisitas biji sorgum rata-ratanya

adalah 0,82. Warna dari biji sorgum putih ini abu-abu kuning kecoklatan, tidak

cerah, dan hilum agak besar berwarna hitam kecoklatan. Perikarp dari biji sorgum

yaitu 0,18 mm. Persentase endorsperma corneus biji sorgum adalah 57,03%. Berat

dari 1000 butir biji adalah 36,08 gram (Sukarminah, 2014).

Kandungan gizi biji sorgum bergantung pada varietas dan lokasi

penanaman. Contohnya kandungan nutrisi varietas numbu berbeda dengan

varietas lokal wajo dan lokal bandung. Varietas numbu memiliki komposisi

nutrisi air 12,10%; abu 2,42; protein 8,07%; serat kasar 2,59%; lemak 1,45%; dan

karbohidrat 75,66%. Varietas lokal wajo I memiliki komposisi nutrisi air 11,45%;

abu 2,18%; protein 8,97%; serat kasar 3,01%; lemak 2,96%; dan karbohidrat

74,44% (Suarni, 2016). Varietas lokal bandung memiliki komponen nutrisi air

10,6%; abu 2,80%; protein 10,38%; serat kasar 5,18%; lemak 2,80%; dan

karbohidrat 73,39% (Sukarminah, 2014).

Secara umum, biji sorgum mengandung abu 1,6 gram /100 gram, lemak

3,1 gram /100 gram, protein 10,4 gram /100 gram, karbohidrat 70,7 gram /100

gram, serat kasar 2,0 gram /100 gram, dan energi 329 kcal /100 gram (Direktorat

Gizi, 1992 dalam Suarni, 2012). Komponen nutrisi yang terdapat dalam

komponen biji sorgum dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan pati terbesar

10

terletak pada bagian endosperma sorgum, yaitu 82,5% sehingga biasa

dimanfaatkan sebagai tepung.

Tabel 1. Nutrisi Biji Sorgum.

Bagian Biji Komposisi Nutrisi (%)

Pati Protein Lemak Abu Serat Kasar

Biji utuh 73,8 12,3 3,60 1,65 2,2

Endosperma 82,5 12,3 0,63 0,37 1,3

Kulit biji 34,6 6,7 4,90 2,02 8,6

Lembaga 9,8 13,4 18,90 10,36 2,6

(Sumber: Hubbard dkk, 1968 dalam Suarni dan Firmansyah, 2007)

Menurut Beti dkk (1990) dalam Sirappa (2003), sorgum mengandung

karbohidrat sebanyak 73 gram/100 gram sorgum. Kandungan karbohidrat dalam

sorgum adalah pati, pati resisten, dan polisakarida. Kandungan pati dalam sorgum

cukup tinggi, yaitu sekitar 50-75% (Suarni dan Firmansyah, 2013).

Kandungan serat pangan pada sorgum adalah 2-9% (Suarni, 2016). Serat

pangan dalam sorgum yang umum adalah selulosa dan hemiselulosa. Serat pangan

pada sorgum mengandung serat larut dan tidak larut. Serat tidak larut berfungsi

untuk mempertebal kekambaan campuran makanan dalam saluran pencernaan dan

juga mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama penyakit saluran

pencernaan (Astawan dan Wresdiyati, 2004).

Pati resistan adalah salah satu bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam

usus halus, namun dapat difermentasi dalam usus besar (Suprijadi, 2012).

Kandungan serat pangan dan pati resisten pada sorgum ini dapat bermanfaat

sebagai prebiotik pada pangan fungsional.

Kandungan mineral yang terkandung dalam sorgum diantaranya Fe, Ca, P,

dan Mg. Mineral Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah, Ca untuk

11

membentuk tulang, P untuk pemeliharaan kesehatan tulang, dan Mg untuk

mempertahankan kerja jantung (Suarni dan Firmansyah, 2007).

Sorgum memiliki kelemahan, yaitu kandungan taninnya yang cukup

tinggi. Menurut Suarni dan Firmansyah (2007) kandungan tanin dalam biji

sorgum mencapai 0,30-10,60%. Tanin yang terkandung dalam sorgum merupakan

senyawa antinutrisi yang dapat merugikan sistem pencernaan manusia. Tanin pada

sorgum ini dapat menurunkan daya cerna karbohidrat dan protein, sehingga

penyerapan karbohidrat dan protein menjadi tidak sebanding dengan jumlahnya

yang tersedia dalam biji sorgum (Suarni dan Subagio, 2013).

Kandungan tanin pada sorgum ini memengaruhi cita rasa karena akan

menimbulkan rasa sepat. Rasa sepat ini muncul karena reaksi antara tanin dan

protein yang terdapat pada air liur manusia. Namun, kandungan tanin dalam

sorgum tersebut dapat dikurangi melalui penyosohan.

Penyosohan adalah pemisahan kulit biji dan testa dari endosperma biji

sorgum (Rooney dan Miller, 1982 dalam Sukarminah, 2014). Bagian sorgum yang

mengandung banyak tanin adalah perikarp dan testa yang merupakan lapisan kulit

biji, sehingga penyosohan dapat mengurangi kadar tanin pada biji sorgum.

Menurut Suprijadi (2012), penyosohan dan perendaman pada larutan Na2CO3

0,3% menurunkan kadar tanin sebesar 95%.

2.1.1 Tepung Sorgum

Salah satu pengolahan sorgum adalah menjadikannya tepung sorgum.

Tepung sorgum dapat dibuat dengan cara penepungan basah dan penepungan

12

kering, tetapi penepungan basah menghasilkan rendemen yang lebih banyak

dibandingkan penepungan kering karena komponen-komponen dalam sorgum

mengembang (seperti protein, lemak, dan pati) (Suarni, 2016).

Pembuatan tepung sorgum terdiri 7 tahap, yaitu pembersihan biji,

penyosohan biji menjadi beras, pembasahan beras (conditioning), penggilingan,

pengayakan, pengeringan, dan pengemasan (Mardawati dkk., 2010). Biji

dibersihkan untuk menghilangkan kontaminan (fisik) seperti daun kering, debu,

benda asing, dan sebagainya. Penyosohan biji sorgum bertujuan untuk

menghilangkan kulit biji yang sebaiknya dilakukan dengan lama penyosohan

antara 6-8 menit (Sukarminah, 2014). Conditioning adalah pengondisian biji

sorgum, salah satunya dengan cara pembasahan yang bertujuan untuk

memudahkan penggilingan. Penggilingan dilakukan dengan mesin penepung yaitu

hammer mill atau disc mill. Pengayakan dilakukan di atas 80 mesh. Pengeringan

dilakukan agar kadar air tepung di bawah 12% sehingga memiliki umur simpan

yang lama (Mardawati dkk., 2010).

Tepung sorgum whole meal dengan lama penyosohan 10 menit

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aghnia (2015) merupakan tepung

sorgum dengan nilai gizi terbaik. Tepung sorgum tersebut mengandung 1,91%

(b.b) serat kasar, 11,46% (b.k) kadar air, 1,32% (b.b) kadar abu, dan 55,83% (b.b)

kadar pati. Menurut Suarni (2004), secara umum tepung sorgum memiliki nilai

gizi 3,65% lemak dan 10,11% protein.

Tepung sorgum pemanfaatannya dalam industri pangan dapat digunakan

sebagai bahan substitusi terigu, seperti pada pembuatan kue kering dapat

13

dilakukan substitusi tepung sorgum hingga 50-80%, kue basah 40-50%, roti 20-

25% dan mi 15-20%. (Suarni, 2004 dalam Suprijadi, 2012). Tepung sorgum di

Indonesia juga digunakan dalam pembuatan kue kering (cookies), kue basah

(cake), roti tawar, nagasari, apem, lemper, wajik, dodol, klepon, dan sebagainya

(Suarni, 2004).

2.2 Minuman Sinbiotik

Minuman sinbiotik merupakan salah satu pangan fungsional. Minuman

sinbiotik dapat dikatakan pangan fungsional karena dapat memberikan fungsi

kesehatan bagi tubuh, yaitu salah satunya fungsi gastro intestinal, seperti

seimbangnya mikroflora dalam kolon (Roberfroid, 2000). Menurut Muchtadi

(2012), fungsi dasar pangan fungsional adalah sensory (penampilan dan citarasa

yang enak), nutritional (bergizi tinggi), dan physiological (memberikan pengaruh

fisiologis bagi tubuh).

Minuman sinbiotik adalah minuman yang mengandung prebiotik dan

probiotik. Mekanisme minuman sinbiotik dapat dijadikan pangan fungsional yaitu

kandungan prebiotik akan difermentasi oleh bakteri probiotik di dalam usus besar

sehingga probiotik dapat tumbuh di dalam usus besar. Dengan bertumbuhnya

probiotik dalam usus, pertumbuhan bakteri jahat dapat dicegah karena bersaing

dengan bakteri probiotik (Cho dan Finocchiaro, 2010).

Kualitas minuman sinbiotik tepung sorgum yang baik memiliki pH netral

(6—7), berwarna putih keruh kecoklatan, aroma gurih, rasa manis, tidak kental,

dan jumlah bakteri probiotiknya tidak kurang dari 107 CFU/mL (Sukarminah dkk.,

14

2017). Kualitas dari minuman sinbiotik ini tentunya dapat menurun seiring

dengan lamanya penyimpanan. Lama produk dapat disimpan ini disebut dengan

umur simpan.

Umur simpan produk minuman sinbiotik ditentukan oleh lama keamanan

produk untuk dikonsumsi, lama fungsi fungsional produk tetap sesuai aturan, dan

waktu penerimaan sifat sensorinya oleh konsumen (Robertson, 2013). Faktor-

faktor yang perlu diperhatikan dalam minuman sinbiotik adalah jumlah bakteri

probiotik, jumlah bakteri asam laktat, pH, dan viskositas.

2.2.1 Prebiotik

Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dicerna oleh tubuh namun

bermanfaat bagi inang yang secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau

aktivitas satu atau sejumlah bakteri (probiotik) dalam usus besar (Roberfroid,

2000). Kualifikasi prebiotik menurut Hill dkk. (2017) yaitu prebiotik bukanlah

organisme atau obat dan memberikan efek pada mikroorganisme sehingga

memberikan manfaat saat mengonsumsinya.

Syarat prebiotik menurut De Vrese dan Scherezenmeir (2008) dalam

Anadón dkk. (2016) adalah nondigestibility atau tidak dapat dicerna karena tahan

terhadap pH asam lambung yang rendah, dapat difermentasi oleh mikroorganisme

dalam usus, dan menstimulasi pertumbuhan juga aktivitas bakteri usus. Prebiotik

harus memiliki efek selektif pada mikroorganisme. Efek prebiotik pada tubuh

tergandung pada jenis dan konsentrasi prebiotik, serta ketersediaan bakteri

probiotik dalam usus.

15

Tidak semua karbohidrat termasuk dalam prebiotik, hanya karbohidrat

seperti inulin dan oligofruktos, (trans-) galakto-oligosakarida (TOS atau GOS),

atau laktulosa, gula tak tercerna atau semuanya yang tidak dapat dicerna tetapi

dapat difermentasi oleh flora usus (De Vrese dan Scherezenmeir, 2008 dalam

Anadón dkk., 2016). Contohnya biji sorgum mengandung oligosakarida yang

dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik.

Menurut Anadón dkk. (2016), mekanisme prebiotik dalam tubuh

diantaranya adalah meningkatkan asam lemak rantai pendek; meningkatnya berat

feses; penurunan konsentrasi racun, mutagenik, atau genotoksik dan metabolit

bakteri, serta enzim pemacu kanker; menurunkan pH usus; produksi asam butirat

yang dapat memperkuat regeneratif epitel usus; dan peningkatan kekebalan dan

modulasi produksi musin.

2.2.2 Probiotik

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi inangnya

melalui dampaknya terhadap saluran pencernaan (usus) atau bermanfaat bagi

kesehatan inangnya (Roberfroid, 2000). Manfaat probiotik bagi tubuh adalah

meningkatkan pencernaan laktosa sehingga mengurangi gejala laktose intolerant,

meningkatkan kekebalan tubuh, menurunkan risiko mutagen, dan menurunkan

kolesterol (Roberfroid, 2000). Probiotik dalam usus bekerja menfermentasi

prebiotik sehingga dapat meningkatkan pencernaan yang baik, mempertahankan

pH usus yang tepat, dan dapat bersaing dengan bakteri patogen (Anandón dkk.,

2016).

16

Probiotik ini termasuk juga dalam kategori bakteri asam laktat (BAL),

tetapi tidak semua BAL merupakan probiotik. Bakteri asam laktat adalah bakteri

yang mengurai senyawa karbohidrat (glukosa) menjadi senyawa asam yang dapat

menurunkan pH dan menimbulkan rasa asam pada produk. Ciri-ciri BAL ini

diantaranya merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang atau kokus tunggal,

tidak berspora, toleran terhadap asam, dan anaerob fakultatif (Mozzi dkk., 2010

dalam Aisyah dkk., 2014). Beberapa jenis BAL diantaranya Bifidobacterium,

Propionibacterium, Bacillus, dan Lactobacillus yang juga merupakan probiotik.

Probiotik yang sering digunakan adalah Lactobacillus dan

Bifidobacterium. Mikroorganisme lain yang digunakan sebagai probiotik terutama

bakteri asam laktat heterogen, yaitu Lactobacilli (Lactobacillus acidophilus, L.

casei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus, L. salivarius); bifidobacteria

(Bifidobacterium breve, B. longum, B. lactis), Bacillus (Bacillus subtilis, B. cereus

var. toyoi), dan Enterococcus (E. faecium) (Anandón dkk., 2016).

Kelangsungan hidup probiotik perlu dijaga selama penyimpanan, proses

pengolahan, dan juga saat melalui lambung dan usus halus. Sehubungan dengan

hal tersebut, pemilihan bakteri probiotik ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu

ketahanan terhadap enzim pankreas, efek pada kesehatan, keamanannya terjamin,

dan potensinya sebagai probiotik (Ouwehand dkk., 2002).

Bifidobacterium bifidum merupakan salah satu contoh bakteri probiotik

yang biasa digunakan dalam minuman sinbiotik. Bifidobacterium termasuk salah

satu bakteri asam laktat yang bersifat anaerobik dan gram positif. Bakteri ini

17

menghasilkan asam laktat dan asam asetat sebagai hasil fermentasinya. pH

optimal pertumbuhan Bifidobacterium adalah 6-7 (Utami, 2013).

B. bifidum memiliki aktivitas hidrolisis yang tinggi terhadap pati tidak

larut, hal tersebut berkaitan dengan sifat prebiotik yang merupakan senyawa

kompleks sehingga prebiotik dapat dihidrolisis dengan baik. Terhidrolisisnya

prebiotik ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas probiotik di dalam

usus besar (Cho & Finocchiaro, 2010).

Gambar 2. Bifidobacterium bifidum.

(Sumber: Scimat, 2016)

Viabilitas (kelangsungan hidup) bakteri probiotik ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor, diantaranya pH, asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, dan

kandungan oksigen terlarut dalam produk (Picot & Lacroix, 2004). Untuk

mempertahankan viabilitas bakteri probiotik dapat dilakukan mikroenkapsulasi.

Mikroenkapsulasi bakteri probiotik ini bertujuan untuk melindungi sel-sel bakteri

dari kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan eksternal, untuk meningkatkan

kelangsungan hidup selama transit gastroduodenal, dan untuk meningkatkan

stabilitas (Cho & Finocchiaro, 2010).

Hal yang harus diperhatikan dari mikroenkapsulasi probiotik adalah bahan

penyalut yang digunakan. Syarat bahan penyalut adalah dapat bercampur dan inert

18

(tidak mudah bereaksi) dengan bahan inti, memiliki kemampuan membentuk

lapisan fleksibel, kuat selama proses penyalutan dan lapisan salut yang dihasilkan

relatif tipis. Bahan penyalut yang biasa digunakan untuk menyalut bakteri berasal

dari golongan polisakarida seperti maltodekstrin dan susu skim. Kandungan

laktosa dalam susu akan melindungi kerusakan membran sel bakteri karena

laktosa akan berikatan dengan protein membran sel bakteri dan juga fosfolipid

(Buckle, 2009)

Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang memiliki solubilitas

yang baik sehingga cocok digunakan sebagai penyalut. Maltodekstrin yang

digunakan agar bersifat higroskopis maka nilai DE harus tinggi. Jika nilai DE

rendah maka akan bersifat non-higroskopis. Nilai DE maltodekstrin adalah 3-20.

Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi

pati dalam satuan persen (Ningsih, 2017).

Teknik mikroenkapsulasi bakteri probiotik dapat dilakukan dengan freeze

drying. Freeze-drying adalah penghilangan air dengan sublimasi dari keadaan

beku (es) (Berk, 2018). Freeze-drying adalah teknik yang paling luas dalam

pelestarian mikroorganisme dalam bentuk kering. Teknik ini cocok untuk bahan

biologis yang sensitive (contoh: probiotik) karena dapat tekanan thermal yang

diberikan lebih sedikit pada material (Librán dkk., 2017).

Mekanisme freeze-drying adalah produk pertama dibekukan dan kemudian

mengalami tekanan vakum, sehingga es air menguap tanpa meleleh. Uap air yang

dilepaskan terkondensasi di permukaan kondensor pada suhu yang sangat rendah.

Panas yang dibutuhkan untuk sublimasi dipasok oleh radiasi atau konduksi. Jadi,

19

freeze-drying terjadi dalam dua tahap, yaitu sublimasi dan desorpsi uap air yang

diadsorpsi dalam matriks kering (Berk, 2018).

2.3 Pendugaan Umur Simpan

Produk pangan secara alamiah memiliki sifat perisable atau mudah rusak.

Sifat mudah rusak ini perlu diperlambat untuk memperpanjang umur simpannya

dengan pengolahan, melalui proses formulasi, pemrosesan, pengemasan,

penyimpanan, dan penanganan. Kerusakan yang dapat terjadi adalah perubahan

warna, rasa, tekstur, aroma, nutrisi (Singh & Anderson, 2004). Untuk itu, umur

simpan produk pangan perlu diketahui untuk memaksimalkan pemanfaatannya.

Umur simpan suatu produk sangat penting karena berkaitan dengan

keamanan pangan dan jaminan mutu kepada konsumen. Taoukis dan

Giannakourou (2004) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang

diperlukan oleh produk pangan setelah proses produksi (kondisi penyimpanan

yang ditetapkan) untuk mempertahankan kualitas mutu (organoleptik dan

kesehatan). Umur simpan suatu produk pangan wajib dicantumkan pada kemasan

dan diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan.

Menururt Hariyadi (2004), faktor yang berpengaruh pada umur simpan

suatu produk adalah bahan baku, sanitasi kondisi pengolahan, kondisi pengemas,

kondisi penyimpanan, distribusi, dan penjajahan. Mutu dan kondisi penanganan

bahan baku perlu diperhatikan karena turut memengaruhi umur simpan produk.

Pemilihan bahan pengemas juga termasuk faktor yang harus diperhatikan. Kondisi

20

penyimpanan juga terutama hal-hal seperti suhu, kelembaban, dan cahaya perlu

diperhatikan karena dapat menyebabkan penurunan umur simpan produk.

Umur simpan produk pangan dapat diketahui melalui penelitian secara

Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT).

Metode ESS adalah penentuan umur simpan dengan menyimpan produk pada

kondisi penyimpanan sebenarnya. Metode ESS ini memiliki keuntungan, yaitu

hasil yang didapatkan tepat, namun kekurangannya adalah membutuhkan biaya

yang cukup besar dan juga membutuhkan waktu lama. Metode ASLT adalah

pendugaan umur simpan dengan memodifikasi lingkungan penyimpanan sehingga

produk cepat mengalami kerusakan (Arpah dan Syarief, 2000 dalam Arif, 2016).

Metode ASLT ini merupakan metode untuk memprediksi umur simpan

dalam kondisi normal berdasarkan data yang dikumpulkan pada suhu tinggi atau

dalam kondisi kelembaban tinggi (Mizrahi dkk., 1970 dikutip dalam Singh dkk.,

2000). Kondisi suhu yang dimodifikasi ini (tinggi) merupakan pendugaan umur

simpan ASLT yang kemudian dilakukan ekstrapolasi hasil ke kondisi

penyimpanan reguler melalui penggunaan persamaan Arrhenius, yang mengurangi

waktu pengujian (Singh dkk., 2000).

Variabel yang menyebabkan kerusakan pada produk yang berbasis susu

adalah suhu. Oleh karena itu, dalam pendugaan umur simpan produk berbasis

susu cocok digunakan metode ASLT dengan model Arrhenius, yaitu

meningkatkan suhu penyimpanan sehinga dapat mempercepat kerusakan. Model

Arrhenius telah banyak digunakan untuk menggambarkan pengaruh suhu pada

penurunan mutu produk.

21

Penentuan umur simpan dengan persamaan Arrhenius ini dilakukan

dengan beberapa tahap, yaitu penentuan parameter penilaian, penentuan suhu

pengujian, prakiraan waktu, frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai

ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendungaan umur

simpan sesuai batas akhir penurunan mutu (Kusnandar, 2004 dikutip dalam

Herawati, 2008). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan 1 (Taoukis

dkk., 2004).

𝑘𝑇 = 𝑘0e(−Ea

RT)........................................ (1)

dimana:

kT= laju reaksi pada suhu T

k0= konstanta Arrhenius atau konstanta laju kinetik pre-eksponensial

Ea= energi aktivasi (Joule/g mol atau kalori/mol)

R= konstanta gas universal (1,9872 cal/mol K)

T= suhu penyimpanan (K)

Untuk memperkirakan pengaruh suhu pada laju reaksi penurunan mutu,

nilai k didapatkan dari temperatur yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan Ea,

maka harus memetakan hubungan antara (1/T) terhadap ln k dan nilai slope dari

persamaan regresinya adalah nilai energi aktivasi per satuan gas ideal. Nilai energi

aktivasi yang didapat menyatakan pengaruh temperatur terhadap reaksi.

Persamaan dari hubungan tersebut dapat dilihat pada persamaan 2.

ln kt= ln k0− (𝐸𝑎

𝑅) (

1

𝑇)................................................ (2)

dimana:

kt= konstanta laju reaksi penurunan mutu

22

Nilai energi aktivasi (Ea) ini dapat menunjukkan besarnya pengaruh

temperatur terhadap reaksi yang terjadi. Energi aktivasi ini sering diartikan

sebagai suatu tingkat energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu

reaksi tertentu (Hariyadi, 2004). Besarnya energi aktivasi ini dapat digolongkan

menjadi tiga, yaitu (1) kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk karena

kerusakan karotenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak; (2) sedang (Ea 15-30

kkal/mol), kerusakan produk karena kerusakan vitamin, pigmen larut air, dan

reaksi Mailard; (3) Besar (Ea 30-100 kkal/mol), kerusakan produk karena

denaturasi enzim, inaktivasi mikroba, dan sporanya.

Nilai konstanta laju reaksi kimia (k) dipengaruhi oleh suhu baik ordo 0

maupun ordo 1. Secara umum, reaksi kimia akan berlangsung lebih cepat pada

suhu tinggi. Sehingga nilai konstanta laju reaksi kimia akan semakin besar jika

suhunya juga ditingkatkan.

Ordo yang biasa digunakan pada laju reaksi kimia yang dapat memicu

kerusakan pada produk pangan adalah ordo 0 dan ordo 1. Menurut Salim (2014),

kerusakan yang biasa terjadi pada ordo 0 adalah kerusakan enzimatis dan oksidasi

yang terjadi secara konstan. Kerusakan yang terjadi pada ordo 1 biasanya adalah

ketengikan, pertumbuhan mikroorganisme, produksi off-flavour oleh mikroba

(pada daging, ikan dan unggas), kerusakan vitamin, penurunan mutu protein,

karbohidrat dan perubahan kadar air. Ordo nol didapatkan dengan memetakan

hubungan antara nilai k dengan lama penyimpanan, sedangkan ordo satu

didapatkan dengan memetakan hubungan antara ln k dengan lama penyimpanan

(Arif, 2016). Pemilihan ordo reaksi yang digunakan pada suatu parameter

23

tergantung pada jumlah R2 yang dominan pada suatu ordo pada temperatur yang

sama (Haryati dkk., 2015).

Kecepatan penurunan mutu yang terjadi pada reaksi ordo 0 dapat

dikatakan dalam persamaan 3.

𝑑𝐶

𝑑𝑡=k .......................................... (3)

Persamaan 3 kemudian diintegralkan menjadi persamaan 4.

𝐶𝑡 = 𝐶0 + kt ............................... (4)

dimana:

Ct= nilai mutu pada masa akhir umur simpan

C0= nilai mutu awal

k= konstanta laju reaksi

t= umur simpan

Kecepatan penurunan mutu yang terjadi pada reaksi ordo 1 dapat

dikatakan dalam persamaan 5.

𝑑𝐶

𝑑𝑡= 𝑘[𝐶]1 .................................. (5)

Persamaan 5 kemudian diintegralkan menjadi persamaan 6.

ln Ct = 𝐶0 +kt ............................. (6)