skripsi - repository.uinjkt.ac.id · perbedaan khutbah dengan metode dakwah lainnya, seperti yang...
TRANSCRIPT
INSHAT DAN INTERUPSI DALAM KHUTBAH JUM’AT
(Studi Perbandingan Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna
Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
Muhamad U Zainullah
NIM: 1111043100023
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITASI ISLAM NEGERRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2017 M
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Muhamad U Zainullah
NIM : 1111043100023
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 21 September 1993
Program Studi : Perbandingan Mazhab dan Hukum
Fakultas : Syariah dan Hukum
Alamat : Jalan Kayu Besar Ring Road RT. 0012 Rw. 012, Kalideres,
Jakarta Barat.
No. Hp : 088214273390
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulis ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta , 5 Januari 2017
Yang menyatakan;
Muhamad U Zainullah
v
ABSTRAK
Muhamad U Zainullah. 1111043100023. Inshat dan Interupsi Dalam Khutbah
Jum’at (Studi Perbandingan Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama). Perbandingan Madzhab Fiqih. Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2017.
Dalam pelaksanaan khutbah jum’at, ada syarat dan rukun yang harus
dipenuhi, karena hal tersebut mempengaruhi sah atau tidaknya khutbah. Timbul
sebuah pertanyaan, apabila khatib lupa melengkapi rukun khutbah, bolehkah jama’ah
menginterupsi untuk mengingatkan rukun yang terlupakan itu? Selain rukun, materi
khutbah juga merupakan hal yang penting dalam khutbah jum’at, karena materi
khutbah mempengaruhi hasil dari ibadah salat jum’at. Materi yang disampaikan
dalam khutbah harus memberi pengaruh yang baik. Namun bagaimana bila
ditemukan khatib yang menyampaikan materi khutbah yang bersifat provokatif,
bolehkah jama’ah menginterupsi khutbah tersebut? Kedua permasalahan tersebut
mengarahkan kepada hukum interupsi ketika khutbah sedang berlangsung. Sedangkan
dalam shalat jum’at ada perintah inshat, yaitu perintah diam dan mendengarkan
khutbah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan membandingkan
perbedaan pendapat tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tentang perintah
inshat dan hukum interupsi khutbah yang rukunnya kurang dan materinya bersifat
provokatif.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian dilengkapi dengan metode
perbandingan hukum yang membandingkan pendapat para tokoh.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa terkait
masalah perintah inshat dan interupsi khutbah yang rukunnya kurang, mayoritas
tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama sepakat bahwa inshat wajib bagi para
jama’ah dan interupsi tersebut boleh dilakukan. Sedangkan masalah interupsi khutbah
yang materinya bersifat provokatif, mayoritas tokoh sepakat lebih baik tidak
diinterupsi.
Kata kunci: inshat, interupsi, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama.
Pembimbing: 1. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.
2. Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag.
Daftar Pustaka: Tahun 1965 s.d Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
حمن الرحيمبسم هللا الر
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa memberikan hidayah-Nya
sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul “Inshat dan Interupsi dalam
Khutbah Jum’at (Studi Perbandingan Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama” dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi’in, tabi’it
tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa’at-Nya kelak.
Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi
penulis, terutama kepada:
1. Bapak. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA,
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.
3. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing
Akademik dan guru mengaji yang selama ini telah memberikan nasehat serta
bimbingannya kepada penulis selama masih dalam masa kuliah.
4. Bapak. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag dan Ibu Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag.
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan,
pengarahan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
vii
5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali dengan ilmu
yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang memberikan motivasi, serta
kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.
6. Bagian administrasi dan Tata Usaha Fakultas Syari’ah dan Hukum serta
pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang dengan
segala bantuan dan layanannya telah mempermudah penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Moch. Tadjuddin dan Ibunda Aisyah yang tiada
henti mendoakan dan mendukung baik secara moril maupun materil. serta kakak
dan adik-adikku tercinta; Muhammad Aidz Billah, Wudy Farah Ardiyah dan si
kembar Nur Ihda Adeliya dan Nur Ihda Qistiya, yang senantiasa menghibur dan
memberikan semangat selama proses penulisan skripsi ini.
8. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung dan
menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Rusydi, Bedul, Iqbal,
Gagap, Qohar, Aziz, Ilham, Resti, Billy, Eko dan yang lainnya, semoga Allah
memberikan kemudahan dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.
9. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka yang telah membantu diberikan
ganjaran yang setimpal. Amin.
Jakarta: 5 Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
viii
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5
D. Review Studi Terdahulu ............................................................. 7
E. Metode Penelitian ....................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II : LANDASAN TEORI TENTANG KHUTBAH JUM’AT
A. Pengertian .................................................................................. 13
B. Dalil-Dalil dan Hukumnya ......................................................... 17
C. Syarat dan Rukunnya .................................................................. 22
D. Sunah-Sunahnya ......................................................................... 26
ix
BAB III : INSHAT DAN INTERUPSI DALAM KHUTBAH JUM’AT
A. Pengetian Inshat ......................................................................... 28
B. Dalil dan Hukum Inshat ............................................................. 30
C. Pengertian dan Jenis-Jenis Interupsi ........................................... 36
D. Hukum Interupsi Dalam Khutbah Jum’at .................................. 39
BAB IV : DESKRIPSI DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Pendapat Tokoh Muhammadiyah ............................................... 48
B. Pendapat Tokoh Nahdhatul Ulama ............................................. 56
C. Analisis Perbandingan Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama ........................................................................ 64
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 72
B. Saran ........................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................... 79
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ....................... 79
2. Surat Permohonan Wawancara Muhammadiyah .......................................... 80
3. Surat Permohonan Wawancara Nahdhatul Ulama ........................................ 81
4. Surat Pernyataan Wawancara ........................................................................ 82
5. Ringkasan Hasil Wawancara......................................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Shalat jumat adalah shalat fardhu yang dilakukan pada waktu zhuhur hari
jum‟at secara berjamaah. Shalat jum‟at terdiri dari dua rakaat dan didahului oleh dua
khutbah.1 Walaupun hukumnya sama, namun bukan berarti pelaksanaannya juga
sama. Ada beberapa perbedaan shalat jum‟at dengan shalat lima waktu, antara lain:2
1. Shalat jumat diwajibkan bukan untuk semua orang muslim, sebagaimana
shalat lima waktu. Tetapi hanya diwajibkan bagi setiap laki-laki dewasa,
yang sehat dan bukan dalam perjalanan. Dengan kata lain, tidak
diwajibkan bagi wanita, anak kecil, orang sakit, dan musafir untuk
melaksanakan shalat jum‟at.
2. Dari segi pelaksanaannya, shalat jum‟at harus dilakukan secara
berjama‟ah bahkan dengan jumlah tertentu, sedangkan shalat lima waktu
tidak diwajibkan untuk berjama‟ah, sendiri pun boleh, hanya saja akan
lebih baik bila dilakukan dengan berjama‟ah. Selain itu, shalat jum‟at
harus didahului dengan pelaksanaan dua khutbah terlebih dahulu,
sebagaimana telah disebutkan dalam definisi di atas, sedangkan shalat
lima waktu tidak perlu adanya khutbah.
1 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 32.
2 M. Amin Suma, 5 Pilar Islam Membentuk Pribadi Tangguh, (Tanggerang: Kholam
Publishing, 2007), h. 79.
2
Dua perbandingan di atas, menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan
antara dua shalat yang memiliki kesamaan hukum. Salah satu perbedaannya adalah
adanya khutbah. Jumhur ulama sepakat bahwa khutbah adalah syarat sekaligus rukun
dalam pelaksanaan shalat jum‟at.3 Dengan demikian, bila shalat jum‟at tidak
didahului oleh dua khutbah, maka shalat tersebut berstatus batal atau tidak sah.
Sehingga menjadikan hukum pelaksanaan khutbah adalah wajib, karena sangat
berpengaruh terhadap status shalat jum‟at yang dikerjakan.
Khutbah merupakan salah satu metode dakwah, seperti halnya ceramah-
ceramah keagamaan yang sering diadakan dalam tabligh akbar dan semacamnya.
Perbedaan khutbah dengan metode dakwah lainnya, seperti yang telah disebutkan,
adalah khutbah lebih diidentikkan dengan ritual keagamaan seperti shalat jum‟at,
shalat „ied atau shalat istisqo, yang di dalam beberapa shalat tersebut diadakah
pelaksanaan khutbah, baik sebelum atau sesudah shalat. Dan khutbah memiliki rukun
dan syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.4 Untuk bisa dikatakan sebagai
khutbah yang sah, maka khatib haruslah memenuhi rukun-rukun khutbah. Bila tidak
terpenuhi maka khutbah tersebut tidak sah.
Di Indonesia, terkadang masih ditemukan beberapa khatib yang tidak
melengkapi rukun ketika menyampaikan khutbah. Bila dibiarkan akan menyebabkan
khutbah menjadi tidak sah. Bagaimana hukumnya bila ada seorang jama‟ah yang
3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Dar Ibnu „Ashshoshoh,
2005), Jilid I, h. 129.
4 Abu Bakar Atceh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, (Semarang: Ramadhani,
1991), h. 6.
3
menginterupsi khatib terkait khutbah yang rukunnya tidak terpenuhi? sedangkan
ketika khutbah berlangsung, ada perintah “inshat” bagi para jama‟ah, yang
dimaksudkan agar jam‟ah diam, mendengarkan, dan memperhatikan khutbah.
Di Aceh, sudah sering dilakukan interupsi dalam khutbah jumat oleh jamaah
yang mengetahui adanya rukun khutbah yang kurang, guna mengingatkan rukun yang
tidak dipenuhi tersebut. Hal ini diberitahukan langsung oleh Wakil ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, beliau mengatakan bahwa
masyarakat Aceh sudah sering melakukan interupsi atau bahkan menegur khatib jumat
yang khilaf dan lupa.5 Dari apa yang terjadi tersebut, apakah interupsi dalam khutbah
jumat dibenarkan syara‟ sedangkan ada perintah Inshat?
Selain mengenai rukun khutbah, terkadang isi khutbah jumat juga menimbulkan
permasalahan. Tanpa disadari terkadang ada beberapa penyampaian khutbah yang
materinya bersifat provokatif, saling menjelekkan aliran satu dengan lainnya, atau
bahkan menyebarkan ajaran-ajaran yang melenceng dari syariat. Padahal khutbah
merupakan upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti petunjuk
agama, serta melakukan amar ma‟ruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan
kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan diakhirat6 atau pada umumnya untuk
mengingatkan perintah dan larangan dari Allah SWT. Dengan demikian, apakah
5 Imam Sukanto, “Interupsi Khutbah Jumat Sering Terjadi di Sini”, Tempo.Co, 10 Januari
2015.
6 Ali Mahfuz, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa‟dzi wa al-Khitabah, (Beirut: Dar Al-
Ma‟arif, t.t), h. 17.
4
dibolehkan seorang jama‟ah menginterupsi khutbah jumat yang sedang berlangsung
karena isinya telah menyimpang dari tujuan khutbah sesungguhnya?
Dari semua uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas semua
permasalahan yang telah dipaparkan dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) sebagai tugas
akhir kuliah yang menjadi syarat kelulusan dalam program strata I dengan judul
“INSHAT DAN INTERUPSI DALAM KHUTBAH JUMAT (Studi Perbandingan
Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama)”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
diperlukanlah sebuah batasan masalah yang menjadi fokus dalam pembahasan
skripsi ini. Hal ini berguna untuk memudahkan dan mengefektifkan
pembahasan.
Batasan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
a. Inshat dalam skripsi ini dibatasi pada perintah khusus yang diingatkan
oleh bilal untuk diam dan mendengarkan khatib yang sedang
berkhutbah.
b. Interupsi yang diteliti adalah interupsi yang dilakukan oleh jama‟ah
kepada khatib dengan tujuan untuk mengingatkan.
5
c. Tokoh Muhammadiyah dibatasi hanya orang-orang yang menjadi
pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid secara struktural.
d. Tokoh Nahdhatul Ulama dibatasi hanya orang-orang yang menjadi
pengurus Lembaga Bahtsul Masail secara struktural.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
permasalahan yaitu:
a. Bagaimana pendapat tokoh Muhammadiyah tentang Inshat dan
Interupsi dalam khutbah Jum‟at?
b. Bagaimana pendapat tokoh Nahdhatul Ulama tentang Inshat dan
Interupsi dalam khutbah Jum‟at?
c. Bagaimana analisis perbandingan pendapat tokoh Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui pendapat tokoh Muhammadiyah tentang Inshat dan
interupsi dalam khutbah jum‟at.
6
b. Untuk mengetahui pendapat tokoh Nahdhatul Ulama tentang Inshat
dan interupsi dalam khutbah jum‟at.
c. Untuk membandingkan pendapat tokoh Muhammadiyyah dan
Nahdhatul Ulama terkait Inshat dan interupsi dalam khutbah jum‟at.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan dan
dapat dijadikan sebagai referensi tambahan dalam memahami hukum
Islam di bidang ibadah umumnya, khususnya dalam permasalahan
shalat jumat.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah untuk memberikan pemahaman mengenai perintah “anshit”
ketika berlangsungnya khutbah jumat, sehingga memudahkan jama‟ah
shalat jumat dalam mengaplikasikannya. Selain itu, memberikan
pemahaman mengenai hukum interupsi terhadap khutbah jumat yang
rukunnya kurang atau isinya yang menyimpang, dengan demikian
memberikan gambaran terhadap jama‟ah shalat jumat, bila
diperbolehkan maka bagaimana cara interupsi yang dibolehkan, bila
dilarang maka bagaimana cara menghadapi permasalahan tersebut.
7
D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap beberapa penelitian,
peneliti menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang
memiliki beberapa kesamaan. Meskipun penelitian sebelumnya yang peneliti
temukan memiliki kesamaan dengan yang sedang peneliti lakukan, namun penelitian
tersebut tetap memiliki beberapa perbedaan. Beberapa penelitian tersebut antara lain,
sebagai berikut:
1. Skripsi karya Ahmad Fadlil, Fakultas Syariah, Jurusan al ahwal al
Syakhsiyyah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2006,
yang berjudul Studi Analisis Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Hukum
Mendengarkan Khutbah Jumat.
Skripsi ini menganalisis pendapat Imam Syafi‟i yang berbeda yaitu qaul
qadim dan qaul jadid tentang hukum mendengarkan khutbah jum‟at.
Persamaan dari skripsi ini dengan skripsi yang akan ditulis penulis adalah
keduanya berbicara seputar fiqih ibadah yaitu salat jum‟at, lebih
spesifiknya tentang khutbah jum‟at. Namun berbeda dalam permasalahan
pokoknya. Jika skripsi di atas membahas pendapat Imam Syafi‟i tentang
hukum mendengarkan khutbah jum‟at sedangkan penulis akan
menganalisis perintah inshat dan interupsi dalam khutbah jum‟at yang
dibatasi dengan pendapat tokoh organisasi Islam Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama.
8
2. Skripsi karya Iwan Setiawan, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009, yang berjudul Respon Mahasiswa UIN Jakarta
Terhadap Penggunaan Bahasa Arab dan Inggris Dalam Khutbah Jumat di
Masjid Student Center UIN Jakarta.
Persamaan skripsi di atas dengan skripsi yang akan penulis analisis adalah
bidang kajian yang masih sama yaitu seputar khutbah jum‟at. sedangkan
perbedaannya adalah skripsi di atas membahas tentang tanggapan jama‟ah
salat jum‟at (mahasiswa UIN) terhadap khutbah yang berbahasa asing
yaitu bahasa Arab dan Inggris. Sedangkan skripsi yang akan dianalisis
berfokus kepada interupsi terhadap khutbah jum‟at yang kurang rukunnya
dan materinya bersifat provokatif.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif
dengan menggunakan penelitian deskriptif yang berusaha mendeskripsikan
suatu gejala, peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa sekarang.7 Selain
itu, penulis juga menggunakan metode perbandingan hukum8, dalam hal ini
penulis akan mengkomparasikan pendapat enam tokoh dari dua organisasi
7 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2011),
hlm.33-35.
8 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm.97
9
Islam di Indonesia yaitu tiga tokoh dari Muhammadiyah dan tiga tokoh dari
Nahdhatul Ulama mengenai permasalahan yang diteliti.
2. Kriteria dan Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah
penelitian. Data tersebut adalah pendapat para tokoh dari organisasi
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang merupakan hasil dari
wawancara yang dilakukan oleh penulis.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian yang didapat dari bahan-bahan
pustaka.9 Data tersebut sebagai data tambahan yang berupa materi-
materi yang didapat dari kitab-kitab fikih klasik seperti kitab al-Fiqh
„ala al-Madzahib al-„Arba‟ah, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-
Muqtashid, dan lainnya. Selain itu juga didapat dari buku-buku umum,
jurnal, dokumen elektronik yang berkaitan dengan penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua
metode yaitu metode wawancara dan metode studi pustaka. Pertama, metode
9 J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:Remaja Rosada Karya, 1997)
h. 112-116.
10
wawancara adalah tanya jawab secara lisan antara dua orang atau lebih secara
langsung. Dalam proses wawancara ada dua pihak yang menempati
kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai pencari informasi dan pihak
lainnya sebagai pemberi informasi atau informan.10
Dalam penelitian ini,
pihak yang menjadi informan adalah tokoh-tokoh dari Muhammadiyah dan
Nahdhatul ulama yang menjadi pengurus secara struktural dalam Majelis
Tarjih dan Tajdid dan Bahtsul Masail. Kedua, metode studi pustaka yaitu
upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema,
objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan.11
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami
dan diinformasikan kepada orang lain.12
Pada tahapan analisis data, data di
olah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai dapat menyimpulkan
kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang
diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan
10 Soemitro Romie H, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.
11 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h. 17-18.
12 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004) h.244.
11
suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas sehingga
menemukan jawaban yang diharapkan. Dan juga metode perbandingan, yaitu
dengan membandingkan pendapat-pendapat yang didapat dari wawancara.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal
yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi
penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, review (kajian) studi terdahulu, dan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II: LANDASAN TEORI TENTANG KHUTBAH JUMAT
Dalam bab ini akan diuraikan penjelasan umum mengenai
pengertian khutbah jum‟at, dalil-dalil khutbah jum‟at dan
hukumnya, syarat dan rukun khutbah jumat, dan sunah-sunah
khutbah jumat.
12
BAB III: INSHAT DAN INTERUPSI DALAM KHUTBAH JUM’AT
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian inshat,
landasan hukum dan hukum inshat dalam khutbah jum‟at,
pengertian interupsi dan macam-macamnya, kemudian hukum
interupsi dalam khutbah jum‟at.
BAB IV: DESKRIPSI DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan membahas pendapat tokoh
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tentang interupsi
khutbah jum‟at, dan analisis perbandingan kedua pendapat
tersebut.
BAB V: PENUTUP
Adapun bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari
analisis dan saran.
28
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG KHUTBAH JUM’AT
A. Pengertian Khutbah Jum’at
Secara bahasa, khutbah jumat terdiri dari dua kata yaitu khutbah dan jum‟at;
1. Khutbah adalah bentuk masdar dari kata khataba, yakhtubu, yang artinya
berpidato.1 Adapun berpidato adalah mengungkapkan buah pikiran dalam
bentuk kata-kata yang ditunjukkan kepada orang banyak.2 Ada beberapa
pengertian khutbah secara istilah, antara lain adalah:
a. Menurut kamus bahasa arab Lisan Al-Arab, dikatakan:
:اىن ب ش اىؼ ذ ػ ح ث ط خ ل س ص اى غ ج غ اى
Artinya: khutbah menurut orang-orang arab adalah sebuah perkataan
yang berbentuk prosa dan bersajak.3
b. Menurut Mu‟jam Al-Musthalahat Al-Alfadz Al-Fiqhiyyah, dikatakan:
:اىن ح ث ط اىخ ل ف ى ؤ اى ظ ػ ض ر اى ت إ ا اغ ل
Artinya: khutbah adalah sebuah perkataan yang tersusun dan
terkandung di dalamnya sebuah nasehat.4
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 348.
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1071.
3 Jamaluddin Muhammad, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1990), Juz I, h. 361.
14
c. Menurut Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyyah Al-Mu‟ashirah, dikatakan:
اىن ح ؼ ط :ق ح ث ط اىخ ,م اط اى س ج ى إ ج ذ ل ت ة اط خ ل ؼ ج ي ن ر اى اط اى ا
ػ ل اػ ق إ ل
Artinya: khutbah adalah beberapa perkataan yang diucapkan di
hadapan banyak orang, yang diucapkan oleh seorang pembicara di
hadapan banyak orang untuk memberitahukan sesuatu dan
mempersuasi mereka.5
Dari setiap pengertian tersebut, khutbah diartikan berdasarkan beberapa segi.
Pengertian pertama mengartikan khutbah dari segi bentuknya, yaitu berbentuk
prosa dan bersajak, tetapi pengertian tersebut terlalu sempit, karena hanya
orang arab yang mengartikannya seperti itu. Sedangkan, realitanya, khususnya
di Indonesia, khutbah sudah tidak ada lagi yang bersajak seperti puisi. Tetapi
pengertian ini sudah menggambarkan bentuk khutbah yang seharusnya,
karena khutbah berasal dari bahasa arab.
Pengertian kedua mengartikan khutbah dari segi isinya, yaitu bahwa khutbah
itu tersusun dari beberapa bagian, secara umum ada bagian pembukaan, isi,
dan penutup. Dan dalam pengertian ini dikatakan bahwa esensi dari sebuah
khutbah adalah mengandung sebuah nasehat yang bertujuan untuk mengajak
manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat baik serta
4 Mahmud Abdurrahman, Mu‟jam al-Mushthalahat al-Alfadz al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-
Fadhillah, 1999), Juz II, h. 39.
5 Ahmad Mukhtar Umar, Mu‟jam al-Lughah al-„Arabiyyah al-Mu‟ashirah, (Kairo: „Alimu
Kutub, 2008), Juz I, h. 660.
15
mencegah berbuat mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ini juga sebagai sarana untuk meyampaikan dan mengajarkan Islam kepada
manusia untuk diterapkan dalam realitas kehidupan.6
Dan dari pengertian yang ketiga, khutbah diartikan berdasarkan tujuannya,
yaitu untuk memberitahukan suatu pengetahuan dan mempersuasi siapa saja
yang mendengarkan khutbah, dengan kata lain khutbah harus bersifat
informatif dan persuasif. Oleh karena itu, seorang khatib harus mampu
memberikan informasi yang benar dan akurat serta up to date agar dapat
mencapai tujuan persuasifnya, yaitu mempengaruhi setiap orang yang
mendengarkan sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk menerima
dan melakukan dari apa yang ia dengar.7
2. Jum‟at adalah bentuk masdar yang berasal dari kata kerja jama‟a, yajma‟u
yang berarti mengumpulkan atau menghimpun. Adapun kata jum‟at itu sendiri
diartikan hari jum‟at8 yaitu hari ke-6 dalam jangka waktu satu minggu.
9
Penggunaan kata jum‟at sebagai nama hari, tidak terlepas dari sejarah yang
melekat padanya. Hari Jum‟at pada zaman Jahiliyah disebut hari Arubah.
Sedangkan orang pertama yang menyebut hari Jum‟at adalah Ka‟ab bin
6 Rubiyanah, Ade Matsuri, Pengantar Ilmu Da‟wah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2010), h. 3.
7 Moh. Ali Azizi, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 2, h. 24.
8 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 208-209.
9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 592.
16
Lu‟ay. Diriwayatkan, bahwa sebabnya disebutkan demikian, karena
pada suatu hari penduduk Madinah berkumpul sebelum Nabi SAW
datang, kemudian orang- orang Anshar berkata: ”Kaum Yahudi mempunyai
hari dimana setiap pekan sekali mereka berkumpul pada hari itu, begitu juga
kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang kita pergunakan untuk
berkumpul pada hari itu, kemudian hendaklah kita pergunakan hari itu untuk
berzikir kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Lalu mereka berkata: Hari
Sabtu milik kaum Yahudi, hari Ahad milik kaum Nasrani, maka pakailah hari
Arubah (untuk kita). Kemudian mereka menemui As‟ad bin Zararah lalu
As‟ad shalat bersama mereka dua rakaat pada Arubah itu, maka hari itu
kemudian disebut hari berkumpul (jum‟at). Lalu mereka menyembelih
seekor kambing untuk sarapan pagi dan makan malam. Itulah permulaan
penyebutan hari Jum‟at dalam Islam.10
Dan pada hari ini, telah disyariatkan
suatu ibadah bagi setiap muslim yang baligh, berakal, sehat dan tidak
dalam perjalanan, yaitu salat jum‟at. salat yang sebelumnya harus
disampaikan terlebih dahulu dua khutbah. Inilah yang disebut khutbah
jum‟at.
Adapun pengertian khutbah jum‟at sebagai satu kalimat, sangat sedikit ulama
yang mendefinisikannya secara istilah. Apabila ada yang membahas tentang khutbah
jum‟at, mereka tidak memberikan pengertiannya melainkan dengan menjelaskan
10 Muhammad Ali Al Shabuni, Rawai‟ al-Bayan, (Kairo: Dar Al Shabuni, 2007), h. 418.
17
syarat atau rukun dari khutbah jum‟at tersebut. Seperti halnya yang dijelaskan oleh
salah satu ulama Hanafiyyah:
ف ح ث ط اىخ اى ى ع إ ف اس ؼ ر ذ ي ػ و ر ش ا اىص ي ػ اء اىص للا ذ ح س ي ػ ج ل ي غ ي ى اء ػ اىذ ى ع
. ى ش م ز اىر ظ ػ اى
Artinya: “Khutbah dalam pengertiannya adalah sesuatu yang mengandung pujian bagi
Allah, shalawat atas rasul-Nya, do‟a untuk orang-orang Islam, dan nasehat
serta peringatan bagi mereka semua”.11
Namun dalam sebuah Kamus Istilah Fiqih, dijelaskan bahwa khutbah jum‟at
adalah pidato, ceramah, atau perkataan yang mengandung mauizhah dan tuntunan
ibadah diucapkan oleh khatib dengan cara (syarat dan rukun) yang telah
ditentukan oleh syara‟ untuk memberi pengertian kepada hadirin.12
Walaupun
tidak begitu sempurna, tidak dijelaskan waktu penyampaiannya, tetapi
pengertian ini dapat memberikan gambaran tentang khutbah jum‟at dan
membedakannya dari metode dakwah lainnya.
B. Dalil-Dalil Khutbah Jum’at dan Hukumnya
Adapun dalil-dalil tentang khutbah jum‟at dapat ditemukan dalam Al-Quran,
Sunnah, dan juga Atsar Sahabat. Yang pertama adalah dalil al quran yang terdapat
dalam ayat 9 surah al jumu‟ah:
11 „Alauddin al-Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Juz I, h. 389.
12 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 165.
18
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Dan juga ayat 11:
Artinya: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.”
Yang kedua, dalil-dalil yang bersumber dari sunah:
:}م اه ق -ا ػ للا ض س -ش ػ ت للا ذ ث ػ ا اس .1 ا، ائ ق ة ط خ -صيللاػيعي- ث اى ا
ي ؼ ف اذ ،م ق ،ش ذ ؼ ق ش {.ا13
Artinya: “Nabi berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti
yang biasa kalian lakukan sekarang.” (HR. Al-Bukhari)
:}م اه ق - ػ للا ض س -ج ش ضع ت ش ات ج ا اس .2 ة ط خ -صيللاػيعي-للا ه ع س ا
م أ ك أ ث ا،ف ائ ق ة ط خ ف ق ،ش ظ ي ج ا،ش ائ ق ي ص ذ ق ،ف ب ز م ذ ق اف غ اى ج ة ط خ ا ش ص م أ ؼ د
ص ف ى أ {ج ل 14
Artinya: “Rasulullah shallahu „alaihi wa sallam berkhutbah dengan berdiri kemudian
duduk kemudian berdiri dan berkhutbah dengan berdiri. Siapa saja yang
memberitakan kepadamu kalau beliau berkhutbah dengan duduk,
13 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Kutub,
2002), Juz III, h. 454.
14 Imam Abi al-Husain Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi al-Naysaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), Juz IV, h. 348.
19
sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh, aku telah shalat bersama beliau
lebih dari dua ribu kali.” (HR. Ahmad)
ج .3 - ث اى أ ز ش اىح ت ل اى س ذ ح ف اء ا اه ق -صيللاػيعي ر أ س ا م ا ي :}ص
} ي أ ص 15
Artinya: “Tunaikanlah shalat seperti shalatnya kami.” (HR. Al-Bukhari)
Yang ketiga adalah dalil yang berasal dari atsar sahabat sebagai berikut:
ر ؼ م اىش ع ض ح ث ط :اىخ اب ط اىخ ت ش ػ اه ق ة ؼ ش ت ش ػ ,ػ ػ ص ل ا ػ اؼ ت س أ ي ص ح ث ط اىخ ر ذ اف ,
ػثذاىشصاق()سا16
Artinya: “Dari al-Auza‟i, dari Amr ibn Syu‟aib berkata: aku mendengar Umar ibn al-
Khatab berkata: Khutbah merupakan tempat dua raka‟at. Siapa saja yang
terlewat dari khutbah maka hendaklah dia shalat empat raka‟at.” (HR. Abd
al-Razzaq)
Adapun mengenai hukum khutbah jum‟at, para ulama berbeda pendapat.
Namun sebelum berbicara mengenai hukumnya, ada salah satu permasalahan yang
ditimbul di kalangan ahli fiqih mengenai kedudukannya dalam pelaksanaan shalat
jum‟at, apakah khutbah termasuk syarat sah shalat jum‟at atau bukan? Bermula dari
permasalahan ini maka dapat ditetapkan hukum khutbah tersebut, jika ia merupakan
syarat sah dalam salat jum‟at maka hukumnya wajib, namun jika bukan, maka
hukumnya sekedar sunah sehingga salat jum‟at tetap sah tanpa khutbah. Dalam
permasalahan ini hanya ada dua pendapat terkait masalah ini;
1. Pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa khutbah sebelum shalat
merupakan syarat sah dalam pelaksanaan shalat jum‟at.
15 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz III, h. 207.
16 Abu Bakr „Abd al-Razzaq, Musnaf „Abd al-Razzaq, (Beirut: al-Maktab al-Islam, 1982), Juz
III, h. 237.
20
2. pendapat yang menyatakan bahwa khutbah tersebut hanyalah sunah, dan ini
adalah pendapat Hasan Al-Bashri17
dan Abdul Malik al Majisyun.18
Adapun alasan pendapat pertama menetapkan demikian, karena sikap mereka
yang berhati-hati. Menurut mereka, belum ada dalil-dalil yang menyatakan bahwa
Rasulullah pernah salat jum‟at tanpa berkhutbah. Dengan kata lain, selama Rasulullah
hidup, ketika salat jum‟at beliau selalu berkhutbah sebelum melaksanakan salat.
Inilah salah satu alasan atas wajibnya khutbah jum‟at. Sedangkan mereka yang
berpendapat khutbah hanyalah sunah, beralasan bahwa tidak ada nash yang secara
spesifik mewajibkan khutbah. menurut mereka, kalaupun khutbah adalah perkara
yang wajib, maka seharusnya ada penetapan nash yang jelas akan wajibnya
khutbah.19
Untuk menguatkan alasan mereka, jumhur ulama menggunakan beberapa dalil
untuk menetapkan kewajiban khutbah dalam salat jum‟at, antara lain, sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ayat 9 surah al Jumu‟ah. Dalam ayat
tersebut terdapat potongan kalimat:
17 Abdul Wahab al-Sya‟rani, al-Mizan, (Beirut: Alim Al-Kutub, 1989), Juz II, h. 175.
18 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar Ibnu
„Ashshoshoh, 2005), Jilid I h. 129.
19 Abdul Wahab Al-Sya‟rani, al-Mizan, h. 175.
21
Artinya: “Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.”
Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “ للا ش م ر ” adalah khutbah.20
Dengan demikian, karena sebelumnya didahului oleh kata kerja perintah (fi‟il amr),
yaitu kata “ ا ؼ اع ف ” yang artinya “bersegeralah kamu”, maka khutbah dihukumi wajib.
Sesuai kaidah usul fiqh yang menyatakan bahwa asal dari sebuah perintah adalah
wajib ( اف و ص ل ا ب ج ي ى ش ل ).21
Selain mengandung perintah, ayat ini juga
menunjukkan bahwa khutbah dapat mengharamkan jual beli. Seandainya khutbah itu
tidak wajib, maka ia tidak akan dapat mengharamkan jual beli. Sebab sesuatu yang
disunnahkan itu tidak dapat mengharamkan sesuatu yang mubah.22
Dalil berikutnya adalah ayat 11 dari surah yang sama. Dalam ayat tersebut
mengandung makna bahwa Allah SWT mengecam siapa saja yang meninggalkan
khutbah. Dengan demikian, makna ini menghukumi khutbah wajib dilaksanakan,
karena meninggalkannya adalah hal yang dikecam atau tercela.23
Selain dari dua ayat tersebut, untuk menguatkan pendapat mereka bahwa
khutbah adalah wajib jumhur ulama juga menggunakan beberapa hadits yang telah
disebutkan sebelumnya. Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa selama
20 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, h. 129.
21 Ibnu Najjar, Syarah al Kaukab al Munir, (Madinah: Maktabah al „Abaikani, 1997), Juz III,
h. 19.
22 Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Alamiyyah, 2003), Juz IV, h.
249.
23 Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, Juz IV, h. 254.
22
melaksanakan salat jum‟at, nabi selalu berkhutbah. Dan juga menunjukkan bahwa
dalam urusan salat, harus mengikuti cara salat yang telah nabi contohkan. Ini juga
berlaku dalam pelaksanaan salat jum‟at yang sebelumnya didahului oleh khutbah.
C. Rukun dan Syarat Khutbah Jum’at
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hukum khutbah jum‟at adalah wajib.
Dengan demikian, khutbah jum‟at bukan sesuatu yang sepele, apalagi hal ini terkait
dengan ibadah dan khutbah jum‟at meerupakan bagian dalam pelaksanaan salat
jum‟at yang termasuk dalam katagori ibadah mahdhah. Dalam katagori ini, suatu
ibadah dikatakan sah atau batal dapat dilihat dari terpenuhi atau tidaknya syarat atau
rukun yang terkait dengan ibadah tersebut. Begitu juga khutbah jum‟at, agar khutbah
jum‟at sah, maka seorang khatib harus memperhatikan syarat dan rukun khutbah
jumat.
Terkait dengan rukun dan syarat khutbah jum‟at, ulama dari berbagai
madzhab berbeda pendapat;
1. Madzhab Hanafi
Dalam madzhab ini, syarat dan rukun khutbah tidak dijelaskan secara
jelas. Dalam kitab-kitab mu‟tabarah madzhab Hanafi, tidak ada yang
menjelaskan syarat dan rukun khutbah jum‟at secara sistematis. Namun ada
beberapa kalimat yang menunjukkan sebuah syarat yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan khutbah jum‟at, seperti halnya khutbah jum‟at harus dilakukan
23
sebelum salat jum‟at, tepatnya ba‟da zawal (sesudah matahari condong),
harus dilakukan dengan niat, tidak boleh melakukan kegiatan yang aneh saat
duduk diantara dua khutbah, dan minimal harus dihadiri oleh satu jama‟ah
laki-laki yang baligh meskipun ia sedang sakit atau musafir.24
Adapun rukun yang harus terkandung dalam khutbah menurut
madzhab ini hanya ada satu, yaitu dzikir, baik itu dzikir yang panjang,
maupun pendek. Menurut Imam Abu Hanifah, kalimat tahmid atau tasbih atau
tahlil cukup untuk menggugurkan khutbah yang wajib.25
2. Madzhab Maliki
Sama halnya dengan madzhab Hanafi, dalam madzhab Maliki hanya
ada satu rukun yang harus terkandung dalam khutbah jum‟at, yaitu harus
terkandung sebuah peringatan atau nasihat, tidak disyaratkan khutbah tersebut
dalam bentuk sajak ataupun syair atau nadzom.26
Dalam madzhab ini, ada beberapa syarat dalam pelaksanaan khutbah
jum‟at. Sebagian syaratnya ada yang sama dengan syarat dari madzhab hanafi
misalnya khutbah jum‟at harus dilakukan sebelum salat jum‟at, tepatnya
ba‟da zawal (sesudah matahari condong). Syarat lainnya khutbah harus
24 Muhammad Amin, Raddu al-Mukhtar „ala al-Durri al-Mukhtar, (Beirut: Dar al Fikr, ), Juz
II, h. 147-148.
25 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Kairo: Maktabah al-
Tsaqafah al-Diniyyah), Juz I, h. 316.
26 Abdur Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, h. 316.
24
dilaksanakan di dalam masjid, menggunakan bahasa arab dan disampaikan
dengan suara yang keras dan jelas. Selain itu, seorang yang bertugas menjadi
khatib harus menjadi imam juga, kecuali ada hal yang terdesak sehingga harus
digantikan. Dan pelaksanaan khutbah dihadiri minimal 12 orang laik-laki.27
3. Madzhab Syafi‟i
Dalam madzhab ini, ada beberapa rukun yang harus dikandung dalam
khutbah jum‟at. Bila salah satunya tidak ada dalam khutbah jum‟at, maka
khutbah tersebut tidak sah. Adapun rukun-rukunnya antara lain; Pujian kepada
Allah SWT, shalawat dan salam untuk nabi Muhammad SAW, wasiat
ketaqwaan, membaca beberapa ayat dari Al-Quran dalam salah satu khutbah,
dan berdoa untuk umat Islam dalam khutbah kedua, disyaratkan doanya untuk
urusan ukhrawi.28
Madzhab ini telah mengemukakan beberapa syarat yang jelas, yang
harus dipenuhi dalam pelaksanaan khutbah jum‟at. Contohnya, sama seperti
madzhab yang sebelumnya bahwa khutbah jum‟at harus dilaksanakan
sebelum salat, tepatnya ba‟da zawal. Khatib berkhutbah harus dengan
keadaan berdiri, aurat tertutupi dan suci. Khutbah dilaksanakan menggunakan
bahasa arab, dengan suara yang lantang dan jelas, di tempat yang suci dan
27 Ahmad al-Shawi, Bulghatu al-Saliki Li Aqrabi al-Masalik, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Alamiyyah, 1995), Juz I, h. 327-328.
28 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, h. 316.
25
harus dijeda antara dua khutbah. Adapun batas minimal jama‟ah yang hadir
menurut madzhab ini adalah 40 orang.29
4. Madzhab Hanbali
Menurut madzhab ini, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam
kerangka khutbah jum‟at, tidak berbeda jauh dengan madzhab Syafi‟i hanya
satu rukun dari madzhab Syafi‟i yang tidak tercantum dalam madzhab Hanafi,
antara lain adalah; Pujian kepada Allah SWT, shalawat dan salam untuk Nabi
Muhammad SAW, pembacaan beberapa ayat Al-Qur‟an, dan wasiat
ketaqwaan.30
Dalam pelaksanaan khutbah, menurut madzhab ini ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, seperti halnya khutbah dilaksanakan tepat pada
waktunya yaitu ba‟da zawal dan sebelum salat, serta lebih utama disampaikan
dengan bahasa arab dan suara yang lantang agar terdengar oleh minimal 40
orang jama‟ah yang hadir. Khatib yang berkhutbah harus dengan niat dan
lebih utama dalam keadaan berdiri, serta rukun khutbah harus disampaikan
dalam dua khutbah. Khatib tidak boleh menjeda dua khutbah dengan waktu
yang lama.31
29 Syamsuddin al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo: al-Quds, 2011), Juz II, h. 120.
30 Abdur Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, h. 316.
31 Mansur bin Yunus, Kasyaf al-Qina‟, (Riyadh: Dar „Alim al-Kutub, 2003), Juz II, h. 641-
642.
26
D. Sunah-Sunah Khutbah
Selain rukun dan syarat, ada juga beberapa hal yang sunah dalam pelaksanaan
khutbah jum‟at, dengan kata lain boleh dilakukan, boleh tidak. Dalam empat
madzhab yang masyhur, ada beberapa sunah yang sama dan ada pula yang berbeda.
Masing-masing madzhab memiliki penjelasannya tersendiri;
1. Madzhab Hanafi
Dalam madzhab ini, ada beberapa hal sunah dalam pelaksanaan
khutbah jum‟at. Bagi khatib disunahkan untuk berkhutbah dua kali, duduk di
antara dua khutbah, bersuci dan berdiri ketika akan menyampaikan khutbah.
Disunahkan juga baginya untuk memperpendek khutbah dan menghadap ke
arah jama‟ah, membelakangi kiblat.32
2. Madzhab Maliki
Dalam madzhab ini ada banyak hal sunah, namun sangat umum.
Beberapa di antaranya merupakan hal-hal sunah yang berkaitan dengan
pelaksanaan khutbah, yaitu disunahkan bagi khatib untuk bersuci,
menggunakan pakaian yang bagus dan memakai wangian, mengeraskan suara
saat khutbah, memperpendek khutbah, menggunakan tongkat atau sejenisnya
32 Alauddin al-Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Juz I, h. 390-391.
27
ketika khutbah, duduk di awal setiap khutbah dan membaca pujian, shalawat
kepada nabi, salah satu ayat al-Qur‟an dan doa.33
3. Madzhab Syafi‟i
Dalam madzhab Syafi‟i, ada sebelas hal-hal sunah dalam pelaksanaan
khutbah jum‟at, antara lain disunahkan untuk berkhutbah di atas mimbar,
mengucapkan salam kepada jama‟ah, duduk setelah memberi salam sampai
muadzin selesai adzan, berkhutbah menggunakan tongkat, menghadap ke
jama‟ah tanpa menoleh ke kanan ataupun ke kiri, mengeraskan suaranya bagi
khatib yang berkhutbah, memperpendek khutbah, dan mengakhiri khutbahnya
dengan kalimat “ ى للا ش ف غ ر ع أ ن ى ”. Dan bagi jama‟ah disunahkan untuk
menghadap ke khatib untuk mendengarkan dan tidak sibuk dengan hal lain.34
4. Madzhab Hanbali
Menurut madzhab ini, ada sembilan hal-hal sunah dalam pelaksanaan
khutbah jum‟at, antara lain bagi khatib disunahkan untuk berkhutbah di atas
mimbar, memberi salam kepada jama‟ah, duduk sampai adzan selesai, duduk
di antara dua khutbah, berdiri dan menggunakan tongkat saat khutbah,
menghadap jama‟ah, memperpendek khutbah dan berdoa untuk muslim.35
33 Ahmad al-Dardiri, al-Syarhu al-Shagir, (Kairo: Mathba‟ah al-Madani, 1965), Juz I, h. 216-
217.
34 Abu Zakariya Muhyiddin, Majmu‟ Syarah al-Muhadzab, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-
Arab, 2001), Juz IV, h. 278
35 Muhammad al-Utsaimin, al-Syarhu al-Mumti‟u, (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi, 2002), Juz V, h.
60.
28
BAB III
INSHAT DAN INTERUPSI DALAM KHUTBAH JUM’AT
A. Pengertian Inshat
Secara bahasa, kata inshat berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari
kata kerja د ص -د ص أ , yang berarti diam dan mendengarkan.1 Pengertian ini serupa
dengan pengertian dalam Lisan al Arab sebagai berikut:
.س ذ ح ي ى اع ر ع ل ا خ ن :اىغ اخ ص ل ا2
Artinya: Inshat adalah diam dan mendengarkan sebuah ucapan /perkataan.
Selain itu, dijelaskan pula dalam sebuah mu‟jam:
اىغ ح غ ى اخ ص ل ا اع ر ع ل ى خ ن : خ ن اىغ ت ض ؼ اىث ف ش ػ , ى إ اع ر ع ل ا ن , غ إ خ ص ا ح ى أ ا أ ا
.اد ج ى 3
Artinya: “Inshat secara bahasa adalah diam untuk mendengarkan, sebagian orang
mengartikannya diam. Adapun perkara mendengarkan tersebut baik untuk
suara manusia, hewan ataupun benda-benda.”
Dari pengertian di atas, meskipun dalam suatu keadaan ada beberapa orang
yang mengartikan inshat hanya dengan diam saja, namun di pengertian lainnya dapat
disimpulkan bahwa dalam inshat terdapat dua unsur yang terkandung, yaitu diam
Inshat adalah suatu keadaan yang tergabung di .(اعراع) dan mendengarkan (عنخ)
dalamnya dua kata kerja tersebut. Diam merupakan kata kerja untuk tidak bersuara
dan tidak bergerak, dan mendengarkan adalah kata kerja untuk mendengar sesuatu
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1424.
2 Jamaluddin Muhammad, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1990), Juz II, h. 99.
3 Mahmud Abdurrahman, Mu‟jam al-Mushthalahat al-Alfadz al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-
Fadhillah, 1999), h. 311.
29
dengan sungguh-sungguh atau bisa diartikan dengan memperhatikan dan
mengindahkan.
Perlu diperjelas bahwa mendengar dan mendengarkan memiliki pengertian
yang berbeda. Meskipun keduanya berasal dari kata kerja dasar yang sama yaitu
dengar, dalam bahasa arabnya adalah غغ-,عغ namun maknanya berbeda.
Mendengar mempunyai makna dapat menangkap bunyi dengan telinga, bila terdengar
suatu bunyi maka alat pendengaran seseorang akan menangkap bunyi tersebut tanpa
disertai dengan kesengajaan. Sedangkan mendengarkan adalah menangkap suatu
bunyi disertai dengan kesengajaan dari seseorang dan dengan tujuan tertentu.4
Istilah lain dari kata mendengarkan adalah menyimak, yaitu mendengarkan
dengan baik apa yang diucapkan atau dibaca orang. Menyimak merupakan suatu
proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan perhatian,
pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi
atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang
pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan atau menyimak adalah suatu proses yang
mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi,
menilai dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya.5
Bustanul Arifin dan kawan-kawan berpendapat, menyimak merupakan
keterampilan bahasa yang aktif reseptif. Artinya dalam kegiatan menyimak seseorang
4 Henry Guntur Tarigan, Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa Bandung, 2008), h. 31.
5 Novi Resmini, Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Tinggi, (Bandung: UPI PRESS,
2007), h. 38.
30
harus mengaktifkan pikirannya untuk dapat mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa,
memahami, dan menafsirkan maknanya sehingga tertangkap pesan yang disampaikan
oleh pembicara.6 Dan juga bersifat terbuka atau mau menerima saran dan tanggapan
atau pendapat yang disampaikan.
Berdasarkan penjelasan dua unsur penting yang terkandung dalam Inshat,
penulis menyimpulkan bahwa inshat merupakan keadaan seseorang dalam
mendengarkan sesuatu dengan penuh konsentrasi agar dapat menangkap sebuah
intisari atau pelajaran dari sesuatu yang ia dengar. Dalam proses mendengarkannya,
seseorang tersebut tidak diperbolehkan untuk berbicara ataupun bergerak semaunya,
ia diharuskan untuk fokus agar tujuan yang diinginkan tercapai.
B. Dalil dan Hukum Inshat
Ada beberapa dalil yang berkaitan dengan pembahasan inshat dalam khutbah
jum‟at. dalil-dalil tersebut bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Yang pertama, dalil
al-Qur‟an yaitu ayat 204 dalam surah al-A‟raf sebagai berikut:
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Menurut riwayat Ibnu Mas‟ud, Abu Hurairah, Jabir, al-Zuhri, Ubaidillah bin
Umair, Atha‟ bin Abu Rabah, dan Sa‟id bin al-Musayyib, ayat ini turun ketika waktu
shalat. Sedangkan menurut Sa‟id bin Jubair, Mujahid, Atha‟, Amr bin Dinar, Zaid bin
6 Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 13.
31
Aslam, Qasim bin Mukhaimar, Muslim bin Yasar, Syahr bin Hausyab dan Abdullah
bin al-Mubarak, ayat ini diturunkan pada waktu khutbah.7 Namun Ibnu „Arabi
menanggapi bahwa riwayat ini lemah karena pembacaan ayat al-Qur‟an dalam
khutbah sedikit, sedangkan mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang, wajib
dilakukan sepanjang khutbah berlangsung.8
Al-Thabari menyebutkan dari Sa‟id bin Jubair bahwa ayat ini membicarakan
tentang Inshat pada saaat khutbah idul adha, idul fitri dan juga pada saat shalat
jum‟at, serta pada waktu imam membaca ayat al-Qur‟an dengan bersuara. Artinya
ayat ini turun untuk perkara yang umum. Pendapat inilah yang benar, sebab
mencakup semua hal yang diwajibkan ayat ini terkait perintah inshat.9 Imam al-
Syaukani juga menguatkan bahwa ayat tersebut bermakna lebih luas dan keumuman
ini tidak dibatasi oleh sebabnya. Maka mendengarkan dan memperhatikan (inshat)
ketika dibacakan al-Qur‟an adalah berlaku pada semua kondisi dan pada posisi
apapun yang mewajibkan itu atas pendengarnya.10
Dengan demikian, ayat ini dapat
juga dijadikan dasar atas perintah inshat dalam khutbah jum‟ah.
Kedua, dalil sunnah yaitu beberapa hadits yang berkaitan dengan inshat,
antara lain sebagai berikut:
7 Muhammad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, (Arab Saudi: Dar Alim
al-Kutub, 2003), Juz VII, h. 353.
8 Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Alamiyyah, 2003), h. 73.
9 Abi Ja‟far Muhammad al-Thabari, Jami‟ al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Juz VI, h.
166. 10 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah,
1996), Juz II, h. 357.
32
Dari Ibnu Abbas radhiallahu„anhu, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,
ش ا ذ :ح ي ع ي للا ػ ي للا ص ه ع س ث اط قاه:ق اه ػ ات ػ ث ؼ اىش ػ اى ذ ج ش ػ ح ات ؼ اى ج ي ذ ن
ح ؼ ج ى ظ ى د ص أ ى ه اى ز ق ف اسا أ ع و اس ح اى ح ص و م ف ط ة خ ا ال )سااحذ( 11
Artinya: “Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jumat, maka ia seperti
keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak
ada manfaat, pen.). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam),
maka tidak ada Jumat baginya (artinya: ibadah Jumatnya tidak sempurna,
pen.).” (HR. Ahmad)
Dari Salman Al Farisi radhiallahu„anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,
ؼ د ات ,ػ أ ت ث ش أ خ : ق اه , ق ث ش اى ذ ؼ ع ئ ة ,ػ ر أ ت ش ا ذ :ح ق اه , ش اآد ذ :ح ق اه , اىف اس ع ا ي ع ح ,ػ
للا ي ص اى ث :ق اه ي ع ي ػ ،أ د ذ ، ش ط ر ط اع ااع ر ط ش ح ، ؼ اى ج و ج س و ر غ ل غ
،ش ى ر ة ام ي ص ،ش اش ت ق ،ف ل ف ش ض ش خ ش ر ت ة ط ظ ى ف ش غ ،إ ل ا ال ي اذ ن إ ر د ص
ش ح ال خ ؼ اى ج ت ات )سااىثخاس( 12
Artinya: “Apabila seseorang mandi pada hari Jumat, dan bersuci semampunya, lalu
memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar
rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang (melangkahi pundak
orang), kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam
berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jumat
yang satu dan Jumat lainnya.” (HR. Bukhari(
Dari Abu Hurairah radhiallahu„anhu, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,
ذ ؼ ع ث ش :أ خ اب ,ق اه ش ات ,ػ و ق ػ ,ػ س ش ااى ي ذ :ح ش ,ق اه ت ن ت ش ا ح ذ أ ت ا ش ح ة ,أ غ اى ج ,ت ش
: ق اه ي ع ي للا ػ ي للا ص ه ع س :أ ث ش خ أ خ ى غ ف ق ذ ط ة خ ا ال . د ص أ ح ؼ اى ج ث ل اح ى ص اق ي د إ ر
)سااىثخاس(13
11 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: „Alim al-Kutub, 1998), Juz I, h.
230. 12 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Kutub,
2002), h. 446. 13 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458.
33
Artinya: “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, „Diamlah, khatib
sedang berkhutbah!‟ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari(
Dari hadits-hadits tersebut, menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW.
memerintahkan kepada mereka yang menghadiri yang salat jum‟at untuk
mendengarkan dan memperhatikan ketika khatib sedang berkhutbah. Bahkan nabi
menyampaikan keutamaan yang akan didapatkan oleh orang yang mengikuti
perintahnya tersebut, dan juga memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang
enggan mengikuti perintahnya tersebut. Jelas, bahwa perintah inshat adalah perkara
yang sangat penting.
Mengenai hukumnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum inshat
adalah wajib. Adapun mereka yang berpendapat demikian adalah ulama Hanafiyyah,
ulama Malikiyyah, ulama hanabilah dan imam Syafi‟i dalam pendapat lamanya (Qaul
Qadim). Namun demikian, mereka sepakat mewajibkan inshat hanya untuk jama‟ah
yang dekat dengan imam, yang memungkinkan mereka mendengar suara khatib.
Sedangkan bagi mereka yang jauh, yang tidak mendengar suara khatib, mereka
berbeda pendapat kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak membedakan antara yang
dekat maupun yang jauh. Dalam madzhab ini, kewajiban inshat berlaku bagi semua
jama‟ah baik yang mendengarkan ataupun tidak mendengarkan khutbah.14
Ini seperti
dalam shalat, baik bagi mereka yang mendengarkan bacaan imam ataupun tidak,
14 Abu Bakar bin Hasan al-Kasynawi, Ashal al-Madarik, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz I, h.
324.
34
mereka tetap diwajibkan inshat.15
. Sedangkan dalam madzhab Hanafi ada tiga
pendapat mengenai hal ini:
1. Menurut Muhammad bin Salamah Al-Balkhi, meriwayatkan pendapat
Abu Yusuf, bahwa orang yang jauh dari khatib lebih diutamakan untuk
inshat dari pada membaca al-Qur‟an. Pendapat ini berdasar dari perkataan
umar dan utsman bahwa sesungguhnya pahala orang yang diam yang tidak
bisa mendengarkan khutbah sama dengan pahala orang yang diam dan
bisa mendengarkan khutbah. Dengan demikian, bagi mereka yang dekat
dengan khatib diwajibkan baginya 2 hal yaitu mendengarkan dan diam.
Sedangkan bagi mereka yang jauh dari khatib dan tidak dapat mendengar
suara khatib, diwajibkan baginya satu hal yaitu diam. Ini adalah pendapat
yang paling kuat dalam madzhab Hanafi.
2. Menurut Nashir bin Yahya, bagi mereka yang jauh dari khatib maka
baginya diperbolehkan untuk membaca al-quran secara sirr.
3. Dan menurut al Hakam bin Zuhair, ia berpendapat bahwa diwajibkannya
inshat bagi mereka yang dekat bertujuan agar mereka konsentrasi dan
berpikir atas khutbah yang disampaikan khatib. Tetapi, bagi mereka yang
jauh, tujuan ini tidak memungkinkan karena khutbah tidak terdengar.
15 Malik bin Anas al-Ashbahiy, Al-Mudawwanah al-Kubro, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Alamiyyah, Juz I, h. 230.
35
Maka diperbolehkan bagi yang jauh untuk menjaga dirinya dengan
mebaca al quran atau belajar.16
Adapun ulama hanabilah mewajibkan inshat hanya bagi mereka yang dekat,
yang bisa mendengar suara khatib. Adapun bagi mereka yang tidak dapat mendengar
suara khatib diperbolehkan untuk berdzikir kepada Allah atau bershalawat atau
membaca al-Qur‟an, tetapi dilakukan dengan tidak bersuara.17
Imam Syafi‟i dalam pendapat barunya (Qaul Jadid) menyatakan bahwa inshat
merupakan hal yang sunah. Pendapat ini lah yang kemudian diikuti oleh kebanyakan
ulama Syafi‟iyyah. Hal ini berdasarkan beberapa hadits, antara lain:
ش اح ذ ح ق اه ذ د غ ش ا ذ ي ح ص ااى ث ت أ ظ ق اه ش ات د ػ ػ ظ ػ أ ظ ض ض ػ اى ؼ ث ذ ػ ػ ذ ص ت اد
ي اع اى ن ش للا ي ل ع ه اس ف ق اه و ج س ق ا إ ر ح ؼ اى ج ط ة خ ي ع ي للا ػ ذ ل اف ق غ للا أ ع ف اد اىش اء
ا ػ د ذ 18
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. berkata berkata ketika Nabi SAW. sedang
berkhutbah di hari jum‟at, berdirilah seorang (arab badui), lalu berkata
kepada nabi: Ya Rasulullah, binatang ternak telah mati dan jalan-jalan
penghidupan telah terputus, maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan
hujan kepada kami! Kemudian nabi mengangkat kedua tangannya dan
berdoa.”
ت ذ ح ا ث ش اأ خ ش م ص ت ذ أ ح ت ذ ح ا ث ش ش أ خ ج ح ت ي ش اػ ذ ذ ح اج ث ش أ خ اق ح إ ع ت ذ ح ت و اى ف ض
ج غ اى و ج س و :د خ ه ق اى ل ت أ ظ غ ع أ ش ل ش اش ذ ح ف ش ؼ ج ت و اػ ش اإ ع ذ ح للا ع ه س صيللا-ذ
ن د -يػيع اع أ اى اط إ ى اس ف أ ش ح ؟ اىغ اػ ر للا ع ه س ا : ف ق اه ح ؼ اى ج ث ش اى ي ػ ش ل ز أ ى ف غ
16 „Alauddin al-Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 391-392.
17 Abu Muhammad Abdullah Qudamah al-Muqaddasiy, Al-Muqni‟, (Riyadh: Dar „Alim al-
Kutub, 2005), Juz VI, h. 301.
18 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458.
36
للا ع ه س ف ق اهى ن د اع أ إ ى ش ش ى ل ر م و اخ ش -صيللاػيعي- اىص اى ص ح ػ :»ذ خ د ذ اأ ػ ار ل ح
ث ث د ى ا أ ح غ إ ل ف ق اه ى ع س للا ة ح ق اه 19
Artinya: “Dari Anas bin Malik, ia berkata: seorang pemuda masuk ke dalam masjid
dan ketika itu Rasulullah SAW. sedang berkhutbah di atas mimbar pada hari
jum‟at. Pemuda tersebut bertanya kepada nabi: Ya Rasulullah, kapan
terjadinya hari kiamat? Ketika itu orang-orang mengisyaratkan kepada
pemuda itu untuk diam. Tetapi pemuda tersebut tetap bertanya sampai tiga
kali dan di setiap ia selesai bertanya, orang-orang selalu mengisyaratkan
kepadanya untuk diam. Namun pada saat pertanyaan yang ketiga kalinya,
Rasulullah berkata kepadanya: celakalah engkau, apa yang sudah kau
siapkan untuk menghadapinya? Kemudian pemuda itu menjawab: cinta
kepada Allah dan rasul-rasulnya. Kemudian Rasulullah berkata:
sesungguhnya engkau bersama-sama dengan siapa saja yang engkau cintai.”
Namun bila diperhatikan, dalil-dalil yang digunakan oleh ulama Syafi‟iyyah
lebih memfokuskan tentang kebolehan berbicara. Dengan demikian, ulama
Syafi‟iyyah lebih condong mengartikan inshat sebagai sikap diam seorang makmum.
Maka berdasarkan dalil-dalil yang mereka gunakan, makmum disunahkan untuk
diam, dan boleh berbicara tetapi mendengarkan dan memperhatikan khutbah tetap
menjadi keharusan.
C. Pengertian dan Jenis-Jenis Interupsi
Adanya khutbah yang bermateri negatif, merupakan sebuah masalah bagi
mereka yang mengetahui bahwa khutbah tersebut tidak layak untuk disampaikan.
Terhadap fenomena seperti ini, timbul sebuah pertanyaan mengenai kebolehan
interupsi ketika mendengar khutbah yang semacam ini. Hal ini seperti yang
19 Abu Bakar Ahmad al Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, (Mekkah: Maktabah Dar al
Baz, 1994), Juz III, h. 221.
37
ditanyakan seorang warga Jakarta, Hasanuddin, ia bertanya terkait hal tersebut
kepada Nahdhatul Ulama melalui situs nuonline.co.id sebagai berikut:
“Assalamualaikum Wr. Wb. Dalam beberapa kesempatan khutbah saya sering
menemukan khatib menyampaikan materi yang sangat menyinggung perasaan,
misalnya menjelek-jelekkan orang lain dan memusuhi kelompok lain secara terang-
terangan. Dalam kondisi demikian, apakah boleh kami menginterupsi khutbah atau
sebaiknya kami mufaraqah atau bagaimana? Kondisi demikian seringkali
menyebabkan shalat jum‟at kita tidak khusu‟. Terima kasih atas penjelasannya.”20
Jawaban dari pertanyaan semacam ini sangatlah penting, agar jama‟ah bisa
bersikap ketika ia dihadapkan pada kondisi seperti itu. Maka untuk menjawab
pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
interupsi dan apa tujuan dari interupsi tersebut. Dan kemudian dihubungkan dengan
apa yang telah dijelaskan oleh fikih.
1. Pengertian Interupsi
Kata interupsi adalah kata serapan dari bahasa inggris, yaitu interruption.
adapun kata tersebut berasal dari kata interrupt yang berarti menyela, mengganggu,
atau memecahkan.21
dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti kata interupsi
mendapatkan sedikit keterangan yaitu penyelaan atau pemotongan pembicaraan,
pidato dan sebagainya.22
Keterangan tersebut menjelaskan tempat yang sering terjadi
interupsi di dalamnya. Di Indonesia, interupsi sering terjadi dalam sebuah forum,
20 Mahbub Ma‟afi Ramdlan, Bolehkah Menginterupsi Khutbah Jum‟at?, artikel diakses pada
31 Juli 2014 dari http://www.nu.or.id/post/read/53576/bolehkah-menginterupsi-khutbah-jumrsquoat.
21 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), h. 328.
22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 543.
38
seperti dalam rapat, persidangan, atapun dalam diskusi formal maupun non formal.
Itu merupakan hak berbicara setiap anggota yang mengikuti forum tersebut.
Interupsi bisa dikatagorikan menjadi perbuatan yang positif dan juga bisa
dikatakan sebagai perbuatan yang negatif. Misalnya, interupsi yang dilakukan oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang. Hal ini dinilai positif karena
dengan adanya interupsi tersebut, berarti anggota DPR betul-betul menyimak pokok
pembicaraan sidang dan tidak asal hadir. Selain itu, ia juga telah menyumbangkan
buah pikirannya untuk orang yang diinterupsinya atau untuk bahasan yang sedang
dibicarakan. Berbeda bila seorang anggota DPR menginterupsi tanpa diperkenankan
terlebih dahulu, dan interupsi yang dilakukannya hanya untuk menjatuhkan orang
yang diinterupsinya. Tentu interupsi semacam ini dinilai negatif.23
Dengan demikian
cara seseorang menginterupsi akan mempengaruhi nilai interupsinya tersebut.
2. Jenis-Jenis dan Tujuan Interupsi
Tentu saja seseorang yang menyela pembicaraan orang lain memiliki tujuan.
Meskipun sebagian orang memiliki tujuan yang negatif, tetapi ada pula tujuan positif
yang dituju seseorang yang menginterupsi. Beberapa tujuan tersebut dapat dilihat dari
beberapa jenis interupsi yang telah disepakati digunakan dalam sebuah forum, antara
lain sebagai berikut:
a. Interruption Point of Order, interupsi ini bertujuan untuk meminta
penjelasan atau memberikan masukan yang berkaitan dengan jalannya
23 Eshter Kuntjara, Gender, Bahasa, dan Kekuasaan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h. 51-
52.
39
pembahasan dalam sebuah forum. (jika pembahasan melebar atau tidak
konsisten).
b. Interruption Point of Clarification, interupsi ini bertujuan untuk meminta
klarifikasi tentang pernyataan anggota forum lainnya agar tidak terjadi
penangkapan bias ketika seseorang memberikan tanggapan atau sebuah
penegasan terhadap suatu pernyataan.
c. Interruption Point of Information, interupsi ini bertujuan untuk
menyampaiakan informasi tambahan yang dianggap membantu maupun
informasi yang sifatnya teknis.
d. Interruption Point of Personal Privilage, interupsi ini dilakukan jika
terdapat pendapat yang terlalu menyudutkan pihak tertentu di luar
substansi permasalahan.
e. Interruption Point of Explanation, interupsi ini untuk menjelaskan suatu
pernyataan yang kita sampaikan agar tidak ditangkap keliru oleh anggota
lain atau suatu pelurusan terhadap pernyataan kita.24
D. Hukum Interupsi Dalam Khutbah Jum’at
Interupsi khutbah jum‟at adalah perbuatan seseorang yang menyela
pembicaraan khatib dengan lisannya. Melihat permasalahan yang ada, terutama yang
terjadi di Aceh, yaitu interupsi yang dilakukan untuk mengingatkan khatib akan
24 Budi Wiryawan, Antara Interupsi dan interuksi, artikel diakses pada 25 Juni 2015 dari
http://www.kompasiana.com/budhiwiryawan/antara-interupsi-dan-
interuksi_55171e7fa333111a06b659de.
40
rukun-rukun khutbah yang terlupakan. Sedangkan dari seorang penanya di laman
situs nuonline.co.id, yang menanyakan hukum interupsi untuk mengingatkan khutbah
yang bersifat provokatif. Maka untuk mengetahui hukum dari kedua permasalahan
tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu hukum berbicara pada saat khutbah
berlangsung. Dalam hal ini para ulama empat madzab berbeda pendapat, sebagai
berikut:
1. Hanafiyyah
Mereka berpendapat bahwa berbicara ketika khutbah hukumnya
makruh tahrim, baik yang berbicara itu jauh dari khatib ataupun dekat, ini
berdasarkan pendapat yang paling sahih. Begitu juga baik itu pembicaraan
tentang urusan keduniaan ataupun berdzikir dan semacamnya, dan juga
terlepas apakah khatib mengeluarkan kata-kata yang keliru yang
berhubungan dengan kedzaliman ataupun tidak. Apabila makmum
mendengar nama Nabi Muhammad SAW disebutkan, maka hendaknya
membaca shalawat dalam hati. Dan apabila melihat suatu kemungkaran maka
boleh memberikan isyarat dengan tangan atau kepala.
Di antara bentuk pembicaraan yang makruh adalah menjawab salam
dengan lisan dan hatinya, dan menjawab salam itu tidak diperkenankan
sebelum khatib selesai berkhutbah. Selain menjawab salam, menjawab orang
yang bersin juga termasuk pembicaraan yang makruh. Adapun
41
memperingatkan orang yang sedang dalam bahaya bukanlah termasuk
pembicaraan yang dimakruhkankan, maka hal tersebut diperbolehkan.25
2. Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa berbicara ketika khutbah dan ketika imam
duduk di atas mimbar di antara dua khutbah hukumnya haram. Tidak ada
perbedaan dalam hal itu antara yang dapat mendengar khutbah ataupun yang
tidak. Maka semuanya haram berbicara sekalipun ia berada di halaman masjid
ataupun di jalan yang tersambung dengan masjid itu. Pembicaraan tersebut
diharamkan selama imam tidak melakukan sesuatu yang salah dalam
khutbahnya, seperti memuji seseorang yang tidak boleh dipuji, atau mencela
yang tidak boleh dicela. Jika khatib melakukan hal tersebut, berarti hukum
keharaman berbicara telah gugur. Dan diperbolehkan berbicara ketika khatib
duduk di atas mimbar sebelum memulai khutbahnya dan pada akhir khutbah
kedua ketika ia mulai berdoa.
Di antara bentuk pembicaraan yang diharamkan ketika khutbah adalah
memberi salam serta menjawab salam kepada orang yang mengucapkannya.
Dan juga melarang seseorang yang berbicara ketika khutbah. Sebagaimana
berbicara itu haram maka memberi isyarat kepada orang yang berbicara dan
melemparnya denga kerikil agar diam adalah haram. Diharamkan juga pada
25 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Kairo: Maktabah al-
Tsaqafah al-Diniyyah, t.t.), Juz I, h. 322.
42
saat khutbah untuk minum dan menjawab orang yang bersin. Akan tetapi bagi
yang bersin disunnahkan membaca “alhamdulillah” dengan samar ketika
imam sedang khutbah. Demikian juga apabila khatib menyebutkan ayat
tentang siksaan atau api neraka, maka disunahkan bagi yang hadir untuk
berta‟awudz dengan samar. Dan apabila khatib berdoa, maka disunahkan pula
mengucapkan “amin” dengan samar dan makruh bila mengeraskannya.
Adapun perihal melaksanakan salat sunah, maka yang demikian itu haram
hukumnya apabila khatib sudah memulai khutbahnya.26
3. Syafi‟iyyah
Mereka berpendapat bagi orang yang dekat dengan khatib, lalu ia diam
dan dapat mendengarkan khutbah, maka dimakruhkan secara tanzih untuk
bicara pada saat khatib melaksanakan rukun khutbah, sekalipun ia tidak
mendengar secara benar-benar. Ada juga ulama Syafi‟iyyah yang mengatakan
bahwa keadaan seperti itu hukumnya haram berbicara. Sedangkan untuk
selain rukun khutbah tidak dimakruhkan berbicara sebagaimana juga tidak
dimakruhkan bicara sebelum khutbah sekalipun imam telah keluar dari tempat
khalwatnya dan telah memulai khutbahnya, begitu pula ketika duduk di antara
dua khutbah dan sebelum dikumandangkan iqamah salat. Demikian juga tidak
dimakruhkan bagi orang yang jauh dari imam untuk berbicara, namun pada
saat itu ia disunahkan untuk berdzikir. Ada empat hal yang secara khusus
26 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz I, h. 322-323.
43
diperbolehkan berbicara, antara lain menjawab orang yang bersin,
mengucapkan shalawat kepada nabi ketika namanya disebutkan, menjawab
salam, dan memperingatkan orang yang sedang dalam bahaya.27
4. Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa bagi orang yang dekat dengan khatib,
dalam arti dapat mendengar khutbahnya, maka diharamkan baginya untuk
berbicara apapun, sekalipun khatib bukanlah orang yang adil. Dikecualikan
bagi khatib itu sendiri, boleh berbicara dengan yang lainnya untuk suatu
kemaslahatan. Sebagaimana juga boleh berbicara bagi jama‟ah kepada khatib.
Kemudian bagi yang mendengar nama nabi disebutkan, boleh bershalawat,
namun disunahkan untuk mengucapkannya dengan samar. Begitu juga dalam
perihal meng-amini doa, membaca alhamdulillah ketika bersin, menjawab
orang yang bersin, dan menjawab salam. Sedangkan bagi orang yang jauh,
dalam arti ia tidak dapat mendengar khutbah, maka ia diperbolehkan
berbicara. Apalagi bila ia sibuk dengan membaca al-Quran atau berdzikir dan
semacamnya, maka itu akan lebih baik dari pada diam tidak berbicara, namun
tidak boleh mengeraskan suaranya agar tidak mengganggu orang yang
mendengarkan khutbah.
Dalam madzhab ini, hukum berbicara itu bisa menjadi wajib ketika
ditujukan untuk mencegah orang agar tidak mendapatkan bahaya, seperti
27 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz I, h. 323.
44
memperingati orang buta dan sebagainya. Adapun berbicara tidak diharamkan
saat sebelum dan sesudah khutbah, saat khatib diam di antara dua khutbah dan
mulai berdoa, ini dikarenakan khatib telah melengkapi rukun-rukun khutbah.
Dan bagi yang mendengar orang lain berbicara, tidak boleh menyuruhnya
diam dengan kata-kata, melainkan hendaknya ia memperingatkannya dengan
isyarat.28
Melihat dari keseluruhan pendapat empat madzhab, sesungguhnya berbicara
ketika khutbah berlangsung tidaklah diperkenankan, dengan status berhukum makruh
bahkan yang paling tegas adalah haram. Meskipun ada beberapa perkara yang
diperbolehkan untuk mengeluarkan suara. Tetapi berbicara dalam konteks mengobrol
atau berbincang-bincang sangatlah tidak diperkenankan. Kalau pun khutbah tidak
terdengar, maka lebih baik digunakan untuk berdzikir sebagaimana pendapat dalam
madzhab Hanbali.
Adapun tidak diperkenankannya berbicara adalah antar sesama jama‟ah. Bila
melihat hadits dari abu hurairah yang diriwayatkan oleh imam bukhari, sangat jelas
bahwa peringatan berbicara ditujukan untuk seorang jama‟ah kepada jama‟ah lainnya.
Sedangkan interupsi yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah interupsi yang
dilakukan kepada khatib. Dengan demikian, perlu dicari dan dikaji kembali dalil-dalil
yang berkaitan dengan pembicaraan antara jama‟ah dan khatib. Ada beberapa hadits
nabi yang menunjukkan pernah terjadinya interaksi antara jama‟ah dan khatib, antara
lain sebagai berikut:
28 Abdur Rahman al-Juzairi, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz I, h. 323.
45
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
اى و ج س و د خ اق اه ات ش ج غ ش ع ػ ػ ف ا ش اع ذ ح للا ق اه ث ذ ػ ت ي ش اػ ذ ح اى ث ح ؼ ج ي للا ػ ي ص
ر ؼ م س و ف ص ق ق اه ل ق اه د ي أ ص ف ق اه ط ة خ ي ع 29
Artinya: “Diceritakan dari „Amr. r.a., bahwa dia mendengar Jabir berkata: seorang
pemuda telah masuk (ke masjid) di hari jum‟at dan Nabi SAW. sedang
berkhutbah, kemudian nabi berkata: apakah kamu sudah salat? Pemuda
tersebut menjawab: belum, kemudian nabi berkata: berdirilah! Dan salatlah
dua raka‟at.” (HR. Bukhari).
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ق اه ذ د غ ش ا ذ ااىح ت أ ظ ق اه ش ات د ػ ػ ظ ػ أ ظ ض ض ػ اى ؼ ث ذ ػ ػ ذ ص ت اد ش اح ذ ح ي ص ث
اى ن ش للا ي ل ع ه اس ف ق اه و ج س ق ا إ ر ح ؼ اى ج ط ة خ ي ع ي ذ للا ػ اف ق غ للا أ ع ف اد اىش اء ي ل اع
ا ػ د ذ 30
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. berkata berkata ketika Nabi SAW. sedang
berkhutbah di hari jum‟at, berdirilah seorang (arab badui), lalu berkata
kepada nabi: Ya Rasulullah, binatang ternak telah mati dan jalan-jalan
penghidupan telah terputus, maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan
hujan kepada kami! Kemudian nabi mengangkat kedua tangannya dan
berdoa.”
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi:
ت ذ ح ا ث ش ش اأ خ ذ ذ ح اج ث ش أ خ اق ح إ ع ت ذ ح ت و اى ف ض ت ذ ح ا ث ش اأ خ ش م ص ت ذ أ ح ش ج ح ت ي ػ
س و :د خ ه ق اى ل ت أ ظ غ ع أ ش ل ش اش ذ ح ف ش ؼ ج ت و اػ ش اإ ع ذ ح للا ع ه س ذ ج غ اى و صيللا-ج
ن د -ػيعي اع أ اى اط إ ى اس ف أ ش ح ؟ اىغ اػ ر للا ع ه س ا : ف ق اه ح ؼ اى ج ث ش اى ي ػ ش ل ز أ ى ف غ
ن د اع أ إ ى ش ش ى ل ر م و اخ ش للا ع ه س اىص اى ص ح -صيللاػيعي-ف ق اهى ذ :»ػ خ د ذ اأ ػ ار ل ح
ث ث د ى ا أ ح غ إ ل ف ق اه ى ع س للا ة ح ق اه 31
Artinya: “Dari Anas bin Malik, ia berkata: seorang pemuda masuk ke dalam masjid
dan ketika itu Rasulullah SAW. sedang berkhutbah di atas mimbar pada hari
29 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 456
30 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458
31 Abu Bakar Ahmad al Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, h. 221.
46
jum‟at. Pemuda tersebut bertanya kepada nabi: Ya Rasulullah, kapan
terjadinya hari kiamat? Ketika itu orang-orang mengisyaratkan kepada
pemuda itu untuk diam. Tetapi pemuda tersebut tetap bertanya sampai tiga
kali dan di setiap ia selesai bertanya, orang-orang selalu mengisyaratkan
kepadanya untuk diam. Namun pada saat pertanyaan yang ketiga kalinya,
Rasulullah berkata kepadanya: celakalah engkau, apa yang sudah kau
siapkan untuk menghadapinya? Kemudian pemuda itu menjawab: cinta
kepada Allah dan rasul-rasulnya. Kemudian Rasulullah berkata:
sesungguhnya engkau bersama-sama dengan siapa saja yang engkau cintai.”
Dari ketiga hadits tersebut, membuktikan bahwa nabi SAW. pernah berbicara
kepada jama‟ah dan jama‟ah pun pernah berbicara kepada nabi SAW ketika sedang
berkhutbah. Dengan demikian, terkait perihal berbicara ketika khutbah sedang
berlangsung terbagi menjadi dua macam:
1. Bagi seorang jama‟ah kepada jama‟ah lainnya tidak diperkenankan untuk
berbicara, dalam arti mengobrol atau berbincang-bincang. Namun ada
beberapa perkara yang masih diperbolehkan, meskipun terdapat perbedaan
pendapat ulama, seperti menjawab salam, menjawab ucapan orang bersin
dan sebagainya.
2. Bagi seorang jama‟ah tidak dilarang untuk berbicara kepada khatib. Hal
ini berdasarkan hadits-hadits yang telah dipaparkan. Namun, tentunya
dengan cara yang baik dan pembicaraannya bukanlah pembicaraan yang
sia-sia.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa menginterupsi khutbah jum‟at diperbolehkan. Tentunya dengan
47
cara yang baik, dan seseorang yang menginterupsi harus mengerti tentang apa yang
dia interupsi. Dan berdasarkan permasalahan yang ada, interupsi dilakukan dengan
tujuan untuk mengingatkan atau meminta penjelasan terkait khutbah yang
disampaikan, bukan bersifat membantah apalagi menyalahkan. Hal ini agar interupsi
tidak terkesan menggurui dan menghindari terciptanya suasana yang gaduh.
48
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPAT TOKOH MUHAMMADIYAH
DAN NAHDHATUL ULAMA (NU)
A. Pendapat Tokoh Muhammadiyah
1. Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag.
Menurut salah satu wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah, Ma‟rifat Iman, prinsip dalam beribadah harus sesuai dengan
syar‟i, sesuai dengan aturan yang telah ditunjukkan oleh Allah dan Rasulnya.
Salat jum‟at merupakan sebuah ibadah yang tentunya harus dilaksanakan
berdasarkan ketentuan syar‟i. Salah satu yang diatur syar‟i dalam pelaksanaan
salat jum‟at adalah perintah inshat.1
Menurutnya, perintah inshat adalah sebuah anjuran untuk
mendengarkan khutbah, beliau menyebutkan hadits riwayat Ahmad yang
menjadi dasar dari anjuran anshit tersebut, adapun haditsnya sebagai berikut:
ش ا ذ قاه:ح ث اط ػ ات ػ ث ؼ اىش ػ اى ذ ج ش ػ :ات ي ع ي للا ػ ي للا ص ه ع س ق اه ي ذ ن ظ ى د ص ى أ ه اى ز ق ف اسا أ ع و ح اس اى ح ص و م ف ط ة خ ا ال ح ؼ اى ج ح ؼ )ساى ج
احذ(2
Artinya: “Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khotbah Jumat, maka ia
seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya:
ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen.). Siapa yang diperintahkan
untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumat baginya (artinya:
ibadah Jumatnya tidak sempurna, pen.).” (HR. Ahmad)
1 Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag.. Kampung Utan, 16
September 2016.
2 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: „Alim al-Kutub, 1998), Juz I, h.
230.
49
Berdasarkan hadits ini, inshat dianjurkan untuk para jama‟ah, kecuali
khatib yang memang tugasnya adalah menyampaikan khutbah. Artinya, yang
menjadi objek dari perintah inshat adalah para jama‟ah, karena yang bertugas
untuk mendengarkan dan memperhatikan adalah jama‟ah.3
Adapun mengenai hukum menginterupsi khutbah, beliau berpendapat
bahwa pada dasarnya seseorang yang berbicara ketika khutbah berlangsung
tidaklah membatalkan pelaksanaan salat jum‟atnya, salatnya tetap sah namun
tidak berpahala. Mengenai interupsi, beliau mengakui belum pernah
menemukan dalil syar‟i terkait hal tersebut, namun pada suatu ketika pernah
mengalami hal tersebut. Beliau mengaku pernah diinterupsi dengan sebuah
isyarat karena khutbah yang disampaikannya terlalu panjang dan menerima
interupsi tersebut. Dari pengalaman tersebut, meskipun belum menemukan
dasar hukum terkait interupsi terhadap khutbah, beliau menyimpulkan
menginterupsi khutbah boleh dilakukan, karena dengan adanya interupsi bisa
mengingatkan khatib yang lalai.4
Menurut beliau, menginterupsi khutbah jum‟at boleh dilakukan, namun
alasan yang menjadi dasar interupsi harus masuk dalam katagori darurat.
Demikian pula menginterupsi khutbah yang rukunnya kurang, menurut beliau
bila hal tersebut merupakan suatu yang darurat maka sah saja untuk diinterupsi.
3 Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag..
4 Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag..
50
Namun beliau menyarankan agar interupsi yang dilakukan lebih baik
menggunakan isyarat, bukan berupa menggunakan lisan.5
Dan mengenai materi yang bersifat provokatif, beliau menyatakan
bahwa materi yang disampaikan khatib dalam khutbahnya tidak boleh bersifat
provokatif. Seperti halnya permasalahan rukun yang kurang, beliau
menganggap materi yang provokatif dapat menjadi alasan yang darurat untuk
diinterupsi. Namun, harus tetap dilakukan dengan cara memberi isyarat tidak
boleh berbicara langsung.6
2. Dr. H. Sopa, M. Ag.
Menurut salah satu wakil sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyyah, Dr. Sopa, M. Ag., perintah inshat yang biasanya diingatkan
sebelum khutbah merupakan kewajiban yang perlu dilakukan oleh jama‟ah.
Para jama‟ah dianjurkan agar diam, mendengarkan, dan memperhatikan
khutbah yang disampaikan khatib. Menurutnya, khatib juga memiliki
wewenang untuk mengingatkan jama‟ah yang berisik pada saat penyampaian
khutbah.7
Adapun berbicara saat khutbah berlangsung, beliau menyebutkan
sebuah hadits sebagai berikut:
5 Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag..
6 Wawancara Pribadi dengan Dr. H. M. Ma‟rifat Iman K.H., M. Ag..
7 Wawancara pribadi dengan Dr. Sopa, M. Ag., Universitas Muhammadiyah Jakarta, 21
September 2016.
51
ش ا ذ :ح ي ع ي للا ػ ي للا ص ه ع س قاه:ق اه ث اط ػ ات ػ ث ؼ اىش ػ اى ذ ج ش ػ ات ي ذ ن ص ى أ ه اى ز ق ف اسا أ ع و ح اس اى ح ص و م ف ط ة خ ا ال ح ؼ اى ج ح ؼ ى ج ظ ى )ساد
احذ(8
Artinya: “Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khotbah Jumat, maka ia
seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya:
ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen.). Siapa yang diperintahkan
untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumat baginya (artinya:
ibadah Jumatnya tidak sempurna, pen.).” (HR. Ahmad)
Menurutnya, ada pengecualian dari para ulama dalam menanggapi hadits
tersebut. Ada yang membolehkan berbicara saat khutbah apabila yang
dibicarakan adalah ilmu pengetahuan. Dan ada juga yang membolehkan
berbicara apabila khutbah yang disampaikan tidak terdengar. Hal ini beliau
kuatkan dengan menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan adanya
interaksi antara jama‟ah dan khatib saat berlangsungnya khutbah. Hadits
tersebut antara lain:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
اى و ج س و د خ اق اه ات ش ج غ ش ع ػ ػ ف ا ش اع ذ ح للا ق اه ث ذ ػ ت ي ش اػ ذ ح ي ص اى ث ح ؼ ج
ي ع ي ػ للا ر ؼ م س و ف ص ق ق اه ل ق اه د ي أ ص ف ق اه ط ة خ 9
Artinya: “Diceritakan dari „Amr. r.a., bahwa dia mendengar Jabir berkata:
seorang pemuda telah masuk (ke masjid) di hari jum‟at dan Nabi
SAW. sedang berkhutbah, kemudian nabi berkata: apakah kamu
sudah salat? Pemuda tersebut menjawab: belum, kemudian nabi
berkata: berdirilah! Dan salatlah dua raka‟at.”
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
أ ظ ػ ض ض اى ؼ ث ذ ػ ػ ذ ص ت اد ش اح ذ ح ق اه د ذ غ ش ا ذ اح ت ق اه أ ظ ػ ش ات د ػ ظ ػ ي ل للا ع ه اس ف ق اه و ج س ق ا إ ر ح ؼ اى ج ط ة خ ي ع ي للا ػ ي ص اى ث اء اىش ي ل اع اى ن ش
ذ ذ اف ق غ أ ع للا اف اد ػ د 10
8 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: „Alim al-Kutub, 1998), Juz I, h.
230. 9 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 456
52
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. berkata berkata ketika Nabi SAW. sedang
berkhutbah di hari jum‟at, berdirilah seorang (arab badui), lalu
berkata kepada nabi: Ya Rasulullah, binatang ternak telah mati dan
jalan-jalan penghidupan telah terputus, maka berdoalah kepada Allah
agar menurunkan hujan kepada kami! Kemudian nabi mengangkat
kedua tangannya dan berdoa.”
Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa boleh berbicara saat khutbah
dengan syarat apa yang dibicarakan berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau
adanya keperluan. Bahkan hal ini pernah terjadi pada saat rasul khutbah, seperti
hadis kedua diatas. Hadis tersebut menunjukkan adanya interaksi antara nabi
dengan orang badui tersebut. Tetapi apabila berbicara mengenai sesuatu yang
tidak ada manfaatnya, maka tidak diperbolehkan.11
Adapun mengenai interupsi terhadap khutbah yang rukunnya kurang,
beliau menjelaskan bahwa dalam pola pikir ilmu fiqih, suatu ibadah yang rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi maka ibadah terebut menjadi tidak sah. Dengan
pola seperti ini juga, maka ada yang disebut dengan konsep i‟adah
(pengulangan). Artinya apabila suatu ibadah tidak sah karena rukun atau
syaratnya kurang, maka ibadah tersebut harus diulangi. Tentu hal ini juga
berlaku pada pelaksanaan solat jum‟at, khususnya khutbah. Dalam khutbah
jum‟at ada beberapa rukun yang harus dipenuhi, jika rukun tersebut tidak
terpenuhi, maka khutbah menjadi tidak sah. Dan berdasarkan konsep i‟adah,
maka khutbah harus diulang. Dalam hal teknis, tidak memungkinkan untuk
10 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458
11 Wawancara pribadi dengan Dr. Sopa, M. Ag.,
53
mengulang khutbah, maka diperbolehkan jama‟ah untuk mengingatkan dengan
sebuah interupsi. Peringatan tersebut diniatkan untuk tawasau bil hak. Menurut
beliau tawasau bil hak bukan hanya untuk urusan di luar ibadah, tetapi dalam
dan untuk sebuah ibadah pun diperbolehkan.12
Adapun mengenai materi khutbah, beliau berpendapat bahwa materi
apapun boleh disampaikan selama ada dan sesuai dengan ajaran islam. Selama
tidak menjelek-jelekkan atau bersifat provokatif. Bahkan sebenarnya khutbah
jum‟at harus bisa menetralisir keadaan yang sedang terjadi. Misalnya, jika
berkaitan dengan poltik khususnya dalam perihal pemilihan kepala daerah,
maka khatib boleh menyampaikan khutbah yang bertema bagaimana etika
politik yang sesuai dengan ajaran islam dsb. Materi khutbah tidak boleh
mengandung unsur kampanye untuk mendukung salah satu pihak. Bila terjadi
demikian, maka hal tersebut telah mengubah kesakralan ibadah salat jum‟at
yaitu dengan menyamakan ibadah salat jum‟at dengan forum kampanye.
Namun, beliau menyarankan Jama‟ah lebih baik tidak menginterupsi bila
menemukan khatib yang seperti itu, melainkan mengadukan hal tersebut kepada
pengurus masjid. Dan pengurus masjid harus lebih cermat memilih khatib yang
mengerti tatacara berkhutbah yang benar.13
3. Ust. Endang Mintardja, MA.
12 Wawancara pribadi dengan Dr. Sopa, M. Ag.,
13 Wawancara pribadi dengan Dr. Sopa, M. Ag.,
54
Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid wilayah DKI Jakarta, yaitu Ust.
Endang Mintardja, MA. memberikan tanggapan terkait pokok masalah
interupsi khutbah jum‟at. Menurut beliau, secara hukum, menginterupsi
khutbah jum‟at merupakan suatu kebolehan. Baginya interupsi merupakan
sebuah interaksi antara khatib dan jama‟ah, hal ini pernah terjadi pada saat
nabi Muhammad SAW sedang khutbah. Adapun perintah inshat dalam hal ini
adalah perintah kepada jama‟ah agar memperhatikan khutbah, dan
menghindari kalam mulgha (perkataan yang sia-sia). Pada saat seorang
jama‟ah menginterupsi khatib berarti jama‟ah tersebut sesungguhnya
memperhatikan apa yang disampaikan khatib, maka menurutnya, interupsi
diperbolehkan secara hukum.14
Namun, beliau memperhitungkan sebab yang menimbulkan terjadinya
interupsi. Dalam kasus ini, sebab yang pertama adalah rukun khutbah yang
tidak terpenuhi ketika khutbah. Menurutnya, rukun merupakan perkara
khilafiyyah. Dalam hal fiqih, selalu saja ada perbedaan pendapat. Terkait
pemahaman rukun khutbah yang notabenenya adalah perkara khilafiyyah,
maka ditekankan sikap toleransi. Yaitu menerima keberagamaan yang ada
dalam ibadah ini. Mengenai kesahannya ini bersifat relatif. Misalnya: seorang
jama‟ah menganut madzhab Syafi‟i, maka rukun khutbahnya adalah rukun
yang lima. Yaitu pujian, shalawat, wasiat, ayat al-Qur‟an dan doa. Sedangkan
khatib tidak mengikuti rukun yang sama, misalnya ia mengikuti madzhab
14 Wawancara pribadi dengan Ust. Endang Mintardja, MA., Depok, 4 Juni 2016.
55
Maliki yang rukunnya adalah penyampaian nasehat saja. Maka ketika khatib
melewatkan lima rukun yang diikuti jama‟ah, khutbah yang disampaikan sah
bagi semuanya. Lain hal bila jama‟ah tersebut yang menjadi khatib, lalu ia
tidak melengkapi rukun madzhab Syafi‟i yang ia ikuti, maka khutbahnya tidak
sah. Jadi, permasalahan dalam pelaksanaan rukun khutbah bersifat relatif,
tergantung siapa yang khatib dan rukun mana yang ia ikuti. Bila sebab yang
pertama ini terjadi, menurutnya, muhammadiyah lebih menekankan untuk
bersikap toleransi, karena rukun merupakan hal yang khilafiyyah, akan lebih
baik jama‟ah diam.15
Sebab kedua yaitu materi khutbah yang dianggap menyimpang atau
bersifat provokatif. Menurutnya, Sama halnya dengan rukun, materi khutbah
juga merupakan bersifat relatif. Ini karena adanya pemahaman yang berbeda-
beda dari setiap jama‟ah. Kemungkinan anggapan seorang jama‟ah berbeda
dengan anggapan jama‟ah lainnya. Menurut satu orang khutbah tersebut
bersifat provokatif belum tentu bagi yang lain demikian. Selama khatib masih
sekedar berbicara maka akan lebih baik jama‟ah yang tidak sependapat untuk
diam, dan lebih mengedepankan akhlak untuk tidak melakukan interupsi, agar
suasana ibadah tetap khidmat. Dan akan lebih baik, jika ketidaksetujuan
terhadap materi khutbah itu disampaikan setelah salat jum‟at selesai.16
15 Wawancara pribadi dengan Ust. Endang Mintardja, MA.
16 Wawancara pribadi dengan Ust. Endang Mintardja, MA.
56
Secara keseluruhan, beliau menekankan, meskipun menginterupsi
khutbah jum‟at diperbolehkan secara hukum, namun perlu dilihat kembali apa
yang menjadi sebab. Apabila disebabkan oleh sesuatu yang bersifat
khilafiyyah, maka lebih baik mengedepankan akhlak, yaitu dengan cara
bersikap toleransi. Karena menurutnya, akhlak merupakan komponen yang
terpenting dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan tujuan diutusnya
Rasulullah SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak.17
B. Pendapat Tokoh Nahdhatul Ulama
1. KH. Mahfudz Asirun
Menurut Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU)
DKI Jakarta, KH. Mahfudz Asirun, hukum dari perintah inshat adalah wajib.
Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang jelas sebagai berikut:
,ػ س ش ااى ي ذ :ح ش ,ق اه ت ن ت ش ا ح ذ أ ت اح ة ,أ غ اى ت ذ ؼ ع ث ش :أ خ اب ,ق اه ش ات ,ػ و ق ػ
ؼ اى ج ث ل اح ى ص اق ي د :إ ر ق اه ي ع ي ػ للا ي للا ص ه ع س :أ ث ش ج ,أ خ ش ش ا ال . د ص أ ح
ف ق ط ة )سااىثخاس( خ خ ى غ ذ 18
Artinya: “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, „Diamlah,
khotib sedang berkhotbah!‟ Sungguh engkau telah berkata sia-
sia.”(HR. Bukhari(.
Beliau menyatakan bahwa hadits tersebut berhubungan dengan salah satu ayat
al-Qur‟an yang menyiratkan kewajiban anshit. Ayat tersebut yaitu ayat 204
surat al-A‟raf sebagai berikut:
17 Wawancara pribadi dengan Ust. Endang Mintardja, MA.
18 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458.
57
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Beliau menjelaskan bahwa seseorang wajib mendengarkan dan memperhatikan
ketika ayat al-Qur‟an sedang dibacakan. Begitu pun saat berlangsungnya
khutbah jum‟at, para jama‟ah diwajibkan untuk mendengarkan dan
memperhatikan khutbah, karena di dalam khutbah tersebut terdapat ayat-ayat
al-Qur‟an yang harus dibacakan oleh khatib. Dan menurut beliau, kewajiban
inshat ini hanya berlaku untuk para jama‟ah, karena yang bertugas untuk
mendengarkan dan memperhatikan khutbah adalah jama‟ah, sedangkan khatib
adalah yang menyampaikan khutbah. Dengan demikian, tidak diperbolehkan
antar jama‟ah untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan pendengaran
dan perhatian mereka dari khutbah.19
Adapun menginterupsi khutbah, beliau menjelaskan terlebih dahulu
bahwa berbicara kepada khatib diperbolehkan, tetapi dengan tujuan demi
kemashlahatan umum. Adapun mengenai kemashlahatan umum, beliau
mencontohkan dengan menyebut hadis nabi sebagai berikut:
ػ ش ات د ػ ظ ػ أ ظ ػ ض ض اى ؼ ث ذ ػ ػ ذ ص ت اد ش اح ذ ح ق اه ذ د غ ش ا ذ اح ت ق اه أ ظ
ط ة خ ي ع ي للا ػ ي ص اى ث اىش اء ي ل اع اى ن ش ي ل للا ع ه اس ف ق اه و ج س ق ا إ ر ح ؼ اى ج
ا ػ د ذ ذ اف ق غ أ ع للا ف اد 20
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. berkata berkata ketika Nabi SAW. sedang
berkhutbah di hari jum‟at, berdirilah seorang (arab badui), lalu
19 Wawancara pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun, Pondok Pesantren al-Itqon, 8 Oktober
2016.
20 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458.
58
berkata kepada nabi: Ya Rasulullah, binatang ternak telah mati dan
jalan-jalan penghidupan telah terputus, maka berdoalah kepada Allah
agar menurunkan hujan kepada kami! Kemudian nabi mengangkat
kedua tangannya dan berdoa.”
Dari peristiwa yang digambarkan dalam hadits tersebut, beliau menyimpulkan
bahwa jama‟ah yang berbicara kepada khatib tidak dilarang, namun
pembicaraannya ditujukan untuk hal yang penting demi kemashlahatan
umum.21
Adapun interupsi khutbah yang kurang rukunnya, beliau mewajibkan
untuk diinterupsi dengan tujuan mengingatkan. Karena rukun khutbah
berpengaruh terhadap sahnya khutbah, bila rukunnya kurang maka khutbah
tersebut tidak sah dan pelaksanaan salat jum‟at pun menjadi tidak sah. Dengan
demikian, beliau menegaskan bahwa interupsi khutbah jum‟at yang kurang
rukunnya wajib dilakukan, dan itu bisa terjadi dimana saja bukan hanya di
aceh.22
Adapun mengenai materi khutbah, beliau menjelaskan bahwa materi
harus sesuai dengan keadaan yang terjadi saat itu. Dengan kata lain, materi
khutbah haruslah aktual. Adapun mengenai interupsi yang dilakukan terhadap
khutbah yang provokatif, beliau menjelaskan bahwa persepsi orang dalam
mendengar khutbah tentunya tidak sama. Menurutnya, khutbah yang provokatif
adalah relatif, tergantung siapa yang mendengar dan bagaimana ia memahami
21 Wawancara pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun.
22 Wawancara pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun.
59
isi khutbah. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang dianggap provokatif
menurut satu orang belum tentu provokatif menurut yang lainnya. Jadi lebih
baik untuk tidak diinterupsi.23
2. KH. Asnawi Ridlwan
Menurut KH. Asnawi Ridlwan, salah satu wakil sekretaris Lembaga
Bahtsul Masail, hukum dasar perintah inshat dalam pelaksanaan khutbah jum‟at
adalah wajib. Perintah tersebut bersifat wajib hanya kepada jumlah jama‟ah
yang disyaratkan dalam pelaksanaan salat jum‟at. Misalnya beliau
mencontohkan bahwa menurut syafi‟yyah, jumlah jama‟ah sebagai syarat
pelaksanaan salat jum‟at adalah 40 orang. Apabila dalam sebuah pelaksanaan
salat jum‟at hanya ada 40 orang, maka diwajibkan bagi mereka untuk diam,
mendengarkan, dan memperhatikan. Sedangkan apabila jumlah jama‟ah lebih
dari batas jumlah syarat pelaksanaan salat jum‟at, misalnya seperti jama‟ah
salat jum‟at di masjid wilayah Jakarta yang pasti melebihi 40 orang maka
hukumnya bersifat sunah afdhaliyyah. Dengan demikian, apabila ada yang
berbicara di antara jama‟ah tersebut, maka tidak membatalkan atau menjadikan
salat jum‟atnya tidak sah, hanya saja tidak mendapatkan pahala sunah.24
Adapun mengenai khutbah yang kurang rukunnya, beliau
menggambarkan terlebih dahulu bahwa khutbah merupakan pengganti dua
raka‟at salat dzuhur. Namun bukan berarti khutbah sama dengan salat, yang
23 Wawancara pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun.
24 Wawancara Pribadi dengan KH. Asnawi Ridlwan, Depok, 16 Oktober 2016.
60
sama hanya kedudukannya saja. Dengan demikian, apabila khutbah jum‟at
tidak terlengkapi rukunnya, maka dapat dianalogikan seperti salat yang kurang
rukunnya. Ketika rukun salat ada yang terlewati maka makmum berhak
mengingatkan imam. Begitu juga dengan khutbah, apabila rukunnya tidak
terlengkapi maka jama‟ah berhak mengingatkannya. Bahkan hukumnya wajib
dengan dasar amar ma‟ruf nahi munkar. adapun mengenai cara
mengingatkannya, karena salat dan khutbah merupakan pekerjaan yang
berbeda, maka cara mengingatkannya juga berbeda. Jika salat yang rukunnya
kurang diingatkan dengan cara membaca tasbih, maka khutbah yang rukunnya
kurang boleh diingatkan dengan cara berbicara langsung kepada khatib.25
Berkaitan dengan materi khutbah, beliau menjelaskan bahwa materi
khutbah hanya sebagai tambahan dalam pelaksanaan khutbah. Meskipun khatib
hanya menyampaikan rukun-rukun khutbah itu sudah cukup, karena salah satu
dari rukun-rukun tersebut adalah penyampaian wasiat, yaitu menyerukan
kepada jama‟ah untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT. Menurut beliau,
yang seperti ini sudah cukup dalam penyampaian khutbah. Namun, bukan
berarti tidak boleh menambahkan materi.26
Menurutnya, materi yang akan ditambahkan dalam khutbah haruslah
mengandung tujuan irsyad (memberi petunjuk), tentu yang sesuai dengan
ajaran islam yang didasarkan dari al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan demikian
25 Wawancara Pribadi dengan KH. Asnawi Ridlwan,
26 Wawancara Pribadi dengan KH. Asnawi Ridlwan,
61
apabila materi khutbah sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran islam, maka sudah
keluar dari tujuan khutbah. Maka mengenai interupsi terhadap khutbah yang
keluar tujuan tersebut, beliau lebih memilih untuk tidak melakukannya ketika
khutbah sedang berlangsung. Karena dapat menimbulkan perdebatan dan
merusak kekhusu‟an salat jum‟at. lebih baik dilakukan setelah salat jum‟at
selesai, dan menyarankan agar lebih selektif dalam memilih khatib.27
3. Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, SH.
Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, beliau adalah aktivis muda nahdhatul
ulama yang sedang menjabat sebagai wakil sekretaris Lembaga Bahtsul
Masail Pusat. Beliau yang menjawab pertanyaan dalam situs nuonline.co.id
tentang hukum menginterupsi khutbah jum‟at yang materinya bersifat
provokatif atau menebar kebencian. Pertanyaan tersebut ditanyakan oleh
saudara Hasanuddin dari DKI Jakarta, berikut kutipan pertanyaannya:
“Assalamu‟alaikum wr wb. Dalam beberapa kesempatan khutbah saya
sering menemukan khatib menyampaikan materi yang sangat menyinggung
perasaan, misalnya menjelek-jelekkan orang lain dan memusuhi kelompok
lain secara terang-terangan. Dalam kondisi demikian, apakah boleh kami
mengintrupsi khutbah, atau sebaiknya kami mufaroqoh atau bagaimana?
Kondisi demikian seringkali menyebabkan shalat Jum‟at kita tidak khusu‟.
Terimakasih atas penjelasannya. (Hasannuddin, Jakarta)”
Menurut beliau, berdasarkan pendapat jumhur ulama bahwa berbicara
ketika khutbah sedang berlangsung merupakan hal yang tidak diperbolehkan.
Para jama‟ah diperintahkan untuk diam dan mendengarkan apa yang
27 Wawancara Pribadi dengan KH. Asnawi Ridlwan,
62
disampaikan oleh khatib. Namun, ada pendapat salah satu imam yang menarik
perhatian, yaitu pendapat imam Malik. Beliau menjelaskan bahwa imam
malik merupakan salah satu ulama yang melarang jama‟ah berbicara saat
khutbah sedang berlangsung dan juga mewajibkan perintah inshat. Namun,
ada pengecualian yang dapat menggugurkan perintah inshat tersebut dan
larangan jama‟ah untuk berbicara. Pengecualian tersebut adalah ketika
jama‟ah mendengarkan perkataan yang sia-sia atau ngawur (kalam mulgha)
dari khutbah yang disampaikan khatib. Contohnya, memuji orang yang tidak
layak dipuji atau menghina orang yang tidak layak dihina. Bila hal itu terjadi,
maka larangan berbicara menjadi gugur. Menurutnya, pendapat imam malik
tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan sebelumnya.28
Beliau menambahkan bahwa di masa Rasulullah SAW pernah terjadi
pembicaraan antara jama‟ah dan khatib. Hal itu terjadi ketika Rasulullah SAW
sedang khutbah, ada orang arab yang meminta nabi untuk berdoa agar
diturunkan hujan di daerahnya, karena saat itu kemarau yang terjadi telah
banyak merugikan masyarakat di sana. Kemudian Rasulullah mengangkat
tangan lalu berdoa. Dari apa yang terjadi menunjukkan bahwa Rasulullah
SAW merespon apa yang diminta oleh orang arab tersebut sehingga terjadinya
28 Wawancara Pribadi dengan Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, SH., Kantor Redaksi Pengurus
Besar Nahdhatul Ulama, 16 Juni 2016.
63
sebuah interaksi. Sehingga, menurut beliau, berbicara kepada khatib
merupakan hal yang diperbolehkan.29
Adapun mengenai sebab-sebab terjadinya interupsi yang dibahas
dalam analisis ini, beliau menjelaskan materi khutbah yang disampaikan oleh
khatib harus didengar, dicermati dan dipahami dengan benar oleh para
jama‟ah, sehingga dapat disimpulkan benar atau tidaknya materi tersebut. Jika
ternyata yang disampaikan adalah materi yang menyimpang sebagaimana
dicontohkan imam malik, maka jama‟ah diperbolehkan untuk menginterupsi
khatib. Tetapi, beliau juga menambahkan dalam menginterupsi khatib yang
disebabkan materi tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan yang luas.
Tanpa pengetahuan tersebut, jama‟ah yang menganggap adanya kejanggalan
dalam materi khutbah, lebih dianjurkan untuk diam dan baiknya bertanya
kepada khatib setelah salat jum‟at selesai. Hal ini dikarenakan ajaran Islam
yang begitu luas dan banyaknya perbedaan pendapat ulama. Dengan
demikian, beliau lebih menganjurkan jama‟ah untuk bertanya setelah salat
jum‟at selesai dari pada menginterupsi khutbah, walaupun hal tersebut boleh
dilakukan.30
Selain materi khutbah, rukun khutbah yang tidak terpenuhi juga bisa
menjadi sebab terjadinya interupsi. Dalam hal ini, beliau menjelaskan bahwa
rukun khutbah yang mayoritas diikuti oleh muslim di Indonesia adalah rukun
29 Wawancara Pribadi dengan Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, SH.
30 Wawancara Pribadi dengan Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, SH.
64
khutbah dari madzhab Syafi‟i, yaitu pujian kepada Allah SWT, Shalawat
kepada Rasulullah SAW, wasiat ketaqwaan, membaca ayat al-Qur‟an dan doa
untuk muslim dalam urusan akhirat. Meskipun ini merupakan masalah
khilafiyyah, namun menurut pendapatnya, tidak ada rukun khutbah dari
madzhab lain yang diikuti oleh muslim di Indonesia, secara umum semua
mengikuti madzhab Syafi‟i. Maka bila terjadi penyampaian khutbah yang
rukunnya kurang, beliau membolehkan interupsi untuk mengingatkan. Ketika
terjadi sesuatu di luar kebiasaan, maka harus ditegur dan dingatkan kembali
apa yang telah menjadi kebiasaan. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di
Aceh. Karena bila tidak diingatkan dan dibiarkan tidak terpenuhinya rukun
khutbah, maka khutbah jum‟at tidaklah sah dan harus diulang kembali.31
C. Analisis Perbandingan Pendapat Tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama
Permasalahan dalam bidang fikih kerap kali menimbulkan ikhtilaf. ikhtilaf
dalam bahasa kita sering diartikan dengan perbedaan pendapat, pandangan, atau
sikap. Masalah yang menimbulkan adanya perbedaan disebut masalah khilafiyyah,
yaitu masalah yang hukumnya tidak disepakati oleh para ulama. Keragaman dan
perbedaan pendapat tersebut dinilai sebagai kekayaan fikih.32
Perbedaan pendapat
tersebut bersifat alamiah dan ilmiah. Alamiah, karena secara fitrah cara pandangan
31 Wawancara Pribadi dengan Ust. Mahbub Ma‟afi Ramdlan, SH.
32 Sofyan A.P Kau dan Zulkarnain Suleman, “Wacana Non Dominan: Menghadirkan Fikih
Alternatif yang Berkeadilan Gender”, Jurnal al-Ulum Vol. 13, No. 2, (Desember 2013), h. 248.
65
manusia itu tidak selalu sama. Ilmiah, karena beberapa teks syariah (al-Qur‟an dan
Sunnah) memberikan ruang gerak bagi kemungkinan untuk berbeda pendapat.33
Hal tersebut pun terjadi dalam permasalahan yang penulis bahas. Pembahasan
mengenai perintah inshat dan interupsi khutbah jum‟ah merupakan masalah
khilafiyyah yang dalam penelitian ini adanya perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh
dari dua organisasi islam di indonesia yaitu Muhammadiyyah dan Nahdhatul Ulama.
Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat difokuskan menjadi tiga
bahasan. Dalam masing-masing pembahasannya, penulis akan menguraikan analisis
perbandingan pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.
1. Kajian perintah Inshat
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
perintah inshat. Dari penjelasan tersebut, dipaparkan beberapa dalil yang berkaitan
dengan perintah inshat, salah satunya yang telah sering didengar adalah hadits
riwayat Imam Bukhari sebagai berikut:
ق ػ ,ػ س ش ااى ي ذ :ح ش ,ق اه ت ن ت ش ا ح ذ ج ,ح ش أ ت ا ش ة ,أ غ اى ت ذ ؼ ع ث ش :أ خ اب ,ق اه ش ات ,ػ و
د ص أ ح ؼ اى ج ث ل اح ى ص اق ي د :إ ر ق اه ي ع ي للا ػ ي للا ص ه ع س :أ ث ش ى غ أ خ ف ق ذ ط ة خ ا ال . خ )سااىثخاس(
34
Artinya: “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, „Diamlah, khotib
sedang berkhotbah!‟ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari(
33 Muammar Bakry, “Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtilaf Madzhab
Fikih”, Jurnal al-Ulum Vol. 14, No. 1, (Juni 2014), h. 172.
34 Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 458.
66
Hadits ini menjadi dasar permasalahan perintah ansit mengenai hukum dan objek dari
perintah tersebut.
Adapun hukum inshat, keenam tokoh sepakat bahwa hukumnya adalah wajib
untuk para jama‟ah. Dengan demikian, para jama‟ah wajib untuk mendengarkan dan
memperhatikan khatib yang menyampaikan khutbah. Jama‟ah dilarang untuk
melakukan hal-hal yang menghilangkan kefokusan mereka dalam memperhatikan
khutbah.
Selain hadits tersebut, salah satu tokoh yaitu KH. Mahfudz Asirun
menghubungkan perintah ansit dengan salah satu ayat al-Qur‟an yaitu ayat ayat 204
surat al-A‟raf sebagai berikut:
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Menurutnya, kewajiban dari perintah ansit tersebut dikarenakan adanya ayat al-
Qur‟an yang dibacakan dalam khutbah. Dengan demikian, karena adanya salah satu
rukun berupa pembacaan ayat al-Qur‟an maka ayat tersebut menjadi sebab wajibnya
jama‟ah untuk mendengarkan dan memperhatikan khutbah.
Meskipun sepakat bahwa pada dasarnya hukum al inshat adalah wajib. KH.
Asnawi Ridwan menambahkan bahwa perintah tersebut wajib sesuai dengan syarat
wajib jumlah jama‟ah yang harus hadir dalam pelaksanaan khutbah jum‟at. beliau
mencontohkan, dalam madzhab syafi‟i, jumlah jama‟ah yang harus hadir adalah 40
orang. Jika yang hadir hanya 40 orang, maka mereka wajib mendengarkan dan
67
memperhatikan khutbah. Bila ada satu orang yang lalai, maka salat jum‟at mereka tidak
sah. Sedangkan bila yang jumlah yang hadir melebihi syarat wajib jumlah jama‟ah,
seperti masjid-masjid di jakarta, jama‟ah yang hadir pasti melebihi dari 40 orang, maka
perintah inshat menjadi sunah afdhaliyyah. Dengan demikian, jika salah satu dari
mereka lalai, pelaksanaan salatnya tetap sah, tetapi tidak mendapatkan pahala sunah.
Dengan demikian, mengenai perintah inshat, penulis juga sepakat bahwa para
jama‟ah wajib mendengarkan dan memperhatikan khutbah. Hal ini akan menghasilkan
manfaat bagi diri jama‟ah masing-masing. Dengan memperhatikan khutbah, maka
jama‟ah akan mengingat kembali ajaran-ajaran islam atau bahkan mendapatkan ilmu
tambahan yang belum pernah didapat.
2. Interupsi khutbah jum‟at yang rukunnya tidak terpenuhi
Dalam permasalahan interupsi khutbah, maka harus terlebih dahulu diketahui
mengenai hukum berbicara pada saat khutbah sedang berlangsung. Dalam hal ini,
kebanyakan tokoh berpendapat bahwa berbicara tidak diharamkan pada saat khutbah
berlangsung. Meskipun diwajibkan untuk mendengarkan dan memperhatikan
khutbah, bukan berarti diharamkan untuk berbicara. Berbicara bukan hal yang dapat
menjadikan salat jum‟at tidak sah atau batal. Tetapi dapat menjadikan salat jum‟atnya
tidak berpahala. Demikianlah kesamaan pendapat para tokoh dalam hal berbicara saat
khutbah berlangsung.
Meskipun diperbolehkan, ada beberapa tokoh yang tetap memberikan batasan
mengenai berbicara yang diperbolehkan. Seperti halnya ustad Endang Mintardja
menjelaskan bahwa meski secara hukum berbicara adalah suatu kebolehan, akan
68
tetapi jama‟ah harus tetap menghindari kalam mulgha (pembicaraan yang sia-sia).
Seperti halnya mengobrol dengan jama‟ah lainnya, sedangkan obrolannya tidak sama
sekali berkaitan dengan pembahasan khutbah yang disampaikan. Begitu pula Dr.
Sopa menerangkan bahwa pembicaraan yang diperbolehkan adalah saat khutbah yang
disampaikan khatib tidak terdengar dan yang dibicarakan harus mengandung ilmu
pengetahuan. KH Mahfudz Asirun menambahkan bahwa berbicara boleh dilakukan
apabila pembicaraan tersebut mengandung kepentingan umum.
Berbeda dengan pendapat tokoh lainnya, yaitu ustad Mahbub. Beliau
mengutip bahwa jumhur ulama sepakat tidak memperbolehkan jama‟ah untuk
berbicara. Tetapi meskipun demikian, beliau menambahkan sebuah pendapat ulama
yang menyatakan bahwa larangan untuk berbicara bisa menjadi gugur ketika khatib
menyampaikan khutbah yang tidak dibenarkan. Pendapat tersebut adalah pendapat
imam Malik.
Adapun perihal menginterupsi khutbah yang rukunnya kurang, lima dari enam
tokoh sepakat bahwa hal tersebut diperbolehkan. Dengan alasan yang sama, mereka
menyatakan bahwa rukun merupakan syarat sah dalam suatu ibadah. Apabila salah
satu saja rukun tersebut tidak terpenuhi maka ibadah menjadi tidak sah. Dengan
demikian, khutbah yang rukunnya tidak terpenuhi maka jama‟ah wajib mengingatkan
khatib akan hal tersebut. agar pelaksanaan salat jum‟at menjadi sah dan tidak terjadi
pengulangan khutbah.
Adapun satu dari enam tokoh di atas yaitu ustad Endang Mintardja berbeda
pendapat dengan pendapat yang telah jelaskan. Beliau mengatakan bahwa masalah
69
rukun merupakan masalah khilafiyyah. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan
penetapan rukun khutbah jum‟at dari beberapa ulama. Menyikapi hal tersebut, beliau
berpendapat bahwa lebih baik untuk tidak diinterupsi. Melainkan menekankan untuk
bersikap lebih toleran terhadap masalah khilafiyyah seperti ini. Karena jika terjadi
interupsi dapat merusak kekhidmatan salat jum‟at.
Adapun penulis lebih condong untuk berpendapat seperti pendapat pertama,
yaitu khutbah yang rukunnya kurang harus diinterupsi. Tentunya dengan alasan yang
sama yaitu rukun merupakan penentu sah atau tidaknya suatu ibadah. Di sisi lain,
meskipun rukun merupakan masalah khilafiyyah, namun indonesia merupakan negara
dengan penganut madzhab syafi‟i terbanyak. Sehingga penulis meyakini dan
berkesimpulan bahwa rukun khutbah yang digunakan dalam pelaksanaan salat jum‟at
khususnya penyampaian khutbah di indonesia semuanya sama yaitu mengikuti rukun
yang di rumuskan oleh madzhab syafi‟i dan terhindar dari perbedaan rukun dalam
satu masjid. Dan jika terjadi adanya khutbah yang rukunnya kurang, maka harus
diingatkan demi keabsahan salat jum‟at.
3. Interupsi khutbah jum‟at yang materinya bersifat provokatif
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya hukum menginterupsi
adalah boleh. Namun, perlu dipertimbangkan juga alasan mengapa melakukan
interupsi. Seperti permasalahan tentang materi khutbah yang bersifat provokatif,
keenam tokoh sepakat bahwa interupsi terhadap khutbah yang seperti itu lebih baik
tidak dilakukan. Dengan alasan bahwa materi khutbah hanyalah komponen tambahan
dalam khutbah. Bahkan KH Asnawi Ridwan menyatakan bahwa sebenarnya khutbah
70
sudah cukup hanya dengan menyempurnakan rukun, tanpa harus ada materi yang
ditambahkan.
Adapun interupsi materi yang bersifat provokatif, keenam tokoh berpendapat
bahwa untuk perihal materi khutbah lebih baik untuk tidak menginterupsi. Karena
persepsi provokatif merupakan hal yang relatif. Artinya, materi yang dianggap
seorang jama‟ah bersifat provokatif belum tentu yang lainnya menganggap sama.
Pemahaman seseorang tidak dapat disamaratakan dengan yang lainnya dan tingkat
pengetahuan para jama‟ah pun pasti berbeda-beda. Dengan demikian, apabila materi
tersebut diinterupsi dikhawatirkan dapat menimbulkan perdebatan bahkan kegaduhan.
Oleh karena itu, keenam tokoh sepakat agar tidak menginterupsi khutbah karena
materinya. Apabila ada yang tidak disetujui mengenai materi khutbah, maka lebih
baik mendiskusikannya setelah pelaksanaan salat jum‟at selesai.
Dalam hal ini, penulis menambahkan bahwa dalam penyampaian khutbah,
maka kecakapan seorang khatib harus terjamin. Pihak pengurus masjid harus lebih
selektif dalam memilih khatib. Agar tidak terjadi kecacatan dalam khutbahnya, khatib
harus memahami ketentuan-ketentuan yang disyari‟atkan dalam pelaksanaan salat
jum‟at secara umum, khususnya ketentuan-ketentuan terkait bagaimana khutbah yang
benar. Karena tidak jarang kecacatan khutbah terjadi karena kelalaian khatib yang
tidak mengerti bagaimana khutbah yang dibenarkan. Khusus perihal materi, khatib
harus bisa membaca situasi dan kondisi yang sedang terjadi di lingkungan
masyarakat. Agar khutbah yang disampaikan mencapai tujuannya dengan baik.
71
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad),
tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan hukum islam, bahkan
sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak. Hal ini berarti bahwa
orang bebas memilih salah satu pendapat dari yang banyak itu dan tidak terpaku
hanya kepada satu pendapat saja. Sebagian orang memang mempertanyakan bahwa
perbedaan pendapat kenyataannya membawa laknat, bukan rahmat. Perbedaan
pendapat dikalangan orang awan dan orang yang kurang ilmunya dengan demikian.
Adapun perbedaan pendapat dikalangan cendikiawan dan ilmuwan, itulah yang
membawa rahmat karena pandangan dan wawasan yang luas serta tidak kaku.35
35 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 8.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Tokoh-tokoh Muhammadiyah sepakat bahwa inshat wajib bagi para
jama‟ah. Sedangkan interupsi terhadap khutbah yang bersifat provokatif
lebih baik tidak dilakukan. Selanjutnya interupsi terhadap khutbah yang
kurang rukunnya, mereka berbeda pendapat. Dua dari tokoh-tokoh
tersebut membolehkan interupsi terhadap khutbah tersebut, sedangkan
yang lain tidak membolehkan.
2. Semua tokoh Nahdhatul Ulama sepakat bahwa pada dasarnya hukum
inshat adalah wajib bagi para jama‟ah. Begitu juga tentang interupsi
terhadap khutbah yang rukunnya kurang, mereka sepakat untuk
membolehkan interupsi tersebut. Sedangkan interupsi terhadap khutbah
yang bersifat provokatif, mereka sepakat untuk tidak memperbolehkan.
3. Keenam tokoh yang menjadi narasumber sepakat bahwa inshat merupakan
kewajiban bagi semua jama‟ah. Mereka wajib mendengarkan dan
memperhatikan khutbah yang disampaikan khatib, karena ada ayat al-
Qur‟an dan hadits yang menyatakan kewajiban tersebut. Adapun
permasalahan interupsi, semua tokoh sepakat bahwa khutbah yang
rukunnya kurang harus diinterupsi dengan niat mengingatkan khatib,
73
karena rukun merupakan faktor yang mempengaruhi sah atau tidaknya
khutbah. Satu tokoh muhammadiyah lebih menganjurkan untuk
bertoleransi karena kemungkinan perbedaan rukun yang digunakan.
Adapun terhadap khutbah yang materinya bersifat provokatif, semua
tokoh sepakat menganjurkan untuk tidak menginterupsi khutbah yang
demikian, karena materi merupakan suatu yang sensitif bila disinggung.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terkait skripsi ini, maka penulis
memaparkan beberapa saran:
1. Dalam penelitian ini, terdapat perbedaan pendapat baik dari tokoh
Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama. Meskipun berada dalam satu
lingkungan, tokoh-tokoh tersebut berbeda pendapat dalam menyikapi
masalah yang diteliti. Dengan demikian, kedua organisasi tersebut perlu
mengadakan diskusi terkait masalah ini agar ditemukan pendapat yang
selaras.
2. Khutbah jum‟at merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat jum‟ah.
Dengan demikian, disarankan bagi khatib dan masyarakat umum
khususnya jama‟ah memahami hal-hal yang berkaitan dengan khutbah
jum‟at. Bila ada yang keliru dalam penyampaian khutbah jum‟at,
diharapkan jama‟ah mampu bersikap dengan bijak untuk mengingatkan
khatib.
74
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Qur‟an al-Karim (ayat dan terjemahan)
Abdurrahman, Mahmud. Mu‟jam al-Mushthalahat al-Alfadz al-Fiqhiyyah. Kairo: Dar
al-Fadhillah, 1999, Juz II.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Amin, Muhammad. Raddu al-Mukhtar „ala al-Durri al-Mukhtar. Beirut: Dar al Fikr,
t.t., Juz II.
Arabi, al, Ibn. Ahkam al-Qur‟an. Beirut: Dar al-Kutub al-„Alamiyyah, 2003, Juz IV.
Arifin, Bustanul. Menyimak. Jakarta: Universitas Terbuka, 2010.
Ashbahiy, al, Malik bin Anas. Al-Mudawwanah al-Kubro. Beirut: Dar al-Kutub al-
Alamiyyah, Juz I.
Atceh, Abu Bakar. Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam. Semarang:
Ramadhani, 1991.
Azizi, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009.
Baihaqi, al, Abu Bakar Ahmad. Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi. Mekkah: Maktabah
Dar al Baz, 1994, Juz III.
Bukhari, al, Muhammad ibn Isma‟il Abu Abdillah. Shahih al-Bukhari. Kairo: Dar al-
Kutub, 2002, Juz III.
Dardiri, al, Ahmad. al-Syarhu al-Shagir. Kairo: Mathba‟ah al-Madani, 1965, Juz I.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
75
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
H, Soemitro Romie. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Hanbal, Ahmad Ibn. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: „Alim al-Kutub, 1998, Juz
I..
Hasan, M, Ali. Perbandingan Mazhab Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Juzairi, al, Abdur Rahman. al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah. Kairo: Maktabah
al-Tsaqafah al-Diniyyah, Juz I.
Kasani, al, „Alauddin. Bada‟i al-Shana‟i. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Juz I.
Kasynawi, al, Abu Bakar bin Hasan. Ashal al-Madarik. Beirut: Dar al Fikr, t.th, Juz I.
Kuntjara, Eshter. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta: Gunung Mulia, 2003.
Mahfuz, Ali. Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa‟dzi wa al-Khitabah. Beirut: Dar
al-Ma‟arif, t.t.
Moelang, J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997.
Muhammad, Jamaluddin. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir, 1990, Juz I.
Muhyiddin, Abi Zakariya. Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab. Beirut: Dar Ihya al-Turats
al-Arab, 2001, Juz IV.
Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Muqaddasy, al, Abu Muhammad Abdullah Qudamah. Al-Muqni‟. Riyadh: Dar „Alim
al-Kutub, 2005, Juz VI.
76
Najjar, Ibn. Syarah al Kaukab al Munir. Madinah: Maktabah al „Abaikani, 1997, Juz
III.
Naysaburi, al, Imam Abi al-Husain Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim.
Beirut: Dar al-Fikr, 1992, Juz IV.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2011.
Qurthubi, al, Muhammad al-Anshari. Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an. Arab Saudi: Dar
Alim al-Kutub, 2003, Juz VII.
Razzaq, al, Abu Bakr „Abd. Musnaf „Abd al-Razzaq. Beirut: al-Maktab al-Islam,
1982, Juz III.
Resmini, Novi. Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Tinggi. Bandung: UPI
PRESS, 2007.
Rubiyanah dan Ade Matsuri. Pengantar Ilmu Da‟wah. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid. Beirut: Dar Ibnu „Ashshoshoh, 2005, Jilid I.
Shabuni, al, Muhammad Ali. Rawai‟ al-Bayan. Kairo: Dar Al Shabuni, 2007.
Shawi, al, Ahmad. Bulghatu al-Saliki Li Aqrabi al-Masalik. Beirut: Dar al-Kutub al-
„Alamiyyah, 1995, Juz I.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.
Suma, M. Amin. 5 Pilar Islam Membentuk Pribadi Tangguh. Tanggerang: Kholam
Publishing. 2007.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008.
77
Sya‟rani, al, Abdul Wahab. al-Mizan. (Beirut: Alim Al-Kutub, 1989), Juz II.
Syaibah, Muhammad ibn Abi. Musnaf ibn Abi Syaibah. Beirut: al-Maktab al-Islam,
1982, Juz II.
Syarbini, al, Syamsuddin. Mughni al-Muhtaj. Kairo: al-Quds, 2011, Juz II.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana, 2003.
Syaukani, al, Muhammad bin Ali. Fath al-Qadir. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah,
1996, Juz II.
Tarigan, Henry Guntur. Menyimak sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung:
Angkasa Bandung, 2008.
Thabari, al, Abi Ja‟far Muhammad. Jami‟ al-Bayan. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Juz
VI.
Umar, Ahmad Mukhtar. Mu‟jam al-Lughah al-„Arabiyyah al-Mu‟ashirah. Kairo:
„Alim al-Kutub, 2008, Juz I.
Utsaimin, al, Muhammad. al-Syarh al-Mumti‟. Kairo: Dar Ibn al-Jauzi, 2002, Juz V.
Yunus, Mansur Ibn. Kasyaf al-Qina‟. Riyadh: Dar „Alim al-Kutub, 2003, Juz II.
Zuhaily, al, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu. Suriah: Dar al-Fikri, t.t., Juz I.
JURNAL
Bakry, Muammar. “Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtilaf
Madzhab Fikih”. Jurnal al-Ulum Vol. 14. No. 1 (Juni 2014).
Kau, Sofyan A.P. dan Zulkarnain Suleman, “Wacana Non Dominan: Menghadirkan
Fikih Alternatif yang Berkeadilan Gender”. al-Ulum Vol. 13. No. 2
(Desember 2013).
78
DOKUMEN ELEKRONIK
Ramdlan, Mahbub Ma‟afi. Bolehkah Menginterupsi Khutbah Jum‟at?. artikel diakses
pada 31 Juli 2014 dari http://www.nu.or.id/post/read/53576/bolehkah-
menginterupsi-khutbah-jumrsquoat.
Sukanto, Imam. “Interupsi Khotbah Jumat Sering Terjadi di Sini”. Tempo.Co. 10
Januari 2015.
Wiryawan, Budi. Antara Interupsi dan interuksi. artikel diakses pada 25 Juni 2015
dari http://www.kompasiana.com/budhiwiryawan/antara-interupsi-dan-
interuksi_55171e7fa333111a06b659de
WAWANCARA
Wawancara Pribadi dengan Endang Mintardja. Depok. 4 Juni 2016.
Wawancara Pribadi dengan Mahbub Ma‟afi Ramdlan. Kantor Redaksi Pengurus
Besar Nahdhatul Ulama. 16 Juni 2016.
Wawancara Pribadi dengan M. Ma‟rifat Iman K.H. Kampung Utan. 16 September
2016.
Wawancara Pribadi dengan Sopa. Universitas Muhammadiyah Jakarta. 21 September
2016.
Wawancara Pribadi dengan Mahfudz Asirun. Pondok Pesantren al-Itqon. 8 Oktober
2016.
Wawancara Pribadi dengan Asnawi Ridwan. Depok. 16 Oktober 2016.