skripsi kelompok iii

105
 ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU JENIS SENGON ( Paraserianthes falcataria) DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat) Oleh : Anggun Eka Nugraha Putra A 14101658 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: yanuansyah-arysontama

Post on 08-Oct-2015

82 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

no

TRANSCRIPT

  • ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU

    JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN

    PROSPEK PENGEMBANGANNYA

    (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)

    Oleh :

    Anggun Eka Nugraha Putra

    A 14101658

    PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2006

  • RINGKASAN

    ANGGUN EKA NUGRAHA PUTRA. Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). (Di Bawah Bimbingan HARIANTO ).

    Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan

    tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat

    tinggi sehingga termasuk salah satu negara mega-biodiversity. Keanekaragaman

    hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya,

    telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah hutan.

    Hutan memiliki fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable

    (sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai

    penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk

    kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Fungsi hutan

    yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus

    hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi,

    longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa.

    Tujuan penelitian yaitu, Menganalisis sistem tataniaga kayu gergajian jenis

    Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Prospek pengembangan budidaya

    tanaman Sengon oleh masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.

    Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di

    Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

    Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer

    berdasarkan kuisioner yang meliputi karakteristik petani, jenis kayu, harga beli,

    harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi, sumber pembelian, arah

    penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan. Data sekunder meliputi

    informasi keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan yang

    diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa Barat,

    Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan. Data yang

    diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

  • Analisis kualitatif meliputi pengamatan lokasi, karakteristik petani, sistem

    budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, aspek

    pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan teknologi.

    Sedangkan analisis kuantitatif melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis

    marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu Sengon yang meliputi

    perhitungan B/C (Benefit and cost ratio) , IRR (Internal rate of return), dan NPV

    (Net present value).

    Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian

    Kecamatan Cililin adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau

    disebut kayu Albazia. Jenis kayu lainnya; kayu Afrika (Maesopsis eminii),

    Mahoni (Swetinia mahagoni), Manglid (Maglonia blumei), Jati (Tectona grandis),

    Suren (Toona sureni), dan Nangka (Arthocarpus heterophyllus).

    Jenis kayu pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK) dihasilkan

    bermacam-macam ukuran seperti; tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng dan

    palet. Beberapa cara yang digunakan dalam proses penjualan kayu diantaranya;

    Petani menawarkan langsung kayu kepada tengkulak atau pengolah; Tengkulak

    atau pengolah telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya;

    Tengkulak dan pengolah mendapatkan informasi dari masyarakat lainnya. Sistem

    pembayaran yang diggunakan pada tingkat tengkulak dan pengolah adalsh cara

    tunai sebanyak 62,96 persen dan cara mencicil 11,11 persen, dan sisanya 25,93

    persen menggunakan cara keduanya. Struktur pasar yang terbentuk berdasarkan

    jumlah antara lembaga pemasaran dan petani adalah struktur persaingan tidak

    sempurna (Imperfect competitive market).

    Lembaga tataniaga kayu Sengon pada wilayah penelitian adalah; Petani

    Sengon, Tengkulak kayu, Pengolah kayu, Industri Penggergajian Kayu (IPK),

    Pedagang penampung dan Material. Secara umum saluran tataniaga kayu Sengon

    di Kec.Cililin dapat dikelompokkan menjadi tujuh saluran tataniaga, yaitu;

    Saluran I (Petani, Tengkulak, dan Pedagang Penampung). Saluran II (Petani,

    Tengkulak, Industri Penggergajian Kayu (IPK), dan Material). Saluran III (Petani,

    Pengolah, dan Pedagang Penampung). Saluran IV (Petani, Pengolah, dan

    Material). Saluran V (Petani, Industri, dan Material. Saluran VI Petani,

  • Tengkulak, Industri Penggergajian Ka yu (IPK), Pedagang Penampung). Dan

    yang terakhir saluran VII (Petani, Tengkulak, dan Industri luar daerah).

    Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dan pelaku pasar lainnya

    dalam pemasaran kayu Sengon di Kecamatan Cililin diantaranya adalah; Masih

    rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun kayu

    Sengon (budidaya, pemanenan, penaganan pasca panen) yang baik, Terbatasnya

    akses informasi pasar oleh petani; Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih

    rendah, Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan

    pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai

    budidaya, pemasaran, atau masalah pertanian lainnya.

    Saluran yang paling banyak digunakan adalah saluran tataniaga I (Petani

    TengkulakPedagang Penampung). Dengan marjin tataniaga tengkulak sebesar

    36,51 persen dan keuntungan sebesar 154,05 persen, sedangkan Farmers share

    petani sebesar 63,40 persen dengan keuntungan sebesar 29,22 persen.

    Nilai rata-rata marjin keuntungan terbesar diperoleh pengolah sebesar Rp

    46.488.10/m3, diikuti oleh Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebesar Rp

    40.666.67/m3, kemudian tengkulak sebesar Rp 36.916.67/m3, tengkulak sebesar

    Rp 35.375.00/m3 dan yang terendah Petani sebesar Rp 28.132.19/m3.

    Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa sistem tataniaga kayu

    gergajian jenis Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung belum

    efisien karena tidak adanya pembagian keuntungan yang merata antara pelaku

    tataniaga yang terlibat. Usaha budidaya Sengon di wilayah Kecamatan Cililin

    Kabupaten Bandung layak untuk dilakukan karena berdasarkan nilai B/C ratio

    lebih dari 1 (satu), yaitu sebesar 3,34, dengan nilai NPV positif sebesar 1. 242.738,

    dan nilai IRR sebesar 39,85 persen lebih besar dari r yang diinginkan.

    Saran yang dapat diberikan diantaranya perlu diadakannya pelatihan

    budidaya tanaman Sengon bagi petani secara terpadu, sehingga diharapkan

    usahatani tersebut dapat memiliki produktivitas hasil yang tinggi dan dapat

    meningkatkan keuntungan petani. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga

    kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, perlu dibentuk

    kelompok tani sebagai wadah bagi petani untuk mengetahui informasi pasar,

    mendapatkan bantuan modal dan teknologi budidaya yang digunakan.

  • ANALISIS SISTEM TATANIAGA KAYU

    JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria) DAN

    PROSPEK PENGEMBANGANNYA

    (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)

    Oleh :

    Anggun Eka Nugraha Putra

    A 14101658

    SKRIPSI

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

    Gelar Sarjana Pertanian

    Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

    PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2006

  • PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

    Nama : Anggun Eka Nugraha Putra

    Nrp : A 14101658

    Program Studi : Ekstensi Manajeman Agribisnis

    Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Kayu Jenis Sengon

    (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangannya

    (Kasus di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat).

    Dapat diterima sebagai syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekstensi

    Manajeman Agribisnis Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing

    Dr. Ir. Harianto, MS Nip. 131 430 801

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Pertanian

    Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Nip. 130 422 698

    Tanggal Kelulusan 23 Januari, 2006

  • PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-

    BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM

    PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU

    PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

    Bogor, Januari 2006

    Anggun Eka Nugraha Putra A 14101658

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis terlahir dari pasangan Drs. H. Aan Supriatna, MM dan

    Hj. I. Rohiyah, S.Ag, pada hari Rabu, tanggal 25 Juni 1980, di Kota Bandung

    tepatnya di Desa Bongas Cililin. Penulis terlahir sebagai anak pertama dari dua

    bersaudara, dengan nama adik kandung Indah Dwi Kartini Putri.

    Penulis mengikuti Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ciherang V Sindang

    Barang Ciomas Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1992, kemudian

    melanjutkan ke Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di SLTPN

    7 Kotamadya Bogor dan lulus pada tahun 1995, setelah itu Penulis melanjutkan

    Pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri di SMUN 7 Kotamadya Bogor,

    dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis di terima sebagai

    mahasiswa di Program Diploma III Budidaya Hutan Tanaman Jurusan

    Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus

    pada tahun 2002. Penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana pada Program Ekstensi

    Manajeman Agribisnis Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

    periode pada hari tahun 2003/2004.

    Selama menjadi mahasiswa penulis aktif berorganisasi di lingkungan

    akademik ataupun masyarakat. Beberapa organisasi kepemudaan yang pernah

    diikuti dan dipimpin adalah; sebagai Ketua Himpunan Karang Taruna di

    lingkungan tempat tinggal; Ketua Himpunan Forum Komunikasi (FORKOM)

    Mahasiswa Diploma III Fakultas Kehutanan IPB dan Wakil Ketua Senat Badan

    Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB periode tahun 1999-2000;

    Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Kehutanan Institut

    Pertanian Bogor pada tahun yang sama; dan aktif sebagai anggota pada Himpunan

    Mahasiswa Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor periode

    2003-2004; saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Himpunan Alumni Fakultas

    Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

  • i

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillahirobilalamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas

    rakhmat dan karunia -Nya yang telah diberikan, akhirnya penulis dapat

    menyelesaikan Skripsi yang berjudul Analisis Sistem Tataniaga Kayu Sengon

    (Paraserianthes falcataria) dan Prospek Pengembangnnya (Kasus di Kecamatan

    Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat).

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan pendidikan pada

    Program Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun

    ajaran 2005/2006 yang disusun berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh penulis

    selama melakukan penelitian dan studi literatur yang ada kaitannya dengan

    usahatani kayu Sengon.

    Selama menyusun skripsi ini, penulis dapat bimbingan, dukungan, serta

    dorongan yang tidak sedikit dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

    sampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, semoga

    segala perhatian yang diberikan, dilimpahkan rakhmat dan karunia dari Allah

    SWT. Amiin. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan

    manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca.

    Bogor, Januari 2006

    Penulis

  • ii

    UCAPAN TERIMA KASIH

    1. Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahku

    Drs. H. Aan Supriatna, MM dan Bundaku tercinta Hj. I. Rohiyah, SAg,

    yang telah memberikan ilmu, doa, materi, motivasi dan kesabarannya.

    2. Untuk Nenekku, dan seluruh Keluarga besar di Desa Bongas Cililin, Bandung.

    Atas doa, kasih sayang dan sajiannya. Untuk Adikku Indah Dwi Kartini Putri

    atas semua perhatiannya.

    3. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS, sebagai dosen pembimbing yang telah

    meluangkan waktu dan menyumbangkan ilmunya untuk membantu Penulis

    dalam menyusun skripsi.

    4. Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, MEc, sebagai dosen Layak Uji dan Ketua Program

    Sarjana Ekstensi Manajeman Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    5. Ibu Ir. Ratna Winandi. MS, selaku dosen Eva luator pada Kolokium Skripsi.

    6. Bapak Muhammad Firdaus. SP. MSi, sebagai dosen Penguji Utama pada

    Sidang Skripsi.

    7. Ibu Tanti Novianti, SP. MSi, sebagai dosen Penguji Akademik pada Sidang

    Skripsi.

    8. Saudara Andri Purna, sebagai Pembahas Seminar.

    9. Seluruh Staf Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian Institut

    Pertanian Bogor.

    10. Teman dekatku tercinta Eceu atas kesetiaan mendampingi, semangat dan

    kasih sayangnya selama ini.

    11. Seluruh teman dan sahabatku, Uyunk geulis atas ide cemerlangnya, Alimi

    doth, Adi ndut, Rully boun, Eka Cianjur dan Welly atas keceriaanya.

    12. Tim Sepakbola dan Futsal atas keringatnya, dan seluruh sahabat kuliah yang

    telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

  • iii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR........................................................................................ i

    UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. ii

    DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

    DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi

    DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii

    DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................viii

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang .........................................................................................1

    1.2. Perumusan Masalah .................................................................................4

    1.3. Tujuan ......................................................................................................7

    1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian ..................................................7

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tataniaga .................................................................................................8

    2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ..............................................................9

    2.3. Struktur Pasar...........................................................................................11

    2.4. Perilaku Pasar...........................................................................................12

    2.5. Efisiensi Tataniaga ...................................................................................12

    2.6. Marjin Tataniaga ......................................................................................14

    2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria ) ...............................................16

    2.7.1. Botani dan Ekologi.......................................................................17

    2.7.2. Penanaman ...................................................................................18

    2.7.3. Kegunaan .....................................................................................18

    2.8. Studi Penelitian Terdahulu .......................................................................20

    2.9. Prospek Pengembangan Sengon (Paraserianthes falcataria ) .................22

    III. METODE PENELITIAN

    3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................23

  • iv

    3.2. Jenis dan Pengumpulan Data. ..................................................................23

    3.3. Penentuan Responden..............................................................................24

    3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 24

    3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga ........ 25

    3.4.2. Analisis Struktur Pasar..................................................................25

    3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga . ...............25

    3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga.......................................... 26

    3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran...........................................27

    3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Budaya.......................................28

    3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi ..........................................28

    3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial) ..........................................28

    3.4.8.1. NPV(Net Present Value) ..............................................................28

    3.4.8.2. IRR(Internal Rate of Return) .......................................................29

    3.4.8.3. B/C Ratio(Benefit and Cost Ratio)...............................................29

    3.5. Kerangka Operasional.............................................................. 29

    IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

    4.1. Lokasi Penelitian......................................................................................33

    4.2. Sarana Perekonomian...............................................................................35

    4.3. Jenis Tanaman Pertanian..........................................................................36

    4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi...................................................36

    V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Jenis dan Bentuk Kayu yang Diperdagangkan ........................................ 38

    5.2. Lembaga Tataniaga dan Distribusi Kayu.................................................41

    5.3. Cara Pembelian dan Pembayaran.............................................................42

    5.4. Harga dan Struktur Pasar .........................................................................44

    5.5. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon Yang Terjadi .................................46

    5.6. Saluran Tataniaga dan Marjin Tataniaga .................................................48

    5.7. Marjin Keuntungan..................................................................................51

    5.8. Hubungan antara Pelaku Tataniaga dengan Saluran Tataniaga ..............54

    5.9. Hubungan antara Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan ............................................................ 56

  • v

    5.10. Efisiensi Tataniaga ................................................................................ 58

    5.11. Masalah Yang Dihadapi Petani dan Pelaku Pasar .................................59

    VI. PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA KAYU SENGON

    (Paraserianthes falcataria)

    6.1. Aspek Pasar dan Pemasaran ...................................................................61

    6.2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ........................................................ 62

    6.3. Aspek Teknis dan Teknologi ...................................................................62

    6.4. Aspek Keuangan (Finansial) ...................................................................63

    6.4.1. NPV (Net Present Value) ..............................................................67

    6.4.2. IRR (Internal Rate of Return) .......................................................67

    6.4.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio) ..............................................69

    VII. KESIMPULAN DAN SARAN

    7.1. Kesimpulan..............................................................................................70

    7.2. Saran ......................................................................................................71

    DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................72

    LAMPIRAN.........................................................................................74

  • vi

    DAFTAR TABEL

    No Halaman

    1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa barat........ 4

    2. Karakteristik Struktur Pasar .............................................................................26

    3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin ..............................34

    4. Luas Tanaman dan Jumlah Produksi per ton di Kecamatan Cililin .................36

    5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Ciilin ..............................................37

    6. Bentuk dan Jenis Kayu Olahan Dalam Berbagai Macam Ukuran di Kecamatan Cililin .............................................................................................39

    7. Sistem Pembayaran Kayu Sengon oleh Tengkulak dan Pengolah di Kecamatan Cililin .........................................................................................43

    8. Persentase Jumlah Lembaga Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Cililin .........................................................................................44

    9. Harga Rata-rata Kayu Gelondongan (log) di Kecamatan Ciilin ......................45

    10. Marjin Tataniaga (M), Farmers share (FS) dan Rasio keuntungan (RK) .....50

    11. Marjin Keuntungan Pelaku Pasar di Kecamatan Cililin ..................................53

    12. Hubungan Saluran Tataniaga dengan Biaya Tataniaga dan Total Keuntungan di Kecamatan Cililin ..........................................................57

    13. Penerimaan dan Keuntungan Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2 ..........64

    14. Analisis Biaya Usahatani Kayu Sengon Dalam 5000m2 di Kecamatan Cililin........................................................................................ 66

    15. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 30% ..........................67

    16. Perhitungan NPV Usahatani Kayu Sengon dengan r = 40% ..........................68

    17. Perhitungan Interpolasi Present value dengan r = 30 dan r = 40 ...................68

    18. Perhitungan B/C Ratio Pada Usahatani Kayu Sengon

    di Kecamatan Cililin........................................................................................ 69

  • vii

    DAFTAR GAMBAR

    No Halaman

    1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta Marketing Cost dan Charges ..........................................................................15

    2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian...............................................32

    3. Saluran Tataniaga Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005...................................54

  • viii

    DAFTAR LAMPIRAN

    No Halaman

    1. Biaya Produksi Kebun Sengon di Kecamatan Cililin .............................................. 74

    2. Saluran Tataniaga I Kayu Sengon di Kecamatan Cililin.......................................... 76

    3. Saluran Tataniaga II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ........................................ 77

    4. Biaya Tataniaga Saluran I dan II Kayu Sengon di Kecamatan Cililin..................... 78

    5. Biaya dan Saluran Tataniaga III Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 79

    6. Saluran dan Biaya Tataniaga IV Kayu Sengon di Kecamatan Cililin...................... 80

    7. Saluran dan Biaya Tataniaga V Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ....................... 81

    8. Saluran Tataniaga VI Kayu Sengon di Kecamatan Cililin....................................... 82

    9. Biaya Tataniaga Saluran VI dan VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ............... 83

    10. Saluran dan Biaya Tataniaga VII Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ................... 84

    11. Sistem Pembayaran Pengolah dan Tengkulak, Jumlah Penduduk Menurut Matapencaharian di Kecamatan Cililin .................................................... 85

    12. Analisis Biaya Budidaya Kayu Sengon Kayu Sengon di Kecamatan Cililin ......... 86

    13. Total Biaya Tataniaga Kayu Sengon di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun 2005 ............................................................................................. 87

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan

    tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat

    tinggi sehingga dimasukkan ke dalam salah satu negara mega-biodiversity.

    Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan

    serta ekosistemnya, telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah

    satunya adalah hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan

    yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Hutan memiliki

    fungsi tangiable (dapat diukur dari segi ekonomi) dan intangiable (sulit diukur

    dari segi ekonomi). Fungsi hutan yang tangiable adalah sebagai penghasil bahan

    baku untuk berbagai keperluan bagi masyarakat seperti untuk kayu gergajian,

    kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu energi. Sedangkan fungsi hutan

    yang termasuk fungsi Intangiable yaitu hutan berfungsi sebagai pengatur siklus

    hidrologi, penyeimbang ekosistem dan ekologi, pencegah bencana alam (erosi,

    longsor dan banjir), tempat rekreasi alam, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa.

    Pada masa awal pembangunan Indonesia, eksploitasi sumber daya hutan

    hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada

    manfaat untuk menghasilkan devisa Negara. Memasuki Abad 21, pembangunan

    kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks yaitu

    Indonesia dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang

    terbesar di dunia. Data menunjukkan laju pengurangan luas hutan tersebut di

    Sumatera mencapai 2 persen per tahun, di Jawa mencapai 0,42 persen per tahun,

  • 2

    di Kalimantan mencapai 0,94 persen per tahun, di Sulawesi mencapai 1 persen per

    tahun dan di Irian Jaya mencapai 0,7 persen per tahun. Pengurangan luas hutan

    tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan

    penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukkan laju degradasi

    dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai rata -rata 1-1,5 juta hektar per

    tahunnya1. Hal tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan

    mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan. Fungsi-fungsi lingkungan yang

    mendukung kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan

    fauna yang membentuk mata rantai kehidupan menjadi rusak dan hilang, yang

    terjadi saat ini adalah banjir di beberapa daerah serta kebakaran hutan yang

    menimbulkan kabut asap. Selain itu laju kerusakan yang tinggi mengakibatkan

    sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi kayu yang sangat

    berarti dari tahun ke tahun. Disisi lain permintaan untuk kebutuhan kayu

    perumahan, pulp, gergajian, energi, dan bahan baku lainnya meningkat seiring

    dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dampaknya adalah persediaan

    kayu yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan.

    Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan dengan Rencana Tata

    Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang dituangkan kedalam keputusan

    Gubernur Jawa Barat nomor 17, luas potensi sumber daya hutan di Propinsi Jawa

    Barat seluas 784.119 ha, atau sekitar 22,57 persen dari luas daratan Jawa Barat.

    Luas tersebut terdiri dari hutan produksi 295.635 ha, hutan lindung 210.138 ha.

    Selain kawasan hutan hasil paduserasi, di Jawa Barat terdapat hutan milik atau

    hutan rakyat seluas 98.127,78 ha. Berdasarkan aspek pengelolaan, kawasan hutan

    seluas 792.467 ha atau sekitar 79,19 persen dari luas kawasan hutan Jawa 1 WWW.dephut.goid/informasi/peta%20tematik/DEFOREST.HTM-4k.

  • 3

    Barat sepenuhnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sisanya

    berupa kawasan konservasi seluas 208.267 ha atau sekitar 20,81 persen dari luas

    kawasan hutan Jawa Barat yang terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan

    pelestarian alam yang dikelola oleh unit-unit pengelolaan Taman Nasional.

    Berdasarkan data mengenai jumlah kebutuhan kayu bulat dan kayu

    gergajian di Propinsi Jawa Barat pada Tabel 1, besarnya jumlah kebutuhan kayu

    di wilayah Jawa Barat sangat tergantung kepada Perum Perhutani sebagai

    lembaga resmi yang bekerja sama dengan Pemerintah dalam pemanfaatan hasil

    hutan kayu dan non kayu. Sejak lima tahun lalu kebutuhan kayu diperkirakan

    mencapai sekitar lima juta meter kubik per tahun. Sedangkan, produksi kayu bulat

    Perhutani setiap tahun rata-rata hanya satu juta meter kubik. Pada 1999, produksi

    kayu bulat Perhutani tercatat 1,8 juta meter kubik. Pada 2000 menurun menjadi

    1,6 juta meter kubik. Penurunan produksi itu membuat Perhutani menurunkan

    target tebangan tahun 2003, menjadi 931.503 meter kubik, dan tahun 2004

    diturunkan lagi menjadi 847.320 meter kubik. Kebutuhan bahan baku kayu untuk

    industri maupun perorangan di Jawa semakin hari kian meningkat. Pasokan dari

    pulau lain dipastikan tidak mencukupi, karena arus pembangunan fisisk yang

    membutuhkan bahan baku kayu dalam jumlah banyak.

    Kebutuhan kayu bulat tahun 2001 jumlahnya semakin menurun

    dibandingkan denagan tahun-tahun sebelumnya. Menurunnya jumlah kebutuhan

    kayu bulat untuk Perum Perhutani tersebut sesuai dengan kebijakan Departemen

    Kehutanan yang menerapkan kebijakan untuk mengurangi dan menghentikan

    sementara kegiatan pemanenan atau penebangan kayu rimba di wilayah Perum

    Perhutani unit III Jawa Barat. Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi dampak

  • 4

    yang kerusakan alam disebabkan menurunnya daya dukung alam bagi lingkungan

    sekitarnya sehingga terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan

    kekeringan. Selain itu juga ditujukan untuk mengembalikan potens i tegakan kayu

    sehingga volume kayu yang dipanen meningkat2. Disisi lain berbeda dengan

    kondisi kebutuhan kayu bulat pada Perum Perhutani yang semakin menurun,

    jumlah kebutuhan kayu untuk kayu gergajian semakin meningkat. Sesuai data

    Dirjen Pengusahaan Hutan yang terdapat pada Tabel 1, Pada tahun 2000 jumlah

    kebutuhan kayu gergajian sebesar 501.000.00/ m3, kemudian meningkat menjadi

    702.356.30/m3, pada tahun 2001.

    Tabel. 1. Data Jumlah Kebutuhan Kayu Bulat dan Gergajian Propinsi Jawa Barat

    Tahun 1995-2001

    JENIS KEBUTUHAN KAYU (m3) TAHUN

    PROPINSI/LEMBAGA KEHUTANAN

    KAYU BULAT KAYU GERGAJIAN

    1995 Jawa Barat 0 7.889.81 Perum Perhutani 1.869.850.44 0

    1996 Jawa Barat 0 44.969.71 Perum Perhutani 1.949.203.24

    1997 Jawa Barat 374.340.17 45.930.02 Perum Perhutani 1.821.297

    1998 Jawa Barat 0 145.020.13 Perum Perhutani 2.027.682.19

    1999 Jawa Barat 0 444.877.10 Perum Perhutani 1.890.900.78

    2000 Jawa Barat 0 501.000.00 Perum Perhutani 897.615.38

    2001 Jawa Barat 0 702.356.30 Perum Perhutani 1.455.403

    Sumber : Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (2003)

    Sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memperbaharui alam

    yang ada didalamnya. Daya regenerasi hutan lebih rendah apabila dibandingkan

    dengan tingkat pemanfaatan sumber daya kayu untuk pemenuhan kebutuhan

    hidup manusia. Semakin tinggi kebutuhan akan sumber daya hutan, maka akan

    2 WWW.grenomies.org/docs%semi201004_hutan.doc

  • 5

    semakin berkurang potensi sumber daya hutan tersebut, dan apabila kondisi ini

    semakin hari semakin tidak terkendali maka kondisi ekosistem hutan akan

    menjadi rusak dan luas kawasan hutan akan semakin berkurang karena adanya

    kegiatan ekploitasi dan konversi areal hutan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.

    (Soerianegara, 1996).

    Pertimbangan ekonomi dalam hal ekploitasi, produksi dan konsumsi harus

    diimbangi dengan pertimbangan ekologi dalam hal regenerasi, rehabilitasi dan

    konservasi. Kecepatan ekploitasi sumber daya hutan harus seimbang dengan

    kecepatan tumbuh dari sumber daya hutan tersebut. Ekploitasi sumber daya hutan

    banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah

    untuk bahan baku kayu gergajian. Di daerah pedesaan dan perkotaan telah banyak

    tersebar industri-industri kayu gergajian dengan menggunakan jenis bahan baku

    kayu yang berbeda. Di daerah pedesaan seperti di Kecamatan Cililin Kabupaten

    Bandung, jenis bahan baku yang umum digunakan adalah jenis kayu Sengon

    (Paraserianthes falcataria).

    1.2. Perumusan Masalah

    Kayu Sengon terkenal murah dan mudah dalam penggunaanya sebagai

    kayu gergajian. Di wilayah Kecamatan Cililin, harga kayu Sengon sangat

    tergantung terhadap kualitas dan kuantitasnya di alam. Dengan meningkatnya

    jumlah industri penggergajian kayu, kebutuhan pasokan bahan baku kayu Sengon

    akan semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan awal di lokasi penelitian,

    Kecamatan Cililin memiliki kondisi lingkungan alam yang subur dengan kondisi

    topografi lahan yang berbukit. Kondisi lingkungan ini sangat sesuai untuk

  • 6

    tanaman Sengon sehingga dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi kondisi tersebut

    belum didukung oleh sistem budidaya yang baik oleh petani sebagai produsen

    kayu. Petani di Kecamatan Cililin masih mengandalkan bibit Sengon yang tumbuh

    liar di alam dengan tingkat keberhasilan tumbuhnya yang rendah. Oleh karena itu

    pengamatan mengenai prospek pengembangan budidaya Sengon mulai dari

    pembibitan sampai dengan pemasaran hasil kayu sangat penting. Dengan

    diketahuinya tingkat kelayakan budidaya Sengon di wilayah tersebut, diharapkan

    dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dan pengusaha untuk berinvestasi

    menanam kayu Sengon. Dis isi lain, secara tidak langsung hal ini juga dapat

    membantu meningkatkan keuntungan petani kayu Sengon di tempat penelitian.

    Petani sebagai produsen kayu di Kecamatan Cililin belum menganggap

    tanaman Sengon sebagai suatu komoditi yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini

    terlihat dari sedikitnya jumlah petani yang mengelola kebunnya dengan baik.

    Terbatasnya kemampuan petani dalam budidaya Sengon menjadi salah satu

    penyebab mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu Sengon,

    sehingga volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapatnya

    sedikit. Harga kayu yang dijual lebih ditentukkan oleh para tengkulak dan

    memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi tersebut

    mengakibatkan peran tengkulak lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan

    yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi

    yang umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh

    mengenai sistem tataniaga yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui

    apakah sistem tataniaga tersebut sudah efisien atau belum.

  • 7

    1.3. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu :

    1. Menganalisis sistem tataniaga kayu jenis Sengon di Kecamatan Cililin,

    Kabupaten Bandung.

    2. Menganalisis prospek pengembangan budidaya tanaman Sengon oleh

    masyarakat di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.

    1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian

    Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan tataniaga kayu Sengon di

    Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan

    budidaya tanaman di persemaian, penanaman, pemanenan, distribusi, dan proses

    jual beli. Termasuk kedalamnya analisis pendapatan dan biaya usahatani serta data

    mengenai jumlah dan fungsi saluran serta lembaga tataniaga yang terlibat seperti

    produsen dan konsumen akhir. Konsumen akhir dalam penelitian ini

    diartikan sebagai sekelompok orang atau individu yang membeli kayu untuk

    diperjual belikan dengan cara dirubah bentuknya ataupun disesuaikan dengan

    kebutuhan para pengguna.

    Manfaat pe nelitian yang diharapkan adalah sebagai referensi bagi

    penelitian mengenai sistem tataniaga kayu Sengon selanjutnya, dan acuan untuk

    Pemerintah Daerah dalam rangka pengembangan budidaya Sengon secara terpadu

    di kebun-kebun masyarakat, serta acuan bagi pengusaha yang ingin berinvestasi

    pada usahatani kayu Sengon di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tataniaga

    Definisi tataniaga menurut Kohls, R.L. (1967) adalah keragaan dari semua

    aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa mulai dari titik

    produksi sampai ketangan konsumen. Tataniaga merupakan suatu kegiatan

    manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui

    proses pertukaran, yaitu meliputi kegiatan untuk memindahkan barang dan jasa

    dari produsen ke konsumen (Kotler,1990).

    Pengertian tataniaga dapat dilihat dengan pendekatan manajerial (aspek pasar)

    dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, tataniaga merupakan analisis

    perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian pemasaran untuk

    menentukkan kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, tataniaga

    merupakan distribus i fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitas-

    fasilitas untuk begerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari

    produsen ke konsumen. Selain itu tataniaga merupakan kegiatan produktif karena

    meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan.

    Dengan demikian tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk

    kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik

    dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan

    produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang

    menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya

    dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong, 1997).

  • 9

    Dalam menganalisis sistem tataniaga Khols, R.L. (1967), selanjutnya

    mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu :

    1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach)

    Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga

    apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsi-

    fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi

    fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas

    (standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).

    2. Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach)

    Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam

    lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku itu adalah

    pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang

    pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur; dan

    organisasi lainnya yang terlibat.

    3. Pendekatan Sistem (the behavior system approach)

    Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk mengetahui

    aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga

    yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan

    ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the

    communication system.

    2.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga

    Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah

    badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana

  • 10

    barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa

    termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa.

    Saluran tataniaga merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan produk

    oleh produsen kepada konsumen. Saluran tataniaga sangat penting terutama untuk

    melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual

    produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran tataniaga suatu produk pertanian

    tergantung kepada beberapa faktor yaitu ;

    1. Jarak dari produsen ke konsumen

    Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen akan cenderung

    menciptakan saluran tataniaga yang panjang dengan aktivitas dan pelaku

    bisnis yang lebih banyak.

    2. Sifat komoditas

    Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran tataniaga yang relatif pendek

    agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi.

    3. Skala produksi

    Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran tataniaga akan

    semakin banyak melibatkan sejumlah lembaga tataniaga. Dengan demikian

    kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga

    saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang.

    4. Kekuatan modal yang dimiliki

    Produsen dengan modal yang besar cenderung memiliki saluran tataniaga

    yang pendek karena fungsi tataniaga yang dapat dilakukan lebih banyak

    dibandingkan dengan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain,

    pedagang dengan modal yang besar cendrung memperpendek saluran TN.

  • 11

    2.3. Struktur Pasar

    Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan

    pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam

    suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau

    concentration , deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan

    sebagainya (Limbong, 1997). Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi pasar,

    differensiasi produk, dan kebebasan keluar-masuk pasar. Dalam analisis sistem

    tataniaga, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis akan dijelaskan

    bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan

    selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku

    pasar (market performance) yang ada dalam sistem tataniaga tersebut.

    Hammond dan Dahl (1977), menetapkan empat faktor penentu dari

    karakteristik struktur pasar, yaitu; Jumlah atau ukuran perusahaan, Kondisi atau

    keadaan komoditas, Kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan

    yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga. Berdasarkan strukturnya, pasar

    digolongkan menjadi dua yaitu Pasar bersaing sempurna dan bersaing tidak

    sempurna. Pasar bersaing sempurna jika terdapat banyak pembeli dan penjual,

    setiap pembeli maupun penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan

    jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang atau

    jasa homogen serta pembeli dan penjual bebas keluar masuk pasar (freedom to

    entry and to exit). Sedangkan pasar tidak ber saing sempurna dapat dilihat dari dua

    sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni,

    oligopsoni, dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan

    monopolistik, monopoli, oligopoli dan sebagainya.

  • 12

    2.4. Perilaku Pasar

    Perilaku pasar menunjukkan tingkah laku perusahaan dalam struktur pasar

    tertentu, terutama bentuk-bentuk keputusan apa yang harus diambil dalam

    menghadapi berbagai struktur pasar. Perilaku pasar meliputi kegiatan penjualan,

    pembelian, penentua n harga dan strategi tataniaga. Perilaku pasar dapat dilihat

    dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar, serta ada tidaknya praktek

    jujur dari lembaga yang terlibat dalam tataniaga (Azzaino,1983).

    2.5. Efisiensi Tataniaga

    Kohls, R.L.(1967), menjelaskan bahwa untuk memahami efisiensi tataniaga

    harus terlebih dahulu memahami tataniaga sebagai suatu aktifitas bisnis yang

    ditujukan untuk menyampaikan suatu produk kepada konsumen. Output dari

    aktifitas tataniaga adalah kepuasan konsumen terhadap suatu produk dan jasa,

    sedangkan input-nya adalah semua sumber daya usaha yang meliputi tenaga kerja,

    kapital, dan manajemen yang digunakan perusahaan dalam proses produksi.

    Sehingga efisiensi tataniaga dapat diartikan sebagai maksimisasi dari rasio input-

    output, atau efisiensi dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang menyebabkan

    berkurangnya biaya input pada suatu pekerjaan tanpa mengurangi kepuasan

    konsumen dari keluaran suatu produk atau jasa.

    Efisiensi dalam pengertian sederhana merupakan keluaran (output) yang

    optimum dari penggunaan seperangkat masukan (input). Hanafiah dan Saefudin

    (1983), menjelaskan bahwa pengertian efisiensi tataniaga akan berbeda tergantung

    dari sudut pandang mana kita melihatnya. Pengertian efisiensi tataniaga yang

    dimaksud oleh pengusaha tentunya akan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh

  • 13

    konsumen. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan antara

    pengusaha dan konsumen. Pengusaha menganggap suatu sistem tataniaga efisien

    apabila penjualan produknya mendatangkan keuntunga n yang tinggi baginya,

    sebaliknya konsumen menganggap sistem tataniaga tersebut efisien apabila

    konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah.

    Suatu perubahan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen akan output

    barang atau jasa menunjukkan suatu perbaikan tingkat efisiensi tataniaga.

    Sebaliknya suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input tetapi juga

    mengurangi kepuasaan konsumen menunjukkan suatu penurunan tingkat efisiensi

    tataniaga. Banyak cara yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi tataniaga

    yaitu dengan cara sebagai berkut :

    1. Menghilangkan persaingan yang tidak bermanfaat,

    2. Mengurangi jumlah pedagang perantara pada saluran,

    3. Membuka metode cooperative,

    4. Memberi bantuan kepada konsumen,

    5. Standarisasi dan implikasi.

    Untuk melihat efisiensi dapat dengan dua konsep yaitu pertama, dengan

    konsep analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar serta konsep kedua yaitu

    dengan konsep rasio input-output. Penggunaan konsep yang kedua yaitu dengan

    rasio input-output menghadapi kesulitan dalam pengukuran kepuasan konsumen,

    sehingga pengukuran tingkat efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan lain

    yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional

    menekankan pada keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari

    produsen ke konsumen akibat perubahan tempat, bentuk dan waktu yang diukur

  • 14

    melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat pergerakan komoditas dari satu

    pasar ke pasar lainnya. Sedangkan efisiensi harga menekankan kepada

    kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk menggerakkan

    komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan meminimumkan biaya

    untuk menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga. Efisiensi harga dapat didekati

    dengan perhitungan biaya dan marjin tataniaga. Istilah bia ya tataniaga yang

    dimaksud adalah mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pelaku

    tataniaga untuk pelaksanaan kegiatan pemasaran produk. Biaya tataniaga suatu

    produk biasanya diukur secara kasar dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi

    ekonomis, margin tataniaga sering digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui

    efisiensi dari sistem tataniaga tersebut (Hanafiah dan Saefudin. 1983).

    2.6. Marjin Tataniaga

    Marjin adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan

    harga yang terjadi pada suatu tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga. Pada

    suatu perusahaan istilah marjin merupakan uang yang ditentukkan secara internal

    accounting , yang diperlukan untuk menutupi biaya dan laba, dan ini merupakan

    perbedaan antara harga pembelian dan penjualan. Hanafiah dan Saefudin (1983)

    Hammond dan Dahl (1977) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai

    perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr).

    Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan

    mengenai jumlah produk yang dipasarkan. Marjin tataniaga juga dapat

    digambarkan sebagai jarak vertikal antara kurva permintaan atau kurva

    penawaran. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

  • 15

    Nilai Marjin Tataniaga

    Harga = (Pr-Pf).Qr,f

    Sr

    Pr Marjin Tataniaga { Sf (Pr-Pf)

    Pf Dr

    Df

    0 Qr,f

    Marketing Costs Marketing Charges (pembayaran untuk faktor -faktor produksi) (pembayaran untuk

    lembaga tataniaga)

    Gambar 1. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga

    serta Marketing Costs dan Charges.

    Sumber: Hammond dan Dahl (1977)

    Keterangan :

    (Pr-Pf), Qr,f = Nilai marjin tataniaga

    Pr = Harga di tingkat pedagang pengecer

    Pf = Harga di tingkat petani

    Sr = Suplai di tingkat pengecer (derived supply)

    Sf = Suplai di tingkat petani (primary supply)

    Dr = Permintaan di tingkat pengecer (derived demand)

    Df = Permintaan di tingkat petani (primary demend)

    Qr,f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan tingkat pengecer

    Gaji/Upah Bunga Sewa

    Keuntungan

    Pengecer Grosir

    Pengolah Pengumpul

  • 16

    Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa terbentuknya marjin tataniaga merupakan

    hasil perkalian antara selisih harga di dua tingkat lembaga tataniaga (Pr-Pf)

    dengan jumlah komoditas yang dipasarkan (Qr,f). Nilai marjin tataniaga pada

    dasarnya dapat dianalisis berdasarkan dua aspek kajian, yaitu (Marketing cost)

    biaya tataniaga dan (Marketing charges) beban tataniaga. Biaya tataniaga

    merupakan semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam

    menyampaikan komoditas dari titik produsen ke konsumen dan beban tataniaga

    merupakan penerimaan yang diperoleh lembaga tataniaga sebagai imbalan dari

    menyelenggarakan fungsi-fungsi tataniaga.

    2.7. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

    Budi, S.H. (1992), menyatakan bahwa Sengon merupakan salah satu jenis

    tanaman yang tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Untuk pertama kalinya pada

    tahun 1871, Teysmann menemukan Tanaman Sengon di pedalaman Pulau Banda,

    yang kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor. Dari kebun inilah kemudian

    Sengon tersebar ke berbagai daerah mulai dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,

    Sulawesi, sampai Irian Jaya. Pada saat ini Sengon juga dijumpai di Negara

    Filipina, Malaysia, Srilanka, dan India. Dengan nama biasa atau nama ilmiah

    apapun yang dikenal, kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

    merupakan pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab.

    Species ini juga merupakan salah satu species yang dapat digunakan sebagai kayu

    plup, kayu bakar, pohon hias, naungan (kopi, teh dan ternak sapi) dan produk

    kayu lainnya. Pemanfaatan potensial yang sedang di uji coba dalam penanaman

    hutan adalah dengan sistem tumpang sari.

  • 17

    2.7.1. Botani dan Ekologi

    Paraseriamthes falcataria termasuk keluarga Leguminosae (sub-keluarga

    Mimosoideae). Jenis ini sudah dikenal luas dengan nama yang lamanya, Albizia

    falcataria, atau juga pernah di sebut A. moluccana dan A. Falcata Falcate,

    artinya melengkung seperti sabit sesuai dengan bentuk daunnya. Ranting daun

    berpasang-pasangan, panjang antara 23-30 cm. Bunganya berwarna putih gading,

    polongnya tipis, rata, panjang 10-13 cm dengan lebar 2 cm. Falcataria termasuk

    pohon besar hingga mencapai ketinggian 24-30 m, dengan diameter 80 cm. Jika di

    tempat terbuka akan membentuk tajuk yang besar berbentuk payung. Pada

    penanaman sebanyak 1000-2000 pohon/ha, tajuk akan menyempit, karena

    membutuhkan banyak cahaya. Setelah berumur 3-4 tahun akan memproduksi biji

    secara teratur dalam jumlah banyak. Sengon tumbuh secara alami di Indonesia,

    Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dari 10LS-30LU. Dalam habitat

    alamiahnya bisa tumbuh dari permukaan laut sampai 1200 m. Dengan curah hujan

    2000-4000 mm, serta musim kemarau kurang dari dua bulan dengan suhu antara

    22C-34C. Meski lebih menyukai tanah basa (NAS 1983 dalam Budi 1992),

    namun dapat pula tumbuh baik pada tanah masam. Berdasarkan hasil analisa

    korelasi dan regresi ganda memperlihatkan bahwa kedalaman lapisan tanah atas

    merupakan indikator yang paling penting untuk kualitas tempat tumbuh Sengon.

    Akar Sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya. Akar

    tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah. Sementara itu akar

    rambutnya tidak terlalu besar, dan tidak semrawut. Akar rambut tersebut akan

    dimanfaatkan oleh pohon induknya untuk menyimpan zat nitrogen, oleh sebab itu

    tanah di sekitar pohon Sengon akan menjadi subur (Budi, S.H. 1992).

  • 18

    2.7.2. Penanaman

    Pada umumnya tanaman Sengon diperbanyak dengan biji. Biji tersebut dapat

    dibeli di penangkar benih, kios-kios pertanian, ataupun dicari di bawah pohon

    induk. Jumlah biji Sengon sebanyak 42000 per kg dengan perkecambahan biji

    mudah dan hanya membutuhkan perendaman air semalam. Agar perkecambahan

    seragam, biji-biji tersebut dapat dimasukan dalam air panas atau dalam masam

    belerang pekat (H2SO4) selama 10 menit, dilanjutkan dengan perendaman dalam

    air selama 15 menit. Anakan Sengon ditanam setelah tiga bulan di persemaian

    dan akan tumbuh dengan cepat di lahan (NAS, 1983 dalam NFTA World

    Education. 1991).

    Penanaman Sengon diawali dengan pengaturan jarak tanam dan pembuatan

    lubang tanam. Jarak tanam untuk produksi kayu Pulp dengan waktu rotasi antara

    6-8 tahun adalah 3 m x 3 m. Jika yang diinginkan kayu tebangan untuk papan,

    pada umur 6-8 tahun tegakan dapat dijarangkan sampai 6 m x 6 m dan dipanen

    pada umur 15 tahun. Pada lahan yang lebih subur, umumnya jarak tanam untuk

    produksi kayu Pulp 4 m x 4 m. Dari penelitian tentang jarak tanam yang lebih

    rapat ditemukan bahwa pertumbuhan dengan jarak 2 m x2 m secara signifikan

    lebih cepat di bandingkan dengan 1 m x 1 m. Adapun ukuran lubang tanman

    panjang 30 cm x 30 cm x 30 cm.

    2.7.3. Kegunaan

    Bagian terpenting yang bernilai ekonomis pada tanaman Sengon adalah

    kayunya. Sengon lebih dikenal sebagai tana man Pulp. Kegunaan lainnya, yaitu

    sebagai serat dan bahan papan, peti kemas, kotak-kemasan, korek api, sumpit,

  • 19

    mebel ringan. Kayunya sukar di gergaji dan tidak kuat atau tidak tahan lama.

    Tajuknya yang jarang memberikan naungan untuk tanaman kopi, teh, dan cokelat.

    Disamping itu, berfungsi pula sebagai tanaman penahan angin bagi pohon pisang.

    Pada percobaan di Pulau Hawaii memperlihatkan besarnya kegunaan dalam

    sistem tumpang sari dengan Eucalyptus , terutama di daerah basah. Dalam

    penanaman Eucalyptus bersama Sengon dengan perbandingan 50 : 50 pada jarak

    tanam 2m x 2m, sesudah berumur 4 tahun berukuran 1,3 m. Pepohonan

    Eucalyptus akan memperlihatkan hasil 58 persen lebih tinggi dan 55 persen lebih

    besar, dibandingkan dengan tegakan Eucalyptus saja. Dalam percobaan campuran

    Sengon 34 persen dan 50 persen Eucalyptus, total biomasa yang dihasilkan

    Eucalyptus dan Sengon akan sama atau lebih baik dari pada penanaman jenis

    Eucalyptus saja (Schubert, dkk.1998 dalam NFTA World Education.1991).

    Sengon juga berpotensi dalam alley farming. Di Indonesia, pada percobaan di

    tanah asam (pH 4,2) yang ditanam dalam larikan-larikan dengan jarak 4 m,

    menghasilkan pupuk hijau (bahan kering) 2-3 ton/ha/tahun. Penggunaannya

    sebagai pupuk hijau akan meningkatkan produksi kopi 4 kali lipat, apabila

    dibandingkan dengan plot pembanding. Namun pada tahun 1988 muncul

    keprihatinan akan keberlanjutan pertumbuhannya dalam sistem Alley cropping

    (Evensen, komunikasi pribadi). Sengon di tanam sebagai pohon hias, meski jarang

    hidup lebih dari 50 tahun dan cabang-cabangnya yang rapuh dapat menjadi

    masalah di daerah yang banyak angin. Raharjo dan Cheke (1985) dalam NFTA

    World Education (1991), melaporkan bahwa daunnya disukai kelinci, di Samoa

    Barat, Philipina dan Jawa, kayunya dimanfaatkan seba gi kayu bakar dan di tanam

    di kebun pekarangan bersama dengan tanaman merambat dan buah-buahan.

  • 20

    2.8. Studi Penelitian Terdahulu

    Beberapa penelitian mengenai kayu Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu

    gergajian dan sistem tataniaga produk pertanian pernah dilakukan sebelumnya.

    Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti diantaranya adalah ;

    Firman, N.S.(1998), melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi

    Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis, dan Gedong. Hasil penelitian

    menunjukkan marjin tataniaga di lokasi penelitian tidak merata dengan marjin

    terbesar pada pengepul dan Pedagang Antar Kota (PAK). Struktur pasar di tingkat

    petani, tengkulak dan PAK dari sisi pembeli termasuk ke pasar oligopsoni.

    Sedangkan struktur pasar di tingkat pengepul dan pedagang grosir (PG) dari sisi

    penjual adalah pasar oligopoli. Dari hasil analisis marjin tataniaga dan

    keterpaduan pasar disimpulkan sistem tataniaga di lokasi penelitian belum efisien.

    Maryatun (1999), melakukan penelitian mengenai Analisis Biaya dan

    Pemasaran (Marketing Margin) Kayu Gergajian di DKI dengan studi kasus di

    daerah Kalibaru. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran

    tentang profil perdagangan yang berada di wilayah Kalibaru, mengidentifikiasi

    lembaga -lembaga yang terlibat dan menentukan efisiensi saluran tataniaganya.

    Berdasarkan hasil penelitian diketahui lembaga tataniaga yang terlibat dalam

    pemasaran kayu gergajian di Kalibaru adalah; distributor, pedagang besar dan

    pengecer. Tingkat pengecer pada kayu Borneo Kalimantan merupakan tingkat

    tataniaga yang efisien secara ekonomi, sedangkan kayu Keruing pada tingkat

    distributor adalah jenis kayu yang efisien secara operasional.

    Harviana (1999), dalam penelitiannya mengenai Peningkatan Nilai Tambah

    Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Melalui Penggunaannya Sebagai

  • 21

    Bahan Baku Industri Penggergajian Kayu dan Medium Density Fiberboard

    (MDF), mengemukakan bahwa bahan baku MDF bisa dihasilkan dari limbah

    industri penggergajian kayu (laminated board) karena tidak memerlukan

    persyaratan yang tinggi. Nilai tambah per satuan m3 log untuk industri MDF

    dengan harga semula Rp 43.560,- mengalami peningkatan sebesar Rp 134.168,-

    dan industri laminated board dengan harga semula Rp 66.000,- mengalami

    peningkatan sebesar Rp.128.844,-. Jika satu hektar tanaman Sengon menghasilkan

    150 m3 nilai tambah log/ha untuk MDF Rp 20.125.238,- dan untuk laminated

    board Rp 19.326.624,-. Nilai NPV laminated board Rp 149.160,-/m3 dan nilai

    internal rate of return (IRR) untuk industri sebesar 47,5 persen dan industri MDF

    sebesar 42,0 persen, 26,5 persen dan 20,0 persen pada tingkat harga yang berbeda.

    Tingkat suku bunga yang diisyaratkan sebesar 10 persen, sehingga berdasarkan

    IRR industri tersebut layak untuk dilaksanakan.

    Pada tahun (2000), Gunawan, J. Meneliti mengenai Pemanfaatan Limbah

    Industri Penggergajian Untuk Balok Laminasi. Tujuan yang ingin dicapai yaitu

    membuat kayu berlapis majemuk dengan perekat (balok laminasi) dengan

    memanfaatkan sebetan yang banyak mengandung kayu gubal atau potongan kayu

    ukuran kurang. Berdasarkan hasil penelitian produk ini memiliki keunggulan

    komparatif berupa harga pokok yang rendah dan bisa memanfaatkan limbah kayu.

    Berbeda dengan kajian penelitian terdahulu, studi mengenai analisis efisiensi

    tataniaga kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dilakukan

    sebelumnya. Kelebihan penelitian ini, selain melihat efisiensi sistem tataniaga

    yang terjadi, juga dikaji mengenai prospek pengembangan budidaya kayu Sengon

    di wilayah penelitian.

  • 22

    2.9. Prospek Pengembangan Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria)

    Dalam melakukan pengembangan suatu jenis usaha perlu terlebih dahulu

    menilai dan mempertimbangkan usaha tersebut di masa yang akan datang.

    Penilaian di sini tidak lain adalah memberikan rekomendasi apakah usaha tersebut

    layak untuk dilakukan atau tidak. Untuk mengukur kelayakan tersebut secara

    umum ada beberapa aspek yang akan dikaji, yaitu meliputi; aspek hukum, aspek

    sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan

    teknologi, aspek manajemen, dan aspek keuangan. (Suratman, 2002).

    Aspek hukum berkaitan dengan keberadaan secara legal dimana usaha tersebut

    akan dilaksanakan yang meliputi ketentuan hukum yang berlaku termasuk

    perizinan, badan hukum yang diusulkan, dan sebagainya. Aspek sosial ekonomi

    budaya mencakup pengaruh usaha terhadap pendapatan nasional, penambahan dan

    pemerataan kesempatan kerja, dampak pergeseran hidup masyarakat setempat

    dan lain sebagainya. Aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan adanya

    potensi pasar dari produk yang akan di pasarkan, analisis kekuatan pesaing

    yang mencakup program pemasaran yang akan dilakukan, estimasi

    penjualan yang memungkinkan dapat diraih (market share). Aspek teknis dan

    teknologi berkaitan dengan pemilihan lokasi proyek, pemilihan jenis mesin atau

    peralatan lain sesuai dengan kapasitas produksi yang akan digunakan termasuk

    lay-out dan pemilihan teknologi yang sesuai. Aspek manajemen berkaitan dengan

    manajemen dalam pembangunan usaha dan manajemen dalam operasionalnya.

    Dan yang terakhir aspek keuangan berkaitan dengan dari manasumber dana yang

    akan diperoleh dan proyeksi pengembaliannya dengan tingkat biaya modal

    dari sumber dana yang bersangkutan.

  • 23

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2005 di

    Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih dengan

    pertimbangan kedekatannya terhadap bahan baku kayu, dan banyaknya industri

    gergajian yang tersebar disekitar wilayah penelitian.

    3.2. Jenis dan Pengumpulan Data

    Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh

    melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Wawanca ra dilakukan

    berdasarkan kuisioner yang meliputi pertanyaan mengenai karakteristik petani,

    jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah produksi,

    sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik pengangkutan.

    Kuisioner tersebut diberikan kepada individu atau kelompok yang terlibat dalam

    saluran tataniaga kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin, yaitu meliputi petani

    sebagai produsen kayu, pengusaha seperti pemilik material ataupun pemilik

    industri penggergajian kayu, lembaga Pemerintah yang terlibat seperti Perum

    Perhutani ataupun Penyuluh Kehutanan, dan masyarakat sekitar sebagai

    konsumen. Sedangkan data sekunder meliputi informasi mengenai keadaan

    umum, letak geografis dan informasi lain yang berkaitan dengan objek penelitian

    yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten Bandung, Dinas Kehutanan Jawa

    Barat, Kantor Kecamatan Cililin, Kantor Kelurahan, dan Perpustakaan.

  • 24

    3.3. Penentuan Responden

    Responden penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan

    melakukan penelusuran saluran tataniaga mulai dari tingkat petani sampai ke

    tingkat konsumen akhir. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari

    responden sebelumnya sehingga jalur tataniaga tersebut tidak terputus. Responden

    petani diambil di wilayah sekitar Kecamatan Cililin, meliputi petani yang

    memiliki kebun yang sedang atau telah ditanami kayu Sengon dan petani yang

    memproduksi bibit Sengon untuk digunakan sendiri atau untuk dijual. Responden

    konsumen meliputi semua orang baik individu ataupun kelompok yang melakukan

    pembelian kayu Sengon di wilayah penelitian.

    3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

    Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis

    kualitatif dilakukan dengan pengamatan terhadap keadaan lokasi, karakteristik

    petani, sistem budidaya, struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin

    tataniaga, aspek pasar dan pemasaran, aspek sosial budaya, dan aspek teknik dan

    teknologi. Struktur pasar yang diamati didekati dengan melihat jumlah penjual

    dan pembeli, kebebasan untuk keluar masuk pasar, penentuan harga dan sumber

    informasi. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat keragaan pasar

    dengan pendekatan analisis marjin tataniaga, analisis ekonomi budidaya kayu

    Sengon yang meliputi perhitungan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate

    of Return) , B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio).

  • 25

    3.4.1. Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga

    Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembagalembaga dan saluran

    tataniaga yang digunakan dalam pemasaran kayu Sengon. Identifikasi tersebut

    meliputi identitas, fungsi, dan tata cara lembagalembaga tersebut dalam rangka

    memasarkan kayu Sengon sampai kepada konsumen akhir.

    3.4.2. Analisis Struktur Pasar

    Analisis struktur pasar ditujukan untuk mengetahui kondisi persaingan

    diantara produsen dan konsumen kayu yang terdapat di wilayah penelitian. Untuk

    lebih jelasnya mengenai struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar

    Karakteristik Struktur Pasar

    Jumlah

    Partisipan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli

    Banyak

    Banyak

    Beberapa

    Beberapa

    Satu

    Standar

    (Homogen)

    Differensiasi

    Standar

    Differensiasi

    Unik

    Persaingan murni

    Persaingan

    monopolistik

    Oligopoli murni

    Oligopoli

    differensiasi

    Monopoli

    Persaingan murni

    Persaingan

    Monopolistik

    Oligopsoni murni

    Oligopsoni

    differensiasi

    Monopsoni

    Sumber : Hammond dan Dahl, 1997

    3.4.3. Analisis Marjin Tataniaga

    Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan

    pembelian pada setiap tingkat lembaga yang terlibat dalam tataniaga kayu Sengon.

    Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-

    biaya tataniaga dan keuntungan yang diterima lembaga tataniaga. Secara

  • 26

    matematis hubungan antara marjin tataniaga, biaya tataniaga dan keuntungan

    lembaga tataniaga dapat dinyatakan sebagai berikut :

    M i = Hji Hbi, dan Mi = Bi + i, sehingga Hji Hbi = Bi + i

    Keterangan :

    Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)

    Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)

    Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)

    Bi = Biaya tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)

    i = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke -i (Rp/kg)

    i = 1,2,3.....n.

    Penyebaran marjin tataniaga kayu Sengon dapat juga dilihat berdasarkan

    persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga

    tataniaga. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus :

    Rasio Biaya Keuntungan (%) = i x 100 % Bi

    Keterangan :

    i = Keuntungan tataniaga lembaga ke -i (Rp/kg)

    Bi = Biaya tataniaga lembaga ke-i (Rp/kg)

    3.4.4. Analisis Efisiensi Tataniaga

    Analisis efisiensi tataniaga dilakukan dengan cara menilai sistem tataniaga

    kayu Sengon berdasarkan kriteria yang telah umum digunakan. Kohls, R.L.

    (1967), menjelaskan kriteria yang digunakan untuk mengukur efisiensi tataniaga

    dapat berdasarkan dua pendekatan yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi

  • 27

    harga. Efisiensi operasional menekankan pada keterkaitan harga dalam

    mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen akibat perubahan tempat,

    bentuk dan waktu yang diukur melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat

    pergerakan komoditas dari satu pasar ke pasar lainnya. Efisiensi harga

    menekankan kepada kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk

    menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan

    meminimumkan biaya untuk menyelenggarakkan fungsi-fungsi tataniaga.

    Berdasarkan kedua kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu sistem

    tataniaga dianggap efisien apabila sebagai berikut :

    1. Mampu menyampaikan produk atau jasa dari produsen ke konsumen dengan

    biaya yang murah tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari keluaran produk

    atau jasa tersebut. Biaya tataniaga suatu produk biasanya diukur secara kasar

    dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi ekonomis marjin tataniaga sering

    digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui efisiensi dari sistem tataniaga.

    2. Adanya pembagian yang merata dari harga yang diberikan konsumen akhir

    kepada seluruh lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut.

    3.4.5. Analisis Aspek Pasar dan Pemasaran

    Kajian aspek pasar dan pemasaran berkaitan dengan ada tidaknya potensi

    pasar dan peluang pasar kayu Sengon untuk diperjualbelikan di masa yang

    akan datang. Aspek ini melihat secara umum bagaimana cara memasarkan hasil

    kayu Sengon, kemana kayu Sengon tersebut akan dijual, dan siapa yang akan

    membelinya. Selain itu juga melihat bagaimana kondisi harga dan pasar yang

    berlaku pada saat itu.

  • 28

    3.4.6. Analisis Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya

    Aspek ini mengkaji mengenai dampak usaha pengembangan budidaya

    Sengon terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Secara umum

    dari sisi ekonomi apakah usaha tersebut dapat menambah atau justru mengurangi

    pendapatan penduduk setempat. Dari sisi sosial dengan adanya kegiatan usaha

    tersebut apakah wilayah sekitarnya semakin ramai, jalan semakin baik,

    bertambahnya fasilitas umum atau tidak dan sebagainya. Dari sisi budaya,

    apakah dengan adanya kegiatan usaha tersebut ada pergeseran perilaku

    masyarakat dari adat kebiasaan.

    3.4.7. Analisis Aspek Teknis dan Teknologi

    Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas

    kelayakan usaha pengembangan kayu Sengon di wilayah Kecamatan Cililin

    Kabupaten Bandung dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian tersebut meliputi

    kelayakan lokasi penanaman, keberadaan alat dan peralatan, teknologi yang

    diterapkan, serta kesiapan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja.

    3.4.8. Analisis Aspek Keuangan (Financial)

    3.4.8.1. NPV (Net Present Value)

    Untuk mengetahui apakah usulan investasi suatu proyek layak atau tidak

    layak dilaksanakan yaitu dengan cara mengurangkan antara Present value (nilai

    saat ini) dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur

    ekonomis dengan Initial investment (kas awal). Jika nilai NPV proyek positif,

    maka proyek tersebut dinyatakan layak, sedangkan jika nilai NPV proyek tersebut

    negatif maka dinyatakan tidak layak.

  • 29

    3.4.8.2. IRR (Internal Rate of Return)

    Untuk mengetahui suatu usulan investasi proyek layak atau tidak digunakan dengan

    cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan (Inexpected

    rate of return). Perhitungan dilakukan dengan mencari discount rate yang dapat

    menyamakan present value dari aliran kas dengan present value dari investasi atau kas

    awal (Initial investment).Cara sederhana untuk mencari nilai IRR adalah dengan teknik

    interpolasi, dengan terlebih dahulu mencari nilai present value hasil NPV yang

    berlawanan arah yaitu NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif.

    3.4.8.3. B/C Ratio (Benefit and Cost Ratio)

    Perhitungan B/C ratio adalah untuk mengetahui apakah dengan suatu pengorbanan

    tertentu akan diperoleh manfaat. Usulan investasi akan diterima atau layak untuk

    dikembangkan apabila nilai B/C ratio mempunyai nilai lebih dari 1 (satu). Adapun rumus

    yang digunkan adalah sebagai berikut :

    B/C ratio = Manfaat yang telah dinilai sekarang Pengorbanan yang telah dinilai sekarang

    3.5. Kerangka Operasional Penelitian

    Hutan sebagai salah satu sumber daya alam memiliki manfaat bagi

    kehidupan makhluk di dunia, manfaat tersebut sesuai dengan fungsi hutan yang

    dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi tangiable) dan tidak dapat diukur

    dengan nilai ekonomi (fungsi intangiable ). Dengan fungsinya yang ekonomis,

    hutan telah memberikan manfaat berupa hasil hutan kayu dan non kayu. Hasil

    hutan kayu berupa kayu bulat (gelondongan atau log) dan berbagai jenis kayu sisa

    hasil tebangan. Hasil hutan kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku pada

    industri-industri kayu gergajian, yang kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku

  • 30

    kayu pertukangan dan juga kayu energi. Kayu pertukangan umumnya digunakan

    untuk pembuatan tiang, papan, palang, bahan baku meubel serta berbagai macam

    jenis kebutuhan kayu lainnya. Kebutuhan dan permintaan bahan baku kayu

    gergajian sangat tergantung terhadap kualitas, kuantitas, dan harga kayu.

    Berdasarkan kualitas, bahan baku kayu tersebut harus sesuai dengan bentuk fisik

    yang diinginkan. Berdasarkan kuantitas, bahan baku kayu tersebut harus tersedia

    dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak.

    Sedangkan berdasarkan harga, bahan baku kayu tersebut harus memiliki harga

    yang terjangkau oleh konsumen. Salahsatu bahan baku kayu yang digunakan

    untuk industri kayu gergajian di wilayah Kecamatan Cililin, kabupaten Bandung

    yaitu jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) atau dikenal dengan nama

    daerah kayu Albisia atau Jengjen. Banyaknya jumlah kayu Sengon yang tumbuh

    alami di wilayah Kecamatan Cililin menjadikan kayu Sengon sebagai pilihan

    utama untuk industri penggergajian. Hal ini yang menjadikan kebutuhan kayu di

    wilayah tersebut semakin meningkat dari hari kehari. Akan tetapi disisi lain

    peningkatan kebutuhan kayu tersebut tidak dapat diimbangi oleh pasokan bahan

    baku yang tersedia di alam yang semakin hari jumlahnya semakin menurun.

    Berdasarkan pengamatan awal di wilayah penelitian, masih sedikit jumlah

    petani sebagai produsen kayu yang mengelola kebun-kebun Sengon-nya dengan

    baik. Umumnya asal bibit Sengon yang tumbuh liar di sekitar kebun dibiarkan

    saja tanpa ada perawatan khusus yang diberikan, kalaupun ada hanya sebatas

    membersihkan tanaman dari gulma (tanaman liar atau pengganggu). Petani

    beranggapan bahwa hasil penjualan kayu Sengon hanya merupakan pendapatan

    sampingan sehingga mereka enggan untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk

  • 31

    pemeliharaan kebun. Kurangnya motivasi petani untuk membudidayakan tanaman

    Sengon secara terpadu di wilayah Kecamatan Cililin, dan adanya penurunan

    jumlah pasokan bahan baku kayu Sengon dari alam menjadi hal yang menarik

    untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai prospek pengembangan kayu

    Sengon di kebun-kebun milik masyarakat. Selain itu untuk mengetahui kondisi

    sistem tataniaga kayu Sengon di wilayah penelitian, perlu juga dikaji

    lebih jauh mengenai bagaimana tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu Sengon

    yang sedang terjadi saat ini.

    Pengukuran tingkat efisiensi tataniaga tersebut dilakukan dengan

    pendekatan marjin tataniaga dan sistem tataniaga yang ada, yaitu dengan

    mengidentifikasi lembaga tataniaga dan jalur tataniaga kayu Sengon serta kondisi

    harga yang belaku di tingkat produsen dan konsumen di wilayah penelitian.

    Kajian mengenai efisiensi sistem tataniaga dan prospek pengembangan kayu

    Sengon tersebut dirasakan penting sebagai salah satu cara untuk meningkatkan

    produktivitas hasil panen kayu petani sehingga dapat memberikan keuntungan

    yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Dengan diketahuinya

    tingkat efisiensi sistem tataniaga kayu yang terjadi, maka selanjutnya diharapkan

    dapat dirumuskan beberapa alternatif strategi pengembangan pertanian sebagai

    salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

    Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat

    pada Gambar 2.

  • 32

    Hasil : Efisien atau Tidak ? Layak atau tidak?

    Gambar 2. Skematika Konsep Utama Kerangka Penelitian

    SUMBERDAYA HUTAN

    Fungsi Tangiable (dapat diukur dengan nilai Ekonomi)

    Fungsi Intangiable (sulit diukur dengan nilai ekonomi)

    Tidak Efisien atau tidak layak

    - Perlu dirumuskan sistem tataniaga yang lebih efisien sebagai masukan bagi produsen, pengusaha, konsumen, dan Dinas Kehutanan Daerah.

    - Perlu dikaji lebih jauh mengenai alternatif cara untuk pengembangan

    Sengon.

    Efisien atau layak

    - Sebagai referensi untuk pengembangan budidaya kayu Sngon.

    - Masukan bagi sistem Tataniaga kayu jenis lainnya.

    - Dapat dikembangkan budidaya Sengon secara intensif.

    Hasil Hutan Kayu - Hasil kayu bulat (log) dan kayu sisa hasil

    tebangan.

    Industri Kayu Gergajian - Suplai bahan baku untuk kayu pertukangan

    dan energi

    Bahan Baku Kayu Gergajian di Kecamatan Cililin

    - Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

    Analisis Sistem Tataniaga - Lembaga dan jalur tataniaga kayu Sengon

    Analisis Marjin Tataniaga - Selisih harga di tingkat produsen dan konsumen

    Hasil Hutan Non Kayu - Rekreasi, getah, air, rotan,

    buah-buahan dll.

    Kualitas, Kuantitas dan Harga

    Prospek pengembangan budidaya kayu Sengon

    - Analisis aspek pasar dan pemasaran

    - Analisis aspek sosial, ekonomi dan budaya

    - Analisis aspek teknis dan teknologi

    - Analisis aspek keuangan (financial) - IRR - NPV

    - Net B/C Ratio

  • 33

    BAB IV

    KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

    4.1. Lokasi Penelitian

    Wilayah Kecamatan Cililin berada pada ketinggian 600 mdpl, dengan suhu

    maksimum minimum 28C-13C. Curah hujan di wilayah Kecamatan Cililin

    sebesar 700 mm/t dengan jumlah hari hujan sebanyak 120 hari. Jarak pusat

    pemerintahan Kecamatan dari Kelurahan yang terjauh sejauh 10 km atau sekitar 2

    jam perjalanan darat. Ibukota kabupaten berjarak 21 km atau sekitar 1 jam

    perjalanan darat. Ibukota propinsi 39 km atau 2 jam perjalanan darat.

    Luas wilayah Kecamatan Cililin terdiri atas tanah sawah, tanah hutan, dan

    tanah fasilitas umum. Tanah sawah tersebar seluas 1109,2 ha yang terdiri atas

    irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tanah sawah tadah hujan. Sedangkan

    untuk tanah hutan terdiri atas tanah hutan lebat, dan hutan sejenis seluas 795 ha.

    Untuk tanah fasilitas umum seluas 16642,04 ha, digunakan untuk keperluan

    lapangan olah raga, taman rekreasi, jalur hijau, dan pemakaman. Wilayah

    Kecamatan Cililin terdiri atas 11 Desa dengan Dusun sebanyak 28, jumlah Rukun

    Warga (RW) sebanyak 85 RW, dan Rukun Tetangga (RT) sebanyak 338 RT.

    Jumlah Kepala Keluarga di Kecamatan Cililin sebanyak 16.884 KK, dengan

    didominasi kaum laki-laki sebanyak 32.184 orang dan kaum perempuan sebanyak

    32.184 orang. Jumlah penduduk berdasarkan usia didominasi oleh penduduk

    berumur 25-55 tahun dan jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu penduduk

    berumur 80 tahun keatas. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

  • 34

    Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia di Kecamatan Cililin tahun 2005

    No Golongan Umur (tahun) Jumlah (orang)

    0-6 8419

    7-12 7469

    13-18 6913

    19-24 6994

    25-55 27488

    56-79 4951

    a.

    80 tahun keatas 920

    0-4 5894

    5-9 6930

    11-14 4874

    15-19 5442

    20-24 5935

    25-29 4805

    30-34 4747

    35-39 4715

    b.

    40 tahun keatas 20304

    0-5 7097

    6-16 13350

    17-25 10838

    26-55 26702

    c.

    56 tahun keatas 6184

    Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung.

    Jenis pekerjaan yang umumnya dimiliki oleh penduduk Kecamatan Cililin

    adalah sebagai Petani yaitu sebanyak 8.838 orang dan pedagang yaitu sebanyak

    2007 orang. Jenis pekerjaan sebagai Petani dipilih karena selain kondisi

    lingkungan alam yang subur juga merupakan jenis pekerjaan yang diturunkan dari

    keluarga sebelumnya. Jenis pekerjaan lainnya yaitu sebagai buruh industri, buruh

    bangunan, buruh perkebunan, buruh pertambangan, tukang ojeg, Petani ikan

    jarring apung, buruh gergaji kayu, pengusaha kayu, pengrajin wajit dan kerupuk

    serta pengrajin bilik . Selain jenis pekerjaan Wiraswasta, banyak juga penduduk

    yang memilih profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu sebagai Guru dan

    ABRI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 16.

  • 35

    4.2. Sarana Perekonomian

    Seperti wilayah pedesaan lainnya di Indonesia, kegiatan perekonomian di

    wilayah Kecamatan Cililin digerakkan oleh kegiatan Koperasi yang terdiri atas

    Koperasi simpan pinjam sebanyak 11 buah, dan Koperasi Unit Desa (KUD)

    sebanyak 12 buah. Kegiatan Koperasi juga di dukung oleh adanya Bank

    konvensional yaitu bank BRI sebanyak 2 unit. Dalam kegiatannya bank BRI

    menjadi sarana simpan pinjam masyarakat wilayah Kecamatan Cililin guna

    mendukung kegiatan usaha seperti berdagang, bertani dan berbagai jenis usaha

    lainnya. Adapun jumlah pasar induk sebagai pusat perdagangan sebanyak 1 buah

    dengan didukung oleh pasar permanen dan semi permanen yang tersebar di

    beberapa wilayah pedesaan sebanyak 6 buah. Pasar-pasar desa tersebut memiliki

    jadwal waktu buka tersendiri atau disebut sebagai hari pasar, dalam seminggu

    pasar desa hanya buka dua sampai tiga kali saja , yaitu pada hari Selasa, Jumat

    atau hari Sabtu.

    Jumlah industri yang tersebar di wilayah Kecamatan Cililin sebanyak 676

    buah industri kecil rumah tangga. Industri kecil tersebut dapat menyerap sebanyak

    kurang lebih 750 orang tenaga kerja per tahun. Pada umumnya industri kecil

    tersebut bergerak di bidang pangan jadi seperti industri kecil wajit, kerupuk

    tepung, keripik singkong, dan pangan olahan lainnya. Industri lainnya adalah

    industri kecil furniture kayu dan Industri Penggergajian Kayu (IPK) sebanyak 11

    unit. Selain di sektor industri kecil rumah tangga penyerapan tenaga kerja di

    wilayah Kecamatan Cililin juga diserap oleh sektor usaha lainnya seperti usaha

    rumah makan sebanyak 35 orang, usaha perdagangan sebanyak 53 orang, usaha

    angkutan sebanyak 364 orang, dan usaha lainnya sebanyak 172 orang.

  • 36

    4.3. Jenis Tanaman Pertanian

    Jenis tanaman utama yang umumnya diusahakan oleh masyarakat

    Kecamatan Cililin adalah jenis tanaman Padi dengan luas areal tanaman sebesar

    588 ha dengan rata -rata produksi 23 ton. Kemudian diikuti dengan jenis tanaman

    lainnya seperti tanaman Sayur -sayuran seluas 628,7 ha, Jagung seluas 24,5 ha ,

    Ketela pohon seluas 51 ha, dan buah-buahan seluas 16 ha. Untuk jenis tanaman

    perdagangan yang sudah diusahakan adalah jenis tanaman Kelapa seluas 130 ha,

    dan Kopi seluas 10 ha. Rata-rata luas tanah pertania n yang diusahakan oleh

    penduduk adalah seluas 766,45 ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

    Tabel 4.

    Tabel 4. Luas Tanaman/ha dan Jumlah Rata-rata Produksi/ton Tahun 2005

    No Jenis Tanaman Luas tanaman/ha

    Luas yang Di panen/ha

    Rata- rata produksi/ton

    Jumlah

    1 Padi 310 255 23 588 2 Jagung 15,5 5 4 24,5 3 Ketela Pohon 30 15 6 51 4 Sayur-sayuran 26,7 602 - 628,7 5 Buah-buahan 10 6 - 16 6 Tanaman lainnya 10 7 2 19

    Sumber : Kantor Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung (2005) .

    4.4. Sarana Sosial Budaya dan Transportasi

    Pembangunan di wilayah Kecamatan Cililin sangat didukung oleh

    berbagai sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat, seperti sarana

    pendidikan, kesehatan, dan peribadatan. Untuk sarana pendidikan terdiri atas

    Taman kanak-kanak (TK), Sekolah dasar (SD), Sekolah menengah pertama

    (SMP), dan Sekolah menengah atas (SMA). Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat

    bahwa sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Kecamatan Cililin sudah

  • 37

    mencukupi. Selain sarana pendidikan, terdapat juga sarana peribadatan bagi umat

    Islam sebanyak 164 buah mesjid dan 342 buah surau atau mushhola. Tempat

    peribadatan untuk umat beragama lainnya tidak ada, karena dari keseluruhan

    masy