skrining fungi dan bakteri kitinolitik serta …perpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/e-jurnal jurnal...
TRANSCRIPT
SKRINING FUNGI dan BAKTERI KITINOLITIK SERTA POTENSI
AKTIVITAS KITINASENYA
Hany Latifah Zein, Dra. Tri Aminingsih, M.Si, Ir. Elizabeth.C. Situmorang, M.Si
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pakuan Bogor
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak
dimanfaatkan oleh manusia. Salah satu kendala dalam industri kelapa sawit
adalah serangan penyakit busuk pangkal batang. Penyakit ini disebabkan oleh
fungi Ganoderma boninense yang hinggap pada batang tanaman kelapa sawit.
Pada saat ini upaya pengendalian Ganoderma boninense masih mengandalkan
pestisida. Perlu dilakukan pemilihan agen pengendali hayati yang efektif dan
ramah lingkungan berupa fungi dan bakteri yang melibatkan enzim kitinase.
Hasili penelitian menunjukkan bahwa telah terpilih 9 isolat , 4 isolat dari genus
bakteri yakni SMCC/B/09/00007, SMCC/B/09/00008,SMCC/B/09/00012,
SMCC/B/09/00033 dan 5 isolat dari genus fungi yakni SMCC/F/09/00013,
SMCC/F/09/00019, SMCC/F/09/00026, SMCC/F/09/00036 dan
SMCC/F/09/00037. Aktivitas enzim kitinase tertinggi pada bakteri ditunjukkan
oleh isolat SMCC/B/09/00008 dengan nilai ativitas sebesar 3,091 U/mL dan
aktivitas spesifik sebesar 1,370 mg/mL dihasilkan pada waktu inkubasi hari ke-4.
Untuk genus fungi ditunjukkan oleh SMCC/F/09/00026 dengan nilai aktivitas
enzim sebesar 2,190 U/mL dan aktivitas enzim spesifik sebesar 0,980 U/mg
dihasilkan pada waktu inkubasi hari ke-5. Isolat-isolat terpilih inilah yang dapat
dijadikan sebagai pengendali hayati Ganoderma boninense
Keyword : fungi, bakteri, enzim kitinase,aktivitas spesifik
PENDAHULUAN
Laju perkembangan industri
kelapa sawit di Indonesia semakin
pesat, terutama luas peningkatan luas
lahan kelapa sawit. Kelapa Sawit
adalah salah satu palma yang
menghasilkan minyak nabati, yang
lebih dikenal dengan sebutan palm
oil. Sumber minyak nabat dapat
berasal dari kelapa, kelapa sawit,
kacang tanah, kacang kedelai, biji
bunga matahari, dan lainnya. Kelapa
sawit adalah penyumbang minyak
nabati terbesar di dunia (2000-3000
kg/ha), manakala kelapa hanya
mencapai 700-1000 kg/ha (Siregar,
2006).
Salah satu kendala dalam
industri kelapa sawit adalah Penyakit
Busuk Pangkal Batang (BPB).
Penyakit ini merugikan karena dapat
mengakibatkan pelapukan batang
(Sinaga et al., 2003). Penyebab
penyakit BPB adalah Ganoderma
boninense yang merupakan
cendawan patogen tular tanah yang
menyebabkan kematian kelapa sawit
di beberapa perkebunan Indonesia
(Susanto, 2002).
2
Pada saat ini upaya
pengendalian terhadap hama dan
penyakit tanaman masih
mengandalkan pestisida sbagai
pengendalian utama. Kenyataannya
bahwa pengendaian dengan
menggunakan senyawa kimia bukan
merupakan alternatif yang terbaik,
karena sifat racun yang terdapat
dalam senyawa tersebut dapat
meracuni manusia, ternak piaraan,
serangga penyerbuk, musuh alami,
serta lingkungan yang dapat
menimbulkan polusi, bahkan
pemakaian dosis yang tidak tepat
bisa membuat hama dan penyakit
menjadi resisten. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu diambil
alternatif pengendalian yang efektif
terhadap penyebab penyakit tanaman
tanpa mengandalkan fungisida
(Ismail & Tenrirawe, 2013).
Upaya pengendalian yang
efektif dan ramah lingkungan perlu
dilakukan, salah satunya adalah
menggunakan mikroorganisme
kitinolitik yang melibatkan enzim
kitinase (Muharni & Widjajanti,
2011). Enzim kitinase banyak
dimanfaatkan sebagai pengendali
hayati terutama pada bagi tanaman
yang terserang infeksi fungi patogen.
Hal ini dikarenakan kitin merupakan
komponen utama dinding sel fungi
yang dapat didegradasi oleh enzim
kitinase (Herdyastuti et al., 2009).
Beberapa genus baktei
kitinolitik adalah Aeromonas,
Psedomonas, Bacillus, Vibrio,
Xanthomonas, Serratia (Ayu et al.,
2010) dan Burkholderia
(Syamsuddin & Ulim, 2013). Selain
genus bakteri, alternatif
pengendalian penyakit tular tanah
secara biologi dapat pula dilakukan
mikroorganisme fungi seperti,
Trichoderma harzianum,
Trichoderma Viridae, Gliocladium
dan Asperigillus sp (Khaeruni &
Gusnawaty, 2012).
Dalam penelitian ini akan
dilakukan pengujian aktivitas enzim
kitinase dari berbagai koleksi
SInarmas Culture Collection
(SMCC). Isolat dengan aktivitas
kitinase tertinggi diharapkan menjadi
agen potensial untuk digunakan
sebagai komponen formula
biofungisida pengendali Ganodema
boninense .
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan
adalah sepuluh isolat bakteri dan
sepuluh isolat fungi koleksi Sinarmas
Culture Collection (SMCC), PDA,
PDB, NA,NB, koloidal kitin, Yeast
extract, Agar, Peptone, KH2PO4,
K2HPO4, (NH4)2SO4, Na2CO3,
MgSO4.7H20, CaCl.2H2O,
K3Fe(CN)6, Nacl 0,85%, buffer
Phosphate, CuSO4, Follin-Ciocalteu,
aquadest, spirtus, paper towel, plastik
cling wrap, alumunium foil..
Alat
Alat-alat yang digunakan
adalah cawan Petri, spatula, mikro
pipet, centrifuge, biosafety cabinet,
haemocytometer, autoklaf, kuvet, hot
plate, spektropotometer, pH, neraca
digital, microwave, magnetic stirer,
ose, api Bunsen, tusuk sate, sedotan,
Erlenmeyer, tabung reaksi, inkubator
kocok, rak tube, shaker, Schott
bottle, korek api, colony counter,
inkubator suhu 37 dan inkubator
suhu 30
3
METODE KERJA
Isolat fungi dan isolat bakteri
yang diduga memiliki aktivitas
kitinolitik di skrining di media kitin
padat setelah terpilih isolat yang
memiliki aktivitas kitinolitik. Isolat
bakteri maka akan dibuat kurva
pertumbuhan bakteri untuk
mengetahui dimana fase inokulan
kitinase akan diambil, untuk isolat
fungi akan diuji kerapatan sporanya.
Selanjutnya dilakukan
pemurnian pada bakteri dan fungi.
Isolat bakteri diinokulasikan terlebih
dahulu ke dalam media NB untuk
mengetahui waktu inokulan yang
akan diambil, selanjutnya
diinokulasikan pada media kitin cair
untuk di uji aktivitas enzim kitinase,
kadar proteinnya serta aktivitas
spesifiknya. Hal yang sama pun
dilakukan pada fungi, hanya saja
fungi tidak melalui tahap inokulasi
pada medium NB.
Skrining Bakteri dan Fungi
Isolat fungi dan bakteri yang
diduga memiliki aktivitas kitinolitik
diuji pada medium kitin padat. Isolat
bakteri harus ditumbuhkan terlebih
dahulu pada medium Nutrient Broth
(NB) dengan umur 1×24 jam,
diteteskan pada edium kitin padat
sebanyak 20µL tepat di tengah
permukaan kitin padat, penyimpanan
dilakukan pada inkubator 37 .
Diamati perkembangannya sampai
terbentuk zona bening.
Isolat fungi ditumbuhkan
pada medium Potato Dextrose Agar
(PDA) sampai usia sepuluh hari dan
dipindahkan pada media kitin padat
dengan metode cuplik menggunakan
sedotan dan tusuk sate, penyimpanan
disc fungi dilakukan tepat ditengah
permukaan media kitin padat. Agar
tumbuh dengan sempurna fungi
disimpan di inkubator dengan suhu
30 , diamati perkembangannya
sampai terbentuk zona bening.
Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Bakteri SMCC
Disiapkan isolat bakteri
SMCC terpilih, diinokulasikan pada
medium NB 10 mL, di inkubasi
selama 1×24 jam dengan inkubator
kocok, selanjutnya medium berisi
bakteri tersebut dipindahkan pada
medium NB 100 mL sebanyak 100
µL. Inilah yang akan menjadi starter
yang akan di ukur setiap 2 jam pada
panjang gelombang 600 nm
Pengujian Kerapatan Spora Fungi
SMCC
Pengujian kerapatan spora
pada fungi bertujuan untuk
mengetahui jumlah spora masing-
masing fungi. Fungi terpilih
ditumbuhkan pada medium PDA
selam 10 hari, dilepaskan sporanya
dengan cara dikeruk dan dilarutkan
dengan larutan NaCl 0,85%.
Diteteskan pada bidang
haemocytometer, diamati dibawah
mikroskop.
Pengujian Aktivitas Kitinase
Aktivitas enzim kitinas diuji
berdasarkan metode Schales
(Pratiwi, 2015) yang dimodifikasi.
Modifikasi ini dilakukan pada nilai
konsentrasi dan volume pereaksi.
Pengujian aktivitas enzim dilakukan
menggunakan substrat kolidal kitin
dengan konsentrasi 0,3% , 0,75
buffer phosphate , dan ekstrak kasar
dari fungi dan bakteri. Campuran
diinkubasi pada suhu 37 selama 30
menit. Selanjutnya disentrifugasi
pada kecepatan 6000 rpm selama 4
4
menit. Pelet di buang, supernatan
diambil sebanyak 2,5 mL , lalu
ditambah dengan 2,5 aquadest dan 5
mL pereaksi Schales. Didihkan
selama 10 menit . setelah dingin,
absorbansi larutan diukur pada
panjang gelombang 420 nm.
Dilakukan pula pengujian untuk
kontrol dengan penambahn ekstrak
kasar fungi dan bakteri setelah
inkubasi. Satu unit aktivitas kitinase
didefinisikan sebagai jumlah enzim
yang menghasilkan 1 gula
reduksi N-asetilglukosamin selama 1
menit.
Penentuan Kadar Protein
Kadar protein ditentukan
menggunakan metode Lowry dan
sebagai standar digunakan Bovine
Serum Albumin (Dewi, 2013)
Penetuan Aktivitas Spesifik
Aktivitas spesifik dapat
ditentukan dengan perbandingan
antara Aktivitas Enzim Kitinase dan
Konsentrasi Protein
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil skrining pada media
kitin padat menunjukkan bahwa dari
20 isolat bakteri dan fungi SMCC
terdapat 9 isolat yang menunjukkan
adanya aktivitas kitinase, 4 isolat
bakteri (Gambar 1) dan 5 isolat fungi
(Gambar 2).
Indeks kitinolitik tertinggi
pada isolat bakteri terdapat pada
isolat SMCC/B/09/00008 sebesar 1,5
cm dan terendah adalah isolat
SMCC/B/09/00012 sebesar 0,2 cm.
Hasil skrining fungi SMCC
menunjukkan bahwa isolat fungi
dengan kode SMCC/F/09/00026
memiliki indeks kitinolitik tertinggi
yaitu sebesar 1,1 cm, dan yang
memiliki indeks kitinolitik terendah
adalah SMCC/F/09/00036 dan
SMCC/F/09/00037 sebesar 0,1 cm.
Gambar 1. Aktivitas
Kitinolitik Bakteri SMCC
Indeks Kitinolitik dari
masing-masing isolat berbeda-beda.
Terjadinya perbedaan indeks
kitinolitik ini disebabkan oleh
perbedaan aktivitas kitinase dari
masing-masing isolat bakteri dan
fungi.
Gambar 2. Aktivitas
Kitinolitik Fungi SMCC
Menurut Dewi (2008),
besarnya zona bening yang
5
dihasilkan tergantung pada jumlah
monomer N-asetilglukosamin yang
dihasilkan dari proses hidrolisis
kitin. Semakin banyak jumlah
monomer N-asetilglukosamin yang
dihasilkan maka akan semakin besar
zona bening yang terbentuk disekitar
koloni, zona yang dihasilkan akan
menunjukkan besar kecil aktivitas
kitinolitik.
Variasi zona bening yang
dihasilkan yang ditemukan dari tiap
isolat diduga disebabkan perbedaan
suhu dan pH baik pada kondisi alami
maupun perlakuan di laboratorium
selama penelitian berlangsung.
Seperti dikemukakan Lehninger
(1998), bahwa aktivitas suatu enzim
dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu pH, suhu, aktivator, inhibitor,
konsentrasi substrat dan enzim
Kurva Pertumbuhan Bakteri
Kitinolitik
Kurva pertumbuhan bakteri
merupakan hal yang penting untuk
dilakukan dalam karakterisasi
bakteri. Dari pengukuran kurva
pertumbuhan maka akan diketahui
fase-fase dalam pertumbuhan bakteri
Isolat bakteri
SMCC/B/09/00007 dan
SMCC/B/09/00033 mengalami laju
yang lambat dibandingkan
SMCC/B/09/00008 dan
SMCC/09/00012 karena memasuki
fase eksponensial pada jam ke-6
sampai jam ke-16, kemudian masuk
fase stasioner setelah kultur bakteri
berumur 18 jam. Isolat bakteri
SMCC/B/09/00008 dan
SMCC/B/09/00012 mengalami laju
pertumbuhan yang lebih cepat
karena memasuki fase eksponensial
pada pertumbuhan ke-2 sampai jam
ke-10, mulai memasuki fase
stasioner setelah kultur berumur 12
jam.
Menurut Cahyani (2013)
inokulum untuk produksi kitinase
dipilih pada fase pertengahan atau
fase eksponensial sampai fase
stasioner awal, pada fase ini
metabolisme optimum dan sintesis
bahan sel sangat cepat dengan
jumlah konstan, sehingga pada fase
ini bakteri sangat baik apabila
dijadikan sebagai inokulum.
Kerapatan Spora Fungi Kitinolitik
Uji kerapata spora
dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah spora pada isolat serta
kemampuan hidup spora pada fungi
Tabel 1. Kerapatan Fungi Kitinolitik
Kode Isolat Kerapatan Spora Kerapatan Spora
SMCC/F/09/00013 2,29× 108 2,29 × 10
8
SMCC/F/09/00019 3,65 × 108
SMCC/F/09/00026 3,75 × 108
SMCC/F/09/00036 5,97 × 107
SMCC/F/09/00037 5,19 × 107
Berdasarkan Tabel 1
diketahui kerapatn spora paling
tinggi ditunjukkan isolat
SMCC/F/09/00026 dan yang
terendah ditunjukkan isolat
SMCC/F/09/00037. Menurut
Situmorang (2012) perbedaan
pertumbuhan spora diakibatkan
adanya faktor kematangan spora
pada saat pembuatan inokulum, serta
periode dorman dan germinasi
Aktivitas Enzim Kitinase Fungi
dan Bakteri SMCC
Hasil pengukuran aktivitas
enzim kiinase dilakukan pada isolat
6
terpilih hasil skrining yakni empat isolat bakteri dan lima isolat fungi
Gambar 3. Aktivitas Kitinase Bakteri SMCC pada Berbagai Waktu Inkubasi
Gambar 4. Aktivitas Kitinase Fungi SMCC pada Berbagai Waktu Inkubasi
Bakteri SMCC menpunyai
aktivitas tertinggi pada hari ke-4, dan
nilai aktivitas tertingg ditunjukkan
oleh SMCC/B/09/00008 sebesar
3,091 U/mg dan aktivitas terendah
ditunjukkan SMCC/B/09/00012
dengan nilai aktivitas sebesar 1,539
U/mL. Berdasarkan Gambar 3
diketahui perbedaan nilai aktivitas
berdasarkan zona bening yang
terbentuk SMCC/B/09/00033
memiliki zona bening terbesar kedua
setelah SMCC/B/09/00008 tetapi
menghasilkan aktivitas yang kecil
yakni sekitar 2,116 jika
dibandingkan SMCC/B/09/00007
yang memiliki aktivitas kitinolitik
kecil tapi menghasilkan aktivitas
enzim kitinasenya sekitar 2,319
U/mL.
Diduga zona bening yang
terbentuk pada saat itu disebabkan
kkondisi yang diinginkan
SMCC/B/09/00007 tidak optimum.
Seperti dilaporkan Muharni &
Widjajanti (2011), beberapa faktor
seperti perbedaan jenis
mikroorganisme, kecepatan
pertumbuhan setiap isolat pada
medium padat dan cair, jumlah
inokulum yang diberikan pada
medium , diduga menjadi penyebab
tidak berkolerasinya nilai aktivitas
hidrolisis enzim kitinase.
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
1 2 3 4 5 6 7
Ak
tiv
itas
Kit
ina
se
(Un
it/m
L)
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
SMCC/B/09/00007
SMCC/B/09/00008
SMCC/B/09/00012
SMCC/B/09/00033
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
1 2 3 4 5 6 7
Ak
tivit
as
Kit
inase
(Un
it/m
L)
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
SMCC/F/09/00013
SMCC/F/09/00019
SMCC/F/09/00026
SMCC/F/09/00036
SMCC/F/09/00037
7
Untuk isolat fungi. Tiga
isolat fungi mencapai nilai aktivitas
tertinggi pada hari ke-5 dan dua
lainnya pada hari ke-6. Isolat yang
mencapai aktivitas tertinggi pada
hari ke-5 adalah SMCC/F/09/00013
sebesar 1,885 U/mL, isolat fungi
SMCC/F/09/00019 sebesar 2,001
U/mL dan SMCC/F/09/0026 sebesar
2,190 U/mL. Dua isolat yang
mencapai nilai aktivitas tertinggi
pada hari ke-6 adalah
SMCC/F/09/00036 sebesar 1,693
dan SMCC/F/09/00037 dengan nilai
aktivitas sebesar 1,590 U/mL
Menurut Dewi (2008),
kehadiran enzim kitinolitik pada
medium pertumbuhan dapat dilihat
dari reaksi pelepasan N-asetil D-
glukosamin dari koloidal kitin.
Kemampuan bakteri dan fungi untuk
memproduksi kitinase sangat
bervariasi, mungkin disebabkan
perbedaan kecil pada gen yang
mengkodenya. Setiap spesies
memiliki variasi terhadap perlakuan
suhu yang berimplikasi terhadap
diproduksi dan diseksresikannya
enzim pada medium
Tabel 2. Kadar Protein Fungi SMCC Pada Berbagai Waktu Inkubasi
Gambar 5. Aktivitas Spesfik Kitinase Fungi SMCC
Kode Isolat
Kadar Protein (mg/mL
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
1 2 3 4 5 6 7
SMCC/F/09/00013 2,226 2,224 2,236 2,214 2,236 2,244 2,237
SMCC/B/09/00019 2,231 2,247 2,261 2,249 2,230 2,250 2,231
SMCC/B/09/00026 2,224 2,223 2,239 2,227 2,236 2,240 2,244
SMCC/B/09/00036 2,241 2,229 2,234 2,224 2,232 2,230 2,238
SMCC/B/09/00037 2,226 2,229 2,241 2,228 2,238 2,243 2,246
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
1 2 3 4 5 6 7
Ak
tivit
as
Sp
esif
ik (
U/m
g)
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
SMCC/F/09/00013
SMCC/F/09/00019
SMCC/F/09/00026
SMCC/F/09/00036
SMCC/F/09/00037
8
Tabel.3. kadar Protein Bakteri SMCC Pada Berbagai Waktu Inkubasi
Gambar 6. Aktivitas Spesifik Kitinase Bakteri SMCC
Kadar Protein dan Aktivitas
Spesifik Fungi dan Bakteri SMCC
Untuk menentukan aktivitas
spesifik maka harus didaptakan
terlebih dahulu kadar proteinnya.
Hasil kadar protein dan aktivitas
spesifik enzim kitinase bakteri
SMCC yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 3 dan Gambar 6.
Aktivitas spesifik enzim kitinase
tertinggi ditunjukkan oleh
SMCC/B/09/00008 dengan nilai
aktivitas 1,370 U/mg dan yang
terendah ditunjukkan isolat
SMCC/B/09/00012 dengan nilai
aktivitas sebesar 0,682 U/mg.
Hasil kadar protein dan
aktivitas spesifik enzim kitinase
fungi SMCC yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 5.
Tiga isolat fungi menunjukkan
puncak aktivitas tertinggi pada hari
ke-5 dan dua lainnya menunjukkan
aktivitas tertinggi pada hari ke-6.
Aktivitas spesifik tertinggi
ditunjukkan oleh isolat
SMCC/F/09/00026 dengan nilai
aktivitas sebesar 0,980 U/mg. Dan
yang terendah ditunjukkan oleh
Kode Isolat
Kadar Protein (mg/mL
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
1 2 3 4 5 6 7
SMCC/B/09/00007 2,251 2,248 2,260 2,253 2,226 2,244 2,230
SMCC/B/09/00008 2,239 2,233 2,248 2,257 2,247 2,252 2,231
SMCC/B/09/00012 2,251 2,253 2,251 2,258 2,224 2,260 2,228
SMCC/B/09/00033 2,247 2,248 2,246 2,261 2,242 2,250 2,233
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
1 2 3 4 5 6 7Ak
tiv
itas
Kit
inase
(U
nit
/mL
)
Waktu Inkubasi (Hari ke-)
SMCC/B/09/00007
SMCC/B/09/00008
SMCC/B/09/00012
SMCC/B/09/00033
9
isolat SMCC/F/09/00037 dengan
nilai aktivitas sebesar 0,709 U/mg
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
yang berjudul “Skrining Fungi dan
Bakteri SERTA POTENSI
AKTIVITAS KITINASENYA”.
Disimpulkan bahwa :
1. Telah terpilih isolat
bakteri dan isolat fungi
yang memiliki aktivitas
kitinolitik. Dari genus
bakteri terdapat empat
isolat yaiu
SMCC/B/09/00007,
SMCC/B/09/00008,
SMCC/B/09/00012,
SMCC/B/09/00033. Dari
genus fungi terdapat lima
isolat yaitu :
SMCC/F/09/00013,
SMCC/F/09/00019,
SMCC/F/09/00026,
SMCC/F/09/00036,
SMCC/F/09/00037.
2. Aktivitas enzim kitinase
tertinggi dicapai pada
hari ke-4. Isolat bakteri
yang menunjukkan
aktivitas kitinase tertinggi
adalah
SMCC/B/09/00008
dengan nilai aktivitas
kitinase sebesar 3,091
U/mL dan untuk isolat
fungi aktivitas tertinggi
dicapai pada hari ke-5
dan ke-6. Isolat fungi
yang menunjukkan
aktivitas enzim kitinase
tertinggi adalah
SMCC/F/)9/00026
dengan nilai aktivitas
sebesar 2,190. Aktivitas
tertinggi pada bakteri
dicapai pada hari ke-4.
Isolat bakteri yang
menunjukkan aktivitas
spesifik tertinggi
ditunjukkan oleh
SMCC/B/09/00008
dengan nilai aktivitas
spesifik sebesar 1,370
U/mg. Pada genus fungi
aktivitas spesifik tertinggi
dicapai pada hari ke-5
dan 6. Isolat fungi yang
menunjukkan aktivitas
spesifik tertinggi adalah
SMCC/F/09/00026
dengan nilai aktivitas
sebesar 0,980 U/mg.
Isolat-isolat terpilih inilah
yang bisa dijadikan
sebagai pengendali hayati
untuk Ganoderma
boninense
Saran
Saran dari penelitian
“SKRINING FUNGI dan BAKTERI
KITINOLITIK SERTA POTENSI
AKTIVITAS KITINASENYA”
yaitu perlu dilakukan penelitian
lanjutan sehingga dapat ditentukan
waktu pemanenan, pH dan faktor
fisik lain yang memungkinkan
diperolehnya kondisi optimal agar
kitinase dapat maksimal diproduksi
DAFTAR PUSTAKA
Ayu A, Suryanto D, Nurwahyuni I.
2010. Potensi Bakteri
Kitinolitik Dalam
Pengendalian Asperigillus
niger Penyebab Penyakit
Busuk Pangkal Akar Pada
Tanaman Kacsang Tanah.
Medan : USU Repository.
10
Cahyani L. 2013. Pemanfaatan
Tepung Cangkang Udang
Sebagai Media Produksi
Kitinase Oleh Bakteri
Kitinolitik Isolat 26. Skripsi.
Fakultas Matemtika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Universitas Jember.
Dewi IM. 2008. Isolasi Bakteri dan
Uji Aktivitas Kitinase
Termofilik Kasar Dari
Sumber Air Panas Tinggi
Raja, Simalungun Sumatera
Utara. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Dewi NY. 2013. Penetapan Kadar
Dan Analisis Profil Protein
Dan Asam Amino
Ekstrak Ampas Biji Jinten
Hitam (Nigella sativa Linn.)
Dengan Metode SDS-PAGE
dan KCKT. Skripsi. Fakultas
Keokteran dan Ilmu
Kesehatan Program Studi
Farmasi Universitas Islam
Negeri Jakarta.
Herdyastuti N, Raharjo TJ, Mudasir,
Matsjeh S. 2009. Kitin Dari
Limbah Cangkang Udang
Sebagai Media Untuk Bakteri
Kitinolitik Yang Diisolasi
Dari Lumpur Sawah. J
Manusia dan Lingkungan
Vol 16 No.2 Juli 2009: 115-
121.
Ismail N., Tenrirawe A. 2013.
Potensi Agens Hayati
Tricoiderma spp. Sebagai
Agens Pengendali Hayati.
Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian,Sulawesi Utara.
Lehninger A .1998. Dasar-Dasar
Biokimia.Jilid 1.Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Khaeruni A, Gusnawaty HS. 2012.
Utilization of Bacillus spp.As
Biological Control Fusarium
Wilt Disease on Hot Pepper.
Jurnal Agroteknos 2(3) : 182-
189.
Muharni & H Widjajanti. 2011.
Skrining bakteri kitinolitik
antagonis terhadap
pertumbuhan jamur akar
putih (Rigidoporus lignosus)
dari rizosfir tanaman karet.
Jurnal Penelitian Sains
14(1):50-56
Pratiwi RS, Susanto TE, Wardani
YAK, Sutrisno A. 2015.
Enzim Kitinase dan Aplikasi
di Bidang Industri : Kajian
Pustaka. Jurnal Pangan dan
Agroindustri 3:878-88
Siregar AZ.2006. Kelapa Sawit :
Minyak Nabati Berprospek
Tinggi. Medan : USU
Repository.
Situmorang EC. 2012. Teknuk
Perbanyakan Spora dan
Penyimpanan Spora
Indigenus Trichoderma
asperellum T13 Dan
Asperigillus niger A1. Tesis.
Sekolah Pascasarjana.
Institiut Pertanian Bogor.
Susanto A. 2002. Kajian
pengendalian hayati
Ganoderma boninense Pat.
penyebab penyakit busuk
pangkal batang kelapa sawit.
Disertasi Doktor.
Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Syamsuddin, Ulim MA. 2013. Daya
Hambat Kandidat Agens
Biokontrol Terhadap
Pertumbuhan Koloni Patogen
Phytophthora Capsici Secara
In Vitro. Jurnal Floratek
8:64-72.
11