skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon
DESCRIPTION
Sebuah skripsi yang mengulas mengenai pendapat almarhum Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon / an academic paper that brought to you about Mr. Satria Effendi m. Zein's opinion about islamic marriage by phone.TRANSCRIPT
![Page 1: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/1.jpg)
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN
MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
S K R I P S IDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh:
BAABULLAHNIM. 04531001
AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2008
![Page 2: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/2.jpg)
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN
MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
S K R I P S IDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh:
BAABULLAHNIM. 04531001
AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2008
i
![Page 3: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/3.jpg)
NOTA PEMBIMBING
Hal : Persetujuan Munaqosyah Skripsi Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah
Surabaya
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Setelah secara cermat kami baca/teliti kembali dan telah diadakan
perbaikan/penyempurnaan sesuai dengan petunjuk dan arahan kami, maka kami
berpendapat bahwa skripsi Saudara:
Nama : BAABULLAH
NIM : 04531001
Fakultas : FAKULTAS AGAMA ISLAM
Jurusan : AL-AHWAL ASY-SYAKHSYIYYAH
Judul : STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENDAPAT
SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM AKAD
NIKAH MELALUI TELEPON
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam Sidang Ujian Munaqosyah Skripsi
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya. Untuk itu kami ikut
mengharapkan agar dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatian Bapak, kami
sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surabaya,
Pembimbing,
Drs. MIFTAHUL ARIFIN
ii
![Page 4: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/4.jpg)
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dalam Sidang Ujian Munaqosyah Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 20 Agustus 2008
Tempat : Kampus FAI UMSurabaya Jl. Gadung III-7
Dan sidang telah menerima sebagai pelengkap tugas dan salah satu syarat
Ujian Akhir Program Strata Satu (S-1) guna memperoleh gelar Sarjana dalam
Ilmu Hukum Islam (Syari’ah) pada Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surabaya.
Maka dengan ini kami sahkan hasil Sidang Ujian Munaqosyah di atas.
Mengesahkan:
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
Dekan,
Drs. MAHMUDI
Tim Penguji Skripsi :
Ketua : Drs. Miftahul Arifin
Sekretaris : Drs. Syamsuddin, M.Ag
Penguji : Drs. Sueb, M.Pd.I
( )
( )
( )
iii
![Page 5: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/5.jpg)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puja puji dan lantun syukur hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam hanya patut untuk Rasulullah Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana (S-1) pada jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Adapun skripsi ini mengambil judul “ANALISIS HUKUM ISLAM
MENGENAI PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM
AKAD NIKAH MELALUI TELEPON”.
Dengan selesainya masa penelitian, penulisan dan penyusunan skripsi yang
berlangsung kurang lebih 4 (empat) bulan ini, penulis menghaturkan ucapan
terima kasih teruntuk:
1. Drs. Mahmudi, selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surabaya.
2. Drs. Syueb, MPd.I., selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah,
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.
3. Drs. Miftahul Arifin, selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas arahan dan
panduannya dalam penyusunan skripsi.
4. Jajaran dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Surabaya, terutama jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah yang telah memberi
ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
5. Jajaran pegawai di lingkungan Kampus Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surabaya atas bantuan, motivasi dan dukungannya.
6. Kedua orangtua atas cinta kasihnya; Kakak dan adik atas dukungannya yang
tak ternilai.
iv
![Page 6: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/6.jpg)
7. Kontributor utama yang tidak mau disebut namanya, atas pemberian buku
rujukan utama secara sukarela yang menjadi sumber utama skripsi ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa atas sumbangsih tenaga dan pikirannya.
9. Kontributor lain baik langsung maupun tidak langsung yang membantu proses
penyusunan skripsi ini.
10. Dan semua pihak yang tidak disebut namanya dengan tetap mengingat jasa
dan perannya bagi penulis.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh para pihak tersebut diatas
dihitung di hadapan Allah SWT kelak.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Sebab itu kritik dan saran
membangun penulis harapkan dan terima dengan lapang dada. Besar harapan
penulis agar karya ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi khalayak ramai.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Surabaya, Agustus 2008
Penyusun
BAABULLAH
v
![Page 7: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/7.jpg)
ABSTRAK
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN
MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
Oleh : BAABULLAHNIM : 04531001Fakultas : Agama IslamJurusan : Al-Ahwal As-Syakhsyiyyah (Syariah)Dosen Pembimbing : Drs. Miftahul Arifin
Penelitian ini adalah sebuah studi analisis berdasarkan hukum Islam yang mencoba menguak apa dan bagaimana pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum Akad Nikah melalui telepon berdasarkan putusan No. 1751/P/1989 pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pendapat Satria Effendi M. Zein yang dimaksud adalah pendapat tertulis beliau yang tertuang dalam bukunya Analisis Yurisprudensi Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia. Pendapat tertulis Satria Effendi M. Zein ini dikaji oleh peneliti dari segi dasar dan metode yang dipakai oleh Satria Effendi M. Zein sekaligus kesimpulan beliau berdasarkan dasar dan metode yang beliau pakai.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Satria Effendi M. Zein menawarkan dua pendapat yang bertentangan, selama belum ada kekuatan hukum tetap, yakni madzhab Syafi'i yang tidak mengesahkan praktek akad nikah melalui telepon, dan madzhab Hanafi dan Hambali yang membolehkan, walau beliau cenderung memilih pendapat kedua dengan alasan demi mengembangkan praktek akad nikah yang lebih mengikuti zaman.
Selain itu, terungkap bahwa beliau menggunakan metode komparatif vertikal, dalam arti beliau memperbandingkan antara pendapat para ulama madzhab yang empat, kemudian menyimpulkan dengan berpegang teguh pada maqasid syariah. Dan dasar-dasar yang beliau pakai, selain pendapat ulama' juga qaidah ushuliyah dan alasan-alasan pensyariatan ala madrasah moderat.
Kata Kunci : Hukum Islam, Satria Effendi, Akad Nikah melalui telepon
vi
![Page 8: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/8.jpg)
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB LATIN ARAB LATINا ط thب b ظ zhت t ع 'ث ts غ ghج j ف fح ħ ق qخ kh ك kد d ل lذ dz م mر r ن nز z و wس s ههه hش sy ء 'ص sh ي yض dh ـة t
VOKAL PENDEK VOKAL PANJANG DIFTONG-َ- a ـــأـ â-ِ- i mـــِي î mأَ ي ai-ُ- u m ــو û mأَ و au
vii
![Page 9: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/9.jpg)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................i
NOTA PEMBIMBING.........................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
ABSTRAK..........................................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................vii
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH..........................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................4
C. KAJIAN PUSTAKA.................................................................................4
D. TUJUAN PENELITIAN..........................................................................5
E. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN.......................................................6
F. DEFINISI OPERASIONAL.....................................................................7
G. METODE PENELITIAN.........................................................................8
1. Data yang Dikumpulkan.....................................................................8
2. Sumber Data........................................................................................8
3. Teknik Pengumpulan Data..................................................................9
4. Teknik Analisis Data...........................................................................9
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN..........................................................10
viii
![Page 10: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/10.jpg)
BAB II KAJIAN TEORITIS HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. PENGERTIAN PERKAWINAN............................................................12
1. Pengertian Nikah secara Bahasa.......................................................12
2. Pengertian Nikah secara Istilah.........................................................13
B. NASH-NASH PENSYARIATAN PERKAWINAN...............................17
C. HUKUM PERKAWINAN......................................................................19
1. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Maliki.................................19
2. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hanafi.................................22
3. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Syafi'i..................................25
4. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hambali..............................26
D. RUKUN PERKAWINAN.......................................................................28
1. Menurut Madzhab Maliki.................................................................29
2. Menurut Madzhab Syafi'i..................................................................30
E. SYARAT PERKAWINAN......................................................................30
1. Menurut Madzhab Hanafi.................................................................31
2. Menurut Madzhab Syafi'i..................................................................35
3. Menurut Madzhab Hambali..............................................................39
4. Menurut Madzhab Maliki.................................................................40
F. HIKMAH PERKAWINAN.....................................................................44
BAB III PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM
AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
ix
![Page 11: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/11.jpg)
A. BIOGRAFI SATRIA EFFENDI M. ZEIN..............................................48
1. Riwayat Pendidikan...........................................................................48
2. Profesi dan Jabatan yang Pernah Diemban.......................................49
3. Hasil Pemikiran dan Karya Tulis.......................................................50
B. PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM
AKAD NIKAH MELALUI TELEPON..................................................50
1. Hakikat dan Kedudukan Ijab Kabul dalam Akad Nikah...................51
2. Dua Pendapat mengenai Tafsiran dari Ittihad Al-Majelis.................52
3. Kesimpulan Satria Effendi M. Zein..................................................60
C. DASAR YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN..........63
1. Dari As-Sunnah.................................................................................63
2. Dari Literatur.....................................................................................64
3. Dari Peraturan atau Undang-Undang................................................65
D. METODE YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN.......65
BAB IV ANALISIS
A. ANALISIS SECARA UMUM................................................................67
1. Kerangka Pendapat Satria Effendi M. Zein......................................67
2. Karakteristik Pendapat Satria Effendi M. Zein.................................68
3. Kelebihan Pendapat Satria Effendi M. Zein......................................70
4. Kekurangan Pendapat Satria Effendi M. Zein..................................72
B. ANALISIS ATAS DASAR SATRIA EFFENDI M. ZEIN ....................73
x
![Page 12: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/12.jpg)
C. ANALISIS ATAS METODE SATRIA EFFENDI M. ZEIN..................73
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN.......................................................................................77
B. SARAN...................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
![Page 13: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/13.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum
Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan
dan pewarisan ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai
madzhab yang dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga
tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang
akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan
yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad,
dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal
tersebut.
Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal
pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan
media telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya
melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No.
1751/P/19891. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek
1 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 2
1
![Page 14: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/14.jpg)
2
semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah
Agung menegur hakim yang memeriksa perkara tersebut karena dikhawatirkan
menimbulkan preseden yang tidak baik2.
Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad
nikah tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan
menggunakan fasilitas video teleconference. Teknologi video teleconference lebih
mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat
menampilkan gambar/citra secara realtime melalui jaringan internet. Hal ini
seperti yang dipraktekkan oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika
menikahi Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan
akad nikah, sang mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat.
Sedangkan pihak wali beserta mempelai wanita berada di Bandung, Indonesia.
Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan
video teleconference dari Indosat3.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin
Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka
melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya
adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris,
sedangkan wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah
dilangsungkan4.
2 “Seputar Ijab Kabul & Perceraian Jarak Jauh”, http://hukumonline.com/,15 April 20073 “Nikah Jarak Jauh Via “Teleconference”, http://www.pikiran-rakyat.com/,5 Des 20064 “Inggris-Cirebon Bersatu Dalam Pernikahan”,http://www.pikiran-rakyat.com/,26 Maret
2007
![Page 15: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/15.jpg)
3
Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para
pakar hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktek akad nikah jarak
jauh dengan menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai
pada jaman sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus
shalih hanya menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti
pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria)
berhalangan untuk melakukannya.
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah
hukum keluarga Islam di Indonesia ini dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi
Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia” memberikan analisis
yurisprudensi yang cukup mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon
sebagaimana dikukuhkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/
1989. Dalam pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua
macam putusan yang dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu
membolehkan sesuai dengan kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang
sesuai dengan kecenderungan Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein
menyerahkan putusan yang diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis
hakim, dan memberikan penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum
ada undang-undang yang secara jelas mengatur mengenai hal ini.
Untuk itulah, di sini penulis berusaha mengedepankan permasalahan ini,
menjelaskan bagaimana metode ijtihad yang dipakai oleh Satria Effendi M. Zein
dalam mengkritisi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989,
![Page 16: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/16.jpg)
4
dasar-dasar yang menjadi alasannya menentukan hukum yang sesuai, cara
pandang ia melihat permasalahan ini dan pertimbangan-pertimbangan rasional dan
ushuliyah yang ia pakai.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada
bagian sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah
melalui telepon?
2. Apa dasar-dasar yang dipakai Satria Effendi M. Zein dalam menentukan
hukum akad nikah melalui telepon?
3. Bagaimana metode ijtihad Satria Effendi M. Zein dalam menentukan hukum
akad nikah melalui telepon?
C. KAJIAN PUSTAKA
Untuk menemukan jawaban atas masalah yang diajukan, penulis mengkaji
pendapat Satria Effendi M. Zein dalam bukunya yang berjudul “Analisis
Yurisprudensi Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia”, yang
kemudian menjadi sumber primer. Kemudian untuk memperkaya dan mendukung
atas sumber primer, penulis juga mengkaji dalil-dalil yang dimuat dalam Al-
Qur'an dan Al-Hadits, literatur-literatur fikih baik klasik maupun kontemporer
![Page 17: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/17.jpg)
5
yang berkenaan dengan perkawinan Islam, fatwa-fatwa Ulama' dunia mengenai
hukum akad nikah melalui telepon, juga Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk kemudian dijadikan sumber
sekunder.
Hingga saat ini tulisan-tulisan mengenai permasalahan perkawinan Islam
memang banyak dijumpai. Namun, tulisan-tulisan tersebut secara umum bukanlah
merupakan suatu penelitian mengenai permasalahan akad nikah melalui telepon,
melainkan lebih banyak membahas persoalan perkawinan dari sisi lain. Hal ini
seperti yang terdapat pada buku karya Drs. K.H. Miftah Faridl (1999) berjudul
150 Masalah Nikah dan Keluarga. Sedangkan buku-buku lain yang mengupas
permasalahan akad nikah, secara umum bukanlah sebuah analisis atas pendapat
Satria Effendi M. Zein mengenai akad nikah melalui telepon.
Oleh karena sepanjang penelusuran penulis, tidak ada satupun karya tulis
yang secara khusus membahas tentang pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai
akad nikah, maka penulis berkeyakinan bahwa keaslian karya tulis ini dapat
dipertanggungjawabkan.
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut pandangan Satria
Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:
![Page 18: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/18.jpg)
6
1. Pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon.
2. Dasar-dasar yang dipakai Satria Effendi M. Zein dalam menentukan hukum
akad nikah melalui telepon.
3. Metode ijtihad Satria Effendi M. Zein dalam menentukan hukum akad nikah
melalui telepon.
E. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan berguna dan memberi sumbangsih pemikiran
bagi pemerintah Indonesia selaku regulator serta para insan hukum, baik hakim,
advokat atau pengacara, pengamat dan pakar hukum, pun praktisi hukum Islam.
Penelitian ini ditujukan untuk memberi stimulus yang berakibat pada
pembaharuan perundang-undangan di bidang hukum keluarga Islam Indonesia
agar senantiasa mengikuti dan bergerak secara dinamis sesuai dengan pergerakan
dan perkembangan jaman modern. Penelitian ini juga mengharapkan bangkitnya
kembali budaya analisa yurisprudensi kritis di bidang hukum Islam di Indonesia,
sehingga memacu perkembangan dan khazanah dunia hukum keluarga Islam di
Indonesia.
![Page 19: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/19.jpg)
7
F. DEFINISI OPERASIONAL
Berikut ini adalah variabel yang tekandung dalam judul penelitian ini,
yaitu “Studi Analisis Hukum Islam terhadap Pendapat Satria Effendi M. Zein
mengenai Hukum Akad Nikah melalui Telepon”.
Variabel tersebut adalah:
1. Studi Analisis
Maksudnya adalah penelitian ilmiah5 yang dilakukan dengan
menyelenggarakan penyelidikan terhadap obyek penelitian untuk mengungkap
keadaan yang sebenarnya, baik duduk perkara maupun sebabnya6.
2. Hukum Islam
Maksudnya adalah peraturan yang secara resmi dianggap mengikat7 yang
diajarkan oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw.
3. Pendapat Satria Effendi M. Zein
Maksudnya adalah buah pemikiran atau kesimpulan8 Satria Effendi M. Zein
yang termuat dalam bukunya yang berjudul “Analisis Yurisprudensi
Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia”.
4. Hukum Akad Nikah melalui Telepon
Maksudnya adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim9 mengenai
5 http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, 18 April 20086 Ibid.7 Ibid.8 Ibid.9 Ibid.
![Page 20: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/20.jpg)
8
perjanjian10 perkawinan menurut agama Islam11 melewati telepon.
G. METODE PENELITIAN
Berikut ini adalah metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
menyusun karya tulis ini:
1. Data yang Dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan penulis di bagian sebelumnya,
maka data yang hendak dikumpulkan adalah data-data yang berkenaan dengan
pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon,
dasar-dasar yang dipakai serta cara berijtihad yang beliau tempuh.
2. Sumber Data
Untuk memenuhi data seperti yang disinggung di atas, maka diperlukan
sumber primer dan sekunder.
Sumber primer sebagai sumber pokok dalam studi analisis ini adalah buah
karya Satria Effendi M. Zein yang berjudul “Problematika Hukum Keluarga
Islam Kontemporer”.
Sedangkan sumber sekunder sebagai sumber pendukung adalah kitab-kitab
fikih klasik maupun kontemporer, buku yang menyinggung tentang perkawinan
Islam dan lain sebagainya.
10 Ibid.11 Ibid.
![Page 21: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/21.jpg)
9
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penulis membaca dan
menelaah buku yang memuat pendapat Satria Effendi M. zein mengenai akad
nikah melalui telepon. Selain itu, untuk memperdalam ketajaman studi analisis
ini, penulis juga membaca dan menelaah kitab, buku maupun tulisan yang secara
umum berkenaan dengan perkawinan Islam di samping yang secara khusus
berkenaan dengan akad nikah melalui telepon pula.
4. Teknik Analisis Data
Dalam studi analisis ini, data-data yang terhimpun akan dianalisis secara
mendalam dengan menggunakan metode deskriptif, deduktif, dan kualitatif.
Berikut pengertian tiga metode yang dipakai tersebut:
a. Metode Deskriptif
Yaitu metode yang bertujuan untuk menyajikan deskripsi, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta secara apa
adanya sesuai temuan yang didapatkan12.
b. Metode Deduktif
Yaitu metode di mana studi analisis dilakukan dengan cara memberi alasan
berpikir dan bertolak dari pernyataaan umum yang bersifat umum secara teoritis
kemudian ditelusuri untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat khusus dari 12 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 63
![Page 22: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/22.jpg)
10
obyek yang diteliti13.
c. Metode Kualitatif
Yaitu metode di mana studi analisis akan mengeluarkan hasil berbentuk temuan-
temuan non statistik sesuai dengan proses yang telah dilalui.
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Dalam karya tulis ini, penulis menyajikan hasil studi analisis mengenai
pendapat Satria Effendi M. Zein mengenai hukum akad nikah melalui telepon
dalam bentuk bab demi bab, yang terdiri dari lima bab. Bab-bab tersebut adalah
sebagai berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode
Penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah bab yang berisi Kajian Teoritis mengenai Hukum
Perkawinan menurut Islam, meliputi Pengertian Perkawinan,
Nash-nash mengenai Pensyariatan Perkawinan, Hukum
Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan serta Hikmah
Perkawinan.
Bab ketiga berisi permasalahan yang dibahas, yang terdiri dari Biografi
13 Ibid., hal. 197
![Page 23: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/23.jpg)
11
Satria Effendi M. Zein, pendapat beliau mengenai hukum akad
nikah melalui telepon, dasar yang menjadi acuan pendapat
beliau mengenai hukum akad nikah melalui telepon serta metode
beliau dalam berijtihad.
Bab keempat berisi analisis mengenai pendapat Satria Effendi M. Zein
mengenai hukum akad nikah melalui telepon, dalil-dalil yang
dipakai oleh beliau serta metode ijtihad yang diterapkan.
Bab kelima adalah Penutup, yaitu kesimpulan yang didapat dari hasil studi
analisis ini, berikut saran yang hendak disampaikan oleh penulis.
![Page 24: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/24.jpg)
12
BAB II
KAJIAN TEORITIS HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan atau nikah, adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab
) yang mempunyai sinonim kata (نكح) باضع), (د�ح�م�), (خ�ج�أ� ) dan (زوج�ت)1.
Berikut ini adalah pengertian kata (نكح) secara bahasa dan secara istilah:
1. Pengertian Nikah secara Bahasa
Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.
Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata (�ح�ك�ن) bermakna (تزوج). Al-Azhary menguatkan
pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata (�ح�ك�ن) adalah (تزوج ). Seperti
dalam Firman-Nya:
إJل زانH أ�و مشرك... ينكحها إل زانية أ�و مشركة والزانية ل ينكح...الزاني ل
Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:
ا إJل زان...يتزوجه الزاني إJل زانية وكذلك الزانية ل يتزوج...ل
Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna (كاح (الن yang terdapat
pada ayat ini adalah (الوطء). Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:
إJل زان...يطؤ0هاأT إJل زانية والزانية ل يط...ل1 Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 2 hal. 625
![Page 25: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/25.jpg)
13
Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap
ayat dalam Al-Quran yang memuat kata كاح) (الن ini selalu bermakna يج) .(التزو
Seperti dalam Firman-Nya pula:
ال�يام�ى منكم...أ7ن5ك4ح0واو...
Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata كاح) (الن di sini yang
bermakna (التزويج). Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang
Arab memakai kata (كاح (الن untuk maksud (لوطء .(ا Dan sebaliknya, kata (جcتزو )
bermakna (نكاح) karena dengan melaksanakan akad (جcتزو) menjadi sebab halalnya
bersenggama (الوطء).
Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,
makna (كاح (الن adalah (لوطء .(ا Sedangkan makna (�دgق (الع� dipakai apabila konteks
kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut. Seperti contoh dalam
kalimat (هي ناكح في بني فلن) -dia perempuan adalah mempelai di bani fulan yang di
sini bermakna (ذات زوج منهم) -mempunyai suami dari kalangan mereka.
Lalu Ibu Saidah berpendapat bahwa kata (Tكاحpالن) bermakna (TعgضTالب). Hanya
saja makna (TعgضTالب) ini khusus dipakai untuk manusia saja2.
2. Pengertian Nikah secara Istilah
Secara istilah, pengertian nikah masih terbagi menjadi dua, yakni
pengertian secara ushul (syariah) dan pengertian secara fikih. 2 Ibid.
![Page 26: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/26.jpg)
14
a. Pengertian secara Ushul
Dalam pengertian secara ushul, ulama' berbeda pandangan dalam
memberikan pengertian nikah. Perbedaan pandangan itu terbagi menjadi tiga,
dean penjelasannya seperti yang terpapar berikut ini:
Golongan pertama berpendapat bahwa makna hakikat bagi kata كاح) (الن
adalah (الوطء), sedangkan makna majaznya adalah (�دgق�الع). Oleh karena itu, apabila
dijumpai dalam Al-Quran ataupun Al-Hadits kata (كاح (الن maka pastilah makna
yang dipakai adalah (الوطء) selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menuju pada
pemakaian arti (�دgق�الع). Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah3.
Pengertian seperti ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa'
ayat 22:
ول تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إل ما قد سلف
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau..."
Golongan kedua mempunyai pendapat yang berlawanan dengan golongan
pertama. Mereka menyatakan bahwa makna hakikat dari كاح) (الن adalah قgد�) ,(الع�
sedangkan makna majaznya adalah (لوطء dan pendapat ini ,(ا rajih (lebih kuat).
Pendapat ini dipakai oleh Syafi'iyah dan Malikiyah4.
Pengertian semacam ini dapat dijumpai dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 230:3 Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4
hal. 64 Ibid.
![Page 27: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/27.jpg)
15
حتى تنكح زوجا غيره...
"...Hingga dia kawin dengan suami yang lain..."
Sedangkan Golongan ketiga menyatakan bahwa makna hakikat dari (النكاح)
adalah musytarak (makna ganda/sinonim) dari makna (�دgق (الع� dan (لوطء .(ا Sebab
mereka mendasarkan pemakaian kata ini dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang
kadang-kadang bermakna (الوطء) dan (�دgق�الع)5.
Kemudian dalam pengertian secara fikih, ulama' juga berselisih paham.
Berikut adalah pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah:
النكاح بأنه عقد يفيد ملك المتعة قصدا
"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenang-senang dengan sengaja".
Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:
النكاح بأنه عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما
"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".
Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:
النكاح بأنه عقد على مجرد متعة التلذذ...الخ
"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang (dengan wanita)...dst"
5 Ibid.
![Page 28: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/28.jpg)
16
Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai:
هو عقد بلفظ إنكاح أو تزويج على منفعة الستمتاع
"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman
dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut
terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul7.
Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah
dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri8. Selain itu, mereka
juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan
memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Ishrah berikut ini:
عقد يفيد حل عشرة بين الرجل و المرأة و تعاونهما و يجد مالكيهما من حقوق و ما عليه من واجبات
"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing9".
Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:
6 Ibid.7 Djamaan Nuur, Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hal. 38 Ibid.9 Ibid.
![Page 29: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/29.jpg)
17
عقد يقصد به الزدواج بين رجل و امرأة للستمتاع و العشرة و اليلد
"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan memperoleh keturunan10".
Selain pengertian tersebut di atas, Undang-undang Perkawinan Nomer 1
tahun 1974 juga memberikan definisi tentang perkawinan sebagai berikut:
"Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa11".
B. NASH-NASH PENSYARIATAN PERKAWINAN
Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut
ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan
syariat perkawinan dalam Islam:
قوم لك ليات ل في ذ مودة ورحمة إن كم ها وجعل بين سكنوا إلي جا لت سكم أزوا من أنف كم ياته أن خلق ل ومن آ
يتفكرون
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
10 Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 6311 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, 2004, hal. 117
![Page 30: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/30.jpg)
18
عدلوا تم أل ت فإن خف نى وثلث ورباع ساء مث من الن كم ما طاب ل فانكحوا تامى في الي تم أل تقسطوا وإن خف
فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أل تعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)
من فضله وال واسع عليما اليامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الوأنكحو
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32)
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”. (HR. Bukhary No. 4778)
... لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم المم
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)
![Page 31: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/31.jpg)
19
C. HUKUM PERKAWINAN
Pada umumnya, hukum perkawinan dalam Islam ada lima macam: wajib,
haram, sunnah, makruh dan mubah12. Kelima macam hukum ini jatuh dan
mengikuti keadaan yang terjadi.
Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengapa latar belakang
keadaan menjadi sebab bervariasinya hukum yang jatuh, berikut akan dihadirkan
pendapat tentang hukum perkawinan ini menurut 4 (empat) madzhab Islam.
1. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Maliki
Berikut hukum perkawinan menurut kalangan Malikiyah:
a. Wajib
Hukum perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut terjatuh pada
perbuatan zina, tidak mampu menahan nafsunya dengan puasa dan tidak mampu
memiliki budak. Apabila keadaan tersebut ada pada seseorang, maka hukum
perkawinan baginya adalah wajib.
Kesimpulannya adalah, hukum perkawinan menjadi wajib harus
memenuhi tiga unsur berikut:
– Kekhawatiran atas jatuh kepada perbuatan zina.
– Tidak mampu berpuasa untuk menghindarkan dari zina, atau mampu berpuasa
tapi tetap merasa tidak cukup.
12 Al-Jaziri, Op.cit., jilid 4 hal. 8
![Page 32: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/32.jpg)
20
– Tidak mampu memiliki budak.
Dan sebagian kalangan berpendapat dengan perlu ditambahkan 1 (satu)
unsur lagi yaitu:
– Mempunyai penghasilan yang halal.
Bagi orang yang mampu menikah, tapi ia mampu berpuasa dan membeli
budak sekaligus, maka hukum baginya adalah mukhayyar (boleh memilih antara
ketiganya). Tetapi yang lebih diutamakan adalah menikah.
Sedangkan mengenai unsur tambahan yaitu memiliki penghasilan yang
halal, maka misal yang dapat dipakai adalah sebagai berikut: Apabila dijumpai
keadaan seseorang takut berbuat zina, namun tidak mampu berpuasa dan memiliki
budak belian, maka belum jatuh hukum wajib kepadanya hingga ia mempunyai
penghasilan yang halal.
b. Haram
Jatuh hukum haram menikah bagi laki-laki yang tidak khawatir terjerumus
pada perbuatan zina, sedangkan ia tidak mampu memberikan nafkah dari
penghasilan yang halal atau tidak sanggup melakukan hubungan seksual.
Tapi apabila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon suami
untuk berhubungan seksual, maka hukum menikah berubah menjadi mubah.
Begitu pula bila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon istri
memberi nafkah, maka mubah pula hukum menikahnya.
![Page 33: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/33.jpg)
21
Dan bila calon istri tahu dan rela bahwa si laki-laki menafkahinya dengan
sesuatu yang haram maka hukum menikah menjadi haram.
c. Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah manakala seseorang tidak mempunyai
kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina. Selain itu ia berkehendak memiliki
keturunan dan mampu untuk memenuhi kewajiban nafkah dengan halal serta
mampu melakukan hubungan seksual. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi,
maka jatuh hukum haram seperti yang disinggung di bagian sebelumnya.
d. Makruh
Hukum nikah menjadi makruh bagi seseorang yang tidak mempunyai
desakan untuk menikah, namun ia takut tidak dapat menanggung beberapa
kewajiban umum dalam perkawinan. Dan hukum ini jatuh tidak memandang laki-
laki maupun perempuan. Dan hukum makruh tidak berubah walaupun seseorang
itu mempunyai keinginan mempunyai keturunan.
e. Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila seseorang tidak terlalu
menginginkan nikah, dan tidak pula menginginkan keturunan, tapi ia mampu
melaksanakannya, dan mampu menanggung kewajiban nafkah13.
13 Ibid.
![Page 34: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/34.jpg)
22
2. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hanafi
Berikut hukum perkawinan menurut kalangan Hanafiyah:
a. Fardhu
Berbeda dengan madzhab lainnya, madzhab ini membedakan hukum
fardhu dan hukum wajib. Hukum fardhu jatuh bila syarat-syarat berikut terpenuhi
pada diri seseorang:
– Keyakinan akan terjatuh pada perbuatan zina jika tidak menikah.
– Ketidakmampuan untuk berpuasa. (hukum fardhu menjadi mukhayyar bila
mampu berpuasa).
– Ketidakmampuan memiliki budak. (hukum fardhu menjadi mukhayyar bila
mampu memiliki budak).
– Mampu memberi mahar dan nafkah secara halal.
b. Wajib
Sedangkan hukum wajib (tapi tidak fardhu) jatuh bagi orang yang
memenuhi syarat-syarat berikut:
– Ada keinginan menikah.
– Adanya kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina.
– Adanya kemampuan memberi nafkah halal.
![Page 35: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/35.jpg)
23
c. Sunnah Muakkadah
Hukum menikah bagi seseorang menjadi sunnah muakkadah apabila
terpenuhi syarat-syarat berikut:
– Adanya keinginan untuk menikah, namun sedang-sedang saja.
– Tidak ada kekhawatiran atas jatuh pada perbuatan zina.
Apabila seseorang yang memenuhi syarat-syarat ini kemudian tidak
melaksanakan perkawinan, maka ia berdosa. Namun karena hukum yang jatuh
padanya adalah hukum sunnah muakkadah, maka dosa yang ia dapatkan adalah
dosa yang ringan, lebih ringan dari dosa apabila meninggalkan nikah dalam
keadaan hukum wajib.
Sedangkan beberapa kalangan menyatakan bahwa keadaan hukum sunnah
muakkadah dan wajib sebenarnya sama saja serta tidak ada perbedaan di antara
keduanya. Dan apabila melihat keterangan di atas, hukum wajib dan sunnah
muakkad dibedakan dengan dua hal:
– Apabila ada keinginan yang sangat atas pernikahan karena rasa takut terjatuh
pada zina, maka menjadi wajib.
– Apabila keinginan yang ada hanya sedang-sedang saja, maka menjadi sunnah
muakkadah.
Dan kedua hukum tersebut masih terikat dengan syarat kemampuan
memberi nafkah yang halal. Dalam arti apabila kedua unsur tersebut terpenuhi
tapi kemampuan memberi nafkah yang halal tidak terpenuhi, maka hukum sunnah
![Page 36: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/36.jpg)
24
dan wajib tidak akan jatuh.
Lalu apabila perkawinan yang berhukum sunnah muakkadah ini bila
diniati untuk menghindarkan diri sekaligus pasangan dari dosa dan perilaku
haram, maka akan mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya, tidak diniati
untuk menghindarkan diri dan pasangan dari perbuatan dosa, maka tidak akan
mendapat pahala. Sebab tidak ada pahala tanpa niat.
d. Haram
Hukum nikah menjadi haram bila seseorang yakin bahwa profesi yang ia
jalani adalah sebuah keharaman, karena mengandung sifat aniaya dan dzalim
kepada orang lain. Sebab pada dasarnya nikah oleh Islam disyariatkan untuk
mewujudkan kemaslahatan, membersihkan jiwa dan menghasilkan pahala bagi
pelakunya. Jadi bila nikah dilakukan dengan didukung perbuatan aniaya atas
orang lain, maka pernikahan semacam ini menjadi berdosa, karena tujuan
kemaslahatan yang dikehendaki dalam perkawinan justru malah menghasilkan
kemafsadatan.
e. Makruh
Hukum makruh melaksanakan perkawinan jatuh pada seseorang yang
takut apabila dengan nikah justru menimbulkan kedzaliman dan aniaya, tapi kadar
keyakinannya tidak terlalu kuat.
![Page 37: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/37.jpg)
25
f. Mubah
Dan yang terakhir, hukum perkawinan menjadi mubah bila terpenuhi
syarat-syarat berikut:
– Adanya keinginan untuk menikah.
– Tidak adanya kekhawatiran jatuh kepada zina.
– Adanya niat menikah hanya untuk pelampiasan syahwat saja.
Karena apabila syarat yang terakhir berubah menjadi nikah diniatkan untuk
menghindarkan diri dari zina atau memiliki keturunan, maka hukumnya menjadi
sunnah. Maka perbedaan antara jatuh hukum sunnah atau mubah adalah dari niat
si pelaku14.
3. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Syafi'i
Berikut macam hukum perkawinan menurut kalangan Syafi'iyah:
a. Mubah
Menurut kalangan ini, hukum asal nikah adalah mubah. Dan ini adalah
hukum yang jatuh bagi orang yang berniat dan menjalani perkawinan hanya untuk
menikmati dan bersenang-senang dengan istrinya.
b. Sunnah
Hukum asal mubah dapat menjadi sunnah, apabila diniati oleh si pelaku
14 Ibid.
![Page 38: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/38.jpg)
26
perkawinan untuk menjaga kehormatan dirinya atau menghendaki keturunan dari
perkawinan yang ia laksanakan.
c. Wajib
Hukum asal mubah berubah menjadi wajib, bilamana perkawinan oleh si
pelaku diniati untuk menolak dan menjauhkan diri dari perbuatan haram.
d. Makruh
Dan hukum asal mubah dapat pula menjadi makruh bila seseorang takut
dan khawatir tidak dapat mendirikan hak dan kewajiban rumah tangga dan sebagai
suami istri.
Dalam hal ini dapat diambil contoh semisal: seorang perempuan yang
tidak sedang ingin menikah, dan si calon suami tidak memiliki kemampuan
memberikan mahar dan nafkah halal, maka makruh bagi keduanya untuk
melangsungkan perkawinan15.
4. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hambali
Dan berikut ini adalah hukum perkawinan menurut kalangan Hanabilah:
a. Fardhu
Kalangan Hanabilah berpendapat bahwa perkawinan berhukum fardhu atas
orang yang takut berzina bila tidak melaksanakan pernikahan, walau itu hanya
15 Ibid.
![Page 39: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/39.jpg)
27
sekedar persangkaan. Hal ini sama saja bagi pria maupun wanita. Dan hal ini tidak
dipisahkan dengan kemampuan memberi nafkah atau tidak.
Maka apabila seseorang mampu menikah untuk menghindarkan dirinya
dari keharaman, maka jatuhlah hukum fardhu ini. Dan hukum fardhu juga jatuh
pada seseorang untuk mencari pekerjaan yang halal untuk memperoleh rejeki
darinya, dan meminta pertolongan kepada Allah.
Jadi, ketika seseorang takut berzina, maka fardhu baginya untuk menikah
sekaligus mencari pekerjaan halal sebagai konsekwensi menikah.
b. Haram
Nikah menjadi haram pada darul harb (medan perang), kecuali dijumpai
kedaruratan. Dan apabila kedaruratan itu diangkat (dalam artian tidak ada), maka
melangsungkan perkawinan pada darul harb tidak dibolehkan sama sekali dalam
keadaan apapun.
c. Sunnah
Perkawinan menjadi sunnah bila seseorang ingin melaksanakannya, tapi
tidak ada kekhawatiran jatuh kepada zina. Dan hukum ini jatuh baik untuk laki-
laki maupun perempuan.
Dan perkawinan dalam keadaan seperti ini menjadi perbuatan sunnah yang
afdhal (sangat diutamakan dan dianjurkan) karena bertujuan untuk menjaga jiwa,
menjaga pasangan, menghasilkan keturunan yang dengannya memperbanyak
![Page 40: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/40.jpg)
28
umat Muhammad, dan menjadi salah satu pilar pembangun masyarakat Islam.
d. Mubah
Sedangkan hukum mubah jatuh bila seseorang tidak sedang ingin menikah,
seperti orang yang sudah renta dan tak sanggup melakukan hubungan badan.
Hukum ini muncul dengan syarat bahwa tidak muncul kemudaratan oleh
sebab pernikahan tersebut dan tidak merusak akhlaknya. Bila kemudaratan dan
rusaknya akhlak muncul dari perkawinan semacam ini, maka hukumnya berubah
menjadi haram16.
D. RUKUN PERKAWINAN
Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua
hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud.
Hal yang pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau
orang yang mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang
diucapkan oleh calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan
Hanafy17.
Kedua hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan
terdiri dari tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak,
yaitu ijab dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak 16 Ibid.17Ibid., hal. 11
![Page 41: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/41.jpg)
29
adalah keterikatan antara ijab dan qabul.
Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun
itu sendiri. Pengertian rukun adalah:
ما ل توجد الماهية الشرعية إل به
“Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya18”.
Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun
perkawinan:
1. Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara,
yaitu:
1. Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.
2. As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada
dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika
dilangsungkannya akad.
3. Calon suami.
4. Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.
5. Sighat, yaitu kalimat ijab qabul.
Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku
18 Ibid.
![Page 42: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/42.jpg)
30
akad); yakni calon suami dan wali si perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang
diakadkan); yakni si perempuan dan mahar -walaupun tidak mengapa apabila
tidak disebutkan, karena mahar adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan-
dan yang terakhir adalah sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad
sebuah perkawinan diwujudkan menurut syariat Islam.
Ada pula dijumpai pendapat yang menyatakan bahwa shadaq (mahar)
tidak termasuk rukun, juga tidak termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah
tanpa keberadaannya19.
2. Menurut Madzhab Syafi'i
Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun
perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan
sighat
Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat,
bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari
hakikat akad20.
E. SYARAT PERKAWINAN
Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan
syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang
19 Ibid., hal. 1120 Ibid., hal. 11
![Page 43: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/43.jpg)
31
sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan
dipaparkan berikut ini:
1. Menurut Madzhab Hanafi
Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang
terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.
1. Syarat Sighat Akad
Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad memenuhi
kriteria sebagai berikut:
– Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata
kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah
kata (يج كاح) atau (تزو .(ان Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka
disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk
menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula
para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat
macam dan jenis kinayah:
• Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-
kata ( التمليك) (الصدقة), (الهبة ) dan (الجعل).
• Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu
kata-kata (الشراء) dan (البيع).
• Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
![Page 44: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/44.jpg)
32
kata (الوصية) dan (اليجارة).
• Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
kata (الحلل) ,(الرهن) ,(التمتع) ,(القالة) ,(الخلع) ,(العارة) dan (الباحة).
Lalu syarat sighat selanjutnya adalah:
– Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis.
– Tidak ada perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali
mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar
1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima nikahnya, dan aku
tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah.
– Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada kepastian
bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masing-masing secara
hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau secara tertulis (bila si
pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad tertulis dapat menjadi ganti
lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.
– Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan,
aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si perempuan menjawab,
aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini adalah nikah mut'ah.
2. Syarat untuk Pelaku Akad
– Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.
– Baligh dan merdeka.
![Page 45: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/45.jpg)
33
– Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan
akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak dalam keadaan
iddah, tidak berstatus sebagai istri orang.
– Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak
mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya tanpa
menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila salah satu
nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya yang belum
menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai putri bernama Fatimah,
tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut dengan nama Aisyah, maka akad
tidak sah.
– Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang
mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka tidak sah.
Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan engkau dengan
tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.
3. Syarat untuk Saksi
– Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak
disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki disertai
dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah bila disaksikan
dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada seorang laki-laki yang
menyertai dua perempuan itu.
– Tidak disyaratkan saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi
![Page 46: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/46.jpg)
34
sedang ihram.
– Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal, baligh,
merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan kesaksian orang
gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah pula bila disaksikan kafir
dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut perempuan, maka tidak mengapa
selama ada saksi laki-laki yang muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah,
baik dua saksi kafir dzimmy tersebut mempunyai agama yang sama atau
berbeda.
– Akad boleh disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat
menuduh atau berzina.
– Akad nikah seorang perempuan boleh disaksikan oleh dua anak kandungnya.
Dan dengan dikiaskan dengan hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan
hubungan ke atas anak (bapak/kakek) dan ke bawah (cucu).
Perlu diketahui bahwa saksi dihadirkan untuk menyaksikan dua hal:
keberadaan akad dan hal isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian
dapat dilakukan oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi
kesaksian untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang
tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila seorang laki-
laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil yang melakukan
akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi (saksi isbat akad), dan si
wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi pula (saksi keberadaan akad),
![Page 47: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/47.jpg)
35
maka akad semacam ini sah.
– Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian
orang tidur tidak sah.
– Akad juga sah bila disaksikan orang bisu selama mereka mendengar dan
paham. Tidak disyaratkan bagi para saksi tersebut untuk paham lafadz akad
secara khusus, selama mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar
adalah lafadz yang dimaksudkan untuk akad.
– Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama
mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang mabuk atas
sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia saksikan adalah akad.
– Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada
perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan mempunyai sifat yang
sama seperti perceraian dan memerdekakan budak, tidak membutuhkan
kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi akad dianggap sah walau dilakukan
dengan bercanda21.
2. Menurut Madzhab Syafi'i
Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan
empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.
21 Ibid., hal. 13
![Page 48: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/48.jpg)
36
1. Syarat untuk Sighat
Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,
diantaranya adalah:
– Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku nikahkan kamu
dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak
sah.
– Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi kamu
sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah
mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum dalam hadits
muttafaq alaihi.
– Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat akad nikah
yakni keharusan pemakaian lafadz (تزويج) atau (كاح .(ان Seperti dalam sighat
berikut: (لتي نتي) dan (أنكحتك موك Tapi pemakaian dua lafadz tersebut .(زوجتك اب
tidak boleh dalam bentuk mudhari' (kata kerja sedang/akan), karena
mengandung unsur janji di dalamnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam
sighat berikut: (أزوجك ابنتي). Tapi bila kata tersebut ditambah keterangan waktu
semisal (أزوجك ابنتي الن) maka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail
(kata ganti subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: (إني مزوجك ابنتي).
Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur janji.
– Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab,
dengan syarat selama para saksi paham maknanya.
![Page 49: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/49.jpg)
37
– Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera berikut
ini: (ملكتك إياها) ,(وهبتها لك) ,(بعتها لك) ,(نتي لك اب dan semisalnya. Walau hal (أحللت
ini menurut kalangan Hanafiyah dianggap sah, tapi menurut kalangan
Syafi'iyah tidak sah, dan harus menggunakan kata (كاح (ان atau (يج .(تزو Dan
menurut Syafi'iyah inilah yang dimaksud dari “kalimat Allah” seperti yang
terdapat dalam hadits:
...بكلمة ال...واستحللتم فروجهن
Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran
hanyalahkata كاح) (ان atau يج) maka ,(تزو tidak dibenarkan mengkiaskannya
dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah. Sebab kinayah
membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang abstrak.
– Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan (جه أو نكاحها يه زوا لت ف ,(قب
atau (ته ضيت نكاحها), (أحبب ته) dan (ر Tapi bila yang diucapkan .(أرد qabiltu saja
lalu diam, maka tidak sah.
– Qabul boleh didahulukan dari ijab.
2. Syarat untuk Wali
– Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.
– Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin ganda).
– Mahram si perempuan.
![Page 50: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/50.jpg)
38
– Baligh.
– Berakal, tidak gila.
– Adil, tidak fasik.
– Tidak mahjur (terhalang wali lain).
– Tidak buta.
– Tidak berbeda agama.
– Merdeka, bukan budak.
3. Syarat untuk Kedua Mempelai
– Syarat untuk suami, adalah:
• Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah, semenda
ataupun susuan dengan si calon istri.
• Orang yang dikehendaki.
• Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas.
– Syarat untuk istri, adalah:
• Bukan mahram si laki-laki.
• Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri
orang.
![Page 51: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/51.jpg)
39
4. Syarat untuk Saksi-Saksi
– Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.
– Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi kualifikasi
sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan Hanafiyah.
– Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada
pengingkaran atas akad yang terjadi22.
3. Menurut Madzhab Hambali
Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai empat
syarat, yakni:
– Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut
penjelasan yang menyertainya:
Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat (زوجتك ابنتي فلنة). Namun bila
memakai kalimat (نتي تك اب padahal si wali mempunyai (زوج lebih dari satu putri,
maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon suami atau
istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad.
Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi
untuk kalimat qabul cukup dengan kata (ضيت لت) atau (ر .(قب Tidak disyaratkan
melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan dengan
Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab.
22 Ibid., hal. 13
![Page 52: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/52.jpg)
40
Disyaratkan kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah
maka akad tidak sah.
– Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai
dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya
dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat
dipahami.
– Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.
– Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,
merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.
– Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, laki-
laki, baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka
(boleh budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh
orang tuli, kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke
bawah, tidak harus mempunyai penglihatan.
– Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan
dalam melangsungkan perkawinan23.
4. Menurut Madzhab Maliki
Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat
tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:
23 Ibid., hal. 13
![Page 53: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/53.jpg)
41
1. Syarat untuk Sighat
– Menggunakan lafadz khusus, misal: (أنكحت بنتي) dan (زوجني فلنة)
– Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut ini:
.(أتممت) dan (قبلت), (رضيت), (نفذت)
– Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ها) ها أو زواج لت نكاح ,(قب berlawanan
dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.
– Selain menggunakan kata يج) (التزو dan كاح) (الن maka akad tidak sah.
Perkecualian untuk kata (بة boleh dengan disyaratkan penyebutan (اله shadaq
(mahar) seperti dalam kalimat (وهبت لك ابنتي بصداق كذا).
– Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan kepemilikan
semisal لت) يت), (أحل صدقت), (أعط حت), (ت عت), (من (ب dan كت) (مل dengan disertai
penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. Tapi pendapat yang
rajih adalah akad tidak sah. Bila kata-kata di atas tidak disertai penyebutan
mahar, maka tidak ada perselisihan tentang kebatilan akad tersebut.
– Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera فور) .(ال Bila
terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa.
Semisal semisal terpisah dengan khutbah pendek.
– Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka
nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan pelaksanaannya.
– Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat Syafi'iyah.
![Page 54: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/54.jpg)
42
2. Syarat untuk Wali
– Laki-laki
– Merdeka
– Sehat akal
– Baligh
– Tidak dalam keadaan ihram
– Beragama Islam
– Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka
kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).
– Tidak fasik
– Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.
3. Syarat untuk Mahar
– Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah
bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.
– Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i. Misal:
Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.
– Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan
wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila hubungan intim
terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar mistly (mas kawin
![Page 55: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/55.jpg)
43
yang umum di kalangan masyarakat).
4. Syarat untuk Saksi
– Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir,
maka tidak mengapa.
– Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan
saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus fasakh
dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.
– Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang
terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa saksi,
lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang hendak ia
jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad
dengan kalimat seperti berikut:
(أشهدكما بأنني زوجت فلنا لفلنة)
“aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si
Polanah.”
Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula
dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan
kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:
(أشهدكما بأنني تزوجت فلنة)
“aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah. “
![Page 56: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/56.jpg)
44
– Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si wali
dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi kesaksian
tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup dengan dua
orang saja.
– Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami
melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas
keduanya.
5. Syarat untuk Mempelai
Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang
melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri
orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan darah,
hubungan susuan dan semenda24.
F. HIKMAH PERKAWINAN
Bila ditilik lebih jauh, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu
ikatan perkawinan, baik dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan.
Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan nash-nash dari Al-Hadits,
dapat disimpulkan bahwa hikmah perkawinan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sarana penyaluran hasrat seksual
Tidak dapat ditampik bahwa sesungguhnya hasrat seksual adalah naluri 24 Ibid., hal. 13
![Page 57: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/57.jpg)
45
yang paling kuat dan paling dasar pada diri manusia yang membutuhkan
penyaluran yang tepat. Apabila penyaluran kebutuhan biologis ini tidak
memuaskan, maka manusia yang mempunyai hasrat ini dapat terlanda
kegoncangan dan kekacauan dalam jiwanya. Kegoncangan dan kekacauan dalam
jiwanya tersebut dapat mendorongnya untuk berperilaku jahat dan bermaksiat
kepada Allah.
Perkawinan adalah jalan yang paling alamiah dan sesuai untuk memuaskan
dan memberi jalan penyaluran dari kebutuhan yang satu ini. Dengan perkawinan
maka tidak dapat dipungkiri seseorang akan mendapatkan badan yang sehat,
memperoleh jiwa yang tenang, mendapatkan pandangan yang terpelihara dari hal-
hal yang haram, memperoleh anugerah dengan berhak menikmati sesuatu dengan
halal sesuai dengan apa yang tersirat pada ayat dan hadits pada bagian
sebelumnya25.
2. Sarana mendapatkan keturunan
Perkawinan adalah jalan utama dan terbaik untuk mendapatkan keturunan.
Dengan berketurunan, maka seseorang memuliakan dirinya sendiri, memberi andil
melestarikan manusia, menjaga dan memelihara kesucian garis keturunan dan
memperbanyak umat Muhammad26.
25 Djamaan Nuur, Op. Cit., hal. 1026 Ibid., hal. 11
![Page 58: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/58.jpg)
46
3. Sarana menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan
Seseorang yang telah melangsungkan perkawinan, kemudian memperoleh
buah hati, maka tumbuhlah naluri kebapakan atau keibuan dalam dirinya. Lalu
kedua naluri itu terus berkembang dan saling melengkapi sehingga menghasilkan
dan membentuk kehidupan berkeluarga yang penuh dengan perasaan yang ramah,
saling mencintai, saling mengasihi dan sayang-menyayangi antara anggota
keluarga27.
4. Sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab
Seseorang yang telah mengarungi bahtera rumahtangga dan memperoleh
keturunan, akan timbul rasa tanggungjawab dan dorongan yang kuat untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai orangtua. Rasa tanggungjawab dan dorongan
yang kuat ini akan mematangkan dan mendewasakan jiwa seseorang, sehingga ia
akan mempunyai kekuatan untuk bekerja keras melaksanakan tanggungjawab dan
kewajibannya tersebut28.
5. Sarana mendirikan sendi-sendi rumahtangga yang kokoh
Berdirinya sebuah keluarga dari suatu perkawinan akan menimbulkan hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dengan berimbang.
Sehingga hal ini mewujudkan sinergi antara kedua insan tersebut. Perwujudan
pembagian tugas semisal istri sebagai pengatur dan pengurus masalah
27 Ibid., hal. 1228 Ibid.
![Page 59: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/59.jpg)
47
rumahtangga, pemelihara dan pendidik anak, dan suami sebagai pencari nafkah
dan kepala rumahtangga, akan menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi
para anggota keluarga dan membentuk rumahtangga yang kokoh29.
6. Sarana mendirikan sendi-sendi masyarakat yang kokoh
Melalui sebuah perkawinan akan timbul ikatan persaudaraan dan
kekeluargaan antar keluarga istri dan suami. Ikatan ini akan memperteguh rasa
saling mencintai antar keluarga yang terjalin di dalamnya. Hal ini juga berarti
memperteguh hubungan masyarakat Islam yang kokoh dan diridhai oleh Allah30.
29 Ibid.30 Ibid.
![Page 60: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/60.jpg)
48
BAB III
PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM
AKAD NIKAH MELALUI TELEPON
A. BIOGRAFI SATRIA EFFENDI M. ZEIN
1. Riwayat Pendidikan
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA. (Alm), adalah putra daerah yang
terlahir di Kuala Panduk, Riau, pada 16 Agustus 1949. Beliau mengenyam
pendidikan dasarnya di sebuah Sekolah Dasar di Kuala Panduk Riau. Sedangkan
pendidikan tingkat menengah beliau tempuh di Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Sumatra Barat.
Selepas menuntaskan pendidikan tingkat menengahnya, beliau merantau
ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Dalam perantauannya beliau berhasil
memperoleh gelar Lc dari Universitas Damaskus Syiria dan gelar MA dari
Universitas King Abdul Aziz Mekkah. Sedangkan gelar Doktoral dalam bidang
Ushul Fikih dengan yudisium cumlaude beliau peroleh dari Universitas Ummul
Qura Mekkah setelah mempertahankan disertasi yang bertajuk “Al-Majmu' Wa
Dilalatuhu 'Ala Al-Ahkam”, sebuah studi kritis yang beliau lakukan atas
pemikiran hukum Sirajuddin Al-Ghaznawi dalam kitabnya Syarah Al-Mughni Fi
Ushul Al-Fiqh Li Al-Khabbazi.
Selain itu, beliau juga dianugerahi gelar sebagai guru besar madya dalam
bidang ilmu Ushul Fikih yang ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2000. Namun
![Page 61: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/61.jpg)
49
sebelum beliau dikukuhkan sebagai seorang guru besar, beliau wafat terlebih
dahulu pada hari Jumat, 2 Februari 2000.1
2. Profesi dan Jabatan yang Pernah Diemban
Kesibukan beliau semasa hidupnya adalah sebagai dosen pascasarjana di
berbagai IAIN di Indonesia, seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang
UIN), IAIN Yogyakarta, IAIN Riau, IAIN Padang dan IAIN Ujung Pandang.
Selain itu, beliau menjadi dosen pula di berbagai perguruan tinggi di Indonesia,
antara lain pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Syariah dan pascasarjana IIQ,
Institut Agama Islam Darurrahman dan Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah
(STAIDA).
Selain kesibukan beliau menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi
tersebut di atas, beliau juga pernah memegang jabatan di beberapa bidang yang
sesuai dengan kompetensi beliau, seperti Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Fatwa MUI, Wakil Ketua
Dewan Pengurus Arbitrase MUI (BAMUI), Anggota Dewan Syariah Nasional
(DSN MUI), Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Asuransi MAA dan wakil
negara Indonesia pada Lembaga Pengkajian Hukum Islam (Majma' Al-Fiqh Al-
Islamy) di Organisasi Konferensi Islam (OKI).2
1 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 539
2 Ibid.
![Page 62: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/62.jpg)
50
3. Hasil Pemikiran dan Karya Tulis
Sebagai seorang yang memiliki tingkat keilmuan yang memadai, beliau
aktif memberikan ceramah agama dan seminar, serta cukup banyak karya ilmiah
yang beliau hasilkan. Di antara karya beliau adalah “Fikih Umar Bin Khattab”,
dalam kajian Islam tentang berbagai masalah kontemporer, 1988; “Elastisitas
Hukum Islam”, dalam buku Metode Mempelajari Islam, 1992, “Fikih Mu'amalat
(suatu upaya rekayasa sosial umat Islam Indonesia)”, dalam buku Aktualisasi
Pemikiran Islam, “Wawasan Al-Qur'an tentang Hubungan Manusia dengan Alam
Sekitarnya”, dalam buku Al-qur'an – Iptek dan Kesejahteraan Umat dan
“Metodologi Hukum Islam”, dalam buku Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pengembangan Hukum Nasional.3
B. PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM AKAD
NIKAH MELALUI TELEPON
Pendapat Satria Effendi tentang hukum akad nikah melalui telepon ini
adalah sebuah analisis yurisprudensi kritis yang beliau lakukan terhadap putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tentang pengesahan praktik
akad nikah melalui telepon. Beliau melakukan analisisnya dengan pendekatan
ushuliyah sesuai dengan kompetensinya selama ini. Lebih jauh, beliau
menyatakan bahwa persoalan semacam ini di kemudian hari dapat muncul dalam
bentuk lain. Semisal media komunikasi yang dapat didengar suaranya sekaligus
3 Ibid., Hal. 540
![Page 63: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/63.jpg)
51
dapat dilihat gambar yang sedang berbicara.4
Untuk memperoleh jawaban atas hukum akad nikah ini, beliau
meninjaunya dengan cara memeriksa literatur-literatur fiqh yang dapat beliau
jangkau. Karena masalah ini merupakan persoalan baru di bidang Fiqh Islam,
pada awal uraian pendapatnya beliau menyatakan bahwa kesimpulan yang
diperoleh dapat bervariasi.5
1. Hakikat dan Kedudukan Ijab Kabul dalam Akad Nikah
Pada bagian awal uraian pendapatnya, beliau memberikan penjelasan
singkat mengenai kedudukan ijab dan kabul dalam akad nikah.
akad nikah menurut beliau adalah berdasarkan perasaan suka sama suka
atau rela sama rela. Oleh karena perasaan semacam ini adalah sesuatu yang
abstrak, maka perwujudan keabstrakan akad ini diwakili oleh ijab dan kabul.
Maka karena itulah ijab dan kabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad
nikah. Ijab diucapkan oleh wali mewakili pernyataan rela menyerahkan anak
perempuannya kepada si calon suami, dan kabul diucapkan oleh calon suami,
sebagai pernyataan rela menyunting calon istrinya. Lebih jauh lagi, ijab berarti
lambang penyerahan amanat Allah dari wali perempuan kepada calon suami, dan
kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut.6
Untuk menguatkan uraian ini, beliau mengutip sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:4 Ibid., Hal. 25 Ibid.6 Ibid., Hal. 3
![Page 64: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/64.jpg)
52
Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita.
Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan
bagi kalian dengan kalimat Allah”.7
Beliau menyatakan makna “Kalimat Allah” dalam hadits yang beliau kutip
tidak lain adalah ucapan ijab dan kabul itu sendiri. Sebab begitu pentingnya arti
ijab dan kabul bagi keabsahan akad nikah, maka tersebutlah persyaratan-
persyaratan ketat yang harus dipenuhi untuk mencapai keabsahan tersebut.
Diantaranya adalah ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam melakukan
akad seperti yang disepakati para ulama'. Hanya saja, dijumpai permasalah
tentang tafsiran dari ittihad al-majelis itu sendiri di kalangan para ulama'. Yang
kemudian setelah beliau telusuri berujung pangkal pada dua penafsiran yang
berbeda.8
2. Dua Pendapat mengenai Tafsiran dari Ittihad Al-Majelis
Berikut adalah hasil penelusuran Satria Effendi atas dua pendapat
mengenai tafsiran dari syarat Ittihad Al-Majelis:
a. Pendapat Pertama
Dalam temuan beliau, pendapat pertama atas tafsiran ittihad al-majelis
adalah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat
dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara
terpisah.7 Ibid.8 Ibid.
![Page 65: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/65.jpg)
53
Misalkan bila ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah
upacara tersebut selesai kabul diucapkan pula pada upacara berikutnya, maka hal
ini tidak sah. Walaupun dua upacara tersebut dilakukan dalam satu tempat yang
sama secara berturut-turut, namun karena kesinambungan antara keduanya tidak
terwujud maka tidak sah. Dalam hal ini beliau berkesimpulan bahwa persyaratan
ittihad al-majelis menyangkut kesinambungan waktu ijab dan kabul, bukan
kesatuan tempat.9
Uraian Maksud dari Pendapat Pertama
Untuk menguatkan pendapat ini, beliau mengutip contoh yang
dikemukakan oleh Al-Jaziri tentang penjelasan pengertian ittihad al-majelis
(bersatu majelis) dalam mazhab Hanafi. Misal, seorang calon suami mengirim
surat berisi akad nikahnya kepada pihak perempuan yang dikehendakinya.
Sesampai surat tersebut dan kemudian isinya dibacakan dalam satu majelis, lalu
si wali calon istri langsung mengucapkan penerimaannya. Praktik akad nikah
semacam ini menurut kalangan Hanafiyah sah, dengan alasan bahwa pembacaan
ijab calon suami yang tertulis di surat dan pengucapan kabul dari wali calon istri,
didengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, tidak dalam dua upacara
berturut-turut yang terpisah dari segi waktunya.
Sesuai contoh di atas, ijab diucapkan oleh calon suami, sedangkan kabul
diucapkan oleh wali calon istri. Dan menurut Hanafiyah hal ini boleh. Karena
ucapan akad yang diucapkan terlebih dahulu, disebut ijab, baik diucapkan oleh
9 Ibid.
![Page 66: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/66.jpg)
54
wali, maupun oleh calon suami. Sedangkan ucapan akad yang disebut kemudian
disebut kabul, baik diucapkan oleh calon suami, maupun oleh wali calon istri.10
Yang beliau tekankan dalam keterangan ini adalah bentuk akad yang
dicontohkan ini bukan salah satu bentuk tawkil, karena yang didengar oleh para
saksi adalah redaksi tertulis dalam surat calon suami yang dibacakan didepannya,
dan pembaca surat bukanlah wakil dari si calon suami karena surat tersebut tidak
menyatakan hal yang demikian.
Pendapat di atas beliau anggap sejalan dengan penjelasan Sayid Sabiq
bahwa akad nikah ghaib mempunyai dua macam cara: pertama dengan mengutus
wakil, dan kedua dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan
akad nikahnya. Bagi si penerima surat yang setuju atas isi surat itu, hendaknya
mendatangkan para saksi kemudian dibacakanlah redaksi surat itu di hadapan
mereka. Praktik semacam ini sah, selama pengucapan kabulnya dilakukan
langsung dalam satu majelis. Dalam praktik ini jelas bahwa dua orang saksi itu
hanya mendengar redaksi surat yang dibacakan, bukan dalam bentuk tawkil. 11
Demi memperinci dan mengarahkan gagasan yang beliau sarikan dari
pendapat pertama ini, beliau menyatakan bahwa syarat ittihad al-majelis (bersatu
majelis) yang harus dipenuhi dalam suatu akad, bila hanya dimaksudkan untuk
kesinambungan waktu, maka bersatu tempat bukan satu-satunya cara untuk
mewujudkan kesinambungan waktu ini.
10 Ibid., Hal. 411 Ibid.
![Page 67: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/67.jpg)
55
Berikut adalah permisalan yang beliau hadirkan untuk menjelaskan uraian
di atas. Bila wali calon istri mengucapkan ijab dan calon suami mengucapkan
kabul di ruangan yang berbeda pada upacara dan waktu yang satu, dibantu oleh
alat pengeras suara, maka kesinambungan ijab dan kabul jelas terwujud.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah para saksi tidak harus dapat melihat
pihak-pihak pelaku akad nikah. Beliau menguatkan uraiannya dengan mengutip
pendapat Ibnu Qudamah, seorang fuqaha' Hanabilah dalam kitab Al-Mughni yang
menegaskan bahwa kesaksian dua orang buta dalam akad nikah sah. Selama si
saksi buta dapat memastikan dengan yakin bahwa suara yang ia dengar sungguh-
sungguh diucapkan para pelaku akad nikah. Pendapat Ibnu Qudamah ini diikuti
oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah.12
Kesimpulan Satria Effendi atas Pendapat Pertama
Kemudian beliau menyimpulkan bahwa sebenarnya esensi dari persyaratan
ittihad al-majelis (bersatu majelis) adalah menyangkut keharusan kesinambungan
antara ijab dan kabul. Kesinambungan ini adalah untuk mewujudkan kepastian
bahwa ijab dan kabul itu betul-betul sebuah manifestasi perasaan kedua belah
pihak yang menyelenggarakan akad nikah.
Dalam arti bahwa kabul yang segera diucapkan oleh wali setelah ijab
mengisyaratkan kerelaan calon suami. Dan sebaliknya, bila terentang jarak waktu
antara ijab dan kabul, memunculkan kesempatan berkurangnya tingkat kerelaan
calon suami maupun wali calon istri. Maka menurut beliau, demi menghindari hal 12 Ibid., Hal. 5
![Page 68: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/68.jpg)
56
inilah kesinambungan antara ijab dan kabul itu disyaratkan.13
Lalu beliau menyatakan bila pendapat keabsahan berijab kabul melalui
surat dan keabsahan kesaksian dua orang buta digabungkan, maka syarat saksi
dapat melihat pelaku ijab kabul bukan lagi hal yang penting. Dengan demikian,
ketentuan kedua pelaku akad untuk hadir dan melaksanakan akad dalam satu
ruangan agar dapat dilihat kedua saksi, bukanlah syarat bagi keabsahan akad
nikah.14
b. Pendapat Kedua
Pendapat kedua atas tafsiran ittihad al-majelis menurut beliau adalah
pendapat yang menyatakan bahwa bersatu majelis disyaratkan, untuk menjaga
kesinambungan antara ijab dan kabul, sekaligus harus mewujudkan pemenuhan
tugas dua orang saksi. Karena menurut pendapat ini, kedua saksi harus mampu
melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu betul-betul diucapkan
oleh kedua pelaku akad.15
Uraian Maksud dari Pendapat Kedua
Berikut uraian beliau untuk menjelaskan maksud dari pernyataaan di atas.
Salah satu syarat sah akad nikah adalah dihadiri oleh dua orang saksi. Dan tugas
dua orang saksi itu adalah untuk memastikan keabsahan ijab kabul dari segi
redaksi dan pelaku akad, dan ini yang disepakati oleh para ulama.
13 Ibid.14 Ibid., Hal. 615 Ibid.
![Page 69: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/69.jpg)
57
Kemudian beliau menyatakan bahwa keabsahan suatu redaksi memang
dapat dipastikan cukup dengan mendengarkannya. Tetapi kepastian bahwa redaksi
sungguh-sungguh diucapkan oleh yang bersangkutan hanya bisa ditentukan
dengan melihat secara langsung. Pendapat inilah yang diyakini oleh kalangan
Syafi'iyah.16
Maka konsekuensi dari pendapat ini membuat kesaksian orang buta tidak
lagi sah. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, salah satu
fuqaha Syafi'iyah dalam kita Tuhfatul Muhtaj. Ibnu Hajar menolak kesaksian
orang buta dengan alasan bahwa kesaksian atas akad haruslah berdasarkan
penglihatan dan pendengaran. Sebab kesaksian orang buta sama saja seperti
kesaksian seseorang yang berada dalam keadaan gelap. Kedua macam kesaksian
ini tidak sah, sebab para saksi tidak mampu melihat para pelaku akad. Dengan
ketidakmampuan para saksi melihat para pelaku akad, maka tidak akan timbul
kepastian bahwa ijab dan kabul sungguh-sungguh dilakukan kedua pelaku akad.
Kemudian beliau menyertakan pendapat Ibnu Hajar tersebut dengan
penjelasan dari Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani terhadap pendapat Ibnu Hajar
sebagaimana berikut:
“Kesaksian orang dalam gelap tidak sah, karena tidak dapat mengetahui
kedua orang yang sedang melakukan akad. Sedangkan berpegang kepada suara
saja tidaklah memadai. Seandainya kedua orang saksi mendengar ijab dan kabul,
tetapi tidak melihat kedua orang yang mengucapkannya, meskipun dua orang
16 Ibid.
![Page 70: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/70.jpg)
58
saksi mengetahui betul bahwa ijab dan kabul adalah suara dari kedua belah
pihak, namun akad nikahnya tetap dianggap tidak sah, dengan alasan tidak
dilihat dengan mata kepala (al-mu'ayanah).”17
Lalu beliau menyimpulkan nukilan di atas, bahwa ada satu tingkat
keyakinan yang perlu dicapai dalam kesaksian akad nikah untuk mewujudkan
keabsahan. Dalam artian bahwa tingkat keyakinan atas suatu redaksi tidak
sebanding antara didengarkan saja dengan didengar dan dilihat. Dan dalam akad
nikah, tingkat keyakinan inilah yang dikehendaki.
Menurut beliau, pandangan semacam ini adalah implementasi dari sikap
para ulama' Syafi'iyah yang selalu bersikap hati-hati (ihtiyat) dalam menghukumi
sesuatu, lebih-lebih dalam masalah akad nikah. Karena akad nikah berdampak
pada halalnya sesuatu yang awalnya diharamkan.
Beliau juga menambahkan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-
Majmu' yan mencontohkan sebuah permisalan seperti berikut: jika wali calon istri
mengucapkan ijabnya dengan cara berteriak yang tak terlihat, kemudian teriakan
tersebut didengar calon suami dan segera mengucapkan kabulnya, maka akad
nikah seperti itu tidak sah.18
Lalu, beliau menyimpulkan bahwa persyaratan bersatu majelis, oleh
kalangan Syafi'iyah bukan hanya dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan
waktu, tapi masih menghendaki pemenuhan syarat lain, yaitu al-mu'ayanah. Yakni
17 Ibid., Hal. 718 Ibid.
![Page 71: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/71.jpg)
59
kedua pelaku akad hadir di tempat yang sama. Sebab dengan cara itu syarat al-
mu'ayanah ketika ijab kabul terjadi dapat terwujud.
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa dalam pandangan Syafi'iyah,
akad nikah tergolong perbuatan bernilai ta'abbudi. Karena bersifat demikian,
maka tata laksananya harus bersifat tauqifiyah, harus terikat dengan apa yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad, tidak ada peluang untuk mengadakan cara-cara
selain yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Dan itulah sebab mengapa
kalangan Syafi'iyah tidak membolehkan sighat akad selain lafal nikah atau
tazwij.19
Kesimpulan Satria Effendi atas Pendapat Kedua
Untuk lebih menekankan uraian di atas, beliau menyimpulkan hal-hal yang
menjadi pokok pedoman kalangan Syafi'iyah ini:
a. Kesaksian harus didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Untuk
memenuhi persyaratan itu disyaratkan bersatu majelis, dalam arti bersatu
tempat secara fisik. Karena dengan itu persyaratan al-mu'ayanah dengan arti
dapat dilihat secara fisik, dapat dipenuhi. Pandangan ini berhubungan dengan
sikap hati-hati Syafi'iyah dalam masalah akad nikah.
b. Akad nikah mengandung arti ta'abbud. Maka pelaksanaannya harus terikat
dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Sebab itu jalan
qiyas (analogi) tidak dapat diterima di ranah ini.20
19 Ibid., Hal. 820 Ibid.
![Page 72: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/72.jpg)
60
3. Kesimpulan Satria Effendi M. Zein
Kemudian secara obyektif beliau menyimpulkan uraiannya yang
terangkum dalam poin-poin berikut:
a. Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan no. No. 1751/P/1989 bila
dicocokkan dengan tafsiran pendapat pertama maka telah absah. Dalam
perkara ini, para saksi formal yang ada di Indonesia dapat memastikan
terjadinya akad nikah dengan cara melihat wali calon istri mengucapkan
ijabnya. Begitu pula para saksi nonformal di Amerika yang memastikan
terjadinya akad nikah dengan melihat calon suami mengucapkan kabulnya
secara langsung. Dengan demikian, persyaratan kesinambungan waktu dan
persyaratan para saksi harus secara yakin dan melihat pelaku akad telah
terpenuhi. Walaupun terdapat dua kelompok saksi di tempat yang berbeda.
Adanya kekhawatiran pemalsuan suara sudah menjadi tidak berarti, ketika
para saksi formal yang ada di Indonesia dan para saksi non formal yang di
amerika sama-sama dapat dihadirkan oleh pengadilan agama jakarta selatan,
dan serentak memastikan terjadinya ijab dan kabul antara kedua belah pihak,
dan kedua belah pihak pun tidak mengingkari kesaksian tersebut.21
b. Bila dilihat dari pandangan pendapat kedua, maka jelas praktik akad nikah
melalui telepon itu tidak sah. Berikut perbandingan antara praktik akad nikah
melalui telepon dengan pokok-pokok pedoman kalangan syafi'iyah sebagai
berikut:
21Ibid., Hal. 9
![Page 73: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/73.jpg)
61
POKOK-POKOK PEDOMAN
KALANGAN SYAFI'IYAH
PRAKTIK AKAD NIKAH YANG
TERJADIPara saksi harus dapat melihat pelaku
akad nikah, (al-mu'ayanah) dalam arti
berhadap-hadapan secara fisik.
Para saksi di Indonesia hanya
mendengar suara calon suami di
Amerika tanpa dapat melihatnya, begitu
juga sebaliknya.
Persyaratan bersatu majelis harus
dengan cara bersatu tempat untuk
mencapai al-mu'ayanah.
Syarat al-mu'ayanah tidak tercapai
kecuali menggabungkan kesaksian dua
kelompok saksi Indonesia-Amerika.
Masalah akad nikah berunsur ta'abbud,
karena itu harus sesuai dengan contoh
Nabi Saw.
Praktik penyaksian akad dengan dua
kelompok saksi yang berbeda tidak
pernah terjadi pada zaman Nabi Saw.
c. Mengenai cara akad nikah yang sesuai dengan contoh Nabi Muhammad Saw,
maka yang dikenal hanya dua macam. Yang pertama adalah calon suami hadir
dengan wali calon istri dalam satu tempat untuk melaksanakan akad, yang
kedua calon suami mengutus wakil yang dipercaya untuk mengakadkan
dirinya bila ia tidak dapat menghadiri akad tersebut.
Contoh berwakil terdapat dalam beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut:
Hadits pertama:
Hadits riwayat Abu Daud, dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah
berkata kepada seorang lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan
dengan perempuan fulanah?” Lelaki itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian
Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan, “Apakah kamu
![Page 74: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/74.jpg)
62
bersedia untuk saya kawinkan dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab,
“Bersedia”. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya.22
Hadits kedua:
Hadits riwayat Abu Daud yang menceritakan bahwa Ummu habibah termasuk
diantara kelompok yang berhijrah ke Habsyah, setelah suaminya bernama
Abdullah bin Jahasy wafat, dikawinkan oleh An-najasyi dengan Rasulullah.23
d. Bila mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka bila ada peristiwa akad nikah jarak
jauh di kemudian hari, dapat para pihak dapat didengar suaranya sekaligus
gambarnya, tentu tetap dinyatakan tidak sah. Sebab syarat al-mu'ayanah atau
berhadap-hadapan secara fisik tidak terpenuhi. Karena pada permisalan ini
yang dilihat hanyalah gambarnya, bukan fisik jasmani.24
e. Beliau secara jujur mengakui bahwa pemahaman Syafi'iyah dalam
permasalahan ini terasa amat kaku, sehingga dengan demikian tata laksana
akad nikah tidak berpeluang untuk dikembangkan
f. Kekakuan dan keketatan Syafi'iyah dimaklumi sebagai sikap kehati-hatian
(ihtiyat), agar tidak muncul praktik akad nikah yang tidak pasti.25
g. Dua kesimpulan hukum tersebut di atas, dapat dijadikan alternatif selama
belum ada ketegasan pendapat mana yang diberlakukan di peradilan agama.
Bila sudah ada ketegasan pendapat mana yang disepakati untuk diberlakukan
22 Ibid., Hal. 1123 Ibid., Hal. 1224 Ibid., Hal. 1325 Ibid.
![Page 75: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/75.jpg)
63
(baik berwujud undang-undang atau peraturan), maka umat Islam wajib terikat
dengan undang-undang atau peraturan yang disepakati. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan ulama, bahwa bila suatu ketetapan berlaku di pengadilan, maka
selain ketetapan itu tidak berlaku lagi.26
h. Beliau mengakui belum menemui adanya peraturan yang secara tegas
mengatur praktek semacam ini. Dasar-dasar hukum pada PP RI No. 9 Tahun
1975 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi: “Dengan mengindahkan tata cara
perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan itu,
perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi” menurut beliau masih berpeluang menghasilkan berbagai
penafsiran. Maka perlu penegasa apakah tidak harus dihadiri secara fisik
(sesuai dengan pendapat pertama) atau harus dihadiri secara fisik
(sebagaimana yang diyakini pendapat kedua).27
C. DASAR YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN
1. Dari As-Sunnah
Untuk menghasilkan analisis kritis tentang hukum akad nikah melalui
telepon, Satria Effendi M. Zein mendasarkan pendapatnya pada satu hadits
riwayat muslim yakni:
Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita.
Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan
26 Ibid., Hal. 1427 Ibid.
![Page 76: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/76.jpg)
64
bagi kalian dengan kalimat Allah”.
Beliau juga dua hadits riwayat Abu Daud tentang tawkil. Yang pertama
dari Uqbah bin Amir yakni:
أن النبي صلى ال عليه وسلم قال لرجل " أترضى أن أزوجك فلنة ؟ " قال نعم وقال عن عقبة بن عامر
للمرأة " أترضين أن أزوجك فلنا ؟ " قالت نعم فزوج أحدهما صاحبه...
dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah berkata kepada seorang lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan dengan perempuan fulanah?” Lelaki itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan, “Apakah kamu bersedia untuk saya kawinkan dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya (HR. Abu Daud No. 2117)
dan yang kedua tentang perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah yakni.
عن عروة بن الزبير عن أم حبيبة أنها كانت عند ابن جحش فهلك عنها وكان فيمن هاجر إلى أرض الحبشة
فزوجها النجاشي رسول ال صلى ال عليه وسلم
Dari Urwah bin Zubari, bahwasannya Ummu Habibah adalah istri dari Ibnu Jahasy, kemudian suaminya meninggal, dan dia termasuk kelompok yang berhijrah ke Habsyah, kemudian Najasyi menikahkannya dengan Rasulullah SAW. (HR. Abu Daud No. 2086)
2. Dari Literatur
Selain itu beliau merujuk kepada pendapat para Ulama' dalam kitab-kitab
fiqh klasik dan modern, berikut rinciannya:28
28 Ibid., Hal. 16
![Page 77: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/77.jpg)
65
JUDUL KITAB PENGARANG KETERANGANAl-Fiqh 'Ala Mazahibil Arba'ah Abdurrahman Al-Jaziri Lintas mazhab
Al-Majmu' Muhyiddin An-Nawawi Syafi'iyah
Al-Mughni Ibnu Qudamah Al-Maqdisy Hanabilah
Al-Muhazzab Abdul Khaliq As-Suyuthy Syafi'iyah
Fiqh As-Sunnah Sayid Sabiq Lintas mazhab
Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar Al-Haitsami Syafi'iyah
3. Dari Peraturan atau Undang-Undang
Tak lupa pula beliau menyertakan hukum positif yang berlaku di
Indonesia, utamanya PP RI No. 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi:
“Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
D. METODE YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN
Dalam menentukan pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menggunakan
metode komparatif vertikal29, yakni metode perbandingan yang
memperbandingkan antara produk hukum yang dihasilkan oleh PA Jakarta Selatan
No. 1751/P/1989 tentang pengesahan praktik akad nikah melalui telepon dengan
Hadits Nabi, pendapat Ulama' madzhab yang empat, dan hukum atau peraturan
yang berlaku di Indonesia.
29 Ibid., Hal. xliii
![Page 78: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/78.jpg)
66
Karena praktik akad nikah seperti ini pada jaman sebelumnya tidak dikenal
dan dijumpai, beliau menggunakan metode qiyas, salah satu metode istinbat
hukum yang disepakati para Ulama' mujtahid dan menjadi salah satu sumber
hukum Islam selain Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' Ulama'.
![Page 79: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/79.jpg)
67
BAB IV
ANALISIS
A. ANALISIS SECARA UMUM
1. Kerangka Pendapat Satria Effendi M. Zein
Satria Effendi M. Zein menyusun uraian pendapatnya tentang hukum akad
nikah melalui telepon secara cermat dan sistematis.
Pada bagian awal, beliau membuka pendapatnya dengan penguraian latar
belakang masalah yang menjadi obyek yang akan ia analisis. Yakni bagaimana
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktik akad nikah melalui
telepon dalam putusan No. 1751/P/1989. Beliau juga memberikan alasan
pentingnya mengomentari putusan ini, karena beliau menduga akan muncul media
komunikasi yang lebih maju dari telepon, yakni dapat didengar suaranya sekaligus
dilihat gambar yang berbicara, yang pada masa sekarang terwujud dalam
teknologi teleconference.
Kemudian beliau melanjutkan pembahasannya dan memfokuskannya
kepada hakikat dan kedudukan ijab kabul dalam akad nikah. Dengan
ditambahkannya hadits riwayat Muslim, uraian ini akhirnya membawa
kesimpulan bahwa ijab kabul dalam akad nikah sangat penting. Oleh karena
begitu pentingnya, ijab kabul mempunyai syarat-syarat yang ketat untuk dianggap
sah. Dan salah satunya adalah syarat Ittihad Al-Majelis seperti yang disepakati
para ulama' empat madzhab.
![Page 80: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/80.jpg)
68
Dari situ, beliau mengarahkan pembaca kepada ulasan-ulasan yang perlu
untuk menjelaskan lebih dalam maksud dari ittihad al-majelis yang jadi inti
permasalahan akad nikah semacam ini. Ulasan yang beliau hadirkan nampak
sedapat mungkin meliputi semua pendapat dari empat madzhab yang ada disertai
alasan yang mendasarinya.Lalu beliau menyimpulkan pendapat-pendapat tersebut,
mengkomparasikannya dengan putusan pengadilan yang sedang beliau komentari.
2. Karakteristik Pendapat Satria Effendi M. Zein
Dalam menelusuri sebuah permasalahan, Satria Effendi terlebih dahulu
mencari dan menyajikan dalil nash, kemudian membandingkan pendapat-
pendapat ulama' yang ada yang dikutipkan dari berbagai sumber, setelah itu ia
melakukan qiyas dan menguji maslahat serta Maqasid As-Syari'ah yang ada
dalam masalah itu, barulah kemudian ia menyimpulkannya.1
Di sinilah letak kedalaman, originalitas, dan kontribusi pemikiran Satria
Effendi mengenai hukum keluarga Islam di Indonesia.
Meskipun dalam kehidupannya sehari-hari secara pribadi Satria Effendi
dikenal oleh para koleganya sebagai pengikut mazhab Syafi'i, tetapi dalam
analisisnya ia sangat dinamis memilih pendapat mazhab yang dinilainya paling
kuat argumentasinya.2
1 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. xxxix
2 Ibid.
![Page 81: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/81.jpg)
69
Dalam membuahkan pendapatnya, Satria Effendi M. Zein mempunyai
karakter dan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mengacu kepada Maqashid As-Syari'ah.3
Satria Effendi M. Zein berusaha dalam berpendapat berusaha menjangkau
tujuan ditetapkan hukum dalam Islam. Dalam hal ini, terlihat jelas bagaimana
beliau menyatakan “...dengan demikian masalah pelaksanaan akad nikah tidak
bisa berkembang...”4 ketika mengomentari kekakuan pemahaman Syafi'iyah
sesuai temuannya. Komentar semacam ini adalah bentuk kepeduliannya kepada
pengembangan pelaksanaan akad nikah dengan mengikuti perkembangan jaman.
b. Bercorak komparatif.5
Satria Effendi M. Zein dalam mengomentari masalah ini, membandingkan
dua pendapat yang beredar dalam menafsiri Ittihad Al-Majelis. Pendapat yang ia
bandingkan adalah pendapat madzhab Hanafy dan Hambaly di satu sisi dengan
madzhab Syafi'iy di sisi lain. Selain itu, corak komparatif ini juga nampak dalam
pemilihan kitab yang beliau rujuk, yakni Al-Fiqh 'Ala Mazahibil Arba'ah karya
Abdurrahman Al-Jaziri.
Pembahasan masalah fikih dengan model perbandingan bukanlah sesuatu
yang asing lagi, terutama pada periode modern ini. Berbagai literatur fikih
disajikan dalam bentuk studi perbandingan dengan memperhatikan apa yang
3 Ibid., hal. 5294 Ibid., hal. 135 Ibid., hal. 529
![Page 82: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/82.jpg)
70
menjadi inti persoalannya, dan yang mempeloporinya adalah Ibnu Rusyd dalam
kitab bidayatu Al-Mujtahidnya.6
c. Berupaya membangun Fiqh Lintas Madzhab.7
Upaya untuk membangun fikih lintas mazhab terlihat jelas dalam analisis
satria Effendi terhadap berbagai masalah dalam buku ini. Yang menjadi menarik
manakala beliau mengungkap pendapat secara qauly sesuai dengan Ulama yang
berpendapat, dan kadangkala secara manhajiy.8 Hal ini bisa dilihat dalam
mengungkapkan pendapat Ibnu Qudamah secara pribadi, dan mengumpulkan
pendapat Ulama' Syafi'iyah dan mengungkapkannya dalam bentuk pendapat
kelompok secara manhaj.
d. Menggunakan pendekatan Ta'abbudi dan Ta'aqquli.9
Pendekatan ini tampak jelas ketika Satria Effendi berusaha membedakan
pendapat Syafi'iyah dengan pendapat Hanabilah dan Hanafiyah dalam menyikapi
akad nikah, apakah tergolong Ta'abbudi atau Ta'aqquli. Pendekatan semacam ini
menjadikan kesimpulan yang beliau tawarkan lebih tajam, berbobot dan variatif.
3. Kelebihan Pendapat Satria Effendi M. Zein
Tak dapat disangkal apabila Satria Effendi adalah kelompok intelektual
muslim yang menganut paham Madrasah Moderat, suatu istilah yang digunakan
oleh Yusuf Qaradhawi dalam menjuluki kelompok penengah antara literal dan 6 Ibid.7 Ibid.8 Ibid.9 Ibid.
![Page 83: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/83.jpg)
71
liberal. Berikut adalah ciri-ciri penganut Madrasah Moderat menurut Qaradhawi:
1. Mencari maksud syariat sebelum mengeluarkan hukum10. Ini yang dilakukan
Satria Effendi dalam menggali maksud dari ittihad al-majelis.
2. Memahami teks dalam bingkai sebab dan kondisinya11. Ini terlihat ketika
beliau mengomentari ketidakjelasan uraian keputusan PA Jakarta Selatan
tentang hadits riwayat Abu Daud dari Uqbah bin Amir tentang praktik tawkil.
3. Membedakan antara maksud-maksud yang mapan dan wasilah-wasilah yang
berubah12. Hal ini nampak dalam kejelian beliau mengidentifikasi bahwa
ittihad al-majelis adalah wasilah, bukan maksud dari akad nikah.
4. Menyesuaikan dengan yang telah mapan dan yang akan senantiasa
berubah.13Ini terlihat dari anggapan beliau bahwa putusan akad nikah melalui
telepon perlu dan mendesak untuk dianalisis, karena bisa jadi di kemudian hari
muncul problem serupa.
5. Melihat perbedaan makna dalam ibadah dan muamalah14. Ini tidak lain adalah
pendekatan Ta'abbudi dan Ta'aqquli yang beliau anut yang telah disinggung di
bagian sebelumnya.
Kelebihan lain dari pendapat Satria Effendi adalah pemahamannya atas
hukum positif dan sistem hukum sipil yang dianut di Indonesia. Satria
10 Yusuf Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004, hal. 539 Fiqh maqashid syariah hal 160
11 Ibid., 16712 Ibid.13 Ibid., hal 21414 Ibid., hal 217
![Page 84: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/84.jpg)
72
menyatakan bahwa hakim berhak untuk rechtsvinding15. Seperti dalam
pernyataannya “...dua kesimpulan hukum tersebut di atas, dapat dijadikan
alternatif selama belum ada ketegasan pendapat mana yang diberlakukan di
peradilan agama...” ketika memberikan dua alternatif kesimpulan kedudukan
akad nikah melalui telepon.
4. Kekurangan Pendapat Satria Effendi M. Zein
Beberapa kekurangan dapat dijumpai dari pendapat Satria Effendi. Di
antaranya adalah beliau tidak merujuk kepada peraturan perundang-undangan
tentang hukum keluarga yang berlaku di negeri-negeri muslim di dunia modern
sekarang ini, di luar Indonesia. Padahal perbandingan seperti itu amat diperlukan,
agar supaya para pemikir hukum Islam tidak sendirian di dalam melakukan
terobosan-terobosan pemikiran hukumnya. Inilah yang dapat disebut dengan
kajian komparatif horizontal. Sedangkan apa yang telah dilakukan oleh Satria
Effendi pada dasarnya adalah kajian komparatif vertikal, yaitu membandingkan
masalah hukum yang dihadapi dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab fikih.16
Selain itu, Pendapat Satria Effendi hanyalah bersifat catatan dan komentar
dalam kemasan keilmuan. Sebab putusan pengadilan yang beliau komentari
adalah mengikat, maka catatan dan komentar atas putusan tersebut hanya berperan
memberikan alternatif-alternatif untuk pengembangan hukum selanjutnya,17 dan
tidak berdampak hukum apa-apa.
15 Satria Effendi, Op. Cit., hal. xviii-xix16 Ibid., hal. xliii17 Ibid., hal. xxiv
![Page 85: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/85.jpg)
73
B. ANALISIS ATAS DASAR SATRIA EFFENDI M. ZEIN
Satria Effendi tidak meletakkan kitab-kitab filsafat hukum Islam sejajar
atau bahkan lebih penting dari kitab fiqh. Meskipun demikian, nampak bahwa
Satria Effendi mengutamakan Maqasid As-Syari'ah dan kemaslahatan, yang
menjadi dua topik penting dalam ilmu ushul fiqh.18
Pemilihan hadits yang beliau bawa untuk pembahasan pendapatnya telah
tepat. Satu hadits riwayat Muslim tentang keagungan akad nikah dan dua hadits
riwayat Abu Daud tentang tawkil.
Lalu dalam pemilihan kitab rujukan, nampak keseimbangan yang hendak
beliau jaga, dan maksud membangun fiqh lintas madzhab yang betul-betul toleran
dan dinamis. Kitab lintas madzhab yang diwakili oleh Fiqh As-Sunnah dan Fiqh
'Ala Madzahib Arba'ah, kemudian kitab yang mewakili pendapat pertama diwakili
oleh kitab Al-Mughni dan kitab yang mewakili pendapat kedua diwakili oleh kitab
Tuhfatul Muhtaj dan Al-Muhazzab beserta syarahnya, Al-Majmu'.
Kesesuaian ini berlanjut ketika beliau menyajikan PP RI No. 9 tahun 1975
sebagai penambah keterangan bahwa undang-undang tersebut masih berpeluang
multitafsir.
C. ANALISIS ATAS METODE SATRIA EFFENDI M. ZEIN
Satria Effendi M. Zein menggunakan metode komparatif vertikal, yaitu
metode di mana beliau membandingkan perkara yang dihadapi yakni tentang
18
![Page 86: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/86.jpg)
74
hukum akad nikah melalui telepon menggunakan hadits, pendapat ulama dan
peraturan perundangan yang ada. Metode komparatif vertikal ini adalah metode
yang tepat dimana peristiwa akad nikah melalui telepon yang bersifat dinamis,
untuk mengetahui kedudukan hukumnya maka perlu melihat dalil dan pendapat
yang sifatnya tetap.
Pengujian ini tidak berhenti di sini. Satria Effendi melakukan metode
qiyas, di mana permasalahan akad nikah melalui telepon yang kontemporer,
diambilkan titik-titik kesamaan dengan pendapat-pendapat ulama' terdahulu
tentang berbagai macam pelaksanaan akad nikah. Titik-titik kesamaan yang beliau
tentukan adalah:
1. Calon suami dengan wali calon istri tidak berkumpul dalam satu tempat ketika
berakad , yang pencarian hukumnya beliau kiaskan dengan akad melalui surat
ala Hanafiyah.
2. Para saksi tidak melihat pelaku akad secara langsung, yang pencarian
hukumnya beliau kiaskan dengan diterimanya kesaksian orang buta menurut
Hanabilah atau penolakan kesaksian dalam gelap.
Kemungkinan salah atau keliru dalam putusan hakim tetap ada, karena itu
pada tempatnya pula jika penulis melakukan analisis terhadap putusan-putusan
hakim tersebut.
Kemungkinan salah atau keliru pada hasil analisis penulis dalam karyanya
juga tetap ada. Hal ini karena menyangkut karakteristik fiqh muamalah
![Page 87: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/87.jpg)
75
(ijtihadiyat) yang dikajinya, yaitu a). memiliki kebenaran yang sifatnya relatif, b).
keberlakuannya bisa tidak universal dan boleh jadi tidak permanen, dan c) bersifat
ta'aqquli. (معقول المعنى)
Baik para hakim yang telah memutus perkara maupun penulis dalam buku
ini telah melakukan ijtihad dalam kategori ijtihad tatbiqi طبيقى) هاد ت (إجت yang
pijakannya bukan hanya nash-nash al-quran dan as-sunnah serta pendapat para
ulama, namun juga situasi dan kondisi pihak-pihak yang berperkara (الظروف).
Dalam kasus ini pemikiran penulis sangat kental dengan pertimbangan
maslahat sebagai tujuan utama disyariatkannya hukum Islam dengan indikator
utamanya, yaitu:
a) memberikan manfaat (فع dan b) dan kemudian menghindarkan (الجلب الن
madharat (دفع الضرر)
Nash-nash Al-Quran dan atau As-Sunnah yang secara jelas dan tegas
menyatakan suatu ketentuan hukum, itulah acuan utama penulis. Undang-undang
atau hukum positif merupakan alternatif utama bilama seputar kasus yang
dianalisisnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Hal ini sesuai dengan
kaidah
(حكم الحاكم ملزم يرفع الخلف)
“Keputusan hakim/penguasa menghilangkan perbedaan pendapat”.
Kapasitas penulis dalam berbagai kajiannya dapat digolongkan sebagai
pakar hukum Islam yang berpegang kepada prinsip:
![Page 88: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/88.jpg)
76
(المحافظخة على القديم الصالح والخذا بالجديد الصلح)
“memelihara produk pemikiran klasik yang masih relevan dan mengambil
produk pemikiran baru yang lebih relevan”.
![Page 89: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/89.jpg)
77
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Satria Effendi M. Zein berpendapat bahwa hukum akad nikah melalui telepon
mempunyai dua macam hukum, yakni boleh menurut kalangan Hanafiyah dan
Hanabilah, serta tidak boleh menurut kalangan Syafi'iyah selama belum ada
kekuatan hukum tetap dari hakim. Namun Satria Effendi M. Zein mempunyai
kecenderungan mengambil pendapat kalangan Hanafiyah dan Hanabilah yang
membolehkan praktik semacam ini, karena beliau berpendapat bahwa praktik
perkawinan perlu mengikuti perkembangan zaman.
2. Satria Effendi M. Zein berpendapat berdasarkan hadits-hadits tentang tawkil
terpilih, didukung dengan kitab-kitab yang membahas persoalan secara lintas
madzhab seperti Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-
Arba'ah karangan Al-Jaziri. Di samping itu beliau juga menyertakan kitab-
kitab perwakilan dari masing-masing madzhab untuk memperkuat analisis.
Juga menimbangnya dari sisi hukum positif yang berlaku di Indonesia melalui
PP. No. 9 th. 1975.
3. Satria Effendi M. Zein melakukan metode komparasi vertikal, dalam arti
beliau hanya memperbandingkan permasalahan yang terjadi yang bersifat
tidak tetap dan dapat berubah (dalam hal ini praktek akad nikah melalui
![Page 90: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/90.jpg)
78
telepon) dengan dalil dan pendapat ulama yang bersifat tetap. Kemudian,
beliau juga menguji masalah tersebut secara qiyas (ketika memadukan
pendapat atas praktik akad nikah melalui surat dan kesaksian orang buta) dan
mewarnainya dengan maslahat sesuai dengan pilar-pilar maqasid syariah.
B. SARAN
Setelah menyimpulkan hal-hal tersebut di atas, penulis perlu memberikan
saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya pengujian lebih lanjut atas pendapat Satria Effendi M. Zein
terutama dari konsekuensi hukum yang akan terjadi apabila dua pendapat yang
ditawarkan Satria Effendi M. Zein diberlakukan, baik melalui yang telah
terjadi di Indonesia ataupun di negeri-negeri Islam lain.
2. Perlu adanya dasar-dasar dan rujukan dari kitab-kitab tentang ushul fikih baik
klasik ataupun modern, juga undang-undang perkawinan di negeri-negeri
Islam lain untuk menajamkan analisis yang telah diberikan oleh Satria Effendi
M. Zein.
3. Perlunya diadakan pengujian pendapat secara horizontal, dalam arti menilik
hukum praktik akad nikah melalui telepon itu dari kacamata hukum Islam di
negeri-negeri Islam lain yang memberi gambaran dan perbandingan untuk
pemberian hukum atas praktik yang terjadi di Indonesia.
![Page 91: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/91.jpg)
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhary, Abu Abdullah Al-Ju'fy, Al-Jami' As-Shahih Al-Mukhashar (Shahih
Bukhary), Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Abu Daud Sulaiman bin Asy'ats, Sunan Abi Daud, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Al-Haitsami, Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
An-Nawawi, Muhyiddin, Al-Majmu' (Syarah Al-Muhazzab), Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Al-Utsaimin, Shalih, 1980, At-Tafsir wa Ushuluhu, Riyadh, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly.
As-Suyuthy, Abdul Khaliq, Al-Muhazzab, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Djazuli, H.A. Prof., 2005, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana.
Depag RI, 2004, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta.
Djazuli H.A., Prof., 2006, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana.
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
Muslim bin Hujjaj An-Nisabury, Shahih Muslim, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. MA, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Kencana.
Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.
![Page 92: skipsi_baabullah04531001_hukum_akad_nikah_melalui_telepon](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022052411/5571f23f49795947648c625d/html5/thumbnails/92.jpg)
80
Nuur, Djamaan, tt, Fiqh Munakahat, Semarang, Dina Utama.
Qaradhawi, Yusuf, 2007, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0.
“Inggris-Cirebon Bersatu Dalam Pernikahan”, http://www.pikiran-rakyat.com/, 26 Maret 2007.
“KBBI Online”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, 18 April 2008.
“Nikah Jarak Jauh Via “Teleconference”, http://www.pikiran-rakyat.com/, 5 Desember 2006.
“Seputar Ijab Kabul dan Perceraian Jarak Jauh”, http://hukumonline.com/, 15 April 2007.