sken 2 muskulo

15
BAB II STUDI PUSTAKA 1. Anatomi, histologi dan fisiologi otot a. Anatomi otot 1) Sarkoplasma. Cairan yang memenuhi ruang antara miofibril. Sarcopla mengandung sejumlah potassium, magnesium, dan fosfat serta beberapa enzim protein. Di dalam sarkoplasma juga terdapat sejumlah mitokond yang terletak paralel pada miofibril. itokondria ini mensuplai kon miofibril dengan sejumlah A!". #) $etikulum sarkoplasmik. $etikulum yang berada pada sarkoplasma. %eberadaan $S sangat diperlukan dalam mengatur kontraksi otot. &tot yang memiliki kontraksi kuat maka memiliki $S yang luas. ') Sarkolema. Sarkolema merupakan membran sel dari seratotot. Sarkolema terdiri dari membran sel yang sebenarnya, disebut membran plasma, dan selaput luar yang terbuat dari lapisan polisaka tipis yang berisi banyak kolagen fibril. "ada setiap serat otot, pe lapisan sarkolema melebur dengan serat tendon, dan serat tendon berkumpul untuk membentuk tendon otot yang berada di dalam tulang. () iofibril, Aktin, dan iosin. Setiap serat otot terdiri dariratusan miofibril, yang terdiri dari 1 ** miofilamen tebal +berisi '*** miofilamen tipis +berisi aktin), dimana molekul molekul ini bertanggung ja-ab terhadap kontraksi otot. (Guyton, 2008) b. istologi otot 1) &tot polos - /ekerja tidak sadar, memiliki satu inti, tidak bercabang - Seratnya terdiri atas filamenintermediate yang tebal+disebut ca0eolae) - /anyak terdapat pada sistem pencernaan - /ereaksi atas rangsang syaraf, hormon, dan faktor lingkungan 1

Upload: dzulfiar-nasir-umam

Post on 01-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Muskulo

TRANSCRIPT

BAB IISTUDI PUSTAKA

1. Anatomi, histologi dan fisiologi otota. Anatomi otot

1) Sarkoplasma. Cairan yang memenuhi ruang antara miofibril. Sarcoplasm mengandung sejumlah potassium, magnesium, dan fosfat serta beberapa enzim protein. Di dalam sarkoplasma juga terdapat sejumlah mitokondria yang terletak paralel pada miofibril. Mitokondria ini mensuplai kontraksi miofibril dengan sejumlah ATP.2) Retikulum sarkoplasmik. Retikulum yang berada pada sarkoplasma. Keberadaan RS sangat diperlukan dalam mengatur kontraksi otot. Otot yang memiliki kontraksi kuat maka memiliki RS yang luas.3) Sarkolema. Sarkolema merupakan membran sel dari serat otot. Sarkolema terdiri dari membran sel yang sebenarnya, disebut dengan membran plasma, dan selaput luar yang terbuat dari lapisan polisakarida tipis yang berisi banyak kolagen fibril. Pada setiap serat otot, permukaan lapisan sarkolema melebur dengan serat tendon, dan serat tendon berkumpul untuk membentuk tendon otot yang berada di dalam tulang.4) Miofibril, Aktin, dan Miosin. Setiap serat otot terdiri dari ratusan miofibril, yang terdiri dari 1500 miofilamen tebal (berisi miosin) dan 3000 miofilamen tipis (berisi aktin), dimana molekul-molekul ini bertanggung jawab terhadap kontraksi otot. (Guyton, 2008)b. Histologi otot

1) Otot polos Bekerja tidak sadar, memiliki satu inti, tidak bercabang Seratnya terdiri atas filamen intermediate yang tebal (disebut caveolae) Banyak terdapat pada sistem pencernaan Bereaksi atas rangsang syaraf, hormon, dan faktor lingkungan2) Otot lurik Bekerja secara sadar, memiliki inti banyak sehingga pembentukan ATP lebih cepat, bercabang Terdiri dari serat yang dilapisi oleh sarkolema Tiap serat terdapat miofibril yang terdiri dari miofilamen tebal (berisi myosin) dan miofilamen tipis (berisi aktin) Berada pada alat gerak (skeleton)3) Otot jantung Bekerja secara tidak sadar, berinti banyak, bercabang Hanya ada pada jantung Memiliki sarkoplasma sehingga mitokondrianya lebih banyak. (Guyton, 2008)c. Fisiologi otot

1) Pergerakan: Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut melekat dan bergerak dalam bagian-bagian organ internal tubuh.2) Penopang tubuh dan mempertahankan postur : Otot menopang rangka dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk terhadap gaya gravitasi.3) Produksi panas: Kontraksi otot secara metabolis menghasilkan panas untuk mempertahankan suhu normal tubuh. (Sloane, 2003)

2. Pengertian

Guillain-Barr syndrome (GBS) adalah sekelompok kelalinan neuropatik yang akut, monofasik, dan secara patofisiologis bersifat heterogen. Penyakit ini biasanya melalui proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demyelinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. (Japardi, 2002)3. Epidemiologi

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk, mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun, didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. (Ramachandran, 2009)4. Klasifikasi

Berikut terdapat klasifikasi dari GBS yaitu:

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demyelinisasi.

b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C. jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demyelinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

c. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.

d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.(Davids, 2008)5. Etiologi

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta, Salmonella, Legionella dan Mycobacterium tuberculosa; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS. (Mayo, 2009)6. PatogenesisMekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demyelinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

a. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

b. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

c. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibody dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari system imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demyelinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. (Menkes, 2000)7. PatologiPada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. (Davids, 2008)Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. (Mayo, 2009)8. Diagnosis

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.a. Gejala KlinikSGB merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.

Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.

Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions). (Saharso, 2006)b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

Tanda Klinis GBSPemeriksaan Diagnostik yang Direkomendasikan

Disfungsi motorikKelamahan simetris: proksimal, distal atau global; ditandai dengan kelemahan otot ascending secara cepat dari distal ke proksimal.

Kelemahan otot (terutama leher dan otot respirasi) atau wasting (terutama cabang).

Kelumpuhan nervus kranial: III-VIII, IX-XII (kebanyakan berupa facial palsy).

Arefleksia

Pemeriksaan cairan serebrospinal

Studi elektrofisiologi

Kultur C. Jejuni

Serologi C. Jejuni, Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Herpes Simplex Virus, HIV, M. Pneumoniae

Disfungsi sensorikRasa sakit

Mati rasa, parestesia

Ataksia

Berkurangnya atau hilangnya propriosepsi, vibrasi, sentuhan, dan rasa sakit pada bagian distalMRI

Elektrokardiogram

Pemantauan tekanan darah

Tes fungsi otonom

Disfungsi otonomSinus takikardia dan bradikardia

Aritmia kardio lainnya

Hipertensi dan hipotensi postural

Fluktuasi yang luas pada pulsasi dan tekanan darah

Hipersalivasi

Anhidrosis atan berkeringan berlebihan

Kerusakan sfingter saluran kemih

Dismotilitas gaster

Konstipasi atau diare

Nada vasomotor abnormal yang menimbulkan venous polling dan facial flushing

Pupil Antibodi antigangliosid

Skrining biokimia: urea, elektrolit, enzim liver

Hitung darah lengkap

Laju endap eritrosit or C-reactive protein

Lain-lainPapilloma

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan LCSDari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein (11,5g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm (albuminocytologic dissociation).2) Pemeriksaan EMGGambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.3) Pemeriksaan MRIPemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.

a) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.

b) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.9. Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum.Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia.

Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.10. Penatalaksanaan

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan.Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun, ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.

Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisa.

Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya thrombosis. (Davids, 2008)BAB IIIPEMBAHASAN

Dalam skenario, pasien datang dalam keadaan sesak nafas dengan diawali kedua tangan dan kakinya terasa kesemutan sejak 7 hari yang lalu, serta menderita diare 2 minggu sebelumnya. Keadaan sesak nafas ini ada kaitannya dengan keluhan yang dialami pasien sebelumnya. Sehingga kemungkinan yang paling mendekati sesak nafas yang dialami pasien dalam skenario ini terjadi akibat adanya kerusakan pada sistem saraf perifer medula spinalis C3 hingga C5 yang menyebabkan paralisis diafragma (otot pernafasan) sebagian atau keseluruhan, sehingga pasien mungkin bergantung pada ventilator.

Kesemutan atau parestesia dalam ilmu kedokteran, adalah sensasi pada permukaan tubuh tertentu yang tidak dipicu rangsangan dari dunia luar. Sebenarnya parestesia adalah sensasi rasa dingin atau panas di suatu bagian tubuh tertentu, atau sensasi rasa dirambati sesuatu. Parestesia itu timbul bila terjadi iritasi pada serabut saraf yang membawa sensasi kesemutan.

Kesemutan terjadi jika syaraf dan pembuluh darah mengalami tekanan Misalnya, saat duduk bersimpuh atau menekuk kaki terlalu lama, maka syaraf dan aliran darah terganggu. Umumnya kesemutan akan mereda jika bagian tubuh yang mengalaminya digerakkan.

Pada dasarnya kesemutan merupakan suatu gejala manifestasi dari gangguan sistem saraf sensorik akibat rangsang listrik di sistem itu tidak tersalur secara penuh dengan sebab macam-macam. Yang paling sederhana, misalnya, jalan darah tertutup akibat satu bagian tubuh tertentu ditekuk terlalu lama.

Kesemutan yang tidak disertai gejala-gejala lain biasanya menandakan adanya gangguan pada reseptor di kulit atau pada cabang-cabang saraf tepi. Namun kita mesti lebih waspada jika ada gejala lain di luar kesemutan. Bukan hanya kelumpuhan, kesemutan bisa juga disertai gangguan penglihatan, pendengaran, gabungan keduanya, atau lainnya.

Namun, bila kesemutan tak hilang setelah bagian tubuh digerakkan, atau semula hanya dialami sebagian kecil organ tubuh namun kemudian merambat ke bagian yang lebih luas; atau bila semula hanya terjadi sekali-sekali dan menjadi kian sering; atau bila kesemutan menjadi rasa kebal, sebaiknya Anda segera memeriksakan diri ke dokter. Kesemutan jenis ini merupakan gejala penyakit serius.

Dokter akan menyelidiki bagian tubuh yang mengalami kesemutan, luasnya, tempat awal kesemutan, dan perkembangan kesemutan itu sejak awal. Semua informasi ini akan menunjukkan penyebab masalah. Bisa jadi pada saraf tepi, pada otot, sumsum tulang belakang, atau bahkan otak.Diare yang dialami oleh pasien sebelumnya, kemungkinan akibat infeksi Campylobacter jejuni, dimana bakteri ini mengubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel ini sebagai sel asing, yang kemudian sistem imun akan menyerang bagian tertentu dari selubung myelin, menyebabkan kerusakan myelin. Akibatnya, terjadi cedera demyelinasi yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. Oleh karena itu, pada pasien akan timbul gejala nyeri dan parestesia, kelemahan atau paralisis otot dan hilangnya refleks tendon akibat kerusakan akson motorik, serta menurunnya sensasi akibat kerusakan serabut sensorik.

DAFTAR PUSTAKA

Davids HR. Guillain-Barre Syndrome. Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview. [diakses tanggal 3 Oktober 2012]. Last Update 2008.Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hartwig, M.S. 2006. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi Generalisata. Dalam : Price, S., & Wilson, L. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC, pp :1133-1156.Hughes RA, Raphael JC, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barre syndrome.Cochrane Database Syst Rev. 2009; (1:(CD002063.))

http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm. [diakses tanggal 4 Oktober 2012]

Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya. Available from: URL: http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7. [diakses tanggal 3 Oktober 2012]. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. [diakses tanggal 4 Oktober 2012].Mayo Clinic Staff. Guillain Barre Syndrome. Available from : URL : http://www.mayoclinic.com/health/guillainbarresyndrome/DS00413/ [diakses tanggal 3 Oktober 2012].Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 613th Ed. London : Williams and Wilkins, 2000.

Ramachandran, TS. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from : URL :http://emedicine.medscape.com/article/1169959-overview. [diakses tanggal 3 September 2009].

Saharso D. Sindroma Guillan-Barre (SGB). Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya. Available from : URL : http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT& direktori= pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-mvib207.htm. [diakses tanggal 3 Oktober 2012].Sheikh KA, Zhang G. 2010. An update on pathobiologic roles of anti-glycan antibodies in Guillain-Barr syndrome. Biology Reports. 2:21.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1