sk 1 endokrin fix

63
SKENARIO 1 PENGLIHATAN TERGANGGU Tn. A, 56 tahun, mengeluh penglihatan terganggu di kedua mata sejak 2 bulan yang lalu. Kadang – kadang terlihat bintik gelap dan lingkaran – lingkaran cahaya. Pasien sudah mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun. Saat ini telapak kaki terasa kesemutan dan nyeri bila berjalan. Tekanan darah 130/90 mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan indeks massa tubuh (IMT) 29,4 kg/m2, lingkar perut 108 cm. Kulit teraba kering dan pada pemeriksaan sensorik dengan monofilament Semmes Weinstein 10 gram sudah terdapat penurunan rasa nyeri. Pemeriksaan Ankle Brachial Index 0,9. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat mikroaneurisma dan perdarahan dalam retina.Hasil laboratorium memperlihatkan glukosa darah puasa 256 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan 345 mg/dl dan HbA1c 10,2 g/dl dan protein urin positif 3. Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi tentang perencanaan makan diet 1900 kalori yang halal dan baik sesuai ajaran Islam, jenis olahraga yang sesuai, dan pemberian insulin untuk mengontrol glukosa darahnya, serta efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat. 1

Upload: -inthan-cuantiq-

Post on 09-Dec-2015

219 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

12345

TRANSCRIPT

Page 1: Sk 1 Endokrin Fix

SKENARIO 1

PENGLIHATAN TERGANGGU

Tn. A, 56 tahun, mengeluh penglihatan terganggu di kedua mata sejak 2 bulan yang lalu. Kadang – kadang terlihat bintik gelap dan lingkaran – lingkaran cahaya. Pasien sudah mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun. Saat ini telapak kaki terasa kesemutan dan nyeri bila berjalan.

Tekanan darah 130/90 mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan indeks massa tubuh (IMT) 29,4 kg/m2, lingkar perut 108 cm. Kulit teraba kering dan pada pemeriksaan sensorik dengan monofilament Semmes Weinstein 10 gram sudah terdapat penurunan rasa nyeri. Pemeriksaan Ankle Brachial Index 0,9. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat mikroaneurisma dan perdarahan dalam retina.Hasil laboratorium memperlihatkan glukosa darah puasa 256 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan 345 mg/dl dan HbA1c 10,2 g/dl dan protein urin positif 3.

Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi tentang perencanaan makan diet 1900 kalori yang halal dan baik sesuai ajaran Islam, jenis olahraga yang sesuai, dan pemberian insulin untuk mengontrol glukosa darahnya, serta efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat.

1

Page 2: Sk 1 Endokrin Fix

Kata sulit :

1. Monofilament Semmes Weinstein = Pemeriksaan fungsi sensorik yang bersifat kuantitatif.

2. Pemeriksaan Ankle Brachial Index = Perbandingan tekanan sistol kaki dengan lengan.3. Index Masa Tubuh = Ratio perbandingan tinggi badan dan berat badan dengan nilai

Normal 18,5 – 24 kg/m2

Rumus = Berat badan(kg)Tinggi badan(m)2

4. HbA1c = Ikatan reaksi kimia hemoglobin dan glukosa.5. Funduskopi = Pemeriksaan pada retina, dengan alat yaitu oftalmoskop.6. Mikroaneurisma = Akumulasi lipid dan protein di daerah mata.7. Mikroangiopati = Akumulasi lipid dan protein pada pembuluh darah kecil.8. Makroangiopati = Akumulasi lipid dan protein pada pembuluh darah besar.9. Neuropati = Gangguan fungsi / patologis pada system syaraf.

Pertanyaan :

1. Mengapa telapak kaki kesemutan dan nyeri saat berjalan ?2. Mengapa pada pasien pengelihatannya terganggu dan adanya pendarahan pada retina ?3. Apa hubungan obesitas dengan diabetes militus tipe 2 ?4. Mengapa pada pasien ditemukan proteinuria ?

Jawaban pertanyaan :

1. Kesemutan terjadi karena aliran darah di daerah kaki yang kurang lancar, disamping itu juga bisa dikarenakan ada rangsangan terhadap syaraf disebabkan kurangnya nutrisi pada sel / jaringan tersebut yang dapat menimbulkan rasa nyeri.

2. Karena glukosa dalam darah berbentk Kristal sehingga menyobek pembuluh darah di daerah mata ( retina ).

3. Karena obesitas menyebabkan produksi insulin meningkat, dan lama kelamaan produksi insulin ikut terganggu.

4. Kerusakan jaringan mengakibatkan permeabilitas darah ginjal menurun sehingga terjadi proteinuria. Factor usia juga berpengaruh, makin tua usia maka makin resisten terhadap insulin.

2

Page 3: Sk 1 Endokrin Fix

SASARAN BELAJAR

L.I 1 Mempelajari Faal dan Biokimia Insulin

L.I 2 Mempelajari Diabetes Melitus L.O 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi diabetes melitus L.O 2.2 Memahami dan menjelaskan epidemiologi diabetes mellitus L.O 2.3 Memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor resiko diabetes mellitus L.O 2.4 Memahami dan menjelaskan klasifikasi diabetes mellitusL.O 2.5 Memahami dan menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus L.O 2.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis diabetes mellitus L.O 2.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding diabetes mellitus L.O 2.8 Memahami dan menjelaskan komplikasi diabetes mellitus L.O 2.9 Memahami dan menjelaskan prognosis diabetes mellitus L.O 2.10 Memahami dan menjelaskan pencegahan diabetes mellitus

L.I 3 Mempelajari Retinopati DiabetikumL.O 3.1 Memahami dan menjelaskan definisi retionopati diabetikumL.O 3.2 Memahami dan menjelaskan epidemiologi retinopati diabetikumL.O 3.3 Memahami dan menjelaskan etiologi dan factor resiko retinopati diabetikumL.O 3.4 Memahami dan menjelaskan klasifikasi retinopati diabetikumL.O 3.5 Memahami dan menjelaskan patofisiologi retinopati diabetikumL.O 3.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi retinopati diabetikumL.O 3.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis retinopati diabetikumL.O 3.8 Memahami dan menjelaskan tatalaksana retinopati diabetikumL.O 3.9 Memahami dan menjelaskan komplikasi retinopati diabetikumL.O 3.10 Memahami dan menjelaskan prognosis dan pencegahan retinopati diabetikum

L.I 4 Memahami dan Menjelaskan Pola Makan, Perencanaan Diet dan Perhitungan Kebutuhan Gizi pada Penderita Diabetes Mellitus

L.I 5 Memahami dan Menjelaskan Farmakologi

L.I 6 Memahami dan Menjelaskan Makanan yang Halal dan Toyyiban Menurut Islam

3

Page 4: Sk 1 Endokrin Fix

HIPOTESIS :

Pola makan berlebih, factor usia, kurangnya olahraga menyebabkan terjadinya obesitas. Didaptakan gejala nyeri, kesemutan, pandangan kabur, serta pada pemeriksaan diantaranya berat badan berlebih, pendarahan retina pada pemerikasaan funduskopi, proteinuria, dan lain-lain. Diagnosis yang sesuai adalah diabetes mellitus tipe 2. Terapi dapat diberikan terapi suportif dan farmako untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Pengaturan konsumsi makan yang dianjurkan untuk pasien harus sesuai dengan ajaran Islam.

4

Page 5: Sk 1 Endokrin Fix

L.I 1 Mempelajari Faal dan Biokimia InsulinBiokimia InsulinInsulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta

kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.

Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )

5

Page 6: Sk 1 Endokrin Fix

Glucose signaling

Glucose GLUT-2

Glucose

Glucose-6-phosphate

ATP

Depolarizationof membrane

K+ channel shut

Ca2+ Channel Opens

Insulin + C peptide

Cleavage enzymes

Proinsulin

preproinsulin Preproinsulin

Insulin SynthesisB. cell

K+ ↑↑

Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasiGlukosa ( Kramer,95 )

Dinamika sekresi insulin

Insulin Release

Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.

FISIOLOGI INSULIN

Dinamika Sekresi Insulin

Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi

6

Exocytosis

secretory

Page 7: Sk 1 Endokrin Fix

fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.

7

Page 8: Sk 1 Endokrin Fix

Insu

lin

Sec

reti

on

Intravenous glucose stimulation

First-Phase

SecondPhase

IGT

Normal

Type 2DM

Basal

Aksi Insulin Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara

8

0 5 10 15 20 25 30 ( minute )

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)

Page 9: Sk 1 Endokrin Fix

normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula.

Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan perifer ( Girard, 1995 )

Efek Metabolisme dari Insulin Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).

9

Page 10: Sk 1 Endokrin Fix

Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.

Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh

10

Page 11: Sk 1 Endokrin Fix

lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.Peranan insulin

1. Efek pada karbohidratInsulin memilik 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan penyimpanan karbohidrat :a. Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Beberapa jaringan yang

tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa yaitu otak,otot yang aktif dan hati

b. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa baik di otot maupun dihati

c. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan menghambat penguraian glikogen, insulin meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan menurunkan penguraian glukosa dalam hati

d. Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan penyerapan glukosa dari darah untuk digunakan dan disimpan oleh sel., secara simultan menghambat mekanisme yang digunakan oleh hati untuk mengeluarkan glukosa baru dalam darah. Insulin adalah satu satunya hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.

2. Efek pada lemakInsulin efeknya menurunkan kadar asam lemak darah dan membentuk simpanan trigliserida :a. Insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam sel jaringan adiposa. Glukosa

berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk trigliserida.

b. Insulin meningkatkan enzim enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam lemak dari turunan glukosa

c. Insulin meningkatkan masuknya asam asam lemak dari darah ke dalam jaringan adiposa.

d. Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), sehingga terjadi penurunan pengeluaran asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam darah.

3. Efek pada proteinInsulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein :a. Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari darah ke dalam otot

dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menghasilkan bahan pembangun untuk sintesis protein dalam sel.

11

Page 12: Sk 1 Endokrin Fix

b. Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke dalam protein dengan merangsang perangkat pembuat protein di dalam sel.

c. Insulin menghambat penguraian protein.

L.I 2 Mempelajari Diabetes Melitus L.O 2.1 Memahami dan menjelaskan definisi diabetes melitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012).

L.O 2.2 Memahami dan menjelaskan epidemiologi diabetes mellitus Dari data WHO di tahun 2002 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita Diabetes

Mellitus di tahun 2025.Pada tahun 2030 bisa mencapai 21 juta penderita.Saat ini penyakit Diabetes Mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO menyebutkan, jumlah penderita Diabetes Mellitus di Indonesia menduduki ranking empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.

Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association (Persadia) Soegondo, Diabetes Mellitus Tipe II merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus Diabetes Mellitus. Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat,seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang serat), kurang aktivitas fisik, stress.

Jumlah penderita diabetes di Indonesia hingga kini mencapai 14 juta orang.Rata-rata 50% dari jumlah pasien diabetes baru menyadari mereka menderita sakit gula setelah memeriksakan ke dokter.Selain itu, hanya 30% saja pasien diabetes yang berobat.

Sekitar 2,5 juta jiwa atau 1,3 persen dari 210 juta penduduk Indonesia setiap tahun meninggal dunia karena komplikasi sakit kencing manis (Diabetes Mellitus). Jumlah penderita kencing manis di Indonesia kini mencapai lima juta jiwa atau lima persen dari jumlah penduduk. Terbukti jumlah penderita Diabetes Mellitus saat ini terbesar berada di daerah perkotaan mencapai 2,8 persen dan di pedesaan baru 0,8 persen dari jumlah penduduk.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkatpendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu

12

Page 13: Sk 1 Endokrin Fix

13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.

Insidens DMG bervariasi antara 1,2 – 12%. Kepustakaan lain mengatakan 1 – 14%. Di Indonesia insidens DMG berkisar 1,9 -2,6%. Perbedaan insidens DMG ini terutama disebabkan oleh karena perbedaan kriteria diagnosis materi penyaringan yang diperiksa. Di Amerika Serikat insidens kira-kira 4%.

Kejadian DMG juga sangat erat hubungannya dengan ras dan budaya seseorang. Contoh yang khas adalah DMG pada orang kulit putih yang berasal dari Amerika bagian barat hanya 1,5-2% sedangkan penduduk asli Amerika yang berasal dari barat daya Amerika mempunyai angka kejadian sampai 15%. Pada ras Asia, Afrika –Amerika dan Spanyol insidens DMG sekitar 5-8% 7 sedangkan pada ras Kaukasia sekitar 1,5%.

L.O 2.3 Memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor resiko diabetes mellitus Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak

Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).1. Diabetes tipe I:

a. Faktor genetikPenderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu

predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.

b. Faktor-faktor imunologiAdanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada

jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

c. Faktor lingkunganVirus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.

2. Diabetes Tipe IIMekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin

pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.Faktor-faktor resiko :

13

Page 14: Sk 1 Endokrin Fix

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)b. Obesitasc. Riwayat keluarga

L.O 2.4 Memahami dan menjelaskan klasifikasi diabetes mellitus

Type 1 ( insulin dependent ) Type 2 ( insulin Independent )

Nama lama DM juvenil DM dewasa

Epidemiologi Anak anak / remaja ( biasanya berumur orang tua berumur >30 tahun )

Berat badan Biasanya kurus Sering obesitas

Heredity HLA – DR3 or DR4 in >90% Tidak ada hubungan HLA

Patogenesis Penyakit autoimun Islet cell autoantibodies insulitis

Tidak berhubungan dengan autoimun Insulin resinstance

Klinikal Defisiensi insulin Berhubungan dengan ketoacidosis

Defisiensi partial insulin Berhubungan dengan hiperosmolar

Pengobatan Insulin , diet , olahraga Diet , olahraga , tablet , insulin

Biochemical Kemungkinan kehilangan peptida-C Persisten Peptida - C

Klasifikasi diabetes melitus dan penggolongan glukosa menurut Riyadi (2007) antara lain : 1. Insulin Dependent Diabetes Melitus ( IDDM ) atau DM Tipe 1

Defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulin fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubh) yang kemudian merusak pulau Langerhans di pankreas. Kelainan berdampak pada penurunan fungsi insulin.

2. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus ( NIDDM ) atau DM Tipe 2

14

Page 15: Sk 1 Endokrin Fix

Diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.

3. Diabetes melitus tipe lain DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain : penyakit pankreas, hormonal, alat/ bahan kimia, endrokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindrom genetik tertentu.

4. Impaired Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa) Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi normal atau tetap tidak berubah.

5. Gestational Diabetes Melitus ( GDM ) Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan hiperglikemi. Resisten insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.

L.O 2.5 Memahami dan menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus DM TIPE 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya didugabahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis DM tipe 1 terkait DQ alel.

15

Page 16: Sk 1 Endokrin Fix

Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57, tapi beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi

presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1. Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta; b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas.

Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat keantigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens

16

Page 17: Sk 1 Endokrin Fix

disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.

Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia, maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan adjuvanjuga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.

Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.

17

Page 18: Sk 1 Endokrin Fix

Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol. Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.

DM TIPE 2a. Resistensi insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia.

Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (ClareSalzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya. Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin

b. Gangguan Sekresi Insulin

Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin

18

Page 19: Sk 1 Endokrin Fix

tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.

Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi sintesa insulin. Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab defisiensi insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum dipahami.

Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga mempengaruhi sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin setelah makan, sedangkan pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan penurunan sekresi insulin yang melibatkan lipotoksisitas yang menginduksi apoptosis sel islet dan/ atau menginduksi uncoupling protein-2 (UCP-2) yang menurunkan membran potensial, sintesa ATP dan sekresi insulin. Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan resistensi insulin pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe II tahap lanjut.

DM GESTASIONAL

Diabetes gestasional disebabkan oleh perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan kadar beberapa hormon yang dihasilkan plasenta membuat sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin (resistensi insulin). Karena plasenta terus berkembang selama kehamilan, produksi hormonnya juga semakin banyak dan memperberat resistensi insulin yang telah terjadi.

Biasanya, pankreas pada ibu hamil dapat menghasilkan insulin yang lebih banyak (sampai 3x jumlah normal) untuk mengatasi resistensi insulin yang terjadi. Namun, jika jumlah insulin yang dihasilkan tetap tidak cukup, kadar glukosa darah akan meningkat dan menyebabkan diabetes gestasional. Kebanyakan wanita yang menderita diabetes gestasional akan memiliki kadar gula

19

Page 20: Sk 1 Endokrin Fix

darah normal setelah melahirkan bayinya. Namun, mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita diabetes gestasional pada saat kehamilan berikutnya dan untuk menderita diabetes tipe 2 di kemudian hari.

L.O 2.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis diabetes mellitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini : Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu :

a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.

Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah :Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat Badan enurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan (Waspadji, 1996).

L.O 2.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding diabetes mellitus

AnamnesisPasien biasanya datang dengan mengeluh 3 gejala khas DM yakni poliuri,polidipsi dan polifagi,pasien juga mengeluh berat badan yang turun tiba-tiba.

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik meliputi:1. Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang2. Tanda neuropati 3. Mata ( visus, lensa mata dan retina ) 4. Gigi dan mulut5. Keadaan kaki ( termasuk rabaan nadi kaki ), kulit dan kuku.6. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)

dan pemeriksaan neurologis7. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain8. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop9. Ankle Brachial Pressure Index (ABPI)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :

20

Page 21: Sk 1 Endokrin Fix

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Kriteria diagnosis DM :1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Catatan :

21

Page 22: Sk 1 Endokrin Fix

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

L.O 2.8 Memahami dan menjelaskan komplikasi diabetes mellitus Ketoasidosis Diabetik (DKA). Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1. Hal ini bisa juga terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal berikut : a. Hiperglikemiab. Hiperketonemiac. Asidosis metabolikHiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik :- Dehidrasi

- Poliuria

- Hipotensi (postural atau supine)

- Bingung

- Ekstremitas Dingin/sianosis perifer

- Kelelahan

- Takikardi

- Mual-muntah

- Kusmaul breathing

- Kaki kram

- Nafas bau aseton

- Pandangan kabur

- Hipotermia

- Koma (10%)

22

Page 23: Sk 1 Endokrin Fix

Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:a. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.b. Dehidrasi beratc. UremiaPasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

Penatalaksanaan HHNKPenatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua tindakan yang terpenting adalah: Pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis setengah dari dosis insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis, biasanya 3 unit/jam.

Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya. Penyebab Hipoglikemia:a. Makan kurang dari aturan yang ditentukanb. Berat badan turun c. Sesudah olah ragad. Sesudah melahirkane. Sembuh dari sakitf. Makan obat yang mempunyai sifat serupaTanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.

23

Page 24: Sk 1 Endokrin Fix

Tanda-tanda Hipoglikemia1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung

sederhana.3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau

tangan, berdebar-debar.4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.

Mikrovaskular / Neuropati1. Retinopati, catarak → penurunan penglihatan2. Nefropati → gagal ginjal3. Neuropati perifer → hilang rasa, malas bergerak4. Neuropati autonomik → hipertensi, gastroparesis5. Kelainan pada kaki → ulserasi, atropati

L.O 2.9 Memahami dan menjelaskan prognosis diabetes mellitus Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya

buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolar adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.

L.O 2.10 Memahami dan menjelaskan pencegahan diabetes mellitus Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk menderita DM. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.

Pencegahan SekunderPencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada

pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM

24

Page 25: Sk 1 Endokrin Fix

yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan skrinning yakni dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT. Skrinning direkomendasikan untuk :

a. Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetesb. Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamilc. Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskulerd. Orang-orang yang gemuk

Pencegahan TersierPencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami

penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal . Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (Konsensus,2006).

L.I 3 Mempelajari Retinopati DiabetikumL.O 3.1 Memahami dan menjelaskan definisi retinopati diabetikumRetinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati

progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan.

L.O 3.2 Memahami dan menjelaskan epidemiologi retinopati diabetikum

Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam mengalami kebutaan. The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.

L.O 3.3 Memahami dan menjelaskan etiologi dan factor resiko retinopati diabetikum

25

Page 26: Sk 1 Endokrin Fix

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah : Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri Adanya komposisi darah abnormal Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya mikrothrombin Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler,

selanjutnyaterjadi insudasi dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti dengan eksudasidinding haemorhagic dengan udem perikapiler

Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid dimana letaknya di depan jaringan retina. Hemoraghi tidak terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam ruangvitreo retinal yang tersisa karena vitreus mengalami retraksi

Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga terjadi hipoksiarelatif di retina yang merangsang pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah yang baru.

Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes

L.O 3.4 Memahami dan menjelaskan klasifikasi retinopati diabetikumBerdasarkan ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study)

Klasifikasi Tanda Pemeriksaan MataDerajat 1Derajat 2Derajat 3

Derajat 4

Tidak terdapat retinopati DMHanya terdapat mikroaneurismaRetinopati DM non-proliferatif derajat ringan -sedang yang ditandai oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:

• Venous loops• Perdarahan• Hard exudates• Soft exudates• Intraretinal microvascular abnormalities(IRMA)• Venous beading

Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat yang ditandai oleh:

• Perdarahan derajat sedang-berat

26

Page 27: Sk 1 Endokrin Fix

Derajat 5• Mikroaneurisma• IRMA

Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh neovaskularisasi dan perdarahan vitreous

Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.

A. B. Gambar. Retinopati DM Nonproliferatif Derajat sedang dengan Edema Makula (A)

dan Retinopati DM Proliferatif dengan Edema Makula dan Perdarahan Pre-retina (B)

L.O 3.5 Memahami dan menjelaskan patofisiologi retinopati diabetikumHiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oksigen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan mem- perparah kerusakan.

Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.

Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhe- sion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis

27

Page 28: Sk 1 Endokrin Fix

dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut me- nimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endo- telnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.

L.O 3.6 Memahami dan menjelaskan manifestasi retinopati diabetikumGejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :

• Kesulitan membaca • Penglihatan kabur • Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata • Melihat lingkaran-lingkaran cahaya • Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :

• Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.

• Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.

• Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok. • Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu

iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

• Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

• Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerahpreretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.

• Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan

L.O 3.7 Memahami dan menjelaskan diagnosis retinopati diabetikumDeteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui

pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan

28

Page 29: Sk 1 Endokrin Fix

dokumentasi kelainan retina. Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan ter tersebut adalah mudah dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga mampu laksana dipelayanan kesehatan primer.

Selanjutnya, retinopati DM dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata.

Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bilaperlu.

Gb. OCT pada Mata normal Gb. OCT pada Retinopati diabetik

OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraksi.

Pemeriksaan Funduskopi Direk pada Retinopati Diabetik

Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai saraf optik, retina, makula dan pembuluh darah di kutub posterior mata. Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan diperiksa ditetesi midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan kepada pasien bahwa ia akan merasa silau dan kurang nyaman setelah ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup merupakan kontraindikasi pemberian midriatikum.

Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan yang cukup gelap. Pasien duduk berhadapan sama tinggi dengan pemeriksa dan diminta untuk memakukan (fiksasi) pandangannya pada satu titik jauh. Pemeriksa kemudian mengatur oftalmoskop

29

Page 30: Sk 1 Endokrin Fix

pada 0 dioptri dan ukuran apertur yang sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan

pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di tangan kanan.

Mula-mula pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm untuk menilai refleks retina yang berwarna merah jingga dan koroid. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3cm dengan mengikuti pembuluh darah ke arah medial untuk menilai tampilan tepi dan warna diskus optik, dan melihat cup-disc ratio. Diskus optik yang normal berbatas tegas, disc berwarna merah muda dengan cup berwarna kuning, sedangkan cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta melihat ke delapan arah mata angin untuk menilai retina. Mikroaneurisma, eksudat, perdarahan, dan neovaskularisasi merupakan tanda utama retinopati DM.

Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema makula dan eksudat adalah tanda khas makulopati diabetikum.

L.O 3.8 Memahami dan menjelaskan tatalaksana retinopati diabetikum Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati

DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah per- burukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagula- tion harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.

L.O 3.9 Memahami dan menjelaskan komplikasi retinopati diabetikumKomplikasi yang dapat terjadi pada Retinopati DM adalah katarak.

L.O 3.10 Memahami dan menjelaskan prognosis dan pencegahan retinopati diabetikumPada tahun 2010, The American Diabetes Association7 menetapkan beberapa

rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM di- tegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan

30

Page 31: Sk 1 Endokrin Fix

dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut

L.I 4 Memahami dan Menjelaskan Pola Makan, Perencanaan Diet dan Perhitungan Kebutuhan Gizi pada Penderita Diabetes Mellitus

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah, Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi darah.

Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan:

a) Kadar glukosa darah mendekati normalb) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.c) Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.d) Kadar A1c <7%.e) Tekanan darah <130/80 mmHg.f) Profil Lipidg) Kolesterol LDL<100 mg/dlh) Kolesterol HDL >40 mg/dl.i) Trigliserida < 150 mg/dl.

31

Page 32: Sk 1 Endokrin Fix

j) Beran badan senormal mungkin.

Jenis Bahan Makanan

KARBOHIDRAT

Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.

Rekomendasi karbohidrat :

o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total kebutuhan kalori perhari.o Julah serat 25-50 gram per hari.o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kebutuhan kalori perhari.o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfame, dan sukralosa.o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram.

Rekomendasi pemberian protein:

o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari.

32

Page 33: Sk 1 Endokrin Fix

o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari dan tidak kurang dari 40gram.o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dibanding protein hewani.

LEMAK

Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat menurunkan kadar kolestrol LDL.

Rekomendasi Pemberian Lemak:

o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.o Jika kadar kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, maka maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.o Batasi asam lemak bentuk trans.o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang.o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.

Penghitungan Jumlah Kalori

Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.

33

Page 34: Sk 1 Endokrin Fix

Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT

IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi badan (dalam meter) kuadrat.

o Berat badan kurang <18,5 o Berat badan normal 18,5-22,9o Berat badan lebih ≥ 23,0o Dengan resiko 23-24.9o Obes I 25-29,9o Obes II ≥ 30

Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca

Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:

berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%.

Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%

o Berat badan kurang BB <90% BBIo Berat badan normal BB 90-110% BBIo Berat badan lebih BB 110-120% BBIo Gemuk BB>120% BBI

Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.

Penentuan kebutuhan kalori perhari:

1. Kebutuhan basal:

o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kaloro Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian:

o Umur diatas 40 tahun : -5%o Aktivitas ringan : +10%o Aktifitas sedang : +20%o Aktifitas berat : +30%o Berat badan gemuk : -20%o Berat badan lebih : -10%

34

Page 35: Sk 1 Endokrin Fix

o Berat badan kurus : +10%

3. Stress metabolik : +10-30%

4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori

5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita.

Latihan jasmani- Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.- Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

L.I 5 Memahami dan Menjelaskan Farmakologi

Famakoterapi DM umumTerapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1. Terapi Insulin

a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dulakukan dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini pada hepar menjadi kurang.

b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek metabolism.

c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan pasien.

- Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB

- Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam.

35

Page 36: Sk 1 Endokrin Fix

- DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem,

kembung,dll.e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid,

estrogen, glucagon,dll)Macam-macam sediaan insulin: Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

Insulin kerja panjang (long-acting) Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

Insulin kerja sedang (medium-acting) Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).

Obat hipoglikemik oral (OHO)

A. pemicu sekresi insulin 1. Sulfonilurea

Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.

• Farmakokinetik dan farmakodinamik

Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Sulfonilurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan.

• Mekanisme kerja

Merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas. Efek hipoglikemia adalah merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pamkreas. Pemberian : 15-30 menit sebelum makan.

Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun. Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang terlalu cepat.

36

Page 37: Sk 1 Endokrin Fix

Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.

Interaksi :meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid, kloramfenikol)

ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia, agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.

2. GlinidGolongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Reglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).Farmakokinetik dan farmakodinamik :Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedannya pada masa kerjanya yang lebih pendek. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa. Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Metabolisme utama di hepar, 10% di ginjal.

ES : Hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.

B. pemicu sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidinedion

• Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan• Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor ɣ (PPAR ɣ) suatu

resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

• ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif, hipoglikemi.

• KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.

• Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.

C. Penghambat Glukoneogenesis

• Biguanid • Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan

37

Page 38: Sk 1 Endokrin Fix

• Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin, metformin.

• Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.

• Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.

• Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.• Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi

dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.• ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin

eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.• KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung

kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)• Farmakokinetik dan farmakodinamik

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.

• Mekanisme kerja

Obat ini memperlambat dan pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alpha glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus.

• Efek samping

Gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulence, dan diare.

• Pemberian : bersama makan suapan pertama• Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.

E. DPP-IV Inhibitor • Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan

vildagliptin. • Terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c dan menurunkan efek

pada glukosa puasa dan post prandial.

38

Page 39: Sk 1 Endokrin Fix

• Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala.

L.I 6 Memahami dan Menjelaskan Makanan yang Halal dan Toyyiban Menurut Islam

A. Kriteria Makanan HalalSayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila al-Qur’an maupun hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang dijelaskan teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama berijtihad sesuai kaedah: ”al-Ashlu fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi” (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya). Secara umum al-Qur’an maupun hadis memberikan kriteria bahwa makanan halal itu adalah thayyib (halalan thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut Sayyid Sabiq, terangkum dalam tiga hal: pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua, bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh dengan cara yang benar dan dipergunakan untuk hal yang benar.Para ulama menjelaskan kriteria makanan yang halal sebagai berikut:1. Pertama, makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan,

selama tidak membahayakan tubuh.2. Kedua, minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya),

kopi, cokelat.3. Ketiga, makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat

baik liar mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga binatang air, dalam pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag membahayakan.

Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW ketika ditanya tentang bersuci dengan air laut, beliau menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkai binatangnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i).

B. Kriteria Makanan HaramMakanan dan minuman yang pelarangannya dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Hadis adalah haram. Al-Qur’an maupun hadis menjelaskan kriteria makanan haram itu adalah khabitsah dan rijs, seperti khamr yang dinyatakan rijs min ‘amal asy-syaithan (QS. al-Maidah: 90). Rijs kata ulama berarti najis secara fisik dan ma’nawi. Dalam Shahih

39

Page 40: Sk 1 Endokrin Fix

Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Harga anjing itu khabits, mahar pelacur itu khabits dan upah bekam itu khabits.” Selain itu setiap binatang yag diperintahkan untuk dibunuh adalah haram. Seperti binatang fawasiq (pengganggu); burung gagak, rajawali, kalajengking, anjing gila dan tikus. Hal ini dijelaskan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Aisyah RA. Begitu juga hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh seperti semut, lebah, burung hud-hud dan burung surad dan katak. Namun pendapat ini ditolak Imam Syaukani, bahwa tidak mesti hewan yang diperintahkan untuk dibunuh atau dilarang berarti haram dagingnya. Karena keharaman mengonsumsinya harus ada dalil yang jelas.Makanan yang diharamkan dalam Islam terbagi menjadi haram lidaztihi dan haram lighairihi; yaitu makanan yang pada asalnya halal namun ada faktor lain yang haram menjadikannya haram. Makanan yang diharamkan lidzatihi oleh al-Qur’an dan hadis secara jelas, antara lain darah (dam masfuh), daging babi, khamr (minuman keras), binatang buas yang bertaring, burung bercakar yang memangsa dengan cakarnya seperti elang, binatang yang dilarang dibunuh, binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, keledai rumah (humur ahliyah), binatang yang lahir dari perkawinan silang yang salah satunya diharamkan, anjing, binatang yang menjijikan dan kotor, semua makanan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.Sedangkan makanan yang haram lighairihi, di antaranya adalah binatang yang disembelih untuk sesajian, binatang yang disembeli tanpa menyebut nama Allah (basmalah), bangkai dengan berbagai kriterianya, makanan halal yang diperoleh dengan cara haram dan diperuntukkan untuk hal yang dilarang, jallalah atau binatang yang sebagian besar makanannya kotoran atau bangkai, dan makanan halal yang tercampur dengan najis dalam bentuk cair, namun bila berbentuk padat, maka cukup membuang yang terkena najis saja.

C. Kriteria Makanan SyubhatSyubhat yang dimaksud dalam hadis adalah perkara yang tidak dijelaskan halal dan haramnya oleh syariat. Dalam hal ini sebagian ulama mengatakan selama suatu perkara itu tidak ada penjelasan halal dan haramnya maka dikembalikan ke hukum asal, yaitu mubah (boleh) kecuali bila ada dalil yang mengharamkan. Hal ini didasari banyak ayat al-Qur’an dan hadis, di antaranya:Firman Allah SWT:”Dialah (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. al-Baqarah: 29).Riwayat Abu Darda bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram. Dan apa yang tidak dijelaskan adalah dimaklumi (afwun). Maka terimalah apa yang diperbolehkan Allah karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sekecil apapun.” (HR. Al-Bazzar dengan sanand Sahih).

40

Page 41: Sk 1 Endokrin Fix

Riwayat Abu Tsa’labah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Sesunguhnya Allah mewajibkan kepada kalian kewajiban-kewajiban (faraidh) maka janganlah kalian abaikan, dan telah memberi batasan kepada kalian, maka janganlah kalian langgar, dan mendiamkan masih banyak perkara sebagai rahmat bagi kalian bukan karena kealpaan. Maka janganlah kalian membahasnya berlebihan.” (HR. Daruquthni dalam Sunan)Menurut Imam Nawawi, ada beberapa pendapat ulama tentang sesuatu tidak ada penjelasan halal haramnya: pertama, tidak dapat dikatakan halal, haram atau mubah. Karena mengatakan sesuatu halal atau haram harus kembali kepada dalil syar’i. Kedua, hukumnya mubah, kembali ke hukum asal, bahwa segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketiga, hukumnya haram. Keempat, tawaqquf.Kebanyakan ulama merujuk kepada pendapat kedua, bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan halal haramnya, hukumnya kembali pada hukum asal, yaitu mubah. Dan perlu ditegaskan, bahwa yang halal lebih banyak dibanding yang haram. Karena itu makanlah makanan yang halal, karena hidup akan menjadi berkah, selamat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA

41

Page 42: Sk 1 Endokrin Fix

1. Sherwood. L.2004. Fisiologi Manusia: Dari sel ke Sistem

2. Murray, Robert K.,dkk. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC.

3. Guyton dan Hall.2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta: EGC.

4. PERKENI.2002. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Type 2 Di Indonesia.

5. Sudoyo, aru. dkk. 2009. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: interna publishing

6. Gan S, Setiabudi R, Suyatna FD, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi, ed 4, Jakarta.

Bagian farmakologi FK UI.

7. http://indodiabetes.com/piramida-makanan-diabetes.html

8. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/2075036-diet-tepat-bagi-penderita-

diabetes/#ixzz27Kvc4pO3

9. http://www.kellogg.umich.edu/patientcare/conditions/diabetic.retinopathy.html. 10. http://www.w-e-h.org/id/diabetic-retinopathy.html diakses pada 7 September 201511. Thomas RC, et al. 2010. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes.

McGill University Medical School, Montreal, Canada; 47(2): 51–7112. Clare – Salzler, M.J., Crawford, J.M., & Kumar, V., 2007. Pankreas. Dalam: Kumar, V.,

Cotran R.S., Robbins, S.L. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 718 – 724.13. Wong TY , Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski J. Global prevalence

of diabetic retinopathy: Pooled data from population studies from the United States, Australia, Europe and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual Meeting; 2011.

42