sitor situmorang. ilmu alam di bawah kata - gelora45.com filemitos dalam puisi indonesia modern....
TRANSCRIPT
1
Sitor Situmorang. Ilmu Alam di Bawah Kata
22 December 2014
Afrizal Malna, Harian Indoprogress
SITOR SITUMORANG mengeluarkan lukisan-lukisannya, sebagian menggunakan cat air
di atas kertas. Rata-rata lukisan pantai dan sebuah lukisan istrinya (Barbara Brouwer)
yang sedang tidur. Sebuah lukisan tentang Sitor karya Affandi. Saya lupa, siapa yang
pertama kali mengajak saya berkunjung ke rumah keluarga Sitor di Jalan Besuki,
Menteng, Jakarta Pusat, mungkin Radhar Panca Dahana atau Sitok Srengenge. Inilah
pertama kali saya mengenal Sitor, menjelang usianya ke 80. Dalam ruangan di antaranya
saya bertemu Rieke Diah Pitaloka, Sitok, Radhar, Djenar Maesa Ayu, mungkin juga
Danarto dan Richard Oh. Saya segera terpikat dengan Sitor yang bisa bergaul dengan
siapa pun. Tidak ada kesan hirarkis. Waktu itu saya masih membawa kamera video
kemana-mana. Dan hampir selalu merekam Sitor setiap bertemu. Saya masih aktif dalam
Jaringan Rakyat Miskin Kota (UPC, Urban Poor Consortium).
Dengan kamera yang selalu saya tenteng, seperti menenteng kantong plastik, saya ikut
merekam ketika Sitor bersama Barbara berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer di
Bojong Gede. Malam Minggu dalam kunjungan itu, dihabiskan dengan menantu Pram yang
memainkan orgen tunggal di teras rumah. Gerbang dibuka, penduduk di sekitar masuk
2
dan ikut berjoget dalam musik dangdut yang dimainkan menantu Pram. Sitor tampak
gelisah, mutar-mutar dalam ruangan tamu dengan kemeja batik dan tongkatnya. Pram
duduk di kursi goyangnya di teras, menikmati malam Minggu bersama orgen dangdut dan
warga yang berjoget. Kamera saya juga merekam ketika Sitor ikut dalam salah satu
kegiatan advokasi Jaringan Rakyat Miskin Kota tentang banjir. Dia pidato di atas mobil
kap terbuka dengan latar sebuah kasur busuk yang berdiri dengan tulisan ‘Kota dalam
Baskom’.
Entah kenapa saya kian tertarik dengan tokoh ini, seperti bertemu dengan salah seorang
mitos dalam puisi Indonesia modern. Urat-urat pada tangannya sudah seperti akar yang
kokoh, di antara gerak-gerak gemetar yang sudah menyertainya. Tulang matanya dalam.
Saya ikut menyiapkan ulang tahunnya ke 80, di Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Jakarta, 2
Oktober 2004. Barang-barang rongsokan yang ada di lantai bawah PDS HB. Jassin, saya
angkut masuk ke ruangan PDS. Kulkas bekas, lemari bekas, kipas angin bekas, dan
berbagai peralatan kantor yang memang sudah tidak dipakai lagi. Di atas materi-materi
bekas ini saya letakkan berbagai bentuk dokumentasi di sekitar Sitor dari foto, kliping,
lukisan Sitor hingga karya-karyanya. Tanpa sadar, saya telah meletakkan karya-karyanya
di atas barang-barang bekas yang dekat dengan kehidupan rakyat kecil, yang sebagian
juga ada dalam puisi-puisinya.
59 Tahun lalu, 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia, setelah Tentara Sekutu menjatuhkan Jepang dalam Perang Dunia ke 2.
Sebuah kemerdekaan mendadak, persis seperti teks Proklamasi dalam frase
“memindahkan kekuasaan dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Waktu itu Sitor berusia
21 tahun. Alat komunikasi masih sulit. Tidak banyak rakyat memiliki radio, karena
memiliki radio bisa dianggap “mata-mata” oleh Jepang. Masalah komunikasi yang
bercampur-aduk dengan masalah ekonomi. Ada tiga mata uang beredar dalam periode
1945-1949: mata uang Jepang, Hindia Belanda, dan De Javasche Bank. Jatuhnya Jepang
ikut membuat jatuhnya mata uang Jepang di Indonesia: sumber utama terjadinya
hiper-inflasi di awal kemerdekaan, karena masa ini mata uang Jepang paling banyak
beredar. Kondisi ini bertambah parah dengan dikeluarkannya mata uang NICA
(Nederlandsche Indische Civil Administrative).1
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Rupiah
3
Nama Indonesia diambil dari seorang etnolog Universitas Berlin, Adolf Bastian. Dia
melakukan penelitian di kepulauan Nusantara (1864-1880) dan menamakan kawasan ini
sebagai Indonesia. Republik ini tidak bisa berdiri tanpa dukungan daerah yang tersebar
di kawasan Nusantara. Para jawara Banten, Tangerang, Krawang dan Jakarta sudah
menyatakan komitmennya untuk “menjaga” keamanan Jakarta. Tan Malaka mendesak
Sukarno turun ke bawah, mencari dukungan daerah. Dukungan yang signifikan itu
kemudian datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Yogyakarta. Hamengku Buwono
juga yang menjamin keselamatan Republik ketika pemerintahan Jakarta harus pindah ke
Yogyakarta, 4 Januari 1946; membayar gaji-gaji pegawai Republik, karena pemerintah
tidak punya uang.2
Muhammad Natsir Menteri Penerangan waktu itu, meminta Sitor sebagai
koresponden Waspada (harian di Medan, Sumatera Utara), untuk bertugas di
Yogyakarta, 1947. Ini merupakan awal reputasi Sitor dalam dunia tulis-menulis. Sitor
mulai terkenal sebagai wartawan karena berhasil mewawancarai Sultan Hamid dari
Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat (negara federal bentukan Belanda). Sultan
peranakan Indonesia-Arab ini juga dikenal sebagai ajudan Ratu Belanda. Dalam
wawancara, di luar dugaan, Sultan menyatakan bahwa Republik Indonesia itu ada, tidak
bisa dianggap tidak ada. Pernyatan ini dijadikan headline, semua kantor berita asing
mengutipnya, membuat posisi keberadaan republik dalam politik internasional kian kuat.
Sultan Hamid kemudian menjadi salah seorang menteri, ikut dalam tim perancangan
lambang Garuda Indonesia. Tetapi alih-alih Sultan Hamid bergabung dengan APPRA
(Angkatan Perang Ratu Adil), bersama mantan Kapten DST (Pasukan Khusus) KNIL,
Raymond Westerling, untuk mengkudeta Republik.3
Sitor Situmorang berusia 23 tahun ketika bekerja sebagai wartawan di Yogyakarta.
Salah satu puisinya, Ke Yogya, terdengar sangat keras: Yang hilang rumah akan punya
kemerdekaan. Yang hilang semua akan punya kehormatan. Ini hari lupa telah janda.
Rasakan, rasakan ini darah deras mengalir. Karena kita akan punya tanah air.
Makna rumahdipindahkan ke ruang yang lebih luas dalam makna tanah air.
Memperlihatkan sebuah titik-tolak yang membedakannya dengan Chairil Anwar yang
menggunakan metafor kandang dan binatang. Titik-tolak ini seperti garis yang terus
terjaga dalam berbagai variannya dalam puisi-puisi Sitor selanjutnya, hingga garis itu
2 Ki Rudi Keris Jowo: http://bmataram.blogspot.de/2014/07/mengapa-yogyakarta-disebut-daerah.html
3 George McTurnan Kahin: Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, N.Y, 1952.
4
kemudian dilenyapkan oleh perubahan politik dan kondisi kehidupan modern yang tidak
pernah sampai pada tatanannya yang ajek di Indonesia.
Media tulis yang masih baru waktu itu, alih-alih seperti mendapatkan sebuah ruang publik
(pembaca) yang luas dan kompleks di awal kemerdekaan. Ruang publik yang tidak
terbayangkan bagaimana tiba-tiba puisi bisa hadir di antara berita. Puisi didorong masuk
ke ruang ini sebagai semacam suprastuktur untuk sebuah pembayangan tentang
masyarakat modern. Bahwa kebudayaan modern harus ada produknya, yaitu puisi, sastra,
seni lukis, drama dan seterusnya, selain teknologi dan ilmu pengetahuan. Tetapi apakah
ruang publik itu dalam konteks kita? Dimanakah dia berada dan apa yang menopangnya?
Apakah puisi bisa membentuk masyarakat modern sebagai pembaca dan penulis? Atau,
apakah media sosial di internet sekarang ini bisa dikatakan sebagai ruang publik dalam
konteks kita, atau hanya tempat pelarian dari lembaga demokrasi yang traumatik dan
hirarkis? Hingga sekarang, kita masih mengalami kesulitan untuk terbentuknya
‘masyarakat pembaca’ yang ternyata tidak bisa dipisahkan dari kembarannya sebagai
‘masyarakat yang menulis’.
Ruang publik ini segera memperlihatkan kegoyahannya ketika mulai dihadapkan dengan
cara pandang “sastra untuk rakyat” dari realisme sosialis. Tergesa-gesa berhadapan
dengan kategori baru, bahwa pada setiap pengelolaan makna merupakan representasi
dari kelas sosial yang diwakili. Kategori yang sebelumnya dilihat dalam ketetangan antara
bangsawan, penguasa adat, penguasa agama dan rakyat kecil, kini menjadi kelas sosial
dari sebuah proses dialetika sejarah. Lalu tergesa-gesa mencari bungkusan baru “sastra
Indonesia sebagai ahli waris sah dari kebudayaan dunia” melalui Surat Kepercayaan
Gelanggang (majalah Siasat, 22 Oktober 1950), untuk bisa menopang ruang publik dari
sastra modern yang baru tumbuh. Penamaan media massa cetak ini menarik pada masanya
(Waspada untuk koran dan Siasat untuk majalah). Masa dimana semua yang datang dari
luar diterima sebagai yang baru dengan seluruh daya sihirnya, melahirkan para pemeluk
yang tersihir dari konteks dan refrennya. Seperti perang yang terjadi tanpa musuh yang
jelas, atau musuh yang diciptakan sendiri, dalam arti Indonesia sebagai hasil pergaulan
kolonialisme yang berlum selesai. Waspada dan siasat seolah-olah memberikan cara
pandang dalam melihat konteks (Revolusi Kemerdekaan) dan refrennya (modernisasi).
Sihir juga digunakan untuk melarang Marksisme dalam konstitusi kita, membungkan
generasi demi generasi dari paham yang memberikan wacana kategoris dan analisis dalam
melihat realitas sosial.
5
Hubungan penyair dengan media massa koran atau majalah, sebagai wartawan maupun
redaksi, terus berlangsung hingga kini, seperti Oka Rusmini di Bali Post. Tetapi dalam
kondisi ruang publik yang sudah berubah: koran sebagai industri informasi dari
kekuasaan makna. Dunia tulis-menulis yang merupakan media yang masih baru di awal
kemerdekaan, memang banyak mendapatkan bentuknya melalui puisi dan berita,
dibandingkan dengan romansebagai tradisi menulis yang lebih berakar di Eropa. Pantun
sebagai salah satu akar puisi yang banyak hidup dalam sastra lisan Nusantara
(Sunda: Paparikan, Jawa: Parikan, Minangkabau: Patuntun, Batak: Uppasa), merupakan
bentuk puisi yang banyak digunakan Sitor, membentuk tubuh-puisi yang
dikembangkannya.
Bahasa Indonesia dan pantun dalam tubuh-puisi Sitor tumbuh seperti pohon dalam alam
nasionalisme dan akarnya masih menancap pada tradisi. Saya menduga Sitor memahami
pantun tidak semata-mata sebagai bentuk, tetapi juga cara membaca antara
sampiran dan isi sebagai hypogram; mengundang (pembaca) dan menjamu (makna) dalam
komunitas sastra lisan. Sampiran sebagai penebaran benih dan isi sebagai pohonnya. Hal
yang membedakannya dengan gerakan modernisme penyair segenerasinya, seperti Chairil
Anwar yang mulai melihat pantun sebagaivintage. Sitor bertahan pada akar pantun.
Bagaimanakah bahasa Indonesia tumbuh tanpa pantun? Pertanyaan yang persis sama
dengan pernyataan Amir Hamzah, bahasa Melayu tidak akan tumbang selama ada pantun
(HB. Jassin,Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru, Jakarta, 1962). Mata-data
dan mata-kata sebagai wartawan dan penyair, terjalin seperti laporan-berita dan
laporan-kata — sampiran dan isi dalam pembentukan tubuh-puisi Sitor. Pantun tentu
kehilangan tekstur dan gestur komunitas lisannya, ketika mulai dipindahkan ke dalam
bahasa tulisan yang mengandaikan komunitas modern (membaca) dan kemudian industri
intelektual. Bunyinya tidak mendapatkan tubuh-penuturnya, berganti dengan visualitas
huruf-huruf dalam bahasa tulisan dan tidak lagi mengandaikan komunitas lamanya.
Puisi Indonesia hingga kini masih menghadapi banyak pecahan yang tak tertangani dalam
proses pembelahan ini (antara tubuh, kata dan makna). Situasi yang lebih runyam ketika
industri intelektual kian tersamar dengan kepentingan pasar dan panggung narasi-narasi
besar. Dalam hal ini, pilihan pantun yang banyak mewarnai tubuh-puisi Sitor, membuatnya
tidak terlalu populer dibandingkan Chairil yang dianggap lebih modern. Hingga muncul
kembali bentuk penulisan mantra yang mendapatkan kekiniannya dalam puisi-puisi
Sutardji Calzoum Bachri maupun Ibrahim Sattah. Memunculkan pembayangan
avand-garde mantra sesudah puisi avand-garde yang dibawa Guillaume Apollinaire
6
(1880–1918) atau Ezra Pound (1885–1972). Dan heran, mengapa bentuk puisi haiku yang
ditopang Zen Budhisme bisa lebih populer, banyak mempengaruhi penyair Barat seperti
Ezra Pound, dibandingkan mantra. Tentu saja, karena haiku lebih mewakili pembebasan
makna dari sejarah yang telah jenuh oleh makna, dibandingkan mantra yang membawa
makna ke altar kekuasaan super-natural.
Foto diambil dari
http://cdn-media.viva.id
Pantun di luar tubuh-penutur
605 Puisi Sitor Situmorang yang
dikumpulkan J.J. Rizal, terbit
tahun 2006 dalam 2 jilit, dugaan
saya merupakan kumpulan terbesar
yang pernah dihasilkan penyair
Indonesia setelah Subagio Sastrowardoyo. Membaca 2 buku puisinya ini seperti
memasuki galeri puisi yang berjalan dari waktu ke waktu, dari pertemuan ke pertemuan
lainnya. Galeri itu seperti hujan besar. Kita harus menunggu hujan itu reda, menjauh dari
provokasi puisi modern, hingga tinggal sedikit gerimis untuk bisa bertemu dengan
puisi-puisi Sitor. Begitulah gerimis menuntun saya memasuki galeri itu, berisi
langkah-langkah puitik yang ditempuh Sitor.
Mulanya galeri itu terbaca sebagai kehidupan kelas bawah di jakarta, kampung-kampung
yang belum teraliri listrik (lampu menyala hitam: sajak ‘Metropol’), senda gurau, tangisan
ibu yang mengantar anaknya pergi merantau. Tetapi kemudian terjadi berbagai
pergerakkan dan perubahan cara pandang. Galeri puisi yang merekam hampir setiap
denyut proses kepergian, perjalanan dan pertemuan ke proses perjalanan kembali
sebagai ‘pulang yang hilang’, ‘pulang yang asing’, ‘pulang yang gila’, tepatnya: ‘pulang yang
tidak kembali’. Rumah untuk mendapatkan tanah airdalam puisinya Ke Yogya, pada
akhirnya juga tidak menjadi tanah air sebagai rumahnya untuk pulang.
Galeri puisi itu seperti sebuah sungai yang oleh berbagai pertemuan arus, akhirnya
membelah diri jadi beberapa sungai. Setiap terjadinya pembelahan sungai menjadi sungai
baru, dari pembelahan itu juga terjadi “pembacaan baru” atas sungai sebelumnya. Dan
akhirnya tampak bahwa sungai itu merupakan pergulatan panjang aku-lirik yang mencari
indentitas kepenyairan, identitas politik dan identitas makrifat sebagai “strategi
membaca” yang dilakukan Sitor. Inilah kanon-kanon puisi Sitor yang tidak pernah terjadi
7
pada penyair lainnya di Indonesia. J.J. Rizal, yang telah mengumpulkan 605 puisi itu,
membuat priodesasi atas puisi-puisi Sitor berdasarkan perubahan kehidupan Sitor
sendiri. Periode ini terbagi dalam 7 kategori:
1. Periode 1948-1950: awal Sitor menulis puisi dan bergaul dengan berbagai seniman
di Jakarta yang oleh HB. Jassin dan A. Teeuw dilabelkan sebagai “Angkatan 45”.
2. Periode 1951-1955: Sitor mulai melakukan perjalanan ke Eropa.
3. Periode 1956-1967: Kian mendekatnya Sitor memasuki garis politik sosialisme
Sukarno. Tiongkok, Rusia dan Eropa Timur banyak digunakan sebagai medan
penciptaan puisi-puisinya. Dan impian Sitor akan kemerdekaan Asia-Afrika dari
imprealisme Barat.
4. Periode 1967-1975: sebagai periode yang hilang karena Sitor masuk ke dalam
penjara pemerintahan Suharto.
5. Periode 1975-1979: Sitor banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota dan
pulau di Indonesia.
6. Periode 1980-1999: Sitor kembali meninggalkan Indonesia.
7. Periode 2000-2005: Sitor kian memasuki masa tua (81 tahun) dan hidup dalam
perjalanan bolak-balik antara Belanda-Indonesia.
Ke tujuh periode ini merangkum hampir 60 tahun perjalanan kepenyairan Sitor, juga
untuk sementara merupakan jalan paling aman dalam membaca karya-karya Sitor.
Periodesasi yang cukup untuk membongkar kesan seakan-akan puitika Sitor berhenti
sebagai Angkatan 45. Tetapi pada sisi lain juga bisa menjebak pembaca, seperti saya,
untuk mengikuti puisi-puisi Sitor melalui alur kehidupan penyairnya. Alur yang membuat
bayangan lain di luar puisi. Terjebak menggunakan puisi sebagai konfirmasi atas biografi
penyair. Menghilangkan kemungkinan puisi mendapatkan momen kekiniannya maupun
berlangsungnya pembacaan inter-teks yang mungkin dilakukan.
Sejak awal hingga akhir tulisan ini, saya tidak bisa mengatasi masalah di atas. Terutama
karena memang Sitor mengalami dinding-dinding perubahan yang sangat beragam: dari
kehidupan masa kanak-kanaknya di Toba, memasuki pergulatan awal nasionalisme dan
modernisme di Batavia masa Hindia Belanda, revolusi kemerdekaan, pergulatan ideologi,
perjalanan di luar Indonesia, beralihnya Orde Lama ke Orde Baru, masuk penjara dan
kemudian hidup di Belanda. Alur biografi yang menggabung mata-wartawannya dengan
mata-kepenyairannya dalam bayangan biografi penyair dan biografi puisinya. Dia
bergerak dalam personifikasi antara Sibolga sebagai ‘kampung lama’ dan Paris sebagai
8
‘kampung baru’, lalu menetap di Apeldoorn, Belanda. Perubahan perjalanan makna yang
gradasinya tidak terbayangkan antara ‘Pasar Senen’ yang belum memasuki jaman listrik
dengan garis Golden Gate dalam puisinya ‘San Fransisco’ yang dibanjiri cahaya listrik.
Periodesasi yang dilakukan JJ. Rizal itu, kemudian cenderung saya gunakan lebih sebagai
sebuah transit pembacaan. Karena bagaimana pun saya tidak bisa memperlakukan puisi
sama sebagai seorang penyair.
Pasar Senen, yang dianggap sebagai puisi Sitor yang pertama kali dipublikasi pada tahun
1948, memperlihatkan lantai yang mendasari perjalanan kepenyairan Sitor. Puisi ini
melibatkan kerberpihakkan kepada kelas bawah (tukang beca, tukang delman, penjual
kopi, singkong goreng), budaya lokal (kebaya merah), senda gurau budaya lisan, dan
perempuan (Aminah) sebagai indeks penting yang sering muncul kembali dalam puisi-puisi
Sitor. Indeks yang tidak membuat belahan tajam antara tradisi dan modern, kota dan
kampung, cinta dan ideologi.
Puisi tersebut memainkan bola-bola imaji dalam pola yang tampak sederhana, tetapi
datang seperti hembasan ombak yang mencampur arus, buih, udara bergaram dan
seretan pasir di pantai. Pola ini terbagi dalam 3 layar: pertama, layar pengantar yang
menuntun pembaca masuk ke tubuh puisi (sampiran dalam pantun). Dibuka dengan
kebimbangan dalam memandang perubahan: Suaranya lain sekarang, atau pendengaranku
telah berubah? Kedua, semacam lampiran deskriptif tentang konteks puisi. Pada puisi
lain, lampiran ini kadang dibuat sangat jelas dengan mengurungnya dalam tanda kurung
buka dan tutup. Dan ketiga, layar untuk menyampaikan pesan (isi dalam pantun). Ke 3
layar itu bergerak seperti bola-bola imaji yang datangnya tidak terduga lalu saling
membaur antara layar 1 dan 2 untuk menghasilkan realitas teks yang berbeda. Layar yang
dimainkan melalui dua sudut pembacaan: suaranya yang lain, atau pendengaranku telah
berubah?
Pola dengan 3 layar itu tampak jelas dalam puisi Di Gunung Sepi yang saya kutip utuh di
bawah ini:
Malam tiada bulan.
Di gang sepi.
Anak cari hiburan.
Menepi-nepi.
9
Suatu pagi.
Tiada matahari.
Tinggalkan ibu.
Rantau dituju.
Ibu segan nangis.
Tangan sayu menepis …
Malam rindu bulan.
Di gang samar sepi.
Anak cari hiburan.
Ibunda jauhlah kini …
Pada bait pertama ada malam, bulan, gang sepi, anak dan hiburan. Tidak ada satu pun
dari diksi ini muncul kembali pada bait ke 2 sebagai layar lampiran. Tetapi pada bait ke 3,
dengan cara terjadinya pergeseran diksi dari sintaksis yang sama, bait 1 dan bait 2
bertemu kembali dalam realitas teks yang berbeda. Pada bait ke 2, semua peristiwa
bahasa dari bait 1 seakan-akan sirna atau berlalu begitu saja. Tetapi pada bait 3, bait 1
muncul kembali dengan wajah lain, wajah yang telah tercampur oleh bait 2 dan
menggeser pemaknaan. Pola ini selanjutnya berkembang melampaui teknik, lalu tumbuh
sebagai strategi puisi dalam melakukan “pembacaan baru” atas yang lama. Bait akhir
berfungsi untuk membaca kembali bait sebelumnya dalam ruang yang lain, sama seperti
membaca identitas melalui ruang yang berbeda. Pola yang juga bisa digunakan dalam
membaca pencapaian puitik puisi-puisi Sitor.
Bentuk pantun yang digunakan Sitor tidak jatuh sekedar permainan kata atau sulap
kata-kata. Menerapkan pantun seperti ilmu alam dalam siklus antara laut dan turunnya
hujan, siklus antara daun kering dan penyuburan tanah. Siklus yang sama dalam
pembayangan pertemuan antara tubuh dan bahasa untuk puisi. Dia bergulat mencari
batas antara kata dan makna sebagai misteri dari pantun. Ketika pantun dilepaskan dari
tubuh penuturnya sebagai peristiwa lisan, dan dipindahkan ke tubuh tulisan sebagai
peristiwa bahasa, apa yang tertinggal pada pantun? Dia membutuhkan tubuh barunya.
Tubuh yang dalam puisi-puisinya sering bertemu dengan personifikasi akan batu, bunga
dan kabut. Memadatkan ruang imaji pada pantun menjadi bentuk puisi dalam gema haiku
gaya Sitor. Imaji yang kadang-kadang saya bayangkan seperti pantun yang ditulis dalam
batu (puisi Dari Pantun Lama):
10
Kembanglah bunga dalam batu
Betapa tuan memetiknya
Makna dihadirkan melalui bayangan memetik antara tuan dan bunga. Lalu situasi di luar
makna antara batu danbunga, berfungsi menghadirkan makna di luar puisi dengan
tuan dalam personifikasi batu. Sitor menempatkan katalama dalam judul puisinya itu.
Memperlihatkan upaya yang tidak mudah untuk mempertahankan pantun sebagai
vintage puisi dalam agresi modernisme. Bunga, batu, betapa, dan tuan pun telah menjadi
indeks masalalu dalam agresi ini. Ruang imaji pada puisi Sitor itu, saya rasakan juga
seperti hidup dalam tubuh saya. Tetapi saya tidak tahu nama, asal-usul dan pola kerjanya.
Semacam naluri paganistik dalam menghadapi ruang di sekitar saya. Naluri yang tidak
bisa ditempatkan dalam kategori wacana lama atau baru, karena selalu hadir sebagai
kekinian dalam momennya. Dan hingga kini saya tidak pernah bisa menulis pantun. Bahasa
Indonesia yang saya gunakan adalah bahasa yang telah dihuni oleh produk-produk
elektronik dan berbagai jargon intelektual yang hubungannya tidak terlalu jelas dengan
kehidupan di sekitar saya. Wacana-wacana seperti post-kolonial, feminisme maupun
post-modernisme kadang saya terima sebagai fiksi, mengatifkan kembali
tubuh-post-kolonial saya sebagai tubuh autis yang laten: jauh dari sumber terjadinya
pergaulan antar grand-narasi. Mata air, sawah, embun, kambing kian menghilang dalam
bahasa Indonesia yang saya gunakan (lebih lagi kambing yang disembelih di jalan-jalan
untuk hari raya, dalam bayangan kengerian dan kesedihan). Tatapan mata kambing itu
persis sama dengan puisi Sitor: Kembanglah bunga dalam batu. Betapa tuan
memetiknya. Puisi yang menjelaskan lahir dari ruang imaji yang (seolah-olah) saya kenal,
tetapi saya sudah tidak mendapatkan tubuh dan bahasanya lagi. Puisi Sitor ini untuk saya
menjadi ruang ziarah bagi kehilangan seperti ini, ziarah kepada semacam “ilmu alam di
bawah kata” sebagai bengkel puisi untuknya.
Sitor lahir dari leluhur Sisingamaraja dalam tradisi Batak Toba. “Selama delapan belas
generasi, leluhur Sitor menguasai satu wilayah kecil, enam kali dua belas mil, di Sumatra
Utara. Daerah itu bergunung-gunung dan berbatu karang. Orang Belanda kemudian
datang menjelang akhir abad ke-19. Ayah Sitor melawan orang-orang Belanda itu dari
tahun 1884 sampai 1908. Wilayah suku yang diperintah oleh ayah Sitor terdiri atas tiga
lembah yang melandai dari perbukitan yang tingginya enam ribu menuju sebuah danau
yang indah. Sawah-sawah berwarna pucat dengan tanggul-tanggul dan dinding-dinding
batu yang menurun ke dalam lembah. Padi tidak tumbuh dengan lebat dan berwarna
zamrud, seperti padi yang tumbuh di tanah yang lebih subur. Di sini Sitor menghabiskan
11
masa kecilnya dalam satu keluarga besar kepala suku. Dinding-dinding batu besar
melindungi kampung itu; celah-celah pintu masuknya sangat sempit dan dapat dengan
mudah dipertahankan atau ditutup sama sekali. Beberapa rumah dibangun di sebuah
lapangan. Rumah-rumah itu memiliki atap yang berbentuk tanduk dan tinggi, bagian
depannya menjulang di tengah; mendongak di kedua ujungnya seperti haluan perahu.
Semuanya adalah suatu rancangan yang menurut Sitor melindungi rumah-rumah itu dari
tiupan angin kencang di wilayah itu.4
Deskripsi Naipaul itu memberikan sebuah lukisan besar, tradisi yang dipelihara oleh 18
generasi bersama alam di sekitarnya, sebagai pembayangan geologi puisi dari bahasa
visual dalam puisi-puisi Sitor. Bahasa visual ini bergerak dalam jarak-jarak tajam antara
puncak gunung, jurang dan lembah; keras dan halus antara bukit-bukit batu dan
persawahan; jarak yang memisahkan antara gunung, laut dan danau Toba di tengahnya;
elemen kabut yang bisa menenggelamkan sebuah gunung ketika kabut turun, dan muncul
kembali dengan megah ketika kabut telah menghilang. Ruang yang bermain seperti
gerak zoom out dan zoom in dalam kamera. Saya kutip: Napasmu mengelus jiwaku.
Tersingkap kabut dataran. Dan kutahu di tepi selatan, laut manggil aku berlayar dari
sini (“Kaliurang”). Fungsinapasmu dan kabut diparelkan untuk memunculkan daratan
selatan yang memanggilnya pergi merantau kembali. Puitika jarak yang bekerja dalam
bahasa visual Sitor lebih jelas lagi dalam puisinya Nocturno:
Jauh di dasar jiwa ada udara tipis.
Penuh lagu tak terlerai kata manis.
Benua selalu terbalut gerimis.
Samar, merayu, makin lama makin tipis.
Peran kabut tidak hanya memainkan jarak, juga menanamkan memori alam ke dalam
tubuh (Jauh di dasar jiwa ada udara tipis). Kabut datang tanpa suara, seperti sihir yang
turun dari langit dan mengubah jarak menjadi realitas yang diubah atau ditenggelamkan.
Tetapi gerimis menghasilkan suara, nyanyian liris; membuat jarak memiliki dimensi yang
tidak semata-mata fisik, melainkan juga jarak auditif dalam lapisan-lapisannya.
Perantauan Sitor pada periode awal ini kian bergerak dari perantauan geologi-sosial ke
ruang makna yang lain, yaitu eksistensialisme. Pergaulan kelas bawah dalam puisi Pasar
4 V.S. Naipaul: Sitor: Merekonstruksi Masa Lalu. 1981.
12
Senen, sampai tahun 1956, seperti tertunda oleh persentuhan Sitor dengan pesona
eksistensialisme setelah mengunjungi Eropa. Yang berlanjut dari periode awal ini adalah
tema perantauan. Chairil Anwar rupanya salah satu dari “teman ideologis” dalam
perantauan ini. Permainan jarak dalam bahasa visualnya menjadi kian padat memainkan
bola-bola imaji, berlangsung dalam patahan-patahan jarak, tajam dan genting, dalam
puisi yang ditulisnya untuk Chairil:
Debu campur deru.
Deru tambah sedu.
Sedu dijalin rindu.
Tebaran satu lagu.
Kata-kata patah.
Kehilangan irama.
Didera panas.
Api neraka.
Jalinan puisi dibuat dengan tenaga penuh: Enerji dipertaruhkan dalam batas rawan
antara menghancurkan danmenguatkan. Puisi ini sebenarnya masih dibuat dengan pola
yang sama dalam menghasilkan bola-bola imaji. Tetapi pola itu dijalankan dengan jarak
yang telah dipatahkan, menjadi kubistik. Kata dibiarkan seperti balok-balok utuh dalam
bangunan yang berdiri hanya sebagai konstruksi. Perantauan yang dilakukan Sitor pada
periode ini mendapatkan dataran baru lewat kian dekatnya Sitor dengan kanon
eksistensialisme. Menerima kata sebagai sesuatu yang patah, kehilangan irama, sambil
menerima panas dan neraka sebagai gagasan dalam puisi yang tidak umum pada masanya.
Aku-lirik mulai membuat pernyataan-pernyataan tegas: Rebutlah dirimu sendiri, dan
pisahkan segala yang melekat lemah. Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu. Bila hidup menolak. Ia kita tinggalkan (“Perhitungan” untuk Rivai
Apin). Puisi seperti ini, yang menempati barisan awal para modernis dalam sastra
Indonesia bersama Rustam Effendi, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil
Anwar dan kemudian Asrul Sani, berada dalam satu nafas dengan frase “memindahkan
kekuasaan dalam tempo sesingkat-singkatnya” dari teks Proklamasi Kemerdekaan.
Gagasan yang membawa argumen lain di sekitar persiapan untuk merdeka atau persiapan
untuk menjadi modern sebagai agenda yang tidak bisa dipisahkan. Gagasan yang jelas
pada puisi “Perhitungan” seperti yang ditulis Sitor, sering saya terima sebagai wilayah
gelap untuk generasi seperti saya yang hidup menjelang berakhirnya Orde Lama. Tidak
13
mendapatkan bayangan latar pembaca pada masanya. Ada semacam “peledakan makna”
untuk politik makna yang sedang berlangsung pada masanya.
Foto diambil dari
http://retakankata.files.wordpress.com
Gereja Bahasa dari Biksu Tak Berjubah
Kaca jendela, lampu listrik, telfon, antene
dan musim gugur mulai mewarnai diksi-diksi
Sitor, setelah mengunjungi Eropa,
1951-1955. Menempatkan aku-lirik dalam
ketidakpastian. Meragukan semua
keberadaan yang dinyatakan sebagai
kepastian bulat: Ketidakpastian ialah udara
bagi pemikiran untuk hidup. Ketidakpastian
ialah keagungan wajah petualangan …
Ketidakpastian ialah kepercayaan yang
mengenal dirinya. Ketidakpastian ialah
kepastian manusia yang tidak memerlukan
sejarah … Ketidakpastian ialah kematian
dari saat ke saat. Ketidakpastian ialah
hidup yang tidak dijadikan rumah. Publik
pembaca seperti apakah yang dibayangkan Sitor untuk puisinya ini? Mengejutkan pada
frase: “Ketidakpastian ialah kepastian manusia yang tidak memerlukan sejarah” bersama
“Ketidakpastian ialah hidup yang tidak dijadikan rumah”. Pembaca Indonesia atau
pembaca Eropa? Disorientasi ruang yang beresiko untuk terjadinya disorientasi makna,
dan bisa terjadi pada penyair Indonesia yang menulis di luar.Rumah yang merupakan
elemen sosial mendasar kehidupan komunitas dari berbagai sub-kultur di Indonesia,
ditempatkan terbalik dalam konteks perantauan Sitor. Menolak pelembagaan atas makna
(rumah sebagai otoritas makna: anak tidak boleh pulang malam, istri tidak boleh pulang
pagi). Puisi mendorong pembacaan makna di luar rumah dan di luar sejarah, dalam
konteks masyarakat yang masih sibuk perebutan makna, bukan penataan makna. Puisi
yang memunculkan jarak baru antara rumah dan perantauan (penyair), antara hidup dan
sejarah (wartawan). Mendorong jubah baru dari personifikasi perantau ke pemberontak.
14
Sebagian pengamat sependapat bahwa perjalanan Sitor ke Eropa ikut membawa warna
soneta ke dalam puisi-puisinya (Ajip Rosidi). Terlibatnya Sitor dengan soneta tidaklah
terlalu mengherankan dengan dasar pantun dan syair yang sudah mewarnai puisi-puisinya.
Saya tertarik untuk melihat bagaimana bahasa jarak dalam visualisasi Sitor mengalami
pembacaan baru lewat perjalanan ini. Salah satu di antaranya puisi “Kepada Toto Sudarso
Bachtiar”: Tapi peta telah terhapus oleh rel dan debu kibasan kota. Dan pandangan ini
akan tetap jadi beban, juga mengeratkan pandangan Ibu yang menunggu di pegunungan.
Puisi ini memberi kerangka pembacaan tentang kualitas rumah dansejarah untuk puisi
sebelumnya sebagai penjenuhan makna dari metafor peta yang telah terhapus rel dan
debu kota. Peta dan kota disandingkan sebagai paradoks dalam pertemuan
vokal ta-ta pada akhirannya. Peta yang umumnya berfungsi untuk membaca kota, menjadi
sebaliknya kota yang tumbuh menghapus peta. Jarak yang biasa digunakan untuk
mengukur perubahan, dilumpuhkan ketika perubahan itu sendiri berlangsung juga
berlangsung sebagaipengaburan. Hubungan anak-ibu dalam dimensi perantauan pun kian
terpisah menjadi hubungan ‘orang gunung’ dan ‘orang kota’. Ini pada gilirannya akan
menentukan makna ‘manusia perantau’ menjadi ‘manusia petualang’. Yang satu menandai
‘kepulangan’ satunya lagi menandai ‘perjalanan tanpa pulang’.
Garis perjalanan ini mulai memperlihatkan bahwa nasionalisme bukanlah semata-mata
pemikat tunggal, di baliknya membayang pemikat lain, yaitu modernisme. Tatanan sosial
dari realitas modern ini baru ditemukan Sitor dalam perjalanannya ke Eropa. Paling tidak,
sampai dengan Polemik Kebudayaan yang antara lain digerakan Sutan Takdir Alisyahbana,
modernisme terlanjur dipahami sebagai individualisme, tanpa melihat tatanan sosial yang
membentuk realitasnya. Begitu pula dengan puisi Sitor tentang ketidakpastian, pada
masanya bisa dianggap sebagai individualisme. Sitor telah membuka sebuah wawasan lain
dalam kesusastraannya, menempatkan perantauan di luar makna.
Puitika jarak dalam bahasa visual Sitor kian tajam dalam membaca substansi. Terutama
penolakan Sitor atas eksistensi tuhan lewat dialetika “ada-tidak-ada”. Bahwa eksistensi
ilahiah itu tidak bisa ditempatkan dalam teologi ‘ada dan tidak-ada': Jika kau ada, kita
dua dalam pertentangan jika kau ada. Jika kau tak ada, aku tanya dalam kesemestaan
tiada. Berdua kita sama-sama bertanya pada yang tiada (‘Doa Tengah Malam’). Puitika
jarak bergerak dalam batas tipis antara ada dan tidak-ada sebagai sampiran yang
menentukan makna isi. Gunung, yang sebelumnya merupakan modal geologis Sitor dalam
memasuki bahasa visual, juga mendapatkan pembacaan baru lewat jarak-mistis
ini:Berdiri di sini, jagad mata seluruh (‘Gunung’). Gunung membuat ‘mata-yang-melihat’
15
menjadi ‘mata semesta’. Mata yang tidak lagi membagi-bagi ruang, mata yang bersatu
dengan ruang yang dilihat. Yang dilihat jadi bagian dari yang melihat. Sebelum bernama,
ia telah bunga (‘Bayi dan Bunga’), metafor memperlihatkan bagaimana puitika jarak pada
puisi-puisi Sitor kian bergerak menuju makna di luar sejarah.
Soneta menjadi tidak penting lagi, teknik menjadi tidak penting lagi, bahkan puisi pun
kian menjadi tidak penting. Sitor tiba-tiba melangkah ke arah puisi-puisi haiku dalam
fenomena Zen. Minimalisasi dalam puisinya memperlihatkan bagaimana Sitor menempuh
puitika yang belum ada sebelumnya dalam puisi modern Indonesia pada masanya. Dan
memunculkan dugaan sebagai puisi gelap, terutama terhadap salah satu puisinya (Malam
Lebaran), yang hanya terdiri satu baris puisi: Bulan di atas kuburan. Bisu dari latar
maupun peristiwa yang bisa digunakan untuk menopang makna. Bulan dihadirkan
sebagai bulan dan kuburan juga dihadirkan sebagai kuburan. Penempatan yang
menghasilkan bayangan ketika kedua materi ini kita baca seperti melihatnya berada di
depan kita, bukan sebagai puisi maupun sebagai lukisan dua dimensi. Dalam salah satu
esainya, Sitor menulis: ‘… kebisuan adalah unsur vital dari setiap sajak. Pesan, komunikasi
atau pengaruh batin yang ingin diwujudkan melalui puisi berwadah kebisuan. Lubuk hati
dan rasa adalah dasar yang ingin dicapai dengan kata-kata puisi, dengan sarana bahasa.
Kepekaan akan puisi adalah kepekaan akan kebisuan yang padat, di tengah kebersihan.
Ada puisi yang gemuruh menyanyat, menusuk, menghantam, bahkan terkadang terasa
menjotos.’ (Penyair Dalam Penilaian Jaman: Dewan Kesenian Jakarta, 16 Juni 1978).
Sitor seperti memasuki ‘gereja bahasa’ lewat puisi-puisi minimalisnya yang tidak lagi
mengandaikan adanya jarak antara yang melihat dengan yang dilihat, antara yang
disentuh dengan yang menyentuh. Gereja bahasa itu hadir dengan kebeningan dan
keheningan yang nyaring dan dalam. Puisi Sitor yang lain masih memperlihatkan adanya
ruang sosial yang tetap dijaganya untuk tidak sepenuhnya tenggelam dalam aku-mistis.
Ruang sosial itu bukanlah ruang keterlibatannya dengan kelas pekerja, melainkan sisi lain
dari gereja si petualang. “Kamar”: Setiap dering telfon, setiap surat di ambang, setiap
ketok tak disengaja pada pintu, bikin terkejut mengigil. Aku-mistis dan aku-petualang
seperti bertabrakan atau saling menyadarkan setiap muncul kode yang datang dari luar
melalui dering telfon, kedatangan surat atau ketukan pada pintu. Puisi ini tidak semata
menyampaikan momen puitik di luar bahasa (dering telfon dan ketukan pintu sebagai
peristiwa sebelum komunikasi), tetapi juga sebagai ruang traumatik menghadapi sesuatu
yang tidak terduga.
16
Benturan-benturan yang berlangsung dalam puitika-jarak, muncul seperti gempa dalam
bahasa yang membelah sungai lama menjadi sungai baru, tanpa meninggalkan sungai lama.
Menjadi pembacaan baru terhadap sungai lama. Jakarta yang sebelumnya dibaca lewat
senda gurau orang-orang malam di Pasar Senen dan lampu-lampu yang menyala hitam, kini
menjadi: Diriku rawa. Panas membatu di putih dinding. Semua punya arti, manusia dan
malaria(‘Jakarta’). Sitor tidak lagi melakukan deskripsi lewat mata, melainkan lewat
persepsi. Kota besar kian dekat dengan dehumanisasi tumbuhnya ruang urban bersama
penyakit yang dibawanya. Persepsi yang memainkan zoom in-outyang kian minimalis dalam
menyampaikan makna lewat ruang terpisah: Semesta di balik mata, terpisah kaca.
Mengecil ikan dalam kerang.
Hubungan antara mata dan bahasa jarak kian menjadi ikonik dalam puisi-puisi Sitor
selanjutnya. Menempatkan ‘gereja bahasa’ sebagai gereja dari mata penyair yang
memiliki cara melihat lewat nama-nama. ‘Mata': Di bawah mata warna-warni, sudah lama
tak ada kemejaku lagi. ‘Kemeja': Di bawah kemeja warna-warni, sudah tak ada hatiku lagi.
Pembentukan metafor dalam puisi ini berlangsung paralel satu sama lainnya.
Puisi Mata baru terbaca lewat puisiKemeja dan sebaliknya. Sitor mulai memisahkan
antara struktur dan konstruksi lewat kedua puisi ini. Keduanya memiliki struktur yang
sama, tetapi konstruksinya baru terjadi bila kita menggabungkan keduanya dalam satu
pembacaan. Strategi teks seperti ini tidak banyak dilakukan dalam puisi Indonesia
hingga sekarang ini.
Sitor rupanya memang telah membangun gereja bahasanya sendiri. Membaca
pulang sebagai hilang, dan hilangsebagai cara keluar dari tragik ending: Jangan kau bawa
ke perjalanan apa yang kau miliki. Sastera ialah penetapan kepastian yang tak mau
dirumuskan (‘Baris Antara yang Dibaca’). Puisinya ‘Ziarah dalam Gereja Gunung’
merupakan pernyataan metaforik yang dilakukan Sitor mengenai gereja kepenyairannya,
menempatkan spritualitas bukan sebagai lembaga identitas. Dalam puisi lain, Sitor
menyebutnya sebagai ‘Biksu Tak Berjubah’.
Perjalanan Aku-Ideologis
Aku-mistis dari Biksu Tak Berjubah itu tiba-tiba seperti lenyap begitu saja ditelan
kabut politik. Sitor kian mendekat ke dalam arus politik masa Sukarno. Arus ini
membawanya ke dalam perang ikon yang lain, dimana kelas pekerja adalah romantisme
baru untuk munculnya politik dan moral sosial terhadap kelas bawah yang sepanjang
jaman, hidup sebagai objek pemerasan dan penindasan sang bos pemilik modal. Arus ini
17
membawanya ke dalam perjalanan dengan personifikasi baru dari aku-mistik ke
aku-ideologis. Arus yang membawa Sitor ke Tiongkok, Rusia dan negeri-negeri sosialis
lainnya sebagai perjalanan aku-ideologis sekaligus sebagai kota-kota ideologis: Peking,
Shanghai, Leninggrad, Berlin yang terbelah 2, Weimar, Praha, dan Dubrovnik. Sitor
melakukan perjalanan ke Tiongkok, awal 1960, antara lain bersama Rivai Apin dan Utuy
Tatang Sontani.
Seperti halnya puisi ‘Pasar Senen’ yang menjadi pondasi puisi-puisi Sitor selanjutnya
dalam periode 1948-1955, begitu pula dalam periode aku-ideologis ini (1956-1967). Sitor
membukanya dengan kode-kode dunia pertanian, di mana asap di sawah dibaca sebagai
tanda kehidupan. Dan jerami yang telah dibakar setelah panen sebagai pupuk baru untuk
tumbuhnya dunia baru (‘Sajak di Sawah Tanda Hidup’). Sajak ini menawarkan cara
berpikir revolusioner dengan melihat perubahan untuk lahirnya jaman baru sebagai siklus
dalam dunia pertanian. Dalam periode ini mata-deskriptif berjalan berdampingan dengan
mata-ideologis dalam deskripsi-deskripsi puisi Sitor. Sampiran dalam pantun di sini
kembali bekerja seperti ilmu alam di bawah kata, pembayangan cara melihat sama
seperti siklus abadi pada setiap gejala alam. Dalam sebuah puisinya disebut sebagai
‘Alkimiah’ dalam pembayangan gejala-gejala kimiawi. Salah satu puisinya “Surat dari
Tiongkok untuk Retni” memperlihatkan bagaimana mata-deskriptif dan mata-ideologis
itu bekerja sama dalam melambungkan bola-bola imaji revolusionernya: Dua hari dua
malam – pemandangan jadi kisah. Warna batu, gerimis dan daunan – kisah cerobong
berlapis langit, melepas sastra sulaman, dongeng-dongeng kenyataan Tiongkok bikinan
pekerja-pekerja, gadis dan pemuda, berbedak debu batu arang Zaman Baru. Selamat
datang kawan!
Lihatlah cara Sitor menjalin deskripsi puisinya seperti memetik berbagai bunga,
merangkai dan menyusunnya dan setelah itu tumbuh sebuah taman baru dari kelas para
pekerja, gadis dan pemuda. Zoom in-outnya bergerak dari mata alam dan kebudayaan
Tiongkok ke mata ideologi. Imprealisme + Sosialisme = Revolusi! Dunia – Imprealisme =
Simfoni! (‘Alkimiah Zaman’). Aku-lirik yang sebelumnya menyatakan ketidakpastian
adalah keberanian untuk berjalan tanpa sejarah sebagai daerah barunya, dalam periode
ini menyatakan pentingnya kesetiakawanan. Tanpa ini, semua gerakan akan lumpuh, tidak
mendapatkan subyektifitasnya (‘Makan Roti Komune’): Aku ingin minum dari kehangatan,
harapan saudara-saudara. Aku ingin makan roti ini, roti komune sebagai tanda
kesetiakawanan dan harapan antara manusia. Dan: Tiongkok adalah Ibu 650 juta jiwa,
tempat tuhan menitipkan sajak kehidupan. Dalam periode ini Sitor melakukan pembacaan
18
ulang atas kota-kota yang pernah dikunjunginya lewat sajak ‘Kenangan': Hongkong, Tokyo,
Paris, Roma, New York, Jakarta, Peking. Paris misalnya, lewat periode ini dibaca ulang
sebagai burung dalam sangkar yang menyanyikan kenangan untuk hari esok. Paris
merupakan kota yang hingga kini terus sibuk membuat sangkar sebagai sejarah makna
bagi sihir waktu. Media untuk aksi-aksi revolusioner, seperti boikot, juga muncul dalam
puisi-puisinya pada periode ini. Atau rumus-rumus revolusioner tentang pemimpin yang
lahir dari penindasan, dan kemerdekaan harus berakar pada rakyat (‘Kembali Kepada
Marhaen’).
Di tengah sajak-sajak revolusioner Sitor itu, tiba-tiba muncul kembali metafor-metafor
yang khas datang dari aku-mistis lewat sajak “Dari Pantun Lama”:
Kembanglah bunga dalam batu
Betapa tuan memetiknya
Kembanglah bunga dalam batu.
Tangan ini tak kuasa memetiknya.
Hendak akarnya ambilah pisau.
Di sana hati tuan tak mampu.
Kebimbangan dan pertanyaan di tengah ketidakpastian, seperti dibiarkan kembali
bersuara, lelah dan sendirian:
1962
Aku terlena di pinggir Seine
Aku terlena di pinggir Yangtze
Terlena di pinggir Nil! Hati bertanya.
Puisi yang hanya terdiri 3 baris, dibiarkan selesai dalam konstruksi yang menggantung.
Paralel dengan keberadaan tubuh aku-lirik di pinggir ke 3 sungai legendaris itu (Seine,
Yangtze dan sungai Nil), tergantung antara daratan dan sungai. Dan sebuah puisi lagi,
seperti pesan bahwa revolusi membutuhkan hitungan waktu: Apa yang tidak dapat kau
hancurkan dengan tangan, hancurkan dengan sajak. Tapi demikian, kau bangun lagi
dindingnya waktu. Puisi ini seperti penutup dari perjalanan aku-ideologis. Perubahan
politik terjadi. Suharto menumbangkan pemerintahan Sukarno, lahir pemerintahan Orde
19
Baru. Sitor menjadi tahanan politik dalam pemerintahan Suharto, tanpa pengadilan.
Mendekam selama 8 tahun dalam penjara. Dari bahasa politik yang dibentuk
pemerintahan Orde Baru, penahanan atas Sitor ini mudah dibaca sebagai penahanan
terhadap ikon-ikon Sukarno maupun aktor-aktor politik sayap kiri. Tetapi dari cara
membaca Sitor (lewat sebuah percakapan dengan Sitor sekitar awal tahun 2000),
penahanan ini berkait erat dengan anti militerisme di bawah Nasution yang ditolak Sitor.
Apa yang dicemaskan Sitor dengan tumbuhnya militerisme di Indonesia, memang
kemudian terjadi di bawah pemerintahan Suharto. Munculnya elit-elit penguasa yang
korup, hirarkis dan birokratis, kian jauhnya negara dengan rakyat.
Masa itu, Sitor duduk sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode
1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI (Partai Nasional
Indonesia). Sitor juga menulis sebuah esai, Sastra Revolusioner (1965), sebelum
dimasukkan ke penjara Orde Baru. Dalam penjara, dia menghasilkan dua kumpulan
puisi: Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Penjara menghadirkan semacam
tubuh konkret darisampiran di luar makna (rumah dan sejarah) yang dialami
Sitor. Dinding Waktu digunakan Sitor dalam puisinya untuk lepas dari sosok Suharto
sebagai rejim makna yang telah memenjarakannya, mirip dengan perwujudan
personifikasi tubuh-pantun dalam cara memandang dunia politik dengan resiko yang
mungkin terjadi antara rumah, sejarah danpenjara. Kepenyairan di sini menjelma
menjadi semacam jalan hidup dan cara memandang hidup sebagai mitos yang dilakoni
(bukan diperankan).
Penggunaan istilah sampiran yang terus saya pakai dalam tulisan ini, mengesankan peran
yang begitu penting dalam pantun. Tetapi hingga bagian akhir tulisan ini, saya belum
mendapatkan pegangan yang cukup ajek untuk memahaminya. Umumnya sampiran
dipahami sebagai kiasan, sebuah gantungan (sampir) untuk mengantar isi pantun.
Kalimat tak sampirke kainmu dalam bahasa Jawa, misalnya, digunakan untuk
menggantung atau menempelkan kain pada gantungannya atau pada bahu pemakai kain.
Tetapi dalam bahasa Sunda juga ada istilahsampurasun untuk permisi yang terdengar
lebih sakral dalam dinding etika budaya Sunda. Kadang istilah sampirancukup tersamar
dalam istilah lampiran yang sifatnya lebih teknis administrasi. Saya tidak bisa
memutuskan bagaimana mendapatkan pengertian defenitif dari istilah ini. Untuk
sementara saya menggunakannya sebagai ruang pembayangan dari bagaimana Sitor
menata imaji-imaji maupun makna dalam puisinya sebagai semacam dialetika dalam puisi.
Imaji dari dialetika antara yang-hadir dan yang-tak-hadir. Dalam wawasan ini,
20
personifikasi modernisme yang dibawa Sitor melalui pembayangan masyarakat modern
yang ditemuinya di Eropa, tidak lagi semata-mata individualisme seperti yang banyak
digunakan untuk menegatifkan modernisme pada masanya.
Dalam tulisan Martin Aleide, mengutip pernyataan Sitor: ‘Saya bukan orang mistik,
namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak, di mana mitos dan
silsilah adalah anak kembar impian manusia, sekaligus jadi pegangannya. Dunia ini adalah
kata kias untuk penjara, secara kebatinan tentunya, untuk orang yang percaya akan yang
gaib seperti Ayah, seperti Kakekku.’5 Pernyataan ini memperlihatkan adanya ruang lain
antara silsilah, mitos danmistik yang dimiliki Sitor dan tidak mendapatkan sampirannya
dalam individualisme maupun modernisme. Pernyataan Sitor ini memperlihatkan semacam
latar geomistis antara tradisi dan alam masa kanak-kanak Sitor, seperti dalam gambaran
V.S. Naipaul sebelumnya. Yaitu Sitor yang juga sebagai Raja Usu dari tradisinya.
Foto diambil dari http://idwriters.com
Di atas 30.000 kaki antara kata dan makna
Sitor bebas, September 1976. Realitas berubah, bergerak ke arah konsumerisme,
munculnya TV, Indonesia mulai membuat pesawat terbang, menggunakan satelit Palapa.
Perubahan yang tidak terbayangkan bila dilihat melalui realitas Orde Lama. Politik
bahasa lama berganti dengan politik bahasa gaya Orde Baru. Kehidupan partai berubah.
Kontrol politik dilakukan hampir di setiap lembaga sosial-politik. Perubahan di luar
penjara dan aktifitas yang berhenti sebagai penyair maupun politikus dalam penjara,
membuat Sitor memang menghadapi waktu yang hilang selama dalam penjara. Kondisi
kehilangan makna dalam penjara harus berhadapan dengan makna baru di luar penjara.
Tiba juga
saatnya aku melangkahkan
5 Martin Aleide: Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan. 2009,
https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/106014 .
21
langkah pertama
(sesudah 8 tahun menunggu)
saat gerbang ke-7
dibuka
ke dunia luar
yang baru dan menyilaukan
Hubungan antara kata dan makna dialami melalui tubuh yang dilumpuhkan dari ruang
sosialnya. Makna yang dibisukan dalam penjara, alih-alih harus berhadapan dengan makna
yang riuh di luar penjara. Keriuhan yang datang dari benda-benda industri dan konsumsi.
Pengalaman ruang dan waktu makna seperti ini sebagai tubuh yang dihentikan dalam
kebisuan makna (penjara), bisa menggemakan kembali bulan di atas kuburan
dan Kembanglah bunga dalam batu, tangan ini tak kuasa memetiknya dalam puisi Sitor,
sebagai peristiwa puisi yang ditulis dan dibaca kembali di luar ‘penjara makna’. Makna
yang menembus batas-batas tubuh sosial sebagai pencapaian bahasa puisi. Sitor
menyebutnya sebagai ‘kebisuan adalah unsur vital dari setiap sajak’. Tetapi dalam
konteks dua puisi Sitor ini, kebisuan bukan lagi soal unsur dalam puisi. Melainkan memang
dihentikan dari kegaduhan makna di luarnya: satu tangan telah lama dipendam,
bagaimana tahankan sepi tak berdendam. Khas Sitor: menempatkan ruang makna sebagai
komposisi bunyi antara tangan, pendam, dendam.
Masa bebas dijalani Sitor dengan melakukan ziarah ke kota-kota spritual dengan latar
Hindu maupun Budha lewat Bali, Jawa dan kampung leluhurnya di Toba. Tindakan yang
dilakukan Sitor memperlihatkan kesan bahwa naluri kepenyairannya berjalan mendahului
naluri politiknya dalam menghadapi perubahan. Peran politiknya seperti terhenti dengan
berakhirnya Orde Lama, hal yang dialami oleh banyak kalangan yang dianggap sebagai
musuh politik Suharto. Penyingkiran politik (termasuk pembunuhan politik) yang
membuat lembaga demokrasi di Indonesia tumbuh sebagai lembaga traumatik,
kehilangan fungsinya dalam membentuk budaya politik. Dengan menggunakan metafor
ruang 30.000 kaki di atas permukaan laut, Sitor menghadapi perubahan yang radikal
ini: Pagi ini aku terbang 30.000 kaki di atas bumi, sesuai nujum dewa-dewa. Angkasa
Gunung Agung 1000 kalpa lalu dan minum coca-cola, sajen kaliyuga pariwisata di Puri
Besakih (‘Toyabungkah’). Perkembangan teknologi (pesawat terbang) yang melakukan
transendensi mesin pada ketinggian 30.000 kaki di atas gunung spritual Bali,
dihempaskan begitu saja seperti pesawat terbang yang jatuh melalui penghadiran
coca-cola sebagai ikon konsumerisme dan budaya instan. Kenyataan baru ini membuat
Sitor harus hadir sebagai ‘turis’ di negerinya sendiri: terasing dalam penjara, tetapi juga
22
terasing di luar penjara. Berhadapan dengan realitas baru: Baja beton, bensin, ganja dan
darah geologik muncul dalam periode ini bersama tarian sufi sepanjang gangga-jakarta
(‘Megapolis’). Memahami kembali kepenyairan sebagai ‘suku-suku liar terakhir’ (‘Duduk
Sore di Batterry New York’).
‘Suku-suku liar terakhir’ merupakan varian lain dari versi garis lurus antara perantau,
petualang, si anak hilang danbiksu tak berjubah sebagai garis personifikasi yang
dilakukan Sitor. Aku-lirik yang bertahan di luar makna, yang sebelumnya bergerak
sebagai tubuh-kata (suaranya yang lain atau pendengaranku yang telah berubah),
kemudian mendapatkan varian lainnya sebagai tubuh-sampiran (tubuh majemuk yang juga
dihuni gagasan lain): Biarkan aku bercakap-cakap seorang diri, di dunia yang kau
perbaharui dalam tubuhku ini (‘Dialog dengan Salibku’). Sitor menggunakan metafor
Kristiani dalam puisi ini, dimana tuhan dibaca melaui antropoformisme pada tubuh Yesus.
Dan Sitor menempatkannya sebagai ‘tubuh yang diperbaharui’. Antropoformisme teologis
ini kemudian dijalani Sitor secara konkret lewat tanggung jawab adat yang dialaminya.
Yaitu ketika ia harus pulang untuk pemakaman kembali tulang-belulang leluhurnya di
Toba: Kakek dari kakekku dari kakekmu memanggil. Waktu batu peti tenggkorak dibuka
pawang, dan aku termangu di depan makam … Kakek yang kumuliakan, maafkan kegetiran
hati mendengar lengking pekikmu di hutan berlumut, kerajaan mati asal-usulku … Dan
kutarikan kini Tortor Ugari di rumah marga … aku akan menari 7 hari 7 malam, di rumah
adat hitam usia (‘Tortor Ugari Ompu Raja Doli’).
Puisi itu menghadirkan Sitor Situmorang utuh bersama dengan tradisi dari 18 generasi
yang pernah membentuknya. Dijalani sebagai sebuah prosesi pemakaman. Mengangkat
kembali tengkorak leluhur dari peti matinya untuk dimakamkan kembali. Sesuatu yang
sudah di dalam (terkubur) dibawa kembali keluar untuk dipindahkan ke dalam (kuburan)
yang lain. Ritual yang menghubungkan tubuh-kehidupan dan tubuh-kematian dalam satu
peristiwa yang dirayakan dalam komunitas Batak Toba. Tubuh-pantun seperti
mendapatkan momen tradisinya melalui tindakan membawa sesuatu yang di dalam
(sampiran 1) keluar (sampiran 2) ke dalam yang lain (isi pantun) dalam upacara ini. Sebuah
eksotisme yang menghantam keangkuhan modernisme, dan mengukuhkan kembali
keberadaannya untuk hidup sebagai masakini bersama: maafkan kegetiran hati
mendengar lengking pekikmu di hutan berlumut.
Dalam esai yang sama yang saya kutip sebelumnya di atas, Martin Aleide menyatakan:
‘Mitologi Batak merasuk ke dalam hati Sitor sebagai peristiwa sastra, acara-acara adat
23
yang sarat dengan arti dan penuh irama memperkaya bakat alamnya. Suatu ketika, dia
pernah bilang, kalau berada jauh di daratan Eropa, supaya jiwa tetap berada dalam
pelukan tanah kelahiran maupun dalam kata-kata dan irama bahasa, dia tak lupa
membawa kumpulan sajak Hamzah Fansyuri untuk dibaca-baca.’
Peristiwa itu seperti memperbaharui kembali bahasa jarak yang dialami Sitor dari jarak
geologis ke jarak persepsi, jarak kematian dan kehidupan dalam pemakaman kembali
tulang-belulang leluhur, kembali lagi dari ruang modern ke ruang tradisi. Tubuh dalam
pesawat yang harus turun dan kembali menarikan Tortor Ugari di rumah keluarga
turun-temurun. Pengalaman ruang yang cukup untuk hitungan 30.000 kaki di atas laut,
tidak semata-mata sebagai jarak ketinggian pesawat untuk terbang, tetapi juga jarak
skala makna antara rumah adat dengan petualangan untuk membebaskan diri
dari rumah (dan dari sejarah). Makna dalam puisi bertugas mendapatkan pembacanya
sendiri, bukan pembaca yang mencari hubungan pengalaman makna terhadap puisi. Puisi
seperti menghancurkan filsafat sebelum dia berubah menjadi filsafat.
Realitas lain yang kemudian dihadapi Sitor adalah jarak antara dunia nyata dengan dunia
cybernetik lewat komputerisasi, pindah dari mesin tik ke komputer yang tidak mudah
dilakukan oleh generasi seperti Sitor. “Adegan Kaca Mobil”: di rongga komputer,
rongga-rongga konsumsi, naga lalulintas zaman. Penyedot darah, pelumas termurah,
malaikat Honda … impian konsumen di balik olesan lipstik, seni reklame kosmopolitan,
panggung absurd, kuda lumping erotika, dikejar motor tarian sintetik. Sitor yang pernah
mengalami langsung masa kolonialisme Jepang di Indonesia, alih-alih harus berhadapan
dengan Honda sebagai malaikat baru yang menguasai jalan di kota-kota besar, terutama
Jakarta. Puisi-puisi Sitor yang sebelumnya tidak mengandaikan berlakunya provokasi
waktu lewat percepatan (cukup patuh pada irama puisi), pada puisi ini muncul begitu saja.
Fasih untuk menopang ritme baru dari percepatan waktu yang dibawa konsumerisme
maupun komputerisasi.
Evolusi puitika yang dibangun Sitor tumbuh secara hypogram dengan perubahan-
perubahan jaman. Memperlihatkan Sitor sebagai penyair yang juga dokumentatif atas
perubahan yang dialami. Setiap perubahan tidak hanya membawa warna lain pada
puisi-puisinya, tetapi juga menjadi pembacaan baru dari yang telah dicapai sebelumnya.
Perubahan cara menggunakan bahasa Indonesia juga berlangsung dalam evolusi ini.
Sampai tahun 1967, misalnya, setiap pergantian baris pada puisi-puisi Sitor, selalu
menggunakan huruf depan kapital seperti pemimpin barisan kata. Setelah itu Sitor mulai
24
menggunakan huruf-huruf kecil, menghasilkan puisi yang hadir lebih intim. Musim dingin
yang sebelumnya disebut Sitor sebagai ‘musim rontok’, dalam periode ini juga mengalami
perubahan menjadi ‘musim gugur’. Sitor seperti terus menjaga keseimbangan antara
membaca dan menulis.
Dari evolusi itu, Sitor menurunkan pandangan-pandangannya tentang bagaimana ia
memahami puisi dan kepenyairan:
Tak ada yang lebih jelas dari
kekaburan puisi dan ia
tak berulang. Ia detik sekaligus
keabadian
‘Singa’
Aku bergumam dalam sarangku
Gadis kecil masuk dalam gua.
Aku mengaung “Mengapa kau kemari”
“Aku penyair” katanya.
Barangkali saja aku telah tua.
Sejak itu.
Ia mengganggu dalam sarangku.
‘Guernica’
….
optimum dan maksimum
belenggu estetika
erang indera
ledakan gatra raksasa
kepingan paradoks
drama matematik dan balistik
berdimensi warna darah
melolong menjerit
mantra
pembangkit dan pemulih nilai
25
Puisi adalah detik yang tak berulang. Tak ada detik lain setelah detik pertama. Penyair
adalah gadis kecil yang memasuki kandang singa, lalu mendadak tua dan mengganggu singa
dalam sarangnya. Makna puisi adalah kepingan paradoks, drama matematik yang
berdimensikan warna darah untuk membangkitkan dan memulihkan nilai. Cara pandang
pada ke 3 puisi di atas hampir mirip pada cara bagaimana Sitor menghormati cinta
melebihi sorga:
Pada mula segala adalah dosa
Dan dosa pada bumi
Lalu manusia pergi meninggalkan firdaus
Mencari cinta
Manusia petualang adalah manusia yang meninggalkan surga untuk mencari cinta. Cara
membaca seperti ini telah ditawarkan Sitor sebelumnya, melalui dua puisi ‘Mata’ dan
‘Kemeja’ dengan struktur yang konstruksinya baru terjadi dengan cara menggabungkan
ke dua puisi. Cara membaca yang tidak berbeda jauh dari campuran antara kepingan
paradoks (makna), drama matematik (puisi) dan darah merah (tubuh-sejarah). Penyair
mengkoreografi ketiga elemen ini melalui momen puitik yang dialami dan dipertemukan
melalui bahasa.
Tulisan ini memang berhenti tidak melalui keseluruhan periode yang disebut pada awal
tulisan ini. Hanya sampai tahun 1979 dari puisi yang pernah dihasilkan Sitor. Pada jilit
pertama masih tersisa periode 1980-1999. Periode 2000-2005, yang terkumpul pada
jilit kedua, belum lagi terbaca. Tulisan yang rasanya masih goyang berhadapan dengan
perjalanan kepenyairan Sitor yang panjang. Sampai dengan periode 1979, sudah
memperlihatkan bagaimana puisi-puisi Sitor membentuk situs kepenyairan di Indonesia
yang tumbuh bersama dengan perubahan jaman dalam lingkup dunia.
Pada awal tulisan ini, puisi-puisi Sitor masih saya sebut sebagai galeri puisi dimana sungai
pertama membelah menjadi beberapa sungai. Pembelahan itu terjadi akibat pertemuan
berbagai arus perubahan. Setiap belahannya mendapatkan pembacaan baru atas sungai
sebelumnya. Pembelahan ini mungkin juga bisa dibaca sebagai cara aku-petualang menata
kembali imaji-imaji makna perjalanan yang telah dilalui hingga bertemu dan membangun
gerejanya sendiri sebagai gereja bahasa. Pada akhir bagian tulisan ini, saya tidak lagi
menggunakan istilah galeri, melainkan situs, karena evolusi puitika Sitor tumbuh seperti
26
jejaring puisi. Jejaring itu adalah ruang pembacaan yang saling memperbaharui
pembacaan sebelumnya, dimana manusia berdiri sendirian dalam sejarah. Mengandaikan
seorang pembaca yang juga berdiri sendirian membaca puisi-puisinya.
Dua Sisipan:
1. Identitas Kebatinan
Akhir september 2004, Sitor Situmorang bersama istrinya (Barbara Brouwer) harus
meninggalkan tempat tinggal sementara mereka di jalan Besuki, pindah ke tempat
pemungkiman sementara lainnya di jalan Cemara. Kedua daerah ini sama-sama di Jakarta.
Menjelang barang-barang diangkat, Sitor terus memutari seluruh ruangan rumah yang
akan ditinggalkannya, hilir-mudik hampir tak pernah berhenti. Seluruh ruang dimasuki.
Suara tongkatnya berbunyi di seluruh ruang setiap dia melangkah.
Memutari seluruh ruang berulang adalah tindakan intens untuk menata ulang seluruh
ingatan dan kenangan. Identitas ingatan melekat pada ruang. Seluruh gerak waktu nyata
tidak lagi berlaku. Yang bergerak adalah waktu ingatan dan waktu kenangan. Berputar
untuk menemukan momen antara keharusan untuk meninggalkan rumah lama sekaligus
bergelayut pada seluruh ingatan dan kenangan dari rumah yang akan ditinggalkan. Barang
terakhir yang dikemasnya adalah tip-ex (alat penghapus salah ketik), alat-alat tulis,
handuk dan baju dingin. Alat-alat yang seakan-akan aman untuk menutup ingatan. Yaitu
alat-alat yang dekat dengan tubuh dan kegiatan menulis.
Pada momen yang lain, saya harus membaca ulang rekaman di atas saat Sitor berbenah
pindah rumah dengan deskripsi yang berbeda:
Tidak.
Sitor tidak sedang memutari seluruh ruang dari rumah yang akan ditinggalkannya. Sitor
sedang menghidupkan ruang, terus memberinya nafas agar rumah itu tidak menjadi ruang
mati setelah dia pergi meninggalkannya. Cara Sitor menghidupi ruang sama dengan
caranya berhubungan dengan orang lain. Sitor hampir selalu memiliki gerak-gerak reflek
untuk mengguncang situasi mapan atau tubuh bisu dari orang yang sedang
bercakap-cakap dengannya. Tongkatnya kemudian mengetuk lantai dengan keras,
tangannya memukul meja atau mengguncangkan bahu lawan bicaranya. Di mobil yang
membawanya ke jalan Cemara, tangannya tetap gelisah. Jari-jarinya terus mengetuki
sandaran jok mobil di belakang kepalanya.
Apakah Sukarno itu Marxis?
27
Ya, Sukarno itu Marxis dalam arti dia memakai teori-teori marxis sebagai strategi
membangun kebangsaan dalam konteks menghadapi kolonialisme dan imperialisme.
Apa itu G30S/PKI?
Saya tidak tahu apa itu G30S/PKI. Saudara-saudara yang tahu. Sukarno menyebut
peristiwa itu sebagai GESTOK. Gerakan 1 Oktober. Artinya peristiwa 30 September
(1965) harus dibaca dari peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah peristiwa itu
berlangsung sebagai titik tolak analisis.
Dan itu berarti kudeta terhadap Sukarno. Itulah di antara ingatan Sitor saat dia
diintrogasi setelah disekap dalam penjara gelap selama 3 bulan pada awal Orde Baru.
‘Kenapa Anda selalu kembali ke puisi-puisi Hamzah Fansyuri selama hidup bertahun-tahun
di luar?’
‘Saya selalu membawa puisi Hamzah Fansyuri, sufi dan penyair Melayu abad 16. Setiap
saya merasa identitas ke-Indonesia-an saya terguncang, saya membaca puisi Fansyuri.
Satu bait saya baca, saya sudah merasa pulang ke Indonesia, saya merasa sudah menjadi
orang Indonesia kembali.’
‘Kenapa Fansyuri? Kenapa bukan Chairil Anwar yang satu generasi dengan Anda?’
‘Hamzah Fansyuri memenuhi kebutuhan saya terhadap apa yang saya sebut sebagai
“identitas kebatinan”. Identitas kebatinan bukan untuk dipahami sebagai soal teologis
atau agama. Melainkan sebagai karakter bahasa dan kebudayaan yang kita tidak bimbang
lagi untuk memasukinya dan menimbanya. Sama seperti Federico Garcia Lorca dengan
peninggalan Islam di Spanyol atau Iqbal di Pakistan. Identitas kebatinan yang ia temukan
antara pantun (Fansyuri) dan soneta (Lorca).;
Puisi-puisi dari 3 penyair di atas untuk Sitor Situmorang bisa dibaca sebagai tempat
melakukan ziarah, menemukan identitas kebatinan. Mungkin bisa dipahami sebagai
biografi budaya bagi penyair seperti Sitor. Sesuatu yang lebih mendasar daripada kita
membacanya sebagai identitas kebangsaan. Identitas kebatinan memberikan
pencahayaan saat-saat orang memasuki masa-masa gelap dari biografi budaya yang
dihadapinya. Dalam wilayah ini, puisi-puisi Hamzah Fansyuri menjadi rumah atau kampung
halaman untuk orang bisa kembali ke rumahnya sendiri secara kultural.
28
Berbagai upacara adat yang dilakukan Sitor sebagai seorang Batak merupakan bagian
pelaksanaan dari identitas kebatinan ini. Dilakukan tidak semata-mata sebagai seorang
Sitor, melainkan sebagai seorang Raja Usu (nama adat untuk Sitor). Mengalami peristiwa
adat sebagai peristiwa hidup bersama leluhur dan seluruh konsekuensi genetis dan
antropologis yang berlangsung di dalamnya. Dalam perisitwa adat itu seluruh mitologi
yang mendukungnya hadir kembali bersama dengan berbagai sensasinya sebagai
kenyataan dalam konteks Batak. ‘Kesurupan’ berlangsung sebagai perpindahan dari dunia
seseorang ke dunia silsilah dan mitologis. Identitas kebatinan seakan-akan transenden
terhadap waktu, sebagai waktu spriritual dan waktu estetis sekaligus. Dua dimensi waktu
yang membuat manusia tidak semata-mata hidup sebagai aktor antropologis di masa kini,
juga sebagai aktor mitologis yang merajut sendiri berbagai fiksi yang dikayakininya.
Mengendarai sendiri fiksi-fiksi yang diyakininya, tidak membiarkan dirinya terseret
begitu saja ke sensasi-sensasi masa kini. Pembicaraan di sekitar identitas kebatinan ini,
saya ikuti dalam sebuah diskusi yang dilakukan Sitor bersama Mohamad Sobari di kantor
Berita Nasional Antara.
Dalam transportasi kultural ini, Chairil berada dalam wilayah yang lain. Wilayah yang
terseret dan tenggelam dalam isu modernisme (sebagai pembayangan dan bukan realitas).
Bagi Sitor, puisi-puisi Chairil merupakan puisi yang bagus di antara puisi-puisi modern
lainnya. Tetapi tidak membangun identitas kebatinan. Menurutnya, Chairil Anwar itu
“orang kampung” yang hidup di jaman modern dan membiarkan dirinya terseret ke dalam
sensasi-sensasi kemoderenan dalam estetika puisi yang dibangunnya. Pernyataan Sitor
ini bisa menjadi titik tolak kenapa sastra Indonesia modern — yang dibesarkan lewat
perebutan makna dalam lingkungan politik kolonial, hingga kini masih diragukan bisa
menjadi “rumah kultural” kita sendiri. Sastra Indonesia modern menjadi representasi
dari kesepian dan kegelisahan para modernis yang autis terhadap perubahan. Sikap kritis
yang pernah muncul untuk mengkritik ideologi sejarah dalam membangun anatomi sastra
Indonsia, mengesankan selalu tenggelam dalam perebutan makna dengan latar sejarah
yang masih sama sebagai jerami dari kutub-kutub konflik. Dijalankan oleh Jakarta yang
memperlakukan dirinya tetap sebagai rejim makna dari kota post-kolonial dengan
infrastruktur yang selalu tertinggal oleh perubahan.
2. Dia Setelah Kata
Pikiran apakah yang bergerak dalam seorang penyair di hari tuanya, ketika dia mulai
puasa dari bahasa? Dan membangun hening sebagai ruangnya, walau dia menguasai
29
berbagai bahasa: Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Terhindar dari dusta dan
kekuasaan yang dibawa bahasa.
Sudah hampir tiga tahun Sitor tidak ke Indonesia, dan sudah dua bulan menolak keluar
dari apartemennya, ketika saya berkunjung ke apartemennya di Alpeldoorn, Belanda, 2
November 2014. Hari belum terlalu malam. Tetapi dia sudah berjalan tertatih, dibantu
tongkat beroda yang menyangga tubuhnya, untuk menutup gorden dengan jari-jari
tangannya yang gemetar. Lalu menyalakan seluruh lampu ruangan. Kehidupannya mulai
disangga oleh Barbara Brouwer (istrinya) dan Leonard Bumbunan (anaknya). Ruang
berubah menjadi hening setiap dia mulai bergerak, lambat dan patah-patah. Jari-jari
tangannya bergerak memetik daun-daun layu dari tangkai tanaman di meja ruang
tamunya. Hal yang kecil-kecil yang membuat tubuhnya masih bisa terlibat dengan ruang.
Bergerak di luar waktu, batas yang kian tipis antara tubuhnya dengan peradaban, karena
kini ia hidup dalam ruang tanpa target. Yang tinggal hanyalah intensitas.
Sitor semakin jauh dari kehidupan publik. Ruang ini seperti sudah tidak ada maknanya
baik dari sudut usia biologis sitor maupun dari sudut kenyataan Sitor yang berada di luar
Indonesia. Dimanakah identitas publik dalam ruang seperti ini? Saya tidak bisa
membayangkan Sitor menulis puisi dalam bahasa Belanda untuk publik dengan tema yang
hidup di Belanda. Tubuh-biografis Sitor adalah biografi Indonesia, bukan biografi
Belanda. Migrasi dari dua tubuh ini tidak mudah seperti melakukan migrasi dari bahasa
Indonesia ke bahasa Belanda, karena ada sistem representasi yang tertinggal pada
bahasa Indonesia yang membentuk biografi maknanya. Sebagian eksil Indonesia
mengalami ruang gelap dalam migrasi makna ini, tidak bisa keluar dari kerangkeng makna
Indonesia yang membentuknya. 6 Generasi eksil yang oleh pemerintah Indonesia
dibiarkan hilang begitu saja.
Ruang gelap ini tidak semata-mata merupakan bagian dari “misteri bahasa” dalam
perbedaan ruang makna. Melainkan juga menjelaskan kenapa sebagian eksil Indonesia
tidak mendapatkan makna barunya dalam gelombang migrasi makna yang mereka alami.
Pada sisi lain, mengapa sastra Indonesia tidak bisa hadir dalam pergaulan sastra
internasional sebagaimana sastra Amerika Latin, India atau Cina, setelah Pramoedya
Ananta Toer pernah masuk dalam nominasi Nobel. Saya ingin masuk ke dalam wawasan ini,
6 lihat wawancara dengan Agam Wispi oleh Hersri Setiawan: Menjadi Eksil, Puisi Eksil, dan Indonesia:
Wawancara dengan Agam Wispi: http://indoprogress.com/2013/08/menjadi-eksil-puisi-eksil-dan-indonesia-wawancara-dengan-agam-wispi
30
tetapi saya merasa tidak mampu. Ada semacam akar yang koyak dari keterpecahannya,
kehilangan sampiran bersamanya dari perebutan makna yang menciptakan situasi autis
yang laten.
‘Apakah bang Sitor sudah punya rencana ke Indonesia?’ tanya saya dengan rasa cemas
membuat keretakan pada dinding keheningannya.
Dia menatap saya, masih dengan tatapan mata yang tajam. Tapi tatapan itu kini jauh lebih
dalam, seperti cermin yang telah meninggalkan bayangannya. Tatapan dari bayangan
keheningan, dimana seperti sudah tidak ada lagi bahasa yang bisa mengukur bayangan itu.
Saya takut mengusik keheningan ini. Keheningan yang bisa keruh ketika bahasa mulai
dibiarkan datang mengotorinya.
‘Belum ada rencana,’ jawabnya pendek. Tegas. Dan saya tahu, bahasa sudah tidak bisa lagi
digunakan sebagai jembatan untuk berbicara dengannya. Saya pun mencoba
menghadapinya dengan keheningan, walau tahu, saya tidak memiliki keheningan seperti
dirinya. Keningan yang padat. Dalam. Keheningan ini, menurut Barbara, merupakan tahap
awal alzheimer yang mulai diderita Sitor. Awal dimana dirinya tidak tahu bahwa ia lupa
dan masih mengatakan: “Saya tidak pernah lupa,” dalam bahasa Belanda yang tegas. Saya
mulai melihat daya hidupnya tidak lagi melalui apa yang dikatakannya, melainkan melalui
intensitasnya melakukan hal-hal kecil. Dan dia masih minta bir, walau bir tanpa alkohol.
Hidup dengan tubuh yang beratnya kini tinggal 37 KG.
Cahaya matahari musim gugur membuat padang bunga heide berwarna keemasan, di
hutan Kootwijk, Apeldoorn (kota di provinsi Gelderland, Belanda). Sekitar 1 jam dengan
kereta dari Amsterdam. Musim gugur telah merontokkan warna ungu dari padang bunga
heide itu, tinggal warna hijau gelap pada daun-daunnya. Di hutan ini, pernah berdiri
stasiun Radio Kootwijk, tempat lagu Hallo-Hallo Bandung pernah disiarkan. Bangunan
bekas stasiun radio ini kini dijadikan museum. Kota yang Pada April 2009, pernah
membuat heboh ketika seorang lelaki menyerang keluarga kerajaan Belanda dengan
menabrakkan mobilnya ke tubuh bis yang membawa keluarga kerajaan, pada hari
perayaan Queen’s Day. Delapan orang tewas dalam penyerangan ini.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Apeldoorn, merupakan kota tempat
berlibur para pejabat Hindia Belanda. Di kota ini pulalah penyair Sitor Situmorang
bersama istri dan anaknya tinggal. Sebuah apartemen dua lantai yang memiliki cukup
31
banyak koleksi buku dan lukisan, termasuk sebuah lukisan Hendra Gunawan dan songket
dari Minang. Beberapa patung karya Barbara tersebar di dalam maupun balkon
apartemen, di antaranya karya Dolorosa Sinaga dan beberapa patung sosok Sitor karya
Barbara.
Di pertigaan Paslaan Straat sudah terlihat apartemen mereka. Di balkon, di antara
susunan berbagai jenis bunga, tampak seperti Sitor sedang duduk memandang ke arah
jalan. Ternyata itu bukan Sitor, melainkan patung kepala Sitor. Penyair ini, 2 Oktober
2014 lalu, baru saja merayakan ulang tahunnya ke 90. Penyair Indonesia tertua yang
mengalami berbagai gelombang sejarah dan generasi di Indonesia selain Ajip Rosidi yang
kini menetap di Magelang. Sitor lahir 2 Oktober 1924 di Harianboho, Tapanuli, Sumatera
Utara.
Suatu hari, setelah reformasi, saya menyaksikan ceramah Sitor Situmorang di Gedung
Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat. Suaranya menggelegar ketika mengatakan: “Orang
yang telah memenjarakan Sukarno tanpa keadilan, harus diseret ke pengadilan. Suharto
harus diseret ke pengadilan!!!” Suara teriakan yang tidak pernah ada dalam puisi-puisinya.
Penyair yang pernah dipenjara pemerintah Suharto pada masa awal Orde Baru ini, justru
lebih melihat keadilan untuk Sukarno daripada untuk dirinya. Padahal dia sendiri
mengalami kekerasan dalam penjara tanpa cahaya, dipukuli hingga babak-belur, setiap
hari harus makan makanan basi yang busuk, bergilir dijaga mahasiswa-mahasiswa
berjaket kuning. Pelukis Nashar dalam bukunya, Nashar oleh Nashar (2002), diceritakan
pertengkaran hebat antara Sitor dengan Trisno Sumarjo pada awal dekade 60-an,
karena perbedaan ideologi antara keduanya. Trisno melarang Sitor berbicara di Balai
Budaya (Menteng) saat itu. Nashar mengizinkan, tetapi tidak bisa melerai pertengkaran
yang hampir membuat perkelahian antara keduanya.
Sitor sebagai politikus dan Sitor sebagai penyair, seperti pasangan kembar yang
terbelah dalam dua dunia. Di hari tuanya, Sitor semakin mirip dengan puisi (Perhitungan)
yang pernah ditulisnya untuk Rivai Apin: Aku belum juga rela berkemas. Manusia,
mengapa malam bisa tiba-tiba menekan dada? Sedang rohnya masih mengembara di
lorong-lorong. Keyakinan dulu manusia bisa hidup dan dicintai habis-habisan. Belum tahu
setinggi untung bila bisa menggali kuburan sendiri.
Sebuah relief sosok Sitor dengan jas lengkap, karya Barbara, bersandar di depan
perapian apartemennya. Saya sempat membaca salah satu puisinya, Amsterdam 1965,
32
dalam bukunya Di lembah Kekal dengan cover dari foto yang sama digunakan relief itu.
Diterbitkan Komunitas Bambu, 2004. Puisi yang berbicara tentang penyair sebagai nasib
dari sang pemanggul “salib waktu”. Dia telah memanggul salib itu dalam rentang waktu
panjang. Mengikuti berbagai pendidikan pada masa pemerintahan Belanda, studi
sinematografi di Los Angeles (1956-57); wartawan Suara Nasional (1945), Waspada
(1947), Berita Nasional dan Warta Dunia; dosen Akademi Teater Nasional Indonesia;
ketua Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia (1959-65), anggota Dewan Nasional,
anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, anggota Badan Pertimbangan Ilmu
Pengetahuan Departermen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-62). Pernah
menjadi dosen di Laiden.
Menjelang tidur, sehabis makan malam bersama di rumahnya, Sitor berdiri di depan
kamar tidurnya. Tidak bicara sepatah kata pun. Saya datang dan memeluknya, setelah itu
dia masuk ke kamar tidur. Barbara menyusulnya, menyiapkan kebutuhan Sitor untuk
tidur. Inilah penyair yang paling banyak menjelajahi warna-warna kehidupan, kini
memasuki soneta lain dalam hidupnya. Soneta keheningan dari ‘manusia setelah kata’,
seperti puisi yang pernah ditulisnya pada tahun 1953 di Paris, Chatedrale de
Chartres: Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu … Kristus telah disalib, manusia habis
kata.***
Berlin, 20 Desember 2014
———
__._,_.___