bab ii biografi sitor situmorang 2.1 masa kecil di … ii.pdf48 keluarga.7 oleh karena itu pula,...

46
BAB II BIOGRAFI SITOR SITUMORANG 2.1 Masa Kecil di Sumatra (1924 - 1941) Sitor Situmorang lahir di Harianboho, 2 Oktober 1924. Harianboho yang terletak di antara Pegunungan Bukit Barisan ini adalah kota kecamatan Harian, terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. 1 Desa yang luasnya sekitar 15 km 2 tersebut berada di kaki Gunung Pusuk Buhit, 2 sebelah Barat dari Danau Toba dan menghadap ke Pulau Samosir. 3 Menurut mitologi Batak, tanah kediaman leluhur Batak pertama berada di kaki Pusuk Buhit (berarti puncak bukit). 4 Inilah yang menyebabkan Harianboho menjadi tempat yang istimewa bagi orang Batak, walau secara geografis sebenarnya letaknya di pedalaman dan terisolir. 5 Ibu Sitor berasal dari marga Simbolon, ia merupakan istri kedua dari ayah Sitor. Sang ayah bernama Ompu Babiat, generasi ke-17 dari marga Situmorang yang memiliki ikatan kuat dengan dinasti Si Singamangaraja. 6 Dalam tradisi Batak yang patriarkal, posisi laki-laki sangat penting karena menentukan silsilah 1 Ramses Simbolon, “Harianboho,” harianboho.wordpress.com/about/ diakses pada 2 Mei 2015 pukul 14.13 Wita. 2 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924-2014 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), p. 1. 3 Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 18. 4 M. Hutauruk, Sejarah Ringkas Tapanuli: Suku Batak (Jakarta : Erlangga, 1987), p. 5. 5 J.J. Rizal, loc.cit. 6 Sitor Situmorang, op.cit., p. 2.

Upload: lamtruc

Post on 20-May-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

BIOGRAFI SITOR SITUMORANG

2.1 Masa Kecil di Sumatra (1924 - 1941)

Sitor Situmorang lahir di Harianboho, 2 Oktober 1924. Harianboho yang

terletak di antara Pegunungan Bukit Barisan ini adalah kota kecamatan Harian,

terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.1 Desa yang luasnya sekitar 15

km2

tersebut berada di kaki Gunung Pusuk Buhit,2 sebelah Barat dari Danau Toba

dan menghadap ke Pulau Samosir.3 Menurut mitologi Batak, tanah kediaman

leluhur Batak pertama berada di kaki Pusuk Buhit (berarti puncak bukit).4 Inilah

yang menyebabkan Harianboho menjadi tempat yang istimewa bagi orang Batak,

walau secara geografis sebenarnya letaknya di pedalaman dan terisolir.5

Ibu Sitor berasal dari marga Simbolon, ia merupakan istri kedua dari ayah

Sitor. Sang ayah bernama Ompu Babiat, generasi ke-17 dari marga Situmorang

yang memiliki ikatan kuat dengan dinasti Si Singamangaraja.6 Dalam tradisi

Batak yang patriarkal, posisi laki-laki sangat penting karena menentukan silsilah

1 Ramses Simbolon, “Harianboho,” harianboho.wordpress.com/about/

diakses pada 2 Mei 2015 pukul 14.13 Wita.

2 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924-2014 (Jakarta:

Komunitas Bambu, 2014), p. 1.

3 Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair

Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 18.

4 M. Hutauruk, Sejarah Ringkas Tapanuli: Suku Batak (Jakarta : Erlangga,

1987), p. 5.

5 J.J. Rizal, loc.cit.

6 Sitor Situmorang, op.cit., p. 2.

48

keluarga.7 Oleh karena itu pula, penjelasan tentang latar belakang ayah Sitor lebih

mudah ditemukan daripada tentang ibunya. Ompu Babiat lahir tahun 1860,

merupakan anak Lontung.8 Ia adalah pemimpin adat setempat yang disegani.

Hubungan antara keluarga Sitor dan trah Si Singamangaraja dijelaskan secara

padat oleh J.J. Rizal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keluarga Sitor

merupakan tempat marhula-hula atau pengambilan istri dari dinasti Si

Singamangaraja. Tradisi ini terbentuk atas dasar kepercayaan mistik dan

pertimbangan politik. Hubungan ini yang kemudian membuat keluarga Sitor juga

ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda bersama Si Singamangaraja XII

dari 1878 sampai 1907 dan menjadikan Lintong, tanah marga nenek moyang

Situmorang selama tujuh generasi, sebagai markas perang gerilya pada tahun

1883-1907.9

7 Masyarakat Batak menganut sistem patrilineal yakni keturunan yang

ditentukan oleh garis bapak, setiap keturunan memakai marga ayahnya. S.P.

Napitupulu, (et al.), Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan

Imperialisme di Sumatera Utara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional, 1991), p. 7.

8 Dalam kepercayaan Batak, diyakini ada dua manusia pertama yang

menjadi leluhur orang Batak, sumber dari seluruh marga yang ada, yakni Sumba

dan Lontung. Lontung atau Si Raja Lontung lahir dari perkawinan sedarah (incest)

antara Sariburaja dan Borupareme. Borupareme yang tengah mengandung

Lontung dibuang ke hutan dekat Danau Toba. Lontung lahir di sana dan

mengawini ibunya sendiri. Keturunan Lontung ada tujuh laki-laki yang membawa

nama marganya, keturunan pertama adalah Situmorang. Lihat, Jacob Cornelis

Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKiS, 2004),

pp. 9-10. Sementara Si Singamangaraja sendiri berasal dari keturunan Somba. Hal

ini yang kemudian, dalam bahasa Sitor, menjadi alasan mistik dan politik dari

hubungan kekerabatan dan perkawinan orang-orang dari marga Si

Singamangaraja (Sumba) dengan keluarga Situmorang (Lontung). Lihat: Sitor

Situmorang, op. cit., p. 22.

9 Ibid.

49

Oleh karena meninggalnya ibu Si Singamangaraja XII dan ibu Ompu Raja

Doli—yang juga nenek Sitor—di kamp tahanan setelah kalah berperang dengan

Belanda, Ompu Babiat yang telah bergerilya selama lebih dari 30 tahun akhirnya

terpaksa menyetujui upacara perdamaian dengan Belanda (margondang) pada

1908 dan harus meninggalkan Lintong, mengungsi ke Harianboho.10

Sejak saat

itu, Ayah Sitor hidup sebagai pemangku adat sekaligus pegawai administrasi

pemerintahan Hindia Belanda bergelar Jaihutan.11

Penaklukan Belanda terhadap

daerah-daerah di Nusantara sekitar tahun 1908 juga terjadi di Pulau Bali melalui

sejumlah perang Puputan.12

Sementara itu, pada tahun yang sama, para pemuda

Jawa justru baru saja membentuk perkumpulan Budi Utomo yang berupaya

menjalin hubungan dengan tradisi daerah di tengah modernisasi Barat, sebuah titik

permulaan munculnya kesadaran berbangsa.13

Keluarga Ompu Babiat beralih ke agama Kristen setelah zending

memasuki Harianboho pada 1918.14

Kendati demikian, Ayah Sitor tetap menjadi

10 Ibid.

11 Jaihutan adalah pemimpin adat yang diangkat oleh pemerintah kolonial

berdasarkan hundulan atau distrik dan menerima semacam gaji dari Belanda

dengan jumlah yang tidak banyak. Lihat, Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu

Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia

Populer, 2001), p. 26.

12 Michel Picard, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, terj.

Jean Couteau dan Warih Wisatsana (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer,

2006), pp. 24-25.

13 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1: Batas-batas

Pembaratan, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati

Yusuf (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 235.

14 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi, loc.cit. Kristenisasi di tanah Batak

telah berlangsung sejak abad ke-19. Tokoh utama pekabaran injil di Sumatra

Utara adalah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) yang memilih daerah

Silindung menjadi pusat Pekabaran Injil. Nommensen dibantu oleh Raja Pontas

50

panutan masyarakatnya dalam menjalankan adat istiadat serta doa-doa yang

ditujukan kepada Tuhan Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) dan leluhur di

Gunung Pusuk Buhit.15

Dari fakta ini dapat diperoleh gambaran bahwa Sitor lahir

dalam lingkungan yang diwarnai dengan aneka perubahan: dari komunitas adat

tradisional menjadi masyarakat yang mulai mengenal budaya kolonial Belanda

dengan segala kemodernannya, sebuah perubahan politik, sosial, dan revolusi

kebudayaan.

Lumbantobing, Baca : Thomas Van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah

Gereja Ringkas (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2008), p. 268. Tahun 1864

Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, Tarutung. Tahun 1876 ia berangkat

ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige tetapi tidak sempat

menyebarkan injil karena situasi perang antara Si Singamangaraja dan Kolonial

Belanda. Tahun 1881, Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram menyebarkan injil di

Laguboti dan Sigumpar di Toba. Tahun 1893 Pendeta J. Warneck tiba di

Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Letz di Pangururan dan

1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Tahun 1903 sejumlah pendeta utusan

RMG Barmen melakukan misi ke Tiga Langggiung, Purba, Sibuha-buhar,

Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan

Bukum. Kristenisasi ditandai pula dengan pendirian gereja, antara lain : sejak

tahun 1861 telah berdiri gereja kecil di Sipirok dan Bunga Bondar, 1862 di Parau

Sorat, Pangaloan dan Sigompulon, 1864 di Pearaja, 1867 di Pansur Napitu, 1870

di Sibolga, 1875 di Aek Pasir, 1881 di Balige, 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta,

1893 di Nainggolan, 1907 di Pematang Siantar, 1912 di Medan, dan sebagainya.

Sumber : “Masuknya Agama Kristen ke Tanah Batak,”

tangguraja.blogspot.com/diakses pada 11 Mei 2015 pukul 13.47 Wita.

15 Sitor Situmorang, op.cit., p. 21. Menurut C.H. Watson, pada awalnya

orang Batak dari Danau Toba tidak mudah dipengaruhi oleh kegiatan misionaris

sampai pertengahan abad ke-19. Para misionaris memang akhirnya berhasil

menyebarkan Kristen di kalangan masyarakat Batak, namun yang susah adalah

meyakinkan mereka bahwa kepercayaan Batak tradisional tidak sesuai dengan

ajaran Kristen. Terbukti bahwa praktek-praktek tradisi lama masih kerap

dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang dipandang bencana atau pada hari-hari

tertentu. Lihat C.H. Watson, ”Sitor Situmorang ‟Dunia Penuh Ambivalensi,”

dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang Sitor Situmorang (Jakarta: Komunitas Bambu,

2009), p. 31.

51

Sitor lahir dengan nama Raja Usu yang juga merupakan nama

leluhurnya.16

Nama Sitor sebenarnya berasal dari kata pitor, ledekan bagi Sitor

saat ia kecil, yang berarti angin puting beliung, karena semasa kanak ia suka

berlari-larian mengitari desa.17

Julukan “Si Pitor” tersebut kemudian diubah

menjadi Sitor oleh guru sekolah dasarnya dalam rapor pertamanya di kelas satu.18

Sitor meninggalkan Harianboho saat bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School

(HIS) di Balige, daerah bagian Selatan Danau Toba pada tahun 1931, sampai

kelas lima.19

Sekolah tersebut berdiri pada tahun 1925, saat pemerintah kolonial

mulai membuka jalan trans Sumatera-Medan-Padang yang juga melintasi ujung

Selatan Danau Toba.20

Pemerintah kolonial Hindia Belanda lewat politik etisnya, telah membuka

jalan, meningkatkan sarana transportasi dan mendirikan sekolah-sekolah di

Nusantara. Pendidikan di sekolah lebih diperuntukkan bagi anak-anak pegawai

negeri, orang berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang. Mata pelajaran

yang diberikan bagi mereka meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi,

16 Marga Situmorang diambil dari leluhur 18 generasi sebelum Sitor. Sitor

menulis silsilah tersebut dimulai dari “Lontung, beranak lelaki sulung

Situmorang, Situmorang beranak Suhut ni Huta, beranak Panoparaja, beranak

Parhujobung, beranak Datu Tanduk, beranak Tuan Sipallat, beranak Si Marsaitan,

beranak Sondiraja, beranak Guru Sojuangaon, beranak Ompu Gumorok, beranak

Somatangga, beranak Gulontam, beranak Biahat, beranak Tuan Singa, beranak

Ompu Raja Doli, beranak Ompu Babiat, beranak Raja Usu (Sitor Situmorang).”

Lihat, Sitor Situmorang, op.cit., p. 11.

17 Ibid., pp. 5-6.

18 “Sitor Situmorang: Biografi Singkat 1924-2014: Ungkap Sisi Lain Si

Raja Usu,” m.detik.com/ diakses pada 11 Mei 2015 pukul 14.09 Wita.

19 Sitor Situmorang, op.cit., p.18.

20 Ibid., p.27

52

ilmu alam, sejarah dan menggambar.21

Adapun kesadaran untuk menyekolahkan

anak perempuan masih rendah pada masa itu. Saudara perempuan Sitor hanya

disekolahkan di Harianboho selama tiga tahun Sekolah Dasar yang berbahasa

daerah, bukan menggunakan Bahasa Belanda seperti sekolah Sitor dan enam

saudara laki-laki lainnya.22

Seperti halnya keluarga Sitor di Harianboho, masyarakat Balige di mana

Sitor tinggal juga pendukung setia Si Singamangaraja yang oleh pemerintah

kolonial, putra-putra dari kepala adatnya disekolahkan dengan pendidikan

berbahasa Belanda dan dikristenkan.23

Balige saat itu telah menjadi pusat arus

perubahan dan persinggungan budaya Batak dan modernisasi. Balige dikenal

sebagai daerah poros perkembangan dunia Batak pra kolonial (lama) dan

dinamika perubahan semasa kolonial (zaman baru).24

Selama lima tahun bersekolah di Balige, Sitor merasakan berbagai

pengalaman baru dan bersentuhan dengan budaya modern, antara lain :

mendengarkan siaran radio, melihat fotografer, membaca koran, menonton film,

minum es dengan aneka warna sirop, melihat truk-truk dalam perjalanan dari dan

ke negeri jauh, di sana pula ia pertama kali belajar bahasa Belanda dan

menyaksikan berbagai orang dari negeri asing berseliweran di kota kecil itu. 25

Bagi Sitor, Balige menjadi pintu masuknya berkenalan dengan zaman baru, di

21 Marwati Djoened Poespoenegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia V (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), p. 43.

22 Sitor Situmorang, op.cit., p. 26.

23 Ibid., p. 27.

24 Ibid.

25 Ibid., pp. 27-30.

53

samping mengenali lebih dekat berbagai upacara ritual, hal-hal gaib, dan aktivitas

komunitas adat lama yang telah ada sejak era pra kolonial.26

Pendidikan di Balige dilanjutkannya di HIS Sibolga27

yang terletak di

pantai Barat Sumatra pada tahun 1936.28

Selama di Sibolga inilah Sitor mulai

bersentuhan dengan masyarakat dan budaya Islam, di samping berkenalan dengan

beragam suku,29

bahasa, dialek, dan suasana daerah pesisir yang berbeda dari

kampung halamannya di lembah pegunungan Harianboho.30

Di sini, Sitor pertama

kali mengetahui aktivitas pengajian dan sembahyang tarikat para sufi serta melihat

masjid.31

Suasana Sibolga menumbuhkan bibit kesadaran kosmopolitan serta

perdagangan dan pergaulan internasional yang asing namun menggairahkan bagi

Sitor sekaligus menimbulkan impiannya tentang negeri-negeri jauh.32

Setelah tujuh tahun di HIS Balige dan Sibolga, Sitor melanjutkan

pendidikan di Meer Uitgebried Lager Onderwijs (MULO) yang setara Sekolah

26 Ibid., pp. 27-28

27 Sibolga dulunya adalah bandar kecil di Teluk Nauli dan terletak di Pulau

Poncan Ketek. Pada masa kolonial Belanda, abad ke-19, didirikan bandar baru di

Kota Sibolga karena bandar lama dipandang terlalu kecil. Sibolga berkembang

menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. “Sejarah Singkat Kota Sibolga,”

sibolgakota.go.id/index.php/profil/sejarah-kota, diakses pada 13 Mei 2015 pukul

21.00. Sibolga baru di mana Sitor bersekolah terletak di pantai Barat Sumatera

Utara, 344 km dari Kota Medan, berada di sisi pantai Teluk Tapian Nauli

menghadap ke arah Samudra Hindia. Sibolga dulunya juga menjadi pusat

keresidenan Tapanuli di masa kolonial. “Profil Kota Sibolga,”

gmkisibolga.blogspot.com/ diakses pada 13 Mei 2015 pukul 21.20 Wita. 28

Sama dengan di atas. 29

Sebagai daerah pesisir, kota pelabuhan dan perdagangan, Sibolga

didiami oleh berbagai etnis, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, Batak

Simalungun, Batak Karo, Bugis, Aceh, Nias, Jawa, Melayu, Minang, Tionghoa,

dll. Sumber : “Profil Kota Sibolga,” sama dengan di depan. 30

Sitor Situmorang, op.cit., p. 32.

31 Ibid., pp. 35-36.

32 Ibid., p. 33.

54

Menengah Pertama di Tarutung,33

ibukota kabupaten Tanah Batak, di Lembah

Silindung (1938-1941).34

Pada masa-masa sekolah (baik selama di Balige, Sibolga

dan Tarutung) inilah Sitor sering melihat rapat-rapat besar yang dipimpin oleh

seseorang yang dijuluki “Soekarno Batak” yakni Mangihut Hazekiel Manulang35

yang mengobarkan semangat melawan kolonialisme.36

Pidato-pidato Manulang,

yang orangtuanya juga turut berperang dengan pemerintah kolonial Belanda

bersama Si Singamangaraja dulu, menumbuhkan gelora perlawanan kepada

kolonialisme dalam diri Sitor.37

Manulang adalah inspirator Sitor dalam

menghidupkan sejarah dan mitos Si Singamangaraja tidak sebatas dalam konteks

perjuangan suku bangsa Batak, melainkan lebih dari itu yakni menjadi mitos

nasionalisme.38

Tokoh inspirator lainnya bagi Sitor adalah Mohamad Saleh Umar

atau Surapati yang dikenal sebagai nasionalis radikal dari partai nasional Gerindo

33 Tarutung sejak lama dikenal sebagai daerah perdagangan hingga

meletusnya Perang Padri (1816-1833) yang menghancurkan kehidupan

masyarakat. Perdagangan dimulai lagi pada masa kolonial di mana Belanda

menanam sebuah pohon durian sebagai penanda kawasan berdagang. Sejak saat

itu tempat ini dikenal dengan nama Tarutung yang dalam Bahasa Batak berarti

durian. Sumber: ”Ini Dia Kisah Kota Tarutung si Kota Durian,”

gobatak.com/¸diakses pada 14 Mei 2015 pukul 08.00 Wita.

34 Sitor Situmorang, op.cit., p. 35.

35 Manulang adalah kader Insulinde di Jakarta yang mendirikan Hatopan

Kristen Batak dengan maksud mendorong kemajuan melalui pendidikan dan

ekonomi serta menentang pemberian tanah rakyat kepada pihak kolonial.

Selengkapnya lihat M. Hutauruk, op.cit., p. 36.

36 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi…., op.cit., p. 7.

37 J.J. Rizal, “Catatan Editor,” dalam J.J. Rizal (ed.), Ibu Pergi Ke Surga:

Kumpulan Lengkap Cerpen Sitor Situmorang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011),

p. xi.

38 Ibid., pp. x-xi.

55

(Gerakan Rakyat Indonesia) yang meramu aktivitas politik, sastra dan jurnalistik

sebagai model perjuangan.39

Tokoh-tokoh inspirator inilah yang menguatkan cita-cita Sitor untuk kelak

terjun ke dalam pusaran kehidupan politik, antusias pada dinamika negara-bangsa

Indonesia yang tengah bertumbuh, menjadi sastrawan dan intelektual di kemudian

hari. Oleh karenanya, Sitor memilih jalur yang berbeda dari kakak-kakak laki-

lakinya yang menjadi pegawai di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sitor

bertekad untuk kelak bersekolah di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

2.2 Sitor dalam Persimpangan Zaman: Menguatnya Kesadaran

Kebangsaan dan Anti Kolonial (1941-1945)

Sitor berlayar ke Batavia, merintis jalan menuju pendidikan tinggi yang

diidamkannya dengan mendaftar di Christelijke Hollandsch Inlandsche School,

sejenis Algemene Middlebare School (AMS) atau Sekolah Menengah Atas, di

Salemba, Batavia40

pada Desember 1941.41

Sekitar tahun itu, ketika Sitor tengah

menempuh masa studi awal di sekolah milik Gereja Greformeer tersebut, sedang

terjadi rangkaian peristiwa besar di dunia internasional, yang tak pelak juga

berpengaruh bagi Hindia Belanda. Perang Dunia II sedang berkecamuk. Jerman di

bawah kepemimpinan Adolf Hitler menyerbu sejumlah negara untuk memperluas

kekuasaannya, sementara Jepang terus berusaha menguasai Cina. Jerman telah

39 Ibid., p. xi.

40 A. Teeuw, “Sitor Situmorang : Pengarang dan Manusia,” dalam J.J.

Rizal (ed.), Menimbang…., op.cit., p. 257.

41 Sitor Situmorang, op.cit., p. 32.

56

menyerang dan menduduki Belanda hingga pemerintah dan Ratu Belanda

diungsikan ke London.42

Sekolah-sekolah di Hindia Belanda, tak terkecuali

sekolah Sitor, menggalakkan aksi simpati dan solidaritas kepada situasi di negeri

Belanda. Di lain pihak, pada saat yang sama, rasa kebangsaan dan perjuangan anti

kolonial justru menguat di hati para remaja. Sitor misalnya justru semakin aktif

mengikuti berita seputar tokoh-tokoh nasionalis lain seperti Dr. Cipto

Mangunkusumo, Mohamad Hatta, Sutan Syahrir, Sukarno, dan sebagainya.43

Setelah jam pulang sekolah, Sitor biasa singgah di depan kantor surat kabar

Bintang Timur yang berhaluan nasionalis untuk dapat membaca koran secara

gratis sebelum kembali ke tempat tinggalnya di daerah Bungur yang berbatasan

dengan Kemayoran. Saat-saat itu dimanfaatkannya pula untuk secara khusus

belajar bahasa Indonesia.44

Sitor senang bersepeda di Jakarta, berkeluyuran untuk menyusun peta

geografi yang menggambarkan pusat-pusat pergerakan kebangsaan.45

Ia pun

kemudian mengetahui bahwa dekat tempat tinggalnya berdiri gedung pertemuan

Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi mahasiswa yang

dianggap nasionalis; di daerah itu pula ada rumah kepala surat kabar Bintang

42 Wildan Sena Utama, “Teropong Ong tentang”,

wildansena.wordpress.com/ diakses pada 8 Mei 2015, pukul 23.30

43 Saat itu, tuduhan-tuduhan Belanda kepada sejumlah tokoh yang

dipandang pro Jepang mulai terjadi. Parada Harahap dan tokoh nasionalis seperti

Mohamad Husni Thamrin dicurigai bersimpati kepada bangsa Nippon. Sekitar era

tersebut, Dr. Cipto Mangunkusumo, Mohamad Hatta, Syahrir dipindahkan dari

pembuangannya di Banda ke Sukabumi. Sitor Situmorang, op.cit., p. 55.

44 Pelajar bahasa Indonesia tidak diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.

Para siswa hanya belajar bahasa Melayu (mata pelajarannya bernama Maleise

Handels-Correspondentie) dalam waktu yang terbatas setahun. Ibid., pp. 51-52.

45 Ibid.

57

Timur yakni Parada Harahap yang rumahnya sering dikunjungi Sitor dengan

alasan bertandang mengunjungi keponakannya yang juga teman sekelas Sitor dan

tinggal di sana. 46

Sitor membuat pembedaan antara istilah “Batavia” dan

“Jakarta” yang baginya memberikan kesan yang tidak sama: yang satu adalah

sebutan dari ibukota kolonial Hindia-Belanda, satu lagi merupakan tempat

munculnya ide-ide dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Baginya, Batavia-

Jakarta adalah pusat gerakan politik bagi kaum nasionalis.47

Benih-benih

perlawanan dalam diri Sitor tercermin pula manakala ia, selama di sekolah, tidak

antusias menekuni pelajaran yang berorientasi pada Eropa atau Belanda,

semangatnya justru muncul manakala mempelajari ilmu sejarah, sosial, serta

geografi seputar Indonesia.48

Ia pun tetap memegang teguh mimpinya

melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Hukum sampai akhirnya mimpi itu kandas

setelah kedatangan tentara Jepang yang memukul mundur kekuasaan kolonial

Belanda, termasuk menutup sekolah-sekolah Belanda di Jakarta.

Setelah pengeboman Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang dengan

tentaranya yang militan semakin memperluas ekspansinya hingga ke Hindia

Belanda.49

Sitor menjadi saksi langsung peperangan dan pengeboman Jepang di

46 Ibid., pp. 54-55.

47 Ibid., p. 52.

48 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 9.

49 Sejak 1937, Perang Pasifik telah berlangsung, ditandai dengan agresi

Jepang ke Cina yang direspon oleh serangan Amerika dan berujung pada serbuan

balik Jepang ke pangkalan militer negara adidaya itu. Keberhasilan Jepang

menghancurkan armada perang Amerika dilanjutkan dengan agresi ke pangkalan

udara Amerika di Filipina, serangan ke tanah jajahan Inggris di Hongkong,

Malaya, Singapura, sampai ke Nusantara. Serangan-serangan Jepang tersebut

memunculkan kelompok negara-negara yang melawan tentara Nippon, antara lain

Cina, Amerika Serikat, Inggris, Filipina, Australia, Belanda dan Selandia Baru.

Sementara Jepang sendiri dibantu oleh Thailand dan rakyat Hindia Belanda yang

tengah dijajahnya. Selengkapnya perihal runtutan Perang Pasifik. Lihat, Astri

58

Jakarta pada Januari 1942. Ia melihat pesawat tempur terbang dan baku tembak di

langit, jatuhnya pesawat Belanda jenis spitfire, dan jatuhnya bom-bom Jepang.50

Sitor terpaksa berhenti sekolah saat itu, ia pun tak lagi mendapatkan kiriman uang

dari Sumatra, hal serupa terjadi pada pelajar-pelajar lainnya yang berasal dari luar

Jawa.51

Jakarta secara resmi diduduki Jepang setelah Jenderal Spoor didampingi

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Starkenborgh menandatangani dokumen

pernyataan kalah kepada Jenderal Jepang Nakamura pada Maret 1942 di lapangan

terbang militer Kalijati, Subang.52

Suatu kali Sitor dan seorang teman sekelasnya

berkeliling di sekitar Senen tak sengaja berjumpa seorang serdadu Jepang yang

menghampiri mereka dengan sepeda kecil. Serdadu itu merebut sepeda teman

Sitor di lapangan Waterloo dan pergi mengayuhnya begitu saja. Itu adalah

pertama kalinya Sitor melihat tentara Nippon di Jakarta.53

Sebagian masyarakat Indonesia menaruh harap akan kedatangan Jepang

yang dipandang akan membawa Indonesia ke arah kemerdekaan. Panitia-panitia

penyambutan dibentuk di sejumlah daerah untuk merayakan kemenangan

D.H. dan Faisal A. Nadif, Sejarah Perang-Perang Besar di Dunia (Yogyakarta:

Familia, 2011), pp. 117-118.

50 Sitor Situmorang, op.cit., p. 63.

51 Ibid., p. 71.

52 Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana, “Serangan Kilat Jepang

Menggulung Belanda di Kalijati,” angkasa.co.id, diakses pada 8 Mei 2015 pukul

23.50 Wita.

53 Sitor Situmorang, op.cit., pp. 67-69.

59

Jepang.54

Kegembiraan itu tidak berlangsung lama, Jepang mengeluarkan

larangan pengibaran Bendera Merah Putih dan pengumandangan lagu Indonesia

Raya, rakyat akhirnya menyadari bahwa Jepang memiliki misi imperialisme

tersendiri. Setelah Jepang menutup sekolah-sekolah Belanda, Sitor dan siswa-

siswa lainnya terpaksa bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang

dibentuk oleh Jepang dengan menggabungkan sekolah-sekolah menengah atas di

Jakarta.55

Sitor belajar di sana sampai akhirnya ia bersama pelajar-pelajar dari luar

Jawa lainnya dipulangkan ke kampung halaman.56

Tahun 1943, Sitor yang sudah kembali ke Sumatra terpilih untuk

melanjutkan studi ke Tokyo, Jepang, sebagai perwakilan Tapanuli Utara, antara

lain karena memiliki dasar pendidikan yang cukup serta latar belakang keluarga

yang ningrat.57

Sitor pun berangkat dengan singgah sejenak di Singapura yang

kemudian menjadi beberapa minggu lantaran terserang disentri. Kapal pun

meninggalkan Sitor yang saat itu tengah dirawat di rumah sakit setempat. Ia batal

bersekolah ke Tokyo. Setelah sehat, Sitor kembali ke Sumatra.58

Pengalamannya

yang singkat di Singapura ternyata membawanya pada perenungan tentang

Nusantara. Dalam perjalanan pulangnya, melewati Riau dan Bukittinggi, Sitor

menyadari betapa luasnya tanah air dan betapa besar bangsa yang mendiaminya. 59

54 Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, Perjuangan Rakyat Semesta

Sumatera Utara, (Jakarta: Forum Komunikasi EX SUB Teritorium VII Komando

Sumatera, 1979), p. 54.

55 Sitor Situmorang, op.cit., pp. 71-72.

56 Ibid., p. 74.

57 Ibid.

58 Ibid., pp. 81-82.

59 Ibid., pp. 82-83 .

60

Sitor tidak lagi merasa sebagai orang Batak yang mengagumi negeri jauh atau

orang gunung terpesona pada lalu lintas kota, melainkan sebagai bagian dari

bangsa besar bernama Indonesia dengan segala keragamannya.

Sesampainya Sitor di Sumatera, ia menetap di Sibolga yang kala itu masih

menjadi Ibukota Keresidenan Tapanuli. Ia sering membaca buku di perpustakaan

milik kakak laki-lakinya dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli, ia

terkesan dengan kisah Saijah-Adinda dan terdorong menerjemahkan sajaknya ke

bahasa Batak: sebuah usaha sastra pertama yang dilakukan Sitor.60

Sitor juga

mulai membaca sastra yang dimuat di majalah Pujangga Baru. Selain bertemu

dengan kesusastraan, kehidupan Sitor selama di Sibolga mulai dijalani dengan

diskusi-diskusi bersama aktivis gerakan kebangsaan, jurnalis, dan teman-teman

bekas pelajar di Jawa, yang keseluruhannya membulatkan impian Sitor untuk

menjadi wartawan dan sastrawan.61

Ketika ibukota keresidenan kemudian dipindahkan dari Sibolga ke

Tarutung, Sitor ikut pindah dan bertugas membantu seorang Jepang yang lama

tinggal di Tanah Batak bernama Kakitani untuk mengurus perpustakaan besar

berisi arsip-arsip Belanda, ia bekerja untuk Tyokan atau gubernur.62

Sementara itu,

orang-orang Indonesia mulai dididik menjadi tentara-tentara yang dapat

membantu Jepang melawan gempuran musuh-musuhnya. Tahun 1943 dibentuk

tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa dan tentara Gyugun di Sumatra

60 Ibid., p. 85.

61 Ibid., p. 83.

62 Ibid., p. 92.

61

dengan tempat latihan salah satunya di daerah Sumatra Utara.63

Bagi rakyat

Indonesia, pelatihan ini merupakan kesempatan untuk belajar teknik perang demi

perjuangan kemerdekaan kelak.

Ketika kekuasaan tentara Jepang semakin melemah di Indonesia, ditandai

dengan kedatangan tentara Sekutu yang berniat mengambil kembali tanah

jajahannya, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945 atas komando Saiko

Syikikan Kumakici Harada.64

Pada masa-masa genting ini, sekitar Maret 1945,

Sitor menikah dengan seorang perempuan bernama Tio Minar Gultom,

berpendidikan guru di sekolah Belanda, putri mantan demang dari Samosir,

Mangaraja Frederick Gultom, yang berpaham modern.65

Menurut J.J. Rizal, Sitor

memandang pernikahannya sebagai simbol “zaman baru” terhadap adat lama

karena Tio bukanlah calon istri yang dipilih dengan mengikuti adat-tradisi

perjodohan keluarga, sebagaimana yang mendasari pernikahan semua saudara-

saudaranya, melainkan pilihan Sitor sendiri yang berhasil terwujud setelah

berulang kali bolak-balik meyakinkan ayahnya.66

Setelah berbulan madu di Harianboho, sekitar Juni-Juli 1945, Sitor

kembali ke Tarutung, bekerja di perpustakaan dengan Kakitani.67

Kala itu, isu-isu

bahwa Jepang sedang terpuruk sudah berhembus. Dalam posisi yang makin

63 Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 57.

64 Ibid., p. 62.

65 J.J. Rizal, Sitor Situmorang : Biografi..., op.cit., p. 11.

66 Ibid.

67 Sitor Situmorang, op.cit., p. 99.

62

terdesak oleh serangan Sekutu, Jepang semakin mendengungkan janji-janji

kemerdekaan Indonesia. Pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Soekarno-Hatta.68

Sitor

mengetahui Jepang telah kalah perang pertama kali dari pembicaraan rahasianya

dengan Kakitani.69

Sementara Jepang pada waktu itu masih menutupi

kekalahannya, kendati sebenarnya Hiroshima telah dijatuhi bom atom “Little

Boy” oleh Amerika pada 6 Agustus 1945 dan bom atom kedua yang dijuluki “Fat

Man” sudah menghancurkan Nagasaki.70

Jepang pun menyerah tanpa syarat

kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Peristiwa ini diikuti dengan Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia dua hari setelahnya.

Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru sampai di Tarutung pada

September 1945 lewat wakil Sumatera di PPKI, yakni Mr. Teuku Mohammad

Hassan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas.71

Berita lainnya, Soekarno dan Mohamad Hatta

menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, sementara Mr. Teuku Mohamad

Hassan sebagai Gubernur Sumatra.72

Sitor pun segera terjun dalam pembentukan

Komite Nasional daerah Tapanuli di mana ia kemudian ditempatkan di bagian

penerangan. Selama tiga kali dalam seminggu, Sitor bertanggungjawab sebagai

redaktur, menerbitkan koran Suara Nasional : ini adalah pengalaman pertamanya

68 Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 62.

69 Sitor Situmorang, op.cit., p. 106.

70 St. Sularto dan Dorothea Rini, Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI,

PPKI, dan Kemerdekaan (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010), p. 48.

71 Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 63.

72 Sitor Situmorang, op.cit., p. 109.

63

di dunia jurnalistik.73

Sitor kemudian merambah jenjang karir wartawan yang

lebih serius dengan melamar pekerjaan di harian Waspada di kota Medan. Medan

adalah salah satu pusat terpenting perkembangan pers nasional kala itu, di luar

Jakarta.74

2.3 Terlibat dalam Revolusi: Pergulatan Bangsa dan Diri (1945-1949)

Menjadi wartawan di Suara Nasional kemudian Waspada adalah salah

satu keterlibatan Sitor di masa awal revolusi. Aktivitas sebagai jurnalis menuntut

keluasan wawasan. Sitor pun semakin banyak membaca dan akhirnya mengagumi

tulisan-tulisan Sutan Syahrir, pikiran-pikiran Soedjatmoko dan Rosihan Anwar

yang kerap dimuat dalam majalah Siasat.75

Hal ini giliran berikutnya tidak hanya

membantu karir jurnalis Sitor, melainkan juga menambah tabungan bagi

perkembangan intelektualnya. Pengalaman ini memperkuat kesadaran dan

keyakinan politik Sitor di usianya yang baru menginjak 23 tahun.76

Belum lama bekerja di Waspada, Sitor harus kembali berhadapan dengan

situasi perang. Belanda melancarkan serangan-serangan di daerah Sumatra. 4

Januari 1947, kampung-kampung dan kota di sekitar Medan telah dibom oleh

Angkatan Udara Belanda hingga menewaskan 52 orang.77

Teluk Sibolga juga

73 Ibid., p. 111.

74 Ibid., p. 120.

75 Ibid., p. 121.

76 Ibid.

77Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Kronik Revolusi Indonesia Jilid III

(1947) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), p. 6.

64

digempur Belanda pada 5 Januari 1947, namun berhasil digagalkan oleh.78

Akibat

dari serangan-serangan ini, ibukota provinsi dipindahkan ke Pematangsiantar.

Medan telah diduduki Belanda, Sitor pun ikut pindah ke ibukota provinsi yang

baru.

Selain revolusi fisik, Indonesia juga mengalami revolusi sosial yang

menggerakkan kaum petani dan rakyat kecil untuk menangkap dan bahkan

membunuh para raja dan sultan, termasuk Ompu Babiat, ayah Sitor, juga hampir

menjadi korban.79

Revolusi sosial tersebut meletus pada 3 Maret 1946, orang-

orang yang terkait dengan swapraja ditangkap oleh Volksfront. Pada 6 Maret

1946, upaya perundingan dilakukan antara pihak Volksfront, pemerintah Sumatra

Timur dan pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan hasil M.J. Nasution

bersama Mr. Luat Siregar akan berkeliling Sumatra untuk menyuarakan

perdamaian.80

Melihat itu semua, Sitor sampai pada pertanyaan “Apakah revolusi

bicara harus selalu dengan darah?”81

Pertanyaan tersebut menunjukan keterlibatan

Sitor secara emosional terhadap pergolakan zaman yang terjadi. Dalam usia sedini

itu, permasalahan bangsa telah menjadi bahan pemikirannya yang kemudian turut

mendasari pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Selain dua media massa yang telah disebutkan sebelumnya, Sitor juga

sempat bekerja di kantor berita Antara di Pematangsiantar, tempat berbagai berita

penting dari Pulau Jawa dan luar negeri dapat diakses melalui radio. Sitor

78 Ibid., p. 7.

79 Sitor Situmorang, op.cit., p. 122-125.

80 Moela Marboen dan R.Z. Leirissa, op.cit., p. 145.

81 Sitor Situmorang, op.cit., p. 127.

65

mendapat gambaran yang lebih terang tentang situasi yang terjadi di pusat

pemerintahan yakni di Jawa yang pada 1947 masih terfokus pada pro dan kontra

hasil-hasil Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947 oleh

Perdana Menteri Sutan Sjahrir dari pihak Indonesia. Hasil perundingan yang

mempersempit wilayah teritorial Indonesia serta kesepakatan pembentukan

Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda di bawah Ratu Belanda ini

ditolak di Aceh dengan tokoh-tokoh seperti Mr. S.M. Amin, Sutikno

Padmosumarto dan Amelz dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Aceh.82

Belanda memperkeruh situasi dengan melanggar Perjanjian Linggarjati

melalui serangan militer terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Menghadapi

serangan tersebut, Republik Indonesia mengadukan Belanda ke PBB yang

menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional yang berujung kepada gencatan

senjata oleh tentara Belanda pada 25 Agustus 1947.83

Berita seputar gencatan

senjata ini memantapkan tekad dan keberanian Sitor untuk kembali ke Medan dan

kembali bekerja di Waspada.84

Perpindahannya ini didasari atas keinginan untuk

melakukan sesuatu yang membantu perbaikan keadaan, hal yang tidak bisa ia

kerjakan di Tarutung.85

Sitor ingin berkontribusi melalui kerja jurnalistiknya.

Selama bekerja di Medan, ia tak terlepas dari teror-teror yang dilakukan Belanda

kala itu. Sitor menyaksikan secara langsung beberapa polisi rahasia Belanda,

82 Pramoedya Ananta Toer, (et al.), op.cit., p. 111.

83 J.B. Soedarmanta, Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (Jakarta :

Penerbit Buku Kompas, 2011), p. 134.

84 Sitor Situmorang, op.cit., p. 135.

85 Ibid.

66

yakni Netherland Forces Intelligence Service (Nefis), menggeledah kantor

Waspada. 86

Kejadian ini menjadi pengalaman konfrontasi pertama Sitor dengan

Belanda.

Masa-masa revolusi di Sumatra yang dialami Sitor sebagai seorang saksi,

pengamat, dan pelaku sejarah menjadi bagian penting dalam hidupnya. J.J. Rizal

menyatakan bahwa pengalaman Sitor mengikuti revolusi tidak hanya

dipandangnya sebagai pengalaman bersejarah yang kelak tercermin dalam

karyanya, tetapi juga menjadi kerangka dasar pemikiran dan pilihan warna

ideologi politiknya sebagai seorang nasionalis.87

Selain revolusi di Sumatra, perlu

dicermati pula perjalanan Sitor selama era revolusi yang terjadi di Yogyakarta.

Sejak lama Sitor berkeinginan untuk datang dan bergumul dalam dinamika

pergerakan di daerah yang sejak 1946 sempat menjadi Ibukota Republik Indonesia

tersebut. Niat tersebut terwujud ketika Pemimpin Redaksi Waspada, Mohamad

Said, mengutus Sitor ke Pulau Jawa, untuk menghadiri Federale Conferentie di

Bandung yang digelar oleh Dinas Penerangan Belanda sebagai perwakilan dari

Waspada.88

Setelah melewati penyeberangan antarpulau, Sitor tiba terlebih dahulu di

Jakarta dan berkeinginan besar bertemu Chairil Anwar yang sajak-sajaknya

sempat ia baca dalam majalah Siasat ketika di Pematangsiantar, ia juga berhasrat

menjumpai sastrawan Asrul Sani dan Rivai Apin namun pertemuan itu tak

86 Ibid., p. 137.

87 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 12-13.

88 Sitor Situmorang, op.cit., pp. 137-138.

67

kunjung terjadi.89

Sitor melanjutkan perjalanan ke Bandung. Di sana Sitor dengan

jeli mewawancarai Perdana Menteri Negara Pasundan di tengah pesta dansa,

menanyakan pendapatnya tentang kedudukan Republik Indonesia yang telah

terbentuk dan maksud dari Konferensi Federal.90

Hasil wawancara tersebut,

setelah dikirim via kawat ke Waspada Medan, dikutip sebagai headline oleh

semua koran termasuk pers asing dan menambah rasa percaya diri serta wibawa

Sitor sebagai jurnalis.91

Setelah Konferensi Federal itu berakhir, Sitor memanfaatkan kesempatan

untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta untuk merasakan secara langsung

degup jantung revolusi.92

Sitor tinggal di Yogyakarta dengan bantuan dari

Kementerian (Departemen) Penerangan di Yogyakarta dan tinggal di Hotel

Merdeka yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh politik dan perjuangan

terutama dari daerah yang sudah diduduki Belanda.93

Sitor pernah seatap dengan

Menteri Penerangan, Mohamad Natsir, sekamar dengan staf Dr. Ratu Langie.94

Sitor mengikuti berbagai kejadian penting yang ada di Yogyakarta dan

berusaha menuliskannya untuk dikirim ke Waspada. Salah satu peristiwa yang

89 Ibid., p. 146.

90 Ibid., pp. 147-148.

91 Ibid., pp. 149-150.

92 Setelah Jakarta diserang selama beberapa bulan berturut-turut, sedari

Oktober sampai Desember 1945 oleh Tentara NICA, jatuhnya korban mencapai

lebih dari 8.000 orang, dan ancaman terhadap Soekarno dan Hatta, dilakukan

sidang kabinet pada 3 Januari 1946 yang menghasilkan keputusan mengalihkan

ibukota Republik ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Selengkapnya lihat,

Atmakusumah (ed.), Takhta untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan

Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), pp. 65-66.

93 Sitor Situmorang, loc.cit.

94 Ibid., p. 162.

68

diikuti Sitor yakni perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang pada 13

Januari 1949. 95

Perundingan ini menjadi kelanjutan dari tuntutan gencatan senjata

Belanda sebelumnya. Dewan Keamanan PBB membentuk Committee of Good

Offices for Indonesia atau lebih dikenal dengan KTN,terdiri dari negara Australia,

Belgia dan Amerika Serikat.96

Hasil perundingan ini adalah “Notulensi

Kaliurang” yang menegaskan kekuasaan Indonesia atas daerah-daerah yang

dimilikinya.97

Sitor ditugaskan meliput jalannya perundingan tersebut.

Di sela-sela pekerjaannya itu, Sitor menulis sajak berjudul “Kaliurang”

yang terinspirasi dari anak angkat Haji Agus Salim bernama Lisa Lotte Ehing,

gadis cantik keturunan Belanda-Austria yang menjadi staf di Kantor Delegasi

Republik yang merangkap sebagai juru bahasa.98

“Kaliurang” adalah salah satu

sajak yang mengawali karir kepenyairan Sitor Situmorang. Selama ini publik,

bahkan juga sejarah kesusastraan Indonesia, menganggap bahwa “Kaliurang”

adalah sajak pertama Sitor, hal mana membuat sejumlah kalangan memandang

Sitor sebagai penyair yang sejak mula karya-karyanya kebanyakan tidak terkait

dengan situasi lingkungan dan jiwa zaman, pujangga yang lebih cenderung

mengekplorasi emosi dan pergulatan batin diri sendiri seakan tidak terlibat dengan

95 Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV

(1948) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), p. 2.

96 Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya adalah Richard C. Kirby,

sementara Belanda memilih Belgia sebagai wakilnya adalah Paul van Zeeland,

Amerika Serikat yang berperan sebagai penengah diwakili oleh Dr. Frank

Graham. Lihat, Batara R. Hutagalung, “Rawagede,” kukb.nl/ diakses 14 Mei 2015

pukul 09.23 Wita.

97 Pramoedya Ananta Toer, (et al.), Revolusi Indonesia Jilid IV (1948), loc.

cit.

98 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 16-17.

69

kehidupan. Akan tetapi anggapan itu dipatahkan oleh temuan J.J. Rizal, yang

mendapati bukti bahwa sajak pertama Sitor berjudul “Pasar Senen” dan

“[Terdengar]” yang dipublikasikan sebelum “Kaliurang” justru sangat terkait

dengan lingkungan sosial, mencerminkan sebentuk kepedulian dan menunjukkan

bahwa Sitor tidak mengalienasi diri dari lingkungan sosial, yang karenanya

meruntuhkan anggapan umum tersebut di atas.99

Pergulatan diri dan pergumulan dengan zaman adalah sebagian dari

karakter sastrawan Angkatan 45100

. Oleh H.B. Jassin, Angkatan 45 dirumuskan

sebagai angkatan yang memiliki gaya ekspresi yang khas, memperjuangkan nilai-

nilai universil-nasionalis, mempunyai sikap hidup dan visi yang revolusioner.101

Kebanyakan seniman Angkatan 45 ikut serta dalam pergerakan entah menjadi

pejuang, wartawan, penerjemah, seniman propagandis, dan sebagainya.102

Demikian halnya Sitor yang sewaktu di Yogyakarta menjalankan perannya

sebagai jurnalis dan sastrawan sekaligus. Profesi ini dijalani Sitor kendati ia tahu

tak ada jaminan finansial yang bagus dengan pilihan tersebut. Akan tetapi,

menurut H.B. Jassin, orang-orang seperti Sitor termasuk “republikein in hart en

99 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,

p. xxviii.

100 Menurut Martina Heinschke, “Angkatan 45 telah menjadi sebutan

standar bagi para pengarang yang mulai aktif dalam masa pendudukan Jepang

(1942-1945) dan Revolusi Nasional (1945-1949). Asosiasi yang terkandung

dalam istilah ini, di antaranya semangat dan perjuangan kelahiran Republik

Indonesia, bisa dikatakan tepat. Lihat Martina Heinschke, “Menentukan Sikap:

Penyair Modern Mencari Persaudaraan Baru,” dalam Rizal (ed.), Menimbang

Sitor Situmorang (Jakarta : Komunitas Bambu, 2009), p. 67.

101 H.B. Jassin, “Angkatan 45,”dalam E. Ulrich Kratz (ed.), Sejarah Sastra

Indonesia Abad XX (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), p. 241.

102 Ibid.

70

nieren” atau para republikan sejati: para elite intelektual urban yang

berpendidikan Belanda yang memberi sentuhan kosmopolitan dalam semangat

keindonesiaan sekaligus secara lugas menyatakan keberpihakan pada gerakan

antikolonial.103

Sebagai seniman dan intelektual, Sitor haus akan pergaulan kreatif. Selama

di Yogyakarta, ia pun berkenalan dan bergaul dengan para seniman mumpuni

seperti Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Basuki Resobowo, Zaini, yang

telah mendirikan perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang sebagian di

antaranya membentuk kelompok Pelukis Rakyat pada 1947.104

Dalam pergaulan

kesenian itu pula Sitor melihat aktivitas para seniman ulung yang melanjutkan

perkembangan seni rupa modern sebagai ungkapan budaya baru Indonesia. Ia pun

menonton berbagai pertunjukan sandiwara yang digelar oleh seniman lokal yang

memberi keyakinan padanya bahwa rakyat sebenarnya tidak perlu tergantung pada

impor film-film asing untuk memperoleh hiburan.105

Kesadaran ini menjadi awal

dari rumusan politik kebudayaan yang dicetuskan Sitor bertahun-tahun kemudian.

Menurut J.J. Rizal, pada masa pengembaraannya di Yogyakarta, Sitor tak

hanya meresapi sendi-sendi revolusi fisik yang terjadi, melainkan juga mengalami

revolusi seorang diri. Sitor meresapi alam dan kebudayaan masa lalu Jawa melalui

candi-candi berikut mitos yang melingkupinya, seni keraton dan seni rakyat yang

103 Pendapat H.B. Jassin ini dikutip dalam Els Bogaerts, “Whither

Indonesian Culture? : Rethinking „culture‟ in Indonesia in a Time of

Decolonization,” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds.), Heirs to

World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012), p.

229.

104 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 16.

105 Sitor Situmorang, op.cit., p. 160.

71

bersisian dengan kesenian modern yang diusung oleh para seniman. Sitor

mempertanyakan peranan seni dan estetika sebagai citra hidup berbudaya. Sitor

mengaku bahwa semangat ini dapat ditemui pula dalam diri anggota-anggota

Seniman Indonesia Muda kala itu, nama-nama yang telah disebutkan di atas,

seperti Affandi, Sudjojono, Zaini, Hendra Gunawan, Basuki Resobowo, dan lain-

lain.106

Demikianlah Sitor di Yogyakarta, ia tak hanya meresapi dinamika revolusi

fisik yang memberikan pemahaman perihal sejarah dan politik, melainkan juga

memperkaya pengalaman batinnya. Dalam sejumlah kesempatan, Sitor

mengunjungi situs-situs budaya lama yakni dengan ziarah ke candi Prambanan

dan Borobudur, menikmati pesona alam di Yogyakarta dan sekitar Jawa

Tengah.107

Borobudur memberi kesan tersendiri buat Sitor. Ia merasakan adanya

ikatan emosional dengan candi tersebut, yang mengingatkannya pada kebudayaan

Batak dari zaman pra-Hindu, dunia ayah dan ibunya di Harianboho.108

Kesan

mendalam tersebut melahirkan sajak-sajak tentang Borobudur yang muncul sejak

masa awal kepenyairan Sitor sampai periode terakhirnya. Bahkan kelak, ketika

Sitor merintis pendirian Lembaga Kebudayaan Nasional milik Partai Nasional

Indonesia, stupa Borobudur dipilih sebagai logo LKN, perlambang kebudayaan

yang tinggi milik bangsa Indonesia.

Setelah cukup lama hidup di Yogyakarta, Sitor berkeinginan kembali ke

Medan, namun niat tersebut tidak pernah terwujud karena sulitnya menembus

106 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., loc.cit.

107 Sitor Situmorang, op.cit., p. 179.

108 Ibid., pp. 179-180.

72

garis demarkasi Belanda, sampai akhirnya ia ditawan oleh polisi intel Belanda,

Nefis, yang menembus Yogyakarta dan mengobrak-abrik kamarnya di Hotel

Merdeka. Sitor ditangkap dan masuk ke penjara Wirogunan bersama seniman

Basuki Resobowo dan Zaini, Suryadarma dari Angkatan Udara, Gubernur Nusa

Tenggara yakni Ketut Puja, Gubernur Republik untuk Jawa Barat yaitu Sewaka,

BM. Diah, dan tokoh lainnya.109

Kehidupan di penjara dilaluinya sampai ia

dibebaskan pada akhir 1948 dan awal 1949 ia pulang ke Medan dengan bantuan

dari seorang kenalan yang juga orang Batak.110

2.4 Sitor di Lapangan Budaya dan Politik (1949-1967)

Tak lama setelah Sitor sampai di Medan dan menemui keluarganya, ia

berniat untuk kembali ke Jakarta. Ia mengumpulkan uang dengan menulis di surat

kabar setempat. Setelah mendapat ongkos yang cukup untuk ke Jakarta, ia

menyeberang ke Pulau Jawa, meninggalkan keluarganya untuk sementara.111

Sitor

yang telah menguatkan niat menjadi sastrawan dan menceburkan diri dalam

pergaulan intelektual di Jakarta, bertemu dengan sejumlah tokoh seperti Chairil

Anwar, Rosihan Anwar yang kala itu menjadi Pimpinan Redaksi Harian

Pedoman, ia kembali berjumpa Affandi yang sudah pindah ke Jakarta dari

Yogyakarta, Usmar Ismail seorang tokoh teater dan sutradara film terkemuka

109 Ibid., pp. 182-184.

110 Ibid., pp. 186-187, 197.

111 Ibid., pp. 198-199.

73

yang memberi Sitor pekerjaan menerjemahkan dan mengadaptasi naskah teater

asing.112

Dahaga intelektualnya yang begitu besar menjadikan Sitor berusaha

berhubungan dengan Lingkaran Gelanggang, suatu kelompok diskusi kebudayaan

yang diprakarsai oleh intelektual seperti Soedjatmoko, Amir Pasaribu, Basuki

Resobowo, Asrul Sani, Rivai Apin.113

Tahun 1946, didirikan Gelanggang

Seniman Merdeka (GSM) dengan tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, Asrul Sani,

Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, Baharudin dan Henk Ngantung ini

memegang prinsip bahwa “perjuangan Indonesia seharusnya tidak saja di dalam

lapangan politik, ketentaraan, ekonomi, tetapi juga di dalam perjuangan

kebudayaan.”114

Pada 22 Oktober 1950, GSM mengeluarkan Surat Kepertjajaan

Gelanggang sebagai pernyataan sikap para anggotanya yang memihak pada

humanisme universal. Menurut Maman S. Mahayana, diumumkannya surat

tersebut merupakan respon dari publikasi Mukadimah Lembaga Kebudayaan

Rakyat (Lekra) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang

menyatakan aliran realisme sosialis yang bersumber pada ajaran komunisme.115

112 Ibid., p. 199-204.

113 Ibid.

114 Pendirian GSM pada mulanya hanya dimaksudkan sebagai tempat

berkumpulnya para seniman untuk saling bertukar pkiran dan bekerja, namun

giliran berikutnya, seiring bertambah banyaknya anggota GSM dan semakin

tajamnya pertukaran pemikiran yang terjadi, maka bersemilah cita-cita untuk

membangun suatu masyarakat kebudayaan, pergaulan hidup kebudayaan

(culturele samenleving). Perihal sejarah GSM dapat dilihat pada tulisan “Sedjarah

Singkat” dalam E. Ulrich Kratz (ed.), op.cit., pp. 184-186.

115 Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: PT.

Grasindo, 2007), p.121.

74

Sitor sendiri sempat mengikuti perdebatan-perdebatan perihal ini termasuk

membela Angkatan 45 yang dianggap telah mati.116

Lewat perdebatan yang sengit itu, nama Sitor semakin dikenal. Ia pun

mendapatkan undangan Stichting Culturale Samenwerking (Sticusa), Yayasan

Belanda yang menawarkan pertukaran intelektual dan kesenian antara Belanda

dan Indonesia. Tahun 1950, Sitor bersama Ramadhan KH, Rivai Apin, Toto

Sudarto Bachtiar, dan Sutan Takdir Alisjahbana berangkat ke Belanda.117

Setelah

beberapa bulan Sitor berada di negeri Belanda, istri dan anak-anaknya menyusul

ke sana. Sitor dan keluarganya tinggal di dua kota yakni Amsterdam dan

Apeldoorn.118

Dua tahun kemudian, Sitor melanjutkan perjalanan ke Paris dan di

sana ia semakin dalam menyelami kebudayaan Eropa modern. Sitor menyerap

filsafat eksistensialisme Perancis119

yang kemudian memberi pengaruh besar bagi

sajak-sajaknya kemudian.120

116 Baca Sitor Situmorang, “Angkatan 45,” dalam E. Ulrich Kratz, op.cit.,

pp. 147-152 dan Sitor Situmorang, “Konsepsi Seni Angkatan 45,” dalam E. Ulrich

Kratz, op.cit., pp. 139-142.

117 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 27-28.

118 Ibid., p. 28.

119 Eksistensialisme Perancis yang memengaruhi Sitor adalah

eksistensialisme menurut Jean Paul Sartre dan Albert Camus. Dalam karya-karya

Sitor dapat ditemui ide-ide perihal kebebasan manusia dalam menentukan

nasibnya sendiri dengan pilihan-pilihan sadar (Sartre) dan tentang semangat hidup

manusia dalam menghadapi absurditas hidupnya, gagasan bunuh diri dengan

kesadaran sebagai suatu sikap menolak takdir (Albert Camus). Baca : Subagio

Sastrowardoyo, “Manusia Terasing di balik Simbolisme Sitor Situmorang,” dalam

J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., pp. 190-191.

120 Kurnia. J.R., Inspirasi? Nonsens!: Novel-novel Iwan Simatupang

(Magelang: Indonesiatera, 1999), p. 32.

75

Wawasan filsafat yang diperoleh Sitor selama menjelajahi Eropa,

khususnya Perancis, dibawanya pulang ke tanah air pada 1953. 121

Masa-masa

kepulangannya ke Indonesia tersebut dibanjiri dengan ide-ide untuk karya

kreatifnya. J.J. Rizal menyebutkan bahwa masa itu adalah periode penciptaan

yang paling subur, karya-karya Sitor mengalir deras serupa tanggul jebol.122

Sitor

hadir sebagai penulis esai yang tajam, kritikus sastra, drama, film, teater, seni

rupa, musik yang dipercaya kredibilitasnya.123

Sitor melahirkan sejumlah

kumpulan sajak seperti Surat Kertas Hidjau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah

Tak Bernama (1956). Subagio Sastrowardoyo menyatakan bahwa dalam sajak-

sajaknya itu Sitor mampu memadukan secara matang unsur pemikiran filsafat

eksistensialisme Perancis dengan gaya simbolisme Perancis dalam sajak-

sajaknya.124

Selain sajak, Sitor juga secara khusus menulis esai-esai tentang

eksistensialisme seperti Pertemuan di Garis Iseng (1953) dan Manusia Iseng

(1953).

Kepulangannya dari tanah Eropa memang menjadikan posisi Sitor

semakin istimewa di kancah seni tanah air. Sitor aktif mempublikasikan karya-

karyanya di berbagai media seperti majalah Zenith, Siasat, Indonesia,

Konfrontasi, Mimbar Indonesia.125

Salah satu sajak Sitor pada masa ini, yakni

“Cathedrale de Chartres,” yang oleh A. Teeuw dipandang sebagai “manifestasi

121 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005, op.cit.,

p. 470.

122 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 30

123 Ibid., pp. 31-32.

124 Subagio Sastrowardoyo dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p.

201.

125 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p.32.

76

puisi gnerasi baru yang terpenting sejak Chairil Anwar”.126

Pencapaian Sitor

lainnya adalah Hadiah Sastra Nasional 1955 atas buku kumpulan cerpennya

Pertempuran dan Salju di Paris.127

Sitor, kendatipun baru saja kembali dari luar negeri, tidak melakukan hal

seperti itu. Sitor mampu mengolah kebudayaan dunia yang didapatkannya

langsung dari pusat kebudayaan Eropa dengan tradisi yang ada di Indonesia. Ia

juga sanggup meramu unsur-unsur tradisional dan modern sehingga menjadi karya

yang padu. Sitor menulis sajak modern namun menggunakan bentuk puisi Melayu

tradisional.128

Misalnya saja, pengungkapan gagasan eksistensialisme Perancis

melalui pantun lama, syair, dongeng rakyat.129

Dengan demikian, Sitor tidak

termasuk bagian dari pernyataan Ajip Rosidi bahwa pada tahun 1950-an terdapat

banyak sastrawan Angkatan 45 yang larut dalam kebudayaan internasional namun

mengabaikan akar budaya dari tanah sendiri. 130

Sementara itu, pada akhir tahun 1953, dalam esai-esai Sitor, pembicaraan

seputar eksistensialisme dan tulisan-tulisan bernada bantahan yang menyerang

berbagai pihak, yang oleh Martina Heinschke dipandang merupakan bentuk

keterasingan Sitor sepulang dari Eropa, mulai berkurang.131

Sitor kemudian

menerima kenyataan akan situasi masyarakat dan budaya Indonesia secara lebih

126 A. Teeuw dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 263.

127 Erwan Hermawan, “Penyair Sitor Situmorang Wafat di Belanda,”

m.tempo.co/ diakses pada 18 Mei 2015 pukul 14.20 Wita.

128 A.H. Jons, “Penyair di Antara Dua Dunia : Karya Sitor Situmorang,”

dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 128.

129 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 41-42.

130 Ibid., pp. 43-44.

131 Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 89.

77

terbuka dan merumuskan kembali gagasan kesenian berdasarkan pemahamannya

akan kompleksitas kondisi tanah air saat itu. Sitor melihat adanya perubahan

sosial dan kultural yang disebabkan oleh kolonialisme, usaha-usaha integrasi

nasional, adanya ketimpangan antara masyarakat kota dan desa dan pengaruh

asing yang masih tak tertolak dengan segala modernitas dan budaya pop yang

dibawa: seluruhnya terjadi secara serentak di republik yang baru berdiri.132

Sitor kemudian menyadari bahwa seniman dan intelektual seyogyanya

merenungi kondisi tersebut di atas sehingga tercapai suatu rumusan tentang tugas

serta sikap seniman dan seni modern dalam menghadapi realita masyarakatnya.

Kesadaran akan kerumitan kondisi sosiokultural Indonesia tersebut mendorong

Sitor untuk terjun ke gelanggang politik. Ia mendaftarkan diri kembali sebagai

anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1954.133

Pilihan ke partai

nasionalis dilatari oleh situasi pada waktu itu yang memperlihatkan simbol-simbol

nasionalisme semakin marak digunakan di berbagai kesempatan, baik dalam

perpolitikan luar negeri maupun di dalam negeri.134

Sitor menyadari bahwa

partisipasinya dalam partai politik berarti meralat pandangannya terdahulu, yakni

bahwa kaum politisi pernah dianggapnya tidak revolusioner, bersikap borjuis,

tidak peka pada perubahan yang dibutuhkan.135

Seiring dengan bergabungnya Sitor di PNI, Sitor menaruh perhatian pada

seni yang sanggup menghadirkan ciri khas dan jiwa zaman Indonesia dan relevan

132 Ibid.

133 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 47-49.

134 Ibid., p. 49.

135 Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., loc.cit.

78

bagi masyarakat136

. Sitor juga sering mengungkapkan perihal pentingnya

keselarasan antara individualisme (pengakuan terhadap hak dan peran individu

yang bebas) dan cita-cita kolektif (seperti terwujudnya kesejahteraan dan

kemajuan masyarakat) agar terjadi apa yang disebutnya “pelepasan kebebasan-

kebebasan „lama‟ untuk tumbuhnya kebebasan-kebebasan baru.”137

Dalam hal ini,

Heinschke melihat Sitor membayangkan sebuah cita-cita sosialisme yang

menjunjung tinggi kebebasan, sebuah angan-angan yang mirip dengan utopia di

negara-negara pasca kolonial.138

Gagasan sosialisme tersebut menurut Sitor bukan

merupakan antitesis atas kolonialisme, tetapi merupakan jawaban atas ketegangan

yang ditimbulkan oleh modernitas, demikian pula cita-cita kolektif yang dimaksud

Sitor bukanlah ditujukan sebagai negasi dari individualisme melainkan dilatari

kesadaran bahwa individu manusia Indonesia berakar dari budaya komunal dan

memiliki tanggungjawab sosial di samping hak-hak individual yang hakiki.139

Wacana ini secara khusus ditulis Sitor dalam Marhaenisme dan

Kebudayan Indonesia (1956). Marhaenisme adalah ideologi khas Indonesia yang

menjembatani gagasan tradisional dan modern serta menjawab tantangan perihal

keselarasan antara individualisme dan cita-cita kolektif tadi. Ia menguatkan

pernyataan Soekarno bahwa ideologi marhaenisme adalah jalan tengah kompromi

antara kaum nasionalis, marxis, dan golongan agama.140

Sitor mendukung

136 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 53.

137 Martina Heinschke dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 92.

138 Ibid.

139 Ibid., p. 93.

140 Soekarno menyatakan bahwa sosialisme Indonesia mengambil

persamaan politik dalam Declaration of Independence dari Amerika, persamaan

79

marhaenisme sebagai “platform baru bagi pemikiran politik, ekonomi, dan

kebudayaan.” Sitor menganggap Marhaenisme sebagai filsafat pragmatis yang

dapat dijadikan pedoman berbuat di kehidupan nyata untuk kepentingan

masyarakat. Ia cenderung tidak membahas marhaenisme dalam konteks

perkembangan dunia pemikiran dengan berbagai tuntutan filosofis. Hal tersebut

dilatari oleh kondisi negara yang pasca pemilu 1955 belum mampu menciptakan

stabilitas ekonomi, politik, maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat.141

Sitor dengan serius mempelajari pemikiran-pemikiran Soekarno dan

bahkan mampu mengelaborasinya. J.J. Rizal mengintisarikan pendapat banyak

pihak yang menyatakan bahwa konsepsi Sitor mengenai politik kebudayaan

Indonesia adalah terjemahan paling dekat dengan pemikiran Soekarno utamanya

Marhaenisme. Dalam rangkuman tersebut disebutkan bahwa Sitor mampu

membahasakan ajaran fundamental Soekarno ke dalam tradisi filsafat kebudayaan,

ia mewacanakan ide-ide besar kebudayaan yang tidak disuguhkan secara lengkap

dalam pidato Soekarno, Sitor pun dianggap mampu mengatasi keresahan

Soekarno atas PNI.142

Melalui tulisan Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia,

Sitor merangkul PNI dan gagasan Soekarno perihal gotong-royong, semangat

kekeluargaan, demokrasi terpimpin sebagai pilihan yang sesuai untuk Indonesia

ilmiah dari Marx, persamaan spiritual dari Islam dan Kristen, dan kepribadian

nasional dengan semangat gotongroyongnya. Baca : Cindy Adams, Bung Karno

Penyambung Lidah Rakyat Edisi Revisi (Yogyakarta: Yayasan Bung Karno dan

PT Media Pressindo, 2011), p. 90.

141 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 56.

142 PNI dalam perkembangannya dipandang telah jauh bergeser dari garis

pemikiran dan perjuangan Sukarno sebagai perintis awal. PNI dianggap

mengutamakan kepentingan pengusaha tinimbang kaum Marhaen. Lihat: Ibid., pp.

57-58.

80

kala itu.143

Oleh karena usaha-usahanya ini, pengarang besar Indonesia yang

menjadi satu-satunya kandidat pemenang Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer,

menyebutnya “Mas Sitor Situmorang Panglima Kebudayaan Marhaen.”144

Dukungan Sitor terbukti tidak sebatas menyelamatkan PNI yang

dipandang semakin melenceng dari pemikiran awal founding fathers-nya,

melainkan juga bentuk kepeduliannya terhadap bangsa Indonesia. Hal itu

tercermin dari hasil pemikirannya ketika aktif sebagai wakil golongan seniman

dalam Dewan Nasional yang bertugas merumuskan Kepribadian Indonesia dan

Kebudayaan Nasional. Ia mengungkapkan bahwa “pembangunan, cara penilaian

dan pengembangan kebudayaan bertolak pada situasi masyarakat”.145

Adapun

upaya perumusan kepribadian dan kebudayaan nasional tersebut juga dilatari oleh

situasi internasional di mana tengah terjadi Perang Dingin antara Blok Barat dan

Blok Timur yang saling berebut pengaruh terhadap negara-negara lain. Menyikapi

kondisi ini dan menyadari perlunya sikap dalam menyongsong masa depan

Indonesia sebagai negara-bangsa yang meneguhkan eksistensinya, maka apa yang

dikerjakan Sitor di Dewan Nasional dipandang perlu.

Bagi Sitor masyarakat Indonesia yang ideal kala itu adalah masyarakat

modern, yang di satu sisi mampu menerima, memanfaatkan dan mencipta

kemajuan (teknologi), namun di lain pihak tetap mempertahankan ciri dari

143 Ibid., p. 57.

144 Julukan ini ditulis Pramoedya di media Republik pada 15 Juli 1959.

Data diperoleh dari: Muhammad Adi Nugroho, “Sejarah Lembaga Kebudayaan

Nasional dalam Kesusastraan Indonesia,” (Skripsi S-1 Program Studi Indonesia

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012), p. 36.

145 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 60.

81

masyarakat Indonesia pra kolonial demi mencapai kehidupan sosial kultural yang

harmoni.146

Salah satu contoh kebijakan yang dianjurkan Sitor misalnya saja

perluasan sensor film, pengurangan impor film dan mempermarak produksi film

dalam negeri yang berhaluan budaya.147

Hal ini bertujuan untuk membendung

budaya pop asing dan agar hiburan-hiburan tradisional rakyat tetap mendapat

tempat.

Gagasan-gagasan kebudayaan tersebut semakin mendapat penyalurannya

manakala Sitor ikut duduk dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas) sebagai

wakil golongan seniman yang bertugas mengurai persoalan kebudayaan di

Indonesia sebagai bahan perumusan rencana pembangunan jangka panjang

bernama Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, yang

diniatkan untuk mendukung terbentuknya Sosialisme Indonesia di bawah

Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno.148

Sitor juga aktif sebagai wakil

golongan seniman di Madjelis Pendidikan Nasional, Madjelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara (MPRS).149

Kiprah Sitor dalam politik kebudayaan nasional semakin melebar ketika ia

turut dalam pembentukan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) melalui

Kongres Lembaga Kebudayaan Nasional Seluruh Indonesia yang pertama pada

20-22 Mei 1959 di Solo dan ditunjuk sebagai ketua umum pertama LKN.150

Sitor

146 Ibid., p. 51.

147 Ibid., pp. 55-56.

148 Ibid., p. 60.

149 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan sajak 1980-2005, op.cit.,

p. 471.

150 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 61.

82

terpilih secara aklamasi karena pemahaman dan pengalamannya di kancah

kebudayaan serta politik.151

Kongres ini melahirkan sejumlah ketetapan-ketetapan,

antara lain bahwa LKN berpedoman “Kesenian adalah Rakyat” dan “Seni untuk

Rakyat;” 152

definisi baru kebudayaan nasional sebagai puncak dari kebudayaan

daerah yang menjadi inspirasi untuk terus mencipta serta tak menutup diri pada

kebudayaan asing yang dipandang konstruktif.153

LKN tak jarang disamakan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Lekra adalah underbow Partai Komunis Indonesia yang didirikan pada 17 Agustus

1950 oleh D.N. Aidir, M.S. Ahar, A.S. Dharta, dan Nyoto.154

Baik PNI dan Lekra

sama-sama menyusung ideologi kiri dan perjuangan rakyat. Sitor menyambut

keberpihakan para seniman dan intelektual Lekra terhadap rakyat, kaum buruh

dan petani, kendati ia tidak sependapat dengan ideologi dan gagasan seninya.155

Lekra mengusung gagasan seni realisme sosialis yang terinspirasi dan berhaluan

komunis-marxisme. 156

151 Muhammad Adi Nugroho, op.cit., p. 11.

152 LKN memandang bahwa seni yang sejati dapat membuktikan fungsi

sosialnya di masyarakat. Rakyat adalah inti dari gerakan kebudayaan, asal ilham

dari penciptaan seniman. Lihat: Ibid., p. 12.

153 Kebudayaan asing yang dapar dirangkul seperti ilmu pengetahuan dan

teknologi, s ementara yang sebaliknya adalah paham-paham fasisme,

individualisme, liberalisme, dan sebagainya. Ibid., pp. 12-13.

154 Frans M. Parera, “Visi dan Misi Seniman Indonesia Pascarevolusi,”

dalam Oyon Sofyan dan Frans M. Parera (eds.), Kebebasan Pengarang dan

Masalah Tanah Air : Esai-esai Iwan Simatupang (Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2004), pp. xl-xli.

155 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 52.

156 Budi Susanto, Politik dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta:

Kanisius, 2003), p. 352.

83

Politik kebudayaan LKN bertaut dengan semangat Gerakan Asia-Afrika,

yakni adanya solidaritas untuk memerangi imperialisme atau anti kolonialisme,

serta usaha memunculkan kepribadian nasional yang mencerminkan sikap Non

Blok (tidak condong ke Barat atau melulu ke Timur). Sitor sebagai Ketua LKN

aktif menyuarakan perihal konsep berkepribadian dalam kebudayaan sebagai

landasan Marhaenisme di dunia internasional khususnya negara-negara Non Blok,

Amerika Latin dan Eropa Timur.157

Demi mencapai tujuan itu Sitor aktif dalam

Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA), menjadi Ketua Eksekutif dalam

Konferensi Pengarang Asia-Afrika III di Bali (8-11 Agustus 1963), Ketua Komite

Nasional dan Ketua Dewan Juri Festival Film Asia-Afrika di Tasjkent (1958),

Kairo (1960) dan Jakarta (1964).158

Aktifnya Indonesia dalam ajang berskala internasional juga adalah usaha

penguatan citra bangsa di mata dunia internasional yang secara langsung maupun

tidak langsung juga menguatkan kecintaan Sitor dan delegasi Indonesia lainnya

terhadap bangsanya sendiri: sebuah peneguhan identitas kebudayaan dari bangsa

yang baru berdiri. Dari pertemuan lintas bangsa dan budaya itu, niscaya muncul

inspirasi-inspirasi bagi pembangunan bangsa Indonesia di kemudian hari.

Perjalanan diplomasi budaya Sitor berlanjut hingga ke negeri Tiongkok. Ia

diundang dalam kegiatan Himpunan Pengarang Tiongkok pada April 1961

bersama tokoh penting Lekra seperti Joebar Ajoeb, Rivai Apin, Dodong

157 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 67.

158 Ibid.

84

Djiwapradja, Utuy Tatang Sontani.159

Perjalanan tersebut ditulisnya menjadi

sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi Zaman Baru (1962).

Antologi puisi tersebut di atas oleh banyak pihak dipandang memiliki

mutu sastra yang jauh di bawah karya-karya Sitor sebelumnya.160

Pandangan Sitor

terhadap sastra memang tengah mengalami pergeseran, dari sastrawan yang kerap

menyuarakan kegelisahan eksistensialis dalam gaya simbolisme Perancis menjadi

sastrawan yang bertendensi membawa perubahan melalui karya-karyanya yang

kian bernada realisme sosialis.161

Pergeseran ini turut dipengaruhi oleh aktivitas

politiknya, di samping tentunya merupakan pilihan sadar yang ditentukan melalui

pergulatan pemikiran dan perluasan kepeduliannya terhadap bangsa dan negara

Indonesia serta gagasan Soekarno yang didukungnya.

Perjuangan lewat politik dan seni-budaya itu dilakoni Sitor selama

bertahun-tahun sampai akhirnya Orde Lama tumbang, reformasi besar-besaran

dilakukan oleh rezim Orde Baru yang menyingkirkan bukan hanya Soekarno

tetapi seluruh perangkat politik, gagasan, orang-orang Orde Lama, pendukung

Soekarno, termasuk mereka yang dipandang berhaluan kiri.162

Peristiwa 1965 dan

kejatuhan Soekarno menandai berakhirnya karier politik Sitor Situmorang. Ia

diburu dan ditangkap tentara ketika tengah mengetik analisanya tentang peristiwa

159 Ibid., p. 69.

160 Ibid., pp. 70-71.

161 Subagio Sastrowardoyo dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p.

165.

162 Tragedi 1965 dilatari krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah di

Indonesia serta dipengaruhi pula oleh Perang Dingin di mana Amerika Serikat

berkepentingan untuk mencegah semakin luasnya pengaruh komunisme di

Indonesia. Lihat, Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah :

Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), p.149.

85

1965 pada permulaan tahun 1967.163

Seperti kebanyakan tahanan politik era Orde

Baru, Sitor pun dijebloskan tanpa melalui proses pengadilan, di penjara Salemba,

Jakarta.164

2.5 Era Pasca Penjara (1975 - 1998)

Setelah delapan tahun di dalam tahanan, Sitor akhirnya dibebaskan. Ia

kembali ke keluarganya dan tinggal di daerah Karet, Jakarta Pusat.165

Sementara

istrinya tengah bekerja di Surabaya, Sitor sulit untuk beraktivitas karena masih

diawasi intel dan menjadi tahanan kota.166

25 Mei 1977, dua tahun setelah lepas

dari penjara, Sitor membaca sajak di rumah seorang Belanda di Jakarta. Di sana ia

berkenalan dengan seorang gadis Eropa bernama Barbara L. Brouwer yang

dikirim dari negeri Belanda untuk membantu pengembangan kerajinan di

Indonesia.167

Sitor dan Barbara yang berusia 20 tahun lebih muda dari sang

penyair kemudian bertemu lagi di Belanda pada Juni 1977.168

Mereka kembali ke

Indonesia dan menikah secara adat.169

163 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 77.

164 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005,

op.cit., p. 471.

165 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., loc.cit.

166 Ibid., p. 78.

167 V.S. Naipul, “Sitor : Merekonstruksi Masa Lalu,” dalam J.J. Rizal

(ed.), Menimbang..., op.cit., pp. 12-13.

168 Ibid., p. 13.

169 Foto dokumentasi Sitor Situmorang dan Barbara L. Brouwer saat masa

awal pernikahan dapat dilihat pada foto 3 di halaman lampiran.

86

Setelah keluar dari penjara, tempat dia disekap dan tidak diiizinkan

menulis, Sitor memanfaatkan waktunya untuk terus mencipta karya.170

Bagi Sitor,

pengalaman di tahanan tersebut menjadi pengalaman eksistensi yang khusus, yang

memperdalam makna kebebasan baginya. Setelah ”bertapa” di dalam penjara, ia

seakan “lahir kembali” sebagai seorang mistikus.171

Lepas dari sel gelap itu,

terutama sejak ia bebas dari sebagai tahanan kota pada 1976, Sitor melakukan

perjalanan batin, ziarah ke “tanah suci,” bukan ke kampung halaman di tanah

Batak tempat minatnya menelusuri mistisisme bermula, melainkan ke Jogjakarta

dan Bali.172

Yogyakarta dan Bali menjadi tempat istimewa yang dipilih Sitor untuk

berziarah. Sitor menulis berbagai sajak di Yogyakarta, tak terkecuali tentang

Borobudur. Ia melahirkan satu kumpulan sajak yang ditulis langsung dalam

bahasa Inggris bertajuk The Rites of Bali Aga (1978) setelah kedatangannya ke

Bali pada Oktober hingga November 1976.173

Sitor menyebut kedatangannya ke

Bali sebagai perjalanan spritual sebagai perwujudan dari ketertarikannya akan

mistisisme yang meningkat setelah lama dipenjara.174

The Rites of Bali Aga

dimuat di majalah Indonesia. J.J. Rizal menyatakan bahwa Indonesia adalah

majalah ilmiah tersohor yang sangat berpengaruh dalam kajian sejarah-budaya

Indonesia. Majalah yang melahirkan studi-studi klasik tentang Nusantara ini

170 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 78.

171 Ibid., p. 79.

172 Ibid., pp. 79-80.

173 The Rites of Bali Aga dipublikasikan pertama kali di Majalah

Indonesia dan dicetak ulang pada 2001 oleh penerbit Metafor.

174 Harry Aveling, “Introduction,” dalam Sitor Situmorang, The Rites of

Bali Aga (Jakarta : Metafor Publishing, 2001), p. xiii.

87

tentunya mempertimbangkan bahwa pemuatan sajak-sajak Sitor di sebuah majalah

ilmiah bukan sebatas pengakuan atas kreasi sastra Sitor, melainkan juga karena

adanya kandungan pemikiran di dalamnya, yang kiranya dapat menjadi

sumbangan ilmiah dalam studi-studi perihal Bali.175

Selain The Rites of Bali Aga¸Sitor juga menghasilkan beberapa kumpulan

sajak seperti Peta Perjalanan (1977) yang meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian

Jakarta 1976-1977, Angin Danau (1982) yang berisi sajak-sajak bernapas mistik,

selain antologi Dinding Waktu (1976) yang merupakan rangkuman sajak-sajak

yang ditulisnya pada 1960-an. Sajak-sajak Sitor yang ditulis pada masa ini

dipandang kental dengan nada eksistensialis dan metafisik. Menurut sastrawan

Linus Suryadi, seperti yang ditulisnya dalam Kompas tahun 1977, sajak-sajak

dalam Dinding Waktu memuat pemikiran-pemikiran yang mencerminkan luasnya

horison pengalaman dan intelektual Sitor yang memperkaya batin pembaca.176

Sajak-sajak dalam Angin Danau, oleh Muhammad Haji Saleh, dipandang bukan

lagi sebuah eksperimen, melainkan sudah masuk kepada tahap pengisian dan

penghalusan bentuk. Haji Saleh melihat Sitor menghadirkan pengalaman rohaniah

dan renungan penyair yang sangat peka pada perasaan dan peristiwa.177

Pengalaman hidup Sitor, baik yang sifatnya fisik maupun batiniah,

dihadirkan pula kepada pembaca melalui otobiografinya Sitor Situmorang :

Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba yang ditulis pada usianya yang ke-55

175 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 81.

176 Data ini diperoleh dari Ibid., pp. 81-82.

177 Muhammad Haji Saleh, “Perjalanan Mencari Makna Diri dan Negara:

Puisi Sitor Melalui Waktu,” dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., p. 226.

88

hingga diterbitkan pada tahun 1981.178

Ia mulai menulisnya ketika tahun-tahun

awal keluar dari penjara. Dorongan menulis otobiografi ini berawal dari kepergian

Sitor ke tanah Batak di Harianboho pada 1979 untuk menjalani peruwatan secara

adat setelah lepas dari tahanan Salemba.179

V.S. Naipul, Peraih Nobel Sastra tahun 2001, dalam tulisannya yang

setelah diterjemahkan berjudul “Sitor: Merekonstruksi Masa Lalu,” menyatakan

bahwa Sitor yang tengah menyusun otobiografi mengalami kesulitan saat tengah

menuturkan perihal asal-usul kebatakannya.180

Hal ini pula kiranya yang

mendorong Sitor untuk melakukan penelitian panjang dan penulisan sebuah buku

bertajuk Toba Na Sae : Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (1993) dan

Guru, Samalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993) yang tidak hanya

berisi silsilah dan asal muasal keluarga Sitor tetapi juga sejarah kebudayaan etnis

Batak Toba.181

Tahun 1982 Sitor mulai menetap di Belanda bersama Barbara. Sitor

menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Leiden. Secara informal, Sitor

juga membantu dan membimbing sejumlah peneliti orientalis yang kemudian

menjadi cendekiawan dengan kredibilitas internasional yang mengkaji dunia

Batak. Beberapa dari orang yang pernah dibimbingnya adalah (i) Rainer Carle

dari Jerman yang menerbitkan kajiannya dengan judul Opera Batak; (ii) Niessen

dari Kanada dengan penelitiannya di seputar ulos Batak; (iii) Lance Castles dari

178 C.W. Watson dalam Ibid., p. 22.

179 Ibid., p. 25.

180 V.S. Naipul dalam Ibid., pp. 14-15.

181 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., p. 84.

89

Australia yang menyelidiki sejarah Batak; (iv) Masashi Hirosue dari Jepang yang

menganalisis Gerakan Ratu Adil dalam masyarakat Batak pada masa kolonial; (v)

Sita van Bemelen asal Belanda yang mengulas tentang perempuan Batak; dan (vi)

Helmut Lukas dari Austria dengan kajiannya seputar sistem kekerabatan Batak

Toba.182

Menurut Johan Angerler, Sitor membuat dirinya terkenal di kalangan

internasional khususnya peneliti Batak dan mahasiswa PhD lewat proses dan hasil

penelitian panjangnya perihal sejarah dan budaya Batak Toba.183

Selain itu, nama

Sitor di ranah internasional (pasca masa penjara) juga dikenal karena karya-karya

sajaknya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa antara lain : Bahasa

Belanda yaitu Bloem op een rots (1990), Oude Tijger (1990), Wander (1996), dan

Euwige Valley (2004) ; bahasa Perancis yakni Paris La Nuit (2001); serta berbagai

bahasa lainnya seperti Italia, Cina, Jerman, Jepang dan Rusia.184

2.6 Sitor di Awal Reformasi hingga Akhir Hayat (1998 - 2014)

Setelah tinggal di Belanda, Sitor ikut istrinya yang menjadi diplomat

pindah ke Islamabad, Pakistan. Sitor kemudian meninggalkan Asia dan kembali

ke Eropa tepatnya Paris.185

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari surat

elektronik dengan Barbara L. Brouwer, diketahui bahwa Sitor Situmorang tinggal

182 Johann Angerler, “Sitor dan Kajian Batak,” dalam J.J. Rizal (ed.),

Menimbang..., op.cit., p. 50.

183 Ibid., p. 56.

184 J.J. Rizal (ed.), Menimbang..., op.cit., pp. xiii-xiv.

185 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,

p. xxxvii.

90

di Perancis sejak tahun 1996 sampai 2000.186

Sitor melewati jatuhnya Presiden

Soeharto pada 21 Mei 1998 di Perancis.

Selama tinggal di Paris, Sitor banyak bergaul dengan mahasiswa Perancis

dan Indonesia serta dikunjungi oleh sejumlah tokoh seperti W.S. Rendra,187

Radhar Panca Dahana, Pramoedya Ananta Toer, dan Yusuf Ishak. Menurut

Barbara, hubungan Kedutaan Besar Indonesia di Perancis dengan Sitor juga

semakin membaik.188

Tahun 2000 sampai 2001, Sitor tinggal di Belanda. Tahun 2001 hingga

2005, Sitor dan Barbara tinggal di Jakarta. Sitor pernah berpidato di Gedung

Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, yang salah satu isinya menuntut agar Soeharto

diseret ke pengadilan karena telah memenjara Soekarno.189

Sitor sempat bertemu

sejumlah tokoh seperti Presiden K.H. Abdurahman Wahid, W.S. Rendra,

Pramoedya Ananta Toer,190

Ajip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Teguh

Ostenrijk, Srihadi Sudarsono, dan lain-lain.191

Sitor tampil di berbagai seminar

yang diadakan oleh Tempo, Dewan Kesenian Jakarta, Institut Kesenian Jakarta,

Yayasan Bung Karno dan terlibat dalam Gerakan Miskin Kota.

186 Lihat lampiran IX yang memuat surat menyurat dengan Barbara L.

Brouwer.

187 Foto dokumentasi pertemuan Sitor dan W.S. Rendra dapat dilihat pada

foto 4 di halaman lampiran.

188 Sama dengan di depan.

189 Afrizal Malna, “Sitor Situmorang, Ilmu Alam di Bawah Kata,”

indoprogress.com/ diakses pada 20 Mei 2015 pukul 05.00 Wita.

190 J.J. Rizal, Sitor Situmorang: Biografi..., op.cit., pp. 85-87.

191 “‟Kepala Suku‟ Sastrawan ‟45,” tokohindonesia.com, diakses pada 21

Mei 2015 pukul 13.50 Wita.

91

Tahun 2003, saat Perayaan Hari Masyarakat Penutur Bahasa Perancis

Sedunia, Sitor dianugerahi hadiah Franchoponie karena dipandang sebagai

penyair yang memiliki peran penting dalam mengembangkan prinsip-prinsip

Franchoponie yakni penghormatan dan pengembangan keanekaragaman budaya,

perdamaian, demokrasi dan hak asasi manusia.192

Tahun 2006, Sitor meraih South

East Asian Write Award atau Penghargaan Penulis Asia Tenggara.193

Kendati telah berusia lebih dari setengah abad, Sitor tetap menulis. Pada

tahun 2001 ketika umurnya telah mencapai 77, terbit antologi cerpennya yang

bertajuk Kisah Surat dari Legian. Tahun 2004 sebuah antologi sajak Sitor

berjudul Biksu Tak Berjubah diumumkan ke publik. Sampai sekarang belum

diketahui sajak-sajak Sitor setelah tahun 2005. Namun di usia tuanya penyakit

alzheimer akhirnya mengurangi produktivitasnya.194

Sitor Situmorang menutup

usia di Apeldoorn, Belanda pada 20 Desember 2014.195

Jenazahnya diantar dari

negeri Kincir Angin untuk disemayamkan di tanah kelahirannya di tepi danau

Toba, Harianboho, pada 1 Januari 2014.196

Sebagai sosok intelektual dan seniman, Sitor dengan usianya yang

panjang, hidup melewati perubahan zaman demi zaman dengan berbagai peristiwa

192 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,

p. xiv.

193 “Past Awardees,” seawrite.com, diakses pada 21 Mei 2015 pukul 13.48

Wita.

194 Afrizal Malna, loc.cit.

195 Prins David Saut, “Sastrawan ‟45 „Terakhir‟ Tutup Usia Negeri

Kincir,” m.detik.com/diakses pada 21 Mei 2015 pukul 14.00 Wita.

196 Surya Dharma, “Sastrawan Sitor Situmorang akan Dimakamkan di

Tapanuli Utara,” m.metrotvnews.com/ diakses pada 21 Mei 2015 pukul 12.00

Wita.

92

dan dinamika kebudayaan yang menyertainya. Ia tumbuh di era kolonial ketika

kebudayaan Barat bersisian sekaligus bersitegang dengan kebudayaan Batak lama

yang tradisional, merasakan degup perjuangan kemerdekaan dan terlibat dalam

proses “menjadi Indonesia” baik lewat jalur politik maupun sebagai seniman

mumpuni dengan karya yang diakui. Sitor juga menempa diri dalam pergaulan

lintas bangsa dan budaya, bersentuhan dengan tokoh-tokoh penting, tidak saja di

tanah Indonesia tetapi juga langsung ke negeri-negeri pusat perkembangan

pemikiran seperti Perancis, pusat pergerakan ideologi kiri di Tiongkok, dan

berbagai nama negara yang dapat disimak dalam sajak-sajaknya. Perjalanan hidup

Sitor diwarnai dan memberi warna terhadap sejarah lokal, nasional, dan

internasional. Hal tersebut dapat disimak pula pada sajak-sajak mutakhirnya,

yakni tahun 1998-2005 yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.