sistem perkawinan pada masyarakat iantena ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat...

95
SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK SKRIPSI Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk Memenuhi Sebagaian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Serjana Filsafat Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat Agama Katolik Oleh MIKAEL NONG RONI NPM: 15. 75.5720 SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO 2020

Upload: others

Post on 08-Dec-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA

DAN RELEVANSINYA TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

untuk Memenuhi Sebagaian dari Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Serjana Filsafat

Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat

Agama Katolik

Oleh

MIKAEL NONG RONI

NPM: 15. 75.5720

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO

2020

Page 2: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah
Page 3: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah
Page 4: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mikael Nong Roni

NPM : 15. 75.5720

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri, dan bukan plagiat

dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau Lembaga lain. Semua karya ilmiah orang lain

atau Lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta

dicantumkan pada catatan kaki dan daftar pustaka.

Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan, berupa plagiasi atau

penjiplakan dan sejenisnya di dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi akademis

yakni pencabutan skripsi serta gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.

Ledalero, 23 Mei 2020

Yang memuat pernyataan

Mikael Nong Roni

Page 5: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, saya yang bertandatangan

di bawah ini:

Nama : Mikael Nong Roni

NPM : 15.75.5720

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Sekolah Tinggi

Filsafat Katolik Ledalero Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Not-exclusive Royalty-Free

Rigbt) atas skripsi saya yang berjudul :

Sistem Perkawinan Pada Masyarakat Iantena Dan Relevansinya Terhadap Perkawinan Katolik

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero berhak menyimpan, mengalihmedia / format-kan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan skripsi saya

selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak

Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Holy Family Vocationary

Pada tanggal :

Yang menyatakan

Mikael Nong Roni

Page 6: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

vi

KATA PENGANTAR

Manusia adalah makhluk berbudaya. Dalam seluruh praksis hidupnya, manusia tidak

dapat terpisah dari budayanya, sejak kelahiran hingga kematian, manusia sungguh dipengaruhi

oleh budaya yang dihidupinya, dalam suatu kehidupan bersama dengan orang-orang di

sekitarnya, pada suatu daerah tertentu. Budaya seperti; adat-istiadat yang dihidupi tersebut

merupakan warisan dari leluhur turun-temurun. Hal ini dilihat juga sebagai suatu ekspresi

penghargaan terhadap warisan budaya para leluhur yang perlu dilestarikan warisan budaya

leluhur mengandung berbagai nilai yang mendorong perkembangan dan pembentukan karakter

setiap orang. Sejatinya budaya, adat-istiadat memberikan pengaruh tertentu dalam berbagai

dimensi kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, penulis menyadari bahwa budaya itu penting bagi eksistensi

manusia, maka penulis tergugah serentak tergugat untuk mendalami salah satu aspek budaya

masyarakat Iantena di Kabupaten Sikka yaitu sistem perkawinan. Sebagai sebuah studi awal,

penulis memfokuskan pembahasan pada tata cara sistem perkawinan dalam tradisi perkawinan

masyarakat Iantena. Perkawinan dimengerti sebagai ‘sesuatu’ yang bersifat abadi, hal tersebut

terungkap dalam syair adat berikut ini: “Lemer watu miu ruang, wawak papang miu ruang, naha

blewut ko loar”. Artinya sehidup semati, susah-senang tetap kita berdua. Ungkapan adat tersebut,

sesunguhnya mau menjelaskan, bahwa perkawinan dalam masyarakat Iantena dipandang

sebagai persatuan antara pria dan wanita yang memiliki tujuan sangat mulia yakni melestarikan

kehidupan manusia melalui keturunan sampai keabadian.

Penulis melihat sejumlah kekayaan dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena yang

menjadi kebanggaan sekaligus panggilan luhur penulis sebagai putera Iantena, untuk ditelaah.

Sejumlah nilai unggul dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena masih relevan dengan

perkawinan dalam Gereja Katolik. Namun, tak bisa dimungkiri, ada juga nilai dalam sistem

perkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik.

Hal inilah yang menggugah sekaligus menggugat penulis untuk menganalisisnya secara lebih

mendalam. Sebab, sistem perkawinan sebagai sebuah tradisi yang diwariskan oleh para leluhur

bukanlah sebuah warisan yang diterima begitu saja dan bersifat absolut. Suatu kebudayaan

memiliki perangkat nilai kehidupan yang membantu perkembangan peradaban masyarakat,

perlu digali, digumuli dan ditelusuri lebih dalam sambil memperhatikan kekhasan dan

keotentikan warisan budaya tersebut.

Tulisan ini sesungguhnya lahir dari proses pergumulan yang Panjang. Berkat campur

tangan Allah Tritunggal Maha Kudus, maka tulisan ini akhirnya dapat selesai pada waktunya.

Page 7: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

vii

Penulis patut menghaturkan limpah terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam proses penyelesaian tulisan ini:

Pertama, penulis mengucapkan terima kasih yang berlimpah kepada Gregorius Sabon

Kai Luli, Drs, Lic, yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis

selama proses pengerjaan tulisan ini. Sulit rasanya menyampaikan kata yang tepat sebagai

ucapan terima kasih atas pengorbanan dan kesabaran beliau. Di tengah kesibukannya, beliau

selalu meluangkan waktu memberikan perbaikan, arahan dan bimbingan. Terima kasih yang

sepadan juga kepada Dr. Georg Kirchberger, yang telah bersedia menjadi penguji, juga

memberikan sumbangan pikiran, kritikan dan saran yang turut menyempurnakan karya tulis

ini. Terima kasih yang sama penulis haturkan kepada Dr. Alexander Jebadu, yang berkenan

menjadi penguji ketiga skripsi ini. Selanjutnya, penulis mengungkapkan terima kasih pula

kepada Lembaga STFK Ledalero yang telah membina dan membentuk kepribadian penulis

baik secara spiritual maupun intelektual.

Kedua, seluruh masyarakat Iantena yang telah mendukung dengan menyumbangkan

berbagai sumber yang dapat menjadi dasar dalam tulisan ini. Secara khusus, terima kasih

kepada beberapa informan kunci yakni Bapak Sergius Moa, Sumadir Nong, Ero Ribut, Kanisius

Ani, Godefridus Gleko, Frasnsiskus Nong Feri, Pitalis Koli, Alfa Edison, dan Mama Maria Fatima,

Maria Marta Rince dan Lembaga pemerintahan Desa Iantena.

Ketiga, terima kasih pula penulis ucapkan kepada Kongregasi Society Of Divine

Vocations (SDV) atau Serikat Panggilan Ilahi yang dengan cinta dan kasih sayang kepada

penulis, telah memberikan dukungan berupa doa, sarana dan prasarana demi kelancaran

penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang melimpah kepada para

formator Serikat Panggilan Ilahi yakni P. Rosario Taliano, SDV selaku Superior Lokal

Vocationis Indonesia, P. Marselinus Abur, SDV, P. Anselmus M. Nai, SDV, P. Henderikus

Lawi, SDV, P. Oliver Maninggo, SDV. Mereka adalah pribadi yang telah membentuk,

membina, memberi motivasi dan membimbing penulis sehingga bisa menyelesaikan tulisan

ini. Terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada konfrater sekomunitas SDV atas

segala pengalaman kebersamaan dan memberikan berbagai dukungan demi kelancaran

penulisan skripsi ini.

Keempat, penulis menyampaikan terima kasih berlimpah kepada kedua orang tua

Bapak Hendrikus Hende (+) dan mama Maria Fatim, yang telah melahirkan dan membesarkan

penulis dengan penuh cinta kasih. Terima kasih juga saudara-saudariku kepada, Kosmas Batu

Bara, Fransiskus Nong Feri, Agustinus Yatarten, Erduadus Edi Son dan ipar Maria Goreti

Page 8: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

viii

Marut yang telah mendukung penulis dengan berbagai cara dalam proses penyelesaian tulisan

ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini bukanlah sesuatu yang sempurna. Oleh

karena itu, berbagai sumbangan ide dan segala kritikan konstruktif dari semua pihak dalam

usaha penyempurnaan tulisan ini.

STFK Ledalero, .....Mei 2020

Penulis

Page 9: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

PENERIMAAN JUDUL ................................................................................................... ii

LEMBARAN PENGESAHAN ........................................................................................ iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI .................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Penulisan ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 4

1.4 Metode Penulisan .......................................................................................................... 4

1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................................... 5

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT DESA IANTENA ...... 6

2.1 Keadaan Alam ............................................................................................................... 6

2.1.1 Letak Wilayah ............................................................................................................ 6

2.1.2 Luas Wilayah ............................................................................................................. 6

2.1.3 Iklim….. …………… ................................................................................................ 7

2.1.4 Penghasilan Penduduk ............................................................................................... 7

2.2 Data Kependudukan ...................................................................................................... 8

2.3 Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Iantena ............................................................ 8

2.3.1 Bahasa ........................................................................................................................ 8

2.3.2 Sistem Kekerabatan ................................................................................................... 9

2.3.3 Kepercayaan ............................................................................................................... 10

2.3.3.1 Kepercayaan Akan Adanya Roh-Roh Dan Wujud Tertinggi ................................. 10

2.3.3.2 Kepercayaan Akan Tuhan Sebagai Yang Mahatinggi ............................................ 11

2.3.4 Pendidikan.................................................................................................................. 13

2.3.5 Kerajianan .................................................................................................................. 13

2.2.5.1 Tenun Ikat ............................................................................................................... 13

2.2.5.2 Anyam ..................................................................................................................... 14

Page 10: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

x

2.3.6 Kesenian ..................................................................................................................... 15

2.3.6.1 Seni Musik .............................................................................................................. 15

2.3.6.1.1 Gong Waning ....................................................................................................... 15

2.3.6.1.2 Suling Gedang ...................................................................................................... 16

2.3.6.2 Seni Tari .................................................................................................................. 17

2.3.6.2.1 Tarian Tua Reta Lo’u ........................................................................................... 17

2.3.6.2.2 Tarian Hegong ..................................................................................................... 18

2.2.6.2.3 Tarian Roa Mu’u .................................................................................................. 19

BAB III SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT IANTENA ................... 20

3.1 Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Iantena ...................................................... 20

3.1.1 Pengertian Perkawinan............................................................................................... 20

3.1.2 Pengertian Perkawinan Menurut Orang Iantena / Da Di Wai La’i Lihan Lalan ....... 20

3.1.3 Jenis-Jenis Perkawinan Masyarakat Iantena .............................................................. 21

3.1.3.1 Wain Plan / Kawin Mulia ....................................................................................... 21

3.1.3.2 Du’a Depo La’I / Kawin Lari ................................................................................. 24

3.1.3.3 Selung O’ha Hiwir Li’an / Kawin Ganti Tikar ....................................................... 26

3.1.3.4 Ina Ama Wen / Kawin Paksa ................................................................................... 27

3.1.4 Tujuan Perkawinan .................................................................................................... 27

3.2 Latar Belakang Lahirnya Perkawinan Masyrakat Iantena ........................................... 28

3.3 Tahap-Tahap Dalam Perkawinan Masyarakat Iantena ................................................. 29

3.3.1 Tahap Perkenalan / Tulung Dalang ........................................................................... 29

3.3.2 Tahap Peminangan / Wuan Weta Wai Heron Men .................................................... 30

3.3.3 Tahap Pertunangan / Poto Wua Ta’a ......................................................................... 31

3.3.4 Tahap Pengantaran Belis / Wu’un Larun Atau Leto Woter........................................ 31

3.3.4.1 Macam-Macam Bahar Balik / Belis ....................................................................... 33

3.3.4.1.1 Wu’un Tudi .......................................................................................................... 33

3.3.4.1.2 Wu’un Kila........................................................................................................... 33

3.3.4.1.3 Wu’un Hiket......................................................................................................... 34

3.3.4.1.4 Wu’un Wawi Dadi ............................................................................................... 34

3.3.4.1.5 Wu’un Wua Ta’a Gete ........................................................................................ 35

3.3.4.1.6 Wu’un Kelanaran…………………………………………………. ………….. . 37

3.3.4.1.7 Wu’un Konfes ...................................................................................................... 37

3.3.5 Tahap Peresmian Perkawianan / Lerong Kawit ......................................................... 38

Page 11: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

xi

3.3.6 Syarat-Syarat Untuk Kawin .................................................................................... 39

3.3.6.1 Usia ......................................................................................................................... 39

3.3.6.2 Mas Kawin .............................................................................................................. 40

3.3.6.3 Bisa Bertanggungjawab Dalam Keluarga ............................................................... 40

3.3.6.4 Kesiapan Mental ..................................................................................................... 41

3.3.7 Perkawianan Yang Tidak Sah Dalam Masyrakat Iantena ......................................... 42

3.4 Adat Mengenai Penceraian ........................................................................................... 43

BAB IV SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA DAN

RELEVANSINYA TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK ..................... 45

4.1 Pandangan Kristen Katolik Tentang Perkawinan…………………………………….. 45

4.1.1 Pengertian Perkawinan............................................................................................... 45

4.1.1.1 Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik ............................................................. 45

4.1.1.1.1 Kitab Hukum Kanonik (KHK)............................................................................. 46

4.1.1.1.2 Konsili Vatikan II ................................................................................................ 46

4.1.1.1.3 Katekismus Gereja Katolik .................................................................................. 47

4.1.1.1 Perkawinan Menurut Kitab Suci ............................................................................. 48

4.1.1.1.4.1 Perkawinan Dalam Perjanjian Lama ................................................................. 48

4.1.1.1.4.2 Perkawinan Dalam Perjanjian Baru .................................................................. 49

4.1.2 Tujuan Perkawinan Katolik ....................................................................................... 50

4.1.2.1 Kesejahteraan Suami-Istri ....................................................................................... 51

4.1.2.2 Kelahiran Anak ....................................................................................................... 52

4.1.2.3 Pendidikan Anak ..................................................................................................... 52

4.1.2.4 Kebapak-Ibuan Yang Bertanggung Jawab.............................................................. 53

4.1.3 Hakikat Perkawinan Kristen Katolik ......................................................................... 53

4.1.3.1 Perkawinan Sebagai Persekutuan Cinta .................................................................. 54

4.1.3.2 Perkawinan Sebagai Sakramen ............................................................................... 55

4.1.3.3 Perkawinan Sebagai Perjanjian ............................................................................... 55

4.1.4 Halangan-Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan ............................................. 56

4.1.4.1 Halangan Umur ....................................................................................................... 56

4.1.4.2 Perkawinan Beda Agama ........................................................................................ 57

4.1.4.3 Halangan Tabisan Suci ........................................................................................... 58

4.1.4.4 Halangan Kaul Kemurnian Publik Dan Kekal ........................................................ 59

4.1.4.5 Perkawinan Berstatus Berhubungan Darah ............................................................ 60

Page 12: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

xii

4.1.4.6 Halangan Ligamen .................................................................................................. 61

4.1.4.5 Impotensi……………………................................................................................. 61

4.1.4.5 Halangan Penculikan .............................................................................................. 62

4.1.5 Sifat-Sifat Perkawinan Kristiani ................................................................................ 62

4.1.5.1 Monogam ................................................................................................................ 63

4.1.5.2 Tak Ceraikan ........................................................................................................... 64

4.2 Bagian-Bagian Dari Sistem Perkawinan Masyarakat Desa Iantena Yang Relevan

Dan Tidak Relevan Terhadap Perkawinan Katolik ...................................................... 64

4.2.1 Unsur-Unsur Dari Perkawian Yang Relevan Terhadap Perkawinan Katolik ............ 64

4.2.1.1 Cinta Antara Suami Dan Istri .................................................................................. 65

4.2.1.2 Perkawinan Tidak Diijinkan Bagi Pasangan Yang Masih Memiliki

Hubungan Darah ..................................................................................................... 66

4.2.2 Unsur-Unsur Tidak Relevan Dari Perkawinan .......................................................... 68

4.2.2.1 Kawin Paksa Atas Perencanan Orang Tua .............................................................. 68

4.2.2.2 Perceraian Sebelum Dinikahkan Secara Katolik .................................................... 69

3.1.3.3 Kawin Ganti Tikar .................................................................................................. 70

4.2.3 Nilai-Nilai Unggul Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena ......................... 70

4.2.3.1 Perkawinan Melalui Perkenalan Yang Baik ........................................................... 70

4.2.3.2 Masuk Minta ........................................................................................................... 71

4.2.3.3 Perkawinan Menekankan Aspek Kebersamaan ...................................................... 72

4.2.3.4 Budaya Sirih-Pinang Dan Rokok (Bako Wua Ta’a) ............................................... 72

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 74

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 74

5.2 Usul Saran ..................................................................................................................... 75

DAFTAR KEPUSTAKA .................................................................................................. 79

LAMPIRAN 1.................................................................................................................... 83

LAMPIRAN 2.................................................................................................................... 84

Page 13: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Momen penting dalam perjalanan hidup manusia adalah pada saat beranjak ke jenjang

hidup perkawinan. Dalam hidup perkawinan, seorang pria mau membangun kebersamaannya

yang intens dengan seorang wanita, di mana dalam persekutuan pria dengan wanita tersebut

mereka berjanji untuk hidup bersama. Pria maupun wanita membentuk suatu tatanan hidup

baru yang disebut hidup berkeluarga. Kehidupan berkeluarga yang baru tersebut terarah pada

kebahagiaan satu sama lain.

Gereja Katolik memahami perkawinan sebagai sebuah sakramen. Perkawinan pria dan

wanita dipandang sebagai tanda persatuan antara Allah dengan Gereja. Persatuan ini menyatu

dalam ikrar perkawinan kedua mempelai di hadapan pejabat Gereja dan para saksi. Ikrar

perkawinan ini dimaknai sebagai perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Misteri agung ini

kemudian Gereja nyatakan dalam hidup perkawinan yakni hidup bersama dengan saling

mencintai sebagai suami-istri.1 Menjadi suami-istri berarti saling menerima dan memiliki

status baru dalam masyarakat. Pria akan berstatus sebagai suami dengan segala hak dan

kewajibannya serta wanita akan menjadi istri dengan segala hak dan kewajibannya.

Kesepakatan ini bukan diandaikan tetapi dijanjikan dengan kesediaan untuk saling menerima

sebagai suami-istri dan saling mencintai dalam situasi apapun.2 Di mana dalam perkawinan

pria dan wanita hidup secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta,

melahirkan dan mendidik anak.

Apapun bentuk perkawinan yang dijalani tetap memiliki suatu tujuan utama yaitu

terciptanya cinta kasih yang utuh antara pria dan wanita yang sudah mengikat janji setia

dalam perkawinan. Kekhasan hakiki lain dari perkawinan Katolik adalah sifatnya yang tak

terceraikan (indissolubilitas).3 Sifatnya tak ceraikan menunjukan bahwa ikatan perkawinan

bersifat absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan selain

oleh kematian. Sehingga pria dan wanita yang telah memutuskan untuk menikah, dengan

sadar, tahu dan mau serta tanpa tekanan atau bebas dari intervensi pihak manapun, mengikat

kesepakatan mereka dalam janji perkawinan.

1Purwa Hadiwardoyo, Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2019). p. 17. 2Yohanes Driyanto, Tujuan Identitas Dan Misi Perkawinan Katolik (Jakarta: Obor, 2017). p. 9. 3Eigius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik (Ende: Nusa Indah, 2000), p. 60.

Page 14: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

2

Dalam tulisan ini, penulis membahas tema perkawinan dalam hubungan dengan

“Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena”. Penulis mengangkat tema ini karena melihat

bahwa sistem perkawinan adat masyarakat Iantena memiliki kekayaan nilai yang patut

dipelihara dan dipelajari. Sebagai pewaris kebudayaan, penulis bangga dengan kekayaan

budaya yang dimiliki masyarakat Iantena. Dari pengalaman ini penulis berusaha untuk

kembali menggali kekayaan nilai tersebut dalam karya ilmiah ini. Penulis merasa perlu untuk

mendalami tata cara dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena dalam terang perkawinan

Gereja Katolik. Ini merupakan salah satu cara penulis memelihara dan melestarikan nilai

budaya masyarakat Iantena sekaligus memperkenalkannya kepada publik.

Pada awalnya, ritus upacara adat dalam masyarakat Iantena ini dilarang karena dinilai

sebagai upacara orang kafir. Larangan ini dibuat mengingat minimnya jumlah umat Katolik

pada masa itu dan minimnya jumlah tenaga pastoral dalam usaha menanamkan benih-benih

iman Katolik pada masyarakat yang masih melekatkan diri pada paham animisme dan

dinamisme. Masyarakat Iantena tetap menjalankan ritus upacara perkawinan tanpa

mengabaikan upacara perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal ini bertolak dari kesadaran

masyarakat yang tumbuh dari penghayatan iman yang dangkal bahwa upacara Katolik kurang

berarti bila dibandingkan dengan upacara adat yang selalu dilakukan. Lebih jauh lagi

masyarakat Iantena mempunyai pertimbangan lain bahwa ritus perkawinan adat merupakan

warisan leluhur mereka yang umumnya jauh melampaui ajaran iman Katolik yang baru

diperkenalkan oleh para misionaris. Berhadapan dengan dua keyakinan yang saling

bertentangan di atas, masyarakat Iantena dihadapkan pada suatu dilema yakni menerima

upacara Katolik serentak melaksanakan upacara adat atau tetap mempertahankan upacara

adat dan mengabaikan upacara Katolik dengan risiko menerima hukuman dari Gereja.4

Dalam perjalanan waktu Konsili Vatikan II memberi ruang perhatiannya pada

beraneka kebudayan setiap suku bangsa. Hubungan dengan perkawinan adat yang memiliki

nilai-nilai universal dan lambang-lambang yang mengungkapkan nilai-nilai iman Katolik.

Konstitusi tentang Liturgi Kudus artikel 77 menegaskan bahwa, “bila ada provinsi yang

menggunakan kebiasaan terpuji dan upacara lain dalam merayakan nikah, maka konsili suci

sangat menginginkan agar kebiasaan-kebiasaan itu sepenuhnya dipertahankan dan

dilestarikan”.5 Konsili suci memiliki pandangan yang positif terhadap setiap suku bangsa

4Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kapala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Agustus 2019 di Dobo. 5Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana, cetakan VI (Jakarta: Obor, 2003), p.

30.

Page 15: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

3

yang merayakan misteri Kristus sesuai dengan warisan budaya dan adat-istiadat masing-

masing daerah.

Bertolak dari konsili di atas, secara implisit dapat dilihat hubungan sistem perkawinan

dengan karya kerasulan yaitu kerasulan Gereja harus bertolak dari corak hidup dan warna

kebudayan suatu bangsa, sehingga iman Katolik benar-benar dapat mengakar dan sekaligus

karya kerasulan Gereja itu menjadi sasaran yang mempertemukan Allah dan manusia. Gereja

dalam perkembangannya tetap berusaha mengambil nilai-nilai positif dari budaya daerah

setempat dan menjadikannya sebagai sarana pendalaman dan pendewasaan iman umat.

Sejalan dengan konsep dasar di atas, penulis melihat bahwa sistem perkawinan

masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai positif yang perlu dilestarikan dan diwariskan

kepada generasi berikutnya. Karena tradisi bukan sebuah warisan mati, melainkan memiliki

seperangkat nilai hidup yang sangat membantu perkembangan peradaban masyarakat, ia

mengandung falsafah hidup tertentu. Tradisi harus dianalisis dan diinterpretasi secara kreatif

untuk menemukan makna-maknanya bagi kehidupan manusia. Penulis berusaha untuk

menggali dan membahas kebudayaan tradisional masyarakat Iantena sebagai salah satu

bentuk kepedulian serta penghargaan terhadap warisan budaya para leluhur.

Lebih dari itu, penulis berpendapat bahwa kebudayaan asli merupakan harta kekayaan

yang perlu dilestarikan keberadaannya. Konsep pemikiran ini lebih merupakan sebuah

kritikan terhadap konsep pemikiran yang mengklaim bahwa dengan adanya kemajuan ilmu

pengetahuan teknologi yang begitu pesat, orang lalu cenderung menganggap tradisi sebagai

mitos, ritus-ritus atau kepercayaan yang ketingalan zaman yang menghambat kemajuan.

Kecenderungan ini tampak dalam penilaian yang tidak adil serta menempatkan manusia

dalam dua kelompok besar. Satu sisi, orang yang mencintai tradisi menjadikannya sebagai

acuan berpikir dan bertindak. Mereka ini dianggap sebagai kelompok orang yang anti

kemajuan. Di sisi lain, orang yang mengabaikan tradisi dan mendewakan perkembangan

zaman. Mereka melihat diri sebagai orang yang berpikir maju serta bertindak selaras zaman.6

Berhadapan dengan fenomena di atas, sikap dasar yang perlu dibangun adalah tetap

mempertahankan nilai-nilai budaya masing-masing tanpa harus bersikap tradisional. Hal ini

berarti bahwa sebagai manusia modern tetap berakar pada budaya dengan menggali dan

melestarikan kekayaan budaya tersebut dan tidak menerima tradisi itu secara tradisional,

artinya tanpa suatu sikap kritis.7 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis coba menggali dan

6Frans Ceunfin, “Merujuk Tradisi Mengelola Hidup Dalam Mengabdi Kebenaran” Jurnal Ledalero, vol 5 No.

02, Januari-Juni 2005), p. 1. 7Paul Budi Kleden, Teologi Terlibat (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. 19-20.

Page 16: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

4

mengangkat kembali nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Iantena. Hal ini

dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan serta melestarikan nilai-nilai budaya

perkawinan dalam masyarakat Iantena. Bertolak dari nilai-nilai perkawinan tersebut, penulis

ingin menggali unsur-unsur dari sistem perkawinan masyarakat Iantena yang masih relevan

dalam upacara perkawinan Katolik. Sebab nilai yang hendak digali ini memiliki kontribusi

bagi generasi mendatang dan kehidupan iman umat dalam hubungan dengan sakramen

perkawinan di dalam Gereja Katolik. Sebagai upaya dalam mempertahankan salah satu tradisi

masyarakat Iantena, penulis mencoba menggali sistem perkawinan dalam masyarakat Iantena

yang akan diuraikan dalam karya tulis ini, di bawah judul: Sistem Perkawinan Pada

Masyarakat Iantena Dan Relevansinya Terhadap Perkawinan Katolik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam

karya ilmiah ini yakni; Pertama, bagaiamana gambaran umum tentang masyarakat Iantena?

Kedua, bagaimana sistem perkawianan adat yang berlaku pada masyarakat Iantena? Ketiga,

bagaimana relevansi sistem perkawinan adat pada masyarakat Iantena dengan sistem

perkawinan Gereja Katolik? Semua rumusan masalah ini akan dibahas secara komprehensif

dalam setiap bab dalam karya ilmiah ini.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini memilki beberapa tujuan yang menjadi sasaran utama yaitu:

Pertama, penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi tuntutan akademik pada

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Strata Satu (S1).

Kedua, penulis mengangkat kembali kekayaan tradisi lokal yang kian redup karena

perubahan zaman, khususnya tata cara perkawinan dalam masyarakat Iantena yang telah

diwariskan oleh para leluhur untuk dikenal dan dipelajari oleh generasi masa kini.

Ketiga, penulis secara lebih mendalam melihat nilai-nilai yang masih relevan dari

sistem perkawinan masyarakat Iantena terhadap perkawinan dalam Gereja Katolik.

Keempat, melalui tulisan ini, penulis bertekad membangkitkan rasa kecintaan setiap

generasi muda pada budaya daerah dan semangat untuk menghargai warisan serta ritus-ritus

adat dalam hubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.

Page 17: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

5

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis memakai dua jenis metode penelitian yakni:

Pertama, penulis membuat studi kepustakaan dengan membaca literatur-literatur demi

memperkaya tulisan ini. Selain mendapatkan data melalui buku-buku, penulis juga

melengkapi dari sumber lain surat kabar dan internet. Kedua, penulis juga membuat studi

penelitian lapangan dengan mewawancarai beberapa informan kunci yang memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang tradisi masyarakat Iantena. Dari data-data

inilah, penulis memiliki gambaran dan landasan teoritis untuk mengembangkan ide dalam

mengarap karya tulis ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulis menggarap tema ini dalam lima bab. Bab I, penulis menguraikan latar

belakang pemilihan tema yang akan di bagi lagi dalam beberapa sub tema seperti rumusan

masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sitematika penulisan.

Bab II, penulis memberi gambaran umum atau profil singkat tentang masyarakat

Iantena berdasarkan keadaan alam, data kependudukan dan kehidupan sosial budaya

masyarakat Iantena.

Bab III, penulis membahas tentang sistem perkawinan pada masyarakat Iantena.

Penjelasan ini berdasarkan data penelitian lapangan yang dibagi dalam beberapa bagian yakni

perkawinan dalam perspektif masyarakat Iantena, latar belakang lahirnya perkawinan

masyarakat Iantena, tahap-tahap dalam perkawinan masyarakat Iantena dan adat mengenai

perceraian.

Bab IV, penulis menguraikan tentang relevansi dari sistem perkawinan pada

masyarakat Iantena terhadap sistem perkawinan Katolik. Uraian ini mengulas tentang

pandangan Kristen Katolik tentang perkawinan, bagian-bagian dari sistem perkawinan

masyarakat Iantena yang masih relevan terhadap perkawinan Katolik.

Bab V merupakan bagian penutup. Dalam bagian terakhir ini, penulis memberikan

kesimpulan dan usul saran.

Page 18: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

6

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT IANTENA

2.1 Keadaan Alam

2.1.1 Letak Wilayah

Masyarakat Desa Iantena memiliki wilayah desa dengan mengikuti batasan wilayah

orang Iantena yaitu bagian timur berbatasan dengan desa Sapan Kopong, (Kecamatan

Kewapante); bagian barat berbatasan dengan desa Blatatatin, (Kecamatan Kangae); bagian

barat daya berbatasan dengan desa Umagera, (Kecamatan Kewapante); bagian utara

berbatasan dengan desa Geliting, (Kecamatan Kewapante).8

2.1.2 Luas Wilayah9

Luas daerah (daratan) desa Iantena adalah 31,70 Km2. Dari luas yang ada terdapat

empat dusun yaitu dusun Dobo, dusun Baobatung, dusun Habihogor dan dusun Watu Kobu.

Tabel 2:1 Luas Wilayah (km2/ha)

NO

Dusun

Dalam Kilometer

Km2

Dalam Hektar

(Ha)

1 Dobo 6,00 600

2 Baobatun 9,20 920

3 Habihogor 11,00 1100

4. Watu Kobu 5,50 550

Jumlah 31,70 3.170

Keterangan: Dusun

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dusun Habihogor memiliki luas wilayah lebih besar

dibandingkan dengan tiga dusun lainnya. Pusat desa Iantena terletak di wilayah dusun

Baobatun.

Wilayah Iantena terdiri atas daratan yang cukup luas dengan pepohonan, bukit dan

lembah. Masyarakat Iantena memanfaatkan pepohonan, bukit dan lembah itu sebagai tempat

pemeliharan ternak seperti sapi, kuda, kambing dan babi. Di samping itu, sebagian

8Desa Iantena Statistik, Data Penduduk Masyarakat Desa Iantena Tahun 2020 (Baobatun: 2020), p. 2. 9Ibid., p. 4.

Page 19: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

7

masyarakat juga memanfaatkan bukit dan lembah untuk bertani, berkebun serta bercocok

tanam misalnya tanaman komoditas. Di bukit-bukit terdapat binatang-binatang liar seperti

kera, babi hutan dan lain-lain.

2.1.3 Iklim

Desa Iantena beriklim suhu tropis. Iklimnya terdiri atas musim kering dari bulan April-

November dan musim hujan dari bulan November-April.10 Wilayah desa Iantena yang lebih

dikenal dengan wilayah pegunungan dengan curah hujan yang rendah. Masyarakat sering

dilanda bencana kelaparan akibat kekeringan yang berkepanjangan.

Masyarakat berladang ketika musim hujan tiba dan masyarakat hanya bisa sekali

berladang dalam setahun. Bila curah hujannya baik maka, ada kemungkinan untuk dua kali

mengolah ladang mereka. Sedangkan pada musim panas biasanya mereka membersihkan

kebun, menebas hutan untuk berkebun, dan mengiris lontar (tuak) untuk membuat moke.

2.1.4 Penghasilan Penduduk

Pada umumnya masyarakat Iantena bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.

Sebagian besar penduduk masyarakat Iantena bergantung pada potensi pertanian dan juga

hasil alam. Pertanian seperti: tanaman jagung, padi ladang, ubi-ubian serta kacang-kacangan.

Sedangkan hasil alam seperti: kemiri, coklat, jambu mete dan kopra. Sebagian kecil

penduduknya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tukang. Umumnya tanah yang

dijadikan kebun ada dua macam yaitu pertama, ongen (kebun yang di dalamnya hanya

digunakan untuk menanam tanaman khusus atau sudah ditanam penuh dengan tanaman

seperti: coklat, kemiri, jambu mete dan kelapa). Kedua, uma hogot (ladang yang digunakan

dengan cara dicangkul atau digarap dengan bajak untuk menanam jagung, padi ladang serta

kacang-kacangan).

Di samping berladang, masyarakat juga mendapatkan penghasilan lain dari usaha

beternak. Beternak menjadi salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Iantena pada

umumnya. Ternak yang biasa dipelihara adalah babi, sapi, ayam, kambing dan kuda. Hewan-

hewan peliharaan ini dapat memberikan hasil yang menguntungkan bagi kehidupan

masyarakat. Pada masa kini, kuda memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi khususnya di

wilayah Iantena. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini menyekolahkan anaknya dengan

hasil penjualan kuda selain dipergunakan untuk urusan adat-istiadat. Di samping itu, ada juga

10Ibid., p. 8.

Page 20: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

8

sebagian masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ini biasa dilakukan oleh

masyarakat yang tidak memiliki kebun atau ladang untuk digarap.

2.2 Data Kependudukan

Data penduduk masyarakat desa Iantena tahun 2020 dapat dilihat dalam tabel berikut

ini:

Tabel 2:2 Data Penduduk Iantena 2020

No Dusun Jumlah KK Jumlah Penduduk

1

2

3

4

Dobo

Baobatun

Habihogor

Watu Kobu

187

198

221

189

503

689

865

409

Jumlah 795 2.466

Keterangan: Kelurahan.

KK : Kepala Keluarga

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dusun Habihogor memiliki jumlah kepala keluarga

terbesar dengan jumlah penduduknya 865 jiwa, bila dibandingkan dengan tiga dusun lainnya.

2.3 Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Iantena

2.3.1 Bahasa

Bahasa merupakan sarana komunikasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari

oleh setiap budaya.11 Bahasa berfungsi sebagai alat pelestarian kebudayaan. Bahasa yang

sering digunakan dalam suatu budaya tertentu yakni disebut bahasa ibu. Lewat bahasa pula

setiap kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain. Masyarakat Iantena menggunakan

bahasa daerah Sikka dengan dialek Krowe, tutur sara Sikka. Bahasa ini lazim digunakan

dalam kehidupan bersama baik dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup sosial

kemasyarakatan. Seiring perjalanan waktu, kini masyarakat Iantena juga memakai bahasa

Indonesia dalam berkomunikasi khususnya dalam lingkup sekolah atau pada kegiatan-

kegiatan formal kepemerintahan.

11Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), p. 130.

Page 21: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

9

Sedangkan dalam mengucapkan tutur adat, bahasa yang digunakan ialah bahasa adat

sesuai dengan konteksnya yang semua ungkapannya penuh dengan kiasan-kiasan. Demikian

pula dalam rapat-rapat adat selalu digunakan bahasa tingkat tinggi serta kata-kata konotatif

dan kadang-kadang hanya diumpamakan saja. Bahasa adat tidak dipakai sembarangan dalam

percakapan sehari-hari. Bahasa adat hanya bisa dipakai oleh para tua adat, du’a moan pada

momen-momen resmi seperti acara perkawinan, acara pembangunan rumah adat, pada saat

acara kematian dan saat penjemputan para pembesar.

2.3.2 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat urgen dalam membangun relasi

dasar antara sesama dalam sesuatu kelompok masyarakat budaya. Sistem kekerabatan turut

membentuk pola tingkah laku sosial masyarakatnya. Umumnya, jalinan kekerabatan yang

terjadi pada masyarakat ditarik dari sistem keturunan dari generasi ke generasi. 12 Ada

beberapa cara membaca kekerabatan dalam tradisi masyarakat Iantena:

Pertama, kekerabatan berdasarkan hubungan darah atau se-kandung. Masyarakat Iantena

menyebut relasi ini dengan term ina ha ama ha yang berarti mereka yang lahir dari satu ayah

dan satu ibu. Pada level ini ikatan relasi akan terlihat lebih intim. Lazimnya, relasi kekerabatan

jenis ini disebut dengan ungkapan uew wari lu’r, yakni hubungan antara kakak dan adik

kandung.

Kedua, kekerabatan karena perkawinan yakni perhimpunan dua keluarga besar yang saling

membina hubungan baik yang terjadi karena hubungan perkawinan. Hubungan kekerabatan ini

disebut dengan istilah wain lain lihan lalan.

Ketiga, kekerabatan karena jalinan persahabatan dan kedekatan yang didasari oleh rasa saling

memiliki dan sikap empati. Relasi kekerabatan jenis ini disebut dengan istilah uew wari kesa

wor. Berdasarkan kenyataan tiga cara membaca kekerabatan ini dapat dikatakan bahwa sistem

kekerabatan dalam masyarakat sosial orang Iantena menjadi sangat luas.13

Masyarakat Iantena menganut sistem kekerabatan patrilineal artinya, masyarakat

Iantena menghitung keturunan berdasarkan garis keturunan ayah. Sistem ini mewajibkan

semua keturunan ayah masuk ke dalam kekerabatan, sedangkan keturunan ibu tidak termasuk

ke dalamnya. Konsekuensinya semua warisan selalu menjadi milik kaum pria.

2.3.3 Kepercayaan

Kepercayaan bisa diartikan sebagai ungkapan, ekspresi atau aspek kognitif

intelektual, konseptual dari pengalaman keagamaan. Karena itu ada relasi yang erat antara

12Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), p. 263. 13Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo.

Page 22: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

10

kepercayaan dan aktivitas keagamaan. Dengan ini dilihat bahwa kepercayaan itu tidak

selamanya abstrak. Ia selalu memiliki relevansi dengan hidup harian karena ia mengundang

tanggapan manusia untuk menemukan pilihan, menafsir peristiwa hidupnya dan

merencanakan tindakan-tindakan. Mitos misalnya, bisa menjadi basis rasional untuk tindakan

sebuah suku.14 Singkatnya, ada begitu banyak cara untuk mengungkapkan hubungan dengan

yang Ilahi. Berkaitan dengan sistem kepercayaan ini masyarakat Iantena mempunyai dua

keyakinan sebagai wujud tertinggi.

2.3.3.1 Kepercayaan Akan Adanya Roh-Roh dan Wujud Tertinggi

Umumnya masyarakat Iantena menganut agama Katolik. Mereka tercatat sebagai

umat Paroki Hati Yesus Mahakudus Ili, Keuskupan Maumere. Ada banyak kegiatan

kerohanian Katolik yang dilakukan sebagai upaya penguatan iman mereka seperti perayaan

Ekaristi Kudus dan ibadat-ibadat lainnya. Meskipun mereka adalah umat Katolik, namun

masyarakat Iantena juga adalah kelompok yang terus menghidupi kebudayaan mereka,

termasuk kepercayaan asli dalam budaya mereka. Keaslian dari kebudayaan itu tampak dalam

praktik adat-istiadat, khususnya dalam bentuk ritus dan prosesi adat.

Mereka percaya pada wujud tertinggi yang diberi nama Ina Nian Tanah Wawa Ama

Lero Wulan Reta (Ibu bumi di bawah dan Bapa matahari di atas). Masyarakat Iantena

mengakui bahwa wujud tertinggi tersebut merupakan tumpuan harapan dan pemberi

kesejahteraan bagi mereka. Hal ini tampak dalam ungkapan berikut yang menggambarkan

wujud tertingi:

Ina Nian Tanah Wawa, Ibu di bawah bumi,

Ina Meten Ami Gete, Ibu sumber pengharapan yang besar bagi kami,

Ama Lero Wulan Reta, Bapa penguasa di atas langit,

Ama Pauk Ami Mosan, Bapa tumpuan bagi kami,

Polung Helang, Roh halus,

Du’a toen robong , Roh yang bagian tulang punggungnya berlubang,

Ular naga sawaria, Roh yang berwujud ular naga,

Watu mahe. Batu mahe.15

Roh kepercayaan ini dapat bersifat baik hati tetapi juga bisa bersifat jahat. Di mana

mereka tidak hanya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Iantena, tetapi juga dapat

menjadi pembawa malapetaka. Ini terjadi bila manusia membangkang atau melanggar tata

14Philipus Panda Koten, Pendekatan Reduksionis Terhadap Agama (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), pp. 45-

46. 15Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18

Juni 2019 di Wolon Ratet.

Page 23: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

11

tertib adat yang telah dijalankan secara turun-temurun. 16 Menurut kebiasaan masyarakat

Iantena setiap sekali dalam setahun tepatnya pada bulan Mei mereka melakukan upacara

sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur dan syukur panen kepada Wujud Tertingi.

Upacara tersebut dilakukan di tengah-tengah kampung yang terdapat watu mahe. Mahe atau

watu mahe adalah batu berbentuk dolmen dan menhir yang dipasang di tengah kampung.

Watu mahe itu ada dua macam, yaitu mahe gete (batu berukuran besar) dan mahe

ketik (batu yang berukuran kecil). Mahe gete itu dibangun dipelataran di tengah kampung dan

menjadi sentrum pemujaan komunitas. Sekitar watu mahe dan pelatarannya, masyarakat

mengadakan upacara adat berkaitan dengan kesuburan ladang, tolak bala, syukur panen dan

pergantian musim. Sedangkan mahe ketik itu dipasang di depan rumah masing-masing. Dari

segi jumlah dan strukturnya, walaupun ada kekhasan di masing-masing kampung umumnya

dipasang tiga buah batu mahe. Di tengah-tengah tumpukan batu itu ada tiga batu yang

diyakini untuk lero (matahari), wulan (bulan) dan niang tanah (alam). Di sekelilingnya

dipasang tujuh buah batu, itu adalah batu du’a moan watu pitu, (tujuh kepala suku yang ada

di Iantena), dan disekitarnya ada perkuburan batu dari para petinggi kampung.17 Upacara

tersebut biasanya dipimpin oleh tanah puan (kepala suku) dan tua-tua adat.

2.3.3.2 Kepercayaan Akan Tuhan Sebagai Yang Mahatinggi

Menurut Edward Burnet Taylor, sebagaimana dikutip Bernard Raho, “agama lahir

bersama dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa-jiwa. Agama

sebagai kepercayaan akan Allah Ketuhanan yang pernah menciptakan manusia dan tetap

menyertainya sampai kebahagiaan abadi, sangat mempengaruhi pandangan hidup manusia

dan tingkah laku dalam hidup harian”.18 Perlu diketahui oleh masyarakat Iantena apakah

kehidupan agama mereka bersifat rutinitas, tradisional dan hasil pengaruh lingkungannya

atau betul-betul merupakan ungkapan penghayatan iman yang dalam doa, ibadat, karya amal.

Masyarakat Iantena juga mengakui akan adanya roh. Selain Wujud Tertinggi yang

telah disebutkan, mereka juga mengakui adanya Yang Mahatinggi sebagai pemberi

kehidupan dan sumber keselamatan dalam setiap peristiwa hidup mereka. Maka mereka

menyapa Yang Mahatinggi dengan sebutan Ama Pu diyakini sebagai pencipta alam dan

pemelihara kehidupan di dunia. Di samping menyebut Ama Pu sebagai Yang Mahatinggi,

16Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18

Juni 20019 di Wolon Ratet. 17Eman J. Embu, Persona Sikka Deskripsi 10 Obyek Wisata Budaya (Maumere: Dinas Pariwisata Kabupaten

Sikka Dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2006), p. 64. 18Bernard Raho, op. cit., p. 235.

Page 24: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

12

mereka juga menyebut Yang Mahatinggi itu sebagai Yang Kudus dengan sebutan Nitu Noan

(arwah leluhur), Niang Tanah Wawa (kekuatan alam) dan Ama Lero Wulan Reta, (Bapa

penguasa di atas langit). Ketiga kekuatan ini diyakini memiliki daya untuk memberi rezeki,

perlindungan dan inspirasi moral bagi manusia dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan

aktivitas hidup manusia. 19 Kepada kekuatan transenden ini, masyarakat Iantena

menggantungkan harapan mereka. Seluruh kegiatan dimulai serta mengakhiri dengan

memohon berkat dari Wujud Tertinggi. Hal ini dilakukan dengan pertama-tama memberikan

sesajian yang disertai dengan doa-doa (Piong Tewok) dalam ritus.

Ilmu agama dan kepercayaan mengajarkan kepada kita bahwa yang tertinggi dilihat

sebagai satu kekuatan tunggal yang berbeda di atas segala kekuatan yang kelihatan. Ia adalah

transenden dan berpribadi rohaniah. Kekuatan dan kekuasaannya melampaui segala sesuatu.

Ia tak kelihatan, tapi Mahabaik dan Mahaadil serta dekat sekali dengan masalah-masalah

hidup manusia. Matahari, langit dan bumi adalah takhta-Nya. Orang tidak dapat mengenal-

Nya karena pribadi-Nya yang transenden. Namun Ia memperhatikan diri-Nya dalam

hubungan dengan matahari, bulan, langit dan bumi serta segala isinya. Manusia menyapa-

Nya sebagai Bapa, kekuatan tanpa batas, Yang Mahakuasa, bertakhta dalam kerajaan Allah,

pencipta dan penyelenggara segala sesuatu.20

Masyarakat Iantena memiliki satu keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan

yang sama juga menciptakan bumi dengan segala isinya. Dunia dalam pandangan mereka

terdiri dari tiga bagian utama yaitu: Pertama, dunia atas yang diyakini sebagai tempat

bersemayam Tuhan sebagai Yang Mahatinggi. Maka ketika mereka memandang ke langit

mereka yakin bahwa Tuhan bersemayam di atas langit. Kedua, dunia tengah yang diyakini

sebagai tempat tinggal manusia yang masih berjuang di dunia ini. Ketiga, dunia bawah yang

diyakini sebagai dunia orang mati atau dunianya para arwah.21

2.3.4 Pendidikan

Pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. 22

Melalui pendidikan, manusia dibina untuk menggunakan bakat dan kemampuannya untuk

mengetahui dan memahami segala sesuatu yang ada. Daya kreatif ini biasa dikembangkan

19Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo. 20Stephanus Ozias Fernandes, Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini (Ende: Nusa

Indah, 1990), pp. 321-322. 21Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18

Juni 20019 di Wolon Ratet. 22Jejen Musfah, Analisis Kebijakan Pendidikan Mengurai Krisis Karakter Bangsa (Bandung: Alumni, 2018), p.

9.

Page 25: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

13

selama proses pendidikan sangat mengatur pola tingkah laku dan penilaian tindakan-tindakan

yang patut dipilih untuk membangun masa depan dimana manusia dapat menyerap nilai-nilai

atau norma-norma yang dapat mengatur dan menggerakan seluruh perilaku dan tindakannya.

Hal ini tentu tidak terlepas dari, keluarga, kelompok bermain, pemimpin agama, dan

media massa, tetapi sebagian besar proses belajar di dalam masyarakat diperoleh melalui

sistem pendidikan formal. Pendidikan diartikan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan

khusus, baik informasi faktual dan keterampilan maupun nilai-nilai dan norma budaya

ditransferkan kepada anggota masyarakat.23 Wilayah Iantena memiliki empat sekolah yakni,

SD Habihogor, SD Watu Kobu, SD Moro dan SMP Satu Atap Moro.

2.3.5 Kerajinan

Masyarakat Iantena memiliki kepandaian dalam hal tenun ikat dan anyam-anyaman.

Mereka pandai membuat kain atau sarung untuk dikenakan oleh pria dan wanita disamping

itu juga mereka pandai dalam menganyam tikar, wadah untuk tempat penyimpanan makanan,

nyiru, gedek rumah dan lain sebagainya.24 Biasanya hasil kerajinan ini dijual di pasar dan

juga dipromosikan pada momen acara festival budaya atau kunjungan orang asing ke daerah

itu. Masyarakat Iantena dikenal secara luas melalui berbagai kerajinan yang dihasilkan.

2.2.5.1 Tenun Ikat

Tenun-menenun dapat dikatakan sebagai salah satu kreativitas dalam budaya

masyarakat Iantena. Di katakan sebagai suatu kreativitas karena masyarakat mampu

menghasilkan tenunan yang berkualitas dan bernilai harga jual yang tinggi. Pada umumnya

masyarakat Iantena mengetahui berbagai macam tenunan dengan kekhasannya masing-

masing. Kekhasan dari setiap tenunan itu dapat dilihat dari motif tenunan yang menjadi ciri

khas satu daerah dengan daerah lain. Umumnya kain tenunan masyarakat Iantena yakni,

(lipa) kain yang dipakai oleh kaum pria dan (utan) kain yang dipakai oleh kaum wanita.

Kedua tenunan ini memiliki motif dan warna yang berbeda. Lipa, berwarna hitam gelap

dengan motif, lipa loeng, lipa peteng dan lipa prenggi sedangkan ‘utan, berwarna merah

kecoklatan yang memiliki susunan motif yang disebut huran, welak dan soge.25

23Ibid., p. 279. 24Hasil wawancara dengan Maria Fatima, Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat, pada 8 Juli 2019 di

Dobo. 25Hasil wawancara dengan Maria Fatima, Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat, pada 8 Juli 2019 di

Dobo.

Page 26: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

14

Sarung-sarung ini diberi motif sedemikian rupa sehingga memberikan hasil yang

maksimal kepada para pemakai. Maka karya ini pun menjadi satu-satunya material yang

penting dalam perkawinan pada masyarakat Iantena. Dalam perkawinan masyarakat Iantena,

sarung merupakan salah satu unsur material belis dari pihak wanita untuk pihak pria.

Disamping itu, kerajinan tenun ikat juga merupakan salah satu sumber penghasilan

masyarakat Iantena. Berkenan dengan hal ini, menurut penuturan beberapa pengrajin tenun

ikat Iantena bahwa, orang Iantena masih menggunakan cara kerja tradisional yang cukup sulit

dalam mengerjakannya serta membutuhkan proses yang cukup lama untuk menghasilkan satu

sarung. Namun hasil yang diperoleh memuaskan. Banyak sarung yang laku terjual dengan

harga yang tinggi berkisar tujuh ratus ribu sampai satu setengah juta.26

Dari pengakuan di atas hendak menunjukkan bahwa tenun ikat merupakan salah satu

warisan budaya yang tinggi dan merupakan kebanggaan bangsa Indonesia yang

mencerminkan jati diri bangsa khususnya masyarakat Iantena.

2.2.5.2 Anyam

Masyarakat Iantena pandai dalam hal anyam-menganyam. Mereka biasanya

menganyam untuk berbagai kepentingan rumah tangga seperti: bakul, tempat sirih pinang,

tempat padi, tempat jagung, tikar, nyiru, “gedek” rumah dan lain-lain. Semua hasil anyaman

di atas dihasilkan dari bahan yang sederhana yakni: daun lontar, daun pandan, kulit bambu

yang dihaluskan.27 Kini di rumah-rumah keluarga, bahan-bahan di atas ternyata sudah diganti

dengan sarana-sarana dan fasilitas produksi pabrik mesin baik yang mudah karat atau yang

menggunakan plastik, sementara sarana-sarana tradisional sengaja dilupakan. Sangat

disesalkan bahwa tindakan seni menganyam sebagaimana yang sudah diutarakan, tidak lagi

ditingkatkan oleh masyarakat, kalaupun ada itu cuma dikerjakan oleh sebagian kecil

masyarakat. Bila hasil kreasi anyaman orang tua itu direfleksikan dengan baik, maka disana

terpancang kekayaan nilai-nilai budaya warisan kaum leluhur.

2.3.6 Kesenian

Masyarakat Iantena mempunyai kerajinan dan kesenian yang khas. Setiap upacara

adat dan acara-acara lain yang sifatnya umum selalu diwarnai dengan pertunjukan kesenian.

Hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Iantena. Namun pada masa kini,

26Hasil wawancara dengan Anggota Tenun Ikat Sanggar Jong Dobo Maria Marta Rince dkk., pada 8 Juli 2019 di

Dobo. 27Hasil wawancara dengan Ero Ribut, Tukang Kayu, pada 24 Juli 2019 di Dobo.

Page 27: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

15

nilai kesenian daerah mulai menghilang. Dengan demikian masyarakat perlahan-lahan mulai

kehilangan identitas kesenian itu.

Penulis coba mengangkat nilai kesenian masyarakat Iantena yang kini perlahan mulai

hilang dari pentas kehidupan budayanya. Hemat penulis, kesenian daerah yang menjadi ciri

khas suatu daerah perlu dijaga dan dilestarikan demi kepentingan generasi-generasi

mendatang. Bila kesenian daerah tidak dilestarikan maka akan terancam punah dan generasi

mendatang akan kehilangan identitas budayanya sendiri. Berikut ini merupakan rangkuman

hasil wawancara bersama bapak Kanisius Ani tentang kesenian dalam masyarakat Iantena.28

2.3.6.1 Seni Musik

Masyarakat Iantena memiliki alat-alat musik seperti gong waning dan suling gedang.

Fungsi dari alat-alat musik ini adalah untuk mengiringi tarian-tarian. Di samping itu alat-alat

musik itu juga digunakan untuk kepentingan liturgi yaitu untuk mengiringi lagu-lagu yang

dibawakan pada waktu perayan Ekaristi. Alat-alat musik itu hanya digunakan pada momen-

momen penting seperti pada acara penjemputan para tamu penting, acara pernikahan, acara

lodo huer, acara pentahbisan imam baru, syukuran, dan acara-acara lain yang memiliki nilai

budaya.

2.3.6.1 Gong Waning

Gong Waning ini merupakan alat musik tradisional khas masyarakat Sikka yang

terdiri dari gendang yang disebut dengan waning, gong dan peli anak. Pada alat musik

waning sendiri terdiri dari gendang besar dan gendang kecil disebut dodor. Waning

(gendang) dalam paket musik gong waning sedikit berbeda dengan gendang-gendang dalam

alat-alat musik tradisional lain di Indonesia pada umumnya, karena waning memiliki ukuran

panjang 75–80 cm, yang berbentuk kerucut dengan diameter tutup atas untuk waning ina

(gendang besar). Sedangkan untuk dodor (gendang kecil), berukuran 25 hingga 30 cm.

Tutupannya biasa terbuat dari kulit kambing atau sapi dengan simpul tali penahan untuk

mengencangkan kulit pada tutupanya yang diproses dengan cara yang tradisional. Sedangkan

pada alat musik gong terdiri dari gong ina wa’a, gong ina depo, gong lepe, gong higo

hagong, dan gong udong. Sedangkan peli anak sendiri merupakan sepotong bambu yang

digunakan untuk irama pukulan gong waning. Musik gong waning ini bisa menghasilkan

beberapa jenis irama musik, badu blabat, higo hagong, todu.29

28Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 29Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.

Page 28: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

16

Masyarakat Sikka dalam daya cipta rasa dan karsa, dengan dasar pemahaman dan

pertimbangan tertentu, telah memberi nama gong waning pada alat musik ini, dengan alasan

bahwa gong dan waning adalah komponen utama pembentuk musik gong waning. Meskipun

sesungguhnya terdapat alat lain yang menjadi pelengkap. Sedangkan ungkapan yang

memperkuat eksistensi alat lain terkemas dalam falsafah adat yang berbunyi wikir ling dopo,

waning dani bui. Secara harafiah berarti “bunyi bila sedang memanggil, tangisan waning

sedang menunggu”. Sesungguhnya falsafah ini memiliki makna yang dalam bagi masyarakat

Sikka (Iantena) yaitu diibaratkan bunyi pukulan bilah bambu dan dentuman gendang pada

musik gong waning tersirat sejuta pengharapan dan kerinduan untuk dapat menghadirkan

khalayak dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Wikir ling dopo lebih

mengisyaratkan bunyi gong waning dalam pesta syukuran atau seremonial adat, upacara

penerimaan tamu dan lain sebagainya. Sedangkan waning dani bui, sesungguhnya memberi

tanda bahwa bunyi gong waning tersebut adalah suasana duka atau ada musibah.30

2.3.6.1.2 Suling Gedang

Masyarakat Iantena yang kini masih eksis mempertahankan musik suling gedang.

Walaupun demikian musik tradisional kebanggaan dan warisan leluhur hampir punah di

kalangan anak muda di daerah itu, karena tidak adanya wadah yang kembali membidangi

kaum muda untuk belajar. Lebih dari pada itu, kaum muda sendiri kurang meminati alat

musing tradisional. Bahkan musik suling gedang kalah bersaing dengan musik modern yang

sekarang lagunya disko dan dangdut. Jika ada acara pesta nikah, penerimaan komuni suci

pertama dan acara syukuran, musik modern menjadi pilihan utama selama acara itu

belangusung. Musik suling gedang tidak dipakai dan menghilang dan belakangan ini hanya

diminati oleh kaum tua. Sedangkan generasi muda mulai enggan dan tidak menyukai musik

suling gedang. Para orang tua ingin menghidupkan kembali dan memperkenalkan musik

suling gedang kepada generasi muda diseluruh Indonesia terlebih khusus masyarakat Iantena

yang sudah menjadi warian dari para leluhur.31

Gendang dalam musik suling gedang ini dibuat dari kulit kambing dan suling dari

bambu yang dicari di hutan. Anggota dalam satu grup musik suling gedang ini berjumlah 10

orang dengan perincian, yang memainkan gendang ada 3 orang, yang memainkan gong ada 2

orang dan 5 orang memainkan suling. Generasi muda harus mencintai musik ini dan harus

30Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 31Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.

Page 29: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

17

belajar. Bagaimana mereka tahu kalau pemerintah tidak memasukkan dalam kurikulum lokal

di sekolah".32

2.3.6.2 Seni Tari

Jenis tarian masyarakat Iantena sangat beragam sesuai dengan suasana dan peristiwa

yang dialami, misalnya, ada tarian yang bersifat gembira sebagai ungkapan suasana pesta,

ada pula tarian yang bersuasana sedih. Masing-masing tarian diiringi dengan alat musik

tersendiri. Setiap irama musik dimainkan harus sesuai dengan tarian yang akan dibawakan.

Bunyi alat musik yang bersangkutan juga mencerminkan kekhasan dari tarian-tarian tersebut.

Dalam kebudayaan masyarakat Iantena dikenal alat-alat musik seperti gong waning, suling

gedang dan berbagai alat musik lainnya.33

2.3.6.2.1 Tarian Tua Reta Lo’u

Tarian Tua Reta Lo’u, ciri utama tarian ini adalah menari di atas tonggak atau tiang

bambu yang biasanya disertai dengan sorakan atau teriakan kahe (semboyan / moto). Sang

penari memiliki perlengkapan utama berupa sebilah parang. Tarian ini mengandalkan

keberanian karena sang penari utama harus menari di atas sebatang bambu yang ditegakan

dengan tumpuan perut sambil memperlihatkan kehebatannya memainkan parang, sedangkan

penari yang lain menahan bambu sehingga tetap tegak berdiri. Tua Reta Lo’u merupakan

tarian yang memperlihatkan otoritas dan keperkasaan seseorang dalam suatu komunitas,

kerjasama, saling menopang serta keahlian dan kecerdikan dalam mengahadapi setiap

masalah saat mengais rezeki, sebagaimana tersirat dalam syair adat yang berbunyi demikian:

Gou sai lau leman, Carilah nafkah di kedalaman laut,

Bata sai reta ilin, Burulah rezeki di rimba raya,

Hugu sai gu’a uma, hewot sai kare tua, Tunduk tekunlah bekerja,

Masik uran tei dar go’o, Meski hujan mengguyur panas menyengat,

Tei da’a uwung lewok, Guyur menembus ke ubun-ubun,

Go’o sape to’en bobok. Menyengat punggung sampai melepuh.34

Tarian Tua reta lo’u ini biasa dibawakan dalam pertunjukan-pertunjukan atau acara-acara

besar.

32Aris Ninu, “Masukan Dalam Kurikulum, Musik Suling Gendang Lela Terancam Punah”, Pos Kupang, 28

Oktober 2015, p. 7. 33Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 34Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.

Page 30: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

18

2.3.6.2.2 Tarian Hegong

Tarian Hegong adalah salah satu tarian tradisional dari Sikka, tarian ini biasanya

dimainkan secara berkelompok oleh penari pria dan wanita dengan berpakaian adat yang khas

serta diiringi dengan musik gong waning. Tarian Hegong ini salah satu tarian tradisional yang

cukup terkenal dan sering ditampilkan dalam berbagai acara seperti acara adat, penyambutan

tamu penting, kesenian daerah serta berbagai acara lainnya. Tarian Hegong ini biasanya

dimainkan kurang lebih 6 sampai 10 orang penari, baik penari pria maupun wanita satu orang

sebagai pemimpin tarian di posisi paling depan. Tarian hegong merupakan jenis tarian

dengan ciri khas pola gerak yang tidak teratur, untuk mengekspresikan kegembiraan serta

kebebasan dengan sorakan yang riuh dan ramai. Sorakan ini biasanya berupa kahe

(semboyan) atau teriakan yang membakar semangat para penari itu sendiri.

Dalam tarian ini, para penari dilengkapi dengan ikun, lesu, dan reng sebagai

atribut. Ikun merupakan senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan ekor

kuda. Lesu merupakan sejenis sapu tangan yang digunakan sebagai pelengkap gerakan tangan

para penari. Sedangkan Reng adalah sejenis gelang kaki yang dilengkapi dengan kelinting.35

Dalam pertunjukan tarian hegong biasanya terdapat tiga babak: Bapak pertama, para penari

wanita memasuki arena dengan diiringi musik gong waning, kemudian diikuti oleh penari

pria sambil membawa poron (parang). Pada babak tersebut para penari menari dengan irama

cepat dengan gerakan, pledong wa’in (sentakan kaki). Babak kedua, penari pria dan wanita

membentuk lingkaran dimana para penari mengelilingi penari wanita. Lalu pada babak

ketiga, para penari melakukan gerakan bebas. Biasanya dalam babak ke tiga ini merupakan

gerakan kreasi yang dipadukan dengan irama musik gong waning.36

2.2.6.2.3 Tarian Roa Mu’u

Tarian soka roa mu’u bisa dilakukan setelah peresmian upacara perkawinan maka

pada sore hari dilakukan upacara soka roa mu’u laga rewang, artinya tarian memotong

pisang untuk menghalau rintangan. Pihak ina-ama (orang tua) akan menanam dua pohon

pisang bertandan di depan pintu tenda, tandan pisang sebelah kanan adalah simbol pihak ata

bu (yang melahirkan), sedangkan sebelah kiri pihak pulame (paman dari pihak perempuan).

Pada tandan pisang ditaruh utan, lipa labu. Waktu menari, pihak laki-laki akan melakukan

35Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 36Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.

Page 31: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

19

pemotongan pisang tetapi dengan melakukan penawaran. Jika disetujui maka dipotong jika

tidak maka dibatalkan.37

Keramaian saat soka roa mu’u itu memberi peluang bagi para pemuda dan pemudi

menari untuk mencari pasangan untuk bercinta. Maka dilakukan soka kori, yaitu gadis-gadis

dari pihak perempuan menari membawa sarung (utan, lipa) dan para pemuda akan datang

melakukan penawaran dan jika disepakati maka terjadilah jual beli sarung sebagai simbol

percintaan yang tidak diukur oleh jumlah uang melainkan cinta.

37Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Tetua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo

Page 32: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

20

BAB III

SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT IANTENA

3.1 Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Iantena

3.1.1 Pengertian Perkawinan Menurut Orang Iantena / Da Di Wai La’i Lihan Lalan

Definisi tentang perkawinan terdapat dalam berbagai literatur yang mengulas tentang

perkawinan. Demikian juga setiap kebudayaan memiliki pandangannya yang unik tentang

perkawinan. Rumusan pengertian tentang perkawinan tentunya secara umum

menggambarkan perkawinan sebagai suatu bentuk kehidupan bersama pria dan wanita dalam

ikatan cinta juga dilihat sebagai sesuatu yang mutlak penting bagi kehidupan. Orang Iantena

memahami perkawinan merupakan sesuatu yang sakral serta wajib dilaksanakan dengan

upacara yang tidak meninggalkan nilai dari adat-istiadat yang telah menjadi kebiasaan sejak

lama, diwariskan oleh nenek moyang dan juga nilai Ketuhanan. Orang Iantena sendiri punya

keyakinan bahwa perkawinan bersifat tak terceraikan. Hal ini terungkap dalam kata-kata

berikut:

Lemer watu miu ruang, Susah senang sama-sama,

Wawak papang miu ruang, Mati dulu baru lepas tapi bukan mati saja,

Naha blewut ko loar. Melainkan sampai hancur.38

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa perkawinan dipandang sebagai persatuan antara

pria dan wanita yang memiliki tujuan sangat mulia yakni melestarikan kehidupan manusia

melalui keturunan serta perkawinan itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang mutlak penting bagi

kehidupan. Manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya perkawinan. Karena perkawinan

itu menyebabkan adanya keturunan. Jadi perkawinan merupakan unsur tali temali yang

meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat. Perkawinan merupakan sebuah sarana untuk

meneruskan kelangsungan hidup manusia.

3.1.2 Jenis-Jenis Perkawinan Masyarakat Iantena

3.1.2.1 Wain Plan / Kawin Mulia

38Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 33: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

21

Wain plan (kawin mulia) merupakan perkawinan yang didahului dengan proses

peminangan dan pertunangan yang secara resmi diakui serta disepakati oleh kedua pasangan

bersangkutan, keluarga besar kedua belah pihak, tokoh adat dan masyarakat secara luas.

Perkawinan ini dalam adat-istiadat masyarakat Iantena biasanya diawali dengan tanda ikatan

pertunangan yang ditandai dengan kalung atau cincin sebagai bentuk simbol pengikat, juga

berapa barang lain yang diberikan oleh pihak pria kepada pihak wanita juga dari pihak wanita

kepada pihak pria. Pertunangan ini masih bisa dibatalkan dengan berbagai macam alasan

sebelum perkawinan itu dilanjutkan. Apabila batalnya perkawinan dilatar belakangi oleh

suatu hal dari pihak wanita maka, barang-barang pemberian dari pihak pria harus

dikembalikan namun barang-barang pemberian dari pihak wanita menjadi hak pihak pria dan

begitu pun sebaliknya.

Perkawinan wain plan (kawin mulia) dalam kalangan masyarakat Iantena, dianggap

sebagai perkawinan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari jenis perkawian lainnya.

Hal ini dinilai mempertahankan kehormatan dan martabat suku rumpun kedua keluarga besar

dari sudut pandang hukum adat. Ritus perkawinan wain plan ini ada tahap-tahapnya;

Tahap pertama, bahan-bahan yang digunakan untuk meresmikan perkawinan wain

plan. Ara (nasi), wawi wateng (hati daging babi) dan tuak (moke). Pakaian pengantin

mengunakan pakaian adat. Pakaian yang dikenakan pada mempelai wanita disebut kimang.

Perhiasanya antara lain kalar bala (gelang gading), lodan, (kalung leher), suwong (anting

yang terbuat dari emas), lombung (riasan penutup wajah yang terdiri dari kain dan benang-

benang yang dihiasi dengan emas), soking telu (rambut disangkul ke atas, diikat dengan

gelang emas serta pada rambut terdapat tiga tusuk konde emas). Tiga tusuk konde ini

melambangkan tiga tahap perkawinan; persiapan, penentuan belis dan upacara perkawinan itu

sendiri. Sedangkan pakaian yang dikenakan pada mempelai pria terdiri dari sarung, baju putih

tangan panjang dan selempang. Perhiasannya antara lain lodang bahar (kalung emas) dan

mone (gelang gading besar).

Tahap kedua, pengantin berdiri di depan pemimpin upacara dan upacara peresmian

dimulai. Mempelai wanita menuju ke tempat peresmian nikah digendong oleh saudarinya

serta dihantar oleh A’a Gete (tanta dari mempelai wanita) bersama keluarga besar menuju

tempat upacara tedang get. Sementara itu pengantin pria dipersilahkan menuju tempat

upacara di tengah tedang gete. Di sana kedua calon pengantin mengambil tempat terdepan

yang sudah disiapkan. Tanah puang (tuan tanah), tua adat, du’a moang watu pitu (tujuh

kepala suku yang ada di Iantena), beserta seluruh anggota keluarga mempelai pria dan wanita

yang sudah hadir di tempat upacara tedang gete. Du’a moan (pemimpin upacara) akan

Page 34: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

22

mengambil sedikit ara (nasi), wawi wateng (hati babi) dan tua luli ha,a (satu seloki moke)

lalu diberikan kepada pengantin sambil berkata:

Gea sai awi apiara prangang, Makanlah nasi dan daging ini,

Dena dadi wain nora la’i, Supaya kalian disebut suami-istri,

Minu sai tua jajing, Minumlah moke sumpah ini,

Dena dadilihang nora lalang. Agar kalian menjadi satu ikatan keluarga.39

Ketika kata peresmian itu diucapkan pengantin tidak mengatakan apapun. Saat itu juga secara

adat keduanya resmi menjadi suami-istri. Upacara peresmian perkawinan itu dimeriahkan

dengan gong waning dan tarian-tarian hegong setelah peresmian perkawinan, acara

selanjutnya pemberian nasehat-nasehat dari pihak keluarga.

Tahap ketiga, pada malam pengantin, tepatnya pada tengah malam, dibuat upacara

tama ola uneng plaha oha sorong loni 40 (membentang tikar dan menaruh bantal atau

penyiapan kamar pengantin) A’a Gete (tanta dari mempelai wanita) akan memberikan

petunjuk-petunjuk praktis tentang kehidupan berkeluarga. Keesokkan harinya, setelah malam

pengantin, pagi-pagi buta saat ayam berkokok (manu koko, A’a Gete) akan membangunkan

keluarga baru. Kepada mereka A’a Gete jaga ola wang, akan berdiri depan pintu kamar

pengantin dan menaburi dengan gandum sambil berkata: bua buri ganu wetang, ga’a teto

ganu atong41 (beranaklah seperti jewawut, berkembanglah seperti bayam).

Tahap keempat, selama empat hari empat malam setelah malam pengantin, kedua

pengantin tidak boleh keluar rumah. Selama itu juga keduanya tidak boleh terkena air dingin.

Alasanya nanti perkawinan menjadi dingin. Pada hari keempat akan dibuat acara hui popo

(mandi cuci) ini biasanya dilakukan di sungai yang airnya mengalir (wair bang), kedua

penganti mandi agak ke hilir. Maksudnya agar pakaian-pakaian yang dicuci para pengantin

dijaga agar tidak terhanyut oleh air. Jika terhanyut oleh air maka hal ini akan membawa

dampak yang buruk bagi keluarga baru yakni tidak memperoleh keturunan atau mendapat

keturunan tapi usianya tidak panjang.42

Tahap kelima, setelah pulang mandi hui popo keluarga dari pihak pengantin pria

membawa makanan ke rumah pihak mempelai wanita untuk makan bersama sebagai bentuk

ucapan syukur dan terimakasih kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dalam acara

39Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot 40Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 41Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 42Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 35: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

23

perkawinan mulai dari awal sampai akhir. Tahap ini juga kedua keluarga besar untuk saling

mengenal dan sisa belis yang belum diselesaikan bisa diselesaikan, termasuk balasannya

kepada pihak keluarga mempelai pria. Tetapi jika belisnya belum bisa diselesaik, maka pada

waktu-waktu yang akan datang bisa selesaikan.

Namun adat-istiadat masyarakat Iantena sisa belis yang belum diselesaikan memiliki

suatu makna yang sangat besar dalam kehidupan berkeluarga. Sisa belis ini mempunyai

makna khusus yang bisa diungkapkan demikan: lopa go’a da’a ribang nopok koli tokar,43

(jangan menuntun semuanya harus tuntas karena masih ada hari esok) atau terjemahan lain

yang biasa dipakai yakni, (batu asa sampai aus, pohon lontar setingi-tingginya). 44

Maksudnya, hubungan kekeluargaan tidak akan putus sampai selama-lamanya. Oleh karena

itu dalam adat-istiadat orang Iantena tidak menutut pembayaran belis sampai tuntas.

Tahap keenam, berkaitan dengan belis masyarakat Iantena mengenal juga istilah hama

telo (injak telur). Umumnya hama telo terjadi jika pihak mempelai wanita sangat menuntut

belis harus dilunasi. Tapi istilah hama telo konsekuensinya sangat buruk bagi wanita karena,

jika terjadi hama telo maka, pengantin wanita memutuskan hubungan dengan keluarganya

sendiri. Si wanita tidak akan kembali ke rumah orang tuanya sekalipun orang tua kandungnya

meninggal. Wanita ini bisa kembali ke rumah orang tuanya harus mendapat ijin dari

suaminya. Kalau si wanita ini dengan sengaja pergi ke rumah orang tuanya tampah ijin maka

dalam waktu dekat wanita ini akan mendapat musibah.45 Dengan demikian orang Iantena

dalam adat-istiadat tidak mengutamakan belis harus tuntas tetapi yang menjadi utama yakni

kedua belah pihak saling menghargai.

Tahap ketujuh, setelah peresmian perkawinan ada berapa kewajiban yang harus

dipenuhi oleh pihak mempelai pria. Kewajiban tersebut dinamakan ngoro remang

(memberikan sesuatu kepada keluarga yang mengurus acara perkawinan dari awal sampai

selesai). Pemberian ini diluar belis. Tujuan dari pemberian ini hanya sebagai penghapus jerih

payah dari keluarga yang mengurus acara perkawinan tersebut. Pemberian ini dalam istilah

adatnya disebut sapu tangan.

Berikutnya ada acara pembersihan rumah penginapan pengantin pria bersama

keluarganya, jika pihak pengantin pria dari kampung lain. Acara tersebut dalam istilah adat

43Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 44Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 45Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 36: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

24

disebut ha pu halar hok blodong atau roni halar, hok blodong46 (pemberian pihak pengantin

pria kepada tuan rumah tempat mereka menumpang selama acara perkawinan).

3.1.2.2 Du’a Depo La’I / Kawin Lari

Du’a depo la’i (kawin lari) merupakan praktek perkawinan yang ditemukan hampir di

setiap wilayah. Kawin lari biasanya dilakukan oleh pria, yang membawa lari wanita

pasangan kawinnya, untuk menikah tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, baik

keluarga wanita maupun keluarga pria. Du’a depo la’i (kawin larin) pada masyarakat Iantena

itu terjadi karena ada berapa kemungkinan:

Pertama, kawin lari biasanya dilakukan oleh pria, yang membawa lari seorang wanita calon

pasangannya, untuk menikah tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, baik keluarga wanita

maupun keluarga pria.

Kedua, kawin lari juga bisa terjadi karena ada kesepakatan antara pria dan wanita untuk menentukan

perkawinan tanpa melewati tahap-tahap perkawinan. Kalau tidak ada kata kesepakatan antar kedua

belah pihak, maka perkawinan tidak akan dilangsungkan.

Ketiga, Ada hukum adat yang memaksa pria dan wanita ketika tertangkap sedang berduaan di tempat

yang sepi atau tidak terang. Mereka ditangkap dan secara hukum adat mereka dipaksa untuk menikah.

Walaupun keduanya tidak saling mencintai.

Keempat, kesalahan atau masalah dapat berupa: kehamilan diluar nikah atau bila pria dengan sengaja

menyentuh bagian tertentu dari tubuh wanita.47

Masalah-masalah di atas dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga kedua

belah pihak dan apapun yang terjadi, perkawinan harus segera dilangsungkan.

Perkawinan seperti ini, kedua keluarga akan segera meresmikanya secara sah dalam

hukum adat demi berlanjutnya hubungan suami-istri yang sudah terlanjur dilakukan untuk

menghindari adanya pengucilan dan pelecehan oleh masyarakat. Jenis perkawinan ini tidak

memerlukan waktu dan proses yang lama karena bersifat meresmikan saja. Perkawinan

dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Namun dalam pandangan

masyarakat Iantena bukanlah bentuk perkawinan yang diidealkan atau bahkan sangat tidak

diharapkan.48

Perlu diketahui juga bahwa untuk masyarakat Iantena yang kental dengan nilai-nilai

agama dan adat-istiadat perkawinan tidak akan diizinkan bila kedua pasangan masih memiliki

46Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 47Paulus Senoda Hadjon, Kristianus Joyo “Upacara-Upacara Inisasi Di Kabupaten Sikka”, Jurnal Pesona Sikka,

3 (Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero: 2008), p. 157. 48Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 37: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

25

hubungan darah. Secara adat-istiadat pria akan dikenakan denda atau bahasa adatnya disebut

(tada hera).49 Misalnya kesalahan yang dilakukan berupa menyentuh bagian tubuh wanita

maka dendanya berupa uang, sarung dan babi. Semua barang-barang ini sebagai bentuk

permohonan maaf dari pria juga pemulihan nama baik wanita bersangkutan. Tetapi jika

kesalahan yang dibuat menghamili wanita maka dendanya, berupa uang, sarung, babi, kuda

dan tanah. Alasan mengapa harus ada tanah karena bagi masyarakat Iantena bahwa seorang

anak ia berhak memiliki seorang ayah tetapi secara hukum adat dan agama mereka tidak bisa

dipersatukan maka tanah ini sebagai pengganti ayah atau dalam istilah adatnya meh dopo

aman.50

3.1.2.3 Selung O’ha Hiwir Li’an / Kawin Ganti Tikar

Kawin selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) terjadi apabila istri atau suami

meninggal maka salah satu saudara dalam keluarga yang masih bujang, janda atau duda bisa

menikah dengan suami atau istri yang ditinggalkan. Perkawinan ini dilakukan dengan tujuan

untuk melanjutkan keturunan, melindungi ibu atau janda itu beserta anak-anaknya.

Disamping itu juga, perkawinan jenis ini tidak ada tuntutan belis dan supaya alihwaris tidak

jatuh ketangan orang lain.

Secara jelas perkawinan selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) bukan merupakan

sebuah tindakan kesepakatan antara kemauan atau kehendak pria dan wanita. Perkawinan

selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) masih ada campur tangan dari keluarga. Namun

dilihat dalam nilai adat-istiadat masyarakat Iantena perkawinan selung o’ha hiwir li’an

(kawin ganti tikar) nilai cinta kasih sangat luhur, seseorang yang merelakan dirinya untuk

bertanggungjawab.51

Perkawinan selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) dapat dilakukan dengan

didahului sebuah upacara yang dikenal dengan upacara selung lanu52 (simbol rasa tangung

jawab dan rasa memiliki dalam keluarga baru sebagai suami-istri. Di mana pria dan wanita

resmi menjadi orang tua bagi anak-anak yang ditingalkan.

49Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 50Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 51Hasil wawancara dengan Frasnsiskus Nong Feri, Mahsiswa Nusa Nipa Maumere, Fakultas Hukum, pada 20

Januari 2020 di Wolon Ratet. 52Hasil wawancara dengan Frasnsiskus Nong Feri, Mahsiswa Nusa Nipa Maumere, Fakultas Hukum, pada 20

Januari 2020 di Wolon Ratet.

Page 38: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

26

3.1.2.4 Ina Ama Wen / Kawin Paksa

Perkawinan ina ama wen (kawin paksa) dalam budaya kawin-mawin masyarakat

Iantena perkawinan jenis ini terjadi karena perjanjian antara kedua keluarga besar atau

perjodohanya yang telah disepakati oleh kedua pihak tanpa sepengetahuan kedua pasangan

yang akan menikah. Perjanjian itu biasanya dilakukan pada saat pria dan wanita masih kecil

atau terjadi karena hubungan baik dan kesepakatan kedua belah pihak.53 Namun perkawinan

jenis ini bisa terjadi pada keluarga yang berada atau orang-orang kaya. Karena tujuan utama

dari perjodohan ini supaya kehidupan keluarga tidak susah dan juga menjaga martabat dan

nama baik keluarga.

3.1.3 Tujuan Perkawinan

Segala sesuatu yang dilakukan manusia memiliki tujuan tertentu, begitu pula dengan

perkawinan. Perkawinan dilaksanakan bukan tanpa tujuan, perkawinan itu memiliki tujuan.

Pada dasarnya tujuan perkawinan tradisional terarah pada keturunan.54 Tujuan perkawinan

dalam sistem perkawinan adat-istiadat masyarakat Iantena adalah persekutuan hidup dan

kasih suami-istri yang mesra, dan tertujukan kepada adanya keturunan, yang diadakan oleh

Ina Niang Tanah Wawa Ama Lero Wulang Reta55 (Sang Pencipta Alam Semesta) dan

dikukuhkan dengan hukum-hukum adat, yang dibangun oleh janji perkawinan sebagai

berikut;

Gea sai awi apiara prangang, Makanlah nasi dan daging ini,

Dena dadi wain nora la’i, Supaya kalian disebut suami-istri,

Minu sai tua jajing, Minumlah moke sumpah ini,

Dena dadilihang nora lalang. Agar kalian menjadi satu ikatan keluarga.56

Hal ini menunjukan bahwa bagi masyarakat Iantena sebuah perkawinan yang sudah

disahkan oleh hukum adat tak dapat ditarik kembali dan perkawinan harus didasarkan serta

dijiwai oleh cinta suami-istri. Cinta menjadi unsur hakiki dalam usaha membangun rumah

tangga yang bahagia dan sejahtera.

Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa tujuan dari sebuah perkawinan pada

masyarakat Iantena melanjutkan keturunan. Masyarakat Iantena memahami bahwa anak itu

sebagai buah cinta dalam perkawinan menciptakan suasana baru dalam hidup rumah tangga.

53Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 54Hilman Hadikusuma, op. cit., p. 84. 55Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 56Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 39: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

27

Dalam hal ini anak dilihat sebagai sumber kebahagiaan bagi suami-istri. Atas dasar tujuan

melanjutkan keturunan ini, maka pria akan meninggalkan orang tuanya dan mengikat dirinya

dengan istrinya, demikian juga wanita akan meninggalkan orang tuanya untuk mengikat diri

dengan suaminya.57 Perkawinan harus dilandasi dengan cinta sejati antara suami-istri. Cinta

itulah yang menjadi roda kehidupan rumah tangga. Masyarakat Iantena juga memahami

bahwa tujuan dari perkawinan merupakan momen perubahan status hidup. Pria akan menjadi

seorang suami untuk istrinya dan bapak untuk anak-anaknya sedangkan wanita akan menjadi

seorang istri untuk suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Keduanya bertanggung jawab atas

kehidupan anak-anak yang merupakan buah cinta mereka.

Di zaman modern ini masyarakat Iantena melihat perkawinan bukan semata-mata

untuk melanjutkan keturunan melainkan perkawinan juga dilihat sebagai momen persatuan

antara suami-istri dalam membentuk rumah tangga dan keluarga baru. Karena itu, tidak

memperoleh anak bukan dilihat sebagai kemalangan, mereka tetap percaya pada

penyelenggaraan Tuhan. Anak merupakan buah cinta hasil perkawinan. Karena itu, anak

dilihat sebagai hadiah dari Tuhan bagi keluarga. Masyarakat Iantena meyakini bahwa anak

yang merupakan hadiah dari Tuhan dapat membawa berkat bagi kehidupan rumah tangga.

3.2 Latar Belakang Lahirnya Perkawinan Masyrakat Iantena

Pada dasarnya sistem perkawinan suku bangsa indonsia berlatar belakang pemikiran

masyarakat bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang luhur. Dalam adat-istiadat

kebudayaan Indonesia, perkawinan bukan hanya mengikat pria dan wanita tetapi didalamya

juga terjadi ikatan kedua rumpun keluarga besar. 58 Dalam hal ini upacara perkawinan

melibatkan semua kerabat demi terselenggaranya upacara perkawinan. Tidak menutup

kemungkinan peran serta dari para tetangga dan kenalan dalam mendukung terselenggara

perkawinan.59

Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena dilihat sebagai masyarakat yang

berbudaya. Masyarakat yang berbudaya ini merujuk pada pengertian masyarakat yang

memiliki budaya yang di dalamnya terkandung adat-istiadat yang diwariskan oleh para

leluhur. Kebudayaan tidak hanya dimengerti sebagai apa yang diwariskan nenek moyang.

Kebudayaan lebih dilihat sebagai upaya manusia dalam menjawabi tentang hidup yang nyata.

Kebudayaan juga dipahami sebagai upaya manusia dalam mengolah dan memaknai

57Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 58Hilman Hadikusuma, op. cit., p. 4. 59Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.

Page 40: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

28

kehidupanya.60 Leluhur telah mewarikan kepada setiap anak cucunya tradisi perkawinan dan

hidup keluarga yang luhur serta harmonis karena perkawinan tradisional mempunyai makna

yang paling mendalam. Persatuan yang subur dan harmonis antara pria serta wanita dalam

perkawinan.

3.3 Tahap-Tahap Dalam Perkawinan Masyarakat Iantena

3.3.1 Tahap Perkenalan / Tulung Dalang

Tradisi kawin-mawin masyarakat Iantena selalu dimulai dengan perkenalan awal

sebelum memasuki tahap peminangan. Perkenalan awal ini biasa ditempuh dengan cara yang

berbeda-beda. Menurut tradisi lisan, orang tua sering memilihkan jodoh untuk anaknya.

Hakikatnya pemilihan jodoh pada zaman dahulu, seringkali dilakukan karena orang tua

menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan dapat kawin dengan orang yang cocok serta

disenangi oleh keluarga. Sebelum orang tua menentukan jodoh pada anaknya terlebih dahulu

mereka melakukan penilaian terhadap perempuan yang akan dilamar. Jika sesuai dengan

harapan mereka dan juga keinginan pria yang bersangkutan bermaksud melangsungkan

perkawinan sedapat mungkin hal tersebut dirundingkan oleh orangtua kaum kerabat dan anak

yang bersangkutan.

Namun tidak terlepas dari semua yang sudah dikatakan di atas mengenai tahap

perkenalan dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena, seorang budayawan sekaligus

sejarawan Sikka, Bpk. Oscar Mandalangi Pareira dalam bukunya, Adat-Istiadat Sikka

Krowe di Kabupaten Sikka menuliskan bahwa;

“pada zaman dahulu saling mengenal antara pria dan wanita pun tidak hanya melalui orang tua tetapi

juga dapat berlangsung di tempat-tempat umum seperti sumber / mata air, sumur, saat pesta, cangkul,

ketam padi, panen jagung di kebun, saat orang meninggal, dan juga melalui pengentara maksudnya,

bila ada pria yang menaruh simpati pada wanita maka ia harus menyampaikan maksud hatinya itu

kepada orang lain yakni orang ketiga yang dipercayakan, yang berperan sebagai jembatan atau disebut

sebagai ata pano lalan (orang yang membuka jalan menuju kesana”).61

Orang yang dipercayakan oleh pria tersebut dengan caranya tersendiri akan melakukan

pendekatan dan akan menyampaikan maksud hati pria kepada wanita idamanya. Apabila

lamaran pria diterima maka kedua belah pihak akan menyampaikan maksud mereka kepada

orang tua mereka masing-masing.

60Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 61 Oscar Pareira Mandalangi (ed), Adat-Istiadat Sikka Krowe Di Kabupaten Sikka (Maumere: PEMDA

Kabupaten Sikka, 2001), p. 81.

Page 41: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

29

Untuk konteks dewasa ini, pemuda / i Iantena menjadi pelaku yang aktif dalam

menentukan calon tidak lagi diperantarai oleh pihak ketiga atau yang dikenal dengan nama

ata pano lalan. Hemat penulis, perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan sarana

informasi dan komunikasi dewasa ini. Pria yang telah dewasa tidak lagi meminta orang ketiga

untuk menyampaikan isi hatinya kepada wanita idamanya tapi ia bisa secara langsung

menyampaikannya atau menggunakan sarana komunikasi untuk menyampaikan isi hatinya

misalnya, kenalan di sekolah / tempat kuliah, tempat kerja, main-main kerumah orang yang

disebut dengan tulung dalang. Masa kenalan disebut juga dengan masa mencari-cari jalan

atau cela untuk masa depan nibon sidok lamen jale (pria yang sudah dewasa yang telah

mempersiapkan diri untuk meminang). Perkenalan yang sudah mengarah pada pertunangan

dikenal dengan kuhu pahar ruga tadan62 (pria sudah mempunyai niat supaya wanita yang

diinginkannya itu tetap menunggu).

3.3.2 Tahap Peminangan / Wuan Weta Wai Heron Men

Wua weta wai ta’a heron men (pinang meminang seorang wanita, sirih menyapa

anak). Sekarang disebut dengan poto surat (melamar). Ketika pelaksanaan meminang, ada

orang telah ditentukan, diutus ke pihak keluarga wanita untuk melakukan musyawarah demi

mencapai suatu kesepakatan bersama artinya, peminangan itu sebagai langkah untuk meminta

persetujuan dari pihak keluarga wanita. Dengan kata lain, melalui lamaran dapat diketahui

dengan pasti, apakah pihak keluarga wanita menerima atau tidak.

Tahap lamaran tersebut akan ada proses pemberian belis. Barang yang dibawa yakni;

sirih pinang, uang, kuda, gading dan emas sebagai bukti peminangan. Jika disetujui, maka

pihak wanita akan membalas dengan babi, beras dan sarung. Tanda persetujuan disebut

dengan wua udek ta’a pahar (pinang sepakat sirih melamar). Peminangan resmi seperti ini

disebut wua ta’a depo wa gete (sirih pinang melalui pintu besar). Sedangkan lamaran yang

ditolak oleh pihak wanita bisa disebut dengan istilah wua bere ta’a blain (pinang mati sirih

layu). 63 Bagi adat-istiadat masyarakat Iantena barang yang harus diberi terlebih dahulu

disebut wuun tilu peke matan goit (belis telinga pekak mata buta). Jika telah membayar lunas

seluruhnya, itu disebut dengan inan gita aman rena 64 (ibu telah melihat bapak telah

mendengar).

62Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 63Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet 64Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.

Page 42: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

30

3.3.3 Tahap Pertunangan / Poto Wua Ta’a

Urutan peresmian pertunangan atau poto wua ta’a diawali dengan proses pengenalan

kedua belah pihak melalui penggunaan nama-nama adat. Pihak mempelai pria atau calon

suami disebut ata me pu (orang yang disebut sebagai pihak anak) sedangkan untuk pihak

mempelai wanita, dalam hal ini orang tua calon istri, disebut ata ina-ama. Poto wua ta’a

dilaksanakan dengan pemberian belis. Pada saat itu pihak ina-ama akan melihat kira-kira

berapa besar kekuatan belis pihak me pu dalam melamar anaknya. Jika pihak ina ama

mengatakan wua mera ba’a wiwir bako gahu ba’a aha 65 (pinang telah memerah bibir

tembakau telah menghangatkan rahang) maka itu bertanda bahwa pembicara belis poto wua

ta’a telah disetujui.

Selanjutnya masuk pada upacara tutur tatar wuun larun (pembicara belis). Bahar poto

wu ta’a adalah bahar rua (ada dua bentuk belis) yakni, wua tebon dan Ta’a tebon.66 Wujud

belisnya berupa dua ekor kuda dan uang. Kemudiaan pihak me pu menyapa pihak ina ama

dengan menyuguhkan rokok (nodin bako) disertai uang pembuka mulut (waga wa). Pihak me

pu akan menyapa loning wua mera ba’a wiwir bako gahu ba’a ahang ita tutur tatar lin welin

ita puju wiit wu’un larun 67 (karena pinang telah memerah bibir tembakau telah

menghangatkan rahang selanjutnya kita berbicara soal belis).

Unsur penting dari tradisi belis ialah pemberian sejumlah belis sekaligus perundingan

dari dua pihak keluarga. Akan tetapi, untuk sampai pada tahap pemberian belis, harus

melewati beberapa tahap sebelumnya yakni menyiapkan perwakilan delegasi / ata’pano lalan

sekaligus musyawarah dalam keluarga pihak mempelai pria. Tahap selanjutnya barulah pergi

ke rumah si wanita untuk peminangan hingga tahap pemberian belis. Bila keluarga si wanita

sepakat, maka jenjang selanjutnya ialah tahap pengantaran belis.

3.3.4 Tahap Pengantaran Belis / Wu’un Larun Atau Leto Woter

Tahap ini masuk pada upacara tutur tatar wuun larun atau juga disebut puju wu’un

larun (pembicaraan belis) Kemudian pihak me pu akan menyapa pihak ina ama dengan

menyuguhkan rokok (bako) disertai uang secukupnya. Uang yang dimaksud adalah uang

pembuka mulut (waga wa). Pihak me pu akan menyapa loning wua mera ba’a wiwir bako

gahu ba’a ahang ita tutur tatar lin welin ita puju wiit wuun larun (oleh karena pinang telah

memerah bibir tembakau telah menghangatkan rahang selanjutnya kita bicara soal wuun

65Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 66Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 67Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.

Page 43: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

31

larun (belis). Ungkapan wuun larun dalam belis ungkapan ikatan cinta kasih antara pria dan

wanita serta hubungan erat ina ama me pu bagaikan ruas dan buku wuun dan larun.68

Belis dalam masyarakat Iantena dikenal dengan istilah bahar balik. Secara etimologis

kata bahar balik berati harga atau nilai. Dari pengertian tersebut, pembelisan dapat dipahami

sebagai sebuah lembaga penghargaan terhadap seorang wanita. Belis bagi masyarakat Iantena

merupakan salah satu budaya yang selayaknya mendapat perhatian, dukungan dan perlu

dipertahankan nilai-nilai leluhurnya. Akan tetapi, kenyataan ini sulit ditemukan karena sikap

materialistis sudah merasuk hati dan pikiran manusia. Berbeda dengan pelaksananan adat

belis dahulu yang lebih kepada harga diri wanita. Pelaksanaan adat belis dahulu bukan supaya

wanita dihargai dengan uang tetapi mau menyatakan bahwa eksistensi wanita sangat luhur

dan harus dijunjung tinggi.

Hal ini menandaskan bahwa setiap pria yang ingin memperistri wanita Iantena harus

membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Perkawinan masyarakat Iantena

menempatkan belis sebagai hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol

penghargaan dan pengakuan kepada harkat martabat wanita. Masyarakat Iantena sungguh

memaknai belis sebagai tanda penghargaan terhadap wanita dan keluarganya. Belis yang

diminta oleh pihak keluarga mempelai wanita, adalah suatu kewajiban. Seberapa pun besar

belis yang diminta bukan menjadi beban bagi keluarga mempelai pria. Dengan membayar

belis kepada keluarga mempelai wanita, martabat keluarga mempelai pria menjadi terhormat.

Mereka akan dihormati disanjung-sanjung oleh keluarga mempelai wanita dan masyarakat

sekitar. Dengan menyerahkan belis kepada keluarga mempelai wanita bukan berarti keluarga

mempelai pria mau “membeli” wanita yang dipinang. Tetapi hendaknya menandaskan bahwa

wanita Iantena tidak bisa dibeli dengan uang, ia hanya dihormati dan dihargai, sehingga belis

yang diberikan keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita tidak dilihat

sebagai harga jual, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap wanita serta pemersatu

ikatan keluarga.

Isi dan tujuan pembicaraan belis adalah agar pihak mempelai pria mulai menyiapkan

belis yang diminta pihak mempelai wanita. Wujud belis yang biasa yang diminta pihak

mempelai wanita, berupa gading, emas, uang dan kuda. Selama proses bincang-bincang itu

berlangsung, kedua pihak tidak dihidangkan makan untuk makan bersama. Acara makan

bersama hanya akan terjadi kalau sudah ada kesepakatan bersama antara pihak mempelai pria

dan wanita tentang besarnya belis. Tanda bahwa kata kesepakatan sudah dicapai dapat

68Longginus Diogo, Lin Welin-Leto Woter (Maumere: PEMDA Kabupaten Sikka, 2005), p. 5.

Page 44: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

32

dikenal melalui teriakan seekor babi yang akan ditikam dan ketika babi itu teriak maka

pembicara belis itu akan tahu bahwa sudah dicapai kata sepakat soal belis, istilah adatnya,

wawi dading tena inang gita, amang rena 69 (babi tanda jadi untuk ibu melihat, bapa

mendengar).

3.3.4.1 Macam-Macam Bahar Balik / Belis

3.3.4.1.1 Wu’un Tudi

Wu’un Tudi (pisau) melambangkan kerja keras, tanggung jawab serta kasih sayang

dari keluarga wanita dalam mendidik, membesarkan, dan melindungi anak gadis dari segala

bahaya. Bagian belis ini diberikan oleh ue wari (saudara) om pihak mempelai pria kepada ue

wari (saudara) om pihak wanita. Bentuk belisnya berupa, mas hutu, jarang rua, bala ha’a,

seng hoang, (empat emas, dua ekor kuda, satu gading, uang dikondisikan berdasarkan

kemampuan). Pada peresmian wu’un tudi babi langsung dibunuh sebagai tanda resmi bahwa

pertunangan direstui dan sekaligus membuka jalan untuk membicarakan wu’un-wu’un

selanjutnya.

Balasan dari mempelai wanita yakni, wawi rua, tua liter puluh, pare kilo ngasuha,

kopi gula, bolo roti, utan, lipa, labu tena lobe sobeng weli ata pulame (babi dua ekor, moke

sepuluh liter, beras seratus lima puluh kilo, kopi gula, kue-kue, sarung dan baju). Pemberian

sarung dan baju dilihat dengan berapa jumlah orang yang hadir dalam pengantara belis wu’un

tudi.70

3.3.4.1.2 Wu’un Kila

Bagian belis ini diberikan sebagai lambang cinta dalam perkawinan atau tanda mata

dalam perkawinan yakni cincin. Walaupun namanya wu’un kila (cincin), namun

pemberiannya bukan hanya cincin yang diberikan melainkan juga material lainnya seperti

uang, kuda dan lain-lain. Bagian belis ini harus diberikan oleh pihak ue wari (saudara dari

pihak mempelai pria kepada) ue wari (saudara dari pihak mempelai wanita). Ada tiga bentuk

belis yang dibagi dalam dua bagian; bahar telu berat rua he’hak ha’a (satu belis berat dan

dua belis ringan) belis yang berat yakni, jarang rua, bala ha’a, (kuda dua ekor dan satu

batang gading) sedangkan istilah belis ringan seng hoang (uang yang secukupnya

69Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 70Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot

Page 45: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

33

berdasarkan kemampuan). Balasan dari mempelai wanita yakni, wawi ha’a, pare kilo pulima,

tua liter lima, utan pataha, lipa pataha, labu pataha nora bolo roti (babi satu ekor, beras

lima puluh kilo, moke lima liter, sarung, baju dan kue-kue.71

3.3.4.1.3 Wu’un Hiket

Wu’un hiket ini terdiri dari dua jenis belis. Ruin (ikatan) dengan rike (penahan)

masing-masing satu belis. Pihak penerima adalah pulame (paman) dari mempelai wanita.

Sedangkan yang memberi juga adalah pulame (paman) dari mempelai pria. Bagian ini

diberikan oleh pulame sebagai ungkapan terima kasih kepada semua anggota keluarga ina

ama yang telah melibatkan diri dalam melancarkan acara perkawinan dari awal sampai

selesai. Pihak ina ama adalah pihak yang paling aktif dan berperan penting dalam

penyelenggaraan acara perkawinan.

3.3.4.1.4 Wu’un Wawi Dadi

Pada tahap ini pihak me pu atau mepelai pria datang menghantar belis yang telah

disepakati. Sementara pihak ina-ama atau mempelai wanita akan melakukan lahir bahar

yaitu melihat, menilai dan mengukur kekuatan belis. Tujuanya agar menghindari ungkapan

seperti, dada rasa dan repan rasa,72 yang artinya orang tidak seenaknya mengingkari apa

yang telah disepakati sebagai sesuatu yang biasa-biasa.

Sebelum upacara ini, arak-arak datang mengantar wua (pinang) ta’a (siri) bako

(rokok) mu’u (pisang), leleh (jagung), nakat (nangka), pedan (nenas), pare (padi), kabor

(kelapa), ohu hura (ubi-ubian), manu (ayam), manu paen (berupa kuda atau sapi), hoang

(uang), kuda (jarang), bala (gading), bahar berupa: (kalung, lodan, suwong, mone, dsb). Dari

barang-barang yang dibahwa bako wu’a ta’a (rokok dan siri pinang) menduduki posisi paling

depan, dijunjung paling tinggi karena didalamnya berisi emas. Orang yang membawanya

adalah salah satu me pu (anak perempuan dari saudari mempelai pria) dari ata buan pihak

laki-laki. Dan yang berhak menerima bako wua ta’a adalah A’a Gete (saudari kandung dari

ayah mempelai wanita). Di sini terletak nilai dari sebuah marga dalam proses mensakralkan

calon mempelai pria dan wanita duduk untuk mesakralkan diri yang disebut dengan plu’a

bahar.73

71Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 72Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 73Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.

Page 46: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

34

Semua barang yang diantar secara besar-besaran ini dikenal dengan tuung wua ta’a

gte. Pada waktu itu sebagai penghormatan pihak ina-ama kepada pihak me pu maka disebut

jamuan awal yang disebut dengan horet rewu, seekor babi yang akan dibunuh untuk

menyambut mereka sebagai tanda melepas lelah menuju proses lahir bahar yang disebut baku

wolan, plaan polan (jamuan). Dalam jamuan ini babi yang baru dibunuh itu akan dibakar dan

dihidangkan dengan moke.

Setelah lahir bahar diterima oleh ina-ama maka dilakukan perjamuan besar-besaran.

Yang ikut dalam perjamuan adalah para delegasi dari pihak me pu yang disebut dengan

bukang kajang dan dihitung berdasarkan pikulan-pikulan yang disebut witi biasanya lima

witi, itu berjumlah sepuluh orang. Mereka akan diterima pihak ina-ama secara meriah dengan

tarian dan gong waning. Setelah perjamuan pihak me pu akan melakukan pemberian seang

pigang makok74 (acara pemberesan alat-alat makan) yang wujudnya dapat berupa uang / kuda

/ emas.

Pada saat pengantaran belis ini pihak ina-ama akan menyerahkan kepada me pu

sebagai balasan berupa wawi wu’un, pare, wu’un utan lipa labu, wu’un tua wu’un, (semua

barang yang sudah dibawa oleh pihak mempelai pria akan dibalas oleh pihak mempelai

wanita sesuai dengan barang dibawa dan perlengkapan dapur, termasuk kue-kue). Barang-

barang balasan ina ama kepada me pu dibentangkan dengan tikar besar dan ditaruh satu-satu

di halaman rumah di bawah tenda besar.

Bagian-bagian yang tidak boleh dilupakan adalah ara dua lai (nasi calaon suami-

istri), utan sebah daha (sarung tudung saji), kesa e’ tan (penambahan daging yang kurang

berupa babi dan sapi). Delegasi pihak ina ama akan memberikan penjelasan tentang barang-

barang yang akan diberikan kepada me puh. Setiap delegasi akan menerima sarung, termasuk

mereka yang disebut dengan hitek matan (balasan). Pemberian ata ina-ama kepada me pu

secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: wawi (babi), widin (kambing), pare weran

(beras), tua (moke), utan ragi (sarung), labu (baju), bolo (kue), kopi-gula, kesa etan (kuda /

sapi / babi) pemberian ini dilihat dari besar kecilnya pemberian dari pihak mempelai pria

karena semuanya harus setimpal.75

3.3.4.1.5 Wu’un Wua Ta’a Gete

Pengantaran belis secara besar-besaran di sebut mai leto. Para pembawa belis adalah

delegasi dan ina ama yang diutus dari pihak mempelai pria, para pengeret kuda, pembawa

74Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 75Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.

Page 47: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

35

gading, emas, pembawa makanan berupa penghasilan dari kebun dan hasil ternak sendiri, hal

ini menunjukan bahwa calon pengantin pria ini, orang yang pekerja keras dan mapan. Barang

makanan yang dibawa berupa pisang bertandan, kelapa tua, muda, nangka, jagung bertongkol

yang masih muda, daging ayam yang sudah dimasak dan juga ayam jantan yang masih hidup.

Barang-barang yang dibawa oleh pihak keluarga pria akan dibalas oleh pihak wanita.

Balasan dari pihak wanita berupa wawi kopor teluh (tiga ekor babi) dan juga widin

ha’a (satu ekor kambing). Kambing ini dimaksudkan untuk mereka yang tidak makan daging

babi lurung piren (pemali), utan, labuh, sarung, baju berjumlah sebanyak mereka yang

mengantar belis yang masuk ke dalam rumah pengantin wanita, tuah liter pulu’ha (moke

sepuluh liter), pare kilo ngasuha pulu lima dan beras seratus lima puluh kilo. Selain tung

gete, orang Iantena juga mengenal istilah adat diat / tiat makok pane ratong,76 (pemberian

belis kecil-kecilan berupa makanan dan minuman keseharian seperti ikan, daging dan lain-

lain). Pemberian keci-kecilan ini merupakan wujud tangung jawab pihak calon mempelai pria

kepada tunangannya.

Dalam adat perkawinan masyarakat Iantena, proses penyerahan belis dapat dilakukan

dengan pembayaran secara langsung berupa gading, emas, kuda dan uang. Pembayaran mas

kawin atau belis secara langsung dapat dilakukan sekaligus, tetapi ada juga yang harus

ditunda dan akan dibayar dikemudian hari setelah upacara perkawinan. Karena besarnya belis

yang diminta, maka pihak mempelai pria dari hubungan keturunan darah maupun karena

hubungan kawin-mawin dapat saling membantu dalam usaha untuk membayar serta

menyelesaikan belis yang diminta.77 Sikap saling membantu dalam penyelesaian belis sangat

dipengaruhi oleh sikap hidup sosial kolektif yang ada dalam masyarakat. Mereka

berpandangan bahwa urusan seorang anggota keluarga merupakan urusan suku yang

bertanggungjawab secara penuh dalam adat-istiadat.

Penyelesaian belis memiliki arti sebagai tanda bahwa si wanita telah keluar dari

sukunya.78 Wanita tersebut bukan lagi anggota suku dari ayahnya, melainkan ia sudah masuk

menjadi warga suku suaminya. Dengan demikian segala haknya dalam keluarga ayahnya

sudah tidak ada. Ia tidak memiliki hak untuk memperoleh warisan, baik berupa tanah atau

rumah. Warisan hanya diberikan kepada seorang pria. Ia akan berhak dalam keluarga

suaminya, sebab ia telah menjadi anggota suku suaminya.

76Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot 77Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot. 78Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat Dan Uapacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur (Kupang:

2004), p. 59.

Page 48: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

36

3.3.4.1.6 Wu’un Kelanaran

Wu’un kelanaran, (pendaftaran diri calon mempelai pria dan wanita) Dalam tahap ini

tidak ada urusan belis yang berat hanya dari pihak mempelai pria wajib meyerahkan sejumlah

uang kepada kepada pihak mempelai wanita sebagai bukti keseriusan pria kepada wanita

menuju yang lebih sakral. Dan yang paling penting dalam tahap ini merupakan kedua

keluarga besar dari pihak mempelai pria dan wanita sepakat untuk membawa anak-anak

mereka menghadap pastor paroki untuk pendaftaran diri.

Selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh pastor paroki untuk penyelidikan kanonik.

Sebagaimana kanon. 1066 menetapkan: “sebelum perkawinan diteguhkan, haruslah pasti

bahwa tidak ada suatu hal pun yang menghalangi peneguhannya yang sah dan halal”.79

Kepastian semacam ini bisa didapati melalui penyelidikan kanonik, yang berupa wawancara

terhadap masing-masing mempelai secara terpisah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah

dirumuskan secara baku. Singkat kata, penyelidikan kanonik dilakukan untuk menjamini

peneguhan nikah yang sah, legitim dan halal dalam semua urusan.

3.3.4.1.7 Wu’un Konfes

Wu’un konfesa dalam tahap ini secara adat-istiadat masyarakat Iantena bahwa

sebelum pria dan wanita dipersatukan terlebih dahulu mereka harus dibersikan dari segala

kesalahan yang dilaku selama hidup bujang. Dalam tahap ini kedua pengantin akan

menceritakan tentang perbuatan mereka kepada orang tua dan kepada ketua adat yang akan

melakukan ritus peresmian perkawinan.

Hal ini dilakukan bukan untuk pengampunan dosa bagi kedua mempelai, melainkan

untuk penghindaran diri dari bahaya-bahaya dimasa yang akan datang misalnya; pria atau

wanita sebelum hidup bersama mereka pernah melakukan hubungan badan entah dengan

pasangan sendiri atau orang lain, mereka harus memberitahukan kepada orang tua dan ketua

adat yang akan melakukan peresmian perkawinan. Sehingga dalam ritus peresmian

perkawinan ketua adat bisa menyampaikan semuanya kepada Nitu Noan (arwah leluhur),

Niang Tanah Wawa (kekuatan alam), dan Ama Lero Wulan Reta (Bapa penguasa di atas

langit). Ketiga kekuatan ini diyakini memiliki daya untuk memberi rezeki, perlindungan serta

inspirasi moral bagi manusia dalam setiap perencanaan pelaksanaan aktivitas hidup manusia

dan perbuatanya.80 .

79Catur Raharso, Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006), p. 257. 80Hasil wawancara Dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo.

Page 49: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

37

Jika mereka tidak jujur dengan perbuatan mereka maka bahaya yang akan terjadi

ketika mereka hidup bersama; Pertama, mereka tidak memiliki keturunan. Kedua, anak lahir

cacat. Ketiga, kehidupan rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Empat, perceraian.81

Dengan demikian pria dan wanita sebelum mereka dipesatukan baik secara adat-istiadat

maupun perkawinan dalam Gereja Katolik harus ada sikap keterbukaan baik kepada orang

tua, imam, maupun kepada kedua pribadi masing-masing.

3.3.5 Tahap Peresmian Perkawinan / Lerong Kawit

Peresmian perkawinan / lerong kawit biasanya terjadi di rumah mempelai wanita.

Bahan-bahan yang digunakan untuk meresmikan perkawinan adat yakni, nasi ara, hati daging

babi wawi wateng dan moke tuak, bahan-bahan ini yang digunakan dalam ritual sumpah adat.

Biasanya yang meresmikan upacara ini Tanah puang (tuan tanah), tua adat, du’a moang watu

pitu (tujuh kepala suku yang ada di Iantena). Dalam peresmian perkawinan ini kedua

mempelai akan dipersilahkan berada ditengah-tengah keluarga besar mempelai pria dan

wanita untuk mengungkapkan sumpah janji kesetiaan mereka sehidup semati dalam ritual

adat. Dalam ritual ini pemimpin upacara akan memberikan sumpah dengan rumusan bahasa

adat sebagai berikut:

Minu sai tua sumpan, Minumlah tuak sebagai sumpah,

Dadi wain nora lai mein ha ba gaer, Jadi suami dan istri darah bercampur menjadi satu,

Gea sai wini janjin, Makanlah benih perjanjian ini,

Dadi lihan nora lalan, Bercumbu rayu kamu menjadi satu,

Etan ha gogo lelen, Menjalani roda kehidupan bersama-sama,

Da’a ble’ wut geru belung, Sampai rapuh baru berpisa,

Sape boga geru loar, Sampai patah baru terlepas,

Lopa poi boga naha da’a dunia lalang. Jangan hanya sampai patah tapi maut yang memisahkan.82

Rumusan ritual adat di atas mau memperjelaskan bahwa sebuah perkawinan

merupakan perjanjian antara pria dan wanita. Dimana objek material dari perjanjian

perkawinan itu sendiri yakni, penerimaan dan pemberian diri antara pria dan wanita dalam

relasi cinta seumur hidup. Sebagaimana dijelaskan dalam Injil (Mat.19:6) “Demikianlah

mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak

boleh diceraikan manusia". Demikian pula dalam ritual dan sumpah adat yang dibuat itu

menyatukan pria dan wanita menjadi satu.

81Hasil wawancara Dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo. 82Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 50: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

38

3.3.6 Syarat-Syarat Untuk Kawin

3.3.6.1 Usia

Usia adalah salah satu faktor penting sebelum seorang memasuki jenjang perkawinan.

Dari faktor usia dapat diukur tingkat kematangan dan kedewasaan pria dan wanita dalam

membangun sebuah rumah tangga. Di kalangan masyarakat Iantena usia kawin biasanya tidak

ditentukan. Usia untuk kawin dalam masyarakat Iantena tentunya sangat bertentangan sekali

dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Gereja dan Negara. Dalam hukum kanonik 1083-§

1 menegaskan bahwa,

“pria sebelum berumur genap 14 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 16 tahun, tidak dapat

menikah dengan sah”.83 Dan dalam UU Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 berbicara

mengenai masa usia perkawinan yakni bahwa perkawinan hanya diijinkan jika laki-lakinya sudah

berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun.84

Masyarakat Iantena pada zaman dahulu usia kawin pada wanita itu dilihat dalam pembawaan

dirinya. Misalnya, pada hari raya pentekosta ketika si wanita pada saat pergi ke Gereja

memakai dong, (selempang), utan (sarung), alan legen (rambut konde).85 Hal ini menandakan

bahwa wanita ini siap untuk dilamar. Selain itu ada tanda yang lain yang tampak dan menjadi

ukuran bagi wanita selain tanda yang sudah disebutkan yakni, guan denan siru wisu, 86

(pandai dalam menenun, masak, dan mengerjakan pakerjan-pekerjan rumah).

Sedangkan pada pria tanda yang menunjukkan bahwa dia benar-benar dewasa yakni,

apabila pria sudah bisa cangkul kebun, mengolah lahan kering untuk bisa mendapatkan

makanan, iris moke, panjat kelapa, sudah memiliki rumah, dan tanah baik secara pribadi

maupun pembagian warisan. Semua ini menunjukan bahwa dia sudah bisa berdiri sendiri dan

sudah layak untuk berumah tangga.87

3.3.6.2 Mas Kawin

Mas kawin merupakan salah satu syarat dalam urusan perkawinan. Masyarakat NTT

masih menganggap penting syarat mas kawin sebagai warisan nenek moyang mereka karena

nilai mas kawin menentukan sistem kekeluargaan dari satu masyarakat dan menjadi ukuran

status sosialnya. Mas kawin merupakan salah satu yang menentukan sahnya suatu

83Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Malang: Dioma, 1990), p.60. 84Ibid.,p.61. 85Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 86Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 87Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.

Page 51: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

39

perkawinan.88 Pada umumnya pihak yang menentukan mas kawin adalah keluarga mempelai

wanita. Kriteria-kriteria yang dijadikan dasar penentuan mas kawin adalah dilihat dari

kebiasaan budaya dan suku yang dianutnya. Cara memenuhi mas kawin dari pihak mempelai

laki-laki yakni mengumpulkan semua keluarga besar yang masih berhubungan status darah

untuk mebicarakan berapa besar mas kawin yang diminta oleh pihak mempelai wanita.

Masyarakat Iantena berhubungan dengan mas kawin sudah ada penanggungjawabnya

masing-masing setiap mas kawin yang diminta oleh pihak mempelai wanita. Mas kawin

biasanya dibayar secara berangsur-angsur, tidak dibayar secara lunas supaya keluarga besar

dari mempelai wanita ini masih bisa mengundang atau meminta bantuan jika ada keperluan

atau acara-acara dari keluarga besar wanita. Bila mas kawin yang harus dibayarkan lunas

sesuai permintaan pihak mempelai wanita, maka si wanita dianggap telah menjadi anggota

keluarga besar mempelai pria dan keluarga besar mempelai wanita sudah tidak ada hak lagi

pada diri si wanita.

Dalam masyarakat Iantena mas kawin disebut dengan nama bahar balik. Bahar balik

ini merupakan sebuah bentuk penghargaan, kepada wanita, kepada kedua orang tua yang

melahirkan dan semua keluarga besarnya, namun kata penghargaan disini bukan besarnya

nilai jual beli, tetapi saling menghargai.

3.3.6.3 Bisa Bertanggungjawab Dalam Keluarga

Tanggung jawab adalah sebuah kata yang memiliki makna besar untuk sesuatu yang

kita lakukan setiap hari.89 Bertanggungjawab berarti melakukan sesuatu yang harus kamu

lakukan. (Mary Small). Tanggung jawab pribadi adalah sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan untuk dirinya sendiri.90

Hal ini mau menegaskan kepada pria dan wanita bahwa sebelum mengambil keputusan untuk

menikah, pria dan wanita harus mampu mengembangkan bakat dan kemampuan mereka

dalam berbagai bidang. Mampu dalam mengerjakan pekerjaan orang dewasa menjadi salah

satu syarat yang harus dipenuhi. Calon suami-istri harus mampu menjalankan fungsi dan

tugas mereka dalam keluarga seperti suami yang mampu mencari nafkah dan istri yang

menjadi ibu rumah tangga.

88Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Nusa Tengara Timur, op. cit., 57. 89Sandra Amelia, Menjadi Pribadi Yang Bertanggung Jawab (Depok: Bangun Nusa, 2012), p. 1. 90Ibid.

Page 52: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

40

Bagi pria, sebelum menikah ia harus mandiri dalam hal ekonomi dengan memiliki

pekerjaan yang tetap dan baik untuk menghidupi keluarga kelak. Hal ini termuat dalam

ungkapan bahasa adat berikut:

Hugu sai gua uma hewot sai kare tua, Bekerjalah dengan giat dan sungguh-sungguh,

Gua uma ihin gete dena gea menu tain, Dapatkan rezeki yang makmur masa depan,

Karetua dolor mosang, minu dena blatan kokon,, Capai sukses legahkan dahaga,

Gou sailau leman, Carilah rezeki dilaut yang dalam,

Bata sai reta ilin. Dapatkan rezeki di hutan yang rimbah.91

Ungkapan ini mau menjelaskan bahwa nafkah dan rezeki untuk keluarga bukanlah sesuatu

yang mudah didapat. Banyak kesulitan rintangan yang harus dihadapi serta dibutuhkan

ketekunan dan kerja keras.

Sedangkan bagi wanita Iantena sebelum menikah, harus tahu tentang siru wisu

(memiliki berbagai macam keterampilan untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga seperti

merawat rumah, menenun, merawat anak, memasak, menjahit serta pekerja rumah tangga

lainya). Keterampilan ini termuat dalam ungkapan bahasa adat berikut:

Jata kapa loru lorun, Ikatlah benang tenunlah sarung,

Jata kiom manu koko, Tenun sarung di pagi buta,

Redun det nerang wiar. Pandai dalam memasak dan melayani.92

Dengan demikian bahwa tanggung jawab hidup berkeluarga adalah tugas pria dan wanita

dalam melaksanakan kewajiban mereka setelah mereka memutuskan untuk menikah. Tugas

dan tanggung jawab dalam hidup keluarga bukan sesuatu yang mudah. Karena itu dibutuhkan

suatu persiapan yang matang.

3.3.6.4 Kesiapan Mental

Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan.93 Apalagi untuk sebuah

perkawinan, momen besar dalam kehidupan pria dan wanita Iantena. Bagi wanita Iantena

momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan pria yang tadinya bukan siapa-

siapa, untuk mendampingi dirinya. Kerelaan yang sungguh luar biasa untuk sebuah peristiwa

bersejarah itulah pria dan wanita hendaknya memiliki kesiapan diri secara mental

spiritual. Selain itu persiapan secara konsepsional, fisik, material dan sosial. Banyak pria

yang merasa belum memiliki kesiapan mental, sehingga merasa belum siap untuk kawin.

91Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat Adat, pada 2

November 2019 di Baomekot. 92Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat Adat, pada 2

November 2019 di Baomekot. 93Sandra Amelia, op. cit., p. 2.

Page 53: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

41

Sesungguhnya, kesiapan secara mental ditandai oleh niat dan keseriusan menuju kehidupan

rumah tangga.

Masyarakat Iantena pria, harus memiliki kesiapan dalam dirinya untuk bertindak

sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Bersiap menjadi pemimpin dan pelindung bagi isteri

serta anak-anak. Harus ada kesiapan dalam diri untuk menanggung segala beban-

beban kepemimpinan yang disebabkan oleh karena posisi sebagai suami dan bapak. Misalnya

siap untuk menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anak, siap untuk membimbing istri

dan anak-anak menuju surga, siap untuk berlaku bijak dalam interaksi dengan istri dan anak-

anak.

Sedangkan bagi seorang wanita Iantena yang mau kawin harus ada kesiapan dalam

dirinya untuk membuka ruang baru bagi suami. Harus ada kesiapan dalam diri untuk

menyediakan ruang “dipimpin” oleh suami. Sebagai isteri, harus bisa mengelola rumah

tangga bersama suami dengan baik.

Dengan demikian perkawinan hendaknya dipersiapkan secara matang dan mantap.

Khususnya pengenalan yang mendalam terhadap pasangan hidup, menerima pasangan hidup

sebagaimana adanya, komunikasi antara pasangan secara jujur, wajar, tidak menganggap diri

paling sempurna perfeksionis, kesediaan untuk membuka diri “mau mengerti’ dan “mau

menerima”.94

3.3.7 Perkawinan Yang Tidak Sah Dalam Masyrakat Iantena

Perkawinan yang masih berstatus berhubungan darah tidak dapat dilaksanakan

misalnya, antara orang tua dan anak, antar dua orang bersaudara kandung, antara anak-anak

dari dua perempuan bersaudara. Selain itu, ada halangan perkawinan antara paman dan

keponakan, antara bibi dengan keponakan. Selain itu, juga larangan perkawinan yang

dilarang oleh adat yakni dua orang yang berada dalam satu keluarga yang sama karena masih

terdapat hubungan darah atau antara anak dan mertua.

Terjadinya perkawinan yang masih dalam hubungan darah merupakan sebuah aib bagi

keluarga dan masyarakat. Pasangan yang melakukan perkawinan jenis ini dikenal dengan

sebutan bahut ganu ahu, doha ganu manu95 (hubungan ini seperti binatang yang tak berakal

budi). Singkatnya perkawinan yang masih berhubungan keluarga dalam garis lurus dan garis

94Yan Kefi, “Menantang Arus, Menuai Badai (Meneropong Institusi Keluarga dan Dinamika)” Jurnal Ledalero,

Vol. 10. No. 01. Yogyakarta: 2 Febuari 2010), p. 116. 95Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 54: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

42

samping antara sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut itu dilarang,

sejauh hal tesebut dapat diingat.96

Apabila terjadi pelanggaran, maka diadakan sebuah upacara adat yang dikenal dengan

demu lero wulan (sebagai upacara pemulihan untuk memohon ampun dan belas kasihan agar

terhindar dari murka), Ama Lero Wulan Reta (Bapak pencipta dan penguasa langit dan bumi).

Anak yang lahir dari hubungan terlarang ini akan disebut sebagai me gebi halar buah (anak

haram) dan otomatis kehilangan haknya menyangkut harta waris. Dengan demikian,

perbuatan-prbuatan seperti ini tidak dibenarkan baik secara moral maupun scara adat. Orang

yang melakukan tindakan tersebut akan mendapat sanksi dari masyarakat berupa dikucilkan

dari kehidupan sosial atau kehidupan masyarakat karena dianggap tidak bermartabat.

3.4 Adat Mengenai Penceraian

Salah satu masalah dalam lembaga perkawinan dewasa ini adalah perceraian. Dalam

konteks ini sistem perkawinan pada masyarakat Iantena, perceraian merupakan salah satu

masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hal ini dilatar belakangi oleh alasan-alasan

berikut ini; Pertama, masalah perselingkuhan. Perceraian terjadi bila salah satu pasangan

melakukan perselingkuhan dengan pasangan lain. Kedua, ketiadaan cinta yang tulus dan

kasih sayang dalam hidup berumah tangga. Ketiga, suami pergi meninggalkan istrinya tanpa

alasan apapun. Masalah-masalah ini dapat menimbulkan percerain dan sanksi adat berupa

denda jika terjadi perpisahan dalam hidup perkawinan yang sudah di sahkan oleh adat.

Namun disini mau menegaskan bahwa masyarakat Iantena tidak melegalkan

perceraian. Masyarakat Iantena selalu berpegang pada adat-istiadat mereka yang tertuang

dalam syair adat berikut;

Lemer watu miu ruang, Susah senang sama-sama,

Wawak papang miu ruang, Mati dulu baru lepas tapi bukan mati saja,

Naha blewut ko loar. Melainkan sampai hancur.97

Syair adat di atas mau menegaskan bahwa perkawinan dalam masyarakat Iantena itu tidak

dapat dipisahkan hanya kematian.

Kehidupan perkawinan masyarakat Iantena dilandasi oleh cinta dan kesetiaan dalam

setiap peristiwa hidup pada masyarakat Iantena. Walupun sering terjadi konflik dalam rumah

tangga tetapi hal itu tidak berujung pada perceraian di antara kedua pasangan yang sudah

96Paul Arndt, Hubungan Kemasyarakatan Di Wilaya Sikka, Flores Tengah Bagian Timur (Maumere: Puslit

Candraditya, 202), pp. 36-37. 97Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di

Baomekot.

Page 55: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

43

disahkan oleh adat. Perceraian itu hanya bisa terjadi, jika masalah-masalah seperti di atas

diperbesar-besarkan oleh kedua belah pihak yang berujung pada pembunuhan.

Dewasa ini, perceraian di kalangan masyarakat Iantena jarang terjadi karena dinilai

sebagai perbuatan yang tidak terpuji juga dapat merugikan dan meretakkan hubungan kedua

keluarga besar karena pada dasarnya perkawinan itu tidak hanya mengikat dua induvidu

tetapi di dalamnya terjadi juga ikatan antara kedua keluarga besar dan suku.

Page 56: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

44

BAB IV

SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK

4.1 Pandangan Kristen Katolik Tentang Perkawinan

4.1.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah perjanjian antara pria dan wanita untuk membentuk kebersamaan

hidup dalam ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 98 Secara umum dapat dikatakan bahwa

perkawinan dilihat sebagai suatu perjanjian untuk membangun suatu kebersamaan hidup

antar pria dan wanita dengan tujuan kesejahteraan suami-istri dan keturunan.99 Kebersamaan

pria dan wanita harus menjadi tanda sakramen dari persatuan dan kasih Allah kepada

manusia serta persatuan dan kasih Kristus kepada umat-Nya.

4.1.1.1 Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik

Pemahaman tentang perkawinan dalam ajaran Gereja Katolik dirumuskan dengan

sangat mulia yakni sebagai suatu janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan

saling menerima, serta dimeterai oleh Allah sendiri, di mana perkawinan dilihat sebagai

hubungan cinta pria dan wanita yang disahkan lewat janji perkawinan dan merupakan

persekutuan hidup yang dilandasi oleh dorongan seksual, dorongan untuk mempunyai

keturunan dan saling memilih serta dorongan untuk menumpahkan kasih sayang. 100

Pengertian ini menegaskan bahwa perkawinan didorong oleh rasa cinta antara pria dan wanita

yang kemudian disahkan lewat sebuah janji perkawinan juga tidak bisa dipisahkan dari

dorongan seksual yang terarah kepada tujuan memperoleh keturunan, saling memiliki, saling

melengkapi serta dorongan untuk saling membagi kasih dan sayang.

Perkawinan juga dapat disebut sebagai pernikahan atau perjodohan.101 Perkawinan

disebut sebagai pernikahan atau perjodohan karena ada subjek yang melakukan tindakan

98Bimo Walgito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 2. 99Gregorius Kriswanta, Konvalidasi Perkawinan Pengesahan Gereja Yang Tidak Sah (Yogyakarta: Kanisius,

2019), p. 42. 100Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara

(LPKN), 1997), p. 837. 101 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis Dan Pastoral (Yogyakarta:

Kanisius, 2003), p. 361.

Page 57: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

45

secara bebas. Maksud dilakukan secara bebas supaya keputusan yang mereka ambil untuk

menikah benar-benar datang dari dalam diri mereka sendiri atau atas dasar ikatan cinta kasih

yang total dengan persetujuan dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.

4.1.1.1.1 Kitab Hukum Kanonik (KHK)

Pandangan (KHK) tentang perkawinan terdapat dalam kanon, 1055-§ 1. “Menegaskan

bahwa, perjanjian (foedus) perkawinan, dengan laki-laki dan perempuan membentuk antara

mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada

kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) dan kelahiran serta pendidikan anak, antara

orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”.102

Dalam, kanon 1055 di atas dijelaskan bahwa gagasan utama perkawinan mencakupi

dua hal:

Pertama, perjanjian perkawinan. Kanon 1055 merupakan kanon doktrin yang

mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara pria dan wanita untuk

membentuk kebersamaan seluruh hidup. Hal ini mempunyai latar belakang pada dokumen

Konsili Vatikan II, Gaudium ets spes art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatu

perjanjian nikah (foedus coniugi) dan bukan sebagai contractus (sebuah kontrak).103

Kedua, tujuan perkawinan. Sebelum Konsili Vatikan II tujuan perkawinan yang

paling utama adalah untuk meneruskan keturunan. Setelah Konsili Vatikan II tujuan ini

bukan lagi menjadi utama dalam perkawinan, melainkan tujuan utamanya adalah untuk

kebahagiaan atau kesejahteraan suami-istri. Dalam terang Kodes baru menyebutkan tujuan

perkawinan ialah untuk kesejahteraan suami-istri, prokreasi dan pendidikan anak.104

Pemahaman perkawinan sebagai sakramen bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika

mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi

sah sekaligus sakramen.

4.1.1.1.2 Konsili Vatikan II

Pandangan Konsili Vatikan II tentang perkawinan terdapat dalam Gaudium et Spes no

48-52. Konsili memahami perkawinan sebagai “perjanjian” (covenant).105 Dalam pemahaman

102Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik, penerj.V. Kartosiswoyo et.al., cetakan. I (Jakarta: Obor, 2006), p.

286. 103Robertus Rubiyatmoko. Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011),

p.17. 104Konstantinus Gedo, “Hubungan Seksual Sebagai Ekspresi Cinta Dalam Perkawinan Katolik” (Skripsi

Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2016), p. 30. 105Piet Go, Pokok-Pokok Moral Perkawinan Dan Keluarga Katolik (Malang: Dioma, 1990), p.12.

Page 58: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

46

ini setidaknya terdapat dua hal penting yakni gambaran Konsili mengenai kehidupan

perkawinan yang dilihat sebagai sebuah persekutuan atau persatuan hidup dan penekanan

mengenai pentingnya suami-isteri membangun hidup bersama. Persekutuan yang diikat

dalam perjanjian perkawinan merupakan syarat bagaimana sebuah kehidupan bersama

sebagai suami-istri dibangun. Kehendak membangun kehidupan bersama yang dibangun

berdasarkan perjanjian serta dilindungi oleh hukum-hukum merupakan suatu persekutuan

dalam perkawinan yang mengarah kepada Allah. Allah menjadi tujuan utama karena Allah

adalah pendiri perkawinan itu sendiri.106 Cinta suami-istri tidak hanya dilihat sebagai sebuah

realitas spritual, melainkan juga realitas kehidupan duniawi. Cinta itu diekspresikan secara

istimewa dan disempurnakan melalui tindakan persetubuhan antara suami dan isteri.

Melalui tindakan kesetiaan hubungan suami-istri akan tetap dipersatukan secara intim

dan murni dalam hidup bersama. Kesetiaan dalam sebuah ikatan perkawinan pun salah

satunya ditentukan oleh sikap saling berkomunikasi secara baik dan terbuka, sikap

membangun hubungan yang mesra yang ditunjukan lewat perasaan kasih sayang dan

menciptakan suasana yang harmonis, serta membangun suatu komitmen yang kuat dalam

mempertahankan hubungan suami-istri melalui cara hidup yang saling terbuka dan berbagi.

Sikap-sikap yang demikian merupakan contoh yang dapat menjaga sekaligus mendukung

hubungan suami-istri dalam hal saling terbuka dan memberi diri.

4.1.1.1.3 Katekismus Gereja Katolik

Perkawinan adalah sebuah sakramen yang menjadikan seorang pria dan seorang

wanita bersatu dalam ikatan cinta kasih demi membentuk keluarga Kristen dengan bantuan

rahmat Allah. 107 Katekismus Gereja Katolik menekankan bahwa perkawinan ada dalam

rencana Allah sendiri. Asumsi ini dipertegas lagi oleh Katekismus Gereja Katolik yang

mengutip Gadium et Spes 48 yang berbunyi:

“Janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan saling menerima, dimeterai oleh Allah sendiri

dari perjanjian mereka timbulah satu lembaga berdasarkan peraturan ilahi, kokoh juga di depan

masyarakat” (GS 48-1). Perjanjian suami-istri digabungkan dalam perjanjian Allah dengan manusia:

“cinta kasih suami-istri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi” (GS 48-2).108

Hal ini berarti ikatan perkawinan diikat oleh Allah sendiri, sehingga perkawinan antara

orang-orang yang dibaptis yang sudah diresmikan dan dilaksanakan, tidak dapat diceraikan.

Ikatan cinta ini bertujuan untuk meneruskan kehidupan dalam suatu keluarga yang

106Ibid 107Pius Kila, Gereja Rumah Tangga Basis Gereja Universal (Jakarta: Obor, 2005), p. 103. 108Ibid., pp. 411-412.

Page 59: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

47

didalamnya pria dan wanita saling memberi diri satu sama lain dan membiarkan Allah

memperkuat perjanjian cinta-Nya dengan umat manusia, sebab ikatan perkawinan diikat oleh

Allah sendiri. Perkawinan antara orang-orang yang sudah dibatis sudah diresmikan

dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan ini, timbul dari keputusan bebas antara pria dan

wanita. Bebas dalam arti perjanjian perkawinan tidak berada di bawah paksaan dan secara

hukum tidak menemukan halangan.

4.1.1.1 Perkawinan Menurut Kitab Suci

Berkaitan dengan poin ini, penulis mengarahkan perhatian pada pengertian

perkawinan menurut Kitab Suci; Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru melihat

perkawinan sebagai suatu pesekutuan yang justru dimulai sejak penciptaan pria dan wanita.

Panggilan untuk perkawinan sudah ada dalam diri pria dan wanita sebagaimana mereka

muncul dari tangan sang Pencipta. Allah menciptakan pria dan wanita dengan maksud agar

mereka dapat saling melengkapi satu sama lain dan lebih dari itu, supaya mereka dapat

bersatu untuk melahirkan anggota baru demi perkembangan manusia di atas bumi ini. Allah

menciptakan pria dan wanita atas dasar cinta-Nya. Karena itu cinta suami-istri dalam

perkawinan merupakan gambaran cinta Allah kepada mereka.109

4.1.1.1.4.1 Perkawinan Dalam Perjanjian Lama

Ajaran mengenai perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak ditentukan

secara sistematis tetapi ada pengalaman-pengalaman yang menunjukan adanya kepercayaan

dan praktik orang (Ibrani) sehubungan dengan perkawinan. Kepercayaan dan praktik itu

sangat mempengaruhi orang Kristen Gereja Perdana.110 Dalam Kitab Kejadian, kisah tentang

penciptaan manusia oleh Allah diungkapkan melalui firman-Nya, “…tidak baik, kalau

manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Allah mengambil salah satu tulang rusuk dari

Adam dan diciptakan-Nya seorang wanita yang diberi nama Hawa. Tindakan Allah ini

menunjukan pria dan wanita memiliki unsur kesatuan, berasal dari bahasa yang sama, tampil

sebagai dua makhluk yang berbeda tetapi setara atau sederajat. Singkatnya, cerita dari Kitab

Suci ini menunjukkan bahwa pria dan wanita itu sesungguhnya berbeda, tetapi justru karena

perbedaan itu, maka mereka dapat saling melengkapi. Pun menunjukan kesatuan mereka

yang erat, bahwa “daging-tulang” dari yang satu merupakan “daging-tulang” dari yang lain,

109Gregorius Noto, Bernadus Mau dan Venasius Syukur “Tiga Aspek Perkawinan Kristiani Menurut Injil

Mateus 19:5” (Makalah, STKIP Katekis St. Paulus Ruteng, 1997), p. 5. 110Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983 (Yokyakarta:

Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), p. 15.

Page 60: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

48

hal ini terungkap dalam (Kej 2:23) “…inilah dia tulangku dan daging dari dagingku” suatu

perkataan yang mengungkapkan suatu kesatuan yang sangat mesra.

Tradisi iman yang lebih berkembang menempatkan asal-muasal kedua jenis manusia

itu, pria dan wanita, dalam kuat kuasa menciptakan dari Firman Allah. (Kej 1:27) Allah

berfirman “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar

Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Dengan ini

ditujukan bahwa sumber dari kesetaraan dan kesatuan mereka adalah firman Allah sendiri

yang kuat dan kuasa”.111

Selanjutnya Allah memberikan tugas untuk melanjutkan karya ciptaan-Nya.

Dikatakan bahwa Allah memberkati mereka seraya berfirman "Beranak cuculah dan

bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut

dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej 1:28)

Tugas mulia yang diterima secara bersamaan. Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah;

pertama, bahwa adanya seksualitas, yakni kenyataan wanita, bukanlah sesuatu yang

kebetulan, tetapi dikehendaki dan diciptakan oleh Allah sendiri sebagai sesuatu yang baik,

berharga dan suci. kedua, bahwa perkawinan itu sendiri diberkati, direstui dan didukung oleh

Allah. ketiga, bahwa hakekat perkawinan adalah persatuan antara pria dan wanita yang

diberkati oleh Allah, lalu diberi tugas mereka oleh-Nya untuk meneruskan keturunan dan

memelihara bumi. 112 Singkat kata, keunikan hubungan antara pria dan wanita dalam

perkawinan telah menjadi simbol hubungan antara Yahwe dan umat-Nya. Perkawinan

menggambarkan bagaimana Allah berkomunikasi dengan umat-Nya. Dalam hal ini,

perkawinan itu sendiri adalah sesuatu yang baik, kudus dan suci.

4.1.1.1.4.2 Perkawinan Dalam Perjanjian Baru

Mengenai makna tentang perkawinan yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

tidak ada ajaran yang secara sistematis. Namun ada beberapa ayat Kitab Suci yang menjadi

dasar pemikiran yakni, terdapat dalam Injil Lukas 5: 34 dilukiskan “Dapatkah sahabat

mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedangkan mempelai itu bersama mereka”. Di sini

Yesus berbicara mengenai mempelai pria. Tuhan Yesus mengemukakan sebuah konsep yang

baru sama sekali dengan mengatakan bahwa Dialah pengantin laki-laki dan Gereja umat dan

111Ibid., p. 17. 112Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,

2007), p. 19.

Page 61: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

49

para pengikut-Nya adalah pengantin wanita. 113 Konsep ini Tuhan Yesus menegaskan

hubungan antara suami dan istri tidak ada penceraian dalam perkawinan. Tuhan Yesus

menghendaki perkawinan suami-istri yang bersifat monogam dan tak terceraikan sebagai

simbol hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dengan Gereja. Perkawinan yang

monogam dan tak terceraikan berakar dalam penyerahan pribadi yang menyeluruh antara

suami-istri dalam perkawinan menunjukan hubungan yang tetap dan tak terpisahkan. Seperti

hubungan Yesus dan jemaat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.114 Dan dalam injil

(Yoh 2:1-11) tentang perkawinan di Kana, nampak respek Yesus yang tinggi terhadap

perkawinan. Menurut penginjil ini, tindakan Yesus yang pertama dalam karya penyelamatan-

Nya terjadi dalam satu perkawinan yang kebetulan berlangsung di Kana.

Perkawinan pun merupakan suatu hubungan yang mengekspresikan dan lebih dari itu

simbol hubungan Kristus dengan Gereja-Nya (Ef 5:22 dst). Karena itu gambaran hubungan

antara Yahwe dan umat-Nya atau Kristus dan Gereja-Nya harus merupakan model untuk

menentukan tuntutan-tuntutan etis suatu perkawinan Kristus.

4.1.2 Tujuan Perkawinan Katolik

Tujuan perkawinan Katolik adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Namun keluarga yang bahagia mestinya diwujudkan melalui ungkapan konkret dalam

keseharian hidup yakni kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak, pendidikan anak dan

kebapak-ibuan yang bertangung jawab. Artinya setiap perkawinan memiliki tujuan-tujuan

yang sudah terkandung di dalam perkawinan itu sendiri sebagai realitas natural. Karena itu,

mesti diungkapkan dalam tindakan konkret keseharian bagaimana suami mesti

memperlakukan istrinya demikian pun sebaliknya bagaimana istri mesti memperlakukan

suaminya.

Beriman Katolik harus mempunyai tujuan yang jelas dalam membangun hidup

berkeluarga untuk menghindari kemungkinan mereka hanya asal menikah atau mereka hanya

melihat cinta pada intinya bukan sekadar perkara nafsu birahi, rasa tertarik, simpati atau

asmara melainkan suatu keputusan pribadi untuk bersatu. Cinta sebetulnya sebuah

keterarahan untuk menyerahkan diri demi kebahagian pasangan. Seorang pria dan seorang

wanita yang hendak bersatu bukan sekedar realitas perbedaan kelamin melainkan sebuah

113Ibid. 114Ibid., p. 20.

Page 62: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

50

fakta belahan jiwa serta teman seperjalanan. Di sini termasuk makna kelahiran dan

kebersamaan hidup suami-istri. Allah sendirilah yang menghendaki persekutuan mereka.115

4.1.2.1 Kesejahteraan Suami-Istri

Perkawinan yang dikehendaki oleh Allah selain tertuju pada tindakan prokreasi,

bertujuan pula pada penyatuan suami-istri agar mereka saling menolong dalam kesamaan

martabat dan mengusahakan kesejahteraan dalam hidup keluarga. Namun kesejahteraan

suami-istri dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang, dengan sudut pandangnya. Ada

orang yang berpandangan bahwa suami-istri dikatakan sejahtera bila mempunyai harta yang

berlimpah serta rumah yang besar dan mewah. Ada yang berpandangan bahwa karier dan

jabatan yang menganjak menjadi bukti kesejahteraan suami-istri. Ada yang berpandangan

bahwa bukti suami-istri itu sejahtera apabila mempunyai pelbagai gelar, baik akademis

maupun kebangsawanan. Masih ada banyak pandangan yang dijadikan tolak ukur untuk

memahami kesejahteraan suami-iastri.

Kesejahteraan suami-istri bukan pertama-tama berkaitan dengan harta berlimpah,

rumah yang besar dan mewah, karier dan jabatan yang menganjak, gelar akademis dan

kebangsawanan, tetapi lebih dari itu. Kesejahteraan suami-istri yang dimaksudkan adalah

kebersamaan hidup yang dialami dan dirasakan oleh suami-istri yakni:

Pertama, mereka dapat saling memberikan diri dan menerima pasangannya dengan penuh kasih dan

ketulusan hati, termasuk ketika melakukan hubungan persetubuhan. Melalui pemberian diri dan

penerimaan terhadap pasanganya, mereka diharapkan dapat hidup sehati, seperasaan, dan sepikir dalam

menekuni hidup berkeluarga.

Kedua, mereka dapat saling meneyesuaikan dan menyempurnakan pasanganya. Dengan membangun

hidup berkeluarga bukan berarti keduanya lalu saling meleburkan dirinya, melainkan mereka tetap

hidup dengan dirinya masing-masing, yang meliputi kepribadiannya, pola pikiranya, harapanya, dan

sebagainya. Mereka tetap berbeda satu sama lain. Justru dalam keberbedaan ini, mereka diharapkan

dapat mengembang suburkan semangat dan saling menyesuaikan, saling melengkapi, dan saling

menyempurnakan pasangannya.116

Dengan demikian perkawinan menuntut kesetiaan, cinta kasih, dan menyempurnakan

timbal balik suami-istri. Seperti yang ditegaskan dalam Konsili Vatikan II dalam Gadium et

spes 48 menunjukan bahwa perkawinan tertuju pada kesejahteraan suami-istri, anak-anak,

dan masyarakat.117 Kesejahteraan suami-istri dan anak mempunyai arti yang penting bagi

pertumbuhan cinta, yang didasarkan pada ketulusan dan kerendahan hati.

115T. Gillarso, Membangun Keluarga Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p.13. 116L. Prasetya, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2014), p. 18. 117R. Hardawiryana, op. cit., p. 529.

Page 63: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

51

4.1.2.2 Kelahiran Anak

Konsili Vatikan II menekankan aspek personalistik dan relasional dari perkawinan,

sehingga perkawinan diarakan pertama-tama dan terutama demi mewujudkan kesejahteraan

pasangan suami-istri.118 Namun aspek ini tidak boleh mengaburkan atau menguburkan tujuan

kodrati perkawinan dan cinta-kasih sumi-istri yakni terarah kepada kelahiran. Setiap

perkawinan dan keluarga memiliki tujuan kodrati untuk menciptakan keturunan dan

meneruskan generasi. Dalam hal ini suami-isteri menjadi pelayan dan rekan kerja Allah

dalam karya penciptaan manusia-manusia baru. Bahkan biasanya dikatakan bahwa

perkawinan dan keluarga adalah satu-satunya institusi natural yang bertujuan untuk

melahirkan dan mendidik anak.

Namun memperoleh keturunan merupakan tujuan perkawinan yang kedua, setelah

cinta kasih. Karena cinta sejati antara suami-isteri menghendaki persatuan, dan kesatuan ini

hanya bisa terwujud apabila suami mencintai istri secara mesra serta memberi kepadanya

bibitnya dalam suatu penyerahan diri total, sambil istri membiarkan cinta mengalir dan

meresap kedalam tubuh dan pribadinya. Dalam perpaduan cinta yang paling intim dan paling

dalam ini suami-isteri mengalami saat-saat kreativitas yang paling luhur hidup mereka. Anak

inilah bukti perpaduan cinta suami-isteri yang sangat membahagiakan orang tuanya serta

memperkokoh ikatan cinta antara keduanya.

4.1.2.3 Pendidikan Anak

Kelahiran anak membawa konsekuensi terhadap pendidikan anak. Orang tua harus

mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, meski tidak mudah, pada

masa kini. Tugas mereka seharusnya memikirkan dan mengupayakan pendidikan yang utuh

dan menyeluruh. Orang tua mempunyai kewajiban dan hak primer untuk sekuat tenaga

menempah pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.

Gereja Katolik sudah mengajarkan bahwa prokreasi dan pendidikan anak adalah tujuan dari

perkawianan. Anak dilihat sebagai buah cinta dari perkawinan mendapat tempat terhormat

dalam keluarga. Dalam hal ini Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “berdasarkan ciri

kodratinya, lembaga nikah dan cinta kasih suami-istri diarahkan dan seolah-olah dimahkotai

oleh pengadaan keturunan dan pendidikan anak-anak”.119

Selanjutnya, tugas utama suami-istri sebagai orang tua adalah mendidik anak-anak.

Orang tua bukan hanya mengambil bagian dalam karya penciptaan, yakni menghasilkan

118Catur Raharso, op. cit., p. 53. 119J. Riberu, loc. cit. 529.

Page 64: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

52

keturunan, melainkan juga mendidik anak-anaknya agar mereka dapat hidup sepenuhnya

sebagai pribadi manusia. Tugas mendidik anak merupakan mahkota dan kelengkapan

pengabdian bagian dalam karya penciptaan. Anak-anak dididik dengan cinta dan kasih

sayang yang telah diterima orang tua dari Allah sendiri agar mereka juga dapat menjadi

pribadi manusia yang kelak sanggup mewariskan cinta kasih tersebut.

4.1.2.4 Kebapak-Ibuan Yang Bertanggung Jawab

Meneruskan kehidupan merupakan penerusan yang khas bagi suami-istri dalam

keluarga. Tugas ini menuntut penghayatan akan nilai martabat akal budi manusia. Sebab

Tuhan menekankan hubungan cinta mereka serta bagaimana keduanya menjadi orang tua

yang baik dalam memelihara dan mendidik anak. Orang tua yang bertanggung jawab adalah

mereka yang sungguh-sungguh menjalankan tugas secara baik, misalnya dalam mendidik,

membesarkan anak-anak dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan dalam keluarga.

Ide kebapa-ibuan yang bertanggung jawab dapat dipahami kalau ada keyakinan dari

pihak suami-istri bahwa meneruskan kehidupan merupakan kerja sama dengan Allah. Suami-

istri perlu mengerti, Sabda Allah agar dapat menghayati cinta yang sesungguhnya yaitu

melahirkan dan memelihara anak-anak. Karena tindakan yang paling bijaksana dalam

kebapa-ibuan yang bertanggung jawab adalah menjawab cinta yang diterima dari Allah

dengan cinta yang serupa dengan cinta Allah.120

Kebapa-ibuan yang bertanggung jawab terwujud dalam keputusan mereka dengan

berani dan bebas menentukan kelahiran anak. Orang tua berhak menentukan kelahiran anak

dan merencanakan berapa besar jumlah anggota keluarga. Gereja Katolik menekankan

kebebasan dan tanggung jawab orang tua dalam menunaikan tugas untuk meneruskan

kehidupan.

4.1.3 Hakikat Perkawinan Kristen Katolik

Pada prinsipnya, perkawinan Gereja Katolik memiliki hakikatnya yang terdalam yang

mesti dijunjung tinggi oleh setiap pasangan suami-istri Katolik. Hakikat perkawinan dalam

Gereja Katolik dalam konteks ini perlu diperhatikan oleh pasangan Katolik yang hendak

mengikrarkan janji pernikahan. Jika setiap pasangan Katolik mengerti akan hakikat

perkawinan ini, maka keharmonisan dalam keluarga Kristiani tersebut dapatlah dirasakan.

120Petrus Simarmata, “Keluarga Sejahtera Sebagai Fokus Pastoral”, Majalah Menjemaat, 9 Febuari 2020, p.11.

Page 65: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

53

4.1.3.1 Perkawinan Sebagai Persekutuan Cinta

Perkawinan Kristiani dihidupi dan dikembangkan atas dasar cinta. Karena cinta,

suami-istri dipersatukan melalui sakramen perkawinan. Cinta menjiwai seluruh hidup pria

dan wanita. Cinta menjiwai setiap hak dan kewajiban sebagai suami-istri. Dan karena

besarnya peranan cinta dalam hidup perkawinan maka perkawinan dilihat sebagai sebuah

persekutuan cinta yang mengambil bagian dari cinta ilahi. Hal ini dipertegaskan lagi dalam

Konsili Vatikan II Gaudium et spes no 49, bahwa: “Cinta yang murni dalam perkawinan

harus diterangkan dengan sejelas mungkin, sehingga setiap orang dapat membedakan yang

benar dan yang palsu”.121

Penekanan dari Konsili Vatikan II di atas mau menjelaskan kepada seluruh umat

dalam pandangan yang sangat pesimistis dari pasangan suami-istri Kristen, yang melihat

sebuah hubungan cinta dalam perkawinan hanya sebuah ucapan sandiwara dalam kata-kata

bualan dan tanpa menuntut suatu tindakan yang nyata. Selain itu, sangatlah nampak adanya

penekanan perkawinan pada masa kini. Di mana pada zaman dahulu perkawinan berjalan

dengan cinta yang di atur oleh orang tua. Persatuan antara suami-istri itu bukan atas inisiatif

mereka sendiri melainkan dorongan atau paksaan dari orang tua. Ada juga anggapan bahwa

setiap pasangan suami-istri baru belajar saling mencintai setelah mereka hidup bersatu dalam

perkawinan. Anggapan ini sangat kontradiktif dengan kenyataan masa kini. Pada masa kini,

cinta itu dinggap sebagai motif utama dalam memilih pasangan hidup. Inisiatif pemilihan

pasangan itu bukan lagi berasal dari orang tua, melainkan dari pribadi yang besangkutan.

Peralihan ini tidak berarti menafikan atau mengesampingkan keterlibatan orang tua untuk

turut mendukung dan merestui.

Hal ini menjadi suatu yang baru yang dapat digunakan dalam pemilihan pasangan

masa kini. Hal baru itu yakni pengungkapan cinta tidak selalu diatur oleh orang tua, tetapi

lebih berdasarkan kontak pribadi yang intim dan mendalam. Dengan demikian kontak dan

hubungan intim itu sangatlah perlu. Untuk itu cinta mendapat kedudukan yang pertama selain

diatur oleh orang tua. Karena itu dasar utama untuk kelangsungan hidup bersama antara

suami dan istri adalah cinta. Setiap tindakan, pergaulan, hak dan kewajiban dalam hidup

perkawinan haruslah merupakan cetusan cinta, diresapi cinta dan tujuan untuk

mengembangkan cinta itu sendiri.122

121 Ibid., p. 17. 122C. Maas, “Teologi Moral Perkawinan” Bahan Kuliah, (Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 1997), p. 79.

Page 66: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

54

4.1.3.2 Perkawinan Sebagai Sakramen

Kata Latin sacramentum dan Yunani mysterion merupakan kata yang mulai digunakan

dalam agama Kristen untuk sakramen, mysterion digunakan untuk secara khas mewahyukan

penyerahan diri Allah, yang mendapat ungkapan di dalam kematian dan kebangkitan Yesus.

Jadi perkawinan terjadi erat dengan mysterion wafat dan kebangkitan Kristus yang penuh

makna; maka perkawinan Kristiani turut mengambil bagian dalam misteri ini.123 Sakramen-

sakramen merupakan tanda-tanda efektif kehadiran Allah yang menyelamatkan pada momen

penting hidup manusia. Perkawinan juga merupakan tanda, kasih ilahi bagi keluarga dengan

irama hidup yang khas dan sah antara orang-orang yang dibaptis khususnya, notabene antara

orang Katolik dengan sendirinya merupakan perkawinan yang sakramental. Perkawinan

sebagai sakramen mengandung makna bahwa perkawinan bukanlah sekedar urusan manusia

belaka tapi Allah hadir didalamnya yang menggambarkan persatuan yang penuh antara Allah

dan umat-Nya, antara Kritus dan GerejaNya.

Perkawinan katolik yang sah dan sakramental tidak mungkin dibatalkan oleh kuasa

siapapun, hanyalah kematianlah yang membubarkan perkawinan tersebut. 124 Hal ini

dipertegaskan kanon 1141 bahwa; “Perkawinan sah ratum dan disempurnakan dengan

persetubuhan contumantum tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan

atas alasan apapun, kecuali oleh kematian.”125 Oleh karena itu dalam sakramen perkawinan,

suami-istri merupakan tanda kehadiran Allah. Untuk saling mencintai satu sama lain dan

menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah yang patut disyukuri.

4.1.3.3 Perkawinan Sebagai Perjanjian

Gagasan perkawinan sebagai perjanjian (matirimoniale foedus) ini bersumber pada

konsili vatikan II (GS 48) yang pada giliranya menimba inspirasi dari Kitab Suci khususnya

kitab Nabi-Nabi. Perkawinan sebagai perjanjian yang menunjukan tanda hubungan antara

Tuhan dan umat-Nya dalam perjanjian lama (Yahwe-Israel dan perjanjian baru Kristus-

Gereja).126 Perjanjian dalam perkawinan merupakan sebuah perjanjian unik yang digerakan

oleh cinta Allah. Allah menciptakan manusia antara pria dan wanita dari cinta demi cinta, dan

Allah juga memanggil mereka untuk saling mencintai. Objek material dari perjanjian

123Piet Go, op. cit., p. 34. 124Yohanes Servatius Boylon, 10 Pilar Perkawinan Katolik Yang Sah (Yogyakarta: Amara Books, 209), p. 44. 125Piet Go, op. cit., p. 184. 126Ibid., p. 6.

Page 67: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

55

perkawinan adalah penerimaan dan pemberian diri antara pria dan wanita dalam relasi cinta

seumur hidup.127

Sehingga suami-istri mesti setia mewujudkan janji yang telah diikrarkan bersama

waktu pernikahan. Faktor yang mewajibkan suami-isteri melakukan janji kebersamaan adalah

“Keyakinan bahwa janji perkawinan memiliki nuansa manusiawi dan adikodrati. Di satu sisi,

ada tekad yang begitu besar dalam diri manusia untuk membentuk kebersamaan hidup yang

langgeng. Di sisi lain, menyatakan kebutuhan manusia akan rahmat Allah dalam memenuhi

isi janji nikah dalam hidup selanjutnya”.128 Dengan demikian jelas, kesepakatan menikah

merupakan kehendak pribadi orang yang menikah, yang tidak dapat dipaksa oleh kuasa

manapun, entah orang tua atau pun otoritas publik karena hal tersebut besifat unitas dan

ekskutif.

4.1.4 Halangan-Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan

Halangan-halangan perkawinan yang akan dibahas tidak boleh dipandang secara

terpisah, melainkan arti dan perannya harus dilihat dalam kerangka tujuan perkawinan itu

sendiri, dalam kaitanya dengan kesejahteraan individu, pasangan suami-istri sendiri, dan

masyarakat. Pada hakikatnya halangan nikah adalah undang-undang atau norma, yang

sifatnya dan isinya melarang seseorang untuk menikah serta menghalangi peneguhan nikah

secara sah. Halangan nikah merupakan UU yang membuat “tidak mampu” dalam arti

langsung mengenai pribadi orang yang akan menikah serta membuatnya tidak mampu untuk

mewujudkan perkawinan.

4.1.4.1 Halangan Umur

Perkawinan dalam Gereja Katolik menuntut pertama-tama pada pihak-pihak yang

akan menikah, kematangan biologis-seksual untuk melaksanakan tugas-tugas perkawinan,

yang menurut kodratnya terarah kepada kelahiran anak. Kematangan biologis-seksual

tersebut biasanya diawali ketika seorang mencapai usia pubertas. Namun Gereja tidak

menggunakan pubertas sebagai patokan atau norma untuk pernikahan.129 Tetapi umat Katolik

di seluruh dunia dari berbagai suku, bangsa, dan budaya mengikuti sebuah patokan yang

kurang lebih bisa berlaku secara universal bahwa:

127Catur Raharso, op. cit., p. 32. 128Yohanes Servatinus Boylon, op. cit, p. 55. 129Catur Raharso, Halangan-Halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2005), p. 66.

Page 68: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

56

“Age. A man under sixteen or a woman under fourteen years of age Canon law. 1083”.130 (Dalam

hukum kanonik 1083. Menegaskan bahwa, “seorang pria sebelum berumur genap enam belas tahun,

dan seorang wanita sebelum berumur genap empat belas tahun, tidak dapat menikah dengan sah”).

Halangan karena belum mencapai batas usia minimal ini, pria genap enam belas tahun

dan wanita genap empat belas tahun, maka otoritas yang berwenang dapat memberikan

dispensasi kalau ada alasan-alasan yang sangat berat. Sedangkan bagi calon pasangan yang

ingin melangsungkan perkawinan tetapi pihak pria masih “jalan enam belas tahun dan pihak

wanita masih “jalan empat belas tahun, dispensasi hanya dapat diberikan oleh otoritas yang

berwenang kalau ada alasan yang berat. 131 Tanpa dispensasi dari otoritas Gereja yang

berwenang, perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan Katolik yang belum mencapai

batas usia minimal tersebut adalah perkawina yang tidak sah.

Oleh karena itu, dispensasi dari halangan umur bisa diberikan kalau seorang telah

memiliki kematangan intelektual, emosional dan psikofisik untuk mengemban tugas-tugas

perkawinan. Hal ini adalah demi keabsahan kesepakatan nikah, yang tidak bisa didispensasi

dan tidak bisa digantikan oleh kuasa manusiawi mana pun (kanon. 1057-§ 1)132 Dengan

demikian, batasan usia minimal yang dituntut oleh kanon. 1083 di satu pihak dan tuntutan

kematangan intelektual dan psikoseksual di lain pihak saling mengandaikan, menguatkan dan

melengkapi satu sama lain. Usia minimal, bahkan yang lebih tinggi, dituntut agar jaminan

kematangan intelektual dan psikoseksual bisa diperoleh dengan lebih pasti.

4.1.4.2 Perkawinan Beda Agama

Pada dasarnya perkawinan Kristiani adalah perkawinan iman. Dalam seruan apostolik

familiaaris consortio (1981), Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa perkawinan

Kristiani adalah peristiwa iman.133 Dimana persiapan perkawinan itu sendiri harus dilihat dan

dihayati sebagai peziarahan iman, yakni sebagai kesempatan paling baik bagi calon pasangan

untuk memperdalam iman yang telah diterima dalam pembaptisan dan yang telah ditumbuh

kembangkan dengan pendidikan kristiani.

Kanon: 1086-§1. menegaskan bahwa “perkawinan antara dua orang Katolik dengan orang yang tidak

dibaptis tidak dapat menikah dengan sah, selain dengan dispensasi dari halangan nikah atau halangan

nikah beda agama”. 134 Hal ini dipertegas lagi dalam Kanon. 1125 dan jika ingin melangsungkan

130James A. Coride, An Introduction To Canon Law (United States Of America: Paulist Press New York /

Mahwah, 2004), p. 140. 131 Moses Komela Avan, Kebatalan Perkawinan Pelayanan Hukum Gereja Dalam Proses Menyatakan

Kebatalan Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2014.), p. 47. 132Catur Raharso, op. cit., p. 69 133Ibid., p. 42. 134Piet Go, op. cit., pp. 78-79.

Page 69: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

57

perkawinan beda agama maka perlu diatur oleh konferensi wali Gereja seperti yang dijelaskan dalam

kanon. 1126.135

Perkawinan beda agama dilihat sebagai suatu hal yang dapat membahayakan peristiwa

perjalanan iman seorang kristiani. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu

dilindungi dengan cinta dan bakti. Selain itu juga perbedaan agama dapat menghambat

kesulitan dalam berkomunikasi sempurna antara pasangan suami-istri dan antara anak-

anaknya. Sebab untuk komunikasi yang mendalam diperlukan pengenalan intensif akan latar

belakang pikiran, perasan dan gambaran kedua belah pihak mengenai pelbagai masalah

pembentukan kesatuan dalam perkawinan.

Orang Katolik hanya diperbolehkan menikah dengan orang yang berlainan agama bila

telah mendapatkan dispensasi atau izin dari pimpinan Gereja Katolik yang berwenang dan

disertai janji dari pihak yang bukan Katolik bahwa tidak akan menghalang-halangi

pelaksanaan kewajiban agama apabila perkawinan dilangsungkan begitu saja tanpa dispensasi

dari halangan maka perkawinan seorang Katolik dengan seorang yang tidak dibaptis itu tidak

sah. Ada berapa alasan yang menjiwai peraturan tersebut:

Pertama, demi menjamin iman dan agama umatnya. Pernikahan dengan pihak nonbaptis tentunya

dapat saja membahayakan kesetiaan iman kepada Kristus.

Kedua, pendidikan anak akan lebih mudah terarah kepada nilai-nilai dan ajaran kristiani. Pernikahan

dengan pihak nonkristen akan menyulitkan pendidikan anak sesuai nilai-nilai tersebut.

Ketiga, perkawinan dengan pihak nonbaptis tidak dapat mewujudkan secara penuh pesatuan Allah

dengan umat-Nya, dan antara Kristus dengan Gereja-Nya.136

Dan jika orang Katolik terpaksa menikah dengan orang yang beragama nonkristen maka

dituntut adanya dispensasi dari uskup atau wakilnya. Umumnya, dispensasi hanya diberikan

setelah ada persyaratan dari pihak Katolik untuk tetap setia kepada imannya dan berjanji

untuk berusaha sekuat tenaga mendidik anak secara katolik. Sementara itu pihak nonkatolik

dituntut untuk mengetahui dan menghargai pernyataan pihak Katolik tersebut.

4.1.4.3 Halangan Tahbisan Suci

Tahbisan suci diakonat, imamat, dan episkopal merupakan suatu halangan yang

menggagalkan perkawinan yang sah. Canon 1087- “a person who has received sacred orders

attempts marriage invalidly”.137 (Kanon: 1087 menegaskan bahwa: “tidak sah perkawinan

yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci). Kaum tertahbis

135Ibid. 136Yohanes Servatius Boylon, op. cit., p. 46. 137Kevin E. Mc Kena, The Concise Guide Series A Concise Guide To Canon Law A Practical Handbook For

Pastoral Ministers (America: Ave Maria, 1999), p. 69.

Page 70: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

58

terikat selibat karena mereka dipanggil kepada satu intimasi yang khusus dengan Tuhan.

Dimana tahbisan suci mengandung pengudusan dan mereka dipercayakan oleh Gereja untuk

kehidupan selibat dan terarah kepada pengabdian total dan komitmen penuh dedikasi tanpa

pamrih dalam pelayanan rohani. Yakni dalam pelayanan sabda, perayaan liturgi dan

pemberian sakramen-sakramen serta pelayanan demi kesatuan dan kesejahteraan jemaat.138

Dengan melaksanakan tugas-tugas menguduskan dan memimpin, selaku pribadi Yesus

Kristus. Ketentuan ini yang menjadi halangan nikah bukanlah status itu sendiri, melainkan

tahbisan suci yang telah diterima.

Halangan tahbisan-tahbisan suci ini secara umum dipahami berasal dari hukum

Gereja, karena itu dapat diberi dispensasi. Oleh Takhta Suci, yang ditegaskan dalam Kanon

1078-§ 2. Halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi takhta Apostolik ialah:

“halangan yang timbul dari tahbisan suci atau dari kaul kekal publik kemurnian dalam suatu

tarekat religius bertingkat kepausan”.139 Dispensasi mencakupi dua hal, yang bisa disebut

dengan laisasi (proses menjadikan seorang tertahbis menjadi awam kembali) dan dispensasi

dari selibat sehingga memungkinkan dilangsungkannya pernikahan secara sah.140

4.1.4.4 Halangan Kaul Kemurnian Publik Dan Kekal

Kaul kekal secara publik yang diikrarkan oleh seorang biarawan–biarawati, yakni

yang diakui oleh Takhta Suci. Mereka yang telah mengikrarkan kaul kemurnian publik dan

kekal menjadi suatu halangan yang menggagalkan perkawinan. Halangan ini diletakan pada

kaul kemurnian publik dan kekal karena kaul tersebut membawa serta kewajiban bertarak

sempurna dalam selibat sebagaimana terdapat dalam kanon. 599:

“Nasihat Injil kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan

datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta

kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”.141

Nasihat Injil yang dijanjikan dengan mengikrarkan kaul kekal secara publik dalam tarekat

religius, jelas berlawanan arah dengan janji yang diikrarkan dalam perkawinan. Pada

dasarnya, kedua bentuk hidup ini sangat bertolak belakang dalam tujuan dan makna

penghayatan. Di mana dalam kanon 1088 menegaskan bahwa, tidak sah perkawinan yang

dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu

138A. Eddy Kristiyanto (ed.), Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai (Jakarta, BPK Gunung Mulia,

2006), p. 65. 139V. Kartosiswoyo, op. cit., p 291. 140Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.

77. 141Benyamin Yosef Bria, op. cit., p. 56.

Page 71: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

59

tarekat religius. 142 Artinya bahwa tanpa dispensasi, maka perkawinan yang dicoba

dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam

suatu tarekat religius adalah tidak sah.

4.1.4.5 Perkawinan Berstatus Berhubungan Darah

Hubungan darah dalam suatu keluarga besar biasanya digambarkan seperti sebuah

pohon dengan satu pokok yang memiliki banyak ranting dengan banyak buah, sehingga

sering disebut pohon keluarga. Oleh karena itu, dalam hubungan darah ditentukan ada garis

keturunan lurus dan ada garis keturunan menyimpang. Kanon, 108 menjelaskan apa yang

disebut garis keturunan lurus dan garis keturunan menyamping. Garis keturunan lurus ada

antar orang-orang merupakan turunan dari pokok yang sama di mana orang-orang merupakan

keturunan secara lurus berurutan satu dari yang sebelumnya, berangkat dari pokok yang sama

orang tua-anak-cucu-cicit, dan seterusnya. Garis keturunan menyamping ada antara mereka

yang punya pokok yang sama, tetapi yang satu bukanlah turunan langsung dari yang satunya

saudara-saudara sepupu-ponakan, dan seterusnya. 143 Hubungan darah dihitung dengan

tingkat, berati dihitung berdasarkan jarak antara orang-orang yang berhubungan darah. Hal

dimaksudkan supaya garis dan tingkat paling dekat setiap keluarga memelihara keutamaan-

keutaman serta membuka diri dan membentuk ikatan keluarga yang lebih besar demi

perkembangan masyarakat yang sehat.

Halangan hubungan darah garis keturunan lurus, pada tingkat mana pun tidak pernah

dapat diberikan dispensasi oleh otoritas mana pun (kanon. 1078-§ 3).144 Dan berdasarkan

nilai moral, perkawinan sedarah itu dilihat sebagai perkawinan yang tidak sesuai dengan nilai

moral manusia, karena hubungan sedarah sangat berakibat buruk terhadap kesehatann fisik,

psikologi, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan serta dapat merugikan

masyarakat.145 Karena itu, Gereja Katolik tidak mau mengambil risiko melanggar hukum

ilahi, maka dalam keraguan menempuh jalan yang lebih aman Gereja Katolik tidak memberi

dispensasi yang mengandung risiko mengizinkan perkawinan antara mereka yang masih

mempunyai hubungan darah garis lurus dan garis menyamping.

142Philip Ola Daen, Pelayanan Tribunal Perkwinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.), p. 11. 143Moses Komela Avan, op. cit., p. 44. 144Ibid., p. 45. 145Piet Go, op. cit., p. 74.

Page 72: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

60

4.1.4.6 Halangan Ligamen

Kanon 1085-§ 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang

yang terkait perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum. § 2.

Meskipun perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputuskan atau alasan apa pun,

namun karena itu saja seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sebelum ada

kejelasan secara legitim.146

Kanon di atas dipertegas lagi dalam pemahaman dalam ajaran Gereja Katolik tentang

perkawinan dicanangkan sebagai sifat-sifat hakiki perkawinan monogami dan sifat tak

terceraikan perkawinan. Maka dari itu selama seorang masih terikat perkawinan, ia tak dapat

melangsungkan perkawinan lain. Gereja tidak mengenal perkawinan ulang dari orang yang

terikat perkawinan sebelumnya, kecuali perkawinan sebelumnya sudah dideklarasikan tidak

ada invalid oleh Tribunal dan Paus. Pada prinsipnya, perkawinan Gereja Katolik itu hanya

berakhir pada saat kematian dari salah satu pasangan.

4.1.4.5 Impotensi

Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam

perkawinan.147 Halangan yang menggagalkan perkawinan salah satunya ketidakmampuan

untuk melakukan hubungan seksual suami-istri menurut pengertian di atas disebut impotensi.

Impotensi bisa mengenai pria maupun wanita. Menurut kanon. 1084-§1. Impotensi

merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni

jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak atau pun

relatif. 148 Dan dikatakan mutlak jika ketidakmampuan ini menghalangi seorang untuk

melakukan hubungan suami-istri dengan siapa pun. Sedangkan relatif yaitu, jika ketidak

mampuan itu hanya terjadi jika persetubuhan dilakukan dengan pasangan sendiri. Ini juga

merupakan halangan perkawinan.149

Secara umum dikatakan bahwa halangan ini ditarik dari hukum natural ilahi, makanya

tidak dapat diberi dispensasi. Apalagi, impotensi tidak memungkinkan suami-istri itu menjadi

“satu daging”, yang menjadi tujuan hakiki dan khas perkawinan. Alasan yang melatar

belakangi halangan ini adalah seperti yang dijelaskan Santo Tomas Aquinas dalam Summa

Theologica bahwa dalam perkawinan ada suatu kontrak di mana seorang terikat untuk

146Philip Ola Daen, op. cit., pp. 15-16. 147Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Macam-Macam Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan

(Yogyakarta: Yayasan Pustakan Nusatama), p. 85. 148Catur Raharso, op. cit., p. 73. 149Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2012), p. 64.

Page 73: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

61

menjalankan kewajiban perkawinan kepada pasanganya. Sama seperti dalam kontrak yang

lain, ikatan kontrak itu tidak akan berlaku jika salah satu pihak dari dirinya sendiri tidak dapat

menjalankan apa yang menjadi kewajibanya; hal itu berlaku juga dalam perkawinan di mana

kontrak perkawinan itu akan tidak berlaku kalau salah satu pihaknya tidak mampu

menjalankan kewajiban perkawinan itu.150

4.1.4.5 Halangan Penculikan

Pada halangan penculikan ini kanon 1089, berbicara tentang perkawinan yang tidak

sah kalau dilangsungkan antara pria atau wanita yang untuk tujuan perkawinan telah

menculik dan pihak wanita atau pun pria. Dimana dalam kanon, 1089 menegaskan:

“Antara pria dengan wanita yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud

untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah wanita itu

dipisahkan dari penculikan serta berada di tempat yang aman dan merdeka, secara bebas

memiliki perkawinan itu.”151 Inti yang mendasari ketentuan hukum dalam kanon ini adalah

ikatan perkawinan tidak dapat didirikan di mana tidak ada kehendak bebas dari kedua belah

pihak yang hendak mendirikan perkawinan itu. Penculikan dan penahanan sebagai perbuatan

kekerasan yang melawan kehendak bebas.152

Perbuatan penculikan dan penahanan dapat dialami, baik secara fisik maupun

pisikologi sebagaimana kekerasan yang menekankan kehendak bebas. Mempertimbangkan

akibat penculikan dan penahanan, baik secara fisik maupun pisikologi atas kebebasan

kehendak dalam memberikan kesepakatan nikah, kanon. 1089 menggunakan ungkapan yang

sangat jelas, bahwa dalam kasus seperti itu perkawinan bukan hanya tidak sah, tetapi bahwa

tidak ada perkawinan.

4.1.5 Sifat-Sifat Perkawinan Kristiani

Kanon. 1056 menegaskan bahwa, “sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan

tak terputuskan, yang dalam perkawinan Gereja Katolik memperoleh kekuatan khusus karena

sakramen”. 153 Hal yang menjadi dasar utama dalam perkawinan Gereja Katolik adalah

mengaktualisasikan hubungan mesra antara suami-istri menyerupai ikatan kesetiaan antara

Kristus dan Gereja. Kesetiaan yang dimaksud adalah suami-istri mesti saling komitmen untuk

150Philip Ola Daen, op. cit., p. 15. 151Catur Raharso, op.cit., p. 101. 152Moses Komela Avan, op. cit., p. 50 153Piet Go, op. cit., p. 11

Page 74: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

62

bersatu dan solider satu dengan yang lain (monogam) serentak harus berlangsung seumur

hidup (tak terceraikan).

4.1.5.1 Monogam

Sifat-sifat hakiki perkawinan yakni monogam dan sifat tak terputuskan ikatan

perkawinan, termaksud paham perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran

serta penerapanya dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan nonkatolik, juga di

kalangan Kristen. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawinan kedua

tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau

menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tak mengakui efektivitas perceraian itu

dalam arti pemutusan ikatan, sehingga suami-istri masih terikat oleh ikatan perkawinan

pertama, sehingga perkawinan kedua itu tidak sah dan di sebut “poligami suksesif”.154 Karena

itu, Sifat monogam menegaskan bahwa seorang suami hanya boleh mempunyai satu istri

demikian pun sebaliknya, seorang istri hanya boleh memiliki satu suami.

Perkawinan bagi Gereja Katolik merupakan kesatuan pria dan wanita yang dengan

penuh kesadaran, kesediaan dan kesetiaan hidup bersama sepanjang hayat melalui perjanjian

nikah yang bersifat eksklusif dengan latar belakang penafsiaran serta penerapan eksklusif dan

ketat asas monogami seperti yang dianut Gereja Katolik. Implikasinya adalah realitas

kebersamaan suami-istri mencerminkan kesetaraan martabat. Ungkapan monogam

menandakan totalitas antara pasangan, satu untuk selamanya, seperti yang tertuang dalam

(Kej 2:24) “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu

dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ungkapan satu daging tidak

semata-mata mengacu pada kebersamaan dalam hubungan seksual tetapi juga pada persatuan

yang utuh. Hubungan seksual, melambangkan keberadaan sama kedua pribadi. Suami-istri

menjadi satu melalui perjanjian perkawinan.155 Sebuah ungkapan cinta yang tak terbagi atau

mengesampingkan poligami. Totalitas ini pun mengungkapkan totalitas cinta Tuhan terhadap

Gereja. Sebagaimana Kristus yang dari semula adalah setia demikian pun cinta suami-istri

mestinya dibangun di atas dasar kesetiaan yang utuh.156

Dengan demikian sifat monogam berarti satu, di mana berdasarkan janji perkawinan

seorang pria dan seorang wanita menjadi “satu”. Hal ini juga didukung oleh kanon 1056 yang

154Ibid., p. 11. 155Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, op. cit., p. 154. 156FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 16-18

Page 75: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

63

menegaskan tentang sifat perkawinan yang monogami dan tak ceraikan yang telah

dikukuhkan atas dasar sakramen.

4.1.5.2 Tak Ceraikan

Makna memperjuangkan ketakceraian dalam hidup suami-istri sebetulnya

mengungkapkan sebuah keutamaan iman suami-istri telah menyatakan diri bersatu dengan

bebas. Tak terceraikan berarti pasangan suami-istri yang telah dikuatkan dalam sakramen

perkawinan harus tetap setia sampai mati, meski dilanda dengan pelbagai macam tantangan

dalam hidupnya. Karena kesatuan itu, suami-istri harus menghayati perkawinan secara baik

sehingga perkawinan berkembang dengan baik dan tidak terpecah belah. Kesatuan diperkuat

melalui ketakterceraikan dan kesetiaan antara suami-istri.157

Dalam ikatan perkawinan, kedua pribadi saling mempercayakan dan menyerahkan

diri secara utuh dan tetap, dalam untung dan malang. Tuntutan untuk setia merupakan sarana

bagi para suami-istri dalam usaha menjaga hubungan perkawinan mereka agar tetap langgeng

dan bahagia selamanya. Cinta kasih mengakibatkan suami-istri bukan lagi dua melainkan

satu. Penyerahan diri yang total hanya mungkin kepada satu orang. 158 Hal ini menuntut

adanya kesatuan yang tidak terceraikan di antara mereka. Model relasi yang mereka bangun

adalah model relasi Tuhan sendiri dengan GerejaNya. Sebagaimana Tuhan Yesus

memberikan cinta kepada umatNya, bahkan Ia rela mati untuk dipaku di salib. Karena itu,

Kekhasan hakiki lain dari perkawinan Katolik adalah sifatnya yang tak terceraikan

(indissolubilitas).159 Sifatnya tak ceraikan mengindikasikan bahwa ikatan perkawinan bersifat

absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan selain oleh

kematian.

4.2 Bagian-Bagian Dari Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena Yang Relevan Dan

Tidak Relevan Terhadap Perkawinan Katolik

4.2.1 Unsur-Unsur Dari Perkawian Yang Relevan Terhadap Perkawinan Katolik

157Josef Konigsmann, op. cit., p. 27. 158Eduard Jebarus, Keluarga Sejehtera: Buku Pegangan Untuk Pembimbing Kursus Perkawinan (Ende: Nusa

Inah, 1987), p. 39. 159Eigius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik, (Ende: Nusa Indah, 2000), p. 60.

Page 76: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

64

4.2.1.1 Cinta Antara Suami Dan Istri

Tradisi kawin-mawin dalam masyarakat Iantena lahir dan terjadi atas dasar cinta.

Cinta yang menggerakan pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri. Walaupun

pernah terjadi bahwa dalam mayarakat tradisional Iantena kawin paksa atas perencanaan dan

kemauan orang tua. Tentunya tindakan orang tua ini mengabaikan aspek cinta dan pilihan

hidup seorang anak dalam perkawinan. Namun dalam perkembanganya, orang tua mulai

menghargai kebebasan anak-anak mereka dalam memilih dan menentukan pasangan hidup

mereka. Biasanya pria yang menaruh hati pada wanita, ia akan menyampaikan isi hatinya itu

kepada orang lain atau orang ketiga yang dipercayakan oleh pria yang berperan sebagai

jembatan atau disebut sebagai ata pano lalan (orang yang membuka jalan menuju kesana).

Orang yang dipercayakan oleh pria tersebut dengan caranya tersendiri akan

melakukan pendekatan dan akan menyampaikan maksud hati pria tersebut kepada wanita

idamanya. Apabila lamaran pria tersebut diterima maka kedua belah pihak akan

menyampaikan maksud mereka kepada orang tua mereka masing-masing. Dengan demikian

keduanya akan menjalani kisah cinta mereka sebagai momen yang tepat untuk saling

mengenal.

Hubungan cinta antara pria dan wanita bersangkutan lazim berlangsung dalam jangka

waktu yang lama. Keduanya belajar untuk saling mengenal. Relasi antara keduanya masih

dibatasi, dalam hal ini, masih berada dalam pengawasan dari orang tua mereka masing-

masing. Hal ini dibuat agar menjaga kemungkinan terjadi kehamilan sebelum adanya urusan

adat dan pernikahan. Bila keduanya memiliki niat untuk hidup bersama, maka mereka akan

menyampaikan niat itu kepada orang tua mereka untuk selanjutnya diurus menurut aturan

adat yang berlaku.

Perumpamaan di atas secara gamblang telah menunjukan bahwa cinta merupakan

faktor yang mempersatukan pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri.

Pentingnya aspek cinta dalam tradisi kawin-mawin masyarakat Iantena memiliki relevansinya

dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik justru menekankan aspek cinta

dalam sakramen perkawinan karena sebuah perkawinan tanpa dilandasi oleh cinta yang tulus,

maka akan berakhir dengan kehancuran. Dalam ajaran Gereja Katolik, pernyataan cinta

antara suami-istri terletak dalam tindakan saling menukar cincin pada waktu pernikahan,

karena cincin menjadi lambang cinta dalam perkawinan.

Dengan demikian dalam urusan adat pada masyarakat Iantena juga dikenal dengan

Wu’un Kila (cincin) bagian belis ini diberikan sebagai lambang cinta dalam perkawinan atau

tanda mata dalam perkawinan berupa cincin. Tindakan saling memberi mengungkapkan

Page 77: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

65

cinta antara pria dan wanita. Maka dapat dilihat bahwa, urusan adat dalam sistem perkawinan

masyarakat Iantena dan perkawinan Katolik sama-sama melihat aspek cinta sebagai unsur

penting dalam membangun sebuah rumah tangga. Cinta yang dimaksud tidak hanya

terungkap dalam kemesraan dan hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebutuhan

hidup sehari-hari.

4.2.1.2 Perkawinan Tidak Diijinkan Bagi Pasangan Yang Masih Memiliki Hubungan

Darah

Perkawinan merupakan persatuan dua orang yang berbeda kepribadian, latar belakang

keluarga dan seksualitas untuk membangun persekutuan hidup dan cinta yang mendalam

serta perlu diberi dukungan baik oleh Gereja maupun masyarakat. Karena itu suatu

perkawinan yang dikatakan sah apabila perkawinan itu diikat dengan janji dan dijalani tanpa

adanya halangan. Salah satu halangan dalam perkawinan adalah perkawinan yang

dilangsungkan oleh dua orang yang masih memiliki hubungan darah. Masyarakat Iantena

menolak adanya perkawinan antara dua orang yang masih memiliki hubungan darah. Dalam

hal ini misalnya seorang pria yang kawin dengan saudari kandungnya, anak dari tanta, anak

dari paman atau bibinya, umumnya hubungan keluarga dalam garis lurus antara sanak

keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga dalam garis samping, sejauh hal

tesebut dapat diingat. Perkawinan seperti itu dalam sistem perkawinan adat-istiadat

masyarakat Iantena itu ditolak dengan alasan mendasar;

Pertama, perkawinan yang masih berhubungan keluarga dalam garis lurus antara

sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga dalam garis samping,

sejauh hal tesebut dapat diingat, dapat merusak nama baik keluarga. Dalam masyarakat

Iantena, nama baik suatu keluarga adalah suatu kehormatan dan kebanggaan dalam keluarga.

Kebanggaan dan kehormatan itu tentunya harus dijaga dan dipertahankan terus oleh setiap

anggota keluarga.

Kedua, perkawinan jenis ini juga dapat merusak alam dan juga merugikan

masyarakat sekitar. Dalam budaya orang Iantena jika terjadi pelanggaran seperti ini, maka

diadakan sebuah upacara adat yang dikenal dengan demu lero wulan, sebagai upacara

pemulihan dari bencana alam, sehingga masyarakat melakukan ritus ini untuk memohon

ampun dan belas kasihan kepada, Ama Lero Wulan Reta (Bapak pencipta dan penguasa langit

dan bumi) agar segera terbebas dari hukuman atau murka. Perkawinan yang masih berstatus

hubungan darah ini tidak dibenarkan baik secara moral maupun secara adat. Orang-orang

Page 78: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

66

yang melakukan tindakan tersebut akan mendapat sanksi dari masyarakat berupa dikucilkan

dari kehidupan masyarakat karena dianggap tidak bermartabat.

Ketiga, perkawinan jenis ini pula dalam budaya masyarakat Iantena berdampak buruk

bagi masa depan anak yakni dari segi kesehatan, pisikologi, mental dan intelektual. Dan

anak-anak yang dari hasil hubungan tersebut akan disebut sebagai me gebi halar buah (anak

haram) dan otomatis kehilangan haknya menyangkut harta waris. Hubungan sedarah sangat

berakibat buruk terhadap pasangan yang melakukan perkawinan jenis ini dikenal dengan

sebutan bahut ganu ahu, doha ganu manu yakni hubungan ini seperti binatang yang tak

berakal budi.

Keempat, masyarakat Iantena memiliki suatu kesadaran akan pentingnya imam dalam

hidup mereka. Masyarakat Iantena menyadari bahwa perkawinan jenis ini tidak disahkan oleh

ajaran Gereja Katolik karena melanggar aturan yang sudah terterah dalam hukum perkawinan

yang terdapat dalam kanon. 1091-§1 yang menegaskan bahwa perkawinan yang coba

dilangsungkan di antara mereka yang ada pada hubungan darah keturunan garis lurus, pada

tingkat mana pun adalah perkawinan yang tidak sah.160

Dengan adanya keempat faktor di atas menjadi alasan mendasar dalam sistem

perkawinan masyarakat Iantena menolak perkawinan yang masih berhubungan keluarga

dalam garis lurus antara sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga

dalam garis samping, sejauh hal tesebut dapat diingat. Masyarakat Iantena menyadari bahwa

nama baik keluarga yakni suatu kehormatan. Di samping itu, juga masyarakat Iantena lebih

jauh memiliki kesadarahn akan pentingnya iman. Sikap masyarakat Iantena sangat berpegang

teguh pada keempat alasan mendasar di atas memiliki relevansinya dengan sikap Gereja yang

menolak perkawinan yang terjadi antara pasangan yang masih memiliki hubungan darah.

Hubungan darah yang dimaksudkan oleh masyarakat Iantena dalam sistem perkawinan dan

pada ajaran Gereja Katolik adalah hubungan atau ikatan keluarga antara keturunan pribadi-

pribadi berdasarkan pada kelahiran daging dari tulang pokok yang sama.

Dengan demikian, Gereja bersikap tegas terhadap perkawinan antara orang-orang

yang masih memiliki hubungan darah. perkawinan antara mereka yang berhubungan darah

dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim atau yang alami adalah tidak

sah adat dan Gereja memiliki alasan yang tepat atas sikap penolakan terhadap perkawinan

antara pribadi-pribadi yang memiliki hubungan darah berdasarkan pada kelahiran daging dari

tunggal pokok yang sama.

160Piet Go, op. cit., p. 84.

Page 79: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

67

4.2.2 Unsur-Unsur Tidak Relevan Dari Perkawinan

4.2.2.1 Kawin Paksa Atas Perencanan Orang Tua

Kawin paksa yakni, perkawinan yang terjadi atas perencanaan orang tua. Hal ini

terjadi juga dalam sitem perkawinan masyarakat Iantena di mana pasangan untuk pria dipilih

oleh orang tuanya sejak anak-anak masih kecil. Perkawinan jenis ini umumnya terjadi di

kalangan kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Hal itu semata-mata dilakukan untuk

menjaga kehormatan, kewibawaan kelompok bangsawan dan harta warisan. Hemat penulis,

perkawinan demikian melanggar kebebasan anak dalam memilih dan menentukan pasangan

hidupnya. Bahwasanya, kebebasan anak dalam memilih pasangan hidupnya dihambat dan

ditekan, maka anak yang bersangkutan tidak bisa menentukan sendiri pasangan hidupnya.

Pasangan hidupnya menjadi pilihan mutlak oleh orang tua entah tidak sesuai dengan kemauan

anaknya. Menghendaki pilihan orang tua, maka mereka dengan terpaksa melangsungkan

pernikahan dan hidup bersama sebagai suami-istri tanpa atas dasar cinta yang tulus dari

kedua belah pihak. Akibat dari hidup perkawinan seperti ini berimbas pada patologi rumah

tangga seperti marak terjadi perselingkuhan, perselisihan, dan berujung pada kekerasan dalam

rumah tangga (KDRT).

Kehancuran dalam membangun kehidupan rumah tangga sebagai akibat dari

perkawinan paksa sangat bertentangan dengan cita-cita luhur suatu perkawinan Kristianai

sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah yakni menyatukan pria dan wanita agar mereka

saling menolong dalam kesamaan martabat dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

Allah menghendaki suatu bentuk perkawinan bahagia yang terwujud dalam tindakan cinta

yang mendalam antara suami-istri.

Karena itu, kawin paksa sedapat mungkin dihindari dalam praktek perkawinan karena

tidak relevan dengan seruan Gereja Katolik dalam (KHK) 1057 § 2: “Kesepakatan nikah

adalah perbuatan kemauan dengan mana seorang pria dan seorang wanita saling

menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang

tak dapat ditarik kembali”.161

Isi kanon di atas menegaskan bahwa kesepakatan untuk menikah adalah perbuatan

kemauan bukan atas desakan atau paksaan dari pihak manapun. Karena cinta sejati antara

suami dan istri menghendaki persatuan, dan kesatuan ini hanya bisa terwujud apabila suami

161V. Kartosiswoyo, op. cit., p. 304.

Page 80: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

68

mencintai istri secara mesra serta memberi kepadanya bibitnya dalam suatu penyerahan diri

total, sambil istri membiarkan cinta mengalir dan meresap kedalam tubuh dan pribadinya.

4.2.2.2 Perceraian Sebelum Dinikahkan Secara Katolik

Perceraian dalam suatu ikatan perkawinan merupakan salah satu masalah dalam

lembaga perkawinan. Adanya suatu perceraian disebabkan oleh alasan-alasan mendasar yang

bisa diterima oleh kedua belah pihak yang bercerai. Dalam konteks sistem perkawinan pada

masyarakat Iantena. Di mana dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena kata perceraian

itu sendiri tidak diinginkan oleh masyarakat Iantena secara hukum adat yang sudah dibuat.

Namun pada masa kini masalah yang sering dihadapi oleh kehidupan rumah tangga pada

masyarakat Iantena yakni terdi perceraian. Hal ini dilatari oleh berapa alasan mendasar;

Pertama, ketidaksetiaan terhadap pasangan. Masyarakat Iantena menilai kasus ketidak

setiaan terhadap pasangan sebagai perbuatan tercela, dan tindakan pelanggaran terhadap

martabat perkawinan. Karena secara hukum adat itu dibuat janji sebagi berikut; Lemer watu

miu ruang, wawak papang miu ruang, Naha mate ko belung Naha bleut ko loar (susah

senang sama-sama mati dulu baru lepas, tapi bukan mati saja, melinkan sampai hancur). Di

samping itu, bagi pasangan yang tidak setia terhadap pasangan secara tidak langsung

menunjukan sikap ketidaktaatan terhadap para tua adat dan melanggar janji dalam sistem

perkawinan adat. Ketidaksetiaan terhadap pasangan disisi lain dapat merusak nama baik

keluarga bahkan suku dan meretakan hubungan kedua keluarga besar bila pada akhirnya

terjadi perceraian.

Kedua, sakit berkepanjangan atau gangguan mental. Masyarakat Iantena memiliki

perhatian terhadap faktor kesehatan sebelum melangsungkan ritual adat. Jika ditemukan dari

salah satu pasangan menderita penyakit berbahaya tidak diizinkan untuk melangsungkan

perkawinan dan juga ritual adat. Bila setelah perkawinan, salah seorang menderita penyakit

berkepanjangan atau cacat mental, itu menjadi tangung jawab kedua keluarga besar dan

pasangganya. Masyarakat Iantena menilai bahwa suatu kejadian setelah perkawinan itu

merupakan suatu musibah.

Ketiga, perceraian dapat terjadi bila perbedaan pendapat dan konflik berkepanjangan

karena ketiadaan cinta dan kasih sayang. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang

berujung pada kehancuran berawal dari ketiadaan cinta dan kasih sayang antara suami-istri.

Suami mengatur kehidupan rumah tangga sendiri tanpa kerja sama dengan istri dan

sebaliknya. Suami dan istri banyak meluangkan waktunya di luar rumah. Dengan kata lain

rumah hanyalah sebuah tempat persinggahan. Suami dan istri di lain pihak mempertahankan

Page 81: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

69

sikap ego mereka. Hal demikian terjadi karena ketiadaan cinta antara keduanya. Bila situasi

hidup demikian dipertahankan maka akan berujung pada perceraian. Perceraian dapat

membebaskan keduanya dari berbagai tekanan dan menjadi momen bagi mereka untuk

kembali menata diri lebih baik.

Perceraian yang terjadi pada kehidupan suami-istri pada masyarakat Iantena tentunya

bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik yang tidak mengindahkan perceraian yang sudah

menikah hal ini secara langsung merugikan kedua belah pihak dan masa depan anak-anak

bila mereka telah memiliki anak. Sikap Gereja bertolak dari sifat perkawinan Katolik yaitu

monogam dan tak ceraikan. Kedua sifat ini melegitimasi sikap Gereja melarang terjadinya

perpisahan bagi pasangan yang telah dinikahkan secara Katolik.

3.1.3.3 Kawin Ganti Tikar

Perkawinan selung o’ha hiwir li’an / kawin ganti tikar dalam masyarakat Iantena

kalau dilihat dalam sudut pandang ajaran Gereja Katolik sangat bertolak belakang karena ada

unsur paksaan dari dalam. Dimana perkawinan itu terjadi karena ada tujuan tertentu bukan

berdasarkan cinta yang tumbuh dari dalam diri seseorang.

Dalam ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa perkawinan seorang pria dan

seorang wanita itu tidak ada unsur paksaan, hal itu tertuang dalam, Kanon 1057-§ 2.

“Kesepakatan perkawinan; adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan

seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk

perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”.162 Secara jelas perkawinan

merupakan sebuah tindakan kesepakatan, kemauan atau kehendak.

4.2.3 Nilai-Nilai Unggul Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena

4.2.3.1 Perkawinan Melalui Perkenalan Yang Baik

Perkawinan dalam masyarakat Iantena diawali dengan tahap perkenalan sebelum

membangun hubungan cinta. Dalam tahap perkenalan ini dilihat sebagai jalan menuju pada

persatuan dalam hidup perkawinan. Masa perkenalan ini pada mayarakat Iantena, bisa

ditempuh dengan cara yang berbeda-beda. Cara yang bisa dilakukan yaitu bila pria menaruh

hati pada wanita maka ia harus menyampaikan maksud hatinya itu kepada orang ketiga yang

dipercayakan menjadi jembatan (ata pano lalan). Orang yang dipercayakan tersebut dengan

162Yohanes Servatius Boylon, op. cit., p. 2.

Page 82: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

70

caranya tersendiri akan melakukan pendekatan dan akan menyampaikan maksud isi hati dari

pria tersebut kepada wanita idamanya.

Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Iantena kawin-mawin melalui perkenalan

awal itu merupakan salah satu nilai unggul dalam adat masyarakat Iantena. Hal ini dinilai

positif karena mengandung nilai penghormatan dan menjaga martabat dan harga diri

terhadap wanita bersangkutan. Ia memiliki harga diri sama halnya dengan pria. Ia juga

memiliki mertabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Unsur maskulin yang dominan pada

pria dan unsur feminim yang dominan pada wanita dimaksudkan untuk saling melengkapi

demi terciptanya sebuah keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, pria yang

menaruh simpati padanya harus menempuh cara yang tidak mengabaikan nilai etika dan

sopan santun yang dijunjung tinggi dalam budaya masyarakat setempat.

Nilai adat ini menjadi suatu kebanggaan dalam setiap budaya terlebih khusus pada

masyarakat Iantena. Namun tahap perkenalan awal ini tidak lagi diperantarai oleh pihak

ketiga. Tentunya perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan sarana informasi dan

komunikasi dewasa ini. Di samping itu, pola pikir masyarakat Iantena mulai mengalami

perubahan dari yang tradisional menuju pada cara berpikir modern.

4.2.3.2 Masuk Minta

Masuk minta merupakan salah satu tahap kawin-mawin dalam budaya masyarakat

Iantena. Pada dasarnya masyarakat Iantena mengenal tahap ini dengan sebutan kuhu pahar

ruga tadan (seorang pria sudah mempunyai niat supaya wanita yang diinginkanya itu tetap

menunggu). Pada tahap ini, orang tua akan mendatangi rumah si wanita untuk menyatakan

niat melamar wanita bersangkutan. Orang tua kedua belah pihak akan membicarakan secara

bersama-sama hal-hal yang perlu dibuat dan terjadi pada acara peminangan.

Tahap ini merupakan pintu masuk pada acara peminangan. Karena itu pada tahap ini

juga merupakan nilai unggul dalam tata cara perkawinan adat masyarakat Iantena. Tahap ini

tetap terpelihara karena masyarakat tetap menjalaninya dalam setiap urusan perkawinan adat.

Tahap masuk minta mau menunjukan sikap penghargaan dari keluarga pihak mempelai pria

kepada pihak mempelai wanita. Masyarakat Iantena tetap menjaga dan menjalaninya karena

memiliki nilai positif dan sesuai dengan tata cara adat perkawinan mereka sendiri yang

diwarisi oleh nenek moyang mereka. Nilai penghargaan dan saling menghormati yang dilihat

dari tahap ini tetap hidup dan lestari dalam setiap perkembangan zaman. Dengan demikian,

tahap masuk minta tetap hidup karena keunggulanya. Perubahan hanya terjadi pada pola pikir

Page 83: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

71

masyarakat tradisional ke pola pikir yang lebih modern yang disesuaikan dengan

perkembangan zaman dan konteks yang ada dalam masyarakat.

4.2.3.3 Perkawinan Menekankan Aspek Kebersamaan

Perkawinan dalam konteks masyarakat Iantena tidak semata dilihat sebagai urusan

dua orang individu yang hendak melangsungkan janji nikah tapi perkawinan adat melibatkan

seluruh anggota keluarga, bahkan kedua suku. Perkawinan dalam konteks masyarakat Iantena

merupakan sebuah peristiwa sosial karena perkawinan melibatkan campur tangan kedua

keluarga besar pria dan wanita. Dengan kata lain, sistem perkawinan masyarakat Iantena

merupakan unsur seluruh keluarga, masyarakat, dan suku. Aspek sosial dari perkawinan tidak

mengakibatkan aspek personal seorang dalam memilih pasangan hidupnya. Pasangan hidup

tetap menjadi urusan pribadi yang bersangkutan walaupun dalam masyarakat tradisional

Iantena terdapat kawin paksa atas perencanaan orang tua. Namun kenyatan ini telah berubah

karena orang tua mulai menyadari pentingnya aspek cinta perkawinan dan memberi

kebebasan bagi anak-anak untuk memilih pasangan hidup mereka.

Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena bukan hanya terbatas pada urusan

perkawinan. Namun kebersamaan keluarga dalam urusan-urusan adat dari kedua suku akan

tetap terjaga dan terus terjalin pada setiap peristiwa-peristiwa lainya seperti, dalam urusan

belis, kematian dan lain sebagainya. Karena kedua suku ini sudah menjadi keluarga. Urusan

ini tentunya melibatkan segenap keluarga dan anggota suku untuk memberikan sumbangan.

Dengan demikian, realitas perkawinan adat dalam masyarakat Iantena yang

mengandung aspek kebersamaan dan persatuan merupakan salah satu nilai unggul dalam

sistem perkawinan adat-istiadat masyarakat Iantena. Hal ini menjadi kebanggaan dalam diri

setiap orang Iantena karena melalui perkawinan terjadilah persatuan kedua suku yang

berbeda. Masyarakat Iantena yang menjadi salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Sikka

yang tetap mempertahankan aspek kebersamaan dan persatuan dalam perkawinan karena

pada dasarnya hal ini relevan dengan semboyang orang Iantena Mai ita mogat hama-hama,

mai ita ate leleha artinya semua ini adalah tangung jawab kita semua. Karena itu, mari kita

menjaga dan membangunya.

4.2.3.4 Budaya Sirih-Pinang dan Rokok (Bako Wua Ta’a)

Sirih pinang dan rokok (bako wua ta’a) merupakan salah satu ciri khas budaya

masyarakat Iantena. Umumnya kehidupan masyarakat Iantena tidak terlepas dari budaya sirih

pinang dan rokok. Sirih dan pinang adalah salah satu sajian untuk kaum wanita sedangkan

Page 84: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

72

rokok untuk kaum pria. Kedua jenis sajian ini menjadi simbol penghormatan. Karena itu sirih

pinang dan rokok dilihat sebagai sesuatu yang sangat penting dalam budaya adat pergaulan

masyarakat Iantena.

Dalam budaya adat masyarakat Iantena, sirih-pinang dan rokok memiliki makna

penting dalam keseharian hidup mereka. Hal ini dilatari oleh berapa alasan berikut:

Pertama, seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa sirih-pinang dan rokok sebagai

tanda penghormatan, penerimaan dan keramah-tamahan terhadap setiap tamu yang

berkunjung ke rumah. Dalam tradisi masyarakat Iantena, setiap tamu yang berkunjung ke

rumah pertama, akan disuguhkan sirih-pinang untuk kaum wanita dan rokok untuk kaum pria

sebagai sikap pemberian dan keramah-tamahan.

Kedua, sirih-pinang dan rokok sebagai alat komunikasi dengan sesama ia menjadi

medium untuk mencairkan suasana dan membangun relasi yang lebih akrab dan ia menjadi

sarana pembukaan untuk memulai komunikasi dalam urusan adat-istiadat. Bahasa yang lazim

diungkapkan dalam urusan adat-istiadat yakni sebagai berikut; ita ea oti wua tena mera wiwir

musung oti bako tena gahu hang ia guk ita tutur naruk lalan itan yang berarti (“kita terlebih

dahulu mencicipi sirih dan pinang untuk memerahkan bibir dan mengisap rokok untuk

memanaskan mulut dan setelah itu kita mulai pembicaran atau diskusi”).

Ketiga, dalam pengantaran belis bagi masyarakat Iantena yang paling terdepan yakni

orang yang membawa sirih-pinang dan rokok (bako wua ta’a). Sirih-pinang dan rokok bagi

orang Iantena sebagi lambang bahar balik (mas kawin) dan juga perintis jalan untuk semua

kegiatan pada acara itu. Karena itu sirih-pinang dan rokok memiliki nilai penting dalam

sistem perkawinan masyarakat Iantena dan urusan adat-istiadat.

Nilai-nilai di atas menunjukan bahwa sirih-pinang dan rokok memiliki nilai unggul

dalam tradisi masyarakat Iantena. Dalam konteks perkawinan, sirih pinang dan rokok dipakai

sebagai lambang bahar balik mas kawin. Praksisnya dalam urusan sistem perkawinan, sirih-

pinang dan rokok itu dibawa oleh pihak mempelai pria, dari masuk minta, pertunangan,

sampai urusan adat selesai. Sirih pinang dan tembakau tiga jenis tumbuhan yang dipelihara di

kebun-kebun bahkan tumbuh di hutan tanpa adanya perawatan. Ketiga jenis tumbuhan ini

dilihat sangat sederhana bila dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainya namun memiliki

nilai penting dalam budaya orang Iantena.

Page 85: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

73

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Nilai-nilai kebudayaan asli merupakan harta kekayaan yang harus diterima dan

dilestarikan keberadaanya, sejauh tidak bertentangan dengan iman dan reliogisitas

masyarakat. Hal ini menjadi kebanggaan salah satu ciri yang membedakan suatu daerah

dengan daerah lainnya. Karena pada dasarnya setiap daerah memiliki kebudayaan yang

berbeda-beda dan keanekaragaman budaya daerah itulah yang menjadi kekhasan dalam

masyarakat berbudaya.

Budaya yang dihidupi dalam masyarakat Iantena adalah budaya yang diwarisi para

leluhur yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Salah satu budaya daerah yang dibahas

penulis adalah sistem perkawinan masyarakat Iantena. Penulis melihat bahwa sistem

perkawinan masyarakat Iantena merupakan salah satu dari sekian tradisi leluhur yang masih

dipertahankan. Penulis melihat sistem perkawinan masyarakat Iantena meliputi: tahap

perkenalan, masuk minta, peminangan, dan pengesahan perkawinan memiliki nilai-nilai yang

luhur dan mulia yang masih tetap dipertahankan. Keempat hal di atas mengandung makna

bahwa perkawinan itu memiliki tujuan luhur dan mulia, karena itu dibutukan suatu persiapan

yang matang dari kedua mempelai. Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena juga

memiliki sejumlah nilai unggul yang sarat makna dan fungsi sebagai sarana yang

mempesatukan masyarakat dari setiap lapisan dan golongan. Sejumlah nilai unggul itu adalah

sistem perkawinan melalui suatu perkenalan yang baik, sistem perkawinan melewati tahap

masuk minta, sistem perkawinan menekankan aspek kebersamaan, dan budaya sirih pinang

dan rokok.

Bertolak dari realitas dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena, penulis melihat

nilai-nilai yang relevan dan tidak relevan dengan perkawinan Gereja Katolik. Sejumlah nilai

relevan itu adalah: Pertama, cinta antara suami-istri. Lembaga perkawinan adat dan

perkawinan Katolik sama-sama menekankan aspek cinta. Pada dasarnya cinta sebagai tali

pemersatu suami-istri. Kedua, perkawinan sebagai sarana persatuan suami-istri. Ketiga,

perkawinan tidak diizinkan bagi pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Adat-

istiadat dan ajaran Gereja Katolik sama-sama melarang perkawinan berstatus hubungan

darah.

Page 86: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

74

Disamping itu, terdapat sejumlah nilai dalam sistem perkawinan pada masyarakat

Iantena yang tidak relevan dengan ajaran dalam Gereja Katolik. Nilai-nilai tidak relevan itu

adalah: kawin paksa atas perencanaan orang tua, mas kawin (belis), dan perceraian sebelum

dinikahkan. Ketiga masalah ini sering terjadi dalam sistem perkawinan pada masyarakat

Iantena. Dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem perkawinan pada masyarakat Iantena

memiliki tiga nilai utama yaitu:

Pertama, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki nilai-nilai unggul

yang hanya dimiliki oleh adat-istiadat dan tidak terdapat dalam Gereja Katolik. Hal ini

merupakan suatu warisan yang harus dipertahankan keberadaannya. Karena itu, Gereja bisa

berinisiatif untuk mengambil nilai-nilai unggul adat-istiadat yang dilihat penting dalam

menjalankan tugas pastoralnya.

Kedua, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai yang

relevan dengan perkawinan Gereja Katolik yang tetap dipertahankan dalam setiap

perkembangan zaman.

Ketiga, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai yang

tidak relevan dengan aturan dalam Gereja Katolik. Dalam hal ini, Konsili Vatikan II telah

menggariskan suatu perkawinan yang tertuju pada kesejahteraan suami-istri, anak-anak dan

masyarakat. Di sisi lain, sistem perkawinan masyarakat Iantena melihat pentingnya cinta

suami-istri dalam menghidupi suatu perkawinan. Anak dilihat sebagai hasil cinta antara

suami-istri. Karena itu, anak merupakan sumber kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga.

5.2 Usul Saran

Budaya tetap hidup sepanjang ziarah peradaban manusia di muka bumi ini. Maka

dapat dikatakan bahwa budaya ada karena adanya manusia. Dalam arti bahwa manusia yang

menciptakan budaya. Di sisi lain, hasil ciptaan itulah yang membentuk hidup manusia.

Tradisi kawin-mawin dalam masyarakat Iantena merupakan salah satu budaya hasil warisan

dari leluhur. Warisan budaya ini memiliki sejumlah nilai unggul, nilai yang relevan dan tidak

relevan dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Adat mempertahankan nilai-nilai tidak

relevan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkawinan Gereja Katolik. Fakta

konkret yang sering terjadi bahwa nilai-nilai tidak menjadi pemicu konflik dalam hidup

rumah tangga, suku dan masyarakat.

Berhadapan dengan pelbagai nilai yang tidak relavan dari perkawinan adat, penulis

menawarkan beberapa solusi yang membantu menyadarkan masyarakat untuk kembali

membangun dan menata suatu kehidupan yang bahagia dan berorientasi pada kemajuan.

Page 87: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

75

Pertama, kenyataan yang terjadi ialah perceraian dapat menimbulkan keretakan dalam

hubungan antara suku atau keluarga. Sikap yang perlu diusahakan yaitu perlunya kerja sama

antara lembaga pemerintahan, agama dan adat-istiadat dalam mendampingi dan membimbing

setiap kaum muda yang hendak berumah tangga. Berhadapan dengan kenyataan demikian,

penulis menganjurkan berapa solusi:

a. Para lembaga pemerintahan perlu menerapkan program kursus atau pembekalan

pernikahan. Milsanya pembekalan bagi mereka yang hendak melangsungkan

pernikahan yakni, tentang ekonomi keluarga atau ekonomi rumah tangga, masalah

kesehatan, terutama kesehatan reproduksi agar bisa menyiapkan anak-anak yang

nanti akan menjadi generasi penerus bangsa menjadi lebih berkualitas. Di situlah,

informasi penyakit-penyakit yang berbahaya untuk anak dapat diketahui oleh

kedua pasangan yang akan mendidik dan membesarkan anak dikemudian hari.

Untuk memastikan bahwa mereka memang sudah cukup menguasai bidang-

bidang pengetahuan yang harus dimiliki sebelum berumah tangga.

b. Para petinggi suku (tua adat) perlu mengusahakan solusi yang tidak merugikan

maupun menguntungkan pihak manapun agar dapat meminimalisasi setiap bentuk

penyelewengan yang sering terjadi. Di samping itu, para petingi suku (tua adat)

memberikan pengarahan bagi pasangan yang mau menikah dan juga yang baru

menikah. Lembaga perkawinan adat-istiadat hendaknya mempersiapkan juga

pengantin yang hendak menikah. Persiapan yang dimaksudkan adalah

memberikan pembinaaan kepada pengantin oleh para tua adat tentang hal-hal yang

berhubungan dengan hidup keluarga menurut adat-istsiadat yang dianut.

c. Di samping itu, para agen pastoral hendaknya memberikan pengarahan bagi calon

suami-istri demi pemahaman yang benar tentang martabat perkawinan dan hidup

keluarga dalam ajaran Gereja Katolik. Pemahaman yang benar akan ditunjukkan

secara konkret dalam masa-masa persiapan sebelum memasuki jenjang

perkawinan. Petugas pastoral juga harus mengetahui dan memahami secara baik

nilai-nilai perkawinan adat yang ada dalam wilalaya pastoralnya, sehingga mampu

mencari titik temu antara sistem perkawinan secara adat-istiadat dan perkawinan

Gereja Katolik. Masalahnya perceraian seharusnya ditiadakan karena relasi

keluarga.

d. Selain proses pendampingan yang efektif dan berakal harus terus dilakukan

terhadap pasangan-pasangan keluarga muda yang baru menerima sakramen

Page 88: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

76

pernikahan. Penulis mengharapkan generasi muda sekarang dan khususnya

generasi muda Iantena memiliki semangat cinta akan kebudayaan daerah, karena

kebudayaan daerah membawah nilai-nilai positif.

Kedua, pandangan yang salah antara mas kawin. Hemat penulis, kekerasan oleh

suami terhadap istri disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan makna dan tujuan belis.

Belis yang diserakan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita dilihat sebagai

tolak ukur untuk menilai harga diri wanita. Berhadapan dengan kenyataan demikian, penulis

menganjurkan dua solusi:

a. Suami perlu membangun konsep baru dalam dirinya, bahwa belis yang diserahkan

kepada keluarga isterinya itu sesungguhnya sebagai tanda penghargaan terhadap

istrinya dan keluarganya.

b. Suami juga perlu memahami bahwa dengan menyerahkan belis kepada keluarga

istrinya, bukan berarti keluarganya mau “membeli” wanita yang dipinang. Tetapi

hendaknya menandaskan bahwa wanita Iantena tidak bisa dibeli dengan uang, ia

hanya dihormati dan dihargai, sehingga belis yang diberikan kelurganya kepada

keluarga wanita tidak dilihat sebagai harga wanita tersebut, melainkan sebagai

bentuk penghargaan terhadap wanita dan pemersatuan ikatan keluarga.

Ketiga, kawin paksa yang dipraktekan dalam masyarakat tradisional Iantena. Masalah

yang terjadi ialah pasangan yang dipilih oleh orang tua tidak sesuai dengan kemauan anak

bersangkutan. Oleh karena itu, orang tua perlu menghargai kebebasan anak-anak mereka dan

memberi ruang bagi mereka dalam memilih pasangan hidup.

Keempat, harta warisan sering menjadi pemicu konflik internal dalam keluarga atau

suku. Konflik disebabkan oleh ketidakadilan dalam pembagian harta yang diwariskan oleh

orang tua. Kenyataan itu perlu dibenahi agar fungsi harta yang sesungguhnya sebagai

penjamin kesejahterahan hidup tidak berubah menjadi pemicu konflik. Karena itu lembaga

pemerintahan, agama dan adat perlu membuka kesadaran para anggota keluarga terutama

anak sulung akan egoisme, ketamakan, dan hasrat untuk berkuasa.

Keempat masalah di atas menjadi tanggung jawab kita bersama, baik sebagai petinggi

suku, Lembaga pemerintahan, agen pastoral, maupun generasi muda sebagai pewaris

budayanya. Oleh karena itu, penulis melihat pentingnya peranan orang tua untuk

menanamkan kesadaran dalam diri kaum muda akan pentingnya sikap menghargai adat-

istiadat dan nilai-nilai budaya daerah. Orang tua perlu memberikan penyadaran kepada

generasi muda, bahwa perkawinan yang baik harus melewati tahap-tahap dalam tata cara

adat-istiadat dan aturan Gereja.

Page 89: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

77

Di samping beberapa usulan di atas, penulis mempunyai sebuah usulan dalam

hubungan dengan persiapan perkawinan. Penulis menilai bahwa sistem perkawinan dalam

masyarakat tidak mempersiapkan pengantin secara lahir batin untuk dipersatukan secara adat-

istiadat. Sistem perkawinan pada masyarakat lebih berurusan dengan persiapan material

(pengumpulan) dana dan hewan untuk urusan belis dan pesta perkawinan. Persiapan secara

lahir batin dibebankan kepada Gereja. Hemat penulis, suatu perkawinan bahagia tentunya

harus melewati suatu persiapan yang matang dan dewasa. Hal ini bukan hanya menjadi tugas

Gereja Katolik. Kecenderungan akan adanya pesta perkawinan yang meriah hendaknya

diminimalisir karena hal itu akan memakan biaya, tenaga dan banyak menyita waktu.

Perhatian masyarakat dalam hal ini orang tua dan para tua adat hendaknya diarahkan kepada

persiapan terhadap pengantin secara lahir batin agar kelak mampu membangun suatu

keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Hal ini dimaksudkan pula untuk mencegah

terjadinya pelbagai penyelewengan dalam hidup keluarga seperti perselingkuhan, kekerasan

dalam rumah tangga dan perceraian.

Page 90: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

78

DAFTAR PUSTAKA

I. DOKUMEN, ENSIKLOPEDI DAN KAMUS

Budi, Silvester Susianto. Kamus Kitab Hukum Kanonik. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan

Nusantara (LPKN), 1997.

Gereja Katolik. Kitab Hukum Kanonik. Penerj.V. Kartosiswoyo et.al. Cet. I. Jakarta: Obor,

2006.

Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. Hardawiryana. Cet. VI. Jakarta:

Obor, 2003.

II. BUKU-BUKU

Amelia, Sandra. Menjadi Pribadi Yang Bertanggung Jawab. Depok: Bangun Nusa, 2012.

Arndt, Paul. Hubungan Kemasyarakatan Di Wilaya Sikka, Flores Tengah Bagian Timur.

Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

Avan, Moses Komela. Kebatalan Perkawinan Pelayanan Hukum Gereja Dalam Proses

Menyatakan Kebatalan Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Boylon, Yohanes Servatius. 10 Pilar Perkawinan Katolik Yang Sah. Yogyakarta: Amara

Books, 2009.

Bria, Benyamin Yosef. Pastoral Perkawinan Gereja Katolik. Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusatama, 2007.

---------. Pastoral Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Yogyakarta:

Yayasan Pustaka Nusantara, 2010.

Coride, James A. An Introduction To Canon Law. United States Of America: Paulist Press

New York/Mahwah, 2004.

Daen, Philip Ola. Pelayanan Tribunal Perkwinan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.

Driyanto, Yohanes. Tujuan Identitas Dan Misi Perkawinan Katolik. Bogor: Obor, 2017.

Fau, Eigius Anselmus F. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 2000.

Fernandes, Stephanus Ozias. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini.

Ende: Nusa Indah , 1990.

Gillarso, T. Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1990.

Page 91: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

79

---------. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Dan Hukum

Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007.

Hadiwardoyo, Purwa. Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius,

2019.

Kusumawanta, Dominikus Gusti Bagus. Analisis Yuridis Bonum Coniugum Dalam

Perkawinan Kanonik. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007.

---------. Macam-Macam Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan

Pustaka Nusatama, 2009.

Kila, Pius. Gereja Rumah Tangga Basis Gereja Universal. Jakarta: Obor, 2005.

Kleden, Paul Budi. Teologi Terlibat. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Koten, Philipus Panda. Pendekatan Reduksionis Terhadap Agama. Maumere: Penerbit

Ledalero, 2016.

Kristiyanto, A. Eddy, ed. Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2006.

Kriswanta, Gregorius. Konvalidasi Perkawinan Pengesahan Gereja Yang Tidak

Sah. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis Dan Pastoral.

Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Musfah, Jejen. Analisis Kebijakan Pendidikan Mengurai Krisis Karakter Bangsa. Bandung:

Elex Media Komputindo, 2018.

Piet, Go. Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Malang: Dioma, 1990.

---------. Pokok-Pokok Moral Perkawinan Dan Keluarga Katolik. Malang: Dioma, 1990.

Prasetya, L. Allah Memberkati Hidup Berkluarga. Yagyakarta: Kanisius, 2014.

Raharso, Catur. Halangan-Halangan Nikah Menurut ukum Gereja Katolik. Malang:

Dioma, 2005.

---------. Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma,

2006.

Raho, Bernard. Sosiologi Maumere: Penerbit Ledalero, 2016.

Rubiyatmoko, Robertus Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik.

Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Tampubolon, Rolas Jakson. Perceraian Menurut Pandangan Hukum Kristen Dan Hukum

Page 92: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

80

Negara. Jakarta: Diandra Creative, 2014.

Walgito, Bimo. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

III. ARTIKEL

Ceunfin, Frans “Merujuk Tradisi Mengelola Hidup Dalam Mengabdi Kebenaran” Jurnal

Ledalero, Vol. 5 No. 02. Maumere: Januari 2005.

Hadjon, Paulus Senoda dan Kristianus Joyo. “Upacara-Upacara Inisasi Di Kabupaten Sikka”.

Jurnal Pesona Sikka, No. 3, 2008.

Kefi, Yan “Menantang Arus, Menuai Badai. Meneropong Institusi Keluarga dan Dinamika”

Jurnal Ledalero, Vol. 10 No. 01. Yogyakarta: Juli 2010.

Neonnub, Fransiska Idaroyani dan Novi Triana Habsari. “Tradisi Perkawinan Masyarakat

Insana Kabupaten Timor Tengah Utara”, Jurnal Agastya, 08:01, Januari 2018.

Ninu, Aris “Masukan Dalam Kurikulum, Musik Suling Gendang Lela Terancam Punah”.

Pos Kupang, 28 Oktober 2015.

Simarmata, Petrus “Keluarga Sejahtera Sebagai Fokus Pastoral”, Majalah Menjemaat, 9

Febuari 2020: 2.

IV. MANUSKRIP

Gedo, Konstantinus “Hubungan Seksual Sebagai Ekspresi Cinta Dalam Perkawinan Katolik”.

Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2016.

Maas, C. “Teologi Moral Perkawinan”. Bahan Kuliah, STFK Ledalero, 1997.

Noto, Gregorius dan Bernadus Mau, Venasius Syukur. “Tiga Aspek Perkawinan Kristiani

Menurut Injil Mateus 19:5”. Makalah, STKIP Katekis St. Paulus Ruteng, 1997.

VII. WAWANCARA LISAN

Ani, Kanisius. (62 Tahun). Ketua Sanggar Jong Dobo. Wawancara 09 Juli 2019.

Edison, Alfa. (57 Tahun). Tokoh Masyarakat. Wawancara, 24 September 2019.

Fatima, Maria. (64 Tahun). Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat. Wawancara, 8 Juli

2019.

Feri, Frasnsiskus Nong (23 Tahun). Mahsiswa Nusa Nipa Maumere. Wawancara, 20 januari

2020.

Gleko, Godefridus. (74 Tahun). Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat. Wawancara, 2

November 2019.

Page 93: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

81

Koli, Pitalis. (70 Tahun). Tokoh Adat. Wawancara, 09 November 2019.

Moa, Sergius. (82 Tahun). Kepala Suku Masyarakat Iantena, Wawancara, 4 Agustus 2019.

Nong, Sumadir. (76 Tahun). Tokoh Agama. Wawancara, 18 Juni 20019.

Ribut, Ero. (57 Tahun). Tukang kayu. Wawancara, 24 Juli 2019.

Rince, Maria Marta (42 Tahun dkk). Anggota Tenun Ikat Sanggar Jong Dobo. Wawancara, 8

Juli 2019.

VIII. KARYA YANG TIDAK DITERBITKAN

Desa Iantena Statistik. “Data Penduduk Masyarakat Desa Iantena Tahun 2020”. Baobatun:

2020.

Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan. “Adat Dan Uapacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara

Timur”. Kupang Dinas P Dan K NTT, 2004.

Diogo, Longginus. Lin Welin-Leto Woter. Maumere: PEMDA Kabupaten Sikka, 2005.

Embu, Eman J. Persona Sikka Deskripsi 10 Obyek Wisata Budaya. Maumere: Dinas

Pariwisata Kabupaten Sikka Dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,

2006.

Hasil Kajian Komnas Perempuan. “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Budaya”.

Padang Sumatera Barat, 2011.

Mandalangi, Oscar Pareira, ed. Adat-Istiadat Sikka Krowe Di Kabupaten Sikka. Maumere:

PEMDA Kabupaten Sikka, 2001.

Page 94: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

82

Lampiran 1: Profil Masyarakat Iantena: LEGENDA

Sumber Profil Masyarakat Iantena 2020

Page 95: SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang menggugah

83

Lampiran 2: Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana sistem kekerabatan dalam masyarakat Iantena?

2. Bagaimana perkawinan masyarakat Iantena?

3. Sebutkan jenis-jenis perkawinan yang ada dalam masyarakat Iantena?

4. Sebutkan tujuan perkawinan masyarakat Iantena?

5. Apa yang melatar belakang lahirnya sistem perkawinan dalam mayarakat Iantena?

6. Bagaimana langkah-langkah dalam tata cara pelaksana sistem perkawinan masyarakat

Iantena?

7. Bagaimana pandangan masyarakat Iantena tentang belis?

8. Hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam perkawinan?

9. Bagaimana hukum adat kepada mereka yang melanggar sistem perkawinan?