sistem perkawinan pada masyarakat iantena ...103.56.207.239/24/1/roni.pdfperkawinan masyarakat...
TRANSCRIPT
SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA
DAN RELEVANSINYA TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
untuk Memenuhi Sebagaian dari Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Serjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik
Oleh
MIKAEL NONG RONI
NPM: 15. 75.5720
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
2020
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mikael Nong Roni
NPM : 15. 75.5720
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri, dan bukan plagiat
dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau Lembaga lain. Semua karya ilmiah orang lain
atau Lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta
dicantumkan pada catatan kaki dan daftar pustaka.
Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan, berupa plagiasi atau
penjiplakan dan sejenisnya di dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi akademis
yakni pencabutan skripsi serta gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.
Ledalero, 23 Mei 2020
Yang memuat pernyataan
Mikael Nong Roni
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, saya yang bertandatangan
di bawah ini:
Nama : Mikael Nong Roni
NPM : 15.75.5720
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Not-exclusive Royalty-Free
Rigbt) atas skripsi saya yang berjudul :
Sistem Perkawinan Pada Masyarakat Iantena Dan Relevansinya Terhadap Perkawinan Katolik
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero berhak menyimpan, mengalihmedia / format-kan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan skripsi saya
selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Holy Family Vocationary
Pada tanggal :
Yang menyatakan
Mikael Nong Roni
vi
KATA PENGANTAR
Manusia adalah makhluk berbudaya. Dalam seluruh praksis hidupnya, manusia tidak
dapat terpisah dari budayanya, sejak kelahiran hingga kematian, manusia sungguh dipengaruhi
oleh budaya yang dihidupinya, dalam suatu kehidupan bersama dengan orang-orang di
sekitarnya, pada suatu daerah tertentu. Budaya seperti; adat-istiadat yang dihidupi tersebut
merupakan warisan dari leluhur turun-temurun. Hal ini dilihat juga sebagai suatu ekspresi
penghargaan terhadap warisan budaya para leluhur yang perlu dilestarikan warisan budaya
leluhur mengandung berbagai nilai yang mendorong perkembangan dan pembentukan karakter
setiap orang. Sejatinya budaya, adat-istiadat memberikan pengaruh tertentu dalam berbagai
dimensi kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, penulis menyadari bahwa budaya itu penting bagi eksistensi
manusia, maka penulis tergugah serentak tergugat untuk mendalami salah satu aspek budaya
masyarakat Iantena di Kabupaten Sikka yaitu sistem perkawinan. Sebagai sebuah studi awal,
penulis memfokuskan pembahasan pada tata cara sistem perkawinan dalam tradisi perkawinan
masyarakat Iantena. Perkawinan dimengerti sebagai ‘sesuatu’ yang bersifat abadi, hal tersebut
terungkap dalam syair adat berikut ini: “Lemer watu miu ruang, wawak papang miu ruang, naha
blewut ko loar”. Artinya sehidup semati, susah-senang tetap kita berdua. Ungkapan adat tersebut,
sesunguhnya mau menjelaskan, bahwa perkawinan dalam masyarakat Iantena dipandang
sebagai persatuan antara pria dan wanita yang memiliki tujuan sangat mulia yakni melestarikan
kehidupan manusia melalui keturunan sampai keabadian.
Penulis melihat sejumlah kekayaan dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena yang
menjadi kebanggaan sekaligus panggilan luhur penulis sebagai putera Iantena, untuk ditelaah.
Sejumlah nilai unggul dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena masih relevan dengan
perkawinan dalam Gereja Katolik. Namun, tak bisa dimungkiri, ada juga nilai dalam sistem
perkawinan masyarakat Iantena yang tidak sesuai dengan perkawinan dalam Gereja Katolik.
Hal inilah yang menggugah sekaligus menggugat penulis untuk menganalisisnya secara lebih
mendalam. Sebab, sistem perkawinan sebagai sebuah tradisi yang diwariskan oleh para leluhur
bukanlah sebuah warisan yang diterima begitu saja dan bersifat absolut. Suatu kebudayaan
memiliki perangkat nilai kehidupan yang membantu perkembangan peradaban masyarakat,
perlu digali, digumuli dan ditelusuri lebih dalam sambil memperhatikan kekhasan dan
keotentikan warisan budaya tersebut.
Tulisan ini sesungguhnya lahir dari proses pergumulan yang Panjang. Berkat campur
tangan Allah Tritunggal Maha Kudus, maka tulisan ini akhirnya dapat selesai pada waktunya.
vii
Penulis patut menghaturkan limpah terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian tulisan ini:
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih yang berlimpah kepada Gregorius Sabon
Kai Luli, Drs, Lic, yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
selama proses pengerjaan tulisan ini. Sulit rasanya menyampaikan kata yang tepat sebagai
ucapan terima kasih atas pengorbanan dan kesabaran beliau. Di tengah kesibukannya, beliau
selalu meluangkan waktu memberikan perbaikan, arahan dan bimbingan. Terima kasih yang
sepadan juga kepada Dr. Georg Kirchberger, yang telah bersedia menjadi penguji, juga
memberikan sumbangan pikiran, kritikan dan saran yang turut menyempurnakan karya tulis
ini. Terima kasih yang sama penulis haturkan kepada Dr. Alexander Jebadu, yang berkenan
menjadi penguji ketiga skripsi ini. Selanjutnya, penulis mengungkapkan terima kasih pula
kepada Lembaga STFK Ledalero yang telah membina dan membentuk kepribadian penulis
baik secara spiritual maupun intelektual.
Kedua, seluruh masyarakat Iantena yang telah mendukung dengan menyumbangkan
berbagai sumber yang dapat menjadi dasar dalam tulisan ini. Secara khusus, terima kasih
kepada beberapa informan kunci yakni Bapak Sergius Moa, Sumadir Nong, Ero Ribut, Kanisius
Ani, Godefridus Gleko, Frasnsiskus Nong Feri, Pitalis Koli, Alfa Edison, dan Mama Maria Fatima,
Maria Marta Rince dan Lembaga pemerintahan Desa Iantena.
Ketiga, terima kasih pula penulis ucapkan kepada Kongregasi Society Of Divine
Vocations (SDV) atau Serikat Panggilan Ilahi yang dengan cinta dan kasih sayang kepada
penulis, telah memberikan dukungan berupa doa, sarana dan prasarana demi kelancaran
penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang melimpah kepada para
formator Serikat Panggilan Ilahi yakni P. Rosario Taliano, SDV selaku Superior Lokal
Vocationis Indonesia, P. Marselinus Abur, SDV, P. Anselmus M. Nai, SDV, P. Henderikus
Lawi, SDV, P. Oliver Maninggo, SDV. Mereka adalah pribadi yang telah membentuk,
membina, memberi motivasi dan membimbing penulis sehingga bisa menyelesaikan tulisan
ini. Terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada konfrater sekomunitas SDV atas
segala pengalaman kebersamaan dan memberikan berbagai dukungan demi kelancaran
penulisan skripsi ini.
Keempat, penulis menyampaikan terima kasih berlimpah kepada kedua orang tua
Bapak Hendrikus Hende (+) dan mama Maria Fatim, yang telah melahirkan dan membesarkan
penulis dengan penuh cinta kasih. Terima kasih juga saudara-saudariku kepada, Kosmas Batu
Bara, Fransiskus Nong Feri, Agustinus Yatarten, Erduadus Edi Son dan ipar Maria Goreti
viii
Marut yang telah mendukung penulis dengan berbagai cara dalam proses penyelesaian tulisan
ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini bukanlah sesuatu yang sempurna. Oleh
karena itu, berbagai sumbangan ide dan segala kritikan konstruktif dari semua pihak dalam
usaha penyempurnaan tulisan ini.
STFK Ledalero, .....Mei 2020
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
PENERIMAAN JUDUL ................................................................................................... ii
LEMBARAN PENGESAHAN ........................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI .................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Penulisan ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 4
1.4 Metode Penulisan .......................................................................................................... 4
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................................... 5
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT DESA IANTENA ...... 6
2.1 Keadaan Alam ............................................................................................................... 6
2.1.1 Letak Wilayah ............................................................................................................ 6
2.1.2 Luas Wilayah ............................................................................................................. 6
2.1.3 Iklim….. …………… ................................................................................................ 7
2.1.4 Penghasilan Penduduk ............................................................................................... 7
2.2 Data Kependudukan ...................................................................................................... 8
2.3 Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Iantena ............................................................ 8
2.3.1 Bahasa ........................................................................................................................ 8
2.3.2 Sistem Kekerabatan ................................................................................................... 9
2.3.3 Kepercayaan ............................................................................................................... 10
2.3.3.1 Kepercayaan Akan Adanya Roh-Roh Dan Wujud Tertinggi ................................. 10
2.3.3.2 Kepercayaan Akan Tuhan Sebagai Yang Mahatinggi ............................................ 11
2.3.4 Pendidikan.................................................................................................................. 13
2.3.5 Kerajianan .................................................................................................................. 13
2.2.5.1 Tenun Ikat ............................................................................................................... 13
2.2.5.2 Anyam ..................................................................................................................... 14
x
2.3.6 Kesenian ..................................................................................................................... 15
2.3.6.1 Seni Musik .............................................................................................................. 15
2.3.6.1.1 Gong Waning ....................................................................................................... 15
2.3.6.1.2 Suling Gedang ...................................................................................................... 16
2.3.6.2 Seni Tari .................................................................................................................. 17
2.3.6.2.1 Tarian Tua Reta Lo’u ........................................................................................... 17
2.3.6.2.2 Tarian Hegong ..................................................................................................... 18
2.2.6.2.3 Tarian Roa Mu’u .................................................................................................. 19
BAB III SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT IANTENA ................... 20
3.1 Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Iantena ...................................................... 20
3.1.1 Pengertian Perkawinan............................................................................................... 20
3.1.2 Pengertian Perkawinan Menurut Orang Iantena / Da Di Wai La’i Lihan Lalan ....... 20
3.1.3 Jenis-Jenis Perkawinan Masyarakat Iantena .............................................................. 21
3.1.3.1 Wain Plan / Kawin Mulia ....................................................................................... 21
3.1.3.2 Du’a Depo La’I / Kawin Lari ................................................................................. 24
3.1.3.3 Selung O’ha Hiwir Li’an / Kawin Ganti Tikar ....................................................... 26
3.1.3.4 Ina Ama Wen / Kawin Paksa ................................................................................... 27
3.1.4 Tujuan Perkawinan .................................................................................................... 27
3.2 Latar Belakang Lahirnya Perkawinan Masyrakat Iantena ........................................... 28
3.3 Tahap-Tahap Dalam Perkawinan Masyarakat Iantena ................................................. 29
3.3.1 Tahap Perkenalan / Tulung Dalang ........................................................................... 29
3.3.2 Tahap Peminangan / Wuan Weta Wai Heron Men .................................................... 30
3.3.3 Tahap Pertunangan / Poto Wua Ta’a ......................................................................... 31
3.3.4 Tahap Pengantaran Belis / Wu’un Larun Atau Leto Woter........................................ 31
3.3.4.1 Macam-Macam Bahar Balik / Belis ....................................................................... 33
3.3.4.1.1 Wu’un Tudi .......................................................................................................... 33
3.3.4.1.2 Wu’un Kila........................................................................................................... 33
3.3.4.1.3 Wu’un Hiket......................................................................................................... 34
3.3.4.1.4 Wu’un Wawi Dadi ............................................................................................... 34
3.3.4.1.5 Wu’un Wua Ta’a Gete ........................................................................................ 35
3.3.4.1.6 Wu’un Kelanaran…………………………………………………. ………….. . 37
3.3.4.1.7 Wu’un Konfes ...................................................................................................... 37
3.3.5 Tahap Peresmian Perkawianan / Lerong Kawit ......................................................... 38
xi
3.3.6 Syarat-Syarat Untuk Kawin .................................................................................... 39
3.3.6.1 Usia ......................................................................................................................... 39
3.3.6.2 Mas Kawin .............................................................................................................. 40
3.3.6.3 Bisa Bertanggungjawab Dalam Keluarga ............................................................... 40
3.3.6.4 Kesiapan Mental ..................................................................................................... 41
3.3.7 Perkawianan Yang Tidak Sah Dalam Masyrakat Iantena ......................................... 42
3.4 Adat Mengenai Penceraian ........................................................................................... 43
BAB IV SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK ..................... 45
4.1 Pandangan Kristen Katolik Tentang Perkawinan…………………………………….. 45
4.1.1 Pengertian Perkawinan............................................................................................... 45
4.1.1.1 Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik ............................................................. 45
4.1.1.1.1 Kitab Hukum Kanonik (KHK)............................................................................. 46
4.1.1.1.2 Konsili Vatikan II ................................................................................................ 46
4.1.1.1.3 Katekismus Gereja Katolik .................................................................................. 47
4.1.1.1 Perkawinan Menurut Kitab Suci ............................................................................. 48
4.1.1.1.4.1 Perkawinan Dalam Perjanjian Lama ................................................................. 48
4.1.1.1.4.2 Perkawinan Dalam Perjanjian Baru .................................................................. 49
4.1.2 Tujuan Perkawinan Katolik ....................................................................................... 50
4.1.2.1 Kesejahteraan Suami-Istri ....................................................................................... 51
4.1.2.2 Kelahiran Anak ....................................................................................................... 52
4.1.2.3 Pendidikan Anak ..................................................................................................... 52
4.1.2.4 Kebapak-Ibuan Yang Bertanggung Jawab.............................................................. 53
4.1.3 Hakikat Perkawinan Kristen Katolik ......................................................................... 53
4.1.3.1 Perkawinan Sebagai Persekutuan Cinta .................................................................. 54
4.1.3.2 Perkawinan Sebagai Sakramen ............................................................................... 55
4.1.3.3 Perkawinan Sebagai Perjanjian ............................................................................... 55
4.1.4 Halangan-Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan ............................................. 56
4.1.4.1 Halangan Umur ....................................................................................................... 56
4.1.4.2 Perkawinan Beda Agama ........................................................................................ 57
4.1.4.3 Halangan Tabisan Suci ........................................................................................... 58
4.1.4.4 Halangan Kaul Kemurnian Publik Dan Kekal ........................................................ 59
4.1.4.5 Perkawinan Berstatus Berhubungan Darah ............................................................ 60
xii
4.1.4.6 Halangan Ligamen .................................................................................................. 61
4.1.4.5 Impotensi……………………................................................................................. 61
4.1.4.5 Halangan Penculikan .............................................................................................. 62
4.1.5 Sifat-Sifat Perkawinan Kristiani ................................................................................ 62
4.1.5.1 Monogam ................................................................................................................ 63
4.1.5.2 Tak Ceraikan ........................................................................................................... 64
4.2 Bagian-Bagian Dari Sistem Perkawinan Masyarakat Desa Iantena Yang Relevan
Dan Tidak Relevan Terhadap Perkawinan Katolik ...................................................... 64
4.2.1 Unsur-Unsur Dari Perkawian Yang Relevan Terhadap Perkawinan Katolik ............ 64
4.2.1.1 Cinta Antara Suami Dan Istri .................................................................................. 65
4.2.1.2 Perkawinan Tidak Diijinkan Bagi Pasangan Yang Masih Memiliki
Hubungan Darah ..................................................................................................... 66
4.2.2 Unsur-Unsur Tidak Relevan Dari Perkawinan .......................................................... 68
4.2.2.1 Kawin Paksa Atas Perencanan Orang Tua .............................................................. 68
4.2.2.2 Perceraian Sebelum Dinikahkan Secara Katolik .................................................... 69
3.1.3.3 Kawin Ganti Tikar .................................................................................................. 70
4.2.3 Nilai-Nilai Unggul Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena ......................... 70
4.2.3.1 Perkawinan Melalui Perkenalan Yang Baik ........................................................... 70
4.2.3.2 Masuk Minta ........................................................................................................... 71
4.2.3.3 Perkawinan Menekankan Aspek Kebersamaan ...................................................... 72
4.2.3.4 Budaya Sirih-Pinang Dan Rokok (Bako Wua Ta’a) ............................................... 72
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 74
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 74
5.2 Usul Saran ..................................................................................................................... 75
DAFTAR KEPUSTAKA .................................................................................................. 79
LAMPIRAN 1.................................................................................................................... 83
LAMPIRAN 2.................................................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Momen penting dalam perjalanan hidup manusia adalah pada saat beranjak ke jenjang
hidup perkawinan. Dalam hidup perkawinan, seorang pria mau membangun kebersamaannya
yang intens dengan seorang wanita, di mana dalam persekutuan pria dengan wanita tersebut
mereka berjanji untuk hidup bersama. Pria maupun wanita membentuk suatu tatanan hidup
baru yang disebut hidup berkeluarga. Kehidupan berkeluarga yang baru tersebut terarah pada
kebahagiaan satu sama lain.
Gereja Katolik memahami perkawinan sebagai sebuah sakramen. Perkawinan pria dan
wanita dipandang sebagai tanda persatuan antara Allah dengan Gereja. Persatuan ini menyatu
dalam ikrar perkawinan kedua mempelai di hadapan pejabat Gereja dan para saksi. Ikrar
perkawinan ini dimaknai sebagai perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Misteri agung ini
kemudian Gereja nyatakan dalam hidup perkawinan yakni hidup bersama dengan saling
mencintai sebagai suami-istri.1 Menjadi suami-istri berarti saling menerima dan memiliki
status baru dalam masyarakat. Pria akan berstatus sebagai suami dengan segala hak dan
kewajibannya serta wanita akan menjadi istri dengan segala hak dan kewajibannya.
Kesepakatan ini bukan diandaikan tetapi dijanjikan dengan kesediaan untuk saling menerima
sebagai suami-istri dan saling mencintai dalam situasi apapun.2 Di mana dalam perkawinan
pria dan wanita hidup secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta,
melahirkan dan mendidik anak.
Apapun bentuk perkawinan yang dijalani tetap memiliki suatu tujuan utama yaitu
terciptanya cinta kasih yang utuh antara pria dan wanita yang sudah mengikat janji setia
dalam perkawinan. Kekhasan hakiki lain dari perkawinan Katolik adalah sifatnya yang tak
terceraikan (indissolubilitas).3 Sifatnya tak ceraikan menunjukan bahwa ikatan perkawinan
bersifat absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan selain
oleh kematian. Sehingga pria dan wanita yang telah memutuskan untuk menikah, dengan
sadar, tahu dan mau serta tanpa tekanan atau bebas dari intervensi pihak manapun, mengikat
kesepakatan mereka dalam janji perkawinan.
1Purwa Hadiwardoyo, Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2019). p. 17. 2Yohanes Driyanto, Tujuan Identitas Dan Misi Perkawinan Katolik (Jakarta: Obor, 2017). p. 9. 3Eigius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik (Ende: Nusa Indah, 2000), p. 60.
2
Dalam tulisan ini, penulis membahas tema perkawinan dalam hubungan dengan
“Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena”. Penulis mengangkat tema ini karena melihat
bahwa sistem perkawinan adat masyarakat Iantena memiliki kekayaan nilai yang patut
dipelihara dan dipelajari. Sebagai pewaris kebudayaan, penulis bangga dengan kekayaan
budaya yang dimiliki masyarakat Iantena. Dari pengalaman ini penulis berusaha untuk
kembali menggali kekayaan nilai tersebut dalam karya ilmiah ini. Penulis merasa perlu untuk
mendalami tata cara dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena dalam terang perkawinan
Gereja Katolik. Ini merupakan salah satu cara penulis memelihara dan melestarikan nilai
budaya masyarakat Iantena sekaligus memperkenalkannya kepada publik.
Pada awalnya, ritus upacara adat dalam masyarakat Iantena ini dilarang karena dinilai
sebagai upacara orang kafir. Larangan ini dibuat mengingat minimnya jumlah umat Katolik
pada masa itu dan minimnya jumlah tenaga pastoral dalam usaha menanamkan benih-benih
iman Katolik pada masyarakat yang masih melekatkan diri pada paham animisme dan
dinamisme. Masyarakat Iantena tetap menjalankan ritus upacara perkawinan tanpa
mengabaikan upacara perkawinan dalam Gereja Katolik. Hal ini bertolak dari kesadaran
masyarakat yang tumbuh dari penghayatan iman yang dangkal bahwa upacara Katolik kurang
berarti bila dibandingkan dengan upacara adat yang selalu dilakukan. Lebih jauh lagi
masyarakat Iantena mempunyai pertimbangan lain bahwa ritus perkawinan adat merupakan
warisan leluhur mereka yang umumnya jauh melampaui ajaran iman Katolik yang baru
diperkenalkan oleh para misionaris. Berhadapan dengan dua keyakinan yang saling
bertentangan di atas, masyarakat Iantena dihadapkan pada suatu dilema yakni menerima
upacara Katolik serentak melaksanakan upacara adat atau tetap mempertahankan upacara
adat dan mengabaikan upacara Katolik dengan risiko menerima hukuman dari Gereja.4
Dalam perjalanan waktu Konsili Vatikan II memberi ruang perhatiannya pada
beraneka kebudayan setiap suku bangsa. Hubungan dengan perkawinan adat yang memiliki
nilai-nilai universal dan lambang-lambang yang mengungkapkan nilai-nilai iman Katolik.
Konstitusi tentang Liturgi Kudus artikel 77 menegaskan bahwa, “bila ada provinsi yang
menggunakan kebiasaan terpuji dan upacara lain dalam merayakan nikah, maka konsili suci
sangat menginginkan agar kebiasaan-kebiasaan itu sepenuhnya dipertahankan dan
dilestarikan”.5 Konsili suci memiliki pandangan yang positif terhadap setiap suku bangsa
4Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kapala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Agustus 2019 di Dobo. 5Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana, cetakan VI (Jakarta: Obor, 2003), p.
30.
3
yang merayakan misteri Kristus sesuai dengan warisan budaya dan adat-istiadat masing-
masing daerah.
Bertolak dari konsili di atas, secara implisit dapat dilihat hubungan sistem perkawinan
dengan karya kerasulan yaitu kerasulan Gereja harus bertolak dari corak hidup dan warna
kebudayan suatu bangsa, sehingga iman Katolik benar-benar dapat mengakar dan sekaligus
karya kerasulan Gereja itu menjadi sasaran yang mempertemukan Allah dan manusia. Gereja
dalam perkembangannya tetap berusaha mengambil nilai-nilai positif dari budaya daerah
setempat dan menjadikannya sebagai sarana pendalaman dan pendewasaan iman umat.
Sejalan dengan konsep dasar di atas, penulis melihat bahwa sistem perkawinan
masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai positif yang perlu dilestarikan dan diwariskan
kepada generasi berikutnya. Karena tradisi bukan sebuah warisan mati, melainkan memiliki
seperangkat nilai hidup yang sangat membantu perkembangan peradaban masyarakat, ia
mengandung falsafah hidup tertentu. Tradisi harus dianalisis dan diinterpretasi secara kreatif
untuk menemukan makna-maknanya bagi kehidupan manusia. Penulis berusaha untuk
menggali dan membahas kebudayaan tradisional masyarakat Iantena sebagai salah satu
bentuk kepedulian serta penghargaan terhadap warisan budaya para leluhur.
Lebih dari itu, penulis berpendapat bahwa kebudayaan asli merupakan harta kekayaan
yang perlu dilestarikan keberadaannya. Konsep pemikiran ini lebih merupakan sebuah
kritikan terhadap konsep pemikiran yang mengklaim bahwa dengan adanya kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi yang begitu pesat, orang lalu cenderung menganggap tradisi sebagai
mitos, ritus-ritus atau kepercayaan yang ketingalan zaman yang menghambat kemajuan.
Kecenderungan ini tampak dalam penilaian yang tidak adil serta menempatkan manusia
dalam dua kelompok besar. Satu sisi, orang yang mencintai tradisi menjadikannya sebagai
acuan berpikir dan bertindak. Mereka ini dianggap sebagai kelompok orang yang anti
kemajuan. Di sisi lain, orang yang mengabaikan tradisi dan mendewakan perkembangan
zaman. Mereka melihat diri sebagai orang yang berpikir maju serta bertindak selaras zaman.6
Berhadapan dengan fenomena di atas, sikap dasar yang perlu dibangun adalah tetap
mempertahankan nilai-nilai budaya masing-masing tanpa harus bersikap tradisional. Hal ini
berarti bahwa sebagai manusia modern tetap berakar pada budaya dengan menggali dan
melestarikan kekayaan budaya tersebut dan tidak menerima tradisi itu secara tradisional,
artinya tanpa suatu sikap kritis.7 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis coba menggali dan
6Frans Ceunfin, “Merujuk Tradisi Mengelola Hidup Dalam Mengabdi Kebenaran” Jurnal Ledalero, vol 5 No.
02, Januari-Juni 2005), p. 1. 7Paul Budi Kleden, Teologi Terlibat (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. 19-20.
4
mengangkat kembali nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Iantena. Hal ini
dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan serta melestarikan nilai-nilai budaya
perkawinan dalam masyarakat Iantena. Bertolak dari nilai-nilai perkawinan tersebut, penulis
ingin menggali unsur-unsur dari sistem perkawinan masyarakat Iantena yang masih relevan
dalam upacara perkawinan Katolik. Sebab nilai yang hendak digali ini memiliki kontribusi
bagi generasi mendatang dan kehidupan iman umat dalam hubungan dengan sakramen
perkawinan di dalam Gereja Katolik. Sebagai upaya dalam mempertahankan salah satu tradisi
masyarakat Iantena, penulis mencoba menggali sistem perkawinan dalam masyarakat Iantena
yang akan diuraikan dalam karya tulis ini, di bawah judul: Sistem Perkawinan Pada
Masyarakat Iantena Dan Relevansinya Terhadap Perkawinan Katolik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam
karya ilmiah ini yakni; Pertama, bagaiamana gambaran umum tentang masyarakat Iantena?
Kedua, bagaimana sistem perkawianan adat yang berlaku pada masyarakat Iantena? Ketiga,
bagaimana relevansi sistem perkawinan adat pada masyarakat Iantena dengan sistem
perkawinan Gereja Katolik? Semua rumusan masalah ini akan dibahas secara komprehensif
dalam setiap bab dalam karya ilmiah ini.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini memilki beberapa tujuan yang menjadi sasaran utama yaitu:
Pertama, penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi tuntutan akademik pada
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Strata Satu (S1).
Kedua, penulis mengangkat kembali kekayaan tradisi lokal yang kian redup karena
perubahan zaman, khususnya tata cara perkawinan dalam masyarakat Iantena yang telah
diwariskan oleh para leluhur untuk dikenal dan dipelajari oleh generasi masa kini.
Ketiga, penulis secara lebih mendalam melihat nilai-nilai yang masih relevan dari
sistem perkawinan masyarakat Iantena terhadap perkawinan dalam Gereja Katolik.
Keempat, melalui tulisan ini, penulis bertekad membangkitkan rasa kecintaan setiap
generasi muda pada budaya daerah dan semangat untuk menghargai warisan serta ritus-ritus
adat dalam hubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
5
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis memakai dua jenis metode penelitian yakni:
Pertama, penulis membuat studi kepustakaan dengan membaca literatur-literatur demi
memperkaya tulisan ini. Selain mendapatkan data melalui buku-buku, penulis juga
melengkapi dari sumber lain surat kabar dan internet. Kedua, penulis juga membuat studi
penelitian lapangan dengan mewawancarai beberapa informan kunci yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang tradisi masyarakat Iantena. Dari data-data
inilah, penulis memiliki gambaran dan landasan teoritis untuk mengembangkan ide dalam
mengarap karya tulis ini.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulis menggarap tema ini dalam lima bab. Bab I, penulis menguraikan latar
belakang pemilihan tema yang akan di bagi lagi dalam beberapa sub tema seperti rumusan
masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sitematika penulisan.
Bab II, penulis memberi gambaran umum atau profil singkat tentang masyarakat
Iantena berdasarkan keadaan alam, data kependudukan dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Iantena.
Bab III, penulis membahas tentang sistem perkawinan pada masyarakat Iantena.
Penjelasan ini berdasarkan data penelitian lapangan yang dibagi dalam beberapa bagian yakni
perkawinan dalam perspektif masyarakat Iantena, latar belakang lahirnya perkawinan
masyarakat Iantena, tahap-tahap dalam perkawinan masyarakat Iantena dan adat mengenai
perceraian.
Bab IV, penulis menguraikan tentang relevansi dari sistem perkawinan pada
masyarakat Iantena terhadap sistem perkawinan Katolik. Uraian ini mengulas tentang
pandangan Kristen Katolik tentang perkawinan, bagian-bagian dari sistem perkawinan
masyarakat Iantena yang masih relevan terhadap perkawinan Katolik.
Bab V merupakan bagian penutup. Dalam bagian terakhir ini, penulis memberikan
kesimpulan dan usul saran.
6
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT IANTENA
2.1 Keadaan Alam
2.1.1 Letak Wilayah
Masyarakat Desa Iantena memiliki wilayah desa dengan mengikuti batasan wilayah
orang Iantena yaitu bagian timur berbatasan dengan desa Sapan Kopong, (Kecamatan
Kewapante); bagian barat berbatasan dengan desa Blatatatin, (Kecamatan Kangae); bagian
barat daya berbatasan dengan desa Umagera, (Kecamatan Kewapante); bagian utara
berbatasan dengan desa Geliting, (Kecamatan Kewapante).8
2.1.2 Luas Wilayah9
Luas daerah (daratan) desa Iantena adalah 31,70 Km2. Dari luas yang ada terdapat
empat dusun yaitu dusun Dobo, dusun Baobatung, dusun Habihogor dan dusun Watu Kobu.
Tabel 2:1 Luas Wilayah (km2/ha)
NO
Dusun
Dalam Kilometer
Km2
Dalam Hektar
(Ha)
1 Dobo 6,00 600
2 Baobatun 9,20 920
3 Habihogor 11,00 1100
4. Watu Kobu 5,50 550
Jumlah 31,70 3.170
Keterangan: Dusun
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dusun Habihogor memiliki luas wilayah lebih besar
dibandingkan dengan tiga dusun lainnya. Pusat desa Iantena terletak di wilayah dusun
Baobatun.
Wilayah Iantena terdiri atas daratan yang cukup luas dengan pepohonan, bukit dan
lembah. Masyarakat Iantena memanfaatkan pepohonan, bukit dan lembah itu sebagai tempat
pemeliharan ternak seperti sapi, kuda, kambing dan babi. Di samping itu, sebagian
8Desa Iantena Statistik, Data Penduduk Masyarakat Desa Iantena Tahun 2020 (Baobatun: 2020), p. 2. 9Ibid., p. 4.
7
masyarakat juga memanfaatkan bukit dan lembah untuk bertani, berkebun serta bercocok
tanam misalnya tanaman komoditas. Di bukit-bukit terdapat binatang-binatang liar seperti
kera, babi hutan dan lain-lain.
2.1.3 Iklim
Desa Iantena beriklim suhu tropis. Iklimnya terdiri atas musim kering dari bulan April-
November dan musim hujan dari bulan November-April.10 Wilayah desa Iantena yang lebih
dikenal dengan wilayah pegunungan dengan curah hujan yang rendah. Masyarakat sering
dilanda bencana kelaparan akibat kekeringan yang berkepanjangan.
Masyarakat berladang ketika musim hujan tiba dan masyarakat hanya bisa sekali
berladang dalam setahun. Bila curah hujannya baik maka, ada kemungkinan untuk dua kali
mengolah ladang mereka. Sedangkan pada musim panas biasanya mereka membersihkan
kebun, menebas hutan untuk berkebun, dan mengiris lontar (tuak) untuk membuat moke.
2.1.4 Penghasilan Penduduk
Pada umumnya masyarakat Iantena bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.
Sebagian besar penduduk masyarakat Iantena bergantung pada potensi pertanian dan juga
hasil alam. Pertanian seperti: tanaman jagung, padi ladang, ubi-ubian serta kacang-kacangan.
Sedangkan hasil alam seperti: kemiri, coklat, jambu mete dan kopra. Sebagian kecil
penduduknya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tukang. Umumnya tanah yang
dijadikan kebun ada dua macam yaitu pertama, ongen (kebun yang di dalamnya hanya
digunakan untuk menanam tanaman khusus atau sudah ditanam penuh dengan tanaman
seperti: coklat, kemiri, jambu mete dan kelapa). Kedua, uma hogot (ladang yang digunakan
dengan cara dicangkul atau digarap dengan bajak untuk menanam jagung, padi ladang serta
kacang-kacangan).
Di samping berladang, masyarakat juga mendapatkan penghasilan lain dari usaha
beternak. Beternak menjadi salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Iantena pada
umumnya. Ternak yang biasa dipelihara adalah babi, sapi, ayam, kambing dan kuda. Hewan-
hewan peliharaan ini dapat memberikan hasil yang menguntungkan bagi kehidupan
masyarakat. Pada masa kini, kuda memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi khususnya di
wilayah Iantena. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini menyekolahkan anaknya dengan
hasil penjualan kuda selain dipergunakan untuk urusan adat-istiadat. Di samping itu, ada juga
10Ibid., p. 8.
8
sebagian masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan dan ini biasa dilakukan oleh
masyarakat yang tidak memiliki kebun atau ladang untuk digarap.
2.2 Data Kependudukan
Data penduduk masyarakat desa Iantena tahun 2020 dapat dilihat dalam tabel berikut
ini:
Tabel 2:2 Data Penduduk Iantena 2020
No Dusun Jumlah KK Jumlah Penduduk
1
2
3
4
Dobo
Baobatun
Habihogor
Watu Kobu
187
198
221
189
503
689
865
409
Jumlah 795 2.466
Keterangan: Kelurahan.
KK : Kepala Keluarga
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dusun Habihogor memiliki jumlah kepala keluarga
terbesar dengan jumlah penduduknya 865 jiwa, bila dibandingkan dengan tiga dusun lainnya.
2.3 Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Iantena
2.3.1 Bahasa
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
oleh setiap budaya.11 Bahasa berfungsi sebagai alat pelestarian kebudayaan. Bahasa yang
sering digunakan dalam suatu budaya tertentu yakni disebut bahasa ibu. Lewat bahasa pula
setiap kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain. Masyarakat Iantena menggunakan
bahasa daerah Sikka dengan dialek Krowe, tutur sara Sikka. Bahasa ini lazim digunakan
dalam kehidupan bersama baik dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup sosial
kemasyarakatan. Seiring perjalanan waktu, kini masyarakat Iantena juga memakai bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi khususnya dalam lingkup sekolah atau pada kegiatan-
kegiatan formal kepemerintahan.
11Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), p. 130.
9
Sedangkan dalam mengucapkan tutur adat, bahasa yang digunakan ialah bahasa adat
sesuai dengan konteksnya yang semua ungkapannya penuh dengan kiasan-kiasan. Demikian
pula dalam rapat-rapat adat selalu digunakan bahasa tingkat tinggi serta kata-kata konotatif
dan kadang-kadang hanya diumpamakan saja. Bahasa adat tidak dipakai sembarangan dalam
percakapan sehari-hari. Bahasa adat hanya bisa dipakai oleh para tua adat, du’a moan pada
momen-momen resmi seperti acara perkawinan, acara pembangunan rumah adat, pada saat
acara kematian dan saat penjemputan para pembesar.
2.3.2 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat urgen dalam membangun relasi
dasar antara sesama dalam sesuatu kelompok masyarakat budaya. Sistem kekerabatan turut
membentuk pola tingkah laku sosial masyarakatnya. Umumnya, jalinan kekerabatan yang
terjadi pada masyarakat ditarik dari sistem keturunan dari generasi ke generasi. 12 Ada
beberapa cara membaca kekerabatan dalam tradisi masyarakat Iantena:
Pertama, kekerabatan berdasarkan hubungan darah atau se-kandung. Masyarakat Iantena
menyebut relasi ini dengan term ina ha ama ha yang berarti mereka yang lahir dari satu ayah
dan satu ibu. Pada level ini ikatan relasi akan terlihat lebih intim. Lazimnya, relasi kekerabatan
jenis ini disebut dengan ungkapan uew wari lu’r, yakni hubungan antara kakak dan adik
kandung.
Kedua, kekerabatan karena perkawinan yakni perhimpunan dua keluarga besar yang saling
membina hubungan baik yang terjadi karena hubungan perkawinan. Hubungan kekerabatan ini
disebut dengan istilah wain lain lihan lalan.
Ketiga, kekerabatan karena jalinan persahabatan dan kedekatan yang didasari oleh rasa saling
memiliki dan sikap empati. Relasi kekerabatan jenis ini disebut dengan istilah uew wari kesa
wor. Berdasarkan kenyataan tiga cara membaca kekerabatan ini dapat dikatakan bahwa sistem
kekerabatan dalam masyarakat sosial orang Iantena menjadi sangat luas.13
Masyarakat Iantena menganut sistem kekerabatan patrilineal artinya, masyarakat
Iantena menghitung keturunan berdasarkan garis keturunan ayah. Sistem ini mewajibkan
semua keturunan ayah masuk ke dalam kekerabatan, sedangkan keturunan ibu tidak termasuk
ke dalamnya. Konsekuensinya semua warisan selalu menjadi milik kaum pria.
2.3.3 Kepercayaan
Kepercayaan bisa diartikan sebagai ungkapan, ekspresi atau aspek kognitif
intelektual, konseptual dari pengalaman keagamaan. Karena itu ada relasi yang erat antara
12Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), p. 263. 13Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo.
10
kepercayaan dan aktivitas keagamaan. Dengan ini dilihat bahwa kepercayaan itu tidak
selamanya abstrak. Ia selalu memiliki relevansi dengan hidup harian karena ia mengundang
tanggapan manusia untuk menemukan pilihan, menafsir peristiwa hidupnya dan
merencanakan tindakan-tindakan. Mitos misalnya, bisa menjadi basis rasional untuk tindakan
sebuah suku.14 Singkatnya, ada begitu banyak cara untuk mengungkapkan hubungan dengan
yang Ilahi. Berkaitan dengan sistem kepercayaan ini masyarakat Iantena mempunyai dua
keyakinan sebagai wujud tertinggi.
2.3.3.1 Kepercayaan Akan Adanya Roh-Roh dan Wujud Tertinggi
Umumnya masyarakat Iantena menganut agama Katolik. Mereka tercatat sebagai
umat Paroki Hati Yesus Mahakudus Ili, Keuskupan Maumere. Ada banyak kegiatan
kerohanian Katolik yang dilakukan sebagai upaya penguatan iman mereka seperti perayaan
Ekaristi Kudus dan ibadat-ibadat lainnya. Meskipun mereka adalah umat Katolik, namun
masyarakat Iantena juga adalah kelompok yang terus menghidupi kebudayaan mereka,
termasuk kepercayaan asli dalam budaya mereka. Keaslian dari kebudayaan itu tampak dalam
praktik adat-istiadat, khususnya dalam bentuk ritus dan prosesi adat.
Mereka percaya pada wujud tertinggi yang diberi nama Ina Nian Tanah Wawa Ama
Lero Wulan Reta (Ibu bumi di bawah dan Bapa matahari di atas). Masyarakat Iantena
mengakui bahwa wujud tertinggi tersebut merupakan tumpuan harapan dan pemberi
kesejahteraan bagi mereka. Hal ini tampak dalam ungkapan berikut yang menggambarkan
wujud tertingi:
Ina Nian Tanah Wawa, Ibu di bawah bumi,
Ina Meten Ami Gete, Ibu sumber pengharapan yang besar bagi kami,
Ama Lero Wulan Reta, Bapa penguasa di atas langit,
Ama Pauk Ami Mosan, Bapa tumpuan bagi kami,
Polung Helang, Roh halus,
Du’a toen robong , Roh yang bagian tulang punggungnya berlubang,
Ular naga sawaria, Roh yang berwujud ular naga,
Watu mahe. Batu mahe.15
Roh kepercayaan ini dapat bersifat baik hati tetapi juga bisa bersifat jahat. Di mana
mereka tidak hanya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Iantena, tetapi juga dapat
menjadi pembawa malapetaka. Ini terjadi bila manusia membangkang atau melanggar tata
14Philipus Panda Koten, Pendekatan Reduksionis Terhadap Agama (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), pp. 45-
46. 15Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18
Juni 2019 di Wolon Ratet.
11
tertib adat yang telah dijalankan secara turun-temurun. 16 Menurut kebiasaan masyarakat
Iantena setiap sekali dalam setahun tepatnya pada bulan Mei mereka melakukan upacara
sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur dan syukur panen kepada Wujud Tertingi.
Upacara tersebut dilakukan di tengah-tengah kampung yang terdapat watu mahe. Mahe atau
watu mahe adalah batu berbentuk dolmen dan menhir yang dipasang di tengah kampung.
Watu mahe itu ada dua macam, yaitu mahe gete (batu berukuran besar) dan mahe
ketik (batu yang berukuran kecil). Mahe gete itu dibangun dipelataran di tengah kampung dan
menjadi sentrum pemujaan komunitas. Sekitar watu mahe dan pelatarannya, masyarakat
mengadakan upacara adat berkaitan dengan kesuburan ladang, tolak bala, syukur panen dan
pergantian musim. Sedangkan mahe ketik itu dipasang di depan rumah masing-masing. Dari
segi jumlah dan strukturnya, walaupun ada kekhasan di masing-masing kampung umumnya
dipasang tiga buah batu mahe. Di tengah-tengah tumpukan batu itu ada tiga batu yang
diyakini untuk lero (matahari), wulan (bulan) dan niang tanah (alam). Di sekelilingnya
dipasang tujuh buah batu, itu adalah batu du’a moan watu pitu, (tujuh kepala suku yang ada
di Iantena), dan disekitarnya ada perkuburan batu dari para petinggi kampung.17 Upacara
tersebut biasanya dipimpin oleh tanah puan (kepala suku) dan tua-tua adat.
2.3.3.2 Kepercayaan Akan Tuhan Sebagai Yang Mahatinggi
Menurut Edward Burnet Taylor, sebagaimana dikutip Bernard Raho, “agama lahir
bersama dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa-jiwa. Agama
sebagai kepercayaan akan Allah Ketuhanan yang pernah menciptakan manusia dan tetap
menyertainya sampai kebahagiaan abadi, sangat mempengaruhi pandangan hidup manusia
dan tingkah laku dalam hidup harian”.18 Perlu diketahui oleh masyarakat Iantena apakah
kehidupan agama mereka bersifat rutinitas, tradisional dan hasil pengaruh lingkungannya
atau betul-betul merupakan ungkapan penghayatan iman yang dalam doa, ibadat, karya amal.
Masyarakat Iantena juga mengakui akan adanya roh. Selain Wujud Tertinggi yang
telah disebutkan, mereka juga mengakui adanya Yang Mahatinggi sebagai pemberi
kehidupan dan sumber keselamatan dalam setiap peristiwa hidup mereka. Maka mereka
menyapa Yang Mahatinggi dengan sebutan Ama Pu diyakini sebagai pencipta alam dan
pemelihara kehidupan di dunia. Di samping menyebut Ama Pu sebagai Yang Mahatinggi,
16Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18
Juni 20019 di Wolon Ratet. 17Eman J. Embu, Persona Sikka Deskripsi 10 Obyek Wisata Budaya (Maumere: Dinas Pariwisata Kabupaten
Sikka Dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2006), p. 64. 18Bernard Raho, op. cit., p. 235.
12
mereka juga menyebut Yang Mahatinggi itu sebagai Yang Kudus dengan sebutan Nitu Noan
(arwah leluhur), Niang Tanah Wawa (kekuatan alam) dan Ama Lero Wulan Reta, (Bapa
penguasa di atas langit). Ketiga kekuatan ini diyakini memiliki daya untuk memberi rezeki,
perlindungan dan inspirasi moral bagi manusia dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan
aktivitas hidup manusia. 19 Kepada kekuatan transenden ini, masyarakat Iantena
menggantungkan harapan mereka. Seluruh kegiatan dimulai serta mengakhiri dengan
memohon berkat dari Wujud Tertinggi. Hal ini dilakukan dengan pertama-tama memberikan
sesajian yang disertai dengan doa-doa (Piong Tewok) dalam ritus.
Ilmu agama dan kepercayaan mengajarkan kepada kita bahwa yang tertinggi dilihat
sebagai satu kekuatan tunggal yang berbeda di atas segala kekuatan yang kelihatan. Ia adalah
transenden dan berpribadi rohaniah. Kekuatan dan kekuasaannya melampaui segala sesuatu.
Ia tak kelihatan, tapi Mahabaik dan Mahaadil serta dekat sekali dengan masalah-masalah
hidup manusia. Matahari, langit dan bumi adalah takhta-Nya. Orang tidak dapat mengenal-
Nya karena pribadi-Nya yang transenden. Namun Ia memperhatikan diri-Nya dalam
hubungan dengan matahari, bulan, langit dan bumi serta segala isinya. Manusia menyapa-
Nya sebagai Bapa, kekuatan tanpa batas, Yang Mahakuasa, bertakhta dalam kerajaan Allah,
pencipta dan penyelenggara segala sesuatu.20
Masyarakat Iantena memiliki satu keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan
yang sama juga menciptakan bumi dengan segala isinya. Dunia dalam pandangan mereka
terdiri dari tiga bagian utama yaitu: Pertama, dunia atas yang diyakini sebagai tempat
bersemayam Tuhan sebagai Yang Mahatinggi. Maka ketika mereka memandang ke langit
mereka yakin bahwa Tuhan bersemayam di atas langit. Kedua, dunia tengah yang diyakini
sebagai tempat tinggal manusia yang masih berjuang di dunia ini. Ketiga, dunia bawah yang
diyakini sebagai dunia orang mati atau dunianya para arwah.21
2.3.4 Pendidikan
Pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. 22
Melalui pendidikan, manusia dibina untuk menggunakan bakat dan kemampuannya untuk
mengetahui dan memahami segala sesuatu yang ada. Daya kreatif ini biasa dikembangkan
19Hasil wawancara dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo. 20Stephanus Ozias Fernandes, Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini (Ende: Nusa
Indah, 1990), pp. 321-322. 21Hasil wawancara dengan Sumadir Nong, Tokoh Agama (Penolong / guru agama pada zaman dahulu), pada 18
Juni 20019 di Wolon Ratet. 22Jejen Musfah, Analisis Kebijakan Pendidikan Mengurai Krisis Karakter Bangsa (Bandung: Alumni, 2018), p.
9.
13
selama proses pendidikan sangat mengatur pola tingkah laku dan penilaian tindakan-tindakan
yang patut dipilih untuk membangun masa depan dimana manusia dapat menyerap nilai-nilai
atau norma-norma yang dapat mengatur dan menggerakan seluruh perilaku dan tindakannya.
Hal ini tentu tidak terlepas dari, keluarga, kelompok bermain, pemimpin agama, dan
media massa, tetapi sebagian besar proses belajar di dalam masyarakat diperoleh melalui
sistem pendidikan formal. Pendidikan diartikan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan
khusus, baik informasi faktual dan keterampilan maupun nilai-nilai dan norma budaya
ditransferkan kepada anggota masyarakat.23 Wilayah Iantena memiliki empat sekolah yakni,
SD Habihogor, SD Watu Kobu, SD Moro dan SMP Satu Atap Moro.
2.3.5 Kerajinan
Masyarakat Iantena memiliki kepandaian dalam hal tenun ikat dan anyam-anyaman.
Mereka pandai membuat kain atau sarung untuk dikenakan oleh pria dan wanita disamping
itu juga mereka pandai dalam menganyam tikar, wadah untuk tempat penyimpanan makanan,
nyiru, gedek rumah dan lain sebagainya.24 Biasanya hasil kerajinan ini dijual di pasar dan
juga dipromosikan pada momen acara festival budaya atau kunjungan orang asing ke daerah
itu. Masyarakat Iantena dikenal secara luas melalui berbagai kerajinan yang dihasilkan.
2.2.5.1 Tenun Ikat
Tenun-menenun dapat dikatakan sebagai salah satu kreativitas dalam budaya
masyarakat Iantena. Di katakan sebagai suatu kreativitas karena masyarakat mampu
menghasilkan tenunan yang berkualitas dan bernilai harga jual yang tinggi. Pada umumnya
masyarakat Iantena mengetahui berbagai macam tenunan dengan kekhasannya masing-
masing. Kekhasan dari setiap tenunan itu dapat dilihat dari motif tenunan yang menjadi ciri
khas satu daerah dengan daerah lain. Umumnya kain tenunan masyarakat Iantena yakni,
(lipa) kain yang dipakai oleh kaum pria dan (utan) kain yang dipakai oleh kaum wanita.
Kedua tenunan ini memiliki motif dan warna yang berbeda. Lipa, berwarna hitam gelap
dengan motif, lipa loeng, lipa peteng dan lipa prenggi sedangkan ‘utan, berwarna merah
kecoklatan yang memiliki susunan motif yang disebut huran, welak dan soge.25
23Ibid., p. 279. 24Hasil wawancara dengan Maria Fatima, Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat, pada 8 Juli 2019 di
Dobo. 25Hasil wawancara dengan Maria Fatima, Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat, pada 8 Juli 2019 di
Dobo.
14
Sarung-sarung ini diberi motif sedemikian rupa sehingga memberikan hasil yang
maksimal kepada para pemakai. Maka karya ini pun menjadi satu-satunya material yang
penting dalam perkawinan pada masyarakat Iantena. Dalam perkawinan masyarakat Iantena,
sarung merupakan salah satu unsur material belis dari pihak wanita untuk pihak pria.
Disamping itu, kerajinan tenun ikat juga merupakan salah satu sumber penghasilan
masyarakat Iantena. Berkenan dengan hal ini, menurut penuturan beberapa pengrajin tenun
ikat Iantena bahwa, orang Iantena masih menggunakan cara kerja tradisional yang cukup sulit
dalam mengerjakannya serta membutuhkan proses yang cukup lama untuk menghasilkan satu
sarung. Namun hasil yang diperoleh memuaskan. Banyak sarung yang laku terjual dengan
harga yang tinggi berkisar tujuh ratus ribu sampai satu setengah juta.26
Dari pengakuan di atas hendak menunjukkan bahwa tenun ikat merupakan salah satu
warisan budaya yang tinggi dan merupakan kebanggaan bangsa Indonesia yang
mencerminkan jati diri bangsa khususnya masyarakat Iantena.
2.2.5.2 Anyam
Masyarakat Iantena pandai dalam hal anyam-menganyam. Mereka biasanya
menganyam untuk berbagai kepentingan rumah tangga seperti: bakul, tempat sirih pinang,
tempat padi, tempat jagung, tikar, nyiru, “gedek” rumah dan lain-lain. Semua hasil anyaman
di atas dihasilkan dari bahan yang sederhana yakni: daun lontar, daun pandan, kulit bambu
yang dihaluskan.27 Kini di rumah-rumah keluarga, bahan-bahan di atas ternyata sudah diganti
dengan sarana-sarana dan fasilitas produksi pabrik mesin baik yang mudah karat atau yang
menggunakan plastik, sementara sarana-sarana tradisional sengaja dilupakan. Sangat
disesalkan bahwa tindakan seni menganyam sebagaimana yang sudah diutarakan, tidak lagi
ditingkatkan oleh masyarakat, kalaupun ada itu cuma dikerjakan oleh sebagian kecil
masyarakat. Bila hasil kreasi anyaman orang tua itu direfleksikan dengan baik, maka disana
terpancang kekayaan nilai-nilai budaya warisan kaum leluhur.
2.3.6 Kesenian
Masyarakat Iantena mempunyai kerajinan dan kesenian yang khas. Setiap upacara
adat dan acara-acara lain yang sifatnya umum selalu diwarnai dengan pertunjukan kesenian.
Hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Iantena. Namun pada masa kini,
26Hasil wawancara dengan Anggota Tenun Ikat Sanggar Jong Dobo Maria Marta Rince dkk., pada 8 Juli 2019 di
Dobo. 27Hasil wawancara dengan Ero Ribut, Tukang Kayu, pada 24 Juli 2019 di Dobo.
15
nilai kesenian daerah mulai menghilang. Dengan demikian masyarakat perlahan-lahan mulai
kehilangan identitas kesenian itu.
Penulis coba mengangkat nilai kesenian masyarakat Iantena yang kini perlahan mulai
hilang dari pentas kehidupan budayanya. Hemat penulis, kesenian daerah yang menjadi ciri
khas suatu daerah perlu dijaga dan dilestarikan demi kepentingan generasi-generasi
mendatang. Bila kesenian daerah tidak dilestarikan maka akan terancam punah dan generasi
mendatang akan kehilangan identitas budayanya sendiri. Berikut ini merupakan rangkuman
hasil wawancara bersama bapak Kanisius Ani tentang kesenian dalam masyarakat Iantena.28
2.3.6.1 Seni Musik
Masyarakat Iantena memiliki alat-alat musik seperti gong waning dan suling gedang.
Fungsi dari alat-alat musik ini adalah untuk mengiringi tarian-tarian. Di samping itu alat-alat
musik itu juga digunakan untuk kepentingan liturgi yaitu untuk mengiringi lagu-lagu yang
dibawakan pada waktu perayan Ekaristi. Alat-alat musik itu hanya digunakan pada momen-
momen penting seperti pada acara penjemputan para tamu penting, acara pernikahan, acara
lodo huer, acara pentahbisan imam baru, syukuran, dan acara-acara lain yang memiliki nilai
budaya.
2.3.6.1 Gong Waning
Gong Waning ini merupakan alat musik tradisional khas masyarakat Sikka yang
terdiri dari gendang yang disebut dengan waning, gong dan peli anak. Pada alat musik
waning sendiri terdiri dari gendang besar dan gendang kecil disebut dodor. Waning
(gendang) dalam paket musik gong waning sedikit berbeda dengan gendang-gendang dalam
alat-alat musik tradisional lain di Indonesia pada umumnya, karena waning memiliki ukuran
panjang 75–80 cm, yang berbentuk kerucut dengan diameter tutup atas untuk waning ina
(gendang besar). Sedangkan untuk dodor (gendang kecil), berukuran 25 hingga 30 cm.
Tutupannya biasa terbuat dari kulit kambing atau sapi dengan simpul tali penahan untuk
mengencangkan kulit pada tutupanya yang diproses dengan cara yang tradisional. Sedangkan
pada alat musik gong terdiri dari gong ina wa’a, gong ina depo, gong lepe, gong higo
hagong, dan gong udong. Sedangkan peli anak sendiri merupakan sepotong bambu yang
digunakan untuk irama pukulan gong waning. Musik gong waning ini bisa menghasilkan
beberapa jenis irama musik, badu blabat, higo hagong, todu.29
28Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 29Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.
16
Masyarakat Sikka dalam daya cipta rasa dan karsa, dengan dasar pemahaman dan
pertimbangan tertentu, telah memberi nama gong waning pada alat musik ini, dengan alasan
bahwa gong dan waning adalah komponen utama pembentuk musik gong waning. Meskipun
sesungguhnya terdapat alat lain yang menjadi pelengkap. Sedangkan ungkapan yang
memperkuat eksistensi alat lain terkemas dalam falsafah adat yang berbunyi wikir ling dopo,
waning dani bui. Secara harafiah berarti “bunyi bila sedang memanggil, tangisan waning
sedang menunggu”. Sesungguhnya falsafah ini memiliki makna yang dalam bagi masyarakat
Sikka (Iantena) yaitu diibaratkan bunyi pukulan bilah bambu dan dentuman gendang pada
musik gong waning tersirat sejuta pengharapan dan kerinduan untuk dapat menghadirkan
khalayak dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Wikir ling dopo lebih
mengisyaratkan bunyi gong waning dalam pesta syukuran atau seremonial adat, upacara
penerimaan tamu dan lain sebagainya. Sedangkan waning dani bui, sesungguhnya memberi
tanda bahwa bunyi gong waning tersebut adalah suasana duka atau ada musibah.30
2.3.6.1.2 Suling Gedang
Masyarakat Iantena yang kini masih eksis mempertahankan musik suling gedang.
Walaupun demikian musik tradisional kebanggaan dan warisan leluhur hampir punah di
kalangan anak muda di daerah itu, karena tidak adanya wadah yang kembali membidangi
kaum muda untuk belajar. Lebih dari pada itu, kaum muda sendiri kurang meminati alat
musing tradisional. Bahkan musik suling gedang kalah bersaing dengan musik modern yang
sekarang lagunya disko dan dangdut. Jika ada acara pesta nikah, penerimaan komuni suci
pertama dan acara syukuran, musik modern menjadi pilihan utama selama acara itu
belangusung. Musik suling gedang tidak dipakai dan menghilang dan belakangan ini hanya
diminati oleh kaum tua. Sedangkan generasi muda mulai enggan dan tidak menyukai musik
suling gedang. Para orang tua ingin menghidupkan kembali dan memperkenalkan musik
suling gedang kepada generasi muda diseluruh Indonesia terlebih khusus masyarakat Iantena
yang sudah menjadi warian dari para leluhur.31
Gendang dalam musik suling gedang ini dibuat dari kulit kambing dan suling dari
bambu yang dicari di hutan. Anggota dalam satu grup musik suling gedang ini berjumlah 10
orang dengan perincian, yang memainkan gendang ada 3 orang, yang memainkan gong ada 2
orang dan 5 orang memainkan suling. Generasi muda harus mencintai musik ini dan harus
30Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 31Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.
17
belajar. Bagaimana mereka tahu kalau pemerintah tidak memasukkan dalam kurikulum lokal
di sekolah".32
2.3.6.2 Seni Tari
Jenis tarian masyarakat Iantena sangat beragam sesuai dengan suasana dan peristiwa
yang dialami, misalnya, ada tarian yang bersifat gembira sebagai ungkapan suasana pesta,
ada pula tarian yang bersuasana sedih. Masing-masing tarian diiringi dengan alat musik
tersendiri. Setiap irama musik dimainkan harus sesuai dengan tarian yang akan dibawakan.
Bunyi alat musik yang bersangkutan juga mencerminkan kekhasan dari tarian-tarian tersebut.
Dalam kebudayaan masyarakat Iantena dikenal alat-alat musik seperti gong waning, suling
gedang dan berbagai alat musik lainnya.33
2.3.6.2.1 Tarian Tua Reta Lo’u
Tarian Tua Reta Lo’u, ciri utama tarian ini adalah menari di atas tonggak atau tiang
bambu yang biasanya disertai dengan sorakan atau teriakan kahe (semboyan / moto). Sang
penari memiliki perlengkapan utama berupa sebilah parang. Tarian ini mengandalkan
keberanian karena sang penari utama harus menari di atas sebatang bambu yang ditegakan
dengan tumpuan perut sambil memperlihatkan kehebatannya memainkan parang, sedangkan
penari yang lain menahan bambu sehingga tetap tegak berdiri. Tua Reta Lo’u merupakan
tarian yang memperlihatkan otoritas dan keperkasaan seseorang dalam suatu komunitas,
kerjasama, saling menopang serta keahlian dan kecerdikan dalam mengahadapi setiap
masalah saat mengais rezeki, sebagaimana tersirat dalam syair adat yang berbunyi demikian:
Gou sai lau leman, Carilah nafkah di kedalaman laut,
Bata sai reta ilin, Burulah rezeki di rimba raya,
Hugu sai gu’a uma, hewot sai kare tua, Tunduk tekunlah bekerja,
Masik uran tei dar go’o, Meski hujan mengguyur panas menyengat,
Tei da’a uwung lewok, Guyur menembus ke ubun-ubun,
Go’o sape to’en bobok. Menyengat punggung sampai melepuh.34
Tarian Tua reta lo’u ini biasa dibawakan dalam pertunjukan-pertunjukan atau acara-acara
besar.
32Aris Ninu, “Masukan Dalam Kurikulum, Musik Suling Gendang Lela Terancam Punah”, Pos Kupang, 28
Oktober 2015, p. 7. 33Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 34Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.
18
2.3.6.2.2 Tarian Hegong
Tarian Hegong adalah salah satu tarian tradisional dari Sikka, tarian ini biasanya
dimainkan secara berkelompok oleh penari pria dan wanita dengan berpakaian adat yang khas
serta diiringi dengan musik gong waning. Tarian Hegong ini salah satu tarian tradisional yang
cukup terkenal dan sering ditampilkan dalam berbagai acara seperti acara adat, penyambutan
tamu penting, kesenian daerah serta berbagai acara lainnya. Tarian Hegong ini biasanya
dimainkan kurang lebih 6 sampai 10 orang penari, baik penari pria maupun wanita satu orang
sebagai pemimpin tarian di posisi paling depan. Tarian hegong merupakan jenis tarian
dengan ciri khas pola gerak yang tidak teratur, untuk mengekspresikan kegembiraan serta
kebebasan dengan sorakan yang riuh dan ramai. Sorakan ini biasanya berupa kahe
(semboyan) atau teriakan yang membakar semangat para penari itu sendiri.
Dalam tarian ini, para penari dilengkapi dengan ikun, lesu, dan reng sebagai
atribut. Ikun merupakan senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan ekor
kuda. Lesu merupakan sejenis sapu tangan yang digunakan sebagai pelengkap gerakan tangan
para penari. Sedangkan Reng adalah sejenis gelang kaki yang dilengkapi dengan kelinting.35
Dalam pertunjukan tarian hegong biasanya terdapat tiga babak: Bapak pertama, para penari
wanita memasuki arena dengan diiringi musik gong waning, kemudian diikuti oleh penari
pria sambil membawa poron (parang). Pada babak tersebut para penari menari dengan irama
cepat dengan gerakan, pledong wa’in (sentakan kaki). Babak kedua, penari pria dan wanita
membentuk lingkaran dimana para penari mengelilingi penari wanita. Lalu pada babak
ketiga, para penari melakukan gerakan bebas. Biasanya dalam babak ke tiga ini merupakan
gerakan kreasi yang dipadukan dengan irama musik gong waning.36
2.2.6.2.3 Tarian Roa Mu’u
Tarian soka roa mu’u bisa dilakukan setelah peresmian upacara perkawinan maka
pada sore hari dilakukan upacara soka roa mu’u laga rewang, artinya tarian memotong
pisang untuk menghalau rintangan. Pihak ina-ama (orang tua) akan menanam dua pohon
pisang bertandan di depan pintu tenda, tandan pisang sebelah kanan adalah simbol pihak ata
bu (yang melahirkan), sedangkan sebelah kiri pihak pulame (paman dari pihak perempuan).
Pada tandan pisang ditaruh utan, lipa labu. Waktu menari, pihak laki-laki akan melakukan
35Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo. 36Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Ketua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo.
19
pemotongan pisang tetapi dengan melakukan penawaran. Jika disetujui maka dipotong jika
tidak maka dibatalkan.37
Keramaian saat soka roa mu’u itu memberi peluang bagi para pemuda dan pemudi
menari untuk mencari pasangan untuk bercinta. Maka dilakukan soka kori, yaitu gadis-gadis
dari pihak perempuan menari membawa sarung (utan, lipa) dan para pemuda akan datang
melakukan penawaran dan jika disepakati maka terjadilah jual beli sarung sebagai simbol
percintaan yang tidak diukur oleh jumlah uang melainkan cinta.
37Hasil wawancara dengan Kanisius Ani, Tetua Sanggar Jong Dobo, pada 9 Juli 2019 di Dobo
20
BAB III
SISTEM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT IANTENA
3.1 Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Iantena
3.1.1 Pengertian Perkawinan Menurut Orang Iantena / Da Di Wai La’i Lihan Lalan
Definisi tentang perkawinan terdapat dalam berbagai literatur yang mengulas tentang
perkawinan. Demikian juga setiap kebudayaan memiliki pandangannya yang unik tentang
perkawinan. Rumusan pengertian tentang perkawinan tentunya secara umum
menggambarkan perkawinan sebagai suatu bentuk kehidupan bersama pria dan wanita dalam
ikatan cinta juga dilihat sebagai sesuatu yang mutlak penting bagi kehidupan. Orang Iantena
memahami perkawinan merupakan sesuatu yang sakral serta wajib dilaksanakan dengan
upacara yang tidak meninggalkan nilai dari adat-istiadat yang telah menjadi kebiasaan sejak
lama, diwariskan oleh nenek moyang dan juga nilai Ketuhanan. Orang Iantena sendiri punya
keyakinan bahwa perkawinan bersifat tak terceraikan. Hal ini terungkap dalam kata-kata
berikut:
Lemer watu miu ruang, Susah senang sama-sama,
Wawak papang miu ruang, Mati dulu baru lepas tapi bukan mati saja,
Naha blewut ko loar. Melainkan sampai hancur.38
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa perkawinan dipandang sebagai persatuan antara
pria dan wanita yang memiliki tujuan sangat mulia yakni melestarikan kehidupan manusia
melalui keturunan serta perkawinan itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang mutlak penting bagi
kehidupan. Manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya perkawinan. Karena perkawinan
itu menyebabkan adanya keturunan. Jadi perkawinan merupakan unsur tali temali yang
meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat. Perkawinan merupakan sebuah sarana untuk
meneruskan kelangsungan hidup manusia.
3.1.2 Jenis-Jenis Perkawinan Masyarakat Iantena
3.1.2.1 Wain Plan / Kawin Mulia
38Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
21
Wain plan (kawin mulia) merupakan perkawinan yang didahului dengan proses
peminangan dan pertunangan yang secara resmi diakui serta disepakati oleh kedua pasangan
bersangkutan, keluarga besar kedua belah pihak, tokoh adat dan masyarakat secara luas.
Perkawinan ini dalam adat-istiadat masyarakat Iantena biasanya diawali dengan tanda ikatan
pertunangan yang ditandai dengan kalung atau cincin sebagai bentuk simbol pengikat, juga
berapa barang lain yang diberikan oleh pihak pria kepada pihak wanita juga dari pihak wanita
kepada pihak pria. Pertunangan ini masih bisa dibatalkan dengan berbagai macam alasan
sebelum perkawinan itu dilanjutkan. Apabila batalnya perkawinan dilatar belakangi oleh
suatu hal dari pihak wanita maka, barang-barang pemberian dari pihak pria harus
dikembalikan namun barang-barang pemberian dari pihak wanita menjadi hak pihak pria dan
begitu pun sebaliknya.
Perkawinan wain plan (kawin mulia) dalam kalangan masyarakat Iantena, dianggap
sebagai perkawinan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari jenis perkawian lainnya.
Hal ini dinilai mempertahankan kehormatan dan martabat suku rumpun kedua keluarga besar
dari sudut pandang hukum adat. Ritus perkawinan wain plan ini ada tahap-tahapnya;
Tahap pertama, bahan-bahan yang digunakan untuk meresmikan perkawinan wain
plan. Ara (nasi), wawi wateng (hati daging babi) dan tuak (moke). Pakaian pengantin
mengunakan pakaian adat. Pakaian yang dikenakan pada mempelai wanita disebut kimang.
Perhiasanya antara lain kalar bala (gelang gading), lodan, (kalung leher), suwong (anting
yang terbuat dari emas), lombung (riasan penutup wajah yang terdiri dari kain dan benang-
benang yang dihiasi dengan emas), soking telu (rambut disangkul ke atas, diikat dengan
gelang emas serta pada rambut terdapat tiga tusuk konde emas). Tiga tusuk konde ini
melambangkan tiga tahap perkawinan; persiapan, penentuan belis dan upacara perkawinan itu
sendiri. Sedangkan pakaian yang dikenakan pada mempelai pria terdiri dari sarung, baju putih
tangan panjang dan selempang. Perhiasannya antara lain lodang bahar (kalung emas) dan
mone (gelang gading besar).
Tahap kedua, pengantin berdiri di depan pemimpin upacara dan upacara peresmian
dimulai. Mempelai wanita menuju ke tempat peresmian nikah digendong oleh saudarinya
serta dihantar oleh A’a Gete (tanta dari mempelai wanita) bersama keluarga besar menuju
tempat upacara tedang get. Sementara itu pengantin pria dipersilahkan menuju tempat
upacara di tengah tedang gete. Di sana kedua calon pengantin mengambil tempat terdepan
yang sudah disiapkan. Tanah puang (tuan tanah), tua adat, du’a moang watu pitu (tujuh
kepala suku yang ada di Iantena), beserta seluruh anggota keluarga mempelai pria dan wanita
yang sudah hadir di tempat upacara tedang gete. Du’a moan (pemimpin upacara) akan
22
mengambil sedikit ara (nasi), wawi wateng (hati babi) dan tua luli ha,a (satu seloki moke)
lalu diberikan kepada pengantin sambil berkata:
Gea sai awi apiara prangang, Makanlah nasi dan daging ini,
Dena dadi wain nora la’i, Supaya kalian disebut suami-istri,
Minu sai tua jajing, Minumlah moke sumpah ini,
Dena dadilihang nora lalang. Agar kalian menjadi satu ikatan keluarga.39
Ketika kata peresmian itu diucapkan pengantin tidak mengatakan apapun. Saat itu juga secara
adat keduanya resmi menjadi suami-istri. Upacara peresmian perkawinan itu dimeriahkan
dengan gong waning dan tarian-tarian hegong setelah peresmian perkawinan, acara
selanjutnya pemberian nasehat-nasehat dari pihak keluarga.
Tahap ketiga, pada malam pengantin, tepatnya pada tengah malam, dibuat upacara
tama ola uneng plaha oha sorong loni 40 (membentang tikar dan menaruh bantal atau
penyiapan kamar pengantin) A’a Gete (tanta dari mempelai wanita) akan memberikan
petunjuk-petunjuk praktis tentang kehidupan berkeluarga. Keesokkan harinya, setelah malam
pengantin, pagi-pagi buta saat ayam berkokok (manu koko, A’a Gete) akan membangunkan
keluarga baru. Kepada mereka A’a Gete jaga ola wang, akan berdiri depan pintu kamar
pengantin dan menaburi dengan gandum sambil berkata: bua buri ganu wetang, ga’a teto
ganu atong41 (beranaklah seperti jewawut, berkembanglah seperti bayam).
Tahap keempat, selama empat hari empat malam setelah malam pengantin, kedua
pengantin tidak boleh keluar rumah. Selama itu juga keduanya tidak boleh terkena air dingin.
Alasanya nanti perkawinan menjadi dingin. Pada hari keempat akan dibuat acara hui popo
(mandi cuci) ini biasanya dilakukan di sungai yang airnya mengalir (wair bang), kedua
penganti mandi agak ke hilir. Maksudnya agar pakaian-pakaian yang dicuci para pengantin
dijaga agar tidak terhanyut oleh air. Jika terhanyut oleh air maka hal ini akan membawa
dampak yang buruk bagi keluarga baru yakni tidak memperoleh keturunan atau mendapat
keturunan tapi usianya tidak panjang.42
Tahap kelima, setelah pulang mandi hui popo keluarga dari pihak pengantin pria
membawa makanan ke rumah pihak mempelai wanita untuk makan bersama sebagai bentuk
ucapan syukur dan terimakasih kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dalam acara
39Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot 40Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 41Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 42Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
23
perkawinan mulai dari awal sampai akhir. Tahap ini juga kedua keluarga besar untuk saling
mengenal dan sisa belis yang belum diselesaikan bisa diselesaikan, termasuk balasannya
kepada pihak keluarga mempelai pria. Tetapi jika belisnya belum bisa diselesaik, maka pada
waktu-waktu yang akan datang bisa selesaikan.
Namun adat-istiadat masyarakat Iantena sisa belis yang belum diselesaikan memiliki
suatu makna yang sangat besar dalam kehidupan berkeluarga. Sisa belis ini mempunyai
makna khusus yang bisa diungkapkan demikan: lopa go’a da’a ribang nopok koli tokar,43
(jangan menuntun semuanya harus tuntas karena masih ada hari esok) atau terjemahan lain
yang biasa dipakai yakni, (batu asa sampai aus, pohon lontar setingi-tingginya). 44
Maksudnya, hubungan kekeluargaan tidak akan putus sampai selama-lamanya. Oleh karena
itu dalam adat-istiadat orang Iantena tidak menutut pembayaran belis sampai tuntas.
Tahap keenam, berkaitan dengan belis masyarakat Iantena mengenal juga istilah hama
telo (injak telur). Umumnya hama telo terjadi jika pihak mempelai wanita sangat menuntut
belis harus dilunasi. Tapi istilah hama telo konsekuensinya sangat buruk bagi wanita karena,
jika terjadi hama telo maka, pengantin wanita memutuskan hubungan dengan keluarganya
sendiri. Si wanita tidak akan kembali ke rumah orang tuanya sekalipun orang tua kandungnya
meninggal. Wanita ini bisa kembali ke rumah orang tuanya harus mendapat ijin dari
suaminya. Kalau si wanita ini dengan sengaja pergi ke rumah orang tuanya tampah ijin maka
dalam waktu dekat wanita ini akan mendapat musibah.45 Dengan demikian orang Iantena
dalam adat-istiadat tidak mengutamakan belis harus tuntas tetapi yang menjadi utama yakni
kedua belah pihak saling menghargai.
Tahap ketujuh, setelah peresmian perkawinan ada berapa kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pihak mempelai pria. Kewajiban tersebut dinamakan ngoro remang
(memberikan sesuatu kepada keluarga yang mengurus acara perkawinan dari awal sampai
selesai). Pemberian ini diluar belis. Tujuan dari pemberian ini hanya sebagai penghapus jerih
payah dari keluarga yang mengurus acara perkawinan tersebut. Pemberian ini dalam istilah
adatnya disebut sapu tangan.
Berikutnya ada acara pembersihan rumah penginapan pengantin pria bersama
keluarganya, jika pihak pengantin pria dari kampung lain. Acara tersebut dalam istilah adat
43Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 44Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 45Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
24
disebut ha pu halar hok blodong atau roni halar, hok blodong46 (pemberian pihak pengantin
pria kepada tuan rumah tempat mereka menumpang selama acara perkawinan).
3.1.2.2 Du’a Depo La’I / Kawin Lari
Du’a depo la’i (kawin lari) merupakan praktek perkawinan yang ditemukan hampir di
setiap wilayah. Kawin lari biasanya dilakukan oleh pria, yang membawa lari wanita
pasangan kawinnya, untuk menikah tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, baik
keluarga wanita maupun keluarga pria. Du’a depo la’i (kawin larin) pada masyarakat Iantena
itu terjadi karena ada berapa kemungkinan:
Pertama, kawin lari biasanya dilakukan oleh pria, yang membawa lari seorang wanita calon
pasangannya, untuk menikah tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, baik keluarga wanita
maupun keluarga pria.
Kedua, kawin lari juga bisa terjadi karena ada kesepakatan antara pria dan wanita untuk menentukan
perkawinan tanpa melewati tahap-tahap perkawinan. Kalau tidak ada kata kesepakatan antar kedua
belah pihak, maka perkawinan tidak akan dilangsungkan.
Ketiga, Ada hukum adat yang memaksa pria dan wanita ketika tertangkap sedang berduaan di tempat
yang sepi atau tidak terang. Mereka ditangkap dan secara hukum adat mereka dipaksa untuk menikah.
Walaupun keduanya tidak saling mencintai.
Keempat, kesalahan atau masalah dapat berupa: kehamilan diluar nikah atau bila pria dengan sengaja
menyentuh bagian tertentu dari tubuh wanita.47
Masalah-masalah di atas dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga kedua
belah pihak dan apapun yang terjadi, perkawinan harus segera dilangsungkan.
Perkawinan seperti ini, kedua keluarga akan segera meresmikanya secara sah dalam
hukum adat demi berlanjutnya hubungan suami-istri yang sudah terlanjur dilakukan untuk
menghindari adanya pengucilan dan pelecehan oleh masyarakat. Jenis perkawinan ini tidak
memerlukan waktu dan proses yang lama karena bersifat meresmikan saja. Perkawinan
dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Namun dalam pandangan
masyarakat Iantena bukanlah bentuk perkawinan yang diidealkan atau bahkan sangat tidak
diharapkan.48
Perlu diketahui juga bahwa untuk masyarakat Iantena yang kental dengan nilai-nilai
agama dan adat-istiadat perkawinan tidak akan diizinkan bila kedua pasangan masih memiliki
46Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 47Paulus Senoda Hadjon, Kristianus Joyo “Upacara-Upacara Inisasi Di Kabupaten Sikka”, Jurnal Pesona Sikka,
3 (Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero: 2008), p. 157. 48Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
25
hubungan darah. Secara adat-istiadat pria akan dikenakan denda atau bahasa adatnya disebut
(tada hera).49 Misalnya kesalahan yang dilakukan berupa menyentuh bagian tubuh wanita
maka dendanya berupa uang, sarung dan babi. Semua barang-barang ini sebagai bentuk
permohonan maaf dari pria juga pemulihan nama baik wanita bersangkutan. Tetapi jika
kesalahan yang dibuat menghamili wanita maka dendanya, berupa uang, sarung, babi, kuda
dan tanah. Alasan mengapa harus ada tanah karena bagi masyarakat Iantena bahwa seorang
anak ia berhak memiliki seorang ayah tetapi secara hukum adat dan agama mereka tidak bisa
dipersatukan maka tanah ini sebagai pengganti ayah atau dalam istilah adatnya meh dopo
aman.50
3.1.2.3 Selung O’ha Hiwir Li’an / Kawin Ganti Tikar
Kawin selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) terjadi apabila istri atau suami
meninggal maka salah satu saudara dalam keluarga yang masih bujang, janda atau duda bisa
menikah dengan suami atau istri yang ditinggalkan. Perkawinan ini dilakukan dengan tujuan
untuk melanjutkan keturunan, melindungi ibu atau janda itu beserta anak-anaknya.
Disamping itu juga, perkawinan jenis ini tidak ada tuntutan belis dan supaya alihwaris tidak
jatuh ketangan orang lain.
Secara jelas perkawinan selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) bukan merupakan
sebuah tindakan kesepakatan antara kemauan atau kehendak pria dan wanita. Perkawinan
selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) masih ada campur tangan dari keluarga. Namun
dilihat dalam nilai adat-istiadat masyarakat Iantena perkawinan selung o’ha hiwir li’an
(kawin ganti tikar) nilai cinta kasih sangat luhur, seseorang yang merelakan dirinya untuk
bertanggungjawab.51
Perkawinan selung o’ha hiwir li’an (kawin ganti tikar) dapat dilakukan dengan
didahului sebuah upacara yang dikenal dengan upacara selung lanu52 (simbol rasa tangung
jawab dan rasa memiliki dalam keluarga baru sebagai suami-istri. Di mana pria dan wanita
resmi menjadi orang tua bagi anak-anak yang ditingalkan.
49Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 50Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 51Hasil wawancara dengan Frasnsiskus Nong Feri, Mahsiswa Nusa Nipa Maumere, Fakultas Hukum, pada 20
Januari 2020 di Wolon Ratet. 52Hasil wawancara dengan Frasnsiskus Nong Feri, Mahsiswa Nusa Nipa Maumere, Fakultas Hukum, pada 20
Januari 2020 di Wolon Ratet.
26
3.1.2.4 Ina Ama Wen / Kawin Paksa
Perkawinan ina ama wen (kawin paksa) dalam budaya kawin-mawin masyarakat
Iantena perkawinan jenis ini terjadi karena perjanjian antara kedua keluarga besar atau
perjodohanya yang telah disepakati oleh kedua pihak tanpa sepengetahuan kedua pasangan
yang akan menikah. Perjanjian itu biasanya dilakukan pada saat pria dan wanita masih kecil
atau terjadi karena hubungan baik dan kesepakatan kedua belah pihak.53 Namun perkawinan
jenis ini bisa terjadi pada keluarga yang berada atau orang-orang kaya. Karena tujuan utama
dari perjodohan ini supaya kehidupan keluarga tidak susah dan juga menjaga martabat dan
nama baik keluarga.
3.1.3 Tujuan Perkawinan
Segala sesuatu yang dilakukan manusia memiliki tujuan tertentu, begitu pula dengan
perkawinan. Perkawinan dilaksanakan bukan tanpa tujuan, perkawinan itu memiliki tujuan.
Pada dasarnya tujuan perkawinan tradisional terarah pada keturunan.54 Tujuan perkawinan
dalam sistem perkawinan adat-istiadat masyarakat Iantena adalah persekutuan hidup dan
kasih suami-istri yang mesra, dan tertujukan kepada adanya keturunan, yang diadakan oleh
Ina Niang Tanah Wawa Ama Lero Wulang Reta55 (Sang Pencipta Alam Semesta) dan
dikukuhkan dengan hukum-hukum adat, yang dibangun oleh janji perkawinan sebagai
berikut;
Gea sai awi apiara prangang, Makanlah nasi dan daging ini,
Dena dadi wain nora la’i, Supaya kalian disebut suami-istri,
Minu sai tua jajing, Minumlah moke sumpah ini,
Dena dadilihang nora lalang. Agar kalian menjadi satu ikatan keluarga.56
Hal ini menunjukan bahwa bagi masyarakat Iantena sebuah perkawinan yang sudah
disahkan oleh hukum adat tak dapat ditarik kembali dan perkawinan harus didasarkan serta
dijiwai oleh cinta suami-istri. Cinta menjadi unsur hakiki dalam usaha membangun rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera.
Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa tujuan dari sebuah perkawinan pada
masyarakat Iantena melanjutkan keturunan. Masyarakat Iantena memahami bahwa anak itu
sebagai buah cinta dalam perkawinan menciptakan suasana baru dalam hidup rumah tangga.
53Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 54Hilman Hadikusuma, op. cit., p. 84. 55Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 56Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
27
Dalam hal ini anak dilihat sebagai sumber kebahagiaan bagi suami-istri. Atas dasar tujuan
melanjutkan keturunan ini, maka pria akan meninggalkan orang tuanya dan mengikat dirinya
dengan istrinya, demikian juga wanita akan meninggalkan orang tuanya untuk mengikat diri
dengan suaminya.57 Perkawinan harus dilandasi dengan cinta sejati antara suami-istri. Cinta
itulah yang menjadi roda kehidupan rumah tangga. Masyarakat Iantena juga memahami
bahwa tujuan dari perkawinan merupakan momen perubahan status hidup. Pria akan menjadi
seorang suami untuk istrinya dan bapak untuk anak-anaknya sedangkan wanita akan menjadi
seorang istri untuk suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Keduanya bertanggung jawab atas
kehidupan anak-anak yang merupakan buah cinta mereka.
Di zaman modern ini masyarakat Iantena melihat perkawinan bukan semata-mata
untuk melanjutkan keturunan melainkan perkawinan juga dilihat sebagai momen persatuan
antara suami-istri dalam membentuk rumah tangga dan keluarga baru. Karena itu, tidak
memperoleh anak bukan dilihat sebagai kemalangan, mereka tetap percaya pada
penyelenggaraan Tuhan. Anak merupakan buah cinta hasil perkawinan. Karena itu, anak
dilihat sebagai hadiah dari Tuhan bagi keluarga. Masyarakat Iantena meyakini bahwa anak
yang merupakan hadiah dari Tuhan dapat membawa berkat bagi kehidupan rumah tangga.
3.2 Latar Belakang Lahirnya Perkawinan Masyrakat Iantena
Pada dasarnya sistem perkawinan suku bangsa indonsia berlatar belakang pemikiran
masyarakat bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang luhur. Dalam adat-istiadat
kebudayaan Indonesia, perkawinan bukan hanya mengikat pria dan wanita tetapi didalamya
juga terjadi ikatan kedua rumpun keluarga besar. 58 Dalam hal ini upacara perkawinan
melibatkan semua kerabat demi terselenggaranya upacara perkawinan. Tidak menutup
kemungkinan peran serta dari para tetangga dan kenalan dalam mendukung terselenggara
perkawinan.59
Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena dilihat sebagai masyarakat yang
berbudaya. Masyarakat yang berbudaya ini merujuk pada pengertian masyarakat yang
memiliki budaya yang di dalamnya terkandung adat-istiadat yang diwariskan oleh para
leluhur. Kebudayaan tidak hanya dimengerti sebagai apa yang diwariskan nenek moyang.
Kebudayaan lebih dilihat sebagai upaya manusia dalam menjawabi tentang hidup yang nyata.
Kebudayaan juga dipahami sebagai upaya manusia dalam mengolah dan memaknai
57Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 58Hilman Hadikusuma, op. cit., p. 4. 59Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.
28
kehidupanya.60 Leluhur telah mewarikan kepada setiap anak cucunya tradisi perkawinan dan
hidup keluarga yang luhur serta harmonis karena perkawinan tradisional mempunyai makna
yang paling mendalam. Persatuan yang subur dan harmonis antara pria serta wanita dalam
perkawinan.
3.3 Tahap-Tahap Dalam Perkawinan Masyarakat Iantena
3.3.1 Tahap Perkenalan / Tulung Dalang
Tradisi kawin-mawin masyarakat Iantena selalu dimulai dengan perkenalan awal
sebelum memasuki tahap peminangan. Perkenalan awal ini biasa ditempuh dengan cara yang
berbeda-beda. Menurut tradisi lisan, orang tua sering memilihkan jodoh untuk anaknya.
Hakikatnya pemilihan jodoh pada zaman dahulu, seringkali dilakukan karena orang tua
menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan dapat kawin dengan orang yang cocok serta
disenangi oleh keluarga. Sebelum orang tua menentukan jodoh pada anaknya terlebih dahulu
mereka melakukan penilaian terhadap perempuan yang akan dilamar. Jika sesuai dengan
harapan mereka dan juga keinginan pria yang bersangkutan bermaksud melangsungkan
perkawinan sedapat mungkin hal tersebut dirundingkan oleh orangtua kaum kerabat dan anak
yang bersangkutan.
Namun tidak terlepas dari semua yang sudah dikatakan di atas mengenai tahap
perkenalan dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena, seorang budayawan sekaligus
sejarawan Sikka, Bpk. Oscar Mandalangi Pareira dalam bukunya, Adat-Istiadat Sikka
Krowe di Kabupaten Sikka menuliskan bahwa;
“pada zaman dahulu saling mengenal antara pria dan wanita pun tidak hanya melalui orang tua tetapi
juga dapat berlangsung di tempat-tempat umum seperti sumber / mata air, sumur, saat pesta, cangkul,
ketam padi, panen jagung di kebun, saat orang meninggal, dan juga melalui pengentara maksudnya,
bila ada pria yang menaruh simpati pada wanita maka ia harus menyampaikan maksud hatinya itu
kepada orang lain yakni orang ketiga yang dipercayakan, yang berperan sebagai jembatan atau disebut
sebagai ata pano lalan (orang yang membuka jalan menuju kesana”).61
Orang yang dipercayakan oleh pria tersebut dengan caranya tersendiri akan melakukan
pendekatan dan akan menyampaikan maksud hati pria kepada wanita idamanya. Apabila
lamaran pria diterima maka kedua belah pihak akan menyampaikan maksud mereka kepada
orang tua mereka masing-masing.
60Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 61 Oscar Pareira Mandalangi (ed), Adat-Istiadat Sikka Krowe Di Kabupaten Sikka (Maumere: PEMDA
Kabupaten Sikka, 2001), p. 81.
29
Untuk konteks dewasa ini, pemuda / i Iantena menjadi pelaku yang aktif dalam
menentukan calon tidak lagi diperantarai oleh pihak ketiga atau yang dikenal dengan nama
ata pano lalan. Hemat penulis, perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan sarana
informasi dan komunikasi dewasa ini. Pria yang telah dewasa tidak lagi meminta orang ketiga
untuk menyampaikan isi hatinya kepada wanita idamanya tapi ia bisa secara langsung
menyampaikannya atau menggunakan sarana komunikasi untuk menyampaikan isi hatinya
misalnya, kenalan di sekolah / tempat kuliah, tempat kerja, main-main kerumah orang yang
disebut dengan tulung dalang. Masa kenalan disebut juga dengan masa mencari-cari jalan
atau cela untuk masa depan nibon sidok lamen jale (pria yang sudah dewasa yang telah
mempersiapkan diri untuk meminang). Perkenalan yang sudah mengarah pada pertunangan
dikenal dengan kuhu pahar ruga tadan62 (pria sudah mempunyai niat supaya wanita yang
diinginkannya itu tetap menunggu).
3.3.2 Tahap Peminangan / Wuan Weta Wai Heron Men
Wua weta wai ta’a heron men (pinang meminang seorang wanita, sirih menyapa
anak). Sekarang disebut dengan poto surat (melamar). Ketika pelaksanaan meminang, ada
orang telah ditentukan, diutus ke pihak keluarga wanita untuk melakukan musyawarah demi
mencapai suatu kesepakatan bersama artinya, peminangan itu sebagai langkah untuk meminta
persetujuan dari pihak keluarga wanita. Dengan kata lain, melalui lamaran dapat diketahui
dengan pasti, apakah pihak keluarga wanita menerima atau tidak.
Tahap lamaran tersebut akan ada proses pemberian belis. Barang yang dibawa yakni;
sirih pinang, uang, kuda, gading dan emas sebagai bukti peminangan. Jika disetujui, maka
pihak wanita akan membalas dengan babi, beras dan sarung. Tanda persetujuan disebut
dengan wua udek ta’a pahar (pinang sepakat sirih melamar). Peminangan resmi seperti ini
disebut wua ta’a depo wa gete (sirih pinang melalui pintu besar). Sedangkan lamaran yang
ditolak oleh pihak wanita bisa disebut dengan istilah wua bere ta’a blain (pinang mati sirih
layu). 63 Bagi adat-istiadat masyarakat Iantena barang yang harus diberi terlebih dahulu
disebut wuun tilu peke matan goit (belis telinga pekak mata buta). Jika telah membayar lunas
seluruhnya, itu disebut dengan inan gita aman rena 64 (ibu telah melihat bapak telah
mendengar).
62Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 63Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet 64Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.
30
3.3.3 Tahap Pertunangan / Poto Wua Ta’a
Urutan peresmian pertunangan atau poto wua ta’a diawali dengan proses pengenalan
kedua belah pihak melalui penggunaan nama-nama adat. Pihak mempelai pria atau calon
suami disebut ata me pu (orang yang disebut sebagai pihak anak) sedangkan untuk pihak
mempelai wanita, dalam hal ini orang tua calon istri, disebut ata ina-ama. Poto wua ta’a
dilaksanakan dengan pemberian belis. Pada saat itu pihak ina-ama akan melihat kira-kira
berapa besar kekuatan belis pihak me pu dalam melamar anaknya. Jika pihak ina ama
mengatakan wua mera ba’a wiwir bako gahu ba’a aha 65 (pinang telah memerah bibir
tembakau telah menghangatkan rahang) maka itu bertanda bahwa pembicara belis poto wua
ta’a telah disetujui.
Selanjutnya masuk pada upacara tutur tatar wuun larun (pembicara belis). Bahar poto
wu ta’a adalah bahar rua (ada dua bentuk belis) yakni, wua tebon dan Ta’a tebon.66 Wujud
belisnya berupa dua ekor kuda dan uang. Kemudiaan pihak me pu menyapa pihak ina ama
dengan menyuguhkan rokok (nodin bako) disertai uang pembuka mulut (waga wa). Pihak me
pu akan menyapa loning wua mera ba’a wiwir bako gahu ba’a ahang ita tutur tatar lin welin
ita puju wiit wu’un larun 67 (karena pinang telah memerah bibir tembakau telah
menghangatkan rahang selanjutnya kita berbicara soal belis).
Unsur penting dari tradisi belis ialah pemberian sejumlah belis sekaligus perundingan
dari dua pihak keluarga. Akan tetapi, untuk sampai pada tahap pemberian belis, harus
melewati beberapa tahap sebelumnya yakni menyiapkan perwakilan delegasi / ata’pano lalan
sekaligus musyawarah dalam keluarga pihak mempelai pria. Tahap selanjutnya barulah pergi
ke rumah si wanita untuk peminangan hingga tahap pemberian belis. Bila keluarga si wanita
sepakat, maka jenjang selanjutnya ialah tahap pengantaran belis.
3.3.4 Tahap Pengantaran Belis / Wu’un Larun Atau Leto Woter
Tahap ini masuk pada upacara tutur tatar wuun larun atau juga disebut puju wu’un
larun (pembicaraan belis) Kemudian pihak me pu akan menyapa pihak ina ama dengan
menyuguhkan rokok (bako) disertai uang secukupnya. Uang yang dimaksud adalah uang
pembuka mulut (waga wa). Pihak me pu akan menyapa loning wua mera ba’a wiwir bako
gahu ba’a ahang ita tutur tatar lin welin ita puju wiit wuun larun (oleh karena pinang telah
memerah bibir tembakau telah menghangatkan rahang selanjutnya kita bicara soal wuun
65Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 66Hasil wawancara dengan Pitals Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet. 67Hasil wawancara dengan Pitalis Koli, Tokoh Adat, pada 9 November 2019 di Wolon Ratet.
31
larun (belis). Ungkapan wuun larun dalam belis ungkapan ikatan cinta kasih antara pria dan
wanita serta hubungan erat ina ama me pu bagaikan ruas dan buku wuun dan larun.68
Belis dalam masyarakat Iantena dikenal dengan istilah bahar balik. Secara etimologis
kata bahar balik berati harga atau nilai. Dari pengertian tersebut, pembelisan dapat dipahami
sebagai sebuah lembaga penghargaan terhadap seorang wanita. Belis bagi masyarakat Iantena
merupakan salah satu budaya yang selayaknya mendapat perhatian, dukungan dan perlu
dipertahankan nilai-nilai leluhurnya. Akan tetapi, kenyataan ini sulit ditemukan karena sikap
materialistis sudah merasuk hati dan pikiran manusia. Berbeda dengan pelaksananan adat
belis dahulu yang lebih kepada harga diri wanita. Pelaksanaan adat belis dahulu bukan supaya
wanita dihargai dengan uang tetapi mau menyatakan bahwa eksistensi wanita sangat luhur
dan harus dijunjung tinggi.
Hal ini menandaskan bahwa setiap pria yang ingin memperistri wanita Iantena harus
membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Perkawinan masyarakat Iantena
menempatkan belis sebagai hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol
penghargaan dan pengakuan kepada harkat martabat wanita. Masyarakat Iantena sungguh
memaknai belis sebagai tanda penghargaan terhadap wanita dan keluarganya. Belis yang
diminta oleh pihak keluarga mempelai wanita, adalah suatu kewajiban. Seberapa pun besar
belis yang diminta bukan menjadi beban bagi keluarga mempelai pria. Dengan membayar
belis kepada keluarga mempelai wanita, martabat keluarga mempelai pria menjadi terhormat.
Mereka akan dihormati disanjung-sanjung oleh keluarga mempelai wanita dan masyarakat
sekitar. Dengan menyerahkan belis kepada keluarga mempelai wanita bukan berarti keluarga
mempelai pria mau “membeli” wanita yang dipinang. Tetapi hendaknya menandaskan bahwa
wanita Iantena tidak bisa dibeli dengan uang, ia hanya dihormati dan dihargai, sehingga belis
yang diberikan keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita tidak dilihat
sebagai harga jual, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap wanita serta pemersatu
ikatan keluarga.
Isi dan tujuan pembicaraan belis adalah agar pihak mempelai pria mulai menyiapkan
belis yang diminta pihak mempelai wanita. Wujud belis yang biasa yang diminta pihak
mempelai wanita, berupa gading, emas, uang dan kuda. Selama proses bincang-bincang itu
berlangsung, kedua pihak tidak dihidangkan makan untuk makan bersama. Acara makan
bersama hanya akan terjadi kalau sudah ada kesepakatan bersama antara pihak mempelai pria
dan wanita tentang besarnya belis. Tanda bahwa kata kesepakatan sudah dicapai dapat
68Longginus Diogo, Lin Welin-Leto Woter (Maumere: PEMDA Kabupaten Sikka, 2005), p. 5.
32
dikenal melalui teriakan seekor babi yang akan ditikam dan ketika babi itu teriak maka
pembicara belis itu akan tahu bahwa sudah dicapai kata sepakat soal belis, istilah adatnya,
wawi dading tena inang gita, amang rena 69 (babi tanda jadi untuk ibu melihat, bapa
mendengar).
3.3.4.1 Macam-Macam Bahar Balik / Belis
3.3.4.1.1 Wu’un Tudi
Wu’un Tudi (pisau) melambangkan kerja keras, tanggung jawab serta kasih sayang
dari keluarga wanita dalam mendidik, membesarkan, dan melindungi anak gadis dari segala
bahaya. Bagian belis ini diberikan oleh ue wari (saudara) om pihak mempelai pria kepada ue
wari (saudara) om pihak wanita. Bentuk belisnya berupa, mas hutu, jarang rua, bala ha’a,
seng hoang, (empat emas, dua ekor kuda, satu gading, uang dikondisikan berdasarkan
kemampuan). Pada peresmian wu’un tudi babi langsung dibunuh sebagai tanda resmi bahwa
pertunangan direstui dan sekaligus membuka jalan untuk membicarakan wu’un-wu’un
selanjutnya.
Balasan dari mempelai wanita yakni, wawi rua, tua liter puluh, pare kilo ngasuha,
kopi gula, bolo roti, utan, lipa, labu tena lobe sobeng weli ata pulame (babi dua ekor, moke
sepuluh liter, beras seratus lima puluh kilo, kopi gula, kue-kue, sarung dan baju). Pemberian
sarung dan baju dilihat dengan berapa jumlah orang yang hadir dalam pengantara belis wu’un
tudi.70
3.3.4.1.2 Wu’un Kila
Bagian belis ini diberikan sebagai lambang cinta dalam perkawinan atau tanda mata
dalam perkawinan yakni cincin. Walaupun namanya wu’un kila (cincin), namun
pemberiannya bukan hanya cincin yang diberikan melainkan juga material lainnya seperti
uang, kuda dan lain-lain. Bagian belis ini harus diberikan oleh pihak ue wari (saudara dari
pihak mempelai pria kepada) ue wari (saudara dari pihak mempelai wanita). Ada tiga bentuk
belis yang dibagi dalam dua bagian; bahar telu berat rua he’hak ha’a (satu belis berat dan
dua belis ringan) belis yang berat yakni, jarang rua, bala ha’a, (kuda dua ekor dan satu
batang gading) sedangkan istilah belis ringan seng hoang (uang yang secukupnya
69Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 70Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot
33
berdasarkan kemampuan). Balasan dari mempelai wanita yakni, wawi ha’a, pare kilo pulima,
tua liter lima, utan pataha, lipa pataha, labu pataha nora bolo roti (babi satu ekor, beras
lima puluh kilo, moke lima liter, sarung, baju dan kue-kue.71
3.3.4.1.3 Wu’un Hiket
Wu’un hiket ini terdiri dari dua jenis belis. Ruin (ikatan) dengan rike (penahan)
masing-masing satu belis. Pihak penerima adalah pulame (paman) dari mempelai wanita.
Sedangkan yang memberi juga adalah pulame (paman) dari mempelai pria. Bagian ini
diberikan oleh pulame sebagai ungkapan terima kasih kepada semua anggota keluarga ina
ama yang telah melibatkan diri dalam melancarkan acara perkawinan dari awal sampai
selesai. Pihak ina ama adalah pihak yang paling aktif dan berperan penting dalam
penyelenggaraan acara perkawinan.
3.3.4.1.4 Wu’un Wawi Dadi
Pada tahap ini pihak me pu atau mepelai pria datang menghantar belis yang telah
disepakati. Sementara pihak ina-ama atau mempelai wanita akan melakukan lahir bahar
yaitu melihat, menilai dan mengukur kekuatan belis. Tujuanya agar menghindari ungkapan
seperti, dada rasa dan repan rasa,72 yang artinya orang tidak seenaknya mengingkari apa
yang telah disepakati sebagai sesuatu yang biasa-biasa.
Sebelum upacara ini, arak-arak datang mengantar wua (pinang) ta’a (siri) bako
(rokok) mu’u (pisang), leleh (jagung), nakat (nangka), pedan (nenas), pare (padi), kabor
(kelapa), ohu hura (ubi-ubian), manu (ayam), manu paen (berupa kuda atau sapi), hoang
(uang), kuda (jarang), bala (gading), bahar berupa: (kalung, lodan, suwong, mone, dsb). Dari
barang-barang yang dibahwa bako wu’a ta’a (rokok dan siri pinang) menduduki posisi paling
depan, dijunjung paling tinggi karena didalamnya berisi emas. Orang yang membawanya
adalah salah satu me pu (anak perempuan dari saudari mempelai pria) dari ata buan pihak
laki-laki. Dan yang berhak menerima bako wua ta’a adalah A’a Gete (saudari kandung dari
ayah mempelai wanita). Di sini terletak nilai dari sebuah marga dalam proses mensakralkan
calon mempelai pria dan wanita duduk untuk mesakralkan diri yang disebut dengan plu’a
bahar.73
71Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 72Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 73Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.
34
Semua barang yang diantar secara besar-besaran ini dikenal dengan tuung wua ta’a
gte. Pada waktu itu sebagai penghormatan pihak ina-ama kepada pihak me pu maka disebut
jamuan awal yang disebut dengan horet rewu, seekor babi yang akan dibunuh untuk
menyambut mereka sebagai tanda melepas lelah menuju proses lahir bahar yang disebut baku
wolan, plaan polan (jamuan). Dalam jamuan ini babi yang baru dibunuh itu akan dibakar dan
dihidangkan dengan moke.
Setelah lahir bahar diterima oleh ina-ama maka dilakukan perjamuan besar-besaran.
Yang ikut dalam perjamuan adalah para delegasi dari pihak me pu yang disebut dengan
bukang kajang dan dihitung berdasarkan pikulan-pikulan yang disebut witi biasanya lima
witi, itu berjumlah sepuluh orang. Mereka akan diterima pihak ina-ama secara meriah dengan
tarian dan gong waning. Setelah perjamuan pihak me pu akan melakukan pemberian seang
pigang makok74 (acara pemberesan alat-alat makan) yang wujudnya dapat berupa uang / kuda
/ emas.
Pada saat pengantaran belis ini pihak ina-ama akan menyerahkan kepada me pu
sebagai balasan berupa wawi wu’un, pare, wu’un utan lipa labu, wu’un tua wu’un, (semua
barang yang sudah dibawa oleh pihak mempelai pria akan dibalas oleh pihak mempelai
wanita sesuai dengan barang dibawa dan perlengkapan dapur, termasuk kue-kue). Barang-
barang balasan ina ama kepada me pu dibentangkan dengan tikar besar dan ditaruh satu-satu
di halaman rumah di bawah tenda besar.
Bagian-bagian yang tidak boleh dilupakan adalah ara dua lai (nasi calaon suami-
istri), utan sebah daha (sarung tudung saji), kesa e’ tan (penambahan daging yang kurang
berupa babi dan sapi). Delegasi pihak ina ama akan memberikan penjelasan tentang barang-
barang yang akan diberikan kepada me puh. Setiap delegasi akan menerima sarung, termasuk
mereka yang disebut dengan hitek matan (balasan). Pemberian ata ina-ama kepada me pu
secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: wawi (babi), widin (kambing), pare weran
(beras), tua (moke), utan ragi (sarung), labu (baju), bolo (kue), kopi-gula, kesa etan (kuda /
sapi / babi) pemberian ini dilihat dari besar kecilnya pemberian dari pihak mempelai pria
karena semuanya harus setimpal.75
3.3.4.1.5 Wu’un Wua Ta’a Gete
Pengantaran belis secara besar-besaran di sebut mai leto. Para pembawa belis adalah
delegasi dan ina ama yang diutus dari pihak mempelai pria, para pengeret kuda, pembawa
74Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 75Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.
35
gading, emas, pembawa makanan berupa penghasilan dari kebun dan hasil ternak sendiri, hal
ini menunjukan bahwa calon pengantin pria ini, orang yang pekerja keras dan mapan. Barang
makanan yang dibawa berupa pisang bertandan, kelapa tua, muda, nangka, jagung bertongkol
yang masih muda, daging ayam yang sudah dimasak dan juga ayam jantan yang masih hidup.
Barang-barang yang dibawa oleh pihak keluarga pria akan dibalas oleh pihak wanita.
Balasan dari pihak wanita berupa wawi kopor teluh (tiga ekor babi) dan juga widin
ha’a (satu ekor kambing). Kambing ini dimaksudkan untuk mereka yang tidak makan daging
babi lurung piren (pemali), utan, labuh, sarung, baju berjumlah sebanyak mereka yang
mengantar belis yang masuk ke dalam rumah pengantin wanita, tuah liter pulu’ha (moke
sepuluh liter), pare kilo ngasuha pulu lima dan beras seratus lima puluh kilo. Selain tung
gete, orang Iantena juga mengenal istilah adat diat / tiat makok pane ratong,76 (pemberian
belis kecil-kecilan berupa makanan dan minuman keseharian seperti ikan, daging dan lain-
lain). Pemberian keci-kecilan ini merupakan wujud tangung jawab pihak calon mempelai pria
kepada tunangannya.
Dalam adat perkawinan masyarakat Iantena, proses penyerahan belis dapat dilakukan
dengan pembayaran secara langsung berupa gading, emas, kuda dan uang. Pembayaran mas
kawin atau belis secara langsung dapat dilakukan sekaligus, tetapi ada juga yang harus
ditunda dan akan dibayar dikemudian hari setelah upacara perkawinan. Karena besarnya belis
yang diminta, maka pihak mempelai pria dari hubungan keturunan darah maupun karena
hubungan kawin-mawin dapat saling membantu dalam usaha untuk membayar serta
menyelesaikan belis yang diminta.77 Sikap saling membantu dalam penyelesaian belis sangat
dipengaruhi oleh sikap hidup sosial kolektif yang ada dalam masyarakat. Mereka
berpandangan bahwa urusan seorang anggota keluarga merupakan urusan suku yang
bertanggungjawab secara penuh dalam adat-istiadat.
Penyelesaian belis memiliki arti sebagai tanda bahwa si wanita telah keluar dari
sukunya.78 Wanita tersebut bukan lagi anggota suku dari ayahnya, melainkan ia sudah masuk
menjadi warga suku suaminya. Dengan demikian segala haknya dalam keluarga ayahnya
sudah tidak ada. Ia tidak memiliki hak untuk memperoleh warisan, baik berupa tanah atau
rumah. Warisan hanya diberikan kepada seorang pria. Ia akan berhak dalam keluarga
suaminya, sebab ia telah menjadi anggota suku suaminya.
76Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot 77Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot. 78Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat Dan Uapacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur (Kupang:
2004), p. 59.
36
3.3.4.1.6 Wu’un Kelanaran
Wu’un kelanaran, (pendaftaran diri calon mempelai pria dan wanita) Dalam tahap ini
tidak ada urusan belis yang berat hanya dari pihak mempelai pria wajib meyerahkan sejumlah
uang kepada kepada pihak mempelai wanita sebagai bukti keseriusan pria kepada wanita
menuju yang lebih sakral. Dan yang paling penting dalam tahap ini merupakan kedua
keluarga besar dari pihak mempelai pria dan wanita sepakat untuk membawa anak-anak
mereka menghadap pastor paroki untuk pendaftaran diri.
Selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh pastor paroki untuk penyelidikan kanonik.
Sebagaimana kanon. 1066 menetapkan: “sebelum perkawinan diteguhkan, haruslah pasti
bahwa tidak ada suatu hal pun yang menghalangi peneguhannya yang sah dan halal”.79
Kepastian semacam ini bisa didapati melalui penyelidikan kanonik, yang berupa wawancara
terhadap masing-masing mempelai secara terpisah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah
dirumuskan secara baku. Singkat kata, penyelidikan kanonik dilakukan untuk menjamini
peneguhan nikah yang sah, legitim dan halal dalam semua urusan.
3.3.4.1.7 Wu’un Konfes
Wu’un konfesa dalam tahap ini secara adat-istiadat masyarakat Iantena bahwa
sebelum pria dan wanita dipersatukan terlebih dahulu mereka harus dibersikan dari segala
kesalahan yang dilaku selama hidup bujang. Dalam tahap ini kedua pengantin akan
menceritakan tentang perbuatan mereka kepada orang tua dan kepada ketua adat yang akan
melakukan ritus peresmian perkawinan.
Hal ini dilakukan bukan untuk pengampunan dosa bagi kedua mempelai, melainkan
untuk penghindaran diri dari bahaya-bahaya dimasa yang akan datang misalnya; pria atau
wanita sebelum hidup bersama mereka pernah melakukan hubungan badan entah dengan
pasangan sendiri atau orang lain, mereka harus memberitahukan kepada orang tua dan ketua
adat yang akan melakukan peresmian perkawinan. Sehingga dalam ritus peresmian
perkawinan ketua adat bisa menyampaikan semuanya kepada Nitu Noan (arwah leluhur),
Niang Tanah Wawa (kekuatan alam), dan Ama Lero Wulan Reta (Bapa penguasa di atas
langit). Ketiga kekuatan ini diyakini memiliki daya untuk memberi rezeki, perlindungan serta
inspirasi moral bagi manusia dalam setiap perencanaan pelaksanaan aktivitas hidup manusia
dan perbuatanya.80 .
79Catur Raharso, Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006), p. 257. 80Hasil wawancara Dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo.
37
Jika mereka tidak jujur dengan perbuatan mereka maka bahaya yang akan terjadi
ketika mereka hidup bersama; Pertama, mereka tidak memiliki keturunan. Kedua, anak lahir
cacat. Ketiga, kehidupan rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Empat, perceraian.81
Dengan demikian pria dan wanita sebelum mereka dipesatukan baik secara adat-istiadat
maupun perkawinan dalam Gereja Katolik harus ada sikap keterbukaan baik kepada orang
tua, imam, maupun kepada kedua pribadi masing-masing.
3.3.5 Tahap Peresmian Perkawinan / Lerong Kawit
Peresmian perkawinan / lerong kawit biasanya terjadi di rumah mempelai wanita.
Bahan-bahan yang digunakan untuk meresmikan perkawinan adat yakni, nasi ara, hati daging
babi wawi wateng dan moke tuak, bahan-bahan ini yang digunakan dalam ritual sumpah adat.
Biasanya yang meresmikan upacara ini Tanah puang (tuan tanah), tua adat, du’a moang watu
pitu (tujuh kepala suku yang ada di Iantena). Dalam peresmian perkawinan ini kedua
mempelai akan dipersilahkan berada ditengah-tengah keluarga besar mempelai pria dan
wanita untuk mengungkapkan sumpah janji kesetiaan mereka sehidup semati dalam ritual
adat. Dalam ritual ini pemimpin upacara akan memberikan sumpah dengan rumusan bahasa
adat sebagai berikut:
Minu sai tua sumpan, Minumlah tuak sebagai sumpah,
Dadi wain nora lai mein ha ba gaer, Jadi suami dan istri darah bercampur menjadi satu,
Gea sai wini janjin, Makanlah benih perjanjian ini,
Dadi lihan nora lalan, Bercumbu rayu kamu menjadi satu,
Etan ha gogo lelen, Menjalani roda kehidupan bersama-sama,
Da’a ble’ wut geru belung, Sampai rapuh baru berpisa,
Sape boga geru loar, Sampai patah baru terlepas,
Lopa poi boga naha da’a dunia lalang. Jangan hanya sampai patah tapi maut yang memisahkan.82
Rumusan ritual adat di atas mau memperjelaskan bahwa sebuah perkawinan
merupakan perjanjian antara pria dan wanita. Dimana objek material dari perjanjian
perkawinan itu sendiri yakni, penerimaan dan pemberian diri antara pria dan wanita dalam
relasi cinta seumur hidup. Sebagaimana dijelaskan dalam Injil (Mat.19:6) “Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia". Demikian pula dalam ritual dan sumpah adat yang dibuat itu
menyatukan pria dan wanita menjadi satu.
81Hasil wawancara Dengan Sergius Moa, Kepala Suku Masyarakat Iantena, pada 4 Juli 2019 di Dobo. 82Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
38
3.3.6 Syarat-Syarat Untuk Kawin
3.3.6.1 Usia
Usia adalah salah satu faktor penting sebelum seorang memasuki jenjang perkawinan.
Dari faktor usia dapat diukur tingkat kematangan dan kedewasaan pria dan wanita dalam
membangun sebuah rumah tangga. Di kalangan masyarakat Iantena usia kawin biasanya tidak
ditentukan. Usia untuk kawin dalam masyarakat Iantena tentunya sangat bertentangan sekali
dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Gereja dan Negara. Dalam hukum kanonik 1083-§
1 menegaskan bahwa,
“pria sebelum berumur genap 14 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 16 tahun, tidak dapat
menikah dengan sah”.83 Dan dalam UU Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 berbicara
mengenai masa usia perkawinan yakni bahwa perkawinan hanya diijinkan jika laki-lakinya sudah
berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun.84
Masyarakat Iantena pada zaman dahulu usia kawin pada wanita itu dilihat dalam pembawaan
dirinya. Misalnya, pada hari raya pentekosta ketika si wanita pada saat pergi ke Gereja
memakai dong, (selempang), utan (sarung), alan legen (rambut konde).85 Hal ini menandakan
bahwa wanita ini siap untuk dilamar. Selain itu ada tanda yang lain yang tampak dan menjadi
ukuran bagi wanita selain tanda yang sudah disebutkan yakni, guan denan siru wisu, 86
(pandai dalam menenun, masak, dan mengerjakan pakerjan-pekerjan rumah).
Sedangkan pada pria tanda yang menunjukkan bahwa dia benar-benar dewasa yakni,
apabila pria sudah bisa cangkul kebun, mengolah lahan kering untuk bisa mendapatkan
makanan, iris moke, panjat kelapa, sudah memiliki rumah, dan tanah baik secara pribadi
maupun pembagian warisan. Semua ini menunjukan bahwa dia sudah bisa berdiri sendiri dan
sudah layak untuk berumah tangga.87
3.3.6.2 Mas Kawin
Mas kawin merupakan salah satu syarat dalam urusan perkawinan. Masyarakat NTT
masih menganggap penting syarat mas kawin sebagai warisan nenek moyang mereka karena
nilai mas kawin menentukan sistem kekeluargaan dari satu masyarakat dan menjadi ukuran
status sosialnya. Mas kawin merupakan salah satu yang menentukan sahnya suatu
83Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Malang: Dioma, 1990), p.60. 84Ibid.,p.61. 85Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 86Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo. 87Hasil wawancara dengan Alfa Edison, Tokoh Masyarakat, pada 24 September 2019 di Dobo.
39
perkawinan.88 Pada umumnya pihak yang menentukan mas kawin adalah keluarga mempelai
wanita. Kriteria-kriteria yang dijadikan dasar penentuan mas kawin adalah dilihat dari
kebiasaan budaya dan suku yang dianutnya. Cara memenuhi mas kawin dari pihak mempelai
laki-laki yakni mengumpulkan semua keluarga besar yang masih berhubungan status darah
untuk mebicarakan berapa besar mas kawin yang diminta oleh pihak mempelai wanita.
Masyarakat Iantena berhubungan dengan mas kawin sudah ada penanggungjawabnya
masing-masing setiap mas kawin yang diminta oleh pihak mempelai wanita. Mas kawin
biasanya dibayar secara berangsur-angsur, tidak dibayar secara lunas supaya keluarga besar
dari mempelai wanita ini masih bisa mengundang atau meminta bantuan jika ada keperluan
atau acara-acara dari keluarga besar wanita. Bila mas kawin yang harus dibayarkan lunas
sesuai permintaan pihak mempelai wanita, maka si wanita dianggap telah menjadi anggota
keluarga besar mempelai pria dan keluarga besar mempelai wanita sudah tidak ada hak lagi
pada diri si wanita.
Dalam masyarakat Iantena mas kawin disebut dengan nama bahar balik. Bahar balik
ini merupakan sebuah bentuk penghargaan, kepada wanita, kepada kedua orang tua yang
melahirkan dan semua keluarga besarnya, namun kata penghargaan disini bukan besarnya
nilai jual beli, tetapi saling menghargai.
3.3.6.3 Bisa Bertanggungjawab Dalam Keluarga
Tanggung jawab adalah sebuah kata yang memiliki makna besar untuk sesuatu yang
kita lakukan setiap hari.89 Bertanggungjawab berarti melakukan sesuatu yang harus kamu
lakukan. (Mary Small). Tanggung jawab pribadi adalah sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan untuk dirinya sendiri.90
Hal ini mau menegaskan kepada pria dan wanita bahwa sebelum mengambil keputusan untuk
menikah, pria dan wanita harus mampu mengembangkan bakat dan kemampuan mereka
dalam berbagai bidang. Mampu dalam mengerjakan pekerjaan orang dewasa menjadi salah
satu syarat yang harus dipenuhi. Calon suami-istri harus mampu menjalankan fungsi dan
tugas mereka dalam keluarga seperti suami yang mampu mencari nafkah dan istri yang
menjadi ibu rumah tangga.
88Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Nusa Tengara Timur, op. cit., 57. 89Sandra Amelia, Menjadi Pribadi Yang Bertanggung Jawab (Depok: Bangun Nusa, 2012), p. 1. 90Ibid.
40
Bagi pria, sebelum menikah ia harus mandiri dalam hal ekonomi dengan memiliki
pekerjaan yang tetap dan baik untuk menghidupi keluarga kelak. Hal ini termuat dalam
ungkapan bahasa adat berikut:
Hugu sai gua uma hewot sai kare tua, Bekerjalah dengan giat dan sungguh-sungguh,
Gua uma ihin gete dena gea menu tain, Dapatkan rezeki yang makmur masa depan,
Karetua dolor mosang, minu dena blatan kokon,, Capai sukses legahkan dahaga,
Gou sailau leman, Carilah rezeki dilaut yang dalam,
Bata sai reta ilin. Dapatkan rezeki di hutan yang rimbah.91
Ungkapan ini mau menjelaskan bahwa nafkah dan rezeki untuk keluarga bukanlah sesuatu
yang mudah didapat. Banyak kesulitan rintangan yang harus dihadapi serta dibutuhkan
ketekunan dan kerja keras.
Sedangkan bagi wanita Iantena sebelum menikah, harus tahu tentang siru wisu
(memiliki berbagai macam keterampilan untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga seperti
merawat rumah, menenun, merawat anak, memasak, menjahit serta pekerja rumah tangga
lainya). Keterampilan ini termuat dalam ungkapan bahasa adat berikut:
Jata kapa loru lorun, Ikatlah benang tenunlah sarung,
Jata kiom manu koko, Tenun sarung di pagi buta,
Redun det nerang wiar. Pandai dalam memasak dan melayani.92
Dengan demikian bahwa tanggung jawab hidup berkeluarga adalah tugas pria dan wanita
dalam melaksanakan kewajiban mereka setelah mereka memutuskan untuk menikah. Tugas
dan tanggung jawab dalam hidup keluarga bukan sesuatu yang mudah. Karena itu dibutuhkan
suatu persiapan yang matang.
3.3.6.4 Kesiapan Mental
Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan.93 Apalagi untuk sebuah
perkawinan, momen besar dalam kehidupan pria dan wanita Iantena. Bagi wanita Iantena
momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan pria yang tadinya bukan siapa-
siapa, untuk mendampingi dirinya. Kerelaan yang sungguh luar biasa untuk sebuah peristiwa
bersejarah itulah pria dan wanita hendaknya memiliki kesiapan diri secara mental
spiritual. Selain itu persiapan secara konsepsional, fisik, material dan sosial. Banyak pria
yang merasa belum memiliki kesiapan mental, sehingga merasa belum siap untuk kawin.
91Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat Adat, pada 2
November 2019 di Baomekot. 92Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat Adat, pada 2
November 2019 di Baomekot. 93Sandra Amelia, op. cit., p. 2.
41
Sesungguhnya, kesiapan secara mental ditandai oleh niat dan keseriusan menuju kehidupan
rumah tangga.
Masyarakat Iantena pria, harus memiliki kesiapan dalam dirinya untuk bertindak
sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Bersiap menjadi pemimpin dan pelindung bagi isteri
serta anak-anak. Harus ada kesiapan dalam diri untuk menanggung segala beban-
beban kepemimpinan yang disebabkan oleh karena posisi sebagai suami dan bapak. Misalnya
siap untuk menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anak, siap untuk membimbing istri
dan anak-anak menuju surga, siap untuk berlaku bijak dalam interaksi dengan istri dan anak-
anak.
Sedangkan bagi seorang wanita Iantena yang mau kawin harus ada kesiapan dalam
dirinya untuk membuka ruang baru bagi suami. Harus ada kesiapan dalam diri untuk
menyediakan ruang “dipimpin” oleh suami. Sebagai isteri, harus bisa mengelola rumah
tangga bersama suami dengan baik.
Dengan demikian perkawinan hendaknya dipersiapkan secara matang dan mantap.
Khususnya pengenalan yang mendalam terhadap pasangan hidup, menerima pasangan hidup
sebagaimana adanya, komunikasi antara pasangan secara jujur, wajar, tidak menganggap diri
paling sempurna perfeksionis, kesediaan untuk membuka diri “mau mengerti’ dan “mau
menerima”.94
3.3.7 Perkawinan Yang Tidak Sah Dalam Masyrakat Iantena
Perkawinan yang masih berstatus berhubungan darah tidak dapat dilaksanakan
misalnya, antara orang tua dan anak, antar dua orang bersaudara kandung, antara anak-anak
dari dua perempuan bersaudara. Selain itu, ada halangan perkawinan antara paman dan
keponakan, antara bibi dengan keponakan. Selain itu, juga larangan perkawinan yang
dilarang oleh adat yakni dua orang yang berada dalam satu keluarga yang sama karena masih
terdapat hubungan darah atau antara anak dan mertua.
Terjadinya perkawinan yang masih dalam hubungan darah merupakan sebuah aib bagi
keluarga dan masyarakat. Pasangan yang melakukan perkawinan jenis ini dikenal dengan
sebutan bahut ganu ahu, doha ganu manu95 (hubungan ini seperti binatang yang tak berakal
budi). Singkatnya perkawinan yang masih berhubungan keluarga dalam garis lurus dan garis
94Yan Kefi, “Menantang Arus, Menuai Badai (Meneropong Institusi Keluarga dan Dinamika)” Jurnal Ledalero,
Vol. 10. No. 01. Yogyakarta: 2 Febuari 2010), p. 116. 95Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
42
samping antara sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut itu dilarang,
sejauh hal tesebut dapat diingat.96
Apabila terjadi pelanggaran, maka diadakan sebuah upacara adat yang dikenal dengan
demu lero wulan (sebagai upacara pemulihan untuk memohon ampun dan belas kasihan agar
terhindar dari murka), Ama Lero Wulan Reta (Bapak pencipta dan penguasa langit dan bumi).
Anak yang lahir dari hubungan terlarang ini akan disebut sebagai me gebi halar buah (anak
haram) dan otomatis kehilangan haknya menyangkut harta waris. Dengan demikian,
perbuatan-prbuatan seperti ini tidak dibenarkan baik secara moral maupun scara adat. Orang
yang melakukan tindakan tersebut akan mendapat sanksi dari masyarakat berupa dikucilkan
dari kehidupan sosial atau kehidupan masyarakat karena dianggap tidak bermartabat.
3.4 Adat Mengenai Penceraian
Salah satu masalah dalam lembaga perkawinan dewasa ini adalah perceraian. Dalam
konteks ini sistem perkawinan pada masyarakat Iantena, perceraian merupakan salah satu
masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hal ini dilatar belakangi oleh alasan-alasan
berikut ini; Pertama, masalah perselingkuhan. Perceraian terjadi bila salah satu pasangan
melakukan perselingkuhan dengan pasangan lain. Kedua, ketiadaan cinta yang tulus dan
kasih sayang dalam hidup berumah tangga. Ketiga, suami pergi meninggalkan istrinya tanpa
alasan apapun. Masalah-masalah ini dapat menimbulkan percerain dan sanksi adat berupa
denda jika terjadi perpisahan dalam hidup perkawinan yang sudah di sahkan oleh adat.
Namun disini mau menegaskan bahwa masyarakat Iantena tidak melegalkan
perceraian. Masyarakat Iantena selalu berpegang pada adat-istiadat mereka yang tertuang
dalam syair adat berikut;
Lemer watu miu ruang, Susah senang sama-sama,
Wawak papang miu ruang, Mati dulu baru lepas tapi bukan mati saja,
Naha blewut ko loar. Melainkan sampai hancur.97
Syair adat di atas mau menegaskan bahwa perkawinan dalam masyarakat Iantena itu tidak
dapat dipisahkan hanya kematian.
Kehidupan perkawinan masyarakat Iantena dilandasi oleh cinta dan kesetiaan dalam
setiap peristiwa hidup pada masyarakat Iantena. Walupun sering terjadi konflik dalam rumah
tangga tetapi hal itu tidak berujung pada perceraian di antara kedua pasangan yang sudah
96Paul Arndt, Hubungan Kemasyarakatan Di Wilaya Sikka, Flores Tengah Bagian Timur (Maumere: Puslit
Candraditya, 202), pp. 36-37. 97Hasil wawancara dengan Godefridus Gleko, Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat, pada 2 November 2019 di
Baomekot.
43
disahkan oleh adat. Perceraian itu hanya bisa terjadi, jika masalah-masalah seperti di atas
diperbesar-besarkan oleh kedua belah pihak yang berujung pada pembunuhan.
Dewasa ini, perceraian di kalangan masyarakat Iantena jarang terjadi karena dinilai
sebagai perbuatan yang tidak terpuji juga dapat merugikan dan meretakkan hubungan kedua
keluarga besar karena pada dasarnya perkawinan itu tidak hanya mengikat dua induvidu
tetapi di dalamnya terjadi juga ikatan antara kedua keluarga besar dan suku.
44
BAB IV
SISTEM PERKAWINAN PADA MASYARAKAT IANTENA DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PERKAWINAN KATOLIK
4.1 Pandangan Kristen Katolik Tentang Perkawinan
4.1.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah perjanjian antara pria dan wanita untuk membentuk kebersamaan
hidup dalam ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 98 Secara umum dapat dikatakan bahwa
perkawinan dilihat sebagai suatu perjanjian untuk membangun suatu kebersamaan hidup
antar pria dan wanita dengan tujuan kesejahteraan suami-istri dan keturunan.99 Kebersamaan
pria dan wanita harus menjadi tanda sakramen dari persatuan dan kasih Allah kepada
manusia serta persatuan dan kasih Kristus kepada umat-Nya.
4.1.1.1 Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik
Pemahaman tentang perkawinan dalam ajaran Gereja Katolik dirumuskan dengan
sangat mulia yakni sebagai suatu janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan
saling menerima, serta dimeterai oleh Allah sendiri, di mana perkawinan dilihat sebagai
hubungan cinta pria dan wanita yang disahkan lewat janji perkawinan dan merupakan
persekutuan hidup yang dilandasi oleh dorongan seksual, dorongan untuk mempunyai
keturunan dan saling memilih serta dorongan untuk menumpahkan kasih sayang. 100
Pengertian ini menegaskan bahwa perkawinan didorong oleh rasa cinta antara pria dan wanita
yang kemudian disahkan lewat sebuah janji perkawinan juga tidak bisa dipisahkan dari
dorongan seksual yang terarah kepada tujuan memperoleh keturunan, saling memiliki, saling
melengkapi serta dorongan untuk saling membagi kasih dan sayang.
Perkawinan juga dapat disebut sebagai pernikahan atau perjodohan.101 Perkawinan
disebut sebagai pernikahan atau perjodohan karena ada subjek yang melakukan tindakan
98Bimo Walgito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 2. 99Gregorius Kriswanta, Konvalidasi Perkawinan Pengesahan Gereja Yang Tidak Sah (Yogyakarta: Kanisius,
2019), p. 42. 100Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(LPKN), 1997), p. 837. 101 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis Dan Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), p. 361.
45
secara bebas. Maksud dilakukan secara bebas supaya keputusan yang mereka ambil untuk
menikah benar-benar datang dari dalam diri mereka sendiri atau atas dasar ikatan cinta kasih
yang total dengan persetujuan dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.
4.1.1.1.1 Kitab Hukum Kanonik (KHK)
Pandangan (KHK) tentang perkawinan terdapat dalam kanon, 1055-§ 1. “Menegaskan
bahwa, perjanjian (foedus) perkawinan, dengan laki-laki dan perempuan membentuk antara
mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada
kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) dan kelahiran serta pendidikan anak, antara
orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”.102
Dalam, kanon 1055 di atas dijelaskan bahwa gagasan utama perkawinan mencakupi
dua hal:
Pertama, perjanjian perkawinan. Kanon 1055 merupakan kanon doktrin yang
mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara pria dan wanita untuk
membentuk kebersamaan seluruh hidup. Hal ini mempunyai latar belakang pada dokumen
Konsili Vatikan II, Gaudium ets spes art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatu
perjanjian nikah (foedus coniugi) dan bukan sebagai contractus (sebuah kontrak).103
Kedua, tujuan perkawinan. Sebelum Konsili Vatikan II tujuan perkawinan yang
paling utama adalah untuk meneruskan keturunan. Setelah Konsili Vatikan II tujuan ini
bukan lagi menjadi utama dalam perkawinan, melainkan tujuan utamanya adalah untuk
kebahagiaan atau kesejahteraan suami-istri. Dalam terang Kodes baru menyebutkan tujuan
perkawinan ialah untuk kesejahteraan suami-istri, prokreasi dan pendidikan anak.104
Pemahaman perkawinan sebagai sakramen bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika
mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi
sah sekaligus sakramen.
4.1.1.1.2 Konsili Vatikan II
Pandangan Konsili Vatikan II tentang perkawinan terdapat dalam Gaudium et Spes no
48-52. Konsili memahami perkawinan sebagai “perjanjian” (covenant).105 Dalam pemahaman
102Gereja Katolik, Kitab Hukum Kanonik, penerj.V. Kartosiswoyo et.al., cetakan. I (Jakarta: Obor, 2006), p.
286. 103Robertus Rubiyatmoko. Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011),
p.17. 104Konstantinus Gedo, “Hubungan Seksual Sebagai Ekspresi Cinta Dalam Perkawinan Katolik” (Skripsi
Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2016), p. 30. 105Piet Go, Pokok-Pokok Moral Perkawinan Dan Keluarga Katolik (Malang: Dioma, 1990), p.12.
46
ini setidaknya terdapat dua hal penting yakni gambaran Konsili mengenai kehidupan
perkawinan yang dilihat sebagai sebuah persekutuan atau persatuan hidup dan penekanan
mengenai pentingnya suami-isteri membangun hidup bersama. Persekutuan yang diikat
dalam perjanjian perkawinan merupakan syarat bagaimana sebuah kehidupan bersama
sebagai suami-istri dibangun. Kehendak membangun kehidupan bersama yang dibangun
berdasarkan perjanjian serta dilindungi oleh hukum-hukum merupakan suatu persekutuan
dalam perkawinan yang mengarah kepada Allah. Allah menjadi tujuan utama karena Allah
adalah pendiri perkawinan itu sendiri.106 Cinta suami-istri tidak hanya dilihat sebagai sebuah
realitas spritual, melainkan juga realitas kehidupan duniawi. Cinta itu diekspresikan secara
istimewa dan disempurnakan melalui tindakan persetubuhan antara suami dan isteri.
Melalui tindakan kesetiaan hubungan suami-istri akan tetap dipersatukan secara intim
dan murni dalam hidup bersama. Kesetiaan dalam sebuah ikatan perkawinan pun salah
satunya ditentukan oleh sikap saling berkomunikasi secara baik dan terbuka, sikap
membangun hubungan yang mesra yang ditunjukan lewat perasaan kasih sayang dan
menciptakan suasana yang harmonis, serta membangun suatu komitmen yang kuat dalam
mempertahankan hubungan suami-istri melalui cara hidup yang saling terbuka dan berbagi.
Sikap-sikap yang demikian merupakan contoh yang dapat menjaga sekaligus mendukung
hubungan suami-istri dalam hal saling terbuka dan memberi diri.
4.1.1.1.3 Katekismus Gereja Katolik
Perkawinan adalah sebuah sakramen yang menjadikan seorang pria dan seorang
wanita bersatu dalam ikatan cinta kasih demi membentuk keluarga Kristen dengan bantuan
rahmat Allah. 107 Katekismus Gereja Katolik menekankan bahwa perkawinan ada dalam
rencana Allah sendiri. Asumsi ini dipertegas lagi oleh Katekismus Gereja Katolik yang
mengutip Gadium et Spes 48 yang berbunyi:
“Janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan saling menerima, dimeterai oleh Allah sendiri
dari perjanjian mereka timbulah satu lembaga berdasarkan peraturan ilahi, kokoh juga di depan
masyarakat” (GS 48-1). Perjanjian suami-istri digabungkan dalam perjanjian Allah dengan manusia:
“cinta kasih suami-istri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi” (GS 48-2).108
Hal ini berarti ikatan perkawinan diikat oleh Allah sendiri, sehingga perkawinan antara
orang-orang yang dibaptis yang sudah diresmikan dan dilaksanakan, tidak dapat diceraikan.
Ikatan cinta ini bertujuan untuk meneruskan kehidupan dalam suatu keluarga yang
106Ibid 107Pius Kila, Gereja Rumah Tangga Basis Gereja Universal (Jakarta: Obor, 2005), p. 103. 108Ibid., pp. 411-412.
47
didalamnya pria dan wanita saling memberi diri satu sama lain dan membiarkan Allah
memperkuat perjanjian cinta-Nya dengan umat manusia, sebab ikatan perkawinan diikat oleh
Allah sendiri. Perkawinan antara orang-orang yang sudah dibatis sudah diresmikan
dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan ini, timbul dari keputusan bebas antara pria dan
wanita. Bebas dalam arti perjanjian perkawinan tidak berada di bawah paksaan dan secara
hukum tidak menemukan halangan.
4.1.1.1 Perkawinan Menurut Kitab Suci
Berkaitan dengan poin ini, penulis mengarahkan perhatian pada pengertian
perkawinan menurut Kitab Suci; Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru melihat
perkawinan sebagai suatu pesekutuan yang justru dimulai sejak penciptaan pria dan wanita.
Panggilan untuk perkawinan sudah ada dalam diri pria dan wanita sebagaimana mereka
muncul dari tangan sang Pencipta. Allah menciptakan pria dan wanita dengan maksud agar
mereka dapat saling melengkapi satu sama lain dan lebih dari itu, supaya mereka dapat
bersatu untuk melahirkan anggota baru demi perkembangan manusia di atas bumi ini. Allah
menciptakan pria dan wanita atas dasar cinta-Nya. Karena itu cinta suami-istri dalam
perkawinan merupakan gambaran cinta Allah kepada mereka.109
4.1.1.1.4.1 Perkawinan Dalam Perjanjian Lama
Ajaran mengenai perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak ditentukan
secara sistematis tetapi ada pengalaman-pengalaman yang menunjukan adanya kepercayaan
dan praktik orang (Ibrani) sehubungan dengan perkawinan. Kepercayaan dan praktik itu
sangat mempengaruhi orang Kristen Gereja Perdana.110 Dalam Kitab Kejadian, kisah tentang
penciptaan manusia oleh Allah diungkapkan melalui firman-Nya, “…tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Allah mengambil salah satu tulang rusuk dari
Adam dan diciptakan-Nya seorang wanita yang diberi nama Hawa. Tindakan Allah ini
menunjukan pria dan wanita memiliki unsur kesatuan, berasal dari bahasa yang sama, tampil
sebagai dua makhluk yang berbeda tetapi setara atau sederajat. Singkatnya, cerita dari Kitab
Suci ini menunjukkan bahwa pria dan wanita itu sesungguhnya berbeda, tetapi justru karena
perbedaan itu, maka mereka dapat saling melengkapi. Pun menunjukan kesatuan mereka
yang erat, bahwa “daging-tulang” dari yang satu merupakan “daging-tulang” dari yang lain,
109Gregorius Noto, Bernadus Mau dan Venasius Syukur “Tiga Aspek Perkawinan Kristiani Menurut Injil
Mateus 19:5” (Makalah, STKIP Katekis St. Paulus Ruteng, 1997), p. 5. 110Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983 (Yokyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), p. 15.
48
hal ini terungkap dalam (Kej 2:23) “…inilah dia tulangku dan daging dari dagingku” suatu
perkataan yang mengungkapkan suatu kesatuan yang sangat mesra.
Tradisi iman yang lebih berkembang menempatkan asal-muasal kedua jenis manusia
itu, pria dan wanita, dalam kuat kuasa menciptakan dari Firman Allah. (Kej 1:27) Allah
berfirman “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Dengan ini
ditujukan bahwa sumber dari kesetaraan dan kesatuan mereka adalah firman Allah sendiri
yang kuat dan kuasa”.111
Selanjutnya Allah memberikan tugas untuk melanjutkan karya ciptaan-Nya.
Dikatakan bahwa Allah memberkati mereka seraya berfirman "Beranak cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej 1:28)
Tugas mulia yang diterima secara bersamaan. Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah;
pertama, bahwa adanya seksualitas, yakni kenyataan wanita, bukanlah sesuatu yang
kebetulan, tetapi dikehendaki dan diciptakan oleh Allah sendiri sebagai sesuatu yang baik,
berharga dan suci. kedua, bahwa perkawinan itu sendiri diberkati, direstui dan didukung oleh
Allah. ketiga, bahwa hakekat perkawinan adalah persatuan antara pria dan wanita yang
diberkati oleh Allah, lalu diberi tugas mereka oleh-Nya untuk meneruskan keturunan dan
memelihara bumi. 112 Singkat kata, keunikan hubungan antara pria dan wanita dalam
perkawinan telah menjadi simbol hubungan antara Yahwe dan umat-Nya. Perkawinan
menggambarkan bagaimana Allah berkomunikasi dengan umat-Nya. Dalam hal ini,
perkawinan itu sendiri adalah sesuatu yang baik, kudus dan suci.
4.1.1.1.4.2 Perkawinan Dalam Perjanjian Baru
Mengenai makna tentang perkawinan yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
tidak ada ajaran yang secara sistematis. Namun ada beberapa ayat Kitab Suci yang menjadi
dasar pemikiran yakni, terdapat dalam Injil Lukas 5: 34 dilukiskan “Dapatkah sahabat
mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedangkan mempelai itu bersama mereka”. Di sini
Yesus berbicara mengenai mempelai pria. Tuhan Yesus mengemukakan sebuah konsep yang
baru sama sekali dengan mengatakan bahwa Dialah pengantin laki-laki dan Gereja umat dan
111Ibid., p. 17. 112Benyamin Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
2007), p. 19.
49
para pengikut-Nya adalah pengantin wanita. 113 Konsep ini Tuhan Yesus menegaskan
hubungan antara suami dan istri tidak ada penceraian dalam perkawinan. Tuhan Yesus
menghendaki perkawinan suami-istri yang bersifat monogam dan tak terceraikan sebagai
simbol hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dengan Gereja. Perkawinan yang
monogam dan tak terceraikan berakar dalam penyerahan pribadi yang menyeluruh antara
suami-istri dalam perkawinan menunjukan hubungan yang tetap dan tak terpisahkan. Seperti
hubungan Yesus dan jemaat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.114 Dan dalam injil
(Yoh 2:1-11) tentang perkawinan di Kana, nampak respek Yesus yang tinggi terhadap
perkawinan. Menurut penginjil ini, tindakan Yesus yang pertama dalam karya penyelamatan-
Nya terjadi dalam satu perkawinan yang kebetulan berlangsung di Kana.
Perkawinan pun merupakan suatu hubungan yang mengekspresikan dan lebih dari itu
simbol hubungan Kristus dengan Gereja-Nya (Ef 5:22 dst). Karena itu gambaran hubungan
antara Yahwe dan umat-Nya atau Kristus dan Gereja-Nya harus merupakan model untuk
menentukan tuntutan-tuntutan etis suatu perkawinan Kristus.
4.1.2 Tujuan Perkawinan Katolik
Tujuan perkawinan Katolik adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Namun keluarga yang bahagia mestinya diwujudkan melalui ungkapan konkret dalam
keseharian hidup yakni kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak, pendidikan anak dan
kebapak-ibuan yang bertangung jawab. Artinya setiap perkawinan memiliki tujuan-tujuan
yang sudah terkandung di dalam perkawinan itu sendiri sebagai realitas natural. Karena itu,
mesti diungkapkan dalam tindakan konkret keseharian bagaimana suami mesti
memperlakukan istrinya demikian pun sebaliknya bagaimana istri mesti memperlakukan
suaminya.
Beriman Katolik harus mempunyai tujuan yang jelas dalam membangun hidup
berkeluarga untuk menghindari kemungkinan mereka hanya asal menikah atau mereka hanya
melihat cinta pada intinya bukan sekadar perkara nafsu birahi, rasa tertarik, simpati atau
asmara melainkan suatu keputusan pribadi untuk bersatu. Cinta sebetulnya sebuah
keterarahan untuk menyerahkan diri demi kebahagian pasangan. Seorang pria dan seorang
wanita yang hendak bersatu bukan sekedar realitas perbedaan kelamin melainkan sebuah
113Ibid. 114Ibid., p. 20.
50
fakta belahan jiwa serta teman seperjalanan. Di sini termasuk makna kelahiran dan
kebersamaan hidup suami-istri. Allah sendirilah yang menghendaki persekutuan mereka.115
4.1.2.1 Kesejahteraan Suami-Istri
Perkawinan yang dikehendaki oleh Allah selain tertuju pada tindakan prokreasi,
bertujuan pula pada penyatuan suami-istri agar mereka saling menolong dalam kesamaan
martabat dan mengusahakan kesejahteraan dalam hidup keluarga. Namun kesejahteraan
suami-istri dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang, dengan sudut pandangnya. Ada
orang yang berpandangan bahwa suami-istri dikatakan sejahtera bila mempunyai harta yang
berlimpah serta rumah yang besar dan mewah. Ada yang berpandangan bahwa karier dan
jabatan yang menganjak menjadi bukti kesejahteraan suami-istri. Ada yang berpandangan
bahwa bukti suami-istri itu sejahtera apabila mempunyai pelbagai gelar, baik akademis
maupun kebangsawanan. Masih ada banyak pandangan yang dijadikan tolak ukur untuk
memahami kesejahteraan suami-iastri.
Kesejahteraan suami-istri bukan pertama-tama berkaitan dengan harta berlimpah,
rumah yang besar dan mewah, karier dan jabatan yang menganjak, gelar akademis dan
kebangsawanan, tetapi lebih dari itu. Kesejahteraan suami-istri yang dimaksudkan adalah
kebersamaan hidup yang dialami dan dirasakan oleh suami-istri yakni:
Pertama, mereka dapat saling memberikan diri dan menerima pasangannya dengan penuh kasih dan
ketulusan hati, termasuk ketika melakukan hubungan persetubuhan. Melalui pemberian diri dan
penerimaan terhadap pasanganya, mereka diharapkan dapat hidup sehati, seperasaan, dan sepikir dalam
menekuni hidup berkeluarga.
Kedua, mereka dapat saling meneyesuaikan dan menyempurnakan pasanganya. Dengan membangun
hidup berkeluarga bukan berarti keduanya lalu saling meleburkan dirinya, melainkan mereka tetap
hidup dengan dirinya masing-masing, yang meliputi kepribadiannya, pola pikiranya, harapanya, dan
sebagainya. Mereka tetap berbeda satu sama lain. Justru dalam keberbedaan ini, mereka diharapkan
dapat mengembang suburkan semangat dan saling menyesuaikan, saling melengkapi, dan saling
menyempurnakan pasangannya.116
Dengan demikian perkawinan menuntut kesetiaan, cinta kasih, dan menyempurnakan
timbal balik suami-istri. Seperti yang ditegaskan dalam Konsili Vatikan II dalam Gadium et
spes 48 menunjukan bahwa perkawinan tertuju pada kesejahteraan suami-istri, anak-anak,
dan masyarakat.117 Kesejahteraan suami-istri dan anak mempunyai arti yang penting bagi
pertumbuhan cinta, yang didasarkan pada ketulusan dan kerendahan hati.
115T. Gillarso, Membangun Keluarga Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p.13. 116L. Prasetya, Allah Memberkati Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Kanisius, 2014), p. 18. 117R. Hardawiryana, op. cit., p. 529.
51
4.1.2.2 Kelahiran Anak
Konsili Vatikan II menekankan aspek personalistik dan relasional dari perkawinan,
sehingga perkawinan diarakan pertama-tama dan terutama demi mewujudkan kesejahteraan
pasangan suami-istri.118 Namun aspek ini tidak boleh mengaburkan atau menguburkan tujuan
kodrati perkawinan dan cinta-kasih sumi-istri yakni terarah kepada kelahiran. Setiap
perkawinan dan keluarga memiliki tujuan kodrati untuk menciptakan keturunan dan
meneruskan generasi. Dalam hal ini suami-isteri menjadi pelayan dan rekan kerja Allah
dalam karya penciptaan manusia-manusia baru. Bahkan biasanya dikatakan bahwa
perkawinan dan keluarga adalah satu-satunya institusi natural yang bertujuan untuk
melahirkan dan mendidik anak.
Namun memperoleh keturunan merupakan tujuan perkawinan yang kedua, setelah
cinta kasih. Karena cinta sejati antara suami-isteri menghendaki persatuan, dan kesatuan ini
hanya bisa terwujud apabila suami mencintai istri secara mesra serta memberi kepadanya
bibitnya dalam suatu penyerahan diri total, sambil istri membiarkan cinta mengalir dan
meresap kedalam tubuh dan pribadinya. Dalam perpaduan cinta yang paling intim dan paling
dalam ini suami-isteri mengalami saat-saat kreativitas yang paling luhur hidup mereka. Anak
inilah bukti perpaduan cinta suami-isteri yang sangat membahagiakan orang tuanya serta
memperkokoh ikatan cinta antara keduanya.
4.1.2.3 Pendidikan Anak
Kelahiran anak membawa konsekuensi terhadap pendidikan anak. Orang tua harus
mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, meski tidak mudah, pada
masa kini. Tugas mereka seharusnya memikirkan dan mengupayakan pendidikan yang utuh
dan menyeluruh. Orang tua mempunyai kewajiban dan hak primer untuk sekuat tenaga
menempah pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.
Gereja Katolik sudah mengajarkan bahwa prokreasi dan pendidikan anak adalah tujuan dari
perkawianan. Anak dilihat sebagai buah cinta dari perkawinan mendapat tempat terhormat
dalam keluarga. Dalam hal ini Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “berdasarkan ciri
kodratinya, lembaga nikah dan cinta kasih suami-istri diarahkan dan seolah-olah dimahkotai
oleh pengadaan keturunan dan pendidikan anak-anak”.119
Selanjutnya, tugas utama suami-istri sebagai orang tua adalah mendidik anak-anak.
Orang tua bukan hanya mengambil bagian dalam karya penciptaan, yakni menghasilkan
118Catur Raharso, op. cit., p. 53. 119J. Riberu, loc. cit. 529.
52
keturunan, melainkan juga mendidik anak-anaknya agar mereka dapat hidup sepenuhnya
sebagai pribadi manusia. Tugas mendidik anak merupakan mahkota dan kelengkapan
pengabdian bagian dalam karya penciptaan. Anak-anak dididik dengan cinta dan kasih
sayang yang telah diterima orang tua dari Allah sendiri agar mereka juga dapat menjadi
pribadi manusia yang kelak sanggup mewariskan cinta kasih tersebut.
4.1.2.4 Kebapak-Ibuan Yang Bertanggung Jawab
Meneruskan kehidupan merupakan penerusan yang khas bagi suami-istri dalam
keluarga. Tugas ini menuntut penghayatan akan nilai martabat akal budi manusia. Sebab
Tuhan menekankan hubungan cinta mereka serta bagaimana keduanya menjadi orang tua
yang baik dalam memelihara dan mendidik anak. Orang tua yang bertanggung jawab adalah
mereka yang sungguh-sungguh menjalankan tugas secara baik, misalnya dalam mendidik,
membesarkan anak-anak dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan dalam keluarga.
Ide kebapa-ibuan yang bertanggung jawab dapat dipahami kalau ada keyakinan dari
pihak suami-istri bahwa meneruskan kehidupan merupakan kerja sama dengan Allah. Suami-
istri perlu mengerti, Sabda Allah agar dapat menghayati cinta yang sesungguhnya yaitu
melahirkan dan memelihara anak-anak. Karena tindakan yang paling bijaksana dalam
kebapa-ibuan yang bertanggung jawab adalah menjawab cinta yang diterima dari Allah
dengan cinta yang serupa dengan cinta Allah.120
Kebapa-ibuan yang bertanggung jawab terwujud dalam keputusan mereka dengan
berani dan bebas menentukan kelahiran anak. Orang tua berhak menentukan kelahiran anak
dan merencanakan berapa besar jumlah anggota keluarga. Gereja Katolik menekankan
kebebasan dan tanggung jawab orang tua dalam menunaikan tugas untuk meneruskan
kehidupan.
4.1.3 Hakikat Perkawinan Kristen Katolik
Pada prinsipnya, perkawinan Gereja Katolik memiliki hakikatnya yang terdalam yang
mesti dijunjung tinggi oleh setiap pasangan suami-istri Katolik. Hakikat perkawinan dalam
Gereja Katolik dalam konteks ini perlu diperhatikan oleh pasangan Katolik yang hendak
mengikrarkan janji pernikahan. Jika setiap pasangan Katolik mengerti akan hakikat
perkawinan ini, maka keharmonisan dalam keluarga Kristiani tersebut dapatlah dirasakan.
120Petrus Simarmata, “Keluarga Sejahtera Sebagai Fokus Pastoral”, Majalah Menjemaat, 9 Febuari 2020, p.11.
53
4.1.3.1 Perkawinan Sebagai Persekutuan Cinta
Perkawinan Kristiani dihidupi dan dikembangkan atas dasar cinta. Karena cinta,
suami-istri dipersatukan melalui sakramen perkawinan. Cinta menjiwai seluruh hidup pria
dan wanita. Cinta menjiwai setiap hak dan kewajiban sebagai suami-istri. Dan karena
besarnya peranan cinta dalam hidup perkawinan maka perkawinan dilihat sebagai sebuah
persekutuan cinta yang mengambil bagian dari cinta ilahi. Hal ini dipertegaskan lagi dalam
Konsili Vatikan II Gaudium et spes no 49, bahwa: “Cinta yang murni dalam perkawinan
harus diterangkan dengan sejelas mungkin, sehingga setiap orang dapat membedakan yang
benar dan yang palsu”.121
Penekanan dari Konsili Vatikan II di atas mau menjelaskan kepada seluruh umat
dalam pandangan yang sangat pesimistis dari pasangan suami-istri Kristen, yang melihat
sebuah hubungan cinta dalam perkawinan hanya sebuah ucapan sandiwara dalam kata-kata
bualan dan tanpa menuntut suatu tindakan yang nyata. Selain itu, sangatlah nampak adanya
penekanan perkawinan pada masa kini. Di mana pada zaman dahulu perkawinan berjalan
dengan cinta yang di atur oleh orang tua. Persatuan antara suami-istri itu bukan atas inisiatif
mereka sendiri melainkan dorongan atau paksaan dari orang tua. Ada juga anggapan bahwa
setiap pasangan suami-istri baru belajar saling mencintai setelah mereka hidup bersatu dalam
perkawinan. Anggapan ini sangat kontradiktif dengan kenyataan masa kini. Pada masa kini,
cinta itu dinggap sebagai motif utama dalam memilih pasangan hidup. Inisiatif pemilihan
pasangan itu bukan lagi berasal dari orang tua, melainkan dari pribadi yang besangkutan.
Peralihan ini tidak berarti menafikan atau mengesampingkan keterlibatan orang tua untuk
turut mendukung dan merestui.
Hal ini menjadi suatu yang baru yang dapat digunakan dalam pemilihan pasangan
masa kini. Hal baru itu yakni pengungkapan cinta tidak selalu diatur oleh orang tua, tetapi
lebih berdasarkan kontak pribadi yang intim dan mendalam. Dengan demikian kontak dan
hubungan intim itu sangatlah perlu. Untuk itu cinta mendapat kedudukan yang pertama selain
diatur oleh orang tua. Karena itu dasar utama untuk kelangsungan hidup bersama antara
suami dan istri adalah cinta. Setiap tindakan, pergaulan, hak dan kewajiban dalam hidup
perkawinan haruslah merupakan cetusan cinta, diresapi cinta dan tujuan untuk
mengembangkan cinta itu sendiri.122
121 Ibid., p. 17. 122C. Maas, “Teologi Moral Perkawinan” Bahan Kuliah, (Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 1997), p. 79.
54
4.1.3.2 Perkawinan Sebagai Sakramen
Kata Latin sacramentum dan Yunani mysterion merupakan kata yang mulai digunakan
dalam agama Kristen untuk sakramen, mysterion digunakan untuk secara khas mewahyukan
penyerahan diri Allah, yang mendapat ungkapan di dalam kematian dan kebangkitan Yesus.
Jadi perkawinan terjadi erat dengan mysterion wafat dan kebangkitan Kristus yang penuh
makna; maka perkawinan Kristiani turut mengambil bagian dalam misteri ini.123 Sakramen-
sakramen merupakan tanda-tanda efektif kehadiran Allah yang menyelamatkan pada momen
penting hidup manusia. Perkawinan juga merupakan tanda, kasih ilahi bagi keluarga dengan
irama hidup yang khas dan sah antara orang-orang yang dibaptis khususnya, notabene antara
orang Katolik dengan sendirinya merupakan perkawinan yang sakramental. Perkawinan
sebagai sakramen mengandung makna bahwa perkawinan bukanlah sekedar urusan manusia
belaka tapi Allah hadir didalamnya yang menggambarkan persatuan yang penuh antara Allah
dan umat-Nya, antara Kritus dan GerejaNya.
Perkawinan katolik yang sah dan sakramental tidak mungkin dibatalkan oleh kuasa
siapapun, hanyalah kematianlah yang membubarkan perkawinan tersebut. 124 Hal ini
dipertegaskan kanon 1141 bahwa; “Perkawinan sah ratum dan disempurnakan dengan
persetubuhan contumantum tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan
atas alasan apapun, kecuali oleh kematian.”125 Oleh karena itu dalam sakramen perkawinan,
suami-istri merupakan tanda kehadiran Allah. Untuk saling mencintai satu sama lain dan
menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah yang patut disyukuri.
4.1.3.3 Perkawinan Sebagai Perjanjian
Gagasan perkawinan sebagai perjanjian (matirimoniale foedus) ini bersumber pada
konsili vatikan II (GS 48) yang pada giliranya menimba inspirasi dari Kitab Suci khususnya
kitab Nabi-Nabi. Perkawinan sebagai perjanjian yang menunjukan tanda hubungan antara
Tuhan dan umat-Nya dalam perjanjian lama (Yahwe-Israel dan perjanjian baru Kristus-
Gereja).126 Perjanjian dalam perkawinan merupakan sebuah perjanjian unik yang digerakan
oleh cinta Allah. Allah menciptakan manusia antara pria dan wanita dari cinta demi cinta, dan
Allah juga memanggil mereka untuk saling mencintai. Objek material dari perjanjian
123Piet Go, op. cit., p. 34. 124Yohanes Servatius Boylon, 10 Pilar Perkawinan Katolik Yang Sah (Yogyakarta: Amara Books, 209), p. 44. 125Piet Go, op. cit., p. 184. 126Ibid., p. 6.
55
perkawinan adalah penerimaan dan pemberian diri antara pria dan wanita dalam relasi cinta
seumur hidup.127
Sehingga suami-istri mesti setia mewujudkan janji yang telah diikrarkan bersama
waktu pernikahan. Faktor yang mewajibkan suami-isteri melakukan janji kebersamaan adalah
“Keyakinan bahwa janji perkawinan memiliki nuansa manusiawi dan adikodrati. Di satu sisi,
ada tekad yang begitu besar dalam diri manusia untuk membentuk kebersamaan hidup yang
langgeng. Di sisi lain, menyatakan kebutuhan manusia akan rahmat Allah dalam memenuhi
isi janji nikah dalam hidup selanjutnya”.128 Dengan demikian jelas, kesepakatan menikah
merupakan kehendak pribadi orang yang menikah, yang tidak dapat dipaksa oleh kuasa
manapun, entah orang tua atau pun otoritas publik karena hal tersebut besifat unitas dan
ekskutif.
4.1.4 Halangan-Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan
Halangan-halangan perkawinan yang akan dibahas tidak boleh dipandang secara
terpisah, melainkan arti dan perannya harus dilihat dalam kerangka tujuan perkawinan itu
sendiri, dalam kaitanya dengan kesejahteraan individu, pasangan suami-istri sendiri, dan
masyarakat. Pada hakikatnya halangan nikah adalah undang-undang atau norma, yang
sifatnya dan isinya melarang seseorang untuk menikah serta menghalangi peneguhan nikah
secara sah. Halangan nikah merupakan UU yang membuat “tidak mampu” dalam arti
langsung mengenai pribadi orang yang akan menikah serta membuatnya tidak mampu untuk
mewujudkan perkawinan.
4.1.4.1 Halangan Umur
Perkawinan dalam Gereja Katolik menuntut pertama-tama pada pihak-pihak yang
akan menikah, kematangan biologis-seksual untuk melaksanakan tugas-tugas perkawinan,
yang menurut kodratnya terarah kepada kelahiran anak. Kematangan biologis-seksual
tersebut biasanya diawali ketika seorang mencapai usia pubertas. Namun Gereja tidak
menggunakan pubertas sebagai patokan atau norma untuk pernikahan.129 Tetapi umat Katolik
di seluruh dunia dari berbagai suku, bangsa, dan budaya mengikuti sebuah patokan yang
kurang lebih bisa berlaku secara universal bahwa:
127Catur Raharso, op. cit., p. 32. 128Yohanes Servatinus Boylon, op. cit, p. 55. 129Catur Raharso, Halangan-Halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2005), p. 66.
56
“Age. A man under sixteen or a woman under fourteen years of age Canon law. 1083”.130 (Dalam
hukum kanonik 1083. Menegaskan bahwa, “seorang pria sebelum berumur genap enam belas tahun,
dan seorang wanita sebelum berumur genap empat belas tahun, tidak dapat menikah dengan sah”).
Halangan karena belum mencapai batas usia minimal ini, pria genap enam belas tahun
dan wanita genap empat belas tahun, maka otoritas yang berwenang dapat memberikan
dispensasi kalau ada alasan-alasan yang sangat berat. Sedangkan bagi calon pasangan yang
ingin melangsungkan perkawinan tetapi pihak pria masih “jalan enam belas tahun dan pihak
wanita masih “jalan empat belas tahun, dispensasi hanya dapat diberikan oleh otoritas yang
berwenang kalau ada alasan yang berat. 131 Tanpa dispensasi dari otoritas Gereja yang
berwenang, perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan Katolik yang belum mencapai
batas usia minimal tersebut adalah perkawina yang tidak sah.
Oleh karena itu, dispensasi dari halangan umur bisa diberikan kalau seorang telah
memiliki kematangan intelektual, emosional dan psikofisik untuk mengemban tugas-tugas
perkawinan. Hal ini adalah demi keabsahan kesepakatan nikah, yang tidak bisa didispensasi
dan tidak bisa digantikan oleh kuasa manusiawi mana pun (kanon. 1057-§ 1)132 Dengan
demikian, batasan usia minimal yang dituntut oleh kanon. 1083 di satu pihak dan tuntutan
kematangan intelektual dan psikoseksual di lain pihak saling mengandaikan, menguatkan dan
melengkapi satu sama lain. Usia minimal, bahkan yang lebih tinggi, dituntut agar jaminan
kematangan intelektual dan psikoseksual bisa diperoleh dengan lebih pasti.
4.1.4.2 Perkawinan Beda Agama
Pada dasarnya perkawinan Kristiani adalah perkawinan iman. Dalam seruan apostolik
familiaaris consortio (1981), Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa perkawinan
Kristiani adalah peristiwa iman.133 Dimana persiapan perkawinan itu sendiri harus dilihat dan
dihayati sebagai peziarahan iman, yakni sebagai kesempatan paling baik bagi calon pasangan
untuk memperdalam iman yang telah diterima dalam pembaptisan dan yang telah ditumbuh
kembangkan dengan pendidikan kristiani.
Kanon: 1086-§1. menegaskan bahwa “perkawinan antara dua orang Katolik dengan orang yang tidak
dibaptis tidak dapat menikah dengan sah, selain dengan dispensasi dari halangan nikah atau halangan
nikah beda agama”. 134 Hal ini dipertegas lagi dalam Kanon. 1125 dan jika ingin melangsungkan
130James A. Coride, An Introduction To Canon Law (United States Of America: Paulist Press New York /
Mahwah, 2004), p. 140. 131 Moses Komela Avan, Kebatalan Perkawinan Pelayanan Hukum Gereja Dalam Proses Menyatakan
Kebatalan Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 2014.), p. 47. 132Catur Raharso, op. cit., p. 69 133Ibid., p. 42. 134Piet Go, op. cit., pp. 78-79.
57
perkawinan beda agama maka perlu diatur oleh konferensi wali Gereja seperti yang dijelaskan dalam
kanon. 1126.135
Perkawinan beda agama dilihat sebagai suatu hal yang dapat membahayakan peristiwa
perjalanan iman seorang kristiani. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu
dilindungi dengan cinta dan bakti. Selain itu juga perbedaan agama dapat menghambat
kesulitan dalam berkomunikasi sempurna antara pasangan suami-istri dan antara anak-
anaknya. Sebab untuk komunikasi yang mendalam diperlukan pengenalan intensif akan latar
belakang pikiran, perasan dan gambaran kedua belah pihak mengenai pelbagai masalah
pembentukan kesatuan dalam perkawinan.
Orang Katolik hanya diperbolehkan menikah dengan orang yang berlainan agama bila
telah mendapatkan dispensasi atau izin dari pimpinan Gereja Katolik yang berwenang dan
disertai janji dari pihak yang bukan Katolik bahwa tidak akan menghalang-halangi
pelaksanaan kewajiban agama apabila perkawinan dilangsungkan begitu saja tanpa dispensasi
dari halangan maka perkawinan seorang Katolik dengan seorang yang tidak dibaptis itu tidak
sah. Ada berapa alasan yang menjiwai peraturan tersebut:
Pertama, demi menjamin iman dan agama umatnya. Pernikahan dengan pihak nonbaptis tentunya
dapat saja membahayakan kesetiaan iman kepada Kristus.
Kedua, pendidikan anak akan lebih mudah terarah kepada nilai-nilai dan ajaran kristiani. Pernikahan
dengan pihak nonkristen akan menyulitkan pendidikan anak sesuai nilai-nilai tersebut.
Ketiga, perkawinan dengan pihak nonbaptis tidak dapat mewujudkan secara penuh pesatuan Allah
dengan umat-Nya, dan antara Kristus dengan Gereja-Nya.136
Dan jika orang Katolik terpaksa menikah dengan orang yang beragama nonkristen maka
dituntut adanya dispensasi dari uskup atau wakilnya. Umumnya, dispensasi hanya diberikan
setelah ada persyaratan dari pihak Katolik untuk tetap setia kepada imannya dan berjanji
untuk berusaha sekuat tenaga mendidik anak secara katolik. Sementara itu pihak nonkatolik
dituntut untuk mengetahui dan menghargai pernyataan pihak Katolik tersebut.
4.1.4.3 Halangan Tahbisan Suci
Tahbisan suci diakonat, imamat, dan episkopal merupakan suatu halangan yang
menggagalkan perkawinan yang sah. Canon 1087- “a person who has received sacred orders
attempts marriage invalidly”.137 (Kanon: 1087 menegaskan bahwa: “tidak sah perkawinan
yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci). Kaum tertahbis
135Ibid. 136Yohanes Servatius Boylon, op. cit., p. 46. 137Kevin E. Mc Kena, The Concise Guide Series A Concise Guide To Canon Law A Practical Handbook For
Pastoral Ministers (America: Ave Maria, 1999), p. 69.
58
terikat selibat karena mereka dipanggil kepada satu intimasi yang khusus dengan Tuhan.
Dimana tahbisan suci mengandung pengudusan dan mereka dipercayakan oleh Gereja untuk
kehidupan selibat dan terarah kepada pengabdian total dan komitmen penuh dedikasi tanpa
pamrih dalam pelayanan rohani. Yakni dalam pelayanan sabda, perayaan liturgi dan
pemberian sakramen-sakramen serta pelayanan demi kesatuan dan kesejahteraan jemaat.138
Dengan melaksanakan tugas-tugas menguduskan dan memimpin, selaku pribadi Yesus
Kristus. Ketentuan ini yang menjadi halangan nikah bukanlah status itu sendiri, melainkan
tahbisan suci yang telah diterima.
Halangan tahbisan-tahbisan suci ini secara umum dipahami berasal dari hukum
Gereja, karena itu dapat diberi dispensasi. Oleh Takhta Suci, yang ditegaskan dalam Kanon
1078-§ 2. Halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi takhta Apostolik ialah:
“halangan yang timbul dari tahbisan suci atau dari kaul kekal publik kemurnian dalam suatu
tarekat religius bertingkat kepausan”.139 Dispensasi mencakupi dua hal, yang bisa disebut
dengan laisasi (proses menjadikan seorang tertahbis menjadi awam kembali) dan dispensasi
dari selibat sehingga memungkinkan dilangsungkannya pernikahan secara sah.140
4.1.4.4 Halangan Kaul Kemurnian Publik Dan Kekal
Kaul kekal secara publik yang diikrarkan oleh seorang biarawan–biarawati, yakni
yang diakui oleh Takhta Suci. Mereka yang telah mengikrarkan kaul kemurnian publik dan
kekal menjadi suatu halangan yang menggagalkan perkawinan. Halangan ini diletakan pada
kaul kemurnian publik dan kekal karena kaul tersebut membawa serta kewajiban bertarak
sempurna dalam selibat sebagaimana terdapat dalam kanon. 599:
“Nasihat Injil kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan
datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta
kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”.141
Nasihat Injil yang dijanjikan dengan mengikrarkan kaul kekal secara publik dalam tarekat
religius, jelas berlawanan arah dengan janji yang diikrarkan dalam perkawinan. Pada
dasarnya, kedua bentuk hidup ini sangat bertolak belakang dalam tujuan dan makna
penghayatan. Di mana dalam kanon 1088 menegaskan bahwa, tidak sah perkawinan yang
dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu
138A. Eddy Kristiyanto (ed.), Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2006), p. 65. 139V. Kartosiswoyo, op. cit., p 291. 140Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.
77. 141Benyamin Yosef Bria, op. cit., p. 56.
59
tarekat religius. 142 Artinya bahwa tanpa dispensasi, maka perkawinan yang dicoba
dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam
suatu tarekat religius adalah tidak sah.
4.1.4.5 Perkawinan Berstatus Berhubungan Darah
Hubungan darah dalam suatu keluarga besar biasanya digambarkan seperti sebuah
pohon dengan satu pokok yang memiliki banyak ranting dengan banyak buah, sehingga
sering disebut pohon keluarga. Oleh karena itu, dalam hubungan darah ditentukan ada garis
keturunan lurus dan ada garis keturunan menyimpang. Kanon, 108 menjelaskan apa yang
disebut garis keturunan lurus dan garis keturunan menyamping. Garis keturunan lurus ada
antar orang-orang merupakan turunan dari pokok yang sama di mana orang-orang merupakan
keturunan secara lurus berurutan satu dari yang sebelumnya, berangkat dari pokok yang sama
orang tua-anak-cucu-cicit, dan seterusnya. Garis keturunan menyamping ada antara mereka
yang punya pokok yang sama, tetapi yang satu bukanlah turunan langsung dari yang satunya
saudara-saudara sepupu-ponakan, dan seterusnya. 143 Hubungan darah dihitung dengan
tingkat, berati dihitung berdasarkan jarak antara orang-orang yang berhubungan darah. Hal
dimaksudkan supaya garis dan tingkat paling dekat setiap keluarga memelihara keutamaan-
keutaman serta membuka diri dan membentuk ikatan keluarga yang lebih besar demi
perkembangan masyarakat yang sehat.
Halangan hubungan darah garis keturunan lurus, pada tingkat mana pun tidak pernah
dapat diberikan dispensasi oleh otoritas mana pun (kanon. 1078-§ 3).144 Dan berdasarkan
nilai moral, perkawinan sedarah itu dilihat sebagai perkawinan yang tidak sesuai dengan nilai
moral manusia, karena hubungan sedarah sangat berakibat buruk terhadap kesehatann fisik,
psikologi, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan serta dapat merugikan
masyarakat.145 Karena itu, Gereja Katolik tidak mau mengambil risiko melanggar hukum
ilahi, maka dalam keraguan menempuh jalan yang lebih aman Gereja Katolik tidak memberi
dispensasi yang mengandung risiko mengizinkan perkawinan antara mereka yang masih
mempunyai hubungan darah garis lurus dan garis menyamping.
142Philip Ola Daen, Pelayanan Tribunal Perkwinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.), p. 11. 143Moses Komela Avan, op. cit., p. 44. 144Ibid., p. 45. 145Piet Go, op. cit., p. 74.
60
4.1.4.6 Halangan Ligamen
Kanon 1085-§ 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang
yang terkait perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum. § 2.
Meskipun perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputuskan atau alasan apa pun,
namun karena itu saja seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sebelum ada
kejelasan secara legitim.146
Kanon di atas dipertegas lagi dalam pemahaman dalam ajaran Gereja Katolik tentang
perkawinan dicanangkan sebagai sifat-sifat hakiki perkawinan monogami dan sifat tak
terceraikan perkawinan. Maka dari itu selama seorang masih terikat perkawinan, ia tak dapat
melangsungkan perkawinan lain. Gereja tidak mengenal perkawinan ulang dari orang yang
terikat perkawinan sebelumnya, kecuali perkawinan sebelumnya sudah dideklarasikan tidak
ada invalid oleh Tribunal dan Paus. Pada prinsipnya, perkawinan Gereja Katolik itu hanya
berakhir pada saat kematian dari salah satu pasangan.
4.1.4.5 Impotensi
Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam
perkawinan.147 Halangan yang menggagalkan perkawinan salah satunya ketidakmampuan
untuk melakukan hubungan seksual suami-istri menurut pengertian di atas disebut impotensi.
Impotensi bisa mengenai pria maupun wanita. Menurut kanon. 1084-§1. Impotensi
merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni
jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak atau pun
relatif. 148 Dan dikatakan mutlak jika ketidakmampuan ini menghalangi seorang untuk
melakukan hubungan suami-istri dengan siapa pun. Sedangkan relatif yaitu, jika ketidak
mampuan itu hanya terjadi jika persetubuhan dilakukan dengan pasangan sendiri. Ini juga
merupakan halangan perkawinan.149
Secara umum dikatakan bahwa halangan ini ditarik dari hukum natural ilahi, makanya
tidak dapat diberi dispensasi. Apalagi, impotensi tidak memungkinkan suami-istri itu menjadi
“satu daging”, yang menjadi tujuan hakiki dan khas perkawinan. Alasan yang melatar
belakangi halangan ini adalah seperti yang dijelaskan Santo Tomas Aquinas dalam Summa
Theologica bahwa dalam perkawinan ada suatu kontrak di mana seorang terikat untuk
146Philip Ola Daen, op. cit., pp. 15-16. 147Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Macam-Macam Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan
(Yogyakarta: Yayasan Pustakan Nusatama), p. 85. 148Catur Raharso, op. cit., p. 73. 149Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2012), p. 64.
61
menjalankan kewajiban perkawinan kepada pasanganya. Sama seperti dalam kontrak yang
lain, ikatan kontrak itu tidak akan berlaku jika salah satu pihak dari dirinya sendiri tidak dapat
menjalankan apa yang menjadi kewajibanya; hal itu berlaku juga dalam perkawinan di mana
kontrak perkawinan itu akan tidak berlaku kalau salah satu pihaknya tidak mampu
menjalankan kewajiban perkawinan itu.150
4.1.4.5 Halangan Penculikan
Pada halangan penculikan ini kanon 1089, berbicara tentang perkawinan yang tidak
sah kalau dilangsungkan antara pria atau wanita yang untuk tujuan perkawinan telah
menculik dan pihak wanita atau pun pria. Dimana dalam kanon, 1089 menegaskan:
“Antara pria dengan wanita yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud
untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah wanita itu
dipisahkan dari penculikan serta berada di tempat yang aman dan merdeka, secara bebas
memiliki perkawinan itu.”151 Inti yang mendasari ketentuan hukum dalam kanon ini adalah
ikatan perkawinan tidak dapat didirikan di mana tidak ada kehendak bebas dari kedua belah
pihak yang hendak mendirikan perkawinan itu. Penculikan dan penahanan sebagai perbuatan
kekerasan yang melawan kehendak bebas.152
Perbuatan penculikan dan penahanan dapat dialami, baik secara fisik maupun
pisikologi sebagaimana kekerasan yang menekankan kehendak bebas. Mempertimbangkan
akibat penculikan dan penahanan, baik secara fisik maupun pisikologi atas kebebasan
kehendak dalam memberikan kesepakatan nikah, kanon. 1089 menggunakan ungkapan yang
sangat jelas, bahwa dalam kasus seperti itu perkawinan bukan hanya tidak sah, tetapi bahwa
tidak ada perkawinan.
4.1.5 Sifat-Sifat Perkawinan Kristiani
Kanon. 1056 menegaskan bahwa, “sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan
tak terputuskan, yang dalam perkawinan Gereja Katolik memperoleh kekuatan khusus karena
sakramen”. 153 Hal yang menjadi dasar utama dalam perkawinan Gereja Katolik adalah
mengaktualisasikan hubungan mesra antara suami-istri menyerupai ikatan kesetiaan antara
Kristus dan Gereja. Kesetiaan yang dimaksud adalah suami-istri mesti saling komitmen untuk
150Philip Ola Daen, op. cit., p. 15. 151Catur Raharso, op.cit., p. 101. 152Moses Komela Avan, op. cit., p. 50 153Piet Go, op. cit., p. 11
62
bersatu dan solider satu dengan yang lain (monogam) serentak harus berlangsung seumur
hidup (tak terceraikan).
4.1.5.1 Monogam
Sifat-sifat hakiki perkawinan yakni monogam dan sifat tak terputuskan ikatan
perkawinan, termaksud paham perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran
serta penerapanya dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan nonkatolik, juga di
kalangan Kristen. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawinan kedua
tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau
menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tak mengakui efektivitas perceraian itu
dalam arti pemutusan ikatan, sehingga suami-istri masih terikat oleh ikatan perkawinan
pertama, sehingga perkawinan kedua itu tidak sah dan di sebut “poligami suksesif”.154 Karena
itu, Sifat monogam menegaskan bahwa seorang suami hanya boleh mempunyai satu istri
demikian pun sebaliknya, seorang istri hanya boleh memiliki satu suami.
Perkawinan bagi Gereja Katolik merupakan kesatuan pria dan wanita yang dengan
penuh kesadaran, kesediaan dan kesetiaan hidup bersama sepanjang hayat melalui perjanjian
nikah yang bersifat eksklusif dengan latar belakang penafsiaran serta penerapan eksklusif dan
ketat asas monogami seperti yang dianut Gereja Katolik. Implikasinya adalah realitas
kebersamaan suami-istri mencerminkan kesetaraan martabat. Ungkapan monogam
menandakan totalitas antara pasangan, satu untuk selamanya, seperti yang tertuang dalam
(Kej 2:24) “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ungkapan satu daging tidak
semata-mata mengacu pada kebersamaan dalam hubungan seksual tetapi juga pada persatuan
yang utuh. Hubungan seksual, melambangkan keberadaan sama kedua pribadi. Suami-istri
menjadi satu melalui perjanjian perkawinan.155 Sebuah ungkapan cinta yang tak terbagi atau
mengesampingkan poligami. Totalitas ini pun mengungkapkan totalitas cinta Tuhan terhadap
Gereja. Sebagaimana Kristus yang dari semula adalah setia demikian pun cinta suami-istri
mestinya dibangun di atas dasar kesetiaan yang utuh.156
Dengan demikian sifat monogam berarti satu, di mana berdasarkan janji perkawinan
seorang pria dan seorang wanita menjadi “satu”. Hal ini juga didukung oleh kanon 1056 yang
154Ibid., p. 11. 155Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, op. cit., p. 154. 156FX. Wibowo Ardhi, Sakramen Perkawinan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 16-18
63
menegaskan tentang sifat perkawinan yang monogami dan tak ceraikan yang telah
dikukuhkan atas dasar sakramen.
4.1.5.2 Tak Ceraikan
Makna memperjuangkan ketakceraian dalam hidup suami-istri sebetulnya
mengungkapkan sebuah keutamaan iman suami-istri telah menyatakan diri bersatu dengan
bebas. Tak terceraikan berarti pasangan suami-istri yang telah dikuatkan dalam sakramen
perkawinan harus tetap setia sampai mati, meski dilanda dengan pelbagai macam tantangan
dalam hidupnya. Karena kesatuan itu, suami-istri harus menghayati perkawinan secara baik
sehingga perkawinan berkembang dengan baik dan tidak terpecah belah. Kesatuan diperkuat
melalui ketakterceraikan dan kesetiaan antara suami-istri.157
Dalam ikatan perkawinan, kedua pribadi saling mempercayakan dan menyerahkan
diri secara utuh dan tetap, dalam untung dan malang. Tuntutan untuk setia merupakan sarana
bagi para suami-istri dalam usaha menjaga hubungan perkawinan mereka agar tetap langgeng
dan bahagia selamanya. Cinta kasih mengakibatkan suami-istri bukan lagi dua melainkan
satu. Penyerahan diri yang total hanya mungkin kepada satu orang. 158 Hal ini menuntut
adanya kesatuan yang tidak terceraikan di antara mereka. Model relasi yang mereka bangun
adalah model relasi Tuhan sendiri dengan GerejaNya. Sebagaimana Tuhan Yesus
memberikan cinta kepada umatNya, bahkan Ia rela mati untuk dipaku di salib. Karena itu,
Kekhasan hakiki lain dari perkawinan Katolik adalah sifatnya yang tak terceraikan
(indissolubilitas).159 Sifatnya tak ceraikan mengindikasikan bahwa ikatan perkawinan bersifat
absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak dapat diputuskan selain oleh
kematian.
4.2 Bagian-Bagian Dari Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena Yang Relevan Dan
Tidak Relevan Terhadap Perkawinan Katolik
4.2.1 Unsur-Unsur Dari Perkawian Yang Relevan Terhadap Perkawinan Katolik
157Josef Konigsmann, op. cit., p. 27. 158Eduard Jebarus, Keluarga Sejehtera: Buku Pegangan Untuk Pembimbing Kursus Perkawinan (Ende: Nusa
Inah, 1987), p. 39. 159Eigius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik, (Ende: Nusa Indah, 2000), p. 60.
64
4.2.1.1 Cinta Antara Suami Dan Istri
Tradisi kawin-mawin dalam masyarakat Iantena lahir dan terjadi atas dasar cinta.
Cinta yang menggerakan pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri. Walaupun
pernah terjadi bahwa dalam mayarakat tradisional Iantena kawin paksa atas perencanaan dan
kemauan orang tua. Tentunya tindakan orang tua ini mengabaikan aspek cinta dan pilihan
hidup seorang anak dalam perkawinan. Namun dalam perkembanganya, orang tua mulai
menghargai kebebasan anak-anak mereka dalam memilih dan menentukan pasangan hidup
mereka. Biasanya pria yang menaruh hati pada wanita, ia akan menyampaikan isi hatinya itu
kepada orang lain atau orang ketiga yang dipercayakan oleh pria yang berperan sebagai
jembatan atau disebut sebagai ata pano lalan (orang yang membuka jalan menuju kesana).
Orang yang dipercayakan oleh pria tersebut dengan caranya tersendiri akan
melakukan pendekatan dan akan menyampaikan maksud hati pria tersebut kepada wanita
idamanya. Apabila lamaran pria tersebut diterima maka kedua belah pihak akan
menyampaikan maksud mereka kepada orang tua mereka masing-masing. Dengan demikian
keduanya akan menjalani kisah cinta mereka sebagai momen yang tepat untuk saling
mengenal.
Hubungan cinta antara pria dan wanita bersangkutan lazim berlangsung dalam jangka
waktu yang lama. Keduanya belajar untuk saling mengenal. Relasi antara keduanya masih
dibatasi, dalam hal ini, masih berada dalam pengawasan dari orang tua mereka masing-
masing. Hal ini dibuat agar menjaga kemungkinan terjadi kehamilan sebelum adanya urusan
adat dan pernikahan. Bila keduanya memiliki niat untuk hidup bersama, maka mereka akan
menyampaikan niat itu kepada orang tua mereka untuk selanjutnya diurus menurut aturan
adat yang berlaku.
Perumpamaan di atas secara gamblang telah menunjukan bahwa cinta merupakan
faktor yang mempersatukan pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri.
Pentingnya aspek cinta dalam tradisi kawin-mawin masyarakat Iantena memiliki relevansinya
dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik justru menekankan aspek cinta
dalam sakramen perkawinan karena sebuah perkawinan tanpa dilandasi oleh cinta yang tulus,
maka akan berakhir dengan kehancuran. Dalam ajaran Gereja Katolik, pernyataan cinta
antara suami-istri terletak dalam tindakan saling menukar cincin pada waktu pernikahan,
karena cincin menjadi lambang cinta dalam perkawinan.
Dengan demikian dalam urusan adat pada masyarakat Iantena juga dikenal dengan
Wu’un Kila (cincin) bagian belis ini diberikan sebagai lambang cinta dalam perkawinan atau
tanda mata dalam perkawinan berupa cincin. Tindakan saling memberi mengungkapkan
65
cinta antara pria dan wanita. Maka dapat dilihat bahwa, urusan adat dalam sistem perkawinan
masyarakat Iantena dan perkawinan Katolik sama-sama melihat aspek cinta sebagai unsur
penting dalam membangun sebuah rumah tangga. Cinta yang dimaksud tidak hanya
terungkap dalam kemesraan dan hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebutuhan
hidup sehari-hari.
4.2.1.2 Perkawinan Tidak Diijinkan Bagi Pasangan Yang Masih Memiliki Hubungan
Darah
Perkawinan merupakan persatuan dua orang yang berbeda kepribadian, latar belakang
keluarga dan seksualitas untuk membangun persekutuan hidup dan cinta yang mendalam
serta perlu diberi dukungan baik oleh Gereja maupun masyarakat. Karena itu suatu
perkawinan yang dikatakan sah apabila perkawinan itu diikat dengan janji dan dijalani tanpa
adanya halangan. Salah satu halangan dalam perkawinan adalah perkawinan yang
dilangsungkan oleh dua orang yang masih memiliki hubungan darah. Masyarakat Iantena
menolak adanya perkawinan antara dua orang yang masih memiliki hubungan darah. Dalam
hal ini misalnya seorang pria yang kawin dengan saudari kandungnya, anak dari tanta, anak
dari paman atau bibinya, umumnya hubungan keluarga dalam garis lurus antara sanak
keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga dalam garis samping, sejauh hal
tesebut dapat diingat. Perkawinan seperti itu dalam sistem perkawinan adat-istiadat
masyarakat Iantena itu ditolak dengan alasan mendasar;
Pertama, perkawinan yang masih berhubungan keluarga dalam garis lurus antara
sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga dalam garis samping,
sejauh hal tesebut dapat diingat, dapat merusak nama baik keluarga. Dalam masyarakat
Iantena, nama baik suatu keluarga adalah suatu kehormatan dan kebanggaan dalam keluarga.
Kebanggaan dan kehormatan itu tentunya harus dijaga dan dipertahankan terus oleh setiap
anggota keluarga.
Kedua, perkawinan jenis ini juga dapat merusak alam dan juga merugikan
masyarakat sekitar. Dalam budaya orang Iantena jika terjadi pelanggaran seperti ini, maka
diadakan sebuah upacara adat yang dikenal dengan demu lero wulan, sebagai upacara
pemulihan dari bencana alam, sehingga masyarakat melakukan ritus ini untuk memohon
ampun dan belas kasihan kepada, Ama Lero Wulan Reta (Bapak pencipta dan penguasa langit
dan bumi) agar segera terbebas dari hukuman atau murka. Perkawinan yang masih berstatus
hubungan darah ini tidak dibenarkan baik secara moral maupun secara adat. Orang-orang
66
yang melakukan tindakan tersebut akan mendapat sanksi dari masyarakat berupa dikucilkan
dari kehidupan masyarakat karena dianggap tidak bermartabat.
Ketiga, perkawinan jenis ini pula dalam budaya masyarakat Iantena berdampak buruk
bagi masa depan anak yakni dari segi kesehatan, pisikologi, mental dan intelektual. Dan
anak-anak yang dari hasil hubungan tersebut akan disebut sebagai me gebi halar buah (anak
haram) dan otomatis kehilangan haknya menyangkut harta waris. Hubungan sedarah sangat
berakibat buruk terhadap pasangan yang melakukan perkawinan jenis ini dikenal dengan
sebutan bahut ganu ahu, doha ganu manu yakni hubungan ini seperti binatang yang tak
berakal budi.
Keempat, masyarakat Iantena memiliki suatu kesadaran akan pentingnya imam dalam
hidup mereka. Masyarakat Iantena menyadari bahwa perkawinan jenis ini tidak disahkan oleh
ajaran Gereja Katolik karena melanggar aturan yang sudah terterah dalam hukum perkawinan
yang terdapat dalam kanon. 1091-§1 yang menegaskan bahwa perkawinan yang coba
dilangsungkan di antara mereka yang ada pada hubungan darah keturunan garis lurus, pada
tingkat mana pun adalah perkawinan yang tidak sah.160
Dengan adanya keempat faktor di atas menjadi alasan mendasar dalam sistem
perkawinan masyarakat Iantena menolak perkawinan yang masih berhubungan keluarga
dalam garis lurus antara sanak keluarga dari satu tingkat dengan tingkat yang berikut, juga
dalam garis samping, sejauh hal tesebut dapat diingat. Masyarakat Iantena menyadari bahwa
nama baik keluarga yakni suatu kehormatan. Di samping itu, juga masyarakat Iantena lebih
jauh memiliki kesadarahn akan pentingnya iman. Sikap masyarakat Iantena sangat berpegang
teguh pada keempat alasan mendasar di atas memiliki relevansinya dengan sikap Gereja yang
menolak perkawinan yang terjadi antara pasangan yang masih memiliki hubungan darah.
Hubungan darah yang dimaksudkan oleh masyarakat Iantena dalam sistem perkawinan dan
pada ajaran Gereja Katolik adalah hubungan atau ikatan keluarga antara keturunan pribadi-
pribadi berdasarkan pada kelahiran daging dari tulang pokok yang sama.
Dengan demikian, Gereja bersikap tegas terhadap perkawinan antara orang-orang
yang masih memiliki hubungan darah. perkawinan antara mereka yang berhubungan darah
dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim atau yang alami adalah tidak
sah adat dan Gereja memiliki alasan yang tepat atas sikap penolakan terhadap perkawinan
antara pribadi-pribadi yang memiliki hubungan darah berdasarkan pada kelahiran daging dari
tunggal pokok yang sama.
160Piet Go, op. cit., p. 84.
67
4.2.2 Unsur-Unsur Tidak Relevan Dari Perkawinan
4.2.2.1 Kawin Paksa Atas Perencanan Orang Tua
Kawin paksa yakni, perkawinan yang terjadi atas perencanaan orang tua. Hal ini
terjadi juga dalam sitem perkawinan masyarakat Iantena di mana pasangan untuk pria dipilih
oleh orang tuanya sejak anak-anak masih kecil. Perkawinan jenis ini umumnya terjadi di
kalangan kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Hal itu semata-mata dilakukan untuk
menjaga kehormatan, kewibawaan kelompok bangsawan dan harta warisan. Hemat penulis,
perkawinan demikian melanggar kebebasan anak dalam memilih dan menentukan pasangan
hidupnya. Bahwasanya, kebebasan anak dalam memilih pasangan hidupnya dihambat dan
ditekan, maka anak yang bersangkutan tidak bisa menentukan sendiri pasangan hidupnya.
Pasangan hidupnya menjadi pilihan mutlak oleh orang tua entah tidak sesuai dengan kemauan
anaknya. Menghendaki pilihan orang tua, maka mereka dengan terpaksa melangsungkan
pernikahan dan hidup bersama sebagai suami-istri tanpa atas dasar cinta yang tulus dari
kedua belah pihak. Akibat dari hidup perkawinan seperti ini berimbas pada patologi rumah
tangga seperti marak terjadi perselingkuhan, perselisihan, dan berujung pada kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT).
Kehancuran dalam membangun kehidupan rumah tangga sebagai akibat dari
perkawinan paksa sangat bertentangan dengan cita-cita luhur suatu perkawinan Kristianai
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah yakni menyatukan pria dan wanita agar mereka
saling menolong dalam kesamaan martabat dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Allah menghendaki suatu bentuk perkawinan bahagia yang terwujud dalam tindakan cinta
yang mendalam antara suami-istri.
Karena itu, kawin paksa sedapat mungkin dihindari dalam praktek perkawinan karena
tidak relevan dengan seruan Gereja Katolik dalam (KHK) 1057 § 2: “Kesepakatan nikah
adalah perbuatan kemauan dengan mana seorang pria dan seorang wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tak dapat ditarik kembali”.161
Isi kanon di atas menegaskan bahwa kesepakatan untuk menikah adalah perbuatan
kemauan bukan atas desakan atau paksaan dari pihak manapun. Karena cinta sejati antara
suami dan istri menghendaki persatuan, dan kesatuan ini hanya bisa terwujud apabila suami
161V. Kartosiswoyo, op. cit., p. 304.
68
mencintai istri secara mesra serta memberi kepadanya bibitnya dalam suatu penyerahan diri
total, sambil istri membiarkan cinta mengalir dan meresap kedalam tubuh dan pribadinya.
4.2.2.2 Perceraian Sebelum Dinikahkan Secara Katolik
Perceraian dalam suatu ikatan perkawinan merupakan salah satu masalah dalam
lembaga perkawinan. Adanya suatu perceraian disebabkan oleh alasan-alasan mendasar yang
bisa diterima oleh kedua belah pihak yang bercerai. Dalam konteks sistem perkawinan pada
masyarakat Iantena. Di mana dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena kata perceraian
itu sendiri tidak diinginkan oleh masyarakat Iantena secara hukum adat yang sudah dibuat.
Namun pada masa kini masalah yang sering dihadapi oleh kehidupan rumah tangga pada
masyarakat Iantena yakni terdi perceraian. Hal ini dilatari oleh berapa alasan mendasar;
Pertama, ketidaksetiaan terhadap pasangan. Masyarakat Iantena menilai kasus ketidak
setiaan terhadap pasangan sebagai perbuatan tercela, dan tindakan pelanggaran terhadap
martabat perkawinan. Karena secara hukum adat itu dibuat janji sebagi berikut; Lemer watu
miu ruang, wawak papang miu ruang, Naha mate ko belung Naha bleut ko loar (susah
senang sama-sama mati dulu baru lepas, tapi bukan mati saja, melinkan sampai hancur). Di
samping itu, bagi pasangan yang tidak setia terhadap pasangan secara tidak langsung
menunjukan sikap ketidaktaatan terhadap para tua adat dan melanggar janji dalam sistem
perkawinan adat. Ketidaksetiaan terhadap pasangan disisi lain dapat merusak nama baik
keluarga bahkan suku dan meretakan hubungan kedua keluarga besar bila pada akhirnya
terjadi perceraian.
Kedua, sakit berkepanjangan atau gangguan mental. Masyarakat Iantena memiliki
perhatian terhadap faktor kesehatan sebelum melangsungkan ritual adat. Jika ditemukan dari
salah satu pasangan menderita penyakit berbahaya tidak diizinkan untuk melangsungkan
perkawinan dan juga ritual adat. Bila setelah perkawinan, salah seorang menderita penyakit
berkepanjangan atau cacat mental, itu menjadi tangung jawab kedua keluarga besar dan
pasangganya. Masyarakat Iantena menilai bahwa suatu kejadian setelah perkawinan itu
merupakan suatu musibah.
Ketiga, perceraian dapat terjadi bila perbedaan pendapat dan konflik berkepanjangan
karena ketiadaan cinta dan kasih sayang. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang
berujung pada kehancuran berawal dari ketiadaan cinta dan kasih sayang antara suami-istri.
Suami mengatur kehidupan rumah tangga sendiri tanpa kerja sama dengan istri dan
sebaliknya. Suami dan istri banyak meluangkan waktunya di luar rumah. Dengan kata lain
rumah hanyalah sebuah tempat persinggahan. Suami dan istri di lain pihak mempertahankan
69
sikap ego mereka. Hal demikian terjadi karena ketiadaan cinta antara keduanya. Bila situasi
hidup demikian dipertahankan maka akan berujung pada perceraian. Perceraian dapat
membebaskan keduanya dari berbagai tekanan dan menjadi momen bagi mereka untuk
kembali menata diri lebih baik.
Perceraian yang terjadi pada kehidupan suami-istri pada masyarakat Iantena tentunya
bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik yang tidak mengindahkan perceraian yang sudah
menikah hal ini secara langsung merugikan kedua belah pihak dan masa depan anak-anak
bila mereka telah memiliki anak. Sikap Gereja bertolak dari sifat perkawinan Katolik yaitu
monogam dan tak ceraikan. Kedua sifat ini melegitimasi sikap Gereja melarang terjadinya
perpisahan bagi pasangan yang telah dinikahkan secara Katolik.
3.1.3.3 Kawin Ganti Tikar
Perkawinan selung o’ha hiwir li’an / kawin ganti tikar dalam masyarakat Iantena
kalau dilihat dalam sudut pandang ajaran Gereja Katolik sangat bertolak belakang karena ada
unsur paksaan dari dalam. Dimana perkawinan itu terjadi karena ada tujuan tertentu bukan
berdasarkan cinta yang tumbuh dari dalam diri seseorang.
Dalam ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa perkawinan seorang pria dan
seorang wanita itu tidak ada unsur paksaan, hal itu tertuang dalam, Kanon 1057-§ 2.
“Kesepakatan perkawinan; adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”.162 Secara jelas perkawinan
merupakan sebuah tindakan kesepakatan, kemauan atau kehendak.
4.2.3 Nilai-Nilai Unggul Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Iantena
4.2.3.1 Perkawinan Melalui Perkenalan Yang Baik
Perkawinan dalam masyarakat Iantena diawali dengan tahap perkenalan sebelum
membangun hubungan cinta. Dalam tahap perkenalan ini dilihat sebagai jalan menuju pada
persatuan dalam hidup perkawinan. Masa perkenalan ini pada mayarakat Iantena, bisa
ditempuh dengan cara yang berbeda-beda. Cara yang bisa dilakukan yaitu bila pria menaruh
hati pada wanita maka ia harus menyampaikan maksud hatinya itu kepada orang ketiga yang
dipercayakan menjadi jembatan (ata pano lalan). Orang yang dipercayakan tersebut dengan
162Yohanes Servatius Boylon, op. cit., p. 2.
70
caranya tersendiri akan melakukan pendekatan dan akan menyampaikan maksud isi hati dari
pria tersebut kepada wanita idamanya.
Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Iantena kawin-mawin melalui perkenalan
awal itu merupakan salah satu nilai unggul dalam adat masyarakat Iantena. Hal ini dinilai
positif karena mengandung nilai penghormatan dan menjaga martabat dan harga diri
terhadap wanita bersangkutan. Ia memiliki harga diri sama halnya dengan pria. Ia juga
memiliki mertabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Unsur maskulin yang dominan pada
pria dan unsur feminim yang dominan pada wanita dimaksudkan untuk saling melengkapi
demi terciptanya sebuah keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, pria yang
menaruh simpati padanya harus menempuh cara yang tidak mengabaikan nilai etika dan
sopan santun yang dijunjung tinggi dalam budaya masyarakat setempat.
Nilai adat ini menjadi suatu kebanggaan dalam setiap budaya terlebih khusus pada
masyarakat Iantena. Namun tahap perkenalan awal ini tidak lagi diperantarai oleh pihak
ketiga. Tentunya perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan sarana informasi dan
komunikasi dewasa ini. Di samping itu, pola pikir masyarakat Iantena mulai mengalami
perubahan dari yang tradisional menuju pada cara berpikir modern.
4.2.3.2 Masuk Minta
Masuk minta merupakan salah satu tahap kawin-mawin dalam budaya masyarakat
Iantena. Pada dasarnya masyarakat Iantena mengenal tahap ini dengan sebutan kuhu pahar
ruga tadan (seorang pria sudah mempunyai niat supaya wanita yang diinginkanya itu tetap
menunggu). Pada tahap ini, orang tua akan mendatangi rumah si wanita untuk menyatakan
niat melamar wanita bersangkutan. Orang tua kedua belah pihak akan membicarakan secara
bersama-sama hal-hal yang perlu dibuat dan terjadi pada acara peminangan.
Tahap ini merupakan pintu masuk pada acara peminangan. Karena itu pada tahap ini
juga merupakan nilai unggul dalam tata cara perkawinan adat masyarakat Iantena. Tahap ini
tetap terpelihara karena masyarakat tetap menjalaninya dalam setiap urusan perkawinan adat.
Tahap masuk minta mau menunjukan sikap penghargaan dari keluarga pihak mempelai pria
kepada pihak mempelai wanita. Masyarakat Iantena tetap menjaga dan menjalaninya karena
memiliki nilai positif dan sesuai dengan tata cara adat perkawinan mereka sendiri yang
diwarisi oleh nenek moyang mereka. Nilai penghargaan dan saling menghormati yang dilihat
dari tahap ini tetap hidup dan lestari dalam setiap perkembangan zaman. Dengan demikian,
tahap masuk minta tetap hidup karena keunggulanya. Perubahan hanya terjadi pada pola pikir
71
masyarakat tradisional ke pola pikir yang lebih modern yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan konteks yang ada dalam masyarakat.
4.2.3.3 Perkawinan Menekankan Aspek Kebersamaan
Perkawinan dalam konteks masyarakat Iantena tidak semata dilihat sebagai urusan
dua orang individu yang hendak melangsungkan janji nikah tapi perkawinan adat melibatkan
seluruh anggota keluarga, bahkan kedua suku. Perkawinan dalam konteks masyarakat Iantena
merupakan sebuah peristiwa sosial karena perkawinan melibatkan campur tangan kedua
keluarga besar pria dan wanita. Dengan kata lain, sistem perkawinan masyarakat Iantena
merupakan unsur seluruh keluarga, masyarakat, dan suku. Aspek sosial dari perkawinan tidak
mengakibatkan aspek personal seorang dalam memilih pasangan hidupnya. Pasangan hidup
tetap menjadi urusan pribadi yang bersangkutan walaupun dalam masyarakat tradisional
Iantena terdapat kawin paksa atas perencanaan orang tua. Namun kenyatan ini telah berubah
karena orang tua mulai menyadari pentingnya aspek cinta perkawinan dan memberi
kebebasan bagi anak-anak untuk memilih pasangan hidup mereka.
Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena bukan hanya terbatas pada urusan
perkawinan. Namun kebersamaan keluarga dalam urusan-urusan adat dari kedua suku akan
tetap terjaga dan terus terjalin pada setiap peristiwa-peristiwa lainya seperti, dalam urusan
belis, kematian dan lain sebagainya. Karena kedua suku ini sudah menjadi keluarga. Urusan
ini tentunya melibatkan segenap keluarga dan anggota suku untuk memberikan sumbangan.
Dengan demikian, realitas perkawinan adat dalam masyarakat Iantena yang
mengandung aspek kebersamaan dan persatuan merupakan salah satu nilai unggul dalam
sistem perkawinan adat-istiadat masyarakat Iantena. Hal ini menjadi kebanggaan dalam diri
setiap orang Iantena karena melalui perkawinan terjadilah persatuan kedua suku yang
berbeda. Masyarakat Iantena yang menjadi salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Sikka
yang tetap mempertahankan aspek kebersamaan dan persatuan dalam perkawinan karena
pada dasarnya hal ini relevan dengan semboyang orang Iantena Mai ita mogat hama-hama,
mai ita ate leleha artinya semua ini adalah tangung jawab kita semua. Karena itu, mari kita
menjaga dan membangunya.
4.2.3.4 Budaya Sirih-Pinang dan Rokok (Bako Wua Ta’a)
Sirih pinang dan rokok (bako wua ta’a) merupakan salah satu ciri khas budaya
masyarakat Iantena. Umumnya kehidupan masyarakat Iantena tidak terlepas dari budaya sirih
pinang dan rokok. Sirih dan pinang adalah salah satu sajian untuk kaum wanita sedangkan
72
rokok untuk kaum pria. Kedua jenis sajian ini menjadi simbol penghormatan. Karena itu sirih
pinang dan rokok dilihat sebagai sesuatu yang sangat penting dalam budaya adat pergaulan
masyarakat Iantena.
Dalam budaya adat masyarakat Iantena, sirih-pinang dan rokok memiliki makna
penting dalam keseharian hidup mereka. Hal ini dilatari oleh berapa alasan berikut:
Pertama, seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa sirih-pinang dan rokok sebagai
tanda penghormatan, penerimaan dan keramah-tamahan terhadap setiap tamu yang
berkunjung ke rumah. Dalam tradisi masyarakat Iantena, setiap tamu yang berkunjung ke
rumah pertama, akan disuguhkan sirih-pinang untuk kaum wanita dan rokok untuk kaum pria
sebagai sikap pemberian dan keramah-tamahan.
Kedua, sirih-pinang dan rokok sebagai alat komunikasi dengan sesama ia menjadi
medium untuk mencairkan suasana dan membangun relasi yang lebih akrab dan ia menjadi
sarana pembukaan untuk memulai komunikasi dalam urusan adat-istiadat. Bahasa yang lazim
diungkapkan dalam urusan adat-istiadat yakni sebagai berikut; ita ea oti wua tena mera wiwir
musung oti bako tena gahu hang ia guk ita tutur naruk lalan itan yang berarti (“kita terlebih
dahulu mencicipi sirih dan pinang untuk memerahkan bibir dan mengisap rokok untuk
memanaskan mulut dan setelah itu kita mulai pembicaran atau diskusi”).
Ketiga, dalam pengantaran belis bagi masyarakat Iantena yang paling terdepan yakni
orang yang membawa sirih-pinang dan rokok (bako wua ta’a). Sirih-pinang dan rokok bagi
orang Iantena sebagi lambang bahar balik (mas kawin) dan juga perintis jalan untuk semua
kegiatan pada acara itu. Karena itu sirih-pinang dan rokok memiliki nilai penting dalam
sistem perkawinan masyarakat Iantena dan urusan adat-istiadat.
Nilai-nilai di atas menunjukan bahwa sirih-pinang dan rokok memiliki nilai unggul
dalam tradisi masyarakat Iantena. Dalam konteks perkawinan, sirih pinang dan rokok dipakai
sebagai lambang bahar balik mas kawin. Praksisnya dalam urusan sistem perkawinan, sirih-
pinang dan rokok itu dibawa oleh pihak mempelai pria, dari masuk minta, pertunangan,
sampai urusan adat selesai. Sirih pinang dan tembakau tiga jenis tumbuhan yang dipelihara di
kebun-kebun bahkan tumbuh di hutan tanpa adanya perawatan. Ketiga jenis tumbuhan ini
dilihat sangat sederhana bila dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainya namun memiliki
nilai penting dalam budaya orang Iantena.
73
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Nilai-nilai kebudayaan asli merupakan harta kekayaan yang harus diterima dan
dilestarikan keberadaanya, sejauh tidak bertentangan dengan iman dan reliogisitas
masyarakat. Hal ini menjadi kebanggaan salah satu ciri yang membedakan suatu daerah
dengan daerah lainnya. Karena pada dasarnya setiap daerah memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dan keanekaragaman budaya daerah itulah yang menjadi kekhasan dalam
masyarakat berbudaya.
Budaya yang dihidupi dalam masyarakat Iantena adalah budaya yang diwarisi para
leluhur yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Salah satu budaya daerah yang dibahas
penulis adalah sistem perkawinan masyarakat Iantena. Penulis melihat bahwa sistem
perkawinan masyarakat Iantena merupakan salah satu dari sekian tradisi leluhur yang masih
dipertahankan. Penulis melihat sistem perkawinan masyarakat Iantena meliputi: tahap
perkenalan, masuk minta, peminangan, dan pengesahan perkawinan memiliki nilai-nilai yang
luhur dan mulia yang masih tetap dipertahankan. Keempat hal di atas mengandung makna
bahwa perkawinan itu memiliki tujuan luhur dan mulia, karena itu dibutukan suatu persiapan
yang matang dari kedua mempelai. Sistem perkawinan pada masyarakat Iantena juga
memiliki sejumlah nilai unggul yang sarat makna dan fungsi sebagai sarana yang
mempesatukan masyarakat dari setiap lapisan dan golongan. Sejumlah nilai unggul itu adalah
sistem perkawinan melalui suatu perkenalan yang baik, sistem perkawinan melewati tahap
masuk minta, sistem perkawinan menekankan aspek kebersamaan, dan budaya sirih pinang
dan rokok.
Bertolak dari realitas dalam sistem perkawinan masyarakat Iantena, penulis melihat
nilai-nilai yang relevan dan tidak relevan dengan perkawinan Gereja Katolik. Sejumlah nilai
relevan itu adalah: Pertama, cinta antara suami-istri. Lembaga perkawinan adat dan
perkawinan Katolik sama-sama menekankan aspek cinta. Pada dasarnya cinta sebagai tali
pemersatu suami-istri. Kedua, perkawinan sebagai sarana persatuan suami-istri. Ketiga,
perkawinan tidak diizinkan bagi pasangan yang masih memiliki hubungan darah. Adat-
istiadat dan ajaran Gereja Katolik sama-sama melarang perkawinan berstatus hubungan
darah.
74
Disamping itu, terdapat sejumlah nilai dalam sistem perkawinan pada masyarakat
Iantena yang tidak relevan dengan ajaran dalam Gereja Katolik. Nilai-nilai tidak relevan itu
adalah: kawin paksa atas perencanaan orang tua, mas kawin (belis), dan perceraian sebelum
dinikahkan. Ketiga masalah ini sering terjadi dalam sistem perkawinan pada masyarakat
Iantena. Dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem perkawinan pada masyarakat Iantena
memiliki tiga nilai utama yaitu:
Pertama, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki nilai-nilai unggul
yang hanya dimiliki oleh adat-istiadat dan tidak terdapat dalam Gereja Katolik. Hal ini
merupakan suatu warisan yang harus dipertahankan keberadaannya. Karena itu, Gereja bisa
berinisiatif untuk mengambil nilai-nilai unggul adat-istiadat yang dilihat penting dalam
menjalankan tugas pastoralnya.
Kedua, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai yang
relevan dengan perkawinan Gereja Katolik yang tetap dipertahankan dalam setiap
perkembangan zaman.
Ketiga, sistem perkawinan pada masyarakat Iantena memiliki sejumlah nilai yang
tidak relevan dengan aturan dalam Gereja Katolik. Dalam hal ini, Konsili Vatikan II telah
menggariskan suatu perkawinan yang tertuju pada kesejahteraan suami-istri, anak-anak dan
masyarakat. Di sisi lain, sistem perkawinan masyarakat Iantena melihat pentingnya cinta
suami-istri dalam menghidupi suatu perkawinan. Anak dilihat sebagai hasil cinta antara
suami-istri. Karena itu, anak merupakan sumber kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga.
5.2 Usul Saran
Budaya tetap hidup sepanjang ziarah peradaban manusia di muka bumi ini. Maka
dapat dikatakan bahwa budaya ada karena adanya manusia. Dalam arti bahwa manusia yang
menciptakan budaya. Di sisi lain, hasil ciptaan itulah yang membentuk hidup manusia.
Tradisi kawin-mawin dalam masyarakat Iantena merupakan salah satu budaya hasil warisan
dari leluhur. Warisan budaya ini memiliki sejumlah nilai unggul, nilai yang relevan dan tidak
relevan dengan perkawinan dalam Gereja Katolik. Adat mempertahankan nilai-nilai tidak
relevan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkawinan Gereja Katolik. Fakta
konkret yang sering terjadi bahwa nilai-nilai tidak menjadi pemicu konflik dalam hidup
rumah tangga, suku dan masyarakat.
Berhadapan dengan pelbagai nilai yang tidak relavan dari perkawinan adat, penulis
menawarkan beberapa solusi yang membantu menyadarkan masyarakat untuk kembali
membangun dan menata suatu kehidupan yang bahagia dan berorientasi pada kemajuan.
75
Pertama, kenyataan yang terjadi ialah perceraian dapat menimbulkan keretakan dalam
hubungan antara suku atau keluarga. Sikap yang perlu diusahakan yaitu perlunya kerja sama
antara lembaga pemerintahan, agama dan adat-istiadat dalam mendampingi dan membimbing
setiap kaum muda yang hendak berumah tangga. Berhadapan dengan kenyataan demikian,
penulis menganjurkan berapa solusi:
a. Para lembaga pemerintahan perlu menerapkan program kursus atau pembekalan
pernikahan. Milsanya pembekalan bagi mereka yang hendak melangsungkan
pernikahan yakni, tentang ekonomi keluarga atau ekonomi rumah tangga, masalah
kesehatan, terutama kesehatan reproduksi agar bisa menyiapkan anak-anak yang
nanti akan menjadi generasi penerus bangsa menjadi lebih berkualitas. Di situlah,
informasi penyakit-penyakit yang berbahaya untuk anak dapat diketahui oleh
kedua pasangan yang akan mendidik dan membesarkan anak dikemudian hari.
Untuk memastikan bahwa mereka memang sudah cukup menguasai bidang-
bidang pengetahuan yang harus dimiliki sebelum berumah tangga.
b. Para petinggi suku (tua adat) perlu mengusahakan solusi yang tidak merugikan
maupun menguntungkan pihak manapun agar dapat meminimalisasi setiap bentuk
penyelewengan yang sering terjadi. Di samping itu, para petingi suku (tua adat)
memberikan pengarahan bagi pasangan yang mau menikah dan juga yang baru
menikah. Lembaga perkawinan adat-istiadat hendaknya mempersiapkan juga
pengantin yang hendak menikah. Persiapan yang dimaksudkan adalah
memberikan pembinaaan kepada pengantin oleh para tua adat tentang hal-hal yang
berhubungan dengan hidup keluarga menurut adat-istsiadat yang dianut.
c. Di samping itu, para agen pastoral hendaknya memberikan pengarahan bagi calon
suami-istri demi pemahaman yang benar tentang martabat perkawinan dan hidup
keluarga dalam ajaran Gereja Katolik. Pemahaman yang benar akan ditunjukkan
secara konkret dalam masa-masa persiapan sebelum memasuki jenjang
perkawinan. Petugas pastoral juga harus mengetahui dan memahami secara baik
nilai-nilai perkawinan adat yang ada dalam wilalaya pastoralnya, sehingga mampu
mencari titik temu antara sistem perkawinan secara adat-istiadat dan perkawinan
Gereja Katolik. Masalahnya perceraian seharusnya ditiadakan karena relasi
keluarga.
d. Selain proses pendampingan yang efektif dan berakal harus terus dilakukan
terhadap pasangan-pasangan keluarga muda yang baru menerima sakramen
76
pernikahan. Penulis mengharapkan generasi muda sekarang dan khususnya
generasi muda Iantena memiliki semangat cinta akan kebudayaan daerah, karena
kebudayaan daerah membawah nilai-nilai positif.
Kedua, pandangan yang salah antara mas kawin. Hemat penulis, kekerasan oleh
suami terhadap istri disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan makna dan tujuan belis.
Belis yang diserakan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita dilihat sebagai
tolak ukur untuk menilai harga diri wanita. Berhadapan dengan kenyataan demikian, penulis
menganjurkan dua solusi:
a. Suami perlu membangun konsep baru dalam dirinya, bahwa belis yang diserahkan
kepada keluarga isterinya itu sesungguhnya sebagai tanda penghargaan terhadap
istrinya dan keluarganya.
b. Suami juga perlu memahami bahwa dengan menyerahkan belis kepada keluarga
istrinya, bukan berarti keluarganya mau “membeli” wanita yang dipinang. Tetapi
hendaknya menandaskan bahwa wanita Iantena tidak bisa dibeli dengan uang, ia
hanya dihormati dan dihargai, sehingga belis yang diberikan kelurganya kepada
keluarga wanita tidak dilihat sebagai harga wanita tersebut, melainkan sebagai
bentuk penghargaan terhadap wanita dan pemersatuan ikatan keluarga.
Ketiga, kawin paksa yang dipraktekan dalam masyarakat tradisional Iantena. Masalah
yang terjadi ialah pasangan yang dipilih oleh orang tua tidak sesuai dengan kemauan anak
bersangkutan. Oleh karena itu, orang tua perlu menghargai kebebasan anak-anak mereka dan
memberi ruang bagi mereka dalam memilih pasangan hidup.
Keempat, harta warisan sering menjadi pemicu konflik internal dalam keluarga atau
suku. Konflik disebabkan oleh ketidakadilan dalam pembagian harta yang diwariskan oleh
orang tua. Kenyataan itu perlu dibenahi agar fungsi harta yang sesungguhnya sebagai
penjamin kesejahterahan hidup tidak berubah menjadi pemicu konflik. Karena itu lembaga
pemerintahan, agama dan adat perlu membuka kesadaran para anggota keluarga terutama
anak sulung akan egoisme, ketamakan, dan hasrat untuk berkuasa.
Keempat masalah di atas menjadi tanggung jawab kita bersama, baik sebagai petinggi
suku, Lembaga pemerintahan, agen pastoral, maupun generasi muda sebagai pewaris
budayanya. Oleh karena itu, penulis melihat pentingnya peranan orang tua untuk
menanamkan kesadaran dalam diri kaum muda akan pentingnya sikap menghargai adat-
istiadat dan nilai-nilai budaya daerah. Orang tua perlu memberikan penyadaran kepada
generasi muda, bahwa perkawinan yang baik harus melewati tahap-tahap dalam tata cara
adat-istiadat dan aturan Gereja.
77
Di samping beberapa usulan di atas, penulis mempunyai sebuah usulan dalam
hubungan dengan persiapan perkawinan. Penulis menilai bahwa sistem perkawinan dalam
masyarakat tidak mempersiapkan pengantin secara lahir batin untuk dipersatukan secara adat-
istiadat. Sistem perkawinan pada masyarakat lebih berurusan dengan persiapan material
(pengumpulan) dana dan hewan untuk urusan belis dan pesta perkawinan. Persiapan secara
lahir batin dibebankan kepada Gereja. Hemat penulis, suatu perkawinan bahagia tentunya
harus melewati suatu persiapan yang matang dan dewasa. Hal ini bukan hanya menjadi tugas
Gereja Katolik. Kecenderungan akan adanya pesta perkawinan yang meriah hendaknya
diminimalisir karena hal itu akan memakan biaya, tenaga dan banyak menyita waktu.
Perhatian masyarakat dalam hal ini orang tua dan para tua adat hendaknya diarahkan kepada
persiapan terhadap pengantin secara lahir batin agar kelak mampu membangun suatu
keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Hal ini dimaksudkan pula untuk mencegah
terjadinya pelbagai penyelewengan dalam hidup keluarga seperti perselingkuhan, kekerasan
dalam rumah tangga dan perceraian.
78
DAFTAR PUSTAKA
I. DOKUMEN, ENSIKLOPEDI DAN KAMUS
Budi, Silvester Susianto. Kamus Kitab Hukum Kanonik. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (LPKN), 1997.
Gereja Katolik. Kitab Hukum Kanonik. Penerj.V. Kartosiswoyo et.al. Cet. I. Jakarta: Obor,
2006.
Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. Hardawiryana. Cet. VI. Jakarta:
Obor, 2003.
II. BUKU-BUKU
Amelia, Sandra. Menjadi Pribadi Yang Bertanggung Jawab. Depok: Bangun Nusa, 2012.
Arndt, Paul. Hubungan Kemasyarakatan Di Wilaya Sikka, Flores Tengah Bagian Timur.
Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
Avan, Moses Komela. Kebatalan Perkawinan Pelayanan Hukum Gereja Dalam Proses
Menyatakan Kebatalan Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Boylon, Yohanes Servatius. 10 Pilar Perkawinan Katolik Yang Sah. Yogyakarta: Amara
Books, 2009.
Bria, Benyamin Yosef. Pastoral Perkawinan Gereja Katolik. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama, 2007.
---------. Pastoral Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara, 2010.
Coride, James A. An Introduction To Canon Law. United States Of America: Paulist Press
New York/Mahwah, 2004.
Daen, Philip Ola. Pelayanan Tribunal Perkwinan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
Driyanto, Yohanes. Tujuan Identitas Dan Misi Perkawinan Katolik. Bogor: Obor, 2017.
Fau, Eigius Anselmus F. Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah, 2000.
Fernandes, Stephanus Ozias. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini.
Ende: Nusa Indah , 1990.
Gillarso, T. Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1990.
79
---------. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Dan Hukum
Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007.
Hadiwardoyo, Purwa. Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius,
2019.
Kusumawanta, Dominikus Gusti Bagus. Analisis Yuridis Bonum Coniugum Dalam
Perkawinan Kanonik. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007.
---------. Macam-Macam Halangan Yang Menggagalkan Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama, 2009.
Kila, Pius. Gereja Rumah Tangga Basis Gereja Universal. Jakarta: Obor, 2005.
Kleden, Paul Budi. Teologi Terlibat. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Koten, Philipus Panda. Pendekatan Reduksionis Terhadap Agama. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2016.
Kristiyanto, A. Eddy, ed. Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006.
Kriswanta, Gregorius. Konvalidasi Perkawinan Pengesahan Gereja Yang Tidak
Sah. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Tinjauan Teologis, Liturgis Dan Pastoral.
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Musfah, Jejen. Analisis Kebijakan Pendidikan Mengurai Krisis Karakter Bangsa. Bandung:
Elex Media Komputindo, 2018.
Piet, Go. Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Malang: Dioma, 1990.
---------. Pokok-Pokok Moral Perkawinan Dan Keluarga Katolik. Malang: Dioma, 1990.
Prasetya, L. Allah Memberkati Hidup Berkluarga. Yagyakarta: Kanisius, 2014.
Raharso, Catur. Halangan-Halangan Nikah Menurut ukum Gereja Katolik. Malang:
Dioma, 2005.
---------. Paham Perkawinan Dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma,
2006.
Raho, Bernard. Sosiologi Maumere: Penerbit Ledalero, 2016.
Rubiyatmoko, Robertus Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik.
Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Tampubolon, Rolas Jakson. Perceraian Menurut Pandangan Hukum Kristen Dan Hukum
80
Negara. Jakarta: Diandra Creative, 2014.
Walgito, Bimo. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
III. ARTIKEL
Ceunfin, Frans “Merujuk Tradisi Mengelola Hidup Dalam Mengabdi Kebenaran” Jurnal
Ledalero, Vol. 5 No. 02. Maumere: Januari 2005.
Hadjon, Paulus Senoda dan Kristianus Joyo. “Upacara-Upacara Inisasi Di Kabupaten Sikka”.
Jurnal Pesona Sikka, No. 3, 2008.
Kefi, Yan “Menantang Arus, Menuai Badai. Meneropong Institusi Keluarga dan Dinamika”
Jurnal Ledalero, Vol. 10 No. 01. Yogyakarta: Juli 2010.
Neonnub, Fransiska Idaroyani dan Novi Triana Habsari. “Tradisi Perkawinan Masyarakat
Insana Kabupaten Timor Tengah Utara”, Jurnal Agastya, 08:01, Januari 2018.
Ninu, Aris “Masukan Dalam Kurikulum, Musik Suling Gendang Lela Terancam Punah”.
Pos Kupang, 28 Oktober 2015.
Simarmata, Petrus “Keluarga Sejahtera Sebagai Fokus Pastoral”, Majalah Menjemaat, 9
Febuari 2020: 2.
IV. MANUSKRIP
Gedo, Konstantinus “Hubungan Seksual Sebagai Ekspresi Cinta Dalam Perkawinan Katolik”.
Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2016.
Maas, C. “Teologi Moral Perkawinan”. Bahan Kuliah, STFK Ledalero, 1997.
Noto, Gregorius dan Bernadus Mau, Venasius Syukur. “Tiga Aspek Perkawinan Kristiani
Menurut Injil Mateus 19:5”. Makalah, STKIP Katekis St. Paulus Ruteng, 1997.
VII. WAWANCARA LISAN
Ani, Kanisius. (62 Tahun). Ketua Sanggar Jong Dobo. Wawancara 09 Juli 2019.
Edison, Alfa. (57 Tahun). Tokoh Masyarakat. Wawancara, 24 September 2019.
Fatima, Maria. (64 Tahun). Ibu Rumah Tangga dan Pengerajin Tenun Ikat. Wawancara, 8 Juli
2019.
Feri, Frasnsiskus Nong (23 Tahun). Mahsiswa Nusa Nipa Maumere. Wawancara, 20 januari
2020.
Gleko, Godefridus. (74 Tahun). Mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat. Wawancara, 2
November 2019.
81
Koli, Pitalis. (70 Tahun). Tokoh Adat. Wawancara, 09 November 2019.
Moa, Sergius. (82 Tahun). Kepala Suku Masyarakat Iantena, Wawancara, 4 Agustus 2019.
Nong, Sumadir. (76 Tahun). Tokoh Agama. Wawancara, 18 Juni 20019.
Ribut, Ero. (57 Tahun). Tukang kayu. Wawancara, 24 Juli 2019.
Rince, Maria Marta (42 Tahun dkk). Anggota Tenun Ikat Sanggar Jong Dobo. Wawancara, 8
Juli 2019.
VIII. KARYA YANG TIDAK DITERBITKAN
Desa Iantena Statistik. “Data Penduduk Masyarakat Desa Iantena Tahun 2020”. Baobatun:
2020.
Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan. “Adat Dan Uapacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara
Timur”. Kupang Dinas P Dan K NTT, 2004.
Diogo, Longginus. Lin Welin-Leto Woter. Maumere: PEMDA Kabupaten Sikka, 2005.
Embu, Eman J. Persona Sikka Deskripsi 10 Obyek Wisata Budaya. Maumere: Dinas
Pariwisata Kabupaten Sikka Dan Puslitbang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,
2006.
Hasil Kajian Komnas Perempuan. “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Budaya”.
Padang Sumatera Barat, 2011.
Mandalangi, Oscar Pareira, ed. Adat-Istiadat Sikka Krowe Di Kabupaten Sikka. Maumere:
PEMDA Kabupaten Sikka, 2001.
82
Lampiran 1: Profil Masyarakat Iantena: LEGENDA
Sumber Profil Masyarakat Iantena 2020
83
Lampiran 2: Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana sistem kekerabatan dalam masyarakat Iantena?
2. Bagaimana perkawinan masyarakat Iantena?
3. Sebutkan jenis-jenis perkawinan yang ada dalam masyarakat Iantena?
4. Sebutkan tujuan perkawinan masyarakat Iantena?
5. Apa yang melatar belakang lahirnya sistem perkawinan dalam mayarakat Iantena?
6. Bagaimana langkah-langkah dalam tata cara pelaksana sistem perkawinan masyarakat
Iantena?
7. Bagaimana pandangan masyarakat Iantena tentang belis?
8. Hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam perkawinan?
9. Bagaimana hukum adat kepada mereka yang melanggar sistem perkawinan?