analisis yuridis permohonan penetapan perkawinan …/analisis... · terjadinya mengenai perkawinan...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN
PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor:
14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/
PN.Ska )
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
Fanny Fadlina
NIM. E0006124
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska
dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )
Oleh
Fanny Fadlina
NIM. E0006124
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Januari 2010
Dosen Pembimbing
HARJONO, S.H., M.H.
NIP. 196101041986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum Skripisi
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska
dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )
Oleh
Fanny Fadlina
NIM. E0006124
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 19 Januari 2010
DEWAN PENGUJI
1. Soehartono, S.H., M.Hum : ..........................................................
Ketua
2. Syafrudin Yudowibowo, S.H.: ..........................................................
Sekretaris
3. Harjono, S.H., M.H : ..........................................................
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum
NIP. 19610930 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Fanny Fadlina
NIM : E0006124
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska
dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska ) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya sya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2010
Yang membuat pernyataan
Fanny Fadlina
NIM. E0006124
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta dan menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan bahan yang berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data yang digunakan merupakan analisis data kualitatif, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang nyata dan utuh.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan biasa, sedangkan mengenai proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama bersifat sepihak karena hanya menyangkut kepentingan Pemohon. Kemudian terdapat beberapa dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan penetapan perkawinan beda agama, dimana alasan mengabulkan permohonan tersebut antara lain adalah untuk menghindarkan dan mencegah perilaku asusila dalam masyarakat (kumpul Kebo atau hamil di luar nikah), kemudian didasarkan pula pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan alasan menolak permohonan perkawinan beda agama tersebut adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. Penetapan perkawinan beda agama yang diberikan oleh hakim bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan mempunyai kekuatan pembuktian.
Kata kunci: perkawinan beda agama, permohonan, pertimbangan hakim,
penetapan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. A Juridical analysis on the plea of different religions-marriage (A Case Study on the Provision Number: 14/Pdt.P/2008/PN. Ska and the Decision Number: 01/ Pdt.P/ 2009/PN.Ska). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research aims to find out the procedure of application and examination of different religions-marriage plea as well as the legal power of the different religion-marriage decision.
This study belongs to an empirical law research. The data type employed was primary and secondary data. Techniques of collecting data used were interview method, that was, to conduct direct interview with the Judge and the Registrars of the Surakarta First Instance Court, and literary study method by collecting the materials in the form of books, legislation, and other literatures relevant to the problem studied. The data analysis was done using a qualitative data analysis in which what the respondents do in written or orally, and their real behavior were explored and studied as a real and intact unit.
Based on the result of research it can be concluded that the application process of application of different religion-plea is similar to the common accusation filing, while the process of examination of different religion-plea is unilateral in nature because it concerns the Requester’s interest. Then, there are several rationales the Judge uses in sentencing the decision of different religion-marriage, in which the reasons of request granting are among others: to avoid the amoral behavior within the society (live together out of matrimony or unmarried pregnant), and based on the Article 29 clause (2) of 1945 Constitution, Article 28B clause (1) of Second Amendment of 1945 Constitution, Article 8 of Act number 1 of 1974, Article 6 clause (2) Stbl 1898 No. 158 and Article 10 clause (3) PP No.9 of 1975. Meanwhile the rationale of rejecting the different religion-marriage plea is Article 1 Clause (1) Act No.1 of 1974 about the Marriage stating that the legal marriage is done based on the religion and belief law. The decision of different religion marriage given by the judge is bonding for both parties applying the different religion-marriage plea, and has the verification power.
Keywords: different religion-marriage, plea, judge deliberation, decision.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karuniaNya semata sehingga penulisan hukum (skripsi) dengan judul
”Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama (Studi
Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/
Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)” dapat Penulis selesaikan.
Penulisan hukum ini membahas tentang prosedur pengajuan dan
pemeriksaan permohonan penetapan perkawinana beda agama, kemudian dasar
pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan
perkawinan beda agama, serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda
agama tersebut.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan
guna memperbaiki dan memperkaya ilmu yang penulis miliki.
Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini Penulis telah mendapat
bantuan yang sangat besar dari berbagai pihak, yang dengan tulus telah membantu
penulisan yang dimulai dari pengarahan skripsi hingga terwujudnya skripsi. Maka
dengan segala kerendahan hati dan pada kesempatan ini Penulis ingin
mengucapkan terima kasih, terutama kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Pembimbing penulisan hukum ini yang
telah menyediakan waktu dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan
dan arahan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan penulis.
5. Keluargaku tercinta terimakasih atas doa, semangat, pengorbanan dan semua
hal terbaik yang senantiasa diberikan kepada Penulis.
6. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini
yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua, terutama bagi Penulis, kalangan akademi, praktisi serta masyarakat
umum.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................3
C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................4
E. Metode Penelitian........................................................................................5
F. Sistematika Penulisan Hukum.....................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori...........................................................................................11
1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata ............................................11
2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata...................................................15
3. Pengertian Perkawinan........................................................................20
4. Perkawinan Beda Agama....................................................................25
5. Tujuan Perkawinan..............................................................................30
6. Asas dan Prinsip Perkawinan .............................................................32
7. Syarat Sahnya Perkawinan..................................................................32
8. Syarat-syarat Perkawinan....................................................................35
9. Tatacara Perkawinan...........................................................................36
10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan........................................38
11. Larangan Perkawinan..........................................................................41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
12. Akta Perkawinan.................................................................................44
B. Kerangka Pemikiran...................................................................................46
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .........................................................................................50
B. Pembahasan................................................................................................66
1. Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama....................................................................66
a. Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama...............................................................66
b. Prosedur Pemeriksaan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama...............................................................69
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau
Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama..............70
a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan
Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama.........................70
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak
Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama........................72
3. Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan beda Agama.....................77
a. Kekuatan Mengikat.......................................................................77
b. Kekuatan Pembuktian...................................................................78
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................................79
B. Saran .........................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia dan dalam kehidupan bermasyarakat, yang merupakan
sebuah usaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi dirinya dalam
sebuah ikatan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan hidup
bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi
pembentukan negara dan bangsa.
Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai
perkawinan juga diatur di dalam hukum, agama, adat, tradisi dan juga institusi
negara yang tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan
masyarakatnya. “Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat
sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka
masyarakat adat dan atau para pemuka agama” (Hilman Hadi Kusuma, 2003: 1).
Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria
dan wanita.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultur dan multiagama
dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku, ras dan agama. Dalam
kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada
hubungan perkawinan. Sehingga perkawinan yang terjadi di masyarakat pun tidak
selamanya seragam.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi
semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, banyak masalah yang
terjadinya mengenai perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai contoh adalah perkawinan campuran, perkawinan sejenis,
kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan
(agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-
agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini
disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Namun kasus mengenai perkawinan beda agama ini menjadi halangan tersendiri,
karena perkawinan beda agama dipersulit secara hukum. Padahal, dengan semakin
berkembangnya zaman, sudah sulit untuk mencari pasangan yang seragam dengan
kita. Memiliki pasangan yang seragam pun tidak menjamin suksesnya pernikahan.
Hukum perkawinan di Indonesia mempersulit terjadinya perkawinan yang
dilakukan antara pihak yang berlainan agama, bukan memfasilitasi warga
negaranya yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama. Menurut Pasal 2
ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
pernikahan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan
dicatatkan, sementara hukum tiap agama berbeda-beda. Jika demikian, proses
pencatatannya pun menjadi masalah baru lagi. Selain permasalahan yang
berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau
agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan beda agama
seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari. Misalnya saja,
pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta
ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti
berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang
terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama. Dengan
uraian di atas sudah jelas bahwa masalah perkawinan beda agama di tengah-
tengah masyarakat menimbulkan pro-kontra pendapat. Sehingga dewasa ini
terjadi beberapa kasus perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan adanya
suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri terlebih dahulu, sesuai
dengan Pasal 35 Undang-undang Np. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan juncto Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Seperti yang
tercatat dalam Pengadilan Negeri Surakarta yang selama ini telah banyak
menerima pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Dimana
dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut,
terdapat beberapa permohonan yang ditolak namun cukup banyak pula yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Menurut hukum agama yang ada di Indonesia, perkawinan yang
dilaksanakan oleh pihak yang berlainan agama itu dilarang. Sehingga
menimbulkan fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa
modern dan kontemporer ini, yaitu terjadinya kontroversi yang cukup fenomenal
atas sah atau tidaknya perkawinan beda agama dilihat dari sudut pandang
perundang-undangan di Indonesia. Kemudian mengenai prosedur pengajuan dan
proses pemeriksaan permohonan perkawinan beda agama, serta mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan perkawinan
beda agama dan bagaimanakah kekuatan hukum penetapan Hakim Pengadilan
Negeri tentang permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Penulis tertarik untuk
menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul : ”ANALISIS YURIDIS
PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi
Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/
Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penulisan hukum ini, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan
perkawinan beda agama?
2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak
permohonan penetapan perkawinan beda agama?
3. Bagaimanakah kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan sarana untuk memperkuat, membina serta
menegembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga di dalamnya dirumuskan tujuan
penelitian secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa
yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut. Berdasarkan rumusan masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
yang telah dikemukakan, berikut akan disampaikan tujuan penelitian, yang
meliputi :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan
penetapan perkawinan beda agama.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau
menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama.
c. Untuk mengetahui kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.
2. Tujuan Subyektif :
a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan
skripsi, guna memenuhi persyaratan wajib dalam meraih gelar sarjana di
bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, dan mengembangkan pengetahuan hukum
yang berhubungan dengan permohonan penetapan perkawinan beda
agama.
D. Manfaat Penelitian
Selain adanya tujuan dalam suatu penelitian, maka perlu diketahui pula
apa manfaat yang akan diperoleh dari penelitian tersebut. Adapun beberapa
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada
umumnya, khususnya bagi pekembangan Hukum Acara Perdata di
Indonesia.
b. Sebagai upaya untuk menambah pengetahuan mengenai permohonan
penetapan perkawinan beda agama.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai prosedur pengajuan dan proses
pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
perkawinan beda agama dan kekuatan hukum penetapan perkawinan beda
agama.
b. Meningkatkan pengetahuan Penulis tentang masalah-masalah yang
dibahas dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap efektifitas hukum (Soerjono Soekanto,
2007: 51), khususnya mengenai ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Pasal 21 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana dalam ketentuan
tersebut dijelaskan bahwa perkawinan antara pihak yang berlainan agama dapat
dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setelah
mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri.
2. Sifat penelitian
Penelitian hukum empris ini bersifat deskriptif, yaitu untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah mengenai prosedur pengajuan dan
pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama yang disertai
dengan dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan atau menolak
permohonan penetapan perkawinan beda agama dan dideskripsikan pula
mengenai kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama sebagai produk
yang dihasilkan oleh Hakim atau pengadilan.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (Case
Approach), dalam hal ini yang perlu dipahami adalah alasan-alasan hukum
yang digunakan oleh Hakim untuk sampai pada keputusannya (Peter Mahmud
Marzuki, 2009: 119). Berdasarkan hasil analisis terdapat dua kasus mengenai
permohonan penetapan perkawinan beda agama yang didasari pertimbangan
Hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
4. Jenis Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari sumber data pertama atau
pihak yang langsung menjadi obyek dari penelitian. Data ini berupa
keterangan dan informasi mengenai kasus permohonan perkawinan beda
agama. Dalam penelitian ini data primer berupa hasil wawancara langsung
dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak
Susanto Isnu Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sejumlah fakta, dari
berbagai dokumen yang digunakan untuk mendukung data primer. Dalam
penelitian ini data sekundernya berupa, Berkas Penetapan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor:
01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, serta data yang diperoleh secara tidak langsung
atau data yang terlebih dahulu dibuat seseorang dalam suatu kumpulan
data, seperti dokumen, buku, peraturan perundang-undangan yang terkait,
hasil penelitian terlebih dahulu dan sebagainya.
5. Sumber Data Penelitian
a. Sumber Data Primer
1) Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu
Wahjudi;
2) Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Hendra Bayu Broto
Kuntjoro.
b. Sumber Data Sekunder
1) Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/
2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska;
2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
4) Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954;
5) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan;
6) Staatsblad 1898 No. 158 Tentang Peraturan Perkawinan
Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR);
7) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam;
8) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data
dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Untuk memperoleh
data-data yang lengkap dan relevan, maka penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara / interview
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
peneliti mengadakan wawancara secara langsung dengan Hakim dan
Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu yaitu Bapak Susanto Isnu
Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku-buku
referensi perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen dan hasil penelitian yang ada relevansi kuat dengan
masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mempelajari berkas
perkara permohonan perkawinan beda agama dan Penetapan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor:
01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, literatur-literatur yang terkait dengan masalah
yang penulis teliti dan berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait, antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, Petaturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang No.
22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undang-
undang No. 32 Tahun 1954, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, Staatsblad 1898 No. 158 Tentang Peraturan
Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR),
serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
7. Teknik Analisis Data
Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
“Analisa kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau
lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang
nyata dan utuh” (Soerjono Soekanto, 2007: 250), maka analisis data yang
digunakan adalah analisis data kualitatif. Adapun tahapan-tahapan dalam
analisis data ini adalah:
a. Reduksi Data
Kegiatan ini bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari
catatan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai
laporan akhir penulisan selesai.
b. Penyajian Data
Dalam hal ini digunakan cara, yaitu menyajikan data-data yang
berkaitan dengan permohonan perkawinan beda agama dalam sitem
Peradilan Perdata di Indonesia.
c. Penarikan Kesimpulan
Merupakan upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan penyajian data, di mana sebelumnya data
telah diuji agar kesimpulannya menjadi lebih kuat. Setelah memahami arti
dari berbagai hal yang ditemui dengan berbagai cara baik dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pencatatan, atau alur sebab-akibat, maka Penulis dapat menarik
kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002: 96).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari skripsi yang akan
disusun, maka dalam sistematika penulisan hukum ini Penulis akan memaparkan
substansi masing-masing bab dari rancangan skripsi ini, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan teori-teori yang
berhubungan dengan permohonan perkawinan beda agama, yang dapat
lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang berkaitan
dengan permohonan perkawinan beda agama. Tinjauan Pustaka terbagi
atas dua bagian yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka
teori membahas tentang pemeriksaan hukum acara perdata,
pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan Negeri, tinjauan tentang
perkawinan dan tinjauan tentang perkawinan beda agama. Sedangkan
dalam kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk
menjawab permasalahan tentang permohonan perkawinan beda agama.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang
prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan
perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak
atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan
juga mengenai kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB IV : PENUTUP
Bab ini diuraikan mengenai simpulan serta saran-saran yang terkait
dengan masalah permohonan penetapan perkawinan beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata
a. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya
hukum materiil perdata serta diikuti dengan perantaraan hakim. Dengan
kata lain merupakan peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Dimana obyek
dari hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materiil dengan perantaraan kekuasaan negara (Sudikno Mertokusumo,
1998: 2). Perantaraan negara dalam hal ini terjadi dengan peradilan yang
melaksanakan hukum secara konkrit dengan adanya tuntutan hak, fungsi
mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh
negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat.
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedangkan dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan daripada putusan (Sudikno Mertokusumo, 1998: 5).
b. Asas-asas Hukum Acara Perdata
Menurut Soedikno Mertokusumo, asas-asas dari Hukum Acara
Perdata adalah sebagai berikut:
1) Nemo Yudex Sine Actor (Hakim Bersifat Menunggu)
Pelaksanaannya berasal dari inisiatif para pihak yang
berkepentingan. Sedangkan hakim hanya bersikap menunggu
datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara sekalipun hukum
tidak mengatur atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) Undang-undang
No. 48 Tahun 2009). Hal ini disebabkan karena seorang hakim
dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Kalau sekiranya
hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
dalam masyarakat.
2) Verhandlungsmaxime (Hakim Pasif)
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif.
Dimana ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. Jadi seorang hakim tidak
menentukan luas daripada pokok perkaranya dan tidak boleh
menambah atau menguranginya. Tetapi selaku pemimpin sidang,
hakim harus bersifat aktif memimipin pemeriksaan perkara dan tidak
hanya sekedar sebagai alat dari para pihak yang mengajukan perkara.
3) Openbaarheid Van Rechtpraak
Pada asasnya pemeriksaan suatu perkara di muka
persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Tujuanya
adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam bidang peradilan serta untuk menjamin obyektifitas peradilan
dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang tidak memihak
serta putusan yang adil (Pasal 19 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Namun terdapat
pengecualian di dalam undang-undang, yakni dalam pemeriksaan
perkara perceraian atau perjinahan. Dalam perkara yang demikian,
maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup. Setiap
persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum
terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
4) Audi et Alteram Partem
Kedua belah pihak yang bersengketa harus diperlakukan
sama dan tidak memihak. Dalam hal ini hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal
itu juga berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
5) Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Setiap putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan
sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya kepada
para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu
hukum, sehingga oleh karenanya memiliki nilai obyektif.
6) Beracara Dikenakan Biaya
Pada asasnya untuk mengajukan perkara ke Pengadilan harus
dikenakan biaya. Biaya ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya
untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
Namun bagi mereka yang tidak memilki biaya, maka dapat
mengajukan perkara dengan cuma-cuma (pro deo). Dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala
polisi. Tetapi di dalam prakteknya, surat itu cukup dibuat oleh camat
daerah tempat yang berkepentingan tinggal.
7) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Proses pemeriksaan perkara di persidangan, dapat terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan
dengan tujuan dapat diketahui lebih jelas persoalannya. Akan tetapi
para pihak dapat diwakilkan oleh kuasanya jika dikehendaki, tetapi
wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi
kuasa.
8) Pemeriksaan Perkara Secara Sederhana, Cepat, Biaya Ringan
Pemeriksaan perkara dilakukan dengan acara yang jelas,
mudah dipahami, tidak berbelit-belit dan tidak terlalu banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
formalitas, serta dengan biaya perkara yang dapat terjangkau oleh
rakyat. Namun dalam prakteknya asas ini belum menjadi kenyataan.
9) Ne Bis in Idem
Untuk perkara yang sama dengan pihak yang sama, dan
mengenai hal yang sama, tidak dapat diperiksa dan diputus untuk
kedua kalinya oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya.
10) Actor Sequitor Forum Rei
Pada pokonya gugatan diajukan ke pegadilan dimana tergugat
bertempat tinggal. Karena gugatan penggugat belum tentu benar atau
belum tentu dikabulkan, sehingga hak pihak tergugat harus
dilindungi.
c. Pengertian Permohonan
Permohonan merupakan “permasalahan perdata yang diajukan
dalam bentuk permohonan ke pengadilan negeri yang ditandatangani
oleh pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri” (M. Yahya Harahap, 2007: 29). Ciri khas dari permohonan
adalah:
1) Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the
benefit of one party only)
a) Murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang
permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum;
b) Pada prinsipnya yang dipermasalahkan pemohon tidak
bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain.
2) Permasalah yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya
tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with
another party).
Tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang
penyelesaiaan sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta
pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3) Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan,
tetapi bersifat ex-parte
Permasalahan hukum yang diajukan dalam kasus
permohonan tersebut, hanya untuk kepentingan sepihak dan
melibatkan satu pihak saja.
d. Landasan Hukum Menyelesaikan Permohonan
Landasan hukum kewenangan untuk menyelesaikan permohonan
merujuk kepada ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dijelaskan bahwa
peradilan umum berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara pidana maupun perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengajuan permohonan termasuk pada perkara
perdata, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikannya adalah
Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tugas pokok
Pengadilan Negeri selain memeriksa dan memutus perkara yang bersifat
sengketa juga berwenang memeriksa perkara yang termasuk dalam ruang
lingkup yurisdiksi voluntair atau permohonan. Tetapi dalam hal ini
disertai dengan syarat, dimana jangan sampai memutus perkara
permohonan yang mengandung sengketa secara partai yang harus diputus
secara contentious.
2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata
a. Proses Pemeriksaan Permohonan
Menurut M. Yahya Harahap, proses pemeriksaan terhadap
permohonan yang diajukan ke Pengadian Negeri adalah sebagai berikut
(M. Yahya Harahap, 2007: 38):
1) Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte
Karena pihak yang terlibat hanya sepihak, maka dalam proses
pemeriksaan permohonan hanya dilakukan secara sepihak juga atau
bersifat ex-parte, dan yang hadir dalam proses pemeriksaan di muka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sidang hanya pihak pemohon atau kuasanya. Pada prinsipnya proses
ex-parte bersifat sederhana:
a) Hanya mendengar pernyataan dari pihak pemohon atau
kuasanya sehubungan dengan permohonan;
b) Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon, dan
c) Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
2) Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon
Dalam proses ini yang diperiksa di pengadilan hanya
keterangan dan bukti-bukti yang berasal dari pemohon. Pemeriksaan
tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya bahwa di dalam
pemeriksaan tidak terdapat bantahan dari pihak lain karena hanya
melibatkan satu pihak saja.
3) Tidak Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan
Dalam proses pemeriksaan yang bersifat ex-parte, tidak
ditegaskan seluruh asas pemeriksaan persidangan. Namun tidak pula
sepenuhnya disingkirkan.
a) Tetap Ditegakkan
(1) Asas Kebebasan Peradilan (Yudicial Independency)
(a) Tidak boleh dipengaruhi siapapun;
(b) Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun.
(2) Asas Fair Trial (Peradilan yang Adil)
(a) Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary);
(b) Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law
(sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku);
(c) Member kesempatan yang layak (to give an
appropriate opportunity) kepada pemohon untuk
membela dan mempertahankan kepentingannya.
b) Tidak Perlu Ditegakkan
(1) Asas Audi Alteram Partem
Tidak mungkin dalam proses pemeriksaan yang
bersifat ex-parte ditegakkan asas mendengar jawaban atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
bantahan pihak lawan, karena hanya melibatkan satu pihak
dan tidak terdapat pihak lawan. Sehingga asas ini tidak
relevan untuk ditegakkan dalam proses permohonan.
Karena untuk mengambil suatu keputusan atau penetapan
atas suatu permohonan, yang didengar semata-mata
pemohon saja.
(2) Asas Memberi Kesempatan yang Sama
Demikian pula asas memberikan kesempatan yang
sama kepada para pihak, sangan tidak mnungkin ditegakkan
dalam proses pemeriksaan suatu permohonan, karena dalam
permohonan tersebut yang terlibat hanya satu pihak saja
yaitu pemohon.
b. Putusan Permohonan
1) Bentuk Penetapan
Suatu putusan atas pengajuan permohonan berisi suatu
pertimbangan dan dictum penyelesaiaan yang dituangkan dalam
bentuk penetapan, dan namanya juga disebut sebagai penetapan atau
ketetapan (beschikking, decree). Bentuk ini berbeda dengan
penyelesaiaan yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan
contentiosa, dimana dalam gugatan yang bersifat partai
penyelesaiaan yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis
(award).
2) Dictum Bersifat Deklarator
a) Diktumnya bersifat penegasan atas suatu pernyataan atau
deklarasi hukum tentang hal yang dimohonkan;
b) Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir
(yang mengandung hukuman) terhadap siapapun;
c) Pengadilan juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang
menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas suatu barang, dan
sebagainya (M. Yahya Harahap, 2007: 40-41).
c. Kekuatan Pembuktian Penetapan
1) Penetapan sebagai Akta Otentik
Setiap produk yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan
dalam menyelesaikan suatu permasalah yang diajukan kepadanya,
dengan sendirinya merupakan akta otentik yaitu merupakan akta
resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (Pasal 1868
KUHPerdata). Dengan demikian sesuai dengan pasal 1870
KUHPerdata, pada diri putusan itu melekat nilai ketentuan
pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende
bewijskracht).
2) Nilai Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Penetapan
Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Pemohon
Meskipun suatu penetapan yang dikeluarkan oleh hakim atau
pengadilan bersifat akta otentik, tetapi nilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada penetapan tersebut, berbeda dengan yang terdapat
pada putusan yang bersifat contentiosa. Nilai kekuatan pembuktian
yang melekat dalam pemeriksaan yang bersifat ex-parte atau
sepihak, sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti:
a) Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri
pemohon saja;
b) Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau
kepada pihak ketiga.
3) Pada Penetapan Tidak Melekat Asas Ne bis In Idem
Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka dalam putusan melekat nebis in idem. Tetapi tidak demikian
halnya dengan suatu penetapan. Pada penetapan hanya melekat
kekuatan yang mengikat satu pihak saja yaitu diri pemohon, jadi
tidak mengikat pihak lain. Oleh karena itu, pada suatu penetapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
tidak melekat asas nebis in idem. Setiap orang yang merasa
dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau
perlawanan terhadapnya (M. Yahya Harahap, 2007: 41)..
d. Upaya Hukum Terhadap Penetapan
1) Penetapan atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama
dan Terakhir
Sesuai dengan doktrin dan praktek yang berlaku, suatu
penetapan yang dikeluarkan dalam perkara yang berbentuk
permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang
bersifat tingkat pertama dan terakhir.
2) Terhadap Putusan Perdilan Tingkat Pertama yang Bersifat Pertama
dan Terakhir, Tidak Dapat Diajukan Banding
Undang-undang terkadang menyatakan secara tegas, bahwa
penetapan atas permohonan itu bersifat tingkat pertama dan terakhir.
Namun ada kalanya tidak dinyatakan secara tegas. Akan tetapi, ada
juga yang menyatakan secara tegas bahwa penetapan atas suatu
permohonan, tidak tunduk pada peradilan yang lebih tinggi. Sebagai
contoh dikemukakan dalam Pasal 360 jo Pasal 364 KUHPerdata,
yang menerangkan mengenai penetapan atas permohonan
pengangkatan wali yang tidak tunduk pada peradilan lebih tinggi.
3) Upaya Hukum yang Dapat Diajukan, Kasasi
Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun
2004, permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan
terhadap perkara sudah menggunakan upaya hukum banding, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Dimana pengecualian dalam
pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama
yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Oleh
karena itu, penetapan yang dijatuhkan atas suatu permohonan tidak
dapat diajukan banding. Sehingga upaya hukum yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) jo penjelasan
Pasal 43 ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2007: 43).
3. Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah agama dengan “nikah” memiliki
pengertian melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
kedua belah pihak, dengan sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Ahmad
Azhar Basyir, 2004: 10).
Mengenai pengertian dari perkawinan, memang terdapat banyak
perbedaan pendapat di dalamnya. Tetapi dari semua perumusan tentang
pengertian dari perkawinan ini, terdapat satu unsur yang merupakan
kesamaan dari keseluruhan pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu
perjanjian perikatan antara laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian yang
dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nikah, yang merupakan perjanjian
yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang
wanita.
Berikut pengertian perkawinan menurut hukum nasional dan
pandangan dari beberapa agama yang ada di Indonesia, antara lain:
a. Hukum Nasional
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Menurut ketentuan Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya
dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada
campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara
keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya
mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan
di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa
perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara
seorang pria dan wanita saja.
Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut
disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak.
Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus
dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA)
dan Catatan Sipil. Hal ini dilakukan karena perkawinan dari sudut
pandang budaya maupun agama dianggap sebagai peristiwa yang
bersejarah dan sangat berguna bagi generasi muda, karena kehidupan
setelah perkawinan dapat memberikan pelajaran hidup bagi seseorang
untuk meningkatkan tingkat kedewasaannya.
b. Hukum Agama
1) Hukum Agama Islam
Menurut pendapat Soemiyati, perkawinan menurut pandangan
Islam mengandung 3 aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial, dan aspek
agama. Dimana penjelasan dari ketiga aspek tersebut, adalah sebagai
berikut:
(a) Aspek hukum
Aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian, namun
tidak dapat disamakan dengan perjanjian-perjanjian yang lainnya,
seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain.
Karena dalam perjajian yang dimaksud sebagai perkawinan, harus
mengandung karakter khusus. Antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari
kedua belah pihak;
(2) Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu
saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut
berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya;
(3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum
mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
(b) Aspek sosial
Dilihat dari aspek sosial, pada umumnya berpendapat bahwa orang
melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan
mempunyai kedudukan yang lebih dihargai. Khusus bagi kaum
wanita dengan perkawinan akan memperoleh kedudukan sosial
yang lebih tinggi.
(c) Aspek agama
Bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai
basis suatu masyarakat yang baik dan teratur. Dan menurut Islam
perkawinan bukan hanya sebagai suatu persetujuan biasa
melainkan merupakan suatu persetujuan yang suci.
2) Hukum Agama Kristen
Perkawinan itu suci, dimana dipandang sebagai kesetiakawanan
bertiga antara suami, istri di hadapan Allah. Seorang pria dan seorang
wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Allah.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Pada prinsipnya
makna perkawinan dalam agama Kristen (Protestan) memiliki makna
kesamaan, namun dalam ritus dan peraturannya berbeda. Peraturan
perkawinan pada agama Kristen lebih longgar alias tidak seketat dan
serumit dalam perkawinan dalam Katolik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Hukum Agama Katolik
Perkawinan adalah persatuan seumur hidup, yang diikat oleh
perjanjian, antara seorang pria dan seorang wanita. Melalui perkawinan
mereka menjadi suami-istri, berbagi kehidupan secara utuh, saling
mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta melahirkan dan
mendidik anak-anak. “Perkawinan menurut Agama Kristen Katolik
adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara
kedua suami istri, tetapi juga harus bercerminkan sifat Allah yang
penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat terceraikan. Perkawinan itu
adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis” (Hilman
Hadikusuma, 2003: 11).
Sering terjadi perkawinan Katolik gagal dilaksanakan secara sah
karena adanya halangan-halangan nikah seperti umur belum cukup,
impotensi, ikatan perkawinan yang masih ada, tahbisan, kaul kekal
hidup religius yang dilakukan secara publik, hubungan darah dalam
tingkat tertentu.
Perkawinan Katolik hanya sah kalau dilangsungkan di hadapan uskup setempat, pastor paroki, imam atau diakon yang diberi delegasi secara sah. Kalau tidak ada imam atau diakon, awam dapat diberi delegasi hanya kalau diberikan oleh konferensi uskup-uskup. Dalam peneguhan perkawinan harus ada dua saksi yang lain (Hilman Hadikusuma, 2003: 31).
4) Hukum Agama Hindhu
Perkawinan atau pawiwahan ialah ikatan sekala niskala (lahir
batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan
keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari
neraka put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut Agama
Hindhu Weda Smurti. Perkawinan ini juga disertai dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya Alaki rabi). Jika
perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum
Hindu maka perkawinan itu tidak sah (Gde Pudja, 1977: 9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Perkawinan bermakna sebagai tanda dimulainya status
“berumah tangga” dan upacara ini merupakan samskara yang ke-13.
Upacara perkawinan dilaksanakan di sekitar api suci dan penuh dengan
simbol-simbol. Dalam upacara, kedua mempelai berjalan mengelilingi
api suci tujuh langkah sambil bergandengan tangan, dan pada setiap
langkah mereka saling membuat janji. Hukum manu, suatu Kitab Suci,
mengatakan bahwa seorang istri harus selalu mencintai dan
menghormati suaminya, dan umat Hindu Ortodoks tidak mengijinkan
perceraian apa pun alasannya.
5) Hukum Agama Budha
Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki
kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha
tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya.
Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin
hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain
kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan
merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang
hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan
batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya,
sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut
agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak
suci.
Hukum perkawinan Agama Budha menurut keputusan Sangha
Agung tanggal 1 Januari 1977 Pasal 1 dikatakan perkawinan adalah
suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan
rasa sepenanggungan (madita) dengan tujuan untuk membentuk satu
keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sangyang Adi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Bodhi Satwa-
Mahasatwa’.
4. Perkawinan Beda Agama
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur
tentang perkawinan beda agama. Namun dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1
Tahun 1974 dijelaskan bahwa, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya
pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus menganut agama yang
sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU
Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak
dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama
pihak lainnya. Walaupun demikian UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak
secara jelas mengatur perkawinan campuran berdasarkan perbedaan agama.
Mengenai dapat/tidak mewujudkan kehidupan rumah tangga, bila
antara si pria dan wanita imannya berbeda, dalam iman Kristiani, perikatan
suami dan isteri harus seiman. Berbeda halnya dengan agama islam, tidak
serta merta dilarang. Seorang muslimat dilarang menikah dengan yang non
muslim. Sebaliknya seorang muslim (calon suami) tidak dilarang menikah
dengan wanita ahli al Kitab. Tentang hal ini ada beda pendapat di antara
ulama. Oleh sebab itu disarankan jika ingin melangsungkan perkawinan beda
agama, berpedoman pada perkawinan campuran Stbl. 1989 No. 158, dalam
hal ini Kantor Catatan Sipil yang melaksanakannya. Dimana hal ini
didasarkan pada Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menerangkan apabila terdapat peraturan mengenai
perkawinan yang belum diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
maka dapat diberlakukan peraturan lama. “Dalam Stb. 1898 No. 158 terdapat
adanya suatu ketentuan yang menetralisir perbedaan agama ini, dimana
tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa perbedaan agama,
bangsa atau asal itu sama sekali tidak merupakan penghalang untuk
melangsungkan perkawinan” (Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978: 25).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Beberapa pendapat mengenai perkawinan beda agama, jika ditinjau
dari UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dari sudut pandang agama
yang ada di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas
mengenai masalah perkawinan antar agama, disamping itu apabila diteliti
maka hanya dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara
tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar
agama. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut
secara tertulis/tekstual/eksplisit mengenai perkawinan beda agama. Untuk
menjawab ada tidaknya peraturan mengenai perkawinan beda agama,
terdapat dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, yaitu :
1) Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang
dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-
masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan
dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi
syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
2) Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan
didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-
peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari
hukum masing-masing agamanya.
Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda
agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
1) Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat
(1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh
karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi
hukum;
2) Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab
itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam
perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 1
tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal
tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang
memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat
ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara
yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
3) Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah
perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66
Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama
Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan.
Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus
berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.
Sebelum adanya undang-undang perkawinan, perkawinan beda
agama diatur dalam Stbl. 1898 No. 158, yaitu Peraturan Perkawinan
campuran, perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran.
Definisi perkawinan campuran dinyatakan dalam Pasal 1 ialah perkawinan
antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yamg
berlainan. Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan
bahwa UU Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan
hukum tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan
Undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan
beda agama;
2) Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan
perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan;
3) Persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan
4) Kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan
begitu saja sebabkan dapat mendorong terjadinya perzinaan
terselubung melalui pintu kumpul kebo.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada
hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan
persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing
pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
b. Pandangan Beberapa Agama yang Ada di Indonesia
1) Hukum Agama Islam
Perkawinan beda agama merupakan “perkawinan antara pria
muslim dengan wanita bukan muslimah maupun perkawinan antara
perempuan muslimah dengan pria bukan dari kalangan muslim” (Jaih
Mubarok, 2005 : 91).
Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam, ditetapkan seorang pria
yang beragama Islam dilarang menikah dengan wanita karena salah
satu dari tiga alasan, yaitu:
a) Wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan laki-
laki lain;
b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Selanjutnya dalam Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. Dengan kata
lain, dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat ketentuan bahwa
seorang pria muslim diharamkam menikah dengan wanita yang bukan
muslimah (termasuk ahli kitab), dan ditetapkan juga bahwa wanita
yang beragama Islam diharamkan menikah dengan pria yang tidak
beragama Islam.
2) Hukum Agama Kristen
Menurut agama Kristen, perkawinan dianggap suatu hubungan
yang suci. Hal ini dikarenakan suatu perkawinan sejak awal
merupakan penetapan dari Allah, sehingga gereja menganjurkan
umatnya untuk mencari pasangan untuk menikah yang seagama,
karena gereja berpendapat bahwa kebahagiaan dalam suatu
perkawinan akan sulit tercapai apabila kedua pihak tidak seiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Perbedaan agama dalam ikatan perkawinan dianggap sebagai
sumber konflik yang paling utama, karena memiliki pengaruh yang
kuat bagi hubungan suami dan istri. Pengaruhnya adalah karena lebih
membawa faktor negatif dari pada faktor positif dalam kehidupan
perkawinan yang menyebabkan perkawinan kehilangan keutuhan dan
kesuciannya, dan hanya dalam Kristuslah perkawinan itu memperoleh
kembali keutuhan dan kesucianya.
3) Hukum Agama Katolik
Menurut ajaran agama Katolik mengenai perkawinan beda
agama bukanlah hal yang ideal terjadi dalam kehidupan manusia. Jika
tetap ingin melangsungkan suatu perkawinan beda agama, maka harus
ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang
yang beda agama. Selain itu masih harus memenuhi syarat-syarat,
antara lain:
a) Perkawinan dilakukan secara Katolik;
b) Pihak bukan Katolik bersedia menjauhkan pihak Katolik dari
bahaya murtad;
c) Mempelai harus sepakat bahwa anak-anak akan dibaptis secara
Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan pihak Katolik harus
bersedia berupaya sebisanya untuk ini.
Adanya beberapa syarat tersebut untuk melakukan suatu perkawinan
beda agama, maka dapat dinilai bahwa yang paling ideal ialah
menikah dengan sesama Katolik.
5. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta dan kasih
sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah (Soemiyati,
1986: 12). Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan
dan faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
Tujuan ini merupakan tujuan yang pokok dari suatu perkawinan,
dimana mengandung dua segi kepentingan yaitu kepentingan untuk diri
pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Sehingga
bahwa adanya anak dalam suatu perkawinan merupakan penolong, baik
dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak bagi diri ibu dan
bapak yang bersangkutan.
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
Tuhan menciptakan manusia itu dengan jenis kelamin yang
berbeda, sehingga sudah menjadi kondratnya bahwa antara kedua jenis
itu saling mengandung daya tarik. Dilihat dari segi biologis daya tarik itu
adalah kebirahian atau seksuil, yang merupakan tabiat kemanusiaan.
Sehingga dengan perkawinan, maka pemenuhan tuntutan tabiat
kemanusiaan itu dapat disalurkan dengan sah.
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
Salah satu faktor manusia mudah terjerumus ke dalam kejahatan,
ialah pengaruh hawa nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran
yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik
laki-laki maupun perempuanakan mencari jalan yang tidak halal. Dengan
melangsungkan perkawinan, maka akan diperoleh jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan seksuilnya sehingga baik pihak laki-laki maupun
perempuan terhindar dari kejahatan dan kerusakan.
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang paling teguh dan yang
paling kuat di dalam masyarakat. Dan cara untuk memperkokoh ikatan
perkawinan adalah dengan membentuk rumah tangga yang didasari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dengan rasa cinta dan kasih sayang yang kemudian akan dikaruniai anak,
kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya
sehingga tersusun masyarakat besar.
e. Setelah melangsungkan perkawinan, maka baik pihak laki-laki maupun
perempuan, mulai menyadari akan tanggung jawab dalam
mengemudikan rumah tangga. Sehingga pihak suami mulai berfikir untuk
mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan istri
juga berusaha memikirkan cara mengatur kehidupan dalam rumah
tangga. Menumbuhkan pula kesungguhan berusaha mencari rezeki
penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
6. Asas dan Prinsip Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1);
b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaanya itu (Pasal 2 ayat (1));
c. Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2));
d. Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3);
e. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan (Pasal 6);
f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun (Pasal 7 ayat (1));
g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan
(Pasal 39);
h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)).
7. Syarat Sahnya Perkawinan
a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jadi perkawinan yang sah menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku di dalam masing-masing agama yang ada di Indonesia, antara
lain agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Hukum masing-masing
agama yang berlaku adalah agama dari masing-masing pihak calon
mempelai atau keluarga.
b. Menurut Hukum Agama
Syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama adalah sebagai
berikut (Hilman Hadikusuma, 2003: 28-33):
1) Hukum Agama Islam
a) Ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah
b) Wali dari calon mempelai perempuan, dengan syarat-syarat:
(1) Beragama Islam
(2) Sudah dewasa (baligh)
(3) Berakal sehat
(4) Berlaku adil
c) Ada 2 (dua) orang saksi, dengan syarat-syarat:
(1) Beragama Islam
(2) Sudah dewasa (baligh)
(3) Berakal sehat
(4) Dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad
nikah
(5) Berlaku adil
d) Mahar
e) Akad nikah harus dilaksanakan dengan lisan dan tidak boleh
dengan tulisan saja
2) Hukum Agama Kristen/Katolik
Perkawinan yang sah menurut agama Kristen/Katolik apabila
dilaksanakan dihadapan Pastur yang dihadiri oleh dua orang saksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Saat sahnya perkawinan ialah pada saat perkawinan itu telah
diteguhkan oleh Imam/Pastur dengan mengucapkan janji bersatu.
Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan menurut
agama Kristen/katolik antara lain:
a) Kedua mempelai harus sudah dibabtis;
b) Ada kesepakatan antara kedua mempelai;
c) Tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya;
d) Tidak ada paksaan;
e) Telah berumur 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi wanita;
f) Salah satu atau kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan
sebelumnya;
g) Perkawinan dilakukan dihadapan Pastur dan disaksikan oleh dua
orang saksi.
3) Hukum Agama Hindu
Perkawinan itu sah apabila dilakukan dihadapan Brahmana
atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk
melakukan itu. Perkawinan tersebut juga harus dilaksanakan
menururt Hukum Hindu, jadi kedua calon suami istri harus
menganut agama Hindu. Jika perkawinan itu dilakukan antara calon
suami istri yang memilki keyakinan berbeda, maka perkawinan itu
tidak dapat disahkan.
4) Hukum Agama Buddha
Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan
menurut Hukum Agama Buddha adalah sebagai berikut:
a) Kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta mencintai;
b) Satu bulan sebelum perkawinan harus mengikuti penataran yang
diberikan Pandita;
c) Umur kedua mempelai sudah 21 tahun atau ada izin orang tua
mereka jika belum berumur 21 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
8. Syarat-syarat Perkawinan
a. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Mengenai syarat-syarat perkawinan di dalam UU No. 1 tahun
1974 diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokonya adalah
sebagai berikut:
1) Perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai,
artinya bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan
kehendak bebas kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan
tersebut. Hal ini merupakan syarat yang penting sekali untuk
membentuk suatu keluarga yang kekal dan sejahtera;
2) Untuk melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 ( dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari
kedua orang tua atau wali (pasal 6 ayat (2));
3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka yang berhak
memberikan izin sesuai dengan pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) adalah:
Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberikan
izin adalah keduanya, sedangkan apabila salah satu telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya
maka yang berhak memberikan izin adalah salah satu dari keduanya
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendak;
4) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau keduanya tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberikan
izin adalah:
a) Wali yang mempelihara calon mempelai;
b) Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat (4));
c) Apabila ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebutkan dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini, atau salah
seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin. Izin dari
pengadilan ini diberikan atas permintaan:
5) Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.
6) Setelah lebih dulu pengadilan mendengarkan sendiri orang-orang
yang disebut oleh ayat (2), (3), dan (4) pasal 6 tersebut.
7) Batas umur untuk melangsungkan perkawinan adalah sekurang-
kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri
(pasal 7 ayat (1)). Namun UU perkawinan memberikan kelonggaran
untuk terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan
tersebut, asal ada dispensasi dari pengadilan berdasarkan permontaan
dari orang tua kedua belah pihak yang akan melangsungkan
perkawinan (pasal 7 ayat (2)).
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material
absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia
pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus
300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Syarat material
relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di
dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk
kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan
memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat
waktu 1 tahun.
9. Tatacara Perkawinan
Secara umum mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan pada saat
ini sudah diatur pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam pasal 10
sampai dengan pasal 12. Khusus bagi yang beragama Islam, sesuai dengan
penjelasan pada pasal 12, maka mereka dalam pelaksanaan perkawinannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU
No. 32 tahun 1954. Dan pelaksanaan selanjutnya UU No. 32 tahun 1954 ini
telah diatur dengan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1955.
Adapun mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur
didalam Peraturan Pemerintah No. 9 yahun 1975 dan UU No. 32 tahun 1954
pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975, tata cara
perkawinan adalah:
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat;
2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu;
3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi.
b. Undang-undang No. 32 tahun 1954
1) Pihak yang akan melangsungkan pernikahan harus membawa surat
keterangan dari Kepala Kampung atau Kepala Desa masing-masing
(pasal 3 P. Menag No. 1/1955);
2) Pihak yang melakukan pernikahan itu menyampaikan kehendak
mereka selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad nikah
kepada Pegawai Pencatatan Nikah di wilayah akan
dilangsungkannya pernikahan;
3) Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami
dan calon istri atau oleh wakil mereka yang sah;
4) Pegawai Pencatat Nikah kemudian membuat pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan pernikahan, yang
kemudian ditempelkan pada tempat yang mudah dibaca orang.
Dimana lama berlakunya penempelan tersebut tidak boleh kurang
dari 10 hari;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
5) Pegawai Pencatat Nikah kemudian memeriksa calon suami-istri dan
wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya larangan atau
halangan nikah dilangsungkan;
6) Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah
sebelum hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan;
7) Akad nikah dilakukan di muka Pegawai Pencatat Nikah dan calon
suami serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah
dilangsungkan;
8) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah, harus diahadiri dua orang saksi laki-laki muslim dan
sehat akalnya. Kemudian pihak Pegawai Pencatat Nikah harus
meneliti tentang pembayaran maharnya dan harus membacakan atau
memeriksa persetujuan tentang taklik talak. Kemudian setelah
selesai akad nikah Pegawai Pencatat Nikah mencatat petnikahan
tersebut dalam buku daftar nikah.
10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan
a. Pemberitahuan Perkawinan
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975, menyatakan
bahwa pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya itu kepada pejabat pendaftaran/pencatat
perkawinan dimana tempat perkawinan itu akan dilangsungkan.
Kemudian dalam pasal 4 PP tersebut, menjelaskan bahwa pemberitahuan
dapat dilakukan oleh calon mempelai atau oleh orang tua dari calon
mempelai. Jika pemberitahuan dilakukan oleh orang tua calon mempelai
atau wali, maka harus disertakan surat kuasa, yang dapat berupa surat
kuasa otentik maupun di bawah tangan. Namun jika dibandingkan dengan
pasal 50 BW atau pasal 19 ayat (1) Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen yang dengan tegas menyatakan pemberitahuan itu dilakukan oleh
kedua calon mempelai. Kiranya karena pemberitahuan kehendak untuk
menikah itu juga harus dianggap sebagai pelaksanaan UUP yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
menegaskan bahwa perkawinan harus atas persetujuan kedua calon
mempelai (pasal 6 ayat (1)).
Pemberitahuan dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis.
Bila dilakukan secara tertulis, maka dibuat sesuai dengan pedoman atau
contoh menurut P.M.A No. 4/1975. Bila dilakukan secara lisan tidak ada
aturan secara tertulis tentang caranya, dimana hal ini dilakukan jika
pemberitahuan secara tertulis tidak mungkin dilakukan (pasal 6 ayat (2)
PMA No. 3/1975).
b. Pencatatan Perkawinan
Sahnya suatu perkawinan jika ditinjau hanya dari segi
keperdataannya saja, bila perkawinan tersebut telah dicatat/didaftarkan
pada Kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan belum dicatat, tetap
dinyatakan tidak sah menurut ketentuan hukum sekalipun sudah memenuhi
prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Sebelum berlakunya
UUP dijumpai beragam peraturan tentang pencatatan perkawinan, anatara
lain:
1) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropa (Stb. 1849 No. 25);
2) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan China (Stb. 1917 No. 130 jo.
Stb. 1919 No. 81);
3) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia (Stb. 1933
No. 75 jo. Stb. 1936 No. 607);
4) Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 1904 No.
279);
Menurut ketentuan di atas pelaksanaan pencatatan perkawinan dan catatan
sipil, pada umumnya didasarkan pada perbedaan golongan penduduk
(golongan Eropah, golongan Timur Asing/Cina, dan golongan
Pribumi/Kristen). Hal demikian tidak seharusnya dipertahankan, sehingga
selanjutnya Kantor-kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
rakyat Indonesia dan hanya dibedakan antara warganegara Indonesia dan
orang asing.
1) Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954
Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan
perkawinannya atas dasar ketentuan UU No. 22 tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan
UU No. 32 tahun 1954 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh
Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 tahun 1946,
perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh
Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama. Jadi
fungsi pencatat hanya mengawasi perkawinan. Dengan tujuan agar
perkawinan itu benar-benar dilaksanakan menurut ketentuan Hukum
islam.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 terdapat
beberapa ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan,
antara lain dalam Pasal 2, antara lain:
a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau
Pegawai yang ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk;
b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan perkawinan;
c) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus
berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan
Pemerintah ini.
Adanya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka
pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu:
a) Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, bagi mereka yang
beragama Islam sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 tahun
1946 jo UU No. 32 tahun 1954;
b) Kantor Catatan Sipil atau Instansi yang membantunya, bagi
mereka yang bukan beragama Islam, sebagaimana diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan Catatan Sipil.
Kesimpulannya adalah, bahwa pencatatan perkawinan bukan
merupakan syarat sah suatu perkawinan, tetapi pencatatan perkawinan
memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan
untuk diakui oleh negara.
11. Larangan Perkawinan
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan yang dilarang ialah:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara dan orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
Selanjutnya ditambah dengan larangan dalam Pasal 9 dan Pasal 10
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain yang
tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikendaki oleh pihak-pihak bersangkutan (Pasal 9 jo Pasal 3 ayat
(2)) dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah
tempat tinggal (Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974);
2) Suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974)
b. Hukum Agama
1) Hukum Agama Islam
Menurut hukum Islam larangan perkawinan dibedakan antara
yang dilarang untuk selama-lamanya dan larangan untuk sementara
waktu:
a) Dilarang selamanya
(1) perkawinan yang dilakukan karena hubungan darah;
(2) hubungan semenda;
(3) hubungan susuan;
(4) karena sumpah Li’an.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
b) Dilarang sementara waktu
(1) mengawini dalam waktu yang sama wanita bersaudara,
baik saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu
maupun saudara sepersusuan;
(2) wanita yang masih dalam masa idah, baik iddah karena
kematian maupun karena perceraian;
(3) wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki
lain;
(4) kawin lebih dari empat wanita dalam waktu yang sama;
(5) isteri yang telah ditalak tiga kali, maka tidak halal dinikahi
kembali oleh mantan suaminya kecuali telah kawin
dengan laki-laki lain yang kemudian dicerai dan habis
masa idahnya;
(6) perkawinan orang yang sedang ihram;
(7) kawin dengan pezina, kecuali setelah masing-masing
menyatakan bertaubat.
2) Hukum Agama Katolik
“Menurut Hukum Gereja Katolik halangan perkawinan dalam
Hukum Agama Katolik dapat dilihat dari segi perjanjian, agama,
dosa, dan persaudaraan” (Hilman Hadikusuma, 2003: 67), yaitu
sebagai berikut:
a) Belum mencapai umur 16 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi
wanita (Kanon, 1083: 1). Mereka boleh bersetubuh lebih dulu;
b) Pria atau wanita impoten bersifat tetap, kecuali diragukan atau
kemandulan (Kanon, 1084: 1-3);
c) Terikat perkawinan sebelumnya (Kanon, 1085: 1);
d) Salah satu tidak dibabtis (Kanon, 1086: 1);
e) Telah menerima tahbisan suci (Kanon 1078), yaitu klerus;
f) Kaul keperawanan (Kanon 1088), biarawan/biarawati;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
g) Penculikan wanita (raptus), belarian, kecuali si wanita bebas
menyatakan persetujuannya, atau memang disetujuinya (Kanon
1098);
h) Pembunuh teman perkawinan (crimen) (Kanon, 1090: 1-2);
i) Kelayakan publik (publica honestas), misalnya pria dengan ibu
atau dengan anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak
prianya (Kanon 1093);
j) Pertalian darah (Kanon, 1091: 1-4), dalam garis keturunan ke
atas ke bawah, ke samping, tidak dihitung rangkap, ke samping
tingkat kedua;
k) Hubungan periparan atau semenda (Kanon 1092);
l) Hubungan adopsi (Kanon 1094), termasuk hubungan susuan.
12. Akta Perkawinan
Setelah perkawinan menurut hukum masing-masing agama telah
dilaksanakan, kemudian kedua mempelai menandatangani akta perkawinan
yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang telah
berlaku. Dimana dalam akta perkawinan tersebut juga ditandatangani oleh
kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang hadir dalam perkawinan. Bagi
yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, di dalam akta
perkawinan tersebut ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka
perkawinan itu telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Ayat (1 sampai 3)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975). Akta perkawinan tersebut
memuat:
a. Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman sumi istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama
suami/isteri terdahulu;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
c. Izin kedua orang tua mereka bagi yang melangsungkan perkawinan
belum mencapai umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (2 sampai 5) UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua, bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi
pria, dibawah 16 tahun bagi wanita;
e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan
perkawinan lebih dari seorang isteri;
f. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota
ABRI;
g. Perjanjian perkawinan, jika ada;
h. Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman
kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Adapun prosedur dalam pembuatan akta perkawinan ini adalah
sebagai berikut:
a. Para calon mempelai menghubungi petugas di Kantor Catatan Sipil;
b. Para calon mempelai menerima formulir model 1 dan 2 (Formulir
permohonan perkawinan dan data calon mempelai);
c. Para calon mempelai mengisi formulir 1 dan 2 tersebut, dan ditanda
tangani pula oleh Ketua Majelis Gereja/Lembaga Keagamaan dimana
para mempelai diberkati dengan maksud agar pimpinan agama turut
mengetahui dan menyetujui tanggal dan waktu perkawinan;
d. Para calon mempelai mengembalikan formulir model 1 dan 2 tersebut
bersama segala persyaratan sesuai ketentuan;
e. Petugas Catatan Sipil meneliti kelengkapan administrasi yang diterima;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
f. Apabila dalam penelitian tidak ternyata tidak terdapat kekurangan atau
kesalahan maka diadakan pendaftaran perkawinan pada agenda
perkawinan;
g. Selanjutnya berdasarkan data permohonan yang telah memenuhi syarat
dibuat pengumuman pada kantor Pegawai Pencatat Sipil dan diumumkan
juga pada jemaat gereja/paroki wilayah dimana para mempelai
berdomisili;
h. Apabila tidak keberatan/sanggahan atas pengumuman perkawinan dan
ternyata benar-benar tidak ada halangan untuk dilangsungkan perkawinan
dimaksud, maka penulisan regsiter dapat dilaksanakan setelah biaya
perkawinan dibayar;
i. Perkawinan dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan pada
model 1 (Pendeta/imam) didepan pegawai pencatatan sipil (Pasal 10 PP
nomor 9/1975);
j. Sesaat setelah berlangsungnya perkawinan menurut hukum agama maka
perkawinan tersebut dicatat secara resmi;
k. Selanjutnya Akta Perkawinan diproses untuk diberikan kepada pariwisata
mempelai;
l. Para mempelai menerima Akta Perkawinan yang sudah ditanda tangani
oleh Kepala Kantor Catatan Sipil.
B. Kerangka Pemikiran
Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dalam kehidupannya selalu
hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup, dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun
bersifat rohani. Sehingga pada masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang
wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang
berlainan jenis kelamin dalam ikatan perkawinan yang diikuti dengan syarat-
syarat tertentu.
Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan
perkawinan mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota
masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur
tentang perkawinan tersebut. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari
wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi
maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama
sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga,
sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting
dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu
negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam
mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau
kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani
tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan
mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam pasal 2 ayat (1)
dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih
diteguhkan didalam hukum positif. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut
pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan
syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Mengingat di Indonesia diakui berbagai macam agama dan kepercayaan,
maka sering dijumpai adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama
atau kepercayaan. Meskipun perkawinan beda agama ini dipersulit, tetapi banyak
pihak yang mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama ke Pengadilan
Negeri setempat, seperti yang terjadi pada Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah
pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut, maka
diperlukan dasar pertimbangan Hakim dalam proses pemeriksaan permohonan
penetapan perkawinan beda agama yang diajukan. Dasar pertimbangan yang
digunakan oleh Hakim dapat ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 dan dapat pula ditinjau dari segi Hukum Agama dan Kepercayaan.
Dengan demikian pertimbangan hakim tersebut dapat digunakan sebagai dasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
untuk menyusun suatu penetapan atas Permohonan Penetapan Perkawinan Beda
Agama baik yang ditolak atau dikabulkan, yang memilki kekuatan hukum
mengikat bagi pihak yang mengajukan permohonan (pihak suami dan istri yang
akan melangsungkan perkawinan beda agama) dan juga bagi pihak yang terkait
(Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil), serta memilki pula kekuatan hukum
pembuktian yang dapat digunakan sebagai alat bukti atas sah atau tidaknya
pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut.
Untuk lebih memperjelas kerangka pikir di atas, maka Penulis membuat
skema sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Bagan Kerangka Pemikiran
Pihak A Pihak B
Perkawinan
Kekuatan Hukum
Ditolak
Prosedur Pemeriksaan Permohonan
Penetapan Perkawinan Beda Agama
Penetapan
Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama
Dikabulkan
Pertimbangan Hakim
Pengadilan Negeri
Permohonan
Kantor Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil
BERBEDA AGAMA
DITOLAK
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dalam hal ini penetapan yang dianalisis adalah Berkas Penetapan Nomor:
14/ Pdt.P/ 2008/PN. Ska dan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska,
mengenai permohonan izin perkawianan beda agama. Untuk lebih memperjelas
maka akan penulis paparkan datanya sebagai berikut:
1. Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN. Ska (Permohonan yang
Ditolak)
a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan
Pemohon I
Nama : TK
Tempat/ tanggal lahir : Madiun, 28 Januari 1951
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan
Nusukan Kecamatan Banjarsari, Kota
Surakarta
Pemohon II
Nama : PN
Tempat/ tgl lahir : Yogyakarta, 13 September 1960
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan
Nusukan Kecamatan Banjarsari, Kota
Surakarta
b. Duduk Perkara
Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan
didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 23 Januari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
2008 No. 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat
dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang
pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut:
1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan
perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta;
2) Pada tanggal 22 Januari 2008 Para Pemohon telah memberitahukan
kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta
tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena
beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II
beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak,
dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 Undang-undang
No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 35 Undang-undang No.
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan
Negeri;
3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk
melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-
masing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan
Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4)
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf
(a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes
dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 22
Januari 2008 No.474.2/ 58/ 2008);
4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada
prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk
melakukan perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa
serta memberikan penetapan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Surakarta;
3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda
Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan
Perkawinan yang digunakan untuk itu;
4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.
Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang
menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon
tertanggal 23 Januari Agustus 2008 tersebut dibacakan oleh Hakim Para
Pemohon menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan
tidak ada perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya
Para Pemohon mengajukan surat-surat bukti yang telah dibacakan
dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan,
kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan
telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan
cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya
surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat
bukti mana berupa:
1) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama TK, No. 331/ TP/ 2008
yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P1);
2) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PN, No. 332/ TP/ 2008
yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P2);
3) Fotocopy kartu keluarga No. 3772050702542 yang dikeluarkan pada
tanggal 15 Januari 2008; (bukti P3);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
4) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari,
Kota Surakarta, atas nama TK; (bukti P4);
5) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari,
Kota Surakarta, atas nama PN; (bukti P5);
6) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama TK tertanggal 18
Januari 2008; (bukti P6);
7) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama PN tertanggal 18
Januari 2008; (bukti P7);
8) Surat Keterangan untuk Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta No. 474.2/ 58/ 2008 tertanggal 22 Januari 2008;
(bukti P8);
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon
juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah
sumpah di persidangan, masing-masing bernama:
1) ES
Lahir di Surakarta, 07 Desember 1962, jenis kelamin laki-laki,
Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW.
06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama
Katolik, pekerjaan sebagai pedagang, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa saksi adalah adik ipar Pemohon II;
b) Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan untuk pengesahan
perkawinan agar dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil;
c) Bahwa Para Pemohon akan melangsungkan perkawinan beda
agama, namun Catatan Sipil menolak untuk mengesahkan
perkawinan mereka;
d) Bahwa Para Pemohon belum menikah secara agama;
e) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baik melangsungkan
perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan
kumpul kebo atau hamil di luar nikah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
f) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka
berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka
berdua.
2) EW
Lahir di Surakarta, 17 Juni 1963, jenis kelamin perempuan,
Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW.
06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama
Katolik, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa saksi adalah adik dari Pemohon II;
b) Bahwa menurut Pemohon I, mereka telah menikah siri di Jawa
Timur;
c) Bahwa perkawinan Para Pemohon belum dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil;
d) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baek melangsungkan
perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan
kumpul kebo atau hamil di luar nikah;
e) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka
berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka
berdua tanpa adanya paksaan dari siapapun.
c. Tentang Hukumnya
1) Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana
tersebut di atas;
2) Pemohon berkehendak melangsungkan perkawinan tetapi Para
Pemohon berlainan agama, dimana Pemohon I beragama Islam dan
Pemohon II beragama Kristen, dan Para Pemohon telah
memberitahukan rencana perkawinannya kepada Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Surakarta dan memohon agar perkawinan
mereka dicatat dalam perekawinan di instansi tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
3) Permohonan Para Pemohon ditolak oleh Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakarta;
4) Alasan penolakan pencatatan perkawinan oleh Kepala Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta adalah karena belum
mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta (mengacu
pada Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan jo Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan);
5) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayannya itu;
6) Menurut perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan
UUD 1945, yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini
(penjelasan pasal demi pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974);
7) Berdasarkan penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa
perkawinan harus dilaksanakan terlebih dahulu menurut hukum
agamanya Para Pemohon, apakah akan dilaksanakan menurut tatacara
hukum agama Islam atau tatacara hukum agama Kristen;
8) Berdasarkan bukti-bukti yang ada ternyata pemohon belum pernah
melaksanakan perkawinan menurut hukum salah satu agama Para
Pemohon, karena Para Pemohon tetap berprinsip pada agamanya
masing-masing;
9) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
10) Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah
jelas bahwa setelah perkawinan dilaksanakan maka harus dicatatkan
untuk memperoleh bukti tentang keabsahan perkawinan tersebut;
11) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencacatan sebgaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, sedangkan
menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu
selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai Pencatata Perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-
undangan mengenai pencatatan perkawinan;
12) Selama ini belum ada peraturan yang menunjuk suatu lembaga yang
mengesahkan perkawinan dari calon mempelai yang berbeda agama;
13) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006,
pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan, namun
pengadilan bukan lembaga yang diberikan wewenang untuk
mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undang-undang No.
23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas dalam hal
perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan;
14) Para Pemohon dalam permohonan ini belum pernah melangsungkan
perkawinan yang sah, dan tidak ternyata pula bahwa ada lembaga yang
mengesahkan perkawinan Para Pemohon;
15) Dari uraian di atas Pengadilan Negeri Surakarta tidak/bukan instansi
yang berwenang untuk mengesahkan perkawinan Para Pemohon dan
dengan demikian tidak berwenang untuk memerintahkan kepada
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk
melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon
tersebut;
16) Dengan demikian maka permohona Para Pemohon harus ditolak ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
17) Karena permohonan Para Pemohon ditolak maka Para Pemohon
dibebani pula untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam
permohonan ini.
MENETAPKAN
1) Menolak permohonan Para Pemohon;
2) Menghukum Para Pemohon untuk membayar ongkos perkara yang
timbul dalam permohonan ini sebanyak Rp. 49.000,- (empat puluh
sembilan ribu rupiah).
2. Berkas Penetapan No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska (Permohonan yang
Dikabulkan)
a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan
Pemohon I
Nama : ST
Tempat/ tanggal lahir : Pulau Sambu, 12 September 1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Baloi Blok VI RT. 001 RW. 003
Kelurahan Batu Selicin, Kecamatan Lubuk
Baja, Kota Batam
Pemohon II
Nama : SM
Tempat/ tgl lahir : Surakarta, 01 Maret 1970
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Danukusuman RT.003 RW. 002
Kelurahan Danukusuman, Kecamatan
Serengan Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
b. Duduk Perkara
Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan
didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 05 Januari
2009 No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat
dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang
pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut:
1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan
perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta;
2) Pada tanggal 31 Desember 2008 Para Pemohon telah memberitahukan
kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta
tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena
beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II
beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak,
dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 Undang-undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 21
Undang-undang No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan
Negeri;
3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk
melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-
masing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan
Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4)
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf
(a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes
dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 31
Desember 2008 No. 474.2/ 1104/ 2008);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada
prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk
melakukan perkawinan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa
serta memberikan penetapan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Surakarta;
3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda
Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan
Perkawinan yang digunakan untuk itu;
4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.
Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang
menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon
tertanggal 05 Januari 2009 tersebut dibacakan oleh Hakim Para Pemohon
menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan tidak ada
perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya Para
Pemohon mengajukan surat-surat bukti yang telah dibacakan
dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan,
kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan
telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan
cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya
surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat
bukti mana berupa:
1) Asli Surat Keterangan untuk Rekes No. 474.2/ 1104/ 2008 tertanggal
31 Desember 2008, (bukti P I.1);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
2) Fotocopy Surat Keterangan Imunisasi TT bagi calon pengantin No.
000843 tertanggal 30 Desember 2008, (bukti P I.2);
3) Fotocopy Surat Keterangan untuk menikah (ST) No. 184/ 474.2/ 001/
XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.3);
4) Fotocopy Surat Keterangan Asal Usul, No. 184./ 474.2/ 001/ XII/ 2008
tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.4);
5) Fotocopy Surat Keterangan tentang Orang Tua No. 184/ 474.2/ 001/
XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.5);
6) Fotocopi Surat Rekomendasi Pindah Nikah atas nama ST tertanggal 15
Desember 2008, (bukti P I.6);
7) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama ST
tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P I.7);
8) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (ST) tertanggal 15
Desember 2008; (bukti P I.8);
9) Fotocopy Surat Permohonan Rekes, tertanggal 31 Desember 2008,
(bukti P I.9);
10) Fotocopy Surat Keterangan Kematian, No. 09/ 474.3/ 11/ 2007
teretanggal 17 Februari 2007, (bukti P I.10);
11) Fotocopy Kartu Keluarga No. 21.71.06.001/ 09/ 538 tertanggal 04
September 2006, (bukti P I.11);
12) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama ST, nomor KTP No.
21.71.96.001.12.09.70.99810 tertanggal 04 September 2006, (bukti P
I.12);
13) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama ST, No. 9365/ DISP/
1988 tertanggal 30 November 1988, (bukti P I.13);
14) Fotocopy surat keterangan/pengantar (SM), No. 000/ 560 tertanggal 04
Desember 2008, (bukti P II.1);
15) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (SM) tertanggal 15
Desember 2008, (bukti P II.2);
16) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama SM
tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P II.3);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
17) Fotocopy Surat Keterangan Kematian (PM), No. 474.3/ 71, (bukti P
II.4);
18) Fotocopy Kutipan Akta Kematian (SR), No. 254/ 1995 tertanggal 2
Desember 1995, (bukti P II.5);
19) Fotocopy Kartu Keluarga No. 3372020305212 tertanggal 31 Oktober
2008, (bukti P II.6);
20) Fotocopy Akta Kelahiran atas nama SM, No. In. 76/ 1970 tertanggal
13 April 1970, (bukti P II.7);
21) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama SM, No.
33.7202.410370.0002 tertanggal 09 Oktober 2006, (bukti P II.8).
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon
juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah
sumpah di persidangan, masing-masing bernama:
1) SY (saksi P I)
Lahir di Bloro, 23 Desember 1969, jenis kelamin laki-laki,
Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Cemani RT.005/015 Kel.
Cemani Kec. Grogol Kab. Sukoharjo, agama Islam, pekerjaan swasta,
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
a) Bahwa saksi adalah sepupu pemohon I;
b) Bahwa pemohon I belum pernah menikah;
c) Bahwa pemohon I meminta izin untuk menikah dengan pemohon
II dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin;
d) Bahwa saksi mengetahui pemohon II beragama Kristen;
e) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran;
f) Bahwa saksi mengetahui pemohon I dan pemohon II akan
melangsungkan perkawinan dan tidak ada paksaan untuk ikut salah
satu agama yang dianutnya;
g) Bahwa perkawinan akan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil
Kota Surakarta dengan adanya penetapan dari Pengadilan negeri
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
2) DW (saksi P II)
Lahir di Surakarta, 16 Nopember 1947, jenis kelamin laki-laki,
Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kadipiro Baru RT. 004/010 Kel.
Bejen Kec. Karanganyar Kab. Karanganyar, agama Katholik,
pekerjaan sebagai PNS, yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
a) Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Pemohon II;
b) Bahwa orang tua dari pemohon II telah meninggal dunia;
c) Bahwa pemohon II belum pernah menikah;
d) Bahwa pemohon II meminta izin untuk menikah dengan pemohon
I dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin
e) Bahwa saksi mengetahui pemohon I beragama Islam;
f) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran;
c. Tentang Hukumnya
1. Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana
tersebut di atas;
2. Diperoleh fakta-fakta hukum dari adanya bukti-bukti surat dan
keterangan saksi-saksi, anatar lain:
a) Antara pemohon I dan pemohon II telah sepakat bersama untuk
melangsungkan perkawinan berdasarkan cinta dan kasih sayang
diantara keduanya, walaupun diantara Para Pemohon ada
perbedaan agama;
b) Para Pemohon telah mengajukan Permohonan Pencatatan
Perkawinan secara beda agama di Kantor Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak karena belum ada
penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta;
c) Para saksi serta pihak keluarga Para Pemohon telah mengetahui
dan menyetujui serta memberi izin kepada Para Pemohon untuk
melangsungkan perkawinan dengan cara beda agama;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
d) Untuk melakukan perkawinan dengan cara beda agama harus ada
penetapan dari Pengadilan Negeri;
e) Para Pemohon tetap mempertahankan keyakinan agamanya
masing-masing;
f) Pemohon I tidak mau melakukan prosesi perkawinan berdasarkan
agama Islam dan pemohon II tidak mau melakukan prosesi
perkawinan berdasarkan agama Kristen;
g) Ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat perkawinan dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 telah
terpenuhi.
3. Perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila persoalan
permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan;
4. Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Indonesia dan Warga
Dunia adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya
termasuk beribadah membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh
dua calon yang beda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945 dan Piagam PBB Tahun 1984 tentang kebebasan memeluk
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
5. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 8 yang
mengatur larangan untuk melangsungkan perkawinan tidak diatur
larangan yang dilaksanakan oleh dua calon mempelai yang berbeda
agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan calon
mempelai yang berbeda agama;
6. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Bab XIV
ketentuan penutup Pasal 66 menyatakan: Untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-
undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata HOCI Stbl 1993
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
No. 74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl
1898 No. 158) dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku;
7. Karena Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang
berlainan agama maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158
tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam
perkara antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masing-
masing bersikukuh tetap mempertahankan agamanya (Yurisprudensi
MA No. 245 K/ SIP/ 1953 dalam Perkara pemohon: (SS);
8. Syarat-syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan antara
pemohon I dan Pemohon II menurut Undang-undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974 Pasal 6 telah terpenuhi dan menurut Hukum Agama
Para Pemohon tidak mungkin dilakukan proses perkawinan dengan
umat yang berbeda keyakinan/agama dan Para Pemohon sudah saling
mencintai dan sudah lama berpacaran serta Para Pemohon sudah
sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan cinta kasih maka Hakim menganggap Para Pemohon
melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan
beda agama dan oleh karena Undang-undang pantas untuk
mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut dalam point 2;
9. Ketentuan Pasal 6 Stbl 1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan
perkawinan campuran c.q beda agama maka pelaksanaan perkawinan
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi suaminya dengan tidak
mengurangi persetujuan yang selalu dipersyaratkan, bahwa apabila
hukum suami agama Islam tidak menentukan cara-cara pelaksanaan
perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan dilaksanakan dan
ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur perkawinan beda agama,
maka dengan merujuk ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon I dan Pemohon
II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan mereka Para
Pemohon, sebagaimana disebut dalam petitum point 3;
10. Meskipun permohonan Para Pemohon dikabulkan adalah hal yang
tidak dapat dihindarkan perekawinan Para Pemohon adalah tidak sah
menurut agama (baik Islam maupun Kristen) sesuai ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka oleh karena dari sudut agama dinilai tidak sah
tentang dosa hubungan antara Pemohon I dan Pemohon II sebagai
calon suami istri adalah merupakan tanggung jawab Para Pemohon
kepada Tuhan YME, Negara melalui Peraturan Perundang-undangan
Nasional yang hanya memberi solusi bagi perkawinan antara kedua
calon mempelai yang masing-masing mempertahankan keyakinan
agamanya;
11. Para Pemohon memohonkan agar diberi perintah seperlunya agar
perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II tersebut didaftarkan
menurut ketentuan yang berlaku, permohonan mana karena beralasan
dan menurut hukum dapatlah dikabulkan;
12. Karena permohonan Para Pemohon dikabulkan maka semua biaya
yang timbul karena permohonan ini dibebankan kepada Pemohon;
13. Memperhatikan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 jo pasal
135 huruf (a) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Stbl 1898 No. 158
serta ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain yang
bersangkutan.
MENETAPKAN
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil kota Surakarta;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I
sebagai calon suami dan Pemohon II sebagai calon istri;
4) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda
agama Para Pemohon tersebut di atas, ke dalam Register Pencatatan
Perkawinan yang digunakan untuk itu;
5) Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon yang sampai
saat ini diperhitungkan sebesar Rp. 86.000,- (delapan puluh enam ribu
rupiah).
B. Pembahasan
1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda
Agama
a. Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan Panitera PN Surakarta, yaitu
Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro maka prosedur pengajuan
permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:
1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke
Pengadilan Negeri Surakarta dan menghadap petugas Meja Pertama
untuk mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama,
dengan menyerahkan surat permohonan, minimal 2 (dua) rangkap.
2) Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap
perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan Pihak Pemohon dan
menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara
tersebut.
Catatan :
a) Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo
(cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa
setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
b) Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.
0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
didasarkan pasal 237 – 245 HIR.
c) Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau
berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam
surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu)
dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau
permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
3) Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat permohonan
kepada Pemohon disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
4) Pihak Pemohon menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
5) Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM), membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan
permohonan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam
surat permohonan.
6) Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kepada pemohon sebagai dasar penyetoran panjar biaya
perkara ke bank.
7) Pihak Pemohon datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank
tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti
nomor urut dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon
menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar
yang tertera dalam slip bank tersebut.
8) Setelah Pemohon menerima slip bank yang telah divalidasi dari
petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada pemegang kas.
9) Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan
kembali kepada Pemohon. Pemegang kas kemudian memberi tanda
lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat permohonan yang
bersangkutan.
10) Pihak Pemohon menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat
permohonan serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
11) Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat permohonan dalam
register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat
permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang
diberikan oleh pemegang kas.
12) Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat
permohonan yang telah diberi nomor register kepada Pihak Pemohon.
13) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk
menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim
(PMH) dan Panitera Pengganti yang ditunjuk langsung oleh Ketua
Pengadilan Negeri Surakarta, serta penetapan hari sidang pemeriksaan
perkaranya (PHS) oleh Hakim Pemeriksa.
14) Pada saat hari sidang yang telah ditentukan, Para Pemohon hadir
sendiri dengan membawa bukti-bukti surat dan saksi-saksi.
Pada dasarnya prosedur pengajuan permohonan penetapan
perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan perkara
perdata biasa. Kesamaan lainnya adalah dalam hal pengajuan gugatan
biasa dan permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sama-
sama dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa untuk membuat,
menandatangani, mengajukan atau menyampaikan gugatan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
permohonan tersebut kepada Pengadilan Negeri. Namun dalam pengajuan
gugatan biasa dikenal adanya pengajuan gugatan secara lisan, tetapi tidak
demikian dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda
agama yang hanya dapat diajukan secara tertulis.
b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas
Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 14/ Pdt. P/ 2008/ PN. Ska dan
Berkas Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 01/ Pdt.P/ 2009/
PN.Ska, maka proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan
beda agama adalah sebagai berikut:
1) Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, kemudian
Para Pemohon datang sendiri dan menghadap ke muka persidangan;
2) Hakim membacakan permohonan Para Pemohon yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta;
3) Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan
bukti-bukti surat yang bermaterai cukup serta telah dilegalisir dan
menghadirkan pula saksi-saksi;
4) Setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap bukti-bukti surat dan
saksi-saksi, Para Pemohon menerangkan sudah cukup dan memohon
penetapan;
5) Selanjutnya hakim mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi di
persidangan sebagai dasar untuk menyusun suatu penetapan;
6) Kemudian Hakim membacakan penetapan di muka persidangan yang
terbuka untuk umum.
Jika dibandingkan antara proses pemeriksaan permohonan
penetapan perkawinan beda agama dengan proses pemeriksaan pada
gugatan biasa, maka terdapat perbedaan diantara keduanya. Dimana
perbedaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
a. Proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama
1) Pihak yang diperiksa pada proses persidangan hanya Pemohon
atau kuasanya, karena yang terlibat hanya sepihak yaitu Pemohon
sendiri dan tidak ada pihak lawan;
2) Dalam persidangan hanya mendengar keterangan Pemohon atau
kuasanya dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon berupa surat atau saksi;
3) Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya
bahwa dalam pemeriksaan permohonan tidak ada bantahan dari
pihak lain;
4) Tidak ada tahap replik, duplik dan kesimpulan.
b. Proses pemeriksaan gugatan biasa
1) Pihak yang dipanggil dan diperiksa dalam persidangan adalah
pihak penggugat dan tergugat, karena pada prinsipnya
pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak;
2) Proses pemeriksaan berlangsung secara contradictoir, dimana
diberikan hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk membantah
dalil Penggugat, serta sebaliknya Penggugat juga berhak untuk
melawan bantahan Tergugat;
3) Terdapat replik, duplik maupun konklusi, karena pemeriksaan
perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah.
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan
Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
a. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska,
dan hasil wawancara dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Surakarta
yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, Penulis mendapatkan beberapa data
mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan Permohonan
Perkawinan Beda Agama. Dimana antara lain bahwa permohonan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
dikabulkan untuk menghindari dan mencegah perilaku asusila Para
Pemohon di dalam masyarakat, dalam hal ini dapat diartikan sebagai
‘kumpul kebo’ maupun terjadinya hamil di luar nikah.
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang
berlainan agama, maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158
tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam perkara
antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masing-masing
bersikukuh tetap mempertahankan agamanya. Ketentuan Pasal 6 Stbl
1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan perkawinan campuran c.q beda
agama maka pelaksanaan perkawinan ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi suaminya dengan tidak mengurangi persetujuan yang selalu
dipersyaratkan, bahwa apabila hukum suami (Islam) tidak menentukan
cara-cara pelaksanaan perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan
dilaksanakan dan ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur
perkawinan beda agama, maka dengan merujuk ketentuan Pasal 6 ayat (2)
Stbl 1898 No. 158 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon
I dan Pemohon II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan beda
agama antara Para Pemohon. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 7
ayat (2) Stbl. 1898 No. 158, yang menjelaskan bahwa perbedaan agama
bukan menjadi halangan untuk dilangsungkannya suatu perkawinan.
Sedangkan jika ditinjau dari segi yuridisnya, dasar pertimbangan
Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda
agama tersebut antara lain berdasarkan pada Pasal 8 Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana
mengenai perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk
melangsungkan perkawinan, maka sudahlah tepat apabila persoalan
perkawinan beda agama merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutuskan. Serta didasarkan pula pada Pasal 29 Ayat
(2) Undang-undang Dasar 1945 dimana dijelaskan bahwa setiap warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
negara mendapat jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan
agamanya tersebut, sehingga Para Pemohon berhak untuk
mempertahankan keyakinan dari agamanya termasuk beribadah
membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda
agama.
Perkawinan beda agama yang sudah dilegalkan oleh Pengadilan
Negeri (PN) Surakarta, tidak berarti pasangan beda agama tersebut
menikah di Pengadilan Negeri Surakarta. Jadi, wewenang pengadilan
negeri di sini hanya mengizinkan bukan menikahkan pasangan beda
agama karena kapasitas pengadilan bukan untuk itu. Selain itu,
berdasarkan pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 ditegaskan
kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah. Begitupula pada pasal 10 ayat
(3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditegaskan dengan
mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
Pegawai Pencatat dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pencatatan ini
dapat dilakukan segera setelah Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil
Surakarta menerima salinan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta
untuk mencatat perkawinan antara pasangan beda agama pada buku
register setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-
Undang.
b. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan
Beda Agama
Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska
dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yaitu bapak
Susanto Isnu Wahjudi, beberapa dasar pertimbangan yang digunakan
Hakim untuk menolak permohonan perkawinan beda agama adalah
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
1) Aspek Sosial
a) Perkawinan pada dasarnya harus dilaksanakan sesuai dengan
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, sehingga
tidak ada perkawinan yang dilaksanakan di luar hukum masing-
masing agama yang disebabkan karena pihak yang akan
melangsungkan perkawinan memilki keyakinan/agama yang
berbeda;
b) Perkawinan yang dilakukan antara pihak yang memilki keyakinan
berbeda tidak sah menurut agama manapun, dan hubungan mereka
sebagai suami isteri yang tetap berbeda agama akan menimbulkan
dosa yang menjadi tanggung jawab pihak yang melangsungkan
perkawinan karena secara agama bisa dikatakan sebagai perbuatan
yang haram, dan apa yang dilakukan sama dengan perzinahan.
c) Jika pihak suami dan istri yang melangsungkan perkawinan beda
agama ini mempunyai keturunan, maka status anak dari para
pihak ini dapat dikatakan sebagai “anak haram”, karena dilahirkan
dari hubungan yang dilarang dan haram pula menurut hukum
agama.
2) Aspek Agama
a) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak
yang memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka
perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan
akan menimbulkan dosa besar bagi pihak yang melangsungkan
perkawinan beda agama tersebut. Berikut penjelasan mengenai
perkawinan beda agama menurut masing-masing agama:
(1) Pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antar
pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama
Islam, yaitu :
(a) Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang
yang beragama menyembah berhala, polytheisme, agama-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan
kaum atheis;
(b) Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria
bukan Islam;
(c) Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan
wanita bukan muslim yang ahli kitab, terdapat tiga
macam pendapat yaitu :
(i) Melarang secara mutlak;
(ii) Memperkenankan secara mutlak;
(iii)Memperkenankan dengan syarat yaitu apabila pria
muslim itu kuat imannya serta rajin ibadahnya.
(2) Agama Kristen
Menurut Agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama
tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya,
dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus
6 : 14-18).
(3) Agama Katolik
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda
agama katolik tidaklah dapat dilakukan, hal ini dikarenakan
karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai
sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada
proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan
beda agama.
(4) Agama Buddha
Menurut Agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama
tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan
untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan
nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
(5) Agama Hindu
Agama Hindu tidak mengenal adanya perkawinan beda
agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus
dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah
seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia
diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau
calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih
dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan
Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
b) Berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor :
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,
yang berisi, antara lain sebagai berikut:
(1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;
(2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab,
menurut Qaul Mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
3) Aspek Yuridis
a) Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
b) Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk memperoleh bukti tentang keabsahan
perkawinan tersebut. Namun hingga saat ini belum ada instansi
yang ditunjuk untuk mencatatkan perkawinan beda agama;
c) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencacatan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No.
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
sedangkan menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka
yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan;
d) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006,
pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan,
namun pengadilan bukan lembaga yang diberikan wewenang
untuk mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undang-
undang No. 23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas
dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Perkawinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas
Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, dasar pertimbangan Hakim
dalam menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama yang
lainnya adalah karena Pemohon yang mengajukan permohonan
penetapan perkawinan beda agama tersebut terlebih dahulu telah
melakukan perkawinan siri. Dimana perkawinan siri dapat dinyatakan
sah ditinjau dari segi agama, sehingga pemohon dirasa tidak perlu lagi
mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama ke
Pengadilan Negeri Surakarta karena Para Pemohon telah sah dalam
ikatan perkawinan dan hanya tinggal mencatatkan perkawinan tersebut.
Sehingga penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim adalah menolak
permohonan penetapan perkawinan beda agama yang diajukan oleh Para
Pemohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
3. Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, setiap penetapan yang telah
ditetapkan dalam persidangan oleh Hakim adalah bersifat mengikat bagi para
pihak yang terkait di dalam perkara tersebut baik secara langsung maupun
tidak langsung dan juga memiliki kekuatan pembuktian. Penetapan tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau tetap selama para pihak tidak
mengajukan upaya hukum yang lain.
Penetapan Hakim atas Permohonan Perkawinan Beda Agama
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sebagai kekuatan
pembuktian, dimana penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Kekutan Mengikat (bindende kracht)
Bedasarkan keterangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu
Bapaka Susanto Isnu Wahjudi, bahwa penetapan perkawinan beda agama
dengan sendirinya merupakan akta otentik, karena merupakan produk
yang diterbitkan oleh Hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan
persoalan mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama. Dengan adanya
suatu penetapan perkawinan beda agama yang merupakan akta otentik,
dengan demikian dapat dilaksanakannya perkawinan antara pihak yang
berbeda agama atas dasar permohonan perkawinan beda agama kepada
Pengadilan Negeri Surakarta. Oleh karena itu Para Pemohon harus taat dan
tunduk pada penetapan, sebagaimana layaknya Undang-undang yang harus
dilaksanakan oleh semua pihak. Jadi penetapan perkawinan beda agama
ini mempunyai kekuatan hukum mengikat (bindende kracht).
Ketika penetapan telah memilki kekuatan hukum yang tetap dan
pasti, yaitu selama Para Pemohon tidak mengajukan upaya hukum lain,
maka penetapan perkawinan beda agama tersebut telah mengikat Para
Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama serta pihak lain
yang terkait dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda
agama tersebut, yaitu pihak Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.
Dimana setelah adanya penetapan, maka Hakim menunjuk Kantor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melaksanakan
perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga memerintahkan
untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam
Register Pencatatan Perkawinan.
b. Kekutan Pembuktian (bewijzende kracht)
Penetapan perkawinan beda agama yang dikeluarkan oleh Hakim
secara tertulis merupakan akta otentik dengan tujuan untuk dapat
digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon dan juga mempunyai
kekuatan bukti terhadap Pihak Ketiga (pihak luar). Dimana penetapan
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon saat akan
mengajukan upaya hukum atau pelaksanaan penetapan tersebut. Kekuatan
pembuktian dalam penetapan ini maksudnya adalah apabila ada pihak
ketiga yang menyangkal tentang sahnya perkawinan beda agama yang
dilakukan oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon yang melangsungkan
perkawinan beda agama tersebut sudah mempunyai alat bukti tentang
sahnya perkawinan beda agama tersebut yang dapat dilihat dari penetapan
perkawinan beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta. Setelah adanya penetapan atas permohonan perkawinan
tersebut, maka para pihak dapat mencatatkan perkawinan tersebut pada
Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian para
pihak yang melakukan perkawinan secara otomatis mendapatkan Akta
Perkawinan, yang dapat menjadi alat bukti bahwa para pihak telah sah
melakukan perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda
Agama
a. Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Pada dasarnya proses pengajuan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama pada Pengadilan Negeri, sama dengan proses
pengajuan gugatan biasa. Dimana proses pengajuannya adalah sebagai
berikut:
1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke
Pengadilan Negeri Surakarta untuk mengajukan permohonan
penetapan perkawinan beda agama, dengan menyerahkan surat
permohonan dan juga membayar panjar biaya perkara;
2) Surat permohonan didaftar atau dicatat ke dalam register serta
memberi nomor register pada surat permohonan tersebut;
3) Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menunjuk Hakim tunggal dan
Panitera Pengganti;
4) Hakim pemeriksa menetapkan hari sidang;
5) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti
dengan membawa bukti-bukti berupa surat-surat dan saksi-saksi.
b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Proses pemeriksaan pada pengajuan permohonan penetapan
perkawinan beda agama hanya bersifat sepihak saja, karena pihak yang
terlibat dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama
tersebut juga hanya sepihak. Sehingga yang hadir dalam proses
pemeriksaan di persidangan hanya pihak Pemohon atau kuasanya, karena
hanya keterangan dan bukti berupa surat maupun saksi dari pihak
Pemohon yang diperiksa dalam proses persidangan. Di dalam proses
yang bersifat sepihak ini, pemeriksaan tidak berlangsung secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
contradictoir, yaitu dalam proses pemeriksaannya tidak ada bantahan
dari pihak lain.
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan
Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama
a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama
Pada dasarnya permohonan penetapan perkawinan beda gama
yang dikabulkan oleh Hakim adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 29
Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD
1945, dimana dijelaskan bahwa setiap warga negara mendapat jaminan
oleh negara dalam memeluk dan menjalankan agamanya tersebut,
sehingga Para Pemohon berhak untuk mempertahankan keyakinan
agamanya termasuk beribadah membentuk rumah tangga dan
melanjutkan keturunan yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda
agama. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 8 Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana
mengenai perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk
melangsungkan perkawinan, maka persoalan perkawinan beda agama
menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutuskan. Karena di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak
mengatur perkawinan beda agama, maka Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat
(2) Stbl. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran digunakan sebagai
dasar untuk mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda
agama.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan
Perkawinan Beda Agama
1) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak yang
memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka
perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
menimbulkan dosa besar bagi pihak yang melangsungkan
perkawinan beda agama tersebut;
2) Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.
3. Kekuatan Hukum atas Penetapan Perkawinan Beda Agama
a. Kekuatan Mengikat
Ketika tidak ada upaya hukum yang lain, maka penetapan telah
memilki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, sehingga penetapan
tersebut telah mengikat Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan
beda agama dan juga pihak lain yang terkait dengan pengajuan
permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut. Dalam
permohonan penetapan perkawinan beda agama ini, penetapan memilki
kekuatan hukum mengikat terhadap Para Pemohon yang mengajukan
permohonan penetapan perkawinan beda agama dan juga berlaku pula
bagi Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Dimana setelah adanya
penetapan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka Hakim
menunjuk Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk
melaksanakan perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang
didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga
memerintahkan untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda
agama ke dalam Register Pencatatan Perkawinan.
b. Kekuatan Pembuktian
Penetapan perkawinan beda agama yang dibuat secara tertulis yang
merupakan akta otentik mempunyai kekuatan hukum pembuktian,
bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon
dan juga pihak ketiga. Maka Para Pemohon yang melangsungkan
perkawinan beda agama mempunyai alat bukti tentang sahnya
perkawinan beda agama yang dapat dilihat dari penetapan perkawinan
beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim PN Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
B. Saran
1. Perlu adanya revisi terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dengan ditetapkannya suatu peraturan yang menyangkut tentang
masalah perkawinan beda agama ini sebagai ketentuan pelaksanaan dari
Undang-undang Perkawinan tersebut, karena dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama
dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum bagi seluruh
warganegara;
2. Perkawinan hendaknya dilaksanakan antara pihak yang memilki keyakinan
atau agama yang sama. Karena tidak ada satupun agama yang
memperbolehkan terjadinya perkawinan dengan pihak yang berbeda agama,
serta pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut juga akan menemui
kendala-kendala baik pada saat akan melaksanakannya maupun setelah
perkawinan beda agama tersebut dilaksanakan.