sinopsis biarkan hukum mengalir tugas prof esmi

8
BIARKAN HUKUM MENGALIR CATATAN KRITIS TENTANG PERGULATAN MANUSIA DAN HUKUM (SINOPSIS BUKU KARYA PROFESOR SATJIPTO RAHARJO) Di Susun Oleh: N a m a : DELI INDRA WAHYUDI N I M : 10/307370/PHK/6474 Bidang Konsentrasi : Hukum Kenegaraan Mata Kuliah : Sosiologi Hukum Dosen Pengampu : Prof. Esmi Waransih PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

Upload: deli-indra-wahyudi

Post on 22-Jul-2015

176 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BIARKAN HUKUM MENGALIR CATATAN KRITIS TENTANG PERGULATAN MANUSIA DAN HUKUM

(SINOPSIS BUKU KARYA PROFESOR SATJIPTO RAHARJO)

Di Susun Oleh: Nama NIM Bidang Konsentrasi Mata Kuliah Dosen Pengampu : DELI INDRA WAHYUDI : 10/307370/PHK/6474 : Hukum Kenegaraan : Sosiologi Hukum : Prof. Esmi Waransih

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

BIARKAN HUKUM MENGALIR CATATAN KRITIS TENTANG PERGULATAN MANUSIA DAN HUKUM (SINOPSIS BUKU KARYA PROFESOR SATJIPTO RAHARJO) Buku Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum merupakan buku yang ditulis oleh Prof Tjip (sapaan Prof Satjipto Rahardjo). Buku ini terdiri dari sepuluh bab yaitu: 1. Pergulatan manusia dan hukumnya; 2. Jagat ketertiban; 3. Dinamika di luar hukum negara; 4. Hukum nasional sebagai beban untuk komunitas lokal; 5. Cara bangsa-bangsa berhukum; 6. Mempertanyakan kembali kepastian hukum; 7. Hukum itu manusia, bukan mesin; 8. Watak liberal hukum modern; 9. Biasa dan luar biasa dalam berhukum; dan 10. Hukum progresif yang membebaskan

Bab I: Pergulatan Manusia Dan Hukumnya Pada Bab I ini menceritakan bagaimana proses hukum itu terbentuk, yang mana pembentukan hukum itu dimulai dari sejak terciptanya manusia yang hidup di tatanan sosial masyarakat. Hukum itu terus menrus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Dan di abad sekaranglah hukum menjadi modern karena mengikuti perkembangan. Hukum tidak bisa lebih lama dipahami sebagai urusan atau masalah peraturan (business of rules) semata akan tetapi hukum lebih merupakan masalah manusia daripada peraturan. Peraturan tidak akan menimbulkan berbagai pergolakan dalam hukum apabila tidak digerakkan oleh manusia. Bab II: Jagat Ketertiban Pada Bab II menceritakan tentang ketertiban hukum. Hukum adalah bagian dari usaha untuk menata ketertiban dalam masyarakat, tetapi tidak persis sama dengan ketertiban. Hukum memiliki kekuatan yang jauh lebih besar bersama

negara, ia memiliki legitimasi kekuasaan yang sangat luas yang disebut dengan kedaulatan. Hukum yang berdaulat tidak membiarkan kehadiran tatanan lain kecuali atas izinnya. Hukum tampil memegang hegemoni dengan membabat habis komunitas-komunitas tatanan yang telah jauh sebelum hukum modern. Menurut pendapat Joe S Midgal negara akan menjadi kuat, apabila masyarakatnya lemah (strong state, soft society), yang mutatis murtandis berarti bahwa hukum negara akan jaya manakala kemampuan masyarakat untuk menciptakan ketertibannya sendiri adalah lemah. Menurut peneliti dan penulis Robert C Elllickson yang lebih menentukan bagaimana ketentuan dalam hukum itu diwujudkan, bukanlah peraturan hukum itu sendiri, melainkan rakyat sendirilah yang dalam hal ini adalah adresat hukum itu sendiri. Peraturan tersebut hanya berfungsi sebagai titik tolak (starting point). Rakyatlah yang akan menawar harga keuntungan yang bisa didapat dari peraturan tersebut untuk keuntungan mereka (bargaining to mutual advantage). Ellickson mengemukakan bahwa ketertiban itu lebih sering muncul secara serta merta (spontaneous). Jadi tidak benar bila negara itu mengontrol perilaku anggota masyarakat. Bab III: Dinamika Di Luar Hukum Negara Pada Bab ini menceritakan hukum tidak bisa meminggirkan secara total bentuk-bentuk tatanan atau penataan sosial diseluruh wilayah negeri ini. Kehadiran hukum modern yang sebagai tipe khas (distinct type) kemudian diaopsi oleh hukum nasional adalah relatif baru, jauh sesudah kehadiran tatanan asli Indonesia yang sudah bekerja sejak ratusan tahun sebelumnya. Negara Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945 tidak dimulai dengan lembaran tatanan ketertiban yang kosong dan harus diisi oleh negara baru tersebut. Sejak kelahirannya, negara Republik Indonesia sudah diikat oleh suatu sistem ketertiban baik berupa hukum Hindia Belanda maupun banyak bentukbentuk tatanan lokal yang biasa disebut hukum adat. Dengan demikian hukum nasional didirikan diatas puing-puing ketertiban atau tatanan asli yang selama itu menunjukkan jasa dan karyanya yang mampu bekerja efektif selama ratusan tahun. Cukup banyak pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat yang tidak bisa diambil oleh hukum, sekalipun hukum itu didukung oleh kewenangan, fasilitas,

dan pembiayaan. Kekuatan dan dinamika masyarakat tersebut tetap bergerak kendati mengalami peminggiran oleh hukum. Hambatan-hambatan yang muncul dari bekerjanya hukum yang legalistik dapat diatasi apabila seperti dikatakan oleh Karl Renner kita bersedia untuk membuka klep-klep sehingga hukum mampu mengakomodasi dinamika dalam masyarakat. Hukum itu adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Bab IV: Hukum Nasional Sebagai Beban Untuk Komunitas Lokal Menurut Dr. Bernard L Tanya telah membuat disertasi yang berjudul beban budaya lokal menghadapi regulasi negara di Universitas Diponegoro (2000) dan disertasi tersebut sudah diterbitkan sebagai buku dengan judul Hukum Dalam Ruang Sosial. Melalui studi lapangan dengan menggunakan metode antropologi, Bernard menemukan kenyataan bahwa hukum nasional tidak selalu compatible dengan hukum lokal Sabu. Oleh peneliti kenyataan tersebut kemudian dirumuskannya dengan kalimat yang bernas, bahwa bagi masyarakat Sabu hukum nasional banyak menjadi beban. Hukum hanya bisa berlaku efektif apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka. Maka komunitas hukum melakukan masalah besar tersendiri sebelum hukum itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh hukum. Hukum sebagai beban bagi masyarakat lokal akan sangat terasa apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar, seperti industrialisasi dan penetrasi kehidupan modern. Bab V: Cara Bangsa-Bangsa Berhukum Potret keanekaragaman cara berhukum itu hanya meneguhkan pendapat bahwa cara bangsa berhukum itu tidak bisa dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya. Cara berhukum itu bukan sesuatu yang maksimal dan mekanistis, tetapi merupakan sesuatu bentuk kehidupan sosial yang khas (a peculiar form of social life). Suatu bangsa tidak bisa mengarang sendiri tentang bagaimana ia akan berhukum, melainkan akan sangat ditentukan oleh habitat sosial dan budaya tempat hukum itu berada. Konsep Hak Asasi manusia adalah produk dari suatu perkembangan sejarah. Ia terikat secara erat dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang

khas dan dengan sejarah, budaya dan nilai-nilai suatu negara tertentu yang khas. Sistem hukum yang ada Continental (civil law) dan Common Law. Bab VI: Mempertanyakan Kembali Kepastian Hukum Hukum selalu dibicarakan dalam kaitan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum (perundang-undangan). Ideologi kepastian hukum memperoleh pembenaran atau dukungan teori dari cara berpikir hukum yang legalistik (positivistis analistis). Bab VII: Hukum Itu Manusia, Bukan Mesin Hukum menyangkut nasib manusia, baik dalam bidang perdata maupun pidana. Oleh karena itu diperlukan kecermatan, ketepatan dan juga kecepatan dalam mengambil keputusan. Cara berhukum mengikuti standar dan formula yang telah disiapkan. Hukum tidak pernah bisa melayani manusia apabila ia tidak juga bekerja dengan penuh perasaan dan kepedulian (compassionate). Untuk bisa melayani manusia dengan baik, maka hukum tidak bisa hanya menghitung dan mengeja Pasal-Pasal, Undang-Undang, melainkan juga bekerja dengan modal empati dan keberanian (dare) dan belum mampu dilakukan oleh mesin. Pada bab terakhir (bab X) Prof Tjip menutupnya dengan dasar-dasar hukum progresif dengan judul bab Hukum Progresif yang Membebaskan. Sungguh ini adalah satu panduan singkat bagi banyak orang yang sedang gandrung dengan gagasan beliau tentang Hukum Progresif. Pada bab ini Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.

Kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat. Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat

terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya (hal 145). Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut. Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat. Diakhir Bab X (sepuluh) Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Biarkan Hukum Mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, the development of the law gradually works out what is socially reasonable (hal 5, 47 dan 89). Kalimat itu berkali-kali dikutip oleh Prof Tjip dalam buku ini. Di saat peraturan perundang-undangan tidak

mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Pandangan yang demikian sekilas terlihat menggunakan pandangan yang ada dalam hukum alam. Meskipun Prof Tjip tidak secara jelas menyatakan pandangan itu dipinjam dari mazhab hukum alam, dengan mengadopsi pandangan Taoisme yang digubah Maturana dan Fritjof Capra sebagai referensi dalam bab 9 telah menunjukkan bahwa Prof Tjip meminjam pandangan naturalis dari filsafat timur yang dimasa kini mewujud dalam pandangan yang postmodernis. Pandangan yang mencoba menyejajarkan modernisme barat dengan mistisisme timur.