sinopsis problem lingkungan word 2003

16
Sinopsis Judul Buku : Problematika Penerapan Delik Formil dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia. Penulis : Syahrul Machmud. Penerbit : CV. Mandar Maju, Bandung – Indonesia (2012). Tebal Buku : 412 Halaman Buku ini berasal dari disertasi doktoral Syahrul Machmud di Universitas Islam Bandung. Dalam buku ini Machmud secara khusus memaparkan tentang praktek peradilan terdadap delik formil dalam perspektif penegakan hukum pidana lingkungan di Indonesia. Buku ini merupakan buku yang cukup penting dalam kajian hukum lingkungan sebab penerapan undang-undang terbaru tentang

Upload: sugeng-riadi

Post on 15-Feb-2015

70 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

This file contains information about environmental issues.

TRANSCRIPT

Page 1: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

Sinopsis

Judul Buku : Problematika Penerapan Delik

Formil dalam Perspektif

Penegakan Hukum Pidana

Lingkungan di Indonesia. 

Penulis : Syahrul Machmud.

Penerbit : CV. Mandar Maju, Bandung –

Indonesia (2012).

Tebal Buku : 412 Halaman

Buku ini berasal dari disertasi doktoral Syahrul Machmud di Universitas Islam Bandung.

Dalam buku ini Machmud secara khusus memaparkan tentang praktek peradilan

terdadap delik formil dalam perspektif penegakan hukum pidana lingkungan di

Indonesia.

Buku ini merupakan buku yang cukup penting dalam kajian hukum lingkungan sebab

penerapan undang-undang terbaru tentang lingkungan baru berlaku efektif mulai akhir

tahun 2009 (baru berlangsung sekitar 3 tahun), sehingga kajian-kajian hukum tentang

lingkungan di Indonesia – terutama yang bersifat praktis – amat diperlukan dalam

rangka membangun tata peradilan yang lebih efektif. Seiring dengan tujuan tersebut,

Page 2: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

sinopsis ini berupaya untuk menganalisa pokok-pokok persoalan yang diangkat dalam

buku ini dengan harapan bisa membantu para pembaca memahami esensi isu-isu

lingkungan ditinjau dari perspektif hukum.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan untuk memenuhi kebutuhan hukum

lingkungan yang begitu pesat, Indonesia membuat UU No. 4 Tahun 1982 tentang

Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperbarui dengan UU No. 23

Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup (UUPLH). Duabelas tahun

kemudian undang-undang ini diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (untuk selanjutnya disingkat menjadi

UUPPLH) dan UU inilah yang diberlakukan hingga saat ini.

Sebagai undang-undang pokok, UUPPLH bertujuan untuk menguatkan prinsip-prinsip

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola

pemerintahan yang baik. Pola pikir global diperlukan untuk menangani masalah

lingkungan, namun langkah-langkah operasional dan tindakan yang perlu diambil

bersifat lokal. Di sinilah dibutuhkan sebuah payung hukum untuk menaungi

penanganan terhadap masalah-masalah lingkungan dan UUPPLH adalah jawaban

yang tepat. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa penegakan hukum pidana

lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium, yaitu asas yang mewajibkan

penerapan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan hukum

administrasi dianggap tidak berhasil. Namun dalam kenyatannya asas ini sering

Page 3: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

diabaikan oleh para penegak hukum. Dari tahun 2002 sampai 2009 di Pengadilan

Negeri daerah Jawa Barat setidaknya terdapat 13 kasus lingkungan hidup yang

mengabaikan asas ultimum remedium. Dalam 13 kasus tersebut penuntut umum selalu

mendakwa dengan menggunakan delik formil dan materiil. Artinya, penuntut umum

selalu mengedepankan hukum pidana di atas hukum administrasi. Berhulu dari

permasalahan inilah buku ini hadir untuk mempelajari apa yang menjadi penyebab

aparat hukum selalu menerapkan penegakan hukum pidana terhadap delik formil

secara primum remedium dan siapa atau instansi apa saja yang berwenang

menyatakan bahwa hukum administrasi dianggap tidak efektif sebelum penerapan

hukum pidana.

Penelitian yang dipaparkan dalam buku ini menggunakan pendekatan yuridis normatif

agar dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan makna dan konsep

delik formil. Sifat penelitian yang dipakai adalah deskriptif dan preskriptif, yaitu

bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual

dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki, sekaligus juga bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang

harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang diteliti. Sumber data yang

digunakan adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan lingkungan hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi

kepustakaan dan wawancara. Lokasi penelitian dipusatkan di Pengadilan Negeri

Bandung, Tangerang, Garut, Jakarta Selatan dan Manado, karena dari kantor-kantor

inilah diperoleh data putusan tentang kasus-kasus perusakan lingkungan yang

Page 4: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

menggunakan delik formil pada dakwaannya. Analisa terhadap data yang diperoleh

bersifat yuridis kualitatif dengan menggunakan logika induktif abstraktif, yaitu

pengambilan kesimpulan yang bertolak dari hal-hal khusus ke umum.

Sebelum menjawab persoalan-persoalan yang menjadi bahan penyelidikan buku ini

terlebih dahulu mengupas sejarah perkembangan hukum lingkungan pada tingkat dunia

dan kemudian mengarah secara khusus pada perkembangan di tingkat domestik. Pada

tingkat global salah satu hal yang melatarbelakangi pentingnya isu-isu lingkungan

ditandai dengan terbitnya sebuah buku berjudul “The Silent Spring” (Musim Semi Yang

Sunyi) karangan Rachel Carson pada tahun 1962. Dalam buku tersebut Carson

bercerita tentang masa depan yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa misterius,

seperti munculnya penyakit mematikan yang menyerang ayam, sapi dan domba tanpa

diketahui penyebabnya. Kasus-kasus kematian kemudian menyebar pada manusia,

tidak hanya pada golongan orang dewasa namun juga pada anak-anak yang

kematiannya terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya. Cerita Carson ini

menuai reaksi keras dari kalangan industrialis kimia, bahkan mereka berupaya keras

membuktikan bahwa cerita kematian yang dihubungkan dengan masalah lingkungan itu

hanyalah bentuk kedunguan Carson. Namun tidak berselang lama setelah terbitnya

buku tersebut dunia dikejutkan dengan munculnya penyakit aneh dan misterius di

Jepang disusul dengan mewabahnya penyakit mematikan yang disebut itai-itai. Hal ini

membuat dunia sadar bahwa tulisan Carson bukan sekedar fiktif-imaginatif melainkan

suatu kenyataan yang telah menimpa umat manusia. Sejak saat itu muncullah

gagasan-gagasan yang memberikan perhatian besar terhadap masalah lingkungan

Page 5: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

hidup. Secara konkrit gagasan semacam ini pertama kali diajukan oleh negara Swedia

pada tahun 1968, yaitu tentang perlunya suatu konferensi internasional mengenai

lingkungan hidup manusia. Usulan ini diterima oleh PBB dan melahirkan Konferensi

Stockholm. Konferensi Stockholm telah memberikan satu keputusan yang penting bagi

negara Indonesia, sebab Indonesia merupakan salah satu negara yang dipilih menjadi

anggota Gouvering Council for Environmental Programs. Sejak saat itu Indonesia selalu

berperan aktif dalam konferensi yang diadakan oleh United Nations Environment

Programme (UNEP) di Nairobi. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi lingkungan di

Stockholm dan Nairobi, PBB kemudian membentuk suatu komisi yang bernama The

World Commission on Environment and Development (WCED). Kemudian WCED

mengajulan usulan untuk menyelenggarakan suatu konferensi lingkungan tingkat dunia

dan membuahkan Konferensi Rio de Janeiro pada tahun 1992. Konferensi ini

merupakan konferensi terbesar dalam sejarah pertemuan tingkat dunia dan menjadi

tonggak bersejarah bagi pengembangan kebijakan dan hukum lingkungan di tingkat

internasional, nasional dan lokal.

Untuk konteks nasional perkembangan masalah lingkungan hidup sebenarnya telah

mulai sebelum Indonesia merdeka. Ketentuan-ketentuan tentang lingkungan telah

dikelurkan sejak jaman penjajahan oleh Hindia Belanda maupun Jepang. Dokumen

tertua yang menunjukkan peraturan tentang pengelolaan lingkungan adalah ordonasi

tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang yang dikeluarkan di Bogor oleh

Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. Peraturan ini diikuti oleh

ordonansi Cagar Alam pada tahun yang sama dan kemudian disusul dengan aturan-

Page 6: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

aturan yang lain sampai Indonesia memasuki jaman Jepang sebelum akhirnya

mencapai kemerdekaan. Sejak jaman kemerdekaan Indonesia semakin sering

mengeluarkan produk-produk hukum tentang lingkungan hidup, mulai dari pasal-pasal

lingkungan dalam UUD 1945 sampai dengan UUPPLH yang dipakai hingga sekarang.

Pada UUPPLH telah jelas dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup dilaksanakan berdasarkan pada 14 (empat belas) asas umum, yaitu tanggung

jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan,

keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregional, keanekaragaman hayati,

sanksi pencemaran, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintah dan otonomi

daerah. Sedangkan dari aspek hukum UUPPLH menerapkan asas ultimum remedium

(sebagai pengganti asas subsidiaritas pada UUPLH), yang berarti bahwa hukum

administrasi lebih didahulukan daripada hukum pidana, yang esensinya adalah bahwa

UU ini menekankan pada upaya preventif dengan mendayagunakan secara maksimal

instrumen pengawasan dan perizinan (misalnya PP tentang AMDAL). Namun ternyata

kejadian di lapangan (law in action) amatlah berbeda dengan aturan di buku (law in

book). Sebagian besar kasus lingkungan hidup langsung diproses dengan hukum

pidana tanpa ada pembuktian yang jelas bahwa hukum administrasi tidak berhasil.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam khazanah hukum di Indonesia terdapat pro dan

kontra mengenai tingkat kepentingan dan efektifitas hukum pidana dan hukum

administrasi. Para ahli hukum terpecah menjadi dua kubu dalam memberikan

pandangan tentang aspek pidana dan administrasi dalam persoalan lingkungan.

Kelompok yang pertama lebih mendukung diutamakannya tindakan hukum pidana

Page 7: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

daripada hukum administrasi dengan alasan bahwa hukum administrasi terlalu lemah

dan kurang efektif. Sedangkan kelompok kedua lebih mengedepankan hukum

administrasi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran lingkungan hidup. Menurut

kelompok ini hukum pidana baru tepat diterapkan ketika hukum administrasi (seperti

asas subsidiaritas) sudah terbukti tidak berhasil. Dari keseluruhan pembahasan dalam

buku ini tampak jelas bahwa penulis (Syahrul Machmud) termasuk pada kelompok yang

kedua. Namun demikian ia juga mengakui bahwa hukum administrasi seringkali kurang

tegas dibandingkan dengan hukum pidana, dan hal ini secara tidak langsung

menunjukkan bahwa ia sebenarnya juga memiliki keraguan tentang efektifitas hukum

administrasi.

Ketidaksamaan pendapat hukum dalam penanganan masalah lingkungan sebenarnya

juga diakibatkan oleh amat luasnya bidang tersebut. Dengan demikian bisa dipahami

bahwa UUPLH dan UUPPLH hanya mengatur masalah-masalah pokok tentang

lingkungan hidup dan lebih sering berfungsi sebagai payung hukum bagi penyusunan

dan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan yang bersifat

lebih khusus, seperti masalah sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sumber

daya buatan, cagar budaya, perindustrian, kesehatan lingkungan, kependudukan, tata

ruang dan sebagainya.

Menurut buku ini, asas ultimum remedium, meskipun kenyataannya kurang disukai oleh

kelompok pertama, harus tetap mengikat untuk diaplikasikan oleh para penegak hukum.

Page 8: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

Institusi formil yang memiliki kewenangan melakukan interpretasi atau penafsiran

hukum adalah lembaga yudikatif. Pendapat dan pandangan para pakar bersifat

subyektif, sering masih berupa wacana dan belum memiliki daya ikat. Pendapat pakar

hukum baru memiliki daya ikat (harus dilaksanakan) setelah dituangkan dalam suatu

produk yudikatif. Di sinilah aparat penegak hukum, terutama para hakim dari tingkat

pengadilan negeri sampai mahkamah agung memiliki peran utama dalam rangka

membuat terang suatu perundang-undangan yang kurang jelas dalam tingkat teori. Dan

dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ditemukan fakta bahwa para aparat

penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan bahkan para hakim kurang

mengenal makna asas subsidiaritas dalam UUPLH yang substansinya sama dengan

asas ultimum remedium dalam UUPPLH. Ini merupakan sebagian jawaban dari

persoalan utama yang diangkat dalam buku ini, yaitu mengapa aparat penegak hukum

cenderung menerapkan asas hukum pidana dalam menangani kasus-kasus lingkungan

hidup. Jawaban lain dari persoalan tersebut adalah kurang jelasnya kerangka

kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup dan pembagian kewenangan serta

tanggung jawab dari masing-masing instansi yang terkait, lemahnya kewenangan

kementrian negara lingkungan hidup (KNLH) dan lemahnya perumusan tentang

AMDAL.

UUPPLH sebenarnya dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus karena

penerapan delik formil (yaitu kasus pelanggaran yang belum terbukti benar-benar

terjadi) harus disandarkan pada ketentuan hukum administrasi, demikian pula subjek

hukumnya dapat berupa suatu badan hukum – suatu hal yang tidak ditemukan dalam

Page 9: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

KUHP. Dengan menganggap bahwa ketentuan hukum lingkungan merupakan aturan

khusus maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH dapat diselesaikan

dengan mengabaikan aturan umum dalam KUHAP.

Di Indonesia persoalan kejahatan lingkungan diklasifikasikan sebagai tindak pidana

administratif atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Dalam

hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif demi

ditaatinya norma-norma hukum administrasi. Filosofi ini senafas dengan strategi

penegakan hukum nasional yang pada dasarnya menitikberatkan pada upaya

pencegahan atau preventif. Sarana preventif yang bersifat operasional adalah

dilaksanakannya proses perijinan secara cermat, lengkap dan jelas dan tahap

berikutnya adalah terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemantauan

secara konsisten, efisien dan efektif. Selanjutnya, apabila hal tersebut tidak mampu

mencegah terjadinya pelanggaran, barulah tahap represif diterapkan (yaitu hukum

pidana murni).

Dari penelitian terhadap beberapa kasus pelanggaran lingkungan dapat disimpulkan

bahwa digunakannya ranah pidana cenderung hanya sebagai pemuas nafsu amarah

pihak pelapor. Upaya penistaan (pemenjaraan) terlapor menjadi target utama pelapor.

Dan yang lebih parah adalah bahwa bagi aparat penegak hukum kasus semacam ini

menjadi lahan untuk mendapatkan sejumlah keuntungan pribadi dari pihak pelapor.

Page 10: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

Tentu saja hal yang demikian mencerminkan terjadinya degradasi moral dari pihak

pelapor maupun aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, dalam rangka menghindari praktek-praktek hukum yang tidak humanis

dan tidak objektif sebagaimana dikemukakan di atas, penggunaaan hukum pidana

harus dibatasi untuk hal-hal yang sangat penting, sedangkan untuk penindakan

terhadap delik formil (yang berarti alam belum mengalami kerusakan, masyarakat tidak

resah dan perbuatan pelaku relatif tidak berat) dalam UUPPLH, fungsi hukum

administrasi harus dikedepankan.

Dalam penelitian terhadap 13 kasus lingkungan hidup, terutama yang diatur dalam

UUPLH dari tahun 2002 sampai tahun 2009 didapatkan sebuah fakta umum yaitu

bahwa aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum dan hakim

cenderung tidak mempertimbangkan asas subsidiaritas ataupun ultimum remedium,

melainkan langsung menerapkan asas hukum pidana. Temuan ini, sebagaimana yang

telah disinggung sebelumnya mempertegas rendahnya tingkat familiaritas dan

apresisiasi aparat penegak hukum terhadap hukum administrasi, padahal penegakan

hukum administrasi dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan dengan

hukum pidana atau perdata. Lebih jauh lagi, penegakan hukum administrasi lebih

memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dalam rangka membangun

kesadaran hidup dalam lingkungan alam yang baik dan sehat.

Page 11: Sinopsis Problem Lingkungan Word 2003

Hasil analisa terhadap data penelitian dalam buku ini menunjukkan kesimpulan bahwa

rendahnya tingkat familiaritas dan apresiasi aparat penegak hukum terhadap hukum

administrasi adalah karena lemahnya aspek formulasi dari UUPPLH. Penyebab lain

adalah tidak adanya Peraturan Pemerintah yang memperjelas secara teknis prosedur

operasionalisasi delik formil dihubungkan dengan asas subsidiaritas atau ultimum

remedium. Kurangnya komitmen keilmuan para penegak hukum untuk menggali lebih

luas asas hukum administrasi juga berkontribusi terhadap diutamakannya hukum

pidana murni. Sayang sekali penelitian ini tidak berhasil menemukan kejelasan tentang

siapa atau instansi apa yang berwenang untuk menyatakan bahwa hukum administrasi

tidak efektif atau gagal. Tentu saja untuk menjawab persoalan ini dibutuhkan kajian

yang lebih mendalam dan komprehensif.

Akhirnya berangkat dari keseluruhan hasil penelitian buku ini menyarankan bahwa

pemerintah perlu membuat suatu pedoman operasionalisasi delik formal dihubungkan

dengan asas subsidiaritas atau ultimum remedium dalam bentuk peraturan pemerintah

tentang pelaksanaan delik formil lingkungan sebagai pedoman hukum acara khusus.

Dan hal yang tidak kalah penting adalah diperlukannya komitmen aparat penegak

hukum untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terutama

yang berkaitan dengan penerapan delik formal terhadap masalah-masalah lingkungan.