sindroma deconditioning
TRANSCRIPT
Sindroma deconditioning 1
Sindroma deconditioning adalah sekumpulan gejala yang timbul akibat imobilisasi
dalam jangka lama sehingga menyebabkan penurunan kapasitas fungsional pada beberapa
sistem tubuh. Timbulnya sindroma ini tergantung pada derajat dan lama imobilisasi pasien.
Sindroma deconditioning merupakan suatu komplikasi imobilisasi jangka panjang yang
memengaruhi fungsi sistem dalam tubuh.
Sistem yang terkena Manifestasi klinis
Sistem muskuloskeletal
Kontraktur otot dan sendi
Kelemahan otot dan atrofi
Osteoporosis
Sistem kardiovaskular Hipotensi ortostatik
Tromboemboli vena
Sistem respirasi Pneumonia
Restriksi mekanik pernapasan
Sistem kulit Ulkus dekubitus
Edema
Sistem gastrointestinal
Konstipasi dan skibala
Penurunan nafsu makan, penurunan
sekresi lambung, atrofi mukosa
intestinal, penurunan absorbsi
Sistem genitourinaria
Infeksi saluran kemih
Formasi batu traktus urinarius
Inkontinensia urin
Sistem metabolisme dan nutrisi
Penurunan BMI
Gangguan nutrisi
Meningkatnya ekskresi mineral dan
elektrolit
Sistem endokrin Penurunan respon hormon dan enzim
Intoleransi glukosa
Gangguan irama sirkadian
Gangguan temperatur dan respon
keringat
Gangguan regulasi hormon
Sistem neurologis, emosi, dan intelektual
Penurunan kemampuan sensoris
Penurunan kemampuan intelektual
Gangguan emosi dan perilaku
Meningkatnya ambang pendengaran
Penurunan kemampuan visual
Gangguan keseimbangan dan koordinasi
Sistem muskuloskeltal:
Kontraktur otot dan sendi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien
dengan riwayat tirah baring dalam waktu yang lama. Imobilisasi menyebabkan sendi-
sendi tidak digerakkan dan lama kelamaan akan menyebabkan rasa nyeri sehingga
pasien semakin tidak mau menggerakkan sendi tersebut. Penyebab kontraktur otot
adalah karena adanya perubahan patologis, spastisitas, dan neuroleptik. Kontraktur
sendi seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif, infeksi, dan
trauma. Metode yang biasa digunakan untuk mencegah kontraktur adalah mobilisasi
sendi secara dini dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai serta posisi yang optimal
dari ekstremitas yang terlibat.
Kelemahan otot juga disebabkan oleh imobilisasi lama yang akan mengakibatkan
atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot
diperkirakan 1-2% per hari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali
terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Perubahan
otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenerasi serat otot, peningkatan jaringan
lemak, serta fibrosis.
Osteoporosis timbul dari ketidakseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang.
Imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium
serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Kalsium tubuh total
menurun hingga 4% selama 7 minggu imobilisasi.
Sistem kardiovaskular:
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia
serebral, khususnya sinkop. Tirah baring lama akan membalikkan respon
kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan
volume sekuncup dan curah jantung.
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit dan trombosit
teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan pada sel-sel endotel dan juga
memudahkan terjadinya trombosis. Berbagai perubahan yang terjadi di sel-sel
endotel pembuluh darah akan mengubah sifat alamiah sel tersebut yang semula
bersifat antitrombotik menjadi bersifat trombotik, sehingga justru memudahkan
terjadinya keadaan trombosis. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasien-pasien di rumah sakit, terutama
pada pasien usia lanjut.
Sistem respirasi:
Pada posisi berbaring terjadi penurunan gerakan sendi kostovertebral dan
kostokondral yang menyebabkan restriksi mekanik pernapasan. Hal ini ditunjukkan
dari pernapasan pasien yang cepat dan dangkal sehingga terjadi kapasitas vital paru
berkurang diikuti menurunnya asupan O2.
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posiso berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan
baik sehingga gerakan dinding dada menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit
keluar. Kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk mengalami pneumonia.
Sistem kulit:
Skor aktivitas sakral pada pasien imobilisasi adalah nol gerakan per jam, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus-
menerus. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah
tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan mengakibatkan luka. Luka akibat tekanan
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi yaitu ulkus dekubitus.
Keadaan pasien yang tidak bergerak dan diam ditempat saja menyebabkan cairan
tubuh menumpuk dan lama kelamaan akan mengisi ruang interseluler sehingga dapat
timbul edema.
Sistem gastrointestinal:
Konstipasi dan skibala merupakan masalah utama pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin
lama feses tinggal di usus besar, maka absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses
akan menjadi keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-
obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi.
Penurunan nafsu makan pada pasien usia lanjut juga sering terjadi sehingga lama
kelamaan akan menimbulkan penurunan sekresi lambung yang diikuti dengan
atrofi mukosa intestinal karena berkurangnya makanan yang masuk untuk dicerna.
Pada akhirnya dapat terjadi penurunan absorbsi yang akan berpengaruh pada status
gizi pasien.
Sistem genitourinaria:
Imobilisasi yang lama pada pasien usia lanjut akan menyebabkan aliran urin yang
terganggu kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah terjadi.
Pengisian kandung kemih yang berlebihan akan menyebabkan mengembang dinding
kandung kemih yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan
retensi urin. Retensi urin akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila
dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan adanya formasi batu ginjal.
Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi
karena kelemahan otot daerah pelvis dan berkurangnya respon terhadap ADH.
Sistem metabolik dan nutrisi:
Penurunan BMI pada pasien usia lanjut yang imobilisasi disebabkan karena
berkurangnya absorbsi nutrisi dari makanan yang dapat menyebabkan penurunan
status gizi pada pasien. Selain itu penekanan sekresi hormon antidiuretik selama
imobilisasi juga akan mengakibatkan peningkatan diuresis dan pemecahan otot
sehingga akan terjadi penurunan berat badan.
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan
terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu gangguan nutrisi yang
terjadi adalah penurunan kadar metabolisme protein.
Meningkatnya ekskresi mineral dan elektrolit seperti nitrogen, kalsium, fosfor,
sulfur, natrium dan kalium.
Sistem endokrin:
Penurunan respon hormon dan enzim yang berfungsi meregulasi tiap sistem dalam
tubuh.
Pada pasien lansia dengan imobilisasi dapat terjadi intoleransi glukosa yang dapat
menyebabkan penurunan sensor insulin dan menurunkan sensitivitas otot untuk
sirkulasi insulin.
Gangguan irama sirkadian
Gangguan temperatur dan respon keringat
Gangguan regulasi hormon di seluruh tubuh seperti hormon paratiroid, tiroid,
adrenal, pituitari, GH, androgen, dan aktivitas renin plasma.
Sistem neurologis, emosi, dan intelektual:
Penurunan kemampuan sensoris seperti penurunan atensi, bingung, disorientasi,
dan gangguan koordinasi mata dan ekstremitas.
Penurunan kapasitas intelektual yang dapat dilihat dari penurunan fungsi berpikir
dan daya ingat.
Gangguan emosi dan perilaku yang labil.
Meningkatnya ambang pendengaran
Penurunan kemampuan visual
Gangguan keseimbangan dan koordinasi sehingga memungkinkan terjadinya jatuh
dan timbulnya fraktur yang memperparah imobilisasi.
Daftar pustaka:
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: EGC;2010. p.859-63.