seri kajian sastra klasik - wordpress.com...serat panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno...

232

Upload: others

Post on 03-Jul-2020

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra
Page 2: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

i

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

SERAT PANITISASTRA

KEARIFAN KUNO WARISAN LELUHUR

Page 3: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

ii

Page 4: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

iii

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

SERAT PANITISASTRA

KEARIFAN KUNO WARISAN LELUHUR

DITERJEMAHKAN DARI BAHASA KAWI

ATAS PERINTAH SISKS PAKUBUWANA IV

SURAKARTA ADININGRAT

Diterjemahkan dan dikaji dalam bahasa Indonesia oleh

Bambang Khusen Al Marie

Page 5: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

iv

Page 6: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

v

KATA PENGANTAR

Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra. Oleh Sinuhun Pakubuwana IV serat ini disuruh untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa baru. Oleh karena itu sudah digubah ulang dengan memakai pembukaan khas Islam, yakni pujian kepada Allah dan shalawat Nabi. Dalam kitab aslinya, bait pertama berisi pujian untuk dewa Wisnu.

Isi dari serat ini merupakan ajaran moral, etika dan adab yang bersifat universal. Oleh karena itu walau peninggalan zaman dahulu tetaplah relevan untuk diamalkan. Dalam isinya tidak ada pertentangan dengan syariat agama Islam karena sudah disesuaikan oleh penyadurnya.

Mengapa tidak membuat serat serupa secara mandiri dan malah menyadur karya lama? Hal itu mungkin karena serat ini sudah menjadi rujukan utama tentang adab dan etika bergaul sejak lama dan sudah mendarah daging dalam masyarakat. Membuat serat serupa takkan sepopuler serat ini, oleh karena itu lebih efektif kalau merawat yang sudah ada dengan memberi corak penafsiran baru.

Seperti yang kita ketahui Sinuhun PB IV adalah seorang raja muslim yang berkehendak melaksanakan ajaran agama secara kaffah dalam pemerintahannya. Pengangkatan lima guru dalem sebagai penasihat raja pada awal pemerintahan adalah salah satu upaya beliau untuk itu. Walau kemudian langkah itu berujung pada malapetaka peristiwa Pakepung.

Namun belakangan, setelah peristiwa Pakepung itu, beliau mengambil langkah yang lebih moderat. Tradisi kuno pun dilestarikan dengan berbagai upaya terjemahan ke dalam bahasa Jawa Baru, termasuk serat Panitisastra ini. Prinsip ini sesuai dengan kaidah ushul fikih:

ى ة عل افظ ى حم اال خذ عل ح و ال د قدمي الص ح جدي اال صل

Page 7: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

vi

(memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Disadurnya serat Panitisastra ini merupakan langkah dakwah yang strategis dari Pakubuwana IV yang memakai prinsip di atas, memelihara tradisi lama yang sudah baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Mengenai siapa yang menyadur Kakawin Nitisastra sehingga menjadi Serat Panitisastra ini, belum ada sumber yang jelas menyebutkan. Dalam naskah yang kami pakai yakni terbitan Radya Pustaka 1829 dan dicetak oleh Tuwan Vogel van der Heijde ing Surakarta, 1899, tidak disebutkan nama penyadurnya. Hanya disebutkan bahwa Serat Panitisastra ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dari Bahasa Kawi atas perintah Sinuhun Pakubuwana IV. Beberapa sumber mengatakan bahwa sang penyadur adalah R. Ng. Yasadipura I yang pada waktu itu menjabat sebagai pujangga keraton. Ada pula yang mengatakan bahwa Yasadipura II juga terlibat dalam menyelesaikan penyaduran ini. Namun kami memilih untuk tidak buru-buru mencantumkan nama penyadurnya karena ternyata ada beberapa versi naskah yang beredar. Dan kami belum mendapat kepastian dari naskah itu yang mana karya Yasadipura I atau Yasadipura II.

Akhir kata, kami berharap upaya kecil ini bermanfaat bagi para penggemar karya sastra klasik.

Salam.

Bambang Khusen Al Marie

Page 8: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii TRANSLITERASI ARAB LATIN ix TRANSLITERASI JAWA LATIN xi PUPUH PERTAMA: DHANDHANG GULA 1 Kajian Panitisastra (1): Panembah Pamuji Katur Gusti 2 Kajian Panitisastra (2): Pepengete Yogi 5 Kajian Panitisastra (3): Tegese Subasita 7 Kajian Panitisastra (4): Tan Wruh Subasita Amung Legog-Legog 10 Kajian Panitisastra (5): Weruha Sad Rasa 13 Kajian Panitisastra (6): Tegese Sad Rasa Punika 15 Kajian Panitisastra (7): Njomblong Lengur-Lengur 17 Kajian Panitisastra (8): Wisaning Agesang 19 Kajian Panitisastra (9): Wisaning Pawestri 21 Kajian Panitisastra (10): Wateke Janmatama 23 Kajian Panitisastra (11): Subasita Mring Pawestri 25 Kajian Panitisastra (12): Anawa Khewan Galak 27 Kajian Panitisastra (13): Janma Tan Pasah Mantra 29 Kajian Panitisastra (14): Penengerane Pratingkah Lan Trapsila 31 Kajian Panitisastra (15): Cihnane Wong Abecik 34 Kajian Panitisastra (16): Pandhita Sastra Genyang 36 Kajian Panitisastra (17): Datan Ngatonke Panedha Nrima 38 Kajian Panitisastra (18;19): Telung Watak Cendhala 41 Kajian Panitisastra (20): Pindha Buyung Lukak 44 Kajian Panitisastra (21): Keh Solah Tandha Miskin Budi 46 Kajian Panitisastra (22-24): Lakone Singa Lan Alas 48 Kajian Panitisastra (25-27): Naga Lan Bathara Sramba 53 Kajian Panitisastra (28): Sinau Saking Uripe Bulus 58 Kajian Panitisastra (29): Anak Khewan Pasthi Turun 60 Kajian Panitisastra (30): Anak Janma Tan Pasthi Manut 62 Kajian Panitisastra (31): Weh Mulyaning Nagri 65

Page 9: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

viii

Kajian Panitisastra (32): Kaluwihane Dhewe-Dhewe 67 Kajian Panitisastra (33): Watake Brahmana Sabrang 70 Kajian Panitisastra (34): Watak Kang Pinilih 72 Kajian Panitisastra (35): Sifat Pakolihing Arta 74 Kajian Panitisastra (36): Patang Upaya Sandi 76 Kajian Panitisastra (37): Katona Ajrih Ing Lawan 78 Kajian Panitisastra (38;39): Pacawising Jayeng Jurit 80 Kajian Panitisastra (40): Kaluwihane Sowang-Sowang 84 Kajian Panitisastra (41): Wong Ngukuhi Ujaring Tulis 87 Kajian Panitisastra (42): Mubadir Yen Tan Bisa Maca 90 Kajian Panitisastra (43): Abange Datanpa Ganda 92 Kajian Panitisastra (44): Panengerane Tan Bisa goroh 95 Kajian Panitisastra (45): Wong Durjana Pepek Wisa 97 Kajian Panitisastra (46): Wisa Durjana Angel Binuwang 99 Kajian Panitisastra (47): Kasukane Dhewe-Dhewe 101 Kajian Panitisastra (48): Aja Tiru Kang Wolu 103 Kajian Panitisastra (49): Aja Maido Pandhita 106 Kajian Panitisastra (50): Tinilar Yen Tanpa Guna 108 Kajian Panitisastra (51): Adoh Saking Dewagung 110 Kajian Panitisastra (52): Tan Ana Kang Ginawa 112 Kajian Panitisastra (53;54): Acawis ing Kapatin 114 Kajian Panitisastra (55): Yen Bagus Dadi Busananing Nagri 118 Kajian Panitisastra (56): Wong Limpad Ngresepaken Manah 121 Kajian Panitisastra (57): Patang Prakara Cinoba 124 Kajian Panitisastra (59): Papat Traping Dhendha 129 Kajian Panitisastra (60): Suka Duka Utang-Potang 131 Kajian Panitisastra (61): Tan Awet Suka-Suka 134 PUPUH KEDUA: S I N O M 137 Kajian Panitisastra (62): Den Alap Kang Becik, Binuwang Alane 138 Kajian Panitisastra (63): Milala Kang Becik lan Ala 141 Kajian Panitisastra (64): Pinilih Kang Becik 143 Kajian Panitisastra (65): Susah Dening Arta 145 Kajian Panitisastra (66;67): Donya Lir Ilining Toya 147 Kajian Panitisastra (68): Ing Delahan Tan Basuki 151 Kajian Panitisastra (69): Panas Atining Durjana 154 Kajian Panitisastra (70): Ambek Wateke Durjana 156 Kajian Panitisastra (72;73): Minangka Damaring Kulawarga 160 Kajian Panitisastra (74): Winuruk Mring Bapa 163 Kajian Panitisastra (75): Tumrap Putra Sujana 165

Page 10: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

ix

Kajian Panitisastra (76): Lir Alas Garing Angarang 167 Kajian Panitisastra (77): Aja Wani-Wani Sanggup 169 Kajian Panitisastra (78): Aja Age Ngaku Pandhita 171 Kajian Panitisastra (79): Angaku Bisa, Ilang Piyandel 173 Kajian Panitisastra (80): Tekane Kaliyoga 175 Kajian Panitisastra (81): Akeh Wisayeng Budi 178 Kajian Panitisastra (82): Kalingan Angkara Budi 180 Kajian Panitisastra (83): Ulon-Uloning Pasarean 182 Kajian Panitisastra (84): Ujar-Ujuring Aguling 185 Kajian Panitisastra (85): Pangreksaning Anak-Anak 187 Kajian Panitisastra (86): Tumrap Anak Kang Rumagang 189 Kajian Panitisastra (87): Aja Anduluri Kareping Wadon 191 Kajian Panitisastra (88): Langka Budining Pawestri 194 Kajian Panitisastra (89): Prayitna Mengku Pawestri 196 Kajian Panitisastra (90): Gangsal Prekawis Amuroni 205 Kajian Panitisastra (91): Aja Mada Wong Cacad 209 Kajian Panitisastra (92): Dewa Uga Mawi Cacad 211 Kajian Panitisastra (93): Mulane Manggih Kamulyan 213 Kajian Panitisastra (94): Sepine Wong Kurang Arta 215 Kajian Panitisastra (95): Titi Telasing Carita 218

Page 11: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

x

Page 12: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

xi

Transliterasi Arab ke Latin

Untuk kata-kata Arab yang ditulis dalam huruf latin dan diindonesiakan, tulisan ini memakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Disempurnakan. Untuk kata-kata yang belum diindonesiakan bila ditulis dalam huruf latin mempergunakan transliterasi sebagai berikut:

a, i, u = ا b = ب t = ت ts = ث j = ج h = ح kh = خ d = د dz = ذ

r = ر z = ز s= س sy = ش sh = ص dl = ض th = ط dh = ظ ‘ = ع

gh = غ f = ف q = ق k = ك l = ل m = م n = ن w = ؤ h = ه y = ي

Page 13: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

xii

Transliterasi Jawa ke Latin

Transliterasi kata-kata Jawa yang ditulis dalam hurf latin adalah sebagai berikut.

= Ha = Na = Ca = Ra = Ka

= Da = Ta = Sa = Wa = La

= Pa = Dha = Ja = Ya = Nya

= Ma = Ga = Ba = Tha = Nga

Page 14: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

1

PUPUH PERTAMA

DHANDHANG GULA

Page 15: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

2

Kajian Panitisastra (1): Panembah Pamuji Katur Gusti

Bait ke-1, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Mêmanise panêmbah pamuji, kang minôngka pandoning wardaya, mring kang karya alam kabèh, baka kodrat puniku, ingkang sipat rahman lan rakim. Kang murba amisesa, jagad isinipun. Ping kalih maring utusan, Kangjêng Nabi Mukhamad ingkang sinêlir, myang kulawarganira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Manisnya sembah dan puji (kepada Allah), sebagai tempat meletakkan kepasrahan, kepada Yang Mencipta alam semesta, yang langgeng kodratnya, yang bersifat pengasih dan penyayang. Yang Kuasa dan menguasai, jagad seisinya. Kedua, kepada utusanNya, Kanjeng Nabi Muhammad yang terpilih, dan keluarganya.

Kajian per kata:

Mêmanise (manisnya) panêmbah (sembah) pamuji (puji), kang (yang) minôngka (sebagai) pandoning (tempat meletakkan) wardaya (hati, kepasrahan), mring (kepada) kang (yang) karya (mencipta) alam (alam) kabèh (semesta), baka (langgeng) kodrat (kodrat) puniku (itu), ingkang (yang) sipat (bersifat) rahman (pengasih) lan (dan) rakim (penyanyang). Manisnya sembah dan puji (kepada Allah), sebagai tempat meletakkan kepasrahan, kepada Yang Mencipta alam semesta, yang langgeng kodratnya, yang bersifat pengasih dan penyayang.

Page 16: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

3

Di sini Allah disebut pandoning wardaya, tempat meletakkan hati, atau tempat kita memasrahkan diri kita. Dialah yang menciptakan alam yang langgeng kodratnya, yakni alam akhirat. Dia jugalah yang bersifat Pengasih dan Penyayang. Dalam berbagai kitab tafsir Al Qur’an pengasih ditafsirkan sebagai rahmat Allah yang diberikan kepada setiap manusia tanpa kecuali. Sedangkan Penyayang adalah rahmat Allah yang ditujukan kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki, yakni yang mengabdi kepadaNya dengan pikiran, ucapan dan perbuatan. Sifat Penyayang ini ditujukan kepada hamba-hambanya yang menanggapi seruanNya melalui para utusanNya.

Kang (yang) murba (kuasa) amisesa (menguasai), jagad (jagad) isinipun (seisinya). Yang Kuasa dan menguasai jagad seisinya.

Kuasa adalah sifat, menguasai adalah tindakan. Jadi Allah bukan saja Kuasa, tetapi juga menguasai terhadap alam semesta ini. Artinya Dia aktif mengelola segala urusan dunia, tidak menelantarkan atau membiarkan dunia berjalan sendiri. Maka Allah juga disebut dengan nama Al Mudabbir, yang mengurusi segala urusan.

ض يف ستة ايام مث استوى الر موت و ا ق الس الذي خل بكم اهللا ن ر ار الم ر ا دبـ ش ي ر ى الع عل

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan.

(QS Yunus: 6)

Ping kalih (yang kedua) maring (kepada) utusan (utusan), Kangjêng Nabi Mukhamad (Kanjeng Nabi Muhammad) ingkang (yang) sinêlir (terpilih), myang (dan) kulawarganira (keluarganya). Kedua, kepada utusanNya Kanjeng Nabi Muhammad yang terpilih, dan keluarganya.

Yang kedua, sembah dan puji juga untuk utusanNya, Kanjeng Nabi Muhammad, yang terpilih diantara manusia, beserta keluarganya.

Ini adalah shalawat dalam redaksi bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa sembah adalah penghargaan atau pujaan, sinkron artinya dengan kata

Page 17: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

4

shaluu pada shalawat Nabi. Dan agak berbeda dengan kata sembah sebagai terjemahan dari abd. Dalam kehidupan orang Jawa kata sembah tidak selalu berarti mempertuhankan, contohnya pada raja pun orang Jawa melakukan sembah dan sama sekali tidak ada anggapan bahwa raja adalah Tuhan.

Di sini Nabi Muhammad disebut sebagai sinelir artinya yang terpilih dari antara manusia untuk diangkat sebagai utusan. Kata sinelir berasal dari kata selir yang artinya pilihan. Karena Nabi Muhammad adalah manusia pilihan yang kualitas kemanusiaannya unggul dari manusia yang lain. Kata sinelir juga mengandung pengertian kedekatan. Yakni dekat dengan Allah yang mengutus.

Sebagai perbandingan, ada juga istilah prajurit sinelir, artinya prajurit pilihan, yang kemudian diangkat sebagai pengawal raja. Kata selir juga sering kita temui digunakan dalam istilah; garwa selir (istri selir). Maknanya adalah perempuan (dari kalangan rakyat biasa) yang terpilih untuk dijadikan istri.

Page 18: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

5

Kajian Panitisastra (2): Pepengete Yogi

Bait ke-2, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Dadyarsa ulun mangke muryani, angikêt gita basa pralambang, Panitisastra arane. Sinawung lawan kidung, pêksi nila bilih kapanggih, inggih rujuking jarwa. Pintên bangginipun, panggih atêpang ing basa , pêpèngête yogi dipun lari-lari, subasitaning praja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Menjadi keinginanku sekarang untuk memulai, merangkai kata bahasa sebagai teladan, Panitisastra namanya. Disertai dengan kidung, bila bertemu, yakni sesuainya pengertian. Lebih baik, bertemu mengenal bahasa, sebagai peringatan kepada anak diurut-urutkan, sopan santun dalam pergaulan.

Kajian per kata:

Dadyarsa (menjadi keinginan) ulun (aku) mangke (sekarang) muryani (memulai), angikêt (merangkai) gita (kata) basa (bahasa) pralambang (sebagai teladan), Panitisastra (Pranitisastra) arane (namanya). Menjadi keinginanku sekarang untuk memulai, merangkai kata bahasa sebagai teladan, Panitisastra namanya.

Gita adalah rangkaian kata yang bisa berupa kidung, kakawin atau dalam serat ini Macapat. Kata gita ini sudah dipakai sejak lama, seperti pada kata bhagawadgita dalam epos Mahabrata. Kebiasaan orang dahulu

Page 19: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

6

memang menggubah pesan, piwulang atau ajaran dengan gita agar keindahan sastranya membuat pembaca terkesan sehingga senantiasa mengingatnya. Dalam gita berbentuk Macapat ini sudah lebih maju lagi, ada banyak aturan metrum yang harus dipatuhi. Dan juga cengkok lagu dalam membawakannya. Ini semakin membuat macapat populer sebagai media penulisan kitab-kitab berbahasa Jawa baru.

Sinawung (disertai) lawan (dengan) kidung (kidung), pêksi nila (peksi nila, burung biru, wangsalan yang artinya menirulah) bilih (jika) kapanggih (bertemu), inggih (yakni) rujuking (sesuainya) jarwa (pengertian). Disertai dengan kidung, bila bertemu, yakni sesuainya pengertian.

Arti kidung di sini adalah tembang, gubahan kalimat yang berirama. Peksi nila adalah teka-teki wangsalan yang artinya burung biru. Diambil kata biru sehingga menjadi tiru. Artinya adalah menirulah bila bertemu nasihat yang pengertiannya cocok dengan keadaanmu.

Pintên bangginipun (lebih baik), panggih (bertemu) atêpang (mengenal) ing basa (bahasa), pêpèngête (peringatan) yogi (anak) dipun (di) lari-lari (urut-urutkan), subasitaning (sopan santun) praja (pergaulan). Lebih baik, bertemu mengenal bahasa, sebagai peringatan kepada anak diurut-urutkan, sopan santun dalam pergaulan.

Pintên banggi sama artinya dengan pirabara, lebih baik. Maksudnya lebih baik mengenal bahasa, dapat menjadi peringatan bagi anak dengan membuat kidung berisi pesan-pesan tentang sopan santun dalam pergaulan di masyarakat luas ini. Kata dipun lari-lari artinya diurutkan dengan rinci, terang, agar anak cucu memahami.

Page 20: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

7

Kajian Panitisastra (3): Tegese Subasita

Bait ke-3, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Têgêsipun subasita nênggih, silakrama kaping kalihira, basa krama ing têgêse. sila puniku lungguh, basa krama têmbung kang bêcik. Kadi wong lêlênggahan, pasamuan lamun, wong bêbaturan kalawan, wong bêbêkêl tan wênang jajara linggih, miwah kramaning basa.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Arti dari subasita ialah, silakrama yang kedua, bahasa krama yang artinya. Sila adalah duduk, bahasa krama adalah perkataan yang baik. Seperti orang yang duduk-duduk, dalam perjamuan kalau, seorang pesuruh dengan, seorang pejabat tak boleh berjajar duduknya, serta harus memakai bahasa krama.

Kajian per kata:

Têgêsipun (arti dari) subasita (subasita) nênggih (ialah), silakrama (silakrama) kaping kalihira (yang kedua), basa (bahasa) krama (krama) ing (yang) têgêse (artinya). Arti dari subasita ialah, silakrama yang kedua, bahasa krama yang artinya.

Subasita mengandung dua pengertian, pertama artinya silakrama. Yang kedua adalah basa krama. Dua hal ini berkaitan dengan sikap dan perkataan. Yang dimaksud silakrama adalah cara kita membawa tubuh fisik ketika sedang bersama orang banyak. Seperti bagaimana gerakan kita,

Page 21: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

8

gesture tubuh kita, serta bagaimana kita menempatkan diri. Sedangkan basa krama berkaitan dengan pemakaian kata-kata yang kita pakai dalam percakapan. Oleh karena itu dalam budaya Jawa dikenal strata bahasa yang disebut basa krama, yakni bahasa yang dipakai sebagai ungkapan sopan santun atau penghormatan kepada yang diajak bicara.

Sila (sila) puniku (adalah) lungguh (duduk), basa (bahasa) krama (krama) têmbung (perkataan) kang (yang) bêcik (baik). Sila adalah duduk, bahasa krama adalah perkataan yang baik.

Sila sendiri artinya adalah duduk, artinya lebih luas dari kata ini. Yang dimaksud di sini tidak hanya duduk saja tetapi juga semua hal yang berkaitan dengan gerak dan gesture tubuh kita. Sedangkan basa krama artinya adalah pemakaian kata-kata yang baik. Kata yang baik juga mencakup baik dalam perkataan artinya tidak berkata kotor, jorok atau saru, serta tepat dalam penerapan unggah-ungguh. Unggah-ungguh adalah penerapan strata bahasa sesuai dengan derajat sosial, usia atau kepangkatan.

Dalam bahasa Indonesia ketika kita berkata “kamu” kepada orang tua atau orang asing, maka itu dianggap tidak sopan. Dalam posisi itu kata yang pantas adalah “Anda”. Dalam bahasa Jawa jumlah kata yang seperti itu banyak sekali jumlahnya, jadi harus dipelajari secara khusus. Maka berkaitan dengan hal ini kemudian muncul stratifikasi bahasa Jawa menjadi: bahasa ngoko dan krama, dengan masing-masing mempunyai varian, ngoko kasar, ngoko alus, krama andhap, krama madya, krama inggil, dan sebagainya. Juga masih ada bahasa khusus yang dipakai di kalangan istana yang disebut bahasa bagongan.

Kadi (seperti) wong (orang) lêlênggahan (duduk-duduk), pasamuan (pertemuan, perjamuan) lamun (kalau), wong (orang) bêbaturan (pesuruh) kalawan (dengan), wong (orang) bêbêkêl (menjabat) tan (tak) wênang (boleh) jajara (berjajar) linggih (duduk), miwah (serta) kramaning (memakai krama) basa (bahasa). Seperti orang yang duduk-duduk, dalam perjamuan kalau, seorang pesuruh dengan, seorang pejabat tak boleh berjajar duduknya, serta harus memakai bahasa krama.

Contoh penerapan subasita adalah ketika sedang ada perjamuan, seorang pesuruh tidak boleh duduk disamping seorang bekel, harus di belakangnya, inilah yang disebut silakrama. Apabila kemudian keduanya bercakap-

Page 22: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

9

cakap maka si pesuruh harus memakai bahasa krama inggil sedangkan ki Bekel harus memakai bahasa ngoko, inilah yang disebut unggah-ungguh atau tatakrama dalam berbahasa.

Contoh lain adalah percakapan antara seorang pemuda dan orang tua. Si pemuda harus memakai krama inggil kepada si orang tua. Jika kebetulan si pemuda kedudukan pangkatnya lebih tinggi maka boleh memakai krama andhap. Penerapan tatakrama dalam bahasa ini mempunyai kaidah yang memerlukan bahasan tersendiri. Akan panjang jika diuraikan di sini.

Page 23: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

10

Kajian Panitisastra (4): Yen Tan Wruh Subasita Amung Legog-Legog

Bait ke-4, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Nora wênang iku dèn kramani, wong bêbatur mring wong bêkêl ika. Dèn jalang tatakramane, lan tataning alungguh. Awit saking sang rajaniti, mulane ana tata, titine sang prabu. Wong tan wruh ing subasita, lêgog-lêgog tan wikan ing tatakrami, mudha punggung arannya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tidak boleh itu dipakai bahasa krama padanya, seorang pesuruh oleh seorang pejabat. Diikat tatakramanya, dan tatanan dalam duduk. Mulai dari yang mengatur negara, makanya ada tatanan, yang teliti dari sang raja tentang ini. Orang yang tak mengetahui subasita, hanya duduk tepekur tak memahami tatakrama, muda bodoh namanya.

Kajian per kata:

Nora (tidak) wênang (boleh) iku (itu) dèn (di) kramani (pakai bahasa krama), wong (seorang) bêbatur (pesuruh) mring (oleh) wong (seorang) bêkêl (pejabat) ika (itu). Tidak boleh itu dipakai bahasa krama padanya, seorang pesuruh oleh seorang pejabat.

Bekel adalah pejabat tingkat desa, setingkat dibawah demang. Bekel bertugas mengatur pembagian tanah dan mengelola hasil bumi. Seperti

Page 24: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

11

kita ketahui bahwa pada jaman itu gaji seorang pejabat hanyalah tanah garapan yang supaya menghasilkan harus digarap. Tugas bekel inilah yang mengelola itu semua.

Bila berhadapan dengan seorang pesuruh, seorang bekel tidak boleh memakai bahasa krama inggil, harus dengan bahasa krama andhap atau boleh juga berbahasa ngoko. Bila bekel berhadapan dengan pejabat di atasnya harus juga memakai bahasa krama inggil. Sangat tidak sopan kalau memakai bahasa ngoko. Seperti itulah tatakrama yang berlaku pada budaya Jawa sejak dahulu. Jadi kepada siapa kita berbicara harus dilihat dan diukur bagaimana kita menerapkan subasita tersebut.

Apabila seorang Bekel misalnya memaksakan diri memakai bahasa krama inggil kepada pesuruh maka akan terjadi kejanggalan, si pesuruh menjadi merasa kikuk karena hal seperti itu tak lazim. Namun demikian, meski seorang Bekel memakai bahasa ngoko tidak lantas dia boleh berkata kasar dan bernada menghina. Pemilihan katanya hendaklah memakai kata yang baik, dan ini juga menunjukkan kepribadian yang bersangkutan. Apabila dia kemudian berkata kasar itu pertanda lemahnya akal budinya.

Dèn (di) jalang (pocong, diikat) tatakramane (tatakramanya), lan (dan) tataning (tatanan) alungguh (dalam duduk). Diikat tatakramanya, dan tatanan dalam duduk.

Yang dimaksud semua tatakrama itu hendaknya diikat dalam pikiran jangan sampai lupa, juga dalam hal sikap tubuh yakni tentang tatacara menempatkan diri secara fisik. Misalnya jika berhadapan dengan orang yang berkedudukan lebih tinggi maka harus membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Jika dengan pejabat formal harus dengan apa yang disebut sembah, yakni mengatupkan kedua tangan di depan wajah. Setiap pejabat mempunyai aturan sembah masing-masing, biasanya semakin tinggi semakin banyak jumlah sembahnya.

Awit (mulai) saking (dari) sang (sang) rajaniti (mengatur negara), mulane (makanya) ana (ada) tata (tatanan), titine (teliti) sang (sang) prabu (raja). Mulai dari yang mengatur negara, makanya ada tatanan, yang teliti dari sang raja tentang ini.

Subasita tadi diatur secara ketat bagi pejabat formal dan diundangkan kepada rakyat. Akan ada hukuman jika tidak dipatuhi. Atau setidaknya

Page 25: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

12

akan ada sangsi sosial disebut sebagai orang yang tidak mengerti tatakrama. Dan sebutan itu bisa menimbulkan dampak serius pada seseorang, bisa menghambat dalam mencari pekerjaan ataupun, eee..mencari mertua.

Wong (orang) tan (tak) wruh (mengetahui) ing (dalam) subasita (subasita), lêgog-lêgog (duduk tepekur) tan (tak) wikan (memahami) ing (dalam) tatakrami (tatakrama), mudha (muda) punggung (bodoh) arannya (namannya). Orang yang tak mengetahui subasita, hanya duduk tepekur tak memahami tatakrama, muda bodoh namanya.

Orang yang tidak mengetahui subasita ini akan canggung dalam bergaul. Hanya bisa duduk tepekur jika ada pertemuan atau acara lainnya, karena tidak memahami tatakrama yang harus dilakukan. Orang seperti ini disebut mudha punggung, arti harfiahnya adalah bodoh, atau tidak berpengalaman. Arti mudha di sini adalah bodoh, punggung artinya juga bodoh. Mudha punggung artinya bodoh yang berlipat-lipat, atau sangat bodoh. Dalam bait berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut makna dari istilah mudha punggung ini.

Page 26: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

13

Kajian Panitisastra (5): Weruha Sad Rasa

Bait ke-5, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Têgêse mudha wong tanpa budi, têgêse punggung ina budinya. Dèrèng wruh sad rasa lire, sad nênêm têgêsipun, rasa ingkang karasa saking, iya pucuking ilat. Punika liripun, amla kayasa lawana, kathuka tikta madura amêkasi, jangkêp rasanên lirnya .

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Artinya bodoh adalah tanpa budi, artinya punggung adalah hina budinya. Belum mengetahui enam rasa maksudnya, sad artinya enam, rasa adalah yang terasa dari, ujung lidah. Yaitu makusudnya, amla kayasa lawana, kathuka tikta madura akhirnya, lengkap rasakan maknanya.

Kajian per kata:

Têgêse (artinya) mudha (bodoh) wong (orang) tanpa (tanpa) budi (budi), têgêse (artinya) punggung (bodoh) ina (hina) budinya (budinya). Artinya bodoh adalah tanpa budi, artinya punggung adalah hina budinya.

Uisa muda seringkali diartikan sebagai belum matang dalam bersikap. Memang kalau kita melihat anak muda yang usianya masih dibawah 30an tahun tentu jarang mempunyai pengetahuan dan kebijaksanaan yang sudah mapan. Mungkin karena inilah mudha juga diartikan sebagai bodoh, artinya dari segi pengalaman belum matang dan dari pengetahuan belum

Page 27: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

14

lengkap. Yang demikian itu memang gairah mudanya diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Orang muda masih semangat dan berani menempuh resiko, dan berani menerima tantangan. Sifat itulah yang menghasilkan kehidupan dinamis. Jika orang muda usia 30 tahun berpikir matang seperti orangusia 60 tahun justru bisa lamban dalam mengatasi masalah dan bisa membuang banyak peluang.

Maka sebagai manusia hendaklah kita jangan sampai berhenti belajar. Dengan semakin bertambah usia kepribadian harus makin matang. Subasita juga semakin baik, bukan malah semakin luntur mentang-mentang sudah tua. Adalah wajar kalau anak muda kurang dalam budi, artinya masih bodoh dan hina akal budinya. Namun kalau sudah tua janganlah demikian.

Dèrèng (belum) wruh (mengetahui) sad (enam) rasa (rasa) lire (maksudnya), sad nênêm (sad enam) têgêsipun (artinya), rasa (rasa) ingkang (yang) karasa (terasa) saking (dari), iya (yaitu) pucuking (ujung) ilat (lidah). Belum mengetahui enam rasa maksudnya, sad artinya enam, rasa adalah yang terasa dari, ujung lidah.

Kalau anak muda belum memahami enam rasa, maksudnya enam rasa yang terasa di ujung lidah. Ada rasa apa saja keenamnya itu? Inilah perinciannya.

Punika (itu) liripun (maksudnya), amla (amla) kayasa (kayasa) lawana (lawana), kathuka (kathuka) tikta (tikta) madura (madura) amêkasi (akhirnya), jangkêp (lengkap) rasanên (rasakan) lirnya (maknanya). Yaitu maksudnya, amla kayasa lawana, kathuka tikta madura akhirnya lengkap rasakan maknanya.

Enam rasa itu maksudnya adalah, amla, kayasa, lawana, kathuka, tikta dan terakhir madura. Lengkap sudahlah, rasakan dan pahami maknanya. Dalam bait berikutnya akan dijelaskan makna dari keenam rasa itu.

Page 28: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

15

Kajian Panitisastra (6): Tegese Sad Rasa Punika

Bait ke-6, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Amla asêm ing têgêsirèki, lawana asin ing têgêsira, kayasa sêpêt têgêse, kathuka têgêsipun , pêdhês tikta têgêse pait. Dene basa madura, lêgi têgêsipun. Sêdhah pucangan tambula, suruh jambe ênjêt widya iku rai, sêpi samun têgêsnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Amla itu asem artinya, lawana itu asin artinya, kayasa itu sepat artinya. Kathuka artinya, pedas tikta artinya pahit. Adapun kata madura, manis artinya Sedhah pucangan tambula, suruh jambe enjet bedak untuk muka, samun artinya sepi.

Kajian per kata:

Amla (amla) asêm (asem) ing (dalam) têgêsirèki (artinya), lawana (lawana) asin (asin) ing (dalam) têgêsira (artinya), kayasa (kayasa) sêpêt (sepat) têgêse (artinya). Amla itu asem artinya, lawana itu asin artinya, kayasa itu sepat artinya.

Amla artinya adalah asam, seperti rasa buah asem. Lawana artinya asin seperti rasa garam. Kayasa artinya sepat, seperti rasa buah yang masih mentah semisal buah sawo kecik. Soal rasa tidak dapat diuraikan dengan

Page 29: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

16

kata-kata, jika ingin mengetahui rasa maka harus dicoba untuk memakannya sendiri. Pengetahuan tentang rasa tidak dapat digambarkan dengan diskripsi yang bagaimanapun, bahkan oleh seorang pujangga yang mumpuni sekalipun.

Kathuka (kathuka) têgêsipun (artinya), pêdhês (pedas) tikta (tikta) têgêse (artinya) pait (pahit). Dene (adapun) basa (kata) madura (madura), lêgi (manis) têgêsipun (artinya). Kathuka artinya, pedas tikta artinya pahit.Adapun kata madura, manis artinya.

Kathuka artinya pedas, sepertir rasa buah lombok. Tikta artinya pahit, seperti rasa biji pohon mahoni. Madura artinya manis, seperti rasa gula. Lengkaplah sudah enam rasa kita ketahui.

Sêdhah (sedhah) pucangan (pucang) tambula (tambula),suruh (suruh) jambe (pinang) ênjêt (kapur) widya (boreh) iku rai (muka), sêpi (sepi) samun (samun) têgêsnya (artinya). Sedhah pucangan tambula, maknanya suruh jambe enjet bedak untuk muka, samun artinya sepi.

Sedhah pucangan tambula artinya suruh jambe dan enjet, piranti untuk nginang. Samun artinya adalah sepi.

Rasa yang digambarkan dalam bait ini adalah juga mengandung kiasan untuk rasa yang bukan dialami secara fisik, juga untuk rasa gabungan dari keenam rasa tersebut yang dapat dirasakan dalam perbuatan nginang.

Samun maknanya sepi, ini juga rasa namun subyeknya bukan lidah tetapi hati. Jika mampu memahami rasa-rasa itu artinya sudah lengkap pengalaman hidupnya. Sudah bukan anak muda bodoh lagi. Maka kiasan untuk orang yang sudah putus kawruh (sempurna ilmu) adalah sudah kenyang makan asam-garam kehidupan. Ini adalah kiasan belaka, sebagaimana enam rasa tadi.

Page 30: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

17

Kajian Panitisastra (7): Njomblong Lengur-Lengur

Bait ke-7, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wong tanpa nginang kalane sami, lêlungguhan anèng pasamuan, pucat rai lambe putèh. Ingkang mangkono iku, lamun ana rêrasan tulis, sastra kang winicara, mênêng lêngur-lêngur. Arsa milua micara, nora bisa lir wong tapa bisu dadi, mênêng jomblong kewala.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang tidak nginang di waktu sama-sama, duduk-duduk dalam perjamuan, pucat mukanya memutih bibirnya. Yang demikian itu, kalau ada percakapan tertulis, sastra yang bicara, diam tertegun. Ingin ikut bicara, tidak bisa seperti orang bertapa bisu jadi, hanya diam terkesima saja.

Kajian per kata:

Wong (orang) tanpa (tanpa, tidak) nginang (nginang) kalane (di waktu) sami (sama-sama), lêlungguhan (duduk-duduk) anèng (dalam) pasamuan (perjamuan), pucat (pucat) rai (muka) lambe (bibir) putèh (putih). Orang tidak nginang di waktu sama-sama, duduk-duduk dalam perjamuan, pucat mukanya memutih bibirnya.

Orang yang tidak nginang adalah perumpamaan dari orang yang tidak memahami tentang 6 rasa dan campurannya sebagaiman telah diuraikan dalam bait sebelumnya. Jika orang itu ikut duduk-duduk dalam perjamuan

Page 31: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

18

akan pucat mukanya dan memutih bibirnya. Ini berkaitan dengan masa itu yang sebagian besar orang nginang, dengan alasan kesehatan dan pergaulan. Jika ada yang tidak nginang ketika berkumpul akan kelihatan dari ciri-ciri fisiknya.

Ingkang (yang) mangkono (demikian) iku (itu), lamun (kalau) ana (ada) rêrasan (percakapan) tulis (tertulis), sastra (sastra) kang (yang) winicara (dibicarakan), mênêng (diam) lêngur-lêngur (tertegun). Yang demikian itu, kalau ada percakapan tertulis, sastra yang bicara, diam tertegun.

Yang demikian kalau ada diskripsi tertulis atau ungkapan sastra, digambarkan sebagai orang yang diam tertegun. Karena tidak bisa mengikuti pembicaraan orang sekitarnya, jadi tidak akan nyambung dalam pembicaraan. Hanya bisa duduk tepekur takjub setengah bloon, karena tidak paham.

Sastra di sini berarti apa yang tertulis, bisa berupa kitab-kitab suci agama atau ajaran-ajaran luhur, sebagaimana yang ada pada saat itu. Orang yang tidak mengerti sastra adalah orang yang tidak berpengetahuan.

Arsa (ingin) milua (ikut) micara (bicara), nora (tidak) bisa (bisa) lir (seperti) wong (orang) tapa (bertapa) bisu (bisu) dadi (jadi), mênêng (diam) jomblong (terkesima, takjub, tertegun) kewala (saja). Ingin ikut bicara, tidak bisa seperti orang bertapa bisu jadi, hanya diam terkesima saja.

Walau ingin bercakap-cakap takkan bisa, karena memang pengetahuannya tidak nyambung sama sekali, tidak memahami apa yang dibicarakan. Ini adalah keadaan orang yang tak memahami rasa hati, apabila bersama orang banyak akan gagal paham tentang apa yang dibicarakan. Juga tidak mampu terlibat dalam diskusi, tak mampu memberi usulan dan saran, walau dalam hati sangat ingin melakukannya. Semua itu karena tidak mempunyai pengetahuan yang cukup. Sikapnya seolah-olah orang seperti sedang bertapa membisu, hanya diam terkesima saja.

Page 32: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

19

Kajian Panitisastra (8): Wisaning Agesang

Bait ke-8, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kang mangkana iku upamaning, mukane kadi lawanging guwa, wisa kang cinatur mangke. Wisaning sêmadiku, yèn carobo tindak tan apik. Wisane wong amangan, yèn tan gêlis lêbur. Dene wisaning agêsang, tanpa arta saujare tanpa dadi, karêpe tan katêkan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yang demikian itu umpamanya, mukanya seperti pintu gua, racun yang dibicarakan nanti. Racunnya bertapa itu, kalau ceroboh dan berbuat tak baik. Racunnya orang makan, kalau tak segera hancur (makanannya). Adapun racunnya orang hidup, bila tanpa harta segala perkatannya takkan kejadian, kehendakknya tak tercapai.

Kajian per kata:

Kang (yang) mangkana (demikian) iku (itu) upamaning (umpamanya), mukane (mukanya) kadi (seperti) lawanging (pintu) guwa (gua), wisa (bisa, racun) kang (yang) cinatur (dibicarakan) mangke (nanti). Yang demikian itu umpamanya, mukanya seperti pintu gua, racun yang dibicarakan nanti.

Yang demian itu, yakni sikap yang ditunjukkan dalam bait yang lalu, seumpama mukanya seperti mulut gua. Hanya racun yang akan diucapkannya nanti. Orang yang tidak mengenal subasita ibarat membawa

Page 33: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

20

racun dalah kehidupannya, menjadikan hidupnya sendiri menjadi tidak maksimal dalam meraih kebahagiaan. Juga bisa meracuni hati orang lain, teman bicara yang tersinggung atau tersakiti hatinya.

Racun di sini diartikan sebagai penghambat atau sesuatu yang membuat seseorang itu tidak mampu mengeluarkan seluruh potensinya. Dan itu ada dalam setiap sisi kehidupan manusia, seperti pada contoh-contoh berikut.

Wisaning (bisanya) sêmadiku (bertapa itu), yèn (kalau) carobo (ceroboh) tindak (berbuat) tan (tak) apik (baik). Racunnya bertapa itu, kalau ceroboh dan berbuat tak baik.

Racun bagi orang bertapa adalah jika berbuat ceroboh dan tidak baik. Orang yang gemar bertapa seharusnya menjaga diri dari perbuatan buruk, jika sampai ia ceroboh terjerumus dalam perbuatan buruk, maka ibarat dia telah keracunan.

Wisane (bisanya) wong (orang) amangan (makan), yèn kalau) tan (tak) gêlis segera) lêbur (hancur). Racunnya orang makan, kalau tak segera hancur (makanannya).

Racun bagi orang yang makan adalah ketika dia tidak dapat mencerna makanannya dengan sempurna. Jika demikian pasti tubuhnya telah kemasukan racun sehingga fungsi tubuh tidak dapat bekerja maksimal. Ini salah satu contoh yang nyata, adapun secara kiasan racun bisa apa saja yang menghambat pencapaian kebahagiaan seseorang.

Dene (adapun) wisaning (wisanya) agêsang (orang hidup), tanpa (tanpa) arta (harta) saujare (segala perkataan) tanpa (takkan) dadi (kejadian), karêpe (kehendaknya) tan (tak) katêkan (tercapai). Adapun racunnya orang hidup, bila tanpa harta segala perkatannya takkan kejadian, kehendakknya tak tercapai.

Adapun racunnya orang hidup adalah tidak mempunyai harta. Jika mengalami keadaan seperti itu pasti segala perkataannya tak akan terjadi, kehendaknya takkan kesampaian. Maka secara kias tidak ada harta atau miskin adalah racun bagi kehidupan orang itu sendiri.

Page 34: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

21

Kajian Panitisastra (9): Wisaning Pawestri

Bait ke-9, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wisaning èstri kalamun uwis, kalaraban uwan dadi wisa, iya marang ing awake. Kakung tan ana ayun, angrabèni ewa ningali. Sanadyan parawana, ilang kênyanipun, yèn uwis kasaban uwan. Panêngêran janma di ngrêsêpkên ati- ning wong sapalungguhan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Racunnya perempuan kalau sudah, terkena uban menjadi racun, juga kepada dirinya. Laki-laki tak ada di depannya, yang menikahi enggan melihat. Walaupun masih gadis, hilang kegadisannya, kalau sudah terkena uban. Pertanda manusia yang baik adalah menyenangkan hati, orang lain teman duduknya.

Kajian per kata:

Wisaning (racunnya) èstri (perempuan) kalamun (kalau) uwis (sudah), kalaraban (terkena, tertutup) uwan (uban) dadi (menjadi) wisa (racun), iya (juga) marang (kepada) ing awake (dirinya). Racunnya perempuan kalau sudah, terkena uban menjadi racun, juga kepada dirinya.

Yang merupakan racun bagi perempuan adalah manakala dia sudah terkena uban. Bisa menghambat beberapa hal dalam kehidupannya, jika uban sudah tumbuh di kepala.

Page 35: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

22

Kakung (laki-laki) tan (tak) ana (ada) ayun (di depannya), angrabèni (yang menikahi) ewa (enggan) ningali (melihat). Laki-laki tak ada di depannya, yang menikahi enggan melihat.

Laki-laki tak ada di depannya, yang akan menikahi enggan melihat. Sudah hilang daya tariknya. Apabila sudah menikahpun suaminya akan ogah-ogahan kepadanya, bisa-bisa malah berpaling kepada wanita lain.

Sanadyan (kalaupun) parawana (masih gadis), ilang (hilang) kênyanipun (kegadisannya), yèn (kalau) uwis (sudah) kasaban (tertutup) uwan (uban). Kalaupun masih gadis, hilang kegadisannya kalau sudah terkena uban.

Uban memang hanya rambut putih, namun sangat berpengaruh terhadap penampilan. Seorang gadis yang ubanan akan serasa kehilangan kegadisannya. Kehilangan pesonanya sehingga dijauhi laki-laki.

Demikianlah, contoh-contoh tadi kiranya dapat menambah pemahaman dari apa yang sudah dikatakan dalam bait sebelumnya, bahwa kurang dalam subasita dapat mengganggu dalam pergaulan ibaratnya seperti racun kehidupan. Sebagaimana dalam sisi kehidupan lain juga ada racun-racunnya, seperti beberapa contoh yang sudah disebutkan di atas.

Sekarang setelah kita tahu keburukan dari tidak dipahaminya masalah subasita ini, marilah kita pelajari bagaimana orang yang memahami subasita bertingkah laku dalam pergaulan. Tanda-tanda orang yang menguasai subasita adalah sebagai berikut.

Panêngêran (pertanda) janma (manusia) di (dari kata adi, baik, elok) ngrêsêpkên (menyenangkan) atining (hatinya) wong (orang) sapalungguhan (teman duduknya). Pertanda manusia yang baik adalah menyenangkan hati orang lain teman duduknya.

Tanda-tanda janma di, manusia elok, indah, yakni manusia yang menguasai subasita, adalah menyenangkan hati teman duduknya, bisa bercakap-cakap dengan hangat, sikap dan bicaranya menyejukkan.

Itulah pertanda orang yang menguasai subasita, dalam bait selanjutnya masih banyak tanda-tanda lain yang akan kita uraikan agar semakin jelas dan terang.

Page 36: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

23

Kajian Panitisastra (10): Wateke Janmatama

Bait ke-10, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Datan kêtèn sabarang dènnya ngling, tansah anduga-duga ing nitya. Tan pêgat jaga-jagane, datan ana wong rêngu, dadya samya mrih sujanèki, amêmungu ing manah, kapurunanipun. Tan angamungakên ing prang, lyaning karya sumêngkut karya gêng alit, yèku ran janmatama

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tidak segera terikat dalam semua perkataan, selalu menduga-duga raut muka, tak putus berjaga-jaga. Tidak ada orang sakit hati, dan menjadi sama-sama agar mencurigainya, malah menggugah dalam hati, keberaniannya. Tidak hanya ketika berperang, di lain pekerjaan semangat bekerja besar dan kecil, itulah manusia yang utama.

Kajian per kata:

Datan (tidak) kêtèn (rantai, terikat) sabarang (semua) dènnya (dalam) ngling (berkata), tansah (selalu) anduga-duga (menduga-duga) ing nitya (raut muka), tan (tak) pêgat (putus) jaga-jagane (berjaga-jaga). Tidak segera terikat dalam semua perkataan, selalu menduga-duga raut muka, tak putus berjaga-jaga.

Tidak terikat dalam aturan-aturan yang membelenggu dalam perkataan sehingga kaku dan formal, namun selalau menduga-duga raut muka lawan bicaranya. Tak putus-putus dalam berjaga-jaga agar tidak menyinggung

Page 37: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

24

orang lain. Inilah sikap dari orang yang sudah menguasai subasita secara paripurna, sangat jauh dari mencela orang, sehingga lawan bicara merasa nyaman.

Datan (tidak) ana (ada) wong (orang) rêngu (sakit hati), dadya (menjadi) samya (sama-sama) mrih (agar) sujanèki (mencuriganinya), amêmungu (menggugah) ing (dalam) manah (hati), kapurunanipun (keberaniannya). Tidak ada orang sakit hati, dan menjadi sama-sama agar mencurigainya, malah menggugah dalam hati keberaniannya.

Tidak ada orang yang merasa sakit hati ketika bicara dengannya, atau menjadi mencurigainya. Yang ada malah tergugah semangat dalam hatinya, bangkit keberaniannya. Orang yang menguasai subasita bisa menjadi inspirator pada teman duduknya, menularkan daya hidup kepada orang lain lewat percakapan.

Tan (tidak) angamungakên (hanya) ing (ketika) prang (perang), lyaning (di lain) karya (pekerjaan) sumêngkut (semangat) karya (bekerja) gêng (besar) alit (kecil), yèku (itulah) ran (yang disebut) janmotama (manusia utama). Tidak hanya ketika berperang, di lain pekerjaan semangat bekerja besar dan kecil, itulah manusia yang utama.

Tidak hanya keberanian dalam peperangan, dalam pekerjaan yang lain pun orang menjadi bersemangat bekerja, baik pekerjaan yang besar ataupun yang kecil. Itulah yang disebut manusia utama.

Sikap ini amat jauh dari orang yang sok sopan, kalau bicara dengan teman yang dicari cuma kelemahan lawan bicaranya yang mungkin kurang sopan santun, kurang unggah-ungguh, sehingga lawan bicara menjadi risih dan tidak enak. Orang yang sudah putus ilmunya, sudah menguasai rasa yang enam itu justru sangat toleran terhadap kekurangan orang lain, tidak terlalu mempermasalahkan, dan juga memaafkan kekeliruan lawan bicaranya. Dia hanya fokus menjaga tingkah laku dan ucapannya sendiri. Oleh karena itu sikapnya keluar dari hati yang sudah mengendap, bukan sekedar reaksi dari sikap orang lain.

Sikap seperti itu yang semestinya dimiliki bagi orang yang ingin bahagia sejahtera dalam hidupnya. Bait berikutnya masih membahas tentang hal ini lebih lanjut.

Page 38: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

25

Kajian Panitisastra (11): Subasita Mring Pawestri

Bait ke-11, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Sayogyane ing wong priya sami, yèn alênggah kalawan wanita, garwa tanapi sêlire, ngrasanana raras rum. Ing paprêman miwah yèn angling, dipun amanohara. Dèn alus ing têmbung, tingalna sumèhing nitya, nirna rêngu amrih alunturing kang sih. Yèn lênggah lan pandhita.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Sepantasnya pada seorang lelaki semua, kalau duduk bersama wanita, istri maupun selirnya, bercakaplah dengan kata yang sangat manis. Di tempat tidur serta kalau berbicara, harap dengan kata-kata yang memikat. Di haluskan dalam kata-kata, diperlihatkan ramahnya raut muka, hilangkan kekecewaan agar keluar cinta kasihnya. Kalau duduk bersama pendeta (lain lagi sikapnya).

Kajian per kata:

Sayogyane (sepantasnya) ing (pada) wong (orang) priya (laki-laki) sami (semua), yèn (kalau) alênggah (duduk) kalawan (bersama) wanita (wanita), garwa (istri) tanapi (maupun) sêlire (selir), ngrasanana (bercakaplah) raras rum (sangat manis). Sepantasnya pada seorang lelaki semua, kalau duduk bersama wanita, istri maupun selirnya, bercakaplah dengan kata yang sangat manis.

Page 39: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

26

Penerapan subasita tadi juga mengingat tempat dan siapa teman bicaranya. Jika dengan keluarga sendiri subasitanya juga lain lagi. Dalam bait ini diuraikan penerapannya pada istri sendiri.

Apabila sedang bercengkerama dengan istri, hendaklah bercakap-cakap dengan kata-kata yang manis, dengan suara rendah. Bila perlu berbisik-bisik sajalah. Raras rum di sini adalah percakapan yang penuh pesona, gairah atau kecenderungan hati kepada cinta kasih.

Ing (di) paprêman (tempat tidur) miwah (serta) yèn (kalau) angling (berbicara), dipun (harap) amanohara (dengan kata yang memikat). Di tempat tidur serta kalau berbicara, harap dengan kata-kata yang memikat.

Di tempat tidur pun demikian, jika berbicara seyogyanya dengan kata-kata yang memikat. Manohara artinya penuh pesona, penuh daya pikat sehingga lawan bicara menjadi kasengsem, kedanan, terkintil-kintil, nempeeeel kaya prangko.

Dèn (di) alus (haluskan) ing (dalam) têmbung (kata-kata), tingalna (perlihatkan) sumèhing (ramahnya) nitya (raut muka), nirna (hilangkan) rêngu (kekecewaan) amrih (agar) alunturing (keluar) kang sih (cinta kasih). Di haluskan dalam kata-kata, diperlihatkan ramahnya raut muka, hilangkan kekecewaan agar keluar cinta kasihnya.

Dihaluskan kata-katanya, pakailah nada rendah, jangan sekali-kali melengking. Perlihatkan raut muka yang ramah agar istri nyaman. Hilangkan roman kecewa agar lawan bicara timbul cinta kasihnya.

Yèn (kalau) lênggah (duduk) lan (bersama) pandhita (pendeta). Kalau duduk bersama pendeta (lain lagi sikapnya).

Yang di atas tadi adalah sikap tubuh dan cara bicara jika bersama kekasih, sedangkan kalau bercakap bersama pendeta atau dengan yang lainnya, lain pula caranya. Dalam bait selanjutnya akan kita kaji masalah ini.

Page 40: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

27

Kajian Panitisastra (12): Anawa Khewan Galak

Bait ke-12, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Atakona patitising pati, lawan têrusna ing kawruhira, sampurnaning panêmbahe. Yèn ing prang kang winuwus, ing kasuran digdayan amrih, mantêp wanining rowang. Sarpa galakipun, kalawan mandining wisa, japamantra kang anawa wisa mandi, nutut galaking ula.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Bertanyalah tepatnya ilmu kematian, dan teruskan dalam pengetahuan, agar sempurna cara beribadahnya. Kalau dalam perang yang dibicarakan, dalam hal keberanian dan kesaktian agar, mantap keberanian teman. Galaknya ular, dan tajamnya bisa, mantera-mantera yang menawarkan bisa ganas, menjinakkan galaknya ular.

Kajian per kata:

Atakona (bertanyalah) patitising (tepatnya) pati (ilmu kematian), lawan (dan) têrusna (teruskan) ing (dalam) kawruhira (pengetahuan), sampurnaning (agar sempurna) panêmbahe (cara beribadahnya). Bertanyalah tepatnya ilmu kematian, dan teruskan dalam pengetahuan, agar sempurna cara beribadahnya.

Dalam bait yang lalu telah disinggung pada bagian akhir tentang subasita kepada pendeta. Jika bersama mereka hendaklah kita manfaatkan dengan benar waktu kebersamaan itu dengan mereguk ilmu darinya. Tanyakan

Page 41: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

28

tentang ilmu kematian, dan tanamkan dalam hati menjadi pengetahuan hidup yang berguna, agar sempurna cara beribadah kita.

Yèn (kalau) ing (dalam) prang (perang) kang (yang) winuwus (dibicarakan), ing (dalam hal) kasuran (keberanian) digdayan (kesaktian) amrih (agar), mantêp (mantap) wanining (keberanian) rowang (teman). Kalau dalam perang yang dibicarakan, dalam hal keberanian dan kesaktian agar, mantap keberanian teman.

Lain lagi kalau dalam peperangan, yang dikatakan tentang keberanian dan kesaktian agar sesama prajurit mendapat semangat dan muncul keberaniannya. Sikap dan bicara kita pada setiap tempat pasti harus berbeda-beda, sehingga tidak ada petunjuk dan pedomannya, namun orang yang telah mumpuni dalam ilmu rasa dan sudah menguasai enam rasa pasti akan paham harus bersikap bagaimana. Hal itu karena keadaan yang berbeda-beda juga menuntut tanggapan yang berbeda pula. Juga karena setiap orang mempunyai watak yang berbeda pula, kitalah yang harus pintar ngemong orang lain jika kita ingin berhasil. Bersikap orang lain harus menuruti kita karena kita merasa lebih baik, justru akan membuat hidup kita gagal. Sehingga kita harus mengenali dahulu watak lawan bicara kita.

Sarpa (ular) galakipun (galaknya), kalawan (dan) mandining (tajamnya) wisa (bisa), japamôntra (mantra-mantra) kang (yang) anawa (menawarkan) wisa (bisa) mandi (ganas), nutut (menjinakkan) galaking (galaknya) ula (ular). Galaknya ular, dan tajamnya bisa, mantera-mantera yang menawarkan bisa ganas, menjinakkan galaknya ular.

Perumpamaan menghadapi manusia yang berwatak lain-lain, adalah seumpama menghadapi hewan. Jika kita menghadapi ular yang galak dan bisanya ganas, cara menghadapinya adalah dengan mantera-mantera. Dengan cara itulah ular galak menjadi jinak. Demikian juga dengan hewan-hewan lainnya, ada cara khusus baginya untuk membuatnya jinak.

Page 42: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

29

Kajian Panitisastra (13): Janma Tan Pasah Mantra

Bait ke-13, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Lawan galaking macan pan sami, kang anututakên lawan môntra. Dipangga samêtanane, pan tutut dening angkus. Kang tan mari dening mantrèki, kasêrênge wong aprang. Mari-mari yèn wus, kawênang salah satunggal, parandene yèn uwis patin-pinatin, aja uga pêpeka.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dan galaknya harimau sama, yang menjinakkan dengan mantra. Gajah yang mengamuk, akan jinak oleh jerat. Yang tak sembuh oleh mantera, kemarahan orang yang berkelahi. Sadarnya kalau sudah, menang salah satunya, adapula kalau sudah saling bunuh (baru sadar), maka jangan diremehkan.

Kajian per kata:

Lawan (dan) galaking (galaknya) macan (harimau) pan (akan) sami (sama), kang (yang) anututakên (menjinakkan) lawan (dengan) mantra (mantera). Dan galaknya harimau sama, yang menjinakkan dengan mantra.

Menghadapi harimau pun demikian, yang dapat menjinakkan adalah mantera-mantera. Tentu berbeda mantera yang digunakan dengan mantera yang dipakai untuk ular. Dalam kaitan dengan manusia, setiap karakter pasti ada cara khusus dalam menghadapinya.

Page 43: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

30

Dipangga (gajah) samêtanane (yang mengamuk), pan (akan) tutut (jinak) dening (oleh) angkus (kait, jerat). Gajah yang mengamuk, akan jinak oleh jerat.

Lain lagi dengan cara menghadapi gajah, akan jinak jika jika kita memakai jerat atau rantai. Jika sejak kecil terbiasa dirantai gajah akan terbiasa dan tidak berontak, walau sebenarnya kalau ia mau berontak rantainya bisa putus. Perilaku gajah ini hampir mirip dengan kerbau, kalau sudah diberi tali di leher dia akan menurut walau dituntun seorang anak kecil pun. Padahal andai ia mau berontak anak kecil itu akan terpental. Namun memang begitulah watak hewan-hewan, semua mempunyai kelemahan sendiri-sendiri. Demikian juga pada manusia, setiap karakter mempunyai cara tersendiri untuk mengambil hatinya dalam percakapan.

Kang (yang) tan (tak) mari (sembuh) dening (oleh) mantrèki (mantera ini), kasêrênge (kemarahan) wong (orang) aprang (berperang, berkelahi). Yang tak sembuh oleh mantera, kemarahan orang yang berkelahi.

Jika macan dan ular yang galak dapat tunduk hanya oleh mantera, manusia yang terkadang lemah lembut justru tidak bisa ditundukkan dengan mantera. Apalagi kalau sudah keluar sifat galaknya, marah dan siap berkelahi. Dibacakan seribu mantera juga takkan ada efeknya sama sekali.

Mari-mari (sadarnya) yèn (kalau) wus (sudah), kawênang (menang) salah (salah) satunggal (satunya), parandene (adapula) yèn (kalau) uwis (sudah) patin-pinatin (bunuh-membunuh), aja (jangan) uga (juga) pêpeka (diremehkan). Sadarnya kalau sudah, menang salah satunya, adapula kalau sudah saling bunuh (baru sadar), maka jangan diremehkan.

Dua orang yang saling marah dan berkelahi akan sulit untuk dipisahkn, kalupun berhasil pasti masih menyimpan dendam yang siap meledak kapan saja. Manusia baru sadar kalau salah satunya sudah menang dan lainnya sudah kalah. Baru mereka akan menyesal telah bertengkar. Itu pun mending, ada juga yang sampai bunuh-membunuh. Oleh karena itu jangan diremehkan kemarahan manusia.

Page 44: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

31

Kajian Panitisastra (14): Penengerane Pratingkah Lan Trapsila

Bait ke-14, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Mring boyongan sakarining pati, iku tan wun murina kang manah. Jêroning banyu wêruhe, jabudên gagang tunjung, yêkti uning jêroning warih. Sapira têlêsira, iku lêbêtipun. Yèn panêngraning manungsa, kang abêcik awasna pratingkahnèki, tapsilaning pangucap.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Pada (saat) setelah dibawa pulang yang mati, tak urung menyimpang dendam di hati. Dalamnya air cara mengetahuinya, cabutlah tangkai bunga teratai, benar-benar diketahui dalamnya air. Seberapa yang basah, itulah kedalamannya. Kalau pertanda bagi manusia, yang baik adalah amatilah tingkah-lakunya, sopan santun dalam berkata.

Kajian per kata:

Mring (pada) boyongan (setelah diboyong, dibawa pulang) sakarining (sesudah) pati (ada yang mati), iku (itu) tan (tak) wun (urung) murina (dendam) kang (yang) manah (hati). Pada (saat) setelah dibawa pulang yang mati, tak urung menyimpang dendam di hati.

Awal bait ini kelanjutan dari bait sebelumnya tentang kemarahan dua manusia berkelahi yang tak mempan dengan mantera. Mereka baru sadar

Page 45: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

32

setelah salah satunya mati. Setelah dibawa pulang mayatnya, tak urung dalam hati keluarganya timbul dendam dan amarah yang ingin dilampiaskan sewaktu-waktu.

Keadaan seperti di atas jangan sampai terjadi. Oleh karena itu harap berhati-hati dalam melayani pembicaraan orang. Agar selalu bergaul dengan nyaman, subasita perlu dipelajari setiap orang. Upayakan agar selalu dapat menjajaki isi hati orang, agar kita dapat bersikap dengan tepat. Bagaimana caranya?

Jêroning (dalamnya) banyu (air) wêruhe (cara mengetahuinya) , jabudên (cabutlah) gagang (tangkai) tunjung (bunga teratai), yêkti (benar-benar) uning (diketahui) jêroning (dalamnya) warih (air). Sapira (seberapa) têlêsira (yang basah), iku (itulah) lêbêtipun (kedalamannya). Dalamnya air cara mengetahuinya, cabutlah tangkai bunga teratai, benar-benar diketahui dalamnya air. Seberapa yang basah, itulah kedalamannya.

Perumpamaannya, kalau hendak mengetahui kedalaman air di kolam, cabutlah tangkai bungai teratai. Benar-benar bisa diketahui kedalaman airnya. Dari seberapa panjang tangkai yang basah, itulah kedalamannya. Namun hati dan pikiran manusia tidak dapat diukur dengan cara seperti itu, seperti kata pepatah, dalam laut bisa diduga, hati manusia siapa tahu.

Yèn (kalau) panêngraning (pertanda bagi) manungsa (manusia), kang (yang) abêcik (baik) awasna (amatilah) pratingkahnèki (tingkah-lakunya), tapsilaning (sopan santun) pangucap (dalam berkata). Kalau pertanda bagi manusia, yang baik adalah amatilah tingkah-lakunya, sopan santun dalam berkata.

Tetapi meski begitu masih ada cara untuk menduga-duga hati manusia, ialah dengan cara mengamati tindak-tanduk, tingkah polah dalam membawa diri, juga dalam sopan-santun ketika bercakap-cakap. Hal-hal itu disebut dengan subasita, yang sedang kita pelajari saat ini. Berdasar duga-duga atau perkiraan watak orang tersebut kita dapat mengambil sikap yang tepat dalam bergaul dengannya. Misalnya, dari pengamatan kita atas seseorang kita menjadi tahu yang bersangkutan suka humor, maka untuk membuat percakapan yang hangat perlulah kita menyisipkan joke-joke ketika berbicara.

Page 46: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

33

Namun demikian harus diingat bahwa yang dapat kita lakukan hanya menduga-duga, tidak bisa kita memastikannya. Misalnya seseorang yang perilakunya mencurigakan, gerak-geriknya aneh dan sikapnya agak tertutup, tak salah jika kita kemudian menduga-duga bahwa yang bersangkutan akan melakukan kejahatan. Berdasar dugaan kita itu kita boleh kemudian bersikap curiga dan waspada, namun kita tidak boleh kemudian mengambil tindakan fisik berdasar dugaan itu. Tindakan fisik, misalnya dengan menangkap orang itu, hanya dapat dilakukan jika ada bukti dan saksi yang kuat atas tindak kejahatannya.

Page 47: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

34

Kajian Panitisastra (15): Cihnane Wong Abecik

Bait ke-15, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Tata lungguhe ruruh yèn angling, sarèhing nitya sêmu jêtmika. Anastiti pamangane, amrih santosa mulus, alus ririh kalamun angling. Cêtha tata arata, adhapur ajujur, lan pamote ing sasama. Pan ta iku ya cihnane wong abêcik, yèku jatining kula.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Sikap duduknya tenang kalau berbicara, santai raut mukanya cenderung kalem. Cermat dalam menerima, agar sentosa tanpa cela, halus lembut kalau bicara. Jelas, sopan, ajeg, berkesan apa adanya, dalam memuat (pendapat) sesama. Yang demikian itu pertanda orang baik, yaitulah yang kita harapkan.

Kajian per kata:

Tata (tata, sikap) lungguhe (duduknya) ruruh (tenang) yèn (kalau) angling (berbicara), sarèhing (santai) nitya (raut mukanya) sêmu (cenderung) jêtmika (kalem). Sikap duduknya tenang kalau berbicara, santai raut mukanya cenderung kalem.

Sareh artinya tidak tergesa-gesa, perlahan-lahan tanda kehati-hatian. Raut muka yang sareh tanda sudah matang pengetahuannya, bukan sekedar asal bicara sehingga tak ada intinya dari apa yang dibicarakan. Jatmika artinya sikapnya kalem, tidak congkak atau banyak gerak, tanda bagusnya

Page 48: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

35

akhlak. Ini adalah sikap lahir, atau istilahnya menurut yang sudah kita pelajari adalah silakrama.

Anastiti (teliti,cermat) pamangane (dalam menerima), amrih (agar) santosa (sentausa) mulus (tanpa cela), alus (halus) ririh (lembut) kalamun (kalau) angling (bicara). Cermat dalam menerima, agar sentosa tanpa cela, halus lembut kalau bicara.

Cermat dalam menerima pendapat atau perkataan teman bicara. Pamangan bersinonim dengan panedha, kata yang terakhir sering dipakai dengan arti menerima. Maksudnya dalam menerima perkataan orang lain ketika sedang bercakap-cakap. Tidak hanya menerocos bicara sendiri dan tak mau mendengar, tapi juga menghargai teman bicaranya. Alus ririh artinya gaya bicaranya halus dan pelan, tidak berbusa-busa dan kasar. Ini adalah gaya bicara yang sesuai istilah yang telah kita pelajari adalah basakrama, tatakrama dalam berbahasa.

Cêtha (jelas) tata (sopan) arata (merata), adhapur (berkesan) ajujur (apa adanya), lan (dan) pamote (dalam memuat) ing (terhadap) sasama (sesama). Jelas, sopan, ajeg, berkesan apa adanya, dalam memuat (pendapat) sesama.

Yang dimaksud adalah jelas pembicaraannya, tidak mbulet-mbulet, muter-muter, ngalor-ngidul tidak karuan. Juga sopan atau mengerti tatanan atau adab atau subasita. Merata artinya ajeg dalam bicaranya, tidak naik turun nadanya, berapi-api kemudian berhenti, tapi terarah dalam penyampaian. Berkesan apa adanya, tidak dibuat-buat sikapnya dalam memuat atau menampung pendapat orang. Jika mendapat masukan ditampung dengan penuh perhatian, tidak malah mencak-mencak dan sibuk membantah.

Pan (yang demikian) ta iku (itu) ya cihnane (pertanda) wong (orang) abêcik (baik), yèku (itulah) jatining (sejatinya) kula (kita). Yang demikian itu pertanda orang baik, yaitulah yang kita harapkan.

Yang diuraikan di atas adalah ciri-ciri dari orang baik, sejatinya yang kita cari, yang kita harapkan sifat-sifat tersebut ada pada diri kita. Ciri-ciri manusia ideal yang padanya kita mengacu dalam belajar dan memperbaiki diri.

Page 49: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

36

Kajian Panitisastra (16): Pandhita Sastra Genyang

Bait ke-16, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kadi ta ingkang dipun wastani, pandhita sastra gênyang têgêsnya, tan angandhêg patakone, marang kang takon iku. Kasusastran dipun ladèni, pinrih ecanirèng tyas, lawan wacana lus. Anrangakên kapêtêngan, wruh surasa ing sastra kang dèn arani, pandhita sastra gênyang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Seperti yang disebut, pendeta sastra genyang artinya, tak menghentikan pertanyaan, kepada yang bertanya. Soal kasusastraan dilayani, agar enak di hati, dan bercakap pun halus. Menerangkan hal yang gelap, mengetahui makna dalam sastra yang disebut, pendeta sastra yang ahli.

Kajian per kata:

Kadi ta (seperti) ingkang (yang) dipun (di) wastani (sebut), pandhita (pendeta) sastra (sastra) gênyang (ahli) têgêsnya (artinya), tan (tak) angandhêg (menghentikan) patakone (pertanyaan), marang (kepada) kang (yang) takon (bertanya) iku (itu). Seperti yang disebut, pendeta sastra genyang artinya, tak menghentikan pertanyaan, kepada yang bertanya.

Pada bait yang lalu sudah dijelaskan ciri-ciri orang yang baik, dalam bait ini akan dijelaskan ciri-ciri orang yang baik lagi pandai, yang disebut

Page 50: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

37

pandhita sastra genyang. Apakah itu? Yakni orang yang tidak menghentikan atau menolak pertanyaan dari orang yang bertanya. Dia sangat terbuka terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan, tidak membatasi pada soal tertentu saja.

Kasusastran (kasusastraan) dipun (di) ladèni (layani), pinrih (agar) ecanirèng (enak di) tyas (hati), lawan (dan) wacana (bercakap) lus (halus). Soal kasusastraan dilayani, agar enak di hati, dan bercakap pun halus.

Dalam hal sastra (pengetahuan tulis) pun, jika ada yang bertanya pasti dilayani. Semua itu agar terasa enak di hati yang bertanya. Dalam menjawab pun dengan perkataan yang halus dan menyejukkan, tidak berkata kasar berkoar-koar, lebay, lekoh, ataupun saru, sru asugal. Ngerti ra artine?

Anrangakên (menerangkan) kapêtêngan (hal yang gelap), wruh (mengetahui) surasa (makna) ing (dalam) sastra (kitab) kang (yang) dèn (di) arani (sebut), pandhita (pendeta) sastra (sastra) gênyang (ahli). Menerangkan hal yang gelap, mengetahui makna dalam sastra yang disebut, pendeta sastra yang ahli.

Dia menerangkan hal yang sebelumnya masih gelap, mengetahui makna kitab dengan baik. Itulah yang disebut pandhita sastra genyang.

Kalau dilihat ciri-ciri di atas pandeta yang dimaksud lebih mirip seorang intektual atau cendekiawan. Itu memang salah satu tugas kependetaan di zaman dahulu, memberi penerangan kepada masyarakat awam. Di zaman itu ilmu pengetahuan belum bisa diakses setiap orng seperti di zamn kini, jadi kepada merekalah tempat bertanya berbagai hal.

Page 51: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

38

Kajian Panitisastra (17): Datan Ngatonke Panedha Nrima

Bait ke-17, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Ana wong sugih rêtna mas picis têka manganggo datanpa rupa, tanpa rasa pamangane. Awèh pandhita lumuh, datan asih ing pêkir miskin. Kang mangkana kang mindha, khewan isthanipun. Tanpa budi tanpa nalar, panyanane ing dunya tan ana pati, milanira mangkana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ada orang kaya permata dan uang emas, tapi kok berpakaian buruk rupa, (seperti) tidak ada syukurnya. Memberi pendeta pun tak mau, tidak belas kasih pada fakir miskin. Yang demikian seperti, hewan seumpamanya. Tanpa akal budi tanpa pikiran, anggapannya di dunia ini tak ada kematian, makanya seperti itu.

Kajian per kata:

Ana (ada) wong (orang) sugih (kaya) rêtna (permata) mas picis (uang emas), têka (tapi kok) manganggo (berpakaian) datanpa (tanpa) rupa (rupa), tanpa (tanpa) rasa (rasa) pamangane (menerima). Ada orang kaya permata dan uang emas, tapi kok berpakaian buruk rupa, (seperti) tidak ada syukurnya).

Kata pamangane sinonim dengan panedhane, sering diartikan sebagai sikap nrima kepada Tuhan, rela menerima bagian rizekinya. Dalam konteks ini lebih pas diartikan sebagai bersyukur.

Page 52: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

39

Jika sudah diberi sesuatu berterima kasihlah. Bersyukur adalah berterima kasih kepada Tuhan. Tanda bersyukur bukanlah mulut yang nerocos mengucap kata syukur semata-mata, tetapi juga sinkron dengan perbuatannya. Orang yang bersyukur pasti akan nedha-nrima, menerima dengan senang hati. Karena hati senang maka pasti pemberian itu akan ditunjukkan kepada orang lain atau ngetok-ketokke.

Seperti anak kecil yang diberi baju pasti akan bersorak kegirangan, dan selalu memakai baju itu. Jika kita diberi rezeki yang banyak dan kita bersyukur, pasti juga akan kita tunjukkan. Salah satunya lewat pakaian yang kita kenakan. Jangan sampai berpakaian buruk rupa, compang-camping, padahal ada rezeki untuk membeli baju yang pantas. Itu namanya kurang bersyukur.

Awèh (memberi) pandhita (pendeta) lumuh (tak mau, enggan), datan (tidak) asih (belas kasih) ing (pada) pêkir (fakir) miskin (miskin). Memberi pendeta pun tak mau, tidak belas kasih pada fakir miskin.

Memberi kepada pendeta juga tidak mau, dan juga tidak ada belas kasih kepada fakir miskin. Ini orang kaya yang patut dipertanyakan kekayaannya untuk apa. Perilaku seperti ini menunjukkan minimnya rasa syukur. Setelah diberi banyak kekayaan, dia bukannya berterima kasih, malah menginginkan yang lebih banyak lagi. Dia serba kekurangan dalam limpahan kekayaan, rasa kurangnya malah jauh lebih besar dari rasa kurangnya orang miskin.

Kang (yang) mangkana (demikian) kang (yang) mindha (seperti), khewan (hewan) isthanipun (umpamanya). Yang demikian seperti, hewan seumpamanya.

Orang tadi pastilah bukan manusia, seperti hewan saja layaknya. Tidak mempan oleh teladan kasih sayang dan tidak tergerak hatinya oleh pemberian Tuhan yang melimpah.

Tanpa (tanpa) budi (akal budi) tanpa (tanpa) nalar (pikiran), panyanane (anggapannya) ing (di) dunya (dunia) tan (tak) ana (ada) pati (mati), milanira (makanya) mangkana (seperti itu). Tanpa akal budi tanpa pikiran, anggapannya di dunia ini tak ada kematian, makanya seperti itu.

Seolah orang seperti itu tanpa akal budi dan pikiran, anggapannya dunia ini tidak akan digulung, anggapannya dia takkan menemui kematian untuk

Page 53: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

40

mempertanggungjwabkan segala perbuatannya. Cetek nalar dan egois, itulah yang membuatnya bertindak demikian.

Page 54: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

41

Kajian Panitisastra (18;19): Telung Watak Cendhala

Bait ke-18;19, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Ana wong limpad wruh kramaniti, têka alaku karyèng durjana, tanpa gawe kabisane, padha lan kang nora wruh. Yèn ta janma wus kaki-kaki, ngumuripun adawa, malah kongsi pikun, tan arsa ing kabêcikan. Sastra krama kasudarman tan ngrasani, tan arsa puruhita. Yèku wong lali jênênging urip, isthane padha kalawan khewan, iya ing kauripane. Yèn ing buron wana gung, kang awatak cêndhala nênggih, tan na kaya gadarba. Cêndhala ping têlu, manungsa ingkang atinggal, kabêcikan tan angarah pangastuti, ri dur mitra cêndhala.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jika ada orang yang pandai dan mengetahui tatakrama, kok melakukan perkerjaan layaknya durjana, tanpa guna kemampuannya, sama dengan orang yang tidak tahu. Ada juga manusia sudah lanjut usia, umurnya panjang, malah sampai pikun, tapi tak berkehendak pada kebaikan, dalam sastra dan tatakrama, serta segala sifat kebaikan tak mempunyai rasa, dan juga tak berkehendak untuk berguru.

Page 55: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

42

Itulah orang yang lupa artinya hidup, perumpamaannya sama dengan keadaan hewan, dalam kehidupannya. Kalau ada hewan buruan di hutan rimba, yang berwatak nista seperti itu yakni, tak ada yang seperti badak. (Watak) nista yang ketiga, manusia yang meninggalkan, kebaikan tak menuju pengabdian, itu buruk temannya nista

Kajian per kata:

Ana (ada) wong (orang) limpad (pandai) wruh (mengetahui) kramaniti (tatakrama), têka (kok) alaku (melakukan) karyèng (pekerjaannya) durjana (durjana), tanpa (tanpa) gawe (guna) kabisane (kemampuannya), padha (sama) lan (dengan) kang (yang) nora (tidak) wruh (tahu). Jika ada orang yang pandai dan mengetahui tatakrama, kok melakukan perkerjaan layaknya durjana, tanpa guna kemampuannya, sama dengan orang yang tidak tahu.

Ini adalah contoh dari watak buruk. Orang yang tidak mau menggunakan kemampuan atau keahlian yang dia miliki, tetapi malah bertindak seperti orang bodoh, orang seperti itu telah menghina kemampuannya sendiri. Dia juga mengingkari nikmat Tuhan yang berupa ilmu pengetahuan. Sama saja keadaannya orang seperti itu dengan orang bodoh yang tak tahu apa-apa. Jika orang bodoh berbuat bejat bisa dimaklumi karena tidak tahu, tapi orang yang sudah tahu sengaja berbuat seperti orang bodoh adalah suatu keburukan yang bertingkat, alias jahil murakkab. Yang demikian itu termasuk dalam watak cendhala.

Yèn ta (kalau) janma (manusia) wus (sudah) kaki-kaki (lanjut usia), ngumuripun (umurnya) adawa (panjang), malah (malah) kongsi (sampai) pikun (pikun), tan (tak) arsa (berkehendak) ing (pada) kabêcikan (kebikan), sastra (sastra) krama (tatakrama) kasudarman (segala kebaikan) tan (tak) ngrasani (mempunyai rasa), tan (tak) arsa (berkehendak) puruhita (berguru). Ada juga manusia sudah lanjut usia, umurnya panjang, malah sampai pikun, tapi tak berkehendak pada

Page 56: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

43

kebaikan, dalam sastra dan tatakrama, serta segala sifat kebaikan tak mempunyai rasa, dan juga tak berkehendak untuk berguru.

Ini adalah contoh lain dari watak cendhala, yakni diberi umur panjang tapi tidak berkehendak berbuat kebaikan, tidak menguasai subasita dalam tatakrama dan dalam segala laku kebaikan, dan juga tak berkehendak untuk berguru. Orang seperti ini dalam keadaan jumud, loyo, impoten. Perilaku ini juga merupakan laku cendhala, artinya hina, buruk dan nista.

Yèku (itulah) wong (orang) lali (lupa) jênênging (artinya) urip (hidup), isthane (perumpamaannya) padha (sama) kalawan (dengan) khewan (hewan), iya ing (dalam) kauripane (kehidupannya). Itulah orang yang lupa artinya hidup, perumpamaannya sama dengan keadaan hewan, dalam kehidupannya.

Orang yang lupa dengan jati dirinya sebagai manusia, maka yang tertinggal hanyalah kehidupannya sebagai makhluk biologis semata-mata, sementara dimensi ruhaniahnya tidak muncul. Orang seperti ini melewatkan kehidupannya layaknya hewan saja.

Yèn (kalau) ing (pada) buron (hewan buruan) wana (hutan) gung (rimba), kang (yang) awatak (berwatak) cêndhala (nista) nênggih (yakni), tan (tak) na (ada) kaya (seperti) gadarba (badak). Kalau ada hewan buruan di hutan rimba, yang berwatak nista seperti itu yakni, tak ada yang seperti badak.

Di sini badak disebut sebagai contoh hewan nista disebabkan karena sifatnya yang suka menyeruduk, mentang-mentang sangat kuat dia selalu tak peduli dengan yang lain. Kulitnya tebal sehingga tidak peka dengan perubahan lingkungan, tidak cepat tanggap jika mendapat stimulus.

Cêndhala (nista) ping têlu (tiga kali), manungsa (manusia) ingkang (yang) atinggal (meninggalkan), kabêcikan (kebaikan) tan (tidak) angarah (mencari) pangastuti (pengabdian), ri dur (buruk) mitra (teman) cêndhala (nista). (Watak) nista yang ketiga, manusia yang meninggalkan, kebaikan tak menuju pengabdian, itu buruk temannya nista.

Watak nista yang ketiga adalah orang yang sengaja meninggalkan kebaikan dan tidak mencari atau menuju kepada pengabdian. Watak seperti itu buruk dan berteman dengan watak nista.

Page 57: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

44

Kajian Panitisastra (20): Pindha Buyung Lukak

Bait ke-20, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Lire wong watak anguciwani, maring sanak pawongmitranira, iku kang angasorake, ing cêndhala ping têlu. Liring buyung lukak kang isi, watêke kocak-kocak , kang kêbêk sinipun, watêke mênêng kewala. Yèn ing sapi wadon agêng swaranèki, abêcik ingkang puhan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Seperti watak orang yang mengecewakan, kepada sanak dan teman karibnya, itulah yang merendahkan, dalam watak nista ketiga. Seperti keadaan guci yang tidak penuh isinya, sifatnya akan kocak-kocak (bersuara), yang penuh isinya, sifatnya akan diam saja. Kalau pada sapi betina besar suaranya, tanda banyak menghasilkan susu.

Kajian per kata:

Lire (Seperti) wong (orang) watak (berwatak) anguciwani (mengecewakan), maring (kepada) sanak (sanak) pawongmitranira (teman karibnya), iku (itulah) kang (yang) angasorake (merendahkan), ing (dalam) cêndhala (watak nista) ping têlu (ketiga). Seperti watak orang yang mengecewakan, kepada sanak dan teman karibnya, itulah yang merendahkan, dalam watak nista ketiga.

Lire di sini dari kata lir, seperti. Orang yang berwatak mengecewakan kepada sanak saudara teman dan sahabat, itu yang merendahkan mereka.

Page 58: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

45

Watak seperti ini termasuk nista yang ketiga, sebagaiman diuraikan dalam bait sebelumnya. Sebenarnya orang yang berwatak demikian adalah tanda bahwa hatinya belum penuh dengan kebaikan, masih ada lubang besar dalam hatinya yang tersisa bagi sifat buruk. Perumpamaannya adalah seperti buyung lukak (guci kurang penuh) di bawah ini.

Liring (seperti) buyung (klenting) lukak (tidak penuh) kang isi (isinya), watêke (wataknya) kocak-kocak (akan kocak-kocak), kang (yang) kêbêk (penuh) sinipun (isinya), watêke (wataknya) mênêng (diam) kewala (saja). Seperti keadaan guci yang tidak penuh isinya, sifatnya akan kocak-kocak (bersuara), yang penuh isinya, sifatnya akan diam saja.

Perumpamaan dengan keadaan guci ini sudah pernah dibahas dalam Kajian Wedharaga, yakni pada bait berjudul Jun Kurang Isi. Yang dimaksud adalah guci yang dibawa para ibu di pedesaam saat mengambil air di sumber air. Mereka membawa dengan dijepit di pinggang dengan tangan kiri. Ketika guci hanya berisi setengahnya di jalam akan timbul suara berisik dari air yang kocak di dalamnya, namun kalau air dalam guci itu penuh malah akan tenang.

Yèn (kalau) ing (pada) sapi (sapi) wadon (betina) agêng (besar) swaranèki (suaranya), abêcik (baik, banyak) ingkang puhan (menghasilkan susu). Kalau pada sapi betina besar suaranya, tanda banyak menghasilkan susu.

Segala sesuatu sudah ada panengerannya atau ciri-cirinya. Misalnya pada sapi perah betina, yang suaranya besar pertanda ia menghasilkan banyak susu. Demikian juga pada manusia, meski dalam hati tidak dapat diduga namun bila kita awas dan cermat sifat seseorang dapat diketahui dari tanda-tandanya.

Page 59: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

46

Kajian Panitisastra (21): Keh Solah Tandha Miskin Budi

Bait ke-21, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèn manungsa kang tinitah miskin, yêkti akèh solahbawanira, mrih pakolihing pangane, mangkana malihipun . Manungsa kang tan arjèng budi, akèh-akèh bawanya, tata tan rahayu. Wong tan anut jaring sastra, tanpa marta singlar saking kramaniti, saujare asugal.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau manusia yang tercipta miskin, benar-benar banyak polahnya, agar mendapatkan makanannya, demikianlah umpamanya. Manusia yang tidak bagus dalam budi, banyak-banyak pembawaannya, perilakunya tak bagus. Orang yang tak mengikuti pedoman sastra, tanpa sifat sareh menyimpang dari tatakrama, semua perkataannya kasar.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) manungsa (manusia) kang (yang) tinitah (tercipta) miskin (miskin), yêkti (benar-benar) akèh (banyak) solahbawanira (polahnya), mrih (agar) pakolihing (mendapatkan) pangane (makanannya), mangkana (yang demikian) malihipun (umpanya). Kalau manusia yang tercipta miskin, benar-benar banyak polahnya, agar mendapatkan makanannya, demikianlah umpamanya.

Orang-orang yang tercipta miskin akan banyak tingkah, itu semua dilakukannya agar selalu mendapat makanan. Mengaku ahli agar segera

Page 60: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

47

mendapat pekerjaan, padahal belum berpengalaman, itu tanda miskin ilmu. Kalau ke toko sibuk memilih-milih barang, walau barang yang bagus sudah jelas kelihatan namun dia masih membalik-balik seolah sedang meneliti, padahal dia sedang mengintip harganya, itu tanda miskin harta. Dan banyak lagi perilaku yang menegaskan pernyataan di atas.

Manungsa (manusia) kang (yang) tan (tidak) arjèng (bagus dalam) budi (budi), akèh-akèh (banyak-banyak) bawanya (pembawaannya), tata (subasita, perilaku) tan (tidak) rahayu (bagus). Manusia yang tidak bagus dalam budi, banyak-banyak penbawaannya, perilakunya tak bagus.

Manusia yang tidak bagus dalam budi biasanya juga tidak bagus dalam sikap, perilaku dan pembawaannya. Serba banyak tingkah, over acting, briga-brigi, dalam subasita juga tidak elok. Perilaku dan perkataannya tidak indah dipandang mata (tidak rahayu).

Wong (orang) tan (tak) anut (mengikuti) jaring (dari kata ujar: perkataan atau pedoman) sastra (sastra), tanpa (tanpa) marta (sareh) singlar (menyipang) saking (dari) kramaniti (tatakrama), saujare (semua perkataannya) asugal (kasar). Orang yang tak mengikuti pedoman sastra, tanpa sifat sareh menyimpang dari tatakrama, semua perkataannya kasar.

Kata jaring dari kata ujaring artinya perkataan atau pedoman. Marta berarti sikap yang sareh, menyejukkan. Orang yang tak mengikuti pedoman sastra takkan mampu berkata dengan sareh dan menyejukkan, semua perkataan menyimpang dari tatakrama, semua ucapannya kasar (sugal). Kata sastra di sini berarti ilmu pengetahuan, atau pengajaran.

Page 61: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

48

Kajian Panitisastra (22-24): Lakone Singa Lan Alas

Bait ke-22-24, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wong apawong sanak aja kadi, singa lan alas marma mangkana, rusak karone dadine. Singa lan alas iku, lawas-lawas abèncèng pikir. Bosên apawong sanak, bêbangkèlan kayun. Sang singa pangucapira alas iki yèn ta aja ana mami ginêmpur ing manungsa, têka ngrêsula kanggonan mami. Mangka sang alas pangucapira, lah iya sang macan kiye, yèn aja ana ingsun, kang ngalingi yêkti kaèksi, dening manungsa kathah, pasthi aglis lêbur, lampus dèn rampog manungsa. Duk sang singa atinggal wana angungsi sadalêming jêjurang. Dènnya ngungsi ing jurang asêpi, kauningan ing para manungsa, rinujag têmah patine. Sawusing alas suwung, tinilar ing singa wus mati, tinor ing janma kathah. kêkayone gêmpur, padhang têmah ara-ara. Iku lire ala ingalanan sami, wong mitra bêbangkèlan.

Page 62: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

49

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang berteman karib jangan seperti, singa dan hutan maka demikianlah, rusak jadinya keduanya. Singa dan hutan itu, lama-lama berselisih pikiran. Bosan berteman karib, saling menjegal kehendaknya. Singa mengatakan, hutan ini kalau tidak ada saya, sudah dirusak oleh manusia, kok mengeluh menampung saya di sini. Begitupun sang hutan perkataannya, la iya si singa ini, kalau tidak ada aku, yang menutupi pasti terlihat, oleh manusia banyak, pasti segera hancur, mati dikeroyok manusia. Seketika singa meninggalkan hutan mengungsi, di dalam jurang-jurang. Dalam pengungsiannya di jurang sepi, ketahuan oleh para manusia, dikeroyok hingga tewas. Setelah hutan kosong, ditinggal oleh singa yang sudah mati, diketahui oleh manusia banyak, kayunya dijarah, teranglah hingga seperti lapangan. Itulah perumpamaan orang saling berbuat buruk, orang berteman saling jegal.

Kajian per kata:

Wong (orang) apawong sanak (berteman karib) aja (jangan) kadi (seperti), singa (singa) lan (dan) alas (hutan) marma (maka) mangkana

Page 63: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

50

(demikianlah), rusak (rusak) karone (keduanya) dadine (jadinya). Orang berteman karib jangan seperti, singa dan hutan maka demikianlah, rusak jadinya keduanya.

Pawong sanak artinya berteman dekat, berteman karib, bersahabat karib. Orang yang berteman karib jangan seperti singa dan hutan. Mereka tidak saling mengingat guna atau jasa dari temannya, tetapi hanya ingat jasa diri sendiri. Maka demikianlah kelakuan keduanya membuat bukan saja hubungannya yang rusak, tetapi juga kehidupan mereka terancam.

Singa (singa) lan (dan) alas (hutan) iku (itu), lawas-lawas (lama-lama) abèncèng (berselisih) pikir (pikiran). Singa dan hutan itu, lama-lama berselisih pikiran.

Singa dan hutan adalah pasangan pertemanan yang sangat serasi dan saling mendukung, namun lama-lama mereka tidak bisa saling menghargai temannya, sering berselisih pikiran. Tidak bisa lagi merasa saling melengkapi, yang ada tinggal perasaan saling dirugikan.

Bosên (bosan) apawong sanak (berteman karib), bêbangkèlan (saling menjegal) kayun (kehendaknya). Bosan berteman karib, saling menjegal kehendaknya.

Tampaknya bosan dengan pertemanan mereka itu, mereka saling jegal dalam kehendak. Saling ejek hingga terjadilah pertengkaran yang membuat hati keduanya berpisah.

Sang (sang) singa (singa) pangucapira (mengatakan), alas (hutan) iki (ini) yèn ta (kalau) aja ana (tidak ada) mami (saya), ginêmpur (dirusak) ing (oleh) manungsa (manusia), têka (kok) ngrêsula (mengeluh) kanggonan (menampung, ditempati) mami (saya). Singa mengatakan, hutan ini kalau tidak ada saya, sudah dirusak oleh manusia, kok mengeluh menampung saya di sini.

Singa mengatakan, “Hutan ini kalau tidak ada saya di dalamnya sudah pasti rusak dijarah manusia. Pohon-pohon akan ditebangi dan dijadikan lahan pertanian. Tapi karena saya di sini mereka takut dan tidak jadi menjarah. Lalu mengapa selalu mengeluh ketika saya tinggal di sini!”

Mangka (padahal, begitupun) sang (sang) alas (hutan) pangucapira (perkataannya), lah iya (la iya) sang (si) macan (macan, maksudnya singa) kiye (ini), yèn (kalau) aja ana (tidak ada) ingsun (aku), kang

Page 64: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

51

(yang) ngalingi (menutupi) yêkti (pasti) kaèksi (terlihat), dening (oleh) manungsa (manusia) kathah (banyak), pasthi (pasti) aglis (segera) lêbur (hancur), lampus (mati) dèn (di) rampog (keroyok) manungsa (manusia). Begitupun sang hutan perkataannya, la iya si singa ini, kalau tidak ada aku, yang menutupi pasti terlihat, oleh manusia banyak, pasti segera hancur, mati dikeroyok manusia.

Begitupun hutan tak mau kalah, “Kalau saja singa tidak tinggal di sini pastilah akan terlihat oleh manusia. Sangat gampang menemukan harimau tanpa hutan. Hutan ini juga menyediakan makanan yang cukup baginya, hingga dia tidak kelaparan. Kalau saja di luar sana pastilah akan bertemu manusia dan mati dikeroyok! Jadi siapa yang numpang hidup?” Keduanya sama-sama mengklaim lebih berjasa, dan mengabaikan jasa temannya, jika sudah begitu tinggal menunggu waktu keduanya berpisah.

Duk (seketika) sang (sang) singa (singa) atinggal (meninggalkan) wana (hutan) angungsi (mengungsi), sadalêming (di dalam) jêjurang (jurang-jurang). Seketika singa meninggalkan hutan mengungsi, di dalam jurang-jurang.

Kemudian singa yang merasa sakit hati meninggalkan hutan. Dia mengungsi dan bersembunyi dalam jurang-jurang yang jauh dari keramaian. Namun sesekali dia keluar untuk mencari makan.

Dènnya (dalam) ngungsi (pengungsian) ing (di) jurang (jurang) asêpi (sepi), kauningan (ketahuan) ing (oleh) para (para) manungsa (manusia), rinujag (dikeroyok) têmah (hingga) patine (tewas). Dalam pengungsiannya di jurang sepi, ketahuan oleh para manusia, dikeroyok hingga tewas.

Lama-lama persembunyiannya itu diketahui orang. Manusia merasa tidak aman karena singa seringkali mengancam binatang ternak mereka. Para manusia kemudian mengejar singa hingga tempat persembunyiannya. Singa dikeroyok sampai tewas.

Sawusing (satelah) alas (hutan) suwung (kosong), tinilar (ditinggal) ing singa (singa) wus (sudah) mati (mati), tinor (diketahui) ing (oleh) janma (manusia) kathah (banyak), kêkayone (kayunya) gêmpur (dijarah), padhang (terang) têmah (hingga) ara-ara (seperti lapangan). Setelah

Page 65: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

52

hutan kosong, ditinggal oleh singa yang sudah mati, diketahui oleh manusia banyak, kayunya dijarah, teranglah hingga seperti lapangan.

Di lain tempat, ketika hutan sudah kosong ditinggal mati singa, maka amanlah siapapun yang masuk ke hutan itu. Hal itu diketahui oleh manusia sehingga mereka ramai-ramai masuk hutan. Mereka menjarah segala kekayaan hutan. Buah dan kayu mereka angkut sampai habis. Kini hutan itu telah dijarah habis, semua pohon telah ditebang. Keadaannya terang benderang seperti lapangan.

Iku (itulah) lire (perumpamaan) ala ingalanan sami (saling berbuat buruk), wong (orang) mitra (berteman) bêbangkèlan (saling jegal). Itulah perumpamaan orang saling berbuat buruk, orang berteman saling jegal.

Seperti itulah perumpamaannya kalau saling berbuat buruk di antara dua sahabat karib. Keduanya sama-sama dirugikan. Apalagi kalau sampai saling jegal. Kadang memang lebih mudah mengingat jasa diri sendiri, sedangkan kebaikan orang lain pada kita sungguh sulit dikenang. Ego kita menyeruak hingga mudah bagi kita menepuk dada, akulah yang lebih berjasa. Itulah yang membuat persahabatan hancur. Dan hancur pulalah kehidupannya.

Page 66: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

53

Kajian Panitisastra (25-27): Naga Lan Bathara Sramba

Bait ke-25-27, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Mapan jênênging urip puniki, aja ta nora arsa darbea, sraya puniku têgêse, pawong sanak satuhu. Ana uga tinelad kadi, kalanira sang naga, lumayu binuru, dening sang pêksi garudha. Duk kapanggih Bathara Sramba mangkya ngling, hèh naga mulanira, sira lumayu kapati-pati. Ana apa sang naga turira, pukulun amba wiyose, binujung garudha gung, kêdah môngsa mring kula ajrih, dhatêng pêksi garudha, amba nyuwun tulung, pukulun angsung agêsang. Sramba angling lah iya ingsun tulungi mulêta guluningwang. Ya ta sang naga kumalung aglis, mring jangganira Bathara Sramba, dadya sawit batharane. sang garudha gya rawuh myat ing naga mangkya wus dadi sawit ing badan Sramba langkung ajrihipun arsa mêndhak ana naga lunga tanpa sêmbah ila-ila dadi saking luhur sêmbahnya.

Page 67: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

54

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Memang namanya hidup ini, jangan sampai takkan mempunyai, pembantu maksudnya teman karib yang sejati. Ada juga dicontoh seperti, ketika sang naga, lari dikejar, oleh sang burung Garuda. Ketika bertemu Bathara Sramba maka berkata, wahai naga bagaimana awalnya, engkau lari terbirit-birit? Naga mengatakan apa yang terjadi, duh dewa hamba keluar, dikejar Garuda besar, hendak memangsa kepadaku takut, kepada burung Garudha itu, hamba minta tolong, wahai dewa yang memberi hidup. Sramba berkata, iya aku tolong, lingkarilah leherku. Maka sang naga segera mengalungi, pada leher Bathara Sramba, menjadi kalung sang dewata. Sang Garuda segera datang, dan melihat naga sekarang sudah menjadi, kalung di leher Sramba. Sangat takutnya dia, akan turun ada naga, pergi tanpa menghormat kok melanggar larangan, jadi dia menghormat dari ketinggian.

Kajian per kata:

Mapan (memang) jênênging (namanya) urip (hidup) puniki (ini), aja ta (jangan sampai) nora (tidak) arsa (akan) darbea (mempunyai), sraya (pembantu) puniku (itu) têgêse (maksudnya), pawong sanak (teman karib)

Page 68: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

55

satuhu (yang sejati). Memang namanya hidup ini, jangan sampai takkan mempunyai, pembantu maksudnya teman karib yang sejati.

Dalam hidup jangan sampai tidak mempunyai teman karib. Merekalah yang akan membantu kita ketika masa sulit datang. Dan manusia takkan selamanya berada pada puncak kejayaan. Suatu saat akan datang masa suram, dan disitulah seorang sahabat berperan. Namun hendaklah dua orang yang berteman karib dapat saling membantu tanpa merasa satu pihak pun dirugikan. Agar persahabatan keduanya langgeng. Jika salah satu sudah merasa dirugikan akan putuslah pertemanan mereka sebagaimana kisah singa dan hutan pada bait yang lalu.

Ana (ada) uga (juga) tinelad (dicontoh) kadi (seperti), kalanira (ketika) sang (sang) naga (naga), lumayu (lari) binuru (dikejar), dening (oleh) sang (sang) pêksi (burung) garudha (Garuda). Ada juga dicontoh seperti, ketika sang naga, lari dikejar, oleh sang burung Garuda.

Namun ada juga kisah persabatan yang dapat dijadikan teladan, seperti kisah naga dan Bathara Sramba berikut ini. Ketika itu sang naga lari terbirit-birit dikejar oleh burung Garudha. Garuda adalah nama seekor burung tunggangan Bathara Wisnu, bentuknya menyerupai manusia namun mempunyai sayap dan berkepala burung. Telapak kakinya berupa cakar namun mempunyai tangan sepeti manusia.

Duk (ketika) kapanggih (bertemu) Bathara (Bathara) Sramba (Sramba) mangkya (maka) ngling (berkata), hèh (wahai) naga (naga) mulanira (bagaimana awalnya), sira (engkau) lumayu (lari) kapati-pati (terbirit-birit). Ketika bertemu Bathara Sramba maka berkata, wahai naga bagaimana awalnya, engkau lari terbirit-birit?

Bathara Sramba disebut juga Bathara Guru adalah raja para dewata di kahyangan. Ketika naga bertemu Bathara Sramba, maka dia (Bathara Sramba) bertanya kepada naga, “Wahai naga bagaimana awal kejadiannya sampai engkau lari terbirit-birit?”

Ana (ada) apa (apa) sang (sang) naga (naga) turira (berkata), pukulun (wahai dewa) amba (saya) wiyose (keluar), binujung (dikejar) garudha (Garudha) gung (besar), kêdah (hendak) môngsa (memangsa) mring (kepada) kula (aku) ajrih (takut), dhatêng (kepada) pêksi (burung) garudha (Garudha), amba (saya) nyuwun (minta) tulung (tolong),

Page 69: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

56

pukulun (dewa) angsung (yang memberi) agêsang (hidup). Naga mengatakan apa yang terjadi, duh dewa hamba keluar, dikejar Garuda besar, hendak memangsa kepadaku takut, kepada burung Garudha itu, hamba minta tolong, wahai dewa yang memberi hidup.

Naga mengatakan apa yang sedang menimpa dirinya, “Duhai dewata, hamba lari sampai terbirit-birit, lintang pukang, nunjang palang, karena dikejar oleh Garuda yang perkasa. Dia hendak memangsa hamba. Hamba takut dengan burung Garuda itu, tolonglah hamba, Duhai dewa yang memberi kehidupan!”

Sramba (Sramba) angling (berkata) lah iya (lah iya) ingsun (aku) tulungi (tolong), mulêta (lingkarilah) guluningwang (leherku). Ya ta (dan) sang (sang) naga (naga) kumalung (mengalungi) aglis (segera), mring (pada) jangganira (lehernya) Bathara (Bathara) Sramba (Sramba), dadya (menjadi) sawit (kalung) batharane (sang dewa). Sramba berkata, iya aku tolong, lingkarilah leherku. Maka sang naga segera mengalungi, pada leher Bathara Sramba, menjadi kalung sang dewata.

Sramba berkata, “Baiklah naga, kutolong engkau! Melingkarlah pada leherku!”

Sang naga segera melingkar membelit leher Bathara Sramba seolah mengalungi. Kini naga telah melilit leher sang Bathara bagaikan kalung kulit ular, bersisik gemerlap layaknya tas branded keluaran rumah produksi dari luar negeri.

Sang (sang) garudha (Garudha) gya (segera) rawuh (datang), myat (melihat) ing (pada) naga (naga) mangkya (sekarang) wus (sudah) dadi (menjadi), sawit (kalung) ing (di) badan (badan) Sramba (Sramba). Sang Garuda segera datang, dan melihat naga sekarang sudah menjadi, kalung di leher Sramba.

Tak berapa lama datang segera sang Garudha, ketika melihat naga sekarang sudah menjadi kalung di leher Bathara Sramba, dia menjadi salah tingkah. Jelas gagal acara perburuannya hari ini. Itu bukan soal yang besar baginya, namun dia kikuk serba repot dan tak tahu harus berbuat apa.

Langkung (sangat) ajrihipun (takutnya), arsa (akan) mêndhak (turun) ana (ada) naga (naga), lunga (pergi) tanpa (tanpa) sêmbah (menghormat) ila-ila (kena larangan) dadi (jadi), saking (dari) luhur (ketinggian)

Page 70: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

57

sêmbahnya (menghormatnya). Sangat takutnya dia, akan turun ada naga, pergi tanpa menghormat kok melanggar larangan, jadi dia menghormat dari ketinggian.

Sang Garuda menjadi takut dan tak enak hati. Mau turun untuk menghormati Bathara Sramba kok ada naga di situ, musuhnya yang baru saja dikejar, malulah dia. Tetapi mau segera pergi juga tak boleh karena melanggar larangan, bertemu dewa kok tidak menghormat. Akhirnya dia menghormati dari ketinggian, tempat dimana dia terbang. Dan segera ngeloyor pergi.

Itulah persabatan yang saling menguntungkan dan tidak saling menjegal. Naga untung karena nyawanya selamat, Bathara Sramba untung karena mendapat kalung kulit ular, masih hidup lagi!

Page 71: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

58

Kajian Panitisastra (28): Sinau Saking Uripe Bulus

Bait ke-28, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Prayogane para siwi-siwi, sapolah tingkah padha tirua, ya marang wong atuwane. Dèn kadi ta sang bulus, yèn angêndhog pinêndhêm nuli, tininggal salaminya. Dupi nêtêsipun, nora pisan tinilikan. Parandene sapolah tingkahing bukti, ya kaya wong tuwanya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Lebih baik para anak-anak, dalam polah tingkah semuanya menirulah, kepada orang tuanya. Harap sepertilah kura-kura, kalau bertelur ditanam lalu, ditinggal selamanya. Sampai menetasnya, tak pernah sekalipun ditengok. Meski demikian segala polah tingkahnya terbukti, juga seperti orang tuanya.

Kajian per kata:

Prayogane (lebih baik) para (para) siwi-siwi (anak-anak), sapolah tingkah (dalam polah-tingkah) padha (semua) tirua (menirulah), ya marang (kepada) wong (orang) atuwane (tuanya). Lebih baik para anak-anak, dalam polah tingkah semuanya menirulah, kepada orang tuanya.

Orang tua adalah teladan terdekat yang bisa kita tiru. Guru pertama yang mengajarkan semua pengetahuan utama dalam kehidupan. Ketrampilan yang paling dasar pun kita pelajari dari orang tua. Namun mengapa dalam banyak hal kita sulit mematuhi segala perintah dan kehendaknya, malah

Page 72: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

59

kadang kita suka membantah dan menyelisihinya. Seharusnya janganlah seperti itu, belajarlah dari makhluk hidup lain yang dengan sukarela meniru orang tuanya.

Dèn (harap) kadi ta (sepertilah) sang (sang) bulus (kura-kura), yèn (kalau) angêndhog (bertelur) pinêndhêm (ditanam) nuli (lalu), tininggal (ditinggal) salaminya (selamanya). Harap sepertilah kura-kura, kalau bertelur ditanam lalu, ditinggal selamanya.

Seperti dalam kehidupan kura-kura. Ada hal yang patut dicontoh dan menjadi pelajaran. Kura-kura itu sejak bertelur kemudian ditanam dalam pasir, kemudian ditinggal begitu saja selama-lamanya.

Dupi (sampai) nêtêsipun (menetasnya), nora (tak pernah) pisan (sekalipun) tinilikan (ditengok). Sampai menetasnya, tak pernah sekalipun ditengok.

Sampai telur itu menetas menjadi kura-kura kecil, tak sekalipun kura-kura induknya menengok. Sekedar melihat keadaannya dengan membawa oleh-oleh juga tidak. Tugas induk kura-kura seakan telah berakhir ketika dia membenamkan telur-telur itu ke pasir.

Parandene (meski demikian) sapolah (segala polah) tingkahing (tingkahnya) bukti (terbukti), ya (juga) kaya (seperti) wong (orang) tuwanya (tuanya). Meski demikian segala polah tingkahnya terbukti, juga seperti orang tuanya.

Walau tumbuh di luar pengawasan dan bimbingan induknya, kura-kura tak pernah ingkar akan kodratnya. Ketika dia menetas menjadi kura-kura wataknya sama persis dengan induknya. Kura-kura kecil betina akan berperilaku seperti kura-kura ibunya, kura-kura jantan akan berperilaku seperti kura-kura bapaknya. Tak sekalipun dijumpai kura-kura yang bertingkah laku seperti kodok, misalnya.

Jangan berkilah bahwa kura-kura melakukan itu karena sudah kodrat dari penciptaan. Bukankah manusia juga mempunyai kodrat yang sama yang telah digariskan bahwa manusia itu seharusnya bersifat begini atau begitu. Semua makhluk hidup mempunyai kodrat yang dengan itu identitasnya jelas, sayangnya manusia banyak yang mengingkari. Kita dalam hal ini kalah dengan kura-kura.

Page 73: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

60

Kajian Panitisastra (29): Anak Khewan Pasthi Turun

Bait ke-29, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Ika ta dera tirua katri, anaking manuk anaking iwak, anaking bulus katrine. Kadadiyane tiru, wong tuwane jalu myang èstri. Barang pakaryanira, pêpangananipun, wêwatêke datan owah. Iya kaya wong tuwane angêblêgi, datan amawi warah.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Seperti itu dalam meniru yang tiga, anak burung anak ikan, anaknya kura-kura ketiganya. Kejadiannya meniru, dua induknya jantan dan betina. Semua pekerjaannya, makanannya, perilakunya tidak berubah. Juga seperti kedua induknya persis sama, tidak memakai pengajaran.

Kajian per kata:

Ika ta (itulah) dera (dalam, oleh) tirua (meniru) katri (ketiga), anaking (anak) manuk (burung) anaking (anak) iwak (ikan), anaking (anaknya) bulus (bulus) katrine (ketiganya). Seperti itu dalam meniru yang tiga, anak burung anak ikan, anaknya kura-kura ketiganya.

Seperti itulah kalau meniru orang tua. Ada tiga contoh yang layak dicermati. Anak burung, anak ikan dan anak bulus tadi. Mereka meniru tanpa bertanya-tanya lagi, dengan peniruan yang persis sama.

Page 74: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

61

Kadadiyane (kejadiannya) tiru (meniru), wong tuwane ( dua induknya) jalu (jantan) myang (dan) èstri (betina). Kejadiannya meniru, dua induknya jantan dan betina.

Kejadiannya meniru pada dua induknya, jantan dan betina. Yang jantan meniru bapaknya, yang betina meniru ibunya. Masing-masing anak sudah menyesuaikan dengan jenis kelaminnya sendiri-sendiri tak perlu dipilah-pilah, sudah bisa memisahkan diri mereka sendiri.

Barang (semua) pakaryanira (pekerjaannya), pêpangananipun (makanannya), wêwatêke (perilakunya) datan (tidak) owah (berubah). Semua pekerjaannya makanannya, perilakunya tiidak berubah.

Dalam semua pekerjaannya, perilakunya, cara hidupnya, cara mencari makan, tidak berubah dari induk ke anak-anak, meski mereka tidak pernah bertemu sekalipun.

Iya (juga) kaya (seperti) wong tuwane (kedua induknya) angêblêgi (persis sama), datan (tidak) amawi (memakai) warah (pengajaran). Juga seperti kedua induknya persis sama, tidak memakai pengajaran.

Dan mereka persis sama dengan induk-induk mereka dengan kesamaan yang luarbiasa. Padahal mereka tidak memakai pengajaran. Itulah hukum penciptaan yang berlaku pada dunia hewan.

Page 75: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

62

Kajian Panitisastra (30): Anak Janma Tan Pasthi Manut

Bait ke-30, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Tan mangkana yèn anaking janmi, alit mila rinêksa winulang. Ing kramaniti prandene, arang kang bisa anut, ing wuruke wong tuwanèki. Ana anak durjana, têka dadi kaum. Pandhita anak dursila, pandhitèku aja sah ing pangabêkti, dèn bakuh marang tapa.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tidak demikian dengan anak manusia, waktu kecil memang dijaga dan diajar. Dalam tatakrama walau demikian, jarang yang bisa menurut, pada ajaran orang tuanya. Ada anak pencuri, malah menjadi kaum. Pendeta beranak penjahat, pendeta itu tidak putus dalam ibadah, rajin kepada bertapa.

Kajian per kata:

Tan (tidak) mangkana (demikian) yèn (kalau) anaking (anak) janmi (manusia), alit (waktu kecil) mila (memang) rinêksa (dijaga) winulang (diajar). Tidak demikian dengan anak manusia, waktu kecil memang dijaga dan diajar.

Pada bait yang lalu diuraikan contoh dalam dunia binatang tentang seekor anak hewan yang bisa persis sama dengan induknya. Namun dalam dunia manusia tidaklah berlaku yang demikian itu. Padahal dalam dunia manusia justru pengajaran diberikan secara intensif sejak mulai seorang anak

Page 76: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

63

terlahir ke dunia ini. Dan mengajarkan kepada anak tentang segala sesuatu adalah pekerjaan yang sangat sulit. Mengajarkan anak berjalan misalnya, memerlukan waktu berbulan-bulan, menyertainya dengan latihan setiap hari, mulai dari latihan duduk, merangkak, berdiri hingga akhirnya bisa berjalam tegak. Mengajarkan berbicara jauh lebih sulit lagi, jauh memerlukan ketekunan dan kesabaran.

Ing (dalam) kramaniti (tatakrama) prandene (walau demikian), arang (jarang) kang (yang) bisa (bisa) anut (menurut), ing (pada) wuruke (ajaran) wong (orang) tuwanèki (tuanya). Dalam tatakrama walau demikian, jarang yang bisa menurut, pada ajaran orang tuanya.

Setelah anak agak besar diajarkanlah tatakrama, adab dan etika, subasita dan sebagainya. Ini juga pengajaran yang sulit, memerlukan waktu yang panjang, contoh yang banyak dan latihan yang keras. Juga akan melibatkan banyak orang dalam pergaulan luas.

Namun yang terjadi, setelah pengajaran yang melelahkan dan menguras tenaga, pikiran dan juga biaya yang tidak sedikit itu, hasilnya tak selalu menggembirakan. Jarang anak yang bisa menurut kepada ajaran orang tuanya. Ada kalanya si anak tetap menjadi manusia baik namun tidak seperti yang orang tua harapkan. Semua orang seolah mempunyai jalan hidup sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lain, yang harus mereka temukan sendiri-sendiri.

Ana (ada) anak (anak) durjana (pencuri), têka (malah) dadi (menjadi) kaum (kaum). Ada anak pencuri, malah menjadi kaum.

Maka yang terjadi kemudian, bisa saja seorang anak pencuri menjadi kaum, yakni jabatan sosial yang bertugas mengurus persoalan orang meninggal. Menangani jenazah sejak setelah meninggalnya sampai pemakaman. Jika ada acara lanjutan semisal doa bersama juga kaum yang memimpin sampai rangkaian acaranya selesai. Biasanya kaum ini dipilih dari mereka yang cukup pengetahuan agamanya, atau kadang dirangkap oleh kyai kampung setempat. Profesi kaum jelas sangat mulia, amat jauh dari watak seorang pencuri. Namun pencuri beranak kaum itu mungkin saja terjadi dalam dunia manusia.

Pandhita (pendeta) anak (beranak) dursila (penjahat), pandhitèku (pendeta itu) aja (jangan, tidak) sah (pisah, putus) ing (dalam) pangabêkti

Page 77: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

64

(ibadah), dèn bakuh (rajinlah) marang (kepada) tapa (bertapa). Pendeta beranak penjahat, pendeta itu tidak putus dalam ibadah, rajin kepada bertapa.

Sebaliknya pendeta beranak penjahat pun mungkin saja ada. Pendeta itu seorang pertapa yang tidak putus dari ibadah kepada Tuhan. Semestinya anak-anaknya adalah orang yang baik karena sudah sangat paham akan kewajiban manusia kepada Tuhan. Namun yang demikian itu tidak berlaku dalam dunia manusia.

Page 78: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

65

Kajian Panitisastra (31): Weh Mulyaning Nagri

Bait ke-31, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Palaning awèh mulyaning nagri, kang wong anut sawêrdining sastra. Watake kukuh budine, ingkang maring rahayu. Adoh saking cêndhala budi, marang isining praja, Kalamun wong agung, arta busana kêncana. sandhang pangan dinanakna bala dadi kèdhêp parentahira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Pengabdian untuk kemuliaan negara, sesuai pengertian yang tertulis dalam kitab sastra. Wataknya kuat akal budinya, yang menuju kepada keselamatan. Jauh dari berbudi curang, kepada kekayaan negara. Kalau orang besar itu, harta pakaian emas, sandang dan pangan diwujudkan untuk bawahan jadi, dipatuhi segala perintahnya.

Kajian per kata:

Palaning (Pengabdian) awèh (memberi) mulyaning (kemuliaan) nagri (negara), kang (yang) wong (orang) anut (turut) sawêrdining (pengertiannya) sastra (sastra). Pengabdian untuk kemuliaan negara, sesuai pengertian yang tertulis dalam kitab sastra.

Pala artinya buah, palaning artinya buah dari kehidupan kita yang kita sumbangkan untuk negara, atau dengan kata lain pengabdian. Buah dari kehidupan kita semestinya adalah hal terbaik yang kita miliki yang

Page 79: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

66

bermanfaat untuk kelangsungan negara ini. Menurut yang tertulis dalam kitab-kitab sastra dan para sujana ahli bahasa adalah sebagai berikut.

Watake (wataknya) kukuh (kuat) budine (akal budinya), ingkang (yang) maring (menuju) rahayu (keselamatan). Wataknya kuat akal budinya, yang menuju kepada keselamatan.

Berwatak kuat, artinya karakternya kuat tidak mudah terbujuk dengan rayuan dan goyah oleh desakan. Mempunyai prinsip hidup yang dipegang teguh, yang mengarah kepada keselamatan negara seisinya. Ini adalah buah hidup dari seorang pemimpin negri, pepethingan atau sifat pilihan yang semestinya diberikan untuk negara.

Adoh (jauh) saking (dari) cêndhala (curang) budi (budi), marang (kepada) isining (isi, kekayaan) praja (negara). Jauh dari berbudi curang, kepada kekayaan negara.

Jauh dari watak curang, jauh dari sifat durjana yang selalu mengincar harta negara. Seorang yang berwatak kuat dan berkarakter bagus takkan mempunyai pamrih terhadap kekayaan negara, yang notabene adalah milik rakyat. Alih-alih memikirkan diri sendiri, yang selalu diupayakan adalah kesejahteraan para penduduk negri.

Kalamun (kalau) wong (orang) agung (besar), arta (uang, harta) busana (pakaian) kêncana (emas), sandhang (sandang, pakaian) pangan (makanan) dinanakna (diujudkan) bala (bawahan) dadi (menjadi), kèdhêp (dipatuhi) parentahira (perintahnya). Kalau orang besar itu, harta pakaian emas, sandang dan pangan diwujudkan untuk bawahan jadi, dipatuhi segala perintahnya.

Itulah sifat orang besar, wong agung. Harta, pakaian, emas, sandang dan pangan diwujudkan untuk kesejahteraan bawahannya, bala tentaranya beserta para kawula semuanya. Maka jika dia berbuat demikian patuhlah seluruh bawahannya dan hormat dan takut seluruh rakyatnya.

Page 80: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

67

Kajian Panitisastra (32): Kaluwihane Dhewe-Dhewe

Bait ke-32, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèn ta bala samya sih ing gusti, têtêp kukuh ing kaprajanira. Pawèstri alaki lire, darbea anak kakung, kang prawira budi tur wani. Yèn ing panganggo ingkang, linuwihkên kampuh. Dening kang para sujana, yèn ing pangan puhan linuwihkên dening, para pandhita sabrang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau bawahan semua hormat kepada raja, tetap kuatlah pemerintahannya. Perempuan bersuami apabila, mempunyai anak lelaki, yang cakap budi dan pemberani. Kalau dalam pakaian yang, diunggulkan adalah kampuh, oleh para orang pintar. Kalau dalam makanan susu diunggulkan oleh, para pendeta seberang.

Kajian per kata:

Yèn ta (kalau) bala (bawahan) samya (semua) sih ing (hormat pada) gusti (raja, atasan), têtêp (tetap) kukuh (kuat) ing (dalam) kaprajanira (pemerintahannya). Kalau bawahan semua hormat kepada raja, tetap kuatlah pemerintahannya.

Kalau bala tentara tunduk, bawahan takut, rakyat hormat kepada pemerintahnya maka akan langgeng negara dalam kesejahteraan. Orang bekerja dengan tenang tanpa khawatir ada kerusuhan, peperangan atau pemberontakan. Orang dapat fokus bekerja tanpa diganggu hiruk-pikuk

Page 81: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

68

orang yang unjuk rasa menenuhi jalanan. Orang dapat mencurahkan pikiran untuk kemajuan bangsa tanpa harus sibuk bantah-membantah di sana-sini.

Pawèstri (perempuan) alaki (bersuami) lire (apabila), darbea (mempunyai) anak (anak) kakung (lelaki), kang (yang) prawira (cakap) budi (dalam budi) tur (dan) wani (pemberani). Perempuan bersuami apabila, mempunyai anak lelaki, yang cakap budi dan pemberani.

Sekarang kita beralih ke pala (atau) ataupun keunggulan dalam hal lain. Setiap manusia mempunyai keunggulan atau hal-hal baik yang menjadi nilai lebih baginya. Dalam bait ini dan bait-bait selanjutnya akan kita pelajari satu-persatu bagaimana sikap atau watak atau karakteristik pilihan setiap sesuatu.

Kita sudah mempelajari watak pilihan dari seorang pemimpin pada bait sebelumnya. Pada bait ini kita akan mempelajari watak unggul atau pilihan bagi seorang wanita. Seorang wanita yang bersuami sifat pilihannya apabila mempunyai anak laki-laki yang cakap dan berani.

Karena serat ini ditulis hampir 200 tahun yang lalu, maka pastilah di saat ini seorang anak laki-laki yang cakap dan berani sangat diperlukan karena masih sering terjadi peperangan. Perlu seorang prajurit yang tangkas dan berani untuk direkrut sebagai tentara. Kalau di zaman damai seperti sekarang mungkin pilihan itu sudah agak berbeda. Bisa saja kriteria anak unggulan adalah pintar dan sholeh. Dan juga tidak mesti anak laki-laki karena di negara kita kesempatan untuk kedua gender sama-sama terbuka lebar.

Yèn (kalau) ing (dalam) panganggo (pakaian) ingkang (yang), linuwihkên (dilebihkan) kampuh (kampuh), dening (oleh) kang para (para) sujana (orang pintar). Kalau dalam pakaian yang, diunggulkan adalah kampuh, oleh para orang pintar.

Kalau dalam hal pakaian maka pilihannya atau pepethingannya adalah kampuh, inilah pendapat para orang pintar. Mengapa kampuh menjadi pakaian unggulan? Karena biasanya mahal dan sangat bagus. Terbuat dari kain batik ukuran kira-kira 3.5 x 2 meter. Tidak semua orang mampu membeli kain kampuh ini. Biasanya para bangsawan saja yang punya, sedangkan untuk orang miskin cukuplah kalau pakai sarung.

Page 82: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

69

Yèn (kalau) ing (dalam) pangan (makanan) puhan (susu) linuwihkên (diunggulkan) dening (oleh), para (para) pandhita (pendeta) sabrang (seberang). Kalau dalam makanan susu diunggukkan oleh, para pendeta seberang.

Kalau dalam makanan yang menjadi pilihan atau unggulan bagi para pendeta seberang adalah susu. Pendeta sabrang yang dimaksud adalah para pendeta agama Hindu di India. Kita tidak tahu ketika serat ini ditulis apakah praktik keagamaan umat Hindu di Jawa sama seperti di India, namun kata sabrang menunjukkan bahwa yang dimaksud ada di seberang lautan. Mengapa mereka memilih susu sebagai makanan unggulan? Jawabannya ada pada bait berikutnya.

Page 83: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

70

Kajian Panitisastra (33): Watake Brahmana Sabrang

Bait ke-33, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Mungguh sujana ingkang pinilih, sarining basa mungguh brahmana, menyak sapi kang pinilèh, mantega têgêsipun. Milanira brahmana nampik, dahat tan arsa mangan, mring daging sapiku. Brahmana duk alit mila, wus dinulang mantega daginging sapi, inganggêp kadi biyang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Bagi orang pintar yang dipilih, adalah sari-sari bahasa bagi brahmana, minyak sapi yang dipilih, mentega maksudnya. Makanya brahmana menolak, sangat tak mau makan, pada daging sapi itu. Brahmana ketika kecil memang, sudah disuapi dengan mentega daging sapi, dianggap sebagai ibu sendiri.

Kajian per kata:

Mungguh (bagi) sujana (orang pintar) ingkang (yang) pinilih (dipilih), sarining (sari-sari) basa (bahasa) mungguh (bagi) brahmana (brahmana), menyak (minyak) sapi (sapi) kang (yang) pinilèh (dipilih), mantega (mentega) têgêsipun (maksudnya). Bagi orang pintar yang dipilih, adalah sari-sari bahasa bagi brahmana, minyak sapi yang dipilih, mentega maksudnya.

Page 84: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

71

Yang menjadi pilihan bagi para orang pintar adalah sai-sari bahasa, yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan. Hal itu bagi mereka lebih penting daripada harta dan kedudukan. Bagi para brahmana atau yang dimaksud dalam bait sebelumnya sebagai pendeta seberang adalah minyak sapi, yang dimaksud adalah mentega. Ini melanjutkan penjelasan yang lalu yang menyebutkan bahwa pendeta sabrang memilih makanan ungggulan susu, bahan pembuat mentega.

Milanira (makanya) brahmana (brahmana) nampik (menolak), dahat (sangat) tan (tak) arsa (mau) mangan (makan), mring (pada) daging (daging) sapiku (sapi itu). Makanya brahmana menolak, sangat tak mau makan, pada daging sapi itu.

Para brahmana di India sering diberi persembahan mentega oleh umat Hindu. Sedangkan bahan baku mentega adalah susu. Karena para brahmana tidak diperkenankan bekerja dan hanya beribadah maka makanan mereka pun sekedar yang dihadiahkan oleh umatnya. Dan makanan pilihannya adalah mentega tersebut. Dan mereka tidak mau makan daging sapi.

Brahmana (brahmana) duk (ketika) alit (kecil) mila (memang), wus (sudah) dinulang (disuapi) mantega (mentega) daginging (dagingnya) sapi (sapi), inganggêp (dianggap) kadi (seperti) biyang (ibu). Brahmana ketika kecil memang, sudah disuapi dengan mentega daging sapi, dianggap sebagai ibu sendiri.

Para brahmana itu sejak kecil telah diberi makan mentega yang berasal dari susu sapi. Daging sapi sudah mendarah daging dalam diri mereka. Maka mereka menganggap sapi-sapi sebagai ibu mereka. Itulah alasan mereka sangat menghormati sapi-sapi dan tidak mau makan dagingnya. Demikian juga para pemeluk Hindu lainnya yang bukan brahmana, mereka juga tidak mau makan daging sapi karena menghormati para pendetanya.

Page 85: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

72

Kajian Panitisastra (34): Watak Kang Pinilih

Bait ke-34, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Mungguhing èstri ingkang pinilih, dening wong priya wanodya ingkang, agêmuh payudarane, dadi sukaning kakung. Yèn ing sastra kang dèn kukuhi, wêrdine sang pandhita. Karana sang wiku, tansah dènnya anggêgulang, wêrdining kang sastra kang dipun gugoni, ya pituduhing sastra.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Bagi seorang istri yang dipilih, oleh seorang lelaki adalah wanita yang, montok payudaranya, itu menjadi kesukaan suami. Kalau dalam sastra yang dipegangi, yang diterangkan maknanya oleh sang pendeta. Karena sang pendeta, selalu menggeluti, pengertian dari kitab sastra yang dituruti, ialah petunjuk dari kitab sastra.

Kajian per kata:

Mungguhing (bagi) èstri (istri) ingkang (yang) pinilih (dipilih), dening (oleh) wong (orang) priya (lelaki) wanodya (wanita) ingkang (yang), agêmuh (yang montok) payudarane (payudranya), dadi (menjadi) sukaning (kesukaan) kakung (suami). Bagi seorang istri yang dipilih, oleh seorang lelaki adalah wanita yang, montok payudaranya, itu menjadi kesukaan suami.

Bagi seorang istri keunggulannya adalah yang berpayudara montok. Biasanya yang seperti itu yang dipilih para lelaki. Sangat suka sekali

Page 86: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

73

mereka. Hal ini mungkin karena ada mitos tentang kesuburan. Mereka percaya kalau wanita berpayudara montok adalah wanita yang subur dan dapat melahirkan banyak anak. Padahal belum tentu seperti itu.

Yèn (kalau) ing (dalam) sastra (sastra) kang (yang) dèn (di) kukuhi (pegangi), wêrdine (makna, yang diterangkan maknanya) sang (sang) pandhita (pendeta). Kalau dalam sastra yang dipegangi, yang diterangkan maknanya oleh sang pendeta.

Kalau dalam sastra yang dipegangi sebagai unggulan adalah makna yang diterangkan oleh sang pendeta. Atau ajaran para guru, kyai, ustadz dan sebagainya. Perlu kami jelaskan bahwa kata pendeta yang dipakai di serat ini bermakna umum sebagai pemuka agama. Itu bisa agama apa saja, kalau Islam pendeta berarti kyai, kalau Katolik bisa artinya pastur, kalau Hindu bisa artinya brahmana sebagaimana yang sudah disebut pada bait yang lalu. Sastra yang dimaksud dalam gatra ini adalah kitab-kitab sastra atau serat, yang menjadi unggulan adalah kitab yang memuat ajaran para pendeta.

Karana (karena) sang (sang) wiku (pendeta), tansah (selalu) dènnya (dianya) anggêgulang (menggeluti), wêrdining (pengertian) kang (yang) sastra (sastra) kang (yang) dipun (di) gugoni (turuti), ya (ialah) pituduhing (petunjuk) sastra (sastra). Karena sang pendeta, selalu menggeluti, pengertian dari kitab sastra yang dituruti, ialah petunjuk dari kitab sastra.

Karena sang pendeta selalu mempelajari dan menggeluti pengertian sastra dari kitab-kitab yang dipegang sebagai pedoman hidup, maka kitab-kitab mereka pastilah sangat berharga di banding kitab lain. Menjadi petunjuk dalam hidup, pedoman dalam melangkah dan penerang dalam kegelapan. Karena itu ajaran dari kitab-kitab mereka adalah ajaran unggulan.

Page 87: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

74

Kajian Panitisastra (35): Sifat Pakolihing Arta

Bait ke-35, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Dening arta ardana winarni, utamane awit saking iya, guna kayanira dhewe. Nistha kang saking biyung, madya ingkang saking bapèki. Dening nisthaning nistha, saking nak rabiku. Utamane kang utama, dunya saking jarahan mênang ing jurit, saking ambêdhah praja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Adapun harta uang dan semacamnya, yang utama karena dari, hasil usaha sendiri. Nista yang berasal dari ibunya, wajar apabila berasal dari bapaknya. Adapun yang lebih-lebih nistanya, bila berasal dari anak-istri. Paling utama dari yang utama, harta dunia dari jarahan menang saat perang, dari menaklukkan negara lain.

Kajian per kata:

Dening (dene, adapun) arta (harta) ardana (uang) winarni (semacamnya), utamane (yang utama) awit (karena) saking (dari) iya (yaitu), guna kayanira (hasil usahanya) dhewe (sendiri). Adapun harta uang dan semacamnya, yang utama karena dari, hasil usaha sendiri.

Kita beralih ke masalah harta benda. Adapun bagi harta benda yang paling unggul atau harta yang terbaik adalah yang diperoleh dari hasil usaha sendiri, baik dengan bekerja, bertani, beternak, berdagang atau yang

Page 88: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

75

lainnya. Harta uang diperoleh dengan cara tersebut adalah harta terbaik bagi seseorang.

Nistha (nista) kang (yang) saking (asalnya) biyung (dri ibu), madya (wajar, pertengahan) ingkang (yang) saking (dari) bapèki (bapaknya). Nista yang berasal dari ibunya, wajar apabila berasal dari bapaknya.

Sebaliknya nista apabila mempunyai harta dari pemberian ibunya. Karena ibu bukan tukang mencari harta hingga kalau mempunyai harta pastilah harta beliau yang dihemat demi anak-anaknya. Harta itu sendiri baik, tapi cara perolehannya yang kurang baik. Sedangkan jika harta itu pemberian ayah masih disebut sebagai wajar, artinya pertengahan antara utama dan nista. Karena ayah memang mempunyai kewajiban untuk memberi pada anak-anaknya sesuai kemampuannya.

Dening (adapun) nisthaning nistha (lebih-lebih nista), saking (dari) nak (anak) rabiku (istri). Adapun yang lebih-lebih nistanya, bila berasal dari anak-istri.

Dan ada harta yang sangat-sangat, atau lebih-lebih nista, yakni harta milik anak dan istri. Justru kepada mereka seorang lelaki harus memberi, namun jika sampai justru istri yang memberi harta yang demikian itu sungguh sangat buruk.

Utamane (paling utama) kang (yang) utama (utama), dunya (harta dunia) saking (dari) jarahan (jarahan) mênang (menang) ing (saat) jurit (perang), saking (dari) ambêdhah (menaklukkan) praja (negara lain). Paling utama dari yang utama, harta dunia dari jarahan menang saat perang, dari menaklukkan negara lain.

Yang terakhir adalah yang paling utama dari yang utama, ialah harta dari rampasan perang. Disebut utama dari yang utama karena berperang adalah pekerjaan bertaruh nyawa dan umumnya juga berperang itu bukan demi harta benda melainkan karena persoalan yang lebih besar. Demikian tinggi penghargaan orang kepada prajurit sampai-sampai pada zaman dahulu pihak yang menang perang boleh mengambil harta benda yang kalah. Juga bukan suatu hal yang salah jika mereka mengambil para wanita untuk mereka miliki. Yang demikian itu bukan perbuatan hina, malah menunjukkan sifat keksatriaan yang besar. Itulah aturan perang zaman dahulu.

Page 89: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

76

Kajian Panitisastra (36): Patang Upaya Sandi

Bait ke-36, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Angadoni jayaning ajurit, angulaha sandining upaya. Kang patang prakara dene, kang linuwihkên iku , saking patang prakara sandi. Upaya pan pariksa, apura puniku, sanadyan silih pêpeka. Srananira tan dadi antêping jurit, yèn ora nana dana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Pergi ke medan perang untuk meraih kemenangan, pelajarilah upaya sandi. Yang empat perkara adapun, yang dilebihkan itu, dari empat perkara sandi. Upaya tentang memeriksa, memaafkan itu, walaupun berganti kehati-hatian. Sarananya tak menjadi mantapnya perang, kalau tidak ada biaya.

Kajian per kata:

Angadoni (pergi ke medan) jayaning (kemenangan) ajurit (berperang), angulaha (pelajarilah) sandining (sandinya) upaya (upaya). Pergi ke medan perang untuk meraih kemenangan, pelajarilah upaya sandi.

Sandi di sini maksudnya adalah strategi perang. Dalam pertempuran yang menentukan bukan hanya besarnya pasukan dan lengkapnya persenjataan namun juga strategi yang dipakai. Kalau dalam perang besar pasti ada ahli strateginya, dialah yang menentukan jalannya perang dan hasil akhirnya.

Page 90: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

77

Kang (yang) patang (empat) prakara (perkara) dene (adapun), kang (yang) linuwihkên (dilebihkan) iku (itu), saking (dari) patang (empat) prakara (perkara) sandi (sandi). Yang empat perkara adapun, yang dilebihkan itu, dari empat perkara sandi.

Ada empat perkara pokok yang menjadi dasar dari strategi perang itu. Selain dari pergerakan pasukan dan waktu yang tepat (timing) empat perkara ini harus ada terlebih dahulu.

Upaya (upaya) pan (akan) pariksa (periksa), apura (memaafkan) puniku (itu), sanadyan (walaupun) silih (berganti) pêpeka (sembarangan). Upaya tentang memeriksa, memaafkan itu, walaupun berganti kehati-hatian.

Empat perkara itu adalah pemeriksaan, memaafkan dan kehati-hatian. Pertama, pemeriksaan adalah konsolidasi ke dalam pasukan, menyiapkan mental prajurit dan semangat tempurnya. Kedua, memaafkan adalah memberi ampun kepada kesalahan anak buah dan memahami situasai yang mereka hadapi, tidak serta-merta langsung memberi hukuman. Juga terhadap pasukan musuh yang membelot sebaiknya diberi ampunan, sebagaimana dicontohkan oleh Sri Rama ketika menerima dan mengampuni Gunawan Wibisana, adik dari musuh besarnya, Rahwana. Jika komandan tidak semena-mena pasukan akan tetap solid dan kuat, namun jika sedikit-sedikit menghukum maka pasukan akan tercerai berai. Ketiga, kehati-hatian, adalah waspada terhadap strategi musuh dan kondisi pasukan sendiri. Bagaimana mental dan kesiapan mereka dalam perang, harus selalu dipantau dari waktu ke waktu.

Srananira (sarananya) tan (tak) dadi (menjadi) antêping (mantapnya) jurit (perang), yèn (kalau) ora (tidak) nana (ada) dana (biaya). Sarananya tak menjadi mantapnya perang, kalau tidak ada biaya.

Yang keempat, adalah tersedianya biaya perang. Ini mesti dipersiapkan terlebih dahulu agar tidak kedodoran di tengah peperangan. Bahwa berperang sangat membutuhkan biaya yang sangat besar dan juga menuntut pengorbanan yang tak terkira. Jika tidak dicukupi maka akan timbul goncangan dalam pasukan. Mereka bisa bertindak di luar kendali jika pasokan akomodasi dan senjata tidak lancar. Bisa-bisa mental mereka jatuh dan berbuat di luar komando, bahkan merampok dan menjarah penduduk lokal. Ini bisa mengakibatkan turunnya dukungan dari penduduk lokal, malah mereka bisa membenci dan berbalik membantu musuh.

Page 91: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

78

Kajian Panitisastra (37): Katona Ajrih Ing Lawan

Bait ke-37, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèn ing mêmungsuhan kang sayêkti, kênakêna ing catur upaya. Aja dèn tinggal salire, lamun wus kênèng catur, upayèki mungsuhira jrih, yêkti kasor ing laga, kèngsêr yudanipun. Katona ajrih ing lawan, nanging aja kawruhan balane wêdi, yèku ulahing aprang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau dalam peperangan yang sebenarnya, pakailah empat upaya. Jangan tinggalkan seluruhnya, kalau sudah kena empat, upaya itu musuhmu akan takut, pasti kalah dalam pertempuran, mundur perangnya. Terlihatlah takut pada lawan, tapi jangan ketahuan oleh anak buah (prajurit) kalau takut, itulah strategi berperang.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) ing (dalam) mêmungsuhan (peperangan) kang (yang) sayêkti (sebenarnya), kênakêna (kenakan, pakailah) ing (dalam) catur (catur) upaya (upaya). Kalau dalam peperangan yang sebenarnya, pakailah empat upaya.

Empat upaya tadi, yang telah dijelaskan dalam bait sebelumnya, hendaklah dipakai dalam pertempuran yang sebenarnya jika ingin meraih kemenangan. Agar terbentuk pasukan yang kuat dan tangguh, dari awal sampai akhir solid, tidak ngacir di tengah jalan.

Page 92: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

79

Aja (jangan) dèn (di) tinggal (tinggal) salire (seluruhnya), lamun (kalau) wus (sudah) kênèng (kena) catur (empat), upayèki (upaya itu) mungsuhira (musumu) jrih (takut), yêkti (pasti) kasor (kalah) ing (dalam) laga (pertempuran), kèngsêr (mundur) yudanipun (perangnya). Jangan tinggalkan seluruhnya, kalau sudah kena empat, upaya itu musuhmu akan takut, pasti kalah dalam pertempuran, mundur perangnya.

Kalau berperang memakai empat upaya tadi maka kemenangan lebih mudah diraih, maka janganlah ditinggalkan seluruh upaya tadi. Kalau musuh sudah kena empat upaya tadi pasti mereka akan takut, pasti akan kalah dalam pertempuran, mundur dari medang perang.

Katona (terlihatlah) ajrih (takut) ing (pada) lawan (lawan), nanging (tapi) aja (jangan) kawruhan (ketahuan) balane (oleh anak buah) wêdi (kalau takut), yèku (yaitu) ulahing (strategi) aprang (berperang). Terlihatlah takut pada lawan, tapi jangan ketahuan oleh anak buah (prajurit) kalau takut, itulah strategi berperang.

Selanjutnya jangan perlihatkan kekuatan yang sebenarnya kepada musuh. Bila perlu terlihatlah takut, namun jangan sampai kepada anak buah terlihat takut. Jadi kepada musuh upayakan terlihat takut, namun kepada anak buah (prajurit) upayakan terlihat berani. Yang demikian ini adalah strategi perang.

Page 93: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

80

Kajian Panitisastra (38;39): Pacawising Jayeng Jurit

Bait ke-38;39, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Pacawising mangun jayèng jurit, anangèkna kasuraning bala, galaka marang mungsuhe. Aja anantang mungsuh, iku dadi mêmanas ati, gawe yitnaning lawan. Mêmungsuhan iku, nganggoa watak dahana, tan sabawa yèn anêmpuh anggêsêngi. Yèn uwong pasanakan, kang linuwihakên mitra dening, paran-pinaran panêmbramanya, gumati anrus lilane. Bangêting satru iku, nora kaya rêgêding budi, dadi satruning gêsang. Ing kasêktèn iku, kasêktène wong sajagad, ora nana kasêktène kang ngluwihi, kasêktèning jawata.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Persiapan merintis kemenangan dalam perang, membangunkan keberanian bala tentara, galaklah kepada musuh. Jangan menantang musuh, itu jadi membuat panas hatinya, membuat kewaspadaan lawan. Beemusuhan itu, pakailah watak dari api, tak bersuara kalau mengenai membuat gosong. Kalau orang bersaudara,

Page 94: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

81

yang dilebihkan teman adalah, saling mengunjungi dan penghormatannya, perhatian meneruskan kerelaannya. Musuh yang besar itu, tak seperti kotornya budi, menjadi musuh dari kehidupan. Dalam kesaktian itu, kesaktiannya orang sejagad ini, tidak ada kesaktian yang melebihi, kesaktiannya dewata.

Kajian per kata:

Pacawising (persiapan) mangun (membentuk, merintis) jayèng (kemenangan) jurit (perang), anangèkna (membangunkan) kasuraning (keberanian) bala (bala tentara, anak buah), galaka (galaklah) marang (kepada) mungsuhe (musuhnya). Persiapan merintis kemenangan dalam perang, membangunkan keberanian bala tentara, galaklah kepada musuh.

Persiapan maju ke medan laga untuk meraih kemenangan perang adalah yang pertama dengan membangunkan keberanian bala tentaranya. Ini dilakukan agar mereka galak terhadap musuh, tega terhadap mereka. Namun yang paling baik apabila galak itu bukan timbul dari sikap emosional atau marah, melainkan karena kesadaran bahwa para musuh memang harus dibasmi.

Aja (jangan) anantang (menantang) mungsuh (musuh), iku (itu) dadi (menmbuat) mêmanas (panasnya) ati (hati), gawe (membuat) yitnaning (kewaspadaan) lawan (lawan). Jangan menantang musuh, itu jadi membuat panas hatinya, membuat kewaspadaan lawan.

Selanjutnya, jangan pernah menantang musuh. Ini juga ada hubungannya dengan sikap di atas. Musuh harus dihadapi dengan kepala dingin. Menantang-nantang mereka justru membuat mereka panas hatinya, mengira kalau kita memang kuat. Sehingga mereka waspada dan justru sulit dikalahkan, itu merugikan pihak kita sendiri.

Mêmungsuhan (bermusuhan) iku (itu), nganggoa (pakailah) watak (watak) dahana (api), tan (tak) sabawa (bersuara) yèn (kalau) anêmpuh

Page 95: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

82

(mengenai) anggêsêngi (membuat gosong). Bermusuhan itu, pakailah watak dari api, tak bersuara kalau mengenai membuat gosong.

Dalam bermusuhan, atau peperangan pakailah watak dari api. Yakni tidak berisik dan ribut tetapi ketika mengenai sesuatu langsung gosong. Api sebesar apapun takkan ada suaranya, jika ada pasti bukan dari apinya tapi dari bahan-bahan yang terbakar, meledak atau gemeretak. Apinya sendiri justru tenang tak bersuara, maka seperti itulah cara kita menggulung musuh.

Yèn (kalau) uwong (orang) pasanakan (bersaudara), kang (yang) linuwihakên (dilebihkan) mitra (teman) dening (dene, adalah, adapun), paran-pinaran (saling mengunjungi) panêmbramanya (penghormatannya), gumati (perhatian) anrus (meneruskan) lilane (kerelaannya). Kalau orang bersaudara, yang dilebihkan teman adalah, saling mengunjungi dan penghormatannya, perhatian meneruskan kerelaannya.

Bagi orang yang bersaudara kelebihannya adalah kalau saling mengunjungi ke rumah masing-masing, saling menerima dengan baik, perhatian dalam menyatakan kerelaan hati. Dua orang yang mengaku bersahabat tapi tidak pernah saling kunjung pastilah persahabatannya bohong belaka. Juga sahabat yang tidak suka kedatangan sahabatnya, pastilah hanya persahabatan yang manis di bibir saja.

Bangêting (yang sangat) satru (musuh) iku (itu), nora (tak) kaya (seperti) rêgêding (kotorya) budi (budi), dadi (menjadi) satruning (musuh) gêsang (kehidupan). Musuh yang besar itu, tak seperti kotornya budi, menjadi musuh dari kehidupan.

Seburuk-buruk musuh adalah orang yang kotor akal budinya, itu menjadi musuh bukan orang perorang tapi sudah menjadi musuh kehidupan. Ibarat memusuhi orang seluruh dunia, musuh dari kemanusiaan.

Ing (dalam) kasêktèn (kesaktian) iku (itu), kasêktène (kesaktiannya) wong (orang) sajagad (sejagad), ora (tidak) nana (ada) kasêktène (kesaktian) kang (yang) ngluwihi (melebihi), kasêktèning (kesaktiannya) jawata (dewata). Dalam kesaktian itu, kesaktiannya orang sejagad ini, tidak ada kesaktian yang melebihi kesaktiannya dewata.

Page 96: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

83

Hendaklah diingat dalam hal kesaktian itu, bahwa kesaktian orang sejagad ini tidak ada kesaktian yang melebihi kesaktiannya dewata. Gatra ini merujuk pada ceritera wayang yang masih memakai babon ceritera dari Ramayana dan Mahabarata, maka disitu ada dewa-dewa yang berkekuatan melebihi manusia.

Zaman ketika serat ini digubah kerajaan Surakarta sudah lama memakai agama Islam sebagai agama negara, bahkan rajanya pun bergelar susuhunan. Ini mengingatkan kita akan peran para sunan-sunan dari walisanga yang merupakan penyebar mula-mula agama Islam. Maka konsep dewata dalam kehidupan sehari-hari jelas tidak ada. Namun karena epos Ramayana dan Mahabarata masih hidup dalam dunia pewayangan, suatu seni pertunjukkan yang digandrungi masyarakat maka seringkali rujukan moral diambil dari kisah itu.

Sebenarnya kisah-kisah dalam Mahabarata dan Ramayana juga sudah disadur ulang dan disesuaikan dengan zaman, namun jelas bahwa penulisan ulang tidak sampai sedemikian radikal sehingga menghilangkan konsep-konsep lama seperti adanya dewa-dewa tersebut. Para pujangga kerajaan Mataram sampai Surakarta hanya sedikit memodifikasi nasab para dewa itu dan tetap menempatkan mereka sebagai makhuk super. Mereka hanya mengubah garis keturunan nenek moyang para dewa itu kepada Nabi Sis, yang kemudian disebut Sang Hyang Sis. Mereka juga memberi silsilah kepada para dewa yang ada, kemudian memberi peran Batara Guru sebagai raja para dewa itu yang bertahta di kahyangan. Upaya ini jelas sebuah langkah adaptasi yang agak dipaksakan, namun itulah jalan kompromi maksimal dengan ajaran Islam yang tidak mengenal dewa-dewa.

Kembali ke kajian kita, pada akhir bait disebutkan tentang kelebihan dalam hal kesaktian yang dalam hal ini yang paling unggul adalah para dewata. Maka para dewata ini adalah unggul dalam hal kesaktian. Bait selanjutnya akan menguraikan tentang kelebihan-kelebihan dari hal-hal yang lain atau hal-hal yang menjadi unggulan dalam setiap sesuatu.

Page 97: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

84

Kajian Panitisastra (40): Kaluwihane Sowang-Sowang

Bait ke-40, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Dening paksi kang kinarya luwih, paksi beo bisa amicara, lawan abêcik warnane. Yèn èstri kang warna yu, kang kapatibrata ing laki. Dudu wong suduk jiwa, yèn lakine lampus, kapati brata lirira, Praptèng pêjah pawèstri tan arsa laki, sasat milu palastra.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Adapun burung yang menjadi pilihan, adalah burung beo yang bisa berbicara, dan yang bagus warna bulunya. Kalau istri yang cantik rupanya, yang kapatibrata pada suami. Bukan yang bunuh diri, kalau suaminya mati, kapatibrata maksudnya, sampai mati perempuan itu tak ingin laki-laki lagi, ibarat ikut mati juga.

Kajian per kata:

Dening (adapun) paksi (burung) kang (yang) kinarya (membuatnya, menjadi) luwih (lebih, pilihan), paksi (burung) beo (beo) bisa (bisa) amicara (berbicara), lawan (dan) abêcik (bagus) warnane (warna bulunya). Adapun burung yang menjadi pilihan, adalah burung beo yang bisa berbicara, dan yang bagus warna bulunya.

Kalau dalam dunia burung yang menjadi unggulan adalah burung beo. Burung ini bisa bicara dan warnanya bagus. Dalam hal keunggulan burung ini sebenarnya selalu berganti setiap generasi. Pada saat serat ini ditulis

Page 98: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

85

mungkin burung beo sedang digandrungi para pecinta burung, tetapi tidak selamanya seperti itu. Burung perkutut pernah juga menjadi rajanya burung, yang banyak diburu kolektor. Burung yang penampilannya sederhana ini disukai karena suara anggungnya yang bagus. Ada kalanya burung cenderawasih menjadi primadona. Di jaman sekarang burung yang dahulu tidak populer semacam jalak justru sedang banyak diminati. Sementara pasaran burung beo justru jeblok. Jadi setiap masa ada favoritnya masing-masing.

Yèn (kalau) èstri (istri) kang (yang) warna yu (cantik rupanya), kang (yang) kapatibrata (kapatibrata) ing (pada) laki (suami). Kalau istri yang cantik rupanya, yang kapatibrata pada suami.

Kalau bagi seorang istri yang unggul adalah yang cantik rupanya. Kalau ini tidak ada perbedaan pendapat tentangnya. Yang diperselisihkan biasanya malah kriteria cantiknya. Sebagian orang menafsirkan cantik dengan keriteria yang tidak sama dengan sebagian lainnya. Misalnya di Indonesia cantik dinyatakan dalam sosok berkulit putih, halus dengan rambut terurai panjang. Sementara di Eropa cantik itu yang sedikit gosong.

Di Jawa pada zaman dahulu lebih menekankan peran dan watak daripada kecantikan fisik. Di sini ada istilah kapatibrata yang merupakan kriteria istri unggulan. Apa itu?

Dudu (bukan) wong (orang yang) suduk jiwa (bunuh diri), yèn (kalau) lakine (suaminya) lampus (mati), kapati brata (kapati brata) lirira (maksudnya), praptèng (sampai) pêjah (mati) pawèstri (perempuan itu) tan (tak) arsa (ingin) laki (laki-laki), sasat (ibarat) milu (ikut) palastra (mati juga). Bukan yang bunuh diri, kalau suaminya mati, kapatibrata maksudnya, sampai mati perempuan itu tak ingin laki-laki lagi, ibarat ikut mati juga.

Kapatibrata bukan berarti bela pati, atau bunuh diri ketika suaminya meninggal dunia. Praktik seperti ini banyak dijumpai di India atau pada pemeluk agama Hindu dan disebut tradisi Sati. Konon tradisi ini sebagai bukti pengabdian dan cinta kasih dari sang istri kepada suami. Sekarang praktik seperti ini sudah dilarang di India. Dan sepertinya juga bukan termasuk pokok ajaran agama Hindu.

Page 99: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

86

Dalam serat Panitisastra terjemahan ini kapatibrata diartikan sebagai; tidak berkehendak pada laki-laki lain setelah suaminya meninggal. Yang demikian itu sebagai tanda cinta dan kesetiaan sang istri kepada suaminya. Yang demikian ini pun juga berat bagi wanita karena harus memikul beban hidup dalam mengasuh anak-anaknya. Karena itu dalam serat ini disebut sasat melu palastra (ibarat seperti ikut mati), karena beratnya tugas yang mesti dilanjutkan.

Kami tak hendak memperpanjang bahasan tentang ini karena pengetahuan kami sangat terbatas. Alih-alih menyampaikan kebenaran kami takut kalau malah menyesatkan. Wallahu a’lam!

Page 100: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

87

Kajian Panitisastra (41): Wong Ngukuhi Ujaring Tulis

Bait ke-41, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wong ngukuhi saujaring tulis, iku kukuh kalamun angucap, tur aluhur ing kulane . Milane mangkonèku, isining rat kabèh pinanggih. Sawêwêlinging sastra, nging rungsit kalangkung, lir wong ngèdhêpakên gajah. Ingkang maksih nèng alas kang bala mrêgil, ing pinggiring jêjurang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang yang memegang teguh semua ajaran tulis, itu kuat kalau berkata, dan tinggi dalam keturunannya. Makanya demikian itu, isi dunia semua ketemu. Semua nasihat tertulis, tapi sulit sekali, seperti orang menundukkan gajah. Yang masih di hutan yang terpisah, di pinggir jurang.

Kajian per kata:

Wong (orang) ngukuhi (memegang teguh) saujaring (semua ujaran) tulis (tulis), iku (itu) kukuh (kuat) kalamun (kalau) angucap (berkata), tur (dan) aluhur (tinggi) ing (dalam) kulane (keturunan, darah). Orang yang memegang teguh semua ajaran tulis, itu kuat kalau berkata, dan tinggi dalam keturunannya.

Orang yang memegang teguh semua ujaran tulis, yang dimaksud di sini adalah mereka yang telah mempelajari kitab-kitab dan mengamalkannya. Pada zaman dahulu belum ada banyak buku seperti sekarang, sehingga apa

Page 101: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

88

yang tertulis adalah hal-hal yang sangat penting yang biasanya berkaitan dengan ajaran-ajaran tentang kebaikan. Orang yang berkesempatan untuk mempelajari itu semua juga tidak banyak sebagaimana zaman sekarang. Oleh karena itu biasanya orang yang berkesempatan mempelajari sastra tulis ini pastilah seorang intelektual yang benar-benar tekun. Biasanya mereka berintegritas, baik dalam ucapan dan berasal dari keturunan orang mulia. Mereka adalah orang-orang pilihan.

Milane (makanya) mangkonèku (demikian itu), isining (isinya) rat (dunia) kabèh (semua) pinanggih (ketemu). Makanya demikian itu, isi dunia semua ketemu.

Oleh karena demikian itu prosesnya, berat dan melelahkan, juga pasti berbiaya mahal, orang yang berkesempatan menekuni sastra tulis tadi lebih berkesempatan untuk mengetahui banyak ilmu pengetahuan. Mereka lebih mumpuni dari kebanyakan manusia lainnya. Kalimat isining rat kabeh pinanggih (semua isi dunia ketemu), adalah ungkapan keluasan ilmu mereka.

Sawêwêlinging (semua nasihat) sastra (tertulis), nging (tapi) rungsit (sulit) kalangkung (sekali), lir (seperti) wong (orang) ngèdhêpakên (menundukkan) gajah (gajah). Semua nasihat tertulis tapi sulit sekali, seperti orang menundukkan gajah.

Namun semua nasihat yang tertulis tersebut sangat sulit dipahami. Diperlukan belajar keras dan bimbingan guru untuk menguasainya. Yang demikian itu karena metode penulisan pada zaman dahulu sangat berlainan dengan metode penulisan zaman sekarang. Pada zaman dahulu yang tertulis hanya pokok-pokok ajaran saja, sedangkan penjabarannya belum banyak ditulis orang. Seperti serat Panitisastra ini pun sulit dipahami bagi orang awam, diperlukan kerja keras untuk memahaminya, membuka-buka kamus atau naskah lain sebagai pembanding agar diperoleh pemahaman yang sesuai kehendak penulisnya. Itupun juga masih banyak kelemahan sebagaimana kajian kita ini, juga masih banyak kelemahannya.

Apalagi di zaman dahulu tidak ada kamus atau kitab pembandingnya, maka menjadi sangat-sangat sulit untuk mempelajari sebuah kitab. Demikian sulitnya sehingga diumpakan seperti sulitnya menundukkan gajah. Hewan besar yang hanya menurut kepada srati atau pawangnya. Namun kesulitannya jauh lebih besar lagi karena....

Page 102: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

89

Ingkang (yang) maksih (masih) nèng (di) alas (hutan) kang (yang) bala (teman) mrêgil (terpisah), ing (di) pinggiring (pinggir) jêjurang (jurang). Yang masih di hutan yang terpisah, di pinggir jurang.

Gajahnya itu masih di hutan, dan posisinya terpisah dari kawanan, di pinggir jurang lagi. Ungkapan kalimat ini menggambarkan betapa sulitnya mempelajari kitab-kitab pada zaman dahulu. Orang-orang yang mampu menguasainya benar-benar orang yang pantang menyerah dan penuh sifat kebaikan, jika tidak tentu sudah merasa berat awalnya, pasti akan lelah di tengah dan putus asa pada akhirnya. Banyak yang tidak kuat dan gugur, bagi yang lulus buahnya sepadan dengan usahanya.

Page 103: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

90

Kajian Panitisastra (42): Mubadir Yen Tan Bisa Maca

Bait ke-42, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèn wong arsa putus ing sastrèki, nora kaya anggurua sastra, iku kang linuwihake. Ngèsthi wulanging guru, datan pêgat angeling-eling. Yèn mungguhing pandhita , linuwihkên namung, pangabêkti mring Hyang Suksma. Yèn wong anom kang mukti eman mubadir, yèn ora bisa maca.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau orang ingin menguasai dalam bidang sastra, tidak seperti kalau berguru sastra, itu sikap pilihannya. Memikirkan ajaran guru, tidak putus mengingat-ingat. Kalau bagi seorang pendeta, pilihannya adalah, menyembah kepada Yang Maha suci. Kalau orang muda yang berkecukupan sungguh sayang dan sia-sia, kalau tidak bisa membaca.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) wong (orang) arsa (ingin) putus (menguasai) ing (dalam) sastrèki (sastra itu), nora (tidak) kaya (seperti) anggurua (kalau berguru) sastra (sastra), iku (itu) kang (yang) linuwihake (sikap pilihan). Kalau orang ingin menguasai dalam bidang sastra, tidak seperti kalau berguru sastra, itu sikap pilihannya.

Maka kalau seseorang hendak menguasai ilmu pengetahuan yang ada dalam kitab-kitab tertulis itu, pilihannya hanyalah berguru kepada yang telah menguasai, para orang pintar (sujana) dan para empu yang berkenan menerima murid.

Page 104: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

91

Ngèsthi (memikirkan) wulanging (ajaran) guru (guru), datan (tak) pêgat (putus) angeling-eling (mengingat-ingat). Memikirkan ajaran guru, tidak putus mengingat-ingat.

Kalau sudah mendapatkan guru hendaklah bersungguh-sungguh, selalu mengingat-ingat apa yang diajarkan, tidak putus-putus dalam mengingatnya sehingga tertanam dalam hati. Itulah watak pilihan bagi seorang pelajar yang hendak menuntut ilmu.

Yèn (kalau) mungguhing (bagi seorang) pandhita (pendeta), linuwihkên (pilihannya) namung (hanya), pangabêkti (menyembah) mring (kepada) Hyang (Yang) Suksma (Maha Suci). Kalau bagi seorang pendeta, pilihannya adalah menyembah kepada Yang Maha suci.

Bagi seorang pendeta, watak pilihannya lain lagi, yakni yang hanya menfokuskan diri dalam menyembah atau beribadah kepada Yang Maha Suci. Meminimalkan urusan dunianya sampai sekedar cukup untuk hidup dan selanjutnya memakai waktu yang ada untuk beribadah. Memutus kecintaan kepada dunia sehingga pikirannya tidak selalu berangan-angan ke sana, dalam bentuk apapun. Inilah watak pilihan bagi seorang pendeta.

Yèn (kalau) wong (orang) anom (muda) kang (yang) mukti (berkecukupan) eman (sungguh sayang) mubadir (dan sia-sia), yèn (kalau) ora (tidak) bisa (bisa) maca (membaca). Kalau orang muda yang berkecukupan sungguh sayang dan sia-sia, kalau tidak bisa membaca.

Bagi anak muda yang berkecukupan, yang menjadi watak pilihan lain lagi. Mereka yang sudah cukup hidupnya selayaknya mempelajari baca tulis. Jangan terlena dengan kehidupan anak muda yang penuh hura-hura dan suka-suka saja. Jika begitu akan sial-sialah hidupnya, mubadzir! Mengapa demikian? Bait selanjutnya akan menjelaskan hal ini.

Page 105: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

92

Kajian Panitisastra (43): Abange Datanpa Ganda

Bait ke-43, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Nadyan bagusa warna apêkik, sugih arta wasis ing gamêlan, nanging asêpi cahyane, ing pasamuan kusut. Bawaning wong tan wruh ing tulis, ya upamane sêkar, kaya kêmbang têpus, abange datanpa ganda. Yèn manungsa panêngêraning wong bêcik, tapsilaning wacana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Walau bagus rupawan tampan, kaya harta dan pandai bermusik, tapi redup cahayanya, dalam perjamuan terlihat kusut. Pembawaan orang tak mengetahui tulisan, seumpama bunga, seperti bunga tepus, merahnya tanpa bau harum. Kalau manusia pertandanya orang baik, sopan santunnya dalam bicara.

Kajian per kata:

Nadyan (walau) bagusa (bagus) warna (rupawan) apêkik (tampan), sugih (kaya) arta (harta) wasis (pandai) ing (dalam) gamêlan (bermusik), nanging (tapi) asêpi (sepi) cahyane (cahayanya), ing (dalam) pasamuan (perjamuan) kusut (terlihat kusut). Walau bagus rupawan tampan, kaya harta dan pandai bermusik, tapi redup cahayanya, dalam perjamuan terlihat kusut.

Page 106: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

93

Walau bagus rupawan, berwajah tampan, mancung hidungnya, juga kaya raya dan pandai dalam bermain gamelan (musik tradisional), kalau tidak bisa membaca tulis akan tampak kusut di depan orang banyak.

Ini adalah nilai-nilai baru yang seolah hendak diperkenalkan guna menembus pakem yang sudah mapan dalam masyarakat. Di era ketika wacana intelektual belum mengemuka kepopuleran seseorang lebih dilihat dari penampilan dan kekayaan. Seorang rupawan akan cepat meraih simpati orang banyak, apalagi kalau dia juga seorang kaya raya, terlebih kalau pandai bermusik, maka sempurnalah dia sebagai idola. Yang seperti ini seolah pakem kriteria yang abadi. Di zaman republik ini juga pernah ada seorang yang dianggap tampan, banyak meraih suara ketika pemilihan presiden. Jadi tampaknya kriteria pakem ini juga masih dipegangi oleh orang-orang modern. Namun serat Panitisastra ini seolah memperkenalkan kriteria baru yang lain, yakni kemampuan intelektual, yang pada waktu serat ini ditulis tentu belumlah populer.

Bawaning (pembawaan) wong (orang) tan (tak) wruh (mengetahui) ing tulis (tulisan), ya (iya) upamane (umpama) sêkar (bunga), kaya (seperti) kêmbang (bunga) têpus (tepus), abange (merahnya) datanpa (tanpa) gônda (bau harum). Pembawaan orang tak mengetahui tulisan, seumpama bunga, seperti bunga tepus, merahnya tanpa bau harum.

Pembawaan atau sifat-sifat orang yang tak mengetahui tulis seumpama bunga tepus, yakni bunga yang merah merona tetapi tidak menyebarkan bau harum. Sebagai bunga tentu tidak sempurna kalau hanya indah warnanya, tapi minus harumnya. Sama halnya dengan manusia, meski kelihatan keren mentereng, jika tidak pandai dalam ilmu juga tidak banyak manfaat untuk sesama.

Yèn (kalau) manungsa (manusia) panêngêraning (pertandanya) wong (orang) bêcik (baik), tapsilaning (sopan santun, subasita) wacana (dalam bicara). Kalau manusia pertandanya orang baik, sopan santunnya dalam bicara.

Kalau bagi manusia, pertanda dari seseorang yang berwatak baik adalah sopan-santun dalam bicaranya. Tentu saja pertanda ini bukan merupakan kepastian, tetapi setidaknya menjadi petunjuk awal dari kepribadian seseorang. Mungkin saja orang yang berwatak buruk tampil dengan sopan aan anuraga, namun yang demikian itu tidaklah banyak. Belajar dan

Page 107: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

94

mempraktikkan sopan santun memerlukan waktu dan upaya yang keras, akan sangat rugi jika orang yang telah mampu bersikap sopan santun kok malah berbuat buruk, menipu dengan berpura-pura baik. Yang demikian itu mustahil, kecuali yang bersangkutan tidak sehat jiwanya.

Sebalikya kadang orang berhati tulus namun tidak mampu bersikap sopan. Jika ada yang demikian patut kita hargai ketulusannya, namun mengenai sikapnya yang kasar seyogyanya dibuang sedikit demi sedikit, karena itu tanda kurangnya belajar dan abai terhadap tatakrama yang berlaku.

Page 108: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

95

Kajian Panitisastra (44): Panengerane Tan Bisa goroh

Bait ke-44, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Lamun alêp ing sêmu rêspati tata basane puniku nyata, wong bêcik panêngêrane. Yèn ana wong angaku, manggung pista ing sabên ari ing panêngêranira , yèn awake kuru, goroh pangucape umbag. Pawong sanak panêngêrane yèn asih gumatine nêmbrama.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau cantik cenderung menyenangkan hati, tata bahasanya nyata (baik), orang baik pertandanya. Kalau ada orang mengaku, pentas di pesta setiap hari, dalam ciri-cirinya, kalau badannya kurus, bohong ucapannya membual. Teman karib pertandanya kalau penuh kasih, perhatian dan menghormati.

Kajian per kata:

Lamun (kalau) alêp (cantik) ing sêmu (cenderung) rêspati (menyenangkan hati), tata (tata) basane (bahasanya) puniku (itu) nyata (nyata), wong (orang) bêcik (baik) panêngêrane (pertandanya). Kalau cantik cenderung menyenangkan hati, tata bahasanya nyata (baik), orang baik pertandanya.

Kalau cantik wajahnya, menyenangkan hati bila dilihat, tutur katanya baik dan sopan, menyenangkan hati yang mendengarnya, itu pertanda orang baik. Namun harap tetap diingat ini hanyalah pertanda, bukan kepastian.

Page 109: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

96

Boleh dijadikan sebagai petunjuk awal, namun tidak boleh dipakai sebagai pedoman baku terutama dalam hal-hal penting.

Dalam hal ini ada ungkapan dari seorang bijak, “Kalau aku harus memilih satu orang dan aku tidak melihat orangnya maka kupilih yang namanya paling bagus. Kalau akau harus memilih orang dan aku tidak mengenal kepribadiannya maka kupilih yang paling bagus wajahnya. Namun kalau aku mengenalnya dengan baik kupilih yang paling baik akhlaknya!”

Yèn (kalau) ana (ada) wong (orang) angaku (mengaku), manggung (pentas) pista (pesta) ing (di) sabên (tiap) ari (hari), ing (dalam) panêngêranira (ciri-cirinya), yèn (kalau) awake (badannya) kuru (kurus), goroh (bohong) pangucape (ucapannya) umbag (membual). Kalau ada orang mengaku, pentas di pesta setiap hari, dalam ciri-cirinya, kalau badannya kurus, bohong ucapannya membual.

Kalau ada orang mengaku-aku pentas pesta setiap hari namun badannya kurus, jelas bahwa dia hanya membual. Pertanda atau ciri-ciri seseorang tidak akan berlawanan dengan sifat-sifat dari apa yang sebenarnya. Maka sebagaimana gatra di atas menyebutkan bahwa seseorang yang menyenangkan hati adalah ciri-ciri orang baik karena ciri-ciri tak pernah berlawanan dengan sifat aslinya. Sifat asli dari orang baik adalah menyenangkan hati, dan itu tampak dari ciri-cirinya. Ini tidak berarti setiap orang yang menyenangkan hati berarti orang baik, karena bisa saja dia menipu. Namun orang baik akan selalu menyenangkan hati kawan sepergaulannya.

Maka ciri-ciri dari orang yang berkecukupan makan dengan setiap hari berpesta pastilah bukan yang kurus badannya. Kalau ada orang kurus mengaku setiap hari pesta, maka jelaslah dia bohong karena ciri-cirinya berlawanan dengan ciri-ciri orang yang setiap hari berpesta.

Pawong sanak (teman karib) panêngêrane (pertandanya) yèn (kalau) asih (penuh kasih), gumatine (perhatian) nêmbrama (menghormati). Teman karib pertandanya kalau penuh kasih, perhatian dan menghormati.

Ciri-ciri atau pertanda dari kawan karib adalah penuh kasih dan perhatian, sikapnya dalam menerima kedatangan kita sangat menghormati. Kalau ada orang mengaku kawan karib tapi suka usil dan iri hati jelaslah bahwa pengakuannya bohong belaka.

Page 110: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

97

Kajian Panitisastra (45): Wong Durjana Pepek Wisa

Bait ke-45, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèn ing panêngraning pandhita di, pangabêkti pangastutinira. Mat si kalabang têgêse, wisane nèng dhasipun. Mêrcikaraning kalajêngking, ênggone wisanira, anèng buntutipun. Sarpa anèng untunira, Wong durjana wisane iya mêpêki, sasêranduning badan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau tanda-tanda seorang pendeta yang baik, ada pada beribadahnya dan penghormatannya. Matsika si lipan artinya, bisanya di kepalanya. Mracika atau mercika si kalajengking, tempat bisanya, adi di ekornya. Ular ada di giginya. Seorang pencuri bisanya memenuhi, sekujur badannya.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) ing panêngraning (tanda-tanda) pandhita (pendeta) di (adi, baik), pangabêkti (beribadah) pangastutinira (dan penghormatannya). Kalau tanda-tanda seorang pendeta yang baik, ada pada beribadahnya dan penghormatannya.

Kalau tanda-tanda seorang pendeta adalah peribadahan dan penghormatannya kepada Tuhan. Jika ada orang mengaku-aku pendeta tapi tidak ada ciri-ciri tersebut pastilah dia bohong atau menipu umat.

Page 111: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

98

Mat (matsika, kelang) si kalabang (si lipan) têgêse (artinya), wisane (bisanya) nèng (di) dhasipun (kepalanya). Matsika si lipan artinya, bisanya di kepalanya.

Mat di sini kependekan dari matsika artinya kelabang atau lipan. Kelabang bisanya ada di kepala. Bisa atau racun adalah hal yang dihindari oleh makhluk lain disebabkan bahaya yang ditimbulkannya.

Mêrcikaraning (mracikara, mercikara) kalajêngking (kalajengking), ênggone (tempat) wisanira (bisanya), anèng (ada di) buntutipun (ekornya). Mracika atau mercika si kalajengking, tempat bisanya, adi di ekornya.

Mracika atau kalajengking tempat bisanya ada di ekornya, maka kalau bertemu kalajengking pastikan dijaga agar tidak kontak dengan ekornya. Bisa menimbulkan bahaya jika sampai tersengatt atau tertusuk.

Sarpa (ular) anèng (ada di) untunira (giginya). Ular ada di giginya.

Kalau ular letak bisanya ada di giginya, yakni dua taring yang menonjol panjang dan runcing. Harus berhati-hati jangan sampai terkena taringnya tersebut jika ingin selamat.

Wong (orang) durjana (pencuri) wisane (bisanya) iya (juga) mêpêki (memenuhi), sasêranduning (sekujur) badan (badan). Seorang pencuri bisanya memenuhi, sekujur badannya.

Masing-masing hewan di atas sudah kita ketahui letak bisanya, dan dapat kita hindari agar tidak terkena. Bahkan juga dapat kita buang agar hilang dari hewan-hewan tadi. Seekor ular bagaimanapun ganasnya jika sudah dipotong taringnya sudah hilang rasa takut kita kepadanya, gigitannya sudah tidak berbahaya lagi.

Namun lain halnya dengan seorang pencuri, bisa kehidupannya sudah merata memenuhi tubuhnya. Bagaimana cara kita menghindar darinya agar tidak terkena tipus muslihatnya? Dan adakah cara untuk membuang bisa dari tubuh seorang pencuri? Tampaknya akan sulit sekali.

Page 112: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

99

Kajian Panitisastra (46): Wisa Durjana Angel Binuwang

Bait ke-46, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Catur wisa ingkang amêpêki, mung wisaning manungsa durjana, angèl ing bêbuwangane, dening wor budinipun. Sêktining kang rare yèn maksih, pêpak kang bapa biyang, kulawangsanipun . Yèn nangis padha rumagang, sasanake milu padha ngarih-arih, angrêksa medanira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Empat racun yang lengkap tadi, hanya racunnya manusia durjana, yang sulit membuangnya, karena campur dengan kepribadiannya. Saktinya seorang bocah kalau masih, lengkap bapak ibunya, dan keluarga besarnya. Kalau menangis semua segera bertindak, seluruh keluarga ikut membujuk-bujuk, menjaga tempatnya.

Kajian per kata:

Catur (empat) wisa (racun) ingkang (yang) amêpêki (lengkap tadi), mung (hanya) wisaning (racunnya) manungsa (manusia) durjana (durjana), angèl (sulit) ing (dalam) bêbuwangane (membuangnya), dening (karena) wor (campur) budinipun (dengan kepribadiannya). Empat racun yang lengkap tadi, hanya racunnya manusia durjana, yang sulit membuangnya, karena campur dengan kepribadiannya.

Dari empat racun tadi hanya racunnya seorang pencuri yang sulit dibuang oleh karena sudah bercampur dengan kepribadiannya, sudah menjadi

Page 113: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

100

watak yang mendarah daging, sudah menjadi akhlak yang biasa dilakukan. Apakah dengan demikian tidak bisa sama sekali dihilangkan? Tentu saja bisa, namun harus dengan usaha yang keras melalui pertobatan sebelum watak buruk itu hilang sama sekali. Dan setelahnya juga harus berhati-hati agar tidak kambuh lagi. Orang Jawa bilang, watuk gampang tambane, watak digawa mati, artinya sakit batuk gampang diobati, namun watak dibawa sampai mati. Maka kalau sifat mencuri sudah menjadi watak akan sangat berat menghilangkannya.

Sêktining (saktinya) kang rare (seorang bocah) yèn (kalau) maksih (masih), pêpak (lengkap) kang bapa (bapak) biyang (ibu), kulawangsanipun (keluarga besarnya). Saktinya seorang bocah kalau masih, lengkap bapak ibunya, dan keluarga besarnya.

Saktinya seorang bocah kalau masih lengkap ayah-ibunya. Kita tahu bahwa anak senantiasa menjadi permata hati kedua orang tuanya. Segala hal yang membuat anak senang akan diberikan oleh orang tuanya. Inilah yang dimaksud sakti karena semua kehendaknya terpenuhi. Ayah-ibunya takkan tega membiarkannya kecewa.

Yèn (kalau) nangis (menangis) padha (sama-sama, semua) rumagang (segera bertindak), sasanake (seluruh kelaurga) milu (ikut) padha (semua, seluruh) ngarih-arih (membujuk-bujuk), angrêksa (menjaga) medanira (tempatnya). Kalau menangis semua segera bertindak, seluruh keluarga ikut membujuk-bujuk, menjaga tempatnya.

Apalagi kalau sampai menangis, seluruh keluarga akan segera bertindak meredakan tangisnya dengan segala upaya. Semua ikut membujuk-bujuk agar segera diam. Menjaganya agar tidak menangis lagi, mengamankan tempat bermainnya agar sang anak senang hatinya. Itulah kekuatan seorang anak.

Page 114: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

101

Kajian Panitisastra (47): Kasukane Dhewe-Dhewe

Bait ke-47, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kuwasane iwak nèng jro warih, yèna jro jêmbar wêning kang toya, iwak kang dadi sukane. Dene sukaning manuk, wêwêk êlarira tan rêmpit, panjawat karo kuwat. lêpas ibêripun. Mungguh ratu yèn apêpak, bala yodha santana lawan akardi, mantri manggala papat.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kekuasaan seekor ikan di dalam air, kalau dalam luas bening airnya, ikan menjadi sukanya. Adapun yang disukai burung, kekar sayapnya tidak ciut, kepak kedua sayapnya kuat, melesat terbangnya. Bagi raja yang disukai kalau lengkap, tentara senjata pembesar dan mereka dapat diandalkan, dengan mantri empat komandan.

Kajian per kata:

Kuwasane (kekuasaan) iwak (ikan) nèng (di) jro (dalam) warih (air), yèna (kalau) jro (dalam) jêmbar (luas) wêning (bening) kang toya (airnya), iwak (ikan) kang dadi (menjadi) sukane (sukanya). Kekuasaan seekor ikan di dalam air, kalau dalam luas bening airnya, ikan menjadi sukanya.

Kita sudah mengetahui tentang ciri-ciri dari berbagai watak dan kelebihan atau keunggulan masing-masing. Sekarang kita perlu mempelajari apa saja yang menjadi kesukaan orang berkaitan dengan profesi atau keadaan

Page 115: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

102

masing-masing. Kita mulai dari kesukaan seekor ikan, contoh ini diambil sebagai ibarat atau perumpamaan.

Kekuasaan seekor ikan adalah di air dan hanya disitulah seekor ikan akan hidup dan berarti. Maka andai ia menempati kolam atau laut yang dalam airnya, luas areanya dan jernih airnya maka dia akan suka sekali. Itu adalah tempat yang sempurna bagi ikan untuk mengekspresikan diri.

Dene (adapun) sukaning (yang disukai) manuk (burung), wêwêk (kekar) êlarira (sayapnya) tan (tidak) rêmpit (ciut), panjawat (sayap luar, kepak) karo (keduanya) kuwat (kuat), lêpas (lepas, melesat) ibêripun (terbangnya). Adapun yang disukai burung, kekar sayapnya tidak ciut, kepak kedua sayapnya kuat, melesat terbangnya.

Lain lagi dengan seekor burung, karena habitatnya adalah udara maka dia akan senang andai ia mempunyai sepasang sayap yang kekar, lebar tidak menyempit, kedua elarnya kuat sehingga bisa terbang melesat ke awan, menukik, bermanuver dengan bebas. Itulah burung yang sempurna.

Mungguh (bagi) ratu (raja) yèn (kalau) apêpak (lengkap), bala (tentara) yodha (senjata) santana (pembesar) lawan (dan) akardi (andal, bisa kerja), mantri (mantri) manggala (komandan) papat (empat). Bagi raja yang disukai kalau lengkap, tentara senjata pembesar dan mereka dapat diandalkan, dengan mantri empat komandan.

Bagi seorang raja apa yang disukainya juga berbeda dengan orang kebanyakan. Seorang raja akan sangat senang hati dan merasa sebagai raja sempurna jika mempunyai balatentara yang kuat dengan senjata yang lengkap, pembesar kerajaan yang patuh, dan pekerja yang selalu siap sedia, beserta para manggala di empat penjuru. Itulah raja yang sempurna.

Page 116: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

103

Kajian Panitisastra (48): Aja Tiru Kang Wolu

Bait ke-48, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Yèku singgih sidaning narpati, têgêse dibya luhur kawruhnya. Dene wong utama kuwe, aja tiru wêwolu, yèn tirua kang wolu dadi, anglarani sarira. Kang ora tiniru, srênggala kintêl lan ula bunglon têkèk lalêr ulêr kang tinampik cêcurut wolunira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yaitu luhur lestarinya sang raja, artinya unggul mulia pengetahuannya. Adapun orang utama itu, jangan meniru yang delapan, kalau meniru pun yang delapan menjadi, menyakiti diri sendiri. Yang tidak boleh ditiru, serigala kodok kintel dan ular, bunglon tokek lalat ulat yang tertolak, tikus curut genap delapannya.

Kajian per kata:

Yèku (yaitu) singgih (kaya dan luhur) sidaning (lestari) narpati (sang raja), têgêse (artinya) dibya (unggul, sembada) luhur (mulia) kawruhnya (pengetahuannya). Yaitu luhur lestarinya sang raja, artinya unggul mulia pengetahuannya.

Arti singgih adalah kaya dan mulia, terhormat, berwatak baik. Perwujudan dari watak singgih ini adalah orang kaya yang dermawan dan sholeh. Coba dibedakan dengan orang kaya yang curang dan gemar berpesta pora.

Page 117: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

104

Gambaran ini adalah gambaran raja unggulan yang dimaksud dalam bait sebelumnya. Yakni raja yang singgih dan lestari kekuasaannya, sembada dalam keperwiraan dan mulia ilmunya. Mungkin raja yang demikian watak dan ciri-cirinya itu hanyalah Sulaiman AS.

Dene (adapun) wong (orang) utama (utama) kuwe (itu), aja (jangan) tiru (meniru) wêwolu (yang delapan), yèn (kalau) tirua (meniru) kang (yang) wolu (delapan) dadi (menjadi), anglarani (menyakiti) sarira (badan, diri sendiri). Adapun orang utama itu, jangan meniru yang delapan, kalau meniru pun yang delapan menjadi, menyakiti diri sendiri.

Bagi kebanyakan orang apa yang membuat seorang raja menjadi sempurna tadi terlalu muluk untuk dicapai. Memang tidak setiap orang harus menjadi raja agar hidupnya sempurna. Setiap profesi atau posisi apapun selalu tersedia jalan untuk meraih kesempurnaan sebagai manusia utama. Yang paling penting adalah menjaga perilaku dan akhlaknya. Maka bagi yang berkehendak meraih keutamaan untuk dirinya sendiri janganlah meniru watak yang delapan ini. Kalau sampai meniru atau kebetulan mirip dengan watak yang delapan ini akan menyakiti diri sendiri. Watak apakah yang delapan itu?

Kang (yang) ora (tidak boleh) tiniru (ditiru), srênggala (serigala) kintêl (kodok kintel) lan (dan) ula (ular), bunglon (bunglon) têkèk (tokek) lalêr (lalat) ulêr (ulat) kang (yang) tinampik (tertolak), cêcurut (tikus curut) wolunira (genap delapannya). Yang tidak boleh ditiru, serigala kodok kintel dan ular, bunglon tokek lalat ulat yang tertolak, tikus curut genap delapannya.

Watak delapan yang tidak boleh ditiru adalah: wataknya serigala, kodok kintel, ular, bunglon, tokek, lalat, ulat dan tikus curut. Semua ini memang hewan yang menjijikkan, maka tak patut untuk ditiru. Serigala terkenal sifat bengisnya, amat jauh berbeda dengan anjing yang setia. Kodok kintel adalah kodok beracun yang tak enak dagingya, tak memberi manfaat bagi manusia. Ular terkenal sebagai hewan berbisa yang mencaplok hidup-hidup mangsanya. Bunglon adalah hewan yang berganti-ganti warna, melambangkan sifat munafik dan hanya ikut-ikutan saja. Tokek pun demikian, pandai berkamuflase menipu musuh dengan menyamar. Lalat adalah hewan yang suka terbang di tempat jorok. Ulat terkenal akan sifat rakusnya, tak berhenti makan sampai akhir siklus hidupnya. Dan terakhir

Page 118: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

105

tikus curut adalah hewan menjijikkan yang baunya menyengat menjengkelkan. Kedelapan hewan itu adalah tamsil atau ibarat bagi watak manusia yang harus dihindari. Jangan sampai kita tiru atau secara tak sengaja mirip salah satunya.

Page 119: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

106

Kajian Panitisastra (49): Aja Maido Pandhita

Bait ke-49, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Aja maido pandhita sêkti, dumadak lara lapa pinanggya. lan aja maido manèh, wêwêlinging sastrèku, lara lapa agêng pinanggih. Utama maidoa, sawulanging guru, parêk pati upamanya. Wangsapatra panjang putra kang binanting, watu pêcah tan purna.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan membantah pendeta sakti, mendadak menderita yang kautemui. Dan jangan menyangkal lagi, pesan-pesan kitab sastra itu, penderitaan besar yang kau temui. Andai menyangkalpun, ajaran-ajaran guru, dekat kematian umpamaya. Seperti pecah belah piring yang dibanting, di batu tak utuh lagi.

Kajian per kata:

Aja (jangan) maido (membantah) pandhita (pendeta) sêkti (sakti), dumadak (mendadak) lara lapa (menderita) pinanggya (yang ketemu). Jangan membantah pendeta sakti, mendadak menderita yang kautemui.

Jangan pernah membantah pendeta sakti, bisa mendadak menderita yang engkau temui. Pendeta sakti yang dimaksud adalah tokoh spiritual yang sudah paripurna dalam menjalani peribadatan. Dalam agama Hindu tokoh seperti ini sangat dihormati. Dalam agama Katolik pun demikian, mereka sangat menghormati pastur, kardinal atau Paus. Dalam agama Islam juga

Page 120: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

107

mereka sangat menghormati kyai atau syaikh. Yang demikian itu adalah amalan umum bagi setiap orang yang beragama. Sebab perkataan mereka tak boleh dibantah adalah yang pertama sebagai ungkapan rasa hormat, yang kedua sangat mungkin bahwa apa yang mereka katakan adalah benar. Akan lebih baik bila semua kata dari mereka kita renungkan dan kita ambil pelajaran darinya.

Lan (dan) aja (jangan) maido (menyangkal) manèh (lagi), wêwêlinging (pesan-pesan) sastrèku (kitab sastra itu), lara lapa (menderita) agêng (besar) pinanggih (yang ketemu). Dan jangan menyangkal lagi, pesan-pesan kitab sastra itu, penderitaan besar yang kau temui.

Juga tidak perlu menyangkal apa-apa yang telah tertulis dalam kitab-kitab itu. Bila ada dalam kitab-kitab itu ada yang dirasa janggal maka lebih dahulu tanyakan kepada ahlinya. Bila merasa yakin apa yang tertulis dalam kitab itu salah lebih baik disanggah dengan argumen yang terang dan kuat. Jangan hanya asal membantah atau maido.

Upama (andai) maidoa (menyangkal pun), sawulanging (ajaran) guru (guru), parêk (dekat) pati (kematian) upamanya (umpamanya). Andai menyangkalpun, ajaran-ajaran guru, dekat kematian umpamanya.

Apabila berani membantah asal-asalan semua ajaran guru maka dekatlah dia dengan kecelakaan ataupun kematian. Ada perumpamaan dibawah ini yang mengambarkan sikap suka membantah ajaran guru tersebut.

Wangsapatra (pecah belah) panjang putra (piring besar) kang (yang) binanting (dibanting), watu (batu) pêcah (pecah) tan (tak) purna (utuh). Seperti pecah belah piring yang dibanting, di batu tak utuh lagi.

Yakni seumpama wangsapatra panjang putra kang binanting, barang pecah belah berupa piring besar yang dibanting di batu. Kira-kira bagaimanakah keadaannya? Tentu hancur berkeping-keping. Itulah keadaannya orang yang membantah ajaran guru dan menyangkal kitab-kitab.

Page 121: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

108

Kajian Panitisastra (50): Tinilar Yen Tanpa Guna

Bait ke-50, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Têgal tanpa dukut tinilar ing, pasutaman tan kalawat têgal, lamun tan ana sukête. Puwara samun suwung, datan ana buron kang prapti. tan ana kang pinangan. Kang bangawan agung, nanging toyanipun asat . Apuwara tan sinaba dening paksi, kang padha sabèng rawa.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tegal tanpa rumput akan ditinggal, satwa yang tak kuat di tegal, kalau tak ada rumputnya. Akhirnya sepi sekali, tak ada buruan yang datang, tak ada yang dimakan. Yang sungai besar, tapi airnya mengering, akhirnya tak dirambah oleh burung, yang biasanya mencari makan di rawa.

Kajian per kata:

Têgal (tegal) tanpa (tanpa) dukut (rumput) tinilar (ditinggal) ing (oleh), pasutaman (satwa, hewan) tan (tak) kalawat (kuat) têgal (tegal), lamun (kalau) tan (tak) ana (ada) sukête (rumputnya). Tegal tanpa rumput akan ditinggal, satwa yang tak kuat di tegal, kalau tak ada rumputnya.

Kita beralih kepada perumpamaan yang lain. Ibarat sebidang tanah tegalan yang tandus tanpa tumbuh rerumputan di atasnya, maka segala satwa takkan kuat hidup di dalamnya, kalau tidak ada rumput sebagai makanannya.

Page 122: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

109

Puwara (akhirnya) samun (sepi) suwung (sepi), datan (tak) ana (ada) buron (buruan) kang (yang) prapti (datang), tan (tak) ana (ada) kang (yang) pinangan (dimakan). Akhirnya sepi sekali, tak ada buruan yang datang, tak ada yang dimakan.

Akhirnya satwa-satwa itu meninggalkan tegalan sehingga tegalan sepi. Tidak ada lagi hewan buruan yang datang karena tak tersedia sumber makanan yang dapat dimakan. Hanya karena rumput tak tumbuh, rantai makanan terputus total dan sebuah ladang kehilangan habitatnya.

Kang (yang) bangawan (sungai) agung (besar), nanging (tapi) toyanipun (airnya) asat (mengering), apuwara (akhirnya) tan (tak) sinaba (dirambah) dening (oleh) paksi (burung), kang (yang) padha sabèng (mencari makan di) rawa (rawa). Yang sungai besar, tapi airnya mengering, akhirnya tak dirambah oleh burung, yang biasanya mencari makan di rawa.

Demikian juga sebuah sungai besar, tetapi airnya mengering. Kondisi kering membuat ikan-ikan mati, akibatnya burung pemakan ikan juga ikut raib, burung-burung pemangsa yang lebih besar juga akan lenyap. Rantai makanan terputus karen tidak ada air, bagian paling awal dari sebuah kehidupan.

Ibarat ini memberi pelajaran bahwa jika seseorang ingin tetap hidup layak dan dikenang, lakukanlah kebaikan untuk orang lain. Jika kita sepi dari sifat baik lambat laun orang-orang akan meninggalkan kita, sebagaimana ladang ditinggalkan satwa dan sungai mengering yang ditinggalkan burung pemakan ikan.

Page 123: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

110

Kajian Panitisastra (51): Adoh Saking Dewagung

Bait ke-51, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kaya pandhita lamun ngoncati, pangabêkti ing dina raharja, nir saking pangabêktine, adoh lan dewa agung, cilakane kang marêpêki. Upamane narendra, panjênênganipun, nir pariksa lan apura, paramarta puwara prajane sêpi tinilar dening bala.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Seperti pendeta kalau menghindari, beribadah di hari baik, hilanglah pengabdiannya, jauh dari Tuhan Yang Agung, celakanya yang mendekati. Umpamanya seorang raja, beliau itu, tanpa periksa dan pemaaf, baik wataknya akhirnya negaranya sepi, ditinggal oleh rakyat.

Kajian per kata:

Kaya (seperti) pandhita (pendeta) lamun (kalau) ngoncati (menghindari), pangabêkti (beribadah) ing (di) dina (hari) raharja (baik), nir (hilanglah) saking (dari) pangabêktine (pengabdiannya), adoh (jauh) lan (dari) dewa agung (Tuhan Yang Agung), cilakane (celakanya) kang (yang) marêpêki (mendekati). Seperti pendeta kalau menghindari, beribadah di hari baik, hilanglah pengabdiannya, jauh dari Tuhan Yang Agung, celakanya yang mendekati.

Page 124: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

111

Seperti halnya pendeta yang menghindari beribadah pada hari baik, maka hilanglah dari pengabdiannya itu apa-apa yang menjadi tujuan dari beribadah, yakni kedekatan dengan Tuhan. Akibatnya jauh dari Tuhan dan mendekati kecelakaan. Seperti halnya ladang yang ditinggalkan satwa karena tak tumbuh rumput di atasnya, Tuhan juga meninggalkan ibadah hambanya yang dihatinya tidak tumbuh benih-benih keikhlasan.

Upamane (umpamanya) narendra (seorang raja), panjênênganipun (beliau itu), nir (tanpa) pariksa (periksa) lan (dan) apura (pemaaf), paramarta (baik wataknya) puwara (akhirnya) prajane (negaranya) sêpi (sepi), tinilar (ditinggal) dening (oleh) bala (bawahan, rakyat). Umpamanya seorang raja, beliau itu, tanpa periksa dan pemaaf, baik wataknya akhirnya negaranya sepi, ditinggal oleh rakyat.

Demikian juga bagi seorang raja yang tidak ada periksa, tidak ada perhatian kepada bawahan, tidak mengampuni kekhilafan bawahan serta tidak baik wataknya dalam mengelola kekayaan negara, raja yang demikian akhirnya akan ditinggalkan oleh balatentaranya, ditinggalkan oleh rakyatnya. Negara menjadi sepi, kemakmuran tak tercapai.

Semua contoh diatas memberi peringatan bahwa sesuatu yang tidak ada gunanya bagi orang banyak akan ditinggalkan secara perlahan-lahan ataupun secepatnya.

Page 125: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

112

Kajian Panitisastra (52): Tan Ana Kang Ginawa

Bait ke-52, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wêkasing gêsang amanggih pati, anak rabi arta lan kêncana, tan ana ginawakake. Ing kasugihanipun, wus pinêtak tinilar mulih, mring sanak wong atuwa. Anak rabinipun, kaya milua palastra, ambelani prihatin kalawan tangis, iya amung sadhela.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Akhir dari hidup pasti bertemu mati, anak istri harta dan emas, tak ada yang disertakan. Semua kekayaannya, setelah dikubur ditinggal pulang, oleh saudara dan orang tua. Anak istrinya, seolah ikut mati, membela dengan sedih dan menangis, itu juga hanya sebentar.

Kajian per kata:

Wêkasing (akhir dari) gêsang (hidup) amanggih (bertemu) pati (mati), anak (anak) rabi (istri) arta (harta) lan (dan) kêncana (emas), tan (tak) ana (ada) ginawakake (yang disertakan). Akhir dari hidup pasti bertemu mati, anak istri harta dan emas, tak ada yang disertakan.

Akhir dari kehidupan adalah bertemu kematian. Ini adalah takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Anak dan istri, harta dan emas takkan dibawakan serta. Kalaupun dibawakan ke kubur juga takkan dibawa ke

Page 126: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

113

akhirat, tempat kehidupan yang akan datang. Semua milik yang ada akan tetap tertinggal di dunia ini.

Ing (semua) kasugihanipun (kekayaannya), wus (sudah) pinêtak (dikubur) tinilar (ditinggal) mulih (pulang), mring (oleh) sanak (saudara) wong (orang) atuwa (tuwa). Semua kekayaannya, setelah dikubur ditinggal pulang, oleh saudara dan orang tua.

Semua kekayaannya, sesudah dikubur akan ditinggalkan untuk anak-istri, sanak-saudara, ayah-ibu jika masih ada. Tak satupun dari mereka akan ikut serta, dan kalaupun ikut dengan menumpang mati atau bela mati juga takkan bertemu di sana karena amalannya jelas berbeda. Pendek kata kematian adalah sesuatu yang harus dihadapi sendirian.

Anak (anak) rabinipun (istrinya), kaya (seolah) milua (ikut) palastra (mati), ambelani (membela) prihatin (dengan sedih) kalawan (dan) tangis (menangis), iya (itu juga) amung (hanya) sadhela (sebentar). Anak istrinya, seolah ikut mati, membela dengan sedih dan menangis, itu juga hanya sebentar.

Anak dan istri yang ditinggalkan akan merasa sangat sedih, saking sedihnya akan menangis sepanjang hari seolah-olah hendak ikut serta. Namun yang demikian itu juga hanya sebentar, takkan bersedih lama-lama. Berganti waktu mereka akan melupakan atau malah segera mencari pengganti.

Sesudah kita tahu bahwa kematian adalah peristiwa pribadi yang mesti disiapkan sendiri-sendiri, maka semestinya kita mulai mempersiapkan diri menyambutnya. Toh dihindari juga tak mungkin. Menghadapinya adalah pilihan satu-satunya.

Page 127: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

114

Kajian Panitisastra (53;54): Acawis ing Kapatin

Bait ke-53;54, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kang acawis-cawis ing kapatin, barang panggawe satingkah polah, kang bêcik ingkang pinilèh, nuntun marga rahayu. Yèn panggawe ala pinanggih, ngiring marang cilaka, naraka tinêmu, kalingane ing agêsang. Anglêkasna ing budi barang kayèki, mrih adarma lan dana. Têgêse lamun tinitah sugih, donya iku kinarya angrêksa, karahayon ing samangke. Ing kaping kalihipun, angrahayokakên ing urip, anom wêkasan tuwa. Tuwa wêkasipun, tuwa awêkasan pêjah. Kasugihan pan ora ginawa mati, tan milu kaelangan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yang berjaga-jaga terhadap hari kematian, semua perbuatan segala tingkah polah, yang baik yang dipilih, yang menuntun pada keselamatan. Kalau perbuatan buruk yang dilakukan, mengarahkan kepada celaka, neraka yang ditemui, penghalangnya dalam hidup. Jadikan watak dalam budi sembarang (perbutan) seperti ini, agar berbuat kebaikan dan pemberian (sedekah).

Page 128: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

115

Artinya kalau terlahir kaya, harta dunia itu dipakai menjaga, keselamatan nantinya. Yang kedua kalinya, mengupayakan kebaikan dalam hidup, sejak muda sampai akhirnya tua. Tua pada akhirnya, setelah tua akhirnya mati, kekayaan takkan dibawa mati, tak ikut kehilangan.

Kajian per kata:

Kang (yang) acawis-cawis (berjaga-kaga) ing (pada) kapatin (hari kematian), barang (semua) panggawe (perbuatan) satingkah (segala tingkah) polah (laku, polah), kang (yang) bêcik (baik) ingkang (yang) pinilèh (dipilih), nuntun (menuntun) marga (ke jalan) rahayu (keselamatan). Yang berjaga-jaga terhadap hari kematian, semua perbuatan segala tingkah polah, yang baik yang dipilih, yang menuntun pada keselamatan.

Bagi yang berjaga-jaga menghadapai kematian, persiapkan diri agar kelak selamat hidupnya di alam akhirat. Semua perbuatan, segala tingkah polah, pilihlah yang baik. Manusia di dunia hanya diberi pilihan dua jalan saja, yang baik dan buruk. Mengenalinya juga bukan hal yang sulit, namun memilihnya butuh kedisiplinan. Ini bukan perkara yang sederhana karena yang dilawan adalah hawa nafsu yang cenderung kepada kerusakan serta menjauhkan dari keselamatan. Diperlukan usaha yang keras agar tetap berada di jalan yang menuju kepada keselamatan.

Yèn (kalau) panggawe (perbuatan) ala (buruk) pinanggih (ketemu, yang dilakukan), ngiring (mengarahkan) marang (kepada) cilaka (celaka), naraka (neraka) tinêmu (yang ditemu), kalingane (penghalangannya) ing (dalam) agêsang (hidup). Kalau perbuatan buruk yang dilakukan, mengarahkan kepada celaka, neraka yang ditemui, penghalangnya dalam hidup.

Jika tidak, maka akan tergelincir kepada perbuatan buruk yang mengarahkan kepada celaka di alam akhirat nanti, neraka yang akan

Page 129: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

116

ditemuinya. Dan sebagian besar orang yang celaka itu bukan orang yang tidak tahu bahwa jalan yang ditempuhnya salah, namun orang yang tidak kuasa mengendalikan nafsunya, dan orang-orang yang tidak berhati-hati terhadap tipu daya dari nafsu itu.

Anglêkasna (jadikan watak) ing (dalam) budi (budi) barang (sembarang) kayèki (seperti ini), mrih (agar) adarma (kebaikan) lan (dan) dana (pemberian, sedekah). Jadikan watak dalam budi sembarang (perbutan) seperti ini, agar berbuat kebaikan dan memberi (sedekah).

Anglekasna berasal dari kata dasar lekas, artinya watak atau tabiat. Jadikan watak dalam budi sembarang perbuatan seperti ini, yakni berbuatlah kebaikan dan keluarkan pemberian atau sedekah kepada orang yang membutuhkan. Arti dari gatra ini adalah latihlah agar mempunyai watak yang gemar berbuat baik dan suka memberi. Dana adalah harta pemberian kepada orang lain untuk suatu amal kebaikan.

Têgêse (artinya) lamun (kalau) tinitah (terlahir) sugih (kaya), donya (harta dunia) iku (itu) kinarya (dipakai) angrêksa (menjaga), karahayon (keselamatan) ing samangke (nantinya). Artinya kalau terlahir kaya, harta dunia itu dipakai menjaga, keselamatan nantinya.

Artinya kalau terlahir kaya harta dunia, pakailah untuk menjaga keselamatannya nanti. Gunakan untuk beramal dan membiayai perbuatan yang baik, yang ada manfaatnya untuk orang banyak. Jangan hanya dihabiskan untuk mendanai perbuatan buruk, bersuka-suka dan membelanjakan dengan mubazir.

Ing (yang) kaping kalihipun (kedua kalinya), angrahayokakên (mengupayakan kebaikan) ing (dalam) urip (hidup), anom (muda) wêkasan (sampai akhirnya) tuwa (tua). Yang kedua kalinya, mengupayakan kebaikan dalam hidup, sejak muda sampai akhirnya tua.

Yang kedua, mengupayakan kebaikan dalam hidup, sejak muda sampai akhirnya tua. Bahwa perbuatan baik mesti dilakukan sejak kecil agar kelak jika dewasa sudah terbiasa. Tidak ada orang muda yang di kala waktu mudanya dihabiskan untuk berbuat buruk setelah tua bisa beralih berbuat baik. Karena watak manusia akan sulit berubah, takkan mudah bagi seseorang untuk berganti kebiasaan. Apalagi kesenangan duniawi bersifat

Page 130: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

117

mencandui (adiktif), sulit untuk dihentikan bahkan mengalami ekskalasi sejalan dengan waktu.

Tuwa (tua) wêkasipun (pada akhirnya), tuwa (setelah tua) awêkasan (akhirnya) pêjah (mati), kasugihan (kekayaan) pan (akan) ora (tidak) ginawa (dibawa) mati (mati), tan (tak) milu (ikut) kaelangan (kehilangan). Tua pada akhirnya, setelah tua akhirnya mati, kekayaan takkan dibawa mati, tak ikut kehilangan.

Jika tidak dibiasakan untuk berbuat kebaikan dan malah dipakai untuk membiayai kemungkaran, ingatlah bahwa harta itu takkan berguna setelah tua, apalagi setelah kematian. Jika seseorang mempunyai kegemaran makan dan minum yang enak-enak, maka setelah tua tidak akan enak lagi karena fungsi tubuh sudah menurun. Apalagi jika gemar minum minuman keras, akan semakin cepat kenikmatan itu hilang. Jika seseorang gemar main perempuan, apakah dia masih bisa melakukannya ketika berusia 80 tahun? Cepat atau lambat kenikmatan dunia akan hambar dan menghilang bahkan ketika kita masih hidup. Dan semua kekayaan yang dimiliki ketika dibelanjakan di jalan keburukan tidak akan memberi bekas apapun.

Berbeda dengan jika dipakai untuk membiayai perbuatan baik, semakin tua akan terasa nikmatnya. Sama halnya perbuatan buruk, perbuatan baik juga bersifat mencandui bagi pelakunya. Bedanya ketika tua organ tubuh atau alat untuk menikmatinya akan semakin berkembang. Orang semakin menikmati perbuatan baiknya ketika tua dan semakin bersemangat karena godaan nafsu telah mereda. Ini membuat hidupnya makin berarti, jauh dengan orang yang memperturutkan hawa nafsu, ketika tua hidupnya hampa.

Demikianlah hendaknya perlakuan kita terhadap harta benda yang kita miliki. Harta benda itu takkan pernah dibawa mati, namun jika dibelanjakan pada kebaikan pahalanya akan menemani kita di alam kelanggengan.

Page 131: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

118

Kajian Panitisastra (55): Yen Bagus Dadi Busananing Nagri

Bait ke-55, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wong tumuwuh yèn bagus kang warni, dadi busana ing pasamuan. Miwah wong bêcik kulane, abagus warnanipun, iku dadi busanèng nagri, pinilih ing sang nata. Wong susastra mungguh, lungguhe alêp sêmunya, tan katiwang dene para sujana di, ana ing pasamuan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang hidup kalau cantik rupanya, menjadi hiasan dalam perjamuan. Serta orang yang baik keturunannya, cantik rupanya, itu menjadi hiasannya negara, dipilih oleh sang raja. Orang yang pandai sastra baginya, sikap dan perilakunya menawan, tak tersingkir dari orang pintar dan orang baik, di dalam perjamuan.

Kajian per kata:

Wong (orang) tumuwuh (hidup) yèn (kalau) bagus (cantik) kang warni (rupanya), dadi (menjadi) busana (hiasan) ing (di) pasamuan (perjamuan). Orang hidup kalau cantik rupanya, menjadi hiasan dalam perjamuan.

Sudah menjadi kelaziman jika manusia suka memandang yang indah-indah, pegunungan hijau dengan air terjun mengalir di sela-sela

Page 132: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

119

pepohonan, lautan biru dengan pohon nyiur melambai-lambai, dan sebagainya. Pakaian yang indah-indah berwarna warni, barang-barang perabot yang bagus berukir, sampai emas permata bertahtakan berlian. Itu semua adalah keindahan dunia yang fitrah manusia cenderung kepadanya.

Begitu juga tentang keindahan tubuh dan wajah manusia. Tidak salah kalau manusia suka memandang wajah-wajah rupawan nan cantik jelita. Dengan proporsi anggota tubuh yang ideal, wajah-wajah rupawan merebut perhatian. Maka di setiap perjamuan orang-orang yang dikarunia keelokan wajah pasti menjadi perhiasan yang memeriahkan setiap acara. Tak aneh kalau mereka sengaja dipajang sebagai pesona.

Miwah (serta) wong (orang) bêcik (baik) kulane (keturunannya), abagus (cantik) warnanipun (rupanya), iku (itu) dadi (menjadi) busanèng (hiasan) nagri (negara), pinilih (dipilih) ing (oleh) sang (sng) nata (raja). Serta orang yang baik keturunannya, cantik rupanya, itu menjadi hiasannya negara, dipilih oleh sang raja.

Dalam hal bermasyarakat dan bernegara ada pula keindahan-keindahan yang akan menjadi perhiasan. Yakni orang-orang yang berwajah rupawan dan berketurunan baik. Ini mengandung pengertian bahwa selain wajah yang rupawan tadi juga perlu kriteria tambahan, yakni berketurunan baik. Tentu yang dimaksud baik di sini adalah memberi manfaat kepada orang banyak. Orang-orang baik tersebut akan menjadi perhiasan dari suatu masyarakat atau negara, dan keturunannya diharapkan akan melanjutkannya sebagai perhiasan negri.

Wong (orang) susastra (pandai sastra) mungguh (baginya), lungguhe (sikapnya) alêp (menawan) sêmunya (perilakunya), tan (tak) katiwang (tersingkir) dene (bagi) para (para) sujana (orang pintar) di (dan baik), ana (ada) ing (dalam) pasamuan (perjamuan). Orang yang pandai sastra baginya, sikap dan perilakunya menawan, tak tersingkir dari orang pintar dan orang baik, di dalam perjamuan.

Dalam komunitas para orang pintar yang akan menjadi perhiasan adalah mereka yang menguasai sastra. Maksudnya adalah para ilmuwan yang menguasai kitab-kitab (sastra). Sikap mereka menawan dan perilakunya menyenangkan. Mereka takkan tersingkir dari perjamuan.

Page 133: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

120

Bait ini memberi pelajaran tentang hal-hal yang menjadikan seseorang disenangi orang banyak dan menjadi perhiasan dari kehidupan. Selain daripada wajah-wajah yang rupawan juga ada pesona lain yakni keluhuran keturunan mereka, maksudnya adalah jasa-jasa atau kebaikan mereka, serta ketinggian dalam ilmu pengetahuan. Kata susastra jangan direduksi sekedar karya sastra semacam pusi atau prosa, namun dalam makna generiknya: semua yang ditulis, juga perlu ditambahkan sastra lisan yang disebarkan lewat tutur tinular. Kata ini merujuk mereka-mereka yang berkutat dengan buku atau pengetahuan, atau disebut juga ilmuwan, cendekia, dalam bahasa Jawa disebut sujana ataupun sarjana.

Page 134: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

121

Kajian Panitisastra (56): Wong Limpad Ngresepaken Manah

Bait ke-56, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Kalawan wong wus limpad wêrdining, sastra iku ngrêsêpakên manah. Ing raja glis pandangune, papat kang dipun dangu, dhingin trape ing linggih kaping, kalih kagunanira. Ingkang kaping têlu, pagaweyane kaping pat, kuwanène pamriksaning kêncana di, iya kaping sakawan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dan orang sudah menguasai makna dalam, sastra itu menyenangkan hati. Oleh raja cepat dipanggil, empat hal yang ditanyakan. Yang pertama perilakunya ketika duduk, yang kedua kepandaiannya. Yang ketiga, pekerjaannya yang keempat, keberaniannya dalam memeriksa emas, itu yang keempatnya.

Kajian per kata:

Kalawan (dan) wong (orang) wus (sudah) limpad (menguasai) wêrdining (makna dalam), sastra (sastra, kitab) iku (itu) ngrêsêpakên (menyenangkan) manah (hati). Dan orang sudah menguasai makna dalam, sastra itu menyenangkan hati.

Orang yang menguasai sastra, atau kitab-kitab atau dengan kata lain para ilmuwan, orang pandai, cerdik cendekia, sikapnya selalu menyenangkan

Page 135: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

122

hati. Jika kita bercakap atau bertemu muka dengannya pastilah segera mendapat hikmat atau pengetahuan tentang kehidupan. Perumpamaannya apabila kita berteduh di bawah pohon mangga yang lebat buahnya, pastilah salah satunya akan jatuh.

Ing (oleh) raja (raja) glis (cepat) pandangune (dipanggil), papat (empat) kang (yang) dipun (di) dangu (tanya). Oleh raja cepat dipanggil, empat hal yang ditanyakan.

Oleh raja cepat dipanggil. Karena orang pandai sangat dibutuhkan negara maka raja segera memanggil jika mengetahui ada warga yang mempunyai kemampuan lebih. Empat hal yang akan ditanyakan oleh raja kepada orang pandai tersebut.

Dhingin (yang pertama) trape (perilakunya) ing linggih (ketika duduk) kaping (yang), kalih (kedua) kagunanira (kepandaiannya). Yang pertama perilakunya ketika duduk, yang kedua kepandaiannya.

Yang pertama akan dilihat perilakunya ketika duduk, maksudnya akan dinilai subasitanya, diuji tatakramanya apakah sudah sempurna atau belum. Yang kedua akan ditanya kepandaiannya. Mengapa didahulukan dalam hal tatakrama? Karena memang itulah buah dari kehidupan manusia. Ibarat buah mangga walau kelihatan rimbun daunnya namun tidak berbuah lalu apa gunanya. Dalam hal manusia walau sepintar apapun kalau tidak mampu bersikap baik atau subasitanya sempurna, sama keadaannya dengan pohon yang tak berbuah tadi.

Ingkang (yang) kaping têlu (ketiga), pagaweyane (pekerjaannya) kaping pat (yang keempat), kuwanène (keberaniannya) pamriksaning (dalam memerikasa) kêncana di (emas), iya (juga) kaping sakawan (yang keempatnya). Yang ketiga, pekerjaannya yang keempat, keberaniannya, dalam memeriksa emas, juga empat kali.

Yang ketiga, kemampuannya dalam bekerja. Ini berhubungan dengan kemampuan praktis dan sesungguhnya disinilah letak perbedaannya antara satu manusia dengan yang lain. Orang yang pandai akan menangani perkara dengan lebih baik dan tuntas, cepat dan tidak mengulang atau mindhogaweni. Yang keempat, berkaitan dengan keberaniannya. Orang yang berani tidak akan takut untuk menerapkan pengetahuan dan prinsip yang diyakini. Ini menjadi penting karena kadang masalah tidak selesai

Page 136: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

123

bukan karena tidak tahu bagaimana solusinya, tapi kadang karena takut untuk mengeksekusi sebuah solusi.

Itulah pertanyaan dari raja untuk mengetahui kemampuan seseorang. Semua itu agar diperoleh orang yang berkualitas dan sanggup menjalankan amanat. Untuk mengetahui mutu emas juga harus mengalami empat kali pemeriksaan seperti di atas. Ini sebagai perumpamaan, seperti akan kita lihat pada bait berikutnya.

Page 137: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

124

Kajian Panitisastra (57): Patang Prakara Cinoba

Bait ke-57, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Dhingin dinakar kang kaping kalih, pinalu kaping tiga binakar, lan gêni pamariksane. Dene kaping patipun, pan tinugêl gèning ngyêktèni. Yèn mungguhing narendra, sandining sang prabu, inggih ing patang prakara. Endi lire kang dhingin cinobèng èstri, kaping kalihing arta. Kaping tiga kawignyaning kardi, dene ingkang kaping pat kasuran iku kang cinobakake. Ing arta anglês surud, yèn ing èstri sring ngucirani, ing karya tanpa dadya, ing kasuran murud. Sêpi ing papat pariksa, tan sayogya tinunggalêna alinggih, satata pra sujana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yang pertama digelar yang kedua, dipukul yang ketiga dibakar, dengan api pemeriksaanya. Adapun yang keempatnya, akan dipotong di tempat untuk menandai. Kalau bagi seorang raja, isyarat pemeriksaan raja, yakni dalam empat perkara. Yang mana maksudnya yang pertama dicoba dengan wanita, yang kedua dengan harta.

Page 138: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

125

Yang ketiga keahlian dalam pekerjaan, adapun yang keempat keberanian, itu yang dicobakan. Dalam harta hilang meredup, kalau dalam wanita sering pergi menghilang, dalam pekerjaan tanpa hasil, dalam keberanian akan mati. Jika sepi dalam empat kriteria itu, tak sepantasnya disatukan duduknya, satu meja dengan para orang pintar.

Kajian per kata:

Dhingin (yang pertama) dinakar (digelar) kang kaping kalih (yang kedua), pinalu (dipukul) kaping tiga (yang ketiga) binakar (dibakar), lan (dengan) gêni (api) pamariksane (pemeriksaannya). Yang pertama digelar yang kedua, dipukul yang ketiga dibakar, dengan api pemeriksaanya.

Kata dinakar dalam bait ini mempunyai redaksi yang berbeda dengan versi lain. Dalam versi lain kata ini berganti dinadar, artinya digelar atau dihamparkan. Karena kata dinakar tidak kami temui dalam literatur atau kamus maka kami mengacu pada versi lain sebagai pembanding, yakni digelar.

Bait ini menerangkan tentang cara mengetahui mutu sebongkah emas sebagai perumpamaan untuk mengetahui kualitas seorang calon punggawa yang diperiksa oleh raja sebagaimana diuraikan dalam bait yang lalu. Yang pertama emas tersebut digelar atau dihamparkan, yang kedua dipukul agar terpecah-pecah dari bijihnya sehingga memudahkan dalam melebur. Yang ketiga dibakar sampai menjadi adonan agar terpisah antara emas dan kotorannya.

Dene (adapun) kaping patipun (yang keempatnya), pan (akan) tinugêl (dipotong) gèning (di tempat) ngyêktèni (menandai). Adapun yang keempatnya, akan dipotong di tempat untuk menandai.

Yang keempat setelah mengeras kemudian dipotong untuk mengetahui kadar kemuliaannya. Demikianlah perumpamaan bagi manusia, untuk mendapatkan calon punggawa yang berkualitas dan kapabel (mumpuni) diperlukan test (pemeriksaan) berjenjang. Tetapi sesungguhnya setiap

Page 139: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

126

jabatan apapun baik kenegaraan, informal maupun non formal pastilah ada semacam test atau ujian. Bahkan seorang raja pun mempunyai ujian sendiri, lewat mekanisme hukum alam ujian itu diterapkan, seperti diuraikan di bawah ini.

Yèn (kalau) mungguhing (bagi seorang) narendra (raja), sandining (isyarat pada) sang (sang) prabu (raja), inggih (yakni) ing (dalam) patang (empat) prakara (perkara). Kalau bagi seorang raja, isyarat pemeriksaan raja, yakni dalam empat perkara.

Bagi seorang raja isyarat pemeriksaannya juga ada empat. Pemeriksaan di sini lebih bersifat ujian dari alam, yakni serangkaian kejadian atau peristiwa yang membuat karakter seorang raja menguat atau justru melemah dan jatuh. Bisa disebut juga ujian alamiah seorang raja sehingga seseorang raja menjadi raja besar atau malah kerajaannya gulung tikar.

Endi (yang mana) lire (maksudnya) kang (yang) dhingin (pertama) cinobèng (dicoba) èstri (wanita), kaping kalihing (yang kedua) arta (harta). Yang mana maksudnya yang pertama dicoba dengan wanita, yang kedua dengan harta.

Yang pertama dari ujian itu adalah dicoba dengan wanita. Betapa banyak raja yang jatuh dalam perangkap wanita. Contohnya Raja Rahwana dari Alengka yang kerajaannya jatuh akibat dia terpesona dengan Dewi Sinta.

Yang kedua dalam hal harta, bagaimana perlakuan harta benda hasil perolehan negara hendak dimanfaatkan oleh sang raja. Apakah dipakai untuk kemewahan dan kebesaran diri, ataukah dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua sikap itu menentukan seorang raja yang bagaimanakah dia, raja lalim atau raja bijak.

Kaping tiga (yang ketiga) kawignyaning (pemahaman, keahlian) kardi (pekerjaan), dene (adapun) ingkang (yang) kaping pat (keempat) kasuran (keberanian), iku (itu) kang (yang) cinobakake (dicobakan). Yang ketiga keahlian dalam pekerjaan, adapun yang keempat keberanian, itu yang dicobakan.

Yang ketiga pemahaman dalam pekerjaan raja. Seorang raja yang cakap akan membuat negara sejahtera dan terhormat, sebaliknya raja lemah yang tak mempunyai kepandaian mengelola akan membuat negara hancur secara pasti. Contoh yang nyata terjadi di Mataram, ketika Sultan Agung

Page 140: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

127

berkuasa, Mataram yang merupakan kerajaan baru langsung menjadi pusat kekuasaan dengan wilayah yang luas, angkatan perang yang kuat dan posisi yang terhormat di dunia internasional. Banyak sekutu-sekutu di luar pulau Jawa yang tunduk dan hormat kepada Mataram.

Namun ketika tahta bergulir kepada anaknya, Amangkurat I, segera saja negara besar warisan orang tuanya itu porak poranda. Padahal semestinya dia lebih mudah memerintah karena mewarisi kerajaan yang sudah besar dan kuat. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Mataram hancur berkeping-keping. Yang membedakan keduanya adalah kecakapan.

Yang keempat adalah keberanian. Ini juga merupakan cobaan yang akan melahirkan seorang raja besar atau pecundang. Kita masih akan mengambil contoh dari apa yang terjadi di Mataram pada masa Sultan Agung dan anaknya Amangkurat I. Pada masa Sultan Agung Mataram menjadi kerajaan yang kuat dan disegani karena keberanian rajanya. Batavia yang berjarak ratusan kilometer pun diserang hingga dua kali, walau mereka tahu dari segi persenjataan jelas kalah karena Belanda mempunyai senapan.

Sebaliknya di zaman Amangkurat I Mataram tak ubahnya seperti kerajaan kecil tanpa kedaulatan. Amangkurat I bahkan harus melarikan diri dari kerajaan akibat serangan Trunajaya, seorang adipati dari Madura yang jelas kekuasaan dan kemampuannya bukan tandingan Mataram.

Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, MC Ricklefs mencatat bahwa Amangkurat memerintah Mataram dengan lalim. Banyak lawan politik disingkirkan sehingga menimbulkan keresahan dalam intern kerajaan. Amangkurat bahkan tidak berani melakukan ekspedisi seperti Sultan Agung karena ketidakpercayaannya kepada para prajuritnya. Dia tidak berani meninggalkan istananya yang selalu dijaga ketat. Ini sudah membuktikan seberapa kadar kecakapan dan keberanian seorang Amangkurat I. Tak aneh pada masanya kerajaan Mataram musnah, berganti negara boneka bentukan VOC di bawah putera Amangkurat I, yakni Amangkurat II.

Ing (dalam) arta (harta) anglês (hilang) surud (meredup), yèn (kalau) ing (dalam) èstri (wanita) sring (sering) ngucirani (pergi), ing (dalam) karya (pekerjaan) tanpa (tanpa) dadya (hasil), ing (dalam) kasuran (keberanian) murud (hilang, musnah, mati). Dalam harta hilang meredup, kalau dalam

Page 141: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

128

wanita sering pergi menghilang, dalam pekerjaan tanpa hasil, dalam keberanian akan mati.

Sekarang marilah kita kaji satu persatu apa akibat gagalnya ujian bagi seorang raja sesuai empat perkara di atas. Dalam hal harta ketahuilah bahwa suatu saat pasti hilang, oleh karena itu gunakan sebaik-baiknya sebelum lenyap. Adapun wanita suatu saat juga pasti akan pergi meninggalkanmu jika engkau telah gagal. Dan dalam pekerjaan sering kali tidak memberi hasil. Dalam keberanian jika gagal maka akan tewas. Walau demikian dalam keempatnya jangan sampai berkurang kadar kepemilikannya. Seseorang baik raja maupun calon punggawa tadi harus mempunyainya.

Sêpi (sepi) ing (dalam) papat (empat) pariksa (kriteria), tan (tak) sayogya (sepantasnya) tinunggalêna (disatukan) alinggih (duduknya), satata (satu meja, satu forum) pra (para) sujana (orang pintar). Jika sepi dalam empat kriteria itu, tak sepantasnya disatukan duduknya, satu meja dengan para orang pintar.

Jika tidak mempunyai keempatnya maka tak pantas duduk bersama dengan para orang pintar. Tidak level kalau istilah zaman sekarang.

Page 142: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

129

Kajian Panitisastra (59): Papat Traping Dhendha

Bait ke-59, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Nanging yèn trahing sujana dhingin, anaking wong wruh wêrdining sastra, sayogya sinabarake. Tinatrapan karuhun, dhêndha wada kang kaping kalih, tinrapan dhêndha arta, wada kaping têlu, dhêndha lara sawatara. Yèn kaping pat tinatrapan dhêndha pati, papat ring wêwilangan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tetapi kalau keturunan orang pintar dahulu, anak orang mengetahui maksa sastra, lebih pantas dilakukan dengan sabar. Diterapkan dahulu, huikuman verbal yang kedua, diterapkan hukuman harta, dan verbal yang ketiga, hukuman badan sesuai kadarnya. Kalau yang keempat diterapkan hukuman mati, empat itulah bilangannya.

Kajian per kata:

Nanging (tetapi) yèn (kalau) trahing (keturunan) sujana (orang pintar) dhingin (dahulu), anaking (anak) wong (orang) wruh (mengetahui) wêrdining (makna) sastra (sastra, kitab), sayogya (lebih pantas) sinabarake (dilakukan dengan sabar). Tetapi kalau keturunan orang pintar dahulu, anak orang mengetahui makna sastra, lebih pantas dilakukan dengan sabar.

Bait ini menguraikan tentang tahapan memberi hukuman yang berlaku pada kalangan orang pintar terhadap anak-anak mereka yang melakukan

Page 143: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

130

kesalahan. Dalam menghukum, mereka melakukan dengan sabar. Tidak serta merta melakukan hukuman yang berat, melainkan dilakukan dalam rangka pendidikan, untuk menimbulkan efek jera.

Tinatrapan (diterapkan) karuhun (dahulu), dhêndha (hukuman) wada (verbal) kang (yang) kaping kalih (kedua kali), tinrapan (diterapkan) dhêndha (hukuman, denda) arta (harta), wada (verbal) kaping têlu (yang ketiga), dhêndha (hukuman) lara (sakit, hukuman badan) sawatara (sesuai kadarnya). Diterapkan dahulu, huikuman verbal yang kedua, diterapkan hukuman harta, dan verbal yang ketiga, hukuman badan sesuai kadarnya.

Yang terlebih dahulu dilakukan adalah memberi hukuman verbal. Wada berarti celaan atau peringatan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tak pantas. Ini adalah pernyataan mengenai kecacatan moral seseorang atau penilaian buruk. Diharapkan dengan peringatan atau pernyataan itu yang bersangkutan memperbaiki diri.

Apabila belum memperbaiki diri dan justru mengulang lagi perbuatan buruk serupa maka diberi hukuman verbal dan hukuman harta, yakni dikenakan denda yang harus dibayar. Namun apabila masih juga dilakukan pengulangan maka dikenakan hukuman badan, yakni hukuman yang menimbulkan rasa sakit.

Yèn (kalau) kaping pat (yang keempat) tinatrapan (diterapkan) dhêndha (hukuman) pati (mati), papat (empat) ring (pada) wêwilangan (bilangannya). Kalau yang keempat diterapkan hukuman mati, empat itulah bilangannya.

Yang keempat kalau masih saja mengulangi maka dijatuhi hukuman mati. Empat itulah tahapan pelaksanaan hukuman yang benar dan menjadi kebiasaan orang-orang yang mengetahui kebenaran. Keempatnya tentulah harus disesuaikan dengan dosa dan kesalahan yang dilakukan. Namun para orang-orang zaman dahulu memang punya anggapan bahwa setiap kesalahan selalu mungkin dilakukan hukuman maksimal. Kita ingat pada zaman Ratu Shima, seorang pangeran hampir saja dihukum mati hanya karena menendang sebuah bungkusan yang isinya ternyata emas milik orang lain. Jadi apa yang tertulis dalam serat ini mungkin saja terjadi di zaman dahulu mengingat usia babon asli serat ini sudah sangat tua.

Page 144: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

131

Kajian Panitisastra (60): Suka Duka Utang-Potang

Bait ke-60, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Suka lan duka lirnya duk lagi, sih-sinihan wong utang lan potang. Kakang yayi wêkasane, lir srênggala lan wêdhus. Kang autang lamun tinagih, mung anaur sêmaya, kang potang arêngu, têmah padha cêcêngilan. Padha pisuh-pinisuh puniku dadi, pisahing pasanakan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Suka dan duka seperti ketika sedang, berkasih-kasihan orang yang bergutang dan piutang. Yang tadinya seperti kakak-adik tapi akkhirnya, seperti serigala dan kambing. Yang berhutang kalau ditagih, hanya membayar dengan janji, yang piutang menjadi sakit hati, sehingga sama-sama bertengkar. Sama-sama saling memaki itulah yang menjadi sebab, putusnya persaudaraan.

Kajian per kata:

Suka (senang) lan (dan) duka (susah) lirnya (seperti) duk (ketika) lagi (sedang), sih-sinihan (berkasih-kasihan) wong (orang) utang (berhutang) lan (dan) potang (piutang). Suka dan duka seperti ketika sedang, berkasih-kasihan orang yang bergutang dan piutang.

Sekarang kita beralih ke persoalan lain, hutang-piutang. Seseorang apabila sedang kepepet kebutuhan hidup dan sudah mentok segala upaya untuk mencari sarana biasanya melakukan potang atau berhutang. Dan hutang itu pasti terjadi diantara dua orang yang saling kenal dan cukup akrab. Zaman

Page 145: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

132

dahulu belum ada lembaga kredit semacam bank jadi pasti hutang-piutang terjadi antara dua kawan karib atau saudara dekat yang saling mempercayai. Antara kedua pihak pastilah ada rasa saling kasih, jika tidak mana mungkin salah satunya merelakan hartanya untuk dipinjam.

Kakang (kakak) yayi (adik) wêkasane (akhirnya), lir (seperti) srênggala (srigala) lan (dan) wêdhus (kambing). Yang tadinya seperti kakak-adik tapi akkhirnya, seperti serigala dan kambing.

Namun banyak terjadi kemudian, yang tadinya saling kasih ibarat kakak-adik berubah menjadi musuh seperti serigala dan kambing. Enggan bertegur sapa, menghindar sampai pura-pura tidak kenal. Ada juga yang malah saling membenci dan memutus persaudaraan.

Kang (yang) autang (berhutang) lamun (kalau) tinagih (ditagih), mung (hanya) anaur (membayar) sêmaya (dengan janji), kang (yang) potang (piutang) arêngu (sakit hati), têmah (sehingga) padha (sama-sama) cêcêngilan (bertengkar, saling jail). Yang berhutang kalau ditagih, hanya membayar dengan janji, yang piutang menjadi sakit hati, sehingga sama-sama bertengkar.

Sebab sering terjadi yang berhutang kalau ditagih hanya membayar dengan janji-janji, sengaja menyebut tempo tertentu agar selama masa menunggu jatuh tempo si piutang tidak menagih lagi. Kalau kemudian pada hari jatuh tempo ternyata belum juga ada uang yang dijanjikan, maka dia membuat janji lagi dengan tempo lagi. Begitu seterusnya sampai si penagih jengkel dan sakit hatinya karena merasa dipermainkan.

Cecengilan artinya saling usil, jail satu dengan yang lain. Ini akibat karena keduanya sakit hatinya. Yang ditagih merasa risih karena belum mampu membayar, yang menagih merasa jengkel karena mengambil duit sendiri saja kok sulitnya minta ampun, padahal tadinya niatnya menolong.

Padha (sama-sama) pisuh-pinisuh (saling memaki) puniku (itulah) dadi (menjadi), pisahing (putusnya) pasanakan (persaudaraan). Sama-sama saling memaki itulah yang menjadi sebab, putusnya persaudaraan.

Akhirnya keduanya menjadi saling bertengkar dan saling menjaili. Muncul dendam karena salah terima. Persaudaraan yang dahulu mesra dan penuh kasih menjadi putus dengan masing-masing membawa luka.

Page 146: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

133

Demikianlah watak dari orang yang potang-piutang. Maka sebelum melakukan itu harap berhati-hatilah. Salah-salah niat baik justru menjadi salah jalan.

Page 147: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

134

Kajian Panitisastra (61): Tan Awet Suka-Suka

Bait ke-61, Pupuh Dhandhang Gula (10i,10a,8e,7u,9i,7a,6u,8a,12i,7a), Serat Panitisastra.

Wong kang suka-suka sabên ari, iku agêlis anêmu duka, nora wèt suka-sukane. Dene wong èstri iku, sukanipun kalamun lagi, sinanggama ing priya, nuli duka lamun, anak-anak tan alama, suka malih ngarsa-arsa sihing laki, angulah sinomira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang yang bersuka-suka tiap hari, itu segera menemui kesusahan, tidak awet bersuka-sukanya. Adapun seorang wanita itu, senangnya kalau disetubuhi oleh pria, segera marah kalau, mempunyai anak tak lama kemudian, senang lagi mengharap-harap kasih suami, merapikan sinomnya.

Kajian per kata:

Wong (orang) kang (yang) suka-suka (bersuka-suka) sabên (tiap) ari (hari), iku (itu) agêlis (segera) anêmu (menemui) duka (kesusahan), nora (tidak) wèt (awet) suka-sukane (bersuka-sukannya). Orang yang bersuka-suka tiap hari, itu segera menemui kesusahan, tidak awet bersuka-sukanya.

Orang yang bersuka-suka setiap hari akan segera menemui kesusahan, takkan awet rasa sukanya itu. Berapa sih orang kuat menikmati kesukaan duniawi. Misalkan seseorang suka makan enak, sampai umur berapa dia akan tetap merasa enak makan? Lidahnya suatu saat akan pahit terhadap

Page 148: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

135

semua jenis hidangan.Kalau seseorang suka tubuh indah untuk dinikmati tak urung suatu saat matanya akan rabun terhadap keindahan ragawi. Kalau seseorang suka main perempuan, suatu saat keperkasaannya akan hilang. Jika itu semua sudah terjadi –dan itu takkan lama lagi- yang tersisa hanya perasaan dongkol dan jengkel karena hasratnya tak terlampiaskan.

Dene (adapun) wong (orang) èstri (wanita) iku (itu), sukanipun (senangnya) kalamun (kalau) lagi (sedang), sinanggama (disetubuhi) ing (oleh) priya (priya), nuli (segera) duka (marah) lamun (kalau), anak-anak (mempunyai anak) tan (tak) alama (lama), suka (senang) malih (lagi) ngarsa-arsa (mengharap-harap) sihing (kasih) laki (suami), angulah (merapikan) sinomira (sinomnya). Adapun seorang wanita itu, senangnya kalau disetubuhi oleh pria, segera marah kalau, mempunyai anak tak lama kemudian, senang lagi mengharap-harap kasih suami, merapikan sinomnya.

Wanita akan sangat senang jika dicumbui dan disetubuhi oleh lelaki, namun akan mudah marah apabila mereka sudah mempunyai anak. Hal itu sudah merupakan kodrat kehidupan. Bahkan dalam dunia hewan pun juga berlaku sifat dan watak yang demikian itu. Seekor ayam betina yang sedang mengerami telur atau yang telurnya sudah menetas hanya akan fokus untuk merawat anak-anaknya tanpa peduli kehadiran ayam jago. Seekor singa betina yang melahirkan anak-anak tidak peduli akan seks lagi, bahkan singa jantan sampai stress karena ajakan seksnya selalu ditolak singa betina. Dalam banyak kejadian singa jantan sampai harus memakan anak-anak singa demi agar singa betina mau bermain seks lagi.

Dalam dunia manusia tentu takkan seekstreem itu, namun kecenderungan sifat tersebut pasti ada. Seorang wanita yang sedang mengasuh anak kecil pasti gairahnya akan berkurang. Bisa jadi pengaruh hormonal atau karena kecapaian mengurus anak. Setelah anaknya agak besar barulah timbul lagi gairah yang membara, berusaha menarik perhatian suami dan berharap mendapat kasih mesra. Berhias-hias agar suami tertarik untuk mencumbu kembali.

Sinom adalah rambut halus yang tumbuh di dahi. Biasanya dirapikan agar kelihatan cantik. Angulah sinomira artinya merapikan sinom, kata lain dari bersolek agar menarik perhatian suami. Kata sinom dalam akhir bait ini juga merupakan isyarat akan masuk ke pupuh Sinom di bait selanjutnya.

Page 149: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

136

Page 150: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

137

PUPUH KEDUA

S I N O M

Page 151: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

138

Kajian Panitisastra (62): Den Alap Kang Becik, Binuwang Alane

Bait ke-62, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Dene têgêse Ngamarta, sakèhing kang makenaki, ing awak kalamun marta, wor wisa yogya pinilih, alapên martanèki , glis binuwang wisanipun. Upamane kêncana, amor tinja mas ingambil, glis kinumbah tinjane ingkang binuwang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Adapun artinya Amarta, semua hal yang membuat enak, di badan kalau air, bercampur racun sebaiknya dipilih, diambil airnya, segera dibuang racunnya. Umpamanya emas, bercampur tinja emas diambil, segera dicuci tinjanya yang dibuang.

Kajian per kata:

Dene (adapun) têgêse (artinya) Ngamarta (Amarta), sakèhing (semua hal) kang (yang) makenaki (membuat enak), ing (di) awak (badan) kalamun (kalau) marta (air), wor (bercampur) wisa (racun) yogya (sebaiknya) pinilih (dipilih), alapên (diambil) martanèki (airnya), glis (segera) binuwang (dibuang) wisanipun (racunnya). Adapun artinya Amarta, semua hal yang membuat enak, di badan kalau air, bercampur racun sebaiknya dipilih, diambil airnya, segera dibuang racunnya.

Page 152: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

139

Arti dari ngamarta adalah segala hal yang membuat enak. Kata marta sendiri identik dengan kesejukan maka sering diartikan sebagai air karena air membawa kesejukan. Bisa juga berarti tenteram untuk menggambarkan suatu keadaan negeri, seperti pada kalimat amangun marta martani (Wedatama, Sinom), artinya membentuk ketenteraman yang merata. Bisa juga berarti sabar dan menyejukkan hati kalau menggambarkan sikap seseorang. Dalam bait ini kata marta yang dimaksud adalah air yang menyegarkan badan.

Kalau di dalam air ada racun maka pisahkan keduanya dengan disaring, disuling atau dengan cara lain. Setelah keduanya terpisah ambil airnya dan buang racunnya. Dengan demikian airnya yang menyejukkan dan membuat tubuh menjadi sehat dapat kita ambil tanpa harus terkena racunnya.

Ini adalah kiasan bahwa dalam kehidupan kebaikan senantiasa bercampur dengan keburukan. Di dunia ini tidak ada yang mutlak baik dan tidak ada yang mutlak buruk. Tidak ada orang yang selalu benar, dan tidak ada yang selalu salah. Terkecuali para Nabi yang disebut sebagai manusia sempurna, semua orang adalah campuran kebaikan dan keburukan dalam kadar masing-masing. Maka jika kita bergaul dengan seseorang tidak perlu mengikuti dengan membabi buta semua perkataannya, namun akan sangat baik apabila kita mampu memilah atau menyaring perkataannya.

Upamane (umpamanya) kêncana (emas), amor (bercampur) tinja (tinja) mas (emas) ingambil (diambil), glis (segera) kinumbah (dicuci) tinjane (tinjanya, kotorannya) ingkang (yang) binuwang (dibuang). Umpamanya emas, bercampur tinja emas diambil, segera dicuci tinjanya yang dibuang.

Atau juga seperti perumpamaan bijih emas. Tidak ada bijih emas murni yang siap diambil, selalu saja bercmpur dengan kotoran. Perajin emas tahu harus bagaimana memperlakukan bijih emas itu. Dipisahkan antara kotoran dan emasnya, kemudian emasnya diambil untuk dijadikan perhiasan dan kotorannya dibuang.

Dalam kehidupan kita juga selalu melakukan itu. Maka wajib bagi kita untuk berkemampuan seperti tukang emas itu. Dalam hal kebaikan dan keburukan, kita harus juga mempunyai kemampuan untuk memilah dan memilih keduanya. Itulah gunanya kita belajar dan melatih diri.

Page 153: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

140

Jika kita bersikap radikal dengan hanya mengambil yang murni saja dalam kehidupan ini, maka dipastikan tidak akan banyak manfaat yang dapat kita peroleh. Tugas kita di dunia bukanlah mengambil yang sudah baik, tetapi ikut serta meningkatkan kadar kebaikan dalam setiap hal. Pada manusia langkah kita bukan berkumpul saja dengan orang baik, tetapi juga berusaha memperbaiki jahat dan merangkulnya agar senantiasa dalam kebaikan.

Page 154: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

141

Kajian Panitisastra (63): Milala Kang Becik lan Ala

Bait ke-63, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mangkana ingkang kawignyan, ing pangawruh saupami, wijiling wong sudra wisa, têka pilalanên ugi, tan cacad amrih budi. Kalamun sabda rahayu, nuntun marga utama, nadyan wijiling wong cêdhis, yogya tutên saujare kang raharja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Demikian yang sudah paham, dalam pengetahuan seumpama, lahir sebagai orang sudra waisya, maka pilihlah juga, tak cacat agar berbudi. Jikalau bicara kebaikan, menuntun ke jalan keutamaan, walau lahirnya orang kotor, pantas diikuti segala perkataannya yang baik.

Kajian per kata:

Mangkana (demikian) ingkang (yang) kawignyan (sudah paham), ing (dalam) pangawruh (pengetahuan) saupami (seumpama), wijiling (lahirnya) wong (orang) sudra (sudra) wisa (waisya), têka (maka) pilalanên (pilihlah) ugi (juga), tan (tak) cacad (cacat) amrih (agar) budi (budi). Demikian yang sudah paham, dalam pengetahuan seumpama, lahir sebagai orang sudra waisya, maka pilihlah juga, tak cacat agar berbudi.

Dalam bait yang lalu telah disinggung tentang sikap kita terhadap manusia yang notabene tidak pernah kita akan menemui seorang yang seratus persen baik. Maka dalam hal ini sikap kita adalah sebagaimana yang kita

Page 155: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

142

lakukan terhadap air atau emas yang bercampur dengan kotoran, yakni memilah dan memilih.

Bagi seseorang yang berilmu dan memahami kehidupan, dalam bergaul dengan orang lain takkan merasa risau atau khawatir. Dia sadar bahwa tidak ada orang yang mutlak baik atau mutlak buruk sehingga dia pun tidak menuntut teman sepergaulannya harus begini atau begitu, tetapi dia tetap dapat bergaul secara wajar karena dapat memilih dan memilah hal-hal yang dia perlukan dari orang lain.

Setiap orang pasti ada kebaikannya, itulah yang kita ambil darinya, kita teladani, kita contoh. Sebaliknya juga pasti mempunyai kelemahan atau keburukan, itulah yang harus kita tinggalkan. Jika kita mencari orang yang sempurna dalam segala hal, maka kita takkan pernah menemuinya sampai mati pun.

Misalnya dalam bait ini disebutkan, apabila kita bertemu dengan orang hina berderajat rendah, abaikan kerendahan derajatnya itu, tapi ambillah apa yang baik darinya.

Kalamun (jikalau) sabda (bicara) rahayu (kebaikan), nuntun (menuntun) marga (ke jalan) utama (utama), nadyan (walau) wijiling (lahirnya) wong (orang) cêdhis (kotor, hina), yogya (pantas) tutên (diikuti) saujare (segala perkataan) kang (yang) raharja (baik). Jikalau bicara kebaikan, menuntun ke jalan keutamaan, walau lahirnya orang kotor, pantas diikuti segala perkataannya yang baik.

Misalnya, walau dia hina tetapi mempunyai ilmu yang tinggi dan pengalaman yang banyak yang dapat membuat kita menjadi bijak, maka pengetahuan dan pengalamannya itu yang kita ambil. Bila kata-katanya berisi dengan petuah dan petunjuk kepada jalan keselamatan maka sepantasnyalah apabila kita mengikuti segala perkataan baiknya.

Yang demikian ini hanya dapat kita lakukan apabila kita mempunyai dasar pengetahuan untuk memilih dan memilah perkataan orang. Inilah yang disebut ilmu logika atau ilmu mantiq, yakni cara-cara berpikir yang logis dan valid.

Page 156: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

143

Kajian Panitisastra (64): Pinilih Kang Becik

Bait ke-64, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Makatên malih wanita, kalamun ayu kang warni, nadyan anaking wong papa, pilihên iku prayogi. Kang abot jagad iki, mung arta kalanira duk, lagi dagang alayar, lawan nastapa prihatin, pira-pira kurang turu amrih arta.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Demikian juga seorang wanita, kalau cantik wajahnya, walau anak orang hina, pilihlah itu lebih baik. Yang berat di jagad ini, hanya harta diwaktu ketika, sedang berdagang dengan berlayar, dengan nestapa berkekurangan, dibela-bela kurang tidur demi mencari harta.

Kajian per kata:

Makatên (demikian) malih (juga) wanita (wanita), kalamun (kalau) ayu (cantik) kang (yang) warni (rupanya), nadyan (walau) anaking (anak) wong (orang) papa (hina), pilihên (pilihlah) iku (itu) prayogi (lebih baik). Demikian juga seorang wanita, kalau cantik wajahnya, walau anak orang hina, pilihlah itu lebih baik.

Demikian juga dalam hal memilih wanita, kalau cantik rupanya walau anak seorang hina maka lebih baik kalau dipilih sebagai istri. Cantik disini diartikan sebagai penampilannya menarik hati, bukan sekedar wajah cantik yang kosong, tetapi cantik dalam arti wajahnya menarik dan sikapnya

Page 157: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

144

menyenangkan. Bagus dalam rupa, ganep ing subasita, lengkap tatakramanya.

Kang (yang) abot (berat) jagad (jagad) iki (ini), mung (hanya) arta (harta) kalanira (diwaktu) duk (ketika), lagi (sedang) dagang (berdagang) alayar (dengan berlayar), lawan (dengan) nastapa (nestapa) prihatin (kekurangan), pira-pira (dibela-bela) kurang (kurang) turu (tidur) amrih (demi mencari) arta (harta). Yang berat di jagad ini, hanya harta diwaktu ketika, sedang berdagang dengan berlayar, dengan nestapa berkekurangan, dibela-bela kurang tidur demi mencari harta.

Yang berat dalam hidup ini adalah perjuangan mencari nafkah. Kadang harus dilakukan bertaruh nyawa dengan pergi berlayar berbulan-bulan jauh dari keluarga. Di tengah lautan hidup prihatin dengan kurang tidur atau malah tak sempat tidur dan hidup menderita dengan bekerja berat menahan gelombang yang memabukkan. Semua dilakukan demi mencari harta benda.

Apa yang disebutkan di atas hanyalah salah satu contoh dari susahnya mencari harta benda. Dalam semua pekerjaan lainnya sesungguhnya juga tidak kalah beratnya. Ini terbukti banyak orang kehabisan waktu demi mencari harta. Siang malam banting tulang dengan tak mengenal waktu, mengabaikan anak istri yang katanya demi mereka harta dicari. Abai terhadap lingkungan, saudara dan tetangga, lalai terhadap Tuhan yang karena Dia kita hidup. Bagi banyak orang waktu yang dihabiskan untuk mencari harta lebih banyak daripada waktu untuk hal-hal yang lain.

Page 158: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

145

Kajian Panitisastra (65): Susah Dening Arta

Bait ke-65, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Yèn wis prapta kang sinêdya, arta kèh dadi wong sugih, saya wuwuh susahing tyas. Dèn ayam-ayam ing maling, kalakon pinèt maling, sangsaya duhkitèng kalbu. Masakat kasarakat, tinilar ing arta sêdhih, milanipun sang pandhita tilar donya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau sudah tercapai yang diinginkan, harta banyak menjadi orang kaya, semakin bertambah susah dalam hati. Diancam-ancam oleh pencuri, ketika terjadi diambil pencuri, semakin sedih dalam hati. Tertimpa kesulitan dan kesedihan, ditinggal oleh harta sedih, makanya sang pendeta meninggalkan keduniawian.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) wis (sudah) prapta (tercapai) kang (yang) sinêdya (diinginkan), arta (harta) kèh (banyak) dadi (menjadi) wong (orang) sugih (kaya), saya (semakin) wuwuh (bertambah) susahing (susah dalam) tyas (hati). Kalau sudah tercapai yang diinginkan, harta banyak menjadi orang kaya, semakin bertambah susah dalam hati.

Kalau sudah tercapai apa yang diinginkan, yakni mempunyai harta yang banyak melimpah ruah, orang juga tidak selesai penderitaannya. Malah-malah bertambah dengan kesusahan di hati dalam merawat dan menjaga harta bendanya itu. Dari sekedar alat untuk menyokong kehidupan di dunia

Page 159: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

146

agar mudah dan enak, harta justru menjadi beban bagi kehidupan banyak orang. Punya banyak harta tidak lantas hilang rasa takut dan khawatir, tapi malah bertambah dengan munculnya rasa was-was.

Dèn (di) ayam-ayam (ancam-ancam) ing (oleh) maling (pencuri), kalakon (terjadi) pinèt (diambil) maling (pencuri), sangsaya (semakin) duhkitèng (sedih dalam) kalbu (hati). Diancam-ancam oleh pencuri, ketika terjadi diambil pencuri, semakin sedih dalam hati.

Punyai banyak harta membuat orang menjadi paranoid, takut kalau sewaktu-waktu hartanya hilang, entah dicuri atau terbakar atau karena sebab lain. Akibatnya menjadi susah hatinya memikirkan hal itu. Karena sudah merasa bekerja keras maka dia mengklaim hak sepenuhnya atas harta benda yang dimiliki itu. Dia lupa kalau itu hanya titipan Tuhan.

Masakat (kesulitan) kasarakat (menyedihkan), tinilar (ditinggal) ing (oleh) arta (harta) sêdhih (sedhih), milanipun (makanya) sang (sang) pandhita (pendeta) tilar (meninggalkan) donya (keduniawian). Tertimpa kesulitan yang menyedihkan, ditinggal oleh harta sedih, makanya sang pendeta meninggalkan keduniawian.

Kesulitan yang bertumpuk-tumpuk bagi seseorang apabila kehilangan harta benda. Rasa sedih dan kecewa menggunung, berkepanjangan tiada henti. Oleh sebab hatinya sangat terikat dengan harta dunia yang sejatinya membuat lalai dari tujuan sebenarnya hidup di dunia ini. Oleh karena itu para pendeta diharuskan meninggalkan harta benda dunia, agar hidupnya hanya fokus beribadah kepada Tuhan. Jauh dari godaan dan potensi lalai akan tujuan hidup.

Bagi seorang muslim yang terpenting bukan soal jauh atau dekatnya manusia dari harta benda, namun adalah keterikatan antara keduanya. Seseorang bisa saja kaya raya namun hatinya tidak terikat dengan hartanya. Hartanya dia pakai untuk menjaga dirinya agar tidak terjebak dalam cara-cara sesat ketika hidup di dunia. Sebaliknya, bisa terjadi orang miskin papa namun hatinya selalu mendamba dunia, siang malam hanya berdoa agar dikarunia harta. Setiap membuka mata langsung menatap dengan ngiler rumah megah tetangga, sampai ngences melihat mobil sedan yang mulus lewat di depan mata. Jadi ini soal terikatnya hati dengan harta saja, padahal juga tidak memilikinya.

Page 160: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

147

Kajian Panitisastra (66;67): Donya Lir Ilining Toya

Bait ke-66;67, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Dene dadi laraning tyas, wuwuh ngrêrêgêdi budi, prayogane sugih arta, tulungêna pêkir mêskin. Pangrêksaning donyèki, kang dadi pikukuhipun, dêdanaa pandhita. Donyèku lir toya mili, kang binêndung lamun binêthêng kang toya. Ilèn-ilèn tan sinungan têmah bêdhah gênging warih bêdhol têlanjêring tambak bubar kentir tan na kari. punika kang upami, arta tan na dananipun. Wong kumêt ing pandhita, lan kumêt ing pêkir miskin, yêkti olèh dêdukanirèng Hyang Suksma.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Oleh karena menjadi sakit dalam hati, semakin mengotori budi, lebih baik bila kaya harta, tolonglah fakir miskin. Penjagaan harta dunia ini, yang menjadi penguatnya, berdermalah pada pendeta. Harta dunia itu seperti air mengalir, yang dibendung kalau dibetengi airnya. Katup air tak diberi, sehingga ambrol karena besarnya air, tercabut menyebabkan tambak,

Page 161: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

148

bubar hanyut tak ada sisa. Itulah sebagai perumpamaan, harta yang tak ada sedekahnya. Orang kikir pada pendeta, dan kikir pada fakir miskin, benar-benar mendapat amarah dari Yang Maha Suci.

Kajian per kata:

Dene (Oleh karena) dadi (menjadi) laraning (sakit dalam) tyas (hati), wuwuh (semakin) ngrêrêgêdi (mengotori) budi (budi), prayogane (lebih baik) sugih (kaya) arta (harta), tulungêna (tolonglah) pêkir (fakir) mêskin (miskin). Oleh karena menjadi sakit dalam hati, semakin mengotori budi, lebih baik bila kaya harta, tolonglah fakir miskin.

Keterikatan terhadap dunia akan membuat sakit dalam hati, sedih susah memikirkannya. Dan juga sikap demikian akan mengotori akal budi. Tidak ada kebaikan seseorang yang dalam hatinya selalu terbayang-bayang akan harta, selalu berangan-angan (kemanthil-kanthil) dalam hati tentang dunia.

Apabila mempuyai banyak harta yang telah melampaui kecukupan bagi dirinya, lebih baik kalau dibagi untuk orang lain, untuk para fakir miskin dan mereka yang lebih memerlukan harta bagi kehidupannya.

Pangrêksaning (penjagaan) donyèki (harta dunia ini), kang (yang) dadi (menjadi) pikukuhipun (penguatnya), dêdanaa (berdermalah) pandhita (pada pendeta). Penjagaan harta dunia ini, yang menjadi penguatnya, berdermalah pada pendeta.

Penjagaan harta dunia ini yang paling baik adalah diberikan kepada pendeta. Harap diingat bahwa serat ini saduran dari kakawin Nitisastra yang dikarang pada masa kerajaan Majapahit dimana waktu itu agama yang dominan adalah agama Hindu. Dalam agama Hindu berderma kepada pendeta merupakan kebaikan yang utama, karena pendeta Hindu tidak bekerja dan hanya mengajarkan agama kepada masyarakat.

Di masa kini serat Panitisastra ditulis pada masa Pakubuwana IV ketika agama yang dominan dalam masyarakat adalah Islam. Maka kalimat ini harus dimaknai dengan penafsiran baru agar tidak bias makna. Kalimat dedanaa pandhita lebih tepat kalau ditafsirkan berinfak di jalan Allah

Page 162: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

149

(yunfiquuna fi sabilillah), artinya membelanjakan harta di jalan Allah, yakni untuk menolong fakir miskin, anak yatim, maupun keperluan umat yang lain. Hal ini karena dalam Islam tidak ada lembaga semacam pendeta yang tugasnya khusus mengurus umat, jadi setiap orang bisa beramal dengan mendirikan lembaga amal atau dengan cara perseorangan.

Itulah cara yang terbaik dalam menjaga harta benda. Bila demikian harta kita akan terjaga dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak. Namun jika kita menjaga harta dengan cara dikunci di gudang bawah tanah yang berlapis baja, justru harta itu tidak berguna sama sekali.

Donyèku (harta dunia itu) lir (seprti) toya (air) mili (mengalir), kang (yang) binêndung (dibendung) lamun (kalau) binêthêng (dibetengi) kang toya (airnya), ilèn-ilèn (katup air) tan (tak) sinungan (diberi), têmah (sehingga) bêdhah (ambrol) gênging (besarnya) warih (air), bêdhol (membongkar) têlanjêring (menyebabkan) tambak (tambak, kolam), bubar (bubar) kentir (hanyut) tan (tak) na (ada) kari (sisa). Harta dunia itu seperti air mengalir, yang dibendung kalau dibetengi airny, katup air tak diberi, sehingga ambrol karena besarnya air, tercabut menyebabkan tambak, bubar hanyut tak ada sisa.

Perumpamaan pengelolaan harta benda adalah seperti sebuah air di bendungan. Jika air selalu mengalir memenuhi bendungan melebihi kapasitasnya pasti akan meluber dan merusak tanggul. Kalau tanggul rusak bisa memicu jebolnya tanggul akibat erosi. Kalau tanggul sudah jebol pasti akan terjadi banjir besar. Area persawahan dan pemukiman yang memanfaatkan air bendungan akan diterjang banjir, akibatnya bisa rusak atau hancur seketika.

Agar kapasitas bendungan dapat dikontrol diperlukan katup (buka tutup) untuk mengatur kandungan air di bendungan. Maka diperlukan pintu air untuk mengurangi kandungan air dalam waduk. Atau juga diperlukan bangunan pelimpas (spill way) agar kalau melebihi kapasitas air dapat melimpas di tempat yang telah ditentukan, agar air tidak menjebol tanggul.

Punika (itulah) kang (sebagai) upami (perumpamaan), arta (harta) tan (tak) na (ada) dananipun (sedekahnya). Itulah sebagai perumpamaan, harta yang tak ada sedekahnya.

Page 163: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

150

Kata dana artinya pemberian untuk orang lain, sering dipakai dalam bentuk kata majemuk dana driyah artinya amal jariah. Dalam hal ini perumpamaan untuk dana tadi adalah pintu air dan pelimpas (spill way). Amal jariah laksana pintu air yang mengatur kandungan waduk “harta” agar tidak menjebol tanggul “moralitas”. Dengan adanya amal jariah tadi harta kita akan aman dari potensi membeludak karena overkapasitas.

Wong (orang) kumêt (kikir) ing (pada) pandhita (pendeta), lan (dan) kumêt (kikir) ing (pada) pêkir (fakir) miskin (miskin), yêkti (benar-benar) olèh (mendapat) dêdukanirèng (amarah) Hyang (Yang) Suksma (Maha Suci). Orang kikir pada pendeta, dan kikir pada fakir miskin, benar-benar mendapat amarah dari Yang Maha Suci.

Oleh karena itu orang yang kikir pada pendeta dan kikir kepada fakir miskin, ibarat sebuah bendungan atau waduk yang tidak mempunyai pintu air dan spill way. Suatu saat apabila kandungan air melebihi kapasitas tanggul akan jebol dan hancurlah bangunan waduknya. Demikian pula harta benda, apabila besarnya telah melebihi kebutuhan potensi merusaknya luar biasa. Di awal bab ini sudah diterangkan bagaimana harta dapat merusak pemiliknya apabila tidak digunakan. Bisa membuat sakit hati, mengotori akal budi dan mengikis rasa peduli pada sesama, serta meniadakan rasa syukur kepada Tuhan. Tanpa itu semua manusia tiada harganya. Kemarahan Tuhan akan menanti, dan siksaNya sungguh nyata.

Page 164: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

151

Kajian Panitisastra (68): Ing Delahan Tan Basuki

Bait ke-68, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Amanggih papa cintraka, ing dêlahan tan basuki. Yèn ing dewa datan ana, kaya Hyang Guru ngadhêmi, kalawan amadhangi, luwih padhanging sitèngsu. Parandene kuciwa, adhême bathara ari, luwih adhêm wicarane sang pandhita.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Menemui derita sengsara, di akhirat tak selamat. Kalau pada dewa tak ada, yang seperti Bathara Guru mendinginkan, dan menerangi, lebih terang dari terangnya bulan. Walau demikian jika kecewa, dinginnya Bathara Ari, lebih dingin ucapan sang pendeta.

Kajian per kata:

Amanggih (menemui) papa (derita) cintraka (sengsara), ing (di) dêlahan (akhirat) tan (tak) basuki (selamat). Menemui derita sengsara, di akhirat tak selamat.

Dalam bait yang lalu disinggung tentang orang yang kikir kepada para pendeta dan fakir miskin. Orang seperti itu akan mendapat murka Tuhan di dunia dan takkan mendapat rahmat di akhirat. Tidak diterima semua amal dari hartanya, bahkan dicampakkan karena dia salah dalam mengelola harta.

Page 165: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

152

Di akhirat akan menemui derita, hidup sengsara di neraka berkepanjangan. Padahal seharusnya dengan harta yang dimiliki dia sanggup mencapai keselamatan abadi, namun tidak demikian keadaannya.

Yèn (kalau) ing (pada) dewa (dewa) datan (tidak) ana (ada), kaya (seperti) Hyang (Yang) Guru (guru) ngadhêmi (mendinginkan), kalawan (dan) amadhangi (menerangi), luwih (lebih) padhanging (terang) sitèngsu (bulan). Kalau pada dewa tak ada, yang seperti Bathara Guru mendinginkan, dan menerangi, lebih terang dari terangnya bulan.

Gatra ini menggambarkan kerelaan hati pendeta yang jika hatinya berkenan akan menerangi dunia sebagaimana watak Bathara Guru. Kalau pada kehidupan para dewa tak ada yang seperti Bathara Guru sifat dan wataknya. Raja para dewa itu mendinginkan suasana dan menerangi kehidupan. Ibarat sinarnya lebih terang dari sinarnya bulan.

Bathara Guru adalah raja para dewata dalam dunia pewayangan. Sesudah agama Islam masuk ke tanah Jawa, wiracarita Mahabarata dan Ramayana kemudian diadopsi oleh pujangga Islam menjadi ceritera wayang. Ada beberapa hal yang berubah untuk disesuaikan dengan akidah orang Islam yang tidak mengenal penyembahan kepada dewata. Namun ceritera tentang para dewa yang ada di dalam epos Mahabarata dan Ramayana tetap dibiarkan berkembang. Hanya saja mereka kemudian merevisi alur atau silsilah para dewata tersebut. Misalnya silsilah dewata kemudian dimodifikasi sebagai keturunan Nabi Sis (Seth) yang dalam ceritera wayang disebut Sang Hyang Sis. Para ksatria Pandawa pun juga kemudian diberi silsilah yang merujuk kepada Sang Hyang Sis tersebut sehingga kedudukan para dewata itu kemudian berada di bawah nabi-nabi.

Orang-orang Jawa menganggap ceritera tersebut sebagai mitologi belaka, seperti orang modern bersikap terhadap novel Harry Potter misalnya, atau sikap orang-orang Arab abad pertengahan terhadap ceritera 1001 malam yang penuh mitos. Bagaimanapun cerita-cerita semacam itu harus dibaca dengan cara pandang yang berbeda. Pemahaman tekstual justru akan mengaburkan pesan moral yang seharusnya ditangkap dari ceritera semacam itu.

Parandene (walau demikian) kuciwa (kecewa), adhême (dinginnya) bathara (dewata) ari (hari), luwih (lebih) adhêm (dingin) wicarane

Page 166: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

153

(ucapan) sang (sang) pandhita (pendeta). Walau demikian jika kecewa, dinginnya Bathara Ari, lebih dingin ucapan sang pendeta.

Gatra ini merupakan satu pengertian dari gatra sebelumnya, jika para pendeta tidak berkenan maka dunia akan dingin, lebih dingin dari Bathara Ari. Ucapan para pendeta yang hatinya tidak berkenan akan membuat dunia menjadi dingin, yang dimaksud adalah suasana yang kurang nyaman, sebagai lawan dari kata hangat. Dalam bait ini kata “dingin” juga tidak menggambarkan kondisi ideal, yang seharusnya diupayakan adalah suasana hangat atau sejuk. Itulah suasana yang moderat, ideal dalam berkehidupan.

Seperti yang sudah kami jelaskan di awal pembahasan serat Panitisastra ini, kata pendeta di dalam serat ini sering diberi pengertian generik sebagai pemuka agama. Dalam agama Islam kata pendeta merujuk kepada para ulama. Dan memang benar jika para ulama sudah tidak berkenan hatinya, bisa dipastikan telah terjadi suasana yang tidak nyaman dalam tatanan kehidupan. Jadi, ridha ulama sangat penting dalam kehidupan sosial dan politik kenegaraan.

Page 167: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

154

Kajian Panitisastra (69): Panas Atining Durjana

Bait ke-69, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Tan ana angluwihana, iya panasing kang agni, luwih panasing baskara. Sakèhing pêpanas ugi, kasor dening panasing, manah durjana kang dulu, ing arta ingkang kathah. Kalangkung panasing ati, nora mari yèn durung kêna cinidra.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tak ada yang melebihi, yakni panas pada api, yang lebih panas dari matahari. Segala yang panas juga, kalah oleh panas dalam, hati seorang pencuri yang melihat, pada harta yang banyak. Sangatlah panas dalam hati, tidak sembuh kalau belum dapat dicuri.

Kajian per kata:

Tan (tak) ana (ada) angluwihana (melebihi), iya (yaitu) panasing (panas pada) kang (yang) agni (api), luwih (lebih) panasing (panas dari) baskara (matahari). Tak ada yang melebihi, yakni panas pada api, yang lebih panas dari matahari.

Pada bait lalu dijelaskan bahwa ucapan seorang pendeta yang kecewa bisa membuat dingin suasana. Pada bait ini dijelaskan tentang suasana yang berkebalikan yakni suasana panas. Suasana panas ini demikian panasnya sampai panas matahari pun kalah oleh panas yang ini. Tentu saja ini hanya

Page 168: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

155

kiasan belaka, tetapi panas apakah gerangan? Dan apa yang menimbulkannya?

Sakèhing (segala) pêpanas (yang panas) ugi (juga), kasor (kalah) dening (oleh) panasing (panas dalam), manah (hati) durjana (pencuri) kang (yang) dulu (melihat), ing (pada) arta (harta) ingkang (yang) kathah (banyak). Segala yang panas juga, kalah oleh panas dalam, hati seorang pencuri yang melihat, pada harta yang banyak.

Semua watak durjana memang panas membakar hati, menimbulkan semangat untuk bersegera melakukan satu perbuatan durhaka. Ini adalah tarikan iblis yang bermaksud menjerumuskan. Tidak ada semangat yang menggebu-gebu melebihi semangatnya orang yang melakukan kejahatan. Apalagi bagi seorang pencuri yang melihat mangsa yang siap diterkam, panas hatinya tak ketulungan.

Kalangkung (sangatlah) panasing (panas dalam) ati (hati), nora (tidak) mari (sembuh) yèn (kalau) durung (belum) kêna (dapat) cinidra (dicuri). Sangatlah panas dalam hati, tidak sembuh kalau belum dapat dicuri.

Dan panas di hati itu takkan sembuh-sembuh jika yang diincar belum didapatkan. Semangat untuk mengambil hak milik orang lain takkan padam sebelum barang yang diincar berhasil dicolong. Itulah watak dari perbuatan jahat, sangat cepat menarik pelakunya kepada kebinasaan, seperti watak api yang cepat membakar dan menghanguskan. Berbeda dengan watak baik yang digambarkan sebagai kesejukan atau kehangatan. Pasti datangnya perlahan-lahan. Sejuknya embun pagi misalnya, datangnya perlahan-lahan bersama turunnya kabut tipis. Hangatnya sinar mentari pagi pun datangnya juga perlahan bersama matahari terbit. Itulah watak kebaikan, selalu harus diusahakan dengan hati-hati dan teliti. Adapun watak durhaka datang secepat api melahap kayu bakar.

Page 169: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

156

Kajian Panitisastra (70): Ambek Wateke Durjana

Bait ke-70, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mangkana lalêr kawasa, mibêr pantêsira amrih, kang wangi-wangi kewala. Têka kudu angulati, tatu kalawan kudhis, kasilibira kalangkung. Yèn paksi bango buthak, bisa mibêr angluwihi, ing sakèhing manuk lir sundhul ngawiyat. Layakane amintaa, kaluwihaning dewadi, bisaa mring swarga loka. Têka pijêr milang-miling, bêbathang dèn ulati, mangkanambêk durjanèku. Sapênêdaning manah, durjana tan wande kardi, duhkitaning manahe wong sugih arta.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Demikianlah lalat yang mampu, terbang sepantasnya mencari, yang wangi-wangi saja. Tapi malah berehasrat melihat, luka dan kudis, kesesatannya terlalu besar. Kalau burung bagau botak, bisa terbang melebihi, dari semua burung ibarat menggapai langit. Selayaknya memintalah, kelebihan dari dewata, agar bisa mencapai alam surga.

Page 170: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

157

Tapi mlah sering memata-matai, bangkai-bangkai di awasi, demikianlah watak pencuri itu. Dalam rasa menerima dalam hati, pencuri tak menjual pekerjaan, sedih dalam hatinya oleh orang kaya harta.

Kajian per kata:

Mangkana (demikianlah) lalêr (lalat) kawasa (mampu), mibêr (terbang) pantêsira (sepantasnya) amrih (mencari), kang (yang) wangi-wangi (wangi-wangi) kewala (saja). Demikianlah lalat yang mampu, terbang sepantasnya mencari, yang wangi-wangi saja.

Berusahalah agar hanya watak baik yang menjadi sifat diri. Karena jika telah terjangkit watak buruk akan sulit untuk kembali ke jalan yang benar. Berwatak buruk walau kelihatan lebih gampang tetapi sesungguhnya tak segampang kelihatannya. Apakah seorang pencuri itu hidupnya lebih mudah dari seorang pekerja keras? Kelihatannya seperti itu tetapi sesungguhnya tidak. Watak baik atau watak buruk akan mempunyai kesulitan yang sama, bahkan menjalani kehidupan dengan watak buruk bisa lebih susah dan sulit.

Ambillah tamsil dari kehidupan seekor lalat. Dia mempunyai sayap yang membuatnya bisa terbang kemanapun sesuai keinginannya, tapi mengapa dia tidak mencari tempat yang bersih dan wangi? Bukankah itu lebih mudah dan menyenangkan?

Têka (tapi malah) kudu (kumudu, bersegera, berhasrat) angulati (melihat), tatu (luka) kalawan (dan) kudhis (kudis), kasilibira (kesesatannya) kalangkung (terlalu besar). Tapi malah berhasrat melihat, luka dan kudis, kesesatannya terlalu besar.

Namun yang terjadi, si lalat lebih suka mengamat-amati luka dan kudis. Bukankah itu sebuah perbuatan sesat yang sangat tidak masuk akal. Apakah mengamati kudis itu lebih mudah baginya daripada menempel pada indahnya bunga yang wangi. Tentu tidak! Namun lalat lebih suka menempel terus pada luka bernanah, pada kotoran yang berbau busuk dan pada tempat-tempat yang jorok. Itu memang sudah menjadi wataknya.

Page 171: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

158

Yèn (kalau) paksi (burung) bango (bangau, elang) buthak (botak), bisa (bisa) mibêr (terbang) angluwihi (melebihi), ing (dari) sakèhing (semua) manuk (burung) lir (ibarat) sundhul (menggapai) ngawiyat (langit). Kalau burung bagau botak, bisa terbang melebihi, dari semua burung ibarat menggapai langit.

Atau berkacalah pada burung elang bothak yang bisa terbang menembus langit, bisa terbang lebih tinggi dari burung yang manapun. Apa yang dia lakukan dengan kemampuannya yang lebih itu?

Layakane (selayaknya) amintaa (memintalah), kaluwihaning (kelebihan dari) dewadi (dewata), bisaa (agar dapat) mring (mencapai) swarga (surga) loka (alam). Selayaknya memintalah, kelebihan dari dewata, agar bisa mencapai alam surga.

Seharusnya dia meminta kelebihan kepada dewata agar bisa mencapai surga dengan sayapnya itu. Kalimat ini berkaitan dengan mitologi dunia wayang yang menganggap surga terletak di puncak gunung. Misalnya surga tempat tinggal Bathara Guru berada di Giri Saloka. Sehingga elang botak tadi bisa terbang mencapai ke sana.

Têka (tapi malah) pijêr (sering) milang-miling (memata-matai), bêbathang (bangkai-bangkai) dèn (di) ulati (awasi), mangkanambêk (demikianlah) durjanèku (watak pencuri itu). Tapi mlah sering memata-matai, bangkai-bangkai di awasi, demikianlah watak pencuri itu.

Namun ternyata elang botak tidak melakukan itu. Dia malah memakai kemampuan terbangnya yang tinggi untuk mengawasi bangkai. Demikianlah sifat dari watak durhaka, tidak mudah dilakukan dan kadang memerlukan keahlian dan kegigihan tingkat tinggi, namun tetap saja mereka melakukan hal yang sulit itu demi memuaskan keinginannya. Seorang pencuri tidak mudah dalam menjalankan aksinya. Dia harus mengamati, merencanakan, menyiapkan alat dan mencari jalan lari jika gagal. Itu semua bukan pekerjaan mudah. Toh seorang pencuri tetap melakukan hal sulit itu.

Sapênêdhaning (dalam penerimaan) manah (hati), durjana (pencuri) tan (tak) wande (menjual) kardi (pekerjaan), dhuhkitaning (sedih dalam) manahe (hatinya) wong (orang) sugih (kaya) arta (harta). Dalam rasa

Page 172: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

159

menerima dalam hati, pencuri tak menjual pekerjaan, sedih dalam hatinya oleh orang kaya harta.

Dengan karya yang dilakukan seorang pencuri tersebut, jika jerih payahnya dilakukan pada lain pekerjaan dia pasti sudah mendapatkan kekayaan lain. Namun dia memilih untuk tidak menjual karyanya, tapi lebih suka melakukan pencurian. Itulah watak durhaka. Hal tersebut terjadi karena hatinya selalu sakit setiap melihat orang kaya harta. Kedengkian dalam hatinya meminta penyaluran dengan gejolak yang meledak-ledak.

Page 173: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

160

Kajian Panitisastra (72;73): Minangka Damaring Kulawarga

Bait ke-72;73, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mangkana ta sang pandhita, saking têmbene udani, kang tinaki-taki sabda, rahayu kang dèn karêmi. Wulan lintang kinardi, damare kalaning dalu, srêngenge ing raina. Kang dadi damaring bumi, ing sajagad padhang kênyaring raditya. Kang minangka damaring tyas, manungsa sajagad iki, tan liyan wêrdining sastra kang nuduhakên ing bêcik. Têgêse suputrèki, anak lanang ingkang sinung, limpad wêrdining sastra, tur sadu guna madhangi, kulawarga yayah renane sadaya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Demikianlah sang pendeta, karena hari esok sudah memahami, yang diminta dalam bertapa perkataan, selamat yang digemari. Bulan bintang dipakai sebagai, penerang dikala malam, matahari di siang hari. Yang menjadi penerang di bumi, pada seluruh jagad adalah terang sinarnya matahari. Yang dipakai sebagai penerang dalam hati, manusia sejagad ini,

Page 174: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

161

tak lain pengertian kitab, yang menunjukkan pada kebaikan. Artinya semua anakku ini, anak laki-laki yang mempunyai, keahlian dalam pengertian kitab, dan alim untuk menerangi, keluarga ayah-ibu semuanya.

Kajian per kata:

Mangkana ta (demikianlah) sang (sang) pandhita (pendeta), saking (karena) têmbene (nantinya) udani (sudah memahami), kang (yang) tinaki-taki (diminta dalam bertapa) sabda (perkataan), rahayu (selamat) kang (yang) dèn (di) karêmi (gemari). Demikianlah sang pendeta, karena hari esok sudah memahami, yang diminta dalam bertapa perkataan, selamat yang digemari.

Seorang pendeta karena sudah memahami tentang hari esok, yakni mengenai tujuan hidup manusia atau yang dikenal orang Jawa sebagai sangkan paraning dumadi,di dalam pertapaan hanya perkataan selamat yang digemari. Seorang pendeta tidak memikirkan hal selain keselamatan bagi umatnya, bagi kehidupan dan alam sekitarnya.

Wulan (bulan) lintang (bintang) kinardi (dipakai sebagai), damare (penerang) kalaning (dikala) dalu (malam), srêngenge (matahari) ing (di) raina (siang hari). Bulan bintang dipakai sebagai, penerang dikala malam, matahari di siang hari.

Bulan dan bintang dipakai sebagai penerang di kala malam, dan matahari menjadi penerang di kala sing hari. Setiap sesuatu pasti ada penerangnya agar orang-orang tidak tersesat dalam kegelapan. Seorang pendeta (ulama) yang senantiasa mendoakan keselamatan bagi umat adalah ibarat matahari di tengah-tengah manusia, menunjukkan jalan terang agar manusia keluar dari kegelapan.

Kang (yang) dadi (menjadi) damaring (penerang di) bumi (bumi), ing (pada) sajagad (seluruh jagad) padhang (terang) kênyaring (sinarnya) raditya (matahari). Yang menjadi penerang di bumi, pada seluruh jagad adalah terang sinarnya matahari.

Page 175: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

162

Sebagaimana yang menjadi penerang bagi bumi seluruhnya, adalah matahari. Demikianlah perumpamaan dalam kehidupan manusia.

Kang (yang) minangka (dipakai sebagai) damaring (penerang dalam) tyas (hati), manungsa (manusia) sajagad (sejagad) iki (ini), tan (tak) liyan (lain) wêrdining (pengertian) sastra (kitab), kang (yang) nuduhakên (menunjukkan) ing (pada) bêcik (kebaikan). Yang dipakai sebagai penerang dalam hati, manusia sejagad ini, tak lain pengertian kitab, yang menunjukkan pada kebaikan.

Yang menjadi penerang dalam hati manusia sejagad ini tak lain adalah pengertian sastra, yang menunjukkan pada kebaikan. Dan pengertian sastra ini hanya dapat diajarkan oleh mereka-mereka yang menguasai, para cerdik cendekia, para ilmuwan dan sastrawan.

Têgêse (artinya) saputrèki (semua anakku ini), anak (anak) lanang (laki-laki) ingkang (yang) sinung (mempunyai), limpad (keahlian) wêrdining (dalam pengertian) sastra (kitab), tur (dan) sadu (alim, sareh) guna (untuk) madhangi (menerangi), kulawarga (keluarga) yayah (ayah) renane (ibunya) sadaya (semuanya). Artinya semua anakku ini, anak laki-laki yang mempunyai, keahlian dalam pengertian kitab, dan alim untuk menerangi, keluarga ayah-ibu semuanya.

Artinya anakku, seorang anak lelaki yang mempunyai keahlian dalam pengertian sastra akan menjadi penerang bagi keluarganya. Membuat terang hati ayah dan ibunya, saudara-saudara dan lingkungan sekitarnya.

Page 176: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

163

Kajian Panitisastra (74): Winuruk Mring Bapa

Bait ke-74, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Winuruk ing sastra darma, yaiku kang dèn arani, suputra puniku nyata, wèh arjaning yayah bibi. Anaking pandhitèki, kalamun padha katungkul, mring manah suka-suka, wêkasane nora dadi, kautaman tan mirib wong tuwanira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Diajar dalam pengetahuan kebaikan, itulah yang disebut, anak-anak yang nyata, memberi kebaikan pada ayah dan ibu. Anak dari pendeta ini, kalau semua hanya terpaku, kepada bersuka-suka hati, akhirnya tidak terwujud, keutamaannya tak mirip dengan orang tuanya.

Kajian per kata:

Winuruk (diajar) ing (dalam) sastra (kitab, pengetahuan) darma (kebaikan), yaiku (yaitu) kang (yang) dèn (di) arani (sebut), suputra (anak-anak) puniku (itu) nyata (nyata, benar), wèh (memberi) arjaning (kebaikan pada) yayah (ayah) bibi (ibu). Diajar dalam pengetahuan kebaikan, itulah yang disebut, anak-anak yang nyata, memberi kebaikan pada ayah dan ibu.

Oleh karena itu hendaklah anak-anak diajarkan tentang sastra. Sastra yang dimaksud di sini adalah tentang pengetahuan apa saja, moralitas,

Page 177: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

164

kewajiban, pengetahuan umum dan agama. Itu semua jika dapat dilakukan benar-benar memberikan kebaikan pada ayah dan ibunya.

Anaking (anak dari) pandhitèki (pendeta ini), kalamun (kalau) padha (semua) katungkul (terpaku) , mring (kepda) manah (hati) suka-suka (bersuka-suka), wêkasane (akhirnya) nora (tidak) dadi (menjadi), kautaman (kutamaan) tan (tak) mirib (seperti) wong (orang) tuwanira (tuanya). Anak dari pendeta ini, kalau semua hanya terpaku, kepada bersuka-suka hati, akhirnya tidak terwujud, keutamaannya tak mirip dengan orang tuanya.

Anak-anak pendeta pun kalau semua terpaku dan lalai kepada bersuka-suka akhirnya tak menjadi seperti ayahnya, jauh dari keutamaan. Oleh karena itu anak harus dididik dan dibiasakan agar berhasil dalam hidupnya. Karena anak manusia tidak seperti anak hewan yang secara naluri akan menjadi seperti induknya, sebagaimana telah dicontohkan pada kejadian anak kura-kura pada bait terdahulu. Seorang anak manusia bisanya berhasil seperti orang tuanya adalah dengan belajar kepada bapaknya atau berguru kepada seorang pintar.

Page 178: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

165

Kajian Panitisastra (75): Tumrap Putra Sujana

Bait ke-75, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Sutaning para sujana, iya lamun ora sami, lan wong tuwane sayogya, tininggala ing pawèstri. Ingkang padha nglêluri, lakuning bapa tinêmu, kasusilan angulah, kabêcikan sastra widi, wanita kèh lulut asih ing sujana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Anak dari orang pintar, kalau tidak sama, dengan orang tuanya pantaslah, (kalau) ditinggalkan oleh wanita. Yang melestarikan, jejak dari ayahnya akan ketemu, dilatih dalam kesusilaan, kebaikan dalam ilmu pengetahuan yang benar. Banyak wanita yang akan jatuh cinta pada orang pintar.

Kajian per kata:

Sutaning (anak dari) para ( para) sujana (orang pintar), iya (juga) lamun (kalau) ora (tidak) sami (sama), lan (dengan) wong (orang) tuwane (tuanya) sayogya (sepantasanya), tininggala (ditinggalkan) ing (oleh) pawèstri (wanita). Anak dari orang pintar, kalau tidak sama, dengan orang tuanya pantaslah, (kalau) ditinggalkan oleh wanita.

Anak-anak para sujana, orang pintar, jika tidak sama dengan orang tuanya akan merupakan aib baginya. Karena semestinya dia lebih berpeluang mendapat pengajaran dari orang tuanya, tapi mengapa justru tidak memanfaatkan hal itu dengan baik. Jika demikian dia akan dianggap sebagai anak muda yang tidak tekun dan bersungguh-sungguh. Akan

Page 179: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

166

banyak dijauhi orang nantinya, termasuk para wanita pun akan meninggalkannya. Gatra ini secara tersirat menggambarkan bahwa anak muda seperti itu bukanlah pemuda idaman bagi gadis-gadis yang mendambakan pendamping.

Ingkang (yang) padha (sama-sama) nglêluri (melestarikan), lakuning (jejak dari) bapa (ayahnya) tinêmu (akan ketemu), kasusilan (kesusilaan) angulah (dipelajari, dilatih), kabêcikan (kebaikan) sastra (sastrra, ilmu pengetahuan) widi (yang benar). Yang melestarikan, jejak dari ayahnya akan ketemu, dilatih dalam kesusilaan, kebaikan dalam ilmu pengetahuan yang benar.

Berbeda dengan mereka yang melestarikan jejak orang tuanya. Belajar kesusilaan, berlatih melakukan kebaikan, mempelajari sastra dengan tekun, menuntut ilmu pengetahuan dengan benar. Kelak mereka pun dapat melanjutkan apa yang telah diraih oleh orang tua mereka.

Wanita (wanita) kèh (banyak) lulut asih (jatuh cinta) ing (pada) sujana (orang pintar). Banyak wanita yang akan jatuh cinta pada orang pintar.

Kelak jika telah cukup umur, takkan kesulitan untuk memikat gadis-gadis idaman. Karena banyak wanita yang jatuh cinta kepada orang pintar. Bait ini sebenarnya memberi semangat kepada para muda untuk terus giat belajar karena akan banyak orang suka kepada orang pintar. Bukan saja para gadis namun juga orang kebanyakan.

Page 180: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

167

Kajian Panitisastra (76): Lir Alas Garing Angarang

Bait ke-76, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Wong anak-anak cêndhala, lir alas tuwa upami, kêkayon aking angarang, anggêrit têmahan agni , dadya alas kabêsmi, apuwara dadi awu. Liring para sujana, dèn padha amindi siwi, aja kongsi sujana wêka dursila.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang yang mempunyai anak berwatak buruk, seperti hutan tua umpamanya, kayu-kayu kering meranggas, bergesekan sehingga timbul api, hutan menjadi terbakar, sehingga menjadi abu. Artinya para orang pintar, harap semua menjaga anak, jangan sampai orang pintar punyak anak berbuat buruk.

Kajian per kata:

Wong (orang) anak-anak (punya anak) cêndhala (berwatak buruk), lir (seperti) alas (hutan) tuwa (tua) upami (umpamanya), kêkayon (kayu-kayu) aking (kering) angarang (meranggas), anggêrit (bergesekan) têmahan (sehinga) agni (timbul api), dadya (menjadi) alas (hutan) kabêsmi (kebakaran), apuwara (akhirnya) dadi (menjadi) awu (abu). Orang yang mempunyai anak berwatak buruk, seperti hutan tua umpamanya, kayu-kayu kering meranggas, bergesekan sehingga timbul api, hutan menjadi terbakar, sehingga menjadi abu.

Page 181: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

168

Masih tentang pendidikan anak, kali ini menyoroti keadaan orang tua yang gagal mendidik anak. Bait ini menyebut orang tua yang mempunyai anak berperilaku durhaka diumpamakan dengan hutan yang pepohonannya mengering. Ketika antar pohon saling bergesekan tertiup angin maka akan timbul percikan api, yang kemudian menghanguskan hutan itu menjadi abu.

Liring (artinya) para (para) sujana (orang pintar), dèn (harap) padha (semua) amindi (menjaga) siwi (anak), aja (jangan) kongsi (sampai) sujana (orang pintar) wêka (anak) dursila (berbuat buruk). Artinya para orang pintar, harap semua menjaga anak, jangan sampai orang pintar punyak anak berbuat buruk.

Arti mindi adalah membersihkan seperti membersihkan kapas di alat pemutar benang. Jika kapas tak dibersihkan benang yang dihasilkan takkan sempurna. Seperti halnya dalam mendidik anak kita harus menjaga dengan sangat agar tidak terkotori oleh sesuatu, agar pertumbuhan anak sempurna.

Oleh karena itu kepada para orang tua juga diharap dengan sangat untuk selalu menjaga anak-anak mereka dengan hati-hati. Jangan sampai anak-anak terjerumus dalam tindak angkara, karena para orang tua sendiri yang akan menderita kerugian.

Bait ini mengakhiri nasihat kepada orang tua tentang pendidikan anak. Dapat disimpulkan dua hal penting. Pertama, anak yang berhasil mewujudkan harapan orang tuanya laksana matahari yang menjadi penerang bagi keluarganya, menjadi sumber kegembiraan. Kedua, orang tua yang gagal dalam mendidik anak dan sang anak terjerumus dalam tindak angkara laksana hutan yang pepohonannya kering. Jika diterpa angin rawan terbakar oleh gesekan antar pohonnya. Harap dua hal ini menjadi perhatian bagi para orang tua.

Page 182: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

169

Kajian Panitisastra (77): Aja Wani-Wani Sanggup

Bait ke-77, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Aja sanggup wani sira, ing ngarsane narapati, yèn sira durung prawira, saulah jayaning jurit. Lamun ta sira uwis, ngasorkên prajurit satus, kawênang ing palagan, yèn uwis mangkono yêkti, tan ngapaa sira asanggupa sura.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan engkau berani menyanggupi, di depan sang raja, kalau engkau belum perwira, menguasai kemahiran perang. Kalau engkau sudah, mengalahkan prajurit seratus, perkasa di medan laga, kalau sudah demikian baru benar, tidak mengapa engkau berani menyanggupi.

Kajian per kata:

Aja (jangan) sanggup (menyanggupi) wani (berani) sira (engkau), ing (di) ngarsane (depan) narapati (sang raja), yèn (kalau) sira (engkau) durung (belum) prawira (perwira), saulah (menguasai) jayaning (kemahiran) jurit (perang). Jangan engkau berani menyanggupi, di depan sang raja, kalau engkau belum perwira, menguasai kemahiran perang.

Jangan sekali-kali menyanggupi apapun di hadapan raja. Apalagi jika belum terbukti bahwa engkau seorang perwira di medan laga. Sebagai bawahan yang pantas dilakukan adalah menjalankan perintah dengan

Page 183: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

170

sepenuh kemampuan. Menonjolkan diri dengan menyanggupi pekerjaan ini dan itu merupakan tanda kesombongan, itu kurang pantas.

Awal bait ini berisi anjuran untuk tidak menonjolkan diri dalam hal-hal yang belum terbukti kebenarannya. Walau merasa kuat bila belum dibuktikan jangan dahulu dikatakan.

Lamun ta (kalau) sira (engkau) uwis (sudah), ngasorkên (mengalahkan) prajurit (prajurit) satus (seratus), kawênang (perkasa) ing (di) palagan (medan laga), yèn (kalau) uwis (sudah) mangkono (demikian) yêkti (benar-benar, baru benar), tan (tak) ngapaa (mengapa) sira (engkau) asanggupa (menyanggupi) sura (berani). Kalau engkau sudah, mengalahkan prajurit seratus, perkasa di medan laga, kalau sudah demikian baru benar, tidak mengapa engkau berani menyanggupi.

Namun kalau sudah terbukti keperwiraanmu dengan mengalahkan seratus prajurit, tidak mengapa jika menyatakan kesanggupan. Itu sebagai tanda pengabdian, tanda kesetiaan dan kepatuhan.

Sebaliknya akhir bait menyatakan jika memang sudah terbukti tidak mengapa menyatakan kesanggupan. Hal itu sebagai bukti kepatuhan terhadap raja.

Page 184: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

171

Kajian Panitisastra (78): Aja Age Ngaku Pandhita

Bait ke-78, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Aja ge ngaku pandhita, nèng ngarsane sang siniwi, nadyan sira aputusa, sakèh wêwadining tulis. Kalamun durung ugi, ngasorkên pandhita sèwu, nadyan ana sèwua, pandhita kang bakit-bakit, iku padha kasor dening widayaka.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan segera mengaku pendeta, di depan sang raja, walaupun engkau telah paham ilmunya, dalam rahasia yang tertulis (dalam kitab-kitab). Kalau belum juga, mengalahkan pendeta seribu, walau ada seribu pun, pendeta yang pintar-pintar, itu semua kalah oleh seorang pujangga.

Kajian per kata:

Aja (jangan) ge (segera) ngaku (mengaku) pandhita (pendeta), nèng (di) ngarsane (depan) sang (sang) siniwi (raja), nadyan (walaupun) sira (engkau) aputusa (telah paham ilmunya), sakèh (dalam) wêwadining (rahasia) tulis (tertulis, atau kitab-kitab). Jangan segera mengaku pendeta, di depan sang raja, walaupun engkau telah paham ilmunya dalam rahasia yang tertulis (dalam kitab-kitab).

Jangan mengaku sebagai orang pintar dalam agama dihadapan raja. Walau engkau merasa mempunyai ilmu yang telah sempurna sekalipun dan menguasai kitab-kitab sastra. Hal ini tidak seyogyanya dilakukan.

Page 185: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

172

Kalamun (kalau) durung (belum) ugi (juga), ngasorkên (mengalahkan) pandhita (pendeta) sèwu (seribu), nadyan (walau) ana (ada) sèwua (seribu pun), pandhita (pendeta) kang (yang) bakit-bakit (pintar-pintar), iku (iku) padha (semua) kasor (kalah) dening (oleh) widayaka (pujangga). Kalau belum juga, mengalahkan pendeta seribu, walau ada seribu pun, pendeta yang pintar-pintar, itu semua kalah oleh seorang pujangga.

Bakit sama artinya dengan putus yakni sempurna pengetahuannya dalam satu bidang ilmu. Kata jamak bakit-bakit menunjukkan yang bersangkutan menguasai banyak cabang ilmu.

Kecuali jika memang sudah terbukti sanggup mengalahkan para pendeta lain yang sudah terbukti pintar-pintar, maka tidak mengapa menyatakan diri sebagai orang yang mumpuni. Namun demikian, bisakah seseorang mengalahkan orang pintar yang lain, sedangkan ukuran menang dan kalah dalam dunia pengetahuan tak dapat dilihat secara sederhana. Setiap orang pintar mempunyai kelebihan ilmu masing-masing yang tak mungkin diperbandingkan. Tentu akan susah menilai siapa yang menang atau kalah. Berbeda kalau bertarung dalam pertandingan olahraga misalnya.

Page 186: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

173

Kajian Panitisastra (79): Angaku Bisa, Ilang Piyandel

Bait ke-79, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Wong angaku sarwa bisa, miwah sanggup barang kardi, punika dèrèng sayogya, lakuning sujana yêkti, puniku dèn singkiri. Lamun ngêgungêna sanggup, mênawa tan tulusa, sanggupe puniku dadi, datan kandêl marang sang utamèng praja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang mengaku serba bisa, serta sanggup dalam semua pekerjaan, itu belum pantas, (sebagai) perilaku orang pintar yang sebenarnya, yang demikian itu harap dihindari. Kalau membesarkan kesanggupan, kalau tak terlaksana, kesanggupannya itu menjadi, tidak dipercaya oleh sang utama di kerajaan (raja).

Kajian per kata:

Wong (orang) angaku (mengaku) sarwa (serba) bisa (bisa), miwah (serta) sanggup (sanggup) barang (semua) kardi (pekerjaan), punika (itu) dèrèng (belum) sayogya (pantas), lakuning (perilaku, amalan) sujana (orang pintar) yêkti (sebenarnya), puniku (yang demikian itu) dèn (harap) singkiri (dihindari). Orang mengaku serba bisa, serta sanggup dalam semua pekerjaan, itu belum pantas, (sebagai) perilaku orang pintar yang sebenarnya, yang demikian itu harap dihindari.

Orang mengaku serba bisa dalam setiap pekerjaan, serta menyanggupi setiap permintaan itu tidak pantas. Jika memang benar-benar pintar justru

Page 187: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

174

wataknya tidak akan seperti itu. Orang yang benar-benar pintar biasanya justru menyembunyikan kepintarannya. Umuk adalah tanda bahwa kemampuannya kurang.

Lamun (kalau) ngêgungêna (membesarkan) sanggup (kesanggupan), mênawa (kalau) tan (tak) tulusa (terlaksana), sanggupe (kesanggupannya) puniku (itu) dadi (menjadi), datan (tidak) kandêl (dipercaya) marang (oleh) sang (sang) utamèng (utama di) praja (kerajaan). Kalau membesarkan kesanggupan, kalau tak terlaksana, kesanggupannya itu menjadi, tidak dipercaya oleh sang utama di kerajaan (raja).

Jika seseorang membesar-besarkan kemampuan dirinya, dan menyanggupi segala perintah atau permintaan, akan merepotkan dirinya kelak. Bila ternyata tidak berhasil dari apa-apa yang disanggupinya itu, justru akan turun kepercayaan orang kepadanya. Sedangkan kita tahu keberhasilan kita dalam melakukan sesuatu tidak melulu bergantung pada kemampuan kita sendiri. Ada banyak faktor yang menentukan di luar kendali kita. Maka sikap berhati-hati dan tenang itu lebih baik.

Page 188: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

175

Kajian Panitisastra (80): Tekane Kaliyoga

Bait ke-80, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Ujaring Kawi mangkana, ing benjang kalamun prapti, ya ing jaman kaliyoga. Tan angluwihi wong sugih, tan ana ala bêcik. Sujana myang para wiku, wong guna lan pendeta, ilang kasantosannèki. Padha anoraga mring wong daniswara.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Perkataan para ahli demikian, saat besok kalau datang, yang disebut zaman Kaliyoga. Tak ada kelebihan orang kaya, tak ada buruk dan baik. Orang pintar dan para zahid, ilmuwan dan pendeta, hilang kekuatannya. Semua tunduk hormat kepada orang daniswara.

Kajian per kata:

Ujaring (perkataan) Kawi (para ahli) mangkana (demikian), ing (pada) benjang (besok) kalamun (kalau) prapti (datang), ya ing (yang disebut) jaman (zaman) kaliyoga (Kaliyoga). Perkataan para ahli demikian, saat besok kalau datang yang disebut zaman Kaliyoga.

Para Kawi adalah sebutan bagi orang yang menguasai bahasa Kawi. Oleh karena mereka yang menguasai bahasa Kawi sangatlah sedikit pada masa itu (zaman Jawa baru) maka orang-orang yang menguasainya dianggap sebagai orang yang ahli dalam sastra. Hal itu karena karya sastra banyak ditulis dalam bahasa Kawi, seperti babon serat yang kita bahas ini, semula

Page 189: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

176

berupa Kakawin Nitisastra yang ditulis dalam bahasa Kawi. Kemudian diterjemahkan atas perintah Sinuhun Pakubuwana IV dan diberi nama Serat Panitisastra. Oleh karena itu para ahli bahasa Kawi tersebut sering juga disebut Parameng Kawi, dari kata parama ing Kawi, artinya menguasai dalam bahasa Kawi. Selanjutnya mereka sering disebut Kawi saja.

Para Kawi meramalkan akan datangnya zaman Kaliyoga, yang akan datang kelak pada saatnya. Apakah zaman Kaliyoga itu dan kapan datangnya? Tidak ada kepastian kapan datangnya, tetapi para Kawi memberikan tanda-tanda zaman itu. Berikut ini tanda-tandanya.

Tan (tak) angluwihi (ada kelebihan) wong (orang) sugih (kaya), tan (tak) ana (ada) ala (buruk) bêcik (baik). Tak ada kelebihan orang kaya, tak ada buruk dan baik.

Ini bisa dimaknai bahwa orang kaya dianggap tidak ada kelebihannya atas orang miskin. Dan baik dan buruk menjadi tidak ada artinya. Satu tafsiran mengatakan, yang dimaksud tidak ada kelebihan dari orang kaya adalah orang kaya itu bersikap seolah tidak mempunyai harta. Dia kaya namun orang disekitarnya tidak merasakan manfaat kekayaannya itu.

Kemudian mengenai tidak ada beda baik dan buruk adalah, bahwa melakukan perbuatan baik tidak membuat orang yang melakukannya mulia, dan melakukan perbuatan buruk tidak membuat pelakunya hina. Maknanya masyarakat sudah tidak peduli lagi tentang kebaikan dan keburukan. Kadang yang buruk malah populer, dan yang baik dianggap bodoh.

Sujana (orang pintar) myang (dan) para (para) wiku (zahid, sufi), wong guna (ilmuwan) lan (dan) pandhita (pendeta), ilang (hilang) kasantosannèki (kekuatannya). Orang pintar dan para zahid, ilmuwan dan pendeta, hilang kekuatannya.

Bukan hanya orang kaya yang kehilangan pamor, bukan saja orang baik, para cerdik pandai, para zahid, ilmuwan dan pendeta (ulama) pun kehilangan kekuatan. Apa yang ada pada mereka seolah mandul untuk mengatasi persoalan. Mereka sudah tidak didengar lagi.

Padha (semua) anoraga (tunduk hormat) mring (kepada) wong (orang) daniswara (daniswara). Semua tunduk hormat kepada orang daniswara.

Page 190: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

177

Apakah itu orang daniswara? Mengapa semua tunduk kepadanya? Nantikan kajian bait berikutnya!

Page 191: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

178

Kajian Panitisastra (81): Akeh Wisayeng Budi

Bait ke-81, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Têgêsipun daniswara, wong apapa dadi sugih. Duk ing jaman kaliyoga, dumadak wong iku sami, akèh wisayèng budi. Wiku nir santosanipun, raja tan ajrih salah, malah nir luhuring aji, punggawane tan ajrih padha amapan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Artinya daniswara adalah, orang hina yang tiba-tiba menjadi orang kaya dan terhormat. Ketika di zaman Kaliyoga, tiba-tiba orang itu semua, banyak mendapat kutukan akal budinya. Orang zahid hilang kekuatannya, raja tak takut berbuat salah, malah jauh dari sifat luhur seorang raja, punggawane tak takut sifatnya sudah mapan begitu.

Kajian per kata:

Têgêsipun (artinya) daniswara (daniswara), wong (orang) apapa (hina) dadi (yang menjadi) sugih (kaya). Artinya daniswara adalah, orang hina yang tiba-tiba menjadi orang kaya dan terhormat.

Kalau di zaman sekarang daniswara ini adalah orang kaya baru. Bisa menjadi kaya mendadak karena diuntungkan keadaan yang berlaku. Naik daun dan tiba-tiba populer, menjadi idola dadakan. Dan pundi-pundi uangnya semakin menggelembung. Fenomena seperti tampak tidak asing bagi orang dunia modern. Seseorang yang tiba-tiba menjadi kaya mendadak dan menjadi idola baru orang seluruh dunia.

Page 192: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

179

Ada anak muda yang usianya belum seberapa yang tiba-tiba menjadi orang kaya sejagad dan dihormati banyak kepala negara. Ada seorang yang lama menderita dan tiba-tiba menemukan momentum untuk bangkit menjadi trilyuner. Semua itu bisa terjadi di zaman Kaliyoga yang sistem masyarakatnya serba tidak pasti. Tidak ada baik buruk, kaya miskin tak jauh beda sikapnya, sama-sama mengejar harta. Orang-orang pandai, cerdik cendekia, pendeta-ulama tak lagi menjadi panutan, itulah ciri-ciri zaman Kaliyoga.

Duk (ketika) ing (di) jaman (zaman) kaliyoga (Kaliyoga), dumadak (tiba-tiba) wong (orang) iku (itu) sami (semua), akèh (banyak) wisayèng (kutukan, tertipu) budi (akal budinya). Ketika di zaman Kaliyoga, tiba-tiba orang itu semua, banyak mendapat kutukan akal budinya.

Di zaman Kaliyoga mendadak orang-orang banyak yang seolah-olah terkena kutukan. Kekuatannya menjadi mandul, tidak mempan, seolah hampir-hampir hilang kesaktian atau kepandaian seseorang.

Wiku (orang zahid) nir (hilang) santosanipun (kekuatannya), raja (raja) tan (tak) ajrih (takut) salah (berbuat salah), malah (malah) nir (jauh) luhuring (dari sifat luhur) aji (seorang raja), punggawane (para punggawa) tan (tak) ajrih (takut) padha (semua) amapan (mapan). Orang zahid hilang kekuatannya, raja tak takut berbuat salah, malah jauh dari sifat luhur seorang raja, punggawane tak takut sifatnya sudah mapan begitu.

Wiku, pendeta yang zahid, para sufi yang hanya beribadah dan sudah meninggalkan hidup duniawi, menyingkir dari keramaian, biasanya mempunyai kekuatan yang dahsyat akibat peribadatannya. Namun di zaman Kaliyoga kekuatan mereka juga hilang tak berdaya guna.

Para raja sudah tidak memikirkan rakyat lagi, berbuat semena-mena, tidak lagi takut kalau kebijakannya salah dan membuat sengsara rakyatnya. Para punggawa berlaku durjana, korupsi memakan harta negara, dan mereka sudah nyaman dalam watak buruknya itu. Bahkan jika kesempatan mencuri tak ada, mereka menjerit seolah itu adalah hak mereka saja.

Amapan di sini merujuk pada sifat para punggawa yang telah mapan, dan anti perubahan. Yakni mereka sudah mapan bersifat tidak takut pada perbuatan buruk, sebagaimana raja mereka.

Page 193: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

180

Kajian Panitisastra (82): Kalingan Angkara Budi

Bait ke-82, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Anak padha ngala-ala, ing bapa tan ana ajrih. Pandhita kasiya-siya, kalingan angkara budi, lan murka anasabi, drêngki dir gumunggung agung. Yèn prapta kaliyoga, tan ana kang angluwihi, santosane saking wong kang sugih arta.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Anak-anak menjelek-jelekkan, kepada ayahnya tak punya rasa takut. Pendeta disia-siakan, tertutupi budi angkara, dan tamak melapisi, dengki sombong congkak merasa besar. Kalau datang Zaman Kaliyoga, tak ada yang melebihi, kekuatannya dari orang yang kaya harta.

Kajian per kata:

Anak (anak-anak) padha (sama) ngala-ala (menjelek-jelekkan), ing (pada) bapa (ayah) tan (tak) ana (ada) ajrih (takut). Anak-anak menjelek-jelekkan, kepada ayahnya tak punya rasa takut.

Anak-anak pun tidak takut lagi dengan orang tua. Serba menuntut sekehendak sendiri, tidak ada belas kasih bagaimana orang tua sulit mencari penghidupan. Demi mengikuti gaya hidup dalam pergaulan meminta fasilitas yang tak terjangkau oleh orang tua mereka. Kalau tidak dipenuhi mereka menjelekkan orang tuanya, dibilang kuno, dibilang tidak gaul, dan sebagainya. Seolah mereka malu dengan orang tuanya sendiri.

Page 194: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

181

Pandhita (pendeta) kasiya-siya (disia-siakan), kalingan (tertutupi) angkara (angkara) budi (akal budi), lan (dan) murka (tamak) anasabi (melapisi), drêngki (dengki) dir (sombong) gumunggung (congkak) agung (besar). Pendeta disia-siakan, tertutupi budi angkara, dan tamak melapisi, dengki sombong congkak merasa besar.

Para pendeta disia-siakan, ulama dikriminalkan, dipersekusi, dicaci maki, dihujat, dikutuk dan berbagai sikap tak sopan lainnya. Merasa diri pintar hingga berani menyalahkan pendeta dan ulama, hanya karena mereka tak sepaham kemudian dikutuk-dikafirkan. Dosa telah meliputi ummat hingga tatakrama tak terjaga.

Yèn (kalau) prapta (datang) kaliyoga (Zaman Kaliyoga), tan (tak) ana (ada) kang (yang) angluwihi (melebihi), santosane (kekuatannya) saking (dari) wong (orang) kang (yang) sugih (kaya) arta (harta). Kalau datang Zaman Kaliyoga, tak ada yang melebidi, kekuatannya dari orang yang kaya harta.

Jika datang zaman Kaliyoga tidak ada orang yang kekuatannya melebihi orang kaya. Semua serba pakai uang, semua serba bisa dibeli. Opini pun diarahkan dengan uang, kebenaran ilmiah diperdagangkan. Kebenaran agama pun dijual murah untuk sekedar dukung-mendukung perseorangan. Ayat-ayat dibalik untuk tujuan sesaat, kalau pun tidak sesat, jelas itu penistaan terhadap akal sehat.

Itulah ciri-ciri zaman Kaliyoga. Semoga bukan zaman ini. Karena sungguh berat hidup di zaman seperti itu. Kita takkan kuat!

Page 195: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

182

Kajian Panitisastra (83): Ulon-Uloning Pasarean

Bait ke-83, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Pituhunên sabda raja, mulyakna pangandika ji. Yèn akarya pasarean, kulon ulon-ulonnèki, panjang tuwuhing urip, yèn angalor ulonipun, tansah katêkan arta. Sayogya ujure ngalih, yèn angetan kapatèn sih mitranira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Patuhilah titah raja, muliakan perkataannya. Kalau membuat tempat tidur, sebelah barat kepalanya, panjang tumbuh kehidupannya. Kalau ke timur kepalanya, selalu kedatangan harta. Pantas bila membujurnya berganti-ganti, kalau ke timur kehilangan cinta kasih teman-temannya.

Kajian per kata:

Pituhunên (patuhilah) sabda (titah) raja (raja), mulyakna (muliakan) pangandika ji (perkataannya). Patuhilah titah raja, muliakan perkataannya.

Terhadap raja, patuhilah segala perintahnya dan muliakanlah perkataannya. Raja adalah pemimpin kita, kalau tidak dipatuhi rusaklah negara. Ini adalah doktrin kepemimpinan di zaman dahulu. Untuk meraih kepatuhan rakyat kadang seorang raja perlu melegitimasi kepemimpinannya dengan memakai gelar-gelar yang fantastis. Klaim sebagai wakil Tuhan pun kadang dikumandangkan. Semua itu untuk

Page 196: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

183

mendapat pengakuan dan kepatuhan dari rakyat. Namun ada kalanya seorang raja menjadi dhalim perilakunya. Jikalau demikian, rakyatlah yang menderita.

Orang-orang modern kemudian memakai sistem demokrasi dalam memilih pemimpin. Dalam demokrasi masa kepemimpinan dibatasi. Tujuannya adalah agar ketika pemimpin berbuat dhalim dapat segera diganti. Baik sistem lama atau baru, keduanya tetap memerlukan kepatuhan dari seluruh rakyat. Hal itu untuk kesatuan komando agar kompak bergerak membangun negeri. Bayangkan jika sebuah negeri isinya setiap hari hanya pertengkaran. Banyak energi akan habis hanya untuk saling memaki atau menjatuhkan saingan.

Yèn (kalau) akarya (membuat) pasarean (tempat tidur), kulon (sebelah barat) ulon-ulonnèki (kepalanya), panjang (panjang) tuwuhing (tumbuh) urip (kehidupannya). Kalau membuat tempat tidur, sebelah barat kepalanya, panjang tumbuh kehidupannya.

Sekarang kita beralih pada bahasan yang lain, posisi tidur. Jikalau membuat tempat tidur, kepalanya hendaknya diletakkan di arah barat. Hal demikian akan membuat panjang kehidupannya, yang dimaksud adalah panjang umur dan banyak rezekinya. Posisi ini untuk arah tidur membujur timur-barat.

Yèn (kalau) angalor (ke utara) ulonipun (kepalanya), tansah (selalu) katêkan (kedatangan) arta (harta). Kalau ke utara kepalanya, selalu kedatangan harta.

Kalau arah tidurnya membujur selatan-utara, arah kepalanya di utara. Hal ini akan membuat selalu kedatangan harta, gampang dalam mencari rezeki.

Sayogya (pantas) ujure (membujurnya) ngalih (berganti), yèn (kalau) angetan (ke timur) kapatèn (kehilangan) sih (kasih) mitranira (temanya). Pantas bila membujurnya berganti-ganti, kalau ke timur kehilangan cinta kasih temannya.

Lebih baik jika arah tidur berganti-ganti, yang harus dihindari adalah tidur membujur arah kepala di timur. Hal ini akan berakibat yang bersangkutan dijauhi teman, terputus kasih sayang teman-temannya.

Jika dilihat, ajaran tentang posisi tidur ini tidak disertai alasan dan sebab-sebanya. Apa yang diuraikan dalam hal posisi tidur ini boleh jadi

Page 197: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

184

merupakan sebuah pengetahuan ilmiah, tetapi kultur pengajaran di waktu itu berbeda dengan sekarang. Orang pada zaman dahulu ketika memperoleh suatu ilmu kemudian diturunkan, hanya berdasar otoritas mereka sebagai orang tua yang harus dipatuhi. Seringkali sebab, alasan atau latar belakang suatu larangan dan anjuran tidak disampaikan secara jelas. Hal inilah yang kemudian menjadi gugon-tuhon, suatu ujaran yang harus dituruti dan dipatuhi tanpa alasan.

Sikap kita sebagai pewaris ajaran leluhur adalah berusaha mematuhi sepanjang tidak melanggar tiga prinsip ini: Pertama, tidak bertentangan dengan pengetahuan sekarang yang telah terbukti secara ilmiah. Kedua, tidak bertentangan dengan ajaran agama yang kita peluk. Dan ketiga, tidak menimbulkan masalah baru dalam melaksanakannya. Sebagai suatu ilmu bisa jadi ajaran leluhur itu benar, atau bisa juga salah. Sebelum terbukti salah tidak mengapa kita menuruti dan mematuhi sepanjang tidak melanggar tiga prinsip kita tadi.

Page 198: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

185

Kajian Panitisastra (84): Ujar-Ujuring Aguling

Bait ke-84, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mamriha ingkang prayoga, ujar-ujuring aguling, ulon-ulon lor prayoga, adoh sangsayaning budi. Alamun wong aguling, ulon-ulon ana kidul dumadak pati rupak, rina panas ing hyang rawi, yèn ing sore môngka paniram agama.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Upayakan yang lebih baik, tentang membujurnya dalam tidur, posisi kepala di utara lebih baik, menjauhkan sengsara dalam budi. Kalau orang tidur, posisi kepala ada di selatan, tiba-tiba sangat sempit, siang panas oleh matahari, kalau malam menyirep agama.

Kajian per kata:

Mamriha (upayakan) ingkang (yang) prayoga (lebih baik), ujar-ujuring (tentang membujur) aguling (dalam tidur), ulon-ulon (posisi kepala) lor (di utara) prayoga (lebih baik), adoh (jauh) sangsayaning (sengsara dalam) budi (budi). Upayakan yang lebih baik, tentang membujurnya dalam tidur, posisi kepala di utara lebih baik, menjauhkan sengsara dalam budi.

Upayakan agar dapat tidur dengan posisi yang lebih baik. Membujur dengan kepala di utara adalah lebih baik, menjauhkan dari sengsara dalam

Page 199: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

186

budi. Di sini dikatakan satu akibat dari tidur membujur ke utara, namun juga tidak dijelaskan alasan mengapa hal itu bisa terjadi.

Alamun (kalau) wong (orang) aguling (tidur), ulon-ulon (posisi kepala) ana (ada di) kidul (selatan), dumadak (tiba-tiba) pati (sangat) rupak (sempit), rina (siang) panas (panas) ing hyang rawi (matahari), yèn (kalau) ing (pada) sore (sore) mangka (menjadi) paniram (penutup) agama (agama). Kalau orang tidur, posisi kepala ada di selatan, tiba-tiba sangat sempit, siang panas oleh matahari, kalau malam menyirep agama.

Kalau orang tidur membujur dengan kepala di selatan, mendadak akan terasa sangat sempit hidupnya. Siang yang mestinya terang dan dapat dipakai sebagai waktu mencari penghasilan akan terasa panas dan gerah. Kalau malam semestinya dipakai sebagai waktu istirahat, merenung dan beribadah, tapi yang terasa malah kemalasan.

Paniram agama dari kata tiram, artinya sepi, menutup atau menyumpal. Di sini maksudnya adalah membuat malas menegakkan amalan agama, susah bangun malam untuk shalat karena sudah lemas badan. Itulah akibat kalau tidur membujur dengan kepala di selatan.

Bait ini merupakan akhir dari pembahasan tentang posisi tidur, kita tetap memakai prinsip yang telah kita terapkan dalam bait yang lalu. Apapun ajaran leluhur sepanjang tidak bertentangan dengan larangan agama, pengetahuan modern dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaanya tidaklah mengapa dilakukan. Namun apabila dalam melakukan timbul kesulitan lebih baik ditinggalkan. Hal itu karena ajaran leluhur kebanyakan hanya bersifat anjuran saja. Itulah sikap yang moderat terhadap ajaran warisan leluhur.

Sikap fanatik terhadap ajaran leluhur justru tidak baik, pertanda bahwa pikiran kita jumud, karena ilmu pengetahuan kita berkembang setiap saat. Namun, mengabaikan juga bukan sikap yang tepat, itu pertanda kesombongan. Sikap yang moderat seperti di atas perlu kita ambil, dan itulah sikap yang selayaknya kita pilih.

Page 200: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

187

Kajian Panitisastra (85): Pangreksaning Anak-Anak

Bait ke-85, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Pratingkahing anak-anak, sêdhêng umur gangsal warsi, pindhanên suwitèng raja. Tingkah ngawulani siwi, yèn umuripun prapti, iya ing sapuluh taun, kaya nitih kawula . Pinindi panggawe bêcik, êrêngunên pinrih wêruh ing aksara.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Perilaku anak-anak, ketika umur lima tahun, perlakukan seperti sedang mengabdi pada raja. Tingkah poleh mengabdinya anak, kalau umurnya sampai, sepuluh tahun, seperti orang menumpang. Dijaga dengan membiasakan perbuatan baik, condongkan hati agar mengetahui dalam aksara.

Kajian per kata:

Pratingkahing (perilaku, tingkah laku) anak-anak (anak-anak), sêdhêng (ketika) umur (umur) gangsal (lima) warsi (tahun), pindhanên (perlakukan) suwitèng (seperti mengabdi) raja (pada raja). Perilaku anak-anak, ketika umur lima tahun, perlakukan seperti sedang mengabdi pada raja.

Setelah anak berumur lima tahun, perlakukan si anak seperti orang yang suwita kepada pejabat. Yakni dibiasakan untuk disuruh melakukan pekerjaan ringan agar timbul rasa tanggung jawab dan muncul sifat rajin dalam dirinya. Dengan terbiasa disuruh melakukan pekerjaan ringan

Page 201: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

188

tersebut si anak kemudian membiasakan diri untuk bekerja. Hal ini bisa dimulai dari pekerjaan yang berkaitan denga dirinya sendiri, seperti membereskan tempat tidur setelah bangun, membereskan tempat makan setelah sarapan, membereskan pakaian sendiri, dll.

Tingkah (tingkah polah) ngawulani (mengabdinya) siwi (anak), yèn (kalau) umuripun (umurnya) prapti (sampai), iya ing (sampai) sapuluh (sepuluh) taun (tahun), kaya (seperti) nitih (menumpang) kawula (seperti kawula, rakyat). Tingkah poleh mengabdinya anak, kalau umurnya sampai, sepuluh tahun, seperti orang menumpang.

Setelah anak berumur sepuluh tahun, perlakukan si anak seperti orang menumpang atau ngindung. Yang dimaksud di sini si anak diperkenalkan dengan pekerjaan rumah tangga. Kalau bagi orang ngindung pekerjaan yang dilakukan sebagai balas jasa boleh menumpang. Dalam hal anak tentu tidak harus diperlakukan secara kaku, tetapi sebaiknya mulai diperkenalkan bahwa orang hidup mesti melakukan pekerjaan, saling menjaga antar keluarga, berbagi tugas rumah tangga. Hal ini agar si anak terbiasa kelak apabila menumpang di rumah orang. Pada zaman dahulu menumpang adalah keharusan kalau si anak nanti keluar rumah untuk berkarya, karena belum model tempat tinggal kost atau sewa, seperti zaman sekarang.

Pinindi (dijaga dengan membiasakan) panggawe (perbuatan) bêcik (baik), êrêngunên (condongkan) pinrih (agar) wêruh (mengetahui) ing (dalam) aksara (aksara). Dijaga dengan membiasakan perbuatan baik, condongkan hati agar mengetahui dalam aksara.

Dalam tahap umur melewati sepuluh tahun ini si anak hendaknya dibiasakan agar anak terbiasa melakukan perbuatan baik. Serta diusahakan agar anak condong dan mempunyai minat yang kuat dalam belajar ilmu pengetahuan.

Erengunen dari kata rengu artinya gelisah. Buatlah gelisah agar cenderung mau belajar aksara. Maksudnya agar anak menjadi condong kepada belajar baca-tulis. Dalam kehidupan zaman dahulu bisa membaca dan menulis adalah keahlian yang sudah sangat berguna. Kalau di zaman sekarang sudah menjadi hal biasa karena setiap orang bisa membaca menulis. Dalam konteks zaman ini, usahakan agar anak mempunyai minat yang kuat dalam belajar.

Page 202: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

189

Kajian Panitisastra (86): Tumrap Anak Kang Rumagang

Bait ke-86, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Yèn umur nêm bêlas warsa, pindhanên pawong sanak sih, taha-tahanên micara. Dene ta wus andosani, pidanèng cipta liring, pêcutên kalawan sêmu. Yèn anak wus sêsuta , wruh nèng cipta sasmitèki, lah wangwangên pratingkah arja lan ala.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau sudah umur enam belas tahun, anggaplah seolah teman karib yang dikasihi, harap dikira-kira dalam bicara. Adapun jika sudah berbuat salah, hukumlah dalam pikiran maksudnya, dicambuk dengan isyarat. Agar kalau anak nanti sudah mempunyai anak, kelak mengetahui dalam pikirannya isyarat itu, awasilah perilaku yang baik dan buruk.

Kajian per kata:

Yèn (kalau) umur (umur) nêm bêlas (enam belas) warsa (tahun), pindhanên (anggaplah seolah) pawong sanak (teman karib) sih (yang dikasihi), taha-tahanên (harap dikira-kira) micara (dalam bicara). Kalau sudah umur enam belas tahun, anggaplah seolah teman karib yang dikasihi, harap dikira-kira dalam bicara.

Kalau si anak sudah berumur enam belas tahun, selayaknya anak diperlakukan seperti teman karib. Seorang teman karib pasti selalu diharap kebaikannya, selalu ingin didengar kabarnya dan selalu dinasihati apabila tidak mengerti, dibantu jika butuh pertolongan, dihibur jika sedang

Page 203: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

190

kesusahan. Seorang ayah harus bisa menjadi teman karib bagi anak-anaknya. Namun walau dekat juga harus berhati-hati memperlakukan teman karib, jangan karena dekat lalu bicaranya tidak dijaga. Tetap harus dikira-kira jangan sampai dalam bicara membuat tersinggung atau sedih hatinya.

Dene ta (adapun jika) wus (sudah) andosani (berbuat salah), pidanèng (hukumlah dalam) cipta (pikiran) liring (maksudnya), pêcutên (dicambuk) kalawan (dengan) sêmu (isyarat). Adapun jika sudah berbuat salah, hukumlah dalam pikiran maksudnya, dicambuk dengan isyarat.

Apabila anak melakukan kesalahan, harus dihukum sebagai pelajaran. Namun di sini dahulukan pendekatan yang manusiawi. Utamakan lebih dahulu melakukan pidaneng cipta, yakni shock teraphy agar muncul kesadaran dan upaya perbaikan diri. Caranya tergantung budaya yang dianut masing-masing keluarga. Bisa dengan sindiran halus, dengan kisah-kisah yang menginspirasi, atau dengan peringatan yang baik. Namun yang paling baik bila disampaikan dengan isyarat (pecuten kalawan semu), hal itu untuk melatih kepekaan si anak dalam merespon sasmita. Diharapkan dengan cara itu si anak akan tanggap (responsif).

Yèn (kalau) anak (anak-anak) wus (sudah) sêsuta (mempunyai anak kelak), wruh (mengetahui) nèng (dalam) cipta (pikiran) sasmitèki (isyarat itu), lah wangwangên (awasilah) pratingkah (perilaku) arja (yang baik) lan (dan) ala (buruk). Agar kalau anak nanti sudah mempunyai anak, kelak mengetahui dalam pikirannya isyarat itu, awasilah perilaku yang baik dan buruk.

Pemakaian isyarat tadi sekaligus sebagai pendidikan bagi sang anak, agar dia melakukan hal yang sama bila sudah tiba waktu baginya mendidik anak-anak kelak. Agar cara-cara menyampaikan isyarat seperti yang dilakukan oleh ayahnya tadi tertanam dalam pikirannya.

Dan selalu awasilah segala perbuatan anak. Hendaknya selalu dipantau perilakunya sehari-hari, yang baik dan yang buruk. Agar kita sebagai orang tua dapat segera bertindak manakala menjumpai kejanggalan perilakunya. Untuk segera mengarahkannya, memberi peringatan dan bimbingan kepadanya.

Page 204: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

191

Kajian Panitisastra (87): Aja Anduluri Kareping Wadon

Bait ke-87, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Aja nut budining sudra, têmah winiwasèng swami, aja nut èstri budinya, dèn erang-erang sasami. Lan aja anduluri, karêping wadon tan wurung, sira amanggih papa. Sisipa tumêkèng pati, nadyan patut ing budi sinabarêna.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan mengikuti budi pekerti orang rendah, sehingga dikuasai pasangan, jangan menuruti istri dalam kepribadiannya, nanti di permalukan sesama. Dan jangan mengiringi, keinginan wanita tak urung, engkau menemui kesusahan. Kelemahannya sampai mati, walau pantas (bagimu) dalam budi disabarkanlah.

Kajian per kata:

Aja (jangan) nut (mengikuti) budining (budi pekerti) sudra (orang rendah), têmah (sehingga) winiwasèng (dikuasai) swami (pasangan, jawa: bojo). Jangan mengikuti budi pekerti orang rendah, sehingga dikuasai pasangan.

Jangan mengikuti perbuatan orang hina. Kata sudra di sini berasal kasta sudra yang seringkali dianggap menempati strata rendah dalam sistem masyarakat dahulu. Ketika klasifikasi berdasar kasta sudah tidak berlaku di Jawa, kata sudra dipinjam dalam bahasa Jawa baru, artinya untuk menyebut mereka yang berbuat hina.

Page 205: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

192

Orang hina yang dimaksud di sini bukan berasosiasi dengan etnis, atau profesi tertentu, tetapi lebih merujuk kepada orang yang suka melakukan perbuatan kurang pantas. Dalam sistem budaya Jawa ada tiga tingkatan keutamaan seseorang dalam melakukan perbuatan, yakni nistha, madya dan utama. Orang hina adalah orang yang lebih suka melakukan perbuatan dengan cara nistha.

Perbuatan orang hina tersebut janganlah ditiru. Lebih baik jika dalam melakukan suatu pekerjaan dengan cara yang utama, atau setidaknya dengan cara madya. Akibat sering melakukan perbuatan hina adalah dikuasai pasangan. Yang dimaksud di sini adalah bagi seorang suami, jika sering kali melakukan perbuatan hina akan diremehkan dan tunduk pada pasangan hidupnya (istri).

Aja (jangan) nut (menurut) èstri (istri) budinya (kepribadiannya), dèn (di) erang-erang (permalukan) sasami (sesama). Jangan menuruti istri dalam kepribadiannya, nanti di permalukan sesama.

Jangan menuruti istri dalam kepribadiannya. Larangan ini agaknya berkaitan dengan sifat wanita yang seringkali emosional dan impulsif. Keluarga yang kepemimpinannya dipegang perempuan akan sering gaduh karena keinginan wanita sering tidak terkontrol. Keputusannya lebih bersifat emosional dan jauh dari pertimbangan nalar. Jika ada keluarga seperti itu, pasti si lelaki akan menjadi bahan tertawaan orang.

Lan (dan) aja (jangan) anduluri (mengiringi, menuruti), karêping (keinginan) wadon (wanita) tan (tak) wurung (urung), sira (engkau) amanggih (menemui) papa (kesusahan). Dan jangan mengiringi, keinginan wanita tak urung, engkau menemui kesusahan.

Ini masih berkaitan dengan sifat wanita yang cenderung emosional dan impulsif tadi. Kadang kurang mempertimbangkan akibat jangka panjang. Karena awal bulan banyak diskon kemudian memborong semua dagangan. Akhirnya ketika tengah bulan duit sudah habis. Tinggalah si suami tengak-tengok kiri-kanan untuk cari pinjaman. Bulan berikutnya susahnya bertambah karena uang belanja harus dikurangi untuk bayar cicilan. Ini contoh yang sederhana saja.

Sisipa (kelemahannya) tumêkèng (sampai) pati (mati), nadyan (walau) patut (pantas) ing (dalam) budi (budi) sinabarêna (disabarkanlah).

Page 206: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

193

Kelemahannya sampai mati, walau pantas (bagimu) dalam budi disabarkanlah.

Itulah watak wanita yang mungkin takkan berubah sampai mati. Dan lelaki harus pandai ngemong watak yang demikian itu dengan berbagai trik, rayuan dan bujukan. Walau mungkin si lelaki sudah benar, namun dalam mendisiplinkan wanita kadang harus memakai banyak rekayasa. Untuk itu bersabarlah wahai para lelaki.

Page 207: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

194

Kajian Panitisastra (88): Langka Budining Pawestri

Bait ke-88, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Angên-angênên sabarna, saking karsanta pribadi. Iki wartane sang krama, langka budining pawèstri. Lurusa manah èstri, mênawa ta ana tunjung, tumuwuh anèng sela. Lawan gagak ulês putih, iku ana wong wadon rahayu ing tyas.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Simpan dalam angan-angan sabarkanlah, dari kehendakmu sendiri. Itulah kabar bagi yang akan menikah, langka akal budi bagi wanita. Wanita akan berhati lurus, kalau saja ada teratai, yang tumbuh di batu. Dan ada burung gagak berbulu putih, itulah saat ada seorang wanita kuat hatinya.

Kajian per kata:

Angên-angênên (angan-angankan) sabarna (sabarkanlah), saking (dari) karsanta (kehendakmu) pribadi (sendiri). Simpan dalam angan-angan sabarkanlah, dari kehendakmu sendiri.

Arti yang tepat adalah ingatlah dalam angan-angan dan sabarkanlah dari kehendakmu sendiri. Yang dimaksud adalah bersikap sabar terhadap sifat dan watak wanita, seperti yang diuraikan dalam bait yang lalu.

Kalau dalam idiom modern ini ada perkataan, “lelaki pasti salah”. Memang kurang lebih seperti itulah keadaannya. Jadi harap maklum dan bersabar.

Page 208: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

195

Iki (inilah) wartane (kabarnya) sang (sang) krama (menikah), langka (langka) budining (akal budi bagi) pawèstri (wanita). Itulah kabar bagi yang akan menikah, langka akal budi bagi wanita.

Yang dimaksud bahwa wanita yang berakal budi lurus sebagaimana laki-laki sangat langka. Kenyataan ini merupakan pengetahuan yang penting bagi mereka yang akan menikah. Dan harap diketahui pula bahwa ini berlaku untuk semua wanita. Bahkan seorang wanita yang dikenal keras dan tegar diluar pun jikalau sudah berumah tangga akan menunjukkan sifat-sifat manja dan suka merajuk. Karena dasarnya memang sudah kodrat wanita berperilaku seperti itu.

Lurusa (lurusnya) manah (hati) èstri (seorang wanita), mênawa ta (kalau saja) ana (ada) tunjung (bunga teratai), tumuwuh (tumbuh) anèng (ada di) sela (batu). Wanita akan berhati lurus, kalau saja ada teratai, yang tumbuh di batu.

Takkan ada teratai yang tumbuh di batu. Kalimat adalah ungkapan kemustahilan adanya seorang wanita yang lurus hati. Dalam arti wanita yang hatinya tidak mudah bengkok oleh godaan, bujukan dan rayuan.

Lawan (dan) gagak (burung) ulês (gagak) putih (berbulu putih), iku (itu) ana (ada) wong (seorang) wadon (wanita) rahayu (selamat, kuat) ing (dalam) tyas (hati). Dan ada burung gagak berbulu putih, itulah saat ada seorang wanita kuat hatinya.

Ini pun ungkapan kemustahilan juga. Karena tidak ada seekor pun burung gagak yang berwarna putih. Jadi selamanya hati wanita akan lemah dan gampang patah, gampang luka dan rawan tergores. Laksana kristal yang harus dibawa dengan hati-hati.

Namun demikian, kodrat wanita yang seperti itulah yang menjadi daya tarik bagi laki-laki. Tak ada seorang lelaki pun yang akan memilih wanita yang dingin perasaannya, kuat pendiriannya dan keras hati. Laki-laki akan lebih suka memilih wanita yang lemah, gemulai dan tampak rapuh. Dan itu juga kodrat kehidupan.

Page 209: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

196

Kajian Panitisastra (89): Prayitna Mengku Pawestri

Bait ke-89, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Kalingane pra sujana, prayitna mêngku pawèstri. Ujare kang sampun wikan, kapara wolu janmèstri, kabisaning sakalir. Graita wiwekanipun para woluning lanang. Lingira Dèwi Drupadi, ora nana wong wadon warêg ing lanang.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tersebutlah perkataan para orang pintar, berhati-hatilah dalam merengkuh wanita. Kata yang sudah paham, dibagi delapan seorang wanita, dalam segala kemampuannya. Pemikiran dan kewaspadaannya, seperdelapannya laki-laki. Ingatlah kisah Dewi Drupadi, tidak ada wanita yang kenyang lelaki.

Kajian per kata:

Kalingane (tersebutlah perkataan) pra (para) sujana (orang pintar), prayitna (berhati-hatilah) mêngku (membingkai, merengkuh) pawèstri (wanita). Tersebutlah perkataan para orang pintar, berhati-hatilah dalam merengkuh wanita.

Para orang-orang pintar sudah memberi peringatan agar laki-laki bertindak hati-hati dalam merengkuh wanita. Menarik, bahwa kata yang dipakai oleh orang-orang terdahulu dalam bahasa Jawa untuk menyebut menikah adalah mengku, arti tekstualnya adalah membingkai. Makna kata bingkai ini seperti bingkai lukisan atau foto. Jika tanpa bingkai amat susah

Page 210: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

197

membawa sebuah lukisan, pasti akan lecek dan terlipat-lipat. Dengan adanya bingkai lukisan aman untuk dibawa atau dipajang, tidak gampang rusak atau sobek. Seperti itulah perumpamaan seorang lelaki yang menikahi wanita, ibarat bingkai yang akan mengamankan.

Ujare (kata) kang (yang) sampun (sudh) wikan (paham), kapara (dibagi) wolu (delapan) janmèstri (seorang wanita), kabisaning (dalam kemampuan) sakalir (semuanya). Kata yang sudah paham, dibagi delapan seorang wanita, dalam segala kemampuannya.

Menurut perkataan orang yang sudah paham, kemampuan wanita dalam segala hal hanyalah seperdelapan dari laki-laki. Ini berkaitan dengan kelemahan fisiknya. Selain lemah hatinya, wanita juga terlahir lemah fisiknya. Tidak bisa mengangkat beban sebagaimana laki-laki, tidak trampil dalam motorik, lebih lamban dalam bergerak, lebih lambat dalam merespon, dll. Seorang wanita amat jarang yang bisa menangani pekerjaan yang memakai ketrampilan tinggi, seperti bengkel, montir, dll. Dalam hal yang umumnya dikerjakan wanita pun laki-laki yang sudah berlatih secara profesional pun lebih unggul, seperti juru masak (chef). Tentu saja masakan wanita tak kalah enak, namun jika sedang galau pikirannya, bisa-bisa masakannya kurang garam.

Graita (pemikiran) wiwekanipun (kewaspadaannya), para (bagi) woluning (delapan dari) lanang (laki-laki). Pemikiran dan kewaspadaannya, seperdelapannya laki-laki.

Dalam hal olah pikiran dan kewaspadaan wanita juga kalah dari lelaki. Menurut serat ini kekuatannya hanya seperdelapannya. Mungkin angka ini berlebihan, tetapi fakta bahwa wanita lebih lambat berpikir dan kurang waspada, tak dapat diingkari. Banyak pekerjaan yang memerlukan refleks tinggi seperti balapan, menyetir kendaraan, atau mengendalikan alat berat hampir mustahil dikerjakan wanita.

Lingira (ingatlah) Dèwi Drupadi (Dewi Drupadi), ora (tidak) nana (ada) wong (orang) wadon (perempuan) warêg (kenyang) ing (pada) lanang (lelaki). Ingatlah kisah Dewi Drupadi, tidak ada wanita yang kenyang lelaki.

Selain dalam kemampuan fisik sangat terbatas, wanita juga mempunyai kelemahan lain yang fatal. Bisa-bisa mencelakakan dirinya sendiri, yakni

Page 211: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

198

tidak pernah kenyang akan lelaki. Kisah Dewi Drupadi membuktikan hal itu. Bagaimanakah kisahnya?

Ada dua versi kisah Drupadi ini, versi India dan versi Jawa. Mengapa demikian dan apa sebabnya? Ada baiknya kita ketahui bersama sebagai pengetahuan.

Kisah Drupadi ini merupakan bagian dari wiracarita Mahabarata yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai luhur menurut ajaran Hindu. Hal ini karena memang Mahabarata merupakan epik dikdaktik, yang digunakan sebagai pengajaran nilai-nilai agama.

Ketika Islam masuk, para pendakwah zaman dahulu melihat bahwa nilai-nilai yang dikandung dalam epik Mahabarata ini memuat banyak anjuran moral yang sangat baik. Namun dalam beberapa hal terdapat ketidaksesuaian yang prinsip dengan ajaran Islam. Mereka kemudian melakukan perubahan atas jalan cerita dengan versi mereka sendiri.

Proses perubahan itu sendiri tidak berlangsung singkat, tetapi memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan beberapa generasi. Kakawin Bharatayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh kemudian disalin oleh Ki Yasadipura dan kawan-kawan. Dalam proses penyalinan tersebut alur cerita dirubah agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yang waktu itu sudah menjadi agama resmi rezim yang berkuasa. Itulah mengapa versi Jawa yang dipakai dalam pewayangan sedikit berbeda dengan versi India.

Kembali ke kisah Dewi Drupadi tadi, yang dimaksud dengan kisah Drupadi yang disebut dalam serat ini pastilah menurut versi India, karena keterangan ora nana wong wadon wareg ing lanang, jelas merujuk kisah versi India. Agar jelas kita sampaikan dulu kisahnya sebagai berikut ini.

Di padepokan Resi Baradwaja seorang anak Raja Pancala bernama Drupada berguru sebagai murid. Dia menjadi akrab dengan sesama murid yang kebetulan anak sang Resi, bernama Drona. Keduanya bagai tak terpisahkan dan berjanji kelak akan saling membantu ketika dewasa.

Setelah selesai menempuh pendidikan Drupada kembali ke negeri Pancala dan menjadi raja di sana. Sementara Drona yang mendengar kabar itu bermaksud menyusul untuk sama-sama berkarya sebagaimana tekad mereka semasa masih menempuh pendidikan dahulu.

Page 212: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

199

Namun sungguh tak disangka, kedatangan Drona ke Pancala tidak disambut dengan hangat oleh Drupada. Dia bahkan merasa dipermalukan karena tidak dianggap sebagai teman, Dropada menganggapnya tidak sederajat lagi. Sikap Drupada ini membuat Drona sakit hati dan dendam.

Kelak kemudian hari Drona diangkat menjadi guru bagi anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ketika para murid itu sudah diberi pelajaran oleh Drona, mereka kemudian diuji coba keperwiraannya dengan cara menangkap Dupada hidup-hidup. Kurawa menyanggupi dan menyerang Pancala namun gagal. Kemudian giliran Pandawa maju dan berhasil menangkap Drupada untuk dihadapkan kepada Drona. Kini posisi menjadi terbalik, Drona di atas angin. Sebagai pemenang perang Drona minta separuh kerajaan Pancala, dan disanggupi oleh Drupada. Drupada kemudian dilepaskan.

Peristiwa itu kemudian menjadi dendam dalam hati Drupada. Namun apa daya dia tidak mempunyai seorang anak yang akan membalaskan dendam kepada Drona. Dia begitu susah hati. Kemudian terbersit dalam hati keinginan untuk melakukan upacara putrakama. Yakni upacara memuja dewa Agni dengan cara membakar mentega sehingga dari api itu muncul seorang anak pemberian dewa Agni.

Upacara putrakama berhasil dilakukan, Drupada memperoleh dua orang anak, lelaki dan perempuan. Yang lelaki diberi nama Destadyumna, yang perempuan diberi nama Kresna (artinya hitam) atau lebih dikenal sebagai Dupadi. Dewi Drupadi ini terkenal akan kecantikannya sehingga mengundang para ksatria untuk datang melamar.

Raja Drupada kemudian mengadakan sayembara untuk mencari suami Dewi Drupadi. Barang siapa dapat membidik sasaran hanya dengan melihat bayangannya di dalam air dengan memakai busur kerajaan Pancala dia berhak menjadi suami Drupadi.

Demi mendengar sayembara itu Duryudana yang sudah kebelet kawin ingin mengikuti. Namun apa daya dia tidak pandai memanah, sehingga mewakilkan kepada Karna salah seorang pembantunya yang diketahui sebagai anak kusir Adirata. Panitia pertandingan menolak karena peserta tidak boleh diwakilkan. Karna kemudian minta ijin untuk maju sebagai pribadi, tetapi dia ditolak oleh Drupadi dengan mengatakan bahwa dia tidak mau menjadi istri anak kusir.

Page 213: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

200

Akhirnya seorang brahmana maju mengikuti sayembara itu setelah para ksatria gagal. Dia kemudian berhasil mengenai sasaran dengan tepat dan berhak atas Drupadi. Brahman tersebut tak lain adalah Arjuna yang sedang menyamar. Maka diberikanlah Drupadi kepada brahmana tersebut sebagai istri.

Mengapa Arjuna menyamar sebagai brahmana? Hal itu terjadi setelah peristiwa pembakaran rumah kardus oleh Kurawa ketika mereka berburu. Kurawa bermaksud melenyapkan Pandawa dengan membakar balai-balai yang sengaja dibuat dari bahan kering dan mudah terbakar. Kurawa mengira Pandawa telah tewas, tetapi sesungguhnya mereka dapat lolos dan menyamar sebagai brahmana. Saat itu mereka hidup di hutan dan berlaku selayaknya brahmana dengan cara hidup meminta sedekah kepada penduduk sekitar.

Kebiasaan mereka, sepulang meminta sedekah mereka menghadap ibu Kunti dan menyerahkan sedekah itu, tetapi ibu Kunti selalu menjawab, “bagilah antara kalian berlima!”

Pada hari Arjuna memenangkan sayembara dan membawa pulang Drupadi sebagai istri dia segera mencari ibu Kunti untuk mengabarkan kegembiraan itu. Saat itu ibu Kunti berada di dalam kamar sehingga Arjuna memanggil dengan maksud memberi kejutan, “Ibu, lihatlah apa yang kudapatkan hari ini!” Tanpa keluar kamar ibu Kunti menjawab, “Bagilah antara kalian berlima nak!”

Betapa kagetnya ibu Kunti ketika keluar kamar. Dia melihat Arjuna dan Drupadi dengan wajah pucat setelah mendengar perkataan Kunti tadi. Namun nasi telah menjadi bubur, dan kata yang terucap tak dapat ditarik kembali. Akhirnya dengan berat hati Drupadi dan para Pandawa terpaksa menerima ketentuan ini. Drupadi menjadi istri dari kelima Pandawa.

Walau mereka sudah menerima kenyataan ini, tetapi tetap beratlah di hati dalam menjalankannya. Kakek mereka Resi Wyasa datang untuk menjelaskan bahwa kejadian ini adalah ketentuan dewata karena kehendak Drupadi sendiri dalam kehidupan sebelumnya.

Agama Hindu mempercayai reinkarnasi, nasib yang diterima Drupadi adalah buah dari perilakunya di kehidupan sebelumnya. Resi Wyasa membuka tabir mengapa sampai itu terjadi. Pada kehidupan sebelumnya

Page 214: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

201

Drupadi merupakan anak seorang Resi yang gemar bertapa. Walau cantik jelita anak sang resi ini sampai tua tidak menikah. Dia sampai galau dan gundah gulana. Dia kemudian memohon kepada dewa Syiwa agar memberinya jodoh. Oleh dewa Syiwa permintaannya akan dikabulkan kelak di kehidupan yang akan datang. Dia boleh memilih ksatria seperti apa yang dia kehendaki, akan Syiwa wujudkan.

Saking senangnya anak sang resi ini tak kuasa menahan diri. Dia kemudian mengatakan, “Saya ingin suami yang baik hati.” Namun dia merasa itu belum cukup, dia memohon lagi, “Saya ingin suami yang perkasa dalam perang.” Tapi dia masih belum cukup dan minta lagi, “Yang tubuhnya sempurna tiada cacat.” Dan lagi-lagi dia meminta, “Yang jago bermain pedang dan tangkas, serta yang pintar dalam pengetahuan.”

Dewa Syiwa menjawab bahwa dia akan mengabulkan semua permintaan itu. “Namun bahwa seorang lelaki yang memiliki 5 sifat itu takkan pernah ada di muka bumi ini. Maka kelak suamimu adalah lima orang yang memiliki sifat-sifat yang engkau inginkan tadi!” Ketika anak resi tadi meninggal dia kemudian berinkarnasi menjadi Drupadi. Dia kini sudah menerima apa yang dahulu dia minta. Maka nasibnya kini adalah takdir baginya.

Itulah mengapa sebab dalam serat ini Drupadi disebut sebagai wanita yang tidak wareg ing lanang. Dan sifat seperti itu memang sudah menjadi kodrat wanita, takkan puas dengan apapun sifat-sifat suaminya. Para wanita hendaknya belajar untuk menerima suaminya apa adanya. Ingatlah kisah Drupadi yang karena tamak dan terlalu menginginkan yang sempurna terpaksa harus bersuami lima orang.

Sekarang akan kami sertakan juga versi Jawa sebagai perbandingan. Walau dalam versi Jawa nasib Drupadi tak setragis versi India namun ada baiknya diketahui sebagai tambahan wawasan.

Tersebutlah di negeri Atas Angin seorang Resi bernama Baradwaja. Dia mempunyai dua orang murid bernama Sucitra dan Kumbayana. Dua orang itu selalu rukun bagaikan saudara. Kumbayana adalah anak sang Resi sendiri, sedangkan Sucitra adalah anak Resi Dwapara dari Pancala. Ketika sudah lulus dari perguruan Sucitra kembali ke negerinya, dia kemudian menikah dengan putri raja di sana dan kemudian mewarisi tahta sebagai raja bergelar Prabu Drupada.

Page 215: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

202

Betapa senangnya Kumbayana ketika mendengar Sucitra menjadi raja. Dia bermaksud menyusul ke Pancala untuk ikut menikmati kedudukan, paling tidak kan bisa diangkat sebagai komandan pasukan atau panglima perang, begitu angan-angannya. Dia ingin segera menyusul dan sampai ke negeri Pancala. Namun badai dan ombak besar menghalangi dia untuk menyeberang lautan.

Kuatnya keinginan membuat dia mengucapkan sayembara, “Barangsiapa bisa menyeberangkan diriku melewati lautan ini, kalau perempuan akan kujadikan istri, kalau lelaki akan kujadikan saudara layaknya saudara kandung!” Sekonyong-konyong muncullah kuda terbang betina menghampiri Kumbayana, seolah-olah menawarkan diri untuk menyeberangkan. Kumbayana pikir inilah jawaban dewata dengan mingirimkan kuda terbang. Tak apalah kalau tidak ada manusia, kuda terbang pun boleh.

Ketika sudah sampai Kumbayana turun dan berterima kasih kepada si kuda. Namun kuda terbang betina itu tak mau pergi dan selalu mengikuti. Kumbayana tanggap bahwa kuda itu minta diperistri sesuai sayembara tadi. Aduh mak! Masa kuda to? Dia kebingungan. Belum lagi rasa bingungnya hilang si kuda kesakitan dan dari perutnya keluarlah anak manusia. Si kuda kemudian berubah menjadi bidadari cantik dewi Wiluttama. Dia kemudian menyerahkan anak itu kepada Kumbayana dan terbang ke langit.

Akhirnya Kumbayana dapat melanjutkan perjalanan menuju Pancala dan menemui Sucitra yang sudah bergelar Prabu Drupada. Di istana dia menemui Drupada dengan gaya ketika mereka masih di padepokan, akrab dan sumadulur. Namun apa yang diharap ibarat panggang jauh dari api. Drupada sangat marah atas sikap Kumbayana yang sok akrab seperti ketika masih menjadi siswa padepokan. Dia berpendapat bahwa tak selayaknya Kumbayana bersikap demikian. Bagaimanapun dia kini seorang raja, dan Kumbayana hanyalah pelajar miskin dan papa. Saking marahnya Sucitra sampai menghajar Kumbayana sehingga wajahnya rusak, tangan ceko dan kakinya agak degling.

Kumbayana pergi dari Pancala dan mengembara mencari ilmu baru, bertapa dan berlatih untuk mencapai kesaktian. Dia berhasil menguasai berbagai ilmu kesaktian dan menjadi pendeta bergelar pendeta Drona. Dia

Page 216: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

203

kemudian diangkat menjadi guru keperwiraan bagi putra-putra raja Astina dan Pandawa. Namun dia masih menyimpan dendam kepada Drupada dan berniat membalas melalui murid-muridnya tersebut. Cerintanya hampir sama dengan versi India. Drona kemudian meminta tanda kepatuhan kepada murid-muridnya dengan menangkap Prabu Drupada. Ini sekaligus membuktikan siapa di antara murid-murid tersebut yang telah lulus dari didikan Drona.

Kurawa menyanggupi permintaa Drona itu dan berangkat beramai-ramai ke Pancala. Namun mereka lari tunggang langgang digebuk pasukan Pancala yang waktu itu masih digawangi senapati Gandamana. Pandawa kemudian maju. Dengan melakukan secara senyap mereka berhasil masuk ke istana dan meringkus Prabu Drupada untuk dibawa ke hadapan Drona. Tentu saja Drona sangat bersuka cita kepada para pandawa.

Di hadapan Drona Prabu Drupada mendapat ceramah dari Drona tentang kesetiakawanan. Drona mau memaafkan perilaku Drupada dahulu dengan syarat separuh kerajaan Pancala diserahkan kepadanya. Drupada terpaksa menyanggupi, tetapi dia pulang dengan dendam membara di hati.

Sesampai di Pancala Drupada sangat sedih dan malu. Dia kemudian meminta saran kepada para brahmana agar mendapat keturunan yang kelak dapat melenyapkan Drona. Atas saran mereka Drupada kemudian melakukan upacara putrakama, yakni ritual untuk memohon kepada dewa Agni agar diberi anak yang sempurna. Melalui ritual itu Drupada mendapat dua anak, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki terlahir dengan dilengkapi baju perang dan senjata, dialah Drestadyumna yang diharapkan dapat membalaskan dendam Drupada. Sedangkan yang perempuan seorang yang cantik luarbiasa, berkulit kehitaman dan dinamakan Dewi Kresna. Dia juga sering disebut Drupadi karena anak Drupada, atau disebut juga Pancali karena putri dari Pancala.

Ketika dewasa dan waktu bagi Drupadi untuk menikah Gandamana yang tak lain merupakan paman Drupadi mengadakan sayembara tanding. Gandamana merupakan murid dari Pandudewanata, ayah Pandawa yang sakti. Dahulu dia menjadi Patih di Astina, tetapi karena hasutan Sengkuni dia terpaksa pulang ke Pancala. Dia sana dia kemudian menjadi senapati yang dikenal pilih tanding, tak ada lawan. Sayembara Gandamana

Page 217: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

204

berbunyi, barang siapa sanggup mengalahkan Gandamana dia boleh memperistri Drupadi.

Banyak ksatria yang datang untuk mengadu nasib, namun di tangan Gandamana mereka tak ada apa-apanya. Para ksatria itu tunggang langgang dikepret Gandamana. Akhirnya Bima maju mewakili Yudhistira. Saat itu mereka baru saja lolos dari upaya pembunuhan di Bale Sigala-Gala, mereka menyamar sebagai brahmana. Bima akhirnya dapat membunuh Gandamana dengan kuku pancanaka dan berhak mendapat Drupadi. Namun karena dia hanya mewakili Yudistira, maka Drupadi dinikahi Yudistira.

Dalam versi Jawa tidak ada adegan Kunti yang berkata, “Bagilah untuk kalian berlima!” Jelas bahwa versi Jawa telah dirubah oleh para pujangga Islam di masa itu. Tujuannya adalah agar tidak ada cacat moral di pihak Pandawa, karena menurut cerita pewayangan Pandawa melambangkan kebaikan. Sedangkan melakukan poliandri adalah cacat moral yang tak terampuni menurut kepercayaan masa itu yang sudah didominasi agama Islam.

Sekian kami ulas cerita tentang Drupadi. Walau kisahnya masih panjang dan menarik kami hanya membatasi sekedar untuk menjelaskan mengapa Drupdi disebut ora nana wong wadon wareg ing lanang, yang disebut dalam bait ini. Versi Jawa yang kami sampaikan hanya sebagai pembanding saja.

Sekedar tambahan, walau Drupadi disebut secara minor dalam serat ini, bukan berarti Drupadi wanita rendah. Ada banyak sifat baik yang dimilikinya, yang menutupi sifat kurang baiknya itu. Namun hal itu diluar keperluan kami untuk menguraikannya.

Page 218: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

205

Kajian Panitisastra (90): Gangsal Prekawis Amuroni

Bait ke-90, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Sing sapa arsa kapanggya, kaluwihaning aurip, lêkasna guru wulangya. Ing awak kang amuroni, iya gangsal prakawis, punika kaananipun, anom bagus kang warna, tur sugih bangkit ing kardi, kaping gangsal mungguh kulane pasaja.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Barang siapa menghendaki, kelebihan dalam kehidupan, terapkan sikap yang diajarkan guru. Dalam diri yang memabukkan, yaitu lima perkara, itulah keadaannya, muda bagus rupawan, dan kaya serta mampu bekerja, yang kelima dalam hal keturunan apa adanya.

Kajian per kata:

Sing sapa (barang siapa) arsa (ingin, mengehendaki) kapanggya (menemui), kaluwihaning (kelebihan dalam) aurip (kehidupan), lêkasna (terapkan sikap) guru (guru) wulangya (ajarkan). Barang siapa menghendaki, kelebihan dalam kehidupan, terapkan sikap yang diajarkan guru.

Barang siapa menghendaki mencapai kelebihan dalam kehidupan, praktikkan, terapkan, apa-apa saja yang diajarkan oleh guru. Para guru lebih tahu dan lebih berpengalaman tentang kehidupan kelak. Mungkin kita merasa sudah pandai terhadap hal-hal sekarang, tetapi apa yang akan kita alami sepuluh tahun lagi, atau dua puluh tahun lagi, mereka yang

Page 219: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

206

sudah mengalamilah yang lebih tahu. Ada baiknya kita memperhatikan dengan seksama apa yang mereka katakan daripada kelak kita menyesal karena waktu tak dapat berulang.

Ing (pada) awak (diri) kang (yang) amuroni (memabukkan), iya ( yaitu) gangsal (lima) prakawis (perkara), punika (itulah) kaananipun (keadaannya). Dalam diri yang memabukkan, yaitu lima perkara, itulah keadaannya.

Pada diri sendiri yang memabukkan atau membuat lalai itu ada lima perkara. Lima hal itu sering diabaikan dan tanpa sadar membuat kita lengah terhadap masa depan kita kelak. Kita sangka bahwa lima hal itu akan abadi dan tak berganti. Walau sebenarnya akal pikiran kita mengetahui bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, tetapi lima hal itu sering membuat kita lupa waktu sehingga menemukan kenyataan bahwa kita sudah terlambat. Itulah keadaannya.

Anom (muda) bagus (bagus) kang warna (rupawan), tur (dan) sugih (kaya) bangkit (mampu) ing (dalam) kardi (bekerja), kaping gangsal (yang kelima) mungguh (dalam hal) kulane (keturunan, keluarga) pasaja (diwarisi). Muda bagus rupawan, dan kaya serta mampu bekerja, yang kelima dalam hal keturunan yang diwarisi.

Kelimanya adalah, waktu muda, wajah yang tampan rupawan, harta kekayaan, kemampuan dalam bekerja dan keluhuran keluarga yang diwarisi.

Dalam Tembung Kawi Mawi Tegesipun, Winter 1928, pasaja diartikan waris. Dalam banyak kamus dan literatur lain diartikan sebagai: apa adanya, sederhana, terus terang, dll. Namun dalam konteks kalimat di atas arti dari Winter tadi lebih tepat. Sekarang mari kita kupas lebih jauh dari kelima hal tersebut mengapa membuat kita lalai.

Pertama, waktu muda. Seseorang yang sedang menjalani masa muda seringkali terlalu bersemangat dalam hidup ini. Gairah hidup berkobar-kobar untuk melakukan banyak hal. Hobi maupun kesenangan saja yang mereka kejar, sehingga kadang lupa persiapan hari tua. Kelak ketika tua sebagaian dari apa yang mampu dilakukan di masa muda akan hilang. Kelak di masa tua sebagian dari kebutuhan di masa muda juga lenyap. Mungkin berganti dengan kebutuhan baru yang justru di masa muda tidak

Page 220: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

207

disadari. Nah karena itu jangan terlena dengan masa muda, dan sadarlah sebelum masa tua menjelang. Persiapkan juga keperluan untuk hari tua.

Kedua, wajah yang rupawan. Ini pun juga tidak akan abadi. Orang ganteng atau cantik juga akan menjadi orang biasa saja setelah berumur 40 tahun. Pada saat itu orang tak lagi melirik kecantikannya. Apabila kita menyiapkan diri ketika masa itu datang dengan berbekal kemampuan dan kepandaian, kita akan selamat menjalani hari tua. Namun sering terjadi orang lalai dan hanya berusaha mempertahankan kecantikan dengan berbagai cara. Padahal jelas bahwa itu tidak mungkin.

Ketiga, kekayaan. Yang ini lebih meninabobokkan dibanding dua hal di atas. Seringkali kekayaan yang didapat tidak membuat kita puas, tapi malah membuat kita ingin mengejar yang lebih besar lagi. Kalau dulu membayangkan mempunyai duit satu juta pun sudah senang, ketika keinginan itu terwujud malah menjadi pengin satu milyar. Dan seterusnya terus menguat upaya untuk meraihnya, sampai lupa bahwa kekayaan itu anugrah yang harus dibelanjakan sebaik-baiknya. Namun yang banyak terjadi belum sempat membelanjakannya waktu di dunia sudah habis.

Keempat, pekerjaan. Ada yang namanya pensiun sebagai waktu yang seharusnya dimanfaatkan di hari tua untuk beribadah dan meliburkan diri dari aktivitas keduniawian. Namun ada kalanya seseorang sangat produktif dalam mencari dunia, bahkan di usia senja. Mereka ini kemudian terus saja bekerja tidak mengenal waktu. Jika kita lihat beberapa orang kaya di dunia ternyata sudah berusia lanjut, dan mereka tak berhenti bekerja. Pekerjaan pun bisa melalaikan kita dari tujuan sejati keberadaan kita di dunia.

Kelima, keturunan. Yang dimaksud adalah derajat keturunan yang luhur, nama besar keluarga. Ini dapat melalaikan seseorang dalam mengasah dan melatih diri. Senantiasa membanggakan keturunan sehingga kemampuan diri tidak ditingkatkan. Dia tidak tahu bahwa ketika dewasa kelak derajat keturunannya tidak banyak membantu. Dia harus mempunyai keluhuran dari hasil upayanya sendiri. Jika tidak nama besar keluarganya pun akan dilupakan. Oleh karena itu perlu untuk meneruskan keluhuran keluarga dengan membuat prestasi sendiri yang akan merawat nama baik dan kebesaran keluarga tersebut.

Page 221: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

208

Demikianlah lima hal yang membuat mabuk terhadap kehidupan dunia dan melalaikan akhirat. hendaklah diingat-ingat agar tidak mengalami hal seperti di atas.

Page 222: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

209

Kajian Panitisastra (91): Aja Mada Wong Cacad

Bait ke-91, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Wêkasan ana cinacad, dene dhêmên nginum awis, wêkasan amanggih papa. Wuru dawa tan wruh ngisin, atêmah asor dening, wong akèh padha gumuyu. Aja mada wong cacad, gêlaring jagad puniki, datan ana ingkang tan amawi cacad.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Akhirnya ada yang dicela, adapun yang suka minum arak, akhirnya menemui sengsara. Mabuk berkepanjangan tak tahu malu, sehingga hina oleh, orang banyak ditertawakan. Jangan mencela orang cacat, di hamparan dunia ini, tidak ada yang tidak disertai cacat.

Kajian per kata:

Wêkasan (akhirnya) ana (ada) cinacad (yang dicela), dene (adapun) dhêmên (suka) nginum (minum) awis (arak), wêkasan (akhirnya) amanggih (menemui) papa (sengsara). Akhirnya ada yang dicela, adapun yang suka minum arak, akhirnya menemui sengsara.

Bait ini sudah berganti tema dari bait yang lalu. Di sini kita diperkenalkan tentang cacat pada seseorang. Bahwa seseorang itu pasti mempunyai cacat atau hal-hal yang membuatnya tidak sempurna. Jikapun seseorang tidak mempunyai cacat fisik, bisa saja cacatnya tidak terletak pada fisiknya. Karena yang disebut manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa, sehingga

Page 223: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

210

buruknya perilaku seseorang juga termasuk cacat. Dalam bait ini salah satu cacat yang dicontohkan adalah cacat dalam perilaku, yakni orang yang gemar minum arak. Disebutkan di sini bahwa orang yang demikian akan menemui sengsara.

Wuru (mabuk) dawa (panjang) tan (tak) wruh (tahu) ngisin (malu), atêmah (sehingga) asor (hina) dening (oleh), wong (orang) akèh (banyak) padha gumuyu (ditertawakan). Mabuk berkepanjangan tak tahu malu, sehingga hina oleh, orang banyak ditertawakan.

Justru cacat dalam perilaku sebenarnya lebih berat bagi manusia. Akibat yang ditimbulkannya lebih besar. Orang yang mabuk berkepanjangan membuatnya tak tahu malu, sehingga hina dalam pandangan banyak orang. Akhirnya hanya menjadi bahan tertawaan, olok-olok dan ejekan.

Aja (jangan) mada (mencela) wong (orang) cacad (cacat), gêlaring (hamparan) jagad (dunia) puniki (ini), datan (tidak) ana (ada) ingkang (yang) tan (tidak) amawi (disertai) cacad (cacat). Jangan mencela orang cacat, di hamparan dunia ini, tidak ada yang tidak disertai cacat.

Namun sebenarnya mengejek, menertawakan atau bahkan hanya mencela cacat orang itu tidak baik. Jangan sekali-kali melakukan itu. Terhadap cacat fisik maka suatu tindakan tidak terpuji apabila kita mencelanya, karena cacat fisik adalah salah satu ketentuan Ilahi yang berada di luar kuasa yang bersangkutan. Mencelanya sama dengan mencela penciptanya. Terhadap cacat dalam perilaku, maka mencela pun juga tidak dianjurkan. Meski dalam hal terakhir ini kadang celaan perlu dilakukan agar pelakunya sadar. Sikap yang utama dalam cacat perilaku adalah menasihati (menyadarkan), membimbing atau memberi pelajaran. Mencela perilaku sebaiknya dihindari, karena setiap orang sebenarnya juga mempunyai cela. Baik yang cacat fisik maupun cacat perilaku.

Page 224: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

211

Kajian Panitisastra (92): Dewa Uga Mawi Cacad

Bait ke-92, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Hyang Guru amawi cacad, irêng jangganipun langking. Hyang Wisnu amawi cacad, angon banthèng cacadnèki. Hyang Endra iku dening, cacad kathah netranipun, sakèhe gêgêlitan, kasandhangan netra sami, pan akathah cacade Bathara Endra.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Batara Guru mempunyai cacat, lehernya sangat hitam. Bathara Wisnu mempunyai cacat, suka mengembala sapi liar. Adapun Batara Indra itu, cacatnya banyak matanya, semua ruas tubuhnya, mempunyai mata semua, memang banyak cacat Batara Indra.

Kajian per kata:

Hyang Guru (Bathara Guru) amawi (mempunyai) cacad (cacat), irêng (hitam) jangganipun (lehernya) langking (hitam). Batara Guru mempunyai cacat, lehernya sangat hitam.

Pada bait yang lalu disebut bahwa setiap orang pasti mempunyai cacat, dalam bait ini malah disebutkan bahwa dewa pun juga mempunyai cacat. Bathara Guru mempunyai cacat lehernya sangat hitam. Ini adalah cacat fisik. Cacat yang lain adalah tangannya empat.

Page 225: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

212

Hyang Wisnu (Batara Wisnu) amawi (mempunyai) cacad (cacat), angon (mengembala) banthèng (sapi liar) cacadnèki (cacatnya itu). Bathara Wisnu mempunyai cacat, suka mengembala sapi liar.

Bathara Wisnu mempunyai cacat, suka mengembala sapi liar adalah cacatnya. (Kami tidak mengerti yang dimaksud dengan kata angon bantheng ini. Apakah kata ini merupakan kata kiasan atau bukan. Karena kalau hanya mengembala sapi liar itu bukan merupakan cacat perilaku. Kami mohon maaf belum dapat menjelaskan arti yang dimaksud dalam kalimat ini,-pengkaji).

Hyang Endra (Batara Indra) iku (itu) dening (adapun), cacad (cacat) kathah (banyak) netranipun (matanya), sakèhe (semua) gêgêlitan (sendi, ruas), kasandhangan (mempunyai) netra (mata) sami (semua), pan (memang) akathah (banyak) cacade (cacatnya) Bathara Endra (Btara Indra). Adapun Batara Indra itu, cacatnya banyak matanya, semua ruas tubuhnya, mempunyai mata semua, memang banyak cacat Batara Indra.

Adapun Bathara Indra mempunyai cacat banyak matanya di sekujur tubuh. Semu ruas persendian mempunyai mata, sehingga setiap anggota badan mempunyai mata. Memang banyak cacat yang disandang oleh Bathara Indra ini.

Page 226: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

213

Kajian Panitisastra (93): Mulane Manggih Kamulyan

Bait ke-93, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mangkana kalamun ana, angawruhi dina bêcik, lawan dina ingkang ala, karone dipun kawruhi. Luwih saking prayogi, sayogyane kang puniku, pinaringana dana, dening sang utamèng nagri, saking sabda mulane manggih kamulyan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Demikianlah kalau ada, mengetahui hari baik, dan hari yang buruk, keduanya diketahui. Lebih dari lebih baik, sepantasnya yang seperti itu, diberikan pemberian (uang), oleh sang utama di negara (raja), dari titahnya awal dari menemui kemuliaan.

Kajian per kata:

Mangkana (demikianlah) kalamun (kalau) ana (ada), angawruhi (mengetahui) dina (hari) bêcik (baik), lawan (dan) dina (hari) ingkang (yang) ala (buruk), Demikianlah kalau ada, mengetahui hari baik, dan hari yang buruk.

Yang demikian itu jika Anda mengetahui bahwa hari-hari pun ada hari baik dan hari buruk. Jadi tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik yang mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Hari-hari pun juga mempunyai hari baik dan hari buruk.

Page 227: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

214

Karone (keduanya) dipun (di) kawruhi (ketahui).Luwih (lebih) saking (dari) prayogi (lebih baik), sayogyane (sepantasnya) kang (yang) puniku (seperti itu). Keduanya diketahui, lebih dari lebih baik, sepantasnya yang demikian itu.

Oleh karena itu keduanya hendaknya diketahui. Akan lebih utama (luwih saking prayogi) apabila kita mengetahui hal itu. Dan sepantasnya apabila kita mengetahuinya, karena kita perlu melakukan hal-hal penting dalam kehidupan ini pada saat hari-hari baik.

Pinaringana (diberikan) dana (pemberian), dening (oleh) sang (sang) utamèng (utama di) nagri (negara), saking (dari) sabda (titah) mulane (awalnya) manggih (menemui) kamulyan (kemuliaan). Diberikan pemberian (uang), oleh sang utama di negara (raja), dari titahnya awal dari menemui kemuliaan.

Sekarang kita beralih ke bahasan lain. Dalam bait ini disebutkan bahwa diberikan suatu pemberian (berupa apa saja, tetapi biasanya kata dana identik dengan uang) oleh raja adalah awal dari kemuliaan seseorang. Yang dimaksud bahwa pemberian sesuatu oleh raja kepada orang yang tidak punya akan menjadikan orang tersebut menjadi mulia. Pemberian itu akan mengangkat derajat orang itu.

Bisa jadi apa yang diberikan itu tidak seberapa nilainya, katakan hanya seekor kambing (kalau zaman sekarang mungkin hanya berupa sepeda ontel), namun perhatian sang raja akan membuatnya menjadi perhatian seluruh negeri. Kalau di zaman kini peristiwa pemberian itu bisa menjadi viral di medsos, dan membuat penerimanya terkenal, lalu mendapat keberuntungan. Begitulah kira-kira.

Page 228: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

215

Kajian Panitisastra (94): Sepine Wong Kurang Arta

Bait ke-94, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Mulane wong manggih papa, kurang sandhang lawan bukti, iya sêpi sabda uga. Dening sêpining rêrai, tanpa nginang dumadi, muka tan na tejanipun. Sêpi ingkang têtiga, kasor dening sêpi siji, luwih sêpi manungsa tan darbe arta.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Makanya orang yang menemui sengsara, kurang sandang dan pangan, juga sepi dari perkataan. Adapun sepinya air muka, (jika) tanpa nginang jadinya, air muka tak ada sinarnya. Sepi yang tiga itu, kalah oleh sepi yang satu ini, lebih sepi manusia yang tak mempunyai harta.

Kajian per kata:

Mulane (makanya) wong (orang) manggih (yang menemui) papa (sengsara), kurang (kurang) sandhang (sandang) lawan (dan) bukti (pangan), iya (iya) sêpi (sepi) sabda (perkataan) uga (juga). Makanya orang yang menemui sengsara, kurang sandang dan pangan, juga sepi dari perkataan.

Bait ini menjelaskan bahwa kecukupan dalam kebutuhan hidup membuat kehidupan seseorang berjalan normal. Itulah mengapa orang yang menemui sengsara karena kurang sandang pangan tidak banyak perkataannya. Kehidupan sengsara yang dialaminya membuatnya

Page 229: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

216

menghemat kata-kata. Bisa jadi karena apa yang menimpanya sangat rawan dijadikan sebagai gunjingan dan celaan orang lain, maka dia lebih baik menjaga diri dengan tidak banyak bicara atau tidak banyak tingkah.

Apabila kita bandingkan dengan kehidupan orang yang berlebih dalam harta, maka terlihatlah bedanya. Orang kaya harta bisa terkanal walau dia tidak melakukan hal bermanfaat bagi banyak orang. Misalnya setiap hari hanya pamer perhiasan berharga milyaran, itu pun dipuji orang. Kalaupun hanya pamer naik kereta mewah bersepuh emas, itupun dipuji orang.

Kalau kita amati di zaman sekarang fenomena seperti itu kian jelas. Orang pamer mobil mewah dipuji, naik pesawat jet pribadi dipuji, pamer kerudung harga 10 juta dipuji, dan banyak hal-hal lain yang tak berguna bagi orang banyak yang dilakukan orang kaya dipuji oleh banyak orang. Membuat semakin banyak orang ingin menjadi kaya demi agar bisa tampil wah. Dia melupakan bahwa kekayaan adalah amanah Allah yang harus ditunaikan di jalan kebaikan.

Kembali ke topik kita, gatra ini menyoroti soal kata sepi yang terjadi dalam kehidupan. Dalam gatra ini disebutkan tentang orang yang kekurangan sandang dan kekurangan pangan. Kekurangan dalam dua hal itu akan membuat yang bersangkuran sepi dari perkataan. Memang dalam setiap kehidupan ada yang disebut sepi.

Dening (adapun) sêpining (sepi dalam) rêrai (air muka), tanpa (tanpa) nginang (nginang) dumadi (jadinya), muka (air muka) tan (tak) na (ada) tejanipun (sinarnya). Adapun sepinya air muka, (jika) tanpa nginang jadinya, air muka tak ada sinarnya.

Kalau dalam gatra di atas orang yang kekurangan dalam kebutuhan hidup akan sepi dari perkataan, maka sepinya muka adalah ketika tanpa nginang. Akan tampak pucat pasi seperti orang kurang darah. Mengenai nginang ini sudah dijelaskan pada pembahasan bait-bait awal serat ini.

Sêpi (sepi) ingkang (yang) têtiga (tiga), kasor (kalah) dening (oleh) sêpi (sepi) siji (yang satu), luwih (lebih) sêpi (sepi) manungsa (manusia) tan (tak) darbe (mempunyai) arta (harta). Sepi yang tiga itu, kalah oleh sepi yang satu ini, lebih sepi manusia yang tak mempunyai harta.

Page 230: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

217

Namun sepi yang ditimbulkan tiga hal di atas, yakni kurang sandang, kurang pangan dan tidak nginang, masih kalah oleh sepi yang ditimbulkan oleh kekurangan satu hal ini: tidak punya harta.

Sudah kami contohkan di atas bahwa orang-orang kaya hidupnya akan ramai dengan kegiatan pamer ini dan itu. Dikagumi oleh banyak orang akibat polahnya yang aneh-aneh (walau tak berguna juga untuk orang banyak). Menjadi terkenal dan selalu dipelototi wartawan apapun kegiatannya. Sementara orang miskin harta, jangankan masuk koran, berita TV atau viral di medsos, tetangganya pun tak tahu apa saja kegiatannya sehari-hari. Itulah kesepian orang tak punya duit.

Page 231: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

218

Kajian Panitisastra (95): Titi Telasing Carita

Bait ke-95, Pupuh Sinom (metrum: 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a), Serat Panitisastra.

Titi têlasing carita, kagungan jêng sri bupati, kang Sêrat Panitisastra. Sung jarwa kang kinèn nulis, mrih gampila kang myarsi, sastra wiguna kang apus. Abdi carik lêlurah, ngêmban timbalan narpati, pan kinarya mudhari tyas ingkang mudha.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tamat habis dalam ceritera, milik Kanjeng Sri Bupati, itulah Serat Panitisastra. Memberi pengertian yang dituliskan, agar mudah yang mendengar, untuk mengikat pengertian kitab ini. Abdi dalem carik lurah, mengemban perintah sang raja, akan dipakai mengurai hati yang bodoh.

Kajian per kata:

Titi (telah sampai) têlasing (habis dalam) carita (ceritera), kagungan (milik) jêng (Kanjeng) sri (Sri) bupati (Bupati), kang (itulah) Sêrat Panitisastra (Serat Panitisastra). Telah sampai habis dalam ceritera, milik Kanjeng Sri Bupati, itulah Serat Panitisastra.

Telah habis ceritera yang disampaikan dalam serat Panitisastra ini. Yang dimiliki oleh Sang Raja.

Sang Raja yang disebutkan disini adalah raja yang memerintahkan menyadur serat Panitisastra ini, yang mengambil babon dari Kakawin Nitisastra dalam bahasa Kawi. Tidak disebutkan siapa yang menyadur,

Page 232: SERI KAJIAN SASTRA KLASIK - WordPress.com...Serat Panitisastra merupakan saduran dari kitab kuno yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk bahasa Kawi yang berjudul Kakawin Nitisastra

219

tetapi banyak sejarawan menyebut bahwa penyadur serat ini adalah Yasadipura I dan diselesaikan oleh Yasadipura II. Wallahu a’lam.

Sung (memberi) jarwa (pengertian) kang (yang) kinèn (disuruh) nulis (menuliskan), mrih (agar) gampila (mudah) kang (yang) myarsi (mendengar), sastra (kitab) wiguna (berguna) kang (yang) apus (diikat). Memberi pengertian yang dituliskan, agar mudah yang mendengar, untuk mengikat pengertian kitab ini.

Yang memberi pengertian karena disuruh menuliskan kembali serat ini, agar lebih mudah bagi yang mendengar untuk memahami maknanya. Apa yang terdapat dalam kitab ini ada hal-hal yang berguna yang perlu diikat menjadi pengertian yang jelas, agar orang tidak menebak-nebak isinya. Sementara semakin banyak orang tidak lagi paham bahasa asal serat ini, yakni bahasa Kawi. Maka perlulah kiranya dibuat terjemahannya dalam bahasa Jawa baru.

Abdi (abdi, pegawai kraton) carik (carik) lêlurah (lurah), ngêmban (mengemban) timbalan (perintah) narpati (sang raja), pan (akan) kinarya (dipakai) mudhari (mengurai) tyas (hati) ingkang (yang) mudha (bodoh). Abdi dalem carik lurah, mengemban perintah sang raja, akan dipakai mengurai hati yang bodoh.

Agar isi serat ini dapat dipakai rujukan bagi abdi dalem carik lurah, yang mengemban perintah sang raja. Agar dapat dipakai untuk mengurai hati yang bodoh.

Inilah akhir bait serat Panitisastra ini.

*****

Dengan selesainya bait ini selesailah sudah kajian serat Panitisastra. Kami yang mengkaji, Bambang Khusen Al Marie, berharap kajian ini sedikit membantu bagi mereka yang berusaha mengambil kearifan lokal warisan leluhur. Namun kami menyadari kajian kami jauh dari sempurna, untuk itu kami berharap dari siapapun, kritik dan masukan agar ke depan lebih baik lagi.

Terima kasih sudah berkenan membaca sampai selesai. Wassalam!