wacana kalepasan dalam kakawin panca dharma

127
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikrokosmos bentuk analog dari makrokosmos, segala yang ada dalam makrokosmos itu pun terdapat dalam mikrokosmos. Tubuh adalah mikrokosmos, sedangkan semesta adalah makrokosmosnya. Segala yang ada dalam tubuh jika sudah tidak berfungsi akan dipulangkan pada semesta. Proses pengembalian zat aktif pembentuk tubuh ke dalam bentuk-bentuknya di alam, sekaligus proses penyeimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos itu sendiri. Penyatuan antara tubuh (aku), semesta, dan pencipta (Tuhan) adalah proses melepas, membebaskan diri, memenuhi pikiran dengan kesadaran dan keikhlasan (Bdk. Zoetmulder, 1991:3). Manusia lebih biasa mencari jalan ke luar untuk dapat ke luar dari kegelapan pikiran. Hanya jalan yang ada di luar yang terlihat sementara jalan yang ada di dalam tidak terlihat sama sekali. Manusia justru menganggap mencari jalan di dalam diri adalah melepaskan diri dari ikatan (mati raga). Anggapan seperti itu telah mengakar bahwa mencari jalan ke dalam diri identik dengan masuk ke aliran-aliran spiritual tertentu yang cenderung fanatik. Kalepasan sering didengar, bahkan sering pula dilakukan. Namun, sayang tidak banyak tulisan yang mengulas kalepasan secara utuh, jika pun ada, itu hanya berupa anak sub bab saja. Ada kalanya kalepasan dipandang sebagai sebuah ajaran hanya menjadi milik para pendeta Hindu (sulinggih) atau para penekun spiritual. Kemungkinan ini terjadi karena para penafsir teks kalepasan lebih

Upload: phamkhuong

Post on 01-Jan-2017

367 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

  1  

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mikrokosmos bentuk analog dari makrokosmos, segala yang ada dalam

makrokosmos itu pun terdapat dalam mikrokosmos. Tubuh adalah mikrokosmos,

sedangkan semesta adalah makrokosmosnya. Segala yang ada dalam tubuh jika

sudah tidak berfungsi akan dipulangkan pada semesta. Proses pengembalian zat

aktif pembentuk tubuh ke dalam bentuk-bentuknya di alam, sekaligus proses

penyeimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos itu sendiri. Penyatuan

antara tubuh (aku), semesta, dan pencipta (Tuhan) adalah proses melepas,

membebaskan diri, memenuhi pikiran dengan kesadaran dan keikhlasan (Bdk.

Zoetmulder, 1991:3).

Manusia lebih biasa mencari jalan ke luar untuk dapat ke luar dari

kegelapan pikiran. Hanya jalan yang ada di luar yang terlihat sementara jalan

yang ada di dalam tidak terlihat sama sekali. Manusia justru menganggap mencari

jalan di dalam diri adalah melepaskan diri dari ikatan (mati raga). Anggapan

seperti itu telah mengakar bahwa mencari jalan ke dalam diri identik dengan

masuk ke aliran-aliran spiritual tertentu yang cenderung fanatik.

Kalepasan sering didengar, bahkan sering pula dilakukan. Namun, sayang

tidak banyak tulisan yang mengulas kalepasan secara utuh, jika pun ada, itu hanya

berupa anak sub bab saja. Ada kalanya kalepasan dipandang sebagai sebuah

ajaran hanya menjadi milik para pendeta Hindu (sulinggih) atau para penekun

spiritual. Kemungkinan ini terjadi karena para penafsir teks kalepasan lebih

  2  

memfokuskan pada kasulinggihan. Padahal, kalepasan tidak sesempit itu, siapa

pun boleh mendalami ajaran ini. Kalepasan bukanlah barang ekslusif milik

mereka para pendeta Hindu.

Kakawin 1 Panca Dharma yang terdiri atas Kakawin Dharma Sawita,

Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus adalah

lima kakawin yang menjelaskan kalepasan. Dikatakan sebagai Kakawin Panca

Dharma karena disusun dari lima teks kakawin. Kelima teks kakawin ini terdapat

dalam satu keropak disimpan di Perpustakaan Pusat Dokumentasi Budaya Dinas

Kebudayaan Provinsi Bali, tersusun sedemikian rupa dengan Kakawin Dharma

Sunya yang ditaruh paling atas. Secara utuh Kakawin Panca Dharma yang

selanjutnya disingkat dengan KPD berisi tentang ajaran kalepasan. KPD memiliki

satuan naratif yang terpola, antara satu teks dan teks lainnya mempunyai benang

merah dalam menguraikan kalepasan. Komposisi kakawin ini lebih banyak

membicarakan ajaran keikhlasan, misalnya mencari ketenangan dengan

mengembara dalam pikiran, memuja dewa kesunyian, dan melepaskan ikatan.

Gedong Kirtya Singaraja Bali juga menyimpan teks KPD pada keropak

bernomor tujuh dalam golongan karya sastra kakawin. Seorang pemangku asal

Songan Kintamani Bangli 2 menegaskan bahwa kelima teks kakawin yang

                                                                                                               1 Kata Kakawin berasal dari kata Sanskerta kavya, jenis epik kerajaan Sanskerta klasik yang berkembang pesat di India khususnya antara abad ke-5 sampai dengan ke-14. Kakawin adalah sebuah bentuk nominal yang berasal dari akar kata Kawi (“penyair”; “bahasa puisi”). Ortografi bahasa Sanskerta v, umumnya diterjemahkan sebagai w dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kavya Sanskerta menjad kawya dalam bahasa Jawa Kuno (Creese, 2012:5). Kakawin diikat oleh metrum atau aturan bunyi yang dikenal dengan Guru atau suara berat dan Laghu atau suara ringan (Suarka, 2009:9). 2 Pemangku asal Songan Kintamani Bangli ini tidak sengaja bertemu dengan penulis tanggal 21 Agustus 2008 sewaktu penulis melakukan wawancara untuk Bali Orti Bali Post. Penulis tidak menemukan jejaknya sampai tesis ini dibuat, karena penduduk sekitar tidak mengetahui siapa dan di mana pemangku tersebut.

  3  

berbicara kalepasan disebut Kakawin Panca Dharma. Kelima teks tersebut terdiri

atas Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma

Sunya, dan Dharma Putus. I Nyoman Suarka dalam diskusi juga menegaskan

Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan

Dharma Putus disebut dengan Kakawin Panca Dharma.

Palguna, 1999:3 menyatakan, bahwa “seorang pembaca Dharma Sunya

jangan berharap menemukan kisah yang digerakkan oleh konflik seorang

protagonis yang kemudian selesai entah happy ending atau sad ending”. Artinya,

seorang pembaca KPD, tidak akan menemukan kisah naratif yang berakhir

dengan kebahagiaan ataupun kesedihan. Hal yang bisa ditemukan adalah berbagai

ajaran yang berdasar atas kalepasan. Ajaran tersebut tidak begitu saja ada dalam

teks kakawin. Pembaca harus terus menerus menafsirkan, memberikan interpretasi

terhadap kata-kata yang dimaksudkan si pengarang kakawin.

Pengelompokan kelima naskah kakawin berdasarkan kelompok ajaran atau

wacana besar di dalamnya. Susunan lima kakawin ini dalam satu keropak

mengisyaratkan tahapan-tahapan sebuah ajaran kalepasan. Jika berbicara tentang

tahapan, tentu tidak bisa diabaikan tahapan yang disebut dasar sampai dengan

tahapan yang disebut akhir.

Kakawin Dharma Sawita yang diletakkan paling bawah pada keropak,

bertutur tentang seorang guru yang sedang memberikan petuah kepada muridnya.

Petuah itu berupa hakikat mengolah Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik

kebebasan. Titik kebebasan ini didapatkan dengan cara melakukan yoga yang

tanpa harus dipersiapkan berlebihan. Maksudnya jalan ini diperoleh ketika sedang

  4  

berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan sehari-hari yang didasari dengan

keikhlasan.

Susunan berikutnya, di atas Dharma Sawita adalah Kakawin Dharma

Wimala. Kekhasan Kakawin Dharma Wimala, yaitu terletak pada pengarang

kakawin mengibaratkan jalan kebebasan itu seperti perjuangan antara kebajikan

melawan kebatilan. Karakter Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk

melukiskan bahwa dalam diri ada dua hal yang berbeda kutubnya. Keseluruhan isi

Dharma Wimala, yaitu tentang pengendalian indria atau nafsu melalui jalan

memuja Sanghyang Maheswara. Sanghyang Maheswara dipuja dengan cinta

kasih dan pemuja Sanghyang Maheswara menebarkan cinta kasih untuk mencapai

kebebasan tertinggi.

Kakawin Dharma Niskala diletakkan setelah Kakawin Dharma Wimala.

Secara utuh Dharma Niskala mendeskripsikan kemanunggalan ketika seseorang

menempuh jalan agar menyatu dengan Siwa yang disebut Sanghyang Licin.

Menyatu dengan cara menumbuhkan rasa kehampaan terhadap suka dan duka.

Dharma Niskala lebih banyak menekankan ikhlas dengan cara menggunakan

alam pikiran. Kakawin ini menyebutkan bahwa pikiranlah sebagai alam niskala.

Selanjutnya, setelah Dharma Niskala, baik pengarang maupun penyalin,

meletakkan Kakawin Dharma Sunya mendeskripsikan kalepasan adalah bentuk

pencarian dalam perjalanan seseorang. Jalan akan ditemukan oleh orang yang

berjalan, seseorang yang memilih jalan kalepasan, tidak harus melakukan tapa

fisik. Ditekankan bahwa pengendalian terhadap pikiranlah yang sangat

  5  

diperlukan. Kenikmatan yang paling tinggi adalah pada saat seseorang

mengikhlaskan segala yang terjadi.

Susunan terakhir, yaitu Kakawin Dharma Putus, mengungkapkan

pencapaian paling tinggi adalah lepas. Titik tertinggi adalah nihilium. Pembebasan

pikiran menuju kekekalan jiwa menuju pembebasan tertinggi. Pembebasan tidak

hanya dilakukan dengan jalan tapa, tetapi juga dengan melapangkan hati,

memahami hakikat hidup dengan jalan mengikhlaskan segala apa pun.

Penekun sastra tradisional tentu lebih akrab mendengar jika ajaran apa

pun, termasuk kalepasan biasanya ditulis dalam genre yang lain, yaitu tutur3.

Hadirnya kalepasan dalam bentuk kakawin memberikan bentuk yang berbeda.

Kalepasan dituturkan dengan puitik, ajaran ditembangkan dengan metrum, dan

diresapi dengan pemaknaan.

Karya sastra adalah produk olahan rasa, karenanya ia dapat memberikan

rasa, dan mengangkat manusia atau pembacanya ke tingkat pengalaman

keindahan dan kenikmatan tertentu (Agastia, 1994:55--56). Pengalaman-

pengalaman estetik antara pengarang dan pembaca terjalin melalui komunikasi

kode-kode bahasa, sastra, dan budaya. Tersublimnya rasa seorang pengarang yang

kemudian menggubahnya menjadi kakawin merupakan puncak kontemplasi

seorang penikmat rasa. Komunikasi pengarang dengan pembaca terjadi berabad-

abad lewat interpretasi rasa seorang reseptor, yaitu pembaca.

                                                                                                               3 Tutur sering juga disebut tattwa merupakan genre sastra berbentuk prosa yang memakai bahasa Tengahan. Ciri khas sastra tutur ini terletak pada isi naskahnya yang sering menjelaskan ajaran-ajaran, petuah-petuah tertentu (Sastrawan, 2009:4).

  6  

Membaca KPD seolah-seolah mendengar suara kumbang yang ngerem4

membisikkan suara Pencipta. Lalu samar-samar seperti ada pesan peradaban silam

yang disampaikan melalui lima kakawin ini. Menuntun hati, memuja dengan

tubuh dan pikiran tanpa sarana yang lain. Keadaan ini bisa dibandingkan pula

dengan teks Jñanasiddhanta atau Tutur Adhyatmika, yang mengajarkan ajaran

serupa.

Seseorang yang belajar hakikat melepas tidak akan berhenti untuk

senantiasa mengikhlaskan yang terjadi. Menerima sesuai dengan kadar ikhlas

dalam dirinya dan berusaha mengatasi apa pun dengan memaksimalkan dirinya

serta tidak mencari kambing hitam. Rasa seperti ini yang menjadi dasar dari

yadnya (korban suci yang tulus ikhlas), yang pada masa sekarang sering

dilakukan dengan besar-besaran, tetapi membuat pelaku yadnya menderita

kemudian terlilit utang. Zoetmulder, 1991:57-58 menjelaskan, bahwa praktik-

praktik matiraga berusaha memeroleh daya magis tanpa mempersembahkan

korban. Sumbernya bukan lagi suatu tata upacara yang lepas dari kemauan

manusia, yang dijabarkan dalam peraturan-peraturan yang baku, melainkan dalam

daya upaya pribadi, perbuatan manusia itu sendiri.

Diri merupakan kuil pemujaan, dalam olah tapa-brata itu konsentrasi

batin merupakan salah satu praktik yang paling penting sehingga lambat laun “diri

pribadi” atau Atman makin diutarakan. Dalam lingkungan kehidupan pribadi sang

                                                                                                               4 Suara kumbang yang sedang mengisap sari atau kelopak bunga dalam Kakawin Dharma Putus dianalogikan seperti suara Om yang panjang dan bergetar sehingga timbullah suara yang ngerem. Om merupakan aksara suci Tuhan, pusat dari segala yang meng-Ada dunia. Kumbang dan padma begitulah metafor yang dipakai melambangkan Padma Asta Dala dengan delapan sifat kemahakuasannya (Palguna, 1999:246).

  7  

Atman-lah menjadi pusat yang memancarkan segala daya kekuatan, sama seperti

Brahman yang menjadi pusat semesta (Zoetmulder, 1991:58). Tidak usah pergi ke

mana-mana untuk memuja siapa-siapa jika berakhir dengan ketidakikhlasan.

Siwa yang ditujunya ada pada pusat di dalam tubuhnya, pada hulu hatinya

sehingga diri menjadi tempat bernaung semesta. Cukup pujalah semua yang ada

dalam diri karena di setiap tempat tubuh manusia adalah tempat para dewa. Segala

sesuatu (dalam tubuhmu) merupakan hidup yang keramat (Sanghyang Hurip),

merupakan Ciptaan Tertinggi (Wisesa-Karya), tubuhmu: dalam tangan, dalam

kaki, kulit, daging, otot, tulang, pembuluh utama, buah pelir, jantung, empedu,

pangkal tenggorokan (Soebadio, 1985:111). Setiap titik pada tubuh adalah aksara

yang hidup dan selalu bergerak ke segala penjuru menghidupkan sudut-sudut

pikiran. Bukankah tubuh dikatakan Bhuwana Alit yang merupakan bentuk analog

dari Bhuwana Agung. Tubuh sebagai lautan luas yang penuh gejolak, tetapi

semakin diselami jauh ke dalam, ketenangan akan didapati. Lautan yang tenang

adalah tempat segalanya bermula dan bermuara. Demikian pula tubuh yang selalu

membebaskan diri untuk menjadi apa pun.

Kalepasan bukanlah sesuatu yang mistis, melainkan sesuatu yang realistis.

Setiap orang dari usia berapa pun tidak menutup kemungkinan telah melakukan

ajaran ini, tidak perlu menjadi tua untuk menekuni kalepasan. “Barang siapa

mendaras Sanghyang Siddhanta akan menjadi masak, biarpun ia masih seorang

anak, karena ia masak, apa pun usia, kelakuan atau laku tapanya” (Soebadio,

1985:267). Ketenangan akan diperoleh ketika seseorang berusaha untuk tidak

pernah mencari pelampiasan ke luar dari dirinya, tetapi melakukan segala sesuatu

  8  

dengan senang hati, riang gembira, tanpa mengeluh atau cemberut. Tindakan-

tindakan nyata dan sederhana yang dilakukan sehari-hari adalah bentuk nikmat

dari kesunyian itu. Mengikhlaskan, meniadakan segala hal, artinya membuat diri

senyaman mungkin dengan keadaan yang tentunya melahirkan kebahagiaan.

Ketertarikan penulis melakukan penelitian terhadap KPD adalah keinginan

untuk menjelaskan kalepasan. Kelima teks kakawin ini merupakan ajaran, baik

secara dasar maupun lanjut, untuk menekuni kalepasan. KPD akan membantu

memberikan sumbangan penjelasan tentang kalepasan, agar masyarakat tidak

terburu-buru menjadikan diri berpenampilan spiritualis, tetapi tidak tahu dasar

pijakannya. Seseorang dikatakan menjadi matang (masak), apabila dia

mengetahui hakikat dari Sanghyang Siddhanta, tidak karena orang itu berkumis,

berambut putih, atau hanya dia dilahirkan saja (Soebadio, 1985:267). Berdasarkan

pengamatan penulis, fenomena masyarakat sekarang justru cenderung lari ke jalan

spiritual untuk melarikan diri dari tuntutan zaman. Bermunculannya kelompok-

kelompok spiritual baru, seolah menegaskan bahwa dunia spiritual merupakan

tempat ketenangan. Entah ketenangan yang bersifat sejenak atau selamanya

karena kontemplasi tidak didapatkan dengan cara yang instan.

Sebelum membaca KPD, seorang pembaca atau peneliti harus membekali

dirinya dengan berbagai bacaan tentang kalepasan. Beberapa teks yang

merupakan jalan penghubung adalah Tutur Kamoksan, Kalepasan, dan

Kadyatmikan. Teks-teks ini dibaca untuk memberikan batasan tentang kalepasan,

bentuk-bentuk kalepasan, dan syarat-syarat kalepasan. Teks-teks lain yang

membantu adalah Wraspatitattwa, Andabhuana, dan Bhuwana Kosa. Teks-teks

  9  

tersebut memuat ide, analogi, metafor, juga istilah-istilah tertentu yang ada dalam

KPD.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk wacana kalepasan dalam KPD?

2. Bagaimanakah fungsi wacana kalepasan dalam KPD?

3. Bagaimanakah makna wacana kalepasan dalam KPD?

1.3 Tujuan

Tentunya penelitian memiliki suatu harapan dan tujuan tertentu, demikian

pula dengan penelitian ini. Secara garis besar penelitian ini memiliki dua garis

besar tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan penjelasan

tentang ajaran kalepasan dalam KPD agar pembaca memiliki tambahan

pengetahuan tentang ajaran kalepasan. Selain itu, juga untuk menambah khazanah

penelitian dalam bidang sastra, khususnya sastra Jawa Kuno.

  10  

1.3.2 Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan.

1. Untuk mengetahui bentuk wacana kalepasan dalam KPD.

2. Untuk mengetahui fungsi wacana kalepasan dalam KPD.

3. Untuk mengetahui makna wacana kalepasan dalam KPD.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan

dan kepraktisan. Manfaat pertama bersifat teoretis dan manfaat yang kedua

bersifat praktis dapat dijelaskan seperti di bawah ini.

1.4.1 Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian sejenis

pada masa mendatang. Artinya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

membina dan mengembangkan pemahaman terhadap karya sastra kakawin di

bidang wacana.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan agar bermanfaat bagi masyarakat

dalam memahami ajaran kalepasan yang multitafsir sehingga tidak ada lagi

penyempitan makna kalepasan itu sendiri.

  11  

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian-penelitian tentang wacana kalepasan memang belum terlalu

banyak. Namun, penelitian terhadap kakawin yang memuat katattwan Siwa-

Budha sudah banyak yang melakukannya, baik berupa tesis, disertasi, maupun

buku-buku hasil proyek pengembangan bahasa, sastra, dan budaya. Dua di

antaranya berupa disertasi yang dilahirkan di Belanda, yaitu (1) Haryati Soebadio

tahun 1971 yang dialihbahasakan tahun 1985 dengan judul “Jñanasiddhanta”, dan

(2) I.B.M. Dharma Palguna tahun 1999 dengan judul “Dharma Sunya: Memuja

dan Meneliti Siwa”.

“Jñanasiddhanta” karya Haryati Soebadio yang diterbitkan oleh Penerbit

Djambatan tahun 1985, mengulas dengan cermat dan teliti tentang teks

Jñanasiddhanta. Penelitian ini menguraikan panjang lebar suntingan teks

Jñanasiddhanta atau yang juga dikenal dengan judul Tutur Adhyatmika. Teks-teks

lain yang berkaitan menjadi acuan ajaran kemanunggalan Siwa-Buddha dalam

teks Jñanasiddhanta diuraikan pula dalam disertasi ini. Ajaran tentang yoga,

mudra, analog tubuh dan semesta serta konsep-konsep kemanunggalan

difokuskan dalam penelitian ini. Sayangnya Haryati Soebadio berhenti pada tahap

terjemahan bagian akhir dari teks Jñanasiddhanta yang menyatakan bahwa yang

melakukan ajaran kemanunggalan ini tidak memandang usia. Haryati Soebadio

tidak menguraikan bagaimana ajaran kemanunggalan dipahami, diresapi, bahkan

dilaksanakan.

  12  

Penelitian Haryati Soebadio dengan judul Jñanasiddhanta dijadikan pintu

masuk dalam penelitian yang dilakukan peneliti. Gagasan-gagasan pemikiran

kemanunggalan merupakan awal peletakan konsep tentang kalepasan. Memang

terlalu dini untuk mengatakan demikian, tetapi semuanya akan terjawab dalam

penelitian ini.

Jika penelitian Haryati Soebadio dikatakan sebagai pintu masuk, maka

penelitian I.B.M. Dharma Palguna (Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Siwa)

diterbitkan oleh Yayasan Dharma Sastra tahun 1999 merupakan jembatan

penghubung pada penelitian terhadap kalepasan. Dharma Sunya yang ditelitinya

menitikberatkan pada gagasan-gagasan kasunyatan, keheningan, kenirmalaan

yang mampu melahirkan segalanya termasuk karya sastra. Tentunya pemikiran

I.B.M. Dharma Palguna juga menjadi acuan, pembanding, dan pemutar dalam

penelitian kalepasan.

Kendatipun Dharma Sunya telah diteliti, tetapi fokus yang akan diambil

dalam penelitian ini berbeda, yaitu bagaimana porsi dan posisi kalepasan itu. Hal

ini berkaitan dengan fenomena masyarakat yang menganggap kalepasan hanya

milik para sulinggih. Jika I.B.M. Dharma Palguna menelitinya pada posisi

kasunyatan dalam teks, maka penelitian kalepasan yang dilakukan mengambil

posisi pada aplikasi kalepasan pada era sekarang.

Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita Telaah Konsep-konsep Keagamaan

karya I Nyoman Weda Kusuma, yang diterbitkan oleh Pustaka Larasan bekerja

sama dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar tahun 2012 juga dijadikan kajian

pustaka dalam penelitian ini. Konsep-konsep keagamaan dengan latar Siwaisme di

  13  

dalam buku ini membantu peneliti mengungkapkan juga membandingkan ajaran

kalepasan yang diresepsi peneliti dan masyarakat luas.

Latar Siwaisme inilah diungkapkan mewarnai kegiatan keagamaan di Bali.

Pemujaan terhadap Bhatara Siwa dengan berbagai manifestasi mendasari

pelaksanaan upacara-upacara yadnya di Bali. Bhatara Siwa disebut Yang

Mahatinggi, sama seperti isi teks KPD.

2.2 Konsep

Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis teori yang dikaitkan dengan

masalah penelitian yang dihadapi untuk menjawab dan memecahkan masalah

penelitian (Buku Pedoman Usulan Penelitan, Tesis, dan Disertasi Program

Pascasarjana Universitas Udayana). Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini

menggunakan konsep kalepasan dan Siwa-Buddha.

2.2.1 Kalepasan

Kalepasan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (2006:589) mengacu pada

kebebasan dari ikatan keduniawian, dari kelahiran kembali. Sementara dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:450) dinyatakan bahwa kalepasan

mengacu pada keikhlasan yang berasal dari kata ‘ikhlas’ berarti tulus hati. Kata

itu mendapat awalan ke- dan akhiran –an sehingga keikhlasan berarti ketulusan

hati dan kerelaan. Dalam Tutur Adhyatmika, yaitu bagian teks Jñanasiddhanta

dikatakan bahwa Siddhanta demikian besar saktinya sehingga seseorang yang

  14  

memahaminya akan dianggap dewasa biarpun ia baru seorang anak kecil.

Kedewasaan sejati tidak tergantung pada usia, kelakuan, atau tapa brata.

Tutur Adhyatmika menegaskan bahwa kalepasan tidak memandang usia.

Tentunya ini berbeda dari pemahaman masyarakat bahwasanya ajaran kalepasan

hanya milik sulinggih. Tutur Kamoksan dan Tutur Kalepasan merujuk pada

kalepasan yang dikatakan sebagai perwujudan perasaan yang ikhlas, ning, nir.

Tidak ada paksaan dalam segala apa pun yang kemudian melahirkan kesadaran

mahatinggi. Mereka (siapa pun) yang melakukan apa pun harus didasari dengan

kalepasan yang berarti keikhlasan. Ikhlas dalam segala hal serta sadar melakukan

apa pun.

Pembebasan jiwa, menyatunya atma dengan semesta, dan hilangnya

keterikatan jiwa pada tubuh adalah pengertian tentang kalepasan. Begitu banyak

sebutan dan pemahaman terhadap kalepasan. Acuan pemahaman itu tergantung

pada jalan mana yang dipilih oleh penekun spiritual, tingkatan yoga seseorang,

dan letak titik pada tubuh saat pembebasan jiwa. Jalan pembebasan jiwa dapat

dilakukan sedari dini dari hal-hal yang kecil, semisal mengatur napas

mengendalikan indra. Berbagai ajaran yoga menjadi dasar untuk menuju

pembebasan jiwa5. Jñānasiddhânta memang lebih banyak menguraikan jalan

kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran yoga. Kemanunggalan

adalah tujuan akhir, tetapi sesungguhnya kemanunggalan merupakan kehidupan

yang kekal, bukan sebuah kematian.

                                                                                                               5 Beberapa ajaran yoga seperti Astangga Yoga, Sad Angga Yoga, yang diadopsi dari India ini, menjadi dasar-dasar ajaran kalepasan. Baik Astangga Yoga maupun Sad Angga Yoga sama-sama mengajarkan betapa tiap tahap ajaran yoga menjadi penentu bebasnya jiwa (Soebadio, 1985:8--9).

  15  

2.2.2 Siwa-Buddha

Siwa-Buddha merupakan cerminan karakter dalam diri manusia yaitu

feminim dan maskulin. Lebih lanjut kemudian, Siwa-Buddha dipahami sebagai

evolusi sinkritisme antara dua ajaran besar yang pernah berkembang di Nusantara.

Siwa-Buddha bukan agama barat atau agama timur, melainkan agama tengah yang

melebur bersama tradisi agama Hindu di Bali.

Widnya, 2007 dalam makalah yang berjudul “Siwa-Buddha: Realitasnya

dalam Masyarakat Hindu di Bali”, yang makalahnya dibawakan dalam Seminar

Mandala Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan

Budaya Jepang dan Indonesia, menyatakan, bahwa sinkritisme Siwa-Buddha di

Bali sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8--14 M), seperti yang dibuktikan

melalui tinggalan-tinggalan arkeologi dan literatur. Prasasti Blanjong, misalnya,

menjelaskan bahwa raja mencari perlindungan Buddha untuk kesejahteraan

negerinya. Buddha pada zaman Bali Kuno dikenal dengan berbagai nama, seperti

Jina, Sakyamuni, dan Sogata. Sementara dalam Prasasti Landih terdapat doa

pemujaan terhadap Siwa dan Buddha. Pada teks Kidung Pamancangah, misalnya,

sinkritisme Siwa-Buddha terlihat kuat ketika diadakannya homa yadnya pada

zaman Dalem Waturenggong. Upacara tersebut dilaksanakan oleh pendeta Siwa

dan pendeta Buddha. Sinkritisme tersebut diwarisi sampai sekarang oleh Hindu di

Bali.

Siwa-Buddha dalam penelitian ini akan menguatkan konsep kalepasan.

Atma berada pada pikiran yang dikotomis, yaitu melepas yang ada menjadi ada

  16  

juga melepas yang ada menjadi tidak ada. Pikiran yang dikotomis itulah

merupakan peleburan karakter Siwa-Buddha dalam diri.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini memakai beberapa teori untuk mendapatkan hasil akhir

berupa bentuk, fungsi, dan makna wacana kalepasan dalam Kakawin Panca

Dharma. Teori-teori yang dimaksud adalah teori semiotika dan teori rasa.

2.3.1 Teori semiotika

Semiotika lahir dari perkembangan teori strukturalisme. Semiotika juga

merupakan jembatan menuju dunia poststrukturalisme. Saussure yang seorang

ahli bahasa meletakkan konsep pertama semiotika, yaitu penanda dan petanda.

Kemudian, seorang ahli logika, yaitu Pierce menyatakan bahwa tanda adalah

logika. Hasil pemaknaan tanda dikatakannya adalah hal yang logis. Perpaduan

pemikiran keduanya dapat dikatakan bahwa semiotika adalah suatu bidang ilmu

yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda-

tanda dan berdasarkan sistem tanda. Semiotika memfokuskan penelitiannya pada

tanda.

Tanda dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan proses yang

memadukan antara penanda atau hal sebenarnya dan petanda atau hal yang diacu

(Barthes dalam Young, 1981:37--38; Budiman, 1999:108; Sunardi, 2002:49;

Suarka, 2007:23). Tanda dikatakan sebagai segala apa yang menyatakan sesuatu

yang lain daripada dirinya. Contoh: ‘mawar merah’, jika sebagai penanda ‘mawar

  17  

merah’ adalah bunga itu sendiri, sementara jika sebagai petanda, ‘mawar merah’

bermakna cinta.

Apa pun memiliki tanda. Jadi hidup dan kehidupan ini penuh dengan

tanda. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan

atas: (1) representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan umum: (a)

qualisigns, terbentuk oleh kualitas, misalnya warna hijau; (b) sinsigns, tokens,

terbentuk melalui realitas fisik, misalnya rambu lalu lintas; (c) legisigns, types

terbentuk dari hukum, misalnya suara pluit wasit pertandingan sepak bola; (2)

object (designatum, denotatum, refernt) diacu pada (a) ikon yaitu hubungan

penanda dan petanda karena kemiripan, misalnya foto, atau jika dalam teks karya

sastra berupa lukisan watak tokoh; (b) indeks, yaitu hubungan penanda dan

petanda karena sebab akibat, misalnya asap-api, siang-malam; (c) simbol, yaitu

hubungan penanda dan petanda yang bersifat konvensional, misalnya Widhi

mengacu pada Tuhan agama Hindu; (3) interpretant, tanda-tanda yang terjadi

dalam batin penerima: (a) rheme, yaitu tanda sebagai kemungkinan, semisal

konsep; (b) decisigns, dicent signs, yaitu tanda sebagai fakta, semisal pernyataan

deskriftif; (c) argument, yaitu tanda tampak sebagai nalar, semisal proposisi6.

Tanda tidak akan bermakna apabila tidak ada yang menginterpretasinya.

Manusia merupakan makhluk pencari makna7. Kaitannya dengan teks Kakawin

Panca Dharma adalah bahasa teks dijadikan lahan untuk memproduksi tanda.

Sederhananya bahasa teks kakawin adalah tanda itu sendiri. Hasil yang diperoleh

                                                                                                               6 Bandingkan dengan buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Ratna, 2004:101--104). 7 Bandingkan dengan buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Hoed, 2011:99--108), disebutkan bahwa manusia adalah mesin memproduksi tanda.

  18  

dari penelitian bukanlah struktur, melainkan proses semiosis yang memberikan

makna unsur kebudayaan yang dipandang sebagai tanda.

Ketika tanda dalam teks KPD telah diinterpretasikan dengan multitafsir

peneliti, maka didapatkanlah wacana kalepasan dalam teks KPD. Dari hasil

penelitian semiotika KPD ini diperoleh pengetahuan dan pemahaman atas gejala

kebudayaan yang diteliti. Tujuan utamanya, yaitu memahami kemampuan pikiran

manusia untuk memproduksi dan memahami tanda.

2.3.2 Teori rasa

Mpu Kanwa dalam gubahannya, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha,

merepresentasikan keunggulan pengalaman estetik Jawa Kuno (Zoetmulder,

1985:312). Istilah rasa yang dikemukakan oleh Mpu Kanwa tampaknya erat

kaitannya dengan rasa yang dikemukakan pula oleh Muni Bharata dalam bukunya

Natyasastra. Bharata diperkirakan hidup di antara abad ke-1 sampai dengan abad

ke-4 Masehi (Suamba, 2005:224). Natyasastra disebut-sebut sebagai ensiklopedia

kesenian tersebut, semula hanya dipandang sebagai buku teoretis untuk seni

drama, tetapi kemudian difungsikan juga untuk memahami karya seni lain,

termasuk sastra. Natyasastra terdiri atas 37 bab dan 5.569 ayat. Teksnya

berbentuk sutra ‘metris’, tetapi juga ada beberapa bab yang berbentuk prosa

(Suamba, 2005:224). Salah satu bab, yakni bab 6 secara khusus membahas rasa.

Hartoko (1991:68) ketika membicarakan estetika India menyatakan penghargaan

bahwa hal yang menarik dalam buku ini ialah tentang pengertiannya yang

  19  

mendalam mengenai seluk-beluk batin manusia serta gelombang-gelombang

emosinya, mulai dari kesadaran praktis sampai dengan perenungan estetik.8

Perdebatan tentang estetika sudah dimulai sejak zaman Aristoteles sekitar

abad 5-4 Sebelum Masehi. Paham lama menyatakan bahwa keindahan terdapat

pada setiap objek. Seiring dengan berkembangnya zaman keindahan tidak lagi

berada pada objeknya tetapi ada pada subjek atau penikmatnya. Dinamika

pemahaman baru tentang aspek estetis itu berpindah-pindah, dipandang sebagai

perubahan struktur pemikiran penikmatnya. Jadi, antara penikmat satu dan

penikmat lainnya tidak akan memiliki pandangan yang sama pada sebuah objek,

kendatipun pada hakikatnya setiap objek itu indah. Ketidaksamaan inilah yang

memunculkan pemikiran baru bahwa keindahan hanya ada dalam pikiran

manusia, dengan kata lain hanya manusia (individu) yang tahu tentang pikirannya.

Kesadaran jiwa individu yang menikmatinya memungkinkan dalam penikmatan

aspek. Objek tidak akan bergerak, tetapi yang bergerak dinamis adalah subjek

(Bdk. Teeuw, 1988:191).

Tentunya estetika merupakan bagian dari rasa. Rasa lebih jauh lebih luas

jangkauannya dibandingkan dengan estetika. Estetika dapat dicapai dengan panca

indra, yaitu melalui mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Rasa tidak terjangkau

pencapaiannya. Rasalah yang menciptakan estetika itu. Kata rasa berasal dari

bahasa Sanskerta, yaitu dari urat kata ras yang berarti mengerang; menangis;

berteriak; bergema; dan berkumandang (Astra, 2001:348). Rasa dibangkitkan

                                                                                                               17 Bandingkan dengan Teori Rasa Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya (Yasa, 2007:3).

  20  

melalui kreativitas imajinatif dengan bhawa sebagai dasarnya. Rasa dalam karya

sastra dikenal dengan rasa bhasa.

Rasa atau pengalaman estetik diakibatkan oleh kemampuan seniman

menyublimkan bhawa (emosinya) dari tataran psikologis ke tataran estetik.

Bhawa adalah konsep utama yang melahirkan rasa. Dalam kreativitas imajinatif

(emosi individual) ditransformasikan menjadi rasa: pengalaman estetik yang

nonindividual, universal, mengatasi ruang dan waktu, serta keadaan partikular

(Wiryamartana, 1990:356; Yasa, 2007:5). Rumusan tentang rasa yang ditulis

Bharata kemudian diterjemahkan oleh Sharma (1987:95; Yasa, 2007:5--6),

dirumuskan bahwa rasa dibawa bersama dengan pengalaman melalui hubungan

antara wibhawas (keadaan atau situasi dan objek yang membangkitkan emosi),

anubhawa/sthayibhawa (emosi dasar yang ada dalam diri manusia), dan

wyabhicaribhawas (emosi atau keadaan mental yang bersifat sementara yang

timbul sebagai penyerta dalam proses bangkitnya rasa).

Sederhananya, emosi yang ada dalam diri kemudian menyublim menjadi

rasa. Rasa sebagai bentuk konkret sekaligus abstrak dari emosi. Pencapain

terhadap rasa diperoleh dengan cara yoga sastra sehingga rasa dimiliki oleh setiap

individu atau karya-karya individu. Teori rasa membantu penelitian ini untuk

memecahkan sejauh mana pengaruh rasa pengarang Kakawin Panca Dharma

dalam menggubah karyanya. Teori rasa lebih dalam akan mengungkapkan

bentuk-bentuk pengalaman estetik tentang kalepasan dalam Kakawin Panca

Dharma.

  21  

2.4 Model Penelitian

 

 

 

 

 

 

Keterangan model penelitian

Teori yang dipakai dalam penelitian.

Objek penelitian.

Hasil penelitian.

Garis penghubung dari teori ke objek dan dari objek ke hasil penelitian.

Kakawin Panca Dharma dikaji dengan dua teori, yaitu teori semiotika dan

teori rasa untuk mendapatkan wacana kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma.

Wacana tersebut berupa bentuk, fungsi, dan makna kalepasan dalam Kakawin

Teori Semiotika Teori Rasa Kakawin Panca

Dharma

Bentuk Kalepasan dalam Kakawin Panca

Dharma

Fungsi Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

Makna Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

  22  

Panca Dharma. Hasil akhir berupa pemahaman kalepasan secara utuh menurut

Kakawin Panca Dharma yang tersusun atas lima teks kakawin.

  23  

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang umumnya digunakan

pada jenis-jenis penelitian ilmu sosial, humaniora. Penelitian terhadap sebuah

karya sastra merupakan penelitian dalam ranah ilmu humaniora, sehingga metode

kualitatif tepat digunakan dalam proses penelitian terhadap KPD. Selain itu,

metode kualitatif dapat memberikan perincian secara detail terhadap fenomena

yang belum diketahui dalam objek penelitian.

3.1 Rancangan Penelitian

Mekanisme kerja dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yakni

persiapan, tugas lapangan, dan tahap analisis. Tahap persiapan dalam hal ini

meliputi pemilihan judul, studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan,

penentuan model penelitian, dan penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul

dilakukan dengan terlebih dahulu membaca KPD, Tutur Kalepasan, Tutur

Kamoksan, dan Tutur Adhyatmika. Setelah membaca dan memahami teks, lalu

mencari permasalahan yang ada dalam KPD. Tentu saja fenomena yang berusaha

dicari di sini adalah fenomena yang belum pernah diteliti dalam penelitian sejenis

sebelumnya.

Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi

pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang

menunjang proses penelitian. Pemilihan dan pengumpulan bahan-bahan serta

  24  

literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan masalah serta tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

Tahap tugas lapangan merupakan tahap selanjutnya. Pada tahap ini

dilakukan proses pengumpulan bahan-bahan pustaka berupa teks KPD, Tutur

Kalepasan, Tutur Kamoksan, dan Tutur Adhyatmika, wawancara dengan informan

dari kalangan biasa dan sulinggih. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan

informasi sejauh mana interpretasi informan terhadap ajaran kalepasan. Tahapan

analisis, bertujuan menganalisis, memecahkan masalah sesuai dengan data yang

ada. Pada tahapan ini, isi pikiran penulis dieksplorasi, kemudian digabungkan

dengan data yang telah tersedia.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa teks Kakawin

Panca Dharma koleksi Pusat Dokumentasi Budaya Provinsi Bali. Sumber data

primer adalah Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala,

Dharma Putus, dan Dharma Sunya yang disebut Kakawin Panca Dharma.

Sementara data sekunder berupa informan serta buku-buku penunjang yang

berkaitan dengan penelitian.

3.3 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen kartu data yang dibuat peneliti,

tape recorder, kamera, serta media internet. Kartu data menggunakan pengodean

terbuka, yaitu pengumpulan data dengan pemberian nama serta pengelompokan

  25  

data dan fenomena-fenomena yang relevan dengan masalah penelitian. Tape

recorder adalah instrumen penelitian yang digunakan untuk menyimpan informasi

yang diperoleh dari informan. Media internet dimanfaatkan untuk mengumpulkan

data penunjang dalam penelitian ini.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan. Penyediaan data dengan studi kepustakaan menggunakan teknik

membaca berulang-ulang yang disertai dengan menerjemahkan objek penelitian

dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Teknik lain yang membantu adalah teknik

catat dan wawancara. Teknik catat digunakan untuk menulis atau mencatat hal-hal

penting yang ditemukan dalam penelitian. Sementara itu, hasil wawancara

direkam dalam alat perekam (tape recorder). Teknik wawancara yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah wawancara bebas terbuka. Wawancara dengan

terbuka memberikan kemungkinan responden untuk menjawab sesuai dengan

keinginan penulis.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode deskriptif-analitik digunakan dalam penelitian ini. Metode ini

membantu mendeskripsikan hasil penelitian sesuai dengan analisis yang

dilakukan. Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah menyempitkan dan

membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi satu data yang teratur dan lebih

berarti. Data yang telah ditemukan lalu dideskripsikan kemudian dianalisis

  26  

dengan teori semiotika dan teori rasa. Langkah awal teori semiotika diharapkan

dapat menemukan wacana kalepasan dalam KPD. Sementara teori rasa digunakan

untuk memeroleh bentuk pengalaman-pengalaman estetik kalepasan dalam KPD.

Hasil akhir berupa pemahaman kalepasan dengan dasar Siwa-Buddha secara utuh

menurut KPD.

Pendeskripsian terhadap data yang telah dianalisis akan memperlihatkan

sejauh mana wacana kalepasan dalam KPD. Selanjutnya hasil tafsir dari wacana

kalepasan akan mengungkapkan pula pengalaman-pengalaman estetik kalepasan.

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Data yang telah dianalisis disajikan dengan metode informal. Metode

informal, yaitu metode yang menyampaikan hasil penelitian secara verbalitas

yang di dalamnya menggunakan kalimat atau gambar (Semi, 1993:247;

Sastrawan, 2005:10). Analisis dituangkan dalam enam bab. Bab I terdiri atas latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Bab II

terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan teori, serta model penelitian. Bab III

merupakan metode penelitian yang terdiri atas rancangan penelitian, jenis dan

sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode

dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis. Bab IV

menguraikan bentuk wacana kalepasan dalam KPD. Sementara, Bab V

mendeskripsikan fungsi wacana kalepasan dalam KPD. Bab VI menjelaskan

makna wacana kalepasan dalam KPD. Bab VII adalah bagian akhir yang berisi

  27  

simpulan atas proses analisis yang telah dilakukan serta saran-saran yang

berkaitan dengan hasil analisis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  28  

BAB IV BENTUK WACANA KALEPASAN

DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

4.1 Identifikasi Teks Kakawin Panca Dharma

Teks KPD yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks yang berasal

dari berbagai daerah di Bali. Teks tersebut tersimpan di Pusat Dokumentasi

Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Teks tersebut terdapat dalam satu

keropak (K/9/Ka/Dokbud). Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang

penelitian ini bahwa teks KPD terdiri atas lima teks kakawin. Kelima teks

kakawin diletakkan dalam satu keropak serta berurutan, mulai dari teks Dharma

Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, sampai dengan

Dharma Putus.

Kakawin Dharma Sawita dan Dharma Wimala merupakan teks dasar

ajaran kalepasan. Sementara teks Kakawin Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan

Dharma Putus merupakan teks ajaran kalepasan tingkat lanjut. Keunikan KPD,

selain berbicara tentang kalepasan, pada manggala tiap-tiap teks selalu ditemukan

kata amběk, manah, rasa, nirmmala. Keempat kata itu mewakili dimensi

personal, baik dari dalam maupun dari luar diri. Tiap-tiap kata (nirmmala, manah,

rasa, amběk) diterjemahkan sesuai dengan konteksnya dalam kakawin, yaitu

nirmmala (suci), manah (pikiran, hati), rasa (perasaan), dan amběk (batin).

Pikiran, hati, perasaan, batin, dan suci itulah sebuah persembahan keindahan.

Manggala masing-masing kakawin yang menunjukkan kata ambek,

manah, rasa, nirmmala adalah sebagai berikut.

  29  

Amběk Saŋ Sura mārtha riŋ raşa nahan pariñci lokeŋ jagat/ ndatan siŋsala mastwaniŋ surasa dur raşa tutus niŋ raşa/ sidhaniŋ raşa moksa rasa lěpasing raşa luput cininan tkeŋ paŋuwus uwusan/ ya tikanaŋ amběk maha purusa// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-1).

Sěmbah niŋ wwaŋ-amurşite pada maheswara saphala kitā srayeŋ maŋo/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga lakşana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūkşma wěkasing aganal maweh licin/ suña sthana ri sari niŋ samaya nirbbhana wěkas i panandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1). Āmběk saŋ kawi siddha sūddha kadi sāgara gumawaŋaŋeka nirmmala/ iccha nispriya sāra ni kaleŋoŋan ya tika pasamudaya nirasa/ tatwajñana wěkas niŋ kaŋ parama sāstra sira ta pinakadi pandhita/ saksat liŋga nikaŋ sarāt pinakadī payasa nira huwus prakasita// (Kakawin Dharma Niskala, Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-1). Wenten dharma putus kinubdanira sang purusa tinemu tan sakeng lekas/ rengen de nira sang wwang utama mangungsi ri karegepaning nirasraya/ apan tan sakaring kriyagama samadi tinaki-taki tan kapanditan/ anging biakta jugeka nispraba Batara Sinamaya sujati nirmmala// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-1).

Manggala-manggala tiap teks kakawin mengisyaratkan satu tujuan utama

yaitu persembahan atas dasar ketulusan dengan hati, pikiran, perasaan yang suci

tanpa noda. Meneliti dan membaca KPD memerlukan ketelitian serta kecermatan

wawasan untuk masuk lalu melangkah dari bait ke bait kakawin. Sebelum masuk

pada analisis, dicoba diberikan gambaran isi tiap-tiap kakawin serta substansinya,

yang tertuang dalam tabel di bawah ini.

Tabel I Esensi Kakawin Panca Dharma

No Judul Kakawin Arti Isi

1 Dharma Sawita Dharma (perbuatan

saleh; kebajikan;

Bertutur tentang seorang

guru yang sedang

  30  

jasa).

Sawita (matahari).

memberikan petuah kepada

muridnya. Petuah itu berupa

hakikat mengolah Sadrasa

(enam rasa) untuk mencapai

titik kebebasan. Titik

kebebasan ini didapatkan

dengan cara melakukan

yoga yang tanpa harus

dipersiapkan berlebihan.

Maksudnya jalan kalepasan

diperolah ketika sedang

berbicara, bercakap, atau

melakukan kegiatan sehari-

hari yang didasari dengan

keikhlasan.

(Samaŋkana gati nikaŋ raşa maněmwa raşa sudha ta yā/ ndhyan kiyatiŋ rat ikaŋ parab Mpu Sura riŋ raşa mapageh sthana/ wenten sisyaniran bhisekanira Saŋ Sadraşa satyo malap/ tan len prih prihiŋ tata tata guru sasrusa kasatyanen// Wirama I, Bait ke-2).

2 Dharma Wimala Dharma (perbuatan

saleh; kebajikan;

Kakawin ini mengibaratkan

jalan kebebasan seperti

  31  

jasa).

Wimala (tidak

ternoda; suci).

perjuangan antara kebajikan

melawan kebatilan.

Karakter Panca Pandawa

dan Korawa dipinjam untuk

melukiskan bahwa dalam

diri ada dua hal yang

berbeda kutubnya.

Keseluruhan isi Dharma

Wimala, yaitu tentang

pengendalian indria atau

nafsu melalui jalan memuja

Sanghyang Maheswara.

Sanghyang Maheswara

dipuja dengan cinta kasih

dan pemuja Sanghyang

Maheswara menebarkan

cinta kasih untuk mencapai

kebebasan tertinggi.

(Nā liŋ Yudhistira rikaŋ twas atīta dibya/ göŋ dharma buddhi sirā nitya nurāga riŋ rat/ sātwā dhama pituwi bhakti pinūñakěn sih/ na margga niŋ parama nindya magöŋ kapaŋguh// Wirama II, Bait ke-7).

  32  

3 Dharma Niskala Dharma (perbuatan

saleh; kebajikan;

jasa).

Niskala (tidak

terlihat; tidak

terpisah-pisahkan).

Mendeskripsikan

kemanunggalan ketika

seseorang menempuh jalan

agar menyatu dengan Siwa

yang disebut Sang Hyang

Licin. Menyatu dengan cara

menumbuhkan rasa

kehampaan terhadap suka

dan duka. Dharma Niskala

lebih banyak menekankan

ikhlas dengan cara

menggunakan alam pikiran.

Kakawin ini menyebutkan

bahwa pikiranlah sebagai

alam niskala.

(Sāmpun labdha guru praboddha ri rěgěp satata pinaku muŋgu ri hati/ rākşan cupwana sāri-sāri nika hapini ŋakena ri sandhi niŋ těpět/ byakta waspa hilaŋ nikaŋ tiga rahasya ri paměsat ika ri niskala/ norāŋ sabdha hidhěp ndatan pahamoŋan prannawa huwusa mindha niskala// Wirama I, Bait ke-7).

  33  

4 Dharma Sunya Dharma (perbuatan

saleh; kebajikan;

jasa).

Sunya (kosong;

hampa).

Mendeskripsikan kalepasan

adalah bentuk pencarian

dalam perjalanan seseorang.

Jalan akan ditemukan oleh

orang yang berjalan,

seseorang yang memilih

jalan kalepasan, tidak harus

melakukan tapa fisik.

Ditekankan bahwa

pengendalian terhadap

pikiranlah yang sangat

diperlukan. Kenikmatan

yang paling tinggi adalah

pada saat seseorang

mengikhlaskan segala yang

terjadi.

(Yeki mukya ni sandhi saŋ maněmu bhoga Paramasiwa tan patuduhan/ tuŋgal saŋ maŋucap kalāwan ika saŋ winuwusa pinakana tan kalen/ niŋ pwakeŋ pati len hurup ya ŋuniweha hala hayu suka duhka tan hana/ nis sandeha madeg maka sma mepek iŋ bhuwana sira wibhuh ya suksma ta// Wirama I, Bait ke-8).

  34  

5 Dharma Putus Dharma (perbuatan

saleh; kebajikan;

jasa).

Putus (lepas, hilang).

Mengungkapkan

pencapaian paling tinggi

adalah lepas. Titik tertinggi

adalah nihilium.

Pembebasan pikiran,

menuju kekekalan jiwa

menuju pembebasan

tertinggi. Pembebasan tidak

hanya dilakukan dengan

jalan tapa, tetapi juga

dengan melapangkan hati,

memahami hakikat hidup

dengan jalan

mengikhlaskan segala apa

pun.

(Sakwehniŋ sakaton karěŋö kahucap karasa kaŋěn-aŋěn pwa tan hana/ mwaŋ sanddha wikalpa trěsna pada tan hanari sira wisirna muksaha/ aŋiŋ jagra sabawa astana manuŋgal i iděp ira nitiasa padaŋ/ lila lwir gaganawa tan jalada matra ri patemunikaŋ kajatmikan// Wirama I, Bait ke-3).

  35  

4.2 Pengertian Kalepasan

Kalepasan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (2006:589) mengacu pada

kebebasan dari ikatan keduniawian, dari kelahiran kembali. Kalepasan sebagai

jalan kebebasan jiwa adalah titik yang dipilih jiwa untuk ke luar dari tubuh (dalam

hal ini pusar). Ubun-ubun (kamoksan), ujung hidung (kanirbanan), mulut

(kamuktan), dan pusar (kalepasan) menjadi jalan yang dengan sadar dipilih jiwa

untuk membebaskan diri dari keterikatan pada tubuhnya. Sementara kalepasan,

kamoksan, kanirbanan, kamuktan sebagai ajaran memiliki tujuan yang sama yaitu

pembebasan jiwa (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 2006:589;672;701;678). Proses

pembebasan tersebut tidak didapatkan begitu saja, artinya ada beberapa tahapan

yang sadar atau tidak sadar dilakukan oleh jiwa. Lepasnya ikatan jiwa dengan

tubuh menuju kebebasan tertinggi, yaitu semesta yang kosong9.

Pembebasan jiwa, menyatunya atma dengan semesta, dan hilangnya

keterikatan jiwa pada tubuh adalah pengertian tentang kalepasan. Begitu banyak

sebutan dan pemahaman terhadap kalepasan. Acuan pemahaman itu tergantung

pada jalan mana yang dipilih oleh penekun spiritual, tingkatan yoga seseorang,

dan letak titik pada tubuh saat pembebasan jiwa. Jalan pembebasan jiwa dapat

dilakukan sedari dini dari hal-hal yang kecil, semisal mengatur napas

mengendalikan indra. Berbagai ajaran yoga menjadi dasar untuk menuju

                                                                                                               9 Ada empat tingkatan untuk mencapai tujuan Tertinggi yang disebut Catur Paramaartha. Adhisthana—Pratistha—Santi—Santyatita yang berpadanan dengan Kalepasan—Kamoksan—Kamuktan—Kanirbanan. Tingkat-tingkat yang dicapai tergantung pada tempat dalam tubuh yang pada saat meditasi dijadikan batu loncatan oleh jiwa. Atma dapat berangkat dari ubun-ubun, ujung hidung, mulut, dan pusar (Soebadio, 1985:18--19).

  36  

pembebasan jiwa10. Jñānasiddhânta memang lebih banyak menguraikan jalan

kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran yoga. Kemanunggalan

adalah tujuan akhir, tetapi sesungguhnya kemanunggalan merupakan kehidupan

yang kekal, bukan sebuah kematian (bdk. Agastia, 2010:10).

Segala sesuatu di semesta ini bersifat dikotomis. Setiap yang ada akan

menjadi tiada dan yang tiada menjadi ada kembali. Menyelam ke dasar mencari

ketiadaan kemudian melesat ke permukaan menemukan yang ada. Hakikat

kalepasan diibaratkan seperti menyelam ke dasar samudra. Atma menyelam ke

dasar lalu berenang ke permukaan mencari tepi menemukan tujuannya. Dasar dan

permukaan merupakan dualisme, seperti sebuah keyakinan semua memiliki dua

sisi, tidak ada dasar tanpa permukaan, begitu pula sebaliknya. Jika dasar adalah

awal, maka permukaan adalah tujuan. Jika permukaan adalah awal, maka dasar

menjadi tujuan. Tentunya, tidak ada perkara yang permukaan lebih bagus, yang

dasar kurang bagus. Semua karena dualisme sudut pandang. Bukankah, tidur pun

mata tidak selalu terpejam? Seperti yang diungkapkan dalam kutipan di bawah

ini.

Hana ta lěkas apurwā de saŋ pandita mawuwus/ ri sěděŋ ika harip niŋ nidrā lina těŋětakěn/ paměsat ira hilaŋ niŋ swapnā tan paŋěn-aŋěnan/ ya tika hupaya sandhi saŋ wus labdha warah ikā// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama I, Bait ke-10). Terjemahannya Ada cara kuno dikatakan oleh Sang Pendeta/ rahasiakan, ketika sedang mengantuk, dalam tidur yang mati/ adalah saat-saat melesat hilangnya mimpi tanpa dipikirkan/ itulah upaya rahasia bagi orang yang telah

                                                                                                               10 Beberapa ajaran yoga seperti Astangga Yoga, Sad Angga Yoga, yang diadopsi dari India ini, menjadi dasar-dasar ajaran kalepasan. Baik Astangga Yoga maupun Sad Angga Yoga sama-sama mengajarkan betapa tiap tahap ajaran yoga menjadi penentu bebasnya jiwa (bdk. Soebadio, 1985:8--9).

  37  

berhasil melakoni ajaran itu// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama I, Bait ke-10).

Seorang penekun ajaran kalepasan tidak langsung memeroleh ajaran

kebebasan seperti yang menjadi tujuannya. Proses merupakan suatu hal yang

selalu melekat dalam diri seorang hamba yang mengabdi pada jalur kebebasan.

Tahap demi tahap dilalui dari merangkak, berdiri, berjalan, berlari, sampai

kemudian merangkak kembali. Sederhananya, seperti yang telah dikutip dalam

Kakawin Dharma Sunya Bait 10, tidur dengan kesadaran pikiran, menyublimkan

kesadaran pikiran yang kemudian terlelap. Dengan demikian, jiwa dengan sadar

meninggalkan tubuh melesat sesaat dalam kelelapan tidur.

Kepergian atma yang sesaat memengaruhi bawah sadar untuk

mendatangkan bayangan yang disebut mimpi. Ketika mimpi, tubuh sedang

dipinjam oleh keinginan atau bawah sadar. Peristiwa sebelum bermimpi dengan

tubuh yang pelan-pelan lemas (tertidur) adalah waktu ketika atma itu melesat

sesaat. Maka, tidur dikatakan sebagai bentuk sederhana dari kalepasan dalam

bait-bait awal Kakawin Dharma Sunya.

Devi, 1967:56 dalam Palguna, 1999:151--152, menguraikan, bahwa tradisi

mengajarkan keberadaan atma ada lima tingkatan yang disebut Pañcapada (lima

alam). Teks Wrhaspatitattwa menjelaskan bahwa pada saat terjaga, keberadaan

atma sangat jelas. Dicontohkan, dengan sarana tubuh atma bisa menggenggam

atau melihat. Keadaan ini disebut Jagrapada (alam jaga). Ketika tertidur dan

bermimpi keadaan atma dilukiskan “seperti bentuk bayang-bayang pada air”

(kadyangga ning maya hana ring wwai). Bila air itu beriak bayangan itu pun

kabur. Keberadaan atma ini disebut Swapnapada (alam mimpi). Pada saat tidur

  38  

lelap tanpa mimpi ingatan atma disebutkan hilang dalam maya. Keberadaan atma

ini disebut susuptapada (alam lelap). Tingkatan keberadaan atma selanjutnya

disebut Turyapada (alam jnana). Jnana diartikan ‘pengetahuan yang

membebaskan’. Pada tingkat ini atma disebut setingkat dengan Sadasiwa atau

juga disebut dengan Atmasiddhi (atma penuh). Tingkatan terakhir disebut

Turyantapada (alam akhir jnana), yaitu atma yang sudah moksa atau mencapai

tingkatan Paramasiwa. Atma yang ada dalam tiga tingkatan pertama, terjaga–

mimpi–lelap disebut Atma Sangsara (atma sengsara). Karena kesadarannya

berputar-putar antara kesadaran dewa (terjaga), manusia (mimpi), dan binatang

(lelap). Atma dalam tingkatan itu masih mengalami suka dan duka.

Kalepasan yang ditempuh dengan cara ‘tidur yang mati’, artinya

menghilangkan bayu, kata, dan pikiran dengan memejamkan mata. Mata yang

terpejam seolah menghentikan atau mendiamkan segala macam bentuk, baik

gerak fisik maupun gerak pikiran. Diam melahirkan pencarian ke dalam diri si

atma dengan pendakian-pendakian yoga. Ajaran yoga ditempuh sebagai fondasi

yang kuat untuk mencapai kebebasan tersebut. Jika ‘tidur yang mati’ dikatakan

pendakian dengan cara mata terpejam, maka yoga olah tubuh dikatakan pendakian

dengan mata terbuka. Kedua jalan yoga, baik dengan mata terpejam maupun

terbuka adalah cara yang dipakai secara sadar oleh jiwa dan tubuh.

Kesadaran pencarian ke dalam diri adalah pencarian kekosongan. Semakin

dalam semakin kosong, hilang, sirna. Mencari untuk menghilangkan, artinya

mencari sampai merasa tidak menemukan serta menghilangkan sampai tidak lagi

merasa kehilangan. “Bila berhasil dengan jalan menghilangkan, maka orang tidak

  39  

lagi merasa kehilangan (hana hilang tan inaku). Bila berhasil dengan jalan

mencari, maka orang tidak lagi merasa sampai atau menemukan” (Palguna,

1999:152). Pendakian jalan dengan kekosongan akan merasakan bahwa kosong

itu merupakan Tuhan.

Zoetmulder, 1991:213-214, menegaskan bahwa “kata mulih yang sering

dipakai untuk melukiskan terleburnya manusia di dalam Tuhan (atma dengan

brahman), di sini mempunyai hati yang padat ialah menuju ke tempat ia harus

berada, sekalipun dalam hal ini arti kembali termuat di dalamnya karena tempat

itu sekaligus merupakan asal-usul manusia”. Jika yang kosong dicari di dalam

diri, maka dalam diri manusia ada Tuhan. Hakikat Tuhan dalam diri, tidak berarti

memuja diri sendiri, tetapi memuja Tuhan dalam bentuk manifestasi yang lain.

Sesungguhnya antara aku (atma) dan Tuhan tersusun atas zat-zat yang sama

sehingga memiliki sifat-sifat yang sama pula. Pencapaian akhirnya tetap sama,

yaitu kosong, bebas, lepas dari segala macam ikatan duniawi, Karmaphala (hasil

perbuatan), serta Punarbhawa (kelahiran kembali, reinkarnasi). Berarti aku (atma)

dengan dia (Tuhan) telah melebur menjadi satu11.

Sederhananya kalepasan adalah pencarian kebebasan dengan pendakian

jalan yoga. Dasar-dasar yoga, ajaran tentang pengendalian, juga keikhlasan

menjadi fondasi untuk mencapai pembebasan jiwa, menuju kekekalan yang

Mahatinggi.

                                                                                                               11 Moksa (kalepasan) berarti pencapaian kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari Karmaphala (hasil perbuatan), dan Punarbhawa (kelahiran kembali, reinkarnasi). Bertolak dari keyakinan terhadap keberadaan Siwa dengan berbagai nama, maka konsep yang terkandung adalah bersifat Pantheisme-Monisme atau Manunggaling Kawula Gusti (Kusuma, 2012:204).

  40  

4.3 Bentuk-bentuk Wacana Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

Kalepasan dalam KPD dijabarkan pada setiap teks di tiap-tiap kakawin.

Susunan KPD, yaitu Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma

Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus. Kalepasan dalam kakawin satu dengan

kakawin yang lainnya dikombinasikan sesuai dengan formula pengertian

kalepasan di sub-bab sebelumnya. Artinya, kutipan dalam satu kakawin dengan

kakawin lainnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Kelima teks kakawin ini akan

menjelma berupa ajaran kalepasan dengan kebebasan berdasarkan kesadaran,

kesederhanaan, dan keikhlasan.

Kakawin Dharma Sawita bertutur tentang seorang guru yang sedang

memberikan petuah kepada muridnya. Petuah itu berupa hakikat mengolah

Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik kebebasan. Titik kebebasan ini

didapatkan dengan cara melakukan yoga fisik. Maksudnya, jalan ini diperolah

ketika sedang berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan sehari-hari yang

didasari dengan kesadaran. Perihal tersebut dapat ditemukan dalam bait-bait awal

tepatnya bait kedua dari Kakawin Dharma Sawita, sebagai berikut.

Samaŋkana gati nikaŋ rasa maněmwa rasa suddhā ta yā/ ndhyān kiyat iŋ rāt ikaŋ parab Mpu Surā riŋ rasa mapagěh sthanā/ wentěn sisya nirā n bhiseka nira Saŋ Sadrasa satyo malap/ tan len prih prihniŋ tata-tata guru susrusā kasatyaněn// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-2). Terjemahannya Demikianlah sesungguhnya rasa yang membawa pikiran ke dalam sucinya rasa itu/ adalah seorang yang berada di dunia bernama Mpu Sura memegang teguh rasa dan men-sthana-kannya/ ada seorang muridnya yang telah diangkatnya bernama Sang Sadrasa, sungguh setia/ tidak pernah lalai dalam melaksanakan tata krama kesetiaan bakti kepada guru// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-2).

  41  

Sungguh menarik teks Kakawin Dharma Sawita apabila dibaca secara

keseluruhan. Perdebatan-perdebatan kemudian muncul di dalam hati, bertanya

siapa sejatinya ‘Mpu Sura’ dan siapa pula ‘Sang Sadrasa’. Pada bait kedua

mereka berdua dijelaskan sebagai guru dan murid, tetapi setelah dibaca sampai

bait terakhir, mereka berdua adalah dua personifikasi dalam diri manusia.

Keduanya perwujudan aku (atma) dan Dia (Tuhan). Hubungan keduanya selaras

membentuk harmonisasi yang berjalan beriringan menuju ke dalam diri.

Mpu Sura sebagai guru, Dia yang mengada segalanya, simbol

makrokosmos dengan setiap isinya. Sementara Sang Sadrasa adalah murid, aku

(atma) yang berada di dalamnya, simbol mikrokosmos dengan segala analog

makrokosmos (bdk. Zoetmulder, 1991:3). Tampaknya, Kakawin Dharma Sawita

mengisyaratkan ajaran kalepasan dengan cara sederhana. Pergolakan menuju

pembebasan jiwa diibaratkan seperti pergi belajar ke sekolah kehidupan. Semakin

sering datang, semakin tekun, maka semakin dekatlah tanda kelulusan itu.

Sekolah kehidupan mengajarkan kesadaran penuh pada diri sendiri dan luar diri.

Pencapaian kebebasan dalam sekolah kehidupan juga dengan jalan yoga12.

Keutamaan yang menjadi penekanan dalam Kakawin Dharma Sawita

terletak pada Sadrasa (enam rasa yang utama)13. Pengendalian mendasar justru

datang dari satu indra, yaitu lidah. Jihwěndriya14 adalah pusat indra rasa fisik.

                                                                                                               12 Jalan yoga merupakan pengabdian karena suatu dorongan jiwa untuk pengembangan diri mencapai pembebasan. Setiap langkah yoga adalah proses pencarian diri. Semesta akan selalu setia dengan segala macam bentuk ujiannya kepada penekun yoga (yogin), sehingga sekolah sesungguhnya adalah sekolah alam kehidupan (Saraswati, 2005:4--5). 13 Sadrasa dalam Lontar Wŗhaspatitattwa dijelaskan sebagai enam rasa utama yang terdiri atas lawana (asin), amla (masam), katuka (pedas), tikta (pahit), kasaya (sepat), madhura (manis). 14 Panca Buddhindriya dalam Lontar Wŗhaspatitattwa dijelaskan sebagai lima indra perasa yang terdiri atas srotendriya (ada di telinga), twagindriya (ada di kulit), cakswendriya (ada di mata), jihwendriya (ada di lidah), ghranendriya (ada di hidung).

  42  

Lidahlah tempat awal rasa itu dirasa, maka sungguh mulia apabila seseorang yang

baru menekuni dunia spiritual mengendalikan lidahnya. Selain sebagai perasa,

lidah merupakan organ vital manusia yang membantu melahirkan suara final dari

pita suara. Tidak salahlah jika pengendalian dasar ada pada lidah, karena dari

lidah yang tidak terkendali bisa mendatangkan petaka.

Kombinasi lidah, mulut, pita suara melahirkan bunyi bebas selanjutnya

menjadi bahasa kesepakatan peradaban. Bahasa, seperti yang ada dalam Kakawin

Nitiçastra15 sangat menentukan karakter serta nasib seseorang. Oleh karena itu, di

akhir Kakawin Dharma Sawita pengarang kakawin menjelaskan dasar kalepasan

adalah tapa bahasa. Seseorang harus mengendalikan ucapannya agar tidak

menimbulkan penderitaan (ndon waspadha riŋ ŋolahan rasa surasa dur rasa

wasana, Kakawin Dharma Sawita, Wirama I, Bait ke-3b).

Berbicara tentang karakter serta tujuan akhir seseorang, agaknya lebih

banyak dituturkan dalam Kakawin Dharma Wimala. Secara letak susunan dalam

keropak, Kakawin Dharma Wimala tepat berada di atas Kakawin Dharma Sawita.

Tidaklah jauh berbeda dengan Kakawin Dharma Sawita, Kakawin Dharma

Wimala juga memaparkan pengendalian indra. Namun, pada Kakawin Dharma

Wimala pengendalian indra kemudian lebih mengerucut tentang kebebasan

tertinggi dengan memunculkan karakter kebajikan dalam diri. Kekhasan Kakawin

Dharma Wimala, yaitu terletak pada pengarang kakawin mengibaratkan jalan

kebebasan itu seperti perjuangan antara kebajikan melawan kebatilan. Karakter

                                                                                                               15 Sebait kutipan dari Kakawin Nitiçastra yang sering dijadikan pedoman untuk selalu berhati-hati dalam memilih kata, menggunakan bahasa: Wasita nimittanta maněmu laksmi/ wasita nimittanta maněmu duhka/ wasita nimittanta pati kapaŋguh/ wasita nimittanta maněmu mitra// Artinya: karena bahasalah bisa menemukan bahagia/ karena bahasalah bisa menemukan derita/ karena bahasa menyebabkan kematian/ karena bahasa bisa menemukan sahabat//

  43  

Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk melukiskan bahwa dalam diri ada

dua hal yang berbeda kutubnya.

Panca Pandawa dan Korawa merupakan penggambaran aku (atma) yang

masih dihinggapi dengan kemelekatan duniawi. Panca Pandawa dan Korawa

dipandang sebagai dualisme berseberangan dalam diri manusia. Karakter baik dan

buruk selalu berdampingan, bahkan hanya dipisahkan oleh jarak sekecil ukuran

atom.

Kalepasan dalam Kakawin Dharma Wimala didasari atas pemahaman

terhadap dua karakter tersebut. Pengolahan rasa dan pengendalian indra ditujukan

agar dapat memaksimalkan kemunculan karakter kebajikan. Memang tidak bisa

langsung meniadakan karakter buruk dalam diri, tetapi meminimalisasi

kemunculan karakter kebatilan itu. Kakawin Dharma Wimala menegaskan bahwa

atma hendaknya memiliki karakter seperti Yudhistira, yaitu dengan memiliki jalan

kebajikan. Karakter kebajikan (sadhu) tersebut dimunculkan oleh pengarang

dalam kutipan sebagai berikut.

Nā liŋ Yudhistira rikaŋ twas atīta dibya/ göŋ dharma buddhi sirā nitya nurāga riŋ rat/ sātwā dhamā pituwi bhakti pinūñakěn sih/ nā margga niŋ parama nindya magöŋ kapaŋguh// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama II, Bait ke-4). Terjemahannya

Beginilah diceritakan Yudhistira yang sungguh telah melampaui kemuliaan/ kebesaran akan budi baik beliau senantiasa menyusup di dunia/ setiap makhluk sungguh bakti akan kebaikan dan cinta kasih/ inilah jalan terbaik menemukan kebesaran// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama II, Bait ke-4).

  44  

Yudhistira, bentuk karakter kebaikan yang dipinjam oleh pengarang.

Kebaikan dijadikan jalan untuk mendapat pembebasan jiwa. Kebaikan itu sendiri

pun dapat ditempuh dengan berbagai cara yang dianggap baik dan benar sesuai

dengan ajaran (tattwa). Justru dalam Kakawin Dharma Wimala kebebasan sejati

adalah ketika aku (atma), senantiasa menumbuhkan kesadaran untuk melakukan

kebajikan. Sikap pamrih dan dendam adalah godaan dalam memunculkan

kebajikan. Godaan-godaan tersebut mampu ditaklukkan dengan cinta kasih yang

selalu dimunculkan dari dalam diri. Kebimbangan dan godaan negatif selalu

datang dari pikiran. Pembebasan sejati adalah mampu melepas segala godaan

(bdk. Zoetmulder, 1991:86--87).

Perwujudan karakter kebajikan dalam Kakawin Dharma Wimala

dinyatakan sebagai bentuk lanjutan dari Kakawin Dharma Sawita. Kebajikan

merupakan ajaran lanjutan dari pengendalian Sadrasa. Bentuk-bentuk sederhana

pengendalian Sadrasa dijelaskan bisa dilakukan dengan memunculkan karakter

kebajikan. Tindakan nyata yang dipaparkan dalam Kakawin Dharma Wimala

menegaskan bahwa ketika seseorang telah dinyatakan mampu mengendalikan

Sadrasa mereka, maka pelan-pelan karakter kebajikan mereka muncul.

Jalan kebebasan yang ditempuh dalam Kakawin Dharma Wimala adalah

jalan cinta kasih (wah riŋ rum kalaŋöña nirmala tatan rěměŋa ri wijiliŋ dinākara,

Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-14b). Kalepasan diperoleh atma

yang diselimuti cinta kasih dan telah berhasil menaklukkan kebimbangan dalam

dirinya. Selubung cinta kasih ini mengantarkan atma tahap demi tahap ke alam

akhir jnana (turyantapada). Tampaknya pengaruh Budhisme Esoterik atau ajaran

  45  

Tantra atau Tantrisme16 sangat kuat dalam teks ini bahwa cinta kasih adalah

sebuah kemuliaan untuk pembebasan jiwa. Energi cinta kasih diyakini sebagai

energi pencerahan dalam penyatuan tertinggi.

Kalepasan dengan cara Budhisme ini menguatkan betapa koalisi ajaran

Siwa dan Buddha dipandang sebagai jalan berbeda dengan satu tujuan.

Pembebasan jiwa yang halus menjadi senyawa atom di udara, tentu tidak terasa

apabila hati tidak diliputi cinta kasih karena cinta kasih melepaskan segala ikatan

kemelekatan diri terhadap jiwa. Teks-teks kalepasan lain, seperti Jñānasiddhânta

pun menyajikan koalisi (hubungan) antara Siwa dan Buddha. Kedua ajaran ini

diumpamakan seperti mendaki gunung yang sama melalui jalur pendakian yang

berbeda17.

Jalur pendakian cinta kasih menuju puncak tertinggi kehampaan alam

pikiran dituangkan dalam teks Kakawin Dharma Niskala. Seperti tangga yang

terdapat di dalam kompleks candi pemujaan, seperti itu pula teks Kakawin Panca

Dharma. Setelah berhasil memunculkan karakter kebajikan dengan meruapkan

cinta kasih ke segala penjuru dalam Kakawin Dharma Wimala, maka kini cinta

kasih adalah jalan yang mengantar aku (atma) menuju kehampaan.

                                                                                                               16 Ajaran Buddhisme Esoterik kerap disebut ajaran Tantra atau Tantrisme. Paham Buddhisme Esoterik menganggap nafsu yang dimiliki manusia diaplikasikan menjadi energi untuk mencapai keadaan pencerahan sehingga akhirnya menyatu dengan Sang Buddha sebagai tujuan tertinggi. Lebih jauh Buddhisme Esoterik meyakini bahwa makhluk yang menjalani kehidupan di dunia ini memiliki sifat yang sama seperti Buddha. Ajaran Buddhisme Esoterik sama seperti ajaran Buddha Mahayana yang meyakini bahwa pencerahan tercapai bukan setelah melalui waktu yang tiada batas (Matsunaga Keishi “Buddhisme Esoterik: Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia”, makalah Seminar Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia”). 17 Istilah sinkretisme tidak digunakan oleh Soebadio (1985:50--51), karena sinkretisme memberikan kesan seolah-olah kedua sistem itu dicampurbaurkan sama sekali. Bila kita menganggap istilah denotasi mempunyai denotasi memperjuangkan tujuan akhir yang sama dengan menggunakan jalan-jalan yang berbeda-beda, bahkan tumbuh bersama-sama.

  46  

Kakawin Dharma Niskala diletakkan di atas teks Kakawin Dharma

Wimala. Bila dikaitkan dengan teks Kakawin Dharma Wimala, urutan dari

Kakawin Dharma Niskala menunjukkan bahwa seorang pencari kesunyian telah

berada pada tahapan kehampaan (ri sikaran ikaŋ adri Hyaŋ Siwa wus pralabdha,

Kakawin Dharma Niskala, Wirama VII, Bait ke-1d). Kehampaan dalam teks ini

ditekankan pada pengolahan pikiran. Saat aku (atma) mampu mengolah

pikirannya merupakan kebebasan tertinggi dalam teks ini. Pengolahan pikiran

didasari dengan memuja Sanghyang Śiwa18.

Kakawin Dharma Niskala dan Dharma Sunya merupakan kakawin yang

hampir mirip jika dilihat dari isi teksnya. Dharma Sunya terdapat dalam Dharma

Niskala, begitu pula sebaliknya. Setelah penulis membaca berulang-ulang, tiga

teks kakawin yang terakhir (Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus)

dalam KPD merupakan satu unsur dari dunia yang tidak terlihat. Terlebih lagi

dalam Dharma Niskala terdapat dua teks kakawin. Satu teks berjudul Dharma

Niskala yang isi teksnya sama dengan Dharma Sunya dan satu teks lain dengan

judul Dharma Sunya Keling. Jika Dharma Sunya dan Dharma Sunya Keling

dibaca secara terperinci, maka semuanya terdapat dengan singkat, jelas, dan padat

dalam Dharma Putus.

Saŋ siddhā labdha yogi hati nira kapadaŋ tulya candrāwa pūrna/ riŋ wāhyādhyātmikā tan katunan ira rikaŋ sarwa śāstrârtha śabda/ tan limbak tan laku n nirwisaya juga sirā n kewala janma śuddha/ lilā-lilā n

                                                                                                               18 Dalam teks-teks Jawa Kuno, baik prosa maupun puisi (kakawin), Śiwa memiliki banyak gelar sesuai dengan kemahakuasaan-Nya. Śiwa Mahakama dan Mahakala, menggoda diri sendiri untuk mencipta (kuasa Śiwa). Bhatara Pasupati merupakan salah satu manifestasi Śiwa. Begitu pula dalam kitab Markandya Purana yang mengungkap kelahiran Rudra disebutkan bahwa Brahma memberikan tujuh nama selain Rudra, yaitu Pasupati, Bhawa, Sarwa, Isana, Bhima, Ugra, dan Muliadewa (bdk. Rao, 1986:45 dalam Kusuma, 2012:185).

  47  

panonton wulat ira wěkas iŋ sandhi ŋ ācintya labda// (Kakawin Dharma Niskala, Wirama IX, Bait ke-5). Terjemahannya Seorang yogi yang berhasil sempurna, hatinya bersinar benar seperti bulan purnama/ lahir dan batin ia tidak pernah tidak tahu segala makna ajaran pustaka dan kata/ tidak bergolak, tidak goncang, ia bebas dari ikatan, ia semata-mata manusia suci/ pandang matanya bersinar bahagia sisa hasil persatuan yang tidak terpikirkan// (Kakawin Dharma Niskala, Wirama IX, Bait ke-5).

Ketiga teks kakawin terakhir menegaskan bahwa berkonsentrasi dengan

memusatkan pikiran pada satu titik, yaitu Śiwa, dituturkan sebagai jalan menuju

kehampaan. ‘Niskala’, ‘sunya’, ‘putus’, hampa, kosong, sunyi, nol merupakan

kata yang memiliki padanan yang berdekatan di dalam kamus. Sanghyang Niskala

penguasa yang tidak berbentuk, tidak terlihat, dan segala yang “tidak” secara

fisik. Kekuatan niskala hanya bisa dirasakan melalui getaran dalam hati yang

kemudian menyusup ke setiap pori-pori tubuh sehingga kebebasan tertinggi

dengan merasakan nikmat di dalam diri. Kenikmatan yang lepas ketika pori-pori

terbuka, lalu tertutup melesatkan aku (atma) melesap terserap kekuatan semesta.

Śiwa mahatinggi (Paramaśiwa) dipuja melalui berbagai cara. Tujuan si

aku (atma) hanyalah memuja dengan jalan pikiran. Śiwa dalam diri, bentuk segala

metafora aku (atma) dan Dia yang sesungguhnya tunggal. Percikan yang

menjiwai si aku (atma) merupakan sulur-sulur api yang memantik si aku untuk

memuja-Nya. Menyerahkan diri secara total dengan segala bakti yang tulus, tanpa

paksaan, tanpa keinginan, tanpa imbalan, apalagi merayu19. Penyerahan diri total

                                                                                                               19 Totalitas bakti merupakan kerinduan untuk segera bertemu, berkorban, dan bersatu (anonim, tt:3--15).

  48  

melalui segala bentuk kepolosan20 menjadi persembahan paling murni dari si aku.

Kutipan di bawah ini menegaskan bahwa Paramaśiwa sebagai tujuan tertinggi.

Yêki mukya ni sandhi saŋ maněmu bhoga paramaśiwa tan patūduhan/ tuŋgal saŋ maŋucap kalāwan ika saŋ minuwus apan ikā datan kalen/ nir pwêkaŋ pati len hurip ya ŋuniweh ala hayu suka duhka tan hana/ nirsandeha maděg mawas maměpěk ing bhuwana sira wibhuh ya suksma ya// (Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-8, Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-8). Terjemahannya Inilah keutamaan persatuan orang yang menemukan kenikmatan Paramaśiwa, Śiwa mahatinggi, tidak terperikan/ Yang Mengatakan dan Yang Dikatakan itu tunggal karena memang tidak berbeda/ Tiada lagi perbedaan antara mati dan hidup, terlebih lagi antara baik-buruk, suka-duka tidak ada/ tidak merasa khawatir, berdiri kokoh memenuhi dunia, Ia menguasai segalanya, Ia bersifat halus rahasia// (Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-8, Kakawin Dharma Sunya Bait ke-8).

Kesadaran memuja sangat terasa apabila seseorang telah sampai pada

tahap tidak lagi merasa ada perbedaan antara hidup mati, suka duka. Batas rasa

pelan-pelan terkikis oleh nikmatnya penyatuan antara aku (atma) dan Dia

(Paramaśiwa). Kenikmatan dan kesadaran tersebut, ketika atma ingat kepada

dirinya sendiri, maka sebuah penyatuan yang halus dan rahasia itu sedang

berlangsung21.

Paramaśiwa itu suci22 karena sesungguhnya dia tidak memiliki sifat.

Namun, jika kesadaran tanpa sifat dirasuki oleh Maya, maka akan menurun

                                                                                                               20 Kepolosan adalah istilah yang dipakai penulis untuk menggambarkan rasa bakti yang tulus tanpa keinginan apa pun. Maksudnya, memuja bukan untuk merayu Tuhan agar mendapatkan sesuatu yang diharapkan, terlebih memuja Tuhan pada saat keadaan sedang susah saja. 21 Dalam kesadaran tingkat Paramaśiwa tidak ada ruang bagi ketidaksadaran. Itulah yang disebut dengan Kesadaran Tertinggi. Śiwa pada dasarnya adalah kesadaran (Palguna, 1999:140). 22 Tentang Paramaśiwa yang tanpa sifat itu dijelaskan sebagai berikut: na rupam, ia tanpa rupa; na warnnam, tanpa warna; na rasam, tanpa rasa; na gandham, tanpa bau; na sadnam, tanpa suara; asparam, tidak teraba; anamayam, tidak terkena sakit; acintyam, tidak terpikirkan; anadi madhyantam, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas; asangkirnnam, tidak

  49  

kesuciannya menjadi kesadaran yang memiliki sifat. Śakti merupakan sifat

kesadaran. Kesadaran bersifat sakti ini disebut Sadaśiwa sehingga ada empat jenis

sakti kesadaran yang disebut Caduśakti23. Semakin besar pengaruh Maya, maka

semakin menurun pula sifat sakti itu. Oleh karena itu, ia menjadi kesadaran yang

bersifat wiśesa yang berarti ada di mana-mana, tetapi tidak terlihat. Kesadaran

tingkatan ini disebut dengan Śiwa.

Maya menjadi pengaruh tingkatan antara kesadaran, Śiwa, Sadaśiwa, dan

Paramaśiwa. Tiga tingkatan kesadaran tersebut dikenal dengan sebutan

Śiwatattwa. Aku (atma) sangat terpesona terhadap Maya dalam bentuk unsur

materi, baik yang halus maupun kasar. Atma yang terus-menerus terpesona

terhadap Maya akan lupa pada jati dirinya. Maya yang telah menjadi unsur materi

tersebut bercampur dengan atma melahirkan tiga sifat, yaitu Tri Guna yang terdiri

dari satwam (murni), rajah (aktif), tamah (pasif).

Tiga sifat pokok inilah yang seterusnya melekat dalam diri si aku (atma).

Kemurnian akan keluar apabila atma ingat terhadap jati dirinya. Kalepasan dalam

                                                                                                                                                                                                                                                                                                               tercampuri; agatham, tanpa wujud; aracanam, tanpa rupa dan warna; adwityam, tidak ada yang melebihi dalam hal keunggulannya; na calitam, tidak goyah; alinggakam, tanpa lingga; acyutam, tanpa susut; aksayam, tidak berkurang; anirgatam, tanpa perbuatan; aspreham, tanpa keinginan; agarbbhajanma maranam, tidak lahir dari kandungan dan tanpa kematian; arogam, tanpa sakit; asokam, tanpa susah; awedhanam, tanpa penderitaan; asangsaram, tanpa sengsara; nirmala, tanpa noda; na kalam, tanpa waktu; na kasam, tanpa angkasa; na samwatsara, tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan malam; asandhyangsam, tanpa senja kala; na muhurta, tanpa kurun waktu; na welangkastam, tanpa matahari berjalan ke arah utara, di tengah-tengah; na daksinayam, tanpa matahari berjalan di garis khatulistiwa; animepyam, tanpa kerdip, tenang; śūnyam, sepi, sunyi; dhyawam, selalu ingat; waram, utama; satyam, benar; witam, sangat sepi dan hampa; swaccam, bersih; kewalyam, hampa; nirasrayam, tanpa bantuan, perlindungan; Śiwam, Ia juga disebut Śiwa; mokșam, ia itu kebebasan sejati (Mirsha dan Anggota, 1994:15 dalam Palguna, 1999:140--141). 23 Caduśakti yaitu empat jenis kesadaran yang memiliki sifat terdiri atas: kesadaran itu menyusup, tetapi tidak terikat oleh yang disusupinya disebut Wibhuśakti. Kesadaran itu mengendalikan segala, tetapi tidak dikendalikan oleh apa pun disebut Prabhuśakti. Kesadaran itu mengetahui semuanya disebut Jñānaśakti. Kesadaran yang mengerjakan semua yang diketahuinya disebut Kriyaśakti (Palguna, 1999:141).

  50  

Kakawin Dharma Niskala diawali dengan mengenali amběk (perilaku batin)

melalui media pikiran. Paramaśiwa yang Maharahasia dan halus menjadi metafor

pikiran yang utama sekaligus tujuan Mahatinggi.

Sungguh sangat terperinci ajaran kalepasan dalam KPD ini. Pengarang

setiap kakawin seolah-olah turut menyertai karya yang digubahnya. Hal itu terjadi

karena pada setiap peradaban zaman, pesan purba ini tetap tersampaikan kepada

mereka yang merasa terpilih dan dipilih oleh teks ini. Jika kalepasan diibaratkan

seperti pergelaran, maka Dharma Sawita (bagian awal), Dharma Wimala (bagian

pertengahan atau konflik), Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus

(bagian akhir atau klimaks). Pergelaran yang berkualitas adalah pergelaran yang

bagian awalnya juga berkualitas. Begitu pula dengan para pencari kesunyian,

dasar mereka harus kuat, pengendalian rasa, memunculkan karakter kebajikan,

barulah kemudian memuja dengan pikiran.

4.4 Kakawin Panca Dharma: Bentuk Nikmat Diri Pencari Sunyi

Kadi śaśadara wimbā riŋ dyun mêsi jala śuci/ sahana hana nikaŋ dyun byaktā těka kinahanan/ wulatana sira wāswās tuŋgal riŋ ghata sawiji/ dinělě ri ruhur aŋhiŋ tuŋgal hyaŋ śaśi suměnö// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XV, Bait ke-4). Terjemahannya Seperti bayangan bulan pada tempayan berisi air jernih/ seluruh tempayan yang ada benar-benar ditempati/ perhatikan dengan saksama, bayangan itu satu dalam setiap tempayan/ tolehlah ke atas, hanya satu Dewi Malam bersinar// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XV, Bait ke-108).

  Apabila becermin, bayangkan yang terpantul adalah bayangan yang

becermin. Siapa pun yang becermin dia memiliki bayangan. Cermin tidak hanya

  51  

kaca dengan pigmentasi gelap pada alasnya, tetapi di setiap benda yang memiliki

sifat seperti cermin, yaitu air jernih. Cermin (baca air jernih) tidak akan berfungsi

sempurna jika tidak ada cahaya24, baik cahaya yang ditimbulkan dari sinar

maupun cahaya yang dipancarkan dari tubuh (baca aura) dari yang becermin.

Diri, cermin, dan bayangan menjadi satu kesatuan dalam peristiwa

becermin. Media cermin akan membantu si (aku) pencermin melihat bayangannya

sendiri, mulai dari seperti apa rupa hingga melihat adakah cacat dalam rupa.

Cermin hanya memantulkan yang terlihat oleh mata, hanya fisik, dan penampilan

luar. Kendatipun demikian, cermin tidak pernah berbohong dalam hal

menampilkan bayangan. Jika cermin diibaratkan memiliki mata, maka matanya

selalu awas, tajam, dan teliti. Mata cermin sesungguhnya mata si (aku) pencermin,

keinginan dan pikiran si (aku) pencermin juga akan dipantulkan dalam bayangan

yang dihasilkan.

Percaya atau tidak, mari sejenak renungkan, ketika becermin untuk

melihat apakah rambut sudah rapi, tetapi dalam pikiran sudah terbentuk bahwa

rambut belum rapi, maka secara refleks tangan akan mengambil sisir lalu

menyisirnya sambil bercermin. Padahal, rambut sudah rapi sebelum bercermin

dan disisir ulang. Itulah yang dimaksudkan penulis bahwa pikiran dan keinginan

juga dapat dipantulkan oleh bayangan di cermin.

Kakawin Panca Dharma yang dikutip pada awal subbab ini adalah bait

ke-108 Kakawin Dharma Sunya. Kutipan tersebut membuat pikiran bergerak

                                                                                                               24 Cahaya adalah suatu spektrum gelombang elektromagnetik sehingga dapat merambat dengan atau tanpa medium perantara. Sifat-sifat cahaya, antara lain (1) memiliki energi; (2) arah getarnya tegak lurus terhadap arah rambat gelombang; (3) dapat merambat lurus; (4) dapat dipantulkan; (5) dapat dibiaskan; (6) dapat dibaurkan (Yulliawati dkk., 2010:89).

  52  

kembali ke dalam diri. Semua hal bermula dan berakhir di dalam diri. Apa pun

itu, baik yang positif maupun negatif, yang terlihat dan yang tidak terlihat, lahir

dan bermuara di dalam diri. Seperti bayangan yang terlihat lalu keinginan yang

tidak terlihat karena terbungkus fisik mampu dilihat hanya dengan becermin.

Keinginan akan muncul bersama dengan bentuk bayangan yang dipantulkan

dalam cermin. Sifat dan karakter yang sedang dilakoni oleh si (aku) pencermin

saat bercermin juga terlihat. Jika si (aku) pencermin sedang ingin berbuat kurang

baik akan terlihat dari sunggingan senyum di bibir kendatipun terlihat manis,

dirasa nyinyir. Indikator yang bisa mengukur hanya diri sendiri, cermin hanya

membantu mengingatkan.

Kadi śaśadara wimbā riŋ dyun mêsi jala śuci (seperti bayangan bulan

pada tempayan berisi air jernih). Kutipan ini mengisyaratkan bayangan hanya

dapat dipantulkan apabila ada cahaya dan media yang bening. Bulan dalam hal ini

yang diibaratkan memenuhi tempayan merupakan sifat dari bulan itu sendiri.

Bayangan bulan akan dipantulkan oleh air jernih berupa bayangan itu sendiri.

Tentunya air jernih berfungsi sebagai media pemantul bertindak jujur sejujur-

jujurnya dalam hal memantulkan bayangan dari bulan.

Tempayan yang dipenuhi oleh bayangan bulan mengubah bentuk dari air

jernih menjadi bulan. Sahana hana nikaŋ dyun byaktā těka kinahanan (seluruh

tempayan yang ada benar-benar ditempati). Kejujuran air jernih adalah

penyerahan mahaikhlas dirinya untuk membiarkan dirinya berubah menjadi bulan,

kendatipun itu hanya bayangan. Wulatana sira wāswās tuŋgal riŋ ghata sawiji

(perhatikan dengan saksama, bayangan itu satu dalam setiap tempayan) Pada

  53  

akhirnya bulan dan air jernih terlihat satu, menjadi satu, itulah yang dimaksudkan

kejujuran air dan keikhlasan air. Sesungguhnya tidak hanya air yang jujur ikhlas,

bulan juga memiliki hal yang sama. Keduanya (air jernih dan bulan) sama-sama

jujur dan ikhlas untuk melebur menjadi satu, maka terjadilah pemantulan

bayangan bulan pada air. Bulan melihat dirinya dalam air karena air seketika

berubah menjadi dirinya.

Dinělě ri ruhur aŋhiŋ tuŋgal hyaŋ śaśi suměnö (tolehlah ke atas, hanya

satu Dewi Malam bersinar), lalu air melihat bulan menyadari bahwa dirinya (air)

seperti yang dilihatnya (bulan). Seperti inilah yang dimaksud dengan melihat diri

sendiri. Bayangan hasil pantulan itulah diri kita sendiri. Dalam konteks kehidupan

sehari-hari, si aku (individu) manusia terkadang tidak hanya menggunakan cermin

itu untuk becermin, tetapi juga becermin pada individu manusia lain. Bayangan

yang dipantulkan tentu bukan bayangan serupa bayangan pada saat becermin.

Akan tetapi yang dipantulkan adalah karakter dan sifat individu lain pada diri atau

sebaliknya, yaitu diri kita terhadap mereka.

Diri sendiri adalah rumah tempat berlindung. Semua hal ada dalam diri

sendiri, semua hal pula bisa diciptakan di dalam diri sendiri. Kenikmatan itu pula

ada dalam diri, pencarian ke dalam diri merupakan bentuk-bentuk jalan

kalepasan. Mencari ke dalam diri dikatakan sebagai jalan kenikmatan untuk

menemukan segala kenikmatan dalam diri.

Seperti halnya keinginan bertemu dengan lawan jenis, seperti itu pula

keinginan untuk menyatu dengan Yang Mahatinggi. Keinginan penyatuan tidak

hanya ditemukan di luar diri, tetapi juga di dalam diri. Kalepasan dikatakan

  54  

sebagai puncak kenikmatan dengan ukuran atau takaran tiap-tiap si pencari sunyi.

Seorang pencari sunyi merasa telah mengalami orgasme berkali-kali ketika

berhasil merasakan getaran-getaran halus sarafnya yang melemah, tetapi tetap

sadar akan tujuan utamanya, yaitu melakukan penyatuan dengan Yang

Mahatinggi di dalam dirinya, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini.

Sěmbah niŋ wwaŋ amūrsite pada maheswara saphala kitā srayeng mangö/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga laksana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūksma wěkasiŋ aganal maweh licin/ śūnyā sthana ri sāri niŋ samaya nirbbhana wěkas i pañandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujud kepada engkau penguasa segala keindahan/ engkau berada di mana-mana dalam setiap yang suci dan melakukan jalan yoga pengendalian/ kekuatan mantra, kesucian diri, sungguhlah disebut licin/ bertempat dalam sari kesunyian yang kosong dan menyatu dalam penciptaan// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-1).

Akumulasi getaran-getaran halus tersebut membentuk sebuah jaringan di

dalam pikiran si aku para pencari sunyi. Mereka yang mengatakan diri pencari

sunyi memang melabuhkan dirinya pada dermaga dalam dirinya. Pencarian

mereka berakhir setelah menemukan yang hilang dan dicari di dalam dirinya.

Tempat yang paling sepi adalah diri, rasakanlah ketika tubuh diam,

memerintahkan kepada semua anggota tubuh diam, maka pikiran juga diam.

Pikiran yang diam inilah nantinya memengaruhi bagian-bagian dalam dan anggota

gerak untuk tidak bergerak. Pelan-pelan, kesunyian akan muncul, kehangatan

bergetar di hulu hati.

Hakikat kesucian dalam Kakawin Dharma Wimala dikatakan sebagai

kesucian tingkat pikiran, itu artinya segala hal dikendalikan oleh pikiran.

  55  

Perenungan akan kesucian tersebut akan didapatkan hanya ketika si pencari

kesunyian merasa sudah waktunya kembali ke dalam diri karena sebelumnya si

pencari sunyi terus-menerus melakukan pengembaraan di luar dirinya. Segala

yang tanpa noda dengan pendakian yang penuh tantangan justru mendaki gunung

yang bernama ‘gunung hati’ dalam diri.

Belajar inti dari kalepasan senantiasa mendorong si pencari sunyi untuk

selalu melakukan introspeksi diri. Kemampuan dan kepekaan terhadap keadaan

yang terjadi dengan yang dirasakan oleh hati akan membantu proses menemukan

nikmat sunyi dalam diri itu. Beberapa hal yang kemudian dikaitkan dengan

nikmat sunyi dalam diri itu adalah termasuk saat si pencari sunyi merasakan

betapa hebatnya keinginan untuk bertemu dengan Yang Mahatinggi. Justru

keinginan bertemu dan menyatu dengan Yang Mahatinggi dirasakan lebih

menggebu-gebu karena sesungguhnya si pencari sunyi merasa jatuh cinta ribuan

kali kepada Yang Mahatinggi. Cinta yang mendorong pertemuan.

Sebagaimana seseorang yang sedang jatuh cinta, seperti itulah

diibaratkannya sikap si pencari sunyi tersebut. Getaran-getaran di hulu hati seperti

api yang memantik sulur-sulur saraf sehingga lama-lama getaran halus pun

memanas menjadi energi dan memencarkan sinar sesuai dengan karakter si

pencari sunyi. Konteks antara kesunyian, cinta, dan pencari sunyi adalah bentuk

persembahan yang akan dipersembahkan. Ketulusikhlasan akan dilahirkan di sini,

di tempat yang bernama sunyi dengan dasar cinta dan tujuannya bernama sunyi.

Setidaknya, seseorang yang sudah merasa bisa merumuskan tujuan

akhirnya, akan membuat diri merasa lebih terarah. Tujuan yang pasti walaupun

  56  

dengan cara yang berbeda. Kalepasan dalam Kakawin Dharma Wimala seperti

yang sudah dikatakan pada subbab sebelumnya menekankan pada perlawanan

karakter kebajikan melawan kebatilan. Hakikat nikmat sunyi dalam diri pada

Kakawin Dharma Wimala terletak pada esensi pengolahan pikiran si pencari

sunyi yang mampu mengumpulkan serta mengolah indranya untuk diam dan

merasakan getaran halus yang timbul di hulu hatinya. Getaran halus yang

bernama nikmat tanpa bersentuhan. Kutipan Kidung Rasmi Sancaya di bawah ini

dijadikan metafora getaran halus yang menimbulkan keindahan.

Nusaña ramya kinasut iŋ jalada yaya samir iŋ apum/ paŋhreŋ iŋ ali tan waspada sareŋi-renih dalěm iŋ sayana jaŋganyaŋol/ iŋ taru aŋayuh padapa miŋguh tinub iŋ aŋin lwir paŋesah iŋ dyah wahw akayuh rinajasan iŋ kakuŋ (Kidung Rasmi Sancaya, Bait ke-7).

Terjemahannya

Pulau-pulau yang indah diselimuti oleh embun bagaikan tirai di tempat tidur/ dengungan kumbang bunga sungguh tiada lain bagaikan rayuan di dalam peraduan/ pohon gadung yang membelit pohon kayu, membelit pucuk-pucuk daun yang berputar karena ditiup angin bagaikan desahan sang istri yang baru pertama kali dipeluk oleh seorang jejaka// (Kidung Rasmi Sancaya, Bait ke-7).  

Kekuatan cinta itu menakjubkan sekali dapat mengubah yang kasar

menjadi lembut, yang mati menjadi hidup, dan yang tiada menjadi ada. Cinta yang

lahir atas dasar keyakinan akan mengokohkan serta menguatkan jalan yang dipilih

oleh cinta itu sampai menemukan tujuan. Ibarat si pencari sunyi yang telah jatuh

cinta pada Yang Mahatinggi, maka dia akan selalu ingin mewujudkan cintanya

dengan melakukan pertemuan dan penyatuan. Pemahaman penulis bahwa

kalepasan itu cinta pada diri sendiri. Memuja Yang Mahatinggi sama dengan

memeluk Tuhan dalam diri. Segala nikmat memang berawal dan berakhir di

  57  

dalam diri, semacam amutěr tutur pinahayu (tahu benar salah) yang dimasukkan

kemudian dijalankan oleh pikiran.

Terkadang kalepasan dengan jalan cinta pada diri sendiri dipikirkan lebih

mudah dibandingkan dengan jalan bakti yang lain. Sesungguhnya bagi penulis

sendiri justru jalan cinta kembali ke dalam diri itu yang sungguh susah. Berbagai

godaan akan muncul termasuk merasa diri sudah hebat, sakti, bahkan fatalnya

menganggap diri adalah Tuhan. Pemahaman ini perlu diluruskan, jalan kembali ke

dalam diri adalah jalan terakhir ketika semua jalan di luar diri telah ditempuh dan

dirasakan nikmatnya.

Jalan di luar diri banyak contohnya, misalnya fenomena kehidupan

spiritual yang terjadi pada masa sekarang. Berdasarkan pengamatan penulis,

fenomena masyarakat sekarang justru cenderung lari ke jalan spiritual untuk

melarikan diri dari tuntutan zaman. Bermunculannya kelompok-kelompok

spiritual baru, seolah menegaskan bahwa dunia spiritual merupakan tempat

ketenangan. Entah ketenangan yang bersifat sejenak atau selamanya karena

kontemplasi tidak didapatkan dengan cara yang instan. Kelompok-kelompok

spiritual ini membuat kegiatan-kegiatan sendiri sesuai dengan keinginan yang

dianggap bisa mendatangkan kenyamanan sejenak. Masalah yang sedang melanda

tidak dihadapi, tetapi dilupakan sekejap saat, saat itu juga, tanpa memikirkan

penyelesaiannya.

Cara-cara singkat untuk memeroleh kenyamanan dan kebahagiaan justru

menjamur belakangan. Kelompok spiritual ini tidak ubahnya seperti wisata

spiritual memberikan paket-paket tertentu pada pengunjungnya. Tidak heran jika

  58  

sekarang menjamur kelompok spiritual. Semua mengklaim dirinya sebagai jalan

yang paling suci. Padahal, bukan ini yang dimaksud jalan di luar diri.

Belajar tentang hakikat kalepasan dengan jalan di luar diri merupakan

proses alamiah waktu, itulah yang dimaksudkan jalan di luar diri. Proses alamiah

waktu meliputi menemukan nikmat di luar diri dengan memuaskan indra, tetapi

tetap dalam batas norma yang berlaku di masyarakat. Mata dipuaskan dengan

keindahan yang dilihat. Telinga dipuaskan dengan kemerduan suara. Lidah

dipuaskan dengan berbagai rasa. Hidung dipuaskan dengan berbagai aroma. Kulit

dipuaskan dengan sentuhan. Pemuasan dan kenikmatan indra dikatakan

kenikmatan duniawi. Semisal ada lendir yang menetes ketika disentuh, ada ludah

yang tertahan ketika mencecap rasa enak, atau ada tetap terbelalak ketika melihat

keindahan, dan masih banyak bentuk pemuasan yang lain.

Tingkat-tingkatan kehidupan memang sudah mengatur setiap peristiwa

alamiah waktu. Namun, ada kalanya seperti yang dikatakan dalam

Jñānasiddhanta seseorang tidak perlu menjadi tua untuk baru kemudian menekuni

ajaran kalepasan. “Rasiki saŋ maŋaji Saŋ Hyaŋ Siddhanta, matuha sira, yadyapi

rare kuněn, apan tan wayah, tan śíla, tan tapa matuha. Artinya barang siapa

mengetahui ajaran Siddhanta, biarpun ia masih muda, hai Wanita yang berwajah

Indah, Ia menjadi masak karena pengetahuannya itu, tidak karena kelakuan, usia,

atau laku tapa” (Soebadio, 1985:266--267). Ketika semua rasa duniawi telah

dirasakan maka barulah kemudian beranjak untuk kembali menapaki jalan di

dalam diri.

  59  

Sesungguhnya ada hal yang penting diingat jikalau tidak semua orang

yang ingin menyatu dengan Yang Mahatinggi harus melewati jalan di luar diri

baru kemudian kembali ke dalam diri. Alangkah baiknya jika dari awal sudah

menyiapkan diri untuk menempuh jalan di dalam diri karena jalan di luar diri

terkadang mudah dilalui, tetapi sering membuat tersesat. Sederhananya, lebih

berbahaya tersesat di luar diri dibandingkan dengan di dalam diri. Pemilik tubuh

itu adalah kita sendiri, tidak mungkin tersesat menjelajahi tubuh sendiri. Hasil dari

penjelajahan dalam diri bisa langsung dirasakan karena tempat-tempat di dalam

diri lebih tahu tentang dirinya sendiri.

Pemahaman yang kemudian muncul setelah berulang-ulang membaca

KPD adalah konsep kesederhanaan yang ditanamkan di dalam tiap-tiap teks.

Penulis tekankan bahwa antara satu bab dan bab yang lain dalam penelitian ini

sangat berkaitan, bukan pengulangan, melainkan kesamaan isi tiap-tiap teks. Ada

hal yang begitu menyentuh pada bait-bait dari bait ke-124 sampai dengan ke-130

dalam Kakawin Dharma Sunya. Bagaimana seorang aku (wiku) begitu

menyederhanakan dirinya, begitu kembali ke dalam diri.

Seorang wiku diidealkan menjadikan kesetiaan seorang ibu, sifat murah

hati sebagai ayah, dharma sebagai janji diri, kesempurnaan sebagai adik,

kelembutan sebagai istri, sifat memaafkan sebagai anak, pikiran sebagai kerabat,

amarah sebagai musuh, ketekunan sebagai milik, keengganan sebagai duka,

kekotoran sebagai kepapaan, kesucian sebagai surga, sifat tamah sebagai lawan,

pikiran yang suci sebagai jalan, kesadaran sebagai cahaya, nirwana sebagai

rumah, turyapada sebagai tempat tidurnya.

  60  

Model konsep keluarga diterapkan oleh wiku. Konsep ini selain menjadi

model tapa seorang wiku juga sebagai jalan untuk menjadi wiku. Kesetiaan yang

tidak tergoyahkan menjalani hidup demi cinta pada hidup itu sendiri adalah ibu

seorang aku (wiku). Kesetiaan itulah yang menenangkan hati seorang wiku yang

terkadang letih dalam perjalanan sunyi yang panjang. Kerelaan berkorban adalah

ayah. Hal itu terjadi karena batin hanya hidup untuk memberikan, melepaskan,

merelakan, mengikhlaskan, mengorbankan. Berbeda dengan tubuh yang hidup

dengan mengambil, menerima, memakan, meminum, menelan. Kesempurnaan

adalah adik. Kelembutan adalah istri. Sifat memaafkan adalah anak. Pikiran

adalah kerabat. Seorang wiku adalah orang yang senantiasa merenung-renungkan

semua itu. Bahkan, setelah menjadi wiku, itu pulalah yang dilakukannya setiap

hari.

  61  

BAB V FUNGSI WACANA KALEPASAN

DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

5.1 Kalepasan sebagai Tujuan Yoga Sastra dalam Kakawin Panca Dharma

Pikiran bermuara pada perkataan dan tingkah laku, seperti dalam KPD,

setiap teks mengisyaratkan bahwa pikiran merupakan pusat segalanya. Isi pikiran

diwujudkan dengan yoga yang bermacam-macam bentuknya. Yoga sastra 25

merupakan jalan yang dipilih pengarang teks kakawin untuk menemukan jalan

kalepasan lalu membiarkan hilang dan menyatu dalam karyanya.

Semesta dan penyair merupakan dualisme yang tidak dapat dipisahkan.

Setiap musim memiliki keindahannya masing-masing. Pada manggala-

manggala26 kakawin puja seorang penyair dan keindahan alam dipadukan menjadi

sebuah persembahan. Kalepasan dalam tiap-tiap kakawin tidak hanya dilukiskan

dengan mati raga, bahkan dalam beberapa kakawin di luar KPD hampir

keseluruhan manggala menunjukkan pembebasan jiwa penyair.

Rasa atau pengalaman estetik diakibatkan oleh kemampuan seniman

menyublimkan bhawa (emosinya) dari tataran psikologis ke tataran estetik.

Bhawa adalah konsep utama yang melahirkan rasa. Dalam kreativitas imajinatif

                                                                                                               25  Yoga Sastra adalah cara memuja dengan men-sthana-kan Dewa yang dipuja dan memusatkan pikiran kepada-Nya. Menulis kakawin merupakan suatu latihan yoga dan untuk memahami hal tersebut kita harus memahami ajaran yoga yang dianut oleh kawi wiku tersebut. Para kawi wiku dikenal sebagai penganut yoga yang mencari sang dewa lewat sarana-sarana yang menghadirkan seorang dewa atau ke dalam mana dewa turun, berhubung sarana-sarana tersebut termasuk lingkungan yang khas bagi sang kawi, maka praktik-praktik itu dengan tepat dinamakan sebagai yoga sastra (Agastia, 2010:26--27). 26 Manggala adalah bagian awal kakawin, biasanya berisikan tentang puja-puji sang penyair terhadap Bhatara yang dipujanya dan dipercayai memberikan anugerah kepada sang penyair.

  62  

(emosi individual) ditransformasikan menjadi rasa: pengalaman estetik yang

nonindividual, universal, mengatasi ruang dan waktu, serta keadaan partikular

(Wiryamartana, 1990:356; Yasa, 2007:5). Pembebasan jiwa penyair berupa

penyerahan diri secara total kepada semesta dan penguasa-Nya. Misalnya dalam

penelitian ini diambil contoh dalam manggala Kakawin Smaradahana,

penyerahan diri sepenuhnya penyair menggambarkan betapa tulusnya batin

penyair itu. Berikut kutipannya.

Pujaniŋ kawi saŋgraheng kalaŋěnan maŋde kadirgghya yusan/ muŋgwiŋ padma měkar pratiśta siniram dening rěrěb niŋ kapat/ wijañaksara lambaŋ endah riŋ tětoniŋ yasa/ dhupa kara liput magěnta panaŋis niŋ sadpada riŋ sěkar// (Kakawin Smaradahana, Wirama I, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujudku sebagai penyair yang menginginkan keindahan agar dapat berusia panjang/ berada dan bersemayam di lubuk hati yang mekar disirami gerimis musim keempat/ beras kuningnya adalah aksara dalam kakawin yang indah yang ditebar dalam paviliun/ [menyalakan] dupa hempasan salju, [menyuarakan] genta bersuara kumbang di atas bunga// (Kakawin Smaradahana, Wirama I, Bait ke-1).

Mpu Dharmaja penggubah Kakawin Smaradahana juga menunjukkan

indentitas kepengarangan yang biasa dilakukan para kawi terdahulu. Di awal,

Mpu Dharmaja mengucap dirinya tidak bisa menyamai kemahakuasaan pencipta,

karenanya Mpu Dharmaja memuja Bhatara dan memuji semesta. Kekuatan

Bhatara dan kekuatan semesta dianggapnya kekuatan mahaabadi yang

bersemanyam di tiap makluk hidup. [Pujaniŋ kawi saŋgraheng kalaŋěnan maŋde

kadirgghya yusan], terlihat jikalau sang penyair sangat hati-hati dalam kata

pertama. Kata pujaning dikaitkan dengan kata selanjutnya membentuk kesatuan

ide pikiran bahwasanya pemujaan tidak hanya dilakukan dengan upacara besar,

  63  

tetapi penyair memuja dengan hatinya. Berikut di bawah ini merupakan daftar

bulan dalam kalender Saka.

Tabel II Daftar Bulan Menurut Penanggalan Matahari-Bulan serta

Penanggalan Barat dan India27

Penanggalan Barat Penanggalan Bali

(Kaum Tani)

Penanggalan

Matahari-Bulan

Penanggalan

Musim

Juli Kasa Srawana

Agustus Karwa (Karo) Bhadra (-pada,

-wada)

Warsa ‘hujan’

September Katelu/ Katiga Asuji (aswayuja) Sarat ‘rontok’

Oktober Kapat Karttika

November Kalima Margasirsa Hemanta

‘dingin’

Desember Kanem Posya

Januari Kapitu Magha

Februari Kawulu Phalguna Sisira ‘sejuk’

Maret Kasanga Cetra

April Kadasa Wesakha Basanta ‘semi’

Mei Hapit (lemah) Jyestha Grisma ‘panas’

Juni Hapit (kayu) Sadha

                                                                                                               27 Zoetmulder, 1994:244--245.

  64  

Zoetmulder, 1994:245, menjelaskan, bahwa pada bulan Srawana musim

kering mencapai puncaknya. Pohon-pohon kehilangan kesegarannya, daun-daun

menjadi merah, dan rontok sehingga dalam bulan karwa “bulan kedua” beberapa

pohon menjadi gundul. Bulan Asuji juga panas, air hanya sedikit, dan jalan-jalan

penuh dengan debu. Pada permulaan bulan kapat awan-awan mulai tampak.

Hujan pertama membangunkan pohon-pohon dari tidurnya dan mereka mulai

mengeluarkan ranting-ranting baru. Pada bulan kalima biji-biji terlepas dari

kelopaknya (meltik wijanya), tetapi sesudah awan-awan lewat, terik matahari

makin terasa. Pada bulan kanem ladang-ladang menjadi basah, tetapi belum

kuyup.

Sementara pada bulan Magha maka dengan tepat seseorang dapat

melakukan mati raga dengan mandi karena hujan turun siang dan malam,

sedangkan matahari dan bulan tetap bersembunyi. Selama Phalguna kandang

lembu penuh dengan lumpur. Bila hujan tidak turun, para rahib meninggalkan

pertapaan, mengemis susu. Akan tetapi, dalam bulan Kasanga (sembilan) langit

menjadi cerah dan hujan hanya turun secara adil. Dalam Wesakha bunga-bunga

kelihatan di mana-mana, kecuali bunga asana yang belum tampak, seolah-olah

mau mengejek hujan terakhir; bila hujan itu dengan sia-sia mencari bunga asana,

maka ia lenyap sambil mengucurkan air mata. Dalam bulan Jyestha hutan untuk

kedua kalinya mengeluarkan bunganya, tetapi setelah hujan hilang, banyak yang

gugur: gemuruh guntur terakhir menyerupai kata perpisahan seorang kekasih.

  65  

Dalam bulan Asadha keindahan merana dan para kawi berkeluh menggigil

kedinginan dan karena sakit panas atau demam (Zoetmulder, 1994:246).

Ketika menyebut kata kapat28, di baris berikutnya dalam bait pertama

Kakawin Smaradahana, muŋgwiŋ padma měkar pratiśta siniram dening rěrěb niŋ

kapat (berada dan bersemayam di lubuk hati yang mekar disirami gerimis musim

keempat), tergambar betapa lembut dan indahnya musim itu. Dikatakannya awan

tersusun dari asap dupa menyamai lembutnya salju, gemuruh dalam hati

menyerupai suara kumbang yang bergetar seolah menimbulkan suara genta.

Ada kalanya pula penyair memberikan metafora dengan menggunakan

kata sekar. Sekar tidak hanya berarti bunga biasa. Sekar dihubungkan dengan

padma, yaitu bunga dengan delapan kelopak yang senantiasa menguasai segala

arah. Sekar dikaitkan pula pada mati, bukanlah mati secara raga, tetapi mematikan

rasa atau indra untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian, jika dikaitkan

dengan kata sebelumnya, sekar merupakan tujuan akhir dari penulisan kakawin

ini. Timbul pertanyaan di bait ke-1 ini di baris pertama tertulis dirghgayusa

(panjang umur), bukanlah sang penyair itu yang panjang umur, melainkan

karyanya bisa dinikmati sepanjang masa dan oleh siapa saja (sekar, padma).

Rumusan tentang rasa yang ditulis Bharata kemudian diterjemahkan oleh

Sharma (1987:95; Yasa, 2007:5--6), dirumuskan bahwa rasa dibawa bersama

dengan pengalaman melalui hubungan antara wibhawas (keadaan atau situasi dan

objek yang membangkitkan emosi), anubhawa/sthayibhawa (emosi dasar yang

                                                                                                               28 Kapat adalah bulan keempat dalam perhitungan tahun Saka atau sekitar bulan Oktober tahun Masehi. Kapat juga disebut dengan Karttika. Karttika merupakan bulan yang dinanti oleh para pendamba keindahan (para kawi) yang senang menikmati keindahan (aŋdon laŋö). Karena Kartika adalah bulan penuh keindahan (kalaŋwan), bulan yang dihiasi hujan gerimis (riris), dan suara guntur yang lemah di kejauhan (Agastia, 1999:39--43).

  66  

ada dalam diri manusia), dan wyabhicaribhawas (emosi atau keadaan mental yang

bersifat sementara yang timbul sebagai penyerta dalam proses bangkitnya rasa).

Sederhananya, setiap penyair menginginkan karyanya bisa dibaca, dipahami,

ditafsirkan sepanjang waktu. Demikian pula dalam KPD, setiap teks

mengisyaratkan keinginan penyair untuk memberikan jiwa pada karyanya

sehingga karyanya dapat dinikmati pada setiap zaman. Karya yang abadi

menunjukkan betapa hebatnya pencarian diri seorang kawi.

āmběk saŋ kawi siddha śuddha kadi sāgara gumawaŋa těka nirmala/ icchā nispriya sāra niŋ kalěŋěŋan yakita pasamudāya riŋ raşa/ tatwajñāna wěkas nikaŋ paramaśāstra sira ta pinakâdipandita/ sākşat liŋga nikaŋ sarat pinaka dīpa yasa nira huwus prakāśita// (Kakawin Dharma Sunya Bait ke-1, Kakawin Dharma Niskala Bait ke-1). Terjemahannya Batin sang pujangga jernih bagaikan samudra, bersinar suci tanpa noda/ hendak bebas dari saripati keindahan yang menjadi kumpulan segala rasa/ pengetahuan tertinggi merupakan puncak ajaran tertinggi. Beliau merupakan pendeta utama/ bagaikan lingga dunia, seperti lampu, karyanya memancar ke mana-mana// (Kakawin Dharma Sunya Bait ke-1, Kakawin Dharma Niskala Bait ke-1).

Batin seorang penyair diibaratkan seperti samudra yang jernih, suci, tanpa

noda. Samudra sebagai kedahsyatan dan samudra sebagai kenirmalaan. Samudra

digambarkan cadas, kokoh, mampu menghantam karang, namun tidak pernah

dipakai dalam istilah peperangan. Samudra tidak lain pertanda gejolak dalam

batin penyair yang melakukan ritual kepengarangannya. Jika diselami batin dan

samudra, dianalogikan seperti ini. Pada permukaan samudra terlihat ganas, buas,

garang dahsyat, tetapi pada kedalaman samudra jernih, tenang, dan damai. Itulah

batin sang kawi yang bergejolak.

  67  

Pengarang kakawin umumnya memuja, melumpuhkan ego,

mengembalikan diri menjadi kosong, dan siap menerima anugerah penguasa

semesta. Keindahan semesta atau keadaan alam (alamkara)29 adalah jalan yang

mengantarkan penyair menuntaskan upacara kepengarangannya dalam bentuk

yoga sastra.

Tepi laut, puncak gunung dipilih sang penyair untuk menggubah hakikat

karyanya. Lautan adalah air, air merupakan sumber kehidupan, air laut menguap,

menjadi awan mendung berarak menuju gunung, mendung menurunkan hujan, air

hujan jatuh ke sungai, diserap tanah, menjadilah air tanah. Begitulah siklus

sebenarnya, di mana pun sang kawi mengarang pastilah beliau memilih

berdekatan dengan air, di tepi laut, di dasar gunung, di bawah air terjun. Hal ini

dilakukan karena air adalah asal dan tujuan.

Gunung dan laut sering muncul dalam teks-teks kakawin. Keduanya

menggambarkan kekokohan dan kedahsyatan yang luar biasa. Gunung metafor

dari ayah, sementara laut metafor dari ibu. Penyair mengawinkan gunung dan laut

melalui pengembaraannya selama melakukan yoga sastra. Kekokohan gunung

adalah kesejukan jika dilihat oleh mata, tetapi apabila mendakinya, kesejukan itu

tidak akan dilihat lagi, tetapi dirasakan.

                                                                                                               29 Alamkara/alangkara merupakan penggambaran keadaan dalam kakawin, alangkara sesungguhnya pelukisan keindahan yang dieksplorasi oleh sang penyair. Secara leksikal Alangkara berarti hiasan, hiasan bahasa, bahasa artistik. Dengan kata lain Alangkara berarti hiasan atau permainan bunyi atau kata-kata dalam syair kakawin Jawa Kuno. Alangkara merupakan bunga-bunga puisi yang dapat membangkitkan rasa estetis, lebih-lebih lagi ketika dinyanyikan dengan alunan suara yang merdu seperti biasa yang dilakukan dalam tradisi “mabebasan” di Bali. Oleh sebab itu, aspek Alangkara memegang peranan penting dalam sebuah kakawin. Aspek Alangkara dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Sabdalangkara adalah hiasan atau permainan kata-kata atau bunyi dan Arthalangkara merupakan hiasan atau permainan arti (Suarka, 2009:9).

  68  

Saŋ kşěpaña kalaŋwan iŋ giri wanāśrama pinaka parantya niŋ tapa

[Pencari sunyi mengagumi keindahan gunung dengan asrama di tengah hutan

sebagai pengantar tapanya, Kakawin Dharma Wimala Bait ke-15, baris 1]. Setiap

jalur pendakiannnya menjadi pengalaman pengembaraan si aku (atma, penyair).

Begitu pula dengan laut, kedahsyatan dan ketenangannya akan dirasakan begitu

diselami ke dalam. Oleh karena itu, tidak semua hal harus dilihat oleh mata, tetapi

oleh hati. Mata hati, padma hati yang ada dan senantiasa mekar, baik disirami

keteduhan maupun diperciki sinar gemerlapan ketika masa pengembaraan yoga30.

Gunung yang konon ada di pusat lingkaran mandala sebagai poros jagat

raya. Mura yang ada di kaki gunung dan Wisnu (Janardhana) yang ada di pusat

gunung menggelarkan yoga persatuan dan bersamadi tertuju pada Hyang Iswara

yang ada di puncak. Disebutkan ada sebuah jalan membujur dari dasar sampai

puncak gunung itu. Di puncaknya terdapat sebuah telaga dengan air sangat jernih

memancar tidak putus-putusnya bagai permata. Di dasar telaga itu terdapat air

kehidupan sebagai asal dan tujuan segala yang ada dan yang akan didapatkan bila

berhasil melaksanakan yoga. Aliran kecil mengalir digerakkan oleh bayu jatuh ke

dalam api sehingga tetesan berkembang menular menjadi kegelapan. Keberhasilan

mengalahkan kegelapan itu disebut Jayendriya yang berarti jaya menaklukkan

indra (Palguna, 1999:154--155). Jayendriya merupakan pengolahan indra seorang

                                                                                                               30 Memang hutan, gunung, pantai, laut adalah bagian-bagian yang sangat pokok dalam kakawin. Tempat-tempat itu senantiasa dicari oleh para Kawi. Di tempat itu mereka mendapatkan kepuasan bagi kerinduannya akan keindahan. Di tempat itu mereka mendapatkan ilham. Tempat sepi yang dapat menggetarkan perasaan itu, (aŋětěr raras twas iŋ kawi), adalah tempatnya mendirikan sebuah pertapaan, sebuah tempat memelihara keindahan (patapan anar tarukan niŋ kajěněkan amagantakěn laŋö). Di tempat sepi ini pula para Kawi, dinyatakan telah menyatu dengan sepi (Agastia, 1999:20--21).

  69  

kawi untuk melakukan kalepasan, seperti yang dikutip dalam Kidung Jayendriya

di bawah ini.

Rakryan saŋ saksat ajöŋ tānurideŋ kawi maŋö bhranti raga kinuncaŋ iŋ masa Kartika maŋun hyun-hyun bhramita maŋö raśmi niŋ asaŋwa lěpihin lamlam mihat ri kahayontānuksma ri sakalaŋön pamiśran iŋ imāsmu riris lwir weninta maŋun arsa ŋhriti mar maranta nuksmeŋ rumrum niŋ patěr akětěr ri duk kilyan matrālon baŋun larap niŋ tatit aŋědap iŋ hima limunan liriŋtāŋde harsa rumta lwir panjrah niŋ sari sumar priyaka měmbang paŋras nikiŋ tanu sridanta minda ri waja raśmi niŋ andul lwir gisi-gisyāŋde ragi. Terjemahannya Duhai Tuan bagaikan Dewi Keindahan yang membangkitkan cinta birahi sang kawi sebagai pecinta keindahan, dikuasai oleh kekuatan masa Kartika yang mahaindah, yang membuat hati sang kawi gelisah sehingga pergi mengembara dengan berbekal alat tulis, terpesona menyaksikan keindahanmu, menyusup dan bersatu dengan segala keindahan, bersatu padu dengan kabut. Hujan gerimis tampak bagaikan rambutmu yang membangkitkan kesenangan, membawa diri semakin dekat dengan perjalananmu menyusup ke dalam keindahan guntur yang menggelegar di arah barat, sayup-sayup bersama kilat berkelebat di kumpulan awan, lirikan matamu sungguh-sungguh membuat hati jatuh cinta, kecantikanmu bagaikan tunas bunga priyaka merambat menyayat ke dalam lubuk hati ini, gigimu bagaikan bunga srigading, keindahan bunga andul ibarat gusimu yang membuatku tergila-gila. Ada yang menarik pada kutipan Kidung Jayendriya di atas, yaitu kata

sekar (bunga) kembali muncul berdampingan dengan kawi (penyair) dan kartika

masa (bulan keempat Saka). Sekar (bunga) memiliki peranan dan fungsi analog

dengan peranan dan fungsi Dewa Kama, terutama ketika Dewa Kama

diidentikkan dengan Dewa Agni sebagai perantara yang menghubungkan manusia

dengan para dewa melalui upacara korban atau yadnya. Bandingkan Manu,

1987:113 dalam Suarka, 2007:145, menyatakan, bahwa bunga sebagai

perwujudan Dewa Kama di alam fana atau alam sakala menjadi perantara jiwa

manusia untuk mencapai pembebasan sempurna dari ikatan keduniawian dan

  70  

kemudian bersatu dengan asalnya di alam kosong yang kekal, abadi, dan damai.

Bunga dalam hakikatnya sebagai kama atau indra dijadikan inspirasi dan

sekaligus hal yang akan ditundukkan sang kawi dalam melepaskan diri dari ikatan

keduniawian untuk dapat mencapai alam kalepasan atau moksa.

Wiryamartana, 1990:358 dalam Suarka, 2007:146, mengutarakan, bahwa

Kidung Jayendriya yang telah dikutip pada halaman sebelumnya melukiskan alam

dan manusia menjadi satu keindahan. Berhadapan dengan alam yang begitu

menarik dan memesona, sang kawi sebagai pencinta keindahan (maŋö) tenggelam

(nuksma) dalam segala objek keindahan, ditatap hingga segala sesuatu yang lain

lenyap dan terlupakan.

Keindahan yang terwujud dalam alam, kecantikan wanita, dan rasa cinta,

membuat sang kawi tergila-gila (ragi) dan hanyut ke dalamnya (nuksma). Semua

itu harus dikuasai dengan penuh kesadaran oleh sang kawi sehingga ia mampu

mencapai alam pembebasan sempurna. Sang Kawi harus mampu menaklukkan

nafsu indra atau jayendriya sebagaimana yang diindikasikan oleh judul Kidung

Jayendriya tersebut. Jalan yang ditempuh sang kawi adalah dengan cara

menggubah karya, dalam hal ini kidung (Sěkar Madia) mengenai bunga-bunga

(sěkar) sebagai persembahan, dipersembahkan kembali pada sumber asalnya,

Dewa Kama. Sejalan dengan itu, maka bunga (kembang) dan karyanya berupa

kidung (tembang) dalam hakikatnya sebagai sěkar digunakan sebagai sarana

melepas dan sekaligus mengantar jiwa atma untuk kembali ke sumber asalnya,

Paramatma (bdk. Suarka, 2007:146).

  71  

Menggubah karya sastra merupakan bentuk pemujaan tertinggi penyair.

Ritual kepengarangan membuat semesta menjadi tempat yang paling

mengagumkan. Seorang penyair mengeksplorasi imajinasinya dalam bentuk

penggabungan isi pikiran, keadaan alam, dan puja terhadap Bhatara yang

diinginkan dalam proses penciptaan karyanya. Bahasa dimainkan lewat rima,

pilihan kata, serta permainan bunyi lalu menghasilkan gaya bahasa yang

menjadikan ciri khas penyair. Sungguh mulia keinginan penyair dalam ritual

kepengarangan, yaitu mewujudkan rasa bakti kepada Pencipta dengan

mempersembahkan yang dimilikinya. Persembahan sederhana, yaitu kemampuan

diri sendiri, melalui penggubahan sebuah karya.

Seorang penyair juga dikatakan sebagai pendeta dalam upacara karang-

mengarang, bahkan penyair secara keseluruhan pada setiap gubahannya disebut-

sebut sebagai para pencari kesunyian dengan menjalankan Karma Yoga 31 .

Pemujaan tidak hanya dilakukan dengan mencakupkan tangan, menyembahkan

dengan upakara atau mengadakan upacara. Penyair melakukan pemujaan dengan

pikirannya, di mana tubuh adalah upakara, kata adalah mantra, dan getaran hati

adalah suara genta. Penyair menjalankan titah Sanghyang Paramawisesa sebagai

pencatat dunia, sekaligus menjadi penyelamat zaman, dan pembawa pesan sebuah

peradaban.

Kalepasan dijadikan tujuan penyatuan penyair dengan dewa keindahan.

Penyatuan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas

                                                                                                               31 Karma Yoga adalah bagian dari ajaran catur marga (empat jalan) memuja kekuasaan pencipta. Ajaran Karma Yoga dipahami sebagai memuja kebesaran beliau dengan cara bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka yang menempuh jalan ini memakai ‘tubuh’ atau dirinya sebagai sarana pemujaan (Soebadio, 1985:48).

  72  

bagi penyair yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan sebagai

Yang Mutlak dalam alam niskala (transenden), berkat semadi sang kawi berkenan

turun dan bersemayam di alam sakala-nişkala (imanen-transenden), di atas padma

(muŋgw iŋ sarasija) di dalam hati atau jiwa sang kawi (twas, jñāna, hiděp, tutur).

Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang tampak

dalam alam sakala (imanen) dalam segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari

kesatuannya dengan dewa di dalam aneka ragam pernyataannya itu, sang kawi

pun menyadari kesatuannya dengan dewa di alam niskala (transenden), yang

menjadi tujuan akhir yoga (bdk. Agastia, 2010:38--39).

Penyair dikatakan pengembara, pemuja keindahan, pencari kesunyian.

Batin penyair yang diibaratkan seperti samudra itu akan terus bergejolak gelisah

sebelum mencari yang hilang. Pengembaraan menuju gunung (wukir), pantai,

hutan, dan sungai dijalankan sambil berlaku tapa. Penyatuan antara semesta dan

penyair kemudian menjelma dalam bentuk karya. Selalu ada kerinduan untuk

melakukan penyatuan. Betapa uniknya penyatuan ini, sungguh mepesona dengan

bebasnya jiwa pada saat melakukan ritual kepengarangan. Penyair

menggabungkan pengalaman estetik dan religiusnya ke dalam karya.

Pengalaman-pengalaman pengembaraan penyair tidak selalu tenggelam ke

dalam keindahan alam, sesuatu yang sensual, dan fenomena belaka, tetapi

tenggelam dalam Yang Mutlak, di mana penyair mengatasi segala nafsu dan

godaan. Dalam arti penyair sudah menjalani tahap-tahap dhyana dan dharana,

lalu sampai pada Samadhi. Hal itu diterapkan dalam hubungan kakawin dengan

pembaca dan pendengarnya sehingga dapat dikatakan bahwa kakawin

  73  

menyebabkan para pembaca atau pendengarnya akan merasakan pengalaman

penyair, yaitu tenggelam ke dalam alam fenomenal, tembus sampai ke hakikatnya,

bertemu dengan Sang Keindahan sendiri (bdk. Agastia, 2010:41--42). Inilah yang

penulis pahami tentang penyair kakawin, yaitu sebagai pembawa pesan

peradaban.

Kekuatan pemujaan penyair merupakan kerinduan untuk selalu melakukan

bakti dengan cara menuangkannya ke dalam karya. Bakti adalah cinta yang selalu

mendorong keinginan penyair untuk membuktikannya. Kerinduan menjadi

penggerak dalam setiap karya yang digubahnya. Besarnya kerinduan terlihat dan

tersebar di seluruh teks.

Ritual kepengarangan pada hakikatnya adalah aktivitas bersastra bagi

penyair yang berpusat kepada ajaran yoga. Yoga merupakan proses menyatukan

diri dengan Paramasiwa. Dengan demikian dalam setiap karya selalu tertuang

bukan hanya nilai keindahan, melainkan juga nilai religius. Nilai-nilai ini tidak

akan habis dikupas dari waktu-waktu karena karya sastra (kakawin) yang digubah

merupakan tujuan akhir penyair, yaitu mencapai pembebasan jiwa (kalepasan).

Kenikmatan dan keindahan tertinggi adalah kumpulan segala rasa. Baris

pertama bait ke-3 dari Kakawin Dharma Putus menegaskan sakwehniŋ sakaton

karěŋö kakocap karasa kāŋěn-aŋěn pwa tan hana, [semua yang dilihat, didengar,

diucapkan, dirasakan, dipikirkan adalah sesuatu yang tidak ada]. Penyair (aku atau

atma, pencari sunyi, pemuja keindahan) dikatakan tenang apabila seseorang mulai

mengabaikan segala yang didengar, dilihat, dan dirasakannya. Hal itu terjadi

karena apa pun yang didengar, dilihat, dan dirasakan adalah sesuatu yang tidak

  74  

ada (Paramasiwa raja diraja semesta). Keheningan, diperoleh apabila telah

melakukan jalan yoga, mematikan semua rasa lalu menggubah karya.

Para pencari kesunyian sejatinya adalah mereka yang memiliki kesetiaan

tanpa perlu diragukan. Kesetiaan tidak menuntut untuk berkorban, tetapi

menuntun ke arah pembebasan jiwa. Pencarian akan berakhir ketika telah

menemukan sesuatu yang hilang. Mencari yang tidak ditemukan, menemukan

yang tidak dicari. Hilang, lepas, menyatu seiring dengan meningkatnya bakti

kepada-Nya Yang Mahatinggi.

Tan trěsna ri sukmaña tan hana sinaŋsayanira ri patiŋgaliŋ sarat, [dia

tidak cinta pada dirinya, tidak ada keraguan untuk meninggalkan dunia],

(Kakawin Dharma Putus Bait ke-5). Sesungguhnya kerinduan akan penyatuan

membuat aku (atma, penyair) melakukan persembahan, yaitu dirinya sendiri.

Tidak sayang kepada diri sendiri merupakan ungkapan untuk menyatakan betapa

besarnya keinginan untuk bersatu. Pengembaraan melahirkan pengalaman, lalu

kemudian menumbuhkan rasa ingin mengorbankan diri.

Pengorbanan dilandasi kesetiaan tertinggi dari dalam diri. Para penyair

kakawin dalam mencurahkan kreativitasnya, selalu berusaha membangkitkan

keinginan, rasa terpesona, dan spiritualitas dalam karya-karyanya dengan

menghubungkan cerita imajiner tentang masa lalu, tetapi nyata (bdk. Creese,

2012:269). Kalepasan dijalani dengan menciptakan karya sastra. Menulis

merupakan jalan pengendalian diri yang paling tinggi. Oleh karena itu, baik

menggubah, mencipta, maupun menulis kakawin merupakan cara yang dipilih

untuk mencapai kebebasan diri.

  75  

Palguna, 1999:193, menegaskan, bahwa perjalanan terakhir seorang

penyair adalah perjalanan menghilangkan semua yang telah dicapai dalam

perjalanan (pengembaraan) sebelumnya. Melepaskan jñāna atau sakti berarti

menghancurkan semua wujud kenyataan yang diketahui. Apabila berhasil

menghancurkan semua itu, seorang penyair akan menjadi mukti, yaitu merasakan

jiwanmukta atau moksa.

5.2 Kalepasan sebagai Tujuan dan Jalan Pemujaan Sederhana dalam

Kakawin Panca Dharma

Saŋksěpania hilaŋ tikaŋ krětawara ri sira wuwus atiŋgal ing kriya/ ya deniŋ ya tatan hana guru kasisya ri sira natimuddha ņirguna/ ngka teŋgwan katěmu ŋ rasa ta ya warah kadi winarahi saŋkaniŋ warah/ maŋke pwa katěkan wěkasniŋ amiweka ri hilaŋanikaŋ tutur hiděp// (Kakawin Dharma Putus, Wirama I, Bait Ke-4). Terjemahannya Pendeknya, tiada anugerah dari beliau yang telah meninggalkan upacara religi/ makanya adalah tidak ada guru tidak ada murid, bagi beliau tidak ada kebodohan, tidak ada kekurangan/ itulah tempat pertemuan perasaan yang disadari bagaikan diberi tahu oleh sabda Ilahi/ kini hingga di kemudian hari manakala memperlakukan dengan hati-hati hilangnya kesadaran batin// (Kakawin Dharma Putus, Wirama I, Bait ke-4).

Sesungguhnya sesuatu yang dicari ke luar akan ditemukan dan hilang di

dalam diri. Tidak ada yang lebih bodoh atau lebih pandai, tidak ada guru pun

tidak ada murid. Semua sama, lahir dari kekosongan berakhir dengan kehampaan.

Tubuh aku (atma, penyair) adalah kumpulan rasa yang dipertemukan oleh

keinginan penyaatuan. Kerinduan pemujaan sama dengan keperihan yang indah.

Bukankah, semua bermula dari dalam diri, maka tetaplah kembali ke dalam diri.

  76  

Diri merupakan kuil pemujaan, “alam olah tapa-brata itu konsentrasi batin

merupakan salah satu praktik yang paling penting sehingga lambat laun “diri

pribadi” atau Atman makin diutarakan. Dalam lingkungan kehidupan pribadi sang

Atman-lah menjadi pusat yang memancarkan segala daya kekuatan, sama seperti

Brahman yang menjadi pusat semesta” (Zoetmulder, 1991:58). Paramasiwa yang

dituju ada pada pusat di dalam tubuh, pada hulu hati sehingga diri menjadi tempat

bernaung semesta.

Cukup pujalah semua yang ada dalam diri karena di setiap tempat tubuh

manusia adalah tempat para dewa. “Segala sesuatu (dalam tubuhmu) merupakan

hidup yang keramat (Sang Hyang Hurip), merupakan Ciptaan Tertinggi (Wisesa-

Karya), tubuhmu: dalam tangan, dalam kaki, kulit, daging, otot, tulang, pembuluh

utama, buah pelir, jantung, empedu, pangkal tenggorokan” (Soebadio, 1985:111).

Oleh karena itu, setiap titik pada tubuh adalah aksara yang hidup dan selalu

bergerak ke segala penjuru menghidupkan sudut-sudut pikiran.

Bait ke-4 dari Kakawin Dharma Putus yang telah dikutip di awal subbab

di atas mewakili kesederhanaan jalan kalepasan. Kesederhanaan yang

dimaksudkan bukanlah tanpa usaha, melainkan tanpa upacara. Justru ritual yang

terpenting adalah ritual perkumpulan rasa (ngka teŋgwan katěmu ŋ rasa ta ya

warah kadi winarahi saŋkaniŋ warah/ itulah tempat pertemuan perasaan yang

disadari bagaikan diberi tahu oleh sabda Ilahi). Tubuh adalah tempat pertemuan

rasa, setiap rasa berkumpul di hulu hati. Pusat yang dikatakan menjadi bagian

tengah-tengah tubuh, baik secara vertikal maupun horizontal ialah hulu hati.

  77  

Soebadio, 1985:45--48, menjelaskan aksara-aksara yang dimiliki di setiap

titik pada tubuh akan hidup dan berputar di dalam hulu hati. Setiap aksara yang

terdiri atas sepuluh aksara (SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA disebut

dasaksara), kemudian menjadi lima aksara (SA, BA, TA, A, I disebut

pancaksara), lalu menjadi tiga aksara (ANG, UNG, MANG disebut tryaksara),

dan terakhir menjadi (OM disebut ekaksara). Ekaksara menyuarakan OM dengan

sebutan ongkara. Penghuni hulu hati adalah ongkara ngadeg dan ongkara

nyungsang. Keduanya perwujudan lingga-yoni yang mewakili karakter maskulin

dan feminis dalam diri. Jika ongkara ini diputar, maka timbullah getaran yang

menciptakan kehangatan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang luar biasa.

Analog tubuh dengan semesta beserta para dewa yang bersemayam

dipaparkan dalam Kidung Ajikembang (bait 1—10). Dikatakan bahwa sinar suci

Sanghyang Widhi dalam wujud sembilan dewa, menghuni kesembilan penjuru

alam semesta dan organ vital dalam tubuh manusia dalam rangka memberikan

kekuatan dan perlindungan demi kesempurnaan hidup manusia. Kesembilan dewa

penguasa tubuh dan semesta disebut dengan dewata nawa sanga, terdiri atas

Dewa Iswara, Dewa Maheswara, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa,

Dewa Sangkara, Dewa Wisnu, Dewa Sambu, dan Dewa Siwa (Suarka, 2007:157).

Suarka, 2007:157 menegaskan, bahwa di alam semesta, Dewa Iswara

berada di alam timur. Di dalam tubuh (manusia), Dewa Iswara bersemayam di

jantung bertugas memberikan keselamatan dan perlindungan, kekayaan, serta

menumbuhkan rasa bakti kepada Tuhan. Dewa Maheswara berada di alam

tenggara. Di dalam tubuh manusia, Dewa Maheswara bersemayam di paru-paru,

  78  

memberikan kepandaian sehingga manusia mahir dalam kehidupan. Dewa

Brahma berada di alam selatan, bersemayam di hati, memberikan kekuatan dan

perlindungan sehingga manusia menjadi sempurna, panjang umur, dan mampu

menguasai pengetahuan suci. Dewa Rudra berada di alam barat daya,

bersemayam di usus, memberikan kesadaran akan kebenaran, mendidik manusia

berperilaku baik, dan menjadi teladan di muka bumi.

Dewa Mahadewa berada di alam barat. Di dalam tubuh, Dewa Mahadewa

bersemayam di ginjal, memberikan kekuatan dan perlindungan kepada manusia

serta menumbuhkan sifat dan sikap keberanian pada diri manusia. Dewa Sangkara

bersemayam di alam barat laut, dalam tubuh bersemayam di limpa, memberikan

kekuatan dan perlindungan kepada manusia dalam mengendalikan diri dan

memiliki kesetiaan. Dewa Wisnu menguasai alam utara, bersemayam di empedu,

memberikan kekuatan dan perlindungan sehingga manusia memiliki keteguhan

hati, sopan dalam bertingkah laku, bijaksana, dan rupawan. Dewa Sambu berada

di timur laut, bersemayam di katup jantung, memberikan kekuatan dan

perlindungan serta menumbuhkan rasa kedamaian dan cinta kasih pada diri

manusia. Dewa Siwa berada di alam tengah, bersemayam dalam tumpukan hati,

memberikan kekuatan dan perlindungan serta menumbuhkan kewibawaan,

tingkah laku luhur, kesetiaan, kejujuran, dan kegemaran untuk melakukan semadi

pada diri manusia (Suarka, 2007:157).

Kekuatan para dewa dalam tubuh manusia beserta aksara-aksaranya juga

terdapat dalam Jnanasiddhanta. Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang

bahwasanya kalepasan dalam KPD tidak didapatkan hanya dengan membaca

  79  

KPD, tetapi harus dibekali pengetahuan lain tentang teks-teks lain dengan ajaran

yang sama. Berikut ini merupakan tabel dasabayu yang dibentuk dari pemahaman

dasaprana dan dasa-atma (Soebadio, 1985:26--27). Setiap angin dikaitkan

dengan sebuah suku kata dari dasaksara. Hal ini menunjukkan bahwa setiap angin

(angin-angin) itu dianggap satu kesatuan.

Tabel III Dasabayu32

No Nama angin Tempat dalam

tubuh

Sifat khusus Suku kata Dewa

1 prāna Dari

dvādasaŋgula

turun ke pusat

tengkorak, alis,

telinga, mata,

hidung, lidah.

Sepuluh sakti UŃ Paramasiwa

2 udāna Kepala,

tenggorokan,

dada.

64 windu IŃ Sadāsiwa

3 samāna Langit-langit,

mulut, jantung

Pradhāna

vasatkāra

KUŃ Iswara

4 apāna Lambung, dubur, pradhāna SUŃ Rudra

                                                                                                               32 Soebadio, 1985:26--27.

  80  

kelamin.

5 byāna Semua anggota,

tiga pembuluh

darah.

Jīva, mrtyu MUŃ Mahādewa

6 nāga Langit-langit

mulut.

serdawa RUŃ

7 kūrma(ra) Langit-langit

mulut.

Mengedipkan

mata

LUŃ

8 krkara Tulang belulang,

limpa, hati,

langit-langit

mulut.

Melahap VUŃ

9 dewadatta Daging, liku-liku

perut (usus).

Berdehem YUŃ

10 dhanañjaya Darah, daging,

kulit, seluruh

tubuh, ujung

tubuh, ruang-

ruang di dalam

tubuh.

suara UŃ

Perwujudan kebahagiaan yang tiada tara itu dibentuk dari kesadaran

terhadap tubuh sendiri, bahwa tubuh tiada lain adalah tempat yang paling suci,

  81  

liŋga33 pemujaan. Organ-organ vital, setiap rongga, dan setiap yang ada serta

menjadi pembentuk tubuh memiliki aksara. Para manifestasi Pencipta mengambil

tempatnya masing-masing di setiap titik pada tubuh. Oleh karena itu, tidak heran

jika kemudian penyatuan antara aku (atma) dan pencipta terjadi di dalam tubuh.

Perdebatan terjadi di paru-paru dekat hulu hati yang sering disebut Padma Hati

(kamala atau teratai). Paru-paru disebut kamala (teratai) dan itu juga praņāla

(arus air). Empedu yang pahit dinamakan liŋga. Tubuh disebut tempat yang suci,

yang paling baik di antara yang disebut ilahi. Di situlah Bhatara Siwa

bersemayam (Soebadio, 1985:201).

Penyatuan melibatkan kala (waktu), dimensi antara mikrokosmos dan

makrokosmos, ruang antara manusia dan pencipta34. Dengan demikian, proses

menciptakan dikatakan sebagai suatu perbuatan aktif. Bila dipandang sebagai

sudut Tuhan, merupakan suatu cetusan dari kehendak-Nya yang bersifat langgeng

karena sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tuhan terus-menerus menciptakan

alam dunia. Zoetmulder, 1991:10, menyatakan, bahwa “andaikata Ia seolah-olah

beristirahat, maka buah ciptaan-Nya akan kembali ke nihilium, ketiadaan”.

Proses penyatuan antara aku (atma, penyair) dan Dia (Tuhan), bermula

dari dimensi tempat yang berbeda, antara alam dan pencipta. Tidak memiliki

sebutan, tidak memiliki bagian, semuanya masih begitu saja tanpa ada apa,

                                                                                                               33 Lingga adalah titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu; Lingga Siwa adalah tiang batu berbentuk kemaluan laki-laki (Zoetmulder, 2006:601). 34 Penyatuan tersebut terjadi dalam proses panjang yang memakan waktu lama. Seperti dalam Kalatattwa, simbolisme dari Bhatara Kala sebagai penguasa waktu dikaitkan kemanunggalan antara aku (manusia) dan semesta. Selain itu, juga kemanunggalan tersebut memberikan pengertian pada manusia tentang berbagai macam proses yang akan dilaluinya bersama waktu. Manusia kemudian mulai mengenali dirinya setelah diajarkan waktu, lewat berbagai jalan seperti diupacarai, diruwat, dan dirawat. Waktu mencatat setiap tahap yang dilakukan oleh manusia, tahapan kejadian adalah proses yang dilalui manusia (Dwijayanthi, 2010:69).

  82  

kecuali perubahan dari kecil ke besar, yang selanjutnya jika dihubungkan dengan

proses penciptaan, matahari (surya) sebagai poros, maka perubahan itu dari terang

ke gelap, dari gelap ke terang atau lebih dikenal kemudian dengan siang dan

malam. Bakker, 1995:113--115, menegaskan, bahwa Waktu adalah suatu tatanan

di luar hal dan manusia dan peristiwa. Ada suatu waktu asali dan primordial

(mistis), dan semua peristiwa berikut berakar dalam waktu asali itu, dan mendapat

identitas dan mutu dari sana. Berlaku bagi peristiwa-peristiwa sentral dalam hidup

manusia seperti kelahiran, kematian, inisiasi, pernikahan, tetapi juga bagi

pengalaman alami seperti banjir dan gempa bumi Newton (1642--1727), waktu

dikatakan realitas matematis yang absolut, tanpa tergantung dari relasi dengan

suatu hal lain. Waktu sedemikian itu adalah penampung bagi gerak absolut pada

substansi-substansi kosmis. Waktu itu tanpa awal dan tanpa akhir, dan

berlandaskan langsung pada keterbatasan dan keabadian Tuhan. Hal yang senada

juga diungkapkan oleh Einstein (1889--1955) waktu ‘melekat’ pada materi dan

gerak, merupakan dimensi tersendiri di dunia.

Memahami waktu sebagai bentuk pencipta yang menguasai setiap ciptaan-

Nya. Sehingga waktu dan Tuhan adalah tunggal. Monisme dianggap paham

ketunggalan pencipta dengan ciptaan-Nya. Monisme dalam ketunggalan adalah

segala sesuatu berpangkal pada Tuhan dan mengembalikan segala sesuatu pada

Tuhan. Segala hal terlebur menjadi satu dalam kekuatan Tuhan serta tidak pernah

menempatkan Tuhan di tempat yang nomor dua. Kemutlakan Tuhan dianggap

kemanunggalan antara “aku”, semesta, dan Tuhan (bdk. Zoetmulder, 1935:3).

  83  

Waktu menemani proses penyatuan yang pelan-pelan menuju ke

kebebasan. Kesadaran dan kebebasan tertinggi adalah sunya yang sama dengan

Siwatattwa yang pada intinya adalah kebahagiaan tiada tara (anandam).

Kebahagiaan tertinggi itu bercirikan kesucian, kemurnian, ketiadaan, kenirmalaan,

kebebasan, ketidakterbatasan, kesempurnaan, lebur luluh dalam keindahan sejati,

tidak tercampur lagi dengan apa pun, tidak ada lagi yang telah dikonsepkan

sebagai rasa, nama, rupa, pikiran dualis dikotomis hilang tanpa sisa. Palguna,

1998:35--38, Sunya adalah Siwa itu sendiri, atau Siwa adalah sunya itu sendiri

seperti yang dikutip dalam bait kakawin di bawah ini.

ŋke ŋhawan kinati kacěŋka tlěŋiŋ hŗedayā lumaku aŋawaŋ-ŋawaŋ/ jějěbuganā rum arum tāta tāta bya pwaka bun akniŋ kawiśwarā/ kěliŋ ŋlaŋanakěn kabeh krana ira n saram hana parā labdha paņdithā/ suksma śūnyā karāma cintya mahā ņirbhana tan hana mban awak nira// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Terjemahannya Demikianlah kesungguhan hati yang digerakkan oleh pikiran/ yang kotor kemudian dibuat wangi dengan susunan yang dibuat oleh Kawiswara/ peperangan [dalam diri] hendak dilaksanakan, karena beliau adalah wiku yang termasyhur/ jiwa menyatu dalam kesunyian, menjadi satu dengan Maha Nirbhana, tidak ada yang tersisa dalam dirinya// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26).

Maha Nirbhana, sebutan beliau penguasa alam kekosongan. Seseorang

tetap merasakan dirinya penuh hina, penuh dengan lumpur dosa, dan berlumuran

keinginan apabila belum menemukan kebebasan dalam dirinya. Kawiswara

ditemukan juga dalam beberapa bait di antara puluhan bait Kakawin Dharma

Sawita. Kawiswara adalah metafora jalan si aku untuk melakukan penyatuan

dengan penguasa kosong. Jalan kalepasan yang sederhana itu justru ditempuh

  84  

dengan memantapkan hati sebelum kemudian siap menjadi individu yang tanpa

rupa, kekayaan, kecerdasan, bahkan kesaktian. Kesiapan dan kesungguhan hati itu

dimulai dari menyadari betapa hinanya si aku35.

Terkadang dalam praktiknya, godaan tertinggi justru datang dari hal yang

paling tidak bisa ditanggalkan dan ditinggalkan oleh si aku, yaitu identitas. Betapa

tidak mudah kemudian dari si aku menanggalkan identitas ‘sebagai’; ‘paling’

tersebut. Selalu ada keinginan untuk kembali tancap taring sesaat setelah si aku

mengalami pencerahan. Ilham yang sesaat tersebut muncul setelah si aku tanpa

sadar mengingat dirinya (manutur atma ri jatinya). Kesadaran ini dilatih dengan

ketidaksadaran karena menuju-Nya, menyatu dengan-Nya adalah tujuan yang

hanya bisa dituju jika berjalan atau sederhananya, jalan hanya akan ditemukan

oleh siapa pun yang berjalan36.

Kalepasan menyatukan aku dan semesta diyakini sebagai hukum jagat

raya yang kekal oleh waktu. Barang siapa yang memahami hakikat dirinya

sebagai individu akan selalu merasa nyaman dan lega dalam keadaan apa pun.

Mereka yang memahami hakikat dirinya akan siap menyatu dengan-Nya kapan

saja. Bukan lagi bergantung pada kehendak waktu, melainkan waktu hanya akan

menjadi media yang menyaksikan. Sementara ruang menyediakan dirinya untuk

mengabdi pada yang sudah menemukan hakikat dirinya karena Dia (semesta,

Brahman) itulah kenyataan tertinggi yang tidak diselami oleh akal budi dan panca

                                                                                                               35 Papa atau hina adalah predikat bagi mereka yang dibelenggu oleh indra dan objek indranya, sehingga mereka disebut sebagai orang-orang yang aturu atau tidur, lupa akan hakikat dirinya (tan meŋět ri jatinya). Untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut diajarkan untuk melakukan tapa brata (Agastia, 1998:168--171). 36 Ibid.

  85  

indra (bdk. Zoetmulder, 1991:56--60). Tidak terbayangkan betapa semuanya

kemudian lepas di dalam ruang (kehendak) si aku sendiri.

Tidak ada sesuatu yang ada, pernah tidak ada; tidak ada sesuatu yang tidak

ada, pernah ada. Kekekalan menjadi keabadian pada setiap masa atau waktu.

Kelanggengan begitu disebutkan. Zaman kelanggengan adalah ruang besar yang

diciptakan Tuhan untuk ciptaan-Nya. Pencipta (Siwa) memiliki Ada (sat) dalam

arti kata sepenuhnya, sedangkan aku memiliki Ada dengan sangat terbatas. ‘Sat’

dipandang sebagai Ada yang mandiri. Siwa merupakan sumber dari segala

sumber, termasuk pembaharuan dan evolusi (bdk.  Zoetmulder, 1991:85).

Manakala si aku mengalami evolusi dalam dirinya, kesungguhan dan

kateguhan hati mendorongnya untuk terus-menerus berproses melakukan

penyatuan. Kelak menjadi apa pun tidak lagi dipikirnya, semua kemelekatan lepas

sedikit demi sedikit. Dalam konteksnya, pada Kakawin Dharma Sawita,

kalepasan difungsikan sebagai media penggerak hati dan pikiran. Gerak ke dalam

diri juga dikaitkan dengan tapa sepi dalam ‘gunung hati’, seperti yang dikutip di

bawah ini.

Tan deniŋ mara riŋ gunuŋ/ maněmu ŋ moksa tan padon/ tan deniŋ mamaŋan gaŋan/ tan siddha yan taya ŋ těpět// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-8). Terjemahannya Bukan karena datang ke gunung/ menemukan moksa tanpa tujuan/ bukan karena makan sayur-sayuran/ tidak akan berhasil bila tidak tepat// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-8).

Penyatuan tidak dicari di luar diri seperti yang dinyatakan dalam bait di

atas. Kawi Kakawin Dharma Sunya memberikan kritik terhadap laku tapa yang

  86  

terjadi saat itu (kemungkinan saat sekarang pun tapa masih ditafsirkan demikian).

Jalan di luar diri begitu orang menyebutnya sehingga berlomba-lombalah mencari

gunung memuja lingga, berlomba-lomba juga hanya memakan sayuran, tetapi

pikiran tidak dikendalikan dengan yoga usaha yang benar. Keadaan demikian

dipicu tafsir dangkal terhadap beberapa ajaran yoga yang berkembang pada

zaman itu (dan sangat poluler pada abad sekarang).

Sesungguhnya matapa těpět iŋ hati [bertapa dengan benar di dalam hati,

Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-1]. Sarana yang ada di luar

hendaknya dicari persamaannya dalam diri. Misalnya, jika harus ke gunung maka

gunung dicari di dalam diri. Wirama XVI, bait-bait ke-1--7 Kakawin Dharma

Sunya menjelaskan bahwa tubuh itu gunung. Budi baik sebagai perdukuhan di

dalam gunung. Pikiran adalah rumah. Pengetahuan sebagai api. Sifat tamah

sebagai kayu bakar. Hati yang kukuh sebagai pelindung. Atma sebagai sanggar

pemujaan. Hidup ini adalah pilar penyangga sanggar itu. Bayu sebagai

pengikatnya. Cadusakti sebagai altar. Yang diketahui sebagai persembahan.

Padma hati yang telah mekar sebagai bunga persembahan. Cita yang suci sebagai

airnya. Mantranya adalah getaran nada halus di dalam hati. Kesadaran sebagai

sapu. Kelembutan sebagai sifat. Kebenaran sebagai tongkat. Kemuliaan sebagai

busana. Perkataan yang benar sebagai pintu gerbang. Ketiadaan sebagai milik.

Persembunyian di dalam pikiran. Siang dan malam menjaga kesadaran. Jangan

jahat membunuh-bunuh. Itulah yang bernama tapa (bdk. Palguna, 1999:166).

Kamalanatha (kawi Kakawin Dharma Sunya) membukakan pikiran

penulis untuk sejenak merenung. Kritik yang disampaikan melalui Wirama VI

  87  

bait-bait 1--7 menumbuhkan pikiran bahwasanya gunung yang didaki itu adalah

gunung dalam diri. Sebelumnya dalam pikiran penulis, tapa selalu dilakukan di

gunung-gunung lain di luar diri. Di gunung tersebut didirikan semacam asrama,

berteman dengan sesama yang mencari sunyi. Melakukan ritual-ritual dengan

membuat api pemujaan, menggunakan sarana air, menggunakan mantra, lengkap

dengan busana tertentu.

Tidak semua jalan ke luar ada di luar. Tidak semua jalan masuk ada di

dalam. Yang ada menjadi tiada. Yang tiada menjadi ada. Yang ada dalam diri

adalah yang kemudian hilang dan lepas. Setidaknya usaha menjadi sederhana,

tetapi dengan cara yang benar akan menyatukan aku dengan semesta.

5.3 Kalepasan sebagai Tujuan Kesadaran Jiwa dalam Kakawin Panca

Dharma

ya don ikaŋ prih wěkas i kaśūñatan/ wulat rikiŋ mūla wulat pamātyana/ acintya riŋ citta wěkas niŋ aksara/ tělas mucap sāra ŋ acintya niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Wirama XX, Bait ke-14).

Terjemahannya

Itulah tujuan perjuangan, puncak kekosongan/ perhatikan awalnya, perhatikan sarana mematikannya/ Yang Tidak Terpikirkan di dalam cita. Akhir dari aksara/ selesai berbicara tentang intisari Yang Tidak Terpikirkan, niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Wirama XX, Bait ke-14).

Kesadaran menjadi sebuah keadaan saat jiwa telah mencapai cita-cita

akhirnya. Sadar dalam keadaan yang sadar atau dengan kata lain, sadar sesadar-

sadarnya. Kesadaran paling tinggi adalah saat jiwa mengingat dirinya lalu

  88  

menyatu dengan Paramasiwa. Para pencari sunyi yang menekuni jalan kalepasan

sesuai dengan kata hatinya akan menemukan tahapan-tahapan kesadaran jiwa itu.

Proses mencapai kesadaran tersebut didapatkan melalui tahap-tahap yang sudah

dijelaskan pada bab sebelumnya. Proses dari maya menuju Paramasiwa.

Ya don ikaŋ prih wěkas i kaśūñatan (itulah tujuan perjuangan, puncak

kekosongan). Tujuan perjuangan yang juga disebut sebagai cita-cita akhir, tidak

lain adalah puncak kekosongan. Sunya, putus, niskala, wimala, sawita,

merupakan kata-kata yang memiliki tingkat makna kekerabatan yang sangat

dekat. Katakanlah seperti yang diilustrasikan penulis, seseorang yang ingin

mencapai titik nol harus mengetahui hakikat kosong itu dengan sifat-sifat kosong,

yaitu tanpa noda (wimala), dengan terlebih dahulu mendapat pencerahan jiwa

(sawita).

Wulat rikiŋ mūla wulat pamātyana (perhatikan awalnya, perhatikan sarana

mematikannya). Proses mematikan sarana maksudnya adalah ketika jiwa telah

sadar di puncak kesadaran, tidak lagi jiwa berkeinginan yang lain. Sarana atau

jalan yang dipakai untuk melakukan penyatuan telah dihilangkan dengan kata lain

dimatikan karena jiwa telah mengalami kesadaran yang luar biasa. Perjalanan

berakhir dengan datangnya kesadaran penuh bersama hilangnya keinginan.

Kontemplasi yang melahirkan kesadaran mendorong jiwa untuk lepas. Jika

kemudian dikaitkan dengan wiku sebagai penyair, tentunya saat jiwa lepas inilah

wiku menggubah karya. Tidak hanya sebagai seorang penyair, seniman apa pun

(perupa, penari, pemusik), tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan jiwa tiap

individu. Kaitannya kalepasan dengan keseharian (kita) adalah kesadaran untuk

  89  

mencintai yang dilakukan. Tindakan sederhana ini akan menuntun jiwa ke arah

yang tingkatannya lebih tinggi. Spiritualisme tidak hanya dilakukan dengan

mencakupkan tangan di tempat suci, tetapi mencintai yang dilakukan.

Acintya riŋ citta wěkas niŋ aksara (Yang Tidak Terpikirkan di dalam cita.

Akhir dari aksara), yang dicita-citakan sudah tidak ada lagi, akhirnya semua

aksara dalam jiwa menyatu. Tělas mucap sāra ŋ acintya niskala (selesai berbicara

tentang intisari Yang Tidak Terpikirkan, niskala), saat jiwa telah pada tahap

kesadaran penuh, maka tidak ada lagi yang dipikirkan. Segala yang dilakukan,

diucapkan, dipikirkan menjadi satu dalam kekosongan dan kehampaan. Jiwa-jiwa

yang mendapat kesadaran penuh adalah jiwa-jiwa yang tidak tersentuh oleh

keinginan, kelakuan, dan perkataan. Jiwa yang lepas bersama di alam penuh

kekosongan, nirwana.

Melepas keinginan menuju kesadaran jiwa tertinggi selalu berpegang

teguh pada ajaran yang dikatakan dalam tattwa-tattwa dengan ajaran kalepasan.

Kutipan di bawah ini merupakan kutipan yang menjadi semacam pengingat untuk

selalu berada di alam kesadaran penuh.

Banannikaŋ wiakti wisesa yan hana/ riŋ arga uŋgwani ranuksma tan katon/ ri kang bayu, sabda, iděp manuksma ya/ yan ton-toněn ri wulata pamagaña// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-17).

Terjemahannya

Beginilah sesungguhnya kesaktian yang ada/ merasuk dalam jiwa tidak terlihat/ di bayu, sabda, idep (tenaga, ucapan, pikiran) yang menyatu/ jika dilihat-lihat (dipikir-pikirkan) begitulah keadaannya// ((Kakawin Dharma Putus, Bait ke-17).

  90  

Zoetmulder, 1995:62—63 dalam Suarka, 2007:359 mengungkapkan,

bahwa kesatuan atau kemanunggalan dengan kesadaran yang menjadi inti dalam

konsepsi andiwasraya (kalepasan dalam Kidung Tantri Pisacarana), sebenarnya

juga dapat dimaknai sebagai kesatuan jiwa (purusa) dan badan (prakriti). Ajaran

Sangkhya membedakan dengan tegas antara dunia spiritual dan dunia material,

antara purusa dan prakriti. Purusa adalah jiwa yang tunggal dan tidak pernah

berubah. Prakriti meliputi segala sesuatu yang berubah dan bersifat nisbi. Prakirti

mencapai determinasi dan keanekaan setelah dipengaruhi oleh ketiga sifat atau

unsur dasar (guna), yaitu sattva merupakan unsur keselarasan, terang,

kesempurnaan, dan kemurnian; rajas merupakan unsur perkembangan, gerak, dan

nafsu; serta tamas merupakan unsur kegelapan, kelambanan, kemusnahan. Purusa

memengaruhi dunia prakirti dan membangkitkan daya-daya perkembangan yang

tertanam dalam alam prakirti sehingga terjadi dunia gejala. Dunia gejala

mengurung jiwa dalam suatu lingkaran kelahiran kembali yang mutlak. Setelah

memaklumi keadaan yang sebenarnya, maka orang bisa membebaskan diri dari

kelahiran itu dan mencapai kebebasan.

Alam wisesa adalah alam Siwa, Sunya, karena Siwa adalah Sunya. Ketika

jiwa selesai menikmati suka maka selesai pula merasakan duka karena yang satu

tidak bisa ada tanpa yang lain. Suka duka telah menjadi hal yang dikotomis. Jiwa

yang berhenti menikmati suka dan duka adalah jiwa yang bebas dari pikirannya

sendiri yang selalu memilah-milah. Barangkali keadaan seperti ini disebut

keadaan yang sampai.

  91  

Sampai berarti awor. Sampai tidak hanya untuk tiba. Tiba tidak hanya

untuk datang. Datang tidak sekadar demi pulang. Pulang tidak hanya untuk

bersatu. Dikatakan demikian karena sampai, tiba, datang, pulang, dan bersatu

berarti merasakan kenikmatan tertinggi, terdalam, terhalus, tiada tara, puncaknya

puncak tidak terpuncak. Konon tidak ada yang bisa dikatakan tentang kenikmatan

itu, karena tidak terbayangkan, tidak terpikirkan, tidak terperikan. Pendakian

spiritual adalah perjalanan dari banyak kenyataan menuju kenyataan yang kosong.

Hal itu terjadi karena, kesadaran telah jatuh ke dalam maya, dan oleh maya, maka

dari maya, dan dengan maya itulah kesadaran dikembalikan pada keadaan

sejatinya yang suci. Kata lainnya, karena kesadaran jatuh ke dalam tubuh dan lupa

pada sejatinya, maka dengan sarana tubuhlah kesadaran itu dikembalikan. Tubuh

adalah bumi yang merupakan kumpulan segala kenyataan dan karenanya adalah

representasi utuh dari maya. Perjuangan spiritual adalah membalikkan kesadaran.

Membalikkan kesadaran berarti membalikkan aliran dari atas ke bawah menjadi

dari bawah ke atas, seperti mendaki, pasti dari bawah ke atas (Palguna, 1999:145).

Kesadaran tertinggi adalah kenikmatan tertinggi itu sendiri. Lima unsur

halus (panca tan matra) menyebabkan adanya lima unsur materi kasar (panca

mahabutha). Bunyi yang halus menyebabkan adanya udara (akasa). Sentuhan

yang halus menyebabkan adanya kenyataan angin (bayu). Rupa yang halus

menyebabkan adanya sinar (teja). Rasa yang halus menyebabkan adanya air

(apah). Bau yang halus menyebabkan adanya kenyataan tanah (pertiwi). Udara,

angin, sinar, air, dan tanah itulah yang disebut lima unsur materi kasar. Kelima

selanjutnya mengambil kelima unsur halus tersebut adalah sifatnya.

  92  

Bayu, sabda, idep, menjadi kunci pembuka untuk mencapai kesadaran

tertinggi (paramasiwa) yang teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya,

ini kunci hanya berguna kalau hilang. Pintu terakhir terbuka saat kuncinya hilang.

Begitu masuk orang tidak akan kembali. Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa,

melainkan karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah mengembara untuk

hilang, tidak untuk pulang.

Trilogi (bayu, sabda, idep) adalah kunci yang harus dihilangkan karena si

aku (atma) yang ada di dalam bayu melahirkan kata. Kata pada gilirannya

melahirkan pikiran. Ketiganya tidak bisa dipisahkan dengan cara yang sederhana,

karena ketiganya adalah satu kesatuan. Ketiganya terjadi bersamaan dan saling

memengaruhi serta ketiganya pula bersama-sama menyebabkan adanya

kenyataan. Kenyataan yang diciptakan oleh bayu, sabda, idep itu menutupi si aku

sehingga lupa pada jati dirinya.

Bayu, sabda, idep dikatakan kunci yang harus dihilangkan. Bukan

kenyataan yang diciptakannya yang dihilangkan, melainkan langsung

penyebabnya. Evolusi dalam atma itu menyebabkan adanya kenyataan manah

(manah), budi (buddhi), dan ego atau keakuan (ahangkara). Ego yang

berkembang menyebabkan aktifnya lima indra halus menjadi lima indra kasar

(gerak, pelaku). Pertemuan sepuluh indra menyebabkan lahirnya ikatan. Ikatan

menyebabkan indra selalu ingin kembali atau untuk datang dan datang lagi. Ikatan

pula melahirkan karma yang membuat atma selalu ingin kembali. Ego, intelek

menjadi musuh utama yang lahir dari bayu, sabda, idep. Oleh karena itu, atma

  93  

harus melewati batas keinginan intelek untuk menaklukkan godaan identitas aku

yang melekat.

  94  

BAB VI MAKNA WACANA KALEPASAN

DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

6.1 Kalepasan: Sinar, Tanpa Noda, Tidak Terlihat, Sunyi, Lepas

Apabila berbicara tentang kalepasan, maka memang tidak ada henti-

hentinya, tidak bisa pula dipisahkan hanya ke dalam bentuk, fungsi, dan makna

semata. Kalepasan adalah sesuatu yang utuh, sambung menyambung dari awal

dan akhir, dari dasar sampai tujuan. Selama masih ada kehidupan (baca kelahiran

dan kematian), selama itu pula kalepasan menjadi jalan yang dipilih untuk

meniadakan diri, baik dalam suka maupun duka.

Kakawin Panca Dharma memiliki semacam kekuatan untuk dilirik,

dibaca, diteliti, dihayati, dan dilaksanakan. Kekuatan itu seperti magnet yang siap

menarik kutub yang berlawanan. Tidak semua peneliti bisa menelitinya, hanya

jalan hidup yang membuat teks ini bertemu dengan penelitinya. Penulis yakin

bahwa meneliti KPD menjadi semacam obat sekaligus jawaban tentang segala

yang terjadi di dunia penulis. Meneliti KPD, sama halnya dengan menulis buku

harian, yang dari hari ke hari selalu berbeda yang ditemukan dan dialami. Justru

karena itulah, penulis merasakan kerinduan yang luar biasa apabila tidak menulis

dalam waktu sehari tentang kalepasan dalam KPD. Kalepasan memiliki rumah

yang bernama kesunyian, yang menjadi tujuan setiap insan, termasuk penulis.

Sesungguhnya keterlibatan emosional antara teks dan penulis harus

dibatasi dalam koridor penelitian ilmiah karena hanya akan menimbulkan

subjektivitas. Penulis menyadari hal itu, tetapi penelitian ini tidak hanya

  95  

berdasarkan penelitian teks dengan mengamati seseorang, tetapi juga penelitian

penulis terhadap diri sendiri. Penelitian ini juga jalan yang penulis temukan ketika

berjalan di jalan sunyi dan menemukan nikmat setelah merasakan kesunyian yang

luar biasa. Kesunyian selalu menimbulkan kerinduan untuk lepas dan menyatu.

Bukankah kerinduan adalah keperihan yang indah? Oleh karena itu, penelitian ini

juga perjalanan jiwa yang dialami penulis. Hari yang penuh dengan hura-hara,

sekaligus hari yang penuh haru hanyalah bagian dari bentuk penyatuan kekuatan

dan kelembutan dalam diri.

Tidak pantas pula penulis menyamakan diri dengan si aku dalam KPD

karena si aku dalam KPD adalah penyair yang sekaligus penekun jalan kalepasan.

Dalam Kakawin Dharma Sunya, dikatakan bahwa pengarang Dharma Sunya

adalah seorang kawi-wiku (penyair pendeta) hanya seekor kunang-kunang, yang

ingin tidak bisa menyaingi rembulan. Dengan demikian, penulis hanyalah kotoran

kecil di ujung kuku yang hanya mendatangkan penyakit, namun apabila kotoran

itu tidak ada, maka pemilik kuku tidak akan memotong ujung kukunya dan

membentuknya menjadi indah? Penulis rasakan, tidak selamanya yang dilihat

kotor itu juga dirasakan kotor.

KPD merupakan juru selamat, hadir begitu saja pada waktu yang tepat.

Kakawin Dharma Sawita adalah bagaikan sinar matahari. Sawita sendiri memang

berarti matahari, sehingga matahari selalu memiliki kekuatan yang bernama sinar.

Sinar sangat diperlukan dalam kehidupan, sinar sebagai sumber energi yang

dibutuhkan, baik secara fisik maupun mental. Sinar memercikkan cahaya menjadi

pelita pada saat mengalami kegelapan. Dharma Sawita dimaksudkan kebenaran

  96  

selalu menjadi sinar. Kebajikan selalu menjadi cahaya pada saat gelap. Seorang

pencari sunyi menjadikan sinar sebagai dasar tuntunan, energi cahaya selalu

menjadi penerang dan penguat terhadap godaan yang datang.

Terkadang, godaan tidak selalu datang dalam bentuk nyata, godaan pun

datang dalam bentuk yang tidak nyata. Godaan tertinggi justru datang dari pikiran

sendiri sehingga dalam Kakawin Dharma Wimala dijelaskan bahwa kebenaran itu

pula tidak ternoda oleh apa pun. Kesetiaan untuk menekuni jalan kalepasan

merupakan kebenaran rasa, senantiasa menumbuhkan keinginan untuk selalu

melakukan kebenaran. Sesuatu yang tidak ternoda melahirkan kemurnian yang

tiada tara.

Kemurnian akan melahirkan kesucian yang tidak terlihat, seperti dalam

Kakawin Dharma Niskala, kebenaran adalah hal yang tidak terlihat. Pencari sunyi

tidak memperlihatkan setiap hal yang dilakukannya ke luar diri, tetapi selalu

menyatukannya dengan hatinya. Kebenaran yang tidak terlihat, bukanlah

kebenaran yang disimpan untuk diri sendiri, melainkan kebenaran yang selalu

dilakukan tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pahala.

Keinginan mendapatkan pahala hanya menghalangi keinginan untuk

menemukan tempat yang paling sunyi itu. Dalam Kakawin Dharma Sunya

dinyatakan bahwa kebenaran adalah hal yang bersifat sunyi. Kesunyian

mengungkapkan kehampaan dan kekosongan sebagai tujuan penyatuan. Bukan

hanya sebagai kebenaran tertinggi melainkan kekosongan yang tanpa batas.

Kebenaran selalu diungkapkan dengan cara-cara sunyi dan sederhana, yaitu selalu

berjalan di jalan yang telah dilakoni.

  97  

Jalan sunyi yang dilakoni menuju ke arah lepas, kebenaran mengantarkan

ke alam sunyi lalu melepas segala yang melekat dengan pelan-pelan. Kakawin

Dharma Putus, menuntun si aku untuk senantiasa terus berjalan di jalan

kebenaran agar tiada lagi kemelekatan yang tersisa. Segala hal diputus dengan

kebenaran yang dirasakan selalu menjadi penuntun. Putus dengan segala hal

seperti saat pencari sunyi menemukan dirinya, lalu hilang secara pelan-pelan yang

membuat dirinya ada. Dunia putus, merupakan dunia yang tidak memiliki tujuan

lagi, karena putus berarti telah menyatu dengan Hyang Tunggal.

Sawita-Wimala, merupakan pemahaman dasar kalepasan, artinya pencari

sunyi masih bergolak dengan dirinya tentang hal yang ditujunya. Yoga

pengendalian diri, pemahaman terhadap sadrasa dan karakter dibahas di awal,

untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Kendatipun demikian, sawita-

wimala-niskala-sunya-putus merupakan satu rangkaian mata rantai. Kelimanya

merupakan jalan yang didaki menuju puncak pembebasan jiwa.

Niskala-Sunya-Putus merupakan tiga kata yang mengikuti kata dharma

dalam judul kakawin. Ketiganya memiliki arti yang hampir sama, serupa. Namun

hendaknya disadari bahwa niskala-sunya-putus diletakkan pada tingkat lanjut

karena telah merepresentasikan keadaan jiwa pencari sunyi. Keadaan-keadaan

yang sudah tidak terlihat, sunyi, dan lepas adalah keadaan yang dituju oleh para

pencari sunyi. Niskala-sunya-putus, tidak dibedakan begitu mencolok dalam

isinya, tetapi ketiganya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan sebagai ajaran

kalepasan tingkat lanjut (niskala). Misalnya kutipan dalam Jñānasiddhanta di

  98  

bawah ini yang mengatakan, bahwa kalepasan merupakan jalan yang dipilih

untuk pembebasan jiwa, serta tempat di tubuh yang dipilih untuk pembebasan.

Om namah siwāya Ikaŋ pinaka mārga niŋ kapralinan de saŋ pandita tiga lwirnya Nistha : riŋ Siwa-dwara Madhya : riŋ tuŋtuŋ iŋ ghrana Uttama : riŋ tutuk

Ika ta katiga nora mulih riŋ janma muwah, yan kěna karěgěpan iŋ Niskala-Jñāna. Nkāna sinaŋguh Parama-Kaiwalya, liŋ saŋ pandita. Sira Acintya-pada. Acintya ŋa, tan kěna deniŋ aŋěn-aŋěn. Ya sinaŋguh Acintya-pada sira. Ya ta mataŋhyan tutuh iŋ paŋawruh saŋ bhujaŋga. Ika riŋ kina-kina, ri saŋ Siwa-Buddha. Maŋkana tan hana waněh kumawruhi lawan ta saŋ bhujaŋga, tan kagawokana riŋ paŋawruh iŋ apaŋawruh; aŋhiŋ Siwa-Buddha juga, ya tutěn paŋawruhira. Apan ta sira aŋwruhi kinaruhan, hinan iŋahisi lawan tan pesi (Soebadio, 1985:92). Terjemahannya Om Hormat kepada Siwa Adapun tiga jalan bagi sang bijak yang menuju peleburan: (jalan lewat) upacara nistha : (jiwa ke luar) lewat ubun-ubun. (jalan lewat) upacara madhya(ma) : (jiwa ke luar) lewat ujung hidung. (jalan lewat) upacara uttama : (jiwa ke luar) lewat mulut. Ketiga (jalan) ini semuanya tidak menuju kelahiran kembali lagi, asal seseorang telah menguasai pengetahuan mengenai Dunia yang tidak tampak (Niskala-Jñāna). Di sana terdapat Kesunyian Tertinggi (Parama-Kaiwalya), menurut sang bijak. Di sana terdapatlah Takhta Acintya (Acintya-pada). Acintya berarti tidak dapat ditangkap oleh akal budi atau pikiran. Itu disebut Acintya-pada, tempat bagi Dia yang tidak terkurung oleh konsep-konsep. Itulah puncak pengetahuan bagi seorang murid. Sejak zaman dahulu tempat ini diketahui oleh pendeta-pendeta Siwa dan Buddha. Dengan demikian, tidak seorang pun tahu, kecuali orang-orang bijak, tidak seorang pun pantas dikagumi karena mengetahui mereka yang mempunyai pengetahuan, hanya pemuja-pemuja Siwa dan Buddha, merekalah hendaknya diikuti dalam

  99  

pengetahuan mereka. Karena mereka tahu, apa yang (pantas) diketahui termasuk yang ada isinya dan yang tidak ada isinya (Soebadio, 1985:93).

Sejatinya jalan yang dimaksudkan itu merupakan jalan yang ada di dalam

tubuh. Pengetahuan dan ajaran berperan sangat penting dalam pembentukan

kekuatan jiwa atau keteguhan hati pencari sunyi. Memang ajaran kalepasan

sangat bersifat rahasia karena pengetahuan tingkat tinggi ini hanya bisa diterima

dan dijalani oleh seseorang yang bijak. Kecerdasan, intelektual bukanlah ukuran

yang menjadi dasar seseorang memiliki sikap bijak. Justru sikap bijak hanya

dimiliki oleh seseorang yang sederhana, penuh penerimaan, dan selalu berusaha

menggapai tujuan yang kosong.

Tiga jalan di atas terkadang lebih dikenal dengan tiga jalan kematian.

Jalan kematian tersebut dipahami sebagai jalan pembebasan total. Pembebasan

total diartikan sebagai menyatunya aku (atma) dengan Pencipta, bukan sebagai

pertemuan dengan yang menjadi dewa-dewa yang diharapkan hadir pada saat

pemujaan. Pembebasan total adalah cara membimbing jiwa yang sedang

berangkat menuju ke kesunyian.

Pemusatan pikiran merupakan cara sederhana yang dikatakan oleh seorang

bijak. Pembebasan jiwa ini tentu tidak mengharapkan keinginan mendapatkan

imbalan, pembebasan jiwa adalah jalan untuk memutus reinkarnasi. Seseorang

yang dikatakan telah mencapai titik sunyi tidak akan bisa kembali untuk

bereinkarnasi ke alam sakala.

Seorang pencari sunyi tidak hanya dinilai dan ditentukan oleh fisik semata,

terkadang banyak yang berpura-pura sebagai pencari sunyi. Mereka yang berpura-

pura kadang tidak menyadarinya. Kepura-puraan justru disebabkan oleh ingin

  100  

menunjukkan diri, seolah paling sunyi, paling tahu segalanya, termasuk paling

tahu tentang sastra. Kepura-puraan ini cenderung akan mengakibatkan

penderitaan terlebih lagi tidak akan mampu mencapai pembebasan total tersebut.

Sastra adalah sikap, sastra bukanlah jalan yang dilakoni untuk mencapai

sebuah ketenaran. Sastra lebih kepada ajaran menjadi seorang yang sederhana,

guna dusun. Kesopanan, dinilai bukan dari luar (orang lain), melainkan dari diri

sendiri dengan becermin pada sikap orang lain. Sikap atau perilaku seseorang

dapat dilihat dari seberapa jauh mereka memahami dan mengamalkan sastra

dalam hidupnya karena hidup adalah sastra dan sastra adalah sikap.

Ketika seseorang (pencari sunyi) telah memantapkan dirinya untuk

menekuni jalan sunyi, maka pencari sunyi harus menanggalkan kecerdasan

intelektualnya. Kecerdasan intelektual hanya mengantarkan pada gerbang

identitas popularitas, tidak sampai pada gerbang spiritual. Namun, kecerdasan

spiritual pun harus ditanggalkan. Jika segala macam kecerdasan tersebut masih

melekat, maka tidak ada yang akan menemukan jalan sunyi. Terkadang pencari

sunyi lupa akan tujuannya. Mereka yang masih menganggap diri cerdas

sesungguhnya hamba yang bodoh karena dalam kesunyian tidak ada hal-hal yang

bersifat dikotomis lagi. Artinya semua hal memiliki sifat yang sama.

Rumah sunyi merupakan rumah kosong yang terakhir. Rumah yang tidak

akan membuat yang memasukinya bisa kembali pulang. Artinya, jika pencari

sunyi: aku (atma) sudah masuk ke rumah ini, dia tidak akan bisa bereinkarnasi

kembali. Memasuki rumah sunyi sama artinya dengan memasuki rumah yang

  101  

diinginkan selama pencarian. Rumah yang ditemukan, kemudian bersama-sama

hilang setelah ditemukan.

Kalepasan menghendaki penekunnya bisa mencapai rumah sunyi tersebut

karena rumah sunyi selalu kosong dan menanti pencari-pencari sunyi yang

berhasil menemukannya lalu menghilang (lepas) bersama. Ini tidak hanya berupa

jalan kematian bagi pencari sunyi yang menghendaki mati raga untuk penyatuan.

Kalepasan ini lebih ditekankan pada cara pandang tentang hidup, hal yang

berbeda, tujuan yang sama, kesederhanaan, kepolosan yang dimiliki oleh diri.

Pribadi yang bebas, sederhana, santun adalah bentuk-bentuk yang secara kasar

bisa dilihat dan dinilai oleh mata. Namun, ada kalanya mata memiliki hati yang

selalu bisa membedakan antara palsu dan asli.

Tiga jalan yang disebutkan dalam Jñānasiddhanta dijadikan pilihan oleh

pencari sunyi, tingkat kesadaran, bentuk ikatan yang masih melekat untuk

membebaskan jiwa. Penyatuan tidak hanya terjadi ketika akan mati (dengan

mengetahui cara mati, waktu mati, dan bagaimana cara mati), tetapi penyatuan

dapat juga dilakukan ketika tidur tanpa mimpi dengan kesadaran. Tidak hanya

tiga jalan yang diungkapkan, lebih lanjut ada lima jalan yang bisa dipilih aku

(jiwa) untuk lepas dari tubuh, seperti yang telah dijelaskan dalam Bab IV

penelitian ini.

Sesungguhnya apabila dipikirkan ulang banyak proses yang dijalani dan

dilalui aku (atma) untuk menjadi manunggal. KPD semacam pencapaian titik ke

titik. Jika seorang aku telah mendapatkan sinar (sawita), dia akan mencoba

meningkatkan baktinya menuju wimala. Bakti yang tanpa cela, bakti yang tanpa

  102  

noda. Begitu baktinya tanpa cela dan tanpa noda, dia akan mencoba naik ke titik

niskala-sunya-putus, titik yang dianggap paling tinggi, titik yang selalu menjadi

tujuan. Sinar, tanpa noda, tidak terlihat, sunyi, lepas merupakan proses yang

selalu disediakan oleh waktu untuk pencari sunyi. Aku (atma) menemukan dirinya

sebagai pencari sunyi dengan penuh kesadaran, maka kesadaran tertinggi adalah

kesadaran itu sendiri: Siwa (Hyang Tunggal).

6.2 Kalepasan: Aku (Kawi), Semesta, dan Pencipta

Aku wiku ya tan hana kāku/ ikā iki ya tan hana winulatan/ wulatana ri wulatta tinon/ wěkas iŋ wulat ika patitis (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-153).

Terjemahannya

Aku wiku tidak ada milikku/ ini itu tidak ada kupandang/ pandangan dilihat dalam kau memandang/ ujung pandangan, itulah arah pandangan (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-153). Kawi umumnya diartikan orang yang menciptakan kakawin, namun ada

pula yang menyebutkan bahwa kawi merupakan sebutan bagi orang yang

pekerjaannya berhubungan dengan pustaka, sastra, dan seniman. Kawi dalam

KPD merupakan seorang kawi dan seorang wiku. Wiku sebagaimana diketahui

adalah seorang pendeta pertapa. Kawi-wiku adalah seorang penyair juga seorang

pertapa. Keduanya memiliki peran yang bersamaan dalam penciptaan.

Tidak semua nama kawi bisa diidentifikasi dalam KPD, hanya dalam

Kakawin Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus, nama kawi dapat

diidentifikasi. Masing-masing menyebut Kamalanatha sebagai kawi-wiku

kakawin tersebut. Pembicaraan tentang Kamalanatha sangat jelas diceritakan

  103  

dalam Kakawin Dharma Niskala dan Dharma Sunya. Kamalanatha tampak bebas

menggunakan dua atribut tersebut, yaitu sebagai kawi dan wiku.

Kamalanatha seorang kawi, tidak ada satu pernyataan pun yang menyebut

demikian, yang ada justru sebaliknya, yaitu sebuah pernyataan yang meniadakan

“…iki tan uluh ni saŋ kawi (ini bukan oleh seorang kawi, Kakawin Dharma

Sunya, Bait ke-180)”. Itu dikatakan sebagai sebuah permohonan maaf atas hasil

pekerjaan yang menurut Kamalanatha sendiri tidak memperlihatkan rasa sebuah

kakawin yang indah. Oleh karena itu, disarankan agar rasa itu dicari dalam

persatuan niskala yang diceritakannya. Persatuan niskala atau pembebasan jiwa

seperti yang telah diuraikan sebelumnya, berarti pembersihan, penyucian, dan

pengosongan atau pemadaman bayu, sabda, idep. Saran Kamalanatha dapat

dipahami bahwa yang disebut rasa tidak cukup dicari dengan pemahaman teks

belaka, tetapi pada pelaksanaan ajaran yang disampaikannya.

Kakawin dalam hal ini KPD, khususnya Dharma Sunya, adalah suatu

sarana pembersihan, penyucian, pengosongan, atau pemadaman bayu, sabda,

idep. Bukan kakawin itu sendiri, melainkan pengalaman keindahan yang

diadakannya. Jadi, menurut Kamalanatha, kakawin adalah salah satu manifestasi

pengalaman keindahan sekaligus salah satu alat mengadakan pengalaman

keindahan. Keindahan hanya mungkin dilahirkan oleh keindahan. Kamalanatha

menyatakan bahwa seorang kawi menginginkan intisari pengalaman keindahan

yaitu bebas dari keinginan. Kebebasan atau keindahan itulah pertemuan rasa.

Pertemuan segala rasa dapat dipahami sebagai puncak rasa. Puncak rasa adalah

  104  

persatuan niskala atau kebahagiaan yang tidak terlukiskan. Oleh karena itu,

persatuan niskala disebut intisari keindahan37.

Lewat pernyataan “ini bukan oleh seorang kawi”, Kamalanatha justru

menyatakan diri seorang kawi. Memang begitulah sepatutnya seorang kawi

menyatakan diri menurut konvensi. Paling tidak ada dua cara seorang kawi

menyebut dirinya. Pertama, menghindari dari penggunaan gelar tertentu bila

berbicara tentang dirinya sendiri pada bagian epilog. Gelar-gelar yang dihindari

antara lain kawiswara (raja kawi), kawi siddha (kawi yang telah mencapai

kepenuhan), kawi nipuna (kawi mahir), karena sebutan itu biasanya digunakan

untuk kawi yang menjadi pujaannya, yang mengilhaminya, pada siapa seorang

kawi mempersembahkan kakawin-nya. Kedua, apabila seorang kawi menyebutkan

identitas kawi-nya dia akan menyatakan diri sebagai kawi yang malang, kawi

tanpa karas, kawi yang belum tentu bertemu dengan keindahan, kawi yang

ditinggalkan oleh kawiswara (kawi utama), dan sebagainya. Seni pengungkapan

diri seperti itu kemudian disusul permohonan maaf. Ditambahkan harapan moga-

moga para kawiswara mengampuni kelancangannya yang berani meniru-niru

tanpa pengetahuan yang cukup. Permohonan maaf juga ditujukan ke hadapan para

pembaca yang budiman dan para pandita yang bijaksana serta tidak ketinggalan

para pertapa yang sakti38.

Permohonan maaf semacam ini telah menjadi aturan, tidak hanya dalam

satu kakawin, tetapi pada setiap kakawin. Bahkan, setiap kawi menuturkan

keadaan dirinya, di mana pun dalam teks, ia selalu menggunakan permohonan

                                                                                                               37 Palguna, 1999:176. 38 Zoetmulder, 1983:156-157; dalam Palguna, 1999:177.

  105  

maaf. Sepertinya ada semangat yang melatarbelakangi adanya aturan tersebut.

Semangat yang tampak di balik aturan (konvensi) permohonan maaf itu adalah

perasaan kurang berarti, bahkan tidak berarti di hadapan keindahan. Kamalanatha

pun ikut mengadakan aturan itu, bahkan tampak lebih ekstrem lagi karena

mengatakan kakawin-nya bukan pekerjaan seorang kawi berarti “aku bukan

seorang kawi”. Kamalanatha tidak memakai kata-kata permohonan maaf seperti

pengarang kakawin lainnya “gadung yang bergelantungan berharap mencapai

rembulan”, “kawi yang lupa menulis syair”, atau “kawi yang ditinggalkan kawi

utama.” Kamalanatha justru memilih kalimat yang lugas “ini bukan oleh seorang

kawi”. Dengan demikian, dua cara penyebutan diri yang disebutkan Zoetmulder

pada paragraf sebelumnya, sekarang bisa ditambahkan dengan satu cara lagi, yaitu

seorang kawi bahkan tidak mengaku kawi. Bukan karena ia bukan kawi,

melainkan betapa tidak pentingnya sebutan, identitas, nama dalam konteks

pengalaman keindahan. Terlebih lagi dalam persatuan niskala39.

Kawi adalah orang yang dilahirkan oleh kakawin, sementara kakawin

sendiri sebagaimana adanya sekarang, tidak jelas lagi diciptakan oleh siapa.

Mungkin oleh seorang kawi, dua orang, atau barangkali lebih karena dalam tradisi

berikutnya (sekarang) seorang kawi memiliki kewenangan, yaitu memperbaiki,

menambahkan, atau menambahi sebuah kakawin. Keadaan meniadakan diri

tersebut dilembagakan dalam bentuk aturan. Jadi terlalu dini menyebutkan bahwa

seorang kawi memiliki tiga cara dalam penyebutan dirinya sesuai dengan suara

                                                                                                               39  Palguna, 1999:179.  

  106  

nurani para kawi. Artinya, suara nurani kawi merupakan semangat berapi-api yang

mendorong terjadinya penggubahan karya.

Memaknai aku (kawi), semesta, dan Pencipta seperti melakukan rekreasi

ke dalam diri. Memahami diri sebagai aku, melihat keteguhan hati seorang kawi,

memandang semesta, dan terakhir merindukan Pencipta. Kerendahan hati menjadi

sebuah pandangan hidup dan dasar yang utama dalam proses penyatuan. Tidak

ada pemisahan antara aku, kawi, semesta, dan pencipta jika kaitannya dengan

pemaknaan secara keseluruhan dalam KPD. Hal itu terjadi karena seperti yang

talah dikatakan berulang-ulang, bahwa keseluruhan adalah proses dan jalan

menuju sunyi.

Jika kemudian berbicara tentang teks dan konteks, penulis ingin

memberikan penekanan pada pemaknaan bahwa kesatuan makna yang utuh

terbangun atas konsistensi kawi kakawin melakukan penggubahan dalam KPD.

Konsistensi ini berupa wacana kalepasan di dalamnya, wacana itu sendiri

menyangkut bentuk, fungsi, dan makna. Tidak ada cara yang lebih mudah

meneliti dan menuliskan kalepasan dengan cara yang sederhana, mengalir, tentu

dengan bingkai ilmiah sebuah penelitian.

Aku, kawi, semesta, dan Pencipta merupakan metafora yang dihadirkan

kawi KPD untuk memudahkan pembaca memahami kalepasan. Kawi KPD

melakukan ini karena Dia menyadari bahwa sebagai seorang Kawi, Dia tidak

memiliki apa-apa, tidak juga berhak pada karyanya. Begitulah kawi KPD

menyebut dirinya, “Aku wiku ya tan hana kāku (Aku wiku tidak ada milikku).”

  107  

Hal ini memang karena sebuah kerendahan hati, ketiadaan keinginan untuk

mendapatkan apa pun.

Ketiadaan keinginan ini dikatakan sebagai bentuk sederhana kalepasan

yang begitu kompleks ajarannya. Kalepasan jika dikerucutkan tidak ada ujungnya

karena ujung sesungguhnya adalah ketiadaan, kekosongan, dan kehampaan.

Seorang kawi menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, sebagai sajjana (orang

bijak), Dia memilih menyelamatkan dunia dengan karyanya. Karya itu sendiri

adalah wujud dari kalepasan itu, seperti kutipan di bawah ini.

Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi/ ndatan hana tyakta ri jīwa niŋ sarat/ yawat ya māsih drda bhakti nityasa/ lanā nurāgeki huripnya tan běsur// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama XIII, Bait ke-16). Terjemahannya Kewajiban seorang bijak adalah mengasihi (setiap orang)/ tidak ada meninggalkan jiwa (hidup) di dunia/ karena ketulusan baktinya/ kekal abadi hidupnya yang selalu mengalir// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama XIII, Bait ke-6).

Seorang bijak juga merupakan sebutan untuk seorang kawi, hanya orang

bijak yang dapat menuliskan kebajikan dan ketidakbajikan secara bersama sebagai

cerminan ataupun tuntunan. Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi (kewajiban

seorang bijak adalah mengasihi sesama). Hal itu berarti bahwa artinya setiap yang

melahirkan cinta dan kasih sayang merupakan cara untuk mengobati kerinduan

bertemu (baca menyatu) dengan Pencipta. Bakti yang tulus tanpa meninggalkan

jejak di dunia adalah kekekalan seorang kawi karena hidup seorang kawi selalu

mengalir dan menemukan muara lalu lebur menjadi satu dalam samudra

kesunyian.

  108  

Seorang kawi tidak hanya menuturkan dirinya, tetapi menuturkan aku

(atma) sebagai kekuatan karyanya. Aku yang bisa saja berarti dirinya (kawi)

adalah bagian yang penuh romantika dalam KPD. Dia (kawi) seolah tidak terlibat,

tetapi terlibat. Cara menyembunyikan diri di setiap kata merupakan keistimewaan

yang dimiliki. Ketika karya KPD dibaca, pembaca (penulis) merasa menjadi aku

(atma), aku (kawi), aku (semesta para kawi atau tubuh). Sungguh KPD penuh

misteri, setiap kalimatnya adalah nyanyian sunyi yang datang dari beberapa abad

silam.

Nyanyian sunyi menjadi nyanyian pengiring dalam segala kehidupan aku

(atma). Rumah sunyi dapat ditemukan dengan iringan nyanyian sunyi yang

konstan, terus menerus didengar, dinyanyikan, dan dilaksanakan. Suara merdu

nyanyian sunyi berasal dari hati seorang sunyi. Nyanyian sunyi itu adalah

Kakawin Panca Dharma.

Sāmpun labdha guru praboddha karěgěp satata lana humuŋgu riŋ hati/ raksan cupwana sāri-sāri nika homiděŋakěna ri sandhi niŋ těpět/ byaktāwās pahilaŋ nikaŋ tiga rahasya ri paměsat ikā ri niskala/ nora ŋ śabda hiděp ndatan pahaměŋan pranawa huwus amindha niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Dharma Niskala, Bait ke-7). Terjemahannya Sesudah berhasil ajaran (guru) yang telah bangun kesadarannya diresapi, selalu ada dalam hati/ jaga di dalam cupu hati, terus-menerus itu tujukan pada persatuan dengan benar/ terbukti jelas itu penghilang tiga yang rahasia saat sirnanya di alam niskala/ tiada kata, pikiran tidak meninggalkan bekas, aksara suci telah berpadu niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Dharma Niskala, Bait ke-7). Sārwwatma wrěddhi sakariŋ taya sūnya ŋuni/ māntuk ta riŋ taya ta rakwa wěkasnya teki/ yan saŋ putus tan umale-mūla saŋka niŋ rat/ māryya sarira hana tan tumuti wipātha// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-7).

  109  

Terjemahannya Setiap atma yang datang (masuk) ke alam sunyi/ tidak akan pulang kembali meninggalkan bekas di sini/ jika memang telah putus, maka tidak akan bisa kembali ke dunia asalnya/ tubuhnya pun tidak diliputi kejahatan// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-7). Sěmbah niŋ wwaŋ amūrsite pada maheswara saphala kitā srayeng mangö/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga laksana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūksma wěkasiŋ aganal maweh licin/ śūnyā sthana ri sāri niŋ samaya nirbbhana wěkas i pañandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujud kepada engkau penguasa segala keindahan/ engkau berada di mana-mana dalam setiap yang suci dan melakukan jalan yoga pengendalian/ kekuatan mantra, kesucian diri, sungguhlah disebut licin/ bertempat dalam sari kesunyian yang kosong dan menyatu dalam penciptaan// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1). ŋke ŋhawan kinati kacěŋka tlěŋiŋ hŗedayā lumaku aŋawaŋ-ŋawaŋ/ jějěbuganā rum arum tāta tāta bya pwaka bun akniŋ kawiśwarā/ kěliŋ ŋlaŋanakěn kabeh krana ira n saram hana parā labdha paņdithā/ suksma śūnyā karāma cintya mahā ņirbhana tan hana mban awak nira// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Terjemahannya Demikianlah kesungguhan hati yang digerakkan oleh pikiran/ yang kotor kemudian dibuat wangi dengan susunan yang dibuat oleh Kawiswara/ peperangan [dalam diri] hendak dilaksanakan, karena beliau adalah wiku yang termasyhur/ jiwa menyatu dalam kesunyian, menjadi satu dengan Maha Nirbhana, tidak ada yang tersisa dalam dirinya// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26).

Keseluruhan bait yang dikutip di atas merupakan bait yang mengandung

kata kesunyian. Kesunyian merupakan pilihan kata yang tidak terlupakan dalam

tiap-tiap teks KPD, seolah-olah kesunyian menjadi penekanan penting kawi KPD.

  110  

Kesunyian (sunya, putus, nirbhana), apa pun yang disebut tetaplah ia adalah

kehampaan, tidak bisa dibayangkan (tan paŋěn-aŋěn), tidak terperikan (tan

patuduhan), dan di luar jangkauan pikiran (acintya). Jika digambarkan dalam

bentuk tabel, maka kesunyian letaknya paling dalam. Sementara para pencari

sunyi berada di sisi luar seperti molekul-molekul yang kemudian bersenyawa

dengan kesunyian saat penyatuan itu telah terjadi.

Kutipan bait di atas selain sebagai bentuk konsistensi kakawin tentang

kalepasan, juga mengingatkan penulis pada sebuah kejadian yang dapat dikatakan

wujud sederhana aku (atma) melakukan kalepasan. Perilaku atau kejadian tanpa

sadar itu adalah ketika sedang dalam keadaan penat maka mata akan terpejam

sejenak, lalu ketika mata dibuka kembali, semua kepenatan sejauh mata terasa

hilang. Tentu ada pertanyaan, apa penyebabnya? Semua penyebabnya adalah

keinginan untuk menemukan tempat yang sunyi. Berkali-kali penulis ingin

tuliskan bahwa rumah yang bernama kesunyian hanya dapat ditemukan oleh

kesunyian (keheningan) pula. Kesunyian itu: Hyang Tunggal.

6.3 Kalepasan: Penyatuan Kutub-kutub Jiwa Menuju Hyang Tunggal

  Kalepasan dikatakan sebagai pengetahuan suci yang menuntun dan

mengajarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, kebenaran tertinggi

atau yang biasa disebut dengan moksa sehingga kalepasan sering juga disebut

dengan kamoksan. Tujuan utama kalepasan adalah para dewa yang merupakan

dewa pujaan (Ista Dewata) tiap-tiap pencari sunyi dari ajaran yang ditekuni.

Terkadang Hyang Siwa menjadi tujuan tertinggi, begitu pula dengan Hyang

  111  

Buddha menjadi tujuan tertinggi pencari sunyi. Oleh karena itu, berkembanglah

aliran yang bernama Siwaisme (Siwatattwa) dan Buddhisme (Buddhatattwa).

Aliran Siwa memuja kebesaran Hyang Siwa sebagai tujuan akhir, sementara aliran

Buddha memuja kebesaran Hyang Buddha sebagai tujuan akhir40.

Ada kalanya Hyang Siwa dan Hyang Buddha sebagai Yang Tertinggi

seakan-akan ditempatkan pada dua kutub yang berpasangan. Namun, kadang kala

pula ditempatkan dalam satu titik persekutuan kemanunggalan. Kedudukan

keduanya dilukiskan seperti mendung dengan hujan. Keduanya tampak seperti

dua hal, tetapi sejatinya adalah tunggal. Bisa juga tampak tunggal, tetapi

sesungguhnya bertentangan. Asumsinya, mendung mendatangkan hujan, tetapi

juga dapat dikatakan hujan melukis mendung. Namun sesungguhnya mendung

dan hujan berasal dan berakhir pada satu kata, yaitu air41.

Pertemuan antara Siwatattwa dan Buddhatattwa dipahami sebagai bentuk

penunggalan dua hal yang terpilah kembali ke wujud asalnya, yaitu Hyang

Tunggal. Kesadaran dalam tingkat Sadasiwatattwa, Hyang Tunggal memilah

dirinya menjadi dua bagian, yaitu Siwatattwa dan Buddhatattwa yang sama-sama

dipengaruhi oleh unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra, yang

merupakan asalusul alam semesta.

                                                                                                               40 Bdk. Suarka dkk., 2005:310--311. 41 Dalam teks Siwagama disebutkan bahwa kedudukan antara Hyang Siwa dan Hyang Buddha dikatakan ibarat kutub yang berpasangan dan satu titik yang tunggal sehingga dalam teks dilukiskan seperti yang dialami tokoh-tokoh teks Siwagama. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami dan dilakukan oleh Maharaja Yudistira yang mengikuti ajaran Siwa dan Maharaja Nilacandra (Maharaja Candrabhanu, Maharaja Candrawicandra, dan Maharaja Purnawijaya) selaku penganut aliran Buddha. Dalam posisi berpasangan tentu tidak tertutup kemungkinan adanya pertentangan antara keduanya. Akan tetapi, pada akhirnya keduanya berdamai karena dalam teks Siwagama keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Bhatara Guru (Suarka dkk., 2005:311).

  112  

Wujud penunggalan terjadi dalam berbagai tingkat kesadaran (Siwa,

Sadasiwa, Paramasiwa). Teks Siwagama lebih lanjut menyebutkan ketika

penyatuan berada pada Pretiwtattwa, Dia (Hyang Tunggal) disebut Indra. Disebut

Iswara di dalam Siwatattwa, dan disebut Aksobhya dalam Buddhatattwa, Dia

berada dalam kulit dan segala yang berwujud kasar di dalam tubuh manusia. Dia

menyusup di dalam unsur apah (zat cair), sebagai Mahadewa dalam Siwatattwa,

dan sebagai Amitabha dalam Buddhatattwa. Daging dan segala bentuk rasa

merupakan tempat-Nya di dalam tubuh manusia. Di dalam unsur teja (panas), Dia

bergelar Wisnu dalam Siwatattwa dan Amogasiddhi dalam Buddhatattwa.

Segala sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia merupakan tempat-Nya

di dalam tubuh. Di dalam unsur bayu (angin atau gas), Dia bergelar Brahma

dalam Siwatattwa dan bergelar Ratnasambhawa dalam Buddhatattwa. Setiap

anggota gerak peraba merupakan tempat-Nya di dalam tubuh. Di dalam unsur

akasa (eter), Dia bergelar Rudra dalam Siwatattwa dan bergelar Wairocana dalam

Buddhatattwa42.

Hakikat penunggalan Siwa dan Buddha juga dijelaskan melalui

pemahaman hakikat ganitri sebagai simbol, baik secara imanen maupun

transenden. Bagi yogi agung, ganitri itu disebut uswasa dan prasaswa. Pada

ajaran Buddha, lintas ke luar masuknya adalah buddha: bu adalah lintas masuk

dan ddha adalah lintas ke luarnya. Ya adalah antaranya, di antara lintas ke luar

masuknya, yang disebut amilang (sebagai tempat menghitung). Dia bebas lepas,

bergerak dengan bebas tanpa tujuan. Bagi aliran Siwa, si merupakan lintas masuk,

                                                                                                               42 Bdk. Suarka dkk., 2005:311--312.

  113  

wa adalah lintas ke luar, dan ya adalah antaranya. Dia Siwa sejati. Oleh karena

itulah, Siwa dan Buddha disebut tunggal adanya. Na adalah Aksobhya; mo adalah

Ratna Sambhawa; bu adalah Amitabha; ddha adalah Amoghasiddhi; ya adalah

Wairocana; si adalah Brahma; wa adalah Wisnu; dan ya adalah Sangkara. Itulah

Siwa. Bu adalah Lokeswara; ddha adalah Bajrapani. Beliau sangat istimewa.

Beliau disebut sebagai tali ganitri. Beliau merupakan titik persekutuan dua sisi

kehidupan. Si adalah Brahma; Wa adalah Wisnu; Ya adalah Jiwa. Beliau adalah

batin immanen dan transendental bagi alam semesta. Dialah Siwa-Buddha. Hrih

adalah lintas masuknya. Hring adalah lintas ke luarnya. Krih adalah antaranya43.

Tabel di bawah ini merupakan persamaan konsep Siwa-Buddha.

Tabel IV Konsep Siwa-Buddha44

No Konsep Siwa Konsep Buddha

I Paramasiwa Paramabuddha

II Siwa-Uma/Shakti Pradnya Paramitha

III Brahma-Wishnu-Rudra/Siwa Wairocana-Amitabha-Aksobhya

IV Panca Dewata

1. Iswara (Timur)

2. Brahma (Selatan)

Panca Dhyani Buddha/Panca Tatagatha

1. Aksobhya (Timur)

2. Ratnasambhawa (Selatan)

                                                                                                               43 Suarka dkk., 2005:312. 44 Phalgunadi, 2013:11.  

  114  

3. Mahadewa (Barat)

4. Wishnu (Utara)

5. Siwa (Tengah)

3. Amitabha (Barat)

4. Amogasiddhi (Utara)

5. Wairocana (Tengah)

Konsep Siwa-Buddha menjadi semacam jalan penyatuan, setiap manusia

memiliki dan mewakili karakter Siwa-Buddha dalam dirinya. Karakter ini

dimunculkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuklah harmonisasi

yang dirasakan selalu berjalan beriringan. Siwa-Buddha juga sangat penting

dalam setiap tatanan upacara yadnya yang dilaksanakan pencari sunyi (yang

melakukan bakti melalui jalan Bhakti Marga). Upacara tentu tidak bisa lepas

dengan upakara. Upakara juga tidak bisa lepas dari pangider-ider Ista Dewata.

Tabel di bawah memuat Pangider-ider Siwa Sidhanta dan Buddha Mahayana.

Tabel V Pangider-ider Siwa Sidhanta45

No Dewa Shakti Senjata Arah Warna Bija Mantra

1 Siwa Durga Padma Tengah Panca

warna

Ing (I)/

Yang (Ya)

2 Iswara Umadewi Bajra Timur Putih Sang (Sa)

3 Brahma Saraswati Gada Selatan Merah Bang (Ba)

                                                                                                               45 Phalgunadi, 2013:12.

  115  

4 Mahadewa Sachi Nagapasa Barat Kuning Tang (Ta)

5 Wisnu Shri Cakra Utara Hitam Ang (A)

Tabel di atas merupakan tabel pangider-ider Siwa Sidhanta. Dikatakan

Siwa Sidhanta tentunya sudah tidak asing di mata penulis dan peneliti lainnya.

Jikalau dari ribuan sekte Siwa yang berkembang ketika itu, yang masuk dan

berkembang di Nusantara adalah sekte atau aliran Siwa Sidhanta. Sementara itu,

untuk aliran Buddha yang masuk dan berkembang di Nusantara adalah Buddha

Mahayana dengan sentuhan Tantra. Berikut ini merupakan tabel pangider-ider

Buddha Mahayana (Panca Buddha).

Tabel VI Pangider-ider Buddha Mahayana46

No Dewa Shakti Arah Warna Bija

Mantra

1 Wairocana Wajradateswari Tengah Putih OM/A

2 Ratnasambhawa Mamaki Selatan Kuning SWA

3 Amitabha Pandara Barat Merah AH

4 Amogasiddhi Tara Utara Hitam I

5 Aksobhya Locana Timur Biru HUM

                                                                                                               46 Phalgunadi, 2013:12.

  116  

Siwa-Buddha bukanlah bentuk fanatisme sekte yang dieluk-elukan oleh

para pencari sunyi dalam Kakawin Panca Dharma. Baik Siwa maupun Buddha

tetap satu tujuan, yaitu Paramasunya (Sunya). Seseorang yang menghendaki

kasunyatan membiasakan dirinya untuk menyeimbangkan karakter Siwa-Buddha

dalam dirinya. Kekuatan dan kelembutan akan senantiasa menjadi sahabat dalam

diri. Tiada kekuatan yang bisa berjalan tanpa kelembutan. Sebaliknya, tiada

kelembutan bisa berjalan dengan kekuatan. Keduanya bisa dikatakan dikotomis

sehingga untuk mencapai kasunyatan, dua kutub tersebut disatukan dengan

tujuan, yaitu kalepasan.

Hyang Tunggal dapat dicapai dengan menyatukan kutub positif dan

negatif dalam tubuh lalu pelan-pelan menghilangkan jarak antara keduanya. Bila

berbicara tentang Siwa dan Buddha, dalam penelitian ini tentu tidak bisa

diporsikan sama dengan kalepasan. Dalam penelitian ini ditulis beberapa hal

tentang Siwa dan Buddha karena merupakan pembuka dari bab ini. Siwa-Buddha

bukanlah sekte, melainkan karakter. Hal itu yang ingin ditekankan, seperti kutipan

Kakawin Dharma Sunya di bawah ini, yang menyebutkan bahwa kekuatan dan

kelembutan menyatu dalam hati menuju sunya.

Manah ira saŋ munīśwara lěwih sudhīra matěguh sanitya matěpět/ tan upir-upir masimpěn atutur mulat ri hati jagra nirmala maho/ pinatitisan lěyěp nika manūksma riŋ pada bhatāra muksa mapisan/ ya tika ginuhya gupta matěměn wěkas niŋ aŋituŋ paminda winuwus// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XIX, Bait ke-1). Terjemahannya Manah Sang Raja Pertapa hebat, berani, teguh tetap di jalan yang benar/ tidak lengah mengendalikan, mengingat, memandang hati yang terjaga

  117  

nirmala suci/ diarahkan tempat reda-lenyapnya manah itu di kaki Bhatara lebur menyatu/ Itu benar sangat dirahasiakan, hasil merenungkan kemanunggalan tersebut// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XIX, Bait ke-1). Seorang pencari sunyi adalah seorang panglima perang yang senantiasa

menggunakan kekuatan dan kelembutan (baca strategi) dalam peperangan. Perang

yang dimaksudkan bukanlah perang di medan laga, melainkan perang terhadap

diri sendiri. Kekuatan adalah keteguhan hati untuk selalu bertahan pada tujuan

manunggal, sedangkan kelembutan adalah strategi untuk melawan berbagai

macam bentuk godaan yang muncul. Perjalanan mencari sunyi tiada lain

dikatakan perang dahsyat dalam diri.

Manah ira saŋ munīśwara lěwih sudhīra matěguh sanitya matěpět (Manah

Sang Raja Pertapa hebat, berani, teguh tetap di jalan yang benar). Jalan yang

dianggap benar muncul dari hati sebagai sumber dari segala sumber hredaya

(hati). Tidak ada jalan yang lebih hebat selain jalan hati. Setiap jalan yang penuh

keteguhan merupakan jalan yang selalu mendapat godaan, tetapi berakhir sebagai

jalan penyatuan kepada Hyang Tunggal.

Jalan hati, yang penuh dengan godaan selalu menyimpan rahasia yang

siap dikatakannya sewaktu-waktu oleh hati. Hati penuh kekuatan dan kelembutan

selalu berusaha melalukan pengendalian terhadap segala macam bentuk godaan,

tan upir-upir masimpěn atutur mulat ri hati jagra nirmala maho (tidak lengah

mengendalikan, mengingat, memandang hati yang terjaga nirmala suci). Hati

yang selalu terjaga menjadi satu hal penting untuk mencapai sunya. Kesucian hati

akan senantiasa terpancar dari hati yang selalu terjaga kenirmalaannya.

  118  

Pinatitisan lěyěp nika manūksma riŋ pada bhatāra muksa mapisan

(diarahkan tempat reda-lenyapnya manah itu di kaki Bhatara lebur menyatu).

Pengendalian pikiran selalu diarahkan ke tempat yang paling sunyi di dalam hati.

Para pencari sunyi mengetahui tempat-tempat di mana lubuk paling dalam dan

sunyi itu berada. Para pencari sunyi akan meletakkan diri pada keteguhan yang

bersumber pada kekuatan hati. Tempat paling sunyi yang dikatakan penuh dengan

kesucian itu adalah tempat di hati yang tidak ternodai, tempat meleburnya pencari

sunyi dengan Mahasunyi.

Ya tika ginuhya gupta matěměn wěkas niŋ aŋituŋ paminda winuwus (Itu

benar sangat dirahasiakan, hasil merenungkan kemanunggalan tersebut). Tempat

sunyi itu dicapai juga dengan ajaran sunyi, yang sangat dirahasiakan. Hanya aku

(atma) yang tahu sebab jalan dan tempat itu masing-masing berbeda antara aku

dan yang lain. Memetakan jalan sunyi sama seperti memasang obor di hutan

belantara yang lebat, sungguh sulit. Kendatipun demikian, seorang aku tidak akan

pernah tersesat bila menemukan jalan bercabang karena aku memiliki keteguhan

pikiran.

Kutub-kutub tarik-menarik tersebut membuat semacam aliran sungai

dalam diri. Karakter kekuatan dan kelembutan menjadi satu dan berkumpul di

pusat tubuh, yaitu hati. Aliran sungai itu akan membentuk bendungan di hati.

Bendungan itu menjadi jalan untuk menyeberang ke alam sunya. Aku (atma)

selalu sadar bahwa aliran sungai harus terjaga airnya agar kelak menjadi

bendungan. Deras ataupun sedikitnya aliran air tergantung dari keteguhan pikiran

si aku. Setidaknya, kekuatan adalah dasar, sementara kelembutan adalah cara

  119  

pengendalian. Tidak selamanya kekuatan mengantarkan ke arah tujuan, begitu

pula sebaliknya. Kekuatan dan kelembutan adalah satu, sama halnya dengan

Siwa-Buddha.

Sesungguhnya Hyang Tunggal yang dituju merupakan bentuk yang tidak

berbentuk, berada di tempat yang sunyi. Kesunyian adalah rumah selalu setia

menunggu, seperti kutipan Kakawin Dharma Wimala di bawah ini.

Kastā tibra lara panas niŋ āti mopěk/ těŋrā niŋ pati ya kaniścayeŋ swa citta/ hyaŋ tattwā jñana ri něgěp nirān panādhya/ ONG kārātma huwus amūrtti nāda śūnya// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-72). Terjemahannya Sungguh menyedihkan jika penderitaan memenuhi hati/ tanda bahwa kematian harus disambut dengan suka cita (bukan kesedihan)/ yang tahu akan setiap ajaran, maka beginilah/ perkataan yang terhembus, adalah suara sunyi// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-72).

Penderitaan menjadi hal yang harus pertama-tama disingkirkan jika ingin

melakukan penyatuan. Penderitaan dikatakan godaan yang selalu menggoda

pencari sunyi di awal keinginan pencari sunyi untuk menyatukan kutub-kutub di

dalam dirinya. Sungguh, penderitaan itu hanya membuat hati sedih, kastā tibra

lara panas niŋ āti mopěk (sungguh menyedihkan jika penderitaan memenuhi

hati). Segala penyebab penderitaan hendaknya dienyahkan, apa pun bentuknya.

Těŋrā niŋ pati ya kaniścayeŋ swa citta (tanda bahwa kematian harus disambut

dengan suka cita (bukan kesedihan)). Kematian salah satu di antaranya, jika

kematian menyebabkan penderitaan, seharusnya tidak ada kematian. Kelahiran

akan mengganti kematian. Namun jika hanya ada kelahiran tanpa kematian, maka

  120  

ketimpangan besar akan terjadi. Sesungguhnya, kematian dan kelahiran disambut

dengan suka cita, yang datang pastilah pergi, memang begitu hukumnya.

Begitu pula dengan ajaran-ajaran yang menjadi dasar menuju sunya,

ajaran yang dipahami merupakan ajaran yang bersifat rahasia dan sunyi. Setiap

yang belajar kesunyian, belajar pula hakikat keramaian, sama halnya kebahagiaan

setiap menyambut kelahiran demikian pula selalu bersuka cita menyambut

kematian. Kematian seperti yang telah dikatakan, bukan hanya kematian yang

bersifat ragawi, melainkan kematian terhadap rasa yang dicapai melalui jalan

pengendalian. Hyaŋ tattwā jñana ri něgěp nirān panādhya (yang tahu akan setiap

ajaran, maka beginilah), bisa dikatakan bahwa yang mengetahui ajaran atau

hakikat sunyi adalah yang selalu bersyukur atas anugerah dan musibah.

Kegembiraan tidak selalu meluap, kesedihan tidak terlalu tersedu, semua biasa,

yang biasa akan menjadi luar biasa. Jika sudah demikian, tidak ada lagi kata yang

terembus, kata yang terembus hanyalah sunyi. Kesunyian adalah rumah yang

selalu dituju. ONG kārātma huwus amūrtti nāda śūnya (perkataan yang terembus

adalah suara sunyi). Tempat paling sunyi adalah hati yang paling sunyi.

  121  

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Kakawin Panca Dharma merupakan kakawin yang bertutur tentang

kalepasan. Kakawin ini unik karena menjadi kakawin yang isinya seperti tutur

atau tattwa. Kalepasan dalam KPD merupakan sebutan untuk menyebut bebasnya

jiwa dari salah satu titik di dalam tubuh (dalam hal ini pusar), ubun-ubun

(kamoksan), ujung hidung (kanirbanan), mulut (kamuktan), dan pusar

(kalepasan).

KPD memiliki ikatan antara satu dan lainnya membentuk wacana

kalepasan yang terangkum dalam bentuk, fungsi, dan makna. Kakawin Dharma

Sawita bagaikan sinar matahari. Sawita sendiri memang berarti matahari sehingga

matahari selalu memiliki kekuatan yang bernama sinar. Sinar memercikkan

cahaya menjadi pelita pada saat mengalami kegelapan. Dharma Sawita

dimaksudkan kebenaran selalu menjadi sinar. Sawita mengacu pada Siwa Raditya.

Kakawin Dharma Wimala menuturkan bahwa kebenaran itu pula tidak

ternoda oleh apa pun. Kesetiaan untuk menekuni jalan kalepasan merupakan

kebenaran rasa, senantiasa menumbuhkan keinginan untuk selalu melakukan

kebenaran. Sesuatu yang tidak ternoda melahirkan kemurnian yang tiada tara.

Kemurnian akan melahirkan kesucian yang tidak terlihat, seperti dalam

Kakawin Dharma Niskala, kebenaran adalah hal yang tidak terlihat. Pencari sunyi

tidak memperlihatkan setiap hal yang dilakukannya ke luar diri, tetapi selalu

menyatukannya dengan hatinya. Kebenaran yang tidak terlihat, bukanlah

  122  

kebenaran yang disimpan untuk diri sendiri, melainkan kebenaran yang selalu

dilakukan tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pahala.

Keinginan mendapatkan pahala hanya menghalangi keinginan untuk

menemukan tempat yang paling sunyi itu. Dalam Kakawin Dharma Sunya

dinyatakan bahwa kebenaran adalah hal yang bersifat sunyi. Kesunyian

mengungkapkan kehampaan dan kekosongan sebagai tujuan penyatuan. Bukan

hanya sebagai kebenaran tertinggi, melainkan kekosongan yang tanpa batas.

Kebenaran selalu diungkapkan dengan cara-cara sunyi dan sederhana, yaitu selalu

berjalan di jalan yang telah dilakoni.

Jalan sunyi yang dilakoni menuju ke arah lepas. Kebenaran mengantarkan

ke alam sunyi lalu melepas segala yang melekat dengan pelan-pelan. Kakawin

Dharma Putus, menuntun si aku untuk senantiasa terus berjalan di jalan

kebenaran agar tiada lagi kemelekatan yang tersisa. Segala hal diputus dengan

kebenaran yang dirasakan selalu menjadi penuntun. Putus dengan segala hal

seperti saat pencari sunyi menemukan dirinya, lalu hilang secara pelan-pelan yang

membuat dirinya ada. Dunia putus, merupakan dunia yang tidak memiliki tujuan

lagi, karena putus berarti telah menyatu dengan Hyang Tunggal.

Proses pembebasan tersebut tidak didapatkan begitu saja, artinya ada

beberapa tahapan yang sadar atau tidak sadar dilakukan oleh atma. Lepasnya

ikatan atma dengan tubuh menuju kebebasan tertinggi, yaitu semesta yang

kosong. Proses untuk mencapai pembebasan jiwa dilakukan dengan jalan tapa,

yoga, samadi. Tapa, yoga, samadi di sini tidaklah berupa tindakan fisik saja,

tetapi lebih ditekankan pada hati.

  123  

Teks KPD secara intrinsik berfungsi untuk memahami lebih dalam bahwa

segala jalan yang ditempuh didasari atas keikhlasan, ketulusan. Sang Kawi teks

menggelar yoga sastra sebagai sebuah persembahan terdalamnya. Kesadaran

pemahaman kesederhanaan difokuskan dalam teks KPD.

Sawita-Wimala merupakan pemahaman dasar kalepasan, artinya pencari

sunyi masih bergolak dengan dirinya tentang hal yang ditujunya. Yoga

pengendalian diri, pemahaman terhadap sadrasa dan karakter dibahas di awal,

untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Kendatipun demikian, sawita-

wimala-niskala-sunya-putus, adalah satu rangkaian mata rantai. Kelimanya

merupakan jalan yang didaki menuju puncak pembebasan jiwa.

Niskala-Sunya-Putus merupakan tiga kata yang mengikuti kata dharma

dalam judul kakawin. Ketiganya memiliki arti yang hampir sama, serupa. Namun

hendaknya disadari bahwa niskala-sunya-putus diletakkan pada tingkat lanjut

karena telah merepresentasikan keadaan jiwa pencari sunyi. Keadaan-keadaan

yang sudah tidak terlihat, sunyi, dan lepas adalah keadaan yang dituju oleh para

pencari sunyi. Niskala-sunya-putus tidak dibedakan begitu mencolok dalam

isinya, tetapi ketiganya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan sebagai ajaran

kalepasan tingkat lanjut (niskala).

KPD semacam pencapaian titik ke titik. Jika seorang aku (atma) telah

mendapatkan sinar (sawita), dia akan mencoba meningkatkan baktinya menuju

wimala. Bakti yang tanpa cela, bakti yang tanpa noda. Begitu baktinya tanpa cela

dan tanpa noda, dia akan mencoba naik ke titik niskala-sunya-putus, titik yang

dianggap paling tinggi, titik yang selalu menjadi tujuan. Sinar, tanpa noda, tidak

  124  

terlihat, sunyi, lepas merupakan proses yang selalu disediakan oleh waktu untuk

pencari sunyi. Aku (atma) menemukan dirinya sebagai pencari sunyi dengan

penuh kesadaran, maka kesadaran tertinggi adalah kesadaran itu sendiri: Siwa

(Hyang Tunggal).

Kalepasan adalah cara memahami diri dengan benar (amuter tutur

pinahayu) melalui jalan sunyi untuk menuju kesunyian dan menuju Hyang

Tunggal. Kalepasan hanya bisa diresapi ketika dilaksanakan bukan hanya sebatas

kata sebab kalepasan berdasarkan sastra dan sastra adalah sikap.

7.2 Saran

Penelitian ini tentu masih harus diperbaiki agar kelak dapat memberikan

kontribusi dalam bidang wacana sastra khususnya Sastra Jawa Kuno. Penulis

mohon saran dan kesediaan penulis lainnya untuk memperbaiki kekurangan dalam

penelitian ini.

  125  

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus Gede. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Agastia, Ida Bagus Gede. 1999. Di Kaki Pulau Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Agastia, Ida Bagus Gede. 2010. Yoga Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Alwi, Hasan dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Anonim. t.t. Bhakti Marga. t.p.

Astra dkk., I Gede Semadi. 2001. Kamus Sanskerta-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Baried, Siti Baroroh. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory; Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Creese, Helen. 2012. Perempuan dalam Dunia Kakawin; Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.

Dwijayanthi, Ni Made Ari. 2010 “Kalatattwa Sebuah Analisis Hermeneutika” (skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah Asruddin Barori Tou. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Kleen, De Tyra. 1970. Mudras The Ritual Hand-Poses of the Buddha Priests and the Shiva Priests of Bali. New York: University Books.

Kusuma, I Nyoman Weda. 2012. Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita; Telaah Konsep-konsep Keagamaan. Denpasar: Pustaka Larasan.

  126  

Mershon, Edson Katharane. 1971. Seven Plus Seven Mysterious Life Rituals In Bali. New York: Vantage Press.

Nabeshima, Mari. 2009. Sri Tanjung; The Scent of Innocence. Denpasar: Arti

Foundation.

Palguna, I.B.M. Dharma. 1998. Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Palguna, I.B.M. Dharma. 1999. Dharma Sunya Memuja dan Meneliti Siwa.

Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Phalgunadi, I Gusti Putu. 2013. “Perkembangan Shiwa-Buddha di India dan

Indonesia”. Denpasar: Makalah Rembug Sastra Purnama Badrawadha.

Panuti-Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricoueur, Paul. 1996. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah. Penerjemah Hani’ah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Saraswati, Swami Satya Prakas. 2005. Patanjali Raja Yoga. Penerjemah Mayor Polak. Surabaya: Paramita.

Soebadio, Haryati. 1985. Jnanassiddhanta. Jakarta: Djambatan.

Suarka, I Nyoman dkk. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Widnya, I Ketut. 2007. “Siwa-Buddha dalam Masyarakat Hindu di Bali”. Denpasar: Makalah Seminar Mandala Buddisme Esoterik (Tantra; Vajrayana) Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia.

  127  

Yasa, I Wayan Suka. 2007. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya. Denpasar: Widya Dharma.

Yulliawati, Teti dkk. 2010. Ringkasan Lengkap IPA (Fisika-Biologi-Kimia) SMP. Jakarta: Kawan Pustaka.

Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (cetakan ketiga). Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.