saphara edisi 4, april 2014

40
SAPHARA Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan Edisi #4 April 2014 “DAUR ULANG” KEMASAN MAKANAN RAGAM TEBING CITATAH DUSUN DWI BAHASA CITALOK PULAU AJAEB MADURA

Upload: kappa-fikom-unpad

Post on 30-Mar-2016

253 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARASebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan

Edisi #4 April 2014

“DAUR ULANG”KEMASAN MAKANAN

RAGAM TEBINGCITATAH

DUSUN DWI BAHASACITALOK

PULAU AJAEBMADURA

Page 2: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 2

ADVERTORIAL

SAMPAHPLASTIKBAGILINGKUNGAN

alam menyambut Hari Bumi ke-14, Klub Aktivis DPegiat dan Pemerhati Alam (KAPPA) Fakultas I lmu Komunikasi (Fikom) Universitas

Padjadjaran (Unpad) mengadakan kampanye tentang Green Act. Kampanye ini berbentuk kampanye media sosial official twitter KAPPA mulai dari 9 April 2014 sampai 21 April 2014 setiap pukul 19.00 malam dengan mebagikan picture tweet edukasi mengenai fakta bumi dan pentingnya melindungi bumi.

Kemudian 20 April mulai mempublikasikan kegiatan penukaran tiga sampah botol plastik dengan satu porsi es krim sampai 23 April 2014. Mengapa sampah botol plastik? Karena sampah botol plastik sangat susah terurai dan dapat mengganggu ekosistem darat maupun laut. Kegiatan penukaran tiga sampah botol plastik ini pun bisa mengurangi sampah-sampah plastik yang dibuang sembarang tempat. Selain itu, sampah plastik terutama botol plastik banyak digunakan masyarakat Fikom Unpad. Mengingat rata-rata mahasiswa Fikom Unpad jarang yang membawa botol minum sendiri.

Tahukah explorer mengapa sampah plastik susah diurai? Sampah plastik terbuat dari bahan anorganik dan mengandung Polychlorinated Biphenyl atau PCB sehingga membuat limbah plastik sulit terurai. Apabila ditimbun dalam tanah untuk menguraikannya butuh waktu berjuta-juta tahun. Dan apabila dibakar hanya akan menjadi gumpalan dan butuh waktu lama untuk mengurainya. Tertim-bunnya sampah plastik di tanah dan di laut memicu terjadinya pemanasan global yang berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri, berdampak pada hewan laut yang menelan sampah plastik yang terbawa ke laut dan sebagainya.

Limbah plastik yang terurai di dalam tanah akan menghasilkan partikel-partikel yang bisa mencemari air dan tanah. Tanah menjadi tidak subur karena banyak hewan pengurai, misal cacing tanah yang terbunuh akibat partikel-partikel tersebut, air di dalam tanah tidak bisa mengalir lancar, dan mengha-langi sirkulasi udara di dalam tanah. Limbah plastik juga berperan dalam pemanasan global sehingga terjadi perubahan iklim yang ekstrem.

Maka dari itu, dengan dilaksanakannya kegia-tan Green Act ini diharapkan dapat memunculkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar. Hasil dari sampah botol plastik yang terkumpul itu dijual dan dibelikan bibit pohon di Hutan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi wali pohon atas nama Masyarakat Fikom Unpad.

Page 3: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARAPemimpin Umum: Thaariq Basthun Natsi

Pemimpin Redaksi: Dimas Jarot Bayu - Redaktur Opini: Ryan HilmanRedaktur Bahasa: Sri Oktika Amran - Redaktur Perjalanan: Dina Aqmarina Yanuary

Redaktur Desa dan Budaya: M. Rifqy Fadil - Redaktur Acara dan Lingkungan: Alfath AzizRedaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat

Reporter: Olfi Fitri Hasanah, Tyas Dwi Pamungkas, Aflah Satriadi, Alfa Ibnu Wijaya, Deando Dwi Permana, Nelly

Yustika E.B. , Dwi Desilvani, Andhika Soeminta, Nadia Septriani, Devrilla M. Indra, Istnaya Ulfathin, Dwy Anggraeni, Wini Selianti, Bonny Rizaldy, Jenjen Zaenudin

Advertising: M. Hanif Izzatullah (08561610062)Email: [email protected]

Alamat Redaksi:Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

SAPHARA | 3

Salam 3Pemred

Perjalanan 4 Lokal

De 6sa

Lintas 8Kota

Laporan 10 Utama

Wisata 18 Budaya

Hala 20man

Aca 22ra

SALAM PEMRED

Sampah masih menjadi masalah krusial di bumi ini. Pola konsumtif masyarakat menyebabkan kuantitas sampah di dunia terus bertambah setiap tahunnya. Data dari United Nations Environment Program (UNEP) pada 2012 menyatakan bahwa volume sampah dunia telah mencapai 1,3 miliar per tahun. Produksi sampah dunia ini akan terus naik dan diperkirakan mencapai 2,2 miliar ton per tahun pada 2025. Padahal, sampah ini sendiri memiliki bahaya yang tinggi, baik terhadap lingkungan maupun kesehatan manusia.

Kisah mengenai sampah tak hanya muncul di tempat pembuangan. Saat ini, mereka mulai menempati sisi-sisi perkotaan, laut, gunung,

danau, sungai, bahkan berkamuflase agar bisa lebih dekat dengan manusia lewat kemasan makanan. Iya, kemasan yang biasa kita gunakan sebagai pewadah makanan.

Fenomena sampah yang berkamuflase menjadi kemasan makanan tersebut telah dirangkum dalam laporan utama SAPHARA edisi April 2013, sekaligus untuk memperingati hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April. Sebagai momentum sakral terhadap kondisi lingkungan, hari bumi ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita, masyarakat Indonesia untuk peka terhadap masalah yang merugikan bumi dan nantinya dapat berdampak kepada kita sebagai manusia. Selamat Hari Bumi!

Dimas Jarot Bayu, Pemimpin Redaksi.

DAFTAR ISI

Foto Essay 24

Operasi 30

Kata Kita 32

Buah Pena 34

Refleksi 36

Etalase 38

Review 39

Page 4: Saphara Edisi 4, April 2014

TEGAL ALUN

Teks: Dimas Jarot Bayu & Dina Aqmarina YanuaryFoto: Dimas Jarot Bayu

SAPHARA | 4

awasan ini memiliki beberapa Ktebing dengan karakteristiknya masing-masing, menggoda para

pemanjat tebing untuk menjelajahi medan-medan vertikal itu. Citatah 48, Citatah 90, dan Citatah 125 adalah beberapa nama tebing yang dikenal dan banyak digunakan sebagai tempat pemanjatan. Tebing-tebing tersebut memiliki khasnya tersendiri menjadi daya tarik bagi para pemanjat.

Dimulai dari tebing terpendek yaitu Citatah 48, atau sering disebut warga sekitar dengan nama Gunung Tebing Manik memiliki ketinggian sekitar 48 meter. Tebing ini berada di sisi kiri jalan, jika kita berjalan dari arah Padalarang. Tak sampai lima menit setelah memasuk jalan terebut, disana dapat terlihat gapura bertuliskan “Komando”, sama seperti sebutan lainnya bagi tebing ini, yaitu Tebing Komando.

Lapangan terbentang, terdapat beberapa besi pull-up di sisi lapang, dan saat menoleh ke kiri, tepat sebuah

tebing menghadap ke arah lapang dengan beberapa jalur panjat. Tebing ini merupakan jenis batuan kapur. Pada puncaknya dapat terlihat tugu pisau yang menjadi ciri khas tebing ini.

Jalur panjat bervariasi, ada sekitar 25 jalur yang dapat dicoba para pemanjat. Namun, karena berada di bawah pengawasan Kopassus, maka prosedur perihal perizinan dan masalah administrasi lainnya untuk bisa memanjat di tebing ini perlu diurus ke Pusat Pendidikan Latihan Pasukan Khusus atau Pusdipassus berlokasi di Batujajar.

Kembali ke jalan raya, lalu me-nuju arah Padalarang, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan motor, explorer akan menemukan sebuah jalan berbatu-batuan kecil dan menurun. Itulah akses menuju Citatah 90. Setelah masuk jalan berbatu tersebut, sekitar 200 meter dapat terlihat sebuah tebing menjulang tepat di sebelah Tebing Citatah 90. Tebing ini biasa disebut Tebing Pengantin. Tebing tersebut jarang

dipakai karena medan tebing yang lebat oleh semak-semak serta hanya terdapat dua hanger (pengaman) pada jalurnya.

Beberapa bagian tebing terli-hat rapuh dan tidak memungkinkan digunakan sebagai jalur pemanjatan. Selain itu, puncak tebing dipenuhi kera yang lalu lalang. Untuk masalah perizinan memanjat, hanya perlu melapor kepada warga sekitar yang bertempat tinggal tak jauh dari dasar tebing. Namun permukaan yang rapuh, serta banyaknya penambangan yang beroperasi di kawasan itu, menyebab-kan tebing ini tidak sepopuler tebing lainnya dan sangat jarang dikunjungi para pemanjat.

Setelah menempuh jarak sekitar 500 meter dari Citatah 90, dapat terlihat akses jalan menuju sebuah tebing yang selalu ramai dikunjungi para pemanjat. Gunung Tebing Pabeasan atau lebih dikenal para pemanjat dengan nama Citatah 125 ini, merupakan tebing dengan banyak jalur variatif.

Sama seperti dua tebing lainnya

PERJALANAN LOKAL

PESONA RAGAMMEDAN VERTIKALCITATAHTeks & Foto: Aflah Satriadi & Dwy Anggraeni Mutia

Langit biru cerah, gumpalan awan putih melintas yang kadang menghalangi pancaran sinar matahari, serta pemandangan tebing-tebing menjulang tinggi menjadi gambaran saat berada di kawasan Citatah, tepatnya di kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Berjarak sekitar 5 kilometer dari Padalarang, saat memasuki kawasan ini, bangunan-bangunan pabrik khususnya pabrik batu marmer menyambut di sepanjang sisi jalan raya. Barulah setelah itu, pesona tebing-tebing mulai memanjakan mata, muncul satu per satu memberikan pemandangan yang sulit untuk ditemukan di tempat lain.

Medan pemanjatan di Tebing 40, Citatah

Page 5: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 5

yakni Citatah 48 dan Citatah 90, tebing ini juga dinamai sesuai dengan ketinggiannya yang mencapai 125 meter. Kawasan tebing ini sering dijadikan tempat pelatihan ideal bagi para pemanjat karena tingkat kesulitan tebing di setiap jalurnya beragam. Pada ketinggian sekitar 30 meter dari dasar tebing, terdapat goa untuk memasang tambatan guna kepentingan latihan.

Untuk dapat memanjat di kawasan tersebut, prosedur perizininan hanya melapor pada ketua RT atau karang taruna setempat. Kawasan tebing ini berada dalam pengawasan warga Pabeasan. Warga Pabeasan juga mengurus segala kepentingan, mulai dari mempermudah akses jalan, kebersihan kawasan tebing, sampai fasilitas umum berupa toilet pun telah selesai dibangun di sana. Hal-hal itu pula yang mungkin menjadi penyebab kawasan tebing ini ramai dikunjungi.

Citatah tak hanya memiliki tiga kawasan pemanjatan, masih ada kawasan lain seperti Goa Pawon serta Gunung Hawu. Goa Pawon tak jauh dari kawasan Citatah 90 yakni kawasan Gunung Masigit, saat ini merupakan salah satu objek pariwisata di Citatah. Di Goa inilah dapat ditemukan beberapa jalur pemanjatan. Selain itu, masih ada pula Gunung Hawu, sebuah kawasan

tebing berada di belakang Citatah 125. Tebing tersebut tergolong tersembunyi, tapi memiliki jalur-jalur cukup sulit bagi para pemanjat pemula.

Menurut pemanjat profesional Indonesia sekaligus pembuat '1000 Jalur Panjat untuk Indonesia', Tedy Ixdiana, Citatah memang memiliki banyak kelebihan diantaranya, jarak tebing satu dengan lainnya dekat, dan juga keterjangkauan kawasan Citatah ini cukup dekat dengan Kota Bandung.

“Kawasan tebing citatah ini adalah salah satu tempat terbaik untuk latihan panjat tebing, ini dilihat dari fasi-litas jalur pemanjatan yang telah terse-dia dan karakter medan pemanjatan yang variatif,” tambahnya.

Hal ini ternyata juga dirasakan oleh para pemanjat lainnya. “Rasanya seru, banyak jalur-jalur buat latihan, cocok buat latihan pemula maupun pro-fessional,” ujar Okky, salah satu peman-jat di Citatah.

Pertambangan serta dampaknya

Memasuki kawasan Citatah ini, explorer dapat melihat perusahaan-perusahaan pertambangan kapur yang beroperasi setiap hari. Marmer, kapur, tepung, merupakan beberapa hasil dari pertambangan ini. Hal ini menjadi masalah serius, terlebih adanya ancam-

an bagi tebing-tebing di kawasan ini yang bisa terkeruk habis demi kepentingan pertambangan.

“Kita disini harus koordinasi dengan pihak pemerintah untuk mencari jalan keluar bagi konservasi teb ing C i tatah in i , ” kata Tedy menanggapi masalah pengerukan tebing di kawasan Citatah. Ia juga menilai, perlu ada pembagian wilayah pemanjatan dan pengerukan tebing, sehingga lahan khusus untuk pemanjat t idak terganggu dengan adanya pengerukan tebing.

Di sisi lain, pertambangan ini menimbulkan dampak bagi para warga sekitar. Mulai dari polusi udara, keterbatasan jalur air, kebisingan serta getaran yang dihasilkan oleh ledakan dinamit, sangat mengganggu warga yang tinggal di kawasan Citatah ini.

“Malah dulu sempat terjadi longsor gara-gara pertambangannya pakai dinamit,” ujar Ade, Ketua RT Pabeasan. Menurutnya, keuntungan bagi warga pun tidak dapat dirasakan. Bagaimanapun, eksploitasi tetaplah suatu hal yang perlu ditanggapi serius. Jika hal ini tidak diproses lebih lanjut, lambat laun pesona keindahan alam di kawasan Citatah akan memudar bahkan rata bersama tanah.

Pemanjatan di Tebing Pengantin

Suasana penambangan batuan di dekat Tebing 90 Pemanjatan di Tebing 125

Page 6: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 6

Teks dan Foto: Nelly Yustika E.B.

DESA

CITALOK,DUSUN DWI BAHASATeks & Foto: Dimas Jarot Bayu & Olfi Fitri Hasanah

Perang Bubat yang menyebabkan tewasnya Diah Pitaloka dan para pengawalnya oleh pasukan Gajah Mada dianggap sebagai latar belakang perselisihan yang kerap terjadi antara suku Sunda dan Jawa hingga saat ini. Namun, nampaknya mitos tersebut tak berlaku lagi jika melirik kehidupan warga Dusun Citalok, Desa Sakurjaya, Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Penduduknya secara masif menggunakan bahasa Sunda dan Jawa yang notabene bermiripan tapi “tak mau disamakan” ini dalam percakapan sehari-hari.

entunya, warga yang berasal dari Tsuku Jawa dengan bahasa jawa dialek Ngapak asal Indramayu

dapat hidup dengan rukun dan saling menghormati budaya satu sama lain dengan warga dari Sunda Sumedang. Hal itu senada dengan penjelasan dari Yaya Wijaya, Kepala Desa Sakurjaya, Kecama-tan Ujung Jaya, Sumedang.

“Suku masyarakat di Citalok merupakan campuran, ada Sunda dan Jawa. Suku Jawa di sana banyak berasal dari Indramayu dan Jawa Timur. Sedang-kan suku Sundanya banyak berasal dari Majalengka dan Sumedang,” jelas Yaya.

Percampuran kedua suku tersebut, ungkap Yaya, dimulai pada sekitar tahun 1980-an, ketika masyara-kat dari Indramayu, Majalengka, serta Sumedang bertransmigrasi ke desa Sakurjaya dan menetap di dusun tersebut untuk bekerja sebagai buruh

tani. Ia juga mengatakan bahwa dulunya daerah disana hanya berupa hutan jati. Namun, seiring dengan berdatangannya transmigran, terbentuklah dusun terse-but.

Iing Asroni contohnya. Menu-rut Ketua RT 01 Dusun Citalok itu, dari 84 Kepala Keluarga di dusun yang dapat ditempuh selama 3 jam dengan kenda-raan bermotor dari kota Sumedang ini, hampir 80 persennya merupakan pendatang dari luar Jawa Barat.

“Awalnya, percakapan sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat Dusun Citalok masih terbatas pada masing-masing bahasa suku asal. Namun seiring kebutuhan sosial, masyarakat mulai saling memahami bahasa Jawa dan Sunda,” ujar pria yang juga merupakan pendatang dari Indramayu ini saat ditemui di rumahnya pada Kamis (30/1).

Meski begitu, kebudayaan Sun-

da cenderung dominan digunakan di Desa Citalok baik dalam pernikahan maupun ritual adat lainnya seperti hajat bumi, ajeng, calungan, bahkan larangan bulan. Iing menjelaskan hal ini terjadi karena tidak adanya sesepuh asli Jawa yang berada di daerah ini, sehingga budaya asal dari suku Jawa di Dusun Citalok kurang bisa diterapkan.

Gambaran Kekayaan Bahasa

Budi Radjab, Dosen Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Fisip Unpad) menjabarkan bahwa fenomena seperti yang ada di Citalok ini menggambarkan suatu kekayaan bahasa di wilayah perbatasan. Sangat kecil pengaruh dari sana terhadap kondisi ke-hidupan sosial di tengah masyarakatnya. Malahan menjadi sebuah kebanggaan ketika bahasa ibu yang kini kurang dipa-kai dalam pergaulan luas, tetapi di wil-

Page 7: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 7

ayah perbatasan terjadi penggunaan dua bahkan lebih bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. “Bahasa daerah merupakan lingkup kecil, sehingga tidak akan berpengaruh besar pada kondisi sosial disana,” tambahnya.

Ia menjelaskan fenomena desa dwi bahasa seperti itu lumrah terjadi di daerah yang menjadi tanda batas antara dua buah budaya. “Gejala ini memang wajar terjadi di daerah-daerah perbatas-an di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia karena memang masyarakat-nya berinteraksi dengan kedua belah pihak,” jelas Budi saat dijumpai di perpustakaan Jurusan Antropologi, Fisip Unpad (17/3).

“Mereka paham, tapi

tidak dapat melafalkan. Hal itulah yang

dikatakan keunikan linguistik

”Komunikasi yang berlangsung

dalam dua bahasa daerah berbeda ini adalah hasil dari interaksi para transmig-ran yang menduduki wilayah Citalok. “Bahasa merupakan hasil dari pergaul-an. Karena bergaul, maka mereka terbiasa,” jawab Budi yang ditanyai mengenai penyebab daerah dwi bahasa. Penduduk Citalok bisa dibilang berko-munikasi secara bilingual. “Mereka paham, tapi tidak dapat melafalkan. Hal itulah yang dikatakan keunikan linguis-tik,” begitulah analisis yang disampaikan Budi.

Namun, Budi menekankan bahwa adanya beberapa bahasa daerah yang digunakan di wilayah perbatasan memiliki kemungkinan sangat kecil untuk melahirkan bahasa lokal baru karena pembentukan bahasa baru merupakan proses yang panjang. Yang ada kini merupakan bentuk-bentuk modifikasi bahasa yang disesuaikan dengan penggunaan masing-masing kelompok, seperti undak-usuk basa dalam bahasa sunda.

Gerbang masuk Dusun Citalok

Kegiatan sehari-hari warga Dusun Citalok

Keadaan lingkungan Dusun Citalok

Page 8: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 8

LINTAS KOTA

LAHIRNYAPULAU AJAEB

Teks & Foto: M. Rifqy Fadil

Bila mendengar nama Madura, di benak kita terlintas makanan khas daerah tersebut, yakni satai. Ternyata daerah ini menyimpan fenomena menarik yang belum lama muncul. Awal Januari 2013 lalu, sebuah dataran sepanjang 500 meter tiba –tiba muncul di lepas pantai utara Pulau Madura, tepatnya di Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Penduduk setempat menyebutnya Pulau Ajaeb.

Page 9: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 9

uhu udara di Jembatan Suramadu Spagi hari itu (9/2) terasa hangat. Seolah menjadi pengisi 'bahan

bakar' kami untuk memulai perjalanan ke Pulau Madura. Perjalanan menjadi lebih s ingkat semenjak adanya Jembatan Suramadu, penghubung antara Surabaya dengan Pulau Madura. Sebelumnya, jika explorer hendak berpergian ke Pulau Madura, maka explorer harus mengantre kapal penye-berangan. Belum lagi ditambah waktu tempuh penyeberangan dua jam. Sekarang, waktu perjalanan bisa dipangkas menjadi 15 menit saja.

Jarak tempuh dari Jembatan Suramadu hingga ke Sepulu sebenarnya hanya sekitar 40 Km. Namun, kondisi jalan yang rusak memerlukan waktu tempuh lebih panjang, yaitu sekitar 2,5 jam. Dari pusat keramaian di Kecamatan Sepulu membutuhkan waktu tambahan 20 menit bila mengendarai sepeda motor ke tepi pantai.

Tak terasa kami telah tiba di tepi pantai Sepulu. Pasir putih menghampar, dan beberapa perahu kayu bersandar di bibir pantai menjadi hiasan di siang hari yang terik itu. Dataran yang baru muncul tersebut sudah terlihat jelas karena jaraknya hanya sekitar 800 meter dari tepi pantai.

Explorer mesti menggunakan perahu kayu untuk menuju Pulau Ajaeb. Kebetulan, perahu kayu milik nelayan membantu explorer untuk menyam-bangi keajaiban alam itu. Dengan merogoh kocek Rp 5.000, explorer dibe-ri tumpangan menuju Pulau Ajaeb, dan juga untuk kembali ke Sepulu. Harga disesuaikan dengan jumlah penumpang. Jika jumlahnya banyak, maka harganya bisa lebih murah, begitu juga sebaliknya.

Kemunculan Si Ajaeb

Anwar Jalilah, pemilik perahu yang kami tumpangi, mengaku sebagai orang pertama menginjakkan kaki di Pulau Ajaeb. Menurut Anwar, awalnya pulau ini dinamai Batu Ajaeb. Pulau ini makin lama makin memanjang, maka diganti menjadi Pulau Ajaeb. Daerah Sepulu pun makin ramai oleh pelancong yang ingin melihat keajaiban alam itu.

“Setiap hari ada saja yang datang kesini. Ada yang sekadar ingin melihat fenomena tersebut. Ada juga yang ingin mengambil berkah dari pulau ini. Misalnya mengambil air dan batu nya

untuk kesembuhan penyakit,” ujar pria berusia 55 tahun ini.

Masyarakat setempat masih sangat mempercayai adanya hal-hal mistis terkait munculnya Pulau Ajaeb. Kemunculan pulau baru ini dianggap salah satu tanda munculnya bencana atau malapetaka yang menimpa desa mereka.

“Karena itu kami dari warga sini menginginkan agar Selametan diadakan secara rutin, untuk melindungi kesela-matan warga sini,” papar pria asli Bang-kalan tersebut.

Gelombang Ekstrem Langka

Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Geologi Kelautan (P3GL) pada awal Februari 2013, telah melakukan pengamatan singkat terkait fenomena ajaib itu. Berdasarkan rilis resmi P3GL, simpulan sementara yang dibubuhkan adalah munculnya pulau baru ini tidak merupakan fenomena geologi, melain-kan akibat interaksi antara pasang laut dengan aksi gelombang ekstrem pada Monsun Barat. Hal itu melipatgandakan energi fluks (gerakan bersinambung) gelombang yang sampai ke pantai sehingga mengakibatkan perubahan "littoral drift" (material yang dipindah-kan di sepanjang pantai oleh arus bawah oleh ombak) secara besar-besaran.

“Masyarakat setempat

masih sangat mempercayai adanya hal-hal mistis terkait

munculnya Pulau Ajaeb

”Material dasar laut berukuran

bongkahan pasir kasar yang terangkut itu menumpuk di atas rataan terumbu. Dimensi tumpukan material ini mem-bentuk daratan baru yang memanjang, di mana oleh penduduk setempat ma-namainya Pulau Ajaeb.

Di sisi lain, pakar Geologi Dinamik dari Fakultas Teknik geologi Universitas Padjadjaran (FTG Unpad), DR. Ir. Iyan Haryanto, M.T., mempunyai pendapat yang sedikit berbeda. Meski tak menampik, ia menyebutkan ada ke-mungkinan aktivitas magma menjadi penyebab munculnya Pulau Ajaeb.

“Kemungkinan karena pertum-buhan karbonat misalnya. Kasus ini sama persis seperti yang di Madura itu. Namun, pertumbuhan koral itu bisa juga pemancingnya karen gunung api juga. Misalnya kayak di Gamalama, itu di lerengnya banyak mengandung karbonat (koral-koral), artinya itu cikal bakal dari batu gamping,” ucap dia saat ditemui di FTG Unpad.

Pulau Ajaeb secara umum berstruktur batu koral. “Tetapi jika digali ke dalam dengan penelitian yang lebih jauh, bisa jadi batu pasir atau batu vulkanik. Sejalan dengan waktu koral-koral itu akan mengalami pelapukan, dan akhirnya akan ada kemungkinan muncul vegetasi,” ujar Iyan. Selanjut-nya, terbentuknya pulau tersebut bisa juga karena munculnya sedimen dari darat yang begitu cepat, hingga membentuk delta-delta. Menurut catatan P3GL, fenomena ini tergolong langka, tapi pernah juga terjadi sebelumnya. Seperti di pantai Kuta-Bali (1985), pantai barat Bengkulu (1991), pantai Grati-Jawa Timur (1994), serta pantai timur Lhokseumawe-Aceh (2001).

“ B a n y a k j u g a t e r j a d i pendangkalan akibat pengumpulan s e d i m e n d i p a n t a i p u l a u Jawa. Paling tidak kalau itu karena suplai sedimen, pulau-pulaunya takkan jauh dari bibir pantai. Suatu saat dia akan menyatu dengan pulau utama. Jadi daratannya makin meluas,” jelasnya.

Ia menilai pulau-pulau di Jawa dan Sumatra relatif cukup aktif kegiatan-nya lempengnya. Maka dari itu, feno-mena alam yang baru akibat dari tektonik acap kali muncul. Beda dengan Kalimantan yang relatif aman.

Senada dengan P3GL, menurut Iyan, dalam prediksi jangka panjang hal ini akan membentuk akumulasi sedimen yang berasal dari kedua sisi daratan sehingga terjadi proses pendangkalan (shoaling effect). Selanjutnya, proses pendangkalan ini akan membentuk gumuk pasir atau "sand dune" yang menghubungkan daratan ini dengan daratan pantai Madura yang dikenal sebagai efek tombolo.

“Ada kemungkinan bersatu dengan pulau utama. Mengingat letaknya yang tak jauh di tepi pantai,” tutup Iyan.

Page 10: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 10

LAPORAN UTAMA

Page 11: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 11

“DAUR ULANG”KEMASAN

PLASTIKTeks: Tyas Dwi Pamungkas, Dimas Jarot Bayu, dan Dimas Waraditya Nugraha (Kontributor)

Foto: Panji Arief Sumirat

Para produsen maupun distributor makanan tentu punya alasan mengapa mereka memilih “mendaur ulang” kemasan makanan. Proses yang rumit dan panjang serta mahalnya harga beli bisa menjadi

faktor pemicu.

Page 12: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 12

LAPORAN UTAMA

amai hilir-mudik manusia di RPasar Induk Gedebage, Kota Bandung tidak surut oleh terik

matahari siang itu. Belasan meter ke arah timur dari gerbang masuk utama pasar, terdapat jejeran toko yang menjual berbagai macam kebutuhan. Salah satu toko tidak memiliki tanda nama, namun dari jauh terlihat penuh sesak oleh pembeli.

Setelah dilihat dari dekat barulah jelas jika toko tersebut menyediakan berbagai jenis wadah dan kemasan makanan sekali pakai. Berbagai jenis dan ukuran kotak styrofoam yang difungsikan sebagai wadah makanan banyak tersedia. Selain itu terdapat pula gelas plastik dengan bermacam ukuran. Bahkan toko ini pun menyediakan pembung-kus makanan berbahan dasar kertas non kemasan.

Kelakar para pedagang kaki lima tentang kemudahan dalam me-nemukan toko atau kios yang menyediakan bermacam kemasan makanan terbukti benar. Di kawasan Pasar Gedebage sendiri meskipun tidak banyak, terdapat lebih dari dua toko yang menyediakan barang tersebut. Salah satu yang sedang ramai bernama Kurnia Plastik.

Berlokasi di Los 6 nomor 5, siang itu toko ini kebetulan sedang disesaki pembeli. Salah seorang pembeli bernama Agung berujar jika dia sedang mencari kotak styrofoam untuk kebutuhan usaha kateringnya.

“Dar i awal buka usaha katering nyari wadah untuk kemasan makanan sudah ke sini. Harganya murah, kalau sudah jadi langganan dimurahin lagi, jadi untung dua kali,” ujar pria berkepala plontos ini sambil tertawa.

Menurut pengelola toko Kurnia Plastik, Maman, sudah delapan tahun toko ini menyediakan beragam kemasan makanan. Dia mengungkapkan bila kebanyakan pembeli di tokonya ini adalah pengusaha kuliner yang membeli perlengkapan kemasan makanan dalam partai besar.

“Yang sering beli di sini biasanya yang punya usaha kuliner. Mereka membeli minimal satu bal, isinya sekitar 300 buah. Tapi kalau mau beli sepuluh biji juga tetap akan kita layani,” kata Maman yang saat ini tokonya sudah tidak terlalu ramai pembeli.

Guna menjaga loyalitas pela-nggan, Maman berujar toko Kurnia selalu menjaga ketersediaan barang-barang yang dijualnya. Dari Maman

pula akhirnya diketahui bila di Kota Bandung tidak terdapat pabrik yang memproduksi kotak styrofoam maupun gelas plastik tak bermerk, yang difungsikan sebagai kemasan makanan.

“Untuk pabrik setahu saya adanya di Tangerang dan Bogor, yang ada di Bandung hanya gudang distributornya saja. Tapi kalau lokasi gudangnya di mana tidak bisa saya kasih tahu,” tutur Maman.

Maman pun sempat menutur-kan kalau di Kota Bandung terdapat beberapa distributor yang 'bermain' kemasan dan wadah makanan. Namun dari pertama Kurnia Plastik masuk ke dalam bisnis kemasan makanan, toko ini belum pernah berganti distributor.

“Hubungan antara kami (Kur-nia Plastik) dengan agen (distributor) sangat baik. Kami tidak bisa sem-barangan memberikan kontak mere-ka. Kecuali misalnya ada toko yang ingin kami rekomendasi-kan untuk pasokan barang, baru bisa kami pertemukan dengan agen,” pungkas Maman.

Lain plastik dan styrofoam, lain pula dengan kertas bekas non kemasan yang dimodifikasi sebagai pembungkus makanan. Di Pasar Margahayu terdapat sebuah toko bernama Toko Rian, yang menyedia-kan pembungkus makanan berba-han dasar kertas non kemasan.

Menurut Rian sang pemilik, tokonya mendapatkan pasokan barang yang biasa digunakan sebagai pembung-kus gorengan ini dari industri rumah-an di kawasan Cicaheum.

“Untuk pembungkus goren-gan ini ada yang pasok dari Cica-heum. Dia yang cari kertasnya, terus dibentuk sendiri baru nyimpen di sini. Rata-rata sih bungkus begini larisnya sama pedagang gorengan.” kata Rian.

***Di Pagi hari Jalan Raya

Ibrahim Adjie di daerah Kiaracon-dong, Bandung, masih dipenuhi antrian kendaraan. Dari arah Jalan Layang Cicadas, terlihat jelas di sisi kiri jalan terdapat sebuah mobil box di pelataran parkir sebuah ruko yang menyediakan berbagai jenis wadah dan kemasan makanan bernama AA Plastik.

Tampak sekitar tiga orang keluar masuk ruko tersebut, sembari mengangkut masuk bertumpuk kotak styrofoam yang terbungkus plastik bening dari dalam mobil box. Aktivitas tersebut tidak berlangsung terlalu lama, kira-kira hanya 15-20 menit. Mereka adalah salah satu distributor kemasan makanan berbahan dasar plastik dan styro-foam di Kota Bandung.

Salah satu dari mereka, sebut saja Rey, cukup terbuka den-

Page 13: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 13

gan orang yang mengaku ingin membuka usaha toko kemasan makanan di Bandung Barat, namun belum tahu dari mana bisa menda-patkan pasokan barang berkualitas. Pria bertinggi tubuh sekitar 180 cm ini pun memberikan alamat gudang-nya yang berada di daerah komplek pergudangan Pasir Koja sekaligus mempersilahkan untuk berkunjung.

Agak sulit memang untuk menemukan alamat yang dimaksud. Gudang yang dimaksud oleh Rey ternyata tidak terlalu besar. Bentuk ruang penyimapanan tersebut terli-hat seperti garasi ukuran satu mobil. Ratusan dus berisi aneka kemasan dan wadah makanan tanpa merk baik yang terbuat dari plastik maupun styrofoam menumpuk hing-ga hampir menyentuh langit-langit. Di sanalah pasokan dari pabrik yang berada di Tangerang disimpan oleh Rey sebelum didistribusikannya ke beberapa wilayah di Bandung.

Rey bukanlah satu-satunya distributor di Kota Bandung yang menjadi pemasok bermacam kemasan makanan berbahan plastik dan styrofoam. Menurutnya ada sekitar tiga distributor lain di Kota Bandung. Salah satunya mengguna-kan gudang di Jalan Mohammad Toha.

“Saya ada di bisnis ini sudah hampir sepuluh tahun. Dan saya da-

pat memastikan harga yang lebih murah dibanding distributor lain-nya,” ujar Rey.

Rey pun menyatakan Balai Perlindungan Obat dan Makanan (BPOM) tidak mungkin melakukan sidak ke tempatnya, karena jatuhnya kemasan-kemasan ini adalah produk industri rumahan.

“Yang di Tangerang dan Bogor itu disebutnya saja pabrik, padahal skala produksinya enggak sebesar pabrik beneran. BPOM itu ngurusin ke m a s a n - ke m a s a n m a k a n a n bermerk yang diproduksi dengan skala besar,” papar Rey dengan nada agak meremehkan.

Di tempat terpisah, Staf Hu-mas Balai BPOM Jawa Barat Sri Haryanti menyayangkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia yang merupakan negara berkembang, berdampak terhadap sulitnya masyarakat selaku konsu-men dalam memilih kemasan maka-nan yang aman bagi kesehatan.

“Ruang lingkup pengawasan yang kami lakukan adalah pengawas-an untuk kemasan makanan pabrik-an. Sekarang pemilihan kemasan makanan benar-benar bergantung sepenuhnya terhadap para produ-sen jajanan di kaki lima, serta kesa-daran konsumen dalam memilih kemasan makanan yang baik,” tutur Sri Haryanti.

*** Permainan kemasan dan

wadah makanan secara ilegal masih kerap dilakukan oleh para distributor pemasok kemasan makanan. Hal yang tabu bagi masyarakat awam, namun bukan masalah untuk para produsen makanan yang bertujuan meraup keuntungan. Padahal, prak-tik-praktik “daur ulang” kemasan makanan ini sebenarnya membaha-yakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi lewat kemasan dan wadah makanan tersebut.

Enri Damanhuri, Ahli Ling-kungan dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Ban-dung (ITB) menjelaskan bahwa kerap terjadinya praktik kemasan ilegal disebabkan proses daur ulang yang panjang dan rumit.

“Prosesnya panjang sekali, sampah kemasan makanan yang dibuang oleh konsumen itu biasanya diangkut oleh para pemulung dan diberikan di lapak. Di lapak tersebut sampah digolongkan sesuai jenisnya, dipilah mulai dari botol plastik, styrofoam, gelas plastik. Baru setelah jenis sampah digolongkan, ia berpindah ke tangan bandar. Di bandar, diproses lagi pemilahan sesuai golongan jenis plastiknya dan dibawa ke bandar besar. Barulah di bandar besar ini terjadi proses akhir pemilahan dan penggilingan sehing-ga bisa diberikan kepada pabrik pembuat biji plastik ataupun pabrik produksi kemasan. Pabrik produsen plastik ingin kemurnian plastik, makanya proses pemilahannya pan-jang. Karena itu, biasanya praktik ilegal kerap terjadi di lapak dan bandar,” jelas Enri.

Enri menambahkan bahwa sebenarnya usaha daur ulang kemasan berbahan plastik atau styrofoam secara legal sendiri sangat didukung oleh pemerintah. Itulah yang dinamakan sebagai usaha penghematan sumber daya alam. Selain itu, bila tidak didaur ulang, kemasan plastik atau styrofoam dapat menumpuk di tanah karena sulit terurai sehingga menutup jalan masuk air dan menyebabkan benca-na seperti kekeringan atau banjir.

“Pembakaran dan pengubur-an sampah plastik secara semba-rangan dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Solusi 3R (Reduce, Reuse, and Recycle) lewat bank sam-pah merupakan solusi terbaik yang dapat diterapkan oleh masyarakat. Tidak ada cara lain yang lebih efektif selain mendaur ulang sampah kema-san plastik,” jelas Enri.

Page 14: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 14

LAPORAN UTAMA

Mereka Pun Tidak (Mau) TahuBertebarannya kemasan makanan ilegal berbentuk plastik ataupun styrofoam dalam pasar

konsumsi rasanya masih tabu di telinga banyak orang. Meski begitu, masyarakat sebenarnya sadar akan bahaya kesehatan yang kerap ditimbulkan dari pemakaian kemasan berbentuk plastik ataupun styrofoam. Sayangnya hal tersebut kerap disepelekan seakan tak menjadi

penyakit yang ditimbun pelan-pelan.

udaya mengemas makanan Bdimulai sejak manusia menge-nal sistem penyimpanan

bahan makanan. Di zaman praseja-rah, sistem ini diawali dengan mema-sukan bahan makanan ke dalam suatu wadah yang ditemui dari lingkungan sekitar, agar mudah untuk dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya.

Penuturan peneliti Balai Ar-keologi Bandung, Lutfi Yondri, hasil eskavasi yang dilakukan di kawasan Pawon yang letaknya di Kabupaten Bandung Barat menemukan fosil sisa bahan makanan berupa cangkang kura-kura di dalam kantung yang terbuat dari serat akar tanaman.

“Dapat disimpulkan manusia di dataran Bandung ini sudah men-genal sistem pengemasan makanan sejak sembilan ribu tahun yang lalu,” ujar Lutfi Yondri yang sudah sepuluh tahun meneliti kawasan Pawon.

Memasuki zaman sejarah, bahan-bahan kemasan mulai dibuat

dari kulit, kain, kayu, batu, keramik dan kaca. Namun di kala itu, kema-san masih terkesan seadanya. Di era ini kemasan mulai difungsikan untuk melindungi bahan makanan terha-dap pengaruh cuaca atau proses alam lainnya.

Selama berabad-abad, fungsi sebuah kemasan hanyalah sebatas untuk melindungi barang atau mempermudah barang untuk dibawa. Seiring dengan perkem-bangan zaman yang semakin kom-pleks, barulah terjadi penambahan nilai-nilai fungsional. Peranan kema-san dalam pemasaran pun mulai diakui sebagai satu kekuatan utama dalam persaingan pasar.

Pada tahun 1980-an di mana persaingan dalam dunia usaha semakin tajam dan kalangan produ-sen saling berlomba untuk merebut perhatian calon konsumen, bentuk dan model kemasan makanan yang diproduksi semakin penting pera-nannya dalam strategi pemasaran.

Pakar Kemasan Pangan Fakul-tas Teknologi Industri Pertanian Uni-versitas Padjadjaran, Herlina Marta mengatakan, pada saat itu kemasan harus mampu menarik perhatian dan menggambarkan keistimewaan produk guna mempersuasi konsu-men.

“Dimulailah era dimana kema-san mengambil alih tugas penjualan pada saat terjadi transaksi jual beli terjadi,” ungkap Herlina.

Tren penggunaan kemasan makanan pun berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia akan motif ekonomi. Pada dasarnya kemasan makanan memi-liki fungsi ekonomis, kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyera-gaman, promosi, dan informasi.

Kebutuhan para pedagang kaki lima di Kota Bandung sendiri akan kemasan yang praktis dan mu-dah dibawa, membuat peredaran kotak berbahan dasar styrofoam menyebar pesat. Akibat dari lumrah-

Page 15: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 15

nya penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan, jarang sekali ada konsumen yang bersikap skeptis terhadap dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan styro-foam sebagai wadah makanan panas.

Serry (18) seorang mahasiswa Politeknik Negeri Bandung, sangat tergila-gila dengan cita rasa pedas khas kudapan seblak basah. Minimal sekali dalam seminggu dia mengon-sumsi seblak basah yang disajikan hangat di atas wadah styrofoam. Gadis kelahiran Bandung ini sebe-narnya pernah mendengar selen-tingan informasi mengenai bahaya-nya kemasan makanan berbahan styrofoam. Namun dia mengaku tidak memiliki cukup waktu untuk mencari tahu lebih lanjut akan informasi tersebut.

“Pernah denger sih kalau styrofoam itu bisa berbahaya kalau ketemu udara panas, tapi mau bagaimana lagi, semua pedagang seblak menyajikan seblak pakai styrofoam. Paling buat mengurangi dampak buruk, jangan sering-sering aja makan seblaknya,” tuturnya.

Menurutnya setiap membeli lumpia basah di mana pun di Kota Bandung pasti akan dikemas menggunakan kotak persegi kecil berbahan styrofoam. Layaknya Serry, Mela pun sebenarnya pernah mendengar, bahkan sempat memba-ca di media sosial mengenai bahaya dari kemasan makanan berbahan styrofoam. Namun dia tidak terlalu

memikirkan hal itu.“Kemasan ini praktis, kayak-

nya selama tidak mengkonsumsi terlalu banyak dan rajin olahraga tidak akan terlalu berdampak terhadap kesehatan deh,” papar mahasiswa yang pernah menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari Fakultas Hukum ini.

Sesungguhnya pedagang sen-diri bukannya benar-benar buta akan informasi kemasan makanan yang memiliki dampak negatif bagi kese-hatan tubuh. Ade (35) yang berjua-lan seblak basah di Komplek Marga-hayu Raya mengaku pernah ada yang memberinya informasi mengenai bahaya penggunaan kemasan berbahan styrofoam.

“Waktu itu pernah ada yang bilang ke saya kalau kena panas kotak styrofoam ini bisa jadi penyakit. Antara percaya sama enggak sih, soalnya saya belum pernah denger orang sakit karena styrofoam,” ungkap Ade.

Motif ekonomi dalam meraup keuntungan semakin membuat Ade tidak percaya dengan informasi yang mengatakan, terdapat bahaya di balik kemasan berbahan styrofoam.

“Harga satuan kotak ini 250 rupiah. Lumayan buat ngurangin biaya produksi. Lagi pula para pembeli seblak sudah biasa dengan wadah ini (styrofoam) soalnya praktis,” tutur Ade.

Staf humas Balai BPOM Jawa Barat Sri Haryanti berujar sulit bagi

BPOM untuk dapat memantau penggunaan seluruh kemasan pangan, termasuk industri kaki lima. Namun menurutnya BPOM tidak tinggal diam. Kerja sama dengan pihak media massa dilakukan untuk penyebaran informasi mengenai kemasan-kemasan berbahaya di tengah masyarakat.

“Selain bekerja sama dengan pihak media massa, kami paparkan banyak informasi di web resmi kami www.pom.go.id mengenai obat dan makanan termasuk bahaya yang dapat ditimbulkan dari kemasan makanan,” papar Sri.

Senada dengan Sri Haryanti, Herlina Marta pun mengungkapkan sudah waktunya bagi setiap pihak untuk bertanggung jawab terhadap dirinya masing-masing. Menurutnya konsumen bertanggung jawab untuk menambah wawasannya mengenai kemasan makanan.

“Di zaman derasnya arus informasi seperti sekarang ini, tentu bukanlah hal yang sulit bagi konsumen untuk mencari informasi kredibel mengenai jenis-jenis kemasan makanan.,” tutur Herlina.

Lalu menurut Herlina, para pedagang pun harus lebih bijak dalam menjalankan roda bisnisnya. Mungkin awalnya tidak tahu tapi saat sudah tahu berhentilah untuk menggunakan kemasan makanan yang berbahaya demi mengejar keuntungan.

Page 16: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 16

LAPORAN UTAMA

Bahaya Si Pelindung Makanan

aman dahulu, makanan dikemas Zdengan daun pisang. Namun kini m u n c u l b e ra ga m ke m a s a n

makanan dengan ukuran yang kecil dan bahan yang ringan seperti styrofoam. Radit (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Padjadjaran menuturkan bahwa kemasan makanan yang populer kini tidak ada di zaman dulu ketika ia masih duduk di bangku SD (sekitar tahun 1999, red).

“Zaman dulu nggak ada styro-foam, kalo jajanan kayak lumpia basah gitu ya dibungkus pake daun pisang, baru diplastikin,” tuturnya.

Tren kemasan makanan yang praktis ini muncul bersamaan dengan munculnya makanan kreatif Bandung seperti cimol, cireng, seblak, lumpia basah, dan batagor. Seiring dengan mobilitas masyarakat, kemasan maka-nan juga berevolusi. Belum lagi Bandung yang menjelma menjadi tempat berlibur bagi orang luar kota menjadikan peda-gang bertambah dan ada di hampir setiap sudut kota.

Namun evolusi tersebut tidak diimbangi oleh perhatian terhadap kesehatan. Padahal informasi mengenai bahaya kemasan makanan plastik dan styrofoam sudah tersebar di berbagai media massa dan internet. Berbagai kemasan seperti gelas plastik dan styrofoam ukuran kecil yang biasa disebut HB oleh para pedagang bisa diperoleh dengan mudah dengan harga murah.

Untuk satu gelas plastik dihargai 200 rupiah, satu kemasan styrofoam ukuran besar dihargai 700 rupiah, dan satu HB dihargai 300 rupiah. Harga tersebut bisa lebih murah jika dibeli dalam partai besar. Murahnya harga kemasan ini turut menekan ongkos produksi pedagang makanan. Ade (35), pedagang seblak basah yang mangkal di Metro Margahayu bisa menjual satu kotak seblak dengan harga 6.000 rupiah. Ia mengaku bisa menghidupi keluarga-

nya dari keuntungan usahanya.

Namun keuntungan yang diraup-nya tidak dibarengi dengan pengeta-huan mengenai kemasan yang menjadi wadah barang dagangannya. Ia berpen-dapat bahwa kemasan HB sudah terser-tifikasi dan aman untuk kesehatan. Sebetulnya ia sempat diberi tahu bahwa kemasan berbahan styrofoam memang berbahaya, namun karena tidak pernah mendapatkan bukti, ia mengabaikannya.

“Ini kan udah tersertifikasi, ba-nyak yang pake juga, jadi aman lah. Selain itu, bungkus yang ini mah menarik dan praktis,” tuturnya.

***

Styrofoam memang menjadi pri-madona di kalangan pedagang makanan karena bentuknya yang apik, ringan, murah, dan bisa menahan panas. Padahal, penelitian yang dilakukan di Jepang sejak 2001 mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endikrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen.

Kertas juga populer digunakan sebagai kemasan, terutama gorengan yang tersebar di banyak titik kota Bandung seperti pelataran pusat pendi-dikan, perkantoran, dan pusat belanja. Kertas bekas mudah diperoleh di kios kemasan makanan seperti di Pasar Induk Gedebage. Harganya pun terjangkau. Hanya dengan 2000 rupiah, pembeli kertas kemasan bisa mendapatkan 20 kemasan kertas ukuran besar.

Kertas itu biasanya dibentuk se-perti kantung, dibuat dari kertas-kertas bekas hasil ujian atau koran yang diproduksi ulang dengan cara dilipat dan dilem. Industrinya pun berbentuk rumahan sehingga untuk mengontrol pembuatan dan distribusinya cukup sulit.

Padahal kertas yang digunakan sebagai wadah gorengan tersebut mengandung timbal (Pb) melebihi batas yang ditentukan. Di dalam tubuh manusia timbal masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan menuju sistem peredaran darah dan kemudian menyebar ke berbagai jaringan lain seperti ginjal, hati, otak, syaraf, fan tulang. Keracunan timbal pada orang dewasa ditandai dengan pucat, sakit, dan kelumpuhan. Keracun-an yang terjadi juga dapat bersifat akut dan kronis.

Pakar Kemasan Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Herlina Marta mengatakan bahwa kertas koran dan kertas bekas yang digunakan sebagai kemasan gorengan justru lebih berbahaya dari-pada plastik.

“Kertas koran atau kertas bekas bahkan lebih berbahaya karena men-gandung tinta dan serat-serat kertas-nya,” tutur perempuan yang juga men-jadi tenaga pengajar di Fakultas Tekno-logi Ilmu Pertanian ini.

Menurut Herlina, wadah plastik untuk makanan harus memenuhi salah satu kriteria yaitu tulisan Food Grade atau tulisan Approved by FDA sehingga dinyatakan aman untuk diguakan sebagai alat makan.

“Jika melihat ke bawah kemasan suka menemukan tanda segitiga dan tercantum 1-7 itu semua ada artinya masing-masing,” tuturnya.

***

Menurut makalah Badan Penga-was Obat dan Makanan (BPOM), Food Grade memang terbagi menjadi 7 yang memiliki jenis dan fungsi yang berbeda. Angka 1 memiliki kode PET/PETE (poly-ethylene terephthalete) yang memiliki ciri-ciri jernih, transparan, dan banyak digunakan untuk botol air mineral, jus,

Kemasan makanan adalah wadah penyimpanan yang digunakan untuk mempermudah konsumen. Dari perkembangannya, konsumen semakin dimanjakan oleh kemasan yang menarik dan praktis. Kota Bandung yang dikenal sebagai surga kuliner, perkembangan kemasan juga mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Sum

ber

fo

to: h

ttp

://1

.bp

.blo

gsp

ot.

com

/

Page 17: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 17

dan minuman ringan lain. Kemasan jenis ini direkomendasikan hanya sekali pakai dan jika digunakan untuk menyimpan air panas, lapisan polimer pada botol mele-leh dan mengeluarkan zat karsinogenik yang menjadi penyebab kanker.

Angka 2 biasanya disertai tulisan HDPE (high density polythylene). Kemasan plastik ini memiliki bahan yang lebih kuat, keras, buram, dan tahan terhadap suhu tinggi. Biasanya diguna-kan pada galon air minum atau kursi lipat. Seperti PTE, HPDE juga direko-menasikan satu kali pakai karena dibuat dengan menggunakan senyawa antimo-ni trioksida yang mudah masuk tubuh. Dampak kesehatan yang bisa ditimbul-kan dari penggunaan jangka panjang adalah iritasi kulit dan gangguan saluran pernapasan.

Angka 3 biasanya disertai huruf V (vinyl) atau PVC (polyvinyl chloride). Plastik jenis ini paling sulit didaur ulang. Biasanya digunakan untuk beberapa botol minuman. Namun penggunaan jangka panjang bisa menyebabkan gangguan ginjal, hati, dan penurunan berat badan karena mengandung DEHA (di-2-etil-heksiladipat) yang dapat bereaksi dengan makanan saat bersentuhan langsung.

Angka 4 tertera bersama tulisan LDPE (low density polythlyene). Ciri-cirinya adalah kuat, agak tembus cahaya, dan fleksibel dengan permukaan agak berlemak. Bahan ini terbuat dari minyak bumi dan biasa dipakai untuk tempat makanan, plastik kemasan, dan botol-botol yang lembek. Bahan ini memiliki

daya proteksi yang baik terhadap uap air, namun kurang baik terhadap gas lain. LDPE baik untuk tempat makanan karena sulit bereaksi secara kimia dengan makanan yang dikemasnya.

Angka 5 disertai tulisan PP (polypropylene) dan memiliki ciri-ciri kuat, transparan namun tidak jernih, berawan, ringan, berdaya tembus uap rendah, memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan agak mengkilap. Sejauh ini, PP adalah bahan terbaik dan aman untuk makanan dan minuman.

Angka 6 memiliki kode PS (polystyrene) dan biasa dipakai sebagai bahan tempat makanan styrofoam dan tempat minum sekali pakai. Polystyrene merupakan polimer aromatik yang bisa mengeluarkan bahan styrene ketika makanan bersentuhan dengan wadah. Sebagai perbandingan, styrene juga didapatkan dari asap rokok, asap kendaraan, dan bahan konstruksi gedung.

Bahan ini berbahaya bagi otak, mengganggu hormon esterogen pada wanita yang berbahaya bagi reproduksi, pertumbuhan, dan sistem syaraf. Bahan ini juga sulit diaur ulang karena memerlukan proses yang sangat lama. Beberapa negara bagian Amerika Serika bahkan sudah melarang pemakaian styrofoam untuk kemasan makanan.

Angka 7 biasanya disertai tulisan OTHER. Jenis ini terbagi empat, yaitu PC (polycarbonate), SAN (styrene acryloni-trile), ABS (acrylonitrile butadine styre-ne), dan Nylon. OTHER biasanya diguna-

kan untuk botol minuman olahraga, suku cadang mobil, alat rumah tangga, alat elektronik, botol minuman polikar-bonat, dan kaleng kemasan.

Jenis ini sebenarnya tidak dian-jurkan sebagai kemasan makanan kare-na bahan utamanya, bisphenol A, bisa masuk dalam makanan dan minuman dan merusak sistem hormon, merusak kromosom pada ovarium, penurunan produksi sperma, dan mengubah fungsi imunitas.

Herlina pun membenarkan data tersebut dan memaparkan dampak kesehatan yang bisa muncul ketika zat dalam kemasan bersenyawa dengan makanan dan masuk dalam tubuh.

“Menggunakan gelas plastik biasa untuk air panas bahkan mendidih tentu akan membuat polimernya terurai, terlepas dan termakan oleh tubuh. Lain halnya dengan wadah polypropilen atau yang baru mendidih di atas 120 derajat celsius.

Untuk styrofoam sama saja kasusnya, intinya titik leleh polymernya berapa, jika suhu makanannya sendiri berada di bawah titik leleh polimer aman. Namun jika di atas polimer akan terurai menjadi polypropylen yang tidak dapat melarutkan karsinogen. Zat karsinogen yang tertimbun di dalam tubuh akan menjadi kanker bahkan stroke. Lama atau cepatnya dampak zat karsinogen kepada tubuh bergantung dari seberapa sering dan seberapa banyaknya zat tersebut masuk ke dalam tubuh,” jelasnya panjang lebar.

Page 18: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 18

WISATA BUDAYA

Kujang, Bukan Sekadar PajanganTeks & Foto: Nelly Yustika EB & Alfa Ibnu Wijaya

Penempa kujang ketika bekerja membuat kujang

ata Kujang mungkin sudah lazim Kdidengar oleh mayoritas orang Priangan. Awalnya hanyalah

sebuah alat yang digunakan untuk ber-cocok tanam oleh para patani, hingga akhirnya dijadikan sebagai bahasa sim-bol oleh para Rama untuk menopang dan mengangkat derajat rakyatnya. “Sebenarnya kalau dilihat dari sejarah agak rancu mengatakan Kujang ini sebagai senjata khas Jawa Barat, karena Kujang sudah ada sebelum Jawa Barat dibentuk pada tahun 1925” ujar Budi Dalton, budayawan kawakan asli Ban-dung yang juga dosen pada program stu-di seni musik Universitas Pasundan, pada Jumat (4/4). Mayoritas orang menyebutkan bahwa Kujang merupakan benda pusaka.

Logam Keluhuran

Setiap lekukan dan pamor (garis/lukisan yang terbentuk dari penggabungan beberapa logam) yang terdapat dalam Kujang sebenarnya memiliki nilai-nilai keluhuran, keagung-an, dan kebaikan yang ditanamkan oleh penempa Kujang. Nilai-nilai inilah yang pada zaman kerajaan Padjadjaran dijadikan sebagai bahasa simbol oleh para Rama. Dari sinilah sebuah benda logam yang tadinya tidak memiliki makna seperti Kujang dapat menjadi benda pusaka yang diluhurkan dan diagungkan karena nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Namun, bahasa simbol dari tampilan fisik hanyalah permulaan dari benda logam yang dipusakakan ini.

Selain bahasa simbol, Kujang juga digunakan sebagai media bagi orang-orang yang ingin menempa kepribadian-nya. Agak membingungkan memang, sebuah benda logam yang sejatinya ada-lah benda mati tidak bernyawa dapat menempa kepribadian seseorang. Teta-pi itulah keunikan “plus-plus” yang dimiliki Kujang.

“Kujang adalah sarana komuni-kasi untuk menyampaikan nilai-nilai keluhuran dan kebaikan yang tersirat melalui proses penempaan dan Kujang itu sendiri.” ujar Ibnu Pratomo selaku Ketua Komunitas Peduli Senjata Asli Jawa Barat (Pijar), sebuah komunitas pecinta senjata khas tanah Sunda, saat ditemui awal April lalu. Itulah yang ia rasakan selama kurang lebih sembilan tahun menempa benda logam untuk dijadikan Kujang.

Proses penempaan Kujang yang memakan waktu dan penuh dengan ritual-ritual, membuat benda logam yang satu ini memiliki nilai lebih dibandingkan dengan benda logam lain yang juga dibuat melalui proses penempaan” ujar Alumnus Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Intitut Teknologi

Page 19: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 19

Bandung tersebut.

Lanjut dia, pemijaran (proses penempaan logam) Kujang tidak jauh berbeda dengan pemijaran pada logam lain. Hanya saja ada hal-hal tertentu yang harus diperhatikan untuk benda logam yang akan dijadikan Kujang saat proses pemijaran. Penggabungan energi positif yang ada di sekitar dengan logam yang ditempa ketika pemijaran, meru-pakan salah satu hal yang membedakan proses pemijaran Kujang dengan benda logam lain. Adanya proses pembukaan dan penutupan menempa melalui upacara ritual, juga merupakan perbe-daan yang mencolok dari proses pem-buatan Kujang. Proses yang rumit dan memakan waktu inilah yang Ibnu sebut-kan sebagai sarana komunikasi Kujang diluar tampilan fisiknya. Dan dari sinilah sebuah Kujang dapat menempa kepriba-dian seseorang.

Ibnu juga mengatakan, “Tempalah diri sendiri terlebih dahulu sebelum menempa dan memiliki Kujang, karena tidak semua orang bisa menempa dan memiliki Kujang, hanya mereka yang

telah teruji (telah menempa diri) yang pantas.”

Penggunaan Kujang itu sendiri setelah dijadikan sebagai simbol kelu-huran dan kebaikan adalah untuk acara seremonial seperti ketika waktu panen padi. Pada awal memanen meng-gunakan Kujang hanya sebagai simbol telah dilangsungkannya panen padi, selanjutnya panen padi dilanjutkan dengan menggunakan alat atau mesin yang biasa dilakukan pada saat mema-nen. Contoh lain ketika sebuah area hutan akan dijadikan area persawahan, pada saat pembukaan hutan dengan menebang pohon. Pohon pertama yang ditebang menggunakan Kujang, selan-jutnya baru menggunakan golok atau gergaji mesin.

Bukan Sekadar Pajangan

Penggunaan Kujang sejak diresmikan sebagai simbol sampai sekarang, ujar Budi Dalton, tidak terlalu berubah yaitu digunakan pada saat acara seremonial atau upacara adat. Untuk kalangan kawula muda sendiri, eksistensinya boleh dikatakan semakin

berkembang walau perlahan.

“Bisa dikatakan cukup eksis karena sudah banyak sosialisasi yang dilakukan oleh beberapa organisasi budaya tentang Kujang ini. Namun hanya perlu dibantu lagi dengan adanya peraturan yang mengikat seperti peraturan daerah yang mengharuskan seluruh tatanan pemerintahan Jawa Barat harus menggunakan simbol Kujang di kantornya dan lain-lain,” tutur Budi. Pada saat ini Kujang juga dalam proses pendaftaran hak cipta di UNESCO PBB.

Kujang mungkin hanya sebuah benda mati tak bernyawa, tetapi nilai-nilai keluhuran dan kebaikan yang tersirat didalamnya memberikan manfaat dan kebaikan bagi orang yang membuat, memiliki, dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Boleh dikatakan, Kujang tidak hanya sekadar pajangan dalam gedung atau rumah, tapi dengan lapisan makna filosofis khas tanah priangan yang membawa nuansa historis tersendiri bagi Jawa Barat.

(3)

(1) Penempa Kujang bekerja (2) Besi bahan baku Kujang

(3) Evolusi Kujang, dari bahan baku hingga jadi

“Selain bahasa

simbol, Kujang juga digunakan sebagai media

bagi orang-orang yang ingin menempa

kepribadiannya

Page 20: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 20

Foto

: M. A

nd

ika P

utra

HALAMAN

Tumpukan sampah di pinggir jalan bukan lagi pemandangan yang aneh. Masyarakat seenak-nya membuang sampah begitu saja tanpa ada rasa takut, tanpa ada rasa malu. Sampah yang dibuang sembarangan lalu dibersihkan oleh para petugas kebersihan. Namun sampah yang sudah dibersihkan tidak selamanya lenyap, mereka lagi-lagi datang. Kembali dibersihkan, kembali berserakan.

ampah kini menjadi permasalahan Sdi kota-kota besar, baik Jakarta, Bekasi, Manado, Solo, dan kota-

kota besar lainnya. Permasalahan sam-pah ini membuat pemimpin-pemimpin di setiap kota besar kalang kabut. Seperti Jakarta misalnya, banjir yang terjadi di kota metropolitan ketika musim hujan datang diakibatkan oleh sampah yang menumpuk di kali dan gorong-gorong. Ya, sampah selalu menjadi pemeran utama ketika banjir datang.

Tidak terkecuali Kota Bandung. Kota dengan jumlah penduduk sebanyak 2.510.982 jiwa dengan luas wilayah 16.729,50 Ha. ini memiliki sampah mencapai 1050 – 1100 ton per harinya. Terlebih jika weekend menjelang, para pelancong yang datang juga turut berpartisipasi dalam memproduksi sampah. Sampah yang dihasilkan di Kota Bandung bisa bertambah hingga 20% ketika weekend datang. Tak heran jika musim hujan di jalan-jalan protokol dan sudut kota di Bandung banyak ditemui genangan air. Bahkan genangan air pun bisa berubah menjadi lautan berwarna coklat setinggi betis orang dewasa.

Bandung The City of Pigs, Bandu-ng Lautan Sampah, kini menjadi julukan Kota Bandung. Bandung juga mendapat predikat sebagai kota terkotor terkait dengan longsor sampah yang sudah menggunung di TPA (Tempat Pembuang-an Akhir) Leuwigajah hingga menewas-kan 156 orang tahun 2005 silam. Ber-bagai kecaman datang dari warga seki-tar. Leuwigajah tidak lagi menjadi penampungan sampah. Bandung tidak lagi memiliki TPA.

Namun keseriusan Pemerintah Kota Bandung dalam permasalahan sampah di Kota Bandung terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2012 yang terkait dengan pelarangan pemakaian kantong plastik selain kantong plastik ramah lingkungan. Berbagai upaya pun dilaku-kan untuk menanggulangi masalah sampah di Kota Bandung. Seperti menyebarkan 5000 tempat sampah di seluruh penjuru Kota Bandung. Tempat sampah tersebut dipasang di samping jalan-jalan protokol Kota Bandung, den-

gan tulisan organik dan non-organik. Berharap permasalahan sampah di Kota Bandung selesai, nyatanya tempat sampah yang sudah disebar tidak digu-nakan dengan semestinya. Kini fasilitas umum tersebut banyak yang rusak.

Inna Savova, warga asing asal Bulgaria yang sudah 3,5 tahun tinggal di Bandung, pada 04 Februari 2014 lalu membuat tulisan di blog pribadinya yang memunculkan respon dari berbagai pihak. Inna Savova menjuluki Bandung sebagai City of Pigs. Savova mengung-kapkan bahwa permasalahan di Kota Bandung diakibatkan oleh perilaku masyarakat Kota Bandung yang tidak acuh terhadap kotanya sendiri.

Ibu Nia, staff pelaksana PD Kebersihan Kota Bandung, ketika ditemui (7/4) membenarkan bahwa Bandung tidak memiliki TPA. Tidak adanya lahan menjadi alasan Bandung tidak memiliki TPA. Ditutupnya TPA Leuwigajah membuat sampah-sampah yang dihasilkan dibuang di TPA Sari-mukti, Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Na-

mun, pembuangan di TPA Sarimukti tidak dikelola oleh Pemerintah Kota Ban-dung, melainkan di bawah naungan Pe-merintah Provinsi Jawa Barat.

“Yang paling banyak penduduk-nya ya yang paling banyak menghasilkan sampah," ucap Nia. Dirinya juga menga-takan bahwa Ciroyom dan Gede Bage menjadi daerah yang paling berkontri-busi dalam menghasilkan sampah di Kota Bandung. Sampah yang dihasilkan setiap harinya di setiap RW (Rukun Warga) bisa mencapai 42 m³ per harinya. Jika dihitung dalam satu hari, sampah yang dihasilkan di Kota Bandung bisa mencapai 1050 hingga 1100 ton per harinya. Setiap weekend menjelang, sampah-sampah yang datang dari pelancong yang berkunjung ke Kota Bandung bisa bertambah hingga 20%.

Pak Anwar, pekerja kebersihan Kecamatan Mandalajati, Kelurahan Sindangjaya, juga menuturkan bahwa setiap RW dan kelurahan di Bandung memiliki TPS. Setiap harinya sampah-sampah yang didominasi oleh sampah

Page 21: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 21

rumah tangga diangkut ke TPS. Dari TPS, sampah-sampah tersebut diangkut kembali untuk dibuang ke Sarimukti. Pengangkutan oleh dinas kebersihan rutin dilakukan setiap min-ggunya, bisa mencapai tiga kali dalam seminggu. Setiap sampah yang diang-kut oleh Dinas Kebersihan beratnya mencapai 8 ton.

Bank Sampah Wargi Mangla-yang menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sampah di Kota Bandung. Bank Sampah yang didirikan oleh warga Bandung ini berdiri sendiri tanpa ada campur tangan Pemerintah Kota Bandung. Bu Mimin dan Pak Rahmat, menjadi pelopor dan perintis Bank Sampah Wargi Manglayang. Bank Sampah ini berhasil menuntaskan masalah di sekitar lingkungan mereka tinggal, RW 006, Palasari, Cibiru, Bandung.

“Masalah sampah di Kota Bandung ini sebenarnya

karena perilaku

“ Anggota Bank Sampah adalah Ibu-Ibu PKK dan warga sekitar M a n g l aya n g . I t u l a h s e b a b nya mengapa dinamakan Bank Sampah Wargi Manglayang atau BSWM. BSWM didirikan murni murni dengan niat sosial untuk membantu pemerintah dalam memecahkan permasalahan sampah di Kota Bandung. Anggota Bank Sampah pun tidak digaji. Mereka dengan sukarela ikut berpartisipasi dalam BSWM.

Bank Sampah memiliki nasabah layaknya bank – bank pada umumnya. Namun bedanya, Nasabah Bank Sam-pah tidak menginvestasikan uang, Nasabah Bank Sampah menginvestasi-kan sampah. Nasabah Bank Sampah berasal dari warga yang tinggal di sekitar Manglayang. Siapapun bisa menjadi Nasabah BSWM.

Tidak hanya menjalankan siklus 3R (Reduce, Reuse, Recycle), BSWM menjalankan siklus 5R, ditambah dengan Repair dan Rethinking. Dalam siklus Repair, BSWM berprinsip bahwa barang apapun bisa diperbaiki. Dalam siklus Rethinking, BSWM berprinsip untuk terus berpikir inovatif.

“Masalah sampah di Kota Bandung ini sebenarnya karena perilaku. Kurangnya kepedulian masyarakat akan lingkungan jadi masalah utama. Jika setiap RW di Kota Bandung mau mendirikan Bank Sampah, maka sampah di Kota Bandung juga pasti selesai. Sayangnya, masyarakat sendiri saja jijik sama sampah,” ucap Mimin.

Teks: Nadia Septriani & Devrilla M. IndraFoto: Panji Arief Sumirat

Bandungku KiniLautan Sampah

Salah satu Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di Jalan Tamansari, Kota Bandung

Kegiatan anggota Bank Sampah Wargi Manglayang

Page 22: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 22

ACARA

ima, empat, tiga, dua, satu!” Lserentak masyarakat Kota Bandung menghitung mundur pemadaman

bersama untuk mendukung aksi Earth Hour (29/3) pukul 20.30-21.30. Aksi Earth Hour ini serentak dilaksanakan di seluruh belahan dunia pada waktu se-tempat sebagai sarana kampanye peng-hematan listrik guna meminimalisir pemanasan global yang sedang melanda seluruh dunia. Kampanye hemat listrik yang bertajur Earth Hour ini digagas oleh World Wide Fund (WWF) yang dilaksa-nakan pertama kali di Sydney, Australia. Kemudian, berkembang hampir ke seluruh dunia. Untuk Earth Hour di Indonesia telah diikuti oleh 29 Kota dengan melakukan berbagai macam kampanye kreatif. Sedangkan pada Kota Bandung sendiri terdapat 50 titik yang berpasrtisipasi dalam aksi pemadaman listrik serentak ini.

Tahun ini, Earth Hour Bandung diadakan berbeda pada tahun sebelum-nya. Kali ini Ceremonial Earth Hour Bandung diadakan di dua lokasi yaitu di Kantor Walikota Bandung dan Kantor Gurbenur Provinsi Jawa Barat Gedung Sate. Tujuan dari acara ini tidak lain adalah sebagai bentuk aksi kecil nyata pada dunia.

“Karena dunia membutuhkan aksi-kasi seperti ini, aksi kecil yang dila-kukan banyak orang dan memberikan dampak yang besar,” tutur Tian selaku Koordinator Jaringan Komunikasi Ban-dung Bijak Energi dan menjadi inisiator gerakan Earth Hour Bandung dan Jawa

Barat. Earth Hour kali ini berbeda den-gan tahun sebelumnya karena relawan yang mengikuti Earth Hour 2014 sema-kin luas dan diadakan di 60 titik Kota Bandung sekitarnya. Erath Hour mengu-sung konsep mematikan lampu karena mematikan lampu adalah termasuk hal kecil yang dapat masyarakat lalukan dan mudah. Jika dilakukan banyak orang maka akan memberikan dampak besar bagi bumi. Menurut data dari PLN, acara Earth Hour ini memberikan dampak penghematan energi 3.074 KiloWatt akibat memadamkan lampu selama 1 jam di Kota Bandung.

Pada Ceremonial yang dilaksana-kan di Kantor Walikota Bandung dihadiri oleh Walikota Bandung sendiri, Ridwan Kamil, dan Ceremonial Earth Hour Bandung di Gedung Sate dihadiri oleh Wakil Gurbernur Jawa Barat Dedy Mizwar, Mojang Bandung, serta Miss Earth 2013. Acara ini mengundang banyak perhatian publik serta antusias para masyarakat Bandung. Terlebih lagi Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung berencana memperpanjang program ini.

“Kalau setahun sekali kesannya hanya ceremonial yah? Bagi saya nggak cukup, kalau memang niatnya mau menghemat energi harus menjadi gaya hidup” tutur Ridwan Kamil. Rencana Ridwan Kamil ke depan adalah menerap-kan Earth Hour seminggu sekali untuk setiap rumah dan tidak termasuk gedung publik. Menurutnya, untuk mencapai pengehematan energi hanya dengan setahun sekali mematikan

lampu tidak cukup. Oleh karena itu, Walikota Bandung mengusung untuk mengadakan Earth Hour seminggu sekali di Kota Bandung.

Berbeda dengan Earth Hour Bandung yang diadakan di Gedung Sate yang lebih meriah. Jika di Balaikota hanya dihadiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan dampak Earth Hour, di Gedung Sate dihadiri oleh Mojang Jawa Barat serta Miss Earth 2013. Acara ini dimeriahkan dengan menyusun lilin berbentuk angka 60+.

“Acara ini sangat luar biasa ya, dilihat dari partisipasi warga yang ikut meramaikan acara ini dengan ikut mematikan lampu di rumahnya dan di beberapa titik besar Kota Bandung,” tutur Vitri Dwi Martini Daniati selaku Miss Indonesia Earth 2013 sekaligus sebagai Duta Earth Hour 2014. Ia pun berharap acara seperti ini dapat menjadi gaya hidup masyarakat Kota Bandung khususnya juga seluruh dunia. Wanita ramah ini berpesan agar seluruh dunia menjaga lingkungannya dengan meng-hemat energi.

“Acaranya luar biasa biasa sekali karena cukup menimbulkan kesan yang mendalam bagi teman-teman di sini karena acara ini cukup simpel tetapi memberikan arti yang besar” ucap Mojang Jawa Barat 2012, Widyas Sara-sayu. Mojang Jawa Barat yang sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran juga berpesan agar acara ini rutin diadakan setiap tahun dan men-dapatkan relawan yang semakin banyak.

Earth Hour , BandungGelap Gulitakan Kota Kembang

Teks & Foto: Dwi Desilvani

Page 23: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 23

raveling saat ini merupakan Tkegiatan yang mulai digiati masyarakat. Mulai dari tua hingga

muda, laki-laki atau perem-puan, kini berburu berbagai destinasi wisata yang tersebar di seluruh kawasan nusantara beserta keindahannya. Tak ayal, keindahan dari lokasi yang dising-gahi membuat para traveler mendoku-mentasikannya lewat foto ataupun tulisan.

Namun, pendokumentasian per-jalanan yang dilakukan oleh para traveler hanya berakhir sebagai doku-mentasi pribadi atau dipublikasikan dalam media sosial. Padahal dengan melakukan travel journalism, para wisa-tawan dapat membuat sebuah produk jurnalistik yang dapat dimuat di media massa. Selain itu, dapat pula membantu mempromosikan tempat pariwisata yang telah dikunjungi tanpa merusak ekosistem yang ada.

Inilah yang menjadi alasan Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran menyelenggarakan acara Parade Jurnalistik: Destinasi 2014 dengan tagline “Suarakan Indonesia!” di Graha Sanusi, Universitas Padjadjaran, Dipati Ukur, Bandung, pada Kamis (6/3).

“Akhir-akhir ini banyak masya-rakat, khususnya mahasiswa sedang hobi traveling. Nah, acara ini kita tujukan untuk memfasilitasi mereka dalam pem-buatan produk jurnalistik saat traveling supaya mereka bisa menyuarakan Indo-

nesia lewat media massa, sesuai tagline kita,” ujar Dhanang David Aritonang, Ketua Pelaksana Parade Jurnalistik: Destinasi 2014.

Geotraveling

Dalam acara yang bekerja sama dengan Kompas Gramedia ini, Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geogra-phic Indonesia, menjelaskan bahwa da-lam melakukan travel journalism, ada baiknya para traveler melakukan geo-traveling, yaitu traveling dengan mem-perhatikan unsur geografis, sosiologis, kebudayaan, keindahan alam, termasuk potensinya.

“Dengan menggunakan geo-travelling, kita bisa mendapatkan informasi secara mendalam tentang wilayah yang kita kunjungi dalam ekspedisi. Riset mendalam ini perlu, supaya kita bisa tahu apakah ekspedisi tersebut bisa divisualisasikan atau tidak,“ Ujar Didi.

Selain itu, Didi juga menjelaskan bahwa kegiatan traveling yang dilakukan harus pula membuat warga lokal merasa nyaman dan memberikan manfaat bagi lokasi wisata setelah traveler meninggal-kannya seperti yang pernah dilakukan-nya saat di Jogjakarta.

Berbagi Pengalaman

Selain Didi Kaspi Kasim, talkshow dalam Parade Jurnalistik: Destinasi 2014 juga menampilkan Medina Kamil, Presenter Jejak Petualang dan Dayu Hat-manti, Miss Scuba International 2011.

Medina dan Dayu mencoba mencerita-kan pengalamannya saat melakukan tra-veling ke berbagai penjuru di Indonesia. Menurut Medina, letak keeksotisan Indonesia berada di daerah Indonesia timur.

“Indonesia timur itu eksotis mulai dari alamnya sampai masyarakat-nya. Masyarakat Indonesia, terutama yang di timur itu humble dan polos,” jelas Medina.

Tim 100 Hari Keliling Indonesia Kompas TV juga turut berbagi cerita dalam acara ini. Mereka berbagi kisah mengenai suka duka peliputan yang mereka lakukan selama 100 hari mengelilingi Indonesia, mulai dari keter-batasan akses dalam perjalanan hingga saat ditawan oleh suku asli Desa Nopan, Kalimantan Barat, karena melanggar suku adat. Selain itu pula, Tim 100 Hari Keliling Indonesia juga menampilkan video di balik layar dari pembuatan pro-gram 100 Hari Keliling Indonesia.

Rangkaian acara Parade Jurnalis-tik: Destinasi 2014 juga diramaikan dengan lomba dan pameran foto. Pada akhir acara, Willy Kurniawan, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran keluar sebagai juara 1 lomba foto bertemakan “Pesona Pariwisata Indonesia”.

Menyuarakan Indonesialewat Travel Journalism

Teks: Dimas Jarot Bayu

Foto: M. Andika Putra

Page 24: Saphara Edisi 4, April 2014

FOTO ESSAY

Page 25: Saphara Edisi 4, April 2014

Prolog:Foto essay ini menggambarkan salah satu program yang dicanangkan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, untuk mengatasi

permasalahan kebersihan Kota Bandung. Tempat sampah yang dianggap mengirit anggaran kini keadaannya kurang terawat, bahkan ada beberapa tempat sampah yang sengaja dirusak untuk diambil besinya. Namun, tidak sedikit pula yang turut

menjaga dan merawat tempat sampah ini demi kebersihan Kota Bandung.Fotografer:

Panji Arief Sumirat

Page 26: Saphara Edisi 4, April 2014

FOTO ESSAY

Page 27: Saphara Edisi 4, April 2014
Page 28: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 28

FOTO ESSAYFOTO ESSAY

Page 29: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 29

Page 30: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 30

OPERASI

MANAJEMEN SAMPAHDALAM BERKEGIATAN

ALAM BEBASTeks: Wini Selianti & Deando Dwi Permana

Foto: Panji Arief Sumirat

Page 31: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 31

Siapa yang tak suka jalan-jalan? Semua orang suka jalan-jalan.

alasannya juga bermacam-macam. Bisa sekedar untuk menghilangkan penat, bisa juga hobi, atau berbagai macam

alasan lainnya. Sekarang banyak sekali di antara para explorer yang mengaku suka berkegiatan di alam

bebas. Tentu ini kabar baik. Semakin banyak explorer yang menyukai alam, tentunya semakin bagus alam kita. Semakin banyak orang yang sadar

bahwa alam adalah tempat pelarian yang indah dari bisingnya perkotaan,

tempat kita bisa menghirup udara tanpa campur aduk polusi kendaraan. Tapi, apakah explorer yakin alam

kita saat ini semakin indah dengan banyaknya explorer yang berkegiatan

di sana?

Perlu Explorer Tahu

alam berkegiatan alam bebas, setiap orang tentu saja Dmembawa pasokan makanan. Makanan yang sesuai dengan perhitungan kalori kita, dan biasanya yang

gampang atau instan untuk dimasak menjadi pilihan utama. Makanan ditentukan sesuai dengan lamanya perjalanan kita. Semakin banyak makanan yang kita bawa, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

Jika kita memperhatikan dengan baik, sebenarnya setiap gunung yang sudah dijadikan tempat Taman Nasional mempunyai peraturan mengenai sampah. Sayang, pada prakteknya terkadang orang yang membuat peraturan pun tidak konsisten pada peraturan yang ia buat. Beberapa Taman Nasional di Indonesia menerapkan sistem pengecekan bahan

makanan yang dibawa dan kemudian ketika turun pendakian bahan makanan yang tadi dibawa akan dicek ulang. Hal ini bagus ketika dalam prakteknya memang benar-benar terlaksana.

Kesadaran harus ditanamkan oleh setiap explorer yang berniat mendaki. Sadar bahwa barang-barang yang explorer bawa adalah tanggungjawab explorer. Bercermin ke luar negeri, mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun atau sering disebut zero waste di alam bebas.

Tidak semua explorer sadar bahwa membuang sampah di gunung merusak alam. adalah tugas explorer yang mengerti untuk memberikan penjelasan kepada para explorer lain dalam menjaga kebersihan alam.

Manajemen Sampah Di Alam Bebas

Adapun beberapa tips yang dikutip dari Wanadri, mengenai cara memanajemen sampah saat explorer berkegiatan di alam bebas, sebagai berikut :

Meminimalisir bahan makanan yang banyak mempro-duksi sampah.

Saat makanan telah menjadi sampah pilihlah makanan mana yang termasuk organik, dan non organik.

Sampah organik boleh ditinggalkan asalkan dikubur.

Perhatikan, ada beberapa sampah yang tidak boleh ditinggalkan, seperti batu baterai.

Ingat, buang air kecil dan buang air besar jangan di aliran sungai.

Muncul pertanyaan dalam benak explorer, bagaimana jika explorer tidak sanggup untuk membawa kembali sampah yang explorer bawa naik? Hal inilah yang sampai sekarang menjadi kendala bahkan alasan setiap para pendaki meninggalkan sampah di gunung. Biasanya setelah berkegiatan, kondisi fisik lemah, konsentrasi menurun, dan banyak yang berpikir lebih turun dengan selamat daripada memikirkan untuk membawa sampah yang banyak.

Hal ini berkaitan dengan peraturan yang dibuat oleh Taman Nasional itu sendiri. Ketika pembuat peraturan tegas, tentu saja para pendaki harus mematuhi peraturan tersebut. Misalnya peraturan membawa pulang sampah yang dibawa dengan melakukan pengecekan. Para pendaki pun akan berpikir dua kali untuk meninggalkan sampah di gunung. Ketegasan itu yang dibutuhkan oleh masyarakat kita saat ini.

Explorer tahu bahwa mendaki gunung bukan perkara mudah. Tapi bukankah explorer yang berminat untuk mendaki? Mendaki jangan sekedar mendaki,

perhatikan keadaan alam kita, lihat jalur yang kita pijak, sampah dimana-mana. Tumpukan sampah selalu ada di titik-titik tertentu. Harusnya

explorer sedih melihat alam kita kotor tak terurus. Banyak yang datang dan pergi, tapi tampaknya sekedar datang untuk melihat kemudian pergi seperti tak perduli. Explorer tentu paham bagaiamana seharusnya kita

menikmati alam. Kenalilah alam kita kemudian sayangilah. Hargai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, cukup dengan sekedar menjaganya.

Page 32: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 32

KATA KITA

Kisah “Daur Ulang” dalam siklus produksi

kemasan makanan banyak merugikan

masyarakat, terutama para konsumen yang membeli makanan

dalam kemasan ilegal. Padahal, sampah-sampah kemasan makanan tersebut seharusnya diolah kembali agar tidak

menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi

manusia. Lalu, apa kata para Explorer soal

fenomena ini? Saphara mencoba

mengkolektifkannya dalam rubrik Kata Kita.

Sampah ini sebenarnya masalah serius untuk kesejahteraan masyarakat tapi membutuhkan bantuan masyarakat juga

untuk dikelola secara baik. Dari sampah yang setiap hari kita hasilkan, berapa persen coba yang bisa di daur ulang secara cepat? Kemudian kadang sudah dipisahkan tempat sampah yang basah dan yang kering. Tapi ujung-ujungnya berakhir di

truk sampah yang sama dan TPA yang sama.

Hanifa Adani ( Fakultas Kedokteran, Yarsi Jakarta)

Jika kita lihat sampah di kota sangat banyak, sedangkan di desa sampahnya sedikit. Hal ini dikarenakan masyarakat desa

yang kreatif dalam mengelola sampah. Jadi seharusnya sumber daya manusianya yang disiapkan dalam pengelolaan

sampah, tidak hanya mempersiapkan alatnya saja.

Zervina Ruby (FEMA IPB)

Pengolahan sampah sendiri harus di kelompokan sesuai dengan sasarannya, misal pengolahan sampah di kampus bisa

pakai tempat sampah yang dipisah organik dengan non-organik. Terus untuk polusi udara seperti asap dan pabrik

industri bisa menggunakan penanaman pohon, jadi dalam satu hari tanaman dapat menyerap 5 Ton Co2. Untuk pengolahan limbah rumah tangga, saya pernah baca ada tanaman yang

mampu menguraikan zat-zat buruk dalam air, nanti tanamannya ditanam deket pembuangan air. Tanaman tersebut bisa menetralisir dari air limbah yang dibuang.

Sarah Halimah (Fakultas Psikologi, Undip Semarang)

Page 33: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 33

Recycle? Sudah tidak perlu recycle, lebih baik penggunaan plastik yang di kurangi agar tidak banyak sampah yang susah terurai. Bos-bos

perusahaan yang mulai sadar bahwa penggunaan plastik sudah tidak baik lagi untuk bumi kita.

Annisa Chantika (FISIP, Unpad Jatinangor)

Hal itu sebenernya tidak baik, botol kaca kalo mau di proses ulang juga harus di bersihin dengan air panas dan sesuai prosedur, jika mencuci dengan

air bersih itu gampang. Kita anak hukum, ada namanya perlindungan konsumen jadi kalo ada perusahaan yang melanggar prosedur tersebut

maka akan terkena sanksi dari pemerintah karena itu melanggar perlindungan konsumen yang tidak melindungi kesehatan konsumennya hanya untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya itu tidak boleh.

Binardho Aritonang (Fakultas Hukum, Unpad Bandung)

Balik lagi ke kitanya, kita tidak bisa terus menyalahkan produsennya. Sekritis apa kita

terhadap hal-hal semacam itu. Kita sering dengar, sering banyak komentar tapi apa yang sudah kita

lakukan? Apakah kita hanya protes tanpa melakukan apapun? Apa gunanya jika protes

tanpa melakukan sesuatu yang nyata.

Gena Patriani (Fakultas Hukum, Unpad Bandung)

Banyak kasus-kasus yang pola pengolahannya yang tidak baik dan juga tidak ramah lingkungan sehingga

menyangkut terhadap kesehatan. Secara umum kasus ini tidak searah dengan undang-undang pembangunan

berwawasan lingkungan dan undang-undang kesehatan jika ada kasus penggunaan sterofoam atau botol

minuman yang di anggap masih bagus tidak diolah terlebih dahulu langsung diedarkan ke masyarakat. Hal

itu termasuk dalam melanggar hukum. Jika kita berbicara hari bumi kita berbicara tentang cara manusia

memperhatikan lingkungan dan menjaga lingkungan. Dalam momentum hari bumi semua pihak punya

tanggung jawab bersama tidak hanya tanggung jawab kementrian tapi tanggung jawab kita bersama. Hari bumi

bisa menjadi sebuah peringatan tapi setelah itu bisa menjadi hal yang berkelanjutan.

Mulki Shaden (Fakultas Hukum, Unpad Bandung)

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Page 34: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 34

BUAH PENA

Page 35: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 35

Sum

ber

Fo

to: g

oo

gle.

com

Page 36: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 36

REFLEKSI

BUMISAAT INI

Oleh: Devrilla M. Indra

lanet Biru atau biasa disebut bumi Pterbentuk sekitar 4.5 Miliar tahun yang lalu. Bumi adalah tempat

tinggal bagi jutaan makhluk hidup. Planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dan lima planet kerdil yang ada dalam tata surya. Dengan umurnya yang tidak dapat dikatakan muda, bumi melakukan hal yang terbaik bagi kelangsungan hidup makhluk secara global.

Layaknya manusia, bumi saat ini sedang mengidap berbagai penyakit. Banjir, tanah longsor, dan krisis air bersih merupakan contoh - contoh bencana alam yang seringkali dipandang terjadi atas adanya intervensi manusia. Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan manusia atas segala kerusakan yang ada di bumi. Karena, aktivitas alam juga dapat mempengaruhi kerusakan bumi.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan manusia telah menye-babkan berbagai penyakit bagi bumi. Contoh kecil, 80% sampah dilautan berasal dari daratan, dan hampir 90% adalah plastik. Seperti yang kita ketahui, plastik adalah sampah yang sangat sulit terurai. Dibutuhkan waktu puluhan bahkan ribuan tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah secara terdekom-posisi atau terurai dengan sempurna. Pertanyaannya, siapa yang membuat sampah di bumi ini?, tentu manusia. Tidak ada makhluk lain di bumi yang menghasilkan sampah selain manusia.

Hanya manusia yang menikmati fungsi dari plastik.

Masalah lain yang datang dari manusia adalah penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara), sehingga jumlah gas rumah kaca di atmosfer melonjak. Bumi mengalami peningkatan panas lebih dari 20% selama beberapa dekade. Belum lagi dihasilkan dari asap kendaraan yang sehari – hari digunakan oleh manusia. Aktivitas manusia menggunakan bahan b a k a r fo s i l d a l a m ke h i d u p a n , menyebabkan kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer terus meningkat sehingga melampaui kemampuan tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Keadaan ini menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim, dan tentu berimbas pada rusaknya ekosistem.

Saat ini bumi tentu mengalami banyak perubahan yang disebabkan oleh manusia. Manusia adalah makhluk pintar yang mampu memajukan peradaban dengan pesat sejak dia menginjakkan kaki di bumi. Sumber energi dan bahan tambang pun menjadi urgensi kebutuhan bagi perkembangan peradaban manusia. Menurut catatan Energy Information Administration USA, manusia menghabiskan minyak sekitar 450 triliun liter dalam 100 tahun terakhir. Berarti, sudah 300 triliun ton yang disedot dari perut bumi. Jumlah batu bara yang dihabiskan oleh manusia dalam 100 tahun terakhir mencapai

jumlah 550 miliar ton dan 7.500 triliun cub feet gas bumi. Volume yang hilang tidak dapat kembali. Seperti yang kita ketahui, minyak bumi jumlahnya terbatas. Dapat diperkirakan semua ini akan mendatangkan bencana yang diakibatkan dari kosongnya isi perut bumi.

Ke m a j u a n d u n i a i n d u s t r i melengkapi kerusakan wajah bumi dengan dibuangnya limbah kimia ke laut dan sungai lengkap dengan asap – asap hitam yang mengepul dicerobong pabrik. Pencemaran limbah dan asap memastikan kualitas air dan udara menurun. Lalu diperjelas dengan penebangan serta pembakaran hutan yang berpotensi longsor dan banjir.

Kasus terbaru di Indonesia mengenai pembakaran hutan gambut seluas 10.000 hektar lebih di Pekanbaru, Riau. Bukan pertama kalinya, kebakaran hutan terjadi di provinsi ini. Akibat pembakaran hutan tersebut, Riau diselimuti kabut asap yang tebal. Kurang lebih 49 ribu orang menderita masalah pernapasan. Berdasarkan data Satgas Tanggap Darurat Asap, indeks standar pencemaran udara yang terpantau mencapai 500 PSI (Pollutant Standar Indeks) atau di atas 300 PSI yang berarti berada pada level "Berbahaya" . Padahal menurut Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup, udara dapat dinyatakan layak konsumsi atau dalam kategori baik jika alat ISPU menunjukkan

Page 37: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 37

angka di bawah 50 psi.

Kasus ini tentu bukan berasal dari gejala alam yang menyebabkan hutan terbakar dengan sendirinya. Dapat dipastikan bahwa fenomena ini terjadi akibat ulah manusia yang tidak mengerti akan lingkungan atau segelintir orang yang hanya mementingan kebutuhan pribadi tanpa memikirkan dampak yang dilakukannya. Banyak sekali kerugian yang dihasilkan dari kasus pembakaran hutan di Riau. Kerugian pertama adalah terjadinya bencana kabut asap yang berakibat buruk bagi pernafasan rakyat yang berkaitan dengan kesehatan. Sejumlah warga terpaksa di rawat di rumah sakit karena mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Kerugian lainnya adalah terganggunya transportasi dan aktivitas ekonomi yang diperkirakan sampai pada jumlah 10 triliun rupiah. Jika kita jumlahkan dari masalah kerusakan hayati, kegiatan pen-didikan yang terhenti, pencemaran karbondioksida yang berakibat pada kesehatan, tentu kerugiannya akan lebih besar lagi. Terakhir adalah kerugian bagi bumi, Kebakaran hutan mengakibatkan emisi karbon yang berlebih dan berpotensi pada penipisan lapisan ozon.

Alam semesta diserahkan Tuhan kepada Manusia untuk dijaga, dirawat dengan penuh kasih sayang, dinikmati keindahannya, diambil sumberdayanya untuk kelangsungan hidup manusia, bukan berarti di eksploitasi. Terkadang untuk urusannya sendiri, manusia tidak pernah mau mengerti. Manusia hanya mementingkan urgensi emosi yang secara lahiriah sudah melekat. Bahkan, manusia bisa memutar kata ataupun menyalahkan keadaan yang terjadi u n t u k m e n u t u p i ke s a l a h a n nya (defensif). Cara itu yang sejak dulu mam-pu me-legitimasi manusia untuk

seenaknya merusak alam.

Sudah banyak kerusakan ling-kungan yang terjadi akibat operasional perusahaan-perusahaan yang hanya mementingkan keuntungan bisnisnya tanpa mau mempedulikan lingkungan. Seharusnya, mereka sadar dalam menjaga keseimbangan ekosistem atau melalui inovasi-inovasi produksi yang ramah lingkungan. Bukan hanya menelanjangi kekayaan Bumi. Padahal, merusak alam sekitar berarti juga merusak diri sendiri, karena manusia adalah bagian dari bumi.

Bumi telah berbaik hati memberi ruang bagi manusia. Membiarkan manusia bergerak bebas sesuka hatinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekalipun manusia menyakiti bumi untuk kepentingan pribadinya. Manusia berlindung dari batang – batang pohon yang dirangkai sedemikian indah untuk menjaganya tetap hangat tanpa diguyur hujan saat terbaring tidur dimalam yang dingin. Pohon tinggi ditumbangkan, dikuliti, dimutilasi tanpa sadar bahwa pohon – pohon ini memberi arti kehidupan bagi ekosistem disekitarnya. Padahal, sebagai kolegial yang baik, pohon – pohon ini memberikan oksigen yang langsung dihirup oleh manusia.

Disisi lain, manusia giat meneria-kan kata “Reboisasi” untuk bisa mene-bang lebih banyak lagi. Tanpa pernah sadar bahwa semua yang dilakukan adalah deviasi yang sangat jelas. Kita boleh mempergunakan sumber daya alam namun secukupnya. Seperti pribahasa “Jika kamu menginginkan satu maka jangan mengambil dua, karena dua akan melenyapkanmu,” akibatnya kota yang dihuni mengalami kebanjiran saat hujan deras, tanah longsor menimpa pemukiman penduduk. Ironis.

Penanggulangan yang dapat

dilakukan dapat dimulai dengan kerja-sama antara masyarakat dan peme-rintah. Pemerintah dapat menyusun strategi dan kebijakan untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim, melakukan pengembangan program – program yang berhubungan dengan penghema-tan energi secara efisien dan peman-faatan bahan bakar yang ramah lingkungan. Ada baiknya jika penanaman kesadaran akan lingkungan diterapkan pada masyarakat mulai dari sekolah dasar. Pemerintah juga jangan pernah merasa lelah untuk terus mengingatkan masyarakat akan pentingnya merawat Bumi lewat regulasi yang jelas dan tegas..

Masyarakat dapat melakukan penghematan energi dan pemanfaatan bahan bakar sebagai cara awal untuk ber-rekonsiliasi dengan alam. Misalnya, menggurangi konsumsi listrik melalui lampu hemat energi, mengurangi p e m a ka i a n ke n d a ra a n p r i b a d i , bersepeda atau berjalan kaki untuk jarak yang tidak terlalu jauh, mengurangi penggunaan plastik dan menanam pohon didaerah sekitar tempat tinggal.

Beginilah keadaan bumi sekarang. Bila diibaratkan, bumi sedang menga-lami masalah komplikasi. Melalui tulisan ini, diharapkan kita semua dapat memahami gejala dan cara menangani penyakit komplikasi pada bumi. Membentuk kepedulian kita terhadap rumah, tempat tinggal, dan lingkungan hidup kita. Apa yang terjadi pada bumi sekarang, seharusnya menjadi titik refleksi yang berharga untuk segera melakukan penyembuhan. Kita semua harus terlibat langsung untuk merawat Bumi, menciptakan eskalasi persaha-batan yang lebih baik dengan bumi. Ingatlah generasi selanjutnya masih membutuhkan bumi yang sehat.

Sumber Foto: google.com

Page 38: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 38

ETALASE

Membuat Dompet dari Kotak SusuSumber : Youtube Do It Yourself (DIY) - Carton Milk Wallet

Gunting Lem panas Pulpen Penggaris - Lem kertas Velcro (perekat kain)

Kuas Selotip Tempat susu karton Kain Batu hias

Bahan yang dibutuhkan:

Langkah membuat dompet dari kotak susu:

1. Buka kotak susu yang sudah kosong dan tekan sampai lurus

2. Potong kedua sisi atas dan bawah dari kotak susu,

lalu cuci dan keringkan

3. Lipat kedua sisi kanandan kiri kotak susu

4. Pada sisi bawah kotaksusu ukur 7 cm, lalu lipat

5. Lakukan hal yang samapada sisi atas kotak susu,

lalu lipat dan lepas kembali

6. Gunting lipatan bawah dari sisi kanan dan

kiri kotak susu

7.G unting bagian atas yang sudah digunting sisi

kanan dan kirinya

8. Lebarkan kotak susu yang sudah digunting

pada langkah sebelumnya

9. Pakailah kuas untukmelumuri kotak susu

dengan lem kertas

10. Rekatkan kain di atas kotak susu yang sudah dilumuri lem

11. Sesuaikan bentuk kaindengan kotak susu,

sisakan 2 cm dipinggirnya

12. Rekatkan pinggiran kain yang disisakan dengan lem

13. Lipat ke bentuk yangditandai, lalu berikan lem

panas dan rekatkan

14. Lipat dompet hampir jadi, rekatkan dengan lem panas

sampai lem mengering

15. Rekatkan velcro pada tutup dompet dengan

lem panas

16. Terakhir, rekatkan batu hias di tutup dompet

Page 39: Saphara Edisi 4, April 2014

SAPHARA | 39

REVIEW

TRASHEDerkeliling dunia untuk melihat Bkeindahan sebuah icon negara mungkin sudah biasa, tetapi

melakukan perjalanan keliling dunia untuk melihat sampah-sampah yang menumpuk, mungkin hanya Jeremy Icons yang pernah melakukannya. Film dokumenter Trashed memper-lihatkan perjalanan Jeremy keliling dunia untuk mencari tahu pengelola-an sampah negara-negara dari yang baik maupun yang buruk.

Setiap tahunnya di seluruh dunia manusia membuang 58 milyar sampah gelas sekali pakai, milyaran buah kantong plastik, 200 milyar liter air botol kemasan plastik, dan milyaran ton sampah rumah tangga, sampah beracun, dan sampah elek-tronik.

Trashed menayangkan feno-mena permasalahan sampah di 11

kota di dunia, termasuk di Jakarta. Dalam film berdurasi 98 menit ini mengungkapkan salah satu fakta mengenai binatang laut yang mengkonsumsi sampah plastik kemu-dian dikonsumsi oleh manusia, bahaya yang sangat cepat akan terjadi pada tubuh kita. Dalam dokumenternya Trashed memperli-hatkan permasalahan penangangan sampah secara global yang ditim-bulkan oleh konsumsi berlebihan manusia.

Sampah merupakan cermin dari pola konsumsi manusia. Kini, sampah telah menjadi masalah serius yang mencakup secara global. Film dokumenter Trashed mencoba untuk mengingatkan kita agar selalu peduli terhadap lingkungan dan memper-baiki ekosistem yang telah rusak karena sampah.

BORN TO BE WILDilm ini terinspirasi dari cinta, Fdedikasi, dan ikatan yang luar biasa antara manusia dan

hewan. Keberadaan makhluk bumi selain manusia, mengingatkan kita bahwa isi bumi ini perlu dilestarikan. Namun, kadang manusia tidak sadar untuk sal ing berbagi dengan penghuni lain salah satunya binatang.

Born to be Wild mencoba un-tuk mengingatkan bahwa sebenarnya manusia bisa berbagi dengan binatang dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam film yang bersifat dokumenter, Born to be Wild, juga memperlihatkan orang-orang yang luar biasa dengan mendedikasikan pekerjaannya untuk menyelamatkan dan membesarkan orangutan dan gajah dari keserakahan manusia.

Born to be Wild juga mencoba

untuk memperlihatkan secara dekat aktifitas Dr. Birute Galdikas menjalin hubungan dengan orangutan peng-huni hutan Kalimantan. Dengan sega-la rasa kasih sayang, Dr. Birute Galdi-kas, mencoba untuk merawat orang-utan yang ia temukan di hutan sejak kecil hingga akhirnya terbentuk sebuah ikatan yang kuat antara dua spesies yang berbeda ini.

Selain itu, film ini juga mem-perlihatkan keindahan padang rum-put di Kenya yang dipenuhi dengan gajah liar. Segala cara yang dilakukan Dame Daphne Sheldrick untuk me-nyelamatkan gajah liar didoku-mentasikan dalam film ini. Berkat Dame Daphne Sheldrick pula gajah-gajah liar ini bisa kembali ke habi-tatnya, karena mereka terlahirkan untuk berada di alam liar.

Teks: Ryan HilmanSumber Gambar: www.imdb.com

Page 40: Saphara Edisi 4, April 2014

Sumber: google.com