sampul vol 3 no 5.cdr

68
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKA YOGYAKARTA STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA Sri Wulandari Danoebroto PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING COMMUNITY Erma Suriany UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03 KECAMATAN CIKARANG BARAT Desy Anggraini, Arrahim PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI EKSPONEN DAN LOGARITMA Putriyani S UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) (PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab.Pringsewu - Lampung) Herdian, S.Pd., M.Pd. IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE Rachmaniah M. Hariastuti1), Sri Wahyuni Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016 PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN IDEAL MATHEDU INDONESIAN DIGITAL JOURNAL OF MATHEMATICS AND EDUCATION m o o r N 2 0 1 6 5 UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1 SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-INNER SPEECH (MIS) Dina Ladysa ISSN 24078530

Upload: trinhnhi

Post on 31-Dec-2016

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: sampul vol 3 no 5.cdr

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKDAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKAYOGYAKARTA

STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA

Sri Wulandari Danoebroto

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING COMMUNITY

Erma Suriany

UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA

DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03 KECAMATAN CIKARANG BARAT Desy Anggraini,

Arrahim

PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI EKSPONEN DAN LOGARITMA

Putriyani S

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)

(PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab.Pringsewu - Lampung)Herdian, S.Pd., M.Pd.

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE

Rachmaniah M. Hariastuti1), Sri Wahyuni

Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

IDEAL MATHEDUINDONESIAN DIGITAL JOURNAL

OF MATHEMATICS AND EDUCATION

moo rN

2016

5

UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1 SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG

MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-INNER SPEECH (MIS) Dina Ladysa

ISSN 24078530

Page 2: sampul vol 3 no 5.cdr

SUSUNAN REDAKSIJURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 3 NOMOR 5 TAHUN 2016

PPPPTK MATEMATIKA

Penanggung jawab : Kepala Subag TU dan RT

Harwasono, S.Kom., MM

Redaktur : Cahyo Sasongko, S.Sn.

Penyunting/Editor : 1. Marfuah, S,Si.,M.T.

2. Muh. Tamimuddin H, M.T.

3. Muda Nurul Khikmawati, S.Kom,. M.Cs.

4. Dr. Sumardyono, M.Pd.

5. Wiworo, S.Si., M.M.

6. Dra. Th. Widyantini, M.Si.

7. Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A.

8. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si.

9. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A.

10. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed.

11. Hanan Windro Sasongko, S.Si.

12. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si.

13. Drs. Agus Suharjana, M.Pd.

14. Joko Purnomo, M.T.

15. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed.

16. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed.

17. Ratna Herawati, M.Si.

18. Sumaryanta, M.Pd.

19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd.

20. Jakim Wiyoto, S.Si.

Desain Grafis dan Layout : 1. Cahyo Sasongko, S.Sn.

2. Victor Deddy K, S.Si.

3. Muhammad Fauzy

Sekretariat : 1. Nur Hamid, S.Kom.

2. M. Pujiastuti

3. Lestari Budi Atik, A.Md.

4. Sri Kurniasih

3. Dewi Katmolowati

Alamat redaksi : PPPPTK Matematika

Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman, D.I.Y.

Telp. (0274) 885725, 881717

Fax. (0274) 885752

Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org

Page 3: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

285

STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU

MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI

BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN

PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA

Sri Wulandari Danoebroto

PPPPTK Matematika, Jl Kaliurang Km 6 Depok, Kab Sleman; [email protected]

Abstrak. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk mengungkap peran guru

dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang responsif pada budaya lokal

(culturally responsive teaching). Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

Subjek penelitian adalah guru matematika di SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP

Muhammadiyah Borobudur sebanyak 8 orang dengan pengalaman mengajar antara 7

hingga 32 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui angket kemudian wawancara

pada responden terpilih. Data dianalisis dengan logical analysis. Hasil penelitian adalah

sebagai berikut: 1) Peran guru adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan

memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari

kehidupan sehari-hari meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual dan

menggunakannya sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, 2)

Relasi sosial dalam pembelajaran lebih ditekankan antara siswa dengan guru, 3)

Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap

positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, 4) Meskipun guru

menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika, namun belum optimal

pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa kurang kreatif, kurang

memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik matematika yang cocok

dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa pembelajaran akan kurang

efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan mencapai prestasi UN

sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya.

Kata Kunci. Budaya, Candi Borobudur, guru matematika, pembelajaran

Abstract. This study is a preliminary study to uncover the role of teachers in

implementing the learning of mathematics that is responsive to local cultures

(culturally responsive teaching). The study was conducted with a qualitative approach.

The informants were 8 mathematics teacher of SMP Negeri 1 Borobudur and SMP

Muhammadiyah Borobudur with their experience of teaching are 7 to 32 years. Data

were collected through questionnaires and then interview to selected respondents. Data

were analyzed by logical analysis. The results of the study are as follows: 1) The

teacher's role is to create learning situations by taking into account the knowledge that

has been owned by the students on the mathematics of everyday life in the sense of

perception, intuition and factual knowledge and use it as an example of the application

of mathematics in everyday life, 2) social relations in learning more accentuated

between students and teachers, 3) learning is directed at the mastery of subject matter,

character values and positive attitudes towards the usefulness of mathematics in

everyday life, 4) although teachers are aware of the benefits of local culture for

learning mathematics, but not optimal utilization. Internal factors causes are the

teachers feel less creative, less understanding of local wisdom, yet know mathematical

topics that fit into a cultural context, and perception that learning will be less efficient.

External factors causes is demands of national exam achievement so teachers of grade

IX tend to prioritize.

Keywords. Culture, Borobudur Temple, mathematics teacher, learning

Page 4: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

286

1. Pendahuluan

Pembelajaran matematika di sekolah pada umumnya mewujudkan matematika sebagai ilmu

pengetahuan yang bebas budaya (cultural free) melalui pengajaran tentang fakta, konsep,

prinsip dan prosedur matematika. Matematika yang ditampilkan di sekolah melalui sisi

abstrak semata tanpa konteks akan membuat siswa merasa bahwa matematika tidak terkait

dengan kehidupannya sehari-hari. Padahal ketika siswa melakukan kegiatan sehari-hari di

lingkungan keluarga dan masyarakat, terdapat situasi yang memungkinkan siswa untuk

berpikir matematis dan memahami matematika secara intuitif. Hal ini menjadi salah satu

potensi yang dibawa siswa ke dalam kelas yaitu modal budaya (cultural capital).

Pembelajaran matematika di sekolah seharusnya relevan dengan latarbelakang budaya siswa.

Perspektif etnomatematika akan membantu siswa untuk menganalisis budayanya dan

menemukan koneksi antara budayanya (dirinya) dengan matematika. Konteks masalah dari

kehidupan nyata dalam situasi sosial budaya masyarakat memungkinkan siswa melatih

keterampilan pemecahan masalah dengan matematika sekaligus mengasah sikap positif

terhadap matematika dan terhadap budayanya sendiri.

Pembelajaran matematika melalui relevansi budaya dan perspektif etnomatematika akan

membantu siswa untuk tahu lebih banyak tentang realitas, budaya, masyarakat, isu-isu

lingkungan, dan diri mereka sendiri dengan menyediakan konten matematika dan pendekatan

yang memungkinkan mereka untuk berhasil menguasai matematika secara akademik (Rosa

& Orey,, 2013:91). Pembelajaran matematika yang responsif budaya merujuk pada ilmu

mendidik anak-anak yang disesuaikan dengan budaya mereka. Tujuan dari pedagogi yang

relevan budaya adalah untuk memberdayakan siswa melalui kegiatan pembelajaran yang

membantu mereka untuk mengembangkan kemampuan literasi, berhitung, keterampilan

teknologi, sosial dan politik agar dapat berperan aktif dalam suatu masyarakat yang

demokratis (Ladson-Billings, 1995:75).

Kesadaran akan pentingnya relevansi ilmu pengetahuan dengan kehidupan (kebudayaan)

mendorong untuk terus dikembangkannya pedagogi yang relevan dengan budaya atau

culturally relevant pedagogy. Perkembangan pedagogi ini berimplikasi juga kepada guru

matematika. Sudah seharusnya bila guru matematika turut berperan dalam melaksanakan

pembelajaran yang responsif budaya. Secara teoretis, guru dapat menggunakan modal

budaya siswa untuk menstimulasi pembelajaran matematika atau malah mengabaikannya.

Guru dapat secara aktif memotivasi siswa agar mau belajar atau malah justru menambah

beban mereka untuk berprestasi.

2. Peran Guru dalam Pembelajaran Matematika yang Responsif

Budaya

2.1. Pedagogi yang Relevan dengan Budaya

Pembelajaran matematika yang responsif budaya merupakan pendekatan budaya dalam

pembelajaran matematika. Pendekatan difokuskan pada bagaimana guru dapat menyatukan

nilai budaya dan perspektif budaya untuk memotivasi siswa mencapai pemahaman dan

Page 5: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

287

prestasi matematika. Konsep matematika tidak hanya diajarkan dalam konteks matematika

tetapi juga dalam konteks dunia nyata yaitu kehidupan sehari-hari siswa yang sangat

dipengaruhi budaya lokal.

Pembelajaran yang responsif budaya merujuk pada ilmu mendidik siswa yang responsif

budaya (culturally relevant pedagogy). Pedagogi yang relevan dengan budaya dapat

diartikan sebagai menggunakan pengetahuan budaya, pengalaman sebelumnya, glosarium

pengetahuan, dan kemampuan prestasi dari beragam budaya siswa untuk membuat situasi

pembelajaran menjadi lebih relevan dan efektif untuk mereka (Gay, 2000:29). Dengan

demikian, pedagogi yang relevan dengan budaya memungkinkan siswa untuk tetap memiliki

identitas budaya sekaligus mencapai prestasi akademiknya (Ogbu & Simmons, 1998).

Landasan teoretis dari pedagogi yang relevan dengan budaya meliputi: konsepsi guru tentang

diri dan orang lain (conception of self and others), cara guru mengelola relasi sosial dalam

pembelajaran, dan konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan (Ladson-Billings, 1995: 478).

Konsepsi guru tentang diri dan orang lain dalam hal ini mencakup pemikiran, keyakinan,

pemahaman dan pengetahuan guru tentang profesi guru di masyarakat, makna mendidik dan

mengajar, serta bagaimana kemampuan siswanya untuk belajar. Bagaimana guru

memandang siswanya, apakah siswa dipandang memiliki bekal pengetahuan matematika dan

kemampuan untuk belajar hal baru terkait matematika, dan apakah guru perlu menggunakan

contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk menumbuhkan minat belajar

siswa.

Relasi sosial dalam pembelajaran memandang pembelajaran sebagai bentuk interaksi antar

individu dalam kelompok atau interaksi antar guru dan siswa di kelas. Hal ini antara lain

diwujudkan dengan membangun komunitas belajar, memberi kesempatan siswa untuk saling

berkolaborasi dan bertanggungjawab, serta membangun hubungan yang erat dengan para

siswa. Guru yang responsif budaya mendorong berkembangnya komunitas pembelajar

daripada kompetisi atau prestasi individu (Ladson-Billings, G., 1995: 480). Dalam

pendekatan komunitas pembelajar di kelas, guru berperan dalam menfasilitasi diskusi antar

siswa sehingga semua siswa dapat terlibat secara aktif. Hal ini dilakukan antara lain dengan

mengajukan pertanyaan secara matang, memberikan penjelasan untuk memastikan proses

dan landasan konseptual strategi siswa sehingga ide-ide matematika dapat dipahami dengan

jelas oleh semua siswa (Bray, 2011:4).

Konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan merupakan pemikiran guru tentang kurikulum atau

konten matematika yang diajarkan. Beberapa diantaranya adalah keyakinan bahwa

matematika merupakan ilmu pengetahuan yang tidak statis melainkan masih dapat dikritisi.

Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa ketika belajar. Guru dapat mengajukan

probing question untuk membantu siswa yang keliru memahami agar mencapai pemahaman

yang benar. Guru membimbing siswa secara bertahap atau menjembatani antara konten

matematika yang dipelajari menggunakan konteks yang telah dikenal siswa. Salah satu tahap

penting dalam pengajaran yang responsif terhadap budaya adalah memastikan bahwa

pemahaman tentang konsep pokok telah terefleksikan dalam proses pembelajaran.

Pedagogik yang relevan dengan budaya harus memenuhi tiga kriteria yaitu: adanya

kemampuan guru untuk mengembangkan siswa secara akademis, adanya kesediaan untuk

Page 6: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

288

memelihara dan mendukung kompetensi budaya, dan adanya upaya pengembangan sosial

politik atau kesadaran kritis (Ladson-Billings, G., 1995:483). Kesadaran kritis yang

dimaksud antara lain ditunjukkan dengan kepedulian terhadap permasalahan sosial budaya di

lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ciri pembelajaran matematika yang reponsif

budaya ditunjukkan dengan: 1) peran guru adalah sebagai agen budaya yang membangun

pengetahuan matematika dan sikap positif menggunakan kearifan lokal, 2) adanya interaksi

dinamis antara guru dan siswa serta antar siswa sendiri,3) orientasi pembelajaran untuk

menanamkan nilai-nilai pendidikan matematika termasuk didalamnya pendidikan karakter

yang diangkat dari kearifan lokal.

2.2. Kompetensi Guru Matematika

Guru matematika perlu melaksanakan pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada

penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sarana pengembangan karakter positif.

Untuk itu, guru harus menguasai konten matematika dan pedagogis yang memadai minimal

sesuai dengan Standar Kompetensi Guru yaitu memiliki kompetensi profesional dan

kompetensi pedagogik. Pengetahuan konten matematika meliputi pengetahuan tentang

matematika sekolah sesuai jenjang yang diampunya yaitu jenjang Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas. Bahkan menurut Campbell, P.F et all

(2014:428), penguasaan tersebut bukan hanya sesuai jenjang kelas dimana guru tersebut

mengajar. Contohnya, guru matematika SMP idealnya juga menguasai konten matematika

SMP kelas VIII dan kelas IX meski ia mengajar di kelas VII.

Pengetahuan substansi pedagogis merupakan pengetahuan bagaimana mengajarkan substansi

matematika bagi siswa, meliputi pengetahuan tentang belajar dan mengajar matematika yang

digunakan dalam kegiatan guru praktik mengajar di kelas. Terdapat 4 domain terkait

pedagogis ini yaitu pengetahuan tentang: 1) jenis kesalahan dan miskonsepsi yang sering

dialami siswa, 2) representasi matematis dan konteks, 3) kepekaan tentang urutan materi

matematika, 4) menilai dan memahami interpretasi siswa tentang matematika. Domain

kesatu hingga ketiga lebih terkait dengan konten matematika, adapun domain keempat bila

dijabarkan lebih luas juga meliputi pemahaman guru tentang bagaimana siswa memperoleh

interpretasi terhadap matematika dari lingkungan di luar sekolah.

Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. (2015:8) berpendapat bahwa keseimbangan antara

pengetahuan profesional dan pengetahuan pedagogis dalam pendidikan guru matematika

adalah sangat penting. Oleh karena keduanya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan pada

saat guru tersebut berperan dalam pembelajaran. Namun demikian, perlu disadari bahwa

pengetahuan guru yang berkualitas belum tentu berdampak pada kualitas pengajaran.

Kualitas guru jika hanya diukur melalui tes kemampuan matematika saja, maka dapat

mengabaikan elemen kunci yang menghasilkan pengajaran berkualitas. Efektivitas dalam

mengajar tidak hanya tergantung pada pengetahuan yang dimiliki guru, tetapi yang sangat

penting adalah bagaimana pengetahuan tersebut digunakan di dalam kelas. Guru yang sangat

menguasai matematika hanya akan dapat membantu siswa belajar matematika jika mampu

menggunakan pengetahuan tersebut untuk melakukan tugasnya sebagai guru (Akinsola &

Mapolelo, 2015:3).

Page 7: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

289

Ketika mengajar, guru matematika mengakses pengetahuan terkait konten matematika yang

diperlukan untuk mengajarkan topik tertentu serta pengetahuan tentang pengajaran

matematika dan pembelajaran (Campbell, P.F et all, 2014:421). Dalam pembelajaran yang

responsif budaya, guru matematika diharapkan mampu mewujudkan matematika sebagai

ilmu pengetahuan yang melekat dengan budaya (cultural bounded) dalam pembelajaran.

Untuk itu, guru juga perlu memahami latarbelakang sosial budaya siswanya. Pemahaman

tersebut akan membantu guru dalam menentukan langkah pedagogik dan didaktik yang

sesuai untuk membimbing siswa. Guru perlu memiliki pengetahuan tentang potensi budaya

lokal yang terkait dengan matematika, memahami pengetahuan matematika yang diperoleh

siswa dari kegiatannya sehari-hari, dan memiliki keterampilan untuk merancang dan

mengembangkan pembelajaran matematika menggunakan budaya. Hal ini berarti, guru perlu

memiliki kompetensi dan komitmen dalam mewujudkan pembelajaran yang responsif

budaya.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan peran guru matematika dalam

melaksanakan pembelajaran yang responsif terhadap budaya lokal, 2) mengidentifikasi pola

relasi sosial yang dipraktikkan dalam pembelajaran matematika, 3) mengidentifikasi

orientasi pembelajaran matematika menurut pandangan guru, 4) mengidentifikasi faktor

penyebab yang menjadi kendala atau hambatan dalam melaksanakan pembelajaran

matematika yang responsif budaya.

3. Metode Penelitian

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan

bagaimana terjadinya suatu proses, apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Proses yang

dimaksud adalah pembelajaran matematika yang responsif terhadap budaya lokal. Fokus

studi ditujukan kepada bagaimana seseorang memerankan dirinya sebagai guru matematika

dalam mengelola sebuah pembelajaran sebagai bentuk interaksi antara dirinya dengan

peserta didiknya.

3.2. Sumber Data

Sumber data penelitian adalah guru, dalam hal ini adalah pemikiran, keyakinan (beliefs),

pemahaman dan pengalaman guru. Subjek penelitian adalah guru-guru matematika di SMP

sekitar Candi Borobudur dengan pertimbangan bahwa Candi Borobudur merupakan ikon

budaya yang sangat fenomenal. Keberadaaan Candi Borobudur mendorong tumbuhnya

beberapa desa di sekitar Candi untuk berkembang menjadi desa wisata dimana pelestarian

budaya terus diupayakan oleh masyarakat sekitar.

Guru matematika yang menjadi informan sebanyak 8 orang. Mereka bertugas di dua sekolah

yang letaknya berdekatan dengan Candi Borobudur yaitu SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP

Muhammadiyah Borobudur. Profil delapan guru tersebut adalah sebagai berikut.

Page 8: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

290

Tabel 1. Profil Subjek Penelitian

Kode Jenis Kelamin Pendidikan Lama Mengajar Matematika (saat penelitian)

A1 Wanita S1 7 tahun

A2 Pria S2 31 tahun 9 bulan

A3 Pria S1 30 tahun 1 bulan

A4 Wanita S1 20 tahun 1 bulan

A5 Pria S1 30 tahun 2 bulan

B1 Wanita S1 9 tahun 10 bulan

B2 Pria S1 32 tahun 1 bulan

B3 Wanita S1 9 tahun 8 bulan

3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Data dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama menggunakan angket dan tahap

kedua menggunakan wawancara kepada informan terpilih.

Angket menggunakan skala Likert 1 sampai 4 untuk mewakili respon netral (N), tidak setuju

(TS), setuju (S) dan sangat setuju (SS). Angket berisi 15 item tentang tiga hal pokok yang

ingin diketahui, yaitu respon guru tentang: 1) strategi pembelajaran matematika (4 item), 2)

peran guru dalam pembelajaran matematika (5 item), 3) pemanfaatan budaya lokal dalam

pembelajaran matematika (6 item). Tujuan pengumpulan data dengan angket adalah untuk

memperoleh item pernyataan yang perlu diperdalam dengan wawancara dan calon

interviewee.

Hasil angket dipandang sebagai jajak pendapat untuk kemudian direkapitulasi dengan

pencacahan banyaknya responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju

atas pernyataan yang diajukan. Dengan demikian, dapat diketahui item pernyataan mana

yang mendapat beragam respon sehingga perlu digali lebih lanjut melalui wawancara. Calon

interviewee ditentukan dari hasil pencermatan responsnya terhadap item pernyataan untuk

materi wawancara yaitu melihat kecenderungan positif atau negatifnya (netral/tidak setuju

atau setuju/sangat setuju). Selain itu, juga dengan mempertimbangkan lamanya pengalaman

mengajar matematika yang bersangkutan.

Wawancara terhadap responden terpilih bertujuan untuk memperoleh informasi secara lebih

mendalam tentang pemikiran, keyakinan (beliefs), pemahaman dan pengalaman guru

tentang: 1) peran guru, 2) relasi sosial di kelas, 3) orientasi pembelajaran, 4) pemanfaatan

budaya lokal, dan 5) kelemahan atau kendala pembelajaran matematika yang responsif

budaya. Wawancara dipandu secara terstruktur menggunakan panduan wawancara yang

pertanyaannya dapat berkembang sesuai kebutuhan.

Hasil wawancara kemudian dianalisis menggunakan logical analysis (Patton, 1982) dimana

setelah data direduksi atau dipilah yang relevan dengan empat masalah penelitian kemudian

disajikan dalam matriks. Analisis dilakukan dengan mencermati hubungan logis atau pola

yang terbentuk antar data dalam satu baris atau dalam satu kolom.

Page 9: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

291

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Hasil Angket

Hasil angket disajikan dalam tabel berikut ini yang menampilkan pencacahan banyaknya

responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju. Pernyataan yang

ditampilkan pada tabel hanya pernyataan yang perlu diperdalam melalui wawancara, sebagai

berikut.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Angket

Fokus Pernyataan N TS S SS

1. Strategi

pembelajaran

Matematika

Ceramah adalah cara yang paling efektif dalam

menyampaikan materi matematika

2 4 2 0

Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika

guru menjelaskannya dengan benar

1 0 4 3

2. Peran guru Guru di sekolah seharusnya hanya mengajarkan

matematika sesuai yang ada pada silabus dan buku teks

2 4 1 1

3. Budaya Lokal Guru seharusnya juga menunjukkan bagaimana

aplikasi matematika dalam kebudayaan masyarakat di

lingkungan siswa

1 0 6 1

Contoh matematika dalam kebudayaan akan

memunculkan kebanggaan siswa sebagai pewaris

budaya

2 0 4 2

Beberapa topik matematika yang teridentifikasi ada

dalam situs budaya seharusnya dimasukkan dalam

kurikulum matematika SMP

3 0 5 0

Objek matematika juga dapat ditemukan pada situs

budaya

2 0 3 3

Matematika adalah tentang mempelajari model

geometri, pengukuran, dan membuat pola menurut

budaya kita sendiri

4 0 3 1

Berdasarkan pencacahan hasil angket diketahui bahwa untuk pernyataan tentang strategi

pembelajaran dengan kegiatan kelompok, kegiatan penelusuran pola, pemecahan masalah,

investigasi dan komunikasi kedelapan responden cenderung setuju/sangat setuju. Untuk

pernyataan terkait peran guru yaitu menciptakan situasi, menggunakan contoh aplikasi

matematika dalam kehidupan sehari-hari, memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki

siswa dari kehidupan sehari-hari, kedelapan responden juga cenderung setuju/sangat setuju.

Beragam respon diperoleh untuk strategi ceramah (ekspositori) dalam pembelajaran

matematika yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju dan 2 orang setuju. Untuk pernyataan

“Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika guru menjelaskannya dengan benar”

ada 1 orang memilih netral, sementara 7 orang lain cenderung setuju/sangat setuju. Jika

dikaitkan dengan respon tentang strategi ceramah, perlu digali lebih lanjut apakah hal ini

berarti ceramah akan menjadi strategi pembelajaran yang efektif apabila guru dapat

menjelaskannya dengan benar.

Page 10: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

292

Respon beragam juga diperoleh untuk pernyataan terkait pengajaran matematika seharusnya

sesuai silabus dan buku teks saja yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju, 1 orang setuju

dan 1 orang sangat setuju. Hal yang menarik adalah untuk semua pernyataan terkait

pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran matematika, delapan responden memberikan

respon yang beragam. Untuk itu, beberapa pernyataan tersebut perlu digali lebih lanjut

melalui wawancara.

4.2. Hasil Wawancara

Responden terpilih untuk diwawancarai adalah sebagai berikut: untuk guru dengan

pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun adalah A1 dan B1; untuk guru dengan

pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun adalah A5 dan B2. Hasil wawancara disajikan

dalam matriks berikut ini.

Tabel 3. Matriks Hasil Wawancara

Kode Peran guru Relasi Sosial Orientasi Kendala

A1 Mengkondisikan

kelas

Menjelaskan

Mengaktifkan

Tempat bertanya

Memberi contoh

konkrit

Siswa

berdiskusi

dgn teman

sebangku

jika

diperlukan

Kegiatan

kelompok

disesuaikan

dengan

karakter

materi

Kejujuran

Disiplin

Berpikir logis

Memahami materi

Sadar manfaat

matematika dalam

kehidupan

Kesulitan

menentukan

materi yang

pas

Malas

mengurus

perijinan

A5 Menjelaskan

konsep dahulu

Membangun

berdasarkan

pengetahuan

sebelumnya

Menginstruksikan

utk mengerjakan

soal

Memberi contoh

Melakukan

evaluasi

pembelajaran

Siswa

berdiskusi

kelompok

jika

diperlukan,

ketua

kelompok

dipilih oleh

guru

Berpikir kreatif

Disiplin

Bertanggungjawab

Mandiri

Menguasai materi

pelajaran

cukup

efektif tapi

kurang

efisien

Sulit

mencocokka

n dengan

materi

matematika

Saya kurang

kreatif

B1 Memberi contoh

Kontekstual

Menggunakan

alat peraga

Membangun

pengetahuan dari

persepsi siswa

Guru

berdialog

dengan siswa

Siswa

berdiskusi

kelompok

sesuai

Jujur

tanggungjawab

Mampu

memecahkan

masalah

Mencapai nilai

tinggi

Siswa akan

sulit

memahami

karena

budaya

lebih

condong

Page 11: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

293

Mengarahkan

siswa

Menjelaskan

keperluan

(jigsaw,siswa

bebas

memilih

kelompok)

ke seni

Saya tidak

begitu

paham

dengan

kearifan

lokal

B2 Memberi contoh

Memperagakan

dengan media

Siswa

praktik

Memahami materi Masalah

biaya

Kesulitan

dalam

mengampu

anak jika

pembelajar

an di luar

kelas

Berdasarkan penjabaran pada matriks dan memperhatikan hubungan logis dalam satu kolom,

diperoleh adanya pola peran guru adalah sebagai creator. Dalam hal ini yang diciptakan

adalah situasi pembelajaran melalui pemberian informasi, contoh, demonstrasi, dan instruksi.

Guru memberikan contoh-contoh kontekstual dari lingkungan siswa dalam pembelajaran

matematika misalnya saat anak membantu orangtua di dapur disinggung aktivitas

matematika yang mungkin dilakukan atau disebutkan objek-objek yang merupakan

bangun ruang geometri. Dengan demikian, guru berusaha menghubungkan

matematika dengan persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dari

kehidupannya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan konsepsi guru tentang diri dan siswanya

dalam pedagogi yang relevan budaya (Ladson-Billings, 1995: 478). Relasi sosial yang

dibangun di kelas masih didominasi oleh interaksi guru dengan siswa, sementara kolaborasi

antar siswa dilaksanakan jika diperlukan berdasar pertimbangan kebutuhan penguasaan

materi. Jika secara individu siswa sudah memahami materi maka kegiatan kelompok tidak

perlu dilakukan.

Orientasi pembelajaran diarahkan kepada pencapaian prestasi akademik yaitu

pemahaman/penguasaan materi atau skor hasil ulangan tinggi, dan tertanamnya nilai-nilai

karakter yang merupakan ciri khas matematika seperti berpikir logis dan kreatif serta nilai

pendidikan umum seperti jujur, disiplin, bertanggungjawab. Adapun karakter yang terkait

dengan budaya seperti mencintai budaya sendiri belum menjadi fokus dalam pembelajaran

matematika. Orientasi pembelajaran yang mungkin untuk menuju kepada matematika itu

cultural bounded adalah menumbuhkan sikap positif terhadap kegunaan matematika dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam wawancara, guru menyampaikan harapan agar siswa

memahami bahwa matematika bukan cuma sekedar teori, bukan sekedar ilmu yang ada

diawang-awang tapi bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Matematika yang

cultural bounded dapat ditunjukkan melalui penggunaan konteks kehidupan sehari-

hari dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat

melihat bahwa pengetahuan matematika tersebut bukan sebagai ilmu pengetahuan

Page 12: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

294

yang teoretis tetapi aplikatif sehingga pada gilirannya dapat memunculkan rasa

menghargai kegunaan matematika.

Dalam wawancara terungkap bahwa konteks budaya lokal dan pengalaman sehari-hari siswa

digunakan sekilas sebagai contoh aplikasi matematika. Untuk kasus Candi Borobudur, siswa

belum pernah diberi pengalaman mempelajari matematika melalui interaksi langsung dengan

mengunjungi Candi melainkan sebatas informasi verbal atau ditunjukkan gambarnya. Hal ini

karena pertimbangan efisiensi dari sisi waktu dan biaya. Dari diri pribadi guru terungkap

adanya hambatan bahwa guru merasa kurang kreatif untuk mengembangkan pembelajaran

yang responsif budaya, kurang memahami kearifan lokal, memandang bahwa pembelajaran

tersebut akan kurang efektif dan efisien. Bagi guru kelas IX, melatih siswa agar sukses Ujian

Nasional menjadi target utama dibandingkan dengan melaksanakan pembelajaran yang

responsif budaya. Hal ini karena nilai ujian nasional yang terpuruk akan berdampak

pada nama baik sekolah.

Beberapa hambatan dalam diri guru terkait dengan kompetensi yang mencakup

sikap, pengetahuan dan keterampilan terhadap matematika dan budaya. Dengan

demikian, salah satu kunci pengembangan keprofesian guru adalah dengan meningkatkan

kompetensi guru melaksanakan pengajaran matematika yang berbasis pada latarbelakang

budaya siswa, penggunaan konteks di lingkungan luar sekolah dan aktivitas berbasis budaya

(Madusise, S & Mwakapenda, 2014:148). Meskipun demikian, tiga interviewee berpendapat

ada kelebihan dari pembelajaran matematika yang responsif budaya yaitu siswa menjadi

lebih termotivasi untuk belajar matematika; siswa lebih mengenal dan sadar akan kekayaan

budayanya sehingga lebih mencintai; bisa melihat hubungan antara sejarah dan matematika;

kelak mereka akan memanfaatkan ilmunya untuk mengembangkan budayanya.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

1. Peran guru matematika di SMP sekitar Candi Borobudur dalam pembelajaran yang

responsif budaya adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan memperhatikan

pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari kehidupan sehari-hari

yang meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dan menggunakannya

sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari.

2. Relasi sosial dalam pembelajaran matematika di dua SMP sekitar Candi Borobudur

tersebut lebih menekankan interaksi antara siswa dengan guru.

3. Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap

positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

4. Meskipun guru menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika,

namun belum optimal pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa

kurang kreatif, kurang memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik

matematika yang cocok dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa

pembelajaran akan kurang efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan

mencapai prestasi UN sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya.

Page 13: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

295

5.2 Saran

Lembaga pelatihan guru seperti PPPPTK Matematika memiliki peran aktif untuk

meningkatkan kualitas guru dengan memperkuat program in-service diantaranya melalui

Program Guru Pembelajar untuk membantu guru berlatih menguasai konten dan

pengetahuan pedagogis secara lebih memadai. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian

adalah pemberdayaan modal budaya dalam pembelajaran matematika.

Daftar Pustaka

Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. 2015. Preparation of Mathematics Teachers: Lessons from Review

of Literature on Teachers’ Knowledge, Beliefs, and Teacher Education. International Journal of

Educational Studies. Vol 2 No 01, 2015 pp 1-12 diunduh dari http://www.escijournals.net/IJES

pada tanggal 21 Agustus 2015.

Bray, W.S. (2011). A Collective Case Study of the Influence of Teachers’Beliefs and Knowledge on

ErrorHandling Practices During Class Discussion of Mathematics. Journal for research in

mathematics education. Vol 42, No.1 hal 2-38.

Campbell, P.F et all. (2014). The Relationship Between Teachers’Mathematical Content and

Pedagogical Knowledge, Teacher’s Perceptions, and Student Achievment. Journal for research

in mathematics education. Vol 45, No.4 hal 419-459.

Gay, G. (2000). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York, NY:

Teachers College Press.

Ladson-Billings, G. (1995). Toward a Theory of Culturally Relevant Pedagogy. American educational

research journal, Fall, 1995 Vol 32No 3 pp 465-491.

Madusise, S & Mwakapenda, W. (2014). Using School Mathematics to Understand Cultural

Activities: How Far Can We Go?. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 5 No 3 March

2014. Rome-Italy: MCSER Publishing. Pp 146-157.

Ogbu, J. U., & Simons, H. D. (1998). Voluntary and involuntary minorities: A cultural ecological

theory of school performance with some implications for education. Anthropology and

Education Quarterly, 29(2), 155-188.

Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods 2nd

Edition. Newbury Park,

California: Sage Publications, Inc.

Rosa, M & Orey, D.C. (2013). Culturally Relevant Pedagogy a an Ethnomathematical Approach.

Journal of Mathematics & Culture. September 2013 7(1). p 74-97.

Page 14: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

296

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI

PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING

COMMUNITY

Erma Suriany1)

1)SMA Negeri 1 Puding Besar, Kabupaten Bangka

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis

antara siswa yang mendapat pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) dengan siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional. Penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok

kontrol non ekivalen. Populasi siswa SMAN Puding Besar Tahun Pembelajaran 2014/2015 dan

sampel penelitian secara purposive adalah kelas XI. Instrumen penelitian berupa tes kemampuan

berpikir kreatif matematis, skala sikap dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara

kuantitatif dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian dan peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran MTLC lebih baik daripada siswa

yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

This study examines the achievement and improvement of mathematical creative thinking abilities

among the students who received learning Math-Talk Learning Community (MTLC) compared with

students who received conventional learning. Quasi-experimental research design with non-

equivalent control group. The population was students of SMAN Puding Besar on 2014/2015 and the

purposive sample is class XI. The research instrument is the ability to think creatively mathematical

tests, attitude scales and observation sheets. Quantitative data were analyzed by t-test. The results

showed that the achievement and mathematical creative thinking abilities of students who get the

learning MTLC are increase better than students who received conventional learning.

Kata Kunci. Math-Talk Learning Community (MTLC), berpikir kreatif matematis

1. Pendahuluan

National Education Association (NEA) dalam An Educator’s Guide for Four Cs (2012)

mengemukakan bahwa “... to determine which of the 21st century skills were the most

important for K-12 education. There was near unamitiy that four specific skills were the

most important. They become known as the “Four Cs”, critical thinking, communication,

collaboration, and creativity.” Hal ini menunjukkan empat kemampuan abad ke-21 yang

paling penting dalam pendidikan yaitu kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi

dan kreatif.

Seseorang yang berpikir kreatif dapat melakukan pendekatan secara bervariasi dan memiliki

bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan. Siswono (2004:6)

mengatakan berpikir kreatif perpaduan antara berpikir logis dan divergen yang didasarkan

pada intuisi, pemikiran divergen menghasilkan ide-ide untuk menemukan penyelesaian.

Berpikir kreatif memberi makna bagaimana sebuah ide dikembangkan dan ditumbuhkan

menjadi ide-ide baru yang menjadi alternatif dalam penyelesaian suatu masalah. Pentingnya

Page 15: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

297

berpikir kreatif juga diusulkan oleh The National Curriculum’Handbook for Teachers’, ke

dalam kurikulum di Inggris seperti yang dikutip oleh Worthington dan Carruthers (2003:4)

mengatakan “Creativity is a skill that needs to be promoted across the curriculum. Creative

thinking should enable pupils to generate and extend ideas, to suggest hypotheses, to apply

imagination and to look for alternative outcomes”.

Rendahnya kualitas pembelajaran, menunjukkan kurang efektifnya pembelajaran matematika

di kelas salah satunya karena keterbatasan guru dalam memberikan peluang kepada siswa

untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, seharusnya guru memberikan

kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk menjalani proses pembelajaran itu sendiri.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) mengatakan suksesnya

pembelajaran matematika di kelas, membutuhkan inovasi cara mengajar guru yaitu

mengembangkan pembelajaran konvensional secara signifikan dan komunitas wacana di

kelas yang mereka bimbing. Walaupun menurut Hufferd, et.al (2004:1) dalam kenyataannya

guru masih kebingungan untuk menerapkan komunitas wacana dalam kelas mereka sesuai

dengan keinginan NCTM.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membantu guru menemukan solusi dan mengubah

cara mengajar mereka agar bisa menciptakan kelas yang lebih baik, antara lain penelitian

tentang pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan pedagogik (kemampuan

siswa terutama dalam proses berpikir), dan penelitian lainnya tentang kesulitan-kesulitan

guru untuk melakukan perubahan di kelas, terutama membangun komunitas wacana.

Kemampuan-kemampuan siswa tidak akan berkembang dengan sendirinya. Guru harus

mampu merancang pembelajaran dengan memberikan ruang waktu lebih banyak kepada

siswa. Intervensi sederhana dan penggunaan framework yang terencana dapat dilakukan guru

untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa sehingga terjadi

perubahan yang lebih baik dalam pembelajaran di kelas (Connecting Practice and Research

in Mathematics Education, 2008:1)

“A Math-Talk Learning Community is a community where individuals assist one another’s

learning of mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”(Hufferd et al,

2004:82). Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah sebuah pembelajaran yang

melibatkan setiap individu secara aktif saling membantu atau berinteraksi mempelajari

matematika dengan komunitas wacana matematis yang bermakna. Interaksi ini tidak hanya

terjadi pada guru ke siswa tetapi juga antara siswa ke siswa lainnya.

Hal ini menjelaskan MTLC yang menggunakan pembelajaran dengan komunitas wacana

berdampak positif terhadap suasana belajar yang terbentuk. Seperti yang kita ketahui,

suasana belajar sangat mempengaruhi pembelajaran, komunitas wacana dan interaksi sosial

di kelas yang bisa mendukung siswa dalam mengoneksikan ide-ide dan mengulang materi

yang diperoleh dalam pembelajaran.

Page 16: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

298

Berdasarkan masalah dan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di atas penulis

mengajukan suatu penelitian tentang kemampuan berpikir kreatif matematis siswa melalui

pembelajaran MTLC, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini apakah kemampuan

berpikir kreatif siswa matematis yang pembelajarannya melalui pembelajaran Math-Talk

Learning Community lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis Penelitian

2.1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan

suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang belum pernah dilakukan. Kriteria berpikir kreatif

terdiri dari sintesis ide-ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide. Beberapa pendapat tentang

berpikir kreatif antara lain Haylock (1997:69) mengatakan “creative thinking is almost always seen as

involving flexibility” yang diartikan bahwa berpikir kreatif selalu menunjukkan fleksibilitas; Pehkonen

(1997:63) juga mengatakan tentang berpikir kreatif, yang diartikannya sebagai suatu kombinasi dari

berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran.

Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru yang

diperlukan untuk menyelesaikan masalah.

Pentingnya berpikir kreatif juga dikemukakan oleh Ervynk (2002:42) “creativity plays a vital

role in the full cycle of advanced mathematical thinking. It contributes in the first stage of

development of a mathematical theory “, dikatakan bahwa kreativitas memainkan peranan

penting dalam berpikir tingkat tinggi. Kreativitas memberikan konstribusi awal dalam

membangun teori matematis. Untuk itu perlu dikembangkan pembelajaran yang

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.

Pengembangan kemampuan berpikir kreatif yang melibatkan siswa secara aktif, terdiri dari

empat komponen yaitu : (1) pengkajian (hasilnya familiar dengan siswa);(2) menyentuh

kedalaman intuisi siswa;(3) menggunakan daya imajinasi dan inspirasi;(4) menghasilkan

struktur deduktif pada siswa. (Ervynk, 2002:47).

Menurut Munandar (2002) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu

dengan lingkungannya, selanjutnya Munandar menjelaskan kemampuan berpikir kreatif

ditandai dengan beberapa kemampuan yaitu kemampuan berpikir lancar (fluency),

kemampuan berpikir luwes (flexibility), kemampuan berpikir orisinil (originality),

kemampuan berpikir terperinci (elaboration) dan kemampuan berpikir evaluatif (evaluation).

Kemampuan kreatif merujuk langsung ke kemampuan divergent-productive yang

diidentifikasi oleh Guilford (1967), dalam faktor khusus yaitu fluency, flexibility, elaboration

and originality.

2.2. Pembelajaran Math-Talk Learning Community

Standar NCTM menekankan pentingnya mengembangkan bahasa matematis matematis

dalam memahami konsep-konsep daripada hanya mengikuti urutan prosedur, dan

Page 17: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

299

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan proses berpikir matematis melalui

math-talk sehingga ide-ide matematis mereka berkembang.

Math-Talk memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan masalah, menjelaskan solusi

mereka, menjawab pertanyaan dan mempertahankan jawaban mereka. Mereka bisa

menggunakan gambar sebagai bukti referensi dari penjelasan mereka. Sebuah komunitas

wacana matematis membantu setiap siswa untuk memahami konsep matematika yang

mereka pelajari lebih mendalam, dan meningkatkan kompetensi dalam menggunakan bahasa

matematis dari kehidupan sehari-hari. Ketika siswa terlibat dalam komunitas wacana, guru

bertindak sebagai fasilitator yang memandu mempertahankan fokus wacana dan

mengklarifikasikannya jika diperlukan.

Hufferd-Ackles, Fuson dan Sherin (2004:82) mengemukakan ”Math-Talk Learning

Communitiy as a community in which individual assist one another’s learning of

mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”. Hal ini mendefinisikan

MTLC sebagai framework proses pembelajaran khususnya matematika, guru, siswa dan

siswa lainnya membantu satu sama lain dalam pembelajaran, yang membuat proses

pembelajaran matematika (wacana matematis) mereka mencapai tujuan pembelajaran.

MTLC merupakan pengembangan wacana dalam proses pembelajaran dan langkah penting

dari implementasi pemikiran reformasi serta membantu guru memecahkan kesulitan yang

selama ini mereka hadapi khususnya instruksi matematis.

Empat komponen utama yang berbeda tapi saling terkait yang merupakan proses dari

perkembangan pembelajaran math-talk dari waktu ke waktu yang diklasifikasikan oleh

Hufferd-Ackles et al (2004) yaitu: (a) questioning (mempertanyakan), (b) explain

mathematical thinking (menjelaskan pemikiran matematika), (c) source mathematical ideas

(menggali ide-ide matematika) dan (d) responsibility for learning (tanggung jawab belajar).

Connecting Practice and Research in Mathematics Education (2008:1) disinopsis penelitian

mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran

MTLC, yaitu:

a. Siswa harus sudah memahami materi matematika sedang dipelajari dalam math-talk

(misalnya, untuk menggambarkan pemikiran sendiri, mempertanyakan, atau untuk

memperluas pekerjaan orang lain)

b. Materi harus sesuai dengan kognitif siswa, sumber-sumber materi mudah dicari oleh siswa

untuk dapat berpatisipasi dalam wacana matematis bermakna.

c. Dilakukan secara variatif, pembelajaran diselingi dengan pembelajaran yang melibatkan

kerja individu atau pasangan atau kelompok.

d. Meyediakan waktu yang lebih banyak agar pembelajaran MTLC dapat terlaksana secara

ideal.

e. Menyiapkan rubrik untuk mengevaluasi kemampuan guru dan siswa;

Proses pembelajaran matematis sangat penting dalam komunitas belajar karena mendorong

siswa untuk mengomunikasikan gagasan matematis dan membantu siswa untuk membangun

pemahaman matematis. Mengembangkan MTLC secara ideal merupakan sebuah proses yang

membutuhkan waktu dan dukungan yang cukup. Komunitas wacana ide-ide matematis

Page 18: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

300

menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berpikir, mempertahankan dan membuktikan

konsepsi mereka satu sama lain. Siswa dibentuk untuk mengembangkan proses berpikir

kreatif matematis secara bertahap.

Ringkasan konsep pembelajaran MTLC dengan komponen dan tahapan jika disajikan dalam

tabel (Halimun, 2011: 97), dapat dilihat dalam Tabel. 1 berikut:

Tabel 1. Komponen dan Tahapan Math-Talk Learning Community

Komponen Deskripsi

a. Questioning Pergeseran dari guru sebagai penanya menjadi siswa

sebagai penanya, awal berpikir kreatif.

b. Explaining

Mathematical Thinking

Peningkatan kemampuan komunikasi matematis

siswa, menjelaskan dan mengartikulasikan ide-ide

matematis.

c. Source of Mathematical

Ideas

Pergeseran dari guru sebagai sumber ide-ide

matematis menjadi siswa sebagai sumber ide-ide

matematis, dan mengarahkan jalan pembelajaran.

d. Responsibility for

Learning

Siswa bertanggung jawab atas pembelajaran dan

mengevaluasi diri dan yang lainnya.

Tahap 0 : guru sebagai pusat pembelajaran konvensional

Tahap 1 : guru memainkan peran sebagai pusat pembelajaran MTLC

Tahap 2 : guru sebagai model dan fasilitator

Tahap 3 : guru sebagai pengamat

Catatan : framework diadaptasi dari Hufferd-Ackles et al (2004)

Penelitian yang berhubungan dengan berpikir kreatif matematis melalui pembelajaran dengan

pendekatan open-ended dengan strategi group-to-group, Agusfinal (2011) dalam penelitiannya

menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan memberikan peningkatan dalam kemampuan

berpikir kreatif. Tetapi terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara

siswa kategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran

matematika berbantuan WinGeom yang dilaksanakan positif.

Penelitian ini berkaitan dengan pembelajaran framework Math-Talk Learning Community (MTLC)

oleh Otten et.al (2011) mengungkapkan keefektifan framework untuk memunculkan siswa secara aktif

memainkan perannya di kelas. Peralihan peran guru sebagai pusat pembelajaran menjadi siswa

sebagai pusat pembelajaran. Senada dengan NicMhuiri (2011) yang melakukan penelitian kualitatif

untuk mengetahui apa yang bisa membantu dalam memfasilitasi wacana kelas dan ternyata untuk

memfasilitasi wacana kelas dengan MTLC sangat membantu, yang perlu diperhatikan adalah tahap

pertama yaitu questioning, diberikan catatan pertanyaan pada komponen ini karena menentukan tahap

selanjutnya.Salah satu bentuk fasilitasi dari MTLC adalah pertanyaan ataupun tugas yang diberikan

mampu mendorong kemampuan berpikir siswa, tingkat pertanyaan dan tugas disesuaikan dengan

tingkat kemampuan siswa sehingga meningkatkan kepercayaan diri siswa dan guru.

Page 19: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

301

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen dengan desain yang digunakan dalam

penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005:52). Penelitian ini

dilakukan pada 2 (dua) kelas yang dipilih secara acak yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol atau

kelompok kontrol, kelas kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikan perlakuan yaitu

menggunakan pembelajaran Math-Talk Learning Community dalam kegiatan belajar di kelas,

sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

Populasi penelitian ini adalah siswa salah satu SMA Negeri Puding Besar Kabupaten

Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penentuan populasi dilakukan secara

purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel penelitian berdasarkan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 2012). Penelitian dilaksanakan pada kelas XI, semester genap Tahun

Pembelajaran 2014/2015 dengan materi Statistika, Sampel untuk ujicoba instrumen sebanyak

30 siswa kelas XI IPA 1, dan sampel penelitian sebanyak dua kelas, satu kelas kontrol

sebanyak 34 orang siswa (Kelas XI IPS 2) dan satu kelas eksperimen sebanyak 34 orang

siswa (Kelas XI IPS 1). Pemilihan siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak

berdasarkan keacakan yang sesungguhnya (kuasi eksperimen), yaitu penetapan yang

dilakukan oleh guru berdasarkan kelas yang ada.

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan

dalam penelitian ini, maka beberapa istilah didefinisikan sebagai berikut :

3.1. Pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah pembelajaran dengan komunitas

wacana matematis yang menggunakan framework, memiliki empat komponen utama yaitu

questioning (mempertanyakan), explaining mathematical thingking (menjelaskan dengan berfikir

matematis), source of mathematical ideas (menggali sumber ide-ide matematis), dan

responsibility for learning (tanggung jawab untuk belajar) dengan tahapan masing-masing

komponen dari nol sampai tiga.

3.2. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan siswa menyelesaikan suatu

permasalahan matematika secara fleksibel dan terbuka terhadap cara-cara yang bersifat baru.

Untuk memperoleh data penelitian ini, digunakan empat macam instrumen yang terdiri dari tes

kemampuan berpikir kreatif matematis. Tes diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

sebagai tes awal (pretest) maupun tes akhir (postest), dengan soal yang sama. Tes awal untuk

mengetahui kemampuan awal siswa dan tes akhir untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan belajar

setelah mendapatkan pembelajaran Math-Talk Learning Community yang diterapkan.

Pemberian skor kemampuan berpikir kreatif penelitian ini mengacu pada skor rubrik yang

dimodifikasi oleh Bosch dalam Hasanah (2011:63). Kemampuan berpikir kreatif meliputi

empat aspek, yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Pemberian skor pada

masing-masing aspek tersebut diadaptasi antar 0 sampai 4.

Analisis data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan bantuan Software Microsoft

Excell 2007 dan Predictive Analytics Software (PASW Statistics 17) atau IBM SPSS

versi17.0. Analisis data bertujuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian yaitu untuk

mengetahui pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis. Untuk melihat apakah

Page 20: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

302

pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen lebih baik dari

kelompok kontrol analisis dilakukan terhadap data postes kedua kelompok.

4. Hasil dan Pembahasan

Data kuantitatif diperoleh melalui pretes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi

matematis, postes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis yang diperoleh

dari 30 siswa kelompok eksperimen dan 30 siswa kelompok kontrol.

Analisis data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan uji

perbedaan rata-rata. Uji ini bertujuan untuk membuktikan terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok eksperimen maupun

kontrol. Uji dilakukan setelah memenuhi uji asumsi statistik normalitas dan homogenitas

Uji normalitas. menunjukkan bahwa skor postes kemampuan berpikir kreatif kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol memiliki . Hal ini menunjukkan

diterima, artinya data postes kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen

dan kontrol berdistribusi normal sedangkan hasil rangkuman uji homogenitas pada

menunjukkan bahwa data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis memiliki nilai

yaitu 0,337. Hal ini menunjukkan diterima, artinya varians data skor

postes kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok homogen.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan sebelumnya data postes

kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi

normal serta berasal dari varians yang homogen, maka bisa dilanjutkan pada uji perbedaan rata-rata

postes dengan menggunakan independent sample t-test. Tabel 2. berikut ini menyajikan rangkuman

hasil uji perbedaan rata-rata postes.

Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data Skor Postes

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

t-test for Equality of Means Kesimpulan

10,027 58 0,000 ditolak

Hasil independent sample test pada Tabel 4.3, didapat berarti .

Hal ini menunjukkan bahwa ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara

skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Jadi terbukti hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir

kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Math-Talk Learning

Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran

konvensional.Berdasarkan hasil analisis data skor pretes dan postes kemampuan berpikir

kreatif matematis kelompok eksperimen dan konvensional terlihat ada perbedaan yang cukup

signifikan.

Page 21: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

303

Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data pretes kemampuan berpikir

kreatif dan didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa

diterima, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretes kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, ini

menunjukkan kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dan kontrol secara signifikan

sama.

Berdasarkan hasil penelitian, rangkuman hasil pengujian hipotesis terhadap kemampuan

berpikir kreatif matematis adalah sebagai berikut:

Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan

Math-Talk Learning Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya

menggunakan pembelajaran konvensional.

Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data postes kemampuan berpikir

kreatif matematis didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa

ditolak, artinya rata-rata postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok

eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol, dengan tingkat pencapaian kelompok

eksperimen 80% sementara kelompok kontrol hanya 0,33% pada interval yang sama lebih

jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi Pencapaian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Interval Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

0 − 4 0 0 3 1%

5 − 9 6 20% 26 86,67%

10 − 16 24 80% 1 0,33%

Hal ini menunjukkan pembelajaran MTLC yang memuat komponen questioning dan source

of mathematical ideas dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Questioning yang digunakan dalam penelitian ini mendorong siswa untuk mengajukan

pertanyaan yang memahami pikiran matematis mereka sesuai dengan Hufferd-Ackles et.al.

(2004) dalam jurnalnya questioning bersifat “probing” dan “korektif” yang memunculkan

jawaban bersifat divergen. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Pehkonen

(1997) jawaban yang bersifat divergen memunculkan kriteria berpikir kreatif matematis

yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration.

Source of mathematical ideas, komponen ketiga dalam MTLC menggali ide-ide matematis

siswa dari pemahaman yang mereka dapatkan untuk mendapatkan kesimpulan. Hal ini

sejalan dengan penelitian Mubarok (2012) yang mengungkapkan kemampuan berpikir

kreatif matematis muncul pada tahap keempat PMR yaitu menyimpulkan.

Page 22: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

304

5. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan, diperoleh kesimpulan

bah pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran Math-

Talk Learning Community lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Oleh

karena itu disarankan kepada para guru agar menerapkan pembelajaran tersebut di sekolah sebagai

upaya untuk meningkatkan kemampuan matematis. Juga perlu dikembangkan oleh pihak sekolah

melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika, soal-soal yang berkaitan dengan

kemampuan berpikir kreatif matematis agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal tersebut sehingga

dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Serta dalam melaksanakan pembelajaran,

hendaknya guru membiasakan diri menggunakan frame work sebagai acuan refleksi pembelajaran

sehingga bisa merencanakan langkah pembelajaran selanjutnya.

Daftar Pustaka

Agusfinal. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis Siswa SMA

melalui Pendekatan Open-Ended dengan Strategi Group-to-Group (Studi eksperimen di SMA

Negeri Plus Provinsi Riau). Tesis Magister pada Program Studi Pendidikan Matematika

Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Connecting Practice and Reasearch in Mathematics Education. (2008). Profesional Learning Guide,

Math-Talk Learning Community.Ontario: EduGains. [online]. Tersedia:

http://www.edugains.ca [2 November 2012].

Ervynk, G. (2002). “Mathematical Creativity”. Advance Mathematical Thinking. Volume 11.

Guilford, J. P. (1967). The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw-Hill Book Company.

Halimun, J. M. (2011). A Qualitative Study of The Use of Content-Realated Comics to Promote

Student Participation in Mathematical Discourse in A Math I Support Class. Dissertation for

Doctor of Education In Leadership for Learning Teacher Leadership Bagwell College of

Education Kennesaw State University. Kennesaw, G.A. [online]. Tersedia:

http://digitalcommons.kennesaw.edu/etd/471

Haylock, D. (1997). “Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren”. ZDM. [online] 29,

(3).. Tersedia:

http://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication/zdm. [4 Desember 2012].

Hasanah, A. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis da Kreatif Matematis Siswa Sekolah

Menengah Atas melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Intuisi. Disertasi Doktor pada SPS.

UPI: Tidak diterbitkan.

Hufferd-Ackles, K., Fuson, K. C. & Sherin, M. G. (2004). “Describing Levels and Components of A

Math-Talk Learning Community”. Journal for Research in Mathematics Education .35, (2),

81-116.

Munandar, U. (2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta

Mubarok, Dziki. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa Melalui

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) di SMP PGRI 6 Malang. Tesis Magister

pada Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

[online]. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School

Mathematics. Reston, VA: Author.

National Education Association. (2012). An Educators Guide to The “Fours Cs”. United State.

[online]. Tersedia: http://www.nea.org. [5 Desember 2012].

NicMhuiri, S. (2011). “Teacher, do you know the answer? Initial attempts at the facilitation of

discourse community”. Proceedings of The British Soceity for Research into Learning

Mathematics (BSRLM). 31, (3), 119-124.

Otten, S., Herbel-Eisenmann, B. A., Cirillo, M., Steele, M. & Bosman, H.M. (2011). Students

Actively Listening: A Foundation for Productive Discourse in Mathematics Classroom. Paper

Presented at The Annual Metting of The American Educational Research Association, New

Orleans, L. A.

Page 23: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

305

Pehkonen, E. (1997). “The State-of-Art in Mathematical Creativity”. ZDM. 29, (3), 615-679. [online].

Tersedia: hhtp://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication. [6 Agustus 2012].

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya.

Bandung: Tarsito

Siswono, T. Y.E (2004). “Mendorong Berpikir Kreatif Siswa melalui Pengajuan Masalah (Problem

Posing)”. Makalah dalam Konferensi Nasional Matematika XII, Universitas Udayana

Denpasar Bali.

Worthington, M. & Carruthers, E. (2003). “Research Uncovers Children’s”. Primary Mathematics

(Mathematics Association). 7, (11), 3.

Page 24: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

306

UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA

DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA

DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03

KECAMATAN CIKARANG BARAT

Desy Anggraini1)

, Arrahim2)

1) YPI Al-‘Imaroh, Jl. Kampung Bojong Koneng, Bekasi; [email protected]

2) Universitas Islam “45”, Jl. Cut Mutia No. 83, Bekasi; [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai perencanaan dan

pelaksanaan pembelajaran serta pemahaman konsep matematika dengan menggunakan

media realia di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa penggunaan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika di

kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat.

Kata Kunci. Pemahaman konsep matematika, penggunaan media realia

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan di kelas 1 SD Negeri Telajung 03

Kecamatan Cikarang Barat, diketahui bahwa pemahaman konsep matematika siswa masih

rendah. Hal tersebut disebabkan karena media yang digunakan belum membantu

memperjelas pemahaman konsep matematika siswa serta kurang bermaknanya pembelajaran

matematika yang diterapkan.

Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3) pemahaman konsep matematika menunjuk

kepada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan

gagasan yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara

yang berbeda, dan untuk menentukan perbedaan antara penggambaran ini. Sehubungan

dengan hal tersebut, untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika pada materi

operasi hitung penjumlahan dan pengurangan diperlukan sarana penunjang bagi siswa dalam

menuju konsep matematika yang abstrak. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Heruman

(2013: 1) yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada fase operasional

konkrit sehingga diperlukan media atau alat peraga untuk membantu memperjelas konsep

yang abstrak. Media pembelajaran tersebut selain harus menarik perhatian siswa, juga harus

dapat menunjang tujuan pembelajaran matematika secara maksimal.

Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika

adalah media realia. Menurut Martiningsih dalam Puspita (2010: 5), media realia merupakan

benda sebenarnya yang dapat diamati secara langsung oleh pancaindera dengan cara melihat,

mengamati, dan memegangnya secara langsung tanpa melalui alat bantu. Media realia

merupakan bentuk media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa perubahan. Dengan

memanfaatkan realita dalam proses belajar, siswa akan lebih paham. Pemahaman konsep

Page 25: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

307

matematika akan lebih meningkat apabila dalam pembelajaran digunakan media realia ”Alat

Tulis”, karena objek dan kejadian yang menjadi bahan pengajaran secara realistik yang

dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan paparan di atas agar siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang

Barat tahun pelajaran 2015 – 2016 dapat memahami konsep operasi hitung penjumlahan dan

pengurangan dengan baik, maka dalam proses pembelajaran digunakan media realia. Hal

inilah yang mendorong penulis untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan judul

“Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan Menggunakan Media Realia

di Kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu

“bagaimana perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika dengan penggunaan

media realia dan apakah media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika

pada siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Pemahaman Konsep Matematika

Paham berarti pengertian, pengetahuan pendapat, pikiran, mengerti benar akan, tahu benar

akan, pandai dan mengerti benar, sepaham, sependapat, sekeyakinan, memahami, mengerti

benar, aliran, haluan (Suharso dalam Sulistyowati, 2007: 19). Adapun pemahaman adalah

proses, perbuatan, cara memahami atau menanamkan.

Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami suatu objek dan subjek pembelajaran,

dimana kemampuan untuk memahami akan terjadi manakala didahului oleh sejumlah

pengetahuan (Susetyo, 2015: 19).

Menurut Rosser dalam Dahar (2011: 63), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu

kelas objek, kejadian kegiatan, atau hubungan yang memunyai atribut yang sama. Lebih

lanjut lagi, Boediono dalam Purnamasari (2014: 2) menyatakan bahwa konsep adalah semua

hal yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran,

meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, dan isi materi.

Berdasarkan uraian di atas, konsep yaitu suatu gagasan abstrak seseorang yang didapat

berdasarkan objek, peristiwa serta simbol yang memiliki karakteristik sama, sehingga orang

tersebut dapat mengenal serta mengklasifikasikan objek-objek tersebut menjadi pengertian

baru.

Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3), pemahaman konsep matematika menunjuk

pada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan

yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara yang

berbeda dan untuk menentukan perbedaan antargambaran.

Page 26: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

308

Selain itu, Duffin dan Simpson dalam Kesumawati (2008: 230), pemahaman konsep

matematika adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang

telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang

berbeda; dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika adalah

kemampuan siswa untuk mengetahui, mengenal, dan menjelaskan kembali serta

menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan yang mereka ketahui dalam

kehidupan sehari-hari sehingga mampu memecahkan masalah matematika dengan benar.

Adapun indikator pemahaman konsep matematika dalam penelitian ini yaitu

1) mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menyajikan

konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis; 3) mengaplikasikan konsep atau

algoritma pemecahan masalah.

2.2. Media Realia

Menurut Sadiman dalam Sarini (2012: 4), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan

untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran,

perasaan, perhatian, dan perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

Salah satu media yang dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman konsep

matematika dalam penelitian ini adalah media realia.

Wibawa dalam Jannah, dkk (2012: 3) mengatakan bahwa media realia merupakan bentuk

dari media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa ada perubahan. Media realia dinilai

merupakan suatu media yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut karena siswa

usia anak SD tahap berpikirnya masih konkrit dan senang berinteraksi dengan benda-benda

nyata sehingga dapat mempermudah siswa memahami pembelajaran matematika.

Lebih lanjut lagi, Ibrahim dan Syaodih dalam Maryati (2015: 8) mengemukakan bahwa

media realia adalah objek nyata atau benda sesungguhnya yang akan memberikan

rangsangan yang amat penting bagi siswa dalam mempelajari berbagai hal dalam proses

pelajarannya, terutama yang menyangkut pengembangan keterampilan pada diri siswa.

Ciri-ciri media realia yaitu benda asli yang masih ada dalam keadaan utuh, dapat

dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya, dan dapat dikenali sebagaimana wujud

aslinya (Endriani dalam Sarini, 2012: 4). Benda nyata yang digunakan seperti alat tulis,

tumbuhan, buah, bunga, dan sebagainya sehingga peserta didik dengan mudah mengingat

apa yang mereka pelajari karena telah mengalami langsung dan berinteraksi dengan media.

Endriani mengatakan kembali, pemanfaatan media realia dalam proses pembelajaran

merupakan cara yang cukup efektif, karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat.

Akan tetapi tidak semua benda nyata dapat digunakan sebagai media realia karena

keterbatasan penyediannya, misalnya karena ukuran ataupun biayanya.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa media realia merupakan benda-benda

nyata seperti apa adanya atau aslinya, tanpa perubahan. Dengan memanfaatkan realita dalam

Page 27: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

309

proses belajar, diharapkan siswa akan lebih paham. Media realia yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah media realia berupa alat tulis.

3. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Yang

beralamat di Jl. Metro IP, Desa Telajung, Kecamatan Cikarang Barat, Bekasi. Penulis

melakukan penelitian mulai dari bulan Maret sampai April 2016. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom

Action Research). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk mencermati

kegiatan belajar sekelompok siswa dengan memberikan sebuah tindakan (treatment) yang

sengaja dimunculkan (Arikunto 2014: 16). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya

peningkatan pemahaman konsep matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan

pengurangan dengan menggunakan media realia “Alat Tulis” di Kelas 1 SD Negeri

Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1B

SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat yang berjumlah 30 siswa, terdiri dari 20

siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap

siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dan perolehan nilai tes pada siklus I, II, dan III menunjukan bahwa terdapat

peningkatan pemahaman konsep matematika melalui penggunaan media realia dibandingkan

sebelum penelitian dilaksanakan. Secara keseluruhan siswa telah dapat memahami konsep

pada semua indikator pemahaman konsep yang menggunakan media realia, dimana sebanyak

28 siswa sudah dapat mencapai nilai ≥ 65 atau dengan persentase ketuntasan belajar sebesar

93,33%. Adapun nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar dalam setiap siklus dapat dilihat

pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Nilai Hasil Pembelajaran Setiap Siklus

Kriteria

Siswa yang

memperoleh

nilai ≥ 65

Siswa yang

memperoleh

nilai < 65

Jumlah Rata-

rata

Ketuntasan

Belajar Klasikal

Siswa

F P F P

Siklus I Pre Test 5 16,67% 25 83,33% 1380 46,00 16,67%

Post Test 15 50% 15 50% 1820 60,67 50%

Siklus II Pre Test 15 50% 15 50% 1900 63,33 50%

Post Test 22 73,33% 8 26,67% 2120 70,67 73,33%

Siklus III Pre Test 23 76,67% 7 23,33% 2280 76,00 76,67%

Post Test 28 93,33% 2 6,67% 2700 90,00 93,33%

Page 28: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

310

Agar lebih jelasnya, berikut penyajian grafik persentase ketuntasan belajar klasikal siswa

dari siklus I, siklus II, dan siklus III.

Gambar 1. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Setiap Siklus

Dari grafik yang telah disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan

di setiap siklusnya. Ketuntasan belajar klasikal siswa pada siklus I sebesar 50% dengan

jumlah siswa sebanyak 15 siswa. Pada siklus II pun ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar

73,33% dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Adapun pada siklus III, ketuntasan belajar

klasikal siswa sebesar 93,33% dengan jumlah siswa sebanyak 28 siswa dan telah tuntas

sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan.

4.2. Pembahasan

Proses pembelajaran pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan dengan

menggunakan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika jika dilihat

dari hasil perolehan nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar siswa yang mengalami

peningkatan dalam setiap siklusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Duffin dan Simpson

dalam Kesumawati (2008: 230) yang menyatakan bahwa pemahaman konsep matematika

adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang telah

dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda;

dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep.

Sejalan dengan hal di atas, dalam Depdiknas (2003: 2) disebutkan bahwa pemahaman

konsep matematika merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang

diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman

konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam

pemecahan masalah.

Pemahaman konsep matematika yang diperoleh siswa tidak seluruhnya mencapai nilai yang

diharapkan karena masih terdapat 2 siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal

tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti siswa kurang fokus dalam pembelajaran

serta kemampuan siswa dalam menyerap serta memahami konsep yang tidak sama satu

dengan lainnya. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalahnya tercapainya aspek

kognitif siswa pada indikator mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan

Page 29: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

311

kepadanya, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.

Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini terdapat “peningkatan pemahaman konsep

matematika dengan menggunakan media realia di kelas 1 SDN Telajung 03 Kecamatan

Cikarang Barat”. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya ketuntasan belajar siswa pada

setiap siklusnya dan tercapainya indikator yang telah peneliti tentukan pada awal penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan didukung teori dari beberapa para ahli, maka penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan teoretis.

5. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan peneliti di kelas 1 SD

Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat, dapat dijabarkan kesimpulan bahwa siswa

dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari dengan cara ketika guru bertanya

mengenai hal yang telah dipelajari, siswa menjelaskan kembali materi dengan menggunakan

bahasa yang mereka pahami. Selain itu, juga dengan cara siswa menyimpulkan suatu materi

di akhir pembelajaran baik bersama-sama maupun secara individu dengan benar.

Pemahaman konsep matematika siswa khususnya siswa kelas 1 pada mata pelajaran

Matematika dengan materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan di SDN Telajung

03 tahun pelajaran 2015 – 2016 setelah menggunakan media realia mengalami peningkatan.

Daftar Pustaka

Arikunto, S, dkk. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Dahar, R.W. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. 2006. Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran Matematika.

Heruman. 2013. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jannah, Fatchul, Dkk. 2012. Meningkatkan Aktivitas Belajar Operasi Pengurangan Bilangan

Menggunakan Media Realia Siswa Kelas II SDN 01 Mentebah.

Kesumawati, N. 2008. Pemahaman Konsep Matematik dalam Pembelajaran Matematika.

Maryati, Y. 2015. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas V Dengan Media Realia di SDN

Pengasinan VII Kota Bekasi Tahun Ajaran 2014/2015. Universitas Islam “45” Bekasi: Tidak

dipublikasikan.

Purnamasari, E. F. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika melalui

Pendekatan Open-ended bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Muhammadiyah 10

Surakarta.

Puspita, D. 2010. Penggunaan Media Benda Asli Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Pecahan

dalam Pembelajaran Matematika Kelas III SD Negeri Baran I Kecamatan Nguter Kabupaten

Sukoharjo.

Sarini, W. 2012. Penggunaan Media Realia Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Kelas 1 SDN

11 Segarau Kabupaten Sambas.

Sulistyowati. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep tentang Pokok Bahasan Penjumlahan dan

Pengurangan Pecahan melalui Pemanfaatan Alat Peraga dan Lembar Kerja pada Siswa Kelas

IV SD Wonosari 02 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

Susetyo,B. 2015. Prosedur Penyusunan dan Analisis Tes. Bandung: Refika Aditama.

Page 30: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

312

PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN

AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN

PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI

EKSPONEN DAN LOGARITMA

Putriyani S

STKIP Muhammadiyah Enrekang, Jalan Jend. Sudirman No. 17 Enrekang,

Kab. Enrekang;[email protected]

Abstrak. Penelitian pengembangan (Research and Development) ini bertujuan untuk

mengembangkan Perangkat Asesmen Autentik pada Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific pada

materi pokok Eksponen dan Logaritma. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas X IA 2 SMA

Negeri 1 Pangsid sebanyak 42 orang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 38 orang perempuan. Prosedur

pengembangan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pengembangan

instrumen asesmen autentik menurut Djaali & Muljono (2008: 60) dengan langkah-langkah sebagai

berikut: 1) mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2) membuat kisi-kisi

instrumen, 3) menetapkan besaran atau parameter, 4) menjabarkan butir-butir instrumen ke dalam

bentuk pertanyaan dan pernyataan, 5) tahap validasi pakar, 6) revisi atau perbaikan berdasarkan saran

dari pakar, 7) penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, 8) uji coba instrumen

di lapangan, 9) menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan 10) perakitan butir-butir

instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final. Perangkat asesmen autentik pada pembelajaran

dengan pendekatan scientific yang telah dikembangkan, telah divalidasi oleh pakar dan praktisi serta

telah diujicobakan sehingga didapatkan hasil yang layak digunakan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific bersifat valid dan

reliabel. Perangkat asesmen autentik yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel secara rasional

maupun empirik meliputi instrumen penilaian sikap: Lembar Observasi Sikap Spiritual, Rubrik dan

Lembar Observasi Sikap Sosial. Instrumen penilaian pengetahuan: 1) Kisi-Kisi Tes, 2) Tes

Kompetensi, 3) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kompetensi. Instrumen penilaian keterampilan: 1)

Tes Kinerja, dan 2) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kinerja.

Kata Kunci: Pengembangan Perangkat, Asesmen Autentik, Pendekatan Scientific.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Ketercapaian tujuan pembelajaran khususnya pada Kurikulum 2013 tidak hanya menuntut

kompetensi peserta didik pada aspek pengetahuan saja, tetapi juga meliputi kompetensi sikap

dan keterampilan. Ketiga kompetensi tersebut yang berupaya dibentuk dalam pembelajaran

scientific melalui tahapan mengamati, menanya, menalar, mencoba, menyimpulkan dan

membuat jejaring membutuhkan penilaian untuk mengukur ketiga kompetensi tersebut.

Salah satu penekanan dalam Kurikulum 2013 adalah penilaian autentik. Penilaian autentik

adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai,

baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan de ngan

tuntutan kompetensi yang ada di Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).

Page 31: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

313

Penilaian autentik memperhatikan keseimbangan antara penilaian kompetensi sikap,

pengetahuan dan keterampilan yang disesuaikan dengan perkembangan karakteristik peserta

didik. Prinsip asesmen ini sejalan dengan tujuan pembelajaran scientific yang menekankan

kompetensi peserta didik ketika terlibat aktif dalam aktivitas mengamati (untuk

mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan

hipotesis), mengumpulkan data/informasi dengan berbagai teknik, mengolah/menganalisis

data/informasi dan menarik kesimpulan dan mengomunikasikan kesimpulan hingga

mencipta.

Dengan penilaian hasil belajar yang baik akan memberikan informasi yang bermanfaat

dalam mengambil keputusan demi perbaikan kualitas proses belajar mengajar. Sebaliknya,

kalau terjadi kesalahan dalam penilaian hasil belajar, maka akan terjadi salah informasi

tentang kualitas proses belajar mengajar dan pada akhirnya tujuan pendidikan yang

sesungguhnya tidak akan tercapai. Pengambilan keputusan secara tepat harus ditunjang oleh

informasi yang tepat dan benar. Informasi yang tepat dan benar harus ditunjang oleh proses

pengumpulan informasi yang benar dan tepat pula. Proses pengumpulan informasi

membutuhkan alat yang membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan. Agar

diperoleh informasi yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, maka alat/ instrumen

yang digunakan harus syarat dan dipertanggungjawabkan dari segi validitasnya dan

reliabilitasnya. Oleh karena itu penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan baik mulai

dari penentuan instrumen, penyusunan instrumen, telaan instrumen, pelaksanaan penilaian,

analisis hasil penilaian dan program tindak lanjut hasil penilaian.

Terkait dengan masalah tersebut, maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian

mengenai pelaksanaan asesmen autentik. Teknik-teknik penilaian yang akan digunakan

disesuaikan dengan tuntutan kompetensi dasar yang mengacu pada Kurikulum 2013 dengan

memperhatikan aspek-aspek yang diukur pada setiap langkah pendekatan scientific.

Pelaksanaan penilaian pada setiap kompetensi akan dibantu dengan sejumlah perangkat

penilaian yang disesuaikan dengan teknik penilaian yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti

terdorong untuk mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan

pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan

pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid

yang valid dan reliabel?

2. Bagaimana hasil pengembangan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel pada

pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X

SMA Negeri 1 Pangsid?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengembangkan dan menghasilkan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel

pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X

Page 32: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

314

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengembangan yaitu mengembangkan

perangkat asesmen autentik untuk mata pelajaran matematika khususnya pada materi

Eksponen dan Logaritma. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pangsid dengan subjek

uji coba adalah peserta didik Kelas X IA 2 semester ganjil tahun ajaran 2015/2016.

Langkah-langkah pengembangan instrumen yang digunakan menurut Djaali dan Muljono

(2008: 60) antara lain: 1) Mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2)

Membuat kisi-kisi instrumen, 3) Menetapkan besaran atau parameter, 4) Menulis butir-butir

instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan, 5) Tahap validasi pakar,

6) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, 7) Penggandaan instrumen secara

terbatas untuk keperluan uji coba, 8) Uji coba instrumen di lapangan, 9) Menentukan validitas

dan reliabilitas instrumen, dan 10) Perakitan butir-butir instrumen yang valid unjuk dijadikan

instrumen final.

Teknik pengumpulan data pada aspek pengetahuan dilakukan dengan tes adalah setelah

peserta didik menyelesaikan rangkaian tahap-tahap pembelajaran dari guru. Teknik

pengumpulan data pada aspek sikap dan aspek keterampilan dengan melakukan observasi

perilaku dan kemampuan unjuk kerja peserta didik. Observasi yang dilakukan adalah

observasi langsung terhadap subjek uji coba secara menyeluruh.

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif untuk mendeskripsikan data

kuantitatif dan memberikan makna terhadap deskripsi data tentang isi. Data yang dianalisis

adalah data hasil validasi instrumen penilaian autentik (aspek pengetahuan, sikap, dan

keterampilan). Analisis data yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat yaitu: (1) analisis

validitas dan (2) analisis reliabilitas.

Validitas

Untuk memutuskan apakah instrumen asesmen telah memiliki derajat validitas yang

memadai, maka digunakan Model Kesepakatan Antar Dua Pakar berikut.

Tabel 1. Model Kesepakatan Antar Dua Pakar (Ruslan, 2009)

Validator 2

Validator 1

Tidak Relevan

Skor (1 – 2)

Relevan

Skor (3 – 4)

Tidak Relevan

Skor (1 – 2) A B

Relevan

Skor (3 – 4) C D

Jika hasil dari koefisien validitas isi tinggi (V75%), maka dapat dinyatakan bahwa butir-

butir asesmen memiliki relevansi kuat (sahih). Namun apabila tidak demikian maka perlu

dilakukan revisi berdasarkan saran yang diberikan tim validator dengan melihat kembali

aspek-aspek yang nilainya kurang. Selanjutnya dilakukan proses validasi ulang terhadap

perangkat yang telah direvisi. Demikian seterusnya sehingga diperoleh hasil yang sahih.

Page 33: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

315

Selain melakukan validitas isi oleh pakar, akan dilakukan pula analisis validitas empirik

dengan menggunakan rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson.

Tujuan dari validasi ini adalah untuk keberfungsian hasil uji coba perangkat. Untuk menguji

validitas perangkat, perangkat diujicobakan pada subjek penelitian pada tahap uji coba

perangkat. Validitas dicapai apabila terdapat kesesuaian antara item-item dengan skor secara

keseluruhan sehingga skor-skor pada item tertentu (X) dikorelasikan dengan skor total (Y).

Skor diolah dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS. Adapun

rumus dari korelasi product moment yang dikutip dari Arikunto (2005: 72) yaitu:

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y, dua variabel yang dikorelasikan.

∑XY = jumlah perkalian X dan Y

X = skor item

Y = skor total

N = cacah subjek

Untuk mengetahui kriteria dari korelasi antara butir soal dengan tes secara keseluruhan, maka

dapat digunakan pedoman penafsiran sebagaimana yang dikemukakan oleh Widoyoko (2009:

143) bahwa penafsiran harga koefisien korelasi dilakukan dengan membandingkan harga

dengan harga rxy kritik. Adapun harga kritik untuk validitas butir instrumen adalah 0,3.

Artinya apabila rxy lebih besar atau sama dengan 0,3,nomor butir tersebut dapat dikatakan

valid. Sebaliknya apabila rxy lebih kecil dari 0,3 maka nomor butir tersebut dikatakan tidak

valid.

Reliabilitas

Menurut Borich (dalam Nurdin, 2007: 47), instrumen penilaian dikatakan reliabel

jika nilai reliabilitasnya R 0,75 atau R 75%. Namun apabila tidak demikian, maka

perlu dilakukan revisi berdasarkan saran yang dilakukan oleh validator atau dengan

melihat kembali aspek-aspek yang nilainya kurang untuk kemudian dilakukan

validasi dan analisis ulang. Selain keandalan secara teoritik, juga akan dilakukan

analisis keandalan secara empirik dengan menggunakan uji keandalan koefisien

Alpha Cronbach terhadap data yang diperoleh dari proses uji coba dengan

menggunakan software SPSS. Semakin besar koefisien korelasi yang diperoleh maka

akan semakin tinggi kereliabelan instrumen tersebut. Adapun rumus Cronbach-Alpha

yang dikemukakan di dalam Arikunto (2005: 109-110).

Keterangan:

r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan

Page 34: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

316

n = banyaknya item

= variansi total

= jumlah varians skor tiap-tiap item.

Dengan rumus varians dapat dicari yaitu:

Keterangan:

X = skor pada belah awal dikurangi skor pada belah akhir.

N = jumlah peserta tes

Selanjutnya menurut Sudijono (2009: 209) di dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien

keandalan tes uraian (r11) pada umumnya digunakan klasifikasi sebagai berikut:

1) Apabila r11 ≥ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya dinyatakan telah

memiliki tingkat keandalan yang tinggi.

2) Apabila r11 ≤ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya belum memiliki

tingkat keandalan yang tinggi.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil Penelitian

Hasil Analisis Validitas

Perangkat asesmen autentik yang dihasilkan selanjutnya diuji tingkat validitasnya. Validitas

perangkat asesmen autentik pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu

validitas rasional yang dilakukan oleh para ahli dengan memperhatikan validitas isi. Kedua

yaitu validitas empirik dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS.

Perangkat penilaian dikatakan valid secara rasional apabila nilai validitas ≥75% dan valid

secara empirik apabila koefisien korelasi mencapai standar minimal yaitu 0,30. Adapun hasil

analisis validitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada

tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Validitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik

Perangkat Validitas Isi (%)

Lembar Observasi Sikap Spiritual 100

Rubrik Observasi Sikap Sosial 100

Lembar Observasi Sikap Sosial 100

Kisi-Kisi Tes 100

Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 83,33

Rubrik Penilaian TK 1 76,19

Rubrik Penilaian TK 2 79,16

Rubrik Penilaian TK 3 81,81

Rubrik Penilaian Tes Kinerja 78,12

Page 35: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

317

Perangkat Validitas Isi (%)

Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja 100

RPP 100

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) 100

Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik 100

Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific 100

Selanjutnya hasil analisis validitas empirik pada masing-masing perangkat yang dihasilkan

ditunjukkan pada tabel-tabel berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Validitas Item Aspek Pengamatan Sikap Spiritual

Aspek Pengamatan Validitas Isi Kriteria

Bersikap sopan ketika berinteraksi dengan guru 0,753 Valid

Memberi salam pada saat awal dan akhir presentasi

sesuai agama yang dianut

0,623 Valid

Mengucapkan syukur ketika berhasil mengerjakan

sesuatu

0,704 Valid

Mengucapkan istighfar ketika melakukan kesalahan 0,569 Valid

Membantu teman saat mengalami kesulitan 0,612 Valid

Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah 0,799 Valid

Tabel 4. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Sikap Sosial

Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria

Keterbukaan 0,397 Valid

Kedisiplinan waktu 0,359 Valid

Ketepatan menyelesaikan tugas 0,415 Valid

Persiapan belajar 0,626 Valid

Kesiapan belajar 0,763 Valid

Pembagian tugas dalam kelompok 0,745 Valid

Keterlibatan anggota kelompok dalam

menyelesaikan tugas

0,759 Valid

Keaktifan bekerjasama 0,761 Valid

Menghargai kelompok lain 0,749 Valid

Tenggang rasa terhadap kelompok lain 0,640 Valid

Komunikasi antaranggota 0,756 Valid

Keberanian mengemukakan pendapat 0,065 Tidak Valid

Motivasi menyelesaikan tugas 0,519 Valid

Tabel 5. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 1

Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria

Butir 1 0,925 Valid

Butir 2 0,913 Valid

Tabel 6. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 2

Page 36: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

318

Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria

Butir 1 0,845 Valid

Butir 2 0,920 Valid

Butir 3 0,878 Valid

Tabel 7. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 3

Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria

Butir 1a 0,880 Valid

Butir 1b 0,872 Valid

Butir 1c 0,836 Valid

Butir 2a 0,907 Valid

Butir 2b 0,911 Valid

Tabel 8. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kinerja

Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria

Pemilihan masalah 0,555 Valid

Pemahaman terhadap masalah 0,612 Valid

Perencanaan penyelesaian 0,687 Valid

Penerapan rencana 0,676 Valid

Penyajian masalah dan penyelesaiannya 0,635 Valid

Hasil Analisis Reliabilitas

Perangkat penilaian memiliki sifat reliabel apabila hasil pengukuran dengan menggunakan

perangkat penilaian tersebut secara berulang kali menunjukkan hasil yang sama untuk subjek

yang sama. Pengujian kekonsistenan internal perangkat asesmen autentik pada penelitian ini

dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu uji reliabilitas secara rasional yang dilakukan

melalui penilaian para ahli. Kedua, uji reliabilitas secara empirik menggunakan uji keandalan

koefisien Alpha-Cronbach dengan bantuan software SPSS setelah uji coba. Perangkat

penilaian dikatakan reliabel apabila r hitung (r11) dengan r ≥ 0,70. Adapun hasil analisis

reliabilitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel

berikut:

Tabel 9. Hasil Reliabilitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik

Perangkat A B C D

Lembar Observasi Sikap Spiritual 0 0 0 10

Rubrik Observasi Sikap Sosial 0 0 0 14

Lembar Observasi Sikap Sosial 0 0 0 10

Kisi-Kisi Tes 0 0 0 13

Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 0 1 0 5

Rubrik Penilaian TK 1 0 0 5 16

Rubrik Penilaian TK 2 0 0 5 19

Rubrik Penilaian TK 3 0 0 4 18

Rubrik Penilaian Tes Kinerja 0 0 7 25

Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja 0 0 0 12

RPP 0 0 0 16

Page 37: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

319

Perangkat A B C D

LKPD 0 0 0 7

Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik 0 0 0 9

Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific 0 0 0 13

Keterangan:

A = sel yang menunjukkan kedua penilai/ pakar menyatakan tidak relevan.

B dan C = sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antar penilai/ pakar.

D = sel yang menunjukkan kedua pakar/ penilai untuk validitas isi.

Selanjutnya hasil analisis reliabilitas secara empirik pada masing-masing perangkat yang

dihasilkan ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 10. Hasil Uji Koefisien Keandalan Alpha Cronbach Setelah Uji Coba

Perangkat r hitung r tabel Kriteria

Instrumen Sikap Spiritual 0,730 0,304 Andal

Instrumen Sikap Sosial 0,830 0,304 Andal

Tes Kompetensi 1 0,814 0,304 Andal

Tes Kompetensi 2 0,854 0,304 Andal

Tes Kompetensi 3 0,924 0,304 Andal

Tes Kinerja 0,613 0,304 Andal

3.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa prototype penilaian pengetahuan dan keterampilan secara keseluruhan telah memenuhi

kriteria valid dengan revisi sesuai dengan saran yang diberikan oleh validator. Sedangkan

prototype penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara keseluruhan. Hal ini

disebabkan karena salah satu aspek penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara

empirik dengan nilai korelasi kurang dari 0,30 dan sig. > 0,05. Sehingga aspek penilaian

tersebut akan dieliminasi dari butir-butir aspek penilaian sikap sosial atau masih perlu

dilakukan revisi untuk aspek tersebut. Untuk prototype penilaian sikap spiritual telah

memenuhi kriteria valid secara keseluruhan.

Berdasarkan hasil uji reliabilitas, secara rasional terlihat bahwa instrumen perangkat asesmen

autentik secara keseluruhan memenuhi kriteria reliabel. Meskipun ada beberapa butir aspek

penilaian pada instrumen Rubrik Penilaian Tes memiliki konsistensi internal yang lemah/

rendah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara tim validasi dalam

memberikan skor pada instrumen yaitu instrumen berada pada kategori B dan C. Namun

secara keseluruhan instrumen perangkat asesmen autentik masih berada pada kategori relevan

untuk digunakan. Sedangkan hasil uji reliabilitas secara empirik dapat disimpulkan bahwa

instrumen perangkat asesmen autentik secara keseluruhan telah memenuhi kriteria reliabel.

Selain mengetahui sikap dalam hubungan sosial dan spiritual peserta didik, sikap dan

keterampilan khusus dalam pelajaran matematika juga dapat diketahui melalui penggunaan

perangkat asesmen autentik yang dikembangkan. Sikap dan keterampilan yang terbentuk dari

pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma peserta didik dapat diketahui dengan menelaah

Page 38: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

320

hasil tes peserta didik. Rubrik penilaian untuk tes tertulis dan tes kinerja yang tidak hanya

mengukur kompetensi pengetahuan dan keterampilan tetapi juga mengukur ketiga kompetensi

dengan menelaah aspek-aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terbentuk melalui

pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma.

Kendala-kendala yang dihadapi pada penggunaan perangkat asesmen autentik diantaranya:

1) Jumlah peserta didik yang terlalu banyak menyebabkan observer mengalami kesulitan

untuk melakukan pengamatan sikap sosial dan spiritual, 2) Membutuhkan kecermatan dalam

melakukan pengamatan terhadap kinerja peserta didik, dan 3) Terlalu banyak aspek

pengamatan menyulitkan observer melakukan pengamatan pada aktivitas peserta didik.

Kendala-kendala tersebut dipecahkan dengan solusi antara lain: 1) Melakukan konfirmasi

sikap pada guru mata pelajaran lain, membuat catatan khusus (jurnal), mengamati peserta

didik dengan skor pengamatan tertinggi dan terendah, 2) Hasil pengamatan kinerja peserta

didik dikonfirmasi melalui hasil kinerja peserta didik, dan 3) Menentukan aspek pengamatan

yang relevan dengan kompetensi yang diukur dan merupakan bagian dari kegiatan

pembelajaran pada RPP.

4. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1) Perangkat asesmen autentik pada

pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma yang valid dan

reliabel melalui proses pengembangan dengan langkah-langkah: a) Mengembangkan dimensi

dan indikator dari variabel penelitian, b) Membuat kisi-kisi instrumen, c) Menetapkan besaran

atau parameter, d) Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau

pernyataan, e) Tahap validasi pakar, f) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, g)

Penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, h) Uji coba instrumen di

lapangan, i) Menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan j) Perakitan butir-butir

instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final; 2) Perangkat asesmen autentik yang

dikembangkan pada penelitian ini yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel baik secara

rasional maupun empirik, meliputi: a) Lembar Observasi Sikap Spiritual, b) Rubrik dan

Lembar Observasi Sikap Sosial, c) Kisi-Kisi Tes Kompetensi dan Tes Kinerja, d) Tes

Kompetensi dan Tes Kinerja, dan e) Rubrik serta Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes

Kinerja.

5. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan beberapa saran sabagai

berikut: 1) Perangkat asesmen autentik yang dikembangkan sesuai dengan materi pelajaran,

2) Aspek penilaian disesuaikan dengan kompetensi yang diukur pada silabus dan merupakan

bagian dari kegiatan pembelajaran peserta didik, 3) Kegiatan penilaian tidak hanya

menggunakan teknik tertentu, tetapi juga menggunakan teknik penilaian lain yang sesuai

dengan Permendikbud No. 66 tentang Standar Penilaian Pendidikan, 4) Kesulitan melakukan

pengamatan pada kelas dengan jumlah peserta didik yang banyak dapat disiasati dengan

mengamati peserta didik dengan skor pengamatan tertinggi dan skor pengamatan terendah.

Selain itu dengan membuat catatan khusus (jurnal) dan melakukan konfirmasi tentang

perilaku peserta didik pada guru mata pelajaran lain, 5) Pengembangan perangkat asesmen

Page 39: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

321

autentik hendaknya dikembangkan tidak hanya pada materi tertentu tetapi pada keseluruhan

materi pada mata pelajaran matematika sesuai dengan kebutuhan penilaian autentik pada

Kurikulum 2013, dan 6) Perangkat penilaian yang dihasilkan hanya diujicobakan pada satu

kelas. Hasil uji coba menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan revisi perangkat asesmen

autentik yang telah dikembangkan. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang lebih baik

disarankan untuk melakukan uji coba pada skala yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta.

Djaali & Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo (Gramedia

Widiasarana).

Nurdin. 2007. Model Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif.

Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA

Ruslan. 2009. Penilaian Kinerja Dosen Berdasarkan Kepuasan Mahapeserta didik dan Pengaruhnya

terhadap Perilaku Pasca Kuliah (Studi di FMIPA Universitas Negeri Makassar). Jakarta:

Pustaka Yaspindo.

Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Widoyoko, S. Eko Putro. 2009a. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 40: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

322

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN

HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA

MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN

TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)

(PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran

Kab.Pringsewu - Lampung)

Herdian, S.Pd., M.Pd.

SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu, [email protected]

Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindak kelas (classrom action research),

yang bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa

dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament

(TGT) yang dilakukan selama tiga siklus. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada

siswa kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu yang berjumlah 40 siswa. Hasil

penelitian ini menemukan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat

meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami

kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Peningkatan aktivitas belajar yang ditampakkan

sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus III. (2)

penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nilai

rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III.

Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke siklus II dan

6,1%.dari siklus II ke siklus III.

Kata kunci: model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT),

aktivitas siswa, hasil belajar siswa.

1. PENDAHULUAN

Pada awal tahun pelajaran 2013/2014 telah diterapkan Kurikulum 2013 yang merupakan

pengembangan dan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Kurikulum 2013 adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-

masing satuan pendidikan yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,

struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.

Penerapan Kurikulum 2013 menjadi tantangan bagi guru untuk meningkatkan kapasitasnya

sebagai tenaga pendidik. Guru dituntut mengoptimalkan seluruh peran yang harus

dilaksanakannya dalam proses pembelajaran. Guru diharapkan mampu mengelola proses

pembelajaran (manager), menentukan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan

kegiatan pembelajaran (coordinator), mengomunikasikan murid dengan berbagai sumber

belajar (comunicator), menyediakan dan memberi kemudahan-kemudahan belajar

(facilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).

Sesuai dengan karakteristik kurikulum 2013, dalam mengelola kegiatan belajar mengajar

aktivitas siswa menjadi titik tekan dalam proses pembelajaran yang diciptakan di dalam

kelas karena keaktifan siswa selama proses pembelajaran merupakan hakikat belajar yang

Page 41: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

323

menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Walaupun kurikulum 2013 sudah diterapkan,

sampai sekarang pendidikan kita masih diselimuti oleh pandangan bahwa pengetahuan

sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai

sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar,

sehingga proses pembelajaran yang menuntut siswa sebagai pelaku belajar yang aktif belum

dapat berjalan dengan optimal.

Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang lebih memberdayakan siswa, berfokus

pada siswa, menyenangkan bagi siswa, meningkatkan kepekaan sosial dan mendorong siswa

mengontruksikan di benak mereka sendiri berdasarkan pengalaman belajar yang mereka

alami. Melalui proses belajar yang demikian itu diharapkan siswa dapat lebih aktif dalam

proses pembelajaran sehingga lambat laun prestasi belajar siswa dapat meningkat.

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh penulis dapat dikemukakan bahwa dari sisi

siswa sebagai peserta didik, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa belum optimal.

Keaktifan siswa masih bergantung pada guru sebagai motor penggerak aktivitas belajar

mereka. Keaktifan siswa yang ditampakkan masih terdapat hal-hal yang mengganggu dalam

proses pembelajaran, seperti mengobrol dalam kelas yang tidak ada hubungannya dengan

pembelajaran, mengganggu teman, dan melakukan aktivitas lain yang tidak perlu.

Rendahnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran salah satunya dipengaruhi oleh model

pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dalam proses pembelajaran guru masih

menggunakan model pembelajaran yang belum bervariatif dan masih berpaku pada model

pembelajaran yang sama. Metode ceramah merupakan pilihanan utama dalam metode

pembelajaran. Pada model pembelajaran ini peran guru akan menjadi sangat dominan,

sedangkan siswa ditempatkan sebagai pendengar dan penonton. Sementara itu untuk hasil

belajar siswa tergolong kurang memuaskan hal ini terlihat dari rerata nilai akhir semester

ganjil yang hanya mencapai nilai 60,30.

Upaya-upaya yang telah dilakukan guru untuk mengatasi permasalahan rendahnya aktivitas

siswa antara lain dengan cara memberikan reward kepada siswa yang aktif dalam proses

pembelajaran. Reward tersebut diberikan dalam bentuk penambahan nilai bagi siswa yang

aktif dalam proses pembelajaran. Namun pada realisasinya guru belum dapat meningkatkan

aktivitas siswa. Siswa yang aktif hanya terbatas pada siswa-siswa tertentu saja. Selain itu

guru juga melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar

siswa antara lain dengan cara memberikan tugas di sekolah maupun memberikan pekerjaan

rumah (PR) kepada siswa, akan tetapi masih banyak di antara siswa yang tidak

mengerjakannya. Mereka menunggu pekerjaan temannya selesai, setelah itu mereka

menyalin pekerjaan temannya.

Rendahnya aktivitas siswa itu diduga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Siswa

menjadi malas karena kurang termotivasi dalam proses pembelajaran sehingga

mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang

dilakukan guru sebagai tenaga pendidik untuk menciptakan suasana pembelajaran di dalam

kelas yang mampu membuat peserta didik lebih aktif sehingga dapat meningkatkan prestasi

belajar mereka.

Page 42: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

324

Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut

adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Model pembelajaran

kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dalam kelompok

kecil yang heterogen untuk menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa harus saling membantu temannya dalam

memahami pelajaran, saling berdiskusi menyelesaikan tugas, saling bertanya antar teman

jika belum memahami pelajaran.

Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai macam tipe, salah satunya adalah pembelajaran

kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT). Pembelajaran dengan model TGT adalah

pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan siswa, sebab dalam TGT semua siswa tidak

ada yang tidak aktif menyuarakan pendapatnya. Siswa dituntut untuk berani mengungkapkan

pendapatnya, penanggapi pendapat temannya, dan mempertahankan pendapatnya dalam

diskusi kelompok. Disamping itu, siswa akan terlatih untuk berkompetisi dalam turnamen

yang dilaksanakan setiap berakhirnya pembelajaran. Siswa akan terpacu untuk menunjukkan

kemampuannya selama proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa akan menampakkan

keaktifannya selama proses pembelajaran di kelas.

Saat siswa melakukan diskusi dalam kelompok yang heterogen sebagaimana diterapkan pada

model TGT, dapat memberi keuntungan baik pada siswa dengan kemampuan akademik pada

kelompok bawah, maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas

akademik. Dalam hal tersebut, siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok

bawah. Mereka menjadi pembimbing, memberi penjelasan dan pengarahan bagi kelompok

bawah. Sementara itu bagi kelompok bawah dapat menanyakan konsep yang belum

dipahami kepada kelompok atas, sehingga mereka mendapatkan bantuan khusus dari teman

sebaya yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dengan pola pembelajaran tersebut

diharapkan mampu memeratakan kemampuan siswa. Pemerataan kemampuan yang dimiliki

siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Dengan demikian, diduga dengan menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games

Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Dengan meningkatnya

aktivitas belajara siswa dalam belajar diduga pula dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan

menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT).

2. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classrom action research) yang

menggambarkan langkah-langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat

tahap, yaitu perencanaan (planing), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi

(reflecting).

Prosedur penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas yang langkah-

langkahnya diadaptasi dari rancangan penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Mc.

Taggart (Depdiknas, 2007:7). Secara garis besar, langkah-langkah penelitian ditunjukkan

dalam gambar.1 berikut.

Page 43: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

325

Gambar.1. Penelitian Model Mc Taggart (2004)

2.1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pagelaran, dengan jumlah siswa 40

orang yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 27 orang siswa perempuan.

2.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara obervasi dan tes.

2.2.1. Observasi

Observasi merupakan kegiatan melihat sesuatu secara cermat untuk memperoleh pemahaman

yang lebih baik tentang sesuatu itu. Observasi ini digunakan untuk mengamati aktivitas

belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Aspek dan indikator penilaian aktivitas belajar siswa yang diamati dalam penelitian ini

adalah:

a. interaksi siswa dengan guru selama proses pembelajaran dengan indikator (1)

melaksanakan instruksi/perintah guru; (2) mendengarkan penjelasan guru dengan

seksama; dan (3) menghormati dan menghargai guru,

b. interaksi antarsesama siswa selama proses pembelajaran dengan indikator (1)

menghargai pendapat teman; (2) berinteraksi dengan teman secara baik; dan (3)

tidak mengganggu teman,

c. aktivitas siswa dalam kelompok dengan indikator (1) berdiskusi memecahkan

masalah dalam kelompok; (2) bekerja sama dalam mengerjakan lembar kerja

kelompok, dan (3) saling mendukung teman dalam satu kelompok,

Page 44: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

326

d. partisipasi siswa dalam dalam proses pembelajaran dengan indikator (1) mengajukan

pertanyaan; (2) mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan; dan (3)

mengikuti semua tahapan-tahapan pembelajaran,

e. motivasi dan kegairahan siswa dalam belajar dengan indikator (1) antusias/

semangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tertib dan bersegera terhadap

instruksi yang diberikan guru, (3) menampakkan keceriaan dalam belajar.

2.2.2. Tes

Tes dalam penelitian ini merupakan alat ukur untuk mengetahui hasil belajar dan tingkat

keberhasilan siswa pada setiap kompetensi dasar yang harus tertuntaskan. Tes yang

digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK) dan soal turnamen

yang berupa soal-soal yang harus dijawab secara tertulis.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1. Aktivitas Belajar Siswa

Pada siklus I dilakukan empat kali pertemuan, pada siklus II dilakukan tiga kali pertemuan

dan pada siklus III dilakukan tiga kali pertemuan, dengan demikian pengamatan terhadap

aktivitas siswa dalam setiap siklus dilakukan sesuai dengan banyaknya pertemuan. Oleh

karena itu, untuk menentukan aktivitas belajar siswa setiap siklus dilakukan dengan cara

mencari rerata dari setiap pertemuan pada siklus. Data aktivitas belajar yang ditampakkan

siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing aspek maupun hasil belajar secara

keseluruhan dapat dilihat dari Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Data Rincian Nilai Aktivitas Belajar Siswa setiap Siklus

NO Aktivitas Siswa Siklus I Siklus II Siklus III

1 Interaksi siswa dengan guru selama

proses pembelajaran 86,35 84,16 86,81

2 Interaksi antar sesama siswa selama

proses pembelajaran 76,95 77,92 84,63

3 Aktivitas siswa dalam kelompok 73,49 73,34 77,45

4 Partisipasi siswa dalam dalam proses

pembelajaran 79,8 80,83 84,08

5 Motivasi dan kegairahan siswa dalam

belajar 73,00 75,00 75,33

Nilai rerata aktivitas belajar siswa 77,92 78,25 81,66

Berdasarkan rerata nilai aktivitas belajar siswa dari masing-masing siklus dapat disimpulkan

dalam gambar berikut ini.

Page 45: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

327

Gambar 2. Grafik Data Aktivitas Belajar Siswa Setiap Siklus

Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui rerata nilai aktivitas belajar siswa dari

siklus I hingga siklus III, secara keseluruhan dapat diketahui adanya peningkatan aktivitas

belajar siswa dari setiap siklus. Nilai aktivitas belajar siswa yaitu 77,92 pada siklus I, 78,25

pada siklus II, dan 81,66 pada siklus III. Dengan demikian, dapat diketuhi peningkatan yang

terjadi dari siklus I ke siklus II sebesar 0,43% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 4,36%.

Peningkatan yang terjadi dari setiap siklus karena adanya variasi teknik pembelajaran yang

dilakukan peneliti sesuai dengan refleksi dan rekomendasi yang telah ditetapkan pada setiap

akhir siklus. Sebagai contoh pada penyajian materi, pengelolaan belajar kelompok, dan

presentasi kelas yang dilakukan peneliti pada pertemuan pertama siklus I dilakukan secara

biasa ternyata nilai aktivitas belajar siswa belum memuaskan. Kemudian pada siklus II

dilakukan variasi teknik dengan cara menyajikan contoh pada LKK. Di samping itu peneliti

melakukan pendekatan kepada siswa dalam kelompok dan merangsang siswa untuk bertanya

serta mengubah teknik presentasi dari lintas kelompok menjadi satu persatu ke depan kelas.

Pada siklus II terjadi peningkatan nilai aktivitas belajar siswa. Walaupun demikian

peningkatan yang terjadi masih belum signifikan. Hal ini dikarenakan masih terdapat

beberapa siswa yang belum siap melakukan presentasi kelas. Saat presentasi mereka kurang

memperhatikan sikap yang baik dan masih terdapat beberapa siswa yang tampak grogi.

Sedangkan pada siklus III peningkatan aktivitas belajar siswa cukup signifikan. Peningkatan

ini diduga karena variasi pembelajaran yang diciptakan peneliti pada siklus III berjalan

dengan baik. Variasi yang dilakukan berupa penyampaian materi yang diselingi dengan

pertanyaan-pertanyaan singkat dan siswa diminta menjawab secara cepat dan guru senantiasa

memotivasi siswa agar menciptakan iklim kompetisi dalam belajar. Di samping itu guru

memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi siswa yang teraktif dan nilai hasil

belajar yang tertinggi.

3.2. Hasil Belajar Siswa

Dalam pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan model Teams Games Tournament

(TGT) setiap akhir pertemuannya senantiasa diadakan evaluasi pembelajaran. Evaluasi

pembelajaran yang diberikan berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK), penilaian presentasi

hasil belajar, dan turnamen. Penilaian tersebut merupakan sarana untuk mengetahui sejauh

Page 46: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

328

mana hasil belajar yang ditampakkan oleh siswa. Di samping itu, hasil belajar yang

ditampakkan siswa sebagai evaluasi terhadapa kinerja guru dalam mengelola pembelajaran.

Berdasarkan hasil belajar yang ditampakkan siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing

aspek maupun hasil belajar secara keseluruhan dapat dilihat dari Tabel berikut.

Tabel 2. Data Rincian Nilai Hasil Belajar Siswa setiap Siklus

Aspek Penilaian Siklus I Siklus II Siklus III

Lembar Kerja Kelompok (LKK) 66,00 72,50 74,00

Presentasi Kelas 68,20 67,80 72,40

Turnamen 72,00 68,13 74,75

Nilai Hasil Belajar 68,73 69,48 73,72

Secara keseluruhan nilai hasil belajar siswa dapat dilihat dari gambar berikut

Gambar 3. Grafik Data Hasil Belajar Siswa Setiap Siklus

Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai hasil belajar siswa senantiasa

mengalami peningkatan setiap siklusnya, yaitu 68,73 pada siklus I, naik menjadi 69,48 pada

siklus II, dan kembali naik pada siklus III menjadi 73,72. Kenaikan yang terjadi dari siklus I

ke siklus II sebesar 1,09% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 6,1%. Nilai hasil belajar

pada siklus III yang merupakan siklus terakhir telah mencapai standar ketuntasan belajar

minimal yaitu 65,00.

Berdasarkan hasil belajar untuk aspek Lembar Kerja Kelompok (LKK) menunjukkan adanya

peningkatan nilai yang diperoleh setiap siklusnya, yaitu 66,00 pada siklus I, 72,50 pada

siklus II, dan 74,00 pada siklus III. Peningkatan terjadi dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar

9,85%, dan dari siklus II ke siklus III yaitu sebesar 2,07%. Secara keseluruhan tampak

peningkatan nilai LKK pada setiap kelompok, namun ada beberapa kelompok yang

mengalami kenaikan dan penurunan nilai LKK.

Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap lembar jawaban siswa, penurunan yang

terjadi pada nilai LKK dikarenakan dalam menjawab pertanyaan siswa terpaku pada

ringkasan materi yang disajikan dalam LKK. Di samping itu, siswa kurang cermat dalam

memperhatikan penjelasan guru sehingga berpengaruh pada jawaban yang diberikan dan

Page 47: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

329

terdapat beberapa kelompok yang terlena terhadap kesuksesan kelompok pada siklus

sebelumnya.

Hasil belajar siswa yang ditampakkan dari aspek presentasi kelas pada siklus I, siklus II, dan

siklus III berturut-turut 68,20, 67,80 dan 72,40. Nilai presentasi siswa dari siklus I ke siklus

II mengalami penurunan sebesar 0,6%. Hal ini disebabkan karena perubahan metode

presentasi yang dilakukan oleh peneliti untuk mengendalikan aktivitas belajar siswa. Saat

presentasi hasil diskusi terdapat beberapa kelompok yang kurang siap, grogi saat presentasi,

tidak memperhatikan sikap saat presentasi, dan kurang memberikan alasan yang logis saat

menyatakan persetujuan atau penolakan. Penurunan tersebut dirasa wajar karena pengaruh

faktor kesiapan siswa saat presentasi di depan kelas.

Sementara itu, untuk nilai presentasi dari siklus II ke siklus III mengalami peningkatan

sebesar 6,78%. Berdasarkan penurunan nilai presentasi siswa pada siklus II, guru

memberikan pengarahan cara dan teknik presentasi di kelas dan mengarahkan siswa dalam

memberikan alasan yang logis saat menyatakan persetujuan ataupun penolakan. Upaya yang

dilakukan guru tersebut ternyata memberikan pengaruh positif pada nilai presentasi siswa.

Dengan demikian terjadi peningkatan nilai dari siklus II ke siklus III.

Hasil belajar siswa pada aspek turnamen merupakan aspek penilaian hasil belajar yang

mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali. Hasil turnamen pada siklus I, siklus II

dan siklus III berturut-turut 72,00, 68,13, dan 74,75. Penurunan hasil belajar pada aspek

turnamen terjadi pada siklus I ke siklus II sebesar 5,68%. Hal ini dikarenakan sub pokok

bahasan pada siklus II ini relatif lebih sulit, dan terlihat saat dilaksanakan turnamen siswa

belum sepenuhnya siap untuk melak-sanakan turnamen. Dilihat dari lembar jawaban hasil

turnamen, terlihat banyak siswa yang masih salah dalam menggunakan konsep. Soal pun

menjadi salah satu aspek yang menyebabkan turunnya hasil belajar siswa pada aspek

turnamen, soal yang dibuat guru dipandang siswa relatif lebih sulit dibanding soal turnamen

siklus I.

Sementara itu untuk nilai turnamen dari siklus II ke siklus III mengalami pening-katan

sebesar 9,72%. Walaupun peningkatan nilai yang ditampakkan oleh masing-masing siswa

sedikit, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai hasil

belajar siswa dari siklus ke siklus. Peningkatan ini terjadi karena siswa sudah memahami

situasi turnamen dan bentuk soal yang akan diturnamenkan. Mereka berupaya meningkatkan

kemampuannya dalam menjawab soal dengan cepat dan tepat. Di samping itu juga guru

memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi masing-masing siswa dan

kelompok yang memperoleh nilai turnamen tertinggi setiap siklusnya.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa.

1. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat

meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami

kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata aktivitas belajar siswa

sebesar 77,92 tergolong aktif, pada siklus II nilai rerata aktivitas belajar siswa mencapai

78,25 tergolong aktif, dan pada siklus III nilai rerata aktivitas belajar siswa meningkat

Page 48: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

330

sebesar 81,66 dengan kategori aktif. Dengan demikian peningkatan aktivitas belajar yang

ditampakkan sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus

III,

2. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat

meningkatkan hasil belajar siswa . Nilai rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan

dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata hasil belajar siswa sebesar 68,73

tergolong baik. Pada siklus II nilai rerata hasil belajar siswa mencapai 69,48 tergolong

baik. Dan pada siklus III nilai rerata hasil belajar siswa meningkat sebesar 73,72 dengan

kategori baik. Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke

siklus II dan 6,1%.dari siklus II ke siklus III.

5. Saran

Berdasarkan hasil penelitan dan simpulan, bahwa penggunaan model pembelajaran tipe

Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar yang berdampak

pada meningkatnya hasil belajar siswa, maka penulis menyarankan.

1. hendaknya guru mata pelajaran Matematika dapat menerapkan model pembelajaran tipe

Teams Games Tournament (TGT) sebagai alternatif model pembelajaran di kelas,

2. kepada guru yang tertarik menerapkan model pembelajaran tipe Teams Games

Tournament (TGT) hendaknya memperhatikan efektifitas waktu yang digunakan,

perencanaan dan penyediaan media pembelajaran yang memadai, dan pengelolaan kelas

secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta. Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.

Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Diknas.

_________. 2007. Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Jakarta

Dimyati, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta. Bumi

Aksara. Jakarta

Ibrahim, R dan Nana S. Syaodih. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang

Kelas. PT Grasindo. Jakarta

Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Slavin, E. Robert. 1995. Cooperative Learning Theory Research and Practice Secobd Edition.

Boston. Allyn and bacon.

Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta. Jakarta

Page 49: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

331

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI

MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI

TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN

BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE

Rachmaniah M. Hariastuti1)

, Sri Wahyuni2)

1)Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol 22 Banyuwangi; [email protected]

2)Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol Banyuwangi; [email protected]

Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk

mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa pada materi sifat-sifat segiempat

ditinjau dari teori tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele. Penelitian

dilakukan di MTs. AT-TAUFIQ, Banyuwangi dengan mengambil subyek 8 siswa kelas

VII. Subyek ditentukan dengan metode purposive dan snowball sampling.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi.

Sedangkan analisa data dilakukan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan. Hasil analisa data menunjukkan bahwa subyek pada tingkat 0

dan tanpa tingkatan kurang memiliki kemampuan koneksi matematis, subyek tingkat 0

lebih cenderung memahami koneksi antara topik segiempat dengan topik lain dalam

matematika, subyek tanpa tingkat cenderung memahami koneksi antara topik segiempat

dengan kehidupan sehari-hari, dan subyek pada tingkat 1 sudah memiliki kemampuan

koneksi matematika yang baik dengan kecenderungan lebih memahami koneksi antara

topik segiempat dengan topik matematika lain.

Kata Kunci. Koneksi matematika, Tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele,

Sifat-sifat segiempat

Abstract. This research represent qualitative research as a mean to know the ability of

mathematical connection which evaluated from van Hiele’s theory. Research done in

MTs AT-TAUFIQ, Banyuwangi by taking 8 subject from student grade 7. Subject

determined with purposive and snowball sampling method. Data collecting done with

test, interview and documentations method. While data analysis done with steps: reduce

data, presentation of data, and make conclusion. Result of data analysis indicate that

subject at level 0 and non level is have less ability of mathematical connection, subject

at level 0 more tend to comprehend connection this topic with other in mathematics,

subject non level tend to comprehend connection this topic with daily problems, and

level 1 have owned good ability of mathematical connection with tendency more tend to

comprehend connection this topic with other in mathematics.

Keyword: Mathematical connection, van Hiele’s theory of geometry level thinking,

nature of parallelogram

1. Pendahuluan

Pembelajaran matematika secara umum masih dianggap sebagai pembelajaran yang kurang

menyenangkan karena lebih sering menyajikan rumus-rumus yang membingungkan. Dengan

kondisi tersebut, hasil pembelajaran matematika masih belum maksimal. Menurut Sumarmo

(dalam Herlambang, 2013:6), agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil

belajar matematika, guru perlu mendorong siswa terlibat aktif dalam diskusi, bertanya serta

Page 50: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

332

menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan dan

memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.

Dalam tujuan pembelajaran matematika sekolah dapat diketahui bahwa pemahaman konsep

matematika, melakukan manipulasi matematika, dan mengkomunikasikan gagasan dengan

simbol matematika sangat diutamakan. Melalui kemampuan tersebut dapat ditingkatkan daya

berpikir sehingga siswa lebih mudah mengingat materi. Untuk itu guru hendaknya perlu

memperhatikan sejauh mana siswa dapat memahami materi yang telah disampaikan. Hal ini

dilakukan agar siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam memahami materi berikutnya.

Keterhubungan materi satu dengan yang lain serta keterhubungan suatu materi dengan

kehidupan sehari-hari dikenal dengan koneksi matematis. Menurut Ruspiani (dalam Permana

& Sumarmo, 2007:117), kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan

konsep-konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun

mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya. Sedangkan menurut

Kusuma (dalam Fauzi, 2011: 42), koneksi matematis merupakan bagian dari kemampuan

berpikir matematis tingkat tinggi, dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep

matematika secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun

keterkaitan secara eksternal yaitu matematika dengan bidang lain, baik bidang studi lain

maupun dengan kehidupan sehari-hari.

Baik atau kurangnya kemampuan seseorang dalam mengkoneksikan masalah-masalah dalam

matematika menjadi salah satu indikator penting dalam pembelajaran matematika. NCTM

(dalam Linto, Elniati, & Rizal, 2012:83-84) menyatakan bahwa tujuan koneksi matematika

diberikan pada siswa di sekolah menengah adalah agar siswa dapat: (1) mengenali

representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama; (2) mengenali hubungan prosedur

satu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen; (3) menggunakan dan menilai

koneksi beberapa topik matematika; (4) menggunakan dan menilai koneksi antara

matematika dan disiplin ilmu lain.

Penelitian Permana & Sumarmo (2007:120) menyimpulkan bahwa kemampuan koneksi

matematik siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada

siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

berbasis masalah akan membuat kemampuan koneksi matematika lebih terasah. Kesulitan

siswa untuk memahami koneksi matematis akan berimbas pada proses penyelesaian

soal/masalah yang diberikan. Penyelesaian soal yang berhubungan dengan koneksi

matematis terdapat pada setiap materi dalam matematika, salah satunya adalah geometri.

Geometri merupakan salah satu materi matematika dimana banyak siswa masih mengalami

kesulitan untuk memahami materi tersebut. Hasil penelitian Sarjiman (2006:75)

menunjukkan bahwa geometri termasuk materi yang sulit untuk dikuasai setelah pecahan dan

soal matematika bentuk cerita. Untuk itu dalam penyampaian suatu materi pembelajaran,

guru harus memperhatikan tingkat perkembangan pemahaman siswa.

Salah satu tingkat perkembangan pemahaman yang secara khusus diteliti adalah tingkat

perkembangan geometri. Menurut Burger & Shaughnessy (dalam Safrina, Ikhsan, Ahmad,

2014: 10), penelitian yang dilakukan oleh van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan

mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Tahapan

Page 51: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

333

tersebut dibagi menjadi 5 tingkatan yang disebut tingkat berpikir geometri van Hiele.

Tingkatan tersebut meliputi: visualisasi/pengenalan (tingkat 0), analisis (tingkat 1),

order/deduktif informal (tingkat 2), deduktif (tingkat 3), dan rigor/akurasi (tingkat 4).

Pada tingkat visualisasi (0), siswa baru mengenal bangun-bangun geometri dan memandang

suatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Pada tingkat analisis (1), siswa sudah

mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tingkat order (2), siswa sudah

memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Pada tingkat deduksi (3), siswa sudah

dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal khusus secara deduktif. Siswa pada tahap ini telah

mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur

yang didefinisikan, aksioma, dan teorema. Pada tingkat rigor (4), siswa sudah mulai

memahami pentingnya ketepatan dari prinsip dasar dalam suatu pembuktian. Tingkat

berpikir ini sudah terkategori kepada tingkat berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks.

Tingkatan perkembangan berpikir geometri menurut van Hiele memfokuskan pembahasan

pada materi geometri. Tingkatan ini mengkaji tingkatan-tingkatan pemahaman dalam belajar

geometri, menjelaskan deskripsi umum pada setiap tingkatan yang dijabarkan dalam

deskripsi yang lebih operasional, serta memiliki keakuratan untuk mendeskripsikan tingkatan

berpikir siswa dalam geometri. Hasil penelitian Sunardi (2009) menunjukkan bahwa tingkat

berpikir siswa SLTP di Jember secara umum hanya memenuhi tingkat visualisasi, analisis

dan deduksi informal. Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa tidak semua tingkatan akan

muncul dalam setiap penelusuran tingkat kemampuan berpikir geometri.

Geometri merupakan materi yang kompleks, karena didalamnya memuat konsep-konsep lain

seperti aljabar, aritmetika, kalkulus, dan sebagainya. Selain itu terdapat juga keterkaitan

antar materi dalam geometri sendiri seperti geometri dimensi dua dan dimensi tiga, geometri

analitik dengan geometri transformasi, dan sebagainya. Geometri juga merupakan materi

yang banyak diterapkan dalam kehidupan nyata seperti bentuk-bentuk bangunan, bentuk-

bentuk benda, pergeseran benda-benda langit, dan sebagainya. Karena kompleksnya materi

geometri tentulah terdapat koneksi matematis didalamnya.

Rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat perkembangan berpikir

geometri van Hiele siswa di kelas VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun

pelajaran 2015/2016?, (2) Bagaimana kemampuan koneksi matematis tentang sifat-sifat

segiempat berdasarkan tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele dari siswa di kelas

VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun pelajaran 2015/2016?.

2. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana peneliti bertindak selaku

instrumen utama. Penelitian dilakukan di MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi dengan responden

30 siswa kelas VII. Penentuan subyek dilakukan dengan tes penentuan tingkat

perkembangan geometri van Hiele.

Dari tes tingkat perkembangan geometri van Hiele yang diberikan kepada 30 responden

diperoleh hasil 13 responden tidak memenuhi semua tingkat perkembangan geometri, 15

responden memenuhi tingkat 0 dan 2 responden memenuhi tingkat 1. Dari masing-masing

Page 52: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

334

tingkatan dan yang tidak memenuhi tingkatan ditentukan masing-masing 3 responden

(kecuali tingkat 2) yang komunikatif dengan teknik snowball sampling sebagai subyek

penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi. Setelah

diberikan pembelajaran tentang sifat-sifat segiempat, subyek diberikan tes kemampuan

koneksi matematika. Wawancara dilakukan pada hari yang berbeda dengan sistem terstruktur

untuk menggali dan mencari kecocokan data (triangulasi).

Hasil dari tes dan wawancara dianalisa berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Proses

analisa data dilakukan dengan langkah-langkah: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3)

penarikan kesimpulan. Ketentuan koneksi matematis yang digunakan adalah: memahami

koneksi antar topik dalam materi segiempat (K1), menerapkan materi segiempat dalam

kehidupan sehari-hari (K2), dan menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan topik

matematika yang lain (K3).

3. Hasil Penelitian

Hasil dalam penelitian ini merupakan hasil tes yang telah ditriangulasikan dengan hasil

wawancara. Subyek penelitian terdiri dari 8 orang dengan 3 subyek tingkat 0 (visual,

disimbolkan “V”), 2 subyek tingkat 1 (analisis, disimbolkan “A”), dan 3 subyek tanpa

tingkatan (non level, disimbolkan “N”). Tes diberikan sebanyak 3 soal uraian dengan

penyelesaian soal nomor 1 memuat koneksi 1,2, dan 3; penyelesaian soal nomor 2 memuat

koneksi 2 dan 3; dan penyelesaian soal nomor 3 memuat koneksi 1 dan 3. Hasil penelitian

dianalisis sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.

Sesuai dengan ketentuan koneksi matematis yang telah disebut pada metodologi penelitian,

dapat ditentukan kriteria bahwa: (1) Subyek dikatakan tidak (T) mempunyai koneksi

matematika pada tiap soal jika tidak dapat menentukan apa yang diminta, baik dalam tes

maupun wawancara; (2) Subyek dikatakan kurang (K) mempunyai koneksi matematika pada

tiap soal jika dapat menentukan apa yang diminta namun masih kurang tepat; dan (3) Subyek

dikatakan mempuyai koneksi matematika yang baik (B) pada tiap soal jika dapat

menentukan apa yang diminta dengan tepat.

Setelah pengumpulan data dan dilakukan analisis terhadap data yang ditemukan diperoleh

rincian hasil dan analisis data sebagai berikut:

Hasil yang diperoleh dari subyek V1

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat

menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara menunjukkan subyek dapat

memberikan alasan dari bangun geometri yang dibuat tetapi pada saat perhitungan aljabar

subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya kurang

tepat sehingga kesimpulan yang dibuat dianggap kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1

subyek tidak memiliki kemampuan pada koneksi 1, serta kurang memiliki kemampuan

pada koneksi 2 dan koneksi 3.

Page 53: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

335

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara juga menunjukkan hal yang sama.

Subyek hanya menuliskan panjang sisi dan diagonal yang diketahui dari soal tetapi pada

tahap berikutnya subyek tidak dapat menuliskan rumus yang digunakan. Jadi pada soal

nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikannya dengan baik. Pada proses wawancara subyek juga menunjukkan hasil

yang sama. Subyek hanya dapat menentukan bangun geometri yang diketahui dan sudut

yang dicari dari soal yang diberikan. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki

kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek V1 kurang memiliki koneksi matematis.

Hasil yang diperoleh dari subyek V2

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

tetapi kurang tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan bentuk

dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar tetapi pada saat perhitungan

aljabar subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya

tidak tepat. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes subyek mengatakan

bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal nomor 1 subyek

kurang memiliki kemampuan koneksi 2, serta tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat

menggambarkan bentuk soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar setelah

diminta oleh peneliti. Tetapi pada saat perhitungan aljabar, subyek kesulitan dalam

menentukan rumus phytagoras. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes,

subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal

nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak menuliskan

jawaban. Sedangkan dari hasil wawancara subyek mengalami kesulitan dalam menentukan

besar sudut yang diketahui pada soal sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi

pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek V2 kurang memiliki koneksi matematis.

Hasil yang diperoleh dari subyek V3

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan tes dengan baik. Pada saat proses wawancara subyek dapat memberikan

alasan mengenai gambar yang dibuat dan memahami bentuk geometri yang diinginkan

tetapi subyek tidak dapat melakukan proses perhitungan aljabar dengan baik. Jadi pada

Page 54: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

336

soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1, serta kurang memiliki

kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak

dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki

kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak

dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki

kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek V3 kurang memiliki koneksi matematis.

Hasil yang diperoleh dari subyek A1

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan

menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan

rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal

nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, 2, dan 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

dengan benar. Pada proses wawancara subyek memberikan jawaban yang sesuai dengan

hasil tes. Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian pada soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat

menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut

yang diketahui dan sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki.

Selain itu subyek juga dapat menggambarkan bentuk geometri yang akan dicari sudutnya

dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki

kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek A1 memiliki koneksi matematis yang baik.

Hasil yang diperoleh dari subyek A2

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan

menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan

rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal

nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, koneksi 2, dan koneksi 3.

Page 55: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

337

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

dengan benar. Pada proses wawancara diperoleh hasil yang sama beserta alasan-alasannya.

Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan

dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut yang diketahui dan

sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki, subyek juga dapat

menggambarkan perpotongan dari bentuk geometri yang akan dicari sudutnya dan

membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki kemampuan

koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek A2 memiliki koneksi matematis yang baik.

Hasil yang diperoleh dari subyek N1

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan dari hasil wawancara subyek dapat menggambar

bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar yang dibuat setelah

diminta oleh peneliti. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang

salah dalam proses perhitungan. Setelah ditanya alasan dari jawaban yang ditulis pada saat

tes subyek tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak

memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat

menggambarkan bentuk yang diminta pada soal dan menuliskan apa yang diketahui pada

gambar yang dibuat. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang

salah dalam proses perhitungan dan tidak memberikan alasan yang tepat pada jawaban

yang ditulis sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi pada soal nomor 2 subyek

kurang memiliki kemampuan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan baik. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan

perpotongan dari bangun geometri yang akan dicari sudutnya, tetapi dalam proses

perhitungan subyek menggunakan rumus yang salah sehingga kesimpulan yang dibuat

tidak tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan

koneksi 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek N1 kurang memiliki koneksi matematis.

Hasil yang diperoleh dari subyek N2

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek hanya dapat

menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui.

Page 56: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

338

Sedangkan pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah. Setelah

ditanya tentang jawaban pada saat tes, subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut

dikerjakan secara bekerja sama dengan teman. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak

memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat

menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui tetapi

tidak tepat. Begitu juga pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah.

Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek tidak

menuliskan adanya sudut yang sama besar. Pada saat proses perhitungan untuk

menentukan besar sudut yang diminta subyek menggunakan rumus yang salah. Jadi pada

soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek N2 kurang memiliki koneksi matematis.

Hasil yang diperoleh dari subyek N3

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan

bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar sedangkan pada proses

perhitungan rumus yang digunakan subyek kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek

tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek

dapat menggambarkan kembali bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada

gambar setelah diminta oleh peneliti, tetapi yang ditulis subyek tidak tepat. Pada tahap

selanjutnya subyek mengatakan tidak dapat menyelesaikan dikarenakan sulit. Jadi pada

soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.

- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat

menyelesaikan dengan baik. Begitu juga pada proses wawancara subyek tidak menuliskan

apapun pada lembar jawaban dan mengatakan sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak

memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3.

Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum

dapat dikatakan bahwa subyek N3 kurang memiliki koneksi matematis.

Page 57: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

339

Hasil pembahasan di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 1. Data Hasil Penelitian

NO

SUBYEK

HASIL TRIANGULASI DATA KET

SOAL 1 SOAL 2 SOAL 3

K1 K2 K3 K1 K2 K3 K1 K2 K3

1. V1 T K K - K K K - K K

2. V2 T K T - T T T - T K

3. V3 T K K - T T T - T K

4. A1 B B B - B B B - B B

5. A2 B B B - B B B - B B

6. N1 T K T - T K T - T K

7. N2 T K T - T T T - T K

8. N3 T K T - T T T - T K

Dari hasil penelitian yang telah dianalisis, dapat diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

1. Adanya subyek yang tidak termasuk dalam level geometri van Hiele dari tingkat 0

sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun subyek telah menerima pembelajaran

geometri sejak Sekolah Dasar, belum tentu materi yang diberikan itu diterima dengan

baik dan dipahami.

2. Adanya subyek yang belum dapat melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan

dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dasar dari subyek dalam

melakukan operasi hitung harus diperkuat sebelum mempelajari hal-hal lain yang lebih

tinggi yang membutuhkan kemampuan operasi hitung.

3. Adanya subyek yang tidak dapat membedakan antara panjang dengan panjang diagonal

pada persegi panjang. Hal ini menunjukkan bahwa materi sifat-sifat segiempat perlu

diberikan tidak hanya sebagi konsep abstrak, tapi juga ditunjukkan konsep nyata nya.

4. Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis data dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara umum subyek pada tingkat

0 (visual) kurang memiliki kemampuan koneksi matematis. Diantara kemampuan koneksi

yang dimiliki, subyek cenderung hanya memiliki kemampuan koneksi 3, yaitu menerapkan

hubungan antara topik segiempat dengan topik matematika yang lain, seperti topik aljabar

dan aritmetika. Namun subyek juga masih mengalami kesulitan dalam melakukan operasi

hitung sehingga hasil yang diperoleh juga belum tepat.

Adapun subyek tingkat 1 (analisis) secara umum sudah memiliki kemampuan koneksi

matematis yang baik. Kemampuan koneksi 3 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan

kemampuan koneksi yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses

menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan rumus phytagoras dan hubungan

antara topik segiempat dengan sudut. Sedangkan kelemahan dari subyek level 1 terletak pada

koneksi 1 yaitu subyek tidak dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut

pada trapesium sama kaki.

Subyek tanpa tingkatan secara umum tidak memiliki kemampuan koneksi matematis.

Kemampuan koneksi 2 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan kemampuan koneksi

Page 58: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

340

yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses menerapkan sifat sisi persegi

panjang dalam kehidupan sehari-hari dan sifat diagonal belah ketupat dalam kehidupan

sehari-hari. Sedangkan kelemahan dari subyek non level terletak pada koneksi 1 yaitu tidak

dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut pada trapesium sama kaki.

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat diberikan saran untuk penelitian-penelitian

lanjutan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui koneksi matematis subyek pada suatu materi tertentu, hendaknya

diperhatikan kemampuan matematis dasar dari subyek, yaitu kemampuan aritmetika dan

aljabar dasarnya. Dengan kemampuan matematis dasar yang kurang, secara otomatis

subyek akan mengalami kesulitan dalam melakukan koneksi matematis dengan materi

yang lain.

2. Penelitian tentang koneksi matematis dapat dilakukan pada topik matematika yang lain

sehingga dapat menjadi masukan bagi guru untuk dapat memperbaiki proses

pembelajaran berikutnya.

Daftar Pustaka

Eka Lestari, Karunia dan Yudhanegara, M. Ridwan. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Fauzi, Muhammad Amin. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian

Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama.

Disertasi. Bandung. UPI.

Frastica, Zulaicha Ranum. 2013. Peningkatan kemampuan Koneksi matematis Melalui Pendekatan

Open-Ended pada Siswa SMP Ditinjau dari Perbedaan Gender. Skripsi. Yogyakarta:UIN Sunan

Kalijaga.

Herlambang. 2013. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII A SMP

NEGERI 1 Kepahiang Tentang Bangun Datar Ditinjau Dari Teori Van Hiele. Tesis. Tidak

dipublikasikan. Bengkulu. Universitas Bengkulu.

Ibrahim dan Suparmi. 2008. Strategi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Sukses Offset

Kusniati. 2011. Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Segi Empat Menurut

Tingkat Berpikir van Hiele. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri Semarang.

Linto, R.L. Elniati, Sri. Rizal, Yusmet. 2012. Kemampuan Koneksi Matematis dan Metode

Pembelajaran Quantum Teaching dengan Peta Pikiran. Jurnal Pendidikan matematika Vol. 1

No. 1.

Mirza, Rachmaniah. 2011. Kemampuan Siswa Kelas VIII SMPN 1 Giri Banyuwangi dalam

Menyelesaikan Soal Cerita Geometri Ditinjau dari Perbedaan Tingkat Pemahaman Geometri

van Hiele. Tesis. Surabaya: UNESA.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Prestasi Pustaka

Karya.

Oktorizal, Elniati Sri, dan Suherman. 2012. Peningkatan Level Berpikir Siswa Pada Pembelajaran

Geometri dengan Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1. No. 1,

2012.

Permana, Yanto. & Sumarmo, Utari. 2007. Mengembangkan Kemampuan penalaran dan Koneksi

Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal EDUCATIONIST Vol.

I. No. 2, Juli 2007.

Safrina, Khusnul . Ikhsan, M. dan Ahmad, Anizar. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Didaktik

Matematika. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sunardi. 2009. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jember: FKIP UNEJ.

Susanah & Hartono. 2009. Geometri. Surabaya: UNESA University Press

Page 59: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

341

UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN

INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1

SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG

MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-

INNER SPEECH (MIS)

Dina Ladysa

SMAN 1 Gedongtataan, Pesawaran, Lampung;

[email protected]

Abstrak. Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar

siswa adalah kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan ini merupakan kemampuan

memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri.

Berdasarkan observasi penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini

terlihat dari kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan

mengetahui apa yang tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat

proses pembelajaran. Pembelajaran Metacognitive-Inner Speech (MIS) diasumsikan

mampu menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal

sehingga mampu memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas.

Desain Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk

meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa di kelas XI IPS.1 2016/2017 SMAN 1

Gedongtataan melalui pembelajaran MIS dengan teknik pengumpulan data berupa

angket, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran

MIS terbukti dapat meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa khususnya materi

program linier pada siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan. Hal ini dapat

diketahui dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa,

siswa lebih mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui

dalam memahami materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam

memahami materi melalui diskusi.

Kata Kunci: MIS, kecerdasan intrapersonal

1. Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu yang sangat penting bagi perkembangan mental peserta didik.

Hal tersebut dikarenakan ilmu matematika yang mengajarkan pola berpikir logis, sistematis,

kritis, dan kreatif. Apabila pola tersebut dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, maka

akan menghasilkan peserta didik yang kompeten dalam pola pikir yang berdampak

signifikan terhadap kualitas generasi di masa yang akan datang.

Dewasa ini, aspek afektif menjadi hot issue sebagai variabel yang berpengaruh secara positif

dalam peningkatan hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran di kelas. Ranah afektif

menjadi aspek yang esensial tidak hanya dalam peningkatan kompetensi akademik tetapi

Page 60: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

342

juga peningkatan kualitas emosional peserta didik. Seperti yang telah banyak diteliti oleh

para ahli bahwa kesuksesan sebahagian besar seseorang dipengaruhi oleh kepribadian yang

baik.

Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa adalah

kecerdasan intrapersonal. kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan tentang kemampuan

diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri. Berdasarkan observasi

sementara penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari

kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang

tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat proses pembelajaran

berlangsung. Dengan memiliki tingkat kecerdasan intrapersonal yang baik, siswa akan lebih

mudah untuk menguasai kemampuan High Order Mathematical Thinking,sehingga tujuan

pembelajaran matematika yang tertuang pada kurikulum 2013 dapat tercapai.

Berdasar atas pengamatan sementara peneliti, kecerdasan intrapersonal yang dimiliki siswa

kelas XI IPS.1 masih cukup rendah. Hal tersebut penulis amati saat proses pembelajaran

berlangsung. Siswa kurang memiliki kesadaran konsep yang dimiliki. Mereka belum

mengetahui apa yang diketahui dan belum memahami apa yang mereka ketahui.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk

membangun pengetahuannya dan mengorganisir pengetahuannya sendiri. Menurut observasi

semnetara penulis, pembelajaran yang kurang mampu mengakomodir siswa untuk

mengontrol pengetahuan dan mengorganisasikan pengetahuannya akan membuat

pembelajaran di kelas menjadi kurang bermakna yang berdampak terhadap lemahnya

penguasaan konsep siswa terhadap pelajaran matematika yang disebabkan siswa cendrung

mengahafal materi dibandingkan memahami dan mengaplikasikan konsep.

Berkenaan dengan itu, pembelajaran Metacognitive-Inner Speech diasumsikan mampu

menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal sehingga mampu

memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas. Karakteristik dari

pembelajaran MIS adalah mengaitkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk

membangun pengetahuan baru, mampu menuliskan gumamannya menjadi sesuatu yang

berkontribusi bagi konstruktivisme pengetahuan, mampu mengorganisir pengetahuan yang

dimiliki menjadi konsep yang terintegritas dengan konsep lainnya.

Menurut Ladysa (2012), pembelajaran MIS mampu meningkatkan kemandirian belajar siswa

kelas VII SMP. Selain itu dengan penerapan MIS, menurut sebagian besar siswa,

pembelajaran di kelas semakin komunikatif dan menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas,

pembelajaran MIS diduga tepat untuk memfasilitasi kecerdasan intrapersonal siswa.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) “Bagaimana peningkatan kecerdasan

intrapersonal siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan TP.2016/2017 melalui

pembelajaran MIS?; dan (2) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran MIS?

Page 61: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

343

2. Landasan Teori

Metakognitif merupakan kesadaran seseorang dalam berpikir, atau dapat dikatakan bahwa

seseorang mengetahui cara berpikirnya. Metakognitif menggiring siswa pada suatu goal

yaitu mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui. Hal ini

sangat diperlukan dalam proses pembelajaran sehingga tercapai tujuan pendidikan dan

pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dua konteks dalam pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan

stretegi kognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang akan diterapkan

dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini melalui 3 tahap menurut Elawar

(dalam Nindiasari 2004), yaitu: tahap pertama diskusi awal (introductory discussion), tahap

kedua kerja sendiri/individu (Independent work) dan tahap ketiga penyimpulan. Pemecahan

model Mayer’s juga menyarankan empat proses atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan soal matematika yaitu translation (terjemahan), integration (integrasi),

planning dan monitoring (perencanaan dan pencatatan), solution execution (kegiatan

menjawab soal).

Metakognisi yang mengkaji ‘’bagaimana berfikir itu’’ dapat difasilitasi dengan

menggunakan inner speech, yaitu semacam self-talk yang memungkinkan siswa untuk

mengarahkan dan memantau proses kognitif mereka, memperoleh pemahaman yang lebih

dalam dan apresiasi dari proses berpikir mereka sendiri (Moffett dalam Andrea Zakin, 2007).

Hal ini terlihat ketika anak-anak kecil terlibat dalam kegiatan di kelas, di mana mereka

sering berbicara dengan keras (Flavell et al, dalam Andera Zakin 2007 ). Tetapi ada hal yang

kurang dipahami dari seorang guru bahwa anak-anak dan remaja yang lebih tua, dan bahkan

orang dewasa sering menggunakan inner speech untuk tujuan yang sama ketika terlibat

dalam suatu aktivitas (John-Steiner, dalam Andrea Zakin 2007). Namun, guru sering melihat

self-talk sebagai perilaku mengganggu di kelas meski tanpa suara keras sekalipun. Perlu

dipahamai bahwa aktivitas self-talk tidak terbatas pada dikeluarkan atau tidak melalui

sebuah gumaman, terdengar keras ataupun lirih. Tetapi pertanyaan yang muncul dalam

pikiran yang tanpa terucap sekalipun itu dapat dipandang sebagai aktivitas self-talk. Terdapat

perbedaan yang mendasar antara egosentric speech dan inner speech. Egosentric speech

adalah bentuk awal dari self-talk yang digunakan oleh anak kecil. Meskipun terdengar, itu

tidak ditujukan untuk berkomunikasi dengan orang lain, tetapi lebih tepatnya, berfungsi

sebagai swa-regulasi untuk membantu anak-anak tetap ingat pada tugas-tugas dan

memperoleh kendali atas tindakan mereka dan lingkungan. Pandangan berbeda tentang

egosentric dikemukakan oleh Piaget (1974) yang menyatakan bahwa egosentris speech akan

hilang seiring berjalanya waktu dan bertambahnya usia. Sementara Vygotsky meyakini

bahwa egosentric speech tidak hilang, tetapi hanya bertransformasi saja dan mengarah ke

sesuatu pemikiran yang lebih abstrak. Menurut May Lwin, dkk (2003) kecerdasan

intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri, kecerdasan ini merupakan

kemampuan memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri.

Inner speech yang secara esensinya adalah berdialog dengan diri sendiri dapat digunakan

untuk memfasilitasi swa-regulasi yaitu proses kendali yang memungkinkan kita berpikir dan

memantau proses berpikir itu sendiri (Kashima dalam Zakin 2007). Sebaliknya, kognisi

menurut Vygotsky (dalam Zakin 2007) terdiri dari berfikir logis, pengembangan daya ingat,

Page 62: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

344

fokus pada sesuatu, pengambilan keputusan yang bersifat kognitif, dan pemecahan masalah

yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Inner speech membantu siswa untuk merencanakan

dan mengkoordinasikan pikiran dan aksi yang mana ditujukan untuk swa regulasi,

pengayaan materi pembelajaran. Tetapi pada kenyataanya akan sangat sulit untuk menggali

inner speech dari masing-masing siswa. Oleh karena itu guru perlu memodelkan inner

speech kedalam sebuah disain pertanyaan yang sistematis. Ada 3 aktivitas inner speech yang

saling terkait satu sama lain yaitu: inner speech thinking steps, inner speech facilitating

comments dan evaluation of inner speech. Ketiga ativitas tersebut merupakan tahapan dalam

pendekatan ‘’ARE’’ (Act/ Reflect/ Evaluate). Pendekatan ARE selalu dimulai dari guru

dengan cara mendemonstrasikan dan memodelkan suatu bentuk inner speech yang kemudian

beralih ke seluruh siswa. Kemudian siswa membentuk kelompok-kelompok kecil sebagai

wadah untuk berinteraksi dan sharing dengan siswa lain dalam satu kelompok. Awalnya guru

memodelkan strategi pemecahan masalah dengan cara sharing mengenai tahapan tahapan

berfikir dan bentuk-bentuk inner speech. Langkah selanjutnya guru meminta siswa untuk

mengungkapkan inner speech mereka dalam bentuk komentar dan menuliskannya pada

kertas berukuran besar yang kemudian didiskusikan dan dievaluasi menggunakan ‘’The

Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tool’’ di bawah ini. Prosedur ini diulang

untuk setiap tahap aktivitas pemecahan masalah.

Tabel 2.1

Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment

Inner Speech

Thinking Steps

Inner speech

Facilitating Comment

Evaluation of Inner

Speech

what is this problem

about I think it's about That was clear

what is this problem

asking for

OK, it seems to want me

to….

what made me think

that

Have I ever solved

this kind fo problem

before ? oh yea, yesterday in class

That's good, I

remembered

What did I do then wait, I think I….

I stopped and thought

again

what are the possible

solutions? I guess I could also… Did I think everything

OK, I have ''x''

solutions, which one

should I pick and

why I should probably

I don’t really

understand how to

choose here

I need to watch what

I'm doing

yeah, I always make me the

same mistake here, so….

I caught it, good for

me

Page 63: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

345

what do I think

about what I've done I don’t know if

well, at least I tried to

this through

Does it make sense?

I wonder if this make

sense…

Should I know more

about this or is this

OK

Let me review the

question again

yeah it's always good to start

over to check

This shows I'm being

careful and not giving

up

If I have no solution,

what should I do I feel like such dummy

that's doesn’t help at

all, it's just negative

thinking

OK,I'll reread the

problem and look for

clues Aha, I'm detective now.. I like that

I think I need to ask

for help

Jeez, I'm just going around

in circles now

At least I know when

to ask for help

Sumber: (Andrea Zakin 2007)

Sebagai contoh aplikasi inner speech pada pendidikan matematika di kelas tinggi khususnya

kelas 4 SD adalah membedakan antara bidang datar beraturan dan tidak beraturan, segi

empat dan jajargenjang. Bentuk-bentuk pertanyaan inner speech yang dapat dimodelkan

adalah sebagai berikut: ‘’Apa itu bidang datar?’’,’’Apa yang membuat sebuah bidang tidak

beraturan?’’,’’Apa definisi dari segi empat dan jajar genjang?”, strategi pembelajaran inner

speech oleh guru dibagi ke siswa kemudian didiskusikan, siswa menjawab model-model

pertanyaan inner speech tersebut dan membagikan comment mereka yang dicatat oleh guru

dalam kertas besar. Tahap berikutnya siswa diminta mengelompokkan bidang-bidang yang

masuk ke dalam kategori segi empat dan jajar genjang berdasarkan sifatnya. Menurut

Schoenfield (dalam Zakin 2007) konsep mengkategorikan sebuah bidang masuk dalam suatu

keompok bidang tertentu bergantung pada kemampuan menganalisis atribut yang tidak

sesuai dengan bidang yang dimaksud. Para siswa mencatat setiap komentar yang kemudian

didiskusikan dengan seorang partner dalam kelompok . Kemudian masing masing kelompok

kecil tersebut melaporkan kembali hasil diskusi mereka ke seluruh kelas dan guru memimpin

hasil diskusi menggunakan Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tools.

Kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan seseorang memahami diri sendiri dan melakukan

tindakan berdasarkan pengetahuan yang dipahami. Kecerdasan ini meliputi kemampuan

memahami kekuatan dan keterbatasan diri, kesadaran akan suasana hati, kehendak, motivasi,

sifat, keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, dan menghargai diri. Menurut Efendi

(2015) dan Himmah (2012) terdapat korelasi positif antara kecerdasan intrapersonal terhadap

hasil belajar siswa.. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan intrapersonal memiliki

pengaruh yang kuat dan positif bagi peningkatan hasil belajar siswa.

Page 64: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

346

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas pada semester satu tahun pelajaran

2016/2017 dengan subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan

yang dilakukan dalam dua siklus. Pengumpulan data yaitu dengan teknik angket, wawancara,

dan lembar observasi.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Deskripsi Siklus I

Pelaksanaan PTK dimulai pada hari Senin,17 Oktober 2016, pada jam pelajaran ke-5 dan

ke-6 di kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan (semua siswa hadir). Pembelajaran dimulai

dengan pemberian apersepsi oleh guru dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada

siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya membentuk

kelompok yang heterogen terdiri dari 5-6 orang siswa. Pembelajaran MIS ini merupakan

pembelajaran yang baru bagi siswa, sehingga pada pembelajaran MIS untuk pertemuan

pertama dan kedua siswa masih agak bingung dalam memahami tugas yang harus mereka

selesaikan. Siswa belum terbiasa dengan memberikan komentar-komentar sebagai bentuk

dari inner speech, mereka terbiasa belajar hanya dengan mendengarkan penjelasan guru,

latihan soal, kemudian diikuti dengan PR. Memberikan komentar sebagai bentuk dari inner

speech agar membiasakan siswa untuk berpikir sadar dan mengetahui kekuatan dan

kelemahan diri melalui inner speech memang terasa sulit. Namun, dengan pertanyaan-

pertanyaan yang dapat memacu inner speech mereka, misalnya membuat komentar dengan

kalimat mereka sendiri mengenai permasalahan pemodelan matematika pada program linier.

Secara keseluruhan pembelajaran pada siklus kesatu ini dapat dikatakan berjalan lancar.

Deskripsi data kecerdasan intrapersonal yang didapat, yaitu siswa sudah mulai terlihat

mampu mengetahui kelemahan konsep yang dimiliki saat soal tersaji tetapi belum mampu

memotivasi dan mengatasi kelemahan yang dimiliki. Selain itu, siswa mulai terlihat antusias

dengan pembelajaran yang diberikan karena berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa

siswa mereka merasa lebih mudah memahami materi yang disampaikan dengan

pembelajaran yang diberikan.

4.2. Deskripsi Siklus II

Pelaksanaan siklus II, tanggal 27 dan dilanjutkan pada tanggal 31 Oktober 2016. Beberapa

tindakan yang dilakukan pada siklus ini adalah perbaikan-perbaikan terkait dengan

ketatabahasaan dalam lembar kerja siswa, karena berdasarkan hasil pada siklus I ada siswa

yang agak kesulitan memahami bahasa dalam LKS (karena siswa belum terbiasa). Sehingga

diupayakan bahasa itu lebih disederhanakan. Selanjutnya guru melakukan refleksi dengan

lebih banyak memberikan kisah-kisah tokoh yang sukses dengan memerdayakan kecerdasan

intrapersonal dan memfasilitasi kepada siswa yang pada siklus I masih belum

mengeksplorasi kecerdasan intrapersonal dengan maksimal.

Pada siklus kedua, siswa mulai terbiasa untuk mengkomunikasikan gumaman mereka. Tabel

inner speech sudah mereka isi sendiri tanpa bantuan dari guru. Dan ketika mereka

mengalami sedikit kesulitan dalam membuat model matematika dari soal cerita, hal tersebut

Page 65: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

347

dijadikan sebagai tantangan dan melakukan diskusi dengan teman kelompok untuk

mengatasi kelemahan diri dalam memahami konsep. Sementara itu, siswa lebih memahami

hakikat dan manfaat pemodelan matematika baik di bidang matematika maupun bidang yang

lain.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat pada siklus kedua siswa lebih mengetahui kekuatan dan

kelamahan diri, dan ketika mereka mengalami kesulitan dalam pembelajaran, Hal tersebut

dijadikan sebuah tantangan bukan hambatan dalam belajar serta mereka mencari solusi yang

solutif terhadap kesulitan belajar yang mereka hadapi.

Dalam hal ini, peneliti juga mengaitkan gumaman mereka dengan jejaring sosial yang saat

ini cukup intens mereka ikuti. Peneliti menganalogikan hobi mereka yang sering comment

status pada jejaring sosial merupakan salah satu bentuk komentar yang apabila

diaplikasikan pada pembelajaran matematika akan memudahkan mereka dalam memahami

pelajaran matematika.

Dari hasil angket, observasi, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapat

kesimpulan bahwa pada siklus kedua dengan menggunakan pembelajaran MIS, siswa merasa

terbantu untuk memahami kemampuan dan kelemahan diri dalam menguasai materi

pembelajaran selain itu siswa lebih termotivasi untuk mengubah kelemahan diri dengan

berdiskusi dengan teman dalam kelompok.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari siklus I dan II disimpulkan melalui

pembelajaran MIS kecerdasan intrapersonal siswa lebih meningkat. Hal ini dapat diketahui

dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa, siswa lebih

mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui dalam memahami

materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam memahami materi melalui diskusi.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, penulis mengemukakan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk menerapkan pembelajaran MIS sebaiknya guru membuat skenario dan

perencanaan yang matang, sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai

dengan rencana dan pemanfaatan waktu yang efektif dan tidak banyak waktu yang

terbuang oleh hal-hal yang tidak relevan.

2. Pembelajaran MIS pada pelaksanaannya tidak hanya dapat dilakukan dengan cara belajar

berkelompok, namun dapat pula diterapkan secara individu, sehingga guru dapat

menggunakannya dengan mengkombinasikan antara pembelajaran MIS secara

berkelompok ataupun MIS secara individu, untuk melatih kecerdasan intrapersonal siswa

Page 66: sampul vol 3 no 5.cdr

Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016

http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530

348

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara

Astuti, R. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan Kemandirian Belajar

Matematika Siswa Melalui Model Repirocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif.

Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Cai, J. & Patricia (2000). Fostering Mathematics Thinking Throught Multiple Solutions. Mathematics

Teaching in Middle School. Vol V. USA: NCTM.

Curcio, F. dan McNeece, L. (1993) The Case of Video Viewing, Reading, and Writing in

Mathematics Class: Solving the Mistery. Journal The Mathematics Teacher VOl.86, No 8.

November 1993.

Efendi, F.M. 2015. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dengan Prestasi Belajar Siswa kelas

IV Gugus I Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi pada Fakultas Ilmu

Pendidikan UNY. Jakarta: Tidak Diterbitkan

Ehrich, E.J. 2006. Vygotskian Inner Speech and Reading Proccess. Australian Journal of Educational

& Developmental Psychology Vol. 6, pp 12-25. Queensland University of Technology

Fauzi, A. (2011). Peningkatan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah

Pertama Melalui Pendekatan Metakognitif. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung:

Tidak Dipublikasikan.

Hall, C.S. and Lindzey, G.. 1978. Theories of Personality. Third Edition. New York: John Willey and

Sons, Inc.

Himmah, I.F. 2012. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dan Interpersonal terhadap Hasil

Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMPN. 2 Taman. Skripsi pada Ilmu Tarbiyah UINSBY

Surabaya: Tidak Dipublikasikan.

Hurlock, E. B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata Mc Graw Hill.

Joyce, B. and Weil, M. (2000) Models of Teaching. New Yersey: Prentice Hall Inc.

Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi

Matematika Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognisi Siswa. Tesis pada PPS UPI

Bandung: Tidak diterbitkan.

Nindiasari, H. (2011). Berpikir Reflektif Matematis dan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif.

Collection of Papers. International Seminar and the fourth National Confrence on

Mathematics Education. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sarwono, S.W. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Suherman, E. dan Kusumah, Y.S. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan

Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Zakin, Andrea. 2007. Metacognition and the Use of Inner Speech in Children’s Thinking: A Tool

Teachers Can Use. Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-2700.

Page 67: sampul vol 3 no 5.cdr

Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematikaKetentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi

Page 68: sampul vol 3 no 5.cdr

IDEAL MATHEDUPPPPTK MATEMATIKAIDEAL MATHEDU

PPPPTK MATEMATIKA