sampul vol 3 no 5.cdr
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKDAN TENAGA KEPENDIDIKAN MATEMATIKAYOGYAKARTA
STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA
Sri Wulandari Danoebroto
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING COMMUNITY
Erma Suriany
UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA
DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03 KECAMATAN CIKARANG BARAT Desy Anggraini,
Arrahim
PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI EKSPONEN DAN LOGARITMA
Putriyani S
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)
(PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab.Pringsewu - Lampung)Herdian, S.Pd., M.Pd.
IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE
Rachmaniah M. Hariastuti1), Sri Wahyuni
Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
PPPPTK MATEMATIKA - KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
IDEAL MATHEDUINDONESIAN DIGITAL JOURNAL
OF MATHEMATICS AND EDUCATION
moo rN
2016
5
UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1 SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG
MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-INNER SPEECH (MIS) Dina Ladysa
ISSN 24078530
SUSUNAN REDAKSIJURNAL IDEAL MATHEDU VOLUME 3 NOMOR 5 TAHUN 2016
PPPPTK MATEMATIKA
Penanggung jawab : Kepala Subag TU dan RT
Harwasono, S.Kom., MM
Redaktur : Cahyo Sasongko, S.Sn.
Penyunting/Editor : 1. Marfuah, S,Si.,M.T.
2. Muh. Tamimuddin H, M.T.
3. Muda Nurul Khikmawati, S.Kom,. M.Cs.
4. Dr. Sumardyono, M.Pd.
5. Wiworo, S.Si., M.M.
6. Dra. Th. Widyantini, M.Si.
7. Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A.
8. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si.
9. Adi Wijaya, S.Pd.,M.A.
10. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed.
11. Hanan Windro Sasongko, S.Si.
12. Sigit Tri Guntoro, S.Si., M.Si.
13. Drs. Agus Suharjana, M.Pd.
14. Joko Purnomo, M.T.
15. Drs. Marsudi Raharjo, MSc.Ed.
16. Dra. Puji Iryanti, Msc.Ed.
17. Ratna Herawati, M.Si.
18. Sumaryanta, M.Pd.
19. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si.,M.Pd.
20. Jakim Wiyoto, S.Si.
Desain Grafis dan Layout : 1. Cahyo Sasongko, S.Sn.
2. Victor Deddy K, S.Si.
3. Muhammad Fauzy
Sekretariat : 1. Nur Hamid, S.Kom.
2. M. Pujiastuti
3. Lestari Budi Atik, A.Md.
4. Sri Kurniasih
3. Dewi Katmolowati
Alamat redaksi : PPPPTK Matematika
Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman, D.I.Y.
Telp. (0274) 885725, 881717
Fax. (0274) 885752
Website. idealmathedu.p4tkmatematika.org
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
285
STUDI KUALITATIF TENTANG PERAN GURU
MATEMATIKA DI SMP SEKITAR CANDI
BOROBUDUR DALAM MELAKSANAKAN
PEMBELAJARAN YANG RESPONSIF BUDAYA
Sri Wulandari Danoebroto
PPPPTK Matematika, Jl Kaliurang Km 6 Depok, Kab Sleman; [email protected]
Abstrak. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk mengungkap peran guru
dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang responsif pada budaya lokal
(culturally responsive teaching). Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
Subjek penelitian adalah guru matematika di SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP
Muhammadiyah Borobudur sebanyak 8 orang dengan pengalaman mengajar antara 7
hingga 32 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui angket kemudian wawancara
pada responden terpilih. Data dianalisis dengan logical analysis. Hasil penelitian adalah
sebagai berikut: 1) Peran guru adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan
memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari
kehidupan sehari-hari meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual dan
menggunakannya sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, 2)
Relasi sosial dalam pembelajaran lebih ditekankan antara siswa dengan guru, 3)
Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap
positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, 4) Meskipun guru
menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika, namun belum optimal
pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa kurang kreatif, kurang
memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik matematika yang cocok
dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa pembelajaran akan kurang
efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan mencapai prestasi UN
sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya.
Kata Kunci. Budaya, Candi Borobudur, guru matematika, pembelajaran
Abstract. This study is a preliminary study to uncover the role of teachers in
implementing the learning of mathematics that is responsive to local cultures
(culturally responsive teaching). The study was conducted with a qualitative approach.
The informants were 8 mathematics teacher of SMP Negeri 1 Borobudur and SMP
Muhammadiyah Borobudur with their experience of teaching are 7 to 32 years. Data
were collected through questionnaires and then interview to selected respondents. Data
were analyzed by logical analysis. The results of the study are as follows: 1) The
teacher's role is to create learning situations by taking into account the knowledge that
has been owned by the students on the mathematics of everyday life in the sense of
perception, intuition and factual knowledge and use it as an example of the application
of mathematics in everyday life, 2) social relations in learning more accentuated
between students and teachers, 3) learning is directed at the mastery of subject matter,
character values and positive attitudes towards the usefulness of mathematics in
everyday life, 4) although teachers are aware of the benefits of local culture for
learning mathematics, but not optimal utilization. Internal factors causes are the
teachers feel less creative, less understanding of local wisdom, yet know mathematical
topics that fit into a cultural context, and perception that learning will be less efficient.
External factors causes is demands of national exam achievement so teachers of grade
IX tend to prioritize.
Keywords. Culture, Borobudur Temple, mathematics teacher, learning
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
286
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika di sekolah pada umumnya mewujudkan matematika sebagai ilmu
pengetahuan yang bebas budaya (cultural free) melalui pengajaran tentang fakta, konsep,
prinsip dan prosedur matematika. Matematika yang ditampilkan di sekolah melalui sisi
abstrak semata tanpa konteks akan membuat siswa merasa bahwa matematika tidak terkait
dengan kehidupannya sehari-hari. Padahal ketika siswa melakukan kegiatan sehari-hari di
lingkungan keluarga dan masyarakat, terdapat situasi yang memungkinkan siswa untuk
berpikir matematis dan memahami matematika secara intuitif. Hal ini menjadi salah satu
potensi yang dibawa siswa ke dalam kelas yaitu modal budaya (cultural capital).
Pembelajaran matematika di sekolah seharusnya relevan dengan latarbelakang budaya siswa.
Perspektif etnomatematika akan membantu siswa untuk menganalisis budayanya dan
menemukan koneksi antara budayanya (dirinya) dengan matematika. Konteks masalah dari
kehidupan nyata dalam situasi sosial budaya masyarakat memungkinkan siswa melatih
keterampilan pemecahan masalah dengan matematika sekaligus mengasah sikap positif
terhadap matematika dan terhadap budayanya sendiri.
Pembelajaran matematika melalui relevansi budaya dan perspektif etnomatematika akan
membantu siswa untuk tahu lebih banyak tentang realitas, budaya, masyarakat, isu-isu
lingkungan, dan diri mereka sendiri dengan menyediakan konten matematika dan pendekatan
yang memungkinkan mereka untuk berhasil menguasai matematika secara akademik (Rosa
& Orey,, 2013:91). Pembelajaran matematika yang responsif budaya merujuk pada ilmu
mendidik anak-anak yang disesuaikan dengan budaya mereka. Tujuan dari pedagogi yang
relevan budaya adalah untuk memberdayakan siswa melalui kegiatan pembelajaran yang
membantu mereka untuk mengembangkan kemampuan literasi, berhitung, keterampilan
teknologi, sosial dan politik agar dapat berperan aktif dalam suatu masyarakat yang
demokratis (Ladson-Billings, 1995:75).
Kesadaran akan pentingnya relevansi ilmu pengetahuan dengan kehidupan (kebudayaan)
mendorong untuk terus dikembangkannya pedagogi yang relevan dengan budaya atau
culturally relevant pedagogy. Perkembangan pedagogi ini berimplikasi juga kepada guru
matematika. Sudah seharusnya bila guru matematika turut berperan dalam melaksanakan
pembelajaran yang responsif budaya. Secara teoretis, guru dapat menggunakan modal
budaya siswa untuk menstimulasi pembelajaran matematika atau malah mengabaikannya.
Guru dapat secara aktif memotivasi siswa agar mau belajar atau malah justru menambah
beban mereka untuk berprestasi.
2. Peran Guru dalam Pembelajaran Matematika yang Responsif
Budaya
2.1. Pedagogi yang Relevan dengan Budaya
Pembelajaran matematika yang responsif budaya merupakan pendekatan budaya dalam
pembelajaran matematika. Pendekatan difokuskan pada bagaimana guru dapat menyatukan
nilai budaya dan perspektif budaya untuk memotivasi siswa mencapai pemahaman dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
287
prestasi matematika. Konsep matematika tidak hanya diajarkan dalam konteks matematika
tetapi juga dalam konteks dunia nyata yaitu kehidupan sehari-hari siswa yang sangat
dipengaruhi budaya lokal.
Pembelajaran yang responsif budaya merujuk pada ilmu mendidik siswa yang responsif
budaya (culturally relevant pedagogy). Pedagogi yang relevan dengan budaya dapat
diartikan sebagai menggunakan pengetahuan budaya, pengalaman sebelumnya, glosarium
pengetahuan, dan kemampuan prestasi dari beragam budaya siswa untuk membuat situasi
pembelajaran menjadi lebih relevan dan efektif untuk mereka (Gay, 2000:29). Dengan
demikian, pedagogi yang relevan dengan budaya memungkinkan siswa untuk tetap memiliki
identitas budaya sekaligus mencapai prestasi akademiknya (Ogbu & Simmons, 1998).
Landasan teoretis dari pedagogi yang relevan dengan budaya meliputi: konsepsi guru tentang
diri dan orang lain (conception of self and others), cara guru mengelola relasi sosial dalam
pembelajaran, dan konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan (Ladson-Billings, 1995: 478).
Konsepsi guru tentang diri dan orang lain dalam hal ini mencakup pemikiran, keyakinan,
pemahaman dan pengetahuan guru tentang profesi guru di masyarakat, makna mendidik dan
mengajar, serta bagaimana kemampuan siswanya untuk belajar. Bagaimana guru
memandang siswanya, apakah siswa dipandang memiliki bekal pengetahuan matematika dan
kemampuan untuk belajar hal baru terkait matematika, dan apakah guru perlu menggunakan
contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk menumbuhkan minat belajar
siswa.
Relasi sosial dalam pembelajaran memandang pembelajaran sebagai bentuk interaksi antar
individu dalam kelompok atau interaksi antar guru dan siswa di kelas. Hal ini antara lain
diwujudkan dengan membangun komunitas belajar, memberi kesempatan siswa untuk saling
berkolaborasi dan bertanggungjawab, serta membangun hubungan yang erat dengan para
siswa. Guru yang responsif budaya mendorong berkembangnya komunitas pembelajar
daripada kompetisi atau prestasi individu (Ladson-Billings, G., 1995: 480). Dalam
pendekatan komunitas pembelajar di kelas, guru berperan dalam menfasilitasi diskusi antar
siswa sehingga semua siswa dapat terlibat secara aktif. Hal ini dilakukan antara lain dengan
mengajukan pertanyaan secara matang, memberikan penjelasan untuk memastikan proses
dan landasan konseptual strategi siswa sehingga ide-ide matematika dapat dipahami dengan
jelas oleh semua siswa (Bray, 2011:4).
Konsepsi guru tentang ilmu pengetahuan merupakan pemikiran guru tentang kurikulum atau
konten matematika yang diajarkan. Beberapa diantaranya adalah keyakinan bahwa
matematika merupakan ilmu pengetahuan yang tidak statis melainkan masih dapat dikritisi.
Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa ketika belajar. Guru dapat mengajukan
probing question untuk membantu siswa yang keliru memahami agar mencapai pemahaman
yang benar. Guru membimbing siswa secara bertahap atau menjembatani antara konten
matematika yang dipelajari menggunakan konteks yang telah dikenal siswa. Salah satu tahap
penting dalam pengajaran yang responsif terhadap budaya adalah memastikan bahwa
pemahaman tentang konsep pokok telah terefleksikan dalam proses pembelajaran.
Pedagogik yang relevan dengan budaya harus memenuhi tiga kriteria yaitu: adanya
kemampuan guru untuk mengembangkan siswa secara akademis, adanya kesediaan untuk
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
288
memelihara dan mendukung kompetensi budaya, dan adanya upaya pengembangan sosial
politik atau kesadaran kritis (Ladson-Billings, G., 1995:483). Kesadaran kritis yang
dimaksud antara lain ditunjukkan dengan kepedulian terhadap permasalahan sosial budaya di
lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ciri pembelajaran matematika yang reponsif
budaya ditunjukkan dengan: 1) peran guru adalah sebagai agen budaya yang membangun
pengetahuan matematika dan sikap positif menggunakan kearifan lokal, 2) adanya interaksi
dinamis antara guru dan siswa serta antar siswa sendiri,3) orientasi pembelajaran untuk
menanamkan nilai-nilai pendidikan matematika termasuk didalamnya pendidikan karakter
yang diangkat dari kearifan lokal.
2.2. Kompetensi Guru Matematika
Guru matematika perlu melaksanakan pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada
penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sarana pengembangan karakter positif.
Untuk itu, guru harus menguasai konten matematika dan pedagogis yang memadai minimal
sesuai dengan Standar Kompetensi Guru yaitu memiliki kompetensi profesional dan
kompetensi pedagogik. Pengetahuan konten matematika meliputi pengetahuan tentang
matematika sekolah sesuai jenjang yang diampunya yaitu jenjang Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas. Bahkan menurut Campbell, P.F et all
(2014:428), penguasaan tersebut bukan hanya sesuai jenjang kelas dimana guru tersebut
mengajar. Contohnya, guru matematika SMP idealnya juga menguasai konten matematika
SMP kelas VIII dan kelas IX meski ia mengajar di kelas VII.
Pengetahuan substansi pedagogis merupakan pengetahuan bagaimana mengajarkan substansi
matematika bagi siswa, meliputi pengetahuan tentang belajar dan mengajar matematika yang
digunakan dalam kegiatan guru praktik mengajar di kelas. Terdapat 4 domain terkait
pedagogis ini yaitu pengetahuan tentang: 1) jenis kesalahan dan miskonsepsi yang sering
dialami siswa, 2) representasi matematis dan konteks, 3) kepekaan tentang urutan materi
matematika, 4) menilai dan memahami interpretasi siswa tentang matematika. Domain
kesatu hingga ketiga lebih terkait dengan konten matematika, adapun domain keempat bila
dijabarkan lebih luas juga meliputi pemahaman guru tentang bagaimana siswa memperoleh
interpretasi terhadap matematika dari lingkungan di luar sekolah.
Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. (2015:8) berpendapat bahwa keseimbangan antara
pengetahuan profesional dan pengetahuan pedagogis dalam pendidikan guru matematika
adalah sangat penting. Oleh karena keduanya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan pada
saat guru tersebut berperan dalam pembelajaran. Namun demikian, perlu disadari bahwa
pengetahuan guru yang berkualitas belum tentu berdampak pada kualitas pengajaran.
Kualitas guru jika hanya diukur melalui tes kemampuan matematika saja, maka dapat
mengabaikan elemen kunci yang menghasilkan pengajaran berkualitas. Efektivitas dalam
mengajar tidak hanya tergantung pada pengetahuan yang dimiliki guru, tetapi yang sangat
penting adalah bagaimana pengetahuan tersebut digunakan di dalam kelas. Guru yang sangat
menguasai matematika hanya akan dapat membantu siswa belajar matematika jika mampu
menggunakan pengetahuan tersebut untuk melakukan tugasnya sebagai guru (Akinsola &
Mapolelo, 2015:3).
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
289
Ketika mengajar, guru matematika mengakses pengetahuan terkait konten matematika yang
diperlukan untuk mengajarkan topik tertentu serta pengetahuan tentang pengajaran
matematika dan pembelajaran (Campbell, P.F et all, 2014:421). Dalam pembelajaran yang
responsif budaya, guru matematika diharapkan mampu mewujudkan matematika sebagai
ilmu pengetahuan yang melekat dengan budaya (cultural bounded) dalam pembelajaran.
Untuk itu, guru juga perlu memahami latarbelakang sosial budaya siswanya. Pemahaman
tersebut akan membantu guru dalam menentukan langkah pedagogik dan didaktik yang
sesuai untuk membimbing siswa. Guru perlu memiliki pengetahuan tentang potensi budaya
lokal yang terkait dengan matematika, memahami pengetahuan matematika yang diperoleh
siswa dari kegiatannya sehari-hari, dan memiliki keterampilan untuk merancang dan
mengembangkan pembelajaran matematika menggunakan budaya. Hal ini berarti, guru perlu
memiliki kompetensi dan komitmen dalam mewujudkan pembelajaran yang responsif
budaya.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan peran guru matematika dalam
melaksanakan pembelajaran yang responsif terhadap budaya lokal, 2) mengidentifikasi pola
relasi sosial yang dipraktikkan dalam pembelajaran matematika, 3) mengidentifikasi
orientasi pembelajaran matematika menurut pandangan guru, 4) mengidentifikasi faktor
penyebab yang menjadi kendala atau hambatan dalam melaksanakan pembelajaran
matematika yang responsif budaya.
3. Metode Penelitian
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan
bagaimana terjadinya suatu proses, apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan. Proses yang
dimaksud adalah pembelajaran matematika yang responsif terhadap budaya lokal. Fokus
studi ditujukan kepada bagaimana seseorang memerankan dirinya sebagai guru matematika
dalam mengelola sebuah pembelajaran sebagai bentuk interaksi antara dirinya dengan
peserta didiknya.
3.2. Sumber Data
Sumber data penelitian adalah guru, dalam hal ini adalah pemikiran, keyakinan (beliefs),
pemahaman dan pengalaman guru. Subjek penelitian adalah guru-guru matematika di SMP
sekitar Candi Borobudur dengan pertimbangan bahwa Candi Borobudur merupakan ikon
budaya yang sangat fenomenal. Keberadaaan Candi Borobudur mendorong tumbuhnya
beberapa desa di sekitar Candi untuk berkembang menjadi desa wisata dimana pelestarian
budaya terus diupayakan oleh masyarakat sekitar.
Guru matematika yang menjadi informan sebanyak 8 orang. Mereka bertugas di dua sekolah
yang letaknya berdekatan dengan Candi Borobudur yaitu SMP Negeri 1 Borobudur dan SMP
Muhammadiyah Borobudur. Profil delapan guru tersebut adalah sebagai berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
290
Tabel 1. Profil Subjek Penelitian
Kode Jenis Kelamin Pendidikan Lama Mengajar Matematika (saat penelitian)
A1 Wanita S1 7 tahun
A2 Pria S2 31 tahun 9 bulan
A3 Pria S1 30 tahun 1 bulan
A4 Wanita S1 20 tahun 1 bulan
A5 Pria S1 30 tahun 2 bulan
B1 Wanita S1 9 tahun 10 bulan
B2 Pria S1 32 tahun 1 bulan
B3 Wanita S1 9 tahun 8 bulan
3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Data dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama menggunakan angket dan tahap
kedua menggunakan wawancara kepada informan terpilih.
Angket menggunakan skala Likert 1 sampai 4 untuk mewakili respon netral (N), tidak setuju
(TS), setuju (S) dan sangat setuju (SS). Angket berisi 15 item tentang tiga hal pokok yang
ingin diketahui, yaitu respon guru tentang: 1) strategi pembelajaran matematika (4 item), 2)
peran guru dalam pembelajaran matematika (5 item), 3) pemanfaatan budaya lokal dalam
pembelajaran matematika (6 item). Tujuan pengumpulan data dengan angket adalah untuk
memperoleh item pernyataan yang perlu diperdalam dengan wawancara dan calon
interviewee.
Hasil angket dipandang sebagai jajak pendapat untuk kemudian direkapitulasi dengan
pencacahan banyaknya responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju
atas pernyataan yang diajukan. Dengan demikian, dapat diketahui item pernyataan mana
yang mendapat beragam respon sehingga perlu digali lebih lanjut melalui wawancara. Calon
interviewee ditentukan dari hasil pencermatan responsnya terhadap item pernyataan untuk
materi wawancara yaitu melihat kecenderungan positif atau negatifnya (netral/tidak setuju
atau setuju/sangat setuju). Selain itu, juga dengan mempertimbangkan lamanya pengalaman
mengajar matematika yang bersangkutan.
Wawancara terhadap responden terpilih bertujuan untuk memperoleh informasi secara lebih
mendalam tentang pemikiran, keyakinan (beliefs), pemahaman dan pengalaman guru
tentang: 1) peran guru, 2) relasi sosial di kelas, 3) orientasi pembelajaran, 4) pemanfaatan
budaya lokal, dan 5) kelemahan atau kendala pembelajaran matematika yang responsif
budaya. Wawancara dipandu secara terstruktur menggunakan panduan wawancara yang
pertanyaannya dapat berkembang sesuai kebutuhan.
Hasil wawancara kemudian dianalisis menggunakan logical analysis (Patton, 1982) dimana
setelah data direduksi atau dipilah yang relevan dengan empat masalah penelitian kemudian
disajikan dalam matriks. Analisis dilakukan dengan mencermati hubungan logis atau pola
yang terbentuk antar data dalam satu baris atau dalam satu kolom.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
291
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Hasil Angket
Hasil angket disajikan dalam tabel berikut ini yang menampilkan pencacahan banyaknya
responden yang memilih netral, tidak setuju, setuju atau sangat setuju. Pernyataan yang
ditampilkan pada tabel hanya pernyataan yang perlu diperdalam melalui wawancara, sebagai
berikut.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Angket
Fokus Pernyataan N TS S SS
1. Strategi
pembelajaran
Matematika
Ceramah adalah cara yang paling efektif dalam
menyampaikan materi matematika
2 4 2 0
Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika
guru menjelaskannya dengan benar
1 0 4 3
2. Peran guru Guru di sekolah seharusnya hanya mengajarkan
matematika sesuai yang ada pada silabus dan buku teks
2 4 1 1
3. Budaya Lokal Guru seharusnya juga menunjukkan bagaimana
aplikasi matematika dalam kebudayaan masyarakat di
lingkungan siswa
1 0 6 1
Contoh matematika dalam kebudayaan akan
memunculkan kebanggaan siswa sebagai pewaris
budaya
2 0 4 2
Beberapa topik matematika yang teridentifikasi ada
dalam situs budaya seharusnya dimasukkan dalam
kurikulum matematika SMP
3 0 5 0
Objek matematika juga dapat ditemukan pada situs
budaya
2 0 3 3
Matematika adalah tentang mempelajari model
geometri, pengukuran, dan membuat pola menurut
budaya kita sendiri
4 0 3 1
Berdasarkan pencacahan hasil angket diketahui bahwa untuk pernyataan tentang strategi
pembelajaran dengan kegiatan kelompok, kegiatan penelusuran pola, pemecahan masalah,
investigasi dan komunikasi kedelapan responden cenderung setuju/sangat setuju. Untuk
pernyataan terkait peran guru yaitu menciptakan situasi, menggunakan contoh aplikasi
matematika dalam kehidupan sehari-hari, memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dari kehidupan sehari-hari, kedelapan responden juga cenderung setuju/sangat setuju.
Beragam respon diperoleh untuk strategi ceramah (ekspositori) dalam pembelajaran
matematika yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju dan 2 orang setuju. Untuk pernyataan
“Konsep-konsep matematika dapat dipahami siswa jika guru menjelaskannya dengan benar”
ada 1 orang memilih netral, sementara 7 orang lain cenderung setuju/sangat setuju. Jika
dikaitkan dengan respon tentang strategi ceramah, perlu digali lebih lanjut apakah hal ini
berarti ceramah akan menjadi strategi pembelajaran yang efektif apabila guru dapat
menjelaskannya dengan benar.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
292
Respon beragam juga diperoleh untuk pernyataan terkait pengajaran matematika seharusnya
sesuai silabus dan buku teks saja yaitu 2 orang netral, 4 orang tidak setuju, 1 orang setuju
dan 1 orang sangat setuju. Hal yang menarik adalah untuk semua pernyataan terkait
pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran matematika, delapan responden memberikan
respon yang beragam. Untuk itu, beberapa pernyataan tersebut perlu digali lebih lanjut
melalui wawancara.
4.2. Hasil Wawancara
Responden terpilih untuk diwawancarai adalah sebagai berikut: untuk guru dengan
pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun adalah A1 dan B1; untuk guru dengan
pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun adalah A5 dan B2. Hasil wawancara disajikan
dalam matriks berikut ini.
Tabel 3. Matriks Hasil Wawancara
Kode Peran guru Relasi Sosial Orientasi Kendala
A1 Mengkondisikan
kelas
Menjelaskan
Mengaktifkan
Tempat bertanya
Memberi contoh
konkrit
Siswa
berdiskusi
dgn teman
sebangku
jika
diperlukan
Kegiatan
kelompok
disesuaikan
dengan
karakter
materi
Kejujuran
Disiplin
Berpikir logis
Memahami materi
Sadar manfaat
matematika dalam
kehidupan
Kesulitan
menentukan
materi yang
pas
Malas
mengurus
perijinan
A5 Menjelaskan
konsep dahulu
Membangun
berdasarkan
pengetahuan
sebelumnya
Menginstruksikan
utk mengerjakan
soal
Memberi contoh
Melakukan
evaluasi
pembelajaran
Siswa
berdiskusi
kelompok
jika
diperlukan,
ketua
kelompok
dipilih oleh
guru
Berpikir kreatif
Disiplin
Bertanggungjawab
Mandiri
Menguasai materi
pelajaran
cukup
efektif tapi
kurang
efisien
Sulit
mencocokka
n dengan
materi
matematika
Saya kurang
kreatif
B1 Memberi contoh
Kontekstual
Menggunakan
alat peraga
Membangun
pengetahuan dari
persepsi siswa
Guru
berdialog
dengan siswa
Siswa
berdiskusi
kelompok
sesuai
Jujur
tanggungjawab
Mampu
memecahkan
masalah
Mencapai nilai
tinggi
Siswa akan
sulit
memahami
karena
budaya
lebih
condong
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
293
Mengarahkan
siswa
Menjelaskan
keperluan
(jigsaw,siswa
bebas
memilih
kelompok)
ke seni
Saya tidak
begitu
paham
dengan
kearifan
lokal
B2 Memberi contoh
Memperagakan
dengan media
Siswa
praktik
Memahami materi Masalah
biaya
Kesulitan
dalam
mengampu
anak jika
pembelajar
an di luar
kelas
Berdasarkan penjabaran pada matriks dan memperhatikan hubungan logis dalam satu kolom,
diperoleh adanya pola peran guru adalah sebagai creator. Dalam hal ini yang diciptakan
adalah situasi pembelajaran melalui pemberian informasi, contoh, demonstrasi, dan instruksi.
Guru memberikan contoh-contoh kontekstual dari lingkungan siswa dalam pembelajaran
matematika misalnya saat anak membantu orangtua di dapur disinggung aktivitas
matematika yang mungkin dilakukan atau disebutkan objek-objek yang merupakan
bangun ruang geometri. Dengan demikian, guru berusaha menghubungkan
matematika dengan persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dari
kehidupannya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan konsepsi guru tentang diri dan siswanya
dalam pedagogi yang relevan budaya (Ladson-Billings, 1995: 478). Relasi sosial yang
dibangun di kelas masih didominasi oleh interaksi guru dengan siswa, sementara kolaborasi
antar siswa dilaksanakan jika diperlukan berdasar pertimbangan kebutuhan penguasaan
materi. Jika secara individu siswa sudah memahami materi maka kegiatan kelompok tidak
perlu dilakukan.
Orientasi pembelajaran diarahkan kepada pencapaian prestasi akademik yaitu
pemahaman/penguasaan materi atau skor hasil ulangan tinggi, dan tertanamnya nilai-nilai
karakter yang merupakan ciri khas matematika seperti berpikir logis dan kreatif serta nilai
pendidikan umum seperti jujur, disiplin, bertanggungjawab. Adapun karakter yang terkait
dengan budaya seperti mencintai budaya sendiri belum menjadi fokus dalam pembelajaran
matematika. Orientasi pembelajaran yang mungkin untuk menuju kepada matematika itu
cultural bounded adalah menumbuhkan sikap positif terhadap kegunaan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam wawancara, guru menyampaikan harapan agar siswa
memahami bahwa matematika bukan cuma sekedar teori, bukan sekedar ilmu yang ada
diawang-awang tapi bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Matematika yang
cultural bounded dapat ditunjukkan melalui penggunaan konteks kehidupan sehari-
hari dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat
melihat bahwa pengetahuan matematika tersebut bukan sebagai ilmu pengetahuan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
294
yang teoretis tetapi aplikatif sehingga pada gilirannya dapat memunculkan rasa
menghargai kegunaan matematika.
Dalam wawancara terungkap bahwa konteks budaya lokal dan pengalaman sehari-hari siswa
digunakan sekilas sebagai contoh aplikasi matematika. Untuk kasus Candi Borobudur, siswa
belum pernah diberi pengalaman mempelajari matematika melalui interaksi langsung dengan
mengunjungi Candi melainkan sebatas informasi verbal atau ditunjukkan gambarnya. Hal ini
karena pertimbangan efisiensi dari sisi waktu dan biaya. Dari diri pribadi guru terungkap
adanya hambatan bahwa guru merasa kurang kreatif untuk mengembangkan pembelajaran
yang responsif budaya, kurang memahami kearifan lokal, memandang bahwa pembelajaran
tersebut akan kurang efektif dan efisien. Bagi guru kelas IX, melatih siswa agar sukses Ujian
Nasional menjadi target utama dibandingkan dengan melaksanakan pembelajaran yang
responsif budaya. Hal ini karena nilai ujian nasional yang terpuruk akan berdampak
pada nama baik sekolah.
Beberapa hambatan dalam diri guru terkait dengan kompetensi yang mencakup
sikap, pengetahuan dan keterampilan terhadap matematika dan budaya. Dengan
demikian, salah satu kunci pengembangan keprofesian guru adalah dengan meningkatkan
kompetensi guru melaksanakan pengajaran matematika yang berbasis pada latarbelakang
budaya siswa, penggunaan konteks di lingkungan luar sekolah dan aktivitas berbasis budaya
(Madusise, S & Mwakapenda, 2014:148). Meskipun demikian, tiga interviewee berpendapat
ada kelebihan dari pembelajaran matematika yang responsif budaya yaitu siswa menjadi
lebih termotivasi untuk belajar matematika; siswa lebih mengenal dan sadar akan kekayaan
budayanya sehingga lebih mencintai; bisa melihat hubungan antara sejarah dan matematika;
kelak mereka akan memanfaatkan ilmunya untuk mengembangkan budayanya.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
1. Peran guru matematika di SMP sekitar Candi Borobudur dalam pembelajaran yang
responsif budaya adalah menciptakan situasi pembelajaran dengan memperhatikan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa tentang matematika dari kehidupan sehari-hari
yang meliputi persepsi, intuisi dan pengetahuan faktual siswa dan menggunakannya
sebagai contoh aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2. Relasi sosial dalam pembelajaran matematika di dua SMP sekitar Candi Borobudur
tersebut lebih menekankan interaksi antara siswa dengan guru.
3. Pembelajaran diarahkan kepada penguasaan materi, penanaman nilai karakter dan sikap
positif terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
4. Meskipun guru menyadari manfaat budaya lokal untuk pembelajaran matematika,
namun belum optimal pemanfaatannya. Faktor penyebab internal adalah guru merasa
kurang kreatif, kurang memahami kearifan lokal, belum mempunyai gambaran topik
matematika yang cocok dengan suatu konteks budaya, dan berpandangan bahwa
pembelajaran akan kurang efisien. Faktor penyebab eksternal adalah adanya tuntutan
mencapai prestasi UN sehingga guru kelas IX cenderung memprioritaskannya.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
295
5.2 Saran
Lembaga pelatihan guru seperti PPPPTK Matematika memiliki peran aktif untuk
meningkatkan kualitas guru dengan memperkuat program in-service diantaranya melalui
Program Guru Pembelajar untuk membantu guru berlatih menguasai konten dan
pengetahuan pedagogis secara lebih memadai. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian
adalah pemberdayaan modal budaya dalam pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka
Akinsola, M.K & Mapolelo, D.C. 2015. Preparation of Mathematics Teachers: Lessons from Review
of Literature on Teachers’ Knowledge, Beliefs, and Teacher Education. International Journal of
Educational Studies. Vol 2 No 01, 2015 pp 1-12 diunduh dari http://www.escijournals.net/IJES
pada tanggal 21 Agustus 2015.
Bray, W.S. (2011). A Collective Case Study of the Influence of Teachers’Beliefs and Knowledge on
ErrorHandling Practices During Class Discussion of Mathematics. Journal for research in
mathematics education. Vol 42, No.1 hal 2-38.
Campbell, P.F et all. (2014). The Relationship Between Teachers’Mathematical Content and
Pedagogical Knowledge, Teacher’s Perceptions, and Student Achievment. Journal for research
in mathematics education. Vol 45, No.4 hal 419-459.
Gay, G. (2000). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York, NY:
Teachers College Press.
Ladson-Billings, G. (1995). Toward a Theory of Culturally Relevant Pedagogy. American educational
research journal, Fall, 1995 Vol 32No 3 pp 465-491.
Madusise, S & Mwakapenda, W. (2014). Using School Mathematics to Understand Cultural
Activities: How Far Can We Go?. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 5 No 3 March
2014. Rome-Italy: MCSER Publishing. Pp 146-157.
Ogbu, J. U., & Simons, H. D. (1998). Voluntary and involuntary minorities: A cultural ecological
theory of school performance with some implications for education. Anthropology and
Education Quarterly, 29(2), 155-188.
Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods 2nd
Edition. Newbury Park,
California: Sage Publications, Inc.
Rosa, M & Orey, D.C. (2013). Culturally Relevant Pedagogy a an Ethnomathematical Approach.
Journal of Mathematics & Culture. September 2013 7(1). p 74-97.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
296
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI
PEMBELAJARAN MATH-TALK LEARNING
COMMUNITY
Erma Suriany1)
1)SMA Negeri 1 Puding Besar, Kabupaten Bangka
Abstrak. Penelitian ini mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis
antara siswa yang mendapat pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) dengan siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional. Penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok
kontrol non ekivalen. Populasi siswa SMAN Puding Besar Tahun Pembelajaran 2014/2015 dan
sampel penelitian secara purposive adalah kelas XI. Instrumen penelitian berupa tes kemampuan
berpikir kreatif matematis, skala sikap dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara
kuantitatif dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian dan peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran MTLC lebih baik daripada siswa
yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
This study examines the achievement and improvement of mathematical creative thinking abilities
among the students who received learning Math-Talk Learning Community (MTLC) compared with
students who received conventional learning. Quasi-experimental research design with non-
equivalent control group. The population was students of SMAN Puding Besar on 2014/2015 and the
purposive sample is class XI. The research instrument is the ability to think creatively mathematical
tests, attitude scales and observation sheets. Quantitative data were analyzed by t-test. The results
showed that the achievement and mathematical creative thinking abilities of students who get the
learning MTLC are increase better than students who received conventional learning.
Kata Kunci. Math-Talk Learning Community (MTLC), berpikir kreatif matematis
1. Pendahuluan
National Education Association (NEA) dalam An Educator’s Guide for Four Cs (2012)
mengemukakan bahwa “... to determine which of the 21st century skills were the most
important for K-12 education. There was near unamitiy that four specific skills were the
most important. They become known as the “Four Cs”, critical thinking, communication,
collaboration, and creativity.” Hal ini menunjukkan empat kemampuan abad ke-21 yang
paling penting dalam pendidikan yaitu kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi
dan kreatif.
Seseorang yang berpikir kreatif dapat melakukan pendekatan secara bervariasi dan memiliki
bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan. Siswono (2004:6)
mengatakan berpikir kreatif perpaduan antara berpikir logis dan divergen yang didasarkan
pada intuisi, pemikiran divergen menghasilkan ide-ide untuk menemukan penyelesaian.
Berpikir kreatif memberi makna bagaimana sebuah ide dikembangkan dan ditumbuhkan
menjadi ide-ide baru yang menjadi alternatif dalam penyelesaian suatu masalah. Pentingnya
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
297
berpikir kreatif juga diusulkan oleh The National Curriculum’Handbook for Teachers’, ke
dalam kurikulum di Inggris seperti yang dikutip oleh Worthington dan Carruthers (2003:4)
mengatakan “Creativity is a skill that needs to be promoted across the curriculum. Creative
thinking should enable pupils to generate and extend ideas, to suggest hypotheses, to apply
imagination and to look for alternative outcomes”.
Rendahnya kualitas pembelajaran, menunjukkan kurang efektifnya pembelajaran matematika
di kelas salah satunya karena keterbatasan guru dalam memberikan peluang kepada siswa
untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, seharusnya guru memberikan
kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk menjalani proses pembelajaran itu sendiri.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) mengatakan suksesnya
pembelajaran matematika di kelas, membutuhkan inovasi cara mengajar guru yaitu
mengembangkan pembelajaran konvensional secara signifikan dan komunitas wacana di
kelas yang mereka bimbing. Walaupun menurut Hufferd, et.al (2004:1) dalam kenyataannya
guru masih kebingungan untuk menerapkan komunitas wacana dalam kelas mereka sesuai
dengan keinginan NCTM.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membantu guru menemukan solusi dan mengubah
cara mengajar mereka agar bisa menciptakan kelas yang lebih baik, antara lain penelitian
tentang pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan pedagogik (kemampuan
siswa terutama dalam proses berpikir), dan penelitian lainnya tentang kesulitan-kesulitan
guru untuk melakukan perubahan di kelas, terutama membangun komunitas wacana.
Kemampuan-kemampuan siswa tidak akan berkembang dengan sendirinya. Guru harus
mampu merancang pembelajaran dengan memberikan ruang waktu lebih banyak kepada
siswa. Intervensi sederhana dan penggunaan framework yang terencana dapat dilakukan guru
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa sehingga terjadi
perubahan yang lebih baik dalam pembelajaran di kelas (Connecting Practice and Research
in Mathematics Education, 2008:1)
“A Math-Talk Learning Community is a community where individuals assist one another’s
learning of mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”(Hufferd et al,
2004:82). Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah sebuah pembelajaran yang
melibatkan setiap individu secara aktif saling membantu atau berinteraksi mempelajari
matematika dengan komunitas wacana matematis yang bermakna. Interaksi ini tidak hanya
terjadi pada guru ke siswa tetapi juga antara siswa ke siswa lainnya.
Hal ini menjelaskan MTLC yang menggunakan pembelajaran dengan komunitas wacana
berdampak positif terhadap suasana belajar yang terbentuk. Seperti yang kita ketahui,
suasana belajar sangat mempengaruhi pembelajaran, komunitas wacana dan interaksi sosial
di kelas yang bisa mendukung siswa dalam mengoneksikan ide-ide dan mengulang materi
yang diperoleh dalam pembelajaran.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
298
Berdasarkan masalah dan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di atas penulis
mengajukan suatu penelitian tentang kemampuan berpikir kreatif matematis siswa melalui
pembelajaran MTLC, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini apakah kemampuan
berpikir kreatif siswa matematis yang pembelajarannya melalui pembelajaran Math-Talk
Learning Community lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis Penelitian
2.1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan
suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang belum pernah dilakukan. Kriteria berpikir kreatif
terdiri dari sintesis ide-ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide. Beberapa pendapat tentang
berpikir kreatif antara lain Haylock (1997:69) mengatakan “creative thinking is almost always seen as
involving flexibility” yang diartikan bahwa berpikir kreatif selalu menunjukkan fleksibilitas; Pehkonen
(1997:63) juga mengatakan tentang berpikir kreatif, yang diartikannya sebagai suatu kombinasi dari
berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran.
Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
Pentingnya berpikir kreatif juga dikemukakan oleh Ervynk (2002:42) “creativity plays a vital
role in the full cycle of advanced mathematical thinking. It contributes in the first stage of
development of a mathematical theory “, dikatakan bahwa kreativitas memainkan peranan
penting dalam berpikir tingkat tinggi. Kreativitas memberikan konstribusi awal dalam
membangun teori matematis. Untuk itu perlu dikembangkan pembelajaran yang
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif yang melibatkan siswa secara aktif, terdiri dari
empat komponen yaitu : (1) pengkajian (hasilnya familiar dengan siswa);(2) menyentuh
kedalaman intuisi siswa;(3) menggunakan daya imajinasi dan inspirasi;(4) menghasilkan
struktur deduktif pada siswa. (Ervynk, 2002:47).
Menurut Munandar (2002) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu
dengan lingkungannya, selanjutnya Munandar menjelaskan kemampuan berpikir kreatif
ditandai dengan beberapa kemampuan yaitu kemampuan berpikir lancar (fluency),
kemampuan berpikir luwes (flexibility), kemampuan berpikir orisinil (originality),
kemampuan berpikir terperinci (elaboration) dan kemampuan berpikir evaluatif (evaluation).
Kemampuan kreatif merujuk langsung ke kemampuan divergent-productive yang
diidentifikasi oleh Guilford (1967), dalam faktor khusus yaitu fluency, flexibility, elaboration
and originality.
2.2. Pembelajaran Math-Talk Learning Community
Standar NCTM menekankan pentingnya mengembangkan bahasa matematis matematis
dalam memahami konsep-konsep daripada hanya mengikuti urutan prosedur, dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
299
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan proses berpikir matematis melalui
math-talk sehingga ide-ide matematis mereka berkembang.
Math-Talk memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan masalah, menjelaskan solusi
mereka, menjawab pertanyaan dan mempertahankan jawaban mereka. Mereka bisa
menggunakan gambar sebagai bukti referensi dari penjelasan mereka. Sebuah komunitas
wacana matematis membantu setiap siswa untuk memahami konsep matematika yang
mereka pelajari lebih mendalam, dan meningkatkan kompetensi dalam menggunakan bahasa
matematis dari kehidupan sehari-hari. Ketika siswa terlibat dalam komunitas wacana, guru
bertindak sebagai fasilitator yang memandu mempertahankan fokus wacana dan
mengklarifikasikannya jika diperlukan.
Hufferd-Ackles, Fuson dan Sherin (2004:82) mengemukakan ”Math-Talk Learning
Communitiy as a community in which individual assist one another’s learning of
mathematics by engaging in meaningful mathematical discourse”. Hal ini mendefinisikan
MTLC sebagai framework proses pembelajaran khususnya matematika, guru, siswa dan
siswa lainnya membantu satu sama lain dalam pembelajaran, yang membuat proses
pembelajaran matematika (wacana matematis) mereka mencapai tujuan pembelajaran.
MTLC merupakan pengembangan wacana dalam proses pembelajaran dan langkah penting
dari implementasi pemikiran reformasi serta membantu guru memecahkan kesulitan yang
selama ini mereka hadapi khususnya instruksi matematis.
Empat komponen utama yang berbeda tapi saling terkait yang merupakan proses dari
perkembangan pembelajaran math-talk dari waktu ke waktu yang diklasifikasikan oleh
Hufferd-Ackles et al (2004) yaitu: (a) questioning (mempertanyakan), (b) explain
mathematical thinking (menjelaskan pemikiran matematika), (c) source mathematical ideas
(menggali ide-ide matematika) dan (d) responsibility for learning (tanggung jawab belajar).
Connecting Practice and Research in Mathematics Education (2008:1) disinopsis penelitian
mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran
MTLC, yaitu:
a. Siswa harus sudah memahami materi matematika sedang dipelajari dalam math-talk
(misalnya, untuk menggambarkan pemikiran sendiri, mempertanyakan, atau untuk
memperluas pekerjaan orang lain)
b. Materi harus sesuai dengan kognitif siswa, sumber-sumber materi mudah dicari oleh siswa
untuk dapat berpatisipasi dalam wacana matematis bermakna.
c. Dilakukan secara variatif, pembelajaran diselingi dengan pembelajaran yang melibatkan
kerja individu atau pasangan atau kelompok.
d. Meyediakan waktu yang lebih banyak agar pembelajaran MTLC dapat terlaksana secara
ideal.
e. Menyiapkan rubrik untuk mengevaluasi kemampuan guru dan siswa;
Proses pembelajaran matematis sangat penting dalam komunitas belajar karena mendorong
siswa untuk mengomunikasikan gagasan matematis dan membantu siswa untuk membangun
pemahaman matematis. Mengembangkan MTLC secara ideal merupakan sebuah proses yang
membutuhkan waktu dan dukungan yang cukup. Komunitas wacana ide-ide matematis
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
300
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berpikir, mempertahankan dan membuktikan
konsepsi mereka satu sama lain. Siswa dibentuk untuk mengembangkan proses berpikir
kreatif matematis secara bertahap.
Ringkasan konsep pembelajaran MTLC dengan komponen dan tahapan jika disajikan dalam
tabel (Halimun, 2011: 97), dapat dilihat dalam Tabel. 1 berikut:
Tabel 1. Komponen dan Tahapan Math-Talk Learning Community
Komponen Deskripsi
a. Questioning Pergeseran dari guru sebagai penanya menjadi siswa
sebagai penanya, awal berpikir kreatif.
b. Explaining
Mathematical Thinking
Peningkatan kemampuan komunikasi matematis
siswa, menjelaskan dan mengartikulasikan ide-ide
matematis.
c. Source of Mathematical
Ideas
Pergeseran dari guru sebagai sumber ide-ide
matematis menjadi siswa sebagai sumber ide-ide
matematis, dan mengarahkan jalan pembelajaran.
d. Responsibility for
Learning
Siswa bertanggung jawab atas pembelajaran dan
mengevaluasi diri dan yang lainnya.
Tahap 0 : guru sebagai pusat pembelajaran konvensional
Tahap 1 : guru memainkan peran sebagai pusat pembelajaran MTLC
Tahap 2 : guru sebagai model dan fasilitator
Tahap 3 : guru sebagai pengamat
Catatan : framework diadaptasi dari Hufferd-Ackles et al (2004)
Penelitian yang berhubungan dengan berpikir kreatif matematis melalui pembelajaran dengan
pendekatan open-ended dengan strategi group-to-group, Agusfinal (2011) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan memberikan peningkatan dalam kemampuan
berpikir kreatif. Tetapi terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara
siswa kategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran
matematika berbantuan WinGeom yang dilaksanakan positif.
Penelitian ini berkaitan dengan pembelajaran framework Math-Talk Learning Community (MTLC)
oleh Otten et.al (2011) mengungkapkan keefektifan framework untuk memunculkan siswa secara aktif
memainkan perannya di kelas. Peralihan peran guru sebagai pusat pembelajaran menjadi siswa
sebagai pusat pembelajaran. Senada dengan NicMhuiri (2011) yang melakukan penelitian kualitatif
untuk mengetahui apa yang bisa membantu dalam memfasilitasi wacana kelas dan ternyata untuk
memfasilitasi wacana kelas dengan MTLC sangat membantu, yang perlu diperhatikan adalah tahap
pertama yaitu questioning, diberikan catatan pertanyaan pada komponen ini karena menentukan tahap
selanjutnya.Salah satu bentuk fasilitasi dari MTLC adalah pertanyaan ataupun tugas yang diberikan
mampu mendorong kemampuan berpikir siswa, tingkat pertanyaan dan tugas disesuaikan dengan
tingkat kemampuan siswa sehingga meningkatkan kepercayaan diri siswa dan guru.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
301
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilaksanakan adalah kuasi eksperimen dengan desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005:52). Penelitian ini
dilakukan pada 2 (dua) kelas yang dipilih secara acak yaitu kelas pertama dijadikan kelas kontrol atau
kelompok kontrol, kelas kedua dijadikan kelas eksperimen yang diberikan perlakuan yaitu
menggunakan pembelajaran Math-Talk Learning Community dalam kegiatan belajar di kelas,
sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
Populasi penelitian ini adalah siswa salah satu SMA Negeri Puding Besar Kabupaten
Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penentuan populasi dilakukan secara
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel penelitian berdasarkan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2012). Penelitian dilaksanakan pada kelas XI, semester genap Tahun
Pembelajaran 2014/2015 dengan materi Statistika, Sampel untuk ujicoba instrumen sebanyak
30 siswa kelas XI IPA 1, dan sampel penelitian sebanyak dua kelas, satu kelas kontrol
sebanyak 34 orang siswa (Kelas XI IPS 2) dan satu kelas eksperimen sebanyak 34 orang
siswa (Kelas XI IPS 1). Pemilihan siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak
berdasarkan keacakan yang sesungguhnya (kuasi eksperimen), yaitu penetapan yang
dilakukan oleh guru berdasarkan kelas yang ada.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka beberapa istilah didefinisikan sebagai berikut :
3.1. Pembelajaran Math-Talk Learning Community (MTLC) adalah pembelajaran dengan komunitas
wacana matematis yang menggunakan framework, memiliki empat komponen utama yaitu
questioning (mempertanyakan), explaining mathematical thingking (menjelaskan dengan berfikir
matematis), source of mathematical ideas (menggali sumber ide-ide matematis), dan
responsibility for learning (tanggung jawab untuk belajar) dengan tahapan masing-masing
komponen dari nol sampai tiga.
3.2. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan siswa menyelesaikan suatu
permasalahan matematika secara fleksibel dan terbuka terhadap cara-cara yang bersifat baru.
Untuk memperoleh data penelitian ini, digunakan empat macam instrumen yang terdiri dari tes
kemampuan berpikir kreatif matematis. Tes diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
sebagai tes awal (pretest) maupun tes akhir (postest), dengan soal yang sama. Tes awal untuk
mengetahui kemampuan awal siswa dan tes akhir untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan belajar
setelah mendapatkan pembelajaran Math-Talk Learning Community yang diterapkan.
Pemberian skor kemampuan berpikir kreatif penelitian ini mengacu pada skor rubrik yang
dimodifikasi oleh Bosch dalam Hasanah (2011:63). Kemampuan berpikir kreatif meliputi
empat aspek, yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Pemberian skor pada
masing-masing aspek tersebut diadaptasi antar 0 sampai 4.
Analisis data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan bantuan Software Microsoft
Excell 2007 dan Predictive Analytics Software (PASW Statistics 17) atau IBM SPSS
versi17.0. Analisis data bertujuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian yaitu untuk
mengetahui pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis. Untuk melihat apakah
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
302
pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen lebih baik dari
kelompok kontrol analisis dilakukan terhadap data postes kedua kelompok.
4. Hasil dan Pembahasan
Data kuantitatif diperoleh melalui pretes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi
matematis, postes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis yang diperoleh
dari 30 siswa kelompok eksperimen dan 30 siswa kelompok kontrol.
Analisis data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan uji
perbedaan rata-rata. Uji ini bertujuan untuk membuktikan terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok eksperimen maupun
kontrol. Uji dilakukan setelah memenuhi uji asumsi statistik normalitas dan homogenitas
Uji normalitas. menunjukkan bahwa skor postes kemampuan berpikir kreatif kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol memiliki . Hal ini menunjukkan
diterima, artinya data postes kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen
dan kontrol berdistribusi normal sedangkan hasil rangkuman uji homogenitas pada
menunjukkan bahwa data skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis memiliki nilai
yaitu 0,337. Hal ini menunjukkan diterima, artinya varians data skor
postes kemampuan berpikir kreatif matematis kedua kelompok homogen.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan sebelumnya data postes
kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi
normal serta berasal dari varians yang homogen, maka bisa dilanjutkan pada uji perbedaan rata-rata
postes dengan menggunakan independent sample t-test. Tabel 2. berikut ini menyajikan rangkuman
hasil uji perbedaan rata-rata postes.
Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Data Skor Postes
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
t-test for Equality of Means Kesimpulan
10,027 58 0,000 ditolak
Hasil independent sample test pada Tabel 4.3, didapat berarti .
Hal ini menunjukkan bahwa ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Jadi terbukti hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Math-Talk Learning
Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
konvensional.Berdasarkan hasil analisis data skor pretes dan postes kemampuan berpikir
kreatif matematis kelompok eksperimen dan konvensional terlihat ada perbedaan yang cukup
signifikan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
303
Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data pretes kemampuan berpikir
kreatif dan didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretes kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, ini
menunjukkan kemampuan awal siswa kelompok eksperimen dan kontrol secara signifikan
sama.
Berdasarkan hasil penelitian, rangkuman hasil pengujian hipotesis terhadap kemampuan
berpikir kreatif matematis adalah sebagai berikut:
Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
Math-Talk Learning Community lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran konvensional.
Hasil uji independent sample test dilakukan terhadap data postes kemampuan berpikir
kreatif matematis didapat berarti . Hal ini menunjukkan bahwa
ditolak, artinya rata-rata postes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelompok
eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol, dengan tingkat pencapaian kelompok
eksperimen 80% sementara kelompok kontrol hanya 0,33% pada interval yang sama lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Frekuensi Pencapaian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Interval Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
0 − 4 0 0 3 1%
5 − 9 6 20% 26 86,67%
10 − 16 24 80% 1 0,33%
Hal ini menunjukkan pembelajaran MTLC yang memuat komponen questioning dan source
of mathematical ideas dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Questioning yang digunakan dalam penelitian ini mendorong siswa untuk mengajukan
pertanyaan yang memahami pikiran matematis mereka sesuai dengan Hufferd-Ackles et.al.
(2004) dalam jurnalnya questioning bersifat “probing” dan “korektif” yang memunculkan
jawaban bersifat divergen. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Pehkonen
(1997) jawaban yang bersifat divergen memunculkan kriteria berpikir kreatif matematis
yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration.
Source of mathematical ideas, komponen ketiga dalam MTLC menggali ide-ide matematis
siswa dari pemahaman yang mereka dapatkan untuk mendapatkan kesimpulan. Hal ini
sejalan dengan penelitian Mubarok (2012) yang mengungkapkan kemampuan berpikir
kreatif matematis muncul pada tahap keempat PMR yaitu menyimpulkan.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
304
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan, diperoleh kesimpulan
bah pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran Math-
Talk Learning Community lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Oleh
karena itu disarankan kepada para guru agar menerapkan pembelajaran tersebut di sekolah sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan matematis. Juga perlu dikembangkan oleh pihak sekolah
melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika, soal-soal yang berkaitan dengan
kemampuan berpikir kreatif matematis agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal tersebut sehingga
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Serta dalam melaksanakan pembelajaran,
hendaknya guru membiasakan diri menggunakan frame work sebagai acuan refleksi pembelajaran
sehingga bisa merencanakan langkah pembelajaran selanjutnya.
Daftar Pustaka
Agusfinal. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis Siswa SMA
melalui Pendekatan Open-Ended dengan Strategi Group-to-Group (Studi eksperimen di SMA
Negeri Plus Provinsi Riau). Tesis Magister pada Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Connecting Practice and Reasearch in Mathematics Education. (2008). Profesional Learning Guide,
Math-Talk Learning Community.Ontario: EduGains. [online]. Tersedia:
http://www.edugains.ca [2 November 2012].
Ervynk, G. (2002). “Mathematical Creativity”. Advance Mathematical Thinking. Volume 11.
Guilford, J. P. (1967). The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw-Hill Book Company.
Halimun, J. M. (2011). A Qualitative Study of The Use of Content-Realated Comics to Promote
Student Participation in Mathematical Discourse in A Math I Support Class. Dissertation for
Doctor of Education In Leadership for Learning Teacher Leadership Bagwell College of
Education Kennesaw State University. Kennesaw, G.A. [online]. Tersedia:
http://digitalcommons.kennesaw.edu/etd/471
Haylock, D. (1997). “Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren”. ZDM. [online] 29,
(3).. Tersedia:
http://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication/zdm. [4 Desember 2012].
Hasanah, A. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis da Kreatif Matematis Siswa Sekolah
Menengah Atas melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Intuisi. Disertasi Doktor pada SPS.
UPI: Tidak diterbitkan.
Hufferd-Ackles, K., Fuson, K. C. & Sherin, M. G. (2004). “Describing Levels and Components of A
Math-Talk Learning Community”. Journal for Research in Mathematics Education .35, (2),
81-116.
Munandar, U. (2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta
Mubarok, Dziki. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa Melalui
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) di SMP PGRI 6 Malang. Tesis Magister
pada Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
[online]. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. Reston, VA: Author.
National Education Association. (2012). An Educators Guide to The “Fours Cs”. United State.
[online]. Tersedia: http://www.nea.org. [5 Desember 2012].
NicMhuiri, S. (2011). “Teacher, do you know the answer? Initial attempts at the facilitation of
discourse community”. Proceedings of The British Soceity for Research into Learning
Mathematics (BSRLM). 31, (3), 119-124.
Otten, S., Herbel-Eisenmann, B. A., Cirillo, M., Steele, M. & Bosman, H.M. (2011). Students
Actively Listening: A Foundation for Productive Discourse in Mathematics Classroom. Paper
Presented at The Annual Metting of The American Educational Research Association, New
Orleans, L. A.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
305
Pehkonen, E. (1997). “The State-of-Art in Mathematical Creativity”. ZDM. 29, (3), 615-679. [online].
Tersedia: hhtp://www.fiz.karsruhe.de/fiz/publication. [6 Agustus 2012].
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito
Siswono, T. Y.E (2004). “Mendorong Berpikir Kreatif Siswa melalui Pengajuan Masalah (Problem
Posing)”. Makalah dalam Konferensi Nasional Matematika XII, Universitas Udayana
Denpasar Bali.
Worthington, M. & Carruthers, E. (2003). “Research Uncovers Children’s”. Primary Mathematics
(Mathematics Association). 7, (11), 3.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
306
UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA
DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA
DI KELAS 1 SD NEGERI TELAJUNG 03
KECAMATAN CIKARANG BARAT
Desy Anggraini1)
, Arrahim2)
1) YPI Al-‘Imaroh, Jl. Kampung Bojong Koneng, Bekasi; [email protected]
2) Universitas Islam “45”, Jl. Cut Mutia No. 83, Bekasi; [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran serta pemahaman konsep matematika dengan menggunakan
media realia di kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penggunaan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika di
kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat.
Kata Kunci. Pemahaman konsep matematika, penggunaan media realia
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan di kelas 1 SD Negeri Telajung 03
Kecamatan Cikarang Barat, diketahui bahwa pemahaman konsep matematika siswa masih
rendah. Hal tersebut disebabkan karena media yang digunakan belum membantu
memperjelas pemahaman konsep matematika siswa serta kurang bermaknanya pembelajaran
matematika yang diterapkan.
Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3) pemahaman konsep matematika menunjuk
kepada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan
gagasan yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara
yang berbeda, dan untuk menentukan perbedaan antara penggambaran ini. Sehubungan
dengan hal tersebut, untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika pada materi
operasi hitung penjumlahan dan pengurangan diperlukan sarana penunjang bagi siswa dalam
menuju konsep matematika yang abstrak. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Heruman
(2013: 1) yang menyatakan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada fase operasional
konkrit sehingga diperlukan media atau alat peraga untuk membantu memperjelas konsep
yang abstrak. Media pembelajaran tersebut selain harus menarik perhatian siswa, juga harus
dapat menunjang tujuan pembelajaran matematika secara maksimal.
Salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika
adalah media realia. Menurut Martiningsih dalam Puspita (2010: 5), media realia merupakan
benda sebenarnya yang dapat diamati secara langsung oleh pancaindera dengan cara melihat,
mengamati, dan memegangnya secara langsung tanpa melalui alat bantu. Media realia
merupakan bentuk media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa perubahan. Dengan
memanfaatkan realita dalam proses belajar, siswa akan lebih paham. Pemahaman konsep
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
307
matematika akan lebih meningkat apabila dalam pembelajaran digunakan media realia ”Alat
Tulis”, karena objek dan kejadian yang menjadi bahan pengajaran secara realistik yang
dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan paparan di atas agar siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang
Barat tahun pelajaran 2015 – 2016 dapat memahami konsep operasi hitung penjumlahan dan
pengurangan dengan baik, maka dalam proses pembelajaran digunakan media realia. Hal
inilah yang mendorong penulis untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan judul
“Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan Menggunakan Media Realia
di Kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
“bagaimana perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika dengan penggunaan
media realia dan apakah media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika
pada siswa kelas 1 SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat”.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Pemahaman Konsep Matematika
Paham berarti pengertian, pengetahuan pendapat, pikiran, mengerti benar akan, tahu benar
akan, pandai dan mengerti benar, sepaham, sependapat, sekeyakinan, memahami, mengerti
benar, aliran, haluan (Suharso dalam Sulistyowati, 2007: 19). Adapun pemahaman adalah
proses, perbuatan, cara memahami atau menanamkan.
Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami suatu objek dan subjek pembelajaran,
dimana kemampuan untuk memahami akan terjadi manakala didahului oleh sejumlah
pengetahuan (Susetyo, 2015: 19).
Menurut Rosser dalam Dahar (2011: 63), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu
kelas objek, kejadian kegiatan, atau hubungan yang memunyai atribut yang sama. Lebih
lanjut lagi, Boediono dalam Purnamasari (2014: 2) menyatakan bahwa konsep adalah semua
hal yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran,
meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, dan isi materi.
Berdasarkan uraian di atas, konsep yaitu suatu gagasan abstrak seseorang yang didapat
berdasarkan objek, peristiwa serta simbol yang memiliki karakteristik sama, sehingga orang
tersebut dapat mengenal serta mengklasifikasikan objek-objek tersebut menjadi pengertian
baru.
Menurut Ibrahim dalam Purnamasari (2014: 3), pemahaman konsep matematika menunjuk
pada kemampuan siswa untuk menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan
yang mereka ketahui, untuk menggambarkan situasi matematika dalam cara-cara yang
berbeda dan untuk menentukan perbedaan antargambaran.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
308
Selain itu, Duffin dan Simpson dalam Kesumawati (2008: 230), pemahaman konsep
matematika adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang
telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang
berbeda; dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika adalah
kemampuan siswa untuk mengetahui, mengenal, dan menjelaskan kembali serta
menghubungkan gagasan dalam matematika dengan gagasan yang mereka ketahui dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mampu memecahkan masalah matematika dengan benar.
Adapun indikator pemahaman konsep matematika dalam penelitian ini yaitu
1) mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya; 2) menyajikan
konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis; 3) mengaplikasikan konsep atau
algoritma pemecahan masalah.
2.2. Media Realia
Menurut Sadiman dalam Sarini (2012: 4), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian, dan perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Salah satu media yang dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman konsep
matematika dalam penelitian ini adalah media realia.
Wibawa dalam Jannah, dkk (2012: 3) mengatakan bahwa media realia merupakan bentuk
dari media nyata seperti apa adanya atau aslinya tanpa ada perubahan. Media realia dinilai
merupakan suatu media yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut karena siswa
usia anak SD tahap berpikirnya masih konkrit dan senang berinteraksi dengan benda-benda
nyata sehingga dapat mempermudah siswa memahami pembelajaran matematika.
Lebih lanjut lagi, Ibrahim dan Syaodih dalam Maryati (2015: 8) mengemukakan bahwa
media realia adalah objek nyata atau benda sesungguhnya yang akan memberikan
rangsangan yang amat penting bagi siswa dalam mempelajari berbagai hal dalam proses
pelajarannya, terutama yang menyangkut pengembangan keterampilan pada diri siswa.
Ciri-ciri media realia yaitu benda asli yang masih ada dalam keadaan utuh, dapat
dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya, dan dapat dikenali sebagaimana wujud
aslinya (Endriani dalam Sarini, 2012: 4). Benda nyata yang digunakan seperti alat tulis,
tumbuhan, buah, bunga, dan sebagainya sehingga peserta didik dengan mudah mengingat
apa yang mereka pelajari karena telah mengalami langsung dan berinteraksi dengan media.
Endriani mengatakan kembali, pemanfaatan media realia dalam proses pembelajaran
merupakan cara yang cukup efektif, karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat.
Akan tetapi tidak semua benda nyata dapat digunakan sebagai media realia karena
keterbatasan penyediannya, misalnya karena ukuran ataupun biayanya.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa media realia merupakan benda-benda
nyata seperti apa adanya atau aslinya, tanpa perubahan. Dengan memanfaatkan realita dalam
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
309
proses belajar, diharapkan siswa akan lebih paham. Media realia yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah media realia berupa alat tulis.
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Yang
beralamat di Jl. Metro IP, Desa Telajung, Kecamatan Cikarang Barat, Bekasi. Penulis
melakukan penelitian mulai dari bulan Maret sampai April 2016. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom
Action Research). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk mencermati
kegiatan belajar sekelompok siswa dengan memberikan sebuah tindakan (treatment) yang
sengaja dimunculkan (Arikunto 2014: 16). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
peningkatan pemahaman konsep matematika pada materi operasi hitung penjumlahan dan
pengurangan dengan menggunakan media realia “Alat Tulis” di Kelas 1 SD Negeri
Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1B
SD Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat yang berjumlah 30 siswa, terdiri dari 20
siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap
siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian dan perolehan nilai tes pada siklus I, II, dan III menunjukan bahwa terdapat
peningkatan pemahaman konsep matematika melalui penggunaan media realia dibandingkan
sebelum penelitian dilaksanakan. Secara keseluruhan siswa telah dapat memahami konsep
pada semua indikator pemahaman konsep yang menggunakan media realia, dimana sebanyak
28 siswa sudah dapat mencapai nilai ≥ 65 atau dengan persentase ketuntasan belajar sebesar
93,33%. Adapun nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar dalam setiap siklus dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Nilai Hasil Pembelajaran Setiap Siklus
Kriteria
Siswa yang
memperoleh
nilai ≥ 65
Siswa yang
memperoleh
nilai < 65
Jumlah Rata-
rata
Ketuntasan
Belajar Klasikal
Siswa
F P F P
Siklus I Pre Test 5 16,67% 25 83,33% 1380 46,00 16,67%
Post Test 15 50% 15 50% 1820 60,67 50%
Siklus II Pre Test 15 50% 15 50% 1900 63,33 50%
Post Test 22 73,33% 8 26,67% 2120 70,67 73,33%
Siklus III Pre Test 23 76,67% 7 23,33% 2280 76,00 76,67%
Post Test 28 93,33% 2 6,67% 2700 90,00 93,33%
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
310
Agar lebih jelasnya, berikut penyajian grafik persentase ketuntasan belajar klasikal siswa
dari siklus I, siklus II, dan siklus III.
Gambar 1. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Setiap Siklus
Dari grafik yang telah disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
di setiap siklusnya. Ketuntasan belajar klasikal siswa pada siklus I sebesar 50% dengan
jumlah siswa sebanyak 15 siswa. Pada siklus II pun ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar
73,33% dengan jumlah siswa sebanyak 22 siswa. Adapun pada siklus III, ketuntasan belajar
klasikal siswa sebesar 93,33% dengan jumlah siswa sebanyak 28 siswa dan telah tuntas
sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan.
4.2. Pembahasan
Proses pembelajaran pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan dengan
menggunakan media realia dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika jika dilihat
dari hasil perolehan nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar siswa yang mengalami
peningkatan dalam setiap siklusnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Duffin dan Simpson
dalam Kesumawati (2008: 230) yang menyatakan bahwa pemahaman konsep matematika
adalah sebagai kemampuan siswa untuk: 1) mengungkapkan kembali apa yang telah
dikomunikasikan kepadanya; 2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda;
dan 3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep.
Sejalan dengan hal di atas, dalam Depdiknas (2003: 2) disebutkan bahwa pemahaman
konsep matematika merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang
diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman
konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah.
Pemahaman konsep matematika yang diperoleh siswa tidak seluruhnya mencapai nilai yang
diharapkan karena masih terdapat 2 siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti siswa kurang fokus dalam pembelajaran
serta kemampuan siswa dalam menyerap serta memahami konsep yang tidak sama satu
dengan lainnya. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalahnya tercapainya aspek
kognitif siswa pada indikator mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
311
kepadanya, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini terdapat “peningkatan pemahaman konsep
matematika dengan menggunakan media realia di kelas 1 SDN Telajung 03 Kecamatan
Cikarang Barat”. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya ketuntasan belajar siswa pada
setiap siklusnya dan tercapainya indikator yang telah peneliti tentukan pada awal penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan didukung teori dari beberapa para ahli, maka penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan teoretis.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan peneliti di kelas 1 SD
Negeri Telajung 03 Kecamatan Cikarang Barat, dapat dijabarkan kesimpulan bahwa siswa
dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari dengan cara ketika guru bertanya
mengenai hal yang telah dipelajari, siswa menjelaskan kembali materi dengan menggunakan
bahasa yang mereka pahami. Selain itu, juga dengan cara siswa menyimpulkan suatu materi
di akhir pembelajaran baik bersama-sama maupun secara individu dengan benar.
Pemahaman konsep matematika siswa khususnya siswa kelas 1 pada mata pelajaran
Matematika dengan materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan di SDN Telajung
03 tahun pelajaran 2015 – 2016 setelah menggunakan media realia mengalami peningkatan.
Daftar Pustaka
Arikunto, S, dkk. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Dahar, R.W. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. 2006. Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran Matematika.
Heruman. 2013. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jannah, Fatchul, Dkk. 2012. Meningkatkan Aktivitas Belajar Operasi Pengurangan Bilangan
Menggunakan Media Realia Siswa Kelas II SDN 01 Mentebah.
Kesumawati, N. 2008. Pemahaman Konsep Matematik dalam Pembelajaran Matematika.
Maryati, Y. 2015. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas V Dengan Media Realia di SDN
Pengasinan VII Kota Bekasi Tahun Ajaran 2014/2015. Universitas Islam “45” Bekasi: Tidak
dipublikasikan.
Purnamasari, E. F. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika melalui
Pendekatan Open-ended bagi Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Muhammadiyah 10
Surakarta.
Puspita, D. 2010. Penggunaan Media Benda Asli Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Pecahan
dalam Pembelajaran Matematika Kelas III SD Negeri Baran I Kecamatan Nguter Kabupaten
Sukoharjo.
Sarini, W. 2012. Penggunaan Media Realia Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Kelas 1 SDN
11 Segarau Kabupaten Sambas.
Sulistyowati. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep tentang Pokok Bahasan Penjumlahan dan
Pengurangan Pecahan melalui Pemanfaatan Alat Peraga dan Lembar Kerja pada Siswa Kelas
IV SD Wonosari 02 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.
Susetyo,B. 2015. Prosedur Penyusunan dan Analisis Tes. Bandung: Refika Aditama.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
312
PENGEMBANGAN PERANGKAT ASESMEN
AUTENTIK PADA PEMBELAJARAN DENGAN
PENDEKATAN SCIENTIFIC MATERI
EKSPONEN DAN LOGARITMA
Putriyani S
STKIP Muhammadiyah Enrekang, Jalan Jend. Sudirman No. 17 Enrekang,
Kab. Enrekang;[email protected]
Abstrak. Penelitian pengembangan (Research and Development) ini bertujuan untuk
mengembangkan Perangkat Asesmen Autentik pada Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific pada
materi pokok Eksponen dan Logaritma. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas X IA 2 SMA
Negeri 1 Pangsid sebanyak 42 orang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 38 orang perempuan. Prosedur
pengembangan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pengembangan
instrumen asesmen autentik menurut Djaali & Muljono (2008: 60) dengan langkah-langkah sebagai
berikut: 1) mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2) membuat kisi-kisi
instrumen, 3) menetapkan besaran atau parameter, 4) menjabarkan butir-butir instrumen ke dalam
bentuk pertanyaan dan pernyataan, 5) tahap validasi pakar, 6) revisi atau perbaikan berdasarkan saran
dari pakar, 7) penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, 8) uji coba instrumen
di lapangan, 9) menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan 10) perakitan butir-butir
instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final. Perangkat asesmen autentik pada pembelajaran
dengan pendekatan scientific yang telah dikembangkan, telah divalidasi oleh pakar dan praktisi serta
telah diujicobakan sehingga didapatkan hasil yang layak digunakan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan pendekatan scientific bersifat valid dan
reliabel. Perangkat asesmen autentik yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel secara rasional
maupun empirik meliputi instrumen penilaian sikap: Lembar Observasi Sikap Spiritual, Rubrik dan
Lembar Observasi Sikap Sosial. Instrumen penilaian pengetahuan: 1) Kisi-Kisi Tes, 2) Tes
Kompetensi, 3) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kompetensi. Instrumen penilaian keterampilan: 1)
Tes Kinerja, dan 2) Rubrik dan Lembar Penilaian Tes Kinerja.
Kata Kunci: Pengembangan Perangkat, Asesmen Autentik, Pendekatan Scientific.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ketercapaian tujuan pembelajaran khususnya pada Kurikulum 2013 tidak hanya menuntut
kompetensi peserta didik pada aspek pengetahuan saja, tetapi juga meliputi kompetensi sikap
dan keterampilan. Ketiga kompetensi tersebut yang berupaya dibentuk dalam pembelajaran
scientific melalui tahapan mengamati, menanya, menalar, mencoba, menyimpulkan dan
membuat jejaring membutuhkan penilaian untuk mengukur ketiga kompetensi tersebut.
Salah satu penekanan dalam Kurikulum 2013 adalah penilaian autentik. Penilaian autentik
adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai,
baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan de ngan
tuntutan kompetensi yang ada di Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
313
Penilaian autentik memperhatikan keseimbangan antara penilaian kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan yang disesuaikan dengan perkembangan karakteristik peserta
didik. Prinsip asesmen ini sejalan dengan tujuan pembelajaran scientific yang menekankan
kompetensi peserta didik ketika terlibat aktif dalam aktivitas mengamati (untuk
mengidentifikasi masalah yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan
hipotesis), mengumpulkan data/informasi dengan berbagai teknik, mengolah/menganalisis
data/informasi dan menarik kesimpulan dan mengomunikasikan kesimpulan hingga
mencipta.
Dengan penilaian hasil belajar yang baik akan memberikan informasi yang bermanfaat
dalam mengambil keputusan demi perbaikan kualitas proses belajar mengajar. Sebaliknya,
kalau terjadi kesalahan dalam penilaian hasil belajar, maka akan terjadi salah informasi
tentang kualitas proses belajar mengajar dan pada akhirnya tujuan pendidikan yang
sesungguhnya tidak akan tercapai. Pengambilan keputusan secara tepat harus ditunjang oleh
informasi yang tepat dan benar. Informasi yang tepat dan benar harus ditunjang oleh proses
pengumpulan informasi yang benar dan tepat pula. Proses pengumpulan informasi
membutuhkan alat yang membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan. Agar
diperoleh informasi yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, maka alat/ instrumen
yang digunakan harus syarat dan dipertanggungjawabkan dari segi validitasnya dan
reliabilitasnya. Oleh karena itu penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan baik mulai
dari penentuan instrumen, penyusunan instrumen, telaan instrumen, pelaksanaan penilaian,
analisis hasil penilaian dan program tindak lanjut hasil penilaian.
Terkait dengan masalah tersebut, maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian
mengenai pelaksanaan asesmen autentik. Teknik-teknik penilaian yang akan digunakan
disesuaikan dengan tuntutan kompetensi dasar yang mengacu pada Kurikulum 2013 dengan
memperhatikan aspek-aspek yang diukur pada setiap langkah pendekatan scientific.
Pelaksanaan penilaian pada setiap kompetensi akan dibantu dengan sejumlah perangkat
penilaian yang disesuaikan dengan teknik penilaian yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti
terdorong untuk mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan
pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan perangkat asesmen autentik pada pembelajaran dengan
pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X SMA Negeri 1 Pangsid
yang valid dan reliabel?
2. Bagaimana hasil pengembangan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel pada
pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X
SMA Negeri 1 Pangsid?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengembangkan dan menghasilkan perangkat asesmen autentik yang valid dan reliabel
pada pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma di Kelas X
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
314
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengembangan yaitu mengembangkan
perangkat asesmen autentik untuk mata pelajaran matematika khususnya pada materi
Eksponen dan Logaritma. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pangsid dengan subjek
uji coba adalah peserta didik Kelas X IA 2 semester ganjil tahun ajaran 2015/2016.
Langkah-langkah pengembangan instrumen yang digunakan menurut Djaali dan Muljono
(2008: 60) antara lain: 1) Mengembangkan dimensi dan indikator dari variabel penelitian, 2)
Membuat kisi-kisi instrumen, 3) Menetapkan besaran atau parameter, 4) Menulis butir-butir
instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan, 5) Tahap validasi pakar,
6) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, 7) Penggandaan instrumen secara
terbatas untuk keperluan uji coba, 8) Uji coba instrumen di lapangan, 9) Menentukan validitas
dan reliabilitas instrumen, dan 10) Perakitan butir-butir instrumen yang valid unjuk dijadikan
instrumen final.
Teknik pengumpulan data pada aspek pengetahuan dilakukan dengan tes adalah setelah
peserta didik menyelesaikan rangkaian tahap-tahap pembelajaran dari guru. Teknik
pengumpulan data pada aspek sikap dan aspek keterampilan dengan melakukan observasi
perilaku dan kemampuan unjuk kerja peserta didik. Observasi yang dilakukan adalah
observasi langsung terhadap subjek uji coba secara menyeluruh.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif untuk mendeskripsikan data
kuantitatif dan memberikan makna terhadap deskripsi data tentang isi. Data yang dianalisis
adalah data hasil validasi instrumen penilaian autentik (aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan). Analisis data yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat yaitu: (1) analisis
validitas dan (2) analisis reliabilitas.
Validitas
Untuk memutuskan apakah instrumen asesmen telah memiliki derajat validitas yang
memadai, maka digunakan Model Kesepakatan Antar Dua Pakar berikut.
Tabel 1. Model Kesepakatan Antar Dua Pakar (Ruslan, 2009)
Validator 2
Validator 1
Tidak Relevan
Skor (1 – 2)
Relevan
Skor (3 – 4)
Tidak Relevan
Skor (1 – 2) A B
Relevan
Skor (3 – 4) C D
Jika hasil dari koefisien validitas isi tinggi (V75%), maka dapat dinyatakan bahwa butir-
butir asesmen memiliki relevansi kuat (sahih). Namun apabila tidak demikian maka perlu
dilakukan revisi berdasarkan saran yang diberikan tim validator dengan melihat kembali
aspek-aspek yang nilainya kurang. Selanjutnya dilakukan proses validasi ulang terhadap
perangkat yang telah direvisi. Demikian seterusnya sehingga diperoleh hasil yang sahih.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
315
Selain melakukan validitas isi oleh pakar, akan dilakukan pula analisis validitas empirik
dengan menggunakan rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson.
Tujuan dari validasi ini adalah untuk keberfungsian hasil uji coba perangkat. Untuk menguji
validitas perangkat, perangkat diujicobakan pada subjek penelitian pada tahap uji coba
perangkat. Validitas dicapai apabila terdapat kesesuaian antara item-item dengan skor secara
keseluruhan sehingga skor-skor pada item tertentu (X) dikorelasikan dengan skor total (Y).
Skor diolah dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS. Adapun
rumus dari korelasi product moment yang dikutip dari Arikunto (2005: 72) yaitu:
Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y, dua variabel yang dikorelasikan.
∑XY = jumlah perkalian X dan Y
X = skor item
Y = skor total
N = cacah subjek
Untuk mengetahui kriteria dari korelasi antara butir soal dengan tes secara keseluruhan, maka
dapat digunakan pedoman penafsiran sebagaimana yang dikemukakan oleh Widoyoko (2009:
143) bahwa penafsiran harga koefisien korelasi dilakukan dengan membandingkan harga
dengan harga rxy kritik. Adapun harga kritik untuk validitas butir instrumen adalah 0,3.
Artinya apabila rxy lebih besar atau sama dengan 0,3,nomor butir tersebut dapat dikatakan
valid. Sebaliknya apabila rxy lebih kecil dari 0,3 maka nomor butir tersebut dikatakan tidak
valid.
Reliabilitas
Menurut Borich (dalam Nurdin, 2007: 47), instrumen penilaian dikatakan reliabel
jika nilai reliabilitasnya R 0,75 atau R 75%. Namun apabila tidak demikian, maka
perlu dilakukan revisi berdasarkan saran yang dilakukan oleh validator atau dengan
melihat kembali aspek-aspek yang nilainya kurang untuk kemudian dilakukan
validasi dan analisis ulang. Selain keandalan secara teoritik, juga akan dilakukan
analisis keandalan secara empirik dengan menggunakan uji keandalan koefisien
Alpha Cronbach terhadap data yang diperoleh dari proses uji coba dengan
menggunakan software SPSS. Semakin besar koefisien korelasi yang diperoleh maka
akan semakin tinggi kereliabelan instrumen tersebut. Adapun rumus Cronbach-Alpha
yang dikemukakan di dalam Arikunto (2005: 109-110).
Keterangan:
r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
316
n = banyaknya item
= variansi total
= jumlah varians skor tiap-tiap item.
Dengan rumus varians dapat dicari yaitu:
Keterangan:
X = skor pada belah awal dikurangi skor pada belah akhir.
N = jumlah peserta tes
Selanjutnya menurut Sudijono (2009: 209) di dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien
keandalan tes uraian (r11) pada umumnya digunakan klasifikasi sebagai berikut:
1) Apabila r11 ≥ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya dinyatakan telah
memiliki tingkat keandalan yang tinggi.
2) Apabila r11 ≤ 0,70 berarti tes hasil belajar yang sedang diuji keandalannya belum memiliki
tingkat keandalan yang tinggi.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil Penelitian
Hasil Analisis Validitas
Perangkat asesmen autentik yang dihasilkan selanjutnya diuji tingkat validitasnya. Validitas
perangkat asesmen autentik pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu
validitas rasional yang dilakukan oleh para ahli dengan memperhatikan validitas isi. Kedua
yaitu validitas empirik dengan menggunakan korelasi product moment pada software SPSS.
Perangkat penilaian dikatakan valid secara rasional apabila nilai validitas ≥75% dan valid
secara empirik apabila koefisien korelasi mencapai standar minimal yaitu 0,30. Adapun hasil
analisis validitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada
tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Validitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik
Perangkat Validitas Isi (%)
Lembar Observasi Sikap Spiritual 100
Rubrik Observasi Sikap Sosial 100
Lembar Observasi Sikap Sosial 100
Kisi-Kisi Tes 100
Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 83,33
Rubrik Penilaian TK 1 76,19
Rubrik Penilaian TK 2 79,16
Rubrik Penilaian TK 3 81,81
Rubrik Penilaian Tes Kinerja 78,12
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
317
Perangkat Validitas Isi (%)
Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja 100
RPP 100
Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) 100
Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik 100
Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific 100
Selanjutnya hasil analisis validitas empirik pada masing-masing perangkat yang dihasilkan
ditunjukkan pada tabel-tabel berikut.
Tabel 3. Hasil Uji Validitas Item Aspek Pengamatan Sikap Spiritual
Aspek Pengamatan Validitas Isi Kriteria
Bersikap sopan ketika berinteraksi dengan guru 0,753 Valid
Memberi salam pada saat awal dan akhir presentasi
sesuai agama yang dianut
0,623 Valid
Mengucapkan syukur ketika berhasil mengerjakan
sesuatu
0,704 Valid
Mengucapkan istighfar ketika melakukan kesalahan 0,569 Valid
Membantu teman saat mengalami kesulitan 0,612 Valid
Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah 0,799 Valid
Tabel 4. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Sikap Sosial
Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria
Keterbukaan 0,397 Valid
Kedisiplinan waktu 0,359 Valid
Ketepatan menyelesaikan tugas 0,415 Valid
Persiapan belajar 0,626 Valid
Kesiapan belajar 0,763 Valid
Pembagian tugas dalam kelompok 0,745 Valid
Keterlibatan anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas
0,759 Valid
Keaktifan bekerjasama 0,761 Valid
Menghargai kelompok lain 0,749 Valid
Tenggang rasa terhadap kelompok lain 0,640 Valid
Komunikasi antaranggota 0,756 Valid
Keberanian mengemukakan pendapat 0,065 Tidak Valid
Motivasi menyelesaikan tugas 0,519 Valid
Tabel 5. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 1
Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria
Butir 1 0,925 Valid
Butir 2 0,913 Valid
Tabel 6. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 2
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
318
Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria
Butir 1 0,845 Valid
Butir 2 0,920 Valid
Butir 3 0,878 Valid
Tabel 7. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kompetensi 3
Item perangkat Nilai Korelasi Kriteria
Butir 1a 0,880 Valid
Butir 1b 0,872 Valid
Butir 1c 0,836 Valid
Butir 2a 0,907 Valid
Butir 2b 0,911 Valid
Tabel 8. Hasil Uji Validitas Item Aspek Penilaian Tes Kinerja
Aspek Penilaian Nilai Korelasi Kriteria
Pemilihan masalah 0,555 Valid
Pemahaman terhadap masalah 0,612 Valid
Perencanaan penyelesaian 0,687 Valid
Penerapan rencana 0,676 Valid
Penyajian masalah dan penyelesaiannya 0,635 Valid
Hasil Analisis Reliabilitas
Perangkat penilaian memiliki sifat reliabel apabila hasil pengukuran dengan menggunakan
perangkat penilaian tersebut secara berulang kali menunjukkan hasil yang sama untuk subjek
yang sama. Pengujian kekonsistenan internal perangkat asesmen autentik pada penelitian ini
dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu uji reliabilitas secara rasional yang dilakukan
melalui penilaian para ahli. Kedua, uji reliabilitas secara empirik menggunakan uji keandalan
koefisien Alpha-Cronbach dengan bantuan software SPSS setelah uji coba. Perangkat
penilaian dikatakan reliabel apabila r hitung (r11) dengan r ≥ 0,70. Adapun hasil analisis
reliabilitas rasional untuk masing-masing perangkat yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 9. Hasil Reliabilitas Rasional Perangkat Asesmen Autentik
Perangkat A B C D
Lembar Observasi Sikap Spiritual 0 0 0 10
Rubrik Observasi Sikap Sosial 0 0 0 14
Lembar Observasi Sikap Sosial 0 0 0 10
Kisi-Kisi Tes 0 0 0 13
Tes Kompetensi (TK) dan Tes Kinerja 0 1 0 5
Rubrik Penilaian TK 1 0 0 5 16
Rubrik Penilaian TK 2 0 0 5 19
Rubrik Penilaian TK 3 0 0 4 18
Rubrik Penilaian Tes Kinerja 0 0 7 25
Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes Kinerja 0 0 0 12
RPP 0 0 0 16
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
319
Perangkat A B C D
LKPD 0 0 0 7
Lember Observasi Keterlaksanaan Asesmen Autentik 0 0 0 9
Lembar Observasi Keterlaksanaan Scientific 0 0 0 13
Keterangan:
A = sel yang menunjukkan kedua penilai/ pakar menyatakan tidak relevan.
B dan C = sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antar penilai/ pakar.
D = sel yang menunjukkan kedua pakar/ penilai untuk validitas isi.
Selanjutnya hasil analisis reliabilitas secara empirik pada masing-masing perangkat yang
dihasilkan ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 10. Hasil Uji Koefisien Keandalan Alpha Cronbach Setelah Uji Coba
Perangkat r hitung r tabel Kriteria
Instrumen Sikap Spiritual 0,730 0,304 Andal
Instrumen Sikap Sosial 0,830 0,304 Andal
Tes Kompetensi 1 0,814 0,304 Andal
Tes Kompetensi 2 0,854 0,304 Andal
Tes Kompetensi 3 0,924 0,304 Andal
Tes Kinerja 0,613 0,304 Andal
3.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa prototype penilaian pengetahuan dan keterampilan secara keseluruhan telah memenuhi
kriteria valid dengan revisi sesuai dengan saran yang diberikan oleh validator. Sedangkan
prototype penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena salah satu aspek penilaian sikap sosial tidak memenuhi kriteria valid secara
empirik dengan nilai korelasi kurang dari 0,30 dan sig. > 0,05. Sehingga aspek penilaian
tersebut akan dieliminasi dari butir-butir aspek penilaian sikap sosial atau masih perlu
dilakukan revisi untuk aspek tersebut. Untuk prototype penilaian sikap spiritual telah
memenuhi kriteria valid secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas, secara rasional terlihat bahwa instrumen perangkat asesmen
autentik secara keseluruhan memenuhi kriteria reliabel. Meskipun ada beberapa butir aspek
penilaian pada instrumen Rubrik Penilaian Tes memiliki konsistensi internal yang lemah/
rendah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara tim validasi dalam
memberikan skor pada instrumen yaitu instrumen berada pada kategori B dan C. Namun
secara keseluruhan instrumen perangkat asesmen autentik masih berada pada kategori relevan
untuk digunakan. Sedangkan hasil uji reliabilitas secara empirik dapat disimpulkan bahwa
instrumen perangkat asesmen autentik secara keseluruhan telah memenuhi kriteria reliabel.
Selain mengetahui sikap dalam hubungan sosial dan spiritual peserta didik, sikap dan
keterampilan khusus dalam pelajaran matematika juga dapat diketahui melalui penggunaan
perangkat asesmen autentik yang dikembangkan. Sikap dan keterampilan yang terbentuk dari
pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma peserta didik dapat diketahui dengan menelaah
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
320
hasil tes peserta didik. Rubrik penilaian untuk tes tertulis dan tes kinerja yang tidak hanya
mengukur kompetensi pengetahuan dan keterampilan tetapi juga mengukur ketiga kompetensi
dengan menelaah aspek-aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terbentuk melalui
pembelajaran materi Eksponen dan Logaritma.
Kendala-kendala yang dihadapi pada penggunaan perangkat asesmen autentik diantaranya:
1) Jumlah peserta didik yang terlalu banyak menyebabkan observer mengalami kesulitan
untuk melakukan pengamatan sikap sosial dan spiritual, 2) Membutuhkan kecermatan dalam
melakukan pengamatan terhadap kinerja peserta didik, dan 3) Terlalu banyak aspek
pengamatan menyulitkan observer melakukan pengamatan pada aktivitas peserta didik.
Kendala-kendala tersebut dipecahkan dengan solusi antara lain: 1) Melakukan konfirmasi
sikap pada guru mata pelajaran lain, membuat catatan khusus (jurnal), mengamati peserta
didik dengan skor pengamatan tertinggi dan terendah, 2) Hasil pengamatan kinerja peserta
didik dikonfirmasi melalui hasil kinerja peserta didik, dan 3) Menentukan aspek pengamatan
yang relevan dengan kompetensi yang diukur dan merupakan bagian dari kegiatan
pembelajaran pada RPP.
4. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1) Perangkat asesmen autentik pada
pembelajaran dengan pendekatan scientific materi Eksponen dan Logaritma yang valid dan
reliabel melalui proses pengembangan dengan langkah-langkah: a) Mengembangkan dimensi
dan indikator dari variabel penelitian, b) Membuat kisi-kisi instrumen, c) Menetapkan besaran
atau parameter, d) Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pertanyaan atau
pernyataan, e) Tahap validasi pakar, f) Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar, g)
Penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan uji coba, h) Uji coba instrumen di
lapangan, i) Menentukan validitas dan reliabilitas instrumen, dan j) Perakitan butir-butir
instrumen yang valid unjuk dijadikan instrumen final; 2) Perangkat asesmen autentik yang
dikembangkan pada penelitian ini yang telah memenuhi kriteria valid dan reliabel baik secara
rasional maupun empirik, meliputi: a) Lembar Observasi Sikap Spiritual, b) Rubrik dan
Lembar Observasi Sikap Sosial, c) Kisi-Kisi Tes Kompetensi dan Tes Kinerja, d) Tes
Kompetensi dan Tes Kinerja, dan e) Rubrik serta Lembar Penilaian Tes Kompetensi dan Tes
Kinerja.
5. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan beberapa saran sabagai
berikut: 1) Perangkat asesmen autentik yang dikembangkan sesuai dengan materi pelajaran,
2) Aspek penilaian disesuaikan dengan kompetensi yang diukur pada silabus dan merupakan
bagian dari kegiatan pembelajaran peserta didik, 3) Kegiatan penilaian tidak hanya
menggunakan teknik tertentu, tetapi juga menggunakan teknik penilaian lain yang sesuai
dengan Permendikbud No. 66 tentang Standar Penilaian Pendidikan, 4) Kesulitan melakukan
pengamatan pada kelas dengan jumlah peserta didik yang banyak dapat disiasati dengan
mengamati peserta didik dengan skor pengamatan tertinggi dan skor pengamatan terendah.
Selain itu dengan membuat catatan khusus (jurnal) dan melakukan konfirmasi tentang
perilaku peserta didik pada guru mata pelajaran lain, 5) Pengembangan perangkat asesmen
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
321
autentik hendaknya dikembangkan tidak hanya pada materi tertentu tetapi pada keseluruhan
materi pada mata pelajaran matematika sesuai dengan kebutuhan penilaian autentik pada
Kurikulum 2013, dan 6) Perangkat penilaian yang dihasilkan hanya diujicobakan pada satu
kelas. Hasil uji coba menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan revisi perangkat asesmen
autentik yang telah dikembangkan. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang lebih baik
disarankan untuk melakukan uji coba pada skala yang lebih luas.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta.
Djaali & Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo (Gramedia
Widiasarana).
Nurdin. 2007. Model Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif.
Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: UNESA
Ruslan. 2009. Penilaian Kinerja Dosen Berdasarkan Kepuasan Mahapeserta didik dan Pengaruhnya
terhadap Perilaku Pasca Kuliah (Studi di FMIPA Universitas Negeri Makassar). Jakarta:
Pustaka Yaspindo.
Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Widoyoko, S. Eko Putro. 2009a. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
322
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN
HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA
MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)
(PTK Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Pagelaran
Kab.Pringsewu - Lampung)
Herdian, S.Pd., M.Pd.
SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindak kelas (classrom action research),
yang bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament
(TGT) yang dilakukan selama tiga siklus. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada
siswa kelas XI SMAN 1 Pagelaran Kab. Pringsewu yang berjumlah 40 siswa. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami
kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Peningkatan aktivitas belajar yang ditampakkan
sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus III. (2)
penerapan model pembelajaran tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nilai
rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan dari siklus I sampai siklus III.
Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke siklus II dan
6,1%.dari siklus II ke siklus III.
Kata kunci: model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT),
aktivitas siswa, hasil belajar siswa.
1. PENDAHULUAN
Pada awal tahun pelajaran 2013/2014 telah diterapkan Kurikulum 2013 yang merupakan
pengembangan dan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum 2013 adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-
masing satuan pendidikan yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,
struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Penerapan Kurikulum 2013 menjadi tantangan bagi guru untuk meningkatkan kapasitasnya
sebagai tenaga pendidik. Guru dituntut mengoptimalkan seluruh peran yang harus
dilaksanakannya dalam proses pembelajaran. Guru diharapkan mampu mengelola proses
pembelajaran (manager), menentukan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan
kegiatan pembelajaran (coordinator), mengomunikasikan murid dengan berbagai sumber
belajar (comunicator), menyediakan dan memberi kemudahan-kemudahan belajar
(facilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).
Sesuai dengan karakteristik kurikulum 2013, dalam mengelola kegiatan belajar mengajar
aktivitas siswa menjadi titik tekan dalam proses pembelajaran yang diciptakan di dalam
kelas karena keaktifan siswa selama proses pembelajaran merupakan hakikat belajar yang
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
323
menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Walaupun kurikulum 2013 sudah diterapkan,
sampai sekarang pendidikan kita masih diselimuti oleh pandangan bahwa pengetahuan
sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai
sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar,
sehingga proses pembelajaran yang menuntut siswa sebagai pelaku belajar yang aktif belum
dapat berjalan dengan optimal.
Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang lebih memberdayakan siswa, berfokus
pada siswa, menyenangkan bagi siswa, meningkatkan kepekaan sosial dan mendorong siswa
mengontruksikan di benak mereka sendiri berdasarkan pengalaman belajar yang mereka
alami. Melalui proses belajar yang demikian itu diharapkan siswa dapat lebih aktif dalam
proses pembelajaran sehingga lambat laun prestasi belajar siswa dapat meningkat.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh penulis dapat dikemukakan bahwa dari sisi
siswa sebagai peserta didik, diketahui bahwa aktivitas belajar siswa belum optimal.
Keaktifan siswa masih bergantung pada guru sebagai motor penggerak aktivitas belajar
mereka. Keaktifan siswa yang ditampakkan masih terdapat hal-hal yang mengganggu dalam
proses pembelajaran, seperti mengobrol dalam kelas yang tidak ada hubungannya dengan
pembelajaran, mengganggu teman, dan melakukan aktivitas lain yang tidak perlu.
Rendahnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran salah satunya dipengaruhi oleh model
pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dalam proses pembelajaran guru masih
menggunakan model pembelajaran yang belum bervariatif dan masih berpaku pada model
pembelajaran yang sama. Metode ceramah merupakan pilihanan utama dalam metode
pembelajaran. Pada model pembelajaran ini peran guru akan menjadi sangat dominan,
sedangkan siswa ditempatkan sebagai pendengar dan penonton. Sementara itu untuk hasil
belajar siswa tergolong kurang memuaskan hal ini terlihat dari rerata nilai akhir semester
ganjil yang hanya mencapai nilai 60,30.
Upaya-upaya yang telah dilakukan guru untuk mengatasi permasalahan rendahnya aktivitas
siswa antara lain dengan cara memberikan reward kepada siswa yang aktif dalam proses
pembelajaran. Reward tersebut diberikan dalam bentuk penambahan nilai bagi siswa yang
aktif dalam proses pembelajaran. Namun pada realisasinya guru belum dapat meningkatkan
aktivitas siswa. Siswa yang aktif hanya terbatas pada siswa-siswa tertentu saja. Selain itu
guru juga melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar
siswa antara lain dengan cara memberikan tugas di sekolah maupun memberikan pekerjaan
rumah (PR) kepada siswa, akan tetapi masih banyak di antara siswa yang tidak
mengerjakannya. Mereka menunggu pekerjaan temannya selesai, setelah itu mereka
menyalin pekerjaan temannya.
Rendahnya aktivitas siswa itu diduga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Siswa
menjadi malas karena kurang termotivasi dalam proses pembelajaran sehingga
mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang
dilakukan guru sebagai tenaga pendidik untuk menciptakan suasana pembelajaran di dalam
kelas yang mampu membuat peserta didik lebih aktif sehingga dapat meningkatkan prestasi
belajar mereka.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
324
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Model pembelajaran
kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dalam kelompok
kecil yang heterogen untuk menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa harus saling membantu temannya dalam
memahami pelajaran, saling berdiskusi menyelesaikan tugas, saling bertanya antar teman
jika belum memahami pelajaran.
Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai macam tipe, salah satunya adalah pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT). Pembelajaran dengan model TGT adalah
pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan siswa, sebab dalam TGT semua siswa tidak
ada yang tidak aktif menyuarakan pendapatnya. Siswa dituntut untuk berani mengungkapkan
pendapatnya, penanggapi pendapat temannya, dan mempertahankan pendapatnya dalam
diskusi kelompok. Disamping itu, siswa akan terlatih untuk berkompetisi dalam turnamen
yang dilaksanakan setiap berakhirnya pembelajaran. Siswa akan terpacu untuk menunjukkan
kemampuannya selama proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa akan menampakkan
keaktifannya selama proses pembelajaran di kelas.
Saat siswa melakukan diskusi dalam kelompok yang heterogen sebagaimana diterapkan pada
model TGT, dapat memberi keuntungan baik pada siswa dengan kemampuan akademik pada
kelompok bawah, maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas
akademik. Dalam hal tersebut, siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok
bawah. Mereka menjadi pembimbing, memberi penjelasan dan pengarahan bagi kelompok
bawah. Sementara itu bagi kelompok bawah dapat menanyakan konsep yang belum
dipahami kepada kelompok atas, sehingga mereka mendapatkan bantuan khusus dari teman
sebaya yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dengan pola pembelajaran tersebut
diharapkan mampu memeratakan kemampuan siswa. Pemerataan kemampuan yang dimiliki
siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Dengan demikian, diduga dengan menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games
Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Dengan meningkatnya
aktivitas belajara siswa dalam belajar diduga pula dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan
menggunakan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT).
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classrom action research) yang
menggambarkan langkah-langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat
tahap, yaitu perencanaan (planing), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi
(reflecting).
Prosedur penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas yang langkah-
langkahnya diadaptasi dari rancangan penelitian tindakan kelas model Kemmis dan Mc.
Taggart (Depdiknas, 2007:7). Secara garis besar, langkah-langkah penelitian ditunjukkan
dalam gambar.1 berikut.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
325
Gambar.1. Penelitian Model Mc Taggart (2004)
2.1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pagelaran, dengan jumlah siswa 40
orang yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 27 orang siswa perempuan.
2.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara obervasi dan tes.
2.2.1. Observasi
Observasi merupakan kegiatan melihat sesuatu secara cermat untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang sesuatu itu. Observasi ini digunakan untuk mengamati aktivitas
belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Aspek dan indikator penilaian aktivitas belajar siswa yang diamati dalam penelitian ini
adalah:
a. interaksi siswa dengan guru selama proses pembelajaran dengan indikator (1)
melaksanakan instruksi/perintah guru; (2) mendengarkan penjelasan guru dengan
seksama; dan (3) menghormati dan menghargai guru,
b. interaksi antarsesama siswa selama proses pembelajaran dengan indikator (1)
menghargai pendapat teman; (2) berinteraksi dengan teman secara baik; dan (3)
tidak mengganggu teman,
c. aktivitas siswa dalam kelompok dengan indikator (1) berdiskusi memecahkan
masalah dalam kelompok; (2) bekerja sama dalam mengerjakan lembar kerja
kelompok, dan (3) saling mendukung teman dalam satu kelompok,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
326
d. partisipasi siswa dalam dalam proses pembelajaran dengan indikator (1) mengajukan
pertanyaan; (2) mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan; dan (3)
mengikuti semua tahapan-tahapan pembelajaran,
e. motivasi dan kegairahan siswa dalam belajar dengan indikator (1) antusias/
semangat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tertib dan bersegera terhadap
instruksi yang diberikan guru, (3) menampakkan keceriaan dalam belajar.
2.2.2. Tes
Tes dalam penelitian ini merupakan alat ukur untuk mengetahui hasil belajar dan tingkat
keberhasilan siswa pada setiap kompetensi dasar yang harus tertuntaskan. Tes yang
digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK) dan soal turnamen
yang berupa soal-soal yang harus dijawab secara tertulis.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Aktivitas Belajar Siswa
Pada siklus I dilakukan empat kali pertemuan, pada siklus II dilakukan tiga kali pertemuan
dan pada siklus III dilakukan tiga kali pertemuan, dengan demikian pengamatan terhadap
aktivitas siswa dalam setiap siklus dilakukan sesuai dengan banyaknya pertemuan. Oleh
karena itu, untuk menentukan aktivitas belajar siswa setiap siklus dilakukan dengan cara
mencari rerata dari setiap pertemuan pada siklus. Data aktivitas belajar yang ditampakkan
siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing aspek maupun hasil belajar secara
keseluruhan dapat dilihat dari Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Data Rincian Nilai Aktivitas Belajar Siswa setiap Siklus
NO Aktivitas Siswa Siklus I Siklus II Siklus III
1 Interaksi siswa dengan guru selama
proses pembelajaran 86,35 84,16 86,81
2 Interaksi antar sesama siswa selama
proses pembelajaran 76,95 77,92 84,63
3 Aktivitas siswa dalam kelompok 73,49 73,34 77,45
4 Partisipasi siswa dalam dalam proses
pembelajaran 79,8 80,83 84,08
5 Motivasi dan kegairahan siswa dalam
belajar 73,00 75,00 75,33
Nilai rerata aktivitas belajar siswa 77,92 78,25 81,66
Berdasarkan rerata nilai aktivitas belajar siswa dari masing-masing siklus dapat disimpulkan
dalam gambar berikut ini.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
327
Gambar 2. Grafik Data Aktivitas Belajar Siswa Setiap Siklus
Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui rerata nilai aktivitas belajar siswa dari
siklus I hingga siklus III, secara keseluruhan dapat diketahui adanya peningkatan aktivitas
belajar siswa dari setiap siklus. Nilai aktivitas belajar siswa yaitu 77,92 pada siklus I, 78,25
pada siklus II, dan 81,66 pada siklus III. Dengan demikian, dapat diketuhi peningkatan yang
terjadi dari siklus I ke siklus II sebesar 0,43% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 4,36%.
Peningkatan yang terjadi dari setiap siklus karena adanya variasi teknik pembelajaran yang
dilakukan peneliti sesuai dengan refleksi dan rekomendasi yang telah ditetapkan pada setiap
akhir siklus. Sebagai contoh pada penyajian materi, pengelolaan belajar kelompok, dan
presentasi kelas yang dilakukan peneliti pada pertemuan pertama siklus I dilakukan secara
biasa ternyata nilai aktivitas belajar siswa belum memuaskan. Kemudian pada siklus II
dilakukan variasi teknik dengan cara menyajikan contoh pada LKK. Di samping itu peneliti
melakukan pendekatan kepada siswa dalam kelompok dan merangsang siswa untuk bertanya
serta mengubah teknik presentasi dari lintas kelompok menjadi satu persatu ke depan kelas.
Pada siklus II terjadi peningkatan nilai aktivitas belajar siswa. Walaupun demikian
peningkatan yang terjadi masih belum signifikan. Hal ini dikarenakan masih terdapat
beberapa siswa yang belum siap melakukan presentasi kelas. Saat presentasi mereka kurang
memperhatikan sikap yang baik dan masih terdapat beberapa siswa yang tampak grogi.
Sedangkan pada siklus III peningkatan aktivitas belajar siswa cukup signifikan. Peningkatan
ini diduga karena variasi pembelajaran yang diciptakan peneliti pada siklus III berjalan
dengan baik. Variasi yang dilakukan berupa penyampaian materi yang diselingi dengan
pertanyaan-pertanyaan singkat dan siswa diminta menjawab secara cepat dan guru senantiasa
memotivasi siswa agar menciptakan iklim kompetisi dalam belajar. Di samping itu guru
memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi siswa yang teraktif dan nilai hasil
belajar yang tertinggi.
3.2. Hasil Belajar Siswa
Dalam pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan model Teams Games Tournament
(TGT) setiap akhir pertemuannya senantiasa diadakan evaluasi pembelajaran. Evaluasi
pembelajaran yang diberikan berupa Lembar Kerja Kelompok (LKK), penilaian presentasi
hasil belajar, dan turnamen. Penilaian tersebut merupakan sarana untuk mengetahui sejauh
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
328
mana hasil belajar yang ditampakkan oleh siswa. Di samping itu, hasil belajar yang
ditampakkan siswa sebagai evaluasi terhadapa kinerja guru dalam mengelola pembelajaran.
Berdasarkan hasil belajar yang ditampakkan siswa untuk setiap siklus, baik masing-masing
aspek maupun hasil belajar secara keseluruhan dapat dilihat dari Tabel berikut.
Tabel 2. Data Rincian Nilai Hasil Belajar Siswa setiap Siklus
Aspek Penilaian Siklus I Siklus II Siklus III
Lembar Kerja Kelompok (LKK) 66,00 72,50 74,00
Presentasi Kelas 68,20 67,80 72,40
Turnamen 72,00 68,13 74,75
Nilai Hasil Belajar 68,73 69,48 73,72
Secara keseluruhan nilai hasil belajar siswa dapat dilihat dari gambar berikut
Gambar 3. Grafik Data Hasil Belajar Siswa Setiap Siklus
Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai hasil belajar siswa senantiasa
mengalami peningkatan setiap siklusnya, yaitu 68,73 pada siklus I, naik menjadi 69,48 pada
siklus II, dan kembali naik pada siklus III menjadi 73,72. Kenaikan yang terjadi dari siklus I
ke siklus II sebesar 1,09% dan dari siklus II ke siklus III sebesar 6,1%. Nilai hasil belajar
pada siklus III yang merupakan siklus terakhir telah mencapai standar ketuntasan belajar
minimal yaitu 65,00.
Berdasarkan hasil belajar untuk aspek Lembar Kerja Kelompok (LKK) menunjukkan adanya
peningkatan nilai yang diperoleh setiap siklusnya, yaitu 66,00 pada siklus I, 72,50 pada
siklus II, dan 74,00 pada siklus III. Peningkatan terjadi dari siklus I ke siklus II, yaitu sebesar
9,85%, dan dari siklus II ke siklus III yaitu sebesar 2,07%. Secara keseluruhan tampak
peningkatan nilai LKK pada setiap kelompok, namun ada beberapa kelompok yang
mengalami kenaikan dan penurunan nilai LKK.
Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap lembar jawaban siswa, penurunan yang
terjadi pada nilai LKK dikarenakan dalam menjawab pertanyaan siswa terpaku pada
ringkasan materi yang disajikan dalam LKK. Di samping itu, siswa kurang cermat dalam
memperhatikan penjelasan guru sehingga berpengaruh pada jawaban yang diberikan dan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
329
terdapat beberapa kelompok yang terlena terhadap kesuksesan kelompok pada siklus
sebelumnya.
Hasil belajar siswa yang ditampakkan dari aspek presentasi kelas pada siklus I, siklus II, dan
siklus III berturut-turut 68,20, 67,80 dan 72,40. Nilai presentasi siswa dari siklus I ke siklus
II mengalami penurunan sebesar 0,6%. Hal ini disebabkan karena perubahan metode
presentasi yang dilakukan oleh peneliti untuk mengendalikan aktivitas belajar siswa. Saat
presentasi hasil diskusi terdapat beberapa kelompok yang kurang siap, grogi saat presentasi,
tidak memperhatikan sikap saat presentasi, dan kurang memberikan alasan yang logis saat
menyatakan persetujuan atau penolakan. Penurunan tersebut dirasa wajar karena pengaruh
faktor kesiapan siswa saat presentasi di depan kelas.
Sementara itu, untuk nilai presentasi dari siklus II ke siklus III mengalami peningkatan
sebesar 6,78%. Berdasarkan penurunan nilai presentasi siswa pada siklus II, guru
memberikan pengarahan cara dan teknik presentasi di kelas dan mengarahkan siswa dalam
memberikan alasan yang logis saat menyatakan persetujuan ataupun penolakan. Upaya yang
dilakukan guru tersebut ternyata memberikan pengaruh positif pada nilai presentasi siswa.
Dengan demikian terjadi peningkatan nilai dari siklus II ke siklus III.
Hasil belajar siswa pada aspek turnamen merupakan aspek penilaian hasil belajar yang
mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali. Hasil turnamen pada siklus I, siklus II
dan siklus III berturut-turut 72,00, 68,13, dan 74,75. Penurunan hasil belajar pada aspek
turnamen terjadi pada siklus I ke siklus II sebesar 5,68%. Hal ini dikarenakan sub pokok
bahasan pada siklus II ini relatif lebih sulit, dan terlihat saat dilaksanakan turnamen siswa
belum sepenuhnya siap untuk melak-sanakan turnamen. Dilihat dari lembar jawaban hasil
turnamen, terlihat banyak siswa yang masih salah dalam menggunakan konsep. Soal pun
menjadi salah satu aspek yang menyebabkan turunnya hasil belajar siswa pada aspek
turnamen, soal yang dibuat guru dipandang siswa relatif lebih sulit dibanding soal turnamen
siklus I.
Sementara itu untuk nilai turnamen dari siklus II ke siklus III mengalami pening-katan
sebesar 9,72%. Walaupun peningkatan nilai yang ditampakkan oleh masing-masing siswa
sedikit, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai hasil
belajar siswa dari siklus ke siklus. Peningkatan ini terjadi karena siswa sudah memahami
situasi turnamen dan bentuk soal yang akan diturnamenkan. Mereka berupaya meningkatkan
kemampuannya dalam menjawab soal dengan cepat dan tepat. Di samping itu juga guru
memotivasi siswa dengan memberikan penghargaan bagi masing-masing siswa dan
kelompok yang memperoleh nilai turnamen tertinggi setiap siklusnya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa.
1. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa. Nilai rerata aktivitas belajar siswa mengalami
kenaikan dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata aktivitas belajar siswa
sebesar 77,92 tergolong aktif, pada siklus II nilai rerata aktivitas belajar siswa mencapai
78,25 tergolong aktif, dan pada siklus III nilai rerata aktivitas belajar siswa meningkat
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
330
sebesar 81,66 dengan kategori aktif. Dengan demikian peningkatan aktivitas belajar yang
ditampakkan sebesar 0,43% dari siklus I ke siklus II dan 4,36% dari siklus II ke siklus
III,
2. penerapan model pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat
meningkatkan hasil belajar siswa . Nilai rerata hasil belajar siswa mengalami kenaikan
dari siklus I sampai siklus III. Pada siklus I nilai rerata hasil belajar siswa sebesar 68,73
tergolong baik. Pada siklus II nilai rerata hasil belajar siswa mencapai 69,48 tergolong
baik. Dan pada siklus III nilai rerata hasil belajar siswa meningkat sebesar 73,72 dengan
kategori baik. Peningkatan hasil belajar yang ditampakkan sebesar 1,09% dari siklus I ke
siklus II dan 6,1%.dari siklus II ke siklus III.
5. Saran
Berdasarkan hasil penelitan dan simpulan, bahwa penggunaan model pembelajaran tipe
Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas belajar yang berdampak
pada meningkatnya hasil belajar siswa, maka penulis menyarankan.
1. hendaknya guru mata pelajaran Matematika dapat menerapkan model pembelajaran tipe
Teams Games Tournament (TGT) sebagai alternatif model pembelajaran di kelas,
2. kepada guru yang tertarik menerapkan model pembelajaran tipe Teams Games
Tournament (TGT) hendaknya memperhatikan efektifitas waktu yang digunakan,
perencanaan dan penyediaan media pembelajaran yang memadai, dan pengelolaan kelas
secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta. Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.
Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Diknas.
_________. 2007. Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jakarta
Dimyati, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta. Bumi
Aksara. Jakarta
Ibrahim, R dan Nana S. Syaodih. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. PT Grasindo. Jakarta
Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Slavin, E. Robert. 1995. Cooperative Learning Theory Research and Practice Secobd Edition.
Boston. Allyn and bacon.
Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta. Jakarta
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
331
IDENTIFIKASI KEMAMPUAN KONEKSI
MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI
TEORI TINGKAT PERKEMBANGAN
BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE
Rachmaniah M. Hariastuti1)
, Sri Wahyuni2)
1)Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol 22 Banyuwangi; [email protected]
2)Universitas PGRI Banyuwangi, jl. Ikan Tongkol Banyuwangi; [email protected]
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa pada materi sifat-sifat segiempat
ditinjau dari teori tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele. Penelitian
dilakukan di MTs. AT-TAUFIQ, Banyuwangi dengan mengambil subyek 8 siswa kelas
VII. Subyek ditentukan dengan metode purposive dan snowball sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi.
Sedangkan analisa data dilakukan langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Hasil analisa data menunjukkan bahwa subyek pada tingkat 0
dan tanpa tingkatan kurang memiliki kemampuan koneksi matematis, subyek tingkat 0
lebih cenderung memahami koneksi antara topik segiempat dengan topik lain dalam
matematika, subyek tanpa tingkat cenderung memahami koneksi antara topik segiempat
dengan kehidupan sehari-hari, dan subyek pada tingkat 1 sudah memiliki kemampuan
koneksi matematika yang baik dengan kecenderungan lebih memahami koneksi antara
topik segiempat dengan topik matematika lain.
Kata Kunci. Koneksi matematika, Tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele,
Sifat-sifat segiempat
Abstract. This research represent qualitative research as a mean to know the ability of
mathematical connection which evaluated from van Hiele’s theory. Research done in
MTs AT-TAUFIQ, Banyuwangi by taking 8 subject from student grade 7. Subject
determined with purposive and snowball sampling method. Data collecting done with
test, interview and documentations method. While data analysis done with steps: reduce
data, presentation of data, and make conclusion. Result of data analysis indicate that
subject at level 0 and non level is have less ability of mathematical connection, subject
at level 0 more tend to comprehend connection this topic with other in mathematics,
subject non level tend to comprehend connection this topic with daily problems, and
level 1 have owned good ability of mathematical connection with tendency more tend to
comprehend connection this topic with other in mathematics.
Keyword: Mathematical connection, van Hiele’s theory of geometry level thinking,
nature of parallelogram
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika secara umum masih dianggap sebagai pembelajaran yang kurang
menyenangkan karena lebih sering menyajikan rumus-rumus yang membingungkan. Dengan
kondisi tersebut, hasil pembelajaran matematika masih belum maksimal. Menurut Sumarmo
(dalam Herlambang, 2013:6), agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil
belajar matematika, guru perlu mendorong siswa terlibat aktif dalam diskusi, bertanya serta
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
332
menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan dan
memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.
Dalam tujuan pembelajaran matematika sekolah dapat diketahui bahwa pemahaman konsep
matematika, melakukan manipulasi matematika, dan mengkomunikasikan gagasan dengan
simbol matematika sangat diutamakan. Melalui kemampuan tersebut dapat ditingkatkan daya
berpikir sehingga siswa lebih mudah mengingat materi. Untuk itu guru hendaknya perlu
memperhatikan sejauh mana siswa dapat memahami materi yang telah disampaikan. Hal ini
dilakukan agar siswa tidak lagi mengalami kesulitan dalam memahami materi berikutnya.
Keterhubungan materi satu dengan yang lain serta keterhubungan suatu materi dengan
kehidupan sehari-hari dikenal dengan koneksi matematis. Menurut Ruspiani (dalam Permana
& Sumarmo, 2007:117), kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan
konsep-konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun
mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya. Sedangkan menurut
Kusuma (dalam Fauzi, 2011: 42), koneksi matematis merupakan bagian dari kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi, dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep
matematika secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun
keterkaitan secara eksternal yaitu matematika dengan bidang lain, baik bidang studi lain
maupun dengan kehidupan sehari-hari.
Baik atau kurangnya kemampuan seseorang dalam mengkoneksikan masalah-masalah dalam
matematika menjadi salah satu indikator penting dalam pembelajaran matematika. NCTM
(dalam Linto, Elniati, & Rizal, 2012:83-84) menyatakan bahwa tujuan koneksi matematika
diberikan pada siswa di sekolah menengah adalah agar siswa dapat: (1) mengenali
representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama; (2) mengenali hubungan prosedur
satu representasi ke prosedur representasi yang ekuivalen; (3) menggunakan dan menilai
koneksi beberapa topik matematika; (4) menggunakan dan menilai koneksi antara
matematika dan disiplin ilmu lain.
Penelitian Permana & Sumarmo (2007:120) menyimpulkan bahwa kemampuan koneksi
matematik siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada
siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran
berbasis masalah akan membuat kemampuan koneksi matematika lebih terasah. Kesulitan
siswa untuk memahami koneksi matematis akan berimbas pada proses penyelesaian
soal/masalah yang diberikan. Penyelesaian soal yang berhubungan dengan koneksi
matematis terdapat pada setiap materi dalam matematika, salah satunya adalah geometri.
Geometri merupakan salah satu materi matematika dimana banyak siswa masih mengalami
kesulitan untuk memahami materi tersebut. Hasil penelitian Sarjiman (2006:75)
menunjukkan bahwa geometri termasuk materi yang sulit untuk dikuasai setelah pecahan dan
soal matematika bentuk cerita. Untuk itu dalam penyampaian suatu materi pembelajaran,
guru harus memperhatikan tingkat perkembangan pemahaman siswa.
Salah satu tingkat perkembangan pemahaman yang secara khusus diteliti adalah tingkat
perkembangan geometri. Menurut Burger & Shaughnessy (dalam Safrina, Ikhsan, Ahmad,
2014: 10), penelitian yang dilakukan oleh van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan
mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Tahapan
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
333
tersebut dibagi menjadi 5 tingkatan yang disebut tingkat berpikir geometri van Hiele.
Tingkatan tersebut meliputi: visualisasi/pengenalan (tingkat 0), analisis (tingkat 1),
order/deduktif informal (tingkat 2), deduktif (tingkat 3), dan rigor/akurasi (tingkat 4).
Pada tingkat visualisasi (0), siswa baru mengenal bangun-bangun geometri dan memandang
suatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan. Pada tingkat analisis (1), siswa sudah
mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tingkat order (2), siswa sudah
memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Pada tingkat deduksi (3), siswa sudah
dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal khusus secara deduktif. Siswa pada tahap ini telah
mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur
yang didefinisikan, aksioma, dan teorema. Pada tingkat rigor (4), siswa sudah mulai
memahami pentingnya ketepatan dari prinsip dasar dalam suatu pembuktian. Tingkat
berpikir ini sudah terkategori kepada tingkat berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks.
Tingkatan perkembangan berpikir geometri menurut van Hiele memfokuskan pembahasan
pada materi geometri. Tingkatan ini mengkaji tingkatan-tingkatan pemahaman dalam belajar
geometri, menjelaskan deskripsi umum pada setiap tingkatan yang dijabarkan dalam
deskripsi yang lebih operasional, serta memiliki keakuratan untuk mendeskripsikan tingkatan
berpikir siswa dalam geometri. Hasil penelitian Sunardi (2009) menunjukkan bahwa tingkat
berpikir siswa SLTP di Jember secara umum hanya memenuhi tingkat visualisasi, analisis
dan deduksi informal. Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa tidak semua tingkatan akan
muncul dalam setiap penelusuran tingkat kemampuan berpikir geometri.
Geometri merupakan materi yang kompleks, karena didalamnya memuat konsep-konsep lain
seperti aljabar, aritmetika, kalkulus, dan sebagainya. Selain itu terdapat juga keterkaitan
antar materi dalam geometri sendiri seperti geometri dimensi dua dan dimensi tiga, geometri
analitik dengan geometri transformasi, dan sebagainya. Geometri juga merupakan materi
yang banyak diterapkan dalam kehidupan nyata seperti bentuk-bentuk bangunan, bentuk-
bentuk benda, pergeseran benda-benda langit, dan sebagainya. Karena kompleksnya materi
geometri tentulah terdapat koneksi matematis didalamnya.
Rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat perkembangan berpikir
geometri van Hiele siswa di kelas VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun
pelajaran 2015/2016?, (2) Bagaimana kemampuan koneksi matematis tentang sifat-sifat
segiempat berdasarkan tingkat perkembangan berpikir geometri van Hiele dari siswa di kelas
VII MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi semester genap tahun pelajaran 2015/2016?.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana peneliti bertindak selaku
instrumen utama. Penelitian dilakukan di MTs AT-TAUFIQ Banyuwangi dengan responden
30 siswa kelas VII. Penentuan subyek dilakukan dengan tes penentuan tingkat
perkembangan geometri van Hiele.
Dari tes tingkat perkembangan geometri van Hiele yang diberikan kepada 30 responden
diperoleh hasil 13 responden tidak memenuhi semua tingkat perkembangan geometri, 15
responden memenuhi tingkat 0 dan 2 responden memenuhi tingkat 1. Dari masing-masing
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
334
tingkatan dan yang tidak memenuhi tingkatan ditentukan masing-masing 3 responden
(kecuali tingkat 2) yang komunikatif dengan teknik snowball sampling sebagai subyek
penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode tes, wawancara, dan dokumentasi. Setelah
diberikan pembelajaran tentang sifat-sifat segiempat, subyek diberikan tes kemampuan
koneksi matematika. Wawancara dilakukan pada hari yang berbeda dengan sistem terstruktur
untuk menggali dan mencari kecocokan data (triangulasi).
Hasil dari tes dan wawancara dianalisa berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Proses
analisa data dilakukan dengan langkah-langkah: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3)
penarikan kesimpulan. Ketentuan koneksi matematis yang digunakan adalah: memahami
koneksi antar topik dalam materi segiempat (K1), menerapkan materi segiempat dalam
kehidupan sehari-hari (K2), dan menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan topik
matematika yang lain (K3).
3. Hasil Penelitian
Hasil dalam penelitian ini merupakan hasil tes yang telah ditriangulasikan dengan hasil
wawancara. Subyek penelitian terdiri dari 8 orang dengan 3 subyek tingkat 0 (visual,
disimbolkan “V”), 2 subyek tingkat 1 (analisis, disimbolkan “A”), dan 3 subyek tanpa
tingkatan (non level, disimbolkan “N”). Tes diberikan sebanyak 3 soal uraian dengan
penyelesaian soal nomor 1 memuat koneksi 1,2, dan 3; penyelesaian soal nomor 2 memuat
koneksi 2 dan 3; dan penyelesaian soal nomor 3 memuat koneksi 1 dan 3. Hasil penelitian
dianalisis sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan ketentuan koneksi matematis yang telah disebut pada metodologi penelitian,
dapat ditentukan kriteria bahwa: (1) Subyek dikatakan tidak (T) mempunyai koneksi
matematika pada tiap soal jika tidak dapat menentukan apa yang diminta, baik dalam tes
maupun wawancara; (2) Subyek dikatakan kurang (K) mempunyai koneksi matematika pada
tiap soal jika dapat menentukan apa yang diminta namun masih kurang tepat; dan (3) Subyek
dikatakan mempuyai koneksi matematika yang baik (B) pada tiap soal jika dapat
menentukan apa yang diminta dengan tepat.
Setelah pengumpulan data dan dilakukan analisis terhadap data yang ditemukan diperoleh
rincian hasil dan analisis data sebagai berikut:
Hasil yang diperoleh dari subyek V1
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat
menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara menunjukkan subyek dapat
memberikan alasan dari bangun geometri yang dibuat tetapi pada saat perhitungan aljabar
subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya kurang
tepat sehingga kesimpulan yang dibuat dianggap kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1
subyek tidak memiliki kemampuan pada koneksi 1, serta kurang memiliki kemampuan
pada koneksi 2 dan koneksi 3.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
335
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikannya dengan baik. Proses wawancara juga menunjukkan hal yang sama.
Subyek hanya menuliskan panjang sisi dan diagonal yang diketahui dari soal tetapi pada
tahap berikutnya subyek tidak dapat menuliskan rumus yang digunakan. Jadi pada soal
nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikannya dengan baik. Pada proses wawancara subyek juga menunjukkan hasil
yang sama. Subyek hanya dapat menentukan bangun geometri yang diketahui dan sudut
yang dicari dari soal yang diberikan. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki
kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek V1 kurang memiliki koneksi matematis.
Hasil yang diperoleh dari subyek V2
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
tetapi kurang tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan bentuk
dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar tetapi pada saat perhitungan
aljabar subyek kesulitan dalam menentukan rumus phytagoras dan hasil perhitungannya
tidak tepat. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes subyek mengatakan
bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal nomor 1 subyek
kurang memiliki kemampuan koneksi 2, serta tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat
menggambarkan bentuk soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar setelah
diminta oleh peneliti. Tetapi pada saat perhitungan aljabar, subyek kesulitan dalam
menentukan rumus phytagoras. Setelah ditanya peneliti tentang jawaban pada saat tes,
subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Jadi pada soal
nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak menuliskan
jawaban. Sedangkan dari hasil wawancara subyek mengalami kesulitan dalam menentukan
besar sudut yang diketahui pada soal sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi
pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek V2 kurang memiliki koneksi matematis.
Hasil yang diperoleh dari subyek V3
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan tes dengan baik. Pada saat proses wawancara subyek dapat memberikan
alasan mengenai gambar yang dibuat dan memahami bentuk geometri yang diinginkan
tetapi subyek tidak dapat melakukan proses perhitungan aljabar dengan baik. Jadi pada
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
336
soal nomor 1 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1, serta kurang memiliki
kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak
dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki
kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikannya melalui tes. Pada saat proses wawancara subyek mengatakan tidak
dapat menyelesaikan karena sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki
kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek V3 kurang memiliki koneksi matematis.
Hasil yang diperoleh dari subyek A1
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan
menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan
rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal
nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, 2, dan 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
dengan benar. Pada proses wawancara subyek memberikan jawaban yang sesuai dengan
hasil tes. Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian pada soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat
menyelesaikan dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut
yang diketahui dan sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki.
Selain itu subyek juga dapat menggambarkan bentuk geometri yang akan dicari sudutnya
dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki
kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek A1 memiliki koneksi matematis yang baik.
Hasil yang diperoleh dari subyek A2
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan bentuk dari soal dan
menuliskan pada gambar apa yang diketahui. Selain itu subyek juga dapat menggunakan
rumus phytagoras dengan benar dan dapat membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal
nomor 1 subyek memiliki kemampuan koneksi 1, koneksi 2, dan koneksi 3.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
337
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
dengan benar. Pada proses wawancara diperoleh hasil yang sama beserta alasan-alasannya.
Jadi pada soal nomor 2 subyek memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek dapat menyelesaikan
dengan benar. Pada proses wawancara subyek dapat menentukan sudut yang diketahui dan
sudut yang besarnya sama karena merupakan trapesium sama kaki, subyek juga dapat
menggambarkan perpotongan dari bentuk geometri yang akan dicari sudutnya dan
membuat kesimpulan yang tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek memiliki kemampuan
koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek A2 memiliki koneksi matematis yang baik.
Hasil yang diperoleh dari subyek N1
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan dari hasil wawancara subyek dapat menggambar
bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar yang dibuat setelah
diminta oleh peneliti. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang
salah dalam proses perhitungan. Setelah ditanya alasan dari jawaban yang ditulis pada saat
tes subyek tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak
memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat
menggambarkan bentuk yang diminta pada soal dan menuliskan apa yang diketahui pada
gambar yang dibuat. Tetapi pada tahap selanjutnya subyek menggunakan rumus yang
salah dalam proses perhitungan dan tidak memberikan alasan yang tepat pada jawaban
yang ditulis sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Jadi pada soal nomor 2 subyek
kurang memiliki kemampuan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan baik. Pada proses wawancara subyek dapat menggambarkan
perpotongan dari bangun geometri yang akan dicari sudutnya, tetapi dalam proses
perhitungan subyek menggunakan rumus yang salah sehingga kesimpulan yang dibuat
tidak tepat. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan
koneksi 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek N1 kurang memiliki koneksi matematis.
Hasil yang diperoleh dari subyek N2
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek hanya dapat
menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
338
Sedangkan pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah. Setelah
ditanya tentang jawaban pada saat tes, subyek mengatakan bahwa jawaban tersebut
dikerjakan secara bekerja sama dengan teman. Jadi pada soal nomor 1 subyek tidak
memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek dapat
menggambarkan bentuk dari soal dan menuliskan pada gambar apa yang diketahui tetapi
tidak tepat. Begitu juga pada proses perhitungan, subyek menggunakan rumus yang salah.
Jadi pada soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek tidak
menuliskan adanya sudut yang sama besar. Pada saat proses perhitungan untuk
menentukan besar sudut yang diminta subyek menggunakan rumus yang salah. Jadi pada
soal nomor 3 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan koneksi 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek N2 kurang memiliki koneksi matematis.
Hasil yang diperoleh dari subyek N3
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 1 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Pada proses wawancara subyek hanya dapat menggambarkan
bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada gambar sedangkan pada proses
perhitungan rumus yang digunakan subyek kurang tepat. Jadi pada soal nomor 1 subyek
tidak memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3, serta kurang memiliki kemampuan koneksi 2.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 2 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan tepat. Sedangkan hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek
dapat menggambarkan kembali bentuk dari soal dan menuliskan apa yang diketahui pada
gambar setelah diminta oleh peneliti, tetapi yang ditulis subyek tidak tepat. Pada tahap
selanjutnya subyek mengatakan tidak dapat menyelesaikan dikarenakan sulit. Jadi pada
soal nomor 2 subyek tidak memiliki kemampuan koneksi 2 dan koneksi 3.
- Dari hasil penyelesaian soal nomor 3 diperoleh data bahwa subyek tidak dapat
menyelesaikan dengan baik. Begitu juga pada proses wawancara subyek tidak menuliskan
apapun pada lembar jawaban dan mengatakan sulit. Jadi pada soal nomor 3 subyek tidak
memiliki kemampuan koneksi 1 dan 3.
Karena subyek tidak dapat memenuhi kriteria kemampuan pada tiga soal, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa subyek N3 kurang memiliki koneksi matematis.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
339
Hasil pembahasan di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1. Data Hasil Penelitian
NO
SUBYEK
HASIL TRIANGULASI DATA KET
SOAL 1 SOAL 2 SOAL 3
K1 K2 K3 K1 K2 K3 K1 K2 K3
1. V1 T K K - K K K - K K
2. V2 T K T - T T T - T K
3. V3 T K K - T T T - T K
4. A1 B B B - B B B - B B
5. A2 B B B - B B B - B B
6. N1 T K T - T K T - T K
7. N2 T K T - T T T - T K
8. N3 T K T - T T T - T K
Dari hasil penelitian yang telah dianalisis, dapat diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:
1. Adanya subyek yang tidak termasuk dalam level geometri van Hiele dari tingkat 0
sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun subyek telah menerima pembelajaran
geometri sejak Sekolah Dasar, belum tentu materi yang diberikan itu diterima dengan
baik dan dipahami.
2. Adanya subyek yang belum dapat melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan
dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan dasar dari subyek dalam
melakukan operasi hitung harus diperkuat sebelum mempelajari hal-hal lain yang lebih
tinggi yang membutuhkan kemampuan operasi hitung.
3. Adanya subyek yang tidak dapat membedakan antara panjang dengan panjang diagonal
pada persegi panjang. Hal ini menunjukkan bahwa materi sifat-sifat segiempat perlu
diberikan tidak hanya sebagi konsep abstrak, tapi juga ditunjukkan konsep nyata nya.
4. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara umum subyek pada tingkat
0 (visual) kurang memiliki kemampuan koneksi matematis. Diantara kemampuan koneksi
yang dimiliki, subyek cenderung hanya memiliki kemampuan koneksi 3, yaitu menerapkan
hubungan antara topik segiempat dengan topik matematika yang lain, seperti topik aljabar
dan aritmetika. Namun subyek juga masih mengalami kesulitan dalam melakukan operasi
hitung sehingga hasil yang diperoleh juga belum tepat.
Adapun subyek tingkat 1 (analisis) secara umum sudah memiliki kemampuan koneksi
matematis yang baik. Kemampuan koneksi 3 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan
kemampuan koneksi yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses
menerapkan hubungan antara topik segiempat dengan rumus phytagoras dan hubungan
antara topik segiempat dengan sudut. Sedangkan kelemahan dari subyek level 1 terletak pada
koneksi 1 yaitu subyek tidak dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut
pada trapesium sama kaki.
Subyek tanpa tingkatan secara umum tidak memiliki kemampuan koneksi matematis.
Kemampuan koneksi 2 terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan kemampuan koneksi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
340
yang lain. Kemampuan koneksi tersebut lebih kepada proses menerapkan sifat sisi persegi
panjang dalam kehidupan sehari-hari dan sifat diagonal belah ketupat dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan kelemahan dari subyek non level terletak pada koneksi 1 yaitu tidak
dapat memahami sifat sisi pada persegi panjang serta sifat sudut pada trapesium sama kaki.
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat diberikan saran untuk penelitian-penelitian
lanjutan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui koneksi matematis subyek pada suatu materi tertentu, hendaknya
diperhatikan kemampuan matematis dasar dari subyek, yaitu kemampuan aritmetika dan
aljabar dasarnya. Dengan kemampuan matematis dasar yang kurang, secara otomatis
subyek akan mengalami kesulitan dalam melakukan koneksi matematis dengan materi
yang lain.
2. Penelitian tentang koneksi matematis dapat dilakukan pada topik matematika yang lain
sehingga dapat menjadi masukan bagi guru untuk dapat memperbaiki proses
pembelajaran berikutnya.
Daftar Pustaka
Eka Lestari, Karunia dan Yudhanegara, M. Ridwan. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Fauzi, Muhammad Amin. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian
Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama.
Disertasi. Bandung. UPI.
Frastica, Zulaicha Ranum. 2013. Peningkatan kemampuan Koneksi matematis Melalui Pendekatan
Open-Ended pada Siswa SMP Ditinjau dari Perbedaan Gender. Skripsi. Yogyakarta:UIN Sunan
Kalijaga.
Herlambang. 2013. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII A SMP
NEGERI 1 Kepahiang Tentang Bangun Datar Ditinjau Dari Teori Van Hiele. Tesis. Tidak
dipublikasikan. Bengkulu. Universitas Bengkulu.
Ibrahim dan Suparmi. 2008. Strategi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Sukses Offset
Kusniati. 2011. Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Segi Empat Menurut
Tingkat Berpikir van Hiele. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Linto, R.L. Elniati, Sri. Rizal, Yusmet. 2012. Kemampuan Koneksi Matematis dan Metode
Pembelajaran Quantum Teaching dengan Peta Pikiran. Jurnal Pendidikan matematika Vol. 1
No. 1.
Mirza, Rachmaniah. 2011. Kemampuan Siswa Kelas VIII SMPN 1 Giri Banyuwangi dalam
Menyelesaikan Soal Cerita Geometri Ditinjau dari Perbedaan Tingkat Pemahaman Geometri
van Hiele. Tesis. Surabaya: UNESA.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Prestasi Pustaka
Karya.
Oktorizal, Elniati Sri, dan Suherman. 2012. Peningkatan Level Berpikir Siswa Pada Pembelajaran
Geometri dengan Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1. No. 1,
2012.
Permana, Yanto. & Sumarmo, Utari. 2007. Mengembangkan Kemampuan penalaran dan Koneksi
Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal EDUCATIONIST Vol.
I. No. 2, Juli 2007.
Safrina, Khusnul . Ikhsan, M. dan Ahmad, Anizar. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Didaktik
Matematika. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Sunardi. 2009. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jember: FKIP UNEJ.
Susanah & Hartono. 2009. Geometri. Surabaya: UNESA University Press
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
341
UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN
INTRAPERSONAL SISWA KELAS XI IPS.1
SMAN 1 GEDONGTATAAN LAMPUNG
MELALUI PEMBELAJARAN METACOGNITIVE-
INNER SPEECH (MIS)
Dina Ladysa
SMAN 1 Gedongtataan, Pesawaran, Lampung;
Abstrak. Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar
siswa adalah kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan ini merupakan kemampuan
memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri.
Berdasarkan observasi penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini
terlihat dari kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan
mengetahui apa yang tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat
proses pembelajaran. Pembelajaran Metacognitive-Inner Speech (MIS) diasumsikan
mampu menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal
sehingga mampu memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas.
Desain Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa di kelas XI IPS.1 2016/2017 SMAN 1
Gedongtataan melalui pembelajaran MIS dengan teknik pengumpulan data berupa
angket, observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
MIS terbukti dapat meningkatkan kecerdasan intrapersonal siswa khususnya materi
program linier pada siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan. Hal ini dapat
diketahui dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa,
siswa lebih mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui
dalam memahami materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam
memahami materi melalui diskusi.
Kata Kunci: MIS, kecerdasan intrapersonal
1. Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu yang sangat penting bagi perkembangan mental peserta didik.
Hal tersebut dikarenakan ilmu matematika yang mengajarkan pola berpikir logis, sistematis,
kritis, dan kreatif. Apabila pola tersebut dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, maka
akan menghasilkan peserta didik yang kompeten dalam pola pikir yang berdampak
signifikan terhadap kualitas generasi di masa yang akan datang.
Dewasa ini, aspek afektif menjadi hot issue sebagai variabel yang berpengaruh secara positif
dalam peningkatan hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran di kelas. Ranah afektif
menjadi aspek yang esensial tidak hanya dalam peningkatan kompetensi akademik tetapi
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
342
juga peningkatan kualitas emosional peserta didik. Seperti yang telah banyak diteliti oleh
para ahli bahwa kesuksesan sebahagian besar seseorang dipengaruhi oleh kepribadian yang
baik.
Aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan belajar siswa adalah
kecerdasan intrapersonal. kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan tentang kemampuan
diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri. Berdasarkan observasi
sementara penulis, kecerdasan intrapersonal siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari
kurangnya pemahaman siswa mengetahui apa yang diketahuinya dan mengetahui apa yang
tidak diketahuinya terhadap pelajaran matematika pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Dengan memiliki tingkat kecerdasan intrapersonal yang baik, siswa akan lebih
mudah untuk menguasai kemampuan High Order Mathematical Thinking,sehingga tujuan
pembelajaran matematika yang tertuang pada kurikulum 2013 dapat tercapai.
Berdasar atas pengamatan sementara peneliti, kecerdasan intrapersonal yang dimiliki siswa
kelas XI IPS.1 masih cukup rendah. Hal tersebut penulis amati saat proses pembelajaran
berlangsung. Siswa kurang memiliki kesadaran konsep yang dimiliki. Mereka belum
mengetahui apa yang diketahui dan belum memahami apa yang mereka ketahui.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk
membangun pengetahuannya dan mengorganisir pengetahuannya sendiri. Menurut observasi
semnetara penulis, pembelajaran yang kurang mampu mengakomodir siswa untuk
mengontrol pengetahuan dan mengorganisasikan pengetahuannya akan membuat
pembelajaran di kelas menjadi kurang bermakna yang berdampak terhadap lemahnya
penguasaan konsep siswa terhadap pelajaran matematika yang disebabkan siswa cendrung
mengahafal materi dibandingkan memahami dan mengaplikasikan konsep.
Berkenaan dengan itu, pembelajaran Metacognitive-Inner Speech diasumsikan mampu
menjadi jembatan bagi siswa untuk membangun kecerdasan interpersonal sehingga mampu
memberikan dampak positif bagi kualitas pembelajaran di kelas. Karakteristik dari
pembelajaran MIS adalah mengaitkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk
membangun pengetahuan baru, mampu menuliskan gumamannya menjadi sesuatu yang
berkontribusi bagi konstruktivisme pengetahuan, mampu mengorganisir pengetahuan yang
dimiliki menjadi konsep yang terintegritas dengan konsep lainnya.
Menurut Ladysa (2012), pembelajaran MIS mampu meningkatkan kemandirian belajar siswa
kelas VII SMP. Selain itu dengan penerapan MIS, menurut sebagian besar siswa,
pembelajaran di kelas semakin komunikatif dan menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas,
pembelajaran MIS diduga tepat untuk memfasilitasi kecerdasan intrapersonal siswa.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) “Bagaimana peningkatan kecerdasan
intrapersonal siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan TP.2016/2017 melalui
pembelajaran MIS?; dan (2) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran MIS?
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
343
2. Landasan Teori
Metakognitif merupakan kesadaran seseorang dalam berpikir, atau dapat dikatakan bahwa
seseorang mengetahui cara berpikirnya. Metakognitif menggiring siswa pada suatu goal
yaitu mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui. Hal ini
sangat diperlukan dalam proses pembelajaran sehingga tercapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dua konteks dalam pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan
stretegi kognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang akan diterapkan
dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini melalui 3 tahap menurut Elawar
(dalam Nindiasari 2004), yaitu: tahap pertama diskusi awal (introductory discussion), tahap
kedua kerja sendiri/individu (Independent work) dan tahap ketiga penyimpulan. Pemecahan
model Mayer’s juga menyarankan empat proses atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan soal matematika yaitu translation (terjemahan), integration (integrasi),
planning dan monitoring (perencanaan dan pencatatan), solution execution (kegiatan
menjawab soal).
Metakognisi yang mengkaji ‘’bagaimana berfikir itu’’ dapat difasilitasi dengan
menggunakan inner speech, yaitu semacam self-talk yang memungkinkan siswa untuk
mengarahkan dan memantau proses kognitif mereka, memperoleh pemahaman yang lebih
dalam dan apresiasi dari proses berpikir mereka sendiri (Moffett dalam Andrea Zakin, 2007).
Hal ini terlihat ketika anak-anak kecil terlibat dalam kegiatan di kelas, di mana mereka
sering berbicara dengan keras (Flavell et al, dalam Andera Zakin 2007 ). Tetapi ada hal yang
kurang dipahami dari seorang guru bahwa anak-anak dan remaja yang lebih tua, dan bahkan
orang dewasa sering menggunakan inner speech untuk tujuan yang sama ketika terlibat
dalam suatu aktivitas (John-Steiner, dalam Andrea Zakin 2007). Namun, guru sering melihat
self-talk sebagai perilaku mengganggu di kelas meski tanpa suara keras sekalipun. Perlu
dipahamai bahwa aktivitas self-talk tidak terbatas pada dikeluarkan atau tidak melalui
sebuah gumaman, terdengar keras ataupun lirih. Tetapi pertanyaan yang muncul dalam
pikiran yang tanpa terucap sekalipun itu dapat dipandang sebagai aktivitas self-talk. Terdapat
perbedaan yang mendasar antara egosentric speech dan inner speech. Egosentric speech
adalah bentuk awal dari self-talk yang digunakan oleh anak kecil. Meskipun terdengar, itu
tidak ditujukan untuk berkomunikasi dengan orang lain, tetapi lebih tepatnya, berfungsi
sebagai swa-regulasi untuk membantu anak-anak tetap ingat pada tugas-tugas dan
memperoleh kendali atas tindakan mereka dan lingkungan. Pandangan berbeda tentang
egosentric dikemukakan oleh Piaget (1974) yang menyatakan bahwa egosentris speech akan
hilang seiring berjalanya waktu dan bertambahnya usia. Sementara Vygotsky meyakini
bahwa egosentric speech tidak hilang, tetapi hanya bertransformasi saja dan mengarah ke
sesuatu pemikiran yang lebih abstrak. Menurut May Lwin, dkk (2003) kecerdasan
intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri, kecerdasan ini merupakan
kemampuan memahami diri sendiri dan bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri.
Inner speech yang secara esensinya adalah berdialog dengan diri sendiri dapat digunakan
untuk memfasilitasi swa-regulasi yaitu proses kendali yang memungkinkan kita berpikir dan
memantau proses berpikir itu sendiri (Kashima dalam Zakin 2007). Sebaliknya, kognisi
menurut Vygotsky (dalam Zakin 2007) terdiri dari berfikir logis, pengembangan daya ingat,
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
344
fokus pada sesuatu, pengambilan keputusan yang bersifat kognitif, dan pemecahan masalah
yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Inner speech membantu siswa untuk merencanakan
dan mengkoordinasikan pikiran dan aksi yang mana ditujukan untuk swa regulasi,
pengayaan materi pembelajaran. Tetapi pada kenyataanya akan sangat sulit untuk menggali
inner speech dari masing-masing siswa. Oleh karena itu guru perlu memodelkan inner
speech kedalam sebuah disain pertanyaan yang sistematis. Ada 3 aktivitas inner speech yang
saling terkait satu sama lain yaitu: inner speech thinking steps, inner speech facilitating
comments dan evaluation of inner speech. Ketiga ativitas tersebut merupakan tahapan dalam
pendekatan ‘’ARE’’ (Act/ Reflect/ Evaluate). Pendekatan ARE selalu dimulai dari guru
dengan cara mendemonstrasikan dan memodelkan suatu bentuk inner speech yang kemudian
beralih ke seluruh siswa. Kemudian siswa membentuk kelompok-kelompok kecil sebagai
wadah untuk berinteraksi dan sharing dengan siswa lain dalam satu kelompok. Awalnya guru
memodelkan strategi pemecahan masalah dengan cara sharing mengenai tahapan tahapan
berfikir dan bentuk-bentuk inner speech. Langkah selanjutnya guru meminta siswa untuk
mengungkapkan inner speech mereka dalam bentuk komentar dan menuliskannya pada
kertas berukuran besar yang kemudian didiskusikan dan dievaluasi menggunakan ‘’The
Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tool’’ di bawah ini. Prosedur ini diulang
untuk setiap tahap aktivitas pemecahan masalah.
Tabel 2.1
Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment
Inner Speech
Thinking Steps
Inner speech
Facilitating Comment
Evaluation of Inner
Speech
what is this problem
about I think it's about That was clear
what is this problem
asking for
OK, it seems to want me
to….
what made me think
that
Have I ever solved
this kind fo problem
before ? oh yea, yesterday in class
That's good, I
remembered
What did I do then wait, I think I….
I stopped and thought
again
what are the possible
solutions? I guess I could also… Did I think everything
OK, I have ''x''
solutions, which one
should I pick and
why I should probably
I don’t really
understand how to
choose here
I need to watch what
I'm doing
yeah, I always make me the
same mistake here, so….
I caught it, good for
me
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
345
what do I think
about what I've done I don’t know if
well, at least I tried to
this through
Does it make sense?
I wonder if this make
sense…
Should I know more
about this or is this
OK
Let me review the
question again
yeah it's always good to start
over to check
This shows I'm being
careful and not giving
up
If I have no solution,
what should I do I feel like such dummy
that's doesn’t help at
all, it's just negative
thinking
OK,I'll reread the
problem and look for
clues Aha, I'm detective now.. I like that
I think I need to ask
for help
Jeez, I'm just going around
in circles now
At least I know when
to ask for help
Sumber: (Andrea Zakin 2007)
Sebagai contoh aplikasi inner speech pada pendidikan matematika di kelas tinggi khususnya
kelas 4 SD adalah membedakan antara bidang datar beraturan dan tidak beraturan, segi
empat dan jajargenjang. Bentuk-bentuk pertanyaan inner speech yang dapat dimodelkan
adalah sebagai berikut: ‘’Apa itu bidang datar?’’,’’Apa yang membuat sebuah bidang tidak
beraturan?’’,’’Apa definisi dari segi empat dan jajar genjang?”, strategi pembelajaran inner
speech oleh guru dibagi ke siswa kemudian didiskusikan, siswa menjawab model-model
pertanyaan inner speech tersebut dan membagikan comment mereka yang dicatat oleh guru
dalam kertas besar. Tahap berikutnya siswa diminta mengelompokkan bidang-bidang yang
masuk ke dalam kategori segi empat dan jajar genjang berdasarkan sifatnya. Menurut
Schoenfield (dalam Zakin 2007) konsep mengkategorikan sebuah bidang masuk dalam suatu
keompok bidang tertentu bergantung pada kemampuan menganalisis atribut yang tidak
sesuai dengan bidang yang dimaksud. Para siswa mencatat setiap komentar yang kemudian
didiskusikan dengan seorang partner dalam kelompok . Kemudian masing masing kelompok
kecil tersebut melaporkan kembali hasil diskusi mereka ke seluruh kelas dan guru memimpin
hasil diskusi menggunakan Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tools.
Kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan seseorang memahami diri sendiri dan melakukan
tindakan berdasarkan pengetahuan yang dipahami. Kecerdasan ini meliputi kemampuan
memahami kekuatan dan keterbatasan diri, kesadaran akan suasana hati, kehendak, motivasi,
sifat, keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, dan menghargai diri. Menurut Efendi
(2015) dan Himmah (2012) terdapat korelasi positif antara kecerdasan intrapersonal terhadap
hasil belajar siswa.. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan intrapersonal memiliki
pengaruh yang kuat dan positif bagi peningkatan hasil belajar siswa.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
346
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas pada semester satu tahun pelajaran
2016/2017 dengan subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan
yang dilakukan dalam dua siklus. Pengumpulan data yaitu dengan teknik angket, wawancara,
dan lembar observasi.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Deskripsi Siklus I
Pelaksanaan PTK dimulai pada hari Senin,17 Oktober 2016, pada jam pelajaran ke-5 dan
ke-6 di kelas XI IPS.1 SMAN 1 Gedongtataan (semua siswa hadir). Pembelajaran dimulai
dengan pemberian apersepsi oleh guru dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya membentuk
kelompok yang heterogen terdiri dari 5-6 orang siswa. Pembelajaran MIS ini merupakan
pembelajaran yang baru bagi siswa, sehingga pada pembelajaran MIS untuk pertemuan
pertama dan kedua siswa masih agak bingung dalam memahami tugas yang harus mereka
selesaikan. Siswa belum terbiasa dengan memberikan komentar-komentar sebagai bentuk
dari inner speech, mereka terbiasa belajar hanya dengan mendengarkan penjelasan guru,
latihan soal, kemudian diikuti dengan PR. Memberikan komentar sebagai bentuk dari inner
speech agar membiasakan siswa untuk berpikir sadar dan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri melalui inner speech memang terasa sulit. Namun, dengan pertanyaan-
pertanyaan yang dapat memacu inner speech mereka, misalnya membuat komentar dengan
kalimat mereka sendiri mengenai permasalahan pemodelan matematika pada program linier.
Secara keseluruhan pembelajaran pada siklus kesatu ini dapat dikatakan berjalan lancar.
Deskripsi data kecerdasan intrapersonal yang didapat, yaitu siswa sudah mulai terlihat
mampu mengetahui kelemahan konsep yang dimiliki saat soal tersaji tetapi belum mampu
memotivasi dan mengatasi kelemahan yang dimiliki. Selain itu, siswa mulai terlihat antusias
dengan pembelajaran yang diberikan karena berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
siswa mereka merasa lebih mudah memahami materi yang disampaikan dengan
pembelajaran yang diberikan.
4.2. Deskripsi Siklus II
Pelaksanaan siklus II, tanggal 27 dan dilanjutkan pada tanggal 31 Oktober 2016. Beberapa
tindakan yang dilakukan pada siklus ini adalah perbaikan-perbaikan terkait dengan
ketatabahasaan dalam lembar kerja siswa, karena berdasarkan hasil pada siklus I ada siswa
yang agak kesulitan memahami bahasa dalam LKS (karena siswa belum terbiasa). Sehingga
diupayakan bahasa itu lebih disederhanakan. Selanjutnya guru melakukan refleksi dengan
lebih banyak memberikan kisah-kisah tokoh yang sukses dengan memerdayakan kecerdasan
intrapersonal dan memfasilitasi kepada siswa yang pada siklus I masih belum
mengeksplorasi kecerdasan intrapersonal dengan maksimal.
Pada siklus kedua, siswa mulai terbiasa untuk mengkomunikasikan gumaman mereka. Tabel
inner speech sudah mereka isi sendiri tanpa bantuan dari guru. Dan ketika mereka
mengalami sedikit kesulitan dalam membuat model matematika dari soal cerita, hal tersebut
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
347
dijadikan sebagai tantangan dan melakukan diskusi dengan teman kelompok untuk
mengatasi kelemahan diri dalam memahami konsep. Sementara itu, siswa lebih memahami
hakikat dan manfaat pemodelan matematika baik di bidang matematika maupun bidang yang
lain.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat pada siklus kedua siswa lebih mengetahui kekuatan dan
kelamahan diri, dan ketika mereka mengalami kesulitan dalam pembelajaran, Hal tersebut
dijadikan sebuah tantangan bukan hambatan dalam belajar serta mereka mencari solusi yang
solutif terhadap kesulitan belajar yang mereka hadapi.
Dalam hal ini, peneliti juga mengaitkan gumaman mereka dengan jejaring sosial yang saat
ini cukup intens mereka ikuti. Peneliti menganalogikan hobi mereka yang sering comment
status pada jejaring sosial merupakan salah satu bentuk komentar yang apabila
diaplikasikan pada pembelajaran matematika akan memudahkan mereka dalam memahami
pelajaran matematika.
Dari hasil angket, observasi, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mendapat
kesimpulan bahwa pada siklus kedua dengan menggunakan pembelajaran MIS, siswa merasa
terbantu untuk memahami kemampuan dan kelemahan diri dalam menguasai materi
pembelajaran selain itu siswa lebih termotivasi untuk mengubah kelemahan diri dengan
berdiskusi dengan teman dalam kelompok.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari siklus I dan II disimpulkan melalui
pembelajaran MIS kecerdasan intrapersonal siswa lebih meningkat. Hal ini dapat diketahui
dari data kualitatif yang menjelaskan tingginya keantusiasan belajar siswa, siswa lebih
mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui dalam memahami
materi, serta siswa mampu memotivasi kelemahan dalam memahami materi melalui diskusi.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, penulis mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk menerapkan pembelajaran MIS sebaiknya guru membuat skenario dan
perencanaan yang matang, sehingga pembelajaran dapat terjadi secara sistematis sesuai
dengan rencana dan pemanfaatan waktu yang efektif dan tidak banyak waktu yang
terbuang oleh hal-hal yang tidak relevan.
2. Pembelajaran MIS pada pelaksanaannya tidak hanya dapat dilakukan dengan cara belajar
berkelompok, namun dapat pula diterapkan secara individu, sehingga guru dapat
menggunakannya dengan mengkombinasikan antara pembelajaran MIS secara
berkelompok ataupun MIS secara individu, untuk melatih kecerdasan intrapersonal siswa
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 3 Nomor 5 Tahun 2016
http://idealmathedu.p4tkmatematika.org ISSN 2407-8530
348
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara
Astuti, R. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan Kemandirian Belajar
Matematika Siswa Melalui Model Repirocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif.
Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Cai, J. & Patricia (2000). Fostering Mathematics Thinking Throught Multiple Solutions. Mathematics
Teaching in Middle School. Vol V. USA: NCTM.
Curcio, F. dan McNeece, L. (1993) The Case of Video Viewing, Reading, and Writing in
Mathematics Class: Solving the Mistery. Journal The Mathematics Teacher VOl.86, No 8.
November 1993.
Efendi, F.M. 2015. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dengan Prestasi Belajar Siswa kelas
IV Gugus I Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi pada Fakultas Ilmu
Pendidikan UNY. Jakarta: Tidak Diterbitkan
Ehrich, E.J. 2006. Vygotskian Inner Speech and Reading Proccess. Australian Journal of Educational
& Developmental Psychology Vol. 6, pp 12-25. Queensland University of Technology
Fauzi, A. (2011). Peningkatan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah
Pertama Melalui Pendekatan Metakognitif. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung:
Tidak Dipublikasikan.
Hall, C.S. and Lindzey, G.. 1978. Theories of Personality. Third Edition. New York: John Willey and
Sons, Inc.
Himmah, I.F. 2012. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal dan Interpersonal terhadap Hasil
Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMPN. 2 Taman. Skripsi pada Ilmu Tarbiyah UINSBY
Surabaya: Tidak Dipublikasikan.
Hurlock, E. B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata Mc Graw Hill.
Joyce, B. and Weil, M. (2000) Models of Teaching. New Yersey: Prentice Hall Inc.
Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi
Matematika Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognisi Siswa. Tesis pada PPS UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Nindiasari, H. (2011). Berpikir Reflektif Matematis dan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif.
Collection of Papers. International Seminar and the fourth National Confrence on
Mathematics Education. Universitas Negeri Yogyakarta.
Sarwono, S.W. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Suherman, E. dan Kusumah, Y.S. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan
Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Zakin, Andrea. 2007. Metacognition and the Use of Inner Speech in Children’s Thinking: A Tool
Teachers Can Use. Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-2700.
Redaksi Jurnal IDEAL MATHEDU PPPPTK Matematika menerima artikel/naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematikaKetentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Redaksi
IDEAL MATHEDUPPPPTK MATEMATIKAIDEAL MATHEDU
PPPPTK MATEMATIKA