cover jurnal agustus 2016.cdr

152

Upload: trantuyen

Post on 15-Jan-2017

285 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: cover jurnal Agustus 2016.cdr
Page 2: cover jurnal Agustus 2016.cdr

I

DINAMIKA“CORPUS JURIS”

Vol. 9 No. 2 Agustus 2016 Hal. 113 - 236

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015

Jurnal isi.indd 1 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 3: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 2 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 4: cover jurnal Agustus 2016.cdr

III

ISSN 1978-6506

Vol. 9 No. 2 Agustus 2016 Hal. 113 - 236

Jurnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.

Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.

Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI

Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)

Penyunting: 1. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)

2. Dinal Fedrian, S.IP. (Ilmu Pemerintahan)

3. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)

4. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)

Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)

5. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)

6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)

7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)

8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)

Jurnal isi.indd 3 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 5: cover jurnal Agustus 2016.cdr

IV

PEN

GA

NTA

R 9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)

10. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)

11. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)

12. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata/Hukum Agraria)

Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.

2. Yuni Yulianita, S.S.

3. Noercholysh, S.H.

4. Wirawan Negoro, A.Md.

5. Didik Prayitno, A.Md.

6. Eka Desmi Hayati, A.Md.

7. Emy Nur’aini, S.H.

Desain Grafis

dan Fotografer: 1. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

Alamat:Sekretariat Jurnal Yudisial

Komisi Yudisial Republik IndonesiaJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat, Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189

E-mail: [email protected]: www.komisiyudisial.go.id

Jurnal isi.indd 4 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 6: cover jurnal Agustus 2016.cdr

V

PEN

GA

NTA

R DINAMIKA “CORPUS JURIS”

Istilah “corpus juris” mengandung makna sebagai kelembagaan hukum (body of law). Terminologi latin ini kerap muncul menjadi predikat kodifikasi hukum pada era Imperium Romawi. Sementara bagi kita yang hidup di era sekarang, istilah

ini memberi makna sebagai gambaran tentang hukum sebagai suatu sistem. Secara substansial hukum yang terkandung dalam “corpus juris” ini adalah hukum yang eksis dalam realitas sosial. Ia bukan hukum yang direkayasa, melainkan hukum hasil adopsi pola-pola kemasyarakatan (nomos).

Tatkala masyarakat menjelma menjadi entitas yang kompleks, hukum tidak lagi menjelma dari nomos. Hukum perlu ditetapkan atau dipositifkan, maka hukum itu mengalami pelembagaan dan cenderung untuk dibakukan dan dibekukan (momentary legal system). Hukum yang baku membeku adalah hukum yang dipersepsikan tidak berkembang. Cara pandang demikian dikenal dengan pendekatan formalisme hukum. Namun, dalam kenyataannya hukum tidak pernah tampil sedemikian baku membeku. Hukum itu bergerak dan dinamis. “Corpus juris” itu terus bergerak (in flux) sekalipun tidak pernah lebih cepat daripada pergerakan masyarakat.

“Corpus juris” mencakup institusi dan pranata hukum. Lembaga-lembaga semacam kekuasaan kehakiman adalah contoh dari institusi hukum yang penting dalam “corpus juris” ini, sementara pranata hukum seperti kewarisan, perkawinan, dan pengujian undang-undang. Topik-topik inilah yang mewarnai artikel dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini. Topik pertama menyinggung tentang implikasi putusan pengujian undang-undang terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung (Galih Erlangga dan Dian Agung Wicaksono), diikuti pembahasan tentang kewenangan Komisi Yudisial dalam tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro). Dua topik besar ini mengenai problematika institusi hukum.

Kemudian muncul diskursus mengenai pranata hukum, yaitu: ”contempt of court” dalam perspektif hukum progresif (Budi Suhariyanto), yang berlanjut pada wacana tentang pemberian hak waris dalam hukum Islam kepada non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah (Rizkal), lalu mengenai nasab anak luar kawin menurut hifzhu nasl (Zakyyah). Terakhir ada pembahasan tentang kaitan dasar gugatan dan tata kelola perusahaan (A. Dwi Rachmanto).

Demikianlah artikel-artikel yang ditulis oleh para penulis tersebut memberi gambaran tentang dinamika “corpus juris” ini. Dinamika tentang kelembagaan sebagai cerminan perkembangan sistem hukum. Melalui analisis putusan-putusan yang disajikan oleh para penulis, terlihat bahwa dinamika itu ikut hadir dan terlacak dalam pertimbangan

Jurnal isi.indd 5 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 7: cover jurnal Agustus 2016.cdr

VI

DA

FTA

R IS

Ipara hakimnya. Dinamika demikian tidak boleh lepas dari sorotan kita sebagai penstudi hukum di Tanah Air.

Selamat membaca! Terima kasih.

TertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Jurnal isi.indd 6 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 8: cover jurnal Agustus 2016.cdr

VII

DA

FTA

R IS

I Vol. 9 No. 2 Agustus 2016

IMPLIKASI PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN PADA MAHKAMAH AGUNG ............................................................... 113 - 130Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013Galih Erlangga & Dian Agung WicaksonoDepartemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

KEWENANGAN KOMISI YUDISIALDALAM TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI ................................ 131 - 150Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015SuanroSekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai, Palangka Raya

“CONTEMPT OF COURT” DALAMPERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF ................................................. 151 - 171Kajian Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWKBudi SuhariyantoPusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta

PEMBERIAN HAK WARIS DALAM HUKUM ISLAM KEPADA NON-MUSLIM BERDASARKAN WASIAT WAJIBAH ..................... 173 - 193Kajian Putusan Nomor 16 K/AG/2010RizkalFakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

NASAB ANAK LUAR KAWIN MENURUT “HIFZHU NASL” ............ 195 - 214Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010ZakyyahFakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

KAITAN DASAR GUGATAN DANTATA KELOLA PERUSAHAAN ........................................................... 215 - 236Kajian Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKSA. Dwi RachmantoFakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

ISSN 1978-6505

Jurnal isi.indd 7 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 9: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 8 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 10: cover jurnal Agustus 2016.cdr

IX

UDC 347.962 (094.5)

Erlangga G & Wicaksono DA (Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang terhadap Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman pada Mahkamah Agung

Kajian Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 113 - 130

Salah satu ciri penting negara hukum demokratis adalah kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak. Perubahan UUD NRI 1945, memberikan dinamika ketatanegaraan dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Salah satunya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat, dan berlaku umum (erga omnes). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan berlakunya Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan dampak penting dalam perkembangan hukum di Indonesia. Hal ini karena putusan tersebut sangat berkaitan erat dengan kewenangan permohonan peninjauan kembali, yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan komparatif, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Data yang terkait dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut memberikan implikasi terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal kelembagaan pada sistem kekuasaan kehakiman dan penyelenggaraan peradilan dalam kewenangan permohonan peninjauan kembali.

(Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono)

Kata kunci: kekuasaan kehakiman, judicial review, peninjauan kembali.

UDC 347.998: 347.993

Suanro (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai, Palangka Raya)

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi

Kajian Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 131 - 150

Secara konstitusional Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Saat melakukan pengujian, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menafsirkan UUD NRI 1945 dalam rangka menemukan hukum. Dalam penemuan hukum, hakim Mahkamah Konstitusi bebas untuk memilih dan menggunakan metode penafsiran konstitusi untuk memecahkan persoalan hukum yang diperhadapkan kepadanya, sehingga hakim dapat menentukan kaidah hukum yang menjadi alasan suatu putusan. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama bertentangan dengan UUD NRI 1945. Landasan pengujian konstitusionalitas kewenangan itu adalah Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Frasa “dan wewenang lain” dalam pasal

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 9 No. 2 Agustus 2016

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

Jurnal isi.indd 9 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 11: cover jurnal Agustus 2016.cdr

X

tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda. Pihak pemohon menafsirkannya secara limitatif, sedangkan pihak termohon menafsirkannya secara luas. Kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim pada peradilan agama, peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara dipandang mencederai prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijamin konstitusi, sementara pihak termohon berpendapat sebaliknya. Masing-masing pihak memiliki argumentasi yang pijakannya sama yaitu Undang-Undang Dasar, tetapi memiliki pandangan yang berbeda terhadap ketentuan konstitusi.

(Suanro)

Kata kunci: kemerdekaan kekuasaan kehakiman, pengujian konstitusionalitas, penemuan hukum.

UDC 340.131

Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta)

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif

Kajian Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 151 - 171

Dari awal konstitusi dibentuk sampai saat ini, perlindungan dan pengamanan terhadap hakim terutama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman masih belum optimal. Hukum positif Indonesia tidak mengatur contempt of court secara definitif, spesifik, dan lengkap. Adapun pengaturan yang dipadankan dalam KUHP, tidak merepresentasikan pengertian dan ruang lingkup contempt of court secara komprehensif dan integral. Majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK secara responsif mengisi kekosongan hukum yang ada dengan mendefinisikan contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman serta melakukan terobosan hukum dalam putusan pemidanaannya. Permasalahannya adalah bagaimana pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perspektif penemuan hukum

progresif? Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa penemuan hukum progresif menghendaki hakim untuk berupaya menghasilkan kaidah hukum baru yang mendasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan serta memiliki visi pembaruan hukum (ius constituendum).

(Budi Suhariyanto)

Kata kunci: contempt of court, kekuasaan kehakiman, ius constituendum.

UDC 348.974

Rizkal (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim Berdasarkan Wasiat Wajibah

Kajian Putusan Nomor 16 K/AG/2010

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 173 - 193

Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah Agung menetapkan hak kewarisan kepada non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah, hal ini sebagaimana yang telah diputuskan dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persoalan pokok yaitu: 1) mengenai keberadaan peraturan wasiat wajibah dalam hukum positif di Indonesia; 2) pertimbangan hukum apakah yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan hak kewarisan kepada non-Islam berdasarkan wasiat wajibah; dan 3) mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 berdasarkan ketentuan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di

Jurnal isi.indd 10 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 12: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XI

Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian kualitatif serta jenis penelitian kepustakaan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tidak disebutkan pertimbangan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai ketentuan warisan dan mengenai pemberian wasiat wajibah sebagaimana yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Putusan Mahkamah Agung tersebut berseberangan dengan ketentuan hukum Islam dan ketentuan Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI mengenai pemberian wasiat wajibah kepada non-Islam.

(Rizkal)

Kata kunci: wasiat wajibah, hak warisan, Kompilasi Hukum Islam.

UDC 347.632: 297

Zakyyah (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl”

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 195 - 214

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Artinya pasal ini menerangkan bahwa segala hal yang terkait dengan hak anak yang lahir di luar perkawinan hanya dibebankan kepada ibunya, sedangkan ayah biologisnya tidak dibebankan untuk memenuhi hak anak tersebut. Dalam perkembangannya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, serta ayah dan keluarga ayah biologisnya selama dapat dibuktikan adanya hubungan darah di antara mereka. Hal ini bertolak belakang dengan hukum Islam yang mengatur bahwa anak zina hanya memiliki hubungan

perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Muncul pertanyaan apakah yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi menetapkan hubungan perdata anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya, dan bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap nasab anak di luar perkawinan, serta tinjauan teori hifzhu nasl terkait Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan jenis penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ditemukan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan makna yang ambigu, karena tidak ada definisi yang jelas terkait frasa “anak di luar perkawinan.” Menurut teori hifzhu nasl menasabkan anak di luar perkawinan (anak zina) kepada ayah biologisnya merupakan suatu tindakan yang akan merusak eksistensi dari maqᾱṣid al-syar’iyyah. Namun jika yang dimaksud adalah anak yang lahir dari “pernikahan di bawah tangan,” maka hal ini sesuai dengan ketentuan maqᾱṣid al-syar’iyyah.

(Zakyyah)

Kata kunci: anak di luar perkawinan, hubungan perdata, hifzhu nasl.

UDC 658.11

Rachmanto AD (Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan

Kajian Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 215 - 236

Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS merupakan contoh kasus sengketa antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang bertindak sebagai investor di Indonesia. Banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Tiga hal yang didalilkan oleh pihak penggugat didasarkan pada gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Pada pertimbangan awal dapat disimpulkan bahwa hakim dapat menerima sebuah gugatan yang diajukan tidak hanya gugatan

Jurnal isi.indd 11 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 13: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XII

wanprestasi tetapi sekaligus gugatan perbuatan melawan hukum. Terkait hal benturan kepentingan karena rangkap jabatan, meskipun dijadikan dalil gugatan oleh pihak penggugat, namun dalam putusan ini tidak dijadikan dasar dan pertimbangan hakim. Justru hal yang tidak berkorelasi secara normatif, yaitu ketiadaan tata kelola perusahaan yang baik, dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS ini. Dalam tulisan ini akan dianalisa secara normatif tentang perbedaan antara gugatan perbuatan melawan hukum dengan gugatan wanprestasi, persoalan jabatan rangkap oleh orang yang sama dalam beberapa perusahaan, serta korelasi antara gugatan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dengan tidak adanya tata kelola perusahaan yang baik.

(A. Dwi Rachmanto)

Kata kunci: wanprestasi, perbuatan melawan hukum, tata kelola perusahaan.

Jurnal isi.indd 12 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 14: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XIII

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 9 No. 2 Agustus 2016

The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 347.962 (094.5)

Erlangga G & Wicaksono DA (Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

The Implication of Constitutional Court’s Decision of Judicial Review Towards Judicial Power’s Independence of the Supreme Court

An Analysis of Constitutional Court’s Decisions Number 34/PUU-XI/2013 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 113 - 130

One of the hallmarks of a democratic legal state is an enforcement of independent and impartial judicial power. The amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has lead to political dynamics marked by the birth of the Constitutional Court of the Republic Indonesia. The Constitutional Court as the guardian of the constitution is mandated a constitutional duty to uphold justice at the heart of community’s life. Its specificity is its final, binding, and generally applicable decision (erga omnes). The Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 annulling Article 268 paragraph (3) of Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure Law has significant implications in the development of law in Indonesia since it is very closely associated with one of the jurisdictions of the Supreme Court to apply for extraordinary request for review. This analysis is a normative legal research which examines legal materials of the Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013, using statutory interpretations, comparative, historical, and conceptual approach. Related data were elaborated in qualitative descriptive data analyses. The results show that the Constitutional Court decision implicates the independence of the Supreme Court in terms of the institutional system of judicial authority and administration of justice

in the authority of extraordinary request for review.

(Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono)

Keywords: judicial power, judicial review, extraordinary request for review.

UDC 347.998: 347.993

Suanro (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai, Palangka Raya)

The Interpretation of Constitutional Court on the Judicial Commission’s Authority

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 43/PUU-XIII/2015 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 131 - 150

The Constitutional Court constitutionally has the authority to conduct a judicial review towards the Law/Constitution. As performing the judicial review, the Constitutional Court is authorized to interpret the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in the framework of legal discovery. In the context of legal discovery, the Constitutional Court’s Judges are free to decide and use any method of constitutional interpretation to resolve the legal issues being reviewed, so as to determine the legal principles underlying the decision. The Constitutional Court has declared that the authority of the Judicial Commission in organizing the Selection of the Appointment of Judges of First Instance is inconsistent with the 1945 Constitution. The groundwork of the judicial review of that authority is Article 24B paragraph (1) of the 1945 Constitution. The phrase “and other authorities” in the article raises different interpretations. Petitioner interpret it in a limited basis, while the respondent interpret it generally. The authority of the Judicial Commission in the selection of judges in religious courts, general courts, and administrative courts

Jurnal isi.indd 13 10/28/2016 9:31:07 AM

Page 15: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XIV

is deemed detrimental to the principle of judicial independence, which is secured by the Constitution, while the Respondent argues otherwise. The arguments of each party equally based on the Constitution, but they have different views on the constitutional provisions.

(Suanro)

Keywords: judicial independence, judicial review, judicial law-making.

UDC 340.131

Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta)

Contempt of Court Through the Perspective of Progressive Law

An Analysis of Decision Number 241/Pid.B/2006/PN.PWK (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 151 - 171

Since the establishment of the constitution to the present, the protection and security of judges, principally in executing the function of judicial power are still not optimal. The positive law in Indonesia has not yet definitively, specifically, and completely set out the provision regarding contempt of court. Despite the fact that the comparable provision in the Criminal Code does not represent the definition and scope of contempt of court in a comprehensive and integral way. In the Decision Number 241/Pid.B/2006/PN.PWK the judges make a legal breakthrough in the adjudication and responsively fill the legal vacuum by defining the contempt of court as an offense against judicial power. The arising issue is how the criminal prosecution of the offense against judicial power is viewed from progressive law-making perspective? The issue is elaborated in this analysis using normative research methods. There are three approaches employed: approach to legislations, cases, and concepts. By and large conclusions on the issues discussed are drawn from the qualitative juridical analysis. From the discussion, it can be concluded that progressive law

discovery requires judges at the outset to have a law reform vision (ius constituendum) and subsequently attempt to lay new legal principles based on justice values and legal expediency.

(Budi Suhariyanto)

Keywords: contempt of court, judicial power, ius constituendum.

UDC 348.974

Rizkal (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

The Provision of Inheritance Rights to non-Muslims Based on “Wasiat Wajibah” in Islamic Law

An Analysis of Decison Number 16 K/AG/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 173 - 193

In Islamic law, it has been defined clearly that everyone of different faiths cannot inherit to each other, like both Muslims inherit to non-Muslims, and vice versa. However when it comes down to it, the Supreme Court has determined that the right of inheritance of non-Muslims is based on “wasiat wajibah”, as set out in the Decision Number 16 K/AG/2010. This analysis aims to examine the main issues as regards; first, the subsistence of law on “wasiat wajibah” and the positive law in Indonesia; second, legal interpretation of the judge in determining the right of inheritance to non-Muslims based on “wasiat wajibah”; and third, the elaboration of Supreme Court’s Decision Number 16 K/AG/2010 under the Islamic law provisions and positive law in Indonesia. This analysis is a normative legal research prepared through qualitative literature study. Based on the study, it can be highlighted that the Supreme Court in Decision Number 16 K/AG/2010, did not take into consideration the provisions regarding inheritance along with the prevailing provision of “wasiat wajibah” in Indonesia as stipulated in the Compilation of Islamic Law. The Supreme Court’s Decision is considerably disagreeing with

Jurnal isi.indd 14 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 16: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XV

the provisions of Islamic law and the Article 209 paragraph (1) and (2) of the Compilation of Islamic Law concerning the granting of “wasiat wajibah” to non-Muslims.

(Rizkal)

Keywords: wasiat wajibah, right of inheritance, Compilation of Islamic Law.

UDC 347.632: 297

Zakyyah (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

Consangunity of a Child Born Out of Wedlock in the Concept of “Hifzhu Nasl”

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 46/PUU-VIII/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 195 - 214

In Article 43 of Law Number 1 of 1974 on Marriage, it is stated that, “a child born out of wedlock has nothing more than a legal relation to the mother and her family.” To be precise, this article defines that a mother is fully responsible for all matters concerning the rights of her child born out of wedlock, whereas the biological father is not charged to fulfill the rights of the child. In its progression, based on the Constitutional Court’s Decision Number 46/PUU-VIII/2010, the child born out of wedlock has a legal relation to his mother and the family, and also an illegitimacy to his putative father and the family, as long as it is proven there is a lineal consanguinity (blood tie) between them. This is inconsistent with the Islamic law which stipulates that an illegitimate child has only a legal relation to his mother and the family. The arising questions pertain on the basis of consideration of the Constitutional Court in determining the illegitimacy of a child born out of wedlock to his putative father, and the implication of Constitutional Court decisions to the consanguinity of a child born out of wedlock, as well as the theory of “hifzhu nasl” responding to the decision of the Constitutional Court. This analysis is a literature-based research conducted using a juridical normative

method. The results of the analysis arrive at a conclusion that the Constitutional Court’s decision is significantly ambiguous, as regards there is no clear definition of the associated phrase of “child born out of wedlock.” According to the theory “hifzhu nasl,” the settling on the consanguinity of a child out of wedlock (illegitimate child) to the putative father would undermine the prevailing concept of maqᾱṣid al-syar’iyyah. But if the concern is about the child born of “underhanded marriage”, then it conforms to the provisions of maqᾱṣid al-syar’iyyah.

(Zakyyah)

Keywords: child born out of wedlock, legal relation, hifzhu nasl.

UDC 658.11

Rachmanto AD (Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

The Fundamental Correlation of a Lawsuit and Corporate Governance

An Analysis of Decision Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2016 9(2), 215 - 236

The Decision Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS is an example of a civil case concerning a dispute between Indonesian citizen with foreign citizen who is undertaking business of infestations in Indonesia. The judges have consideration in many respects in effort to resolve the case. Three points raised in the lawsuit by the plaintiff are based on a breach of contract and a tort. On a preliminary consideration, it can be deduced that the judge may accept simultaneous lawsuits, not just a lawsuit in a breach of contract, but at once a tort. The argument in the lawsuit filed by the plaintiff is related to a conflict of interest in regard of concurrent positions, however the judges did not take it into consideration in making the decision. The very thing that lacks of normatively consistent correlation, i.e., the absence of good corporate governance, even becomes the basis of consideration of the judge in the Decision

Jurnal isi.indd 15 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 17: cover jurnal Agustus 2016.cdr

XVI

Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS. This focus is discussed in a normative analysis concerning the matter of differences between two lawsuits, a tort and a breach of contract, the issue of concurrent position occupied by the same person in several companies, and the correlations between a breach of contract or tort with the lacking of good corporate governance.

(A. Dwi Rachmanto)

Keywords: breach of contract, tort, corporate governance.

Jurnal isi.indd 16 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 18: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 113

ABSTRAK

Salah satu ciri penting negara hukum demokratis adalah kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak. Perubahan UUD NRI 1945, memberikan dinamika ketatanegaraan dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Salah satunya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, mengikat, dan berlaku umum (erga omnes). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan berlakunya Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan dampak penting dalam perkembangan hukum di Indonesia. Hal ini karena putusan tersebut sangat berkaitan erat dengan kewenangan permohonan peninjauan kembali, yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan komparatif, pendekatan

historis, dan pendekatan konseptual. Data yang terkait dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan implikasi terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal kelembagaan pada sistem kekuasaan kehakiman dan penyelenggaraan peradilan dalam kewenangan permohonan peninjauan kembali.

Kata kunci: kekuasaan kehakiman, judicial review, peninjauan kembali.

ABSTRACT

One of the hallmarks of a democratic legal state is an enforcement of independent and impartial judicial power. The amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has lead to political dynamics marked by the birth of the Constitutional Court of the Republic Indonesia. The Constitutional Court as the guardian of the constitution is mandated a constitutional duty to uphold justice at the heart of community’s life. Its specificity is its final, binding, and generally applicable decision (erga omnes). The Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 annulling Article 268 paragraph (3) of Law Number 8 of 1981 on Criminal Procedure Law

IMPLIKASI PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANGTERHADAP KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

PADA MAHKAMAH AGUNG

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

THE IMPLICATION OF CONSTITUTIONAL COURT’S DECISIONOF JUDICIAL REVIEW TOWARDS JUDICIAL POWER’S

INDEPENDENCE OF THE SUPREME COURT

Galih Erlangga & Dian Agung WicaksonoDepartemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta 55281E-mail: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 34/PUU-XI/2013

Naskah diterima: 22 Februari 2016; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 113 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 19: cover jurnal Agustus 2016.cdr

114 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Prinsip pemisahan kekuasaan sangat terkait erat dengan independensi penyelenggaraan peradilan, di mana hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif (Asshiddiqie, 2012: 311). Setiap hakim harus bersikap adil dan seimbang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, agar dapat memberikan rasa keadilan serta menjadi penjaga sistem hukum dalam suatu negara hukum. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam negara hukum yang demokratis (demokratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (vide Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945) (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial).

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, “Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum.” Negara Republik Indonesia sebagai salah satu negara hukum yang juga menjunjung tinggi demokrasi, sudah seharusnya memberikan jaminan bagi independensi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” UUD NRI 1945 sebagai konstitusi pada dasarnya memberikan jaminan kemerdekaan kepada penyelenggara kekuasaan kehakiman untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen serta bebas dari intervensi.

Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 sebelum amandemen, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.” Setelah amandemen UUD NRI 1945, terjadi pergeseran dalam ranah kekuasaan kehakiman dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945). Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004: iv).

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,

has significant implications in the development of law in Indonesia since it is very closely associated with one of the jurisdictions of the Supreme Court to apply for extraordinary request for review. This analysis is a normative legal research which examines legal materials of the Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013, using statutory interpretations, comparative, historical, and conceptual approach. Related data were

elaborated in qualitative descriptive data analyses. The results show that the Constitutional Court decision implicates the independence of the Supreme Court in terms of the institutional system of judicial authority and administration of justice in the authority of extraordinary request for review.

Keywords: judicial power, judicial review, extraordinary request for review.

Jurnal isi.indd 114 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 20: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 115

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum (vide Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945).

Selain kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden (vide Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945). Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang bersifat final, mengikat, dan berlaku umum (erga omnes) memberikan dampak yang signifikan dalam dinamika ketatanegaraan bahkan perkembangan hukum di Indonesia.

Salah satu putusan yang berdampak besar bila dikaji secara akademis adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur bahwa, “Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali” bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Alasan pemohon mengajukan permohonan karena beranggapan hak konstitusionalnya telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memuat pertimbangan, bahwa menurut Mahkamah Konstitusi unsur keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak

secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), yang mana hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013: 88).

Berdasarkan pertimbangan a quo, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan pemohon dengan membatalkan secara keseluruhan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Selain itu, terdapat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan erat dengan kewenangan Mahkamah Agung selaku lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 perihal pengujian Pasal 244 KUHAP yang berkaitan dengan kewenangan kasasi, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 perihal pengujian KUHAP yang berkaitan dengan pra-peradilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berkaitan dengan asas nemo judex in causa sua, yang menentang hakim memutuskan perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan/atau yang berkaitan dengan lembaga peradilan (Mahfud MD, 2007: 98-99; Amsari, 2013: 185-186). Hipotesis dalam penelitian adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 berdampak terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung selaku sesama pemegang kekuasaan kehakiman.

Jurnal isi.indd 115 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 21: cover jurnal Agustus 2016.cdr

116 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan kehakiman?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: (a) bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang ketatanegaraan, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung. Selain itu, temuan-temuan dalam penulisan ini, diharapkan dapat berguna sebagai dasar terciptanya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan; dan (b) bagi praktik ketatanegaraan, penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk dapat mewujudkan sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik pada Mahkamah Agung maupun pada Mahkamah Konstitusi yang merdeka dan bebas dari intervensi pihak manapun, sejalan dengan UUD NRI 1945 sehingga akan melahirkan putusan-putusan yang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

D. Studi Pustaka1. Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di

Indonesia

Perubahan konstruksi hukum pada amandemen UUD NRI 1945, berdampak secara langsung terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Salah satu perubahan mendasar yang terjadi dalam ranah kekuasaan kehakiman yaitu pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Ide pembentukan suatu lembaga negara yang memiliki kewenangan menguji undang-undang seperti Mahkamah Konstitusi, dipengaruhi pola kekuasaan kehakiman di negara-negara Eropa, terutama di Austria. Negara Austria mengadopsi ide pembentukan Mahkamah Konstitusi Austria dalam Konstitusi Austria 1920 (Asshiddiqie, 2001: 1).

Keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria menularkan semangat demokratis ke seluruh Eropa. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, yang disahkan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada tanggal 9 November 2001 (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004: 4). Pada hakikatnya, fungsi utama pembentukan Mahkamah Konstitusi untuk mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) dan menafsirkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (the interpreter of constitution). Di samping itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi juga bertujuan untuk membangun mekanisme checks and balances pada cabang-cabang kekuasaan negara di Indonesia, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Jurnal isi.indd 116 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 22: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 117

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Tahun 2003 adalah sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004: 6). Marzuki mengemukakan bahwa, “Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna struktur tunggal (unity jurisdiction), seperti halnya dalam sistem hukum anglo saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung (duality jurisdiction)” (Marzuki, 2006: 83). Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki kedudukan yang setara dan independen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.

Dari segi kelembagaan, Mahkamah Konstitusi memiliki pranata, yaitu hakim konstitusi, sekretariat jenderal, dan kepaniteraan. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota hakim konstitusi. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Tahun 2003, “Hakim Konstitusi adalah pejabat negara.” Hakim konstitusi sebagai pejabat negara pada lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman diharapkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, bersikap adil, serta merupakan negarawan yang menguasai ketatanegaraan. Sedangkan lembaga lain dalam lingkup kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah

Agung, yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman tertua di Indonesia. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam UUD NRI 1945 adalah setara dengan lembaga negara lainnya. Mahkamah Agung berperan sebagai puncak penyelenggaraan peradilan dari setiap lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi memiliki kemerdekaan untuk menjalankan kekuasaan secara independen, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.

Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, serta kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Selain kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, Mahkamah Agung memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, serta permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, “Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.” Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung juga dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta. Dengan demikian, Mahkamah

Jurnal isi.indd 117 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 23: cover jurnal Agustus 2016.cdr

118 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:

1. Fungsi peradilan. Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga penerapan hukum secara adil dan tepat melalui penyelenggaraan peradilan.

2. Fungsi pengawasan. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pengawasan juga dilakukan terhadap tingkah laku hakim agung.

3. Fungsi pemberi nasihat hukum. Mahkamah Agung memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

4. Fungsi mengatur. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan, apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang.

5. Fungsi administrasi. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan pengadilan, serta segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah Mahkamah Agung (Wiwoho, 2006: 193).

Dari segi kelembagaan, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa susunan organisasi Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera dan sekretaris, serta pimpinan dan hakim anggota merupakan hakim agung pada Mahkamah Agung. Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

2. Pengujian Undang-Undang di Indonesia

Menurut pendapat Manan, “Untuk menjaga kaidah-kaidah konstitusi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya, diperlukan badan serta tata cara mengawasinya” (Huda & Nazriyah, 2011: 124). Salah satu bentuk pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan, dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan juga dikenal dengan istilah toetsingrecht, yang diperkenalkan oleh Soemantri, yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht atau kewenangan pengujian perundang-undangan, yaitu: (a) toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan, disebut judicial review; (b) toetsingrecht yang merupakan kewenangan legislatif, disebut legislative review; dan (c) toetsingrecht yang merupakan kewenangan eksekutif, disebut executive review (Soemantri, 1986: 5).

Judicial review berdasarkan Black’s Law Dictionary, memiliki makna yaitu, “a court’s power to review the actions of other branches or levels government, especially the court’s power to invalidate legislative and executive as being unconstitutional” (Garner, 2004: 1345). Hal tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki makna bahwa suatu kewenangan pengadilan untuk mengawasi tindakan dari cabang kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif), melalui peninjauan terhadap tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Menurut Brewer & Carriras, judicial review adalah tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan eksekutif dan legislatif sesuai dengan hukum tertinggi (Fachruddin, 2004: 175). Sehingga dengan demikian, istilah

Jurnal isi.indd 118 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 24: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 119

judicial review terbatas pada kewenangan pengujian perundang-undangan oleh lembaga peradilan.

Praktik penyelenggaraan judicial review berawal dari situasi politik di Amerika Serikat pada awal abad 19, yang ditandai ketika adanya tuntutan oleh Marbury bersama beberapa hakim lainnya, kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court), untuk memutus perkara pengangkatan hakim dan mengeluarkan Writ of Mandamus (merupakan kewenangan Supreme Court dalam Section 13 Judiciary Act 1789 untuk memerintahkan kepada Pemerintah Amerika Serikat melaksanakan tugas), yang mana peristiwa tersebut lebih dikenal dengan kasus Marbury vs. Madison, dengan Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court) menentukan bahwa Marbury bersama hakim lainnya berhak atas surat pengangkatan.

Menurut Mahfud MD (2006: 37), yang berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga alasan Marshall selaku Chief Justice pada Supreme Court dalam memutuskan perkara Marbury, yaitu: (a) hakim sudah bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika terdapat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, maka hakim harus berani membatalkannya; (b) konstitusi merupakan hukum tertinggi (the supreme law of the land), maka diperlukan lembaga pengujian terhadap peraturan di bawahnya agar tidak menyimpangi konstitusi; dan (c) hakim tidak dapat menolak perkara sehingga jika terdapat permintaan uji materi maka hakim harus melakukannya. Berdasarkan peristiwa tersebut, maka judicial review mulai dikenal luas dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam konteks Indonesia, gagasan mengenai mekanisme pengujian undang-undang, telah ada sejak perdebatan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika menyusun UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Namun hal tersebut dibantah oleh Soepomo yang menyatakan bahwa, “Belum terdapat konsensus di antara para ahli-ahli tata negara mengenai judicial review, di samping itu para ahli hukum Indonesia belum memiliki pengalaman mengenai proses judicial review” (Amsari, 2013: 63). Pendapat Soepomo tersebut didukung oleh situasi politik dan hukum di Indonesia pada saat menjelang kemerdekaan yang kurang memadai. Gagasan agar Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang muncul kembali pada Pembahasan Perubahan UUD NRI 1945, mengenai Bab IV tentang Mahkamah Agung dalam masa sidang MPR pada tanggal 1-3 Oktober 1999.

Pada saat itu, terjadi perdebatan mengenai kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, apakah kewenangan tersebut melekat kepada Mahkamah Agung atau lembaga lain yang berdiri sendiri. Pengaturan mengenai pengujian undang-undang, baru dirumuskan pada perubahan ketiga UUD NRI 1945, yang disahkan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 9 November 2001. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah memberi kewenangan pada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

UUD NRI 1945 menentukan bahwa kewenangan pengujian peraturan perundang-

Jurnal isi.indd 119 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 25: cover jurnal Agustus 2016.cdr

120 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

undangan di Indonesia, terbagi ke dalam dua pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Ada beberapa negara di dunia yang menganut sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang tersebar (decentralized model), sehingga setiap badan peradilan dapat melakukan pengujian atas peraturan perundang-undangan (Amsari, 2013: 172). Ada beberapa negara di dunia yang menganut sistem pengujian peraturan perundang-undangan secara terpusat (centralized model) pada satu lembaga khusus (Amsari, 2013: 172). Dalam konteks kekuasaan kehakiman di Indonesia, konsep pemisahan yang dijelaskan oleh Jakson maupun Tushnet tersebut sesungguhnya tidak dapat diterapkan (Amsari, 2013: 63). Pengujian atas peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh dua kekuasaan kehakiman yang memiliki kedudukan yang setara berdasarkan UUD NRI 1945.

Kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar memiliki dua bentuk, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, “Pengujian formil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan proses pembentukan Undang-Undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.” Selain itu, pengujian formil tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang dan pemberlakuan undang-undang (Asshiddiqie, 2010: 41-42).

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, menentukan bahwa, “Pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.” Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 tidak hanya dilakukan terhadap pasal tertentu tetapi Undang-Undang Dasar harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuh (Siahaan, 2011: 29). Namun di sisi lain, hukum merupakan produk politik sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan (Mahfud MD, 1998: 7). Hukum dapat dilihat berdasarkan proses pembentukan hukum tersebut, sehingga dapat dipahami kehendak politik yang ingin dicapai.

Berdasarkan pendapat Mahfud MD (2006: 37) yang berasal dari risalah-risalah sidang Panitia Ad Hoc (PAH) dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa terdapat beberapa pembatasan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat memuat isi yang bersifat mengatur. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan bahwa sebuah undang-undang atau sebagian dari isi undang-undang tersebut bertentangan dengan bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan undang-undang atau sebagian dari isi undang-undang, yang oleh Undang-Undang Dasar kewenangannya diatribusikan kepada undang-undang.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat melebihi dari apa yang dimintakan oleh para pemohon (ultra petita). Sekalipun Mahkamah Konstitusi melihat bahwa terdapat hal penting dari permohonan tersebut yang tidak dipinta untuk

Jurnal isi.indd 120 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 26: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 121

diputuskan, maka Mahkamah Konstitusi tidak diperkenankan memutuskannya berdasarkan asumsi Mahkamah Konstitusi sendiri.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi atau menyangkut lembaga peradilan. Pendapat tersebut didasari kepada asas hukum, yaitu nemo judex in causa sua atau nemo judex indoneus in propia causa, sebagai sebuah asas hukum universal yang menentang hakim memutuskan perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan/atau yang berkaitan dengan lembaga peradilan.

II. METODE

Penelitian dilakukan melalui penelitian hukum normatif, dengan mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan atau bahan hukum lain yang berkaitan dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung. Penelitian hukum ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Marzuki, 2007: 93-95).

Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema penelitian, sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan pendekatan khusus terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Adapun pendekatan konseptual dengan menggunakan teori dan doktrin yang terkait dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Penelitian hukum normatif ini menggunakan jenis data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan, sehingga metode pengumpulan data dilaksanakan dengan mencari pustaka yang

relevan, baik melalui perpustakaan maupun database jurnal daring. Pengumpulan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini difokuskan pada: (a) bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema penelitian; dan (b) bahan hukum sekunder, berupa buku referensi dan jurnal yang terkait dengan tema penelitian dan menguraikan lebih lanjut bahan hukum primer dalam konteks dikotomi teoritik dan implementasi. Data yang terkait implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mahkamah Konstitusi memiliki peran dan tanggung jawab dengan melindungi hak-hak konstitusional. Peran Mahkamah Konstitusi dalam melindungi hak-hak konstitusional diwujudkan melalui pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam perjalanannya, pelaksanaan peran tersebut sangat mungkin berkaitan dengan yurisdiksi lembaga peradilan lain di Indonesia. Pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP mengenai konstitusionalitas Mahkamah Agung melakukan peninjauan kembali lebih dari satu kali merupakan salah satu bukti nyata adanya potensi pertentangan antara dua lembaga peradilan. Pengujian tersebut diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam hukum positif, kewenangan permohonan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa, “Mahkamah Agung [...] mempunyai

Jurnal isi.indd 121 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 27: cover jurnal Agustus 2016.cdr

122 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Hal tersebut memberikan pengertian bahwa pembentuk undang-undang diberikan kewenangan oleh UUD NRI 1945, untuk mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan yang seharusnya melekat pada Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi, termasuk di dalamnya merupakan kewenangan peninjauan kembali. Sebagai aturan turunannya, pembentuk undang-undang kemudian merumuskan peninjauan kembali dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Selain itu, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, juga telah memberikan kewenangan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hal tersebut juga kembali ditegaskan pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyebutkan bahwa, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang.”

Sejatinya secara faktual sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, telah memberikan peluang adanya permohonan peninjauan kembali lebih dari satu kali, yaitu apabila suatu objek perkara terdapat

dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hal tersebut menunjukkan eksistensi Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi pengaturan, untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran penyelenggaraan peradilan.

Melihat konteks permasalahan dari adanya pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang melibatkan kewenangan Mahkamah Agung, perlu ditinjau dari sudut penerapan asas hukum nemo judex in causa sua yang berlaku secara universal. Asas hukum tersebut mengedepankan pandangan bahwa seseorang tidak dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri (no one may be judge on his own cause) (Yale, 1974: 80). Hal yang menjadi dasar asas hukum nemo judex in causa sua digunakan dalam penyelenggaraan peradilan adalah untuk melawan sikap kecondongan ataupun penyimpangan yang akan mempengaruhi kepercayaan publik dalam peradilan (Etudaiye, 2007: 211). Lebih lanjut, kemudian terdapat perluasan dalam memaknai asas hukum nemo judex in causa sua, yaitu seseorang tidak dapat menjadi hakim ketika memiliki kepentingan dalam perkara (Yale, 1974: 81). Asas hukum nemo judex in causa sua merupakan bagian dari penerapan prinsip imparsialitas dalam penyelenggaraan peradilan (Fuadah, 2014: 203).

Musschenga (tt: 1) memberikan pengertian bahwa, “Impartiality has always been looked upon as one of defining characteristics of right action.” Prinsip imparsialitas merupakan perwujudan dan karakteristik dari pengakuan adanya hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang di hadapan hukum, yang berlaku secara universal. Jackson (2012: 19) menyatakan bahwa, “Judicial independence and impartiality have become transnational legal norms, instantiated in

Jurnal isi.indd 122 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 28: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 123

many constitution and in the core human rights covenant to which the great majority of the nations of the world subscribe.” Prinsip independensi dan imparsialitas dalam ranah kekuasaan kehakiman telah menjadi norma hukum yang bersifat transnasional dan berlaku secara universal, serta banyak digunakan dalam konstitusi dan dalam perjanjian-perjanjian mengenai hak asasi manusia oleh sebagian besar negara di dunia.

Prinsip imparsialitas kekuasaan kehakiman merupakan hal yang mendasar dalam setiap negara hukum, termasuk negara Republik Indonesia. Prinsip independensi dan imparsialitas yang berlaku secara universal sesungguhnya berkaitan dengan aspek institusionalitas dan personalitas hakim. Lebih lanjut, Jackson (2012: 20) menjelaskan bahwa, “In public law disputes, the goal of impartial justice as between the parties also advance the function of judges serving as a check on government wrong doing or abuse of power.” Dalam konteks sengketa hukum publik, tujuan utama prinsip imparsialitas bagi hakim tidak hanya bersikap imparsial antara para pihak tetapi juga bersikap imparsial untuk menilai cabang kekuasaan lainnya. Hal ini menunjukkan sebagai satu cabang kekuasaan negara, cabang kekuasaan yudikatif merupakan satu kesatuan integral yang saling berkait dan terkait, untuk itulah patut bila prinsip imparsialitas juga berlaku di internal cabang kekuasaan kehakiman.

Prinsip imparsialitas secara personal dan institusional tidak dapat dijalankan secara efektif dalam diri hakim apabila terdapat hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan kelompok individu tertentu, selain dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Spector (2002: 299) menyatakan bahwa, “The real threat to impartiality appears when the agents of certain group of individuals ascertain

a power whose exercise means furthering the interests of the group and setting back the interests of other individuals.” Prinsip imparsialitas merupakan prinsip hukum yang berlaku secara universal, yang menghendaki hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya baik secara personal maupun institusional, terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok yang berpotensi mengancam prinsip imparsialitas tersebut.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, asas hukum nemo judex in causa sua tertuang dalam UU Kekuasaan Kehakiman, yang menjelaskan bahwa: (a) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera; (b) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat; dan (c) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, “Yang dimaksud kepentingan langsung atau tidak langsung adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.” Penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman hanya

Jurnal isi.indd 123 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 29: cover jurnal Agustus 2016.cdr

124 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

menggambarkan salah satu keadaan yang termasuk kepentingan langsung atau tidak langsung hakim dalam memeriksa perkara. Hal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang tersebut tidak memberi batasan mengenai kepentingan langsung atau tidak langsung hakim dalam memeriksa perkara.

Kepentingan hakim dalam institusi pengadilan pada cabang kekuasaan kehakiman pada saat memeriksa perkara dapat ditelusuri dari konflik yang terjadi antara Mahkamah Konstitusi dan peradilan lain pada negara-negara Eropa yang membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang terpisah dengan lembaga peradilan. Garlicki (2007: 63) menyatakan bahwa, “It was recently observed that there is a more general trend that whenever constitutional courts have been established in post-authoritarian countries, a pattern conflict between these court on the one hand, and the supreme court (plus other ordinary courts) on the other, has emerged.”

Observasi yang dilakukan oleh Garlicki menunjukkan bahwa ada kecenderungan konflik antara Mahkamah Konstitusi dan peradilan lain pada negara-negara yang membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang terpisah dengan lembaga peradilan lainnya, setelah jatuhnya rezim otoriter di negara tersebut. Kecenderungan konflik antara Mahkamah Konstitusi dan peradilan lain juga dapat terjadi dalam cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Garlicki (2007: 64) menjelaskan bahwa, “The existence of tensions and conflicts between the courts can often be traced to the natural inclination to expand the scope of their authority.” Selain itu, dijelaskan bahwa, “The foregoing developments demonstrate that no genuine separation of constitutional jurisdiction is possible in modern Rechtsstaat” (49). Kecenderungan konflik

antara Mahkamah Konstitusi dan peradilan lain pada negara-negara di Eropa, dikarenakan adanya kecenderungan lembaga peradilan untuk memperluas kewenangannya. Hal tersebut merupakan akibat bahwa dalam negara hukum modern, pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi tidak dapat terpisah secara mutlak dengan yurisdiksi lembaga peradilan lain dalam cabang kekuasaan kehakiman.

Loewenstern (2003: 1) menjelaskan bahwa, “[...] The Supreme Court’s Decision are legitimate only when (the Court) seeks to dissociate its self from individual or group interests, and to judge by disinterested and more objective standards.” Dalam konteks kekuasaan kehakiman di Indonesia, putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, harus dapat terlepas dari kepentingan individu maupun kelompok sehingga dapat diterima dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat umum dan mengikat serta mempengaruhi praktik penyelenggaraan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 akan membawa akibat hukum tidak hanya kepada pemohon, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan aparatur pemerintah. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang, dapat menimbulkan akibat tertentu yang mempengaruhi keadaan hukum atau hak, maupun kewenangan (Latif et al., 2009: 224). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memberikan implikasi terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal:

1. Kelembagaan Mahkamah Agung pada Sistem Kekuasaan Kehakiman

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memberikan implikasi

Jurnal isi.indd 124 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 30: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 125

terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal kelembagaan pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi memiliki kemerdekaan secara kelembagaan dari pengaruh yang bersifat mempengaruhi Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia bertugas mengawasi, memeriksa, mengadili serta menegakkan penyimpangan-penyimpangan hukum berfungsi melaksanakan fungsi saling mengawasi (checks and balances), sehingga menghasilkan hubungan saling mengawasi dan mengimbangi dengan kekuasaan negara lainnya.

Dalam rangka menjalankan fungsi sebagai peradilan, Mahkamah Agung memiliki hak dan kewajiban untuk mempertimbangkan apakah suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Garlicki (2007: 58), yang menyatakan bahwa, “Each court, when resolving an individual case, has a right and duty to consider whether the statutory provision on which judgment will be based in conformity with the Constitution.” Oleh karena itu, Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi juga memiliki tugas dalam membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga penerapan hukum dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

Ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, memberikan kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat memberikan teguran, petunjuk, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan di bawahnya. Mahkamah Agung memberikan teguran, petunjuk, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan di bawahnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan berlakunya ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, menyebabkan Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (SEMA 7/2014) pada tanggal 31 Desember 2014. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 menjadi pertimbangan utama Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA 7/2014. Menurut Pangabean (2001: 144) menjelaskan bahwa, “Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan bentuk edaran Mahkamah Agung kepada seluruh jajaran peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan.”

Mahkamah Agung menerbitkan SEMA 7/2014 bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada seluruh ketua pengadilan banding dan ketua pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Mahkamah Agung juga memberikan petunjuk mengenai permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana lebih dari satu kali hanya mengacu kepada SEMA 10/2009. SEMA 7/2014 berbeda dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan

Jurnal isi.indd 125 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 31: cover jurnal Agustus 2016.cdr

126 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

bahwa, “Keadilan dalam upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali tidak dapat dibatasi oleh ketentuan formal.” Hal tersebut menunjukkan bahwa SEMA 7/2014 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013.

Koalisi Anti Hukuman Mati yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Imparsial, dan Human Rights Working Group (HRWG) mendaftarkan uji materi SEMA 7/2014 ke Mahkamah Agung pada tanggal 17 April 2015 (Kompas, 2015: 3). Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, “Uji materi diajukan karena Mahkamah Agung secara kelembagaan enggan membatalkan SEMA 7/2014” (Kompas, 2015: 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memberikan pengaruh yang bersifat mempengaruhi Mahkamah Agung secara kelembagaan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Hal tersebut juga akan berpotensi berkembang kepada konflik antar lembaga peradilan.

Garlicki (2007: 66) menjelaskan bahwa, “The main body of conflicts between the courts develops within the area of interpretation.” Konflik utama antara lembaga peradilan terjadi ketika terdapat perbedaan penafsiran untuk menafsirkan suatu norma hukum. Perbedaan penafsiran mengenai suatu objek perkara antar lembaga peradilan tidak dapat dihindari apabila perkara tersebut menyangkut atau berkaitan dengan lembaga peradilan dalam cabang kekuasaan kehakiman.

Perbedaan penafsiran antara lembaga peradilan juga terjadi di Italia antara Italian

Constitutional Court dan Italian Court of Cassation sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Italia. Konflik yang terjadi antara Italian Constitutional Court dan Italian Court of Cassation diakibatkan Italian Constitutional Court pada tahun 1965 memberikan penafsiran yang berbeda dengan putusan Italian Court of Cassation pada tahun 1958 yang mengenai tahapan pemeriksaan pendahuluan dalam suatu perkara pidana (Garlicki, 2007: 56-57).

Italian Court of Cassation menolak menggunakan pendekatan yang digunakan Italian Constitutional Court mengenai tahapan pemeriksaan pendahuluan dalam suatu perkara pidana (Garlicki, 2007: 56-57). Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa ketika suatu lembaga peradilan mengadili suatu objek perkara yang berkaitan dengan yurisdiksi lembaga peradilan lain maka akan memberikan dampak terhadap lembaga peradilan dalam cabang kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.

2. Penyelenggaraan Peradilan Permohonan Peninjauan Kembali

Mengenai pengertian peninjauan kembali, Soerodibroto mengatakan bahwa, “Herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” (Wiriadinata, 2008: 27-28). Peninjauan kembali merupakan kewenangan yang diatribusikan oleh UUD NRI 1945 terhadap pembentuk undang-undang yang menegaskan bahwa kewenangan ‘permohonan peninjauan kembali’ melekat pada Mahkamah Agung.

Proses permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana harus melalui beberapa tahapan-tahapan, yaitu:

Jurnal isi.indd 126 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 32: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 127

a. Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan alasan secara jelas;

b. Panitera membuat akta permintaan peninjauan kembali;

c. Ketua pengadilan menunjuk hakim yang memeriksa permintaan peninjauan kembali;

d. Hakim yang memeriksa permintaan peninjauan kembali hanya berwenang menilai secara formal permintaan peninjauan kembali dan dituangkan dalam berita acara pendapat;

e. Hakim yang memeriksa tidak berwenang menilai alasan permintaan peninjauan kembali yang diajukan pemohon secara materiil, karena yang berwenang menilai secara materiil adalah Mahkamah Agung;

f. Sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali dilakukan secara terbuka, dihadiri oleh pemohon dan jaksa, dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, serta panitera;

g. Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung beserta berita acara pendapat, berita acara pemeriksaan, serta berkas perkara semula;

h. Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan berdasarkan berkas-berkas yang diberikan oleh pengadilan negeri; dan

i. Mahkamah Agung menjatuhkan putusan peninjauan kembali (Harahap, 2010: 624-634).

Dilihat dari segi historis, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana (herziening), terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (RSv)-Stb. Nomor 40 jo. Nomor 57 Tahun 1847 khususnya dalam title 18, Pasal 356 sampai dengan Pasal 360. RSv adalah hukum acara pidana pada Raad van Justitie, peradilan bagi golongan Eropa (Tahir, 1982: 9). Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga peninjauan kembali baru dikenal dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

yang mengatur bahwa, “Terhadap putusan pengadilan dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang.”

Namun ketentuan tersebut memerlukan peraturan pelaksana, karena dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur mengenai syarat-syarat mengenai keadaan tertentu dalam pengajuan peninjauan kembali. Kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1980, membuat Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 (Pangabean, 2001: 118) dan menjadi dasar hukum yang mengatur syarat permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Setelah berlakunya KUHAP, pengaturan mengenai penyelenggaraan permohonan peninjauan kembali diatur dalam KUHAP, sebagai pedoman dalam hukum acara pidana.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 berdampak terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung pada aspek penyelenggaraan peradilan dalam permohonan peninjauan kembali. Menurut Sudjito, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi manusia, namun di sisi lain berdampak serius bagi proses peradilan di Indonesia karena berpengaruh bagi kepastian hukum di negeri ini” (Kartika, 2014: 2).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menimbulkan penafsiran yang berbeda tentunya akan berdampak terhadap hakim yang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali. Waluyo (1992: 11) menyatakan bahwa hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban

Jurnal isi.indd 127 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 33: cover jurnal Agustus 2016.cdr

128 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada hukum tertulis atau tidak tertulis, dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 berdampak terhadap jumlah permohonan peninjauan kembali yang diterima Mahkamah Agung. Berdasarkan data tahun 2014, Mahkamah Agung menerima permohonan peninjauan kembali tahun 2014 sebanyak 2.617 permohonan peninjauan kembali dan permohonan peninjauan kembali tahun 2014 meningkat 7,87% dari penerimaan tahun sebelumnya sebanyak 2.426 permohonan peninjauan kembali (Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2015).

Permohonan peninjauan kembali sebagai salah satu aspek penyelenggaraan peradilan oleh Mahkamah Agung harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian KUHAP telah mempengaruhi aspek penyelenggaraan peradilan dalam Mahkamah Agung yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang merdeka, sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian KUHAP telah berdampak terhadap aspek independensi penyelenggaraan peradilan di Mahkamah Agung.

Independensi dalam penyelenggaraan peradilan merupakan suatu hal mutlak dalam negara hukum. Menurut pendapat Asshiddiqie (2015), “Absennya prinsip independensi peradilan, akan mengakibatkan

reduksi kepercayaan publik secara konstan.” Kepercayaan yang diperlukan untuk menuntut kepatuhan dan penerimaan terhadap apa yang diputuskan hakim. Kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan peradilan di Indonesia berada dalam keadaan kritis. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang dilakukan pada tanggal 1 April 2013 sampai 4 April 2013, di 33 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa, “56% publik menyatakan tidak percaya dengan penegakan hukum di Indonesia, 30% publik menyatakan percaya dengan penegakan hukum, serta 14% tidak menjawab” (Lingkaran Survei Indonesia, 2015). Namun demikian, rendahnya tingkat kepercayaan yang tersisa sekarang harus dijaga agar tidak sampai hilang. Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian KUHAP telah berdampak terhadap aspek independensi penyelenggaraan peradilan di Mahkamah Agung.

IV. KESIMPULAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memberikan implikasi terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Bentuk implikasi tersebut dapat dilihat pada dua aspek, yaitu: (a) dalam hal kelembagaan pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia; dan (b) dalam hal kemerdekaan Mahkamah Agung dalam hal penyelenggaraan peradilan pada permohonan peninjauan kembali. Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa terdapat dinamisasi implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang justru bisa menjadi kontraproduktif terhadap sifat independensi kekuasaan kehakiman, karena implementasi kewenangan salah satu pelaksana cabang kekuasaan kehakiman berpotensi dan diindikasi

Jurnal isi.indd 128 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 34: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Implikasi Putusan Pengujian Undang-Undang (Galih Erlangga & Dian Agung Wicaksono) | 129

mencederai kemerdekaan pelaku cabang kekuasaan kehakiman yang lain.

V. SARAN

Pertama, adanya pengaturan yang jelas dan limitatif dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengenai batasan-batasan penyelenggaraan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan lembaga dan penyelenggaraan peradilan dalam lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kedua, adanya pengaturan yang jelas dan limitatif mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam bentuk undang-undang. Ketiga, penyelenggaraan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku secara universal dan melekat pada diri setiap hakim.

DAFTAR ACUAN

Amsari, F. (2013). Perubahan UUD 1945 (Perubahan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui putusan Mahkamah Konstitusi). Rev. Ed. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Asshiddiqie, J. (2001). Peradilan konstitusi di 10 negara. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

___________. (2010). Hukum acara pengujian undang-undang. Jakarta: Sinar Grafika.

___________. (2012). Pengantar ilmu hukum tata negara. Cetakan Keempat. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

___________. (2015). Konsepsi nilai demokratis, kebersamaan dan ketaatan hukum dalam meningkatkan pemahaman nilai-nilai konstitusi. Diakses dari http://www.jimlyschool.com/read/analisis/261/konsepsi-nilai-demokratis-kebersamaan-dan-ketaatan-hukum-dalam-meningkatkan-pemahaman-nilainilai-konstitusi/.

Etudaiye, M.A. (2007, Maret). The doctrine of natural justice as an arm of the rule of law in Nigeria. Journal of Malaysian and Comparative Law, 43(3), 211.

Fachruddin, I. (2004). Pengawasan peradilan administrasi terhadap tindakan pemerintah. Bandung: Alumni.

Fuadah, A. (2014). Implikasi asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi terhadap konsepsi negara hukum di Indonesia. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Garlicki, L. (2007, Januari). Constitutional Courts versus Supreme Courts. Oxford Journal, 5(1), 44.

Garner, B.A. (2004). Black’s law dictionary. 8th Edition. West Texas.

Harahap, Y. (2010). Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan banding, kasasi, dan peninjauan kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, N., & Nazriyah, R. (2011). Teori dan pengujian peraturan perundang-undangan. Bandung: Nusamedia.

Jackson, V.C. (2012). Judicial independence in transition. Dordrecht: Springer Heidelberg.

Kartika, S.D. (2014, Maret). Peninjauan kembali lebih dari satu kali antara keadilan dan kepastian

Jurnal isi.indd 129 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 35: cover jurnal Agustus 2016.cdr

130 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 113 - 130

hukum. Info Singkat Hukum, VI(6).

Kompas. (2015, April). Mahkamah Agung jangan batasi PK. Kompas.

Latif, A. et al. (2009). Buku ajar hukum acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Total Media.

Lingkaran Survei Indonesia. (2015). Survei wibawa hukum 2013. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/367568/survei-5606-persen-publik-tidak-puas-atas-penegakan-hukum.

Loewenstern, M.E. (2003, Spring). The impartiality paradox. Yale Law and Policy Review, 21(2).

Mahfud MD., M. (1998). Politik hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

______________. (2006). Membangun politik hukum, menegakkan konstitusi. Jakarta: Pusat LPES.

______________. (2007). Perdebatan hukum tata negara pasca amandemen konstitusi. Jakarta: LP3ES.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2015). Laporan tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2014. Diakses dari https://www.mahkamahagung.go.id/images/ltmari-2014.pdf.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2004). Cetak biru membangun Mahkamah Konstitusi sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI.

Marzuki, H.M.L. (2006). Berjalan-jalan di ranah hukum. Jakarta: Konpress.

Marzuki, P.M. (2007). Penelitian hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Musschenga, A.W. (tt). The debate on impartiality: An introduction, ethical theory and moral practice. Bahan kuliah. Department of Philosophy Vrije Universiteit, Amsterdam.

Pangabean, H.P. (2001). Fungsi Mahkamah Agung dalam praktik sehari-hari. Rev. Ed. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Siahaan, M. (2011). Hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Soemantri, S. (1986). Hak menguji material di Indonesia. Bandung: Alumni.

Spector, H. (2002, Oktober). Judicial review rights and democracy. Makalah, dalam Workshop Law and Philosophy University of North Carolina, Chapel Hill-North Carolina.

Tahir, H.D. (1982). Herziening di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Bandung: Alumni.

Waluyo, B. (1992). Implementasi kekuasaan kehakiman Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Wiriadinata, W. (2008). Peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Cetakan Pertama. Bandung: Java Publishing.

Wiwoho, J. (2006). Lembaga-lembaga negara pasca amandemen keempat UUD 1945. Surakarta: UNS Press.

Yale, D.E.C. (1974, April). Iudex in propria causa: An historical wxcursus. The Cambridge Law Journal, 33(1).

Jurnal isi.indd 130 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 36: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 131

ABSTRAK

Secara konstitusional Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Saat melakukan pengujian, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menafsirkan UUD NRI 1945 dalam rangka menemukan hukum. Dalam penemuan hukum, hakim Mahkamah Konstitusi bebas untuk memilih dan menggunakan metode penafsiran konstitusi untuk memecahkan persoalan hukum yang diperhadapkan kepadanya, sehingga hakim dapat menentukan kaidah hukum yang menjadi alasan suatu putusan. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama bertentangan dengan UUD NRI 1945. Landasan pengujian konstitusionalitas kewenangan itu adalah Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Frasa “dan wewenang lain” dalam pasal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda. Pihak pemohon menafsirkannya secara limitatif, sedangkan pihak termohon menafsirkannya secara luas. Kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim pada peradilan agama, peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara dipandang mencederai prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijamin konstitusi, sementara pihak termohon berpendapat sebaliknya. Masing-masing pihak memiliki argumentasi yang pijakannya sama yaitu Undang-Undang Dasar, tetapi memiliki pandangan yang

berbeda terhadap ketentuan konstitusi.

Kata kunci: kemerdekaan kekuasaan kehakiman, pengujian konstitusionalitas, penemuan hukum.

ABSTRACT

The Constitutional Court constitutionally has the authority to conduct a judicial review towards the Law/Constitution. As performing the judicial review, the Constitutional Court is authorized to interpret the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in the framework of legal discovery. In the context of legal discovery, the Constitutional Court’s Judges are free to decide and use any method of constitutional interpretation to resolve the legal issues being reviewed, so as to determine the legal principles underlying the decision. The Constitutional Court has declared that the authority of the Judicial Commission in organizing the Selection of the Appointment of Judges of First Instance is inconsistent with the 1945 Constitution. The groundwork of the judicial review of that authority is Article 24B paragraph (1) of the 1945 Constitution. The phrase “and other authorities” in the article raises different interpretations. Petitioner interpret it in a limited basis, while the respondent interpret it generally. The authority of the Judicial Commission in the selection of judges in religious courts, general courts, and administrative

KEWENANGAN KOMISI YUDISIALDALAM TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015

THE INTERPRETATION OF CONSTITUTIONAL COURTON THE JUDICIAL COMMISION’S AUTHORITY

SuanroSekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai

Jl. Sisingamangaraja No. 35 Palangka Raya 73112E-mail: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 43/PUU-XIII/2015

Naskah diterima: 21 November 2015; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 131 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 37: cover jurnal Agustus 2016.cdr

132 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

courts is deemed detrimental to the principle of judicial independence, which is secured by the Constitution, while the Respondent argues otherwise. The arguments of each party equally based on the Constitution, but they

have different views on the constitutional provisions.

Keywords: judicial independence, judicial review, judicial law-making.

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga Stroink dan Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan administrasi negara (HR, 2014: 99). Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan, sering kewenangan disamakan juga dengan wewenang, otomatis wewenang disamakan pula dengan kekuasaan (Thalib, 2006: 208).

Kekuasaan dan kewenangan adalah dua hal yang berbeda, kekuasaan memiliki aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya kekuasaan dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari inkonstitusional misalnya melalui kudeta ataupun perang. Sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi (Thalib, 2006: 208). Kemudian antara kewenangan dan wewenang, Admosudirdjo mengatakan kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu

yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik (Admosudirdjo, 1994: 78). Jadi dengan merujuk pendapat Admosudirdjo maka kewenangan dapat terdiri dari wewenang-wewenang.

Meskipun ada perbedaan antara kewenangan dan wewenang, dalam praktiknya kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian dan disejajarkan. Dalam Undang-Undang Dasar juga digunakan kedua istilah tersebut, seperti dalam Pasal 18A UUD NRI 1945, Pasal 24A ayat (1), dan Pasal 24B ayat (1) menggunakan kata “wewenang,” kemudian Pasal 24C ayat (1) menggunakan kata wewenang dan kewenangan. Merujuk pada Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta, disebutkan bahwa wenang (wewenang) adalah hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu). Kewenangan juga disebutkan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu) (Poerwadarminta, 2007: 1366). Dengan demikian, menurut penulis istilah kewenangan dan wewenang dapat digunakan secara interchangeable atau saling dipertukarkan dengan makna yang sama.

Kewenangan sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan administrasi negara juga dapat menimbulkan persoalan. Kewenangan sebuah lembaga negara dengan lembaga negara yang lain dapat menimbulkan sengketa. Dalam konstitusi disebut dengan sengketa kewenangan

Jurnal isi.indd 132 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 38: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 133

lembaga negara. Jika mencermati persoalan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terkait dengan kewenangan dalam proses seleksi hakim secara riil dapat dikategorikan sebagai sengketa kewenangan, namun dikemas dalam bentuk pengujian materil undang-undang.

Kewenangan Komisi Yudisial terkait rekrutmen hakim pada pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara telah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Alhasil, kewenangan tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Pasal yang dijadikan batu uji ialah Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, “Komisi Yudisial ....mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Isu utama dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 adalah konstitusionalitas kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara. Keterlibatan Komisi Yudisial tersebut termuat dalam:

1. Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Ayat (2) berbunyi: “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat (3) berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”

2. Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Ayat (2) berbunyi: “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat (3) berbunyi:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”

3. Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ayat (2) berbunyi: “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat (3) berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”

Ketiga undang-undang tersebut diajukan permohonan pengujian konstitusionalitas kepada Mahkamah Konstitusi oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Menurut IKAHI keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 24 ayat (1) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Pasal 24B ayat (1) berbunyi: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.” Pasal 28D ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Argumentasi pemohon (IKAHI) mengatakan bahwa Mahkamah Agung sebagai pemegang “kekuasan kehakiman yang merdeka,”

Jurnal isi.indd 133 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 39: cover jurnal Agustus 2016.cdr

134 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri.

Keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya larangan terhadap “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.” Selain itu menurut IKAHI, kewenangan Komisi Yudisial menurut Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 hanya terbatas pada pengusulan calon hakim agung, bukan terhadap proses seleksi hakim pada lingkungan peradilan agama, peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan argumentasi tersebut, kata “bersama” frasa “dan Komisi Yudisial” merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip “kekuasaan kehakiman yang merdeka.”

Kata “bersama” frasa “dan Komisi Yudisial” sebagai turunan dari ketentuan Pasal 24B ayat (1) yaitu frasa “wewenang lain,” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya butir (3.9) menyatakan bahwa: “wewenang lain” tersebut adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD NRI 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial. Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat diketahui bahwa tafsiran terhadap ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 dimaknai secara limitatif. Sepertinya Mahkamah

Konstitusi tidak berani melakukan penafsiran secara luas, atau memaknai ketentuan tersebut sebagai open legal policy.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya pada poin (3.8.5), bahwa semua pendapat ataupun usulan yang berkembang baik pada sidang Panitia Ad Hoc maupun sidang paripurna MPR terkait kewenangan Komisi Yudisial untuk seleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada akhirnya ditolak. Bahwa suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak, menurut Mahkamah Konstitusi tidak boleh dijadikan norma dalam undang-undang kecuali dilakukan melalui proses perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD NRI 1945.

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dapat ditangkap, bahwa perubahan konstitusi hanya dapat dilakukan melalui prosedur yang ditentukan dalam konstitusi itu sendiri. Padahal dalam ilmu hukum tata negara, perubahan konstitusi dapat juga dilakukan melalui penafsiran konstitusi, seperti yang dikemukakan oleh K.C Wheare, Undang-Undang Dasar dapat diubah melalui formal amendment, judicial interpretation, dan constitutional usage and conventions (Asshiddiqie, 2013: 219).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu apa metode penafsiran yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai frasa “dan wewenang lain” Komisi Yudisial?

Jurnal isi.indd 134 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 40: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 135

C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan dari penulisan ini ialah menjelaskan metode penafsiran konstitusi yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Kegunaan penulisan ini ialah untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai penafsiran hukum yang sesuai teks, konteks, dan aktualisasi dalam memaknai maksud dan tujuan konstitusi.

D. Studi Pustaka1. Pengertian Konstitusi

Konstitusi diberi makna dan pengertian yang berbeda-beda, tergantung dari cara pandang masing-masing orang. Selain itu, konstitusi dapat dipandang dari berbagai aspek, antara lain hukum, politik, dan lain-lain. Sauders mengatakan, “A constitution is more than a social contract...it is rather than expression of the general will of nation. It is a reflection of its history, fears, concern, aspirations and indeed, the soul of nation.” Dalam pandangan yang hampir serupa, Prof. Muna Ndulo menyebutkan, “Konstitusi sebuah negara haruslah merupakan cacatan kehidupan sebuah bangsa sekaligus mimpi yang belum terselesaikan.” Konstitusi itu haruslah menjadi otobiografi nasional yang mencerminkan kemajemukan masyarakatnya, harus menuliskan visi seluruh masyarakat dan bisa meyakinkan bahwa dalam konstitusi itu semua mimpi dan tujuan seluruh masyarakat dapat tercapai (Manan & Harijanti, 2014: 208).

Horowitz menyatakan bahwa konstitusi di negara manapun mempunyai dua jenis karakteristik, yakni “mechanical and ideological aspirational.” Dikatakan mekanik karena konstitusi mengatur organ-organ atau alat-alat

kelengkapan negara, cara bekerjanya organ-organ tersebut, tugas serta wewenang yang dimiliki oleh alat-alat kelengkapan negara, termasuk cara mengatasi penyalahgunaan wewenang. Karakter aspirasi ideologi berarti suatu konstitusi memuat tujuan-tujuan bersama yang hendak dicapai oleh sebuah negara. Tujuan-tujuan tersebut tercantum secara ekplisit atau dapat tersirat dalam pasal-pasal. Horowitz menyebutnya sebagai ‘semi-sacred character’ (Manan & Harijanti, 2014: 209).

Pengertian konstitusi juga diberikan oleh Wheare yang membaginya menjadi dua arti, yakni konstitusi dalam arti sempit dan dalam arti luas. Konstitusi dalam arti sempit adalah kumpulan aturan hukum yang tersusun dalam sebuah naskah untuk mengatur pemerintahan suatu negara. Sedangkan konstitusi dalam arti luas adalah kumpulan aturan hukum dan non-hukum yang menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara. Aturan-aturan non-hukum tersebut berupa praktik ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan, dan lain-lain (Manan & Harijanti, 2014: 209).

Manan mengatakan bahwa konstitusi tidak selalu berkaitan dengan negara. Kita mengenal sebutan konstitusi partai, konstitusi himpunan, di samping sebutan konstitusi negara. Konstitusi negara adalah kumpulan asas dan kaidah mengenai organisasi negara (Manan & Harijanti, 2014: 145). Paham konstitusi disebut konstitusionalisme yang berarti paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan. Dalam kaitan dengan negara atau pemerintah, konstitusionalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan negara atau pembatasan kekuasaan pemerintahan. Mengapa harus ada pembatasan kekuasaan? Seperti sering kali dengar atau baca yang mengatakan

Jurnal isi.indd 135 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 41: cover jurnal Agustus 2016.cdr

136 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

“power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely.” Tanpa pembatasan, kekuasaan akan dijalankan secara sewenang-wenang (Manan & Harijanti, 2014: 146). Apakah kalau sudah ada konstitusi, akan ada pembatasan kekuasaan? Manan mengatakan belum tentu. Mengapa? Realitas pembatasan kekuasaan tidak ditentukan konstitusi atau kaidah hukum, melainkan oleh tingkah laku penyelenggara negara, dan tingkah laku penyelenggara negara ditentukan pula oleh berbagai hal seperti ideologi, tatanan politik, kepentingan kekuasaan, dan lain-lain.

Agar konstitusionalisme dapat terlaksana, diperlukan dukungan tatanan politik dan hukum tertentu, yaitu demokrasi (kerakyatan, kedaulatan rakyat) dan negara hukum. Tanpa demokrasi dan negara hukum, paham konstitusi tidak mungkin berjalan, dan kehadiran konstitusi atau UUD hanya akan menjadi pajangan belaka. Pada negara yang menjalankan kediktatoran, konstitusi atau UUD ditafsirkan dan dijalankan berdasarkan kehendak penguasa semata atau disebut negara kekuasaan (Manan & Harijanti, 2014: 146).

Ada hubungan antara konstitusi dan hakim. Pertama, betapa erat hubungan antara hakim dan konstitusi (UUD). Kedua, hubungan itu tidak selalu harus terkait dengan menilai (menguji) tetapi termasuk menafsirkan sebagai sarana aktualisasi atau updating UUD. Ketiga, hakim dapat menciptakan kaidah-kaidah konstitusi baru (constitusional creator, constitusionelsheping). Keempat, menafsirkan konsitusi dapat berupa menyempitkan atau memperluas ketentuan konstitusi, khususnya UUD. Kelima, konstitusi khususnya UUD adalah sumber hukum putusan hakim di samping undang-undang (baik dalam arti luas atau sempit) (Manan & Hariajnti, 2014: 152-153).

2. Metode Penafsiran Konstitusi

Lapisan ilmu hukum yang terdiri dari filsafat hukum, teori hokum, dan dogmatik hukum, pada akhirnya diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum (Hadjon & Djatmiati, 2005: 10). Dalam pembentukan hukum dan penerapan hukum itu diperlukan kemampuan untuk melakukan penafsiran hukum.

Bruggink mengelompokkan penafsiran dalam empat model, yaitu interpretasi bahasa, histori undang-undang, sistematis, dan kemasyarakatan (Hadjon & Djatmiati, 2005: 26). Senada dengan Bruggink, Mertokusumo mengatakan bahwa metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi empat yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis, dan teleologis. Di samping itu, dikenal interpretasi komparatif dan interpretasi antisipatif/futuristis (Mertokusumo, 2010: 74).

Dari hasil atau akibat penemuan hukum, pelbagai metode interpretasi dapat dibedakan antara interpretasi restriktif dan ekstensif. Karena interpretasi itu merupakan akibat rumusan tertentu dari suatu peraturan dapat menyebabkan dibatasi atau diperluasnya lingkungan penerapan peraturan tersebut, karena interpretasi itu dibatasi atau diperluas. Oleh karena itu disebut sebagai interpreasi restriktif atau ekstensif. Di sini bukanlah interpretasinya sendiri yang restriktif atau ekstensif, tetapi pembedaan istilah restriktif dan ekstensif adalah akibat formulasi tertentu dari suatu peraturan yang dibenarkan dengan bantuan interpretasi. Akibat inilah yang dapat membatasi atau memperluas lingkungan penerapan suatu peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 2010: 81).

Jurnal isi.indd 136 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 42: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 137

Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan dengan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi historis menurut undang-undang bersifat memperluas. Interpretasi teleologis sifatnya memperluas, sedangkan interpretasi sistematis bersifat membatasi (Mertokusumo, 2010: 81-82). Metode-metode itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk, sehingga batasnya tidak dapat ditarik secara tajam. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, historis, dan teleologis (Mertokusumo, 2010: 83).

Berkaitan dengan pendapat Mertokusumo yang menyatakan bahwa umumnya penafsiran historis menurut undang-undang bersifat memperluas, menurut penulis tidaklah selalu demikian dalam menafsirkan konstitusi, karena tafsir ini bergantung pada pandangan subjektivitas dari pembentuk konstitusi yang dapat memiliki maksud memperluas ataupun mempersempit makna dalam konstitusi, bahkan pembentuk undang-undang tidak membayangkan atau memperkirakan bahwa apa yang dirumuskannya menimbulkan penafsiran yang problematik di kemudian hari. Selain itu dikatakan oleh Usfunan dkk, bahwa penafsiran konstitusi melalui pendekatan original intent tidak mudah dilakukan, dan sering menimbulkan kontroversi karena multi interpretasinya original intent itu sendiri (Majelis Eksaminasi, 2006 : 4).

Metode pendekatan menafsirkan konstitusi, dapat dikategorikan menjadi tiga aliran, yaitu aliran originalis, non-originalis, dan naturalis. Beberapa metode yang digunakan kaum originalis ialah:

1. Textualist/Strict Constructionism Metode ini menjadikan teks sebagai acuan

utama, yang oleh para pakar paham ini disebut strict consructionism, di mana putusan hanya didasari teks dalam undang-undang, dengan syarat makna dan kata-kata dalam konstitusi multi tafsir (Pusako, 2010: 57-58).

2. Historical/Original Intent Para penganut paham ini meyakini bahwa

setiap keputusan hakim harus didasari pada makna kata-kata atau kalimat yang dipahami melalui analisa sejarah dalam penyusunan dan peratifikasian dari hukum atau konstitusi. Kalangan ini disebut juga dengan istilah intentionalist yaitu: “An originalist who gives primary weight to the intentions of framers, members of proposing bodies, and ratifiers” (Pusako, 2010: 62).

3. Functional/Structural Para functionalist meyakini bahwa

sebuah keputusan hakim harus didasari sebuah analisa terhadap struktur hukum dan kaitannya terhadap sejarah dari terbentuknya hukum tersebut. Hal tersebut berfungsi untuk melihat hubungannya sebagai sebuah harmonisasi sistem. Adagium yang mendukung paham ini adalah “nemo aliquampartem recte intelligere potest antequam totum perlegit”; tidak seorangpun akan mengerti akan sesuatu sehingga ia membaca seluruh bagiannya (Pusako, 2010: 63).

Selain pendekatan originalis di atas, penganut non-originalis juga memiliki metode dalam melakukan penafsiran konstitusi, yaitu:

1. Doctrinal/Stare Decicis Paham ini meletakkan idenya bahwa

Jurnal isi.indd 137 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 43: cover jurnal Agustus 2016.cdr

138 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

sebuah keputusan hakim harusnya didasari pada praktik-praktik yang telah terjadi atau melalui pandangan-pandangan para profesional hukum, makna yang dipahami legislatif, eksekutif atau putusan hakim yang telah ada (yurisprudensi), berdasarkan kepada the meta-doctrine dari pandangan sebuah putusan, yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan oleh peradilan dalam memutuskan sebuah perkara tidak hanya sebagai sebuah tinjauan tetapi juga sebagai sebuah hukum (normative). Argumentum a simili valet in lege; sebuah argumentasi dari sebuah kasus bermanfaat bagi hukum (Pusako, 2010: 66).

2. Prudendial Para prudentialist berkeyakinan bahwa

suatu keputusan hakim pastilah didasari dari faktor-faktor eksternal dari hukum atau kepentingan-kepentingan tertentu dalam setiap kasus, seperti tekanan dari kekuatan politik. Pandangan ini menggunakan pertimbangan yang menolak hal-hal yang dapat memengaruhi pertimbangan hakim dari kondisi eksternal peradilan. Konsep itu juga merupakan alasan utama pada metode doctrinal. Biasanya juga digunakan pada kasus-kasus pemerkosaan. Boni judicis est lites dirimere. The duty of a good judge is to prevent litigation; hakim yang baik adalah yang melindungi jalannya peradilan (Pusako, 2010: 67-68).

3. Equitable/Ethical Menurut kalangan equitable, semestinya

sebuah keputusan haruslah didasari kepada perasaan keadilan, keseimbangan dari pelbagai kepentingan, dan apa yang baik dan benar, tanpa menghiraukan

apa yang tertulis dalam aturan hukum. Seringkali fakta-fakta kasus yang terjadi tidak terdapat antisipasi dari para pembuat hukum. Para pakar merumuskan pelbagai macam ukuran nilai-nilai dan kepentingan yang berkesinambungan ke dalam metode pendekatan tafsir prudential, namun akan lebih baik lagi jika membedakan antara prudential sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dari sebuah sistem hukum di satu sisi dan meletakkan equitable sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dari pihak-pihak yang berperkara (Pusako, 2010: 68).

Berbeda dengan aliran originalis dan non-originalis, aliran lain yang digunakan dalam penafsiran konstitusi ialah pandangan kaum naturalis. Menurut aliran ini keputusan atau penafsiran hakim didasarkan kepada apa yang dibutuhkan atau dianjurkan oleh hukum alam (kitab-kitab agama/hukum Tuhan), kemanusiaan, dan kondisi lapangan atau kondisi ekonomi yang sedang terjadi, atau juga didasari kepada kemungkinan terhadap sesuatu yang akan terjadi.

Pandangan ini didukung oleh beberapa adagium hukum, di antaranya yaitu: jura naturae sunt immutabilia atau dalam bahasa Inggris; the laws of nature are unchangeable, yang bermakna bahwa hukum alam (hukum Tuhan) tidak tergantikan. Adagium latin lainnya adalah: legibus sumptis desinentibus, lege naturæ utendum est yang bermakna bahwa jika hukum negara gagal, maka kita harus memberlakukan hukum alam (Pusako, 2010: 69).

II. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan mengkaji

Jurnal isi.indd 138 10/28/2016 9:31:08 AM

Page 44: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 139

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 tentang konstitusionalitas kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim sebagai derivasi ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Data yang digunakan untuk menganalisis putusan tersebut ialah data sekunder berupa berupa bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal yang dipublikasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Aliran Penafsiran dalam Putusan Nomor

43/PUU-XIII/2015

Tidak ada hakim ataupun pengacara, atau bahkan para ahli hukum yang memulai argumentasinya dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan suatu perkembangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru (Hadjon & Djatmiati, 2005: 17). Dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, MK mendasarkan argumentasinya pada UUD NRI 1945.

Mahkamah Konstitusi diberikan mandat penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Dalam menafsirkan konstitusi, cara menafsirkan bergantung pada situasi dan kondisi yang berbeda. Para penafsir konstitusi menyadari konsekuensi dari pilihan menafsirkan konstitusi bahwa tidak akan pernah ditemukan keseragaman dari seluruh sumber, metode, teori,

walaupun setiap sumber pertimbangan tafsir tersebut memiliki kedudukan yang seimbang (Amsari, 2013: 110).

Penafsiran hukum berkaitan dengan penalaran hukum. Dikatakan oleh Shidarta, apa yang dimaksud dengan menalar secara juridisch denken dalam kenyataannya belum jelas benar. Indikator yang paling memungkinkan untuk memetakan penalaran hukum tersebut adalah dengan mengacu kepada aliran-aliran filsafat hukum. Secara klasikal dikenal sedikitnya enam aliran filsafat hukum yakni aliran hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme hukum, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan realisme hukum. Aliran lain yang disebut critical legal studies dan freierechtslehre (ajaran hukum bebas) dapat dianggap sebagai kubu ekstrim dari realisme hukum (Shidarta, 2013: 8).

Metode tafsir dan aliran filsafat yang menyelimuti hakim akan ditemukan dalam putusannya. Memahami putusan hakim, tidak segampang yang orang pikirkan. Sebagai panduan untuk memahami sebuah putusan, Mertokusumo mengatakan bahwa membaca putusan tidak cukup hanya membaca diktum atau amarnya saja, tetapi pertimbangan mengenai duduk perkaranya dan pertimbangan hukumnya tidak kurang pentingnya untuk dibaca, karena peristiwa konkret merupakan dasar penemuan hukum, hukum yang harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, kemudian dicarikan hukumnya dan akhirnya diputuskan (Mertokusumo, 2010: 71). Dalam perkara pengujian undang-undang hal serupa juga diterapkan, namun ada sedikit perbedaan, yaitu Mahkamah Konstitusi mengadili norma hukum dalam undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review).

Jurnal isi.indd 139 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 45: cover jurnal Agustus 2016.cdr

140 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

Dari keterangan para ahli baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait, dapat diklasifikasi metode penafsiran yang diaplikasikan oleh para pihak. Dalam tulisan ini hanya beberapa keterangan ahli yang penulis kutip. Dari pihak pemohon, yaitu:

a. Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., telah menggunakan penafsiran gramatikal. Hal ini nampak pada keterangannya yang membedakan antara “kontrol” dan “memilih” hakim. Sehingga secara tekstual disimpulkan bahwa sebuah anomali tatkala Komisi Yudisial ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim sementara kewenangannya adalah berkaitan dengan fungsi kontrol.

b. Prof. Dr. I Dewa Gede Panjta Astawa, S.H., M.H., telah menggunakan metode pendekatan penafsiran sejarah undang-undang (wetshistories) untuk mengungkapkan makna norma Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Dikatakan bahwa semangat dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk pengawasan eksternal. Selain itu, dikatakan bahwa ketentuan Pasal 24B ayat (1) sudah clear, jika hakim melakukan penafsiran lain, berarti hakim berubah menjadi pembentuk undang-undang.

c. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dengan penafsiran historis undang-undang dan sejarah hukum mengenai sistem peradilan satu atap, dapat dipahami bahwa original intent para pembentuk konstitusi tidak memberikan kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam proses seleksi hakim (hakim peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan umum). Ditegaskan oleh Yusril, perdebatan-

perdebatan yang melahirkan suatu pasal itu tidak sepenuhnya dapat dirujuk. Usulan dari Hamdan Zoelva, Jakob Tobing, dan Harjono supaya Komisi Yudisial ikut menyeleksi hakim. Itu diusulkan tetapi tidak disepakati oleh panitia ad hoc juga tidak disepakati oleh sidang paripurna MPR. Karena itu, pendapat-pendapat mereka itu merupakan bagian dari historis. Tidak bisa pendapat-pendapat itu dijadikan acuan dalam menafsirkan makna dari Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945.

d. Dr. Andi Irman Putra Sidin, S.H., M.H., berpendapat bahwa kewenangan Komisi Yudisial sudah secara jelas dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu kewenangan yang bersifat limitatif. Diungkapkan oleh ahli bahwa dalam menafsirkan wewenang lembaga negara harus diterapkan penafsiran original intent, tekstual dan gramatikal yang komprehensif dan tidak boleh menyimpang apa yang jelas tersurat dalam UUD NRI 1945. Selain itu terlihat dari penjelasannya, ternyata ahli juga menggunakan metode pendekatan kasus (case approach) yakni merujuk pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yang berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial. Putusan dimaksud ialah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor 27/PUU-XI/2013.

e. Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., lebih menitikberatkan aspek politik hukum legal policy. Singkatnya frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) merupakan opened legal policy, yang dijabarkan dalam keikutsertaan KY dalam proses seleksi hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha

Jurnal isi.indd 140 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 46: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 141

negara. Pada prinsipnya pembentuk undang-undang boleh menentukan isi undang-undang yang penting dan baik, apapun isinya sepanjang tidak bertentangan atau melanggar UUD NRI 1945. Pilihan materi yang didasarkan pada opened legal policy tidak boleh dibatalkan oleh yudikatif, yang dibuat oleh lembaga legislatif dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Meskipun tidak secara eksplisit metode penafsiran yang digunakan, namun nampaknya ahli menggunakan penafsiran yang diperkenalkan Dworkin, yaitu penafsiran kreatif (Asshiddiqie, 2013: 242). Penafsiran kreatif ini menurut penulis memang cocok bagi sebuah kebijakan hukum yang terbuka, bukan hanya bagi hakim, tetapi juga bagi pembentuk undang-undang.

f. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., pendekatan yang digunakan oleh ahli yaitu pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan undang-undang, dan ratio legis undang-undang. Baik dengan pendekatan historis undang-undang, penafsiran dalam kontekstual, dan ratio legis undang-undang, kesimpulannya bahwa ketentuan Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 adalah konstitusional.

g. Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., menggunakan lima metode yang dikemukakan oleh Prof. Bobbitt, yaitu: 1) historical, artinya berbasis pada keinginan pembentuk undang-undang; 2) tekstual yakni pemahaman teks secara langsung; 3) struktural, berkaitan dengan bagaimana struktur aturan ini sebenarnya diinginkan oleh Undang-Undang Dasar dan peraturan yang berada di bawahnya; 4) doktrinal,

yaitu berbasis pada doktrin yang ada, teori yang ada. Maupun berbasis pada praktik yang terjadi di negara lain; dan 5) prudensial yang memperhitungkan cost and benefit dari suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendekatan penafsiran yang telah dilakukan, Zainal Arifin Mochtar menyimpulkan bahwa kita tidak dapat menampilkan pentingnya peran Komisi Yudisial dalam melakukan judicial recruitment bagi para calon hakim. Dapat disimpulkan bahwa keikutsertaan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara adalah konstitusional.

Dari berbagai macam pendekatan tersebut ternyata dapat dipilah baik pemohon, termohon, dan pihak terkait, dapat diklasifikasi menjadi dua aliran yaitu: aliran originalis dan campuran originalis dan non-originalis. Antara pemohon dan termohon menurut penulis sama-sama penganut originalis, yakni Prof. H. M. Laica Marzuki, Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. I Dewa Gede Pantja Astawa, dan Prof. Philipus M. Hadjon (ahli termohon). Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam satu aliran penafsiranpun dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dari para ahli yang menurut penulis penganut non-originalis ialah Prof. Mahfud MD, sementara Dr. Zainal Arifin Mochtar yang menggunakan pandangan Prof. Bobbitt, yaitu penafsiran tekstual, penafsiran historis, penafsiran struktural, penafsiran prudensial, penafsiran doktrinal, dan penafsiran etikal. Dengan merujuk six modalities Bobbit tersebut, dikatakan bahwa alirannya ialah campuran antara originalis dan non-originalis.

Dalam hal kebijakan hukum terbuka “open legal policy” pembentuk undang-undang rentan

Jurnal isi.indd 141 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 47: cover jurnal Agustus 2016.cdr

142 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

terjadi kesewenang-wenangan, hal demikian berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi, Prof. Mahfud mengatakan bahwa Pasal 24B ayat (1) merupakan kebijakan hukum terbuka. Salah satu model yang dapat digunakan untuk menakar konstitusionalis kebijakan hukum terbuka adalah strategi maximin (memilih yang terbaik dari kemungkinan yang terburuk) yang dikembangkan dari pendekatan rasional (Wibowo, 2015: 196).

Perihal seleksi hakim, tidak dijelaskan dan dikatakan secara eksplisit dalam konstitusi, apakah dilakukan oleh Komisi Yudisial ataupun Mahkamah Agung, ataupun oleh lembaga lain, hal ini jelas menunjukkan bahwa seleksi hakim merupakan kebijakan hukum terbuka. Namun dengan strategi maximin dengan pendekatan yang rasional, memunculkan pertanyaan konstitusional terhadap seleksi hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung. Secara wajar, pilihan pembentuk undang-undang untuk melibatkan dua lembaga negara yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim merupakan “jalan tengah” yang dirasakan cukup adil.

Dikatakan oleh Wibowo, dalam praktik pembuatan undang-undang, “tuntutan yang adil” yang diminta Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, dapat diwujudkan dengan mengadopsi konsep keadilan yang digagas Rawls. Keadilan bagi Rawls dapat didekati melalui strategi maximin yang mengajarkan bahwa suatu pilihan kebijakan hukum yang adil harus diambil setelah “dengan sungguh-sungguh memperhatikan hasil paling buruk yang bisa timbul sebagai implikasi dari konsep keadilan yang dipilih.” Maximin itu sendiri merupakan kependekan dari maximunminimorum, yang kurang lebih artinya

memilih konsep yang efek kerugiannya paling kecil dari berbagai pilihan yang lain (Wibowo, 2015: 214).

Selain konsep keadilan Rawls, perlu kiranya merujuk konsep keadilan Aristoteles yang berkaitan dengan pembuatan undang-undang. Dalam hal ini adalah keadilan distributif. Keadilan distributif diartikan sebagai keadilan yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut kesamaan proporsional (Juni, 2012: 399).

Pembentuk undang-undang memberikan kewenangan Komisi Yudisial untuk turut serta bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim, merupakan hal yang tepat, bahkan boleh dikatakan sebagai jalan tengah untuk mewujudkan checks and balances antar lembaga negara, terlebih lagi bahwa konsep lembaga tinggi dan tertinggi negara sudah tidak dianut dalam perubahan konstitusi. Sehingga dengan demikian pembentuk undang-undang memberikan porsi dan kedudukan yang setara berimbang antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim adalah hal yang tepat.

B. Metode Penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015

Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian banyak macam metode interpretasi konstitusi yang ada atau berkembang dalam praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi (baik yang digunakan oleh pemohon, termohon, pihak terkait, saksi, ahli, maupun hakim konstitusi), hanya metode interpretasi konstitusi tertentu saja yang boleh dipilih dan digunakan oleh hakim (Tim Penyusun,

Jurnal isi.indd 142 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 48: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 143

2010: 77). Hal tersebut wajar adanya, karena hakim memiliki kebebasan yang autonom untuk memilih metode mana yang diyakininya benar.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pernah mengemukakan pandangan hukumnya sebagai berikut: “Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir Undang-Undang Dasar, tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” dengan mendasarkan diri kepada “original intent” perumusan pasal UUD NRI 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi Undang-Undang Dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.

Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD NRI 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara, yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI 1945” (Tim Penyusun, 2010: 77-78). Jadi tidak ada keharusan bagi hakim untuk tunduk pada metode penafsiran tertentu dalam melakukan penemuan hukum.

Terhadap Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, penulis mencoba memahaminya dengan cara yang dikatakan oleh Mertokusumo, yaitu dengan membaca duduk perkara dan

pertimbangan hukum hakim konstitusi. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa proses seleksi pengangkatan hakim adalah inkonstitusional. Untuk mencapai amar putusan yang demikian, maka akan ditelaah apa yang menjadi pertimbangan yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan hukum tersebut dipilih secara selektif, karena tidak semua pertimbangan itu merupakan ratio decidendi yang menjadi alasan hukum suatu putusan. Untuk mengetahui ratio decidendi dimaksud dapat dilihat dari metode penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk mengungkapkan metode penafsiran yang digunakan, penulis mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

a. Tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

1. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945: “Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada intinya terletak pada independensi hakim dalam memutus perkara. Menurut Mahkamah Konstitusi, untuk menjamin terwujudnya independensi hakim, memerlukan kelembagaan yang independen pula, agar menjamin para hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, yang antara lain diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan

Jurnal isi.indd 143 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 49: cover jurnal Agustus 2016.cdr

144 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.”

2. Bahwa menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

3. Bahwa suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak, menurut Mahkamah Konstitusi tidak boleh dijadikan norma dalam undang-undang kecuali dilakukan melalui proses perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD NRI 1945. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menggunakan pendekatan historis undang-undang dengan merujuk maksud pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent).

4. Menurut Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai suporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung kekuasaan kehakiman.

b. Wewenang Komisi Yudisial

1. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

2. Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim.”

3. Berdasarkan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, terhadap frasa “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim seharusnya hanya memberikan kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial.”

4. Menimbang bahwa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD NRI 1945 tidak memberi wewenang kepada pembentuk undang-undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial. Jadi yang dimaksud dalam rangka menjaga dan menegakkan adalah semata-mata berkaitan dengan pengawasan etik.

Jurnal isi.indd 144 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 50: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 145

Dari pertimbangan hukum tersebut di atas, nampak bahwa Mahkamah Konstitusi mengelaborasi dan mengaitkan beberapa pasal, baik itu pasal dalam UUD NRI 1945, ataupun pasal-pasal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman guna memaknai “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1). Cara demikian dikenal dengan metode penafsiran sistematis logis. Hal itu terlihat dari beberapa pasal yang menjadi acuan, yaitu Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Poin penting dari pertimbangan hakim mengenai “kekuasaan kehakiman yang merdeka” adalah bahwa independensi kekuasaan kehakiman tidak cukup hanya dalam memutus perkara, tetapi juga independen secara kelembagaan. Secara kelembagaan terwujud dalam sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dari hal ini sudah tersirat bahwa tidak ada kekuasaan lain selain Mahkamah Agung yang berwenang melakukan proses seleksi hakim, hal ini berdampak pada diamputasinya kewenangan Komisi Yudisial yang ikut serta dalam proses seleksi hakim pada lingkungan peradilan umum, agama, dan tata usaha negara.

Mengenai perdebatan terhadap original intent Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945, ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi, dengan merujuk pada pandangan ahli pemohon, Prof. Dr. Yusril Izha Mahendra, S.H., M.Sc., bahwa proses amandemen tahap kedua UUD NRI 1945 yang membahas kemungkinan Komisi Yudisial untuk ikut menyeleksi hakim tingkat pertama dan banding, namun usul tersebut tidak disepakati. Apa yang disepakati hanyalah dalam proses seleksi hakim agung saja, tidak hakim-hakim yang lain. Dengan alasan itulah, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma yang telah

dibahas dan ditolak, tidak boleh dijadikan norma dalam undang-undang, kecuali melalui proses perubahan Undnag-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD NRI 1945. Melihat beberapa pandangan yang mencoba mengelaborasi mengenai original intent kewenangan Komisi Yudisial, baik oleh pemohon, termohon, maupun pihak terkait, nyata bahwa original inten itu mengandung kontroversi.

Terkait dengan wewenang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi sesuai dengan penafsiran sistematis terhadap prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka, berpendapat bahwa Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Kemudian dikatakan bahwa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Undang-Undang Dasar tidak memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial. Selain itu, dengan merujuk pada Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, telah memberikan makna secara limitatif, yaitu kewenangan Komisi Yudisial hanya terbatas pada pengawasan etik.

Dari beberapa pertimbangan hukum tersebut di atas, dapat ditarik beberapa metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu penafsiran sistematis logis dengan mengelaborasi pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, original intent nampak pada usaha untuk memahami maksud dan tujuan dibentuknya Komisi Yudisial yang termuat dalam risalah pembahasan perubahan UUD NRI 1945; dan pendekatan kasus, di mana hakim konstitusi merujuk putusan-putusan terdahulu yang juga memberikan penafsiran terhadap Pasal 24B ayat

Jurnal isi.indd 145 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 51: cover jurnal Agustus 2016.cdr

146 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

(1) dengan pendekatan original intent. Dari metode yang telah digunakan Mahkamah Konstitusi dapat ditarik ratio decidendi putusan itu ialah kewenangan lembaga negara tidak dapat ditambah atau dikurangi, kecuali melalui perubahan UUD NRI 1945. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa adanya penjabaran ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 yang intinya Komisi Yudisial terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim adalah inkonstitusional.

C. Catatan atas Pertimbangan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 terkait Kekuasaan Kehakiman dan Komisi Yudisial

Mengutip pendapat Manan, ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu:

(1) Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus sesuatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu penetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan di luar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum, dimungkinkan dicampuri, seperti supervisi dan pemeriksaan dari cabang-cabang kekuasaan dari luar kekuasaan kehakiman. Tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (sudah dicabut), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, telah diletakkan dasar pengelolaan administrasi umum, kecuali terhadap hal-hal merupakan pekerjaan pemerintahan, seperti pelaksanaan anggaran.

(2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.

(3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak berpihak.

(4) Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum biasa atau luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.

(5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman.

(6) Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang (Manan, 2007: 29-30).

Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “bersama-sama KY dan MA” dinilai inkonstitusional, yaitu bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman dan limitasi kewenangan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Apakah keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses pengangkatan hakim mengganggu independensi hakim atau prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka? Sebagai pembanding, Mahkamah Konstitusi memiliki hakim yang berasal dari tiga lembaga negara, namun eksistensinya tetap memegang prinsip independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman.

Jadi, adakah korelasi independensi dengan proses seleksi? Jika kita beranggapan itu ada hubungannya, berarti seleksi yang selama ini telah

Jurnal isi.indd 146 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 52: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 147

berlangsung mempengaruhi atau mengganggu independensi dan imparsialitas hakim konstitusi. Bukankah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman?

Mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka, perlu kiranya dipahami dari apa yang disebutkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ayat (3) mengatakan “setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Falaakh berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman ditekankan sebagai kebebasan hakim dan lembaga yudikatif dalam menegakkan hukum dan keadilan atau di ranah teknis-yustisi. Berarti, pertama, pembatasan terhadap kekuasaan kehakiman hanya dapat ditentukan di tingkat konstitusi dan tidak boleh ditentukan hanya dengan undang-undang. Kedua, yudikatif tidak bebas diranah non-yustisi (kepegawaian, administrasi, dan anggaran) (Falaakh, 2010: 2).

Jika dalam hal di luar kegiatan teknis yustisi tidak bebas, atau dikatakan dapat dilakukan oleh lembaga lain selain lembaga yudikatif, maka kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam proses seleksi pengangkatan hakim bersifat pilihan. Dalam hal seleksi hakim, Reksodiputro mengatakan, dibutuhkan sistem pendidikan hakim terpadu atau terintegrasi, berarti ada kesatuan antara sistem seleksi dan sistem pendidikan/pelatihan hakim. Hal tersebut

belum terwujud sekarang ini, karena hasil seleksi belum menghasilkan mereka yang terbaik dari para pelamar (Rimdan, 2012: 314). Rimdan yang juga seorang hakim mengatakan, bahwa proses seleksi telah mengalami kemajuan terutama disahkannya Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, secara konstitusional telah melibatkan KY (Rimdan, 2012: 316).

Pembentuk undang-undang melalui diskresi dapat memilih model seleksi hakim. Dikatakan oleh Manan, hakim tidak boleh mengkonfrontasikan antara ketentuan hukum dan kebijakan pembentuk undang-undang. Dalam kasus Marbury Vs Madison, Marshall (Ketua MA) mengemukakan pengadilan tidak dapat menguji tindakan eksekutif dalam hal:

1. Tindakan eksekutif yang bersifat politik;

2. Tindakan termasuk dalam lingkup diskresi (freis ermessen). Meskipun pernyataan tersebut berkaitan dengan tindakan eksekutif, menurut Manan, berlaku juga untuk tindakan di bidang legislatif (Manan, 2007: 152-153).

Hal senada juga dinyatakan oleh Mahfud MD, salah datu dari sepuluh rambu bagi MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD, MK tidak boleh mencampuri masalah-masalah yang didelegasikan oleh UUD kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan atau dalam undang-undang sesuai dengan pilihan politiknya sendiri. Apa yang diserahkan secara terbuka oleh UUD untuk diatur oleh undang-undang berdasar pilihan politik lembaga legislatif tidak bisa dibatalkan oleh MK kecuali jelas-jelas melanggar UUD NRI 1945 (Mahfud MD, 2009: 282).

Mengenai pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada poin (3.8.5) paragraf

Jurnal isi.indd 147 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 53: cover jurnal Agustus 2016.cdr

148 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

2, nampak bahwa Mahkamah Konstitusi enggan untuk melakukan perubahan konstitusi melalui penafsiran konstitusi, secara khusus Pasal 24B ayat (1) yang berkaitan dengan “wewenang lain” Komisi Yudisial. Padahal pada putusan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 telah mengubah makna Pasal 24B ayat (1) di mana hakim konstitusi dikecualikan menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial.

Diberikannya wewenang kepada Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam proses seleksi calon hakim, merupakan suatu perbenturan antara politik hukum legislatif dan yudikatif. Melihat perkara tersebut, penulis mengutip pendapat Meuwissen yang menyatakan bahwa penemuan hukum adalah lebih dari sekedar melaksanakan (menerapkan) silogisme sederhana. Kita mengetahui bahwa inti persoalannya adalah terletak dalam menetapkan premis-premis, dan khususnya menetapkan arti dari kaidah dan fakta dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya (saling keterhubungan).

Hal mengiterpretasi ini menyandang karakter hermeneutikal. Ia tidak bebas nilai dan karena itu juga tidak a-politik. Penemuan hukum adalah politikum (Meuwissen, 2009: 111). Bila menilik lebih jauh Putusan Mahkamah Konstitusi maka tidak lain dan tidak bukan ialah politik yang berbaju hukum nampaklah terlihat. Dalam keadaan yang demikian maka kehendak politik yang baik tentu juga digambarkan oleh kehendak hukum yang baik pula. Sebuah niat yang baik untuk dua lembaga negara bekerja sama telah dinyatakan inkonstitusional!

Dari konteks kelembagaan, dalam pertimbangan hukumnya pada poin (3.8.2) paragraf 4, Mahkamah Konstitusi masih

menganut pengelompokan lembaga negara, yaitu antara lembaga negara bantu atau penunjang dengan lembaga negara utama. Dikatakan oleh para pakar hukum tata negara, di antaranya Prof. Yohanes Usfunan dan Moh. Fajrul Falaakh, bahwa pengelompokan yang demikian tidak sesuai dengan semangat perubahan UUD NRI 1945 yang menghapuskan klasifikasi lembaga tertinggi dan tinggi negara.

Setelah perubahan tidak ada lagi hubungan antar lembaga negara yang bersifat hierarkis. Eksistensi lembaga negara sangat bergantung pada fungsi dan wewenang masing-masing tanpa membedakan lembaga yang satu adalah lebih utama, sedangkan yang lain hanyalah penunjang (Majelis Eksaminasi, 2006: 7). Dalam kontek seleksi hakim pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara hendaknya dipahami sebagai hubungan kemitraan, sehingga dapat mengeliminasi ego sektoral kelembagaan.

IV. KESIMPULAN

Metode penafsiran hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 terhadap frasa “dan wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945, adalah metode penafsiran sistematis logis dan penafsiran historis dengan menggunakan pendekatan original intent norma konstitusi.

Dengan hipotesis bahwa penafsiran sistematis logis umumnya membatasi makna konstitusi adalah benar dan terbukti dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015. Namun berbeda dengan pendekatan historis yang umumnya memperluas makna konstitusi, dalam pertimbangan hakim konstitusi jelas terlihat mengikuti penafsiran menurut sejarah yang diutarakan ahli pemohon (I Gede Pantja Astawa

Jurnal isi.indd 148 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 54: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kewenangan Komisi Yudisial dalam Tafsir Mahkamah Konstitusi (Suanro) | 149

dan Yusril Izha Mahendra) sehingga tidak terbukti bahwa penafsiran historis bersifat memperluas melainkan membatasi. Jika hakim konstitusi mengikuti penafsiran historis yang digunakan oleh ahli pihak terkait Komisi Yudisial (Philipus M. Hadjon) dan pihak terkait Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (Zainal Arifin Mochtar), maka hasilnya akan sesuai dengan pendapat Mertokusumo bahwa penafsiran historis bersifat memperluas.

Dari metode penafsiran yang digunakan Mahkamah Konstitusi maka disimpulkan bahwa kewenangan Komisi Yudisial hanya terbatas/limitatif, yaitu terbatas pada wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim. Hal ini sesuai dengan putusan terdahulu yang menjadi rujukannya yakni Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, yang menyatakan bahwa kewenangan Komisi Yudisial hanya terbatas pada pengawasan etik.

V. SARAN

Dalam memilih metode tafsir yang ada, hendaknya para hakim hati-hati, karena dengan metode penafsiran yang digunakan dapat mematikan konstitusi, dapat pula menghidupkan konstitusi.

DAFTAR ACUAN

Admosudirdjo, P. (1994). Hukum administrasi negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Amsari, F. (2013). Perubahan UUD 1945 perubahan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia

melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.

Asshiddiqie, J. (2013). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Falaakh, M.F. (2010). Transparasi dan akuntabilitas yudikatif di Indonesia. Makalah disampaikan pada Pelatihan Hak Asasi Manusia Untuk Jejaring Komisi Yudisial RI. Diakses dari http://pusham.uii.ac.id/files.php?type=art&lang=en&id=175.

Hadjon, M.P., & Djatmiati, T.S. (2005). Argumentasi hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

HR, R. (2014). Hukum administrasi negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Juni, E.H. (2012). Filsafat hukum. Bandung: Pustaka Setia.

Mahfud MD, Moh. (2009). Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu. Jakarta: Rajawali Pers.

Majelis Eksaminasi. (2006). Eksaminasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yogyakarta: Kerjasama Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKat Korupsi) FH UGM dan Indonesia Monitoring Court. Diakses dari http://pukat.hukum.ugm.ac.id/upload/arsip/Putusan_Eksaminasi_KY.pdf.

Manan, B. (2007). Kekuasaan kehakiman Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Yogyakarta: FH UII Press.

Manan, B., & Harijanti, S.D. (2014). Memahami konstitusi makna dan aktualisasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Mertokusumo, S. (2010). Penemuan hukum sebuah

Jurnal isi.indd 149 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 55: cover jurnal Agustus 2016.cdr

150 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 131 - 150

pengantar. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Meuwissen. (2009). Tentang pengembangan hukum, ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Sidharta, B.A. (Ed.). Bandung: Refika Aditama.

Poerwadarminta, W.J.S. (2007). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO). (2010). Perkembangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (Dari berfikir hukum tekstual ke hukum progresif). Hasil Penelitian kerjasama Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Andalas Padang dengan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf.

Rimdan. (2012). Kekuasaan kehakiman pasca-amandemen konstitusi. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Shidarta. (2013). Hukum penalaran dan penalaran hukum (Buku I akar filosofis). Yogyakarta: Genta Publising.

Thalib, A.R. (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan implikasinya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Tim Penyusun. (2010). Hukum acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Wibowo, M. (2015, Juni). Menakar konstitusionlitas kebijakan hukum terbuka dalam pengujian undang-undang. Jurnal Konstitusi, 12(2), 196-216.

Jurnal isi.indd 150 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 56: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 151

ABSTRAK

Dari awal konstitusi dibentuk sampai saat ini, perlindungan dan pengamanan terhadap hakim terutama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman masih belum optimal. Hukum positif Indonesia tidak mengatur contempt of court secara definitif, spesifik, dan lengkap. Adapun pengaturan yang dipadankan dalam KUHP, tidak merepresentasikan pengertian dan ruang lingkup contempt of court secara komprehensif dan integral. Majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK secara responsif mengisi kekosongan hukum yang ada dengan mendefinisikan contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman serta melakukan terobosan hukum dalam putusan pemidanaannya. Permasalahannya adalah bagaimana pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perspektif penemuan hukum progresif? Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa penemuan hukum progresif menghendaki hakim untuk berupaya menghasilkan kaidah hukum baru yang mendasarkan

pada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan serta memiliki visi pembaruan hukum (ius constituendum).

Kata kunci: contempt of court, kekuasaan kehakiman, ius constituendum.

ABSTRACT

Since the establishment of the constitution to the present, the protection and security of judges, principally in executing the function of judicial power are still not optimal. The positive law in Indonesia has not yet definitively, specifically, and completely set out the provision regarding contempt of court. Despite the fact that the comparable provision in the Criminal Code does not represent the definition and scope of contempt of court in a comprehensive and integral way. In the Decision Number 241/Pid.B/2006/PN.PWK the judges make a legal breakthrough in the adjudication and responsively fill the legal vacuum by defining the contempt of court as an offense against judicial power. The arising issue is how the criminal prosecution of the offense against judicial power is viewed from progressive law-making perspective? The issue is elaborated in this analysis using normative research methods. There are three approaches employed: approach to legislations, cases, and concepts. By and large conclusions on the issues discussed are drawn from the qualitative juridical

”CONTEMPT OF COURT” DALAMPERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

Kajian Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK

CONTEMPT OF COURT THROUGHTHE PERSPECTIVE OF PROGRESSIVE LAW

Budi SuhariyantoPusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat 10510E-mail: [email protected]

An Analysis of Decision Number 241/Pid.B/2006/PN.PWK

Naskah diterima: 15 Oktober 2015; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 151 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 57: cover jurnal Agustus 2016.cdr

152 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Para ahli hukum pidana pada umumnya mengartikan pidana sebagai suatu penderitaan atau nestapa (Suhariyanto, 2013: 25). Pada asasnya, menjatuhkan pidana secara sewenang-wenang atau berlebihan merupakan suatu kekejian terhadap hak asasi manusia (Manan & Harijanti, 2014: 164-165). Ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu (Abdussalam & Desasfuryanto, 2012: 389).

Selaras dengan asas nullum crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya (Hiariej, 2014: 59). Olehnya hakim hanya dapat memutuskan sanksi pidana berdasarkan jenis dan berat sanksi sesuai dengan takaran yang ditentukan oleh undang-undang (Zulfa, 2011: 33). Dalam konteks ini dapat dipertanyakan, apakah mungkin memidana seseorang tanpa adanya suatu aturan pidana dengan sarana penemuan hukum (Effendy, 2012: 24).

Pada dasarnya teks hukum itu (a quo undang-undang pidana) bisa tertinggal oleh perkembangan atau dinamika dalam masyarakat (Rahardjo, 2010: 65) hingga menimbulkan kekosongan hukum. Kekosongan hukum yang terjadi akibat tidak sempurnanya undang-undang

tersebut akan dapat berubah menjadi kekacauan (Ansyahrul, 2011: 134). Maka selain berdasarkan asas legalitas, hakim juga harus melandaskan pelaksanaan tugasnya pada asas ius curia novit. Apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis atau suatu peraturan perundang-undangan belum jelas mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan insiatifnya sendiri menyelesaikan perkara tersebut.

Hakim harus berperan menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan belum jelas (Mulyadi, 2012: 378). Adapun peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap, harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya (Sutiyoso, 2012: 51).

Hakim juga harus aktif berperan untuk menemukan hukum dan membentuk hukum baru serta mengembangkan hukum (Idris et al., 2012: 68). Dalam konteks ini muncul pemikiran yang berpendapat bahwa adil tidaknya suatu undang-undang berada di pundak hakim (Kamil, 2012: 211). Dalam konteks ini, hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum progresif yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, sehingga dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa

analysis. From the discussion, it can be concluded that progressive law discovery requires judges at the outset to have a law reform vision (ius constituendum) and subsequently attempt to lay new legal principles based

on justice values and legal expediency.

Keywords: contempt of court, judicial power, ius constituendum.

Jurnal isi.indd 152 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 58: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 153

dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial (Rifa’i, 2011: 137).

Setidaknya terdapat dua poin penting dan mendasar terkait kaidah penemuan hukum progresif, yaitu pembentukan kaidah hukum baru untuk merespon kekosongan hukum dan memiliki visi pembaruan hukum yang direkomendasikan dalam putusannya. Diperlukan keberanian hakim untuk mencari dan menemukan serta membentuk kaidah hukum baru saat mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tidak lengkap atau tidak ada sama sekali. Selanjutnya kaidah hukum baru yang terbentuk tersebut harus menjawab masalah dan perkara konkret yang dihadapinya serta mampu memberikan rekomendasi pembaruan hukum di masa yang akan datang (ius constituendum).

Untuk dapat merealisasikannya, seorang hakim dituntut untuk teliti dalam membaca peraturan perundang-undangan yang ada dan responsif dalam mengamati perkembangan masyarakat berikut nilai-nilai yang hidup dan meliputi laju perkembangannya. Dalam konteks inilah maka menurut Rahardjo, sumbangan lembaga hukum ini (pengadilan a quo hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman) terhadap perubahan sosial yang terjadi di negeri ini akan besar sekali (Rahardjo, 2009: 161).

Secara fungsional dalam hukum pidana, usaha penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim terkait dengan putusan pemidanaan terhadap suatu tindakan atau perbuatan yang tidak diatur secara lengkap oleh Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam konteks ini hakim secara responsif akan memberikan definisi khusus terhadap perbuatan yang belum secara lengkap diatur dalam KUHP atau undang-undang lainnya. Sebagaimana dalam perkara contempt

of court yang secara normatif tidak diatur secara spesifik dan definitif tetapi padanannya sebagian terdapat dalam KUHP. Pada praktiknya, para hakim umumnya memutuskan pemidanaan berdasarkan KUHP terhadap perbuatan contempt of court semisal Putusan Nomor 85 K/MIL/2006. Namun terdapat satu putusan pemidanaan yang dijatuhkan dengan menggunakan kualifikasi (tidak sesuai dengan rumusan KUHP) dan mendefinisikan secara khusus terhadap contempt of court yaitu sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman.

Sebagaimana pertimbangan hukum majelis hakim (RH, AH, dan NPF) dalam Putusan Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK yang menyatakan:

Menimbang bahwa, istilah contempt of court sampai saat ini belum mempunyai padanan resmi dalam hukum positif di Indonesia, karena tanpa sebab yang jelas belum ada aturan yang khusus mengatur, sehingga untuk memudahkan pemahaman dan memberikan citra keindonesiaan dalam istilah itu majelis hakim perlu untuk memberikan padanan yang resmi;

Menimbang bahwa, karena istilah resmi dalam konstitusi adalah kekuasaan kehakiman, sehingga contempt of court menurut pendapat majelis hakim lebih tepat diartikan sebagai ”tindakan menentang kekuasaan kehakiman”;

Menimbang bahwa, dengan pemahaman di atas, maka terdakwa sekarang ini menurut majelis hakim adalah termasuk dalam tindakan “menentang kekuasaan kehakiman” (contempt of court) dalam arti yang sebenarnya;

Menimbang bahwa, sekalipun di atas telah dikualifikasikan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa “dengan melawan hak, memaksa orang melakukan suatu perbuatan,” namun dengan uraian pertimbangan di atas, majelis hakim perlu merumuskan kualifikasi yang lebih spesifik bagi perbuatan yang dilakukan oleh

Jurnal isi.indd 153 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 59: cover jurnal Agustus 2016.cdr

154 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

terdakwa yaitu: “Tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman: dengan melawan hak memaksa hakim bersidang.”

Terdakwa UK dalam perkara ini melakukan pemaksaan kepada hakim untuk bersidang dengan perbuatan yang tidak menyenangkan dan menghina hakim di pengadilan. Atas perbuatannya tersebut terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu kesatu: melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, atau kedua: melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP jo. Pasal 316 KUHP.

Penuntut umum menuntut agar hakim memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu dan menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan dikurangi selama dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/PidB/2006/PN.PWK memutuskan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman: dengan melawan hak memaksa hakim untuk bersidang dan menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun.

Atas putusan tersebut baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pengadilan tingkat banding melalui Putusan Nomor 38/PID/2007/PT.BDG memutuskan menerima permintaan banding dari terdakwa dan jaksa penuntut umum serta menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK. Atas putusan pengadilan tingkat banding tersebut, terdakwa mengajukan kasasi. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1316 K/Pid/2007 memutuskan menolak permohonan kasasi terdakwa.

Menarik untuk dikaji mengenai putusan pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perkara ini, sejauh mana majelis hakim melakukan upaya penemuan hukum progresif dengan memunculkan kaidah hukum baru tentang contempt of court dan mengualifikasikannya secara khusus sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman. Apalagi dengan adanya argumentasi dan alasan-alasan hukum yang logis terkait perlunya konsep pembentukan dan pembaruan hukum contempt of court di masa mendatang (ius constituendum) maka semakin relevan ditinjau dalam perspektif penemuan hukum progresif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka patut diidentifikasi sebagai masalah utama yaitu tentang bagaimanakah pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perspektif penemuan hukum progresif. Masalah utama ini dapat diturunkan dalam rumusan masalah yang lebih bersifat rinci disesuaikan dengan analisis terhadap dua kaidah dari penemuan hukum progresif, yaitu terkait dengan adanya pembentukan kaidah hukum baru dan visi pembaruan hukum dalam putusan pemidanaannya, sehingga dapat dibedakan menjadi dua masalah, antara lain:

1. Bagaimanakah pembentukan kaidah hukum baru dalam putusan pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman ditinjau dari perspektif penemuan hukum progresif?

2. Bagaimanakah konsep pembaruan hukum contempt of court yang dikehendaki oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK ditinjau dari

Jurnal isi.indd 154 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 60: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 155

perspektif penemuan hukum progresif?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis putusan pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perspektif penemuan hukum progresif dengan menjawab dan membahas masalah turunannya, yaitu eksistensi kaidah hukum baru dalam putusannya, pertimbangan hakim dalam menilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum saat penjatuhan putusan pemidanaannya, serta konsep pembaruan hukum contempt of court yang dikehendaki oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid B/2006/PN.PWK.

Adapun kegunaan/manfaat yang ingin diperoleh secara praktis adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi penegak hukum khususnya hakim dalam menghadapi contempt of court, serta bagi pembentuk undang-undang dalam rangka melakukan pembaruan hukum pidana yang terkait kebijakan kriminalisasi contempt of court baik dalam revisi KUHP maupun RUU tentang Contempt of Court.

D. Studi Pustaka

Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the Founding Fathers sebagai suatu negara hukum (Asshiddiqie, 2015: 119). Disebut sebagai negara hukum dalam arti bahwa segala persoalan dan silang sengketa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara harus diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan oleh pemegang otoritas hukum yang sah (Mas’udi, 2010: 52). Pemegang otoritas hukum yang sah ini adalah para pelaku kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan secara merdeka dan mandiri. Kemerdekaan kekuasaan

kehakiman merupakan syarat mutlak dan sangat fundamental bagi negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan sistem negara demokrasi (Saleh, 2014: 121).

Adanya kekuasaan kehakiman yang kuat dan mandiri diperlukan dalam rangka menegakkan dan menjamin berjalannya aturan-aturan hukum seperti yang dikehendaki oleh negara hukum itu sendiri (Bachtiar, 2015: 89). Olehnya dalam konstruksi negara hukum, hakim harus independen, bebas dari segala campur tangan pihak manapun juga, baik intern maupun ekstern. Sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan putusan yang seadil-adilnya (Rimdan, 2012: 51) dengan bersikap responsif terhadap perkembangan masyarakat serta berparadigma progresif dalam menemukan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat (Rifa’i, 2011: 48).

Pada dasarnya dalam penemuan hukum, dikenal adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk mencapai perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah alat untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain (Ali, 2011: 158). Hukum progresif diproyeksikan pada pencapaian satu tujuan, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusia. Hukum progresif merupakan ajakan luhur untuk menjadikan hukum sebagai instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di masyarakat. Karenanya sangat menekankan kepada para hakim agar tidak terpaku pada teks-teks undang-undang dalam memutus suatu perkara. Hakim harus berdiri dalam ruang geraknya yang bebas dengan menjadikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sebagai

Jurnal isi.indd 155 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 61: cover jurnal Agustus 2016.cdr

156 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

tujuan utama (Asnawi, 2014: 70). Karakteristik dari hukum progresif dapat ditandai dari pernyataan Rahardjo sebagai berikut, bahwa:

1. Hukum ada untuk mengabdi kepada manusia.

2. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law in the making dan tidak pernah bersifat statis final, sepanjang manusia itu ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat.

3. Dalam hukum progresif selalu melekat etika dan moralitas kemanusiaan yang sangat kuat, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya (Rahardjo, 2007: 233).

Lebih lanjut Rahardjo menegaskan bahwa hukum, pengadilan, tidak dipersepsikan sebagai mesin dan robot, tetapi sebagai lembaga yang secara kreatif memandu dan melayani masyarakat. Tugas tersebut bisa dilaksanakan, apabila hukum diberi kebebasan untuk memberikan penafsiran. Menafsirkan di sini adalah bagian dari tugas memandu dan melayani tersebut (Susanto, 2005: 14). Pekerjaan penafsiran menjadi bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Kedua pembacaan itu disatukan dan dari situ akan muncul kreativitas, inovasi, dan progresifisme. Olehnya pekerjaan menemukan (hukum) adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran (Susanto, 2005: 9).

Secara teknis Rifa’i menguraikan karakteristik penemuan hukum yang progresif adalah:

1. Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri, dengan berpijak pada pandangan

bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia;

2. Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan serta juga etika dan moralitas;

3. Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan masyarakat (Rifa’i, 2011: 48).

Melalui penemuan hukum progresif dapat diupayakan setiap putusan khususnya yang terkait dengan putusan pemidanaan mengandung nilai kemanusiaan yang berdasarkan pada nilai hukum dan keadilan, serta bersesuaian dengan perkembangan masyarakat. Penting kiranya dikonstruksikan sebuah metode penemuan hukum yang progresif ini. Rifa’i mengatakan bahwa putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah:

1. Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Putusan hakim tidak sekedar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan;

3. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), di mana dalam hal suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai yang hidup di masyarakat maka hakim bebas dan berwenang melakukan contra legem, yaitu mengambil keputusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan;

4. Putusan hakim yang memihak dan

Jurnal isi.indd 156 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 62: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 157

peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan (Rifa’i, 2011: 137-138).

II. METODE

Metode yuridis normatif digunakan dalam melakukan pengkajian pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dalam perspektif penemuan hukum progresif ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji masalah secara normatif baik dari perspektif ius constitutum maupun ius constituendum.

Pendekatan kasus digunakan untuk mengkaji masalah dari segi praktik peradilan yang berkembang dalam merespon dan mengaktualisasikan hukum secara in concreto. Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji masalah visi pembaruan hukum terkait contempt of court dalam pertimbangan hukum yang tercantum pada putusan pengadilan dihubungkan dengan pandangan dan doktrin-doktrin ahli hukum (Panggabean, 2014: 170).

Adapun sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta bahan hukum sekunder berupa literatur dan hasil penelitian. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain yang berkaitan dengan pengaturan contempt of court yaitu KUHP, KUHAP,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan pengadilan yang dikaji adalah yang terkait dengan perkara contempt of court yaitu Putusan Nomor 241/Pid. B/2006/PN.PWK yang diasumsikan mengandung penemuan kaidah hukum baru tentang contempt of court. Sebagai pembanding akan digunakan juga putusan lain yaitu Putusan Nomor 85 K/MIL/2006 yang secara positivis menggunakan KUHP.

Adapun literatur yang digunakan dalam kajian agar terhindar dari kekeliruan pandangan adalah yang berkaitan dengan pemidanaan, kekuasaan kehakiman, contempt of court, dan teori penemuan hukum, serta metode penemuan hukum progresif. Bahan-bahan hukum dan literatur tersebut dikumpulkan melalui metode sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya, dan lain sebagainya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Pembentukan Kaidah Hukum Baru

dalam Putusan Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Menentang Kekuasaan Kehakiman

Terdakwa UK dalam Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK ini melakukan pemaksaan kepada hakim untuk bersidang dengan perbuatan

Jurnal isi.indd 157 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 63: cover jurnal Agustus 2016.cdr

158 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

yang tidak menyenangkan dan menghina hakim di pengadilan. Pada saat SS sedang menjalankan tugasnya sebagai hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta dalam sidang perkara pelanggaran lalu lintas, UK telah maju ke kursi terdakwa saat nama pelanggar K dipanggil oleh petugas kejaksaan.

Setelah ditanyakan SS, apakah ia mempunyai surat kuasa untuk menggantikan K tersebut mengaku mempunyai kuasa dan kemudian terdakwa menyerahkan bukti tilang berwarna merah kepada SS, akan tetapi ternyata dari bukti itu tidak ada satupun tulisan atau keterangan yang menunjukkan terdakwa adalah penerima kuasa dari K. Kolom kuasa pada berkas itu kosong sebagaimana diterangkan oleh SS kepada terdakwa bahwa ia tidak mempunyai kuasa, berkas dapat diambil setelah verstek. Terdakwa tetap berkeras ingin disidangkan dengan alasan bukti tilang yang ada padanya adalah juga sekaligus sebagai kuasa, dan terdakwa tetap menghendaki agar ia diikutkan sidang sebagai kuasa dari K, dan tidak mematuhi perintah dari hakim sehingga terjadi perbantahan.

Untuk tertibnya sidang, terdakwa diperintahkan hakim SS keluar. Sambil berdiri dan melangkah maju ke hadapan meja hakim, terdakwa merebut berkas tilang yang berwarna merah yang sedang dipegang oleh hakim SS. Setelah digiring keluar oleh petugas keamanan pengadilan, dan pada saat hakim SS keluar dari ruang sidang setelah menyelesaikan tugasnya, berpapasan dengan terdakwa yang masih berada tidak jauh dari pintu ruang sidang. Selanjutnya terdakwa mengeluarkan kata-kata “goblok kamu hakim tidak becus” ke arah hakim SS. Hakim SS berbalik dan mengatakan “contempt of court kamu” dan terdakwa dengan cepat menjawab “kamu yang contempt of court.” Perkataan

demikian dilontarkan terdakwa di samping melecehkan hakim SS, merupakan ungkapan kekesalan terdakwa atas tidak dipenuhinya keinginan terdakwa untuk ikut sidang beberapa saat sebelumnya.

Atas perbuatannya tersebut, terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu: Kesatu, melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Kedua, melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP jo. Pasal 316 KUHP. Penuntut umum menuntut agar pengadilan memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu dan menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan dikurangi selama dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Majelis hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK memutuskan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman: dengan melawan hak memaksa hakim untuk bersidang dan menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun.

Dasar pertimbangan hukum dari ditetapkannya terdakwa melakukan tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman menurut majelis hakim pada Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK ini, yaitu bahwa istilah contempt of court sampai saat ini belum mempunyai padanan resmi dalam hukum positif di Indonesia, karena tanpa sebab yang jelas belum ada aturan yang khusus mengatur, sehingga untuk memudahkan pemahaman dan memberikan citra keindonesiaan dalam istilah itu majelis hakim perlu untuk memberikan padanan yang resmi. Karena istilah resmi dalam konstitusi adalah kekuasaan kehakiman, sehingga “contempt of court” menurut pendapat majelis hakim lebih

Jurnal isi.indd 158 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 64: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 159

tepat diartikan sebagai “tindakan menentang kekuasaan kehakiman.” Dengan pemahaman yang demikian, maka terdakwa sekarang ini menurut majelis hakim adalah termasuk dalam tindakan “menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court)” dalam arti yang sebenarnya. Sekalipun di atas telah dikualifikasikan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa “dengan melawan hak, memaksa orang melakukan suatu perbuatan,” namun dengan uraian pertimbangan di atas, majelis hakim perlu merumuskan kualifikasi yang lebih spesifik bagi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yaitu: “tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman: dengan melawan hak memaksa hakim bersidang.”

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta tersebut baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pengadilan tingkat banding melalui Putusan Nomor 38/PID/2007/PT.BDG memutuskan menerima permintaan banding dari terdakwa dan jaksa penuntut umum serta menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK. Atas putusan pengadilan tingkat banding tersebut, terdakwa mengajukan kasasi. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1316 K/Pid/2007 memutuskan menolak permohonan kasasi terdakwa. Dengan demikian putusan pemidanaan terhadap UK ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga bisa segera dilaksanakan oleh jaksa.

Adanya pembenaran dan persetujuan dari putusan banding dan kasasi maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi memiliki pemahaman yang sama dalam memaknai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court) sehingga memutuskan untuk menguatkan Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK. Salah satu pemahaman yang menarik

untuk dibahas dan dianalisis adalah pertimbangan pada Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK yang memberikan kualifikasi khusus terhadap perbuatan contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman. Mengingat KUHP hanya memberikan formulasi kriminalisasi yang bersifat umum terhadap perbuatan “dengan melawan hak, memaksa orang melakukan suatu perbuatan” (vide Pasal 335 ayat (1) ke-1). KUHP tidak memberikan kekhususan kepada sebuah perbuatan yang sama bilamana dilakukan terhadap hakim atau penyelenggara peradilan.

Padahal dalam kontruksi hukum, terdapat spesifikasi kriminalisasi pada suatu perbuatan pidana yang sama bilamana dilakukan terhadap orang atau tempat tertentu (khusus) bisa menjadikan sebuah perbendaan dan pemberatan. Misalnya perbuatan pemaksaan dan penentangan antara orang umum dengan seorang petugas yang sedang menyelenggarakan dinas negara sudah tentu memiliki konsekuensi berbeda. Apalagi terhadap seorang hakim yang sedang melaksanakan tugas menyelenggarakan peradilan, segala perbuatan penentangan dan penghalangan ataupun rongrong kepadanya, perlu diberlakukan kekhususan dan tidak dapat disamakan juga dengan petugas abdi negara pada umumnya. Karenanya contempt of court harus memiliki nilai kebijakan kriminalisasi yang berbeda dan bersifat khusus.

Majelis hakim sangat menyadari bahwa contempt of court secara normatif belum diatur secara eksplisit dan spesifik. Secara responsif majelis hakim memberikan pemahaman bahwa sangat perlu memberikan pengertian atau padanan resmi yang sifatnya konstitusional sehingga memberikan definisi contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman.

Jurnal isi.indd 159 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 65: cover jurnal Agustus 2016.cdr

160 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

Argumentasi majelis hakim dalam memberikan definisi contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman ini memiliki landasan yang logis secara konstitutif. Makna spesifik tersebut memberikan kesan bahwa penyelenggaraan atau proses peradilan yang dijalankan atau dikendalikan oleh kekuasaan kehakiman adalah bersifat lex spesialis dan sesuai dengan konstruksi konstitusionalisme. Dalam konteks ini jika ada perilaku contempt of court, maka selain telah melanggar hukum pidana yang terkait institusi, fungsi dan proses peradilan, juga secara fundamental merongrong sendi-sendi konstitusionalisme a quo kekuasaan kehakiman.

Mengingat kekuasaan kehakiman yang merdeka (dalam arti bebas intervensi, campur tangan, ancaman, dan intimidasi baik yang bersifat langsung dan tak langsung maupun bersifat pasif dan aktif) telah dijamin oleh konstitusi ini, jika tergoyahkan serta tereduksi berakibat serius bagi penyelenggaraan negara hukum Indonesia. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman harus steril dari intervensi dan intimidasi baik yang berupa dalam sebuah kekuasaan institusional maupun yang bersifat personal.

Dalam konteks Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK ini, dimaknai oleh majelis hakim bahwa dalam hubungannya dengan pelaksanaan tugas hakim, tidak ada satupun kekuasaan yang sah menurut undang-undang dan bahkan konstitusi, yang diijinkan dan dapat memaksa hakim untuk bersidang, kecuali hakim yang bersangkutan sendiri telah menentukan jadwal persidangannya, yang dilaksanakannya bukan karena perintah siapapun akan tetapi karena kewajiban yang melekat langsung pada jabatannya. Berdasarkan argumentasi tersebut maka cukup logis jika dikatakan bahwa tindakan

UK dikategorikan sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman.

Pada dasarnya hakim diberikan kebebasan dalam melakukan penemuan hukum untuk memberikan keadilan yang bersifat materiil guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini terjaminkan dalam Pasal 24 UUD NRI 1945, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Termasuk dalam kemerdekaan ini adalah dalam aspek fungsional dari tugas hakim yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus serta menyelesaikan perkara yang dihadapkan kepadanya. Independensi fungsional memberikan sarana kepada hakim untuk menafsirkan dan menemukan hukum dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat guna diterapkan dalam perkara yang dihadapkan kepadanya. Dalam konteks ini hakim bukanlah corong undang-undang, tetapi penerap dan penafsir undang-undang.

Keberanian untuk melengkapi atau mengisi hukum (teks undang-undang yang ada) ini merupakan bagian dari karakter hakim progresif yang tidak terbelenggu dengan dogma-dogma status quo (tertinggal dan terpisah dari dimensi keadilan sosiologis). Progresivitasnya termanifestasi dalam pengambilan keputusan yang diselaraskan dengan nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam substansi penegakan hukum yang berkeadilan (hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum). Meskipun terdapat asas umum dalam hukum bahwa undang-undang pidana tidak dapat ditafsirkan selain daripada yang telah ditentukan oleh pembuatnya (tidak mengatur contempt of court), akan tetapi hakim berani menafsir dan melengkapi atau mengisi undang-undang pidana yang didakwakan

Jurnal isi.indd 160 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 66: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 161

terhadap terdakwa dengan putusan pemidanaan yang tidak didakwakan (tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman/contempt of court).

Selain daripada mengadakan kaidah hukum baru tentang contempt of court dengan kualifikasi khusus yaitu tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman, majelis hakim juga memberikan putusan pemidanaan yang maksimal. Pada dasarnya majelis hakim menjatuhkan pidana melebihi (hingga lebih dari tiga kali lipat) tuntutan dari jaksa penuntut umum tersebut. Tidak seperti pada umumnya yang berlaku dalam hal praktik peradilan selama ini bahwa sangat jarang sekali terdapat putusan pemidanaan dari hakim yang melebihi tuntutan jaksa penuntut umum, rata-rata jika tidak di bawah tuntutan maka disesuaikan dengan tuntutan.

Secara normatif KUHAP tidak memberikan pengaturan secara eksplisit tentang putusan pemidanaan harus sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum, yang ada adalah vonis yang dijatuhkan perlu mempertimbangkan dakwaan penuntut umum dan musyawarah majelis hakim. Besarnya pidana yang dijatuhkan pun sesungguhnya tidak terikat dengan tuntutan, asalkan masih dalam koridor perbuatan atau pasal yang didakwakan. Dalam hal ini memang terdapat beberapa pendapat di kalangan hakim terkait putusan pemidanaan di luar dakwaan.

Sebagian berpendapat harus sesuai (atau dalam) yang didakwakan, sementara yang lain berpendapat membolehkan di luar dakwaan dengan syarat masih dalam rumpun pasal yang didakwakan. Dalam konteks ini majelis hakim memutuskan pemidanaan di luar yang didakwakan, bahkan pasal tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court) tersebut juga tidak ada dalam KUHP.

Selain itu besarnya pidana yang lebih dari tiga kali lipat dari tuntutan jaksa penuntut umum, selain disebabkan dimunculkannya spesifikasi khusus terkait tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court) juga dikarenakan adanya alasan pemberatan hukuman yang ada dalam diri terdakwa yang dipertimbangkan oleh hakim.

Di antara hal-hal yang memberatkan tersebut adalah perbuatan terdakwa dilakukan terhadap hakim yang sedang bersidang, dan terdakwa tidak pernah menyadari ataupun menyesali perbuatannya, serta diidentifikasi oleh majelis hakim bahwa perbuatan terdakwa telah merongrong dan mencederai kewibawaan serta kehormatan pengadilan. Dalam konteks ini melakukan tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman dengan melawan hak memaksa hakim untuk bersidang (contempt of court).

B. Konsep Pembaruan Hukum Contempt of Court yang Dikehendaki oleh Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK

Ditegaskan dalam konstitusi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Merdekanya kekuasaan kehakiman ini diartikan sebagai suatu kemandirian dan kebebasan dari berbagai intervensi dan intimidasi serta campur tangan secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara institusional, fungsional maupun personal. Untuk menghadirkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diidealkan oleh konstitusi tersebut, maka diniscayakan suatu jaminan perlindungan dan pengamanan terhadap para pelakunya beserta institusinya. Sehingga secara personal maupun fungsional terjamin dan terjaga

Jurnal isi.indd 161 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 67: cover jurnal Agustus 2016.cdr

162 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

dari segala macam bentuk tindakan atau perilaku yang menggoyahkan atau mengganggu serta merongrong kemerdekaannya.

Penetapan kualifikasi khusus berupa tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court) dalam Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK ini juga mendorong terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang berwibawa dan independen sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi. Sangat disadari oleh majelis hakim bahwa mulai dari awal konstitusi dibentuk sampai saat ini, perlindungan dan pengamanan terhadap hakim terutama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman masih belum optimal. Selain perlindungan berupa payung hukum atas penyelenggaraan peradilan dan kriminalisasi terhadap perbuatan contempt of court tidak memadai dan cukup lemah karena dari segi kategorisasi dan jenis-jenisnya masih bersifat umum.

Apalagi ditinjau dari ringannya sanksi pidana yang ada sebagai konsekuensi logis dari contempt of court dikualifikasi sebagai tindak pidana umum, maka sudah tentu akan menjadi pemicu (potensial) mengarahkan para pelakunya mengulangi perbuatannya karena dirasa sanksinya cukup ringan jika melecehkan atau merongrong wibawa peradilan. Tidak berlebihan kiranya jika kelemahan substansi hukum terkait kriminalisasi contempt of court ini menjadi faktor kriminogen dari maraknya penghinaan, pelecehan, dan rongrongan terhadap wibawa peradilan (a quo hakim dan aparatur peradilan). Dalam konteks ini majelis hakim mencoba berikhtiar memberikan edukasi terhadap masyarakat luas dengan menjatuhkan putusan pemidanaan yang bersifat penjeraan bagi pelaku yang terbukti sudah beberapa kali melakukan contempt of court.

Ditinjau dari optik kriminologi bahwa seseorang yang melakukan kejahatan atau perbuatan melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang akan diperolehnya. Artinya para pelaku sebelum melakukan dan mengulangi perbuatan contempt of court pasti akan memperhitungkan kehendak bebasnya untuk mengekspresikan kekesalannya dengan melawan hukum menghina aparat hukum yang didukung dengan pertimbangan juga bahwa rasa sakit (akibat proses penegakan hukum) tidak akan menjerakan. Pemikiran yang demikian mewujud dalam perilaku nyata pengulangan contempt of court.

Apabila tidak dilakukan penanggulangan dan pencegahan maka bukan tidak mungkin perilaku pelaku yang secara berulang melakukan contempt of court ini ditiru dan diikuti oleh calon pelaku atau warga masyarakat pencari keadilan lainnya. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung kewibawaan dan kehormatan pengadilan akan merosot dan dengan mudah dihina atau dilecehkan. Jika hakim dalam konteks penyelenggaraan peradilan saja sudah tidak dihormati lagi, maka secara sosiologis dan kultural eksistensi kekuasaan kehakiman a quo negara hukum pun patut dipertanyakan. Oleh karenanya amat logis jika contempt of court didefinisikan oleh majelis hakim sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman.

Selain mengkritisi aspek substansi hukum terkait kriminalisasi atau payung hukum bagi pengadilan dan aparaturnya dari perbuatan contempt of court, majelis hakim juga mengkritisi perhatian negara terhadap keamanan pengadilan terutama dalam hal pengadaan tenaga pengamanan yang memadai dari segi jumlah dan kualitas yang notabene masih belum layak (memadai). Disebutkan oleh majelis hakim bahwa keberadaan

Jurnal isi.indd 162 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 68: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 163

petugas pengamanan di Pengadilan Negeri Purwakarta saat itu yang hanya satu orang (satu-satunya), ditegaskannya sangat tidak memadai. Lebih lanjut majelis hakim menjelaskan bahwa secara pribadi, hakim dan aparatur peradilan lainnya tidak dibekali dan diorientasikan (saat masa pendidikan maupun secara berkelanjutan) pembekalan bela diri dan teknis pengamanan fungsional sebagaimana polisi atau militer hingga rentan terhadap ancaman dan kekerasan yang berpotensi menghalangi pelaksanaan tugasnya.

Jaminan keamanan dan perlindungan bagi hakim sebagaimana tercantum secara normatif, dalam pelaksanaannya ternyata masih harus di”minta”kan kepada aparat keamanan. Melalui prosedur pengamanan yang demikian, akhirnya hanya pada perkara-perkara tertentu pengamanan terhadap hakim dan pengadilan dilaksanakan. Olehnya justru dengan kebijakan pemilahan perkara tertentu yang diamankan, ternyata pada perkara yang dianggap tidak urgen pengamanan, justru terjadi tindak pidana dan kekerasan yang tidak diharapkan. Sebagaimana kasus pembunuhan hakim dan penggugat saat persidangan di Pengadilan Agama Sidoarjo (vide perkara dalam Putusan Nomor 85 K/MIL/2006). Padahal perkaranya cenderung ringan yaitu perceraian, tetapi karena minimnya keamanan maka kesempatan untuk melakukan perbuatan contempt of court itu terbuka.

Jika hakim sudah merasa tidak aman dan keamanannya tiada terjaminkan, maka sudah tentu fokus konsentrasinya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara akan terganggu. Sehingga dapat dipastikan putusan keadilannya tidaklah seoptimal dan berkualitas maksimal selayak jika dirinya dalam kondisi tidak terancam. Akibatnya masyarakat tidak akan mendapatkan kualitas putusan keadilan

yang terbaik. Kebutuhan akan keamanan hakim dan jaminan perlindungan dari intimidasi terhadapnya merupakan kepentingan masyarakat juga. Oleh karena itu pada asasnya kebutuhan keamanan atau pengamanan peradilan bukan saja kepentingan aparatur peradilan dan pengadilan semata tetapi yang sangat mendasar adalah kepentingan keadilan (penyelenggaraannya) itu sendiri.

Penjelasan majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya yang mengkritisi dan meminta perhatian negara atas keamanan pengadilan beserta aparatur peradilannya merupakan respon yang kontekstual dan progresif. Tidak hanya menjelaskan duduk perkara dan menghukum terdakwa yang bersalah semata, tetapi juga menguraikan akar masalah dari timbulnya contempt of court yang tidak dapat diabaikan dan sudah seharusnya diperhatikan oleh negara. Sangat jarang ditemui putusan-putusan pengadilan yang mengandung penjelasan kontekstual tentang akar masalah dari suatu tindak pidana yang diperkarakan tersebut. Tidak setiap hakim mempunyai kepekaan dan daya kritis terhadap permasalahan yang timbul seputar dan berkaitan dengan perkara pidana yang ditanganinya.

Setelah mengkritisi kondisi pengamanan pengadilan dan minimnya perhatian negara terhadap keamanan hakim dan aparatur peradilan, majelis hakim juga memberikan kritik terkait dengan keseriusan jajaran aparat penegak hukum dalam melindungi wibawa dan kehormatan hakim. Disebutkan oleh majelis hakim bahwa proses penegakan hukum sejak kejadian hari Jumat tanggal 10 Februari 2006 sampai disidangkan September 2006, memberikan arti setidaknya tanggap. Seharusnya penyelesaian perkara ini dalam prioritas utama, bahkan

Jurnal isi.indd 163 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 69: cover jurnal Agustus 2016.cdr

164 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

cenderung memandang perkara ini sepele, bahkan lebih sepele dibanding penanganan pencurian yang dalam waktu tiga bulan sudah sampai di pengadilan dan disidangkan.

Dijelaskan lebih lanjut oleh majelis hakim bahwa ketidakpedulian negara harus segera diakhiri jika memang negara Indonesia ini adalah negara hukum, dan tentu saja hakim merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan menjadi korban tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya itu, adalah sewajarnya dan sepantasnya mendapatkan prioritas dalam penanganan oleh jajaran penegak hukum. Merupakan hal yang wajar sikap kritis hakim terhadap jajaran penegak hukum dalam perkara ini, perhatian dan kesungguhan serta keseriusan mereka sesungguhnya merupakan cermin dari sebuah paradigma bahwa contempt of court merupakan hal yang biasa dan bukan suatu yang khusus dan penting untuk diprioritaskan.

Apalagi dengan prosedur pemeriksaan biasa yang prosesnya berjenjang dan butuh waktu yang tidak singkat serta melibatkan beberapa penegak hukum, yaitu mulai dari pembuatan laporan oleh hakim yang menjadi korban, proses penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh jaksa hingga persidangan di pengadilan. Dengan proses yang demikian, senyatanya telah membuat tidak efisien dan kurang efektifnya penegakan hukum contempt of court, karenanya secara kewibawaan dan keluhuran martabat hakim sedikit terendahkan. Implikasi dari proses penegakan hukum yang demikian maka tidak banyak hakim yang mau dan berkenan melaporkan serta mengajukan perkara contempt of court yang dialaminya. Padahal secara faktual tidak sedikit hakim dan aparatur peradilan yang melaksanakan tugas di “lapangan” mendapatkan penghinaan, pelecehan, dan intimidasi.

Secara progresif majelis hakim mewacanakan dan mengusulkan prosedur penanganan yang cepat, yaitu langsung hakim bersangkutan yang menghukum terdakwa dengan pidana, sehingga kewibawaan dan kehormatan hakim dapat ditegakkan seketika saat dilakukannya tindak pidana tersebut. Dalam hal ini memang merupakan pengecualian dari ketentuan umum yang menyebutkan hakim tidak boleh mengadili sendiri perkaranya, akan tetapi bukan sesuatu yang aneh di negara lain dalam hal contempt of court sebagai misal kasus kesaksian palsu dalam perkara Anwar Ibrahim di Malaysia yang langsung diberi hukuman oleh hakim yang bersangkutan, tanpa menempuh prosedur panjang dan melelahkan.

Di Indonesia sendiri sebenarnya pengesampingan asas nemo judex indoneus in propria causa (tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri) sudah pernah terjadi yaitu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial) dan Putusan Mahkamah Agung (Putusan Nomor 36 P/HUM/2011 perihal pengujian Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). Artinya mempertimbangkan untuk membuat mekanisme hukum acara khusus untuk perkara contempt of court yang efektif dan efisien menemukan dasar pijakannya dalam praktik peradilan. Kekhususan terkait mekanisme peradilan contempt of court ini harus dituangkan dalam aturan selevel undang-undang khusus.

Adanya undang-undang khusus tentang contempt of court ini merupakan sebuah konsekuensi dari konstruksi perlindungan dan

Jurnal isi.indd 164 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 70: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 165

penegakan independensi kekuasaan kehakiman. Undang-undang khusus ini mengatur kekhususan tindak pidana dan sanksi pidana tersendiri serta hukum acara atau mekanisme pemeriksaan peradilannya (lex spesialis) yang berbeda dari KUHP maupun KUHAP. Dalam konteks ini cukup urgen dan relevan keberadaan undang-undang contempt of court bagi sistem hukum dan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2015-2019 telah memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Contempt of Court sebagai salah satu prioritasnya.

Sebaiknya di dalam RUU tentang Contempt of Court yang merupakan inisiatif DPR ini nantinya mengatur poin-poin masalah yang ditemukan dan diwacanakan dalam Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK. Mulai dari aspek definisi dan ruang lingkup serta konstruksi contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman patut menjadi acuan dan referensi pembahasan oleh para legislator. Pun juga terkait dengan masalah mekanisme hukum acara sebagaimana yang digagas majelis hakim dalam putusan ini penting untuk dikaji dan dirumuskan secara komprehensif sehingga penanganan contempt of court dapat lebih efisien dan efektif dalam menjaga marwah, martabat, dan wibawa peradilan.

C. Analisis Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Menentang Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Penemuan Hukum Progresif

Secara normatif, putusan pemidanaan dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhinya syarat objektif dan subjektif yang terdapat dalam Pasal

183 KUHAP. Syarat-syarat yang dimaksud ialah: a) Syarat objektif, yaitu hakim dalam memutus telah menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan b) Syarat subjektif, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut, hakim mendapatkan keyakinan bahwa: 1) Benar telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan); 2) Benar terdakwa yang melakukan; dan 3) Benar terdakwa bersalah (Chazawi, 2010: 54). Dalam penjatuhan putusan pemidanaan, seorang hakim harus mendasarkan pada norma pidana yang terkandung dalam KUHP. Namun demikian bukan berarti harus terikat mutlak kepada KUHP sehingga membatasi hakim melakukan penafsiran atau penemuan hukum.

Putusan pemidanaan dijatuhkan harus didasarkan penegakan hukum yang berkeadilan, bukan hanya didasarkan atas hukum positif semata. Menurut Susanto, hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang dipositifkan, tetapi lebih dari sekedar itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang telah dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai, dan lain-lain). Seorang hakim harus sadar akan ideologi dan subjektivitasnya sendiri, sehingga keduanya tidak akan mengintervensi proses interpretasi. Untuk mengungkap makna teks sebuah aturan tertentu, hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan analitis, agar kunci dan gagasan sentral teks dapat dibuka. Melalui gagasan sentral ini, hakim diharapkan dapat menemukan makna tersembunyi dan mengembangkan makna baru (Susanto, 2005: 152).

Upaya majelis hakim mengadakan suatu perbuatan yang tidak diatur secara spesifik oleh KUHP hingga menetapkan makna baru terkait tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman (contempt of court) ini telah melalui proses

Jurnal isi.indd 165 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 71: cover jurnal Agustus 2016.cdr

166 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

pembacaan analitis. Disadari oleh majelis hakim bahwa pengaturan contempt of court dalam hukum positif tidak lengkap.

Pada dasarnya pengaturan contempt of court sebagai sebuah tindak pidana, hanya diatur secara implisit oleh beberapa rumusan pasal yaitu Pasal 209, 210, 211, 212, 216, 217, 220, 221, 222, 223, 224, 233, 242, 420, 422, dan 522 serta dalam KUHAP terdapat pada Pasal 217 dan 218. Dalam konteks ini Hasibuan berpendapat bahwa sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut hanya dipersepsikan saja sebagai contempt of court. Tetapi selama kita belum merumuskan dan menyepakati apa yang dimaksud dengan contempt of court, maka belumlah dapat kita katakan bahwa pasal-pasal tersebut adalah merupakan pengertian tentang contempt of court. Jadi perlu dirumuskan dulu apa yang dimaksud dengan contempt of court itu di Indonesia (Hasibuan, 2015: 4).

Secara doktriner, para ahli memiliki pendapat masing-masing tentang definisi atau pengertian contempt of court beserta ruang lingkupnya. Definisi dan pengertian tersebut masih bersifat parsial sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman masing-masing sehingga belum ada konsensus tentang pengertian contempt of court yang dibakukan. Secara normatif, pengertian contempt of court juga belum terbakukan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam penjelasan umum butir 4 (yang berbunyi bahwa “selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat

merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”), memberikan identifikasi contempt of court sebagai tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan. Sedangkan RUU KUHP secara tegas memberikan pengertian contempt of court sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Mulyadi & Suhariyanto, 2016: 160).

Simpulan pembacaan analitis dari majelis hakim bermuara pada keputusan untuk melakukan redefinisi tentang contempt of court sebagai tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman. Secara filosofis contempt of court tidak sebatas dimaknai seputar tindakan jahat terhadap hakim atau pengadilan secara personal maupun institusional semata, tetapi lebih daripada itu dikembalikan pada area yang lebih fundamental yaitu dalam konstruksi penentangan terhadap kekuasaan kehakiman. Dihubungkan juga dengan independensi kekuasaan kehakiman sehingga mengarah pada pemahaman bahwa penting menjaga independensi hakim dengan melindungi hakim dari ancaman contempt of court. Karenanya, jika hakim dituntut bekerja independen, harus ada upaya menghindarkan hakim bekerja di tengah ancaman dan rasa takut (Soeroso, 2013: 6-7).

Dapat dimaknai lebih lanjut tentang kebaruan tafsir contempt of court dalam putusan ini bahwa esensi contempt of court bukanlah untuk menjaga pengadilan atau hakim, melainkan menjaga keadilan (justice) itu sendiri. Setiap upaya mempengaruhi hakim atau memaksa hakim, yang dipertaruhkan adalah keadilan. Karena itu betapa penting menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang merdeka (Manan, 2014: 10). Olehnya postulat moral yang menuntut adanya aturan hukum tentang contempt of court

Jurnal isi.indd 166 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 72: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 167

adalah demi tegaknya nilai keadilan yang menjadi kebutuhan pokok rohaniah masyarakat beradab (Alkostar, 2012: 1). Terhadap pemaknaan yang demikian maka ditinjau dari penemuan hukum progresif, majelis hakim tidak lagi berkutat dalam ruang gerak teks sempit sehingga mampu menangkap kehendak-kehendak dan kebutuhan sosial dan hukum yang ada. Majelis hakim berani keluar dari wilayah “nyaman” yang selama ini mengungkung kebebasan berpikir dan sisi kreatif dalam menafsirkan teks-teks undang-undang (Asnawi, 2014: 71) yang terkait dengan contempt of court.

Majelis hakim lebih mengutamakan tujuan dan konteks contempt of court dari pada sekedar larut dalam ruang gerak teks (KUHP) yang sempit, maka diskresi hukum yang dilakukan hakim menjadi teramat penting. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum (hakim) dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada diri hakim berdasarkan aturan resmi yang dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam memilih tertentu serta dalam menetapkan hukum atas suatu perkara (Asnawi, 2014: 70), hingga memunculkan atau membentuk kaidah hukum baru contempt of court yang mengacu pada pertimbangan moral daripada sekedar pertimbangan peraturan yang abstrak guna mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hukum.

Pada asasnya dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice). Hukum

yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksudkan di sini, bukanlah keadilan prosedural (formil), akan tetapi keadilan subtantif (materiil), yang sesuai dengan hati nurani hakim (Rifa’i, 2011: 127-128) melalui upaya penemuan hukum yang progresif.

Kewenangan kebebasan hakim untuk menemukan hukum secara progresif ini ditegaskan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan ketentuan ini ditekankan dan diwajibkan bagi hakim untuk menemukan hukum dan menafsir undang-undang. Dengan kata lain jika dianggap sesuai pertimbangan hukum dan nalar keadilan dari nurani hakim bahwa undang-undang yang ada kurang mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan karenanya harus dilengkapi bilamana kurang lengkap atau diisi bilamana kosong maka dalam hal ini hakim haram hukumnya untuk tidak menegakkannya. Olehnya hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum yang turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak (Nurdin, 2012: 87).

Jika dibandingkan dengan Putusan Nomor 85 K/MIL/2006 yang merupakan perkara pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anggota militer terhadap mantan istrinya dan seorang hakim di ruang sidang Pengadilan Agama Sidoarjo, di mana oditur militer menuntut terdakwa dengan pidana mati dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota TNI.

Jurnal isi.indd 167 10/28/2016 9:31:09 AM

Page 73: cover jurnal Agustus 2016.cdr

168 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

Di tingkat Pengadilan Militer Tinggi, terdakwa dijatuhi hukuman mati dan pemberhentian tidak dengan hormat. Putusan ini diperkuat di tingkat Pengadilan Militer Utama. Namun putusan tersebut khususnya mengenai hukuman mati diubah oleh Mahkamah Agung menjadi pidana penjara seumur hidup dengan pokok pertimbangan bahwa penjatuhan pidana mati harus dilakukan dengan sangat selektif dan hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu saja yang luar biasa yang menimbulkan efek yang luas atau membahayakan atau merugikan masyarakat umum atau banyak orang. Dalam perkara ini majelis kasasi tidak melihat adanya unsur-unsur tersebut sehingga penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa dipandang tidak tepat. Namun demikian salah seorang hakim anggota berpendapat lain, menurutnya bahwa penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa telah tepat.

Ditinjau dari perspektif eksistensi penyelenggaraan peradilan (kekuasaan kehakiman), pembunuhan terhadap hakim dalam ruang persidangan di lingkungan pengadilan ini merupakan tindak pidana yang sangat serius. Apalagi hakim tersebut sedang melaksanakan tugas menyelenggarakan peradilan, maka dapat dikategorikan sebagai contempt of court yang sangat berat seharusnya.

Meskipun secara kuantitatif tidak mempunyai dampak yang berskala luas terhadap masyarakat, tetapi secara kualitas mempunyai dampak yang sangat serius bagi institusi peradilan maupun masyarakat luas dalam mendudukkan keluhuran marwah hakim. Sungguh berbeda paradigma yang digunakan oleh majelis hakim pada Putusan Nomor 85 K/MIL/2006 dengan Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK dalam memandang perkara contempt of court.

Hal esensial dari perbedaan paradigma kedua putusan tersebut adalah pada penempatan atau cara mendudukkan suatu kualifikasi perbuatan contempt of court. Putusan Nomor 85 K/MIL/2006 menempatkan kualifikasi umum pada perbuatan contempt of court sebagai tindak pidana yang biasa, sehingga tidak layak dijadikan sebagai tindak pidana luar biasa yang notabene tidak harus dikenakan putusan pemidanaan yang bersifat maksimal yaitu pidana mati (sebagaimana dituntutkan oleh jaksa penuntut umum). Berbeda dengan Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK yang menetapkan kualifikasi khusus sehingga diterapkan terhadap perbuatan contempt of court putusan pemidanaan yang bersifat maksimal. Dengan membandingkan kedua putusan ini maka semakin nampak nilai hukum progresif dari kaidah hukum baru yang dibentuk dalam putusan pemidanaan terhadap tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman tersebut.

Analisa penemuan hukum dari Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK di atas, sesungguhnya telah mendeskripsikan juga gagasan visionernya tentang pembaruan hukum memiliki potensi untuk dijadikan bahan kajian oleh pembuat undang-undang. Ide tentang perumusan norma hukum materiil dan formil tentang contempt of court ini merupakan sebuah terobosan hukum yang baru. Pada dasarnya pembaruan hukum yang berasal dari pembentukan hukum oleh hakim terkait contempt of court ini dapat terjadi. Mudzakkir menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan. Pertama, pembaruan hukum pidana terjadi karena dipengaruhi pergeseran unsur masyarakat hukum atau pergeseran elemen bawah ke atas (bottom up). Kedua, karena pergeseran nilai yang mendasari hukum atau elemen atas mempengaruhi elemen

Jurnal isi.indd 168 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 74: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 169

di bawahnya (top down). Ketiga, pergeseran gabungan pertama dan kedua yaitu terjadi pada elemen nilai baru atau keadaan baru tersebut (Bakri, 2009: 5).

Untuk menutupi celah kesenjangan dan keberpihakan dalam proses politik legislasi yang menghasilkan kontra produktif dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat atau masyarakat terhadap hukum yang aktual dan konkret, maka hakim harus mengambil peranan. Melalui penemuan hukum, hakim dapat menghindarkan rakyat dari ketertindasan pelaksanaan produk hukum (undang-undang) yang tidak adil. Bahkan melalui pembentukan hukum baru, hakim juga berperan secara strategis melindungi budaya masyarakat dari efek kriminogen yang ditimbulkan oleh praktik politik legislasi yang tidak “membumi” secara kultural. Dalam konteks inilah law reform yang dikendalikan oleh hakim mendapatkan wilayah perjuangan yang vital (Suhariyanto, 2015: 421).

Jika terjadi kejumudan hukum dengan realitas yang ada, atas dorongan moralitas dan iktikad baik untuk menghadirkan konstruksi keadilan yang visioner (substantif justice), maka “hukum” dari putusan hakim dapat berperan membuka lorong-lorong perubahan sosial (stimulus perubahan paradigma nilai yang mewujud pada kebaruan perilaku dan kebiasaan). Implikasinya terbuka peluang untuk menambah daya guna putusan hakim menjadi a tool of social engineering. Sebagaimana dikehendaki oleh Pound bahwa fungsi social engineering (rekayasa sosial) dari hukum maupun putusan hakim pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter), ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Dalam konteks ini

fungsi kreatif dari hakim yang akan berkembang dalam sistem-sistem hukum kebijaksanaan. Karenanya menjadikan perkembangan hukum oleh pengadilan yang kreatif bertambah penting (Ali, 2011: 159).

IV. KESIMPULAN

Peraturan perundang-undangan di Indonesia masih belum jelas dan lengkap dalam mengatur contempt of court. Meskipun di dalam KUHP terdapat padanannya, namun secara definitif dan spesifik tidak memberikan makna yang jelas dan komprehensif. Atas adanya masalah kekosongan hukum yang ada tersebut majelis hakim pada Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK menjatuhkan pemidanaan terhadap perkara contempt of court dengan menggunakan kualifikasi khusus yaitu tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman.

Majelis hakim melakukan upaya penemuan hukum dengan mengidentifikasi makna, ruang lingkup dan pemidanaan yang khusus terhadap pelaku contempt of court dengan menggunakan pendekatan konstitusionalisme, yaitu penentangan terhadap kekuasaan kehakiman. Dikemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa majelis hakim telah melakukan pembacaan secara analitis terhadap KUHP sehingga dapat menemukan kaidah hukum baru tentang contempt of court.

Upaya majelis hakim mengadakan suatu perbuatan yang tidak diatur secara spesifik oleh undang-undang pidana materiil tersebut merupakan sebuah upaya penemuan hukum yang progresif. Karena mengacu pada salah satu kriteria penemuan hukum progresif adalah keberanian membentuk kaidah hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum yang ada sesuai dengan pembacaan kontekstual hakim. Dengan

Jurnal isi.indd 169 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 75: cover jurnal Agustus 2016.cdr

170 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 151 - 171

demikian majelis hakim menjatuhkan keputusan pemidanaan yang tidak didakwakan (tindak pidana menentang kekuasaan kehakiman/contempt of court) dan memberikan sanksi pidana yang maksimal. Selain itu, majelis hakim dalam putusan ini juga memiliki argumentasi hukum yang bersifat responsif dan visioner.

Argumentasi responsif ini tampak dari pertimbangan hukum saat menilai kelambanan proses penanganan perkara oleh penegak hukum dan mengkritisi minimnya perhatian negara terhadap perlindungan hakim serta pengamanan pengadilan. Secara visioner majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya juga mewacanakan ide dan gagasan tentang pengaturan contempt of court baik secara substantif maupun prosedur penanganan perkaranya yang bersifat khusus dan berguna bagi upaya pembaruan hukum pidana di masa mendatang (ius constituendum).

Dari kedua argumentasi tersebut menampakkan bahwa majelis hakim peka terhadap permasalahan yang terjadi seputar penanganan perkara contempt of court dan peduli dengan upaya pembaruan hukum pidana di masa yang akan datang sehingga menuangkan gagasannya tersebut dalam putusan pemidanaannya. Dalam konteks inilah majelis hakim Putusan Nomor 241/Pid.B/2006/PN.PWK telah berhasil melakukan upaya penemuan hukum secara kreatif, inovatif, dan progresif, sehingga tidak terpaku pada “kungkungan” teks hukum positif yang ada (dan tidak lengkap mengatur contempt of court), tetapi keluar membedah kontekstualitas perkaranya dan menggagas kaidah hukum baru yang bersifat futuristik.

DAFTAR ACUAN

Abdussalam, H.R., & Desasfuryanto, A. (2012). Sistem peradilan pidana. Jakarta: PTIK.

Ali, A. (2011). Menguak tabir hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Alkostar, A. (2012). Hukum pidana serta tuntutan tegaknya kebenaran dan keadilan: Bahan rakernas Mahkamah Agung tahun 2012. Jakarta: Mahkamah Agung.

Ansyahrul. (2011). Pemuliaan peradilan: Dari dimensi integritas hakim, pengawasan, dan hukum acara. Jakarta: Mahkamah Agung.

Asnawi, M.N. (2014). Hermeneutika putusan hakim. Yogyakarta: UII Press.

Asshiddiqie, J. (2015). Konstitusi bernegara: Praksis kenegaraan bermartabat dan demokratis. Malang: Setara Press.

Bachtiar. (2015). Problematika implementasi putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian UU terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses.

Bakri, S. (2009). Perkembangan stelsel pidana Indonesia. Yogyakarta: Total Media.

Chazawi, A. (2010). Lembaga peninjauan kembali (PK) perkara pidana: Penegakan hukum dalam penyimpangan praktik dan peradilan sesat. Jakarta: Sinar Grafika.

Effendy, M. (2012). Diskresi, penemuan hukum, korporasi & tax amnesty dalam penegakan hukum. Jakarta: Referensi.

Hasibuan, O. (2015, April 29). Contempt of court di Indonesia, perlukah? Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Nasional tentang “Urgensi Pembentukan UU Contempt of Court untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Jakarta.

Jurnal isi.indd 170 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 76: cover jurnal Agustus 2016.cdr

“Contempt of Court” dalam Perspektif Hukum Progresif (Budi Suhariyanto) | 171

Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Idris, et al. (Ed). (2012). Penemuan hukum nasional dan internasional (dalam rangka purna bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H.,M.H.). Bandung: Fikahati Aneska.

Kamil, A. (2012). Filsafat kebebasan hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Manan, B., & Harijanti, S.D. (2014). Memahami konstitusi: Makna dan aktualisasi. Jakarta: Raja Grafindo.

Manan, B. (2014, Mei 22). Contempt of court vs freedom of press. Makalah dalam seminar yang diselenggarakan oleh Puslitbang Hukum & Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI dengan tema “Peran Media, Opini Publik & Independensi Judisial.” Jakarta.

Mas’udi, M.F. (2010). Syarah konstitusi: UUD 1945 dalam perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Mulyadi, L., & Suhariyanto, B. (2016). Contempt of court: Urgensi, norma, praktik, gagasan dan masalahnya. Bandung: Alumni.

Mulyadi, L. (2012). Bunga rampai hukum pidana: Perspektif teoritis dan praktik. Bandung: Alumni.

Nurdin, B. (2012). Kedudukan dan fungsi hakim dalam penegakan hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.

Panggabean, H.P. (2014). Penerapan teori hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Bandung: Alumni.

Rahardjo, S. (2007). Membedah hukum progresif. Jakarta: Kompas.

_________. (2009). Hukum dan perubahan sosial:

Suatu tinjauan teoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

_________. (2010). Penegakan hukum progresif. Jakarta: Kompas.

Rifa’i, A. (2011). Penemuan hukum oleh hakim dalam perspektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Rimdan. (2012). Kekuasaan kehakiman pasca amandemen konstitusi. Jakarta: Kencana.

Saleh, I.A. (2014). Konsep pengawasan kehakiman. Malang: Setara Press.

Soeroso, F.L. (2013, Desember). Membentengi wibawa pengadilan. Majalah Konstitusi, 82.

Suhariyanto, B. (2013). Perlindungan hukum terhadap korban melalui putusan pengadilan dalam sistem peradilan pidana ditinjau dari perspektif restoratif justice. Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung.

____________. (2015, Desember). Eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi di Indonesia. Jurnal Rechtsvinding, 4(3).

Susanto, A.F. (2005). Semiotika hukum: Dari dekonstruksi teks menuju progresivitas makna. Bandung: Refika Aditama.

Sutiyoso, B. (2012). Metode penemuan hukum: Upaya mewujudkan hukum yang pasti dan berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.

Zulfa, E.A. (2011). Pergeseran paradigma pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung.

Jurnal isi.indd 171 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 77: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 172 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 78: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 173

ABSTRAK

Dalam hukum Islam telah diatur dengan jelas bahwasanya setiap orang yang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi, baik orang Islam mewarisi kepada non-Islam dan juga sebaliknya. Namun dalam praktiknya, hakim di tingkat Mahkamah Agung menetapkan hak kewarisan kepada non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah, hal ini sebagaimana yang telah diputuskan dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persoalan pokok yaitu: 1) mengenai keberadaan peraturan wasiat wajibah dalam hukum positif di Indonesia; 2) pertimbangan hukum apakah yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan hak kewarisan kepada non-Islam berdasarkan wasiat wajibah; dan 3) mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 berdasarkan ketentuan hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian kualitatif serta jenis penelitian kepustakaan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tidak disebutkan pertimbangan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai ketentuan warisan dan mengenai pemberian wasiat wajibah sebagaimana yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Putusan Mahkamah Agung tersebut berseberangan

dengan ketentuan hukum Islam dan ketentuan Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI mengenai pemberian wasiat wajibah kepada non-Islam.

Kata kunci: wasiat wajibah, hak warisan, Kompilasi Hukum Islam.

ABSTRACT

In Islamic law, it has been defined clearly that everyone of different faiths cannot inherit to each other, like both Muslims inherit to non-Muslims, and vice versa. However when it comes down to it, the Supreme Court has determined that the right of inheritance of non-Muslims is based on “wasiat wajibah”, as set out in the Decision Number 16 K/AG/2010. This analysis aims to examine the main issues as regards; first, the subsistence of law on “wasiat wajibah” and the positive law in Indonesia; second, legal interpretation of the judge in determining the right of inheritance to non-Muslims based on “wasiat wajibah”; and third, the elaboration of Supreme Court’s Decision Number 16 K/AG/2010 under the Islamic law provisions and positive law in Indonesia. This analysis is a normative legal research prepared through qualitative literature study. Based on the study, it can be highlighted that the Supreme Court in Decision Number 16 K/AG/2010, did not take into consideration the provisions regarding inheritance

PEMBERIAN HAK WARIS DALAM HUKUM ISLAMKEPADA NON-MUSLIM BERDASARKAN WASIAT WAJIBAH

Kajian Putusan Nomor 16 K/AG/2010

THE PROVISION OF INHERITANCE RIGHTS TO NON-MUSLIMSBASED ON WASIAT WAJIBAH IN ISLAMIC LAW

RizkalFakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Jl. Syeikh Abdur Rauf, Kopelma Darussalam Banda Aceh 23373E-mail: [email protected]

An Analysis of Decision Number 16K/AG/2010

Naskah diterima: 22 Februari 2016; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 173 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 79: cover jurnal Agustus 2016.cdr

174 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Masalah warisan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikaji dari waktu ke waktu, mengingat selalu adanya perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupan manusia, berkeluarga termasuk juga salah satunya mengenai kewarisan. Hal ini diperlukan guna untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan manusia mengenai hukum tentang kewarisan, jika terjadinya hal-hal yang tidak diatur dalam ketentuan hukum.

Al Quran telah menerangkan hukum-hukum kewarisan dengan cukup jelas dan juga menyebutkan serta menentukan hak-hak ahli waris dengan jelas dan terinci, baik ahli waris tersebut laki-laki maupun perempuan. Ayat-ayat yang menyebutkan tentang kewarisan yaitu Surah An-Nisa ayat 7-8, 11-12, 176, dan Surah An-Anfal ayat 75 serta Surah Al-Ahzab ayat 6, bersifat qath’i atau bersifat tetap (Achyar, 2011: 18).

Pada hakikatnya setiap manusia memiliki hak untuk menerima hak kewarisan dari orang-orang yang telah meninggal (pewaris) selama mempunyai hubungan nasab dan hubungan pernikahan dengannya. Namun ada beberapa faktor juga yang menghalangi seseorang dalam menerima hak kewarisannya yaitu: karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama antara pewaris dengan yang menerima warisan.

Para ulama fuqaha melalui ijma’ telah sepakat bahwasanya perbedaan agama antara orang yang mewariskan (pewaris) dengan orang yang menerima warisan (ahli waris) merupakan penghalang untuk saling mewarisi, baik antara orang Islam tidak dapat mewarisi kepada non-Islam dan juga berlaku sebaliknya (Habiburrahman, 2011: 19). Para imam fuqaha mendasarkan pendapatnya pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, yakni:

Artinya: Dari Usamah bin Zaid r.a, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “orang Muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Muslim” (HR. Bukhari – Muslim).

Selain hadis di atas, Imam Mazhab juga berpedoman pada hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, yaitu:

Artinya: Dari Abdullah bin Amr r.a, ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda, {Tidak boleh, dua orang yang berlainan agama saling mewarisi}” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Al-Hakim mengeluarkan hadis dengan lafadz hadis yang diriwayatkan dari Usamah dan An-Nasa’i meriwayatkan hadis dari Usamah.

along with the prevailing provision of “wasiat wajibah” in Indonesia as stipulated in the Compilation of Islamic Law. The Supreme Court’s Decision is considerably disagreeing with the provisions of Islamic law and the Article 209 paragraph (1) and (2) of the Compilation

of Islamic Law concerning the granting of “wasiat wajibah” to non-Muslims.

Keywords: wasiat wajibah, right of inheritance, Compilation of Islamic Law.

Jurnal isi.indd 174 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 80: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 175

Kedua hadis di atas menegaskan bahwa ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak dapat saling mewarisi, baik yang mewarisi dari pewaris yang beragama Islam kepada ahli waris non-Muslim maupun sebaliknya, karena perbedaan agama merupakan salah satu faktor tidak saling mewarisi. Karena itu, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu sebab yang menghambat seseorang untuk mendapatkan hak warisan dari orang tuanya yang beragama Islam.

Selain dalam ketentuan hadis di atas, aturan mengenai terhalangnya saling mewarisi antara dua orang yang berbeda keyakinan (agama) juga telah diatur dalam ketentuan hukum positif di Indonesia, yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwasanya seseorang yang berbeda agama dengan pewaris tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris (sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 huruf c).

Pada kenyataan sekarang ini, para hakim di lingkungan peradilan dalam memeriksa dan memutuskan perkara kewarisan beda agama mulai mengesampingkan ketentuan fikih dan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia mengenai masalah kewarisan. Hal ini tergambar dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010 yang telah memeriksa dan memutuskan mengenai perkara kewarisan beda agama, yaitu dengan memberikan hak kewarisan kepada istri yang beragama Kristen (non-Muslim) dalam bentuk wasiat wajibah. Dalam putusan tersebut, hakim memutuskan pewaris (MA) yang beragama Islam meninggalkan seorang istri (ELM) yang beragama Kristen tanpa adanya keturunan. Di samping itu, pewaris juga meninggalkan ahli waris lainnya yaitu seorang ibu kandung, satu orang saudara laki-laki kandung dan tiga saudari perempuan kandung, yang semua ahli waris yang ditinggalkan beragama Islam kecuali istri yang

beragama Kristen (non-Muslim). Berdasarkan Putusan Nomor 16 K/AG/2010, istri yang beragama non-Muslim tersebut mempunyai hak kewarisan dari suami (pewaris) yang beragama Islam dengan mendapatkan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah.

Pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara kewarisan beda agama tersebut tidak menyebutkan pertimbangan hukum yang jelas dan juga tidak menyebutkan aturan hukum (undang-undang) yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai kewarisan. Majelis hakim hanya menggunakan pertimbangan hukum dari pendapat seorang ulama kontemporer, yakni Yusuf Al-Qardhawi mengenai kedudukan ahli waris non-Muslim sebagai dasar pertimbangan hukumnya, di mana majelis hakim menafsirkan pendapat Yusuf Al-Qardhawi bahwa orang-orang non-Muslim yang hidup berdampingan dengan orang Muslim secara damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi, maka dari itu, orang non-Muslim tersebut dapat menerima hak kewarisan dari pewaris Islam atas dasar wasiat wajibah (Al-Qardhawi, 2004: 175).

Permasalahan kewarisan beda agama bukan merupakan masalah baru yang terjadi di masa sekarang ini, khususnya di Indonesia yang masyarakatnya menganut agama yang heterogen dan dimungkinkan akan kembali terjadi kasus yang sama apabila tidak adanya aturan yang jelas dan tegas yang mengatur masalah kewarisan beda agama. Meskipun aturan hukum positif di Indonesia telah melarang dengan tegas pernikahan beda agama, hal ini sebagaimana yang telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: “Perkawinanan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

Jurnal isi.indd 175 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 81: cover jurnal Agustus 2016.cdr

176 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini juga kembali dipertegas dalam ketentuan Pasal 4 KHI, yakni“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan.” Kedua pasal tersebut dengan tegas menyebutkan bahwasanya pernikahan yang dianggap sah menurut hukum dan agama yaitu pernikahan yang dilakukan menurut agama masing-masing calon pasangan, dalam artian laki-laki yang beragama Islam harus menikah dengan wanita Islam juga, serta sebaliknya.

Praktiknya, meskipun kedua ketentuan yuridis yang mengatur masalah perkawinan tersebut telah tegas melarang pernikahan beda agama, tetapi pada kenyataannya pasangan yang berbeda agama yang ada di Indonesia dapat melaksanakan pernikahannya di tempat lain (negara-negara yang melegalkan pernikahan beda agama). Praktik perkawinan beda agama yang dilakukan seseorang akan muncul beberapa dampak dalam perkawinannya, yaitu dalam hal hubungan kekeluargaan, termasuk salah satunya mengenai pembagian harta warisan di antara pasangan yang berbeda agama tersebut.

Perkawinan beda agama yang berdampak pada masalah kewarisan merupakan suatu fenomena yang kerap terjadi di Indonesia, hal ini bukan merupakan suatu yang tabu mengingat Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang masyarakatnya menganut bermacam-macam agama. Meskipun dengan tegas melarang perkawinan beda agama yang dikodifikasikan dalam sebuah peraturan, namun dalam hal aturan hukum mengenai kewarisan beda agama di Indonesia tergolong minim, hal ini dapat dilihat dari hanya dalam KHI saja yang mengatur mengenai kewarisan, dan itu pun tidak terlalu

rinci membahas mengenai kewarisan antara dua orang yang berbeda agama.

Penyelesaian sengketa kewarisan beda agama diperlukan adanya ijtihad para hakim di setiap lingkungan peradilan khususnya yang menangani masalah kewarisan. Hal ini dilakukan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan kewarisan beda agama serta untuk mengisi kekosongan hukum mengenai hal tersebut. Alasan para hakim di pengadilan agama melaksanakan ijtihad dalam menyelesaikan perkara kewarisan beda agama karena tidak adanya aturan hukum yang tegas mengenai hal tersebut, serta sudah menjadi kewajiban para hakim untuk menyelesaikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan.

Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Selain dari itu, Pasal 229 KHI juga menekankan bahwa hakim dalam mengadili dan memutuskan suatu perkara wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Manan, 2013: 250).

Salah satu hasil ijtihad para hakim yang telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembaruan hukum Islam dalam hal kewarisan beda agama yaitu hasil ijtihad para majelis hakim melalui Putusan Nomor 16 K/AG/2010 tentang perkara kewarisan beda agama dengan memberikan hak kewarisan kepada istri yang beragama non-Muslim berdasarkan wasiat. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian

Jurnal isi.indd 176 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 82: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 177

ini penting dilakukan untuk mengungkapkan permasalahan secara mendalam terkait masalah hak ahli waris non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan di atas, ada tiga masalah yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini:

1. Bagaimana peraturan mengenai keberadaan wasiat wajibah dalam ketentuan fikih dan ketentuan hukum positif di Indonesia?

2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan hak ahli waris non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah?

3.; Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Putusan Nomor 16 K/AG/2010 tentang hak ahli waris non-Muslim yang ditetapkan atas dasar wasiat wajibah?

C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mengenai keberadaan wasiat wajibah dalam ketentuan fikih dan ketentuan hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutus Putusan Nomor 16 K/AG/2010 mengenai perkara kewarisan beda agama.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis Putusan Nomor 16K/AG/2010 berdasarkan ketentuan hukum Islam dan perundang-

undangan terkait yang berlaku di Indonesia.

Kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian mengenai kewarisan beda agama ini yaitu, secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya hukum waris. Di samping itu, secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan suatu pilihan hukum bagi segala pihak yang berkepentingan agar dalam menyelesaikan proses pembagian harta warisan harus melihat agama yang dianut oleh si pewaris terlebih dahulu. Jika si pewaris beragama Islam maka ketentuan yang digunakan adalah ketentuan hukum Islam dan juga sebaliknya. Juga kepada para pembuat undang-undang untuk lebih memperhatikan mengenai fenomena kewarisan beda agama di kalangan masyarakat, supaya diatur secara tegas dan jelas dalam sebuah peraturan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

D. Studi Pustaka1. Ahli Waris

Hukum waris Islam telah menetapkan hubungan hukum seseorang yang berhak menjadi ahli waris ke dalam tiga kelompok, yakni: a) hubungan darah (nasabiyah); b) hubungan perkawinan; dan c) hubungan perwalian. Khusus yang terakhir mengenai hubungan perwalian ini tidak diberlakukan lagi karena tidak ada lagi praktik perbudakan pada saat sekarang ini, perwalian yang dimaksud dalam hal ini yaitu orang-orang yang memerdekakan budak. Melihat kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan sebab seseorang dapat menjadi ahli waris hanya dua yaitu karena hubungan darah dan hubungan

Jurnal isi.indd 177 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 83: cover jurnal Agustus 2016.cdr

178 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

perkawinan (Sarmadi, 2013: 25).

Terdapat tiga rukun waris mewarisi dalam Islam yaitu: maurus (harta yang diwarisi), muwarris (pewaris yang telah meninggal dunia), dan waris (ahli waris). Dalam ketentuan Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris didefinisikan sebagai orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dari definisi tersebut, ada dua aspek yang perlu mendapat penekanan, yaitu: pertama, mengenai bahwa adanya hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya. Ketentuan yang ideal dalam hukum kewarisan Islam bahwa hubungan hukum antara ahli waris dengan pewaris itu hanya ditentukan oleh dua jalur kekerabatan, yakni: a) kekerabatan karena hubungan perkawinan, dan (b) kekerabatan melalui hubungan nasab. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 174 ayat (1) KHI dan juga sesuai dengan nash Al Quran Surah An-Nisa ayat 11 dan 12. Adapun mengenai ahli waris yang didasarkan kepada adanya sumpah setia (wala’ul muwalah) hanya merupakan hasil ijtihad yang tidak ada rujukan nash-nya, begitu pula mengenai ahli waris karena memerdekakan budak (ashabah sababiyah).

Dalam konsep Islam perbudakan merupakan suatu ancaman kemanusiaan yang tidak berperikeadilan dan melanggar HAM, karena itu keberadaannya tidak ditolelir serta konsep Islam itu sekarang telah diikuti oleh seluruh negara di dunia. Kedua, Kompilasi Hukum Islam menghendaki persyaratan bagi seorang ahli waris yakni tidak melakukan hal-hal yang telah diatur dalam Pasal 173 KHI (MK,

2013: 10).

Pada dasarnya ahli waris merupakan seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan ahli waris dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga golongan (Suparman, 2013: 17-20), yaitu:

a. Dzul Faraaidh Yaitu ahli waris yang sudah ditentukan

dalam Al Quran, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapatkan bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah. Adapun rincian masing-masing ahli waris dzul faraaidh ini dalam Al Quran tertera dalam Surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Adapun ahli waris yang tergolong dalam dzul faraaidh terdiri dari: anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ayah, ibu, kakek dari garis ayah, nenek dari garis ayah maupun dari garis ibu, saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah, saudara perempuan tiri dari garis ayah, saudara laki-laki tiri dari garis ibu, saudara perempuan tiri dari garis ibu, duda, dan janda.

b. Ashabah Ashabah dalam bahasa Arab berarti

“anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak.” Menurut ajaran kewarisan patrilineal, ashabah diartikan sebagai golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan yaitu kepada ahli waris golongan dzul faraaidh, kemudian sisanya baru diberikan kepada ashabah. Dengan demikian apabila ada pewaris yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris dzul faraaidh, maka

Jurnal isi.indd 178 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 84: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 179

harta peninggalan diwarisi oleh ahli waris golongan ashabah. Akan tetapi jika ahli waris dzul faraaidh itu ada maka sisa bagian dzul faraidh menjadi bagian ashabah.

Hazairin (1959) membagi ahli waris ashabah menjadi tiga golongan yaitu:

1. Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak mendapatkan semua harta atau semua sisa harta, yang urutannya adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal pertaliannya masih terus laki-laki, ayah, kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal pertaliannya belum putus dari pihak ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman yang sekandung dengan ayah, paman yang seayah dengan ayah, anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah, dan anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

2. Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam ashabah bilghairi adalah anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki, dan saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki.

3. Ashabah ma’al ghairi yaitu saudara perempuan yang mewaris bersama

keturunan dari pewaris, mereka adalah saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah.

c. Dzul Arhaam Yaitu orang yang mempunyai hubungan

darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja. Hazairin mendefinisikan dzul arhaam yaitu semua orang yang bukan dzul faraaidh dan ashabah, yang umumnya terdiri atas orang yang termasuk anggota-anggota patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah dan ibu. Ahli waris dalam golingan dzul arhaam ini akan mewaris jika sudah tidak ada lagi ahli waris dari golongan dzul faraaidh dan ashabah.

Pasal 174 KHI menyebutkan bahwa:

1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan yang terdiri dari duda (suami) atau janda (istri).

2) Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

2. Penghalang Mendapatkan Warisan

Jurnal isi.indd 179 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 85: cover jurnal Agustus 2016.cdr

180 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

Penghalang memperoleh hak waris atau dalam istilah fikih disebut dengan mawaniu al-irtsi adalah gugurnya hak seseorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan. Hak perolehan tersebut gugur karena adanya sebab-sebab khusus, walaupun dalam statusnya ia merupakan ahli waris seperti anak terhadap orang tuanya maupun sebaliknya. Dengan demikian, sebab-sebab khusus dimaksud hanya terjadi kepada ahli waris di mana pada hukum asal ia berhak memperoleh warisan karena statusnya sebagai ahli waris menjadi tidak berhak memperoleh warisan karena adanya peristiwa khusus sebagai penyebab terhalangnya memperoleh warisan (Sarmadi, 2013: 47).

Penghalang-penghalang kewarisan tersebut meliputi:

1. Perbudakan. Para ulama klasik sepakat bahwa budak tidak berhak menjadi ahli waris karena dianggap tidak cakap mengurusi harta miliknya, karena segala sesuatu yang dimiliki oleh budak secara langsung menjadi milik tuannya, hal ini didasarkan pada ketentuan nash dalam Surah An-Nahl ayat 75.

2. Pembunuhan. Para fuqaha klasik sepakat bahwa pembunuhan menjadi penghalang mewarisi bagi si pembunuh harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya, hal ini didasarkan pada sabda Nabi yang mengatakan: “tidak sesuatu pun bagi pembunuh hak dari warisan.”

3. Perbedaan agama. Ketentuan penghalang ketiga ini didasarkan pada Hadis Nabi yang mengatakan: “tidak mewarisi seorang Muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang Muslim” (Habiburrahman, 2011: 19).

3. Wasiat Wajibah

Wasiat dalam pengertian ilmu fikih merupakan suatu pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu memiliki kemampuan menerima hibah setelah matinya orang yang berwasiat. Persoalan mengenai hukum dari melaksanakan wasiat itu sendiri yang melahirkan istilah wasiat wajibah (wasiat yang diwajibkan). Dalam ensiklopedi Islam, wasiat wajibah disebut juga dengan istilah al-wasiyyah al-wajibah, yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat. Sedangkan menurut Rahman, wasiat wajibah adalah suatu tindakan yang dilakukan atas keinginan diri sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, bahkan penguasa maupun hakim tidak berhak untuk memaksa seseorang untuk memberikan wasiat (Rahman, 1981: 62).

Istilah wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris Tahun 1946 yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal (ibn al-ibn) atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Pemberian wasiat wajibah ini tidak melebihi sepertiga (1/3) dari harta tirkah (harta peninggalan) pewaris (Al Amruzi, 2012: 77).

Bakar dalam bukunya menyebutkan bahwa wasiat kepada kerabat yang tidak mewarisi hukumnya sunah, dan kewajiban berwasiat

Jurnal isi.indd 180 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 86: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 181

hanya bersifat ta’abbudi yaitu, orang yang telah meninggal akan berdosa apabila tidak mengerjakannya (berwasiat). Namun keluarga yang masih hidup tidak mempunyai hak untuk memaksa pelaksanaan wasiat tersebut sekira tidak diucapkan oleh pewaris atau pewasiat yang telah meninggal. Dalam buku tersebut juga disebutkan tentang pendapat Ibnu Hazm bahwa seseorang wajib berwasiat untuk anggota kerabat yang tidak mewarisi, baik karena perbedaan agama, perbudakan atau karena terhijab (Bakar, 2012: 254-256).

II. METODE

Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai dengan masalah yang diteliti. Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh seseorang untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat luas. Fungsi dari setiap penelitian itu sendiri adalah untuk mendapatkan kebenaran, yaitu kebenaran dari segi epistimologi (Marzuki, 2014: 20).

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan jenis yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum dan menggunakan data sekunder. Di sini penulis mengambil pembahasan dari produk hukum Mahkamah Agung yaitu Putusan Nomor 16 K/AG/2010 tentang perkara kewarisan beda agama, di mana putusan ini penulis peroleh melalu website resmi Mahkamah Agung yaitu melalui www.putusan.mahkamahagung.go.id. Secara detail kajian yang dikaji adalah mengenai kewarisan beda agama dan pemberian wasiat wajibah kepada non-Muslim.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat (Amiruddin & Asikin, 2010: 25). Maka dari itu, penelitian deskriptif analisis dapat dikatakan untuk memperjelas data tentang suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum yang terdapat dalam Al Quran dan hadis sebagai sumber hukum Islam. Di samping itu, juga digunakan instrumen hukum lainnya yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fatwa MUI Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama, dan aturan hukum lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Berdasarkan jenis penelitian, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal, dan sebagainya. (Amiruddin & Asikin, 2010: 30). Adapun data sekunder tersebut terdiri dari bahan-bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan

hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas (Marzuki, 2014: 181). Bahan hukum primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan khususnya

Jurnal isi.indd 181 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 87: cover jurnal Agustus 2016.cdr

182 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

yang berkaitan dengan objek penelitian. Peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian ini adalah Al Quran dan hadis (sebagai sumber hukum Islam), Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Putusan Nomor 16 K/AG/2010.

b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar (Marzuki, 2014: 182). Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder terkait penelitian ini adalah literatur-literatur mengenai hukum kewarisan Islam dan mengenai wasiat wajibah. Di samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat juga berupa jurnal atau karya ilmiah lainnya.

c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan

hukum yang berfungsi untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun yang mencakup dalam bahan hukum tersier yaitu seperti kamus, baik kamus hukum ataupun kamus besar bahasa Indonesia, serta ensiklopedia.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan, maka dari itu, teknik pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan ini yaitu dengan cara mengumpulkan data sekunder. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan studi dokumen atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dari data yang telah diperoleh kemudian dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan sifat analisis data yang berupa

deskriptif analisis dan preskriptif analisis. Deskriptif analisis adalah peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan. Sedangkan preskriptif analisis dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukannya. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian (Fajar & Achmad, 2015: 183).

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Wasiat Wajibah dalam Fikih dan Hukum

Positif di Indonesia1. Wasiat Wajibah dalam Fikih

Jumhur ulama tidak mengenal adanya istilah wasiat wajibah. Namun menurut jumhur ulama hanya mengenal mengenai hukum melaksanakan wasiat, apakah hukum melaksanakan wasiat merupakan sebuah kewajiban (wajib) yang harus dilakukan seluruh umat Muslim ataupun hanya sebatas anjuran (sunah), yang boleh untuk dilaksanakan dan boleh untuk ditinggalkan (tidak dilaksanakan).

Para imam fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum berwasiat, hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Imam Mazhab berpendapat bahwa kewajiban wasiat yang terdapat pada Surah Al-Baqarah ayat 180 itu telah dihapus dengan Surah An-Nisa ayat 11 tentang warisan. Maka dari itu, para Imam Mazhab berpendapat bahwa berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat yang tidak menerima bagian waris itu hukumnya tidak wajib; b) Daud Az-

Jurnal isi.indd 182 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 88: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 183

zahiri yang didukung oleh Masruq, Tawus, Iyas, Qatadah, dan Ibnu Jarir berpendapat bahwa wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat yang menjadi ahli waris telah terhapuskan dengan kewajiban menerima warisan, tetapi wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat yang tidak menjadi ahli waris hukumnya wajib, mereka berpegang kepada Surah Al-Baqarah ayat 180; dan c) Ibnu Hazm berpendapat bahwasanya memberi wasiat itu hukumnya wajib bagi setiap orang yang akan meninggal dan mempunyai harta peninggalan. Ia beralasan pada ketentuan Surah An-Nisa ayat 11 dan 12 yang mengajarkan bahwa adanya kewajiban untuk memisahkan harta peninggalan sesuai dengan bagian yang telah ditentukan dalam nash tersebut. Namun dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang. Logika formil menyatakan bahwa karena pembagian waris itu sendiri hukumnya wajib, maka pembayaran hutang dan melaksanakan wasiat yang harus didahulukan itu hukumnya juga wajib. Selanjutnya Ibnu Hazm juga beralasan bahwa membedakan status hukum membayar hutang dan melaksanakan wasiat dengan pembagian waris itu tidak tepat karena ketiga masalah tersebut itu tersurat dalam satu ayat yang terpisah-pisah (Tono, 2012: 52).

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbedaan pendapat para fuqaha tersebut, bahwa pada hakikatnya memberikan atau membuat wasiat merupakan suatu perbuatan ikhtiariyah, yaitu perbuatan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri. Dalam keadaan bagaimanapun juga, penguasa maupun hakim tidak berhak memaksa seseorang untuk membuat dan memberikan wasiat. Pengertian wasiat wajibah merupakan tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memeriksa atau memberi putusan wajib wasiat

bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.

Dalam aturan hukum Islam, konsep wasiat wajibah pertama kali diperkenalkan (dipelopori) dari pendapat Ulama Mazhab Az-Zahiri yaitu Ibnu Hazm yang berpendapat bahwa penguasa wajib mengeluarkan sebagian harta dari harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia sebagai wasiat dari seseorang yang meninggal meskipun ia tidak berwasiat sebelumnya, atas dasar pemikiran bahwa para penguasa mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak rakyatnya yang belum terlaksana, termasuk mengenai hak seseorang terhadap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut lahirnya dan berkembangnya istilah wasiat wajibah dalam hukum Islam (Kamil & Fauzan, 2008: 146).

Ibnu Hazm telah menetapkan bahwa hukum melaksanakan wasiat adalah wajib, yakni menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan (oleh penguasa) untuk memberikan wasiat wajib (wasiat wajibah) kepada para kerabat yang terhalang menerima warisan, baik terhalang dikarenakan terhijab atau karena berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Pendapat sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibnu Hazm tersebut, tidak selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Mazhab (Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali) yang berpendapat bahwa, hukum berwasiat hanya merupakan sebuah anjuran (sunah) dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutan dalam menghadapi kesulitan hidup.

Terjadinya perbedaan pendapat dalam menentukan hukum berwasiat antara Imam

Jurnal isi.indd 183 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 89: cover jurnal Agustus 2016.cdr

184 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

Mazhab dengan Ibnu Hazm, disebabkan berbedanya penafsiran terhadap Surah Al-Baqarah ayat 180 yang menjelaskan mengenai wasiat. Menurut Ibnu Hazm, ayat tersebut merupakan sebuah perintah untuk berwasiat kepada para kerabat (ahli waris) yang terhalang mendapatkan hak warisan.

Sedangkan jumhur ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai sebuah anjuran yang boleh atau tidaknya dilaksanakan oleh seseorang, karena para Imam Mazhab berpendapat bahwa ayat mengenai wasiat sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 tersebut telah dihapuskan (di-mansukh) oleh ayat-ayat mengenai kewarisan. Atas dasar itu para Imam Mazhab menetapkan hukum berwasiat hanya sebatas anjuran (sunah).

2. Wasiat Wajibah dalam Hukum Positif di Indonesia

Di Indonesia dalam dekade tahun 1991, hukum mengenai wasiat telah dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam dengan bentuk Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991. Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas umatnya beragama Islam dan dalam masalah fikih mayoritas Muslim Indonesia lebih condong menganut kepada Mazhab Syafi’i. Dan sebagaimana diketahui bahwa Imam Syafi’i merupakan salah satu ulama fikih yang tidak memberlakukan ketentuan wasiat wajibah, karena Imam Syafi’i hanya menyatakan bahwasanya melaksanakan wasiat hanya sebagai anjuran tidak wajib untuk dilaksanakan. Dalam perundang-undangan di Indonesia aturan mengenai wasiat wajibah hanya disebutkan dan dijelaskan aturan hukumnya dalam KHI. Dalam KHI, wasiat wajibah hanya disebutkan dalam satu pasal saja

yaitu dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2).

Secara yuridis, wasiat wajibah yang diatur dalam KHI merupakan sebuah pemberian yang diputuskan oleh penguasa (hakim) kepada seseorang. Dalam KHI pemberian hak warisan atas dasar wasiat wajibah hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua angkat yang tidak mendapatkan hak warisan dari orang tua angkatnya atau dari anak angkatnya. Diberikannya hak wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat dari harta peninggalan orang tua angkat atau anak angkat, dikarenakan antara orang tua angkat dan anak angkat telah hidup lama dan rukun. Atas dasar tersebut penguasa berwenang untuk memberikan hak warisan berdasarkan wasiat wajibah kepada mereka, sebagaimana yang telah ditentukan dalam KHI Pasal 209 ayat (1) dan (2).

Pasal 209 KHI telah jelas disebutkan bahwa aturan hukum mengenai pemberian wasiat wajibah di Indonesia hanya diperuntukkan kepada orang tua angkat atau anak angkat semata, tidak dianalogikan kepada orang-orang (kerabat) yang tidak berhak menerima warisan baik karena terhalang (berbeda agama) ataupun karena terhijab.

Sementara itu, di beberapa negara Islam di dunia telah memberlakukan lembaga wasiat wajibah serta telah mengatur ketentuan wasiat wajibah secara khusus dalam perundang-undangan resmi negara. Di antara negara-negara Islam tersebut, negara yang pertama kali memberlakukan dan memasukkan ketentuan wasiat wajibah dalam perundang-undangan resmi negara adalah Mesir melalui Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1946 yang memberlakukan pemberian wasiat wajibah terhadap cucu yang ayah dan/atau ibunya telah meninggal lebih

Jurnal isi.indd 184 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 90: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 185

dahulu dari pewaris. Kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya, seperti Suriah melalui Undang-Undang Personal Status Suriah Tahun 1953, dan Maroko melalui Undang-Undang Personal Status Maroko Tahun 1957.

Kedua negara tersebut memberlakukan pemberian wasiat wajibah bagi keturunan langsung melalui garis anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, dan tidak berlaku bagi keturunan langsung melalui anak perempuan. Di samping itu, negara Tunisia juga memberlakukan dan memasukkan ketentuan mengenai wasiat wajibah dalam perundang-undangan resmi negaranya melalui Undang-Undang Personal Status Tunisia Tahun 1956 yang memberlakukan pemberian wasiat wajibah bagi keturunan langsung melalui garis laki-laki atau perempuan yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (MK, 2013: 87).

B. Pertimbangan Hakim Menetapkan Hak Ahli Waris Non-Muslim dengan Wasiat Wajibah

Permasalahan kewarisan beda agama timbul disebabkan oleh perkawinan beda agama. Kewarisan beda agama merupakan masalah yang kerap terjadi di Indonesia, dikarenakan Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak agama yang dianut oleh rakyatnya. Perkara kewarisan beda agama telah banyak diperiksa dan diputuskan oleh hakim di Mahkamah Agung. Perkara-perkara kewarisan beda agama yang pernah diputuskan Mahkamah Agung antara lain, Putusan Nomor 368 K/AG/1995, Putusan Nomor 51 K/AG/1999, dan Putusan Nomor 16 K/AG/2010.

Dalam memutuskan perkara kewarisan beda agama, Mahkamah Agung tidak menggunakan

pertimbangan hukum (dalil hukum) yang sama, melainkan menggunakan pertimbangan hukum yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Putusan Nomor 16 K/AG/2010 yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 30 April 2010. Dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010, pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara kewarisan beda agama dan memberikan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah kepada non-Muslim, telah disebutkan dengan jelas, yaitu pendapat Ulama Yusuf Al-Qardhawi. Pertimbangan hukum yang disebutkan dalam amar Putusan Nomor 16 K/AG/2010 adalah sebagai berikut:

Bahwa perkawinan pewaris dengan pemohon kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula pemohon kasasi mengabdikan diri kepada pewaris, karena itu walaupun pemohon kasasi non-Muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku istri untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai dengan rasa keadilan.

Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa persoalan kedudukan ahli waris non-Muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama di antaranya ulama Yusuf Al-Qardhawi, yang menafsirkan bahwa orang-orang non-Muslim yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan sebagai kafir harbi, demikian halnya pemohon kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak pemohon kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah.

Pertimbangan hukum yang disebut di atas yaitu pertimbangan hukum mengenai pemberian

Jurnal isi.indd 185 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 91: cover jurnal Agustus 2016.cdr

186 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

harta peninggalan (warisan) berdasarkan wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim (istri non-Muslim) yang diberikan atas dasar rasa keadilan, dikarenakan istri non-Muslim telah hidup cukup lama dengan suaminya yang beragama Islam dan juga telah mengabdikan dirinya kepada suami yang beragama Islam. Pertimbangan hukum di atas juga menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung memberikan setengah harta (1/2) dari harta bersama antara suami-istri yang didasari atas yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai harta bersama.

Pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010 di atas sudah jelas, meskipun tidak menggunakan aturan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai pertimbangannya dalam memutuskan perkara tersebut. Namun terdapat banyak perbedaan apabila Putusan Nomor 16 K/AG/2010 jika dibandingkan dengan putusan-putusan Mahkamah Agung yang lain dalam perkara yang sama, yaitu seperti Putusan Nomor 368 K/AG/1995 dan Putusan Nomor 51 K/AG/1999.

Dalam Putusan Nomor 368 K/AG/1995 dan Putusan Nomor 51 K/AG/1999, majelis hakim yang memeriksa serta memutuskan perkara tersebut tidak menyebutkan pertimbangan hukum yang jelas, di mana pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara kewarisan beda agama, yaitu berdasarkan pemahaman terhadap Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 180 dan pendapat Ibnu Hazm, yang menurutnya kewajiban berwasiat sebagaimana yang dimaksud dalam Surah Al-Baqarah tersebut diperuntukkan kepada orang tua dan karib kerabat yang tidak dapat mewarisi apabila pewaris tidak berwasiat sebelumnya, baik karena terhijab maupun karena terhalang kewarisan.

Dari ketiga putusan Mahkamah Agung di atas memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaan ketiga putusan tersebut yaitu dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010 dan Putusan Nomor 368 K/AG/1995, majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak menyebutkan ahli waris non-Muslim sebagai salah satu ahli waris dari pewaris Islam. Sedangkan dalam Putusan Nomor 51 K/AG/1999, majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut menyebutkan ahli waris non-Muslim sebagai salah satu ahli waris dari pewaris Islam. Sedangkan persamaan ketiga putusan tersebut adalah, bahwa ahli waris non-Muslim sama-sama diberikan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah.

Pemberian hak kewarisan atas dasar wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim merupakan salah satu pembaruan hukum Islam dalam bidang kewarisan yang terjadi di Indonesia. Pembaruan hukum tersebut lahir (ada) dari hasil ijtihad para majelis hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara kewarisan beda agama tersebut. Pada dasarnya hakim dapat berijtihad dalam memutuskan suatu perkara yang tidak ada aturan hukum yang mengatur masalah tersebut, namun para majelis hakim yang berijtihad tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al Quran dan hadis serta yang terdapat dalam aturan hukum yang ada (Manan, 2013: 227).

Indonesia merupakan suatu negara hukum, sebagaimana yang telah dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1045 bahwa, “Negara Indonesia merupakan negara hukum.” Sebagai negara hukum maka sangatlah menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagai alat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dalam hal kewarisan, seharusnya para hakim yang mengadili perkara kewarisan beda agama harus

Jurnal isi.indd 186 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 92: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 187

melihat ketentuan yang terdapat dalam aturan hukum positif di Indonesia terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai pertimbangan hukumnya dalam memutuskan perkara, dan jika tidak ditemukan aturan hukum positif, maka hakim diperbolehkan melakukan penafsiran terhadap aturan hukum serta melakukan penemuan hukum baru terhadap perkara yang tidak diatur sebelumnya dalam hukum positif.

Hal ini mengingat bahwasanya Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum.

Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan jika tindakan-tindakan hukum manusia di dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (donktrin res ajudicata) (Najih & Soimin, 2012: 71).

Hasil ijtihad majelis hakim dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010 dalam perkara kewarisan beda agama dan memberikan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim terdapat kekeliruan, dikarenakan mengenai pemberian hak kewarisan berdasarkan

wasiat wajibah telah diatur dalam aturan yuridis di Indonesia yaitu dalam KHI Pasal 209 ayat (1) dan (2), di mana dalam pasal tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa yang berhak memperoleh hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah hanya orang tua angkat dan anak angkat dengan besar harta yang diwasiatkan tidak melebihi sepertiga (1/3) harta. Maka dari itu, majelis hakim telah salah menetapkan hukum karena telah bertentangan dengan aturan hukum yang ada.

C. Analisis Putusan Nomor 16 K/AG/2010 dalam Perspektif Hukum Islam

Di Indonesia, dewasa ini masih terdapat beraneka ragam sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warna negara Indonesia, di antaranya yaitu: 1) Sistem hukum warisan perdata barat (Eropa) yang tertuang dalam BW atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing Tionghoa, dan orang Timur Asing lainnya, dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa; 2) Sistem hukum adat yang beraneka ragam sistemnya, yang dipengaruhi oleh etnis di berbagai daerah yang masih sangat kuat diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat; dan 3) Sistem kewarisan Islam yang juga terdiri atas berbagai aliran dan pemahaman (Kharlie, 2013: 259).

Meskipun terdapat tiga sistem hukum kewarisan di Indonesia, namun bagi ahli waris baik yang Muslim ataupun non-Muslim tidak dapat menentukan hukum waris mana yang akan dipakai dalam menyelesaikan perkara pembagian harta warisan. Dalam hal ini penyelesaian kewarisan tergantung agama yang dipeluk oleh pewaris ketika ia meninggal. Apabila si

Jurnal isi.indd 187 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 93: cover jurnal Agustus 2016.cdr

188 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

pewaris yang meninggal beragama Islam dan meninggalkan ahli waris yang beragama non-Islam, maka ketentuan yang digunakan dalam menyelesaikan pembagian harta warisan tersebut menggunakan ketentuan hukum waris Islam dan juga berlaku sebaliknya (MK, 2013: 158).

Mengenai ketentuan warisan dan wasiat wajibah dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia, terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam telah disepakati oleh para hakim pengadilan agama dan mahkamah syariah sebagai hukum terapan (hukum material) pada pengadilan agama dan mahkamah syariah serta dalam pengadilan tingkat lainnya yang merasa membutuhkan KHI sebagai acuan dalam menyelesaikan perkara yang sedang diadili.

Dalam KHI memang tidak menyebutkan secara tegas mengenai faktor perbedaan agama sebagai sebab untuk tidak saling mewarisi, hal ini dapat dilihat dari Pasal 173 KHI, yakni:

“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena: a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; dan b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukum yang lebih berat.”

Meskipun tidak menyebutkan mengenai perbedaan agama sebagai salah satu faktor terhalangnya mewarisi, namun dalam ketentuan Pasal 171 huruf b dan c tersirat dengan jelas bahwasanya yang berhak menjadi ahli waris dari pewaris yaitu yang sama-sama bergama Islam. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan isi Pasal 171 huruf b dan c yakni:

“Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”

“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

Dari ketentuan Pasal 171 huruf b dan c dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya dalam ketentuan tersebut telah menyebutkan suatu kriteria yang dapat dikatakan sebagai ahli waris yaitu seseorang yang beragama sama dengan si pewaris, yakni sama-sama menganut agama Islam. Maka oleh karena itu, di luar yang beragama berbeda dengan pewaris Islam tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris.

Mengenai pemberian wasiat wajibah kepada seseorang yang tidak mendapatkan hak dari harta warisan telah diatur dengan jelas dalam ketentuan Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI, yaitu:

1. “Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.”

2. “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Dari ketentuan pasal di atas, telah jelas disebutkan bahwa sasaran pemberian wasiat wajibah yaitu orang tua angkat dan anak angkat. Ketentuan mengenai pemberian wasiat wajibah dalam aturan hukum di Indonesia sedikit berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab fikih, di mana dalam ketentuan fikih wasiat wajibah dapat diberikan kepada siapa saja yang tidak

Jurnal isi.indd 188 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 94: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 189

mendapatkan harta warisan, baik karena terhijab maupun karena perbedaan agama, pendapat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hazm.

Wasiat wajibah yang sebelumnya telah diatur dalam KHI hanya diberikan kepada anak angkat dan orang tua angkat, serta dalam beberapa ijtihad para hakim di lingkungan peradilan agama juga memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak beragama Islam. Pada tahun 2012 diadakannya Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indoneia, berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tersebut, pemberian wasiat wajibah diperluas sasaran yang berhak menerimanya, yaitu: 1) anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat; dan 2) anak tiri yang dipelihara sejak kecil. Kedudukan anak tiri dipertegas dari hasil Rakernas ini bahwa anak tiri bukan merupakan ahli waris sehingga mutlak tidak berhak mendapatkan bagian harta waris dari orang tua tirinya. Namun hasil Rakernas ini memberikan peluang bagi anak tiri untuk mendapatkan bagian harta melalui lembaga wasiat wajibah, dengan catatan bahwa anak tiri secara de facto memang telah dipelihara oleh pewasiat sejak kecil (Nugraheni & Ilhami, 2014: 79).

Fakta yang terjadi di lapangan sekarang ini, pemberian wasiat wajibah tidak hanya diberikan kepada orang tua angkat atau anak angkat, tetapi diberikan juga kepada ahli waris non-Muslim (yang berlainan agama dengan pewaris Islam). Sebagaimana yang terjadi dalam perkara kewarisan beda agama antara MA (pewaris Islam) dengan ELM (istri pewaris yang beragama Kristen), di mana perkara tersebut telah diperiksa dan diputuskan oleh majelis hakim pada tanggal 30 April 2010 sebagaimana tertulis

dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010. Dalam putusan tersebut, majelis hakim memutuskan untuk memberikan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah kepada istri (ahli waris yang non-Muslim). Pemberian hak kewarisan dalam bentuk wasiat wajibah kepada istri non-Muslim merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI yang telah sangat jelas menyebutkan mengenai siapa yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.

Dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010, majelis hakim menggunakan pendapat Ulama Yusuf Al-Qardhawi sebagai dasar pertimbangan hukumnya. Namun pertimbangan hukum yang disebutkan oleh majelis hakim tersebut terdapat kerancuan (kekeliruan) dan tidak sesuai dengan pendapat Ulama Yusuf Al-Qardhawi yang sebenarnya, di mana beliau berpendapat bahwa: “Berdasarkan riwayat dari Umar, Mu’adz, dan Muawiyah yang terdapat dalam kitab Al-Mughni, Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan bahwa mereka membolehkan orang Muslim mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang Muslim. Hal ini dibenarkan karena umat Islam diperkenankan atau dibolehkan menikahi wanita-wanita dari kalangan orang-orang kafir, dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita dari kalangan orang Islam” (Al-Qardhawi, 2002: 851).

Pertimbangan hukum yang termuat dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010 di atas, sudah sangat jelas berbeda dan terdapat ketidaksesuaian dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ulama Yusuf Al-Qardhawi. Apabila pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim dilihat secara rinci, maka pertimbangan hukum tersebut terdapat kekeliruan. Dalam putusan tersebut, majelis hakim memberikan hak kewarisan kepada istri non-Muslim berdasarkan jalan wasiat wajibah

Jurnal isi.indd 189 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 95: cover jurnal Agustus 2016.cdr

190 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

dengan berargumen bahwa pemohon kasasi (istri yang non-Muslim) bukan termasuk kafir harbi melainkan tergolong kepada seorang kafir yang hidup berdampingan dengan damai dengan orang Islam atau disebut dengan kafir dzimmi, maka dari itu pemohon kasasi berhak mendapat hak kewarisan dari pewaris (Islam) melalui wasiat wajibah. Di sini, secara tidak langsung majelis hakim membenarkan hak saling mewarisi antara orang Islam dengan kafir dzimmi, karena mereka dapat hidup berdampingan dengan damai sesamanya.

Hal tersebut jelas bertentangan dengan hukum Islam, karena dalam hukum Islam telah diatur secara jelas bahwa tidak ada hubungan saling mewarisi antara dua orang yang berlainan agama, yaitu antara orang Islam dan non-Muslim atau kafir (baik kafir harbi maupun kafir dzimmi). Sebagaimana diketahui bahwa setiap kerabat (baik kerabat dekat atau bukan) yang berlainan agama dengan pewaris tidak berhak menjadi ahli waris serta tidak berhak mendapatkan hak apapun dari harta peninggalan (at-tirkah) dari pewaris yang Islam, hak tersebut telah bersifat qath’i dalam ketentuan hukum Islam.

Mengenai Putusan Nomor 16 K/AG/2010, apabila dianalisis berdasarkan hukum Islam, bahwa putusan tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa antara dua orang yang berlainan agama tidak berhak saling mewarisi. Persoalan penetapan hak kewarisan terhadap ahli waris non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah juga tidak diatur dalam aturan hukum manapun, baik dalam hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun dalam aturan hukum Islam (Al Quran dan hadis). Oleh karena itu, apabila perkara kewarisan beda agama terjadi, sebaiknya pewaris (Islam) harus berwasiat atau

menghibahkan sebagian hartanya terhadap ahli waris yang non-Muslim (dari kerabat dekat), karena melalui jalan wasiat atau hibah ahli waris non-Muslim dapat menerima harta peninggalan dari pewaris Islam yang meninggal dunia, hal ini sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yaitu:

Memutuskan dan Menetapkan: Fatwa tentang Kewarisan Beda Agama

1. Hukum waris tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara Muslim dengan non-Muslim).

2. Pemberian harta (warisan) antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat, dan hadiah.

Wasiat yang dimaksud dalam Fatwa MUI di atas adalah wasiat pada umumnya, dalam artian seseorang yang telah meninggal dunia yang berwasiat langsung kepada orang (kerabat) non-Muslim yang dikehendakinya ketika masih hidup, bukan dengan jalan wasiat wajibah. Karena pada dasarnya orang non-Muslim tidak berhak mendapat hak kewarisan dalam bentuk apapun dari pewaris yang beragama Islam, namun melalui Fatwa MUI tersebut, Islam telah memberikan satu alternatif yang dirasa sangat baik dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan beda agama bahwa kerabat non-Muslim dapat menerima hak kewarisan berdasarkan jalan wasiat, hibah, dan hadiah saja tidak melalui jalan wasiat wajibah. Dikarenakan wasiat yang dimaksud dalam Fatwa MUI tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai wasiat wajibah, karena pemberian wasiat wajibah tidak dapat diberikan kepada orang non-Muslim. Wasiat wajibah merupakan pembagian hak kewarisan tertinggi dalam Islam, dan mengenai pemberian hak kewarisan berdasarkan jalan

Jurnal isi.indd 190 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 96: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 191

wasiat wajibah juga telah ditentukan siapa yang berhak mendapatkannya, sebagaimana telah disebutkan dalam KHI.

Fatwa MUI mengenai kewarisan beda agama sebagaimana disebutkan di atas tidak diberlakukan oleh majelis hakim yang telah memeriksa serta memutuskan perkara kewarisan beda agama antara suami (pewaris) yang beragama Islam dengan istri yang beragama non-Muslim. Dalam perkara ini majelis hakim memutuskan bahwa ahli waris yang non-Muslim berhak mendapatkan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah dengan pertimbangan hukum yang disebutkan dalam Putusan Nomor 16 K/AG/2010, sebagaimana yang telah disebutkan di atas pada halaman sebelumnya.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil teori dan analisa data yang telah diuraikan di atas, akhirnya penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Dalam ketentuan fikih, di kalangan Imam Mazhab tidak mengenai istilah wasiat wajibah, tetapi hanya mengenal ketentuan hukum melaksanakan wasiat itu sendiri, di mana para Imam Mazhab sepakat bahwasanya hukum berwasiat hanya sebatas anjuran (sunah). Namun ulama yang berbeda yakni Imam Ibnu Hazm sebagai pelopor wasiat wajibah mempunyai pendapat tersendiri, di mana ia berpendapat bahwasanya pemberian wasiat hukumnya wajib, baik wasiat wajibah tersebut diberikan kepada ahli waris yang tidak mendapatkan hak kewarisan karena terhijab oleh ahli waris utama serta dapat diberikan juga kepada ahli waris atau kerabat yang berlainan agama dengan si

pewaris. Dalam ketentuan hukum Islam di Indonesia, yakni dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai wasiat wajibah telah diatur dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut juga telah ditetapkan siapa yang berhak mendapatkan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah yaitu orang tua angkat dan anak angkat.

2. Pertimbangan hukum yang digunakan oeh majelis hakim dalam memutuskan perkara warisan beda agama adalah pendapat dari Ulama Yusuf Al-Qardhawi. Menurut majelis hakim bahwasanya antara pewaris (Islam) dengan istrinya (non-Muslim) dapat hidup dengan rukun, maka istri non-Muslim tersebut berhak untuk mendapatkan hak kewarisan berdasarkan wasiat wajibah, namun pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan tersebut terdapat kekeliruan. Ulama Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa orang Islam dapat menerima warisan dari harta peninggalan orang non-Muslim dan tidak memberlakukan sebaliknya. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat demikian karena sebagaimana orang Islam (pria) dapat menikahi orang non-Muslim ahlul kitab (wanita), namun tidak sebaliknya.

3. Putusan Nomor 16 K/AG/2010 bertentangan dengan hukum Islam, karena dalam hukum Islam, antara orang Islam dengan non-Islam tidak berhak saling mewarisi dan orang non-Muslim tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan pewaris Islam. Namun dalam putusan tersebut secara tidak langsung telah membenarkan adanya hak saling mewarisi antara dua orang yang berbeda agama melalui jalan wasiat wajibah.

Jurnal isi.indd 191 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 97: cover jurnal Agustus 2016.cdr

192 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 173 - 193

Pada dasarnya dalam hukum Islam telah diberikan solusi melalui jalan wasiat, hibah, dan hadiah kepada ahli waris non-Muslim sebelum pewaris Islam meninggal, sesuai dengan Fatwa MUI. Ahli waris non-Muslim tidak berhak mendapatkan wasiat wajibah yang diberikan atas putusan hakim. Karena mengenai pemberian wasiat wajibah di Indonesia hanya diperuntukkan kepada ahli anak angkat dan orangtua angkat saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 KHI.

V. SARAN

Mengingat perkara kewarisan beda agama sudah terjadi beberapa kali di Indonesia bahkan akan kerap kali terjadi di Indonesia, karena masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama. Maka dari itu, penulis ingin menyarankan beberapa saran di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penulis menyarankan kepada masyarakat Indonesia agar mematuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai larangan pernikahan beda agama yang akan berdampak dalam hal kewarisan, mengingat bahwasanya Indonesia sebagai negara hukum di mana semua kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menertibkan kehidupan setiap lapisan masyarakat itu sendiri.

2. Penulis menyarankan kepada para pembuat peraturan (hukum) di Indonesia agar senantiasa membuat aturan hukum yang jelas dan tegas mengenai kewarisan beda agama, meskipun Indonesia telah melarang dengan tegas dan jelas perkawinan beda

agama, namun dalam hal kewarisan beda agama masih perlu adanya larangan yang tegas baik dalam KHI maupun aturan lainnya yang lebih bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

3. Penulis menyarankan kepada para hakim di seluruh lingkungan peradilan di Indonesia agar dalam menangani permasalahan kewarisan agama senantiasa memberlakukan juga Fatwa MUI di samping KHI, mengingat sampai saat ini hanya dalam Fatwa MUI saja yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai kewarisan beda agama. Di mana dalam Fatwa MUI menyatakan hak kewarisan terhadap ahli waris non-Muslim hanya dapat dilakukan melalui jalan hibah, wasiat atau hadiah, tidak diberikan hak kewarisan kepada ahli waris non-Islam berdasarkan wasiat wajibah. Karena sejatinya apabila para penegak hukum memberlakukan pemberian hak kewarisan kepada ahli waris non-Muslim berdasarkan wasiat wajibah, maka secara tidak langsung dapat dikatakan tidak ada bedanya antara orang Muslim dan non-Muslim dalam hal pembagian harta warisan.

DAFTAR ACUAN

Achyar, G. (2011). Panduan fikih Al-Mawarist 1. Banda Aceh: Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.

Al Amruzi, F. (2012). Rekonstruksi wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Jurnal isi.indd 192 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 98: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Pemberian Hak Waris dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim (Rizkal) | 193

Al-Qardhawi, Y. (2002). Fatwa-fatwa kontemporer (Jilid 3). Jakarta: Gema Insani.

_____________. (2004). Fikih minoritas (Fatwa kontemporer terhadap kehidupan kaum muslimin di tengah masyarakat non-Muslim). Jakarta: Zikrul Hakim.

Amiruddin & Asikin, Z. (2010). Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Bakar, A.A. (2012). Rekonstruksi fiqih kewarisan (Reposisi hak-hak perempuan). Banda Aceh: LKAS.

Fajar, M., & Achmad, Y. (2015). Dualisme penelitian hukum normatif & empiris. Yogayakarta: Pustaka Pelajar.

Habiburrahman. (2011). Rekonstruksi hukum kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Hazairin. (1959). Hukum kewarisan menurut Al-qur’an dan hadist. Jakarta: Tinta Mas.

Kamil, A., & Fauzan, M. (2008). Hukum perlindungan anak dan pengangkatan anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kharlie, A.T. (2013). Hukum keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Manan, A. (2013). Aspek-aspek pengubah hokum. Jakarta: Kencana.

Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum. Jakarta: Prenamedia Group.

MK, A. (2013). Hukum kewarisan Islam dalam teori dan praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. (2013). Hukum kewarisan Islam Indonesia (Dinamika pemikiran dari fiqih klasik ke fikih Indonesia modern). Bandung: CV. Mandar Maju.

Najih, M., & Soimin. (2012). Pengantar hukum Indonesia (Sejarah, konsep tata hukum & politik hukum Indonesia). Malang: Setara Press.

Nugraheni, D.B., & Ilhami, H. (2014). Pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahman, F. (1981). Ilmu waris. Bandung: PT Al-Maarif.

Sarmadi, A.S. (2013). Hukum waris Islam di Indonesia perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan fikih Sunni. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Suparman, E. (2013). Hukum waris Indonesia dalam perspektif Islam, adat, dan BW. Bandung: PT Refika Aditama.

Tono, S. (2012). Kedudukan wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktoral Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi.

Jurnal isi.indd 193 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 99: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 194 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 100: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 195

ABSTRAK

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Artinya pasal ini menerangkan bahwa segala hal yang terkait dengan hak anak yang lahir di luar perkawinan hanya dibebankan kepada ibunya, sedangkan ayah biologisnya tidak dibebankan untuk memenuhi hak anak tersebut. Dalam perkembangannya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, serta ayah dan keluarga ayah biologisnya selama dapat dibuktikan adanya hubungan darah di antara mereka. Hal ini bertolak belakang dengan hukum Islam yang mengatur bahwa anak zina hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Muncul pertanyaan apakah yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi menetapkan hubungan perdata anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya, dan bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap nasab anak di luar perkawinan, serta tinjauan teori hifzhu nasl terkait Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan jenis penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ditemukan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan

makna yang ambigu, karena tidak ada definisi yang jelas terkait frasa “anak di luar perkawinan.” Menurut teori hifzhu nasl menasabkan anak di luar perkawinan (anak zina) kepada ayah biologisnya merupakan suatu tindakan yang akan merusak eksistensi dari maqᾱṣid al-syar’iyyah. Namun jika yang dimaksud adalah anak yang lahir dari “pernikahan di bawah tangan,” maka hal ini sesuai dengan ketentuan maqᾱṣid al-syar’iyyah.

Kata kunci: anak di luar perkawinan, hubungan perdata, hifzhu nasl.

ABSTRACT

In Article 43 of Law Number 1 of 1974 on Marriage, it is stated that, “a child born out of wedlock has nothing more than a legal relation to the mother and her family.” To be precise, this article defines that a mother is fully responsible for all matters concerning the rights of her child born out of wedlock, whereas the biological father is not charged to fulfill the rights of the child. In its progression, based on the Constitutional Court’s Decision Number 46/PUU-VIII/2010, the child born out of wedlock has a legal relation to his mother and the family, and also an illegitimacy to his putative father and the family, as long as it is proven there is a lineal consanguinity (blood tie) between them. This is inconsistent with the Islamic law which stipulates that an illegitimate child has only a legal relation to his

NASAB ANAK LUAR KAWIN MENURUT ”HIFZHU NASL”

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

CONSANGUNITY OF A CHILD BORN OUT OF WEDLOCKIN THE CONCEPT OF ”HIFZHU NASL”

ZakyyahFakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Jl. Syeikh Abdur Rauf, Kopelma Darussalam Banda Aceh 23373 E-mail: [email protected]

An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 46/PUU-VIII/2010

Naskah diterima: 11 Juni 2015; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 195 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 101: cover jurnal Agustus 2016.cdr

196 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

mother and the family. The arising questions pertain on the basis of consideration of the Constitutional Court in determining the illegitimacy of a child born out of wedlock to his putative father, and the implication of Constitutional Court decisions to the consanguinity of a child born out of wedlock, as well as the theory of “hifzhu nasl” responding to the decision of the Constitutional Court. This analysis is a literature-based research conducted using a juridical normative method. The results of the analysis arrive at a conclusion that the Constitutional Court’s decision is significantly

ambiguous, as regards there is no clear definition of the associated phrase of “child born out of wedlock.” According to the theory “hifzhu nasl,” the settling on the consanguinity of a child out of wedlock (illegitimate child) to the putative father would undermine the prevailing concept of maqᾱṣid al-syar’iyyah. But if the concern is about the child born of “underhanded marriage”, then it conforms to the provisions of maqᾱṣid al-syar’iyyah.

Keywords: child born out of wedlock, legal relation, hifzhu nasl.

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Topik tulisan ini pernah dimuat dalam edisi April 2015, namun penulis memiliki sudut pandang berbeda dengan penulis sebelumnya. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini pada hakikatnya adalah suci. Di mata hukum anak bisa mendapat status hukum yang berbeda-beda. Contohnya anak yang dilahirkan dalam perkawinan tanpa pencatatan atau anak tanpa perkawinan (zina), di mata hukum menyandang status anak tidak sah.

Selama ini anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan/atau anak zina ini hanya diasuh oleh ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum fikih dan hukum positif yang menyatakan bahwa anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya (az-Zuhaili, 2011: 488). Dalam praktiknya, anak-anak ini cenderung tidak mendapatkan perhatian pendidikan, kesehatan bahkan nafkah dari ayah biologis dan keluarganya, padahal ayah biologis maupun keluarganya ini mempunyai penghasilan yang baik.

Dalam hal mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak tersebut, para ibu sering

mengalami kesulitan dalam upaya mendapatkan pembiayaan atau biaya hadanah dari ayah biologis dan keluarganya untuk si anak hampir dipastikan sangat sulit diwujudkan. Salah satu faktor penyebab sulit mendapatkan biaya tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam hal ini tertera pada Pasal 43 yang berbunyi:, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Artinya pasal ini menerangkan bahwa segala hal yang terkait dengan hak anak yang lahir di luar perkawinan hanya dibebankan kepada ibunya, sedangkan ayah biologisnya tidak dibebankan untuk memenuhi hak anak tersebut.

Salah satu contohnya adalah kasus MM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengakuan, hak waris, dan lain-lain terkait dirinya, dan anaknya MI dari ayah biologis si anak. Berdasarkan hal tersebut, MM memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materiil Undang-Undang Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D UUD NRI 1945.

Terkait Pasal 2 ayat (2) menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Jurnal isi.indd 196 10/28/2016 9:31:10 AM

Page 102: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 197

Pasal 43 ayat (1) menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Pasal 28B ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Pasal 28B ayat (2) menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Pasal 28D menyatakan: “Setiap anak berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari MM dengan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 13 Februari 2012. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon sebagian, dan menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019), tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” dan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya serta memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat umum yaitu berlaku bagi semua kategori anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah (sebagaimana yang diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan) walaupun pada dasarnya status pemohon yang mengajukan permohonan pengujian pasal ini yaitu MM telah melakukan pernikahan secara hukum agama namun tidak mencatat pernikahan tersebut. Putusan ini juga berimplikasi pada nasab, artinya Putusan Mahkamah Kontistusi mengakui secara hukum nasab seorang anak yang lahir di luar perkawinan dengan ayah biologisnya, dengan syarat dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (tes DNA) yang menunjukkan adanya hubungan darah antara si anak dengan ayah biologisnya.

Majelis Ulama Indonesia mengkritik sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Makruf Amien yang menegaskan bahwa, untuk

Jurnal isi.indd 197 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 103: cover jurnal Agustus 2016.cdr

198 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

melindungi hak-hak anak hasil zina tidak perlu dengan memberikan hubungan perdata kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya. Akan tetapi perlindungan tersebut dapat diwujudkan dengan menjatuhkan hukuman (ta’zir) kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah, bukan dengan cara memberi kedudukan anak hasil zina sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah maupun hak waris (Muthohar, 2013), hal ini sangat bertentangan dengan hukum fikih.

Hukum fikih menentukan bahwa pada dasarnya nasab anak dinyatakan sah apabila pada permulaan kehamilan antara ibu si anak dan laki-laki yang menyebabkan kehamilan terjadi dalam hubungan perkawinan yang sah (Sarong, 2010: 174). Hal ini juga diatur pada Pasal 99 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.” Menurut Wirjono, ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai ayah. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu menurut hukum Islam adalah anak tidak sah, yang tidak mempunyai hubungan hukum (nasab) dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum (nasab) dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya (Soimin, 2010: 39-40). Sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya” dan juga dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.

Nasab seorang anak dari ibunya tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i maupun tidak. Adapun nasab seorang anak dari ayahnya hanya bisa diakui melalui nikah shaḥiḥ atau fāsid, atau waṭi’ syubḥat (persetubuhan yang samar status hukumnya), atau pengakuan nasab itu sendiri (az-Zuhaili, 2011: 27). Penetapan nasab anak tersebut bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat (Djamil, 1999: 125-130).

Menurut Al-Syatibi, seorang mukallaf (Syah, 1999: 144), akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadah manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur tersebut dengan baik. Masalah nasab anak berkaitan dengan memelihara keturunan (hifzhu nasl), nasab anak kepada ayahnya bisa terjalin dengan adanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Dengan demikian dalam hal memelihara keturunan guna mewujudkan maqᾱṣid al-syar’iyyah, maka disyariatkan untuk menikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam (Al-Syatibi, 1342: 62-64, dan 70).

Atas penjelasan di atas, terlihat bahwa Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 sangat berdampak terhadap bidang hukum lain khususnya hukum Islam di bidang perkawinan yang dianut oleh masyarakat Muslim Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:

Jurnal isi.indd 198 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 104: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 199

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi menetapkan hubungan perdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap nasab anak yang dilahirkan di luar perkawinan?

3. Bagaimanakah tinjauan teori hifzhu nasl terkait Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi menetapkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Untuk mengetahui status nasab anak yang dilahirkan di luar perkawinan pasca Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan untuk mengetahui dampak dari putusan tersebut terkait nasab anak yang dilahirkan di luar perkawinan jika ditinjau melalui teori hifzhu nasl.

Kegunaan dari kajian Putusan Mahkamah Konstitusi ini, diharapkan agar kajian putusan ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya hukum perdata dan hukum Islam serta diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang memiliki otoritas di bidang peraturan perundang-undangan terutama tata hukum perkawinan dalam menciptakan hukum yang lebih baik dengan mempertimbangkan kemaslahatan rakyat Indonesia.

D. Studi Pustaka

Ada banyak karya ilmiah yang juga membahas tentang Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, beberapa di antaranya akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Artikel yang berjudul “Nafkah Anak Luar Kawin Menurut Konsep Hifzhu al-Nafs (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010)” membahas tentang salah satu hak anak luar kawin yaitu nafkah. Artikel ini fokus kepada hak nafkah anak luar kawin pasca keluarnya Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan menurut hasil penelitian, putusan tersebut mengembalikan hak anak atas nafkah kepada anak luar kawin, dan hal ini sejalan dengan konsep hifzhu al-nafs (pemeliharaan jiwa) dalam Islam yang mengharuskan kita untuk menjaga jiwa dan melarang menelantarkan atau merusak hidup seseorang, maka anak baik itu anak sah atau anak tidak sah tetap memiliki hak untuk mendapatkan nafkah (Ridwansyah, 2015: 65-83).

2. Tesis berjudul “Status Anak di Luar Nikah (Studi Sejarah Sosial Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010).” Tesis ini mengkaji tentang perubahan status dan hak anak di luar nikah sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi, serta prospek masa depan status dan hak anak di luar nikah dengan pendekatan sejarah sosial (Abdillah, 2015).

3. Tesis yang berjudul “Teori Maslahat At-Tufi dan Penerapannya (dalam Analisis Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak di Luar Perkawinan).” Yang menjadi fokus kajian tesis ini adalah relevansi teori mashlahat at-Tufi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi serta penerapan teori

Jurnal isi.indd 199 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 105: cover jurnal Agustus 2016.cdr

200 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

ini dalam membaca putusan tersebut dan penelitian dalam tesis ini menggunakan pendekatan usul fikih (Sarifudin, 2015).

4. Karya ilmiah yang berjudul “Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah dengan Orang Tua (Studi Komperatif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2012 dan Hukum Islam).” Karya ilmiah ini hanya membahas dan menjelaskan ketentuan tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah dengan orang tua biologisnya baik dilihat secara hukum Islam maupun dari bunyi Putusan Nomor 46/PUU-VII/2012 dan menggambarkan perbedaan dari kedua aturan hukum tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini fokus kepada analisis teori ḥifẓu nasl terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (Rahayu, 2013).

5. Karya ilmiah yang berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Anak di Luar Nikah dan Kaitannya terhadap Kewarisan.” Skripsi ini menitikberatkan pada fokus pembahasan seputar permasalahan alasan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi terkait status anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan pengaruhnya terhadap kewarisan si anak menurut hukum kewarisan Islam. Berbeda dengan itu, dalam penelitian ini tidak membahas tentang kewarisan anak yang dilahirkan di luar perkawinan akan tetapi membahas bagaimana akibat Putusan Mahkamah Konstitusi terkait nasab anak tersebut (Hendri, 2013).

6. Karya ilmiah yang berjudul “Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah dengan Ayah Biologis (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif),” yang menjelaskan

tentang hubungan keperdataan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya diteliti menurut hukum Islam dan juga hukum positif serta membandingkan antara hukum Islam dan hukum positif dalam hal hubungan perdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya. Adapun yang membedakan tulisan tersebut dengan penelitian ini adalah penelitian ini melihat Putusan Mahkamah Konstitusi dari sudut pandang teori hifzhu nasl (Saifuddin, 2013).

7. Karya ilmiah yang berjudul “Kajian Mengenai Status Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil terhadap Pasal 2 Ayat (2), dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dikaitkan dengan KUHPerdata.” Tulisan ini lebih membahas tentang subtansi Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencatatan nikah dan status anak luar kawin dan membahas pula tentang aturan dalam KUHPerdata yang mengatur tentang hal tersebut untuk memberikan solusi dari permasalahan yang timbul. Skripsi tersebut membahas secara keseluruhan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, namun penelitian ini hanya membahas amar putusan yang terkait dengan hubungan nasab anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya (Napitupulu, 2012). Adapun tujuan yang ingin dicapai dari kajian putusan di atas untuk mengetahui ketentuan nasab anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianalisis melalui teori hifzhu al-nasl.

Jurnal isi.indd 200 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 106: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 201

8. Buku yang berjudul “Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan” (Witanto, 2012). Buku ini menjelaskan tentang berbagai isu dan konsekuensi legal fenomena terkait terminologi anak luar kawin dalam perspektif hukum Islam, hukum adat, KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan, dan menjelaskan hak kedudukan anak luar kawin pasca keluarnya putusan tersebut. Berbeda dengan buku tersebut, penelitian ini hanya membahas tentang status hubungan nasab anak di luar perkawinan dilihat dari sudut pandang teori hifzhu nasl.

II. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (Ali, 2010: 105), yaitu penelitian yang mengkaji tentang norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, UUD NRI 1945, undang-undang, dan putusan pengadilan. Yuridis normatif juga meneliti tentang kaidah-kaidah hukum dan filsafat hukum. Penelitian ini mengkaji tentang pertimbangan hukum, norma hukum, dan filsafat hukum yang terdapat dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menjelajahi bermacam data pustaka yang dapat menambah informasi terkait sumber kajian yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya. Data sekunder tersebut terdiri atas:

1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen tertentu yang terkait dengan objek penelitian, yaitu: Al Quran, Hadis, UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Misalnya buku Wahbah az-Zuhaili yang berjudul Fikih Islam wa Adillatuhu, buku Ibnu ‘Asyur yang berjudul Maqᾱṣid al-Syar’iyyah al-Islamiyyah, buku Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan buku-buku hukum lain yang ada kaitannya dengan pembahasan ini.

3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum berasal dari Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Kamus Arab-Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia hukum Islam, majalah elektronik, surat kabar, dan sebagainya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan mengumpulkan, memeriksa, dan menelusuri salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Jurnal isi.indd 201 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 107: cover jurnal Agustus 2016.cdr

202 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

46/PUU-VIII/2010, buku Ibnu ‘Asyur yang berjudul Maqᾱṣid al-Syar’iyyah al-Islamiyyah, dan sebagainya yang relevan dengan kajian dalam penelitian ini (Syamsudin, 2007: 101).

Analisis data, langkah yang dilakukan antara lain dengan mengolah data yang berkaitan dengan kajian Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, kemudian menafsirkan serta menganalisa Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan menggunakan seluruh data yang telah direduksi dan kemudian baru diambil kesimpulan (Prastowo, 2011: 237-239).

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Kronologi Putusan dan Pertimbangan

Hakim Mahkamah Konstitusi

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 lahir atas permohonan judicial riview yang diajukan oleh MM dan MIR. Pemohon melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan judicial riview bertanggal 14 Juni 2010 yang diterima dan diregistrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juni 2010 serta telah diperbaiki dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 Agustus 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993 telah berlangsung perkawinan antara pemohon (MM) dengan seorang laki-laki bernama M di Jakarta, dengan wali nikah almarhum MI, disaksikan oleh almarhum MYU dan R, dengan mahar berupa seperangkat alat salat, uang 2.000 Riyal, satu set perhiasan emas, dan berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qabul diucapkan oleh laki-laki bernama M. Pernyataan ini sebagaimana yang tercantum

dalam amar penetapan atas Perkara Isbat Nikah dengan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs pada tanggal 18 Juni 2008.

Bahwa menurut pemohon, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional pemohon dan anak pemohon yang timbul berdasarkan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anak pemohon. Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan, maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mempunyai kekuatan mengikat dan wajib ditaati oleh segenap rakyat. Sekalipun ketentuan tersebut mengandung kesalahan yang cukup fundamental karena tidak sesuai dengan hak konstitusional yang diatur Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemohon.

Pernyataan pemohon bahwa pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) merupakan kesalahan yang cukup fundamental dirasa tidak berlandaskan hukum, karena hak kostitusional seseorang tidak akan dirugikan dengan adanya peraturan terkait keharusan pencatatan perkawinan, namun sebaliknya dengan adanya keharusan pencatatan perkawinan, hak konstitusional berupa perlindungan hukum seseorang dapat terpenuhi.

Terkait alasan permohonan pemohon bahwa hak konstitusional pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah tidak benar, karena masih ada peluang pemohon untuk mendapatkan hak pemohon dengan melakukan permohonan isbat nikah ke pengadilan agama. Sebenarnya bukan hak konstitusi pemohon yang dilanggar

Jurnal isi.indd 202 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 108: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 203

oleh Undang-Undang Perkawinan sehingga pemohon merasa dirugikan, namun pemohon yang tidak mengambil hak pemohon berupa akta nikah dengan tidak melakukan pencatatan perkawinan ketika melakukan perkawinan sehingga pemohon merasa dirugikan.

Dalam posita, pemohon menyatakan bahwa perkawinan pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena tidak tercatat menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak pada status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan pemohon menjadi anak di luar perkawinan berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan tidak sah.

Bahwa akibat dari pemberlakuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dapat menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan, dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat.

Menurut Syekh Jaad Al-Haq Ali Jaad Al-Haq sebagaimana yang dikutip oleh Zein, syarat nikah dapat dibagi kepada dua kategori, syarat syar’i dan syarat tawsiqy. Syarat syar’i adalah suatu syarat yang menentukan keabsahan suatu

ibadah atau akad, sedangkan syarat tawsiqy adalah sesuatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti di kemudian hari atau untuk menertibkan suatu perbuatan. Misalnya, pencatatan nikah di lembaga yang berwenang, hal ini merupakan syarat tawsiqy atau dalam hukum nasional disebut syarat administratif sebagai wujud perlindungan bagi suatu perkawinan jika terjadi pengingkaran atau hal lain di kemudian hari. Pencatatan atau akta nikah ini menjadi bukti bahwa benar telah terjadinya suatu akad nikah antara si A dan si B. Sedangkan contoh syarat syar’i-nya ialah adanya ijab kabul, wali, dua orang saksi, dan calon mempelai pada saat berlangsungnya akad nikah tersebut. Kelima unsur ini menentukan sah atau tidaknya suatu akad nikah, jika kelima unsur tersebut terpenuhi, maka akad nikah yang dilakukan telah sah, dan sebaliknya (Zein, 2004: 33-34).

Jadi jika dilihat perkawinan antara pemohon (MM) dengan seorang laki-laki bernama M, pernikahan tersebut adalah sah, karena telah memenuhi syarat syar’i menurut hukum Islam serta menurut undang-undang, sebagaimana yang dicantumkan dalam pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Hanya saja syarat tawsiqy atau administratifnya belum terpenuhi, dan syarat ini tidak menjadi penentu sah atau tidaknya nikah pemohon, hanya pernikahan pemohon tidak memiliki bukti otentik akan pernikahannya dan perlu dilakukan pembuktian kembali di kemudian hari jika terjadi perselisihan tentang perkawinan pemohon.

Anak pemohon memiliki status hukum sebagai anak sah, bukan anak di luar perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh

Jurnal isi.indd 203 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 109: cover jurnal Agustus 2016.cdr

204 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.”

Dari bunyi pasal di atas, dapat dilihat bahwa secara subtansial atau pada prinsipnya peraturan yang berlaku di Indonesia mengakui keabsahan sebuah perkawinan yang belum tercatat, dan dengan alasan-alasan yang dicantumkan pada pasal di atas, perkawinan yang belum tercatat dapat diajukan isbat nikah agar memperoleh bukti (akta nikah) dari perkawinannya.

Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas pemohon memohon kepada majelis hakim agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945;

3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Perkara uji materiil ini telah diputuskan oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang bahwa, pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan: “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”

Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di atas nyatalah bahwa: (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan.” Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.

Jurnal isi.indd 204 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 110: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 205

Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2010).

Terkait pertimbangan hakim terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang diajukan memang benar bahwa tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Karena anak tersebut tidak berhak untuk menanggung hukum dari perbuatan orang tuanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Quran Surah Al-An’am ayat 164 yang berbunyi:

Artinya:

“Katakanlah: Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Pertimbangan hakim bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2010).

Pernyataan hakim bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak, tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Jurnal isi.indd 205 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 111: cover jurnal Agustus 2016.cdr

206 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

Jika dilihat dari segi hukum Islam, ini bertentangan dengan aturan yang telah ada, bahwa hubungan nasab seorang anak kepada ayahnya hanya akan terjalin dengan adanya perkawinan baik sah, fasid, atau senggama syubḥat. Mahkamah Konstitusi hanya melihat dari sisi anak yang dirugikan akibat perbuatan orang tuanya dan mengabaikan status hubungan kedua orang tua si anak yang mengakibatkan lahirnya anak tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, majelis hakim memutuskan:

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

3. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya,” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

4. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya;

5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2010).

B. Status Nasab Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya bernasab kepada ibunya dan keluarga ibunya saja. Itu artinya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan wanita yang melahirkannya, hubungan timbal balik antara anak dengan ibu seperti hak dan kewajiban masing-masing wajib dipenuhi oleh ibu terhadap anak dan juga sebaliknya. Hal serupa juga diatur dalam hukum Islam, hukum membebankan kewajiban orang tua terhadap anak hanya kepada ibu dan mengabaikan tanggung jawab laki-laki yang telah

Jurnal isi.indd 206 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 112: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 207

menyebabkan kehamilan atau ayah biologis si anak. Pemahaman ini sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Namun setelah keluarnya Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggung jawab orang tua terhadap anak yang lahir di luar perkawinan tidak hanya dibebankan kepada ibu, akan tetapi juga dibebankan kepada ayah biologis si anak, dengan syarat hubungan antara anak dengan ayah biologis tersebut dapat dibuktikan dengan teknologi atau alat bukti lain bahwa benar memiliki hubungan darah. Ayah biologis memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap anaknya sebagaimana layaknya tanggung jawab dan kewajiban ayah terhadap anak sah. Bahkan anak yang lahir di luar perkawinan dapat bernasab kepada ayah biologisnya tanpa menghiraukan ada atau tidaknya perkawinan antara ibu dan ayah biologisnya.

Terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba untuk melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh anak yang lahir di luar perkawinan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil beserta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya negara melarang adanya pengelompokan status terhadap anak, karena dengan adanya pengelompokan status dan

kedudukan anak yang berbeda di mata hukum, berarti negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi warganya. Keinginan negara ini merupakan suatu upaya pencegahan terjadinya kemudaratan bagi anak dalam masyarakat dengan melakukan perlindungan dalam bentuk tidak adanya pengelompokan anak. Namun jika dilihat dari sisi lain, Putusan Mahkamah Konstitusi dapat diartikan sebagai tindakan yang akan melegalkan perzinahan, karena tanpa menghiraukan ada atau tidaknya perkawinan antara ibu dan ayah biologis anak, anak akan tetap memiliki nasab kepada ayah biologisnya, ini akan mendatangkan muḍarat di kemudian hari, dan berimbas kepada kewajiban si ayah, seperti kewajiban menjadi wali nikah, memberikan nafkah, meninggalkan warisan, dan lain-lainnya, yang pada dasarnya tidak dapat terjadi.

Dalam Islam dikenal kaidah fikih yang berbunyi:

Artinya: “Segala mudarat (bahaya) harus

dihindarkan sedapat mungkin.”

Artinya: “Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan

mendatangkan bahaya yang lain.”

Artinya: “Menghindarkan mafsadat didahulukan

atas mendatangkan maslahat.” (Zaidan, 2008: 131-132).

Dari kaidah-kaidah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa menasabkan anak yang lahir di luar perkawinan merupakan suatu tindakan yang

Jurnal isi.indd 207 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 113: cover jurnal Agustus 2016.cdr

208 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

mendatangkan mudarat yaitu akan membuka peluang besar untuk orang berzina karena tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan oleh pelaku zina akan nasab dari anak yang akan lahir, dan hal ini sepatutnya harus dihindarkan.

Bahaya jika membiarkan anak yang lahir di luar perkawinan mendapat stigma negatif dan sikap diskriminatif dari lingkunganya, karena itu dapat menghambat pertumbuhan si anak ke arah yang baik, apa lagi jika tidak terpenuhinya hak-hak anak seperti hak pendidikan, perlindungan, nafkah, kasih sayang, dan lainnya, karena tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Namun bahaya di atas tidak dapat dihilangkan dengan menghubungkan nasab anak kepada ayahnya, karena tindakan tersebut akan mendatangkan bahaya yang jauh lebih besar lagi.

Kaidah terakhir menjelaskan bahwa menghindari mudarat yang timbul akibat menghubungkan nasab anak yang lahir di luar perkawinan kepada ayah biologis sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, lebih dianjurkan untuk dipilih daripada hanya mendatangkan mashlahat bagi anak yang lahir di luar perkawinan. Artinya, bukan mengabaikan kemashlahatan anak, namun harus mengambil jalan tengah yang dapat meminimalisir kemudaratan yang akan timbul, seperti membebankan tanggung jawab pemenuhan hak anak seperti nafkah, pendidikan, kesejahteraan, perlindungan, warisan berupa wasiat wajibah kepada ayah biologis sebagai hukuman tambahan karena telah melakukan kesalahan tanpa menghubungkan nasab anak kepada dirinya. Karena dengan begitu dapat sedikit meminimalisir perzinahan, sebab sanksi yang harus diterima masih berat, perempuan akan memikirkan masa depan anaknya yang tidak memiliki bapak, dan laki-laki juga akan berfikir dua kali untuk berzina karena ada tanggung

jawab terhadap anak yang harus dipikul kelak, dan si anak juga terpenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa masih ada diskriminasi terhadap anak di luar perkawinan, namun di sisi lain hak anak telah terpenuhi.

Pandangan tersebut muncul disebabkan karena bunyi Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan makna yang ambigu. Selama ini undang-undang hanya memberikan definisi anak sah adalah anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah. Timbul masalah ketika Putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan frasa “anak yang lahir di luar perkawinan,” siapa sebenarnya anak yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut? Apakah terbatas kepada anak yang lahir dalam perkawinan siri atau anak zina? Atau mungkin semua kategori anak? Oleh karena tidak adanya peraturan penjelas terkait putusan tersebut, maka banyak permasalahan yang timbul, termasuk dalam menafsirkan hubungan perdata yang dimaksud dalam putusan tersebut.

Berdasarkan ketidakjelasan definisi anak di luar perkawinan dalam putusan, dalam penelitian ini diambil satu kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah semua kategori anak karena pada prinsipnya, Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku secara universal oleh sebab itu selama belum ada penjelasan, maka semua kategori anak selain anak sah termasuk dalam definisi anak yang lahir di luar perkawinan.

C. Penerapan Teori Hifzhu Nasl pada Putusan Mahkamah Konstitusi

Menurut Ibnu Saidah secara etimologi, kata (hifzhu) merupakan lawan dari kata yang artinya menjaga sesuatu atau jarang lalai (diabaikan) (Al-Ifrigi, 2005: 441). Sedangkan

Jurnal isi.indd 208 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 114: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 209

kata nasl merupakan isim mufrad dari kata dan kata nasl bersinonim dengan kata dan kata yang berarti anak-anak atau keturunan (Mustafa et.al., n.d.: 928). Jadi hifzhu nasl yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menjaga keturunan atau tidak mengabaikan kejelasan keturunan dari seorang anak.

Menurut Imam Al-Ghazali, hifzhu nasl merupakan salah satu dari lima hal pokok yang merupakan memelihara agama (ḥifẓu al-din), memelihara jiwa (ḥifẓu al-nafs), memelihara akal (ḥifẓu al-‘aql), memelihara keturunan (ḥifẓu al-nasl), dan memelihara harta (ḥifẓu al-mal). Wajib dipelihara dan termaksud ke dalam kategori al-ḍarūriyyah (Mustafa et.al., n.d.: 213). Kategori al-ḍarῡriyyah dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah memiliki peringkat pertama dalam hal mencapai, menjamin, dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, karena merupakan sesuatu yang harus diwujudkan oleh seluruh umat. Tatanan kehidupan tidak akan tegak tanpanya, bahkan mengalami kehancuran.

Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Badri juga menetapkan beberapa syarat agar kemaslahatan (al-maṣlahah) dapat dijadikan sebagai penemuan hukum, antara lain:

1. Kemaslahatan itu masuk dalam kategori peringkat al-ḍarῡriyyah. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maṣlahah atau belum sampai pada batas tersebut.

2. Kemaslahatan itu bersifat qaṭ’i. Artinya yang dimaksud dengan kemaslahatan tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maṣlahah tidak didasarkan hanya pada dugaan.

3. Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila kemaslahatan tersebut bersifat individual, maka syarat lain yang

harus dipenuhi adalah maslahat tersebut sesuai dengan maqᾱṣid al-syar’iyyah (Badri, 2014: 119-120).

Menurut istilah maqᾱṣid al-syar’iyyah adalah al-ma’anni allati syari’at laha al-ahkam yang artinya kandungan nilai yang menjadi tujuan mensyariatkan hukum. Jadi, maqᾱṣid al-syar’iyyah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Isa, 2009: 91).

Menurut Ibnu ‘Asyur, teori maqᾱṣid al-syar’iyyah dapat dibagi dalam konteks umum dan khusus. Menurutnya, maqaṣid secara umum adalah sebagai berikut: tujuan umum mengsyariatkan adalah makna dan hikmah yang menjadi pertimbangan al-syari’ dalam semua hukum yang Dia syariatkan atau sebagian besarnya. Pertimbangan itu tidak hanya berbatas pada satu jenis kondisi khusus dari hukum syariat. Tujuan syariat yang khusus adalah cara-cara yang dimaksudkan oleh al-syari’ dalam memastikan tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum manusia dalam aktivitas mereka yang khusus (‘Asyur, 2009: 49).

Maqᾱṣid al-syar’iyyah bermaksud mencapai, menjamin, dan melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itu, dicanangkanlah tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling melengkapi: al-ḍarῡriyyah, al-hajiyyah, dan al-tahsinah (Wahyudi, 2007: 45). Menurut Ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutip oleh Jabbar, al-ḍarūriyyah (tujuan-tujuan primer) didefinisikan sebagai sesuatu yang harus diwujudkan oleh seluruh umat. Tatanan kehidupan tidak akan tegak tanpanya, bahkan mengalami kerusakan. Ibnu ‘Asyur memperjelas bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah kerusakan yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi seperti

Jurnal isi.indd 209 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 115: cover jurnal Agustus 2016.cdr

210 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

binatang. Imam Al-Ghazzali menetapkan lima hal pokok yang wajib dipelihara dan termasuk ke dalam kategori ḍarūriyyah yaitu: memelihara agama (ḥifẓu din), memelihara jiwa (ḥifẓu nafs), memelihara akal (ḥifẓu ‘aql), memelihara keturunan (ḥifẓu nasl), dan memelihara harta (ḥifẓu mal) (Sabil, 2013: 214).

Berbicara tentang nasab anak di luar perkawinan sangat erat kaitannya dengan pemeliharaan keturunan (ḥifẓu nasl), karena nasab seorang anak berpengaruh kepada hak dan kewajibannya terhadap orang tua, dan jika nasab tidak dijaga dengan baik sesuai dengan ketentuan dapat terhubungnya nasab seorang anak kepada ayah, maka orang yang berzina tidak akan khawatir lagi dengan konsekuensi nasab anaknya kelak, hal ini dapat membuka peluang lebih besar untuk orang berbuat zina dan menjaga nasab juga merupakan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi agar tidak terjadi kerusakan yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi seperti hewan yang melakukan hubungan tanpa harus didahului dengan akad nikah.

Maqᾱṣid al-hajiyyah (tujuan-tujuan sekunder) didefinisikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termaksud dalam kategori al-ḍarῡriyyah. Sebaliknya, menyingkirkan faktor-faktor yang mempersulit usaha perwujudan al-ḍarῡriyyah. Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran tujuan sekunder ini dibutuhkan. Artinya jika hal-hal al-hajiyyah tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurangsempurnaan, bahkan kesulitan (Wahyudi, 2007: 46). Misalnya, untuk memelihara keturunan sebagai tujuan primer melalui menikah maka dibutuhkan kelengkapan, misalnya

dokumentasi (bukti tertulis). Tanpa KUA sebagai pihak yang berwenang mendokumentasikan perkawinan memang nikah bisa saja dilakukan, tetapi kehadiran KUA dengan berbagai perangkat pelengkapnya justru akan lebih menjamin hak dan kewajiban para pihak terutama ketika terjadi persengketaan baik masalah harta atau masalah anak.

Maqᾱṣid al-tahsiniyyah (tujuan-tujuan tersier). Menurut Al-Syatibi sebagaimana yang dikutip oleh Jabbar, al-tahsiniyyah berarti mengambil hal-hal yang patut dari adat yang baik, dan menjauhi kebiasaan buruk yang ditolak oleh akal sehat. Semua ini terhimpun dalam subjek akhlak mulia. Sementara Ibnu ‘Asyur mendefinisikan al-tahsiniyyah sebagai sesuatu yang dengan sebabnya akan terwujud kesempurnaan tatanan hidup umat, sehingga mereka hidup dengan aman dan tentram. Al-Tahsiniyyah merupakan aspek yang dipandang sebagai tolok ukur keelokan suatu masyarakat di mata umat manusia (Sabil, 2013: 220-221).

Dalam hal memelihara keturunan maqāṣid al-tahsiniyyah dapat terlihat dalam ritual adat aqiqah, turun tanah, kenduri tujuh bulanan, dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut memberitahukan bahwa adanya keturunan yang akan lahir dari suatu keluarga kepada masyarakat, agar tidak timbul gunjingan akan keturunan atau anak tersebut di kemudian hari. Namun jika hal itu tidak diindahkan, maka tidak akan membawa kerusakan, hanya saja terlihat kurang sempurna dalam tatanan masyarakat.

Dari ketiga tingkatan kemaslahatan ini yang perlu diperhatikan seorang Muslim adalah kualitas dan tingkatan kepentingan kemaslahatan itu sehingga dapat ditentukan kemaslahatan yang harus diprioritaskan terlebih

Jurnal isi.indd 210 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 116: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 211

dahulu. Kemaslahatan al-ḍarῡriyyah harus lebih didahulukan dari al-hajiyyah dan kemaslahatan al-hajiyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan al-tahsiniyyah (Firdaus, 2004: 84).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam hal penemuan hukum, harus melihat kemaslahatan secara universal dan komprehensif agar benar-benar tercapai apa yang menjadi tujuan dari adanya hukum tersebut. Terkait Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang merevisi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, masih dirasa kurang sesuai dengan teori hifzhu nasl dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga dan memelihara kesucian nasab keturunan itu merupakan kemaslahatan yang paling urgen untuk dilindungi. Jika kesucian nasab ini tidak dijaga, maka eksistensinya sebagai al-maṣlahah al-ḍarῡriyyah akan rusak dan akan mendatangkan kemudaratan yang lebih besar seperti manusia khususnya umat Islam tidak akan takut lagi untuk berzina karena keturunannya akan tetap memiliki nasab yang sama seperti anak yang sah, jadi tidak ada lagi benteng yang akan meminimalisir perzinahan.

Di satu sisi, jika Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dimaknai dengan hubungan perdata dalam hal pemberian nafkah, perwalian, dan hak mewarisi (berupa hibah) kecuali hak nasab antara anak di luar perkawinan dengan ayah, maka ini dirasa sangat tepat dalam upaya perlindungan anak, dan sesuai dengan maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga jiwa (ḥifẓu nafs) dari keterpurukan dan kesengsaraan merupakan kemaslahatan al-ḍarῡriyyah yang harus dijaga.

Sebagaimana dijelaskan pula dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Hubungan perdata kecuali nasab yang dimaksud dalam putusan tersebut dapat dianggap sebagai ganti rugi yang dialami oleh perempuan yang dihamili serta anak biologis (anak di luar perkawinan).

Dapat disimpulkan bahwa Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan teori hifzhu nasl, namun jika hubungan perdata yang dimaksud hanya kewajiban timbal balik terbatas dalam hal pemberian nafkah, maka putusan ini sangat tepat dan sesuai dengan maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga jiwa (ḥifẓu nafs) dari keterpurukan dan kesengsaraan merupakan kemaslahatan al-ḍarῡriyyah yang harus dijaga.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian analisis dalam bab-bab sebelumnya, maka hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan hubungan perdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ayah biologisnya antara lain:

a. Kehamilan merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki akibat timbulnya hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.

b. Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan

Jurnal isi.indd 211 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 117: cover jurnal Agustus 2016.cdr

212 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

c. Tidak tepat dan tidak adil jika hukum hanya menetapkan hubungan anak dengan ibunya saja dan membebaskan laki-laki yang menyebabkan kehamilan dari tanggung jawabnya.

d. Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian yang adil terhadap status seorang anak yang di luar perkawinan dan hak-hak yang ada padanya.

2. Adapun akibat hukum yang timbul dari Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir di luar perkawinan seharusnya hanya bernasab kepada ibu dan tidak bernasab kepada ayah biologisnya, namun ayah biologis dapat dibebankan kewajiban untuk memenuhi hak anak yang lahir di luar perkawinan dengan catatan hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang seperti tes DNA.

3. Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 bertentangan dengan teori hifzhu nasl, namun jika hubungan perdata yang dimaksud hanya kewajiban timbal balik terbatas pada hal pemberian nafkah, maka putusan ini sangat tepat dan sesuai dengan teori hifzhu nafs dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah, karena menjaga jiwa anak (ḥifẓu nafs) dari keterpurukan dan kesengsaraan merupakan kemaslahatan al-ḍarῡriyyah yang harus dijaga.

V. SARAN

Dari kesimpulan yang telah dikemukakan tersebut di atas, dapat diberikan beberapa saran antara lain:

1. Secara umum, kepada pemerintah, agar dapat memberikan penjelasan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi ini agar tidak timbul perbedaan penafsiran oleh para pakar hukum dan kebingungan di kalangan masyarakat, serta pemerintah harus membuat suatu peraturan atau putusan yang memiliki daya paksa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi ini seperti perintah tegas agar ayah biologis memenuhi kewajiban nafkah kepada anak biologisnya.

2. Secara khusus, kepada masyarakat Indonesia, agar dapat menaati aturan hukum yang telah terbentuk, khususnya aturan dalam hukum perkawinan, dengan melakukan pencatatan pada setiap perkawinan, agar tidak timbul hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri serta anak yang dilahirkan, karena pencatatan perkawinan merupakan salah satu sarana menjaga kesucian keturunan sebagaimana yang dianjurkan dalam maqᾱṣid al-syar’iyyah.

3. Dan kepada mahasiswa, agar dapat meneliti lebih jauh lagi tentang hikmah serta alasan di balik penetapan jumhur ulama bahwa anak di luar perkawinan (anak zina) dinasabkan kepada ibu, tidak kepada ayah

Jurnal isi.indd 212 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 118: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Nasab Anak Luar Kawin Menurut “Hifzhu Nasl” (Zakyyah) | 213

DAFTAR ACUAN

‘Asyur, I. (2009). Maqᾱṣid al-syar’iyyah Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.

Abdillah, K. (2015). Status dan hak anak di luar nikah (Studi sejarah sosial putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010). Tesis tidak dipublikasi. Yogyakarta: Prodi Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga.

Ali, Z. (2010). Metode penelitian hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Al-Ifrigi, I.M. (2005). Lisan al-‘Arabi jilid 1. Beirut: Dar Sadir.

__________. (2005). Lisan al-‘Arabi jilid 7. Beirut: Dar Sadir.

Al-Syatibi. (1342). Al-muwafaqat fi ushul al-ahkam. Beirut: Dar al- Fikr.

az-Zuhaili, W. (2011). Fiqih Islam wa adillatuhu. Jilid 10. Jakarta: Gema Insani.

Badri, K. (2014). Kedudukan anak di luar nikah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VII/2010 menurut teori fiqh dan perundang-undangan (Analisis pendekatan al-maslahat al-mursalah). Tesis yang tidak dipublikasi. Banda Aceh: Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, 2014.

Djamil, F. (1999). Filsafat hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Firdaus. (2004). Ushul fiqh; Metode mengkaji dan memahami hukum Islam secara komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim.

Hendri. (2013). Perlindungan hukum terhadap anak di luar nikah dan kaitannya terhadap kewarisan. Skripsi tidak dipublikasi. Banda Aceh: Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry.

Isa, A.G. (2009). Menelusuri paradigma fiqh

kontemporer (Studi beberapa masalah hukum Islam). Banda Aceh: Ar-Raniry Press.

Mustafa, I. et.al. (n.d.). Al-mu’jam al-washith. Juz 2. Teheran: Maktabah ‘Ilmiyah.

Muthohar, A.M. (2013, Januari 28). Sebuah catatan untuk Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diakses dari http://mifdlol.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/01/28/sebuah-catatan-untuk-keputusan-mahkamah-konstitusi-mk-terkait-pelaksanaan-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/

Napitupulu, D.M.I. (2012). Kajian mengenai status anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikaitkan dengan KUHPerdata. Jakarta: Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Prastowo, A. (2011). Metode penelitian kualitatif dalam perspektif rancangan penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Rahayu, S.N. (2013). Hubungan keperdataan anak di luar nikah dengan orang tua (Studi komperatif putusan Mahkamah Kostitusi No. 46/PUU-VII/2012 dan hukum Islam. Skripsi tidak dipublikasi. Banda Aceh: Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry.

Ridwansyah, M. (2015). Nafkah anak luar kawin menurut konsep hifzhu al-nafs (Kajian putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010). Jurnal Yudisial, 8(1), 65-83.

Sabil, J. (2013). Validitas maqashid al-Khalq (Kajian terhadap pemikiran al-Ghazzali, al-Syatibi, dan Ibn ‘Asyur). Disertasi tidak dipublikasi. Banda Aceh: Program Pasca Sarjana, IAIN Ar-Raniry.

Jurnal isi.indd 213 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 119: cover jurnal Agustus 2016.cdr

214 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 195 - 214

Saifuddin. (2013). Hubungan keperdataan anak di luar nikah dengan ayah biologis (Perspektif hukum Islam dan hukum positif. Skripsi tidak dipublikasi. Banda Aceh: Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry.

Sarifudin. (2015). Teori maslahat at-Tufi dan penerapannya (Dalam analisis kasus putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak di luar perkawinan). Tesis tidak dipublikasi. Yogyakarta: Prodi Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga.

Sarong, A.H. (2010). Hukum perkawinan Islam di Indonesia. Banda Aceh: PeNA.

Soimin, S. (2010). Hukum orang dan keluarga perspektif hukum perdata barat/BW, hukum Islam, dan hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika.

Syah, I.M. (1999). Filsafat hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Syamsudin. (2007). Operasionalisasi penelitian hukum. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Wahyudi, Y. (2007). Ushul fikih versus hermeneutika membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Cet. 4. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.

Witanto, D.Y. (2012). Hukum keluarga hak dan kedudukan anak luar kawin pasca keluarnya putusan MK tentang uji materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Zaidan, A.K. (2008). Al-wajiz; 100 kaidah fikih dalam kehidupan sehari-hari. Rida, M.M. (Ed). Jakarta: Al-Kausar.

Zein, S.E.M. (2004). Problematika hukum keluarga Islam kontemporer. Jakarta: Prenada Media.

Jurnal isi.indd 214 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 120: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 215

ABSTRAK

Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS merupakan contoh kasus sengketa antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang bertindak sebagai investor di Indonesia. Banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Tiga hal yang didalilkan oleh pihak penggugat didasarkan pada gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Pada pertimbangan awal dapat disimpulkan bahwa hakim dapat menerima sebuah gugatan yang diajukan tidak hanya gugatan wanprestasi tetapi sekaligus gugatan perbuatan melawan hukum. Terkait hal benturan kepentingan karena rangkap jabatan, meskipun dijadikan dalil gugatan oleh pihak penggugat, namun dalam putusan ini tidak dijadikan dasar dan pertimbangan hakim. Justru hal yang tidak berkorelasi secara normatif, yaitu ketiadaan tata kelola perusahaan yang baik, dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS ini. Dalam tulisan ini akan dianalisa secara normatif tentang perbedaan antara gugatan perbuatan melawan hukum dengan gugatan wanprestasi, persoalan jabatan rangkap oleh orang yang sama dalam beberapa perusahaan, serta korelasi antara gugatan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dengan tidak adanya tata kelola perusahaan yang baik.

Kata kunci: wanprestasi, perbuatan melawan hukum, tata kelola perusahaan.

ABSTRACT

The Decision Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS is an example of a civil case concerning a dispute between Indonesian citizen with foreign citizen who is undertaking business of infestations in Indonesia. The judges have consideration in many respects in effort to resolve the case. Three points raised in the lawsuit by the plaintiff are based on a breach of contract and a tort. On a preliminary consideration, it can be deduced that the judge may accept simultaneous lawsuits, not just a lawsuit in a breach of contract, but at once a tort. The argument in the lawsuit filed by the plaintiff is related to a conflict of interest in regard of concurrent positions, however the judges did not take it into consideration in making the decision. The very thing that lacks of normatively consistent correlation, i.e., the absence of good corporate governance, even becomes the basis of consideration of the judge in the Decision Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS. This focus is discussed in a normative analysis concerning the matter of differences between two lawsuits, a tort and a breach of contract, the issue of concurrent position occupied by the same person in several companies, and the correlations between a breach of contract or tort with the lacking of good corporate governance.

Keywords: breach of contract, tort, corporate governance.

KAITAN DASAR GUGATAN DAN TATA KELOLA PERUSAHAAN

Kajian Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS

THE FUNDAMENTAL CORRELATION OF A LAWSUITAND CORPORATE GOVERNANCE

A. Dwi RachmantoFakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Jl. Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141E-mail: [email protected]

An Analysis of Decision Number 266/PDT.G/2007/PN.BKS

Naskah diterima: 15 Januari 2016; revisi: 5 Agustus 2016; disetujui: 8 Agustus 2016

Jurnal isi.indd 215 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 121: cover jurnal Agustus 2016.cdr

216 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Masuknya investasi sekaligus investor merupakan sesuatu yang tak terelakkan dalam perdagangan global, tidak terkecuali dengan negara Indonesia. Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, merupakan contoh kasus sengketa antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang melakukan investasi sekaligus sebagai pihak investor di negara Indonesia.

KYM sebuah perusahan yang didirikan berdasarkan hukum negara Taiwan mendirikan KLMI sebuah perusahaan dengan dasar hukum pendirian menggunakan hukum Indonesia. Komposisi saham KLMI yaitu: 75% (tujuh puluh lima persen) dimiliki oleh KYM dan 25% (dua puluh lima persen) dimiliki oleh PTMP. Berdasarkan pembagian saham tersebut maka susunan pengurus KLMI mayoritas dikuasai oleh KYM, meliputi jajaran direksi: seorang presiden direktur, SKC; tiga orang direktur, KCP, HJC, dan FKWM; serta jajaran komisaris meliputi: seorang wakil presiden komisaris, LMF; dan dua orang komisaris, TCL dan LCC. Sedangkan perwakilan susunan pengurus pihak PTMP, meliputi seorang yang duduk di jajaran direktur, ML; seorang presiden komisaris, RN; dan seorang komisaris, HS. Berikut tabel susunan pengurus KLMI (tabel 1):

Dalam berkas putusan diketahui bahwa KLMI melakukan transaksi pembelian bahan baku kepada KYM. Akibat dari transaksi tersebut timbul kewajiban pembayaran bunga oleh KLMI kepada KYM tanpa didukung:

1. Dokumen-dokumen korporasi yang menjadi dasar pembebanan bunga; dan

2. Persetujuan atau tanda tangan direktur ML yang merupakan perwakilan pemegang saham PTMP.

Permasalahan lain yang dapat disimpulkan dari berkas putusan adalah bahwa selama berdiri, KLMI hanya melaksanakan satu kali Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan, yaitu pada tahun 1999 (tabel 2).

Kemudian pada tahun 2006, KLMI juga telah menujuk PTDSJ sebagai main dealer untuk wilayah Bali dan Lombok. Penunjukan tersebut dibuktikan melalui surat KLMI yang disampaikan tertanggal 27 Juni 2006, dengan Nomor Surat 187/VI-ACC/KLMI/06, dan transfer Bank Chinatrust Indonesia Nomor CLG 079486 tertanggal 1 Februari 2006. Hal ini berarti telah terjadi pengeluaran uang dari KLMI kepada pihak lain (PTDSJ) tanpa diketahui oleh pihak perwakilan PTMP. Lebih lanjut, di sisi yang lain, dari berkas putusan pengadilan negeri diketahui

Tabel 1. Pengurus KLMI

PENGURUS KLMIDIREKSI dari KYM DIREKSI dari PTMP

Presiden Direktur, SKC Direktur, MLDirektur, KCPDirektur, HJC

Direktur, FKWMKOMISARIS dari KYM KOMISARIS dari PTMP

Wakil Presiden Komisaris, LMF Presiden Komisaris, RNKomisaris, TCLKomisaris, LCC

Jurnal isi.indd 216 10/28/2016 9:31:11 AM

Page 122: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 217

bahwa terdapat transaksi yang mengandung benturan kepentingan antara KLMI dengan PTKSR, di mana PTKSR merupakan perseroan yang ditunjuk oleh KLMI sebagai main dealer untuk area Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Bekasi, dan Cikarang.

Dari apa yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa permasalahan hukum yang sangat berkaitan erat dengan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), dan beberapa hal inilah yang didalilkan dalam gugatan oleh pihak penggugat meliputi:

1. Transaksi keuangan dengan pihak ketiga;

2. Rapat Umum Pemegang Saham yang hanya berlangsung satu kali; dan

3. Benturan kepentingan rangkap jabatan pengurus perseroan.

Ketiga hal yang didalilkan oleh pihak penggugat didasarkan pada gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam pertimbangan awal dan dengan diputuskannya Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS dapat disimpulkan bahwa hakim dapat menerima sebuah gugatan yang diajukan tidak hanya gugatan wanprestasi tetapi sekaligus gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam hal benturan

kepentingan karena rangkap jabatan, walaupun dijadikan dalil gugatan oleh pihak penggugat, namun tidak menjadi dasar dan pertimbangan hakim dalam memutuskan Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS. Justru hal yang tidak berkorelasi secara normatif, yaitu ketiadaan tata kelola perusahaan yang baik menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS.

B. Rumusan Masalah

Dari apa yang telah dipaparkan dalam di atas, maka pertanyaan yang diajukan adalah:

1. Apa yang menjadi dasar pengajukan gugatan secara simultan, baik gugatan berdasarkan wanprestasi maupun gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS?

2. Mengapa jabatan rangkap yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang namun tidak menjadi pertimbangan oleh hakim dalam memutus Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS?

3. Bagaimana korelasi antara ketaatan hukum badan hukum (perusahaan) dengan prinsip

Tabel 2. Jabatan Rangkap

DIREKSI dari KYM sebagaiPENGURUS KLMI

PENGURUSPTKSR

Presiden Direktur, SKCDirektur, KCP Direktur, SKCDirektur, HJC

Direktur, FKWMKOMISARIS dari KYM KOMISARIS

Wakil Presiden Komisaris, LMF Komisaris Utama, KCPKomisaris, TCL Komisaris, LMFKomisaris, LCC

Jurnal isi.indd 217 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 123: cover jurnal Agustus 2016.cdr

218 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)?

C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS ini mempunyai tujuan:

1. Untuk menganalisis sebuah gugatan dapat secara simultan dilakukan tidak hanya mencakup gugatan wanprestasi tetapi juga sekaligus gugatan perbuatan melawan hukum dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS;

2. Untuk menganalisis kasus jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS;

3. Untuk menganalisis korelasi antara ketaatan badan hukum atas hukum yang berlaku dengan tata kelola perusahaan dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS.

Kegunaan penelitian Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS ini meliputi:

1. Secara teoritis diharapkan dapat memberi pemahaman atas perbedaan mendasar antara dasar gugatan wanprestasi dan dasar gugatan perbuatan melawan hukum, konsekuensi yuridis jabatan rangkap berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan korelasi antara ketaatan akan hukum dengan tata kelola perusahaan yang baik;

2. Secara praktis diharapkan dapat menjadi referensi bagi para penegak hukum dalam

memutuskan untuk: pertama, menerima atau menolak perkara gugatan yang didasarkan pada gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum; kedua, memberi pertimbangan apakah seseorang memiliki jabatan rangkap yang dilarang; dan ketiga bahwa hukum sangat berkaitan dengan tata kelola perusahaan yang baik.

D. Studi Pustaka

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan hukum yang terjadi sangat berkaitan erat dengan:

1. Gugatan Perdata

Umumnya perkara perdata atau gugatan yang masuk dalam perkara perdata dapat disebabkan wanprestasi atas perjanjian yang disepakati para pihak atau dapat dikarenakan perbuatan melawan hukum. Anatomi perkara perdata yang diakibatkan oleh perjanjian dan perbuatan melawan hukum dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut (Gunawan, 2014) (gambar 1):

Perikatan pada prinsipnya didasarkan pada dua hal, yaitu:

a. Perjanjian

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi tentang perjanjian. Namun selain batasan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, kita dapat dengan mudah menemukan definisi atau batasan perjanjian selain dari Pasal 1313 KUHPerdata.

b. Hukum

Pada awalnya istilah yang digunakan bukanlah hukum, tetapi undang-undang,

Jurnal isi.indd 218 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 124: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 219

namun sejak Januari 1919, pada saat dijatuhkannya putusan dalam perkara Lindenbaum Cohen maka istilah yang digunakan menjadi hukum.

Dasar hukum perikatan yang timbul karena undang-undang atau hukum adalah Pasal 1352 KUHPerdata. Adapun isi Pasal 1352 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

“Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.”

Berdasar isi Pasal 1352 KUHPerdata tersebut, perikatan yang lahir karena undang-undang (hukum), dibagi kembali menjadi dua, yaitu:

1. Perikatan akibat dari hukum (undang-undang) saja seperti dimaksud dalam Pasal 298 KUHPerdata. Pasal 298 KUHPerdata lebih dikenal dengan nama alimentasi.

2. Perikatan akibat dari hukum yang disertai perbuatan manusia yang dibagi menjadi dua meliputi:

a. Perbuatan yang sesuai dengan hukum (undang-undang)

Pasal 1354 KUHPerdata menyatakan: “Jika seseorang dengan sukarela

tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia wakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia harus membebani diri dengan segala sesuatu yang termasuk urusan itu. Ia harus menjalankan segala kewajiban yang harus ia pikul jika ia menerima kekuasaan yang dinyatakan secara tegas.”

b. Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan: “Tiap perbuatan yang melanggar

hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Kriteria perbuatan melanggar hukum menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu (Mahkamah Agung Rrepublik Indonesia, 1991):

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

Gambar 1. Hukum Perikatan

Perikatan

Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata

Hukum Pasal 1352 KUHPerdata

Hukum saja Pasal 298 KUHPerdata

Hukum disertai perbuatan manusia

Perbuatan sesuai hukum Pasal 1354 KUHPerdata

Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUHPerdata

Jurnal isi.indd 219 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 125: cover jurnal Agustus 2016.cdr

220 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

2. Melanggar hak subjektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila;

4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Dari empat kriteria perbuatan melawan hukum tersebut, telah terjadi perubahan istilah dan tentu makna, dari sebelumnya lebih dikenal dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad) menjadi perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad). Hal ini dapat dimengerti karena pengertian hukum jauh lebih luas dibandingkan dengan undang-undang. Hal lain, selain telah terjadi perubahan makna, kriteria perbuatan melawan hukum tidak bersifat kumulatif, hal ini berarti bilamana salah satu kriteria telah terpenuhi, maka dapat diklasifikasi sebagai perbuatan melawan hukum.

Dari apa yang telah diuraikan berkaitan dengan perikatan yang timbul karena perjanjian dan perikatan yang timbul karena hukum, maka perbedaan keduanya dapat disampaikan sebagai berikut (Gunawan, 2014) (tabel 3):

Pelanggaran terhadap perjanjian lebih dikenal dengan istilah wanprestasi. Terdapat berbagai pengertian dari wanprestasi, berikut ini beberapa pengertian dari wanprestasi: Apabila

si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi (Subekti, 2010: 45); Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut wanprestasi (Agustina, 2012: 4); Tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian, atau melanggar perjanjian yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian (Gunawan, 2014).

Wanprestasi pada dasarnya meliputi empat hal, yaitu: tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Lebih lanjut, gugatan perkara perdata dengan dalil gugatan wanprestasi dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS harus diberi arti bahwa gugatan tersebut muncul karena apa yang telah disepakati dalam perjanjian tidak dilaksanakan oleh setidaknya salah satu pihak yang membuat dan bersepakat atas perjanjian. Dengan kalimat lain, wanprestasi/ingkar janji hanya dimungkinkan atas dasar perjanjian yang sah dan prestasi dari yang diperjanjikan terukur (Gunawan, 2014).

Perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad), dalam konteks Indonesia adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-

Tabel 3. Perbedaan Perikatan

Perikatan karena Perjanjian Perikatan karena HukumKata sepakat KeharusanDikehendaki para pihak yang terikat Tidak dikehendaki para pihak yang terikatBersifat sukarela Bersifat keterpaksaanMengandung unsur “priority of contract” Mengandung unsur “public interest”Faktor kerugian diperhitungkan dan disepakati sebelumnya

Faktor kerugian diperhitungkan dan disepakati sebelumnya

Jurnal isi.indd 220 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 126: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 221

undang yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori perbuatan melawan hukum, yaitu: perbuatan melawan hukum karena kesengajaan; perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan; dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian (Fuady, 2013: 3).

Dari paparan tersebut, sesuatu yang nampak jelas berkaitan dengan perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum namun tidak demikian menurut Hartkamp dan Tillema, karena mereka berpendapat bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi (Khairandy, 2013: 317). Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa terdapat persamaan unsur-unsur antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, meliputi: perbuatan; melawan hukum; kesalahan; dan kerugian.

Pendapat yang kurang lebih sama disampaikan Asser-Rutten yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, karena melakukan wanprestasi merupakan pelanggaran atas hak orang lain, juga merupakan gangguan terhadap hak kebendaan (Khairandy, 2013: 319). Di sisi yang lain, Meijer berpendapat bahwa tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian (kewajiban kontraktual) tidak dapat dimasukkan ke dalam pengertian perbuatan melawan hukum, karena perikatan yang didasarkan oleh undang-undang yang mencakup perbuatan melawan hukum berada di samping perikatan yang didasarkan oleh perjanjian, dan keduanya dalam bidang yang berbeda (Khairandy, 2013: 318). Pendapat lainnya disampaikan oleh Pitlo, bahwa baik dilihat dari sejarahnya maupun dari sistematika undang-undang, wanprestasi tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum (Khairandy, 2013: 320).

Menurut Agustina, dilihat dari tujuan gugatan, maka gugatan wanprestasi menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana, ganti rugi yang diberikan adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan atau expectation loss. Sedangkan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menempatkan penggugat pada posisi sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, sehingga ganti kerugian yang diberikan adalah kerugian yang nyata (Agustina, 2012: 12).

Di sisi yang lain terdapat perbedaan, berkaitan dengan perikatan yang timbul karena perjanjian yang bilamana salah satu pihak mengingkari akan berdampak pada kemungkinan munculnya gugatan wanprestasi, dan perikatan yang timbul karena hukum bilamana ada pelanggaran akan mengakibatkan gugatan perbuatan melawan hukum, yaitu di dalam perjanjian dasarnya kesepakatan sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum dasarnya adalah keharusan; dalam perjanjian akibat yang ditimbulkan dikehendaki sedangkan perbuatan melawan hukum akibat yang ditimbulkan tidak dikehendaki; dalam perjanjian terdapat sifat kesukarelaan sedangkan dalam perbuatan melawan hukum terdapat sifat keterpaksaan; dan dalam perjanjian terdapat daya ikat bagi para pihak yang terikat sedangkan dalam perbuatan melawan hukum terdapat public interest (Gunawan, 2014).

Privity of contract terkandung makna bahwa perikatan yang timbul dan berdasar pada perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya dan kekuatan perjanjian tersebut laksana undang-undang (Poole, 2014: 426). Sedangkan di dalam public interest terkandung makna bahwa perjanjian yang timbul karena undang-undang/hukum salah satu tujuannya

Jurnal isi.indd 221 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 127: cover jurnal Agustus 2016.cdr

222 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

adalah melindungi dan menjaga kepentingan umum.

Perikatan yang timbul dari perjanjian mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi, yang meliputi biaya, rugi, dan bunga. Pengertian biaya (kosten), adalah semua pengeluaran atau ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan oleh satu pihak; pengertian kerugian (schaden), adalah kerugian karena kerusakan barang milik kreditur yang diakibatkan kelalaian debitur; dan pengertian bunga (interessen), adalah kerugian yang berupa keuntungan yang ‘direncanakan’ oleh kreditur (Agustina, 2012: 5). Yang menjadi dasar bahwa ganti rugi dapat dihitung dan jumlahnya terbatas, seperti tertulis dalam KUHPerdata, yaitu:

Pasal 1247: Si berhutang hanya diwajibkan mengganti

biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya.

Pasal 1248: Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan

itu disebabkan karena tipu-daya si berutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.

Ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum meliputi tiga hal, yaitu: pertama, ganti rugi nominal, yaitu memberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya jumlah kerugian; kedua, ganti rugi kompensasi, yaitu pembayaran sebesar kerugian yang benar-benar dialami oleh pihak korban; dan ketiga, ganti rugi penghukuman, yaitu ganti rugi dalam jumlah

yang melebihi jumlah kerugian sebenarnya (Fuady, 2013: 134-135).

Selain dari apa yang telah diuraikan di atas berkaitan dengan ganti rugi, hal lain yang membedakan ganti rugi di antara kedua sumber perikatan tersebut, perikatan berdasarkan perjanjian atau berdasarkan undang-undang adalah berkaitan dengan tujuan dari meminta ganti rugi yang didasarkan pada gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dalam gugatan yang didasarkan ada wanprestasi, maka pertimbangan ganti rugi didasarkan kepada “seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have been in had the contract been performed),” yang berarti kehilangan keuntungan yang diharapkan atau sering disebut dengan istilah expectation loss atau winstderving. Sedangkan ganti rugi melalui gugatan perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss (Suharnoko, 2004: 118).

Dari apa yang telah dipaparkan berkaitan dengan anatomi perikatan, dan pendapat para ahli tentang perbedaan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, dalam realitas sering terjadi mencampuradukan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum.

Pentingnya pembedaan gugatan berdasarkan perjanjian dan gugatan berdasar perbuatan melawan hukum adalah karena dalam praktik biasanya penggugat memulai dengan gugatan karena perbuatan melawan hukum dan atas dasar itulah ia meminta ganti rugi. Tergugat menjawab bahwa gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima dan hanya

Jurnal isi.indd 222 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 128: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 223

dapat diterima berdasarkan tidak ditepatinya perjanjian (wanprestasi). Demikian sebaliknya dapat juga terjadi, penggugat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan wanprestasi, kemudian tergugat menjawab bahwa gugatan tidak dapat diterima karena kasus yang ada seharusnya dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (Khairandy, 2013: 319).

Sebelumnya juga telah disampaikan bahwa, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Sering juga dikatakan bahwa, tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.

Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata), selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar. Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.

Dari paparan berkaitan dengan perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

dua arus utama, yaitu: pertama, pendapat klasik yang menyatakan bahwa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum memiliki ranah masing-masing. Wanprestasi berdasar pada perikatan yang bersumber pada perjanjian, sedangkan perbuatan melawan hukum berdasar pada perikatan yang bersumber pada undang-undang. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Wanprestasi dianggap sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum atau perbuatan melawan hukum dalam arti luas di dalamnya termasuk wanprestasi.

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

a. Pengertian Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

b. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham, selanjutnya disebut RUPS, adalah organ (tertinggi) perseroan yang mempunyai kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dan/atau anggaran dasar perseroan.

RUPS diatur dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

Jurnal isi.indd 223 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 129: cover jurnal Agustus 2016.cdr

224 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

2007. RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan setelah tahun buku berakhir, sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan. Penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dapat dilakukan atas permintaan satu orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil atau dewan komisaris.

Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Bilamana keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan dianggap sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar. Melalui RUPS perubahan anggaran dasar RUPS dapat dilakukan. Namun penyimpangan terhadap RUPS sebagai organ tertinggi perseroan dapat dilakukan dan dimungkinkan apabila pemegang saham mengambil keputusan mengikat dengan syarat semua pemegang saham yang memiliki hak suara menyetujui secara tertulis dan menandatangani usul keputusan mengikat yang disampaikan.

c. Dewan Komisaris

Tugas dewan komisaris melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi. Tugas pengawasan dan pemberian nasihat itu dilaksanakan oleh dewan komisaris berdasarkan anggaran dasar perseroan.

Pengawasan oleh dewan komisaris meliputi baik pengawasan atas kebijakan direksi dalam melakukan pengurusan perseroan, serta jalannya pengurusan tersebut secara umum, baik mengenai operasional perseroan maupun jenis usaha yang dijalankan perseroan. Pengawasan dan nasihat yang dilakukan dewan komisaris harus bertujuan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Jumlah anggota dewan komisaris seperti juga direksi, bisa terdiri dari satu orang anggota atau lebih.

Dewan komisaris yang terdiri lebih dari satu orang anggota bersifat “majelis,” dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan dewan komisaris. Perseroan yang kegiatan usahanya menghimpun dan mengelola dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan utang serta perseroan wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota dewan komisaris. Selain tugas pengawasan, dewan komisaris juga mempunyai fungsi memantau penerapan dan efektivitas praktik good corporate governance (GCG) (Sutedi, 2015: 130).

d. Direksi

Direksi bertugas untuk menjalankan perseroan dalam batas-batas kewenangan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dan anggaran dasar. Direksi dapat mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan ini dimiliki oleh direksi secara tak terbatas dan tak bersyarat, selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan anggaran dasar perseroan, serta tidak bertentangan dengan RUPS. Bilamana direksi terdiri lebih dari satu orang, yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali

Jurnal isi.indd 224 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 130: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 225

anggaran dasar menentukan lain. Syarat direksi yang utama adalah harus orang perseorangan. Hal ini berarti di Indonesia berkaitan dengan direksi perseroan terbatas tidak mengenal adanya pengurus perseroan badan hukum maupun badan usaha (Sutedi, 2015: 97).

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Curang

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur tentang:

a. Perjanjian yang dilarang

Tentang monopoli dan persaingan curang diatur berbagai bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu meliputi:

1. Perjanjian oligopoli: penguasaan pangsa pasar yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaku usaha, dan 75% pangsa pasar.

2. Penetapan harga, meliputi empat hal penetapan, yaitu: penetapan harga yang sama di antara pelaku usaha; penetapan harga yang berbeda; penetapan harga di bawah harga pasar; dan penetapan minimum harga jual.

3. Pembagian wilayah meliputi: membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang/atau jasa; dan menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa.

4. Perjanjian pemboikotan meliputi: perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha yang lain untuk melakukan hal yang sama; dan

perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain.

5. Perjanjian kartel: suatu kerjasama di antara produsen/pedagang, yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas tertentu.

6. Perjanjian trust: suatu kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau membentuk perusahaan yang lebih besar, tetapi dengan mempertahankan eksistensi dari masing-masing perusahaan anggota tersebut, dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa.

7. Perjanjian oligopsoni: penguasaan pangsa pasar yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pembeli, menguasai 75% pangsa pasar.

8. Integrasi vertikal: penguasaan serangkaian proses produksi mulai dari hulu sampai hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh seorang pelaku usaha tertentu.

9. Perjanjian tertutup: perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri: perjanjian tersebut memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan

Jurnal isi.indd 225 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 131: cover jurnal Agustus 2016.cdr

226 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Kegiatan yang dilarang

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Curang diatur berbagai bentuk kegiatan yang dilarang, yaitu meliputi:

1. Monopoli: pemusatan kegiatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu.

2. Monopsoni: tindakan penguasaan pangsa pasar untuk membeli sesuatu produk tertentu.

3. Penguasaan pangsa pasar, meliputi: menolak pesaing; menghalangi konsumen untuk berbisnis dengan pesaing; membatasi peredaran produk; diskriminasi pelaku usaha; melakukan jual rugi atau jual dengan harga sangat rendah; dan penetapan biaya secara curang.

4. Persekongkolan, meliputi: mengatur pemenang tender; memperoleh rahasia perusahaan; dan menghambat pasokan produk.

c. Posisi dominan yang dilarang

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Curang diatur berbagai bentuk posisi dominan yang dilarang, yaitu meliputi:

1. Penyalahgunaan posisi dominan, meliputi: pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa

yang bersaing; pembatasan pasar dan pengembangan teknologi; dan menghambat pesaing untuk masuk pasar

2. Jabatan rangkap, meliputi: kedua perusahaan tersebut berada dalam pasar yang sama; keterkaitan usaha yang erat; dan kedua perusahan tersebut secara bersama-sama menguasai pangsa pasar.

3. Pemilikan saham, meliputi: Satu pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih 50% pangsa, atau dua atau lebih pelaku usaha kelompok usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar.

4. Merger (penggabungan perusahan), akuisisi (pengambilalihan perusahaan), dan konsolidasi (peleburan perusahaan).

4. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance).

Secara teoritis prinsip atau asas tata kelola perusahaan yang baik (CGC) meliputi:

a. Transparansi, yaitu untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya;

Jurnal isi.indd 226 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 132: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 227

b. Akuntabilitas, yaitu perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan;

c. Responsibilitas, yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

d. Independen, yaitu perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

e. Kewajaran, yaitu dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006: 5-7).

Ada juga yang berpendapat bahwa, secara umum unsur-unsur tata kelola perusahaan yang baik meliputi:

a. Keadilan, menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor;

b. Transparansi, mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat diperbandingkan, yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan;

c. Akuntabilitas, menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris;

d. Pertanggungjawaban, memastikan dipatuhinya peraturan-peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cermin dipatuhinya nilai-nilai sosial (Sutedi, 2012: 4).

Lebih lanjut, tata kelola perusahaan dipandang sebagai interaksi di antara pelaku dalam fungsi manajemen, yaitu pihak manajemen; pihak pengawasan, yaitu dewan komisaris dan komite audit; pihak monitoring, yaitu regulator; dan pihak pemakai, yaitu investor, kreditor, serta pemangku kepentingan lainnya.

Di sisi yang lain, tata kelola perusahaan (GCG) yang baik menurut The Organization for Economic Cooperatian memiliki enam kriteria, yaitu (OEDC: 2004):

a. Ensuring the Basis for an Effective Corporate Governance Framework

Tata kelola perusahaan harus mengedepankan transparansi dan pasar yang efisien, konsisten dengan aturan hukum serta jelas mengartikulasikan pembagian tanggung jawab di antara yang berbeda pengawasan, dan menegakkan peraturan pemerintah.

Jurnal isi.indd 227 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 133: cover jurnal Agustus 2016.cdr

228 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

b. The Rights of Shareholders and Key Ownership Functions

Tata kelola perusahaan harus melindungi dan memfasilitasi pelaksanaan hak-hak pemegang saham.

c. The Equitable Treatment of Shareholders Tata kelola perusahaan harus memastikan

keadilan perlakuan untuk semua pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh ganti rugi yang efektif bagi pelanggaran hak-hak mereka.

d. The Role of Stakeholders in Corporate Governance

Tata kelola perusahaan harus mengakui hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama, dan mendorong secara aktif kerjasama antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan keuntungan, pekerjaan, dan keberlanjutan keuangan perusahaan.

e. Disclosure and Transparency Tata kelola perusahaan harus memastikan

ketepatan waktu dan mengungkapkan segala hal secara akurat, termasuk kondisi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan.

f. The Responsibilities of the Board Tata kelola perusahaan harus menjamin

strategi perusahaan, pemantauan yang efektif dari manajemen perusahaan, dan akuntabilitas pengurus perusahaan terhadap perusahaan dan para pemegang saham.

II. METODE

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soekanto, 1990: 14-15) atau penelitian mengenai norma hukum positif (Hartono, 1994: 145) atau merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder (Soemitro, 1990: 11). Penelitian ini menganalisis dan mengkritisi putusan hakim, pertama, pertimbangan (konsiderans) yang menampilkan alasan-alasan yang mencakup fakta-fakta dan dasar-dasar hukum terkait; kedua, diktum (kesimpulan) yang memuat isi putusan. Penelitian ini secara khusus meneliti Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini secara spesifik meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS.

Selain bahan hukum primer, penelitian ini menggunakan sumber-sumber rujukan bahan hukum sekunder berupa bahan bacaan hukum, baik dalam bentuk cetak maupun bahan bacaan virtual (internet).

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Wanprestasi dan Perbuatan Melawan

Hukum

Penggugat mengajukan dua dalil gugatan, yaitu gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Bilamana gugatan wanprestasi diajukan maka secara teoritis harus ada perjanjian

Jurnal isi.indd 228 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 134: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 229

yang menjadi dasar dan harus ada prestasi yang terukur yang ditegaskan dalam perjanjian, baru kemudian dapat disimpulkan bahwa apakah telah terjadi wanprestasi/ingkar janji yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. Sedangkan bilamana terjadi gugatan perbuatan melawan hukum, maka yang menjadi dasar adalah bukan perjanjian tetapi hukum, norma kesopanan dan kesusilaan. Bilamana kasus dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS mengajukan dua dalil gugatan, baik dalil gugatan wanprestasi maupun dalil gugatan perbuatan melawan hukum, maka seharusnya pihak penggugat menyadari bahwa ranah gugatan antara yang satu dengan yang lain berbeda. Pertanyaannya, apakah RUPS yang tidak dilaksanakan secara rutin dapat dianggap sebagai wanprestasi atau perbuatan melawan hukum? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas pengertian dan ruang lingkup wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Dari rumusan tentang wanprestasi yang telah dipaparkan di atas, maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sebelum wanprestasi terjadi terdapat peristiwa di antara para pihak untuk sepakat atas hak dan kewajiban tentang sesuatu hal, baik untuk tidak melakukan sesuatu menurut Subekti, melanggar apa yang telah disepakati menurut Agustina, dan tidak memenuhi apa yang ditetapkan sehingga mengakibatkan pelanggaran menurut Gunawan.

Gugatan wanprestasi Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS secara teori yang telah dipaparkan dalam studi pustaka harus memenuhi dua hal, pertama terdapat perjanjian antara para pihak, dan kedua prestasinya harus terukur. Dalam hal perjanjian, maka pada saat disepakati pembagian saham antara antara pihak KYM dan pihak PTMP, yang berakibat pada komposisi

kepengurusan di KLMI, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara KYM dan PTMP didasarkan pada perjanjian. Selain berdasar perjanjian, melalui pembagian saham 75% KYM dan 25% PTMP, maka sebenarnya prestasi perjanjian menjadi terukur.

Perjanjian antara KYM dan PTMP tentu telah melalui proses verifikasi kecakapan, kata sepakat, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dalam konteks suatu sebab yang halal, maka perjanjian antara KYM dan PTMP seharusnya terikat dan tunduk dengan kebiasaan yang berlaku, kepatutan dan hukum. Oleh sebab itu, pada saat perjanjian dilaksanakan dan bilamana terdapat kekurangan pengaturan atas substansi tertentu yang tidak diatur dalam perjanjian, namun sepanjang diatur dalam undang-undang, maka undang-undang tersebut harusnya diberi makna bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian itu sendiri. Hal ini berarti, gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh pihak PTMP kepada KYM karena tidak melaksanakan RUPS secara rutin harusnya ditolak oleh hakim, karena masih menjadi bagian dari substansi gugatan perbuatan melawan perjanjian atau gugatan wanprestasi.

B. Kata Sepakat atau Keharusan

Salah satu syarat subjektif yang harus dipenuhi dalam perikatan yang didasarkan pada perjanjian adalah kata sepakat. Bilamana perjanjian tidak didasarkan pada kata sepakat maka perjanjian dimaksud tidak memenuhi syarat keabsahan perjanjian seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kata sepakat merupakan syarat keabsahan perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata butir kesatu. Akibat yang ditimbulkan dari ketidaksepakatan

Jurnal isi.indd 229 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 135: cover jurnal Agustus 2016.cdr

230 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

dalam perjanjian berarti perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable), dan dimintakan pembatalannya melalui pengadilan. Pembatalan perjanjian karena alasan ketidaksepakatan bersifat konstitutif.

Dari berkas Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, salah satu yang dapat disimpulkan adalah bahwa terdapat kata sepakat antara pihak KLMI yang di dalamnya terdapat direksi dari pihak KYM dan direksi dari pihak PTMP, kata sepakat setidaknya untuk pihak KYM akan memasok barang (motor) kepada pihak PTMP. Kata sepakat juga terjadi antara direksi dari pihak KYM yang merupakan pengurus KLMI dengan pengurus PTKSR, kata sepakat antara KLMI dengan PTKSR setidaknya dalam hal mendistribusikan barang (motor) pihak KLMI oleh pihak PTKSR. Sedangkan dalam perikatan yang timbul atas dasar hukum, yang menjadi dasar perikatan adalah bukan kata sepakat tetapi keharusan para pihak untuk sepakat berdasar atas hukum atau undang-undang.

Ilustrasi sederhana atas keharusan bersepakat karena undang-undang/hukum dalam konteks Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, adalah bila para pihak yang terlibat tidak melaksanakan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, melakukan tindak pidana korupsi atau perbuatan lain yang dilarang oleh peraturan perudang-undangan, kepatutan dan kesopanan yang berlaku di Indonesia atau tidak dijalankannya RUPS yang diamanatkan oleh UUPT.

C. Dikehendaki Para Pihak atau Tidak Dikehendaki Para Pihak

Perikatan yang didasarkan pada perjanjian, maka ikatan yang terjadi dikehendaki oleh para

pihak yang sepakat membuat perjanjian, sedangkan pada perikatan yang timbul dan didasarkan pada hukum (undang-undang), perikatan timbul umumnya karena tidak dikehendaki oleh para pihak. Bila perikatan yang timbul dari perjanjian dikehendaki para pihak dikaitkan dengan berkas Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS maka nampak bahwa para pihak, yaitu antara para pihak di dalam KLMI dengan pihak PTMP memang menghendaki perikatan berdasarkan perjanjian.

Kehendak yang timbul dari kedua belah pihak juga nampak di dalam kepengurusan masing-masing terdapat orang yang sama, walau berbeda secara jabatan, di mana presiden direktur KLMI juga menjabat sebagai direktur KYM. Kemudian ada kesamaan fungsionaris walau berbeda jabatan dalam perusahaan KLMI yang memasok barang (motor) kepada PTKSR, yaitu orang yang memangku jabatan presiden direktur KLM sama dengan orang yang memangku jabatan direktur PTKSR, orang yang memangku jabatan direktur KLMI sama dengan orang yang memangku jabatan komisaris utama PTKSR, dan orang yang memangku jabatan wakil presiden komisaris di KLMI sama dengan orang yang memangku jabatan komisaris di PTKSR. Hal lain sebagai wujud dari dikehendaki adalah pihak KYM menghendaki memasok barang (motor) kepada pihak PTMP, kemudian KLMI menghendaki untuk mendistribusi barang (motor) pihak KLMI oleh pihak PTKSR.

D. Sukarela atau Terpaksa

Perbedaan karakteristik lainnya antara perikatan yang timbul atas dasar perjanjian dan perikatan yang timbul atas dasar hukum adalah dasar perikatan yang timbul karena perjanjian adalah kesukarelaan dari para pihak

Jurnal isi.indd 230 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 136: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 231

untuk saling mengikatkan diri dan bersepakat dalam perjanjian, sedangkan dalam perikatan yang timbul dan didasarkan pada hukum pada umumnya lebih disebabkan karena keterpaksaan para pihak untuk saling mengikatkan diri.

Dalam konteks Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, para pihak yang terlibat di dalamnya secara sukarela mengikatkan diri untuk mengadakan dan mendistribusi barang (motor). Pembagian 75% saham milik KYM dan 25% saham milik PTMP merupakan wujud dari kesukarelaan. Kemudian terjadi perikatan yang bersumber dari perjanjian antara KLMI dengan PTKSR dalam hal penunjukan kepada PTKSR untuk menjadi agen barang (motor) di Indonesia, demikian halnya dengan hubungan perikatan yang bersumber dari perjanjian antara KLMI dengan PTDSJ, di mana KLMI menujuk PTDSJ untuk menjadi distributor barang (motor) di wilayah tertentu.

E. Privity of Contract dan Public Interest

Dalam konteks privity of contract para pihak yang terlibat dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, akta pendirian KLMI yang di dalamnya terdapat pihak KYM dengan PTMP, perjanjian antara KLMI dengan PTKSR, dan perjanjian antara KLMI dengan PTDSJ tentu memiliki kekuatan laksana undang-undang. Sedangkan public interest misalnya berkaitan undang-undang perpajakan, melalui pembayaran pajak oleh pihak KLMI, pihak PTKSR dan pihak PTDSJ, baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai, yang oleh negara akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan.

Dalam konteks public interest yang menjadi dasar gugatan perbuatan melawan hukum Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS

adalah karena pihak tergugat tidak melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara rutin seperti yang diharuskan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, atau dengan kalimat lain, tidak melaksanakan RUPS dianggap sebagai sebuah perbuatan melawan hukum/Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh pihak KLMI.

Masalahnya adalah, apakah bila sebuah perusahaan tidak melaksanakan RUPS dapat digugat oleh pemegang saham dengan dasar gugatan perbuatan melawan hukum? Menurut penulis, tidak melaksanakan RUPS memang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, namun perlu dipahami bahwa hukum di luar perjanjian yang disepakati oleh para pihak atau para pemegang saham justru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian itu sendiri, karena perjanjian pada prinsipnya tidak boleh melanggar kepatutan, kebiasaan, dan hukum itu sendiri. Bilamana dianalogikan dengan adanya sebuah perjanjian antara para pihak, namun perjanjian tersebut tidak mengatur tentang tata cara berakhirnya perjanjian secara sepihak, maka berakhirnya perjanjian harus merujuk pasal-pasal yang terdapat dalam KUHPerdata, seperti misalnya Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata.

F. Perhitungan Faktor Kerugian Disepakati dan Tidak Disepakati

Perhitungan faktor kerugian dalam perikatan yang timbul atas dasar perjanjian seharusnya dapat disepakati sejak substansi perjanjian dibicarakan. Faktor kerugian dalam perjanjian pada umumnya meliputi tiga hal, yaitu biaya (kosten), kerugian (schaden), dan bunga

Jurnal isi.indd 231 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 137: cover jurnal Agustus 2016.cdr

232 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

(interessen). Dalam perikatan yang timbul dan atas dasar perjanjian prestasinya terukur, maka sebagai konsekuensi logis perhitungan atas kemungkinan kerugian yang timbul di kemudian hari seharusnya terukur. Hal ini berarti, terukur dalam konteks ganti rugi artinya dapat dihitung secara tepat dan jumlahnya terbatas.

Ilustrasi tentang ganti rugi atas dasar perjanjian dalam konteks Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, yaitu pertama, berkaitan dengan akta pendirian KLMI yang di dalamnya terdapat pihak KYM dengan PTMP, salah satunya berkaitan dengan keuntungan (deviden) yang akan diterima oleh masing-masing pihak berdasarkan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing pihak, baik bilamana perusahaan menghasilkan keuntungan maupun bilamana perusahaan mengalami kerugian. Kedua, berkaitan dengan perjanjian antara KLMI dengan PTKSR. Pihak KLMI mempunyai kewajiban untuk memenuhi perjanjian melalui pengiriman barang (motor) kepada PTKSR, dan PTKSR berkewajiban untuk mendistribusikan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga berkaitan dengan perjanjian antara KLMI dengan PTDSJ yang secara substansi kurang lebih sama dengan perjanjian antara pihak KLMI dengan PTKSR.

Apabila KLMI tidak dapat memasok barang (motor) baik kepada PTKSR maupun kepada PTDSJ, maka pihak PTKSR dan PTDSJ dapat meminta ganti rugi kepada pihak KLMI, demikian sebaliknya apabila PTKSR dan PTDJS tidak dapat memenuhi kesepakatan yang diperjanjikan dengan KLMI, maka pihak KLMI dapat menuntut ganti rugi kepada pihak PTKSR dan PTDSJ. Sedangkan ganti rugi dalam konteks pelanggaran atas undang-undang atau ganti rugi akibat perjanjian yang timbul dan berdasarkan

undang-undang/hukum atau atas dasar perbuatan melawan hukum, maka tuntutan ganti rugi yang diminta dimungkinkan jauh lebih besar bilamana dibandingkan dengan perikatan yang timbul dari perjanjian. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan ganti rugi yang dimohonkan akibat perikatan yang didasari oleh undang-undang/hukum yang tidak didasari oleh kesepakatan tentang besar ganti rugi seperti yang terjadi dalam perikatan yang timbul dari perjanjian.

Penulis sendiri lebih memilih bahwa terdapat perbedaan ranah antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum, dan berkaitan dengan Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, maka sepanjang terdapat perjanjian dan prestasinya dapat diukur, yaitu berkaitan dengan hubungan hukum yang menimbulkan sengketa antara KYM dan PTMP; antara KLMI dan PTKSR; dan antara KLMI dan PTDSJ, maka gugatannya adalah wanprestasi. Sedangkan bilamana tidak terjadi hubungan hukum yang berdasar dari perjanjian antara PTKSR dengan PTDSJ, maka bilamana salah satu pihak merasa dirugikan, gugatannya adalah perbuatan melawan hukum.

G. Jabatan Rangkap, Monopoli, dan Monopsoni

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang jabatan rangkap, monopoli, dan monopsoni. Jabatan rangkap diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut:a. berada dalam pasar bersangkutan

yang sama; atau

Jurnal isi.indd 232 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 138: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 233

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Monopoli diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:a. barang dan atau jasa yang bersangkutan

belum ada substitusinya; ataub. mengakibatkan pelaku usaha

lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Monopsoni diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:

1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, tidak dimasukkan pertimbangan

tentang adanya jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Padahal dari didirikannya perusahaan yang akan menjadi distributor utama atas sebuah barang di Indonesia sampai dengan pendirian perusahaan distributor wilayah dapat ditemukan pelanggaran jabatan rangkap yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

H. Tata Kelola Perusahaan dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) bukan merupakan tema yang berkaitan dengan ranah normatif (hukum), namun pada akhirnya penulis menganggap perlu menganalisis karena dalam Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, khususnya dalam pertimbangan menjadi salah satu yang dipertimbangkan hakim dalam memutuskan Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS. Perusahaan yang melaksanakan tata kelola perusahaan (CGC), seharusnya akan terhindar dari baik gugatan wanprestasi maupun gugatan perbuatan hukum.

Dalam anggaran dasar KLMI diatur bahwa presiden direktur berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama direksi serta mewakili perseroan, tetapi khusus untuk membuka rekening, menandatangani bilyet giro, cheque ataupun hal lain yang berkaitan dengan pengeluaran uang perseroan harus ditandatangani oleh dua orang direktur, masing-masing dari pihak KYM dan PTMP. Hal ini juga diatur dalam Joint Venture Agreement, Pasal 9.7, bahwa: “the Shareholder meeting may authorize the President Director to

Jurnal isi.indd 233 10/28/2016 9:31:12 AM

Page 139: cover jurnal Agustus 2016.cdr

234 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

take loans from banks in accordance with relevant regulations of bank. Any bank account opened in the name of KLMI shall be operated by the joint signatures of Director appointed respectively from Party A and Party B.”

Dalam era globalisasi untuk bisa tetap eksis dan berkembang dengan baik maka perusahaan-perusahaan dalam berbagai bentuk tersebut harus melakukan pembenahan-pembenahan dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik yang biasa dikenal dengan istilah good corporate governance. Secara definitif, dapat dikatakan bahwa good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari prinsip good corporate governance yakni kemandirian, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan keadilan.

Untuk efektivitas pelaksanaan good corporate governance dalam perusahaan berbentuk perseroan rasanya tidak mencukupi kalau hanya berlandaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam good corporate governance tersebut, diperlukan penerapan prinsip-prinsip

good corporate governance dalam bentuk peraturan perundangan (hukum) sehingga bisa mendorong prinsip-prinsip good corporate governance tersebut dalam operasional perseroan yang memiliki akibat hukum jika tidak dilaksanakan. Untuk melihat kaitan antara prinsip-prinsip good corporate governance dengan hukum yang mengatur perusahaan berbentuk perseroan terbatas dapat dicermati ke dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dari teori tentang GCG tersebut di atas, maka bila sebuah perusahaan, atau perusahaan berbadan hukum perseroan, yang berarti tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, secara sistematis menjalankan UUPT dan secara simultan menerapkan prinsip-prinsip GCG, maka sebenarnya perusahaan tersebut akan jauh dan terhindar dari gugatan wanprestasi ataupun gugatan perbuatan melawan hukum. Transparansi jalannya perusahan yang didasarkan pada UUPT misalnya berkaitan dengan keterwakilan pengurus, domisili perusahaan, kejelasan pihak-pihak pemegang saham, laporan neraca tahunan merupakan sebagian kecil dari pelaksanaan

Tata kelola perusahaaan yang baik (Good Corporate Governance)

Akuntabilitas

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Responsibilitas Transparansi Kewajaran Kemandirian

Gambar 2. Tata Kelola Perusahaan

Jurnal isi.indd 234 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 140: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Kaitan Dasar Gugatan dan Tata Kelola Perusahaan (A. Dwi Rachmanto) | 235

prinsip transparansi GCG yang berdasar pada UUPT.

Dari prinsip akuntabilitas GCG yang berkorelasi dengan UUPT, adalah berkaitan dengan komposisi pemegang saham, komposisi pengurus, sistem laporan keuangan bulanan dan tahunan, pelaksanaan RUPS, proses likuidasi/pembubaran, sistem audit, dan pembagian kewenangan pengurus yang secara rinci dituangkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Dari prinsip responsibilitas GCG yang berkorelasi dengan UUPT, adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban atas keuntungan dan kerugian bilamana sebuah perusahaan masih tertutup atau sudah terbuka, berkaitan dengan sejauh mana tanggung jawab pengurus perusahaan, seperti presiden komisaris, komisaris, direktur utama dan direktur, serta bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat setidaknya melalui pembayaran pajak.

Dari prinsip independen GCG yang berkorelasi dengan UUPT, adalah berkaitan dengan domisili perusahaan, kewenangan pemegang saham dalam menentukan pengurus perusahaan, mengatur substansi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara mandiri. Dari prinsip kewajaran yang sering juga disebut sebagai prinsip keadilan yang berkorelasi dengan UUPT adalah terutama penyertaan modal dan saham harus diberi makna secara wajar dan proporsional dengan menjunjung tinggi keadilan para pihak yang ada di dalamnya.

IV. KESIMPULAN

Dari apa yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan perdata antara

perbuatan melawan hukum atau wanprestasi mempunyai perbedaan yang sangat mendasar, yaitu perbuatan melawan hukum dasar gugatannya adalah karena pelanggaran terhadap hukum (undang-undang), sedangkan wanprestasi dasar gugatannya adalah pelanggaran atas perjanjian yang disepakati. Selain yang satu berdasar pada undang-undang dan yang lain berdasar pada perjanjian, perbedaan utama lainnya adalah dalam hal ganti rugi untuk perbuatan melawan hukum tidak terukur, sedangkan ganti rugi untuk wanprestasi terukur sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Dalam konteks para pihak yang terkait dengan Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan para pihak yang berdasar perjanjian dan kemungkinan prestasinya terukur adalah hubungan antara KLMI dengan KYM; KLMI dengan PTDJS; dan KLMI dengan PTKSR. Sedangkan hubungan para pihak yang tidak berdasar perjanjian yang berarti prestasinya tidak terukur adalah hubungan antara KYM dengan PTDJS; KYM dengan PTKSR; dan PTDJS dengan PTKSR. Seharusnya Putusan Nomor 266/PDT.G/2007/PN.BKS mempertimbangan jabatan rangkap yang terjadi di antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian, sehingga akan lebih menguatkan bahwa gugatan yang paling tepat diajukan adalah gugatan wanprestasi.

Korelasi antara tata kelola perusahaan yang baik (GCG) adalah bilamana sebuah perusahaan dikelola dengan dasar tata kelola yang baik, yang berarti salah satunya taat dan tunduk atas peraturan perundang-undangan yang melingkupi perusahaan tersebut, maka sebagai konsekuensi logis seharusnya akan terhindar baik dari kemungkinan gugatan wanprestasi maupun dari kemungkinan gugatan perbuatan melawan hukum.

Jurnal isi.indd 235 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 141: cover jurnal Agustus 2016.cdr

236 | Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016: 215 - 236

DAFTAR ACUAN

Agustina, R. (2012). Hukum perikatan (Law of obligation). Denpasar: Pustaka Larasan.

Fuady, M. (2013). Perbuatan melawan hukum, pendekatan kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gunawan, J. (2014). Hukum perikatan. Materi kuliah hukum perikatan semester 2014/2015, tidak dipublikasikan. Bandung: Fakultas Hukum Unpar.

Hartono, S. (1994). Penelitian hukum di Indonesia pada akhir abad ke-20. Bandung: Alumni.

Khairandy, R. (2013). Hukum kontrak Indonesia dalam perspektif perbandingan (Bagian pertama). Yogyakarta: FH UII Press.

Komite Nasional Kebijakan Governace (KNKG). (2006). Pedoman umum good governance Indonesia. Jakarta: KNKG.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (1991). Penemuan hukum dan pemecahan masalah hukum. Jakarta: Tim Pengkajian Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia.

OEDC. (2004). Principle of corporate Governace. Paris-France: Organization For Economic Co-operation And Developme (OECD).

Poole, J. (2014). Textbook on contract law. Oxford: Oxford University Press.

Soekanto, S. (1990). Penelitian hukum normatif, suatu tinjauan singkat. Jakarta: Rajawali Pers.

Soemitro, R.H. (1990). Metodologi penelitian hukum dan jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Subekti. (2010). Hukum perjanjian. Jakarta: Intermasa.

Suharnoko. (2004). Hukum Perjanjian, teori, dan

analisa kasus. Jakarta: Kencana.

Sutedi, A. (2012). Good corporate governance. Bandung: Sinar Grafika.

________. (2015). Buku pintar hukum perseroan terbatas. Jakarta: Raih Asa Sukses.

Jurnal isi.indd 236 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 142: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Aanak di luar perkawinan XI, 195, 200, 201, 203,

208, 210, 211, 212, 214

Bbreach of contract XV, XVI, 215

Cchild born out of wedlock XV, 195, 196Compilation of Islamic Law XIV, XV, 174contempt of court V, X, XIV, 151, 152, 153, 154,

155, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170

corporate governance XV, XVI, 215, 217, 218, 224, 233, 234, 236

Eextraordinary request for review XIII, 114

Hhak warisan XI, 173, 175, 184hifzhu nasl V, XI, XV, 195, 196, 198, 199, 200,

201, 209, 211, 212hubungan perdata XI, 195, 196, 197, 198, 199,

200, 206, 207, 208, 211, 212

Iius constituendum X, XIV, 151, 152, 153, 154,

157, 170

Jjudicial independence XIV, 132judicial law-making XIV, 132judicial power XIII, XIV, 113, 114, 151, 152judicial review IX, XIII, XIV, 113, 114, 118, 119,

131, 132, 139

Kkekuasaan kehakiman V, IX, X, 113, 114, 115,

116, 117, 118, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 134, 143, 144, 145, 146, 147, 151, 153, 154, 155, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 241

kemerdekaan kekuasaan kehakiman V, X, 116, 121, 131

Kompilasi Hukum Islam XI, 173, 175, 178, 181, 182, 184, 188, 191, 192, 193, 198, 201, 203

Llegal relation XV, 195, 196

Ppenemuan hukum IX, X, 131, 136, 139, 143,

148, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 160, 165, 167, 168, 169, 170, 171, 187, 209, 211

pengujian konstitusionalitas IX, X, 131, 133peninjauan kembali IX, 113, 115, 117, 121, 122,

125, 126, 127, 128, 129, 170, 237perbuatan melawan hukum XI, XII, 215, 217,

218, 220, 221, 222, 223, 229, 231, 232, 234, 235, 236

Rright of inheritance XV, 174

Ttata kelola perusahaan V, XII, 215, 217, 218,

226, 227, 228, 233, 234, 235tort XVI, 215

Wwanprestasi XI, XII, 215, 217, 218, 220, 221,

222, 223, 229, 232, 233, 234, 235, 236wasiat wajibah V, X, XI, XIV, XV, 173, 174, 175,

177, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 198, 208

INDEKS

Jurnal isi.indd 237 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 143: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 238 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 144: cover jurnal Agustus 2016.cdr

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 2 Agustus 2016. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.

5. Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum.

6. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.

7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H

8. Hermansyah, S.H., M.Hum.

ISSN 1978-6506

Vol. 9 No. 2 Agustus 2016 Hal. 113 - 236

Jurnal isi.indd 239 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 145: cover jurnal Agustus 2016.cdr

Jurnal isi.indd 240 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 146: cover jurnal Agustus 2016.cdr

BIODATA PENULIS

Galih Erlangga, lahir di Jakarta, 29 Oktober 1993. Meraih gelar sarjana hukum dari Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 2015 dengan predikat cum laude. Melakukan penelitian skripsi dengan fokus independensi kekuasaan kehakiman dan relasi antar pelaksana kekuasaan kehakiman. Pada tahun 2014 menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik. Selama kuliah aktif pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Keluarga Mahasiswa Buddhis (Kamadhis) UGM.

Dian Agung Wicaksono, lahir di Blitar, 11 Januari 1989. Meraih gelar sarjana hukum dari Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 2011 dengan predikat cum laude. Pada tahun 2011, terpilih sebagai Peneliti Muda Terbaik pada MOST UNESCO LIPI Award 2011. Pada tahun 2012, terpilih sebagai penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Den norske Ambassaden i Indonesien (The Royal Norwegian Embassy in Indonesia). Pada 2013, lulus dengan predikat summa cum laude dan mendapat gelar Master of Laws. Saat ini bertugas sebagai Dosen dan Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, serta Ketua Unit Jaminan Mutu dan Kurikulum Fakultas Hukum UGM. Selain itu, aktif sebagai Section Editor pada Jurnal Mimbar Hukum dan Jurnal Penelitian Hukum pada Unit Jurnal dan Penerbitan Fakultas Hukum UGM. Aktif pula sebagai Sekretaris Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah, Fakultas Hukum UGM.

Suanro, lahir di Mangkolisoi, Murung Raya Kalimantan Tengah, 25 Januari 1987. Menamatkan sarjana hukum di Universitas Palangka Raya tahun 2008. Setelah lulus, penulis pernah berkerja sebagai Penyuluh Keluarga Berencana di Kabupaten Murung Raya. Kemudian pada tahun 2011 melanjutkan Magister Hukum Kenegaraan di Universitas Gadjah Mada lulus tahun 2013. Pernah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Peradi dengan Fakultas Hukum UGM. Sekarang bekerja sebagai dosen tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Tambun Bungai Palangka Raya. Mengajar mata kuliah Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Ketenagakerjaan, Sosiologi Hukum, dan Hukum Pemerintahan Daerah. Penulis aktif dalam penyusunan beberapa produk hukum daerah di beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah, aktif mengikuti berbagai seminar yang diadakan oleh Kanwil Hukum dan HAM Kalimantan Tengah, sebagai anggota Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris Kota Palangka Raya, dan menulis di media cetak lokal, Kalteng Post. CP. 082254566653.

Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan magister hukum di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai peneliti muda bidang hukum dan peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis aktif melakukan kegiatan penelitian baik di (internal) Mahkamah Agung maupun kerjasama

Jurnal isi.indd 241 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 147: cover jurnal Agustus 2016.cdr

lintas lembaga/kementerian lain (eksternal). Penulis juga aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi maupun yang tidak terakreditasi serta telah menulis buku yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).” Selain rutin melakukan aktivitas penelitian di bidang hukum dan peradilan, Penulis terlibat aktif dalam kegiatan pembaruan peradilan yaitu sebagai Anggota Tim Reformasi Pengadilan Pajak pada Kementerian Keuangan RI (2011) dan Anggota Tim Penyusunan Resume Putusan Penting (Landmark Decision) Mahkamah Agung RI (2011, 2013, dan 2014) serta Anggota Tim Pengarah Lomba Pencarian dan Analisa Putusan Pengadilan bagi Mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Syari’ah se-Indonesia (2013). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail [email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.

Rizkal, lahir di Meuria Paloh, Lhokseumawe, 25 Oktober 1991. Lulus sekolah dasar dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Meuria Paloh Lhokseumawe pada tahun 2003, kemudian melanjutkan pendidikan di Pesantren Modern Misbahul Ulum Meuria Paloh Lhokseumawe sampai tahun 2006, selanjutnya melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Lhokseumawe dan lulus pada tahun 2009. Setelah itu, melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry dari tahun 2009 sampai dengan 2013 dengan predikat cum laude. Sekarang ini, sedang menempuh pendidikan S2 di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum FH Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil konsentrasi bagian Hukum Perdata, dan telah menyelesaikan studi S2 pada September 2016.

Zakyyah adalah anak ketiga dari lima bersaudara, putri dari Bapak Iskandar dan Ibu Faridah. Lahir di Ulee Gle, Pidie Jaya, Aceh, 14 Juni 1992. Penulis menempuh pendidikan mulai dari SDN 7 Kualasimpang, Aceh Tamiang, kemudian masuk ke Pondok Pesantren Al-Yusriyah Langkat, Sumatra Utara (2004-2010). Kemudian melanjutkan pendidikan S1 pada Prodi Hukum Keluarga di UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2010-2014). Dan saat ini sedang melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Konsentrasi Hukum Keluarga di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

A. Dwi Rachmanto, lahir di Bandung, 24 September 1968. Pendidikan dasar, menengah dan atas diselesaikan di Bandung, Jawa Barat. Menempuh studi S1 Hukum pada tahun 1987 di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Kemudian melanjutkan studi S2 pada tahun 2003 di Fakultas Pascasarjana Univeritas Katolik Parahyangan, Bandung. Sebelum menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bekerja sebagai profesional di sebuah perusahaan swasta dan bertanggung jawab atas bidang pengembangan sumber daya manusia. Tahun 1997 memulai karya di Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPKM) Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dengan kualifikasi pemberdayaan masyarakat, khususnya pengembangan Lembaga Keuangan Mikro. Mulai tahun 2014 menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, dan mengajar mata kuliah, Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Hukum Perikatan, dan Perbandingan Hukum. Beberapa naskah tulisan telah dimuat di Surat Kabar Nasional dan Lokal, serta di Jurnal. Saat ini penulis sedang menempuh studi S3 di Fakultas Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan.

Jurnal isi.indd 242 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 148: cover jurnal Agustus 2016.cdr

PEDOMAN PENULISAN

1. Naskah merupakan hasil kajian/riset putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).

2. Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

4. Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.

5. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

6. Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:

1) Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.

2) Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.

3) Nama penulis.

4) Nama lembaga/instansi.

5) Alamat lembaga/instansi.

6) Akun e-mail penulis.

7) Abstrak (150 s.d. 200 kata) dan kata kunci dalam bahasa Indonesia (3 s.d. 5 kata). Isi abstrak meliputi unsur-unsur: a) latar belakang masalah, b) rumusan masalah, c) metode, d) hasil dan pembahasan, dan e) kesimpulan.

8) Abstrak dan kata kunci dalam bahasa Inggris.

Jurnal isi.indd 243 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 149: cover jurnal Agustus 2016.cdr

9) Pendahuluan, memuat fenomena hukum (topik) yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Bab ini menggunakan subbab sebagai berikut:

a) Latar Belakang;

b) Rumusan Masalah;

c) Tujuan dan Kegunaan; dan

d) Studi Pustaka.

10) Metode, mencakup penjelasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Penulis harus menjelaskan tentang alasan mengapa putusan tersebut yang dipilih secara objek kajian, juga tentang ada tidaknya pengayaan data yang dilakukan (termasuk dokumen lain di luar putusan tersebut dan/atau data primer di luar dokumen). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data yang mencakup sumber data (primer atau sekunder), instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.

11) Hasil dan Pembahasan, memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan.

12) Kesimpulan, mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan.

13) Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan.

14) Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah sepuluh, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan.

7. Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus

Jurnal isi.indd 244 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 150: cover jurnal Agustus 2016.cdr

ditunjukkan dalam daftar acuan.

Contoh:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), “..........”

Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52).

Lebih dari dua penulis: (Sidharta, Shidarta, & Susanto, 2014).

Lebih dari tiga penulis: (Hotstede et al., 1990: 23).

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

8. Penulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association (APA).

Contoh:

1) Buku

Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory and some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall.

Sidharta, B.A., Shidarta, & Susanto, A.F. (2014). Pengembanan hukum teoretis: Refleksi atas konstelasi disiplin hukum. Bandung: Logoz.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK.

2) Jurnal

Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, 7 (2), 103-116.

3) Majalah/Surat Kabar

Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15.

4) Internet

Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library.cornell.edu/resrch/intro.

9. Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected]; dengan tembusan ke: [email protected]; [email protected]; dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Jurnal isi.indd 245 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 151: cover jurnal Agustus 2016.cdr

1. Ikhsan Azhar (085299618833);

2. Arnis (08121368480); atau

3. Yuni (085220055969).

Alamat redaksi:

Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.

Jurnal isi.indd 246 10/28/2016 9:31:13 AM

Page 152: cover jurnal Agustus 2016.cdr