salamatahari edisi 93 - realitas

18
salamatahari edisi 93: Realitas

Upload: rizki-ramadan

Post on 24-Mar-2016

247 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

www.salamatahari.com adalah zine-zine-an online yang terbit reguler setiap Kamis. Kenapa Kamis ? Karena Kamis adalah hari keseimbangan yang ada di antara Senin-Selasa-Rabu dan Jumat-Sabtu-Minggu. Merupakan proyek solo nirlaba Sundea yang terbuka untuk bentuk kolaborasi apapun. Zine-zine-an ini semacam "olahraga rutin" yang menjaga stamina dan ritme menulis Dea agar tidak kendur dan terputus.

TRANSCRIPT

Page 1: Salamatahari edisi 93 - Realitas

salamatahariedisi 93: Realitas

Page 2: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Realitas Suatu hari teman saya bercerita mengenai anjing yang melihat pelangi. Karena pada umumnya anjing hanya dapat melihat warna hitam dan putih, tak ada yang mempercayai anjing anomali ini.

“Lihat, ada beberapa warna. Yang itu cerah, coba perhatikan!” kata si anjing anomali. “Kamu gila, ya? Itu hanya hitam dan putih!” tanggap anjing lainnya.

Saya percaya dua unsur yang membentuk realitas – eksistensi dan esensi – relatif dan personal sifatnya. Meski disepakati sekelompok orang, pada dasarnya setiap realitas dialami sendiri-sendiri. Di antara orang-orang tersebut, pasti ada saja yang memiliki pengalaman realitas yang berbeda. Mereka bukan “tidak hidup dalam realita” tapi “hidup dalam realita yang berbeda”.

Mari kita kembali kepada kedua anjing tadi. Sekali lagi si anjing anomali mencoba meyakinkan temannya.

“Ada tujuh warna berbeda di pelangi. Lihat, lapis pertama warnanya …” “Semuanya hitam dan putih. Kita melihat pelangi yang sama kan?” potong temannya.

Apakah mereka melihat pelangi yang sama? Bergantung pada persepsimu perihal “melihat”.

Warna apa yang kau lihat dalam posting-posting edisi ini? Apapun itu, semoga membawa sesuatu yang baik untukmu =)

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

Ibnu Nadzir, makasih cerita anjingnya, ya …

inti matahari

1| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |2

Page 3: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Realitas Suatu hari teman saya bercerita mengenai anjing yang melihat pelangi. Karena pada umumnya anjing hanya dapat melihat warna hitam dan putih, tak ada yang mempercayai anjing anomali ini.

“Lihat, ada beberapa warna. Yang itu cerah, coba perhatikan!” kata si anjing anomali. “Kamu gila, ya? Itu hanya hitam dan putih!” tanggap anjing lainnya.

Saya percaya dua unsur yang membentuk realitas – eksistensi dan esensi – relatif dan personal sifatnya. Meski disepakati sekelompok orang, pada dasarnya setiap realitas dialami sendiri-sendiri. Di antara orang-orang tersebut, pasti ada saja yang memiliki pengalaman realitas yang berbeda. Mereka bukan “tidak hidup dalam realita” tapi “hidup dalam realita yang berbeda”.

Mari kita kembali kepada kedua anjing tadi. Sekali lagi si anjing anomali mencoba meyakinkan temannya.

“Ada tujuh warna berbeda di pelangi. Lihat, lapis pertama warnanya …” “Semuanya hitam dan putih. Kita melihat pelangi yang sama kan?” potong temannya.

Apakah mereka melihat pelangi yang sama? Bergantung pada persepsimu perihal “melihat”.

Warna apa yang kau lihat dalam posting-posting edisi ini? Apapun itu, semoga membawa sesuatu yang baik untukmu =)

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,

Sundea

Ibnu Nadzir, makasih cerita anjingnya, ya … 1| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |2

Page 4: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Tentang Representasi

Realitas

Pada suatu hari, sambil melompat-lompat kecil, saya main ke toko buku. Ketika mampir ke rak sastra, saya menyapa, “Permisi … sas …?” keceriaan saya menda-dak hilang. Ternyata sastra adalah sekumpulan intelek-tual yang penuh permasalahan hidup. “Sas…tra …, ya?” lanjut saya setelah berhasil menguasai diri. “Benar,” sahut sebuah novel tebal dengan suara berat dan berwibawa. “Nama saya Dea, boleh … boleh kenalan ?” tanya saya takut-takut. Novel itu mengizinkan.

3| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |4

semacamreview

Page 5: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Selanjutnya, berkenalanlah saya den-gan berbagai karya sastra. Kebanyakan dari mereka berbicara mengenai kemiski-nan, kekerasan, politik, dan kesedihan mendalam. Beberapa dari mereka bertutur dengan indah berbunga-bunga. Beberapa lainnya absurd, mengumbar kata kasar, atau penuh terbaran refrensi dan istilah.

“Kenapa, sih, hidup kalian susah sekali?” tanya saya sambil mengerutkan kening. “Karena kami menggambarkan reali-tas.” “Memangnya realitas selalu berat dan susah-susah, ya?” Sastra tidak verbal menjawab. Pada suatu hari, di tengah rak sastra, saya mendapati bocah kecil sedang ber-main sendiri. “Dik, kesasar, ya? Tuh , anak-anak di rak sebelah sana …” “Tidak. Aku karya sastra,” sahutnya.

Jadi saya tidak memaksanya pindah rak. Meski begitu, saya tetap mengam-atinya baik-baik. Namanya Membunuh Orang Gila, sebuah kumpulan cerpen. Dia ditulis Sapardi Djoko Damono, sastrawan

senior yang juga akademisi. Sekilas saya menjenguk daftar isi; “Dongeng Kancil”, “Sarang Angin”, “Batu di Pekarangan Rumah” … seperti judul-judul cerita anak.

“Boleh Kakak kenalan, Dik ?” tanya saya Bocah itu menatap saya sambil mengangguk. Matanya yang sendu sep-erti hujan sore-sore menggiring saya pada cerita “Ketika Gerimis Jatuh” (halaman 47).

Tersebutlah Rini. Gadis kelas lima SD. Pada suatu hari hujan turun dan Rini tahu-tahu mengkhawatirkan ayahnya yang belum pulang. Biasanya ibu Rinilah yang pergi menjemput sang ayah, mem-bawakan payung. Tapi hari itu ibu Rini ada di Puncak, jadi Rini berinisiatif mem-bawa payung, menjemput ayahnya.

Di sepanjang cerita, tersisip peng-galan-penggalan yang menggambarkan latar belakang keluarga Rini; seorang ibu yang pegawai pemda bergaji kecil, pa-man yang tidak menikah, dan ayah yang pendiam. Rini sendiri tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berbudi; tertulis secara nyata di halaman 49,

3| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |4

Page 6: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Gadis kecil itu membayangkan sebuah hotel di Puncak, sebuah kamar yang nyaman, dan pemandangan yang indah. Tapi ia harus sekolah, harus mem-pertahankan rangkingnya yang luma-yan tinggi. Cerita ini disampaikan dengan liris. Ditutup dengan adegan Rini yang menunggu ayahnya sambil “mengusap air hujan seperti mengusap air mata”. Rini tampak kehilangan keceriaan dan kemerdekaan kanak-kanaknya. Atau … memang harus begitu karena ini cerpen sastra dan bukan buku anak-anak ? Bagaimana dengan “Dongeng Kancil” (halaman 1) ? Judulnya yang khas cerita anak menarik perhatian saya. Cerpen ini diawali dengan seorang Aku lirik (-Ku dengan K besar) yang berjalan-jalan masuk hutan kemu-dian bertemu seekor kancil yang berke-luh kesah pada-Nya. Hidup Kancil tak semulus yang diceritakan Juru Dongeng. Pasalnya, semua makhluk yang seha-rusnya berhasil Kancil tipu, mengetahui muslihatnya dan malah balas memper-daya Kancil. Lucu sebenarnya. Namun, gambaran-gambaran ekspresi tertekan Kancil seperti :

Rini tampak kehilangan ke-ceriaan dan kemerdekaan

kanak-kanaknya. Atau … me-mang harus begitu karena

ini cerpen sastra dan bukan buku anak-anak ?

Kancil duduk, mentap-Ku tajam-tajam, suaranya agak tertahan-tahan (halaman 2)

atau

Aku capek dan merasa bodoh dan putus asa (halaman 5)

membuat cerpen ini lagi-lagi pekat oleh kemurungan. Saya menghela nafas pri-hatin. Membunuh Orang Gila sendiri seper-tinya telah menerima kemurungan sebagai nyawanya. Terakhir, saya memasuki “Membunuh Orang Gila”, cerpen yang dipilih sebagai nama Si Bocah; sebuah black comedy yang mengusung masalah politik,

( … ) aku suka ingat masa kanakku di tahun 1950-an. Setidaknya ada lima orang gila di kampungku ketika itu (halaman 64).

5| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |5

Page 7: Salamatahari edisi 93 - Realitas

atau

Yang jelas ia adalah korban refor-masi (…). Sebelum zaman geger-geger ini, kata anakku, jarang sekali terlihat orang gila di jalanan (halaman 65).

Kedua kutipan itu menggambarkan kondisi politik serupa pada dua masa yang berbeda; yang pertama ketika Indonesia baru lepas dari pemerintahan kolonial, ke dua dari rezim orde baru. Secara satir, cerpen ini membicarakan orang gila-orang gila yang bermunculan di masa-masa itu. Masa ketika negara kita sedang mencari titik seimbang secara mandiri.

Saya mengamati Membunuh Orang Gila. Meski secara fisik masih anak-anak, gesturnya tidak. Semua yang dia lakukan penuh kesadaran dan perhitungan, jauh dari spontanitas dan mata positif khas anak-anak. Mungkin statusnya sebagai

karya sastra membuatnya bertanggung jawab merepresantasikan realitas. “Orang gila tidak hidup dalam realitas,” kata seorang teman pada suatu hari. Mungkin itu sebabnya Membunuh Orang Gila harus membunuh orang gila yang ada di dalam dirinya. Tapi … tunggu dulu. Sebetulnya reali-tas itu apa, sih ? Betulkah warnanya harus selalu kelabu ? Apa realistis berarti percaya dunia tidak selalu baik dan bermain-main ? Bagaimana dengan percaya bahwa dunia tidak selalu buruk dan serius juga ? Yang mana yang realitas ? Sesuatu yang kita lihat, sesuatu yang kita sentuh, sesuatu yang sudah disepakati, atau ses-uatu yang kita percayai ? Kitakah yang membentuk realitas, atau sebaliknya, reali-tas yang membentuk kita ? Saat membuat tulisan ini, saya terin-gat pada orang gila yang sering berjalan-jalan di sekitar Jalan Aceh. Pada suatu hari, saya mendapati dia menatap langit keruh dengan mata yang hidup …

Sundea

Kitakah yang memben-tuk realitas, atau se-baliknya, realitas yang membentuk kita ?

5| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |5

Page 8: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Selama Masa Penantian Tina Mariana

6| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |7

penyalamatahari

Page 9: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Selama Masa Penantian Tina Mariana Siapakah Tina Mariana? Dia adalah seorang perempuan desa yang meran-tau ke kota dan rajin mengirimkan uang dalam jumlah besar. Menurut bisik-bisik tetangga, Tina melacurkan diri. Sang suami yang cemas menyusulnya ke kota. Dibantu sebuah program reality show, ia mencari istrinya tercinta. Dan ternyata istirinya adalah ….

Adalah apa, Tin?Pembantu rumah tangga.

Wow. Jadi beneran, nih, elu PRT yang udah bersuami dan punya anak-anak di desa? Bukanlah. Gue udah kerja di salah satu perusahaan IT di Jakarta sekarang. Dulu gue ikutan reality show karena masih jadi pengangguran. Maksudnya sambil nung-gu panggilan kerja.

Gimana awalnya lo bisa ikutan main real-ity show ?Awalnya gue cuma iseng aja. Karena waktu itu gue BT nungguin panggilan ker-ja tak datang-datang, jadinya gue iseng

ikutan gabung di salah satu agency. Dari agency, gue ikutan shooting jadi figuran di beberapa sinetron. Di antaranya “Cinta Fitri 3” di SCTV, “Alisa” di RCTI, “Warkop” di Indosiar, dan “Ta’aruf” di TPI. Terus di layar lebar film “Heartbreak.com”. Setelah itu gue ikutan casting beberapa reality show. Akhirnya yang bisa nyangkut cuma satu , yakni “Mata-Mata” di RCTI.

Di “Mata-Mata” honornya berapa, Tin?Dua ratus lima puluh ribu.

Apa yang lu anggep seru dari shooting itu?Di sana kita bisa dapat teman dan pen-galaman baru.

Lama nggak, sih, shootingnya?Shootingnya sendiri makan waktu sehari. Itu juga cuma beberapa jam aja. Laman-ya shooting karena pengambilan lokasi aja.

itu seberapa banyak, sih, rekayasan-ya?Setelah gue ikutan langsung di lapangan,

6| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |7

Page 10: Salamatahari edisi 93 - Realitas

ternyata reality show itu banyak polesan-nya. Memang alurnya berdasarkan reali-tas kehidupan, namun kalo gue liat ban-yak yang udah ditambahin. Kalo menurut gue, itu cerita fiksi semua.

Pernah nggak ada temen yang nonton lu di reality show terus ngenalin elu?Pernah. Waktu gue ikutan acara “Mata-mata”. Pas dah ditanyangin, ada beber-apa temen kuliah sama temen kosan gue yang liat.

Terus reaksi mereka gimana?Mereka tau kalo itu gue, padahal dalam keseharian gue berkacamata, sewaktu shooting kacamata gue lepas.. Awalnya gue mengelak kalo gue ikutan reality show. Tapi mereka nggak percaya. Akh-irnya gue mengakui juga…

Wahahaha … apa yang bikin lo milih ikutan main reality show selama nunggu panggilan kerja, Tin?Soalnya waktu kuliah dulu gue pernah ikutan teater. Ternyata ilmu teater gue terpakai sewaktu gue ikutan reality show.

Gimana, tuh, penerapannya?Di acara tersebut, gue nggak mengha-fal skrip. Skrip baru dikasih sama astrada

(asisten sutradara)-nya sewaktu gue udah sampe di lokasi. Jadi gue hafal skripnya setelah di lokasi. Nggak ada tuh yang na-manya menghafal skrip sehari sebelumnya. Kalo akhirnya ada yang kelupaan, biasanya akan diingatkan oleh sutradara ato gue im-provisasi sendiri.

Last question. Menurut lo reality itu apa, sih?Reality itu adalah realita. Namun reality show yang ada sekarang ini sudah tidak bisa dikategorikan sebagai realita lagi.

Bagaimana maksudnya? Kalimat penutup dari Tina Dea serahkan kepada teman-teman sekalian untuk dicerna dalam realitas yang teman-teman kenal secara pribadi.

Sundea

8| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |9

Page 11: Salamatahari edisi 93 - Realitas

uDear Reality Show, what kind of reality are you showing indeed … ?

8| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |9

Page 12: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Hai, hai … aku Wellwell, boneka kelinci yang kehujanan. Iya, hari itu hujan turun deras sekali. Sebelum melanjutkan perjalanan, terpaksa aku berteduh se-jenak di kedai Ngopi Doeloe Purnawarman supaya tidak lebih basah lagi. Aku duduk di depan pintu bersama temanku, keset Welcome, yang me-mang selalu suka duduk-duduk di depan pintu. Ia tinggal di Ngopie Doeloe. Kami berdua bercakap-cakap tentang cuaca hari itu, lalu sama-sama setuju bahwa AC di dalam Ngopi Doeloe lebih dingin daripada udara di luar. Kami sama-sama sepakat bahwa duduk-duduk di luar lebih nyaman daripada duduk-duduk di dalam.

Wellwell

10| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |11

terjun bebas

Page 13: Salamatahari edisi 93 - Realitas

“Lagi pula di sini ada perapian,” kataku kepada keset Welcome.“Mana? Itu tong sampah, Wellwell, bukan perapian,” sanggah keset Wellcome.“Ini perapian. Ada rokok yang belum padam betul di dalam sini. Asapnya sedikit menghangatkanku,” kataku sambil berdiang.Keset Welcome tertawa. Tapi tak ada yang mendengar tawanya. “Aku dengar,” celetuk Dea.“Kamu tidak mendengar kami, Dea. Kamu merasakannya. Kamu kan punya re-alitasmu sendiri, tapi kamu melampaui realitasmu untuk memasuki realitas kami,” sahut Wellwell.“Mungkin sebetulnya realitasmu sudah menjadi realitasku juga. Bukankah syarat utama realitas adalah eksistensi dan esensi?”10| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |11

Page 14: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Pramusaji Ngopi Doeloe melintas di depan Dea. Dea mencegatnya.

“Mau pesan sekarang?” tanya sang pramusaji.“Enggak, saya cuma pengen tanya kenapa ada boneka kelinci di sini …”Si pramusaji tampak kebingungan.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Dea masuk ke dalam dan secara khusus bertanya kepada petugas kasir Ngopi Doeloe.

12| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |13

Page 15: Salamatahari edisi 93 - Realitas

“Oh, itu punya customer yang itu,” kata si petugas kasir sambil menunjuk sepa-sang muda-mudi y ang sedang duduk ngopi-ngopi – juga habis kehujanan – di dekat meja kasir. Dea mengangguk-angguk.

Mengapa muda-mudi itu membawa Wellwell si boneka kelinci? Mengapa Well-well ditinggal di luar? Apakah mereka tahu Wellwell memperhatikan mereka dari pintu sambil berdiang di tong sampah? Mungkin mereka hidup di realitas yang berbeda meski saling memiliki.

12| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |13

Page 16: Salamatahari edisi 93 - Realitas

#Proposal! Yeah!“Dali mana datangnya lintah, dali sawah tulun ke kaliDali mana datangnya Popo? Dali sulel, tulun ke posting …”

Pada suatu hali, melalui sulel (sulat elektlonik), datan-glah Popo Dali ke inbox Dea. Kita mengenal Salvadol Dali sebagai seniman dengan kalya-kalya sulealis. Lalu bagaimana dengan Popo Dali? Dia sendili adalah makhluk yang sulealis. Dia melespon banyak hal di luang publik dan hadil di sekital kita. Kita mengenalnya se-bagai sebuah altwolk sekaligus seb-agai kalaktel yang hidup dan utuh.

14| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |15

#Proposal!

Page 17: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Mulai minggu ini, secala landom Popo akan hadil di Salamatahali. Popo dan Salamatah-ali akan saling melespon secala suka-suka meleka sendili. HOLEEEEE … !!!!

Telus … kenapa posting ini halus ditulis den-gan cadel style? Well, suka-suka. Ini kan:

#proposal (proyek popo-salamatahari) adalah rubrik baru di Salamatahari. Di sini Popo dan Salamatahari akan saling mere-spon sebebas-bebasnya, mencoba berek-splorasi tanpa terikat bentuk apapun. Semo-ga dapat menjadi bentuk kolaborasi yang menyenangkan bagi semuanya =)

Untuk mengenal Popo, silakan berkunjung ke http://www.thepopopaint.blogspot.com/

14| Salamatahari edisi 93 Salamatahari edisi 93 |15

Page 18: Salamatahari edisi 93 - Realitas

Salamatahari adalah ucapan selamat untuk setiap hari dan salam yang hangat seperti matahari.

www.salamatahari.com adalah zine-zine-an online yang terbit reguler setiap Kamis. Kenapa Kamis ? Karena Kamis

adalah hari keseimbangan yang ada di antara Senin-Selasa-Rabu dan Jumat-Sabtu-Minggu.

proyek Salamatahari edisi 93 versi offline ini adalah sebuah kolaborasi Sundea dengan:

terlalurisky sebagai ini-itunya seputaran disain.

Salamatahari.com