s941302017_bab2
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Angkutan Sedimen
Termini, 2014 menyatakan bahwa perhitungan angkutan sedimen pada
sungai alluvial kesulitan dalam mensimulasi program. Kesulitan dalam
mensimulasi disebabkan initial condition sedimen yang tidak seragam. initial
condition tersebut disesuaikan koefisien pada daerah yang diinginkan. Hasil
simulasi program 1-D menunjukan hasil yang wajar. Hasil tersebut dapat
digunakan sebagai aplikasi yang praktis dalam analisa angkutan sedimen.
Sungai Xiaobeiganliu mengalami pendangkalan akibat adanya ukuran
sedimen melayang yang memiliki partikel besar dengan jumlah yang banyak. Hal
ini akan mengurangi kemampuan transportasi sedimen pada daerah tersebut
(Zheng, 2011).
Model numerik yang digunakan pada Sungai Yellow River Delta untuk
mengetahui morfologi sungai akibat adanya angkutan sedimen yang berbentuk
bed load adalah transport model (DIVASTSED). Analisa pada Sungai Yellow
River Delta menggunakan perbandingan data tahun 1992 dengan 1995. Morfologi
Sungai Yellow River Delta menunjukkan adanya perubahan pada muara sungai
dengan rata-rata 2,5 km per tahun. Hasilnya menunjukkan adanya pergerakan ke
arah laut (Chen, 2010).
Dalam menghitung angkutan sedimen, erosi, pengendapan digunakan
model numerik HEC-RAS. Initial condition yang diisikan adalah hidrograf
sedimen maupun grain size. HEC-RAS merupakan pengembangan dari model
numerik Hec-1, hec-2 dan Unet (Stanfort, 2006).
Nur hidayah, 2013, menyatakan bahwa untuk mengetahui metode yang
tepat memperkirakan besarnya angkutan sedimen di Sungai Bengawan Solo
6
(Jurug – Serenan) dengan membandingkan hasil langsung uji dilapangan dan
beberapa metode diantaranya Acker-White, Englund-Hunsen, Laursen, Meyer
Peter Muller, Toffaleti dan Yang. Metode pendekatan yang mendekati dengan
kondisi sungai di Jurug-Serenan adalah metode Meyer Peter Muller .
Menurut Junaedi, 2012, menyatakan bahwa besarnya angkutan sedimen tak
berdimensi dapat digunakan persamaan Einstein. Persamaan Einstein berdasarkan
pendekatan probabilistik pada sungai alluvial. Dalam memilih persamaan
angkutan sedimen di lapangan berdasarkan karakterisrik sungai dan tingkat
akurasi yang diharapkan dibutuhkan metode pendekatan. Metode pendekatan
menggunakan berdasarkan penyebaran data-data pada grafik terhadap garis
diagonal (line of perfect agreement) dan besarnya prosentase data pada rentang
nilai discrepancy ratio. Metode yang digunakan antara lain; Graf & Suszka,
Julien, Brown, Parker, Engelund et Fredsoe Meyer-Peter & Mueller, dan Recking
Hasil yang mendekati hitungan Einstein adalah metode Graf & Suszka.
Perhitungan volume pengangkutan sedimen menggunakan rumus
pendekatan Schocklitsch. Rumus tersebut memasukkan faktor kecepatan aliran
(U) yang sangat berpengaruh pada terjadinya volume pengangkutan sedimen.
Kecepatan aliran (U) semakin besar maka semakin besar pula angkutan
sedimentasinya (Subary, 2005).
Feirani, 2011, menyatakan bahwa dalam mengatasi persoalan sedimen
yang ada di muara Sungai Bang adalah dengan memanfaatkan bangunan jeti
panjang dan mulut sungai selalu terbuka. Bangunan tersebut didasarkan pada
pertimbangan kemudahan operasional dan pemeliharaan (O&P) dan analisis
dampak lingkungan (amdal).
Penanganan sedimen yang ada di Bendung Colo dilakukan dengan analisa
uji model hidraulik fisik (UMH fisik). UMH fisik pada Bendung Colo dilakukan
dengan tinjauan morfologi sedimen. UMH fisik tersebut dilakukan berbagai
modifikasi bangunan. Bangunan paling efektif adalah dengan menambahkan
bangunan kantong lumpur (Jaji, 2006).
7
Dalam kajian ini yang membedakan dengan penelitian yang sudah
dilakukan adalah pada kasus angkutan sedimen. Nilai angkutan sedimen Bendung
Colo dilakukan adanya penggelontoran sedimen dari WPS.
2.1.2 Nilai kondisi fisik Intake Bendung
Penilaian kondisi fisik jaringan irigasi di Kali Jilu sebesar 78,09 % (baik)
berdasarkan penerapan pola tata tanam dan penilaian pemberian air yang sesuai
standar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air tahun 2003.
Pedoman tersebut menjelaskan apabila penilaian kondisi fisik > 70 % maka
kondisi fisik Kali Jilu secara keseluruhan baik (Rini Wahyu, 2012).
Menurut Victor, 2012, menyebutkan bahwa sistem polder Kota Lama dan
Bandarharjo Semarang mempunyai nilai kondisi fisik sebesar 50,02%. Nilai ini
termasuk kategori cukup (diantara 50%-79%) yang artinya sebagian infrastruktur
dalam kondisi rusak sehingga tidak beroperasi secara maksimal.
Menurut Ruslan, 2011, perilaku sedimen yang dianalisa di laboratorium
pada saluran irigasi primer, sekunder dan tersier di Jaringan Irigasi Waru-Turi
mempengaruhi perubahan luas penampang saluran. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kinerja pada saluran primer menjadi 76,93 %, sekunder 94,2 % dan
saluran tersier 91,47%.
Penilaian kondisi fisik diterapkan pada Waduk Lodan berdasarkan standar
pedoman penilaian kondisi fisik tahun 2010 dengan menambahkan sub komponen
gardu pandang dan papan duga muka air didapatkan hasil penilaian 91,11%
dengan kategori dalam kondisi baik. Hasil penilaian tersebut menjelaskan
bangunan pada waduk beroperasi secara optimal (Yullius, 2014).
Penilaian kondisi fisik Bendung Colo kaitannya dengan sedimentasi akan
difokuskan pada bagian bendung antara lain intake, pintu penguras yang berkaitan
langsung dengan kinerja bendung.
Dalam kajian ini yang membedakan dengan penelitian yang sudah
dilakukan adalah pada kasus angkutan sedimen. Nilai angkutan sedimen Bendung
Colo dilakukan adanya penggelontoran sedimen dari WPS.
8
2.1.3 Konsep Penanganan Bendung
Penentuan pola pengoperasian pintu pembilas terhadap laju sedimentasi
tahunan pada Bendung Sei Tibun, Riau sebesar 13.320,65 m3 /tahun. Sedimentasi
diperlukan pembilasan secara rutin dan berkala setiap 8 bulan sekali.
Pengoperasian satu pintu pembilas tinggi minimum bukaan pintu setinggi 31,7
cm selama 6 jam. Pengoperasian dua pintu pembilas, maka tinggi minimum
bukaan pintu masing-masing 15 cm dengan durasi yang sama (Imam Suprayogi,
2013).
Bendungan Sungai Ular, Deli Serdang mengaliri irigasi seluas 1.081 km2.
Permasalahan yang terjadi adanya sedimentasi area pertanian. Hal ini
menyebabkan tertutupnya 8 free intake dalam mensuplei air. Untuk mengetahui
sedimen yang terjadi pada intake maupun salurannya maka dilakukan analisa
dimensi saluran yang terdiri dari kedalaman air maupun koefisien kekasaran pada
saluran. Koefisien kekasaran dari persamaan Manning 0,012 dan Stickler 42,5
yang mengakibatkan kecepatan aliran yang cukup kecil dan terjadi endapan
sedimen pada intake (Jimmy, 2013).
Pengoperasian penggelontoran Waduk Penampung Sedimen (WPS) di
Waduk Wonogiri dapat menurunkan besarnya deposisi netto sedimen yang terjadi
pada waduk tersebut sebesar kurang lebih 30.41% bila dibandingkan dengan
kondisi sebelum adanya WPS tersebut (Sardi, 2008).
Adanya perubahan kondisi Bendung Gerak Tirtonadi yang dipengaruhi
oleh kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan adanya sedimentasi
di hilir Bendung Tirtonadi. Perubahan kondisi tersebut menyebabkan kecepatan
aliran rata-rata 0,39 m/dt yang relatif rendah. Kecepatan aliran yang rendah
menyebabkan angkutan sedimen mengendap di hilir bendung. Untuk mengurangi
sedimentasi tersebut diperlukan adanya penambahan kecepatan aliran dengan
melakukan penyempitan alur sungai di bagian hulu tubuh bendung. Penyempitan
alur sungai menjadi lebar 70 m, yang bisa mencapai kecepatan minimum sekitar
1, 54 m/dt (Wahyana, 2009).
9
Hari Krisetyana, 2008, dalam menjaga Waduk Panglima Besar Soedirman
dilakukan penggelontoran sedimen. Penggelontoran sedimen waduk tersebut
menggunakan flushing time efficiency. Flushing time efficiency volume air yang
mampu menggelontorkan sedimen di depan intake draw dawn culvert merupakan
pintu penguras. Kajian ini mendapatkan waktu efektif dalam penggelontoran ±15
menit dilakukan pada bulan pebruari, april, oktober maupun pada bulan hujan
(basah) pada 2 (dua) pintu intake.
2.1.4 Ringkasan Telaah Pustaka
Kajian pustaka dari penelitian yang memiliki konsep dasar yang sama,
namun beda dalam pengunaan metode dan hasilnya dibandingkan dengan
penelitian ini. Perbedaan tersebut membuktikan bahwa penelitian ini merupakan
penelitian yang baru, seperti ditunjukan pada Tabel 2.1.
No. Peneliti Materi Penelitian Metode
1. Termini, 2014Menghitung angkutan sedimenpada sungai alluvial
Metode yang digunakanadalah hec-1D dengankoefisien penyesuaian
Mekanisme kemampuantransport sedimen di sungaiKuning rendah dikarenakanprofil penampang sempit dandalam, ukuran sedimenmelayang
2. Jin Hai Zheng, 2011Pendangkalan di SungaiXiaobeiganliu
sedimen melayang yangmemiliki partikel besardengan jumlah yang banyak
3. Chen, 2010Analisa morfologi sungai di SungaiYellow River Delta
mengetahui morfologi sungaiakibat adanya angkutansedimen yang berbentuk bedload adalah transport model(DIVASTSED)
4. Stanfort Gibson, 2006 sedimen, erosi, pengendapan
menghitung angkutansedimen, erosi, pengendapandigunakan model numerikHEC-RAS
10
5.
Nur Hidayah, 2013Angkutan sedimen di Jurug-Serenan Sungai Bengawan Solo
Menggunakan metode Acker-White, Englund-Hunsen,Laursen, Meyer Peter Muller,Toffaleti dan Yangdibandingkan denganhitungan di lapangan. Metodeyang mendekati dengankondisi sungai di Jurug-Serenan adalah metode MeyerPeter Muller
6. Junaedi, 2012Membandingkan rumus angkutansedimen tak berdimensi denganpersamaan Einstein
Metode yang digunakanantara lain; Graf & Suszka,Julien, Brown, Parker,Engelund et Fredsoe Meyer-Peter & Mueller, dan ReckingHasil yang mendekatihitungan Einstein adalahmetode Graf & Suszka
7. Subary Adinegara, 2005Analisa angkutan sedimenmenggunakan rumus pendekatanSchocklitsch
Hasil penelitia dilakukan diLaboratorium Uji ModelHidrolika UniversitasBrawijaya.
Volume pengangkutansedimen yang terjadi adalahakibat adanya pengaruhkecepatan aliran, dimanakecepatan aliran bertambahbesar maka volumepengangkutan sedimennyasemakin besar pula.
8. Feirani Vironita, 2011Angkutan sedimen pada muaraSungai Bang
Angkutan sedimen padamuara Sungai Bang MetodeEngelund 15.370 m3/th danHansen 23.118 m3/th.
Muara Sungai Bang memilikimulut sungai yang tidak stabildan sangat sering tertutupkarena nilai S < 20.
9. Jaji Abdurrosyid, 2006Meninjau morfologi sungai diBendung Colo
Peninjauan morfologi sungaidengan UMH Fisik diLaboratorium Balai Sungai
Morfologi yang diakibatkanoleh sedimentasi yang cukupbesar
Bangunan paling efektifadalah dengan menambahkanbangunan kantong lumpur
11
10.
Rini Wahyu, 2012Penilaian kondisi fisik jaringanirigasi di Kali Jilu
Nilai kondisi fisik irigasi diKali Jilu sebesar 78,09 %(baik)
Pedoman penilaianmenggunakan penerapan polatata tanam dan penilaianpemberian air yang sesuaistandar dari Pusat Penelitiandan Pengembangan SumberDaya Air tahun 2003
11. Victor Tri K, 2012Penilaian kondisi fisik sistempolder Kota Lama dan BandarharjoSemarang
Sistem polder Kota Lama danBandarharjo Semarangmempunyai nilai kondisi fisiksebesar 50,02% (cukup)
Sebagian infrastruktur dalamkondisi rusak sehingga tidakberoperasi secara maksimal
12. Ruslan, 2011 Perilaku sedimen
Perilaku sedimen yangdianalisa di laboratorium padasaluran irigasi primer,sekunder dan tersier diJaringan Irigasi Waru-Turi
Berkurangnya kinerja padasaluran primer menjadi 76,93%, sekunder 94,2 % dansaluran tersier 91,47%.
13. Yullius heryant, 2014Penilaian kondisi fisik WadukLodan
standar pedoman penilaiankondisi fisik tahun 2010
menambahkan sub komponengardu pandang dan papanduga muka air
Penilaian kondisi fisik WadukLodan 91,11% (baik)
14. Imam Suprayogi, 2013Penentuan pola pengoperasianpintu pembilas terhadap lajusedimentasi
laju sedimentasi tahunan padaBendung Sei Tibun, Riausebesar 13.320,65 m3 /tahun
pembilasan secara rutin danberkala setiap 8 bulan sekali
Pengoperasian satu pintupembilas tinggi minimumbukaan pintu setinggi 31,7 cmselama 6 jam
12
15.
Jimmy Rafael, 2013Pengendalian sedimentasi diSungai Ular, Deli Serdang
Terjadi adanya sedimentasiarea pertanian menyebabkantertutupnya 8 free intakedalam mensuplei air
Koefisien kekasaran daripersamaan Manning 0,012dan Stickler 42,5 yangmengakibatkan kecepatanaliran yang cukup kecil danterjadi endapan sedimen padaintake
16. Sardi, 2008Penanganan sedimentasi di WadukWonogiri
Dibangunnya WadukPenampung Sedimen (WPS)di Waduk Wonogiri
WPS dapat menurunkanbesarnya deposisi nettosedimen yang terjadi padawaduk tersebut sebesar kuranglebih 30.41%
17. Wahyana, 2009perubahan kondisi Bendung GerakTirtonadi
kerusakan Daerah AliranSungai (DAS) mengakibatkanadanya sedimentasi di hilirBendung Tirtonadi
Perubahan kondisi tersebutmenyebabkan kecepatanaliran rata-rata 0,39 m/dt yangrelatif rendah
Untuk mengurangisedimentasi tersebutdiperlukan adanyapenambahan kecepatan alirandengan melakukanpenyempitan alur sungai dibagian hulu tubuh bendung
Penyempitan alur sungaimenjadi lebar 70 m, yang bisamencapai kecepatan minimumsekitar 1, 54 m/dt
13
18.
Hari Krisetyana, 2008 penggelontoran sedimen
Penggelontoran sedimenwaduk tersebut menggunakanflushing time efficiency
waktu efektif dalampenggelontoran ±15 menitdilakukan pada bulanpebruari, april, oktobermaupun pada bulan hujan(basah) pada 2 (dua) pintuintake
19. Indah Sri Amini, 2015
angkutan sedimen denganmetode Meyer Peter Muller diBendung Colo akibatpenggelontoran sedimen dariWPS
nilai kondisi fisik intakeBendung Colo akibatpenggelontoran sedimen dariWPS
konsep penanganan BendungColo
Angkutan sedimenberdasarkan metode MeyerPeter Muller sebelumpenggelontoran sedimen dariWPS di Bendung Colosebesar 3.991,16m3/hari dan sesudahpenggelontoran di BendungColo sebesar 4.299,89m3/hari, ini menunjukkanadanya peningkatan sedimensebesar 7,74%.
Nilai kondisi fisik BendungColo berdasarkan estimasisedimen setelah adanyapenggelontoran sedimentasidari WPS yaitu 82,70% >70%
pengurasan sedimen di dekatintake sesudahpenggelontoran sedimen dariWPS adalah 31 hari
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Angkutan Sedimen
1. Gerakan Butiran Sedimen
Perpindahan tempat bahan sedimen granular (non kohesif/terlepas satu sama
lain) oleh air yang sedang mengalir pada suatu tampang aliran secara umum
bergerak searah aliran. Banyaknya angkutan sedimen (T) dapat ditentukan dari
perpindahan tempat suatu sedimen melalui suatu tampang lintang selama periode
14
waktu yang cukup. Menurut ukuran butirnya angkutan sedimen dapat terjadi
dengan 2 cara (Cahyono Ikhsan, 2007):
1. Bed load
Perpindahan butir di dasar saluran secara menggelinding (rolling),
menggeser (sliding), meloncat (jumping).
2. Suspended load
Gerak butir di atas dasar saluran, dimana berat butir secara terus menerus
dikompensasi oleh gerak turbulen aliran atau oleh aksi difusi medan aliran
turbulen.
Gaya-gaya yang bekerja pada suatu butiran sedimen non-kohesif dalam
aliran air dapat dilihat pada Gambar 2.1.
1. Gaya berat (gravity force)
2. Gaya apung (buoyancy force)
3. Gaya angkat (hydrodynamic lift force)
4. Gaya seret (hydrodynamic drag force)
Sumber: Ferdian, 2010
Gambar 2.1 Gaya gaya yang bekerja pada butiran sedimen
Keterangan gambar:
FD = gaya seret,Fg = gaya berat di dalam air,f = sudut kemiringan dasar,q = sudut gesek (longsor) alam (the angle of repose),a1 = jarak antara pusat berat (CG) sampai titik guling (point of support),a2 = jarak antara pusat gaya seret (drag) sampai titik guling.
Menurut Graf, 1998 skematisasi terjadinya sedimentasi ditunjukan pada
Gambar 2.2.
15
Sumber: Graf, W.H, 1998
Gambar 2.2 Skematisasi terjadinya sedimen
Transpor sedimen, dalam hal ini erosi dasar sungai atau saluran, terjadi
manakala tegangan geser dasar sungai/saluran mencapai atau melebihi tegangan
geser kritis. Perbandingan antara bed load dengan suspended load menunjukan
variasi yang besar, tergantung sifat bahan dan alirannya. Pembedaan cara
transport sedimen, antara transport sedimen dasar dan transport sedimen suspensi,
tidaklah mudah dilakukan. Salah satu cara pembedaan antara kedua cara transport
tersebut adalah dengan memperhatikan nilai perbandingan antara kecepatan geser
(shear velocity) aliran (u∗) dan kecepatan endap butir sedimen (vss).
(transport sedimen dasar/Bed load) 2.1
(transport sedimen suspense/ Suspended load) 2.2
Salah satu yang mampu menggerakkan butir sedimen pada awal geraknya
adalah kecepatan. Kecepatan efektif untuk menggerakan butiran dapat ditulis
dalam rumus:
2.3
dengan:
U* = kecepatan geser (m/dt),g = gravitasi (m/dt2),R = jari-jari hidraulik (m),S = kemiringan dasar saluran.
Dengan mendapatkan hasil kecepatan geser (U*) tersebut akan dilanjutkan
dengan analisa untuk menentukan bilangan Reynolds dibawah ini.
Butiran wash load
Butiran bed load
Butiran suspended loadQqss
qsb
16
2.4
dengan:
Re = bilangan Reynolds,U* = kecepatan geser (m/dt),Ds = diameter butiran sedimen (m),υ = viskositas (m2/dt).
Bilangan Reynolds (Re) tersebut dimasukan kedalam grafik shield pada
Gambar 2.3 yang digunakan untuk menentukan dimensi tegangan geser (F*) untuk
menentukan tegangan geser kritisnya (τc).
2.5
dengan:
F* = dimensi tegangan geser,τc = tegangan geser kritis (kg/m2),γs = berat jenis butiran sedimen (kg/m3),γ = berat jenis air (kg/m3),Ds = diameter butiran sedimen (m).
Sumber: Mardjikoen , 1987
Gambar 2.3 Grafik shield
Sedangkan persamaan yang digunakan untuk menentukan tegangan geser
dirumuskan sebagai berikut:
2.6
dengan:
τ0 = dimensi tegangan geser (kg/m2),g = gravitasi (m/dt2),
17
ρw = massa jenis air (kg/m3),R = jari-jari hidraulik (m),S = kemiringan dasar saluran.
Dari hasil yang didapat maka untuk mengetahui gerak atau tidaknya butiran
sedimen dilakukan perbandingan antara τ0 dan τc dengan ketentuan sebagai
berikut, apabila:
τ0 > τc maka butiran bergerak
τ0 = τc maka butiran mulai bergerak (kondisi kritis)
τ0 < τc maka butiran diam
2. Sifat-sifat bahan yang diangkut
Karakteristik bahan-bahan sedimen:
a. Ukuran (size)
b. Bentuk (shape)
c. Rapat massa (density)
d. Kecepatan jatuh (fall velocity)
e. Porositas sesudah mengendap.
Karakteristik-karakteristik tersebut sulit untuk memperoleh hasil yang
representatif sesuai dengan yang ada dilapangan dibutuhkan analisa kesesuaian
metode statistik.
a. Ukuran (shape)
Skala butiran sedimen menurut sub-comite therminologi sedimen para ahli
hidraulika (American Geophysical Union) AGU adalah sebagai berikut:
Boulders = 4,000.00 – 250.00 mm
Cobbles = 250.00 – 64.00 mm
Gravel = 64.00 – 2.00 mm
Sand = 2,000.00 – 62.00 µm
Silt = 62.00 – 4.00 µm
Clay = 4.00– 0.24 µm
Penentuan ukuran butiran sedimen berdasarkan pengukuran langsung maupun
menggunakan saringan, mikroskopis berdasarkan ukuran butiran.
18
b. Bentuk (shape)
Variasi bentuk sedimen alam adalah tidak terbatas. Pengaruh bentuk terhadap
karakteristik hidraulis dari butiran yaitu kecepatan jatuh yang tergantung dari
angka reynold. Parameter-parameter untuk bentuk adalah perbandingan
sumbu-sumbu utama roundness, luas permukaan dibandingkan terhadap
volumen massa.
1) Diameter nominal (dn) merupakan diameter bola dengan massa dan isi
sama dengan butiran.
Volume butiran =
2) Diameter sedimen (ds) yaitu diameter bola kwarts dengan kecepatan jatuh
yang sama dengan butiran.
c. Rapat massa (density)
Sedimen umumnya berasal dari disintegrasi atau dekomposisi dari batu-
batuan. Rapat massa butiran sedimen yang umum (< 4cm) dan biasanya
kwarts terdapat paling banyak pada sedimen dimana ρs = 2650 kg/m3. Atau
dinyatakan sebagai specific gravity (s).
2.7
d. Kecepatan jatuh
Kecepatan jatuh sangat penting untuk sedimentasi rervoir dan proses
pengendapan yang merupakan parameter arus yang diperlukan untuk
menggerakan butiran sepanjang sungai. Gaya yang dialami butiran dalam
gerak relatif dalam air adalah:
2.8
dengan:
w = berat butir diudara,F = gaya hambatan,
= rapat massa air,A = luas arah gerak,Cd = drag coeefisient.
19
e. Porositas sesudah mengendap
Untuk menaksir suatu berat sedimen ke reservoir harus diubah dalam bentuk
volume. Untuk itu perlu ditaksir berat kering udara 1200–2000 kg/m3 dan
yang terndam air antara 500–1000 kg/m3. Porositas (α) adalah volume rongga
dengan bahan padat yang dikalikan 100%.
3. Perhitungan Angkutan Sedimen
Intensitas angkutan sedime pada saluran maupun sungai adalah banyaknya
sedimen yang lewat pada penampang tersebut per satuan waktu.
Untuk memperoleh nilai kecepatan aliran digunakan persamaan Manning
sebagai berikut:
2.9
dengan:
V = kecepatan aliran (m/det),n = angka kekasaran Manning,R = Jari – jari hidrolik (m),I = kemiringan penampang (m/m).
Nilai kekasaran Manning berdasarkan bahan material yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai n untuk aliran
No Penggunaan dasar permukaan N Manning Nilai yangdirekomondasikan
1 Beton 0.010 - 0.013 0.0112 Aspal 0.010 - 0.015 0.0123 Tanah terbuka 0.010 - 0.016 0.0104 Tanah berkerikil 0.012 - 0.030 0.0125 Tanah lempung berlanau dan terbuka
(mudah tererosi)0.012 - 0.033 0.012
6 Tanah tandus 0.020 - 0.016 0.0507 Tanah yang diolah 0.020 - 0.100 0.0608 Semacam lapangan tembak/golf (alami) 0.010 - 0.320 0.1309 Semacam lapangan tembak/golf yang
Dipangkas0.020 - 0.240 0.080
10 Padang rumput pendek 0.100 - 0.200 0.150
20
11 Rerumputan yang tebal 0.170 - 0.300 0.240Sumber: Chow dkk, 1988
Dalam penelitian ini, proses angkutan sedimen difokuskan pada angkutan
sedimen dasar. Pengaruh dari sedimen tersuspensi yang mengendap terhadap
seluruh endapan sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Analisis angkutan
sedimen yang digunakan adalah metode Meyer Peter Muller. Berdasarkan kajian
pustaka dari Nur Hidayah, 2013 menyatakan untuk lokasi Serenan Sungai
Bengawan Solo yang paling mendekati nilai angkutan sedimen dilapangan adalah
metode Meyer Peter Muller.
Metode Meyer-Peter dan Muller
Fungsi angkutan sedimen bed load Meyer-Peter Muller ini didasarkan pada
data hasil eksperimen yang diuji sesuai dengan kondisi sungai yang memiliki jenis
sedimen yang relatif kasar dengan persamaan seperti berikut ini.
2.10
dengan:γw = berat jenis air (kg/m3),γs = berat jenis butiran sedimen (kg/m3),g = percepatan grafitasi (m/s2),dm = diameter partikel rata-rata efektif d50 – d60 (mm),
= faktor koreksi berhubungan bentuk penampang sungai,
R = kedalaman tampang basah (m),µ = harga ripple factor,I = kemiringan lereng,Tb’ = berat butiran per satuan lebar (m3/m detik).
2.2.2 Nilai kondisi fisik Intake Bendung
1. Komponen dan pembobotan
Mengacu pada Pedoman Penilaian Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Subdit
SDA 1999 meliputi Penilaian kondisi jaringan irigasi dengan menghitung kondisi
bangunan utama, saluran pembawa, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, saluran
pembuang, dan bangunan sepanjang saluran pembuang. Untuk komponen maupun
sub komponen apa saja yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:
21
a. Bangunan utama, dengan bagian-bagian yang merupakan sub
komponen dari bangunan tersebut yaitu:
1) Bangunan pengambilan
2) Bangunan penguras
3) Tubuh bendung
4) Sayap
5) Bangunan pelengkap
b. Saluran pembawa dengan sub komponen sebagai berikut:
1) Erosi dan sedimentasi
2) Profil saluran
3) Bocoran
c. Bangunan sadap dan bagi dengan bagian sub komponen yaitu:
1) Pintu sadap dan bagi
2) Bangunan pengukur debit
3) Tubuh bangunan
d. Saluran pembuang dengan bagian sub komponen yaitu:
1) Erosi dan sedimentasi
2) Profil saluran
e. Bangunan pada saluran dengan bagian sub komponen yaitu:
1) Profil pengatur
2) Tubuh bangunan
Setiap sub komponen yang ada akan dijadikan detail lagi dan akan dinilai
berdasarkan kondisi di lapangan yang akan memberikan kontribusi penilaian pada
jaringan irigasi. Pembobotan komponen maupun sub komponen kondisi fisik
jaringan irigasi merupakan acuan dalam menghitung indeks nilai pada jaringan
irigasi yang memiliki perbedaan dalam pembobotan. Pengaruh bobot pada
bangunan didasarkan pada fungsi pelayanan dan pertimbangan terhadap
kegagalan operasional bangunan. Pembobotan pada koponen maupun sub
komponen berdasarkan pedoman penilaian kondisi fisik jaringan irigasi, Subdit
1999 dapat dilihat pada Tabel 2.2.
22
Tabel 2.2 Bobot komponen utama jaringan irigasi
No Komponen Bobot (%)
1 Bangunan utama 35a Bangunan pengambilan 12 Pintu/ pintu banjir 5 Endapan/ lumpur 3 Pengukur debit 3 Papan eksploitasi 1
b Bangunan penguras 6 Pintu 4 Endapan/ lumpur 2
c Tubuh bendung 10 Mercu 5 Ruang olakan 4 Papan skala 1
d sayap 4 Sayap 2 Koperan 2
e Bangunan pelengkap 32 Saluran pembawa 25
a Erosi dan sedimentasi 5b Profil saluran 12c bocoran 8
3 Bangunan bagi/sadap 25a Pintu sadap dan bagi 12b Bangunan pengukur debit 5
Tabel 2.2 Bobot komponen utama jaringan irigasi (lanjutan)
No Komponen Bobot (%)c Tubuh bangunan 8
4 Saluran pembuang 10a Erosi dan sedimentasi 6b Profil saluran 4
5 Bangunan sepanjang sal.pembuang 5a Profil saluran 2b Tubuh bangunan 3
Jumlah 100Sumber: Ditjen Air, 1999
23
Bobot untuk setiap komponen utama tersebut merupakan gabungan dari
masing masing komponen penyusunnya, dan distribusi bobot baik untuk
komponen utama maupun komponen penyusunnya (komponen yang lebih kecil)
untuk lebih jelasnya akan dibahas pada kajian selanjutnya.
2. Metode perhitungan
Penilaian kondisi jaringan irigasi keseluruhan dilakukan dengan menghitung
kondisi bangunan utama, saluran pembawa, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap,
saluran pembuang, dan bangunan sepanjang saluran pembuang, dengan metode
perhitungan sebagai berikut:
K = Kms + Kto + Kcc + Kdc + Ksd 2. 11
dengan:
K = kondisi Jaringan (%),Kms = kondisi bangunan utama (%),Kto = kondisi bangunan bagi atau sadap (%),Kcc = kondisi saluran pembawa (%),Kdc = kondisi saluran pembuang (%),Ksd = kondisi bangunan sepanjang saluran pembuang (%).
Sedangkan metode perhitungan tiap-tiap kondisi dapat dihitung
menggunakan rumus-rumus di bawah ini:
a. Kondisi bangunan utama
2.12
dengan:
Kms = kondisi bangunan utama (%),N1 = jumlah bangunan utama yang berkondisi baik,Kms1 = kondisi rata-rata bangunan utama yang baik (%),N2 = jumlah bangunan utama yang berkondisi cukup,Kms2 = kondisi rata-rata bangunan utama yang berkondisi cukup (%),N3 = jumlah bangunan utama yang berkondisi rusak,Kms3 = kondisi rata-rata bangunan utama yang berkondisi buruk (%).
b. Kondisi bangunan bagi
2.13
dengan:
Kto = kondisi bangunan bagi/sadap (%),N1 = jumlah bangunan bagi/sadap yang berkondisi baik,
24
Kto1 = kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap yang baik (%),N2 = jumlah bangunan bagi/sadp yang berkondisi cukup,Kto2 = kond. rata-rata bangunan bagi/sadap yang berkondisi cukup (%),N3 = jumlah bangunan bagi/sadap yang berkondisi rusak,Kto3 = kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap berkondisi rusak (%).
c. Kondisi saluran pembawa
2.14
dengan:
Kcc = kondisi saluran pembawa (%),N1 = jumlah saluran pembawa yang berkondisi baik,Kcc1 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang baik (%),N2 = jumlah saluran pembawa yang berkondisi cukupbaik,Kcc2 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang berkondisi cukup (%),N3 = jumlah saluran pembawa yang berkondisi rusak,Kcc3 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang berkondisi rusak (%).
d. Kondisi saluran pembuang
2.15
dengan:
Kdc = kondisi saluran pembuang (%),N1 = jumlah saluran pembuang yang berkondisi baik,Kdc1 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang berkondisi baik (%),N2 = jumlah saluran pembuang yang berkondisi cukup,Kdc2 = kondisi rata-rata saluran pembuang yang berkondisi cukup (%),N3 = jumlah saluran pembuang yang berkondisi rusak,Kdc3 = kondisi rata-rata saluran pembuang yang berkondisi rusak (%).
e. Kondisi saluran pembuang
2.16
dengan:
Ksd = kondisi bangunan pembuang (%),N1 = jumlah bangunan pembuang yang berkondisi baik,Ksd1 = kondisi rata-rata bangunan pembuang yang berkondisi baik (%),N2 = jumlah bangunan pembuang yang berkondisi cukup,Ksd2 = kondisi rata-rata bang. pembuang yang berkondisi cukup (%),
25
N3 = jumlah bangunan pembuang yang berkondisi rusak,Ksd3 = kondisi rata-rata bangunan pembuang yang berkondisi rusak (%).
2.2.3 Konsep penanganan Bendung
Konsep penanganan akan dilaksanakan berdasarkan dari hasil analisa nilai
kondisi fisik dari bangunan Bendung Colo dengan standar nilai.
a. Apabila nilai kondisi fisik >70 % maka tidak perlu adanya rehabilitasi
cukup dilakukan pemeliharaan pencegahan.
b. Apabila nilai kondisi fisik <70 % maka perlu adanya rehabilitasi pada
bangunan tersebut pemeliharaan darurat atau pemeliharaan korektif.
Berdasarkan Pedoman Pemeliharaan Bangunan Persungaian
Pd-T-11-2004-A dijelaskan bahwa, konsep usulan program pemeliharaan adalah:
a. Pencegahan terjadinya permasalahan (kerusakan) walaupun kerusakan
belum terlihat.
b. Perbaikan kerusakan yang tidak diharapkan segera setalah kejadian
sehingga kerusakan yang lebih parah tidak terjadi.
Jadi pemeliharaan merupakan pencegahan dan koreksi, baik yang bersifat
permanen maupun yang dilaksanakan untuk sementara (darurat). Sedangkan jenis
pemeliharaan adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan Pencegahan
Pemeliharaan pencegahan adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memelihara fungsi bangunan persuangaian (termasuk bendung) agar tetap
optimal. Kegiatan tersebut termasuk pekerjaan yang bersifat rutin.
Pemeliharaan pencegahan juga termasuk pemeliharaan berkala yang
dilakukan dengan interval yang terputus-putus dengan tujuan untuk
melestarikan fungsi dari bangunan. Selain itu, pekerjaan perbaikan yang
kecil pada bangunan bendung dan bagian bendung bertujuan untuk
mengembalikan bangunan itu sesuai dengan kapasitas semula.
Pemeliharaan pencegahan meliputi; pengecatan pintu, pengurasan rutin,
pengerukan dll. Sistem pengopersian pintu-pintu di Bendung Colo
disajikan pada Gambar 2.4 dan Tabel 2.3.
26
Sumber: PJT 1 Surakarta, 2010
Gambar 2.4 Letak pintu Bendung Colo
Tabel 2.3 Petunjuk pengoperasian pintu Bendung Colo
NOTASI NAMAPINTU/FUNGSI
PENGOPERASIAN
KONDISI MUSIM HUJAN
A Pintu Intake Lama Bendung dibukaB Pintu Penguras Bendung dibuka/ditutup untuk pengurasanC Penguras Kantong Pasir dibuka/ditutup untuk pengurasanD Pintu Penerus dibuka/diaturE Pintu Intake Baru Bendung dibukaF Penguras Kantong Pasir dibuka/ditutup untuk pengurasanG Pintu Penerus dibuka/diatur
KONDISI HUJAN LEBAT/BANJIRA Pintu Intake Lama Bendung ditutupB Pintu Penguras Bendung dibukaC Penguras Kantong Pasir ditutupD Pintu Penerus ditutupE Pintu Intake Baru Bendung ditutupF Penguras Kantong Pasir ditutupG Pintu Penerus ditutup
KONDISI MUSIM KEMARAUA Pintu Intake Lama Bendung dibukaB Pintu Penguras Bendung ditutupC Penguras Kantong Pasir dibuka/ditutup untuk pengurasanD Pintu Penerus dibuka/diaturE Pintu Intake Baru Bendung dibukaF Penguras Kantong Pasir dibuka/ditutup untuk pengurasanG Pintu Penerus dibuka/diatur
Sumber: PJT 1 Surakarta, 2010
27
b. Pemeliharaan Darurat
Pemeliharaan darurat adalah pemeliharaan pencegahan yang harus segera
dilaksanakan untuk melindungi keutuhan dan kekuatan bangunan (dalam
skala besar) yag akan atau telah mengalami kerusakan sehingga kerusakan
bangunan tidak menjadi lebih parah dan dapat mengancam fungsi dari
bangunan tersebut. Pekerjaan pemeliharaan darurat bisa bersifat
pemeliharaan pencegahan atau pemeliharaan korektif yang berskala besar,
tetapi pelaksanaannya bersifat sementara.
c. Pemeliharaan Korektif
Pemeliharaan korektif adalah pemeliharaan yang mencoba untuk
mengembalikan ke fungsi semula bangunan persungaian yang rusak atau
terkena pengaruh aliran sungai atau akibat ulah manusia. Pemeliharaan
korektif ini biasanya terdiri dari beberapa pekerjaan penting. Pemeliharaan
korektif dibagi dalam tiga kategori, yaitu pemeliharaan khusus, rehabilitasi
dan rektifikasi.
1) Pemeliharaan khusus adalah, pekerjaan pemeliharaan dengan cara
memperbaiaki kerusakan yang saat itu fungsinya antara 70% sampai
dengan 50% dari desain aslinya.
2) Rehabilitasi adalah, pekerjaan perbaikan untuk mengembalikan fungsi
bangunan persungaian yang telah turun sampai kurang dari 50% dari
desain asli.
3) Rektifikasi adalah, merupakan kegiatan pemeliharaan bangunan sungai
yang mengalami kerusakan atau belum rusak tetapi kondisinya sudah
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sistemnya
harus diperbaiki secara keseluruhan dengan menggunakan perencanaan
baru yang menyeluruh dan terpadu.
Pemeliharaan korektif akan dilakukan berdasarkan hasil penilaian
dilapangan. Tindakan pemeliharaan korektif apabila diperlukan pada kajian ini
adalah analisa dimensi bangunan pada bangunan intake, penguras maupun mercu
bendung, dengan rumusan sebagai berikut:
28
1. Bangunan intake
Pintu intake harus mampu mengalirkan air minimal Q = 0,40 m3/dt.
kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan
pengambilan guna menambah fleksibilitas dan memenuhi kebutuhan yang cukup
selama umur layan. Adapun persamaannya adalah:
2. 17
dengan:
Qn = debit rencana (m3/dt),µ = koefisien debit = 0,8 (untuk bukaan dibawah permukaan air
dengan kehilangan energi),a = tinggi bukaan,b = lebar bukaan,z = kehilangan energi pada bukaan,
antara 0,15 - 0,30,g = percepatan gravitasi 9,81 m/dt2.
2. Bangunan Penguras
Pelaksanaan penguras ini diadakan pada kondisi; pintu dibuka setinggi
under sluice atau pintu dibuka setinggi mercu. Adapun dimensi-dimensi dasar dari
bangunan penguras adalah:
a. tinggi saluran bawah hendaknya lebih besar 1,5 kali diameter butir
sedimen dasar sungai.
b. tinggi saluran pembilas bawah sekurang-kurangnya 1,0 meter.
c. tinggi sebaiknya diambil 1/3 sampai ¼ dari kedalaman air didepan pintu
pengambilan selama debit normal.
d. 5 sampai 20 meter untuk panjang saluran penguras bawah.
e. 1 sampai 2 meter untuk tinggi saluran penguras bawah.
f. 0,20 sampai 0,35 tebal untuk beton bertulang.
a. Pada pintu dibuka setinggi undersluice.
2.18
dengan:Q = debit yang mengalir pada pintu (m3/dt),koefisien kontraksi = 0,62,
29
b = lebar pintu penguras,y = tinggi under sluice,p = tinggi mercu,g = gravitasi,Vc = Q/F.
diameter yang dapat dikuras sebagai berikut
2.19
dengan:
Vc = kecepatan kritis yang diperlukan untuk menguras,C = koefisien sedimen antara 3,2 - 5,5,d = diameter butiran yang dapat dikuras.
b. Pada pintu dibuka setinggi undersluice.
2.20
dengan:Q = debit yang mengalir pada pintu (m3/dt),b = lebar pintu penguras,h = tinggi mercu,g = gravitasi,z = 1/3 h, µ = 0,75.
3. Mercu Bendung
Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal (abutment) dengan lebar total
bendung antara 1,0-1,2 dari lebar rata-rata sungai pada ruas yang stabil.
Sedangkan aliran per satuan lebar hendaknya dibatasi sekitar 12-14m3/det/m.
Dengan persamaan lebar efektif bendung.
2.21
dengan:Be = lebar efektif bending,B = lebar bendung (lebar total - lebar pilar),n = jumlah pilar,Kp = Koef. kontraksi pilar,Ka = Koef. kontraksi pangkal bending,H1 = tinggi energi.