s1-2014-301464-chapter1
TRANSCRIPT
-
19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dalam dunia manufaktur dan
bisnis, kebutuhan untuk waktu pelayanan konsumen yang semakin cepat dalam
memenuhi demand menjadikan material handling system atau sistem penanganan
material menjadi salah satu infrastruktur yang penting pada suatu manufaktur.
Untuk melancarkan proses produksi dalam rangka memenuhi permintaan
konsumen, perusahaan manufaktur akan mempertimbangkan untuk berinvestasi
pada perbaikan sistem penanganan material untuk menghasilkan penanganan
material yang lancar dan reliable. Penanganan material pada suatu proses produksi
memegang peranan besar dalam kelancaran produksi di lantai produksi.
Berdasarkan Tompkins, et al (1996), material handling atau penanganan material
membutuhkan hingga 25% dari seluruh karyawan, 55% dari luas pabrik, dan 87%
dari keseluruhan waktu produksi. Penanganan material juga akan menghabiskan
15-70% dari total biaya produk yang dihasilkan. Dari keseluruhan waktu di pabrik,
hanya 5% yang dihabiskan di mesin, 95% sisanya adalah aktivitas menunggu dan
memindahkan benda kerja. Dari 5% waktu yang dihabiskan di mesin tersebut,
hanya 30% yang digunakan untuk memproses di mesin, sedangkan 70% sisanya
digunakan untuk loading dan positioning benda kerja. Hal ini membuat penanganan
material merupakan hal yang penting untuk diperhatikan untuk terus diperbaiki
dalam meningkatkan produktivitas.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia memerankan peran
yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2006, industri TPT
memberikan kontribusi 11,7% terhadap total ekspor nasional, 20,2% terhadap
surplus perdagangan nasional, dan 3,8% terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional (Miranti, 2007). Pada tahun 2006, lebih dari separuh nilai
ekspor dikontribusi oleh industri garmen sebesar 55,7%, industri pemintalan
-
20
sebesar 18,9%, dan industri penenunan sebesar 15,6% (Miranti, 2007). Menteri
Perindustrian, M.S. Hidayat juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan industri
tekstil di Indonesia terus meningkat dalam 5 tahun terakhir dengan pertumbuhan
rata-rata 6,2% dan nilai ekspor produk tekstil pada tahun 2013 mencapai 12,64
miliar dolar Amerika Serikat (Satriawan, 2014), di mana lebih dari Pada sisi tenaga
kerja, Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki biaya tenaga kerja tertinggi
di antara negara produsen lainnya. Indonesia membayar upah buruh sebesar US$
0,76/jam, sedangkan Pakistan membayar upah sebesar US$ 0,4/jam, India
membayar upah sebesar US$ 0,6/jam, Bangladesh dan Vietnam membayar upah
sebesar US$ 0,35/jam (Miranti, 2007).
Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, permintaan akan industri
TPT akan semakin meningkat. Hal ini menuntut industri TPT untuk selalu
melakukan perbaikan berkelanjutan dalam lini produksinya supaya mampu
meningkatkan produktivitas produksinya dalam rangka memenuhi kenaikan
permintaan tersebut. Oleh sebab itu, industri TPT harus memulai untuk merancang
strategi bisnis dan produksi yang baru dan melakukan perbaikan-perbaikan pada
lantai produksi untuk menjaga keseimbangan antara produktivitas yang dicapai
dalam memenuhi permintaan konsumen dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Sistem penanganan material merupakan salah satu aspek yang dapat dikaji lebih
lanjut untuk dilakukan perbaikan.
Penelitian ini pada salah satu industri TPT tingkat hulu, yaitu pada industri
pemintalan benang (spinning) dan penenunan benang (weaving) di PT Primissima
(Persero). Penelitian difokuskan pada divisi pemintalan benang PT Primissima
(Persero) yaitu pada Divisi Spinning. Proses pemintalan benang merupakan proses
yang mengubah kapas menjadi benang. Divisi Spinning menerapkan sistem batch
production dalam produksinya, di mana work-in-process dipindahkan dari stasiun
kerja satu ke stasiun kerja selanjutnya dalam jumlah tertentu. Proses penanganan
material pada divisi ini masih dilakukan secara manual, baik itu oleh operator mesin
yang bersangkutan, maupun oleh operator khusus pengantar material yang disebut
dengan transporter. Transporter ini bertugas untuk mengantarkan work-in-process
berupa kumpulan pallet berisi benang setengah jadi dari stasiun Ring Spinning ke
-
21
stasiun Winding. Transporter harus mendorong sebuah kereta dorong berisi 4 8
pallet, di mana masing-masing pallet memiliki massa 11 - 16 kilogram. Apabila
ditotal dengan kereta yang didorong, transporter akan mendorong beban sekitar
100 150 kilogram setiap sekali pengantaran. Sementara maximal acceptable
forces dalam newton menurut Snook dan Ciriello (1991) pada pekerja pria adalah
343 newton (setara dengan 34,97 kilogram, dengan asumsi 1 kilogram sama dengan
9,8 newton) untuk satu kali dorong setiap 30 menit, sehingga dapat dikatakan beban
dorong yang diterima pekerja melebihi batas maksimal standar yang ada.
Di samping itu, berdasarkan pada wawancara dengan Kepala Produksi
Divisi Spinning dan pada operator Winding serta pengamatan langsung di lapangan,
terdapat keterlambatan datangnya material ke stasiun Winding. Waktu proses antara
mesin Ring Spinning dengan Winding yang cukup banyak selisihnya. di mana untuk
memproduksi 500 cone benang di mesin Ring Spinning yang menjadi bahan untuk
diproses lebih jauh di mesin Winding diperlukan waktu 5 6 jam dan harus diproses
bersamaan, sedangkan satu buah cone tersebut akan diproses di mesin Winding
hanya selama 2 6 menit saja. Bahkan terkadang operator Winding sendiri yang
mengambil pallet berisi cone ke tempat penyimpanan work in process dari mesin
Spinning karena cone yang akan diproses terlambat datang.
Kebijakan perusahaan dalam menggunakan dedicated manual material
handling pada proses transportasinya membuat biaya tenaga kerja yang dikeluarkan
akan lebih besar daripada apabila tidak ada operator khusus. Apalagi dengan
kondisi beban yang didorong oleh transporter, adanya keterlambatan kedatangan
material di Stasiun Winding, serta karakteristik waktu proses mesin Ring Spinning
dan Winding yang cukup berbeda, membuat perlu dilakukannya kajian lebih lanjut
dalam sistem penanganan material dari stasiun Ring Spinning ke Stasiun Winding.
Salah satu alternatif solusi yang dapat diambil adalah dengan menggunakan sistem
penanganan material otomatis. Terdapat 5 macam peralatan penanganan material
untuk transportasi (Groover, 2001), yaitu industrial trucks, Automated Guided
Vehicle (AGV), monorail dan rail guided vehicles, conveyors, serta cranes. Dari
kelima jenis peralatan tersebut, yang cocok untuk tipe produksi batch production
adalah industrial trucks, AGV, dan rail guided vehicle, sedangkan conveyor lebih
-
22
cocok untuk tipe produksi yang continuous, sementara crane biasanya digunakan
untuk pemindahan benda kerja antar titik dengan pergerakan vertikal dan
horizontal. Seiring dengan tujuan pengaplikasian sistem penanganan material
otomatis adalah untuk menghilangkan beban kerja operator dengan mengganti
transporter dengan alat otomatis, sehingga pengeluaran untuk biaya tenaga
transporter akan digantikan dengan investasi alat penanganan material baru, maka
peralatan yang paling sesuai adalah AGV. Industrial trucks tidak dipilih karena
peralatan ini masih membutuhkan tenaga kerja manusia, sedangkan rail guided
vehicle meskipun sudah otomatis namun memerlukan instalasi rel elektris pada
lantai produksinya. Sistem penanganan material otomatis menggunakan AGV
adalah sistem yang diajukan untuk mengganti sistem manual karena AGV dapat
beroperasi secara otomatis tanpa pengemudi (driverless) dan sesuai untuk
diaplikasikan di tipe produksi batch production karena benda kerja yang
dipindahkan cukup banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sistem penanganan material
secara manual dengan sistem penanganan material otomatis berbasis AGV pada di
Divisi Spinning PT Primissima (Persero), dalam rangka menghilangkan beban kerja
transporter dan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas produksi.
Perbandingan tersebut dilakukan dengan membangun model simulasi sistem nyata
dengan sistem penanganan material manual dan sistem usulan dengan sistem
penanganan material otomatis berbasis AGV.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. melakukan simulasi sistem penanganan material manual pada lantai
produksi Divisi Spinning PT Primissima (Persero) serta simulasi sistem
penanganan material otomatis berbasis AGV.
b. mengetahui perbandingan pengaruh sistem penanganan material manual
dengan otomatis terhadap produktivitas sistem produksi.
-
23
c. melakukan analisis ekonomi penggantian sistem penanganan material dari
sistem manual menjadi otomatis berbasis AGV.
1.3 Batasan Masalah
Asumsi dan batasan masalah penelitian ini adalah bahwa kajian sistem
penanganan material pada penelitian ini dilakukan berdasarkan studi kasus di lantai
produksi Divisi Spinning di PT Primissima (Persero), khususnya pada penanganan
material antara stasiun kerja mesin spinning dengan mesin winding.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. mengkaji sistem penanganan material manual yang diterapkan di Divisi
Spinning di PT Primissima (Persero) dengan membangun model simulasi
sistem nyata.
2. membandingkan dan menganalisis sistem penanganan material manual yang
ada dengan sistem penanganan material otomatis berbasis Automated Guided
Vehicle (AGV).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. untuk mengetahui sistem penanganan material yang paling efektif yang dapat
diterapkan di Divisi Spinning di PT Primissima (Persero), sehingga diharapkan
hasil perbandingan akan menunjukkan sistem penanganan material yang
mampu meningkatkan efisiensi perpindahan material dari stasiun kerja satu ke
stasiun kerja yang lain.
-
24
2. mampu memberikan manfaat pada PT Primissima (Persero) dalam
pengambilan keputusan tentang sistem penanganan material yang akan
diterapkan.