bab i pengantar a. latar...

19
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Perhatian peneliti terhadap sektor di luar pertanian belakangan ini sudah cukup banyak. Perhatian tersebut pada dasarnya menseimbangkan sektor pertanian yang selalu esensial di pedesaan. 1 Kajian di luar sektor pertanian sebenarnya begitu diperlukan terlebih pada usaha yang mendukung sektor pertanian itu sendiri. Usaha pembuatan alat pertanian yang dalam masyarakat Jawa sering disebut pande besi 2 , merupakan kegiatan pendorong pertanian yang penting. Namun selama ini kajian mengenai pande besi masih sangat sedikit. Padahal dilihat dari segi fungsional, peran pande besi sangat berarti bagi sektor pertanian khususnya dan juga kehidupan di pedesaan pada umumnya. 1 Kita bisa melihat bila sektor pertanian kerap menjadi tulang punggung perekonomian negara. Pada masa Mataram Islam, Sultan Agung menitikberatkan pertanian sebagai fokus ekonomi kerajaan. Kedatangan Bangsa Eropa di Nusantara pada dasarnya juga dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dari penjualan komoditas pertanian yakni rempah-rempah. Fokus ekonomi Bangsa Eropa ini bermula dari penguasaan laut melalui VOC, menjadi penguasaan tanah saat kekuasaan berpindah ke Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Pergantian itu semakin menegaskan bila pertanian menjadi fokus penting para penjajah. Beberapa sistem seperti cultuurstelsel pun dicanangkan untuk mencapai hasil sebesar-besarnya dalam mengeksploitasi sektor pertanian. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia fokus pada sektor pertanian berlanjut. Pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program swasembada beras atau revolusi hijau, pertanian menjadi fokus utama negara untuk menjawab kesejahteraan penduduk. lihat. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200- 2004. Terjemahan Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesa, 2005), halaman: 97. 2 Dalam masyarakat Jawa Kuno profesi menempa logam ini disebut pande. Adapun ada berbagai macam pande sebagaimana tertulis dalam prasasti seperti pande mas (emas) dan pande esi (besi). Timbul Haryono, Logam dan peradaban Manusia (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), halaman: 30. Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990an NDARU SIH WAHYONO Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vukien

Post on 07-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Perhatian peneliti terhadap sektor di luar pertanian belakangan ini sudah

cukup banyak. Perhatian tersebut pada dasarnya menseimbangkan sektor

pertanian yang selalu esensial di pedesaan.1 Kajian di luar sektor pertanian

sebenarnya begitu diperlukan terlebih pada usaha yang mendukung sektor

pertanian itu sendiri. Usaha pembuatan alat pertanian yang dalam masyarakat

Jawa sering disebut pande besi2, merupakan kegiatan pendorong pertanian yang

penting. Namun selama ini kajian mengenai pande besi masih sangat sedikit.

Padahal dilihat dari segi fungsional, peran pande besi sangat berarti bagi sektor

pertanian khususnya dan juga kehidupan di pedesaan pada umumnya.

1 Kita bisa melihat bila sektor pertanian kerap menjadi tulang punggung

perekonomian negara. Pada masa Mataram Islam, Sultan Agung menitikberatkan

pertanian sebagai fokus ekonomi kerajaan. Kedatangan Bangsa Eropa di

Nusantara pada dasarnya juga dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan laba

sebesar-besarnya dari penjualan komoditas pertanian yakni rempah-rempah.

Fokus ekonomi Bangsa Eropa ini bermula dari penguasaan laut melalui VOC,

menjadi penguasaan tanah saat kekuasaan berpindah ke Pemerintahan Kolonial

Hindia Belanda. Pergantian itu semakin menegaskan bila pertanian menjadi fokus

penting para penjajah. Beberapa sistem seperti cultuurstelsel pun dicanangkan

untuk mencapai hasil sebesar-besarnya dalam mengeksploitasi sektor pertanian.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia fokus pada sektor pertanian berlanjut.

Pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program swasembada beras atau

revolusi hijau, pertanian menjadi fokus utama negara untuk menjawab

kesejahteraan penduduk. lihat. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200-

2004. Terjemahan Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesa, 2005),

halaman: 97. 2 Dalam masyarakat Jawa Kuno profesi menempa logam ini disebut pande.

Adapun ada berbagai macam pande sebagaimana tertulis dalam prasasti seperti

pande mas (emas) dan pande esi (besi). Timbul Haryono, Logam dan peradaban

Manusia (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), halaman: 30.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Sungguh merupakan ironi atau kelalaian, Pande besi sebagai kegiatan

penyedia alat pertanian seperti kehilangan dengungnya dalam kajian pedesaan.

Entah karena posisinya yang menyelinap diantara industri pertanian atau

nonpertanian sehingga tema pande besi menjadi tersamarkan. Selama ini

penelitian mengenai sejarah pande besi hanya sebatas selayang pandang, belum

ada yang membahasnya secara mendalam.3

Istilah profesi menempa besi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) disebut dengan “pandai besi”.4 Namun dalam kajian ini penulis memilih

istilah “pande besi” sebagaimana digunakan oleh masyarakat Jawa secara umum.

Hal ini dikarenakan penyebutan pande besi mengandung nilai budaya serta

menunjukkan karakter kedaerahan sesuai dengan kajian penulisan ini. Sebagai

contoh di Sumatera Barat kegiatan pandai besi disebut dengan “apa basi”.5

Pandai besi di Indonesia, sejatinya sangat kompleks sesuai dengan

kebutuhan daerah masing-masing. Pandai besi mengalami perkembangan sesuai

dengan karakteristik kawasan serta kondisi sosial dan budaya. Khusus di pulau

Jawa, pande besi menjadi kegiatan yang banyak ditemukan di daerah-daerah

pertanian. Berdasarkan letaknya pande besi dapat dibedakan menjadi pandai besi

pedalaman yang menyuplai kebutuhan alat pertanian dan pandai besi di pinggiran

kota pelabuhan untuk pengadaan alat bagi kapal. Sedangkan menurut

3 Sejauh pelacakan penulis, penelitian mengenai pande besi hanya fokus

pada ilmu ekonomi dan antropologi. Pencarian ini dilakukan di beberapa

pepustakaan ternama di Yogyakarta serta katalog Perpustakaan Nasional (PNRI).

Dalam pelacakan itu dijumpai tidak lebih dari sepuluh buku. 4 Lihat Hasan Alwi, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 2007) halaman: 820. 5 Tim Penulis Museum Negri Provinsi Sumatera Barat (Adhityawarman).

Kerajinan Pande Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat, 1995). Halaman: 2.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

kedudukannya khususnya di Jawa, pande besi dapat dibedakan menjadi pande

keraton dan pande besi rakyat. Adapun yang menjadi bahasan dalam penelitian

kali ini adalah pande besi pedalaman yang tidak lain merupakan pande besi

rakyat.6

Di masyarakat pedesaan Jawa, pande besi memang sangat dekat dengan

sektor pertanian. Bahkan dapat dikatakan antara pande besi dan pertanian

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila kita melihat daerah

pertanian di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat

pande besi selalu ditemukan. Kondisi tersebut terjadi di daerah pertanian yang

luas baik pegunungan maupun dataran kerap sekali terdengar tempaan pande besi

yang menunjukkan bahwa telah terjadi pembuatan atau perbaikan alat pertanian.7

Kedekatan pandai besi dengan sektor pertanian telah membuat beberapa

peneliti memberikan istilah khusus untuk pandai besi. Ann Dunham yang

mengkaji tentang pandai besi di nusantara menyebut “petani pandai besi” untuk

menegaskan kaitan pande besi dengan sektor agrikultural. Istilah ini berdasarkan

fungsi pande besi yang memang menjadi bagian bagi masyarakat pertanian.8

6 Pembedaan “pande besi pedalaman dan pelabuhan” ini meniru

pembedaan “kota pedalaman dan kota pelabuhan”. lihat Djoko Suryo. “Kota dan

Dinamika Kebudayaan: Proses Menjadi Kota dan Kebudayaan Indonesia Baru”

dalam Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia

Modern. (Yogyakarta: STPN Press, 2009), halaman 102.

7 Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri

Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan

Peninjauan Sosial, 1967) halaman: 1. 8 S. Ann Dunham, Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian

Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Bandung: PT Mizan

Pustaka, 1992) halaman: 31.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Istilah berikutnya yang muncul berkat keberadaan pande besi dalam

kawasan pertanian ialah “industri rakyat pandai besi” oleh Rachmanto.9 Selain

menyatakan pandai besi sebagai sebuah industri, istilah tersebut juga

menunjukkan bila pandai besi sudah dimiliki rakyat sejak lama. Adapun yang

dimaksud pandai besi di sini adalah pande alat pertanian.

Apabila ditinjau dari jumlah pekerja, pande besi tergolong dalam jenis

industri kerajinan rumah tangga karena memiliki jumlah pekerja antara 2-4

orang.10

Namun begitu, pemakaian istilah “industri” untuk pande besi

memerlukan kehati-hatian sebab pada masa tertentu pande besi merupakan

pekerjaan sampingan yang dikerjakan oleh para petani untuk memenuhi

kebutuhan lokal. Dalam perkembangannya kemudian pandai besi ada yang

melakukan produksi untuk kepentingan pasar.

Selain menunjukkan kedekatan dengan sektor pertanian, kedua istilah tadi

juga menegaskan jika pande besi memang berakar kuat dalam budaya masyarakat

Jawa. Secara historis, keberadaan kerajinan ini sejalan dengan para empu dalam

pembuatan keris pada masa kerajaan. Pande besi juga diyakini memiliki

hubungan yang erat dengan pihak kerajaan. Sehingga pada saat itu pande besi

diyakini merupakan profesi yang tidak sembarang orang bisa dan boleh

melakukan, sebab pande besi dapat memproduksi senjata yang menjadi indikator

terjadinya pemberontakan.

9 Rachmanto Widjopranoto, op.cit.,halaman: 1.

10 Ronald Clapham, Pengusaha Kecil dan Menengah Di Asia Tenggara

(Jakarta: LP3ES, 1991) halaman : 5.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

Sejarah pande besi apabila dicermati lebih dalam lagi sebenarnya sudah

sangat tua. Bahkan dapat dikatakan usia pande besi sebanding dengan zaman

logam dikenal di suatu wilayah. Apabila dibandingkan dengan kawasan Eropa,

keberadaan profesi ini dipastikan sudah ada jauh sebelum tahun Masehi dimulai.

Contoh yang paling mudah dari periodesasi ini adalah peperangan-peperangan

yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Pada saat itu pande besi berfungsi untuk

menyuplai kebutuhan senjata bagi para Gladiator.11

Kondisi demikian juga terjadi

di Nusantara yang memiliki ratusan kerajaan. Pada saat itu pande besi memegang

peranan penting terutama untuk menyuplai kebutuhan senjata bagi para prajurit.

Khusus di Pulau Jawa, keris merupakan senjata yang khas, namun senjata utama

yang digunakan oleh orang Jawa bukanlah keris melainkan senjata dengan wujud

yang lebih besar seperti pedang, tombak, gada, limpung dan lain-lain.12

Dalam sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti, pande besi juga

sudah disebut sebagai salah satu profesi menempa logam.

“Sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti yang menyebutkan

tentang pandai logam disebut dalam kitab Adiparwa, Tantu

Panggelaran, Negara Kertagama antara lain disebut: apande gending,

apande wesi, pande mas/ pande kencana, pande dadap. Sedang prasasti

Watukura menyebutkan adanya pande mas, kangsawsi, dadap.” 13

11

Lihat wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/gladiator diakses Selasa

20 Juni 2013, Pukul 10.00 WIB. 12

Adapun keris mencerminkan simbol bagi seorang laki-laki, sedangkan

bagi wanita simbol tersebut berupa cundrik. Budaya semacam ini biasanya

terdapat dalam keluarga bangsawan jawa. 13

Djoko Sukiman, Keris: Sejarah dan Fungsinya (Yogyakarta: Proyek

Javanologi, 1983) halaman: 3.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

Sumber ini menunjukkan bila pande besi yang dahulu disebut apande wesi dan

kangsa wsi memiliki usia yang sangat tua. Selain itu pande besi tergolong dalam

kegiatan menempa logam yang kedudukannya masuk dalam teras jabatan keraton.

Apabila ditinjau dari hubungan dengan pihak keraton pande besi dapat

dikategorikan menjadi pande keraton dan pande besi rakyat. Sedangkan menurut

produk yang dihasilkan pande besi dapat dibedakan menjadi pande pusaka atau

pande senjata, pande pisau, pande alat pertanian, pande roda dan lain

sebagainya.14

Seiring perkembangan zaman pande besi di pedesaan Jawa berkembang

sesuai dengan teknologi dan kebutuhan dalam wilayah tersebut. Pande besi di

pedesaan berkembang menjadi pande alat pertanian, alat pertukangan dan alat

rumah tangga yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun

sampai pande besi tersebar di pedesaan, sejarah perkembangan pande besi ini

belum banyak yang membahas secara mendalam.

Pada umumnya pande besi di pedesaan memiliki sisi yang belum banyak

diketahui orang, terlebih mengenai asal-usulnya. Kondisi demikan mungkin

berlaku bagi seluruh kerajinan pande besi di pedesaan. Tantangan ini semakin

memperbesar minat penulis untuk mengkaji lebih dalam keberadaan pande besi di

pedesaan. Keterbatasan sumber serta minimnya informasi membuat kisah pande

besi ini menjadi misteri dan setidaknya diperlukan usaha untuk mengungkap

misteri itu.

14

Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00-21.00

WIB di rumah Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh dinamika pande besi ini penulis

memilih tempat penelitian di sebuah pedesaan bernama “Jodog” yang dikenal

sebagai salah satu kawasan pande besi di Kabupaten Bantul. Menurut penduduk

sekitar kawasan ini pernah memiliki lebih dari 40 unit usaha pande besi. Selain itu

produk pande besi di kawasan ini juga dikenal bagus dan rapi, berbeda dengan

pande besi di kawasan lain.

Pemilihan Jodog sebagai tempat penelitian didasari oleh beberapa macam

faktor. Pertama, Jodog pernah memiliki pande besi yang jumlahnya cukup

banyak. Kedua, Jodog merupakan kawasan pedesaan yang kompleks karena dekat

dengan pasar, sawah, jalan raya, serta beberapa pusat pemerintahan sehingga

memungkinkan kita melihat perjalanan pande besi di tengah perkembangan

zaman. Ketiga, Jodog belum pernah menjadi objek penelitian sejarah atau ilmu

humaniora lain.15

Adapun Jodog yang dimaksud dalam penelitian ini sebenarnya merupakan

nama sebuah kawasan yang pada masa Kasultanan Ngayogyakarta berupa

kelurahan Djodoglegi.16

Pada tahun 1946, Djodoglegi dilebur dengan dua

kelurahan yakni Krekah dan Bantoelan menjadi sebuah kelurahan baru bernama

Gilangharjo. Sejak saat itu, kawasan Djodoglegi menjadi wilayah Kelurahan

Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Namun begitu, sampai sekarang kawasan yang dahulu merupakan

15

Penelitian mengenai kawasan ini sebelumnya fokus pada kajian ilmu

ekonomi, yakni analisiis produksi serta pendapatan para perajin pande besi.

Keterangan lebih lanjut lihat bagian tinjauan pustaka, halaman 11. 16

Rijksblad van Ngayogyakarta, over het jaar 1927.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

desa Djodoglegi tetap dikenal dengan sebutan Jodog. Sebutan ini sebenarnya tidak

terlepas dari keberadaan pasar tradisional yang sejak dahulu juga dikenal dengan

sebutan Pasar Jodog. Karena hal serupa, julukan pande besi di kawasan ini juga

disebut dengan pande besi Jodog.17

Di luar kisah Jodog yang begitu panjang, sejarah pande besi di kawasan

ini juga masih menjadi misteri. Beberapa perajin di kawasan ini sebenarnya tidak

tahu banyak tentang awal mula pande besi. Namun demikian ada keterangan

legendaris yang menyatakan bila kawasan ini dahulu dibuka oleh dua empu

Kerajaan Majapahit pada abad ke-15 M. Selanjutnya, keterangan yang lebih muda

menyatakan bila pada masa Kasultanan Yogyakarta desa Jodog (Djodoglegi)

merupakan pusat pande besi di Bantul sebelah barat.18

Menurut keterangan masyarakat, pande besi di Jodog merupakan cikal

bakal pande besi bagi kawasan di sekitarnya. Hal ini dapat diketahui dari garis

keturunan para perajin pande besi yang ada di sekitar Jodog selalu memiliki

hubungan dengan penduduk di kawasan ini. Selain itu, keterangan pada masa

Kasultanan juga menunjukkan bila pande besi di kawasan ini masih berhubungan

dengan pande besi keraton Kasultanan Yogyakarta di Nginto-into, Godean. Pada

saat itu Jodog membantu Nginto-into dalam menyuplai kebutuhan senjata.19

17

Arsip Desa Gilangharjo. Kelurahan Gilangharjo terjadi dari

penggabungan tiga kelurahan: 1) Krekah: Lurah Imo Ijoyo (1934-1946), 2)

Bantoelan: Lurah Atmo Sumarto (1933-1946), serta 3) Djodoglegi: Lurah Darmo

Rejo (1930-1946). 18

Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00

WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.

19 Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00

WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

Penelitian ini semakin menarik dengan menelusuri awal mula pande besi

di pedesaan seperti Jodog. Namun karena minimnya sumber penelitian serta

keinginan untuk menyajikan perjalanan pande besi secara cukup panjang,

penelitian ini mengambil periode mulai dari masa Kolonial sampai Kemerdekaan.

Pande besi Jodog pada tahun 1930an, rkembangan pande besi pun mencapai

puncaknya pada tahun 1970.

Kegemilangan pande besi di Jodog pada akhirnya mengalami penurunan

secara berkala mulai tahun 1990an. Pada saat itu pande besi harus bersaing

dengan produk-produk buatan pabrik. Selain itu generasi penerus juga nampak

enggan untuk meneruskan usaha turun-temurun ini. Mereka lebih memilih

pekerjaan di luar pande besi, misalkan menjadi sopir, bengkel, guru dan lain

sebagainya. Hingga pada akhir tahun 1990-an pande besi Jodog berkurang cukup

drastis. Kondisi ini terus terjadi sampai sekarang, hingga pande besi hanya

menyisakan empat unit usaha.20

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

Pande besi di Jodog pada tahun 1930 sampai 1990 telah melewati

berbagai zaman, yakni Kolonial, Jepang dan masa Kemerdekaan. Penelitian pada

rentang tahun ini memungkinkan kita melihat lebih jauh dinamika pande besi di

Jodog yang sekaligus menjadi permasalahan utama skripsi ini. Oleh karena itu,

beberapa pertanyaan penelitian diajukan.

20

Wawancara dengan Darto, Selasa, 12 Juni 2012, pukul 20.00 - 21.00

WIB di rumah Bapak Darto, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

Mengapa pande besi dapat merebak sampai di setiap sudut kawasan

Jodog, siapa yang mengawali pande besi ini, kapan pande besi ini dimulai, serta

seperti apakah perjalanan pande besi di kawasan ini?

Selanjutnya secara geografis, penelitian ini dilakukan di kawasan pedesaan

bernama Jodog yang terletak di Kelurahan Gilangharjo, Kecamatan Pandak,

Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jodog terdiri dari

beberapa daerah tingkat dusun, yakni Pandean, Banaran, Jangkang, Dukunan,

Jodog Kidul, Jodog Lor, Jodoglegi, Kadisoro, Nopaten dan Karangasem. Namun

demikian tidak semua dusun tersebut terdapat pande besi. Adapun hanya dusun

Banaran dan Nopaten yang diketahui tidak terdapat kerajinan pande besi.

Kawasan Jodog pada rentang waktu 1930 sampai 1990 mengalami

perkembangan yang sangat berarti khususnya dalam hal pande besi. Pada tahun

1930an muncul pande besi-pande besi baru yang menandakan pande besi menjadi

profesi pokok sebagian penduduk di kawasan ini. Seiring perkembangan dalam

sektor pertanian, pande besi merebak di kawasan ini dan menjadi profesi andalan

yang terbukti mampu mengangkat nama Jodog. Pande besi nampak mengalami

penurunan yang berarti setelah profesi ini mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan

oleh keturunan para perajin pande besi. Diketahui mulai tahun 1990an gejala

kemunduran dalam pandai besi ini terjadi. Hingga pada rentang tahun ini pula

pande besi berkurang cukup banyak.

C. Tujuan Penelitian

Pedesaan yang kerap dikonotasikan kuno atau “ketinggalan”, pada

kenyataanya memiliki industri rumahan yang dapat dikatakan “maju” sejak lama.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

Kajian mengenai pandai besi ini diharapkan dapat menampakkan sisi lain dari

pedesaan khususnya di Jawa. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat

melengkapi tema kajian tentang sejarah pedesaan di Indonesia.

Keberadaan pandai besi di pedesaan makin tergerus oleh industri besar di

perkotaan. Barang-barang hasil produksi pabrik tersebut biasanya jauh lebih

murah dibanding produksi lokal. Melihat kondisi tersebut muncul kekhawatiran

apabila pada suatu saat industri pandai besi yang diwariskan turun-temurun ini

tidak dapat meneruskan usahanya lagi. Maka tujuan dari penulisan ini tidak lain

ialah men-dokumentasi-kan industri pandai besi, khususnya pandai besi di Jodog.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu menarik minat masyarakat

umum untuk membaca sejarah dan menghargai sejarah. Hal ini bisa dimulai dari

sejarah lokal disekitar tempat tinggal kita masing-masing, karena pada saat ini

banyak orang yang tidak mengetahui sejarah asal muasal tempat tinggalnya.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai pandai besi di Jodog sebenarnya sudah pernah dilakukan

oleh beberapa mahasiswa ekonomi pada tahun 1990an. Namun dalam kajian

sebelumnya mereka menggunakan metode kwantitatif dalam meneliti pande besi.

Beberapa penelitian tersebut ialah: (1) Peranan Industri Pande besi Dalam

Meningkatkan Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo,

Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul oleh Tan Yulianto.21

(2) Pengaruh

Industri Kecil Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa

21

Tan Yulianto, Peranan Industri Pande besi Dalam Meningkatkan

Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak,

Kabupaten Bantul. Skripsi. (STIE Kerjasama Yogyakarta, 1994)

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul karya Hari Kusdaryanto.22

Serta (3) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Industri

Pandai Besi oleh Ririn Pamungkasih.23

Dari ketiga karya tersebut semua

dikerjakan menggunakan metode wawancara dan kuesioner. Adapun yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

menggunakan metode sejarah sehingga diperoleh gambaran perkembangan pande

besi di Jodog. Sedangkan penelitian sebelumnya lebih bersifat praktis, yakni

dengan menganalisis faktor produksi terhadap penghasilan para perajin pande

besi.

Secara ilmu sejarah, penelitian ini merupakan yang pertama bagi kawasan

Jodog, oleh karena itu perlu dilihat beberapa penelitian mengenai pande besi di

tempat lain. Karya yang sangat bagus sebagai tinjauan adalah buku berjudul

Penelitian Keadaan dan Peranan Industri Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah

Pertanian. Buku karya Rachmanto Widjopranoto ini memberi banyak sekali

informasi mengenai industri pande besi di pedesaan Jawa serta peran pande besi

pada tahun 1967. Penelitian yang mengambil tempat di Kelurahan Segaran,

Kecamatan Delanggu, Jawa Tengah ini memuat penelusuran sejarah pande besi,

akan tetapi perhatian pada sejarah pande besitersebut hanya sebatas selayang

pandang. Penelitian yang diadakan oleh Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial ini

22

Hari Kusdaryanto, Pengaruh Industri Kecil Pande besi Dalam

Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak,

Kabupaten Bantul. Tugas Akhir. (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa

APMD, 1995) 23

M.A. Ririn Pamungkasih, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Pendapatan Industri Pandai Besi: studi kasus dusun Karangasem, Gilangharjo,

Pandak, Bantul. Skripsi.(STIE Kerjasama Yogyakarta, 1998)

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

lebih menekankan pengaruh pande besi terhadap daerah pertanian di Kelurahan

Segaran.Adapun buku ini sangat membantu dalam memberikan gambaran industri

pande besi. Selain itu buku ini juga dapat menjadi perbandingan pande besi di

Jodog pada tahun 1960-an.24

Selanjutnya, skripsi mahasiswa Ilmu Sosiatri, Teguh Purwanto. Skripsi

dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Tenaga Kerja

Pedesaan pada Kerajinan Pande besi ini diselesaikan pada tahun 1987.25

Penelitian ini mencoba menganalisa faktor yang mendorong kesediaan warga

pedesaan untuk bekerja sebagai pande besi. Adapun ada tiga faktor yang diteliti,

yakni faktor keberadaan sektor pertanian, faktor perkembangan komunikasi dan

yang terakhir faktor tradisi. Tulisan ini mengambil tempat di dusun Koripan, Desa

Kranggan, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Dalam skripsi ini juga

diceritakan kondisi kerajinan pandai besi Koripan dengan cukup jelas, mulai dari

kehidupan perajin, proses produksi, penghasilan, pemasaran dll. Keberadaan

karya ini akan sangat membantu guna mencari celah permasalahan tentang pande

besi. Selain itu, tulisan ini menjadi perbandingan agar penelitian nanti tidak

mengikuti pola kajian antropologi.

Kemudian, buku karya S. Ann Dunham, selaku ibu Barack Obama,

presiden terpilih Amerika Serikat dapat menjadi tinjauan wajib saat hendak

24

Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri

Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan

Peninjauan Sosial, 1967) 25

Teguh Purwanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan

Tenaga Kerja Pedesaan Pada Kerajinan Pande besi (Kasus Koripan di pedesaan

Jawa). Skripsi. (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Jurusan Sosiatri. 1987)

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

meneliti pandai besi. Buku berjudul Pendekar-Pendekar Besi Nusantara ini

membicarakan pedesaan dengan pandai besinya secara menarik.Ia menentang

pendapat Boeke dan Clifford Geertz yang mengatakan bahwa penduduk pedesaan

tidak mempunyai kemampuan organisasi dan disiplin kerja, serta kerajinan

berbasis pedesaan ini sudah hampir punah di Jawa dan sekarang hanya menempati

posisi marginal. Sebaliknya Ann membuktikan bahwa masih ada kerajinan di

pedesaan indonesia yang selalu bertahan dan berkembang. Dalam buku ini Ann

menamakan pandai besi secara unik yakni “petani pandai besi”. Buku ini akan

sangat membantu untuk mengetahui lebih jauh tentang pandai besi, termasuk juga

teori-teori tentang pedesaan.26

Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat, menjadi buku menarik yang

dapat kita tinjau. Buku ini merupakan hasil dokumentasi budaya dari Museum

Negri Provinsi Sumatera Barat, Adhiyawarman. Dalam buku setebal 28 halaman

ini memuat gambaran peralatan pandai besi beserta hasil produksinya. Di kawasan

Sumatera Barat, kerajinan pandai besi ini disebut “apa basi”. Berdasarkan

informasi warga diceritakan bahwa ilmu menempa besi ini dibawa oleh bangsa

asing (penjajah) yang datang ke daerah ini berabad-abad lalu. Hal ini dibuktikan

dengan tidak adanya alat perkakas terutama “landasan” yang dapat dibuat di

dalam negeri. Kajian pendokumentasian budaya tentang pandai besi ini

sebenarnya cukup lengkap, bahkan sejarah asal-usul pandai besi di kawasan ini

26

S. Ann Dunham. Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian

Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia. (Bandung: PT Mizan

Pustaka, 1992)

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

juga turut ditelusuri. Buku ini dapat dijadikan perbandingan untuk mengetahui

perkembangan pandai besi yang terjadi di Jodog.27

E. Sumber dan Metode Penelitian

Kuntowijoyo, dalam Metodologi Sejarah mengatakan jika “sejarah

pedesaan ialah sejarah yang secara khusus meneliti tentang desa atau pedesaan,

masyarakat petani dan ekonomi pertanian. Sejarah pedesaan harus selalu dapat

mengembalikan permasalahan kepada desa dan pedesaan, atau kepada ekonomi

agraria di pedesaan”.28

Secara tematik penelitian mengenai pande besi ini masuk

dalam kategori sejarah pedesaan. Dalam hal ini pande besi merupakan bagian dari

desa yang juga sangat dekat dengan sektor pertanian. Lebih lanjut lagi

Kuntowijoyo menjelaskan sebuah subtema dalam sejarah pedesaan yakni sejarah

ekonomi pedesaan.29

Subtema ini sebenarnya merupakan sejarah mikro dari

sejarah ekonomi indonesia. Namun yang perlu digarisbawahi, penelitian mengenai

pande besi kali ini tidak hanya mengkaji tentang permasalahan ekonomi,

melainkan juga kehidupan sosial dalam masyarakat pandai besi. Maka dari itu

tema penulisan sejarah ini lebih tepat disebut sebagai sejarah sosial ekonomi

pedesaan.

Selain kategori sejarah, hal yang lebih sering dipertanyakan dalam setiap

penelitian ialah mengenai metode dan sumber penelitian. Penelitian pande besi

27

Tim Penulis Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat

(Adhityawarman). Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat,

1995) 28

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

halaman: 74 – 75. 29Ibid.,halaman: 91-99.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

Jodog ini menggunakan metode sejarah, yakni dengan beberapa tahapan meliputi

(1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber), (4)

interprestasi (analisis dan sintesis), (5) penulisan. Sedangkan mengingat objek

penelitian merupakan sejarah pedesaan yang sedikit sekali meninggalkan sumber

tertulis, maka sumber penelitian ini akan lebih banyak menggunakan sumber

sejarah lisan, yaitu dilakukan dengan wawancara.

Adapun untuk mengetahui seluk beluk sejarah lisan perlu dibaca beberapa

artikel tentang sejarah lisan yang ada dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi

nomor 13 bulan Maret 1991. Dalam buku tersebut ada tiga tulisan yang sangat

mengena untuk pande besi ini. Pertama, karya Adaby Darban, Beberapa Catatan

Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya. Kedua,

Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan oleh Sartono Kartodirjo. Dan

terakhir Sejarah LisanuntukSejarah Sosial karya Djoko Suryo.30

Selanjutnya

sebuah buku terjemahan M. Nursam mengenai teori dan metode sejarah lisan,

Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan karanganPaul

Thompson31

. Buku yang tergolong baru ini menjelaskan secara rinci mengenai

tatacara penelitian sejarah lisan, kisah pengalaman penulis, serta cara mensikapi

narasumber. Berbagai pengalaman wawancara yang Thompson lakukan di Inggris

ia ceritakan dengan jeli, sehingga banyak sekali pengetahuan sejarah lisan dalam

30

Adaby Darban, “Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya”; Sartono Kartodirdjo, “Pengalaman Kolektif sebagai Obyek Sejarah Lisan”; dan Djoko Surjo, “Sejarah Lisan untuk Sejarah Sosial” dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan”. dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi nomor 13 Bulan Maret 1991.

31 Paul Thompson, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah

Lisan (Yogyakarta: Ombak, 2012).

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

buku ini. Pada bagian akhir buku ini terdapat contoh kendali wawancara yang

dapat membantu kita untuk menyusun pertanyaan dengan lebih tepat dan

mendalam.

Selain beberapa buku tadi, Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah32

juga menyinggung sedikit mengenai sejarah lisan. Dalam buku ini Kuntowijoyo

menjelaskan kita tentang berbagai hal yang harus dipersiapkan dalam penelusuran

sejarah lisan. Mulai dari belajar sebanyak-banyaknya sampai pada tatacara untuk

menghormati hak interview. Untuk menghormati hak narasumber kita harus

menanyakan apa hasil wawancara tersebut dapat didengar oleh banyak orang.

Namun untuk penelitian pande besi ini bersifat netral sehingga semua hasil

wawancara dapat diketahui oleh banyak orang.

Temporal 1930-an sampai 1990-an dalam penelitian ini jelas bukan

temporal yang mudah untuk menggali informasi dengan metode wawancara.

Pasalnya, narasumber yang dipilih harus sesuai dan memenuhi kriteria usia

tertentu. Adapun untuk mendapatkan gambaran yang memadai diperlukan juga

sumber sekunder dari pustaka yang berisi tentang pande besi sezaman yang terjadi

di kawasan lain sebagai pembanding pada masa itu. Selain itu dalam penggalian

sejarah lisan ini dibutuhkan pula bukti-bukti fisik seperti napak tilas, foto dan

beberapa dokumen yang berhubungan dengan pande besi Jodog.

Penelitian ini selain mengandalkan sumber lisan juga mengusahakan

sumber-sumber tertulis seperti arsip dan pustaka. Data dari Badan Pusat Statistik

(BPS) kabupaten Bantul sebenarnya merupakan sumber yang sangat penting,

32

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005)

halaman: 98.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

namun dokumen yang ada di tempat ini kurang lengkap. Kebanyakan data yang

tersedia dari BPS Bantul merupakan data mutakhir, yakni tahun 1990-an.

Demikian juga yang kami peroleh di Badan Kearsipan Kabupaten Bantul,

pelayanan serta data yang tersedia tidak seperti yang kami harapkan.

Selanjutnya, titik cerah kembali terbuka saat mendapatkan beberapa berkas

data dari Badan Kearsipan dan di BPS Provinsi Yogyakarta. Beberapa data

tentang peralatan tani, serta perkembangan teknologi pertanian tersebut sudah

cukup membantu untuk penelitian ini. Selain itu, secara tidak sengaja penulis

menemukan tulisan tentang pandai besi dalam naskah kuno yang tersimpan di

Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah yang sudah ditransliterasi ke huruf

cetak ini berisi tentang sejarah empu keris sejak masa Majapahit.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab pokok yang disusun secara

kronologis. Pada Bab pertama yang merupakan pengantar menunjukkan alasan

penelitian ini penting untuk dilakukan. Latar belakang penelitian, permasalahan,

ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka serta sumber dan

metode penulisan terdapat dalam bab ini.

Dalam Bab kedua merupakan kajian yang lebih mendalam mengenai

kawasan Jodog dan sekitarnya. Pada bab ini terdapat tinjauan lingkungan geografi

beserta kondisi masyarakat Jodog. Bagaimana hubungan dan kedudukan kawasan

ini dengan pemerintah lokal serta segi-segi historis yang menjadi kepercayaan

masyarakat di sini. Selain itu juga disampaikan cerita legendaris kawasan ini yang

tentu masih berhubungan dengan awal mula pande besi.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

Pada Bab ketiga yang ditandai dengan munculnya pande besi-pande besi

baru menandakan bila pande besi benar-benar sudah menjadi profesi pokok

sebagian masyarakat di Jodog. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian yakni

munculnya pande besi-pande besi baru, penyebaran industri pande besi, sertapola

pewarisan. Pembagian ini sebenarnya dilakukan secara kronologis, yakni mulai

dari tahun 1930-an sampai 1950-an.

Pada Bab ke-empat membahas ketika Jodog menjadi pusat pande besi.

Pembahasan dalam bab ini dilakukan mulai dari merebaknya pande besi di Jodog

pada tahun 1960-an, masa ke-emasan pande besi pada tahun 1970-an, modernisasi

pande besi tahun 1980-an, serta tantangan dan kemunduran pande besi pada tahun

1990-an. Modernisasi pande besi itu ditandai oleh masuknya listrik pada tahun

1983 serta mekanisasi pertanian yang membuat beberapa budaya seperti aliran

kepercayaan dan sesaji dalam pande besi berubah. Selain itu, merebaknya

produksi alat tani dari pabrik juga membuat pande besisemakin menerima

tantangan dan harus memilih menentukan nasibnya kelak. Penelitian ini ditutup

dengan tahun 1990-an sebab pada tahun ini pande besi di Jodog mengalami

penurunan jumlah yang cukup besar.

Akhirnya tibalah pada bagian akhir penulisan ini yang ada pada Bab

kelima. Pada bab ini memuat kesimpulan yang menandakan awal harapan kami,

kajian pandai besi ini dapat menarik minat pemuda khususnya di Jodog untuk

lebih mengenal sejarah lokal tempat tinggal mereka.

Perkembangan Pande Besi di Jodog 19301 - 1990anNDARU SIH WAHYONOUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/