s1-2013-285452-chapter1

42
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26  juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya, outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik, salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010). Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb). Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Sebuah studi populasi  National Health and Nutrition Examination Survey  

Upload: j034rt

Post on 01-Jun-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 1/42

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang

memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26

 juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal

kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya,

outcome  yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien

dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik,

salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak

awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas

hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek

samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit

kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010).

Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada

sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb).

Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative  (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang

kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita

dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal

kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate 

(GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey 

Page 2: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 2/42

2

(NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early

 Renal Insufficiency  (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia

adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40% pada

gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4, dan

lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium 5 (Lankhorst dan Wish, 2010).

Penyebab terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik yaitu

multifaktor, tetapi ketidakcukupan produksi eritropoietin karena penyakit ginjal

merupakan penyebab yang utama. Anemia pada umumnya menjadi lebih berat

 pada penurunan fungsi ginjal.  Semakin menurunnya fungsi ginjal (ditandai

dengan stadium yang bertambah dan GFR yang menurun), maka prevalensi

anemia semakin tinggi (Isnenia, 2008). Transfusi sel darah merah merupakan

salah satu pilihan terapi anemia pada gagal ginjal kronik dimana dibutuhkan

ketika terjadi perdarahan akut, resistensi ESAs, maupun ketika kadar hemoglobin

 pasien di bawah 7 g/dL. Transfusi sel darah merah dapat mencegah

ketidakcukupan oksigenasi jaringan dan gagal jantung. Anemia pada gagal ginjal

kronik yang tidak diterapi berhubungan dengan peningkatan rawat inap dan biaya

kesehatan pasien. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar konsekuensi

anemia adalah penyakit kardiovaskuler, dimana morbiditasnya menjadi penyebab

 pasien dirawat di rumah sakit dan tingginya biaya kesehatan. Biaya dalam

 penanganan gagal ginjal kronik di Indonesia cukup tinggi terutama biaya dalam

 penanganan penyakit komplikasi dan komorbid, hal ini dapat membebani pasien.

Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik adalah anemia.

Oleh karena itu, diperlukan perhitungan biaya terapi anemia dalam kaitannya

Page 3: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 3/42

3

dengan transfusi darah. Dengan berkurangnya lama rawat inap, diharapkan biaya

medis langsung pasien juga akan lebih rendah. Selain itu, untuk meningkatkan

outcome klinik maupun ekonomik, maka penggunaan sumber daya (biaya) harus

dapat dioptimalkan dan pengeluaran harus dikendalikan. Hal tersebut yang

mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian guna mengetahui besarnya

rata-rata biaya medik langsung terapi penggunaan transfusi darah pasien anemia

 pada gagal ginjal kronik. Serta dapat pula diketahui faktor-faktor yang

mempengaruhi besarnya biaya terapi tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai

 pertimbangan dalam pengambilan keputusan klinik dengan memperhatikan

kondisi ekonomi pasien.

Banyaknya jumlah pasien gagal ginjal kronik memungkinkan semakin

 banyak pula angka kejadian anemia di rumah sakit-rumah sakit, sehingga perlu

untuk mengetahui adanya evaluasi pengobatan anemia pada gagal ginjal kronik.

Pada anemia digunakan parameter hemoglobin untuk mengontrol keparahan

anemia. Kadar hemoglobin ini sebisa mungkin dijaga dalam rentang normal untuk

menghindarkan pasien dari gejala-gejala anemia, yaitu dengan memberikan terapi

antianemia yang sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena itu, mengetahui

outcome  terapi suatu pengobatan sangat penting dalam penentuan terapi suatu

 penyakit. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat

 penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan yang menyediakan sarana

sebagai tempat belajar demi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit,

sekaligus menjadi rumah sakit rujukan terpercaya terutama masyarakat kota

Surakarta dengan pemberian pelayanan cepat, tepat, nyaman, dan mudah diakses.

Page 4: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 4/42

4

B. Rumusan Masalah

1. Berapa besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah pada

 penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr.

Moewardi periode tahun 2012?

2. Bagaimana outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal

ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012

dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi transfusi darah

 pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah

sakit di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah

 pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD

Dr. Moewardi periode tahun 2012.

2. Mengetahui outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal

ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012

dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien.

3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya total yang

dikeluarkan oleh pasien untuk terapi dengan transfusi darah pada penderita

anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah sakit di RSUD

Dr. Moewardi.

Page 5: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 5/42

5

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi tentang analisis biaya pengobatan anemia, terutama

 penggunaan transfusi darah pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat

inap RSUD Dr. Moewardi.

2. Sebagai bahan pertimbangan pengobatan anemia yang akan dilakukan

 berikutnya guna meningkatkan mutu pelayanan pasien di RSUD Dr.

Moewardi.

3. Mendukung kemajuan ilmu kesehatan terutama dalam bidang

farmakoekonomi.

4. Sebagai sumber informasi mengenai outcome  terapi penggunaan transfusi

darah pada penatalaksanaan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di

instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)

atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi

mempertahankan lingkungan internalnya dari perkembangan gagal ginjal yang

 progresif, irreversibel dan lambat yang berlangsung dalam jangka waktu lama

dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik

uremik) dimana hal tersebut berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan

dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon sakit (Hudson, 2008).

Page 6: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 6/42

6

Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau GFR <

60 mL/min/1,73 m2

  selama 3 bulan. Kerusakan ginjal ditandai dengan

abnormalitas patologi ginjal atau adanya marker kerusakan ginjal, yang

meliputi abnormalitas test darah atau urin atau gambaran struktur kerusakan

ginjal (NKF-K/DOQI, 2002). Penderita gagal ginjal kronik biasanya memiliki

 penyebab yang berbeda, onset yang tersembunyi, diikuti perkembangan

 penyakit yang progresif dan lambat, dan bersifat irreversibel.

Gagal ginjal kronik dikategorikan dalam tingkat fungsi ginjal,

 berdasarkan Glomerular Filtration Rate  (GFR), dari stadium 1 sampai 5,

dengan setiap peningkatan stadium menunjukkan tahap yang lebih parah dari

 penyakit, sebagaimana digambarkan dengan penurunan GFR. Gagal Ginjal

Kronik stadium 5 atau disebut juga sebagai gagal ginjal stadium akhir atau  End

Stage Renal Disease  (ESRD), terjadi jika GFR turun di bawah 15

mL/menit/1,73 m2 (Hudson, 2008). 

b. Etiologi

Sulit diperkirakan secara pasti penyebab dari gagal ginjal kronik,

karena kebanyakan pasien datang dengan kondisi ginjal yang sudah memburuk.

Pada tabel I memberikan estimasi distribusi penyebab gagal ginjal kronik di

Eropa.

Page 7: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 7/42

7

Tabel I. Distribusi Penyebab Gagal Ginjal Kronik Di Eropa

Penyebab  Rata-rata Frekuensi

terjadinya (%) 

Glomerulonefritis 20-25

Diabetes 15-20

Penyakit multisistem, tumor, haemolytic-

uraemic syndrome, gout

10-15

Pyelonefritis 10

Hipertensi / renovascular   10

Kongenital ( polycystic) 10

 Drug nephrotoxicity 5-10

 Interstitial nephritis 5Tidak diketahui penyebabnya 10-15

(Greene dan Harris, 2000) 

Secara umum, penyebab gagal ginjal kronik adalah karena penyakit

ginjal instrinsik, yaitu adanya kerusakan pada glomeruler. Gagal ginjal

iatrogenik meningkat dengan meningkatnya prevalensi diabetes dan gangguan

multisistem yang bervariasi yang membutuhkan terapi jangka panjang.

Hipertensi sekarang diketahui sebagai penyebab awal gagal ginjal kronik.

Diabetes dan hipertensi ini bertanggung jawab sampai dua pertiga kasus

terjadinya gagal ginjal kronik. Beberapa kondisi lain juga dapat mempengaruhi

ginjal, antara lain penyakit ginjal polikistik, penyakit lupus dan penyakit

lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sumbatan yang

disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar

 prostat, dan infeksi saluran kencing berulang (NKF-K/DOQI, 2006).

Tidak ada pencegahan khusus yang bisa direkomendasikan, karena

faktor etiologi yang heterogen, seperti glomerulonefritis dan pyelonefritis . 

 Namun demikian, tidak ada alasan untuk mengurangi kewaspadaan pada

sebagian besar penyakit ginjal iatrogenik yang terjadi khususnya pada geriatri,

Page 8: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 8/42

8

misalnya pada diabetes. Pada pasien diabetes, diharapkan dapat mengontrol

kadar gula darahnya agar tidak terjadi glikosuria yang dapat memperberat kerja

ginjal, sedangkan pada pasien hipertensi penggunaan ACE-Inhibitor   dapat

memperlambat kecepatan perkembangan gagal ginjal kronik. Kabar baiknya,

manajemen terapi gagal ginjal relatif sama, tanpa memperhatikan etiologinya

(Greene dan Harris, 2000).

c. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik

Faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3

kelompok, yaitu :

1) Faktor yang tidak langsung menyebabkan gagal ginjal kronik, seperti

umur, pendapatan dan pendidikan yang rendah, ras, penurunan massa

ginjal, berat badan lahir rendah, riwayat keluarga gagal ginjal kronik,

inflamasi sistemik, dan dislipidemia.

2) Faktor inisiasi gagal ginjal kronik, meliputi diabetes, hipertensi, dan

glomerulonefritis.

3) Faktor progresivitas, meliputi glikemia, hipertensi, proteinuria, merokok,

dan obesitas (Joy dkk., 2009).

d. Patologi

Pada gagal ginjal kronik terdapat peningkatan kerusakan jumlah

nefron yang bersifat permanen. Hal ini berkebalikan dengan gagal ginjal akut

yang mengalami perburukan sebagian pada nefron dan bersifat reversibel.

Konsekuensi pada gagal ginjal kronik, penurunan jumlah nefron yang masih

 berfungsi ini akan terus meningkat. Perubahan hemodinamik intrarenal terjadi

Page 9: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 9/42

9

sebagai kompensasi hipertensi glomeruler dan peningkatan kecepatan filtrasi

(hiperfiltrasi). Hal ini menyebabkan atau meningkatkan kecepatan sklerosis

glomeruler dan atrofi tubuler, serta memperburuk ginjal secara gradual. Satu

 pengecualian penting adalah penyakit polisistik dimana terjadi pembesaran,

walaupun jaringan yang masih berfungsi berkurang dengan cara yang sama

(Greene dan Harris, 2000).

Cadangan ginjal terdiri dari lebih banyak nefron yang dibutuhkan

untuk bertahan hidup, tetapi dibutuhkan adaptasi dan kompensasi yang tinggi

ketika jumlahnya berkurang karena mengancam fungsi organ. Adaptasi untuk

menjaga air, asam, natrium dan kalium dalam rentang yang normal, sehingga

hipervolemi, asidosis, dan perubahan kadar elektrolit plasma hanya terjadi

ketika GFR kurang dari 5-10 mL/min, dimana hal itu terjadi onset gagal ginjal

akhir. Bagaimanapun asam urat dan fosfat akan terakumulasi sebelum

terjadinya gagal ginjal akhir. Kadar urea dan kreatinin juga akan meningkat

 proporsional dengan penurunan GFR, karena tidak ada mekanisme kompensasi

untuk molekul ini (Greene dan Harris, 2000).

Sebelum gagal ginjal akhir, pengurangan cadangan ginjal pasien

membuat mereka cenderung mudah untuk dekompensasi jika terdapat

 penambahan kondisi yang memperburuk ginjal. Infeksi, pembedahan,

kehilangan banyak cairan seperti diare atau muntah berat, trauma, obat-obatan

tertentu seperti tetrasiklin, kelebihan kalium seperti penggunaan diuretik hemat

kalium, konsumsi makanan tinggi kalium, dan lain-lain dapat menyebabkan

Page 10: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 10/42

10

eksaserbasi atau kondisi akut pada gagal ginjal kronik krisis yang mungkin

indikasi awal pada penyakit ginjal stadium berat (Greene dan Harris, 2000).

e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinik

Tabel II memberikan ringkasan masalah klinik pada penyakit gagal

ginjal kronik dengan patogenesis dan pengukuran biokimia yang

memperlambat perkembangan penyakit atau gejalanya. Pada gagal ginjal tahap

akhir terapi lebih ditujukan pada pengurangan gejala / keluhan pasien (Greene

dan Harris, 2000).

Tabel II. Manifestasi Klinik Pada Gagal Ginjal Kronik

Penyebab  Manifestasi Klinik   Manajemen Terapi 

Retensi

 Natrium / Air Hipertensi

Udem, sistemik maupun

 paru-paru

Gagal jantung

Pembatasan Na / Air,

diuretik, antihipertensi

Kalium Hiperkalemia, aritmia Pembatasan diet Nitrogen :

1)  Urea

2)  Asam urat

3)  Kreatinin

4)  Lain-lain

Mual, muntah, purpura

Hiperurisemia, gout

Uncertain

Letargi, anorexia, dan lain-

lain

Perhatian pada

konsumsi protein

Molekul dengan BM

500-5000 Da

Letargi, anorexia, dan lain-

lain

Fosfat Osteodistrofi ginjal Pembatasan diet

Melanin, dan lain-lain Pigmentasi kulit

Asam Asidosis metabolik, dyspnea  Bikarbonat oral

Endokrin

Vitamin D dan

defisiensi kalsium

Osteodistrofi ginjal

Miopati

 Neuropati perifer, kramPruritis

Analog vitamin D,

kalsium

Defisiensi

eritropoietin

Anemia Biosintesis

eritropoietin

Lain-lain

Toleransi glukosa   Hiperglikemia Antidiabetika

Metabolisme insulin   Hipoglikemia Glukosa

Page 11: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 11/42

11

Tabel II. Lanjutan...

Lipoprotein lipase   Hiperlipidemia,

aterosklerosis, penyakit jantung iskemik (IHD)

Diet lemak; agen

antihiperlipidemia (statin)

Imunodefisiensi Infeksi

Perikarditis

Antibiotik

 Platelet defect Koagulasi  

Stress ulceration Antagonis histamin (H2)

Beberapa masalah

dengan terapi obat(Greene dan Harris, 2000) 

1)  Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Konsentrasi urin sering berkurang pada stadium awal penyakit,

menyebabkan poliuria dengan urin yang encer dan risiko dehidrasi serta

 pengurangan elektrolit, ini terjadi pada fase poliuri gagal ginjal akut. Hal ini

dapat terjadi sebagai hasil dari induksi diuretik osmotik dengan peningkatan

kadar urea pada filtrasi tubulus. Pada stadium selanjutnya, volume urin

 berkurang dan terjadi retensi natrium dan air yang dapat menyebabkan

hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi lain yang dapat terjadi

karena hipervolemia adalah udem, termasuk udem paru dan gagal jantung.

Pada onset gagal ginjal akhir pasien dapat mengalami anuria (Greene dan

Harris, 2000).

2) Uremia

Problem mayor hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja,

tetapi bermacam-macam elektrolit dan zat lainnya, terutama nitrogen. Urea

dapat menyebabkan masalah pada saluran pencernaan dan bertanggung jawab

 pada kerapuhan pembuluh kapiler, serta menyebabkan purpura (lebam) pada

 pasien gagal ginjal. Walaupun terjadi peningkatan kadar asam urat, tetapi

gejala klinik gout jarang terjadi. Selain itu, terjadi akumulasi molekul dengan

Page 12: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 12/42

12

 bobot molekul 500-5000 Da dan nitrogen juga berkontribusi pada simptom-

simptom non spesifik.  Peritoneal dialysis  merupakan metode yang efisien

untuk membersihkan substansi ini, yang akan memicu peningkatan kualitas

hidup pasien gagal ginjal. Gejala uremia seperti cepat lelah, lemah, sesak nafas,

 bingung, mual, muntah, perdarahan, dan hilang nafsu makan (Greene dan

Harris, 2000).

3) Asam dan Kalium

Perbaikan kadar kalium dan kondisi asam ini tidak menghambat

 progresifitas penyakit hingga gagal ginjal tahap akhir. Sebelum itu, pasien

gagal ginjal akan toleran pada hiperkalemia dan kondisi asidosis ringan, atau

 bisa beradaptasi pada kedua kondisi tersebut. Bagaimanapun juga retensi air

dalam waktu yang lama merupakan masalah serius pada gagal ginjal akhir

(Greene dan Harris, 2000).

4) Gejala metabolik

Terdapat perubahan besar pada kadar lipid dan metabolisme

karbohidrat. Ginjal secara normal akan mengkatabolisme beberapa hormon

seperti insulin, tetapi pada pasien dengan gagal ginjal mekanisme ini

mengalami penurunan. Sebaliknya terjadi peningkatan toleransi glukosa yang

 berakibat diabetes. Dislipidemia terjadi karena peningkatan fraksi lipid

aterogenik (Greene dan Harris, 2000).

5) Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi adalah yang paling umum terjadi dan juga peningkatan

insidensi terjadinya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung. Hipertensi

Page 13: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 13/42

13

terjadi karena adanya retensi cairan dan gangguan sistem renin-angiotensin.

Dislipidemia dan hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis, yang

merupakan manifestasi gagal ginjal kronik yang sering terjadi. Sedangkan

gagal jantung dapat terjadi karena hipervolemi, hipertensi, iskemia, dan

anemia; serta kardiomiopati yang dapat disebabkan karena ketidakseimbangan

kadar kalsium dan fosfat (Greene dan Harris, 2000).

6) Anemia

Penyebab utama anemia pada pasien gagal ginjal adalah hipoplasia

sumsum tulang karena pengurangan atau ketiadaan eritropoietin. Gambaran

anemianya merupakan anemia normositik normokromik seperti kebanyakan

 pada penyakit kronis; kemudian kadar hemoglobinnya jarang yang lebih dari

80 g/L (normal = 120-180 g/L). Defisiensi besi dan folat pada anemia dapat

terjadi karena pembatasan diet, kecenderungan perdarahan, dan kehilangan

darah saat hemodialisis dan uji laboratorium. Anemia pada penyakit ginjal

secara signifikan mengurangi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik,

membatasi aktivitas pasien, dan risiko terjadi gagal jantung (Greene dan Harris,

2000).

7) Gejala lain-lain

Sebagian besar penderita tidak merasakan gejala-gejala yang berat

sampai gagal ginjal mereka menjadi parah. Tetapi beberapa gejala yang

mungkin akan muncul selain gejala di atas antara lain sulit tidur, kram otot di

malam hari, bengkak (pada kaki, pergelangan kaki, dan di sekitar mata

terutama di pagi hari), gatal, sering buang air kecil pada malam hari, adanya

Page 14: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 14/42

14

 busa pada urin (proteinuria), dan neuropati perifer (NKF-K/DOQI, 2006;

Hudson, 2008).

f. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Outcome  merugikan pada gagal ginjal kronik sering dapat dicegah

atau ditunda kemunculannya melalui deteksi dan terapi secara dini. Stadium

awal pada gagal ginjal kronik dapat dideteksi melalui test laboratorium rutin.  

Adanya gagal ginjal kronik harus ditetapkan berdasarkan pada tingkat

kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal (Glomerular Filtration Rate  /

GFR).  Stadium penyakit didasarkan pada tingkat fungsi ginjal, dan sebagai

diagnosis, berdasarkan klasifikasi dari  Kidney Disease Outcome Quality

 Initiative: Clinical Guideline for Chronic Kidney Disease  (NKF/K-DOQI),

sebagai berikut : 

Tabel III. Stadium Penyakit Ginjal Kronik

Stadium  Deskripsi  GFR

(mL/min/1,73 m2) 

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal or  GFR  90

2 Kerusakan ginjal dengan  GFR ringan (mild ) 60-89

3 Penurunan GFR sedang (moderat ) 30-59

4 Penurunan GFR berat ( severe) 15-29

5 Gagal ginjal ( Kidney Failure) < 15 atau dialisis

(NKF-K/DOQI, 2006) 

g. Evaluasi dan Terapi

Evaluasi dan terapi pasien gagal ginjal kronik dikategorikan

 berdasarkan konsep diagnosis, kondisi komorbid, keparahan penyakit,

komplikasi penyakit, dan risiko kehilangan fungsi ginjal dan penyakit

kardiovaskuler. Terapi gagal ginjal kronik meliputi :

Page 15: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 15/42

15

1) 

Terapi spesifik berdasarkan diagnosis

2) 

Evaluasi dan manajemen kondisi komorbid

3)  Penurunan fungsi ginjal

4)  Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler

5)  Pencegahan dan terapi komplikasi penurunan fungsi ginjal

6)  Persiapan jika gagal ginjal terminal dan terapi dengan dialisis

7)  Terapi sulih fungsi ginjal dengan dialisis dan transplantasi, jika terdapat

gejala uremia

Aksi klinik harus dikembangkan untuk masing-masing pasien,

 berdasarkan stadium penyakitnya oleh NKF/K-DOQI, aksi klinik

diklasifikasikan menjadi :

Tabel IV. Stages of Chr onic K idney Disease: A Cl in ical Action Plan  

StadiumPenyakit

Ginjal Kronik  

GFR(mL/min/1,73 m

2)  Aksi Klinik  

1  90 Diagnosis dan terapi,

Terapi kondisi komorbid,

Progresivitas lambat,

Penurunan risiko kardiovaskuler

2 60-89 Estimasi progresivitas

3 30-59 Estimasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan terapi sulih fungsi ginjal

5 < 15 atau dialisis Terapi sulih fungsi ginjal (jika

terdapat uremia)

(NKF-K/DOQI, 2006) 

Terapi gagal ginjal kronik meliputi terapi non farmakologi dan

farmakologi. Terapi non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein (0,6-0,75

g/kg BB/hari), sehingga dapat mencegah progesivitas gagal ginjal kronik, baik

 pada pasien dengan diabetes maupun tanpa diabetes, meskipun demikian

Page 16: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 16/42

16

keuntungannya relatif kecil. Sedangkan terapi farmakologi gagal ginjal kronik,

yaitu bila disertai diabetes melitus, dengan terapi insulin intensif 3 kali atau

lebih sehari dengan target glukosa darah prepandrial 70-120 mg/dL dan

 postpandrial < 180 mg/dL, jika disertai hipertensi, kontrol hipertensi dengan

optimal, JNC-7 merekomendasikan target tekanan darah < 130/85 mmHg

(Hudson, 2009).

2. Anemia

a. Definisi Anemia

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di

rumah sakit di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama

masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab

debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial

dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Anemia secara fungsional didefinisikan

sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi

fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.

Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,

hematokrit atau hitung eritrosit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat

 bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta

keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan (Bakta, 2006).

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi

merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh

karena itu, dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label

anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia

Page 17: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 17/42

17

tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi,

sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah

 penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting

dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang

mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia

tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang

 patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih,

menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,

 pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2006).

Anemia didefinisikan dari  National Kidney Foundation Kidney

 Disease Outcomes Quality Initiative  (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi

hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang

dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia merupakan temuan yang hampir

selalu ada pada pasien penyakit ginjal lanjut, dengan hematokrit 18% hingga

20% lazim terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronik merupakan anemia jenis

normokromik normositik, yaitu anemia karena terjadi defisiensi eritropoietin.

Penelitian retrospektif observasional pada pasien hemodialisis dan gagal

 jantung menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya mortalitas. Selain itu, anemia mempengaruhi morbiditas pada pasien

gagal ginjal tahap akhir (ESRD), gagal ginjal kronik, dan gagal jantung (Mason

dkk., 2008).

Page 18: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 18/42

18

b. Epidemiologi

Insiden anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik meningkat

dengan berkurangnya kecepatan filtrasi glomerolus. Studi populasi dari

 National Health and Nutrition Examination Survey  (NHANES) dari  National

 Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency 

(PAERI) bahwa insidensi anemia kurang dari 10 % pada gagal ginjal kronik

stadium 1 dan 2, 20-40 % pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60 % pada

gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70 % pada gagal ginjal kronik

stadium 5.  Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi

hemoglobin yang normal hanya terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik

dengan dialisis, sebagian besar pasien memiliki nilai hemoglobin 6-8 g/dL.

Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis memerlukan terapi transfusi darah

(Macdougall, 2011). 

c. Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh

 bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena : 1)

Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah

keluar tubuh (perdarahan), dan; 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh

sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia

dapat dilihat pada tabel V. Anemia pada gagal ginjal kronik terutama terjadi

karena penurunan produksi eritropoietin. Sel progenitor ginjal memproduksi

90% eritropoietin, yang akan menstimulasi produksi sel darah merah. Adanya

 penurunan massa nefron ginjal pada pasien gagal ginjal kronik menyebabkan

Page 19: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 19/42

19

menurunnya produksi eritropoietin, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya

anemia. Anemia menurunkan suplai oksigen ke jaringan tubuh, menyebabkan

 peningkatan cardiac output  dan left ventricular hypertrophy (LVH) (Schonder,

2008).

Tabel V. Klasifikasi Anemia Menurut Etipatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

 b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B122. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

 b. Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

 b. Anemia mieloptisik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoietik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal

kronik

B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpuskuler

a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

 b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi

G6PD

c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)

- Thalassemia- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler

a. Anemia hemolitik autoimun

 b. Anemia hemolitik mikroangiopati

c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang

kompleks

(Greene dan Harris, 2000) 

Page 20: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 20/42

20

Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat

indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Berikut merupakan klasifikasi anemia

 berdasarkan morfologi dan etiologi.

Tabel VI. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

I. Anemia hipokromik mikrositik, bila MCV <80 fL dan MCH <27 pg 

a. Anemia defisiensi besi 

 b. Thalasemia major  

c. Anemia akibat penyakit kronik  

d. Anemia sideroblastik  

II. Anemia normokromik normositik, bila MCV 80-95 fL dan MCH 27-34 pg 

a. Anemia pasca perdarahan akut  b. Anemia aplastik  

c. Anemia hemolitik  

d. Anemia akibat penyakit kronik  

e. Anemia pada gagal ginjal kronik  

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik  

g. Anemia pada keganasan hematologik  

III. Anemia makrositik, bila MCV >95 fL 

a. Bentuk megaloblastik  1. Anemia defisiensi asam folat 

2. Anemia defisiensi vitamin B12, termasuk anemia pernisiosa 

 b. Bentuk non-megaloblastik  

1. Anemia pada penyakit hati kronik  

2. Anemia pada hipotiroidisme 

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik  (Greene dan Harris, 2000) 

d. Patofisiologi dan Gejala Anemia

Terdapat berbagai faktor penyebab anemia pada gagal ginjal kronik,

namun penyebab utama adalah ketidakcukupan produksi eritropoietin (EPO),

yang sering diikuti dengan defisiensi besi. Kegagalan ginjal yang progresif

 berkontribusi pada peningkatan insiden anemia karena defisiensi EPO.

Mekanisme penurunan produksi EPO ini belum diketahui secara pasti. Hal ini

dapat terjadi sebagai bagian dari respon fisiologi untuk mencapai konsentrasi

Hb yang turun secara kronik (Lankhorst dan Wish, 2010).

Page 21: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 21/42

21

Secara tipikal, produksi EPO di sel endotelial kapiler tubulus ginjal

 bergantung pada mekanisme  feed-back   untuk mengukur kapasitas pembawa

oksigen total. Faktor penginduksi hipoksia ( Hypoxia inducible factor / HIF),

yang diproduksi di ginjal dan jaringan lain, merupakan substansi pendegradasi

spontan yang dihambat adanya penurunan pembawa oksigen selama anemia

atau hipoksemia. Selanjutnya, HIF memicu transduksi sinyal dan sintesis EPO.

Oleh karena itu, respon yang muncul adalah ditingkatkannya produksi EPO

 pada anemia. EPO kemudian berikatan dengan reseptor pada sel progenitor

eritroid di sumsum tulang belakang, secara spesifik  Burst-Forming Units 

(BFU-E) dan Colony Forming Units  (CFU-E). Adanya EPO, progenitor

eritroid ini berdiferensiasi menjadi retikulosit dan sel darah merah ( Red Blood

Cells/ RBCs). Ketiadaan EPO memicu program apoptosis, hal ini dimediasi

oleh antigen Fas. Penurunan produksi sel darah merah dan berkelanjutan pada

kehilangan darah karena kematian sel darah merah akan mendorong

 perburukan anemia (Lankhorst dan Wish, 2010).

Terdapat faktor lain pada gagal ginjal kronik yang juga berkontribusi

 pada anemia, yaitu kondisi inflamasi kronik dan akut yang memiliki pengaruh

kuat pada anemia gagal ginjal kronik, oleh agen inflamasi sitokin yang

menurunkan produksi EPO dan menginduksi apoptosis pada Colony Forming

Units-Erythroid Cells  (CFU-E). Pada induksi awal apoptosis sel CFU-E

menghentikan proses perkembangan menjadi sel darah merah. Agen inflamasi

sitokin juga ditemukan dapat menginduksi produksi hepcidin, suatu peptida

yang dihasilkan di hati, yang mengganggu dalam produksi sel darah merah,

Page 22: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 22/42

22

dengan menurunkan ketersediaan besi untuk menjadi eritroblas. Hal ini dapat

mengurangi produksi sel darah merah. Berikut ini merupakan gambaran dari

 pembentukan sel darah merah pada gagal ginjal kronik (Lankhorst dan Wish,

2010).

Gambar 1. Eritropoiesis Pada Gagal Ginjal Kronik (Lankhorst dan Wish, 2010)

Sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki

waktu hidup yang pendek. Pada normalnya waktu hidup sel darah merah

adalah 120 hari, pada gagal ginjal kronik menjadi 60-90 hari. Pada pasien tanpa

gagal ginjal, sumsum tulang belakang memiliki kapasitas untuk meningkatkan

 produksi sel darah merah dan mengoreksi waktu hidup sel yang pendek, tetapi

respon ini berkurang pada pasien gagal ginjal karena defisiensi EPO. Toksin

uremia juga berkontribusi pada apoptosis sehingga insiden anemia akan

meningkat setelah dialisis. Terdapat beberapa studi prospektif dan

Page 23: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 23/42

23

observasional yang menyebutkan bahwa uremia berperan dalam supresi

sumsum tulang belakang (Lankhorst dan Wish, 2010).

Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul

 pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin

turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : 1)

Anoksia organ dan; 2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya

daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik)

apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dL (Bakta, 2006). Berat

ringannya gejala umum anemia tergantung pada :

1) 

Derajat penurunan hemoglobin

2)  Kecepatan penurunan hemoglobin

3)  Usia

4) 

Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu :

1)  Gejala umum anemia 

Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul

karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh

terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus

anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <10 g/dL).

Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging

(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan

dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada

konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku.

Page 24: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 24/42

24

Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit

di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin

yang berat (Hb <10 g/dL) (Bakta, 2006).

2) Gejala khas masing-masing anemia 

Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, seperti anemia

defisiensi besi, dengan gejala : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,

dan kuku sendok (koilonychia) (Bakta, 2006).

3) Gejala penyakit dasar  

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia

sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Pada kasus

tertentu sering gajala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada

anemia akibat gagal ginjal kronik, gejala yang sering muncul adalah kelelahan,

kehilangan libido, dizziness, nafas pendek, dan penurunan status kesehatan

(Bakta, 2006).

Gejala yang lebih berat yang dapat terjadi karena anemia pada gagal

ginjal kronik adalah penyakit kardiovaskuler dengan  Left Ventriculer

 Hyperthropy  (LVH) dan gagal jantung kongestif yang berakibat pada

morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner,

 penurunan oksigen yang dibawa oleh darah merah ke otot jantung akan

menyebabkan perburukan gejala angina. Penurunan oksigen perifer selama

anemia memicu vasodilatasi perifer, yang dapat meningkatkan aktivitas sistem

syaraf simpatik, meningkatkan kecepatan denyut jantung, stroke, dan LVH.

LVH merupakan outcome  tak diinginkan dari pasien gagal ginjal kronik.

Page 25: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 25/42

25

Penurunan 0,5 g/dL dari Hb normal, berkorelasi dengan peningkatan 32%

risiko LVH, sedangkan peningkatan 5 mmHg dari tekanan darah sistolik

meningkatkan 11% risiko LVH (Lankhorst dan Wish, 2010).

Selain gejala di atas, penurunan oksigen di jaringan yang disebabkan

karena anemia, menstimulasi sistem  Renin-Angiotensin-Aldosterone  (RAA)

ginjal dan menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal. Faktor inilah yang dapat

memperburuk kondisi proteinuria sehingga memperburuk gagal ginjalnya.

Komplikasi lain berkaitan dengan anemia adalah berkurangnya fungsi kognitif

dan mental, melemahnya kualitas hidup, dan memerlukan transfusi darah

(Lankhorst dan Wish, 2010). Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan

 pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan

diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan

 pemeriksaan laboratorium (Bakta, 2006).

e. Diagnosis

1)  Pemeriksaan untuk diagnosis Anemia 

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok

dalam diagnosis anemia. Selain itu, pemeriksaan non-hematologik tertentu

seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid juga penting

dilakukan. Pemeriksaan laboratorium ini terdiri dari : 

a) Screening Test  

Screening Test   untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar

hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat

Page 26: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 26/42

26

dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang

sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. 

 b) Pemeriksaan Darah Seri Anemia 

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung

retikulosit, dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai

automatic hematology analyzer  yang dapat memberikan presisi hasil yang

lebih baik. 

c) Pemeriksaan Sumsum Tulang 

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga

mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk

diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum

tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia

megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat menekan

sistem eritroid. 

d) Pemeriksaan Khusus 

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada

anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity),

saturasi transferin, feritin serum, reseptor transferin, dan pengecatan besi

 pada sumsum tulang ( Perl’s stain). 

2)  Pendekatan diagnosis

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, yang

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan

dalam diagnosis anemia. Tidak cukup jika hanya sampai pada diagnosis

Page 27: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 27/42

27

anemia, tetapi sedapat mungkin harus dapat menentukan penyakit dasar yang

menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap dalam diagnosis anemia adalah :

menentukan adanya anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi

atau penyakit dasar anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit

 penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan (Bakta, 2006). 

f. Tatalaksana Terapi Anemia

Anemia pada gagal ginjal kronik diterapi menggunakan agen

eritropoiesis eksogen bagi pasien yang mengalami penurunan level

eritropoietin. Sesuai  guideline  dari NKF-K/DOQI merekomendasikan bahwa

secara umum target hemoglobin yaitu pada rentang 11 hingga 12 g/dL . Saat ini

agen yang diakui seperti epoetin alfa dan darbepoetin alfa, yaitu merupakan

agen tambahan yang memiliki interval dosis yang panjang menerima

 pengakuan dari  Food And Drug Administration  (FDA) Amerika Serikat pada

 bulan Oktober 2007 dan diakui oleh  European Medicines Agency pada bulan

Juli 2007. Penyebab anemia selain defisiensi eritropoietin juga harus diketahui,

khususnya jika anemia yang terjadi tidak proporsional dengan kerusakan fungsi

ginjal, defisiensi besi, leukositopenia, atau trombositopenia, penyebab tersebut

yaitu penurunan waktu hidup sel darah merah dengan adanya uremia, defisiensi

 besi, kehilangan darah secara reguler, dan kehilangan darah pada pasien

hemodialisis. Pasien dengan kadar transferrin saturation  (TSAT) < 20% atau

serum feritin <100 ng/mL harus menerima terapi penggantian besi sebelum

dan/atau selama terapi dengan eritropoietin (NKF-K/DOQI, 2006).

Page 28: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 28/42

28

Terapi anemia pada gagal ginjal kronik dengan agen eritropoiesis

dapat mencegah hipertropi ventrikel kiri dan dapat memotong siklus anemia

kardiorenal. Terapi eritropoietin pada anemia pada gagal ginjal kronik

 berhubungan dengan pengurangan rawat inap di rumah sakit, penghematan

 biaya kesehatan, dan penurunan mortalitas, karena terapi eritropoietin dapat

meningkatkan fungsi kognitif dan fisik serta kualitas hidup pasien. Berdasarkan

 jurnal  Diagnosis And Treatment of Anemia of Chronic Kidney Disease in the

 Primary Care Setting  tahun 2008 merekomendasikan target kadar hemoglobin

 pada terapi dengan eritropoietin adalah 10-12 g/dL. Injeksi subkutan dengan

interval dosis kecil lebih dipilih pada terapi eritropoietin untuk pasien rawat

 jalan gagal ginjal kronik non-dialisis. Tujuan koreksi awal anemia adalah

 peningkatan kadar Hb sebesar 1-2 g/dL per bulan hingga mencapai rentang

target Hb  11g/dL dan  12g/dL, kemudian tujuan dari terapi pemeliharaan

adalah menjaga kadar Hb pada rentang target dengan menurunkan atau

menaikkan dosis inkremental (Dalton dan Schmidt, 2008).

Selama terapi awal dan selama 2 sampai 6 minggu setelah adjustments

dose, nilai Hb harus dimonitoring setiap satu minggu sekali hingga stabil.

Kemudian, nilai Hb dapat dimonitoring setiap satu bulan sekali dan status besi

setiap 1 sampai 3 bulan (lebih sering pada perdarahan atau operasi). Jika nilai

Hb > 12g/dL, dosis agen eritropoiesis harus dikurangi atau bahkan dihentikan.

Penghentian pemberian yang lama menjadi tepat ketika terjadi peningkatan

kadar Hb dengan cepat dan/atau signifikan. Pada  guideline KDOQI dan FDA

menegaskan bahwa target nilai Hb > 13g/dL lebih berisiko dibandingkan

Page 29: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 29/42

29

dengan keuntungannya. Variabilitas masing-masing individu dalam respon

 peningkatan nilai Hb juga harus dipertimbangkan dan penentuan dosis

disesuaikan dengan individu pasien. Tekanan darah harus dikontrol sebelum

 pemberian Erythropoiesis Stimulating Agents (ESAs) dan dimonitoring selama

 pemberian, beberapa pasien mungkin membutuhkan antihipertensi pada terapi

dengan ESAs (Dalton dan Schmidt, 2008).

Regimen dosis untuk terapi menggunakan ESAs didasarkan pada berat

 badan pasien atau menggunakan dosis tetap. Direkomendasikan bahwa dosis

awal berdasarkan berat badan adalah 50-100 unit/kg BB 3 kali seminggu untuk

terapi dengan epoetin alfa atau 0,45 µg/kg BB/minggu untuk darbepoetin alfa.

Sedangkan algoritma penggunaan dosis tetap untuk pasien yang tidak

memerlukan dialisis yaitu dosis awal secara subkutan 4000 unit per minggu

untuk epoetin alfa atau 40 µg setiap 2 minggu untuk darbepoetin alfa, dosis

diturunkan atau ditingkatkan 25% disesuaikan dengan kadar Hb pasien. Pada

terapi pemeliharaan dosis harus dititrasi sesuai individu pasien untuk menjaga

kadar Hb  12g/dL (Dalton dan Schmidt, 2008).

Suplemen besi oral (FeSO4, Niferex, Proferrin, dan lain-lain)

dibutuhkan dalam penyimpanan besi, namun adanya absorbsi yang buruk pada

saluran pencernaan dan sering tidak cukup kuat dalam peningkatan respon

eritropoietin menyebabkan pemberian besi intravena lebih dipilih. Efek tak

diinginkan yang dapat muncul dari pemberian besi secara intravena seperti

reaksi alergi, hipotensi, dizziness, gangguan pernafasan, sakit kepala, nyeri

 bagian punggung, atralgia, dan artritis. Beberapa reaksi ini dapat

Page 30: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 30/42

30

diminimalisasi dengan penurunan dosis atau kecepatan infusi. Suplemen dalam

 bentuk kompleks besi-glukonat atau besi-sukrosa lebih baik dan lebih aman

daripada bentuk kompleks besi-dekstran. Kompleks besi dekstran perlu

 penyesuaian dosis untuk mengurangi risiko reaksi anafilaksis (Hudson, 2009).

Suplemen nutrisi yang dapat diberikan pada pasien anemia pada gagal

ginjal kronik adalah asam folat, piridoksin, dan vitamin B12 (dan vitamin lain).

Asam Folat dan vitamin B12 merupakan dua komponen adjuvant yang berperan

dalam pembentukan sel darah merah. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 

merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target terapi eritropoietin

(Drueke, 2001; Teschner dkk., 2002). Hal ini disebabkan karena defisiensi

asam folat dan vitamin B12 mengakibatkan gangguan/terhentinya sintesis asam

nukleat DNA (Teschner dkk., 2002), sehingga terbentuk sel darah merah yang

 besar (megaloblastik) dengan selaput sel darah merah yang tipis serta umur sel

darah merah yang pendek (Guyton dan Hall, 1997). Defisiensi asam folat dan

vitamin B12  umumnya tidak terjadi pada pasien gagal ginjal tahap awal, tapi

 banyak terjadi pada pasien yang menjalani dialisis, karena asam folat dan

vitamin B12  hilang/tercuci pada saat dialisis (Teschner dkk., 2002; Hudson,

2008). Multivitamin dan asam folat ini biasanya diberikan setiap hari untuk

mencegah defisiensi karena dialisis (Wilson dan Price, 2002).

3. Transfusi Darah

Transfusi darah ialah proses pemindahan darah atau komponen darah

dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien) (Bakta, 2006). Pasien gagal

ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis kronik secara substansial

Page 31: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 31/42

31

membutuhkan terapi transfusi darah (Hollenbeak dkk., 2012). Sebelum

 perkembangan terapi farmakologi untuk anemia pada gagal ginjal kronik,

transfusi sel darah merah masih menjadi terapi utama dan kurang lebih 55%

sampai 60% pasien dialisis menerima transfusi sel darah merah untuk

mencegah anemia (Gitlin dkk., 2012). Komponen sel darah merah yang

ditransfusikan pada anemia karena gagal ginjal kronik adalah  packed red cells.

Berdasarkan  guideline The Clinical Use of Blood   tahun 2002, komponen

 packed red cells secara lebih jelas disajikan dalam tabel VII.

Tabel VII. Komponen Konsentrat Sel Darah Merah (Packed Red Cells )

Deskripsi -  100-200 mL sel darah merah dengan sebagian besar

 plasma telah dihilangkan

-  Rata-rata hemoglobin 20 g/100 mL

-  Hematokrit 55%-75%

Risiko Infeksi Tidak steril, sehingga memungkinkan beberapa agen

dapat masuk dalam sel atau plasma yang tidak terdeteksi

dengan skrining rutin Transfusion-transmissible

 Infections, meliputi HIV-1 dan HIV-2, virus hepatitis B

dan C atau hepatitis lain, malaria, dan sifilis. 

Penyimpanan - 

Suhu antara +2°C dan +6°C dalam refrigerator  bank

darah

Selama penyimpanan pada suhu +2°C dan +6°C,

 perubahan komposisi terjadi sebagai hasil dari

metabolisme sel darah merah

-  Transfusi harus dimulai 30 menit setelah dikeluarkan

dari refrigerator  

Indikasi Penggantian sel darah merah pada pasien anemia

Pemberian -  ABO dan RhD harus kompatibel/sesuai dengan

resipien

Tidak boleh menambahkan pengobatan pada unit

darah

(WHO/BTS, 2002) 

Transfusi darah diberikan jika terapi tersebut dapat bermanfaat dalam

menyelamatkan jiwa dan mencegah morbiditas penyakit (WHO/BTS, 2002).

Page 32: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 32/42

32

Anemia pada gagal ginjal kronik bersifat kronik dan pasien melakukan

kompensasi terhadap kondisi anemia melalui sejumlah mekanisme, oleh karena

itu pemberian sel darah merah penting untuk mengevaluasi status kompensasi

 pasien. Transfusi darah diindikasikan pada :

a. Kadar Hb < 7 g/dL dengan atau tanpa gejala anemia (PERNEFRI, 2012).

Pada kadar Hb 6 g/dL, pasien akan mengalami gejala kelelahan dan

dengan penurunan Hb secara progresif menyebabkan gejala dispneu,

congestive heart failure  (CHF), dan peningkatan hipoksia jaringan pada

 penyakit vaskuler (NKF/K-DOQI, 2006).

 b. Kadar Hb < 8 g/dL dengan gangguan kardiovaskuler yang nyata

(PERNEFRI, 2012).

c. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik (PERNEFRI,

2012).

d. Pasien yang menjalani operasi (PERNEFRI, 2012).

e. Transfusi darah diberikan ketika terjadi resistensi eritropoietin dan terapi

eritropoietin memiliki kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya

(KDIGO, 2012).

Transfusi darah sangat efektif dalam menaikkan nilai hemoglobin.

Transfusi darah ini bukannya tanpa risiko, risiko ini berupa terjadinya

 penularan penyakit (hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV), potensi

terjadinya kelebihan cairan (overload ), pembentukan antibodi terhadap antigen

HLA, dan dapat menekan eritropoiesis (Prodjosudjadi dan Lydia, 2001). Di

samping itu, transfusi yang dilakukan berulang kali menyebabkan penimbunan

Page 33: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 33/42

33

 besi pada organ tubuh. Target terapi pada transfusi darah, yaitu tercapainya

kadar Hb 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi ESA)

(PERNEFRI, 2012).

4. Analisis Farmakoekonomi

a. Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya

terapi obat dalam suatu sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Penelitian

farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya

(penggunaan sumber daya) dengan outcome  (klinik, ekonomik, dan

humanistik) produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman dkk., 2005). Tujuan

farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan

 pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang

 berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa

dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam

menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar

 pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi

farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat

dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan

digunakan.

Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang

terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang

efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia

Page 34: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 34/42

34

secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah

 biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan

sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka

sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat

keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar

 pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. 

b. Kategori Biaya

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi lima

kategori, sebagai berikut : 

1) 

Biaya medis langsung (dirrect medical cost ), merupakan biaya yang

melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan

yang berkaitan langsung dengan biaya kesehatan; misalnya biaya

 perawatan, obat-obatan, biaya rumah sakit, dan biaya pemeriksaan

laboratorium (Wilson, 2001; Walley, 2004). 

2)  Biaya non medis langsung (dirrect non medical cost ), merupakan biaya

yang dikeluarkan oleh pasien yang tidak berkaitan langsung dengan biaya

kesehatan; misalnya biaya hidup di rumah sakit bagi keluarga, dan

transportasi ke rumah sakit (Wilson, 2001). 

3) 

Biaya tidak langsung (indirrect cost ), merupakan biaya yang tidak

melibatkan proses pertukaran uang untuk sumber daya yang digunakan;

 berupa hilangnya produktivitas kerja dan pengeluaran untuk keluarga

(Wilson, 2001). 

Page 35: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 35/42

35

4) 

Biaya tak terwujud (intangible cost ), merupakan biaya yang tidak dapat

diukur dalam mata uang, berupa perubahan kualitas hidup, misalnya rasa

nyeri dan tekanan emosi (Wilson, 2001; Walley, 2004). 

c. Perspektif Analisis

Pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang

(perspektif), meliputi : 

1)  Perspektif pasien 

Yaitu pasien memperoleh pelayanan kesehatan dengan biaya minimal,

dapat berupa biaya langsung maupun tidak langsung (Walley, 2004). 

2) 

Perspektif penyedia layanan kesehatan ( provider ) 

Yaitu biaya untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan

masyarakat, misalnya rumah sakit (Walley, 2004). 

3) 

Perspektif pembayar ( payer ) 

Sebagai contoh yaitu pemerintah atau perusahaan asuransi, yang

diperhatikan adalah biaya langsung (Sanchez, 2005) 

4)  Perspektif masyarakat ( social ) 

Yaitu dihitung biaya penggunaan semua sumber daya oleh

masyarakat/negara (Walley, 2004). 

d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Terdapat lima jenis metode evaluasi farmakoekonomi yang sering digunakan,

yaitu :

Page 36: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 36/42

36

1) 

Cost-Analysis (CA)

Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat dan metode ini

tidak membandingkan kemanjuran / efficacy  dari terapi atau obat-obatan

yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian metode ini

menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi

 biaya-biaya tersembunyi (hidden cost ) (Plumridge, 2000).

2)  Cost-Minimization Analysis (CMA)

Metode ini membandingkan biaya total penggunaan dua obat (terapi) atau

lebih obat yang efikasi dan efek samping obatnya ekivalen. Karena obat-

obat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka cara CMA

memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per harinya paling

rendah (Plumridge, 2000).

3) 

Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Analisis cost-effectiveness membandingkan harga dari semua sumber yang

dikonsumsi (biaya) dengan nilai outcome  suatu program atau intervensi.

 Nilai efektivitas diukur dalam natural unit , misalnya penurunan tekanan

darah diukur dengan satuan mmHg, jumlah hari bebas gejala, dan lain-lain.

Kelebihan dari metode ini adalah tidak harus merubah outcome  klinik

dalam unit mata uang dan membandingkan terapi yang berbeda yang

mempunyai tujuan yang sama, sedangkan kekurangannya adalah hanya

satu outcome  yang diukur pada waktu yang sama. CEA dapat diukur

dengan ACER atau ICER. ACER merupakan rasio biaya terapi dengan

Page 37: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 37/42

37

efektivitas, sedangkan ICER merupakan rasio perbedaan biaya beberapa

terapi dengan perbedaan efektivitas (Wilson, 2001).

4)  Cost-Benefit Analysis (CBA)

Metode ini mengukur biaya penyelenggaraan program kesehatan di mana

hasil dari program tersebut berbeda. Pengukuran dapat dilakukan dengan

menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian

dibandingkan biaya kalau program kesehatan yang dipilih tersebut

dilakukan. Makin tinggi rasio benefit to cost , maka program semakin

menguntungkan. Metode ini juga digunakan untuk meneliti pengobatan

tunggal. Jika rasionya lebih dari satu, maka pengobatan dianggap

 bermanfaat karena benefit -nya lebih besar dari cost -nya. Jenis analisis ini

merupakan analisis yang paling komprehensif dan paling sulit untuk

dilakukan, terutama pada saat mengkonversi benefit   ke dalam nilai mata

uang (Plumridge, 2000).

5)  Cost-Utility Analysis (CUA)

Pada konteks pelayanan kesehatan utilitas dipakai untuk menunjukkan

tingkat kesejahteraan subyektif yang dialami oleh orang dalam berbagai

keadaan kesehatan. Quality Adjusted Life Years  (QALYs) adalah metode

 pengukuran yang paling banyak digunakan, pengukuran ini menggunakan

rasio “cost effectiveness”  dan menyesuaikan dengan nilai kualitas hidup

(Vogenberg, 2001). Oleh karena itu, CUA ini pada prinsipnya sama

dengan CEA, tetapi memasukkan komponen kualitas hidup. Metode CUA

ini sesuai jika digunakan untuk manajemen penyakit kronis. Tabel berikut

Page 38: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 38/42

38

merupakan ringkasan dari perbedaan masing-masing metode evaluasi

farmakoekonomi.

Tabel VIII. Perbedaan Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Metode  Definisi  Unit Biaya  Unit

Outcome  

Cost analysis 

(CoI/CoT)

Menilai semua biaya dalam

 pengobatan/perlakuan

terhadap suatu penyakit/terapi

Mata uang Biaya

CMA Membandingkan dua

 perlakuan atau lebih yang

mempunyai outcome klinikyang sama/identik

Mata Uang Outcome 

identik /

ekuivalen

CEA Membandingkan dua

 perlakuan atau lebih yang

efikasinya tidak sama,

 pengukuran outcome dalam

unit natural yang sama

Mata uang Unit

natural

CBA Membandingkan dua

 perlakuan atau lebih dimana

outcome diukur dalam unit

mata uang

Mata uang Mata

uang

CUA Membandingkan dua

 perlakuan atau lebih dimana

outcome diukur dalam nilai

yang mencerminkan kualitas

hidup

Mata uang Kualitas

hidup

(Walley, 2004)

Studi farmakoekonomi menggunakan tiga model analitik untuk mengumpulkan

data, antara lain :

1) 

Prospektif, yaitu sebagai bagian dari suatu percobaan klinis.

2) 

Retrospektif, yaitu data diambil dari suatu database atau tabel medis.

3)  Prediktif, yaitu berupa modeling, menggunakan suatu alur keputusan atau

suatu percobaan dikendalikan oleh data acak (Isnenia, 2008).

Page 39: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 39/42

39

5. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

Menurut PERMENKES RI No. 159b/MENKES/PER/II/1988, rumah

sakit merupakan sarana kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan

serta dimanfaatkan untuk pendidikan kesehatan dan penelitian, sedangkan

menurut WHO, rumah sakit merupakan suatu organisasi sosial terintegrasi

yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan lengkap bagi masyarakat.

Pelayanan tersebut dapat bersifat : penyembuhan (kuratif), peningkatan

(promotif), perbaikan (rehabilitatif), maupun pencegahan (preventif) (Anonima,

2013).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi adalah rumah

sakit yang memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu yang setinggi-

tingginya dan melaksanakan fungsi pendidikan kesehatan di rumah sakit

dengan sebaik-baiknya yang diabdikan bagi kepentingan peningkatan derajat

kesehatan masyarakat. RSUD Dr. Moewardi merupakan rumah sakit milik

 pemerintah provinsi Jawa Tengah yang memiliki berbagai pelayanan medis,

diantaranya : IGD, Rawat Inap I, Rawat Inap II, Paviliun Cendana, dan lain-

lain. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1011/Menkes/SK/IX/2007 tanggal 6 September 2007 maka ditetapkan tentang

organisasi dan tata kerja RSUD Dr. Moewardi dengan klasifikasi Rumah Sakit

Umum kelas A pendidikan. Visi dari rumah sakit ini adalah menjadi rumah

sakit terkemuka berkelas dunia. Sedangkan misinya, yaitu menyediakan

 pelayanan kesehatan berbasis pada keunggulan sumber daya manusia,

kecanggihan dan kecukupan alat serta profesionalisme manajemen pelayanan,

Page 40: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 40/42

40

dan menyediakan wahana pendidikan dan penelitian kesehatan yang unggul

 berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang

 bersinergi dengan mutu layanan. Oleh karena itu, RSUD Dr. Moewardi

menjadi rumah sakit pilihan utama sekaligus rujukan terpercaya bagi

masyarakat Jawa Tengah karena pelayanannya yang cepat, tepat, nyaman, dan

mudah, sehingga hal itulah yang menjadi motto dari rumah sakit ini (Anonim b,

2013).

Sejak tanggal 1 Januari 2009 RSUD Dr. Moewardi ditetapkan sebagai

Badan Layanan Umum (BLU), yang berarti RSUD Dr. Moewardi sudah

memenuhi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.02/2006 tentang

Persyaratan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk menetapkan pola

 pengelolaan keuangan badan layanan umum, dengan perubahan status tersebut,

maka RSUD memiliki kewenangan untuk mengelola keuangan sendiri, sesuai

Permendagri No. 61 tahun 2007. Peralihan status tersebut membawa dampak

 positif, yaitu rumah sakit dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,

 baik pelayanan kesehatan masyarakat maupun perbaikan fasilitas sarana rumah

sakit (Armen dan Azwar, 2013).

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya rata-rata biaya

medik langsung terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal

ginjal kronik. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui efektivitas terapi

transfusi darah pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik dengan melihat

Page 41: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 41/42

41

 persentase pasien mencapai target kadar hemoglobin setelah pasien melakukan

transfusi darah, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya

 biaya terapi transfusi darah pada pasien anemia dengan gagal ginjal kronik di

instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012. Oleh karena itu,

hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan

keputusan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap

RSUD Dr. Moewardi.

Page 42: S1-2013-285452-chapter1

8/9/2019 S1-2013-285452-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-285452-chapter1 42/42

42

G. Kerangka Konsep

Pasien Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

Terapi Transfusi Darah

Outcome TerapiBiaya Terapi

Pencapaian

Target Hb

Biaya Medik

Langsung

1. 

Biaya Transfusi Darah

2.  Biaya Pengobatan Anemia

Tambahan

3.  Biaya Obat Penyakit Lain

4.  Biaya Alat Kesehatan

5.  Biaya Administrasi

6.  Biaya Rawat Inap

7.  Biaya Dokter

8.  Biaya Perawat

9. 

Biaya Pemeriksaan

Laboratorium

10. 

Biaya IGD

11. Biaya Poliklinik Jantung

12. Biaya Poliklinik Penyakit

Dalam

13. Biaya Oksigen

14. 

Biaya Anestesi

15. Biaya Lain-Lain

Gambaran Pengobatan

Dipengaruhi oleh :

1. 

Jenis Kelamin

2.  Usia

3. 

Stadium GGK

4.  Cara Pembayaran

5.  Kelas Rawat Inap

6.  Lama Rawat Inap

7.  Kadar Hb saat

Masuk Rumah

Sakit

Rata-Rata Biaya Medik Langsung