s sej 033370 bab iva-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_033370_bab_iv.pdf · 2018-10-25 ·...
TRANSCRIPT
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar
4.1.1 Letak Geografis
Kesatuan adat Kasepuhan Banten Kidul terletak di wilayah Taman Nasional
Gunung Halimun yang merupakan wilayah hutan konservasi, mereka tinggal di
daerah ketinggian yang sulit dijangkau oleh kendaraan. Jumlah penduduknya sekitar
30.000 jiwa dan menempati 569 lembur kecil yang termasuk kedalam 360 kampung
besar. Kampung Adat Ciptagelar berada di bawah Kesatuan Adat Banten Kidul,
terletak di lembah Gunung Halimun. Wilayahnya berada di Desa Sinaresmi, Kec.
Cisolok, Kab. Sukabumi Kampung Gede Ciptagelar-Cikarancang berada pada posisi
ketinggian 1200 m dpl (meter di bawah permukaan laut) dengan jumlah populasi 250
jiwa dalam 60 kepala keluarga dan luas wilayah sekitar 10 hektar. (BPS Kab.
Sukabumi, 2006 : 15).
Kampung Ciptagelar Terletak di bawah Gunung Halimun yang merupakan
bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak. Halimun adalah
nama salah satu puncak gunung yang berarti kabut, karena setiap harinya pada pukul
16.00 WIB, kabut muncul dan menyelimuti area tersebut. Tempat ini berjarak 9 km
dari Ciptarasa kearah utara memasuki hutan TNGH (Taman Nasional Gunung
Halimun) dengan kondisi jalan yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua.
(Departemen Kehutanan, 1992).
Secara geografis, Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi
pegunungan, di sebelah utara ada gunung Kendeng, sebelah Barat gunung Halimun,
dan sebelah Timur gunung Bongkok yang termasuk kedalam wilayah Kabupaten
Lebak, Banten. Jarak dari pusat kota kabupaten Sukabumi, Palabuhan Ratu melalui
kecamatan Cikakak sekitar 33 km ke arah utara. Untuk sampai ke Kasepuhan
Ciptagelar harus melewati kampung Ciptarasa terlebih dahulu, sebelumnya kampung
ini dihuni warga Ciptagelar sebelum melakukan perpindahan ke Cicemet. Sebagian
warga yang tidak ikut pindah menetap di kampung Ciptarasa dengan tetap menjadi
bagian warga adat kasepuhan Ciptagelar. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar berbatasan
dengan Bogor, Sukabumi dan Banten oleh karena itu, untuk menuju kesana dapat
melalui beberapa jalur dari ketiga kota tersebut.
Sangiang dan Gunung Bodas, diketinggian 750 m dpl. Ciptagelar adalah nama
kampung Gede yang baru ditempati sejak bulan April 1982 sebagai pusat
pemerintahan sesepuh girang Kasepuhan Banten Kidul dengan ketua adatnya Abah
Anom. Sebelumnya, pusat pemerintahan berada di kampung Ciptarasa Desa
Sinaresmi kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi. Terdiri dari 2 RT dan 1 RW,
berada dipunggung Gunung
Kampung Ciptarasa didirikan tahun 1972 oleh Aki Ardjo yang merupakan
pindahan dari kampung Linggar Jati-Cisarua yang berjarak 350m dibawahnya.
Kampung Ciptarasa berada di gunung Halimun selatan pada ketinggian 1050 m dpl
yang mudah dijangkau dari Pelabuhan Ratu dengan berkendaraan roda empat hingga
halaman rumah eks Imah Gede. Setelah menetap selama kurang lebih 17 tahun,
kampung Gede berpindah kembali ketempat baru berdasarkan wangsit yang diterima
Abah Anom dan harus dilaksanakan oleh sesepuh girang atau baris kolot. Tempat
perpindahan tersebut tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk Abah Anom
sendiri. (Kusnaka, A. 1992 : 112).
4.1.2 Awal Perkembangan Kasepuhan Ciptagelar
4.1.2.1 Sejarah Terbentuknya Kasepuhan Ciptagelar
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu masyarakat Sunda
yang berada di Jawa Barat yang memegang teguh aturan Sunda buhun. Masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar sama dengan masyarakat Sunda lainnya, memiliki persamaan
bahasa yang sama-sama dapat dimengerti oleh seluruh orang Sunda, warna kulit,
bentuk dan ukuran tubuh serta wajah. Hal yang membedakan mereka dengan orang
Sunda lainnya adalah sistem dan pola hidup atau kebudayaannya. Dibandingkan
dengan masyarakat Sunda lainnya, masyarakat Kasepuhan masih banyak menyimpan
unsur, pola dan sistem masyarakat dan kebudayaan Sunda lama. Dengan kata lain,
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar masih lebih mencerminkan tipe masyarakat
serta kebudayaan Sunda asli dibandingkan dengan kelompok masyarakat Sunda
lainnya yang sudah mendapatkan pengaruh besar dari kebudayaan nasional. Lokasi
pemukiman yang terpencil, sikap hidup yang kukuh mempertahankan adat dari
leluhur dan sikap keras menolak pengaruh kebudayaan luar, serta cara hidup yang
mandiri yang berbeda dengan cara hidup masyarakat kebanyakan.
Ada beberapa komunitas masyarakat Sunda yang tinggal di kampung adat
dengan karakter yang hampir sama seperti masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
salah satu kampung adat yang sangat terkenal di Jawa Barat karena
ketradisionalannya adalah masyarakat Kanekes atau sering kali di sebut Baduy.
Masyarakat Kanekes merupakan masyarakat yang sangat tertutup terhadap dunia luar,
mereka memiliki sikap menolak pengaruh luar sekecil apapun hingga saat ini. Dari
nenek moyangnya mereka dapat bertahan hidup hingga saat ini adalah karena pikukuh
atau aturan adat yang telah dijalankan oleh leluhurnya. Kasepuhan Ciptagelar dan
masyarakat Kanekes masih dalam kesatuan adat Sunda, mereka sama-sama
menjunjung tinggi nilai dan norma Sunda kuno. Banyak kesamaan antara Kasepuhan
Ciptagelar dan Kanekes sehingga disaat membicarakan tentang Kasepuhan Ciptagelar
banyak yang tidak bisa membedakannya dengan masyarakat Kanekes.
Secara garis besar dan secara selintas tidak terdapat perbedaan antara
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan masyarakat Kanekes, dari segi adat, tradisi,
kebiasaan dan seni bangunannya perbedaan yang nampak langsung adalah dari
pakaian adatnya yang berbeda warna. Sesungguhnya Kasepuhan Ciptagelar memiliki
perbedaan dengan Kanekes pada aturan-aturan hidupnya. Namun dari segi asal-usul
keberadaan kedua kampung adat ini memiliki persamaan, baik dari para ahli maupun
pengakuan masyarakatnya. Asal mula keberadaan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
di wilayah Gunung Halimun memiliki beberapa versi, yaitu:
1. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berasal dari rakyat kerajaan Sunda
Padjadjaran, karena adanya invansi Islam dari Banten terhadap Kerajaan
Pakuan yang pada saat itu masih bercorak Hindu. Untuk menghindari
serangan kerajaan Islam Banten, sebagian rakyatnya yang tidak mau
memeluk Islam berpencar melarikan diri ke daerah pegunungan Kendeng
yang salah satunya kini menjadi sebuah kelompok, yaitu perkampungan
Ciptagelar yang telah mengalami beberapa kali perpindahan (
Darmawidjadja, 1968).
2. Masyarakatnya merupakan pengungsi pada masa penjajahan Belanda yang
menghindari serangan dari pemerintahan kolonial dan kaum pengungsi ini
membuka pemukiman baru di tempat persembunyian mereka dan disebut
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
3. Berdasarkan pengakuan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, bahwa mereka
sudah lama hidup sebagai masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sejak nenek
moyang mereka. Leluhur mereka tidak berasal dari mana-mana dan bukan
pula berasal sebagai pengungsi, Abah Anom mengatakan bahwa mereka
berasal dari Pancer pangawinan. Pancer Pangawinan yang dimaksud Abah
Anom berbeda dengan apa yang dimaksud oleh para sejarawan yang
merupakan punggawa pangeran Siliwangi. Melainkan adalah penyatuan
unsur bumi yang dilambangkan oleh dewi padi, yaitu dewi Sri sebagai
perempuan dengan unsur langit. Jadi nenek moyang masyarakat Ciptagelar
adalah cikal bakal dari beberapa raja di Nusantara yang kemudian seiring
waktu luruhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi komunitas yang
kini menjadi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Berdasarkan tradisi lisan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan data
kepurbakalaan yang ada di wilayah Banten memberikan kesimpulan bahwa
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berasal dari kelompok masyarakat pengungsi yang
terdesak oleh gerakan perluasan wilayah kekuasaan dan islamisasi kesultanan Banten.
Kelompok pengungsi ini berasal dari kerajaan yang bercorak Hindu terakhir di Jawa
Barat yang menganut agama Hindu. Keberhasilan invasi Islam tersebut membuat
sebagian masyarakat Pakuan yang tidak mau memeluk Islam melarikan diri ke
Selatan dan kini menjadi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Hal ini sangat berbeda dengan pengakuan masyarakat setempat, mereka
berkeyakinan bahwa mereka merupakan keturunan dari raja-raja Nusantara dengan
perkembangan selanjutnya menjadi Kasepuhan Ciptagelar. Ada sedikit raut marah di
wajah masyarakatnya apabila dikatakan mereka berasal dari pengungsi, kami bukan
pengungsi bahkan seorang pelarian. Karena jauh dari itu bahwa mereka masih
keturunan dari cikal bakal raja-raja di Nusantara, bahkan abah mengatakan bahwa
apabila dilihat dari asal-usul maka kedudukan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
masih di atas masyarakat Kanekes karena masyarakat Kanekes memang berasal dari
punggawa pangeran Siliwangi.
Apa yang dikemukakan oleh Abah Anom mengenai asal-usul masyarakat
Ciptagelar tidak dapat dibenarkan menurut ilmu pengetahuan terutama ilmu sejarah
karena pendapat tersebut tidak memiliki bukti kongkrit. Adapun bukti yang terdapat di
daerah bogor hanya berupa peninggalan megalitikum tanpa tulisan seperti, batu
congklak, bak mandi, kursi dll. Tidak adanya bukti tulisan ini yang kemudian
pendapat Abah tidak diakui, adapun satu bukti adalah buku atau kitab mengenai asal-
usul masyarakat Kasepuhan yang diregang oleh Abah dan pemimpin adat lain pada
masa kepemimpinannya. Kitab tersebut selalu berpindah tangan setiap terjadi
pergantian pemimpin adat, namun isi kitab tersebut berbahasda Sunda kuno yang
Abah sendiri tidak dapat memahaminya. Karena hal inilah Abah Anom tidak
keberatan terhadap pendapat-pendapat yang beredar di luar menganai asal-usul warga
dan adatnya. Dengan keyakinan yang tumbuh disetiap warganya dirasa cukup karena
pendapat orang lain tidaklah penting.
4.1.2.2 Kondisi Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Jumlah penduduk Kasepuhan Ciptagelar sekitar 250 jiwa dalam 60 kepala
keluarga. Dengan keadaan letak geografisnya yang terisolir mengakibatkan mobilitas
penduduknya tidak berkembang. Selain dari letak geografis, kondisi sikap penduduk
yang tertutup juga turut mempengaruhi perkembangan laju penduduk.
Sistem kemasyarakatan di Kasepuhan Ciptagelar seperti sebuah kerajaan,
dimana pemimpin adat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang kemudian
membawahi pengurus pemerintahan adat yang bertugas membantu tugas pemimpin
adat. Pandangan penduduk terhadap pemimpin adatnya adalah berdasarkan kharisma
sehingga posisi raja dapat dikatakan memiliki kekuasaan mutlak dan semua
perintahnya harus dipatuhi. Berbeda dengan kepemimpinan kontemporer yang
biasanya kriteria pemimpin dibentuk oleh pemimpin tersebut agar meyakinkan
massanya untuk memilih. Masyarakat “modern” akan memilih pemimpin yang
dianggap dapat bermanfaat dan kontribusi tersebut sudah dirasakan oleh massanya. Di
Kasepuhan Ciptagelar siapapun pemimpin yang dipilih entah itu dirasa pantas atau
tidak adalah sebuah harga mati yang harus dipatuhi karena pemimpin bagai orang
kepercayaan leluhur mereka.
Mata pencaharian masyarakat Kampung Ciptarasa adalah 90 % bertani, 5 %
berdagang, 5 % pegawai. Adapun dalam proses bertani, mereka memanfaatkan bahan
yang sudah ada. Untuk bertani biasanya menggunakan kerbau dan cangkul. Dalam
menanam padi mereka melakukannya hanya sekali dalam satu tahun. Selain bertani
mereka memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitarnya seperti mengolah
gula aren, menganyam peralatan rumah tangga, serta berdagang. Sedangkan barang
yang diperdagangkan merupakan barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-
hari.
Kegiatan harian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diwarnai dengan kegiatan
bertani sehingga pada pagi hari keadaan kampung terasa sepi karena mayoritas
warganya sedang menggarap ladang. Sedangkan di Imah Gede selalu ramai karena
sebagian ibu-ibu selalu membantu ema untuk menyediakan masakan untuk Abah dan
para tamu yang sesekali datang. Setiap harinya Imah Gede selalu ramai karena
kedatangan para tamu yang bertujuan meminta petuah dari Abah. Tamu yang meminta
petuah tersebut tidak hanya dari kalangan adat dan warga adat dari Kasepuhan lain di
wilayah gunung Halimun, tetapi banyak juga orang dari kota seperti dari kalangan
pemerintahan, masyarakat kota yang ingin berobat bahkan ada beberapa artis juga
yang sengaja datang dari jauh demi mendukung kariernya melalui petuah abah Anom
tersebut. Makanan dan masakan yang tersedia di Imah Gede diperuntukan bagi para
tamu tersebut. Mereka dapat makan sepuasnya dengan gratis, oleh karena itu dapur
Imah Gede selalu mengepul setiap hari dalam 24 jam non-stop. Kebiasaan masyarakat
Kasepuhan untuk mendapatkan petuah dari sesepuh merupakan sebuah tradisi yang
diwariskan sejak nenek moyangnya. Permintaan petuah tersebut biasanya dilakukan
disaat kita hendak memiliki tujuan, seperti memimta restu atau ajian sebelum
melakukan perjalanan jauh agar dilimpahi keselamatan hingga tujuan, meminta
kesuksesan dalam berkarier dll. Pandangan hidup seperti ini sulit dirasioanalkan
namun saat ini pandangan hidup tersebut banyak dilakukan oleh orang kota yang
cenderung lekat terhadap pendidikan demi mencapai keinginan dengan cepat. Karena
memiliki tradisi tersendiri maka keyakinan masyarakatnya terhadap leluhur sangat
tinggi, mereka menyakini kepercayaan tersebut sebagaimana keyakinan mereka
menjalani hidup sehari-hari dengan pasrah pada jalan hidup yang telah diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa, segala yang telah diberikan adalah yang terbaik bagi mereka.
Dengan cara bersyukur dan dapat menjalani hidup dengan seadanya kelak akan
mendapat rizki yang lebih.
Letak Kasepuhan Ciptagelar yang berada pada wilayah pegunungan dan di
tengah-tengah hutan lebat membuat aktifitas perekonomiannya tidak banyak
mengalami perkembangan, dikarenakan sikap masyarakatnya yang tertutup dengan
“dunia luar” sehingga untuk memenuhi kebutuhannya dilakukan dengan
memanfaatkan alam. Pekerjaan atau mata pencaharian masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar mayoritas adalah berhuma atau bercocok tanam padi dan berladang. Di
Kasepuhan mewajibkan setiap warganya untuk menanam padi dalam memenuhi
kebutuhan pangan sehari-hari, selain bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan
pangan harian dilakukan pula kegiatan berladang sayuran. Aturan tanam padi di
Kasepuhan Ciptagelar berbeda pada umumnya, warga Kasepuhan Ciptagelar hanya
berhuma satu tahun sekali selain dikarenakan aturan adat, hal ini disesuaikan dengan
keadaan geografis alamnya. Bila keadaan sawah sedang boyor atau berair cukup dapat
dipakai untuk memelihara ikan, bila indeks air kurang bagus akan ditanami jagung,
cabe, kacang panjang, mentimun atau tanaman yang berjangka pendek. Walaupun
berhuma hanya dilakukan satu tahun sekali tapi warga Kasepuhan tidak pernah
mengalami kekurangan dalam hal pangan. Terdapat larangan untuk menjual padi
kepada sesama warga Kasepuhan ataupun warga luar adat, bagi yang membutuhkan
dapat meminjam pada warga lain atau pada lumbung Abah dan lumbung komunal.
Oleh karena aturan inilah masyarakat Kasepuhan tidak pernah mengalami kekurangan
pangan sekalipun sedang ,mengalami musim paceklik. Disamping berhuma, mereka
menanam pisang dan membuat gula aren untuk kebutuhannya sehari-hari dan dijual
pada masyarakat setempat yang membutuhkan.
Pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar status lahan adalah milik bersama dalam
artian kepemilikan tanah di Kasepuhan tidak dimiliki secara pribadi dan mengenal
sertifikat. Berhubung Kasepuhan terletak di kawasan hutan konservasi Taman
Nasional Gunung Halimun dan Salak, maka lahan yang ditempati oleh masyarakatnya
merupakan tanah milik pemerintah yang dinaungi oleh departemen kehutanan
sehingga status wilayah tersebut merupakan lahan ulayat atau lahan adat yang telah
disediakan oleh pemerintah. Mereka dapat menempati dan memanfaatkan wiayah
tersebut dengan turut menjaga kelestariannya. Setiap rakyatnya telah mendapat bagian
secara rata untuk keperluan pertanian mereka, adapun penggarapannya adalah
tanggungjawab pemilik tanah. Pihak Kasepuhan hanya memberikan bagian kepada
rakyatnya yang berasal dari lahan ulayat, masalah pemberdayaan lahan tersebut
diserahkan kepada masyarakat mengenai teknis dan pendanaannya.
Dalam masyarakat Jawa Barat umumnya dikenal istilah maro dan bawon. sistem
ini juga digunakan oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam hal penggarapan
padi. Sistem maro adalah sistem bagi 2 (dua) untuk penggarap dan pemilik baik untuk
pertanian dan peternakan,bila penggarap mengerjakan lahan sejak penanaman hingga
memanen. Sistem bawon hanya berlaku saat panen padi, jika seseorang ikut memanen
dari 5 (lima) ikat yang diperoleh dikurangi 4 (empat) ikat/pocong untuk pemilik dan
1(satu) ikat untuk pemetik. Begitu pula untuk menumbuk -1(satu) ikat setara dengan 4
(empat) kg beras. Selesai panen setiap keluarga menyisihkan 2 ikat untuk diserahkan
kepada sesepuh girang sebagai gaji setahun. Padi - padi tersebut biasanya disimpan
dilumbung - lumbung kesatuan. Selain sebagai gaji, padi itu berfungsi sebagai
cadangan bila paceklik dan masyarakat Kasepuhan dan non Kasepuhan dibolehkan
meminjam dan mengembalikannya dengan jumlah yang sama. Terdapat satu lumbung
komunal milik Kasepuhan Ciptagelar. Lumbung komunal ini selalu digunakan untuk
upacara adat pada acara seren taun yang diadakan setiap tahun sekali.
Terdapat adat istiadat mengenai penggunaan padi di Kasepuhan Ciptagelar,
warga adat wajib menanam padi dan hasil panen tidak diperbolehkan untuk dijual
tetapi bagi warga yang membutuhkan boleh meminjam padi dari lumbung umum
Kasepuhan. Diberbagai kampung kelompok sosial Kasepuhan, terdapat lumbung
kelompok yang dapat digunakan oleh seluruh warga dalam keadaan mendesak.
Lumbung umum itu biasanya disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik yang akan
digunakan apabila warga sudah mengalami kekurangan pangan atau terjadi musibah.
Lumbung umum itu merupakan cadangan pangan dikalangan anggota kelompok
sosial Kasepuhan Ciptagelar pada saat menghadapi masa paceklik. Lumbung umum
yang terbesar ada di Kampung Gede (pusat kegiatan sosial semua anggota kasepuhan
dimana sesepuh girang bermukim), lumbung tersebut bernama leuit Si Jimat yang
selalu dibawa di setiap perpindahan Kampung Gede. Leuit Si Jimat adalah lumbung
yang digunakan dalam upacara Seren Taun dalam proses ngadiukeun pare.
Gambar 4.1Leuit Sijimat
Dok. Koleksi Pribadi 16 Juli 2006
Seluruh isi lumbung tersebut, selain padi pengembalian dari setiap
peminjam, juga diperoleh atas usaha gotong royong kalangan anggota kelompok
sosial Kasepuhan Ciptagelar. Usaha itu di dalam bentuk menyisihkan sebanyak 2
(dua) pocong untuk masing-masing rumah tangga (umpi) yang mereka sebut
sebagai tukuh tumbal. Seluruh hasil padi yang dituai dari sawah milik bersama
(milik) kasepuhan juga disimpan di lumbung umum sebagai cadangan kelompok
sosial atau kasepuhan.
Peminjaman padi dari lumbung umum hanya diperbolehkan untuk memenuhi
keperluan hidup dan bukan untuk dijual. Dikalangan anggota kelompok sosial
kasepuhan meminjam padi dari lumbung umum digunakan untuk kenduri, membayar
upah buruh (kuli), kematian. Bagi siapa pun tidak tanpa kecuali boleh meminjam padi
dari lumbung umum dan mengembalikannya tanpa dikenakan bunga.
Setiap kepala keluarga rata-rata memiliki 2 – 3 lumbung dimana setiap lumbung
padi tersebut dapat menampung sekitar 7500 pocong/ikat padi kering atau sekitar 2.25
ton. Dengan hal ini sudah dapat ditarik kesimpulan mengenai sistem pangan yang
dimiliki masyarakat Kasepuhan sangat kuat sehingga tidak pernah ada kata kurang
dalam hal pangan.
Pekerjaan lainnya adalah beternak, jenis ternak seperti kambing, bebek dan
ayam. Adapun kerbau hanya dipelihara oleh beberapa orang yang mampu karena
dengan memiliki kerbau pemilik harus membayar pajak setiap tahunnya kepada
Kasepuhan Rp. 5000/ ekor. Pemberlakuan pajak ini didasarkan bagi barang yang
dapat menghasilkan. Kerbau dihitung dapat menghasilkan pwmasukan bagi
pemiliknya dengan kegiatan bertani. Sama seperti bertani, hasil ternakpun hanya
diperuntukan bagi kebutuhan hidup mereka, tidak untuk dijual. Terdapat hubungan
simbiosis mutualisme di dalam lingkungan alam Kasepuhan. Kotoran dari ternak itu
digunakan untuk pupuk tanaman sehingga tidak menggunakan pupuk kimia, selain
dilarang pupuk kimia tidak baik bagi manusia dalam jangka panjang. Adapun
pekerjaan jasa seperti pekerjaan sebagai buruh, dan tukang kuli bangunan hanya
sedikit karena dalam pengerjaan bangunan biasanya masyarakatnya bergotong
royong.
Pendidikan merupakan hal terpenting dalam hidup, dimana dengan pendidikan
kita dapat menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup dengan layak. Sudah menjadi
kewajiban pemerintah pula dalam mencerdaskan bangsa, tak kenal usia dan jarak
rakyatnya harus mengenyam pendidikan formal melalui lembaga sekolah.
Sehubungan program tersebut, pemerintah mensosialisasikan program pendidikan ke
seluruh pelosok salah satunya kepada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Dengan
kondisi perekonomian yang rendah dan kondisi jarak yang sulit dan jauh pemerintah
setempat membuat kebijakan untuk membangun gedung sekolah bagi masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar, namun hal tersebut awalnya tidak bersambut baik. Masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar tidak mementingkan pendidikan formal seperti apa yang
dicanangkan pemerintah.
Dengan sikap masyarakatnya yang tertutup kepada dunia luar telah membuat
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar jauh dari pemahaman mengenai pendidikan formal.
Pengetahuan dan kesadaran akan pendidikan di masyarakatnya sangat rendah,
mayoritas dari mereka juga tidak bisa membaca. Pengetahuan yang dimiliki
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berupa perangkat nilai yang dimiliki adalah hal
mengenai perlindungan dan pemanfaatan lingkungan yang dipengaruhi oleh adat
istiadat. Pengetahuan tradisional selama bertahun-tahun dan peraturan tata nilai
budaya yang dijalankan dalam sistem pertanian tradisional merupakan ciri yang
mendasar dari pola pengolahan tanah pertanian masyarakat Kasepuhan. Kearifan
ekologi dalam mengelola tanah pertanian memberi kontribusi yang besar terhadap
kelestarian lingkungan, keaneka-ragaman hayati, kontinuitas produksi, dan
kelangsungan adat budaya. Kearifan ekologi yang dijalankan tersebut tampak pada
pola tanam, pola pemilihan jenis tanaman, dan pola periode tanam (rotasi tanam)
selama mengolah tanah pertanian. Kelangsungan adat dan budaya di antaranya 10
peraturan adat (tabu) melalui pengaturan pola tanam, pemilihan jenis tanaman dan
periode tanam misalnya larangan penggunaan bahan kimia untuk pestisida yang
dipecahkan dengan mengatur waktu rotasi tanaman. Konsekuensi dari sistem
pertanian tradisional yang dijalankan tersebut adalah hanya tercukupi kebutuhan
hidup sehari-hari dan tidak menjadi masalah, mengingat seluruh aktivitas pertanian
merupakan bagian dari kegiatan budaya.
Contoh pengetahuan tentang lingkungan dan adat istiadat yang mereka miliki
adalah mengenai sistem pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau
menanam padi jenis unggul versi pemerintah, seperti:
1. Upacara adat mengharuskan menggunakan padi lokal
2. Padi jenis unggul tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan
terlalu dingin. Tahun 1978-1979 dicoba padi jenis PB4, PB* dan Cisadane
hasilnya buruk
3. Padi lokal batangnya panjang memudahkan dietem. Mudah pengeringan
dan penyimpanannya, tahan disimpan walau sampai lima tahun tidak
rontok.
4. Melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok)
dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan
5. Menanam padi satu tahun sekali yang bertujuan untuk menghentikan siklus
hama wereng yang biasanya jatuh pada bulan Mei, dan pada bulan April
warga sudah dapat memanen. Kondisi lahan yang berbukit bukit dan sulit
mendapat air cukup untuk menanam dua kali
6. Dalam menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan
menggunakan bintang seperti yang diungkapkan oleh Kusnaka Adimihardja
(1992), yaitu tanggal Kerti Keuna Beusi, tanggal Kidung turun Kijang
(Agustus) untuk menyiapkan alat-alat pertanian dan pada bulan Kidang
Ngarangsang Ti Wetan, Kerti Ngarangsang Ti Kulon (September) untuk
lahan mulai digarap.
Pengetahuan mengenai pertanian padi ini sangat berharga, mengingat program
tanam padi yang hanya dilakukan satu tahun sekali tapi di Kasepuhan Ciptagelar
belum pernah merasa kekurangan akan padi. Padi mereka selalu melimpah tersimpah
rapi di leuit-leuit yang berjejer di belakang imah Gede. Oleh karena itu terdapat
larangan menjual padi, bagi yang membutuhkan dapat meminjam pada warga yang
lain atau pada lumbung komunal milik Kasepuhan.
Masyarakat Kasepuhan juga memiliki pengetahuan sendiri tentang hutan dan
mereka menggolongkan hutan ke dalam 3 golongan, yaitu:
1. Hutan Tua (Leuweung Kolot). Hutan asli dengan kerimbunan dan
kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh di eksploitasi
2. Hutan Titipan/Kramat (Leuwueng Titipan). Hutan kramat yang harus
dijaga oleh setiap warganya dan tidak boleh digunakan tanpa izin sesepuh
girang, memungkinkan penggunaan hasil hutannya bila ada wangsit dari
leluhur.
3. Hutan Sempalan/Bukaan (Leuweung Sampalan). Hutan bukaan yang
boleh di eksploitasi untuk lading, mengembalakan ternak, mencari kayu
bakar dan dapat ditanami berbagai tumbuhan seperti bambu, petai, durian,
nangka,mangga dll yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh warga.
Selain pendidikan mengenai adat istiadat, terdapat pendidikan keluarga yang
berasal dari orang tua kepada anak-anaknya. Pelajaran yang terpenting adalah
mengenai aturan dan adat istiadat Kasepuhan yang harus dipatuhi sejak dini serta
etika kesopanan terhadap orang yang lebih tua. Sejak dini telah dibagi pembagian
kerja, bagi anak laki-laki di ajarkan oleh ayahnya untuk bertani, beternak kadang
berburu dengan tujuan untuk mencari nafkah kepada keluarga dan pemegang
tanggung jawab keluarga, sedang bagi anak perempuan di ajarkan oleh sang ibu untuk
memasak dan mengurus rumah. Pembagian kerja di dalam keluarga mengikuti aturan
kodrat yang telah ditetapkan melalui religi, sehingga setiap perempuan dan laki-laki
telah mengetahui tugasnya masing-masing selain melalui pendidikan yang diberikan
orang tua mereka memahaminya dengan kebiasaan orang tuanya.
Pendidikan mengenai tradisi pun turut dipelajari sejak dini agar tumbuh
kecintaan dan ketaatan pada anak. Pengetahuan mengenai tradisi ini seperti larangan
menjual padi kepada dunia luar selain sudah menjadi aturan adat yang wajib dipatuhi
terdapat alasan yang rasional mengenai larangan tersebut, alasan yang sederhana
karena mereka hidup jauh dari perkotaan yang ramai dan menyediakan hampir segala
kebutuhan yang bisa didapat kapan saja, sedangkan di bagi mereka tidak mungkin
bisa mendapatkan waktu itu juga karena untuk mendapatkan beras butuh proses dan
waktu.
Selain tradisi mengenai larangan menjual beras, ada juga larangan atau aturan
mengenai pendirian rumah nagi warga Kasepuhan. Aturan adat Kasepuhan
mengahruskan masyarakatnya untuk membangun rumah, bentuk rumah tidak banyak
mengalami perbedaan dengan rumah warga non adat hanya saja bagi warga adat
Kasepuhan tidak boleh memakai atap yang berasal dari bahan baku tanah, tidak boleh
langsung berpijak pada tanah, harus memakai penyangga seperti rumah panggung dab
rungku memasak tidak boleh dibuat diatas tanah tetapi di atas panggung. Aturan
tersebut merupakan larangan karuhun dan dinggap pamali. Bila kita masih hidup
harus selalu berada di atas tanah dan pantang tinggal di bawah tanah oleh karena itu
unsur tanah dianggap sebagai indung tempat manusia hidup. Terdapat ajaran adat
yang menyebutkan bahwa jika atap memakai genting diibaratkan kita berzinah dengan
ibu karena tanah atau bumi merupakan ibu selama kita hidup dan dipercaya hidupnya
akan dingin dan tertutup kehidupannya (gelap).
Aturan adat ini tidak terlalu mengikat dalam artian terdapat beberapa
keringanan bagi warga Kasepuhan yang tinggal di luar adat. Seperti dalam bentuk
rumah, mereka diijinkan membuat rumah seperti di kota, yaitu langsung berpijak pada
tanah dan memakai genting namun diharuskan membuat satu ruangan yang atapnya
tidak memakai bahan dari tanah dan biasanya digunakan sebagai ruang tidur. Sama
halnya dengan aturan mengenai pemakaian tungky, bagi yang tinggal di kota dapat
memakai kompor atau alat lainnya, tetapi dalam setiap tahun mereka harus
mengadakan Rosulan (selamatan) yaitu izin untuk memakai alat-alat modern. Jelas
keringanan yang didapat bukanlah keputusan pemimpin adat dan baris kolot langsung,
melainkan didapat melalui negosiasi yang dilakukan dengan leluhurnya. Setiap
terdapat perubahan, sebelumnya Abah ataupun pemimpin adat lain harus melakukan
permohonan terhadap keinginan yang biasanya dilalui oleh bertapa atau berdiam diri
di hutan yang telah ditentukan dengan waktu yang telah ditentukan pula. Prosesnya
cukup memakan waktu lama, setelah didapat restu maka dibawa ke hadapan baris
kolot untuk dibicarakan yang kemudian tercapailah aturan baru tersebut.
Pendidikan tersebut telah dirasa cukup oleh warga Kasepuhan pada masa itu,
kehidupan yang serba tradisional tidak membutuhkan pengetahuan formal seperti
orang kota. Setiap perempuan dan laki-laki telah diberikan garis kodrat yang memiliki
tugas dan kewajibannya dalam keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga diberikan
secara bertahap sesuai usia si anak, pemberian pendidikan itu dilakukan hingga
dewasa, sampai anak dirasa cukup untuk menikah dan menjalani hidup berumah
tangga.
Terdapat kesulitan untuk membicarakan kepercayaan dengan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar rnenganggap sebagai Sunda
Wiwitan, urang girang, atau kolot seperti yang biasa disebut oleh orang Sunda
lainnya. Tuhan atau sistem kekuasaan tertinggi dalam agama Sunda Wiwitan berada
pada Tuhan yang disebut sesuai dengan sifatnya, Sang Hyang Keresa (Yang Maha
Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Maha Berkehendak), Batara Jagat (Penguasa Alam),
Batara Seda Niskala (Yang Gaib), dan Batara Tunggal. Pedoman bagi tingkah laku
dan tindakan serta kehidupan sehari-hari ialah pikukuh yang bersumber dari karuhun,
yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Pikukuh itu menentukan bahwa
tempat bermukim mereka perlu dipelihara karena menjadi pancer bumi, atau inti
jagat, yaitu pusat bumi yang membuat sejahtera kehidupan dunia. Kelompok
masyarakat Sunda ini berdasarkan sistem budaya dan struktur sosialnya merupakan
kelompok masyarakat yang masih menjalankan tatanan kehidupan seperti masyarakat
Sunda lama, dari masa jauh sebeIum pengaruh Hindu masuk ke Jawa Barat.
Monoteisme sudah merupakan landasan beragama orang Sunda sejak dahulu
kala ketika karuhun orang Sunda menganut agama Sunda Wiwitan atau agama Sunda
Asli. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama,
dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala (Edi S Ekadjati, 1995:73). Konsep
dewa dari India disesuaikan dengan sistem kepercayaan lokal yang monoteis. Akar
monoteisme itu sering dijadikan alasan logis bila orang mempertanyakan proses
masuknya Islam ke Tatar Sunda yang relatif mudah. Dari sembilan wali yang
menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, wilayah Tatar Sunda dahulu hanya perlu
satu, yaitu Sunan Gunung Jati. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh
sesepuh warga yang mengatkan bahwa kerutusan mereka untuk masuk Islam adalah
karena Islam mudah dan tidak memaksa. Walaupun awalnya mereka enggan memeluk
Islam namun seiring waktu dan berubahnya pandangan mereka terhadap Islam adalah
agama yang damai, mereka mau mengikuti dan menjalankan ajarannya.
Pada masa kepemimpinan Aki Ardjo masyarakatnya telah mengenal agama
Islam, bahkan ada sebagian dari mereka yang telah memeluk Islam. Seperti kita tahu
bahwa asal-usul masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang berasal dari rakyat Kerajaan
Sunda yang bercorak Hindu di Jawa Barat. Kedatangan mereka di pegunungan
kendeng merupakan penolakan mereka terhadap Islam, namun dalam perkembangan
selanjutnya Islam mulai diterima di tengah-tengah masyarakatnya. Islam yang datang
dengan damai dan tanpa paksaan menarik perhatian mereka pada akhirnya. Walaupun
begitu, masyarakat yang memeluk Islam masih menjadi kelompok minoritas. Selain
itu, dalam pelaksanaannya syariat Islam pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
masih bercampur dengan tradisi Hindu, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi
peraturan agama Islam karena Islam masuk secara damai penuh dengan penyesuaian
dan kemudahan tidak akan memberatkan umatnya selama itu tidak menyekutukan
Allah SWT.
Masyarakat yang memeluk Islam dan Sunda Wiwitan hidup berdampingan,
mereka saling menghormati. Aki Ardjo tidak melarang dan membatasi warganya yang
berkeinginan memeluk agama Islam. Selama mereka dapat hidup berdampingan dan
mematuhi pikukuh Sunda yang merupakan aturan warisan nenek moyangnya. Namun
mengenai fasilitas ibadah di Kasepuhan Ciptagelar masih kurang, dikarenakan
minoritas ini hanya terdapat satu langgar dan tidak terlalu besar. Aktifitas sehari-hari
di langgar tersebut adalah shalat maghrib berjamaah dan kegiatan mengaji anak-anak
kecil yang masih sedikit kurang mendapatkan perhatian, pemeluk Islam yang benar-
benar menjalankan hukum Islam masih merupakan minoritas.
Disamping itu masyarakatnya memiliki beberapa ritual yang pada dasarnya
tidak ada dalam ajaran Islam. Seperti Ngembang, sebuah acara untuk meminta restu
dan perlindungan kepada leluhur sebelum melakukan kegiatan dengan cara
mendatangi leluhur pemimpin adat dari generasi 1 hingga ke 10 dengan berarakan
yang diikuti sebagian warganya. Ritual Ngembang merupakan salah satu contoh
upacara ritual yang selalu dilakukan Abah beserta keluarga dan rakyatnya terutama
sebelum dilakukan acara Seren taun agar acara dapat berjalan lancar dan diberi
keselamatan bagi seluruh warganya.
4.1.3 Kondisi Sosial-Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kasepuhan Ciptagelar pada masa kepemimpinan
Aki Ardjo sangat sederhana dan bersahaja. Masyarakat Sunda yang mencerminkan
tipe masyarakat dan kebudayaan Sunda lama ini memiliki sikap hidup untuk menolak
masuknya kebudayan luar. Mereka tidak menginginkan mendapat pengaruh budaya
luar seperti masyaraktat Sunda lainnya yang akhirnya meninggalkan budaya aslinya.
Asas kemandirian yang membuat mereka sebisa mungkin untuk tidak bergantung
kepada pihak lain (masyarakat luar) tetapi tetap menjunjung tinggi nilai gotong
royong. Nilai gotong royong yang dimiliki masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sangat
besar, selain di kehidupan sehari-hari keberadaan kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar yang berlokasi di Ciptarasa adalah hasil dari kerja bergotong royong dalam
pembangunan fisiknya menjadi bukti betapa besar rasa gotong royong mereka.
Kebersamaan diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan dengan ciri khas
kemandirian masyarakat. Mulai dari pertanian padi, pengairan sawah, pengadaan air
bersih, hingga membangun perekonomian terutama dalam mewujudkan ketahanan
pangan. Pembangunan infrastruktur pun mereka kerjakan sendiri melalui gotong
royong.
Tata cara hidup mereka berbeda dengan masyarakat kebanyakan, cara
hidupnya masih sederhana, seperti kehidupan sosial masyarakat Ciptagelar yang
memiliki prinsip kesederhanaan dan kemandirian serta memiliki sikap tertutup
terhadap “dunia luar”. Artinya dalam melakukan segala aktifitasnya mereka lakukan
dengan cara konvensional, tidak melibatkan alat bantu yang bersifat modern seperti
barang-barang elektronik rumah tangga, kendaraan bermotor, dll.
Segala tingkah perilaku dan kebiasaan hidup sehari-hari diatur oleh aturan
adat, seperti dalam berpakaian, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar selalu memakai
pakaian adat dengan setelan serba hitam dan ikat di kepala bagi laki-laki dan kebaya
sederhana dengan paduan samping atau semacam sarung tapi khusus perempuan bagi
kaum perempuan. Pembagian tugas dalam kegiatan sehari-hari telah berjalan
berdasarkan kodrat, kaum perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah hanya
mengurus rumah dan memelihara anak dan suami. Sedangkan bagi kaum laki-laki
berkewajiban bekerja untuk mencari nafkah bagi seluruh keluarganya.
Di masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam satu atap rumah dapat diisi oleh
beberapa kepala keluarga, karena bagi anak yang sudah menikah tidak di wajibkan
pindah rumah selama mereka dirasa belum siap. Sistem kamasyarakatan dimaksud
adalah peraturan adat yang menjadi hukum bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar,
aturan yang digariskan leluhur dan mempunyai konsekuensi hukuman bagi yang
melanggar dan imbalan pahala bagi yang mematuhinya dimana sanksi bagi yang
melanggar biasanya bersifat magis.
Perkembangan jiwa di Kasepuhan dapat dikatakan tinggi karena aturan usia
nikah di masyarakatnya sangat muda. Bagi perempuan, usia nikah adalah 14-20 tahun
dan bagi laki-laki adalah 16-25 tahun usia nikah yang berlaku masih sangat muda,
disat anak-anak kota masih sibuk dengan kegiatan pendidikannya masyarakat
Kasepuhan dihadapkan dengan pernikahan. Karena sudah terjadi pernikahan pada usia
muda tersebut maka tingkat kelahiran tinggi dan mobilitas jiwa berkembang pesat.
Upacara pernikahan dilakukan secara sederhana hanya dihadiri keluarga, pemimpin
adat dan penghulu.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki upacara adat yang telah terkenal ke
pelosok negeri bahkan manca negara, upacara tersebut adalah upacara Seren taun
yang sering dilaksanakan satu tahun sekali. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk
memberikan rasa syukur kepada Tuhan YME atas limpahan panen yang didapat
masyarakat Kasepuhan pada tahun itu. Setiap tahunnya upacara Seren taun banyak
menyedot perhatian ratusan orang dari berbagai kalangan dan daerah. Mereka mau
datang ke Kasepuhan dengan melalui perjalanan dengan medan yang berat demi
keunikan budaya ini. Tidak hanya masyarakat biasa yang datang pada acara ini, pihak
pemerintahan, peneliti atau sejarawan, artis-artis yang biasa meminta petuah kepada
Abah Anom dan yang paling banyak datang adalah wartawan dan media massa untuk
mendapatkan berita.
4.1.3.1 Ajaran hidup Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masyarakat tradisional yang lekat akan
aturan hidup dari leluhur. Tidak hanya sebagai hubungan mereka dengan leluhurnya
tetapi aturan tersebut selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi mereka
pantang meninggalkan aturan nilai hidup dalam setiap kegiatannya sehari-hari karena
mereka percaya bahwa apa yang mereka dapat pada hari itu karena bukti kasih saying
leluhurnya begitu juga dengan keselamatan yang selalu menyertai kehidupan
masyarakatnya merupakan limpahan dari leluhur.
Pandangan dan ajaran hidup yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar adalah:
1. Yakin kepada amanat leluhur yang diberikan kepada anak cucu
2. Harus melestarikan adat leluhur
3. Harus bisa mengayomi hidup dengan tata cara leluhur
4. “Nyaur kudu diukur, nyabda kudu di tunggang, bekasna bisi nyalahan”.
Berbicara harus benar, ucapan harus tepat jangan salah bicara karena
dapat mencelakakan
5. “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, make suci, dahar halal, ulah maen
kartu, maen dadu, madat, jinah, ngrinah tampa wali”. Memetik harus
ijin, mengambil harus minta, pakai apa saja mesti yang suci atau bersih,
memakan yang halal, jangan berjudi, madat, berjinah sebelum ada
perkawinan
6. “Kudu boga rasa, rumasa, ngarasa kudu hate tekad, ucap jeung
lampah, kudu akur jeung dulur, hade carek jeung saderek, kabatur
tinggal makena”. Harus rukun dengan saudara, bicara baik dengan
orang, terhadap orang lain tinggal menerapkan.
7. “Kudu sarende, saigel, sababad, sapihancan”. Ringan sama di jinjing
berat sama dipikul.
8. “Kudu jadi takeucik saleuwi, kudu jadi buyur sacingkrung”. Harus jadi
satu wadah, tujuan dan haluan
Pandangan hidup mereka mengajarkan bahwa mereka harus dapat mensyukuri
anugrah dan rizki yang didapat sekecil apapun di setiap harinya, karena dengan rasa
syukur itu akan mendatangkan rizki yang lebih melimpah dan membuat rizki yang
mereka dapat lebih barokah atau lebih bernilai. Selain dengan harus pandai bersyukur,
dalam hidupnya masyarakat Kasepuhan dituntu untuk selalu sadar diri, dalam artian
tidak boleh sombong dan angkuh. Apa yang ada di dalam diri kita merupakansebuah
pemberian dan titipan yang harus dijaga dana akan di ambil kembali oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Leluhur sangat benci terhadap kesombongan karena dapat meusak diri dan
menimbulkan penyakit hati.
Adapun adat istiadat dalam menanam padi yang harus dipatuhi oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah:
1. Menanam padi hanya satu tahun sekali
2. Dalam upacara harus menggunakan padi lokal yang sekarang jumlah
varietasnya ada 100 jenis
3. Padi tidak boleh digiling
4. Beras tidak boleh dijual
5. Tidak boleh memasak di atas tanah dan harus menggunakan tungku
Memakai ikat kepala adalah kebiasaan laki-laki di masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar yang tidak boleh ditinggalkan, terutama bila berada di lingkungan imah
Gede. Makna dari kebiasan tersebut adalah sebagai simbol ajaran hidup yang
mengerti dirinya sendiri dan lingkungan hidup. Hal itu dilambangkan dengan kain
kepala yang mempunyai 4 sudut yang menunjukan 4 mata angin kehidupan dan
lipatan segitiga yang ujungnya mengarah ke bawah sebagai symbol pengingat diri.
Manusia adalah mahluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain, artinya manusia
harus memiliki rasa saling menghormati dan menghargai kepada orang lain karena
manusia bersifat memiliki segala kekurangan yang tidak diperkenankan untuk
memiliki rasa angkuh. Tidak hanya untuk kaum laki-laki nilai ini diperuntukan bagi
seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar bahwa setiap masyarakatnya harus bersadar diri
akan dirinya sendiri dan tidak boleh sombong dalam seluruh aspek kehidupannya.
Walaupun aturan-aturan tersebut hanya diturunkan secara lisan dari generasi
ke generasi selanjutnya, tetapi aturan tersebut mempunyai kekuatan mengikat
masyarakatnya. Sesepuh girang sendiripun akan mendapatkan sanksi atau hukuman
bila melanggar adat dan berlaku tanpa kecuali.
4.1.3.2 Sistem Organisasi Kepemimpinan Adat
Setiap wilayah pasti memiliki seorang pemimpin yang bertanggung jawab
terhadap keamanan wilayahnya. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seorang
pemimpin yang disebut sesepuh kampung dan sesepuh kampung dipimpin lagi oleh
seorang sesepuh adat yaitu sesepuh girang. Dimana tugasnya yaitu mengatur
keamanan dan kehidupan masyarakat sehari-hari serta membantu menjalankan proram
pemerintah dikampung tersebut.
Pemimpin adat atau sesepuh girang diharuskan laki-laki, pemilihan sesepuh
girang tidak dipilih secara langsung oleh rakyatnya tetapi dipilih menurut wangsit,
dalam hal ini biasanya yang terpilih menjadi kepala adat adalah salah satu anak dari
ketua adat yang menjabat sebelumnya. Aparatur sesepuh adalah orang-orang yang
terpilih dan dipercaya oleh ketua adat.
Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas adat tertentu yang sama memiliki
pemimpin adat guna menjaga keamanan dan kehidupan warganya, hal ini sejalan
dengan kampung adat Kasepuhan Ciptagelar yang bagi warganya keberadaan
Kasepuhan bagai negara kecil yang memiliki aparatur pemerintahan dan otonomi
tersendiri secara adat. Mereka mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan
merupakan bagian dari warganya, namun secara adat mereka memiliki pemimpin dan
pengurus rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar tersendiri yang harus dipatuhi.
Dalam pemilihan pemimpin adat di Kasepuhan Ciptagelar tidak dilakukan
secara demokratis yang melibatkan seluruh warganya dan dilakukan pemilihan
langsung. Sistem pengankatan pemimpin adat dilakukan atas dasar wangsit yang
diberikan oleh leluhur. Wangsit merupakan petunjuk atau perintah leluhur yang
disampaikan kepada baris kolot atau calon pemimpin melalui mimpi. Keberadaan
wangsit di lingkungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sangat sakral, wangsit
merupakan perintah leluhur yang harus dipatuhi tanpa kecuali, tidak boleh ada
penolakan dan pelanggaran karena bagi yang melanggar akan mendapatkan bebendon
atau musibah. Calon pemimpin adat hanya berasal dari keluarga pemimpin adat
selanjutnya, hanya orang yang masih memiliki ikatan darah dengan pemimpin
sebelumnya yang dapat menggantikan tampuk kepemimpinan selanjutnya.
Untuk menunjang tugas pemimpin adat dibuat struktur pengurus rumah tangga
kampung adat ini merupakan sebuah upaya untuk mengatur seluruh aspek kehidupan
warga Kasepuhan Ciptagelar. Keberadaan Abah Anom sebagai pemangku adat
mendapat pengakuan dari pemerintah daerah. Dalam struktur adat masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar untuk melakukan interaksi dengan dunia luar dibuat struktur
organisasi yang telah mengalami pengembangan sebagai adaptasi sesuai dengan
kebutuhan. Walaupun didalam struktur pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar sudah ada
pembagian tugas secara turun-temurun yang dijalani oleh anggota dengan sepenuh
hati.
Gambar 4.2 Diagram struktur pemerintahan adat Kasepuhan
Dok. Kasepuhan yang Tumbuh diatas yang Luhur, Kusnaka Adimihardja.1995
Sesepuh Girang
Sesepuh Lembur - 568 kampung kecildalam 360 kampung besar
BendaharaSeikretaris I dan II Baris Kolot/KepalaUrusan 1 - 13
Struktur diatas sebagai tuntunan manajemen untuk memperlancar tugas-tugas
Abah Anom dalam mengayomi warganya. Ke 13 baris kolot atau kepala urusan di
atas adalah pembantu Abah secara turun temurun dan bersifat sosial, artinya kerja dan
jasanya bagi Kasepuhan tidak mendapatkan bayaran atau gaji karena tugas tersebut
merupakan kewajiban pengabdian rakyatnya terhadap Kasepuhan dan pemimpin adat
serta leluhurnya. Pelimpahan tugasnya dilakukan secara turun temurun berdasarkan
garis keturunan sehingga jika ada yang tidak melaksanakan tugasnya akan
mendapatkan kualat (sanksi). Ke-13 pengurus adat yang membantu tugas pemimpin
adat adalah:
1. Rorokan Pakakas atau petugas adat perawat pusaka yang bertugas untuk:
• Memeriksa perkakas
• Menyiapkan bahan dan alat-alat perdukunan dan pamakaiyaan
2. Rorokan Pamakayaan atau petugas adat pertanian yang bertugas untuk:
• Mewakili Abah dalam hal terkait dengan pertanian
• Menjalankan perdukunan atau pengobatan pada warga
3. Rorokan Paninggaran atau petugas keamanan dalam bidang pertanian yang
bertugas untuk:
• Mengontrol lahan pertanian
• Memberantas hama-hama yang mengganggu, misalnya babi
• Mencari ikan atau daging untuk kepentingan pemimpin adat (dengan
berburu) tapi sekarang ini tugas ini tidak lagi dilakukan karena warga sudah
memelihara ternak.
4. Rorokan Kapanghuluan atau petugas adat dalam keagamaan yang bertugas
untuk:
• Membimbing warga dalam keagamaan
• Memimpin acara syukuran
• Menjalankan syukuran misalnya Rajaban, Mauludan dan Nadaran
5. Rorokan Kadukunan atau petugas adat dalam pengobatan yang bertugas untuk:
• Memeriksa rorokan pusaka di bagian perdukunan
• Mengobati warga yang tidak dapat ditangani oleh pamakayaan
6. Rorokan Bengkong atau petugas adat khitan yang bertugas untuk:
• Terbagi dua, yaitu untuk laki-laki dan perempuan
• Melaksanakan khitanan
• Mengatur hajatan disemua warga Kasepuhan
7. Rorokan Paraji / Nini Beurang atau petugas adat urusan dapur rumah
pemimpin adat yang bertugas untuk:
• Mengatur dapur di imah gede atau wakil emak (sebutan istri Abah)
• Menyiapkan sesaji yang diperlukan oleh Abah
8. Rorokan Paraji Hias atau petugas adat urusan merias yang bertugas untuk:
• Merias pengantin
• Selamatan pengantin yang terkait dengan adat
9. Rorokan Paraji atau petugas adat kelahiran atau dukun bayi yang bertugas
untuk:
• Mengurusi orang yang hamil
• Mengurus orang yang melahirkan
• Mengatur syukuran 40 hari kelahiran
10. Rorokan Panahaban atau petugas adat kebersihan lingkungan yang bertugas
untuk:
• Mengurus halaman rumah abah danlingkungan Leuit (lumbung)
• Merawat bentengan (tembok batu untuk jalan atau pondasi)
11. Rorokan Ngebas atau petugas adat alam pertukangan yang bertugas untuk:
• Koordinator semua tukang bangunan
• Memimpin pembangunan dan perbaikan bangunan
12. Rorokan Tatabuhan atau petugas kesenian yang bertugas untuk:
• Mengatur grup kesenian yang ada
• Mengatur kesenian untuk hajatan
13. Rorokan Kapamukaan/Bebenteng atau petugas adat dalam keamanan yang
bertugas untuk:
• Menjaga rumah Abah atau imah Gede
• Mengatur tamu yang akan menghadap Abah
• Mengamankan semua kawasan warga
• Pada jaman dahulu bertugas memimpin pasukan unutk melakukan
penyerangan
Ke-13 perangkat adat tersebut bertugas membantu tugas Abah dalam
memimpin warga Kasepuhan Ciptagelar untuk memberikan yang terbaik bagi
warganya. Posisi ke-13 perangkat adat tersebut ditempati oleh orang yang telah
ditunjuk oleh pemimpin adat terdahulu dan posisi tersebut tidak dapat dirubah, apabila
pejabat adat tersebut meninggal akan digantikan oleh anaknya. Pejabat perangkat adat
dilakukan secara turun temurun sehingga dalam silsilah keluargapun menjadikan
ukuran dari posisi keluarga di lingkungan warga luas Kasepuhan Ciptagelar.
Selain perangkat adat di dalam Kasepuhan Ciptagelar, terdapat sesepuh
lembur akan menghadap secara rutin pada saat pelaksanaan upacara adat ngaseuk
(tanam Padi), mipit (potong padi), nganjaran (makan padi pertama), pongokan
(laporan tahunan) dan seren taun (serah tahun). Sesepuh girang dalam
menjalankan tugasnya sebagai pemimpin selalu berusaha menerapkan sistem
demokrasi bagi hal-hal yang tidak terkait adat. Beliau mengundang masyarakat,
sesepuh lembur atau minimal baris kolot.
4.1.3.3 Kesenian
Setiap suku bangsa dan masyarakat tradisional sekalipun memiliki kesenian
khas daerahnya. Kesenian dikenal berfungsi sebagai hiburan bagi warga daerah. Bagi
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar keberadaan Kesenian tidak hanya sebagai hiburan
tetapi juga berfungsi sebagai kegiatan-kegiatan ritual. Kesenian yang terdapat di
Kasepuhan Ciptagelar adalah sebagai berikut:
• Rengkong, bunyi-bunyi yang dikeluarkan dari bambu alat pikul padi,
dihasilkan dari gesekan tali gantungan dengan bambu yang berlubang dan
sering dipertunjukan pada Seren Taun
• Dog dog lojor, alat musik pukul dari bambu kendang dan angklung,
digunakan pada saat hendak tanam padi, panen,mengangkut hasil panen,
menyambut dan mengiring tamu
• Pantun buhun, berpantun dengan diiringi kecapi, isi pantun biasanya
bercerita tentang sejarah yang berkaitan dengan Kasepuhan. Seperti cerita
Raden Tanjung, Munding Jalingan, Badak Pemalang dll yang merupakan
cerita rakyat. Kesenian ini tidak ditampilkan sembarangan, karena
menyangkut cerita leluhur. Sebelum ditampilkan harus ada ijin dan sesaji
dahulu dan akan kena kualat bila melanggar.
• Seni Jipeng, kesenian seperti drama yang memainkan cerita rakyat dengan
alat-alat musik tradisional. Cerita diselingi dengan tarian seperti jaipong
dan kerap dipertunjukan pada bulan purnama pad halaman rumah sesepuh
girang
• Topeng, mirip dengan Jipeng tetapi musik pengiringnya adalah gamelan
serta pemainnya menggunakan topeng
• Pencak silat
• Reog
• Debus dan Ujungan, kesenian bela diri dan kekebalan tubuh yang
dilakukan pada diri sendiri atau orang lain
• Seni Gondong, ibu-ibu memukul lesung dengan alu sambil menyanyi dan
berjoget dilakukanpada acara seren taun di halaman sesepuh girang.
Berikut adalah jenis kesenian yang umumnya sering di mainkan oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, masih banyak kesenian lain seperti Toleat, Calung
rantai (Calung buhun). Kerinding, Suling, Celempung, Wayang Golek dan
Ketimpring. Kesenian tersebut biasanya dilakukan secara tertutup bagi lingkungan
Kasepuhan saja dan diperuntukan bagi keluarga besar pemimpin adat dan masyarakat
Kasepuhan.
4.2. Peran Abah Anom Sebagai Pemimpin Adat
4.2.1 Biografi Abah Anom
Abah Anom memiliki nama asli Encep Sucipta yang lahir dari pasangan Ki
Ardjo (alm) dan Ma Tarsih (alm) yang sering disebut eyang sepuh. Abah Anom
merupakan tiga bersaudara dengan dua adik perempuan, Abah adalah anak sulung dan
kedua adik perempuannya yang bernama Eli dan Euis. Abah Anom memiliki turunan
pemimpin kerajaan dari ayahnya Ki Ardjo yang memimpin Kasepuhan sebelum masa
kepemimpinan Abah Anom menggantikan ayahnya Aki Buyut Rusdi yang memimpin
Kasepuhan Ciptagelar periode tahun 1937-1960.
Pemimpin di Kasepuhan Ciptagelar berkuasa dengan proses pesan dari
wangsit dan yang akan menjadi pemimpin adat hanya orang yang memiliki ikatan
darah dengan pemimpin terdahulu. Jadi tidak ada pencalonan yang berasal dari rakyat
atau anggota sesepuh lain kecuali pesan dari wangsit. Abah Anom lahir pada waktu
Kasepuhan Ciptagelar berada di Ciganas-Sukabumi tahun 1960 pada masa
kepemimpinan ayahnya Ki Ardjo. Masa kecil Abah Anom sama dengan anak-anak
lainnya yang membedakan adalah sikap segan warganya karena Abah merupakan
anak pemimpin adat. Abah tumbuh di lingkungan Kasepuhan yang masih sangat
sederhana, kala itu Kasepuhan masih tertutup dengan dunia luar sehingga Abah tidak
mengenal pendidikan formal.
Keluarga Abah Anom sangat ramah, tata bahasa dan tingkah laku sangat dijaga
dan lembut. Keluarga Abah Anom tinggal di Imah Gede atau disebut Imah Rurukan
oleh warga Kasepuhan yang terletak di tengah kampung adat. Sepeninggal
ayahhandanya, Abah Anom berpindah ke Ciptagelar sedangkan ibunya tetap tinggal di
Ciptarasa tempat pusat adat terdahulu. Eyang sepuh enggan meninggalkan tempat
peristirahatan suaminya sehingga Ma Tarsih tidak ikut pindah bersama Abah Anom.
Abah Anom muda merupakan pribadi yang bersahaja dan sederhana, beliau
sangat cinta pada kebudayaannya. Walapun Abah terlahir sebagai anak pemimpin adat
tapi hal itu tidak membuat beliau sombong, beliau tetap bermain berbaur dengan
remaja lainnya yang seumuran melakukan kegiatan bersama-sama. Menginjak remaja,
Abah sering diajarkan mengenai ritual-ritual yang dilakukan ayahnya Ki Ardjo seperti
mutih atau puasa untuk ragam makanan, hanya memakan nasi untuk beberapa waktu.
Ngembang terhadap makam leluhurnya sebelum melakukan sesuatu untuk mendapat
restu dan diberikan keselamatan selama kegiatan berjalan.
Pada saat usia Abah menginjak 17 tahun Abah ditinggalkan ayahnya Ki Ardjo.
Menurut wangsit Abah Anom terpilih untuk menduduki posisi sebagai pemimpin adat.
Walaupun pada saat itu Abah masih sangat muda tapi Abah faham bahwa keputusan
wangsit tidak boleh di ganggu gugat dan merupakan harga mati sehingga mau tidak
mau harus dipatuhi. Abah Anom yang kala itu masih asik bermain dengan anak
seusianya harus rela meninggalkan dunia remajanya dan mengemban tugas berat,
yaitu beban besar untuk menentukan nasib warga Kasepuhan. Karena usianya yang
muda ini untuk kemudian Abah lebih dikenal dengan nama Abah Anom yang berarti
anak muda yang dituakan. Walaupun usianya yang masih muda namun kedudukannya
sebagai pemimpin adat dengan segala keputusannya yang telah dibuat bersama baris
kolot harus dipatuhi oleh seluruh warganya.
Karena umurnya yang masih muda masih dapat dikatakan idealisme, Abah
menginginkan perubahan terhadap rakyatnya, agar rakyatnya dapat berkembang
seperti kebanyakan warga luar yang pernah dilihatnya dalam berkunjung ke
Kasepuhan dengan tetap memegang teguh aturan adat. Keinginan Abah merupakan
perintah bagi rakyatnya namun permintaan dan keinginan Abah harus dilandasi oleh
tanggungjawab karena peraturan adat yang ketat berlaku bagi seluruh warga
Kasepuhan Ciptagelar tidak terkecuali Abah dan seluruh anggota keluarganya sendiri.
Abah Anom tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena Abah Anom
tumbuh di lingkungan Kasepuhan yang masih tertutup dengan dunia luar. Abah hanya
mendapatkan pendidikan tradisional mengenai kelestarian dan tanggung jawab untuk
menjaga hutan sekitar dan pendidikan keluarga. Selanjutnya Abah mendapatkan
pelajaran dari alam, seperti apa yang dilakukan oleh anak rimba yang akrab dengan
kondisi hutan.
Abah Anom merupakan sosok yang sangat disegani dan dihormati, bagi
rakyatnya beliau adalah orang suci. Abah dipercaya oleh warganya dapat berjalan
diatas air, terbang dan menyembuhkan orang sakit. Tentu pada zaman sekarang hal
tersebut sulit dipahami oleh akal, jauh dari jangkauan rasional tapi itulah yang mereka
pegang hingga sekarang. Abah Anom merupakan orang suci yang dipercaya oleh
leluhurnya untuk memimpin warga adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah seringkali di
mintai petuah oleh warganya bahkan seluruh warga dari Kasepuhan lain di wilayah
gunung Halimun.beragam tujuan hidup seseorang mendorong mereka datang kepada
Abah untuk meminta petuah dan restu agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan
lancar dan cepat. Beragam tujuan seperti, meminta diberikan jodoh, dipererat
perjodohannya, sukses dalam karier dan menjayakan usahanya, walaupun hal ini
diluar nalar karena tujuan yang kita inginkan adalah bergantung pada usaha yang kita
lakukan beserta doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi di setiap harinya rumah Abah
tidak pernah sepi dari tamu yang datang untuk memimta petuah. Pada kenyataannya
sering kali orang salah kaprah, doa dari Abah dijadikan jalan pintas dan hal ini tidak
hanya dipercaya oleh warganya saja tetapi banyak berdatangan orang-orang kota baik
dari pemerintahan bahkan artis. Mereka memimta bantuan Abah Anom untuk
menunjang kariernya dan bisa mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat. Abah
tidak pernah memimta imbalan kepada tamunya, apabila akan memberi adalah
seikhlasnya. Dari tamu yang datang untuk berkonsultasi inilah Abah medapatkan
imbalan dan menjadi pengasilan untuk Abah.
Abah Anom menikah dengan Ema Uyen Suyenti dan memiliki 3 orang anak, 3
laki-laki dan satu perempuan diantaranya Ugi Sugriwa Rakasiwi yang sekarang
menjadi pemimpin adat di Kasepuhan Ciptagelar menggantikan ayahnya Abah Anom,
putra yang kedua bernama Nde atau Ade Sofyan yang masih berkuliah di Bandung di
salah satu perguruan tinggi swasta jurusan kepariwisataan dan bungsu bernama Putri
yang masih duduk di kelas 3 SD Bank Jabar di Kasepuhan. Anak-anak Abah Anom
tumbuh disaat kondisi Kasepuhan Ciptagelar sudah mengalami pengaruh budaya luar.
Abah Anom sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya sehingga Abah
mengirimkan anak sulungnya untuk bersekolah di daerah Sukabumi dan memasuki
sekolah unggulan di kota tersebut. Selulus SMU, ugi meneruskan ke perguruan tinggi
jurusan kedokteran di Sukabumi tapi hal itu tidak berjalan lama. Ugi yang merupakan
anak sulung Abah ini tidak betah berada di kota, Ugi lebih memilih berhenti kuliah
dan mengabdi bagi kampungnya dengan semua bekal yang dia bawa dari hasil
sekolahnya.
Sepeninggal ayahnya Ugi menduduki kursi pemimpin adat dengan sebutan
Abah Anom Ugi Sugriwa. Hasil dari wangsit dan rempugan para baris kolot telah
memutuskan bahwa Ugi yang akan meneruskan tugas Abah Anom. Setelah 2 bulan
meninggalnya Abah Anom, Ugi menikah dengan perempuan pilihannya yang telah
dipacarinya selama setahun yang berasal dari luar kampung Ciptagelar. Keluarga
Abah Anom sangat ramah, sangat mencerminkan karakteristik masyarakat Sunda
yang lemah lembut dan santun.
4.2.2 Kepemimpinan Abah Anom
Kepemimpinan Abah Anom yang di mulai pada tahun 1983 merupakan gaya
kepemimpinan baru dalam sejarah kepemimpinan Kasepuhan Cipatgelar. Adanya
perubahan terhadap gaya kepemimpinan ini telah mempengaruhi terhadap laju
perkembangan masyarakat Kasepuhan. Abah Anom adalah satu-satunya tokoh
pembaharu di Kasepuhan Ciptagelar. Para simpatisan yang telah mengikuti
perkembangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sejak lama, pada masa
kepemimpinan Abah Anom ini mereka mendapatkan tempat di dalam struktur
pemerintahan adat Kasepuhan untuk mengurusi kepentingan Kasepuhan Ciptagelar
yang berhubungan dengan dunia luar.
Abah Anom memimpin rakyatnya dengan gaya baru, adanya pemberlakuan
kebijakan baru yang menuntun masyarakatnya menuju masyarakat yang berkembang,
masyarakat yang mengenal teknologi. Kehidupan Kasepuhan Cipategalar selama
periode 1983-2003 di bawah kepemimpinan Abah Anom diwarnai pasang surut
perubahan sosial pada masyarakatnya sebagai pengaruh perubahan pada budaya
materil. Dengan gaya pemimpin inilah Abah mengharuskan masyarakatnya untuk
beradaptasi dengan aturan dan perubahan yang terjadi.
Kepemimpinan di Kasepuhan Ciptagelar adalah kepemimpinan kharismatis,
dimana pemimpin adat memiliki wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu
suatu kemampuan khusus (wahyu, wangsit) yang ada pada diri seseorang.
Kemampuan khusus ini melekat pada orang tersebut karena sebuah anugrah dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang sekitar yaitu warganya mengakui akan adanya
kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan, karena mereka
menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut adalah sesuatu yang berada diatas
kekuasan dan kemampuan manusia pada umumnya. Sumber kepercayaan dan
pemujaan karena kemampuan khusus tadi pernah terbukti manfaat serta kegunaannya
bagi masyarakat. Jadi, dasar wewenang kharismatik ini bukanlah terletak pada suatu
aturan atau hukum, akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu bersangkutan.
Keberadaan Abah Anom sebagai pemimpin adat diakui oleh pemerintah oleh
karena itu banyak program pemerintah yang telah dicanangkan untuk pengembangan
Kasepuhan Ciptagelar yang kaya akan budaya Sunda tersebut. Pengembangan yang
telah dilakukan pemerintah salah satunya adalah dibuatnya jalan batu dari daerah
Pangguyangan menuju ke Ciptarasa atau eks kampung adat, tidak hanya jalan utama
tetapi juga gang-gang yang telah ada di perluas dan diberi batu.
Lokasi keberadaan kampung Gede selalu berpindah-pindah, alasan perpindahan
kampung gede hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Semua perpindahan
terjadi berdasarkan wangsit dari leluhur kepada sesepuh girang dan berpindahan akan
terus terjadi sesuai pesan yang disampaikan melalui wangsit. Berdasarkan beberapa
petunjuk tempat yang kelak akan menjadi kampung Gede berikutnya, diantaranya
adalah Cicemet-Sukabumi (sudah ditempati saat ini dibawah pimpinan Abah Anom),
lembah Ciawitali-Sukabumi, Lebak Tipar-Banten dan Muara Tilu Cibareno-banten.
Menurut beberapa peneliti, apabila ditinjau secara ilmiah mengenai perpindahan
kampung Gede adalah didasarkan dari kualitas sumber daya alam di tempat tersebut
tidak lagi baik. Seperti indeks air yang sudah berkurang, kualitas kesuburan tanah
yang berkurang sehingga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mencari lahan baru. Tapi
penelitian tersebut tidak dapat dibenarkan karena eks kampung adat biasanya masih
dihuni oleh sebagian masyarakat Kasepuhan yang tidak melakukan perpindahan.
Seperti keberadaan kampung Ciptarasa yang masih dihuni oleh sebagian warga
Kasepuhan yang tidak turut berpindah, mereka masih mendapatkan air yang cukup
sekalipun pada musim kemarau dan melakukan kegiatan bercocok tanam tanpa
hambatan dari kualitas tanah. Perpindahan, pergantian pemimpin adat adalah sebuah
keputusan yang disampaikan oleh wangsit, sehingga mau tidak mau harus dipatuhi
karena apabila melanggar maka akan mendapatkan musibah dari leluhur.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, anak adat diberikan tempat di dalam
struktur pemerintahan adat. Komunitas anak adat ini diberi nama Baris Koboy yang
memiliki tugas membantu Abah mengurusi keperluan Abah dengan dunia luar. Karena
komunitas Baris Koboy berasal dari “luar” maka dianggap lebih faham untuk menjadi
mediator bagi Abah untuk melakukan interaksi dengan dunia luar.
Setiap pemimpin pada umumnya akan memimpin rakyatnya sesuai dengan
gayanya, sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Berbeda dengan pemimpin
Kasepuhan Ciptagelar karakteristik pemimpin Sunda yang bersahaja memiliki amanat
untuk menjalankan aturan atau adat Sunda kuno tanpa sentuhan perubahan dan gaya
dari tiap pemimpin di setiap pergantian pemimpinnya. Gaya kepemimpinan di
Kasepuhan Ciptagelar bersifat baku, pergantian pemimpin hanya ditandai oleh
perpindahan tampuk kepemimpinan tanpa ada tambahan gaya kepemimpinan dan
kebijakan baru, hanya meneruskan pemimpin terdahulu. Dalam sejarah kepemiminan,
Abah Anom sebagai pengganti ayahnya Aki Ardjo mengadakan pembaharuan dalam
memimpin, Abah Anom ingin melakukan pembaharuan dengan memimpin
menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan warganya dengan tujuan
mensejahterakan rakyatnya. Adapun kebijakan-kebijakan yang dibuat pada masa
kepemimpinan Abah Anom, yaitu:
• Membuka wilayahnya kepada dunia luar
• Mengijinkan kepemilikan benda-benda modern ( kendaraan, mesin-
mesin dan alat-alat elektronik lain), dengan catatan diberlakukan pajak
tahunan atas kepemilikan barang tersebut
• Mengijinkan warga luar untuk menjadi warga adat Kasepuhan
• Menerima kedatangan orang asing (orang barat)
• Mengijinkan warganya bekerja di luar Kasepuhan
• Melibatkan warga adat ( warga Kasepuhan yang berasal dari waga
luar) untuk ikut berperan menjadi barisan pengurus keperluan
Kasepuahan, yaitu menjadi media antara Abah dengan kepentingan
dunia luar yang disebut dengan baris koboy
• Mengijinkan warganya menikah dengan warga luar.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Abah Anom tersebut merupakan kebijakan
yang tidak biasa bagi sejarah perkembangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Kebijakan yang berbeda dari kebijakan pemimpin sebelumnya yang telah dijalankan
secara turun temurun. Abah ingin melakukan pembaharuan bagi warganya dengan
harapan warganya bisa lebih sejahtera seihngga memberlakukan peraturan baru
tersebut. Memasukan aturan-aturan baru yang membuka kesempatan terhadap dunia
luar. Kebijakan sesepuh girang atau Abah Anom ini telah dirundingkan terlebih
dahulu dengan para Baris Kolot, kebijakan yang dikeluarkan Abah Anom harus
dipatuhi oleh seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar karena perintah yang diberikan
Abah merupakan perintah yang diberikan dari leluhur dengan melalui pemimpin adat.
Melalui kebijakannya Abah Anom mengharapkan pembaharuan bagi warganya
untuk meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya dengan tetap memegang teguh peraturan adat Sunda buhun. Terbuka dan
mengikuti perkembangan kemajuan zaman dengan tetap menjaga adat dan tradisi
leluhur agar tidak lagi menjadi masyarakat yang tertinggal dan tetap hidup dengan
sesuai perintah leluhur.
4.3 Kehidupan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Pada Masa Kepemimpinan Abah Anom
4.3.1 Upaya Masyarakat Ciptagelar dalam menerapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Abah Anom
4.3.1.1 Berubahnya Kebiasaan Adat Sehari-hari 4.3.1.1.1 Gaya Hidup
Suatu peradaban baru yang sedang tumbuh dalam kehidupan saat ini telah
membawa gaya baru terhadap kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, cara hidup,
membawa tatanan ekonomi baru, dan juga mengubah kesadaran manusia. Serpihan
peradaban itu telah ada sekarang ini dan orang-orang yang takut terhadap masa depan
itu terlibat dalam suatu pelarian ke masa lalu dan mencoba memulihkan kembali
dunia mereka yang telah berubah jauh dari yang diharapkan.
Pengaruh globalisasi pada umumnya selalu menyeret manusia ke arah negatif.
Pertukaran dan kontak kebudayaan antara budaya global dan budaya lokal tradisional
secara timbal balik menjadi sangat intensif dan mendalam. Sehingga di dalamnya
unsur budaya global dan lokal bertukar dan bercampur menjadi satu. Sehingga
terdapat dua sisi pengaruh timbal balik antara budaya global dan budaya lokal, yaitu
satu sisi kuatnya identitas budaya lokal, sehingga budaya global tidak sampai
menghilangkan identitas budaya lokal, namun di sisi lain budaya global juga
menyerap unsur budaya lokal sehingga mampu beradaptasi bahkan menimbulkan
akulturasi budaya.
Masuknya pengaruh budaya luar terhadap lingkungan adat Kasepuhan
Ciptagelar telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru bagi warganya. Budaya luar
yang merupakan hal baru menjadi suatu yang menarik perhatian bagi warga adat dan
dijadikan pengetahuan yang menarik untuk diikuti bahkan diterapkan dalam hidup
kesehariannya. Ketertarikan ini menjadikan pengaruh budaya luar yang dibawa oleh
pengunjung mudah masuk dan diterima oleh warga adat tanpa adanya kesulitan yang
berarti. Hal ini tidak saja datang dari warga adat tetapi juga pengunjung yang datang
dimana ketertarikan wisatawan terhadap Kasepuhan telah mengakibatkan interaksi
dengan warga terjadi dengan intens. Interaksi ini yang sedikit demi sedikit telah
menerapkan pengaruh terhadap masyarakat adat sehingga pasti bergerak pada
perubahan.
Kebijakan baru yang dikeluarkan Abah Anom tersebut mengharuskan
rakyatnya untuk mengalami transisi terhadap perubahan aturan lama ke aturan baru.
Pada tahun 1984 mulai terjadi adaptasi pada seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar,
yang semula bersikap tertutup dengan dunia luar secara drastis membuka diri pada
dunia luar. Bagi sebagain kalangan tertentu hal ini adalah kabar menggembirakan,
terutama bagi mereka yang memiliki ketertarikan terhadap dunia budaya lokal
tradisional, mereka tidak lagi sulit untuk memiliki izin masuk ke kampung adat yang
kaya akan budaya sunda kuno tersebut. Untuk mempersiapkan menyambut perubahan
dengan masuknya warga luar ke Kasepuhan Ciptagelar, masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar bekerja bergotong royong untuk memperluas jalan agar dapat dilalui oleh
kendaraan roda empat secara memadai. Pada tahun 1985 dilakukan pembangunan
jalan dari Pasir Kurai ke Gunung Batu dengan jarak 15 km dan lebar 4 m yang dapat
diselesaikan oleh masyarakat Kasepuhan dalam waktu 2 hari dengan tenaga kerja
10.000 orang per hari yang mayoritas masyarakat Kasepuhan dari 3 kabupaten Lebak,
Bogor dan Sukabumi.
Keterbukaan tersebut juga merupakan kabar baik bagi pemerintah, Kasepuhan
Ciptagelar telah menjadi salah satu tempat wisata budaya yang dimiliki kabupaten
Bogor, Sukabumi dan Banten. Selesainya pembangunan jalan telah mempermudah
jalur transportasi sehingga wisatawan dengan mudah silih bergantian mengunjungi
kampung adat ini. Mereka tertarik akan budaya Kasepuhan Ciptagelar yang lekat
dengan adat istiadat Sunda kuno. Kedatangan wisatawan ini telah menimbulkan
terjadinya interaksi antar wisatawan dan warga Kasepuhan, melalui interaksi ini
pertukaran budaya dimulai. Perubahan yang langsung terasa adalah dari gaya bahasa,
masyarakatnya terutama para remaja mulai tertarik terhadap bahasa Indonesia.
Dengan mulai banyaknya pengunjung yang datang ke Kasepuhan Ciptagelar menjadi
sebuah tuntutan bagi warga adat mengenal dan mulai mempelajari bahasa Indonesia
yang merupakan alat komunikasi antar warga adat dan masyarakat luar. Selain sebagai
bahasa nasional, di kalangan remaja bahasa Indonesia ini dipelajari sebagai tolak ukur
sebagai status sosial mereka. Selain keluarga pemimpin adat masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar masih sedikit yang dapat berbahasa Indonesia karena dalam kesehariannya
warga adat hanya menggunakan bahasa Sunda.
Selain dari bahasa, gaya hidup masyarakatnya ikut berubah menjadi cenderung
lebih “praktis” adalah dari cara berpakaian hingga cara berkomunikasi yang berkaitan
dengan media interaksi sosial yang mereka gunakan sehari-hari. Gaya hidup tersebut
jauh berbeda dengan apa yang dikenal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebelumnya
yang lebih cenderung bersifat konvensional.
Dalam kesehariannya, tingkah perilaku dan kebiasaan hidup sehari-hari warga
Kasepuhan Ciptagelar diatur oleh aturan adat. Seperti dalam cara berpakaian,
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diharuskan memakai pakaian adat dengan setelan
serba hitam dan ikat di kepala bagi laki-laki dan kebaya sederhana dengan paduan
samping atau semacam sarung tapi khusus perempuan bagi kaum perempuan. Untuk
memehuni kebutuhan sandang tersebut masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki
tradisi tersendiri dengan menenun. Mulai dari penyiapan bahan baku, pewarnaan,
pembuatan benang hingga menenun kain mereka lakukan sendiri dengan cara manual
tanpa adanya bantuan alat modern. Hasilnyapun sangat memuaskan walaupun
membutuhkan waktu yang cukup lama karena pengerjaannya menggunakan tangan
manusia dan di kerjakan di saat waktu senggang ibu-ibu.
Setelah terjadinya interaksi warga adat dengan wisatawan, cara berpakaianpun
turut mengalami perubahan. Wisatawan yang datang mayoritas memakai setelan
celana jeans dan kaos oblong. Cara berpakaian yang identik dengan gaya masyarakat
“perkotaan” tersebut telah diikuti oleh warga adat Kasepuhan Ciptagelar terutama
para remajanya. Perubahan tersebut diawali oleh pengunjung yang kerap kali dalam
kunjungannya ke Kasepuhan Ciptagelar selalu diakhiri dengan memberi barang pada
masyarakat sekitar sebagai tanda mata kenang-kenangan yang dijadikan ikatan
emosional oleh wisatawan guna kedatangan mereka selanjutnya. Pemberian
pengunjung inilah yang awalnya hanya digunakan oleh yang punya sebagai tanda
penghargaan kepada yang memberi, namun selanjutnya pemakaian kaos tersebut
berlanjut hingga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar membeli sendiri pakaian tersebut
dengan uang yang mereka miliki dengan mulai sering berkunjung ke pusat kota
terdekat yaitu Pelabuhan Ratu untuk berbelanja keperluan sandang dan lainnya.
Perubahan terhadap bahasa dan cara pakaian yang terjadi pada remajanya dijadikan
tren atau gaya baru berpakaian dengan image “gaul”.
Awalnya perubahan terhadap cara berpakaian yang terjadi pada
masyarakatnnya tidak dipandang sebuah masalah bagi Abah Anom dan sesepuh pada
waktu itu. Cara berpakaian baru ini telah memunculkan image baru, mereka lebih
merasa percaya diri dengan cara berpakaian seperti “orang kota” yang biasa memakai
kaos, kemeja dengan setelan celana pendek atau panjang baik laki-laki ataupun
perempuan dalam berhadapan dengan wisatawan yang datang.
Dengan berjalannya waktu dan perkembangan perekomian yang mengalami
peningakatan, pada tahun 1990-an perubahan cara berpakaian itu tidak hanya
dilakukan oleh para remaja bahkan diikuti oleh para orang tuanya. Walaupun telah
menggeser fungsi dari pakaian adat, hal ini tidak dianggap melanggar nilai adat
karena pada kenyataannya masyarakatnya menyukai perubahan tersebut dan yang
terpenting keyakinan dirinya sebagai orang Sunda tidak berubah. Oleh karena itulah
Abah Anom bersedia untuk “bernegosiasi” dengan leluhur mengenai perubahan cara
berpakaian warganya, Abah meminta keringanan terhadap perubahan tersebut, Abah
Anom memohon agar leluhur mengijinkannya. Seperti laki-laki paruh banya yang
bernama Edih yang biasa di sebut wa’Edih oleh masyarakat sekitar yang berprofesi
sebagai tengkulak, sudah biasa mengenakan setelan celana katun dan kaos berkerah
dalam kesehariannya. Ternyata tidak hanya gaya berpakaian yang berubah tetapi
wa’Edih juga sudah memakai kaca mata. Barang yang tidak biasa di Kasepuhan
Ciptagelar, sekalipun banyak warga yang bermasalah dengan penglihatannya tapi
mereka tidak memiliki keinginan untuk memakainya.
Pada tahun 2000, dapat dikatakan hampir seluruh warga adapt biasa
mengenakan kaos dan celana katun dalam kehidupan sehari-harinya, yang masih
bertahan di balik pakaian adapt hanyalah orang tua atau lansia yang memang menurut
mereka pakaian adatlah yang paling pantas dan sesuai. Pada tahun tersebut di hari-
hari biasa jarang sekali ditemukan warga yang memakai apakaian adat lengkap.
Mayoritas memakai setelan kaos dan celana katun dengan paduan iket kepala yang
memang tidak bisa di hilangkan. Pakaian adat bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
kini hanya terlihat sesekali terutama pada saat akan dilaksanakannya upacara adat
atau sedang akan menghadap Abah.
Namun tidak disadari oleh masyarakatnya bahwa perubahan terhadap
berpakaian tersebut telah merubah nilai tradisi yang melekat pada kegiatan hidup
sehari-hari. Asas kemandirian yang lekat dengan seluruh warga adat Kasepuhan
Ciptagelar ini pada kenyataannya mulai menurun. Kemandirian yang menuntut
mereka memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa menggantungkan kepada “dunia
luar”, seperti dalam pemenuhan kebutuhan sandang pakaian adat mereka. Baik bahan
baku hingga proses penyelesaian mereka lakukan sendiri, mulai dari penanaman
kapas, pembuatan benang, pewarnaan alami dan menenun. Gaya berpakaian yang
cenderung praktis ini tidak lagi membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk
memiliki sebuah pakaian. Mereka cukup dengan memiliki uang yang cukup dan
membelinya di kota tanpa harus melakukan serangkaian proses penenunan yang
cukup rumit dan lama. Hal ini jelas menggeser nilai tradisi menenun yang merupakan
tugas para perempuan dan sebagai alat interaksi sosial antar warganya tidak lagi
dilakukan. Kebiasaan tradisional mereka mulai menghilang, kegiatan menenun kini
tidak lagi dapat di temukan di sekitar Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakatnya lebih
senang memakai kaos dan kemeja, selain beragam model juga beragam warna yang
menarik. Perubahan ini telah mengakibatkan produksi kain sarung khas Kasepuhan
Ciptagelar punah, padahal kain sarungnya terkenal dengan kehangatan dan tahan
lama. Karena pembuatannya secara tradisional membuat kain sarung tersebut
memiliki kualitas yang sangat baik, pewarnaan yang alami membuat warnanya tahan
lama, penenunan membuat rangkaian kainnya rapat sehingga hangat dipakai.
Selain hilangnya tradisi menenun, ragamnya model busana wanita turut
mempengaruhi gaya berpakaian remaja perempuan. Gaya busana tersebut beragam
mulai dari yang panjang tertutup hingga yang pendek dan super ngetat. Untuk
memenuhi keinginan berbusana yang elok, terdapat beberapa anak perempuan yang
berani memakai pakaian yang sedikit terbuka, seperti “ tank top” yaitu sejenis atasan
seperti kaos tetapi tidak berlengan dan ketat. Anak perempuan di Kasepuhan
Ciptagelar tidak diperkenankan memakai pakaian yang terbuka dan hal tersebut
merupakan pemandangan yang sangat jarang terlihat.
Kasepuhan Ciptagelar memiliki tradisi tersendiri dalam aturan berpakaian
bagi warganya. Dengan menggunakan kebaya merupakan lambang bagi perempuan
bahwa mereka adalah mahluk anggun, lemah lembut yang harus dihormati. Kesan
tersebut hilang disaat kebaya digantikan dengan pakaian sejenis singlet tersebut,
kebalikannya kesan yang muncul adalah rasa empati karena dengan berpakaian
tersebut dapat mengakibatkan dampak negatif bagi dirinya. Lebih lagi penilaian yang
datang dari pengunjung, mereka tidak merasa nyaman melihat perempuan di
Kasepuhan Ciptagelar dengan gaya seperti itu. Salah menempatkan, karena desa atau
kampung adalah tempat tinggal yang penuh aturan dan budaya. Seperti salah satu
remaja Kasepuhan Ciptagelar yang bernama Liah yang berusia 16 tahun. Liah
merupakan warga asli Kasepuhan, dengan usianya tersebut Liah belum pernah
mengenyam bangku sekolah. Liah sering melihatkan lekuk tubuhnya lewat baju
ketatnya, agar terlihat seksi ulasnya, jelas pernyataan ini sangat ironis karena terlontar
dari mulut warga adat. Adanya wisatawan asing yang datang dengan setelah “tank
top” dianggap menarik oleh Liah tanpa berfikir panjang dia ingin bergaya seperti turis
yang datang. Liah tidak memikirkan ketepatan tempat serta resiko asusila dari yang
dia lakukan. Ketidak siapan remaja yang kemudian menerima dan menelan bulat-
bulat pengaruh yang masuk adalah salah satu bahaya baik bagi individu ataupun
masyarakat sekitar.
Bagi para remajanya pemakaian aksesoris mulai menggangu ”pemandangan”,
dalam artian pemakaian kalung dan gelang pada laki-laki. Jelas bukan hal yang biasa
karena secara umum yang mengenakan aksesoris tersebut adalah perempuan. Hal ini
juga tidak lepas dari apa yang mereka lihat dari wisatawan yang datang. Berbeda
dengan di perkotaan yang sudah biasa melihat laki-laki mengenakan gelang, kalung
bahkan anting. Memang aksesoris tersebut tidak terbuat dari emas seperti perhiasan
perempuan, namun hal ini memang bukan kebiasaan dan tradisi warga adat. Dalam
perkembangan selanjutnya yang semakin menghawatirkan dalam gaya para remaja
adalah piershing atau tindik. Anting yang biasa digunakan perempuan kini ikut
digunakan oleh remaja laki-laki bahkan tidak hanya satu biji tetapi terdapat 2-3 biji di
satu kuping. Tindik ini mereka lakukan sendiri berbeda dengan di kota yang
prosesnya benar-benar steril, karena ketidak tahuan dan terbatasnya alat mereka
lakukan sendiri tanpa ada pemahaman menindik. Padahal resiko kesehatannya besar,
apabila kita melakukan kesalahan maka akan menyebabkan kelumpuhan karena
kuping memiliki banyak saraf. Seperti yang terjadi pada Ardi, awalnya mereka hanya
coba-coba dengan satu lubang yang dilakukan dengan tiga kawannya, dan iyu
berhasil. Karena tidak puas dengan hanya memiliki satu lubang dia membuat lubang
baru, karena ketidak fahaman Ardi inilah, disaat dilakukan piershing menusuk salah
satu urat sarafnya yang mengakibatkan kuping kiri Ardi tidak dapat mendengar.
Jiwa muda yang menggebu-gebu pada remaja Kasepuhan Ciptagelar ini telah
mengakibatkan budaya luar masuk secara bebas tanpa adanya filter. Mereka senang
dengan hal yang baru dan mencobanya. Tetapi mereka lupa satu hal bahwa semua
yang mereka dapat adalah bukan kebiasaan mereka, sehingga tidak memahami resiko
dari semua itu. Ketidak siapan mereka dalam menerima budaya luar menjadikan
mereka salah kaprah, yang awalnya ingin menjadi pusat perhatian malah bahaya yang
didapat.
4.3.1.1.2 Hubungan sosial Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Kebijakan Abah Anom telah menimbulkan masyarakat dekat dengan
modernisasi, hampir seluruh aspek tersentuh perubahan yang bersifat modern.
Kebijakan mengenai masuknya kemajuan teknologi berjalan mudah, kehidupan
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang tradisional seiring waktu turut berubah.
Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakatnya untuk bulak-balik ke pusat kota,
mau tidak mau mereka membutuhkan alat transportasi untuk mempermudah
menjangkau pusat kota. Untuk itu, Abah Anom membeli sebuah mobil untuk
keperluan transportasi bagi abah dan warganya.
Kepemilikan kendaraan bermotor ini kemudian diikuti oleh warganya, bagi
mereka yang mampu turut membeli kendaraan bermotor untuk mempermudah
kegiatan sehari-hari terutama bagi perekonomian karena motor dapat menjadi alat
angkut. Kendaraan bermotor ini yang menuju perkembangan selanjutnya menjadi
sebagai alat ukur kesejahteraan seseorang. Melalui kendaraan bermotor dapat menilai
seseorang mampu dalam segi ekonomi. Oleh karena itu, terdapat peningkatan
mengenai kepemilikan kendaraan bermotor di masyarakat Kasepuhan Ciptagelar,
seperti pada tahun 1990 dimana untuk pertama kalinya Abah Anom membeli mobil
untuk kepentingan kasepuhan Ciptagelar. Pada tahun 1998 telah tercatat 12 sepeda
motor yang dimiliki masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Dan pada tahun 2000 tercatat
23 sepeda motor di Kasepuhan Ciptagelar. Dengan jumlah pemilik sepeda motor
tersebut diperoleh gambaran bahwa kesejahteraan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
meningkat setelah mengadakan interaksi dengan ”dunia luar”.
Perubahan yang paling drastis dan menggeser aturan adat adalah masuknya
kemajuan teknologi, hal ini berhubungan dengan kondisi kampung adat yang berada
di tengah hutan lebat dan lokasinya sedikit terisolir sehingga pengaruh “luar” sulit
masuk. Dengan adanya pembangunan jalan antara pusat kota menuju eks kampung
adat hingga Kasepuhan Ciptagelar telah membuka akses terhadap dunia luar. Karakter
masyarakat Kasepuhan yang masih tradisional dapat menjalankan aktifitas hidupnya
secara konvensional. Setelah terbangun jalan dan adanya alat transportasi lambat tapi
pasti untuk pemenuhan kegiatan sehari-hari diwarnai alat-alat modern. Seperti
dipasangnya listrik agar memudahkan warga beraktifitas di malam hari melalui
pemberdayaan turbin, pembangunan stasiun radio, telivisi, tape, speaker, handphone
dan alat elektronik lainnya.
Keberadaan kemajuan teknologi melalui alat-alat elektronik dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia dari segi efektifitas dan efisiensi. Sama halnya bagi
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, keberadaan kendaraan bermotor telah membuat
mobilitas mereka berjalan lancar. Mempermudah mereka untuk ke kota dan
mengakses banyak pengetahuan baru tentang modernisasi sehingga meningkatkan
kesejahteraan. Alat transportasi mungkin memberikan banyak manfaat bagi mereka,
namun berbeda dengan alat-alat elektronik yang telah masuk. Walaupun begitu
sedikitnya keberadaan kendaraan bermotor tetap memberikan dampak negatif atau
merugikan. Posisi Kasepuhan Ciptagelar yang memiliki keadaan alam yang dikelilingi
hutan dan udara sejuk telah menerima asap polusi yang berasal dari kendaraan
bermotor tersebut.
Alat-alat elektronik yang dimiliki oleh warga adat cenderung bermanfaat
sebagai alat hiburan bukan alat pemenuhan kebutuhan yang bersifat premier. Mungkin
alat elektronik seperti TV, Radio dan Tape ini menambah hiburan mereka, namun efek
samping dari alat hiburan tersebut tidak baik bagi hubungan sosial mereka. Sebelum
mereka mengenal media hiburan elektronik, setiap sore ibu-ibu biasanya berkumpul
di samping Imah Gede, mereka menumbuk padi di atas lesung sambil memainkan
musik lewat pukulan dari lesung dan pegangannya. Selain sebagai alat hiburan
mereka dapat sambil bekerja menumbuk padi dan hal yang terpenting adalah menjaga
silaturahmi antar mereka. Ibu-ibu bekerja membuat tepung sambil memainkan musik
yang diselingi dengan obrolan kecil. Masuknya media hiburan elektronik telah
mempersempit hubungan interaksi mereka. Tidak lagi keluar rumah bersama menuju
Imah Gede dan menumbuk pagi bersama tetangga, kegiatan sore mereka di isi dengan
menonton TV bersama keluarganya saja.
Tape merupakan alat hiburan pula, biasanya digunakan untuk memutar lagu
dangdut melalui VCD player. Alat hiburan yang dapat melenyapkan kepenatan atau
sebaliknya memberikan semangat melalui alunan lagu, yang biasanya diputar adalah
lagu dangdut. Tape memang alat hiburan yang praktis dan menarik, tetapi di sisi lain
ada yang hilang. Alunan musik yang biasa mereka dengar dari suara angklung dan
kendang, kini digantikan oleh lempengan CD yang diputar oleh VCD player. Sama
halnya seperti kebiasaan ibu-ibu menumbuk padi dan menepung, bermain musik
angklung juga merupakan kebiasaan bapa-bapa bahkan para remaja di saat waktu
luang sambil sesekali bercanda dengan kerabat. Hal itu mulai hilang, mereka lebih
memilih mendengarkan lagu dangdut yang leih beragam dan modern. Selain hiburan,
bagi beberapa orang keberadaan VCD dan tape ini menggangu, selain mereka
kesulitan untuk bermain alat musik tradidional karena kekurangan orang, terkadang
suara musik yang berasal dari tape ini terlalu kencang sehingga bising dan menggangu
yang lain.
Karena terlalu asyik, kadang pemilik tidak menyadari hal itu dengan begitu
sikap toleransi antar warganya terganggu. Tidak terlalu memikirkan perasaan orang
lain yang tidak memiliki bahkan yang tidak senang akan suara yang dikeluarkannya.
Penghasilan mereka tidak lagi diperuntukan membeli lahan untuk unvestasi tetapi
digunakan untuk membeli alat-alat elektronik untuk hibura. Pada tahun 2006 tidak
sedikit remaja di Kasepuhan Ciptagelar yang sudah mengenal dan memakai MP3 dan
MP4, yaitu alat pemutar musik. Mungkin jumlahnya tidak banyak hanya berasal dari
keluarga besar Abah Anom saja yang dapat mengakses lagu dari lap top milik a’Ugi.
Selain media hiburan, terdapat beberapa orang di Kasepuhan Ciptagelar yang
sudah memiliki handphone diantaranya adalah Abah Anom, beliau membutuhkan alat
komunikasi ini untuk mempermudah berhubungan dengan pihak luar, Kasepuhan lain
dan anak adat yang berada di luar Kasepuhan Ciptagelar. Tidak hanya Abah dan
keluarganya, warga Abah juga ada beberapa yang memiliki handphone terutama para
remaja, mereka lebih peka untuk menerima hal baru dari “luar”. Sebelum ada
handphone mereka bersosialisasi dengan baik walaupun dengan jarak yang jauh.
Bukan hanya antar warga bahkan antar Kasepuhan, mereka rela menempuh jarak jauh
dengan berjalan untuk menyampaikan pesan antar Kasepuhan dengan berjalan inilah
selama di perjalanan terdapat interaksi sosial dengan yang lainnya. Tidak hanya
menyampaikan pesan dan berolah raga melalui berjalan kaki, mereka dapat menyapa
saudara Kasepuhan yang ditemuinya selama perjalanan. Berbeda dengan sekarang,
komunikasi antar Kasepuhan ataupun anatar warga Kasepuhan Ciptagelar dapat
dilakukan dengan handphone via sms atau telfon. Eketif dan efisien memang, namun
melewatkan interaksi sosial didalamnya yang sangat penting untuk menjaga
keharmonisan antar warganya.
Kepemilikan barang di masyarakat adat tidak hanya disebabkan pengaruh dari
masyarakat luar atau wisatawan saja. Untuk perkembangan selanjutnya, peningkatan
kepemilikan barang elektronik dipicu oleh pemimpin adat itu sendiri. Abah sendiri
banyak menggunakan barang elektronik, hal ini bisa kita lihat bila kita memasuki
rumah Abah Anom. Pas kita masuk kita bisa langsung menemukan barang elektronik
yang Abah miliki, yaitu TV 34 inc, jelas bukan barang yang murah tapi Abah dapat
memilikinya. Selain TV masih banyak barang elektronik yang Abah miliki,
handfhone, lap top, tape dll. Pemimpin adapt sebagai teladan sehingga kepemilikan
barang elektronik oleh Abah menjadi sebuah kelonggaran bagi warganya.
Kepemilikan barang-barang modern ini tentu tidak semudah itu, bagi warga
yang memilikinya diwajibkan setiap tahun membayar pajak atas barang-barang
tersebut. Di Kasepuhan Ciptagelar berlaku pajak setiap tahun untuk setiap jiwa dan
barang. Tidak hanya dari jiwa yang berasal dari Kasepuhan Ciptagelar, posisi
Kasepuhan Ciptagelar sebagai pusat pemerintahan Kasepuhan sehingga Kasepuhan
Ciptagelar mendapatkan pajak atau upeti dari Kasepuhan lain yang berada di wilayah
Gunung Halimun. Apabila aturan perpajakan terdahulu yang mewajibkan warga adat
Kasepuhan Ciptagelar untuk membayar pajak jiwa dan barang yang mereka miliki
memakai padi maka berbeda pada masa kekuasaan Aki Ardjo. Pajak ini kemudian
akan dipergunakan untuk biaya Seren Taun dan kas negara sebagai antisipasi dana
bencana alam.
Sesuai dengan perkembangan zaman, pada masa kepemimpinan Aki Ardjo
pembayaran pajak tersebut dilakukan dengan jumlah uang. Pada awal pemberlakuan
aturan pajak memakai uang, setiap jiwa diwajibkan membayar Rp. 250; dan binatang
peliharaan yang dapat mendatangkan penghasilan bagi warganya seperti kuda dan
kerbau adalah Rp. 750; setiap tahunnya. Pajak tersebut dibuat oleh pemimpin adat dan
Baris kolot, nominal yang rendah bertujuan agar tidak memberatkan warganya.
Menyusul dengan adanya barang-barang elektronik yang dimulai pada tahun
2000-an, maka terdapat perubahan terhadap aturan pajak, yaitu menambahkan item
yang diwajibkan membayar pajak. Pemberlakuan pajak bagi barang elektronik ini
dibuat sebagai syarat dari di ijinkannya memiliki barang elektronik. Setiap tahunnya
barang elektronik dikenai pajak Rp. 250; dan bagi kendaraan bermotor roda dua Rp.
15.000 per-tahunnya dan kendaraan bermotor roda empat Rp. 50.000 per tahunnya.
Pajak bagi kendaraan bermotor lebih mahal dari pada barang-barang elektronik karena
kendaraan dapat dipakai untuk keperluan usaha dan dapat mendatangkan penghasilan
bagi pemiliknya.Walaupun diberlakukan pajak, namun kelonggaran atau perubahan
aturan adat tersebut tetap mencerminkan bahwa terdapat pergeseran terhadap nilai-
nilai tradisi sehingga terjadi perubahan terhadap peraturan adat.
Pajak yang diberlakukan pada kendaraan bermotor adalah pajak adat, jadi
pemilik kendaraan bermotor masih memiliki kewajiban untuk membayar pajak
kendaraan kepada pihak pemerintah, dalam artian mereka harus membayar pajak dua
kali. Dari awal terbentuknya Kasepuhan Ciptagelar, masyarakatnya sudah mengenal
pajak. Mereka menganggap Kasepuhan sebagai sebuah kerajaan yang memiliki
kerajaan bawahan. Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat kepemimpinan dari 4
Kasepuhan yang ada di wilayah gubung Halimun. Sudah sejak dulu mereka selalu
menyerahkan upeti atau pajak kepada pusat pemerintahan. Upeti tersebut tidak
berbentuk emas melainkan hanya hasil bumi terutama padi. Mereka sudah terbiasa
dan merupakan tradisi dari leluhur sehingga keikhlasalah yang mereka harapkan.
Sama seperti keberadaan pajak kendaraan bermotor, walaupun mereka harus
membayar dua jenis pajak tidak ada keberatan yang mereka rasakan untuk memenuhi
pajak adat. Itu mereka sadari sebagai konsekunsi kepemilikan barang di luar adat
sama seperti pemahaman mereka untuk membayar pajak kepada pemerintah.
Sebelumnya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tabu terhadap barang yang
bersifat modern namun adanya pengaruh modernisasi yang disampaikan oleh para
wisatawan telah meningkatkan kebutuhan hidup masyarakatnya sehingga mau tidak
mau mereka harus menggunakan hasil teknologi modern tersebut karena merupakan
tuntutan hidup. Seperti yang telah dijelaskan perubahan yang terjadi lebih bersifat
pada budaya materi sehingga turut mempengaruhi aspek lainnya yaitu terhadap
kehidupan sosial dan aturan adat.
4.3.1.1.3 Masuknya Program Pendidikan Pemerintah
Pendidikan adalah salah satu aspek terpenting bagi kehidupan manusia. Begitu
juga bagi warga adat Kasepuhan Ciptagelar yang membutuhkan pendidikan bagi
bekal menjalani hidupnya. Pemerintah memiliki tugas untuk mencerdaskan bangsa
tanpa batasan umur dan wilayah. Walaupun Kasepuhan merupakan tempat yang sulit
di jangkau namun sudah menjadi kewajiban pemerintah memberikan pendidikan
kepada warga Kasepuhan Ciptagelar. Sebelum pemerintahan Abah Anom, program
pendidikan ini sering kali disampaikan kepada masyarakat Kasepuhan dan sesering itu
pula di tolak. Pada masa kepemimpinan Abah Anom ini program pemerintah
mendapat sambutan baik, melalui izin dari pemimpin adat dan sesepuh lembur maka
disetujui untuk mendirikan sekolah dasar pada tahun 2000. Pembangunan ini
didukung oleh Bank Jabar dan pemerintah setempat, dengan satu gedung sekolah
dasar yang terdiri dari 6 kelas dan 1 ruang guru.
Walaupun gedung sekolah tersebut telah rampung dan mendapat restu dari Abah
Anom selaku pemimpin adat, tapi masih terdapat kendala mengenai kesadaran
warganya mengenai pendidikan formal. Para orang tua enggan memasukan anaknya
ke sekolah, mereka lebih memilih agar anaknya membantu pekerjaan orang tuanya
sehari-hari di sawah. Para orang tua menginginkan waktu yang akan di gunakan untuk
bersekolah itu lebih baik digunakan untuk membantu orang tuanya di ladang. Setelah
perintah disampaikan langsung oleh Abah Anom agar para orang tua menyekolahkan
anaknya minimal sampai sekolah dasar, agar anaknya dapat menjadi pintar. Tidak
perlu berfikir panjang lagi mereka langsung memasukan anaknya ke sekolah, perintah
Abah adalah baik oleh karena itu warganya harus mematuhi. Selain perintah dari
Abah pihak simpatisan anak adatpun turut mensosialisasikan pentingnya pendidikan
formal demi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hingga saat ini hanya
terdapat 3 tenaga pengajar dan satu kepala sekolah, 3 guru tersebut merupakan guru
honorer yang datang dari Jakarta yang berkeiinginan mengabdikan dirinya demi
mengajar di Kasepuhan Ciptagelar yang jauh dari kota tersebut.
Sosialisasi pendidikan diberikan oleh para simpatisan atau anak adat, tamu atau
wisatawan, pemerintah bahkan Abah, agar p[ara orang tua dapat mengijinkan
anaknya bersekolah. Tujuannya adalah agar pelajaran tersebut dapat dipakai oleh
warga dalam melakukan interaksi dalam kegiatan jual-beli hasil panen. Dengan begitu
mereka dapat menghargai dan mendapatkan apa yang harus diterima oleh mereka.
Agar tidak terjadi penipuan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan panen dan
kerja kerasnya tersebut.
Kesadaran pendidikan ini juga sangat berpengaruh terhadap pemimpin adat.
Dengan tujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan banyaknya
melakukan interaksi dengan orang-orang dari pemerintahan dan orang-orang perting
lain mendorong Abah untuk menyekolahkan anak-anaknya. Abah berharap anaknya
dapat menjadi orang yang berguna bagi negara dan Kasepuhannya. Anak-anak Abah
Anom mengenyam pendidikan hingga SMU dan perguruan Tinggi. Abah
memproritaskan pendidikan bagi anaknya, seperti anak sulungnya yang bernama Ugi
yang telah selesai di SMU dan anak keduanya yang kini masih berkuliah di Bandung
di jurusan kepariwisataan.
Karena di Kasepuhan Ciptagelar hanya terdapat sekolah dasar, maka untuk
melanjutkan ke jenjang SMP anak Abah Anom harus bersekolah di Pelabuhan Ratu
yang berjarak ± 33 km dari tempat tinggalnya. Setiap hari Ugi dan Nde di antar oleh
mobil pribadi Abah, mereka rela menempuh jarak sejauh itu untuk memenuhi
kebutuhan pendidikannya. Untuk memasuki jenjang SMU mereka pidah ke
Sukabumi, memasuki salah satu sekolah terbaik di kota Sukabumi agar maksimal
untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Ugi dan Nde tinggal di rumah kontrakan
hingga lulus SMU, Ugi meneruskan kuliah di kota Sukabumi sedangkan adiknya Nde
kuliah di Bandung yang kini masih menginjak semester enam.
Pemikiran dan pemahaman Abah Anom terhadap pendidikan jauh lebih tinggi
dari pada warganya. Abah rela mengeluarkan banyak uang agar anak-anaknya bisa
bersekolah dengan layak. Kekaguman Abah terhadap tamu-tamu penting yang dating
ke Kasepuhan menjadi sebuah dorongan agar kelak anaknya bias menjadi seorang
yang membanggakan seperti orng yang Abah temui.
4.3.1.2 Keterlibatan Anak Adat Dalam Kepemimpinan Adat
Jauh sebelum kepemimpinan Abah Anom, keindahan kehidupan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar telah menguras perhatian warga luar yang mencintai budaya
lokal. Kecintaan tersebut telah melahirkan komunitas yang loyal terhadap Kasepuhan
Ciptagelar, dalam artian mereka mau menempuh jarak Kasepuhan Ciptagelar yang
jauh dari kota dengan medan jalan yang berat. Mereka merupakan pemerhati
perkembangan kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang selalu ikut di saat
kampung Gede berpindah. Komunitas ini tidak memiliki hubungan apapun dengan
Kasepuhan dan murni merupakan warga luar adat yang memiliki ketertarikan akan
budaya.
Dalam aspek kemasyarakatan perubahan yang menonjol adalah mengenai
masuknya warga luar non adat menjadi anak adat. Keunikan kebudayaan yang
dimiliki oleh Kasepuhan seperti magnet bagi sebagian orang yang senang akan
budaya Sunda kuno. Kecintaan warga non adat terhadap budaya Kasepuhan ini
melahirkan beberapa komunitas yang setia menjadi pemerhati perkembangan
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang kemudian menjadikan mereka sebagai
simpatisan. Kesetiaan mereka dengan selalu mengikuti perkembangan kehidupan
Kasepuhan Ciptagelar telah menarik simpati Abah Anom, untuk menghargai kesetiaan
para simpatisan tersebut Abah mengangkat mereka menjadi anak adat, artinya disaat
mereka berada di wilayah Kasepuhan berarti mereka memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan warga adat. Disaat mereka berada di Kasepuhan Ciptagelar anak
adat harus mengikuti peraturan dan norma-norma adat dan disaat mereka berada di
lungkungannya yaitu di kota mereka harus tetap menjaga nama baik Kasepuhan
Ciptagelar dengan menjaga tingkah dan prilaku mereka. Keputusan Abah Anom ini
adalah wajar, karena para simpatisan telah ada sejak Abah masih remaja jadi Abah
tahu perhatian mereka terhadap Kasepuhan ciptagelar.
Keterlibatan anak adat tersebut semakin lama semakin terasa, banyaknya
keperluan yang mengharuskan Abah melakukan kontak dengan dunia luar mendorong
Abah membutuhkan mediator utnuk berhubungan dengan pihak luar. Hal ini yang
kemudian menjadi pertimbangan Abah Anom untuk memasukan para simpatisan
tersebut penjadi salah satu pengurus pemerintahan adat yang akhirnya Abah
menambahkan dalam struktur pemerintahannya. Komunitas anak adat ini kemudian
diberi nama ”baris Koboy“ oleh Abah, mereka memiliki tugas untuk mengurusi
segala keperluan yang berhubungan dengan dunia luar. Seperti mengurus segala
sesuatu tentang kebijakan pemerintah yang dihadapkan kepada Kasepuhan Ciptagelar,
mengurus pembayaran pajak dari kendaraan-kendaraan yang dimiliki Abah ataupun
urusan lainnya.
Tujuan Abah Anom memasukan anak adat menjadi pembantu Abah dalam
kepemerintahan adalah agar mereka dapat berbagi ilmu dengan warga adat, agar
memajukan warga adat melalui pendidikan yang berkembang di kota. Keinginan
Abah sejalan dengan para ”baris Koboy“, mereka ingin berbagi dan berbakti untuk
warga adat. Mereka mengajarkan mengenai sanitasi yang baik, menggali potensi alam
yang ada. Dengan di bukanya Kasepuhan ke masyarakat umum dan mengundang
kedatangan wisatawan lokal dan asing telah membuka kesempatan untuk
memperkenalkan kerajinan tangan masyarakatnya. Baris koboy juga memperkenalkan
Abah Anom dengan organisasi swasta, seperti IOF atau Indonesia Offroader
Foundation, Torack dan lainnya semacam organisasi olah raga kendaraan berat.
Semakin mudahnya akses masuk ke Kasepuhan Ciptagelar membuat semakin
banyak juga orang yang menjadi pemerhati dalam artian simpatisan, mereka setia
hadir di setiap keramaian yang dilaksanakan oleh Kasepuhan Ciptagelar. Awal
terbentuknya ”Baris Koboy“ pada tahun 1985 jumlah anak adat hanya 11 orang.
Jarak dan medan perjalanan yang cukup sulit bukan lagi halangan mengingat
ketertarikan mereka terhadap budaya Kasepuhan Ciptagelar. Tahun berjalan demi
tahun keloyalitasan simpatisan semakin diperhitungkan, karena loyalitas ini juga
simpatisan di Kasepuhan Cipatgelar bertambah. Simpatisan yang di angkat menjadi
anak adat bertambah jumlahnya, pada tahun 2000 anak adat menjadi 46 orang dan
tahun 2003 anak adat bertambah menjadi 78 orang, mereka berasal dari kalangan dan
lingkungan yang berbeda. Mereka berkeinginan menjadi warga adat karena
kecintaannya terhadap seluruh unsur yang menyangkut Kasepuhan Ciptagelar.
Mereka dapat menikmati menjadi warga adat dengan di akui oleh seluruh warga asli
dan pemimpin adat. Hak ini yang menjadikan mereka istimewa diantara masyarakat
luar terutama disaat diadakannya upacara adat. Mereka bangga menjadi bagian dari
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang kaya budaya Sunda asli dan keramah
tamahan yang sangat tulus.
Berbedanya latar belakang anak adat tidak selamanya tidak berpengaruh bagi
Kasepuhan Ciptagelar pada umumnya. Dasar mereka yang berasal dari kota yang
memiliki banyak perbedaan dari berbagai aspek dengan kehidupan warga adat tidak
selamanya berjalan baik. Karena mereka warga asli kota maka mereka hilir mudik ke
Kasepuhan dan kota, mobilitas inilah yang secara tidak sadar telah merubah cara
pandang dan penilaian atas kepentingan mereka. Sedikit banyak mereka telah
membawa budaya kota ke Kasepuhan Ciptagelar, beberapa anak adat tidak lagi
terbiasa lagi terikat aturan adat. Timbul penyimpangan-penyimpangan oleh beberapa
anak adat yang telah merusak penilaian terhadap keberadaan anak adat itu sendiri.
4.3.1.2.1 Peran Baris Koboy
Keterlibatan anak adat dalam Kasepuhan Ciptagelar ini juga merupakan gerbang
perubahan, dimana anak adat yang berdomisili di daerah perkotaan ini hanya datang
ke Kasepuhan di saat-saat tertentu terutama pada saat akan dilaksakannya upacara
”Seren Taun”. Walaupun mereka mengikuti aturan yang ada namun anak adat juga
yang kemudian mengenalkan warga adat terhadap perkembangan teknologi. Hal ini
mungkin bersifat positif karena mereka bertujuan untuk memberikan pengetahuan
yang bermanfaat bagi kehidupan warga adatnya. Contoh pengenalan yang dilakukan
anak adat adalah didirikannya stasiun radio swasta, tidak besar tapi cukup untuk
dijadikan media hiburan bagi warga sekitar. Mendirikan perpustakaan,
membudayakan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar untuk membaca dan
menumbuhkan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Banyak yang diberikan oleh anak
adat, pengetahuan teknologi, pertanian hingga perekonomian.
Dengan keterbatasan anak adat yang dominan menjalani hidup di luar lingkup
adat terhadap nilai-nilai hidup di Kasepuhan telah menimbulkan penyimpangan. Anak
adat yang akrab dengan dunia luar menjadikan pemikiran mereka mengenai potensi
yang ada di Kasepuhan Ciptagelar berbeda dengan tujuan awal. Pemikiran mereka
menjadi cenderung ”komersil”, daya tarik Kasepuhan Ciptagelar sebagai wisata
budaya yang dapat menyedot pengunjung mulai dimanfaatkan oleh mereka. Oknum
dari anak adat mengemas potensi wisata tersebut menjadi komersial, satu sisi
Kasepuhan menjadi lebih eksis di segala kalangan masyarakat. Namun unsur
komersialitas tersebut telah mempengaruhi warga adat untuk berfikir “matrelialis”.
Suguhan kudapan tradisional serta keramah tamahan adalah biasa, mereka
memberikannya dengan iklas pada setiap tamu. Main setting yang ajarkan oleh anak
adat ini yang kemudian merubah ketulusan mereka dalam bersikap kepada tamu.
Mereka tidak lagi menikmati dengan Cuma-Cuma, panganan ataupun gelang yang
terbuat dapi tumbuhan paku harus dibayar, mereka mulai menguangkan yang mereka
keluarkan.
Perubahan sikap yang seperti itu yang menumbuhkan pemahaman mereka
terhadap nilai uang seperti yang terjadi di kota-kota besar. Jakarta kota metropolitan
yang penuh dengan hingar-bingar menjadikannya sebagai ladang uang. Apapun
menjadi uang, jasa, barang yang tidak berhargapun menjadi uang seperti air minum
yang biasa bebas didapat, tidak di Jakarta mereka harus mengeluarkan uang untuk
segelas air putih. Sisi sulit dari pemahaman nilai mata uang yang akhirnya dapat
berakibat buruk karena terbatasnya lahan pekerjaan. Persaingan membuat orang
berlomba-lomba mengumpulkan uang, menghalalkan berbagai cara entah itu benar
atau salah yang bernilai akhir melalui kriminalitas, sebuah sikap tercela yang
merugikan diri sendiri dan masyarakat luas.
Masuknya anak adat menjadi pengurus dalam pemerintahan adat Kasepuhan
Ciptagelar telah menimbulkan kecemburuan sosial, hal ini sangat dimengerti karena
seperti pada saat diadakannya upacara Seren Taun anak adat yang tergabung dalam
”baris Koboy“ ini terlihat lebih mendominasi untuk menjadi panitia Seren Taun. Pada
saat pelaksanaan upacara Seren Taun memang banyak mengundang warga luar adat,
oleh karena itulah Abah Anom mempercayakan kepada ”baris Koboy“. Namun
penanganan tersebut telah menimbulkan masalah baru pada masyarakatnya karena
secara tidak sadar keterlibatan baris koboy telah menggeser panitia warga asli. Seisi
Imah Gede dipenuhi oleh tamu sedangkan warga asli hanya dapat menikmati upacara
Seren Taun dari luar, jelas hal ini cukup ironis karena seakan warga asli terpinggirkan
oleh para tamu yang harusnya tamu lah yang lebih menghormati warga adat. Disaat
penulis turut menghadiri upacara Seren Taun pada tahun 2005, mendapatkan beberapa
pengunjung yang bertanya mengenai keterlibatan warga luar. Mereka bertanya-tanya
mengenai jumlah baris koboy yang menjadi panitia pelaksanaan uparaca Seren Taun,
jumlah itu lebih besar daripada panitia dari warga adat sendiri. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat seperti yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto (1990:364) menyatakan bahwa lembaga kemasyarakatan adalah suatu
sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktifitas-aktifitas untuk
memenuhi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perubahan
pengurus pemerintahan adat Kasepuhan yang melibatkan anak adat telah turut
merubah hubungan antar warganya.
4.3.1.3 Perubahan Etos Kerja
Mayoritas masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah bertani, keadaan geografis
yang berada di tengah hutan dimanfaatkan untuk mengolah lahan yang ada.
Dijadikannya Kasepuhan Ciptagelar sebagai salah satu tempat wisata budaya telah
banyak menarik minat wisatawan. Dengan banyaknya wisatawan yang datang,
masyarakatnya mulai memikirkan untuk mengais rezeki dari wisatawan tersebut.
Kerajinan rotan yang biasanya hanya digunakan sebagai hiasan rumah dan aksesoris
seperti gelang tangan, gelang kaki dan kalung kini mulai dijual. Awalnya pembuatan
gelang bagi wisatawan tidak di patok harga tapi cukup dengan sebungkus rokok atau
keikhlasan wisatawan si pengrajin sudah merasa senang. Seiringnya waktu minat
wisatawan terhadap aksesoris meningkat, mereka sengaja membeli untuk buah tangan
kerabatnya di kota dari situlah produksi aksesoris meningkat dan mulai diberi harga.
Masyarakatnya mulai mengerti nilai uang dalam artian uang merupakan hal yang
berharga bagi mereka dan mereka mulai memasukan uang dalam kebutuhan
hidupnya.
Mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar turut mengalami
pergeseran, mayoritas masyarakatnya yang bertani bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari bukan untuk dijual. Berkembangnya pengetahuan warga
adat terhadap nilai mata uang telah meningkatkan kebutuhan hidup warganya. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup inilah yang mendorong warga untuk bergeser dari aturan
adat untuk menjual hasil buminya demi mendapatkan penghasilan lebih. Warga adat
mulai menjual hasil panennya ke luar adat, namun yang dapat dijual hanya sayuran,
buah-buahan dan umbi-umbian sedangkan untuk padi tetap di larang. Kegiatan jual-
beli inilah yang menambah interaksi warga adat dengan warga luar sehingga
memungkinkan budaya luar mudah masuk.
Adanya aktifitas perekonomian warga adat yang mengharuskan menjual hasil
bumi ke luar lingkungan Kasepuhan Ciptagelar, seperti ke kota atau alun-alun
Pelabuhan Ratu, telah menambah pengetahuan mereka. Di saat kegiatan jual-beli
terjadi di pasar maka muncul informasi mengenai potensi pasar, hal inilah yang
menjadikan informasi bagi peningkatan aktifitas ekonomi mereka. Pengetahuan
mengenai potensi perdagangan yang berhubungan dengan keinginan pasar inilah yang
dijadikan acuan mereka dalam kegiatan bertanam. Mereka menanam yang menjadi
keinginan pasar, mereka mulai memahami strategi pasar. Pengetahuan pertanian inilah
yang meningkatkan etos kerja warga adat. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mereka meningkatkan hasil pertanian demi mendapatkan pengahsilan yang lebih
besar.
Karena tuntutan pemenuhan kebutuhan mengakibatkan keinginan terhadap
warga adat untuk bekerja ke luar Kasepuhan agar mendapatkan pengahasilan yang
besar. Awalnya hanya beberapa orang saja karena untuk bekerja di luar adat atau di
daerah perkotaan dibutuhkan kemampuan dan keberanian untuk bertahan hidup. Tentu
untuk bertahan hidup di kota tidak sama dengan bertahan di hutan yang dapat
mengandalkan alam. Untuk bertahan di kota dibutuhkan kemmpuan finansial jadi
sebelum berangkat ke kota kita harus memiliki bekal uang untuk bertahan hidup.
Keinginan untuk bekerja di kota ini tidak muncul begitu saja di lingkungan warga
adat, lagi-lagi karena interaksi dengan warga luar adatlah yang telah memberikan
pengetahuan dan gambaran mengenai kehidupan dan pekerjaan yang ada di kota.
Informasi tersebut menarik perhatian warga adat karena hasil bekerja di kota cukup
menjanjikan apalagi untuk dikirim ke kampung.
Pandangan mereka terhadap lapangan pekerjaan di daerah perkotaan bukan
merupakan pergerakan dalam sistem mata pencaharian warga adat Kasepuhan.
Namun perubahan mengenai pandangan lahan pekerjaan ini telah menjelaskan
perubahan terhadap nilai tradisi karena dalam sejarah Kasepuhan Ciptagelar tidak
diperbolehkan untuk bergerak ke luar Kasepuhan Ciptagelar dalam bentuk apapun.
Entah apa yang pantas untuk mengungkapkan perubahan tersebut apakah terjadi
pergeserab terhadap kecintaan mereka terhadap lingkungannya ataukah rasa
bersyukur yang merupakan perintah leluhurnya yang mulai berkurang. Tetapi apapun
itu perubahan pada satu unsur akan diikuti oleh unsur lain sehingga sebuah hal yang
lumrah karena itu merupakan konsekuensi dalam kehidupan. Hal yang telah terjadi
sebagai efek dari warga yang bekerja di luar adalh melakukan pernikahan dengan
warga luar yang mana pernikahan ini masih merupakan pergeseran nilai adat yang
disampaikan leluhur.
Perubahan yang telah terjadi pada masyarakat Kasepuhan awalnya berbuah baik
karena dengan pengaruh modernisasi masuk melalui alat-alat modern telah dapat
mempermudah aktifitas sehari-hari mereka. Namun sejalan waktu perubahan tersebut
telah menyeret masyarakatnya untuk menyentuh aspek kehidupan lain seperti aspek
sosial yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Hubungan kemasyarakatan mereka
secara tidak sengaja telah berubah, dengan masuknya alat-alat modern atau alat-alat
ektronik telah menimbulkan kesenjangan sosial karena melalui kepemilikan barang
elektronik ini menjadi suatu persaingan atau cerminan dari kemampuan perekonomian
sebuah keluarga. Tidak seperti sebelum terjadinya perubahan, masyarakatnya tidak
terpisahkan dari herarki kemampuan perekonomian, mereka sama tinggi dan sama
rata. Selain kesenjangan sosial, modernisasi telah mempengaruhi beberapa aturan
adat. Perubahan yang mendasar adalah kepemilikan barang modern atau secara
keseluruhan adalah kebijakan yang dibuat Abah Anom yang telah merubah nilai
tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang Kasepuhan Ciptagelar.
Kondisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang dapat dikatakan sebagai
masyarakat yang tradisional telah memunculkan image di kalangan awam bahwa
Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat yang tertinggal. Image inilah yang
ingin dirubah oleh Abah, agar masyarakatnya mengalami peningkatan kualitas
perekonomian dan sumber daya manusianya. Bagi para baris kolot yang setuju dengan
kebijakan yang dikeluarkan Abah Anom berharap kehidupannya dapat meningkat dan
menjadikan Kasepuhan Ciptagelar mendapat tempat di pemerintah sebagai budaya
unik yang harus dijaga seperti keberadaan masyarakat Kanekes yang dapat bertahan
dalam perkembangan zaman yang semakin modern dan praktis. Dengan begitu
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dibedakan dengan masyarakat Kanekes
Karen masyarakat luas mengtahui kedua komunitas masyarkat tradisional tersebut.
4.4 Dampak Kebijakan Abah Anom Terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
4.4.1 Aspek sosial – Budaya
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengalami masa transisi terhadap perubahan
kebijakan pemimpin adat dari yang terdahulu. Perubahan gaya kepemimpinan yang
merupakan pertama dalam sejarah perkembangan Kasepuhan Ciptagelar ini dilakukan
oleh Abah Anom, yaitu membuka diri kepada “dunia luar”. Masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar dapat melakukan adaptasi dengan cepat, mereka tidak
menemukan kesulitan untuk berinteraksi dengan warga kota sehingga pertukaran
informasi berlangsung dengan cepat. Salah satu pengaruh yang di bawa warga kota
adalah kemajuan teknologi yang merupakan hal baru bagi masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar, sudah pasti hal tersebut menjadi perhatian masyarakat Kasepuhan. Selain
itu pengaruh yang cepat diresap adalah dari cara berpakaian orang kota dimana anak
remaja tidak lagi memakai pakaian setelah hitam tetapi mulai memakai kaos dan
celana jeans dengan demikian secara otomatis mereka mulai mengerti nilai mata uang
dan sistem barter mulai berkurang.
Kebijakan Abah Anom telah membawa masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
menjadi masyarakat yang berkembang, masyarakat yang mulai mengenal kemajuan
teknologi dan pengetahuan. Perubahan terjadi satu demi satu terhadap aspek
kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Pengaruh modernisasi masuk dan
berkembang di Kasepuhan Ciptagelar tidak tertahankan, mulai dari pemimpin adat
hingga warganya mengalami perubahan tersebut. Perubahan tersebut muncul pada
beberapa aturan adat seperti mengenai penerimaan masyarakat luar, kepemilikan
barang dan penambahan di bidang kesenian.
Perubahan sosial selalu diikuti dengan perubahan budaya karena budaya
merupakan bagian dari manusia yang tidak terpisahkan. Perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut
paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhannya (Soemardjan dan Soemardi 1964:XVII). Oleh
karena itu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar turut
diikuti dengan perubahan budaya yang mengarah kepada akulturasi melalui
penambahan jenis kesenian pongdut, yaitu tarian jaipong yang diiringi oleh musik
dangdut. Seperti kita tahu bahwa tarian jaipong adalah kesenian tradisional khas
masyarakat Sunda sedangkan musik dangdut adalah jenis musik kontemporer.
Dari tahun 1985 menuju tahun-tahun berikutnya masyarakat kasepuhan
Ciptagelar telah banyak mengalami perubahan yang signifikan. Masyarakat adat yang
sederhana tersebut telah mengenal kemajuan teknologi bahkan sudah menikmati dan
menjadi suatu tren gaya hidup yang dapat dijadikan tolak ukur bagi derajat seseorang.
Dengan banyak memiliki barang-barang elektronik akan menandakan bahwa mereka
seorang berada. Kepemilikan barang elektronik dalam perkembangannya dijadikan
tolak ukur kesejahteraan seseorang. Dengan mengenalnya masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar terhadap teknologi secara otomatis mereka mengenal mata uang dan
sekarang bagi mereka nilai mata uang tersebut menjadi sesuatu yang berharga.
Kepemilikan barang elektronik seperti televisi, radio, VCD player, tape, laptop,
handphone dll di lingkungan warga adat semakin tahun semakin bertambah.
Keberadaan barang elektronik tersebut banyak membantu warga adat, seperti
keberadaan televisi yang memungkinkan warga adat mendapatkan banyak informasi
mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, informasi perkembangan dunia dan
sebagai sarana hiburan. Manfaat dari sarana hiburan ini tidak semuanya positif atau
bermanfaat, dimana pengaruhnya lebih dirasakan oleh para remaja. Tayangan sinetron
Indonesia yang disukai oleh mereka cenderung membawa pengruh buruk, seperti gaya
berpakaian, gaya bicara yang kemudian diikuti dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Perbedaan tempat dan budaya ini yang kemudian penempatan
gaya hidup mereka tidak sesuai dan menyalahi peraturan adat. Selain berpengaruh
buruk terhadap gaya hidup remajanya, alat elektronik seperti handphone dan
kendaraan bermotor roda dua memberikan pengaruh buruk terhadap hubungan sosial
masyarakatnya. Walaupun keberadaan motor tersebut bermanfaat bagi mobilitas
warga dan peningkatan hasil perekonomian namun mengakibatkan penurunan kualitas
terhadap hubungan sosial mereka. Hubungan sosial antar warga adat Kasepuhan
Ciptagelar dihasilkan melalui interaksi yang dilakukan dalam kesehariannya, dengan
menjalankan kegiatan rutin harian, warganya akan sering bertatap muka dan
menghasilkan komunikasi yang dalam.
Hubungan sosial masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat diibaratkan bagai
sekawanan semut yang identik dengan sifat gotong royong dan selalu bersalaman
disaat berhadapan dengan rekannya dengan tidak pernah melewatkan satupun.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebelum mengalami perkembangan seperti
sekarang adalah gambaran dari kharakteristik orang Sunda, selalu mencintai dan
menghayati kesenin dan bahasanya, bersikap optimis, suka dan mudah gembira,
memiliki watak terbuka. Mereka terkenal dengan keramah-tamahan yang sangat,
dengan danya alat bantu modern tersebut masyarakatnya kini menjadi cenderung
individualis, jiwa kegotong royongannya berkurang karena memiliki kepentingan
sendiri.
Keberadaan alat-alat elektronik sebagai pelengkap kebutuhan rumah tangga
dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah merubah etos kerja
masyarakatnya. Keadaan alam yang subur dan berad di tengah-tengah hutan menuntut
warganya beragraris, seluruh warga adat Kasepuhan Ciptagelar bertani untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Baik dari padi, hingga sayur-mayur dan
buah-buahan mereka hasilkan sendiri dengan cara organik atau tanpa pupuk kimia.
Adanya barang elektronik sebagai tolak ukur kesejahteraan seseorang di Kasepuhan
ciptagelar telah meningkatkan etos kerja warganya, mereka leih bersemangat untuk
bertani sehingga hasil tani tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari tetapi mereka meningkatkan hasil taninya untuk dijual ke kota agar mendapatkan
pengasilan besar dari hasil taninya tersebut. Etos kerja tersebut juga terlihat dari
terbukanya pemikiran masyarakatnya terhadap pengetahuan pertanian, mereka lebih
memahami potensi desanya.
Bertambahnya pengetahuan ekologi telah membuat pemikiran warga adat
terhadap potensi desa berkembang, memiliki banyak variasi tumbuhan. Pembukaan
lahan mulai digalakan, mereka benar-benar memanfaatkan lahannya. Hasil bumi yang
diproduksi di Kasepuhan Ciptagelar secara berlanjut adalah padi, gula dan sayur
mayur. Pada tahun 2000 Kasepuhan Ciptagelar mulai menanam pohon jarak, pohon
yang sebelumnya tidak dikenal manfaat mendalam bagi warga adat. Adanya relasi
Abah yang merupakan orang asing bernama Jr. Jason inimemberi pemahaman
mengenai potensi keadaan tanah untuk pohon jarak. Abah mulai membuka lahn untuk
menanam pohon jarak yang kemudian akan dijadikan komoditas ekspor sebagai bahan
baku minyak pelumas.
Pada dasarnya dalam sistem organisasi pemerintahan tidak banyak yang
berubah. Jabatan pokok masih dipegang oleh warga asli Kasepuhan Ciptagelar.
Namun dengan adanya kebijakan Abah Anom mengenai pengangkatan simpatisan
menjadi anak adat yang memiliki hak yang sama dengan warga adat Kasepuhan
Ciptagelar lainnya yang telah menggeser posisi warga asli dalam sistem birokrasi.
Masuknya anak adat menjadi pengurus pemerintahan telah menimbulkan sebuah
dilema. Di dalam sistem birokrasi pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar posisi anak
adat di sebut sebagai Baris Koboy, pengurus Kasepuhan yang rada modern. Tugas
baris Koboy adalah sebagai media Abah Anom dengan dunia luar, dengan terbuka
kepada dunia luar telah terjadi peningkatan kebutuhan hidup. Untuk akses dengan
dunia luar tersebut adalah tugas baris Koboy karena mereka dianggap lebih mengerti
kondisi dunia luar.
Seiring waktu, perkembangan selanjutnya dalam setiap tahunnya pengurus baris
koboy ini tidak terasa telah menggeser posisi pengurus lain. Banyak kebijakan yang
muncul dari baris Koboy, hal ini disebabkan membludaknya pengunjung yang datang
ke Kasepuhan Ciptagelar. Ketidaktahuan mereka terhadap masyarakat luar
membiarkan baris Koboy untuk mengurusnya. Melalui baris Koboy ini juga yang
telah memperkenalkan Abah dengan organisasi-organisasi swasta seperti IOF sebuah
organisasi offroader, artis-artis dan kalangan pemerintahan.
Pada setiap acara Seren Taun nampak jelas bahwa anggota baris Koboy
bertambah, berawal dari kecintaan mereka terhadap Kasepuhan Ciptagelar hingga
loyalitas terhadap Kasepuhan bukan lagi hal yang baru. Muncul beberapa pertanyaan
dari pengunjung pada waktu Seren Taun, mereka terheran dengan jumlah warga luar
yang menjadi panitia upacara Seren Taun. Jumlah mereka lebih besar daripada warga
aslinya, hal ini menjadi aneh ketika anak adat menjadi bagian Kasepuhan Ciptagelar
sedangkan warga aslinya seolah-olah asing dan sebagai tamu di negaranya sendiri.
Namun keberadan anak adat ini tidak dapat ditolak, warga asli mau tidak mau harus
menerima mereka karena Abah Anom yang telah mengangkat mereka sebagai bagian
dari warga Kasepuhan.
4.4.2 Aspek Ekonomi
Pemahaman mengenai nilai mata uang tersebut mempengaruhi sistem mata
pencaharian mereka, aktifitas hidup mereka lebih kepada “money oriented”. Terdapat
perubahan terhadap mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya
bertani dan beternak untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri tapi sebagian besar
hasil buminya mereka jual guna mendapatkan pengasilan lebih. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup tertier, mereka mencari lapangan pekerjanan di luar adat seperti
bekerja merantau ke luar kampung adat karena mereka percaya di kota lebih mudah
mendapatkan pengasilan yang besar. Hal ini jelas telah mendapatkan restu pemimpin
adat terdahulu, namun meningkatnya kebudayaan mereka sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan hidup mereka dengan begitu mau tidak mau akan terjadi
perubahan terhadap cara pemenuhan kebutuhan.
Perubahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini turut mempengaruhi sistem
ekonomi Kasepuhan Ciptagelar, mengadu nasib di kota menjadi jalan keluar bagi
mereka untuk sejahtera. Bekerja di kota telah menghadapkan masyarakatnya dengan
hal yang baru lagi, banyak dari mereka yang menikah dengan orang luar adat dan ada
yang tetap tiggal di Kasepuhan Ciptagelar ada juga yang berpindah menetap ke kota.
Perpindahan inilah yang akhirnya menimbulkan percampuran adat dan budaya antar
masyarakatnya yang mereka bawa dari luar.
Selain itu, keberadaan barang-barang elektronik dijadikan sebagai tolak ukur
dari masyarakatnya. Harga barang elektronik yang tinggi membuat barang elektronik
di Kasepuhan Ciptagelar menjadi sangat berharga. Sehingga kondisi masyarakatnya
sangat mencolok dari yang mampu hingga kurang mampu.
Dijadikannya Kasepuhan sebagai tempat wisata budaya serta adanya campur
tangan Baris Koboy dalam pengkondisian situai Kasepuhan saat ini, beberapa oknum
dari mereka yang tidak bisa konsisten terhadap aturan adat telah mengakibatkan
manipulasi. Pemahaman yang diberikan oleh mereka cenderung mengajarkan
warganya menjadi komersil sehingga keikhlasan dalam warga adat berkurang.
Dengan adanya alat transportasi dapat meningkatkan perekonomian
masyarakatnya dengan begitu kesejahteraan warganya ikut meningkat. Namun
kesejahteraan masyarakat yang diukur dari kepemilikan barang-barang modern ini
telah menimbulkan kesenjangan sosial karena perbedaan kemampuan finansial
menjadi lebih terlihat jelas. Yang di khawatirkan dari kesenjangan sosial ini adalah
daya saing masyarakat yang tidak shat serta menumbuhkan sikap kriminalitas.
4.4.3 Aspek Pendidikan
Dalam adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak mementingkan
pendidikan formal yang didapat melalui bangku sekolah. Pendidikan mereka yang
utama adalah menjaga alam, sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat dalam
memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh adat-istiadat
serta lingkungan dimana mereka tinggal. Pengetahuan yang mereka miliki adalah
mengenai pemahaman masyarkatnya akan sistem pertanian yang menyelaraskan
dengan alam, seperti dalam tradisi menanam padi, mereka menolak menanam padi
jenis pemerintah karena alasan adat, teknis dan fungsi. Pada masa Kepemimpinan
Abah Anom aspek pendidikan juga tersentuh oleh kebijakan pendidikan dari
pemerintah. Program pendidikan pemerintah yang digulirkan melalui Bank Jabar
dapat diterima oleh masyarakatnya.
Bank Jabar membangun satu gedung sekolah dasar dengan enam kelas,
walaupun warga dapat menerima kebijakan pendidikan tersebut dan gedung
sekolahpun sudah rampung diselesaikan dengan tiga tenaga pengajar yang terdiri dari
satu kepala sekolah dan dua guru. Hambatan mengenai kesadaran masyarakatnya
masih kurang terhadap kepentingan pendidikan yang masih kurang. Sosialisasipun
dilakukan yang pada akhirnya mereka mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah,
karena dengan bersekolah anak-anak mereka dapat membuka pengetahuan dunia,
dapat membaca dan berhitung.
Dengan program WAJAR DIKDAS pemerintah mengharapkan tidak ada lagi
warga Kaepuhan Ciptagelar yang buta huruf, mereka berhak mendapatkan pendidikan
dengan segala kondisi. Kualitas pendidikan warga Kasepuhan Ciptagelar merupakan
tolak ukur pemerintahan dalam kesuksesan mensejahterakan masyarakatnya. Setiap
warga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan termasuk masyarakat adat yang
berada di pelosok.
Perubahan dalam aspek pendidikan juga di tandai oleh anak-anak Abah Anom,
kedua anak laki-laki Abah Anom merasakan mengenyam pendidikan. Abah Anom
memiliki kepedulian dalam pentingnya pendidikan, hal ini terlihat pada putra sulung
Abah yang bernama Ugi Sugriwa yang rela merantau ke luar kampung adat
Kasepuhan Ciptagelar menuju Sukabumi untuk bersekolah. SD hingga SMP Ugi
bersekolah di Pelabuhan Ratu sedangkan SMU di Sukabumi SMA 1 Sukabumi yang
merupakan sekolah pavorit. Ugi melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di
Sukabumi tapi tidak bertahan lama. Ugi tidak merasa kerasan dengan kehidupan kota,
lalu kembali ke Kasepuhan Ciptagelar dengan membawa pengetahuannya ke
kampung aslinya. Anak kedua Abah juga saat ini sedang bersekolah di Kepariwisataan
di Bandung. Hal ini mebuktikan bahwa perubahan pendidikan tidak hanya dilakukan
warganya tetapi juga pemimpin adatnya. Apabila pemimpin adatnya menghendaki
sesuatu maka secara otomatis warganya akan mengikutinya tanpa harus memiliki
alasan, dengan mengikuti perintah pemimpin adat berarti ketaatan mereka kepada
leluhurnya.
4.4.4 Kembalinya Kasepuhan Menuju Aturan Awal
Perubahan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang tradisional menuju
masyarakat yang berkembang, masyarakat yang mengerti akan kemajuan teknologi ini
tidak bertahan lama. Dengan telah mengenal perkembangan zaman Kasepuhan
Ciptagelar tidak lagi menjadi perkampungan adat yang menarik dari segi budaya dan
adat karena dirasa tidak dapat bertahan dari gerusan modernisasi. Kredibilitas
Kasepuhan Ciptagelar meluntur tidak lagi menarik para wisatawan lokal maupun
domestik karena terlalu banyak budaya luar yang masuk sehingga tidak ada lagi
perbedaan antara masyarakat Kasepuhan dengan masyarakat kota. Selain itu terjadi
terhadap pola kehidupan sosial mereka yang dijalankan sehari-hari, kesenjangan
sosial dan individualisme semakin terasa sehingga menimbulkan krisis moral dan
kepercayaan.
Perubahan yang awalnya diinginkan dan bertujuan untuk membawa warga
adat ke kehidupan yang lebih baik ternyata tidak sejalan dengan aturan adat yang
telah dijalankan oleh masyaraktnya sejak lama. Perubahan yang menuntut dari
berbagai aspek kehidupan ini tidak mampu dijalankan oleh wagra adat. Ketidak
siapan mereka menjadikan konsekuensi dari perubahan tersebut sebuah
“penyimpangan” di masyarakatnya.
Pada tahun 2003 pemimpin adat abah Anom memutuskan untuk mengeluarkan
kebijakan baru yaitu mengenai pemberlakuan peraturan yang telah dijalankan oleh
leluhurnya. Memimpin warganya dengan menyesuaikan perkembangan zaman dirasa
gagal karena tidak dapat mempertahankan tradisi nenek moyangnya dan berakibat
buruk terhadap warganya. Abah Anom menginginkan kembali ke peraturan dulu
dimana warga dan pemimpinnya harus berusaha semaksimal mungkin menjaga
keutuhan dan kemurnian adat dan budayanya. Krisis moral dan kepercayaan yang
muncul kala itu mendorong Abah Anom sebagai Pemimpin adat untuk menutup
Kasepuhan Ciptagelar terhadap dunia luar sebagai cara pemulihan terhadap kehidupan
sosialnya terutama dari pihak media massa.
Terdapat degradasi nilai budaya dan kehidupan sosial mereka, bergeser terlalu
jauh. Walaupun pada dasarnya keyakinan mereka terhadap leluhur masih dipegang
erat, namun nilai-nilai asal yang diajarkan leluhur mulai bergeser. Sartono Kartodirdjo
(1993:160) menyatakan bahwa proses perubahan sosial bukanlah suatu proses yang
gampang dan tanpa resiko. Proses perubahan sosial selalu disertai terjadinya
pertentangan (konflik) dan selalu mengambil resiko, yaitu adanya nilai-nilai yang
ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Konflik ini, menurut terjadinya karena baik
nilai-nilai baru ataupun lama berada dalam proses menyesuaikan diri. Perubahan
positif yang didapatkan warga adat di ikuti oleh efek negatif yang merupakan sebuah
konsekuensi dilakukan perubahan tersebut.
Banyak budaya luar yang masuk sehingga mempengaruhi aspek sosial,
kehidupan masyarakatnya cenderung bersifat modern, muncul persaingan yang
bersifat materil di masyarkatnya. Jelas hal ini tidak sesuai dengan nilai leluhur yang
mengharuskan masyarakatnya untuk selalu bersyukur atas apa yang ada dan yang
telah didapatkan tanpa menuruti rasa kepuasan yang tidak pernah ada ujungnya.
Perubahan sosial disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian di antara unsur-
unsur yang saling berbeda yang ada dalam kehidupan sosial sehingga menimbulkan
suatu pola kehidupan sosial yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang
bersangkutan. Ketidak sesuaian kehidupan sosial yang terjadi pada masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar adalah berubahnya pola prilaku yang mempengaruhi hubungan
masyarakatnya. Nilai gotong royong yang selama ini lekat terhadap masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar telah sedikit berubah, begitu juga dengan kecintaan mereka
terhadap budaya Sunda terutama bagi para remaja ikut berubah.
Para remaja yang merupakan generasi muda sebagai penerus dan pewaris
kebudayaan yang seharusnya memiliki bekal dalam melestarikan dan tetap
mempertahankan kebudayaan adat Sunda ini tersentuh pengaruh modernisasi
sehingga menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan eksistensi budaya Sunda
kuno di lingkungan Kasepuhan. Kesadaran akan kecintaan terhadap budaya asli ini
yang menimbulkan generasi muda atau para usia produktif di Kasepuhan Ciptagelar
berbondong-bondong mencari pekerjaan di luar adat yaitu di kota dan kembali
membawa budaya baru yang berdampak merusak budaya aslinya secara tidak sadar.
Perubahan pada suatu masyarakat itu tidak akan berhenti pada satu titik karena
perubahan lain akan segera mengikutinya. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
(1964 : 486) mengemukakan bahwa lembaga-lembaga kemasyarakatan sifatnya saling
berkaitan dan juga memiliki proses saling mempengaruhi secara timbal balik. Itulah
sebabnya Mead menyimpulkan bahwa perubahan pada suatu aspek akan
menimbulkan reaksi pada aspek lainnya.
Perubahan-perubahan yang telah masuk dan dipakai oleh masyarakatnya tetap
dipertahankan, seperti perubahan seperti cara berpakaian, pemakaian listrik, alat-alat
elektronik, kendaraan bermotor, pendidikan, masuknya warga non adat sebagai
pengurus di Kasepuhan Ciptagelar dan kesenian. Perbaikan yang diutamakan adalah
mengenai pemulihan tradisi, adat istiadat yang mendapat pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Pemakaian listrik, pembaharuan di
bidang pendidikan dan kepemilikan alat transportasi tetap dipertahankan. Namun
untuk alat transportasi hanya untuk kepentingan “Negara” Kasepuhan Ciptagelar
bukan bagi Abah pribadi atau warganya walaupun mereka mampu untuk membeli.
Keberadaan listrik dan perubahan di bidang pendidikan tetap dipertahankan bahkan
dunia pendidikan dapat dikembangkan. Walaupun mereka merupakan masyarakat adat
tetapi harus memahami pendidikan demi bekal hidupnya. Hanya keberadaan barang-
barang elektronik yang dibatasi bahkan dihilangkan di lingkungan warganya.
Keputusan pemimpin adat untuk kembali ke peraturan lama dapat diterima
oleh warganya dengan lapang dada, tidak ada sikap keberatan yang ditunjukan.
Kembali ke asal, kembali menjalani kehidupan tradisional tidak sulit bagi warganya
karena mereka awalnya berasal dari sana. Mereka ingin menjadi masyarakat Sunda
seutuhnya yang menjunjung tinggi tradisi Sunda buhun. Masyarakat yang memiliki
sistem dan pola masyarakat dan kebudayaan lama. Dengan kembalinya ke peraturan
lama berarti tidak diperbolehkan adanya penambahan instrumen elektronik atau
barang-barang modern.
Abah mengaharapkan keadaan kehidupan sosial warganya dapat seperti dulu,
menjunjung nilai kegotong royongan dan kemandirian tanpa menggantungkan diri
kepada pihak luar. Mencerminkan masyarakat Sunda asli yang penuh dengan ramah
tamah sebagaimana kharakteristik masyarakat Sunda. Kini tujuan Abah dan warganya
adalah kembali ke aturan awal Kasepuhan sesuai dengan apa yang diinginkan leluhur
dan mempertahankannya. Ketidaksiapan warga terhadap perubahan yang ada
membuat konsekuensi dari perubahan tersebut menjadi sebuah “penyimpangan” pada
warganya. Sekarang warga adat siap untuk kembali kepada kehidupan tradisional
yang selama ini mereka jalankan.