s bio 0708788 chapter4x -...

24
36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Pendahuluan 1. Substrat Kulit Buah Kakao Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan hingga diperoleh berat kering yang konstan. Berat awal kulit buah kakao sebesar 14,750 kg dan berat akhir diperoleh sebesar 3,7 kg. Penggilingan dilakukan untuk memperoleh kulit buah kakao dalam bentuk bubuk. Proses ini tidak dapat menghilangkan lignin, namun bertujuan untuk memperkecil ukuran substrat dan meningkatkan luas permukaan bidang penyerapan untuk meningkatkan kontak antara substrat dengan asam sehingga lebih mudah dihidrolisis (Balat et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Kamara et al., (2007) menunjukkan bahwa partikel substrat berukuran 100 mesh merupakan substrat yang paling baik untuk produksi glukosa dengan kadar gula pereduksi 0,331 μg/ml, dibandingkan dengan substrat berukuran 20 mesh yang menghasilkan gula pereduksi kurang dari 0,20 μg/ml. Untuk mengetahui kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa kulit buah kakao, dilakukan pengujian sampel di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.1 : 36

Upload: haphuc

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Uji Pendahuluan

1. Substrat Kulit Buah Kakao

Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu

dikeringkan hingga diperoleh berat kering yang konstan. Berat awal kulit buah

kakao sebesar 14,750 kg dan berat akhir diperoleh sebesar 3,7 kg. Penggilingan

dilakukan untuk memperoleh kulit buah kakao dalam bentuk bubuk. Proses ini

tidak dapat menghilangkan lignin, namun bertujuan untuk memperkecil ukuran

substrat dan meningkatkan luas permukaan bidang penyerapan untuk

meningkatkan kontak antara substrat dengan asam sehingga lebih mudah

dihidrolisis (Balat et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Kamara et al.,

(2007) menunjukkan bahwa partikel substrat berukuran 100 mesh merupakan

substrat yang paling baik untuk produksi glukosa dengan kadar gula pereduksi

0,331 µg/ml, dibandingkan dengan substrat berukuran 20 mesh yang

menghasilkan gula pereduksi kurang dari 0,20 µg/ml. Untuk mengetahui

kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa kulit buah kakao, dilakukan

pengujian sampel di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, hasil

pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.1 :

36

Page 2: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

37

Tabel 4.1 Kandungan Karbohidrat Kulit Buah Kakao

Berdasarkan Tabel 4.1, bahwa kulit buah kakao mengandung senyawa

kompleks lignoselulosa yang terdiri dari 43,37% selulosa, 11,71% pentosan

(hemiselulosa), dan 36,84% lignin. Kandungan total selulosa sebesar 43,37%,

merupakan senyawa untuk pembuatan alkohol. Selulosa ini dapat dipecah menjadi

gula sederhana seperti glukosa melalui proses hidrolisis (Taherzadeh dan Karimi,

2007). Kandungan hemiselulosa sebesar 11,71%, menurut Balat et al., (2008)

bahwa hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula serta lebih mudah

dihidrolisis daripada selulosa. Hemiselulosa lebih mudah dipecah menjadi

komponen penyusunnya seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat, dan

deoksiheksosa karena bersifat hidrofilik (Anindyawati, 2009). Gula-gula

sederhana dari selulosa dan hemiselulosa tersebut dapat digunakan oleh mikroba

untuk pertumbuhannya dan menghasilkan produk primer seperti etanol.

Kadar lignin dari kulit buah kakao sebesar 36,84%. Lignin tersusun atas

jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa dan

hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat. Menurut Taherzadeh dan Karimi

(2007), proses hidrolisis pada suhu tinggi dapat membantu melepaskan lignin dari

selulosa dan hemiselulosa serta memecah lignin menjadi partikel yang lebih kecil.

No. Komponen Kadar (%)

1. Selulosa 43,37

2. Pentosan (hemiselulosa) 11,71

3. Lignin 36,84

Page 3: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

38

Lepasnya lignin dari matriks selulosa dan hemiselulosa tersebut menyebabkan

selulosa dan hemiselulosa lebih cepat terhidrolisis, sehingga kandungan gula pada

kulit buah kakao bertambah.

2. Penentuan Kadar Optimum H2SO4

Uji pendahuluan dilakukan dengan menggunakan larutan asam sulfat encer

pada konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% (v/v). Penggunaan asam sulfat pada

konsentasi yang berbeda bertujuan untuk mencari konsentrasi yang tepat untuk

menghasilkan gula pereduksi paling tinggi dari substrat kulit buah kakao. Pada

penelitian ini, hidrolisis dilakukan hingga mendidih selama 120 menit. Menurut

Fenei et al., (2008), bahwa waktu hidrolisis selama 120 menit merupakan waktu

yang optimum dalam menghasilkan gula pereduksi terbanyak. Hasil hidrolisis uji

pendahuluan ditunjukkkan pada Tabel 4.2, gula pereduksi tersebut diukur

menggunakan metode Somogyi-Nelson, yaitu metode untuk mengetahui kadar

gula sederhana karena sebelumnya tidak dianalisis di BBPK. Hidrolisis dilakukan

dengan tujuan untuk menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai

sumber substrat mikroba. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan

rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana.

Pemutusan rantai tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu

enzimatis, kimiawi, ataupun kombinasi keduanya (Taherzadeh dan Karimi, 2007).

Pada penelitian ini, proses hidrolisis dilakukan secara kimiawi yakni

menggunakan larutan H2SO4. Keuntungan dari hidrolisis asam ini yaitu reaksi

lebih cepat, menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak, suhu dapat

Page 4: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

39

dikondisikan dalam berbagai kisaran, serta biaya lebih murah dibandingkan

dengan penggunaan enzim. Hidrolisis asam encer juga memiliki kelemahan yaitu

bisa menghasilkan senyawa-senyawa tertentu yang bisa mengurangi kadar gula

dan menghambat fermentasi. Senyawa tersebut bisa berupa asam asetat dan

fenolik yang merupakan degradasai dari lignin. Selain itu, senyawa seperti

furfural dapat menghambat enzim piruvat dehidrogenase sehingga akan

menghambat sel dalam pembentukan etanol (Taherzadeh dan Karimi, 2007).

Tabel 4.2 Rata-rata Kadar Gula Pereduksi Setelah Perlakuan

Konsentrasi H2SO4 (%) Kadar Gula Pereduksi (µg/ml)

Rata-rata (µg/ml)

0,5 106,63 106,63 102,90 102,90 104,76 ± 2,15 1,0 24,45 28,19 28,19 28,19 27,25 ± 1,86 1,5 4,28 4,28 4,28 5,03 4,47 ± 0,37 2,0 4,28 3,53 4,28 4,28 4,09 ± 0,37

Berdasarkan Tabel 4.2 tersebut diketahui bahwa kadar gula paling tinggi

dihasilkan dari hidrolisis menggunakan H2SO4 0,5%. Kadar gula yang terkandung

sebesar 104,76 µg/ml, sedangkan kadar gula terendah sebesar 4,09 µg/ml

diperoleh dari hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 2%. Hasil tersebut berbeda

disebabkan perbedaan konsentrasi asam yang digunakan. Pada konsentrasi asam

yang berbeda, tentu saja kandungan air juga berbeda. Menurut Balat et al., (2008),

pada proses hidrolisis H2SO4 akan bereaksi membentuk gugus H+ dan SO4-.

Gugus H+ dapat memecah ikatan glikosidik pada selulosa maupun hemiselulosa,

sehingga akan terbentuk monomer-monomer gula sederhana. Monomer gula yang

dihasilkan masih dalam gugus radikal bebas, namun dengan adanya OH- dari air

akan berikatan dengan gugus radikal membentuk gugus glukosa. Dalam hal ini air

Page 5: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

40

berfungsi sebagai penstabil gugus radikal bebas. Semakin banyak air yang

terkandung dalam larutan asam, maka semakin banyak juga yang menyetabilkan

gugus radikal, sehingga glukosa-glukosa yang terbentuk akan semakin banyak.

Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi konsentrasi asam, maka kandungan airnya

sedikit sehingga glukosa yang terbentuk akan sedikit.

Kadar gula pereduksi paling tinggi yang diperoleh pada uji pendahuluan

sebesar 104,76 µg/ml, dapat dikatakan cukup tinggi apabila dibandingkan dengan

gula pereduksi sebesar 4,5 µg/ml yang diperoleh pada penelitian Fanaei et al.,

(2008). Perbedaan gula pereduksi yang diperoleh dapat disebabkan oleh kadar

selulosa dan hemiselulosa pada substrat yang digunakan dan kondisi hidrolisis.

Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu yang

mengandung 45% selulosa dan 25% hemiselulosa, sedangkan limbah kulit buah

kakao mengandung 43,34% selulosa dan 11,71% hemiselulosa. Menurut Balat et

al., (2008), menyatakan bahwa kadar gula yang akan dikonversi menjadi etanol

tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan hemiselulosa, namun

dipengaruhi juga oleh konsentrasi asam yang digunakan untuk hidrolisis.

Hidrolisis yang dilakukan oleh Fanaei et al., (2008) yaitu menggunakan asam

sulfat pada konsentrasi 5%, sedangkan pada penelitian ini menggunakan asam

sulfat pada konsentrasi 0,5%.

Berdasarkan uji statistik (Lampiran 7), bahwa penggunaan H2SO4 pada

konsentrasi yang berbeda terhadap gula pereduksi yang dihasilkan menunjukkan

perbedaan yang signifikan. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi H2SO4 yang

berbeda-beda menghasilkan kadar gula pereduksi dengan jumlah yang berbeda.

Page 6: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

41

Hal tersebut dapat terlihat dari nilai Sig. pada tabel menunjukkan nilai dibawah

taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. Untuk mengetahui perlakuan yang

memberikan kadar alkohol yang terbanyak, akan dilakukan uji lanjutan atau post-

hoc test.

Uji post-hoc menunjukkan bahwa yang memiliki selisih terbesar adalah

pada konsentrasi H2SO4 0,5%. Artinya pada konsentrasi H2SO4 0,5%, kadar gula

pereduksi yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi

lainnya. Terlihat pada kolom Mean Difference bahwa H2SO4 0,5% memiliki

selisih paling besar. Perbedaan ini pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig.

pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi

penelitian yaitu 5%.

3. Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae

Pembuatan kurva tumbuh Saccharomyces cerevisiae dilakukan dengan

menghitung jumlah sel dari biakan cair (medium PDB) menggunakan

haemocytometer. Jumlah sel dihitung setiap 2 jam selama 10 jam pada

pengenceran 10-1. Pertambahan jumlah sel ditentukan dengan menghitung

absorbansi setiap 2 jam selama 14 jam pada panjang gelombang 625 nm

(Hatmanti, 2000). Setelah 14 jam pengamatan, diperoleh kurva pertumbuhan yang

merupakan hubungan antara waktu dengan absorbansi (jumlah sel) yang

ditunjukan pada Gambar 4.1.

Page 7: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

42

Gambar 4.1 Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae

Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa terjadi fase lag, fase logaritmik

(eksponensial), dan fase statis. Fase lag merupakan fase penyesuian S. cerevisiae

terhadap lingkungan medium yang ditempatinya. Fase lag terjadi pada jam ke-0

hingga jam ke-2, pada fase ini umumnya mikroba tidak mengalami pertambahan

populasi yang berarti dan sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi.

Pada jam ke-2 hingga jam ke-6, terjadi fase logaritmik yang ditandai dengan

bertambahnya massa sel menjadi dua kali lipat. Fase statis terjadi pada jam ke-8

hingga jam ke-12, pada fase ini jumlah sel hidup menjadi tetap dan tidak terjadi

penambahan jumlah sel karena sumber nutrisi mulai berkurang (Pelczar dan Chan,

2006). Fase kematian terlihat pada jam ke-14, ditandai dengan menurunnya

jumlah sel. Menurut Pelczar dan Chan (2006) bahwa pada fase kematian terjadi

karena nutrisi pada medium pertumbuhan berkurang bahkan habis, selain itu

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

0 2 4 6 8 10 12 14

ab

sorb

an

si

jam ke-

Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae

Page 8: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

43

adanya penimbunan sisa metabolisme dapat menjadi racun bagi sel yang masih

hidup sehingga laju kematian akan meningkat.

Tujuan pembuatan kurva tumbuh pada penelitian ini yaitu untuk

menemukan fase logaritmik, yang akan digunakan sebagai starter dalam

fermentasi. Fase logaritmik ini terjadi pada jam ke-2, ke-4, dan ke-6. Dari fase

logaritmik tersebut, log jumlah sel tertinggi terdapat pada jam ke-6 yaitu sebesar

8,020 sel/ml (Lampiran 5b). Inokulum S. cerevisiae yang digunakan dalam

fermentasi kulit buah kakao diambil dari fase logaritmik jam ke-6. Penggunaan

inokulum S. cerevisiae pada fase logaritmik didukung oleh penelitian Hasanah

(2008), dalam memfermentasi ketan hitam dan singkong juga memenggunakan

inokulum S. cerevisiae pada fase logaritmik.

S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan

pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar

alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif

melakukan aktivitasnya pada suhu 25-300C (Ajuzie dan Atuanya, 2009).

4. Kurva Baku Saccharomyces cerevisiae

Berdasarkan kurva tumbuh (Gambar 4.1), bahwa fase logaritmik terjadi

pada jam ke-2 hingga jam ke-6. Dari data tersebut, dilakukan pembuatan kurva

baku yang menunjukkan hubungan antara nilai absorbansi suspensi S. cerevisiae

dengan log jumlah sel yang terhitung pada usia tersebut. Perhitungan log jumlah

sel S. cerevisiae diambil pada jam ke-2, ke-4, dan ke-6 (Lampiran 5a).

Page 9: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

44

Berdasarkan analisis data menggunakan SPSS 16.0 for window diperoleh

kurva baku S. cerevisiae (Gambar 4.2), yang menunjukkan hubungan antara nilai

absorbansi yang telah diukur sebelumnya dengan log jumlah sel S. cerevisiae. Log

jumlah sel S. cerevisiae dapat diketahui melalui suatu persamaan regresi linier

yang dinyatakan dalam y = bx + a, dimana y adalah jumlah log sel dan x adalah

nilai absorbansi.

Log Jumlah Sel

Gambar 4.2 Kurva Baku Saccharomysec cerevisiae

Kurva baku S. cerevisiae (Gambar 4.2) menunjukkan suatu garis lurus

yang dapat digunakan dalam perhitungan jumlah sel S. cerevisiae. Persamaan

regresi yang diperoleh yaitu y = 0,364 x + 7,511 dengan R2 = 0,962. Koefisien

determinasi dari kurva baku tersebut sebesar 0,962 yang atinya 96,2% absorbansi

mempengaruhi log jumlah sel. Dengan persamaan tersebut, maka dapat diketahui

log jumlah sel S. cerevisiae pada berbagai absorbansi (Lampiran 5b).

Page 10: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

45

B. Pengaruh Konsentrasi Inokulum terhadap Kadar Alkohol, Kadar Gula

Pereduksi dan pH pada Hasil Fermentasi Alkohol

1. Kadar Alhokol Tertinggi

Berdasarkan hasil uji pendahuluan, diketahui bahwa kadar H2SO4 terbaik

adalah 0,5% (v/v), sehingga pada penelitian utama proses hidrolisis dilakukan

menggunakan larutan H2SO4 0,5% (v/v). Hidrolisat yang diperoleh langsung

difermentasi selama enam hari. Parameter yang diukur selama fermentasi yaitu

kadar alkohol, kadar gula pereduksi, dan pH. Pengukuran parameter tersebut

dilakukan setiap dua hari sekali.

Sebelum dilakukan fermentasi, hidrolisat tersebut diatur keasamannya

pada pH 5 dan semua perlakuan ditambahkan gula awal 5% (v/v) dan disimpan

dalam inkubator pada kisaran suhu 28-300C. Kadar gula awal, pH, dan suhu

inkubasi diatur demikian, kerena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan S.

cerevisiae, mikroba yang digunakan dalam penelitian ini. Keasaman ini diatur

pada pH 5 karena merupakan pH yang baik pertumbuhan S. cerevisiae dalam

fermentasi alkohol. Penambahan gula awal berfungsi sebagai sumber karbon S.

cerevisiae untuk lebih cepat menyesuaikan diri terhadap medium kompleks,

sehingga biomassa sel dapat bertambah. Suhu inkubator tidak selalu tepat dan

berkisar pada suhu 28-300C, namun hal ini tidak mempengaruhi S. cerevisiae

karena mikroba ini dapat tumbuh optimum pada kisaran suhu tersebut (Hidayat et

al., 2006). Analisis hasil dari penelitian ini terdapat pada Tabel 4.3 yang meliputi

hasil rata-rata kadar alkohol, kadar gula pereduksi, dan pH.

Page 11: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

46

Tabel 4.3. Rata-rata Kadar Alkohol, Kadar Gula Pereduksi dan pH dengan konsentrasi inokulum 0%, 1%, 3%, 5%, 7% (v/v), Inkubasi selama enam hari

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu selama enam hari,

merupakan waktu yang umum digunakan dalam fermentasi sampah organik

menjadi alkohol (Kusnadi et al., 2009). Tabel 4.3 menunjukan kadar alkohol, gula

pereduksi, dan pH selama enam hari pengamatan dengan konsentrasi inokulum S.

cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v). Secara umum, selama enam hari

inkubasi, rata-rata kadar etanol mengalami peningkatan dari hari ke-2 hingga hari

ke-6, sedangkan kadar gula pereduksi dan pH mengalami penurunan. Pada

konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, yang merupakan perlakuan kontrol juga

terdapat alkohol sebesar 7,31-10,92 %. Kadar alkohol pada kontrol ini dapat

dikatakan cukup tinggi, seharusnya pada perlakuan kontrol tidak terdapat alkohol,

karena tidak diinokulasikan S. cerevisiae yang menguraikan substrat. Kadar

alkohol yang terdapat pada kontrol diduga merupakan produk mikroba pengurai

selain S. cerevisiae. Mikroba tersebut dapat berasal dari alat-alat yang digunakan

pada saat pengambilan sampel hasil fermentasi, kontaminasi pada alat penelitian

bisa terjadi karena di lingkungan sekitar banyak terdapat jasad-jasad renik.

Konsentrasi Inokulum

(%)

Kadar Alkohol (%) Kadar Gula Pereduksi (µg/ml) pH

Hari ke- Hari ke- Hari ke-

0 2 4 6 0 2 4 6 0 2 4 6

0 0,00 ±0,00

7,31 ±0,98

9,47 ±0,11

10,92 ±0,98

129,39 161,92 167,15 151,46 5,00 4,60 4,00 4,00

1 0,00 ±0,00

19,22 ±1,21

18,14 ±1,48

18,50 ±1,02

129,39 180,60 148,47 99,91 5,00 4,60 4,00 4,00

3 0,00 ±0,00

17,05 ±1,27

19,58 ±0,98

23,91 ±1,87

129,39 177,61 146,98 119,33 5,00 4,00 4,20 4,20

5 0,00 ±0,00

19,94 ±1,61

21,38 ±0,98

22,29 ±1,17

129,39 167,89 135,02 84,22 5,00 4,00 4,20 4,60

7 0,00 ±0,00

18,68 ±1,17

22,47 ±1,56

23,73 ±2,35

129,39 174,62 132,78 90,20 5,00 4,20 4,60 4,40

Page 12: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

47

Menurut Pelczar dan Chan (2005), bahwa beberapa jasad renik dari lingkungan

bisa masuk ke dalam substrat selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan.

Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, terjadi kontaminasi

pada substrat fermentasi diduga karena adanya jasad renik yang terbawa melalui

alat penelitian, walaupun sudah diupayakan untuk meminimalkan kontaminasi.

Menurut Setyowati (2008) bahwa terdapat mikroba pengurai pada limbah organik

yaitu seperti Actinomycetes, bakteri Selulotik, dan bakteri Proteolitik. Dugaan

adanya mikroba pengurai pada kontrol pjuga ditandai dengan pengurangan kadar

gula pereduksi dan perubahan pH. Pada perlakuan S. cerevisiae 1%, 3%, 5%, dan

7% benar-benar terdapat etanol, namun pada kontrol belum tentu terdapat etanol,

bisa saja merupakan alkohol jenis lain selain etanol. Jenis alkohol pada kontrol

tidak dapat ditentukan karena tidak diuji dengan GCMS.

Pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae 1%, 3%, 5%, dan 7%, kadar

akohol tetap mengalami peningkatan. Produksi alkohol yang terus meningkat

mengindikasikan bahwa S. cerevisiae dalam fase logaritmik, karena pada fase ini

sel aktif melakukan metabolisme dan sintesis bahan sel sangat cepat sehingga

menghasilkan metabolit berupa etanol (Pelczar dan Chan, 2006).

Peningkatan kadar alkohol yang diproduksi oleh S. cerevisiae disebabkan

karena masih tersedianya substrat yang dikonversi menjadi alkohol. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Pramanik (2003) bahwa untuk fermentasi alkohol,

substrat harus memiliki konsentrasi kadar gula pereduksi minimal sebesar 50

µg/ml. Artinya konsentrasi gula pereduksi yang digunakan dalam penelitian ini

masih sesuai dengan kondisi tumbuh S. cerevisiae, dapat dilihat pada tabel 4.3

Page 13: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

48

kadar gula pereduksi yang tersedia paling rendah sebesar 84,22 µg/ml pada hari

ke-6 fermentasi. Oleh karena itu, kadar alkohol terus mengalami peningkatan

hingga hari ke-6 fermentasi.

Pada proses fermentasi alkohol, glukosa merupakan sumber karbon dan

sumber energi utama bagi khamir. Dalam fermentasi alkohol satu molekul

glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP. Secara singkat reaksi tersebut

berlangsung melalui jalur glikolisis yaitu pemecahan gula (C6H12O6) menjadi

asam piruvat, kemudian terjadi dekarboksilasi asam piruvat menjadi asetaldehid

dengan bantuan enzim piruvat dekarboksilase. Tahap akhir yaitu perubahan

asetaldehid menjadi alkohol (etanol) oleh enzim alkohol dehidrogenase (Zhang et

al., 1995).

Pada penelitian ini kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada hari ke-6. Hal

ini sesuai pernyataan Effendi dalam Budhiutami (2010), bahwa semakin lama

fermentasi, kadar alkohol yang dihasilkan akan meningkat dan mencapai keadaan

yang optimun sebelum mengalami penurunan. Waktu fermentasi yang optimum

pada kulit buah kakao ini diperoleh pada hari ke-6 dengan kadar alkohol rata-rata

sebesar 23,73%, hasil ini didukung oleh hasil pengolahan statistik (Lampiran 8),

bahwa hari ke-6 memiliki selisih terbesar bila dibandingkan dengan hari ke-0, 2,

dan 4 dan perbedaannya pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel

yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian

yaitu 5%.

Page 14: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

49

0

5

10

15

20

25

30

Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6

Ka

da

r A

lko

ho

l (%

)

Lama Fermentasi

S. cerevisiae 0 %

S. cerevisiae 1 %

S. cerevisiae 3 %

S. cerevisiae 5 %

S. cerevisiae 7 %

2. Konsentrasi Inokulum Saccharomyces cerevisiae Optimum

Pada proses fermentasi digunakan mikroorganisme Saccharomyces

cerevisiae, mikroba ini memiliki daya konversi sangat tinggi dalam mengubah

gula menjadi etanol (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Waktu yang diperlukan

untuk mencapai hasil optimal pada fermentasi ini adalah enam hari. Rata-rata

kadar alkohol dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan

7% (v/v) setelah pengamatan selama enam hari hari terdapat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Rata-rata Kadar Alkohol Selama Enam Hari Pengamatan

Bertambah besarnya waktu inkubasi yang digunakan pada proses

fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kenaikan produksi

alkohol yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3, bahwa masing-

masing konsentrasi S. cerevisiae, kadar akohol terus meningkat dengan semakin

lamanya fermentasi. Semua variasi konsentrasi inokulum menghasilkan etanol

dalam jumlah yang berbeda. Konsentrasi inokulum S. cerevisiae yang

menghasilkan alkohol tertinggi yaitu pada 7%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan

Page 15: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

50

Ajuzie dan Atuanya (2009), bahwa konsentrasi inokulum sangat mempengaruhi

produksi etanol. Konsentrasi inokulum yang rendah akan memperlambat proses

penggunaan glukosa dalam substrat sehingga jumlah alkohol yang dihasikan

sedikit. Berbeda halnya dengan penggunaan inokulum dalam konsentrasi tinggi,

akan terjadi persaingan dalam memperoleh sumber karbon sehingga berpengaruh

terhadap jumlah metabolit primer (alkohol) yang dihasilkan. Alkohol yang

dihasilkan bisa dalam jumlah yang banyak ataupun sedikit, karena produksi etanol

juga dipengaruhi oleh suhu, pH, dan substrat.

Hidrolisat yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan digunakan oleh

mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Pada

penelitian ini fermentasi dilakukan oleh S. cerevisiae, sehingga diperlukan kondisi

konsentrasi inokulum yang optimum agar perombakan glukosa menjadi etanol

dapat berlangsung dengan baik. Hasil pada Gambar 4.3 menujukkan bahwa

konsentrasi S. cerevisiae 7 % merupakan konsentrasi yang optimum menghasilkan

kadar alkohol terbanyak, hasil ini didukung oleh pengujian statistik (Lampiran 8).

Hasil tersebut menunjukkkan konsentrasi S. cerevisiae 7 % memiliki selisih

paling besar bila dibandingkan dengan konsentrasi inokulum lainnya dan

perbedaannya pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel yang

bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%.

3. Kadar Gula Pereduksi

Pengukuran kadar gula peduksi dilakukan dengan metode Somogyi-

Nelson (Somogyi, 1952). Rata-rata kadar gula pereduksi dengan konsentrasi

Page 16: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

51

0

50

100

150

200

1 2 3 4

Ka

da

r G

ula

Pe

red

uk

si

(µg

/ml)

Lama Fermentasi (Hari ke-)

S. cerevisiae 0%

S. cerevisiae 1%

S. cerevisiae 3%

S. cerevisiae 5%

S. cerevisiae 7%

inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v) setelah pengamatan

selama enam hari dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Rata-rata Kadar Gula Pereduksi Selama Enam hari Pengamatan

Pengukuran ini dilakukan untuk melihat kecenderungan pengurangan

glukosa yang dikonversi menjadi alkohol oleh S. cerevisiae. Pada Tabel 4.3 dan

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi mengakibatkan nilai

rata-rata gula pereduksi yang diukur menggunakan metode Somogyi-Nelson

mengalami penurunan. Penurunan kadar gula pereduksi pada substrat selama

fermentasi mengindikasikan adanya penggunaan glukosa oleh S. cerevisiae.

Glukosa merupakan sumber karbon utama dan adanya penyerapan glukosa ini

menyebabkan penurunan kadar glukosa turun selama fermentasi. Gula pereduksi

mengalami peningkatan pada hari ke-2. Peningkatan kadar gula ini terjadi akibat

masih adanya peristiwa hidrolisis pada subsrat, hal ini diketahui bahwa substart

awal masih memiliki pH yang rendah yaitu pH 1, pH yang demikian

menunjukkan bahwa pada substrat masih ada kandungan H2SO4. Kondisi ini

sesuai dengan pernyataan Taherzadeh dan Karimi (2007), bahwa hidrolisis asam

akan menghasilkan hidrolisat yang cukup asam dan bisa meningkatkan kadar gula

Page 17: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

52

preduksi karena aktivitas asam terus memecah ikatan glikosidik pada selulosa dan

hemiselulosa. Gula pereduksi pada hari ke-2 hingga hari ke-6 mengalami

penurunan diikuti dengan meningkatnya kadar alkohol yang dihasilkan, hal ini

mengindikasikan bahwa gula tersebut diubah menjadi alkohol oleh S. cerevisiae,

seperti yang dinyatakan oleh Pelczar dan Chan (2006) bahwa penurunan kadar

gula ini disebabkan karena digunakan untuk pertumbuhan dan membentuk

metabolit primer berupa alkohol. Penurunan kadar gula pereduksi ini terjadi pada

semua konsentrasi inokulum yakni 1%, 3%, 5% dan 7% (v/v).

Indikasi penggunaan gula pereduksi menjadi alkohol oleh S. cerevisiae

didukung oleh hasil uji korelasi (Lampiran 8). Nilai korelasi antara kadar alkohol

dan kadar gula adalah sebesar -0.394. Tanda negatif menunjukkan terdapatnya

hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan kadar gula. Angka

korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel yaitu

0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%.

4. pH Medium

Derajat keasaman (pH) larutan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi proses fermentasi. Menurut Hidayat et al., (2006), pH yang baik

untuk fermentasi alkohol yaitu berlangsung pada pH 4-5. Perubahan pH selama

proses fermentasi disebabkan oleh adanya asam-asam tertentu. Keasaman larutan

disebabkan karena pengaruh pembentukan produk oleh S. cerevisiae yaitu

karbondioksida, dan disebabkan oleh asam-asam yang merupakan produk

samping fermentasi etanol seperti asam asetat dan asam piruvat. Adanya asam

Page 18: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

53

tersebut karena sebagian S. cerevisiae tidak mengkonversi asam piruvat menjadi

etanol, sehingga asam akan terakumulasi dan menambah keasaman larutan (Rhem

dan Reed dalam Didu, 2010).

. Rata-rata pH larutan dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 1%,

3%, 5%, dan 7% (v/v) setelah pengamatan selama enam hari hari terdapat pada

Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Rata-rata pH Selama Enam hari Pengamatan

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa selama proses fermentasi berlangsung

keasaaman larutan semakin bertambah ditandai dengan penurunan nilai pH. Pada

hari ke-0, pH larutan dikondisikan sama yaitu pada pH 5, namun sejalan dengan

bertambahnya waktu fermentasi pH larutan menurun pada kisaran 4,6-4,0.

Perubahan pH ini disebabkan oleh pembentukan produk yaitu karbondiosida

(CO2), yang merupakan produk fermentasi selain alkohol. Dalam larutan uji, CO2

yang dihasilkan akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3).

Semakin banyak CO2 yang dihasilkan, maka H2CO3 yang terbentuk juga semakin

tinggi. H2CO3 bisa membentuk asam bikarbonat dan melepas ioh H+, tingginya

ion H+ yang dihasilkan dapat mempengaruhi keasaman larutan uji ditandai dengan

penurunan pH (Poedjiadi dan Supriyanti, 2006).

3

3.4

3.8

4.2

4.6

5

Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6

pH

Lama Fermentasi

S.cerevisiae 0%

S.cerevisiae 3%

S.cerevisiae 5%

S.cerevisiae 7%

S.cerevisiae 1%

Page 19: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

54

Penurunan pH pada semua perlakuan didukung oleh kadar alkohol yang

dihasilkan. Pada proses fermentasi, mol alkohol yang dihasilkan berjumlah sama

dengan mol CO2, apabila alkohol yang dihasilkan dalam kadar yang banyak, maka

CO2 yang dihasilkan akan meningkat, gas ini akan mempengaruhi penurunan pH.

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada

konsentrasi inokulum S. cerevisiae 7% dengan rata-rata pH 4,4. Penurunan pH ini

tidak sebanding dengan rata-rata pH 4 pada larutan kontrol, karena pada kontrol

tidak diinkubasikan S. cerevisiae dan seharusnya pH larutan tidak mengalami

perubahan. Perbedaan hasil ini diduga karena adanya mikroba pengurai yang

berasal dari lingkungan sekitar.

Hasil ini menerangkan bahwa pH berbanding terbalik dengan kadar

alkohol yaitu ditunjukkan oleh hasil uji korelasi (Lampiran 8). Nilai korelasi

antara kadar alkohol dan pH adalah sebesar -0,545. Tanda negatif menunjukkan

terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan pH.

Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel

yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%.

5. Hubungan antara Kadar Gula Pereduksi, pH, dan Kadar Alkohol

Berdasarkan kondisi optimum fermentasi yaitu pada konsentrasi inokulum

Saccharomyces cerevisiae 7% dengan lama fermentasi enam hari, dibuat grafik

hubungan antara kadar gula pereduksi, pH, dan kadar alkohol seperti pada

Gambar 4.6 berikut :

Page 20: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

55

Gambar 4.6 Hubungan antara Kadar Gula Pereduksi, pH, dan Kadar Alkohol

Pada umumnya proses fermentasi alkohol berlangsung melalui jalur

glikolisis yaitu penggunaan gula (C6H12O6) untuk membentuk etanol dan

karbondioksida. Pembentukan kedua senyawa ini dipengaruhi oleh kadar gula

pereduksi yang digunakan oleh khamir. Gambar 4.6, menunjukkan bahwa kadar

gula pereduksi berbanding terbalik dengan kadar alkohol, penurunan kadar gula

pereduksi diikuti oleh peningkatan kadar alkohol. Kondisi tersebut menunjukkan

bahwa gula pereduksi digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk

membentuk metabolit primer, dalam hal ini etanol. Hubungan berbanding terbalik

didukung oleh nilai korelasi antara kadar gula pereduksi dan kadar alkohol

sebesar -0,394 (Lampiran 8).

Page 21: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

56

Produksi etanol oleh S. cerevisiae dapat mempengaruhi keasaaman

substrat fermentasi. Berdasarkan Gambar 4.6, bahwa semakin tinggi kadar alkohol

menyebabkan pH menurun, hal tersebut menunjukkan adanya hubungan

berbanding terbalik didukung oleh nilai korelasi sebesar -0,545 (Lampiran 8).

Hubungan antara kadar gula pereduksi dan pH menunjukkan hubungan

berbanding lurus dengan nilai korelasi 0,073 (Lampiran 8). Penurunan kadar gula

pereduksi diikuti dengan penurunan pH. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian

Pramanik (2003), bahwa penurunan kadar gula pereduksi diikuti oleh penambahan

keasaaman substrat atau nilai pH semakin menurun.

C. Hasil Pengujian Skala Pilot plan

Pada penelitian fermentasi alkohol dari kulit buah kakao ini menunjukkan

bahwa dengan dilakukan rekayasa bioproses seperti pengaturan konsentrasi

inokulum Saccharomyces cerevisiae dan lama fermentasi menghasilkan etanol

dengan produktivitas tinggi (alkohol yang dihasilkan tinggi) dan efisiensi yang

tinggi ditandai dengan rendahnya kadar gula pereduksi pada hari terakhir

fermentasi. Kondisi optimum dihasilkan pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae

7% dengan lama fermentasi selama enam hari

1. Destilasi

Substrat hasil proses fermentasi dipisahkan dengan cara disaring dan

dimasukkan ke dalam labu dasar bulat kemudian didestilasi selama 5 jam (Ardi,

2009). Menurut Ajuzie dan Atuanya (2009), destilasi merupakan proses

Page 22: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

57

pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya, titik didih etanol murni sebesar

78,50C, sedangkan titik air adalah 1000C. Dengan pemanasan larutan pada rentang

suhu 78-1000C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui

unit kondensasi akan bisa dihasilkan destilat. Dari hasil destilasi diperoleh destilat

sebesar 87,6 ml dari 1 liter substrat.

2. Uji Gas Chromatograph-Mass Spectrometry (GC-MS)

Untuk mengetahui kadar alkohol dalam destilat perlu dilakukan uji GCMS

(Gas Chromatograph-Mass Spectrometry). GCMS merupakan alat yaang

digunakan untuk pemisahan, alalisis kuantitatif, dan identifikasi jenis senyawa.

Fase pembawa dari GCMS nerupa gas He. Untuk zat yang diuji dapat berbentuk

cair maupaun gas, sampel GC yang digunakan harus mudah menguap sedangkan

MS tidak memerlukan standar khusus. Supaya dapat menjadi gas, sampel

dipanaskan dalam suhu tinggi sehingga akan bersatu dengan gas pembawa untuk

masuk ke dalam kolom. GC berfungsi untuk memisahkan senyawa-senyawa yang

ada pada sampel. Setelah zat terpisah kemudian akan masuk ke dalam MS, dan

setiap puncaknya akan diidentifikasi untuk menentukan struktur senyawa tersebut

(Surtikanti, 2009).

Menurut Nurdyastuti (2008), bioetanol yang digunakan sebagai campuran

bahan bakar untuk kendaraan harus benar-benar kering dan anhydrous supaya

tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100%

volume. Oleh karena itu, bioetanol hasil destilasi harus ditambahkan suatu bahan

yang dapat menyerap atau menarik kandungan air yang masih terdapat dalam

Page 23: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

58

bioetanol, bahan yang sering digunakan diantaranya yaitu, CaCO3, dan zeolit atau

dilakukan destilasi vakum, sehingga dapat dihasilkan bioetanol yang lebih murni

yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar. Hasil uji GC-MS dapat dilihat pada

Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4 Senyawa Hasil Uji GCMS

No. Senyawa Hasil GCMS Kadar (%)

1. Etanol 74,944

2. Propanol 1,401

3. Etana 0,729

4. Isoamilalkohol 22,682

5. Asam Heksanoid 0,096

6. Asam Oktanoid 0,149

Berdasarkan Tabel 4.4, bahwa ditemukan enam senyawa pada destilat

kulit buah kakao. Senyawa yang ditemukan terdiri dari kelompok alkohol (etanol,

propanol, dan isoamilakohol), kelompok asam (asam heksanoid dan oktanoid),

serta gas etana. Senyawa tersebut memiliki kadar yang berbeda-beda, total

keberadaan kelompok alkohol sebesar 99,027%, sisanya merupakan senyawa lain

sebesar 0,973%. Keberadaan senyawa yang ditemukan pada hasil fermentasi kulit

buah kakao, didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Berovic et

al., (2003) yang menemukan senyawa etanol, propanol, butanol dan

isoamilalkohol pada fermentasi anggur. Menurut Schure et al., (1998) etanol,

propanol, isoamilalkohol merupakan hasil metabolit dari S. cerevisiae yang

Page 24: S BIO 0708788 Chapter4x - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708788_chapter4x.pdf · Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu

59

dibentuk melalui jalur metabolisme yang berbeda. Etanol diproduksi melalui jalur

EMP, sedangkan isoamilalkohol dan propanol dihasilkan melalui jalur Ehrlich

(Hazalwood, 2008). Asam heksanoind dan oktanoid merupakan produk lain yang

dihasilkan oleh S. cerevisiae, namun kadarnya sangat rendah (dianggap tidak ada).

Dari penelitian skala pilot ini, dapat dikatakan bahwa kulit buah kakao

berpotensi menghasilkan bioetanol. Selain dari hasil GCMS, adanya etanol pada

sampel ditunjukan oleh uji nyala yang telah dilakukan (Lampiran 13). Kondisi

nyala yang dihasilkan didukung oleh pernyataan Nurdyastuti (2008), bahwa pada

kadar 60-70% alkohol bisa menyala namum warna api masih merah, tidak

berwarna biru seperti bahan bakan berkadar 80-100%.