rtbl

19

Click here to load reader

Upload: johannes-tulung

Post on 19-Jun-2015

597 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

1

PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PERBUKITAN DAN KAWASAN PESISIR1

O l e h : Johannes Tulung2

Bab I Pengertian

1.1. Rumah, Perumahan, Permukiman3

1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga

2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan

3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

1.2. Prasarana, Sarana, Utilitas4 Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) pada lingkup perumahan adalah PSU pada rumah, kapling, blok, lingkungan perumahan dalam suatu lingkungan permukiman, mencakup :

1. Prasarana lingkungan perumahan, yaitu jalan lingkungan, drainase lingkungan, sanitasi lingkungan, tempat sampah dan air bersih

2. Sarana Lingkungan perumahan, yaitu sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, perniagaan, RTH, rekreasi, olahraga dan sarana pemerintahan.

3. Utilitas Umum, meliputi listrik, telepon dan gas

1 Makalah disampaikan pada Lokakarya “Kegiatan Penyusunan Masukan Persyaratan Teknis Penataan (RTBL) Perumahan” yang diselenggarakan Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat di Jakarta 18 Desember 2006 2 Penulis adalah Ketua Kompartemen Lingkungan Hidup DPP Realestat Indonesia periode 2004 - 2007 3 Undang-undang RI nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Pasal 1. 4 Zulfi Syarif Koto, “Program Penyediaan Prasarana Sarana dan Utilitas Umum RsH dan Rusuna 2007-2009” ,makalah pada Rakernas REI Jakarta 14 Desember 2006.

Page 2: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

2

Berdasarkan aturan yang berlaku maka setiap pembangunan perumahan dan permukiman, harus dilengkapi dengan berbagai prasarana, sarana dan utilitas sebagai penunjang kawasan yang dibangun tersebut. Peraturan-peraturan yang mengatur dan dijadikan acuan tersebut pada kenyataannya merupakan produk-produk hukum yang kebanyakan telah berusia lebih dari 10 – 20 tahun, sehingga sudah sangat tertinggal dengan kebutuhan zaman. Selain itu - masih banyak hal-hal yang belum diatur – yang karena itu kemudian cenderung untuk ditolak oleh otoritas yang berwenang memberi perijinan. Makalah ini mengungkapkan mengenai pembangunan perumahan dan permukiman – terutama di kawasan tepi air (baik pesisir/laut, sungai maupun danau) serta kawasan perbukitan, yang dilaksanakan oleh para pengembang swasta, serta kendala dan permasalahan yang dihadapi.

Bab II Pembangunan Perumahan dan Permukiman

2.1 Rumah Sebagai Kebutuhan Dasar

Pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia selama ini pada dasarnya dilaksanakan untuk mencapai terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Agar hal ini tercapai maka setidak-tidaknya kebutuhan pokok masyarakat harus dapat dipenuhi. Bila dahulu kita hanya mengenal 3 kebutuhan pokok yaitu : sandang, pangan dan papan, maka kini kita mengenal adanya 6 kebutuhan dasar rakyat, yaitu Sandang, Pangan, Papan, Kesehatan, Pendidikan dan Lapangan Kerja. Setelah melalui enam Pelita (pembangunan lima tahun) Indonesia akhirnya berhasil memenuhi 2 dari 3 kebutuhan dasar awal manusia yaitu Sandang dan Pangan. Walaupun demikian, hingga saat ini kebutuhan dasar ketiga yaitu Papan masih belum dapat dipenuhi. Kebutuhan akan Papan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk baik secara natural (kelahiran) maupun karena migrasi. Oleh karena itu pertumbuhan kebutuhan rumah terjadi paling tinggi di wilayah perkotaan.

Rumah merupakan kebutuhan yang sangat penting tidak hanya bagi fisik tapi

juga bagi pembentukan seseorang sebagai manusia seutuhnya. Sebagaimana dikatakan (mantan) Presiden Soeharto5: “Pembangunan perumahan dan permukiman sangat penting bagi kehidupan rakyat. Bersama sandang dan pangan, papan merupakan

5 Pidato Kenegaraan Presiden RI, pengantar RUU APBN 1995/96

Page 3: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

3

kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia. Rumah bukan sekedar tempat tinggal, namun merupakan tempat pembentukan watak dan jiwa melalui kehidupan keluarga”.

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perumahan dan Permukiman

maka penataan perumahan dan permukiman dilandaskan pada azas manfaat, adil, merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan keserasian lingkungan hidup, sedangkan tujuan penataan perumahan dan permukiman adalah6 :

1. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salahsatu kebutuhan dasar manusia dalam

rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. 2. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang

sehat, aman, serasi dan teratur 3. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang

rasional 4. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang bidang

lainnya 2.2. Pergeseran Penduduk

Kehidupan dilingkungan perkotaan menjadi semakin bermakna dan menarik bagi umat manusia sekarang ini dan dimasa depan. Bila pada tahun 1850 hanya 2% penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk diatas 100.000 orang, maka menjelang akhir abad XX diperkirakan lebih dari 40% penduduk dunia tinggal diwilayah perkotaan seperti diatas. World Development Report (1987) menyatakan bahwa pada tahun 1800 hanya ada 7 wilayah metropolitan didunia dengan penduduk > 500.000 orang, tahun 1900 hanya ada 42 buah, sedangkan tahun 2000 mencapai 500 buah kota. Secara pasti dalam 25 tahun mendatang akan banyak muncul wilayah-wilayah “megacities” dengan penduduk belasan juta orang.7

Di Indonesia, pergeseran penduduk dari pedesaan ke perkotaan terus

meningkat. Dalam kurun waktu 1980 – 1990, laju pertumbuhan penduduk total adalah 1,97% per tahun dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 5,5% sedangkan pedesaan 0,8% per tahun. Dalam angka terlihat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi terutama di perkotaan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1 8.

6 UU no.4 / 1992 pasal 4 7 Tono Setiadi, artikel dalam jurnal pengembangan wilayah dan kota Real Estat , vol.1 No.1 Januari

2000 8 Budhy Tjahjati, Keberlanjutan Kota Baru , Seminar Manajemen Kota Baru Menuju Abad 21,

Bandung 15 Maret 1997

Page 4: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

4

Tabel 1 Perbandingan Penduduk Perkotaan dan Pedesaan

Wilayah 1 9 8 0 1 9 9 0 1 9 9 3 2 0 0 1

Juta % Juta % Juta % Juta %

Perkotaan

30.6

22

55.4

33

64

35

87.3

40

Pedesaan

114.5

78

123.9

67

124.8

65

130.9

60

TOTAL

145.1

100

179.3

100

188.0

100

218.2

100

Sumber : Budhy Tjahjati, Prof.Dr,MCP, Keberlanjutan Kota Baru , 1997 dan Kompas, April 2001

Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan rumah juga akan meningkat

berkali-kali lipat, terutama di wilayah perkotaan dimana pembangunan perumahan secara formal paling banyak berlangsung.

2.3. Skala Perumahan

Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Pemerintah mengatur mengenai Ijin Lokasi dan kewenangan penetapannya9. Permendagri 3/87 tersebut selanjutnya menjadi salahsatu dasar penetapan angka kategori luasan perumahan yaitu :

Perumahan Skala Kecil adalah perumahan dengan luas areal < 15 Hektar Perumahan Skala Menengah adalah perumahan dengan luas areal antara 15

sampai 200 Hektar

Perumahan Skala Besar adalah perumahan dengan luas areal > 200 Ha

9 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak

Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Pasal 2 tentang Penetapan

Lokasi dan Luas Tanah menetapkan sebagai berikut : Ijin Lokasi untuk perusahaan yang luasnya tidak lebih dari 15 Hektar bagi Daerah Tingkat (DT) II

yang telah mempunyai Rencana Induk Kota/Rencana Kota, ditetapkan oleh

Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II Ijin Lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 Hektar ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tk.I

Ijin Lokasi yang luasnya lebih dari 200 hektar ditetapkan oleh Gubernur KDh.Tk.I setelah

mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

Page 5: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

5

2.4. Pelaku Pembangunan Perumahan Kebutuhan perumahan bagi penduduk perkotaan di Indonesia saat ini pada

umumnya dilaksanakan secara informal yang mencapai 85 % dari total pembangunan rumah, sisanya sebesar 15 % dilaksanakan secara formal baik oleh Pemerintah melalui Perum Perumnas, oleh swasta terutama melalui Persatuan Perusahaan RealEstat Indonesia (REI) dan oleh Koperasi.10

Evaluasi terhadap pembangunan perumahan dan permukiman selama periode

Orde Baru menunjukan bahwa diantara ke 3 pelaku pembangunan perumahan yaitu Swasta (diwakili oleh para pengembang anggota REI), Pemerintah (diwakili oleh Perumnas) dan Masyarakat (diwakili oleh Koperasi) maka pihak swasta (REI) secara konsisten selalu berhasil memenuhi target pembangunan rumah (RS/RSS), bahkan melebihi target dan sekaligus menjadi pemeran utama pembangunan perumahan di Indonesia.

Dari Pelita ke Pelita REI telah menunjukkan peningkatan peran-sertanya hingga

akhirnya menjadi pemeran utama dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Bila pada Pelita II peran REI hanya mencapai 5 % dari total pembangunan rumah maka selanjutnya mulai Pelita III sampai dengan Pelita VI REI menjadi pemeran utama, dengan rata-rata 70 % dari total pembangunan rumah setiap Pelita.

Kini bahkan peran swasta dalam pembangunan perumahan dan permukiman

semakin besar dimana rata-rata mencapai 95% dari total pembangunan rumah formal setiap tahun.

Tabel 2

Pembangunan Rumah dari Pelita ke Pelita

PERIODE PERUMNAS % R E I % KOPERASI % TOTAL

Pelita I

-

-

-

-

-

-

-

Pelita II 50.672 95 2.682 5 - - 53.354 Pelita III 80.536 27 216.158 73 - - 296.694 Pelita IV 70.795 25 217.643 75 - - 288.438 Pelita V 85.280 23 271.056 72 19.496 5 375.832

Pelita VI11

170.242 26 430.921 66 52.832 8 653.995

Sumber : Kantor Menpera, Perumahan Rakyat Untuk Kesejahteraan & Pemerataan, 1997

10 Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, Pembangunan Perumahan, Agustus 1990 11 Sampai dengan 31 Agustus 1997

Page 6: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

6

Bab III Prinsip dan Proses dalam Bisnis Properti

3.1. Pembangunan Kawasan Permukiman Sebagai Kegiatan Usaha Mayoritas para pengembang melaksanakan pembangunan dalam skala kecil hingga menengah. Hal ini terutama disebabkan karena tingkat kesulitan dan risiko yang jauh lebih kecil serta tingkat kepastian perolehan gain (keuntungan) lebih tinggi dibandingkan dengan pembangunan skala besar. Dipihak lain, bagi Pemerintah Daerah maka pembangunan perumahan skala kecil dan menengah (terutama skala kecil), perlu diawasi secara lebih teliti mengingat sifatnya yang jangka pendek dan setelah selesai maka sesuai peraturan yang berlaku, berbagai prasarana dan sarana umum (fasos & fasum) akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan yang dimaksud terutama menyangkut aspek perijinan serta implementasinya. Sedangkan pembangunan perumahan skala besar serta kota-kota baru pada dasarnya harus merupakan suatu pembangunan berkelanjutan baik bagi kesejahteraan masyarakat kota tersebut secara keseluruhan maupun bagi masyarakat kota generasi mendatang. Pelaksanaannya haruslah melibatkan para pihak yang terkait mulai dari tahap awal (Perencanaan) sampai dengan tahap akhir (Pengelolaan). Demikian pula dalam pengembangan kawasan perbelanjaan (shopping center/mall), pusat niaga, apartemen dan sebagainya, yang termasuk dalam pengembangan jangka pendek. 3.1.1. Investasi Dalam Pembangunan Permukiman/Properti Semakin besar skala proyek properti yang dibangun, investasi yang ditanamkan akan semakin besar pula. Investasi yang sangat besar terutama dibutuhkan untuk pengembangan berbagai sarana dan prasarana yang akan mendukung pengembangan dan perkembangan kawasan tersebut, seperti12 :

Investasi untuk pengadaan lahan yang meliputi biaya pembebasan lahan, pembangunan (pematangan) lahan dan pengadministrasian lahan

12 Djoko Sujarto, Aspek Kepranataan Dalam Pembangunan Kota Baru , Jurusan PW&K FTSP-ITB, 1995

Page 7: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

7

Investasi dalam pengadaan sarana/fasilitas kota seperti perbelanjaan, hiburan & rekreasi, terminal, pendidikan, kesehatan, peribadatan, balai pertemuan, olahraga, taman kota, jalur pengamanan, jalur pemeliharaan kota dan pekuburan

Investasi dalam prasarana kota seperti berbagai jenis jalan, air bersih, drainase, sanitasi lingkungan, persampahan, listrik, telepon dan gas

Investasi dalam pembangunan perumahan Investasi untuk pemeliharaan guna menjaga eksistensi dan kelanggengan

berbagai komponen kota yang merupakan aset kota/kawasan tersebut

Pada dasarnya yang dilakukan para pengembang dalam usaha ini adalah meningkatkan profit, sebagaimana yang juga dilakukan dalam berbagai kegiatan usaha lain. Ada 3 hal yang terkait disini yaitu VALUE, PROFIT dan COST. Upaya yang dilakukan adalah optimalisasi atas ketiga hal tersebut :

VALUE

PROFIT

COST

Mengingat investasi yang besar tersebut, diperlukan pertimbangan ekonomi dan berbagai pertimbangan lainnya yang menyangkut pembangunan proyek properti tersebut. Prinsip-prinsip tersebut adalah : 3.1.2. Prinsip Usaha Real Estat Pembangunan perumahan dan permukiman yang dilaksanakan oleh perusahaan pengembang - baik swasta, Pemerintah maupun koperasi/ masyarakat - sebagai sebuah bidang usaha haruslah memenuhi prinsip-prinsip dalam usaha real estat yaitu13 : 1. Prinsip “Highest and Best Used” Orientasi pengembangan usaha pembangunan perumahan tersebut secara keseluruhan bertujuan menghasilkan nilai guna tertinggi dan terbaik yang menghasilkan nilai tambah. Agar bisa menghasilkan keuntungan dari hasil pengembangan tersebut perlu diperhatikan berbagai hal a.l.:

13 J.S.Andidjaja,SH,MH, Aspek Hukum Dalam Proses Pembangunan Real Estat, Jurnal Real Estat, Vol.1 No.1, Januari 2000

Page 8: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

8

pemilihan jenis investasi yang tepat

penggunaan optimasi lahan penggunaan dana yang efektif dan wajar pengelolaan yang efisien sistem kontrol yang menerus

2. Prinsip “Economic of Scale” Usaha pembangunan perumahan pada dasarnya melibatkan berbagai disiplin ilmu serta bidang terkait, mulai dari kegiatan yang terkait dengan pertanahan, perencanaan, pembangunan/konstruksi, pemasaran, pengelolaan, keuangan dsb. Agar bisa menekan harga satuan produk (unit cost) serendah mungkin tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas, maka skala pengembangan harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dari segi : waktu, biaya dan tenaga. 3. Prinsip “Cost and Benefit” Prinsip biaya dan manfaat berarti bahwa setiap pengeluaran biaya tertentu haruslah menghasilkan manfaat yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan tersebut. Orientasi kegiatannya adalah dengan secara terus menerus mengupayakan inovasi-inovasi dalam seluruh kegiatan, baik perencanaan, pemasaran, pengelolaan dsb. 4. Prinsip Biaya Tinggi dan Penggunaan Hutang

Pembangunan perumahan dan permukiman, terutama dalam skala besar membutuhkan biaya investasi yang besar pula. Untuk membiayai investasi yang besar tersebut digunakan tidak hanya dana yang tersedia (availlable funds), tetapi juga dana yang memungkinkan (possible funds). 3.2. Proses Pengembangan Kawasan Permukiman Dari kacamata pengusaha, maka pembangunan kawasan permukiman yang akan dilakukan tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat kelayakan usaha. Oleh karena itu proses pembangunan perumahan dan permukiman tersebut – secara umum – akan mengikuti alur seperti yang terlihat dalam Gambar 1.

Page 9: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

9

Gambar 1 Proses Pengembangan Perumahan & Permukiman

STUDI KELAYAKAN

PERENCANAAN

PEMBIAYAAN

PEMBANGUNAN

PEMASARAN

PENGELOLAAN

3.2.1. Studi Kelayakan Berbagai aspek terkait dengan pengembangan proyek tersebut dikaji dan dianalisis untuk menentukan tingkat kelayakan dan memutuskan langkah yang harus dilaksanakan agar proyek tersebut dapat dijalankan dan tujuan dapat dicapai. Umumnya studi kelayakan mencakup beberapa analisis yaitu :

Accesibility Analysis Marketibility Analysis Financial Analysis Physical Analysis

Sesuai Undang-undang no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah no.27 tentang AMDAL maka studi Amdal juga menjadi bagian dari Studi Kelayakan.

Page 10: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

10

3.2.2. Perencanaan Sebagai bagian dari studi kelayakan adalah pembuatan rancangan awal berupa rencana pengembangan. Dalam tahap perencanaan lanjut maka rancangan awal tersebut dilanjutkan dengan rancangan-rancangan yang lebih detail baik dalam bentuk Master Plan sampai dengan rencana tapak, demikian juga rancangan bangunan. Rancangan-rancangan ini selanjutnya digunakan untuk mendapatkan ijin-ijin yang terkait dengan pengembangan proyek, seperti Ijin Siteplan, Advies Planning, Ijin Mendirikan Bangunan dsb. 3.2.3. Pembiayaan Sebagai kelanjutan dari studi kelayakan khususnya pembahasan mengenai aspek finansial, maka pada tahap pembiayaan ini diupayakan mendapatkan dana-dana yang dibutuhkan untuk pengembangan proyek mulai dari pembebasan tanah, perencanaan, perijinan, pembangunan maupun pengelolaan. 3.2.4. Pembangunan Pelaksanaan pembangunan mulai dari penyiapan tanah, pembangunan infrastruktur seperti jalan, saluran, utilitas dsb, sampai dengan pendirian bangunan (perumahan/apartemen/ perbelanjaan/perkantoran dsb) serta berbagai sarana/prasarana pendukung lainnya. 3.2.5. Pemasaran Pada tahap ini ditentukan tipe, jenis, jumlah maupun harga jual dari unit-unit yang akan dipasarkan dalam rangka memenuhi target penjualan yang telah disepakati oleh manajemen, serta strategi pemasaran maupun biaya yang akan digunakan dalam rangka pencapaian target tersebut. 3.2.6. Pengelolaan

Pada tahap ini bagian proyek yang telah dibangun dan dipasarkan selanjutnya akan dipelihara oleh Divisi Pengelolaan, baik perawatan prasarana, sarana maupun properti yang telah dibangun dan diserah-terimakan kepada pemiliknya tetapi masih dalam masa jaminan purna jual.

Page 11: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

11

Bab IV Pengembangan Kawasan Permukiman

4.1. Pengembangan Kawasan Tepi Air

Luas lautan Indonesia adalah 5,8 juta kilometer persegi termasuk Zona Ekonomi Exklusif (ZEE) yang merupakan 75% luasnya, sedangkan 25% sisanya merupakan daratan seluas 1,9 juta kilometer persegi berupa pulau-pulau total sejumlah 17.504 pulau yang hanya + 8000 pulau diantaranya telah bernama14.

Jakarta - Ibukota NKRI, maupun hampir semua ibukota propinsi terletak diwilayah pantai serta 65% penduduk tinggal diwilayah pesisir, dengan panjang pantai mencapai 81.000 kilometer.

Dengan kondisi seperti demikian, ditambah dengan banyaknya sungai-sungai yang mengalir melalui kota-kota maupun wilayah pengembangan permukiman, serta keberadaan danau-danau, maka pengembangan permukiman tepi air (waterfront development) seyogyanya harus merupakan perhatian para perancang kawasan permukiman/perkotaan dimasa-masa mendatang.

Dengan demikian, Kawasan Tepi Air di Indonesia merupakan wilayah yang memiliki potensi amat sangat besar untuk pengembangan kawasan perumahan dan permukiman termasuk juga kota-kota baru. 4.1.1. Potensi Kawasan Tepi Air di Indonesia Indonesia sangat kaya dengan wilayah yang bertepikan air, sementara itu pengembangannya sendiri hingga saat ini masih sangat terbatas. hal ini juga disebabkan karena berbagai keterbatasan yang ada. Keberadaan kawasan tepi air yang telah dikembangkan antara lain : A. Kawasan Tepi Air Laut / Pesisir Sebagaimana kondisi di Indonesia yang kaya akan kawasan tepi air laut maka demikian juga banyaknya contoh-contoh proyek Waterfront Development dari negara lain, maka

14

Prof.Dr.Ir.Jacob Rais, dalam Seminar Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas 11/11/04

Page 12: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

12

pengembangan Kawasan Tepi Air Laut telah dilaksanakan sejak puluhan tahun lalu di Indonesia. Proyek-proyek tersebut antara lain :

Ancol Jakarta Bay City (Jaya Ancol) di Jakarta Utara pada pesisir pantai Teluk Jakarta, dikembangkan oleh group Pembangunan Jaya sebagai sebuah kawasan rekreasi dan permukiman terpadu

Pantai Indah Kapuk, juga di Jakarta Utara pesisir pantai Teluk Jakarta. Dikembangkan oleh PT Mandara Permai sebagai sebuah kawasan permukiman terpadu

Pantai Marina, Jakarta Utara. dikembangkan oleh group Dharmala sebagai sebuah kawasan hunian terpadu

B. Kawasan Tepi Air Sungai Kawasan Tepi Sungai sebenarnya merupakan wilayah yang sangat potensial di Indonesia. Sejarah juga membuktikan bahwa banyak kota-kota di Indonesia pada awalnya menggunakan sungai sebagai sarana transportasi utama. Kendala yang dihadapi saat ini dalam pengembangan Kawasan Tepi Sungai adalah bahwa pada umumnya sungai-sungai di Indonesia telah mengalami degradasi terutama karena kerusakan hinterland diwilayah hulu, sehingga perbedaan volume dan tinggi muka air di musim kemarau dan musim hujan menjadi angat besar. Proyek yang telah merencanakan pengembangan tepi sungai baik untuk Waterfront Central Business District maupun Housing, adalah BSD City (dulu Kota Mandiri Bumi Serpong Damai) di Serpong-Tangerang yang dikembangkan Sinar Mas Group. C. Kawasan Tepi Air Danau Pengembangan Tepi Danau telah dilaksanakan atau dirancang pada beberapa proyek di Indonesia, antara lain :

Grand Wisata (dulu Kota Legenda), yang dirancang dengan konsep kota baru serta dilengkapi dengan danau dan kanal. Proyek yang terletak di Bekasi-Jawa Barat tersebut dikembangkan oleh PT Putra Alvita Pratama

Telaga Kahuripan, dirancang dan dikembangkan sebagai sebuah kawasan permukiman seluas 750 hektar di wilayah Parung, Bogor-Jawa Barat. Selain keberadaan danau eksisting seluas 22 hektar, pengembang proyek tersebut - PT Kuripan Raya – juga mengembangkan danau-danau baru melengkapi poyek tersebut.

Page 13: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

13

4.1. Pengembangan Kawasan Perbukitan Kawasan perbukitan merupakan wilayah yang sangat diminati oleh konsumen perumahan. Selain karena udara yang sejuk sebagaimana umumnya wilayah pegunungan, kawasan perbukitan juga memiliki kelebihan dibanding kawasan tepi air yaitu bahwa biaya pengembangan kawasan tersebut relatif lebih rendah (terutama bila dibandingkan dengan kawasan pesisir) sehingga harga unit-unit hunian di kawasan ini biasanya lebih murah. Di pihak lain, kawasan perbukitan dikenakan peraturan membangun yang lebih ketat seperti KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB (koefisien luas bangunan) yang lebih rendah.

Bab V Kendala dan Permasalahan

Pembangunan perumahan dan permukiman yang dilaksanakan oleh para pengembang, seringkali menemui hambatan dalam pelaksanaannya. Mulai dari tahap perencanaan, perijinan, pelaksanaan hingga pengelolaan, berbagai „gangguan‟ harus dihadapi agar pembangunan tersebut bisa terlaksana. 5.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sesuai UU 24/92 tentang Penataan Ruang, dibutuhkan adanya RTRW bagi setiap wilayah terutama yang akan dikembangkan. RTRW menjadi acuan untuk pembuatan rencana-rencana yang lebih mikro disuatu wilayah. Yang menjadi masalah adalah bahwa banyak daerah kota atau kabupaten yang belum memiliki RTRW yang cukup rinci dan sah untuk daerah/kawasan yang diminati investor/ pengembang, sehingga menyulitkan bagi investor tersebut. Seyogyanya Pemerintah Daerah memberikan perhatian khusus dan prioritas pada pembuatan RTRW yang sekaligus dapat menjadi acuan rencana investasi bagi para investor yang diharapkan masuk ke daerah. 5.2. Kepemilikan Atas Tanah dan Jangka Waktu Hak

Salah satu kendala dalam rangka peningkatan masuknya investasi asing ke Indonesia adalah masalah kepemilikan atas tanah khususnya oleh orang asing. Kondisi

Page 14: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

14

yang berlaku di Indonesia samasekali tidak menarik bagi investor asing dan jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, Australia, dsb. Selain masalah kepemilikan tersebut, jangka waktu hak atas tanah juga menjadi masalah karena sangat tidak kompetitif dibandingkan dengan jangka waktu kepemilikan yang berlaku di Negara-negara lain. Hak Pakai di Indonesia berlaku selama 25 tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa Hak tersebut dapat diperpanjang selama 20 tahun dan terakhir masih dapat diperbaharui selama 25 tahun, sehingga total jangka waktu kepemilikan oleh orang asing adalah 70 tahun (dengan 2 kali perpanjangan). Sementara negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura memberikan 2 kemungkinan kepemilikan yaitu Freehold (semacam Hak Milik) yang berlaku seterusnya, dan Leasehold (semacam Hak pakai) yang berlaku selama 99 tahun langsung. 5.3. Degradasi Lingkungan Degradasi lingkungan terutama akibat rusaknya wilayah hulu, menyebabkan terjadinya pencemaran air sungai, pendangkalan sungai serta danau serta sedimentasi diwilayah muara sungai. Hal ini sangat menyulitkan bagi pengembang yang proyeknya berada baik di kawasan Tepi laut (dekat muara sungai), kawasan Tepi Sungai, maupun kawasan Tepi Danau. 5.4. Teknologi Sebagai Solusi, tetapi kurang ditanggapi Pada dasarnya berbagai permasalahan lingkungan dapat diatasi dengan teknologi. Sayangnya, seringkali para pelaku pembangunan menemui kesulitan untuk mendapatkan persetujuan bila memperkenalkan teknologi atau kiat yang baru, sehingga sulit mengubah standar lama yang telah tertinggal. Masalah fungsi resapan air dikawasan perbukitan bisa diatasi dengan pembangunan danau resapan, sehingga pembatasan KDB tidak perlu terlalu tinggi tanpa harus mengorbankan lingkungan. Demikian pula pengurukan laut yang bisa dilakukan tanpa perlu mengakibatkan bahaya banjir dsb. 5.5. Kualitas versus Kuantitas

Penetapan kewajiban fasos/fasum hendaknya bukan didasarkan pada prosentasi luasan kewajiban (kuantitas), tetapi lebih mempertimbangkan kualitas. Misalnya : dalam rangka peningkatan fungsi resapan maka pembuatan danau resapan memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding sumur resapan dan taman. Demikian juga pembuatan Hutan Kota nilainya lebih tinggi dari taman. Sehingga bagi pengembang yang membuat Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang “berkualitas” tersebut bisa di “kompensasi” dengan peningkatan “salable area” (dan mengurangi luasan fasosum)

Page 15: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

15

5.6. Prasarana Sarana Dasar Pekerjaan Umum (PSD-PU) Sesuai perundangan yang berlaku maka sebenarnya penyediaan PSD-PU merupakan kewajiban Pemerintah. Dalam kenyataannya, berbagai infrastruktur dan utilitas dasar terpaksa harus diadakan dan dikelola oleh pengembang. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap development costs yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual tanah. Selain itu keberadaan berbagai infrastruktur wilayah juga terus mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas, terutama dimusim hujan.

Survai yang dilakukan Asian Intelegence terhadap expatriate yang bekerja di 12 negara, yang dikeluarkan oleh Political and Economic Risk Consultancy Ltd. memberikan rating kualitas infrastruktur terrendah pada Indonesia, padahal kualitas infrastruktur suatu negara berbanding lurus dengan tingkat perekonomian negara itu15

Tabel 3

Peringkat Daya Saing Infrastruktur

NEGARA PERINGKAT DAYA SAING INFRASTRUKTUR

2002 2001 2000 1999 1998

USA 1 1 1 1 1

FINLANDIA 2 2 2 2 3

SWEDIA 3 3 7 7 11

SWISS 5 9 6 5 6

SINGAPURA 7 5 3 3 2

JEPANG 16 19 15 14 17

MALAYSIA 26 38 32 28 24

KOREA 28 34 28 39 38

CINA 35 39 34 35 30

THAILAND 38 40 37 38 41

FILIPINA 44 41 41 33 35

INDIA 47 45 43 44 43

POLANDIA 48 48 40 42 45

INDONESIA 49 49 47 47 44

Sumber : Kodoatie, Robert J. Ph.D, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Jakarta Agustus 2003.

Pembangunan perumahan dan permukiman amat sangat tergantung dari keberadaan prasarana wilayah, sementara pembiayaan infrastruktur oleh pemerintah justru setiap tahun cenderung menurun. Sebagaimana diakui oleh Pusat Kajian Strategis Departemen Pekerjaan Umum16 : “Pembiayaan infrastruktur cenderung terus turun. Tahun 1993/94 mencapai 5,34% dari PDB, untuk 2002 hanya 2,33% padahal kebutuhannya adalah sebesar 5%”

15

Kodoatie, Robert J. Ph.D, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Jakarta Agustus 2003. 16 Harian “Seputar Indonesia” , 17 Maret 2006

Page 16: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

16

Tabel 4

Kebutuhan Investasi Prasarana Perkotaan Dalam REPELITA VI

NO PRASARANA PERKOTAAN

AKHIR REPELITA VI (Rp.triliun)

KEBUTUHAN KEMAMPUAN BEDA

1 AIR BERSIH 11,00 8,00 (72%) 3,00 2 PERSAMPAHAN 2,11 1,03 (48%) 1,08 3 AIR LIMBAH 2,53 1,20 (47%) 1,33 4 DRAINASE 2,65 1,70 (64%) 0,95 5 KIP/MIIP 2,44 1,13 (46%) 1,31 6 JALAN KOTA 9,37 8,08 (86%) 1,29

J U M L A H 30,10 21,14 8,96

% 100 70,2 29,8 Sumber : Ditjen.Cipta Karya-Dep.Pekerjaan Umum RI, 1993

5.7. Tanggung-jawab Pengelolaan Prasarana dan Sarana Sebagaimana diatur dalam Permendagri I tahun 1987, pengembang berkewajiban menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasosum) serta menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Selain berbagai kasus belum siapnya pengembang menyerahkan fasosum kepada Pemda, dalam banyak kasus yang terjadi adalah bahwa Pemda belum siap untuk menerima penyerahan fasosum tersebut dan mengelolanya. 5.8. Perubahan Peraturan Perubahan peraturan yang kadang-kadang belum sempat diterapkan telah diubah kembali, sangat menyulitkan untuk membuat perencanaan jangka panjang. Padahal usaha pembangunan perumahan – terutama yang berskala besar – adalah jenis usaha jangka panjang yang sangat membutuhkan konsistensi peraturan sehingga bisa dibuat perencanaan dan perhitungan jangka panjang. Atau sebaliknya, perubahan yang diharapkan terhadap sebuah peraturan, tidak kunjung dilaksanakan sehingga justru menjadi kontra-produktif. Perubahan peraturan sebaiknya memperhatikan kepentingan stake holder, termasuk para pelaku usaha. 5.9. Kemudahan Perijinan dan Ekonomi Biaya Tinggi Banyaknya jenis perijinan serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perijinan tersebut menjadi keluhan para pelaku pembangunan, terutama pihak swasta.

Page 17: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

17

Tabel 4 Jumlah Hari Mendapatkan Ijin

Ijin Lingkungan Hidup 43

IMB 35

Ijin Lokasi 34

Ijin Prinsip 27

Ijin Gangguan 25

Ijin Keselamatan Kerja 16 Sumber : Studi LPEM-FEUI, 2005

Demikian juga „High Cost Economy‟ masih menjadi salah satu kendala utama dalam pembangunan perumahan dan permukiman, yang selanjutnya berdampak pada harga jual rumah. Salah satu daya tarik utama yang bisa „dijual‟ oleh Pemda dalam rangka menarik investor adalah ke-mudah-an dan ke-„murah‟-an pengurusan dan biaya perijinan.

Tabel 4 INDIKATOR KEMUDAHAN MELAKUKAN BISNIS

NEGARA JML.

PROSEDUR

JUMLAH

HARI BIAYA* MODAL

MINIMUM*

BANGLADES 8 35 91.0 0.0

KAMBOJA 11 94 480.1 394.0

CHINA 12 41 14.5 1104.2

HONGKONG 5 11 3.4 0.0

INDIA 11 89 49.5 0.0

INDONESIA 12 151 130.7 125.6

KOREA SELATAN 12 22 17.7 332.0

LAOS 9 198 18.5 28.5

MALAYSIA 9 30 25.1 0.0

FILIPINA 11 50 19.5 2.2

SINGAPORE 7 8 1.2 0.0

SRILANGKA 8 50 10.7 0.0

TAIWAN 8 48 6.3 224.7

THAILAND 8 33 6.7 0.0

VIETNAM 11 56 28.8 0.0 Sumber : Laporan Bank Dunia, 2005 * % dari pendapatan/kapita

5.10. Koordinasi dan Sinkronisasi Salah satu kelemahan dalam pembangunan yang terjadi di Indonesia adalah masalah koordinasi dan sinkronisasi. Akibat kelemahan tersebut terjadi kesia-siaan yang tidak perlu, seperti jalan yang telah dibangun kemudian digali ulang, demikian juga sinkronisasi antar rencana pembangunan yang sering tidak terjadi sehingga menyulitkan dikemudian hari.

Page 18: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

18

5.11. Keamanan, Ketertiban dan Penegakan Hukum Reformasi yang „kebablasan‟ telah mengakibatkan terjadinya ekses-ekses yang sangat merugikan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan, penyerobotan tanah, perusakan milik orang lain, pencurian, perampokan, kini terjadi dimana-mana seolah-olah hukum sudah tidak berlaku. Tidak adanya penegakan hukum dan tindakan segera saat terjadinya pelanggaran, menyebabkan para pelanggar hukum semakin tidak peduli. 5.12. Pajak dan Retribusi Diberlakukannya UU 22/99 tentang Otonomi Daerah diberbagai daerah diinterpretasikan secara salah bahkan dianggap memberi kekuasaan kepada daerah untuk memungut pajak setinggi-tingginya dan menetapkan obyek pajak sebanyak-banyaknya. Sejak pemberlakuan UU tersebut pada tanggal 1 Januari 2001, berbagai pajak dan retribusi bermunculan. Dalam jangka pendek hal ini mungkin dapat membantu Pemda dalam perolehan PAD, tetapi bisa dipastikan bila ini terus berlanjut maka para investor akan lari dari daerah tersebut dan menanamkan modalnya di daerah lain yang memiliki aturan dan kemudahan yang lebih baik. Masalah perpajakan menjadi salah satu keluhan sebagai penyebab kurang kondusifnya iklim usaha di Indonesia, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Sebagaimana diungkapkan oleh Tadashi Okamura17 - Presiden Direktur Toshiba dari Jepang : “Berbagai masalah yang berkaitan dengan investasi harus segera dibenahi Indonesia, misalnya keamanan, hukum, pajak, tenaga kerja, infrastruktur, listrik dll yang berkaitan dengan usaha serta bisnis investor asing”. Berkaitan dengan hak/kepemilikan atas tanah, di Indonesia dikenakan berbagai jenis pajak yang sangat memberatkan dan merupakan sebuah masalah lain yang mengurangi daya saing Indonesia di banding negara-negara lain. Akibatnya pembelian properti oleh orang asing di Indonesia sangat sedikit, sebaliknya justru sangat banyak warga Negara Indonesia yang membeli properti di negara lain seperti Singapura, Malaysia, Australia, dsb.

Pembelian properti di Indonesia dikenakan berbagai pajak a.l. :

PPN BPHTB PPh PPN BM PBB

17

Kompas, 9 April 2003

Page 19: RTBL

Kementerian Negara Perumahan Rakyat - 2006

Lokakarya RTBL – Hotel Grand Kemang Jakarta – 18 Desember 2006

19

Sementara sebagai pembanding di Malaysia dan Singapura tidak ada capital gain untuk tanah. Yang ada adalah Stamp Duty (semacam biaya meterai) yang besarnya dihitung secara progresif tergantung nilai transaksi, mulai dari 1%. 5.13. Dana Murah Untuk Swasta Pada umumnya para pengembang membangun dan mengembangkan proyeknya dengan pinjaman dari bank yang dikenakan bunga komersil. Untuk menekan cost of money dan development cost tersebut, seyogyanya para pengembang juga diberi akses kepada dana murah untuk infrastruktur/utilitas seperti yang diperoleh Pemerintah untuk pengembangan kegiatan yang sama. 5.14. Standardisasi Hingga saat ini tidak ada standard ukuran baku yang dijadikan acuan dalam pembuatan komponen bangunan tertentu seperti kusen dsb. Standardisasi bisa sangat menghemat pemborosan pemanfaatan sumber daya alam yang semakin langka dan mahal. 5.15. Insentif dan Disinsentif Pemberian insentif bagi pelaku pembangunan yang melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan dengan baik sedangkan disinsentif dapat mengurangi terjadinya pelanggaran.

--------------- RealEstat Indonesia ---------------