rr. arini (tatalaksana pasca henti jantung)
DESCRIPTION
Tatalaksana Pasca Henti JantungTRANSCRIPT
REFERAT
TATALAKSANA PASCA HENTI JANTUNG
Oleh :
Rr. Arini Budi Mulyani
H1A 006 040
Pembimbing :
dr. Hj. Elya Endriani, Sp. An.
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM ANESTESI DAN REAMINASI
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012
Pengertian Cardiac Arrest
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi
pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu
kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak
(American Heart Association, 2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest
adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti
jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk
mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Faktor Predisposisi
Iskandar (2008), mengatakan bahwa faktor risiko cardiac arrest adalah laki-laki usia 40
tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest 1:8 orang, sedangkan pada
wanita adalah 1:24 orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung
mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi,
hiperkholesterolemia dan merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest
(Iskandar, 2008).
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko
tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu.
Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain; jantung
yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk
mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah
seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya
cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy).
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katup jantung) membuat seseorang cenderung untuk
terkena cardiac arrest.
c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung.
Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa kondisi
tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic
effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan
magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan
aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d) Kelistrikan jantung yang tidak normal.
Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti
Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa
menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal.
Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan
aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin
ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu
terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat.
Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest
pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Tanda-Tanda Cardiac Arrest
Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118 (2010) yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di pundak
ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan
dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
Proses Terjadinya Cardiac Arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi ventrikel
(VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Diklat Ambulans
Gawat Darurat 118, 2010).
a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC
shock atau defibrilasi.
b) Takikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan
otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi
nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek,
akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan
menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan
medikamentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik
sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan
menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
c) Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas
atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat
diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.
d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada
monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang
harus segera diambil adalah CPR.
Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8 sampai
10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,
2010). Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi
segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat
mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang
diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan
kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah
diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan
untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Association,
2010).
Post Cardiac Arrest Care
Terdapat peningkatan pengenalan bahwa tatalaksana sistematik pasca henti jantung
setelah kembalinya sirkulasi spontan dapat meningkatkan ketahanan pasien dengan kualitas
hidup yang baik. Tatalaksana pasca henti jantung (Post Cardiac Arrest Care) memiliki potensi
yang signifikan untuk mengurangi kematian yang lebih awal akibat ketidakstabilan hemodinamik
serta morbiditas dan mortalitas dari kegagalan multiorgan dan kerusakan otak. Hal-hal utama
dari tatalaksana pasca henti jantung adalah:
Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi organ vital.
Setelah serangan henti jantung di luar rumah sakit, pindahkan pasien ke rumah sakit yang
tepat dengan sistem pengobatan pasca henti jantung yang komprehensif, seperti
intervensi koroner akut, penanganan neurologis, goal-directed critical care dan
hipotermia.
Pindahkan pasien pasca henti jantung ke critical care unit yang mampu menyediakan
tatalaksana pasca henti jantung yang komprehensif.
Mengidentifikasi dan mengobati penyebab terjadinya serangan dan mencegah serangan
berulang.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan dari tatalaksana pasca henti jantung, yaitu:
Mengontrol suhu tubuh untuk mengoptimalkan survival dan penyembuhan neurologis.
Mengidentifikasi dan mengobati sindrom koroner akut.
Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan kerusakan paru.
Mengurangi resiko kerusakan multiorgan dan menyokong fungsi organ jika dibutuhkan.
Penilaian prognosis penyembuhan secara objektif.
Tatalaksana pasca henti jantung adalah komponen penting dari advance life support.
Sebagian besar kematian terjadi selama 24 jam pertama setelah serangan jantung. Sistem
tatalaksana pasca henti jantung seharusnya meliputi intervensi terhadap hipotermia, optimalisasi
hemodinamik dan pertukaran gas, re-perfusi koroner segera ketika terdapat indikasi untuk
restorasi aliran darah koroner dengan intervensi koroner perkutaneus (percutaneous coronary
intervention/PCI), kontrol glikemik serta diagnosis, manajemen dan prognosis neurologis.
Gambar 1. Algoritma tatalaksana pasca henti jantung
Pelaksana resusitasi jantung paru harus menjamin jalan napas yang adekuat dan men-
support pernapasan segera setelah kembalinya pernapasan spontan. Pasien yang tidak sadar
biasanya membutuhkan jalan napas yang baik untuk support mekanik pernapasan. Kemungkinan
dibutuhkan menggantikan jalan napas supraglotik yang dipakai untuk resusitasi utama dengan
ET, walaupun waktu penggantian bervariasi. Metode untuk mengamankan jalan napas di
antaranya adalah baik penolong maupun pihak rumah sakit yang dipakai dalam jangka waktu
lama, harus menolak menggunakan ikatan yang melewati lingkaran di sekitar leher pasien, yang
secara potensial dapat mengobstruksi venous return dari otak. Mereka juga harus menaikkan
bagian atas tempat tidur sebesar 30º untuk mengurangi insidensi edema serebral, aspirasi dam
pneumonia yang berhubungan dengan ventilasi. Penempatan jalan napas yang benar, khususnya
selama pemindahan pasien, harus dipantau menggunakan waveform caphnography. Oksigenasi
pasien harus dipantau terus-menerus dengan pulse oximetry.
Walaupun oksigen 100% dapat digunakan selama resusitasi utama, penolong harus
mentitrasi oksigen yang diinspirasi pada level terendah yang dibutuhkan untuk mencapai saturasi
oksigen arteri ≥ 94 % dan juga untuk mencegah toksisitas oksigen. Hal ini mungkin tidak dapat
dilakukan sesegera mungkin setelah henti jantung di luar RS, namun menunggu sampai pasien
dibawa ke unit gawat darurat atau ICU. Hiperventilasi atau overbagging pasien merupakan hal
yang sering terjadi pasca henti jantung dan harus dicegah karena adanya kemungkinan efek
samping hemodinamik. Hiperventilasi meningkatkan tekanan intrathoraks dan secara berangsur-
angsur menurunkan cardiac output. Menurunnya PaCO2 yang terlihat dengan hiperventilasi juga
berpotensi menurunkan aliran darah serebral secara langsung. Ventilasi dapat dimulai pada 10 –
12 napas/menit dan dititrasi untuk mencapai PaCO2 40 – 45 mmHg.
Klinisi harus menilai tanda vital dan memantau aritmia jantung yang berulang.
Pemantauan EKG secara terus-menerus harus dilanjutkan setelah kembalinya sirkulasi spontan,
selama pemindahan, dan melalui perwatan di ICU sampai pasien stabil. Akses intravena harus
disediakan jika belum ada dan posisi serta fungsi kateter intravena teruji. Jalur intravena harus
ada untuk menggantikan akses intraoseus selama resusitasi. Jika pasien hipotensi (TD < 90
mmHg), cairan bolus dapat dipertimbangkan. Cairan dingin dapat digunakan jika pengobatan
hipotermia terpilih. Infus obat-obatan vasoaktif seperti dopamine, norepinefrin atau epinefrin
dipakai jika perlu dn dititrasi untuk mencapai minimal tekana n darah sistolik ≥ 90 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.
Kerusakan otak dan ketidakstabilan kardiovaskular merupakan determinan utama
survival setelah henti jantung. Karena pengobatan hipotermia hanya intervensi yang dilakukan
untuk meningkatkan penyembuhan neurologis, maka harus dipikirkan kemungkinan adanya
pasien yang tidak dapat mengikuti perintah verbal setelah kembalinya sirkulasi spontan.
Secara umum, sebagian besar penyebab henti jantung adalah penyakit kardiovaskular dan
iskemia koroner. Oleh karena itu, EKG 12 lead harus ada sesegera mungkin untuk mendeteksi
elevasi ST atau blok bundle branch kiri yang baru atau diperkirakan baru. Ketika terdapat
kecurigaan tinggi terhadp infark myokardial akut (AMI), pengobatan AMI dan reperfusi koroner
harus dilakukan. Bahkan walaupun tidak ada elevasi ST, pengobatan medis atau intervensi
pengobatan dapat dianggap sabagai pengobatan sindrom koroner akut (ACS) dan tidak
seharusnya ditunda karena adanya koma atau dalam hubungannya dengan hipotermia. Intervensi
koroner perkutaneus dan hipotermia yang terjadi bersamaan adalah aman, dengan hasil yang baik
yang dilaporkan pada beberapa pasien koma yang menjalani intervensi koroner perkutaneus.
Pasien yang tidak sadar atau tidak berespon setelah henti jantung harus langsung
diarahkan ke fasilitas pengobatan kritis dengan perencanaan komprehensif yang meliputi
intervensi kardiovaskular, penggunaan pengobatan hipotermia, terapi medis standar dan adanya
pemantauan dan penanganan neurologis. Prognosis neurologis dapat sulit untuk ditentukan
selama 72 jam pertama, bahkan pada pasien yang tidak menjalani terapi hipotermia. Pada saat
ini, waktu prognosis diperpanjang pada pasien yang menjadi dingin. Banyak pasien koma dari
henti jantung memiliki potensi penyembuhan penuh sehingga mereka dapat kembali hidup
normal. Antara 20 – 50 % atau lebih pasien henti jantung di luar RS yang mengalami koma saat
datang ke RS memiliki hasil neurologis 1 tahun yang baik. Oleh karena itu, penting untuk
menempatkan pasien pada critical care unit yang penanganan berpengalaman dan evaluasi
neurologis yang tampak dan dimana uji untuk prognosis tersedia dalam waktu yang tepat.
Perhatian harus diarahkan pada pengobatan penyebab henti jantung setelah kembalinya
sirkulasi spontan. Penolong harus mempelajari lebih jauh mengenai pengobatan pada evaluasi
terhadap pasien. Hal ini penting untuk mengidentifikasi atau mengobati jantung, elektrolit,
toksikologi, paru dan neurologis. Klinisi dapat terbantu dengan mengingat faktor-faktor yang
dapat berperan terhadap henti jantung atau resusitasi yang berkomplikasi atau penanganan pasca
resusitasi seperti hipovolemia, hipoksia, toksin, ion hidrogen (asidosis dari berbagai penyebab),
hiper/hipokalemia, hipotermi seang sampai berat, tamponade (jantung), tension pneumothorax,
dan trombosis vaskular koroner atau pulmoner.
Tabel 1. Sistem Pendekatan Multiorgan untuk Tatalaksana Pasca Henti Jantung
Sindrom Pasca Henti Jantung
Tingginya angka kematian pasien yang sirkulasi spontannya kembali setelah henti
jantung dapat dihubungkan dengan proses patofisiologis yang melibatkan multiorgan. Walaupun
perpanjangan iskemia seluruh tubuh menyebabkan kerusakan jaringan dan organ secara umum,
namun kerusakan lainnya terjadi selama dan setelah reperfusi. Patofisiologi unik pasca henti
jantung sering tertutupi dengan penyakit atau kerusakan yang menyebabkan henti jantung. Terapi
yang berfokus pada salah satu organ dapat mengakibatkan kerusakan sistem organ. 4 komponen
penting dari sindrom pasca henti jantung adalah (Tabel 2):
1. post-cardiac arrest brain injury,
2. post-cardiac arrest myocardial dysfunction,
3. systemic ischaemia/reperfusion response,
4. persistent precipitating pathology.
Beratnya penyakit-penyakit ini setelah kembalinya sirkulasi spontan tidak sama dan
bervariasi pada tiap pasien, berdasarkan parahnya iskemia, penyebab henti jantung dan kondisi
kesehatan pasien sebelum henti jantung. Jika kembalinya sirkulasi spontan tercapai dengan cepat
setelah mulainya henti jantung, sindrom pasca henti jantung tidak akan terjadi.
Tabel 2. Sindrom Pasca Henti Jantung
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association Guidelines. 2010. Part 9: Post – Cardiac Arrest Care: for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins (Circulation: Journal of The American Heart
Association). Available from http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S768
(Accessed 26th April, 2012)
Nolan, J.P., et al. 2008. Post-Cardiac Arrest Syndrome. Irlandia: Elsevier (Resuscitation 79: 350
– 379). Available from http:// www.elsevier.com/locate/resuscitation (Accessed 26th April,
2012)
Tri, Santoso. Hubungan Antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Perawat dalam
Menangani Cardiac Arrest. Available from
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/116/jtptunimus-gdl-santosotri-5766-2-babii.pdf
(Accessed 26th April, 2012)