rmk etika praktik bisnis 2.docx
TRANSCRIPT
1. ETIKA BISNIS
Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari
dalam perusahaan itu sendiri. Tujuan etika bisnis adalah menggugah kesadaran moral para
pelaku bisnis dalam menjalankan good business dan tidak melakukan ‘monkey business’ atau
dirty business. Etika bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis
yang etis agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya dimensi
etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia bisnis sebagai kegiatan
yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis mempunyai implikasi etis dan oleh
karenanya membawa serta tanggung jawab etis bagi pelakunya.
Berbisnis dengan etika adalah menerapkan aturan umum mengenai etika pada perilaku
bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan
aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur
adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan
pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing, dan masyarakat, maka ia
dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita
sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata
lain, etika bisnis ada untuk mengontrol bisnis agar tidak tamak.
2. PRINSIP ETIKA BISNIS
Ada beberapa prinsip etika bisnis.
1) Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk
dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang
menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi
yang dihadapinya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi
bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya
serta risiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun
bagi pihak lain. Ia juga tahu bahwa keputusan dan tindakan yang akan diambilnya akan
sesuai atau, sebaliknya, bertentangan dengan nilai dan norma moral tertentu.
Untuk bertindak secara otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik itu. Kebebasan
adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi. Seorang pelaku bisnis hanya mungkin bertindak
secara etis kalau dia diberi kebebasan dan kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya baik. Namun, kebebasan
saja belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis. Karena dengan
kebebasannya seseorang dapat bertindak secara membabi-buta tanpa menyadari apakah
tindakannya itu baik atau tidak. Karena itu, otonomi juga mengandaikan adanya tanggung
jawab. Orang yang otonom adalah orang yang tidak saja sadar akan kewajibannya dan
bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggapnya baik,
melainkan juga adalah orang yang bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan
tindakannya serta mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya serta
dampak dari keputusan dan tindakannya ini.
2) Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan pada prinsip
kejujuran dan para pelaku bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran
dalam berbisnis adalah kunci keberhasilannya, termasuk untuk bertahan dalam jangka
panjang, dalam suasana bisnis penuh persaingan ketat. Pertama, kejujuran relevan dalam
pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran relevan dalam
penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, kejujuran
relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Dalam ketiga wujud di
atas, kejujuran terkait erat dengan kepercayaan. Kepercayaan adalah aset yang sangat
berharga bagi kegiatan bisnis. Sekali pihak tertentu tidak jujur, dia tidak bisa lagi
dipercaya dan berarti sulit untuk bertahan dalam dunia bisnis.
3) Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan
aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang
dalam kegiatan bisnis entah dalam relasi eksternal perusahaan maupun relasi internal
perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut
agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
4) Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan
semua pihak. Dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis
haruslah melahirkan suatu win-win solution.
5) Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau
perusahaan agar dia perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau
nama baik perusahaannya. Ada sebuah impertif moral yang berlaku bagi dirinya sendiri
dan perusahaannya untuk berbisnis sedemikian rupa agar tetap dipercaya, tetap paling
unggul, tetap yang terbaik. Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan
dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan
dibanggakan. Dan itu tercermin dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik
ke luar maupun ke dalam perusahaan.
3. ETOS BISNIS
Banyak perusahaan besar sesungguhnya telah mengambil langkah yang tepat ke arah
penerapan prinsip-prinsip etika bisnis ini – kendati prinsip yang mereka anut bisa beragam atau
sebagiannya merupakan varian dari prinsip-prinsip di atas – dengan pertama-tama membangun
apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture) atau lebih cenderung disebut
sebagai etos bisnis.
Yang dimaksudkan dengan etos bisnis di sini adalah suatu kebiasaan atau budaya moral
menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi
yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau
prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang sekaligus
juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan
mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran, tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi,
dan seterusnya.
Dirumuskan secara lebih jelas, pada tingkat pertama ada nilai. Nilai adalah apa yang
diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan menyangkut kondisi yang
didambakan dan paling penting bagi seseorang atau kelompok orang dan yang sekaligus paling
menentukan dalam hidup orang atau kelompok orang itu. Nilai ini kemudian menjelma menjadi
prinsip hidup. Nilai dan prinsip ini lalu menentukan sikap seseorang atau kelompok orang. Sikap
kemudian menentukan perilaku yang merupakan penghayatan konkret akan nilai dan prinsip
dalam hidup sehari-hari. Dalam perusahaan skema ini pun berlaku. Ada nilai yang dianut dan
dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan dan (diperkaya) staf manajemen. Nilai lalu menjadi
prinsip dan kode etik perusahaan yang menentukan sikap dan pola perilaku seluruh perusahaan
dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari. Ini pada gilirannya akan menjadi etos atau budaya bisnis
dari perusahaan yang bersangkutan, yang sangat menentukan identitas dan keunggulan
perusahaan tersebut dalam persaingan bisnis dengan perusahaan lain.
Tentu saja, berkembang tidaknya sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan sangat
ditentukan pula oleh gaya kepemimpinan dalam perusahaan tersebut. Betapapun baiknya nilai
dan prinsip moral tertentu, tetapi kalau tidak ditunjang oleh gaya kepemimpinan yang kondusif
untuk menumbuhkan etos bisnis yang baik, etos bisnis sulit akan berkembang dalam sebuah
perusahaan.
4. PENDEKATAN STAKEHOLDER
Pendekatan stakeholder merupakan sebuah pendekatan baru yang banyak digunakan,
khususnya dalam etika bisnis, belakangan ini dengan mencoba mengintegrasikan kepentingan
bisnis di satu pihak dan tuntutan etika di pihak lain. Pendekatan ini terutama memetakan
hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis pada umumnya untuk memperlihatkan
siapa saja yang punya kepentingan, terkait, dan terlibat dalam kegiatan bisnis pada umumnya itu.
Pada akhirnya, pendekatan ini mempunyai satu tujuan imperatif: bisnis harus dijalankan
sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan
(stakeholder) dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai.
Dasar pemikirannya adalah bahwa semua pihak yang punya kepentingan dalam suatu
kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan
kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Pada akhirnya, pendekatan stakeholder
menuntut agar bisnis apapun perlu dijalankan secara baik dan etis justru demi menjamin
kepentingan semua pihak yang terkait dalam bisnis tersebut. Selain itu, pendekatan ini pun
ditempuh demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan.
Pada umumnya ada dua kelompok stakeholders: kelompok primer dan kelompok sekunder.
Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan, pemasok,
konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan. Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah
setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat
pada umumnya, dan masyarakat setempat. Yang paling penting diperhatikan dalam suatu
kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena hidup matinya, berhasil tidaknya bisnis
suatu perusahaan sangat ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan
kelompok primer tersebut. Yang berarti, demi keberhasilan dan kelangsungan bisnis suatu
perusahaan, perusahaan tersebut tidak boleh merugikan satu pun kelompok stakeholder primer di
atas. Dengan kata lain, perusahaan tersebut harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis
dengan kelompok tersebut: jujur, bertanggung jawab dalam penawaran barang dan jasa, bersikap
adil terhadap mereka, dan saling menguntungkan satu sama lain. Disinilah ditemukan bahwa
prinsip etika menemukan tempat penerapannya yang paling konkret dan sangat sejalan dengan
kepentingan bisnis untuk mencari keuntungan.
Dalam kaitan dengan kelompok sekunder, perlu dikatakan bahwa dalam situasi tertentu
kelompok ini bisa sangat penting bahkan bisa jauh lebih penting dari kelompok primer, dan
karena itu bahkan sangat perlu diperhitungkan dan dijaga kepentingan mereka. Misalnya,
kelompok sosial semacam LSM baik di bidang lingkungan hidup, kehutanan, maupun hak
masyarakat lokal bisa sangat merepotkan bisnis suatu perusahaan. Demikian pula, pemerintah
nasional maupun asing, juga media massa dan masyarakat setempat. Dalam kondisi sosial,
ekonomi, politik semacam Indonesia, masyarakat setempat bisa sangat mempengaruhi hidup
matinya suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa mempedulikan
kesejahteraan, nilai budaya, sarana dan prasarana lokal, lapangan kerja setempat, dan seterusnya,
akan menimbulkan suasana sosial yang sangat tidak kondusif dan tidak stabil bagi kelangsungan
bisnis perusahaan tersebut. Dengan demikian, dalam banyak kasus, perusahaan yang ingin
berhasil dan bertahan dalam bisnisnya harus pandai menangani dan memperhatikan kepentingan
kedua kelompok stakeholders secara baik dan itu berarti bisnis harus dijalankan secara baik dan
etis.
Keraf, A. Sonny. 2000. Etika Bisnis, Tuntuan dan Relevansinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. (http://books.google.co.id/, diakses tanggal 6 Agustus 2013).
5. KASUS ETIKA BISNIS DI INDONESIA
a. Kasus PT. Megasari Makmur
Perjalanan obat nyamuk yang bermula pada tahun 1996 ini diproduksi oleh PT. Megasari
Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. PT Megasari Makmur juga
memproduksi banyak produk seperti tisu basah dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat
nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh di
kelasnya. Selain di Indonesia, HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia.
Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megasari Makmur dinyatakan ditarik dari
peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak
puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia) yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan
inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan
manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan
terhadap sel pada tubuh, kanker hati, dan kanker lambung.
Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot)
dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT
Megasari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.
Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah
akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Pihak produsen (PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT
yang telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru
dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT Aerosol Baru
telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal 08 September 2006
Departemen Pertanian menyatakan produk HIT Aerosol Baru dapat diproduksi dan digunakan
untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9-2006/S). Sementara itu, pada tanggal 22 September 2006
Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin yang menyetujui pendistribusiannya dan
penjualannya di seluruh Indonesia.
http://nildatartilla.wordpress.com/2013/02/09/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis-oleh-pt-
megasari-makmur/
b. Kasus Lapindo Brantas
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari berbagai negara
menyimpulkan bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang
dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas
Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru
timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur. Setelah melalui serangkaian konferensi
internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh hasil akhir bahwa
kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab semburan lumpur panas di
Sidoarjo.
Akan tetapi, pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur
diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur
pada tanggal 29 Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin
karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai
penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta
bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah
lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss and kick, sehingga
lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki
sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi)
Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah
Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun para pakar
independen. Karena para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian
mereka untuk memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting,
menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian
besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang
disebabkan oleh Lapindo. Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik,
pemerintah, dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus
bertanggung jawab dalam bencana ini.
Dari uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas
merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo. Akan tetapi, pihak Lapindo
malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang
dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. PT. Lapindo
Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian sehingga
menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan
dan sosial.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo
rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dan keengganan PT. Lapindo
untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi
aset-aset mereka daripada melakukan penyelamatan dan perbaikan atas kerusakan lingkungan
dan sosial yang mereka timbulkan.
Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip-prinsip etika yang ada.
Prinsip mengenai hak dan deontologi yang menekankan bahwa tiap manusia berhak atas
lingkungan berkualitas. Akan tetapi, dengan adanya peristiwa lumpur panas tersebut, warga
justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang buruk. Sedangkan perspektif utilitarisme
menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas
ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan
ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain. Akan
tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo untuk
kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan pemeliharaan terhadap alam,
yang dibuktikan dengan penghematan biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga
menumbulkan bencana yang besar. Selanjutnya, kerusakan akibat kesalahan tersebut menimpa
pada warga Porong yang tidak berdosa.
Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributif juga dilanggar oleh PT. Lapindo karena
perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan
sosial. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau
lingkungan karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian
dijadikan alasan perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang
dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.
Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan
sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Segala macam bentuk pengabaian etika
dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri,
lingkungan sekitar, alam, dan sosial.
http://underground-paper.blogspot.com/2012/02/makalah-etika-bisnis-pt-lapindo.html
PERUSAHAAN SEBAGAI ORANG YANG BERMORAL?
Perusahaan dikendalikan oleh struktur dan prosedur perusahaan dan oleh karena itu tidak
diperkenankan adanya pertimbangan tujuan di luar serangkaian tujuan yang spesifik (profit). Ini
dikenal sebagai pandangan keterbatasan struktural; perusahaan bukanlah makhluk bermoral
karena tidak mampu melaksanakan pilihan moral dan tidak mempunyai ruang untuk mengambil
keputusan bermoral. Jika perusahaan, berdasarkan sifatnya, tidak dapat menyertakan
pertimbangan moral dalam keputusannya, hal ini menyiratkan kebutuhan untuk disertakannya
pengawas moral eksternal.
Pandangan bahwa perusahaan dapat membuat pilihan moral, bahwa mereka adalah agen
moral, berlawanan dengan pandangan keterbatasan struktural. Goodpaster (dikutip dalam
Brummer 1991:68) melihat perusahaan sebagai agen moral, independen dari para individu yang
mendirikan perusahaan. Keadaan ini berdasarkan pada argumen bahwa perusahaan itu sendiri,
terbukti dengan pengambilan keputusan dan implementasi strateginya, memiliki dua prasyarat
untuk agensi moral, yaitu rasionalitas (kemampuan untuk mengejar tujuan dengan
memperhatikan secara seksama pada sasaran dan sarana) dan menghormati orang lain
(kemampuan mempertimbangkan kepentingan pihak lain). Werhane (1985:59) berpendapat
bahwa perusahaan adalah agen moral dependen atau sekunder, perusahaan tidak secara metafisik
berbeda dari anggota mereka, melainkan niat moral kolektif tergantung pada niat individu para
anggota tersebut yang dikumpulkan.
CSR SEBAGAI SEBUAH EKSPRESI KEPEDULIAN ETIS
Mathews (1995) mempertimbangkan ada tiga argumen utama dalam memperlebar
akuntansi di luar fokus tradisionalnya yang sempit (keuangan) dan menyertakan masalah
lingkungan dan sosial. Pertama adalah argumen terkait pasar, argumen bahwa pengungkapan
pertanggungjawaban sosial mungkin memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pasar. Studi
tentang hubungan antara CSR dan kinerja keuangan menghasilkan hasil yang beragam. Namun,
apapun hasilnya jika maksimalisasi kekayaan adalah motif dibalik pengungkapan sosial
perusahaan maka ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai praktik yang termotivasi secara etis.
Kelompok argumen yang kedua berfokus pada ide legitimasi organisasi. Pelaporan sosial
perusahaan sukarela dapat dipandang sebagai strategi yang digunakan perusahaan untuk
membantu melegitimasi eksistensi dan aktivitas mereka. Ini sebagai tanggapan atas adanya
tekanan eksternal pada bisnis dari masyarakat pada umumnya dimana tekanan ini akan berubah
sewaktu-waktu. CSR dapat digunakan sebagai alat legitimasi karena memungkinkan organisasi
untuk menunjukkan bahwa perusahaan sejalan/sesuai dengan nilai dan kepedulian sosial.
Argumen ketiga didasarkan pada alasan bahwa akuntabilitas moral untuk dampak sosial
dan lingkungan perusahaan muncul dari kontrak sosial yang ada di antara bisnis dan masyarakat.
Donaldson (1982:39-41) mengembangkan ide kontrak sosial untuk bisnis dengan menelusuri
tulisan-tulisan filosofis Hobbes, Rousseau, dan Locke tentang teori kontrak sosial. Sama seperti
para penulis ini membedakan kontrak sosial dimana warga/masyarakat memberikan negara hak
untuk eksis dan pemerintah hak untuk mengelola/mengatur, jadi masyarakat juga membeirkan
perusahaan hak untuk eksis. Sebagai imbalan atas adanya atribut dan kedudukan hukum yang
telah diberikan kepada mereka, perusahaan memiliki kewajiban untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui kepuasan pekerjaan dan kepentingan konsumen.
Fungsi yang mendasari atas semua organisasi dari sudut pandang masyarakat adalah
meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memuaskan kepentingan konsumen dan pekerja,
sementara di saat yang sama tetap berada dalam batasan keadilan. Ketika gagal memenuhi
harapan tersebut, perusahaan layak mendapatkan kritik moral.